Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIR · 2017. 9. 14. · i TRADISI CIUM HIDUNG (...

30
i TRADISI CIUM HIDUNG ( STUDI ANTROPOLOGIS TEOLOGIS TERHADAP BUDAYA DI PULAU SABU, NUSA TENGGARA TIMUR ) Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Transcript of Oleh LILY CHRISTINE HUNGA DAKE 712008027 TUGAS AKHIR · 2017. 9. 14. · i TRADISI CIUM HIDUNG (...

  • i

    TRADISI CIUM HIDUNG

    ( STUDI ANTROPOLOGIS – TEOLOGIS TERHADAP BUDAYA DI PULAU SABU,

    NUSA TENGGARA TIMUR )

    Oleh

    LILY CHRISTINE HUNGA DAKE

    712008027

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian

    Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi

    Program Studi Teologi

    FAKULTAS TEOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

  • vi

  • vii

  • viii

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

    HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... ii

    LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... iii

    LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES .................................................... iv

    LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ v

    MOTTO .............................................................................................................................. vi

    KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii

    DAFTAR ISI ...................................................................................................................... viii

    ABSTRAK ......................................................................................................................... 1

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 2

    Rumusan Masalah .............................................................................................................. 3

    Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 3

    Signifikansi atau Manfaat Penelitian ................................................................................. 3

    Metode Penelitian .............................................................................................................. 4

    Sistematika Penulisan ........................................................................................................ 4

    GEREJA DAN KEBUDAYAAN

    Gereja ................................................................................................................................. 5

    Kebudayaan ........................................................................................................................ 7

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Gambaran Umum Tempat Penelitian ................................................................................. 9

    Pemahaman masyarakat suku sabu terhadap tradisi cium hidung ..................................... 11

    PENUTUP

    Kesimpulan ........................................................................................................................ 18

    Saran .................................................................................................................................. 19

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20

  • 1

    LILY CHRISTINE HUNGA DAKE

    712008027

    TRADISI CIUM HIDUNG

    (Studi Antropologis - Teologis terhadap budaya di Pulau Sabu,

    Nusa Tenggara Timur)

    Abstrak

    Cium Hidung atau Henge’dho dilakukan dalam setiap pertemuan keagamaan, ritual kematian, perdamaian

    peperangan dan pertemuan adat suku sabu. Tujuannya agar terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan

    semua orang. Dalam tulisan ini persoalan yang akan disoroti ialah bagaimana pemahaman tradisi cium hidung

    bagi masyarakat Pulau Sabu. Berdasarkan kajian Antropologis – Teologis, maka tulisan ini menunjukan bahwa

    Henge’dho bagi orang sabu yang dilakukan dengan cara dua orang yang saling berjabat tangan dan saling

    menyentuhkan hidungnya ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup secara psikis maupun fisik yakni

    mendapatkan rasa aman, nyaman bahkan terhindar dari seluruh bahaya yang mengancam. Dengan demikian

    kehidupan mereka menjadi terarah juga relasi yang dibangun baik antar manusia dan Sang Pencipta. Henge’dho

    dipahami sebagai suatu hasil dan cermin perilaku masyarakat pada suatu tempat, zaman dan waktu tertentu.

    Dapat diartikan bahwa di dalam budaya suku orang sabu terdapat suatu upaya pelestarian agar bertahan hingga

    ke masa yang akan datang. Ini disebut sebagai transformasi budaya sebab ia bekerja dalam alam pikir manusia

    dan sulit dilihat atau diraba tetapi ia tampak dalam tindakan-tindakan yang terkadang tidak logis sekalipun.

    Sikap perpaduan dimana Kristus di atas kebudayaan menunjukan hubungan timbal balik antara Gereja dengan

    Kebudayaan. Sebab pada dasarnya masyarakat suku sabu memiliki pemahaman bahwa sebelum kekristenan

    hadir di pulau sabu, mereka percaya kepada nenek moyang mereka yang telah lebih dulu melakukan tradisi ini

    hingga melahirkan suatu budaya yang baik yang terjaga secara turun temurun hingga saat ini, yang mampu

    membuat hidup mereka bersatu dengan memegang satu ikatan dasar yaitu saling mengasihi. Seluruh aktivis

    Gereja juga terlibat yaitu setiap selesai melakukan pelayanan disetiap tempat selalu diakhiri dengan bejabat

    tangan dan ciuman hidung, ini menjadi salah satu bentuk ungkapan penerimaan, rasa hormat, empati dan juga

    kasih sayang bagi jemaat yang dilayaninya. Ini yang menjadi bentuk dari sikap perpaduan, Kristus di atas

    kebudayaan.

    Kata kunci : Cium Hidung, Kristus, Gereja dan Kebudayaan

  • 2

    I. PENDAHULUAN

    Negara Indonesia merupakan negara majemuk. Dikatakan negara yang majemuk

    karena negara Indonesia memiliki keberagaman kebudayaan yang terbentang dari Sabang

    sampai Marauke. Kemajemukan budaya yang ada ini membuat setiap daerah di Indonesia

    memiliki ciri khasnya. Kehidupan suku-suku serta keberagaman kebudayaannya yang ada di

    Indonesia ini sudah bertumbuh sejak keberadaan nenek moyang hingga sekarang ini.1

    Kebudayaan ini pula bukan baru ada ketika Indonesia sudah menjadi negara, namun

    jauh ada ketika setiap daerah belum bergabung dengan negara Indonesia. Dengan kata lain,

    setiap daerah atau suku bangsa di negara Indonesia memiliki kebudayaan aslinya sebelum

    menjadi bagian dari Negara Indonesia. Dengan keberagaman budaya yang di miliki membuat

    setiap daerah dalam negara Indonesia memiliki keunikan tersendiri.

    Berbicara mengenai kebudayaan sudah tentu bahwa kebudayaan itu sangat lekat

    dengan masyarakat.

    Edward Burnett Tylor mengemukakan, kebudayaan merupakan keseluruhan yang

    kompleks, yang di dalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

    moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang di dapat

    seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soileman

    Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan hasil cipta masyarakat.

    Kebudayaan terdiri dari beberapa unsur, seperti system masyarakat, bahasa, seni,

    teknologi, religi, ekonomi, dan ilmu pengatahuan.2

    Kebudayaan yang beranekaragam ini juga terdapat di Provinsi bagian Timur Negara

    Indonesia, yakni Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). NTT adalah sebuah provinsi

    Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara

    lain Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Adonara, Solor dan Komodo. Ibukota NTT sendiri

    terletak di Kupang, Timor Barat. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas

    provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur yang merdeka menjadi negara Timor Leste

    pada tahun 2002. Kebudayaan - kebudayaan yang ada terlahir bersamaan dengan adanya

    daerah tersebut menjadi satu kesatuan sistem budaya yang memiliki karakter dan ciri khas

    yang sesuai dengan daerah tersebut.3

    1 F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang (Jakarta: Lembaga Penelitian Dan Studi-Studi, 1979), 28. 2Widiarto Tri, Pengantar Antropologi Budaya (Widya Sari Salatiga, 2007), 10.

    3Wikimedia Project, „Wikipedia Ensiklopedia Bebas: Nusa Tenggara Timur‟, dalam

    http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.00 WIB.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Provinsihttp://id.wikipedia.org/wiki/Indonesiahttp://id.wikipedia.org/wiki/Tenggarahttp://id.wikipedia.org/wiki/Floreshttp://id.wikipedia.org/wiki/Sumbahttp://id.wikipedia.org/wiki/Timorhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Rotehttp://id.wikipedia.org/wiki/Sabuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Adonarahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Solor&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Komodohttp://id.wikipedia.org/wiki/Kupanghttp://id.wikipedia.org/wiki/Timor_Barathttp://id.wikipedia.org/wiki/Timor_Timurhttp://id.wikipedia.org/wiki/Timor_Lestehttp://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur

  • 3

    Begitu juga dengan kebudayaan yang ada di Pulau Sabu, Pulau ini selain disebut

    pulau Sabu, juga disebut sebagai pulau Sawu, Sedangkan penduduk setempat menyebut pulau

    ini dengan Rai Hawu (Pulau Hawu). Kebudayaan yang ada di dunia orang Sawu melingkupi

    pandangan dan konsep – konsep mereka mengenai kepelbagian dan kebanyaksegian dunia

    fisik, hidupnya (termaksud aktivitas dan hasil aktivitas itu), lingkungan sosial serta dunia gaib

    sebagai suatu keteraturan yang lengkap.4 Hal ini sudah menjadi turun-temurun dari nenek

    moyang mereka, Sehingga warisan ini dijaga dengan sebaik mungkin dan diturun alihkan

    kepada generasi selanjutnya, agar tidak hilang. karena kebudayaan yang ada di pulau ini,

    merupakan jati diri bagi suku mereka sendiri.

    Pulau sabu memiliki berbagai macam budaya yang sejak dahulu sudah ada dan

    sampai sekarang masih tetap dilestarikan, bahkan budaya tersebut masih dipercaya dan

    diberlakukan di dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk upacara dan sebagainya. Salah

    satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa di sebut dengan Cium Hidung

    di mana tradisi ini biasa dilakukan dengan cara mencium dengan hidung di dalam setiap

    pertemuan, entah itu di dalam pertemuan keagamaan di Gereja atau ibadah - ibadah, dalam

    ritual kematian atapun di dalam ritual pernikahan yang ada dalam suku sabu. hal ini

    dimaksudkan agar terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan semua orang, Sebab itu

    sebagai ungkapan rasa rindu, sayang, empati kepada orang yang dianggap berhak

    mendapatkan itu. Dengan latar belakang pemikiran di atas mendorong penulis untuk

    mengadakan sebuah penelitian tentang : Tradisi Cium Hidung (Studi Antropologis - Teologis

    Terhadap Budaya Di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur )

    Pertanyaan sentral yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman

    tradisi cium hidung bagi masyarakat Pulau Sabu ? Tujuannya, untuk mendiskripsikan

    pemahaman tradisi cium hidung bagi masyarakat Pulau Sabu. Adapun manfaat dari penelitian

    ini adalah secara teoritis guna untuk memberikan kontribusi bagi Fakultas Teologi dalam

    pengembangan keilmuan khususnya bagi Mata Kuliah Agama dan Budaya. Dan juga

    memberikan sumbangan informasi atau pengetahuan tentang tradisi cium hidung serta

    referensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian dalam bidang antropologi. Kedua,

    secara praktis memberikan informasi pada masyarakat luas tentang tradisi cium hidung yang

    ada dalam kehidupan masyarakat pulau sabu.

    4Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu (Jakarta: Sinar Harapan, Anggota IKAPI 1983), 11.

  • 4

    Metode Penelitian

    Jenis penalitian yang dugunakan adalah jenis pendekatan Kualitatif. Untuk menjawab

    rumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka penelitian ini

    bersifat kualitatif dan metode penelitian yang dipakai adalah jenis Deskritif - analitis. Jenis

    penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan situasi, gejala, kelompok atau objek

    penelitian secara menyeluruh sehingga dapat melakukan analisis yang mendalam guna

    memperoleh jawaban yang dapat menjawab permasalahan.5 Penelitian ini bersifat deskritif

    dengan maksud untuk menggambarkan, menggali, dan memahami tentang tradisi cium

    hidung di pulau sabu.

    Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan bahan atau data melalui kepustakaan dari

    berbagai buku dan jurnal. Selain itu kepustakaan ini bermanfaat pula untuk menyusun

    landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan

    guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.

    Teknik ini menggunakan data primer yang dihimpun lewat wawancara dan observasi.

    Wawancara adalah bentuk observasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi

    berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan

    mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal.6

    Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat

    informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Dalam penelitian ini yang

    menjadi sasaran untuk mendapatkan informasi tentang tradisi cium hidung ini adalah

    masyarakat Pulau Sabu, dan Penelitian ini berlangsung di Pulau Sabu.

    Sistematika Penulisan

    Penulisan tugas akhir ini mendiskripsikan dalam empat bagian yaitu yang pertama

    berisi tentang garis besar latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

    manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penelitian yang digunakan. Pada

    bagian kedua berisi tentang teori – teori yang akan digunakan untuk mengkaji dan

    menganalisa yang diperoleh dari pendapat dan kajian pustaka yang mendukung penelitian.

    Bagian ketiga, berisi tentang hasil penelitian dan analisa mengenai pembahasan garis besar

    gambaran tradisi cium hidung dan pemahaman tradisi cium hidung bagi orang sabu. Pada

    bagian empat, Berisi tentang penutupan meliputi kesimpulan dan saran.

    5 Koentjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia, 1980), 30-37.

    6 Gulo W, Metode penelitian (PT Grasindo, 2002), 119.

  • 5

    II. GEREJA DAN KEBUDAYAAN

    Gereja

    Istilah gereja yang dipakai dewasa ini diambil dari bahasa Portugis Igreja7 yang

    diterjemahkan dari Alkitab Perjanjian Baru Ekklesia (Yunani) dan dalam Perjanjian Lama

    Qahal (Ibrani) kata ini menunjukan pada persekutuan umat yang dipanggil Allah. Pengertian

    Qahal dipakai pada ritus-ritus keagamaan dalam tradisi Israel. Istilah-istilah tersebut

    mempunyai pengertian dan maksud yang dihimpunkan. Gereja sering juga dimengerti

    sebagai tempat beribadah umat Kristen. Tapi sebenarnya Gereja bukan sekedar gedung

    melainkan orang-orang yang bersekutu di dalam satu persekutuan dengan Tuhan.8 Calvin

    menarik suatu perbedaan yang penting antara Gereja yang kelihatan dan yang tidak tidak

    kelihatan. Pada suatu tahap, Gereja adalah perkumpulan dari orang-orang percaya, suatu

    kelompok yang kelihatan. Namun, Gereja juga adalah persekutuan dari orang-orang kudus

    dan persatuan dari orang-orang terpilih atau suatu kesatuan yang tidak kelihatan. Dalam

    aspek ketidak kelihatannya, Gereja adalah perhimpunan dan orang terpilih, yang hanya

    diketahui Allah; dalam aspek kelihatannya, Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya

    di bumi.9

    Selaku wujud eksistensial umat Kristen, gereja mempunyai hakikat yang unik sebagai

    berikut : 10

    Pertama, gereja itu dari Tuhan asalnya. Gereja bukan suatu lembaga buatan manusia,

    sungguhpun manusia dipercaya menyelenggarakannya. Selama orang Kristen setia beriman

    kepada Tuhan maka gereja akan tetap hadir didalam dunia, sebagaimana janji Tuhan sendiri

    (Matius 16:18). Dan karena asalnya itu maka prinsip-prinsip dan norma-norma yang berlaku

    didalamnya berasal dari Tuhan sendiri. Kekuasan tertinggi didalam gereja ada pada Kristus

    (Kristokrasi), yang memerintah gereja dengan Firman dan Roh-Nya. Para pemimpin atau

    pejabat di dalam gereja yang bekerja dalam berbagai pola struktur organisasi tidak lebih dari

    pelaksana saja, yang sepenuhnya tunduk pada norma-norma yang diungkapkan dalam Kitab

    Suci.

    Kedua, gereja berada di dalam dan diutus kedalam dunia.Sungguhpun gereja tidak berasal

    dari dunia ini, gereja tidak bisa terhubung dengan dunia dalam fungsi yang ditetapkan Tuhan,

    yaitu menjadi garam atau terang dunia (Matius 5:14-16). Namun, sekalipun diutus ke dan

    7 Tom Jacobs SJ, Gereja Menurut Perjanjian Baru (Kanisius: Yogyakarta, 1988), 55-154.

    8 Ibid., 158.

    9 Alister E, McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1997),

    248-249. 10

    Radius Prawiro, Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat (Pustaka Sinar Harapan, 1998), 10-11.

  • 6

    ditempatkan kedalam dunia, gereja tidak selalu disambut dengan ramah-tamah. Dunia

    membenci gereja sebagaimana dunia menolak Tuhan Yesus (Yohanes 15). Gereja diutus

    selaku domba diantara serigala (Lukas 10:3). Tetapi penolakan atau kebencian kepada gereja

    sering pula karena kesalahan gereja sendiri dalam cara gereja menampilkan diri dan

    kesaksiannya ditengah-tengah dunia.

    Ketiga, panggilan gereja di dalam dan terhadap dunia adalah menjadi saksi Injil Kristus.

    Pemahaman dan praktik mengenai pekabaran injil Kristus ini dijalankan gereja dalam

    berbagai-bagai dimensinya.Yang paling lama dominan adalah paham dan praktik pekabaran

    Injil sebagai pengkristenan. Tetapi dewasa ini pemahaman dan praktik pekabaran Injil telah

    banyak bergeser kearah kesaksian sebagai pelayanan sosial-kemanusian dan melalui bentuk-

    bentuk dialog dengan penganut agama-agama lain. Juga pemberitaan Injil bukan lagi

    ditekankan pada soal keselamatan jiwa secara pribadi saja, melainkan pelayanan yang utuh

    atas seluruh ciptaan. Visi dasar panggilan gereja mengenai pekabaran Injil Kristus dewasa ini

    bersangkut paut dengan perjuangan untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan

    ciptaan.

    Gereja perlu meletakkan landasan panggilannya diatas kasih Kristus tanpa membatasi

    diri sebab Gereja hadir bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan demi kepentingan karya

    Allah. Jadi Gereja mempunyai tanggung jawab untuk mentransformasikan nilai-nilai yang

    baik untuk mewujudkan cinta kasih kita kepada Allah maupun sesama, sekaligus merupakan

    wujud terima kasih kita akan kebaikan Allah yang lebih dahulu sudah mengasihi kita.11

    Kebudayaan

    Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah merupakan

    bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan

    dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.12

    Berbicara mengenai kebudayaan

    berarti kebudayaan itu tidak terlepas dari masyarakat, karena masyarakat adalah bagian dari

    kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan timbul ketika makhluk-mahluk yang hidup di zaman

    dahulu kala mulai berjuang melawan alam untuk mempertahankan hidup dan menambah

    jumlah jenisnya dengan perkembang biakan.13

    Kebudayaan menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang

    kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

    11

    JB. Banawiratma SJ, Gereja dan Masyarakat (Panitia Misa Syukur Pesta Emas Republik Indonesia,

    1995), 94. 12

    Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Aksara Baru: Jakarta, 1986), 181. 13

    Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan (Bhratara Jakarta, 1967), 49.

  • 7

    adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota

    msayarakat. Melville J. Herzkovist dan Bronislaw Malinowski juga menegaskan bahwa

    kebudayaan sebagai cultural determinism, artinya bahwa segala sesuatu yang terdapat

    didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. 14

    Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan

    berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meskipun orang-orang yang

    menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti karena faktor kelahiran dan kematian

    tetapi nilai-nilai budaya yang masih relevan tetap dipertahankan.15

    Kebudayaan yang akan

    lebih di tonjolkan di dalam tulisan ini adalah Kebudayaan Adat, yang di mana seperti yang

    kita tahu bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang

    menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa

    antara manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisah-pisahkan.16

    Dalam rangka berbudaya, manusia tidak berada sendiri, tetapi berada bersama

    manusia lainnya. Dalam berada bersama manusia membentuk masyarakat, sehingga

    masyarakat merupakan pokok budaya manusia. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan

    begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Suatu kebudayaan tidak akan bertahan

    apabila kebudayaan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan daripada anggota-anggota

    masyarakatnya. Apabila kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan anggota masyarakat, maka

    kebudayaan itu akan berfungsi dan ia akan selalu diperlukan dalam setiap anggota

    masyarakat. Hingga beberapa jauh suatu kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan anggota-

    anggotanya. Hal ini hanya dapat diukur daripada nilai-nilai kebudayaan itu sendiri yaitu

    dapat memenuhi segala kebutuhan anggotanya.17

    Kebudayaan sangat bermakna bagi kehidupan manusia karena sifatnya yang mengikat

    komunitas hidup bersama dalam masyarakat dan hidup sebagai satu kesatuan komunitas.

    Setiap komunitas masyarakat mempunyai kebudayaan dan dengan bentuk-bentuk dan nilai-

    nilai adat yang dianggap sakral. walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang

    masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai

    sifat hakekat dari kebudayaan tadi. Untuk itu, seperti yang sudah di katakan pada paragraf

    sebelumnya bahwa kebudayaan adat merupakan salah satu wujud dari kebudayaan yang

    14

    Samuel Patty, Diktat Agama dan Kebudayaan (UKSW: Salatiga, 2004), 34. 15

    Tri Widiarto dkk, Dasar-dasar Antropologi Budaya (Salatiga: FKIP, UKSW. 2000), 54-55. 16

    Ibid., 33. 17

    Samuel Patty, Diktat Agama dan Kebudayaan (UKSW: Salatiga, 2004), 41.

  • 8

    biasanya berfungsi sebagai tata laku yang mengatur, mengendalikan, dan memberikan arah

    kepada sikap hidup dan perbuatan manusia dalam masyarakat.18

    Adapun beberapa pembagian kebudayaan yang lihat dari sisi kebudayaan adat. Yaitu

    dibagi dalam 4 (empat) tingkat antara lain :

    1. Lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide –

    ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan

    masyarakat. Tingkat ini dapat kita sebut nilai budaya.

    2. Tingkat adat yang lebih konkret adalah system norma. Norma-norma itu adalah

    nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari

    manusia dalam masyarakat.

    3. Sistem hukum (hukum adat maupun tertulis)

    4. Aturan-aturan khusus, yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan

    terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat.19

    Dalam pendekataan Gereja, peneliti memakai Teori oleh Reichard Neibhur yang

    mengatakan bahwa bahaya yang paling besar mengancam gereja bukanlah berasal dari luar,

    melainkan dari dalam gereja sendiri, yaitu bahwa Gereja menyesuaikan diri dengan struktu-

    struktur kemasyarakatan yang ada. Di dalam bukunya ia mengungkapkan 5 (lima) pola sikap

    Gereja terhadap kebudayaan. Seperti yang telah terjadi dalam sejarah, yaitu :

    a. Sikap Radikal : Kristus menentang kebudayaan

    b. Sikap Akomodasi : Kristus milik kebudayaan

    c. Sikap Perpaduan : Kristus di atas kebudayaan

    d. Sikap Dualis : Kristus dan kebudayaan dalam paradoks

    e. Sikap Transformatif : Kristus memperbaharui Kebudayaan

    Dalam kelima sikap yang diatas dapat dirangkum dalam dua sikap besar, yaitu konfirmasi

    (pembenaran) dan konfrontasi (pengecaman). 20

    Sedangkan, Dr. W. B Sidjabat memandang adat dari sudut sosiologi, mengatakan ada

    3 (tiga) tingkatan atau matra (dimensi) pada adat, yaitu:21

    1. Hukum adat, yaitu bagian adat yang paling formil dan tersusun. Di dalam hukum

    adat terdapat segi Yuridis. Dengan perkataan lain, adat mempunyai sifat hukum,

    18

    Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan (Jakarta: 1994), 5. 19

    Ibid., 11-12. 20

    Reichard Niebuhr, Christ and cultur (New York : Harper & Brothers, 1951), 6. 21

    R.MS Gultom, Agama dan Adat : Suatu Pemikiran Tentang ” kehidupan beragama sekaligus beradat” (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khotbah agama Kristen Protestan, Dep. Agama

    R.I), 13.

  • 9

    itulah yang dinamakan hukum adat. Fungsi hukum adat ialah mengatur hubungan,

    memimpin dan mengontrol kelakuan dari pada orang-orang di dalam masyarakat.

    Dari dulu hingga kini, hukum adat merupakan jenis kontrol sosial yang penting

    dalam masyarakat.

    2. Adat atau istiadat, yaitu segala keharusan untuk melakukan diri dengan cara-cara

    tertentu yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Adat bersifat sakral dan

    membawa sanksi - sanksi yang sama berat seperti hukum adat apabila dilanggar,

    hanya pengenaan sanksi-sanksi itu lebih formil dibandingkan dengan pelaksanaan

    sanksi atas pelanggaran hukum.

    3. Adat-kebiasaan, yaitu adat yang ditinjau dari pelaksanaan sanksi lebih ringan,

    tetapi merupakan bagian adat yang paling luas. Bagian ini disebut ‟manners and

    customs‟ yang memberi gaya yang khas kepada cara hidup suatu masyarakat.

  • 10

    III. TRADIS CIUM HIDUNG MASYARAKAT PULAU SABU

    Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan

    terhadap 7 (tujuh) informan seperti orang Sabu penganut jingitiu yang dituakan (tokoh adat),

    orang Sabu yang melakukan tradisi tersebut, Pendeta dan majelis yang berasal dari pulau

    Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku sebagai bahan acuan. Pembahasan

    pada bagian yang diatur menajadi gambaran umum lokasi penelitian dan Tradis Cium Hidung

    pulau Sabu.

    Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Sawu adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan perairan Laut

    Sawu, di sebelah timur Pulau Sumba dan sebelah barat Pulau Rote. Secara administratif,

    pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara

    Timur, Indonesia. Luasnya adalah 414 km². Pulau ini selain disebut pulau Sawu, juga disebut

    sebagai pulau Sabu. Sedangkan penduduk setempat menyebut pulau ini dengan Rai Hawu (

    Pulau Hawu ). Pulau Sabu berjarak sekitar 445 mil (716,45 km) dari Kabupaten Kupang.

    Daerah ini dapat dijangkau melalui pelayaran laut selama lebih kurang 15 – 18 jam dengan

    menggunakan kapal fery dan sekitar 45 menit dengan menggunakan pesawat udara. Keadaan

    iklim di Pulau Sabu dipengaruhi oleh letaknya yang berdekatan dengan Benua Australia

    sehingga pada umumnya memiliki musim kemarau panjang dengan curah hujan yang rendah.

    Pulau Sabu secara geografis terletak antara koordinat 100 25‟7,12”LS – 100 49‟45,83”LS dan

    1210 16‟10,78”BT – 1220 0‟30,26”BT. Kabupaten Sabu Raijua memiliki kondisi wilayah

    dengan topografi bergunung-gunung dan berbukit dengan derajat kemiringan sampai 450.

    Permukaan tanah kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi. Topografi yang seperti ini

    menimbulkan isolasi fisik, isolasi ekonomi dan isolasi sosial, apalagi oleh kurangnya

    dukungan infrastruktur seperti jalan dan jembatan diberbagai kecamatan. Sementara

    transportasi kepulau-pulau tertentu seringkali agak mahal karena rendahnya frekuensi sarana

    perhubungan kebeberapa pulau, dimana hal tentunya juga mempengaruhi harga barang dan

    jasa di kabupaten tersebut. 22

    22

    Info NTT, ‟Kliping Internet Provinsi NTT, Kabupaten Sabu Raijua‟. dalam

    http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html.. diunduh Tanggal 20 Juli

    2015, Pukul 20.20 WIB.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Pulauhttp://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Sawuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Sawuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Timurhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Sumbahttp://id.wikipedia.org/wiki/Barathttp://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Rotehttp://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sabu_Raijuahttp://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timurhttp://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timurhttp://id.wikipedia.org/wiki/Indonesiahttp://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html

  • 11

    Sistim Kekerabatan atau Kemasyarakatan

    Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pulau Sabu hidup dalam kekerabatan

    keluarga (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu. 23

    Sedangkan “Hewue Kabba

    ‘Gati” artinya sekumpulan keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga kecil yang bersatu

    dalam membuat upacara-upacara adat dalam keluarga yang difokuskan dalam sebuah rumah

    adat. Keluarga tersebut berasal dari turunan satu kakek yang disebut “Hedau Appu”. Dan

    “Hewue Kerogo” yang merupakan kumpulan beberapa orang nenek beserta anak, cucu dan

    cicitnya. Pemimpin sebuah Kerogo disebut “Kattu Kerogo” yang biasanya dipilih dari yang

    tertua di antara mereka. Kumpulan yang paling besar disebut “Hewue Udu” yang dipimpin

    oleh “Bangngu Udu”. Keturunan dalam Udu terdiri dari kumpulan beberapa buah Kerogo.24

    Tradisi Cium Hidung Dalam Masyarakat Pulau Sabu

    Masyarakat pulau sabu memiliki suatu tradisi unik sekaligus sedikit kurang lazim bagi

    beberapa orang dan akan terlihat aneh jika dinilai oleh orang dari luar Provinsi NTT atau dari

    budaya suku lain. Karena pada umumnya orang Nusa Tenggara Timur kurang lebih sudah

    mengetahui makna dari cium hidung ini. Ini bisa dilihat dari jumlah penduduk yang sekitar

    30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, sehingga banyak orang sabu yang menyebar ke

    seluruh pulau di NTT untuk mencari pekerjaan dan ada pula yang menetap disana.

    Seperti yang pernah terjadi di NTT ketika bapak Presiden Jokowi berkunjung ke

    Kupang dan di sambut dengan pemberian salam selamat datang oleh seorang ibu dengan cara

    cium hidung, dan saat itu juga terlihat sekali bahwa presiden Jokowi sangat kaget dengan

    tingkah sang ibu dikarenakan Presiden Jokowi belum mengetahui mengenai tradisi cium sabu

    tersebut.25

    Akan tetapi sebaliknya bila tradisi cium hidung ini tidak dilaksanakan maka

    banyak pihak yang akan tersinggung, terutama keluarga dan kerabat dekat.

    Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 5 (lima) informan, maka

    diketahui bahwa Tradisi cium sabu atau tradisi berciuman dengan saling menyentuhkan

    hidung ini adalah sebagai ungkapan rasa rindu, sayang, persaudaraan, empati dan juga

    23

    Ahmad Kurnia Elqorni, „Indoculture Online: Suku Sabu‟, dalam

    http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.30 WIB. 24

    El Shadday Community, „Anak Panah : Suku Sabu‟, dalam http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.html.. diunduh Tanggal 20 Juli

    2015, Pukul 20.40 WIB. 25

    Joey Seputar NTT, „Presiden Jokowi Terkejut Dapat Cium Sabu di Kupang‟, dalam

    http://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di

    kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action

    _object_map=[641515425971589]&action_type_map=[%22og.comments%22]&action_ref_map=[].. diunduh

    Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.00 WIB.

    http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.htmlhttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_maphttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_maphttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_map

  • 12

    pemberian maaf yang tulus kepada orang yang dianggap berhak mendapatkan itu. Cium

    hidung atau dalam bahasa Sabunya disebut Henge’do, bisa anda temui pada saat - saat

    tertentu seperti pada saat adanya ritual – ritual seperti kematian, pernikahan dan dalam ibadah

    – ibadah maupun pertemuan-pertemuan di dalam lingkup Gereja. dimana sang pemberi dan

    penerima ciuman berusaha mengktualisasikan ekspresi dari hatinya. Misalnya karena

    perasaan rindu sebab sudah lama tidak bertemu, pada saat merayakan hari – hari raya

    keagamaan, pada saat menyampaikan ungkapan turut bersedih / belasungkawa pada saat

    keluarga atau kerabat mengalami kedukaan atau kematian, atau memberikan ucapan selamat

    karena suatu kejadian yang mendatangkan kebahagiaan dan suka cita seperti di dalam acara

    pernikahan, pembaptisan, dan acara ucapan syukur lainnya, serta pada saat mengakhiri

    pertentangan / perselisihan yang entah itu di dalam suatu pertemuan adat biasanya apabila

    menghadapi kesalah pahaman dalam menentukan jumlah belis untuk kenoto (masuk minta

    calon pengantin perempuan) yang akan di bawa oleh sang calon pengantin pria, serta

    penentuan hari pernikahan. ataupun menentukan hak atas tubuh seseorang yang sudah

    meninggal akan di taruh di rumah siapa serta tempat dan hari penguburan jenazah dari

    keluarga yang meninggal, dan lain sebagainya.26

    Sedangkan menurut Bapak RT (Pendeta GMIT, dari Loboae, desa Ledeana, Sabu

    Barat), Henge’do dilakukan di dalam kalangan masyarakat orang sabu dengan tidak

    mengenal umur, gender, profesi bahkan status sosial. Ciuman antar hidung ini dilakukan

    dengan cara saling menyenggolkan hidung satu sama lain, baik itu antara sesama perempuan,

    atau pun laki-laki yang sudah dianggap kerabat dan saudara dekat maupun saudara, bahkan

    antara perempuan dan laki-laki. Henge’do dalam suku sabu ini mengandung makna sebagai

    penghormatan bagi orang yang di 'salami'. Dengan cium hidung mereka mau menyatakan

    bahwa mereka menerima seseorang dengan hati terbuka. Dalam keseharian masyarakat Sabu,

    cium menciuman hidung menjadi tanda perdamaian. Konflik yang sehebat apa pun akan

    berakhir dengan sendirinya setelah berciuman hidung. Sungguh besar dan dalam makna cium

    hidung ini bagi masyarakat di Pulau Sabu. Henge’dho adalah nilai luhur yang diwariskan

    oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita sebagai sesama

    manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga bisa

    mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu. Cium

    Hidung dilakukan sebagai salah satu bentuk salam perkenalan, persahabatan, maupun sebagai

    26

    Hasil wawancara dengan Bapak JKL (37 tahun), 14 Agustus 2015; Ibu WL (76 tahun), 15 Agustus 2015; Bapak JRL (55 tahun), 15 Agustus 2015; Ibu FDR (38 tahun) dan Bapak AT (39 tahun), 16 Agustus 2015.

  • 13

    ungkapan kasih dalam sebuah ikatan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam kehidupan

    sosial dan budaya kemasyarakatan. Secara tidak langsung ini menunjukan penghargaan

    terhadap nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat, dan kita pun secara resmi telah

    diterima menjadi bagian dari kelompok tertentu. bagi masyarakat Sabu yang masih kental

    dengan budayanya, cium hidung ini memiliki peran yang penting dalam penyelesaian

    berbagai masalah, Entah itu perselisihan dalam hal perebutan tanah ataupun pertengkaran

    dalam pernikahan. Bahkan didalam acara pernikahan yang masih ketat dengan belis (mahar)

    yang besar dan berbagai tuntutan pada keluarga pria, bisa diselesaikan dengan “memberikan”

    hidung kepada keluarga wanita yang hadir di acara tersebut sebagai tanda permintaan maaf

    atas ketidakmampuannya untuk memenuhi permintaan belis dari keluarga wanita dan setelah

    itu tidak ada lagi yang boleh mengungkit-ungkit belis dan lainnya dalam acara kenoto

    (peminangan) tersebut. Contoh lain juga bisa kita lihat pada saat pemberkatan nikah di mana

    setelah pasangan pengantin di berkati oleh Pendeta, pengantin pria akan membuka cadar

    pengantin wanita dan mereka akan saling memberi hidung untuk dicium sebagai tanda bahwa

    mereka telah resmi menjadi satu dalam kasih Kristus, karena dipercayai bahwa cium hidung

    lambang kasih sayang dari suku sabu dan Kristus sebagai kepala keluarga yang mengajarkan

    kasih.27

    Cara mencium dalam budaya Sabu ada pesyaratannya, Seperti (1) harus tutup mulut, (2)

    hanya di hidung saja, bukan di bagian lain dari wajah, (3) harus tahan nafas.28

    Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Henge’dho adalah nilai luhur yang

    diwariskan oleh nenek moyang orang sabu, untuk itu penulis akan melampirkan juga sedikit

    gambaran mengenai leluhur orang sabu yaitu sebagai berikut :

    Di Hurat (surat) satu tempat di India pada pantai Utara Bombay, berdiamlah

    dua orang bersaudara anak laki – laki, yang sulung bernama Kika Ga dan

    yang bungsu bernama Djape Ga. Di karenakan kedua orang tua mereka lebih

    mengasihi Djape Ga daripada si sulung Kika Ga maka Kika Ga mengambil

    keputusan untuk meninggalkan Surat dan dengan mengendarai seekor kuda

    betina berwarna abu hitam mengembara ke luar negeri dan sampailah di

    pulau Djawa Wawa yang sekarang bernama Raidjua. Disana Kika Ga tinggal

    27

    Hasil wawancara dengan bapak RT (52 tahun), 16 Agustus 2015. 28

    Usman D. Ganggang, „Menyaksikan Panorama Nusa Sabu (Cium Ala Sabu)‟, dalam

    http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-

    529341.html.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.20 WIB.

    http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-529341.htmlhttp://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-529341.html

  • 14

    di sebuah pulau di atas batu laut besar bernama Wadu Mea (batu ini sampai

    sekarang masih ada terdapat di laut pada pantai selatan pulau Sawu)

    Di Raidjua, Kika Ga mengambil seorang istri bernama Mudji Rau yang

    adalah saudara perempuan dari Dewa Mone Rau yang berdiam di pulau

    Raidjua di sebuah tempat bernama Ketita, dan akhirnya mendapat seorang

    anak laki-laki bernama Hu Kika. Setelah itu Kika Ga dan Mudji Rau beserta

    Hu Kika berpindah ke Teriwu suatu tempat di pulau Sawu di sebelah timur

    dari Ketita (Pulau Sabu dan Raidjua adalah dua pulau yang berbeda sebelum

    menjadi kabupaten Sabu Raidjua seperti saat ini). Adapun keturunan yang di

    dapatkan oleh Hu Kika yaitu sebagai berikut : Hu Kika mendapat anak Unu

    Hu, Unu Hu mendapat anak AE Unu, AE Unu mendapat anak Rai AE, Rai AE

    mendapat anak Ngara Rai, Ngara Rai mendapat anak Miha Ngara. 29

    Dan Miha Ngara mendapatkan 3 orang anak laki – laki yaitu Hawu Miha,

    Dida Miha dan IE Miha.30

    Ketika Hawu Miha meninggal dan tidak mendapatkan keturunan maka para leluhur

    memutuskan memakai nama Hawu Miha sebagai sebutan untuk Pulau Sawu, yang didalam

    bahasa daerah Sawu tidak disebut pulau Sawu tetapi Hawu.31

    Dan akhirnya Dida Miha serta

    IE Miha sajalah yang melanjutkan melahirkan regenererasi keturunan-keturunan orang sabu

    hingga saat ini hingga menjadi masyarakat yang mendiami pulau sabu.

    Menurut bapak KLL (penganut Jingitiu, dari desa Kujiratu, Sabu Timur), Henge’dho

    awal mula digunakan sebagai salam bagi sesama orang suku sabu. walaupun tradisi cium

    hidung ini ada dan terjadi begitu saja dan tidak diketahui siapa yang memulai akan tetapi

    seiring berjalannya waktu, Henge’dho mulai digunakan sebagai pendamaian antara kedua

    belah pihak yang mengalami konflik atau kesalahpahaman, entah itu perang antara saudara

    atau antara kampung yang saling memperebutkan batas tanah kekuasaan mereka. Cium

    hidung juga sebagai benang merah pembentukan relasi pertama kali antara raijua dan sawu

    yang dilandasi oleh asas struktural yang muncul dari berbagai situasi sehingga terjalinnya

    kekerabatan di antara mereka satu dengan yang lainnya.32

    29

    Yakob Y. Detaq, Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sabu (Ende-Flores : 1973), 7. 30

    Ibid., 9. 31

    Ibid., 8. 32

    Hasil wawancara dengan bapak KLL (98 tahun), 19 Agustus 2015, dari desa Kujiratu, Sabu Timur (didampingi penerjemah bahasa oleh bapak JKL).

  • 15

    Dan setelah melihat tradisi cium hidung dalam budaya suku orang sabu maka dapat

    disimpulkan bahwa adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta menjadi

    suatu kebiasaan didalam suatu masyarakat, baik berupa kata- kata atau suatu bentuk

    perbuatan yang nyata. Menurut masyarakat sabu, adat adalah tradisi atau dengan kata lain

    sudah merupakan budaya atau kebiasaan sejak dahulu kala. Adat adalah bagian yang tak

    terpisahkan dari kehidupan masyarakat sabu, karena masyarakat memahami bahwa adat

    merupakan tradisi dan salah satu warisan adat yang sudah ada sejak dahulu, yang diwariskan

    oleh para leluhur, jauh sebelum agama masuk ke pulau sabu. Bagi masyarakat sabu

    memahami bahwa tradisi cium hidung merupakan warisan adat dari para leluhur (tete-nene

    moyang) kepada generasi berikutnya. Masyarakat memahami bahwa tradisi cium hidung ini

    merupakan tradisi yang harus wajib dilakukan pada saat bertemu dengan siapapun yang

    berasal dari sesama suku pulau sabu.

    Beberapa teori yang mendukung untuk menganalisa lebih jelas tentang adat dalam

    masyarakat Sabu agar hasil penelitian ini mampu memberikan pemahaman baru terhadap

    penulisan Tugas Akhir ini, antara lain :

    Koentjaraningrat, yang memaparkan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa

    Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan

    demikian kebudayaan dapat diartikan ‘hal-hal yang bersangkutan dengan akal’.33

    Jadi

    kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan adalah segenap

    perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, kemauan, dan perasaan manusia, dalam rangka

    kepribadiannya, perkembangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Sehingga, dapat dikatakan bahwa manusia yang melahirkan kebudayaan dan kebudayaan

    dilahirkan oleh manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya agar kehidupannya dapat

    terarah.34

    Melville J. Herzkovist dan Bronislaw Malinowski juga menegaskan bahwa

    kebudayaan sebagai cultural determinism, artinya bahwa segala sesuatu yang terdapat

    didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

    Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan berlangsung

    secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meskipun orang-orang yang menjadi

    33

    Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1986), 181. 34

    Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 201.

  • 16

    anggota masyarakat senantiasa silih berganti karena faktor kelahiran dan kematian tetapi

    nilai-nilai budaya yang masih relevan tetap dipertahankan.35

    Selaras dengan pemaparan hasil yang ada dan penjelasan beberapa teori dari para ahli,

    maka dapat dianalisa bahwa, tradisi cium hidung yang diterapkan di pulau sabu merupakan

    salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sabu. Dikatakan demikian, karena jauh

    sebelum agama masuk ke pulau sabu, masyarakat setempat sudah memiliki tradisi ini.

    Bahkan tradisi ini merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari para leluhur (tete-nene moyang)

    yang kemudian dirumuskan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat Pulau

    Sabu. Kebutuhannya yaitu secara psikis maupun fisik yakni mendapatkan rasa aman, nyaman

    bahkan terhindar dari seluruh bahaya yang mengancam, ketika hidup sebagai masyarakat

    pulau sabu.

    Selanjutnya tradisi ini dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang dapat menghindarkan

    masyarakat setempat dari hal- hal yang tidak diinginkan, karena dapat menciptakan rasa

    aman. Dengan demikian kehidupan seluruh masyarakat pulau sabu menjadi terarah juga relasi

    yang dibangun baik antar manusia dan Sang Pencipta juga menjadi baik.

    Hal lainnya, sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Melville J. Herzkovist dan

    Bronislaw Malinowski, tentang cultural determinism, maka dapat dikatakan bahwa tradisi

    cium hidung di sabu, merupakan sebuah warisan adat dan tradisi. Dikatakan demikian, karena

    tradisi cium hidung telah diterapkan secara turun temurun. Dan secara tidak langsung kalo

    dilihat berdasarkan cerita sejarah maka dipercaya bahwa nenek moyang orang sabu harus

    melintasi laut dan samudera sebelum mencapai kepulauan sabu saat ini dan terdapat indikasi

    kuat bahwa orang Sabu berasal dari rumpun bangsa Melayu yang berasal dari Hindia (Asia

    Selatan) yang beremigrasi sekitar tahun 500 BC. Yang di mana bila hubungkan dengan

    makna dari tradisi cium hidung ini sendiri di mana memiliki tujuan yang dimaksudkan agar

    terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan semua orang. Henge’dho adalah nilai luhur

    yang diwariskan oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita

    sebagai sesama manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga

    bisa mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu.

    Dan kalo dihubungkan dengan nenek moyang orang sabu yang dipercaya berasal dari

    Hindia ini dan melihat makna dari tradisi cium hidung, bisa kita lihat bahwa adanya cerminan

    hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus, ketika Dia melakukan pekerjaan pelayanannya ke

    35

    Tri Widiarto dkk, Dasar-dasar Antropologi Budaya (Salatiga: FKIP, UKSW, 2000), 54-55.

  • 17

    Hindia. Sebab, seperti yang diakatakan oleh Mahatma Gandhi, “dimana hukum kasih

    dilaksanakan, disitulah agama Kristen berada‟‟.36

    Sebab, Tidak semua orang yang memanggil

    Aku, 'Tuhan, Tuhan,' akan menjadi anggota umat Allah, tetapi hanya orang-orang yang

    melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga (Mat 7:21), dialah Kristen Sejati.37

    Informasi dasar pulauan Sabu secara umum, dapat digambarkan dengan informasi

    tentang pulauan Sabu yaitu nama asli Sawu atau Hawu. Dari latar belakang sejarah orang

    Sabu menyebutnya Rai Hawu atau Tanah Sabu. Tentunya ketika adat ini dilakukan berulang-

    ulang dan menjadi kebiasaan di dalam masyarakat sabu, maka dinamakan tradisi.

    Ketika kebudayaan dipahami sebagai suatu hasil dan cermin perilaku masyarakat pada

    suatu tempat, zaman dan waktu tertentu, maka pemahaman itu dapat diartikan bahwa di

    dalam budayanya terdapat suatu upaya pelestarian agar bertahan hingga ke masa yang akan

    datang. Inilah yang disebut sebagai transformasi budaya dan ini tidak mudah dilakukan,

    karena butuh ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh. Secara spesifik, proses

    transformasi budaya itu dinilai sebagai usaha pembelajaran di setiap sendi kehidupan. Terkait

    dengan teori adat istiadat adalah wujud tertinggi dan terdalam dari kebudayaan. Sebab ia

    bekerja dalam alam pikir manusia dan sulit dilihat atau diraba tetapi ia tampak dalam

    tindakan-tindakan yang terkadang tidak logis sekalipun. Oleh karena itu. ketika adat ini

    dilakukan berulang-ulang dan menjadi tradisi di dalam masyarakat setempat dan diwariskan

    secara turun temurun oleh para leluhur, maka mau tidak mau, seharusnya masyarakat pulau

    sabu haruslah mengerti bahwa terdapat sebuah tanggung jawab yang besar yang dititipkan

    oleh para leluhur kepada generasi selanjutnya, untuk menjaga dan melestarikan warisan adat

    tersebut. Sehingga adat tersebut bukan saja menjadi warisan adat, tetapi juga menjadi ciri

    khas dari suku pulau sabu itu sendiri.

    Di dalam masyarakat juga ada Gereja, dan Gereja bertumbuh dengan masyarakat

    dalam suatu proses saling mempengaruhi sebagi mitra. Sehingga terasa penting melihat

    kedudukan bagaimana pemahaman gereja terhadap adat ini. Richard Niebuhr juga

    menawarkan 5 tipe dasar hubungan timbal balik antara Gereja dengan Kebudayaan. Lima

    Tipe dasar ini lebih luas menjelaskan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap

    kebudayaan yang hidup di sekitar gereja. maka tipe dasar yang sesuai dengan hasil penelitian

    yang ada, adalah tipologi yang ke-3 yaitu sikap perpaduan dimana Kristus di atas

    kebudayaan.

    36

    Anton Wessels, Memandang Yesus (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 133. 37

    Ibid., 133.

  • 18

    Dikatakan Kristus diatas kebudayaan, karena pada dasarnya, masyarakat suku sabu

    memiliki pemahaman bahwa sebelum kekristenan hadir di pulau sabu, mereka percaya

    kepada nenek moyang mereka yang telah lebih dulu melakukan tradisi ini hingga melahirkan

    suatu budaya yang baik yang terjaga secara turun temurun hingga saat ini, yang mampu

    membuat hidup mereka bersatu dengan memegang satu ikatan dasar yaitu saling mengasihi.

    Walaupun pada saat itu masih ada diantara mereka yang belum mengenal agama Kristen, dan

    masih bisa dibilang hingga saat inipun masih ada 10% diantara mereka yang menganut aliran

    dinamisme dan animisme, yang di dalam kepercayaan suku mereka, terdapat Sang Pencipta

    yang dalam agama suku dikenal dengan Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan,

    membentuk dan mancipta) atau yang biasa disebut dengan Deo Ama.

    Akan tetapi didalam pelaksanaan tradisi ini, seluruh aktivis Gereja juga terlibat dan

    bentuk keterlibatannya adalah pada saat setiap selesai melakukan pelayanan disetiap tempat

    jemaatnya di manapun, selalu diakhiri dengan bejabat tangan dan ciuman hidung, yang

    menjadi salah satu bentuk ungkapan penerimaan, rasa hormat, empati dan juga kasih sayang

    bagi jemaat yang dilayaninya. Inilah yang menjadi bentuk dari sikap perpaduan, dimana

    Kristus di atas kebudayaan.

    Selanjutnya bahwa, gereja berusaha untuk tetap membuat pandangan, pikiran dan

    perasaan masyarakat setempat agar tetap mengarah pada tanggung jawab mereka, yang mana

    bukan saja sebagai masyarakat Adat tetapi juga sebagai warga Jemaat. Maksudnya agar

    pandangan mereka tetap terarah pada Pribadi Yesus Kristus yang mereka sembah. Gereja

    tidak berwenang menghapus adat yang ada di dalam suatu masyarakat adat, karena Gereja

    hadir ditengah masyarakat sebagai mitra. Namun tugas Gereja adalah berperan sebagai

    Garam dan Terang untuk menerangi, Gereja juga bertanggung jawab dalam visi Teologinya,

    supaya jangan sampai ada hal-hal (adat) yang bertentangan dengan pemahaman bahwa Yesus

    adalah tempat perteduhan, batu karang yang teguh (Mazmur : 11, Mazmur : 28).

  • 19

    V. PENUTUP

    Kesimpulan

    Kebudayaan merupakan sistem simbol yang dengannya bangsa Indonesia memberi

    makna terhadap kehidupannya, sehingga manusia harus selalu berhubungan dengan alam

    sekitarnya. Dengan perkembangan kebudayaan etnis akan semakin menjadikan masyarakat

    Indonesia sebagai bangsa yang memiliki dan melestarikan berbagai budaya, yang juga

    merupakan aset budaya bangsa dan akan timbul rasa bangga serta memiliki secara nasional.

    Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat sangatlah bermakna karena bersifat

    mengikat dan hidup secara bersamaan dengan masyarakat. Setiap kebudayaan yang ada selain

    bersifat mengikat juga memiliki ciri khas yang membedakan budaya yang satu dengan yang

    lainnya. Seperti halnya yang terjadi bagi masyarakat Suku Pulau Sabu yang masih

    melestarikan dan melaksanakan kebudayaan yang dimiliki, karena kehidupan orang sabu

    adalah realisasi hakikatnya sebagai mahkluk sosial yang menjalin kekerabatan serta

    kekeluargaan yang dilandasi dengan kasih sayang. Orang sabu juga menempatakan diri

    sebagai seorang manusia yang senantiasa memelihara hubungannya bukan saja dengan

    sesama manusia tapi juga dengan alam sekitar. itulah makna jelas kehidupan bagi orang sabu.

    Saran

    Begitu banyak kebudayaan yang ada dalam bangsa indonesia yang belum dikenal oleh

    masyarakat indonesia sendiri, padahal begitu banyak hal positif yang terkandung di dalam

    seluruh kebudayaan yang bangsa indonesia punya. tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan

    yang ada itu bisa menjadi identitasmu untuk saling menjalin kekerabatan dan persaudaraan di

    antara sesama. Dengan adanya cium hidung atau Henge’dho adalah sebagai suatu jalan yang

    baik bagi seluruh masyarakat NTT dan diharapkan juga bagi seluruh masyarakat indonesia

    agar saling mengaktualisasikan diri ke dalam budaya ataupun tradisi yang sudah diturunkan

    dari para leluhur kita. cintailah kebudayaanmu, maka alam, adat istiadat serta seluruh

    kebudayaan akan melengkapi hidupmu menjadi sebuah bangsa yang kaya.

  • 20

    DAFTAR PUSTAKA

    Banawiratma SJ, JB. Gereja dan Masyarakat. Panitia Misa Syukur Pesta Emas

    Republik Indonesia, 1995.

    Detaq, Yakob Y. Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sabu. Ende-Flores :

    1973.

    dkk, Widiarto Tri. Dasar-dasar Antropologi Budaya. Salatiga: FKIP, UKSW. 2000.

    Gultom, R.MS. Agama dan Adat : Suatu Pemikiran Tentang” kehidupan beragama

    sekaligus beradat”. Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khotbah

    agama Kristen Protestan, Dep. Agama R.I.

    Kana, Nico L. Dunia Orang Sabu. Jakarta: Sinar Harapan, Anggota IKAPI 1983.

    Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia, 1980.

    Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986.

    Koentjaraningrat. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: 1994.

    Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

    McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. BPK Gunung Mulia: Jakarta,

    1997.

    Mahjunir. Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan. Brahtara Jakarta,

    1967.

    Niebuhr, Reichard. Christ and cultur. New York : Harper & Brothers, 1951.

    Prawiro, Radius. Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat. Pustaka Sinar Harapan,

    1998.

    Patty, Samuel. Diktat Agama dan Kebudayaa. UKSW: Salatiga, 2004.

    SJ, Tom Jacobs. Gereja Menurut Perjanjian Baru. Kanisius: Yogyakarta, 1988.

    Tri, Widiarto. Pengantar Antropologi Budaya. Widya Sari Salatiga, 2007.

    Ukur, F. dan Cooley, F. L. Jerih dan Juang. Jakarta: Lembaga Penelitian Dan

    Studi-Studi, 1979.

    Wessels, Anton. Memandang Yesus. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

    W, Gulo. Metode penelitian. PT Grasindo, 2002.

  • 21

    Website :

    Wikimedia Project, „Wikipedia Ensiklopedia Bebas: Nusa Tenggara Timur‟, dalam

    http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015,

    Pukul 20.00 WIB.

    Info NTT, ‟Kliping Internet Provinsi NTT, Kabupaten Sabu Raijua‟. dalam

    http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html..

    diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.20 WIB.

    Ahmad Kurnia Elqorni, „Indoculture Online: Suku Sabu‟, dalam

    http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/.. diunduh Tanggal 20 Juli

    2015, Pukul 20.30 WIB.

    El Shadday Community, „Anak Panah : Suku Sabu‟, dalam

    http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.html..

    diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.40 WIB.

    Joey Seputar NTT, „Presiden Jokowi Terkejut Dapat Cium Sabu di Kupang‟, dalam

    http://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di

    kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_sourc

    e=other_multiline&action_object_map=[641515425971589]&action_type_map=[%2

    2og.comments%22]&action_ref_map=[].. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.00

    WIB.

    Usman D. Ganggang, „Menyaksikan Panorama Nusa Sabu (Cium Ala Sabu)‟, dalam

    http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-

    sabu-1-cium-ala-sabu-529341.html.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.20

    WIB.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timurhttp://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.htmlhttp://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.htmlhttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_maphttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_maphttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_maphttp://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di%20kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5b641515425971589%5d&action_type_map=%5b%22og.comments%22%5d&action_ref_maphttp://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-529341.htmlhttp://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-529341.html