Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang -...

40

Transcript of Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang -...

Page 1: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah
Page 2: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Oleh:

Rifdah Rudi

1906291576

Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

Page 3: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Kata Pengantar

Di Indonesia, masalah ketenagakerjaan merupakan “Lakon Wajib” dalam setiap rezim

pemerintahan yang berkuasa. Dalam setiap lakon, harus ada tokoh dan perselisihan yang selalu

membuatnya dramatis dan menarik untuk diikuti, tentu tokoh yang dimaksud disini adalah

pengusaha, buruh, dan pemerintah. Baik pengusaha maupun buruh adalah tokoh yang sama

penting dan saling membutuhkan, masing-masing memegang peranan strategis untuk

menggerakkan roda perekonomian di suatu negara. Idealnya dengan peranan yang saling

melengkapi, hubungan pengusaha – buruh seharusnya menjadi simbiosis mutualisme. Namun

pada faktanya ego sektoral masing-masing pihak ditambah regulasi pemerintah dengan

“keberpihakan” yang keliru membuat upaya-upaya penyelesaian masalah tidak pernah

mencapai titik temu.

Sebagai pembuat regulasi dan pihak yang berperan menjadi penengah konflik

pengusaha – buruh, pemerintah RI menciptakan “Omnibus Law” sebagai jalan tengah yang

digadang-gadang mampu menjadi jawaban dari segala persoalan di sektor ketenagakerjaan dan

bermuara pada keberhasilan di bidang perekonomian. Namun terobosan ini justru ditentang

dengan keras oleh para buruh yang menganggap regulasi ini lebih berpihak kepada para

investor atau pengusaha, hingga beberapa waktu terakhir Istana dan Gedung Parlemen tak

pernah sepi dari suara-suara buruh yang terus berjuang menentang pasal-pasal bermasalah

dalam Omnibus Law. Sebagai akademisi tentu harus bijak dalam menentukan sikap terkait

persoalan ini, dan sebelum dapat mengambil sikap, alangkah lebih baik untuk membedah

terlebih dahulu pasal-pasal yang ada di Omnibus Law untuk kluster ketenagakerjaan.

Harapan saya dengan dirilisnya kajian ini dapat memberikan wawasan baru serta

menyajikan cara pandang yang berbeda dalam membedah dan melihat Omnibus Law kluster

ketenagakerjaan bagi para pembaca. Tak lupa saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya

kepada penulis yang telah meluangkan waktu serta menuangkan ide dan pemikirannya untuk

menyelesaikan kajian ini, semoga kajian ini menjadi awal untuk penulis dapat terus belajar dan

mengembangkan pemikirannya di masa depan.

Tangerang, 22 Agustus 2020

Kepala Divisi Kajian dan Penelitian Hukum

Muhammad Fadhil Pratomo

1

Page 4: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………1

Bab I : Pendahuluan

Latar Belakang………………………………………………………………………………3

Karakteristik Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam Menjamin Perlindungan

Tenaga Kerja………………………………………………………………………………...6

Bab II : Isi

Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Mengakomodasi Kebutuhan

Masyarakat Indonesia?..........................................................................................................20

Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor Ketenagakerjaan…..28

Bab III : Penutup

Kesimpulan………………………………………………………………………………….36

Saran………………………………………………………………………………………...36

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………….38

2

Page 5: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Bab I : Pendahuluan

I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia

berupaya membentuk undang – undang yang berkualitas disertai dengan sifat yang fleksibel,

sederhana, dan responsif. Produk pembentukan undang – undang yang dimaksud oleh

pemerintah tidak lain yaitu Produk Omnibus Law. Pembahasan produk ini dimulai sejak saat

Presiden Jokowi Widodo dilantik kedua kalinya menjadi Presiden Indonesia dalam periode

2019-2024.1 Beliau menyatakan dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat

bahwa salah satu program kerja yang akan dilakukan dalam periodenya adalah penyederhanaan

regulasi dan penyiapan Omnibus Law. Upaya penyederhanaan regulasi yang dimaksud antara

lain pemberlakuan teknik Omnibus Law sebagai teknik yang baru dalam pembentukan regulasi

di Indonesia. Maksud dari kehadiran Omnibus Law ini diharapkan dalam pembentukan suatu

produk Undang – Undang yang baru dapat mengamandemen pasal yang termuat dalam

beberapa undang – undang lainnya.

Dalam muatannya, sebuah Undang – Undang Omnibus mencakup substansi materi yang saling

berhubungan. Undang – Undang Omnibus ini mencerminkan sebuah integrasi dan kodifikasi

peraturan yang bertujuan untuk mengefektifkan penerapan peraturan tersebut. Keberadaan

omnibus law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian Koordinator

Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019.

Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Badan

Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 5 Desember 2019, telah

menetapkan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam Program Legislasi

Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. Pembentukan Rancangan Undang - Undang

Omnibus Law tersebut menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga

Hartarto merupakan arahan dari Presiden Jokowi dengan tujuan meningkatkan iklim investasi

dan daya saing dalam berbagai kesempatan.2

Maksud dari penggunaan teknik legislasi omnibus law dalam pembentukan Rancangan Undang

- Undang Cipta Kerja ini tidak lain untuk menata dan menciptakan peraturan perundang –

1 Gede Arya. (2020, Februari 17). “RUU Cipta Kerja dan Problematika Tenagakerjaan”, Detik News.

Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada

15 Juni 2020 2 Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja”.

Diakses dari https://bahasan.id/wp-content/uploads/2020/02/NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-

20-Januari-2020-BPHN-16.21.pdf pada 15 Juni 2020

3

Page 6: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

undangan yang bersifat sederhana terkait dengan Penciptaan Lapangan Kerja yang mampu

menghasilkan pelayanan perizinan usaha yang mudah dan cepat, serta memperkuat usaha kecil

dan menengah termasuk koperasi. Secara sederhana, dapat dipahami tujuan utama dari

pembentukan regulasi untuk mewujudkan kehadiran hukum yang adil bagi seluruh rakyat

Indonesia. Pembentukan Rancangan Undang - Undang ini dilatarbelakangi dengan hadirnya

perubahan global yang perlu direspons secara cepat dan tepat, sehingga diperlukan perbaikan

kebijakan karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.3 Atas dasar hal tersebut,

dibentuklah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang merupakan inisiatif dari

Pemerintah dan dimasukkan ke dalam daftar Program legislasi nasional Rancangan Undang –

Undang Prioritas Tahun 2020.

Muatan dalam Omnibus Law Cipta Kerja ini mencakupi 1.244 pasal bersumber dari 79 undang-

undang yang dicoba untuk disederhanakan sehingga dapat dijadikan sebagai payung hukum

yang bersifat fleksibel. Perubahan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang meliputi sektor

tenaga kerja dan investasi yang terdiri atas 11 kluster, antara lain Kluster Penyederhanaan

Perizinan mencakupi 522 Undang - undang yang terdiri dari 770 pasal, Kluster Persyaratan

Investasi mencakupi 13 Undang - Undang yang terdiri dari 24 pasal, Kluster Ketenagakerjaan

mencakupi 3 Undang - Undang terdiri dari 55 pasal, kemudian Kluster Kemudahan,

Pemberdayaan, dan Perlindungan Usaha Kecil, Mikro dan Menengah mencakup 3 Undang -

Undang yang terdiri dari 6 pasal, Kluster Kemudahan Berusaha mencakupi 9 Undang – Undang

yang terdiri dari 23 pasal, Kluster Dukungan Riset & Inovasi mencakupi 2 Undang – Undang

terdiri dari 2 pasal, Kluster Administrasi Pemerintahan mencakupi 2 Undang - Undang terdiri

dari 14 pasal, Kluster Pengenaan mencakupi 49 Undang - Sanksi Undang terdiri dari 295 pasal,

Kluster Pengadaan Lahan mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 11 pasal, Kluster Investasi

dan Proyek Pemerintah mencakupi 2 Undang - Undang terdiri dari 2 pasal, dan Kluster

Kawasan Ekonomi mencakupi 5 Undang - Undang terdiri dari 38 pasal.4

Meskipun maksud dari pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja untuk

mencapai tujuan yang baik serta dalam kelanjutan prosesnya pun, draf telah diserahkan kepada

pihak Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, jika mengkaji secara mendalam terkait dengan

3 Shanti Dwi Kartika. “Politik Hukum Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja “, Pusat Penelitian

Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diakses dari

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XII-4-II-P3DI-Februari-2020-210.pdf pada 15

Juni 2020 4 Alfisyah Kumalasari. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Akan Berdampak Positif Bagi Ekonomi

Indonesia”. Diakses dari https://www.suaradewata.com/read/202002020002/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-

akan-berdampak-positif-bagi-ekonomi-indonesia.html pada 20 Juni 2020.

4

Page 7: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

muatan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, masih didapati berbagai

permasalahan hukum di dalamnya sehingga membuat Rancangan Undang - Undang Cipta

Kerja ini perlu untuk dikaji ulang. Salah satu permasalahan yang ada yaitu banyaknya jumlah

peraturan yang termuat dalam pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terdiri

dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah. Hal ini

menunjukkan pembuat undang-undang tidak memperhatikan kondisi regulasi di Indonesia.

Dengan kata lain, Pemerintah seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia sedang

mengalami hiper regulasi.

Pada mulanya, maksud dari penggunaan teknik omnibus law ini sebagai momentum dalam

membenahi regulasi secara menyeluruh. Namun, pada kenyataannya pemerintah jelas terlihat

menambahi penyusunan regulasi. Sehingga, hal ini berlawanan dengan agenda reformasi

regulasi yang diumumkan oleh presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan

perundang – undangan di level pemerintah pusat. Berdasarkan Hasil penelitian Pusat Studi

Hukum dan Kebijakan menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 sampai dengan Oktober 2018,

ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang - Undang, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri.5

Rumusan Masalah :

1. Apa yang melatarbelakangi pembentukan RUU Ciptakerja?

2. Apa pembahuruan yang dihadirkan dalam RUU Ciptakerja dari regulasi yang sudah ada

sebelumnya?

3. Apakah Karakter Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Telah Menjamin Perlindungan

Tenaga Kerja?

4. Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Sudah Mengakomodasi

Permasalahan Ketenagakerjaan?

5. Bagaimana Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor

Ketenagakerjaan?

5 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. “Kajian Reformasi Regulasi Indonesia : Pokok Permasalahan dan

Strategi Penanganannya”. Diakses dari https://www.pshk.or.id/penelitian/kajian-reformasi-regulasi-di-indonesia-

pokok-permasalahan-dan-strategi-penanganannya/ pada 20 Juni 2020.

5

Page 8: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

II. Karakteristik Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam Menjamin

Perlindungan Tenaga Kerja

Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan oleh

pemerintah diharapkan dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang mengatur di bidang

ketenagakerjaan dan mempunyai tujuan yang luhur bagi tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut

dapat dilihat dalam Pasal 3 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang mengatur mengenai

tujuan diselenggarakan Undang - Undang ini untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-

luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan

perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta perkoperasian, peningkatan ekosistem

investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, investasi

Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.6 Tujuan Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja yang merupakan argumen politik para pembentuk undang - undang yang

dimuat dalam Pasal 3 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah terpapar sangat jelas dan

mempunyai tujuan yang baik. Pengamatan ini bersumber dari asumsi dasar yang menganggap

bahwa hukum merupakan produk politik dan dengan maksud untuk mengetahui karakter

produk hukum Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja maka difokuskan pada karakter

hukum responsif, seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, dan karakter hukum

ortodoks, seperti yang dikemukakan Marryman.7

Dalam mengetahui apakah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja berkarakter hukum

responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam kajian ini digunakan indikator untuk

menentukan karakter produk tersebut. Adapun indikator-indikatornya adalah sebagai berikut :

a. Proses pembuatan hukum

Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif,

yakni mengundang sebanyak banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok

sosial dan individu di dalam masyarakat, sedangkan proses pembuatan produk hukum yang

berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara

terutama pemegang kekuasaan eksekutif.8 Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-

6 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 8 7 Ujang Charda S., ”Reorientasi Reformasi Model Hukum Ketenagakerjaan dalam Kebijakan

Pemerintah”, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIV No. 1, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, Maret

2012, hlm. 9. 8 Moh. Mahfud MD., Politik ... Op. Cit., hlm. 26.

6

Page 9: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

undangan akan melalui tahapan yang telah ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undang.

Tahapan tahapan yang akan dilalui yaitu tahap perencanaan, tahap persiapan, tahap

pembahasan rancangan undang - undang, tahap pengesahan dan tahap pengundangan.

Perencanaan terhadap Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mulai muncul dari adanya

pembahasan terkait pembentukan produk ini sejak saat Presiden Jokowi Widodo dilantik kedua

kalinya menjadi Presiden Indonesia dalam periode 2019-2024.9 Beliau menyatakan dalam

sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat bahwa salah satu program kerja yang akan

dilakukan dalam periodenya adalah penyederhanaan regulasi dan penyiapan Omnibus Law.

Keberadaan omnibus law ini semakin menguat dengan beredarnya Siaran Pers Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12

Desember 2019. Siaran Pers tersebut menyebutkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

bersama Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 5 Desember

2019, telah menetapkan Rancangan Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. 10 Kemudian, terkait

dengan tahapan pembentukan peraturan perundang undangan secara umumnya dilaksanakan

oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam hal ini lembaga Dewan Perwakilan Rakyat

memiliki wewenang khusus menangani bidang legislasi, dan Pemerintah (Presiden) yang

dikoordinasikan oleh menteri yang memiliki tugas dan ranah tanggung jawabnya meliputi

bidang peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaan tahapan persiapan dan tahapan

pembahasan rancangan undang-undang, masyarakat seharusnya dapat berpartisipasi dan

bahkan berhak untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis.

Peran masyarakat sangat diperlukan dengan memberikan aspirasi yang dimiliki, baik secara

individu maupun kelompok, agar suatu peraturan perundang-undangan yang nantinya telah

disahkan dan diundangkan dapat berkarakter responsif atau sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Hal ini berdasarkan pada pernyataan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai

dengan kenyataan yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat. 11 Dalam tahapan

persiapan pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Badan Legislasi yang

9 Gede Arya. (2020, Februari 17). “RUU Cipta Kerja dan Problematika Tenagakerjaan”, Detik News.

Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada

15 Juni 2020 10 Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja”.

Diakses dari https://bahasan.id/wp-content/uploads/2020/02/NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-

20-Januari-2020-BPHN-16.21.pdf pada 15 Juni 2020 11 Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal

Hukum Bisnis, Volume 22 No. 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 43

7

Page 10: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

beranggotakan 80 orang berupaya membentuk Panitia Kerja yang beranggotakan sebanyak 40

orang. Namun, dalam pelaksanaan pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja,

kegiatan ini hanya dilakukan oleh Panitia Kerja. Di samping itu, pada saat pembahasan

berlangsung adanya konstituen yang tidak terwakili karena adanya 40 anggota Badan Legislasi

yang tidak masuk sebagai anggota Panitia Kerja.12 Pelaksanaan pembahasan yang dilakukan

oleh Panitia Kerja bertentangan dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang

Pembentukan Undang-Undang yang disahkan pada 2 April 2020, yang mengatur bahwa

pembahasan seluruh materi Rancangan Undang - Undang seharusnya dilakukan dalam rapat

kerja oleh alat kelengkapan atau Badan Legislasi. Pembahasan dapat dilakukan melalui Panitia

Kerja apabila ada substansi yang disetujui oleh Badan Legislasi.13

Panitia Kerja hanya memiliki satu wewenang yaitu melakukan pembahasan terhadap materi

tertentu dalam daftar inventaris masalah yang belum disepakati pada tingkat Badan Legislasi.

Pembahasan yang hanya dilakukan melalui Panitia Kerja dikhawatirkan dapat menutup ruang

dialog yang lebih luas di antara seluruh anggota Badan Legislasi yang seharusnya mengemban

aspirasi konstituennya. Ruang diskusi dan aspirasi dalam membahas materi Rancangan

Undang - Undang dapat semakin terbatas, jika hanya dilakukan dalam lingkup Panitia Kerja.

Situasi ini dapat berpotensi terhadap munculnya ketertutupan proses dan minimnya informasi

untuk publik. Praktik seperti ini dikhawatirkan dapat membuat pembahasan Rancangan -

Undang Cipta Kerja semakin elitis dan eksklusif. 14 Dengan praktik pembahasan yang

dilakukan seperti berikut, Serikat Buruh merasa tidak dapat menerima muatan yang tercantum

dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja

Indonesia (KSPI), Said Iqbal dalam konferensi pers bertajuk MPBI Soal Omnibus Law dan

May Day 2020 menyatakan bahwa Serikat Buruh juga meminta kepada pemerintah

untukmenarik kembali Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja itu dari Dewan Perwakilan

Rakyat dan membahasnya ulang dengan melibatkan serikat buruh untuk masuk ke dalam tim

perumus Omnibus Law.15

12 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015. hlm. 12 13 M. Nur Sholikin. (2020, Juni 19). “Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR Tidak Representatif”,

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Diakses dari https://pshk.or.id/blog-id/proses-pembahasan-ruu-

cipta-kerja-di-dpr-tak-represen tatif/ pada 20 Juni 2020 14 M. Nur Sholikin. (2020, Juni 19). “Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR Tidak Representatif”,

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Diakses dari https://pshk.or.id/blog-id/proses-pembahasan-ruu-

cipta-kerja-di-dpr-tak-represen tatif/ pada 20 Juni 2020 15 Soraya Novika. (2020, April 29). “Buruh Minta RUU Cipta Kerja Ditarik dan Dibahas Ulang”, Detik

8

Page 11: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Setelah berbagai upaya kritik dan unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk serikat

buruh, Lembaga Tripartit berupaya membentuk Forum tripartit yang terdiri dari perwakilan

pekerja, pengusaha, dan pemerintah dalam membahas secara spesifik terhadap klaster

ketenagakerjaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Forum tripartit berlangsung selama

sembilan kali pada tanggal 8 - 23 Juli 2020. Pertemuan ini diselenggarakan untuk merumuskan

ulang isi pasal-pasal dalam kluster ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta

Kerja. Sebelum usulan terkait draf kluster ketenagakerjaan diserahkan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), keputusan terkait usulan pasal-pasal tersebut diserahkan kepada

pihak pemerintah. Pembahasan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja melibatkan enam

serikat pekerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin)

Indonesia, serta 10 kementerian dan lembaga pemerintah.16

Setelah usainya pelaksanaan forum tripartit ini, Pada 31 Juli 2020, Ketua Konfederasi Serikat

Pekerja Nasional (KSPN) Benny Rusli, menyatakan bahwa masih adanya perbedaan

fundamental antara sudut pandang serikat buruh dan pengusaha. Beberapa pasal yang dinilai

buruh mendegradasi hak dan kesejahteraannya justru dipandang pengusaha sebagai nilai

tambah untuk memperbaiki iklim berusaha dan menarik investasi di tengah pandemi. Oleh

karena itu, dalam pembahasan yang berlangsung selama dua pekan terakhir, sejumlah pasal

krusial yang menjadi sorotan pekerja tidak semuanya disepakati oleh perwakilan pengusaha.

Keputusan akhir dari pembahasan forum tripartit ini diserahkan kepada pemerintah untuk

dirumuskan dengan redaksional terkait tiap pasal dari masukan kedua buruh dan pengusaha.

Usulan terkait draf akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada pekan selanjutnya

usai dilakukan pelaksanaan forum tripartit terkait pembahasan Rancangan Undang Undang

Cipta Kerja Sektor Ketenagakerjaan.

Pada awal pembahasan produk hukum ini, Pemerintah memang dianggap menutupi informasi

terkait Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Praktek awal pembahasan

produk hukum ini juga bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik dan Asas Keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang –

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Fincance. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4995816/buruh-minta-ruu-cipta-kerja-

ditarik-dan-dibahas-ulang pada 1 Juli 2020 16 Agnes Theodora. (2020, Agustus 1). “Buruh dan Pengusaha Belum Satu Kata”, Kompas Bebas.

Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/ekonomi/2020/08/01/buruh-dan-pengusaha-belum-satu-kata/ pada 1

Agustus 2020

9

Page 12: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019.17 Namun, setelah

dilakukan upaya pelaksanaan Forum Tripartit dalam pembahasan Rancangan Undang –

Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan yang melibatkan perwakilan pekerja, pengusaha,

dan pemerintah, hal ini perlu diberikan apresiasi karena pemerintah telah mulai menyadari

bahwa pembahasan yang dilakukan secara tertutup dapat berdampak buruk pada muatan

peraturan yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi yang ada. Ketua Koordinator

Advokasi BPJS juga mengatakan peran masyarakat dianggap penting untuk memastikan

produk Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, agar tidak bertentangan dengan konstitusi.18

Dari uraian di atas dapat diringkas, bahwa dalam proses pembentukan Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja, pemerintah telah berusaha bersifat partisipatif. Pihak Pemerintah yakni

10 Kementerian dan Lembaga Pemerintah telah berusaha mendengar masukan dari berbagai

pihak dan turut serta dalam Forum Tripartit yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui

kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat seperti Serikat Buruh yang

membawa aspirasi kaum buruh secara umum dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

b. Sifat fungsi hukum

Dilihat dari fungsinya, maka hukum yang berkarakter responsif juga bersifat aspiratif. Hal

ini mengartikan bahwa hukum tersebut memuat materi-materi yang secara umum sesuai

dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayani. Sehingga produk hukum tersebut

dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat, sedangkan hukum yang

berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Positivis - instrumentalis memuat arti

yaitu bahwa hukum tersebut memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik

pemegang kekuasaan atau memuat materi sebagai alat untuk mewujudkan kehendak dan

kepentingan program pemerintah.19 Dari sudut pandang kaum buruh, beberapa materi yang

termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dianggap tidak bersifat aspiratif,

karena tidak sesuai dengan kehendak buruh yang dilayani. Hal ini dapat terlihat dari berbagai

alasan yang dimiliki kaum buruh dalam menolak undang undang tersebut antara lain, Pertama,

adanya kritikan buruh terhadap Pasal 88 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja.

17 Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019 18 18 Dewi Rina Cahyani. (2020, Februari 17). “DPR Didesak Libatkan Buruh Bahas Ruu Cipta Kerja”.

Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1308449/dpr-didesak-libatkan-buruh-bahas-ruu-cipta-kerja 27 Juli 2020 19 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015.hlm. 12

10

Page 13: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dengan Ketentuan mengenai pengupahan lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 mengatur mengenai Upah Minimum Sektoral dapat

didasarkan pada wilayah provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum

berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral).

Namun, berbagai ketentuan mengenai pengupahan yang telah disebutkan sebelumnya tidak

lagi berlaku dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Dampak yang kelak terjadi

apabila produk hukum ini disetujui tanpa dikaji kembali akan mengakibatkan hilangnya Upah

Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang

pada akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Pada

kenyataannya selama ini sistem pengupahan yang berlaku berdasarkan Pasal 46 ayat 2 dan

Pasal 49 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengatur

mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral Provinsi harus lebih

tinggi dari Upah Minimum Provinsi di provinsi yang bersangkutan.

Salah satu penerapan terkait pemberian upah yang berlangsung seperti di Jawa Barat dimana

Upah Minimum Provinsi nya sebesar Rp 1,8 juta. Sementara Upah Minimum Kabupaten/Kota

yang diberikan di Kabupaten-Kota Bekasi saat ini sebesar Rp 4 juta dan untuk Upah Minimum

Kabupaten/Kota di daerah Kabupaten Karawang sebesar Rp 4,5 juta.20 Berlakunya Rancangan

Undang - Undang ini, dikhawatirkan dapat menurunkan upah yang diberikan pada buruh.

Dalam menjawab alasan pemberian upah berdasarkan Upah Minimum Provinsi, Menteri

Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa maksud dari dilakukannya sistem

pengupahan tersebut yaitu agar tidak terjadinya kesenjangan upah antar kabupaten/kota.21

Kritikan kedua yang diajukan oleh buruh antara lain terhadap ketentuan mengenai hak uang

atau pesangon buruh saat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diatur dalam Pasal 161-172

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 22 Dalam draft awal

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang disusun pemerintah menghapus ketentuan pasal

Ketentuan Pasal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 Undang -

Undang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua

20 Cantika Adinda Putri. (2020, Februari 16) . “Termasuk Soal Pesangon, Ini 9 Alasan Buruh Tolak RUU

Ciptaker”. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200216192806-4-138248/termasuk-soal-

pesangon-ini-9-alasan-buruh-tolak-ruu-ciptaker pada 28 Juli 2020 21 Vadhia Lidyana. (2020, Februari 24). “Utak Atik Aturan Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja”.

Diakses dari https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-4911651/utak-atik-aturan-ketenagakerjaan-di-ruu-

cipta-kerja/2 pada 28 Juli 2020 22 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 161-172

11

Page 14: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

kali lipat. Hal ini berlaku bagi pekerja yang mundur dari pekerjaan (resign), sehingga tidak bisa

meminta uang penggantian hak. Hal ini juga berlaku pada ahli waris pekerja yang meninggal

sehingga tidak bisa mendapat hak pesangon pekerja bersangkutan. Selain itu, hak pesangon

dua kali bagi pekerja yang sakit berkepanjangan dan cacat akibat kecelakaan kerja serta

mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja akibat kondisinya juga dihapus.

Kritikan ketiga yang diajukan oleh buruh yaitu adanya Penghapusan Batas Waktu Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu. Sebelumnya, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengubah

ketentuan yang termuat dalam Pasal 59 ayat (4) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas

jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh

diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.23 Perubahan yang

dilakukan terhadap ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tidak dibatasi oleh Undang - Undang sebagaimana tertera

dalam Pasal 56 ayat (3) Undang - Undang a quo.24 Dapat disimpulkan secara tidak langsung

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu dan menyerahkan kelanjutan dalam pengaturan serta kesepakatannya secara

langsung kepada para pihak. Penyerahan kelanjutan pengaturan kepada para pihak dapat

mengurangi peran pemerintah dalam mengintervensi jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu. Penghapusan ketentuan mengenai kemungkinan perubahan PKWT (Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu) menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja

tetap) dikhawatirkan dapat memberi dampak langsung yaitu semakin menjamurnya jenis

pekerja kontrak, sehingga membuat buruh berpotensi dikontrak terus menerus untuk jangka

waktu yang lama tanpa kejelasan status bekerja tetap.

Kritikan keempat yang diajukan oleh buruh yaitu adanya penghapusan ketentuan materiil

dalam pasal 64 dan 65 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang telah mengatur secara khusus

dan mendetail mengenai perihal alih daya atau outsourcing. 25 Sebelumnya, Alih Daya

memiliki pengertian yaitu bentuk hubungan kerja yang pekerja/buruhnya tidak berada dibawah

tanggung jawab perusahaan yang berkepentingan langsung sebagai pihak pertama namun

diperoleh melalui kontrak dari suatu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berbadan

hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.26

23 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat (4) 24 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 56 ayat (3) 25 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dan 65 26 Vide Pasal 64, 65, dan 66, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

12

Page 15: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Menurut penuturan dari Professor Ari, hanya ada 5 jenis pekerjaan di Indonesia yang

dilegalkan untuk menjalankan alih daya, yakni cleaning service, jasa pengamanan, catering,

jasa pertambangan, dan jasa transportasi.27 Ditambah dalam Pasal 66 Ayat 1 Undang - Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan kejelasan terkait pekerjaan yang

dapat dilakukan yakni tidak boleh merupakan pekerjaan pokok atau pekerjaan yang

berhubungan langsung dengan proses produksi. 28 Sementara dalam muatan Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja ini menghadirkan bentuk hubungan kerja alih daya sebagai jenis

pekerjaan yang semakin legal untuk dijalankan di Indonesia yang terlihat dengan

dihilangkannya ketentuan materiil pasal 64 dan 65 Undang - Undang Ketenagakerjaan yang

telah mengatur secara khusus dan mendetail mengenai perihal alih daya.

Aturan mengenai outsourcing dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja hanya diatur

pada satu pasal yaitu pada Pasal 66.29 Pada pasal a quo diberlakukan aturan yang lebih general

sehingga bersifat lebih fleksibel. Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja juga tidak

menyebutkan jenis pekerjaan serta waktunya sehingga penggunaan pekerja dari perusahaan

penyedia jasa buruh ini bisa meliputi semua jenis pekerjaan serta waktunya. Dalam menilik

materiil yang ada di dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terkait pengaturan Alih

Daya atau Outsourcing dapat menimbulkan kekhawatiran karena pembatasan dalam

pengaturan alih daya menjadi tidak jelas dan bisa menyebabkan bentuk hubungan kerja alih

daya menjangkau pekerjaan pokok. Melalui bentuk Omnibus Law yang seperti berikut, hal ini

dapat disimpulkan bahwa pemerintah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk lebih

fleksibel dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja terutama melalui mekanisme alih daya

(outsourcing). Hal ini dapat menimbulkan tidak adanya perlindungan terhadap pekerja alih

daya. Tanpa batasan jenis pekerjaan yang dialihdayakan, hal ini dapat memberikan keleluasan

bagi perusahaan dalam merekrut pekerja alih daya dengan upah yang lebih murah dan

perjanjian kerja yang bersifat fleksibel.

Kritikan terakhir yang diajukan oleh buruh terhadap Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

tertuju pada muatan menghilangnya konsepsi mendasar mengenai PHK (Pemutusan Hubungan

Kerja). Sebelumnya, dalam regulasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, termuat empat

pasal yang memiliki permasalahan terkait dengan konsep Pemutusan Hubungan Kerja.

Permasalahan pertama, termuat dalam Pasal 151 ayat (1) Undang Undang tentang

27 Ari Hernawan, Loc. Cit. 28 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 66 Ayat (1) 29 Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terkait Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan Pasal 166

13

Page 16: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Ketenagakerjaan berbunyi “pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan

pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan

hubungan kerja”.30 Kemudian, dilakukannya perubahan atas muatan pada pasal tersebut dalam

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja

dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”31 Implikasi

dari perubahan pasal ini dapat menghilangkan pemerintah dalam mengupayakan tidak

terjadinya pemutusan hubungan kerja, sehingga pemutusan hubungan kerja menjadi hal yang

bersifat privat, dimana seluruhnya diserahkan kepada kesepakatan antara pekerja dan

pengusaha.32

Permasalahan kedua terkait pemutusan hubungan kerja juga termuat dalam Pasal 152 ayat (2)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang memiliki bunyi “Dalam hal kesepakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja

dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”33 Pasal ini dianggap membingungkan dan tidak

tegas dalam mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja

melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan mengikuti

ketentuan peraturan perundang - undangan, hal ini menandakan secara spesifik dalam

penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengikuti ketentuan hukum acara perdata. Hal

ini dapat memperburuk keadaan jika pekerja tidak mengikuti pendidikan fakultas hukum. Asas

mudah dan cepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seolah menjadi jargon

yang tidak menyentuh dasar. Dengan bunyi yang termuat pada pasal 152 ayat (2) tersebut,

Pemerintah dalam maksud menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dianggap tidak

memaksimalkan peran Mediator Hubungan Industrial sebagai pihak pertama yang seharusnya

memiliki wewenang terlebih dahulu. Hal ini dapat menjadi kendala paling utama bagi tenaga

kerja dalam membela dirinya saat berselisih.34

Permasalahan ketiga terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 151 A

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pada muatan Pasal 151 A tercantum beberapa

30 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 171 Ayat (1) 31 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terkait Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2002 Tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 171 Ayat (1) 32 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker 33 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 152 Ayat (2) 34 Gede Arya Wiryana. (2020, Februari 2017) . “RUU Cipta Kerja dan Problematika Ketenagakerjaan”.

Diakses dari (https://news.detik.com/kolom/d-4902062/ruu-cipta-kerja-dan-problematika-ketenagakerjaan pada

10 Juli 2020

14

Page 17: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

ketentuan yang mengalami permasalahan mengenai pengusaha dalam melakukan Pemutusan

Hubungan Kerja tidak perlu melalui kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dalam hal perusahaan tersebut tutup dikarenakan keadaan memaksa (force

majeur); atau perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.

Pengecualian Pemutusan Hubungan Kerja tidak pernah diatur dalam Pasal 154 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 35 Hal ini dapat menimbulkan

Pemutusan Hubungan Kerja yang baru, terutama pada perusahaan yang sedang mengalami

pailit.36

Permasalahan keempat yang selanjutnya muncul terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat

dalam Pasal 156 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pasal ini menghapus kewajiban

perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak yang sebelumnya termuat dalam Undang

- Undang Ketenagakerjaan. Pasal ini juga menghapuskan ketentuan spesifik mengenai

kompensasi untuk setiap alasan pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya termuat dalam

Undang - Undang Ketenagakerjaan Pasal 161 sampai 165. Pasal ini juga mengurangi

perhitungan maksimum uang penghargaan kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat

3 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya uang

penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya

24 tahun atau lebih.37 Perubahan dari pasal tersebut yang termuat dalam dalam Rancangan

Undang – Undang Undang Cipta Kerja menjadi maksimal uang penghargaan yang dapat

diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih. Jika

ditelaah lebih lanjut, Konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang termuat dalam Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja lebih memudahkan prosedural terjadinya Pemutusan Hubungan

Kerja pada tenaga kerja.

Berbagai kritikan terhadap materi muatan Undang - Undang Ketenagakerjaan yang diajukan

oleh kaum buruh dipandang sebagai peraturan yang merefleksikan visi sosial dan politik

pemegang kekuasaan, sehingga muatan dalam peraturan tersebut merupakan alat untuk

mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah. Pemerintah memang telah

menyatakan bahwa dalam pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terfokus pada

tujuan utama yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut diatur lebih lanjut dalam ketentuan pada Pasal 88

35 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 151 A 36 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker 37 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156 Ayat 3

15

Page 18: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pengaturan baru dalam

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ditujukan untuk menguatkan perlindungan dan

meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi. 38 Hal ini dapat

menyiratkan bahwa investasi dan pembangunan ekonomi merupakan hal paling utama dalam

pembangunan negara Indonesia. Selanjutnya, dalam muatan Rancangan Undang - Undang

Cipta Kerja khususnya sektor ketenagakerjaan dianggap memang telah banyak mengatur

mengenai efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

Namun dalam muatan regulasi tersebut dianggap belum membuat peraturan baru yang

berkaitan dengan peningkatan kompetensi pekerja. Hal ini tidak menunjukkan keselarasan

dengan tujuan yang diniatkan pemerintah dalam menekankan penciptaan lapangan kerja.

Seharusnya dalam mencapai tujuan penciptaan lapangan kerja yang baik, pemerintah perlu

melakukan upaya yang selaras dalam meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja di

Indonesia. Dalam pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang bertujuan awal

untuk melindungi hak para pekerja, dianggap membuat pasal spesifik pada sektor

ketenagakerjaan ini sendiri pun terabaikan. Terjadinya hal ini disebabkan terlalu fokusnya

pemerintah terhadap kebutuhan investasi dan ekonomi. Pada kenyataannya, dalam hubungan

industrial yang termuat dalam Pancasila terkait tindakan memberikan perlindungan bagi para

pekerja merupakan bentuk keharusan yang merupakan tanggung jawab pihak pemerintah.39

Dari uraian-uraian di atas, kaum buruh berpandangan, bahwa sifat fungsi Rancangan Undang

- Undang Cipta Kerja tidak bersifat aspiratif, sebab sifat fungsinya secara umum bertentangan

dengan kehendak yang dimiliki masyarakat.

c. Kemungkinan penafsirannya

Dilihat dari segi penafsiran, maka produk hukum yang berkarakter responsif biasanya

memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui

berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal

yang benar - benar bersifat teknis. Sedangkan untuk produk hukum yang berkarakter ortodoks

memberikan peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi

dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak

sekedar masalah teknis. Produk hukum ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat

dan pokok – pokok saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk

38 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 39 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker.

16

Page 19: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.40 Dalam Isi Produk Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja terdiri dari 11 Kluster dan 1.244 pasal yang bersumber dari 79 undang-

undang yang disederhanakan. Pembahasan terkait sektor ketenagakerjaan di dalam Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja bersumber dari 3 Undang - Undang yang terdiri dari 55 Pasal.41

Dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik Kluster Ketenagakerjaan

ditemukan suatu pasal yang bersifat multitafsir. Pasal tersebut yaitu Pasal 93 ayat (2)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sebagai pengubah Pasal 93 Undang - Undang

Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas “no work no pay”. 42 Pasal 93 ayat (2)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah

apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena

berhalangan”. Pasal ini mendapatkan kritikan dikarenakan tidak adanya penjelasan lebih lanjut

mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata “berhalangan” memiliki arti

yang sangat luas. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam

pemberian hak cuti bagi pekerja. Selain itu jika kata “berhalangan” diinterpretasikan secara

bebas dianggap bisa menyebabkan perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin.43

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa jika dilihat dari segi penafsiran, maka suatu produk

hukum yang berkarakter responsif biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk

membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit

dan itupun hanya berlaku terhadap hal yang betul bersifat teknis. Sedangkan, pada produk

hukum yang berkarakter ortodoks memberi peluang yang luas kepada pemerintah untuk

membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi

sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Produk hukum ortodoks biasanya

cenderung memuat materi singkat dan pokok pokok saja untuk kemudian memberi peluang

yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya. 44

Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberikan peluang yang besar kepada

pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang

40 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015. hlm. 12 41 Alfisyah Kumalasari. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Akan Berdampak Positif Bagi Ekonomi

Indonesia”. Diakses dari https://www.suaradewata.com/read/202002020002/omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-

akan-berdampak-positif-bagi-ekonomi-indonesia.html pada 20 Juni 2020. 42 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2) 43 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kertas Kebijakan… 44 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015.

17

Page 20: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Hal tersebut dapat

dilihat dengan banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

yang berjumlah 43 aturan turunan dengan rincian 36 Rancangan Peraturan Pemerintah dan 7

Rancangan Peraturan Presiden.45 Banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja membuktikan, bahwa dengan lahirnya Rancangan Undang - Undang Cipta

Kerja memberikan peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi

dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak

sekedar masalah teknis.

Dengan menggunakan tiga indikator, yaitu proses pembuatan, sifat fungsi produk hukum, dan

kemungkinan penafsiran, maka dapat diketahui apakah suatu produk hukum berkarakter

responsif ataukah ortodoks. Indikator pertama, yaitu proses pembuatan. Di atas telah

dikemukakan, bahwa proses pembuatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja telah

bersifat partisipatif yang menunjuk pada Pihak Pemerintah yakni 10 Kementerian dan Lembaga

Pemerintah telah berusaha mendengar masukan dari berbagai pihak dan turut serta dalam

Forum Tripartit yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial

dan individu di dalam masyarakat seperti Serikat Buruh yang membawa aspirasi kaum buruh

secara umum dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamar Dagang dan Industri (Kadin)

Indonesia. Indikator kedua yaitu sifat fungsi produk hukum, bahwa sifat fungsi dari Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja adalah tidak aspiratif, sebab sifat fungsinya secara umum

bertentangan dengan dengan kehendak-kehendak atau aspirasi masyarakat.46

Sementara itu, indikator ketiga, yaitu kemungkinan penafsiran, bahwa dalam penjelasan dari

Rancangan Undang - Undang tersebut terdapat suatu muatan pasal yang dapat menimbulkan

multitafsir. Pasal tersebut yaitu Pasal 93 ayat (2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja

dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.”47 Hal yang menjadi kritikan dalam

pasal pengubah ini yakni tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”.

Sebagaimana diketahui bahwa kata “berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Maka dari

itu dapat disimpulkan dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik

45 Asteria Desi Kartika Sari. (2020, 5 Maret). “Aturan Pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja Sudah

Disiapkan”. Diakses dari https://kabar24.bisnis.com/read/20200305/15/1209686/aturan-pelaksanaan-omnibus-

law-cipta-kerja-sudah-disiapkan pada 27 Juli 2020 46 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015. 47 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2)

18

Page 21: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Ketenagakerjaan membuka peluang terjadinya multi tafsir dari berbagai pihak, dan juga dengan

banyaknya peraturan pelaksanaan dari Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja,

membuktikan, bahwa dengan lahirnya Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja memberi

peluang yang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai

peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah

teknis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

dipandang dari segi proses pembentukannya sudah mulai bersifat partisipatif. Jika produk

hukum ini dipandang dari segi muatannya dan segi kemungkinan penafsirannya merupakan

suatu produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.

19

Page 22: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Bab II : Isi

III. Apakah Keberadaan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Sudah Cukup

Mengakomodasi Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia?

Pembentukan suatu peraturan undang - undangan terkait sektor ketenagakerjaan bertujuan

untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada tenaga kerja.48 Maksud dari kehadiran

produk hukum ini juga menuju pada sasaran utama yaitu untuk menunjang pembangunan

terhadap aspek ketenagakerjaan. Dalam pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang

berlangsung di Indonesia harus berdasarkan landasan filosofis, yakni Pancasila, kemudian

berlandaskan yuridis konstitusional, yakni Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar

serta berlandaskan yuridis operasional, yakni peraturan perundang undangan yang berkaitan

dengan bidang ketenagakerjaan sebagai dasar hukumnya. Di samping itu tidak kalah penting,

pembangunan ketenagakerjaan juga harus berlandaskan sosiologi yang berarti pembangunan

tersebut harus sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat sehingga dapat

menampung segala kenyataan hidup masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan

ketenagakerjaan dilaksanakan tidak hanya tersasar pada kebutuhan satu pihak, namun dalam

pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan tersasar pada kebutuhan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan

ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang

sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spirituil.49

Dengan maksud memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap aspek ketenagakerjaan,

pemerintah pun terlibat secara langsung dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk

menunjang pencapaian tujuan tersebut, pemerintah telah banyak membentuk kebijakan khusus

dalam peraturan perundang - undangan dan peraturan pelaksanaannya terkait sektor

ketenagakerjaan seperti Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan

beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional, dan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan Undang -

Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang - Undang Pengawasan

48 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 49 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015.

20

Page 23: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia. 50

Memperhatikan uraian tersebut, penulis berusaha mengkaji secara mendalam terhadap

kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan. Penulis juga akan

mengkaji Apakah dengan kehadiran produk hukum ini dapat mengakomodasi permasalahan

ketenagakerjaan yang berlangsung di Indonesia serta sudahkah kehadiran produk hukum ini

benar - benar memenuhi hak yang dibutuhkan keseluruhan masyarakat Indonesia secara

merata?

Dalam pemaparan sebelumnya, Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini

ditujukan untuk menjadi jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dalam mendapatkan

hak-hak normatif yang berarti tenaga kerja mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinya

beserta keluarga. Hal ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mewujudkan pengaturan

hak-hak normatif bagi tenaga kerja dengan adil. Salah satu istilah yang sering terdengar dalam

penjaminan hak - hak normatif pekerja yaitu adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan

perusahaan yang mempekerjakan. Perlindungan hak normatif dalam hubungan pekerjaan

tersebut mengartikan bahwa hak dasar pekerja dalam menjalin hubungan kerja dilindungi dan

dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga sebaliknya berlaku bagi

perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak-hak normatif pekerja

dalam setiap pemberian kerja, dimana hal ini dilindungi dan dijamin dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta berada di bawah pengawasan pemerintah dalam hal

ini Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang untuk itu.51

Pemenuhan hak normatif bagi tenaga kerja secara umum memiliki arti yaitu adanya

perlindungan dan penjaminan bagi hak yang dimiliki tenaga kerja disertai adanya kewajiban

yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi dan mentaati hak normatif dalam setiap pemberian

kerja bagi tenaga kerja dalam peraturan perundang - undangan yang berlaku yaitu Peraturan

Perundang - Undangan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama.

Hak normatif ini dalam implementasinya menjadi instrumen sebagai proteksi terhadap adanya

upaya eksploitasi terhadap pekerja yang memiliki potensi untuk muncul dan berkembang

dalam kondisi dimana para pihak kurang atau tidak memahami hak – hak normatif tersebut.

Dalam menjamin perlindungan hukum secara merata bagi masyarakat Indonesia, pemenuhan

50 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 51 Ujang Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Subang, Jawa Barat,

2015.

21

Page 24: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

hak normatif yang berlaku dapat terbagi menjadi 3 kategori yakni adanya pemenuhan hak

normatif pekerja bersifat sosial, pemenuhan hak normatif pekerja bersifat ekonomis, dan

pemenuhan hak normatif pekerja bersifat politis dan medis.52 Dalam kajian ini, penulis akan

melakukan perincian terhadap berbagai pemenuhan hak normatif tersebut. Pembahasan

pertama dimulai dari pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial.

Sebagai upaya dalam memberikan perlindungan tenaga kerja melalui aspek perlindungan

hukum, perlindungan sosial ekonomi dan perlindungan fisik teknik yang berkaitan dengan

keselamatan dan kesehatan kerja, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor

109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai Penjabaran Undang – undang Nomor

24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial / BPJS yang diadopsi sebagai

sumber bagi muatan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan. Dalam

Undang – Undang Nomor 24 tahun 2011 disebutkan bahwa setiap pekerja baik yang bekerja

pada Penyelenggara Negara (Calon Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Negeri Sipil, Anggota

Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pegawai Pemerintah non

Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Peserta Didik Polri dan Prajurit Siswa TNI) dan bukan

penyelenggara negara (Usaha Besar, Menengah, Kecil dan Mikro) wajib diikutkan dalam

Program Jaminan Sosial berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),

Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Di samping itu para pekerja dan pemberi

kerja juga wajib diikutkan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh

BPJS Kesehatan.

Berdasarkan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

memiliki arti sebagai badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan

sosial.53 Jaminan sosial disini memiliki arti yaitu salah satu bentuk perlindungan sosial untuk

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. 54

Dengan adanya keberadaan jaminan sosial bagi tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan tenaga

kerja menjadi tanggung jawab pemberi kerja karena pekerja relatif memiliki kedudukan yang

52 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 53 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, Pasal 1

Nomor (1) 54 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 1,

Nomor (2)

22

Page 25: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

lebih lemah dibandingkan pemberi kerja. 55 Perlindungan kebutuhan tersebut diharapkan

mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil

produksi perusahaan. Dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional, BPJS/ Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial bersandarkan pada berbagai prinsip disertai upaya

implementasinya yang positif.

Perincian prinsip tersebut antara lain kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati - hatian,

akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, serta hasil pengelolaan

dana jaminan nasional.56 Pembahasan pertama dimulai dari prinsip kegotongroyongan yang

memiliki arti prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan

Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan

tingkat gaji, upah atau penghasilannya. Kemudian, adanya Prinsip nirlaba yaitu prinsip

pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Lalu, adanya Prinsip keterbukaan

yaitu prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana

untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Selanjutnya, Prinsip kehati-

hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib. Lalu, Prinsip

akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, Prinsip portabilitas yaitu prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meski

peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah NKRI. Kemudian, Prinsip

kepesertaan bersifat wajib merupakan prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi

Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. Terakhir, Prinsip dana amanat

adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk

digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Peserta Jaminan Sosial.57 Mengenai Tujuan dari

pembentukan BPJS secara umum yaitu untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian

jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan atau anggota

keluarganya. Mengenai kategori BPJS, berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang - Undang Nomor

24 Tahun 2011 terbagi menjadi 2 Jenis yakni BPJS Kesehatan yang berfungsi untuk

menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan berfungsi

menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program

55 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 56 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 4 57 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 4

23

Page 26: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

jaminan pensiun, dan jaminan hari tua. Dalam mendukung program jaminan pensiun, sesuai

dengan muatan dalam Undang Undang Nomor. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, setiap

perusahaan diwajibkan memasukkan para pekerja dalam program dana pensiun.58

Dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap hak normatif sosial secara merata,

pengaturan terkait upah bagi tenaga kerja pun perlu diperhatikan. Sebelum berlakunya

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, dalam Pasal 88 ayat (4) Undang Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pemerintah menetapkan upah

minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan

pertumbuhan ekonomi.59 Upah minimum terdiri atas upah minimum Kabupaten / Kota dan

Provinsi. Upah minimum hanya berlaku untuk pekerja / buruh yang bekerja di perusahaan

dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Adanya kelayakan kebutuhan hidup yang

dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum yaitu standar kebutuhan seorang pekerja /

buruh lajang untuk dapat hidup secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Upah minimum

berlaku untuk semua jenis dan skala usaha. Pengaturan terkait upah juga terdapat dalam muatan

Produk Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, produk hukum ini

menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan akan

disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C yang memiliki bunyi yaitu

pada ayat (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman, kemudian pada

ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum

provinsi.60

Namun, dalam muatan Omnibus Law Cipta Kerja telah menghilangkan Upah Minimum

Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada

akhirnya berlaku yaitu pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Setelah pemaparan

terkait upah, dapat diketahui bahwa upah secara umumnya memang mempunyai fungsi

ekonomis, yaitu sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan, tetapi selain itu upah juga

mempunyai fungsi sosial dan fungsi insentif atau pendorong bagi pekerja untuk bekerja secara

produktif. Di beberapa perusahaan disediakan juga beberapa jenis fasilitas, seperti perumahan,

kendaraan, kupon bensin, antar jemput pegawai, makan siang, rekreasi pekerja, atau dalam

bentuk lain. Fasilitas tersebut pada dasarnya dapat dinilai dalam bentuk uang dan merupakan

tambahan penghasilan bagi pekerja.

58 Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun 59 Undang - Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 Ayat (4) 60 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 C

24

Page 27: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Setelah pembahasan terkait pemenuhan hak normatif sosial, selanjutnya juga dikenal istilah

terkait pemenuhan hak normatif ekonomis. Dalam pemenuhan hak normatif pekerja bersifat

ekonomis menunjuk pada hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan berdasarkan

perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 61 Dalam Pasal 50

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi menjadi

sumber muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa hubungan kerja

terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.62 Perjanjian kerja tersebut

dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Hubungan kerja tersebut merupakan sesuatu yang

bersifat abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan

adanya perjanjian kerja ini, akan timbulnya ikatan antara perusahaan dan tenaga kerja. 63

Dengan perkataan lain, ikatan ini timbul karena adanya perjanjian kerja, kemudian ikatan

tersebut dikenal sebagai hubungan kerja. Pasal 1 angka (14) Undang - Undang No. 13 Tahun

2003 menyebutkan “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja

(karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak

dan kewajiban para pihak”.64 Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak-pihak tidak

memenuhi dua syarat awal sahnya yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak cakap

untuk bertindak maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya apabila perjanjian

kerja dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir sahnya, yakni objek tidak jelas dan tidak

memenuhi ketentuan maka perjanjian kerja tersebut bersifat batal demi hukum.

Dalam muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja mengatur konsep hubungan kerja

terkait Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sebelumnya, Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja mengubah ketentuan yang termuat dalam Pasal 59 ayat (4)

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Perjanjian

kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling

lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling

lama 1 (satu) tahun”. 65 Perubahan yang dilakukan terhadap ketentuan Undang-Undang

Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tidak dibatasi

oleh Undang - Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) Undang - Undang a quo.

61 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 62 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50 63 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 64 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Angka (14) 65 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Pasal 59 Ayat (4)

25

Page 28: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Dapat disimpulkan secara tidak langsung Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkan

kelanjutan dalam pengaturan serta kesepakatannya secara langsung kepada para pihak.

Penyerahan kelanjutan pengaturan kepada para pihak dapat mengurangi peran pemerintah

dalam mengintervensi jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.66

Pembahasan pemenuhan hak normatif ketiga yaitu pemenuhan hak normatif politis.

Pemenuhan hak normatif politis menunjuk pada konteks pengusaha/perusahaan dengan pekerja

dibenarkan untuk membentuk lembaga kerjasama bipartit, tripartit dan peraturan perusahaan.

Pengaturan terkait konsep ketenagakerjaan bersandarkan pada landasan yang menggunakan

konstitusi tertulis Republik Indonesia yaitu Undang - Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar

dari Undang-Undang di bawahnya. Dalam Pasal 106 ayat 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan

yang diadopsi sebagai sumber muatan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang

menyebutkan lembaga kerjasama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi

sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.

Merujuk pada ayat 1 tersebut, memberikan kewajiban bagi setiap perusahaan yang

mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih membentuk lembaga kerjasama

bipartit.67

Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit terdiri dari unsur pengusaha dan unsur

pekerja yang ditunjuk oleh pekerja secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja di

perusahaan yang bersangkutan. 68 Pembentukan Lembaga Kerjasama Bipartit ini memiliki

beberapa tujuan yang ingin dicapai yakni terciptanya kedamaian, ketenangan dan ketentraman

kerja serta peningkatan kesejahteraan pekerja dan perkembangan perusahaan, lalu

berkembangnya motivasi bagi karyawan perusahaan untuk berpartisipasi sebagai partner

pengusaha di perusahaan, terciptanya ketenangan dan kelangsungan hidup usaha/produksi, dan

dapat meningkatkan produksi serta produktivitas kerja. Pengembangan lembaga bipartit sangat

penting untuk menciptakan kesempatan komunikasi secara langsung antara

pengusaha/perusahaan dan tenaga kerja atau wakil pekerja. Dengan cara ini dapat

menghindarkan adanya salah paham antara kedua belah pihak dan dapat ditingkatkan rasa

saling menghormati. Melalui kehadiran lembaga atau forum bipartit, tenaga kerja atau wakil

66 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker 67 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106 Ayat (1) 68 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106

26

Page 29: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

pekerja dapat diikutsertakan merumuskan kebijaksanaan dan memecahkan masalah yang

dihadapi dalam perusahaan.

Selain pembentukan lembaga kerjasama bipartit, dalam pemenuhan hak normatif politis juga

menunjuk pada pembentukan kerja sama lembaga tripartit antara pengusaha/perusahaan

dengan tenaga kerja. Hal ini dibenarkan dengan adanya pengaturan dalam Pasal 107 Undang

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diadopsi menjadi sumber

muatan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik Ketenagakerjaan.69 Dalam

muatan pasal tersebut berbunyi Lembaga kerjasama tripartit bertugas untuk memberikan

pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan

kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Keanggotaan lembaga tripartit terdiri dari

unsur pemerintah, organisasi, pengusaha dan serikat pekerja. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Lembaga Konsultasi, Komunikasi dan

Musyawarah antara wakil-wakil Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah untuk memecahkan

berbagai permasalahan yang timbul secara bersama-sama dalam bidang ketenagakerjaan.70

Terkait dengan Lembaga Kerjasama Tripartit, dalam Pasal 43 Ayat (1) Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja mengatur mengenai Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus yang

merupakan lembaga kerja sama tripartit yang berada dibawah Kawasan Ekonomi Khusus. Di

Kawasan Ekonomi Khusus, Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus sendiri dibentuk oleh

gubernur.71

Pembahasan terakhir dilakukan terkait dengan pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat

medis. Pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat medis menunjuk pada pelaksanaan

kesehatan kerja antara para pekerja dengan perusahaan yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2)

Undang - Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tiap - tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.72 Pemerintah juga telah menegaskan

dalam Pasal 9 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan - ketentuan Pokok

Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa tiap tenaga kerja berhak mendapat

perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta

perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama, dan Undang - Undang

69 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 107 70 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 71 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Terkait Kawasan Ekonomi Khusus, Pasal 43 72 Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2)

27

Page 30: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.73 Dalam muatan Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja spesifik Ketenagakerjaan, pemerintah telah mengadopsi sumber muatan

dari Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial /

BPJS terkait pemenuhan hak normatif pekerja yang bersifat medis.74 Dalam produk hukum

tersebut mengatur bahwa para pekerja dan pemberi kerja wajib diikutkan dalam Program

Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan merupakan

lembaga yang bertugas untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan mendasar bagi

seluruh rakyat Indonesia.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden

Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan juga mengatur mengenai ketentuan BPJS

bagi para pekerja. Dalam Pasal 6 Ayat (1) muatan Peraturan Presiden tersebut menyebutkan

Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia.75

Kemudian, dalam Pasal 11 ayat 1 Peraturan Presiden tersebut juga menyebutkan bahwa

pemberi kerja wajib mendaftarkan diri nya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan

kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. 76 Bagi tenaga kerja, BPJS Kesehatan

merupakan sebuah fasilitas yang diberikan oleh perusahaan yang mempekerjakan. Manfaat

BPJS Kesehatan bagi pekerja dapat memberikan jaminan terhadap kesehatan karyawan dan

dapat memberikan rasa aman bagi tenaga kerja. Sehingga dengan adanya BPJS Kesehatan

dapat membantu tenaga kerja dalam menghasilkan dan mempertahankan kinerja yang lebih

baik.

IV. Implikasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja terhadap Sektor

Ketenagakerjaan

Dengan harapan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas - luasnya bagi masyarakat

Indonesia, pemerintah berusaha merealisasikannya dengan membentuk produk Omnibus Law.

Salah satu produk hukum yang menerapkan teknik Omnibus law yakni Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja. Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja dilakukan

pemerintah dengan tujuan untuk mencapai peraturan perundang – undangan yang memudahkan

73 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga

Kerja, Pasal 9 74 Fleini Sampel, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Hak Normatif Pekerja Menurut UU Nomor

12 Tahun 2003”, Jurnal Lex Et Societatis, Volume 3 No. 9, 2015. 75 Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12

Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan , Pasal 6 Ayat (1) 76 Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12

Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan , Pasal 11 Ayat (1)

28

Page 31: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja. Adanya sasaran

pemerintah terhadap penciptaan lapangan kerja tersebut berdasarkan pada kondisi

ketenagakerjaan yang terjadi saat ini di Indonesia, bahwa terdapat kurang lebih 6,8 juta orang

yang belum mendapatkan pekerjaan atau sedang menganggur. Namun, setiap tahunnya

terdapat 2 juta angkatan kerja baru yang siap memasuki lapangan pekerjaan.77 Dengan melihat

pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir yaitu 5% dan 1%,

nyatanya dengan jumlah persentase pertumbuhan ekonomi tersebut hanya mampu menyerap

sebanyak 400 ribu pekerja. Maka dari itu pemerintah berharap dalam upaya pembentukan

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi

sebesar 6% per tahun sehingga dapat menyerap 6,8 juta masyarakat Indonesia di kondisi

pengangguran serta menyerap 2 juta angkatan kerja baru.78

Dalam menindaklanjuti proses pembentukan regulasi ini pun, pemerintah telah menyerahkan

surat dari presiden, naskah akademik, dan draf Omnibus Law Rancangan Undang - Undang

Cipta Kerja kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari 2020.79 Sebagai

bentuk konkret dari reformasi regulasi, Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang terfokus

pada peningkatan kemudahan investasi demi pertumbuhan ekonomi negara ini memuat 11

klaster, 15 bab, 174 pasal. Dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini termuat

berbagai pembaharuan atas undang - undang yang sebelumnya diubah, dihapus, atau ditetapkan

peraturan baru.80

Perincian atas berbagai pembaharuan pasal yang dihadirkan dalam pembentukan Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja antara lain terkhusus pada Kluster Ketenagakerjaan. Setidaknya

termuat beberapa pasal terkait ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta

Kerja yaitu perubahan pengaturan perlindungan tentang pekerja dengan perjanjian kerja

tertentu, hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan pada alih daya, kebutuhan layak

melalui upah minimum, pengaturan pemutusan hubungan kerja serta perizinan bagi tenaga

77 Giri Hartomo. (2020, Mei 10). “5 Fakta Terbaru soal Pengangguran di Indonesia, Jumlahnya Naik Jadi

6,8 Juta Orang”, OkeFinance. diakses dari https://economy.okezone.com/read/2020/05/08/320/2211090/5-fakta-

terbaru-soal-pengangguran-di-indonesia-jumlahnya-naik-jadi-6-8-juta-orang pada 18 Juli 2020. 78 Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma. (2020). “Selayang Pandang Omnibus Law”.

Diakses dari https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/SELAYANG%20PANDANG%20OMNIBUS%20LAW.pdf

pada 21 Juli 2020. 79 Haris Prabowo. (2020, Februari 12). “Draf dan Surpres Omnibus Law Cilaka Diserahkan ke DPR“.

Diakses dari https://tirto.id/draf-dan-surpres-omnibus-law-cilaka-diserahkan-ke-dpr-rabu-siang-eyuf pada 20 Juli

2020. 80 Ady Thea.(2020, Februari 14). “RUU Cipta Kerja di Mata Konsultan Ketenagakerjaan”. Diakses dari

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e466978a3c7f/ruu-cipta-kerja-di-mata-konsultan-ketenagakerjaan/

pada 20 Juli 2020

29

Page 32: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

kerja asing yang memiliki keahlian tertentu. Sebelumnya termuat dalam Pasal 88 Rancangan

Undang - Undang Cipta Kerja yang mengatur dalam rangka penguatan perlindungan kepada

tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi,

maka dihadirkan pengubahan, penghapusan, serta penetapan peraturan baru atas beberapa

ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional, dan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial.81

Pembaharuan pasal pertama yang dihadirkan dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

bersumber dari Pasal 79 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Pembaharuan yang dihadirkan di dalamnya antara lain hilangnya pencantuman batas minimal

istirahat panjang bagi pekerja/buruh dalam ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.82 Awal mulanya, bunyi dari Pasal 79 ayat (2) huruf b

Undang - Undang Ketenagakerjaan yaitu “istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan

dilaksanakan pada tahun ketujuh dan ke delapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh

yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama

dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2

tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.” Akan tetapi

dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang

- Undang Ketenagakerjaan tidak lagi diatur secara jelas. Pasal 79 ayat (5) Rancangan Undang

- Undang Cipta Kerja hanya mengatur mengenai cuti panjang yang diatur melalui perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sehingga kekuatan mengikatnya

bersifat sangat lemah dibandingkan jika diatur dalam undang-undang. 83 Implikasi akan

pembaharuan ini antara lain jika dilihat dari sudut pandang psikologis, sangat memungkinkan

pekerja/buruh dalam membuat suatu perjanjian kerja mengalami tekanan psikologis sehingga

dalam pengambilan keputusannya tidak sesuai kehendak yang sebenarnya berasal pekerja atau

buruh itu sendiri, terutama dalam hal meminta kebijakan pemberi kerja untuk dicantumkan

batasan waktu istirahat panjang.84

81 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 88 82 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 79 83 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 79 Ayat (5) 84 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker.

30

Page 33: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Selanjutnya, pembaharuan kedua yang dihadirkan dalam Rancangan Undang – Undang Cipta

Kerja bersumber dari Pasal 42 ayat (1) Undang - Undang Ketenagakerjaan. Pembaharuan ini

menimbulkan hilangnya kewenangan Menteri atau pejabat negara yang ditunjuk untuk

memberikan izin bagi pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA).

Kemudian pembaharuan ini memudahkan akses bagi Tenaga Kerja Asing karena setiap

perusahaan sponsor Tenaga Kerja Asing hanya membutuhkan Rencana Penggunaan Tenaga

Kerja Asing (RPTKA).85 Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018

Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing setidaknya diatur 2 kewajiban bagi pemberi kerja

dan Tenaga Kerja Asing yakni memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan Visa

Tinggal Terbatas (Vitas).86 Awal mulanya, bunyi dari Pasal 42 ayat (1) Undang - Undang

Ketenagakerjaan adalah “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib

memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.”. Namun setelah dilakukan

pembaharuan dalam RUU Cipta Kerja, bunyi Pasal 42 ayat (1) Undang – Undang

Ketenagakerjaan diubah menjadi “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja

asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah

Pusat.” Implikasi yang timbul dari adanya pembaharuan ini adalah tidak ada lagi mekanisme

perizinan yang kompleks bagi Tenaga Kerja Asing sebagaimana ketentuan yang termuat dalam

Undang - Undang Ketenagakerjaan sebelumnya. Hal tersebut juga akan berimplikasi terhadap

tidak digunakannya lagi Visa Tinggal Terbatas dalam mekanisme perekrutan Tenaga Kerja

Asing, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 20

Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing bahwa “Setiap Tenaga Kerja Asing yang

bekerja di Indonesia wajib mempunyai Vitas untuk bekerja.” Dan “Vitas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dimohonkan oleh Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing atau Tenaga

Kerja Asing kepada menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak

asasi manusia atau pejabat imigrasi yang ditunjuk.”87 Dengan adanya pembaharuan dalam

Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja, ketentuan ini akan memudahkan akses masuknya

Tenaga Kerja Asing di Indonesia, sedangkan masih adanya kompleksitas permasalahan tenaga

kerja lokal yang belum terselesaikan.88

85 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 42 Ayat (1) 86 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing 87 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Pasal 17 ayat (1)

dan (2) 88 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker

31

Page 34: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Pembaharuan ketiga yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yaitu

adanya perubahan mengenai Ketentuan Upah Minimum. Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Ketentuan

mengenai pengupahan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015

mengatur mengenai Upah Minimum Sektoral dapat didasarkan pada wilayah provinsi (UMP)

atau kabupaten/kota (UMK), serta upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi

atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral). 89 Namun, berbagai ketentuan mengenai

pengupahan yang telah disebutkan sebelumnya tidak lagi berlaku dalam Rancangan Undang -

Undang Cipta Kerja. Dalam muatan Produk Omnibus Law Rancangan Undang - Undang Cipta

Kerja telah menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang

Ketenagakerjaan akan disisipkan 7 (tujuh) pasal tambahan, salah satunya adalah Pasal 88C

yang berbunyi: pada ayat (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman,

kemudian pada ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah

minimum provinsi. Dampak yang kelak terjadi apabila produk hukum ini disetujui tanpa dikaji

kembali akan mengakibatkan hilangnya Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah

Minimum Sektoral. Sehingga, sistem pengupahan yang pada akhirnya berlaku yaitu

pengupahan berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Disamping itu, timbulnya kritikan terhadap

penghapusan pada berbagai sistem pengupahan tersebut yaitu tidak termuat ada alasan yang

jelas mendasari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral

ini. Pada kenyataannya selama ini sistem pengupahan yang berlaku berdasarkan Pasal 46 ayat

2 dan Pasal 49 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang

mengatur mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota serta Upah Minimum Sektoral Provinsi

harus lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi di provinsi yang bersangkutan.90 Setelah

penghapusan terhadap berbagai sistem pengupahan tersebut, hal ini menimbulkan

kekhawatiran mengenai bagimana penerapan sistem pengupahan di Indonesia ke depannya

yang hanya menggunakan Upah Minimum Provinsi.91

Pembaharuan keempat yang muncul terkait dengan ketenagakerjaan yaitu menghilangnya

konsepsi mendasar mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sebelumnya, dalam regulasi

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, termuat empat pasal yang memuat permasalahan

terkait dengan konsep Pemutusan Hubungan Kerja. Permasalahan pertama, termuat dalam

89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 Ayat (1) dan (2) 90 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, Pasal 46 Ayat (2) dan Pasal 49 Ayat (3) 91 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker

32

Page 35: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Pasal 151 ayat (1) Undang Undang tentang Ketenagakerjaan berbunyi “pengusaha,

pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus

mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.92 Kemudian, dilakukannya

perubahan atas muatan pada pasal tersebut dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh.” Implikasi dari perubahan pasal ini dapat menghilangkan

pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja , sehingga

pemutusan hubungan kerja menjadi hal yang bersifat privat, dimana seluruhnya diserahkan

kepada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.

Permasalahan kedua terkait pemutusan hubungan kerja juga termuat dalam Pasal 152 ayat (2)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja yang memiliki bunyi “Dalam hal kesepakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja

dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini dianggap membingungkan dan tidak

tegas dalam mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja

melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 93 Dengan

mengikuti ketentuan peraturan perundang - undangan, hal ini menandakan secara spesifik

dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengikuti ketentuan hukum acara

perdata. Hal ini dapat memperburuk keadaan jika pekerja tidak mengikuti pendidikan fakultas

hukum. Asas mudah dan cepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seolah

menjadi jargon yang tidak menyentuh dasar. Dengan bunyi yang termuat pada pasal 152 ayat

(2) tersebut, Pemerintah dalam maksud menyelesaikan perselisihan hubungan industrial

dianggap tidak memaksimalkan peran Mediator Hubungan Industrial sebagai pihak pertama

yang seharusnya memiliki wewenang terlebih dahulu. Hal ini dapat menjadi kendala paling

utama bagi pekerja dalam membela dirinya saat berselisih.94

Permasalahan ketiga terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat dalam Pasal 151 A

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pada muatan Pasal 151 A tercantum beberapa

ketentuan yang mengalami permasalahan mengenai pengusaha dalam melakukan Pemutusan

Hubungan Kerja tidak perlu melalui kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dalam hal perusahaan tersebut tutup dikarenakan keadaan memaksa (force

92 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 151 Ayat (1) 93 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 152 Ayat (2) 94 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker

33

Page 36: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

majeur); atau perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.

Pengecualian Pemutusan Hubungan Kerja tidak pernah diatur dalam Pasal 154 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 95 Hal ini dapat menimbulkan

Pemutusan Hubungan Kerja yang baru, terutama pada perusahaan yang sedang mengalami

pailit.

Permasalahan keempat yang selanjutnya muncul terkait Pemutusan Hubungan Kerja termuat

dalam Pasal 156 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja. Pasal ini menghapus kewajiban

perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak yang sebelumnya termuat dalam Undang

- Undang Ketenagakerjaan. 96 Pasal ini juga menghapuskan ketentuan spesifik mengenai

kompensasi untuk setiap alasan pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya termuat dalam

Undang - Undang Ketenagakerjaan Pasal 161 sampai 165. Pasal ini juga mengurangi

perhitungan maksimum uang penghargaan kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat

3 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya uang

penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya

24 tahun atau lebih. Perubahan dari pasal tersebut yang termuat dalam dalam Rancangan

Undang - Undang Undang Cipta Kerja menjadi maksimal uang penghargaan yang dapat

diterima seorang buruh hanya delapan bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih. Jika

dilihat, Konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang termuat dalam Rancangan Undang - Undang

Cipta Kerja lebih memudahkan prosedural terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja pada

Karyawan.97

Pembaharuan kelima yang muncul dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja spesifik

terkait sektor ketenagakerjaan yaitu adanya pasal yang menimbulkan misinterpretasi

dikarenakan menggunakan istilah yang bersifat ambigu. Hal ini termuat dalam Pasal 93 ayat

(2) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sebagai pengubah Pasal 93 Undang – Undang

Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas “no work no pay”. 98 Pasal 93 ayat (2)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja sendiri berbunyi “pengusaha wajib membayar upah

apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena

berhalangan”. Hal yang menjadi kritikan dalam pasal pengubah ini yakni tidak adanya

penjelasan lebih lanjut mengenai kata “berhalangan”. Sebagaimana diketahui bahwa kata

95 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 151 A 96 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 156 97 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi

Terhadap RUU Cipker 98 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja, Pasal 93 Ayat (2)

34

Page 37: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

“berhalangan” memiliki arti yang sangat luas. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan

ketidakpastian hukum dalam pemberian hak cuti bagi pekerja. Selain itu jika kata

“berhalangan” diinterpretasikan secara bebas dianggap bisa menyebabkan perlindungan hak

cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin. Sehingga ketidakjelasan dalam Pasal 93 ayat (2)

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini juga bisa menimbulkan penghapusan hak bagi

para pekerja termasuk pekerja perempuan yang mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti

melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan.

35

Page 38: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Bab III : Penutup

V. Saran

Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, pembangunan

ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang

sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spirituil. Pembangunan

ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitannya tidak hanya dengan

kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah masa kerja, tetapi juga dengan

kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan

yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup perencanaan tenaga kerja,

pembangunan sumber daya manusia, perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan

tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial, peningkatan perlindungan tenaga kerja, serta

peningkatan produktivitas kerja dan daya saing tenaga kerja di dalam dan di luar negeri.

VI. Kesimpulan

1. Hukum merupakan produk politik yang memiliki karakter sebagai produk hukum yang

dapat dilihat apakah berkarakter hukum responsif, seperti yang dikemukakan oleh

Nonet dan Selznick atau berkarakter hukum ortodoks, seperti yang dikemukakan

Marryman. Untuk mengetahui apakah Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja

berkarakter hukum responsif atau berkarakter hukum ortodoks, maka dalam studi ini

digunakan indikator dalam proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan

kemungkinan penafsiran. Pada produk hukum yang berkarakter responsif, proses

pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak banyaknya partisipasi

masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu didalam masyarakat,

sedangkan proses pembuatan produk hukum yang berkarakter ortodoks bersifat

sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang

kekuasaan eksekutif.

2. Kehadiran Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini ditujukan untuk menjadi

jaminan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat secara merata termasuk tenaga

kerja dalam mendapatkan hak-hak normatif. Produk hukum ini merupakan upaya dari

pemerintah dalam mewujudkan pengaturan hak-hak normatif bagi tenaga kerja dengan

adil. Salah satu istilah yang sering terdengar dalam penjaminan hak - hak normatif

pekerja yaitu adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan yang

36

Page 39: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

mempekerjakan. Perlindungan hak normatif dalam hubungan pekerjaan tersebut

mengartikan bahwa hak dasar pekerja dalam menjalin hubungan kerja dilindungi dan

dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga sebaliknya

berlaku bagi perusahaan memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak-hak

normatif pekerja dalam setiap pemberian kerja, dimana hal ini dilindungi dan dijamin

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berada di bawah pengawasan

pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang untuk itu. Hak

normatif ini dalam implementasinya menjadi instrumen sebagai proteksi terhadap

adanya upaya eksploitasi terhadap pekerja yang memiliki potensi untuk muncul dan

berkembang dalam kondisi dimana para pihak kurang atau tidak memahami hak – hak

normatif tersebut. Dalam menjamin perlindungan hukum secara merata bagi

masyarakat Indonesia, pemenuhan hak normatif yang berlaku dapat terbagi menjadi 3

kategori yakni adanya pemenuhan hak normatif pekerja bersifat sosial, pemenuhan hak

normatif pekerja bersifat ekonomis, dan pemenuhan hak normatif pekerja bersifat

politis dan medis.

37

Page 40: Oleh: Universitas Indonesia...Bab I : Pendahuluan I. Latar Belakang Pembentukan Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja Dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah

Daftar Pustaka

Agusmidah. Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum. Sofmedia. Medan

2011.

Cosmos Batubara. Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia. Depnaker RI. Jakarta 1998.

Kartosapoetro. G., dan Kartosapoetro. Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila.

Bina Aksara. Jakarta 1986.

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. LP3ES. Jakarta 2001.

Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005.

Ujang Charda. “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum

Bagi Tenaga Kerja”. Jurnal Wawasan Hukum. Volume 32 No. 1. Fakultas Hukum

Universitas Subang. Jawa Barat 2015.

Undang - Undang Dasar Tahun 1945.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor

12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

R. Wiyono. Garis Besar Pembahasan dan Komentar UUD 1945. Alumni. Bandung 1976.

Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja.

Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.

Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Mengenai

Tenaga Kerja.

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan

Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

38