ORASI ILMIAH POLTEK

11

Click here to load reader

Transcript of ORASI ILMIAH POLTEK

Page 1: ORASI ILMIAH POLTEK

SIMPLE KOMPETENSI & KEWIRAUSAHAAN

MENJAWAB TATANGAN ABAD 21

Oleh:

Dr. Ir. Eddy Iskandar, M.Sc. Direktur Utama PT Central Prima Delta

ORASI ILMIAH PADA UPACARA

PERINGATAN DIES NATALIS KE-... POLITEKNIK SRIWIJAYA

Auditorium POLSRI, 31 Desember 2005

POLITEKNIK SRIWIJAYA PALEMBANG

2005

Page 2: ORASI ILMIAH POLTEK

1

PENDAHULUAN

“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar dia menguji kamu siapakah yang paling banyak amalnya”

(QS. Al Mulk: 2)

Kejelasan adalah sesuatu yang tidak akan pernah terlihat

sampai seseorang mengungkapkannya dengan SIMPLE

(Kahlil Gibran, Positive Quotions)

Gay Hendrick, Ph.D. dan Kate Ludeman, Ph.D. adalah konsultan

manajemen senior. Keduanya mengadakan sebuah penelitian dari 800-an manajer perusahaan yang mereka tangani selama 25 tahun.

Kesimpulannya mengejutkan: “Apabila Anda hendak mencari orang-orang suci sejati (the real mystics), Anda tidak akan menemukannya di

katedral-katedral; namun Anda akan menemukannya di korporasi-korporasi besar yang sukses. Hasil interview kami menunjukkan, pemimpin-pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak

kesuksesan biasanya adalah orang-orang yang memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami

orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas yang nondogmatis, selalu

mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain. Para pemimpin yang sukses lebih mengamalkan nilai-nilai ruhaniah ketimbang orang lain”.

Apa yang diungkap oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD

diatas merupakan salah satu jawaban tantangan abad 21 dimana banyak pengamat mengatakan abad 21 adalah era Hypercompetitive,

Chaos atau Hermawan Kertajaya mengatakannya dengan Era Invicible Competitor. Pada era ini tantangan bagi institusi pendidikan sangat

memerlukan metoda metoda baru yang perlu segera diaplikasikan agar proses pembelajaran dapat menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif.

Intelegensia Spiritual (SQ) yang digagas oleh Dana Zohar membuat kita

tersentak, seolah ini merupakan gagasan baru, sedangkan semenjak

penciptaan manusia dimuka bumi ini Adam AS, SQ sudah merupakan

hal yang paling pertama dan utama untuk dimiliki bagi setiap insan agar

hakikat penciptaan manusia dimuka bumi akan benar-benar sesuai misi

kehidupannya sebagai Khalifah fil Ard.

Page 3: ORASI ILMIAH POLTEK

2

SIMPLE-Competency adalah kerangka yang ingin dibangun dari pribadi manusia yang meliputi 6 (enam) aspek integrated competency ataupun

holistic, yaitu: Spiritual, Intellectual, Moral, Professional, Learning dan Emotional. Ibarat 2 (dua) mata koin, ke enam aspek ini memerlukan

kompetensi kewirausahaan sebagai sisi mata koin satunya untuk kemandirian manusia, bangsa dan negara.

Bagi pendidikan tinggi yang berbasis pada kompetensi, mutlak

diperlukan pendekatan yang komprehensif dan strategic. Dizaman kepemimimpinan Prof. Dr.Ing. Habibie kita sering mendengarkan perlunya kita menjadi insan yang tidak hanya menguasai IPTEK (Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi) tetapi juga IMTAK (Iman dan Takwa).

Tantangan bagi POLSRI kedepan adalah bagaimana kurikulum berbasis kompetensi yang dimiliki sekarang dapat segera mengadaptasi terhadap

kebutuhan global yang membutuhkan SDM yang tidak hanya kompeten dari aspek teknis namun aspek kemandirian sesuai dengan konsep insan kamil, karena semakin nampak dikehidupan abad 21 ini dengan

suatu hipotesis, semakin berkembangnya IPTEK berbanding lurus dengan meningkatnya krisis moral dengan berbagai identitasnya.

Apakah hipotesis akan menjadi kenyataan tanpa ada upaya untuk membalikkan hipotesis tersebut menjadi semakin berkembangnya IPTEK

berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat dan menjadi masyarakat madani seperti yang pernah dicontohkan Madinan Society (Masyarakat di kota Madina dizaman Rasullah Muhammad SAW).

DAMPAK KRISIS TERHADAP KEBUTUHAN TENAGA KERJA

Upaya pemerintah untuk mencapai target pembangunan ekonomi Indonesia 2009 di antaranya adalah menurunkan tingkat pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan. Untuk mewujudkan target tersebut

pemerintah menempuh strategi menaikan pertumbuhan ekonomi menjadi 6,6 % setiap tahun dan menggerakan sektor riil. Berdasarkan

data di Departemen Koperasi, ada sekitar 38 juta usaha di Indonesia yang 98 % didominasi oleh kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Dari jumlah kelompok UKM tersebut telah mempekerjakan sekitar 58 juta pekerja. Sedang dalam dunia industri ternyata didominasi oleh

industri kecil dan rumah tangga sekitar 2,7 juta industri (dengan 6 juta-an pekerja), sedang industri besar dan menengah hanya berjumlah 23.000 buah (dengan 4 juta pekerja).

Memang industri rumah tangga dan kecil ini hanya memutarkan 10 %

dari total uang yang berputar, tetapi menghidupi sebagian besar rakyat kecil yang ada di Indonesia. Begitu juga dalam kenyataannya UKM

Page 4: ORASI ILMIAH POLTEK

3

merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis, sehingga keberadaannya

perlu terus menerus dikembangkan dan diberdayakan. Hanya saja bagaimanakah menjadikan sebagai industri yang mempunyai nilai

tambah maksimal dan penjalinan pasar antar sesama pengusaha kecil dan menengah dan pengusaha UKM dengan pengusaha besar, baik di

pasar lokal, regional maupun global. Karena selama ini pengembangan UKM masih memiliki kendala, antara lain akses pasar (lokal dan global), akses permodalan, akses manajemen dan akses teknologi.

Begitu juga berkaitan dengan keinginan pemerintah dalam rangka

menurunkan angka pengangguran, maka apakah merupakan pilihan tepat untuk mewadahi para pencari kerja atau pengganggur di negeri

ini. Tentu saja ini merupakan pekerjaan berat bagi semua pihak yang bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Mengingat budaya wirausaha

belum menjadi pilihan terutama di kalangan pemuda yang terdidik. Wirausaha bukan menjadi pilihan favorit bagi alumni pendidikan tinggi, karena dominasi pelaku UKM masih diminati SDM yang mempunyai

latar belakang pendidikan SD, SLTP dan SLTA. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia,

yaitu : 1. Adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan

kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada

sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah

sekitar 8 juta. 2. Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah.

Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan

rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.

Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama

bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak

semakin banyak angka pengangguran di Indonesia. Fenomena meningkatnya angka pengangguran para intelektual alumni civitas

akademi, seyogyanya perguruan tinggi turut bertanggungjawab. Fenomena penganguran merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena

ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.

Page 5: ORASI ILMIAH POLTEK

4

Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja

yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%,

hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi

langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi.

Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk

kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan tidak lebih dari 12% pada pemerintahan

di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah

saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi

sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki sesuai dengan

kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.

Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum

sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah

dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan

kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana

negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara.

Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi

persaingan antarnegara.

Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa

Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar

biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena

Page 6: ORASI ILMIAH POLTEK

5

upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif.

Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global. Pembiayaan Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau

melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia.

Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional

dan atau buruh diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.

Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi,

antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya

pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama.

Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan

perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat. Dengan kegiatan bisnis korporasi

(bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui

peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional, pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat.

Sehingga secara sederhana dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan

pengaruh terhadap bangsa.

Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu

melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya. Masalah daya saing dalam pasar

dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak

akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Oleh karena itu upaya

meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya

menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis

corporate.

Page 7: ORASI ILMIAH POLTEK

6

Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi

adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas

dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam

mengembangkan keahlian dan pengetahuan.

Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan

ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi

subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan

tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.

Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan

ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi

pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan

tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.

Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah

terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif.

Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya

masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.

Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah

ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan

belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Dapat disadari bahwa

visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah. Sementara pada

pascareformasi belum ada proses yang dapat memperkuat kemandirian

Page 8: ORASI ILMIAH POLTEK

7

bangsa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama

dalam memecahkan problem struktural seperti telah diuraikan di atas.

Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk

mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model

AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa? Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan. Dengan

begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang

akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang

murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan

ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.

RELEVANSI PENDIDIKAN VOKASI POLITEKNIK

Relevansi pendidikan tinggi saat ini harus ditinjau ualang dengan adanya perubahan dalam hal penyediaan keterampilan (skill),

pengetahuan (knowledge) & moral (attitude) yang selama ini dengan ”pendekatan kaku” dengan pendekatan pembelajaran mengedepankan

Intelegensia Intelektual (penekanan pada aspek pengetahuan). Alhamdulillah, dengan adanya pendidikan Politeknik, nuansa

pembelajaran sudah menuju pada cara pembelajaran tahap 2 (dua) yaitu belajar DENGAN (Application Based). Di Politeknik dengan kurikulum

adanya keseimbangan teori dan praktek sehingga mahasiswa menjadi kompeten pada bidangnya, walaupun demikian apabila sarana praktek yang ada sudah tidak uptodate, mungkin saja pendidikan Politeknik

akan turun menjadi tahap pembelajaran pertama yaitu belajar TENTANG (Theory Based). Sehingga tamatan Politeknik akan menjadi

Ahlimadya Satra, karena belajar sesuatu tanpa aplikasi seperti yang banyak dialami sekolah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang secara

kurikulumnya praktek juga banyak dilakukan, namun karena keterbatasan sarana praktek sehingga menghasilkan tenaga kejuruan sastra.

Kenyataan dilapangan walaupun pendidikan Politeknik sudah pada

tahap 2 (dua), ternyata masih belum dapat memberikan hasil yang optimal ketika sudah mulai berada dilapangan karena persoalan

Page 9: ORASI ILMIAH POLTEK

8

kultural (budaya dan etos kerja) serta kurikulum yang masih terlambat mengikuti perubahan yang ada. Pola pembelajaran dengan Quantum

Learning, Quantum Teaching serta Accelerated Learning yang digagas oleh Bobby de Porter, Gardner, Tonny Buzan, dan lainnya belum sama

sekali diadop karena selama ini kita masih menggunaka kurikulum berbasis kompetensi yang menekankan aspek ASKERA (Attitude, Skill,

Knowledge, Experince, Responsibility & Accountability). Aspek Spiritual, Emotional & Learning tidak diungkap pada pendekatan Competency Based ini. SIMPLE Competency bisa merupakan pendekatan yang

dibutuhkan saat ini dimana persoalan kultural serta moral yang menjadi permasalahan SDM di negara kita dapat kita tanggulangi. Pada SIMPLE

Competency diungkap aspek Spritual serta Emotional dan aspek Learning yang mengupayakan cara pembelajaran yang efektif dengan

meningkatkan keseimbangan kerja otak kanan dan kiri agar dapat belajar lebih optimal. Selain itu dengan penekanan pembelajaran pada tahap 3 (tiga) yaitu belajar MENJADI (Be). Tahapan ini dapat

dicontuhkan dengan bagaimana seorang yang melihat apel jatuh dari pohon. Bagi kita secara umum bila ditanyakan terhadap peristiwa apel

jatuh maka mayoritas akan mengambil apel tersebut dan memakannya. Lain halnya dengan Newton, dengan mengamati setiap berlakunya gejala

alam maka timbullah kefahaman yang terus ditelaah sehingga beliau menemukan Hukum Newton.

Pembelajaran dengan kefahaman inilah yang diharapkan dari Pengajar maupun siswa yang diajarkan akan menjadikan SDM Indonesia

mempunyai kompetensi yang dapat bersaing dengan dunia internasional. Mungkin kita jadi bertanya mengapa aspek Spriritual juga

harus menuju ketahapan Be. Jawabannya sederhana, karena kita selama dengan cara pembelajaran tahap pertama, lebih sifatnya hafalan atau tahu sehingga nuansa keagamaan dicontohkan pada generasi awal

dahulu (zaman para sahabat dan beberapa dekade setelah itu) jauh sekali bila kita amati. Dahulu hampir semua cabang ilmu ditemukan

oleh insan-insan yang sangat mengedepankan Spriritual. Mulai dari ilmu kedokteran sampai dengan matematika kita kenal nama-nama

seperti Ibnu Sina, Al Jabar. Demikian juga dengan aspek Emotional, Daniel Goleman mengatakan bahwa aspek EQ memegang peranan 80% untuk suksesnya seseorang, sementara IQ dan lainnya hanya memegang

peranan kurang dari 20%. Aspek ini perlu dikedepan dalam pengajaran karena sangat menekankan Pengembangan Diri (Personal Competence)

dan Hubungan dengan Relasi (Interpersonal Competence).

Kemandirian memunculkan kreatifitas dan inovasi. Kurikulum mengenai kewirausahaan merupakan kurikulum wajib seharusnya bagi pendidikan Politeknik. Karena permasalahan pengangguran tidak akan

pernah terselesaikan apabila Ahlimadya yang kita keluarkan dari pendidikan vokasi tidak siap mandiri dan yang hanya siap bekerja

Page 10: ORASI ILMIAH POLTEK

9

menjadi karyawan. Keteladanan ini semua sudah ditunjukkan oleh Rasullulah Muhammad SAW. Beliau sejak kecil sudah ditempa dengan

dunia kewirausahaan, sehingga beliau merupakan sosok wirausahawan yang sukses.

PENUTUP Pendidikan Politeknik harus mengalami reformasi dalam

penyelenggaraannya di mana kewenangan atau otoritas lembaga harus cukup berwibawa sehingga dapat menjamin akuntabilitas publik.

Tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi di masa depan yaitu sebagai bagian dari komunitas IPTEK harus dihadapi dengan cerdas

oleh Pendidikan Politeknik dan untuk itu Pendidikan Politeknik harus mempunyai kebebasan dan kewenangan serta fleksibilitas yang cukup apatah lagi publik sangat mengharapkan insan yang juga mempunyai

IMTAK yang memadai. Dengan adanya kebebasan tersebut maka dapat dituntut suatu akuntabilitas oleh publik yang telah memberikan otoritas

tersebut. Dengan demikian Pendidikan Politeknik akan mampu tampil percaya diri dengan segala kewenangan yang dimilikinya serta dapat

memberikan peran yang sangat berarti pada abad 21 dan masa yang akan datang insyaAllah.

PUSTAKA

Drucker, Peter F., Management Challenges for the 21 st Century, New

York: HerperBusiness. 1999. Senge , Peter, The Fifth Dicipline, New York: Doubleday.1990.

Brian E.Becker, Mark A. Huselid, dan David Ulrich. The HR scorecard:

Linking People, Strategy, and Performance, Boston: Harvard Business School Press. 2001.

Wahyudi S. Agustinus, Manajemen Startegik: Pengantar Proses Berfikir Strategik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1996.

Gaspersz Vincent, Balanced Scorecard Dengan Six Sigma: Untuk

Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005.

Tasmara Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press. 2002.

Page 11: ORASI ILMIAH POLTEK

10

Rampersad, K. Hubert, Total Performance Scorecard. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005.

Iskandar, Eddy, SIMPLE Kompetensi, Jakarta: Majalah BUMN Review.

2004.

Iskandar, Eddy, Menuju Perusahaan Kelas Dunia dengan WCM-S Model, Jakarta: Diktat Program Pasca Sarjana STIE Trianandra. 2004.

Prama Gede, The Art of Success Mastery. Jakarta: Elexmedia Komputindo. 2003

Task Force on Higher Education, “Higher Education Strategy:

Implementation of the New Paradigm”, Final Draft, World Bank in cooperation with Bappenas. July 2000.