Oleh : Nanang M. Safa’ *) · 2012. 8. 2. · Nanik, guru agamaku. Lalu masuk tangga bus dengan...

1
Oleh : Nanang M. Safa’ *) B us yang membawa rombongan kami ke Wisata Bahari Lamongan kembali merambat pelan. Terminal Mojokerto yang kami singgahi untuk sekedar melepas penat dan melepas beban yang menggumpal di perut semakin tertinggal di belakang. “Astagfirulloh!” seruku spontan sambil terlonjak dari tempat dudukku. “Ada apa?!” respon Aris yang duduk di sampingku. “Jaketku!” sahutku sambil menoleh ke belakang. Bus tetap melaju pelan meninggalkan terminal..... “Kenapa jaketmu?!” “Jaketku ketinggalan!” “St...!” “Jangan!” cegahku pada Aris yang hendak melontarkan “Stop!” untuk menghentikan laju bus. Aku pikir tidak mungkinlah menghentikan laju bus hanya gara-gara sebuah jaket, apa kata teman-teman nanti. Juga pasti bapak ibu guru akan menyalahkan kebodohanku. Toh, seandainya bus berhenti, juga tidak mungkinlah menungguku untuk mengambil jaketku yang ketinggalan itu. Belum tentu juga jaketku itu masih ada di sana. Beberapa jeda aku terdiam menyesali kebodohanku. Aris yang tahu persis riwayat jaket kesayangan itu mencoba menghiburku. Namun sulit rasanya, rasa sesal atas kelalaianku itu belum mampu aku tepiskan. Jaket itu adalah jaket kesayangan. Jaket itu adalah jaket penuh kenangan. Ingat itu, rasa sesalku semakin menggumpal. Bus melaju semakin kencang. Jauh meninggalkan terminal. Aku mencoba merenungkan arti kehilangan itu. Konon, setiap kejadian yang menimpa kita ada hikmahnya juga. Cuma kita saja yang kadang sulit untuk menerjemahkannya. Tapi hikmah apa dari kehilangan jaket kesayangan itu. “Coba kamu ingat-ingat lagi apa yang telah kamu perbuat seharian tadi,” Aris mencoba memberi solusi. Aku ikuti sarannya. Menurut perasaanku, seharian tadi aku tidak melakukan tindakan yang membuat orang lain tersakiti. Dari siang aku sibuk menyiapkan bekal untuk acara tour de We-Be-eL ini. Bahkan seharian tadi aku lebih banyak diam di rumah; berkemas. Lalu siapa coba yang aku sakiti?! Tanyaku pada diri sendiri. Tanpa sadar aku menggeleng. “Atau coba kamu ingat niat baik apa yang hendak kau lakukan sebelum kehilangan itu terjadi?” lanjut Aris memberi tips lain. Aku kembali mengikuti sarannya. Kucoba merekon- struksi lagi sketsa kejadian yang telah kualami sejam yang lalu. Pertama; ketika berangkat aku sudah pamit baik-baik sama orang tuaku. Cium tangan keduanya, lalu mengucap salam. Sampai sini, tidak ada yang salah konsep, pasti. Buktinya, ibuku memberikan tambahan uang saku untuk bekalku sembari tersenyum. Kedua; sewaktu masuk ke dalam bus ini. Sebelum bus start aku sudah mengucap bismillah dan berdo’a hendak bepergian seperti yang diajarkan bu Nanik, guru agamaku. Lalu masuk tangga bus dengan kaki kanan, lalu aku duduk sesuai nomor jatahku. Sampai di sini, aku kira juga tidak ada yang salah konsep, pasti. Buktinya, tidak ada teman yang protes atas kehadiranku, malah tadi Raka sempat bilang senang dapat tempat duduk bersebelahan denganku. Ketiga; ketika bus mulai start hingga menjelang masuk terminal, aku tak banyak berbuat ulah, bahkan aku lebih banyak diam, hanya sesekali saja menanggapi cerita Aris dan itu artinya aku bisa menjadi pendengar dan sahabat yang baik. Sampai di sini aku kira juga tidak ada yang salah konsep. Lalu, setelah sampai di terminal tadi, seperti yang lain, aku juga bermaksud membuang beban yang menggelayut di perut bawah, alias kebelet kencing. Sampai di sini... “Astagfirulloh!” pekikku. “Ada apa lagi, Syad?” tanya Aris penasaran mendengar pekikku spontan tadi. “Benar kamu Ris, memang ada yang salah dengan diriku. Dan kesalahanku itu rupanya langsung diingatkan oleh Allah, Ris. Subhanallah.” Aris semakin penasaran. “Begini lho!” ceritaku ber- semangat. “Tadi sebelum turun dari bus, aku kan sudah menyiapkan dua lembar dua ribuan. Uang itu hendak aku masukkan ke kotak MCK setelah aku selesai buang hajat.” “Lalu letak salahnya di mana?” “Nah ini dia! Ketika aku lihat teman-teman nggak ada yang memasukkan uang ke kotak, aku ikut tergoda dan mengurungkan niat untuk memasukkan uangku itu ke kotak amal, Ris!” “Subhanallah, hari ini kita benar-benar mendapat pelajaran berharga dari kehilanganmu tadi, Syad” ucap Aris kagum. Dan pelan namun pasti aku bisa merelakan jaket kesayangan yang penuh kenangan itu hilang bersama laju bus yang semakin jauh meninggalkan terminal. *)Guru MTsN Watulimo Trenggalek 65 MPA 311 / Agustus 2012

Transcript of Oleh : Nanang M. Safa’ *) · 2012. 8. 2. · Nanik, guru agamaku. Lalu masuk tangga bus dengan...

Page 1: Oleh : Nanang M. Safa’ *) · 2012. 8. 2. · Nanik, guru agamaku. Lalu masuk tangga bus dengan kaki kanan, lalu aku duduk sesuai nomor jatahku. Sampai di sini, aku kira juga tidak

Oleh : Nanang M. Safa’ *)

Bus yang membawa rombongan kami ke Wisata Bahari Lamongan kembali merambat pelan. Terminal Mojokerto yang kami singgahi untuk sekedar

melepas penat dan melepas beban yang menggumpal di perut semakin tertinggal di belakang. “Astagfirulloh!” seruku spontan sambil terlonjak dari tempat dudukku. “Ada apa?!” respon Aris yang duduk di sampingku. “Jaketku!” sahutku sambil menoleh ke belakang. Bus tetap melaju pelan meninggalkan terminal..... “Kenapa jaketmu?!” “Jaketku ketinggalan!” “St...!” “Jangan!” cegahku pada Aris yang hendak melontarkan “Stop!” untuk menghentikan laju bus.

Aku pikir tidak mungkinlah menghentikan laju bus hanya gara-gara sebuah jaket, apa kata teman-teman nanti. Juga pasti bapak ibu guru akan menyalahkan kebodohanku. Toh, seandainya bus berhenti, juga tidak mungkinlah menungguku untuk mengambil jaketku yang ketinggalan itu. Belum tentu juga jaketku itu masih ada di sana.

Beberapa jeda aku terdiam menyesali kebodohanku. Aris yang tahu persis riwayat jaket kesayangan itu mencoba menghiburku. Namun sulit rasanya, rasa sesal atas kelalaianku itu belum mampu aku tepiskan. Jaket itu adalah jaket kesayangan. Jaket itu adalah jaket penuh kenangan. Ingat itu, rasa sesalku semakin menggumpal.

Bus melaju semakin kencang. Jauh meninggalkan terminal. Aku mencoba merenungkan arti kehilangan itu. Konon, setiap kejadian yang menimpa kita ada hikmahnya juga. Cuma kita saja yang kadang sulit untuk menerjemahkannya. Tapi hikmah apa dari kehilangan jaket kesayangan itu. “Coba kamu ingat-ingat lagi apa yang telah kamu perbuat seharian tadi,” Aris mencoba memberi solusi.

Aku ikuti sarannya. Menurut perasaanku, seharian tadi aku tidak melakukan tindakan yang membuat orang lain tersakiti. Dari siang aku sibuk menyiapkan bekal untuk acara tour de We-Be-eL ini. Bahkan seharian tadi aku lebih banyak diam di rumah; berkemas. Lalu siapa coba yang aku sakiti?! Tanyaku pada diri sendiri. Tanpa sadar aku menggeleng. “Atau coba kamu ingat niat baik apa yang hendak kau lakukan sebelum kehilangan itu terjadi?” lanjut Aris memberi tips lain.

Aku kembali mengikuti sarannya. Kucoba merekon-struksi lagi sketsa kejadian yang telah kualami sejam yang

lalu. Pertama; ketika berangkat aku sudah pamit baik-baik sama orang tuaku. Cium tangan keduanya, lalu mengucap salam. Sampai sini, tidak ada yang salah konsep, pasti. Buktinya, ibuku memberikan tambahan uang saku untuk bekalku sembari tersenyum. Kedua; sewaktu masuk ke dalam bus ini.

Sebelum bus start aku sudah mengucap bismillah dan berdo’a hendak bepergian seperti yang diajarkan bu Nanik, guru agamaku. Lalu masuk tangga bus dengan kaki kanan, lalu aku duduk sesuai nomor jatahku. Sampai di sini, aku kira juga tidak ada yang salah konsep, pasti. Buktinya, tidak ada teman yang protes atas kehadiranku, malah tadi Raka sempat bilang senang dapat tempat duduk bersebelahan denganku. Ketiga; ketika bus mulai start hingga menjelang masuk terminal, aku tak banyak berbuat ulah, bahkan aku lebih banyak diam, hanya sesekali saja menanggapi cerita Aris dan itu artinya aku bisa menjadi pendengar dan sahabat yang baik. Sampai di sini aku kira juga tidak ada yang salah konsep. Lalu, setelah sampai di terminal tadi, seperti yang lain, aku juga bermaksud membuang beban yang menggelayut di perut bawah, alias kebelet kencing. Sampai di sini...

“Astagfirulloh!” pekikku. “Ada apa lagi, Syad?” tanya Aris penasaran mendengar pekikku spontan tadi. “Benar kamu Ris, memang ada yang salah dengan diriku. Dan kesalahanku itu rupanya langsung diingatkan oleh Allah, Ris. Subhanallah.”

Aris semakin penasaran. “Begini lho!” ceritaku ber-semangat. “Tadi sebelum turun dari bus, aku kan sudah menyiapkan dua lembar dua ribuan. Uang itu hendak aku masukkan ke kotak MCK setelah aku selesai buang hajat.” “Lalu letak salahnya di mana?” “Nah ini dia! Ketika aku lihat teman-teman nggak ada yang memasukkan uang ke kotak, aku ikut tergoda dan mengurungkan niat untuk memasukkan uangku itu ke kotak amal, Ris!” “Subhanallah, hari ini kita benar-benar mendapat pelajaran berharga dari kehilanganmu tadi, Syad” ucap Aris kagum.

Dan pelan namun pasti aku bisa merelakan jaket kesayangan yang penuh kenangan itu hilang bersama laju bus yang semakin jauh meninggalkan terminal.

*)Guru MTsN Watulimo Trenggalek

65MPA 311 / Agustus 2012