orasi

6
Siapa yang tidak mengenal benda mungil ini. Silinder sembilan senti yang disebut-sebut memberi kenikmatan bagi para pecandunya. Baik pria maupun wanita, muda-mudi, tua-renta, dari pejabat hingga petani, bahkan pengamen pinggir jalan sekalipun menghisap barang mematikan ini. Ya, inilah yang biasa kita sebut dengan rokok. Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia menjadi salah satu surga perkembangbiakan rokok paling subur di dunia. Dengan angka konsumsi rokok lebih dari 302 miliar , tentunya hal tersebut menjadi momok yang memprihatinkan negara kita ini, khususnya di bidang kesehatan. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tahun 2010 menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit terkait tembakau terjadi pada 190.260 orang atau 12,7 persen dari seluruh kematian di tahun yang sama. Biaya rawat inap akibat penyakit terkait merokok tercatat sebesar Rp1,85 triliun dan biaya rawat jalan sebesar Rp0,26 triliun. Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. Dilihat dari undang-undang diatas seharusnya rokok juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya jika barang-barang narkotika tidak diiklankan, merokok pun seharusnya memiliki tindakan yang sama. Meskipun diadakannya kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen, hal itu sama sekali tidak terpengaruh dan tetap persoalan mengenai rokok harus ditangani secara spesial. Indonesia merupakan mangsa pasar yang besar bagi industri rokok baik lokal maupun internasional. Kesempatan pasar rokok ini makin terbuka lebar dengan Indonesia yang tidak ikut meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control ). Disebutkan dalam harian Kompas, Indonesia menjadi pergunjingan pada acara ASEAN Regional Workshop on Implementing WHO- FCTC Article 13 Guidelines, di Siem Reap, Kamboja pada 15 Juni 2011. Di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Indonesia yang tidak menandatangani protokol konvensi pengendalian rokok atau FCTC ini. Negara ASEAN lain telah menandatangani sejak 2004. Dengan tidak

Transcript of orasi

Siapa yang tidak mengenal benda mungil ini. Silinder sembilan senti yang disebut-sebut memberi kenikmatan bagi para pecandunya. Baik pria maupun wanita, muda-mudi, tua-renta, dari pejabat hingga petani, bahkan pengamen pinggir jalan sekalipun menghisap barang mematikan ini. Ya, inilah yang biasa kita sebut dengan rokok. Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia menjadi salah satu surga perkembangbiakan rokok paling subur di dunia. Dengan angka konsumsi rokok lebih dari 302 miliar , tentunya hal tersebut menjadi momok yang memprihatinkan negara kita ini, khususnya di bidang kesehatan. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tahun 2010 menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit terkait tembakau terjadi pada 190.260 orang atau 12,7 persen dari seluruh kematian di tahun yang sama. Biaya rawat inap akibat penyakit terkait merokok tercatat sebesar Rp1,85 triliun dan biaya rawat jalan sebesar Rp0,26 triliun. Dalam UU KesehatanNo.36Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. Dilihat dari undang-undang diatas seharusnya rokok juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya jika barang-barang narkotika tidak diiklankan, merokok pun seharusnya memiliki tindakan yang sama. Meskipun diadakannya kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen, hal itu sama sekali tidak terpengaruh dan tetap persoalan mengenai rokok harus ditangani secara spesial.

Indonesia merupakan mangsa pasar yang besar bagi industri rokok baik lokal maupun internasional. Kesempatan pasar rokok ini makin terbuka lebar dengan Indonesia yang tidak ikut meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Disebutkan dalam harian Kompas, Indonesia menjadi pergunjingan pada acaraASEAN Regional Workshop on Implementing WHO-FCTC Article 13 Guidelines, di Siem Reap, Kamboja pada 15 Juni 2011. Di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Indonesia yang tidak menandatangani protokol konvensi pengendalian rokok atau FCTC ini. Negara ASEAN lain telah menandatangani sejak 2004. Dengan tidak meratifikasi konvensi ini, Indonesia menjadi sasaran negara paling mudah dan terbuka dalam iklan, promosi, dan penjualan rokok secara luas.Di Indonesia tidak hanya dari segi kuantitas rokok tetapi juga iklan dan penjualan rokok terjadi secara bebas di Indonesia. Tanda peringatan kesehatan yang ada pada kemasan rokok dan iklan reklame jalan tertulis kecil di bagian bawah, sementarataglinepromosisangat mendominasi sehingga menimbulkan kesan bahwa ada rokok yang berkualitas dan tidak berbahaya meskipun di bawahnya sudah terdapat peringatan kesehatan. Sementara di negara lain iklan rokok tidak menggembar-gemborkantaglinepromosinya, malah memasang gambar menyeramkan mengenai dampak buruk terhadap kesehatan akibat merokok, seperti gambar paru-paru yang terkena kanker dengan dominasi hampir lima puluh persen. Selain itu, banyak negara seperti Singapura dan Thailand sangat membatasi iklan dan penjualan rokok di negaranya.Dilansir dariwebsiteSekretariat Kabinet Republik Indonesia, oleh Pusat Komunikasi Publik Kemenkes menunjukan sebuah survei nasional tahun 2011 mengenai representasi merokok yang diberi namaGlobal Adult Tobacco Survey(GATS). Hasil GATS menunjukkan, bila dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia menduduki posisi pertama dengan prevalensi perokok aktif tertinggi, yaitu 67.0 % pada laki-laki dan 2.7 % pada wanita. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan India (2009): laki-laki 47.9% dan wanita 20.3 %); Filipina (2009): laki-laki 47.7 % dan wanita 9.0%; Thailand (2009): laki-laki 45.6% dan wanita 3.1%; Vietnam (2010): 47.4% laki-laki dan 1.4% wanita; Polandia (2009): 33.5% laki-laki dan 21.0% wanita.Banyaknya perokok aktif di Indonesia juga mempengaruhi jumlah perokok pasif di Indonesia. Berdasarkan survey GATS ditemukan pula bahwa terhadap bahaya asap rokok sekunder, ditemukan bahwa 51.3% atau 14.6 juta orang dewasa secara tidak langsung terkena asap rokok di tempat kerjanya dan pada 78.4% atau 133.3 juta orang dewasa di rumahnya. Pengaruh asap rokok juga dialami 85.4% atau 44.0 juta orang dewasa yang berkunjung ke restoran. Melihat keadaan ini perokok pasif atau yang terkena dampaksecondhand smoke effectharusnya juga mendapat perhatian lebih.Menanggapi hal tersebut sudah selayaknya hukum ditegaskan dalam mengatur penjualan dan pengamanan produk tembakau di Indonesia. Menteri Kesehatan menyatakan bahwa salah satu upaya melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok itu adalah melalui jalur regulasi dengan penerbitan peraturan peraturan pemerintah tentang pengendalian dampak produk tembakau. Sudah banyak peraturan yang dikeluarkan pemerintah mengenai penjualan, pengawasan dan pengamanan tembakau di Indonesia. Beberapa garis hukum mengenai tembakau dan kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1947 tentang cukai tembakau, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 1999, Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dan Peratuaran Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan tembakau.Baru-baru ini Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, mengesahkan RPP tentang pengamanan rokok yang tertuang dalam PP Nomor 109 tahun 2012. Setelah beberapa kali didesak oleh menteri kesehatan dan aktivis anti rokok tentang RPP ini, akhirnya pada tanggal 24 Desember 2012, Presieden Republik Indonesia secara resmi menandatangani PP tentang pengamanan tembakau ini. Secara gamblang peraturan mengenai pengamanan tembakau secara khusus baru tertuang pada PP No. 109 Tahun 2012 ini.Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini diharapkan pengamanan terhadap tembakau lebih jelas batas-batasnya dalam pasar industri rokok di Indonesia, dengan tujuan dapat mengurangi dampak buruk kesehatan. Namun dari segi sosial dan ekonomi, hal ini nyantanya akan membawa masalah baru terhadap petani tembakau dan buruh pabrik yang belum sepenuhnya mengerti terhadap peraturan pemerintah ini dan dapat memicu permainan politik di ranah industri rokok Indonesia. Seperti yang sudah diketahui bahwa industri rokok adalah salah satu industri termaju di Indonesia dengan memberi pajak yang cukup besar bagi negara dan menyediakan lapangan kerja yang luas dari petani hingga eksekutifnya. PP Nomor 109 tahun 2012 memicu banyak pro kontra dari beragam sisi.

Setelah diluncurkan PP Nomor 109 tahun 2012, dalam menghadapi masalah rokok yang ada di Indonesia, diperlukan langkah konkret dari seluruh lapisan masyarakat. Hal yang paling kecil dapat dimulai dari menumbuhkan kesadaran dari tiap masing-masing masyarakat. Misalnya tidak hanya kesadaran yang harus dimunculkan dari perokok aktif untuk menghentikan kebiasaan, perokok pasif menghindarkan dan mengingatkan orang terdekat, aktivis yang terus giat menggencarkan kampanye anti rokok dan peran pemerintah.Tentunya menimbulkan kesadaran di tiap individu bahkan kelompok adalah hal yang sulit dilakukan. Dibutuhkan cara-cara agar kesadaran ini muncul dengan aksi nyata menghentikan kebiasaan rokok. Sebuah survey menyatakan bahwa 7 dari 10 perokok berat ingin berhenti. Keinginan berhenti itu tertutupi dengan candu yang sudah melekat pada individu perokok walaupun mereka sadar akan dampak berbahaya yang akan timbul. Maka dari itu diperlukan pengaruh luas untuk menimbulkan kesadaran perokok. Peran nyata pemerintahlah yang seharusnya dapat menjadi pengaruh luas karena merupakan tiang dan lembaga yang dapat mengeluarkan peraturan secara riil untuk Indonesia.Pemerintah dalam menghadapi kasus ini harus tegas mengeluarkan hukum mengenai pengamanan tembakau dengan rancangan bentuk realisasi nyatanya. Iklan rokok dan penjualan rokok di Indonesia harusnya lebih dibatasi lagi. Meniru contoh negara maju lainnya seperti Singapura, Australia, dan Thailand dalam membatasi iklan dan penjualan rokok dan bahkan memuat gambar-gambar mengerikan mengenai dampak kesehatan serius pada pemakainya. Akses dalam mendapatkan rokok juga harus dibatasi terutama dari jangkauan orang muda. Pemerintah juga sebaiknya menaikkan harga pajak bea cukai rokok yang akan berimbas pada mahalnya harga penjualan rokok di Indonesia. Sehingga pada kasus mudahnya jangkauan dalam mendapatkan rokok dapat ditekan.Pemerintah seharusnya mampu menyediakan lapangan pekerjaan baru dan secara bertahap memindahkan pekerja rokok ke lapangan pekerjaan baru. Pemerintah juga menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi petani tembakau atau mengganti objek perkebebunannya dan membantu mengembangkannya.Walaupun industri rokok secara tidak langsung distop di Indonesia, namun perlu dilakukan kajian ulang terhadap kandungan rokok untuk mengurangi dampak berbahaya rokok, walaupun sepenuhnya dampak buruknya tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Kadar nikotin dan tar sepatutnya diuji lagi berapa kadar standar aman. Pemerintah sebaiknya memberikan bantuan dalam penelitian dan uji coba ini. Selain itu tidak menambahkan zat aditif penambah rasa pada rokok. Zat aditif seperti cengkeh pada rokok kretek dapat menambah efek candu pada perokok sehingga tidak ditambahkan dalam rokok.PP nomor 109 tahun 2012 telah menjadi landasan khusus utama bagi pengamanan tembakau. Sudah sebaiknya PP ini disosialisasikan dan diterapkan secara langsung pada industri rokok dan masyarakat pada umumnya. Semua dimulai dari pribadi individu masing-masing untuk tidak memulai dan mencoba rokok. Khususnya pada orang-orang muda untuk tidak menganggap rokok sebagaitrenddan menjauhi rokok.

Dari sebelum dan setelah pengesahan RPP tembakau menjadi PP No 109 tahun 2012, pengaturan tembakau yang menghasilkan rokok ini memang telah menjadi perkara yang dilematis jika dipandang dari berbagai aspek kesejahteraan masyarakat. Sebab, banyak aspek mulai menyangkut hak kesehatan masyarakat, hak penghidupan/hak mencari pekerjaan, hingga pendapatan/penerimaan negara lewat cukai rokok dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan jumlah yang cukup fantastis.Namun, dari segi kesehatan tidak dapat dipandang remeh. Dampak yang dapat ditimbulkan terutama dalam jangka panjang sangat membahayakan. Sudah banyak penelitian-penelitian yang sudah berhasil membuktikan bahaya rokok. Terdapat didalam rokok sekitarkurang lebih 4000 lebih elemen-elemen dan setidaknya 200 di antaranyamenimbulkan bahaya bagi kesehatan. Racun utamayang terdapat dirokok ialahtar, nikotin, dan karbon monoksida. Racun tersebut secara langsung dan tidak langsung akan berdampak pada kesehatan pemakai. Tidak hanya bagi pemakainya atau perokok aktif, asap yang dihasilkan juga akan sangat berbahaya bagi orang-orang yang ada disekitarnya, sehingga menjadikan mereka perokok pasif.Walau bagaimana pun Peraturan Pemerintah ini sudah disahkan dengan beragam pertimbangan. Sudah sebaiknya dijalankan dan diterapkan. Sebaiknya pemerintah mulai mengatur bagaimana kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak terlalu tergantung akan penjualan produk tembakau. Pemerintah sudah berkewajiban menciptakan lapangan pekerjaan baru, secara berangsur-angsur sebaiknya karyawan dan buruh pabrik industri rokok dipindahkan.