ONE STEP AWAY (Indonesian)

44
ONE STEP AWAY

description

Kami telah mengambil satu langkah tersebut. Salam, murid AFS dari Indonesia 2012-2013.

Transcript of ONE STEP AWAY (Indonesian)

Page 1: ONE STEP AWAY (Indonesian)

O N E S T E P AWA Y

Page 2: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Bina Antarbudaya, The Indonesian Foundation for Intercultural Learning, adalah mi-tra dari AFS Intercultural Program, Inc. di Indonesia. AFS Intercultural Program ada-lah sebuah organisasi sukarela internasional, non-pemerintah, dan non-profit, yang memberikan kesempatan berupa pembelajaran antarbudaya di mana seseorang dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang diperlukan untuk

menciptakan dunia yang lebih adil dan damai.AFS Intercultural Program, yang berpusat di New York, adalah salah satu organisasi tertua yang menjalankan program pertukaran pelajar internasional sejak 1919. AFS adalah singkatan dari American Field Service, kumpulan korps sipil yang secara su-karela menjadi supir ambulans untuk mengevakuasi korban yang terluka pada kedua Perang Dunia. Setelah masa perang selesai, para pengendara ambulans kembali ke ru-mah dan memutuskan untuk bekerja bagi perdamaian. Mereka percaya apabila generasi muda dapat memahami warga dari belahan bumi yang lain, mengenali dan menghor-mati perbedaan masing-masing, mereka dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan damai. Program pertukaran pelajar yang dimulai oleh para pengendara ambulans AFS kini menghubungkan banyak keluarga, sekolah, dan komunitas di lebih dari 60 negara.Hari ini, jaringan AFS memiliki mitra di lebih dari 50 negara. Setiap tahun AFS men-girim lebih dari 13.000 partisipan, terdiri dari pelajar, kaum muda, dan guru. Sejak 1947 hingga kini, organisasi ini memiliki lebih dari 370.000 alumni yang telah berpartisipasi di berbagai program AFS dan keluarga angkat dengan jumlah yang sama yang memiliki pengalaman dengan AFS. Sukarelawan AFS mencapai ratusan ribu. AFS berdedikasi untuk tetap menjadi pemimpin dalam mempromosikan perdamaian dan toleransi den-

gan pembelajaran antarbudaya.Kegiatan AFS di Indonesia diinisiasi oleh Wartomo Dwijoyuwono, yang pada tahun 1965 bersama Mohammad Diponegoro dan Ibrahim Kadir diundang oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam Youth Specialists Program, di Nebraska, selama 4,5 bulan. Di Nebraska, Wartomo bertemu dengan beberapa pelajar dari berba-gai negara Eropa yang berpartisipasi dalam program AFS, dan kemudian beliau mengi-nisiasi partisipasi Indonesia dalam program tersebut. Pada awalnya Indonesia hanya mengirim 7 pelajar (termasuk Z. A. Maulani dari Banjarmasin dan Taufiq Ismail dari Pekalongan) untuk AFS Year Program, kini jumlah partisipan dari Indonesia lebih dari

100 setiap tahunnya, untuk Year Program maupun Short Program.Dalam 50 tahun perjalanannya, terjadi berbagai perubahan dalam kepengurusan organ-isasi, mulai dari Wartomo sebagai pencetus Yayasan Beasiswa Internasional, dipimpin oleh Wartomo sendiri dan Ibu Djuwari (kini dikenal sebagai Ibu Wijaya). Kemudian program ini dikelola oleh Indonesian AFS Returnee Association (IRA), dan pada 1985 oleh Bina Antarbudaya, The Indonesian Foundation for Intercultural Learning, sejak

didirikan telah mengelola program-program tersebut hingga hari ini.

Di terjemahkan dari : http://www.bina-antarbudaya.info/about/bina-antarbudaya-is-a-partner-of-afs-intercultural-program-inc/

Atas nama teman-teman saya sesama pelajar AFS Indonesia 2012/2013,

saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bina Antarbu-daya, AFS, keluarga-keluarga kami, dan semua pihak yang telah membantu kami

mencapai mimpi kami untuk menjadi exchange student.

Kumpulan newsletter ini adalah cara kami untuk membagi pengalaman dan

pengetahuan yang telah kami dapatkan selama bulan-bulan awal dari perjalanan

kami. Memang tidak banyak, beberapa bahkan dapat ditemukan melalui Google,

namun mengalami hal-hal tersebut sendiri jauh lebih menakjubkan daripada

melihat foto-foto dan membaca fakta-fakta dari layar komputer. Kami tahu

bahwa kata-kata tidak dapat mengung-kapkan secara penuh pengalaman dan

perasaan kami sebagai exchange student, namun cerita-cerita inilah yang telah

kami kumpulkan, dan kami harap ‘jurnal’ kami ini lebih dari cukup untuk dibaca

oleh Anda semua.Dari Bina Antarbudaya kami telah

belajar, bahwa ini bukanlah perjalanan saya atau perjalanannya saja; ini adalah

perjalanan kita bersama. Tujuan dari AFS adalah untuk menghubungkan banyak kehidupan, dan kami ingin membantu,

satu-persatu. - NABILA SEKARTANTI.

Atas nama teman-teman AFS Indonesia angkatan 2012/2013. Saya ingin mengu-capkan banyak terimakasih dan apresiasi

tinggi, terutama untuk orang tua kami dan keluarga kami yang telah mem-

berikan banyak dukungan kepada kami hingga masa pertengahan program pertu-karan pelajar kami. Kepada Bina Antar-budaya, baik staff, sukarelawan maupun returnee. Kalian telah mengajarkan kami banyak hal-hal yang bermanfaat dengan hati yang tulus dan kami berharap ketika kami sudah kembali ke Indonesia kami

bisa melakukan hal yang sama atau lebih dari kalian. Kepada sponsor yang juga sudah mendukung kami mencapai cita-cita kami menjadi exchange students.

Saya yakin banyak dari Anda yang sudah membaca atau mengetahui cerita kami, baik itu berasal dari blog kami atau dari situs jaringan sosial personal kami mas-ing-masing. Tapi di newsletter ini kami

ingin membagi perasa-perasan kami sebenarnya. Pada langkah pertama kami, waktu pertama kami, pengalaman per-

tama kami dan hal-hal yang tidak pernah kami harapkan sebelumnya yang sudah

kami alami sejak 2 tahun lalu, masa-masa awal seleksi AFS. Saya percaya newslet-

ter ini tidak dapat menampung semua cerita-cerita menakjubkan dari pengala-man kami, tetapi newsletter ini hanyalah cara kami untuk berterimakasih kepada Anda bahwa semua berjalan baik disini

dan kami juga ingin mengapresiasi segala bantuan dan kontribusi yang telah Anda berikan kepada kami. Akhir kata saya

juga ingin mengucapkan terimakasih ke-pada editor-editor lain dan teman-teman AFS saya atas kerjasamanya yang sangat baik. Inilah cerita kita! Selamat membaca

untuk Anda semua dan sampai jumpa!- MuHAMMAD MIqDAD

Tanpa mengambil satu langkah tersebut, kita tidak akan bisa meraih posisi kita masing-masing sekarang. Semua ini tidak akan terjadi, tanpa bantuan dari seluruh anggota keluarga Bina Antarbu-daya dan AFS. Saya ingin mengapresiasi-kan seluruh bantuan yang telah diberikan kepada kami dari awal hingga sekarang ini. Tanda terima kasih juga ingin saya ucapkan kepada keluarga dan teman-teman kami, juga keluarga besar Pelita Cita Indonesia; terhadap anak-anak yang telah memberanikan diri untuk mengam-bil satu langkah besar tersebut.Dari perspektif generasi muda, berada di luar negeri merupakan salah satu hal yang selalu ingin kita wujudkan. Menjadi wanderlust dan selalu tertarik oleh segala sesuatu yang terjadi di sisi dunia yang lain. Buku ‘One Step Away’ ini meru-pakan buku yang akan menjelaskan apa yang kita telah alami, setelah berhasil untuk berpetualang ke sisi lain dari langit yang selalu kita pandang dan akhirnya, melandas di sebuah tanah milik ‘tetang-ga’ kita. Kita semua memiliki pertanyaan yang sama; apakah segala sesuatu yang kita idamkan selama ini, memiliki visi yang sama sesuai dengan mimpi kita, ataukah rumput negara sendiri, ternyata lebih hijau? - EvALITA PASToRA

editor. as. editor. art dir.

binaantarbudaya.

Page 3: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Adrian Wildandyawan (Belgium Flanders)

Adzra Izzati Ghasani (Japan)

Agatha Lydia Natalia (Italy)

Anita Anjani (Germany)

Annisa Bella Sunoto (Philippines)

Astarina Natyasari (Netherlands)

Aulia Nur Amalia (Norway)

Carissa Hanjani (France)

Erysa Alifah Maharamis Poetry (Germany)

Evalita Pastora (Italy)

Farahdhia Maharani Putri (Italy)

Hilmy Farhan (Switzerland)

Iin Fadhilah utami (Switzerland)

Indah utami Abudiman (uSA)

Ivana Suradja (Italy)

Kusuma Indriani (Germany)

Melania Shinta Nugraheni (France)

Muhammad Miqdad Darmawan (Belgium French)

Muhammad Radhiyan Pasopati Pribadi (uSA)

Nabila Sekartanti (Switzerland)

Nisrina Widari Affandi (Belgium Flanders)

Rainy Renata Renald Rinaldi (Belgium Flanders)

Ramada Sukardmaji (Germany)

Rizqon Nurtana (Switzerland)

Sekar Adhaninggar (Netherlands)

Titus Kurniawan (Belgium Flanders)

1-13

14-26

Page 4: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Salam, saya Adrian Wildandyawan, seorang murid pertukaran pelajar dari Indonesia. Saat ini saya tinggal di bagian Flan-ders dari Belgia. Apabila Anda tidak tahu, Belgia adalah nega-ra kecil di Eropa Barat, di mana Brussels adalah ibu kotanya. Meskipun ukurannya kecil, Belgia memiliki tiga bagian ber-beda yang mempunyai pemerintah dan hukumnya sendiri—Brussels-Bagian Ibu Kota, Bagian Flanders, dan Bagian Wal-lonia—dengan tiga komunitas: komunitas berbahasa Jerman, Belanda (Flemish) dan Perancis.

Hidup dalam sebuah realita baru. Beberapa bulan lalu, saya selalu bangun di kamar saya yang hangat, dikejar semua per-siapan untuk sekolah, dan memburu-buru adik saya karena jika tidak, saya akan terlambat datang ke sekolah (sekolah dimulai pukul 6:30). Tetapi sejak Bulan September lalu, saya selalu mendapati diri saya hampir beku seperti es karena dinginn-ya udara di pagi hari, meskipun fakta bahwa saya tidak perlu tergesa-gesa lagi memang merupakan hal baik, karena sekolah dimulai pukul 8:30 dan saya punya banyak waktu sebelum te-tangga saya menjemput pukul 7:45. Dan hal-hal tersebut han-yalah hal-hal kecil yang menjadi contoh bagaimana kehidupan saya sebagai murid pertukaran pelajar dalam empat bulan ini berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia.

Perubahan terbesar yang telah terjadi dalam kehidupan saya dalam empat bulan terakhir jelas adalah bahasa yang saya gunakan (atau yang saya coba gunakan) setiap hari. Karena saya sekarang tinggal di Belgia Flanders, mempelajari Bahasa Belanda menjadi hal yang penting. Sejujurnya, sebelum saya tahu bahwa negara host saya adalah Belgia, saya tidak pernah berpikir saya akan mempelajari Bahasa Belanda, bahasa yang bahkan nenek saya bisa gunakan. Hidup di dalam komunitas yang menjadikan Bahasa Belanda bahasa ibunya, pertama-tama terasa seperti mimpi terburuk saya menjadi kenyataan. Saya menghabiskan beberapa minggu pertama saya menangisi (bukan secara harfiah) pengetahuan tentang Bahasa Belanda saya yang masih dangkal. Bagaimana tidak? Saya tidak punya

persiapan apapun sebelum pergi ke sini. Meskipun dengan bantuan dari les Bahasa Belanda dari AFS, dan dorongan dari semua orang untuk selalu berbi-cara menggunakan Bahasa Belanda dengan mere-ka (meskipun mereka harus berbicara sangat pelan karena ketidakmampuan saya untuk mencerna apa yang orang-orang bicarakan saat mereka berbi-cara dalam Bahasa Belanda dengan sangat cepat, yang merupakan kebiasaan mereka saat berbicara), saya sudah membuat hasil yang cukup pesat da-lam mempelajari bahasa ini. Saya sudah bisa me-libatkan diri saya dalam obrolan sehari-hari dalam Bahasa Belanda dengan orang lain meskipun saya masih harus menambah kosa kata saya. Saya juga sudah bisa mengikuti pelajaran di sekolah dan men-gerjakan tes-tes menggunakan sepenuhnya Bahasa Belanda (dan lulus untuk tes-tes tersebut dengan nilai yang memuaskan!) meskipun saya masih ha-rus membawa dua “kitab agung” saya—kamus Ba-hasa Belanda-Inggris dan Bahasa Inggris-Belanda saya—ke setiap pelajaran dan tes, well, ke mana-pun saya pergi sebenarnya. Dan seolah Bahasa Be-landa tidak cukup sulit untuk dipelajari, saya juga mempelajari dialek Flemish dan Bahasa Perancis. Kenapa? Saya percaya bahwa seseorang tidaklah sepenuhnya menjadi orang Belgia sebelum dia dapat berbicara menggunakan (atau paling tidak tahu) Bahasa Belanda, Perancis, Jerman, dan dia-lek (Flemish adalah dialek yang digunakan di Flan-ders). Karena saya sudah pernah mempelajari Ba-hasa Jerman sebelumnya dan sekarang saya sedang mempelajari Bahasa Belanda, saya pikir kenapa saya tidak pelajari Bahasa Perancis dan dialek Fle-mish juga? Di sekolah, guru Bahasa Perancis saya memberi saya pelajaran Bahasa Perancis dasar dan saya sudah membuat banyak hasil dengan pelajaran tersebut. Sedangkan untuk dialek saya, saya mulai 1

banyak menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Saya pikir sangatlah penting bagi saya untuk belajar dialek ini karena kebanyakan orang di sini lebih banyak berbicara menggunakan dialek daripada Bahasa Belanda yang baku, karena itu akan le-bih mudah bagi saya untuk mengerti apa yang orang-orang sam-paikan kepada saya apabila saya mengetahui lebih banyak dialek Flemish.

Hidup di dalam keluarga yang berbeda merupakan tantangan bagi saya. Saya resmi menjadi anggota keluarga Maddens, se-buah keluarga hangat dengan satu ayah, dua anak laki-laki, dan dua anak perempuan—Patriek, Yoran, Yorick, Jolien, dan Joni, berurutan. Papa (panggilan saya untuk Patriek) mempunyai seorang teman perempuan yang selalu datang berkunjung se-tiap akhir pekan. Setelah empat bulan tinggal bersama mereka, sejujurnya, saya cinta mereka. Setelah hidup selama tujuh belas tahun tanpa kakak laki-laki ataupun perempuan, dapat mempun-yai 2 kakak perempuan dan satu kakak laki-laki jelas merupakan pengalaman yang menggembirakan (Yorick adalah satu-satunya saudara yang lebih muda dari saya Tetapi karena Yorick jauh le-bih besar dari saya secara fisik, saya selalu diperlakukan seperti yang paling muda di rumah). Meskpun kami tidak bisa meng-habiskan banyak waktu bersama selama hari-hari kerja karena kesibukan pekerjaan atau sekolah, setiap kali ada kesempatan, kami selalu menghabiskan waktu berkualitas bersama-sama. Setelah berusaha berintegrasi ke dalam keluarga ini, saya dapat menarik garis besar yaitu keluarga ini benar-benar gila—dalam arti yang bagus! Mereka sangat spontan, suka berdansa dengan menarik, dan banyak lagi. Tapi yang terbaik adalah saya merasa diterima di keluarga ini, dan saya percaya itulah yang terpenting. Meskipun kadang terdapat perbedaan pendapat, kami selalu da-pat menyelesaikannya dengan kepala dingin.

Mempelajari segala hal yang ada. Saya telah mempelajari le-bih banyak hal dalam empat bulan pertama saya di sini dibanding 17 tahun saya hidup. Saya belajar bahasa-bahasa baru, tentang tempat-tempat baru, atau bahkan hal-hal kecil yang mungkin ke-banyakan orang pikir aneh—cara berenang, cara naik sepeda, dan memasak masakan khas Belgia (ya, saya tidak pernah bela-

jar bagaimana cara berenang dan naik sepeda ; itulah pengakuan saya). Tapi yang jauh lebih penting dari hal-hal tersebut, saya belajar bagaimana saya dapat mengembangkan kehidupan sosial saya, untuk lebih kritis dalam mengambil keputusan, dan untuk mencari jati diri saya.

Di sekolah, semuanya berjalan dengan lancar. Saya mengagu-mi teman-teman saya di kelas 6 Techniek Wetenschappen (yang secara harfiah berarti Sains Teknik), karena mereka sangatlah menarik. Saya juga mendapat beberapa kenalan dan teman dari kelas-kelas lain dan dengan beberapa guru. Tetapi, untuk meli-batkan diri saya lebih jauh dengan lingkungan di sekolah, saya mengikuti audisi het vrijpodium van Project A atau panggung bebas Project A, yang merupakan sebuah pertunjukan yang dia-dakan oleh semacam oSIS setiap tahunnya untuk murid-murid yang ingin mempertontonkan kebolehan mereka, dan saya di-terima. Karenanya Februari ini, saya akan mempertontonkan sebuah monolog musikal dari sebuah cerita yang saya dan te-man-teman saya tulis. Bekerja dengan orang-orang yang sangat berbakat benar-benar mengagumkan.

Seperti yang banyak dari Anda ketahui, hampir semua seko-lah di Eropa tidak menyediakan kegiatan ekstrakurikuler untuk murid-muridnya; sangat mengecewakan bagi saya karena saya selalu melakukan kegiatan tersebut di Indonesia. Tetapi terda-pat beberapa kegiatan akhir pekan dan jeugdbeweging (kegiatan remaja) yang bisa saya ikuti. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, saya mengambil kelas berenang setiap akhir pekan. Guru olahraga saya memberi saran kepada saya untuk mengam-bil kelas renang extra di sini karena saya belum bisa berenang. Saya menerima saran tersebut dengan baik. Siapa tahu, mungkin itu bisa menyembuhkan fobia berada di dalam air saya. Setelah beberapa minggu, saya dengan bangga mengatakan saya dapat berenang dengan teknik dasar tanpa pelampung. Dan untuk ke-giatan remaja, saya bergabung dalam De Chiro, sebuah kegiatan yang bertujuan untuk menjadikan anak-anak dan remaja lebih sosial dan menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Se-cara singkat, De Chiro itu seperti Pramuka, hanya kami tidak melakukan hal lain kecuali bermain setiap saat. Saya berada di grup Aspi yang terdiri dari anggota paling tua yang akan menja-

Page 5: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Keikutsertaan Adzra di program AFS Kizuna ini adalah pengalaman pertama Adzra ke luar negeri. Dan dalam 4 bulan dari 5 bulan Adzra tinggal di Jepang, banyak sekali pengalaman tak terlupakan yang sudah Adzra dapatkan.

Di awal kedatangan ke Jepang, saat pesawat Adzra mendarat di Bandara Internasional Narita perasaan campur aduk antara excited, “waah! Akhirnya Adzra di Jepang!!!”, senang bisa sampai dengan selamat, capek setelah menempuh perjalan 7 jam lebih, dan takut, karena Adzra merasa sendirian, tidak ada keluarga, teman–teman, dan pastinya akan menghadapi lingkungan yang sama sekali berbeda dengan Indonesia. Namun, dari awal Adzra bertekad untuk bisa cepat-cepat beradaptasi dan mencari banyak teman baru agar Adzra merasa nyaman berada di Jepang. Sehingga tugas Adzra sebagai Duta Bangsa dapat terlaksana dengan baik.

Pertemuan pertama dengan keluarga angkat adalah saat–saat yang menegangkan bagi Adzra. Namun perasaan takut itu hilang ketika sampai di Stasiun Sagamiono, tempat dimana Adzra dijemput oleh keluarga angkat. Kedatangan Adzra disambut meriah! Dua adik laki-laki angkat Adzra yang masih berumur 7 dan 10 tahun datang sambil mengacung–acungkan kertas bertuliskan nama Adzra dan gambar bendera merah putih saat Adzra turun dari bus. Adzra bersyukur sekali bisa tinggal dengan mereka, mereka benar–benar keluarga yang hangat. Terkadang, Adzra tidur larut malam ka-rena keasyikan ngobrol dengan orang tua angkat. Biasanya, kita berbicara tentang perbandingan politik, cuaca, keadaan alam, atau budaya antara Jepang dan Indonesia. Adzra juga mencoba banyak permainan Jepang yang menarik bersama saudara laki-laki angkat. Keluarga angkat Adzra suka bepergian, dan Adzra sudah mengunjungi banyak tempat bersa-ma mereka. Seperti Tokyo Tower, Shibuya, Shinjuku, Harajuku, Disneyland Tokyo, Kyoto, Nagano, dan banyak lagi.

Pada awalnya, karena keterbatasan kemampuan Adzra dalam berbahasa Jepang Adzra hanya bisa berkomunikasi me-makai bahasa Inggris dengan okaasan (ibu dalam bahasa Jepang). Namun karena setiap hari mendengar percakapan bahasa Jepang di rumah, di sekolah, dan di lingkungan sekitar, sekarang Adzra bisa berkomunikasi dengan semua orang dengan bahasa Inggris maupun bahasa Jepang. Dan layaknya simbiosis mutualisme, saudara laki-laki angkat dan teman–teman Adzra di sekolah juga bisa belajar bahasa Inggris. Senang semua orang bisa saling belajar.

2

di pemimpin bagi grup lain tahun depan. De Chiro se-lalu menjadi hal yang saya nanti-nantikan. Kami sering bermain permainan ”keras” (yang membuatnya lebih seru dan menarik) dalam lumpur yang menjadi ala-san kenapa banyak sekali cucian di Hari Sabtu. Seca-ra singkat, saya hanya bisa berkata: Een dag zonder Chiro is een dag niet ge-leefd. Satu hari tanpa Chiro adalah satu hari tidak hi-dup!

Semua cerita tersebut ku-rang lebih merangkum bagaimana saya hidup di empat bulan pertama saya. Seperti murid-murid per-tukaran pelajar lainnya, saya mempunyai momen naik dan turun saya. Tapi saya percaya bahwa semua akan berakhir dengan baik dengan usaha yang kon-stan untuk menjadikannya baik. Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung saya sela-ma ini—Bina Antarbudaya, orang tua saya, Telkomsel, teman-teman saya, dan banyak lainnya. Semua ini tidak akan terjadi tanpa bantuan kalian. Daarom be-dank ik jullie allemaal! Ka-rena itulah saya berterima kasih pada Anda semua!

Adrian Wildandyawan To Belgium Flanders

Page 6: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Hari pertama sekolah juga sangat menegangkan, bahkan meru-pakan yang paling menegangkan. Kekhawatiran terbesar Adzra adalah, bisakah Adzra berteman dengan mereka, atau, bisakah Adzra berbaur dengan mereka? Dan sayangnya, di minggu–minggu pertama, sedikit banyak kekhawatiran itu menjadi ken-yataan. untuk menjalin komunikasi sulit sekali, karena sebagian besar teman–teman di sekolah lemah dalam berbahasa Inggris, begitu pula Adzra dalam berbahasa Jepang. Memperhatikan guru mengajar di kelas juga cukup melelahkan. Baik omongan maupun tulisan di papan tulis (yang tentu saja menggunakan kanji) tidak Adzra mengerti sama sekali. Adzra frustasi sekali pada saat itu. Namun seiring waktu berjalalan & kemampuan berbahasa Jepang Adzra semakin meningkat, Adzra pun mulai bisa berbaur secara utuh di sekolah dan mendapat banyak teman yang baik. Adzra bergabung di 2 klub, yaitu klub Sado (upacara teh) dan klub badminton. Di klub sado, Adzra belajar banyak tentang kebudayaan Jepang, arti filosofis sado, dan juga bebera-pa etika tradisional Jepang. Adzra bahkan berkesempatan untuk memakai yukata atau kimono katun pada acara Festival sekolah saat bertugas menjadi pelayan di klub sado. Sementara di klub badminton, rasanya seperti bertaruh nyawa. untuk pemasan saja memakan waktu setengah jam, termasuk lari selama 10 menit nonstop. Karena keterbatasan stamina yang Adzra miliki, seha-rusnya latihan bandminton setiap hari kecuali hari senin, hanya bisa Adzra ikuti 3 kali seminggu. Tapi itu merupakan penga-laman yang menakjubkan! Klub bandminton di sekolah Adzra adalah klub terbaik ke-4 di seantero prefektur Kanagawa. Berkat latihan keras bersama mereka, yang awalnya Adzra tidak bisa badminton (bahkan salah memukul shuttlecock) sekarang bisa bermain jauh lebih baik.

Satu hal yang membuat Adzra kaget tentang sekolah adalah ke-banyakan murid-murid perempuan memakai rok yang pendek

sekali. Sepertinya penggambaran komik–komik Jepang ten-tang keseharian di sekolah tidak sepenuhnya salah. Bersama teman–teman di sekolah, Adzra pergi ke berbagai tempat. Se-perti karaoke (yang belakangan Adzra tahu ternyata kata ka-raoke berasal dari bahasa Jepang), pusat perbelanjaan, bioskop (yang sangat mahal), ice skating, dan purikura. Purikura ada-lah mesin photo box yang memungkinkan pelanggannya untuk mendesain sendiri hasil foto mereka. Seru sekali!

Program Adzra adalah Kizuna, yang mengharuskan Adzra per-gi Prefektur Iwate untuk menjadi volunteer di lokasi bencana gempa dan tsunami yang terjadi tahun lalu. Perjalanan Adzra dari Tokyo ke Prefektur Iwate menggunakan Shinkansen, yang terkenal sebagai kereta tercepat di dunia. Seru sekali bisa mencoba naik Shinkansen. Walapun melaju dengan kecepatan tinggi, di dalamnya nyaman seperti di dalam pesawat. Dan se-panjang perjalanan, pemandangan yang sering terlihat adalah gunung dan sawah. Yap! Jepang memang mempunyai banyak gunung yang berbaris–baris yang keindahannya tidak bosan untuk dilihat. Di Iwate, Adzra dan teman–teman Kizuna yang lain menjadi relawan dan mendapat banyak informasi tentang bagaimana Jepang membuat sistem pencegahan gempa dan proses pemulihan setelah bencana gempa dan tsunami terjadi. Kita juga menjadi saksi bagaimana dahsyatnya tsunami yang terjadi.

Di Jepang hampir setiap minggu diadakan festival. Biasanya di festival itu ada pertunjukan tari, nyanyian, serta berbagai macam stand, mulai dari yang menjual makanan, minuman, mainan, dan lain-lain. Menyenangkan sekali setiap kali Adzra pergi ke festival. Kadang–kadang, di festival ada demonstrasi bagaimana cara membuat gerabah, mocha, atau membuat ke-rajinan dari jerami. Dan semua orang bisa ikut berpartisipasi

Adzra Izzati GhasaniTo Japan

untuk mencobanya. Awalnya, Adzra pikir makanan Jepang itu hambar, asin, dan wasabi dimana–mana. Tapi ternyata, makanan Jepang itu enak! Fa-vorit Adzra adalah sushi, mie soba, tempura, senbe (kerupuk beras), dan semua makanan manis, mochi, manju, dango. Jajanannya juga enak–enak, snacks, coklat, permen, wa-fer, es krim. Tapi masalahnya, semuanya mahal. Tapi Adzra tidak bisa berbuat apa–apa dalam hal ini. Jadi setiap kali jalan tanpa keluarga angkat, Adzra selalu membawa botol air minum dan memilih untuk membeli onigiri atau pergi ke warung udon, yang harganya lebih bersahabat untuk makan siang.

Di Prefektur Kanagawa dima-na Adzra tinggal, tidak punya banyak salju di musim dingin. Karena menurut penjelasan guru di sekolah, awan salju yang datang tertahan di pegu-nungan di utara Jepang. Na-mun tetap saja suhunya dingin seperti di daerah lain, tetap membuat Adzra menggigil ke-dinginan bahkan di dalam ru-mah! Ketika Adzra curhat ke teman dan mengatakan bahwa Adzra rindu udara hangat dan lembap, mereka bilang, “wa-haha, kalau aku jadi kamu aku tidak akan rindu dengan hal itu.” Tapi mereka tidak lahir di negara panas dan lembap.

Mudah–mudahan Adzra bisa mendapat lebih banyak lagi pengalaman di sisa waktu Adzra tinggal di Jepang ini. Dan begitu pulang ke Indo-nesia, Adzra bisa berbagi pengalaman dengan keluar-ga, teman–teman, dan banyak lagi orang–orang di Indone-sia, khususnya tentang perja-lan Adzra ke Prefektur Iwate. Dan setelah Adzra memperke-nalkan budaya Indonesia ke-pada orang–orang di Jepang, Adzra bisa meninggalkan ke-san baik tentang Indonesia ke-pada mereka.

Page 7: ONE STEP AWAY (Indonesian)

3

Ciao tutti, come state?Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanya dalam hidup saya. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga, teman-teman, AFS, Bina Antarbudaya dan pihak-pihak lain yang telah membantu dalam mencapai mimpi saya – menjadi Duta Indonesia dalam pertukaran pelajar dan menjalani pengalaman berharga ini di Italia.

Saya sangat senang dan bersemangat ketika saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Italia. Para vo-lunteer pun sangat gembira ketika bertemu kami. Saya menjalani orientasi AFS bersama dengan para exchange students yang akan tinggal di Italia. Saya sangat senang bertemu dengan teman-teman baru dari seluruh dunia dan kami dapat bertukar budaya, yang merupakan tujuan dari program ini. Akhirnya pada hari ketiga, saya bertemu dengan keluarga angkat saya. Hal itu merupakan saat yang terindah! Sebelum saya datang kesini saya hanya bisa melihat mereka dalam bentuk gambar, tetapi gambar itu kini sudah menjadi nyata. Saya sangat se-nang melihat senyuman mereka. Kami berbagi pengalaman bersama-sama seperti hal yang special dari negara kami masing-masing (saya menjelaskan Indonesia secara general seperti keadaan geografisnya, kehidupan sosial, kuliner dan kebudayaannya). Saya sangat senang dapat tinggal bersama mereka dan saya sangat bangga bahwa saya dapat menjadi Duta bangsa Indonesia.

Tidak terasa sudah hampir tiga bulan saya berada di sini. Saya mendapatkan pengalaman yang menakjubkan! Saya mempunyai keluarga yang luar biasa – Papà dan Mamma yang sangat perhatian kepada saya dan men-ganggap saya sebagai anaknya sendiri. Adik saya yang pertama, Chiara, selalu ada untuk membantu saya dan menjelaskan segalanya apabila saya tidak mengerti- saya sangat sayang kepadanya! Dan adik kecil saya, Livia, ia sangat lucu dan ia sangat senang bermain dengan saya.

Allora, saya sudah menjalani begitu banyak waktu senang dan waktu sedih. Bulan-bulan pertama merupakan bulan yang sangat sulit karena saya sangat merindukan kehidupan saya di Indonesia. Selain itu, untuk berko-munikasi atau menyampaikan perasaan saya merupakan hal yang sulit karena bahasa Italia tidaklah bahasa yang mudah, selain itu penggunaan bahasa Inggris tidak umum diantara para penduduknya. Namun saya men-yadari bahwa saya harus berjuang menghadapi keadaan ini dan mengalahkan tantangan yang ada. Sekarang saya senang karena saya dapat mengerti bahasa Italia, saya mengerti maksud dari seseorang ketika Ia berbicara dengan saya dan sekarang saya juga sudah mulai berbicara dalam bahasa Italia.

Ketika saya datang ke sekolah untuk pertama kalinya, saya merasa sangat gugup. Namun ternyata guru-guru dan murid-murid di sekolah sangat baik kepada saya. Walaupun mereka tidak bisa berkomunikasi dalam ba-hasa Inggris dengan baik, namun mereka berusaha untuk berbicara dengan saya. Teman-teman saya di sekolah sangat perhatian kepada saya. Kami sering menghabiskan waktu bersama saat istirahat dan berbicara tentang aktivitas yang telah dilakukan. Sekolah saya bernama Liceo Scientifico P. Ruggieri, saya berada di kelas 4 bagian C. DI Italia, Sekolah Menengah Atas (SMA) terdiri dari 5 tahun ajaran. Saya berumur 17 tahun, maka saya berada di tahun keempat. Sistem pembelajaran di Italia terdiri dari 2 tahun Asilo Nido (Taman Kanak-kanak), 5 tahun Scuola Elementaria (Sekolah Dasar), 3 tahun Scuola Media (Sekolah Menengah Pertama), 5 tahun Liceo (Sekolah Menengah Atas) dan universitas. Ada tiga tipe dari Sekolah Menengah Atas di Italia,

yaitu: Liceo Scientifico (lebih mempelajari bidang MIPA), Liceo Classico (lebih memperlajari bidang bahasa), Liceo Artistico Li-ceo Pedagogico (lebih mempelajari bidang artistik). Ada juga tipe dari sekolah menengah atas lainnya seperti SMK, yaitu Isti-tuto Tecnico Commerciale, Agrario, Geometri dan Istituti Pro-fessionali. Di sekolah saya mempelajari bidang MIPA seperti Matematica, Fisica dan Chimica tetapi saya juga mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Italia. Saya tidak mengikuti kelas ba-hasa Latin (Latino), Filosofia dan Sejarah karena subjek-subjek tersebut sangat sulit bagi saya sehingga saya mengikuti pelaja-ran di kelas lain seperti ke kelas 1, 2 dan 3 sehingga saya dapat memahami bahasa Italia lebih baik.

Setelah sekolah, saya mempunyai beberapa kegiatan seperti bermain tenis, mengikuti kelas bahasa Italia, latihan koor dan pergi ke tengah kota bersama teman-teman saya. Saya belum pernah bermain tenis sebelumnya, ternyata bermain tenis sangat menyenangkan! Saya mengikuti les tenis dua kali dalam satu minggu bersama adik saya, Chiara. Saya mempelajari gramma-tica di dalam kelas bahasa Italia. Saya selalu senang untuk ber-temu dengan exchange student lainnya dari local chapter saya. Kami berempat berasal dari negara yang berbeda-beda (Indone-siana, Thailandese, Braziliana dan Chinese). Terkadang kami pergi ke tengah kota bersama-sama untuk menyantap waffle atau melakukan shopping bersama-sama. Di Indonesia saya sering memainkan piano dan mengiringi misa dengan organ di gereja. Saya sangat bangga karena saya dapat mengiringi misa dengan bermain organ disini setiap hari Minggu di Chiesa Madre, nama gereja saya di Marsala. Saya sangat gembira karena saya dapat memuji Tuhan lewat lagu dan permainan musik. Sekarang saya mengetahui lagu-lagu dalam bahasa Italia dan saya senang dapat menyanyikannya. Saya juga bergabung dalam kelompok koor, mereka sangat ramah dan saya sangat senang dapat menjadi sa-lah satu bagian dari mereka.

Mi piace tantissimo il cibo! Masakan Italia sangat terrena di se-luruh dunia. Saya sudah menyicipi begitu banyak hidangan ma-

kanan. Waktu untuk menyantap makanan bersama, yaitu makan siang dan makan malam merupakan waktu yang penting karena hal itu merupakan waktu keluarga untuk berkumpul bersama. Secara umum, orang Italia menyantap hidangan dengan banyak. Ada antipasto (hidangan pembuka), primo piatto, secondo piat-to (hidangan utama), contorno, frutta (buah-buahan) atau dolce (hidangan penutup) dan terakhir caffè. untuk antipasto, kami biasanya menyantap makanan sebagai pembuka seperti sayur-sayuran yang dimasak secara sederhana, roti, berbagai macam keju, potongan daging seperti prosciutto cotto, prosciutto cru-do, salame. untuk primo piatto biasanya kami menyantap pasta atau riso (nasi). untuk hidangan utama biasanya kami menyan-tap ikan atau daging tetapi bisa juga berbagai macam hidangan lainnya. untuk contorno biasanya kami menyantap salad. Se-telah itu kami menyantap buah-buahan atau hidangan penutup yang merupakan bagian favorit saya. Ada begitu banyak macam dari hidangan penutup, seperti kue coklat, kue berbahan dasar buah-buahan, cannoli, babà, kue apel dan tiramisù, namun yang paling saya sukai adalah la torta di ciocolato dan tiramisù. Saya juga sangat menyukai es krim, rasa kesukaan saya adalah stra-ciatella. Namun kami tidak menyantap semua hidangan terse-but. Kami dapat memilih sendiri hidangan apa yang ingin kami santap, contohnya: pasta kemudian kue. Terkadang saya sangat merindukan masakan Indonesia, terutama masakan ibu saya, pempek dan sambel. Saya belum menemukan restoran Indo-nesia, namun saya sering memasak di rumah. Saya pernah me-masak nasi goreng dan menunjukannya kepada keluarga saya. Terkadang saya juga sering memasak bersama dengan adik saya, Chiara. Kami pernah memasak cotoletta dan chicken nugget ber-sama. Mamma mia! Rasanya sangat lezat sekali!

Bahasa dan kebudayaan antara Italia dan Indonesia sangatlah berbeda, namun banyak orang mengetahui tentang Indonesia, bahkan beberapa orang pernah berlibur ke Bali. Mereka berka-ta bahwa Indonesia sangat indah dan mereka sangat menyukai makanan dan kebudayaannya. Setelah satu bulan pertama, saya mengikuti orientasi AFS, kami berbagi pengalaman bersama dan

Agatha Lydia Natalia To Italy

Page 8: ONE STEP AWAY (Indonesian)

ada talent show. Saya bernyanyi dan menarikan se-buah lagu dalam bahasa Batak. Saya mendapat banyak pujian dan banyak dari mereka meyukai penampilan saya. Saya sangat senang dapat menjelaskan budaya Indonesia.

Bagi saya, keluarga adalah segalanya. Saya sangat se-nang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Saya bermain, bercanda dan melakukan banyak hal bersama adik-adik saya. Liburan yang lalu, pada bu-lan November, saya bersama keluarga pergi ke Tosca-na, Italia bagian utara. Kami pergi ke Firenze, Lucca, Siena dan Pisa. Saya sangat senang dapat melihat ban-gunan yang sangat indah dan bersejarah, juga gereja-gereja dan monument-monumen. Di Firenze saya men-gunjungi Duomo (Katedral) dari Firenze yang sangat mengagumkan, saya juga mengunjungi Galleria di Uffizzi, dimana terdapat lukisan dan patung karya dari seniman ternama di seluruh dunia seperti Leonardo da vinci, Rembrandt, Michelangelo and Raphael. Saya juga melihat lukisan asli “The birth of Venus” karya Sandro Botticelli. Saya juga berkesempatan untuk me- 4

Saya terbangun pagi ini, dan mata langsung tertuju pada kalender adven bergambar Santo Nikolas yang tergan-tung disamping tempat tidur, membuka ‘pintu’ berikutnya dan seketika mengambil cokelat mungil di dalamnya. Hari ini tepat 22 Desember. 3 hari menuju hari Natal dan 9 hari sebelum Tahun Baru 2013. Terimakasih 2012 yang telah menghantarkan saya sampai disini, mendapat kesempatan untuk merasakan semua ini.

7 September 2012 – Pagi itu saya melangkahkan kaki keluar rumah dengan perasaan senang, sedih, semangat, khawatir, berani, takut, semua bercampur menjadi satu bagaikan kartoffelsalat. Saya bersama 3 orang teman lain yang berangkat ke Jerman, menempuh perjalanan selama 14 jam di pesawat. Ketika berada di dalam pesawatpun rasanya masih sama, seolah tak terjadi apa-apa. Dalam pikiran saya masih belum terbayang seberapa jauh per-jalanan yang akan saya tempuh.

Pagi hari, 8 September 2012, saya dan ketiga teman saya telah sampai di Bandara Internasional Frankfurt. Kami dijemput oleh seorang volunteer dari Indonesia, dan seorang lagi dari Jerman. Setelah itu kami di bawa ke salah satu bagian bandar tempat dimana seluruh peserta AFS yang hari itu datang dari berbagai negara berkumpul. Baru saat itulah segalanya berubah. Baru saat itulah saya sadar, saya berada di belahan bumi yang berbeda, 10697,62 km dari keluarga saya. Melihat berbagai warna bola mata, juga berbagai warna rambut, mendengar berbagai ba-hasa, merasakan suasana yang benar- benar berbeda dan belum pernah saya rasakan dalam hidup saya. Seketika saya sadar, saya berada di Jerman, jantungnya Eropa.

Setelah itu kami semua berangkat dengan kereta menuju ke kota masing-masing. Setibanya di Kӧln Haupt-banhoff (Stasiun besar Kӧln), kami -saya dan beberapa peserta lain yang akan tinggal di Kӧln-turun dan disana nampak sekumpulan orang dengan sebuah poster besar dengan gambar bendera dari berbagai negara. Seketika saya melihat gambar bendera Indonesia disana dengan nama saya tercantum di bawahnya. Mereka menghampiri kami dengan senyum yang mengembang. Mereka semua memberi salam, ada yang menjabat tangan, serta ada pula yang memberikan cokelat dan bunga, serta beberapa orang membawa kamera dan langsung memotret kami berulang kali. Pada awalnya itu semua terasa sedikit terasa aneh bagi saya. Semua terasa baru dan asing. Tapi

lihat menara Pisa yang sangat menakjubkan. Saya sering membawa kamera saya untuk mengabadikan pengalaman yang sangat berharga ini.

Sekarang sudah memasuki bulan Desember. Natal akan segera tiba. Saya bersama keluarga memasang berbagai macam hiasan Natal. Kami memasang pohon Natal bersama dan presepe (seperti tempat dimana Yesus lahir) dan kami juga mendengarkan lagu-lagu bernuansa Natal. Saya percaya bahwa para exchange student lainnya, terutama yang be-rasal dari Indonesia juga sedang menjalani pengala-man yang luar biasa saat ini. Kami masih mempun-yai 7 bulan yang akan segera kami jalani, namun saya yakin bahwa kami bisa menjadi exchange student yang baik yang dapat menjadi anak yang membanggakan bagi orang lain dan dapat mengha-rumkan nama Indonesia. Mari kita sambut liburan ini dengan penuh sukacita dan kegembiraan!

Buon Natale, Buona Festa e Buon Anno Nuovo!Baci e abbracci

Page 9: ONE STEP AWAY (Indonesian)

pada saat itu juga semua dimulai. Saya bertemu dengan keluarga angkat saya dan ‘pulang ke rumah’ bersama.

SEKOLAH- Hari pertama sekolah, itu merupakan sekumpulan kata yang sedikit menyeramkan bagi saya. Semua orang tahu, menjadi murid baru itu tidaklah mudah, apalagi ketika anda men-jadi murid baru di sebuah sekolah di negara lain, dimana anda tidak mengerti bahasa dan budaya mereka. Sama sekali tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Tapi saya merasa cukup beruntung hari itu. Semua berjalan dengan baik. Saya mendapat teman-teman baru di sekolah saya, Ursulinenschule-Gymnasium Kӧln. Saya masih ingat bagaimana saya hanya bisa tersenyum ketika teman maupun guru berbicara bahasa Jerman pada saya. Kebanyakan Gymnasium di Jerman menggunakan sistem pindah kelas. Begitu pula disekolah saya ini. Saya berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Inilah hal yang saya suka dari sistem pindah kelas, kita dapat mengenal lebih banyak teman dari kelas lain.

Sistem sekolah di Jerman sedikit berbeda dari sekolah di Indo-nesia. Mula- mula, seluruh anak akan mendapat pendidikan di Grundschule selama 4 tahun, setelah itu terdapat berbagai pili-han, yaitu Gymnasium, Gesamtschule, Realschule atau Haupts-chule. Pada kelas 12 di Gymnasium atau Gesamtschule para siswa harus menyelesaikan Abitur (menurut saya ini semacam ujian Nasional di Indonesia). Nilai hasil Abitur itu dapat mereka gunakan untuk mendaftar universitas. Sekolah berlangsung dari pukul 8.00 dan berakhir tergantung mata pelajaran yang dipela-jari pada hari tersebut. Di Jerman juga diterapkan wajib bela-jar 9 tahun, serta tiap siswa diharuskan mempelajari minimal 2 bahasa asing selama minimal 5 tahun. Pelajaran bahasa asing disini menjadi salah satu suatu prioritas utama. Sistem belajar disini juga sangat berbeda. Para siswa dituntut untuk selalu aktif di dalam kelas. Mereka di bebaskan untuk mengutarakan pen-dapat dan pemikiran dari sudut pandang mereka. Dan disinilah kelemahan saya, selain belum terbiasa dengan sistem seperti itu, saya memiliki kendala bahasa ketika akan mengutarakan pen-dapat. Beruntung saya memiliki teman-teman yang mau mem-bantu menerjemahkan pendapat saya kepada para guru. Sistem ujian disini juga sangat berbeda. Dalam ujian para siswa benar-

benar dibebaskan menuangkan segala pengetahuan yang mereka miliki dalam bentuk essai bukan dalam bentuk pilihan ganda. Dari essai tersebut guru benar-benar dapat menilai sejauh mana pemahaman siswa.

FESTIVAL. Jerman selalu identik dengan Oktoberfest! Festival ini merpakan salah satu acara paling terkenal di kota Jerman dan juga merupakan festival terbesar di dunia dengan sekitar enam juta pengunjung setiap tahun. Festival ini sangat identik dengan bir. Sayangnya saya tidak bisa merasakan sensasi festival yang satu ini karena sedang berada di AFS LoC (Late Orientation Camp). Yang spesial dari kegiatan disekolah saya, yaitu ursulafest. Itu merupakan suatu festival untuk memperingati hari jadi sekolah kami. Kami mengadakan bazaar, konser, parade dan lain-lain. Tema kami tahun ini adalah Freundschaft (persahabatan). Kami mempersiapkan segalanya bersama- sama, disitu kita dapat leb-ih mengenal satu sama lain. Saya masuk dalam tim percetakan kartu serta survei. Kami melakukan survei di stasiun Kӧln, dan disitu saya harus melakukan wawancara dengan bahasa Jerman untuk pertama kali. Memang tidak mudah, tetapi dengan ban-tuan teman, saya berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Festival tersebut ditutup dengan makan malam bersama kemudian ber-doa bersama di Katedral Kӧlner.

Perayaan “Sankt Martin”. Telah menjadi tradisi di Jerman untuk merayakan hari Santo Martin bersama anak- anak. Kali ini saya merayakannya bersama anak- anak di sekolah dasar tempat ibu angkat saya mengajar. Sebagian dari mereka adalah anak den-gan autisme. Pada parade kali ini ‘Sankt Martin’ mengendarai kuda menyusuri jalan dengan diikuti anak- anak yang berjalan dengan lentera ditangan serta menyanyi bersama. “Laterne, lat-erne... Sonne, Mond und Sterne...”. Suara mereka terdengar je-las di telinga saya, saya pun ikut menyanyi walau belum terlalu hafal lagu tersebut. Itu merupakan momen yang sangat spesial menurut saya, melihat mereka tertawa dan bernyanyi bersaama, tak peduli dengan keterbatasan yang mereka miliki, semangat terlihat dari tiap senyum dan tawa di wajah setiap dari mereka

sambil mengangkat dengan tinggi lentera yang menyala dengan berbagai bentuk dan warna. Di puncak acara, kami menyalakan api unggun, serta bernyanyi bersama mengitari nya. Kӧln, kota tempat saya tinggal sangat terkenal dengan karnaval. Ya, salah satu nya adalah karnaval 11.11 atau lebih dikenal dengan Elfte elfte. Menurut orang Jerman, angka 11 merupakan angka baik yang membawa keberuntungan, sehingga mereka memperingatinya pada bulan 11, tanggal 11, pukul 11:11. Semua orang mengenakan kostum. Saya sendiri mengenakan kostum sebagai seorang peri dengan rambut palsu berwarna merah muda, lengkap dengan sayap, dan bulu-bulu berwarna senada. Semua orang berkumpul, menyanyi, menari dan berbesta bersama. Musik khas karnaval Jerman terdengar disetiap sudut kota, membuat saya tidak sabar untuk menanti karnaval musim semi tahun depan.

WINTER- ADVENT. Saat itu hari Jumat, di pelajaran Geografi, semua mata tertuju pada jendela besar di kelas. Terlihat butiran putih melayang di udara. Itu merupakan salju pertama yang turun di Kӧln. Dalam sekejap, seluruh halaman sekolah berubah warna menjadi putih tertutup salju. Ketika bel istirahat berbunyi semua siswa keluar meng-abaikan angin di luar yang begitu kencang. Saya melangkahkan kaki keluar, menginjakkan kaki diatas tumpukan salju, merasakan hembusan angin dengan butiran- butiran salju yang perlahan menghampiri. Serentak semua siswa bermain bersama, membuat schneeman juga saling melempar bola salju. Ketika salju turun, suasana natal semakin terasa. Ditambah lagi dengan stand-stand Weihnachtmarkt (pasar Natal) yang mulai dibuka diberbagai tempat. Saya sangat sering mengunjungi Weihnachtmarkt bersama teman saya sepulang sekolah ataupun disela pelajaran kosong. Disana dijual berbagai makanan khas Jerman juga pernak-pernik natal. Salah satu yang spesial adalah Gluehwein. Serta favorit saya Backfisch, Reibekuchen dan Dampfnudeln. Semuanya seolah menyatu menyajikan aroma yang sangat khas, serta diiringi lagu-lagu natal klasik. Berjalan menyusuri stand-stand lengkap dengan lampu- ampu men-yala, memberi pemandangan yang sangat indah. Berada disini terasa seperti memanjakan semua panca indera, dan bersatu memberikan rasa hangat dan nyaman. Mungkin ini adalah salah satu hal dari Jerman yang akan paling saya rindukan ketika kembali ke tanah air.

Inilah sepotong kisah perjalanan saya di “The Heart of Europe”. Disini saya sering ditanya apa kata favorit saya dalam bahasa Jerman. Dan sebagai penutup sekaligus penyambung untuk kisah berikutnya, inilah kata favorit

saya, Danke (terimakasih).

Anita Anjani To Germany

Page 10: ONE STEP AWAY (Indonesian)

5Mabuhay! Nama saya Annisa Bella Sunoto atau biasa dipanggil Bella. Saya beruntung menjadi satu-satunya dari Indonesia, bahkan AFSer pertama dari negara saya yang dikirim ke Filipina. Saya sangat senang bisa mengikuti Program AFS Asia Pasifik dan saya bangga menjadi seorang siswi pertukaran pelajar!

Sekarang ini saya tinggal di sebuah kota kecil namun damai bernama Cagayan de oro yang ter-letak di Mindanao utara, sekitar 45 menit terbang dengan pesawat dari Manila, ibu kota Filipina. Cagayan de oro terkenal dengan town of golden friendship atau kota persahabatan. Kota ini sangat rindang dengan pepohonan dan dikelilingi oleh bukit-bukit. Tagalog adalah bahasa nasional yang biasanya digunakan oleh penduduk yang tinggal di Luzon, khususnya Manila. Tetapi di Cagayan de oro sendiri, penduduk menggunakan bahasa Bisaya/visayan. Setiap kota mempunyai bahasa daer-ahnya masing-masing. Walaupun bahasa Inggris menjadi bahasa utama di seluruh penjuru negeri, tetapi saya tetap punya kesempatan untuk belajar bahasa daerah tersebut.

Saya tinggal bersama keluarga Arani, sebuah keluarga besar yang bahagia beranggotakan sepuluh orang. Keluarga saya terdiri dari ibu angkat, ayah angkat, 3 kakak laki-laki, 1 kakak perempuan, 1 adik perempuan, 1 kakak ipar laki-laki dan 2 kakak ipar perempuan. Beberapa orang anggota keluarga ini tinggal di kota lain untuk bekerja atau kuliah sehingga saya hanya tinggal bersama ibu angkat, 3 kakak laki-laki, 1 adik perempuan dan 2 kakak ipar perempuan. Ayah angkat saya bek-

erja di Iligan City – 1 jam perjalanan dari Cagayan de oro dan beliau pulang ke Cagayan de oro setiap akhir pekan dan hari li-bur. Di rumah, kami selalu melakukan hal yang menyenangkan. Saya belajar banyak dari keluarga ini. Mereka mengajarkan saya bagaimana cara mengurus bayi, masak masakan Filipina (dan oh saya juga suka makanan kaki lima di sana), sampai membersih-kan ayam yang sudah mati untuk dimasak!

Saya cukup beruntung bisa bersekolah di Xavier University High School - Ateneo de Cagayan, salah satu sekolah terbaik di Filipina. Sekolah ini adalah sekolah swasta Katolik Jesuits. Saya berada di kelas 4 atau setara dengan kelas 12 di Indonesia. Saya sangat suka semua hal tentang sekolah saya, mulai dari seragamnya yang keren sampai fasilitasnya yang sangat leng-kap. Walaupun saya satu-satunya siswa Muslim yang memakai jilbab, namun saya merasa sangat diterima di sekolah ini. Saya mempunya banyak teman dan mereka juga sangat ramah dan menyenangkan. Karena saya ingin belajar pelajaran baru yang belum pernah saya pelajari sebelumnya (saya mengambil kelas IPA di Indonesia), saya mengambil pelajaran sosial seperti akun-tansi dan ekonomi. Dalam pelajaran Physical Education, saya belajar olahraga softball dan tari tradisional Filipina. Saya juga mengambil kelas menarik lainnya seperti Humanism dan Robot-ics Programming. Saya berhasil membuat robot pertama saya di semester ini.

Selama saya tinggal di Cagayan de oro saya telah banyak mel-akukan banyak kegiatan menarik dengan Program AFS dianta-ranya : presentasi tentang Indonesia di sekolah-sekolah, berpida-to di gereja-gereja tentang kehidupan dan kerukunan antaragama di Indonesia, dan berkontribusi di acara operasi bibir sumbing bagi anak-anak tidak mampu sebagai sukarelawan. Saya suka kegiatan sosial! Tentang yang terakhir ini, saya membantu me-nenangkan anak-anak sehingga mereka tidak terlalu takut meng-hadapi operasi. Anak-anak ini ternyata sangat berani. Mereka adalah anak-anak kecil yang kuat dan saya sangat bangga kepa-da mereka! Saya tahu bahwa operasi ini adalah hal penting yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Jadi, itulah sekilas cerita tentang kehidupan baru saya di Filipina yang saya sangat nikmati. Sekarang saya akan menceritakan cerita menarik lain-nya.

Saya yakin pasti akan ada sesuatu yang menarik saat saya me-nerima pesan dari pengurus AFS yang berisi bahwa saya harus pergi ke Mindanao University of Science and Technology untuk menghadiri Mindanao Interfaith Program. Itu adalah bagian dari AFS Hosting Program. Saya pergi bersama teman-teman AFS saya yang juga ditempatkan di Filipina yaitu Astrid dari Belgia Flanders, Johannes dari Jerman, dan dua orang dari Bel-

gia Perancis yaitu Fountaine dan Paul-Antonie. Saat saya sam-pai di universitas, saya diperkenalkan kepada Debielyn Gamu-tan atau Debie, seorang perempuan Katolik berumur 19 tahun dan dia gadis tuna rungu. Diantara kami berdelapan, Debbie dan saya dipasangkan selama program berlangsung.

Pada awalnya saya merasa sangat canggung karena saya kurang yakin bagaimana saya dapat berkomunikasi dengan Debie. Ka-rena saya penasaran dan sangat ingin berbicara dengan Debie, saya mempunyai sebuah ide yaitu menulis apa yang ingin saya katakan di handphone lalu saya tunjukkan kepada Debie. Dia tertawa dan berfikir itu ide yang sangat cemerlang. Selama be-berapa menit kami berkomunikasi melalui tulisan di handphone saya. Setelah beberapa lama saya merasa report melakukan hal itu jadi saya meminta Debie untuk mengajarkan saya bahasa isyarat. Pertama dia mengajarkan saya bagaimana cara mengu-capkan hello. Saya pikir saya hanya harus melambaikan tangan, ternyata saya salah. Rupanya “hi” dalam bahasa isyarat cukup rumit. Setelah saya cukup mahir dengan kata “hi”, saya belajar kata dan frasa lainnya. Walaupun sulit tetapi saya tidak ingin menyerah karena itu merupakan hal yang sangat menarik, ter-lebih lagi ketika saya belajar cara mengucapkan bahasa isyarat dalam satu kalimat penuh. Saya tidak bisa berhenti mengucap-kan “okay saya mengerti, apa selanjutnya?”. Saya juga belajar bagaimana cara mengucapkan nama-nama negara seperti Indo-nesia dalam bahasa isyarat. Debie selalu bertepuk tangan baha-gia setiap kali saya berhasil mengucapkan satu kalimat penuh dalam bahasa isyarat.

Setelah saya merasa cukup percaya diri dan nyaman menggu-nakan bahasa isyarat, saya bertanya mengenai kehidupan Debie dan dia cukup terbuka pada saya. Saya mengetahui bahwa De-bie tuna rungu sejak lahir dan dia mempunyai banyak masalah sewaktu kecil tapi dia cukup kuat untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Dia berhasil sampai ke universitas. Keter-batasan Debie tidak menghentikan dia untuk terlibat dalam ban-yak kegiatan di dunia pendidikan. Debie berkuliah di Mindanao University of Science and Technology mengambil jurusan pen-didikan khusus. Dia menghadiri kelas khusus dengan siswa tuna rungu lainnya. Dan saya terkejut, karena dia adalah siswi pertu-karan pelajar ke Amerika Serikat pada tahun 2009! Saya kagum karena meskipun mempunyai keterbatasan dia adalah mahasiswi yang sangat cerdas yang telah berada di jalur yang tepat untuk menjadi seorang dosen yang sukses. Itulah yang dia inginkan untuk masa depannya nanti.

Saya juga mengagumi kesiapan universitas untuk menangani siswa siswi dengan kebutuhan khusus. Mereka memiliki fasili-tas, peralatan dan juga dosen untuk mengajar siswa khusus seperti Debie. Para siswa khusus ini tidak berarti tidak mampu, mereka hanya memiliki kemampuan yang berbeda. Tuhan telah

Annisa Bella Sunoto To Philippines

Page 11: ONE STEP AWAY (Indonesian)

6

4 bulan berlalu begitu cepat dan saya hampir tidak menyadarinya. Dimulai pada tanggal 6 September 2012, dan kemudian hidup saya berubah dari sekarang hingga masa depan, dari seorang yang pemalas menjadi individu yang lebih baik. AFS, melalui Turkish Airlines, membawa Sekar dan saya ke negara yang telah saya impi-impikan, Belanda. Pada waktu itu saya duduk dalam ketegangan dan mulai berimajinasi tentang apa yang akan terjadi. Tidak pernah terlintas di benak saya sebelumnya untuk menjadi seorang exchange student, sehingga saat ini saya dalam tanggung jawab sebagai duta Indonesia dengan kebulatan tekad. Gagasan itu membangun kepercayaan diri saya hingga saya tiba dengan selamat di bandar udara Schiphol, Amsterdam. Kemudian, saya bertemu ibu angkat dan ayah angkat yang kemudian akan menjadi orang tua saya setahun ke depan. Petualangan saya yang sebenarnya pun dimulai… Keluarga angkat adalah komunitas pertama yang mengajarkan saya bagaimana budaya Belanda yang se-benarnya. untungnya, saya di-host oleh keluarga lengkap (walaupun saya akan tetap senang dengan apa-pun yang saya dapat): ayah, ibu, dua saudara perempuan berumur 13 tahun (kembar) dan satu saudara perempuan berumur 10 tahun. Perbedaan pertama yang saya sadari dan yang akan menjadi tatangan saya selanjutnya adalah bahasa. Posisi saya saat ini sebenarnya agak sulit, karena saat ini saya sedang belajar bahasa Belanda, sedangkan mereka berbicara bahasa Fries, yaitu bahasa daerah, di kehidupan sehari-hari mereka. Ya, pada awalnya saya berpikir bahwa tahun saya akan sulit. Tetapi nyatanya luar biasa! Pada saat ini, saya bisa sedikit bahasa Belanda dan juga Fries! Hari demi hari, saya mengetahui perbedaan budaya yang lain. Indonesia terletak di daerah garis ekuator sehingga memiliki iklim yang cenderung hangat, tetapi

menciptakan manusia dengan setara dan karena itu kita harus memperlakukan orang dengan sama pula dan kita pastinya harus menghindari diskriminasi. Hal ini juga sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Cacat, antara lain adalah bahwa, Pendidikan adalah untuk semua orang dan akses terhadap pendidikan harus terse-dia untuk semua manusia termasuk orang yang memiliki keterbatasan.

Saya telah belajar banyak dari Debie untuk selalu beru-saha yang terbaik dan tidak mudah menyerah dalam hidup ini. Dia telah menginspirasi saya untuk menjadi orang yang sukses di masa depan. Pertemuan dengan Debie mer-upakan salah satu hal indah yang saya alami di Filipina. Bukan hanya karena saya bisa belajar bahasa isyarat tetapi juga karena saya bisa menyadari betapa beruntungnya saya dan bagaimana saya bersyukur dengan segala sesuatu yang Tuhan telah berikan kepada saya. AFS telah men-gubah kehidupan saya dan AFS adalah salah satu hal ter-baik yang pernah terjadi dalam hidup saya.

Page 12: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Belanda tidak. oleh sebab itu, mandi dua hari sekali dianggap lazim di Belanda, dan juga mengganti pakaian. Terdengar men-jijikkan, tetapi saya benci mengakuinya bahwa saya menyukai kebiasaan ini. Cuacanya bahkan tidak membuat saya berkerin-gat. Sehingga saya berpikir bahwa hal ini tidak salah, walau-pun beberapa teman Indonesia saya masih tidak dapat memper-cayainya. Kemudian… Makan malam, salah satu momen yang paling saya sukai. Saat itu merupakan makan malam saya yang pertama bersama keluarga angkat saya. Kami duduk bersama di ruang makan yang sangat nyaman, yang mana pada saat itu roti merupakan makanan kami. Agak sulit bagi saya untuk mengu-nyah dan menelannya, karena nasi masih merupakan makanan saya sehari sebelumnya. Tetapi sekarang saya mulai terbiasa, dan mengetahui bahwa energi tidak hanya didapat di nasi. Satu hal lagi mengenai makanan! untungnya, keluarga angkat saya sangat toleran dengan kepercayaan saya bahwa saya tidak boleh mengonsumsi daging babi, sehingga mereka selalu memikirkan daging alternatif. Dan nyatanya, kami benar-benar telah menjadi satu keluarga. Saya memanggil ayah angkat dan ibu angkat saya dengan ‘Heit’ dan ‘Mem’ dalam bahasa Fries yang artinya ayah dan ibu. Hal ini membuat saya benar-benar merasa di rumah, bu-kan suatu tempat yang dikelilingi oleh orang asing. Selain itu, di sini saya juga sangat suka makan, dan juga memasak. Sehingga tiap sore saya membantu ayah angkat saya memasak untuk ma-kan malam. Satu hal yang saya dapat: makanan mereka adalah kentang, sesuatu yang di goreng, makanan Italia, atau makanan Indonesia. Secara personal, saya menyukai semua makanan tersebut. Kentang sering disajikan sebagai kentang tumbuk den-gan sayuran, seperti worter, bayam, Boerkoel (kubis khas Be-landa), dan sayuran khas Belanda lainnya. Jenis makanan ini merupakan makanan khas Belanda. Tetapi terkadang mereka juga menyajikan masakan Italia: spaghetti, macaroni, pizza dan masakan Indonesia: bakmi, nasi, sate, dan lumpia. Bersama den-gan mereka, saya merayakan berbagai hari raya Belanda, seperti Sinterklaas dan Natal. Sekarang saya tahu perbedaan antara Sin-terklaas dan Santa Claus. Sinterklaas adalah seorang tokoh yang dikisahkan memberi hadiah ke rumah anak-anak yang baik, tetapi ini khas Belanda sehingga tidak setiap negara merayakan-nya. Sinterklaas dirayakan pada tanggal 6 Desember, sedangkan Santa Claus merupakan tokoh seperti itu juga tetapi pada hari raya Natal. Jadi sekitar pada tanggal 25 Desember. Perayaan-perayaan tersebut mungkin merupakan yang pertama dan tera-khir bagi saya. Sekolah berada pada peringkat kedua komunitas yang paling berpengaruh berdasarkan pengamatan saya. Di sini, saya ban-yak belajar bahasa Belanda, bahkan lebih banyak daripada di rumah. Pada bulan pertama, saya hanya tidak tahu apa yang guru katakan walaupun sebenarnya hampir semua perlajaran tersebut telah saya pelajari di Indonesia. Jadi, ada salah satu guru yang meminjamkan saya buku dalam bahasa Inggris. Tetapi, saya masih mempelajari buku yang semuanya tertulis dalam bahasa Belanda daripada yang berbahasa Inggris. Tetapi bukan kare-

na saya tidak menghargai guru tersebut. Saya ke negara yang 11.364 km jauhnya dari tanah air tidak untuk mempelajari pela-jaran SMA, melainkan bahasa mereka. Dan sekarang berhasil! Saya dapat mengikuti pelajaran di sekolah sama seperti murid-murid yang lain. Cerita lain mengenai sekolah, di sini merupa-kan tempat saya mendapatkan banyak teman. Pada awalnya, saya hanya duduk sendiri di kelas dan bersepeda sejauh 6 km selama setengah jam pun sendirian. Tetapi sekarang tidak sama sekali. Di pagi hari, saya bersepeda bersama teman-teman, yang mengerti masalah saya: tidak dapat bersepeda dengan baik. Dulu saya tidak terbiasa di Indonesia, bahkan saya bahkan tidak dapat bersepeda. Walaupun sekarang bisa, tetapi mereka tetap mengerti dan membiarkan saya berada pada posisi jalan yang aman. Tentang sistem sekolah, ada banyak perbedaan, seperti tidak menggunakan seragam, sistem pindah kelas, penggunaan smart board—layar sentuh untuk proyektor, masuk pukul 08.10, dan yang terakhir yang paling saya sukai: 5 hari sekolah dalam seminggu! Saya sangat berharap Indonesia dapat menerapkan sistem seperti ini juga, sehingga pelajar tidak hanya terfokus pada belajar, melainkan memiliki kesehatan mental yang baik. Fakta aneh yang lain adalah pada pelajaran dengan hitungan, seperti matematika, fisika, dan kimia. Murid-murid di sini sering menggunakan kalkulator daripada menghitung manual seperti di Indonesia. Pada pelajaran sains umum, mereka diperbolehkan menggunakan kamus sains yang berisi rumus-rumus, diagram, grafik, dan hal-hal yang lain yang berhubungan dengan pela-jaran tersebut. Di satu sisi, saya berpendapat bahwa sistem ini tidaklah baik, karena membuat pelajar malas untuk giat belajar. Mereka dapat menggunakan buku tersebut pada ujian. Tetapi, di sisi lain, saya setuju karena mereka terlatih untuk mengumpul-kan dan memproses data yang mereka miliki, lalu memecahkan masalah lain dengan data tersebut. Sekali lagi: sistem pendidi-kan yang tidak berorientasi pada teori-teori di buku. Selain bu-daya, tujuan saya di tahun istimewa ini adalah mencari segala macam cara untuk kembali ke negara ini lagi dengan mencari beasiswa. Walaupun hampir tidak mungkin mendapatkan bea-siswa S1 (tidak banyak beasiswa tersedia pada tingkat ini), tetapi setidaknya saya telah mengetahui universitas tujuan saya untuk S2 dan segala persyaratannya. Sekarang, pengalaman unik. Belanda berada pada iklim maritim moderat yang memiliki musim panas dan musim dingin yang ekstrem. Fakta ini mempengaruhi kehidupan di tahun exchange saya. Musim dingin memiliki hari yang lebih pendek sedangkan musim panas lebih panjang. Dikarenakan waktu shalat dipen-garuhi oleh posisi matahari, jadi waktu shalat pun turut berubah. Jadi, saya harus sering melihat website Islamic Finder. Yang kedua, musim! Selama 4 bulan di sini, saya telah merasakan hangatnya musim panas, warna-warni daun di musim gugur, dan dinginnya musim dingin! Saya tidak tahan menunggu cuaca se-makin dingin sehingga es-nya cukup tebal untuk skating! Selain itu, saya juga mendapatkan kesempatan merayakan Sweet 17 saya di negeri kincir angin ini. Semuanya berbeda dibandingkan

dengan ulang tahun saya pada tahun-tahun sebelumnya. Saya merayakan ulang tahun saya bersama teman-teman pada Sabtu malam, sehari sebelum ulang tahun saya yang sebenarnya. Kami berbincang-bincang dan menonton film. Acara kecil-kecilan tersebut luar biasa karena dihadiri oleh gadis-gadis dari 5 kebangsaan yang berbeda: Belanda, Polandia, Kolombia, Jerman, dan Indonesia. Di hari selanjutnya, hari-H, saya merayakannya bersama keluarga saya. Keluarga angkat saya memberi hadiah yang tak terlupakan, yaitu kalung kincir angin yang masih saya pakai hingga saat ini. Mereka juga memberi kue ulang tahun dengan foto saya sebagai dekorasi! Di akhir hari itu, kado-kado membanjiri saya, tetapi saya benar-benar menikmati hari tersebut. Pengalaman spesial yang pernah saya alami ada-lah ketika saya mengikuti trip ke Berlin! Kotanya luar biasa. Saya belajar banyak mengenai sejarah selama tahun exchange saya, termasuk ketika mengunjungi monumen atau bangunan bersejarah di Jerman. Sesekali saya bepikir betapa beruntungnya saya berada di negara Belanda ini, yang sebenarnya memiliki latar budaya yang sangat berbeda, namun tetap memiliki beberapa persamaan. Hal ini disebabkan karena Belanda dan Indonesia memiliki ‘hubungan’ di masa lalu. oleh sebab itu saya mendapatkan pelajaran sejarah yang menarik di kehidupan nyata daripada melalui buku sejarah yang terlalu teoritis. Salah satunya adalah membaca buku yang sangat terkenal yang dirilis selama Perang Dunia II, yang berjudul Max Havelaar oleh Multatuli. Buku yang sangat menginspirasi ini dipinjamkan oleh guru bahasa Belanda saya di sekolah, yang mana semuanya tertulis dalam bahasa Indonesia. Setiap kata, kalimat, dan halaman membuat saya lebih berpandangan terbuka. Berikut adalah pesan yang saya ingin terjadi pada kehidupan saya dikarenakan kesuksesan tahun exchange saya (saya harap) pada halaman 113: “Allah mengaruniai kita seorang anak, yang sekali waktu akan berkata ‘Anda tahu bahwa saya anaknya?’ dan dijawab,’marilah makan bersama, dan tinggallah di rumah kami dan pergunakanlah apa yang kami miliki, sebab aku pernah mengenal ayahmu’”. Bagi saya, kalimat-kalimat ini benar-benar menyentuh. Betapa berhasilnya seseorang untuk menjadi bagian dari komuni-tas dan memberikan kesan baik sampai ia dapat mempengaruhi lingkungannya. Tahun exchange saya yang luar biasa selama 4 bulan ini sangat banyak sehingga tidak dapat ditulis pada selem-bar Newsletter. Hingga saat ini, menurut saya, Belanda merupakan negara yang sempurna. Sesekali saya memiliki ide untuk membawa semua keluarga dan orang-orang yang saya sayangi ke negeri ini, untuk menghabiskan hidup bersama. Tetapi tidak. Mungkin ini adalah tanggung jawab saya di masa depan : mengubah Indonesia sekondusif Belanda sehingga semua masyarakatnya hidup nyaman dari pada berpindah ke negara lain. Saya berharap saya dapat memperbaiki kesalahan selama 4 bulan ini, dan semoga saja 6 bulan yang tersisa tersebut dapat lebih bermanfaat bagi saya dan saya memiliki lebih banyak pengalaman.

Astarina Natyasari To Netherlands

Page 13: ONE STEP AWAY (Indonesian)

7Sebelum berangkat aku selalu menghitung berapa hari lagi aku akan berang-kat. Pada tanggal 23 Agustus 2012 aku bangun dengan pikiran “Ini ben-eran? Apa benar aku akan pergi malam ini? Aku ga mimpi kan?”. Disaat aku sudah mengucapkan sampai jumpa kepada teman teman dan keluarga, dis-aat aku sedang ada di ruang tunggu bandara disitu aku sadar satu tahun pertu-karan pelajarku akan segera dimulai. Didalam pesawat aku tidak tau apa yang aku rasakan saat itu, tidak sabar akan bertemu dengan keluarga angkat dan te-man teman baru,senang, takut, cemas rasanya seperti semua perasaan bercam-pur jadi satu yang tidak bisa dijelaskan. Pada saat pesawat sudah mendarat di Bandara Internasional oslo disitu aku sadar aku sadar aku tidak mungkin kem-bali lagi untuk menyianyiakan satu tahun ini. Ah iya aku adalah satu-satunya pertukaran pelajar dari Indonesia yang sekarang berada di Norwegia tahun ini.

Hari pertama, kedua dan ketiga aku habiskan untuk orientasi. Disitu aku bisa men-genal banyak orang dari berbagai negara. Dari yang aku tidak tau dia itu siapa sampai sekarang kita bisa menjadi teman dekat. Di hari ketiga aku dan beberapa

temanku terbang ke Kotaku. Aku sekarang tinggal di Stavan-ger, kota ini terkenal sebagai Ibukota minyak. Di dalam pesawat aku hanya berpikir, bagaimana reaksi mereka ketika pertama kali bertemu dengan aku. Di dua minggu pertama aku tinggal dengan keluarga sementara. Walaupun hanya sementara tapi mereka sangat baik dengan aku, aku pun sudah menganggap mereka seperti keluargaku sampai sekarang. Mereka dengan senang hati membantu ku dalam hal apapun. Mereka mengajari aku bagaimana mengeja huruf yang tidak biasa aku katakan å, æ, dan ø tapi pada akhirnya kita hanya tertawa karena ø adalah huruf tersusah yang pernah aku sebut. Tapi ini yang aku suka dari keluarga ini apa saja bisa di buat senang. Setelah 2 min-ggu aku tinggal di keluarga sementara, akhirnya aku bisa ber-temu dengan keluargaku yang sebenarnya, mereka datang un-tuk menjemputku di rumah keluargaku yang sebelumnya. Aku bisa bilang sebelum mereka datang aku sangat tidak sabar un-tuk bertemu dengan mereka dan sedikit cemas karena aku harus beradaptasi ulang. Tapi ternyata dikeluargaku yang baru tidak kalah serunya, mereka sangat lucu, dan aku juga punya adik bayi, dimana sangat berbeda dengan aku yang di indonesia tidak punya kakak ataupun adik. Keluarga ku yang baru sangat baik, mereka juga sedikit tau tentang indonesia karena merka pernah tinggal di Indonesia untuk beberapa bulan. Mereka pula lah yang membuatku sadar punya adik kecil itu kadang seru juga.

Sekolah! Ah ya aku sekarang terdaftar sebagai siswi kelas 2 di Bergeland Videregående Skole. Aku mengambil paket kelas Seni dan Desain. Aku sangat beruntung karena teman sekelas ku sangat baik kepada ku padahal ketika aku datang aku belum bisa mengerti bahasa Norwegia sama sekali, karena itu ada-lah hari ke lima aku ada di Norwegia. Tapi dimulai dari bulan November aku merasa sekarang aku sudah bisa berkomuni-kasi baik dengan teman teman baru ku. Aku teringat kakak su-karelawan yang ada di chapterku pernah berkata ‘sekali kamu bisa berbicara dengan teman mu dengan bahasa mereka, aku yakin kamu akan bisa mengenal mereka lebih dari yang kamu tau mereka sekarang’ dan sekarang aku sudah merasakan itu.

Di sekolah aku Belajar tentang Seni, Desain kostum, Matemati-ka, Bahasa Norwegia, Sejarah, Geografi, Sosiologi, dan Olahra-ga. Ini sangat berbeda dengan apa yang aku pelajari di Indonesia karena di Indonesia aku masuk ke dalam kelas Ilmu Pengeta-huan Alam. Tapi tidak apa apa karena aku pikir ini asik juga ka-rena bisa istirahat dari semua yang berbau IPA untuk satu tahun. Disini aku juga mempunyai guru yang bisa untuk di kontak, jadi semacam wali kelas jadi tidak jauh berbeda dengan di indonesia.

Apa yang kamu pikirkan ketika aku bilang Norwegia? Viking? Troll? Fjord? Atau ikan? Kenapa ikan, karna Norwegia juga terkenal dengan ikannya, salmon dan satu ikan yang bernama ‘Laks’ adalah ikan favorit ku. orang Norwegia terbiasa makan malam sekitar jam 4 atau jam 5 sore, mungkin terlalu cepat un-tuk aku. Disini juga anak sekolah biasa membawa bekal yang bernama ‘Matpakke’. Isi matpakke biasa nya 2 potong roti, se-lembar daging dan selembar keju. Cokelat khas Norwegia itu bernama ‘Kvikk Lunsj’ aku baru sadar arti dari nama cokelat ini beberapa minggu yang lalu. Kvikk itu cepat, Lunsj itu makan siang, jadi kvikk lunsj itu berarti makan siang cepat. Itu kenapa orang norwegia selalu membawa cokelat ini ketika naik gunung.

Aku datang ke Norwegia ketika musim panas, dan dari bulan Agustus aku sudah melihat banyak perbedaan yang tejadi. Dimu-lai dari matahari terbit dan tenggelam, ketika aku datang matahari terbit sekitar jam 4 pagi dan matahari tenggelam mungkin jam 10 atau setengah 11 malam. Dan sekarang di bulan Desember mata-hari terbit jam 9 atau setengah 10 pagi dan tenggelam jam 3 sore. Aku selalu bertanya kepada ibu angkat ku ‘Sekarang jam berapa? Kenapa baru jam segini diluar sudah sangat gelap?’ dan ibuku bilang aku harus tunggu sampai bulan Januari atau Februari ka-rena aku akan melihat jam 2 siang dan matahari sudah terbenam.

Di akhir oktober musim dingin dimulai. Coba tebak, ya salju! Setelah 18 tahun aku hidup untuk pertama kalinya aku meli-hat salju. Pada saat aku bangun pagi dan bersiap untuk sekolah mama dari ibu angkatku masuk ke dapur dan berkata kepada aku dan ayah angkatku bahwa diluar sedang salju, tapi aku dan ayah angkatku tidak ada yang mengerti maksudnya apa. Ketika ia berkata sekali lagi aku dan ayah angkatku lari ke balkon ru-mah untuk melihat salju, disitu aku merasa sangat senang dan rasa ngantukku pun mendadak hilang. Pada hari yang sama temanku mengajak aku keluar kelas pada saat Istirahat un-tuk bermain salju. Kamipun membuat orang-orangan salju untuk yang pertama kalinya.beberapa temanku tidak percaya bagaimana bisa ada orang yang belum pernah lihat salju. Aku juga sudah pernah merasakan bermain perang bola salju den-gan teman teman sekelas, permainan ini sangat menyenangkan. Aku juga sudah pernah mencoba untuk bermain ski di halaman belakang rumah bersama keluargaku, ternyata tidak segam-pang yang aku lihat di televisi. Tapi ski itu sangat menyenang-kan, aku akan bermain ski lagi kalau di kotaku turun salju lagi.Di pertengahan bulan Desember aku dapat kesempatan untuk pergi ke Yunani bersama keluargaku disini kami memanen buah zaitun. Pada hari Natal kami pergi ke salah satu pantai yang terkenal di Yunani pantai ini bernama Pantai voidokil-ia. Di Yunani aku tinggal di rumah ibu dari ayah angkatku di kota Kalamata, kota ini memang terkenal dengan buah Zaitun-nya. Aku sangat senang bisa mengenal sedikit tentang Yunani.Setelah 2 minggu di Yunani akhirnya aku kembali lagi ke Norwe-gia, aku sangat senang kembali lagi ke Norwegia. Aku pergi keru-mah dari ibu dari ibu angkatku di Asker. Disini hampir setiap hari aku makan makanan khas Norwegia, mulai dari Moose (Elg) sam-pai dengan pinnekjøtt. Ketika tahun baru mereka juga punya kue khas yang bernama Kransekake. Kue ini seperti gunung dan dihi-asi Santa Klaus dan bendera Norwegia. Rasanya sanagat manis.Sekarang aku masih punya 6 bulan lagi untuk meningkatkan ba-hasa Norwegiaku, mengenal Norwegia lebih baik lagi dan me-

Aulia Nur AmaliaTo Norway

Page 14: ONE STEP AWAY (Indonesian)

nyebarkan hal-hal kecil tentang Indonesia. Aku sangat senang ketika aku melihat hal hal tentang Indonesia yang ada di buku Geografi ku dan teman temanku sadar akan itu. Mereka sering bilang ke aku ‘Hei ini tentang negara kamu kan?’ aku bisa dengan bangga bilang iya ini tentang negaraku, beberapa dari temanku sangat in-gin pergi ke Indonesia ketika aku bilang ke mereka kalau di Indonesia itu tidak ada musim dingin jadi hanya musim panas sepanjang tahun. Tapi masih ada juga yang tidak tahu dimana itu Indonesia, jadi ini sekarang tugas ku ini mengenalkan Indonesia disini. Masih ada waktu 6 bulan untuk melangkah kan kaki untuk men-genal dunia. Sampai jumpa di Newsletter ku yang berikutnya. Aku harap kalian terhibur dengan ceritaku.

8

Bonjour ! Comment la vie ça va ?Tiga bulan telah berlalu sejak pertama kali perjalananku di Pe-rancis dimulai. Berawal dari melangkahkan kakiku mening-galkan Indonesia, satu-satunya tempat yang kutahu dan kupang-gil rumah, membawa semua resiko untuk mengejar mimpiku, memasuki dunia baru yang sangat berbeda. Merupakan salah satu mimpi terbesarku untuk bisa pergi ke negara yang terkenal dengan menara Eiffel-nya. untuk bisa tinggal dan merasakan kehidupan disini, mengenal budaya dan cara hidupnya, berbica-ra bahasanya, mencicipi makanannya, dan belajar di sekolahnya. Entah bagaimana negara ini mempunyai pesona tersendiri un-tukku. Jadi, bagaimana mimpiku sejauh ini?

Selasa, 17 September 2012, dengan satu tas punggung, satu tas kamera, satu koper besar super berat , dan satu pikiran penuh dengan semangat, percaya diri, dan rasa ingin tahu yg besar, aku siap berangkat. Kulangkahkan dengan mantap langkah te-rakhirku di tanah tercinta Indonesia, ke pesawat yang mengan-tarku menuju mimpiku. Selama kurang lebih 15 jam penerban-gan kulalui seorang diri termasuk transit di Abu Dhabi, pagi yang cerah menyambutku di bandara Charles de Gaulle, Paris. Sore harinya, kulanjutkan perjalananku menuju tempat yang akan ku-panggil rumah selama satu tahun kedepan dengan kereta selama 3 jam. Rasa lelah serta jetlag tidak menyurutkan semangatku. Malah semakin mendekati destinasi terakhir, semakin cepat dan keras degup jantungku, semakin liar pula pikiranku.

Sampailah aku di Gare de Saint-Vallier-sur-Rhône dan kulihat beberapa orang asing memegang poster bertuliskan ucapan se-lamat datang dalam berbagai bahasa. Merekalah keluarga yang

“gila”, penuh semangat, juga perhatian. Setiap anggota keluarga mempunyai karakter yang sangat bertolak belakang, tetapi entah bagaimana melengkapi satu sama lain. Seni dan musik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari keluarga Le Divellec. Rumahku dipenuhi dengan patung pahatan, lukisan, CD dengan berbagai macam artis dan aliran musik, dan berbagai macam alat musik yg beberapa dibuat sendiri oleh Papa. Mereka juga memiliki kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi. Hidup bersama mereka membuatku belajar banyak hal luar biasa.

Cheminas adalah nama desa kecil tempatku tinggal, terletak di Timur-Selatan Perancis yang termasuk dalam departemen Ardhéche yang terkenal dengan Châtaigne-nya atau kastanye dalam Bahasa Indonesia, Région Rhone-Alpes (mungkin setara dengan provinsi di Indonesia). Jika dilihat dari nama régionnya yang diambil dari nama Sungai Rhône dan pegunungan Alps, aku tinggal dikelilingi gunung dan dataran tinggi. Sangat ber-tolak belakang dengan aku yang lahir dan tumbuh di kota me-tropolitan Surabaya, kota yang padat penduduk, dinamis, dan penuh dengan gedung tinggi perkantoran, mall, dan perumahan dimana selalu ada suara bising, kemacetan, dan polusi. Disini semua hal tersebut adalah hal yang langka. Yang aku lihat setiap hari adalah tanah hijau yang lapang yang terkadang diselingi hu-tan, karena jarak yang cukup jauh dari satu rumah dengan rumah yang lain, jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, dan langit yang biru. Aku senang menghabiskan waktu dengan bermain di luar, jogging, atau hanya berjalan santai di sekitar rumah ditema-ni udara yang segar dan keadaan yang tenang. Tak jarang pula ada Maman atau Mona yang menemaniku sambil mengobrol panjang lebar sepanjang perjalanan.

Aku bersekolah di kota yang lebih besar bernama Annonay. Kota ini sangat terkenal dengan balon udaranya karena di kota inilah Montgolfiére (balon udara) pertama kalinya di dunia dibuat dan diluncurkan oleh Joseph-Michel and Jacques-Etienne, Montgol-fier bersaudara. Lycée Boissy D’Anglas, nama sekolahku, adalah sekolah umum yang besar dan moderen dengan sistem pindah kelas. Sistem di sekolah ini benar-benar melatih kemandirian karena masing-masing siswa mempunya jadwal sendiri dima-na kami sendiri yang harus pintar mengatur waktu. Guru tidak akan peduli jika ada siswa yang terlambat atau absen, mereka akan menulis di daftar nama dan sore harinya, di hari yang sama, orang tua akan menerima email laporan. Hubungan guru dengan murid hanya sebatas guru sebagai pengajar dan pemberi materi dan murid sebagai yang diajar. Tidak ada keakraban atau filo-sofi guru sebagai orang tua kedua seperti di Indonesia. Pendidi-kan SMA di sini memiliki kesamaan dengan di Indonesia, yai-

akan mendampingiku. Keluarga se-derhana namun luar biasa dan unik, keluarga Le Divellec. Mulai dari Papa, Jean-Marie Le Divellec, seo-rang pemusik berperawakan tinggi besar yang berwatak keras namun sangat perhatian dan lucu dengan ga-yanya. Maman (baca: Mamo) Pasca-le Rosset, seorang ibu yang sederha-na, periang, dan energik yang bekerja dengan anak-anak penyandang cacat. Frére (kakak laki-laki) Tom Le Di-vellec, seorang mahasiswa calon in-sinyur yang sangat baik, lucu, dan suka joget. Soeur (saudara perem-puan) Mona Le Divellec, saudara seumuran sekaligus sahabat yang

Page 15: ONE STEP AWAY (Indonesian)

tu penjurusan di kelas 11, tetapi dengan tiga jurusan; Science (IPA), Economie Sociale (IPS), dan Literature (sastra). Aku berada di kelas Prémiere Literature atau kelas 11 sastra, kelas yang sama dengan Mona, dengan mata pelajaran Literature Français (Sastra Perancis), Literature Anglais (Sastra Inggris), Art Plastique (Ke-senian), Histoire Géographie (Sejarah dan Geografi), Physique-Chimie dan SVT (Fisika-Kimia dan Biologi), Education Sport (olahraga), dan pilihan Cinéma. Ban-yak pelajaran menarik kudapatkan di kelas ini, baik di dalam pelajaran maupun orang-orang di dalamnya. Pe-lajaran Art Plastique dan Cinéma adalah pelajaran fa-voritku dimana aku bisa bebas mengekspresikan ideku dan belajar bagaimana mengasahnya dengan teknik tertentu. Memang tampaknya mudah, tetapi tidak se-mudah itu dan membutuhkan semangat dan kerja ke-ras. Karena aku berada di kelas sastra, orang-orang di dalamnya sangat ekspresif dan mempunyai gaya dan karakter yang berbeda dimana awalnya mereka sangat tertutup, namun kemudian menjadi akrab dan menarik.

Memasuki bulan ketiga, aku memutuskan untuk pin-dah ke kelas ekonomi karena aku berpikir bahwa akan lebih baik jika aku bisa belajar ekonomi dan matema-tika, yang merupakan subjek yang paling kuminati. Bukan keputusan yang mudah karena saat itu trimester pertama tidak lama akan berakhir dan aku mulai mera-sa nyaman dengan kelasku. Selain itu, konsekuensinya aku harus mulai lagi dari nol untuk beradaptasi dengan jadwal, pelajaran, dan orang-orang di dalamnya. Teta-pi akhirnya kumantapkan untuk mengambil resikonya dan mengajukan permintaan kepada kepala sekolah. Akhirnya setelah melobi, beliau menyetujuinya dan saat ini aku berada di kelas Prémiere Economie Scien-ce.

Kata orang bulan-bulan pertama adalah yang paling berat, tetapi menurutku bulan-bulan pertama adalah yang paling berkesan. Tinggal dan beradaptasi den-gan dunia yang sama sekali berbeda sangat menga-getkan, menantang, sekaligus menyenangkan bagiku. Mulai dari mempelajari bahasa sekaligus sikap, me-nemukan nilai dan norma yang berbeda, mempelajari karateristik dan cara hidup yang unik sampai hal se-pele tentang bagaimana memberi salam. Seperti ketika minggu-minggu pertama, aku sama sekali tidak bisa memahami maupun berbicara dalam bahasa Perancis, dan selama pelajaran di kelas aku sibuk membaca buku cerita anak-anak. Tidak jarang aku tidur selama pelaja-ran di kelas. untuk selalu berusaha mendengarkan dan mengerti setiap saat apa yang semua orang katakan be-nar-benar menguras tenagaku. Tidak jarang pula dalam percakapan aku selalu menjawab oui, oui, oui (ya, ya, ya) walaupun aku tidak begitu mengerti atau malah ti-dak mengerti sama sekali karena bagi mereka pun juga terkadang melelahkan untuk berkomunikasi. Rasanya gemas sekaligus membuatku frustasi, ingin mengobrol tetapi tidak bisa, apalagi bahasa Perancis adalah baha-sa yang rumit serta orang Perancis terkenal dengan ke-banggaannya terhadap bahasanya sehingga jarang dari mereka yang bisa berbahasa Inggris. Memasuki bulan kedua, aku ingat pertama kalinya aku mengirim sms kepada Maman, beliau langsung heboh dan menun-jukkannya pada semua orang di rumah. Saat itu aku

sedang berada di sekolah dan sesampainya di rumah, semua orang memberiku selamat seperti aku telah mendapatkan medali emas!

Perancis terkenal dengan French Kiss atau caranya memberi salam dengan mencium di kedua pipi. Aku ingat ketika di sekolah pertama kalinya seorang anak laki-laki menyapaku dengan mencium pipiku. Aku sangat kaget, saking kagetnya sampai aku hanya berdiri mematung. Aku yang tumbuh di lingkungan dimana kontak fisik antara laki-laki dan perempuan sangat terbatas, merasa sangat aneh sekaligus geli ketika ada laki-laki yang sama sekali tidak kukenal, mendekatiku lalu menciumku di kedua pipiku. Tetapi kemudian aku menemukan bahwa semua orang melakukannya, tidak memandang umur dan gender. Ada yang mencium 2 kali, 3 kali, atau bahkan 4 kali. Terkadang mereka hanya cipika-cipiki, terkadang benar-benar mencium pipi. Rumit ya?Selain itu, menurutku orang Perancis sangat ekspresif dan beberapa diantaranya tidak biasa. Suatu ketika saat sedang makan malam di rumah dengan keluarga, saat sedang asik-asiknya mengobrol, Mona menjawab Papa dengan mengangkat bahu lalu membuat suara seperti (maaf) kentut dengan mulut. Aku kaget dan berpikir betapa tidak sopannya berbicara seperti itu dengan orang tua. Kee-sokan harinya aku menemukan orang lain di sekolah juga melakukannya, seolah-olah hal itu sangat normal. Aku yang kebingungan bertanya kepada Maman dan ia menjawab ya, hal itu sangat normal dan digunakan ketika ingin mengatakan tidak tahu. Aku benar-benar tidak percaya! Selama satu bulan pertama, aku benar-benar tidak bisa berhenti tertawa ketika ada orang yang melakukannya.

Yang kutemukan lebih jauh, karakter orang Perancis, atau setidaknya orang-orang di sekitarku, adalah lebih bebas dalam berpikir dan bertindak serta di beberapa sisi lebih terbuka. Hampir semua orang menuntut dan melakukan kesetaraan gender dan umur. Contohnya, saat Papa dan Maman sedang berdiskusi dengan Mona, mereka memperlakukannya seolah Mona adalah orang dewasa yang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan mereka. Selain itu, mereka lebih bebas mengekspresikan diri mereka dan apa yang mereka mau. Yang kukagumi dari orang-orang disini adalah kemandiriannya. Misalnya banyak remaja seumuranku yang mencari pekerjaan paruh waktu atau saat liburan. Tidak memandang kaya atau miskin, mereka memiliki kesadaran bahwa biaya hidup memang tidak murah. Hal lain yang kutemukan yaitu kebanyakan orang Perancis memilih untuk tidak menganut agama ter-tentu. Hal ini agak mengherankan karena Perancis memiliki sejarah sebagai negara religius serta terkenal dengan gereja katedralnya. Namun sekarang jarang ada orang yang beribadah kesana dan mereka menganggap bahwa agama tidak begitu penting.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti dan melihat dari sisi mereka. Aku mengerti bahwa French Kiss tidak berarti lebih dari sebuah cara untuk memberi salam, begitu juga dengan ekspresi-ekspresinya. Aku mengerti bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah hal yang penting bagi mereka. Aku juga mulai mengerti batasan-batasan nilai dan norma. Aku membuka mataku lebar-lebar untuk belajar menerima dan diterima, percaya dan dipercaya, mengerti dan dimengerti, serta menghargai dan dihargai.

Perjalanan ini benar-benar menamparku. Tinggal di tempat yang sama sekali asing bersama keluarga yang sama sekali tak kukenal dengan bahasa dan budaya yang sama sekali berbeda. Rasa senang, sedih, manis, pahit, rindu, takut, getir, bahagia, kecewa, dan semua rasa bercampur dan berkecamuk dalam diri demi mencapai suatu hasil; mengerti dan memahami diri sendiri dan akhirnya bisa membawa diri untuk terus belajar dan menjadi lebih baik serta berguna untuk lingkungan dan orang lain.

Jujur, aku masih tidak percaya jika saat ini aku berada di sini, menjalani mimpi yang telah kutunggu selama hidupku. Aku masih punya hari esok dengan lembaran kosong yang menantiku. Entah akan terisi dengan warna kelabu ataupun cerah, aku percaya semua akan menjadi pembelajaran berati bagiku. Les jours se suivent et ne se ressemblent pas. C’est la vie ! (Hari-hari dengan pengalaman yang berbeda itulah hidup!)

Carissa HanjaniTo France

Page 16: ONE STEP AWAY (Indonesian)

9

Sebelum saya melangkahkan kaki dari Indonesia, saya selalu berpikir jika program pertukaran pelajar tidak akan menjadi suatu hal yang sulit. Mungkin akan sama saja dengan liburan ke luar negeri. Tapi kenyataannya justru berbanding terbalik. Ini akan menjadi tahun, dimana saya belajar untuk hidup dan berjuang. Bukan hanya datang, mengambil foto orang bule, kemudian pulang. Atau sebagai turis, bermalam di hotel mewah dengan karpet dan dinding ber-wallpaper.

Pada hari keberangkatan, perasaan senang tak dapat dibendung lagi. Saya penasaran, bagaimana rupa dari negara Jerman yang sesungguhnya. Bagaimana rasanya menginjakkan kaki di sebuah tempat yang belum pernah terjamahi oleh saya sebelumnya. Tapi di sisi lain, rasa takut mulai merajalela. Saya takut untuk meninggalkan ayah, bunda, kakak dan adik. Takut untuk menjalani tahun tanpa orang tua yang mendampingi. ‘bagaimana kalau saya gagal? Atau tak bisa menjawab saat diberi pertanyaan oleh petugas imigrasi?’ Saya berusaha untuk tidak menangis pada hari itu. Tetapi perasaan semakin memu-ncak saat saya harus check-in. bukan hanya rasa takut, tapi juga penasaran yang berapi-api. Saya pun melangkahkan kaki dan mengucapkan ‘selamat tinggal’.

Perjalanan yang memakan waktu belasan jam pun dipenuhi dengan sukacita. Kami semua mulai beangan-angan tentang kehidupan baru yang ada didepan mata. Saya tak bisa tidur malam itu, tidak yakin apakah karena tekanan udara yang menyelimuti kabin, turbulences, atau karena film-film yang disiarkan di layar depan kursi penumpang, yang membuat saya tetap terjaga. Setelah malam panjang yang melelahkan, ternyata masih berlanjut lagi. Saya harus naik Zug (kereta) dari Frankfurt menuju Hamburg lalu Kiel. Dan yang lebih membuat perjalanan terasa berat adalah: keharusan untuk menggeret 2 buah koper, tanpa troli. Tetapi rasa sakit di tangan yang mulai memerah, tak begitu terasa saat pikiran mulai melayang kembali. Saya masih penasaran bagaimanakah rupa host city yang akan ditinggali selama satu tahun. Meskipun sejumlah informasi sudah ditelusuri lewat Google, tapi tak satupun yang tersirat didalam benak. Meskipun begitu, pertanyaan terbesar saya ada-lah: Bagimanakah rupa keluarga angkat saya?

Sampai akhirnya pintu kereta terbuka lebar secara otomatis, saya melangkahkan kaki, rasa penasaran itu pun terbayar. Mum dan kedua geschwester (saudara angkat) langsung memeluk dengan erat sambil menyerahkan dua tangkai mawar. “Selamat datang, Erysa!” Malam pertama di kota Kiel it was excep-tional. Karena perbedaan waktu (sekitar 6 jam) telah menjalar diseluruh tubuh, saya pun tertidur lelap. Kiel adalah sebuah kota kecil, ibukota dari provinsi Schleswig-holstein. Atmosfer yang ramah mem-buat saya ingin tinggal disini seumur hidup. Menghabiskan waktu dengan duduk di toko es krim dekat pelabuhan, sambil melihat kapal-kapal yang berlalu-lalang. Terpaan angin dari Laut Baltik memenuhi hari-hari para penduduk di kota ini. Saya pun akhirnya punya keinginan baru, agar suatu saat nanti dapat berlayar di salah satu kapal tua yang selalu berlabuh di ujung pelabuhan. Pada bulan awal saya menginjakkan kaki disini, saya tidak langsung diceburkan ke dalam sekolah yang berisi murid-murid Jerman. Saya dimasukkan ke Deutschkurs für Ausländer (kursus bahasa Jer-

man untuk orang asing). Ini merupakan salah satu kesempatan yang luar biasa, dapat mengenal murid-murid lain yang berasal dari berbagai Negara. Mungkin yang sama jauhnya dengan In-donesia, atau lebih jauh. Karena kemampuan berbicara saya dalam bahasa Jerman sangat minim, saya mengambil kesem-patan ini dengan belajar secara teratur. Mulai dari pagi hingga siang hari, otak saya dipenuhi dengan mengingat nama-nama warna atau angka dalam bahasa Jerman. Ketika Herbstferien (libur musim gugur) menyapa, tubuh saya pun termanja. Karena jetlag yang masih menjadi masalah, akh-irnya saya bisa tidur sedikit lebih lama. Efek dari perbedaan waktu sangat tak terduga. ‘Bagaimana bisa saya mengantuk pada jam 6, tapi tak bisa tidur pada dini hari?’ Tak hanya jam tidur yang terbengkalai, juga kebiasaan makan. Ya, Jerman, negeri dengan ribuan pilihan roti. Jerman dan roti adalah dua hal yang tak akan pernah bisa diuraikan, meskipun seluruh du-nia lebur hingga membentuk kepingan. Makan tiga hari sekali pun tidak mempan untuk menangkal angin laut. Saya butuh 5. Saya berkunjung ke Danish Border (perbatasan Jerman den-gan Denmark) dengan keluarga angkat saya untuk mengun-jungi kerabat. Pertama kalinya saya pergi keluar dari Kiel. Pe-mandangan dan atmosfer masih sangat alami dan bersih. Desa kecil yang dikelilingi kincir angin dan permadani rumput. Saya juga mencicipi makanan tradisional ala Norddeutschland (Jer-man bagian utara) yang banyak terilhami dari wilayah Skan-dinavia. Saat liburan berakhir, realita pun menghampiri. Saya harus masuk sekolah. Sekolah asli yang dipenuhi dengan murid-murid Jerman. Rasa takut pun menghampiri lagi. ‘Bagaimana jika mereka tidak antusias? Atau tak ada yang ingin mengajak saya berbicara di sekolah?’ Hari-hari awal pun dilewati den-gan berbagai rintangan. Bahkan untuk menghafal nama teman sekelas pun sangat sulit (karena pengucapan yang berbeda den-gan bahasa Inggris). Ditambah lagi dengan sistem kelas yang berpindah-pindah. ‘Bagaimana saya bisa tahu jika hari rabu, kelas biologi ada di gedung barat? Sedangkan pada hari jumat ada di gedung timur?’

Dan begitu pula pada hari-hari berikutnya. Saya mencoba un-tuk beradaptasi dengan sistem sekolah dan sistem pergaulan yang sangat berbeda dari Indonesia. Karena seluruh pelajaran yang disampaikan melalui bahasa Jerman (kedengarannya sep-erti lalat yang terbang di telinga. Atau suara dari radio yang saya nyalakan diantara dua stasiun), membuat saya merasa bosan karena tak dapat mencerna satu kata pun. Pada akhirnya, saya menjadi setengah sadar.diantara berada didalam kelas, atau di atas kasur empuk dengan Heizung (pemanas ruangan). Bukan hanya karena pelajaran yang membosankan, dan selu-ruh upaya menahan kantuk agar tak terlelap di dalam kelas. Tetapi juga ‘bagaimana untuk bisa masuk kedalam pergaul-an’. Mencari teman cukup sulit pada awalnya. Mungkin ka-rena saya terlalu malu untuk berbicara, dan keseluruhan teman sekelas saya juga malu-malu untuk menyapa. Kalau kata salah satu teman saya, slogan baru di era sekarang adalah “shy is the new cool”. Pada akhirnya saya pun tersadar bahwa saya ‘harus’ melakukan sesuatu. Meskipun cukup memakan waktu untuk mengumpulkan nyali dan keberanian, hanya untuk mengucap-kan sepatah dua kata ‘Guten Morgen! Wie geht’s dir?’ (Selamat pagi! Apa kabar?). Syukurlah, upaya saya berhasil. Sekarang saya sudah merasa nyaman dan diterima didalam kelas. Meski-pun komunikasi dua arah masih perlu diasah, tapi saya akan selalu mencoba untuk belajar bergaul. Sebelum Winterferien (libur musim dingin) dimulai, kami dit-erpa ujian yang melanda minggu-minggu akhir sekolah. Tentu saja saya belum mampu untuk menjawab dengan sempurna, tapi saya memberanikan diri untuk mencoba. Seperti pada pelajaran Kimia. Tak dapat disangkal lagi, saya mendapat nilai terendah, 5. (Sebagai pengingat, nilai tertinggi di Jerman ada-lah 1. Nilai terendah adalah 6). Mungkin guru kimia saya ber-pikir kalau otak saya hanya seukuran biji salak. Tetapi malah hal yang berbanding terbalik terjadi di kelas Matematika. Saya berhasil mendapat 1.

Page 17: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Masih teringat jelas di benak, salah satu keinginan sebelum berangkat ke Jerman; saya ingin melanjutkan untuk belajar musik klasik. Beruntung di sekolah, tema ini dikupas habis dan beruntung juga saya mengikuti paduan suara disana. Meskipun sulit untuk men-yanyikan berbagai lagu dalam bahasa Jerman secara tepat dan jelas, tetapi saya dapat me-manage untuk mengikuti Weihnachtkonzert (konser natal). Karena hanya saya satu-satunya yang memakai Jilbab, membuat saya jadi diingat oleh para guru-guru yang juga menonton konser tersebut. Dan karena musim dingin sudah menjamahi Jerman bagian utara, salju sudah mulai turun. Begitu juga temperatur yang turun secara drastis setiap hari. Jalanan pun terselimuti oleh lapisan putih, tebal dan dingin. Bahkan terselubungi oleh dua lapis selimut tiap malam, tak menutup kemungkinan untuk membeku di pagi hari. 10

Melangkah itu susah. Bukti yang kamu perlukan untuk mempercayainya adalah, bertanya kepada orang tuamu untuk menunjuk-kan beberapa foto disaat kamu berusia sangat kecil, lebih tepatnya, satu foto yang diambil pada saat kamu sedang berdiri, dengan

ekspresi wajah kosong, melongo melihat ke arah kamera dengan kedua tanganmu dipegang oleh seseorang, berjaga-jaga jika kamu jatuh.

Melangkah itu susah. Sebelum mengambil langkah terakhir untuk melompat ke dalam lautan biru, di suatu tempat di Indonesia. Langkah terakhir, sebelum mendapati dirimu, tercebur kedalam air di bawah naungan sang mentari.

Melangkah itu susah. Dengan koper seberat 27kg yang harus kau bawa sepanjang 21 jam ke depan, dengan sebuah ransel dipenuhi dengan berbagai dokumen penting, yang jika kamu hilangkan, akan menjadi sebuah tiket ke neraka bagimu, tetapi, hal yang terle-bih penting, adalah sebuah hati dengan berat tak terbatas, yang telah membuat sebuah dinding pembatas antara gerbang keberang-katan internasional dan sebuah koridor untuk berlari ke orang-orang yang akan memelukmu dengan sukarela–mengetahui bahwa kau tidak akan melihat mereka dalam kurun waktu 10 bulan, untuk tinggal bersama seseorang yang kau tidak pernah temui, ke

tempat yang kau tidak pernah pergi sebelumnya. Ya, melangkah itu susah.

Hai. Namaku Evalita Pastora, dan sekarang aku memiliki 10 hal penting yang terdapat di kepalaku. Kenapa 10? Selain memiliki kepercayaan medieval yakni mempercayai bahwa tanggal di mana engkau dilahirkan akan memberikan secercah keberuntun-

gan jika engkau mengagungi dirimu di dalam hal tersebut, aku telah berpikir dan akhirnya menggabungkan seluruh 10 hal yang terdapat di dalam kepalaku tersebut, dalam bentuk pertanyaan yang paling sering ditanyakan mengenai keberangkatanku ke sini.

Mengapa aku tidak membuatnya dalam bentuk Newsletter saja, sih?

Erysa Alifah Maharamis Poetry To Germany

Page 18: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Satu,“Bagaimana kamu bisa pergi ke Italia?” Ini mungkin per-tanyaan yang paling sering ditanyakan oleh teman-temanku pada saat aku mempublikasikan sebuah foto di situs sosial di Internet yang berhubungan dengan keberadaanku di sini. Setelah menguping pembicaraan seseorang di tempat kursus bahasa Ing-gris, aku pun tahu keberadaan program exchange yang disedia-kan oleh Bina Antarbudaya. Dengan kerja keras, keberuntungan 10, dan berkat yang diberikan Yesus Kristus, aku pun berhasil untuk dapat menyelesaikan semua tahap, dan terlebih, menerima beasiswa yang disediakan oleh Telkomsel untuk program AFS dengan tujuan ke negara Italia. Sekarang, setelah mengingat hal tersebut, bahwa aku adalah salah satu dari duta besar Indonesia yang duduk di sebuah ruang tinggal keluarga Italiaku, hanya da-pat membuatku berkata ‘Wow’.

Dua, “Apa yang kau lakukan di Italia?” Sebagian dari kalian pasti berpikir bahwa sekarang aku sedang mengenyam potongan pizza sembari melakukan beberapa gerakan tangan khas orang Italia sambil memasuki Colosseo yang terdapat Da vinci untuk melukis diriku. Yah, maafkanlah imajinasiku. Aku dapat pergi ke Italia dengan program AFS yang memiliki tujuan utama un-tuk dapat berbagi dan mempelajari budaya. Aku pun disediakan fondasi kuat, yakni keluarga host ku - yang sukarela meneri-maku sebagai anak perempuan mereka selama kurang lebih 10 bulan. Lalu, aku pun harus memperkenalkan Indonesia kepada mereka dan juga terhadap sekolah yang akan kuhadiri dalam pe-riode tersebut. Ini tidak akan menjadi hal yang mudah, terutama jika kau mendapati dirimu berada di sebuah tempat, yang asing, bahkan terhadap kata ‘Indonesia’. Ini akan menjadi sebuah tan-tangan bagiku.

Disini, aku tinggal di Reggio Emilia, Emilia Romagna. Perny-ataan ini akan menjawab pertanyaan, “Apakah kamu tinggal di Milano? Roma? Ataukah venice?”. Tidak, aku tidak dihost di tempat yang menyediakan berbagai fasilitas turistik, sebaliknya, aku tinggal di sebuah kota yang dahulunya, di tahun-tahun me-dieval, merupakan sebuah tempat pemberhentian orang-orang yang ingin berkeliling di negara ini melalui jalur via Emilia. Sejak itu, Reggio Emilia telah menjadi sebuah kota sibuk, yang selalu bergerak cepat karena lokasi strategisnya. 45 menit dari città ini, terdapat sebuah desa kecil bernama Poviglio, dimana keluarga angkatku tinggal. Di dalam keluargaku, terdapat se-orang ayah dan ibu, seorang kakak perempuan berusia lebih tua setahun dariku, seorang nenek dan untuk melengkapi semuanya, 4 anjing dan 1 kucing. Hal ini membuat rumah kami tidak per-nah sepi, walaupun terletak di tengah-tengah lapangan yang pe-nuh akan rumput hijau yang hanya mempunyai sebuah jalanan sepi di depannya. Hal tersebut telah membuat kami lebih men-gapresiasikan moral ‘Kebersamaan’ dalam keluarga. Pertanyaan keempat; “Deskripsikan keluargamu!” telah terjawab.

Lima, “Bagaimana sekolahmu?”. Memoriku masih kuat ter-hadap hari pertama aku pergi ke sekolah. Sekolahku bernama Bus Pascal, sebuah sekolah superiore yang setara akan SMA di Indonesia. Sekolah ini memiliki sistem pindah kelas seperti layaknya sebuah kampus. Dihadiri oleh 1200 murid lainnya yang mengambil berbagai jurusan seperti Scientifico, Linguis-tico, Informatica dan yang telah ku pilih, Artistico Grafico. Me-masuki pintu kelas untuk pertama kalinya, segera memicu 25 pasang mata murid-murid yang terdapat di kelas tersebut untuk melihat ke arahku. ‘Namanya adalah Eva, dia akan mengikuti pelajaran bersama kalian dalam kurang lebih 10 bulan kedepan, bersikaplah baik kepadanya!’ dan setelah mendengar kata-kata professoresa tersebut (yang akhirnya meninggalkanku sendiri),

salah seorang dari murid memecah kesunyian dengan bertanya kepadaku, ‘usiamu berapa?’ Setelah berbisik 1 hingga 16 dalam bahasa Italia, aku pun menjawab, ‘Sedici.’ Dan setelah itu, selu-ruh murid mulai bertepuk tangan seolah-olah aku telah menye-butkan sesuatu yang ajaib.

Sekarang, hubunganku dengan murid-murid di sekolah sangatlah baik, setelah melewati hari-hari miskomunikasi yang membuat kedua belah pihak menggaruk kepala, bahasa tidak lagi menjadi masalah nomor 1 untuk membuat teman. Jika dapat kurangkum, anak-anak Italia sangatlah ramah! Mereka akan berteriak ‘Ciao! Eva!’ disaat mereka melihatmu di koridor sekolah, atau akan mendatangimu dengan tatapan bahagia sembari memberikan pe-lukan. Mereka pun akan senantiasa membantumu disaat engkau tidak tahu untuk berbuat apa di kelas, mengetahui bahwa mereka mengorbakan waktu mereka untuk mendengarkan penjelasan guru. untuk menambahkan sebuah argumen akan “Bagaimana teman-temanmu di sekolah?” Walaupun sebagian besar dari mereka adalah kupu-kupu sosial (Yang akan pergi ke discoteca setiap minggunya untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain). Mereka tetap fokus akan pelajaran di sekolah. Mereka tidak pernah menghiraukan setiap tugas rumah ataupun ulangan yang diberikan guru. Di saat mereka memiliki kesusahan untuk memahami, mereka akan mengadakan assemblea untuk mendis-kusikan hal-hal apa yang dapat mereka lakukan untuk memper-baikinya. Hal ini sangat kukagumi.

Selanjutnya, setelah berbicara tentang sekolah, sebagian besar dari kalian pasti bertanya-tanya tentang, “Bagaimana sih Italia itu?” atau “Makanannya?” dan diikuti oleh pertanyaan yang paling tidak kusukai, “Terus, tambah gendut, dong?”. La Vita è Bella. Disaat engkau melihat berbagai bangunan dengan jendela yang dipenuhi bunga, merangkai sebuah jalanan sempit dimana orang-orang dapat berjalan dengan damai dipenuhi dengan aro-ma Pizza atau Pasta dari sebuah Trattoria terdekat. Yum!Setiap città di Italia memiliki spesialisasi makanan tersendiri, seperti di Bologna, yang memiliki spesialisasi Lasagna alla Bo-lognese. Atau Cesenatico, untuk Piadina, sebuah potongan tipis roti yang berisikan Nutella atau Prosciutto. Juga, setiap città di Italia, memiliki sebuah tempat yang pantas untuk didatangi tu-ris-turis. Mulai dari balkon yang digunakan Giulette untuk men-emui Romeo di verona, tugu miring yang dimiliki Pisa, berbagai butik busana di Milano dan un sacko di più! Jika kuceritakan disini, akan memakan banyak sekali halaman layaknya Divina Commedia yang dimiliki oleh Dante.

Setelah dapat melakukan seluruh hal itu, sendiri, tentu mem-buatku berpikir banyak. Sebagai seorang exchange student, tidak hanya mengubahmu dalam hal tempat ataupun budaya yang akan dihadapi, tapi menjadi seorang exchange student juga akan mengubah segala pembawaanmu dari negara asal. Dari bawaanmu untuk melihat sesuatu, memecah gelem-bung-gelembung untuk membuat sesuatu yang lebih besar, dan caramu untuk memberikan hatimu ke dalam sesuatu, se-gala sesuatu ini akan berubah suatu saat.

Aku telah menghabiskan waktuku bersama orang-orang yang telah mencuri tahun-tahun terbaik dalam hidupku, yak-ni sahabatku disini. Kami mungkin berasal dari negara yang berbeda, mulai dari area teramat sangat dingin di Finlandia, hingga Argentina yang sangat hangat. Pada awalnya, dinding ego masing-masing kami masih berdiri tegap, namun pada akhirnya, kami pun berusaha untuk bekerja sama satu sama lain, untuk menghasilkan suatu harmoni yang kami harap ter-dapat pada semua unsur budaya. Sekarang, kami tidak lagi melihat AFS sebagai program multi-budaya, tetapi sebuah refleksi terhadap dunia luas, yang cepat atau lambat akan kami masing-masing hadapi.

Aku tidak akan membuat sebuah teori bahwa aku telah berubah sekarang, atau memberitahumu segala aspek dalam diriku yang telah berubah, hanya karena aku telah melewati fase 3 bulan yang menurut mereka adalah fase tersulit dalam program pertu-karan ini. Tidak.

Banyak ekspektasi yang bekerja dengan baik, mungkin banyak juga ekspektasi yang tidak bekerja dengan baik, layaknya ke-luarga. Tetapi, pertanyaan; “Apakah kamu benar-benar telah berubah setelah melakukan langkah besar itu?” yang merupa-kan pertanyaan terakhir dibuat oleh diriku, terhadap diriku, akan terjawab tahun depan. Pada waktu kau tahu, waktu-waktu ter-baik dalam hidupmu akan segera berakhir, meninggalkan orang-orang yang telah memberikanmu dukungan dalam kurun waktu panjang, yang telah membuat sebuah hati lain dengan berat tak terbatas, membuatmu berpikir bahwa hanya Tuhan yang tahu kapan engkau akan bertemu mereka lagi, untuk kembali ke se-buah negara yang telah kau hidupi sebelumnya. Namun apakah langkah berikutnya yang kuambil disana akan sama?

Ya, melangkah itu susah.

Evalita PastoraTo Italy

Page 19: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Pergi ke luar negeri, bertemu orang-orang lain dari latar belakang dan budaya yang berbeda selalu men-jadi mimpi saya sejak saya masih muda... Baik, setidaknya lebih muda dari saya sekarang. Saya tidak ingat waktu dimana saya tidak ingin pergi ke luar negeri. Beberapa orang mungkin akan puas hanya untuk menetap, tapi tidak bagi saya. Saya ingin tahu bagian dunia yang lain juga, mengalaminya sendiri, tidak hanya dari layar kaca dan buku atau cerita orang lain. Saya tidak berhenti bermimpi dan lihat di-mana saya sekarang.

Sudah tiga bulan, 2 minggu dan 2 hari sejak saya tiba di tanah La Nutella dan La Ferarri. Saya masih ingat seberapa terang matahari di musim panas ketika saya melangkah turun dari pesawat di Roma, dan memulai perjalanan 10 bulan saya di Italia. Pada tanggal 10 September 2012, saya akhirnya bertemu keluarga angkat saya, orang-orang yang akan membantu saya melewati tahun ini dan orang-orang yang saya hubungi sebelum tiba. Dan cara kita ber-temu pun lucu. Saat itu saya lelah setelah 3 hari di Arrival Camp, Roma dan saya siap untuk jatuh tertidur sambil menunggu keluarga saya untuk datang menjemput. Saya hanya bersandar di dinding dengan mata tertutup, di antara tidur dan sadar ketika saya dibangunkan oleh salah satu volunteer, mengatakan bahwa keluarga saya akhirnya tiba.

Saya masih sedikit linglung dikarenakan kantuk, tetapi tetap saja jantung saya berdegup kencang. Saya sangat gugup dan khawatir, tetapi semuanya menghilang ketika saya akhirnya bertemu dengan mereka. Bagaimana mungkin bisa khawatir jika kamu menemukan bahwa ibu angkatmu memiliki rambut ber-warna biru! Saya pikir saya membayangkannya dikarenakan kantuk, tapi tidak, ibu angkat saya memang memiliki rambut biru. Sayapun melihat anggota keluarga yang lain dan saya melihat saudara perempuan angkat saya yang baru saja kembali dari program pertukarannya sendiri di Afrika Selatan dan dia mem-punyai gimbal, seperti Bob Marley. Beberapa menit setelah saya bertemu mereka, saya sudah terkagum-kagum.

Sesaat kemudian saya menerima perbedaan budaya, untuk pertama kalinya. Ketika saya mendekati ayah angkat saya untuk menyapa, saya meraih tangannya hendak melakukan “salam khas Indonesia”, yaitu mengambil tangannya dan membawanya ke pipi saya, tapi kemudian dia menolak dan tampak bingung, sayapun menyadari orang tidak melakukan salam semacam itu disini, dan akhirnya saya hanya berjabat tangan yang canggung dengan nya.. ah well.

Dimulailah petualangan saya dengan keluarga baru saya, di kota Italia, Cesena. Kalau di Indonesia saya adalah kakak tertua, orang yang selalu mengatur, di sini saya yang termuda. Saya memiliki masing-masing satu kakak laki-laki dan perempuan. Di malam pertama, kami berlima makan bersama di meja makan, dan saya akhirnya mencicipi pizza asli Italia. Sayapun tahu bahwa satu orang mendapat seluruh pizza dan bukan hanya 2 atau 3 potong. Berhubung ini adalah pertama kalinya untuk saya, saya hanya bisa makan setengah dari pizza tersebut. Tapi bisa dibilang malam itu berjalan dengan lancar.

Kemudian ada sekolah. Ibu angkat saya masih bisa menggambarkan betapa bergetarnya tangan saya ketika dia memegangnya dalam perjalanan, di hari pertama saya sekolah. Sayapun berdiri di depan kelas, memperkenal-kan diri dalam bahasa Italia yang tergagap-gagap, tapi untungnya teman- teman saya paham. Bulan pertama di kelas, semuanya mencoba untuk membantu dengan ber-bicara kepada saya dalam bahasa Inggris, tapi jujur itu tidak membantu saya sama sekali. Dengan berbahasa Inggris sepanjang waktu, saya punya sedikit waktu untuk berlatih Bahasa Italia saya dan akhirnya saya mengata-kan kepada mereka bahwa mereka harus mulai berbicara dalam bahasa Italia dengan saya. Dan mereka setuju. Sekarang saya bisa berbicara lebih nyaman di sekitar mereka, kami menjadi lebih dekat. Saya bahkan mendapat julukan dari mereka. Tapi per-tama-tama akan saya jelaskan. Di Italia ada cara untuk menggambarkan suatu keadaan. Sebagai contoh, jika Mercato berarti Pasar, maka Mercatino berarti Pasar Ke-cil. Julukan saya berasal dari fakta bahwa saya sayangn-ya sedikit lebih pendek dari tinggi rata-rata gadis remaja seusia saya, dan tampaknya teman-teman saya sadar akan hal itu, sehingga mereka memanggil saya Farina yang berarti Farah Kecil, tetapi jika Anda mencari farina dalam kamus Bahasa Italia, Anda akan menemukan bahwa itu berarti Tepung. Sejujurnya saya tidak keberatan, itu ada-lah tanda kasih sayang karena setiap kali mereka me-manggil saya Farina, selalu beriringan dengan tepukan di kepala saya atau pelukan singkat.

Selain keluarga saya mereka adalah orang-orang yang membantu dan mengajari saya. Saya menghabiskan Hal-loween pertama saya dengan mereka. Memasang make up dan berpesta di salah satu rumah mereka, kemudian menghabiskan malam di rumah tamu dengan delapan gadis-gadis lain, membicarakan gosip dan mencoba untuk terjaga. Pergi ke bioskop, bermain Wii dan menertawakan ketidakmampuan saya untuk menari, dan juga beberapa minggu lalu mereka bahkan membuat pesta ulang tahun kejutan untuk saya, yang membuat saya merayakan ulang tahun yang ke tujuh belas ini, tiga kali; dengan mereka, keluarga angkat saya dan teman-teman saya dari AFS.

Yang mengingatkan saya ke teman-teman saya dari kelompok lain. Salah satu hal yang membuat saya bersy-ukur berada di program ini adalah bahwa saya mendapat kesempatan untuk bertemu dan mengenal orang-orang dari seluruh dunia. Mereka yang berasal dari negara tetangga (Malaysia, Thailand, Jepang, India, Cina, Aus-tralia), dari bagian lain bumi (Amerika Serikat, Meksiko, Chile, Brasil, Honduras, Santo Domingo, Mesir) dari sekitar Eropa (Belgia, Polandia, Jerman, Spanyol, Bos-nia) dan tentu saja orang-orang Italia sendiri.

Selain belajar bahasa Italia, memiliki teman-teman dari negara lain membuat saya belajar bahasa mereka juga. Meskipun hanya salam sederhana, beberapa kata, dan tidak lupa cara mengutuk juga. Selalu menyenangkan setiap kali kami berkumpul dan mulai mencoba untuk berbicara bahasa satu sama lain. Saya tahu sekarang bagaimana cara menghitung dari nol sampai sepuluh dalam bahasa Spanyol, bagaimana untuk menyapa dalam bahasa Thailand, dan bagaimana cara mengutuk dalam bahasa Jerman.

Farahdhia Maharani Putri To Italy

11

Page 20: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Saya sendiri memiliki kesempatan untuk memperkenal-kan Indonesia kepada mereka dan juga untuk teman-teman dan keluarga baru saya di Italia. Saya mencoba untuk memenuhi kewajiban saya sebagai salah satu dari “Duta Besar Indonesia” sesering mungkin. Saya telah menari dua kali sejak saya tiba di sini, satu di komuni-tas saya dan yang lainnya di depan teman-teman saya dari program ini, meskipun saya tidak menganggap diri saya penari, setidaknya mereka tahu lebih tentang negara saya. Saya juga memberikan beberapa presentasi untuk teman sekelas saya dan tanggapan mereka menakjubkan, dari tidak mengetahui apa-apa tentang Indonesia lalu jadi ingin mengunjunginya. Entah bagaimana rasanya seperti prestasi kecil bagi saya.

Sebaliknya mereka membantu saya belajar dan ber-adaptasi dengan budaya Italia. Satu hal yang saya bisa gambarkan tentang gli Italiani (orang-orang Italia) ada-lah bahwa mereka cekatan. Mereka melakukan segala sesuatunya cepat; dari cara berjalan, makan, bahkan mereka berbicara cepat dan ditambah lagi mereka begitu ekspresif, saya terhibur setiap kali melihat mereka berin-teraksi dengan satu sama lain. Ada pepatah dalam bahasa Italia, “Chi dorme non piglia pesci” yang secara harfiah berarti, “yang tidur tidak mendapat ikan”. Tidak ada yang namanya terlambat disini, tidak seperti “jam karet“ In-donesia. Itu membuat perubahan dan juga tantangan bagi saya, terutama ketika harus menggunakan il tramp (bus lokal) tepat waktu. Karena saya tidak bisa mengemudi di sini, saya banyak bergantung kepada keluarga saya atau tramp untuk membawa saya kemana-mana.

Lalu ada masalah makanan. Seperti kebanyakan orang di dunia tahu, La Pasta berasal dari Italia. Saya kira tidak mengherankan jika orang Italia makan pasta setiap hari untuk makan siang. Mereka juga makan roti seperti orang

Indonesia makan nasi. Saya kagum mereka masih bisa tetap kurus setelah makan karbohidrat begitu banyaknya. Tapi sepertinya saya kebal terhadap sihir mereka. Saya malu mengatakan, saya telah memperoleh beberapa extra kilo sejak kedatangan saya. Dalam pembelaan saya, saya hanya memiliki kurang dari satu tahun di sini, berarti saya harus mencoba segala sesatunya, termasuk setiap rasa es krim di gelateria (toko es krim) favorit saya.

Tapi tentu saja tidak semuanya indah. Yang namanya pertu-karan pelajar memang tidak ada yang mudah. Dari peruba-han lingkungan sampai rasa frustasi ketika kamu memiliki begitu banyak hal untuk dikatakan, tapi kamu tidak tahu bagaimana mengatakannya, mengingatkan saya kembali bahwa saya tidak lagi di Indonesia. Saya begitu jauh dari kanyamanan di rumah asli saya.

Mungkin karna saya sudah ada disini selama sekitar tiga bulan jadi tampaknya normal saja jika saya merindukan ru-mah. Saya merindukan hal-hal sepele yang saya tidak pernah pikirkan sebelumnya. Tapi kemudian saya kira saya harus kehilangan beberapa hal untuk mendapatkan yang lain. Sep-erti, betapa saya rindu makan mie ayam dan sebaliknya saya belajar bagaimana memasak Spaghetti con Ragù. Bagaima-na saya rindu mengemudi tapi kemudian saya menikmati berkendara sepeda ke sekolah. Saya rindu suhu panas tropis tapi saya harus malah mengalami salju sebagai gantinya. Dan ya, saya tentu saja rindu berbicara dalam Bahasa Indo-nesia, tetapi betapa kerennya bisa belajar Italiano.

Intinya, semuanya terasa seperti menaiki roller coaster. Se-tiap hari membawa pengalaman baru dan kenangan yang berbeda yang membuat saya belajar sesuatu yang baru juga, yang mungkin beberapa orang pikir sepele tapi bagi saya jauh lebih penting. Saya menghargai setiap saat yang saya habiskan dan saya tidak sabar menunggu yang selanjutnya.

12

Assalamu’alaikum, Ciao, Grüetzi Mitenand! Kali ini adalah cerita diriku, Hilmy Farhan, AFS-er dari Chap-ter Samarinda, merantau ke negeri keju dan cokelat, “Swiss”. Cerita ini bermula dari pertengahan Agus-tus sampai 4 bulan ke depan tepatnya Desember. Permulaan. 17 Agustus 2012, pukul 10.30, di Bandara Internasional Zürich, saat di mana kami berempat, Hilmy, Rizqon, Billa dan Iin, pertama kali menginjak-kan kaki di tanah ini. Kami yakin, petualangan “setahun dalam hidup dan hidup dalam setahun”, resmi dimulai. Setelah mengambil koper dari bagasi, pergilah kami menuju meeting point dan kemudian disambut oleh wajah-wajah ceria sukarelawan AFS dan juga keluarga angkat yang menjemput. Ini adalah perkenalan singkat kami dengan segelintir warga yang ramah dari negeri ini. Kami lalu kemudian menuju ke keluarga angkat masing-masing dan menuju ke kota masing-masing.

Keluarga Angkat dan Tempat Tinggal . Keluarga angkatku adalah keluarga Brandt, keluarga yang spor-tif, energik, dan hangat. Dan keluarga ini adalah ke-luarga untukku selama satu tahun ini, yaitu sampai aku kembali ke tanah air lagi. Ayah angkatku adalah Walter Brandt, fisioterapis yang humoris dan pelatih bola voli. Beliau orang asli Jerman utara, yang nota-bene berbahasa Jerman tinggi. Desiree Brandt adalah ibu angkatku yang penyayang, fisioterapis dan salah satu pengurus organisasi tenis di kanton ini. Beliau lahir di Belanda, dari orang tua blasteran Indonesia–Jerman, dan terlihat seperti orang Indonesia asli. Sau-dara angkatku hanya satu, dia adikku, Davin Brandt. Bocah lincah penggila voli yang selalu ceria kemana-mana. Dan yang terakhir, kakek angkatku yang ko-cak, Benny, bapak dari Desiree yang tinggal serumah.

untuk bahasa, aku merasa beruntung di keluarga ini. Aku bisa belajar Bahasa Jerman tinggi dan beberapa Bahasa Belanda. Setidaknya ada 4 bahasa disini, Ba-hasa Jerman tinggi (Hochdeutsch), Bahasa Belanda, Ba-hasa Inggris, dan yang mengagetkan, Bahasa Indonesia. Ya, Bahasa Indonesia. Aku sendiri kaget ketika oppa Benny (panggilan kakek angkatku) bisa lancar berba-hasa Indonesia denganku sejak hari pertama. Beliau lahir dan menghabiskan masa kecilnya dulu di Jakarta. Tetapi cara berbicara beliau seperti campuran betawi dengan ‘kompeni’ pada jaman dulu. Tetapi hanya oppa yang bisa, Desiree bisa juga tetapi sedikit-sedikit. Kami tinggal di kota kecil bernama Lenzburg, di kan-ton Aarau. Tidak jauh dari Zürich, cukup 30 – 40 menit dengan kereta. Di bukit yang tinggi di kota kecil yang asri ini, ada kastil Lenzburg yang seka-rang dijadikan museum. Kabarnya sih dulu sem-pat ada naga di situ, namanya Fauchi. Kota ini sep-erti perpaduan masa modern dengan masa dulu.

“People relate with each other, be-cause they are similar. They learn from each other because they are different”

Page 21: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Bulan Pertama. Target pertama : menghilangkan jetlag. Ya, masalah ini benar-benar mengganggu. Setibanya di rumah Len-zburg, aku butuh kira-kira seminggu buat menstabilkan tubuh ini lagi. Alhamdulillah keluarga angkatku ini perhatian, pernah ketika malam aku sakit panas, aku dibuatkan bubur oleh mereka. Bulan pertama di Swiss ini, aku tidak langsung dilepas begitu saja meluncur ke sekolah tanpa bekal bahasa Jerman. Setidaknya se-lama 4-5 minggu aku dan beberapa anak AFS yang lain menem-pa kursus bahasa Jerman Tinggi di kota Aarau. Di saat-saat itulah kami siswa-siswi AFS dari negara-negara lain bisa berkenalan. Di bulan ini juga AFS masing-masing wilayah mengadakan ori-entasi selama 2 malam dan orientasiku dilaksanakan di Bremgar-ten, dekat dengan kota Wohlen. Melihat pegunungan, mencium udara segar, di suasana pegunungan bermain dan berbagi dengan teman-teman dari bermacam-macam negara. Ketika malam tiba, kami keluar untuk BBQ Party sambil melihat gugusan bintang yang indah di langit Swiss. Mein Gott, saat-saat itu serasa sep-erti mimpi. Sampai sekarang kami ingin mengulangnya lagi. Ah ya, setelah kursus bahasa Jerman selesai, secara resmi, aku bisa masuk sekolah Kantonsschule Wohlen seperti layaknya pelajar dari hari Senin sampai Jum’at. SMA di sini berbeda dengan di Indonesia, sebelum masuk universitas, ada 4 kelas. Aku masuk ke kelas 3F, karena ketika itu umurku 17 tahun.

Bulan Kedua. Setelah bulan pertama ini, aku dan keluar-gaku mulai berkeliling di beberapa tempat di Swiss dan Luar negeri. Seperti ketika kami ke La Gruyere, sebuah kastil (dan kota) di wilayah Swiss bagian barat yang notabene ban-yak dipengaruhi Perancis. Ich liebe dieses Schloss, aku cin-ta kastil ini karena keju dan pemandangan yang indah. Di sinilah pertama kalinya aku mencoba cheese fondue, keju cair yang dimakan bersama roti dan kentang. Mungkin pen-galaman itu permulaanku jatuh cinta dengan keju cair, karena setelah itu masih ada racklett yang rasanya juga wonderful.Di sini juga aku mulai masuk Kanti (Kantonschule) Wohlen.

Kelasku bisa dibilang kelas yang seru dan asyik. Seru rasanya bisa bergaul dengan anak-anak Eropa, meski awalnya susah berkomunikasi. Salah satu hal yang menjadi tugasku di sini : belajar Bahasa Jerman Swiss. Mereka bisa berbahasa Jerman tinggi, tetapi bahasa mereka sehari-hari itu Jerman Swiss. Per-bandingannya seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Betawi kira-kira. Pelan tapi pasti, aku yakin pasti bisa bahasa Swiss. Ketika aku dapat libur 2 minggu, kami pergi ke Belan-da menggunakan mobil. Ternyata, dari kotaku sampai ke Belanda, tepatnya di Arnhem, hanya 7-8 jam. Eropa ini terasa kecil. Di Belanda ini aku tinggal selama 5 hari di rumah sewaan keluarga angkatku di Carolinahoeve.

Bulan Ketiga dan Keempat. Di bulan-bulan ini aku mulai sibuk asyik dengan kelas di sekolah dan tugas AFS. Aku mu-lai dengan presentasi di kelas, tentang diriku dan Indonesia, dan semuanya dalam bahasa JERMAN! Alhamdulillah berkat ban-tuan koreksi dan latihan dengan Ayah angkatku, presentasiku sukses. Setidaknya 3 presentasi tentang Indonesia yang sudah kulakukan di sini, dan aku masih ingin menimba pengalaman tentang itu. Di Kanti-Wohlen ini juga, aku bisa belajar biola dengan gratis dengan guru musikku. InsyaAllah 2013, aku baru bisa masuk orkestra sekolah. Selain itu aku mengikuti paduan suara, jadi bisa bernyanyi sekaligus belajar bahasa Jerman.

Sekolah pun sibuk saat menjelang Natal. Mereka mempersiapkan paduan suara dan orkestra untuk tampil di aula. Beberapa pela-jaran di kelas kami pun terasa berbeda, kadang kami bermain, menonton film, saling membagi hadiah, atau makan kue-kue bua-tan guru. Kebersamaan di sekolah ini benar-benar mengesankan. Di Swiss ini, aku resmi berumur 18 tahun. Aku mencoba membuat 2 kue untuk dibawa ke sekolah untuk dimakan bersama-sama. Hasilnya : tidak begitu jelek. Kelasku men-yanyikan lagu selamat ulang tahun untukku dalam tiga ba-hasa, Jerman, Inggris, dan Indonesia, lalu kita makan kue bersama. “Alles gueti zum Geburi, mein Bruder!” itu salah satu ucapan ulang tahun dalam bahasa Jerman Swiss. Ses-

ampainya di rumah, keluargaku membuat pesta kejutan untukku. Benar-benar terharu rasanya.Jadi, selama 4 Bulan ini aku senang bisa membuat memori dengan keluarga di sini, dengan te-man-teman dan guru-guru, dan dengan orang-orang lain. Aku senang bisa mengenal banyak orang-orang di sini, dan mengenalkan Indonesia pula kepada mereka. Aku harap di sisa wak-tuku, dan juga teman-temanku yang senasib, kami bisa mendapatkan banyak pengalaman berharga.Sekian dariku, Hilmy Farhan di Swiss. Sampai bertemu di newsletter selanjutnya !

Ciao, Adieu, Auf Wiedersehen, Wassalam...

Hilmy Farhan To Switzerland

Page 22: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Suara dengung mesin pesawat Airbus A330 Turkish Airlines yang memuat 300 penumpang perlahan mulai tak terdengar. Ini menandakan penerbangan menuju benua Eropa setelah kurang lebih 15 jam perjalanan akhirnya telah usai di Bandara Internasional Kloten Zurich, Swiss. Setelah sebelumnya tran-sit beberapa jam di Bandara Ataturk Istanbul, Turki. Tepat di hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2012. Meskipun men-galami jetlag karena penerbangan yang melintasi zona waktu yang berbeda tapi sama sekali tidak mengurangi semangat melaksanakan ibadah puasa. Jika di tanah air berpuasa sela-ma kurang lebih 12 jam, di Swiss saya harus menahan selama kurang lebih 16,5 jam karena matahari baru terbenam pada pukul 20.30. Saya melaksanakan shalat Idul Fitri di kediaman Duta Besar Republik Indonesia yang bertempat di Ibukota Swiss yaitu di kota Bern. Pada bulan pertama saya tinggal di sebuah keluarga Swiss di Kanton St. Gallen lalu kemudian saya pindah ke keluarga baru di Kanton Zurich.

Rasanya setengah percaya akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Swiss. Masih terbayang di benak saya raut wajah kelu-arga dan teman-teman saya pada saat hari terakhir di bandara Sultan Hasanuddin Makassar 14 Agustus 2012 dan pada hari

perjalanan melewati daerah ala country side. Sapi dengan bel di leher khas swiss. Di perjalanan host-dad saya menjelaskan mengapa kualitas keju sapi Swiss lebih bagus dikarenakan sapi memilih sendiri rumput yang ingin dimakan. Juga terdapat rumah-rumah kecil pembuatan keju ataupun rumah-rumah penduduk ala Eropa yang unik. Semua pemandan-gan baru yang menyegarkan mata ditambah lagi gunung-gunung Swiss yang menjulang tinggi.

Di bulan pertama saya bersama siswa pertukaran pelajar lainnya diwajibkan mengikuti les bahasa jerman. untuk Kanton St. Gallen sendiri berjumlah sepuluh orang siswa. Meskipun sedikit tapi kami membangun persahabatan yang erat hingga seka-rang. Mayoritas dari mereka berasal dari Amerika Selatan dengan bahasa ibu bahasa spanyol. Setiap minggu kami dipandu dengan guru bahasa jerman diajak berkeliling mengelilingi kota St. Gallen. Seperti berkunjung ke Kota tua, Katedral dan Ta-man Botani St. Gallen. Di bulan pertama banyak hal yang membuat saya harus beradaptasi dengan cepat. Perbedaan sederhana seperti penggunaan toilet, porsi makanan yang lebih kecil sampai pekerjaan rumah yang dilimpahkan kepada seluruh anggota keluarga. Terjun langsung di suatu daerah asing dengan bahasa dan budaya yang kontras bu-kan hal yang terbilang mudah. Ya, culture shock. Inilah satu dari pengalaman terbaik saya di masa exchange year ini. Salah satu culture shock yang saya temui dalam kebiasaan hidup masyarakat Swiss adalah ketepatan waktu. Hampir tidak per-nah ada kata terlambat ataupun ‘ngaret’. Karakter masyarakat Swiss sangat perfeksionis dan meng-hargai waktu. Transportasi umum seperti kereta 13

keberangkatan 16 Agustus 2012 tepat di bandara Soekarno Hatta melam-baikan tangan ke arah ibu dan bapak saya sebelum perjalanan dimulai. Tapi demi sebuah tujuan dan mimpi besar, tidak memberi sedikit ragu kaki saya untuk melangkah. Perasaan yang ber-campur aduk. Namun akhirnya sirna ketika selembar tulisan “Welcome Iin” dipegang oleh kakak perempuan angkat dan ayah angkat saya menyambut saya di pagi yang tak terlupakan itu. Kami berangkat dari Zurich menuju St. Gal-len menggunakan kereta InterRegio. Di

api, trem dan bus kota sangat disukai karena selain sangat tepat waktu juga cepat dan bersih. Pengguna kendaraan pribadi juga tidak terlalu banyak. Itulah mengapa kondisi udara sangat bersih dan hampir tidak pernah terjadi kemacetan. Rutinitas baru ber-jalan kaki juga membuat saya merasakan culture shock karena di Indonesia jalan kaki belum terlalu membudaya. Di sini saya pun tidak pernah merasa kehausan, karena di setiap sudut kota pasti tersedia air minum dari pancuran-pancuran air yang bersih dan gratis. Berbicara soal kebersihan jangan ditanya lagi. Warga Swiss sangat perhatian terhadap lingkungan hidup. Sumber en-ergi yang merusak lingkungan sangat dilarang keras.

orientasi kedatangan AFS pertama diadakan pada tanggal 7-9 September 2012 di kota Wallisellen di Kanton Zurich. Saya bertemu teman baru dari berbagai negara lain seperti Bosnia, venezuela, Amerika Serikat, Rusia, Brasil Chili, Mexico, Bo-livia, China, Thailand, Italia, Jepang, Rep. Ceko, Finlandia dan banyak lagi. Di hari terakhir orientasi seluruh peserta membuat Zopf atau roti tradisional khas Swiss yang dikonsumsi hanya pada hari minggu. orientasi ini sangat berkesan dan berman-faat karena bertujuan menetralisir culture shock yang baru kami alami serta belajar kebiasaan hidup masyarakat Swiss. Bertemu banyak orang dan hal-hal baru mungkin membuat culture shock dalam arti positif, namun inilah yang akan membuat kita menja-di lebih open minded dan lebih bijaksana memahami perbedaan.

Sekarang saya menjadi salah satu siswi di Kantonsschule Zurich Nord. Sekolah ini juga merupakan sekolah terbesar dan terleng-kap di Kanton Zurich. Di Swiss hanya diperbolehkan memilih Schwearpunktfache atau fokus bidang studi. Saya pun memilih Matematika sebagai fokus bidang studi saya dengan paket pela-jaran Biologi, Fisika, Matematika, Kimia, Geografi, Sejarah, Bahasa Jerman, Bahasa Inggris, Seni dan olahraga. uniknya, pelajaran olahraga terdapat dua kali seminggu. Karena mereka sangat mementingkan kesehatan jasmani. Mensa atau kantin dis-ekolah juga sangat besar dan tersedia berbagai pilihan kuliner yang sehat. Di hari pertama masuk sekolah saya sedikit merasa senang di-campur sedikit nervous. Namun setelah berkenalan dengan mereka ternyata mereka sangat open-minded dan sangat ramah kepada saya. Mereka membantu menjelaskan mata pelajaran meski tanpa saya minta. Saya merasa sangat beruntung bisa be-rada diantara mereka. Sekolah dimulai pada pukul 7.45 pagi hingga pukul 17.00 dengan sepuluh menit istirahat di setiap pergantian jam pelajaran. Setiap jam pelajaran terdiri dari em-

pat puluh lima menit. Meskipun full day school tapi saya tidak merasa bosan karena sekolah disini menggunakan sistem pindah kelas. Setiap siswa juga difasilitasi satu laptop Macbook Air 13 inci! Hal ini untuk memudahkan siswa mengerjakan tugas-tugas dan mengakses bahan pelajaran dari server sekolah. Pada bulan kedua saya sudah melakukan presentasi mengenai Indonesia dan mengundang antusiasme teman-teman saya untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai Indonesia.

Di akhir pekan sesekali keluarga angkat saya mengajak saya melakukan olahraga ekstrem seperti panjat tebing dan mendaki gunung. Kamipun selalu menghabiskan waktu weekend bersa-ma dengan menanam pohon, berenang ataupun bersepeda. Pada saat salju turun kamipun menghabiskan waktu bermain salju dan membuat boneka salju. Bersama dengan kakak perempuan an-gkat saya juga sudah mulai belajar bermain ski. Terasa sulit di awal tapi saya sangat senang dengan olahraga salju ini. Kelu-arga angat saya sudah pernah melakukan perjalanan berkeliling dunia. Mereka bahkan sudah pernah menginjakkan kaki di In-donesia terutama di Toraja tepat di pulau Sulawesi dimana saya bertempat tinggal. Mereka sangat menyukai perbedaan yang membuat dunia terlihat berwarna-warni. Terkadang di meja makan kami berdiskusi berjam-jam dan bahkan sampai diskusi alot jika sudah membahas tentang Islam dan kebiasaan hidup. Disini tantangan saya untuk memberikan jawaban sederhana dan masuk akal. Tidak mudah menjelaskan jilbab dengan cara seder-hana ataupun menjelaskan adat kurban ternak atau pemotongan hewan pada mereka yang menyayangi binatang.

Dari mereka saya pun belajar banyak mengenai makna individ-ualisme sebenarnya. Tentang tanggung jawab yang dibagi ke-pada anak-anak mereka sedari kecil, bagaimana mereka sedari kecil sudah menggali potensi diri mereka. Tentang bagaimana mereka menjaga kebersihan, kerapihan dan keindahan. Ten-tang bagaimana mereka memelihara alam dengan tidak mem-buang sampah sembarangan. Tentang bagaimana mereka sangat mencintai hewan peliharaan sebagai makhluk hidup ciptaan Tu-han. Tentang bagaimana mereka saling menghormati satu sama lain tanpa melihat perbedaan suku, bangsa ataupun agama. Dan yang paling penting bagaimana mereka selalu menomor satu-kan produk dalam negeri. Berintegrasi dengan teman-teman di sekolah juga memiliki tantangan tersendiri. Saya mulai sedikit demi sedikit mempelajari dialek Swiss-Jerman untuk memudah-kan saya berkomunikasi dengan mereka. Terkadang memban-gun pertemanan dari nol itu tidak mudah, apalagi mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Namun, setidaknya

Page 23: ONE STEP AWAY (Indonesian)

kami memanfaatkan waktu di waktu makan siang untuk bercengkrama ataupun sekedar mengerjakan tugas sekolah ber-sama.

Di Swiss saya difasilitasi kartu General Abodemen yang memungkinkan saya bisa menggunakan seluruh alat transportasi seperti kereta, bus, trem ataupun kapal secara gratis selama menjalani program pertukaran pelajar. Di pekan awal herbst-ferien (libur musim gugur) sayapun menyempatkan diri untuk mengunjungi kota-kota besar di Swiss. Zurich, yang meru-pakan kota terbesar di Swiss. Luzern, kota yang terkenal sebagai kota tua dengan Kapelbrucke atau jembatan Kapel. Bern, kota yang merupakan Ibu kota negara Swiss sekaligus terdapat kantor pusat pemerintahan Swiss. Basel, kota kelahiran petenis kelas dunia Roger Federer dan perbatasan tiga negara, Swiss, Jerman dan Prancis. Dan terakhir Jenewa, sebuah daerah berbahasa Prancis yang menjadi markas kantor PBB dan juga kantor CERN (Conseil Européene pour la Recherche Nucléaire), pusat penelitian nuklir fisika di Eropa. Pada pekan kedua, saya dan keluarga angkat saya juga sempat berkun-jung ke Italia tepatnya ke kota Milan mengunjungi Katedral Duomo dan menyusuri Galleria Vittorio Emmanuele II serta menikmati Cappucino hangat dan Tiramisu yang lezat.

Saya sangat suka dengan kuliner Swiss seperti Fondue, Raclette, Zopf, Birchermuesli, aneka cokelat dan keju. Meskipun begitu terkadang saya masih merindukan masakan asli Indonesia dengan rasa-rasa rempah yang khas seperti coto Makassar asli daerah saya. Terkadang untuk mengobati rasa rindu pada makanan Indonesia saya memasak untuk hostfamily. Dengan bekal bumbu-bumbu dari Indonesia saya memasak nasi goreng dan sate ayam.

Memasuki musim salju setiap pagi saya berangkat ke sekolah dengan keadaan langit masih gelap dan pulang ke sekolah juga matahari sudah terbenam. Terkadang saya merasakan rindu pada rumah, rindu pada keluarga. Terasa ingin mereka ada disini juga bersama saya. Merasakan homesick mungkin terbilang normal apalagi terhitung hampir setengah tahun kami meninggalkan tanah air. Tapi tidak berlarut-larut, waktu terasa berjalan semakin cepat. Jawabannya adalah harus benar-benar memanfaatkan waktu yang tersisa ini. untuk bakti yang akan kami bayar pada Indonesia di kemudian hari. Sekian cerita saya dari empat bulan pertama dari hidup baru saya di Swiss. Swiss lebih dari sekedar coklat dan keju. Tapi surga kecil yang terletak di jantung Eropa. Dan saya selalu bersyukur bisa menjadi bagian dari negara ini.

Iin Fadhilah utami To Switzerland

14

Assalamualaikum. Hi! How are you? Good?. Hola! Como estas? Bien?. Hai Indonesia! Apa kabar semuanya? Baik semua nya kan? Alhamdulillah…

Tidak terasa sudah hampir 5 bulan saya berada jauh dari rumah. Tinggal dengan keluarga yang berbeda, berteman dengan orang orang yang berbeda, kebudayaan yang berbeda, bahasa, makanan, dan berdiri sendiri di atas kaki sendi-ri. Memaksa diri keluar dari zona nyaman, bermetamorfosis dari kemanjaan berubah menjadi kemandirian. Belajar bertanggung jawab atas diri sendiri, berhadapan dengan masalah dan mencari jalan keluarnya tanpa bantuan orang tua atau sahabat seperti biasanya. Menemukan arti ‘ibadah’ yang sesungguhnya, mendapatkan bukti bahwa dimanapun kita berada Tuhan selalu bersama kita.

Perjalanan hati ini dimulai dengan mengenal teman teman dari seluruh Indonesia melalui orientasi Nasional. Menikmati dan belajar banyak bekal untuk perjalanan yang sebenarnya, persiapan farewell party yang membuat kami semakin kompak dan pada akhirnya mempertunjukkan pementasan yang mengharukan dan membanggakan orang tua serta kakak-kakak sukarelawan Bina Antarbudaya. Perjalanan selanjutnya pun dimulai, pada tanggal 7 Agustus 2012, ketakutan awal menjadi single flyer ternyata tidak terbukti sama sekali. Alhamdulillah perjalanan hampir 23 jam ditambah transit di Turki 7 jam membuat perasaan saya hangat sepanjang perjalanan, ternyata ada dunia lain selain Indonesia. Sesampainya di uSA, saya melakukan orientasi kedatangan lagi berkenalan dengan teman teman dari berbagai negara walaupun satu sama lain masih merasa jetlag alias kantuk berat. Sehari setelah itu, kami pun ber-temu dengan keluarga angkat. Seribu pertanyaan menghampiri saya, “bagaimana nanti reaksi mereka ketika bertemu saya?”, “bagaimana kalau mereka tidak mengerti saya?”, “bagaimana kalau mereka tidak mau menerima saya”. Tetapi lagi-lagi ketakutan tentang semua hal sirna begitu saja ketika mereka dengan ramahnya menyambut kedatangan saya dengan bunga yang sudah dipersiapkan oleh saudara perempuan angkat saya. Saya di hosting oleh keluarga Water-molen, di state Wisconsin.

Keluarga. Saya tinggal di kota kecil bagian Middle-west uSA, Ixonia Wisconsin. Kota kecil yang saya rasa setiap rumahnya mempunyai peternakan, sapi, kuda atau hewan peliharaan lainnya. Karena kota nya terlalu kecil, kami biasanya pergi ke kota sebelah, oconomowoc untuk membeli sesuatu atau sekedar jalan-jalan di pusat kotanya. Kelu-arga saya terdiri dari Daddy, Mom, Emma (saudara perempuan angkat) dan Jack (saudara laki-laki angkat). Keluarga saya disini hampir sama dengan keluarga saya yang di Indonesia, mereka punya nilai nilai kekeluargaan dan keber-samaan satu sama lain. Mom adalah teman terbaik saya di keluarga, mengajarkan saya banyak hal di bulan pertama dan mendengarkan semua cerita saya sepulang sekolah. Saya sangat sayang dengan keluarga ini. Mereka benar benar memberi saya kesempatan untuk menjadi bagian dari mereka. Sekolah. Saya bersekolah sebagai Junior di Oconomowoc High School, mereka mempunyai sekitar 1500 murid. Sekolahnya 2 kali lebih besar dari sekolah saya di Indonesia. Alhamdulillah, di bulan pertama saya tidak ada masalah dengan pertemanan. Rasanya semua berjalan begitu saja, diperlancar oleh Tuhan dan dipermudah segalanya. Pergi ke sekolah tanpa seragam awalnya terasa aneh, tapi setelah itu saya merasa asik sendiri. Hal yang berbeda dari se-

Page 24: ONE STEP AWAY (Indonesian)

kolah disini adalah adanya loker di sekolah yang setiap pergantian pelajaran kita memiliki waktu 5 menit untuk menukar buku, khusus untuk sekolah saya ada peratu-ran baru tahun ini yang melarang murid membawa tas ke kelas. Lalu hal yang paling beda itu masalah makan siang, kami memiliki waktu makan siang 1 jam dan itu pada pukul 11 pagi, yang biasanya belum ada orang yang lapar. Ketika waktu makan siang sekolah itu san-gat ramai, dari mulai freshman (9th), sophomore (10th), junior (11th), senior (12th), semua bisa saya lihat. Disini saya bisa sekelas dengan freshman walaupun saya sen-ior. Semuanya membaur jadi satu, kita bisa punya te-man dari bermacam grade. Remaja Amerika juga fokus dengan olahraga dan musik, biasanya mereka pulang sekolah ada kegiatan di sekolah. Fall season (musim gugur) kemarin saya mengambil tenis. Seru sekali! Kalau soal pelajaran, saya bisa memilih kelas yang saya mau. Bisa saja saya junior tapi mengambil kelas yang mudah, jadi tidak ada masalah dengan pelajaran disini. Jadi saya mengambil kelas Spanish 1, Yearbook, Dance, Enterpreneurship, IB Chemistry 1 dan IB Math SL dan bergabung di klub DECA, FBLA, Student for Service, International Club, dan Model UN.

Kehidupan Sosial. Selama 5 bulan disini, saya berusa-ha untuk melakukan banyak hal setiap harinya, kadang sampai bingung karena jadwalnya sangat padat. Dimulai dari bulan pertama yang masih penyesuaian, ikut party dengan teman-teman yang baru saya kenal kemudian ada kegiatan Homecoming sekolah yang memiliki ban-yak aktifitas seperti window painting, powderpuff foot-ball, memakai baju sesuai tema ke sekolah dan lain-lain, yang pastinya seru sekali! Kemudian pergi menonton

football langsung bersama keluarga. Merayakan Idul Fitri, Idul Adha, ulang tahun bersama keluarga besar disini. Pergi ke Konsulat Jendral RI untuk menghadiri upacara hari ke-merdekaan Indonesia. Memasak masakan Indonesia, presen-tasi tentang Indonesia di kelas-kelas. Pergi ke gereja dan be-lajar kebudayaan serta mengenali agama baru. Hidup dengan anjing yang sebelumnya saya sangat takut dengan anjing. Merayakan Halloween, pergi ke rumah hantu dengan teman lalu membuat labu menjadi Jack O’lantern kemudian pergi ke kabin dan merayakan Thanksgiving. Memasak makanan Amerika yang pastinya berbeda jauh dengan masakan Indo-nesia. Ikut kelas dance (ballet dan jazz/pop dance). Men-jadi sukarelawan di berbagai kegiatan. Menjadi narasumber tentang Islam di diskusi gereja. Kemudian berteriak dengan bahagia karena merasakan salju pertama, membuat boneka salju lalu perang bola salju dengan saudara laki-laki angkat, bermain ski untuk pertama kalinya. Pergi ke Chicago ber-sama teman AFS. Mengikuti debate competition bersama Model UN Club. Christmas shopping dan menghias pohon Natal bersama keluarga dan masih banyak lagi kegiatan seru lainnya. Bercerita tentang pengalaman pertama saya mengikuti tradisi Natal di Amerika Serikat. Mungkin untuk sebagian muslim di Indonesia ada pro dan kontra dalam merayakan hari ini tetapi pada dasarnya kami, exchange student sedang belajar budaya disini termasuk mengenali agama lain. Natal pertama saya sangat mengesankan. Dimulai dari hiruk pikuk Natal yang sudah dimulai sejak awal Desember kemudian disibukkan dengan belanja untuk anggota keluarga, meng-hias pohon Natal, mendekorasi rumah dengan berbagai orna-men unik dan berbagai macam tradisi lainnya.

Indah utamiTo uSA

Natal di keluarga saya bukan hanya sekedar buka kado dan menggantungkan kaus kaki, kami pergi ke gereja di pagi hari kemudian volunteering di panti jompo karena mereka mengatakan bahwa Natal itu untuk berbagi. Kemudian kami pergi ke rumah kakek dan nenek yang berjarak 4 jam dari rumah kami. Berada di ten-gah tengah keluarga yang harmonis seperti ini membuat saya tidak pernah mera-sakan homesick yang berkepanjangan. Kami melakukan berbagai kegiatan disana seperti sleeding, ice fishing, snow mobile, snowboarding, atau berbagai macam hal yang dilakukan dengan salju yang otomatis saya tidak pernah melakukan keg-iatan itu sebelumnya di Indonesia. Sangat menyenangkan! Sangat berkesan.

Setelah Natal selesai, kegiatan selanjutnya adalah Tahun Baru 2013. Tahun baru 2013 kami tidak pergi ke luar negara bagian lain seperti kebanyakan keluarga biasanya. Pada malam Tahun Baru, saya pergi ke rumah teman saya karena ada undangan pesta Tahun Baru. Kemudian kami bermain bersama, musik, makanan, games, bercerita satu sama lain sampai akhirnya Tahun Baru pun tiba. Tepat jam 00.00 kami keluar rumah yang diluar jangan ditanya bagaiman dinginnya, kemu-dian dengan kembang api dan terompet kami berteriak menyambut datangnya Ta-hun Baru setelah itu saya sleep over bersama teman teman. Kemudian besoknya setelah sampai rumah, kami menonton Rose Bowl (American Football competi-tion) bersama-sama dan bercerita tentang berbagai macam resolusi di tahun 2013. Saya berharap waktu berjalan lebih lama di 2013 ini, 6 bulan yang tersisa rasanya masih kurang untuk menjalajahi Amerika Serikat. Semoga liburan kalian juga menyenangkan!

Terimakasih untuk AFS yang sudah memberi saya kesempatan yang tidak ternilai harganya. untuk keluarga dan teman teman yang selalu mendukung. untuk Pelita Cita Indonesia yang menjadi teman berbagi dan untuk semuanya! Terutama, teri-makasih Tuhan.

Page 25: ONE STEP AWAY (Indonesian)

15

Bagaimana rasanya untuk menjadi seorang murid pertukaran pelajar? untuk berada di belahan dunia yang berbeda dari rumah? untuk tidak mengetahui apa-apa atau siapa-siapa? untuk menjadi tersesat atau tidak memahami apa-apa? Pengalaman saya sebagai seorang murid pertukaran pelajar bagaikan sebuah perjalanan panjang untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia dan diri sendiri. Sudah tiga bulan lamanya sejak saya berada di Italia, dan setiap hari adalah sebuah langkah baru.

Langkah pertama untuk pergi dari rumah adalah salah satu yang tersulit. Tidaklah mudah untuk meninggalkan orang-orang dan tempat-tempat yang sudah Anda ketahui sepanjang hidup Anda, khususnya setelah mengetahui bahwa tujuan Anda adalah suatu tempat yang serba asing. Walaupun begitu, langkah tersebut juga merupakan langkah pertama menuju dunia yang penuh dengan kesempatan dan kemungkinan. Ketika saya pertama kali tiba di Italia, saya menghadiri sebuah camp orientasi di Roma bersama dengan murid-murid pertukaran pelajar lainnya yang akan menetap di Italia. Pada camp tersebut, salah seorang relawan AFS mengatakan, “Kalian meninggalkan keamanan negara, keluarga, dan teman-teman kalian. Sebagai gantinya, kalian mendapatkan kebebasan untuk menjadi siapapun yang kalian inginkan.” Hal tersebut adalah salah satu hal yang masih saya pegang sampai hari ini. Langkah-langkah pertama menuju lingkungan yang baru merupakan beberapa yang paling dinantikan dan juga men-egangkan. Saya ingat pertama kalinya saya bertemu dengan keluarga angkat saya di bandara. Saya sangat gugup un-tuk keluar dari pintu kedatangan karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika bertemu dengan mereka untuk pertama kalinya. Ketika pada akhirnya saya keluar, saya melihat ayah, ibu, dan adik saya. Saya belum sempat bertemu dengan kakak saya karena ia sedang berada di Amerika Serikat, bersama AFS, untuk program pertukaran pelajar selama satu tahun. Ketika saya bertemu mereka, ibu saya melihat saya seperti putrinya yang sudah lama hi-lang, dan saya langsung tahu bahwa saya berada di tempat yang tepat.

Perjalanan dari bandara menuju rumah baru saya memakan waktu sekitar tiga jam. Perjalanan tersebut dipenuhi oleh pemandangan kota-kota kecil, desa-desa kecil, domba, padang rumput, kebun anggur, domba, gunung, bukit, dan lebih banyak domba. Di Italia, saya akan menghabiskan satu tahun di Pulau Sardinia. Bagi beberapa dari Anda, mungkin ini adalah pertama kalinya Anda mendengar tentang Sardinia. Sejujurnya, saya tidak pernah mendengar tentang Sardinia sebelum mengetahui bahwa saya akan menetap di sana. Namun, setelah tiga bulan di Sardinia, saya dapat mengatakan bahwa saya menyukainya.

Langkah berikutnya adalah untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Keluarga angkat saya tinggal di desa Tertenia, di provinsi ogliastra. Di desa kami terdapat sekitar 4000 penduduk. Angka tersebut bukanlah angka yang sangat besar, dan desa kami bukanlah sebuah desa yang sangat besar. Hampir semua orang mengenal semua orang lainnya. Jumlah penduduk di kota asal saya, Tangerang Selatan adalah sekitar 1.300.000 jiwa. Hampir semua orang yang menanyakan jumlah penduduk di kota saya terkagum ketika mendengar jawaban saya.

Tertenia sangatlah berbeda dengan kota asal saya. Di Tertenia, tidak ada mall atau bioskop; yang terdekat terletak di sebuah kota sekitar 30 menit dari Tertenia. Namun, hampir seperti semua kota dan desa di Italia, Tertenia memiliki

sebuah strada principale atau jalan utama yang terletak di tengah desa dan sebuah piazza communale atau alun-alun kota. Kedua tempat ini adalah tempat di mana pemerintah lokal bekerja, se-bagian besar toko-toko terletak, dan sebagian besar penduduk berkumpul. Pada dasarnya, pusat dari kehidupan desa.

Desa saya tidaklah besar. Suatu saat, saya sedang pergi dengan seorang teman pada minggu pertama saya di Tertenia. Ia menga-jak saya ke jalan utama Tertenia, Via Roma. Ia menunjukkan ke-pada saya di mana jalan tersebut dimulai. Kami berjalan menyu-suri jalan tersebut dan sekitar 10 menit kemudian, ia memberi tahu saya bahwa kami sudah mencapai ujungnya. Kami pergi bolak-balik menyusuri via Roma sebelum pada akhirnya me-mutuskan untuk duduk dan melanjutkan perbincangan kami. Di waktu lain, saya sedang pergi dengan seorang teman yang ber-beda dan kami menghabiskan sebagian besar dari waktu kami dengan duduk di sebuah bangku taman dan berbincang-bincang.

Sekolah adalah hal yang lain. Di desa saya, tidak ada Sekolah Menengah Atas (SMA), sehingga para remaja di desa saya harus pergi ke kota-kota yang bertetangga untuk bersekolah. Sekolah saya terletak di kota Lanusei, sekitar 30 menit dari Tertenia. Se-tiap hari, saya pergi ke sekolah dengan bus umum. Pada hari pertama sekolah, teman-teman sekelas saya membawa sebuah kue dan beberapa minuman ke sekolah dalam rangka meraya-kan awal dari tahun ajaran yang baru. Pesta tersebut adalah cara yang baik untuk memulai tahun ajaran yang baru dan mengenal semuanya. Selama tiga bulan ini, teman-teman sekelas dan juga para guru banyak membantu saya, khususnya pada pelajaran-pelajaran yang belum pernah saya pelajari, seperti Italiano dan Latino. Hal yang lucu adalah mereka memberi tahu saya bahwa kedua pelajaran tersebut tergolong susah bagi orang Italia, apal-agi untuk seseorang yang baru mempelajari bahasa Italia. Hal yang menakjubkan adalah mereka bersedia untuk membantu saya, murid baru yang baru mereka kenal untuk beberapa hari. Sebaliknya, saya membantu mereka dalam pelajaran-pelajaran yang saya bisa lakukan, seperti matematika dan bahasa Inggris. Di kelas, para guru juga memberikan tugas-tugas khusus kepada saya yang berkaitan Indonesia. Contohnya, suatu waktu saya harus memberikan sebuah presentasi mengenai Indonesia untuk pelajaran Filosofia dan sebuah presentasi mengenai sastra Indo-nesia untuk pelajaran Italiano.

Saya cinta olahraga, khususnya bola voli. Di sini, saya berga-

bung dengan ”Eureka Volley Tertenia”. Bahasa, budaya, dan gaya hidup antara negara-negara mungkin berbeda, namun olahraga selalu sama di manapun Anda bermain. Kami berlatih setiap Selasa dan Jumat sore. Dengan begitu, saya mempunyai kesibukan untuk dilakukan ketika pulang sekolah. Sejak bebera-pa minggu yang lalu, kami juga telah bergabung dalam sebuah turnamen. Hampir setiap hari Sabtu atau Minggu, kami bertand-ing melawan tim-tim lain se-provinsi. Pertandingan-pertand-ingan tersebut adalah beberapa hal yang paling saya nantikan setiap minggu.

Perbedaan besar lainnya yang terdapat antara kehidupan di kota besar dan di desa adalah daerah pedesaan. Di Tertenia, kami tinggal dekat dengan daerah pedesaan dan kami cukup sering pergi ke sana. Selama saya tinggal di sini, keluarga saya telah mengajak saya untuk pergi ke sana beberapa kali. Kami pergi untuk mencari jamur, suatu hal yang umum pada periode ini, untuk dimasak di rumah; memetik sejenis buah khusus yang bernama corbezzolo, yang kami gunakan untuk membuat selai; dan juga kayu bakar. Di waktu lain, kami pergi untuk memanen zaitun untuk membuat minyak zaitun. Buah zaitun merupakan hal yang umum dalam kebudayaan Italia. Bahkan, provinsi saya bernama ”ogliastra” karena di sini terdapat banyak pohon zaitun (olives). Selama tiga bulan pertama, saya telah melihat banyak perbedaan antara kehidupan di Italia dan di Indonesia. Perbedaan adalah hal yang baik. Meskipun saya merindukan Indonesia, saya sen-ang untuk berada di sebuah lingkungan yang sangat berbeda dengan Indonesia. Saya telah belajar untuk memandang dan menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Terkadang, menjadi berbeda dari yang lainnya juga merupakan hal yang baik. Se-bagai satu-satunya orang Indonesia di lingkungan saya, banyak yang menanyakan hal-hal mengenai Indonesia. Dari pertanyaan yang mudah seperti, “Di manakah letak Indonesia sebenarnya?” hingga yang rumit seperti, “Seperti apakah sistem pendidikan Indonesia?” orang-orang banyak bertanya untuk mencoba me-mahami bangsa dan negara asal saya. Pada saat yang sama, meskipun terdapat perbedaan di antara kami, saya sedang belajar untuk menjadi salah satu dari mereka. untuk menjadi salah satu dari 4000 penduduk di Tertenia, salah satu dari ratusan murid di sekolah, salah satu dari miliaran penduduk Italia.

Ivana SuradjaTo Italy

Page 26: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Seorang teman dari keluarga angkat saya pernah berkata bahwa saya sangat berani untuk pergi jauh dari ru-mah, sendirian, pada usia 17 tahun. Memang dibutuhkan keberanian yang besar bagi saya untuk berada di sini. Menurut saya, begitu juga bagi semua murid pertukaran pelajar di seluruh dunia. Dibutuhkan keberanian yang besar untuk meninggalkan rumah dan keberanian yang lebih besar untuk terus melangkah ke depan. Terka-dang saya merasa takut dan kesepian. Sejujurnya, saya adalah orang yang pemalu, khususnya ketika berada di lingkungan yang baru, tetapi saya tidak bisa tetap seperti itu. Anda harus menantang diri Anda sendiri untuk menghadapi apapun yang ada di hadapan Anda. Menantang diri Anda sendiri untuk mendatangi orang dan memulai perbincangan, untuk berbicara di depan kelas dalam bahasa host country Anda, untuk mengetahui, untuk belajar, untuk berkembang. Apakah langkah selanjutnya? Bagi saya, langkah selanjutnya adalah untuk lebih melibatkan diri dalam ling-kungan, budaya, dan gaya hidup yang ada di sekitar saya. Saat ini, saya tinggal memiliki kurang dari tujuh bulan di Italia. Sebaiknya saya habiskan sisa waktu ini untuk menjalani hidup dengan gaya Italia; khususnya dengan gaya Sardinia. Mungkin hal yang terbaik adalah kenyataan bahwa terdapat begitu banyak kesempatan, kemungkinan, dan hal untuk dinantikan.

untuk menjadi seorang murid pertukaran pelajar adalah untuk mengubah cara hidup dan sudut pandang Anda. untuk berada di belahan dunia yang lain dari rumah adalah untuk menemukan rumah lain di tempat yang lain. untuk tidak mengetahui apapun atau siapapun adalah untuk menantang diri Anda sendiri untuk mencari tahu. untuk menjadi tersesat atau tidak memahami apa-apa adalah untuk mencari jalan dan menemukan penjelasan Anda sendiri. untuk mengambil langkah selanjutnya adalah untuk bergerak maju dengan harapan, optimisme, dan hasrat untuk menerima apapun yang menantikan Anda; dan saya tidak sabar untuk mengambil langkah-langkah tersebut.

Tanggal 6 September 2012, adalah hari dimana aku bersama ketiga temanku harus melangkahkan kaki menuju Jerman. Sebelum bergegas pergi menuju ruang check in, aku memeluk erat kedua orangtuaku dan tak sadar aku menitikkan air mata. Beribu pesan kuterima dari mereka. Dan aku selalu meyakinkan mereka “Aku pasti pu-lang. Jangan khawatir” tak lama kemudian, Kak Sri (Staff Bina Antarbudaya) memanggil kami masuk kedalam dan aku menolehkan pandanganku kebelakang, terlihat orangtuaku melambaikan tangan mereka. Akupun mem-balasnya seraya berkata dalam hati “Selamat tinggal Indonesia. Sampai bertemu tahun depan dengan aku yang berbeda” Setelah melalui proses yang cukup lama akhirnya kami duduk dengan tenang di ruang check in. Beribu pesan singkat kuterima di layar telepon genggamku. Telepon masukpun tak kunjung berhenti. Sahabat sahabatku ternyata tak ingin melewatkan momen terakhir mereka bersamaku. Setelah menunggu kira kira 45 menit akh-irnya tibalah saat kami untuk menaiki pesawat Qatar Airways. Pesawat ini sangat besar dan mampu menampung hingga ratusan penumpang. Didalam pesawat tersedia fasilitas-fasilitas seperti : Headset, Layar televisi (ukuran kecil) dan tentu saja makanan dan minuman yang menurutku lezat. Perjalananpun dimulai. Kamipun mengawal-inya dengan berbicara bersama dan memakan makanan ringan yang disediakan oleh awak kabin pesawat. Akh-irnya kamipun tertidur pulas dan tak terasa sudah hampir 9 jam kami duduk didalam pesawat. Dan tibalah saatnya untuk mendarat dengan mulus di qatar. Luar biasa! Aku sempat terpana dengan Bandara disana karena benar benar modern dan terlihat sangat bersih. Kami berempat menunggu pesawat selanjutnya kira kira setengah jam dan kamipun melanjutkan perjalanan terakhir kami. FRANKFuRT! Penantian 2 tahun akhirnya menjadi sebuah kenyataan. Dan setelah 6 jam perjalanan akhirnya tibalah kami disebuah kota yang sangat indah dan terdapat banyak bangunin tinggi yang sangat megah. Setelah itu, kami mencari barang bawaan kami dan ternyata di ruang kedatangan, Kakak sukarelawan yang berasal dari Indonesia telah menunggu kami dan mengajak berkeliling bandara. Disaat yang sama kamipun bertemu dengan beberapa anak AFS dari negara lain. Didalam bandara ter-dapat stasiun dan hal ini membuatku kagum. Betapa modernnya Jerman. Akhirnya, kamipun berpisah dan saling berpelukan. Disaat itu aku benar benar sendiri dan hanya bisa berdoa untuk kedepannya seperti apa. Setelah 2 jam menunggu kereta api, akhirnya datanglah kereta tersebut dan aku berada diperjalanan selama 4 jam menuju Hamburg. Pemandangan yang kusaksikan begitu memukau. Spektakuler! Setelah memasuki stasiun di Hamburg akhirnya kamipun turun dan keluar dari stasiun. Kota hamburg merupakan kota impian! Aku dan teman temanku

16

Page 27: ONE STEP AWAY (Indonesian)

mempunyai inisiatif untuk menghirup udara segar diluar stasiun sambil menunggu datangnya kereta kami yang selanjutnya. Aku berkenalan dengan teman teman AFSku. Ada yang berasal dari Italia, venezuela, Amerika Serikat, Jepang dan lain-lain. Mere-ka sangat ramah dan kami becerita tentang asal negara kami. Mengasyikkan. Kereta yang akan kami naiki selanjutnya adalah kereta menuju Stendal. Dan keluarga angkatku telah menung-guku disana. Rasanya tidak sabar ingin bertemu mereka. Berdoa dan berharap adalah 2 hal yang kulakukan selama di kereta. Akhirnya! Aku sampai! Dan sekarang aku sudah berada diantara mereka. Mereka terlihat sangat ramah dan tertarik dengan keda-tanganku.

Dari Stendal menuju Salzwedel membutuhkan waktu 1 jam menggunakan mobil. Didalam mobil, kami saling bertukar pendapat, saling memperkenalkan diri dan aku mencoba mem-perhatikan mereka lebih seksama. Lewat cara bicara mereka, bagaimana sikap mereka menerima orang baru. Dan ternyata itu sangat berbeda dengan budaya di Indonesia. Aku mempu-nyai 2 adik perempuan angkat. Fransiska (15 tahun) dan Fried-erike (11 tahun) Sampailah sudah kami di sebuah rumah yang mungil namun terlihat rapi. Dan aku mendapati kamarku di lan-tai bawah. Alhamdulillah punya kamar sendiri. Selama disini, aku merasa banyak perbedaan yang terjadi antara aku dengan keluarga angkatku. Mulai dari masalah kamar mandi, makanan, ketepatan waktu. Semuanya serba baru bagiku. Namun, hal itu tetap membuatku semangat dalam menjalaninya. Kepahitan dan cobaan pun sempat terjadi ketika hari pertama aku bersekolah di Gymnasium Salzwedel. Ekspetasiku mengatakan bahwa aku akan diterima sangat baik oleh teman teman dikelasku. Namun, realitapun mengatakan lain. Selama beberapa bulan aku tidak punya teman. Dan itu menyedihkan. Namun, semuanya berakhir membaik ketika aku mengatakan bahwa aku ingin pindah ke ke-las yang lebih rendah, yaitu kelas 10. Alhamdulillah, keadaan menjadi membaik. Mereka menerimaku dengan tulus, dan mere-ka terlihat sangat menyukai kebudayaan Indonesia. Menurutku, sistem pembelajaran disini berbeda dengan Indonesia. Mereka sangat tegas dengan pekerjaan rumah, pindah kelas disetiap ber-ganti pelajaran, libur mereka jelas lebih banyak karena ada libur setiap musimnya. Sebelumnya, aku tidak pernah menyangka da-

pat pergi sejauh ini dengan membawa beban dipunggung yang sangat berat. Aku membawa negara Indonesia! Aku harus mem-buktikan kepada seluruh masyarakat disini bahwa Indonesia adalah negara yang patut diacungi jempol.

oke, sekarang aku akan bercerita tentang budaya Jerman, yang kadang-kadang membuatku merasa sedikit aneh. Ya tentu saja, karena aku belum pernah melihat itu sebelumnya. Sebagai con-toh: Ketika sedang istirahat dan sedang mengobrol dengan te-man-teman, aku bersin dan mereka mengatakan “Gesundheit”. Pada awalnya aku bingung karena tidak mengerti apa yang mereka katakan. Namun, setelah mencari tahu, ternyata ketika mereka mengatakan bahwa berarti mereka berdoa bagi kita un-tuk terhindar dari penyakit. Karena “Gesundheit” itu berarti sehat. Wow mereka baik sekali! Di sini, mereka juga memiliki kebiasaan menyimpan tissue yang sudah mereka pakai dan me-masukkannya kembali ke dalam saku mereka / celana mereka. Tentu saja pada saat pertama kali menyaksikan insiden itu aku merasa sedikit jijik, tapi Alhamdulillah sekarang sudah mulai membiasakan diri dengan suasana seperti itu. Dan satu lagi, mereka juga orang-orang yang sadar akan lingkungan sekitar mereka. Hal ini terbukti ketika aku melewati sebuah jalan kecil di mana jalan itu sangat sepi. Terlihat 3 sampah yang tersedia di sana. Ada banyak warna dan berbeda. Sangat unik! Dan apa yang membuatku heran adalah bahwa mereka sangat mematuhi aturan yang ditetapkan. Mereka tampak takut ketika merusak lingkungan. Mengambil pelajaran dari contoh-contoh ini,aku berjanji pada diri sendiri, ketika aku pulang aku akan mengambil hal-hal positif dan saya akan membawanya kepada orang-orang di sekitarku.

Bulan Desember sudah hampir habis. Banyak sekali kenangan manis yang terukir di pikiranku. Hal yang pertama adalah aku dapat merasakan musim dingin! Aku melihat salju langsung turun dari langit! Salju yang selama ini kulihat hanya dari la-yar televisi sekarang ada didepan mataku. Aku gembira sekali! Dan teman temanku disekolah mengajakku untuk bermain bola salju, membuat boneka salju. Bermain bersama mereka adalah hal yang paling menyenangkan. Begitupun bersama keluarga angkatku, kamipun bersenang senang. Bajuku pun tak cukup

apabila hanya 2 lapis, sangat dingin. Terkadang dinginnya mencapai ubun-ubun! Aku merasa sangat beruntung ka-rena aku dapat merasakan bagaimana dinginnya salju. Dulu hanya dapat kubayangkan dengan imajinasiku dan seka-rang aku benar benar melihatnya dengan mata kepala sendiri. Salju yang turun langsung dari langit! Terima Kasih ya Tuhan engkau telah mengabulkan doaku. Semoga perjalanan panjangku ini membawa kenikmatan dan kebahagiaan untuk semuanya. Amin.

Beginilah kira kira ceritaku selama 3 bulan di german. Aku merasa 3 bulan di awal memang sangatlah sulit. Sulit untuk beradaptasi, mengerti kondisi orang orang disekitar kita. Dari perjalanan ini terdapat banyak hikmah dan pesan yang ingin kusampaikan bahwa kita harus tetap menjadi diri kita sendiri, cintailah budaya kita, dan jangan pernah merasa putus asa. Demikian cerita yang dapat aku sampaikan, bila ada kata yang kurang berkenan mohon dimaafkan.

Kusuma Indriani.

Kusuma IndrianiTo Germany

Page 28: ONE STEP AWAY (Indonesian)

17

Satu hal yang aku pelajari dengan berada sangat jauh dari rumah adalah mempercayai diriku sendiri dan bersyukur atas segala sesuatu yang kumiliki.

Sebelumnya aku hanyalah murid SMA biasa. Tapi sekarang, aku seakan benar-benar menjadi seorang duta muda negaraku di tanah lain yang belum pernah aku lihat sebelumnya: Perancis. Aku akan memulai hidup yang baru sebagai murid pertukaran pelajar dalam satu tahun. Hidup di tempat dan lingkungan yang benar-benar baru yang tak bisa aku bayangkan sebelumnya.

Aku bertempat tinggal di Region Pays-de-La-Loire di wilayah barat Perancis. Secara spesifik aku ting-gal di pinggiran kota bernama Longué, dimana sebagian besar tanah di wilayah ini dimanfaatkan sebagai ladang anggur dan aktivitas budidaya tanaman lainnya. Aku mengikuti pelajaran di SMu publik bernama Lycée Duplessis Mornay di Saumur, kota yang lebih besar yang terletak di sebelah Longué. Aku telah berada di tempat ini lebih dari 3 bulan, dan benar adanya bahwa 3 bulan pertama dari program pertukaran pelajar adalah saat-saat yang tersulit. Tidak ada yang benar-benar berbicara padaku di hari pertamaku masuk ke sekolah. Aku harus mencairkan suasana dengan menanyakan pertanyaan mudah yang dapat kulontarkan dalam bahasa Perancis. Aku menanyakan nama mereka satu persatu walaupun aku tidak bisa

mengingat semuanya dalam waktu yang bersamaan. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, orang-orang Perancis tidak benar-benar berbicara bahasa Inggris, dan mereka sendiri mengatakan bahwa mereka san-gat buruk dalam berbicara bahasa asing. Dan aku tidak pernah benar-benar mempelajari bahasa Perancis kecuali satu bulan sebelum hari keberangkatanku dan itu tidak membantu banyak. Aku sangat bingung dan lelah mendengarkan teman-temanku berbicara karena para remaja berbicara dengan kecepatan yang sangat tinggi. Beruntungnya, aku mempunyai keluarga angkat yang sangat hangat dan di dalam keluargaku terdapat ayah, ibu, dan dua saudara perempuan. Mereka selalu meyakinkanku bahwa semuanya akan da-tang dengan sendirinya, dan aku tidak perlu mencemaskan apapun. Aku diperbolehkan untuk bicara dalam bahasa Inggris hanya pada minggu pertamaku di rumah. Tapi, aku harus mengatakan bahwa hal itu sangat membantuku untuk belajar lebih cepat dan kurang dari sebulan aku telah mampu mengikuti pembicaraan sehari-hari. orang tua angkatku berkata bahwa mereka sangat senang dan bangga bahwa aku mampu menyesuaikan diri tanpa masalah yang sulit, dan begitu pula aku. Aku tidak tahu bagaimana aku harus berterima kasih pada mereka karena mereka telah membuat hari-hariku lebih mudah dan menyenangkan, tapi aku sungguh menyayangi mereka seperti aku menyayangi keluargaku sendiri.

Aku mulai mempunyai banyak teman di sekolah, dan bahkan diluar sekolah. Aku juga telah menemukan beberapa teman dekat yang membuatku merasa nyaman. Di sekolah, aku mengikuti kelas Littérature di tingkat kedua Lycée yang disebut Première. Di kelasku terdapat 35 orang murid dan ternyata mereka sangat menyenangkan dan aku telah berbicara dengan mereka semuanya. Akhir-akhir ini aku juga telah mampu mengikuti ujian-ujian mudah dalam bahasa Perancis, dan aku sungguh lega bahwa guru-guruku menghargai usahaku. Beberapa dari mereka benar-benar mengkhawatirkanku, apakah teman-temanku ber-sikap baik padaku, apakah aku memahami pelajaran atau tidak sama sekali. Aku sungguh berterima kasih atas apa yang telah mereka berikan karena mereka telah banyak membantuku.

Aku mengikuti kelas ballet di dekat rumahku dan sekolah tariku baru saja mengadakan pertun-jukan pada tanggal 1 Desember. Keluarga angkatku cenderung menyukai segala macam seni dan masing-masing anggota keluarga memainkan paling sedikit satu jenis alat musik. Kami semua mengikuti kegiatan musik dan bermain musik untuk misa hari Minggu di gereja. Ibu angkat dan adik perempuan angkatku sangat pandai melukis dan mereka suka membuat kerajinan tangan bahkan melukis dinding rumah oleh mereka sendiri. Aku tidak bisa meminta yang lebih baik lagi karena keluarga angkatku sangat serupa dengan keluarga biologisku sendiri dan aku merasa san-gat nyaman seperti aku tak pernah meninggalkan rumah.

Suatu hari, salah seorang temanku pernah bertanya, “Apa yang orang Indonesia pikirkan tentang Perancis?” Aku tidak benar-benar tahu jawaban atas pertanyaan ini, tapi aku lalu menjawab, “Aku pikir sebagian besar dari mereka memikirkan tentang 3F. France, Food, dan Fashion.” Dan ka-lian harus tahu bahwa makanan dan mode benar-benar adalah aspek penting di Perancis! Ayah angkatku berkata bahwa makanan selalu menjadi yang terutama terlebih dahulu, tetapi akhir-akhir ini mode menjadi salah satu stereotip gaya hidup masyarakat Perancis. Kau tidak harus makan selama 5-6 jam tanpa henti selain di Perancis. Sebenarnya kegiatan makan ini menjadi sangat lama karena kami berdebat dan bernyanyi setelah meminum wine atau champagne di meja makan. Kami tidak diizinkan untuk meninggalkan meja dalam keadaan apapun. Mereka berkata, kau tidak akan menemukan kenikmatan untuk makan seperti di Perancis. Bagaimanapun, meny-enangkan untuk mengetahui budaya yang sangat berbeda, walaupun juga mengesalkan karena aku menambah 3 kg berat badan dalam 1 bulan karena gâteaux (kue) Perancis yang lezat!

Sedikit fakta menarik tentang hidup di Perancis, disini kami menyapa teman-teman kami dengan mencium pipi mereka. oleh karena itu, setiap hari aku mencium pipi temanku untuk mengatakan bonjour atau selamat pagi. Aku pernah bertanya kepada temanku hal apa yang dirasakan sebagai ketidaksopanan di Perancis. Lalu dia menjawab bahwa ketika kau melihat temanmu dan kau tidak mengatakan bonjour kepada mereka, itu adalah kesalahan besar dan tidak sopan. Selain itu, aku memperhatikan bahwa kami membutuhkan lebih banyak waktu untuk masuk kedalam bus sekolah karena kami harus mencium pipi teman-teman kami dan jika kau memiliki banyak teman untuk disapa, maka kau akan membuat antrian panjang dibelakangmu.

Namun, walaupun aku telah berusaha semampuku untuk menghibur diriku sendiri, terkadang aku masih sangat merindukan teman-teman dan keluargaku di Indonesia. Ada saat-saat saat aku merasa sendirian dan mempertanyakan alasanku berada disini. orang-orang tidak benar-benar memahami apa yang murid pertukaran pelajar harus lalui, sementara kami masih harus meyakin-

Page 29: ONE STEP AWAY (Indonesian)

kan keluarga dan orang-orang yang mencemaskan kami bahwa kami baik-baik saja. Akhirnya, aku tahu bagaimana rasanya untuk berada jauh dari Ibuku ketika aku sedang sakit. Aku tahu bagaimana rasanya sendirian ketika aku belum mempunyai teman disekolah di hari-hari pertamaku. Bahkan aku tidak bisa berada disekeliling teman-teman terbaikku dan keluargaku di hari ulang tahunku. Tapi kemudian, aku menyadari bahwa aku harus memulai segalanya dari awal lagi. Dari nol, dari ketiadaan. orang-orang mungkin bertanya apa yang murid pertukaran pelajar harus lakukan selama masa program. Bagiku, aku mendapat kesimpulan bahwa yang harus murid pertukaran pelajar lakukan adalah memban-gun kehidupan baru yang seutuhnya tanpa apapun. Tanpa apa-apa sama sekali.

Banyak orang berkata betapa beruntungnya aku bisa hidup di Perancis. Dan ya, itu benar. Aku tidak akan berkata bahwa hal itu benar hanya karena aku hidup di tempat yang mereka sebut negara paling romantis di dunia. Aku ingin berkata bahwa aku sungguh beruntung karena aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. untuk berpisah dari keluargaku dan kenyamanan yang mereka berikan, teman-teman dan kehidupan sekitarku yang biasa. Aku senang karena aku dapat menemukan kesulitan dan harus mencari solusinya sendiri. orang-orang tidak harus homesick sepertiku, tetapi aku merasakannya dan aku menyadari betapa berharganya keluarga dan teman. orang-orang tidak harus berusaha keras untuk memahami apa yang sedang dikatakan dalam bahasa lain yang mereka tidak mengerti, ataupun mempelajari kebudayaan asing. Tapi aku melakukannya dan aku menemukan bahwa perbedaan yang manusia miliki adalah hadiah yang indah sementara pada akhirnya, kita semua sama. Sebagai contohnya, mereka mungkin orang Perancis dan aku orang Indonesia, tetapi membunuh adalah kejahatan bagi kita semua dan berteriak pada orang tua adalah kelakukan yang buruk.

Kelak nanti, aku akan tetap mengingat saat pertama aku menginjakkan kaki di Perancis. Melangkah keluar dari pesawat yang mendarat di bandar udara Charles De Gaulle di Paris. Mendapat kesempatan untuk melihat menara Eiffel untuk yang pertama kalinya, dan melangkah masuk kedalam hidupku yang baru. Hidup baru yang terbentang ribuan mil jauhnya dari hidupku yang biasanya di negara asalku.

Tetapi aku tahu bahwa perjalanan ini mempunyai tujuan yang lain, lebih dari sekedar hidup di negara asing dan meng-habiskan satu tahun di luar negeri. untukku pribadi, aku merasa bahwa perjalanan ini bertujuan untuk membuka hatiku. untuk melihat lebih dari apa yang dilihat oleh kedua mataku, berpikir melampaui penilaianku sendiri, untuk berempati terhadap apa yang orang lain rasakan. untuk menyadari bagaimana indahnya hidup sebenarnya.

Akhirnya, aku ingin berterima kasih pada diriku sendiri yang mengambil keputusan untuk pergi yang tampaknya akan mengubah seluruh perspektif hidupku mulai dari sekarang. untuk menghadapi masalah dan tetap kuat menjalaninya bagaimanapun caranya. Terima kasih pula untuk semua orang yang tetap mendukungku bagaimanapun keadaannya. Perjalanan ini bukanlah satu tahun dalam hidupku. Perjalanan ini adalah hidup yang indah dalam satu tahun.

Cokelat, cokelat dan cokelat.

Itulah pikiran pertama saya ketika saya membaca surat kelulusan dari Bina Antar Budaya. Ya! Saya akan pergi ke Eropa, lebih tepatnya ke Belgia untuk melakukan pertukaran pelajar bersama AFS. Awalnya saya sempat kaget dan kecewa, karna keinginan saya untuk pergi ke Jerman dan melatih bahasa Jerman saya kandas. Tapi ternyata banyak hal menarik disini, baca cerita saya sampai selesai yah!

Cokelat, mungkin ini efek dari iklan es krim cokelat yang sedang populer di Indonesia. Sampai sampai saya pikir hanya coklat yang terkenal dari Belgia. Tapi itu memang kenyataan, hampir seluruh makanan khas Belgia menggunakan cokelat. Padahal di Belgia sendiri tidak ada perkebunan cokelat (karena cokelat memang tumbuh di daerah panas). Menurut ibu angkat saya buah-buah cokelat disini didatangkan dari Afrika atau Amerika Latin, tapi pengolahanya di Belgia. Semenjak disini saya tidak pernah merasakan cokelat yang tidak enak, semua enak! Belgia sebenarnya tidak hanya terkenal dengan cokelatnya, Belgia juga terkenal dengan Frite/Friet alias kentang goreng. Selama ini kita melihat di mana-mana semua ken-tang goreng ditulis “French Fries” padahal budaya kentang goreng itu bukan dari Perancis tapi dari Belgia. Hal ini cukup menarik, karena ternyata hal ini sudah menjadi perdebatan yang lama diantara orang-orang Belgia dan Perancis bahkan hal ini menjadi banyolan orang Perancis terhadap orang Belgia. Walaupun disini saya jarang menemukan restoran cepat saji seperti McD atau KFC, tetapi Frituur/Friterie (restoran kentang goreng) ada dimana-mana. umumnya mereka juga menjual kebab, burger dan makanan cepat saji lainnya. Disini ada juga restoran cepat saji yang bahan makanannya ekologis dan rendah kalori. Tetapi

Melania Shinta Nugraheni To France

18

Page 30: ONE STEP AWAY (Indonesian)

saya tidak pernah menemukan convenience store disini. Anak muda sini lebih memilih untuk pergi ke bar dan bar memang ada dimana-mana. Ah ya, selain cokelat dan kentang goreng, Belgia juga terkenal dengan birnya. Saya memang tidak meng-konsumsi alkohol, tapi ketika saya menemani teman saya pergi ke bar. Saya menemukan banyak sekali jenis bir disini, bahkan katanya ada tiga ratus lebih jenis bir asli Belgia. Di Brussels, ada satu bar besar yang pernah menyabet gelar Guinness World Record sebagai bar yang paling banyak menjual jenis bir yang berasal dari berbagai belahan dunia. Wajar saja bar tersebut bisa mendapat gelar itu, saya bisa menemukan bir Bintang di dalam daftar menunya.

Setelah puas berbicara tentang makanan khas, saya ingin mem-bahas tentang orang-orang disini. Sewaktu saya masih di In-donesia, banyak orang yang mengatakan kepada saya kalau orang-orang Eropa itu dingin dan kaku, jadi jangan sedih dan menaruh ekspektasi besar terhadap pertemanan. Tapi ternyata omongan tersebut tidak terbukti. Saya ingat ketika hari pertama saya menjadi murid di sebuah sekolah menengah negeri Belgia, Athenée Royal Riva-Bella namanya. Ketika itu saya ada di ke-las Matematika, semua teman sekelas saya mengelilingi saya dan mengenalkan namanya satu per satu. Lalu hari-hari setelah itu, ada teman saya yang selalu menayakan saya, apakah saya mengerti atau tidak, apakah saya butuh diterjemahkan atau tidak. Banyak diantara teman saya yang senang berbicara den-gan bahasa Inggris dengan saya, katanya itu latihan yang bagus untuk mereka. Sebagai gantinya ketika saya berbicara dengan mereka, saya harus menggunakan bahasa Perancis. Padahal bahasa Inggris saya tidak begitu bagus. Bisa dikatakan, materi-materi sekolah di Belgia itu lebih mudah dari materi-materi se-kolah di Indonesia. Disini ketika seorang murid menjadi seorang Rhétorique atau Rhéto (murid tahun terakhir) dibebaskan untuk memilih kelas dan peminatannya berdasarkan banyaknya pela-jaran IPA di dalamnya. Karena saya bingung untuk memilih jadi saya sempat berganti-ganti dari yang pelajaran IPA terbanyak hingga sekarang saya berada di pilihan yang pelajaran IPA-nya tersedikit. Tapi meskipun saya masuk ke kelas yang pelajaran IPA-nya terbanyakpun terasa mudah dan memang materinya sudah saya pelajari di Indonesia. Meskipun di sekolah tidak boleh ada identitas agama apapun, tetapi pelajaran agama juga diajarkan di sekolah. Ada banyak pilihan pelajaran agama untuk dipelajari, tetapi saya memilih pendidikan moral yang biasanya di ikuti oleh murid-murid atheis.

Karena teman sekolah pula, sekarang saya bisa bergabung den-gan Pramuka Belgia. Saya melakukan Pramuka lagi setelah dua tahun absen dari Pramuka di Indonesia. Pramuka Belgia sangat berbeda dengan Pramuka Indonesia. Jika di Indonesia kita hanya punya satu organisasi Pramuka, di Belgia ada lima organisasi Pramuka. Ada dua organisasi Pramuka katolik, dua organisasi Pramuka pluralis dan satu organisasi Pramuka khusus perem-puan. Saya tergabung di organisasi Pramuka pluralis Wallonie (Scouts, Guides et Pluraliste). Gugus Depan Pramuka di Belgia

tidak berdasarkan sekolah, karna memang sekolah disini hanya untuk pendidikan akademis. Gugus Depan Pramuka disini ber-dasarkan kota tempat kita tinggal. Hal ini sebenarnya mengun-tungkan bagi saya, karna saya bisa bertemu dengan orang-orang lain dari kota saya, beda sekolah dan beda umur pula. Tingkat-tingkat Pramuka di Belgia juga di bedakan dengan umur, saya berada di tingkat terakhir atau Pionniers dalam sebutan orang sini. Kenapa tingkat terakhir? Karna di Belgia ketika umur kita sudah 18 tahun kita bisa menjadi Chef (pembina). Saya sangat menikmati kegiatan Pramuka disini, selain belajar tentang alam saya juga belajar bagaimana kami, orang-orang dengan latar be-lakang berbeda bisa hidup berdampingan dan damai.

Banyak teman-teman saya yang bertanya apa hal teraneh yang pernah saya alami disini. Jawaban terbaik untuk pertanyaan tersebut adalah penggunaan bahasa. Kenapa aneh? Awalnya saya pikir orang-orang Belgia itu hanya berbicara bahasa Be-landa, tapi ternyata di Belgia ada tiga komunitas bahasa. Komu-nitas Belanda, komunitas Perancis dan komunitas Jerman. Peng-gunaan bahasanya juga dibedakan di 3 wilayah, Flanders untuk bahasa Belanda, Wallonie untuk bahasa Perancis dan Jerman dan Brussels sebagai wilayah multi bahasa. Perbedaan bahasa tersebut sempat menjadi permasalahan yang begitu kompleks di Belgia. Ibu angkat saya pernah bercerita ketika dulu beliau berkuliah di Leuven (sebuah kota pelajar Belgia. Terkenal den-gan universitasnya, Katholieke Universiteit Leuven) pada perten-gahan masa studinya terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran hanya karna penggunaan bahasa Perancis di daerah Flanders dan Leuven memang terletak di Flanders. Karna hal itu akhirnya pemerintah Belgia membuat kota pelajar serta universitas baru dengan nama Université Catholique de Louvain, yang memang kalo kita artikan ke bahasa Indonesia memiliki arti yang sama, universitas Katolik Leuven. Kemanapun saya pergi, hampir se-luruh nama jalan dan nama kota mempunyai nama dalam Peran-cis dan Belanda. Saya sempat bingung dengan perbedaan bahasa tersebut, karna nama kota saya dalam bahasa Perancis itu Braine l’Alleud tapi dalam bahasa Belanda menjadi Eigenbrakel. San-gat berbeda sekali. Karna perbedaan bahasa tersebut, di sekolah saya juga mempelajari bahasa Belanda begitu pula murid-murid di Flanders juga wajib mempelajari bahasa Perancis. Komunitas Jerman menjadi minoritas di Belgia karna wilayahnya terletak di ujung timur Belgia yang memang berbatasan langsung den-gan Jerman. Saya pernah berpikir kalau-kalau tantangan men-cari kerja di Belgia sangat susah karna perbedaan bahasa ini dan ternyata kakak perempuan angkat saya meng-iya-kan hal terse-but, apalagi kalau mencari kerja di Brussels katanya. Tetapi yang saya temukan di Brussels lebih banyak orang menggunakan ba-hasa Perancis daripada bahasa lainnya.

Hampir lupa, saya belum bercerita tentang keluarga angkat dan kota tempat saya tinggal disini. Saya tinggal di Braine l’Alleud, sebuah kota kecil di provinsi Brabant Wallon. Jarak dari kota saya ke Brussels tidak begitu jauh. Hanya lima belas menit jika ditempuh dengan kereta, satu jam dengan bus atau tiga puluh

menit dengan mobil pribadi. Saya tinggal di sebuah peternakan kecil, hanya ada beberapa sapi, domba dan ayam di sekitar rumah. Tapi ada sekitar tiga puluhan kuda di rumah saya. Karna sebenarnya keluarga angkat saya juga memiliki tempat berlatih palang rintang baik di lapangan terbuka atau di dalam sebuah stadium kecil. Saudara per-empuan angkat saya yang termuda juga sering kali memenangkan kompetisi palang rintang dan dua kakak angkat saya memang bekerja di peternakan. Saya memiliki 6 saudara angkat, yang tertua adalah staff AFS Belgia dan yang termuda seumuran dengan saya. Ibu angkat saya memiliki Boulangerie (toko roti) di sekitar rumah dan ia sendiri membuat mentega dan keju untuk di jual. Susu untuk membuat mentega dan keju tersebut berasal dari sapi-sapi dan domba-domba nya. Saya juga belajar bagaimana membuat mentega dan keju sekarang. Pada masa-masa awal saya tinggal di keluarga angkat ini saya sangat kaget dengan banyak hal. Keluarga angkat saya sangat-sangat ekologis. Semua sayuran yang saya makan di rumah ini ditanam sendiri oleh ibu angkat saya di kebun sayurannya. Setiap hari saya minum susu sapi segar yang terkadang saya perah sendiri pula. Bisa dibilang orang tua angkat saya jarang sekali belanja, karna memang mereka menghasilkan bahan makanan mereka sendiri. Ketika mereka belanja pun pasti mereka memilih produk yang memiliki tanda yang menyatakan kalau produk itu biologis. Keluarga angkat saya juga tidak menggunakan mesin pencuci piring, hal yang cukup aneh untuk sebuah keluarga Eropa. Menurut mereka mesin tersebut menggunakan banyak air. Jadi ketika selesai makan kami selalu mencuci piring bersama. Selain itu, keluarga angkat saya tidak memiliki televisi dan tidak berlangganan koran.

Mungkin saya cukupkan dulu cerita saya selama 3 bulan di Belgia, saya harap Anda senang membaca cerita saya. Saya juga sebenarnya rajin nge-blog, kalau ada waktu mungkin Anda bisa mengunjungi blog saya di : http://www.muqauqis.tumblr.com. Merci beaucoup pour lire mon histoire, à la prochain!

Muhammad Miqdad Darmawan Belgium French

Page 31: ONE STEP AWAY (Indonesian)

19Nama saya Nabila Sekartanti, umur saya 17 tahun, dan saya adalah seorang exchan-ge student yang sedang tinggal dan belajar di Glarnerland, Swiss. Saya datang dengan sedikit pengalaman akan dunia ini, dari sebuah kota berpenduduk 10 juta orang dan sebuah kampung halaman yang memiliki sangat banyak variasi budaya. Saya datang dengan cita-cita, sedikit pengetahuan tentang bahasa lokal Swiss, doa dari orang-orang tersayang, dan potongan rambut terpendek dalam beberapa tahun terakhir, hanya karena biaya potong rambut di Eropa kelewat mahal. Itulah yang banyak orang bilang kepada saya sebelum saya berangkat.

Pada hari pertama saya disini, dalam perjalanan pulang ke rumah dari bandara, ibu angkat saya menceritakan bagaimana dia pernah berkeliling dunia semasa mudan-ya. Beliau bahkan pernah suatu kali ke Indonesia dalam salah satu perjalanannya. Karena sekarang beliau telah memiliki seorang suami dan tiga anak perempuan kecil (yang sekarang merupakan ayah angkat dan saudara perempuan angkat saya), kemungkinan untuk meneruskan perjalanannya pun hampir tidak ada lagi. “Tidak mungkin bagi kami untuk bisa berpetualang melihat bagian dunia lainnya lagi, maka dari itu kami berusaha untuk membawa dunia ke rumah kami,” katanya.

Glarnerland adalah tempat yang penuh dengan kesederhanaan. Kami hidup dikelilingi oleh gunung-gunung, pencahayaan yang menakjubkan, bertumpuk-tumpuk salju, udara yang segar, pe-mandangan galaksi Bima Sakti dibantu oleh langit malam yang jernih, lalu lintas yang baik, tanpa kesibukan yang menuntut, toko-toko kecil yang tutup pada hari Minggu, pasar-pasar Natal, pasangan-pasangan manula yang berjalan kaki pada hari-hari cerah, percakapan-percakapan yang jujur dan orang-orang yang bersyukur. Bahkan lebih baik dari pada itu semua, kami saling menyapa saat bertemu di jalan tanpa harus saling mengenal. Fenomena ini memang merupakan salah satu keuntungan dari kehidupan di pedesaan. Semua orang mengenal satu sama lain, dan saya pun selalu bertemu orang-orang yang sama berulang kali setiap harinya.

Swiss, pada umumnya, adalah salah satu negara paling maju di dunia. Negara ini sangat berpengalaman dalam sektor pemerin-tahan, memimpin rakyat dengan profesionalisme sambil tetap memegang teguh nilai-nilai budayanya. Segala hal, dari yang paling besar sampai yang paling kecil memiliki sistem yang hampir sempurna, sehingga dapat menyusun suatu struktur ja-ringan nasional yang terorganisir. Cukup sering saya pergi men-daki gunung, dan setiap jalan pun memiliki rambu-rambu yang sangat membantu, lengkap dengan peta gunung atau taman na-sional tersebut. orang-orang Swiss memang tidak menganggap remeh kata-kata ‘kualitas tinggi’.

Negara ini terbagi akan 26 kanton (seperti layaknya provinsi atau region), dan masing-masing dari kanton-kanton ini memili-ki lambang yang berbeda. Kanton Glarus, contohnya, memiliki Fridolin sebagai lambangnya, yaitu pendeta dari Irlandia yang dipercayai sebagai penemu daerah ini. Swiss sebagai suatu nega-ra memiliki sistem demokrasi perwakilan, namun Kanton Glarus bergerak dengan sistem demokrasi langsung. Sekali dalam se-tahun setiap penghuni kanton ini akan berkumpul di tengah kota untuk menyampaikan aspirasi dan solusi mereka untuk menye-lesaikan masalah-masalah di daerah ini, sekaligus untuk memi-lih bersama-bersama keputusan yang paling tepat. Pemilihan ini pun dilaksanakan masih dengan cara mengacungkan tangan, dan di setiap sudut ada orang yang bertanggungjawab untuk menghi-tung suara. Acara ini bernama Landsgemeindeversammlung, dan merupakan salah satu dari sedikit praktik demokrasi langsung yang masih ada di dunia.

Kanton Glarus terbagi atas tiga komunitas, dan masing-masing komunitas memiliki pertemuan untuk membahas masalah ma-sing-masing daerah. Pada minggu kedua saya di sekolah, diada-kan Wirtschaftswoche atau Minggu Ekonomi, dan angkatan saya mengadakan Gemeindeversammlung kami sendiri. Dalam jang-ka waktu satu minggu kelompok-kelompok yang telah dibentuk harus mengutarakan ide dan rencana kami dalam sebuah debat terbuka, dan penduduk-penduduk lainnya memiliki hak untuk memberi suara akan solusi yang menurut mereka adalah yang terbaik. Swiss tidak hanya mengutamakan kualitas yang ting-gi, tetapi juga status mereka sebagai negara yang demokratis. Masyarakatnya sudah cukup berpendidikan untuk mengajukan solusi-solusi yang baik, komunitasnya terbuka pada ide-ide baru dan perubahan, dan pemerintahannya siap untuk mengimple-mentasikan haluan-haluan baru untuk mempraktikkan pelaya-nan mereka kepada masyarakat.

Selain hal-hal politis, kanton ini juga merupakan rumah, atau asal muasal dari Läderach, produsen cokelat terbaik dan terke-

muka di Swiss, yang secara otomatis juga merupakan yang ter-baik di dunia. Kami juga memiliki ‘ibu kota’ terkecil di Swiss, dengan kurang dari 10,000 penghuni yang tinggal di pusat kota Glarus.

Sistem pendidikan Swiss merupakan salah satu dari 10 yang ter-baik di dunia, menciptakan pencari kerja yang siap dan mapan, pemagang yang berkualitas tinggi, dan mahasiswa-mahasiswi terbaik tanpa menaruh tekanan yang berlebihan di sekolah. Se-tiap pelajaran dibentuk untuk mengembangkan kemampuan ber-pikir murid secara kritis dan analitis, dibantu dengan diskusi dan debat terbuka yang dipimpin oleh guru-guru. Metode pengaja-rannya pun tidak kaku, malah sangat menyenangkan dan mena-rik bagi murid-murid termasuk saya. Selain itu semua, dan juga cenderung kontras dengan budaya timur, tidak naik kelas atau mengambil tahun perantara dianggap normal dan tidak diikuti oleh penilaian-penilaian negatif.

Saya dimasukkan ke kelas 4 dari 6 tingkat di Gymnasium, atau sejajar dengan kelas 10. Murid-murid pertukaran pelajar tidak dapat dimasukkan ke dalam kelas yang lebih tinggi, karena dua tahun terakhir dari Gymnasium difokuskan untuk persiapan Ma-tura, atau ujian akhir sekolah. Sistem pendidikannya pun ber-beda di masing-masing kanton karena Swiss menganut sistem desentralisasi, yang berarti setiap pemerintah daerah berhak un-tuk memutuskan beberapa hal dengan sendiri, termasuk tentang sistem pendidikan.

Sebagai exchange student, biasa adanya untuk memiliki banyak kolega dari negara-negara dan latar belakang yang berbeda, ka-rena itu kami selalu memiliki percakapan-percakapan yang me-narik. Pada suatu saat kami bisa membicarakan tentang salah satu teman yang selalu ditemani pengawal untuk ke sekolah, dan beberapa menit kemudian kami bisa berdebat tentang keputusan mana yang merupakan solusi terbaik untuk suatu masalah. Da-lam salah satu pertemuan kami, teman-teman saya yang berasal dari Amerika Selatan menceritakan kepada kami tentang kondisi di negara-negara mereka, dan selain tingkat kriminalitas yang tinggi dan jumlah barang-barang impor, fakta-fakta lain sangat-lah mengejutkan bagi kami. Diskusi-diskusi ini selalu membuat saya merasa memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, tapi pada saat yang sama kami pun sama-sama menerima pencera-han.

Nabila Sekartanti To Switzerland

Page 32: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Saat ini saya masih menjalankan misi un-tuk mengerti dan dimengerti. Ada pepatah yang mengatakan “Deutsche Sprache, schwere Sprache,” yang berarti bahasa Jerman adalah bahasa yang susah. Kenda-ti memiliki keharusan untuk mempelajari sesuatu yang sulit, saya telah tumbuh un-tuk menyukai bahasa ini.

Hari-hari berlalu dengan sangat cepat, mengisi hidup saya tahun ini dengan se-tiap bagian dari percakapan-percakapan, setiap karakteristik manusia baru dan ar-sitektur yang megah, setiap butir granola, dan kadang semua masih terasa tidak nya-ta. Pada lingkungan yang tidak familiar ini tidak ada yang bisa menjadi representasi

rumah saya yang sebenarnya, dan itulah yang bisa mendukung saya untuk terus berusaha.

Mungkin orang bertanya apakah saya telah melakukan seban-yak yang seharusnya saya lakukan, apakah saya sudah menjadi representasi yang baik bagi kampung halaman saya, atau jika saya masih tetap memegang teguh nilai-nilai dan prinsip saya. Mungkin jika saya belum pernah mengikuti program pertukaran pelajar, saya pun akan memiliki ekspektasi dan pertanyaan yang sama tentang orang lain. Namun, setelah saya berada disini, ada beberapa hal yang telah berubah. Perubahan tidak dapat dihin-dari, dan saya pikir tahun ini bukan segalanya tentang meme-nuhi ekspektasi orang lain terhadap diri saya, namun juga ten-tang menjadi diri saya yang terbaik, diri saya sendiri yang saya angankan untuk menjadi. Dan saya masih terus berusaha untuk mencapai titik itu.

20

Wow, tepat 4 bulan sejak saya pertama kali menjejakkan kaki di Belgia. Tidak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat. Dalam waktu 4 bulan yang singkat ini, begitu banyak ilmu dan pengalaman berharga yang saya dapatkan. Rasanya ingin saya tuliskan semua di sini. Namun saya tahu menulis seberapa ban-yak pun tidak akan cukup untuk menggambarkan semua yang saya alami di negara cokelat. Jadi pada kesempatan kali ini saya akan sedikit bercerita tentang hal-hal baru dan beda yang tidak pernah terjadi di kehidupan saya di Jakarta. Berikut ini, saudara-saudara, adalah…

Di mana saya tinggal . Saya tinggal di Dworp, kota sederhana yang bernaung di bawah Beersel, vlaams-Brabant. Dworp ter-letak di sebelah selatan Brussel, cukup 15 menit dengan kereta, sehingga terbilang strategis untuk berpergian. Salah satu yang saya suka dari Dworp adalah yang saya lihat di mana-mana selalu hijau. Ya, kota ini sangat asri. Ditambah lagi dengan orang-orangnya yang ramah. Walaupun kota tempat saya tinggal sangat kecil nan imut (hingga bisa dibilang desa), Dworp mer-upakan kota yang keren! Kami punya lapangan atletik sendiri dan sebuah kastil kecil! Bahkan terdapat 3 jenis bir khas yang hanya bisa diproduksi di wilayah ini : Kriek, Geuze, dan Bersa-lis. Tidak lupa keju khas Beersel yang kini menginjak generasi keenamnya, Mandjeskaas.

Keluarga baru saya. Pada awal kedatangan saya di Belgia, saya tinggal di Halle dengan sebuah keluarga angkat yang hanya ter-diri dari ibu dan kakak perempuan. Namun seteleh 3 bulan, saya pindah keluarga angkat dan tinggal dengan keluarga angkat saya yang sekarang di Dworp. Saya punya seorang ayah, ibu, 2 kakak laki-laki, dan 1 adik perempuan. Sangat menarik bagi saya ka-rena saya punya 1 kakak perempuan dan 1 adik laki-laki di Ja-karta. Jadi bagi saya keluarga saya di Indonesia dan keluarga

angkat saya saling melengkapi. Kakak laki-laki sulung saya juga kebetulan merupakan alumni AFS Belgia. Beliau berkesempa-tan untuk pergi ke Ekuador tahun lalu. Jadi seru bagi saya untuk punya teman mengobrol di rumah mengenai hal ke-AFS-an. Kami berenam saja di rumah sudah merupakan keluarga yang besar dan ramai. Ditambah lagi dengan fakta bahwa ibu angkat saya 3 bersaudara dan ayah angkat saya 10 bersaudara, keluarga saya benar-benar keluarga yang sangat, sangat besar! Setiap kali ada acara keluarga, begitu banyak orang-orang yang saya belum kenal (pada saat itu). Namun, semua orang sangat antusias serta ramah terhadap saya dan rela bicara pelan-pelan supaya saya bisa menangkap apa yang mereka maksud. Saya merasa sangat welcome di keluarga ini. Namun jangan lupa ingatkan saya un-tuk membuatkan mereka masing-masing nametag!

Di mana saya sekolah. Saya duduk di kelas 5 (setara dengan 2 SMA) di Koninklijk Atheneum Halle, yang merupakan sekolah berbahasa Belanda milik pemerintah. Saya mengambil jurusan Moderne Talen Wetenschappen (MTWE), yaitu bahasa modern dan sains. Dengan sistem sekolah dan mata pelajaran yang beda namun menarik, saya senang pergi ke sekolah walaupun terka-dang masih duduk termangu karena belum mengerti materi yang diberikan. Salah satu hal yang menarik dari sekolah saya di sini adalah kelas Niet-Confessionele Zedenleer (NCZ), kelas moral dan etik yang tidak dipengaruhi agama maupun golongan. Di kelas ini murid-murid bebas berdiskusi berbagai macam isu den-gan pemikiran terbuka.

Apa yang saya makan. Cokelat. Saya benar-benar tidak bohong ketika saya bilang Belgia adalah negara cokelat. Mereka makan cokelat, minum cokelat, makan cokelat dalam cokelat, mandi cokelat. Tidak deng, yang terakhir bohong. Yang pasti banyak sekali variasi konsumsi cokelat. Bahkan walau saya beli biskuit plus krim cokelat dengan merek mencurigakan di supermarket pun, biskuitnya tetap enak! Pokoknya merek apapun, bentuk apapun, asalkan cokelatnya dari Belgia, tidak perlu diragukan lagi rasanya. Belgia juga terkenal dengan frietjes (kentang gore-ng) dan birnya yang penuh variasi. Jumlah jenis bir di Belgia mencapai sekitar 360an, ditambah fakta bahwa orang terkadang punya racikan bir sendiri. Masih banyak hal lain yang saya coba di sini, seperti witloof (sayuran pahit), spruitjes (sayuran pahit lain), mattentartjes (buttermilk puff pastry), dan lain-lain. Na-mun cokelatlah yang paling esensial dalam kehidupan ngemil saya di Belgia.

Tempat favorit saya: Toko roti, roti-roti yang masih hangat dari oven berjajar di rak. Berbagai macam pie yang menggoda iman. Tart-tart mini nan imut menanti dengan manis. Rak khusus di pojok toko untuk praline (coklat isi khas Belgia). Dan ketika

Page 33: ONE STEP AWAY (Indonesian)

saya masuk ke dalam toko... Hmm, betapa harumnya! Saya memang penggemar patisserie dan bagi saya toko roti Belgia adalah surga duniawi. Maka dari itu saya paling senang kalau disuruh beli roti. Asian store, ke sinilah saya pergi ketika saya ingin mencari bahan masak yang terlalu eksotis untuk bera-da di supermarket biasa atau ketika saya hanya sedang kangen dengan makanan Asia. Memang tidak banyak produk Indonesia yang dijual di toko ini tapi setidakn-ya saya selalu bisa menemukan Indomie! Leuven, adalah ibukota dari provinsi vlaams-Brabant. Leuven terkenal dengan universitasnya yaitu Katho-lieke Universiteit Leuven (KuL), sehingga bagi saya kota ini adalah kota pelajar Yogya versi Belgia. Leuven pas untuk dijelajahi karena tidak terlalu besar, kaya akan arsitektur, toko-toko unik, dan tentunya tempat hang out anak muda. Yang paling saya senangi adalah selalu ada harga khusus pelajar!

Kebiasaan baru saya. Mengingat cuaca Belgia yang sangat tidak menentu, setiap malam saya menjadi ter-biasa selalu mengecek ramalan cuaca untuk besoknya. Sangat penting untuk menyiapkan payung yang cukup kuat serta sweater ekstra karena basah, dingin, dan hu-jan adalah cuaca khas Belgia. Pasti akan kangen cuaca cerah di sini!

Olahraga baru saya. Pelajaran olahraga saya di se-kolah membuat saya (mencoba untuk) melakukan gimnastik! Kalau rol ke depan dan ke belakang saya masih santai. Tapi untuk handstand atau meroda, saya mencobanya untuk yang pertama kali! Berbeda dengan pelajaran olahraga di Indonesia, selain cara dan teknik bermain games, potensi dan kemampuan jasmani indi-vidual juga ditekankan di pelajaran olahraga di Belgia. Maka dari itu, target saya dalam satu tahun ini : ber-hasil meroda!

Hobi baru saya; Jalan-jalan tanpa arah, alau saya su-dah berada di tempat baru, saya paling suka berkelil-ing sendiri, mengeksplorasi tempat tersebut tanpa peta atau arahan. Intinya membiarkan saya sendiri tersesat. Karena dengan itu saya bebas mengeksplor sepuas hati dan menemukan hal-hal yang tidak saya duga. Aktif nge-blog, saya mulai punya blog ketika saya ting-gal di Belgia. Setiap detik hidup saya di Belgia saya ekspresikan melalui post-post di blog saya. Rasanya ingin sekali orang lain dapat melihat apa yang saya lihat, mengetahui apa yang saya rasakan, serta menya-dari betapa indah dan gaulnya Belgia!

Mengoleksi kartu. Semua teman saya tahu saya hobi main kartu. Saya hanya membawa 1 dek kartu bersama saya waktu itu, namun hobi mengoleksi kartu ini se-makin menggila dan dalam 4 bulan saya sudah punya 10 dek kartu.

Bahasa baru saya. Pada dasarnya, saya harus bela-jar Belanda, mengingat saya tinggal di Belgia bagian Flanders. Namun seiring berjalannya waktu, Belanda saya yang pelan-pelan meningkat namun masih belum

tingkat dewa mulai mempengaruhi Inggris saya menjadi semakin kacau. Kedua bahasa tersebut yang terus bergantian dipakai terkadang membuat saya berbicara seperti es campur. Jadi sekarang saya dalam fase di antara 2 bahasa : Dunglish (Dutch and English).

Kata favorit saya. Dari Dunglish yang saya banggakan, kata favorit saya selalu adalah ”wablief”. Kata ini digunakan ketika kita meminta lawan bicara untuk mengulangi apa yang mereka katakan. Saking seringnya saya mengucapkan “wablief”, kata tersebut menjadi kata refleks saya ketika saya kaget atau tanpa sengaja menyenggol orang lain.

Agenda baru saya. Jujur saja, satu tahun yang singkat ini (selain sekolah) memang penuh waktu lu-ang. Namun saya tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Saya ingin mengisinya dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat, mencoba hal-hal baru, pergi ke berbagai macam tempat, dan menikmatinya! Agenda saya lowong untuk pengalaman-pengalaman baru!

Nisrina Widari Affandi To Belgium Flanders

Page 34: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Pengalamanku paling berbeda dari semua peserta AFS Indonesia tahun 2012-2013 ini, terutama untuk kami yang berangkat menuju benua Amerika. Tahun ini aku ditunjuk untuk berangkat ke Amerika Serikat. Aku sudah menanti momen ini semenjak bertahun-tahun lalu. Sampai beberapa hari sebelum keberangkatan, aku belum tahu data dan detail apapun tentang keluarga angkat, atau keluarga yang akan menyediakanku akomodasi dan tempat tinggalku disana. Kekhawatiran mulai muncul, ketakutan adanya ancaman-ancaman pembatalan keberangkatan menghantuiku. Setelah beberapa kali penun-daan, akhirnya aku diputuskan berangkat ke kota Columbus, ibukota negara bagian ohio pada tanggal 20 September 2012. Seharusnya aku berangkat tanggal 7 Agustus.

Aku berangkat dengan beban mental yang besar dan tantangan adaptasi yang luar biasa keras. Aku bahkan tidak sempat merasakan musim panas ketika aku tiba di Amerika Serikat. Hari ketika aku datang tepat hari pertama musim gugur. Angin dingin sudah bertiup menggantikan terik panas yang sempat bertahta di iklim Amerika. Dedaunan mulai memerah sedikit. Satu persatu mulai gugur.

Aku baru tahu dan bertemu keluarga angkatku setibanya di Bandara Internasional Columbus. Bahkan aku tidak tahu aku sudah punya keluarga angkat. Informasi yang datang ke kantor Indonesia terlambat. Aku terkejut menemui seorang wanita paruh baya berambut pirang menyambutku dan berkata, “Kami keluarga Thompson, keluarga angkat kamu!” Saking aku bingung dan terkejut, yang ku-ucapkan han-ya, “Bolehkah aku panggil kalian Mom dan Dad?” Maka semenjak itu aku panggil kedua orangtuaku dengan Mom dan Dad.

Rupanya keluarga kami terdiri dari 5 anggota keluarga. Selain orangtuaku, ada Eric si sulung, yang ketika melihatnya pertama kali aku langsung ingat karakter Thor, lalu ada Christian yang seumu-ran kakak kandungku, kemudian victoria yang lebih tua setahun dariku. Eric sudah lulus kuliah dan bekerja, sedangkan kedua saudara angkatku masih berkuliah diluar kota. Yang menarik, Christian adalah alumni AFS Swiss tahun 2010 dan satu sekolah dengan kakak kelas SMA ku di Jakarta (yang juga alumni AFS Swiss).

Aku merasa beruntung mendapatkan keluarga ini. Keluarga ini mempunyai idealisme yang kuat pada basis kehidupannya. Keluarga Thompson adalah penganut Kristen yang taat namun walau begitu te-tap menghargai agama Islamku. Keluarga ini seperti memiliki “konstitusi” tersendiri, cinta. Keluarga Thompson menomor-satukan kehidupan non materialistis, dan menempatkan urusan keluarga di uru-tan pertama diatas segala hal. Hal yang paling menarik dan unik dari keluarga ini adalah, absennya televisi dari kehidupan sehari-hari. Keluarga ini adalah keluarga yang modern tetapi menolak kebe-radaan televisi di rumah. Alasan paling dasarnya sederhana, iklan. Keluarga ini tidak mau terhipnotis oleh iklan-iklan yang ada di televisi. Mereka cukup membeli apa yang mereka butuhkan, cukup me-miliki hal seadanya. Keluarga Thompson sangat kritis dalam membeli apapun.

Setelah aku masuk ke dalam keluarga Thompson, aku mulai diproses untuk pendaftaran sekolah yang sebetulnya sudah dimulai sekitar sebulan yang lalu. Sekolahku bernama Westerville Central High

School. Bangunannya sangat megah, seperti sekolah-sekolah in-ternasional super mahal di Jakarta. Yang menarik, biaya sekolah di sekolah negeri disini gratis (sekolahku adalah sekolah negeri). Sekolahku tergolong sekolah baru yang usianya tidak lebih dari 10 tahun. Seperti sekolah lainnya, sekolahku memiliki stadion football tersendiri di samping bangunan utama dengan kapasitas tempat duduk mencapai ratusan. Jarak dari rumahku sekitar 5 mil atau 15-20 menit dengan mobil. Nama panggilan sekolahku ada-lah Central dengan maskot burung rajawali, sehingga umumnya dikenal sebagai Central Warhawks atau Warhawks saja.

Kurikulum pendidikan di Amerika Serikat sangat menarik. Pela-jar disini diberi kebebasan memilih mata pelajaran yang mereka minati, dan bisa memilih dar seratusan lebih mata pelajaran yang tersedia. Gaya belajar mengajar di sekolahku sangat berbeda dengan gaya belajar yang biasa dan sangat umum di Indonesia. Disini tidak pernah kutemui guru yang hanya mengajar dengan menulisi papan tulis, atau mendikte dari buku.

Proses belajar disini sangat menyenangkan dan sangat me-rangsang pelajar untuk benar-benar mendalami materi yang diberikan. Guru-guru lebih sering memberikan tugas-tugas me-nulis atau prakarya dibandingkan berlembar-lembar soal yang harus diisi oleh murid. Proses mengajarnya pun sangat berbe-da, kelas-kelas di Amerika cenderung lebih santai dan informal. Bahkan ada salahsatu guruku yang sering bercanda sambil mem-bawa-bawa persoalan keluarganya sendiri (yang dimana sangat tidak umum di Indonesia!).

Pergaulan disini sangat lemah oleh kekuatan budaya kolektif seperti di Indonesia. Disini setiap orang cenderung bebas memi-lih kelompok pergaulan yang mereka ingin bergabung. Sistem pergaulan sangat terkotak-kotak namun tidak ada generalisasi umum seperti di Indonesia. Contohnya, bila di Indonesia dike-nal budaya “solidaritas kelas, angkatan, sekolah” dan lain-lain, disini tidak ada. Setiap anak bebas mau bergaul dengan siapa atau tidak bergaul sama sekali.

Sekolahku juga amat sangat plural. Kehadiranku sebagai siswa pertukaran pelajar tidak menjadi hal yang aneh. Malah seba-

liknya, orang-orang di sekolahku sudah sangat terbiasa melihat orang asing. Daerah ohio tengah memang salah satu daerah yang paling tinggi diversitasnya di Amerika Serikat. Selain mayoritas ras kulit putih, di sekolahku juga banyak orang kulit hitam, orang Hispanik (keturunan Amerika Latin), dan orang-orang dari Asia. Aku juga bukan siswa Muslim satu-satunya di Central, ada puluhan, bahkan mungkin seratus lebih pelajar Muslim lainnya yang kebanyakan imigran Somalia.

Kehidupan disini cukup bisa diterka. Gaya hidup Amerika sudah sangat terkenal ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Generasi muda sekarang pun sebetulnya sudah tahu banyak soal kehidu-pan di Amerika melalui intensnya film-film dan media lain yang telah menjadi konsumsi sehari-hari (walaupun tidak se-dramatis film-film tentunya). Kesan gaya hidup Amerika sudah seperti standar kehidupan modern. Apalagi aku yang hidup di pinggi-tan ibukota. Setiap kota, suburban atau desa, semuanya tertata rapi dan rata. Nyaris di semua tempat kita bisa menemukan pen-yokong gaya hidup modern macam supermarket, bioskop, resto-ran, dan lainnya. Kehidupan di Amerika begitu sistematis, dari lahir, sekolah, kuliah, berkerja, menikah, pensiun. Barulah sete-lah pensiun banyak orang yang memutuskan untuk melakukan hal-hal yang “harus dilakukan sebelum mati” seperti berkeliling negeri dengan mobil karavan.

Walau tidak punya akar budaya asli yang kuat, orang-orang Amerika benar-benar memperhatikan sejarah mereka. Seja-rah adalah sesuatu yang hidup di sini, bukan sebuah pelajaran sekolah semata. Dari sejarahlah bangsa Amerika menetapkan identitas mereka. Dengan cara itulah masyarakat Amerika bisa jadi begitu bangga pada negeri mereka. orang-orang Amerika juga begitu senang menyaksikan dan mengikuti perkembangan olahraga, mulai dari tingkat SMA di daerah, tingkat universitas hingga tingkat nasional. Rata-rata masyarakat Amerika memili-ki kebiasaan berolahraga yang cukup rutin.

Kekurangan terbesar dari Amerika adalah sangat kurangnya transportasi umum. Disini untuk bepergian kemana-mana sangat sulit bila dibandingkan dengan angkot-angkot dan bus kota Ja-karta yang bisa mengantar kita kemana saja kapan saja. Bahkan 21

Page 35: ONE STEP AWAY (Indonesian)

taksi saja baru aku lihat kurang dari 20 kali. Hanya ada satu sistem bus, yang sayangnya, hanya berjalan pada trayek ibukota.

Hal terbaru yang aku rasakan adalah salju. Salju seperti es serut putih vanilla dalam mua-tan raksasa tanpa rasa vanilla itu sendiri (aku sudah coba menangkap salju dengan lidah). Salju dalam jumlah yang banyak menutupi kota dengan permandani putih nan indah. Te-tapi ketika salju masuk ke sepatu bot atau sarung tangan, maka dalam waktu cepat daerah tersebut akan mendingin. Salju begitu licin dan fenomena sampingannya adalah es. Es itu licin dan berbahaya karena dapat membuat orang terpeleset. Bisa terjadi kecelakaan serius karena es di jalanan.

Aku memang mengalami hal yang berbeda. Setelah aku sampai disini aku kurang begitu merasakan perbedaan-perbedaan yang ada karena bisa dibilang dalam banyak hal, semua disini menemui ekspektasiku tentang negara Amerika Serikat. Negara yang menjadi im-pian banyak orang sehingga mereka berbondong-bondong datang kesini. Pengejaran se-buah mimpi yang terkenal, The American Dream. Tetapi setelah pengalamanku disini, aku merasakan Tanah Airku lebih ramah dan lebih damai untuk ditinggali. Mimpi Amerika itu penuh dengan ilusi, nyatanya kehidupan disini penuh dengan tekanan biaya-biaya penghi-dupan yang tinggi. Kehidupan yang kemudian berubah menjadi kehidupan materialistis.

Pengalamanku memang berbeda. Tapi disitulah aku bisa bersyukur atas kisahku yang unik. Hal yang paling aku syukuri adalah penempatanku di keluarga Thompson. Keluar-ga yang begitu cocok denganku. Kami seperti tertakdir. Akhirnya, aku tahu bahwa pada bulan Agustus dan awal September, keluarga Thompson masih begitu sibuk mengurus perkuliahan Christian dan victoria. Dan tiba-tiba saja ide untuk menjadi keluarga angkat bagi peserta pertukaran pelajar muncul.

Sekarang aku merasa tertantang untuk menghadapi segala tantangan adaptasi di berbagai batas. Aku bersyukur bahasa bukan kendala karena bahasa Inggris sudah begitu umum di Indonesia. Dan aku juga merasa tertantang untuk memperkenalkan Indonesia ke masya-rakat Amerika. 22

Bagaimana sih rasanya tinggal 12.000 km jauhnya dari rumah? Lebih tepatnya lagi selama kurang lebih satu tahun jauh dari orang tua, teman-teman, dan juga lingkungan yang telah membesarkan saya. oh, betapa penasarannya saya untuk menemukan jawaban

dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Setelah diundur tiga minggu dan dipindah destinasi pada H-5 keberangkatan, voila! Disinilah saya sekarang berada, sedang mencari inspirasi untuk menulis newsletter yang ternyata tidak semudah yang saya bayangkan, di

loteng rumah keluarga angkat saya yang juga merupakan tempat terfavorit saya untuk menulis dan bermain ukulele.

Keberangkatan saya tergolong sangat mendadak karena pada hari Senin, 17 September 2012, saya masih belum tahu akan kepu-tusan AFS Indonesia untuk memberangkatkan saya. Merasa belum dikabari, ibu saya pun menelpon kantor AFS untuk informasi lebih lanjut dan saat itulah kami akhirnya tahu bahwa saya ternyata jadi juga berangkat. Saking mendadaknya, ayah saya tidak

dapat menyertai ke bandara. Namun saya sangat terharu ketika melihat para sahabat dan juga teman-teman dari sekolah saya yang menyempatkan datang biarpun benar-benar pada menit-menit terakhir sebelum keberangkatan saya. Saking terharunya, saya han-ya bisa tertawa, sampai akhirnya ketika sedang boarding, saya menerima telepon dari ayah saya dan banjirlah ruang tunggu untuk

Turkish Airlines.

Perjalanan ini pun menjadi pengalaman pertama saya sebaga single flyer. Saya belum pernah merantau sendirian ke benua yang sangat asing bagi saya. Sempat muncul di benak saya apa yang terjadi ketika saya tertinggal pesawat ketika transit di Singapura

atau Istanbul atau bahkan salah petunjuk.

Radhiyan Pasopati Pribadi To uSA

Page 36: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Karena saya terlambat tiga minggu, saya tidak sempat mera-sakan welcome camp dari AFS Belgia Flanders dan juga tidak sempat bertemu dengan ratusan siswa AFS dari negara-negara lain. Ketika sampai di Brussel pada hari Selasa, 18 September 2012, saya langsung dibawa ke kantor utama AFS Belgia Flan-ders yang terletak di Mechelen. Disana saya menerima camp kilat dan diberi penjelasan bahwa di Belgia Flanders ada be-berapa chapter AFS dan saya termasuk anggota chapter DAS yang merupakan singkatan beberapa kota di Belgia yaitu Den-dermonde, Aalst, dan Sint-Niklaas. Dalam sehari saya hampir mempelajari semua yang telah dibahas saat tiga hari welcome camp. Lelah? Tentu, ditambah keadaan saya yang sedikit jetlag setelah 16 jam perjalanan dari Jakarta. Sekitar jam 5 sore saya dijemput oleh ayah angkat saya dan kami pun pulang ke rumah baru saya.

Kesan pertama saya? Menakjubkan! Belgia adalah negara yang luasnya lebih kecil dari pulau Jawa namun masuk dalam kategori negara maju. Terbagi atas tiga wilayah dengan bahasa yang berbeda, yaitu Belanda, Perancis dan Jerman, menjadi-kan Belgia sebagai negara yang penduduknya multibahasa.

Saya tinggal di bagian Flanders (bagian Belgia yang berbahasa Belanda) di sebuah komunitas bernama opwijk yang letaknya tidak jauh dari Brussel, ibukota dari Belgia. Saya tinggal bersa-ma sebuah keluarga Flemish yang merupakan sepasang suami-istri, tanpa anak dan seekor anjing peliharaan. Host pet saya bernama Katsuro dan berjenis Shiba Inu, tipe anjing Jepang yang sangat terkenal akan kesetiannya. Pernah dengar film lay-ar lebar berjudul Hachiko dengan Richard Gere, sebagai peme-ran utama? Katsuro dan Hachiko datang dari jenis anjing yang sama. Host Parents saya (yang sekarang biasa saya panggil Mama dan Papa) bekerja full time jadi Katsuro yang menema-ni saya ketika mereka bekerja. Saya yang sebenarnya di Indo-nesia merupakan anak bungsu dari dua bersaudara dan biasa menjadikan kakak laki-laki saya sebagai contoh pun akhirnya tahu rasanya menjadi anak tunggal, atau menjadi jadi kakak perempuan untuk Katsuro.

Makanan Indonesia memang sangat enak dan memiliki ciri khasnya sendiri namun disini pun untungnya saya selalu ma-kan enak. Makan besar (biasa disebut warm meal atau maltijd) hanya dilakukan saat makan malam dengan menu kentang-daging-sayur atau terkadang juga pasta untuk variasi, namun pada siang hari orang-orang disini lebih memilih untuk me-makan sandwich atau roti tawar dengan daging, keju atau juga dengan selai cokelat. Pada pagi hari cereal cornflakes menjadi pilihan yang praktis dan cepat. Pada hari sabtu dan minggu pagi, kebiasaan orang Belgia adalah minum kopi atau cokelat panas ditemani roti dan kue-kue manis yang biasa juga dise-but Koffiekoeken. Saya harus mengakui bahwa koffiekoeken itu enaknya luar biasa apalagi ketika datangnya dari toko roti dekat rumah bernama De Vos yang merupakan toko roti favorit saya. Namun kalori yang dikandung juga sangat tinggi, jadi

saya sedang mengusahakan untuk tidak mengonsumsinya se-tiap akhir minggu.

Ibu angkat saya sangat ahli dalam masak-memasak, terbalik dengan saya yang menyalakan kompor saja tidak berani (ke-cuali untuk membuat indomie goreng). Beliau setiap minggun-ya memang rajin mengikuti les memasak. Saya memberikan ibu angkat saya buku resep masakan Indonesia dan beliau pernah beberapa kali memasak dan membuat kue khas In-donesia seperti Bika Ambon, Ayam Gule dan lain-lain. Satu waktu kami, tentunya peran saya hanya sedikit membantu, per-nah mencoba membuat kue tradisional Indonesia yang cukup terkenal yaitu Lapis Legit, yang ternyata memiliki pengaruh dari Belanda dan dikenal dengan nama Spekkoek. Ternyata membuat Lapis Legit sangat tidak mudah terutama dengan lapisan-lapisannya yang berbeda. Karena di Indonesia saya se-ring melihat begitu banyak toko kue yang menjual lapis legit, tidak terpikirkan oleh saya bahwa membuatnya begitu sulit. untungnya, keahlian ibu angkat saya dalam memasak menja-dikan kue Lapis Legit kami sukses besar!

Culture Shock? Natuurlijk. Sebagai seorang anak yang besar di Jakarta, lingkungan tempat tinggal saya sekarang 180 de-rajat bedanya. udara begitu segar, bertemperatur rendah, lin-gkungan yang sangat hijau dan tenang. Biarpun saya tinggal dipinggir jalan raya, hampir jarang saya mendengar kebisin-gan klakson dan lalu lalang motor. Mungkin karena jalanannya yang begitu rata dan sebagian besar penduduk Belgia Belanda lebih memilih untuk mengendarai sepeda. Bahkan mobil-mo-bil disini jarang mengeluarkan asap knalpot! Begitu herannya saya sampai terpikir mungkin bahan bakar transportasi disini bukan bensin…

Saya bersekolah di Merchtem, komunitas yang letaknya ber-tetangga dengan opwijk. Disini saya kembali duduk di kelas 5 yang sebenarnya setara dengan kelas 11 SMA di Indonesia. Jurusan yang saya ambil adalah Moderne Talen - Wetenschap-pen (MoWe) yang artinya Bahasa Modern dan Sains. Jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat, kurang dari lima menit dengan bis, dan sekitar dua puluh menit bila jalan kaki.

Sistem sekolah disini lumayan berbeda. Kebanyakan bersistem pindah kelas dan biarpun sekolah saya merupakan sekolah negeri, isi kelas saya hanya berjumlah 14 siswa, cukup jauh dibandingkan dengan sekolah negeri di Indonesia yang bisa mencapai 40 siswa per kelas. Banyak yang bilang bahwa un-tuk masalah pelajaran, di Indonesia masih lebih sulit materinya dibandingkan dengan negara-negara di Eropa. Pernyataan itu benar, namun tidak berlaku pada bidang bahasa dan pendidi-kan jasmani (atau olahraga). Level untuk pelajaran bahasa di-sini harus diakui jauh lebih sulit, bukan hanya pada bahasa Pe-rancis dan Jerman. Contohnya bahasa Inggris, biarpun bukan bahasa wajib tapi bahasa tersebut cukup serius didalami.

Jam sekolahnya pun agak berbeda dengan Indonesia. Bel berdering sekitar pukul 8.10 – 09.00 pagi dan waktu pulang seki-tar pukul 15.20-16.10, tergantung jadwal kelas siswa karena setiap kelas bisa ber-beda-beda. Setiap hari rabu, pada umumn-ya sekolah di Belgia hanya berlangsung setengah hari. Wih, terlihat santai kan? Jangan salah! Pada dasarnya siswa-siswa disini sangat aktif dalam jam pelajaran. Mereka tidak malu untuk berpendapat, mengangkat tangan untuk bertanya juga untuk menjawab biarpun jawabannya be-lum tentu benar. Pendidikan Jasmani di-sini juga cukup berat. Cuaca yang sangat dingin membuat orang seperti saya, yang biasa berolahraga di cuaca panas jadi ke-sulitan. Karena sudah terbiasa berolahra-ga di cuaca dingin, orang-orang Belgia pada dasarnya memiliki fisik yang lebih kuat. Jam pelajaran olahraga pun benar-benar diikuti dengan serius sepenuhnya. Contohnya ketika melakukan lari jarak jauh outdoor, tidak ada istilah tunggu-tungguan.

Never said french fries because the real fries are Belgian! Selama ini kentang go-reng kita kenal dengan sebutan French Fries, tapi sesungguhnya kentang goreng ini merupakan salah satu Belgian Spe-ciality. Rasa Belgian Fries (juga dikenal

Selama tiga bulan setengah ini saya telah mengunjungi kota-kota di Belgia dan be-berapa negara tetangga. Letak Belgia yang strategis, tepat di jantung Eropa membuat saya lebih mudah untuk jalan-jalan. No-vember lalu saya berkunjung ke Amster-dam selama sehari bersama keluarga an-gkat, teman-teman dari negara lain dan keluarga AFS chapter DAS. Pada liburan natal dan tahun baru ini saya baru saja mengunjungi Paris bersama keluarga an-gkat selama 4 hari.

Di Belgia sendiri saya telah mengunjun-gi Brussel, Gent, Antwerpen, dan Knok-ke (bagian pantai Belgia). Eits, biarpun pantai bukan berarti bisa berjemur kare-na angin berhembus kencang dan udara tetap saja dingin. Di Antwerpen terdapat sebuah restoran dengan makanan Indone-sia yang bernama Belinda. Belinda sendiri adalah nama pemiliknya dan beliau sudah kurang lebih 15 tahun berbisnis disini. Selama masa tinggal saya, sudah bebera-pa kali dengan tidak sengaja saya berpa-

pasan dengan orang-orang Indonesia dan setiap saya bicara dengan mereka, bahasa Indonesia saya terdengar sangat kacau karena sudah terbiasa berbahasa Inggris dengan keluarga angkat dan teman-teman, juga karena saya dalam tahap pembelajaran bahasa Belanda. Alhasil, saya terdengar seperti Cinta Laura, artis Indonesia blasteran Jer-man

ukulele adalah instrumen yang saya bawa dari Indonesia untuk menemani saya. Awalnya, saya tergolong orang yang sangat malu untuk memberi per-tunjukkan di depan umum. Ketika diminta orang tua saya di Indonesia, begitu susahnya untuk saya maju dan tampil, namun sekarang saya belajar untuk lebih percaya diri. Saya sering bernyanyi diiringi ukulele untuk ke-luarga angkat saya, teman-teman, juga keluarga dari keluarga angkat saya dan AFS chapter DAS.

Memang pertanyaan di awal newslet-ter ini belum benar-benar terjawab tapi mungkin itu karena saya masih dalam proses mengenal lingkungan yang awalnya asing bagi saya dan tentu saya siap untuk terus menerima pembelaja-ran-pembelajaran baru setiap harinya.

dengan Flemish Fries) yang begitu luar biasa enaknya tidak bisa dibandingkan dengan kentang goreng McDonalds. Co-kelat, Beer, dan Mosselen juga merupa-kan Belgian specialities lainnya.

Rainy Renata Renald Rinaldi To Belgium Flanders

Page 37: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Akhirnya, roda pesawatpun menyentuh daratan, kita semakin pelan. Selelah-lelahnya kami setelah 17 jam perjalanan di pesawat (dengan transit), semangat kami bagaikan efek kopi di pagi hari. Kami menyadari bahwa kami, wakil-wakil negara dari berbagai macam negeri siap untuk menaklukan semua tantangan yang ada. Dan tentu, membawakan budaya baru. Kami hanya satu langkah dari komunitas yang tidak berbicara bahasa sehari-hari kami.

Dalam awal tahun ajaran, seorang anak perempuan tersesat di lantai 3 Gymnasium (sekolah menengah) yang saya datangi. Nampaknya ia tidak mengetahui dimana letak kelasnya. Datanglah ia kepada saya, dan bertanya sesuatu dalam Bahasa Jerman.

Saya tidak mengerti apa-apa.

“Entschuldigung, ich spreche kein Deutsch” (“Maaf, saya tidak bisa berbicara Bahasa Jerman”)

Tentu saja ia bingung. Saya telah memberi tahu anak tersebut bahwa saya tidak bisa berbicara Bahasa Jerman – dalam bahasa Jerman.

Ketika saya sampai, saya hanya dibekali dengan sedikit ilmu tentang Bahasa Jerman. Hanya hal-hal da-sar seperti; “Guten Tag” (Good day), “Wie gehts? (apa kabar?), “Danke” (terima kasih), “Bitte” (please), “Ich bin Ramada” (saya Ramada), dan 2 kalimat survival;“Entschuldigung, ich verstehe nicht” (Maaf, saya tidak mengerti)“Ich spreche kein Deusch” (Saya tidak bisa berbicara Bahasa Jerman)

Hanya inilah yang bisa saya katakan pada waktu itu, un-tuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi dan memberi tahu bahwa saya bukanlah orang yang biasanya tinggal disi-ni. Sisanya saya hanya bisa berharap bahwa semua akan baik-baik saja.

Jerman. Negeri yang penuh dengan sejarah, istana, mo-numen, roti dan budayanya. Kota-kotanya tidak hanya se-batas gedung-gedung yang berlomba-lomba menyentuh langit. Saya tinggal di Stuttgart, kota utama dari Baden Württemberg, Jerman selatan. Walaupun kota saya tidak begitu besar, namun dipenuhi dengan hal-hal yang tidak membuat saya bosan. Karena hal tersebut, saya memberi tahu keluarga saya disini bahwa ingin sekali menjelaja-hi Jerman, dan mereka mendukung ide tersebut. Sering kali pada hari libur kami pergi bersama dalam kota, dan terkadang kami pergi ke kota sebelah. Ibaratnya pergi ke Bandung pada hari libur ketika saya masih di Indonesia. Dengan hal ini saya menemukan bahwa orang Jerman se-nang travelling, dan jika mereka benar-benar menyukai travelling, bisa saja mereka sudah pernah ke tempat-tem-pat di negeri asal kami yang belum kami pernah datangi. Ternyata benar, mereka sudah pernah ke banyak tempat di Indonesia yang belum pernah saya datangi.

Pada tahun 1990an, keluarga Jerman saya tinggal di Indo-nesia selama 6 tahun. Mereka mengerti sepenuhnya tan-tangan hidup di negeri orang tanpa mengenali bahasanya, kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk lokal, dan mempelajari bahasa baru pastinya. Ibu angkat saya memberi tahu saya bahwa saya tidak perlu mengkha-watirkan akan bahasa, karena dalam waktu singkat saya akan mempelajarinya.

‘’I lived in Indonesia without knowing Indonesian, but I enjoyed my life in Jakarta and eating nasi goreng with krupuk.’’(Saya tinggal di Indonesia tanpa ilmu tentang bahasanya, tetapi saya menikmati kehidupan saya di Ja-karta dan makan nasi goreng dengan krupuk”)

Hal ini memang membuat saya lebih tenang, namun ti-dak sepenuhnya, karena hari pertama sekolah akan segera tiba – besok.

Langkah pertama dalam Elly Heuss Knapp Gymnasium adalah pengalaman yang sungguh mengagumkan. Saya masuk ke kelas 10B dengan kekhawatiran dan ketidaksa-baran. Khawatir akan orang-orang disekitar saya tidak akan mengerti saya, tidak sabar untuk berbagi tentang budaya saya yang datang dari separuh bagian lain dunia ini. Karena bahasa Jerman saya yang terbatas pada saat itu, saya harus berbicara dengan bahasa Inggris. Leganya ketika saya mengetahui bahwa semua teman-teman saya dikelas dapat berbicara Bahasa Inggis. Namun tetap saja, kesulitan dalam berkomunikasi masih banyak. Hari-hari pertama masih sulit bagi saya untuk bisa mendapatkan pembicaraan yang berjalan dengan mulus, karena semua yang saya katakan tidak bisa diucapkan sepenuhnya. 23

Page 38: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Saya pun menemukan banyak kata dalam Bahasa Jerman yang tidak ada terjemahan langsungnya ke bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, hal ini memberikan saya motivasi untuk mem-pelajari Bahasa Jerman terlebih lagi. Inilah jalan untuk membuat persahabatan. Di sini saya adalah orang asing bagaimanapun juga.

Intensitas semakin meningkat ketika saya pergi ke rumah tante angkat kami di se-buah desa kecil dengan penduduk sekitar 300 orang. Desa tersebut terletak di Danau Constance, jauh diselatan Jerman. Keluar-ga disana tidak berbicara Bahasa Inggris, Bahasa Jerman dari pagi hingga malam. Terlebih lagi, saya tidak akan hanya meng-hadapi Bahasa Jerman yang biasa, namun Jerman Schwaebisch (salah satu dialek di Jerman). Hal ini membuat saya membawa kamus tebal kemana-mana. Namun saya yakin bahwa banyak kata-kata yang tidak bisa saya temukan dalam kamus tersebut. Satu tantangan lagi telah tiba. (Seperti dia-lek lainnya, dialek Schwaebisch jauh lebih sulit untuk dimengerti, dikarenakan pen-gucapan kata-kata yang berbeda dan aksen yang berbeda).

untungnya di Jerman kita dapat mela-tih pengertian bahasa dimanapun. Segala macam hal disini menggunakan bahasan-ya. Maupun buku, iklan (walaupun iklan internasional) ataupun film. Secara tidak langsung penggunaan bahasa dimana-mana memaksa kita untuk terus berlatih memba-ca ataupun mendengarkan tanpa menyada-ri. Bagi kita orang Indonesia, kita sudah terbiasa dengan menonton film dalam ba-hasanya, bagaimanapun di Jerman semua film yang ada maupun di bioskop ataupun

Tv telah didub dengan Bahasa Jerman. Suatu hari per-nah saya pergi ke bioskop dan menonton film The Hob-bit yang telah didub. Saya tidak terbiasa dengan hal ini, maka bagi saya ini hal yang lucu. Namun saya sedikit kecewa karena saya tidak bisa mengerti film tersebut se-penuhnya, tapi jika dipikir kemali sekarang saya sudah bisa mengerti lebih dari yang saya bayangkan.

3 malam ini penuh dengan perjuangan untuk bisa ban-yak memahami segala hal. Hari pertama hanyalah syok. Kami tidak mengerti apa-apa. Semua percakapan yang ada selama hari itu Rodrigo, exchange brother saya dan saya memerlukan penjelasan dalam Bahasa Jerman biasa. Pembicaraan kami dengan sepupu angkat kami juga tidak berjalan begitu lancar karena banyak kebin-gungan dalam bahasa. Seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa pelan-pelan. Keesokan harinya kamipun bangun tidur dengan pikiran yang sudah terbiasa den-gan dialek tersebut. Hal tersebut telah mengajarkan saya pelajaran yang bernilai: “Ketika singa sedang mengejar anda, pasti anda akan berlari lebih cepat dari biasanya.” Kembali ke Stuttgart, saya menyadari bahwa sekarang saya memiliki kosa kata yang lebih banyak dan penger-tian dalam Schwaebisch yang lebih. Maupun kata-kata tersebut umum ataupun tidak, tetap saja ini adalah ke-majuan. Dalam 4 hari saya mendapatkan peningkatan dalam pengertian bahasa yang lebih besar dari biasanya.

Sesulit apapun, pengalaman ini sungguh mengagumkan. Dari bahasa yang sudah saya pelajari, pelajaran yang di-dapatkan dan waktu-waktu yang pasti akan selalu saya ingat. Sekarang bahasa Jerman saya sudah jauh lebih baik, walaupun ketika berbicara masih banyak kesala-han yang bisa ditemukan. Terlebih lagi, kini saya sudah bisa mengerti orang lain dengan bahasanya. Bagaima-napun juga saya masih bertanya-tanya akan bagaimana saya bisa melewati segala tantangan dan kesulitan dalam hari-hari pertama di Jerman. Mengingat lagi, hari-hari tersebut dipenuhi dengan kenangan yang sangat menarik dan menakjubkan. 24

Grüezi Mitenand.Halo, nama saya Rizqon Nurtana dari chapter Banjar-masin. Sekarang saya sedang menjalankan program pertukaran pelajar di Swiss. Saya Tinggal di Meilen di bagian tenggara dari kota Zurich. Sebelumnya saya ting-gal di Dielsdorf yang mana terletak di barat laut kota Zurich. Dan saya akan menceritakan pengalaman, pe-rasaan, dan hal lainnya setelah berada di Swiss selama lebih dari 4 bulan.

Kamis, 16 Agustus 2012 akhirnya setelah menunggu se-kian lama saya akan berangkat ke Swiss untuk menjala-ni program pertukaran pelajar. Bisa dikatakan perasaan saya saat itu bercampur aduk. Saya akan meninggalkan keluarga saya dan berfikir bahwa saya tidak akan berte-mu mereka untuk setahun. Tetapi, saya tetap melangkah sembari melihat ke arah keluarga saya dikarenakan saya harus segera melakukan check in dan pesawat saya akan segera berangkat. Saya sangat sedih. Air mata saya jatuh (walaupun sedikit), dan pada waktu itu saya hanya me-lihat ke arah luar dari kabin pesawat.

Saya dan teman saya lainnya yang sama-sama beran-gkat ke Swiss harus melakukan 2 kali transit. Pertama di Singapura, sekitar 45 menit. Sungguh rumit. Disana kami hanya berbincang bincang dengan seorang perem-puan dari Palembang yang akan belajar di Norwegia (sebenarnya kami bertemu dengannya di ruang tunggu bandara Soekarno Hatta). Dia sangat banyak membantu kami. Transit kedua adalah di Istanbul. Pemandangan sudah sangat berbeda disini. Lebih rumit dari Singapura. Disini akhirnya kami berpisah dengan teman kami dari Palembang karena dia pergi ke gerbang keberangkatan lainnya. Saya merasa sangat gembira. Dan disana kami bertemu dengan siswa AFS lainnya yang berasal dari Turki dan mereka akan pergi ke Swiss juga untuk menja-lankan program pertukaran pelajar. Akhirnya kami be-rada di dalam pesawat yang akan membawa kami ke Zurich. Saya dapat melihat Pegunungan Alpen dari da-lam pesawat. Dan akhirnya tibalah kami di Bandara In-ternasional Zurich. Dan sungguh luar biasa. Kami harus menggunakan kereta untuk menuju ke imigrasi dan tem-pat pengambilan bagasi. Ayah angkat saya menjemput saya di Bandara dan setelah itu kami menuju ke tempat parkir, akhirnya kami keluar dari area bandara. Tahukah Anda, jalan raya di Swiss sangat cantik! Pemandangan-nya membuat saya takjub. Akhirnya kami pun sampai di rumah. Saya membuka pintu mobil dan menghirup udara. Sungguh sangat segar! Cuacanya pun cerah. Ayah angkat saya membawa saya masuk berkeliling di dalam rumah. Saya meminta air untuk minum. Lalu dia mem-beri saya air, tetapi ketika saya meminumnya, rasanya seperti air soda. Kemudian saya bertanya lagi “apakah air kran di Swiss dapat diminum?“ dan beliau mengiya-kannya. Sayapun mencobanya dan sungguh rasanya seperti air terbaik yang pernah saya minum. Kemudian saya kembali ke kamar saya untuk beristirahat sejenak. Karena saya sangat lelah setelah penerbangan selama 19 jam. Dan pada sore harinya saya dan seluruh anggota keluarga pergi ke pesta ulang tahun teman ayah angkat saya dan berada disana sampai hampir tengah malam. Tetapi satu hal yang membuat saya bingung adalah mengapa matahari masih menampakkan wujudnya pada jam 10 malam. Akhirnya kami pun tiba di rumah. Saya

Ramada Sukardmaji To Germany

Page 39: ONE STEP AWAY (Indonesian)

pergi ke kamar saya. Saya pun tertawa dan berpikir “saya telah melewatkan satu hari disini dengan segala hal baru disini“. Ke-esokkan harinya saya terbangun dan tersadar “dimana saya seka-rang?“ dan saya pun membuka jendela, melihat-lihat keadaan sekitar dan menghirup udara. Dan saya pun tahu dimana saya sekarang. Saya sekarang berada di Swiss dan akan tinggal disini selama setahun dan belajar banyak hal disini.

Sebenarnya saya bingung dan berpikir “bagaimana saya bisa tinggal dengan orang yang belum pernah saya temui sebelumn-ya?“, “apa yang harus saya lakukan dihari pertama dan hari-hari berikutnya untuk mereka?“, “bagaimana perasaan mereka keti-ka pertama kali bertemu dengan saya?“, dan banyak pertanyaan lainnya yang membayang-bayangi saya. Tetapi semuanya berja-lan lancar. Mereka menempelkan kertas di pintu kamar saya yang bertuliskan “Guten tag Rizqon Willkommen in Dielsdorf“ yang berarti “Selamat Siang Rizqon Selamat datang di Dielsdorf“. Hari pertama mereka membawa saya ke pesta ulang tahun teman ayah angkat saya. Hari ke-tiga kami pergi mendaki Gunung Rigi dan pergi dengan kapal melewati danau Luzern. kemudian kami berkeliling di sekitar kota Luzern. Pada minggu kedua mereka mengajak saya ke Airshow (pertunjukan pesawat udara) yang sangat mengagumkan. Di minggu ke-empat kami pergi ke Da-vos dan pergi mendaki gunung disana. Tentu saja mereka sangat membantu saya. Ketika saya memerlukan bantuan, mereka pa-sti membatu saya. Di hari ke-dua ibu angkat saya mengajarkan saya bahasa Jerman. Baiklah, pada 21 Desember 2012 saya akan pindah ke keluarga angkat lain dikarenakan mereka sangat sibuk dan mereka menyarankan untuk pindah ke keluarga lain. Sebe-narnya saya bisa tinggal bersama mereka sampai akhir tahun pertukaran pelajar saya. Tetapi sekarang saya tinggal di Meilen yang berada persis di pinggir danau Zurich. Pemandangan disa-na sangat indah! Pada liburan musim dingin ini, saya akan pergi ke Laax, di kanton Graubünden dengan keluarga angkat baru saya untuk bermain ski. Ini akan sangat menarik!

Saya bersekolah di Kantonsschule Zürich Nord. Baiklah, waktu pertama kali saya di sekolah ini sangat membingungkan. Saya tidak tahu siapapun disini dan semuanya sungguh sangat rumit pada hari pertama. Saya coba masuk ke kelas dengan perasaan gelisah dan memastikan bahwa saya memasuki kelas yang benar dan mencoba untuk mencoba untuk menyapa teman-teman yang berada di dalam kelas dengan bahasa Jerman saya yang masih buruk. Setiap hari kami pergi ke sekolah dengan menggunakan

transportasi umum seperti kereta, bis, tram. Disini saya juga be-lajar bermain Hockey. Sungguh sangat menyenangkan. Sistem sekolah disini hampir sama seperti di Indonesia dan tentu saja menggunakan sistem pindah kelas. Disini saya memilih jurusan matematika dan ilmu pengetahuan alam yang berarti fokus uta-ma mata pelajarannya adalah matematika, dan pelajaran IPA. Disini saya belajar matematika, fisika, kimia, biologi, sejarah, ekonomi & hukum, olahraga, seni, bahasa Jerman, bahasa Ing-gris, dan bahasa Perancis (sebenarnya saya tidak perlu untuk masuk ke kelas bahasa Perancis, tetapi saya ingin mempelajarin-ya) saya juga bergabung dengan kelas teater.

Saya merasakan salju pertama saya pada 16 September 2012. Sebenarnya pada saat itu masih musim panas. Tapi saya pikir itu bukan musim panas melainkan masa transisi dari musim panas ke musim gugur. Saya dan keluarga angkat saya pergi ke Da-vos. Ya, saya tahu itu. Adalah homebase untuk World Economic Forum dan salah satu tempat wisata ski di Swiss. Kami pergi kesana untuk mendaki gunung dan diatas gunung akhirnya saya mendapatkan salju pertama saya. Sebenarnya salju tersebut me-rupakan sisa sisa salju dari musim dingin yang lalu. Lembut, dingin, dan menyenangkan. Itulah salju. Saya mencoba untuk membuat bola salju dan melemparkannya. Salju ke-dua hadir di kota saya pada di penghujung oktober. Saat itu masih musim gu-gur tetapi sudah bersalju. Saya belajar membuat orang-orangan salju bersama saudara laki-laki angkat saya. Salju-salju tersebut berdiam diatas permukaan tanah selama 3 hari dan kemudian hilang. Di akhir November salju pun datang kembali. Jauh lebih banyak dari akhir oktober yang lalu. Saya bermain Schneeball-schlacht yang berarti perang bola salju bersama teman sekelas saya. Akhirnya saya bermain ice skating untuk pertama kalinya disini, sungguh sangat sulit pada awalnya. Saya terjatuh 3 kali. Tetapi setelah ketiga kalinya saya bermain ice skating jauh lebih baik. Sekarang saya bisa bermain ice skating tetapi masih belum terlalu baik. Tapi, jangan hanya pikirkan hal-hal yang menarik saja tentang salju. Marilah berpikir tentang hal-hal buruk yang ada pada salju. Salju sangat mengganggu saya. Bukan hanya bagi saya, tetapi bagi orang lain juga. Sungguh licin. Kita harus menggunakan sekop untuk menyingkirkan salju dari permukaan.di jalanan, mobil penyingkir salju selalu bekerja menyingkirkan salju. Semua mobil harus memakai ban khusus musim dingin. Transportasi umum menjadi buruk karena tertunda dan tentu saja temperaturnya sangat dingin.

Setelah berada di Swiss lebih dari 4 bulan saya mendapat banyak pengalaman. Saya telah mengunjungi beberapa kota di Swiss. Zurich (tentu saja karena sekolah saya disana), Geneva, Basel, Luzern, Bern, Lausanne, St. Gallen, Davos, dan lain-lain. Saya juga telah mengunjungi kantor PBB di Geneva. Saya pergi kesana bersama siswa AFS lainnya yang berada di chapter Zurich. Hal itu adalah hal yang tak terlu-pakan dalam hidup saya. Disana saya bertemu dengan 2 orang Indonesia yang bekerja sebagai diplomat disana. Perayaan Idul Adha yang lalu, Iin, Nabila, Hilmy dan saya pergi ke Kedutaan Besar Indonesia di Bern. Kami sholat Idul Adha disana dan akhirnya bertemulah kami dengan makanan-makanan khas Indo-nesia seperti nasi, lontong, gulai, sambel, kerupuk dan sebagainya. Setelah itu kami berkeliling-keliling di kota Bern.

Di awal November, AFS chapter Zurich mengadakan Halloween Party, kami akan menginap disana untuk semalam. Setiap siswa pertukaran pelajar harus membawa makanan penutup khas dari negaranya, memakai kostum, dan membayar 8 Franc. Dan saya membawa pisang goreng dengan sedikit sentuhan dari barat karena saya menaruh parutan keju dan saus cokelat untuk topping-nya. Saya berpakaian seperti maling ayam dengan sarung menutupi kepala dan wajah saya serta pedang-pedangan.

Desember pun telah tiba yang berarti dalam beberapa minggu, hari Natal akan segera tiba. Tetapi sua-sananya sudah mulai terasa. Weihnachtsmarkt (pasar Natal) sudah dibuka dan toko-toko sudah mulai di dekorasi dengan aksesoris Natal. Rumah saya pun juga. Kami memulai dengan membuat Guetzli. Itu adalah kue kering khas Swiss yang biasanya dibuat menjelang Natal. Saya belajar untuk membuatnya. Rasanya seperti Lemon, saya sangat menyukainya.

oke, itulah sedikit cerita saya selama 4 bulan yang berlalu sangat cepat ini. Terima kasih banyak atas waktunya untuk membaca cerita saya.

Rizqon Nurtana To Switzerland

Page 40: ONE STEP AWAY (Indonesian)

Ketika saya mendengar pengumuman bagi penumpang pesa-wat untuk segera masuk ruang tunggu, saya baru menyadari bahwa perjalanan saya benar-benar akan dimulai dan tidak ada lagi jalan untuk kembali. Saya tidak percaya bahwa saya akan melakukan perjalanan ke sebuah negara yang harus ditempuh dengan pesawat selama 20 jam untuk tinggal di sana selama 1 tahun dengan keluarga yang sebelumnya tak saya kenal. Sungguh tidak dapat dijelaskan apa yang saya rasakan saat itu, saraf-saraf di tubuh saya mulai bereaksi; sedih, gembira, takut, cemas, dan bersemangat pada saat yang sama; yang saya tahu 2 jam lagi adalah jadwal keberangkatan pesawat dan saya be-rada hanya 15 meter dari pintu yang akan memisahkan saya dari keluarga dan teman-teman saya.

Benar, saya akan pergi untuk program pertukaran pelajar ke Belanda. Sebuah Negara yang letaknya 11350.64 km dari ta-nah air saya, negara yang pernah menjajah negara saya, ne-gara yang memiliki pengaruh besar bagi negara saya, negara yang disebut-sebut oleh guru sejarah saya lebih dari 100 kali, dan terakhir, sebuah negara yang membuat negara saya berdiri untuk memperjuangkan harga diri mereka dan menjadi nega-ra merdeka bernama Indonesia. Belanda memang salah satu dari banyak negara yang ingin saya jadikan destinasi program pertukaran pelajar saya. Tak sedikit alasannya; pertama-tama, saya memilih sebuah negara yang berbeda dalam hal ras, baha-sa, budaya dan makanan. Tapi, bukankah Belanda dan Indone-sia memiliki banyak kesamaan? ‘’Tidak’’ adalah jawaban yang tepat. Kita mungkin banyak mendapat pengaruh dari mereka, tetapi dari sisi tradisi dan perilaku, kita benar-benar berbeda.

pai saya bisa mendengar pernyataan tersebut dari mereka secara langsung. Baiklah, sebelum memba-has hal tersebut lebih jauh, saya ingin menceritakan perjalanan saya yang begitu mengasyikkan sekali-gus melelahkan dan juga apa saja yang telah saya lakukan selama kurang lebih 4 bulan di Belanda.

Hari itu tepatnya Kamis, 6 September 2012, keti-ka 2 koper yang telah berada di ruang tamu selama seminggu akhirnya dipindahkan ke mobil kami. Dalam perjalanan ke Soekarno-Hatta International Airport, saya melihat mimik wajah ibu saya yang membuat saya berpikir ‘Apakah saya benar-benar siap untuk ini?’ dan sebelum saya sempat me-nemukan jawaban yang tepat, kami sudah tiba di bandara. Tak lama kemudian, teman-teman mulai muncul, masih berseragam, siap untuk melepas saya pergi. Setelah semua pelukan dan air mata, saya melangkah meninggalkan keluarga dan te-man-teman dengan perasaan campur aduk berharap bahwa setiap langkah yang saya ambil adalah lan-gkah yang tepat. Saya bukanlah satu-satunya yang akan menghabiskan setahun di Belanda, saya bersa-ma seorang teman, dia bernama Astarina Natyasari dan dia akan tinggal di Friesland, di suatu daerah di bagian utara Belanda. 20 jam lamanya penerban-gan benar-benar membuat saya lelah, karena sebe-lumnya saya belum pernah berada di pesawat sela-ma itu, tetapi semua lelah itu seketika hilang saat kami menemui keluarga asuh kami. Saat itu adalah titik puncak di mana saya benar-benar gugup, saya membutuhkan waktu 5 menit untuk mengumpulkan keberanian untuk keluar pintu ‘gate’ bandara dan berkata ‘Halo, saya Sekar Adhaninggar dari Indo-nesia. Senang bertemu kalian!’. Begitu pintu terbu-ka, saya langsung tahu mana yang keluarga angkat saya, berdiri di sana ayah angkat saya, ibu angkat saya, salah satu dari kakak perempuan angkat saya dan pacarnya. Saya memperkenalkan diri selagi kami berjalan ke mobil, memang sedikit canggung pada awalnya, namun perjalanan pulang berjalan lancar.Rumah keluarga asuh saya berada di Hillegom, ja-raknya hanya kurang lebih 30 menit dari bandara internasional Schipol dengan mobil yang juga be-25

“Namun, mengapa Belanda?” Anda mungkin berpikir bahwa banyak dari siswa pertukaran pelajar (dari Indo-nesia) akan menempatkan Belanda di urutan akhir, tapi tidak bagi saya. Saya ingin tahu pendapat generasi Belanda masa kini tentang apa yang telah negara mereka lakukan terhadap bangsa kita. Banyak yang mengatakan bahwa mere-ka menyesal, beberapa mengatakan ge-nerasi baru tidak begitu peduli, namun ada pula yang mengatakan bahwa masa itu merupakan masa-masa kejayaan me-reka. Mungkin semua jawaban itu be-nar, tetapi saya masih belum puas sam-

rarti hanya kurang lebih 30 menit dari Amsterdam. Hillegom adalah sebuah kota kecil di Belanda barat, di provinsi South-Holland. Kota saya yang kecil namun indah ini juga dikenal se-bagai daerah yang menghasilkan sejumlah besar umbi bunga. Hamparan luas bunga tulip yang terkenal di dunia, Keukenhoff, juga terletak hanya beberapa kilometer jauhnya dari Hillegom.

Kembali lagi ke hari pertama saya di Belanda. Jujur, saya sangat lelah, tapi kelelahan tersebut tidak dapat mengalahkan seman-gat dan rasa penasaran saya tentang kota Hillegom, sehingga saya bergas kembali dan siap untuk berjalan-jalan keliling kota untuk pertama kalinya. orang tua asuh saya menunjukkan fasi-litas olahraga, balai kota, toko-toko, dan bahkan kami sempat menonton beberapa acara festival musim gugur seperti lomba marathon. Lalu kami pulang, makan malam dan saya pun segera menemui teman lama saya, tempat tidur. Saya terbangun keeso-kan harinya dan berkata pada diri saya sendiri ‘oh betapa nyen-yaknya tidur saya semalam’, mengingat betapa susahnya men-cari posisi enak untuk tidur di bangku pesawat. Terkejutlah saya ketika saya baru menyadari bahwa saya telah tidur selama lebih dari 12 jam! Tapi untungnya, saya tidak sampai mengalami jet-lag. Saya pun segar kembali dan siap untuk hari kedua. Sebagian besar yang saya lakukan di minggu pertama adalah jalan-jalan keliling kota, menonton acara festival musim gugur, memaha-mi dan menerapkan aturan-aturan dasar di rumah, belajar kata-kata Belanda sederhana, mencoba untuk bersikap ‘normal’, dan mencoba bersepeda 10 km. Bersepeda adalah bagian yang (bisa dibilang) paling penting. ‘’Tahukah Anda bahwa populasi sepe-da lebih daripada populasi orang di Belanda?’’ entah bagaimana namun hal ini memang benar adanya. Sepeda merupakan salah satu transportasi utama di negari kincir angin ini. orang-orang menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah, bekerja, belanja, dan bahkan untuk melakukan perjalanan berlibur ke negara lain (kebanyakan masih sekitar Eropa). Sungguh luar biasa gaya hidup mereka yang sangat sehat. Tak hanya bersepeda, orang Belanda juga banyak berolahraga. Mereka juga handal dalam kehidupan sosial mereka. Hampir semua anak-anak Belanda bergabung dengan klub olahraga atau klub seni, terutama hanya untuk memiliki komunitas diluar teman-teman sekolah.

Sepuluh hari setelah saya sampai, akhirnya saya dapat memu-lai kegiatan sekolah. Nama sekolah saya adalah Herbert Vissers College, berada di Nieuw Vennep (kota lain) yang letaknya ham-

pir 6 km dari rumah dan saya bersepeda ke sekolah tiap harinya. Saya duduk di kelas 4 vWo yang setara dengan kelas 11 di In-donesia. Hari pertama begitu menyenangkan. Saya diberikan 2 orang ‘buddy’ yang akan membantu saya pada minggu-minggu pertama saya di sekolah. Teman-teman disini awalnya sangat pemalu, walau begitu, sebenarnya mereka sangatlah baik, hanya saja kita harus mencoba untuk mendekati terlebih dahulu. Hidup saya kembali terasa normal ketika saya mulai disibukkan oleh kegiatan sekolah; seperti pekerjaan rumah dan juga pelajaran ekstra untuk bahasa Belanda. Tak hanya itu, bahkan saya juga pergi ke Berlin bersama sekolah untuk karya wisata.

Dua minggu lagi saya resmi tinggal 4 bulan di Belanda. Setiap hari benar-benar merupakan sebuah petualangan bagi saya, se-lalu saja ada hal baru pada setiap hal kecil yang saya lakukan di sini. Saya akhirnya mulai mengerti bagaimana cara hidup mereka, mengenal kebiasaan makan mereka, apa yang mereka maksud dengan ekspresi mereka, ‘keterusterangan’ mereka, bu-daya dan tradisi mereka, makanan khas dan banyak lagi. Sebe-lum mengakhiri seluruh cerita ini, saya ingin memberikan se-dikit penjelasan dari beberapa poin yang saya sebutkan di atas.

Satu, Kebiasaan Makan. orang Belanda makan roti untuk sa-rapan dan makan siang, dan makanan berat hanya untuk makan malam. Tidak ada yang benar-benar unik tentang hal itu kecuali untuk jadwal makan malam. Sebagian besar dari mereka makan malam pukul 6 sore, beberapa bahkan pukul setengah 6, yang bagi saya cukup awal.

Dua, Directness. orang Belanda juga dikenal dengan ‘keteru-sterangan’nya yang berarti: mereka terkadang lupa untuk men-yaring apa yang ‘enak’ untuk dikatakan, bukan berarti mere-ka suka berbicara kotor, tetapi mereka sering kali terlalu jujur sehingga kadang suka bikin sakit hati. Tetapi percayalah, mereka hanya mencoba untuk jujur.

Tiga, Budaya dan Tradisi. Saya sangat senang melihat keikut-sertaan mereka dalam memeriahkan acara-acara yang diseleng-garakan oleh ‘gemeente’ (pemerintah) mereka masing-masing atau hari-hari besar nasional yang ada. Semangat mereka un-tuk menghidupkan festival-festival tersebut sungguh menga-gumkan, dan itulah salah satu faktor yang membuat budaya dan tradisi disini hampir tetap sama dari tahun ke tahun. Bahkan jika

Page 41: ONE STEP AWAY (Indonesian)

ada beberapa generasi baru yang tidak lagi mengerti makna sebuah perayaan, mereka tetap merayakannya hanya untuk bersenang-se-nang. Ada tradisi yang unik seperti 3 kali cium pipi saat bertemu, mengucapkan se-lamat kepada semua orang di pesta ulang tahun (bukan hanya pada yang berulang tahun) dan masih banyak lagi.

Empat, Makanan Indo-nesia. Ya! Restoran Indo-nesia ada hampir di semua kota besar di sini! Hal ini bisa jadi atau sudah pasti merupakan pengaruh kolo-nialisme bagi mereka. Men-cari makanan Indonesia di-sini bukanlah hal yang sulit, sehingga hal ini setidaknya membantu saya melawan ‘foodsick’. Dan, entah ke-napa saya bangga akan hal ini.

Sampai saat ini, saya telah berhasil setidaknya menye-lesaikan misi pertama saya yaitu ‘Mengetahui apa pendapat orang Belanda (generasi saat ini tentunya) tentang kolonialisme yang pernah terjadi di Indone-sia’ dan saya sangat bangga dapat mengatakan bahwa ‘’Ya, mereka menyesal ten-tang hal itu, dan mereka menyebutnya sebagai seja-rah kelam negara mereka’’. Masih banyak lagi misi yang harus saya selesaikan, so wish me luck dan sampai jumpa di newsletter selan-jutnya!

Sekar Adhaninggar To Netherlands

“Langkah itu, saat menapakan kaki untuk meninggalkan apa yang saya sebut sebagai rumah selama 1 tahun dan memulai perjalanan untuk belajar tentang dunia luar.”

“Ik ben Titus en ik kom uit Indonesie”, kalimat itu adalah kalimat yang saya ucapkan sebagai perkenalan diri kepada lingkungan baru saya disini. Bukan hanya membawa nama diri sendiri, melainkan juga membawa nama baik keluarga dan negara. Inilah petualangan saya sebagai seorang siswa pertukaran pelajar. Semua ini berawal pada saat saya mene-rima surat pemberitahuan dari Bina Antarbudaya bahwa saya akan menjadi salah satu kandidat program AFS menuju Belgia-Flanders. Rasa gembira, haru, penasaran dan bangga pun bercampur aduk menjadi satu disaat itu. Sebelumnya tak pernah terbesit sekalipun di benak saya untuk pergi merantau di negeri orang,meninggalkan keluarga, teman-teman, sekolah, lingkungan dan orang-orang yang saya cintai. Hari-hari setelah menerima surat pemberitahuan pun saya ja-lani layaknya hari-hari biasa seperti sebelumnya sampai pada hari-hari menjelang keberangkatan. Dilema, depresi, penasaran, takut dan perasaan yang berat untuk meninggalkan rumah dan kehidupan yang telah saya alami selama 17 tahun secara tiba-tiba menghantui pikiran saya. Hari-hari pun berjalan serasa lebih cepat bagi saya menuju hari kebe-rangkatan. Berbagai perasaan dan ketidakpastian pun menghantui pikiran saya di hari keberangkatan. Perasaan sedih untuk berpamitan, perasaan bahagia karena dapat membanggakan orang tua dan mencapai salah satu mimpi dan juga perasaan bangga karena dapat mewakili sekolah, kota dan negara tercinta. Pikiranku menjadi kosong dan langkahku menjadi semakin berat, air mata pun tak dapat terbendung lagi saat berpisah dari keluarga dan teman-teman di bandara. Perasaan semakin tak pasti saat mengetahui bahwa saat-saat itu adalah saat untuk berpisah selama 1 tahun dari kehidu-pan normal saya. Selama di pesawat pun, tak henti-hentinya saya berpikir akan kehidupan yang akan jalani di Belgia. Mulai dari keluarga, teman-teman, sekolah, bahasa dan tradisi baru yang akan saya jalani selama satu tahun.

Dan disinilah saya sekarang, di sebuah negara yang mempunyai 3 bahasa resmi, 2 daerah dan 1 nama,”Belgia!” Sebuah negara berukuran kecil yang terletak di jantung Eropa dan dikelilingi oleh negara-negara besar di Eropa. Belgia sendiri terbagi menjadi 2 daerah yaitu Flanders yang didominasi penduduk berbahasa Belanda dan Walonia yang didominasi oleh penduduk berbahasa Perancis dan sebagian kecil yang berbahasa Jerman. Sekarang saya tinggal di Haringe, se-buah desa kecil yang terletak di Belgia-Flanders dan berjarak hanya 2 kilometer dari Perancis. Meskipun sangat dekat dengan Perancis, bahasa yang digunakan disini adalah bahasa Belanda, bahasa yang belum pernah saya pelajari sebe-lumnya. Beruntungnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang banyak menggunakan kata serapan dari bahasa Belanda, sehingga banyak sekali kata benda dan kata kerja yang saya paham saat pertama kali mendengarnya. Belgia mungkin sebuah negara yang cukup asing di telinga orang Indonesia, tetapi tahukah anda bahwa sebenarnya Belgia mempunyai

26

Page 42: ONE STEP AWAY (Indonesian)

hubungan sejarah yang erat terhadap cikal-bakal kolonisasi di Indonesia? Hal ini baru saya ketahui saat saya berwisata ke kota Antwerpen, salah satu kota terbesar di Belgia dan merupakan ibu kota salah satu Provinsi di Belgia. Pada sekitar abad ke-16 Antwerpen merupakan salah satu kota yang memainkan peranan penting di benua Eropa sebagai pusat perdagangan,tetapi hal itu tidak bertahan lama karena kota besar itu jatuh ke tangan Span-yol. Para penduduk Antwerpen yang kaya raya dan memiliki peranan penting pun memutuskan untuk pindah ke daerah utara yaitu Amsterdam. Dengan demikian Amsterdam menjadi kota pusat perdagangan yang baru menggantikan Antwerpen yang telah jatuh. Penduduk-penduduk Antwerpen yang memiliki pe-ranan penting dan tinggal di Amsterdam itulah yang nantinya yang akan berinvestasi dan mengirimkan utusan dagang yang nantinya akan bernama voC-WIC dan yang pastinya mengin-gatkan kita akan sejarah Indonesia yang sangat erat kaitannya dengan Belanda.

Belgia sendiri sejatinya mempunyai banyak kota besar dan in-dah yang kurang terekspos dari luar Eropa. Jujur saja,pada saat ketika saya belum mendapat surat pemberitahuan keberangka-tan, saya tidak tahu dimana letak negara Belgia secara persis, yang saya tahu tentang Belgia mungkin hanya coklat Belgia yang terkenal. Padahal Belgia mempunyai banyak kota-kota yang indah untuk dinikmati dan dapat dikunjungi dengan mu-dah menggunakan kereta. Tipikal rancangan kota-kota di Belgia adalah stasiun kereta api selalu berada di tengah-tengah pusat kota. Hal itu memudahkan bagi remaja seperti saya yang suka berwisata dan beruntungnya lagi bagi pengguna kereta yang be-rusia di bawah usia 27 tahun karena ada tiket kereta khusus yang murah untuk berkeliling Belgia. Jadi bagi para remaja di Belgia, salah satu hal yang favorit untuk dilakukan selama liburan ada-lah berpetualang ke kota-kota besar di Belgia. Yang muda yang

berpetualang!

Proses adaptasi adalah saat-saat terberat yang saya hadapi selama saya tinggal disini. Mulai dari keluarga, teman-teman, lingkun-gan, sekolah, cuaca, makanan dan gaya kehidupan yang sangat berbeda dari kehidupan saya di Indonesia. Disini saya bersama keluarga yang beranggotakan papa, mama dan 3 saudara perem-puan. Hal ini adalah tantangan baru bagi saya, karena saya harus belajar beradaptasi pada keluarga baru dan terlebih lagi pada 3 saudara perempuan yang hampir sebaya dengan saya. Selama proses adapatasi ini, banyak kejadian-kejadian yang menyenan-gkan, momen-momen bersama, tetapi terkadang juga terdapat saat dimana konflik kecil terjadi. Tetapi puji Tuhan semua dapat terselesaikan dengan baik dan saya juga merasa nyaman untuk tinggal disini bersama kelurga baru saya. Keluarga saya beraga-ma Katolik dan saya sendiri beragama Kristen Protestan, sehing-ga untuk masalah beribadah tidak ada masalah yang berarti bagi saya. untuk sekolah, setiap harinya saya pergi ke sekolah yang berjarak 14 km dari rumah saya, jarak ini bisa ditempuh melalui bus ataupun sepeda. Pada saat musim panas, saya lebih memilih menggunakan sepeda, selain untuk berolahraga, juga terdapat banyak teman-teman yang menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah, sehingga lebih mudah untuk bersosialisasi dan beradap-tasi dengan teman-teman baru. Pada saat musim gugur dan mu-sim dingin seperti sekarang, saya lebih memilih menggunakan bus, karena hujan hampir terjadi setiap harinya disini. Ya, hujan adalah hal yang biasa terjadi disini setiap harinya, bahkan orang-orang disini membuat candaan kepada saya yang merupakan orang baru disini,”Het is altijd regen in Belgie he?” yang berarti “Hujan selalu terjadi setiap hari di Belgia kan?”. Mungkin saat berada di Indonesia saya berharap akan cuaca dingin dan salju khas Eropa, tetapi kini salah satu dari sekian banyak hal yang saya rindukan dari Indonesia adalah cuaca panasnya.

Titus Kurniawan To Belgium Flanders

Disini saya mengambil jurusan IPA-Mate-matika, jurusan yang tidak berbeda dari juru-san yang saya ambil di sekolah di Indonesia. Pelajaran menjadi saat-saat yang sangat sulit bagi saya dan menahan kantuk adalah salah satu kegiatan utama dikelas, karena pertama kendala bahasa dan kedua sudut pandang yang berbeda saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Di Indonesia mungkin lebih se-ring dibahasa masalah pemecahan soal dan rumus baru dari guru, tetapi disini lebih di-bahasa masalah teori, asal-usul pemecahan sebuah rumus, pengaplikasian pada grafik dan essai. Meskipun saya mengambil kelas IPA-Matematika, pelajaran lainnya tentang sejarah dan bahasa disini tidak dianggap re-meh. Dan saat ujian, permasalahan yang saya hadapi adalah kertas folio yang putih bersih. ujian disini bertipe evaluasi, jadi kita ditun-tut untuk menjadi kreatif dalam berpikir dan dapat menuangkan semua yang ada di piki-ran kita. Sangatlah berbeda dari tipe ujian di Indonesia yang menggunakan pilihan ganda.

Masalah pergaulan, saya mulai mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial saya.Masa-lah bahasa dan tata cara gaul yang sangat berbeda membutuhkan waktu yang cukup lama bagi saya untuk dapat beradaptasi dan bergaul bersama teman-teman disini. un-tuk waktu luang saya memilih untuk ber-gabung bersama organisasi pemuda, yaitu Chiro (Christiant Organitation). organisasi ini mempunyai banyak aktivitas, mulai dari permainan sampai pengorganisiran pesta maupun acara sosial. Chiro juga merupakan salah satu sarana yang tepat bagi saya untuk mendapatkan teman baru dan belajar tentang gaya hidup remaja Belgia.

Selama berada di Belgia saya belajar ten-tang hal-hal baru dan pengalaman yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Terimakasih kepada kedua orang tua saya, keluarga, kakak-kakak Bina Antarbudaya Chapter Surabaya dan Nasional yang telah mendukung dan membantu saya sehingga saya sekarang dapat berada disini. Disini saya baik-baik saja dan mengalami penga-laman yang menakjubkan dalam hidup saya.

Page 43: ONE STEP AWAY (Indonesian)

ONE STEP AWAYAFS Indonesia 2012-2013

Adrian Wildandyawan (Belgium Flanders)Adzra Izzati Ghasani (Japan)Agatha Lydia Natalia (Italy)

Anita Anjani (Germany)Annisa Bella Sunoto (Philippines)Astarina Natyasari (Netherlands)

Aulia Nur Amalia (Norway)Carissa Hanjani (France)

Erysa Alifah Maharamis Poetry (Germany)Evalita Pastora (Italy)

Farahdhia Maharani Putri (Italy)Hilmy Farhan (Switzerland)

Iin Fadhilah Utami (Switzerland)Indah Utami Abudiman (USA)

Ivana Suradja (Italy)Kusuma Indriani (Germany)

Melania Shinta Nugraheni (France)Muhammad Miqdad Darmawan (Belgium French)

Muhammad Radhiyan Pasopati Pribadi (USA)Nabila Sekartanti (Switzerland)

Nisrina Widari Affandi (Belgium Flanders)Rainy Renata Renald Rinaldi (Belgium Flanders)

Ramada Sukardmaji (Germany)Rizqon Nurtana (Switzerland)

Sekar Adhaninggar (Netherlands)Titus Kurniawan (Belgium Flanders)

Other Credits,Main Picture of Ramada S. taken by Yan Wai LamLast Picture of Evalita P. taken by Alberto Lugli

Cover & Index Picture taken by Evalita P.

Page 44: ONE STEP AWAY (Indonesian)

2012-2013