Orang Pulo l t c di Pulau Karang -...

140
| Rosida Erowati Irsyad Penyusun di Pulau Karang di Pulau Karang Orang Pulo Orang Pulo | Rosida Erowati Irsyad Penyusun l t c

Transcript of Orang Pulo l t c di Pulau Karang -...

Page 1: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

| Rosida Erowati IrsyadPenyusun

di PulauKarang

di PulauKarang

Orang PuloOrang Pulo

| Rosida Erowati IrsyadPenyusun

l t c

Page 2: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

l t c

Page 3: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

di PulauKarang

Orang Pulo

| Rosida Erowati IrsyadPenyusun

l t c

Page 4: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

4

Orang Pulo

di Pulau Karang

PasaI 72 UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau PasaI 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Box, denah, foto, gambar, ikon, logo adalah desain dan/atau karya anggota tim peneliti dan Sekretariat LTC, kecuali untuk foto-foto [Suasana kegiatan AMD di Pulo Panggang, di depan kantor Kelurahan, Koleksi Bpk Jailin/P. Panggang; Balong fosil, Palaeoperca proxima , © Peter Bøckman. 2009/ www.wikipedia.org ; Posthouder Kasan (beskap) bersama para Tamu di depan kediaman, bangunan Kantor Kel. P. Panggang masa kini, © Prentenkabinet Leiden/Anoniem/60-431, Dermaga Pulo Panggang pada tahun 1917 dari album foto J.J. Lonkhuyzen, © KIT/60010664; Dermaga kecil, mungkin di sekitar lokasi TPI P. Panggang masa kini, © Prentenkabinet Leiden/Anoniem/60-442; ”Nderes”, diilustrasikan melalui foto Koranschooltje. Java karya Jean Demmeni tahun 1913, © Museum Volkenkunde; Tampak depan kediaman Posthouder Kasan, bangunan Kantor Kelurahan P. Panggang masa kini, © Prentenkabinet Leiden/Anoniem/60-430; Demo pencak silat, tahun 70-an, © Koleksi Ibu Nunung/P. Panggang], gambar-gambar [Masjid Agung Banten, tanpa keterangan waktu, karya Josias Cornelis Rappard, hidup antara 1882–1889, © KIT/3728-8-18; Karya Raden Saleh, Eene Overstrooming op Java, melukiskan situasi banjir di Jawa, © KITLV; Sketsa Jaring Jepang oleh Muchtar, 1960. h. 17; Masjid An-Ni’mah sebelum renovasi tahun 80-an, © Dedy F. Puscar 2012; Sketsa Muchtar (1960, h. 17) tentang perahu dan bubu di Pulo tahun 60-an], dan peta-peta [Rencana Pola Ruang Kep. Seribu 2030, © Rujak Center 2011; peta tahun ca. 1630 dari G. Eredia, © Biblioteca Nacional do Brasil, peta tahun 1597 dari Willem Lodewijcksz, © KIT/542713; peta Gerrit de Haan tahun 1761, © Kaartcollectie Buitenland Leupe/15621, peta tahun 1853 dari B. M. Carnbee, © KIT/645491, dan peta tahun 1911 dari B. M. Carnbee, © KIT/08947-1]l t c

Page 5: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

5

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

PenulisHamdi M. Husni, Nuryani, Risma Sugihartati, Kasman Setiagama Fadjar, Rosida Erowati IrsyadPenyusunRosida Erowati IrsyadPembaca AhliBisri EffendyPenyelia Artistik dan VisualAde Wijaya, Kasman Setiagama FadjarDesain dan PerwajahanAbdullah Wong, Risma SugihartatiRiset dan DokumentasiSulaiman Harahap dan Jurnal Akar, Aditya Rangga, RendiPenerbit lab teater ciputatPercetakanSuwung

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Rosida Erowati IrsyadPenyusunOrang Pulo di Pulau Karang

Jakarta: lab teater ciputat, 2012Ed. 1, Cet. 1; 140 hlm; 23,5 x16,5 cm1. Kebudayaan - Masyarakat

Dicetak oleh Suwung1 2012

© 2012 lab teater ciputat

Rosida Erowati IrsyadOrang Pulo di Pulau Karang

l t c

Page 6: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

6

Orang Pulo

di Pulau Karang

Buku ini menjadi ujung dan awal dari rangkaian proses pendampingan untuk rekonstruksi budaya di Pulau Panggang, Kep. Seribu, Jakarta. Penerbitan buku ini dimungkinkan atas kontribusi dan bantuan dari perorangan dan berbagai lembaga.

Selama penelitian tentang Pulo dari bulan Oktober 2011 sampai Januari 2012, kami mengucapkan terima kasih kepada masyarakat P. Panggang – Pramuka yang bersedia berbagi kenangan dan pengetahuan, terutama para narasumber, yaitu Bpk Husni, Ibu Rumenah, Ibu Qodriyah, Bang Rusli, Ibu Nunung, Ibu Mahariah, Bpk Jafar, Bpk M. Nur, Bang Boma, Bang Alfian, Bpk Amrullah, Halimah, Bang Maman, Bang Samiun, Bpk Nawawi, Habib Zen, Ibu Kartinah, Abdul Wahab, Bpk H. Rameli, Bpk Budin, Bpk Surahman, Ibu Saibah, Bpk Jailin, Bpk Rahmat, Bpk Mahmud, Bpk Dedi F. Puscar, Bpk Ahmad, Ibu Samiyah, Ibu Maisyah, Pak Buang, Pak Magat, Mas Rahmat, Mbok Nahdiyatun dan Bpk Heri.

Terima kasih kepada keluarga besar M. Husni dan Bang Boma, yang tak mungkin terlupakan kehangatan dan kebaikannya hingga kini. Penelitian ini juga dimungkinkan atas peranan teman-teman Budiman, ‘Che’ Mufti Ali Sholih, T. Andri Purnomo, Antonius Nomo, pasukan spesial Sanggar Apung: Deden, Yatna, Hafid dan kawan-kawan; pengurus Lab Teater Ciputat (Aries Budiono, Amirulloh, Alam, Julung, Eko Khotib, Sir Ilham Jambak, Aseng Tralala, Kholifah, Kismayeni, Bangkit, Dimas, Anwar), para peserta Presentasi Penelitian Pulo (Festival Teater Jakarta ke-39, GKJ Jakarta, 14 Desember 2011), dan Alamsyah. Secara kelembagaan, penerbitan buku ini dimungkinkan atas peran HIVOS, Lab Teater Ciputat, dan Sanggar Apung.

Berbagai upaya dan kerja keras telah dilakukan berkenaan penghargaan atas hak cipta dari rujukan kepustakaan, laman web, gambar foto, dan peta. Penyusun mengakui ketidaksempurnaan dari penerbitan dan memohon maaf atas kesalahan dan kekurangan yang terjadi. Mohon pihak-pihak terkait dan atau yang berkepentingan berkenan menyampaikan catatan untuk dipergunakan sebagai rekaman dan sumber-sumber perbaikan bagi kemungkinan penerbitan edisi selanjutnya dan atau pencetakan ulang berikutnya.

[email protected] | dapat dipergunakan untuk korespondensi

Salaml t c

Page 7: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

7

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Sebagai putra Pulo, saya memiliki kegelisahan mendalam atas kehidupan sosial yang semakin sempit dan berdesakan. Betapa tradisi dan kebudayaan yang kian tergerus, membuat saya bertanya tentang keberadaan Orang Pulo. Inilah masyarakat yang hidup di atas bukit purba yang tenggelam, diselimuti daratan pasir karang. Kualitas sumberdaya alam yang kian menurun

dan nilai kesopanan yang semakin reduktif, merupakan potret yang menggambarkan masyarakat yang lupa, bahkan tidak tahu asal usul dirinya karena terputusnya informasi (missing link), juga oleh situasi budaya yang mengalami perubahan baik secara perlahan maupun cepat. Di sini, Orang Pulo di Pulau Karang merupakan realitas budaya atau suatu kenyataan dan peristiwa yang menggambarkan masyarakat Kepulauan Seribu saat ini.

Kematian obor berlangsung di semua aspek kehidupan, baik pada tataran silsilah kekerabatan, kearifan dalam mengelola lingkungan, tutur bahasa, adab dan kesopanan masyarakat, tingkat kepedulian dan pranata sosial, hubungan antara orang tua dan anak, hingga nilai ketokohan dan figur. Kematian obor ini sangat mungkin menjadi penyebab munculnya konflik budaya dan hilangnya kearifan lokal yang sebenarnya dimiliki masyarakat.

Buku “Orang Pulo di Pulau Karang”, merupakan satu upaya bersama dari tim penulis, untuk merekonstruksi realitas kebudayaan Orang Pulo, dari fenomena kematian obor yang melanda Kepulauan Seribu dewasa ini. Buku ini sekaligus menginventarisir khazanah budaya yang kita miliki, Orang Pulo di pulau karang, yang pernah memiliki sebuah nama tua “Duizend Eiland” dan berpusat di Pulau Panggang. Hasil temuan yang didapatkan melalui tahapan riset, baik dari sumber tradisi lisan maupun pustaka,

PengantarSanggar Apung

Hamdi M. Husnil t c

Page 8: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

8

Orang Pulo

di Pulau Karang

selanjutnya diproyeksikan ke dalam sebuah konsep dan naskah seni pertunjukan teater di Kepulauan Seribu.

Secara menyeluruh, penulisan buku yang digagas Sanggar Apung bersama Lab. Teater Ciputat merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan yang diberi nama “Pulang Babang”. Pulang Babang sendiri adalah istilah yang ada di masyarakat Kepulauan Seribu, baik dari utara hingga selatan, yang mempunyai makna penting bagi masyarakat nelayan di kepulauan ini. Arti istilah tersebut adalah sebuah peristiwa aktivitas nelayan yang pulang setelah beberapa lama pergi melaut dan kembali ke keluarganya.

Akhirnya, kehadiran buku ini semoga dapat menjadi salah satu sumber informasi dan inspirasi bagi semua kalangan dalam memaknai kebudayaan di masyarakatnya.l t c

Page 9: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

9

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Bermula dari persahabatan saya dengan saudara Hamdi, pendiri Sanggar Apung Pulau Panggang di Kepulauan Seribu sejak tahun 2002. Dari percakapan demi percakapan bergulir ide untuk membuat pertunjukan teater berdasarkan legenda Kepulauan Seribu sebagai kelanjutan dari pelatihan teater yang saya berikan untuk pelajar SMU di pulau Pramuka. Namun

realisasi ide itu mengalami pasang surut dan terpendam lama seiring kesibukan saya dan Hamdi. Hingga pada satu kesempatan di tahun 2010, saya coba merumuskan ulang niat kerjasama itu atas nama Lab. Teater Ciputat yang berangkat dari inisiatif Hamdi yang kemudian direspon positif oleh organisasi non-pemerintah Hivos, tokoh masyarakat pulau Panggang, dan Pemkab. Kepulauan Seribu.

Rancangan program yang kami beri nama “Pulang Babang: Rekonstruksi Budaya Masyarakat Pulau Panggang-Pramuka” ini terbagi dalam tiga tahap kerja. Pertama, riset potensi budaya masyarakat pulau Panggang dengan target penyusunan buku. Kedua, workshop artistik dan non-artistik dengan target pengembangan industri kreatif masyarakat Pulau Panggang dan revitalisasi karya seni tradisi Pulau Panggang. Ketiga, pagelaran seni pertunjukan hasil kolaborasi seniman Pulau Panggang dan Lab. Teater Ciputat. Target jangka panjangnya adalah pembangunan infrastruktur seni budaya di Pulau Panggang untuk promosi produk karya seni tradisi yang ‘terbarukan’.

Kerja ini sebagai upaya Lab. Teater Ciputat membangun satu pemahaman observasi dan riset, yang muaranya adalah penciptaan karya pertunjukan teater yang lebih baik. Riset menjadi cara efektif untuk mengenal sekaligus belajar dengan kelompok masyarakat tertentu secara komprehensif , yang sebelumnya telah dilakukan oleh Lab. Teater Ciputat di Suku Baduy tahun 2007. Kali ini, masyarakat Pulau Panggang menjadi fokus riset yang diharapkan dapat memperkaya ikatan emosional kami selama ini. Selain sebagai ‘pintu masuk’ sebelum kami melakukan proses penciptaan karya seni pertunjukan yang berangkat

PengantarLab Teater Ciputat

Bambang Prihadil t c

Page 10: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

10

Orang Pulo

di Pulau Karang

dari persoalan pulau Panggang dengan bentuk kemasan seni yang ada di pulau tersebut bersama Sanggar Apung (satu-satunya Sanggar Seni Teater di Pulau Panggang-Pramuka) dan seniman pulau Panggang yang masih eksis sampai saat ini.

Dalam sejarah panjangnya, teater adalah buah kebudayaan dari suatu masyarakat. Ia hadir sebagai bagian dari bentuk masyarakatnya. Dari semula sebagai upacara ritual keagamaan, ekspresi ibadah masyarakat, respon gejala alam, respon fenomena sosial, refleksi realitas masyarakat hingga menjadi produk industri. Untuk itu, bila ia hadir sebagai karya tentunya tidak bisa lepas dari konteks masyarakatnya. Bukan saja pada tema, gagasan, dan isi pesan dari apa yang dipertunjukkan oleh pelakunya, lebih dari itu, pilihan bentuk bahasa, gaya, pengadeganan, setting tempat, bunyi, pola manajemen hingga metode pelatihan, sudah seyogyanya berpijak pada latar belakang budaya, latar geografis, karakter sosial, usia pemain, karakter penonton, keyakinan ideologis, strata ekonomi, dan tingkat pendidikan masyarakatnya.

Teater dan masyarakat pada prinsipnya dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Teater sebagai karya telah terumuskan sebagai disiplin ilmu yang mesti dipelajari dengan penuh kesetiaan dari para pelakunya. Dan masyarakat dengan segala dinamika dan keunikannya adalah bahan mentah dalam proses refleksi dan representasi di atas panggung. Sebagaimana penulis merepresentasi suatu masyarakat dalam karya tulisnya, atau pengusaha yang merepresentasi suatu masyarakat untuk meningkatkan daya ekonominya.

Masyarakat Kepulauan Seribu yang menghuni kawasan kepulauan karang di utara Teluk Jakarta, berasal dari berbagai latar belakang etnik yang mengalami akulturasi sejak abad

ke-17. Sebaliknya, klaim Kepulauan Seribu sebagai bagian dari Betawi Pesisir, sebatas pengakuan politis pemerintah yang merujuk pada keberadaan wilayah tersebut dalam administrasi Provinsi DKI Jakarta. Proses pembentukan identitas budaya yang mencirikan Kepulauan Seribu lebih dikarenakan oleh terjadinya interaksi budaya antarpulau yang egaliter, melalui bahasa, makanan, dan teknologi, sebagai kebiasaan yang tumbuh secara alami lewat beragam kegiatan kemasyarakatan di antaranya pengajian, perkawinan, dan berbagai aktivitas ekonomi nelayan.

Dalam enam tahun terakhir, Kepulauan Seribu sudah semakin ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara. Berbagai paket wisata ramai dipublikasikan oleh agen-agen perjalanan swasta di daratan (Jakarta) yang mempekerjakan masyarakat setempat sebagai pemandu wisata. Pembangunan rumah peristirahatan di tengah kampung semakin merajalela, penjualan pulau kepada pihak swasta makin ramai, penyewaan peralatan menyelam dan wisata laut lainnya laku keras. Hampir setiap hari, terutama di hari libur, kapal-kapal penumpang yang menjadi alat transportasi masyarakat lokal sering membatalkan jadwal rutin mereka. Pemilik kapal lebih memilih untuk menerima sewa dari wisatawan. Kepulauan Seribu memang menjadi pilihan tujuan wisata saat ini, karena objek wisata lautnya semata.

Sementara itu, dilihat dari aspek budaya, perkembangan masyarakat Kepulauan Seribu sangat lamban atau nyaris stagnan. Sejumlah faktornya, antara lain ;

1. Hampir tidak ada produk kesenian yang dikembangkan masyarakat setempat.

2. Tidak ada makanan khas atau bentuk kerajinan apa pun yang bernuansa lokal yang dapat membangun citra

l t c

Page 11: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

11

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

masyarakat luar pulau. 3. Kegiatan ritual tradisi yang pernah ada seperti pesta laut telah punah dalam beberapa tahun terakhir akibat intervensi

agama. 4. Beragam versi cerita atau legenda yang menunjukan asal mula kehadiran mereka di pulau itu hanya tinggal dalam ingatan

generasi tua.5. Tradisi menjaga alam dan lingkungan dari ajaran nenek moyang tidak lagi menjadi kesadaran bersama. 6. Tradisi melaut mulai ditinggalkan masyarakat oleh sebab laut semakin tercemar oleh limbah dari 13 muara sepanjang

pantai Teluk Jakarta. 7. Masyarakat terdidik pulau lebih banyak yang memilih meninggalkan kampung halamannya.8. Minimnya program pembinaan kesenian, khususnya yang diinisiasi oleh pemerintah9. Penyediaan infrastruktur kegiatan kesenian masih kurang memadai.

Situasi yang cukup rawan ini mengandung potensi konflik sosial antarpulau akibat kepentingan politik dan ekonomi semata yang cenderung pragmatis dan materialistis. Sementara, pemerintah tidak cukup serius untuk membina dan menyinergikan potensi budaya masyarakat pulau. Padahal hasilnya dapat berujung padameningkatnya kualitas hidup masyarakat dan konservasi alam yang berkelanjutan.

Salah satu solusi yang mesti segera dilakukan berbagai pihak berkepentingan adalah dengan melakukan riset cukup komprehensif terkait asal mula keberadaan masyarakat Kepulauan Seribu lewat cerita dan sastra lisan mereka. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat meninjau kembali alasan keberadaan penduduk pulau serta membangun kesadaran mereka hidup sebagai masyarakat kepulauan. Dari sana pula akan teraktualisasi kembali secara berkesinambungan nilai moral dan nilai budaya lokal yang diturunkan oleh para leluhur dan tokoh tradisi. Proses berkesinambungan itu akan terjadi bila wadah ekspresi dan momen-momen kultural, baik yang lampau maupun yang terbarui, dapat tercipta kembali dan menjadi milik bersama.

Capaiannya, selain mengokohkan kembali nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan hidup masyarakat setempat, identitas budaya masyarakat pulau akan dapat dikenal masyarakat luar. Penguatan identitas budaya ini dapat menghidupkan ekspresi kultural masyarakat, membangun kepercayaan diri, membuka wawasan masyarakat untuk memilih profesi dan karir yang lebih beragam, sekaligus meningkatkan pariwisata.

Akhir kata, terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselenggaranya tahap pertama program “Pulang Babang “ ini, antara lain; Hivos, Aquino, tim peneliti (Rosida Erawati, Kasman, Risma Sugiharti), Achmad Ludfi (Bupati Pulau Seribu) beserta aparatus pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, Lurah Pulau Panggang, Camat Kepulauan Seribu Utara, tokoh masyarakat Pulau Panggang dan nara sumber, Dr. Bisri Effendy, Dewi Noviami, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Rujak Center, Enriko dan Aikon, Mahariah, teman-teman Sanggar Apung dan seluruh masyarakat Pulau Panggang-Pramuka.

l t c

Page 12: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

12

Orang Pulo

di Pulau Karang

SambutanBupati Kepulauan Seribu

Drs. Achmad Ludfi, M.M.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan bagian dari ibu kota Negara Republik Indonesia yaitu Provinsi DKI Jakarta yang wilayahnya dikenal sebagai lokasi kunjungan wisata.

Saya menyambut gembira dan mengucapkan selamat atas diterbitkannya buku berjudul “ORANG PULO DI PULAU KARANG”. Karya perdana yang dihasilkan dari buah pemikiran penduduk asli Pulau Seribu yang melihat dan merasakan keadaan yang sebenarnya di Kepulauan Seribu.

Buku yang memuat berbagai informasi tentang legenda, sejarah, budaya, bahasa dan dialek, kuliner, serta tradisi kehidupan penduduk pulau ini membuat pembaca akan lebih dekat dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang Pulo. Buku ini juga memuat informasi tentang ekonomi nelayan dan potensi sumber daya laut serta pelestarian lingkungan oleh masyarakat.

Mudah-mudahan dengan adanya karya perdana atas inisiatif penduduk asli pulau ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada generasi muda lainnya untuk menulis tentang segala aspek yang terdapat di Kepulauan Seribu serta catatan budaya ini diharapkan menjadi bagian objek wisata menarik di Kepulauan Seribu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Februari 2012

l t c

Page 13: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

13

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Salam | 6Pengantar, Hamdi M. Husni, Sanggar Apung Pulo Panggang | 7Pengantar, Bambang Prihadi, lab teater ciputat | 9Pengantar, Bupati Kepulauan Seribu | 12Daftar Isi | 13Daftar Istilah | 14 Goba | 18

Orang Pulo | 22Penghuni Pulau Karang | 22Transportasi | 24Kelurahan Pulau Panggang | 24Populasi | 26Pendidikan | 26Pencaharian | 28Kekerabatan | 30Kepercayaan dan Keyakinan | 31Bahasa | 32

Mitos Pulo | 34

Kisah dari Penutur | 35Ragam Cerita Legenda | 38Darah Putih | 41Zaman Bajak Laut | 43

Ihwal Pulo | 44

Pulo Sebelum Kalapa | 45Pulo Masa Kalapa | 47Pulo Masa Jakerta | 49

Daftar IsiPulo Masa Kota Batavia | 51Pulo Masa Residensi Batavia | 53Pulo Masa Kotapraja Batavia | 59Pulo Masa Jakaruta | 64Pulo Masa Kota Jakarta | 64Pulo Masa Kotapraja Jakarta Raya | 65Pulo Masa DKI Jakarta | 66

Tradisi Pulo | 70

Tempat di Pulo | 71Bahasa di Pulo | 86Makanan di Pulo | 90Silat di Pulo | 104Lenong di Pulo | 110

Tubir Pulo | 114

Apa yang dimiliki Orang Pulo? | 116Apa yang disediakan Pulo untuk Orang Pulo ? | 118Adakah Warisan Pulo untuk Orang Pulo ? | 126

Tabeh | 128

Penutur Pulo | 130

Bacaan Pulo | 132

Catatan tentang Orang Pulo di Pulau Karang,Bisri Effendy, antropolog | 136

l t c

Page 14: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

14

Orang Pulo

di Pulau Karang

Adm. : administrasiAngin, :

Barat : Muson Barat Timur : Muson TimurPenengah : Peralihan Muson Barat dan Timur

BB : Bujur BaratBT : Bujur TimurBabang : melaut, keluar dari perairan wilayah tinggal, dalam jangka waktu tertentuBajak laut : perompak, pelaku kejahatan di perairan lautBale-bale : balai-balai dari papan kayu, biasanya di teras atau beranda rumahBara’ : wilayah/ruang yang berada di bagian barat Pulo Panggang Bang : abang, panggilan untuk yang dianggap lebih tua (sin. mas)BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Bek : Lurah, tapi dapat digunakan sebagai panggilan populer untuk Kepala Kampungca. : circa (lat.), sekitar waktucom. pers. : (Ing.), communication personal; komunikasi pribadi Darat, : konsepsi penduduk pulau tentang daratan sebagai tujuan Orang : sebutan penduduk pulau untuk orang yang tinggal di daratanDKI : Daerah Khusus IbukotaE. : (Bld.), eiland (eil) atau eilanden (eiln); pulau atau pulau-pulau et al. : (Lat.), dan kawan-kawanGoba : (Pulo), lagunaGrubug : (Pulo), bicara sesukanya tanpa berpikirGusung : gosong, gundukan pasir di perairanHikmah : ketauhidan, (fil) ketarekatanie. : (Lat.), id est; adalah, yaituia. : (Lat.), inter alia; antara lainImprovisasi : seni pertunjukan, berlakon tidak sesuai dengan skenario naskahIndonesia Nusantara : sebagian Indonesia pada masa pre-kolonial, wilayah kepulauan Asia Tenggara Hindia Belanda : Nederlandsche Indië, Indonesia masa kekuasaan negara Belanda Hindia Timur Belanda : Nederlandsche Oost-Indië, Indonesia masa kekuasaan VOCIngatan Bersama : ingatan atau rekaman kejadian yang sama dalam satu komunitas

Daftar Istilahl t c

Page 15: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

15

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Jakerta : nama tempat di Jakarta, kota pelabuhan masa kekuasaan Jayakarta, Jayakarta, Jactra, Iacatra, JakêrtaKalapa : nama tempat di Jakarta, kota pelabuhan masa Sunda Pajajajaran, Sunda KelapaKab. : kabupatenKarang : binatang karang atau kapur karangKec. : kecamatanKel. : KelurahanKep. : KepulauanKIT : Koningklijke Instituut TroopenKITLV : Koningklijke Instituut tot de Taal-, Land- en VolkenkundeKompeni : Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), Kongsi Dagang Hindia Timur BelandaKronik : urutan peristiwa atau kejadianLamun : sejenis tumbuhan lautSamo-samo : padang lamun, areal tumbuh lamunLanggar : musholaLS : Lintang SelatanLU : Lintang UtaraLMD : Lembaga Musyawarah DesaLeso angin : puting beliungLokus Legenda : tempat kejadian yang dirujuk pembawa ceritaMa’ : ibu Uwo : nenek, Makam, Kramat : kuburan keramatKramat Bara’ : kuburan keramat di Bara’, bagian dari pemakaman lama di baratKramat Darah Putih : kuburan keramat Darah PutihKramat Timur : kuburan keramat di Timur, bagian dari pemakaman lama di timurTPU : Tempat Pemakaman UmumMati Obor : konsepsi penduduk pulau tentang kehilangan akar dan identitasMasjid : tempat umat muslim Pulo beribadah An Ni’mah : nama masjid di Pulau PanggangMayang : semacam jaring yang lazim digunakan oleh penangkap ikan di Indonesia bagian baratMbok : sebutan untuk perempuan yang memiliki umur lebih tua atau sudah menikahMelaka : nama tempat, kota Malaka, MalaysiaNe’ : nenek, sebutan penghormatan untuk yang dituakan, untuk lelaki dan perempuanNderes : mengeja ayat-ayat Al Qur’an untuk diperbaiki pelafalannya

l t c

Page 16: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

16

Orang Pulo

di Pulau Karang

Ngaji, : membaca Al-Qur’an Guru : pengajar ilmu dan pengetahuanNICA : Netherlands Indies Civil AffairsNo. : nomorNyamuk Sunda : Anopheles sundaicus; nyamuk penebar wabah malaria di Teluk JakartaJembatan : Sebutan Pulo untuk pelabuhan Pulo Panggang, Dermaga Pulau PanggangJepang, : wilayah geografis, Jepang Jaring : muroami, sejenis jaring yang diperkenalkan oleh nelayan Kep. RyuKyu Jepang Nelayan : nelayan berkebangsaan Jepang Orang : orang yang berasal dari JepangOjek : angkutan air, kapal motor mesin antarpulau jarak dekatP. : pulau, penggunaan untuk istilah administratif dan geografisP° : pulau, legenda peta tua EropaPFNE : Pioniersfotografie uit Nederlands-Indië dari Bijzondere Collecties LeidenPa’ : lih. Pak Uwo : Kakek, panggilan dari cucuPadrão : (Por); padrao, semacam tugu batuPak : Bapak, orang yang dianggap lebih tua dari abangPelele : Tempat Pelelangan Ikan (TPI), merujuk tempat dan pelaku usahaPemkab : Pemerintah Kabupaten Administrasi Kep. SeribuPemkel : Pemerintah Kelurahan P. PanggangPemprov : Pemerintah Provinsi DKI JakartaPemri : Pemerintah RIPeny. : penyusunPosthouder : (Bld.), pemegang/pejabat suatu pos/ kantor urusanPulo, : sebutan setempat untuk kata pulau Cerita : kisah Orang Pulo yang terekam dalam Ingatan Bersama Keyakinan : apa-apa yang diyakini Orang Pulo Mitos : cerita yang disampaikan Orang Pulo tentang tokoh legenda dan asal usul nama tempat Orang : orang-orang yang menghuni kelompok P. Panggang (P. Panggang, P. Pramuka, dan P. Karya) Penutur : Orang Pulo yang berkisah tentang Tuturan Pulo Seribu : sebutan setempat untuk (Kep.) Seribu Tokoh : orang yang memiliki kontribusi pada sejarah Orang Pulo Tuturan : segala hal yang diceritakan/ disampaikan oleh Orang Pulo

l t c

Page 17: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

17

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Raperda : Rancangan Peraturan daerahRI : Republik IndonesiaRT : Rukun TetanggaRTRW : Rencana Tata Ruang WilayahRW : Rukun WargaS.B. : (Bld.), Staatsblad van Nederlandisch IndiëSeafarming : budidaya perikanan laut, pertanian (agar-agar) dan perikanan (ikan) Seafarmer : petani lautSedekah Kapal : membaca kapalSekolahan : (Pulo), sistem pendidikan formalSensu stricto : merujuk langsung kepadaSodara seperjuangan : teman/sahabat yang menjadi seperti saudara karena meyakini dan memperjuangkan tujuan yang samaSuwiran : keratan daging ikan atau binatang daratTabon : rumah asalTaksi : feri, angkutan air, kapal motor mesin antarpulau jarak jauhTanding Silat : bertukar jurus untuk tujuan persahabatanTawassul : doa pembuka berisi urutan siapa saja yang diberi doa keselamatan.Tengah : wilayah/ruang yang berada di bagian tengah Pulo PanggangTerra incognito : (Lat.), tempat yang belum diketahui, tidak dikenalTimur : wilayah/ruang yang berada di bagian timur Pulo PanggangTubir : blok terumbu karang di pinggiran lagunaTrench : kondisi kejiwaan diantara sadar dan taksadar UU : Undang UndangWak : Sebutan untuk paman (tua dan muda)

l t c

Page 18: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

18

Orang Pulo

di Pulau Karang

Orang Pulo, sebutan diri bagi penduduk Pulau-pulau Panggang, juga menjadi sebutan khas setempat bagi penduduk pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. Orang Pulo juga akan menyebut penduduk di pulau-pulau lain dengan merujuk nama pulau dimaksud, dengan sebutan orang Tidung, orang Untung Jawa, orang Harapan, dan lain-lain. Mereka akan

lugas menyebut diri Orang Pulo kepada orang Darat dan Tamu. Darat, digunakan Orang Pulo untuk merujuk wilayah Jakarta dan sekitarnya dan spontan untuk wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa dari Teluk Banten sampai dengan daerah sekitar Muara Sungai Citarum. Tamu, bisa jadi refleksi kekinian ketika Pulo menjadi destinasi pariwisata, meski awalnya menjadi sebutan penghormatan bagi siapa saja yang datang ke Pulo untuk bermasyarakat atau berkunjung dinas atau bisnis. Orang Pulo juga digunakan untuk membedakan diri dari suku bangsa lain, misalnya orang Blanda, orang Cina, orang Bangka, dan orang Jawa.

Pulo, dengan demikian, dipergunakan oleh Orang Pulo untuk merujuk ruang tempat tinggal atau untuk mengganti nama pulau tertentu atau bahkan kepulauan. Lazim kami dengar sebutan Pulo Seribu untuk Kepulauan Seribu, Pulo Pramuka untuk menggantikan P. Pramuka, Pulo Kelapa untuk P. Kelapa, dan seterusnya. Dalam suasana yang lebih formal, barulah pelafalan

“Sebenarnya apa yang saya dapati, bahwa kondisi Pulo itu yang dominan sekali

penduduknya itu dari Banten, dari Kalimantan juga ada, dari suku Mandar.

Itu yang betul-betul tinggal di sinipada awal mulanya.”

(Pak Amrullah, pamong Kel. P. Panggang

Gobal t c

Page 19: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

19

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

pulau digunakan. Literatur akademis dan pemerintahan atau liputan jurnalistik, menuliskan kata pulau untuk merujuk pada daratan pulau, misalnya Pulau Panggang, Pulau Tidung, Pulau Untung Jawa. Sedangkan untuk orang-orang yang tinggal di pulau, literatur-literatur tersebut menggunakan frasa ‘penduduk pulau’.

Dalam buku ini, kata Pulo digunakan secara spesifik untuk merujuk pada semua aspek yang terkait dengan dimensi alam dan sosial yang melekat sebagai sumber daya bagi Orang Pulo. Kekayaan Pulo bukan hanya pada sumber daya alaminya, juga pada sumber daya budaya yang mereka miliki. Bagai goba, istilah Pulo untuk laguna, di dalam masyarakat Pulo terkandung kekayaan budaya, yang dapat dipahami hanya ketika kita menyelami kedalamannya.

Pulo, ada di dalam Pulo Seribu, selanjutnya digunakan untuk menyebut kesatuan Pulo Panggang, Pulo Pramuka dan Pulo Karya, memberikan kesan sebagai titik kecil dari negara kepulauan terbesar, Indonesia kita, dan berada di pinggiran dari pusaran arus sejarah Nusantara, Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia. Pulo juga memberi kesan sebagai wilayah pinggiran dari pusat pemerintahan dan pusat keramaian metropolitan, walau dia hanya tiga jam dicapai dengan menggunakan kapal motor penumpang dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta. Namun, menjadi hak bagi

Orang Pulo untuk memperoleh pengetahuan tentang sejarah mereka sendiri: tempat yang mereka huni, siapa yang memulai penghuniannya dan apa yang harus mereka miliki sebagai Warisan Pulo, sebagai warisan bersama dan dapat menjadi identitas bersama bagi Orang Pulo.

Untuk itu, kami datang untuk melihat kemudian nyambang ke berbagai sumber dan selanjutnya menawarkan cara dan keterangan bagi penyusunan sejarah kedatangan dan penghunian Pulo, proses pembentukan masyarakat Pulo berikut refleksi kebiasaan hidup yang membentuk Budaya Pulo. Hingga buku ini terbit, penggalian sumber sekunder berupa dokumen resmi pemerintahan maupun publikasi dari penelitian terkait yang dinilai lengkap dan representatif untuk hal-hal tersebut, kami rasakan lebih banyak dari dokumen masa kolonial. Informasi berkenaan ekologi dan lingkungan alam, kepemerintahan, sosial masyarakat berbasis kehidupan nelayan, ekonomi masyarakat pesisir

dan pulau-pulau kecil, perikanan laut, bahkan pariwisata serta ekowisata yang cukup melimpah sesungguhnya dapat memperkaya sumber-sumber pustaka terkini, tentang topik penelitian kami. Akan tetapi, analisis yang ditawarkan di dalam hasil penelitian yang telah ada kurang mengeksplorasi aspek historis, bahkan cenderung diabaikan, seolah mentalitas

“Jangan Mandi Laut, nanti dimakan Gertang”

Gertang, adalah panggilan bagi salah satu dari ikan Balong, diibaratkan sebesar Bubu Ternate yang berukuran panjang empat meter, dipergunakan

sebagai ancaman terhadap anak-anak yang lupa waktu bermain-main di pantai Pulo atau bagi anak-

anak yang masih terlalu kecil namun telah merengek untuk ikut pergi sang bapak pergi melaut. Balong dan ikan-ikan karang telah lama menjadi jenis tangkapan

populer bagi Orang Pulo, untuk lauk makan dan tentunya barang jualan. Jenis raksasa ini sudah amat

sangat jarang dijumpai di lingkungan alami.

Ini adalah kisah Bang Pian, ketika ditanyakan jenis ikan yang paling berbekas dalam benak.

l t c

Page 20: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

20

Orang Pulo

di Pulau Karang

suatu masyarakat tidak terbentuk oleh sejarahnya. Selanjutnya, pencarian sumber-sumber lisan dalam ingatan bersama dari Orang Pulo dan peninjauan terhadap wujud-wujud dari kebudayaan materi dan yang tak benda Pulo mengarahkan kami kepada simpulan-simpulan yang bersifat sementara tentang Orang Pulo dan Pulo-nya. Secara utuh, penyusunan buku ini dibangun dengan konsep reportase, yang berarti subyektivitas para peneliti akan jelas terasa namun tetap berupaya melakukan periksa-silang data terutama yang terkait dengan peristiwa dan waktu, agar perspektif kami dalam menimbang data tetap terarah. Pilihan bentuk ini membuat kami leluasa menjelaskan hasil penelusuran kami.

Informasi awal tentang masyarakat Pulo saat ini, kami susun dalam bab Orang Pulo. Gambaran masyarakat Pulo berusaha kami sajikan secara deskriptif, berdasarkan letak geografis, sistem pendidikan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, etnisitas dan bahasa.

Orang Pulo memiliki ingatan bersama yang terungkap melalui tuturan Pulo yang disampaikan dalam beberapa kesempatan tatap muka perseorangan. Di dalamnya kisah-kisah Pulo yang beragam tertuturkan; di antaranya tentang Zaman Bajak Laut, kisah Darah Putih, Zaman Para Bek, kisah ne’ Deli, kisah ne’ Aing, kisah para Habib, masa diperkenalkannya jaring berteknologi Jepang Muroami, masa pendudukan Jepang, dan masa-masa kepemimpinan dalam administrasi pemerintahan RI. Babang dan pergulatan ekonomi nelayan jadi bagian kisah-kisah pengalaman orang tua dan orang dewasa.

Saat ini, Orang Pulo yang masih dapat ditemui adalah orang tua (generasi 30-an dan 40-an), orang dewasa (generasi 50-an s/d 60-an), anak muda (generasi 70-an s/d 80-an), remaja (generasi 90-an dan medio 2000-an), dan anak-anak.

Mitos tentang Pulo merupakan bagian dari kebudayaan Pulo yang menjadi gerbang pembuka cakrawala kami untuk memahami masyarakat Pulo. Mitos ini bagian dari Cerita Pulo yang terjadi pada masa lampau dan tidak dialami oleh orang tua di Pulo saat ini, sehingga memiliki beragam versi. Versi-versi ini bersumber dari kuatnya keberlisanan Orang Pulo, yang harus dipertimbangkan mampu memperkaya sumber informasi tentang sistem nilai yang mereka pegang.

Selanjutnya, kami menyusun Ihwal Pulo yang berisi hasil penelusuran tersebut. Akibat minimnya data tertulis yang dapat menjelaskan lahirnya mitos tersebut, penelusuran dilanjutkan pada sejarah penghunian Pulo, dengan harapan konteks lahirnya mitos dapat ditelusuri. Bukan pekerjaan yang mudah karena para peneliti Orang Pulo sebelumnya lebih tertarik pada isu lingkungan di wilayah ini. Kami mencoba mencerna dengan hati-hati catatan tertulis dan rekaman lain dalam bentuk suara dan gambar, yang kadang tidak cukup representatif dan berkualitas. Hipotesa yang dihasilkan dari pembacaan tersebut menjadi landasan awal ketika menghadapi limpahan informasi dari bahan kepustakaan yang diperoleh. Untuk melengkapi rujukan karya ilmiah populer, akademik dan arsip pemerintahan, kami memanfaatkan sumber-sumber lain dari koran tua jaman kolonial, peta-peta (kartografi) dan foto-foto tua.

Bagian Tradisi Pulo merupakan upaya kami memahami budaya Pulo. Sementara orang kerap mengatakan Pulo itu nir budaya. Dalam kenyataannya, secara kultural masyarakat Pulo memiliki keterbukaan dan kelenturan dalam menerima pengaruh

l t c

Page 21: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

21

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

dari entitas lain. Pada saat yang sama, Orang Pulo mampu menguatkan identitas budayanya sebagai Orang Pulo dengan melakukan modifikasi budaya sebagai strategi adaptasi. Wujud Peninggalan Pulo kini sangat terbatas dan yang tersisa telah berubah bentuk atau mulai usang akibat ditinggalkan atau tidak terjaga. Pada akhirnya, wajah dari kebiasaan Orang Pulo lebih mencerminkan pergulatan masyarakat ini dalam menyesuaikan diri dan bertahan, jika dapat dikatakan demikian, terhadap kuatnya kosmopolitan Jakarta, hiruk pikuk administrasi pemerintahan, dan naik turunnya kehidupan perekonomian.

Tubir Pulo, merujuk pada gugusan karang di bagian pinggir laguna Pulo Panggang, merupakan bagian buku yang menyajikan pemahaman kami terhadap situasi kekinian, terutama dari aspek ekonomi dan ekologi. Orang Pulo hingga kini masih menjadi bagian pinggiran atau tidak dikenali dalam bentuk-bentuk kebijakan pemerintahan, sebagaimana terekam dalam lintasan sejarah sejak jaman Kesultanan Banten. Pulo, sebagai kawasan, menjadi lahan penghidupan sekaligus lahan kepentingan bagi orang Darat. Kenyataan yang harus dihadapi Orang Pulo saat ini adalah alih pengetahuan yang kian mengendur, diversifikasi profesi, dan degradasi daya dukung lingkungan terhadap kehidupan di Pulo.

Terakhir, Tabeh, atau tabik, istilah Melayu untuk pernyataan hormat, kami jadikan penutup dari Kisah Pulo yang terangkum dalam buku ini. Kami mengambil satu kisah dari masa lalu Pulo, yang dimuat di salah satu koran berbahasa Belanda di Medan, berjudul “Vader en Kind, de Geweldige van Poeloe Panggang” (Ayah dan Anak, Si Hebat dari Pulu Panggang- peny.). Kisah sederhana ini merefleksikan sisi kemanusiaan Orang Pulo yang peka terhadap masalah moral.

Memahami Orang Pulo dan Pulo, dari cara-cara yang kami lakukan, semoga dapat menarik perhatian tidak saja Orang Pulo, pewaris sejati pengetahuan ini, tapi juga komunitas akademik dan birokrasi pemerintahan, yang hingga kini berkepentingan sebagai pendamping dan pengayom Orang Pulo. Dalam pengkajian ini, sejarah pemerintahan Pulo dapat ditelusuri bukan semata sebagai sejarah kelembagaan, juga sebagai metafor bagi sejarah penghunian dan keterlibatan pemukim Pulo terhadap berbagai situasi di luarnya. Demikian pula Tradisi Pulo, yang menjadi perbandingan penting bagi sejarah pengaruh dan modifikasi budaya luar yang terjadi hingga kini.

Budaya Pulo perlu mendapat perhatian yang seimbang dan perlakuan akademik sejajar dengan penelitian-penelitian terapan di Pulo, karena memahami budaya kontemporer tak dapat lepas dari sejarah yang membentuk masyarakat tersebut. Dalam lintasan sejarah Pulo, ekspresi-ekspresi budaya itu hidup dan punah mengikuti perubahan masyarakatnya. Orang Pulo memiliki sistem keyakinan dan pengetahuan kolektif yang mereka peroleh sebagai pendatang, pengolah daratan, dan pengarung perairan pulau-pulau karang. Oleh karenanya, mereka memiliki modalitas untuk dapat bertahan dan bertumbuh di Pulo Seribu.

l t c

Page 22: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

22

Orang Pulo

di Pulau Karang

Orang Pulo

“Semua orang yang mengaku berasal dari Pulo Seribu umumnya masih berkerabat dengan

orang Pulo Panggang. Nenek-nenek kami ada di Pulo Panggang.”

(orang Tidung)

Penghuni Pulau Karang

Orang Pulo menetap di Pulau-pulau Panggang atau Gugus Pulau Panggang, yang terletak secara administratif di Kel. P. Panggang Kec. Kep. Seribu Utara

Kab. Administrasi Kep. Seribu Prov. DKI Jakarta. Pemerintah sendiri membagi Pulo Seribu secara administratif dalam dua kecamatan, yaitu Kec. Kep. Seribu Utara dan Kec. Kep. Seribu Selatan, dengan tiga kelurahan di utara (Kel. P. Panggang, P. Kelapa, dan P. Harapan) dan tiga kelurahan di selatan (Kel. P. Tidung, P. Pari, dan P. Untung Jawa). Di antara 110 pulau, hanya 11 pulau yang berpenghuni, yaitu Untung Jawa, Pari, Lancang, Payung, Tidung Besar, Pramuka, Panggang, Harapan, Kelapa, Kelapa Dua, dan Sebira (Gunawan, et al., 2000).

Di antara 110 pulau dan gosong karang yang tercatat

l t c

Page 23: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

23

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

dalam wilayah administratif Pulo Seribu melalui SK Gubernur DKI No. 1986 Tahun 2000, tempat mereka tinggal memang diperuntukkan pulau pemukiman, sesuai SK Gubernur DKI No. 1814 Tahun 1989. Untuk itu, Orang Pulo juga menjadi bagian dari salah satu Kawasan Strategis Nasional RI, yaitu Taman Nasional Laut Kep. Seribu; mereka mengisi Zona Pemukiman dan bertetangga langsung dengan Zona Pemanfaatan Wisata, mengikuti Keputusan Menteri Kehutanan No. 6310/Kpts-II/2002. Raperda Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 menempatkan pulau ini sebagai Kawasan Pemukiman (Pasal 164) sekaligus Kawasan Hutan Lindung dalam Zona Pemukiman. Sebagai ejawantah kebijakan tersebut, beberapa waktu terakhir ini Orang Pulo terlibat dalam kegiatan penanaman pohon bakau, walaupun mereka khawatir dengan nyamuk pembawa malaria yang hidup dalam ekosistem hutan bakau.

Pulo merupakan gugusan pulau dari Pulo Seribu di bagian barat dari perairan Laut Jawa dan memiliki posisi koordinat Bujur Timur 10600 ‘570 106 - “00’200 “ dan Lintang Utara 500 ‘570 5 - “00 ‘100” (Gunawan, et al., 2000 : 9). Pulo Seribu merupakan kawasan perairan dan daratan pulau yang membujur dari utara (P. Sebira) ke arah tenggara di Teluk Jakarta. Jadi secara geografis, kepulauan ini berada pada satu kawasan di mana pelayaran laut memiliki tiga arah, yaitu 1) perairan Bangka-Belitung bagi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, 2) Selat Sunda bagi Samudera Hindia, dan 3) Laut Jawa, yang dari arah timur memungkinkan hubungan dengan Indonesia bagian timur. Hingga kini, perairan Pulo Seribu merupakan bagian dari jalur pelayaran internasional lintas Australia (selat di antara Tidong – Pari – Payung). Inilah yang menyebabkan Belanda memasang beberapa mercusuar di kawasan ini (di P. Sebira/Nordwachter, P. Payung, P. Tempurung, P. Peniki/Zudwachter). Nakhoda kapal perlu waspada di perairan ini, karena karang dan gosong sejak dahulu mengancam karam.

Perairan Pulo Seribu merupakan laut yang relatif terlindung dari arus angin dan air, sehingga gelombang relatif teduh. Badai laut jarang terjadi namun leso angin atau puting beliung dapat melintasi kepulauan karang ini. Angin berganti arah mengikuti sistem klasik yang sangat dikenal baik oleh Orang Pulo, Angin Barat adalah musim angin dari bulan November sampai Maret dan Angin Timur dari bulan Mei sampai September, yang disela dua Angin Penengah yang masing-masing datang dari arah utara dan selatan, ditandai dengan perairan yang tenang dan jernih.

Seperti juga tempat-tempat lain di Pulo Seribu, Pulo merupakan daratan pulau dengan dataran rendah dengan tanah pantai kapur. Daratan berdiri di atas perbukitan purba yang kemudian menjadi lanskap bawah air Laut Jawa ketika permukaan air laut naik seiring dengan berakhirnya Zaman Es Dunia yang terakhir pada ribuan tahun yang lalu. Kegiatan binatang karang di atas perbukitan purba kemudian memungkinkan munculnya karang-karang yang menjadi cikal bakal pulau-pulau. Pelapukan karang akibat sinar matahari dan air hujan bersama dengan pengaruh arus air dan gelombang laut menyebabkan pulau-pulau muncul namun juga dapat lenyap. Pohon kelapa pernah mendominasi vegetasi di atas Pulo Panggang, Pulo Karya, dan Pulo Pramuka, yang memiliki vegetasi yang lebih padat dan lebih beragam termasuk masih adanya pandan laut.

l t c

Page 24: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

24

Orang Pulo

di Pulau Karang

Transportasi

“Tiga puluh ribu” (Roy, Kondektur “Raja”, feri M. Angke – P. Panggang)

Sebagian Orang Pulo memiliki kapal motor mesin berukuran kecil sebagai alat transportasi keluarga. Ojek atau angkutan umum laut berupa kapal motor mesin berkapasitas 15-20 tempat duduk menghubungkan transportasi antarpulau yang berjarak dekat. Kini, transportasi laut rutin di Pulo Seribu menggunakan taksi atau feri, yang dijalankan setiap hari dengan jadwal pagi dan siang, dari Muara Angke. Jadwal taksi juga rutin untuk trayek Pulo dengan Rawa Saban, Tangerang. Selain itu masih terdapat kapal cepat “Kerapu”, yang kini berangkat dari Muara Angke (sebelumnya dari Marina Ancol). Transportasi laut ini mulai membaik pada kurun waktu lima tahun terakhir. Sebelum ini, akses dari dan ke Pulo sangat tergantung pada aktivitas nelayan yang akan menjual ikan ke Pasar Ikan, Muara Angke, dan Rawa Saban .

Selain itu, terdapat transportasi di daratan pulau, yaitu gerobak yang dipergunakan mengangkut barang, sepeda kayuh bahkan bermotor juga dipergunakan untuk melintasi jalan dengan lebar antara satu–tiga meter. Di atas kapal feri, kami menyaksikan cukup sering beberapa sepeda motor nangkring di atas dek kapal. Akses yang kian lancar ini mengakibatkan informasi kian terbuka dan mobilitas sosial masyarakat Pulo ke Darat semakin tinggi.

Kelurahan Pulau Panggang

“Bek Dahlan Lurah pertama Jaman Republik.”

Kelurahan yang mengatur pemerintahan tingkat desa merupakan wilayah administratif yang meliputi luas kurang lebih 62,10 ha dan garis pantai 22,74 km, yang ditetapkan melalui UU RI No. 5 tahun 1974. Walaupun ada tempat yang mungkin lenyap atau malahan timbul, Kelurahan bertanggung jawab atas 13 pulau dan dua pulau berpenghuni, yaitu Panggang dan Pramuka. Enam pulau diperuntukkan peristirahatan, dan yang lain difungsikan sebagai PHU (Perlindungan Hutan Umum), PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), perkantoran, TPU (Tempat Pemakaman Umum), dan mercusuar. Perairan merupakan batas wilayah Kelurahan dengan kelurahan tetangga, yaitu Kel. P. Kelapa, Kel. P. Tidung, Kel. P. Untung Jawa, dan Laut Jawa. Pada peta, Kelurahan dapat dikenali dengan titik-titik koordinat pembatas sebelah Utara (051 41 ‘410” LS - 0541 ‘410”

l t c

Page 25: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

25

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

LS) sebelah Timur (10650 ‘440” BT), sebelah Selatan (0500 ‘470” LS - 0514 ‘450” LS), dan sebelah Barat (10630 ‘190” BT).

Pulo terbagi tiga RW dan 21 RT di Pulo Panggang dan dua RW dan delapan RT di Pulo Pramuka. Selain pemukiman penduduk, Pulo memiliki tempat-tempat yang berfungsi sebagai perairan, hutan, kantor kabupaten, sekolah, perkantoran lain, tempat usaha, dan tempat pemakaman. Orang Panggang mayoritas bermata pencarian nelayan sedangkan orang Pramuka bermata pencarian pedagang, pegawai di kantor pemerintahan, dan wiraswasta dalam bisnis pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

Sebagian besar lahan di atas Pulo Panggang telah dipenuhi dengan bangunan rumah tinggal dan bangunan fasilitas umum. Di Pulo Pramuka, bangunan sejenis tidak sebanyak yang telah berdiri di Pulo Panggang. Pulo Karya hanya diperuntukkan untuk pendirian sejumlah bangunan pemerintahan. Berbeda dengan Pulo Panggang, lahan kosong lebih luas di Pulo Pramuka dan Pulo Karya sehingga memungkinkan adanya vegetasi. Pendirian bangunan rumah tinggal maupun fasilitas umum dan perkantoran diarahkan untuk menghadap ke arah laut, namun sulit atau tidak mungkin untuk Pulo Panggang. Rumah tinggal rata-rata berukuran Tipe-36 atau lebih kecil dan jarang yang dibuat bertingkat, dengan atap rumah umumnya menggunakan genting tanah atau bahan asbes. Rumah tinggal menggunakan dinding bahan bata merah atau batako, namun masih terdapat sejumlah rumah dengan bilik kayu. Toko/ warung kelontong dapat ditemukan di hampir setiap blok jalan ukuran gang.

Tahun/Pulau 1905 1906 1960 1994 1999 2011

Panggang 212 274 1635 3718 4081 5837Kelapa 504 602 5772 4786 Tidung 136 155 4224 3495 Untung Jawa 73 92 1354 3422 Kelor 123 155 Ubi Pari 1770

Sumber: Winkler (1905), Selleger (1906), Muchtar (1960), Iskandar (1996), Kab. Adm. Kep. Seribu (1999),

Kel. P. Panggang (2011)

Tabel 1Perkembangan jumlah penduduk P. Panggang dan pulau-pulau lain

l t c

Page 26: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

26

Orang Pulo

di Pulau Karang

Populasi Secara kasar, populasi Pulo pada awal abad ke-20 hanya berjumlah ratusan dengan pertambahan dua digit hanya dalam

kurun waktu dua tahun dan melonjak ribuan pada akhir abad ke-20. Untuk tahun 1905 dan 1906, terlihat perbedaan jumlah signifikan dalam dua tahun berturut-turut yang diakibatkan perbedaan motif pengumpulan jumlah penduduk; Winkler seorang dokter yang sedang melakukan vaksinasi cacar dan Selleger seorang kontrolir pemerintah yang sedang melakukan peninjauan. Penduduk yang dapat dicacah jumlahnya oleh Winkler lebih sedikit karena ia sekaligus memberikan vaksinasi saat masyarakat masih percaya takhyul dan dukun. Saat Selleger datang dua tahun kemudian untuk mencacah jumlah penduduk, terkesan ia disambut dengan keramahan dan keterbukaan. Menarik bagi kami, adalah pola lonjakan dari data penduduk pada tahun 1990-an. Dalam perhitungan sederhana terlihat Orang Pulo bertambah 1000 jiwa dalam lima tahun dan sejak memasuki milenium laju ledakan penduduk berkurang (1000 jiwa dalam 10 tahun).

Data Kelurahan per Oktober 2011 juga menampilkan fenomena peremajaan penduduk, usia produktif (3201 orang untuk kelompok usia 16-55 tahun) melebihi kombinasi yang sudah tidak produktif (501 orang untuk usia di atas 55 tahun) dan belum produktif (2135 anak untuk usia di bawah 16 tahun). Besarnya jumlah anak kecil dan usia remaja bersama kombinasi dewasa tanggung dan dewasa menampilkan perspektif tentang masa depan Pulo. Perluasan lahan menjadi sulit, meski reklamasi pantai masih terjadi, dan diperkirakan tidak dapat menampung pemukiman dan kegiatan ekonomi masyarakat di masa mendatang.

Pendidikan

“Jaman dulu, belajar ya ngaji di bale-bale.”

Orang Pulo mengenal pendidikan tradisional melalui ngaji (mengeja dan membaca) Al-Qur’an di bale-bale (panggung kayu di teras rumah) atau langgar (mushola). Sesudah belajar kitab suci dan mendengar wejangan guru ngaji tentang tauhid dan hikmah kehidupan, remaja laki-laki dapat mempelajari bela diri silat. Saat ini, kegiatan ini masih berlangsung namun anak usia wajib belajar telah disibukkan dengan kegiatan sekolah dari pagi sampai sore. Siswa sekolah menengah, pertama dan lanjut, juga perlu berpindah pulau untuk mengikuti kegiatan sekolah. Bagi yang mau dan mampu, pendidikan tinggi ditempuh dengan meninggalkan pulau dan menjadi orang Darat sementara waktu.

Sejak tahun 1910, pemerintah Belanda di bawah Residentie Batavia mulai mewacanakan pembangunan sekolah di Pulo Panggang. Dalam sebuah jurnal yang berisi laporan pejabat kontrolir Belanda tahun 1924 (Het Niews van den dag voor Nederlandsch-Indie No. 226 tanggal 20 September 1924, h. 21), disebutkan bahwa di Pulo Seribu telah ada tiga sekolah desa (volkschool/ sekolah rakyat/ sekolah ongko siji), yang mengajarkan bahasa kebangsaan (Melayu) dengan kurikulum membaca, menulis, dan berhitung

l t c

Page 27: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

27

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

dari angka satu sampai seribu. Anak-anak bersekolah selama tiga tahun untuk menuntaskan kurikulum itu. Para ‘goeroe’ mengajarkan murid-murid untuk bernyanyi dalam bahasa Melayu saat menyambut kedatangan rombongan kontrolir Belanda.

Pak Husni, yang kini berusia lebih dari 70 tahun, merupakan salah satu murid pertama Taman Siswa di Pulo Panggang. Berdasarkan informasi lain (Soekardjo Wilardjito, Mereka Menodong Bung Karno: kesaksian seorang pengawal presiden, 2008: h. 27-28), disebutkan bahwa di sekolah desa masih diwajibkan membayar SPP sebesar lima sen, sementara di Taman Siswa tidak dipungut bayaran. Menurut Pak Husni, tidak ada sekolah lain selain Taman Siswa di Pulo Panggang namun tidak dapat diperoleh keterangan pasti tentang awal munculnya sekolah ini. Nationale Onderwijs Instituut Taman Siswa (Tsuchiya, 1975), sebuah sekolah kecil non pemerintah lahir di Yogyakarta pada bulan Juli 1922 dan kemudian berkembang pesat sampai dengan Kongres Nasional Pertama di Yogyakarta pada bulan Agustus 1930. Dari 52 sekolah cabang yang menghadiri Kongres, sembilan mewakili Jawa Barat. Kami mencoba melacak ke Taman Siswa Yogyakarta, informasi yang kami peroleh, “Pulau Seribu ini masuk Jabardaya (Jawa Barat dan DKI Jakarta –peny.)”. Dalam komunikasi personal dengan pengurus divisi Jabardaya periode 1970 – 1990 an, Ki Surtawi, yang direkomendasikan oleh Taman Siswa Pusat, beliau mengaku selama menjabat belum pernah melakukan kunjungan ke Taman Siswa di Kep. Seribu.

Setelah Proklamasi, sekolah-sekolah desa tersebut kemudian diubah menjadi Sekolah Dasar. Untuk di Pulo

Jumlah Penduduk 2.975 2.862 5.837Pendidikan Tertinggi : a. Tidak Sekolah - - b. Tidak Tamat SD 20 22 42c. Tamat SD 370 318 688d. Tamat SLTP 180 130 310e. Tamat SLTA 140 145 285f. Tamat SLTA/PT 66 37 103

Sumber:Laporan Bulanan Kel. P. Panggang bulan Oktober 2011

Tabel 2Jumlah Penduduk Menurut

Tingkat Pendidikan

Pendidikan Jenis KelaminLaki-laki

JumlahPerempuan

l t c

Page 28: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

Panggang, kini menjadi SD Negeri 01/03. Bahkan Taman Siswa di sini masih aktif sebagai sekolah swasta sampai tahun 1978. Kini di Pulo Panggang dan Pulo Pramuka terdapat tiga Kelompok Bermain/ PAUD, empat TK (satu Negeri dan tiga Swasta), tiga SD Negeri, tiga MI (satu Negeri dan dua Swasta), satu SMP Negeri, satu MTs Negeri, dan satu SMA Negeri. Perkembangan yang cukup signifikan dapat dirasakan saat ini [lihat gambar anak sekolah SDN 01/03].

Saat berada di Pulo, kami menyaksikan antusiasme anak-anak Pulo Panggang untuk menyeberang laut dalam upaya mencapai sekolah. Remaja dengan seragam biru dan abu-abu berdesak-desakan dalam ojek bertujuan Pulo Pramuka, tempat SMP Negeri 133 dan SMA Negeri 69 berada. Ojek sekolah hanya satu, sehingga ojek umum memainkan peranan penting untuk menjamin transportasi anak sekolah, dan sejumlah orang tua murid berharap kondisi transportasi yang lebih baik. Saat Angin Barat, kondisi perairan belum tentu menjamin anak-anak ini akan tiba tepat waktu untuk mengikuti tatap muka di kelas. Sekolah lanjutan di Pulo Pramuka juga menyediakan asrama bagi peserta didik dari tempat-tempat lain di Pulo Seribu.

Jaminan transportasi persekolahan adalah salah satu tantangan yang menghambat keinginan Orang Pulo untuk melanjutkan pendidikan. Kesulitan lain adalah biaya pendidikan yang tetap harus ditanggung orang tua murid walaupun SPP sudah dibebaskan, sejak diterapkannya BOS. Ini berkaitan dengan taraf hidup Orang Pulo yang masih rendah, berbasis pada ekonomi kerakyatan bercorak perikanan tangkap klasik dan budidaya rintisan. Meski demikian, minimnya akses atau taraf hidup juga tidak membuat orang Pulo bermimpi pendek. Setidaknya tercatat 103 sarjana lulusan akademi/ universitas. Dan tidak sedikit dari yang kami dengar, bahwa putus sekolah terjadi dengan alasan meringankan beban orang tua. Meski demikian ada

28

Orang Pulo

di Pulau Karang

pula yang bekerja untuk bisa bersekolah. Tingkat pendidikan Orang Pulo secara umum relatif rendah namun tingkat partisipasi dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun cukup tinggi. Masyarakat nelayan ini dapat dikatakan sudah melek pendidikan.

Pencaharian

“Kalau orang laki mancing, orang perempuan kadang ke pantai, nyari kima.”

Sejak Pulo Panggang berpenduduk semakin padat, Pulo Pramuka menerima transmigrasi lokal dari Pulo Panggang. Pulo Kelapa meski berpenduduk paling banyak namun densitas lebih rendah. Ruang

l t c

Page 29: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

29

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Tabel di bawah ini merupakan ilustrasi

dari mata pencaharian yang dikaitkan dengan

gender.

Sumber:Laporan BulananKel. P. Panggang bulan Oktober 2011

Tabel 3Perkembangan Penghasilan Ekonomi Nelayan

No. JumlahNelayan Bubu

JenisUsaha

PenghasilanPerbulan

JumlahTenaga Kerja

Lk. Pr.Ket.

Rp. 2.800.000Bubu tambundan bubu selat

12 orang1 24

Jumlah 12 Rp. 2.800.000 24

--

--

Tabel 4Perkembangan Penghasilan Pedagang Kelontong

No. JumlahPedagang

JumlahPedagang Kuli

PenghasilanPerbulan

JumlahTenaga Kerja

Lk. Pr.Ket.

Rp. 10.320.000 30 orang1 430 orang 26

Rp. 10.320.000 30 orang 430 orang 26Jumlah

Tabel 5Perkembangan Penghasilan Pedagang Kaki Lima

No. JumlahPedagang

JumlahPemilik

Pedagang

PenghasilanPerbulan

JumlahTenaga Kerja

Lk. Pr.Ket.

Rp. 26.038.000 53 orang1 4553 orang 68

Jumlah Rp. 26.038.000 53 orang 4553 orang 68

l t c

Page 30: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

30

Orang Pulo

di Pulau Karang

fisik dan ruang sosial Pulo Panggang kian peka dan rawan sehingga mengakibatkan wajah sosial kemasyarakatan dan ekonomi rekat namun liat.

Secara tradisional, sistem ekonomi masyarakat Pulo bercorak kehidupan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis ekonomi nelayan tangkap dan budidaya di lingkungan perairan karang. Pulo Panggang dan Pulo Pramuka hanya berjarak belasan menit dengan menggunakan ojek, namun antarpulau berpenduduk yang terpisah berjarak tempuh rata-rata satu sampai dua jam pada saat laut tenang. Dalam keseharian di Pulo saat ini, para perempuan lebih banyak melakukan aktivitasnya di rumah, mendukung kegiatan pihak laki-laki yang 75% bermata pencaharian sebagai nelayan tangkap atau budidaya, sehingga kaum lelaki dewasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk melaut. Anak remaja laki-laki mulai berpartisipasi penuh atau paruh waktu membantu perekonomian keluarga. Perempuan pada umumnya memiliki keahlian mencari binatang laut di pinggir pantai atau di perairan dangkal, sementara para lelaki umumnya terampil memancing dan menangkap ikan menggunakan jaring.

Saat situasi perairan tidak memungkinkan untuk melaut, banyak nelayan yang mengubah kegiatan dari melaut dengan kegiatan apa saja yang dianggap menghasilkan. Perubahan mata pencaharian masyarakat Pulo, tak jarang menjadi pilihan yang tetap, karena dianggap lebih mampu menjamin kebutuhan ekonomi walaupun pergantian kegiatan tersebut tidak selalu mengarah ke darat, tapi tetap ke laut. Kini banyak juga orang Pulo yang memilih sebagai

tenaga teknis, misalnya guru, petugas kesehatan, petugas Satpol PP, dan lainnya, baik pegawai negeri maupun honorer. Profesi pedagang lebih sedikit dan terlihat lebih banyak dilakukan perempuan. Geliat ekonomi pariwisata juga memberi alternatif mata pencaharian, baik yang tetap sebagai usahawan wisata perjalanan atau produsen cenderamata atau yang paruh waktu sebagai pemandu wisata dan jasa transportasi wisata.

KekerabatanSecara kesukuan, Orang Pulo masa kini sudah sulit

diidentifikasi, namun persentuhan dengan berbagai etnis tetap terlihat. Beberapa keluarga yang ditemui saat ini merupakan bentuk percampuran antaretnis. Jika ditanyakan langsung kepada Orang Pulo, jawaban yang didapat akan mengarah pada asal etnis Bugis, Mandar, Banten, Jawa, Sunda, Cirebon, dan Melayu. Pada tahun 1924, Kontrolir Belanda melaporkan identitas etnis

l t c

Page 31: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

31

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

di Pulo Seribu didominasi oleh Bugis dan Banten. Saat ini beragam etnis menyatu dalam satu identitas, Orang Pulo.

Ikatan kekerabatan Orang Pulo masih dianggap kuat karena masih memiliki pertalian darah antara satu keluarga dengan lainnya, baik yang berada dalam satu pulau berpenghuni, maupun dengan pulau lain yang dihuni. Jarak yang masih dapat ditempuh dengan kapal berukuran 5-20 meter, dimanfaatkan penduduk untuk tetap saling berkunjung, menghadiri hajat perkawinan, sunatan, kematian, acara hajatan pemerintah maupun saat lebaran.

Ikatan tersebut terbentuk secara intensif karena pernikahan antarkeluarga di Pulo, sehingga orang Pulo kerap terdengar mengatakan, “Dia masih saudara juga”. Pembentukan ikatan ini juga dimungkinkan oleh isolasi dan keterpencilan geografis di tengah laut, sehingga pertumbuhan masyarakat diawali oleh pernikahan endogami. Kehadiran para pendatang juga menjadi jalan untuk memperluas jaringan kekerabatan. Contoh ini kami temukan pada generasi awal yang dituturkan oleh Orang Pulo, yaitu kehadiran M. Rais (ne’ Rais) yang diundang oleh Sadeli bin Kohar (ne’ Deli) untuk mengajar mengaji, dan tak lama kemudian ne’ Rais dinikahkan dengan putri beliau. Tidak sedikit Orang Pulo yang saling berhubungan saudara angkat atau sepersusuan, karena niat saling membantu atau menafkahi anak terlantar atau yatim lazim ditemui di sini.

Selain itu, ikatan kekerabatan ini juga memungkinkan masyarakat nelayan Pulo pernah memiliki tradisi nyambang, saling memberi dan menerima di saat nelayan banyak memperoleh ikan, sebagai bentuk ikatan silaturahmi yang kuat. Namun seiring keberadaan ikan yang semakin sulit didapat, jangankan dalam jumlah yang banyak, jumlah

untuk mencukupi kebutuhan makan di rumah pun seringkali minim, bahkan sesekali kosong.

Kepercayaan dan Keyakinan Orang Pulo saat ini mayoritas beragama Islam dan kurang

dari 0,1% penduduk beragama Kristen. Islam kultural adalah warna klasik kehidupan beragama di Pulo dan pada beberapa waktu terakhir terlihat arus kuat Islam ideologis. Dalam keseharian, keyakinan keagamaan masyarakat Pulo juga muncul dalam kepercayaan mereka. Misalnya, muncul tabu di kalangan nelayan untuk melaut pada hari Jumat, sehingga mereka memilih berkumpul di masjid atau di tempat lain. Saat sholat Jumat juga merupakan waktu terbaik untuk mengumpulkan para lelaki Pulo dan mengadakan musyawarah.

Pada saat pergi ke laut, baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak, memiliki doa-doa yang mereka takzimkan khusus untuk keselamatan mereka dari bahaya di pantai maupun laut.

l t c

Page 32: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

32

Orang Pulo

di Pulau Karang

Doa-doa ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Saat anak-anak bermain dan mencari remis di pantai atau berenang di laut, biasanya membawa bekal doa yang diajarkan oleh ayah atau ibu mereka. Contohnya, agar tidak menginjak lepoh (ikan batu) yang dapat mengakibatkan bengkak dan nyeri, anak-anak diajarkan berdoa sebelum bermain di pantai. Isi doa ini terutama bacaan ayat-ayat suci Al-Quran disusul oleh pelafalan mantera

Selain itu, kehidupan beragama juga dibina melalui pusat-pusat kajian, yaitu bale-bale (balai-balai) atau rumah para guru ngaji. Berdasarkan Tuturan Pulo, dikisahkan upaya para da’i atau pendakwah seperti Mursalin bin Nailin (ne’ Aing) yang mengumpulkan anak-anak muda untuk belajar silat kemudian diakhiri dengan belajar mengaji (nderes) di bale-bale rumah. Hingga kini, kegiatan nderes masih dapat ditemukan saat sore hari dan setelah shalat magrib. Madrasah diniyah yang dirintis oleh ne’ Aing juga masih ada meski dengan jumlah siswa yang naik turun. Selain majelis-majelis kecil tersebut, terdapat bangunan masjid An Ni’mah yang secara geografis memang terletak di tengah Pulo Panggang dan sejumlah langgar/ musala, yang tersebar di sejumlah titik tempat.

Dalam tatap muka yang lain juga terungkap adanya ajaran hikmah yang tersimpan dalam pengajaran pencak silat yang diciptakan oleh ne’ Deli, pencak silat Alif. Hikmah yang dimaksud adalah pegangan yang kuat pada akidah dan syariat agama Islam. Pada generasi orang tua di Pulo masih ditemukan nasihat agar memegang dan mempelajari ilmu Alif, yaitu percaya pada yang satu. Kegelisahan generasi orang tua dengan terkikisnya ajaran hikmah ini terasa dalam beberapa tatap muka. Anak-anak muda masa kini agaknya lebih banyak bermain dan kurang kemauan untuk belajar ilmu hikmah.

Bahasa Dalam keseharian, orang Pulo menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dalam logat yang identik dengan

gaya Melayu, yang memberikan kesan dialek glottal. Orang Pulo memiliki artikulasi suara yang kuat, dengan struktur bahasa dan kosakata yang khas. Dalam beberapa kasus, muncul pertanyaan orang yang baru mengenal Pulo atau orang Pulo, tentang dari mana asal usul bahasanya. Secara etnis, suku Mandar dianggap paling tua, kemudian suku Banten, Bugis, Kalimantan, Sunda, dan Jawa.

Pembawaan bahasa yang nampak sebagai bahasa orang Pulo saat ini, terdiri dari empat gaya, yaitu gaya orang Kelapa yang kental dengan pengucapan vokal panjang dan bergelombang, orang Tidung yang masih dipengaruhi Tangerang pesisir, orang Untung Jawa yang masih kental kebetawian, dan Orang Pulo yang kental dialek Melayu. Dari keempat gaya tersebut, orang tetap menggunakan bahasa Indonesia dengan intonasi bergelombang, terdengar nyaring dan kemelayuan. Pulo sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, dilihat dari bahasa yang digunakan. Saat ini hanya Orang Pulo asal Bugis yang kekhasan penggunaan bahasanya masih bertahan.

l t c

Page 33: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

Jika anak-anak akan pergi ke laut yang dangkal untuk mencari kerang atau ikan yang kekeringan karena air laut surut atau bermain di air yang dangkal, mereka akan mengoleskan makanan yang biasanya

mereka bawa sambil mengatakan cek-ucek embol-mbol, anak ayam ketusuk lepo (sebanyak tiga kali), biasanya ditutup dengan ucapan wek si mewek minggir, gir, minggir agar terhindar atau tidak menginjak lepoh (ikan batu/scorpion fish) yang dapat mengakibatkan kaki membengkak, nyeri dan demam tinggi.

Jika akan mandi atau mencebur di laut, sebaiknya membaca Alam taro kaifafa ala Rob! ... Ini dipercaya agar terhindar dari celaka yang diakibatkan oleh binatang buas yang ada di laut atau ikan predator.

Setelah mandi baru menyelesaikan bacaannya, “ (Rob) buka…” ini dipercaya agar ikan buas atau predator tersebut dapat kembali mendapatkan makanan. Bacaan ini biasanya dipakai para nelayan.

Agar mudah menangkap kepiting, sebaiknya membaca Bus nambus, kepiting nambus, cucut belah tengah, gurita belah pinggir agar si kepiting tidak lari ke tengah dan segera bersembunyi ke dalam pasir.

Mantera ini biasanya dipakai oleh anak-anak dan ibu-ibu bersama anaknya saat menangkap kepiting.

Saat mencari kede-kede (binatang semacam siput kecil berkaki satu/ gastrophoda), diucapkan dengan mantera sapaan ka’ blungka’ keluar, air laut mau kering, kat blungkat keluar anak cucu belon makan. Agar kede-kede tersebut terlihat dan dapat diambil untuk dijadikan hidangan lauk. Kata kat blungkat berarti

para binatang bertongkat, memanggil siput kecil yang memiliki tongkat atau binatang berkaki satu.

Saat ngalir, atau kegiatan memancing cumi yang menggunakan perahu menyusuri terumbu karang dan tempat-tempat cumi bermain dan mencari makanannya, pemancing selalu memanggil dengan ucapan

Yosh ini adalah sapaan bagi si cumi yang diucapkan saat melemparkan umpan pancingan dari jenis ikan atau udang-udangan terbuat dari kayu atau fiber yang diberi timah. 33

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Jika anak-anak akan pergi ke laut yang dangkal untuk mencari kerang atau ikan yang kekeringan karena air laut surut atau bermain di air yang dangkal, mereka akan mengoleskan makanan yang biasanya

mereka bawa sambil mengatakan cek-ucek embol-mbol, anak ayam ketusuk lepo (sebanyak tiga kali), biasanya ditutup dengan ucapan wek si mewek minggir, gir, minggir agar terhindar atau tidak menginjak lepoh (ikan batu/scorpion fish) yang dapat mengakibatkan kaki membengkak, nyeri dan demam tinggi.

Jika akan mandi atau mencebur di laut, sebaiknya membaca Alam taro kaifafa ala Rob! ... Ini dipercaya agar terhindar dari celaka yang diakibatkan oleh binatang buas yang ada di laut atau ikan predator.

Setelah mandi baru menyelesaikan bacaannya, “ (Rob) buka…” ini dipercaya agar ikan buas atau predator tersebut dapat kembali mendapatkan makanan. Bacaan ini biasanya dipakai para nelayan.

Agar mudah menangkap kepiting, sebaiknya membaca Bus nambus, kepiting nambus, cucut belah tengah, gurita belah pinggir agar si kepiting tidak lari ke tengah dan segera bersembunyi ke dalam pasir.

Mantera ini biasanya dipakai oleh anak-anak dan ibu-ibu bersama anaknya saat menangkap kepiting.

Saat mencari kede-kede (binatang semacam siput kecil berkaki satu/ gastrophoda), diucapkan dengan mantera sapaan ka’ blungka’ keluar, air laut mau kering, kat blungkat keluar anak cucu belon makan. Agar kede-kede tersebut terlihat dan dapat diambil untuk dijadikan hidangan lauk. Kata kat blungkat berarti

para binatang bertongkat, memanggil siput kecil yang memiliki tongkat atau binatang berkaki satu.

Saat ngalir, atau kegiatan memancing cumi yang menggunakan perahu menyusuri terumbu karang dan tempat-tempat cumi bermain dan mencari makanannya, pemancing selalu memanggil dengan ucapan

Yosh ini adalah sapaan bagi si cumi yang diucapkan saat melemparkan umpan pancingan dari jenis ikan atau udang-udangan terbuat dari kayu atau fiber yang diberi timah.

ManteraManteraPulol t c

Page 34: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

34

Orang Pulo

di Pulau Karang

Mitos Pulo“apabila Ki Darah Putih mandi laut, seketika akan timbul gelombang dan angin kencang.”

Kutipan tersebut diingat oleh sebagian besar Orang Pulo, juga diucapkan oleh Muhammad Nur atau wak Nok dan Ahmad, saat menghadiri acara Focus Group Discussion

yang digelar di Pendopo Kelurahan Pulau Panggang pada hari Sabtu, 28 Januari 2012. Penggalan cerita tersebut menampilkan Keyakinan Pulo tentang kemampuan supranatural Darah Putih yang melebihi kekuatan fisik dan kemampuan beladiri yang dimilikinya. Legenda Darah Putih yang berkembang di Pulo mengisahkan kesaktian tokoh tersebut dan asal mula penamaan Pulo Panggang. Legenda ini dikenal oleh masyarakat Pulo dalam berbagai versi. Keragaman semacam ini seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun karena sifatnya yang tidak tertulis, “sejarah” berdasarkan folk/ tuturan orang-orang akan mengalami distorsi, sehingga bisa jadi jauh berbeda dengan kisah aslinya.

l t c

Page 35: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

35

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Tuturan Pulo memiliki kisah asal usul penamaan pulau karang ini sebagai Pulo Panggang. Sebagai buktinya, Orang Pulo dapat menunjukkan letak dari Karang Pemanggang. Cerita Pulo ini, kisah Karang Pemanggang, yang menyatu atau yang terpisah dari kisah Darah Putih, menandai kehausan berpengetahuan Orang Pulo atas asal usul kehadiran mereka menghuni pulau karang tersebut. Kisah ini bisa jadi akan berbeda dengan kejadian sejatinya, karena ketiadaan tulisan bersama yang dapat menjadi acuan Cerita Pulo. Namun, beragam versi dari legenda perlawanan Pulo terhadap ancaman Bajak Laut dapat menjadi penanda kuatnya rasa kepemilikan Orang Pulo terhadap legenda itu sendiri.

Kisah dari PenuturTokoh Darah Putih dan kronik dalam Cerita Pulo ini

dikenal baik oleh Orang Pulo, dari generasi tertua hingga yang masih sekolah dasar, yang pergi melaut maupun merantau ke Darat. Setidaknya, ini telah mendekatkan kami pada uraian antropolog James Danandjaja (1984) tentang batas-batas pengertian dari sebuah legenda berikut isi ceritanya. Kisah kepahlawanan Darah Putih yang menghadapi serangan perompak, bersama Orang Pulo terdahulu dan lahirnya nama Karang Pemanggang, dapat ditempatkan sebagai prosa rakyat yang tidak tertulis namun diyakini oleh Orang Pulo dari generasi ke generasi.

Tuturan Pulo menyebutkan tempat-tempat konkret yang dikaitkan dengan kisah dalam Cerita Pulo ini. Tempat Darah Putih dikuburkan masih dapat ditemukan di sebelah timur kantor Kelurahan P. Panggang, terawat dengan baik sebagai salah satu Makam Kramat Pulo dan diakui oleh

Pemerintah sebagai salah satu cagar budaya DKI Jakarta. Kapiten Saudin, salah satu tokoh pembantu dalam beberapa versi dari Cerita Pulo, memiliki kuburan yang terletak di sebelah timur bangunan SD. Tempat-tempat yang disebutkan oleh Tuturan Pulo, seperti Karang Pemanggang, Gusung Jari, Pulo (karang) Balik Layar, dan Pulo Semak Daun terletak di perairan sekitar Pulo, dan, saat cuaca cerah, dapat ditunjukkan arah lokasinya dari Pulo Panggang oleh Orang Pulo.

Figur dan atribut tokoh dalam Cerita Pulo ini disampaikan secara samar-samar, dalam tatap muka perseorangan, sehingga kami menangkap kesan para Penutur Pulo memerlukan waktu untuk bersepakat. Pada beberapa kesempatan, Orang Pulo tampak berhati-hati atau malah ragu saat memberikan gambaran tentang Darah Putih. Bahkan, mengangkat keberadaan dan kisahnya pada acara-acara formal dan publik terkesan sangat tidak dianjurkan. Kesan ini tampak jelas ketika pak Buang dan pak Magat tampil dalam acara Tuturan Pulo di sela-sela penyelenggaraan Festival Teater Jakarta bulan Oktober – November 2011. Pak Husein, dikuatkan juga oleh bang Rusli, pak Amrullah, dan Orang Pulo generasi 60-an lainnya masih teringat pada kejadian angin kencang yang tiba-tiba hadir saat pementasan drama Darah Putih yang disutradarai oleh pak Darwis, sekitar tahun 80-an. Orang Pulo hingga kini menerima kehadiran tokoh Darah Putih secara lisan, turun-temurun, dan terkadang melengkapi kisahnya dari sumber-sumber mimpi perorangan. Dalam beragam versi, Cerita Pulo ini menuturkan kisah yang sama, yaitu perlawanan Orang Pulo terhadap kedatangan perompak yang mengancam keberlangsungan Pulo, nun di masa lampau.

Tempat kejadian atau latar peristiwa disebutkan berlangsung di Pulo Panggang dan di tempat-tempat sekitar

l t c

Page 36: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

36

Orang Pulo

di Pulau Karang

perairan pulau karang tersebut. Karang Pemanggang, karang yang kini mengalami abrasi di bagian timur perairan selat antara Pulo Panggang dan Pulo Karya, untuk sementara menjadi penanda penting dan sentral dalam Cerita Pulo ini. Di karang ini, dikatakan sebagai tempat para perompak dipanggang atau tempat para perompak memanggang bagian tubuh sesamanya dalam rangka bertahan hidup. Di dekat Karang ini pula, terdapat Gusung Jari yang dikaitkan dengan tempat membuang jari-jemari Bajak Laut. Kemudian Pulo Balik Layar, yang sekarang tersisa sebagai gosong di perairan utara Pulo, disebutkan sebagai titik balik pada saat Bajak Laut memutar haluan untuk kembali setelah tidak berhasil menemukan letak Pulo Panggang. Selanjutnya Pulo Semak Daun, lebih ke utara dari posisi Pulo Balik Layar, menjadi ‘Markas’, tempat berkumpul dan bermukim para perompak sebelum menyerang Pulo Panggang.

Intisari kisah perlawanan penghuni pulau karang ini terhadap perompak yang disebut Bajak Laut diawali sejak Orang Pulo mengetahui ancaman kehadiran mereka di wilayah perairan Pulo, kemudian mempersiapkan perlawanan dengan cara mengumpulkan orang sakti dan Tokoh Pulo pada masa itu. Perlawanan tidak dilakukan secara massal dan berakhir ketika Darah Putih mengerahkan kemampuan supranaturalnya menutupi pandangan Bajak Laut sehingga tidak mampu mengenali kembali letak Pulo Panggang, yang tadinya mereka tuju. Dalam versi ini, wajar jika kejadian berlangsung di luar Pulo Panggang, tanpa ada pertempuran fisik, sehingga lahir penamaan Karang Pemanggang yang terletak di luar garis pantai Pulo. Penamaan ini masih mengundang tanya bagi kami. Kenapa ada tempat yang bukan Pulo Panggang yang memiliki arti tempat pemanggangan? Kenapa Orang Pulo memilih nama pulau tempat mereka bermukim dengan sebutan Panggang?

Makna Kisah Pulo di atas dapat ditarik pada suatu masa ketika perairan Pulo Seribu dilalui untuk kegiatan perdagangan atau ketika dinamika geopolitik Laut Jawa dan sekitarnya, Selat Sunda dan perairan di pesisir timur Sumatera tengah berpusar menguasai gugusan Pulo Seribu. Dengan kata lain, terdapat kelompok-kelompok bersenjata di Pulo Seribu, baik yang berafiliasi

l t c

Page 37: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

37

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

ataupun mandiri terhadap pusat-pusat politik dan ekonomi setempat atau asing, yang berkeliaran di wilayah ini dengan beragam motif dan kondisi. Kita akan memiliki rentang diakronik yang sangat panjang; Laut Jawa telah menjadi lintasan purba sejak peristiwa diaspora penutur Austronesia—moyang dari rumpun bahasa Melayu—pada 5.000 tahun yang lalu, dan tetap ramai dilintasi pada masa berkembangnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha sampai dengan hadirnya pusat-pusat ekonomi dan politik bercorak Islam, hingga memasuki jaman kolonisasi Nusantara oleh orang Eropa.

Tawan karang adalah hukum laut yang tua di Nusantara, jika ada kapal karam maka pelaut berikut muatan kapal menjadi milik yang menemukan. Istilah Bajak Laut Melayu diciptakan oleh orang Eropa ketika di perairan Nusantara bermunculan perlawanan secara sporadis terhadap hegemoni orang Eropa. Karaeng Galesong, pemimpin laskar laut Kerajaan Gowa masa Sultan Hasanudin, dikenal sebagai Bajak Laut Bugis yang ditakuti oleh orang Belanda karena merajalela di perairan Laut Jawa sesudah Perjanjian Bongaya (1667). Artinya, Bajak Laut dalam Cerita Pulo dapat dikatakan tidak begitu jelas. Jika Darah Putih keturunan Mandar, sementara Bajak Laut yang dimaksud bisa jadi dari Bugis, maka secara simbolik Cerita Pulo ini adalah perang saudara di laut. Persekutuan-persekutuan tua antarpengarung laut perlu juga ditelusuri, agaknya. Dari Cerita Pulo yang sederhana ini, kita hanya dapat menarik makna simbolik bahwa pada suatu waktu, Orang Pulo harus bersatu menghadapi ancaman dari luar.

Orang Pulo mengenal kedua legenda di atas—Darah Putih dan Karang Pemanggang—dalam berbagai versi cerita. Selain yang diceritakan para Penutur, berbagai versi tersebut dapat ditelusuri melalui laporan-laporan penelitian terdahulu tentang Pulo Panggang—baik di bidang sosial maupun eksakta—yang pasti akan menyajikan kedua legenda tersebut sebagai satu bagian dari deskripsi lokasi penelitian. Akibat ketiadaan rujukan tertulis tentang kedua legenda ini, kerap ditemukan narasi yang bersumber dari cerita lisan masing-masing narasumber penelitian. Cerita asal usul Pulo dalam berbagai versi ini dinilai sah karena ketiadaan sumber rujukan tertulis sehingga seorang peneliti berhak menggunakan salah satu versi. Kami melihat keragaman versi ini sebagai kenyataan yang mencerminkan kuatnya kepemilikan Orang Pulo terhadap legendanya dan kukuhnya keyakinan mereka untuk memegang tradisi Cerita Pulo. Munculnya versi dari suatu legenda jamak terjadi di banyak tempat dan ini selaras dengan sinyalir Danandjaja tentang distorsi terhadap sejarah bersama.

l t c

Page 38: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

38

Orang Pulo

di Pulau Karang

Ragam Cerita LegendaKisah Pulo yang sampai ke Muchtar (1960)

memperkenalkan tokoh Panglima Djagung dan tokoh Kapiten Dulwahab yang memerangi perompak dan baru kemudian muncul penamaan Karang Pemanggang. Dalam kisah yang sampai ke Muchtar dibedakan antara kisah penamaan Pulo Panggang dengan kisah Darah Putih. Kisah Darah Putih dikaitkan dengan keberadaan seorang tokoh sakti dan sangat dihormati Orang Pulo; dibuktikan dengan adanya makam di sebelah bangunan SDN 01/03 P. Panggang. Selanjutnya, disebutkan beberapa nama pulau walaupun tidak dijelaskan keterkaitan dengan Kisah Pulo, yaitu Pulo Putri (tempat seorang putri penguasa), Pulo Belokan (tempat tawanan), Pulo Beras (tempat menimbun beras), Pulo Gusung Sekati (tempat pembuangan daging hasil pemanggangan). Kedua kisah terpisah yang dinarasikan sederhana ini menampilkan kesamaan asal tokoh, yaitu dari suku Bugis.

Peran Darah Putih yang tidak diperinci oleh Muchtar, selanjutnya ditemukan pada laporan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta tentang survei kesejarahan dan sosial budaya di Kel. P. Panggang pada tahun 1984 (Mutholib et al., 1984 h. 12-13). Gusung (Pulo) Balik Layar diceritakan sebagai lokus kejadian ketika para perompak tidak dapat menemukan lokasi Pulo Panggang disebabkan kemampuan Darah Putih menyembunyikan Pulo dari pandangan perompak. Kisah Karang Pemanggang tetap diceritakan terpisah, dan berkesan dianggap sebagai kisah sesudah masa Darah Putih, tanpa ada nama tokoh, melainkan upaya kolektif Orang Pulo melawan serangan perompak. Pada saat melaksanakan inventarisasi situs-situs arkeologi di Kepulauan Seribu, Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI

Menurut cerita rakyat Darah Putih datang dari Sulawesi dan menetap di Pulau Panggang sebagai seorang panglima. Mengapa dianggap panglima, karena Darah Putih merupakan seorang pendekar penyelamat penduduk Pulau panggang dari serangan bajak-bajak laut. Konon kabarnya di perairan kepulauan Seribu berkeliaran para bajak laut yang selalu menggangu keamanan dan ketentraman penduduk di kepulauan Seribu. Pada suatu hari segerombolan bajak laut datang menghadang Pulau Panggang. Tetapi atas kesaktian Darah Putih maka para bajak laut tidak dapat melaksanakan niatnya karena sekeliling pulau Panggang menjadi gelap gulita. Para bajak laut hanya dapat mencapai sebagian pulau daerah sekitar Pulau Panggang saja. Oleh para bajak laut pulau Panggang tampak tertutup dengan kabut dan terpaksa mereka kembali. Tempat para bajak laut tadi kembali disebut Pulau Gosong Balik Layar,

terletak di sebelah Selatan Pulau Panggang.

Sedangkan nama Pulau Panggang sendiri ada hubungannya dengan peristiwa peperangan antara penduduk Pulau Panggang dan para bajak laut. Di dekat Pulau Panggang terdapat tempat yang disebut Karang Pemanggang. Ditempat ini pernah dihancurkan gerombolan bajak laut, bahkan ada yang dipanggang oleh penduduk dalam peristiwa ini. Tempat ini merupakan fron terdepan dalam menghadapi serangan bajak laut. Karena tempat ini merupakan bagian dari pulau Panggang maka peristiwa pemanggangan ini menjadikan pulau ini disebut Pulau Panggang. Namun sangat disayangkan penduduk setempat tidak dapat memberi jawaban atas pertanyaan, nama semula Pulau Panggang

sebelum terjadi peristiwa ini. Mutholib et al. 1984. Laporan Arkeologi No. XXIX. Dinas Museum

dan Sejarah DKI Jakarta. h. 12-3:

l t c

Page 39: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

39

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

kekalahan perompak, sehingga dimusnahkan dengan api, dan dibakar harta bendanya di Karang Pemanggang. Sementara, versi kedua menceritakan kesaktian Darah Putih yang menyebabkan kapal perompak karam di suatu pulau karang sehingga para perompak memakan daging temannya yang telah dipanggang untuk bertahan hidup.

Cerita Pulo menekankan kesamaan pola, yaitu perlawanan Orang Pulo di masa lalu menghadapi ancaman serangan perompak, Bajak Laut yang tidak diketahui identitasnya. Perompak mungkin datang dari arah barat laut, melihat kedudukan Gusung Balik Layar terhadap Pulo, atau dari arah timur, jika menimbang terdamparnya perompak di Karang Pemanggang. Asal-usul tokoh yang menolong Orang Pulo juga mencerminkan penjuru kedatangan orang-orang ke Pulo; dari Daratan, yaitu Pesisir Utara Jawa bagian barat (Ki Bonot, Tubagus Zen), pengarung lautan dari Timur yang mungkin Bugis, Makassar, atau Mandar (Darah Putih), dan pedagang dari perairan Selat Malaka (Kapiten Saudin dan istrinya).

Alur Cerita Pulo ini menyediakan alternatif, yaitu kontak fisik antara Orang Pulo dan Bajak Laut atau kegagalan perompak menjangkau Pulo. Lokus kejadian pun memberikan tempat-tempat, Pulo sendiri atau tempat-tempat di perairan sekitarnya, yaitu Karang Pemanggang, Gusung Balik Layar, Pulo Semak Daun, dan Pulo Cina. Dalam beberapa versi diungkapkan tentang pengibaran bendera dari kain atau bahan karung sebagai kode untuk menghindari ancaman perompak. Dalam tatap muka dengan Pak Budin dari Pulo Pramuka, kami memperoleh cerita lebih terperinci tentang penggunaan bendera yang dimaksud. Darah Putih meminta Orang Pulo mengibarkan bendera ini

Makam Darah Putih dikeramatkan oleh penduduk karena dipercaya bahwa Darah Putih merupakan salah satu pejuang dari Pulau Panggang yang diyakini memiliki kekuatan dan kesaktian untuk mengusir bajak laut. Menurut cerita masyarakat, Darah Putih datang dari Sulawesi dan menetap di Pulau Panggang sebgai seorang panglima karena merupakan seorang penyelamat penduduk Pulau Panggang dari serangan bajak laut. Konon kabarnya di perairan kepulauan seribu banyak berkeliaran para

bajak laut yang selalu menganggu ketentraman. (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Prov. DKI Jakarta. 2004. Inventarisasi Situs-Situs Arkeologi di DKI Jakarta. Dinas

Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. h. 186.)

Jakarta (2004) hanya menyebutkan peran ketokohan Darah Putih dalam kaitannya dengan Makam Kramat Darah Putih dan tidak menyebutkan asal-usul penamaan Pulo.

Penyatuan kisah Darah Putih dan Karang Pemanggang muncul dalam penelitian Widhyanto et al. (2009) pada bagian Sejarah di Pulau. Versi pertama merujuk pada narasi lain, Hermawan et al. (2003) sebagai alternatif terhadap kisah yang diceritakan oleh Orang Pulo pada saat penelitian tahun 2009 berlangsung. Garis merah cerita dalam kedua versi adalah Darah Putih menolong Orang Pulo menghadapi serangan perompak dan Karang Pemanggang menjadi tempat akhir dari nasib penyerang yang dikalahkan melalui kesaktian Darah Putih. Perbedaan kedua versi adalah ada tidaknya pertempuran fisik antara Orang Pulo dan Bajak Laut serta kemunculan tokoh-tokoh pendamping Darah Putih. Dalam versi pertama, pertempuran Orang Pulo bersama para tokoh penolongnya melawan Bajak Laut berakhir dengan

l t c

Page 40: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

40

Orang Pulo

di Pulau Karang

untuk menyambut kedatangan perompak yang berikutnya agar Bajak Laut tersebut mengenali wilayah/ penduduk yang tak boleh mereka rampok. Dalam kesempatan yang sama, Pak Budin juga menyampaikan cerita yang diperoleh dari sejumlah Orang Tua di Pulo tentang adanya dua masa kedatangan perompak yang berbeda, dari arah barat dan dari arah timur Pulo.

Bagian terpenting dalam Cerita Pulo tentunya tokoh Darah Putih yang terus menerus muncul dalam tradisi tuturan Orang Pulo. Siapakah tokoh misterius Darah Putih? Ia selalu dikaitkan dengan suku-suku pengarung lautan yang masyhur dari bagian timur Nusantara, baik Bugis atau Mandar. Tokoh ini menempati kedudukan khusus dalam Ingatan Bersama Pulo dan memiliki peran penting bagi Orang Pulo pada suatu masa. Di masa mendatang, dapat diduga akan lahir versi-versi baru, seiring berkembangnya masyarakat di Pulo. Menyitir Danandjaja, legenda dapat tercipta yang baru, apabila seorang tokoh, tempat atau kejadian dianggap berharga oleh kolektifnya untuk diabadikan menjadi legenda. Namun, tidak berarti legenda tidak memiliki pola-pola tradisional. Pola-pola ini yang menyebabkan legenda yang kelihatannya baru tetap mirip dengan legenda lama.

Utuh atau terpotong-potong dan sedikit bercampur-aduk, kami menemukan kesamaan garis cerita pada karya-karya akademik dari penelitian tentang Pulo Seribu atau pada laman-laman web sebagai bagian liputan jurnalistik atau blog. Darah Putih, dengan atau tanpa Karang Pemanggang, seorang diri atau ditambah tokoh-tokoh lain, dipisahkan atau diubah, tetap menampilkan kisah perlawanan yang putih melawan yang hitam. Temuan kami dalam karya akademik atau laman web menunjukkan bahwa

Komunitas pertama yang menempati P. Panggang adalah kalangan pelaut dan pedagang Islam sekitar abad ke-17, ketika perdagangan Nusantara mengalami puncaknya. Pada masa itu, arus perniagaan utama adalah poros Makassar-Banten, sehingga etnis yang banyak berpengaruh berasal dari daerah tersebut, hal ini ditunjukan dengan dikenalnya tokoh-tokoh seperti kapiten Abdul Wahab dan Kapiten Saudin dari banten serta adanya makam

Darah putih yang berasal dari mandar (Sulawesi Selatan).Nama P. Panggang sendiri berasal dari kisah kepahlawanan Darah Putih, tokoh yang berasal dari Mandar (Sulsel) yang mengalahkan kegananasan bajak

laut dari negeri matahari terbit (kemungkinan daerah timur seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku).Sedangkan versi lain menyatakan bahwa nama pulau Panggang berasal dari ‘karang pemanggang’ dimana terdapat atoll atau gugusan pulau karang di depan Pulau Panggang sekarang. Dalam versi ini pertempuran yang diceritakan di atas (h.6) bukanlah pertempuran yang bersifat fisik, namun lebih bersifat psikis. Dimana Darah Putih dengan kesaktiannya berhasil ‘menyembunyikan’ pulau Panggang dari pengelihatan lawan, sehingga lawan terjebak di pulau karang dan perahunya karam. Dalam versi ini para bajak laut melakukan kanibalisasi terhadap kawannya yang paling lemah: memakan daging kawannya dengan cara memanggang mereka. Dalam versi ini pertempuran tidak dihadapi secara langsung oleh masyarakat pulau Panggang. (dirujuk

dari penuturan Bapak Ja’far dan habib Zen, wawancara langsung tanggal 29 Oktober 2009).

(Widhyanto et al. 2009. Aspek Budaya Pulau Panggang. P4W IPB)

l t c

Page 41: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

41

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

kisah-kisah yang diperoleh dari perseorangan di Pulo memiliki beragam motif penyampaian atau keterbatasan informasi terhadap legenda Darah Putih dan penamaan Panggang untuk Pulo. Satu-satunya yang bertentangan adalah versi yang sampai ke Ridwan Maulana (2009: h. 24), yang menceritakan Darah Putih sebagai pemimpin perompak dan Pulo Panggang memperoleh namanya karena dipergunakan sebagai tempat memanggang korban perampokan laut.

Darah PutihSelain menelusuri kembali Cerita Pulo dalam berbagai

Tuturan Pulo, kami memperoleh kisah Darah Putih dari wak Nok. Kisah ini tidak mengaitkan keberadaan Darah Putih dengan asal-usul penamaan Pulo. Dalam tradisi tuturan yang dapat dirujuk hingga kini, Darah Putih dikisahkan berasal dari Bugis atau Mandar. Tokoh ini digambarkan sebagai orang sakti yang mampu mengusir Bajak Laut. Penceritaan kembali para penutur tentang Darah Putih, baik yang sampai dalam bentuk tertulis maupun lisan, masih memperlihatkan keberagaman versi. Diversifikasi semacam ini merupakan fenomena yang khas terjadi pada cerita yang digolongkan sebagai legenda.

Berikut ini, walaupun penutur tidak menyebutkan nama Darah Putih, namun pertanyaan yang ditujukan kepadanya mengenai Darah Putih.

“Ada seorang pelaut dari daerah Sulawesi yang sedang berlayar namun di tengah perjalanan kapalnya hancur. Pelaut itu pun terombang-ambing di tengah laut lepas. Saat itu dia berdoa. Apabila dia harus meninggal di tengah laut, dia siap. Atau jika memang dia diijinkan hidup, kirimkan pertolongan. Seketika itu seekor ikan talang-talang, ikan balong-balong, dan ikan besar mendekati dia. Melihat ketiga ikan tersebut, sang pelaut pun kembali berdoa. Jika ikan-ikan ini hendak memakannya hidup-hidup, dia siap. Namun ternyata ikan-ikan itu diam saja, tidak memakan pelaut itu. Malahan ikan yang besar menurunkan punggung badannya seakan menyuruh pelaut itu untuk menungganginya. Melihat tingkah ikan itu, pelaut pun langsung naik ke atas punggung ikan besar.

Ikan itu berenang membawa pelaut itu ke sebuah

l t c

Page 42: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

42

Orang Pulo

di Pulau Karang

pulau yang bernama negeri Pua-Pua. Dia terdampar di pantai negeri tersebut. Di negeri itu ternyata terdapat penduduk setempat. Dan mereka melihat pelaut tadi yang terdampar dan seluruh badannya diselimuti oleh kotoran laut dan karang. Penduduk itu membawa pelaut dan membersihkan kotoran yang menempel di badan pelaut itu. Sebenarnya, penduduk membersihkan badan pelaut itu dengan tujuan badan pelaut itu akan dimakan karena memang penduduk Pua-Pua itu adalah kanibalis. Setelah kotoran yang menempel di tubuh pelaut dibersihkan, pelaut yang mulai sadar itu dipersembahkan kepada pemimpin negeri Pua-Pua.

Di tengah penduduk dan pemimpin negeri Pua-Pua itu, sang pelaut ditaruh telentang, sang pemimpin memulai ritual untuk memakan daging pelaut dengan terlebih dahulu menarik kaki pelaut agar patah. Namun, yang terjadi kaki sang pelaut tidak patah juga. Pemimpin dan penduduk negeri Pua-Pua mencoba menarik kaki lainnya namun tidak juga berhasil. Mereka pun pindah menarik salah satu tangan sang pelaut, lagi-lagi tidak berhasil. Begitu juga tangan sebelahnya.

Melihat hal ini pemimpin berpikir bahwa orang yang hendak ia makan ini bukanlah orang sembarangan tapi merupakan orang sakti. Akhirnya pelaut itu tidak jadi dimakan oleh mereka. Tubuh pelaut dikembalikan ke laut dan pemimpin berkata, “Hei, orang sakti! Jika satu hari kami berada di tempatmu, hendaklah keturunanmu setelah ini memancang bendera karung. Maka kami tidak akan menyerang pulau tersebut.”

Lalu, setelah lama, pelaut itu tenggelam di dalam laut dan tubuhnya sudah banyak ditempeli karang, kembalilah si ikan besar, ikan talang-talang, dan ikan balong-balong menghampiri dan menyelamatkan pelaut itu. Pelaut itu pun berkata, “Wahai keturunanku, janganlah kau memakan ikan talang-talang dan ikan balong-balong karena ikan ini telah menyelamatkan hidupku.”

Persamaan yang muncul pada cerita ini dengan cerita Darah Putih yang sampai ke Muchtar (1960) dan yang dituturkan pak Budin, yaitu kode bendera karung. Pemasangan bendera karung ini merupakan siasat Darah Putih untuk mengusir bajak laut. Tuturan wak Nok juga dapat dipergunakan untuk menjelaskan asal-usul perompak, yaitu Negeri Pua-Pua. Meski demikian, pantangan yang diberikan oleh sang tokoh terhadap keturunannya sendiri bertentangan dengan kenyataan di Pulo. Kedua jenis ikan, ikan talang (cuwe) dan balong (kerapu), merupakan sumber daya kehidupan yang sangat bermanfaat bagi Orang Pulo. Baru kemudian didapatkan informasi bahwa pantangan serupa juga dimiliki oleh salah satu keluarga keturunan ne’ Deli. Suatu ketika ada kejadian salah satu keturunan ne’ Deli memakan ikan balong sehingga kulit mereka bersisik dan belang-belang. Jika tak meyakini kekuatan sebuah pantangan, kita hanya akan beranggapan ini peristiwa alergi. Namun, si penderita tersebut percaya terkena tulah dari pantangan ini, sehingga kemudian memohon maaf kepada leluhur dan berdoa kepada Allah agar disembuhkan dan dimaafkan perbuatannya. Di balik pantangan ini, dapat ditarik pengetahuan lokal yang penting, yaitu melindungi ekosistem laut, khususnya ikan, karena di situlah sumber kehidupan manusia.

Seluruh Cerita Pulo di atas hanya mengandung kisah-kisah sederhana dan tanpa kedalaman. Jika disimpulkan, terdapat dua serangan perompak dengan mempertimbangkan mulut selat di antara Pulo Panggang dan Pulo Karya, yaitu sisi Barat dan Timur (sesuai musim, Barat dan Timur). Kisah Bajak Laut yang pertama adalah serangan dari timur yang berakhir di Karang

l t c

Page 43: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

43

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Pemanggang dan serangan berikut dari barat, yang berakhir di Karang Balik Layar. Dari Barat, bisa jadi berasal dari arah perairan Bangka-Belitung (Sumatera) dan Banten. Dari timur bisa jadi dari Sunda Kelapa, pesisir utara Jawa bagian timur, Sunda Kecil, dan Indonesia Timur. Kisah berlanjut dengan peristiwa Darah Putih memanggang perompak dari Timur di Karang Pemanggang, mengaburkan orientasi perompak dari Barat di Karang Balik Layar, dan berwasiat menggunakan bendera kain jika ada kelompok pelaut bersenjata yang datang dari Barat atau Timur.

Zaman Bajak LautTradisi Tuturan Pulo yang mengisahkan Cerita Pulo

seputar Darah Putih dan Karang Pemanggang membawa kami memahami karakter Orang Pulo yang unik, dengan kreativitas dan keyakinan untuk membangun sendiri sejarahnya, melalui cerita lisan. Di sisi lain, kami mempelajari makna sejarah yang mampu digali dari Cerita Pulo.

Kapankah zaman perompak berkeliaran di perairan Pulau Jawa dan melakukan penetrasi ke pulau-pulau karang dari Pulo Seribu? Denys Lombard menyebutkan maraknya ancaman perompakan di perairan Asia Tenggara dalam kajiannya tentang masa kedatangan Eropa ke Nusantara (1979: h. 231-250). Keberadaan Bajak Laut Melayu, pada kurun waktu antara abad ke-17 sampai ke-19, lekat dalam ingatan orang Eropa. Akan tetapi, jauh sebelum kolonisasi di kawasan kepulauan Indo-Malaya oleh orang Eropa, kawasan ini telah menjadi bagian dari pertarungan hegemoni pusat-pusat politik dan ekonomi yang lebih tua. Orang Nusantara dan Orang Eropa, adalah perompak bagi yang lain dan cara pandang ini juga berlaku untuk kelompok-kelompok politik

atau niaga di antara mereka. Bajak Laut Melayu sensu stricto Lombard datang dari arah barat, mereka juga berhubungan dengan perompak-perompak yang diceritakan oleh Adrian B. Lapian dalam Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut (2009).

Setidaknya pertarungan itu berlangsung semenjak masa Sriwijaya, disusul oleh Majapahit, selanjutnya terjadi pertarungan dan persekutuan antarpusat politik bercorak Islam di Nusantara—Banten dan Mataram, upaya penaklukan Banten terhadap Palembang dan Kalimantan, pemberontakan Lampung atas Banten, kejatuhan Malaka dan pergeseran pusat politik ke Kepulauan Riau-Lingga. Pada masa akhir kemandirian pusat-pusat kekuasaan pribumi terhadap politik kolonial orang Eropa, konsepsi Darah Putih tampaknya menyebar di wilayah inti penutur Melayu, di Semenanjung Melayu, pesisir dan perairan bagian timur Sumatera, Kalimantan, dan Lampung. Penanda keningratan Melayu ini meninggalkan jejak di beberapa tempat dalam bentuk makam-makam Islam dan cerita rakyat.

l t c

Page 44: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

44

Orang Pulo

di Pulau Karang

Ihwal Pulo“Pulo Panggang masih muda usianya....”

(Bang Mamok, pakar karang asli Pulo)

Saat Lebaran Haji bulan November 2011, anak dan cucu pasangan Husni dan Rumenah berkumpul di rumah tabon di Pulo Panggang. Saat anggota keluarga ini

bercengkerama, bang Mamok, salah satu menantu mereka, dengan antusias menanyakan asal bongkah karang yang tergeletak di samping rumah tetangga mereka, pak Jarwanto. Rupanya, sang tetangga tengah membuat sumur air dengan cara mengangkat bongkah-bongkah karang itu sampai penggalian berhenti pada kedalaman sebelum dua meter dan air tanah tetap tidak ditemukan. Bang Mamok, sambil mengamati bongkahan tersebut, berujar karang tersebut mati pada saat masih berada di dalam air laut. Dia menyimpulkan karang-karang ini merupakan bagian dari dasar Pulo Panggang. Untuk itu, bang Mamok bisa menjelaskan dengan baik, Pulo dimulai dengan kehidupan (binatang) karang yang menyediakan wadah bagi pembentukan gosong yang selanjutnya memungkinkan munculnya daratan pulau. Saat cerita ini bergulir, pulau karang ini berada pada masa pemerintahan berdaulat di negara kepulauan terbesar, Republik Indonesia. Salah satu ancaman pemanasan global bagi Pulo adalah karamnya pulau karang ini. Di usianya yang masih muda, ia terancam karam.

Saat itu, kami menyaksikan berkumpulnya sebuah keluarga dengan anak dan cucu yang tiba dari Pulo Pramuka dan tempat-tempat di luar Pulo, baik dari Darat atau dari pulau-pulau bagian Pulo Seribu. Tiga generasi berkumpul, dengan rentang 81 tahun antara sang kakek dan cucu termudanya. Keluarga ini berakar pada generasi kedua yang

l t c

Page 45: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

tiba di Pulo dari Darat, Cilegon. Perhitungan kasar sekitar seratus tahun untuk empat generasi keluarga ini. Ihwal tentang Pulo adalah percobaan historiografis untuk merangkum kisah dari masa ke masa ketika kelompok manusia melintasi perairan Pulo Seribu untuk sekadar singgah, saat penghunian telah membentuk permukiman, masa pembentukan masyarakat di Pulo, hingga penguatan identitas Orang Pulo.

Kami menggunakan Jakarta sebagai konteks kawasan untuk merangkai ihwal pulau karang ini. Tidak semata karena Jakarta menjadi pengatur terkini administrasi pemerintahan untuk Pulo Seribu. Tapi, Jakarta yang purba sampai yang megapolitan adalah Darat yang kami percaya setidaknya memberi wajah masa kini dari dimensi alam dan sosial budaya Pulo. Bang Yos, Gubernur DKI Jakarta periode 1997 – 2007, saat Indonesia berusaha keluar dari krisis multidimensi milenium, dalam sambutannya meminta agar Sejarah Perkembangan Kota Jakarta dari Uka Tjandrasasmita dkk. (2000) dimanfaatkan oleh masyarakat Jakarta. Buku ini membantu kami melihat Jakarta dari yang purba sampai megapolitan. Namun, kami juga mencoba memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan yang disusun oleh Kees Grijns dan Peter J.M. Nas dalam Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural (2000). Pengetahuan dari hasil penelitian dan kajian sebelum ini masih terbatas namun kami rangkai sebagai lintasan peristiwa.

Pulo Sebelum Kalapa(ca. 4.500 tahun yang lalu s.d. abad ke-11 M)

“Ada Padasan Masjid, itu kolam dari cekungan karang.”(Bu Mahar, aktivis lingkungan di Pulo)

Kami menggunakan tanggapan ini sebagai data awal untuk mencari kedangkalan permukaan Pulo. Jika Pulo masih muda usianya, kapankah pulau karang ini layak huni dan apa yang tersedia bagi orang jika perlu singgah, apalagi menetap? Inilah yang membawa kami pada zaman purba dari Jakarta. Sepertinya, Pulo sebelum Kalapa sudah memungkinkan untuk disinggahi tetapi belum memiliki daya dukung untuk penghunian. Melintasi Pulo Seribu pada masa itu bisa jadi sekadar melewati perairan dangkal dengan karang dan gosong, bahkan kapal terancam karam karena tidak mampu

45

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 46: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

46

Orang Pulo

di Pulau Karang

menandai kedalaman perairan. Informasi cekungan karang di sebelah selatan Masjid menandai tipisnya ketebalan lapisan tanah pengisi daratan pulau karang ini. Sebagaimana foto koleksi pak Jailin yang merekam kegiatan “ABRI Masuk Desa” tahun 1980-an: jalan di depan Kelurahan masih ditandai dengan tonjolan dari bongkah-bongkah karang.

Meninjau karya Th. Verstappen (1953), daratan pulau di Pulo Seribu mulai muncul setelah terbentuknya Teluk Jakarta, atau paling tidak setelah 5.000 tahun yang lalu (Surjomihardjo, 1977: h. 13). Wajah masa kini Teluk Jakarta merupakan “endapan puing berkipas” yang dibuat oleh erosi air, terutama oleh sungai-sungai yang bermuara di perairan utara Darat, mengisi Basin Ciputat dan selanjutnya membentuk Dataran Rendah Jakarta dan Teluk Jakarta. Antara 10.000 sampai 7.000 tahun yang lalu (Tomascik, 1997), terumbu karang mulai membungkus bukit-bukit dari dataran tinggi berumur Plestosen yang berdiri di atas Platform Seribu. Peristiwa ini berlangsung sesudah Zaman Es Dunia yang terakhir, pada saat permukaan air laut berada di ketinggian dua sampai tiga meter di atas permukaan laut masa kini. Terumbu karang ini tumbuh tinggi

semenjak paling tidak 8.000 sampai 5.000 tahun yang lalu, dan mulai tumbuh melebar semenjak 4.500 tahun yang lalu. Sebuah penanggalan karbon (14C) yang diambil dari karang keras di P. Putri Besar (Kel. P. Kelapa Kec. Kep. Seribu Utara), menunjukkan umur 4.400 ±100 tahun yang lalu (Park, 2010: h. 67). Goba dan Gusung Panggang di P. Panggang mungkin menjadi salah satu contoh dari uraian Thomas Tomascik tentang pembentukan endapan pasir di atas karang dan gosong yang terjadi di bagian selatan Pulo Seribu.

Selanjutnya, kapankah ekosistem hutan pantai terjadi, yang mungkin didahului oleh ekosistem hutan bakau? Batu karang menjadi lapuk dan kegiatan abrasi air mengawali terbentuknya daratan. Humus dan tanah akan tercipta ketika tumbuhan dan pohon-pohonan menjadi lanskap pulau karang, dan memungkinkan adanya air tanah yang tawar. Satrio (2009) menemukan air tawar di Pulo berada pada kisaran kedalaman 150 meter, namun telah mengalami intrusi air laut. Air tawar ini paling tidak berumur kurang lebih 20.000 tahun yang lalu. Air tawar dan kayu keras adalah salah satu kebutuhan mutlak untuk mengarungi lautan pada saat teknologi pelayaran masih mengandalkan perahu

dari kayu dengan kayuh dan layar. Mungkinkah Pulo ada ketika

para pengarung tua lautan melintasi perairan Pulo Seribu seiring dengan menyebarnya para penutur Austronesia? Tidak terdapat penanda material di Pulo sendiri yang dapat membantu kami mengetahui kapan Pulo layak dihuni.

“Biung musti ada kalau mau buat kapal.” (Pak Rachmat, ahli kapal dari Pulo)

Di ujung Barat dan Timur dari

Pulo, juga di Jembatan, masih dapat ditemui Orang Pulo membuat perahu kayu. Biung, perkakas bertepi lebar dan tajam berbahan logam, lazim dan wajib dipergunakan Orang Pulo ketika membuat perahu dari kayu. Beliung,

l t c

Page 47: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

47

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

bentuk yang mirip dengan biung, dari pecahan batu yang diupam lazim ditemukan di daerah perbukitan di wilayah Tangerang dan Bogor dan di sekitar aliran sungai yang bermuara di sekitar Teluk Jakarta dan di bagian barat dari Pesisir Utara Laut Jawa, bersama perkakas batu jenis lainnya, wadah tanah liat, benda-benda logam dan perhiasan (Tjandrasasmita, 2000: hal. 7-8 atau Djafar, 2010: h. 123-6). Perkakas batu dan wadah tanah liat tersebut sering dihubungkan dengan budaya prasejarah bercorak neolitik yang membawa dan mengembangkan tradisi bercocok-tanam di Asia Tenggara pada paling tidak 5.000 tahun yang lalu. Setidaknya sesudah 3000 tahun yang lalu (Bellwood, 2000: h. 298-341), telah berlangsung pembukaan hutan di Jawa dan Sumatera. Beliung, artefak prasejarah ini, yang dibuat dari cangkang Kima - Tridacna gigas atau Hippopus hippopus - (Bellwood, 2000. h. 279), sering dikaitkan secara arkeologis sebagai perkakas yang cocok untuk mengolah batang kayu keras. Pada 1000 SM, hutan-hutan di Jawa dan Sumatra telah dirambah secara massal oleh manusia dan tepian-tepian sungai yang bermuara di sekitar Teluk Jakarta sepertinya telah dipenuhi kegiatan-kegiatan dari pengolahan kayu hasil hutan.

Sesudah masa di mana kehidupan pesisir bercorak neolitik dan perundagian logam menyebar dari muara Sungai Cisadane sampai dengan muara Sungai Citarum (Djafar, 2010: h. 123-6), nampaknya kehidupan di pesisir pantai berlanjut dengan ciri India. Di Kampung Tugu daerah Koja di Jakarta Utara, ditemukan batu bertulis Prasasti Tugu yang menandai peristiwa peresmian saluran sungai Gomati dan Candrabhaga pada tahun ke-22 pemerintahan Pûrnawarman dari Kerajaan Tãrumãnagara. Pada abad ke-5 sampai abad ke-7, Tãrumãnagara merupakan pusat politik dan perdagangan bercorak India di bagian barat Pulau Jawa, meliputi tiga provinsi Indonesia masa kini. Hasan Djafar (2010: h. 26), meyakini bahwa kompleks percandian Batu Jaya di Karawang menandai adanya pusat kegiatan perdagangan internasional di bagian barat Pesisir Utara Jawa, berpusat di sekitar muara sungai Citarum. Setelah abad ke-7, Tãrumãnagara kemungkinan berada di bawah pengaruh pusat lain dari seberang, Sriwijaya, yang berpusat di sekitar Palembang masa kini.

Pulo Masa Kalapa (<1527 M)“Kenapa Orang Pulo kadang teriak “Pajajaran lu!”, padahal itu kan nama kerajaan?”(Bang Boma, penampung ikan tangkapan nelayan)

Ini ternyata umpatan Orang Pulo bagi orang yang tidak punya etika; selain bangkawara untuk seseorang yang dituding biang kerok kejadian tertentu. Orang Pulo bertanya-tanya, seperti kami

l t c

Page 48: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

48

Orang Pulo

di Pulau Karang

juga. Seorang teman dari Bogor yang turut ke Pulo sempat tersinggung karena Pajajaran menjadi kata pusaka bagi orang Sunda. Apakah keterkaitan Pajajaran yang umpatan dan Pajajaran yang kerajaan?

Dulu di bangku sekolah, kita belajar tentang Kerajaan Sunda Pajajaran yang mulai tercatat dalam sejarah semenjak abad ke-11 M dan menggunakan sebuah tempat bernama Kalapa (Kelapa) di Teluk Jakarta sebagai kota pelabuhan dan hingga sekarang masih ada nama tempat Sunda Kelapa (Tjandrasasmita, 2000: h. 10-12). Pulo terkadang dikaitkan secara tidak langsung dengan Pajajaran, misalnya Muchtar (1960: h. 11) meneruskan informasi bahwa Pulo berperan sebagai tempat perlindungan pelaut-pelaut Bugis pada saat Pulo Kelapa (di Kel. P. Kelapa, Kec. Kep. Seribu Utara) berperan sebagai tempat anjangsana raja Sunda. Muchtar juga memiliki kesan khusus tentang lapangan olahraga Pulo Kelapa, yang dianggap sebagai bekas taman Kerajaan Sunda Pajajaran, demikian halnya dengan jalan utama Pulo Kelapa dan adanya beringin tua (kemungkinan pohon yang tumbang pada kejadian léso angin yang melanda Pulo Kelapa pada tanggal 25 Januari 2012). Jika Pulo Masa Kalapa sudah memiliki perairan selat antara Pulo Panggang dan Pulo Karya, bersama goba Pulo Panggang, artinya hanya ada dua penanda strategis kedudukan Pulo yang dapat diperoleh pada saat kami belum memperoleh sumber-sumber tertulis dari berita asing dan catatan setempat masa Sunda Pajajaran.

Pada 29 Juli 1527 Orang Portugis memasang padrão, yang baru ditemukan pada 1918 di Jalan Cengkeh di Dekat Pasar Ikan Jakarta Utara, untuk menandai persekutuan Kerajaan Sunda Pajajaran dan orang Portugis yang terjadi lima tahun sebelumnya, 21 Agustus 1522 (Leirissa, 1977:

h. 22-23). Penandatanganan perjanjian antara Kuasa dari Banten Girang dan Kuasa Portugis untuk kota Melaka (Malaka, Malaysia) berlangsung di Pelabuhan Sunda yang berlokasi di Teluk Banten. Pada saat itu, Banten Girang merupakan salah satu negeri yang tunduk pada Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan (sekitar Bogor pada masa kini). Banten Girang, mungkin bertindak selaku wakil Pakuan atau sedang memperkuat posisi sendiri, menyerahkan sebidang tanah di sebelah timur muara Sungai Cisadane sebagai tempat pembangunan benteng pertahanan Portugis yang bersedia melindungi Banten Girang dari ancaman pusat politik bercorak Islam di sebelah timur, Demak dan vasalnya, Cirebon (Guillot, 2008: h. 31-64).

Orang Portugis mencatat adanya sejumlah tempat di sepanjang Pesisir Utara dari Laut Jawa antara Banten Girang dan Kalapa, yang berperan sebagai pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil dibanding yang dua tersebut. Peta bertahun sekitar 1540 yang dipergunakan Claude Guillot (2008: h. 42) tidak menampilkan Pulo Seribu atau malah Pulo. Sebuah peta periode 1500 – 1699, Iava Maior e Nuca Antara, yang digubah Manuel Godinho de Eredia pada ca. 1630 menampilkan bagian kosong pada Laut Jawa yang menjadi kedudukan masa kini dari Pulo Seribu. Kami juga belum dapat meninjau isi Buku Pedoman Pelayaran Portugis tahun 1528. Pada bulan Desember 1526, dari enam kapal Portugis yang berangkat dari Melaka menuju Banten Girang, hanya tiga kapal yang mampu langsung mencapai Banten dan tiga kapal lain terbawa arus ke perairan timur dari Laut Jawa. Orang Portugis melalui perairan Palembang dan dihantam badai setelah melintasi Selat Bangka, tiga kapal pertama yang tiba di Teluk Banten mungkin melintasi perairan di sebelah barat Pulo Seribu.

l t c

Page 49: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

49

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Keterangan lain dari masa sesudahnya, Pulo Masa Jakerta, bisa dipergunakan untuk memperkirakan penguasa perairan dan pulau-pulau di sebelah utara Kalapa. Tahun 1620, dokumen VOC—Kongsi Dagang Belanda untuk Hindia Timur atau populer Kompeni—menjelaskan ketentuan dasar pemerintahan Batavia bahwa Koning van Jacatra, Penguasa Jakerta sebelum berdirinya Batavia, memiliki yurisdiksi dan daerah “....disebelah utara sampai kelautan pula beserta kepulauan di sana...”. (Leirissa, 1977: h. 27-29). Penguasa Jakerta itu tampaknya mewarisi wilayah kekuasaan yang pernah dimiliki oleh Wakil Pakuan untuk bandar pelabuhan Kalapa. Artinya, Pulo Seribu pada masa itu telah ditandai sebagai bagian dari yurisdiksi Jakerta, namun tidak ada penyebutan nama kepulauan bagi orang Belanda.

Pulo Masa Jakerta (1527 M-1619 M)“Masjid dibangun Zaman Para Wali.” (Orang Pulo)

Masjid Pulo, sekarang diberi nama Masjid An-Ni’mah, dalam Tuturan Pulo dibangun oleh salah satu wali (mungkin yang dimaksud adalah seorang ulama terpandang). Zaman Para Wali ini dikaitkan dengan masa pemerintahan Maulana Hasanudin di Banten. Menurut Tuturan Pulo, nama ini berada pada tulisan-tulisan (mungkin maksudnya prasasti batu –peny.) yang tercantum di Karang Cilaka di Pulo Kelapa. Karang ini dihancurkan oleh Angkatan Laut RI atas perintah Gubernur DKI Ali Sadikin (1965-1977), untuk memudahkan akses masuk perairan ke Pulo Kelapa. Orang Pulo meneruskan kisah bahwa para wali membangun masjid di Pulo Kelapa dan Masjid Pulo, namun yang kedua selesai lebih dahulu meski masjid di Pulo Kelapa lebih awal dimulai pembangunannya. Pada kesempatan lain, bu Mahar juga menceritakan kemiripan Masjid Pulo yang lama dengan Masjid Agung

l t c

Page 50: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

50

Orang Pulo

di Pulau Karang

Banten. Maulana Hasanudin berkuasa tahun 1552 - 1570 (Lombard, 1990: h. 55), namun Masjid Agung Banten dibangun oleh Maulana Yusuf pada tahun 1559 walaupun bangunan ini tidak mungkin dibangun sebelum 1615 (Guillot, 2008: h. 79-80). Artinya, jika merujuk dibangunnya Masjid Agung Banten sebagai model bangunan, kemungkinan pembangunan Masjid Pulo baru setelah 1615.

Semenjak akhir abad ke-16, Banten telah menerima kedatangan kapal-kapal, besar atau kecil, dari berbagai tempat di Nusantara maupun seberang (Guillot, 2008: h. 241-290). Pada abad itu, Tubagus Angke, menantu Maulana Hasanudin meneruskan kuasa Jakerta dari tangan Fatahillah kemudian digantikan Pangeran Jayakarta atau Koning van Jacatra, yang disebutkan dalam dokumen Kompeni tersebut di atas (Tjandrasasmita, 2000: h. 12-14). Pada 27 Juni 1596, Cornelis de Houtman memimpin orang Belanda pertama yang tiba di Banten kemudian menyusur perairan di sepanjang Pesisir Utara Laut Jawa sesudah singgah di Jakerta antara 13 – 16 November 1596. Orang Belanda mungkin menggunakan Peta tahun 1597 dari Willem Lodewijcksz sebagai panduan pelayaran; ada kemungkinan peta ini telah digubah oleh G.P. Rouffer dan J.W. Ijzerman sesudah 1597. Dengan peta ini, kita dapat memperkirakan tempat-tempat yang dianggap penting di sekitar Pesisir Utara Jawa antara Teluk Banten sampai Teluk Jakarta. Pada periode ini, terdapat pencantuman P. Pari (kemungkinan Pulau-pulau Pari) di sebelah timur kedudukan P. Tonda (kemungkinan Pulau Tunda?) dan di sebelah utara kota pantai Tanahara (Tenara?).

Tanggal 22 Juni 1527 yang menjadi Hari Jadi Jakarta (Surjomihardjo, 1977. h. 17), Kalapa diganti nama Jayakarta oleh Fatahillah, pemimpin gabungan pasukan Banten, Cirebon, dan Demak setelah mengambil alih kota ini dari tangan penguasa lama Sunda Pajajaran. Tampaknya, Jakerta yang mewarisi kuasa Sunda Pajajaran atas Kalapa, tidak sepenuhnya memiliki kedaulatan atas pulau-pulau di perairan utara Teluk Jakarta. Misalnya P. Onrust yang berada di dalam Teluk Jakarta dianggap masuk ke dalam kekuasaan Banten (Tjandrasasmita, 2000. h. 14; Attahiyyat, 1991. h. 11-12). Namun, Pangeran Jayakarta justru memberi izin kepada Kompeni melalui kesepakatan antara tanggal 10-13 November 1610 untuk mengambil kayu-kayu dari pulau-pulau di Teluk Jakarta bagi keperluan konstruksi kapal. Kesultanan Banten baru melepaskan klaim atas Pulo Seribu sebagai wilayah kekuasaan pada tahun 1776 (Blink, 1905. h. 79), nyaris 100 tahun sesudah takluk kepada Kompeni (Guillot, 2000. h. 2009). Pulo, pada masa itu tampaknya masih terra incognito.

50

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 51: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

51

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Pulo Masa Kota Batavia (1619 M-1799 M)

“Mati Blanda!” (Bang Pele, komedian Pulo dan kuncen TPU Pulau Karya)

Bewoond (Bld.), yang berarti telah dihuni, adalah keterangan yang tertulis di bawah nama P° Pangang (P. Panggang) untuk kelompok pulau pada peta tahun 1761 dari Gerrit de Haan. Kami memperhatikan kedudukan Pulo terhadap pulau lain di sekitarnya, yaitu De zuid Wachter (P. Peniki), P° Cattok (Pulau-pulau Kotok), dan P° Ajer (Pulau-pulau Air). Di sebelah utara P° Pangang terdapat gosong dengan tiga pulau tanpa nama. Di sebelah barat P° Pangang, memiliki bentuk nyaris segi empat, terdapat dua pulau kecil tanpa nama dalam satu gosong. Sementara di bagian selatan P° Pangang, terdapat satu pulau dengan bentuk mirip Pulo Pramuka masa kini, namun berhubungan dalam satu gosong dengan P° Ajer.

Bukti-bukti sejarah masa VOC yang terekam di Pulo, adalah bangunan kantor kelurahan masa kini. Tahun 1960, di halaman Kantor Kelurahan, M. Muchtar (1960: h. 12) masih melihat dua buah meriam kuno yang dianggap peninggalan

masa VOC, berukuran panjang 1,5 meter dan garis tengah 20 cm untuk yang paling besar. Kedua meriam telah dipindahkan ke Darat menurut Orang Pulo, ada kemungkinan oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta (kami belum berhasil menelusuri keberadaan kedua peninggalan ini, walaupun Museum Bahari di Jakarta Utara lazim dipergunakan untuk menyimpan dan memajang peninggalan-peninggalan masa VOC dari wilayah sekitar Jakarta). Dari cerita yang diperoleh dari Orang Pulo, meriam tersebut mirip yang dipajang di situs perkotaan Kesultanan Banten. Kita mengetahui, ditandai dengan penyerbuan ke Palembang yang gagal pada tahun 1596, dua puluh tahun kemudian Kesultanan Banten akhirnya mampu mampu perairan Bangka-Belitung (Guillot, 2008. h. 205-206). Kekuasaan atas Selat Bangka merupakan hal penting untuk menjamin pelayaran niaga Banten menuju India sampai Semenanjung Arab. Bangka - Belitung juga menduduki posisi strategis secara militer, untuk menjamin kendali Banten atas wilayah pertambangan batu mulia di bagian barat Kalimantan. Politik perdagangan Kesultanan Banten ini tentunya memberi pengaruh, sedikit banyak, bagi Pulo Seribu yang berada di antara Teluk Banten dan Selat Bangka.

Di sekitar Pasar Ikan Jakarta Utara, terdapat tempat Galangan Kapal yang mulai digunakan oleh Kompeni semenjak tahun 1619 (A. Heuken dan G. Pamungkas, 2000: h. 65). Salah satu bangunan di Galangan Kapal adalah Gedung Utara, mulai berfungsi pada paling tidak tahun 1632, rusak terbakar tahun 1721, dan diperbaiki oleh tukang-tukang Tionghoa pada tahun 1812. Saat bangunan ini dipugar tahun 1998, terdapat genting bercap “Tan Liok Tiauw Batavia” dan “Steen-Bakkerij Tangerang” yang masih dalam keadaan sangat baik. Cap pada genting dan kualitas genting tersebut menjadi fakta

l t c

Page 52: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

52

Orang Pulo

di Pulau Karang

bahwa kedua pabrik genting merupakan rekanan baik Kompeni dan ini mendukung keberadaan orang Tionghoa pada awal terbentuknya Kota Batavia serta hubungan antara Batavia dan Ommelanden. Genting dengan kedua cap yang sama, dipergunakan sebagai atap bangunan pendopo Kantor Kelurahan Pulau Panggang.

Pulo Masa Kota Batavia identik dengan periode pemerintahan Batavia oleh Kompeni (1620-1799). Pada tanggal 30 Mei 1619, Kompeni meruntuhkan kekuasaan Jayakarta dan mendirikan tempat baru di atas reruntuhan kota Jakerta yang kemudian disebut Batavia (Tjandrasasmita, 2000: h. 14-31). Pada 4 Maret 1621, VOC membentuk pemerintahan Stad Batavia (Kota Batavia), mencakup Kastil Batavia dan pemukiman baru di atas reruntuhan kota Jakerta, serta mengendalikan daerah di luar benteng Kota Batavia, Ommelanden (Wilayah Sekitar Kota). Stad Batavia en Ommelanden, Kota Batavia dan Wilayah Sekitar Kota mulai terbentuk, namun dengan batas-batas yang terus berubah meluas di bawah kendali Kompeni (sampai tahun 1790), kemudian Parlemen Belanda (1790-1795), dilanjutkan oleh Bataafsche Republiek (1795-1806), berikutnya Het Koninkrijk Holland (1806-1811), dan terakhir oleh Inggris (1811-1816). Selama paling tidak dua abad, kita menyaksikan pertumbuhan pusat permukiman kota yang dikendalikan dengan cara orang Eropa, pengisian daerah luar tembok kota dengan koloni-koloni penduduk yang bukan dari Banten, Sunda, dan Jawa, serta pembentukan alamiah wilayah penunjang di sekitar kota yang bercirikan militer, dan pergerakan roda ekonomi kota yang berbasiskan Tionghoa.

Pada periode ini, Abdullah Saban, Inlandsche Kommandant (Komandan Pribumi) orang Sumbawa, diangkat tahun 1794 selaku Hoofd over Duizend Eilanden (Kepala Pulo Seribu) dan pada 1808 diangkat sebagai Letnan (F.d. Haan, 1910; dalam R. Ruchiat, 2011: h. 133-134). Rachmat Ruchiat menghubungkan tokoh ini dengan keberadaan Kampung Tambora di wilayah Jakarta Barat. Kronik keberaniannya menembus blokade Batavia oleh Armada Inggris pada 1800 dan keberhasilannya menghancurkan berik Inggris tahun 1807, diceritakan dalam Varia dari BKI Vol 27, No 1 (1879) dengan tajuk Dapper Gedrag Van Den Commandant Der Sumbawarezen, Abdoellah, Te Batavia. 1800. Kronik ini secara samar membuat kami tidak berhenti berimajinasi tentang keterkaitan peristiwa sejarah Abdullah Saban dan legenda Darah Putih.

Komandan Pribumi (Lohanda, 2000: h. 125-128), awalnya menjadi pemimpin milisi Kompeni dari orang Ambon, orang Bali, orang Banda, orang Bugis, dan orang Melayu, kemudian mereka memimpin kampung-kampung militer berbasiskan etnik di luar tembok kota Batavia. Pemerintahan Kota Batavia mengatur penduduk dalam pemukiman berdasarkan etnis asal (Siswantari,

l t c

Page 53: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

53

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

2000. h. 42-43). Saat itu dikenal istilah Commandant van Inlandsche Bevolking atau Inlandsche Commandant (Komandan) untuk suku-suku bangsa Nusantara dan Kapitein (Kapten) untuk golongan non pribumi (Tionghoa, Arab, Moor, Bengal, Tamil, Jepang, Papanger (Filippina), dan orang Mardijkers). Setiap pemimpin etnis ini memiliki duabelas aide (ajudan atau ajidan) yang membawahi bek atau wijkmeester sebagai pemimpin kampung-kampung. Konfigurasi ini berkembang, hingga tahun 1811, mencakup orang Jawa (mungkin mencakup orang Banten, orang Sunda, dan orang Jawa) setelah perdamaian dengan Banten (1685) dan Mataram (1705), sebagaimana tercermin dalam daftar Komandan Pribumi yang disusun Mona Lohanda (2000: h. 125-126). Pemimpin kesebelas pada daftar, adalah Kommandant der Sumbawarezen en Mandharezen, pemimpin kelompok orang Sumbawa dan Mandar; dibedakan dari pemimpin pertama (Kommandant der Boegineezen en Makassaren, komandan orang Bugis dan Makassar) dan pemimpin kedelapan (Kommandant der Boeginezen).

Sumbawa, dalam pengertian etnis dan tempat, mencakup para pelaut yang berafiliasi dengan aktivitas maritim berbasis Makassar yang menetap di Sumbawa sebelum pindah ke Batavia. Orang Laut yang berafiliasi dengan Makassar (bisa jadi orang Makassar, orang Bugis, orang Mandar, Orang Bajau atau bahkan orang Toraja yang bukan pelaut) telah bersekutu, direkrut atau dipaksa Kompeni semenjak penemuan dan penaklukan Maluku (1602), penaklukan Gowa (1669), hingga pembersihan pelarian-pelarian Makassar yang bersekutu dengan Untung Surapati (1706), Wong Agung Wilis (1750), dan Trunajaya (1680).

Nama Abdullah Saban menjadi penanda signifikan dari pernyataan Orang Pulo tentang asal-usulnya; kebanyakan akan berujar walau dengan dahi berkerut agak kebingungan “saya

masih ada darah Mandar” atau “katanya sih ada turunan Bugis dalam keluarga”. Ini berlaku bagi orang Pulo yang bisa melacak dalam ingatannya, bahwa pendahulunya telah lebih dari tiga generasi menjadi bagian dari Pulo.

Pulo mungkin sudah dihuni sebelum informasi yang kami peroleh dari peta de Haan tersebut dan masyarakat Pulo sudah memiliki pemerintahan sendiri, mandiri atau berafiliasi formal dengan Jakerta atau Banten atau mungkin pula berafiliasi dengan satu pusat politik di sekitar Makassar. Orang Mandar atau orang Bugis lazim menempatkan orangnya di pulau-pulau tertentu dalam jalur pelayaran maritim; untuk kepentingan pengumpulan informasi dan memudahkan kegiatan pelayaran antarpulau (Muchlis Hadrawi, pakar naskah Bugis, Sastra Daerah Universitas Hasanudin Makassar -pers. com.).

Pulo Masa Residensi Batavia (1799 M-1903 M)

“Saat Krakatau meletus, Ne’ Niah, konon nyangkut di pohon kelapa”(Kisah Pulo)

Gunung Krakatau meletus pada tanggal 19 Mei 1883, tenang sejenak, dan letusan dahsyat disusul tsunami mengguncang dunia pada tanggal 27 Agustus 1883. Berita kehancuran wilayah dan korban sudah tersebar pada tanggal 28 Agustus 1883 (Kompas, Sabtu, 19 November 2011, Krakatau, Menyingkap Rahasia Kehidupan: h. 33-44). Apa yang terjadi tepatnya di Pulo? George C. Hurlbut (1887: h. 246) menuliskan bahwa Pulo Seribu semuanya terendam dan sebagian besar rumah tersapu. Sekitar 500 penduduk Pulo Kelapa dan Pulo Panggang menyelamatkan

l t c

Page 54: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

54

Orang Pulo

di Pulau Karang

diri dengan memanjat pohon dan satu perempuan tenggelam sebagai korban ketika pulau-pulau ini terendam sampai dua meter di bawah permukaan air laut (Tom Simkin dan Richard S. Fiske, 1983: h. 215). Artikel Jurnal Kedua Bencana Krakatau dari Harian Het Nieuws van den Dag : Kleine Courant No. 4183 yang terbit tanggal 9 Oktober 1883 memberitakan bencana kelaparan melanda Pulo Seribu dan dikirimnya bantuan makanan dari Batavia. Orang Pulo sendiri menyimpan kisah-kisah buyut mereka yang menyelamatkan diri dari banjir yang melanda Pulo. Kami menggunakan peristiwa ini untuk menandai munculnya dimensi sosial-kemasyarakatan yang mulai terekam dalam Tuturan Pulo, dan mengawali kronik Pulo Masa Residensi Batavia.

Menurut kisah, saat letusan Krakatau Orang Pulo menyelamatkan diri ke Masjid, selain cuplikan kisah ne’ Niah

yang tersangkut di pohon kelapa pada saat masih gadis. Kisah ne’ Niah juga menandai Tuturan-tuturan Pulo yang berisi kisah-kisah lain yang lebih membumi. Ne’ Niah atau Ratu Saniah, istri pertama ne’ Deli, sebelum menikah dengan ne’ Mauk atau Ratu Kamidah (ada juga yang menyebut Ratu Kamsidah). Selanjutnya, kami menerima beragam kisah dari kehidupan ne’ Deli, Tokoh Pulo yang namanya disebutkan pertama kali dalam tawassul doa pembuka acara penting tertentu. Misalnya saat tanding silat (bertanding maupun berkelahi) atau membaca kapal (istilah lain untuk sedekah kapal, ritus untuk menghormati perahu kepunyaan Orang Pulo). Kisah ne’ Deli juga mengangkat apa yang kami sebut secara sederhana sebagai Zaman Para Bek, sebuah periode yang berlangsung dari masa pemerintahan Pulo di bawah bek Mai, bek Aing, bek Saleh, dan bek Dahlan. Zaman Bek berakhir dengan pensiunnya bek Dahlan pada tahun 1967, sebagai Lurah Pulo Panggang. Namun, kapan dimulainya periode ini masih sulit kami pastikan jawabannya berdasarkan Tuturan Pulo.

Pulo Masa Residensi Batavia identik dengan bagian pertama pemerintahan Hindia Belanda atas Batavia (1799-1903). Setelah dibubarkannya Kompeni oleh Parlemen Belanda, 31 Desember 1799, Pemerintah Hindia Belanda (16 Agustus 1816 – 28 Oktober 1948) mulai mengubah Kota Batavia menjadi Residentie Batavia (Residensi Batavia) (Tjandrasasmita, 2000. h. 14-31 & 41). R.J.L. Kussendrager (1841) menjelaskan struktur awal pemerintahan Residentie Batavia pada tahun 1819 adalah Resident van Batavia membawahi dua Assistent-Resident (Pembantu Residen) yang masing-masing memimpin kota Batavia dan Ommelanden. Struktur pemerintahan awalnya lebih menampilkan pembagian fungsi departemental dan fungsi administrasi, belum ada pembagian rinci wilayah pemerintahan.

l t c

Page 55: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

55

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Berdasarkan Reglement Tahun 1854 (Siswantari, 2000: h. 54), Residensi Batavia dibagi secara administratif dalam lima afdeling (semacam kawedanan) (Tjandrasasmita, 2000: h. 14). Kemudian kita mulai mengenal istilah-istilah Resident (Residen) dan Regent (Regen, semacam bupati) yang memimpin karesidenan, Assistent Resident (Pembantu Residen) dan Wedana yang memimpin afdeling, controleur dan Pembantu Wedana yang mengawasi afdeling dalam bagian-bagian distrik, Kapitein atau Komandan Pribumi menjadi pemimpin distrik, dan wijkmeester atau bek yang memimpin semacam kelurahan yang terdiri atas kampung-kampung permukiman. Satu dari lima afdeling, Stad en voorsteden van Batavia (Afdeling Kota Batavia dan Sekitarnya) membawahi empat distrik di dalam Kota Batavia (Penjaringan, Pasar Senen, Mangga Besar, dan Tanah Abang) dan pulau-pulau di Teluk Jakarta.

Kussendrager juga memberikan deskripsi tentang wilayah-wilayah dalam Residentie Batavia, dan menyebutkan pulau-pulau yang terdapat di perairan Teluk Jakarta, dari Onrust atau Pulau Kappal sampai gosong Vader Smith atau Poelo Poetri (P. Putri) dan sesudahnya ratusan pulau dari Duizend Eilanden (Pulo Seribu) dimulai dari Poeloe Pangang (Pulau-pulau Panggang) atau Agnieteneiland (Pulau-pulau Pari). Agaknya dalam deskripsi ini, Kussendrager kebingungan tentang pengertian Duizend-eilanden, sehingga menggabungkan Poeloe Pangang dan Agnieten-eiland. Kebingungan ini tampaknya umum, Abraham Jacob van der Aa (1849) menuliskan bahwa penduduk setempat di Pulo Seribu menyebut nama Poeloe Panggang untuk Agnieten-eiland. Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indië 1 Januari 1861, Aflevering 1 (h. 10)

mencatat bahwa Poeloe Panggang identik dengan Agnieten-eiland (Pulau-pulau Pari). Namun, van der Lith (1896: h. 139), membuat pemisahan antara pulau-pulau yang ada di dalam Teluk Jakarta dengan kelompok pulau di sebelah utara Teluk Jakarta yang terdiri dari Hoorn-eiln (Pulau-pulau Tidung), Agnieten-eiln (Pulau-pulau Pari), dan Duizend-eiln serta seluruh pulau (yang tidak diberi nama) di sebelah utara Batavia.

Kebingungan yang sama tampaknya dialami pemerintah Hindia Belanda, yang dapat dilacak dalam penerbitan aturan kepemerintahan untuk Pulo Seribu (Winkler, 1905). Dalam S.B. No. 1 Tahun 1823, Pulo Seribu berada di bawah Landraad Tangerang sebagai bagian Ommelanden. Dalam pengaturan administrasi baru dari Stad en voorsteden van Batavia melalui penerbitan S.B. No. 3 Tahun 1886, Pulo Seribu berada di bawah kekuasaan Ajudan yang memimpin Kampung Luar Batang, Wijk (semacam Kelurahan) Pendjaringan dari Onderdistrict Pendjaringan di District Batavia. Pengangkatan Ajudan Luar Batang sebagai Kepala Pulo Seribu tidak pernah terlaksana sampai diterbitkannya S.B. No. 72 Tahun 1889, yang secara tegas mengatur bahwa Agnieten-eilanden, Hoorn-eilanden, dan Duizend-eilanden sebagai bagian dari Stad en voorsteden van Batavia.

Namun, informasi tentang penghunian di Pulo Seribu mulai tercantum dalam tulisan-tulisan tentang wilayah perairan Batavia. Pulo Seribu saat itu dihuni oleh penduduk asli dan para nelayan (musiman -peny.) yang mengumpulkan batu karang, agar-agar, tripang, dan siput (Aa, 1849). Dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indië 1 Januari 1861, Aflevering 1 (h. 313), Duizend-eilanden dikenali sebagai kelompok pulau di Laut Jawa yang

l t c

Page 56: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

56

Orang Pulo

di Pulau Karang

penduduknya hidup dengan menjual ikan, menyediakan karang dan agar-agar. Duizend-eilanden dipimpin oleh seorang Inlandschen Kommandant (Pemimpin Pribumi) yang berkedudukan di Batavia dan menerima perintah dari Resident van Batavia.

Peta tahun 1853 dari Baron Melvill van Carnbee mencantumkan P° Pangang (P. Panggang) dalam satu kelompok bersama P° Tjina (P. Karya), P° Long (P. Pramuka) dan beberapa pulau tanpa nama. Pulo Panggang ditampilkan jauh lebih kecil dari keadaan masa kini atau jika dibandingkan terhadap bentuk Pulo Pramuka (yang berukuran lebih besar). Satu pulau tanpa nama dengan ukuran relatif sama dengan P° Pangang, memiliki kedudukan yang sama dengan Gusung Jari, lokasi PT Nusa Keramba saat ini. Tanda lingkaran pada P° Pangang sesuai dengan legenda peta merujuk pada Andere plaatsen en Kampongs (desa yang lain dan Perkampungan-pen.) atau Poststations, yang mengindikasikan bahwa penghunian yang sebelumnya tercatat pada peta tahun 1761 masih berlanjut. Peta ini tidak menandai adanya hunian di kelompok pulau yang lain, di antaranya Hoorn-eiland (Pulau-pulau Tidung), Agnieten-eiland (Pulau-pulau Pari), atau P° Aÿer (Pulau-pulau Air).

Tampaknya, ketidakjelasan pengertian Pulo Seribu dan kerancuan informasi tentang situasi Pulo Seribu berkaitan dengan kebingungan Pemerintah Hindia Belanda dalam mengatur Batavia dan Ommelanden. Sebab pertama, transformasi permukiman dari awalnya bercirikan hirarki militer menuju cairnya fragmentasi etnis akibat peningkatan urbanisasi, integrasi etnis dan akulturasi sosial-budaya untuk Darat (Batavia dan Ommelanden). Selain itu, dokumen-dokumen Belanda juga menyebutkan sulitnya mengenali

situasi perairan Pulo Seribu bagi perlintasan pelayaran. Dan, bersamaan dengan kemunduran Batavia yang mengakibatkan pembubaran Kompeni antara 1730-1780, kita harus memperhitungkan wabah malaria dahsyat yang melanda kawasan utara kota Batavia sampai dengan kepulauan sekitar sepuluh kilometer dari pantai (Brug, 2000. h. 73). Batavia pada saat kedatangan Herman Wilem Daendels sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda (1807-1811) telah berubah dari Koningen van Oosten (Ratu Dari Timur) menjadi Graf der Hollanders (Kuburan Orang Belanda), dan orang Belanda tidak suka keluyuran apalagi

l t c

Page 57: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

57

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

anjangsana atau berdinas ke perairan yang mudah membuat karam kapal dan dipenuhi Nyamuk Sunda (Anopheles sundaicus).

Penyebab berikutnya, Pemerintah Hindia Belanda tergantung dengan informasi yang diberikan oleh penyewa Pulo Seribu. Pemerintah Hindia Belanda membuat berbagai pacht (semacam perjanjian) untuk menarik uang dari tanah dan perairan, hasil-hasil alam, penjualan barang dan jasa di Hindia Belanda; termasuk Pacht der Duizend-eilanden, penyewaan Pulo Seribu. Daya tarik Pulo Seribu terekam pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies (2 Januari 1826 – 16 Januari 1830). De Gisignies mengeluarkan Besluit (Keputusan) no. 15 dalam S.B. Tahun 1829 no. 118 tentang Pacht van de Duizend Eilanden pada tanggal 30 November 1829 di Buitenzorg (Bogor). Dokumen ini menyampaikan kondisi penyewaan Pulo Seribu mengenai hak guna atas perairan dan daratan pulau serta hak milik atas sumber daya alam mineral, tumbuhan (darat dan air) dan binatang (laut). Seorang penyewa memiliki kuasa penuh terhadap lahan dan produk di dalamnya dan penduduk pulau harus menyerahkan seluruh hasil usaha sesuai dengan harga beli yang diatur oleh penyewa. Perjanjian sewa juga memberikan sanksi dan denda bagi pelanggarnya, termasuk penadah atau pedagang yang menerima produk Pulo Seribu dari penduduk lokal.

Kepala Pulo Seribu selanjutnya menjadi bawahan penyewa Pulo Seribu. Pada tanggal 6 Agustus 1832, Sekretaris Batavia, C. A. G. Romswinckel mengeluarkan pengumuman di Harian Javasche Courant no. 93 terbit tanggal 7 Agustus 1832 bagi para ahli waris untuk mengambil hak atas

sejumlah perkebunan, salah satunya dimiliki oleh seorang Bappa Tipo (kemungkinan beretnis Mandar bukan budak -peny.; meski tulisan pada koran ini buruk sekali, namun kami masih yakin yang tertulis vrij mandareezen) untuk Poeloe Pangang (Pulau Panggang). Harian Java Bode No. 80 terbit tanggal 5 Oktober 1859 menampilkan pengumuman Pemerintah Hindia Belanda tentang pembukaan kembali Pacht der Duizend-eilanden berdasarkan S.B. No. 109 tanggal 8 September 1858.

Tampaknya perairan di sekitar Duizend-eilanden sedang dipenuhi ancaman perompakan, termasuk isu penjarahan kota pantai Tenara (Tanara). Harian Java Bode no. 41 terbit tanggal 25 Mei 1853 menuliskan keprihatinannya terhadap situasi ini bagi warga pesisir dan nelayan miskin, sasaran utama perompakan, karena tidak mampu menghadang pelayaran besar. Tanpa keamanan di laut, para nelayan kecil menghadapi ancaman perampokan, perbudakan, dan hilangnya kepala keluarga bagi anak dan istri. Harian ini memberitakan kejadian penangkapan empat tersangka perompak oleh Kepala (Pulo Seribu ?) di Poulow Pangang (P. Panggang). Kejadian ini berlangsung pada tanggal 19 Januari 1853 dan para tersangka kemudian dikirim ke Batavia (Jakarta). Keempat tersangka membawa berbagai macam senjata (tombak, beberapa belati, kelewang, dan benda-benda tajam lainnya) dan mengaku berlabuh untuk mencari air tawar.

Harian De Locomotief No. 83 terbit tanggal 7 April 1876 dalam rubrik Indlandsch Bestuur memberitakan pengangkatan pejabat untuk sebuah wilayah di pinggiran Kota Batavia, yaitu Abdul Adjied kiahi Abdul Halim selaku Hoofd van de Duizend-eilanden (Kepala Pulo Seribu). Selanjutnya, Regeerings Almanak voor Nederlandsche-Indië tahun 1889 mencatat nama Jihan Moerdan Mohammad Tabri, diangkat pada 17 Februari 1887, sebagai Hoofd der Duizend-eilanden in de Baai van Batavia

l t c

Page 58: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

58

Orang Pulo

di Pulau Karang

(Kepala Pulo Seribu di Teluk Batavia). Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan S.B. No. 72 tahun 1889 yang memberi pengertian wilayah dari “Duizendeilanden” mencakup pulau-pulau yang telah diberi nama Agenieten-eilanden (Pulau-pulau Pari), Hoorn-eilanden (Pulau-pulau Tidung), Duizend-eilanden (Kep. Seribu) dan pulau-pulau lain di sekitar Batavia. Menurut Siswantari (2000: h. 139), dalam Daftar Wijkmeester/Bek Selam tahun 1885-1893, Jihan Mohammad Tabrie adalah Kepala Kampung Pendjaringan pada tahun 1888, yang sebelumnya, tahun 1886, dipimpin oleh Brahim dan tahun 1900 dipimpin oleh Moedjeram dan Soeteng. Kampung Pendjaringan adalah bagian dari Wijk Pendjaringan dari Onderdistrik Pendjaringan di dalam Distrik Batavia.

Bisa jadi, Zaman Para Bek bagi Orang Pulo telah berlangsung pada masa Residensi Batavia, namun kita tidak memiliki catatan yang cukup dari Tuturan Pulo maupun dokumen Orang Belanda untuk menelusuri pemerintahan Pulo di bawah bek Mai apalagi bek Aing, bek Saleh, dan bek Dahlan yang kami yakini terjadi pada masa berikutnya, saat Kotapraja Batavia resmi terbentuk. Penggunaan sebutan bek bagi Orang Pulo diduga merujuk pada kepala kampung, bukan bek dalam pengertian Wijkmeester atau Kepala Pulo Seribu. Sebutan bek kemungkinan baru digunakan ketika Dahlan memegang jabatan wijkmeester pada akhir kekuasaan Hindia Belanda. Sementara para pemimpin kampung sebelumnya hanya disebut kepala kampung.

Bek Mai dilukiskan dengan ragu-ragu oleh Orang Pulo sebagai sosok yang membawa pistol dan pedang dalam kesehariannya. Ini relevan dengan situasi yang kurang aman pada masa seputar tahun 1853 yang dituliskan oleh Harian Java Bode, namun tidak cukup untuk menjelaskan kedudukan

nyata dari pemimpin Pulo dalam administrasi Batavia. Justru, kisah perseteruan antara bek Mai dan ne’ Deli lebih terasa pengaruhnya dalam dimensi sosial-kemasyarakatan Pulo. Peristiwa ini identik dengan periode ulama dan jawara yang kemudian terekam dalam ingatan bersama Pulo dan lekat dengan figur ne’ Deli.

Tokoh Pulo ini diyakini pernah merantau meninggalkan Pulo pada masa mudanya untuk mengembangkan diri dan mencari ilmu pengetahuan. Ia diberikan julukan Pendekar Tujuh Muara yang berkaitan dengan terkenalnya nama Sadeli bin Kohar di kalangan jawara dan ahli silat di daerah pesisir utara P. Jawa dari Serang, Banten hingga Teluk Jakarta. Ne’ Deli memiliki dua orang istri, ne’ Niah atau Ratu Saniah dan ne’ Mauk atau Ratu Kamidah (ada juga yang menyebut Ratu Kamsidah). Tokoh ini dikaitkan dengan peristiwa Perang Cilegon tahun 1888 atau peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888 versi Sartono Kartodirdjo (1984). Orang Pulo tidak mampu menjelaskan peran rinci ne’ Deli dalam peristiwa tersebut dan keterkaitannya dengan tokoh-tokoh sejarah sensu stricto Kartodirdjo. Hanya diceritakan, ne’ Deli mempunyai ikatan dengan seorang Haji Iskak dari Cilegon sebagai sodara seperjuangan dan kemudian mengangkat Machmud, salah satu putera Haji Iskak, sebagai anak, ketika Ulama Darat tersebut meninggal dan dimakamkan di Senaya Tangerang. Kami menduga, pada masa perantauan ke Darat, ne’ Deli mungkin sempat mengasah diri dalam pesantren-pesantren bernafaskan Tarekat Qadiriyah-wa-Naqsabandiyah yang menjadi fenomena lazim di wilayah Banten pada kurun waktu tersebut. Sodara seperjuangan, mungkin salah satu dimensi sosial dari jaringan santri antarpesantren yang mengamini keyakinan yang sama.

Dari Ratu Saniah, ne’ Deli memiliki seorang anak

l t c

Page 59: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

59

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

perempuan yang kemudian dinikahkan dengan ne’ Rais. Sang menantu dikenang karena kepandaiannya yang setara dengan ne’ Deli. Ia membantu ne’ Deli membina generasi muda melalui pencak silat dan mengaji. Meski demikian, ne’ Deli memiliki banyak anak angkat atau anak piara (bahasa Pulo), termasuk Machmud, kemudian Syu’ait, dan lainnya. Kebiasaan mengangkat anak bagi orang Pulo dianggap lazim dengan tujuan meringankan beban kerabat di Pulo bahkan terkadang mengasuh anak-anak terlantar di darat yang ditemui saat merantau.

Pulo Masa Kotapraja Batavia (1903 M-1942 M)

“Turia adalah Kepala Kapal orang Jepang saat muroami mulai dipake di Pulo.” (Wak Jafar)

Pada 1925 (lihat Reuter, 1940 atau Burkenroad, 1946), nelayan Jepang dari Kepulauan Ryu Kyu Okinawa Jepang mulai memperkenalkan cara penangkapan ikan di perairan karang seperti Pulo Seribu. Pada awalnya, teknik penggunaan Jaring Jepang ini hanya dikuasai oleh orang Jepang dan terdapat larangan untuk mengalihkan pengetahuan dan teknologi kepada Orang Pulo yang menjadi buruh Kongsi. Namun, selain kecerdikan Orang Pulo, juga keramahan dan kebaikan hati mereka, orang Jepang secara perorangan membagikan pengetahuan tentang metode penangkapan ikan dengan menggunakan Jaring Muroami. Jaring Jepang sering didakwa sebagai peraup massal ikan yang menyebabkan ketersediaan ikan di Pulo Seribu terancam. Kesimpulan ini tidak hanya resmi dan akademis namun sebagian Orang Pulo juga memiliki pendapat yang sama. Sebagian yang lain malah beranggapan Jaring Mayang lebih rakus dari muroami. Namun, tidak ada yang lebih menandai ekonomi nelayan di Pulo selain eksploitasi perikanan tangkap dengan Jaring Muroami: orang Jepang, Jaring Jepang, Kongsi, Murami merupakan kata-kata berasosiasi dengan Jepang yang terekam dalam berbagai Tuturan Pulo. Sempat muncul dugaan, “Jangan-jangan, orang Jepang itu sekaligus intel Nipon makanya ada Pos Jepang di Pulo”.

Pada tanggal 1 April 1905, Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan status Residensi Batavia sebagai Gemeente Batavia (Kotapraja Batavia) melalui Ordonnantie atau Undang-undang tanggal 18 Maret 1905. Walaupun efektif pemerintahan daerah baru berlangsung dua tahun setelah aturan desentralisasi diterapkan pada tanggal 23 Juli 1903 (Tjandrasasmita, 2000: h. 42-65).

l t c

Page 60: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

60

Orang Pulo

di Pulau Karang

Pada tahun 1908, Afdeling Stad en Voorsteden van Batavia diubah sebagai dua Distrik (Kawasan), yakni Distrik Batavia dan Distrik Weltevreden, serta enam onderdistrik atau semacam Kecamatan (Mangga Besar, Penjaringan, Tanjung Priok, Gambir, Senen, Tanah Abang), yang dikepalai oleh Assisten Resident/ Wedana untuk setiap Distrik dan mungkin Pembantu Wedana atau malah Camat untuk setiap onderdistrik. Setiap onderdistrik dibagi lagi menjadi 27 Wijk, dan masing-masing Wijk dibagi dalam Kampung-kampung. Kotapraja Batavia berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia mengikuti penerbitan Stadsgemeente Ordonnantie tahun 1926. Saat Provinsi Jawa Barat atau Pasundan didirikan tanggal 1 September 1935 (Volkstelling, 1930 & 1933), Batavia merupakan salah satu dari lima karesidenan dari provinsi pertama di Hindia Belanda ini.

Kami menduga Ordonnantie tanggal 18 Maret 1905 tersebut adalah Ordonnantie No. 45 Tahun 1905 (Selleger, 1905) yang juga mengatur pemerintahan di Pulo Seribu. Duizend-eilanden melekat secara administratif pada afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia dengan struktur pemangku jabatan, yaitu seorang Inlandsche Posthouder (Pemegang Pos Pribumi), seorang Mandoer-oppasser (Mandor Pengawas sekaligus Juru Tulis untuk Kepala), seorang Politie-oppasser (Polisi), lima orang Inlandsche Wijkmeesters (Bek Pribumi), lima Matros (pelaut) bagi perahu kolek dinas Posthouder. Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan S.B. No. 44 pada 12 Januari 1905, menghapus Pachts de Duizend-eilanden yang mengatur sewa-menyewa lahan di Pulo Seribu per 1 April 1905 (Selleger, 1906). Keputusan ini membuat orang Tionghoa di Pulo Tjina (P. Karya) dihentikan ijin tinggalnya, sebagaimana diberitakan oleh Harian De

Sumatra Post (1932). Orang Pulo mengingat peristiwa ini hanya ketika orang Cina meninggalkan Pulo Karya; walaupun orang-orang Tionghoa tersebut sangat berperan dalam roda ekonomi Pulo, termasuk menyediakan kebutuhan pokok harian dan pinjaman modal bagi orang Pulo maupun sebagai pemodal untuk perniagaan antarpulau, terutama jalur pelayaran Batavia – Bangka yang dikendalikan orang Bugis (Selleger, 1906).

Regeerings Almanak voor Nederlands-Indië tahun 1907 mencatat nama Radja Sabaroedin, diangkat pada 23 Juni 1905 sebagai Indlandsch posthouder der Duizend-eilanden, Agnieten-eilanden en Hoorn-eilanden (Pribumi Pemegang Jabatan dari Pulo Seribu, Pulau-pulau Pari, dan Pulau-pulau Tidung), berkedudukan di Poeloe Panggang (P. Panggang). Ia tidak lama memegang pos, karena Regeerings Almanak voor Nederlands-Indië tahun 1907 mencatat nama Kasan Djaban Abdoel Moehi, diangkat pada 27 Maret 1907 sebagai Indlandsch posthouder der Duizend-eilanden, Agnieten-eilanden en Hoorn-eilanden, berkedudukan di Poeloe Panggang. Mungkin orang ini yang disebut sebagai Posthouder Kasan pada foto yang menampilkan posthouder di depan sebuah bangunan rumah pada koleksi Pioniersfotografie uit Nederlands-Indië dari Bijzondere Collecties Leiden.

Foto-foto koleksi Pioniersfotografie diambil pada kurun waktu 1900-1910, memastikan bangunan Kantor Kelurahan masa kini telah berdiri. Bentuk bangunan pada foto serupa dengan deskripsi Selleger tentang rumah-rumah di Pulo Panggang. Denah bangunan dulu dan sekarang tidak memiliki perubahan yang berarti dan masih mempertahankan bentuk sebagai rumah panggung bergaya Sunda. Bentuk limas dari atap juga masih bertahan, namun belum ada pendopo kayu. Pada saat itu, seluruh bangunan masih menggunakan bahan baku kayu. Pada keterangan foto, kami belum dapat memastikan kepemilikan

l t c

Page 61: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

61

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 62: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

62

Orang Pulo

di Pulau Karang

bangunan tersebut, apakah Posthouder Kasan atau Posthouder untuk urusan perikanan, Hr. Rocky. Kemungkinan jabatan tersebut diperkirakan dari foto lain yang menampilkan Hr. Rocky dan keluarganya sedang mengibarkan bendera Kerajaan Belanda di sebuah dermaga kecil berupa titian kayu, diperkirakan posisinya adalah sekitar Tempat Pelelangan Ikan di Pulo Panggang. Dermaga kecil tersebut kami bedakan dengan Jembatan yang berada di sisi utara Pulo Panggang, jika mengikuti foto koleksi Hoofd Dienst Volksgezondheid te Weltevreden, Jan Jacobus van Lonkhuyzen (1917) yang menampilkan keadaan dermaga pelabuhan Pulo Panggang.

Dalam peta tahun 1911 dari Baron Melvill van Carnbee, Pangang dan Lang dicantumkan untuk menandai kedudukan Pulo, walaupun nama Tjina tidak dicantumkan kembali pada posisi P. Karya kini. Namun, Pangang dan pulau tanpa nama yang kami duga P. Karya disatukan dalam satu gosong. Penyatuan ini menimbulkan keraguan atas akurasi peta, mengingat perairan selat di antara kedua pulau saat ini memiliki kedalaman yang sangat ideal bagi kapal berukuran sedang, seperti taksi air jalur Muara Angke – P. Panggang. Selain itu pencantuman tanda lingkaran hitam di tengah Pangang menunjukkan pembuat peta bermaksud memberi tanda adanya kampung hunian atau kantor atau gedung tertentu yang digunakan untuk suatu urusan. P. Pramuka ditampilkan lebih panjang dan ramping dibandingkan gambar pulau pada peta tahun-tahun sebelumnya. Gosong Sempit dan Pulau-pulau Air juga ditampilkan lebih dekat jaraknya dengan Pulo. Pada peta tahun 1922 (H. Moll), P. Panggang dan Lang E ditampilkan secara lengkap dan mendekati bentuk masa kini, walaupun tidak terdapat pencantuman nama bagi Pulo

62

Orang Pulo

di Pulau Karang

l t c

Page 63: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

63

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Karya. Terdapat jarak cukup lebar antara P. Panggang dan Lang E dibandingkan keadaan masa kini.

Harian De Sumatra Post No. 49 terbit tanggal 27 Pebruari 1903 memberitakan latihan perang laut berlangsung pada 16 Pebruari 1903 di Pulo Seribu. Selain menuliskan tentang kesulitan medan, artikel ini menceritakan keadaan gugusan pulau karang. Kepulauan ini terdiri dari daratan pulau, karang dan gosong; daratan pulau cenderung landai dan bervegetasi lebat. Peta tidak cukup untuk melakukan navigasi pelayaran di perairan ini, sehingga diperlukan orang-orang setempat yang lebih mengenali keadaan perairan. Hanya ada tiga pulau yang dihuni secara tetap, yaitu Pangang (P. Panggang), Kelapa (P. Kelapa) dan Palempara (P. Palemparan); namun nelayan musiman juga menyinggahi pulau-pulau tersebut. Residentie Batavia mengatur administrasi dari populasi total 700 penduduk yang menggantungkan hidup pada kayu, karang,

ikan, tripang, agar-agar, dan penyu. Resident van Batavia selain mengatur sewa lahan juga membatasi penebangan pohon.

Kondisi eksploitasi lahan di Pulo Seribu juga dikabarkan di Harian Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie No. 151 terbit tanggal 4 Juli 1935 yang menyampaikan pesan dari Posthouder untuk Duizend-Eilanden terkait upaya pencegahan terhadap serangan ulat yang telah merusak perkebunan kelapa di kawasan ini. Di Poloeh-Panggang (P. Panggang), pemilik kebun tidak mampu memusnahkan 300 pohon kelapa yang terkena serangan ulat tersebut. Biaya pemusnahan dengan membakar tidak mampu ditanggung oleh pemilik pohon. Diberitakan juga bahwa sepuluh tahun sebelumnya, wabah ulat yang sama telah menghancurkan perkebunan kelapa di pulau ini. Tiga tahun setelahnya, pohon kelapa telah dapat dipanen kembali. Saat berita

l t c

Page 64: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

64

Orang Pulo

di Pulau Karang

tersebut dimuat dikabarkan bahwa Departement van Economische Zaken sedang mencoba pengembangan industri sabut kelapa.

Pulo Masa Jakaruta (1942 M-1945 M)

“Bek Dahlan, selain jago kelahi juga pinter. Perempuan di Pulo pada disembuyiin di rumahnya waktu Opsir-opsir Jepang datang dan Lelaki Pulo disuruh mengungsi ke Darat (Tangerang). Lurah jaman itu bukan ayam sayur, tapi jagoan!”(Pak Husni, Pulo)

Wak Nok, memiliki versi yang berbeda, bahwa ada orang pinter di Pulo Panggang yang membuat opsir Jepang kehilangan kemampuan untuk melihat adanya perempuan. Ingatan Bersama yang diceritakan oleh Orang Tua mengisahkan kesulitan hidup yang dialami pada Zaman Jepang. Orang Pulo pada masa itu juga pernah mengungsi ke Darat secara massal, ke daerah pantai di wilayah Tangerang. Juga tentang pangan dan sandang yang sukar diperoleh atau kelakuan Tentara Jepang yang kasar. Terkadang juga tersampaikan dugaan yang menghubungkan keberadaan Kongsi Jepang pada saat jaring muroami mulai diperkenalkan di Pulo Seribu.

Pada tanggal 8 Agustus 1942, Kotapraja Batavia berganti nama Jakaruta Tokubetsu Shi (Kotapraja Jakarta) setelah kejatuhan Batavia di tangan Kekaisaran Jepang pada tanggal 5 Maret 1942 (Tjandrasasmita, 2000: h. 43-44). Perubahan Tata Pemerintahan Daerah no. 42 tahun 1942 menyusul Undang-undang no. 28 tentang Kotapraja Batavia mengganti nama Batavia dengan nama Jakaruta (Jakarta). Jakaruta dibagi dalam Kawedanan Jakarta Kota dan Kawedanan Jakarta. Pada akhir tahun 1943, kedua kawedanan berubah menjadi tujuh distrik. Gunseikani (Kepala Pemerintahan Balatentara Jepang) mengatur pemerintahan di Jawa dalam satuan

daerah syuu (Karesidenan), ken (Kabupaten), dan shi (Kotapraja). Pada masa ini, Jakaruta memiliki kewenangan untuk mengatur kerumahtanggaan dan kepemerintahan secara utuh di bawah kendali Gunseikani, dengan Shichoo (Walikota) yang membawahi Wedana, Pembantu Wedana, dan Bek.

Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang bertanggungjawab atas perairan Laut Jawa dan pulau Sumatera menempatkan satu pangkalan angkatan laut di Pulo Panggang. Di antara Orang Pulo saat ini, masih ada orang tua yang pernah menjadi Heiho, tentara sukarela yang dibentuk oleh AL Kekaisaran Jepang, yang mungkin pernah ditempatkan di Pulo. Pak Jailin meneruskan cerita bahwa di pantai belakang Puskesmas Pulau Panggang merupakan pos pengamatan Jepang. Sebuah menara dari kayu didirikan menghadap ke arah timur Pulau Panggang. Orang Pulo juga menceritakan bahwa Jepang membuat semacam bunker di bagian timur Pulau Panggang.

Pulo Masa Kota Jakarta (1945-1950)Pada 23 September 1945, Jakaruta Tokubetsu Shi

diganti menjadi Pemerintah Nasional Kota Jakarta dan Jakarta sebagai kotapraja berada secara administratif di bawah Propinsi Jawa Barat mengikuti UU RI No. 1 Tahun 1945 (Tjandrasasmita, 2000: h. 44-45). Namun secara ringkas, kotapraja Jakarta kacau balau dan kisruh akibat masuknya Komando Tentara Sekutu untuk menerima kekuasaan Jepang atas Hindia Belanda tanggal 21 November 1947, NICA (21 November 1947 – 27 Desember 1949), penyerahan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda tanggal 27 Desember 1949, dan Voorlapige Federale Regering van

l t c

Page 65: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

65

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Indonesia atau Pre-Federal (20 Pebruari 1950 sampai 9 Maret 1950).

Pemerintahan Pre-Federal (Boetzelaer, 1948) sempat menerbitkan S.B. No. 178 Tahun 1948 yang mengatur pemerintahan Negara Pasundan khususnya mengenai batas wilayah dengan juridiksi regentschap Batavia yang mengatur Distrik Batavia (termasuk wilayah Weltevreden dan Duizend-eilanden), District Tangerang, Onderdistrict Cengkareng dan seluruh wilayah di seberang timur Sungai Cisadane.

Pada masa Republik Indonesia Serikat, Panitia Tujuh terbentuk untuk merumuskan pemerintahan Kotapraja Jakarta dan pembentukan majelis perwakilan dari orientasi politik dan sosial masyarakat Jakarta. Panitia Tujuh yang bertugas sampai dengan 9 Maret 1950 berhasil dengan disahkannya hasil perumusan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I.S. tanggal16 Maret 1950 No. B.J.3/4/13, terhitung mulai tanggal 15 Maret 1950. Djakarta adalah kota dengan enam kawedanan, 20 kecamatan dan 121 Kelurahan. Pulo Seribu dalam administrasi Djakarta adalah Kelurahan Pulo Panggang, Pulo Tidung, Pulo Kelapa dan Pulo Ubi untuk Kecamatan Pulau Seribu dari Kawedanan Tanjung Priok.

Bagi Orang Pulo, mereka merekam keadaan dengan ingatan bahwa segala urusan administratif harus dilakukan dengan pergi ke Pelabuhan Tanjung Priok.

Pulo Masa Kotapraja Jakarta Raya (1950-1965)

Pada 31 Maret 1950, Gubernur Distrik Federal yang membawahi Batavia en Ommelanden dari pemerintahan Pre-Federal menyerahkan pemerintahan kepada Walikota

Jakarta untuk wilayah Fed yang terdiri atas Kotapraja Jakarta Raya meliputi wilayah tambahan Pulau Seribu bersama dengan Onderdistrict Cengkareng, sebagian dari District Kebayoran (Onderdistrict Kebonjeruk, Kebayoran Ilir, dan Kebayoran Udik), dan sebagian dari District Bekasi (Onderdistrict Pulogadung dan sebagian Bekasi). Kotapraja Jakarta Raya terdiri atas enam Kawedanan, 20 Kecamatan dan 136 Kelurahan. Tahun 1955, Jakarta dibagi menjadi tiga wilayah kabupaten administratif yang dipimpin oleh Patih (semacam wedana senior), yaitu Jakarta Utara, Jakarta Tengah, dan Jakarta Selatan.

Pada masa ini, Muchtar (1960) mencatat ada dua koperasi yang aktif, Koperasi Perikanan Pulau-Seribu (KPPS) dan Koperasi Konsumsi. KPPS memiliki banyak anggota, terlihat dari plang keanggotaan yang terpasang di banyak rumah nelayan pada masa itu. Namun rupanya KPPS sebatas klaim, karena aktivitas riil koperasi tidak ada. Koperasi Konsumsi, meski anggotanya lebih sedikit, lebih berkontribusi pada kesejahteraan nelayan di Pulo. Dalam salah satu tatap muka dituturkan bahwa penggerak KPPS rupanya hanya bertujuan mencari massa dengan cara meminjam kartu identitas penduduk.

Informasi dari peta tahun 1954 milik US Army Map Service menampilkan Pulau Pangan dan Pulau Lang untuk mewakili keberadaan Pulo masa kini secara lengkap (termasuk P. Karya dan Gusung Jari). Peta ini juga menggabungkan Pulau-pulau Air dan Pulau-pulau Semak Daun bersama dengan Pulo ke dalam satuan deskripsi sedimen sand-mud (lumpur dan pasiran) yang berbatasan dengan perairan berkedalaman 20 meter. Peta ref. T503 ini merupakan kompilasi dari peta-peta Hindia Belanda tahun 1940 sampai tahun 1951, dan kami anggap sudah cukup akurat menggambarkan posisi dan luas Pulo pada masa kini.

l t c

Page 66: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

66

Orang Pulo

di Pulau Karang

Pulo Masa DKI Jakarta (1965 M- kini)Pada tanggal 15 Januari 1960, status kotapraja Jakarta

berubah menjadi daerah tingkat I dalam proses penerbitan perangkat-perangkat legal, dari UU RI No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah, Keputusan Presiden RI tahun 1961 tentang Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, dan UU RI No. 10 Tahun 1964, dan berakhir pada Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 151 Tahun 1975 tentang Perubahan Batas Wilayah DKI Jakarta (Tjandrasasmita, 2000: h. 73-97).

Kami mencoba memisahkan pemerintahan Provinsi DKI

Jakarta dalam tiga fase, yang pertama Jakarta Ibukota (1965-1985), identik dengan penerbitan Rencana Induk DCI Jakarta 1965-1985; kemudian fase kedua Jakarta Metropolitan (1985-2005), identik dengan penerbitan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 melalui Perda No. 5 Tahun 1984; dan fase ketiga adalah Jakarta Megapolitan yang mulai terlihat 10 tahun setelah Perda tahun 1984 (Tjandrasasmita, 2000: h. 115).

Fase Jakarta Ibukota di Pulo ditandai dengan pembangunan fisik besar-besaran, meninggalkan hasil ataupun bekas material sekaligus ingatan-ingatan, seperti Peristiwa G30S, peristiwa Kartika Bahari 1972, dan

l t c

Page 67: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

67

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

pembangunan Jembatan. Jembatan menjadi penanda dari hasil pembangunan fisik Pemerintah, dermaga sandar sederhana diubah menjadi bangunan beton. Sebuah plakat logam ditanamkan pada tiang kanan dari gerbang, merupakan prasasti dari peresmian tempat ini oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. C.V. Parakan yang membangun tempat ini meninggalkan rekaman dalam ingatan bersama Orang Pulo, yaitu Peristiwa Parakan tahun 1970an, tentang dakwaan penggunaan ilmu hitam oleh salah satu pekerja bangunan.

Bang Maman memiliki sebuah kisah, penyambutan seorang tamu dari Darat yang bermaksud mencari salah satu Sesepuh Pulo yang dianggap memiliki kejawaraan. Ne’ Aing, Tokoh Pulo, yang dicari sebenarnya sedang berada di pantai saat tamu dari Darat tersebut turun ke Jembatan dari

perahu yang digunakannya. Ne’ Aing sedang memperbaiki perahu yang sudah digalang, ketika merasakan ancaman permusuhan dari si Tamu dari Daratan. Pada akhirnya, si Tamu tidak mampu menghadapi dan justru berbalik untuk menimba ilmu agama dan beladiri.

Pada fase Jakarta Metropolitan, Darat dicirikan dengan munculnya pemukiman dalam bentuk perumahan yang meluas ke tiga arah daratan dan munculnya bangunan pencakar langit. Kita masih bisa mengingat munculnya ‘kawasan industri’ di Jakarta Barat, Timur dan Utara (daratan), kemudian urbanisasi yang tampil secara nyata mengikuti aktivitas ekonomi nasional yang berpusat di ibukota negara sekaligus ibukota pemerintahan. Wajah Kota Jakarta saat itu mulai berganti menjadi wajah Metropolitan Jakarta.

Pada periode ini,

Pulo Seribu diamanatkan oleh Perda tahun 1984 dalam kebijakan Wilayah Pengembangan Kepulauan Seribu. Semestinya, kita melihat di Pulo terdapat hasil pembangunan yang menunjukkan keberhasilan Pemda dalam pencapaian fungsi, program, dan struktur permukiman pulau kecil. Secara jelas, Orang Pulo dapat merasakan pembangunan di Jakarta ketika memandang daratan Jakarta kian dekat setelah reklamasi laut Pantai Jakarta Utara. Pada periode ini juga Pulo menjadi bagian dari Cagar Alam Laut Pulau Seribu mengikuti Keputusan Menteri Pertanian No. 527/ Kpts/ Um/ 7/ 1982, sehingga pembangunan fisik di Pulo perlu menimbang fungsinya yang lain sebagai kawasan konservasi dan permukiman. Tahun 1973, Pulo Pramuka mulai dihuni oleh satu keluarga dan sekitar tahun 1985, Pemerintah

memindahkan sebagian orang Panggang untuk menjadi orang Pramuka karena lahan untuk permukiman tidak mencukupi lagi.

Pada fase berikutnya, kita melihat wajah Jakarta Megapolitan dengan munculnya Kota Baru dalam bentuk klaster di dalam, pinggiran, dan sekitar Jakarta. Jabodetabek adalah kawasan yang sebenarnya berbeda secara administratif namun kita akan mengalami kesulitan untuk mencari perbatasan di antara Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebagai ilustrasi, bus antarkota jurusan Jakarta perlu menambah stiker di kaca depan bahwa mereka juga akan mengantar para penumpang ke berbagai titik di Jabodetabek.

Bang Rusli, salah satu Orang Pulo, dalam satu tatap muka, meringkas siklus kehidupan Pulo pada masa kini; ketika Jakarta menjadi Ibukota, Metropolitan dan

l t c

Page 68: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

68

Orang Pulo

di Pulau Karang

Megapolitan. Pembudidaya ikan dalam keramba dan penggiat koperasi yang pantas menjadi budayawan Pulo ini mampu menyajikan benang merah dengan keterangan rinci tentang siklus kehidupan Pulo tanpa harus menyadur karangan akademik atau mencari catatan; dia telah mengalami dan menyaksikan kronik Pulo. Pada periode 1950 sampai 1960an, ekonomi masyarakat berbasis penangkapan ikan karena perahu bermesin dan penggunaan jaring sangat dikuasai Orang Pulo. Selanjutnya, periode 1970 sampai 1980an, Orang Pulo memiliki beragam alternatif mulai dari pengambilan karang, budidaya agar-agar sampai penangkapan khusus ikan hias. Tahun 1990an adalah masa keemasan dalam kehidupan perekonomian, bahkan ketika Darat menderita karena krisis milenium, Orang Pulo justru menikmati selisih signifikan dari dollar AS untuk ekspor komoditi rumput laut. Dan semenjak awal milenium taraf kehidupan ekonomi justru menurun dan daya tahan masyarakat melemah.

Pulo Masa Megapolitan adalah Pulo saat kami tiba. Inilah Pulo dalam wajah kekiniannya yang ditandai dengan penetapan Pulo Seribu sebagai Kabupaten Administratif berdasarkan Undang-undang Nomor: 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.

Sekarang Orang Pulo menyambut Raperda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta 2030 bagi Kabupaten Administratif Kep. Seribu. Mereka menyikapi kebijakan ini secara optimis bahwa tata ruang yang baru lebih menghadirkan keberadaan Pulo, tidak lagi sekedar menjadi perairan pinggiran yang tidak dikenali (terra incognito) oleh yang memerintah di Darat semenjak Pulo Masa Kalapa.

l t c

Page 69: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

69

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 70: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

70

Orang Pulo

di Pulau Karang

TradisiPulo“Kalau mau kita gali, Pulo ini kaya tradisinya. Benar-benar kaya.”(c.p. Habib Zen)

Tradisi Pulo dapat dipahami sebagai peralihan pengetahuan tentang Keyakinan dan Kebiasaan Pulo yang dijalani dari generasi ke generasi. Pulo, setelah diselami, memang kaya dengan tradisi tersebut. Terjadi pewarisan pengetahuan antar

generasi dalam bentuk budaya materi, yang tampil dalam bangunan, bentuk makam, serta konsep ruang, juga dalam bentuk perilaku, yaitu bahasa, makanan dan ritual, serta seni pertunjukan. Pengetahuan tentang laut dan bagaimana menghadapi binatang dan fenomena alam di laut, juga diwariskan dari nenek ke cucu.

l t c

Page 71: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

71

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

“Mau ke Kampung....” (Jawaban Orang Pulo yang menetap di P. Pramuka)

Orang Pulo masa kini tetap melihat Pulo Panggang sebagai pusat dari mandala karang, sebagaimana spontanitas penduduk di Pulo Pramuka jika ingin pergi ke Pulo Panggang. Makna ini, bisa jadi akan mengalami distorsi atau malahan punah, jika pada masa kini penduduk di Pulo Panggang masam menanggapinya, “Memangnya, kita Orang (Pulo) kampung?”

Maka, Mati Obor yang menjadi perhatian sebagian Orang Pulo–di Pulo Panggang, Pulo Pramuka, atau yang sudah menjadi Orang Darat dan di pulau karang lain di Pulo Seribu– karena perpindahan lokal di kawasan ini juga dapat menjadi penyebab terhentinya tradisi. Pusaka Pulo berikut dimaknai sebagai bagian dari identitas Pulo.

Tempat di Pulo1. Jembatan

Dermaga Pulau Panggang, tempat utama kapal-kapal berlabuh, populer dalam sebutan Orang Pulo sebagai “Jembatan”. Wujud yang kini dapat kita cermati, seperti tercantum dalam prasasti di Pintu Gerbang, merupakan hasil pembangunan yang dilakukan tahun 1970 oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebelum struktur dermaga ini berdiri, tepian pantai berada di dekat pintu masuk dan untuk mencapai kapal yang sedang berlabuh, diperlukan titian dari kayu sehingga ingatan bersama Orang Pulo menyebutnya sebagai Jembatan. Bisa jadi ingatan ini menampilkan wajah dari tempat berlabuh seperti yang terlihat pada foto koleksi tahun 1917 dari Koningklijke Instituut Troopen.

Jembatan merupakan gerbang di Pulo, Orang Pulo

“Jembatan”, dermaga pelabuhan yang dimulai dalam bentuk titian kayu sampai dengan bangunan beton (A1), “Mesjid”, Masjid An-Ni’mah tempat bangunan masjid awal (A2), “Kelurahan”, bangunan eks Kantor Assisten Wedana & eks Kantor Kecamatan (A3), “Sekolahan”, kompleks sekolah, i.e. Sekolah Rakjat, P.H.B. (Pemberantasan Buta Huruf) dan SD Negeri P. Panggang (A4), “Pelele”, tempat pelelangan ikan, TPI P. Panggang (A5), “Makam Timur”, pemakaman tua Pulo (A6), i.a. makam anonim dari batu karang (A6-1), makam ne‘ Deli dan makam ne’ Rais (A6-2), dan contoh makam anonim dari kerakal andesit lonjong (A6-3); “Langgar”, salah satu bangunan mushola (B1-2), “Diniyah”, tempat bangunan Madrasah Diniyah rintisan nek Aing (B2), “Paud”, Pendidikan Anak Usia Dini; kawasan sekitar rumah tinggal ne’ Deli (B3); “Rumah ne’ Aing”, tempat bangunan Rumah ne’ Aing (C1), “rumah lama”, contoh rumah layak gaya lama (C2); “Makam Kramat Barat”, makam Habib Husein, (D) “Makam Kramat Darah Putih” (E), “Mkam Kapiten Saudin”, Sayid atau Orang Aceh (F), “Makam Kramat Timur”, makam Habib Ali sekaligus mushola Al-Birru (G),

“Tempat Pemakaman Umum P. Karya (H), ”Makam Tubagus Zen” (H-1), “Makam ne’ Aing” (H-5), makam-makam ‘tua’ (H-2, H-3, H-4).

◊ Sekolah Taman Siswa (?)◊ Markas Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (?)

l t c

Page 72: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

72

Orang Pulo

di Pulau Karang

tiba dan pergi ke tempat lain dari sini.Darat, tempat sepanjang Pesisir Utara Laut Jawa,

yang dirujuk Orang Pulo ketika pergi untuk memperoleh kebutuhan harian, ketika mencari asal-muasal, dan Jakarta. Oleh karena itu, Darat dapat merujuk tempat-tempat dari Selat Sunda (Anyer, Cilegon, Labuhan dan Pandeglang), Teluk Banten (pelabuhan Karang Antu), Tangerang (Tenara, Mauk, Rawa Saban), Angke, Pasar Ikan (Pelabuhan Sunda Kelapa), Ancol (sebelum dan sesudah adanya Marina), dan Priuk (Tanjung Priok).

Pulo Kelapa, pusat dari Pulau-pulau Kelapa ini akan dijadikan tujuan kedatangan Orang Pulo dalam rangka

silaturahmi Lebaran, untuk menemui yang lebih dituakan, sehingga bisa jadi ada sebagian dari Ihwal Pulo yang berhubungan dengan tempat ini. Orang Pulo juga beranggapan bahwa orang Bugis pernah menetap di Pulo kemudian berpindah ke Pulo Kelapa sebelum menetap di Pulo Sebira. Berbeda dengan Pulo Kelapa, Orang Pulo justru menerima orang Tidung pada saat Lebaran; dengan penjelasan banyak Orang Pulo yang

memiliki keturunan keluarga di Pulo Tidung. Bliton (Bangka-Belitung) dan Karimata, tempat-

tempat persinggahan atau tujuan dari Orang Pulo ketika memutuskan untuk babang atau merantau. Banyak kisah kecil tentang wilayah ini, antara lain tentang Bajak Laut yang berasal dari Palembang atau Riau-Lingga, tentang larangan mencuri ketika berada di Bangka, tentang kekaguman

terhadap perempuan-perempuan Melayu di Tanjungpura. Berbeda dengan pelayaran ke Barat Laut ini, kisah tentang daerah-daerah di sebelah timur perairan laut Jawa jarang dituturkan. Blanakan di Indramayu diceritakan dalam skala kecil terkait babang, lebih ke timur masih ada kisah tentang Tegal namun sangat jarang kisah tentang Surabaya dan Madura. Terkait pelayaran, Orang Pulo justru lebih khawatir dengan keadaan perairan di antara Pulo Dua sampai Pulo Sebira karena ancaman perompak, yang pada masa kini tanpa pandang bulu juga akan tega merampok kapal-kapal nelayan berukuran kecil.

Di luar Pintu Gerbang Dermaga, terpampang tiga arah tergantung jurusan yang akan diambil, yaitu ke arah barat Pulau Panggang, ke bagian tengah Pulau Panggang atau ke arah timur Pulau Panggang. Keluar dari Dermaga, kita dapat membayangkan bahwa sebelum deretan toko dan warung di jalanan yang sejajar dengan Dermaga adalah pusat keramaian Pulo secara tradisional semenjak masa penghunian dimulai.

Ketika memutuskan ke arah barat, maka Orang Pulo akan berujar “Bara’ tah!”. Jika kita mengambil arah timur, “Timur, tah!” Bagi sebagian Orang Pulo, Barat dan Timur tidak hanya sekedar arah tujuan, namun juga mencerminkan perbedaan sosiologis antara Orang Pulo yang tinggal di bagian barat dan di bagian timur Pulau Panggang. Tapi, ungkapan kurang lebih serupa tidak pernah ada bagi orang yang mengambil arah ke tengah Pulau Panggang, kecuali “Dia mau pergi ke Masjid!” Bagian tengah ini bermakna religius, sementara Barat adalah pusat aktivitas ekonomi, dan Timur adalah pusat pendidikan dan spiritual.

Menurut penuturan Pak Nawawi ketika ia berusia 17 tahun

saat babang menggunakan jaring muroami sampai Bangka-Belitung, dia meminta restu pada kedua orang tuanya. Lebih lanjut dia menuturkan bahwa di Bangka Belitung orang tidak boleh sembarangan. Jika kita nyolong satu cabe bisa jadi tidak akan kembali ke Jawa. Menurutnya, orang Bangka Belitung pada dasarnya baik, asalkan segala sesuatunya meminta ijin terlebih dahulu. Namun, kalau hanya cabe sebiji dan nyolong, pasti kita tidak akan kembali ke Jawa.

l t c

Page 73: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

73

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

2. MasjidMasjid An-Ni’mah adalah titik

yang dianggap Orang Pulo untuk menyebut bagian yang berada di tengah Pulau Panggang. Tempat yang bisa jadi merupakan titik pusat dari mandala karang ini, mewakili bangunan terawal pada saat penghunian Pulo mulai berlangsung. Tempat beribadah ini dipandang sebagai tempat di mana Orang Pulo dapat berkumpul atau dikumpulkan. Landasan keagamaan yang kuat telah mempengaruhi kehidupan nelayan sehingga ibadah Jumat menjadi

momentum strategis untuk melakukan pertemuan. Lelaki Pulo akan meluangkan waktu untuk tidak melaut pada hari tersebut. Tuturan setempat juga menyiratkan adanya tabu untuk melaut pada hari Jumat. Tabu lain terkait dengan kegiatan melaut adalah kembali ke darat untuk mengurus jenazah yang ditemukan di laut.

“Rejeki juga belum tentu datang hari ini, mengurus jenazah adalah semacam fardu kifayah mengikuti agama.”

Pada bagian Pulo Masa Jakerta dalam Ihwal Pulo, kami ungkapkan bahwa Orang Pulo mempercayai bangunan awal masjid ini dibangun pada Jaman Wali, yang diasosiasikan dengan masa kekuasaan Maulana Hasanudin di Banten. Bangunan awal masjid diceritakan berupa panggung, beratap tumpang mirip Masjid Agung Banten, dan memiliki kolam dari cekungan karang di sebelah selatan bangunan. Selleger (1905) menuliskan bahwa Masjid merupakan satunya-satunya bangunan beratap genting di Pulo pada tahun 1905. Orang Pulo juga meyakini mereka yang selamat dari banjir akibat letusan Krakatau tahun 1883, adalah yang mengungsi ke Masjid. Wak Jafar juga meneruskan cerita turun temurun, pada suatu waktu yang lampau saat air pasang tiba, bagian tengah Pulo Panggang di depan Masjid akan terendam. Kami sudah tidak menyaksikan apa yang tertinggal secara wadag dari kisah-kisah tersebut. Kini letak bangunan masjid yang baru adalah tempat yang sama dengan Masjid yang dahulu, dan posisi Masjid An-Ni’mah masih terlihat dengan mudah dari Pintu Gerbang Dermaga dan bibir pantai di sebelah utara yang kini tertutupi rumah-rumah tinggal penduduk. Masa lalu masjid ini terkubur persis di bawahnya. Letak dan posisi Masjid yang

l t c

Page 74: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

74

Orang Pulo

di Pulau Karang

terus dipertahankan ini meyakinkan bahwa tempat ini sangat bermakna bagi asal usul Orang Pulo.

Masjid pernah direnovasi besar-besaran pada tahun 80-an. Orang dewasa di Pulo dapat mengisahkan pembuatan bangunan baru Masjid. Desain baru dari Masjid An-Ni’mah merupakan karya Orang Pulo, Dedy F. Puscar, yang memberi kami kesempatan untuk melihat wajah Masjid sebelum renovasi. Bang Alfian menghubungkan kami dengan beliau. Bang Alfian juga mengisahkan saat itu Orang Pulo tidak berani menurunkan kubah ini, takut kena tulah. Anak-anak muda yang dimotori oleh bang Alfian dan bang Rusli memindahkan kubah logam tersebut ke mushola milik Habib Zen di Timur.

Masjid, dan juga langgar serta bale-bale, bisa jadi merupakan bentuk awal pendidikan di Pulo sebelum munculnya sekolah formal. Diniah yang dirintis oleh ne’ Aing adalah wajah masa kini yang tersisa dari bentuk perkumpulan sosial dan alih pengetahuan antar generasi. Langgar menjadi tempat ibadah yang digunakan khusus untuk kaum perempuan. Bale-bale di rumah, juga pernah sangat berperan dalam proses pendidikan berbasis agama. Walaupun kini jarang ditemui di Pulo namun masih dapat didengar teriakan koreksi para guru ketika anak-anak sedang mengeja ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an.

Nderes (mengeja Al-Qur’an) menjadi bagian dari pendidikan berbasis keluarga. Di Pulo, lazimnya pihak yang lebih tua (kakek atau orang yang dituakan) mengajar membaca Al Qur’an, bukan para bapak, dengan pertimbangan kebanyakan lelaki usia produktif disibukkan dengan kegiatan penghidupan dan rumah tangga. Kegiatan belajar lintas generasi ini juga menjadi media alih pengetahuan dan kearifan setempat, dari kakek ke cucu, sehingga seorang murid sangat

mungkin akan mendapatkan hikmah kehidupan maupun bekal keterampilan, misalnya belajar silat untuk jaga diri sesudah kegiatan mengaji atau saat khatam membaca kitab suci.

Kini, masjid dan bangunan peribadatan lain (musala) menjadi bermakna terkait kegiatan ibadah dan dakwah yang pernah berlangsung di Pulo dan masih tersimpan dalam ingatan bersama orang Pulo.

Bara’, untuk kami adalah sama dengan Timur, hanya tidak tersisa lahan kosong dan bahkan pemakaman lama yang masih tampak dalam Peta Tata Guna Lahan Pulau Panggang Tahun 1995 (Iskandar, 1996: hal 77). Tempat ini sama padatnya dengan bagian Timur Pulo Panggang, jika kami memperhitungkan pemukiman di Timur juga harus berbagi lahan dengan kompleks sekolah, Asrama Puskesmas, pemakaman lama, lahan bakal Kantor Kelurahan yang baru dan lahan pembibitan pohon bakau.

Bara’ dan Timur dalam konotasi lamanya (misalnya bisa dilihat pada karya Widhyanto dkk. 2009) adalah demarkasi sosial tanpa makna pada masa kini. Kami juga tidak sepenuhnya mempercayai keberadaan pembedaan atau malah konflik sosial antara kedua bagian Pulo Panggang. Baik karya Muchtar (1960) maupun Iskandar (1996), menunjukkan kegagalan sinyalemen bahwa Orang Bara’ lebih lemah kegiatan keagamaannya dibandingkan Orang Timur; tiga musala di Barat mencerminkan perbandingan kepadatan penduduk dengan bagian Timur yang hanya memiliki dua musala. Pada saat ini, bahkan di Bara’ dapat disaksikan adanya acara pengajian anak-anak pada malam hari yang tidak kami temukan di Timur. Kemunculan warung per ruas jalan di dalam Pulo Panggang juga mencerminkan

l t c

Page 75: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

75

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

kesamaan penduduk. Justru, kami lebih melihat dimensi sosial masa lalu Orang Pulo tersirat dalam ungkapan mereka untuk bagian Tengah Pulo.

Tengah, dengan Masjid sebagai rujukan, adalah pusat dari mandala karang ini. Aspek religius yang menjadi salah satu wajah kehidupan masyarakat, dan malah yang

paling dominan dan paling tua, tercermin dalam struktur ruang di bagian Tengah. Persis di bagian barat bangunan masjid masa kini, terdapat langgar yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Di sebelah utara, bangunan Diniah merupakan jejak yang tersisa dari teladan ne’ Aing yang memberikan wajah tauhid dalam kesilaman Pulo dan kemanusiaan dalam kehidupan ekonomi nelayan di Pulo. Di sebelah timur Masjid, atau bagian depannya, bangunan PAUD merupakan kawasan tempat tinggal ne’ Deli, Tokoh Pulo yang meletakkan dasar-dasar prinsipal yang menjadi pegangan Orang Pulo: Ngaji (menguasai diri melalui Al-Qur’an) dan Silat (membekali diri dengan keterampilan bela diri). Sedikit ke arah Timur setelah Masjid, tiga rumah sebelum Kantor Kelurahan, Orang Pulo masih dapat menunjukkan rumah ne’ Dahlan, cucu dari ne’ Deli.

Ne’ Dahlan atau juga populer dengan sebutan bek Dahlan, adalah Lurah pertama Pulau-pulau Panggang setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Jadi, dia pernah menjadi wijkmeester pada saat Pulo Masa Kotapraja Batavia, kutyoo pada saat Pulo Masa Jakaruta, dan lurah masa Jakarta. Bek Dahlan meletakkan jabatan di sekitar tahun 60an. Wafat dan makamnya tidak tertuturkan oleh Orang Pulo namun kakek dan ayahnya, ne’ Deli dan ne’ Rais, ditemukan makamnya di Timur, di pemakaman lama

l t c

Page 76: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

76

Orang Pulo

di Pulau Karang

Pulo Panggang yang menjadi tanah waris dari keturunan ne’ Aing. Kami menduga bahwa ada penyatuan antara dua keluarga, ne’ Deli dan ne’ Aing, sebagaimana garis kekerabatan di Pulo mengharuskan satu dengan yang lain akan berujar “Masih sodara juga” walaupun dengan dahi berkerut karena silsilah sulit untuk dilacak.

3. Kelurahan

“Wah, waktu kecil saya takut maen; banyak hantunya, katanya.”

Keberadaan bangunan ini hanya samar-samar diingat oleh Orang Pulo. Sebatas dikenal sebagai kantor Asisten Wedana, kemudian kantor Kecamatan, menjadi kantor Pos, dan terakhir, kantor Kelurahan. Ihwal Pulo telah mengangkat sejarah bangunan ini, Orang Pulo hanya mengingat adanya kegiatan renovasi bangunan pada zaman Camat Makmun.

Bangunan ini tidak pernah berfungsi sebagai kantor Kelurahan pada zaman para bek. Sampai dengan tahun 1960, rumah lurah juga berfungsi sebagai kantor. Orang Pulo lebih

l t c

Page 77: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

77

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

memiliki kenangan tentang para bek dibanding orang-orang yang mendiami bangunan ini. Para bek dapat diurutkan paling tidak sampai dengan empat urutan ke masa yang lebih tua. Keistimewaan para bek yang terus dibicarakan adalah kemampuan memobilisasi massa dan keahlian menangani persoalan praktis, antara lain melumpuhkan musuh. Tampaknya seorang bek tidak berbeda dengan jawara, namun memiliki pengakuan legal sebagai pemimpin masyarakat. Orang Pulo mengingat nama-nama bek, seperti bek Mai, bek Aing, bek Saleh, dan terakhir bek Dahlan.

Bangunan Kel. P. Panggang merupakan bangunan cagar budaya yang sudah terdaftar melalui penerbitan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. D.IV.-5492/s/13/1974.

Bangunan dengan inventaris no. K-543 ini memiliki gaya bangunan kolonial dan pernah berfungsi sebagai Gedung Eks. Kantor Wedana (Dinas Kebudayaan & Permuseuman Prov. DKI, 2004: h. 643). Berdasarkan informasi Orang Pulo, bangunan ini akan berubah fungsinya menjadi bangunan untuk museum arkeologi bahari.

4. Rumah

“Rumah dulu bentuknya panggung...”

Rumah masa kini di Pulo sudah tidak ada yang berpanggung, justru dinding batako atau bata dan beratap genting atau asbes menjadi wajah rumah-rumah di Pulo. Kita masih dapat menyaksikan dinding dengan bilik atau malah papan kayu pada beberapa rumah. Orang Pulo akan menceritakannya sambil tertawa ketika menunjuk rumah beratap genting dengan tembok batako berplester di bagian muka namun kedua bagian samping dan belakang masih menggunakan bilik bambu. Bentuk rumah yang dahulu berdinding kayu dan beratap rumbia dianggap kumuh oleh pemerintah sehingga pada tahun 1980-an pemerintah menerapkan kebijakan mengganti rumah kayu ini dengan rumah

l t c

Page 78: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

78

Orang Pulo

di Pulau Karang

berdinding tembok agar hilang kesan kumuh. Rumah-rumah ini kemudian dibangun dengan dana bantuan dari salah satu Kementerian, namun dana yang diserahkan tidak mencukupi untuk memperbaiki empat dinding rumah. Mereka akan menceritakan dengan jenaka bahwa foto untuk dokumentasi bantuan tersebut dibuat tegak lurus dengan muka rumah agar tidak terlihat dinding-dinding sampingnya.

Pada 1960, Muchtar menggambarkan bahwa seluruh rumah di Pulo menggunakan bilik kayu dan tingkat sosial dibedakan melalui penggunaan atap rumbia (mungkin dari semacam nyiur kelapa atau pandan laut) bagi rumah nelayan buruh dan atap genting bagi rumah juragan kapal, pedagang, dan pegawai pemerintahan. Hanya bangunan pemerintahan yang bertembok, tapi kita masih dapat menyaksikan melalui foto koleksi Pak Ilin jika bangunan Pos Kamla (sekarang sudah menjadi taman di depan Kelurahan, pada tahun 80-an menggunakan papan kayu. Di Pulo, masih ada bangunan rumah bergaya tahun 70-an (misalnya rumah bang Maman) dan tahun 80-an (misalnya rumah pak Rahmat, ahli kapal).

Wak Jafar maupun pak Husni dengan cermat dapat menggambarkan rumah panggung yang pernah menjadi pemandangan lazim rumah-rumah Pulo pada masa kecil mereka. Rumah panggung ini memiliki tiang cukup tinggi, yang memungkinkan penghuni dapat menyimpan perahu jukung atau penganak, gudang penyimpanan barang, atau menjadi tempat perempuan menumbuk padi. Ketika Muchtar melakukan penelitian pada tahun 1960 hanya tersisa satu rumah seperti ini. Menurutnya, rumah tersebut dimiliki oleh salah satu keturunan Orang Bugis yang pernah mendiami Pulo. Tideman (1933: h. 10) mengamati bahwa rumah-rumah bergaya “Makassar” merupakan salah satu ciri dari Pulo

Seribu. Kita juga dapat melihat dalam foto-foto tahun 1917, bahwa kampung nelayan di Pulo Kelapa secara keseluruhan mencerminkan rumah Bugis.

Arsitektur rumah menjadi panduan bagi Selleger ketika berkunjung ke Pulo Seribu tahun 1905. Mungkin karena keterbatasan bahasa, dia menandai kesukuan penghuni pulau-pulau dengan bentuk-bentuk rumah. Menurutnya, berdasar konstruksi dan pendirian bangunan; rumah di Pulo Kelapa bergaya Bugis, di Pulo Panggang dan Pulo Tidung bergaya Melayu, dan di pulau-pulau lain bergaya Sunda. Rumah-rumah berpanggung ini umumnya bertopang pada permukaan berbatu karang. Mungkin rumah bergaya Bugis memiliki panggung yang lebih tinggi, ditafsirkan dari deskripsi Selleger tentang penggunaan tangga perahu sebagai tangga rumah. Rumah bergaya Melayu digambarkan memiliki atap yang lebih tinggi dan curam. Karena sebagian besar lelaki berjenggot merupakan pelaut yang turut serta dengan perniagaan laut ke perairan Bangka, Selleger beranggapan penduduk pulau-pulau ini berasal dari keturunan perompak Bugis dan Mandar.

Satu-satunya rumah berpanggung yang tersisa pada periode tersebut adalah yang kini kita kenal sebagai Kantor Kelurahan (saat itu menjadi rumah dari posthouder Kep. Seribu). Namun, foto tahun 1900-1910, yang diperkirakan dibuat setelah pengangkatan Kasan Djaban Abdoel Moehi sebagai posthouder pada 23 Maret 1907, menampilkan rumah panggung yang dimaksud tidak setinggi rumah-rumah Bugis. Bangunan kantor keluruhan yang terlihat di dalam foto mengkombinasikan arsitektur rumah bergaya Sunda dengan kolonial.

l t c

Page 79: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

79

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

4. SekolahanSaat ini, Sekolahan adalah kompleks bangunan Sekolah Dasar Negeri 01/03 Pulau Panggang, simbol pendidikan wajib belajar. Namun, jika Orang Pulo berbicara tentang pendidikan selain kegiatan nderes; maka ada tiga sekolah dalam ingatan Orang Pulo, yaitu Diniah, Taman Siswa, dan Sekolah Rakyat.

Diniah, sebagaimana dituturkan oleh keturunannya, adalah warisan dari teladan ne’ Aing, seorang pendakwah yang berasal dari daerah Cemplon, Bogor. Kedatangannya ke Pulo Panggang mengikuti ayahnya, Nailin, yang merantau ke berbagai daerah dan akhirnya bermukim di pulau kecil ini. Peranan ne’ Aing dan para sesepuh Pulo lain yang masih dapat dirasakan kontribusinya adalah pembangunan Diniah, Koperasi, dan pembinaan generasi muda dalam hal agama melalui pencak silat serta menggerakkan pemberantasan buta huruf Arab dan Latin. Konon kabarnya, ne’ Aing pun pernah menjadi lurah, menggantikan bek Saleh, dan kemudian digantikan oleh bek Dahlan. Ketokohan ne’ Aing, seperti juga ne’ Deli, terkait dengan pemahamannya tentang hikmah agama dan keterampilan menjaga diri dengan pencak silat.

Taman Siswa, lekat dalam ingatan Orang Pulo tentang kisah pasangan bu Sidik dan pak Mitro setelah tahun 1922, awal pendirian organisasi pendidikan ini. Kami belum memperoleh riwayat pendirian sekolah Taman Siswa, sedangkan bekas bangunan sekolah kini sudah berganti menjadi rumah penduduk dan tempat permainan anak-anak. Pak Mujahab, yang menetap di samping rumah bu Sidik, menceritakan bahwa dirinya juga alumni Taman Siswa. Ia menjadi angkatan terakhir sekolah tersebut dan masih merasakan menulis dengan grip/ kapur batu dan papan tulis. Disiplin bu Sidik dalam keseharian dan pembelajaran masih melekat dalam ingatan beliau. Kini, yang tersisa di lokasi sekolah dan rumah bu Sidik, adalah pohon jambu air yang ditanam oleh bu Sidik dan menjulang persis di tengah jalan kecil yang membatasi rumah dan bangunan sekolah. Pak Husni, lahir kemungkinan tahun 1920an, menjadi siswa pertama Taman Siswa P. Panggang dan pernah belajar sampai tahun ketiga. Maka dapat diperkirakan keberadaan Taman Siswa di Pulo tidak lama setelah tahun 1922.

l t c

Page 80: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

80

Orang Pulo

di Pulau Karang

6. Makam

“Ada Kramat Bara’ dan Kramat Timur, kalau mau cari kuburan... juga Makam Kramat dekat Kelurahan”

Pemakaman, yang lama berada di bagian barat dan timur Pulo Panggang dan yang resmi sebagai Tempat Pemakaman Umum (TPU) berlokasi di Pulo Karya. Pemakaman di bagian barat, hanya menyisakan kompleks Makam Kramat Barat, dan di bagian timur, terpecah menjadi beberapa bagian lahan, salah satunya menjadi Makam Kramat Timur. Terdapat sejumlah makam yang berlokasi di luar wilayah pemakaman lama dan baru tersebut. Di dekat Kantor Kelurahan, di sebelah timur, terdapat kuburan tunggal; disebut Makam Kramat Darah Putih. Walaupun berada dalam satu konteks dengan pemakaman lama di Timur, terdapat dua kuburan tua yang lebih populer disebut Makam Sebelah Sekolah. Pemakaman yang baru, ada di Pulo Karya dan Pulo Pramuka, merupakan TPU yang berisi kuburan yang dipindahkan dari pemakaman lama maupun sebagai pemakaman baru semenjak tahun 90-an.

Terdapat tiga makam di Pulo Panggang yang terdaftar resmi sebagai bangunan cagar budaya DKI Jakarta. Makam-makam inventaris no. I-28 ini dinyatakan sebagai Makam Keramat P. Panggang dari periode Islam, yaitu Makam Kramat Barat, Makam Kramat Darah Putih, dan Makam Kramat Timur (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Prov. DKI Jakarta, 2004: h. 643). Pemakaman lama berisikan kuburan-kuburan muslim, sejalan dengan data demografis resmi masa kini yang menyatakan bahwa mayoritas penduduk beragama Islam. Makam-makam muslim ini memiliki orientasi utara-selatan, kecuali Makam Keramat Timur dan Makam Keramat Darah Putih yang memiliki orientasi Timur Laut-Barat Daya (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Prov DKI, 2004: hal 184 & 186). Terkait perkecualian ini, Orang Pulo menerima perbedaan orientasi tersebut secara bijak bahwa garis pantai yang membujur dari ujung barat ke ujung timur mewakili arah Utara. Pak Husni dengan santai berujar, “... Memangnya jaman itu sudah pake kompas? Yang penting kan keyakinan hati.”

Pemakaman di Barat sudah dipergunakan sebagai permukiman. Sebagian besar kuburan sudah dipindahkan ke TPU P. Karya, sehingga yang tersisa hanya yang berada di halaman-halaman rumah karena tidak diketahui ahli warisnya. Makam Kramat Barat

l t c

Page 81: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

81

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

adalah bangunan makam Habib Husyain (wafat 25 Februari 1949) dan keturunannya.Pemakaman lama di Timur merupakan tanah yang dimiliki oleh keluarga keturunan Ne’ Aing. Menurut salah satu

keturunan, mbok Nunung, sudah lazim di Pulo jika ada orang meninggal dikuburkan di tanah tersebut, cukup dengan izin lisan walaupun tidak termasuk keluarga. Makam Kramat Timur adalah bangunan makam Habib Ali (wafat 20 Hafit 1312 H/ 1894 M). Seperti juga Habib Husyain bin Aqil Assegaf, Al Habib Ali bin Ahmad bin Zein Al Aidit dikenang Orang Pulo atas peranannya dalam bidang keagamaan. Pemakaman di Timur juga menyimpan jasad dari ne’ Deli beserta keturunannya, salah satunya ne’ Rais. Makam dari dua Tokoh Pulo yang dikenang jasanya dalam kegiatan keagamaan dan bela diri ini berada dalam keadaan sederhana. Makam Ne’ Deli bahkan hanya menggunakan batu karang sebagai jirat dan batu endapan warna kuning sebagai nisan. Tidak banyak keterangan yang diperoleh tentang nama dan kapan meninggal pada makam di Timur, namun sebuah makam berinskripsi menunjukkan pemakaman ini mungkin aktif dipergunakan pada periode awal abad ke-20.

Makam Kramat Darah Putih merupakan jirat yang tersusun memanjang dari himpunan batu andesit membentuk makam, dengan posisi sejajar dengan bangunan hunian di sekitarnya. Tidak terdapat nisan yang menandai kubur ini, namun batu endapan warna kuning kecoklatan yang cukup besar terdapat di bagian Timur Laut dan di bagian Barat Laut. Setelah mendapatkan informasi dari penduduk, diduga bahwa perombakan makam yang terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah mengubah luas kuburan dan susunan asli batu andesit.

Keterangan tentang Makam Kramat ini, baik dari Pemprov DKI Jakarta (1984 dan 2004) dan Orang Pulo, bertentangan dengan keterangan yang diperoleh Muchtar (1960: h. 13) yang menyebutkan “... dengan nama Kidarahputih. Makamnja masih ada terletak disebelah gedung S.R.” (1960: h. 13). Catatan Muchtar ini sejalan dengan tuturan Ibu Rumenah (Mak Uwo), bahwa ia mengingat makam Darah Putih terletak di lahan yang dibeli dari Pak Usman (alm.), yaitu lokasi makam Kapten Saudin kini. Makam Sebelah Sekolah adalah makam dari balok karang yang dikenali Orang Pulo sebagai makam Kapiten Saudin dan Istrinya, populer juga disebut Orang Aceh atau Sayid. Selain kesamaan orientasi makam (Timur Laut –Barat Daya), Makam Kramat Darah Putih dan Makam Kapiten Saudin memiliki penanda yang sama, yaitu adanya botol berisi air yang diletakkan di jirat bagian kepala atau pada nisan. Hal serupa juga kami temukan di makam tua yang sejenis Makam Kapiten Saudin di Pulo Karya. Botol-botol air tersebut merupakan penanda kekeramatan masa kini, menunjukkan adanya perorangan atau kelompok masyarakat yang masih melakukan pemujaan di sini meski tidak diperoleh keterangan lebih rinci tentang pelaku maupun kelompoknya.

Di Pulo Karya, pemakaman berisi kuburan masa kini yang berada di areal TPU P. Karya dan kuburan-kuburan tanpa nama di dalam areal tersebut maupun di bagian timur pulau ini. Berbeda dengan di Pulo Panggang, makam-makam di Pulo Karya memiliki orientasi Utara-Selatan; baik yang di luar TPU (Makam Tubagus Zen, makam-makam di sekitar sumber air tawar) maupun yang berada di dalam TPU. Kami dapat menemukan makam ne’ Aing yang meninggal tahun 1972 di antara makam di dalam areal TPU. Makam-makam yang sejenis dengan Makam Kapiten Saudin di Pulo Panggang juga ditemukan tak jauh dari blok makam keluarga ne’ Aing. Muchtar (1960) menyebutkan adanya makam Orang Tionghoa di Pulo Karya, namun kami tidak

l t c

Page 82: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

82

Orang Pulo

di Pulau Karang

dapat menemukannya kembali. Makam-makam sejenis dengan Makam Kapiten Saudin langsung menarik perhatian, karena bentuk makamnya yang

berbeda dengan makam lainnya. Makam-makam ini tidak bercungkup dan dibuat dari karang yang dibentuk balok batuan. Sisa botol air terlihat pada makam yang berada di Pulo Karya. Untuk sementara, kami menyebut makam-makam ini sebagai makam bergaya Batu Aceh.

Kelompok makam tua pertama terletak di Blok A1 TPU P. Karya, yaitu tiga kubur anonim dari batu karang dan dua batuan andesit yang kemungkinan berfungsi sebagai nisan dari dua kubur anonim lainnya. Makam pertama berukuran 180 x 90 cm dan memiliki kondisi paling utuh dibandingkan dua makam lain di lokasi ini maupun dua makam dari Makam Kapiten Saudin di Pulo Panggang. Makam ini juga dilengkapi dua batu nisan dengan bahan serupa (batu karang) sehingga sekilas mengesankan kemiripan dengan nisan Batu Aceh yang tersebar di kawasan penutur bahasa Melayu pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara (Ambary, 1997; D. Perret, 2000, 2001, 2007, 2003, 2004).

Sebagai perbandingan, Makam Kapiten Saudin juga memiliki bentuk jirat yang sama. Dua makam tersebut memiliki bentuk yang sama (balok batu karang dipahat dengan bagian lebar berbentuk tertentu) namun berbeda ukuran (125x97 cm dan 97x69 cm). Pada makam besar, kedua balok memanjang memiliki hiasan pahatan pada bagian luar. Pahatan serupa juga muncul pada makam kecil, namun lebih dangkal dan tipis. Balok-balok makam disatukan dengan cara mengunci kedua ujung

l t c

Page 83: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

83

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

dari balok memanjang ke dalam balok melebar. Salah satu balok melebar, pada bagian Barat Daya dari makam besar, disanggah oleh dua balok penahan dari batu (karang), dengan pahatan dan ukiran yang sudah sangat aus serta satu buah batu andesit. Berdasarkan makam yang paling utuh ini, dapat diperkirakan adanya gaya makam yang pernah dipergunakan pada suatu masa di Pulo Panggang.

Tidak terdapat inskripsi pada makam-makam ini ataupun sumber tertulis lain yang menyediakan informasi arkeologis maupun sejarah tentang keberadaan makam ini. Makam kedua, berukuran 130x60 cm dan menyerupai makam pertama, namun kondisinya lebih hancur, menyisakan struktur persegi panjang dari sisa-sisa balok memanjang dan melebar. Makam ketiga, memiliki ukuran 110x55 cm, tampaknya tersisa dari bentuk makam pertama dengan kelengkapan empat balok penyangga selain sisa-sisa dari balok memanjang dan melebar. Dua buah batuan andesit, terletak sejauh ± tiga meter sebelah Timur dari makam kedua, merupakan batu kerakal berbentuk lonjong, berukuran 15x10 cm dan 13x8 cm dengan jarak ± 4,5 meter antara satu dengan lainnya. Seluruh kubur memiliki orientasi Utara – Selatan, penanda makam Islam. Selain itu, masih terdapat makam-makam yang menggunakan batu penyangga balok jirat; kami menemukannya di areal barat daya TPU P. Karya, di bagian timur Pulo Karya dan di Pemakaman Timur Pulo Panggang.

Deskripsi terhadap nisan-nisan dari batu karang di Pulo dilakukan berdasarkan cara-cara klasifikasi Batu Aceh menurut Daniel Perret dan Kamarudin Ab. Razak (2003: h. 29-45), yaitu dengan membagi setiap batu nisan ke dalam enam bagian: dasar, badan bagian bawah, badan bagian atas, bahu-bahu, kepala dan puncak. Pemerian terhadap bentuk nisan ini juga dilengkapi dengan pengamatan terhadap kehadiran hiasan dan tulisan, dan dilengkapi dengan penggambaran dan pengukuran secukupnya.

Peninjauan terhadap makam-makam bercorak Islam yang dianggap tua di Pulo juga memberikan informasi terkait dengan keberadaan legenda Darah Putih dalam Tuturan Pulo dan hubungan bercorak maritim antara pusat-pusat politik dan perdagangan laut di Selat Malaka hingga Pulau Jawa. Tokoh Darah Putih dalam Legenda Pulo tidak hanya dimiliki oleh Orang Pulo. Di sejumlah tempat Nusantara, terutama pada daerah-daerah penutur bahasa Melayu, nama ini juga ada dalam ingatan bersama, menjadi mitos populer di Kepulauan Riau-Lingga, Pesisir Timur Sumatera, Lampung, dan Kalimantan. Untuk sementara, makam-makam tua berjirat dan bernisan batu karang di Pulo dianggap sebagai nisan Islam.

Nisan-nisan, populer disebut Batu Aceh, dari masa kerajaan bercorak Islam tersebar dari Pattani (Thailand), Semenanjung Malaya sampai ke berbagai pulau di Indonesia (Othman bin Mohd. Yatim, 1985 untuk wilayah Johor Malaysia dan Hasan Muarif Ambary, 1984 untuk Indonesia dan Malaysia) semenjak abad ke-15 M. Batu Aceh merupakan nisan bagi seorang muslim yang memiliki kedudukan tertentu, seperti di Johor, Malaysia (tepatnya Bukit Sungai Tukul Panchor), terdapat sebuah makam dari tokoh Tengku Dara Putih (Daniel Perret, 2007). Sebelumnya, Daniel Perret (2001) menyebutkan makam dengan nisan Batu Aceh tipe N ini juga memiliki sebutan lain, yaitu Makam Raja Puteh, Makam Puteri Putih, Makam Tengku Putih, dan Makam Tengku Dara Putih. Dikisahkan bahwa tokoh perempuan dari anggota keluarga Kesultanan Johor ini meninggal setelah jari tangannya tertusuk oleh sebuah jarum emas. Tokoh yang dimakamkan ini merupakan istri Syahbandar Johor sekaligus saudari perempuan

l t c

Page 84: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

84

Orang Pulo

di Pulau Karang

Sultan Abdul Jalil IV, penguasa Kesultanan Johor. Sang putri meninggal sewaktu hendak melahirkan pada tanggal 4 September 1703 dan dimakamkan di Bukit Sungai Tukul dengan gelar “Marhumah Mangkat di Bukit Panchor”. Selain di Johor, Batu Aceh dijumpai di Kedah (Malaysia), di Aceh (dipercayai dari abad ke-17), di Pulau Bintan (abad ke-17) dan di Banten (makam dari Sultan Ageng Tirtayasa yang meninggal tahun 1692).

Nisan di Pulo, tidak memiliki catatan tertulis tentang tokoh dan angka tahun. Dari bentuknya, belum ditemukan kemiripan dengan berbagai tipe nisan dari Batu Aceh. Bang Mamok, ahli karang laut Pulo, berujar bahwa Daniel Perret pernah meninjau nisan-nisan di Pulo dan kemudian menduga umur yang lebih muda dari jaman kerajaan bercorak Islam di Nusantara.

7. Lokus LegendaPulo Panggang menjadi mandala pulau-pulau karang dari perairan Pulo, dan Orang Pulo memiliki sejumlah tempat di

perairan Pulo yang penamaannya bermakna. Di antaranya Karang Pemanggang, Gusung Jari, Pulo Balik Layar, Pulo Semak Daun, dan Pulo Kotok. Tempat-tempat ini selalu dihubungkan dengan Cerita Pulo.

Orang Pulo juga memiliki tafsir terhadap nama-nama pulau di sekitar, seperti Pulo Air (pulau tempat adanya air tawar), Karang Beras (pulau tempat Jepang menyimpan beras). Tempat-tempat ini tidak terkait dengan Mitos Pulo namun disebutkan dalam kejadian-kejadian pada masa lampau.

Penamaan berbagai pulau ini memiliki kisah tersendiri, dan sejauh ini, penamaan yang populer dalam masyarakat adalah penamaan yang khas dari mereka sendiri, meski pemerintah Belanda maupun Pemri pernah memberikan nama lain. P. Untung Jawa pernah dinamai Amsterdam Eiland, P. Tidung pernah disebut Hoorn Eiland, dan P. Kelor pernah memiliki nama Kherkoff Eiland. P. Pramuka merupakan nama terkini dari P. Lang, sementara P. Karya dulunya disebut P. Cina.

l t c

Page 85: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

85

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 86: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

86

Orang Pulo

di Pulau Karang

Bahasa di PuloBahasa yang berkembang di Pulo Panggang kerap didefinisikan sebagai bahasa Pulo. Bahasa ini merupakan ekspresi dari keinginan orang-orang Pulo, yang menganggap bahwa identitas mereka kini adalah identitas orang Pulo, bukan lagi dari etnis Mandar, Bugis, Sunda, Jawa, Melayu, dll (Widhyanto et al., 2009). Dalam ungkapan setempat yang kerap muncul, “Kata orang Pulo ….” Ungkapan yang menunjukkan identifikasi yang kuat pada konsep identitas Pulo.

Bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan di dalam sebuah masyarakat. Nilai-nilai budaya yang berupa kebudayaan ekspresi, yaitu perasaan, keyakinan, intuisi, ide, dan imajinasi kolektif. Kebudayaan tradisi mencakup nilai-nilai religi, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan. Sementara kebudayaan fisik mencakup hasil-hasil karya asli yang dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berarti bahasa yang dipergunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut.

Masyarakat Pulo memiliki bahasa yang membentuk identitas mereka semakin kuat. Meskipun tidak dapat dikatakan secara langsung bahwa bahasa yang digunakan oleh Orang Pulo merupakan bahasa tersendiri (Maulana, 2009), namun masih tetap terlihat proses penguatan identitas tersebut. Sebagai alat penguat identitas, masyarakat Pulo kerap mendefinisikan bahasa mereka sebagai bahasa Pulo.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ridwan Maulana (2009), disimpulkan bahwa secara leksikal, dengan memanfaatkan penghitungan dialektometri, bahasa yang terdapat di Pulo Seribu (termasuk Pulo Panggang) adalah bahasa Melayu dan Bugis. Pulo Panggang merupakan

l t c

Page 87: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

87

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

salah satu daerah yang termasuk menggunakan bahasa Melayu. Dengan demikian, dapat dikatakan pada dasarnya secara bahasa, masyarakat Pulo tidak memiliki bahasa tersendiri. Namun demikian, penguatan identitas dilakukan dengan menggunakan beberapa leksikon yang menandai keberadaannya.

Beberapa leksikon yang hanya ditemukan di Pulo dan tidak ditemukan di tempat lain, seperti di bawah ini.

- atret : mundur- potret : maju- pangkeng : kamar- monro : istirahat- godot : menyulam benang

Akan tetapi, terdapat juga leksikon yang sama dengan di bahasa lain tetapi dengan pemaknaan yang berbeda. Seperti pada leksikon-leksikon di bawah ini:

- pengentotan : hutang tidak dibayar-bayar Pengentotan dapat ditemukan di bahasa Betawi dengan makna

yang cukup berbeda, yakni orang yang suka pacaran. - mbok : kakak perempuanLeksikon mbok dapat ditemukan pada bahasa Jawa yang memiliki

makna ibu (panggilan kepada orang tua perempuan).- uwak : perempuanLeksikon uwak ditemukan pada bahasa Sunda dengan makna

budhe (kakak perempuan ibu/ayah). - mindo : makan bukan pada waktunyaLeksikon mindo ditemukan pada bahasa Jawa yang berarti makan

untuk kedua kalinya atau makan di siang hari. Di Jawa, leksikon mindo bisa bermakna tidak makan nasi, artinya bisa berupa camilan/kudapan.

- sura : surat-menyurat dan Al-Quran

Leksikon sura atau surau dapat ditemukan di beberapa bahasa daerah, seperti Padang, Jawa, dan bahkan di bahasa Indonesia. Di bahasa-bahasa tersebut leksikon surau bermakna masjid.

Di sisi lain, juga ditemukan beberapa leksikon yang hampir mirip atau serupa dengan leksikon di tempat lain dengan pemaknaan yang hampir sama. Contoh-contoh leksikon tersebut dapat dilihat di bawah ini.

- trade : tidak adaLeksikon ini mirip atau serupa dengan

leksikon yang dimiliki oleh bahasa Melayu Ternate, yakni tarada, yang maknanya juga tidak ada.

- puse : pusingLeksikon puse juga dapat ditemukan di bahasa

Ternate, yakni pose, yang memiliki makna sama, yakni pusing.

pernah membuat pernyataan bahwa bahasa adalah kunci atau pintu utama untuk mendalami kebudayaan suatu masyarakat. Dalam arti hal-hal yang berkaitan dengan pola hidup, sistem nilai, adat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dapat dipahami dan dipelajari dari bahasanya.

Seorang sosiolog bernama Fishman (dalam Nababan, 1993: h. 51) l t c

Page 88: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

88

Orang Pulo

di Pulau Karang

- laman : di luarLeksikon ini berasal dari kata

halaman. Sama halnya dalam bahasa Pulo, laman di dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut tampilan yang ada di internet.

Selain bentuk-bentuk leksikon di atas, masih ditemukan bentuk-bentuk leksikon lain yang memperkuat identitas budaya mereka sebagai masyarakat pulau.

Kajian tersebut dapat kita selami melalui kajian yang dikenal

dengan antropolinguistik, yang merupakan perpaduan antara dua

disiplin ilmu, yaitu antropologi dan linguistik. Menurut Hymes (1964

dalam Suharno,1978:1), linguistik antropologi (antropolinguistik) ialah suatu studi bahasa dalam

konteks antropologi. Antropologi bertugas untuk mengembangkan

pengetahuan bahasa dari segi manusianya, sedangkan linguistik

bertugas mengembangkan pengetahuan tentang bahasa dari

segi bahasa.

Masyarakat pulau yang identik dengan laut, membawa dampak pada mata pencaharian masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Pulo memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Hal tersebut tercermin dari beberapa leksikon unik yang dimiliki masyarakat setempat yang terkait dengan laut dan nelayan. Leksikon-leksikon tersebut sangat dimungkinkan menjadi kekhasan daerah pulau karena di beberapa tempat lain yang jauh dari pulau, kemungkinan besar tidak akan ditemukan leksikon yang serupa. Di kawasan nelayan yang lain ditemukan istilah dengan makna yang sama tetapi dengan bentuk leksikon yang berbeda. Seperti di daerah pantai Yogya, untuk makna “mengambil ikan” digunakan istilah nyirU’. Sementara di daerah yang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian selain nelayan, leksikon-leksikon dalam bidang kelautan atau nelayan cukup sedikit ditemukan.

Beberapa leksikon khas pulau tersebut dapat dilihat di bawah ini.

- taor/naur :

mengambil ikanDi beberapa tempat yang

penduduknya mayoritas memiliki mata pencaharian selain nelayan, tidak akan ditemukan leksikon khusus untuk kegiatan tersebut. Seperti di pedalaman Jawa yang jauh dari pantai/ pulau cukup dikenal dengan istilah “jupuk iwak” yang merupakan terjemahan dari “mengambil ikan”.

- nyambang : minta ikanLeksikon ini mirip dengan lema

“menyambangi” dalam bahasa Indonesia yang bermakna “mengunjungi seseorang”. Akan tetapi, pada masyarakat Pulo leksikon tersebut masuk dalam medan makna kegiatan nelayan.

- ngalir : mencari cumi-cumiDi beberapa tempat, kegiatan

mencari ikan dan segala jenis binatang laut akan memiliki istilah yang sama. Akan tetapi, akan menjadi berbeda di daerah yang memang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan yang akrab dengan segala jenis binatang laut. Seperti halnya di Pulo Panggang, untuk kegiatan mencari cumi-cumi (salah satu jenis binatang laut) memiliki leksikon tersendiri, yakni ngalir.

- diare’ : dimakan oleh ikan besar (seseorang mendapatkan ikan

l t c

Page 89: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

tetapi ikan tersebut sudah dimakan oleh ikan lain)

- pala laut : pengatur (orang yang mengetahui atau mengatur apakah ada ikan atau tidak)

- babang : mencari ikan sampai menginap

Dengan demikian, dapat dilihat bentuk penguatan identitas masyarakat Pulo melalui bahasanya. Melalui leksikon-leksikon itu mereka menguatkan identitasnya sebagai masyarakat nelayan yang tumbuh dan berkembang dengan budaya dan tradisinya sendiri. Melepaskan anggapan yang mungkin saja selama ini melekat dalam diri mereka sebagai wilayah pemekaran dari Betawi ataupun Sunda. Meski demikian anggapan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibantah karena masih ditemukan beberapa leksikon yang berasal dari daerah tersebut. Dengan demikian, leksikon yang ditemukan menjadi penguat identitas budaya yang selama ini berkembang di wilayah tersebut.

89

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 90: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

90

Orang Pulo

di Pulau Karang

Lezar!Makanan di PuloMakanan merupakan salah satu aspek penting dalam budaya pesisir. Meski kerap kali hanya menjadi bagian dari rangkaian sistem ritual dalam suatu tradisi, peran makanan menonjol sebagai simbol sekaligus ikon kekhasan suatu tempat atau suatu tradisi. Bahkan dari jenis bahan makanan dan fungsinya, kita dapat mengetahui pengaruh budaya luar yang diperoleh suatu tempat dan adaptasi yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap produk budaya ini.

Lezar!

l t c

Page 91: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

91

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Kita dapat menemukan sedikitnya empat pola sistem penyajian dalam kultur makanan Pulo, yaitu makanan dalam peristiwa khusus, makanan untuk hari besar, makanan kudapan, dan makanan harian.

1. Makanan Harian Orang PuloDalam pengamatan sehari-hari

selama di Pulo, makanan harian terutama berbahan dasar ikan. Jika

dirunutkan, pola yang ditemukan adalah:

Nasi + lauk pauk berbahan dasar ikan + sayuran + sambal = makanan harian

Dalam rangkaian makanan harian, nasi merupakan makanan pokok yang tidak dapat digantikan begitu saja dengan bahan makanan pokok lain seperti singkong atau jagung. Sifat nasi yang mengenyangkan, penghasil

karbohidrat dan gula sangat berguna untuk menggantikan energi yang lebih cepat terkuras akibat cuaca yang cenderung panas. Nasi yang berbahan dasar beras merupakan produk dari darat yang belum dapat tergantikan fungsinya sebagai makanan pokok. Varian terhadap cara penyajian nasi dapat ditemukan terutama dalam sarapan pagi, berupa nasi uduk atau lontong isi yang lebih populer disebut selingkuh. Nasi goreng

l t c

Page 92: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

92

Orang Pulo

di Pulau Karang

dapat ditemukan di warung penjual makanan dan sesekali dalam hidangan harian keluarga.

Istilah lauk kerap disamakan dengan teman nasi. Jenis bahan untuk lauk adalah ikan dan hewan laut lainnya. Ikan yang kerap dihidangkan berasal dari jenis ikan plagis (pelari cepat) dari laut dalam, seperti tongkol, binsawan, cucut, kembung/layar; kemudian jenis ikan karang seperti ikan ekor kuning, ikan ela, ikan kupas-kupas, ikan kambing-kambing, ikan baronang, ikan teri, ikan lape, dll; dan jenis cumi-cumi seperti sumampar, kerang-kerangan yang disebut kima, serta berbagai jenis udang. Nama yang disebutkan di sini merupakan nama-nama yang berkembang di masyarakat.

Cara memasak ikan yang dapat diketahui hingga kini: dibakar atau dipanggang, digoreng dengan minyak sayur, dikuah kuning, digaram asam, dibrongkos, dan yang paling jarang ditemui adalah dibumbu balado. Pemanggang ikan dapat ditemukan hampir di setiap rumah, sehingga dapat dikatakan cara paling umum untuk

memasak ikan adalah dipanggang. Teknik memasak dengan cara panggang/bakar serta menggoreng merupakan istilah teknis yang khas Nusantara (D. Lombard, 1996). Teknik memasak semacam ini khas ditemui di daerah pesisir.

Sementara pengaruh dari luar pulau, yaitu dengan cara dikuah atau dibumbu balado tampaknya merupakan adaptasi dari daratan yang banyak dipengaruhi oleh cara memasak khas Tionghoa dan Minang. Cara memanggang dapat dikatakan sederhana. Saat ikan telah dibersihkan, kemudian diselipkan garam/mentega di bagian-bagian dalam ikan, agar muncul aroma. Rupanya rasa gurih yang terasa saat ikan panggang disantap muncul dari resapan garam ke dalam daging ikan. Ketika menginginkan aroma yang berbeda, dapat diselipkan bumbu-bumbuan ke bagian-bagian yang telah diiris, kemudian dipanggang.

Masakan ikan berkuah yang paling terasa segar untuk makanan harian adalah digaram asam. Jenis ikan yang cocok digaram asam umumnya tongkol atau

binsawan yang berdaging tebal. Kuah garam asam dibuat dengan cara mencampurkan garam dan sedikit gula serta asam, merica, dan irisan cabai merah (jika diinginkan). Warna kuah yang dihasilkan kecoklatan, hasil dari perasan asam. Irisan ikan tongkol dimasukkan paling akhir dan dibiarkan sampai mendidih sehingga rasa gurih-asam-pedas meresap ke dalam daging ikan. Untuk masakan yang terasa lezat dan segar kerap diapresiasi dalam bahasa Pulo dengan ungkapan akronim “Lezar!” alias lezat dan segar!

Sayuran termasuk bahan yang mudah didapat di Pulo, meski sudah tidak begitu segar karena teknik penyimpanan sayur sebatas dianginkan, tanpa pendingin. Dalam menu sehari-hari, sayuran lebih sering dimasak kuah (sop) atau ca (tumis). Akibat kurang segar, maka lalap sayur tidak begitu sering ditemukan. Salah satu cara untuk membuat kuah ala nelayan adalah dengan menuangkan air kelapa muda ke dalam piring berisi nasi, sehingga nasi tidak lagi berasa tawar, bahkan muncul aroma segar kelapa.

Sambal merupakan teman makan yang penting dalam kuliner Pulo. Sambal berfungsi sebagai pembangkit

l t c

Page 93: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

93

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

selera makan, sekaligus menambah aroma. Jenis sambal dari bahan segar yang paling kerap ditemui dan khas Pulo adalah sambal beranyut (baca: sambal beranyo’). Terdiri dari bahan-bahan cabai merah, garam, dan air perasan asam atau jeruk limau, sambal ini sangat pas untuk menemani makan ikan panggang. Varian sambal yang lain mudah ditemukan di berbagai tempat: sambal kecap, sambal acar, atau sambal botol yang biasa.

Makanan harian dibuat sendiri di rumah, meskipun di beberapa warung dapat ditemui sayur berkuah atau tumis sayur siap saji yang dijual dalam bungkus plastik untuk 2 atau 3 orang. Sambal siap saji juga dapat dibeli dengan harga Rp 2000 per bungkus. Ikan siap saji juga tersedia di warung. Jenis makanan lain yang siap saji adalah nasi goreng, mi goreng, dan mi rebus.

2. Makanan Kudapan/ Teman KopiMakanan kudapan adalah jenis makanan yang dimakan di antara waktu makan utama atau lebih kerap disebut teman kopi/

bekal iseng (istilah Pulo). Penjual kudapan kerap berkeliling di antara rumah-rumah dengan meneriakkan dagangannya, “Puk cue, oiiiii, puk cue…!” Teriakan penjual yang umumnya perempuan atau anak-anak merupakan penanda bahwa ekonomi informal yang berbasis makanan cukup menjanjikan di Pulo Panggang. Kudapan yang dapat ditemui juga sangat bervariasi dan porsi yang disediakan juga cukup mengenyangkan. Makanan khas Pulo kerap dijual sebagai jajanan dengan harga yang cukup kompetitif, antara Rp 1000 – Rp 3500.

Kekhasan lain dari penjual makanan kudapan adalah gerobak dorong yang digunakan untuk mengangkut wadah-wadah makanan. Tentunya gerobak ini difungsikan seperti pikulan di darat. Berdasarkan pengamatan, terdapat dua model alat angkutan yang dapat dikaitkan dengan kuliner, yaitu gerobak dorong (yang lazim digunakan di Pulo Panggang) dan gerobak baso (yang lazim digunakan di daerah Jakarta). Gerobak dorong ini yang kerap digunakan oleh para penjual jajanan di pulau. Jika jumlah makanan yang dibawa hanya satu atau dua jenis, maka biasanya cukup disunggi atau dibawa dalam wadah kotak plastik (plastic box).

Jenis-jenis makanan kudapan, berdasarkan pengamatan, terutama berbahan dasar ketan, tepung sagu (tepung kanji), dan tepung terigu. Bahan dasar seluruhnya berasal dari daratan. Sementara yang berbahan dari laut, seperti rumput laut, jarang ditemui. Makanan kudapan dapat digolongkan dalam kudapan gurih dan kudapan manis. Kudapan gurih, misalnya semar mesem yang berbahan dasar ketan diisi abon ikan, atau kerap juga disebut lemper goreng. Jenis lainnya adalah pastel ikan, baso ikan, puk cue’—adonan campuran ikan dan tepung sagu yang dikukus, pempek (puk cue’ digoreng), talam ikan. Kudapan manis yang dapat ditemui misalnya kue maco, peler bedebu atau klepon, putri mandri, bubur kacang, bubur sumsum, sengkulun, kue lapis, dan kue kolong (donat). Sementara minuman segar khas Pulo, es rumput laut, jarang kami temui.

Agaknya makanan kudapan di Pulo justru menggunakan bahan dan pilihan rasa yang berbeda dari makanan sehari-hari. Variasi lainnya adalah sosis goreng, siomay, baso Malang, gorengan, yang dapat ditemukan juga di darat. Meski kudapan dapat kita temui sepanjang hari, namun pada hari tertentu, terutama ketika ada hajatan, penjual kudapan juga dapat memilih untuk

l t c

Page 94: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

94

Orang Pulo

di Pulau Karang

l t c

Page 95: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

95

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

berlibur.Penjualan makanan kudapan membentuk sistem ekonomi

informal yang dapat menghidupi suatu keluarga, sebagai tambahan penghasilan yang didapat oleh para ibu rumah tangga dan atau anak-anak mereka. Berdasarkan informasi dari mbok Tinah (Ibu Kartinah), salah satu pembuat kudapan yang memiliki jaringan penjual keliling di Pulo Panggang, setiap bulannya ia dapat menghabiskan biaya lebih dari Rp 3.000.000 untuk membeli bahan mentah yang ia butuhkan dari warung/ toko penyedia bahan mentah. Biaya yang cukup besar tersebut kemudian dibayar secara angsuran (kredit) oleh mbok Tinah setiap minggu ke toko tersebut. Ketika mengawali usahanya 15 tahun yang lalu, mbok Tinah membayar lunas di depan. Setelah beberapa waktu menunjukkan perputaran modal yang cukup cepat, kini mbok Tinah memiliki jaringan toko yang bersedia memberikan angsuran berupa bahan mentah yang biasanya dibayar mingguan. Toko merupakan hulu dari modal, karena di pulau Panggang tidak ada produsen bahan mentah untuk membuat kudapan. Hampir semua jenis bahan mentah diambil dari darat, kecuali ikan yang hanya digunakan pada beberapa jenis makanan kudapan. Pembuat makanan berperan sebagai pengguna bahan mentah.

Rantai produksi berikutnya adalah jaringan penjual keliling. Penjual keliling adalah ujung tombak yang berhadapan langsung dengan konsumen. Para penjual, pada umumnya perempuan dan anak-anak, menjadi penggerak utama berputarnya modal. Biasanya penjual keliling telah memiliki rujukan siapa yang paling disukai makanan buatannya dan mengetahui pula karakteristik dari pelanggan-pelanggannya. Sebagai contoh, mbok Maisyah, salah satu penjual keliling dari jaringan mbok Tinah, sudah mengetahui

ke bagian pulau yang mana ia harus menjual makanan seharga seribu rupiah, dan ke keluarga yang mana ia harus menjual makanan kudapan seharga Rp 3500. Ia bahkan sewaktu-waktu dapat menyampaikan pesanan dari salah satu konsumen kepada mbok Tinah sebagai produsen. Para penjual perantara ini dapat mengambil keuntungan sampai 30%.

Para pelanggan pada umumnya sudah mengetahui jenis makanan yang mereka inginkan biasanya dibawa oleh penjual yang mana. Fenomena ini menunjukkan adanya dua model keterikatan antara penjual keliling dan konsumen, yaitu ikatan emosional yang dibangun karena kedekatan kekerabatan maupun keakraban, dan ikatan kebutuhan yang dibangun dengan logika dasar permintaan dan kebutuhan, yaitu semakin disukai rasanya, semakin laku makanannya.

Jaringan mbok Tinah merupakan salah satu rujukan penting untuk mempelajari model ekonomi informal di kalangan perempuan. Fenomena lain yang lebih sederhana adalah pola yang dilakukan oleh mbok Nah, salah satu pembuat pastel ikan yang disukai banyak orang karena tekstur kulit pastel yang lembut dan isi abon ikan yang lebih berbumbu dan padat (tidak kopong). Mbok Nah membuat pastel ikan di sela waktunya membantu suaminya mengurus usaha kerupuk ikan, jadi tidak dilakukan secara rutin. Pola yang dilakukan oleh mbok Nah dapat menghasilkan uang tambahan juga namun hasilnya lebih kecil dari jaringan yang dibentuk oleh mbok Tinah.

Tampaknya bagi kalangan perempuan, usaha seputar makanan kudapan dapat menjamin keberlangsungan hidup keluarga sekaligus upaya mengisi waktu yang efektif untuk menghilangkan kebosanan di rumah.

l t c

Page 96: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

96

Orang Pulo

di Pulau Karang

3. Makanan untuk Hari BesarUntuk menyambut hari besar keagamaan seperti Idul Adha dan Idul Fitri, sebagian besar keluarga di Pulo Panggang memilih

untuk berkumpul. Ikatan kekerabatan di dalam masyarakat Pulo masih cukup intensif, apalagi umumnya pernikahan terjadi antarkeluarga sehingga acara kumpul keluarga berarti bukan hanya dalam keluarga inti tetapi juga dengan keluarga misan dan besan yang masih berada di Pulo Panggang. Saat berkumpul inilah dapat terasa suasana ramai Pulo Panggang yang tidak lagi diwarnai oleh kegiatan ekonomi, namun oleh keakraban. Di berbagai rumah terlihat orang berkumpul dan berbincang ramai.

Makanan yang disajikan dalam acara kumpul keluarga biasanya makanan istimewa yang hanya terhidang pada hari lebaran. Salah satu jenis makanan dalam tradisi lebaran ini adalah kupat sayur ikan atau opor ayam. Daging merah jarang dikonsumsi oleh penduduk setempat kecuali dalam bentuk baso.

Bumbu kupat sayur ikan tidak berbeda dengan kupat sayur umumnya, hanya menggunakan tambahan jahe, untuk mengurangi rasa amis. Ikan yang dicampurkan sebagai suwiran umumnya jenis ikan plagis, ikan pelari cepat, yang tidak memiliki banyak duri. Untuk hidangan kali ini, ikan yang digunakan adalah ikan kembung. Warna kuahnya yang kemerahan khas daerah pesisir, yang lebih menyukai makanan berbumbu dan pedas.

Saat Idul Fitri, makanan kecil untuk teman kopi berupa biji ketapang, yang juga makanan khas di daerah Betawi pinggiran. Biji ketapang dibuat secara bersama-sama oleh para perempuan, ada yang untuk kebutuhan sendiri maupun pesanan. Kue ini hanya muncul saat Idul Fitri.

l t c

Page 97: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

97

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

4. Makanan dalam Ritual/ Peristiwa Khusus

Makanan yang terkait dengan ritual atau upacara atau peristiwa khusus di Pulo masih dapat kita temukan hingga kini. Di daerah lain yang memiliki kepercayaan selain Islam, sajian/hidangan makanan untuk satu peristiwa tertentu kerap dikaitkan dengan sesajian (sajen), yaitu makanan (bunga-bungaan, dsb.) yang ditawarkan kepada roh halus (KBBI, 2008: 1342). Di Pulo, istilah sajen sendiri tidak populer karena orang Pulo dominan beragama Islam. Jika orang Pulo ditanya tentang sajen, mereka akan menolak karena sajen terkait dengan perbuatan syirik (menduakan keyakinan terhadap Allah SWT). Sajen pada umumnya dikaitkan dengan sajian bunga-bungaan yang memang dipercaya sebagai makanan jin/setan .

Meski di Pulo terdapat makanan yang dihidangkan khusus untuk satu peristiwa tertentu, namun jenis makanan ini hanya dikaitkan dengan simbolisasi/ metafora dari tujuan wadagnya. Saat ada peristiwa khusus, orang Pulo menyambutnya dengan kegiatan “membaca” yang isinya membaca tahlil bersama-sama sehingga perlu ada hidangan makanan. Saat ini hidangan yang menjadi syarat dalam aktivitas membaca kerap tak lagi dipahami maknanya oleh orang Pulo. Di sisi lain, kegiatan membaca juga menjadi peristiwa sosial, yang memungkinkan pertukaran informasi serta pengetahuan di antara para undangan, contohnya berita orang sakit, kabar tentang nelayan yang sedang banyak menangkap ikan atau sebaliknya, yang tidak mendapat tangkapan, dan kabar sehari-hari lainnya. Yang hadir dalam kegiatan membaca pada umumnya lelaki, sedangkan perempuan biasanya hadir dalam peringatan kematian saat yang meninggal juga perempuan.

Peristiwa khusus yang masih dilakukan saat ini di antaranya membaca maulud, pernikahan, peristiwa kehamilan, kelahiran, pemberian nama jabang bayi, pemotongan rambut jabang bayi, sunatan, peringatan kematian, pengiring melaut, peringatan tahun baru, dan tolak bala. Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, di Pulo sempat pernah diadakan sedekah laut (sedekah bumi) yang diselenggarakan setiap tahun agar ikan yang menjadi sumber pencaharian penduduk, tidak habis. Namun acara ini kemudian hilang dengan sendirinya karena dianggap mengandung banyak syirik dan bid’ah. Kini orang Pulo lebih kerap menyelenggarakan pengajian bersama untuk memohon kepada Allah SWT agar rezeki mereka lancar.

Ritual yang sempat diamati secara langsung adalah saat

l t c

Page 98: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

98

Orang Pulo

di Pulau Karang

haul atau ambil taon. Inti dari haul adalah kebersamaan dan mendengarkan tausiyah/ nasihat dari ustadz. Saat haul maupun tahlil, suasana yang terlihat adalah kebersamaan, baik pada waktu mempersiapkan masakan, terlihat perempuan dan laki-laki dewasa terlibat di dalamnya, bahkan hingga penyajian dan beberes. Dalam haul Habib Ali bin Zen Al Aidid pada bulan Oktober 2011 silam, terlihat keluarga besar Habib Zen menjamu ratusan tamu yang datang dari berbagai tempat, baik penduduk Pulo maupun dari Jakarta dan Tangerang. Hidangan utama berupa nasi putih, semur daging, sayur acar, dan bihun goreng disajikan di atas nampan-nampan. Ibu-ibu terlihat memasak sementara beberapa lelaki yang masih anggota keluarga terlihat melayani tamu maupun membantu memanggang ikan yang jumlahnya mencapai lebih dari 300 ekor dengan ukuran sedang.

Hingga kini, ambil taon merupakan ritual yang masih dilakukan di Pulo. Saat tahlilan tersebut, keluarga yang berduka akan mengundang tetangga untuk berdoa bersama. Makna di balik berbagai hidangan khusus tersebut lebih terasa sebagai pengingat tentang prosesi kematian bagi yang masih hidup. Pelajaran-pelajaran penting tentang alam kubur dan dunia sesudah kematian dapat ditemukan pada makanan yang dihidangkan. Acara makan bersama selalu diselingi dengan kegembiraan sebagai wujud syukur masih dapat merasakan nikmat hidup.l t c

Page 99: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

99

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Pengetahuan tentang peristiwa khusus dan makanan yang disajikan sebagai syarat kami dapatkan melalui penuturan Ibu Rumenah serta beberapa tambahan dari Ibu Kartinah dalam kesempatan yang berbeda.

A. Membaca MauludMembaca Maulud yang

dimaksud adalah membaca puji-pujian terhadap Allah dan Rasulullah SAW. Aktivitas membaca ini kerap dilakukan terutama untuk menunjukkan rasa syukur baik karena mendapatkan r e z e k i / k e b a h a g i a a n maupun karena terlepas dari musibah. Meski kami belum dapat menggali lebih jauh makna dari makanan yang disajikan, namun hidangan berikut merupakan sajian istimewa di Pulo, di antaranya:

I. Bika AmbonMakanan khas dari

Medan ini rupanya menjadi

makanan khusus untuk hajatan. Para pembuat bika ambon yang telah dikenal kelezatan bika-nya akan selalu kebanjiran pesanan saat hajatan tiba.

II. Kue BugisBagian persiapan yang

sangat penting adalah pembuatan unti (isi dari kue bugis), yaitu parutan kelapa, gula pasir, kayu manis, gula jawa, air, dan daun jeruk yang dicampur menjadi satu di penggorengan agar lebih kering, kemudian dicampur sedikit tepung sagu untuk menghasilkan tekstur yang lebih kenyal.

III. Kue Pisang atau Lambang Sari

Dikenal di daratan dengan nama kue nagasari.

IV. SengkulunTerbuat dari tepung

ketan dicampur gula jawa dan santan, kemudian dikukus. Rasanya gurih dan manis, dengan tekstur yang kenyal tapi lembut.

Kue-kue yang disajikan dalam membaca Maulud merupakan kue yang istimewa, tidak dibuat untuk harian. Saat membaca Maulud diisi

dengan melantunkan barzanzi, tahlil, dan berdoa. Membaca Maulud ini dilakukan sebelum akad nikah, setelah sunatan, saat tujuh bulanan, dan memberi nama jabang bayi.

B. PernikahanDalam acara pernikahan,

serangkaian kegiatan dilakukan bersama-sama oleh yang punya hajat dan masyarakat sekitar. Perayaan pernikahan di Pulo selalu menjadi hiburan karena hingga kini masih ada acara arak-arakan. Rangkaian acara pernikahan biasanya diawali dengan membaca maulud dengan mengundang jamaah masjid, dilakukan sehari sebelum akad. Keesokan harinya, arak-arakan panjang akan mengiringi si penganten perempuan dari rumah menuju tempat nikah. Barisan pengiring dikepalai oleh sekelompok pemain marawis, kemudian rebana, pengiring dan penganten perempuan, dan ditutup sekelompok pemain musik pengiring lenong. Iring-iringan ini akan menarik perhatian

l t c

Page 100: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

100

Orang Pulo

di Pulau Karang

masyarakat sehingga ekor arak-arakan biasanya bertambah panjang. Saat sampai di tujuan, anak-anak dan ibu-ibu akan berkumpul karena yang punya hajat akan menebar uang receh berupa koin dan kertas (saweran). Keramaian ini akan dilanjutkan dengan musik orkes panggung di malam hari, bahkan terkadang sampai esok harinya. Orkes saat ini menjadi idola, seperti juga lenong dan wayang pernah menjadi idola di tahun 80-an. Makanan yang dipersiapkan untuk peristiwa pernikahan biasanya dalam bentuk “prasmanan”, yang terdiri dari mi goreng, ayam kecap/ ayam balado, semur terong, dan cap cay. Menu prasmanan dapat lebih bervariasi, namun keempat makanan inilah yang kerap muncul. Menurut mbok Tinah, makanan sejenis ini memang kesannya seperti makanan kampung, namun sangat disukai oleh orang Pulo. Makanan kota yang lebih variatif kerap kali kurang laku jika disajikan dalam hajatan.

l t c

Page 101: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

101

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

C. Peringatan untuk Jabang Bayi dan AnakPeristiwa khusus yang terkait dengan jabang bayi dan anak masih dapat kita temukan di Pulo. Jumlah kelahiran yang meningkat

pada tahun 2011 (data demografi dalam Laporan Bulanan Kel. P. Panggang mencapai 45 per Oktober 2011) mungkin menjadi peluang bagi bertahannya tradisi Pulo untuk peristiwa khusus semacam ini.

I. Tujuh BulanUntuk memperingati kehamilan sang jabang bayi yang ketujuh bulan, khususnya untuk anak pertama (bungas), disajikan

syarat, yaitu bubur lolos berwarna merah-putih, serabi yang dicocol dalam gula jawa, nasi ketan kuning dan putih, rujak dengan tujuh jenis buah. Makna dari syarat ini agar sang jabang bayi mudah keluar (lolos) saat tiba waktunya.

Prosesi selanjutnya adalah sang ibu hamil memutari rumah mengenakan kain sarung. Saat tiba di depan pintu rumah, bubur lolos merah-putih yang telah diwadahi daun pisang diloloskan dalam kain sarung dengan cara menumpahkan bubur tersebut ke dalam irik (besek)/ wadah yang berlubang-lubang agar mudah lolos.

Rujak tujuh buah harus dibuat sendiri oleh sang ibu. Diyakini bahwa jika rujaknya sedap, maka calon jabang bayi adalah perempuan. Jika camplang (kurang sedap), pastilah lelaki.

Setelah melahirkan, dulu ada kebiasaan agar sang ibu menduduki abu panas yang dibungkus plastik, untuk mengencangkan organ kewanitaan (tetep gempi). Selain itu, sang ibu juga disarankan meminum obat (jamu) berupa kencur dan kunyit yang digiling kemudian diperas dan disaring. Cairan yang telah disaring kemudian diminum langsung atau digagal/ direbus. Cara lainnya adalah memakan nasi menggunakan sambal kunyit yang dicampur dengan terasi bakar.

II. Memberi NamaSedekahnya berupa bubur pecak atau dipecakin dalam istilah Pulo. III. Memotong Rambut BayiSedekahnya berupa nasi kuning ketan dan kue-kue (terserah keluarga). Jika setelah aqiqah, anak masih belum bisa berjalan,

kedua kakinya disambu’ (dipukul pelan dengan sabut kelapa) atau ditanam (si bayi diberdirikan) pada setiap Jumat saat beduk panggilan sholat Jumat dibunyikan pertama kalinya.

IV. SunatanSedekah saat sunatan adalah nasi ketan kuning, bekakak ayam yang dibakar kemudian digantung cekernya, nasi goreng, dan

papasan (tujuh jenis buah yang dirujak dengan syarat utama harus ada nangka, agar luka bekas sunat segera sembuh).

D. KematianRitual seputar kematian selalu dapat ditemukan di berbagai tempat lain. Kekhasan yang dapat digali dari ritual kematian di

Pulo adalah makna dari makanan khusus yang disajikan dan hari penyajiannya. Ritual ini seakan-akan bermakna justru bukan bagi si mati, tapi bagi si hidup, yang dapat mempelajari dunia sesudah mati lewat berbagai simbol makanan. Meski budaya

l t c

Page 102: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

102

Orang Pulo

di Pulau Karang

ini kini semakin sedikit dilakukan, namun pengetahuan tentang hal ini perlu tetap dijaga agar tradisi ini tidak tenggelam dalam hiruk pikuk budaya massa.

I. Turun TanahTahlilan pada hari pertama

setelah meninggalnya seseorang. Hidangan yang disajikan adalah dodol ketan gula berwarna merah dan putih dan lambang sari. Kemudian memotong ayam sambil diiringi doa kubur. Makna dari pemotongan ayam agar si mayit dapat ‘nyeker’ atau berjalan tanpa alas kaki sehingga lubang kuburnya membesar.

II. Ketiga HariTahlilan pada hari ketiga dengan

hidangan sedekah berupa kue pasung (atau clorot di Jawa Tengah) yang bermakna sebagai tiang, serta kue serabi yang bermakna sebagai payung. Makna dari makanan syarat ini adalah supaya si mayit tetap dalam keadaan sejuk.

III. Ketujuh HariHidangan sedekah pada

hari ketujuh adalah kue yang mengembang, seperti bika ambon/kue bolu/ kue apem, yang

bermakna bahwa kondisi si mayit mulai membengkak dan rohnya sudah sampai di pintu.

IV. Tengah BulananUntuk memberi tanda bahwa

mayatnya sudah pecah, maka hidangan sedekah yang disajikan adalah sekuteng dan ketupat yang telah dibelah serta disajikan bersama sambal ketupat.

V. 40 HarianSebagai pertanda bahwa rohnya

sudah di atas bubungan/ atap, bentuk sedekahnya diserahkan pada keluarga.

E. Pengiring BekerjaI. Membaca Turun MotorSedekah ini dilakukan untuk

mengiringi perahu yang baru diturunkan ke laut. Hidangannya bubur merah-putih (pecak), onde-onde, nasi ketan kuning, dan roti-rotian.

II. Membaca Turun JaringSedekah yang dilaksanakan saat

menurunkan jaring pada musim ikan. Hidangannya berupa cendol, yang bermakna agar ikannya banyak seperti cendol, dan bubur pecak.

F. Ritual lainI. Kepala TaonDiadakan untuk menyambut bulan

sapar/ Shafar (suro). Sedekah yang

disajikan adalah bubur pecak (bubur suroh) dan nasi ketan kuning.

II. Membaca PrapatanMerupakan sedekah yang dilakukan

untuk mengusir setan dari setiap perempatan jalan, dengan kata lain tolak bala. Dilakukan pada setiap bulan Shafar dengan sedekah berupa bubur pecak.l t c

Page 103: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

103

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 104: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

Silat di Pulo

“...pantang pulang. Jika sudah maju, harus berhasil.” Silat menjadi salah satu aspek budaya Pulo yang penting dan juga memiliki nilai historis. Dalam satu kesempatan, Habib Zen, salah satu guru silat di Pulo Panggang, yang juga berorganisasi dalam Ikatan Pencak Silat Pulau Panggang (IPSPP), mengisahkan panjang lebar tentang sejarah lahirnya pencak silat di Pulo, juga peranannya saat ini dalam pembinaan generasi muda di Pulo Panggang. Untuk tujuan kedua ini, dalam kesempatan yang berbeda, pak Husni (77 tahun) juga mengisahkan peranan silat dalam kehidupan kaum muda pada masa lalu.

Silat berasal dari silaturahmi, yang berarti sebelum berperang harus silaturahmi dulu. Oleh karena itu, pandai silat juga dapat dimaknai panjang silaturahminya. Tiap bertemu orang lain (bersilaturahmi) akan dilanjutkan dengan tanding silat. Dalam hal ini, silat dapat dipahami bukan sekedar ilmu untuk membela diri, yang digunakan untuk menyerang atau mematikan lawan. Namun silat juga mengandung seni gerak, yang digunakan sebagai seni penyambutan, untuk dinikmati banyak orang. Dengan demikian, silat, baik sebagai seni bela diri maupun seni gerak, diawali oleh silaturahmi, yaitu bersambung rasa dengan orang lain.

Silat di Pulo Panggang diciptakan pertama kali oleh ne’ Deli, seorang keturunan Banten. Habib Zen bertutur tentang konteks diperkenalkannya silat

104

Orang Pulo

di Pulau Karang

l t c

Page 105: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

105

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

di daerah ini. Ada semangat antikolonialisme yang melatari tumbuhnya silat di Pulo. Latar belakang ne’ Deli, sebagai seorang pejuang anti pemerintah kolonial agaknya menjadi spirit utama untuk mengembangkan pencak silat.

“Pada waktu zaman Belanda keluarga Ki Sadeli itu, seperti Ki Hasan itu akan dimusnahkan Belanda. Pejuang juga, pejuang bangsa, yang memang notabenenya Belanda tidak suka pada pejuang-pejuang itu. Maka Ki Sadeli itu dikucilkan atau disembunyikan di Pulau Panggang. Memang beliau punya semangat juang tinggi, dari kecil sampai remaja beliau punya cita-cita ingin merebut kembali tanah persada Indonesia ini dari cengkeraman penjajah Belanda. Dari situ beliau mulai mempelajari jurus-jurus beladiri sehingga beliau hijrah keluar dan mencari guru-guru pencak silat sampai ke Tapak Arjuna sampai ke Mandar. Tapak-tapak Arjuna Jatim, sehingga dia pulang kembali ke Pulau Panggang bawa bekal dan siap berjuang dan alhamdulillah dengan bekal yang dia dapati dia kembangkan dan berlatih.”

Silat yang kemudian tercipta dari kreasi tokoh Pulo ini disebut silat alif, yang merupakan perpaduan dari beberapa aliran, yaitu Cimande, Cikalong, dan Mandar. Sebagaimana namanya yang merujuk pada kata ’satu’ (alif ), silat alif terinspirasi oleh keyakinan tauhid, artinya pesilat harus yakin dengan gerakan yang hendak dilakukan dan memohon kepada Allah SWT agar diijinkan untuk menguasai satu gerakan. Jiwa tauhid ini tercermin dalam proses belajar yang dijalani oleh para pemuda yang ingin belajar silat tersebut.

Pak Husni mengisahkan bagaimana ne’ Deli menggunakan perkumpulan pencak silat untuk membina anak-anak muda belajar mengaji, khususnya tentang tauhid. Saat pak Husni berusia belasan tahun, berarti sekitar 1930 – 1940an, ia belajar silat dengan tujuan menjaga diri sekaligus belajar agama, karena tiap kali selesai belajar silat, sang guru akan mulai mengajarkan tauhid dan fiqih. Pola pengajaran semacam ini berlanjut ketika Mursalin bin Nailin (ne’ Aing) meneruskan pembinaan generasi muda di Pulo. Pada masa ne’ Deli, beliau dibantu oleh anak-anak angkat (ne’ Machmud dan ne’ Syu’ait) dan menantunya (ne’ Rais) untuk membimbing generasi muda Pulo.

Seni bela diri yang diperkenalkan oleh ne’ Deli memiliki inti aliran gerak dari Banten, sementara untuk seninya, berasal dari Mandar. Aspek seni dalam silat kerap disebut sebagai ’kembangan’, yaitu gerakan silat untuk dinikmati, misalnya jurus ’gunung sekawan’ yang dipentaskan dalam pertunjukan lenong. Dalam pertunjukan ini, yang biasanya mengangkat kisah para centeng (tukang pukul) orang kaya (tuan tanah) yang bermusuhan dengan para jawara, adegan silat merupakan salah satu yang dinanti-nanti para penonton. Sang jawara akan menggunakan jurus-jurus andalannya untuk menghadapi centeng. Di Pulo, pak Nawawi, salah satu pemain lenong, biasanya memerankan jawara. Pemain lenong Pulo lain yang juga terkenal dengan permainan silatnya adalah wa’ Indera.

Ciri khusus yang membedakan silat alif dari aliran lain terletak pada ’anak pukul’ dan ’langkah’. Seperti di aliran lainnya, silat alif juga memiliki gerak pukulan, kuncian, dan tangkisan. Istilah-istilah khusus dari bahasa setempat kerap dijadikan atribut pembeda satu aliran dengan aliran

l t c

Page 106: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

106

Orang Pulo

di Pulau Karang

lain, namun pada hakikatnya berporos pada tiga gerak tersebut.Dalam silat alif, terdapat 36 jurus pukulan. Salah satunya

adalah ’anak pukul’, yang inti geraknya adalah sebisa mungkin menangkap atau memegang tangan musuh saat lawan hendak memukul. Ada istilah pantang pulang, yang berarti jika sudah maju, harus berhasil. ’Anak pukul’ memang digunakan untuk memukul kemudian dilanjutkan jurus ’ringkus’ yang digunakan meringkus lawan. Jurus-jurus ini termasuk dalam kategori mematikan, sehingga tidak dipentaskan, apalagi dilombakan.

Sementara gerak ’langkah’ merupakan gerakan pesilat yang seolah-olah mundur tetapi ada di belakang lawan. Dinamakan langkah tiga pancer. Selain itu, ada langkah empat, langkah lima sampai langkah kedua-belas.

“... seperti langkah, langkah juga sebenarnya ada maksud tertentu seperti langkah empat, langkah lima, langkah lima puter, langkah lima pencak lima, sampe terakhir langkah dua belas sikat dua bêlas. Ada misi-misinya sebenernya tapi kami ga bisa menjelaskan satu persatu, sebenernya itu kalau kita sudah menguasai, sedikit banyak didorong dengan keyakinan yang kuat, itu hal-hal yang tidak diajarkan bisa muncul dengan sendirinya seperti sikat dua belas. Guru manapun belum pernah mengajarkan yang namanya sikat dua belas tapi datang sendiri itu sikat dua belas kalau kita khusuk berlatih. Sikat dua belas itu datang dengan sendirinya.”

Gerakan lain yang menjadi gerakan khas silat Pulo adalah gerakan loncat melayang-layang. Khusus untuk gerakan ini memang tidak semua orang dapat melakukannya. Harus orang yang sangat meyakini ketauhidan, karena untuk gerakan ini kerap

kali pesilat mengaitkan dengan kehadiran, yaitu hal atau kekuatan lain yang menuntun pesilat untuk melakukan gerakan di luar kesadarannya. Beberapa gerakan terkadang dilakukan dalam keadaan tidak sadar, atau trench. Meski demikian, para pesilat alif menolak adanya kehadiran dalam pengertian ini, karena walaupun gerakan yang dilakukan oleh pesilat tidak bisa dinalar namun sebenarnya tetap dilakukan dalam keadaan sadar. Ini terbukti ketika si pesilat dapat menghentikan gerakannya ketika ia kehendaki. Artinya, pikirannya tidak sedang dikuasai oleh setan atau makhluk lainnya.

Dalam suatu pertarungan, saat lawan kalah dan tidak berdaya, berarti lawan dalam keadaan kosong. Dengan kata lain, lawan memberikan peluang agar terus diserang atau ’diberi’. Maka, kosong disebut juga tidak ada penjagaan atau tidak melawan. Jurus yang digunakan untuk menaklukkan lawan disebut jurus siliwa dan siliwaki. Ciri dari siliwa adalah tekuk, kuda-kuda yang dilakukan dengan cara tidak menapak tanah, tetapi berjinjit, sehingga lawan tidak bisa mentekel. Untuk menaklukkan jurus ini adalah dengan cara menginjak kaki si pengguna jurus siliwa.

Lain lagi dengan jurus pak Mat Ali, yang inti jurusnya adalah rasa. Informan mendeskripsikan jurus ini nampaknya dalam posisi menyerang ataupun diserang. Misalnya dalam keadaan imbang, ketika diserang apabila dipegang lawan sekencang apapun harus dilepas dan jangan sampai terpegang. Lalu, ketika lawan “memberi” boleh mendorong lawan namun jangan sampai terpegang sehingga lawan tidak memiliki peluang. Posisi menyerang dalam jurus pak Mat Ali ini yakni ketika ada peluang untuk memegang. Jurus pak Mat Ali sendiri diyakini sebagai jurus

l t c

Page 107: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

107

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

yang mematikan. Orang yang belajar silat

biasanya menerima jurus tidak selalu lengkap. Misalnya, orang yang seharusnya mendapatkan 12 jurus silat hanya mendapatkan sebelas jurus, satu jurus sengaja dihilangkan atau tidak diajarkan oleh sang guru serta pemberian jurus kepada murid tidak selalu runut urutannya. Hal ini dimaksudkan agar murid tersebut mempelajari ilmu dan jurus silat kepada guru lain dan akan memulainya kembali dari awal, sehingga silaturahmi sebagai filosofi dasar dari silat terus terjalin dari perguruan yang satu dengan yang lainnya.

Habib Zen juga menuturkan ada pantangan yang tidak boleh dilakukan yakni belajar silat tidak boleh dilakukan pada hari Jum’at, karena pada hari itu waktunya membaca serta diadakan selametan. Kalaupun ada latihan hanya sekedarnya saja. Selametan yang dilakukan mensyaratkan adanya kue tujuh rupa, kue utama adalah onde-onde selain itu ada pisang, tarasajen, kokolidong, dan kembang tujuh rupa. Air rendaman kembang tujuh rupa ini digunakan untuk mengobati pesilat yang terluka atau keseleo. Kembang yang tidak boleh untuk membuat air rendaman ini adalah kembang kamboja, mungkin karena kembang ini identik dengan kembang yang tumbuh di area

pemakaman.Pencak silat berkembang sebagai

gerakan anti pemerintah kolonial. Inilah spirit utama para pejuang, yaitu melawan penjajahan pada masa itu. Ne’ Deli muda mengalami sendiri bagaimana berjuang melawan penjajah, yang bukan hanya secara fisik tetapi juga penjajahan terhadap nilai, kepercayaan, dan identitas mereka sebagai Orang Pulo atau sebagai muslim. Maka, dalam mempelajari pencak silat mensyaratkan seorang murid mempelajari tauhid dan fiqih. Hal ini dimaksudkan agar sang murid selalu ingat siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Berkembangnya pencak silat pada masa awal tersebut sejalan dengan apa yang sedang mereka hadapi, yaitu pemerintah kolonial, sehingga mempelajari jurus silat harus dibarengi dengan ilmu agama.

“misinya pertama datangnya penyiaran agama, lalu belajar latihan silat. Kalau dulu kan dakwah, dan didampingi oleh mereka. Setelah mengaji lalu latihan silat, maka larinya memang ke agama juga pada akhirnya. Dulu kan seni untuk dakwah, jadi larinya memang ke agama. Kalau dilihat jaman Rasulullah itu mengambil sunnahnya, para Walisongo juga menyiarkan dakwah melalui Seni Wayang. Sebenarnya itu sama saja, hanya bahasanya saja yang berbeda. Jadi, seni untuk

l t c

Page 108: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

108

Orang Pulo

di Pulau Karang

dakwah, bukan seni untuk seni. Kalau seni untuk seni, orang yang tidak mengerti tentang seni tidak bisa ikut menikmatinya, bagaimana ceritanya? Makanya seni untuk berdakwah.”

Sesudah masa Hindia Belanda, ketika pencak silat tidak lagi digunakan sebagai antisipasi kontak fisik melawan penjajah, fungsinya pun berubah. Ketika para murid telah mendapatkan pengajaran agama dari institusi formal seperti sekolah atau institusi informal lainnya seperti pengajian, silat digunakan untuk mempertahankan diri, terlebih saat ini yang diwarnai banyak kasus perampokan, perogolan, dan penculikan. Belajar ilmu silat paling tidak dapat digunakan untuk menanggulangi tindak kejahatan yang dialami. Intinya belajar silat adalah yakin, pecaya diri, dan perasaan minat atau tertarik agar berani menghadapi lawan yang hendak melakukan kejahatan. Makna dan fungsi silat saat ini disesuaikan dengan kebutuhan generasi muda Pulo tanpa menghilangkan akar budayanya, yaitu inti dari silat itu sendiri, ilmu hikmah.

l t c

Page 109: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

109

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 110: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

110

Orang Pulo

di Pulau Karang

Lenong di Pulo

“Golok gue golok ciomas, potong seperak potong mas. Lo ngomong jangan terlalu panas, gue cacah seperti nanas.”

Bebodoran dalam bahasa Sunda merupakan salah satu bentuk lelucon atau lawakan. Selain dikenal sebagai bagian dari kesenian lenong, bebodoran di Pulo juga menjadi nama makanan yang terbuat dari beras ketan dan dibalur kelapa parut, berasa sedikit manis. Penganan ini sebenarnya seperti kue lupis tanpa kuah gula merah cair, dapat dimakan begitu saja dengan baluran kelapa parut. Kue ini yang menemani kami beromantisme dengan pak Nawawi tentang kesenian Lenong yang pernah dipimpinnya. Kini, pak Awi (panggilan akrabnya) tidak lagi bermain lenong, namun mengetuai kelompok nelayan seafarming. Ingatan pak Awi tentang lenong yang pernah dipimpinnya masih sangat lekat, sehingga fasih menceritakan masa-masa jaya ketika menjadi seorang jagoan di pentas lenong.

Dalam pentas lenong, pak Awi tidak pernah menjadi bebodor atau tukang lawak. Beliau lebih sering menjadi jagoan, centeng dari saudagar yang memiliki banyak harta. Bebodor sendiri dalam lenong adalah pembuka atau pengawal cerita. Pentas lenong selalu diawali dengan lawakan selama beberapa menit sebelum masuk ke inti cerita sesungguhnya. Dalam adegan ini, pemain lenong biasanya mengeluarkan banyolan-banyolan yang terkait dengan masalah aktual di lingkungannya. Di dalam adegan ini dapat terlihat ekspresi-ekspresi spontan bermuatan lawak yang dirasakan baik oleh pemain maupun penonton. Ekspresi spontan ini yang sama-sama dimiliki dan sedang dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam pertunjukan tersebut. Bebodor berfungsi sebagai pencair suasana dan mengundang

l t c

Page 111: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

111

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

daya tarik penonton agar lebih banyak penonton berdatangan.

”Bebodor itu adalah lawak, bebodor itu adalah lenong. Bukan makanan, kalau di lenong itu kan yang paling ditunggu lawakannya. Bebodor itu yang bawa cerita yang meramaikan penonton. Bebodor di kue itu belum lama, dulu ada lepet dan selingkuh. Kenapa dinamakan selingkuh, karena di Pulo banyak yang berselingkuh. Seperti halnya kue kolong, di Pulo banyak terjadi orang yang jahati bini orang, ketika lakinya dateng, ngumpetnya di kolong. Alia begente lebih lama diketahui orang Pulo.”

Peran jagoan yang selalu dimainkan pak Awi mensyaratkan mampu berpantun dan bermain silat. Unsur pantun dan silat selalu menjadi bagian tersendiri dalam pentas lenong. Sebelum kedua jago melakukan adu silat biasanya diawali dengan beradu pantun. Misalnya, ketika dia berperan sebagai jago atau centeng seorang saudagar kaya raya, lantas hendak merampas harta saudagar lainnya, terlebih dahulu beradu pantun. Adu pantun dan silat dilakukan oleh kedua centeng saudagar. Pantun pembuka ini biasanya adalah ”Sebelum lu ambil harta gua, lu langkahin dulu mayat gua.” Setelah, pantun pembuka ini, kedua centeng memperlihatkan kembangan-kembangan silat, mengambil ancang-ancang hendak menyerang satu sama lain dengan jurus masing-masing. Saat saling berhadapan dan mengambil ancang-ancang kembali pantun dilontarkan yakni, ”kesana tukang kemari tukang, tukang belarakan. Lo nantang gua nantang, gua pukul mukanya terberak-berak”. Lalu, dilontarkan lagi

pantun lainnya yakni, ”golok gue golok ciomas, potong seperak potong mas, lo ngomong jangan terlalu panas, gua cacah seperti nanas.”

Unsur pantun dan silat dalam lenong memiliki fungsi sendiri. Lenong sebagai bentuk ekspresi kesenian rakyat menempatkan pantun dan silat sebagai refleksi situasi yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya pada masa tertentu, dalam hal ini Orang Pulo. Pantun yang digunakan sebelum dilakukan adu silat baik dalam lenong maupun silat di dunia nyata merupakan bentuk kalimat penyemangat agar si pengguna silat lebih percaya diri. Hal ini terkait dengan fungsi silat, yaitu digunakan untuk mempertahankan diri maka kalimat penyemangat menjadi pemotivasi pelaku silat agar lebih percaya diri menghadapi orang yang berniat jahat. Sama halnya dengan yang dihadapi oleh kedua centeng, demi melindungi harta saudagarnya, mereka mempergunakan silat untuk mempertahankan diri. Maka pantun digunakan sebagai motivasi agar lebih percaya diri menghadapi lawan.

Pantun dilontarkan kemudian para centeng beradu silat di atas panggung hingga salah satu pihak ada yang menang. Pemenang adu silat berhak ”menggarong” harta saudagar yang kalah. Cerita lenong selalu memiliki nilai moral, seperti yang dikatakan oleh Kleden (1994), bahwa dalam cerita lenong selalu memenangkan pihak yang baik dan pihak yang jahat akan kalah.

Cerita dalam lenong, baik bebodoran maupun keunggulan pihak baik terhadap pihak yang jahat merupakan refleksi situasi yang sedang dialami oleh Orang Pulo pada saat lenong secara utuh dipentaskan. Lenong merupakan kegiatan kesenian yang merefleksikan dan mempermasalhakan tata kehidupan dan nila-nilai serta norma-norma yang ada pada masyarakat

l t c

Page 112: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

112

Orang Pulo

di Pulau Karang

pendukung (Danandaja, 1983: h. 18). Pentas lenong secara utuh saat ini hanya bisa diceritakan pak Awi karena tidak dapat lagi dilakukan pada saat ini, dilatari oleh berbagai sebab. Salah satu yang paling utama adalah tidak adanya regenerasi pemain karena minat anak muda di Pulo untuk mempelajari lenong minim.

Pak Awi saat ini hanya dapat beromantisme mengenang kejayaan lenongnya dulu. Pemain lenong Cinta Damai miliknya dahulu berjumlah 25 orang termasuk pemain alat musik gong, gambang, kromong, gihan, genjring, dan ada juga yang berperan sebagai pelantun lagu-lagu tidak lagi mementaskan lenong secara utuh. Bentuk kesenian lenong ini mengalami perubahan seiring aktivitas para anggotanya yang juga berubah. Bentuk yang tidak utuh ini dapat ditemui saat arak-arakan untuk hajat baik pernikahan maupun sunatan. Para anggota lenong saat ini berperan sebagai pengarak penganten keliling pulau dengan membunyikan beberapa alat musik yang masih tersisa dari grup Cinta Damai. Sambil bernyanyi dan membunyikan alat musik, beberapa mantan anggota grup ini mengarak penggelar hajat, seperti pengantin sunat, berkeliling Pulo.

Perubahan yang dialami oleh grup Lenong Cinta Damai dapat dilihat sebagai metafor perubahan yang sedang dialami oleh Orang Pulo. Dahulu Lenong yang pernah ada sejak tahun 1960-an sampai 1990-an selalu sejalan dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Ada masa-masa indah ketika Lenong Pulo pernah diundang di berbagai acara hingga ke Tangerang dan beberapa pulau lain dengan menampilkan cerita-cerita yang membuat penonton merasa larut di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dikatakan Esten, perkembangan lenong sebagai teater rakyat selalu mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat pendukungnya. Lenong merupakan

ceriminan dari kehidupan Orang Pulo. Perubahan struktur sosial dan tata nilai yang ditandai dengan semakin tua usia pelakon sehingga terjadi peralihan orientasi yang berfokus pada penguatan ekonomi rumah tangga, memengaruhi perkembangan di dalam kehidupan lenong tersebut. Pengaruh tersebut bukan saja mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk kesenian tersebut, tetapi pada tingkat tertentu dapat mengikis habis unsur esensinya, sehingga pada akhirnya kesenian tersebut dirasakan asing dan tidak dikenal lagi (Esten, 1983: h. 111-112).

Merujuk pada ingatan pak Awi, lenong yang pernah dipimpinnya mengalami masa kejayaan justru pada era 1980an sampai awal 1990. Memasuki tahun 1990-an, lenong mulai ditinggalkan. Banyak faktor yang menyebabkan lenong menguap. Di antaranya, pertama, para pemain lenong yang sudah menginjak usia tua memilih beristirahat dan fokus pada penguatan ekonomi rumah tangga. Sayangnya, parkirnya generasi tua pemain lenong tidak melahirkan generasi penerus yang mumpuni. Kedua, masuknya jenis seni modern yang lebih digemari generasi muda. Sebagai seni tradisi, lenong Pulo yang hidup di tengah kehidupan masyarakat muslim tradisional tidak berlangsung tenang. Periode tersebut ditengarai sebagai masa dimana orang-orang yang semula belajar ilmu agama di Darat mulai pulang dengan membawa pengetahuan baru ke Pulo. Pengetahuan ini menempatkan Islam beroposisi terhadap seni tradisi sehingga lenong harus minggir dan parkir seterusnya sebagai ruang ekspresi berkesenian masyarakat.

Menyebut jenis lenong ini, maka ia menjadi sangat akrab dengan Betawi. Tampaknya lenong yang pernah hidup di Pulo tidak lepas dari Darat. Diketahui bahwa lenong yang pernah ada di Pulo hingga 1990-an memang diawali oleh

l t c

Page 113: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

pembelajaran dari Darat (Jakarta). Tetapi ketika tiba di Pulo, ia mengalami improvisasi dari para pemainnya. Lagu-lagu dan pantun yang dilantunkan sangat identik dengan lagu-lagu atau pantun bercorak Betawi.

Lenyapnya tradisi lenong juga memerlihatkan perubahan bahwa Orang Pulo merasa lenong bukan lagi milik mereka. Kesenian tradisional, khususnya teater tradisional, akan berkembang atau bahkan lenyap sesuai perkembangan masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain, teater tradisional tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian teater tradisional akan terus berubah sampai titik tertentu sesuai kondisi sosial budaya pendukungnya. Perkembangan teater tradisional ini telah membawa teater tersebut sampai “perkembangan” tertentu, meski tidak berubah secara menyeluruh, ia bergeser dari aslinya. Hal ini yang dirasakan oleh Orang Pulo di tengah dinamika yang terjadi. Lenong yang sudah mati, tidak bisa lagi menyuguhkan keadaan kekinian Orang Pulo dalam bentuk pertunjukan teater.

Lenyapnya lenong di Pulo disinyalir karena kesenian ini bukan kesenian asli yang dimiliki Orang Pulo. Awal kehadirannya di Pulo pada 1970-an bersamaan dengan “reinkarnasi” kesenian ini sebagai salah satu kesenian asli Betawi. Pulo yang masuk wilayah Kabupaten Administrasi DKI Jakarta dikategorisasikan sebagai Betawi pesisir, karena berada di pinggiran pusat pemerintahan Jakarta yang beretnis Betawi. Ridwan Saidi mengemukakan bahwa wilayah kebudayaan Betawi pesisir meliputi wilayah Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda, Kalapa dan Kepulauan Seribu (Siswantari, 2000: h. 28). Hal ini identik dengan ide penggalakan kembali kebetawian, salah satunya

diwujudkan dengan memunculkan kembali Lenong, datang dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.

Shabab (2004: 36-37) menguraikan ide memunculkan kembali lenong sebagai kesenian Betawi karena tiga faktor. Pertama, lenong adalah salah satu kesenian Betawi yang tersebar luas di seluruh wilayah Jabotabek dan populer dibandingkan dengan bentuk kesenian lainnya di Jakarta. Kedua, kesadaran datang dari Pemda saat itu yang mengakui fungsi lenong efektif sebagai media memperkenalkan kebijaksanaan pemerintah kepada penduduk yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Ketiga, berdasarkan hasil penelitian Soemantri, seorang pemerhati kesenian lenong, diungkapkan bahwa potensi komunikasi yang amat besar dari lenong bukan hanya untuk orang Betawi tetapi juga non Betawi.

Begitu pula lenong “Cinta Damai” di Pulo. Dapat dikatakan lenyapnya lenong di Pulo karena kesenian ini merupakan “suntikan” dari pemerintah pusat. Perannya saat ini dirasa bukan lagi sebagai media komunikasi pemerintah ataupun refleksi terhadap kehidupan Orang Pulo. Terlebih ketika generasi penerus lenong ini sudah tidak ada dan peminat juga kian menghilang, lenong di Pulo tinggal cerita saja.

113

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 114: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

Tubir Pulo

Orang Pulo menyulap perahu-perahu layar dari Pesisir Utara Pulau Jawa (Sopek dan Kolek)

supaya cocok dengan perairan di sekitar Pulo

(Pak Rachmat, pembuat kapal)

Pulo di masa kini merupakan ruang tempat Orang Pulo bertahan hidup dan memperbaiki kualitas kehidupan mereka. Dalam satu diskusi yang diadakan oleh salah satu organisasi non pemerintahan

di Jakarta, para pemangku kepentingan di Pulo Seribu berkumpul untuk menuangkan ide akan seperti apa Pulo Seribu di masa depan. Warga Pulo Panggang khawatir suatu hari nanti Pulo tak lagi dimiliki oleh Orang Pulo. Pulo Seribu, dari waktu ke waktu, menjadi lahan eksploitasi sumber daya alam, mulai karang, hasil laut, daratan pulau hingga gas alam dan mineral.

114

Orang Pulo

di Pulau Karang

l t c

Page 115: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

115

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Berbagai kajian tentang Pulo Seribu dilakukan untuk menentukan strategi kebijakan dan implementasi agar kawasan ini tetap layak dihuni dan terjaga kelestarian lingkungannya, baik di daratan maupun perairan. Dalam kajian historis yang telah kami bahas di Ihwal Pulo, sejak awal dikenalnya Pulo Seribu dalam administrasi Hindia Belanda, kawasan ini telah dihuni oleh para nelayan tangkap. Eksploitasi yang dilakukan oleh Belanda di wilayah ini khususnya berbentuk penyewaan lahan pulau dan perairan. Seiring perkembangan jaman, model-model eksploitasi berubah, masyarakat yang mendiami Pulo Seribu pun berubah.

Kini, Orang Pulo memahami kesejahteraan ekonomi akan menjamin keberlangsungan hidup mereka di Pulo. Di sisi lain, mereka juga memahami pentingnya menjaga kelestarian alam. Beberapa kajian tentang aspek sosial masyarakat di Pulo memberikan gambaran tentang kurangnya kesadaran Orang Pulo menjaga alam mereka sendiri. Penilaian seperti ini perlu dikembalikan kepada masyarakat di Pulo. Sejak awal penghunian Pulo mulai diidentifikasi, sekitar tahun 1761, lebih dari tiga abad yang lalu, baru pada tahun 1905, dalam laporan dr. Winkler, diketahui cara hidup masyarakat Pulo. Padahal penyewaan lahan di wilayah ini telah berlangsung setidaknya sejak 1829, yang artinya pemerintah Hindia Belanda hanya mengambil konsesi sewa lahan, tanpa memperhitungkan orang-orang yang hidup di dalamnya.

Pada 1905, jumlah penduduk di wilayah Pulo Seribu hanya ratusan dan dalam waktu satu abad, mencapai lebih dari 20.000 jiwa. Selama lebih dari dua abad, Pulo Seribu terjaga kelestarian sumber daya hayatinya, karena Orang Pulo yang mendiami kawasan ini merawat tradisi leluhur mereka dengan tetap menerapkan ajaran bagi nelayan, misalnya menangkap ikan dengan cara yang paling ramah lingkungan: memancing dan bubu, dan menjaga kedamaian dalam lingkungan warga pulau, sebagaimana laporan H. Selleger tahun 1906. Saat itu, penanaman pohon untuk perkebunan juga dilakukan, bukan semata untuk diambil hasilnya, sekaligus berfungsi sebagai patok kepemilikan tanah.

Dari waktu ke waktu, Orang Pulo menunjukkan kemampuan mereka bertahan hidup di wilayah yang selalu dianggap tak bertuan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Mereka memodifikasi teknologi perahu pesisir Indramayu agar dapat digunakan di perairan karang, juga mempelajari teknologi jaring muroami dari orang Jepang. Hingga kini, kemampuan Orang Pulo untuk melakukan berbagai modifikasi teknologi perikanan masih terus berkembang, seperti teknik transplantasi karang dan budidaya ikan, juga pengolahan bahan mentah dari laut. Di masa mendatang, Orang Pulo mungkin akan menemukan teknologi untuk menyiasati keterbatasan lahan dan material bangunan, masalah utama yang kini mereka hadapi.

Secara sosial dan kultural, Orang Pulo telah lama memiliki konsepsi yang khas tentang lanskap. Di kawasan Pulo Seribu, Pulo Panggang terletak di tengah, sebagai mandala kepulauan karang. Di tengah Pulo Panggang, terdapat masjid, yang sejak dulu bermakna simbolik sebagai pemersatu dan penyelamat penduduk Pulo. Pada setiap pulau yang mengalami penghunian awal di wilayah ini, masjid selalu menjadi bagian dari sejarah perkembangan masyarakat Pulo.

Kini, perlu kita pahami berbagai tantangan yang dihadapi oleh Orang Pulo, terutama pada aspek daya dukung lingkungan untuk dihuni, yang akan terkait juga dengan aspek sosial dan kultural masyarakat di Pulo.

l t c

Page 116: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

116

Orang Pulo

di Pulau Karang

Apa yang dimiliki Orang Pulo?

Orang Pulo perorangan adalah petarung yang liat

Dalam lintasan sejarah, penangkap ikan, pengumpul agar-agar, tripang, dan karang serta pemanen kelapa merupakan para penghuni Pulo Panggang yang pernah tercatat. Sebelum tahun 60an, pohon kelapa tidak lagi menjadi komoditi Pulo. Kini Orang Pulo tak hanya menangkap ikan, juga melakukan budidaya, tak sekadar menanam pohon, juga melakukan transplantasi karang. Diversifikasi mata pencaharian dilakukan dengan berbagai cara, misalnya mengelola warung, pengawetan makanan, mengolah limbah tak-terurai, mengelola penginapan, pemandu selam atau merintis warung atas-air. Sumber mata pencaharian mereka tak jauh dari kondisi alam yang mereka diami, yang terdiri dari daratan dan perairan. Sejak dulu mereka berada dalam mata rantai perekonomian yang menghubungkan Pulo dengan Darat maupun pulau-pulau seberang. Secara ekonomi, para nelayan tangkap akan terkait dengan unit sosial-kemasyarakatan lainnya, antara lain kelompok moda nelayan sejenis atau berbeda,

l t c

Page 117: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

117

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

pemodal setempat seperti juragan, tengkulak, dan pelele, petugas pemerintahan (pamongpraja dan dinas perikanan), pengusaha sektor pendukung (usaha warung kelontong, warung makan), dan koperasi. Secara sosial, mereka juga akan terkait dengan ulama, wakil rakyat, dan aktivis ornop.

Jejaring ekonomi dan sosial yang mengelilingi para nelayan berbasis pesisir ini diterima Orang Pulo sebagai pola baru perekonomian yang harus disiasati. Ekonomi berbasis pariwisata yang telah dikembangkan semenjak tahun 80-an merupakan alternatif yang selaras dengan situasi Pulo sebagai bagian dari cagar alam perairan. Apa yang telah dilakukan oleh pihak swasta dengan pendirian cottage dan fasilitas wisata di Pulo Air Besar (Pulau-pulau Air) atau Pulo Laki dapat menjadi contoh. Tak mau ketinggalan, beberapa tahun terakhir, Orang Pulo responsif terhadap kebutuhan pariwisata dengan menyediakan jasa transportasi, pemanduan dan akomodasi, serta makanan. Perintisan usaha miniatur perahu yang memanfaatkan kayu-kayu bekas atau dari pepohonan merupakan contoh kreativitas Orang Pulo. Namun, sektor pariwisata pulau-pulau karang masih eksklusif dan belum banyak melibatkan partisipasi Orang Pulo. Pulau wisata seperti P. Payung Besar membutuhkan pegawai resort yang mampu berbahasa Inggris aktif dan pemandu selam bersertifikat internasional (Mujiyani et. al, 2002). Meski kapasitas semacam itu masih sulit dimiliki oleh anak muda di Pulo, karena berbagai keterbatasan di bidang ekonomi dan pendidikan, kini mereka membidik segmen konsumen kelas menengah Jakarta dan sekitarnya.

Kesadaran Orang Pulo bahwa dalam beberapa tahun ke depan, tempat mereka akan tertutup dengan sampah membuat beberapa orang termasuk ibu Mahariah mencanangkan

pengolahan kembali sampah non organik. Sampah yang berasal dari limbah konsumsi rumah tangga seperti bungkus kopi, deterjen, pewangi pakaian, wadah minyak goreng, dan lainnya diolah kembali menjadi barang kerajinan yang dapat digunakan, antara lain dompet telpon genggam, tas, gantungan kunci, dan sebagainya. Pengetahuan tentang pembuatan kerajinan ini ditransmisikan ke ibu-ibu Pulo dan hasilnya dijual di kios SPKP Samo-Samo (istilah setempat untuk padang lamun) di Pulo Pramuka, sebagai hasil kerajinan tangan Orang Pulo.

Kreativitas Orang Pulo untuk menciptakan ladang penghidupan dan mengelola sendiri lingkungannya merupakan contoh kegayalan mereka menyiasati tantangan alam dan kehidupan. Isu lingkungan yang kini dihadapi adalah semakin berkurangnya persediaan air tawar. Pompa air tanah terdapat di setiap rumah namun kualitas air tanah payau karena telah bercampur dengan air laut. Untuk mendapatkan air tawar, mereka menadah air hujan yang digunakan untuk keperluan mencuci pakaian. Sedangkan untuk minum, mereka membeli air minum kemasan (galon) untuk dikonsumsi. Kesulitan semacam ini juga disiasati oleh Orang Pulo. Di bagian tengah Pulo terdapat fasilitas osmosis untuk mengubah air laut menjadi air tawar, yang dikelola oleh Suku Dinas Pertambangan dan Energi.

Akses dari Darat ke Pulo Panggang dan Pramuka yang semakin lancar menyebabkan interaksi masyarakat semakin terbuka. Kondisi Pulo, baik darat maupun perairannya, semakin berubah. Selama dua abad berada di kawasan Pulo Seribu, Orang Pulo telah menghadapi banyak peristiwa dalam bentuk banjir laut, wabah penyakit cacar, musnahnya perkebunan kelapa, dan eksodus saat penjajahan Jepang. Untuk melewati masa-masa tersebut, Tokoh Pulo menjadi pengikat kerukunan dan pelindung penduduk, agar Orang Pulo dapat mencari penghidupan di

l t c

Page 118: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

118

Orang Pulo

di Pulau Karang

laut dengan tenang. Kini, Pulo banyak mengalami perubahan, antara lain semakin pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan luas wilayah, sedangkan perubahan dari luar salah satunya adalah penerapan kebijakan daerah dan kawasan dalam pengembangan wilayah dan masyarakat Kepulauan Seribu. Orang Pulo harus menghadapi sistem kemasyarakatan modern yang mengandalkan jaringan. Tanpa hadirnya Tokoh Pulo yang dapat memimpin masyarakat melewati masa transisi, perubahan lingkungan ini mensyaratkan adanya kesadaran Orang Pulo untuk mempercayai diri sendiri dan bersatu agar alam tempat mereka hidup dan berkembang dapat terjaga keberlangsungannya.

Apa yang disediakan Pulo untuk Orang Pulo?

Pulo sebagai definisi alam adalah lingkungan kaya sumber daya yang menua dan Pulo sebagai definisi sosial adalah komunitas padat dengan interaksi kuat dan kohesi rapat

Pulo berdiri di atas perairan yang kaya sumber daya tumbuhan dan binatang. Platform Seribu tidak hanya menyediakan cadangan pasir dan karang, juga gas dan minyak. Lanskap pulau-pulau kecil yang mempesona dan indahnya pemandangan bawah air merupakan karunia alam yang diwarisi dan dimiliki Orang Pulo, yang dapat ditandai pada keberadaan perahu, karang, ikan hias, keramba, pariwisata, dan masyarakat dan budaya.

1. PerahuAlat transportasi air ini merupakan bukti sejarah penghunian Pulo,

juga menandai tren eksploitasi sumber daya perairan dan pulau-pulau karang. Orang Pulo memodifikasi perahu-perahu pesisir untuk disesuaikan dengan keadaan perairan karang. Pak Rachmat, dari Pulo Panggang, dapat menjelaskan bagaimana sopek dan kolek dari Pesisir Utara Laut Jawa dibentuk untuk mampu melintasi perairan berpasir dan berkarang pada masa perahu

l t c

Page 119: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

119

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

layar. Ahli konstruksi kapal ini memprihatinkan konstruksi dan modifikasi kapal motor mesin untuk kebutuhan taksi dan ojek. Meningkatnya permintaan pengangkutan penumpang dalam jumlah besar mengakibatkan pembuatan kapal lebih mementingkan kapasitas angkut dibandingkan keamanan pelayaran dan estetika kapal. Suatu ketika kami melihat pembuatan sebuah kapal di Pulo Karya, bagaimana tukang kapal dengan kreatif menggabungkan kayu dan fiber sebagai material untuk membuat badan kapal. Fiber, material yang merusak kesehatan karena debu dan seratnya, dimanfaatkan untuk menyiasati kelangkaan dan mahalnya bahan kayu.

2. KarangPotensi batu karang di Pulo Seribu sejak dulu telah menjadi idola sehingga terjadi eksploitasi yang telah dimulai sejak jaman

Kesultanan Banten. Pemanfaatan batu karang dan kerang laut untuk konstruksi bangunan dan gedung serta kapur tulis. Sumber daya laut ini dinilai sama dengan pasir atau hasil tambang lain, dan dalam beberapa catatan lama yang berhasil dikumpulkan, batu karang Pulo Seribu menjadi campuran material dari bangunan-bangunan di Kesultanan Banten dan Batavia. Penambangan batu karang yang terjadi di Pulo Seribu selama tahun 1928-1931 digambarkan oleh Verwey mencapai 20.000-40.000 meter kubik, yang dimanfaatkan untuk pembangunan kota Batavia di masa itu (Sukarno, 1981 dalam Untoro, 2007). Perhitungan itu diperoleh berdasarkan pengamatan Verwey terhadap kurang lebih 40 perahu pengambil batu karang, dengan jumlah nelayan lebih dari 200 orang. Setiap perahu memuat tiga meter kubik batu karang, dan memuat dalam tempo dua atau tiga hari. Dalam waktu lima hari perahu yang sama akan kembali. Akibat pengambilan batu karang secara terus menerus, akhirnya menyebabkan tenggelamnya pulau Ubi, salah satu pulau di gugusan Pulo Seribu.

Penggunaan batu karang untuk bahan bangunan terutama dilakukan oleh para penguasa dan bangsawan, karena mahalnya pengambilan material yang harus dibayar. Di situs Banten Lama, arkeolog Heryanti Ongkodharma Untoro (2007) mengidentifikasi material ini sebagai bahan balok-balok dinding bangunan, fondasi bangunan, umpak penyangga tiang, panel penghias bangunan, peluru, nisan serta lepa. Pemasok utama batu karang untuk kebutuhan pembangunan ini diduga dari wilayah Pulo Seribu, yang lebih dekat dengan kawasan Banten, karena karang tidak dapat tumbuh dengan baik di Teluk Banten yang perairannya kotor dan berlumpur.

Batu karang dan mutiara dikategorikan sebagai produk ekspor Pulo Panggang oleh kontrolir Belanda, H. Selleger (1906). Ia mengamati adanya buruh penambang di Pulo. Namun pada tahun 1960, Muchtar dalam laporan penelitiannya tidak menuliskan adanya pengambilan karang dari Pulo Panggang, meski masih ditemukan mutiara tapi dianggap tidak begitu berharga. Sampai tahun 1960, sebagian besar rumah bilik di Pulo masih menggunakan bahan baku kayu dengan atap nipah, yang masih banyak ditemukan di sekitar Pulo.

Tahun 1980an, batu karang mulai digunakan untuk fondasi bangunan di Pulo seiring instruksi dari pemerintah untuk mengganti rumah dari kayu dengan rumah tembok, karena permukiman di Pulo saat itu dianggap kumuh. Selanjutnya, batu

l t c

Page 120: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

120

Orang Pulo

di Pulau Karang

karang juga digunakan untuk menguruk laut (reklamasi), setelah terjadinya ledakan penduduk dan menyempitnya lahan permukiman. Reklamasi dilakukan dengan cara menumpuk karang masif yang telah mati di lahan yang akan dibangun. Batu karang masih menjadi bahan konstruksi bangunan karena bahan lain seperti batu kali sulit didapatkan. Selain harus diambil dari daratan, biaya pengangkutannya pun cukup mahal.

Kesadaran Orang Pulo akan pentingnya terumbu karang sebagai habitat beragam hewan dan tumbuhan laut terlihat pada berbagai upaya yang dilakukan baik secara perorangan maupun lembaga. Orang Pulo hingga kini masih sangat bergantung pada keadaan alam laut mereka. Kebergantungan ini yang mendorong upaya konservasi terumbu karang untuk menjaga kelangsungan hidup biota dan masyarakat. Terumbu karang ini berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengikisan ombak dan arus laut.

Pada daerah soft coral, yang termasuk zona konservasi dalam penataan ruang TNLKS, terdapat petakan-petakan beton sebagai tempat transplantasi terumbu karang. Di bagian selatan Pulo Panggang, tepatnya dekat dermaga kapal nelayan, juga terdapat tempat budidaya karang laut. Areanya tidak terlalu besar dan tampaknya dimiliki salah satu nelayan ikan hias yang bertempat tinggal tidak jauh dari tempat ini. Di tempat ini tidak hanya ditumbuhi karang, juga Anemon (Heteractis magnifica) yang menjadi tempat hidup ikan merah putih. Area yang tidak jauh dari permukiman penduduk ini menjadi habitat hidup berbagai biota laut. Apa yang dilakukan oleh nelayan ikan hias ini merupakan bentuk pelestarian sederhana yang bernilai ekonomis. Pertumbuhan karang akan membantu anemon hidup, sehingga ikan merah putih, yang juga menjadi idola nelayan ikan hias, berdatangan dengan sendirinya. Area pembudidayaan karang dibatasi dengan tumpukan karang berlumut, membentuk persegi panjang besar dan memagari area ini dari lintasan kapal. Karang yang dibudidayakan adalah karang keras dari berbagai jenis yang dibuatkan dudukan dari semen sebagai media tumbuh karang dan ditaruh dengan kedalaman kira-kira satu meter dari permukaan laut sehingga masih mendapatkan cukup sinar matahari. Menurut salah satu informan kami, bibit karang hasil budidaya ini saat mencukupi usia akan ditransplantasi pada karang yang dianggap rusak.

Nelayan pembudidaya karang tersebut bagian dari kelompok yang memperhatikan kondisi karang di Pulo Seribu. Di Pulo Pramuka juga dikembangkan ekowisata yang membuat para wisatawan dapat berperan dalam pelestarian lingkungan. Selain menikmati keindahan alam, mereka terlibat dalam kegiatan adopsi karang yang dilakukan dengan cara membeli bibit karang hasil budidaya nelayan kemudian menanamnya di media tertentu. Bibit karang adopsi ini dapat dinamai sesuai keinginan wisatawan tersebut. Setelah itu kegiatan konservasi berlanjut dengan penanaman, yaitu menenggelamkan karang ke daerah yang kondisi karangnya rusak.

Ilustrasi di atas memperlihatkan sinergi dari potensi-potensi yang dikembangkan oleh masyarakat dan swasta. Pengembangan wisata berbasis konservasi lingkungan memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan dapat memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat Pulo. Masa penambangan batu karang telah lewat, kini Pulo memasuki masa konservasi karang, namun keuntungan dari karang belum lagi maksimal untuk Orang Pulo.

Peranan pemerintah, khususnya suku dinas Kelautan dan Perikanan serta TNLKS, dalam mengawasi usaha bibit karang

l t c

Page 121: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

121

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

untuk ekspor perlu ditingkatkan. Seorang informan memberikan gambaran bahwa nelayan yang menjual bibit karang untuk kebutuhan ekspor diwajibkan memberi kompensasi 10% untuk transplantasi karang dan setelah enam kali panen, nelayan harus mengembalikan semua bibit karang untuk ditransplantasi. Namun peraturan ini tidak dipatuhi oleh banyak investor maupun nelayan. Jika aturan ini dipatuhi, percepatan pertumbuhan dan perbaikan kondisi karang dapat dirasakan oleh Orang Pulo dan pemangku yang berkepentingan dengan konservasi karang. Nilai ekonomis wilayah permukiman dan konservasi dapat meningkat, kesejahteraan penduduk Pulo juga membaik.

3. Ikan HiasIkan, selain untuk konsumsi rumah tangga dan dilelang atau dikumpul pada tengkulak, juga diekspor berupa komoditi ikan

hias yang dikembangkan di Pulo Panggang, khususnya di wilayah barat. Ikan hias yang ditangkap atau ditangkar memberikan keuntungan yang cukup lumayan secara ekonomis bagi nelayan. Penangkaran ikan hias dilakukan secara alami dan belum bersifat budidaya, dengan cara mengumpulkan anemone di suatu tempat hingga suatu saat akan datang clown fish (Amphirion ocellaris), jenis ikan yang paling sering dilihat dalam aquarium milik nelayan setempat (disebut juga ikan nemo atau ikan merah putih, dalam sebutan setempat). Cara lainnya dengan sengaja membiarkan clown fish tinggal, sebab ikan ini tidak mudah pergi kecuali habitatnya terlalu padat. Selain itu, ada juga clown fish yang langsung diambil dari laut kemudian ditampung sementara sebelum dijual. Pengangkutan ikan hias ini biasanya menggunakan taksi air yang berangkat dari Pulo Panggang jam tujuh pagi. Berbagai jenis ikan hias dimasukkan masing-masing dalam plastik tahan air dan diberi cukup udara sehingga ikan-ikan ini dapat bernapas.

4. KerambaOrang Pulo kini memiliki keramba sebagai simbol baru

dari corak kehidupan nelayan. Banyaknya nelayan tangkap yang beralih profesi menjadi nelayan budidaya menandakan tingkat kesadaran yang semakin tinggi terhadap keterbatasan sumber daya alam. Nelayan harus membudidayakan ikan sampai siap panen kemudian memasarkan. Sepuluh tahun belakangan, budidaya ikan dalam keramba semakin diminati nelayan. Sebagai alternatif mata

l t c

Page 122: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

122

Orang Pulo

di Pulau Karang

pencaharian, budidaya ikan cukup menarik, selain karena sesuai peraturan dan ramah lingkungan, pemerintah juga banyak memberikan dukungan berupa pasokan bibit.

Masalah yang dihadapi saat ini adalah menurunnya bibit ikan kerapu yang ada di alam, sehingga pasokan bibit yang diberikan kepada seafarmer harus diatur. Bapak Nawawi misalnya, sebagai ketua seafarming, hanya mendapatkan jatah 5000 ekor bibit ikan. Sementara, pasokan bibit tersebut harus dibagi lagi ke seluruh anggotanya. Penurunan pasokan bibit ini terkait dengan penggunaan jaring muroami oleh para nelayan tangkap, sehingga ikan-ikan kecil yang sedianya sebagai bibit ikan budidaya ikut tertangkap. Meski jumlah pasokannya saat ini masih kurang memadai dibanding tingkat pertumbuhan nelayan budidaya, pemerintah tetap berupaya memberikan solusi yang semakin berpihak kepada nelayan budidaya ini.

Masalah lain yang dihadapi adalah penataan lanskap perairan untuk keramba. Keramba di permukaan goba Pulo Panggang centang perenang tanpa mengindahkan kenyamanan dan keindahan lanskap perairan, dan mungkin juga cukup merepotkan lalu lintas perahu. Penataan keramba diperlukan agar selain memberikan nilai ekonomis, juga menjadi obyek wisata tersendiri, karena nilai estetiknya. Untuk menata lanskap ini, para pelaku budidaya keramba perlu berkoordinasi. Selain itu, terjadinya pencurian ikan dari keramba, perlu diatasi oleh komunitas nelayan budidaya keramba. Keramba berpotensi dapat dipergunakan sebagai penanda khas Pulo, jika Orang Pulo mampu menciptakan keramba-keramba yang menjadi ciri dari Pulo. Warung Apung yang kini dirintis tidak jauh dari soft coral dan rumah panggung di bagian barat dan timur Pulo Panggang dapat menjadi alternatif, yang juga menandakan usaha dan bangunan yang lebih menyesuaikan dengan kondisi alam akan menjadi ciri kehidupan Pulo di masa mendatang.

Kami belum mengetahui dampak dari penggunaan pelet atau bahan konsentrat lain buatan pabrik terhadap lingkungan mikro di sekeliling keramba atau pengaruhnya pada kualitas air tanah di sekelilingnya. Nelayan budidaya dan ahli perikanan tentu telah memiliki cara untuk mengatasi dampak tersebut bagi kualitas air laut maupun ekosistem di dalamnya. Di Darat, kami sudah biasa makan ayam kampung dan ayam pedaging, nampaknya kami juga siap untuk mencicipi ikan alam dan ikan broiler dari Pulo.

5. PariwisataTumbuhnya pariwisata menumbuhkan peluang penghasilan tambahan bagi nelayan tangkap dan nelayan budidaya.

Pekerjaan sampingan ini terkait dengan pariwisata yang berkembang di Pulo Panggang – Pramuka. Para nelayan yang tadinya bekerja sepanjang minggu, kini memotong waktu bekerja mereka sebagai nelayan di akhir minggu. Mereka kemudian beralih menjadi pemandu wisata, karena pada saat itu jumlah wisatawan meningkat.

Pertumbuhan pariwisata di Pulo Seribu yang menjadi amanat dari Perda No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta, mendorong Orang Pulo untuk menyamakan visi dan melihat peluang yang tersedia. Dalam berbagai aspek, Orang Pulo sangat tergantung pada kondisi alam mereka, sehingga mereka tetap berupaya menjaga hubungan harmonis mereka dengan alam.

l t c

Page 123: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

123

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Beberapa tahun belakangan, Pulo Seribu semakin dilirik sebagai tujuan wisata oleh kalangan menengah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Warung Apung memanfaatkan peningkatan jumlah wisatawan yang datang untuk menikmati alam Pulo Seribu dengan menyediakan makanan dan minuman untuk wisatawan yang sedang snorkling di tepian daerah soft coral.

Di Pulo, saat ini terlihat kemajuan signifikan dalam pengembangan wisata dan fasilitas penunjang pariwisata. Semakin banyak fasilitas penginapan yang disediakan di Pulo Pramuka, sehingga Orang Pulo memiliki penghasilan tambahan dengan melayani keperluan para wisatawan. Akses ke Pulo Panggang dan Pramuka juga kian lancar, terlihat dari beroperasinya taksi dengan jadwal tetap yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar. Hingga tahun 2005, akses menuju daratan dan sebaliknya hanya menggunakan kapal nelayan dengan kapasitas penumpang sangat terbatas dan pengoperasiannya harus membuat janji terlebih dahulu dengan nelayan yang bersangkutan.

l t c

Page 124: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

124

Orang Pulo

di Pulau Karang

l t c

Page 125: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

125

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

6. Masyarakat dan Budaya

Wajah Pulo adalah kekerabatan yang erat, identitas Pulo yang kukuh, bertahannya nilai kolektivitas, dan terpeliharanya sistem keyakinan

Orang Pulo kini masih dikenal sebagai komunitas yang intensif dalam hubungan kekerabatan. Model pernikahan endogami dan eksogami berhasil menguatkan sekaligus melebarkan ikatan Orang Pulo di dalam maupun keluar komunitasnya. Setiap lebaran, Pulo Panggang dipenuhi oleh kerabat dari pulau-pulau lain, maupun daratan, yang datang berkunjung untuk menghormati nenek atau buyut mereka di Pulo. Perpindahan lokal antarpulau kerap terjadi, dan ini justru meluaskan jaringan kekerabatan antarpulau.

Terikatnya hubungan keluarga secara internal memudahkan Orang Pulo membangun identitas mereka saat menghadapi entitas di luar mereka. Identitas sebagai Orang Pulo bukan hanya bermakna memiliki hubungan kekerabatan, juga bermakna memiliki pengalaman yang sama dalam menghadapi lanskap alam, yaitu pulau-pulau kecil di tengah laut lepas. Kekhasan lanskap alam membentuk mentalitas Orang Pulo dan menyatukan mereka secara emosi. Apa yang sama-sama mereka hadapi saat berada di daratan pulau, terisolir dengan akses terbatas baik fisik maupun virtual, tantangan alam berupa musim Barat dan Timur, dan ancaman badai, membentuk kesamaan perilaku dan keyakinan terhadap alam.

Salah satu bentuk hubungan dengan alam terlihat dalam perilaku keseharian para perempuan yang berprofesi sebagai pembuat kue dan penjaja makanan keliling. Jika pasokan ikan jenis tertentu (binsawan dan tongkol) tidak mudah didapat akibat cuaca yang kurang menguntungkan, ibu-ibu pembuat dan penjaja makanan keliling akan berhenti berjualan. Mereka masih beranggapan bahwa ikan yang ditangkap hari ini, harus langsung diolah, dan hasil olahan langsung dijual. Makanan harus menggunakan bahan segar dan tidak diawetkan. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang segar, langsung dari alam, merupakan salah satu ciri identitas Orang Pulo, karena mereka berada sangat dekat dengan alam.

Identitas yang menguat sebagai Orang Pulo menciptakan kolektivitas yang berharga. Ikatan emosi sebagai Orang Pulo membuat masyarakat yang hidup di pulau mau saling membantu, dan menyingkirkan kepentingan individu untuk kepentingan kolektif, atas nama keluarga maupun masyarakat Pulo. Dulu pernah ada tradisi nyambang sebagai bentuk solidaritas antarnelayan. Ilustrasi yang terlihat dalam perilaku keseharian adalah ketika menggelar hajatan. Para tamu yang akan hadir pasti membutuhkan transportasi laut untuk tiba di tempat hajatan, baik di Pulo Panggang atau Pramuka. Jarak antarpulau yang ditempuh sekitar 20 menit harus menggunakan ojek kapal, dan biaya transportasi ini ditanggung oleh penggelar hajatan. Hal ini menunjukkan ikatan komunal yang masih erat hingga si empunya hajat bersedia menyewa ojek kapal bagi para tamunya.

Hal lain yang patut dicatat adalah keyakinan dan kedamaian jiwa yang tercermin dalam hubungan Orang Pulo dengan alamnya. Alam Pulo sewaktu-waktu dapat berubah, karena banjir laut, penyakit cacar, wabah yang menyerang perkebunan maupun rumput laut, badai, dan penyebab alam lain yang langsung dapat dirasakan oleh manusianya. Berubahnya fenomena

l t c

Page 126: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

126

Orang Pulo

di Pulau Karang

alam yang tak terduga ternyata tidak membuat kehidupan sehari-hari di Pulo menjadi cepat berubah. Keterikatan Orang Pulo pada tanah yang mereka diami membangun keyakinan yang khas terhadap kehidupan mereka sendiri. Mereka percaya bahwa apa yang didapat hari ini, untuk hari ini, dan esok alam akan memberikan lagi. Mereka tidak merasa khawatir dengan apa yang akan mereka dapat esok hari, karena Orang Pulo memiliki kreativitas untuk mengolah hasil yang didapat pada hari ini. Misalnya, ketika hasil tangkapan teri yang mereka dapatkan tidak menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, mereka akan menciptakan pilihan untuk mengolah teri tersebut menjadi panganan. Olahan panganan seperti pepes teri dan bakwan teri akan menghasilkan nilai ekonomis lebih tinggi ketimbang dijual mentah tanpa diolah.

Adakah Warisan Pulo untuk Orang Pulo?

Apakah Warisan Pulo itu nderes, nyambang, dan babang?

Selama tinggal di Pulo, kami masih menyaksikan kegiatan nderes dan nyambang serta mendengar kisah-kisah babangan dalam sejumlah tatap muka. Anak-anak mengaji di siang dan sore hari, perempuan dan laki-laki akan berdatangan mengerubuti para nelayan yang baru tiba dari melaut, dan saat bertatap muka dengan para informan dari generasi Orang Tua dan Dewasa, selalu ada kisah dari pulau seberang yang pernah mereka singgahi. Inilah keseharian Pulo yang mewarnai dan terasa seperti penunjuk waktu selama di sana. Ketiga aktivitas ini seakan mewakili konsep ruang yang secara tradisional dimiliki Orang Pulo: Tengah, Barat, dan Timur.

Dengan nderes, Orang Pulo seolah dibentuk untuk berkeyakinan terhadap yang Maha Pencipta, agar manusia bertakwa pada ketentuan-Nya dan beribadah, menegakkan syariat agama. Identitas agama di sini tidak sekedar tampil di permukaan, melalui seragam baju muslim atau maraknya pengajian. Kami melihat fenomena Tengah, kaum nelayan yang terus-menerus mencari jalan mendekat kepada yang Maha Esa; mengeja dan membaca sumber ilmu pengetahuan dari alam dan masyarakat di sekelilingnya. Anak-anak diajarkan menyeimbangkan praktik beragama dalam kehidupan yang kosmopolit dengan tetap mengaji dan mengikuti pendidikan formal dengan bersekolah.

Nyambang merupakan fenomena kultural dan sosial yang selalu menarik perhatian selama di Pulo. Menurut cerita Orang Pulo, dulu nelayan tidak segan disambang karena tangkapan ikan banyak. Bentuk nyambang kini berubah, nelayan menjual ikannya lebih murah jika didatangi langsung, meski sekarang tak bisa berharap selalu ada ikan yang berhasil ditangkap. Nyambang berhasil mengasah naluri kemanusiaan dan kepekaan terhadap situasi alam. Saat nyambang, tak hanya mendapat ikan, juga pengetahuan tentang keadaan di laut. Tradisi nyambang membuat manusia Pulo mengutamakan kebaikan sesama dan kemaslahatan bersama. Di daratan, ada contoh untuk mengurangi rezeki bagi tetangga yang sedang tidak beruntung atau menafkahi anak yatim. Di lautan, dicontohkan oleh Orang Pulo untuk saling menolong dengan sesama pengarung perairan yang

l t c

Page 127: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

127

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

sedang mengalami kesulitan di tengah laut atau merawat jenazah korban ganasnya lautan atau jahatnya manusia. Nyambang adalah menuju ke Timur, mempercayai adanya hari esok untuk disambut dengan ikhtiar hidup dan percaya adanya rezeki yang baik.

Babang, merupakan uji kompetensi bagi para petarung-penelusur perairan karang. Orang Pulo ditanamkan untuk tangguh dan bingkas menghadapi tantangan alam dan sosial. Ketika pulang ke pulau karang, Abdullah Saban membawa cenderamata dari pertarungan laut, ne’ Deli membawa ketauhidan dari perjalanan mencari ilmu, wak Jafar membawa kehormatan sebagai nakhoda kapal, bang Alfian membawa kabar tentang gemerlap megapolitan Jakarta, dan banyak Kisah Pulo lainnya. Babang adalah menuju ke Barat, menerima dan mensyukuri upaya, juga menikmati dan menghargai hasilnya.

Dalam proses ini, sebuah garis historis Kisah Pulo terbentuk. Darah Putih berada dalam legenda, Abdullah Saban berada dalam kronik sejarah, ne’ Deli dan ne’ Aing berikut Tokoh Pulo lain berada dalam kenangan bersama, pak Husni dan wak Jafar berikut para orang tua lain di Pulo sedang mendampingi generasi yang lahir tahun ‘60an, memberi arah bagi masa depan Pulo. Sementara generasi yang lahir tahun ’70 dan ‘80an mulai memperkuat Pulo agar generasi berikutnya, yang sekarang masih sekolah lanjutan, dapat menikmati cerah Musim Penengah dan menghadapi keras Musim Barat.

Modalitas kemasyarakatan dan budaya yang dimiliki oleh Orang Pulo: kekerabatan, identitas, kolektivitas, dan keyakinan Pulo merupakan spirit komunitas yang dapat didayagunakan untuk menghadapi tantangan ke depan. Modalitas alam hingga kini terus disiasati untuk menjamin keberlangsungan hidup Orang Pulo.

Orang Pulo jelas tidak sendirian menghadapi masa depan. Para pamong, perorangan, dan lembaga dari komunitas luar Pulo yang berkepentingan atau berkebutuhan, merupakan mitra bekerja bersama. Tantangan bagi Orang Pulo kini adalah menguatkan modalitas yang telah dimiliki dan tersedia dari alam, masyarakat, dan budayanya untuk membangun visi ke depan. Bentuk kooperasi sejalan dengan semangat dan karakter masyarakat pesisir.

Kooperasi perikanan dan konsumsi pernah dirintis puluhan tahun silam di Pulo, dan inilah salah satu wujud revitalisasi Warisan Pulo pada masa itu. Kooperasi untuk bidang ekonomi dan budaya mungkin dibutuhkan Orang Pulo masa kini untuk mengantar mereka ke masa depan. Keduanya berperan sebagai wadah sosial, yang saling membutuhkan dan saling mengisi bagi dinamika ekonomi dan budaya Pulo. Orang Pulo memiliki dua hal: pemahaman yang mendalam terhadap Pulo sendiri dan pengalaman dalam menghadapi situasi alam dan masyarakatnya.

l t c

Page 128: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

128

Orang Pulo

di Pulau Karang

Tabeh“Kalau nanti ke Darat, jangan

dibuang bapak, ya.Jangan sampai putus, gitu…”

Manusia dan masyarakat dapat dipahami bukan hanya dengan bertatap muka langsung tetapi juga dari catatan dan kabar yang telah ditulis

tentang mereka. Dari catatan yang kami dapatkan terlihat perubahan cara pandang kolonial terhadap masyarakat di Kepulauan Seribu. Awalnya, kita dapat memahami Orang Pulo hanya dengan kacamata para kontrolir Batavia yang tersusun dalam laporan pemerintahan. Selanjutnya, orang Belanda sendiri mulai tertarik pada masalah manusia di Pulo. Salah satu kabar kami dapatkan dari artikel berjudul “Vader en Kind, de Beweldige van Poeloe Panggang” (Ayah dan Anak, Si Hebat dari Pulau Panggang).

l t c

Page 129: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

Begini ringkasan ceritanya …Seorang juragan ikan di Pulo Panggang bernama Sanip didenda 3,50 gulden oleh pengadilan karena telah berbuat keributan

di Pulo. Rupanya Sanip bertengkar dengan Moekmin, seorang nelayan miskin, yang istrinya meminta pisah lantaran tergiur dengan kekayaan milik sang juragan, Sanip. Istri mengucapkan, “ Nou tabeh! Slamat djalan!” Saat berpisah, anak semata wayang Moekmin ikut serta dengan sang mantan istri. Suatu hari sang anak sakit keras sehingga ibunya meminta Sanip (suami barunya) mengijinkan Moekmin datang menjenguk sang anak. Karena tidak dapat menahan amarah dan cemburu, Sanip berbuat keributan ketika Moekmin dan enam nelayan lainnya tengah berdoa untuk kesembuhan sang anak. Kasus ini berakhir di pengadilan dan Moekmin pasti lega karena Sanip dihukum denda.

Moral dari cerita ini sederhana, pihak yang benar mendapatkan keadilan. Kisah sederhana ini dimuat di harian berbahasa Belanda yang terbit di Medan, De Sumatra Post, pada 1939. Agak berbeda dengan berita tentang orang Pulo beberapa waktu terakhir, yang lebih membicarakan padamnya listrik, kurangnya air tawar, bangunan sekolah yang rusak, gagalnya pengiriman bantuan bencana karena cuaca buruk, dan pesona alam Pulo. Sejauh ini, kita berminat pada alam Pulo dan fasilitas di sana. Kisah Orang Pulo seolah karam di balik hiruk pikuk megapolitan Jakarta.

Tabeh!

129

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 130: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

130

Orang Pulo

di Pulau Karang

Penuturl t c

Page 131: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

131

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

l t c

Page 132: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

132

Orang Pulo

di Pulau Karang

Aa, A.J.v.d. 1849. Nederlands Oost-Indië, of Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië. Amsterdam: J.F. Schleijer.Ambary, H.M. 1984. L’Art Funéraire Musulman en Indonésie des Origines au XIXe Siècle: Etude Epigraphique et Typologique. Paris: Ecole

Des Hautes Etudes En Sciences Sociales Paris.Ambary, H..M. 1997. Makam-makam Islam di Aceh. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.Anas, M. 2007. Jejak Bajak Laut di Pulau Panggang, Suara Merdeka, 8 Mei 2007. Semarang: (http://suaramerdeka.com).Anonim. 1832. Advertentie: Nagelaten Boedels, Javasche Courant, No. 93, 7 Agustus 1832. Batavia: (Landsdrukker) (http://kranten.kb.nl/)Anonim, J.1853. Batavia, Java Bode, No. 41, 25 Mei 1853. Batavia: (Bruining) (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1859. In Naam des Konings. Java Bode, No. 80 , 5 Oktober 1859. Batavia: (Bruining) (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1861. Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indië, 1 Januari 1861, Aflevering 1. Amsterdam: P. N. van

Kampen.Anonim. 1876. Inlandsch Bestuur, De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, No. 85, 7 April 1876. Semarang: De Groot, Kolff

& Co (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1883. Tweede Blad. De ramp van Krakatau, Het Niew van den Dag, No. 4183, 9 Oktober 1883. Amsterdam: (Steendrukkerij Roeloffzen

en Hübner; NV De Kleine Courant) (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1903. De Duizend-eilanden als oefenterrein voor de Vloot. De Sumatra Post, No. 49, 27 Pebruari 1903. Medan: (Hallermann, J.)

(http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1924. Zesde Blad. Inspectie-tocht naar de Duizend Ellanden, Het Niews van den dag voor Nederlandsch-Indie, No.226, 20 September

1924. Batavia: (NV Mij tot Expl. van Dagbladen) (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1932. Anonymous, Archipel, Aanmoediging Indlandsce visscherij, Beteeknb van Visscherij-station, De Sumatra Post, No. 290, 15

Desember 1932. Medan: (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1935. Rupsenplaag op Duizendeilanden, Afdoende Bestrijding niet loonend, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, No.

151, 4 Juli 1935. Batavia: (NV Mij tot Expl. van Dagbladen) (http://kranten.kb.nl/)Anonim. 1939. Vader en Kind. De Geweldige van Poeloe-Panggang, De Sumatra Post, No 101, 5 Mei 1939. Medan: (Hallermann, J.) (http://

kranten.kb.nl/)Arief, A., et al. 2011. Krakatau, Menyingkap Rahasia Kehidupan. Liputan Khusus Espedisi Cincin Api, Kompas, 19 November 2011. Jakarta:

(Kompas). h. 33-44Attahiyyat, C. (1991). Onrust: pulau tanpa istirahat, yang telah istirahat. Jakarta: Erasmus Huis dan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.Bellwood, P. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Prehistory of the Indo-Malaysia Archipelago (1997). Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.Blink, H. 1905. Nederlandsch Oost-en West-indie. Leiden: Boekhandel en Drukkerij voorheen E.J. Brill.Boetzelaer, E. O. v. 1948. Regering van Nederlandsch-Indië No. 1, Staatsblad 1948, no. 178.Brug, P.H.v.d. 2007. “Batavia yang tidak sehat dan kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas” dalam Jakarta Batavia: esai sosio-kultural.

(eds.) K. Grijns and P. J. M. Nas. Jakarta: Banana & , KITLV-Jakarta: 47-80.Burkenroad, M.D. 1946. “The Development of Marine Resources in Indonesia.” The Far Eastern Quarterly 5(2): 189.Carnbee, B. M. v. 1853. Kaart de Residentie Batavia. KIT. Amsterdam: Royal Tropical Institute.Carnbee, B. M. v. 1911. Noordkust Java Blad I Vierde Punt tot Tanjoeng Priok. KIT. Amsterdam: Royal Tropical Institute

Bacaan Orang Pulo di Pulau Karangl t c

Page 133: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

133

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Danandjaja, J. 1983. “Fungsi Teater Rakyat Bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia.” Seni Dalam Masyarakat Indonesia: Bunga Rampai. (eds.) E. Sedyawati and S. D. Damono. Jakarta: PT Gramedia.

Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti PersDinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. DKI Jakarta. 2004. Inventarisasi Situs-situs Arkeologi di DKI Jakarta. 2004. Jakarta: DKP DKI JakartaDjafar, H. 2010. Kompleks Percandian Batujaya, Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan daerah Pantai Utara Jawa Barat, Cetakan Pertama, Juli

2010. Bandung: Penerbit Kiblat.Eredia, M.G.d. 1630 ca. Iava Maior e Nuca Antara. Descobertas e explorações portuguesas, Biblioteca Nacional do Brasil.Esten, Mursal. 1983. Randai dan Beberapa Permasalahannya, Seni Dalam Masyarakat Indonesia: Bunga Rampai. (eds.) E. Sedyawati and S.

D. Damono. Jakarta: PT Gramedia.Grijns, K. & Nas, P. J. M. (Ed.). 2007. Jakarta Batavia: esai sosio-kultural. Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta.Guillot, C. 2008. Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, Cetakan Pertama, Desember 2008. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.Gunawan, M.P., et al. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Buku I Data dan Analisa, Laporan

Akhir, Desember 2000. Jakarta: Bapeda Prov. DKI Jakarta & Lembaga Penelitian ITB.Haan, F.d. 1910. Priangan: De Preanger-Regentschappen, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: G. Coiff & Co.Haan, G.d. 1761. Ligtende zeefakkel off de geheele Oost-Indische Waterweereldt beginnende van Batavia door de Straate Banca en Drioens

om de Noord tot Japan, van daar door de Zuidzee om de Oost tot Aqua Pulca, voors om de zuijd door de Philipijnsche eijlande langs Ternaten, de eijlande Ambon, Banda, Kust Java weder na Batavia, Kaartcollectie Buitenland Leupe.

Hermawan, W., et al. 2003. Mengayuh Dayung, Menyisir Ombak, Menggapai Harapan: Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat di Kelurahan P. Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu, (eds.) A. Baehaqie, E. Rustiadi, and M. Yamin. 2003, Jakarta: Yayasan Kalpataru.

Heuken, A. & Pamungkas, G. 2000. Galangan kapal Batavia selama tiga ratus tahun. Jakarta: Yayasan Cipta Loka CarakaHurlbut, G.C. 1887. “Krakatau, from the study by R.D.M. Verbeek.” Journal of the American Geographical Society 19: 233Hymes, Dell H. 1964. Language in Culture and Society. New York: Harper & RowIskandar, R. 1996. Determinasi dan Distribusi Pendapatan Nelayan di Dua Kelurahan Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Program Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Yogyakarta.Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: P.T. Dunia Pustaka JayaKel. P. Panggang. 2011. Laporan Bulanan Kel. P. Panggang, bulan Oktober 2011. JakartaKel. P. Panggang. 2011. Laporan Demografi Kel. P. Panggang, bulan Oktober 2011. JakartaKhodijah, S.N. 2003. Variasi Skema Nelayan Pulau Panggang dalam Penangkapan Sumber Laut. Depok: Universitas Indonesia DepokKussendrager, R. J. L. 1841. Natuur-en aardrijskundige beschrijving va het eiland Java. Amsterdam: J. OomkensLapian, A.B. 2009. Orang Laut, bajak laut, raja laut: sejarah kawasan Laut Sulawesi abad XIX. Depok: Komunitas Bambu.Leirissa, R.Z. 1991. Dari Sunda Kelapa ke Jayakarta. Beberapa Segi Sejarah Masyarakat-Budaya Jakarta. (ed.) A. Surjomihardjo. Jakarta: Dinas

Museum & Sejarah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta: 14-31.Lith, P.A.v. d., et al. 1896. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Aflevering 1, 1 Januari 1896. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Lodewijcksz, W. 1597. Nova tabula Insularum Iavea, Sumatra, Borneonis et aliarum Malaccam usque delineata in Insula Iava, ubi ad vivum

designantur vada et brevia scopulique interjacentes descripta, KIT. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.Lohanda, M. 1994. The Kapiten Cina of Batavia 1837-1942, a History of Chinese Establishment in Colonial Society. Jakarta: Penerbit Djambatan

& Perwakilan KITLV di Indonesia.

l t c

Page 134: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

134

Orang Pulo

di Pulau Karang

_____. 2007. Komandan Inlander Batavia. Jakarta Batavia: esai sosio-kultural. (eds.) K. Grijns and P. J. M. Nas. Jakarta, Banana: KITLV-Jakarta: 123-32.

Lombard, D. 1979. “Regard nouveau sur les “pirates malais” (1ère moitié du XIXème siècle).” Archipel Vol. 18, 1979: 231-250._____. 1996. Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia.Lonkhuyzen, J. J. 1917. “Boeginese woningen op Poeloe Klappa, één van de Duizend eilanden in de Baai van Batavia.” Lonkhuyzen, J. J. 1917. “De aanlegsteiger bij één van de Duizend Eilanden, Poeloe Pangang.” Maulana, R. 2009. Bahasa-bahasa di Kepulauan Seribu. Skripsi Sarjana, Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia Depok. Depok: Universitas Indonesia Depok. Moll, H. 1720. A Map of East-Indie. KIT. Amsterdam: Royal Tropical Institute.Muchtar, M. 1960. Masjarakat – Nelajan Pulau Panggang, Ketjamatan Pulau Seribu Kotapradja Jakarta-Raya. Sarjana Muda Sosiografi

Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Masyarakat. Bandung: Universitas Negeri Pajajajaran Bandung.

Mutholib, I et al.. 1984. Laporan Penelitian Arkeologi No. XXIX. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI JakartaNababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: suatu pengantar. Jakarta: Gramedia Park, R.K., Crevello, P.D. , et al. 2010. Equatorial Carbonate Depositional Systems of Indonesia. Cenozoic Carbonate Systems of Australia.

(ed.) W. A. Morgan. Oklahoma: Society for Sedimentary Geology: 41-78.Perret, D. 2000. “Les stèles funéraires musulmanes dites batu Aceh de l’Etat de Johor (Malaisie).” Bulletin de l’Ecole Française d’Extréme-

Orient Tome 87 N°2, 2000.: pp. 579-607._____. 2001. Batu Nisan Aceh: Dimensi Budaya dalam Membangun Persatuan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara. Palembang: Balai Penelitian

Arkeologi_____ & K. A. Razak 2003. “Un nouvel essai de classification des batu Aceh de la péninsule malaise.” Archipel Vol. 66, 2003: 29-45._____, Razak, K.b.A.R. & Kalus, L. 2004. Batu Aceh Johor Dalam Perbandingan. Johor Bahru: Yayasan Warisan Johor._____. 2007. “Some Reflections On Ancient Islamic Tombstones Known As Batu Aceh In The Malay World.” Indonesia and the Malay World

35(103): 313-340.Purnaningsih, W..J., 2006. Pengembangan Potensi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dalam Perspektif Ketahanan Wilayah: Studi

Kasus di 3 Wilayah Kelurahan (P. Untung Jawa, Pulau Panggang, Pulau Kelapa). Reuter, J. 1940. Een Nieuwe Inheemsche Visscherij Door. Albrecht.Ruchiat, R. 2011. Asal-usul Nama Tempat di Jakarta. Depok: Masuup Jakarta.Samiya, M., 2011. Pengaruh Ikatan Patron-Klien Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, Studi Kasus Pulau Panggang Kelurahan Pulau

Panggang Kepulauan Seribu, Departemen sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 2011. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Selleger, H. 1906. De Duizend-eilanden. Tijdschrift voor het binnenlandsch bestuur, H. G. Aalst, Jaargang 1, Aflevering 30, 1 Januari 1906. Batavia: G. Kolf & Co. h. 414-30.

Simkin, T. & Fiske, R. S. 1983. Krakatau, 1883--the volcanic eruption and its effects. Smithsonian Institution Press.Siswantiri. 2000. Kedudukan dan Peran Bek Betawi Dalam Pemerintahan Serta Masyarakat di Jakarta, Magister Humaniora, Program Ilmu

Studi Sejarah Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana Universitas Indonesia Depok. Depok: Universitas Indonesia Depok. Wilardjito, S. 2008. Mereka Menodong Bung Karno: kesaksian seorang pengawal presiden. Yogyakarta: Galang Press.

l t c

Page 135: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

135

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

Suharno, I. 1978. Antropologi Linguistik. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin MakassarSurjomihardjo, A. 1977. Perkembangan kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI JakartaTideman, J. 1933. De Bevolking van de Regentschappen Batavia, Meester-Cornelis en BuitenzorgTjandrasasmita, U. 2000. Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum & Pemugaran, Propinsi DKI Jakarta.Tomascik, T., A. J. Mah, et al. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part One., Periplus Editions (HK) Ltd.Tsuchiya, K. 1975. “The Taman Siswa Movement: Its Early Eight Years and Javanese Background.” Journal of Southeast Asian Studies 6(2): 164.U.S. Army Map S.ervice. 1954. Pulau-Pulau Seribu (SB 48-8 Series T503). Indonesia. Untoro, H. O. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi Ekonomi. Depok: Komunitas Bambu.Verstappen, H. Th. 1953. Jakarta Bay: A Geomorphological Study of Shoreline Development. s’Gravenhage: Drukkerij Vickers, A.H., 1987. Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World. Indonesia: 1987(44): h. 31.Vickers, A.H., 1993. From Bali to Lampung on the Pasisir. Archipel, 1993. Vol. 45, 1993: h. 55-76.Vickers, A.H., 2009. Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. 2009. Bali: Pustaka Larasan Udayana University Press.Widhyanto, M.A. et al. 2010. Aspek Budaya Pulau Panggang. Bogor: Crespent - P4W Institut Pertanian Bogor.Winkler, C. 1906. Pokkenepidemie op de Duizend-Eilanden (Residentie Batavia) in 1905. Batavia: G. Kolff & Co.Yatim, O.b.M. 1985. Batu Aceh: a study of 15th-19th century Islamic gravestones in Peninsular Malaysia, PhD dissertation. Durham: University

of Durham.l t c

Page 136: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

136

Orang Pulo

di Pulau Karang

Kesan pertama membaca tulisan ini bahwa ia adalah hasil dari penelitian awal yang penting untuk dilanjutkan dengan penelitian-penelitian lain yang lebih terfokus dan mendalam. Kebudayaan “orang Pulo”, seperti yang ingin diraih oleh penelitian ini, sebagai buah interaksi manusia dengan kondisi ekologis, sebagai buah pertarungan antarkekuatan, dan

sebagai “titik tengah” dari pusaran ingatan masa lalu dan imajinasi masa depan sangat penting dialamatkan kepada penelitian-penelitian berikutnya. Demikian pula pilihan perspektif dan konsep-konsep yang dipergunakan, konsistensi dan kemungkinan re-konseptualisasinya. Menarik apa yang beberapa kali ditegaskan dalam tulisan ini tentang posisi “orang Pulo” di tengah riuhnya modernisasi megapolitan Jakarta. Meski tidak mendapatkan penjelasan yang memadai, posisi itu mengartikan adanya hubungan pusat-pinggir yang tidak seimbang bahkan subordinatif. Kepulauan Seribu, secara administratif memang merupakan bagian dari DKI Jakarta, tetapi karena posisi geografisnya yang terpencil – dan tersebar – di perairan Laut Jawa, dalam rentang waktu yang cukup lama nyaris tidak tersentuh oleh gegap-gempita modernisasi dan fasilitas seperti halnya wilayah DKI yang lain. Dibanding dengan wilayah DKI yang lain, Kepulauan Seribu juga lebih lamban dalam menapaki perubahan-perubahan fisik maupun sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan yang drastis, terutama setelah kepulauan itu menjadi kabupaten tersendiri, justru berawal dari semakin menguatnya pandangan-pandangan kelas menengah Jakarta bahwa beberapa Pulau di Kepulauan Seribu cukup eksotis dan karena itu menarik bagi keperluan rekreasi dan wisata, sebuah pandangan yang dimungkinkan oleh kejenuhan-kejenuhan terhadap tempat-tempat “istirahat” yang monoton, seperti halnya Puncak, Bogor. Sejumlah pihak, termasuk sebagian kalangan internal di Kepulauan Seribu sendiri, menyambut pandangan eksotis itu bagaikan “anugerah” yang diharapkan, karena dengan lirikan semacam itu, Kepulauan Seribu semakin mempunyai kemungkinan untuk terbangun dan “terawat” sekaligus membuka kemungkinan usaha-usaha ekonomi baru sebagai penyangga tempat-tempat hiburan dan rekreasi, yang seluruhnya sektor pinggir, dan terserapnya sejumlah tenaga kerja. Dalam kenyataannya, dari tahun ke tahun sejak saat itu, investasi sejumlah kelas menengah Jakarta di wilayah itu menunjukkan peningkatan yang signifikan, seperti yang terlihat di Pulau Putri, Pulau Air, Pulau Sepa, Pulau Bidadari, PulauMatahari, Pulau Kotok,dan Pulau Pantara terutama dalam bentuk pemilikan (monopoli) tanah, pembangunan resort, motel, dan lapangan golf, serta pengembangan ekowisata yang dilengkapi dengan penangkaran penyu dan terumbu karang. Investasi kelas menengah Jakarta dan proyeksi Kepulauan Seribu sebagai daerah wisata bahari tersebut memang berdampak ikutan terhadap muncul dan semakin menjamurnya usahabisnis penyewaan rumah-rumah penduduk bagi para wisatawan domestik kelas menengah ke bawah di hari-hari libur seperti yang terlihat di Pulau Tidung dan Pulau Untung Jawa. Sebuah usaha yang, di samping mengalirkan keuntungan-keuntungan finasial tertentu, juga membuktikan kemampuan akses sebagian warga setempat terhadap perkembangan-perkembangan Kepulauan Seribu menjadi daerah pariwisata. Namun demikian, harus diakui bahwa usaha bisnis sejumlah warga setempat tersebut masih sangat terbatas: jumlah warga yang memasuki bisnis penyewaan rumah-rumah tersebut masih terlalu sedikit dibanding jumlah keseluruhan warga (penduduk) Kepulauan Seribu yang tidak

Membaca Dinamika Orang PuloBisri Effendy, Antropolog | l t c

Page 137: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

137

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

masuk wilayah bisnis; dan usaha bisnis yang dimasukinya pun tergolong sektor pinggir dari keseluruhan investasi dan bentuk-bentuk bisnis yang dimiliki kelas menengah Jakarta. Lebih mengerikan lagi, seperti disinyalir oleh penelitian Rosida dan kawan-kawan ini, investasi orang luar di Kepulauan Seribu telah mengakibatkan 75 % aset di wilayah itu kini beralih dikuasai oleh “orang asing”. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa perkembangan mutakhir Kepulauan Seribu justru mempertegas terjadinya enclave-enclave di pinggiran gemerlap resort, motel, hotel, dan lapangan golf. Jika sebelum perkembangan itu terjadi Kepulauan Seribu merupakan enclave dari daratan Jakarta, maka kini sebagian besar pulau benar-benar menjadi enclave dari sejumlah pulau yang telah tersulap menjadi gemerlap, disamping masih tetap menjadi “kantung pinggir” dari Jakarta. Kehidupan keseharian “orang pulo” pun memperlihatkan pemandangan yang kontras dengan para wisatawan yang hadir di Kepulauan Seribu untuk istirahat, menikmati alam bahari, maupun untuk melihat-lihat pulau dan kesederhanaan penduduknya yang terlanjur dikonstruksi eksotis. Terjadinya enclave-enclave itu, seperti dikatakan sejumlah kritikus pembangunan, merupakan dampak dari pembangunan di negeri ini yang secara umum cenderung tidak memihak pada massa rakyat dan salah konstruksi terhadapwarga yang seharusnya sebagai subjek selalu diposisikan sebagai objek, sehingga kepentingan-kepentingan makro yang hanya bisa diakses oleh elite jauh lebih dikedepankan ketimbang kepentingan-kepentingan warga kebanyakan. Dalam kenyataannya, potret seperti di Kepulauan Seribu diatas juga terlihat sangat nyata di sejumlah tempat di Indonesia. Pembangunan Batam-Bintan sebagai kawasan industri “berteknologi tinggi”, bagian dari kerjasama SIJORI (Singapura, Johor, Riau) di tengah hamparan pulau-pulau kecil yang “tertinggal”, barangkali merupakan salah satu contoh yang menarik. Sejak sekitar 20 tahun terakhir, pulau-pulau kecil di sekitar SIJORI telah menjadi enclave-enclave dan penduduknya pun menjadi marjinal dan terengah-engah menghadapi modernitas (sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan) Batam-Bintan yang berkembang melejit di luar “koridor” masyarakat sekitar. Penelitian Rosida dan kawan-kawan ini, bisa dipahami karena ini, lagi-lagi, adalah penelitian awal, memang tidak mengungkap secara detail bagaimana “orang Pulo” meresistensi proses marjinalisasi tersebut. Tetapi dari paparannya tentang kesenian, bahasa, dan gaya hidup (lifestyle) terlihat bahwa kecenderungan untuk mimikri menjadi dominan. “Orang Pulo” khususnya dari Pulau Panggang, Pramuka, dan Karya yang berasal-usul dari berbagai daerah seperti Mandar, Bugis, dan Banten tidak memiliki jenis kesenian yang mungkin merupakan perkawinan dari etnik asal sehingga khas Pulo, sebaliknya mereka mengadopsi atau meniru (mimikri) sepenuhnya lenong, kesenian Betawi dengan lakon-lakon yang sesungguhnya umum dilakonkan di daratan Jakarta. Dalam hal bahasa, “orang Pulo” menggunakan bahasa Melayu dengan sejumlah leksikon tertentu yang hanya dapat dipahami dalam konteks setempat. Dengan mengutip penelitian Ridwan Maulana (2009) tentang bahasa Kepulauan Seribu, penelitian ini percaya bahwa bahasa Melayu dan Bugis dengan leksikon-leksikon tertentunya merupakan bahasa “orang Pulo” yang dengan itu mereka membangun identitas kulturalnya. Pencaksilat yang cukup berkembang di Pulau Panggang, terlalu sulit dikategori sebagai asli Pulau, dan hanya mungkin terbawa-serta oleh migran dari Banten. Penjelasan tentang respons-respons “orang Pulo” menjadi sangat penting, bukan hanya karena sekedar untuk memerlihatkan “teater” pertarungan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat yang kini terkepung modernitas, tetapi juga

l t c

Page 138: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

138

Orang Pulo

di Pulau Karang

menunjukkan kearifan – dan keadilan – kita dalam memandang bahwa bagaimanapun dan betapapun marjinalnya sebuah komunitas – dan entitas kebudayaan – selalu memiliki potensi dan kemampuan untuk melakukan negosiasi kebudayaan atau, meminjam istilah Anna L. Tsing, politik marjinalitas, sebuah kemampuan membangun siasat dan negosiasi terhadap kehadiran kekuatan-kekuatan luar yang asing dengan tetap berada pada posisi marjinalitasnya. Dengan mengakui potensi dan kemampuan komunitas marjinal, kita bukan saja telah arif dan adil memandang warga komunitas sebagai subjek-subjek yang independen merumuskan dirinya, tetapi juga telah menempatkan ilmu pengetahuan dengan penelitian sebagai basis utamanya untuk menuju perananya yang terpenting: membebaskan dan emansipasi. Tsing, dengan meneliti Dayak Maratus di Kalimantan Selatan yang terkepung pembangunan tambang, menunjukkan dengan baik bagaimana kemampuan Dayak Maratus melakukan negosiasi secara aktif terhadap pembangunan dengan berbagai siasat termasuk penafsiran ulang (dekonstruksi) terhadap makna pembangunan, penciptaan budaya tanding, dan permainan politik linguistik dengan tetap pada posisi ke-Meratus-an yang marjinal. Teori-teori sosial kritis menegaskan bahwa setiap kekuatan-kekuatan besar beroperasi di tingkat mikro, selalu disambut dengan kekuatan-kekuatan antitesis, seperti hegemoni – kontrahegemoni. Menangisi kebudayaan lokal yang tercabik-cabik dan hilang, hanyalah sebuah tindakan simplistis terhadap potensi dan kemampuan para pemilik kebudayaan lokal. Dengan konsep friction yang mengandaikan sirkulasi global mengalir deras tetapi sekaligus potensial menciptakan perlawanan, Anna Tsing menekankan bahwa di dalam analisis global-lokal, yang terpenting adalah perhatiannya pada praktik-praktik mikro dimana kemampuan kebudayaan lokal mengartikulasikan dirinya. Kemampuan melakukan dan mengembangkan politik marjinalitas tersebut dapat diketahui dalam pentas peratungan “orang Pulo” sebagai kekuatan kebudayaan yang secara intensif berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang hadir simultan di sana. Keberadaan “orang Pulo” yang cukup lama dalam posisi marjinal dari daratan Jakarta memastikan kita bahwa pertarungan-pertarungan kebudayaan telah lama terjadi dan semakin intensif ketika belakangan investasi modal membanjir di Kepulauan Seribu. Adalah suatu yang sulit dipercaya bahwa dalam konteks seperti itu, “orang Pulo” menjadi pasif, hanya mampu melakukan mimikri, dan tidak menggunakan kemampuannya sebagai subjek kehidupan. Perspektif yang terakhir itu penting ditegaskan disini, karena pengalaman perjumpaan “orang Pulo” dengan modernitas tersebut belum berakhir, bahkan mereka akan menghadapi kekuatan dahsyat berikutnya, Revolusi Biru yang kini sedang dirancang oleh elite politik kita. Dalam wujudnya yang paling nyata, Revolusi Biru akan berupa regulasi-regulasi yang mengatur tatanan laut dengan seluruh pernik-pernik dan konsekuensinya seperti halnya agraria yang mengatur pertanahan. Para pengamat pertanahan dan ekonomi pedesaan percaya bahwa Revolusi Biru akan mengikuti kegagalan pendahulunya, Revolusi Hijau di zaman Orde Baru yang justru melahirkan diferensiasi sosial, monopoli kepemilikan tanah dan akses pembangunan, dan kemiskinan petani. Jika Revolusi Biru beroperasi, dapat dipastikan bahwa problem-problem yang dihadapi “orang Pulo” semakin kompleks, dan pertarungan pun akan semakin liat.

Wassalam

l t c

Page 139: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

139

Ora

ng P

ulo

di P

ulau

Kar

ang

pada keyakinan dan kesungguhan

pada ketulusan dan cintapada kerekatan dan

kehangatan...

l t c

Page 140: Orang Pulo l t c di Pulau Karang - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45789/1/Orang Pulo...4 Orang Pulo di Pulau Karang PasaI 72 UU Republik

140

Orang Pulo

di Pulau Karang

Pulang Babang adalah tradisi masyarakat Kepulauan Seribu yang berarti kesadaran untuk kembali ke kampung halaman. Istilah Pulang Babang, kemudian

kami jadikan sebagai nama rangkaian kegiatan yang bertema Rekonstruksi Budaya Masyarakat Pulau Panggang dan Pramuka.Kegiatan Pulang Babang terdiri dari penelitian dan penerbitan buku; pelatihan keterampilan; dan pementasan teater. Sejak Oktober 2011 hingga Januari 2012, tim riset dari Lab Teater Ciputat dan Sanggar Apung mengadakan penelitian di Pulau Panggang dan Pramuka, Kepulauan Seribu.

Hasil riset tersebut selain menjadi acuan naskah drama yang akan dipentaskan pada Juli 2012, juga menghasilkan sebuah buku yang kini berada di hadapan pembaca.

Buku yang berjudul “Orang Pulo di Pulau Karang” ini, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan dan penyadaran masyarakat, pengusaha, seniman, wisatawan dan juga pemerintah terhadap spiritualitas, nilai, dan tradisi Kepulauan Seribu.

l t c