Oleh H. Imam Moedjiono

16
H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam Konsep Pendidikan isiam Telaah Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir Oleh H. Imam Moedjiono Dosen FlAl Ull Yogyakarta Mohammad Natsir dikenai seba- gai seorang pemlkirproduktifdan juga salah satu tokoh Islam di abad Ini. la lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Sumatera Barat dan menlnggalduniadlJakarta 6Februarl 1993 (Luth, 1999:27). Sebagal tokoh, sudah tentu semua sikap,. tindak tanduk dan perjuangannya merupa- kan baglan integral dari proses interaksi pemikiran dengan situasi sosio-kultural yang pernah melatar belakangi kehidupannya. ' Pemikiran seorang tokoh, tidak mungkin lahir dalam suasana kevakuman sosial, karena hal ini merupakan proses interaksi dalam menyikapi situasi yang terjadi. Dialektika antara potensi dirl dengan situasi lingkungannya melahirkan corak pemikiran yang sesungguhnya. Demikian pula Natsir. Corak pemikirannya dapat diformulasikan jika dilacak melalui penelusuran asal- usul, pengalaman dan setting sosial yang pernah diialuinya. Natsir tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat taat beragama yang sarat polemik dan wacana pemikiran. Begitu pula latar belakang pendidikannya yang mencerminkan perpaduan antara pendidikan sekuler dan Islam. Pola yang demikian telah membentuk karakter Natsir sebagal seorang yang berpengetahuan secara integral. Bermodalkan kecerdasan yang dimiliki serta ketekunannya belajar secara otodidak, telah melahirkan kecermatannya dalam menganalisis dan menyikapi setiap problema sosial yang terjadi. Daya kritisnya sangat tajam, terutama setelah mendapatkan bimbingan dari beberapa tokoh intelektuai muslim handa! ketika itu, seperti A. Hassan, Haji Agus Sallm, Ahmad Soorkotti dan tokoh terkemuka lalnnya. Dalam merefleksikan corak pemikiran, Natsir agaknya akan menimbulkan pemahaman parsial jika hanya dilihat dari satu sisi keilmuan, karena profilnya bukanlah tipe seorang pemikir murni. Bahkan lebih tepat dikatakan sebagai seorang pemikir reaktif rasionalistik. Hal ini terlihat dari gagasan yang dilontarkannya, terkesan lebih bersifat responsif terhadap situasi sosio- kultural yang terjadi. Tanggapannya tidak mengacu pada suatu tema, melainkan sangat beragam dan kompilatif. Dengan pertimbangan demikian Yusril Ihza Mahendra menye- butnya dengan pemikir kompilatif fragmentarls (Mahendra, 1995:131). Mencermati karya tullsnya yang berjumiah sekitar 27 buku dan sejumlah artlkel yang tersebar dalam berbagai media massa (sekalipun para peneliti berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah karya tulis Natsir. 46 JPIFIAI Jurusan Tarbiy^ Volume VIII Tahun VI Juni2003

Transcript of Oleh H. Imam Moedjiono

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

Konsep Pendidikan isiamTelaah Pemikiran Pendidikan Mohammad Natsir

Oleh H. Imam MoedjionoDosen FlAl Ull Yogyakarta

Mohammad Natsir dikenai seba-gai seorang pemlkirproduktifdan jugasalah satu tokoh Islam di abad Ini. lalahir pada tanggal 17 Juli 1908 diAlahan Panjang Sumatera Barat danmenlnggalduniadlJakarta 6Februarl1993 (Luth, 1999:27). Sebagal tokoh,sudah tentu semua sikap,. tindaktanduk dan perjuangannya merupa-kan baglan integral dari prosesinteraksi pemikiran dengan situasisosio-kultural yang pernah melatarbelakangi kehidupannya. '

Pemikiran seorang tokoh, tidakmungkin lahir dalam suasanakevakuman sosial, karena hal inimerupakan proses interaksi dalammenyikapi situasi yang terjadi.Dialektika antara potensi dirl dengansituasi lingkungannya melahirkancorak pemikiran yang sesungguhnya.Demikian pula Natsir. Corakpemikirannya dapat diformulasikanjika dilacak melalui penelusuran asal-usul, pengalaman dan setting sosialyang pernah diialuinya.

Natsir tumbuh dan berkembangdalam lingkungan masyarakat taatberagama yang sarat polemik danwacana pemikiran. Begitu pula latarbelakang pendidikannya yangmencerminkan perpaduan antarapendidikan sekuler dan Islam. Polayang demikian telah membentukkarakter Natsir sebagal seorang yangberpengetahuan secara integral.

Bermodalkan kecerdasan yangdimiliki serta ketekunannya belajarsecara otodidak, telah melahirkankecermatannya dalam menganalisisdan menyikapi setiap problema sosialyang terjadi. Daya kritisnya sangattajam, terutama setelah mendapatkanbimbingan dari beberapa tokohintelektuai muslim handa! ketika itu,seperti A. Hassan, Haji Agus Sallm,Ahmad Soorkotti dan tokoh terkemuka

lalnnya.Dalam merefleksikan corak

pemikiran, Natsir agaknya akanmenimbulkan pemahaman parsial jikahanya dilihat dari satu sisi keilmuan,karena profilnya bukanlah tipe seorangpemikir murni. Bahkan lebih tepatdikatakan sebagai seorang pemikirreaktif rasionalistik.

Hal ini terlihat dari gagasan yangdilontarkannya, terkesan lebih bersifatresponsif terhadap situasi sosio-kultural yang terjadi. Tanggapannyatidak mengacu pada suatu tema,melainkan sangat beragam dankompilatif. Dengan pertimbangandemikian Yusril Ihza Mahendra menye-butnya dengan pemikir kompilatiffragmentarls (Mahendra, 1995:131).

Mencermati karya tullsnya yangberjumiah sekitar 27 buku dansejumlah artlkel yang tersebar dalamberbagai media massa (sekalipun parapeneliti berbeda pendapat dalammenetapkan jumlah karya tulis Natsir.

46 JPIFIAI Jurusan Tarbiy^Volume VIII Tahun VI Juni2003

Ada yang mengatakan 20 buah danyang lain mengatakan 27 buah danperbedaan itu disebabkan banyaktulisan Natsir yang diterbitkan dalamsuatu judul kemudian dihimpunkembali oleh penerbit yang laindengan judul yang berbeda (AblbullahDjaini Pengantar, dalam AnwarHaryono, 1996 : xli), lingkuppemikirannya yang dominan dapatdiklasifikasikan ke dalam beberapadisiplln kellmuan. Hal dimaksud dapatmeliputi teologi, syari'ah, pendidikan,politik, dan dakwah.

Sedangkan pemikiran lainnyaseperti fllsafat, tasawuf, sejarah danperbandingan agama leblh merupa-kan fragmentasi dalam melengkapicorak pemikiran di atas. Tulisansederhana inl akan mellhat salah satu

pemikiran Natsir yakni di bidangpendidikan Islam.

Konsep Pendidikan IsiamMohammad Natsir

Menurut Natsir, pendidikan adaiahsuatu pimpinan jasmani dan rohanimenuju kesempurnaan dan lengkap-nya sifat-sifat kemanusiaan dalam artisesungguhnya. Sedangkan kata"pimpinan" dalam konteks pendidikandi atas mengandung dua unsur pokok,yakni unsur "tujuan" yang berfungsimengarahkan proses pendidikan danunsur "satu asas" sebagai tempatmendasarkannya (al-Abrasyl, tt:7).

"Tujuan" pendidikan, menurutNatsir tidak dapat dipisahkan daritujuan hidup manusia, yakni "menye-mbah Allah". Pertlmbangan Natsirkarena hakekat pendidikan merupa-kan upaya merealisasikan tujuanhidup manusia dalam arti yangsesungguhnya, sehingga inherendalam tujuan hidup tersebut.

Paradigma Baru Pendidikan Islam

Pengertian "menyembah Allah"dalam konteks tujuan hidup memllikimakna yang sangat luas. Hal in! bisamencakup Ibadah khusus {hablumminAllah) dan ibadah umum {hablum minal-khalqlah) melalui aktivitas yangmemposisikan manusia sebagaikhalifah Tuhan dl dunia.

Menurut Natsir, pengertianpenyembahan secara spesifik dalampendidikan adaiah: "melengkapiketaatan dan ketundukan manusia

kepada semua perintah llahi, yangmembawa kejayaan duniawi dankemenangan ukhrawi, serta menjauh-kan diri dari segala larangan yangdapat menghalangi tercapainyakemenangan dunia dan akhirat itu"(Natsir, 1954:58).

Dengan demiklan urgensipenyembahan bukanlah untukkepentingan Allah karena, Allah tidakmembutuhkan sesuatu apapun darimakhluk-Nya, tapl merupakan"kebutuhan dasar" bagi manusiadalam upaya pembebasan daripenghambaan diri dan rasaketergantungan terhadap sesamamakhluk Tuhan yang terkadang lebihrendah martabatnya dari manusia.

. Di sisi lain, Natsir menambahkanbahwa untuk dapat meralh kemenangan hidup dunia dan akhirat, harusdidukung dengan penguasaan ilmupengetahuan, karena ha! ini dapatmembuat posisi seseorang menjaditerhormat, baik di sisi Allah maupun disisi sesama makluk. Untuk melengkapipendapatnya, Natsir mengutip firmanAllah yang artlnya:

"Bahwa sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya takutkepada Allah adaiah hamba-hamba-Nya yang menclntai ilmu,sesungguhnya Allah itu maha

JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VIIITahun VIJun}2003 47

H. Imam Moedjiono. Konsep Pendidikan Islam

berkuasa dan maha pengampun"(Q.S ,35:28) ^

Bertolak dari ayat di atas,kecintaan dalam menuntut llmumerupakan bagian dari penyembahandiri kepada Allah sekaligus menjadisalah satu tujuan pendidikan yangdiinginkan Islam

Menurut Natsir, tujuan pendidikanIslam secara khusus adalah menum-

buhkembangkan potensi manusiamenjadi makhluk yang selalu beradadalam keseimbangan perkembanganjasmani dan rohaninya, pertumbuhanakal dan budi pekertinya, antara ilmudan imannya, ikhtiar dan do'anya,hubungannya dengan sesamamakhluk besertaalam sekitarnya, sertahubungannya dengan penciptaseluruh alam semesta, yakni AllahRabb al-alamin {Natsir,1988:324)

Berkait dengan tujuan pendidikansebagaimana yang diungkapkan diatas, dalam pandangan Natsir setiappeserta didik memiliki potensi dasaryang berbeda antara satu dan lainnya.Potensi tersebut dapat tumbuh danberkembang secara dinamis, balk kearah yang positif maupun ke arah yangnegatif. Inti proses pendidikan terletakpada upaya menumbuhkembangkanpotensi secara optimal dan seimbangke arah yang baik. Sedangkan hasilyang ingin dicapai adalah terbentu-knya manusia yang memiliki integritaspribadi utuh dan dapat membehkankebermaknaan hidup bagi dirlnya,keluarga, masyarakat dan alamlingkungan sekitar (Natsir, 1988:324).

Konsep dan tujuan pendidikanIslam sebagaimana diformulasikanNatsir, sejalan dengan rumusan hasilkongres pendidikan islam seduniayang diselenggarakan di Islamabad

•pada tahun 1980. Inti pendidikan Islamharus ditujukan ke arah tercapainyapertumbuhan yang berkeseimbangandari seluruh kepribadian manusia,melalui latihan spiritual, kecerdasan,perasaan, dan pancaindera.

Oleh karenanya, pendidikan Islammestinya dapat membehkan pelayan-an pada pertumbuhan manusia dalamsemua aspek kehidupan yang meliputiaspek spiritual, intelektual, imajinasi,jasmaniah, ilmtah, linguistik, baikindividual maupun kolektif, sertamendorong ke arah kebaikan danpencapaian kesempurnaan agarterlaksana aktivitas pengabdiankepada Allah SWT, sesuai tuntunanyang telah digariskan Islam (Arifin,1991:132).

Berkait dengan "asas" pendidikanIslam, Natsir secara tegas membeda-kan antara asas sebagai dasarpendidikan Islam dengan sumberpendidikan Islam. Menurutnya asaspendidikan Islam hanya "Tauhid". Inlmenjadi pangkal dalam berbuat dantempat kembalinya semua amalperbuatan. Sedangkan sumberpendidikan yang merupakan saranamendapatkan llmu pengetahuan dapatdiklasifikasikan ke dalam tigatingkatan, yakni al-Quhan, al-Sunnahdan Ijtihad. al-Qur'an dan al-Sunnahsebagai sumber ilahiah memilikikebenaran mutlak, sedangkan ijtihadsebagai sumber insaniah, tingkatkebenarannya dibatasi oleh tempatdan masatertentu.

Untuk mendukung argumentasl-nya, Natsir seringkali mengutip hadistentang peristlwa yang terjadi ketikaRasulullah mengutus Muazd ibn Jabalmenjadi qadhi di Yaman; Rasulbertanya: Dengan apa kamu menja-tuhkan suatu hukum?, Muazd

48 JPIFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni2003

menjawab, saya memutuskannyadengan kitab Allah. Kaiau kamu tidakmendapatkannya?, .dengan surinahRasulullah. Kaiau kamu masih tidak

mendapatkannya? Saya akanmelakukan ijtihad dengan akal sayadan saya tidak akan berputus asa(Natsir,1981:244)

Menurut Natsir, dalam menyele-saikan reailtas kehldupan yang mult)kompieks, sumber yang berasai dariayat ai-Qur'an dan al-Sunnah sangatsedikit, sementara permasalahan yangdihadapi selalu dinamis danberkembang. Untuk mengatasi haldemlkian diperiukan keberanianmelakukan//Y//7ad.

Dalam pemahaman Natsir,wiiayah ijtihad sangat iuas, yaknimencakup seiuruh persoaian kehidup-an manusia, yang belum diatur secaraqafi dalam ai-Qur'an dan al-Sunnah.Untuk mendukung aiasannya, Natsirmengutip hadis yang berasai dari Anasibn Malik dan dirawlkan oieh Muslim

yang artinya '.Kamu lebih tahu tentangurusan duniamu dari padaku, dan akulebih tahu urusan akhiratmu dari pada/camu (Natsir, 1988:247).

Untuk mereailsasikan tujuanpendidikan, sebagaimana diungkap-kan di atas, Islam mewajibkan setiapindividu (fardhu'ain) untuk menggalilimu pengetahuan, yang disebutnyadengan istilah "ulum ai-dien". Dalampemahaman Natsir, iimu yangtermasuk "dien" bukaniah sebatas

iimu-ilmu keisiaman saja, tapimencakup puia semua dislpiin iimuyang mendatangkan manfaat,termasuk iimu-ilmu umum, karenasemua iimu berasai dari Tuhandan

untuk tujuan untuk kemasiahatanmanusia khususnya dan keiestarianalam pada umumnya. Begitu puia

PARADIGMA BARUPENDIDIKAN ISLAM

untuk dapat meraih kemenanganduniawi dan kebahagiaan ukhrawi,setiap umat islam dituntut menguasaiiimu pengetahuan, sesuai bakat danminatnya, balk secara akademismaupun keahlian profesionai. Dariberbagai keahlian ituiah, padagilirannya umat islam akan dapatmenguasai iimu pengetahuan secarakaffah (komprehensif) (Natsir, 1970 :25).

Menurut Natsir, dalam menuntutiimu pengetahuan islam tidak memiiahpersoaian duniawi dan ukhrawi secaradikotomis. Begitu puia antara aspekjasmani dan rohani, karena hal itubukaniah dua hal yang bertentangansehingga harus dipisahkan, melainkandua serangkai yang saling melengkapidan lebur dalam suatu susunan yangharmonis dan seimbang (Natsir, 1954:61)

Islam tidak membedakan iimu dari

segi niiainya, yang dibedakanhanyalah penamaan iimu sebagaisuatu dislpiin keahlian. Menuntut iimudalam tingkat kebutuhan dasar adalahfardhu 'ain (kewajiban individual).Namun ketika ingin mendalami iimusecara takhassus, sesuai denganminat dan bakat, termasuk menyedia-kan ulama yang benar-benar pahampermasalahan agama, guna memberi-kan peringatan pada umat, hal itumenjadi fardhu khifayah, karena tidakmungkin setiap orang dapatmendalami semua disiplin iimutersebut (Natsir, 1969:24).

Begitu puia dengan berbagaidisiplin iimu lainnya. Menurut Natsir,iimu-ilmu dasar tersebut di sampingmencakup persoaian-persoalanmendasar dalam aspek akidah,Ibadah, muamalah dan akhlak,meliputi puia aspek iimu-ilmu alat

JPIFIAI Jurusar) Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003 49

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

berupa membaca, menulis danberhltung. Dari ilmu dasar inilahberkembang •'ke arah takhassus(profesional) sesuai fitrah yang dimilikimasing-masing individu.

Dalam mengembangkan ilmu-ilmu takhassus, Natsir menam-bahkan,secara simbolik Idealnya ada sego-longan umat Islam yang bermazhab keLeiden, Paris, London dan Berlin.Namun ada pula hendaknya golonganintelegensia lain yang berpedoman keKairo, Mekah,'A!igarh dan Delhi. Keduagolongan itu berhak mendapatkanpenghargaan yang sama (Natsir, 1969:71).

Bertolak dari pemahaman Natsirtentang ilmu pengetahuan sebagaima-na diungkapkan di atas, secara hukummencari ilmu pengetahuan, agaknyadapat digambarkan dalam sebuahparadigma berikut ini:

cre

re

o

b-re

re

t/iV

</)

ore.CU'

LU CO c-

re"• c:

E. E E' . '=3'

' n:,

ipmu-ilrnu DasafeISyari'ahjAkhlai

membacajan Olfnfl)

Fardu 'ain Fardu khifayah

Untuk mendapatkan ilmupengetahuan, hanya dua instrumenyang dapat digunakan, yakni inderawidan akal. Melalui inderawi dapatdiketahui ilmu-ilmu yang bersifatkonkrit, sedangkan melalui akal dapatdiketahui ilmu-ilmu yang bersifat

metafisik, dengan proses olah pikirmemahami ayat-ayatTuhan, balk yangtertulis maupun yang tidaktertulis.

Di sisi lain, qalbu bukanlah untukmencari dan membuktlkan sesuatu.

Akan tetapi wilayah rasa, dapatmerasakan Ilmu yang balk dan burukmelalui proses pensucian jiwa. Natsirmenilai, indera, akal dan qalbubukanlah instrumen yang terplsah danberdiri sendiri, melainkan salingberkaitdan melengkapi.

Indera mengantarkan akalmengenal alam luar, sedangkan akaldapat memahami sesuatu, sementarahati dapat merasakan kebermaknaansesuatu yang telah ditemukan akaltersebut (Natsir, 1981:13).

Untuk dapat mengembangkanilmu pengetahuan secara sistimatisdan komprehensif, diperlukan coraklembaga pendidikan yang lebihvariatif, bisa berbentuk lembagapendidikan keagamaan dan dapatpula lembaga pendidikan umum.Bagilembaga pendidikan keagamaanidealnya berorientasi pada pemblnaanliyatafaqqahu fi al-ddin (ulama), yaknibrang yang benar-benar memahamipersoalan, seluk-beluk keislaman dankemampuan dasar pengetahuanumum sebatas kebutuhan individual.

Lembaga pendidikan umumsemestinya dapat melahirkan ululalbab (intelektual) yang mampumembuktlkan, bahwa semua ciptaanTuhan tidak ada yang sia-sia bagimanusia. Namun demikian harus pulamelengkapi pengetahuan dasarkeagamaan, sehingga dapat mene-rapkan nilai-nilai akhlaq al-karimahdalam sikap dan semua tindakannya.

Dalam proses transformasi ilmu,Natsir berpendapat bahwa opti-malisasi pengembangan minat dan

50 JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VIH Tahun VIJuni2003

bakat peserta didik harus mendapatperhatian serius. Hal in! mengingat,peserta didik adalah manusia yangselalu hidup secara dinamis, disamping mempunyaisifat-sifatumum,masing-masing juga memiliki sifat dantabiat khusus (Natslr, 1981 : 82). Halinilah yang mendorong perlunyapenyediaan berbagai alternatif-lembaga pendidikan.

Daiam aspek metodologis, prosestransformasi ilmu pengetahuan, dapatpula diberikan secara variatif sesuaikebutuhan dan tingkat perkembanganintelektual peserta didik. Hal tersebutmenurut Natslr sudah diisyaratkandalam surat al-Nahl ayat 125 yangartinya:

Serulah kepada jalan Tuhanmudengan hikmah, dan mau'izah(nasehat-nasehat yang baik) danbermujadalah (bertukar piklran)dengan cara yang lebih balk,..."(Natsir, 1981:161).Dari ayat di atas, tergambar

secara umum proses transformasi ilmupada peserta didik dapat ditempuhmelalui tiga tingkatan, yakni • metodehikmah, mau'izah dan mujadaiah.Ketiga metode tersebut lebih bersifatlandasan normatif. Jika diterapkandalam tataran praksis, prlnsip-prinsipmetode di atas dapat dikembangkandalam berbagai model sesuaikebutuhan.

Untuk melengkapi landasannormatif tersebut, dalam konteks lebihspesifik, Natsir melengkapi pendapat-nya dengan mengutip pesan Rasulu-llah melalui sebuah hadis shahih yangartinya -."Kami diperintahkan supayaberbicara kepada manusia menurutkadar perkembangan akai (kecerdas-an) mereka masing-masing" (Natsir,1981:162).

Paradigma Baru Pendidikan Islam

Bertolak dari landasan di atas,maka dalam tataran implementatifterlihat Natsir mengutip pendapatMuhammad Abduh, tentang perlunyaproses transformasi ilmu pengetahuanterhadap peserta didik, yang harusdisesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Menurutnyadalam melakukan proses tranformasiIlmu, idealnya disesuaikan dengantingkat perkembangan kecerdasan-nya.

Terhadap peserta didik yangmasih dangkal pengetahuan danrendah analisanya, dapat dilakukanmetode mau-izah (tuntunan) yangdibarengi 'uswah (memberikan contohketeladanan). Sedangkan pesertadidik yang sudah mampu melakukananalisis sebuah pemikiran, diperguna-kan metobe mujadaiah (diskusi), yangsasaran pengembangannya adalahkreativitas berfikir.

Sedangkan bagi kalangan pesertadidik yang cerdas dan sudah tinggipengetahuannya, sehingga mampumemahami persoalan-persoaianabstrak, dapat dihampiri denganmetode hikmah, yang sasarannyadifokuskan pada kemandirian dankeberanian mengambil keputusan.Pemahaman Natsir demiklan terlihatdalam pernyataannyasebagai berlkut:

Pertama, terhadap golongancendekiawan yang cinta kebenaran,sudah dapat berfikir secara kritis dancepat serta dapat menangkap maknasebuah persoalan, semestlnyadipergunakan "metode hikmah",yaknimemberikan argumentasi dengan dalildan hujjah yang dapat diterima olehkekuatan akal.

Kedua, terhadap golongan awam,yakni orang kebanyakan yang belummampu berplkir kritis dan mendalam,

JPI FIAI Jumsan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni2003 51

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

belum dapat menangkap pengertianyang tinggi-tinggi,- hams didekatidengan metode maidzatun hasanah,yakni anjuran dan didikan yang baik-baik dan mudah dipahami.

Ketiga, terhadap golonganmenengah, yang tingkat kecerdasan-nya antara ke dua tingkat sebagalma-na disebutkan di atas, belum dapatdicapai dengan metode hikmah dantidak sesuai pula dengan mauizah, tap)dengan metode mujadalah billati hiyaahsan, yakni dengan bertukar pikiransecara dialogis, guna mendorongnyaberfikirsehat (Natsir; 1981:162).

Dari beberapa metode yangdiungkap-kan di atas, terlihat metodehikmah iebih berorieantasi padakecerdasan dan keungguian. Metodeini memiiiki cakupan yang sangat iuas,meiiputi kemampuan memiiih saatyang tepat untuk melangkah, mencarikontak dalam aiam pemikiran gunadijadlkan titik bertolak, kemampuanmemiiih kata dan cara yang tepat,sesuai dengan pokok persoalan,sepadan dengan suasana sertakeadaan orang yang dihadapi (Natsir,1981:225).

Natsir menambahkan, bahwaimpiikasi metode hikmah akanmenjeima dalam sikap dan tindakanberupa: qaulan syadid, qaulun ma'ruf,qaulun baligh berupa hajrun JamH,uswah hasanah dan lisan al-hal (Natsir,1981:225).

Dari aspek kurikuium pendidikan,maka seperangkat mata pejajaranyang diberikan pada peserta didik,semestinya dapat disusun dandikembangkan secara integral,dengan mempertimbangkan kebutuh-an umum dan kebutuhan khusus,sesuai potensi yang dimiliki pesertadidik. Dalam aspek . kepentingan

umum misalnya, setrap peserta didikdibekaii iimu-ilmu dasar dan ilmu alat

untuk kebutuhan individual dalam

berhubungan dengan Khaliknya danberinteraksi dengan iingkungannya.Sedangkan ilmu-ilmu khusus, semestinya setiap lembaga pendidikan, disamping dapat mengembangkanpendidikan takhassus dapat pulamemiiih saiah satu pengetahuanketrampilan yang dapat dijadikanbekai penghidupan bagi peserta didik,seteiah menamatkan pendidikannya.Dengan demikian akan tertanam sikapkemandirian, dalam menyikapi realitaskehidupan

Konsep pendidikan integral inisudah dicanangkan Natsir sejakmasih menjadi pimpinan yayasanPendidikan Islam di Bandung yangprogramnya dapat dicermati sebagaiberikut:

1. Menyediakan kekurangan lembaga pendidikan bagi anak-anakmusiim, mengingat akan kehaus-an masyarakat terhadap pengajar-an semaklntinggi.

2. Mengatur peiajaran yang akandiajarkan kepada peserta didik,agar berdasarkan dan ber-rohkepada Islam, balk secara teoritismaupun dalam bentuk praktis.

3. Mengatur segala proses pendidikan yang akan diberikan agarseiaiu menjaga peserta didikjangan sampai bergantung padamakan gaji atau perburuhanketika menamatkan pendidikannya, untuk itu Ikhtiar yang harusdilakaukan adalah membekaiinyauntuk dapat bekerja dengankemampuan sendiri (Ajib Rosidi,1990:169).Berkait dengan iimu-ilmu dasar,

menurut Natsir suatu hal yang tidak

52 JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VIJunl2003

dapat diabaikan adalah penguasaanilmu bahasa, karena bahasa merupa-kan prasyarat awal untuk dapatmemahami dan menggali berbagaiilmu pengetahuan. Natsir menegas-kan: "Ada tiga bahasa yang idealnyadapat dikuasai peserta didik, yaknibahasa Indonesia, bahasa Arab danbahasa inggeris. Bahasa Indonesiamerupakan bahasa pengantar yangsemestinya dipergunakan dalamberkomunikasi dan tempat mengamal-kan ilmu yang diperoieh. Bahasa Arabmerupakan kunci khazanah ilmu-iimukeislaman, sedangkan BahasaInggeris merupakan khazanah Ilmu-iimu moderen dan teknoiogi (AjibRosidi,1990:32).

Khusus bagi lembaga pendidikanPondok Pesantren, dalam pandanganNatsir bahasa Arab semestinyamendapatkan perhatian serius, karenabahasa Arab tidak hanya sekedarbahasa kitab suci ai-Qur'an dan al-

Sunnah, tap! sudah merupakanbahasa keb'udayaan. Banyak mutiarapemikiran yang sangat berharga padaperiode kejayaan islam yangbeiakangan menjadi terabaikankarena kurangnya minat dari kaiangangenerasi muda Islam untuk menelaahkembali. Hal tersebut tidak teriepasdari rendahnya kemampuan penguasaan bahasa Arab. Dalam sebuah

pernyataannya Natsir menegaskan;"Bahasa Arab itu bukanlah bahasa

agama semata-mata, bukan suatudiaiek, bukan bahasa salah satuprovinsi, akan tetapi satu bahasadunia, satu bahasa kebudayaan,satu bahasa pemangku kecerdas-an, kunci bermacam pengetahuandan kaya raya untukmengutarakansuatu paham atau pengertian, dari

, yang mudah sampai pada yang

Paradigma Baru Pendidikan Islam

sulit, dari yang bersifat maddahsampai pada yang bersifatmaknawi, ya,.. malahan lebih kayadari bahasa Eropah yang manapunjua" (AjibRosidi, 1990:210).

Pertimbangan Natsir di atasdidasarkan pada realltas sejarahbahwa Islam yang menggunakanbahasa Arab pada periode kiasikpernah meraih kejayaan danmenguasai peradaban dunia, teiahmewariskan khazanah pengetahuandalam berbagai disiplin ilmu yangmenjadi pangkai tolak bagi kebangkit-an peradaban moderen. Hal initerlihatdari pernyataannya bahwa:

"Kalau kita meninjau perpustakaanIslam yang teiah tumbuh danberkembang dari abad ke abad,semenjak al-Farabi, Ibn Sina, IbnRusyd, Ibn Khaldun dan lain-lainnya, maka tidak berlebihankiranya kita berkata bahwa bahasaArab itu adalah bahasa

komunikasi, bahasa falsafah,bahasa ilmu pengetahuan, pendekkata bahasa kebudayaan" (AjibRosidi, 1990:320).Untuk menumbuhkembangkan

minat dan kemampuan pengua-saanbahasa Arab di kaiangan peserta didik,Natsir menawarkan perlunya adasuatu lembaga khusus yang dapatmengkaji dan mendalami bahasa Arabdari berbagai aspeknya, sehinggabenar-benar mampu menggali Ilmuagama dan rahasla-rahasianya darisumber asiinya, hai itu sangatdiperiukan untuk memenuhi tuntutankebutuhan hidup umat islam dariberbagai laplsan (Ajib Rosidi, 1990 :320).

Menyikapi kurikulum pendidikanIslam yang berlaku ketika itu, Natsir

JPIFIAI Juwsan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Junl2003 63

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

terllhat mengerltiknya karena dlnllai-nya terlalu sarat dengan matapelajaran dan hafalan. Menurut NatsirIdealnya kurikulum tersebut dapatdisederhanakan. Mata pelajarandimaksud tidak perlu terlalu banyak,tap! lebih sistimatis dan terarah, karenatidak mungkin semua peserta didlkmenguasai seluruh llmu pengetahuan.Yang perlu dibekall peserta didlkadalah rumpun llmu yang diminatlnya,kemudian didukung dengan pengua-saan bahasayang balk padagilirannyaperserla didik dapat mengkembang-kan ruh intiqad terhadap llmupengetahuan yang dimiilkinya.

Dalam aspek kelembagaan,Menurut Mohammad Natsir, ada tigapilar lembaga pendidikan Islam yangsemestinya mendapatkan perhatianserius dan dikembangkan secarasistemlk, yaknl "pondok pesantren","masjid" dan "kampus". Pesantrensebagai pilar pertama, malahandisebut Natsir sebagai "bentengterakhir umat Islam", lembaga tersebutmerupakan sarana pendidikan danpengembangan masyarakat yangselama ini didirikan dan dikelola oleh

masyarakat secara mandiri, yangsasarannya. dapat mengoptimalkanpotensi peserta didik ke arahtercapainyafafeqqiu/7 fial-ddin (ulama).SIstem pendidikan pondok pesantrenini idealnya bersifat terbuka denganmenawarkan "kebebasan yangberdisiplin" dalam bidang keilmuan(Chirzin dalam Endang SyalfuddibnAnshari dan Amin Rais, 1988 : 102).Pola yang demlkian akan mendorongpeserta didik untuk berani melakukanijtihad dan terhindar sikap fanatismemazhab yang berkembang dalamIslam belakangan ini.

Menurut Mohammad Natsir,lembaga pondok pesantren idealnyatidak hanya sekedar tempat menimbailmu pengetahuan, tapi sekaligusmenjadi tempat beribadah, tempatmenempa diri, tempat latihanbermasyarakat dan lingkungan kearah tercapainya nilai-nilai islamisecara komprehensif. Dengandemlkian, keberadaan pesantrenbenar-benar relevan dengankebutuhan umat yang selalu dinamisdan berkembang. Tugas pesantrenadalah menghldupkan kembalidinamika. Nilai-nllai kepesantrenandalam segala lini kehidupan. Yangdimaksud nilai-niiai kepesantrenanoleh Natsir adalah seperangkat tatanilai yang menjadi pusat orientasi,sumber motivasi serta menjadi dasardan acuan bagi seluruh kegiatan dankehidupan di lingkungan pondokpesantren, nilai dimaksud adalah"tauhid". Bertolak dari hai demlkian,maka implikasinya harus tercermindalam perumusan tujuan pendidikan,penyusunan kurikulum pendidikan,penentuan metode pendidikan,penciptaan lingkungan pendidikandan pandangan terhadap konsep ilmupengetahuan harus berorientasi padanilai "tauhid" tersebut (Natsir, 197015-16).

Menurut Natsir, nilai-nilai kepesantrenan yang bersumber pada aqidahtauhid akan melahirkan kesadaran

beribadah, yang pada gilirannya akanmampu mempertajam kecerdasanpemikiran dan kepekaan jiwa sehinggamelahirkan keikhlasan dalam setiaptindakan. Hal ini pada gilirannya akandapat membantu setiap indivldu dalammemecahkan masalah-masalah yangberkembang dl masyarakat kearahyang diinglnkan Islam.

54 JPIFIAIJurusan Tarbiy^ Volume VIII Tahun VIJunl2003

Dari berbagai lembaga pendidikan Islam yang tersedia, Natsir memllikiperhatlan serlus terhadap keberadaanpondok pesantren. Poslsl pesantrendalam pandangannya tidak dapatdlgantlkan oleh lembaga pendidikanlain, termasuk madrasah, IAIN danberbagai perguruan tinggi lalnnya,karena pesantren memlliki karakterdan keprlbadlaan tersendlrl yangtugas pokoknya memperdalampengetahuan kelslaman, pandalmencarl hukum agama, mampuberijtihad, dapat memahami Islkandungan al-Qur'an dan menge-tahuiunsur-unsur lainnya yang sasaranakhlrnya adalah mampu memberlperlngatan kepada umat agar berhati-hatl daiam kehldupan, sanggupmenegakkan amar makruf dan nahlmungkar, dapat menjadi "hati nuaranl"bagi masyarakat, berkeprlbadlanbebas, berdlslplln dan mandiri (Natsir,1970:15.

Natsir menyadarl, peranpesantren pada masa lalu merupakankubu pertahanan umat, tapl dalam erakinl agak terslslhkan darl percaturanglobal, karena kekurang mampuannyamengantisipasi perubahan. Untuk ituNatsir menegaskan: "Dengan penuhkesadaran kita mengakul, bahwapesantren Itu harus tetap diblna danharus dipellhara kepribadlannya,harus ditingkatkan kemampuannyauntuk dapat menyumbangkan hasllkaryanya yang ieblh berarti bagIzaman sekarang In! dan masa yangakandatang (Natsir, 1970:23).

Pilar pendidikan Islam yang lainadalah masjid. Fungsl masjid menurutNatsir adalah sebagai saranapembinaan Ibadah dan pembentukandhomir umal Natsir memahami bahwa

lembaga pendidikan formal tidak akan

Paradigma Baru Pendidikan Islam

mampu menjangkau seluruh kebutuh-an masyarakat, terutama dalampembinaan dan pengembanganakhlak. Dengan demlklan, maka fungslmasjid tidak hanya sekedar tempatshalat, tap! adalah lembagapendidikan non formal dalammemblmbing proses perhambaan dirlpada Allah dalam artian yang seluas-luasnya. Sebagai lembaga pendidikannon formal, maka aktlvltas masjidIdealnya dapat menutup kekuranganyang dlrasakan dalam lembagapendidikan forma! yang fokusnya ieblhdiarahkan pada pembinaan Ibadahdan pembentukan akhlak masyarakat.Untuk Ieblh efektlfnya fungsl masjidtersebut, maka Idealnya dl setlaplembaga pendidikan Islam tersediasarana Ibadah berupa masjid.

Pilar ketlga dalam pendidikanIslam adalah kampus. Yang dimaksuddengan kampus oleh MohammadNatsir adalah lembaga pendidikantInggI, balk perguruan tInggI umummaupun keagamaan. Fungsl lembagaini Ieblh diarahkan pada pembentukanulul albab (intelektuai musllm) yangmenguasai berbagai dislplln ilmu, balksecara akademlk maupun profeslonal,yang mellputi ilmu-ilmu eksakta, soslaldan humanlora. Perbedaan kampusdengan pondok pesantren dalampandangan Natsir adalah terletak padaproses pencarlan Ilmu dan sasaranyang Ingin dicapal. Pesantren Ieblhberorlentasi pada pemahaman Ilmukelslaman untuk diamalkan dalam

kehidupan sehari-harl, sedangkankampus Ieblh menekankan padapencarian dan pengembanganwacana Ilmu pengetahuan. Kebebas-an yang dikembangkan adalahkebebasan yang berdlslplln danbertanggung jawab. Untuk tercapai

JPIFIAI Jurusan Tarbiyab Volume VIII Tahun VIJuni2003 55

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

sasaran demikian, maka nilai-nilaiislami harus hadir dalam setiap sikap,tindakan dan prilaku para akademisldlkampus.

Untuk mencapai sasaran ideal dlatas, Natsir menyadari bahwa ha! Itutidak mudah, tap] bukan pula sesuatuyang mustahll untuk direalisasikan.Maka untuk merintis jaian ke arah Itu,semestinya semua unsur-unsur pendidikan dapat mendukung sasarandimaksud. Termasuk penyediaanmedia, penyusunan kurikuium dankemampuan merancang lingkunganpendidikan sehingga memiliki ruhIslami.

Menurut Natsir, penyediaanberbagai alat dan media pendidikansangat diperlukan bagi eksistensi danpengembangan sebuah lembagapendidikan, balk media cetak,elektronik dan sebagainya. Pesertadidik yang ideal tidak hanya menimbailmu di dalam kelas, tapi ia harusmampu melakukan pencarian sendiridan menyelesai-kan sendiri persoalan-persoalan yang terjadi di dalamlingkungannya berdasarkan teorl-teoriyang telah dimilikinya. Untuk dapatmelakukan hal demikian, maka

.keberadaan alat dan media pendidikan sangat diperlukan. Natsirmenegaskan bahwa: "ilmu itu banyaktersebar sekarang in! di berbagaisarana dan media, di pasar buku, diperpustakaan, melalui mediaelektronik, kalau kita mempunyaitransistor tinggal memutar knopnya,segala macam ilmu akan dapatdidengar, tinggal kemampuanmemahami dan menganalisa ilmu-ilmutersebut {Natsir,1970:33).

Sistem Nllal dalam Pendidikan Islam

Dalam bahasa Inggeris, "nilai"disebut dengan value yang berarti"hargayang bersifatabstrak". Sedang-kan pemaknaan secara terminologis,"nilai" mengandung banyak arti sesuaidengan fokus permasalahan yangingin dibahas. Jika dilihat dari sisibudaya, maka nilai berarti konsepabstrak mengenai masalah dasaryangsangat bermakna dalam kehidupanmanusia. Sedangkan dalam perspektifkeagamaan, maka nilai merupakankonsep tentang penghargaan yangdiberikan pada persoalan-persoalanpokok dalam kehidupan yang bersifatsuci sehingga dijadikan pedomandalam tingkahlaku manusia(Depdikbud, 1994:690).

Bertolak dari beberapa pemaknaan di atas, seterusnya ditelusuribagaimana pemikiran MohammadNatsir tentang nilai dimaksud. Daribeberapa uraiannya, Natsir terlihatkurang membahas persoalan nilaisecara spesifik, malahan ia cenderungmenempatkan antaraakhlak, etikadanmoral sebagai sebuah sinonim yangberkaitan dengan perilaku manusia.Jika perilaku dilihat dalam perspektifIslam, maka Natsir cendrung meng-gunakan istilah akhlak. KeenggananNatsir menyikapi formulas! akhlaksecara kritis, terkesan dari kekhawa-tirannya nilai-nilai tersebut akanterserabut dari sumber ilahlah yangdipandang absolut dan mapan.Persoalan demikian agaknya sejalandengan statemen Amin Abdullahketika mengeritik organisasiMuhammadiyah yang juga kurangmengembangkan pemikiran akhlak.M.Amin Abdullah menegaskan:

Ada dua aspek yang menyebab-kan keengganan umat Islam, termasuk

56 JPIFIAI Jurusan Taibiyah Volume VIII Tahun VI Jun't2003

Muhammadiyah me!akukan interpre-tasi kritis dalam memahami etika

karena; Pertama, ada anggapanbahwa melakukan kajian kritisterhadap akhlak akan dapatmenipiskan kadar moralitas seseorangdan mudah melepaskan diri dariketerikatan dengan aturan normayangberlaku. Kedua, kajian kritis akan dapatmengganggu kemapanan kehidupandalam bermasyarakat, berbangsa danbernegara (M. Amin Abdullah, 1996 :171).

Di sisi lain Amin Abdullah

mengeritik pemahaman sebagaimanatersebut di atas dan menambahkan

bahwa pemahaman seperti demikianagaknya perlu ditlnjau kembaii karenadapat mengaklbatkan sikap permlssifdi kalangan umat Islam dan terkesankurang memberlkan penghargaanyang memadai terhadap aka! manusiadalam merumuskan niial-nilal moral

Islam! (M.Amin Abdullah, 1996:171).Menurut Mohammad Natsir,

akhlak dipahami sebagal "sifat yangberurat berakar pada diri seseorang,yang terbit dari padanya amalperbuatan secara spontan, tanpadipikir-pikir dan tanpa ditimbang-timbang lagi" (Natsir, 2000 : 239).Dengan demikian baik atau buruknyaamal perbuatan seseorang tergantungkepada baik atau buruknya akhlakpribadlyang dimilikinya.

Pada bagian lain Natsir menambahkan bahwa ukuran baik atau

buruknya akhlak seseorang mengacupada tuntunan yang digariskan al-Qur'an dan al-Sunnah. Namun

demikian nilai-nilai yang berkembangdalam masyarakat dapat diterimasebagal implementasi akhlak sejauhtidak bertentangan dari kedua sumbertersebut di atas dan dapat memberlkan

Paradigma Baru Pendidikan Islam

manfaat dalam kehidupan manusia.Hal itu dapat ditempatkan sebagalwilayah Ijtihadi (Natsir, 2000:224).

Berbeda dengan persoalan etikayang memllah aspek nilal ke dalamdua bagian, yakni nilai baik dan niiaiburuk. Natsir menegaskan bahwanilai-nilai yang dikembangkan dalamakhlak Islami mengacu pada limatingkatan yang masing-masingnyamemiliki implikasi hukum. Nilai-nilaitersebut adalah: "nilai baik", "agakbaik" "netral", "agak buruk" dan"buruk". Nilai,baik yang mengandungaspek hukum wajib adalah nilai terpujiyang harus direalisasikan, karena akandiberi pahala bag! yang melaksana-kannya dan sangsi bagi yangmenlnggalkannya. Nilal agak baikdisebut dengan sunat adalah nilaiyangsemestinya dapat direalisasikan,namun tidak diberi sangsi kalau belummampu mewujudkannya. Nilai netraladalah nilai mubah yang bolehdilakukan danjuga boleh ditinggalkan."Nilai tercela" adalah niiai haram yangharus dijauhi, karena di samping tidakbaik bagi manusia juga diberi sangsihukum bagi yang melakukaripelanggaran. Nilal agak buruk adalahsesuatu yang makruh sehinggasebaiknya dihindari, namun dapatditoleransi jika belum mampumenlnggalkannya.

Dllihat dari sisi objeknya, menurutNatsir pengembangan akhlaksemestinya difokuskan pada tigasasaran, yakni akhlak individu,keluarga dan masyarakat. Terhadapindividu, akhlak' difokuskan padapembentukan integritas pribadi yangberdisiplin, dalam kehidupan keluargaakhlak diarahkan pada penanamanprinsip-prinsip keteladanan, sedang-kan dalam masyarakat akhlak

JPIFIAI JunjsanTarbiy^ Volume VIII Tahun VI Juni2003 57

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

berorientasi pada jalinan kerjasamayang dilandasi nilai-nilai harmonisyang- diterapkan secara bertanggungjawab dan saling memberikanmanfaat. Untuk merealisasikan hal

dimaksud, diperlukan mawaddah,yakni panggllan hati yang menawandan akhiak budipekerti yangmenumbuhkan kepercayaanmasyarakat. Untuk mendukungargumentasinya, Natsir mengutlp suratAllImran ayat 159 yang artinya:

Maka dengan sebagian darirahmat Allah, bahwa engkaubersikat lemah lembut kepadamereka, sekiranya engkau berbudikasar dan berhati bengis tentulahmereka akan lari dari kelilingmu.Sebab Itu maafkan kesalahan

mereka dan mohonkan ampununtukmereka (Natsir, 2000:229).Dalam tataran praktis, Natsir

membagi akhiak ke dalam dua bagian,yakni akhiak terhadap Khalik danakhiak terhadap sesama makhluk.Akhiak terhadap Khalik adalah berupanilai-nilai keta'atan kepada Ailah yangdidasarkan pada prinsip tauhid dandirealisasikan dalam bentuk beribadah

sehingga melahirkan rasa ikhlas dalamsetiap tindakan. Sedangkan akhiakterhadap sesama makhluk, balkterhadap sesama manusia maupunterhadap alam beserta isinya, hakekatakhiak adalah amal saleh yangdidasarkan pada rasa keikhlasan(Natsir, 2000 : 229). Dengan demikiantujuan yang ingin dicapai dari akhiakdiarahkan pada dua aspek, yaknisecara vertikal adalah perhambaan dirisecara totalitas untuk mencari

keridhaan Allah, sedangkan secarahorizontal adalah mengembangkansemangat kerjasama yang berorientasi nilai-nilai islami guna membangun

tataran kehidupan yang bersifatrahmatan 11al-alamln.

Dalam pandangan Natsir, ibadahsebagai komunikasi vertikal terhadapAllah SWT sarat dengan nilai-nilaikehidupan, balk secara individualmaupun sosial. Fungsi ibadah disamping membentuk dan membang-kitkan kekuatan pada pribadi manusiaberupa daya disiplin diri dari dalamdan rasa tanggung jawab yang tirnbuldari dhomir dan hati nurani masing-masing, karena Allah adalah sumbersegala kekuatan, baik lahir maupunbathin, yang maha mengetahui danmahaadil (Natsir, 2000:66).

Natsir mengibaratkan bahwakehidupan ini bagaikan musafir yangselalu berjumpa dengan bermacam-macam "jurang" kehidupan. Adajurang yang bernama korupsi, yangakan berjumpa dengan orang-orangyang sedang memegang amanah. Adapula jurang yang bernama "kerusakanmoral", karena meremehkan batas-batas kewajaran dalam pergaulanhidup seharl-hari. Begitu pula jurang-jurang lainnya, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.Untuk menghadapi jurang-jurangtersebut dibutuhkan kekuatan disiplindari dalam diri dan kekuatan itu hanyadapat dicapai melalui nilai-nilai yangterkandung ibadah (Natsir, 2000:67).

Dalam pandangan Natsir, akhiakseseorang menyatu dalam "iman danamal saleh". Jika kedua hal itu selalu

dipupuk dan disuburkan, akanmelahirkan prilaku wara' dan sekaligusakan mengantarkan seseorang padakualitas tertinggi dari kehidupannya,yakni menjadi "insan muttaqin". Natsirmenambahkan bahwa, kebahagiaanhidup di akhirat hanya akan dapatdicapai apabila bertaqwa kepada Allah

58 JPIFlAI JurusanTari)iyah VolmeVIII Tahun VI Juni2003

dan teraktualisasi dalam prilaku wara'.Menurut Natsir, wara' adalahkeberslhan dhomir (hati nurani) yangterbebas dari sikap dan tingkah lakutercela (Natsir, 2000:250).

Di sis! lain Natsir menambahkan,bahwa untuk dapat mempertahankankonsistensi akhlak al-karimah, makatauhid semestinya dijadikan pangkaltolak dalam berbuat dan tempatkembalinya semua amal perbuatanseseorang. Sedangkan ibadah meru-pakan proses pensucian jiwa, dengankesucian jiwa itu seseorang dapatmemperbarui iman, memperhaluskepekaan hati nurani dan padaakhirnya dapat meningkatkankecerdasan Intelektualnya (Yusril IhzaMahendra,1994:67)

Dalam pandangan Natsir, akhlaksesungguhnya tidak hanya berlakudalam sesama Islam, tetapi bersifatuniversal yang prinslp-prinsipnyadibangun di atas landasan persatuanumat, persamaan derajat, keadilan,rasa kasih sayang, kejujuran, toleransidan kesabaran (Yusril Ihza Mahendra,1994 : 67)" Menurut Natsir, sumbertenaga dan daya tarik seseorang tidakterletak pada ilmu dan hikmah yangdimilikinya, karena ilmu dan hikmahmerupakan pembuka jalan untukmencapai keberhasilan, sedangkandayanya terletak pada akhlak pribadiyang ditampilkan (Natsir, 2000:239).

Dalam membangun akhlakpribadi tersebut, pada setiap individumelekat dua asas yang saling berkait,yakni asas "hak dan kewajiban".Berbicara tentang hak azazi manusja,menurut Natsir bahwa Islam tidak

hanya terfokus pada mementingkanhak individual, tapi lebih menekankanpada keseimbangan antara hak dankewajiban bag! setiap orang, karena

Paradigma Baru Pendidikan Islam

hakekat keadilan terletak padakeseimbangan tersebut. Hal ini terlihatdari pernyataarinya yang menegas-kan:

"Sebenarnya hak dan kewajibandalam Islam adalah dua nama bag!barang yang satu. Apa yang bag!seseorang merupa-kan kewajibanyang haras ditunaikan, hal itusekaligus merupakan hak yangharus diterima oleh orang yanglain. Dalam Islam, hak bukanlahsesuatu yang mesti diperebutkan,akan tetapi lebih ditekankan padaperlombaan memenuhi kewajibanterhadap sesama manusia.Dengan kata lain, bukandipusatkan pada membiasakandirl menuntut hak Individu, akantetapi membiasakan dirimemenuhi hak terhadap sesamamanusia (Natsir, 2000:68).Berkait dengan upaya pengem-

bangan nilai-nilai universal yangdigagas Natsir diatas, maka posisipendidikan memiliki peran yangsangat strategis. Hal ini dapatdimaklumi karena pendidikanmerupakan sarana efektif dalammelakukan proses transformasi nilai-nilai pada peserta didik. Menurut Natsirtugas pendidikan semestinya memilikiarah yang jelas dalam mengembang-kan nilai-nilai akhlak al-karimah

sebagaimana diungkapkan di atas.Nilai-nilai tersebut harus tercermin

dalam perencanaan dan aktivitaspendidikan secara sistemik, baikmelalui rancangan kurikulum, penyia-pan materi, pemilihan metode, prosespengajaran dan lingkungan pendidikan. Baik melalui lembaga pendidikanumum maupun lembaga pendidikanagama. Bagi lembaga pendidikanagama semestinya bertugas menggali

JPIFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni2003 59

H. Imam Moedjiono, Konsep Pendidikan Islam

dan mengembangkan nilai-nilaiakhlakal'karimah agar senantiasa aktual dandapat memenuhi tuntutan perubahansosial, sementara lembaga pendidikanumum dapat mengaplikasikan nilai-nilaitersebut dalam setiap aktivitasnyasecara praktis (Natsir, 2000:68-72).

Pemikiran Pendidikan

Konsepsi Mohammad Natsirtentang pendidikan adalah tercapai-nya kemenangan duniawi dankebahagiaan ukhrawi. Untuk mereali-sasikan konsepsi tersebut perluditerapkan poia pendidikan yangmengacu pada keseimbangan antarakebutuhan lahiriah dan batiniah, antarakepentingan fisik dan paikhis meialuiupaya optimalisasi fitrah yang dimilikipeserta didik. Dengan demikian tujuanpendidikan identik dengan tujuanhidup manusia. Pemikiran tersebutdapat ditemukan dalam beberapakaryatulisnyayang berjudui:1. Kegelisahan Ruhani di Barat:

Peranan dan Tanggung JawabCivitas Akademica dan PerguruanTinggi, isinya memberikanteiaahan tentang perananperguruan tinggi sebagai changewithout violence. Dengandemikian corak sebuah

perguruan tinggi tidak hanyasebagai tempat pendidikan danpusat peradaban, tetapi sekaligussebagai moral power dan menjadihati nurani masyarakat.(Surabaya: DDII Perwakiian JawaTimur, 1969).

2. The New Morality (Moral Baru), Isipokoknya mengajak umat islamuntuk dapat mewaspadaimasuknya kebudayaan Baratyang di daiamnya terdapat cara-cara kehidupan mereka yang

terlepas dari perinsip dasaragama. (Surabaya: DDIIPerwakiian JawaTImur, 1969).

3. Kubu Pertahanan Mental darlAbad

ke Abad. Intinya membahasperanan Pondok Pesantren dalammencerdaskan kehidupanbangsa. (Surabaya: DDIIPerwakiian Jawa Timur. 1970)

4. DIBawah Naungan RIsalah, Isinyamenampilkan kisah-kisahperjuangan dan penderitaan yangdihadapl parasahabat Nabi daiammenebarkan missi dakwah Islam.

Daiam kisah tersebut sarat

dengan nilai-nilai edukatif yangpenting ditanamkan pada pesertadidik. (Jakarta: Media Dakwah,1983)

5. Pendidikan, Pengorbanan,Kepemimpinan, Primordialismedan Nostalgia. Membicarakantentang pengalaman dan suka-duka yang diderita MohammadNatsir ketika daiam berjuangmenegakkan kebenaran ditengahtekanan penguasa yang cende-rung otoriter dan melakukanberbagal penyimpangan dalammempertahankan kekuasaannya(Jakarta: Media Dakwah,1987).***

KepustakaanAbdullah, M. Amin, Faisafah Kaiam di

Era Postmodernisme, (YogyakarlaPustaka Peiajar, 1996)

Ajjb Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi,(Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990)

al-Abrasyl, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta'iim,(Riyad: Darai-Ahya',tt)

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa

60 JPIFIAI JurusanTarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni2003

Paradigma baru Pendidikan Islam

Indonesia, (Jakarta:Pustaka,1994)

Ba Ia i , Kegelisahan Ruhani di Barat:Peranan dan Tanggung JawabCivitas Akademica dan PerguruanTinggi, (Surabaya: DDI!Perwakiian JawaTimur, 1969)

,The New Morality (Moral Baru),(Surabaya: DDll Perwakiian JawaTlmur, 1969)

Haryoho, Anwar, dkk (ed) Pemifdrandan Perjuangan MohammadNatsir, Pustaka Firdaus, Jakarta,1996.

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: BumiAksara, 1991)

M. Habib Chirzin, Mohammad Natsir.sebaaai Muiahid Dakwah dan

Pendidik Banasa. dalam EndangSyaifuddibn Anshari dan AminRais, Pak Natsir 80 Tahun,(Jakarta: Media Dakwah,1988)

Mohammad Natsir, CapitaSe/ecfa, Bandung : W. Van Hoeve,1954.

j Fiqhud Dakwah,. DjedjakRisalah dan Dasar-Dasar Dakwah,Malaysia : Poygraphic Press,1981.

, Kebudayaan Islam dalam

Perspektif Sejarah, (Bandung:Girimukti Pusaka, 1988)

—, Kubu Pertahanan Mental dariAbad ke Abad (Surabaya: DDllPerwakiian JawaTimur. 1970)

—Di Bawah Naungan Risalah,(Jakarta: Media Dakwah, 1983)

—Pendidikan, Pengorbanan,Kepemimpinan, Primordialismedan Nostaigia. (Jakarta: MediaDakwah, 1987)

, Kubu Pertahanan Mental dariAbad ke Abad, (Surabaya: DDI!Perw. JawaTimur, 1970)

Yusril Ihza Mahendra, ModernismeIslam dan Demokrasi: PandanganPolitik Mohammad Natsir, dalam"Islamika", (Jakarta: Mizan, 1994).

JPIJunjs^ Tarb'iyc^ Volume VIII T^un VIJuni2Q03 61