OLEH: NOVITASARI -...
Click here to load reader
Transcript of OLEH: NOVITASARI -...
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU
PETUGAS KESEHATAN DALAM PENATALAKSANAAN
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DI
PUSKESMAS KOTA CILEGON
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH:
NOVITASARI
NIM: 1110104000027
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SCHOOL OF NURSING
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF
JAKARTA
Undergraduate Thesis, July 2014
Novitasari, NIM: 110104000027
The Relationship between Knowledge and Motivation with Behavioral
Health Workers in the Management of Integrated Management of Childhood
Illness (IMCI) Diarrhoea in Public Health Centers at Cilegon City
xix + 86 pages + 18 tables + 3 bagans + 7 attachments
ABSTRACT
The World Health Organization (WHO) data estimated 1.7 bilion cases of
diarrhea occur globally each year. In indonesia diarrhea is endemic disease that
found throughout the year and highest peak is in the rainy season and the dry
transition. The incidence of diarrhea in Cilegon summary report based on the data
from Dinas Kesehatan Cilegon city in 2013 showed the number of people on as
many as 1.667 female children and 1.757 male children.
In a effort to reduce pediatric morbidity and mortality, WHO and other
technical partners developed the Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI). IMCI is strategy to reduce mortality and morbidity for infant (7 days to 2
months) and children (2 months to 5 years).
This study aimed to determine the relationship between knowledge and
motivation with health care’s behavior on the management of IMCI diarrhoea in
public health centers at Cilegon city. The study design was cross-sectional. The
population was health workers and included 265 respondents and sample was 51
respondents in the 8 public health centers in Cilegon city, and taken by purposive
sampling technique. The data was collected by questionnaires and analyzed using
the chi-square test.
The result showed that the management of IMCI diarrhoea was no
relationship between knowledge with behavioral health workers (p= 0.968) and
was relationship between motivation with behavioral health workers (p= 0.038).
The result is expected to be consideration of the extent to which the
performance of health worker who have been carrying out the IMCI training and
can bridge the gab of knowledge, motivation, and behavior of health workers with
management of IMCI diarrhoea.
Keywords: Knowledge, Motivation, Behavioral Health Worker, IMCI of
Diarrhoe
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
iv
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juli 2014
Novitasari, NIM: 1110104000027
Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan
dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di
Puskesmas kota Cilegon
xix + 86 halaman + 18 tabel + 3 bagan + 7 lampiran
ABSTRAK
World Health Organization (WHO) menyebutkan ada sekitar 1,7 miliar
kasus penyakit diare terjadi dunia setiap tahunnya. Di Indonesia diare merupakan
penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat
pada peralihan musim penghujan dan kemarau. Angka kejadian diare di kota
Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare dinas kesehatan kota Cilegon,
Banten tahun 2013 menunjukkan angka penderita pada balita perempuan yaitu
sebanyak 1.667 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 1.757 jiwa.
Upaya yang dilakukan WHO dan praktisi kesehatan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit
untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok
usia 2 bulan sampai 5 tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan
motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare
di puskesmas kota Cilegon. Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi
adalah petugas kesehatan sebanyak 265 responden dan sampel 51 responden
dengan teknik purposive sampling yang berada di 8 puskesmas se-kota Cilegon.
cara pengumpulan data dengan membagikan kuesioner dan dianalisis dengan
menggunakan uji chi-square.
Hasil uji statistik dalam penatalaksanaan MTBS diare menunjukkan tidak
ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.968) dan ada
hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.038).
Hasil ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan sejauh mana kinerja
petugas kesehatan yang sudah melaksanakan pelatihan dan dapat menjembatani
kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare.
Kata Kunci: Pengetahuan, Motivasi, Perilaku Petugas Kesehatan, MTBS
Diare
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : NOVITASARI
Tempat, tanggal Lahir : Serang, 17 November 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jalan Tekukur No. 48 Kompleks D-Flat KS Cilegon, Banten
HP : +6285692252356
E-mail : [email protected]
Fakultas/Prodi : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/
Program Studi Ilmu Keperawatan
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. TK Al-Islah Cilegon 1996-1998
2. Sekolah Dasar Negeri V Cilegon 1998-2004
3. SMP Negeri 1 Cilegon 2004-2007
4. SMA Negeri 1 Cilegon 2007-2010
5. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010- Sekarang
RIWAYAT ORGANISASI
1. Staf Ahli Pengembangan Ekonomi Komisariat dakwah FKIK 2012-2013
2. Staf Ahli Kemahasiswaan BEMJ PSIK 2012-2013
3. Bendahara BEM PSIK 2013-2014
ix
LEMBAR PERSEMBAHAN
“Siapa yang tak mau merasakan sulitnya belajar, ia kan merasakan perihnya kebodohan”
(Imam Syafi’)
Pada lembar persembahan ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-
orang yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis:
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena telah
mengirimkan malaikat-malaikat tanpa sayap yang selalu memberi dukungan di
segala bidang, yang rela meletakkan impian dan mimpi mereka dalam pundak
penulis. Terima kasih Ayah, Mama, Uni Elza, Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari. Hal
ini yang menjadikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi dan
mewujudkan impian dan mimpi mereka.
Guru-guru dan dosen yang senantiasa sabar dalam memberikan ilmunya kepada
penulis.
Dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas
karunia dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad saw.
Penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
keperawatan (S.Kep) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan
Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas Kota Cilegon”.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengarahan
dan bantuan dari berbagai pihak. Berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya
skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu,
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. DR. (HC). dr. M. K. Tadjuddin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
2. dr. H. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF., PFK, selaku wakil dekan
bidang akademik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
3. Bapak Waras Budi Utomo, S.Kep, Ns., MKM, selaku Kepala Program
Studi Ilmu Keperawatan dan Dosen Pembimbing Akademik yang tidak
bosan-bosannya memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada
penulis.
4. Ibu Eni Nuraini, S.Kep, Ns., M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Keperawatan.
xi
5. Ayahanda Drs. Ira Hurairah dan Ibunda Suharti tercinta yang banyak
memberikan dorongan dan bantuan baik secara moral, finansial,
maupun spiritual dalam penyelesaian studi ini.
6. Uni Elza Yunita, S.P., Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari tersayang
yang banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini.
7. Ibu Maftuhah, S.Kp., M.Kep., PhD dan Ibu Mira Suminar, S.Kep.,
M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan
menyediakan waktu luangnya untuk berdiskusi, memberikan
pengarahan, dan memotivasi penulis sejak awal penulisan masalah
penelitian sampai tersusunnya skripsi ini.
8. Kepada Dosen Penguji, Bu Ns. Kustati B. L, M.Kep., Sp.Kep.An dan
Bu Uswatun Khasanah, Ns., MNS penulis mengucapkan terima kasih
atas saran-saran perbaikan yang diberikan.
9. Dosen-dosen dan staf Program Studi Ilmu Keperawatan yang dengan
sabar dan semangat memberikan ilmu kepada penulis.
10. Kepada Kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon dan Kepala Dinas
Kesehatan kota Tangerang Selatan beserta serta staff yang telah
membantu penulis untuk kelancaran proses penelitian.
11. Kepada Petugas Kesehatan di Puskesmas Ciputat, Puskesmas Ciputat
Timur, dan Puskesmas di kota Cilegon yang telah membantu dan
bersedia meluangkan waktu untuk kelancaran proses penyusunan
skripsi.
xii
12. Teman-teman kepengurusan BEMJ PSIK 2012-2013, BEM PSIK
2013-2014, KOMDA FKIK atas ukhuwah dan amanah yang telah
diberikan selama berjuang di FKIK.
13. Teman-teman seperjuangan Lily Camelia, Fitriyani Rahayu, Septiana,
dan kak Eka yang saling memotivasi untuk tetap semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
14. Rekan-rekan seperjuangan PSIK 2010 atas kerja sama, berbagi
pemikiran, pengertian, dan memberikan warna di setiap langkah yang
sangat berarti ini.
Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran agar skripsi ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan
datang.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Ciputat, Juli 2014
Novitasari
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Pernyataan Keasliaan Karya ii
Abstract iii
Abstrak iv
Pernyataan Persetujuan v
Lembar Pengesahan vi
Daftar Riwayat Hidup viii
Lembar Persembahan ix
Kata Pengantar x
Daftar isi xiii
Daftar Singkatan xv
Daftar Tabel xvi
Daftar Bagan xvii
Daftar Lampiran xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 6
1.3 Pertanyaan Penelitian 7
1.4 Tujuan Penelitian 8
1.5 Manfaat Penelitian 9
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Teori
2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 11
2.1.2 Diare 21
xiv
2.1.3 Pengetahuan 22
2.1.4 Motivasi 28
2.1.5 Perilaku 39
2.2 Penelitian yang Relevan 42
2.3 Kerangka Teori 45
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep 46
3.2 Definisi Operasional 47
3.3 Hipotesis Penelitian 49
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian 50
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 50
4.3 Populasi dan Sampel 51
4.4 Instrumen Penelitian 52
4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas 54
4.6 Langkah-langkah Pengumpulan Data 57
4.7 Etika Penelitian 58
4.8 Pengolahan Data 59
4.9 Analisis Data 61
4.10 Penyajian Data 62
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Puskesmas di kota Cilegon 63
5.2 Hasil Preeliminary Analysis 64
5.3 Hasil Analisa Univariat 65
5.4 Hasil Analisa Bivariat 69
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Analisa Univariat 72
xv
6.2 Analisa Bivariat 79
6.3 Keterbatasan Penelitian 83
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 84
7.2 Saran 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR SINGKATAN
MDGs : Millennium Development Goals
UNICEF : United Nations Children’s Fund
WHO : World Health Organization
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
KLB : Kejadian Luar Biasa
Kemenkes RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga
UIN : Universitas Islam Negeri
IMCI : Integrated Management of Childhood Illness
ASI : Air Susu Ibu
NaCl : Natrium Clorida
IV : Intra Vena
NGT : Nasogastric Tube
OGT : Oral Gastric Tube
SDM : Sumber Daya Manusia
Perda : Peraturan Daerah
UPTD : Unit Pelaksana Teknis Dinas
SPK : Sekolah Perawat Kesehatan
D-III/IV : Diploma III/IV
S1/2 : Strata I/II
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten 16
Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri 17
Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol 17
Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam 19
Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena 19
Tabel 3.2.1 Definisi Operasional 47
Tabel 4.3.1 Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan 51
Tabel 4.5.1 Hasil Uji Validitas 55
Tabel 5.2.1 Hasil Uji Normalitas Data 65
Tabel 5.3.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Petugas Kesehatan 66
Tabel 5.3.2 Distribusi Frekuensi Usia Petugas Kesehatan 66
Tabel 5.3.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Petugas Kesehatan 67
Tabel 5.3.4 Distribusi Frekuensi Lama Kerja Petugas Kesehatan 67
Tabel 5.3.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Petugas Kesehatan 68
Tabel 5.3.6 Distribusi Frekuensi Motivasi Petugas Kesehatan 68
Tabel 5.3.7 Distribusi Frekuensi Perilaku Petugas Kesehatan 69
Tabel 5.4.1 Hasil analisis Chi-Square Pengetahuan dengan Perilaku 70
Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Chi-Square Motivasi dengan Perilaku 70
xviii
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010) 40
Bagan 2.3 Kerangka Teori 45
Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian 46
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Perizinan
Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
Lampiran 4. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Uji Normalitas
Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Univariat
Lampiran 7. Hasil Olahan SPSS Bivariat
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka kematian bayi dan anak di dunia masih tinggi. Di negara
berkembang hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahun pada anak dibawah usia
5 tahun (UNICEF, 2008). Laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF)
(2013) mengatakan di Indonesia jumlah kematian balita setiap tahun turun dari
estimasi 12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012,
namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian bayi adalah 34 per 1000
kelahiran hidup, sementara angka kematian balita adalah 44 per 1000 kelahiran
hidup. Diharapkan pada tahun 2015 angka kematian bayi turun menjadi 23 per
1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita turun menjadi 32 per 1000
kelahiran hidup. Pencapaian pada 2015 merupakan target komitmen global tujuan
Millennium Development Goals (MDGs) (Kemenkes RI, 2010).
Menurut Liu et al. (2012) di dunia penyakit pneumonia, diare, dan malaria
merupakan penyebab tersering kematian pada anak. Upaya yang dilakukan World
Health Organization (WHO) dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) (Gove et al. 1997 dalam Rowe et al. 2011). Pada tahun 1990an,
WHO dan UNICEF memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas
perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima penyakit yang sering mengakibatkan
sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak,
dan kurang gizi (Wilson et al. 2012).
2
MTBS menurut Depkes RI (2005) merupakan pedoman terpadu yang
menjelaskan secara rinci penanganan penyakit yang banyak terjadi pada bayi dan
balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit
pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya
promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan
konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian
bayi dan anak, dan menekan morbiditas untuk penyakit tersebut. MTBS adalah
standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan
tingkat dasar. Tiga komponen dari MTBS ditujukan untuk meningkatkan
keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (selain
dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani
pasien apabila sudah dilatih), memperkuat sistem kesehatan, dan meningkatkan
kemampuan perawatan di rumah oleh keluarga dan masyarakat (Kesehatan Anak,
2011).
Lebih dari 100 negara telah mengadopsi komponen dari MTBS yang
digunakan sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam menangani penyakit
tersebut dengan menilai dan mengobati anak yang sakit, pencegahan, dan
konseling keluarga (Nguyen et al. 2013). Menurut Lesley Bamford dari National
Department of Health (2008, dalam Moelyo, 2013) mengatakan bahwa
Comprehensive approach to the care of the ill child, which attempts to ensure
appropriate and combined treatment of the five major diseases, dimana MTBS di
hampir seluruh negara berkembang merupakan pelayanan kesehatan balita sakit
secara komprehensif karena dapat mengkombinasikan pemeriksaan lima penyakit
yang sering diderita.
3
Perkembangan MTBS di Indonesia dimulai pada tahun 1996, yaitu dengan
dibuatnya satu set modul dan pedoman MTBS WHO/UNICEF dan pada tahun
2005 MTBS telah dilaksanakan di Indonesia. Hingga tahun 2009, penerapan
MTBS telah mencakup 33 provinsi (Wijaya, 2010). Menurut data laporan rutin
yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Anak (2010), jumlah puskesmas yang
melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas
dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan
MTBS sebesar 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.
Salah satu strategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare.
Diare adalah suatu penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses
selain dari frekuensi buang air besar, seseorang dikatakan menderita diare bila
feses lebih berair dari biasanya, atau buang air besar tiga atau lebih, atau buang air
besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2010).
Menurut Magdarina et al. (2005) diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan
penularannya secara fekal-oral. Tanda dan gejala khas pada diare adalah diare cair
yang mendadak, nyeri perut, mual, muntah, dan sedikit atau tidak adanya demam
(Nelson, 2000). Diare dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh yaitu
dehidrasi dan akibat fatalnya yaitu kematian (Wijaya, 2012).
Menurut data WHO (2013) di dunia ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit
diare terjadi setiap tahunnya. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada
anak di bawah 5 tahun di negara dengan penghasilan ekonomi yang rendah,
sekitar 1,3 juta anak meninggal setiap tahunnya, terutama di Negara Afrika dan
Asia Selatan (Wilson et al. 2012). Gerald et al. (2009) menyatakan bahwa diare
4
dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di
negara maju maupun berkembang dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta
lingkungan yang tidak higienis. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis
yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan
musim penghujan dan kemarau (Magdarina et al. 2005).
Menurut laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Badan Litbangkes
(2007) penyebab terbanyak kematian bayi (29 hari-11 bulan) dan anak balita (12
bulan-59 bulan) yaitu akibat terserang diare dengan proporsi diare pada bayi
sebesar 31,4% dan anak balita sebesar 25,2%. Gambaran berdasarkan survei dan
penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 provinsi Banten masih
dalam prevalensi diare klinis cukup tinggi yaitu ˃10%. Berdasarkan laporan
Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun
2009-2010 provinsi Banten secara keseluruhan sering mengalami KLB diare
(Kemenkes RI, 2011). Kasus diare yang terjadi di provinsi Banten berdasarkan
data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010-2011 pada tahun 2011 mencapai
971.269 kasus sedangkan pada tahun 2010 mencapai 816.802 kasus, angka ini
masih tergolong tinggi. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data
rekapitulasi laporan diare Dinas Kesehatan kota Cilegon tahun 2013 menunjukkan
pada balita perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu
sebanyak 2.511 jiwa.
Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu upaya yang dilakukan
Dinas Kesehatan kota Cilegon untuk menurunkan angka kejadian diare di kota
Cilegon dengan menerapkan program MTBS yang dilaksanakan puskesmas di
5
kota Cilegon. Data dari Subdit Pengendaliaan Diare dan Infeksi Pencernaan
Kemenkes RI tahun 2006-2009 didapat bahwa persentase petugas kesehatan yang
memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata laksana diare masih dibawah
50%. Berdasarkan penelitian Hastuti (2010) tentang pengaruh pengetahuan, sikap,
dan motivasi terhadap penatalaksanaan manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
pada petugas kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali membuktikan adanya
pengaruh antara pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap
penerapan standar MTBS di Puskesmas kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam
pelaksanaanya di kabupaten Bayolali menunjukkan hasil yang masih kurang baik
dalam pelaksanaan program MTBS sehingga perlu ditingkatkan dalam segi
pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan.
Dari hasil studi pendahuluan melalui observasi didapat bahwa 8
puskesmas yang ada di kota Cilegon hampir seluruhnya sudah memiliki ruang
MTBS, dan hasil wawancara diketahui bahwa penerapan dengan standar MTBS
sudah baik, akan tetapi terkadang masih dilakukan tanpa menggunakan formulir
MTBS, dikarenakan formulir yang habis dan proses pelayanan MTBS yang cukup
lama. Pada anak dengan kasus diare, pelaksanaan standar operasional prosedur
yang masih belum sesuai seperti jarang dilakukan pemberian minum. Petugas
kesehatan mengungkapkan motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan
MTBS diare tergantung pada individu masing-masing dalam memberikan
pelayanan, perlu adanya penyegaran dengan petugas kesehatan yang sudah pernah
ikut pelatihan, belum adanya reward terhadap keberhasilan atau punishment
terhadap pelanggaran pada petugas kesehatan.
6
Berdasarkan penelitian Faridah (2009) tentang analisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap motivasi kerja petugas pelaksana manajemen terpadu balita
sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya, membuktikan bahwa persepsi kondisi
kerja dan kebijaksanaan pelaksanaan program MTBS secara bersama-sama
mempengaruhi motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di Puskesmas kota
Surabaya. Namun, dalam pelaksanaan program MTBS di Puskesmas kota
Surabaya masih kurang baik. Program MTBS bukan merupakan program
unggulan puskesmas, akan tetapi tetap terus berjalan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas
Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Diare di Puskesmas kota Cilegon”.
1.2. Rumusan Masalah
Di kota Cilegon angka kejadian diare pada tahun 2013 pada balita
perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak
2.511 jiwa. Pelaksanaan MTBS sudah diterapkan di 8 puskesmas kota Cilegon
dengan diadakannya pelatihan, sebanyak 51 petugas kesehatan sudah
mendapatkan pelatihan MTBS. Dari latar belakang diketahui bahwa terdapat
keterbatasan penyediaan formulir MTBS, pelaksanaan standar operasional
prosedur yang masih belum sesuai, penatalaksanaan MTBS yang memerlukan
waktu lama, dan belum terlaksananya supervisi terhadap evaluasi pelaksanaan
MTBS untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
7
Hasil studi pendahuluan diketahui belum adanya penelitian terkait
pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare. Dalam sarana kesehatan, pencapaian kinerja
petugas kesehatan dalam pelaksanaan MTBS diare tidak lepas dari peran
pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan sebagai pelaksana MTBS diare.
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, peneliti menyimpulkan bahwa
pengetahuan dan motivasi sangat penting untuk menentukan indikator hasil
perilaku yang diamati sebagai upaya penanganan diare pada balita. Di sisi lain,
beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan motivasi
petugas kesehatan baik tehadap kinerja kerja maupun penatalaksanaan MTBS.
Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan
pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka
dapat diambil beberapa pernyataan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota
Cilegon?
2. Bagaimana gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
3. Bagaimana gambaran motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan
MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
8
4. Bagaimana perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS
diare di puskesmas kota Cilegon?
5. Apakah ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan
dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
6. Apakah ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
1.4. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku
petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota
Cilegon.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas
kota Cilegon
b. Mengetahui gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
c. Mengetahui gambaran motivasi petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
d. Mengetahui gambaran perilaku petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
e. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
9
f. Mengetahui hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan
dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan untuk
pembuatan karya ilmiah dengan mengedepankan aspek evidence based
practice/hasil penelitian kesehatan terkini khususnya dalam bidang ilmu
keperawatan dan menjadi dokumentasi akademik yang berguna dan
dijadikan acuhan untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Puskesmas di Kota Cilegon
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan dan
pembangunan program kesehatan, serta peningkatan mutu pelayanan
kesehatan yang ada di masyarakat dalam upaya menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas anak dengan penyakit diare.
3. Bagi Peneliti dan Praktisi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan peneliti dan praktisi kesehatan dalam penatalaksanaan
MTBS, khususnya pada penanganan diare.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas
10
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Jenis
penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan pendekatan observasional analitik
dengan desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data menggunakan
instrumen penelitian berupa kuesioner. Populasi penelitian ini adalah petugas
kesehatan di puskesmas kota Cilegon yang menangani MTBS. Teknik yang
digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling dan waktu penelitian
dilakukan pada Juni 2014.
11
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Deskripsi Teori
2.1.1. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management
of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam tata
laksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita)
secara menyeluruh (Wijaya, 2006). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita
sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan
kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Nguyen et al.
(2013) MTBS merupakan strategi penting bagi program kesehatan anak dan
diakui secara internasional, lebih dari 100 negara telah menerapkan MTBS.
MTBS membantu negara dalam meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian
Millenium Development Goals 4.
MTBS mengintegrasikan perbaikan sistem kesehatan, manajemen kasus,
praktik kesehatan oleh keluarga dan masyarakat, serta hak anak (Soenarto, 2009).
Manajemen Terpadu adalah suatu pola manajemen kasus yang berisi prosedur
kerja agar dapat memperbaiki input, proses, dan output (Hastuti, 2010).
Berdasarkan penelitian Husni, dkk (2012) mengatakan bahwa gambaran
pelaksanaan MTBS komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan
standar masih kurang. Dimulai pada tahun 1990an, World Health Organization
(WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) memulai pelaksanaan
MTBS untuk meningkatkan kualitas perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima
12
penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu
pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012). Dalam
buku Pedoman MTBS WHO tahun 2005, proses manajemen kasus pada MTBS
meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum.
2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna.
3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan
khusus untuk anak.
4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda
yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat.
5. Menilai makan, termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan
masalah jika terdapat masalah makan.
6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan tindak
lanjut jika diperlukan.
Salah satu srategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Di
Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan
puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau
(Magdarina dkk. 2005).
1. Penatalaksanaan MTBS Diare
Penilaian tanda dan gejala pada anak dengan diare yang dinilai adalah ada atau
tidaknya tanda bahaya umum. Keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis
atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek,
gelisah, rewel, haus atau banyak minum, adanya darah dalam tinja (feses
bercampur dengan darah).
13
2. Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare
Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi tiga
kelompok berikut:
a. Klasifikasi Dehidrasi
1) Dehidrasi berat
Apabila ada tanda dan gejala seperti letargis atau tidak sadar, mata
cekung, serta turgor buruk sekali.
2) Dehidrasi ringan atau sedang
Apabila ditandai dengan tanda gelisah, rewel, mata cekung, haus, dan
turgor buruk.
3) Diare tanpa dehidrasi
Apabila tidak cukup tanda adanya dehidrasi.
b. Klasifikasi Diare Persisten
Diare persisten memiliki tanda-tanda antara lain diare sudah lebih dari 14
hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu diare persisten berat
apabila ditemukan adanya tanda dehidrasi dan diare persisten apabila tidak
ditemukan adanya tanda dehidrasi.
c. Klasifikasi Disentri
Klasifikasi disentri ini termasuk klasifikasi diare secara umum, tetapi
pada diare jenis ini disertai dengan darah dalam tinja atau diarenya bercampur
dengan darah (Depkes, 1999 dalam Hidayat, 2008).
3. Penentuan dan Tindakan Pengobatan
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menentukan tindakan dan
pengobatan setelah diklasifikasikan berdasarkan kelompok gejala yang ada
14
(Hidayat, 2008). Penentuan tindakan dan pengobatan menurut Depkes (1999,
dalam Hidayat, 2008) sebagai berikut:
a. Klasifikasi Dehidrasi
Tindakan dapat dikelompokkan berdasarkan derajat dehidrasi.
1) Apabila klasifikasinya dehidrasi berat, maka tindakannya adalah
sebagai berikut:
a) Berikan cairan intravena secepatnya. Apabila anak dapat minum,
berikan oralit melalui mulut sambil mempersiapkan sambil infus. Berikan
100 ml/kg ringer laktat atau dengan ketentuan sebagaimana tersaji. Pada
bayi (di bawah usia 12 bulan) pemberian pertama sebanyak 30 ml/kg
selama 1 jam (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba),
kemudian pemberian berikutnya sebanyak 70 ml/kg selama 5 jam. Pada
anak (1-5 tahun) pemberian pertama 30 ml/kg selama 30 menit (ulangi
apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian
berikutnya 70 ml/kg selama 2,5 jam.
b) Lakukan pemantauan setiap 1-2 jam tentang status dehidrasi, apabila
belum membaik berikan tetesan intravena dengan cepat.
c) Berikan oralit (kurang lebih 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau
minum.
d) Lakukan pemantauan kembali sesudah 6 jam pada bayi atau pada anak
sesudah 3 jam serta tentukan kembali status dehidrasi. Selanjutnya
ditentukan status dehidrasi dan lakukan tindakan sesuai dengan derajat
dehidrasi.
15
e) Anjurkan untuk tetap memberikan ASI
Tindakan di atas dilakukan bila cairan tersedia, tetapi apabila dalam waktu
30 menit cairan tersebut tidak ditemukan, maka lakukan rujukan segera dengan
pengobatan intravena dan jika anak bisa minum, berikan oralit sedikit demi sedikit
dalam perjalanan rujukan.
2) Tindakan pengobatan untuk klasifikasi dehidrasi ringan atau sedang adalah
sebagai berikut:
a) Lakukan pemberian oralit dalam 3 jam pertama dengan ketentuan untuk
usia kurang dari 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg, maka
pemberian antara 200-400 ml, usia 4-12 bulan dengan berat badan 6-<10 kg,
pemberiannya adalah 400-700 ml, untuk usia 12-24 bulan dengan berat badan
10-<12 kg pemberiannya adalah 700-900 ml, dan untuk usia 2-5 tahun
dengan berat badan 12-19 kg pemberiannya adalah 900-1400 ml, atau juga
dapat dihitung dengan cara berat badan dikali 75, pada anak kurang dari 6
bulan dan tidak menyusu maka diberikan tambahan air matang 100-200 ml.
b). Lakukan pemantauan setelah 3 jam pemberian terhadap tingkat dehidrasi,
rujuk untuk tindakan sesuai dengan tingkat dehidrasi.
3) Tindakan pengobatan dengan klasifikasi tanpa dehidrasi dapat dilakukan
sebagai berikut:
a) Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau dan lakukan pemberian oralit
apabila anak tidak memperoleh ASI eksklusif.
b) Lanjutkan pemberian makan.
16
b. Diare Persisten
Tindakan ditentukan oleh derajat dehidrasi, jika ditemukan adanya
kolera. Maka pengobatan yang dapat dianjurkan adalah pilihan pertama
antibiotik kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah tetrasiklin.
Usia atau
berat
badan
Kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2
kali sehari selama 3 hari
Tetrasiklin
Beri 4 kali
sehari untuk
3 hari
tablet dewasa 80
mg trimetoprim +
400 mg
sulfametoksazol
tablet anak 20 mg
trimetropim + 100
mg
sulfametoksazol
sirup/per 5 ml
40 mg
trimetoprim +
200 mg
sulfametoksazol
kapsul 250
mg
2-4 bulan
(4-<6 kg) ¼ 1 2,5 ml
jangan
diberikan
4-12 bulan
(6-<10 kg) ½ 2 5 ml ½
1-5 tahun
(10-<19 kg) 1 3 7,5 ml 1
Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten
c. Disentri
Tindakan pada disentri dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang
sesuai, misalnya pilihan pertama adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah
asam nalidiksat. Pemberian dosis berdasarkan usia atau berat badan anak.
17
usia atau
berat
badan
kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2
kali sehari selama 5 hari
Asam
Nalidiksat beri
4 kali sehari
selama 5 hari
tablet dewasa 80
mg trimetoprim
+ 400 mg
sulfametoksazol
tablet anak 20 mg
trimetoprim +
100 mg
sulfametoksazol
sirup/per 5 ml 40
mg trimetoprim +
200 mg
sulfametoksazol
tablet 500 mg
2-4 bulan
(4-<6kg) ¼ 1 2,5 ml 1/8
4-12 bulan
(6-<10 kg) ½ 2 5 ml ¼
1-5 tahun
(10-<19 kg) 1 3 7,5 ml ½
Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri
Usia atau berat
badan Tablet (500 mg) Tablet 100 mg Sirup 120 mg/5 ml
2-6 bulan
(4-<7 kg) 1/8 ½ 2,5 (½ sendok teh)
6 bulan-3 tahun
(7-<14 kg) ¼ 1 5 ml (1 sendok teh)
3-5 tahun
(14<19 kg) ½ 2
7,5 ml (1 ½ sendok
teh)
Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol
4. Pemberian cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian
makan
Menurut buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun
2010 dijelaskan sebagai berikut:
a. Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah
Jelaskan pada Ibu tentang 4 aturan perawatan di Rumah, sebagai berikut:
1. Beri Cairan Tambahan
a) Jelaskan kepada Ibu:
1) Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
18
2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan cairan oralit atau air
matang sebagai tambahan.
3) Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan 1 atau lebih
cairan berikut: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air
matang.
4) Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika anak telah diobati
dengan Rencana Terapi B atau C dalam kunjungan dan anak tidak
dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.
b) Ajari Ibu cara mencampur dan memberikan oralit, beri Ibu 6 bungkus
oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.
c) Tunjukkan kepada Ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang harus
diberikan setiap anak diare.
1) Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali diare.
2) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali diare.
3) Katakan kepada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering
dari mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit,
kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Dan lanjutkan
pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.
2. Beri Tablet Zinc Selama 10 Hari.
3. Lanjutkan Pemberian Makan.
4. Kapan Harus Kembali.
19
b. Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/Sedang dengan Oralit.
Berikan oralit di klinik sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.
Umur ≤ 4 bulan 4- ˂ 12 bulan 1- ˂2 tahun 2- ˂5 tahun
Berat <6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah 200-400 400-700 700-900 900-1400
Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam
1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama.
2) Tunjukkan cara memberikan larutan oralit.
3) Berikan tablet zinc selama 10 hari.
4) Setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat
dehidrasinya, pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan
pengobatan, dan mulailah memberi makan anak.
5) Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai
c. Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat
1) Dapatkah segera memberi cairan intravena, jika ya beri cairan
intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut
sementara infus dipersiapkan. Beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat
(atau jika tidak tersedia, gunakan cairan NaCl) yang dibagi sebagai
berikut:
Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena
UMUR Pemberian pertama 30
ml/kg selama:
Pemberian berikut 70 ml/kg
selama:
Bayi (dibawah umur 12
bulan)
1 jam* 5 jam
Anak (12 bulan sampai
5 tahun)
30 menit* 2 ½ jam
2) Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika nadi belum teraba, beri
tetesan lebih cepat.
20
3) Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum,
biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga
tablet Zinc.
4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.
Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk
melanjutkan pengobatan. Jika tidak, dapatkah fasilitas pemberian
cairan intravena terdekat (dalam 30 menit).
5) Jika ya, rujuk segera untuk pengobatan intravena. Jika anak bisa
minum, bekali Ibu larutan oralit dan tunjukkan cara meminumkan
pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam perjalanan. Jika tidak,
dapatkah Saudara terlatih menggunakan pipa orogastrik untuk
rehidrasi atau cek apakah anak masih bisa minum.
6) Jika ya, Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa
nasogastrik atau mulut: beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120
ml/kg).
7) Periksa kembali anak setiap 1-2 jam:
- Jika anak muntah terus atau perut makin kembung, beri cairan
lebih lambat.
- Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak
untuk pengobatan intravena.
8) Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasikan dehidrasi,
kemudian tentukan rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk
melanjutkan pengobatan. Jika tidak, rujuk segera untuk pengobatan
IV/NGT/OGT.
21
Catatan: Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam setelah
rehidrasi untuk meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan
pemberian larutan oralit per oral. Perlu diketahui bahwa 1 ml= 20 tetes/menit-
infus makro= 60 tetes/menit-infus mikro.
2.1.2. Diare
Diare adalah penyakit yang terjadi karena terjadi perubahan konsistensi
feses selain dari frekuensi buang air besar dimana feses berair dari biasanya, atau
bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air yang berair tapi tidak
berdarah dalam waktu 24 jam (Kemenkes RI, 2011). Hal ini biasanya berkaitan
dengan dorongan, rasa tidak nyaman pada area perianal, inkontinensia, atau
kombinasi dari faktor ini. Tiga faktor yang menentukan keparahannya yaitu:
sekresi intestinal, perubahan penyerapan mukosa, dan peningkatan motilitas
(Baughman, 2000).
Menurut WHO (2008) penyebab utama penyakit diare adalah infeksi
bakteri atau virus. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang
menyebabkan diare pada anak dan balita. Infeksi Rotavirus biasanya terjadi pada
anak-anak berusia 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008).
Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia atau binatang,
makanan, air, dan kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan yang menjadi
habitat atau pejamu untuk patogen tersebut atau peningkatan kemungkinan kontak
dengan penyebab patogen tersebut menjadi risiko utama penyakit ini. Sanitasi dan
kebersihan rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum yang aman, dan
pajanan pada sampah padat (misalnya melalui pengambilan atau akumulasi
22
sampah di lingkungan) yang berakibat diare (WHO, 2008). Dalam penelitian
Wilson et al. (2012) mengatakan bahwa caregiver sering gagal dalam mengenali
tanda-tanda diare pada anak.
Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian
polusi atau bencana alam besar, seperti banjir. Musim kemarau juga dapat
menyebabkan wabah penyakit diare karena bertambahnya patogen di saluran air
dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga. Terdapat juga penyebab lain
yang sering terjadi dari status kesehatan buruk pada anak-anak, yaitu kemiskinan,
pengucilan di bidang sosial, dan kebijakan serta pengendalian lingkungan yang
buruk (WHO, 2008).
2.1.3. Pengetahuan
Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang
memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.
Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun
pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan keterampilan selama
pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja (perilaku), akan tetapi kinerja
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan motivasi, sikap klien
dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang.
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu
berkenaan dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010).
Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan
“what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo,
23
2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi
melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya
bersifat langgeng dan perilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan)
2. Affective domain, diukur dari attitude (sikap)
3. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practice (keterampilan)
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan pengetahuan di
dalam domain kognitif menurut Taksonomi Bloom (1987) dalam Sunaryo
(2004) mencakup 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat
mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah mampu
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.
b. Memahami (Comprehension)
Merupakan kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan
dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham
tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan
menyimpulkan.
24
c. Penerapan (Application)
Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-
hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam
bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek
tersebut dan masih terkait satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah
dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan,
membuat bagan proses adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian
psikologi dengan fisiologi.
e. Sintesis (Synthesis)
Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Ukuran kemampuan adalah
dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan sesuai
teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau
disusun sendiri.
25
Menurut Notoatmodjo (2010) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2
yaitu:
1. Cara tradisional atau non ilmiah
Cara tradisional atau non ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan
tanpa melakukan penelitian ilmiah, cara penemuan pengetahuan pada
periode ini antara lain meliputi:
a. Cara Coba Salah (Trial and Error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan
mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang
apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya
dilakukan dengan coba-coba saja (trial and error).
Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama
untuk memecahkan berbagai masalah dan sampai sekarang pun
metode ini masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum
atau tidak mengetahui suatu cara tertentu yang tepat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Cara kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak
disengaja oleh orang yang bersangkutan.
c. Cara kekuasaan atau otoritas
Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh
agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai
mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan. Dengan
prinsip inilah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh
26
orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau
membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun
berdasarkan penalaran diri.
d. Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa yang lalu.
e. Cara akal sehat (Common sense)
Akal sehat atau Common sense kadang-kadang dapat menemukan
teori atau kebenaran.
f. Kebenaran melalui wahyu
Ajaran atau dogma agama adalah suatu kebenaran yang
diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus
diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang
bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau
tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah wahyu dan
bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan manusia.
g. Kebenaran secara Intuitif
Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali
melalui proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran
atau berfikir. Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar
dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang
27
rasional dan yang sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya
berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.
h. Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara
berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah
mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh
pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik
melalui induksi maupun deduksi.
i. Induksi
Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari
pernyataan-pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal
ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut
berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris yang ditangkap oleh
indra. Kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang
memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala.
j. Deduksi
Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
umum ke khusus.
2. Cara modern atau ilmiah
Cara modern atau ilmiah yakni melalui proses penelitian yang
lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian
ilmiah atau disebut metodologi penelitian (research methodology).
28
2.1.4. Motivasi
Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai
kinerja seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa
didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011).
Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan bahwa motivasi berpengaruh
terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Motivasi
adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat
komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Hal ini termasuk faktor-faktor yang
menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam
arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1995 dalam Nursalam, 2011). Motivasi
menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu.
Menurut Sunaryo (2004) motivasi adalah dorongan penggerak untuk
mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun tidak disadari. Motivasi dapat
timbul dari dalam diri individu atau datang dari lingkungan. Motivasi yang terbaik
adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri (intrinsik) bukan pengaruh
lingkungan (ekstrinsik).
Maslow (1943, dalam Bastable, 2002) seorang ahli teori mengembangkan
suatu teori tentang motivasi manusia yang diintegrasi secara utuh pada individu
dan dalam bentuk hierarki tujuan, dia menyatakan bahwa tidak semua perilaku
dimotivasi dan bahwa teori perilaku tidak sama dengan teori motivasi. Ada
hubungan antara motivasi dan pembelajaran, antara motivasi dan perilaku, antara
motivasi, pembelajaran, dan perilaku (Bastable, 2002). Menurut Maslow (1943)
setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan dari yang paling rendah sampai yang
29
paling tinggi (Misbach, 2010). Kebutuhan-kebutuhan terdiri dari lima hierarki,
dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut:
a. Kebutuhan fisiologi (Physiological)
Menurut Maslow kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan untuk
mempertahankan hidup, oleh sebab itu sangat pokok, yakni sandang, pangan,
dan papan. Apabila kebutuhan ini secara relatif terpenuhi, maka kebutuhan
yang lain seperti rasa aman, kebutuhan untuk diakui oleh orang lain akan
menyusul untuk dipenuhi. Seseorang tidak akan termotivasi untuk
pengembangan dirinya, apabila motif dasarnya masih belum terpenuhi. Maslow
menekankan bahwa ketika kebutuhan itu muncul pada seseorang, maka hal
tersebut merupakan pendorong dan pengarah untuk terwujudnya perilaku. Pada
saat seseorang sudah sampai pada taraf untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri, maka pada saat diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk
meningkatkan kemampuan sebagai perwujudan dari aktualisasi diri.
b. Kebutuhan rasa aman (Safety)
Kebutuhan rasa nyaman mempunyai bentangan yang sangat luas, bukan saja
keamanan fisik, tetapi juga keamanan secara psikologis, misalnya bebas dari
tekanan atau intimidasi dari pihak lain.
c. Kebutuhan sosialisasi atau afiliasi dengan orang lain (Affiliation)
Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersosialisasi dengan orang lain dapat
diwujudkan melalui keikutsertaan seseorang dalam suatu team work atau
perkumpulan tertentu. Kebutuhan berafiliasi dengan orang lain pada prinsipnya
agar dirinya diterima dan disayangi oleh orang lain sebagai anggota
kelompoknya. Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial, dalam
30
mewujudkannya membutuhkan atau menginginkan kebutuhan-kebutuhan
sosial terdiri dari:
1) Kebutuhan akan perasaan kemajuaan dan tidak seorang pun yang
menyukai kegagalan dalam tugas atau pekerjaan apapun. Kemajuan
atau keberhasilan sebuah kegiatan, pekerjaan atau tugas merupakan
kebutuhan setiap orang.
2) Kebutuhan akan perasaan ikut serta atau berpartisipasi. Seseorang akan
merasa senang jika diikutsertakan dalam berbagai kegiatan perusahaan
atau organisasi. Keikutsertaan dalam mencapai tujuan bukan hanya
dalam bentuk fisik atau kegiatan saja, tetapi dalam bentuk pendapat, ide
atau saran.
3) Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap orang merasa dirinya
penting. Serendah-rendahnya pendidikan yang dicapai, atau serendah-
rendahnya jabatan yang dipunyai, seseorang merasa penting dan perlu
dihormati.
4) Kebutuhan untuk diterima oleh orang lain dilingkungan tempat tinggal.
d. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem)
Kebutuhan penghargaan ini adalah kebutuhan prestise, kebutuhan untuk
dihargai merupakan kebutuhan semua orang terlepas dari kedudukan dan
jabatannya. Dalam mewujudkan kebutuhan penghargaan ini bukan semata-
mata pemberian dari pihak lain, tetapi harus dibuktikan dari kemampuan atau
prestasi yang dicapai. Untuk itu sistem pemberian reward di organisasi-
organisasi perlu dikembangkan, tetapi bukan didasarkan pada lama kerja atau
model arisan, tetapi harus didasarkan pada sistem kompetisi prestasi kerja.
31
Kebutuhan akan penghargaan dapat diberikan berupa status, pengakuan, dan
perhatiaan (Misbach, 2010).
e. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization)
Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengembangkan
potensi diri secara maksimal. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan realisasi
diri secara lengkap dan penuh. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri ini antara
seorang yang satu dengan yang lain akan berbeda. Program pendidikan jangka
panjang bergelar dan pelatihan (pendidikan jangka pendek) didalam suatu
institusi atau organisasi merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi
diri. Kebutuhan aktualisasi berbeda dengan kebutuhan yang lain, yakni:
1) Aktualisasi diri adalah bagian dari pertumbuhan individu, dan
berlangsung terus-menerus sejalan dengan meningkatnya jenjang karier
seseorang individu.
2) Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipenuhi semata-mata dari luar
individu, tetapi yang lebih utama adalah usaha dari individu itu sendiri.
Redman (1993, dalam Bastable, 2002) memandang pengkajian motivasi
sebagai bagian dari pengkajian kesehatan umum dan menyatakan bahwa
pengkajian ini mencakup bidang-bidang seperti tingkat pengetahuan, keterampilan
klien, kapasitas pembuatan keputusan pada individu, dan skrining pada populasi
sasaran untuk program pendidikan.
32
Para ahli mengelompokkan metode peningkatan motivasi dalam
Notoatmodjo (2010), yaitu:
1) Model Tradisional
Model ini menekankan bahwa untuk memotivasi masyarakat agar
berperilaku sehat, perlu memberikan insentif berupa materi bagi anggota
masyarakat yang berprestasi tinggi dalam berperilaku hidup sehat.
2) Model Hubungan Manusia
Untuk meningkatkan motivasi berperilaku sehat, perlu dilakukan
pengakuan atau memperhatikan kebutuhan sosial mereka, meyakinkan
mereka bahwa setiap orang adalah penting dan berguna bagi masyarakat.
3) Model Sumber Daya Manusia
Setiap manusia cenderung untuk mencapai kepuasan dari prestasi yang
dicapai, dan prestasi yang baik tersebut merupakan tanggung jawabnya
seebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan
motivasi hidup sehat perlu memberikan tanggung jawab dan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi mereka. Motivasi akan meningkat jika diberikan
kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dalam
memelihara kesehatan. Memberikan reward atau penghargaan dan
punishment atau hukuman dapat dipandang sebagai upaya peningkatan
motivasi berperilaku.
Terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi berdasarkan
pandangan beberapa konsep motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi, dan
kebutuhan.
33
Selanjutnya menurut Hamzah (2008) unsur-unsur tersebut dipengaruhi
oleh faktor-faktor yaitu:
a. Kemampuan
Kemampuan adalah trait (bawaan atau dipelajari) yang
berhubungan dengan mental atau fisik. Kemampuan merupakan
kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam
pekerjaan tertentu. Ditinjau dari teori motivasi dan aplikasinya,
kemampuan dapat digolongkan pada dua jenis, yaitu kemampuan fisik
dan kemampuan intelektual. Kemampuan fisik adalah kemampuan
menjalankan tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan,
dan karakteristik. Sedangkan kemampuan intelektual adalah
kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mental,
tujuh dimensi yang paling sering dikutip dalam membentuk
pengetahuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman
verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif,
visualisasi ruang dan daya ingat.
Merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa setiap
orang mempunyai kemampuan tertentu yang sangat berbeda dari
orang lain (Siagian, 2004). Kemampuan seseorang dapat membatasi
usahanya untuk mencapai tujuan.
b. Komitmen
Komitmen terhadap organisasi sebagai salah satu sikap dalam
pekerjaan yang berorientasi terhadap kesetiaan, identifikasi, dan
keterlibatan. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap suatu
34
tujuan memiliki dorongan, intensitas, dan ketekunan untuk bekerja
keras. Komitmen menciptakan keinginan untuk mencapai tujuan dan
mengatasi masalah atau penghalang.
c. Umpan-balik
Umpan-balik menyediakan data, informasi, dan fakta mengenai
kemajuan dalam pencapaian tujuan. Seseorang menggunakan umpan-
balik untuk mengukur dimana penyesuaian dalam usaha. Tanpa
umpan-balik, seseorang beroperasi tanpa pedoman atau informasi
untuk membuat perbaikan sehingga tujuan tidak dapat dicapai tepat
waktu dan pada tingkat yang sesuai dengan anggaran.
d. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok agar tercapai tujuan yang diharapkan (Stephen, 1998 dalam
Faridah, 2009). Keberhasilan ataupun kegagalan suatu organisasi
berkaitan dengan kepemimpinan, baik organisasi berupa perusahaan,
atau lembaga pemerintahan.
Dengan kepemimpinan seseorang mampu untuk mempengaruhi
motivasi atau kompetensi individu lainnya dalam suatu kelompok.
Kepemimpinan mampu membangkitkan semangat orang lain agar
bersedia dan memiliki tanggung jawab terhadap usaha mencapai atau
melampaui tujuan organisasi.
35
e. Faktor instrinsik
1) Prestasi (Achievement)
Prestasi (Achievement) adalah memperoleh kesempatan untuk
mencapai hasil yang baik atau berprestasi. Kebutuhan akan
berprestasi, akan mendorong seseorang untuk mengembangkan
kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang
dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang optimal. Prestasi
kerja adalah penampilan hasil kerja sumber daya manusia (SDM)
dalam suatu organisasi. Prestasi kerja dapat merupakan penampilan
individu maupun kelompok kerja SDM.
Penampilan hasil kerja tidak terbatas pada pegawai yang
menjangkau jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga
kepada seluruh jajaran SDM dalam suatu organisasi.
2) Pengakuan (Recognition)
Pengakuan artinya memperoleh pengakuan dari pihak
perusahaan (manajer) bahwa berprestasi, dikatakan baik, diberi
pengharapan, pujian, dan sebagainya. Faktor pengakuan adalah
kebutuhan akan penghargaan. Pengakuan dapat diperoleh melalui
kemampuan dan prestasi, sehingga terjadi peningkatan status
individu. Apabila terpenuhi kebutuhan akan prestasi dalam
pekerjaannya, yaitu individu memperoleh hasil sebagai usaha dari
pekerjaannya.
36
3) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)
Pekerjaan itu sendiri adalah bagaimana individu menentukan
tujuannya sendiri dengan kebutuhan-kebutuhannya dan
keinginannya. Sehingga dapat mendorong untuk memikirkan
pekerjaan, menggunakan pengalaman-pengalaman dan mencapai
tujuan. Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor penting yang
menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan
bertambahnya kepuasan.
4) Tanggung jawab (Responsibility)
Tanggung jawab adalah keterlibatan individu dalam usaha-
usaha pekerjaannya dan lingkungannya, seperti ada kesempatan,
ada kesanggupan dan ada penguasaan diri sendiri dalam
menyelesaikan pekerjaannya.
Pengertian yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab
terhadap apa, tanpa ada kesenjangan di antara sejumlah
pertanggungjawaban. Diukur atau ditunjukkan dengan seberapa
jauh atasan memahami bahwa pertanggungjawaban dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan.
5) Pengembangan potensi individu (Advancement)
Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan
kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral sesuai dengan
kebutuhan pekerjaan melalui pendidikan atau latihan. Dua
pendekatan utama yaitu pengembangan ditempat kerja dan diluar
kerja. Pendekatan pengembangan ditempat kerja yaitu pembinaan,
37
komite penugasan, rotasi pekerjaan. Sedangkan pendekatan
pengembangan diluar tempat kerja dapat berupa kursus dalam
kelas, pelatihan hubungan antar manusia, studi kasus, bermain
peran, dan lain-lain.
f. Faktor ekstrinsik
1) Kompensasi, gaji atau imbalan (wages salaries)
Faktor yang penting untuk meningkatkan prestasi kerja,
motivasi, dan kepuasan kerja adalah dengan pemberian
kompensasi. Kompensasi berdasarkan prestasi dapat meningkatkan
kinerja seseorang yaitu dengan sistem pembayaran berdasarkan
prestasi kerja.
2) Kondisi kerja (working condition)
Yang dimaksud kondisi kerja adalah tidak terbatas hanya pada
kondisi kerja ditempat pekerjaan masing-masing seperti
kenyamanan dan lain-lain. Akan tetapi, kondisi kerja yang
mendukung dalam menyelesaikan tugas yaitu sarana dan prasarana
kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus
diselesaikan.
Betapapun positifnya perilaku manusia seperti tercermin dalam
kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi, dan dedikasi yang tidak
diragukan, serta tingkat keterampilan yang tinggi tanpa sarana dan
prasarana kerja tidak dapat berbuat banyak apalgi meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerja.
38
3) Kebijakasanaan dan administrasi perusahaan (company policy
and administration)
Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan atau organisasi
merupakan salah satu wujud umum rencana-rencana tetap dari
fungsi perencanaan (planning) dalam manajemen. Kebijaksanaan
(policy) adalah pedoman umum pembuatan keputusan.
Kebijaksanaan berfungsi untuk menandai lingkungan disekitar
keputusan yang dibuat, sehingga memberikan jaminan bahwa
keputusan-keputusan akan sesuai dan menyokong tercapainya arah
atau tujuan.
4) Hubungan antar pribadi (interpersonal relation)
Hubungan dalam organisasi banyak berkaitan dengan rentang
kendali yang diperlukan organisasi karena keterbatasan yang
dimiliki manusia, yang dalam hal ini adalah atasan. Hubungan
antar pribadi (manusia) bukan berarti hubungan dalam fisik, namun
lebih bersifat manusiawi.
5) Kualitas supervisi
Supervisi adalah suatu kegiatan pembinaan, bimbingan, dan
pengawasan oleh pengelola program terhadap pelaksanaan
ditingkat administrasi yang lebih rendah dalam rangka
memantapkan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang ditetapkan (Handoko, 1995 dalam Faridah, 2009).
Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan
berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh
39
bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah diberikan
petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.
Dengan melakukan kegiatan supervisi secara sistematis maka
akan memotivasi untuk meningkatkan prestasi kerja dan
pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik.
2.1.5. Perilaku
Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga
diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan
(Maulana, 2009). Pembagian perilaku menurut Maulana (2009) dilihat dari bentuk
respons terhadap stimulus dibagi 2 yaitu:
a. Perilaku tertutup (convert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup (convert).
Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau
kesadaran, dan sikap.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk
motivasi dengan tindakan nyata, yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat orang lain.
Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku tertutup (convert) maupun
perilaku terbuka (overt), tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi
orang yang bersangkutan. Perilaku merupakan keseluruhan pemahaman dan
40
aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan
eksternal (Notoatmodjo, 2010).
Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010)
Lawrence Green (1991, dalam Notoatmodjo, 2010) menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing) dalam pengetahuan, sikap
kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (Enabling) yaitu lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya atau sarana-sarana kesehatan.
c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (Reinforcing) terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan (Efendi dan Makhfudli, 2009). Penelitian Rogers (1974, dalam
Efendi dan Makhfudli, 2009) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang
mengadopsi perilaku yang baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni sebagai berikut:
d. Timbul kesadaran (awareness) yakni orang tersebut menyadari
(mengetahui) stimulus terlebih dahulu.
Pengalaman,
Fasilitas,
Sosiobudaya
Persepsi, Pengetahuan,
Keyakinan, Keinginan,
Motivasi, Niat, Sikap
PERILAKU
EKSTERNAL INTERNAL RESPONS
41
e. Ketertarikan (interest) yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus.
f. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation) yakni sikap orang
tersebut sudah lebih baik lagi.
g. Mulai mencoba (trial) yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai
mencoba perilaku baru.
h. Mengadaptasi (adoption) yakni orang tersebut telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya setelah stimulus.
Namun, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan proses yang berurutan.
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme, tetapi dalam memberikan respons sangat
bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan
(Maulana, 2009). Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus/determinan
menurut Maulana (2009) dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Faktor internal
Merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat
bawaan (given) seperti ras, sifat fisik, sifat keperibadian, bakat bawaan,
tingkat kecerdasan, dan jenis kelamin.
b. Faktor eksternal
Meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Faktor
lingkungan merupakan faktor dominan terhadap perilaku seseorang.
42
Tahapan dalam perubahan perilaku individu menurut Kemenkes RI (2010)
sebagai berikut:
1. Tidak sadar.
2. Menjadi sadar.
3. Termotivasi untuk mencoba sesuatu yang baru.
4. Mengadopsi perilaku yang baru.
5. Mempertahankan dan menghayati perilaku baru sehingga menjadi
bagian dari perilaku dan kebiasaan sehari-hari.
2.2. Penelitian yang Relevan
1. Faridah, 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di
Puskesmas kota Surabaya dengan kesimpulan persepsi kompensasi kurang baik
(54.8%), persepsi kondisi kerja kurang baik (47.6%), persepsi kebijaksanaan
kurang baik (50%), persepsi supervisi kurang baik (42.9%), persepsi pekerjaan itu
sendiri kurang baik (33.3%), dan hasil persepsi motivasi kerja kurang baik
(54.8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara persepsi kondisi kerja, persepsi kebijaksanaan, dan persepsi
supervisi pelaksanaan program MTBS dengan motivasi kerja petugas pelaksana
MTBS di puskesmas kota Surabaya (p<0.05).
2. Husni dkk. 2012. Gambaran Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) umur 2 bulan sampai 5 tahun di Puskesmas Kota Makassar dengan
kesimpulan bahwa sebagian besar puskesmas di kota Makassar yang menerapkan
MTBS belum memenuhi standar MTBS dari sisi input, proses, dan output.
43
Analisis univariat mengambarkan komponen input, proses, dan output yang
sesuai dengan standar masih kurang.
3. Sri Hastuti, 2010. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap
Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas
Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil kesimpulan bahwa ada
pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap
penatalaksanaan MTBS di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil penelitian
menunjukkan nilai p atau signifikansi pada variabel pengetahuan adalah 0.004,
variabel sikap adalah 0.02, dan variabel motivasi adalah 0.023 dan diketahui
bahwa α<0.05 menunjukkan ada hubungan bermakna antar variabel.
4. Alhassan, Robert Kaba et al. 2013. Association Between Health Worker
Motivation and Healthcare Quality Efforts in Ghana dengan hasil bahwa situasi
perawatan yang berkualitas di fasilitas kesehatan pada umumnya masih rendah,
sebagian besar fasilitas tidak secara terus menerus mendokumentasikan
peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Secara keseluruhan, motivasi staf
masih rendah walaupun bekerja di fasilitas kesehatan swasta. Motivasi staf yang
rendah berdampak pada kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan.
5. Purwanti, Sugi. 2010. Analisis Pengaruh Karakteristik Individu, Fasilitas,
Supervisi, dan Motivasi terhadap Kinerja Petugas Pelaksana Pelayanan Program
MTBS di Kabupaten Banyumas tahun 2010 dengan kesimpulan bahwa responden
berusia 30-40 tahun (51.5%), tingkat pendidikan responden D-III kebidanan
(35.4%), status kepegawaian PNS (73.7%). Responden mempunyai pengetahuan
yang kurang (56.6%), persepsi beban kerja banyak (59%), tempat pelayanan
memiliki fasilitas lengkap (53.5%). Responden memiliki persepsi supervisi baik
44
(67.7%), memiliki motivasi tinggi (53.5%), kinerja petugas pemberi pelayanan
MTBS yang cukup (54.5%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel
persepsi beban p=0.0001, motivasi p=0.008 berhubungan dengan kinerja petugas.
Analisis multivariat menunjukkan adanya pengaruh variabel persepsi beban kerja,
motivasi terhadap kinerja kerja petugas.
45
Sumber: (DepKes RI, 2008). (WHO, 2008). buku Pedoman MTBS WHO (2005). (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010).
(Notoatmodjo, 2010).
2.3. Kerangka Teori
Keterangan:
Warna Ungu: Tidak Diteliti
Warna Hitam: Diteliti
Balita
Sakit Diare
Perilaku dalam Penatalaksanaan
Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS)
Petugas Kesehatan
Tanda dan Gejala:
- Letargis atau tidak sadar
- Mata cekung
- Tidak bisa minum atau malas
makan - Turgor jelek - Gelisah
- Rewel
- Haus atau banyak minum
- Adanya darah dalam tinja
buku Pedoman MTBS WHO (2005)
Penilaian berfokus
pada:
-Klasifikasi
-Pengobatan
-Konseling dan Tindak
Lanjut
(DepKes RI, 2008)
a. Predisposing factors (pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dsb).
b. Enabling factors (lingkungan fisik,
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana kesehatan, dsb).
c. Reinforcing factors (sikap dan perilaku)
(Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010)
Melalui “indikator” (hasil perilaku) responden:
a. Motivasi
b. Kinerja
c. Kepatuhan
d. Partisipasi masyarakat
(Notoatmodjo, 2010)
Etiologi: infeksi bakteri atau virus,
kemiskinan, sanitasi lingkungan
yang buruk
(WHO, 2008)
46
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, variabel yang ingin diketahui yaitu pengetahuan dan
motivasi sebagai variabel bebas (independent variables) dan perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS Diare sebagai variabel terikat
(dependent variable).
Variabel pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Pada umumnya
penelitian-penelitian perilaku kesehatan selama ini mencakup 3 domain perilaku,
yakni pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan terhadap objek kesehatan. Namun
demikian masih banyak penelitian-penelitian perilaku kesehatan diluar 3 domain
tersebut, salah salah satunya adalah motivasi (Notoatmodjo, 2010). Di bawah ini
dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan diteliti di puskesmas kota
Cilegon.
Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pengetahuan
Motivasi
Perilaku Petugas
Kesehatan dalam
Penatalaksanaan
MTBS Diare
47
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.2.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara
Ukur
Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Pengetahuan
Petugas
Kesehatan
dalam
Penataksanaa
n MTBS
Diare
Segala sesuatu yang diketahui,
berkenaan dengan MTBS Diare
yang terkait dengan
penatalaksanaan, pengobatan, dan
tindakan penanganan diare.
Kuesioner Checklist atau daftar cek
kuesioner
Terdiri dari 7 item
pertanyaan.
Pemberian skor dengan skala
Guttman
1. Jawaban benar= 1
2. Jawaban salah= 0
(Siregar, 2013)
1. Baik= jika skor total
jawaban≥ median
(skor ≥7)
2. Cukup= jika skor total
jawaban˂ median
(skor˂7)
Nominal
2. Motivasi
Petugas
Kesehatan
dalam
Penataksanaa
n MTBS
Diare
Segala sesuatu yang mendorong
untuk melakukan sesuatu
berkenaan dengan MTBS Diare
yang terkait dengan
penatalaksanaan, pengobatan, dan
tindakan penanganan diare.
Kuesioner Checklist atau daftar cek
kuesioner
Terdiri dari 10 item
pertanyaan.
Pemberian skor
menggunakan skala Likert:
Sangat Setuju= 4
Setuju= 3
Tidak Setuju= 2
Sangat Tidak Setuju= 1
1. Baik= jika skor total
jawaban ≥ median
(skor ≥ 34)
2. Cukup= jika skor total
jawaban ˂ median
(skor ˂ 34)
Nominal
48
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara
Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Ukur
3. Perilaku
Petugas
Kesehatan
dalam
Penataksanaa
n MTBS
Diare
Hasil pengalaman yang terwujud
dalam proses interaksi dengan
lingkungan berkenaan dengan
MTBS Diare yang terkait dengan
penatalaksanaan, pengobatan, dan
tindakan penanganan diare.
Kuesioner Checklist atau daftar cek
kuesioner
Terdiri dari 8 item
pertanyaan.
Pemberian skor
menggunakan skala Likert:
Selalu= 4
Sering= 3
Kadang-kadang= 2
Tidak pernah= 1
1. Baik= jika skor total
jawaban ≥ mean
(skor≥28)
2. Cukup= jika skor total
jawaban ˂ mean
(skor˂ 28)
Nominal
49
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian yang
muncul adalah:
1. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan
MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon.
2. Ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan
MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon.
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
Sebuah penelitian mengandung metode yang harus dilalui sebagai syarat
dalam penelitian. Pada bab ini menguraikan beberapa cara pelaksanaan penelitian
dengan menyajikan metode-metode yang digunakan serta teknik analisis untuk
menjawab rumusan masalah penelitian.
4.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan pendekatan
observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian cross
sectional meneliti suatu kejadian pada titik waktu dimana variabel dependen dan
independen diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007). Desain cross
sectional untuk mengetahui pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di Puskesmas kota Cilegon.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas di kota Cilegon yang terdiri dari 8
puskesmas yaitu Puskesmas Cilegon, Puskesmas Cibeber, Puskesmas Jombang,
Puskesmas Ciwandan, Puskesmas Citangkil, Puskesmas Purwakarta, Puskesmas
Grogol, dan Puskesmas Pulomerak. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2-12
Juni 2014.
51
4.3. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Hidayat, 2007).
Populasi dalam penelitian adalah petugas kesehatan yang menangani
MTBS di 8 Puskesmas kota Cilegon. Dari data Dinas Kesehatan kota
Cilegon populasi petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, bidan, dan
perawat sebanyak 265 orang.
Tabel 4.3.1
Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014
Petugas Kesehatan Total
Dokter 23
Perawat 119
Bidan 123
Total 265
Sumber: Dinkes kota Cilegon, 2014
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang
diteliti (Hidayat, 2007). Teknik pengambilan sampel yang digunakan
secara purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki oleh peneliti (Setiadi,
2007). Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel yaitu petugas
kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan MTBS, yaitu sebanyak 51
responden di puskesmas kota Cilegon.
52
Agar sampel yang digunakan match, peneliti menentukan kriteria
inklusi:
a. Petugas kesehatan Pria dan Wanita yang bekerja di puskesmas kota
Cilegon.
b. Petugas kesehatan yang pernah mendapatkan pelatihan mengenai
MTBS.
c. Petugas kesehatan yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.
Sedangkan kriteria ekslusi sampel dari penelitian ini adalah:
a. Petugas kesehatan yang sedang cuti/perjalanan dinas/sakit.
4.4. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh informasi dari petugas kesehatan sebagai responden,
peneliti menggunakan lembaran kuesioner dalam bentuk daftar cek atau check list.
Instrumen ini terdiri dari empat bagian yaitu identitas responden, variabel
pengetahuan, variabel motivasi, dan variabel perilaku. Cara pengukuran dilakukan
dengan kuesioner dengan menggunakan skala Guttman untuk variable
pengetahuan dan skala Likert untuk variabel motivasi dan perilaku. Pernyataan
merupakan pernyataan positif. Jawaban-jawaban responden pada tiap variabel
diberi nilai sebagai berikut:
a. Kuesioner pada variabel bebas yaitu pengetahuan dengan pernyataan sebanyak
10 soal yang disusun oleh peneliti didasarkan pada panduan buku bagan MTBS
(2010) dan Depkes RI (1999, dalam Hidayat, 2008). Penilaian dengan
menggunakan skala Guttman, peneliti memberikan nilai dengan skor 1 untuk
jawaban ya dan skor 0 untuk jawaban tidak.
53
b. Pernyataan pada variabel bebas yaitu motivasi dengan 10 pernyataan soal yang
disusun oleh peneliti didasarkan pengembangan kuesioner Purwanti (2010)
dengan judul analisis pengaruh karakteristik individu, fasilitas, supervisi, dan
motivasi terhadap kinerja petugas pelaksana pelayanan program MTBS di
kabupaten Banyumas tahun 2010 berdasarkan teori motivasi Maslow.
Kuesioner Purwanti (2010) pada variabel motivasi didasarkan pada lima
hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis pada item nomor 3 dan 4,
kebutuhan rasa aman pada item nomor 1 dan 2, kebutuhan kasih sayang pada
item nomor 4 dan 5 , kebutuhan penghargaan diri pada item nomor 6, dan
kebutuhan aktualisasi pada item nomor 7, 8, 9, dan 10. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan skala Likert. Pada variabel motivasi jawaban sangat
setuju diberi skor 4, setuju skor 3, tidak setuju skor 2, dan sangat tidak setuju
skor 1.
c. Pernyataan pada variabel terikat yaitu perilaku dengan 10 pernyataan soal yang
disusun oleh peneliti berdasarkan buku pedoman MTBS WHO (2005) dan
Depkes (1999 dalam Hidayat, 2008). Penilaian dengan menggunakan skala
Likert. Untuk variabel perilaku jawaban selalu diberi skor 4, sering skor 3,
kadang-kadang skor 2, dan tidak pernah skor 1.
Peneliti membagi skor tersebut menjadi 2 kategori yaitu baik dan cukup.
Analisis selanjutnya data variabel pengetahuan petugas kesehatan terhadap
penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi:
a. Baik= jika skor total jawaban ≥ median.
b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (Dahlan, 2013).
54
Untuk analisis selanjutnya data variabel motivasi petugas kesehatan
terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi:
a. Baik= jika skor total jawaban ≥ median.
b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (Setiadi, 2007).
Dan analisis data variabel perilaku petugas kesehatan terhadap penanganan
MTBS diare dikategorikan menjadi:
a. Baik= jika skor total jawaban ≥ mean.
b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ mean (Hidayat, 2008).
4.5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Dua karakteristik yang harus diperhatikan dalam penelitian yaitu validitas dan
reliabilitas (Nursalam, 2009). Uji validitas dan uji reliabilitas pada penelitian ini
dilakukan di Puskesmas kota Tangerang Selatan karena kota Tangerang Selatan
berada di provinsi Banten dan telah melaksanakan MTBS. Uji ini dilakukan
dengan sampel sebanyak 32 petugas kesehatan yang berada di wilayah kerja
puskesmas Ciputat dan Ciputat Timur.
1. Hasil Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Untuk mengetahui apakah
kuesioner yang disusun mampu mengukur apa yang akan diukur, maka perlu diuji
dengan uji korelasi antara skor tiap item pernyataan dengan skor total kuesioner
dan pernyataan tersebut mempunyai korelasi yang bermakna (construct validity).
Apabila kuesioner telah memiliki validitas konstruk, berarti semua item
pernyataan yang ada di dalam kuesioner mengukur konsep yang akan diukur.
55
Uji ini akan dilakukan dengan teknik korelasi yang dipakai adalah teknik
korelasi Product moment dengan rumus:
√
Keterangan:
r= koefisien korelasi
N= jumlah respondem
X= skor tiap item pertanyaan
Y= skor total
Metode pengujian validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan korelasi pearson product moment, yaitu distribusi (t tabel) untuk
α= 0.05 dan derajat kebebasan (dk= n-2) dengan ketentuan valid instrumen
apabila nilai t hitung > nilai t tabel atau apabila nilai r hitung > nilai r tabel pada N= 32
dan α= 0.05 (Riduwan, 2007). Menurut Sugiyono (2010) bila korelasi tiap faktor
positif dan besarnya 0.3 ke atas maka faktor tersebut merupakan konstruksi yang
kuat.
Tabel 4.5.1 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan, Motivasi, dan
Perilaku
Variabel Nomor Item N-Valid
Pengetahuan 1*, 2*, 3, 4, 5, 6, 7*, 8, 9, 10 7
Motivasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 10
Perilaku 1, 2, 3*, 4, 5, 6, 7*, 8, 9, 10 8
N-Valid 25
Keterangan: nomor item bertanda bintang (*) item tidak valid
Pada penelitian ini, uji instrumen dilakukan pada tanggal 21-22 Mei 2014.
Uji instrumen dilakukan terhadap 32 petugas kesehatan di puskesmas Ciputat dan
puskesmas Ciputat Timur. Hasil korelasi tiap item pernyataan pada variabel
pengetahuan berkisar antara -0.37 sampai 3.49. Nilai ini kemudian dibandingkan
dengan t tabel pada signifikasi 5% dengan uji 2 sisi dan n=32, yaitu sebesar 1.70.
Dari uji ini, item 1, 2, dan 7 dinyatakan tidak valid karena nilai korelasi kurang
56
dari 1.70 sehingga item tersebut tidak digunakan. Kemudian, hasil korelasi tiap-
tiap item pernyataan pada variabel motivasi didapat nilai berkisar 0.566 sampai
0.867. Hasil nilai menunjukkan nilai korelasi item lebih dari 0.3, maka 10 item
pernyataan pada variabel motivasi dinyatakan valid.
Adapun korelasi tiap-tiap item variabel perilaku didapat nilai berkisar -
0.039 sampai 0.703, dari hasil ini didapat item 3 dan 7 tidak valid karena nilai
kurang dari 0.3. Jadi, kesimpulannya item 1, 2, dan 7 pada variabel pengetahuan,
item 3 dan 7 pada variabel perilaku dianggap tidak valid sehingga total
keseluruhan item pernyataan yang digunakan dalam penelitian adalah 25 soal
terdiri dari 7 pernyataan variabel pengetahuan, 10 pernyataan variabel motivasi,
dan 8 pernyataan variabel perilaku.
2. Hasil Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2010). Reliabilitas
(keandalan) adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh
orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Nursalam, 2009).
Kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala sosial (nonfisik) harus
memiliki reliabilitas yang tinggi. Untuk itu perlu diuji coba, setelah itu akan diuji
dengan tes menggunakan rumus Alpha Cronbach untuk skala Guttman, yaitu
menganalisis kuesioner dari satu kali pengukuran (Ridwan, 2007). Hasil uji
dinyatakan reliabel apabila nilai Alpha Cronbach > 0.6 (Hidayat, 2008).
Pada penelitian ini, reliabilitas pada dimensi pengetahuan menggunakan
KR-20. KR-20 adalah pengujian reliabilitas pada skala guttman dan pernyataan
berjumlah ganjil. Instrumen dikatakan reliabel pada KR-20 dengan menggunakan
57
r product moment yaitu jika r hitung >nilai r tabel atau 0.349 pada N= 32 (Arikunto,
2010). Pada uji reliabel 7 pernyataan variabel pengetahuan dengan KR-20 didapat
hasil 0.372, sedangkan pada variabel motivasi didapat hasil Alpha Cronbach
0.874 dan variabel perilaku dengan 10 pernyataan didapat hasil Alpha Cronbach
0.265, ketika 2 item dibuang menjadi 8 item pernyataan didapat hasil 0.627, dari
hasil uji reliabilitas tersebut, maka instrumen dianggap reliabel, dapat dipercaya,
dan diandalkan.
4.6. Langkah-Langkah Pengumpulan Data
1. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian di Puskesmas kota
Cilegon yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Cilegon setelah
penguji menyetujui proposal penelitian.
2. Setelah mendapat surat pengantar izin penelitian oleh Dinas Kota
Cilegon, peneliti terlebih dahulu melakukan uji validitas dan reliabilitas
instrumen pada 32 petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Ciputat
Timur dan Puskesmas Ciputat.
3. Peneliti mengajukan surat rekomendasi penelitian ke badan kesbangpol
provinsi Banten dan kesbanglinmas kota Cilegon.
4. Peneliti melakukan seleksi calon responden sesuai kriteria yang telah
ditentukan setelah instrumen dinyatakan valid dan reliabel.
5. Peneliti melakukan penelitian kepada 51 petugas kesehatan sesuai
dengan besar sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.
6. Peneliti melakukan informed consent kepada petugas kesehatan sebagai
responden, memberi penjelasan mengenai pengisian kuesioner.
58
7. Responden mengisi kuesioner, peneliti melakukan proses pengambilan
data dilakukan pada tanggal 2-12 Juni 2014 dan disesuaikan dengan
kondisi Puskesamas di kota Cilegon.
8. Peneliti mengelolah dan menganalisa kuesioner yang telah diisi oleh
responden.
4.7. Etika Penelitian
Peneliti dalam melakukan penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah
(scientific attitude) Dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang
harus dipegang teguh pada etika penelitian, meskipun penilitian dilakukan tidak
merugikan atau membahayakan bagi subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Dalam
melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh (Milton,
1999 dalam Notoatmodjo, 2010), yakni:
a. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan
informasi tentang tujuan penelitian melakukan penelitian tersebut. Peneliti juga
memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi atau tidak
memberikan informasi (berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti
mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform concent) yang mencakup:
1. Penjelasan manfaat penelitian.
2. Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
3. Penjelasan manfaat yang didapatkan.
4. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan
subjek berkaitan dengan prosedur penelitian.
59
5. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian
kapan saja.
6. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi
yang diberikan oleh responden.
b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for
privacy and confidentiality)
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan
kebebasan individu dalam memberikan informasi. Oleh sebab itu, peneliti cukup
menggunakan coding sebagai pengganti identitas responden.
c. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice and
inclusiveness)
Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,
keterbukaan, dan kehati-hatian.
d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits)
Penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi
masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti juga
hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek.
4.8. Pengolahan Data
Pengolahan data dibagi 2 yaitu pengolahan data secara manual dan komputer
(Notoatmodjo, 2010). Pengolahaan data secara manual pada saat ini memang jarang
digunakan. Namun, dalam keterbatasan-keterbatasan sarana dan prasarana atau bila
data tidak terlalu besar, pengolahan data secara manual masih diperlukan.
60
Pengolahan data secara komputer yang sering digunakan. Adapun tahap-tahap
pengolahan data sebagai berikut:
1. Editing
Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus
dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing
adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikkan isian kuesioner yang
mencakup kelengkapan data, relevan, jelas/terbaca, dan konsisten. Apabila
ada jawaban yang belum lengkap, jika memungkinkan perlu dilakukan
pengambilan data ulang atau jika tidak memungkinkan maka data tersebut
dimasukkan dalam pengelolaan data missing.
2. Coding
Setelah semua kuesioner diedit, maka selanjutnya dilakukan pengkodean
atau coding yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan. Coding atau pemberian data ini sangat berguna dalam
memasukkan data (data entry).
3. Data Entry atau Processing
Data yakni jawabahn-jawaban dari masing-masing responden yang dalam
bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau software
komputer. Software komputer ini bermacam-macam, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Salah satu paket program yang
paling sering digunakan untuk memasukkan data penelitian adalah paket
program SPSS for Window. Dalam proses ini dituntut ketelitian, apabila tidak
maka akan terjadi bias, meskipun hanya memasukkan data.
61
4. Pembersihan Data (Cleaning)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya,
kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
4.9. Analisis Data
Setelah dilakukan proses pengelolaan data langkah selanjutnya adalah
melakukan proses analisis data. Analisa data dilakukan untuk mengolah data
dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan serta untuk menguji
secara statistik kebenaran hipotesis yang telah ditetapkan (Sumantri, 2011).
Adapun analisis yang akan digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua tahap
yaitu:
1. Analisis Univariat (Deskriptif)
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari
jenis datanya (Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat ini bertujuan untuk
mengetahui jumlah, mean atau rata-rata, persentase variabel penelitian (Sumantri,
2011). Pada analisis ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dan proporsi
responden berdasarkan: 1) Karakteristik petugas kesehatan yang terdiri dari jenis
kelamin, usia, pendidikan, dan lama kerja; 2) Gambaran pengetahuan petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare; 3) Gambaran motivasi petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare, dan 4) Gambaran perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare.
62
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau berkolerasi dan hasi uji didapat adanya hubungan variabel dependen dan
independen tersebut bermakna atau tidak bermakna (Notoatmodjo, 2010). Analisis
bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan
dependen, yaitu hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
Teknik analisis dilakukan dengan uji chi-square dengan menggunakan
derajat kepercayaan 95% dengan α= 5%, sehingga jika P (p-value) <0.05
menunjukkan hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan
ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dan apabila
nilai p value > 0.05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak
ada hubungan. Sedangkan cara menginterpretasikan sejauh mana hubungan kedua
variabel independen dan dependen digunakan bantuan program aplikasi statistik.
4.10. Penyajian Data
Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk tabulasi yang
kemudian dijabarkan dalam bentuk tulisan.
63
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini disajikan secara format laporan penelitian berdasarkan desain
penelitian yang sudah dibuat dan dijelaskan tiap tabel atau gambaran hasil
penelitian.
5.1. Puskesmas di kota Cilegon
Kota Cilegon adalah kota di provinsi Banten, Indonesia yang berada di
ujung barat laut pulau Jawa, di tepi selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai
kota Industri atau kota Baja. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kota Cilegon
terbagi atas 8 (delapan) kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 15
tahun 2002, yaitu:
1. Kecamatan Cilegon
2. Kecamatan Ciwandan
3. Kecamatan Pulomerak
4. Kecamatan Cibeber
5. Kecamatan Grogol
6. Kecamatan Purwakarta
7. Kecamatan Citangkil
8. Kecamatan Jombang
Pada setiap kecamatan memiliki 1 puskesmas, puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas (UPTD) kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Depkes
RI, 2004).
64
Daftar puskesmas yang ada di kota Cilegon sebagai berikut:
1. Puskesmas Cilegon
Jalan Pesut Kav. Blok C Cilegon kecamatan Cilegon kota Cilegon Banten.
2. Kecamatan Ciwandan
Jalan Sunan Gunung Jati No. 2 kecamatan Ciwandan kota Cilegon Banten.
3. Kecamatan Pulomerak
Jalan Puskesmas Pulo Merak No. 3 kecamatan Pulo Merak kota Cilegon
Banten.
4. Kecamatan Cibeber
PCI blok D kelurahan Cibeber kecamatan Cibeber kota Cilegon Banten.
5. Kecamatan Grogol
Kp. Cidangdang Ds. Rawa Arum kecamatan Grogol kota Cilegon Banten.
6. Kecamatan Purwakarta
Jalan Pasar Baru Kubang Welingi Kecamatan Purwakarta kota Cilegon
Banten.
7. Kecamatan Citangkil
Jalan K.H Agus Salim kelurahan Kebonsari Kecamatan Citangkil kota
Cilegon Banten.
8. Kecamatan Jombang
Jalan Kranggot kelurahan Jombang kecamatan Jombang kota Cilegon Banten.
5.2. Hasil Preeliminary Analysis
Sebelum dilakukan analisis univariat maupun bivariat, kenormalan data
terlebih dahulu diuji. Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah data
65
berdistribusi normal atau tidak. Jika nilai Kolmogorov Smirnov ˂0.05 maka
diasumsikan data diasumsikan tidak berdistribusi normal, begitu sebaliknya
(Dahlan, 2013). Berikut ini adalah hasil uji normalitas pada masing-masing data
penelitian:
Tabel 5.2.1
Hasil Uji Normalitas Data
Variabel Kolmogorov Smirnov (KS) Distribusi Data
Jenis Kelamin 0.000 Tidak Normal
Usia 0.010 Tidak Normal
Pendidikan 0.000 Tidak Normal
Lama Kerja 0.000 Tidak Normal
Pengetahuan 0.000 Tidak Normal
Motivasi 0.043 Tidak Normal
Perilaku 0.075 Normal
Sumber: Data Primer 2014
Data tabel 5.2.1 diatas variabel perilaku berdistribusi normal, sedangkan
variabel jenis kelamin, usia, pendidikan, lama kerja, pengetahuan, dan motivasi
berdistribusi tidak normal (Kolmogorov Smirnov <0.05), sehingga analisis
selanjutnya menggunakan uji statistik non parametrik. Pada penelitian ini,
variabel yang dihubungkan adalah variabel pengetahuan (dependen) dengan
perilaku (independen) dan motivasi (dependen) dengan perilaku (independen).
Skala yang digunakan adalah kategorik dengan jenis tabel 2x2, sehingga uji non
parametrik yang digunakan untuk analisis bivariat adalah Uji Chi-Square.
5.3. Hasil Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Pada penelitian ini, karakteristik petugas kesehatan yang dianalisa adalah
sebagai berikut:
66
a. Jenis Kelamin
Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori jenis kelamin
digambarkan pada tabel 5.3.1 berikut:
Tabel 5.3.1
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Jenis Kelamin di
Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51)
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
Laki-laki 1 2.0%
Perempuan 50 98.0%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Tabel 5.2.1 menunjukkan hasil bahwa sebagai besar petugas kesehatan
berjenis kelamin perempuan, yakni sebesar 98.0%, sedangkan petugas
kesehatan laki-laki hanya sebesar 2.0%.
b. Usia
Rata-rata usia petugas kesehatan 35 tahun dengan usia termuda 25 tahun
dan tertua 52 tahun dengan standar deviasi 0.633. Hal tersebut dapat dilihat
pada tabel 5.3.2 berikut:
Tabel 5.3.2
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Usia di Puskesmas kota
Cilegon Juni 2014 (n=51)
Usia (tahun) Frekuensi Persentase
17-27 5 9.8%
28-38 36 70.6%
39-49 8 15.7%
50-60 2 3.9%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Berdasarkan tabel 5.2.2 didapat bahwa sebagian besar responden berada
pada rentang usia 28-38 tahun, yaitu sebesar 70.6%.
67
c. Pendidikan
Sebagian besar petugas kesehatan yang menjadi responden berlatar
belakang pendidikan Diploma 3 (D-III) keperawatan dan kebidanan sebesar
68.6%. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.3.3 berikut:
Tabel 5.3.3
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Pendidikan di Puskesmas
kota Cilegon Juni 2014 (n=51)
Pendidikan Frekuensi Persentase
SPK 3 5.9%
D-III 35 68.6%
D-IV 2 3.9%
S1 9 17.6%
S2 2 3.9%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Pada tabel diketahui bahwa latar belakang pendidikan petugas kesehatan
terdiri dari Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK), Diploma 3 (D-III),
Diploma 4 (D-IV), Strata 1 (S1), dan Strata II (S2).
d. Lama Kerja
Peneliti membagi petugas kesehatan berdasarkan lama kerja pada tabel
5.3.4 berikut:
Tabel 5.3.4
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Lama Kerja di Puskesmas
kota Cilegon Juni 2014 (n=51)
Lama Kerja Frekuensi Persentase
˂ 5 tahun 10 19.6%
5 tahun 13 25.5%
˃ 5 tahun 28 54.9%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Rata-rata petugas kesehatan sudah lama kerja berkisar >5 tahun sebanyak
28 petugas kesehatan dengan persentase 54.9%
68
2. Gambaran Pengetahuan Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS
Diare di Puskesmas kota Cilegon
Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori pengetahuan
dapat dilihat pada tabel 5.3.5 berikut ini:
Tabel 5.3.5
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Pengetahuan di
Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51)
Pengetahuan Frekuensi Persentase
Baik 32 62.7%
Cukup 19 37.3%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Dari seluruh petugas kesehatan memiliki pengetahuan baik sebanyak 32
responden (62.7%), 19 responden berpengetahuan cukup (37.3%). Tabel diatas
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pengetahuan petugas kesehatan baik,
yaitu 62.7%.
3. Gambaran Motivasi Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di
Puskesmas kota Cilegon
Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori motivasi dapat
dilihat pada tabel 5.3.6 berikut ini:
Tabel 5.3.6
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Motivasi di Puskesmas
kota Cilegon Juni 2014 (n=51)
Motivasi Frekuensi Persentase
Baik 27 52.9%
Cukup 24 47.1%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Dari tabel diatas didapat bahwa motivasi petugas kesehatan baik sebanyak 27
responden dengan persentase sebesar 52.9% dan cukup 24 responden dengan
persentase 47.1%.
69
4. Gambaran Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di
Puskesmas kota Cilegon
Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori perilaku dapat dilihat
pada tabel 5.3.7 berikut ini:
Tabel 5.3.7
Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Perilaku di Puskesmas
kota Cilegon Juni 2014 (n=51)
Perilaku Frekuensi Persentase
Baik 28 54.9%
Cukup 23 45.1%
Total 51 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Dari tabel diatas didapat bahwa perilaku petugas kesehatan baik sebanyak 28
responden dengan persentase 54.9% dan cukup sebanyak 23 responden dengan
persentase 45.1%.
5.4. Hasil Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menganalisis data dari dua variabel yang
berbeda. Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku dalam penatalaksanaan
MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Teknik analisis yang dilakukan dengan
menggunakan uji Chi-Square.
70
1. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam
Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon
Tabel 5.4.1
Hasil analisis Chi-Square Pengetahuan dengan Perilaku Petugas Kesehatan
dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas di kota Cilegon Juni
2014 (n=51)
Pengetahuan
Perilaku Total
p-value Baik Cukup
n % N % n %
Baik 17 33.3% 15 29.4% 32 62.7%
0.968 Cukup 11 21.6% 8 15.7% 19 37.3%
Total 28 54.9% 23 45.1% 51% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
Dari tabel 5.4.1 didapat persentase pengetahuan dengan perilaku baik
sebesar 33.3%, pengetahuan baik dengan perilaku cukup sebesar 29.4%, perilaku
baik dengan pengetahuan cukup sebesar 21.6%, dan pengetahuan dengan perilaku
cukup sebesar 15.7%. Uji statistika didapat p-value= 0.968, hasil dikatakan
bermakna apabila nilai significancy p< 0.05. Hal tersebut menunjukkan tidak ada
hubungan antara variabel pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam
Penatalaksanaan MTBS Diare di puskesmas kota Cilegon..
2. Hubungan Motivasi dengan Perilaku Petugas kesehatan dalam
Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon
Tabel 5.4.2
Hasil Analisis Chi-Square Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan
dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas di kota Cilegon Juni
2014 (n=51)
Motivasi
Perilaku Total
p-value Baik Cukup
n % N % n %
Baik 19 37.3% 8 15.7% 27 52.9%
0.038 Cukup 9 17.6% 15 29.4% 24 47.1%
Total 28 54.9% 23 45.1% 51% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014
71
Dari tabel 5.4.2 didapat persentase motivasi dengan perilaku baik
didapatkan hasil sebesar 37.3%, motivasi baik dengan perilaku cukup sebesar
15.7%, perilaku baik dengan motivasi cukup sebesar 17.6%, dan persentase
motivasi dengan perilaku cukup sebesar 29.4%. uji statistika didapatkan nilai p-
value= 0.038. Hasil dikatakan bermakna apabila nilai significancy p<0.05. Hal
tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel motivasi dengan perilaku
petugas kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di puskesmas kota
Cilegon..
72
BAB VI
PEMBAHASAN
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang
karakteristik petugas kesehatan, hubungan pengetahuan dengan perilaku
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon, dan hubungan motivasi
petugas kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas
kota Cilegon. Pada akhir pembahasan, peneliti juga menyertakan keterbatasan dari
penelitian.
6.1. Analisa Univariat
1. Gambaran Karakteristik Petugas Kesehatan di Puskesmas di kota
Cilegon
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk
menentukan indikator atau ukuran dari perilaku. Green (1980, dalam
Notoatmodjo, 2010) mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan
predisposing factor terjadinya perubahan perilaku seseorang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir semua petugas
kesehatan berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 98.0%, sedangkan
petugas kesehatan laki-laki hanya sebesar 2.0%.
Data ini menunjukkan adanya perbedaan proporsi yang signifikan
antara petugas kesehatan perempuan dan laki-laki, maka pada penelitian
menggambarkan lebih banyak minat perempuan yang bekerja di puskesmas
daripada laki-laki. Perbedaan jenis kelamin tidak muncul dalam perilaku
73
yang berorientasi terhadap tugas, orang, efektivitas dari manajer aktual, dan
respons bawahan terhadap aktual (Ivancevich, Robert, dan Michael, 2006).
Meskipun demikian, pelayanan kesehatan yang diberikan harus mampu
menghadirkan pelayanan yang memuaskan bagi pasien (Notoatmodjo,
2010).
b. Usia
Usia merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang
(Notoatmodjo, 2010). Usia secara positif mempengaruhi kepuasan kerja,
pekerjaan yang lebih berarti, dan keterampilan yang lebih baik (Ivancevich,
Robert, dan Michael, 2006). Siagian (2002) mengatakan bahwa semakin
meningkatnya usia seseorang maka kedewasaan teknis dan psikologi
semakin bijaksana, mampu berfikir secara rasional, mengendalikan emosi,
dan toleran terhadap pendapat orang lain.
Dari hasil penelitian didapat rata-rata usia petugas kesehatan 35 tahun
dengan usia termuda 25 tahun dan tertua 52 tahun dengan standar deviasi
0.633. Dasar penghitungan usia angkatan kerja menurut Badan Pusat
Statistika (2011) mengatakan bahwa usia 15-64 tahun merupakan usia
produktif bagi warga negara Indonesia. Perbedaan usia perlu diperhatikan,
karena pekerjaan yang dengan usia tua cenderung lebih stabil dan matang,
mempunyai pandangan yang seimbang sehingga tidak mudah mengalami
tekanan mental atau ketidakberdayaan dalam pekerjaan (Masloch, 1982
dalam Nasir, 2008). Sehingga diharapkan petugas kesehatan yang memiliki
usia yang lebih tua mampu memberikan contoh yang baik bagi yang lebih
muda karena dianggap lebih berpengalaman.
74
c. Pendidikan
Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa tingkat pendidikan
mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti kesehatan baik pada diri
sendiri maupun lingkungannya yang dapat mendorong kebutuhan akan
pelayanan kesehatan, termasuk penatalakanaan MTBS diare. Sebagian besar
petugas kesehatan berlatar belakang pendidikan D-III sebesar 68.6%, S1
(17.6%), SPK (5.9%), D-IV (3.9%), dan S2 (3.9%). Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan proporsi terkait latar belakang pendidikan
petugas kesehatan yang menangani MTBS diare. Dari data didapat petugas
kesehatan yang berlatar pendidikan tinggi sudah cukup banyak, diharapkan
dengan latar belakang pendidikan yang baik agar dapat menjadi agent of
change, social control, dan supervisor sehingga mampu meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, semua petugas kesehatan baik berlatar pendidikan SPK
sampai jenjang S2 mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh
informasi terkait penatalaksanaan MTBS, khususnya diare baik melalui
pendidikan formal maupun non formal sehingga mampu menghasilkan
perubahan atau meningkatkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
d. Lama Kerja
Robbins et. al (2008) menyatakan bahwa perilaku di masa lalu adalah
dasar perkiraan paling baik dari perilaku di masa depan, hal ini terkait
dengan lama atau konsisten seseorang terhadap pekerjaannya. Dari hasil
pengumpulan data didapat bahwa rata-rata petugas kesehatan sudah bekerja
lebih dari 5 tahun (54.9%), 5 tahun (25.5%), dan kurang dari 5 tahun
75
(19.6%). Dari hasil tersebut diharapkan petugas kesehatan sudah mampu
memberikan yang positif terhadap peningkatan pengetahuan dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan khususnya penatalaksanaan MTBS diare.
Seniati (2006) menunjukkan adanya pengaruh lama kerja terhadap
komitmen, dimana semakin lama masa kerja maka akan memiliki komitmen
yang lebih tinggi. Semakin lama seseorang bekerja dalam satu organisasi
maka semakin tinggi pula kepuasannya terhadap pekerjaan, hal ini diperoleh
antara lain karena adanya kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan
apa yang diterima (Spector, 1997 dalam Seniati, 2006). Diharapkan petugas
kesehatan mampu menjadi role model yang baik dan memiliki loyalitas
yang tinggi dalam bekerja.
2. Gambaran Pengetahuan Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan
MTBS Diare di Puskesmas di kota Cilegon
MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia,
yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5
tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Hastuti (2010) MTBS merupakan suatu
pendekatan terpadu untuk kesehatan anak yang berfokus pada kesejahteraan anak
secara menyeluruh. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala
sesuatu berkenaan dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010).
Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan
“what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo,
2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi
melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.
76
Hasil penelitian ini didapatkan petugas kesehatan memiliki pengetahuan
baik sebesar 62.7% dan cukup sebesar 37.3%. Namun, penelitian Hastuti (2010)
dalam Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap Penatalaksanaan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan di Puskesmas
kabupaten Boyolali didapat pengetahuan petugas kesehatan dalam kategori baik
sebanyak 11 petugas kesehatan (18%), pengetahuan merupakan dasar untuk
terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare sudah baik, pengetahuan
ditekankan pada pemahaman bahwa metode MTBS merupakan penatalaksanaan
yang terintegrasi dengan program lain dan dapat mempunyai lebih dari satu
masalah penyakit (Hastuti, 2010).
Pengetahuan yang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
pendidikan, masa kerja, pengalaman, minat, dan sumber informasi (Notoatmodjo,
2010). Dari segi pendidikan, sebagian besar petugas kesehatan berlatar pendidikan
D-III kebidanan dan keperawatan dan sudah mendapatkan pelatihan terkait
MTBS. Dari segi pengalaman kerja, sebagian besar petugas kesehatan sudah
bekerja lebih dari 5 tahun (54.9%). Dan usia petugas kesehatan dalam rentang usia
produktif dimana sebagian besar petugas kesehatan berumur antara 28-38 tahun
(70.6%). Pengalaman yang akan melekat menjadi pengetahuan pada individu
secara subjektif sehingga semakin banyak pengalaman maka pengetahuan akan
semakin baik.
Hal ini berarti semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang materi MTBS
akan semakin mudah dalam menerapkan MTBS sesuai standar, khususnya pada
penanganan kasus diare.
77
3. Gambaran Motivasi Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS
Diare di Puskesmas kota Cilegon
Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai kinerja
seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa
didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011). Hal ini juga dapat
dilihat dari data bahwa motivasi petugas kesehatan dalam melaksanakan MTBS
diare baik (52.9%) dan cukup (47.1%). Faridah (2009) dalam penelitiannya
mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja
Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota
Surabaya didapat hasil motivasi kerja kurang baik sebesar 54.8% daripada yang
baik sebesar 45.2%, motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan
setiap individu mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja
yang tinggi.
Berdasarkan data tersebut dapat dianalisa bahwa petugas kesehatan
mempunyai motivasi baik dalam meningkatkan kinerjanya terhadap
penatalaksanaan MTBS diare. Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan
bahwa motivasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di
fasilitas kesehatan. Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang
memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Faktor-
faktor yang mempengaruhi motivasi dapat menjadi rintangan dalam mendapatkan
perilaku yang diinginkan, faktor tersebut yaitu 1) atribut pribadi, yang terdiri dari
komponen fisik, perkembangan, dan psikologis individu; 2) pengaruh lingkungan
dan interaksi sosial (Bastable, 2002). Dengan demikian, tanggung jawab petugas
78
kesehatan terhadap peningkatan kesehatan dan penurunan angka kejadian diare
diharapkan dapat tercapai.
4. Gambaran Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS
Diare di Puskesmas kota Cilegon
Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga
diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan
(Maulana, 2009). Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented),
dengan kata lain perilaku pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk
mencapai tujuan tertentu. Setiap orang mempunyai sifat yang berbeda sehingga
perilakunya berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab terjadinya
perilaku dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: 1) penyebab dalam diri;
2) lingkungan; dan 3) interaksi keduanya (Barata, 2003). Berdasarkan hasil
penelitian didapat bahwa perilaku petugas kesehatan baik sebesar 54.9% dan
cukup sebesar 45.1%.
Data penelitian menunjukkan variabel pengetahuan petugas kesehatan baik
sebesar 62.7% dan cukup sebesar 37.3%, serta motivasi petugas kesehatan baik
dengan persentase sebesar 52.9% dan sedang sebesar 47.1%. Pengetahuan dan
Motivasi sebagai faktor internal mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo,
2010). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Efendi dan Makhfudli, 2009).
79
6.2. Analisa Bivariat
1. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Penatalaksanaan
MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara variabel yang diuji, yaitu pengetahuan dengan perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare p= 0.968.
Pengetahuan merupakan dasar untuk terbentuknya tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2010). Data hasil penelitian berdasarkan pendidikan didapat
bahwa sebagian besar petugas kesehatan berlatar belakang pendidikan D-III
(68.6%). Akan tetapi, semua petugas kesehatan baik berlatar pendidikan
SPK sampai jenjang S2 mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh informasi terkait penatalaksanaan MTBS, khususnya diare baik
melalui pendidikan formal maupun non formal sehingga mampu
menghasilkan perubahan atau meningkatkan pengetahuan (Notoatmodjo,
2010).
Hastuti (2010) mengatakan bahwa dalam metode MTBS pengetahuan
ditekankan pada pemahaman dalam penatalaksanaan kasus yang terintegrasi
dan dapat mempunyai lebih dari satu masalah penyakit atau klasifikasi. Jika
kelangsungan hidup anak harus ditingkatkan, kinerja petugas kesehatan
yang terlatih menangani MTBS harus diidentifikasi dan dipahami, dari hasil
didapat bahwa pengetahuan petugas kesehatan sudah baik (62.7%), akan
tetapi tidak diimbangi perilaku petugas kesehatan (54.9%) walaupun masih
dalam kategori baik. Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan
keterampilan selama pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja, akan
80
tetapi kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan
motivasi, sikap klien dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang.
Adanya variasi pengetahuan menunjukkan pengetahuan seseorang
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: tingkat pendidikan, informasi,
budaya pengalaman, dan sosial ekonomi. Petugas kesehatan menyesuaikan
terhadap perubahan lingkungan, sehingga jika pedoman baru sudah
dipahami tidak mengganti petugas yang sudah dilatih, tetapi dapat
memodifikasi untuk memasukkan aspek yang baru.
Dengan adanya pengawasan dapat meningkatkan kinerja petugas
kesehatan dan dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan
praktik yang ada. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana
keterampilan dan pengalaman petugas kesehatan yang sudah terlatih dalam
menerapkan MTBS dan mentransfer ke dalam perilaku penatalaksanaan
MTBS, khususnya pada kasus diare. Pengetahuan juga tidak harus diperoleh
dari pendidikan formal, dengan adanya kursus, seminar, membaca buku,
menambah pengalaman dengan memperluas pergaulan dapat meningkatkan
pengetahuan (Widoatmodjo, 2008).
2. Hubungan Motivasi dengan Perilaku Petugas kesehatan dalam
Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara variabel yang
diuji, yaitu motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam
penatalaksanaan MTBS diare p=0.038.
Menurut Maslow (1943) setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan
dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi (Misbach, 2010).
81
Redman (1993, dalam Bastable, 2002) memandang pengkajian motivasi
sebagai bagian dari pengkajian kesehatan umum dan menyatakan bahwa
pengkajian ini mencakup bidang-bidang seperti tingkat pengetahuan,
keterampilan klien, kapasitas pembuatan keputusan pada individu, dan
skrining pada populasi sasaran untuk program pendidikan. Drucker dalam
Swansburg (2000) mengatakan bahwa pegawai berpendidikan akan
produktif hanya dengan motivasi diri sendiri, diarahkan sendiri dalam
pencapaiannya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petugas
kesehatan berlatar belakang pendidikan diploma 3 (D-III) sebesar 68.6%.
Latar belakang pendidikan merupakan bentuk pemenuhan aktualisasi diri
(Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan lama kerja didapatkan sebanyak 28
petugas kesehatan sudah bekerja selama lebih dari 5 tahun dengan
persentase sebesar 54.9%, akan tetapi dalam mewujudkan kebutuahn akan
penghargaan seseorang tidak didasrkan pada lama kerjanya, kebutuhan
penghargaan menurut Maslow harus dibuktikan dari kemampuan atau
prestasi yang dicapai seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian Faridah (2009) mengenai Analisis Faktor-Faktor yang
Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya, dimana persepsi
kondisi kerja dengan motivasi kerja petugas memiliki hubungan, responden
dengan persepsi kebijaksanaan pelaksanaan program MTBS baik akan
cenderung mempunyai motivasi kerja baik. Sejalan penelitian Hastuti
(2010) mengenai Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap
Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas
82
Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali didapatkan bahwa motivasi
petugas kesehatan dalam menerapkan MTBS masih rendah dimana kurang
dari 50%, hal ini terkait kurangnya reward dan supervisi secara berkala oleh
dinas kesehatan. Akibatnya interaksi supervisor dengan petugas kurang
optimal, masalah-masalah yang ditemukan menjadi minim, umpan balik
menjadi tidak tepat. Akan tetapi, berdasarkan penelitian didapat bahwa
petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon mempunyai motivasi yang
baik dalam meningkatkan perilaku dan standar dalam melaksanakan MTBS.
Hal ini terkait tanggung jawab dan usaha dalam melaksanakan MTBS,
khususnya penanganan diare sesuai standar. Kondisi kerja yang mendukung
dapat mempengaruhi dalam menyelesaikan tugas yaitu sarana dan prasarana
kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan
(Hamzah, 2008). Hal ini dapat dilihat di puskesmas kota Cilegon yang
sebagian besar sudah memiliki ruang MTBS dan petugas kesehatan sudah
terlatih dengan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan.
Terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi berdasarkan
pandangan beberapa konsep motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi, dan
kebutuhan (Hamzah, 2008). Betapa pun positifnya perilaku individu seperti
tercermin dalam kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi, dan dedikasi
yang tidak diragukan serta tingkat keterampilan yang tinggi tanpa sarana
dan prasarana kerja tidak akan dapat berbuat banyak apalagi meningkatkan
efisiensi, efektifitas, dan produktivitas kerjanya (Muchlas, 1999 dalam
Faridah, 2009).
83
Efektivitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau
sasaran (Etzioni, 1964 dalam Simamora, 2009). Simamora (2009)
mengatakan efektivitas ini merupakan suatu konsep lebih luas yang
mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar diri seseorang. Dengan
demikian, efektivitas tidak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas, tetapi
dilihat dari persepsi atau sikap individu.
6.3. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Keterbatasan penelitian antara lain sebagai berikut:
1. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dikembangkan
peneliti. Belum ada instrumen pengumpulan data yang baku dalam
penelitian ini. Maka perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kembali
bila akan digunakan pada wilayah yang berbeda.
2. Pada saat pengisian kuesioner, ada kemungkinan petugas kesehatan
kurang memahami maksud dari pernyataan yang diajukan dan adanya
kecenderungan untuk memilih alternatif jawaban terbaik yang mungkin
tidak sesuai dengan pelaksanaan sehari-hari. Karena tidak semua pengisian
kuesioner didampingi peneliti, agar tidak mengganggu waktu kerja.
3. Adanya kemungkinan bias pada hasil penelitian dimana perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare bisa jadi tidak hanya
dipengaruhi oleh pengetahuan dan motivasi, melainkan dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain, seperti: pengalaman, sikap, kepercayaan, nilai-
nilai, budaya, maupun fasilitas penunjang yang tersedia.
84
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon
yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu: persentase jenis
kelamin perempuan dan laki-laki masing-masing sebesar 98.0% dan 2.0%,
usia berkisar antara 28-38 tahun dengan persentase 70.6%, persentase
pendidikan sebanyak 35 orang dengan latar belakang pendidikan D-III
(60.6%), dan lama kerja berkisar >5 tahun (54.9%).
2. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki pengetahuan yang baik yaitu
sebanyak 32 orang dengan persentase 62.7%. Tingkat pengetahuan
petugas kesehatan sebagai responden dapat dijadikan dasar dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas. Hal ini terjadi karena
pengetahuan merupakan bekal yang esensial dalam pembentukkan
perilaku.
3. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki motivasi yang baik yaitu
sebanyak 27 responden dengan persentase sebesar 52.9%. Motivasi
merupakan indikator atau hasil ukur dalam pembentukkan perilaku.
4. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki perilaku yang baik sebesar
54.9% dan cukup sebesar 45.1%. Perilaku merupakan hasil pengalaman
dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam
85
pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang
antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan (Maulana, 2009).
5. Hasil uji statistika menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel
pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan
MTBS diare (p= 0.968).
6. Hasil uji statistika menunjukkan ada hubungan antara variabel motivasi
dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare
(p= 0.038). Dengan motivasi yang baik, diharapkan mampu memberikan
kontribusi pada tingkat komitmen. Sehingga, penatalaksanaan MTBS diare
dapat berjalan sesuai standar dan petugas kesehatan mampu memberikan
pelayanan kesehatan yang paripurna.
7.2. Saran
1. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan untuk
pembuatan karya ilmiah dan menjadi dokumentasi akademik yang berguna dan
dijadikan acuhan untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Puskesmas di kota Cilegon
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat dalam upaya menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas anak dengan penyakit diare. Diadakannya
observasi secara langsung selama proses pelayanan, dan memfasilitasi feed
back dari petugas kesehatan.
86
b. Diadakannya supervisi atau pengawasan untuk mengetahui sejauh mana
kinerja petugas kesehatan yang sudah melaksanakan pelatihan dan dapat
menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare.
c. Diadakannya reward maupun punishment untuk meningkatkan pelayanan
MTBS agar lebih baik lagi, sehingga walaupun program MTBS bukan
merupakan program unggulan puskesmas akan tetapi mampu memberikan
peningkatan terhadap penurunan insiden angka kejadian kematian pada
balita, khususnya diare.
d. Adanya penyegaran dengan mengadakan refresing perkembangan terbaru
antar petugas kesehatan yang sudah mendapatkan pelatihan ataupun
sosialisasi.
e. Pendistribusian sarana yang berkesinambungan agar terjamin ketersediaan
formulir MTBS di pelayanan kesehatan dan kelengkapan fasilitas
pendukung dalam pelayanan MTBS diare.
3. Bagi Peneliti dan Praktisi Kesehatan
a. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut
dan mendalam mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
perilaku seperti sikap, praktik, kepercayaan.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengobservasi langsung dan secara
menyeluruh mengenai penatalaksanaan MTBS, serta meneliti tidak hanya
terkait penatalaksanaan MTBS diare, melainkan kasus lain yang dapat
diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, Wiku. (2007). Makara Kesehatan Vol. II; Faktor Risiko Diare pada
Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik
Bidang Kesehatan Masyarakat.
journal.ui.ac.id/health/article/viewFile/212/208. Depok:
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: RINEKA CIPTA
Barata, Atep Adya. (2003). Persiapan Membangun Budaya Pelayanan Prima
untuk Meningkatkan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan.
Bastable, Susan B. (2002). Perawat sebagai pendidik: prinsip-prinsip pengajaran
dan pembelajaran. Jakarta: EGC
Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth; alih bahasa, Yasmin Asih; editor, Monica Ester.
Jakarta: EGC
Budiarto, Eko. (2003). Metodologi Penelitian Kedokteron. Jakarta: EGC
Dahlan, Muhamad Sopiyudin. (2013). Statistika untuk Kedokteran dan
Kesehatan: Deskripsi, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan
Menggunakan SPSS Edisi. Jakarta: SALEMBA MEDIKA
Depkes RI. (2004). Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta
Depkes RI. (2005). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Modul 1 – 7, Edisi
2 Dirjen Kesehatan RI. Jakarta:
Depkes RI. (2010). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
Jakarta:
Depkes. (2014). Internet. Laporan Puskesmas.
http://www.siknasonline.depkes.go.id/laporan_puskesmas_detail.php?k
d_propinsi=36&tahun=2014 diakses tanggal 27 April 2014 pukul 3.57
WIB
Destri, Magdarina. (2010). Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di
Indonesia Tahun 2000-2007
Efendi, Nursalam Ferry. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
E-jurnal. (2013). Internet. Pengertian Diare. http://www.e-
jurnal.com/2013/04/pengertian-diare.html diakses tanggal 27 April
2014 pukul 2.57 WIB
Faridah. (2009). Tesis. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) di Puskesmas kota Surabaya. Diakses
eprints.undip.ac.id/17297/pdf tanggal 02 Maret 2014
Hamzah, H. (2008). Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di bidang
pendidikan. Jakarta: BT Bumi Aksara
Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. (2010). Statistika Kesehatan. Jakarta:
RAJAWALI PERS
Hastuti, Sri. (2010). Thesis. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap
Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada
Petugas Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali. Diakses
tanggal 02 Maret
2014
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan
Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
. (2008). Metode Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta: Salemba Medika
Horwood, Chriztiane et al. (2009). Research Article; Experiences of Training and
Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)
in South Africa: a Qualitative Evaluation of The IMCI Case
Management Training Course. BioMed Central Ltd.
Husni., Dian Sidik A., dan Jumriani Ansar. (2012). Gambaran Pelaksanaan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) umur 2 bulan sampai 5 tahun
di Puskesmas Kota Makassar. Email
[email protected]/085241688861 Diakses tanggal 08 Maret 2014
Ivancevich, John M., Robert Konopaske., Michael T. Matteson. 2006. Perilaku
dan Manajemen Organisasi. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama
Kemenkes RI. (2010). Penuntun Hidup Sehat. Jakarta: UNICEF Indonesia
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
Situasi Diare di Indonesia Tahun 2000-2007. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Pusat Data dan Informasi; Profil Kesehatan
Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kesehatan Anak. (2011). Artkel. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau
Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). Diakses di
http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/artikel/manajemen-terpadu-
balita-sakit-mtbs-atau-integrated-management-of-childhood-illness-
imci pada tanggal 27 April 2014 pukul 2.02 WIB
Magdarina, Destri. (2011). Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Morbiditas dan
Mortalitas Diare pada Balita di Indonesia Tahun 2000-2007.Jakarta:
Maulana, Heri D.J. (2009). Promosi Kesehatan; ed, Egi Komara Yudha. Jakarta:
EGC
Misbach, Ifa H. (2010). Dahsyat sidik jari: Menguak bakat & Potensi untuk
Merancang Masa Depan melalui Fingerprint Analysis. Jakarta:
Visimedia
Moelyo, Annang Giri., Widardo., Galih Herlambang., Tim Revisi. (2013).
Keterampilan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Modul Field
Lab Ed. Revisi II. Universitas Sebelas Maret
Nelson, (1999). Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol. 2 editor edisi Indonesia: A.
SKRSamik Wahab-Ed. 15. Jakarta: EGC
Nguyen, Duyen Thi Kim et al. (2013). Does Integrated Management of Childhood
Illness (IMCI) Training Improve the Skills of Health Workers? A
Systematic Review and Meta-Analysis.Iran: Plos ONE.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta
Noverica,S.2011.(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23310/4/Chapter%20
II.pdf) diunduh 10/03/2014 pukul 17.00 WIB
Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
. (2011). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik
Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika
Priyanto, Agus., dan Sri Lestari. (2008). Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta:
Salemba Medika
Purwanti, Sugi. (2010). Analisis Pengaruh Karakteristik Individu, Fasilitas,
Supervisi, dan Motivasi terhadap Kinerja Petugas Pelaksana
Pelayanan Program MTBS di Kabupaten Banyumas tahun 2010.
Purwokerto. Email:[email protected]
Riduwan. (2007). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: ALFABETA
Sarwono, Jonathan. (2010). Pintar Menulis Karya Ilmiah-Kunci Sukses dalam
Menulis Ilmiah. Yogyakarta: ANDI
Seniati, Liche. (2006). Makara. Pengaruh Masa Kerja, Trait Kepribadian,
Kepuasan Kerja, dan Iklim Psikologis terhadap Komitmen Dosen pada
UI. Email: [email protected]. Diakses tanggal 20 Juni 2014 Pukul 13.15
WIB
Siagian, Sondang P. (2004). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Simamora, Roymond H. (2009). Buku Ajar dalam Keperawatan. Jakarta: EGC
Siregar, Syofian. (2013). Statistika Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif:
dilengkapi dengan Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS versi 17.
Jakarta: BUMI AKSARA
Siswanto, Susila, dan Suyanto. (2013). Metodologi Penelitian Kesehatan dan
Kedokteran. Yogyakarta: Bursa Ilmu
Setiadi, (2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sumantri, Arif. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana
Sunaryo, (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Sutikno. (2012). Direktorat Bina Kesja dan OR.
http://gizikia.depkes.go.id/jejaring/guess/topik/49 diakses 27/6/2014
pukul 1.11
Swansburg. (2000). Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan.
Jakarta: EGC
Terry, Allison J. (2013). The LPN-to-RN Bridge: Transitions toAdvance Your
Career. USA
WHO, (2005). Handbook: IMCI Integrated Management of Childhood Illness.
Geneva, Switzerland: World Health Organization. Diakses tanggal 27
April 2014 pukul 1.54 WIB di situs:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2005/9241546441.pdf
WHO, (2008). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak; alih bahasa,
Apriningsih; editor edisi bahasa Indonesia, Erita Agustin Hardiyanti.
Jakarta: EGC
Widoatmodjo, Sawidji. (2008). Professional Investing. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Wilson, Shelby E et al. (2012). Caregiver Recognition of Childhood Diarrhea,
Care Seeking Behaviors and Home Treatment Practices in Rural
Burkina Faso: a Cross-Sectional Survey. Pakistan: PLoS ONE.
UNICEF. The State of The Worlds Children 2008: Child Survival 2007.
http://www.unicef.org/sowc08/report/report.php. New York: UNICEF
UNICEF Indonesia. (2013). Internet. Sekitar 35 Juta Balita Masih Beresiko jika
Target Angka Kematian Anak Tidak Tercapai.
http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21393.html diunduh 15
Februari 2014 pukul 07.01 WIB
Wijaya, Awi Muliadi. (2006). Artikel. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI).
http://infodokterku.com/component/content/article/19-info-
kesehatan/helath-programs/37-manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs
diunduh 27 April 2014 pukul 4.06 WIB
. (2012). Artikel. Data (Angka) Diare di Indonesia.
http://www.infodokterku.com/component/content/article/25-data/data-
kesehatan/201-data-angka-diare-di-indonesia diunduh tanggal
09/03/2014 pukul 21.12 WIB
Lampiran 2
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi
responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul skripsi “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi
dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon”.
Saya memahami dan menyadari bahwa penelitian ini tidak akan merugikan bagi saya,
oleh karena itu saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Ciputat, Mei 2014
Responden,
Lampiran 3
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU PETUGAS
KESEHATAN DALAM PENATALAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA
SAKIT (MTBS) DIARE DI PUSKESMAS KOTA CILEGON
1. Identitas Responden
Petunjuk Pengisian:
Isilah jawaban Anda pada titik-titik di bawah ini dan berilah tanda check list (√) pada
pernyataan yang sesuai.
No Responden: Kode:
a. Nama : ....................................
b. Tempat/Tanggal Lahir : ....................................
c. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
d. Pendidikan : D3 S1 lainnya ...
e. Profesi : ...................................
f. Status Kepegawaian : PNS Non PNS lainnya ...
g. Masa Kerja : ≤ 5 tahun 5 tahun lainnya ...
h. Mengikuti pelatihan MTBS? (Ya/Tidak) berapa kali? ...
2. Variabel Pengetahuan
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda check list (√) pada kolom pernyataan dengan ketentuan sebagai berikut:
YA : Apabila menurut Anda pernyataan benar
TIDAK : Apabila menurut Anda pernyataan tidak benar
No Pernyataan Jawaban
YA TIDAK
1. Klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi 3 kelompok yaitu dehidrasi, diare
persisten, dan disentri.
2. Menurut WHO tahun 2008 penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau
virus.
3. Penentuan tindakan dan pengobatan diare dilakukan setelah mengklasifikasikan penyakit
berdasarkan kelompok gejala yang ada.
4. Pemberian ASI tetap dianjurkan pada anak dengan diare.
5. Penentuan tindakan pengobatan pada anak dengan dehidrasi ringan atau sedang yaitu
dengan pemberian oralit dalam 3 jam pertama.
6. Dehidrasi berat pada anak ditandai dengan letargis, mata cekung, dan turgor yang buruk
sekali.
7. Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan berlanjut sampai
14 hari atau lebih.
3. Variabel Motivasi
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda check list (√) pada kolom pernyataan dengan ketentuan sebagai berikut:
SS : Apabila Anda sangat setuju dengan pernyataan tersebut
S : Apabila Anda setuju dengan pernyataan tersebut
TS : Apabila Anda tidak setuju dengan pernyataan tersebut
STS : Apabila Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut
No Pernyataan Pilihan Jawaban
SS S TS STS
1. Saya berusaha melakukan pelayanan MTBS sebaik-baiknya karena ini
sangat penting untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.
2. Saya berusaha melakukan pelayanan MTBS dengan baik untuk
meningkatkan keprofesionalan saya dalam bekerja.
3. Saya berusaha mencari tahu mengenai MTBS untuk meningkatkan
kemampuan saya dalam pelayanan MTBS.
4. Saya berusaha untuk meningkatkan pengetahuan saya tentang MTBS dan
memotivasi rekan kerja untuk melaksanakan MTBS sesuai standar.
5. Pelayanan MTBS yang diberikan akan berhasil baik dengan dukungan dari
team work.
6. Saya akan mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan,
melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi bila memberikan pelayanan
MTBS dengan baik.
7. Saya berusaha agar tugas yang menjadi tanggung jawab sebagai petugas
kesehatan saya selesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai pelayanan MTBS.
8. Saya ingin meningkatkan kemampuan saya dalam pelayanan MTBS.
9. Saya berusaha untuk menyelesaikan tugas MTBS tepat pada waktunya.
10. Saya merasa mendapat tantangan untuk memberikan pelayanan MTBS
sesuai dengan standar.
4. Variabel Perilaku
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda check list (√) pada kolom pernyataan dengan ketentuan sebagai berikut:
SL : Apabila Anda selalu dengan pernyataan tersebut
SR : Apabila Anda sering dengan pernyataan tersebut
KD : Apabila Anda kadang-kadang dengan pernyataan tersebut
TP : Apabila Anda tidak pernah dengan pernyataan tersebut
No Pernyataan Pilihan Jawaban
SL SR KD TP
1. Saya menggunakan formulir MTBS untuk menilai/memeriksa anak.
2. Saya melaksanakan pelayanan MTBS sesuai dengan standar yang
ditentukan pemerintah.
3. Saya mengklasifikasikan penyakit anak dengan menggunakan sistem
triase/kode warna.
4. Saya menginformasikan petunjuk pemberian obat, rencana tindak
lanjut, tanda-tanda yang menunjukkan anak harus segera kembali
berobat kepada orangtua/wali.
5. Saya memberikan tindakan/pengobatan setelah mengklasifikasikan
berdasarkan tanda dan gejala anak dengan diare.
6. Saya melakukan pemantauan status dehidrasi setiap 1-2 jam pada
anak dengan dehidrasi berat.
7. Saya menyarankan orangtua/wali untuk memberikan cairan
tambahan sebanyak anak mau.
8. Saya akan menanyakan umur dan berat badan anak sebelum
pemberian dosis antibiotik.
--Terima Kasih --
Lampiran 4
Validity <Pengetahuan, n=32>
Res Nomor Item
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9
2 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 8
3 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 9
4 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 8
5 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9
6 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
8 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 9
9 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 8
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 9
11 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 8
12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
13 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8
14 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 7
15 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9
16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
17 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 8
18 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
19 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 9
20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
21 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 9
22 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8
23 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
24 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
25 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 9
26 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 9
27 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 8
28 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
29 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9
30 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 9
31 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 7
32 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 6
rxy 0,20 0,10 0.60 0,32 0,54 0.31 -0,07 0,49 0,36 0,52
t
hitung 1,09 0,54 4.12 1,88 3,49 1.82 -0,37 3,06 2,11 3,35
t tabel 1,70
Ket. Unvalid Unvalid Valid Valid Valid Valid Unvalid Valid Valid Valid
N 7
Validity <Motivasi, n=32>
Correlations
m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7 m8 m9 m10
skor_m
otivasi
m1 Pearson
Correlation
1 .675** .556
** 1.000
*
*
.193 .103 .787** .257 .368
* .677
** .732
**
Sig. (2-tailed) .000 .001 .000 .290 .576 .000 .155 .038 .000 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m2 Pearson
Correlation
.675** 1 .628
** .675
** .433
* .260 .878
** .336 .403
* .741
** .804
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .013 .150 .000 .060 .022 .000 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m3 Pearson
Correlation
.556** .628
** 1 .556
** .518
** .214 .723
** .276 .332 .776
** .754
**
Sig. (2-tailed) .001 .000 .001 .002 .239 .000 .126 .064 .000 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m4 Pearson
Correlation
1.000*
*
.675** .556
** 1 .193 .103 .787
** .257 .368
* .677
** .732
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .001 .290 .576 .000 .155 .038 .000 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m5 Pearson
Correlation
.193 .433* .518
** .193 1 .422
* .295 .016 .691
** .279 .571
**
Sig. (2-tailed) .290 .013 .002 .290 .016 .102 .930 .000 .122 .001
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m6 Pearson
Correlation
.103 .260 .214 .103 .422* 1 .173 .484
** .560
** .388
* .597
**
Sig. (2-tailed) .576 .150 .239 .576 .016 .343 .005 .001 .028 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m7 Pearson
Correlation
.787** .878
** .723
** .787
** .295 .173 1 .434
* .450
** .827
** .841
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .102 .343 .013 .010 .000 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m8 Pearson
Correlation
.257 .336 .276 .257 .016 .484** .434
* 1 .237 .435
* .566
**
Sig. (2-tailed) .155 .060 .126 .155 .930 .005 .013 .192 .013 .001
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m9 Pearson
Correlation
.368* .403
* .332 .368
* .691
** .560
** .450
** .237 1 .544
** .703
**
Sig. (2-tailed) .038 .022 .064 .038 .000 .001 .010 .192 .001 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
m10 Pearson
Correlation
.677** .741
** .776
** .677
** .279 .388
* .827
** .435
* .544
** 1 .867
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .122 .028 .000 .013 .001 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
skor_motivasi Pearson
Correlation
.732** .804
** .754
** .732
** .571
** .597
** .841
** .566
** .703
** .867
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .001 .000 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Validity <Perilaku, n=32>
Correlations
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10
skor_pri
laku
p1 Pearson
Correlation
1 .338 -.239 .255 .015 .124 -.474** .047 .834
** -.028 .684
**
Sig. (2-tailed) .058 .189 .159 .933 .498 .006 .798 .000 .879 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p2 Pearson
Correlation
.338 1 .302 .909** .639
** .351
* -.176 .429
* -.001 .258 .703
**
Sig. (2-tailed) .058 .093 .000 .000 .049 .334 .014 .994 .154 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p3 Pearson
Correlation
-.239 .302 1 .274 .628** .119 .329 .130 -.345 .417
* .261
Sig. (2-tailed) .189 .093 .129 .000 .516 .066 .477 .053 .017 .149
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p4 Pearson
Correlation
.255 .909** .274 1 .699
** .047 -.317 .128 -.113 .234 .479
**
Sig. (2-tailed) .159 .000 .129 .000 .800 .077 .485 .537 .197 .005
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p5 Pearson
Correlation
.015 .639** .628
** .699
** 1 .098 -.084 .226 -.182 .344 .455
**
Sig. (2-tailed) .933 .000 .000 .000 .593 .646 .214 .318 .054 .009
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p6 Pearson
Correlation
.124 .351* .119 .047 .098 1 .301 .862
** .107 .424
* .627
**
Sig. (2-tailed) .498 .049 .516 .800 .593 .094 .000 .559 .016 .000
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p7 Pearson
Correlation
-.474** -.176 .329 -.317 -.084 .301 1 .206 -.494
** .101 -.039
Sig. (2-tailed) .006 .334 .066 .077 .646 .094 .258 .004 .581 .832
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p8 Pearson
Correlation
.047 .429* .130 .128 .226 .862
** .206 1 -.001 .234 .568
**
Sig. (2-tailed) .798 .014 .477 .485 .214 .000 .258 .995 .197 .001
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p9 Pearson
Correlation
.834** -.001 -.345 -.113 -.182 .107 -.494
** -.001 1 -.092 .504
**
Sig. (2-tailed) .000 .994 .053 .537 .318 .559 .004 .995 .615 .003
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
p10 Pearson
Correlation
-.028 .258 .417* .234 .344 .424
* .101 .234 -.092 1 .340
Sig. (2-tailed) .879 .154 .017 .197 .054 .016 .581 .197 .615 .057
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
skor_prilaku Pearson
Correlation
.684** .703
** .261 .479
** .455
** .627
** -.039 .568
** .504
** .340 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .149 .005 .009 .000 .832 .001 .003 .057
N 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability <Pengetahuan, n=32, KR 20, 7 item soal>
N 30 31 26 29 30 29 28 203
p 0.94 0.97 0.81 0.91 0.94 0.91 0.88
q 0.06 0.03 0.19 0.09 0.06 0.09 0.13
pq 0.06 0.03 0.15 0.08 0.06 0.08 0.11
k 7,0
Npq 0.58
Var 0.85
Mean 6.34
K20 0.372
Ket. R
Reliability <Motivasi, n=32>
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 32 100.0
Excludeda 0 .0
Total 32 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.874 10
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
m1 28.44 8.190 .664 .858
m2 28.47 8.128 .756 .853
m3 28.47 7.934 .682 .856
m4 28.44 8.190 .664 .858
m5 28.47 8.451 .462 .872
m6 28.44 7.738 .425 .889
m7 28.50 8.194 .805 .852
m8 28.25 8.194 .428 .879
m9 28.59 8.249 .629 .860
m10 28.56 7.673 .826 .845
Reliability <Perilaku, N=32 10 item pernyataan>
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 32 100.0
Excludeda 0 .0
Total 32 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.265 10
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
p1 31.66 4.749 .425 -.014a
p2 30.72 5.822 .581 .054
p3 30.72 8.402 -.339 .374
p4 30.72 6.338 .317 .153
p5 30.66 6.814 .284 .193
p6 30.59 6.507 .512 .140
p7 31.94 9.157 -.409 .533
p8 30.72 6.080 .409 .112
p9 32.22 5.789 -.019 .380
p10 30.56 7.609 -.029 .279
a. The value is negative due to a negative average covariance among items. This
violates reliability model assumptions. You may want to check item codings.
Reliability <Perilaku, N=32 item pernyataan 3,7 dihapus>
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 32 100.0
Excludeda 0 .0
Total 32 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.627 8
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
p1 25.31 5.835 .662 .459
p2 24.38 7.984 .591 .542
p4 24.38 8.306 .416 .576
p5 24.31 9.190 .275 .611
p6 24.25 9.161 .348 .603
p8 24.38 8.823 .261 .610
p9 25.88 6.242 .265 .688
p10 24.22 9.854 .071 .639
Lampiran 5
Uji Normalitas
Tests of Normality <motivasi>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
skor_motivasi1 .126 51 .043 .959 51 .078
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <perilaku>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
skor_perilaku .106 51 .200* .970 51 .222
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Tests of Normality <pengetahuan>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
skor_guttman .260 51 .000 .779 51 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <usia>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
usia .144 51 .010 .945 51 .020
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <jenis kelamin>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Jenis_kelamin .536 51 .000 .124 51 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <lama kerja>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
lama_kerja .341 51 .000 .729 51 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <pendidikan>
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
pendidikan .421 51 .000 .701 51 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Lampiran 6
Hasil Olahan SPSS Univariat
Jenis_kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid perempuan 50 98.0 98.0 98.0
laki-laki 1 2.0 2.0 100.0
Total 51 100.0 100.0
lama_kerja
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid < = 5 tahun 10 19.6 19.6 19.6
5 tahun 13 25.5 25.5 45.1
> 5 tahun 28 54.9 54.9 100.0
Total 51 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SPK 3 5.9 5.9 5.9
D3 35 68.6 68.6 74.5
D4 2 3.9 3.9 78.4
S1 9 17.6 17.6 96.1
S2 2 3.9 3.9 100.0
Total 51 100.0 100.0
klasifikasi umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid
1 5 9.8 9.8 9.8
2 36 70.6 70.6 80.4
3 8 15.7 15.7 96.1
4 2 3.9 3.9 100.0
Total 51 100.0 100.0
perilaku_pk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 28 54.9 54.9 54.9
cukup 23 45.1 45.1 100.0
Total 51 100.0 100.0
motivasi_pk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 27 52.9 52.9 52.9
cukup 24 47.1 47.1 100.0
Total 51 100.0 100.0
pengetahuan_pk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 32 62.7 62.7 62.7
cukup 19 37.3 37.3 100.0
Total 51 100.0 100.0
Lampiran 7
Hasil Olahan SPSS Bivariat
Statistics
Frequencies <skor7_pengetahuan>
N Valid 51
Missing 0
Mean 6.51
Median 7.00
Mode 7
Std. Deviation .731
Minimum 4
Maximum 7
Percentiles 25 6.00
50 7.00
75 7.00
skor7_pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 4 1 2.0 2.0 2.0
5 4 7.8 7.8 9.8
6 14 27.5 27.5 37.3
7 32 62.7 62.7 100.0
Total 51 100.0 100.0
Statistics
Frequencies <motivasi_10>
N Valid 51
Missing 0
Mean 34.12
Median 34.00
Mode 36
Std. Deviation 3.333
Minimum 28
Maximum 40
Percentiles 25 31.00
50 34.00
75 37.00
motivasi_10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 28 1 2.0 2.0 2.0
29 5 9.8 9.8 11.8
30 1 2.0 2.0 13.7
31 6 11.8 11.8 25.5
32 4 7.8 7.8 33.3
33 7 13.7 13.7 47.1
34 5 9.8 9.8 56.9
35 1 2.0 2.0 58.8
36 8 15.7 15.7 74.5
37 4 7.8 7.8 82.4
38 4 7.8 7.8 90.2
39 1 2.0 2.0 92.2
40 4 7.8 7.8 100.0
Total 51 100.0 100.0
Statistics
Frequencies <prilaku_8>
N Valid 51
Missing 0
Mean 27.76
Median 28.00
Mode 28a
Std. Deviation 3.210
Minimum 21
Maximum 32
Percentiles 25 25.00
50 28.00
75 31.00
a. Multiple modes exist. The smallest value
is shown
prilaku_8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 21 3 5.9 5.9 5.9
23 2 3.9 3.9 9.8
24 2 3.9 3.9 13.7
25 8 15.7 15.7 29.4
26 1 2.0 2.0 31.4
27 7 13.7 13.7 45.1
28 9 17.6 17.6 62.7
29 1 2.0 2.0 64.7
30 4 7.8 7.8 72.5
31 5 9.8 9.8 82.4
32 9 17.6 17.6 100.0
Total 51 100.0 100.0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pengetahuan_pk *
perilaku_pk
51 100.0% 0 .0% 51 100.0%
pengetahuan_pk * perilaku_pk Crosstabulation
perilaku_pk
Total baik cukup
pengetahuan_pk baik Count 17 15 32
Expected Count 17.6 14.4 32.0
% within pengetahuan_pk 53.1% 46.9% 100.0%
% within perilaku_pk 60.7% 65.2% 62.7%
% of Total 33.3% 29.4% 62.7%
cukup Count 11 8 19
Expected Count 10.4 8.6 19.0
% within pengetahuan_pk 57.9% 42.1% 100.0%
% within perilaku_pk 39.3% 34.8% 37.3%
% of Total 21.6% 15.7% 37.3%
Total Count 28 23 51
Expected Count 28.0 23.0 51.0
% within pengetahuan_pk 54.9% 45.1% 100.0%
% within perilaku_pk 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 54.9% 45.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .110a 1 .741
Continuity Correctionb .002 1 .968
Likelihood Ratio .110 1 .740
Fisher's Exact Test .779 .485
Linear-by-Linear Association .107 1 .743
N of Valid Cases 51
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,57.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
motivasi_pk * perilaku_pk 51 100.0% 0 .0% 51 100.0%
motivasi_pk * perilaku_pk Crosstabulation
perilaku_pk
Total baik cukup
motivasi_pk Baik Count 19 8 27
Expected Count 14.8 12.2 27.0
% within motivasi_pk 70.4% 29.6% 100.0%
% within perilaku_pk 67.9% 34.8% 52.9%
% of Total 37.3% 15.7% 52.9%
cukup Count 9 15 24
Expected Count 13.2 10.8 24.0
% within motivasi_pk 37.5% 62.5% 100.0%
% within perilaku_pk 32.1% 65.2% 47.1%
% of Total 17.6% 29.4% 47.1%
Total Count 28 23 51
Expected Count 28.0 23.0 51.0
% within motivasi_pk 54.9% 45.1% 100.0%
% within perilaku_pk 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 54.9% 45.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.545a 1 .019
Continuity Correctionb 4.296 1 .038
Likelihood Ratio 5.640 1 .018
Fisher's Exact Test .026 .019
Linear-by-Linear Association 5.436 1 .020
N of Valid Cases 51
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,82.
b. Computed only for a 2x2 table