Opini jurnas operasi menyelamatkan indonesia galih andreanto

4
Operasi Menyelamatkan Indonesia Seorang Pasien menderita kanker stadium akhir, jamu-jamuan dan obat- obatan tak mempan menyembuhkan sakitnya. Jalan satu-satunya agar kangkernya luput dari tubuhnya hanyalah operasi bedah progresif. Sebelum sekarat, pasien tersebut memiliki gejala “kelaparan yang tersembunyi” atau hidden hunger yang membuat secara fisik luar, penyakit ini tak terlihat jelas dan gejala kekurangan tidak timbul secara fisik. Alhasil kini tubuh menjadi sekarat dan menjalar ke seluruh tubuh dengan senyap. Beberapa tabib dan dokter mencoba memberikan jamu dan obat- obatan, sayangnya aksi para penyembuh tak ubah seperti aksi tambal sulam yang gagal mendongkel akar penyakit. Bayangkan orang tersebut adalah Bangsa Indonesia. Terpuruk berat, namun tak menyadarinya menjadi potensi mematikan adalah penggambaran bagi Bangsa Indonesia yang tengah menyongsong hingar bingar pesta demokrasi. Indonesia butuh calon pemimpin yang berani menawarkan jalan bedah progresif bagi Indonesia. Jika dilihat secara seksama, kebanyakan capres hanya menawarkan “jamu” yang hanya mengurangi rasa sakit, namun tak mampu menyingkirkan penyakit dengan segala resikonya, meskipun secara teoritik hampir keseluruhan capres yang muncul mampu memberikan paparan jalan mana yang harus ditempuh bagi Indonesia Akar Penyakit Tidak terlaksananya reforma agraria sesuai dengan mandat UUD 45, UUPA 1960 dan Tap MPR No IX Tahun 2001 adalah bagian akar krisis total yang mendera Indonesia. Tekad yang nihil dari para elit bangsa untuk melaksakannya telah mendorong krisis total ini berdimensi luas dan berpotensi terakumulasi menjadi konflik agraria, kelaparan dan kerawanan sosial. Kenyataan bahwa perampasan tanah di era pasca reformasi dengan pendudukan lahan-lahan pertanian garapan rakyat oleh korporasi asing kian nyata. Indonesia menjadi “pemuas” korporasi asing yang lapar tanah dengan konsekuensi penguasaan yang lintas waktu melampaui sirkulasi politik 5 tahunan. Dari data land matrix 2013 setidaknya ada 3.267.839 Ha lahan pertanian kita telah diserahkan melalui pemberian hak kepada korporasi raksasa asing. Tercatat negara- negara “lapar tanah” asal korporasi tersebut antara lain: Malaysia; Singapura;

description

Opini Jurnal Nasional 1 Februari 2014: Operasi Menyelamatkan Indonesia" oleh Galih Andreanto (Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria)

Transcript of Opini jurnas operasi menyelamatkan indonesia galih andreanto

Page 1: Opini jurnas operasi menyelamatkan indonesia galih andreanto

Operasi Menyelamatkan Indonesia

Seorang Pasien menderita kanker stadium akhir, jamu-jamuan dan obat-

obatan tak mempan menyembuhkan sakitnya. Jalan satu-satunya agar kangkernya

luput dari tubuhnya hanyalah operasi bedah progresif. Sebelum sekarat, pasien

tersebut memiliki gejala “kelaparan yang tersembunyi” atau hidden hunger yang

membuat secara fisik luar, penyakit ini tak terlihat jelas dan gejala kekurangan tidak

timbul secara fisik. Alhasil kini tubuh menjadi sekarat dan menjalar ke seluruh tubuh

dengan senyap. Beberapa tabib dan dokter mencoba memberikan jamu dan obat-

obatan, sayangnya aksi para penyembuh tak ubah seperti aksi tambal sulam yang

gagal mendongkel akar penyakit.

Bayangkan orang tersebut adalah Bangsa Indonesia. Terpuruk berat, namun

tak menyadarinya menjadi potensi mematikan adalah penggambaran bagi Bangsa

Indonesia yang tengah menyongsong hingar bingar pesta demokrasi. Indonesia

butuh calon pemimpin yang berani menawarkan jalan bedah progresif bagi

Indonesia. Jika dilihat secara seksama, kebanyakan capres hanya menawarkan

“jamu” yang hanya mengurangi rasa sakit, namun tak mampu menyingkirkan

penyakit dengan segala resikonya, meskipun secara teoritik hampir keseluruhan

capres yang muncul mampu memberikan paparan jalan mana yang harus ditempuh

bagi Indonesia

Akar Penyakit

Tidak terlaksananya reforma agraria sesuai dengan mandat UUD 45, UUPA

1960 dan Tap MPR No IX Tahun 2001 adalah bagian akar krisis total yang mendera

Indonesia. Tekad yang nihil dari para elit bangsa untuk melaksakannya telah

mendorong krisis total ini berdimensi luas dan berpotensi terakumulasi menjadi

konflik agraria, kelaparan dan kerawanan sosial. Kenyataan bahwa perampasan

tanah di era pasca reformasi dengan pendudukan lahan-lahan pertanian garapan

rakyat oleh korporasi asing kian nyata.

Indonesia menjadi “pemuas” korporasi asing yang lapar tanah dengan

konsekuensi penguasaan yang lintas waktu melampaui sirkulasi politik 5 tahunan.

Dari data land matrix 2013 setidaknya ada 3.267.839 Ha lahan pertanian kita telah

diserahkan melalui pemberian hak kepada korporasi raksasa asing. Tercatat negara-

negara “lapar tanah” asal korporasi tersebut antara lain: Malaysia; Singapura;

Page 2: Opini jurnas operasi menyelamatkan indonesia galih andreanto

Inggris Raya; India; Korea; Amerika; Malaysia; Cina, Perancis; Belgia; Srilangka;

Thailand dan India yang totalnya mencapai 115 perjanjian konsesi dengan

Pemerintah Indonesia. Contoh adalah Malaysia memiliki kontrak lahan sebesar

1,449.084. Ha di Indonesia dengan 45 perjanjian kesepakatan kontrak dengan

korporasi raksasa komoditas kelapa sawit dan karet di Kalimantan Barat, Sanggau,

Kapuas, Belitung, Ketapang, Kalimantan Tengah, Merauke, Kalimantan Timur, Aceh,

Lampung, Bulungam, Pelantaran, Bajarau, Paranggean, Penawai, Resak, Langgam,

Katiagan, Muara Siram, Tebing Tinggi, Palas Tanjung Timur, Kutai Barat, Bangka,

Jaya Loka, Sumatera Selatan, Musi Rawas, Kutai Timur, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Jambi, Aceh Timur dan Riau.

Singapura memiliki 9 kesepakatan kontrak korporasi raksasa di bidang

pertanian yang memiliki izin penguasaan lahan pertanian seluas 427.027 Ha di

Merauke, Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,

Sulawesi dan Riau dengan komoditas tebu, kelapa sawit, buah-buahan sayuran dan

jarak pagar. Inggris Raya memiliki 19 perjanjian kontrak penguasaan lahan di

Indonesia seluas 198.666 Ha dengan komoditas kelapa sawit, karet dan jarak pagar

di wilayah Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah, Bangka, Bengkulu, Sumatera

Selatan, Kalimantan Tengah, Labuhan Batu, Aceh dan Kalimantan Timur.

Dominasi neoliberalisme sebagai penggerak jepitan tiga arah (tripple

squeeze) yang mendera negara berkembang seperti yang diungkapkan Saturnino M

Borras yaitu, tekanan atas globalisasi, tekanan samping privatisasi dan tekanan

bawah otonomi daerah secara nyata sedang berlaku kencang di Indonesia.

Kesalahan Arah dan Paradigma Pembangunan sejak Orde Baru dan dilestarikan oleh

rezim pasca orde baru telah melahirkan kekacauan yaitu kehilangan tanah yang

semakin meluas akibat perjanjian atau pemberian hak, izin dan konsesi terhadap

korporasi swasta asing.

Sementara laju konversi lahan pertanian yang mencapai lebih dari 100.000 Ha

per tahun serta ketergantungan pangan hingga impor mencapai 125 juta adalah

ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup Bangsa Indonesia. Pada 2004 hingga 2009

saja, impor pangan Indonesia terus meningkat. Paling tidak, 16 komponen pangan

utama mengalami peningkatan impor antara 35% hingga 331%, dengan rata-rata

118,3% dalam kurun waktu lima tahun. Impor terbesar adalah buah-buahan dan

Page 3: Opini jurnas operasi menyelamatkan indonesia galih andreanto

sayur-sayuran (US$ 584,079 juta), gandum dan olahan gandum (US$ 556,911 juta),

gula, olahan gula, dan madu (US$ 372,956 juta), binatang hidup (US$ 312,256

juta), serta daging dan olahan daging (US$ 217,477 juta).

Alih-alih membangun pertanian dalam negeri justru hampir semua bahan

pangan dibiarkan kran impornya terbuka, beberapa bahkan dengan bea masuk 0%.

Nilai impor tanaman pangan dalam kurun 2009-2011 saja sudah menembus 13

miliar USD. Sepanjang tahun 2012 saja, impor produk pangan Indonesia telah

menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliyun. Dana tersebut digunakan untuk impor

daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan

lain yang pada akhirnya hanya semakin memperbesar membunuh pertanian

indonesia.

Operasi Progresif

Ketergantungan ekonomi terhadap modal asing dengan perjanjian dan

kesepakatan menyoal penguasaan sumber-sumber agraria khususnya tanah adalah

problem besar bagi pemimpin Indonesia hasil pemilu 2014. Langkah yang tidak bisa

tidak adalah melakukan “operasi progresif” dengan mencabut seluruh Kebijakan dan

Undang-undang sektoral yang bertentangan dengan UUPA 1960. KPA mencatat ada

berbagai peraturan yang saling tumpang tindih dan tidak mengacu pada UUPA 1960,

yaitu 12 Undang-Undang; 48 Peraturan Presiden; 22 Keputusan Presiden, 4 Instruksi

Presiden, dan 496 Peraturan/Keputusan/Surat Edaran dan Instruksi Menteri

Negara/Kepala BPN yang mengatur soal agraria.

Langkah berikutnya adalah mencabut izin-izin, Hak dan Konsesi-konsesi

penguasaan lahan korporasi asing di tanah Indonesia. Atas persoalan tersebut

Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani dan bertanggung jawab namun

tidak otoriter dalam mengambil kepurtusan. Setidaknya ada beberapa syarat kunci

yang menjadi kriteria. Pertama, pemimpin yang mampu membaca situasi yang

sedang berlaku mengacu kepada tekanan dari tiga arah (tripple squeeze) yang

sedang dihadapi negara-negara berkembang seperti yang diutarakan oleh S. Borras,

yaitu tekanan globalisasi, otonomi daerah dan privatisasi. Kedua, memahami sejarah

sehingga mampu mengidentifikasi sejak kapan dan apa yang memberi ciri Indonesia

telah menyimpang dari cita-cita proklamasi.Ketiga, bertekad melakukan terobosan

seperti operasi bedah progresif dengan melakukan program Reforma Agraria dengan

Page 4: Opini jurnas operasi menyelamatkan indonesia galih andreanto

merombak atau mengatur ulang struktur penguasaan, pengelolaan dan

pemanfaatan sumber-sumber agraria (tanah, hutan, tambang, migas, air) agar lebih

berkeadilan serta melakukan berbagai program penunjangnya.

Memang tidak mudah, namun presiden ke depan harus mampu menghitung

dengan cermat rentang hidup Indonesia, dengan menghitung laju menjalarnya krisis

yang makin meluas. Jika tidak segera ditangani, maka rentang nafas bangsa

Indonesia bisa habis, mengingat Laporan Food and Agriculture Organization/FAO

(2011) menyebutkan, kelaparan penduduk dunia tahun 2010 mencapai sekitar 925

juta jiwa dan kelaparan penduduk Indonesia mencapai 29.7 juta jiwa Jumlah yang

sangat besar terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan ancaman kelaparan

dalam negeri.

Jika tak ada aral merintang yang berarti dan dengan alasan yang cukup

lengkap berupa: kebangkrutan keluarga petani; alih fungsi lahan pertanian;

regenerasi petani yang putus dengan Jumlah rumah tangga menurut petani utama

yang berusia di atas 54 tahun relatif besar, yaitu 8,56 juta rumah tangga (32,76

persen), maka laju menuju kelaparan akan semakin cepat dan terwujud. Jika ada

petani yang masih bertahan, mereka hidup dalam tekanan dan guncangan, lantas

semakin lengkap dan nyatalah kelangkaan pangan di masa depan.

Menjalankan Reforma Agraria sebagai kerangka utama pembangunan

nasional yang berkeadilan sosial harus menjadi Misi utama dalam menyelesaikan

problem pokok yang mendera Indonesia yaitu, ketimpangan yang semakin melebar,

kemiskinan, hilangnya akses rakyat terhadap sumber kekayaan alam hingga

ancaman kelaparan dan krisis energi karena kedaulatan ekonomi yang rapuh.

Sebagai Bangsa yang tak meninggalkan sejarah bangsanya, kita harus menginsyafi

betul pesan para pendiri bangsa, Dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang

berjudul ‘Jalannya Revolusi Kita’ (Jarek), Soekarno menegaskan pentingnya

pelaksanaan reforma agraria atau land reform demi tercapainya cita-cita revolusi

nasional. Maknanya adalah pembangunan Indonesia tanpa landreform adalah

gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan

omong besar tanpa isi.

Galih Andreanto, Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium PembaruanAgraria (KPA)