Oleh: Amizar Isma 109033200035 -...

101
DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS; STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Amizar Isma 109033200035 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 / 1437

Transcript of Oleh: Amizar Isma 109033200035 -...

Page 1: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;

STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN

MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Amizar Isma

109033200035

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2016 / 1437

Page 2: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

ii

DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;

STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI

ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA

Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Amizar Isma

NIM: 109033200035

Pembimbing,

Dr. Ali Munhanif, M.A

NIP. 196512121992031004

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2016 / 1437

Page 3: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;

STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH

DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 Maret 2016

Amizar Isma

Page 4: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

NAMA : AMIZAR ISMA

NIM : 109033200035

PROGRAM STUDI : ILMU POLITIK

Telah menyelesaikan skripsi dengan judul :

DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI

KHUSUS; STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI

NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA

(MRP) DI PAPUA

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 4 Maret 2016

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Iding Rasyidin, M. Si Dr. Ali Munhanif, M.A

NIP. 197010132005011003 NIP. 196512121992031004

Page 5: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SKRIPSI

DINAMIKA KONFLIK DALAM KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS;

STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA WALI NANGGROE (LWN) DI

ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PAPUA

Oleh

Amizar Isma

109033200035

Telah diujikan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Maret 2016. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Pada

Program Studi Ilmu Politik.

Ketua,

Dr. Iding Rasyidin, M. Si NIP. 197010132005011003

Sekretaris,

Suryani, M.Si

NIP. 197702242007102003

Penguji I,

Dr. Haniah Hanafie, M.A

NIP. 196105242000032002

Penguji II,

Drs. Ismadi Ananda, M. Si

NIP. 195209031982031001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 4 Maret 2016.

Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta

Dr. Iding Rasyidin, M. Si NIP. 197010132005011003

Page 6: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

v

ABSTRAKSI

Skripsi ini menjelaskan tentang Dinamika Konflik yang terjadi dalam Otonomi

Khusus, studi perbandingan antaraLembaga Wali Nanggroe (LWN) dan Majlis

Rakyat Papua (MRP) yang ada di Aceh dan Papua. Sebagaimana kita ketahui

konflik yang terjadi di kedua daerah tersebut cukup berkepanjangan dan menjadi

pusat perhatian. Aktor utama dalam konflik tersebut adalah Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang dinamika konflik dalam

konstruksi otonomi khusus; studi perbandingan Lembaga Wali Nanggroe (LWN)

di Aceh dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Papua menggunakan metodelogi

penelitian kualitatif dan menghasilkan data yang deskriptif, yaitu menggambarkan

dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti,

dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan dan persamaan peran,

fungsi dan wewenang sebuah lembaga serta kontestasi politik antar elit tokoh

dalam media sosial. Penelitian ini akan mengkaji lebih jauh mengenai konteks

spesifik dan makro yang telah mendorong terbentuknya kedua lembaga tersebut

yang berguna untuk menjaga dan melestarikan budaya/adat daerah serta menjadi

lembaga penyeimbang antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Dan

mencoba untuk menganalisa bagaimana perbandingan dari segi peran, fungsi dan

wewenang bagi kedua lembaga tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan peran dan fungsi antara

LWN dan MRP, akan tetapi kedua lembaga tersebut memiliki keterbatasan pada

aspek pengawasan dan perwakilan dalam menjalankan peran sebagai Lembaga

representasi kultural. Selain itu terdapat juga beberapa perbedaan dalam hal

memberikan pertimbangan, persetujuan, dan perlindungan masyarakat setempat

dalam mengatasi sebuah konflik.

Kata Kunci : Otonomi Khusus (Otsus), Konflik Aceh – Papua, Lembaga Wali

Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Page 7: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

vi

KATA PENGANTAR

Assalaamu'alaikum Wr. Wb

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha ESA,

karena berkat karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini

merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan

program studi Strata Satu (S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul: “DINAMIKA KONFLIK DALAM

KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS; STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA

WALI NANGGROE (LWN) DI ACEH DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA

(MRP) DI PAPUA”.

Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan wawasan,

sehingga dalam penyusunan skripsi masih jauh dari sempurna, untuk itu

dibutuhkan kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki penulisan skripsi

ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada :

1. Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan kesehatan

dalam proses penyusunan skripsi ini.

2. Yang tercinta Bapak (almarhum) Munir Bin Soelaiman dan Mama

Sukatmi tercinta, serta Mbak Era, Adik Linda, Andi dan Rizal, yang selalu

berdoa, sabar dan tidak henti-hentinya memberikan semangat dan

dukungan. Semoga bisa membuat kalian bangga.

3. Skripsi ini ku persembahkan untuk Isteriku tercinta Azza Nikmatuttisaroh

penyempurna tulang rusukku, terima kasih atas motivasi, doa, dan bersedia

menjadi alarm untukku.

4. Dr. Ali Munhanif, M.A selaku dosen pembimbing atas ketulusan hati dan

kesabarannya dalam membimbing, mendukung, dan mengarahkan penulis.

Terima kasih banyak atas bimbinganya.

5. Dr. Iding Rasyidin, M. Si selaku Kajur dan Ibu Suryani, M. Si selaku

Sekjur Ilmu Politik UIN Jakarta, terimakasih atas bantuan dan

masukannya terhadap skripsi ini.

6. Drs. Ismadi Ananda, M. Si dan Dr. Haniah Hanafie, M.A selaku penguji,

terima kasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi ini.

7. Ir. Fauzi Yusuf, M.M, terima kasih atas bantuan, motivasi dan nasehatnya

selama ini.

Page 8: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

vii

8. Keluarga besar Bapak di Aceh dan Keluarga besar Mama di Medan, terima

kasih atas supportnya dan doa yang sangat berharga bagi penulis.

9. Rekan-rekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta khususnya

pada prodi Ilmu Politik angkatan 2009 atas supportnya yang sangat

berharga bagi penulis.

10. Kawan-Kawan HMI Ciputat, Sahabat-Sahabati PMII Ciputat, Rekan-

Rekan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Tangerang Selatan

2014, Cukbang-Cutkak Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA)

Jakarta, Sahabat-Sahabat GP Ansor Kota Tangerang Selatan dan Pengurus

BEMF FISIP masa bhakti 2012, terima kasih atas dukungan semangat dan

keceriaan sahabat-sahabat.

11. Sahabat MataAir Foundation dan Indonesia Youth Forum (IYF), Mas

Idris, Mas Subur, Mas Wari, Kanda Dedi, Om Kemat, Mas Aisol, Om

Ipoenk, yang selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk

mempercepat mengerjakan skripsi ini. Juga terima kasih untuk Rangga,

Adi, Rafsan, Sandi, Ikhsan, Rida, Habibi, Wachid, Nasrul dan Randi. Serta

Teman IMAPA: Rizki, Nazri, Yasir, Fajar, Amah, Dwi, Bisril, Juli, Desi.

12. Terima kasih untuk seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semoga Allah Swt selalu melimpahkan Rahmat atas kebaikan dalam

membantu penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa

memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalaamu'alaikum Wr. Wbr

Jakarta, 4 Maret 2016

Penulis

Page 9: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii

BAB I – PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................

1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................................................

1.5 Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................................

1.6 Sistematika Penulisan .....................................................................................

Page 10: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

ix

BAB II – KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

2.1 Teori Konflik

2.1.1 Definisi Konflik ...........................................................................................

2.1.2 Bentuk – Bentuk Konflik .............................................................................

2.1.3 Faktor – Faktor yang Menyebabkan Konflik ..............................................

2.2 Teori Desentralisasi

2.2.1 Definisi Desentralisasi .................................................................................

2.2.2 Bentuk – Bentuk Desentralisasi ...................................................................

2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi ......................

2.3 Teori Kewenangan

2.3.1 Definisi Kewenangan ..................................................................................

2.3.2 Bentuk – Bentuk Kewenangan ....................................................................

2.3.3 Sifat dan Batasan Kewenangan ...................................................................

BAB III – PEMBENTUKAN LEMBAGA WALI NANGGROE DAN

MAJELIS RAKYAT PAPUA PASCA OTONOMI KHUSUS

3.1 Lembaga Wali Nanggroe (LWN)

3.3.1 Sejarah Pembentukan LWN ........................................................................

Page 11: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

x

3.3.2 Landasan Terbentuknya LWN.....................................................................

3.3.3 Peran dan Wewenang LWN ........................................................................

3.3.4 Struktur Kelembagaan LWN .......................................................................

3.2 Majelis Rakyat Papua (MRP)

3.2.1 Sejarah Pembentukan MRP .........................................................................

3.2.2 Landasan Terbentuknya MRP .....................................................................

3.2.3 Peran dan Wewenang MRP .........................................................................

3.2.4 Struktur Kelembagaan MRP ........................................................................

BAB IV - ANALISA PERBANDINGAN DINAMIKA KONFLIK PADA

LEMBAGA WALI NANGGROE DAN MAJLIS RAKYAT PAPUA DALAM

KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS

4.1 Analisa Perbandingan Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik

LWN dan MRP

4.1.1 Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik Dalam LWN ............................

4.1.2 Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik Dalam MRP .............................

4.2 Kontestasi Politik Antar Elit Tokoh dalam Media

4.2.1 Kontestasi Politik Antar ELit Tokoh dalam Media pada LWN ..................

4.2.2 Kontestasi Politik Antar ELit Tokoh dalam Media pada MRP ...................

Page 12: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang besar, memiliki keanekaragaman budaya

dan suku bangsa. Keanekaragaman tersebut bukan hanya sebagai sumber

kekayaan dan kekuatan yang dimiliki bangsa, tetapi juga sebagai tantangan yang

harus dihadapi secara bijak. Tantangan itu sangat terasa, terutama ketika bangsa

Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam menghadapi dinamika

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik berasal dari dalam

maupun luar negeri. Adanya keanekaragaman budaya dan suku bangsa

menyebabkan terjadinya perbedaan dalam individu yang berkaitan dengan

identitas seseorang, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan

kepentingan, dan perubahan sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan

faktor yang berpengaruh terhadap potensi terjadinya konflik sehingga terjadinya

disintegrasi bangsa.

Secara umum penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi

karena rasa tidak puas dan ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber

daya/kekayaan alamnya berlimpah/berlebih, sehingga daerah tersebut mampu

menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat

yang tinggi. Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan

politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari

statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi

Page 13: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

2

sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk

primordialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal

ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah

memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar

masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya

sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya

kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.1

Untuk menghindari konflik yang berkepanjangan, maka Pemerintah Pusat

berbenah dengan lapang dada merubah undang-undang yang berhubungan dengan

daerah sehingga terjadinya desentralisasi. Secara umum Indonesia telah belajar

untuk mengimplementasikan desentralisasi terhadap daerah –daerahnya. Dan

salah satu contoh adalah dengan berlakunya undang-undang yang berpihak pada

otonomi daerah dan juga berlaku otonomi khusus bagi daerah Aceh dan Papua

untuk menghindari dan mengakhiri konflik yang berkepanjangan di kedua daerah

tersebut.

Papua dan Aceh adalah dua wilayah yang satu diujung barat dan satunya

lagi diujung paling timur dalam bingkai NKRI. Kedua daerah inilah yang rawan

dan pernah berkonflik seperti adanya gerakan separatis dengan Pemerintah Pusat.

Sebagai pengganti untuk mencengah konflik berkepanjangan tersebut Pemerintah

Pusat memberikan keistimewaan bagi kedua daerah dengan otonomi khusus

Papua dan Aceh. Otonomi khusus memberikan kekhususan dua daerah tersebut

1 Markus Nari, Dinamika Sosial dan Pemekaran Daerah, (Jogyakarta: Penerbit Ombak,

2010,). Hal. 73

Page 14: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

3

untuk mengurus dan membuat kebijakan daerah sesuai kehendak masyarakat

daerahnya masing-masing selagi tidak bertentangan dengan kebijakan atau

peraturan yang telah diatur oleh Pemerintah Pusat. Salah satu dari kebijakan

otonomi khusus dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang UUPA Bab XII

tentang Lembaga Wali Naggroe Pasal 96 dan PP RI Nomor 54 Tahun 2004

tentang Majelis Rakyat Papua adalah dengan memberikan keleluasaan bagi kedua

daerah tersebut untuk membentuk lembaga adat. Oleh karena itu Aceh

membentuk lembaga adat yang bernama Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan

Papua bernama Majelis Rakyat Papua (MRP). Kedua lembaga adat inilah yang

memberikan masukan, saran dan pertimbangan untuk Pemerintah Daerah dalam

membuat sebuah kebijakan atau keputusan yang berdampak pada daerah dan

masyarakatnya.

Dengan adanya budaya, pola pikir dan ideologi politik yang berbeda, maka

kedua lembaga adat ini pun menjalankan peran, fungsi, dan wewenang yang

berbeda pula dalam mengawal otonomi khusus di daerahnya masing-masing. Oleh

karena itu maka penulis terinspirasi untuk mengambil tema “Dinamika Konflik

Dalam Konstruksi Otonomi Khusus : Studi perbandingan Lembaga Wali

Nanggroe (LWN) di Aceh dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Papua‖

sebagai judul skripsi.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memperjelas pokok permasalahan dan agar penelitian ini lebih

terarah, maka penulis akan membatasi pembahasan ini pada proses pembentukan

kedua lembaga adat tersebut, perbandingan peran, fungsi dan wewenang serta

Page 15: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

4

konflik yang muncul sebagai salah satu point yang merepresentasikan hak-hak

keistimewaan bagi kedua daerah masing-masing. Adapun rumusan masalahnya

dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembentukan, peran, fungsi, dan wewenang Lembaga

Wali Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP)?

2. Bagaimana Perbandingan Dinamika konflik pada Lembaga Wali Nanggroe

(LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam Konstruksi Otonomi

Khusus di kedua daerah tersebut?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan :

b. Untuk memahami proses pembentukan Lembaga Wali Nanggroe dan

Majelis Rakyat Papua di Aceh dan Papua.

c. Untuk mengetahui perbedaan peran, fungsi, dan wewenang Lembaga

Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua dalam mengawal konstruksi

otonomi khusus di kedua daerah tersebut.

d. Untuk mengetahui dan memahami dinamika konflik yang terjadi pada

Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua dalam mengawal

konstruksi otonomi khusus di kedua daerah tersebut.

2. Manfaat Penulisan ini adalah :

a. Aspek Teoretis, melalui penelitian ini di harapkan mampu menjadi

sumber informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan

pemahaman terhadap sejarah proses pembentukan dan memahami

Page 16: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

5

perbedaan peran, fungsi dan wewenang serta dinamika konflik dalam

Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

b. Aspek praktis, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan yang positif terhadap perkembangan demokrasi di daerah

Papua dan Aceh menyangkut perjalanan dan implementasi kedua

lembaga tersebut.

c. Agar dapat memberikan saran-saran kepada pemerintah terkait

problem solving dari permasalahan implementasi Lembaga Wali

Nanggroe (LWN) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam segi peran,

fungsi dan wewenang serta penyalahgunaan wewenangnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Telah terdapat banyak studi yang mengkaji tentang Papua dan Aceh.

Studi-studi yang membahas mengenai pergerakan politik yang meminta kedua

daerah merdeka, otonomi khusus Papua dan Aceh, pro dan kontra mengenai

simbol-simbol daerah. Seperti dalam buku Ramses Wally, Momentum Reformasi

Politik dan Ekonomi Di Tanah Papua; Refleksi Pasca Otonomi Khusus dan

Impres 2007 (2008).2 Buku ini membahas mengenai integritas dan reformasi

politik dalam otonomi khusus Papua, kewenangan supremasi hukum dalam

pelaksanaan otonomi khusus, transparansi kebijakan ekonomi dan solusi akhir

masa depan Papua yang menuntut untuk bisa mengatur sepenuhnya dalam

mengelola daerahnya sendiri.

2 Ramses Wally, Momentum Reformasi Politik dan Ekonomi Di Tanah Papua; Refleksi

Pasca Implementasi Otsus dan Impres No.5 Tahun 2007, (Jakarta Barat: Cipro Media, 2008)

Page 17: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

6

Kajian lain tentang Papua adalah karya Yorris TH Raweyai yang berjudul

Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002).3 Buku ini memberi kontribusi amat

penting untuk memahami mengapa Papua ingin merdeka, fenomena-fenomena

yang terjadi bahkan sampai sekarang masih saja adanya kontak senjata antara TNI

dan OPM yang meminta Pemerintah Pusat untuk selalu memperhatikan Papua.

Yang menjadi pertanyaan kini adalah adakah persepsi yang sama antara elite

politik Papua dan masyarakat akar rumput mengenai arti kemerdekaan? Adakah

persepsi, kepentingan dan langkah yang sama diantara tokkoh-tokoh Papua

mengenai kemerdekaan? Jika jawabannya sulit dan tidak, maka fajar kemerdekaan

tak akan merekah di ufuk timur (Papua).4

Kajian lainnya adalah buku dari Agus Sumule, “Satu setengah tahun

OTSUS PAPUA; Refleksi dan Prospek” (2003).5 membahas mengenai evaluasi

dan capaian otonomi khusus yang telah diberikan Pemerintah Pusat untuk Papua,

mencari solusi dan melihat prospek kedepan bagi otonomi khusus Papua.

Dan kajian terakhir mengenai buku “Bouraq-Singa kontra Garuda;

Pengaruh Sistem Lambang dalam Separatis GAM terhadap RI” (2010).6 yang

ditulis oleh Indra Jaya Piliang. Buku ini membahas tentang separatis di Indonesia

3 Yorrys Th Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, (Jayapura: Presidium Dewan

Papua, 2002)

4 Ikrar Nusa Bhakti, “Akankah Fajar Kemerdekaan Papua Merekah di Ufuk Timur

(sebuah pengantar)” dalam buku Mengapa Papua Ingin Merdeka, (Jayapura: Presidium Dewan

Papua, 2002) Hal. x-xix.

5 Agus Samule, Satu Setengah Tahun Otsus Papua; Refleksi dan Prospek, ( Papua:

Yayasan ToPanG, 2003)

6 Indra Jaya Piliang, Bouraq-Singa kontra Garuda; Pengaruh Sistem Lambang dalam

Separatis GAM terhadap RI, , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010)

Page 18: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

7

baik itu pasca kolonial, transisi demokrasi dan identitas kelompok separatis itu

sendiri. Buku ini lebih menitikberatkan pada budaya dan semiotika sebagai pisau

analisa dalam penulisan buku diatas.

Berdasarkan literatur-literatur yang penulis paparkan di atas, maka bisa

dilihat bahwa tidak ada unsur kesamaan antara hasil penelitian penulis dengan

literatur-literatur tersebut.

1.5 Kerangka Teoretis dan Konseptual

Kerangka teori merupakan penguraian yang terdiri dari teori-teori atau isu-

isu yang merujuk pada referensi ahli tertentu maupun berbagai teori-teori yang

nantinya akan mendasari hasil dari penelitian skripsi ini. Teori yang mendasari

penelitian ini adalah Teori Konflik, Desentralisasi, dan Kewenangan.

1. Teori Konflik

Teori konflik memberikan perspektif ketiga mengenai kehidupan sosial.

Berbeda dengan para fungsionalis, yang memandang masyarakat sebagai suatu

keseluruhan yang harmonis dengan bagian-bagian yang bekerjasama bersama

para ahli teori konflik menekankan bahwa masyarakat terdiri diatas kelompok-

kelompok yang terlibat dalam persaingan sengit mengenai sumber daya yang

langka. Meskipun asliansi dapat berlangsung dipermukaan namu dibawah

permukaan tersebut terjadi pertarungan memperebutkan kekuasaan.

Page 19: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

8

Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin ‗con‘ yang berarti

bersama dan ‗fligere‘ yang berarti benturan atau tabrakan.7

Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh

hal hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan

mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tapi juga untuk

menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan

kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan

sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif

terbatas.8

Jadi konflik adalah benturan atau tabrakan antara satu kelompok dengan

yang lain dalam memperebutkan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau

kelompok.

2. Teori Desentralisasi

Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu

”de” berarti lepas dan “centrum” berarti pusat. Jadi menurut perkataan berasal

dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.9 Desentralisasi juga berarti

pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup Pemerintahan Pusat ke

7 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2011), Hal. 345.

8 Robert lawang, buku materi pokok pengantar sosiologi, (Jakarta: Universitas Terbuka,

1994), Hal. 53.

9 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah ,Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara

DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: PT Alumni, 2004), Hal. 117.

Page 20: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

9

Pemerintahan Daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi.

Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut

proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.10

Menurut Smith dalam Khairul Muluk11

desentralisasi berkaitan dengan

adanya subsidi teritori yang memiliki self government melalui lembaga politik

yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yuridiksinya. Hal ini

dimaksudkan bahwa dalam pemilihan baik tingkat provinsi dan kabupaten/kota

berdasarkan atas daerah pemilihan yang mencerminkan aspirasi rakyat didaerah

pemilihan tertentu.

Terdapat dua jenis desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan

desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas

pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah

penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas

pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal Pendidikan

dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain.12

10

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta:

PT.SinarGrafika, 2008), Hal. 52.

11 Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, (Malang: Bayumedia

Publishing, , 2005), Hal. 8.

12 Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, (Yogyakarta :

Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST ―Press‖, 2000), Hal. 11.

Page 21: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

10

3. Teori Kewenangan

Diskursus tentang hubungan pusat dan daerah dalam sebuah pemerintahan

kita akan dihadapkan pada istilah kekuasaan atau wewenang. Kewenangan

memiliki makna yang sama dengan Kekuasaan dalam arti formal karena dimiliki

oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. 13

Hal senada

dikatakan oleh Prajudi Atmosudirdjo yang menyebutkan Kewenangan sebagai

kekuasaan formal dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang

biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan

orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.14

Istilah kewenangan dan wewenang memiliki perbedaan diantara keduanya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia15

disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan wewenang adalah: 1) hak dan kekuasaan untuk berindak; 2) kekuasaan

membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang

lain; dan 3) fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sementara kewenangan adalah:

1) hal berwenang; 2) hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang

hanya mengenai suatu ―onderdeel‖ (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di

13

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,

tanpa tahun, Hal. 1.

14 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995),

Hal. 78.

15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005), Hal. 1272

Page 22: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

11

dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang

pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah

(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan

memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan.16

Menurut teori dari Talcott Parsons dalam buku ―Dasar-Dasar Ilmu Politik‖

(2008, edisi revisi). Prof. Miriam Bodiardjo. Sosiolog Talcott Parsons cenderung

melihat kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan

kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat didukung

dengan sanksi negatif. Kemudian rumusan Talcott Parsons ini diterjemah

bebaskan menjadi sebagai berikut “Kekuasaan adalah kemampuan untuk

menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-

kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika

menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan

melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang

melaksanakan pemaksaan tersebut”.17

Ada beberapa teori yang masih berhubungan erat kaitannya dengan

kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang dan legitimasi serta pengaruh. Terdapat

beberapa rumusan terkait teori dari otoritas diantaranya yang dikemukakan oleh

16

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan

Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), hal.

22.

17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008), Hal. 63.

Page 23: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

12

Robert Bierstedt dalam bukunya An Analysis of Social Power yang mengatakan

―wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang

dilembagakan)”. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Harold D. Laswell

dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Society bahwa “wewenang

(authority) adalah kekuasaan formal‖. Dianggap bahwa yang mempunyai

wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan

serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.

Sedangkan menurut sosiolog terkenal Max Weber (1864-1922), wewenang terbagi

menjadi tiga, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal.18

Selain konsep wewenang juga dikenal konsep legitimasi atau keabsahan

yang terutama penting dalam suatu sistem politik. Seperti teori A.M. Lipset

mengungkapkan “Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan

mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk

politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu”. Pada umumnya

masyarakat berpendapat bahwa kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan

pengaruh.19

Sama halnya seperti yang dikatakan Robert Dall, seorang sarjan

politik terkemuka, dalam ulasannya mengenai kekuasaan yang pertama The

Concept of Power (1957) melihat kekuasaan sebagai konsep pokok dan

mengatakan “A mempunyai kekuasaan atas B sejauh ia dapat menyebabkan B

untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”. Kemudian dalam

18

Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2008), Hal. 64.

19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008), Hal. 65.

Page 24: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

13

bukunya Modern Political Analysis (1963), Dalh memakai perumusan yang persis

sama dengan yang dipakainya dalam tulisan terdahulu. Namun istilah

―kekuasaan‖ diganti dengan istilah ―pengaruh‖. Dengan demikian definisinya

sebagai berikut “A mempunyai pengaruh atas B sejauh ia dapat menyebabkan B

untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan”.20

1.6 Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif.

Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu menggambarkan

dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti,

dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan dan perbedaan dan persamaan peran,

fungsi dan wewenang sebuah lembaga. Penelitian ini akan mengkaji lebih jauh

mengenai konteks spesifik dan makro yang telah mendorong terbentuknya kedua

lembaga tersebut yang berguna untuk menjaga dan melestarikan budaya/adat

daerah serta menjadi lembaga penyeimbang antara pemerintah daerah dengan

masyarakatnya. Dan mencoba untuk menganalisa bagaimana perbandingan dari

segi peran, fungsi dan wewenang bagi kedua lembaga tersebut. Lembaga Wali

Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua Dalam Konstruksi Otonomi Khusus di

Indonesia sebagai studi kasus dalam penelitian ini.

20

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008), Hal. 67.

Page 25: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

14

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur

dan dokumentasi. Yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai masalah-

masalah yang bersangkutan melalui sumber-sumber bacaan berupa Undang-

Undang Otonomi Khusus, buku, surat kabar, internet dan lain-lain yang berkaitan

dengan objek yang sedang diteliti.

3. Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat

gambaran terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara

memberikan interpretasi secara hati-hati terhadap data-data tersebut. Dengan

menggunakan teknik penelitian ini berharap dapat memberikan gambaran yang

sistematis, faktual, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta seputar Lembaga Wali

Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua berupa sejarah pembentukan dan

perbandingan antara perbedaan dan persamaan peran, fungsi dan wewenang.

Untuk pedoman penulisan ini penulis menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan

Penyusunan Proposal dan Skripi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 sebagai referensi.

1.7 Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan secara ringkas, dari

masing-masing bab sebagai berikut:

Page 26: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

15

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang

menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, berisi tentang kajian konseptual serta penjelasan tentang teori

konflik, teori desentralisasi, dan teori tentang kekuasaan (kewenangan). Mulai

dari definisi, ruang lingkup, serta proses-proses terbentuk dan dinamika dari

perebutan ruang kekuasaan dan wewenang.

Bab ketiga, membahas mengenai proses pembentukan Lembaga Wali

Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua, dirangkum dalam sejarah pembentukan,

Landasan kontitusi, Peran dan Wewenang, susunan atau struktur kelembagaan dan

organisasi Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua.

Bab keempat, dalam bab ini membahas analisa perbandingan yang

mendalam tentang dinamika konflik antara Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis

Rakyat Papua Dalam Konstruksi Otonomi Khusus di Indonesia yang meliputi,

analisa peran, wewenang, dan dinamika konflik Lembaga Wali Nanggroe dan

Majelis Rakyat Papua serta analisa perbandingan kontestasi politik antar elit tokoh

dalam media pada kedua lembaga LWN dan MRP.

Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan

kritik berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan proposal skripsi

ini.

Page 27: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

16

BAB II

KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

2.1 Teori Dan Definisi Konflik

Konflik adalah gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan social,

sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap

ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.21

Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin ―con‖ yang berarti

bersama dan ―fligere‖ yang berarti benturan atau tabrakan. Sehingga dapat

diartikan bahwa konflik dalam kehidupan sosial adalah benturan atau tabrakan

kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua

pihak atau lebih.

Sedangkan konflik menurut aspek antropologi, yakni konflik yang

ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua kelompok; baik

berupa perseorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau

mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideology tertentu, satu organisasi

politik, satu suku bangsa, atau satu suku pemeluk agama tertentu yang dapat

terlibat dengan banyak macam bentuk dan ukuran konflik tersebut.22

Sehingga

dapat dipahami pengertian aspek antropologi ini tidak dapat berdiri sendiri,

melainkan harus secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-

aspek lain yang memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia.

21

Anton Van Harskamp (ed), Konflik-konflik dalam ilmu sosial, (Yogyakarta : Kanisius,

2009), Cet. 5, Hal. 161.

22 Jurnal International Encyclopaedia of The Social Sciences, Vol. 3, Hal. 234-241.

Page 28: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

17

Pada dasarnya teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi teori

fungsionalisme structural yang dianggap kurang memperhatikan fenomena konflik

sebagai salah satu gejala yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Teori konflik merupakan salah satu perfektif dalam sosiologi yang memandang

masyarakat sebagai satu system yang terdiri dari bagian atau komponen yang

mempunyai kepentingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha

menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau

memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Banyak tokoh yang

mencurahkan pemikirannya tentang teori konfik, diantaranya:23

a. Teori Konflik Karl Marx

Ada beberapa pandangan Marx dalam kehidupan sosial yaitu;

1. Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat berbagai bentuk

pertentangan.

2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlihat aktif dalam pertentangan

dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.

3. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai factor

utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi

(properti), perbudakan, capital yang menimbulkan ketidaksamaan hak

dan kesempatan.

4. Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindas yang digunakan oleh

kaum yang berkuasa demi keuntungan mereka semata.

23

Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), Hal.

71.

Page 29: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

18

5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang

mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain,

sehingga konflik tak terelakkan lagi.

Melihat pandangan Marx diatas, dapat dipahami bahwa secara umum

pendekatan konflik ini dibagi dua, seperti hal nya Marx memandang masyarakat

terdiri dari dua kelas yang didasari pada kepemilikan sarana dan alat produksi,

yaitu kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki

sarana dan alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal

dalam usaha. Sedangkan proletar adalah kelas yang tidak memliki sarana dan alat

produksi sehingga mereka hanya bisa menjual tenaga (budak/buruh). Maka dapat

diartikan bahwa pandangan Marx tentang teori konflik ini lebih pada konflik

kehidupan sosial ekonomi. Yang punya modal berkuasa sedangkan yang tidak

memiliki modal menjadi buruh/budak dari yang punya modal sehingga sangat

rentan untuk terjadinya konflik karena ketidaksamaan status sosial tersebut.

b. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Dalam teori konflik ini, Ralf Dahrendorf mengemukakan bahwa

masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangannya, yaitu

kelas yang memiliki kewenangan dominan dan kelas yang tidak memiliki

kewenangan. Karena disetiap kelompok atau asosiasi selalu ada kelompok yang

mempunyai kewenangan dominan dan ada kelompok yang tidak menmpunyai

kewenangan.

Page 30: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

19

c. Teori Konflik Jonathan Turner

Jonathan Turner merumuskan kembali proses terjadinya konflik dalam

sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada akhirnya konflik yang terbuka antara

kelompok-kelompok yang bertikai sangat bergantung kepada kemampuan masing-

masing pihak untuk mendefinisikan kepentingan mereka secara objektif dan untuk

menangani, mengatur, dan mengontrol kelompok itu.

d. Teori Konflik Lewis Coser

Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali disebut teori

fungsionalisme konflik, karena teori ini menekankan fungsi konflik bagi system

sosial atau masyarakat. Coser menekankan bahwa konflik bersifat funsional dan

terarah kepada pengintegrasian teori konflik dan fungsionalisme struktural.

Tetapi, ia juga harus menguraikan akibat-akibat dari keteraturan (order) terhadap

konflik atau keseimbangan.

e. Teori Konflik C. Wright Mills

Mills berusaha menggabungkan perspektif konflik dengan kritik terhadap

keteraturan sosial. Mills yakin bahwa adalah mungkin menciptakan suatu

masyarakat yang baik di atas dasar pengetahuan, dan pembentukan tersebut

merupakan tanggung jawab kaum intelektual percaya pada sosialisme liberal.

Tema-tema yang dibahas khusus oleh Mills adalah hubungan antara alienasi dan

birokrasi dan kekuasaan kaum elite.

Page 31: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

20

2.1.1 Bentuk-Bentuk Konflik

Agar dapat memudahkan klasifikasi dalam analisa permasalahannya, kita

dapat melihat dari model, macam dan bentuk-bentuk dari konflik. Sehingga dapat

memudahkan dalam mencari solusi dalam penyelesaian konflik. Adapun bentuk-

bentuknya sebagai berikut24

:

a. Konflik Gender

Gender lebih memperhatikan pada aspek status dan peranan manusia

dilihat dari jenis kelamin. Dalam stuktur masyarakat tradisional istilah gender

tidak memunculkan persoalan yang berpangkal tolak pada status dan peranan.

b. Konflik Rasial dan Antarsuku

Istilah ras sering kali diidentikan dengan perbedaan warna kulit manusia,

di antaranya ada sebagian kelompok manusia yang berkulit putih, sawo matang,

dan hitam. Selain konflik ras ada pula konflik antarsuku, yang setiap saat jika

tidak ditangani secara bijak tidak menutup kemungkinan akan berdampak

disintegrasi bangsa.

c. Konflik Antar-Umat Agama

Agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi

juga bisa menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut

agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan

agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-umat agama.

24

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), Hal. 349-

357.

Page 32: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

21

d. Konflik Antar Golongan

Konflik antar golongan diantaranya dipicu oleh satu golongan tertentu

memaksakan kehendaknya kepada kelompok lain untuk melakukan perbuatan

yang dikehendaki oleh golongan tersebut. Adapun di pihak lain, golongan merasa

terampas kebebasanya hingga melakukan perlawanan yang tidak pernah tercapai

kesepakatan di antara golongan tersebut.

e. Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan identik dengan konflik politik. Realitas politik selalu

diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling berbenturan.

Benturan kepentingan tersebut dipicu oleh gejala satu pihak ingin merebut

kekuasaan dan kewenangan dalam masyarakat, di pihak lain terdapat kelompok

yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan dan kewenangan

yang sudah ada di tangan mereka.

f. Konflik Antar Pribadi

Konflik antar pribadi adalah konflik sosial yang melibatkan individu di

dalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau

pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan individu lain.

g. Konflik Antar Kelas Sosial

Konflik antar kelas sosial biasanya berupa konflik yang bersifat vertical,

yaitu konflik antar kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Faktor utama yang

menjadi pemicu konflik biasanya terletak pada perbedaan pendapatan di mana

majikan yang memiliki modal usaha memiliki pendapatan yang besar, sedangkan

para buruh yang hanya memiliki tenaga memperoleh pendapatan yang kecil,

Page 33: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

22

sehingga keadaan ini memunculkan isu ketidakstabilan, ketimpangan sosial, dan

sebagainya.

h. Konflik Antar Negara / Bangsa

Konflik antarnegara adalah konflik yang terjadi antara dua negara atau

lebih. Mereka memiliki perbedaan tujuan negara dan berupaya memaksakan

kehendak negaranya kepada negara lain.

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Konflik

Akar dari terjadinya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi,

politik yang akarnya merupakan perebutan atas sumber-sumber kepemilikan,

status sosial, dan kekuasaan yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan

pembagian yang tidak merata di masyarakat. Jika disederhanakan, terdapat dua

penyebab konflik yaitu:25

a. Kamajemukan Horizontal

Artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, terdiri

seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial, seperti

perbedaan pekerjaan dan profesi. Akibat dari faktor kamajemukan

horizontal ini dapat menimbulkan konflik yang dikarenakan mempunyai

perbedaan karakteristik yang mendasar dalam kehidupan sehari-hari antara

suku, ras, dan agama dengan yang lainnya. Biasanya dapat menyebabkan

perang saudara bahkan gerakan separatisme akibat konflik tersebut.

25

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), Hal. 360-

363.

Page 34: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

23

b. Kemajemukan Vertikal

Yang dimaksud kemajemukan vertical adalah struktur perbedaan yang

terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Akibat

dari kemajemukan vertical yaitu menimbulkan konflik sosial yang

dilatarbelakangi oleh perbedaan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan atau

wewenang. Biasanya ini sangat rentan terjadi dalam kehidupan kita sehari-

hari.

Selanjutnya, ada sosiolog lain berpendapat bahwa akar dari penyebab

konflik itu terdiri dari:

a. Perbedaan Antar – Individu,

b. Benturan Antar – Kepentingan,

c. Perubahan Sosial, dan

d. Perbedaan Kebudayaan.

2.2 Teori Dan Definisi Desentralisasi

Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu

”de” berarti lepas dan “centrum” berarti pusat. Jadi menurut perkataan berasal

dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.26

Desentralisasi juga berarti

pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke

pemerintahan daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi.

26

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah ,Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara

DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: PT Alumni, 2004), Hal. 117.

Page 35: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

24

Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut

proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.27

Konsep desentralisasi tidak pernah luput dari polemik antara pihak yang

pro dan kontra. Perdebatan pada tataran konseptual tersebut tidak saja

berimplikasi pada perkembangan konsep desentralisasi, tetapi juga telah

memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep

desentralisasi. Kecenderungan ini semakin mencolok sejak dekade 1970-an,

ketika kajian tentang desentralisasi tidak lagi dimonopoli oleh disiplin ilmu politik

dan administrasi negara, tetapi juga telah menarik perhatian disiplin ilmu lain

seperti ekonomi, hukum, sosiologi dan antropologi. Pelbagai disiplin keilmuan ini

telah memberikan kontribusi terhadap kajian desentraliasi dan otonomi daerah.28

Alhasil, konsep desentralisasi dirumuskan dalam bahasa dan idiom yang berbeda-

beda sesuai disiplin ilmu yang mengkajinya.29

Rondinelli dkk. menyatakan bahwa ruang lingkup desentralisasi dapat

dibatasi atau diperluas. Tingkat tanggung jawab dan diskresi dalam pengambilan

keputusan yang ditransfer oleh pemerintah pusat dapat bervariasi, dari hanya

menyesuaikan beban kerja dalam organisasi pemerintah pusat hingga divestasi

semua tanggung jawab pemerintah untuk melakukan segala hal yang sebelumnya

27

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: PT.Sinar

Grafika, 2008), Hal. 52.

28 Diana Conyers, ―Decentralization and Development: A Review of the Literature‖,

dalam Public Administration and Development, Vol. 4, Issue 2 (1984), Hal. 190.

29 Syarif Hidayat, ―Desentralisasi dalam Perspektif State-Society Relation: Rekonstruksi

Konsep dan Pendekatan Kebijakan‖, dalam Tim LIPI, Membangun Format Baru Otonomi Daerah,

(Jakarta: LIPI Press, 2006), Hal. 67-68.

Page 36: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

25

dianggap sebagai fungsi-fungsi sektor publik. Rondinelli dkk. kemudian

mengklasifikasikan desentralisasi berdasarkan bentuk dan jenis. Bentuk

desentralisasi diklasifikasikan berdasarkan tujuannya, yakni desentralisasi politik,

spasial, pasar dan administratif. Setiap bentuk ini dikategorikan ke dalam empat

jenis, yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi.30

Namun seiring

perluasan konsep pemerintahan, Rondinelli dkk. memodifikasi konsep, tujuan,

dan bentuk-bentuk desentralisasi. Cheema dan Rondinelli menyatakan,

―desentralisasi tidak hanya meliputi pengalihan kekuasaan, wewenang, dan

tanggung jawab dalam pemerintahan, tetapi juga pembagian kewenangan dan

sumber daya untuk membentuk kebijakan publik dalam masyarakat.‖ Dalam

konsep pemerintahan yang telah mengalami perluasan ini, Rondinelli dkk.

mengkategorikan praktik desentralisasi ke dalam empat bentuk: administratif,

politik, fiskal, dan ekonomi.31

Berbeda dengan Rondinelli dkk., Treisman mendefinisikan desentralisasi

sebagai struktur. Treisman menekankan bahwa tingkat desentralisasi adalah

sistem karakter (character system); ini adalah tentang bagaimana sebuah sistem

30

Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis dan G. Shabbir Cheema, Decentralization in

Developing Countries: A Review of Recent Experience, World Bank Staff Working Paper No. 581,

Management and Development Series No. 8, (Washington, D.C.: World Bank, 1983), hal. 14.

Lihat juga Dennis Rondinelli, Decentralizing Urban Development Programs: A Framework for

Analyzing Policy, (Washington, D.C.: USAID, Office of Housing and Urban Programs, 1990),

Hal. 9-15.

31 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to

Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing

Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,

2007), Hal. 6.

Page 37: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

26

pemerintahan diatur.32

Menurut Treisman, badan pemerintahan terdiri dari

legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang memiliki fungsi sendiri dalam sistem

pemerintahan. Masing-masing badan ini memiliki yurisdiksi yang dapat

didefinisikan dalam hal populasi atau wilayah. Yurisdiksi badan legislatif

mencakup ―a set of points in space within the laws that it passes have legitimate

force.‖ Yurisdiksi badan eksekutif mencakup ―a set of points in which it has the

right to implement and enforce laws.‖ Sementara yurisdiksi badan yudikatif

mencakup ―a set of point within which cases that originate are heard by it.‖33

Setiap yurisdiksi terdiri dari sejumlah tingkatan.34

Pendekatan ini disebut

desentralisasi.

Menurut Mawhood, desentralisasi adalah proses pembagian sebagian

kekuasaan pemerintahan oleh kelompok penguasa pusat dengan kelompok

lainnya, masing-masing memiliki kewenangan dalam area tertentu dari negara.

Hal ini juga menunjukkan adanya struktur politik formal, yang mencakup suatu

wilayah definitif yang mewakili kepentingan lokal serta kepentingan penguasa

pusat. Pembagian kekuasaan lokal yang dialokasikan untuk lembaga-lembaga ini

dilindungi oleh aturan formal dan normatif yang diterima oleh pusat.35

Hal senada

32

D. Treisman, Decentralization and The Quality of Government, (Los Angeles:

University of California, 2000), Hal. 5.

33 D. Treisman, Decentralization and The Quality of Government, (Los Angeles:

University of California, 2000), Hal. 3.

34 D. Treisman, Decentralization and The Quality of Government, (Los Angeles:

University of California, 2000), Hal. 22.

35 P. Mawhood (ed.), Local Government in The Third World: The Experience of Tropical

Africa, (Chicheser: John Wiley & Sons, 1987), Hal. 4.

Page 38: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

27

juga dikemukakan oleh Smith, yang mendefinisikan desentralisasi sebagai

―pendelegasian kekuasaan ke tingkat yang lebih rendah dalam sebuah hirarki

teritorial, baik hirarki tersebut adalah salah satu pemerintahan dalam suatu negara

atau kantor dalam suatu organisasi berskala besar.‖36

2.2.1 Bentuk-Bentuk Desentralisasi

Sebagaiman telah dikemukakan bahwa terdapat beberapa jenis

desentralisasi yaitu, desentralisasi politik, desentralisasi administrasi,

desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi dan pasar.

a. Desentralisasi Politik

Desentralisasi politik mencakup organisasi dan prosedur untuk

meningkatkan partisipasi warga dalam pemilihan wakil-wakil politik (political

representatives) dan pembuatan kebijakan publik; perubahan struktur pemerintah

melalui pelimpahan kekuasaan dan wewenang (devolution of powers and

authority) kepada unit-unit pemerintahan lokal; lembaga pembagian kekuasaan

dalam negara melalui federalisme, federasi konstitusional, atau daerah otonom;

dan lembaga dan prosedur yang memungkinkan kebebasan berserikat dan

berpartisipasi organisasi-organisasi masyarakat sipil (civil society) dalam

pengambilan keputusan publik, memberikan pelayanan sosial yang bermanfaat,

dan memobilisasi sumber daya sosial dan finansial untuk mempengaruhi

36

Brian C. Smith, Decentralization: The Territorial Dimension of The State, (London: G.

Allen & Unwin, 1985), Hal. 1.

Page 39: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

28

pengambilan keputusan politik.37

Desentralisasi politik kerap dikaitkan dengan

politik pluralistik dan pemerintahan perwakilan (representative government),

tetapi ia juga dapat mendukung demokratisasi dengan memberikan kepada warga

atau perwakilan mereka pengaruh lebih besar dalam perumusan dan pelaksanaan

kebijakan. Dari perspektif prinsip-prinsip demokrasi, desentralisasi berarti

pembagian kekuasaan (distribution of powers) antara pemerintah terpilih (elected

authorities). Artinya, keputusan rinci hanya mungkin dibuat oleh perwakilan lokal

dari kekuasaan lokal, meskipun selalu dalam pedoman kebijakan, dan mungkin

pengaturan dana, yang diarahkan oleh pusat.38

Para pendukung desentralisasi

politik menganggap bahwa keputusan yang dibuat dengan partisipasi yang lebih

besar akan lebih baik dan relevan dengan beragam kepentingan dalam masyarakat

daripada yang dibuat hanya oleh otoritas politik nasional. Konsep ini menyiratkan

bahwa pemilihan wakil-wakil dari yurisdiksi pemilihan lokal memungkinkan

warga untuk mengetahui lebih baik perwakilan politik mereka dan memungkinkan

para pejabat terpilih untuk mengetahui lebih baik kebutuhan dan keinginan

konstituen mereka. Desentralisasi politik seringkali memerlukan reformasi

konstitusi atau undang-undang, pengembangan partai politik pluralistik,

37

G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to

Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing

Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,

2007), Hal. 7.

38 David Robertson, A Dictionary of Modern Politics, 2

nd Edition, (Rochester, Kent:

Europa Publications, 1993), Hal. 125.

Page 40: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

29

penguatan legislatif, penciptaan unit politik lokal, dan dorongan kelompok-

kelompok kepentingan publik yang efektif.39

b. Desentralisasi Administratif

Desentralisasi administratif mencakup dekonsentrasi struktur dan birokrasi

pemerintah pusat, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat

kepada badan-badan negara semiotonomi, dan kerjasama badan-badan pemerintah

yang melakukan fungsi serupa melalui pengaturan ―kembar‖ melintasi perbatasan

nasional.40

Desentralisasi administratif berusaha mendistribusikan wewenang,

tanggung jawab dan sumber daya keuangan untuk menyediakan pelayanan publik

di antara berbagai tingkat pemerintahan. Ini adalah pengalihan tanggung jawab

untuk perencanaan, pembiayaan dan pengelolaan fungsi publik tertentu dari

pemerintah pusat dan badan-badannya ke unit-unit lapangan instansi

pemerintahan, unit-unit bawahan atau tingkat-tingkat pemerintahan, otoritas

publik semi-otonom, otoritas regional atau fungsional. Pelbagai sub-sistem

tersebut mungkin merupakan unit teritorial (federalisme) atau badan yang berdiri

sendiri. Desentralisasi jenis ini didasarkan pada prinsip subsidiaritas dan

39

Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World

Bank Institute, 2005, hlm. 1, dalam

http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine

Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest

Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses

21 Januari 2015; A. Schneider, ―Decentralization: Conceptualization and Measurement‖, dalam

Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3 (2003), Hal. 39.

40 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to

Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing

Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,

2007), Hal. 6-7.

Page 41: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

30

dimaksudkan untuk menciptakan birokrasi yang efisien, efektif dan rasional.41

Desentralisasi administratif memiliki tiga jenis utama, yakni dekonsentrasi,

delegasi, dan devolusi—masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Ketiga

jenis desentralisasi administratif ini dalam perkembangan juga diberlakukan ke

dalam bentuk-bentuk desentralisasi yang lain.

c. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal adalah pengalihan tanggung jawab finansial ke

pelbagai level pemerintahan. Tanggung jawab finansial adalah komponen inti

desentralisasi. Jika pemerintah daerah dan organisasi swasta hendak

melaksanakan fungsi desentralisasi secara efektif, mereka harus memiliki tingkat

pendapatan yang memadai—baik diperoleh secara lokal atau ditransfer dari

pemerintah pusat—maupun otoritas untuk membuat keputusan tentang

pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat mengambil banyak bentuk, antara lain: (a)

pembiayaan sendiri (self-financing) atau cost recovery melalui retribusi; (b)

pengaturan pembiayaan atau produksi bersama (co-financing or co-production) di

mana pengguna (users) berpartisipasi dalam memberikan pelayanan dan

infrastruktur melalui kontribusi keuangan atau tenaga kerja; (c) perluasan

pendapatan daerah melalui properti atau pajak penjualan atau biaya tidak

langsung; (d) transfer antar pemerintah yang menggeser pendapatan umum dari

41

Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World

Bank Institute, 2005, hal. 1, dalam

http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine

Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest

Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses

21 Januari 2015; A. Schneider, ―Decentralization: Conceptualization and Measurement‖, dalam

Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3 (2003), Hal. 39.

Page 42: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

31

pajak yang dihimpun oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk

keperluan umum atau khusus; dan (e) otorisasi pinjaman kota dan mobilisasi

sumber daya pemerintah nasional maupun lokal melalui jaminan pinjaman (loan

guarantees).42

Desentralisasi fiskal meliputi sarana dan mekanisme kerjasama

fiskal dalam pembagian pendapatan publik di antara semua tingkat pemerintahan;

delegasi fiskal dalam meningkatkan pendapatan publik dan alokasi pengeluaran;

dan otonomi fiskal bagi negara, daerah, atau pemerintah lokal.43

d. Desentralisasi Ekonomi Atau Pasar

Desentralisasi ekonomi atau pasar adalah pengalihan tanggung jawab

fungsi-fungsi dari publik ke sektor privat melalui privatisasi dan deregulasi.

Desentralisasi ekonomi memungkinkan fungsi yang sebelumnya merupakan

tanggung jawab utama dan eksklusif pemerintah untuk dilaksanakan oleh bisnis,

kelompok masyarakat, koperasi, asosiasi sukarela swasta, dan organisasi non-

pemerintah lainnya. Privatisasi dan deregulasi biasanya disertai dengan liberalisasi

ekonomi dan pengembangan kebijakan pasar.44

Dengan kata lain, desentralisasi

42

Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World

Bank Institute, 2005, Hal. 3, dalam

http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine

Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest

Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses

21 Januari 2015; A. Schneider, ―Decentralization: Conceptualization and Measurement‖, dalam

Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3 (2003), Hal. 36.

43 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to

Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing

Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,

2007), Hal. 7.

44 Jenny Litvack dan Jessica Sheldon (eds.), ―Decentralization: Briefing Note‖, World

Bank Institute, 2005, Hal. 4, dalam

http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses 15 Januari 2015; Ine

Page 43: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

32

ekonomi meliputi liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan kemitraan

publik-swasta.45

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi

Desentralisasi mempunyai nilai hanya bila dapat membantu organisasi

mencapai tujuannya dengan efisien. Penentuan derajat desentralisasi sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Filsafat Managemen

Banyak manager puncak yang sangat otokratik dan menginginkan

pengawasan pusat yang kuat. Hal ini akan mempengaruhi kesedian

managemen untuk mendelegasikan wewenangnya.

2. Ukuran Dan Tingkat Pertumbuhan Organisasi

Organisasi tidak mungkin efisien bila semua wewenang pembuatan

keputusan ada pada satu atau beberapa manejer puncak saja. Suatu

organisasi yang tumbuh semakin besar dan kompleks, ada kecendrungan

untuk meningkatkan desentralisasi begitu juga,tingkat pertumbuhan yang

semakin cepat akan memaksa manajemen meningkatkan delegasi

wewenang

Neven, ―Background Paper on Decentralization‖, Contribution to Cost-Action E19 National Forest

Programmes in the European Context, dalam http://www.metla.fi/eu/cost/e19/neven.pdf, diakses

21 Januari 201.

45 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ―From Government Decentralization to

Decentralized Governance‖, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing

Governance: Emerging Concepts and Practices, (Washington D.C.: Brooking Institution Press,

2007), Hal. 7.

Page 44: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

33

3. Strategi Dan Lingkungan Organisasi

Stategi organisasi akan mempengaruhi tipe pasar, lingkungan teknologi,

dan persaingan yang harus dihadapinya.

4. Penyebaran Geografis Organisasi

Pada umumnya, semakin menyebar satuan-satuan organisasi secara

geografis, organisasi akan cenderung melakukan desentralisasi, karena

pembuatan keputusan akan lebih sesuai dengan kondisi lokal masing-

masing.

5. Tersedianya Peralatan Pengawasan Yang Efektif

Organisasi yang kekurangan peralatan-peralatan efektif untuk melakukan

pengawasan satuan-satuan tingkat bawah akan cenderung melakukan

sentralisasi bila manajemen tidak dapat dengan mudah memonitor

pelaksanaan kerja bawahannya.

6. Kualitas Manajer

Desentralisasi memerlukan lebih banyak manajer-manajer yang

berkualitas, karena mereka harus membuat keputusan sendiri.

7. Keanekaragaman Produk Dan Jasa

Makin beraneka ragam produk atau jasa yang ditawarkan, oganisasi

cenderung melakukan desentralisasi, dan sebaliknya semakin tidak

beraneka ragam, lebih cenderung sentralisasi.

8. Karakteristik-Karakteristik Organisasi Lainnya

Page 45: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

34

Seperti biaya dan risiko yang berhubungan dengan pembuatan keputusan,

sejarah pertumbuhan organisasi, kemampuan manajemen bawah, dan

sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat desentralisasi dalam suatu

organisasi bisa berbeda dengan berbedanya divisi atau departemen organisasi atau

perubahan lingkungan internal maupun eksternal. Jadi, pendekatan paling logik

yang dapat digunakan organisasi adalah mengamati segala kemungkinan yang

terjadi (contingency approach).

Keuntungan-keuntungan desentralisasi adalah mengurangi beban

pemerintah pusat, dapat memperbaiki dan membuat keputusan yang cepat dan

tepat karena dekat dengan permasalahannya, dan bisa menjadi daerah yang

terdepan dan cepat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Itulah fungsi

yang diharapkan dari adanya desentralisasi daerah, khususnya Aceh dan Papua.

2.3 Teori Dan Definisi Kewenangan

Kewenangan merupakan hak moral yang sejalan dengan nilai dan norma

masyarakat untuk membuat dan melaksanakan publik yang mempunyai pengaruh

besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan publik, sehingga keputusan ini

mencerminkan keinginan orang ini. Wewenang yang melekat pada diri seseorang

yang dimaksud bukan hanya terletak pada kepemilikan dan kemampuan seseorang

untuk menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi prilaku

pihak lain. Akan tetapi, titik tekanan dari konsep kewenangan adalah terletak pada

Page 46: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

35

hak yang ada pada seseorang atau sekeompok orang untuk menggunakan sumber-

sumber kekuasaan dalam mempengaruhi prilaku pihak lain.

Diskursus tentang hubungan pusat dan daerah dalam sebuah pemerintahan

kita akan dihadapkan pada istilah kekuasaan atau wewenang. Kewenangan

memiliki makna yang sama dengan Kekuasaan dalam arti formal karena dimiliki

oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. 46

Hal senada

dikatakan oleh Prajudi Atmosudirdjo yang menyebutkan Kewenangan sebagai

kekuasaan formal dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang

biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan

orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.47

Istilah kewenangan dan wewenang memiliki perbedaan diantara keduanya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

wewenang adalah: 1) hak dan kekuasaan untuk berindak; 2) kekuasaan membuat

keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain; dan

3) fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sementara kewenangan adalah: 1) hal

berwenang; 2) hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu48

.

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang

hanya mengenai suatu ―onderdeel‖ (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di

46

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,

tanpa tahun, Hal. 1.

47 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995),

Hal. 78.

48 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, Hal. 1272

Page 47: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

36

dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang

pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah

(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan

memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan.49

Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu, hukum,

kewenangan, wewenang, keadilan, kejujuran, kebijakbestarian, dan kebijakan.50

Prof. Miriam Budiarjo mengistilahkannya sebagai the rule and the ruled yang

mana pada wilayah kewenangan biasa terdapat kekuasaan yang berbentuk

hubungan dalam arti bahwa ―ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang

diperintah.51

Menurut Talcot Pasons dalam Budiarjo, mengatakan bahwa kekuasaan

adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang

mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif.

Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada

perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar,

49

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan

Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), Hal.

22.

50 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam

Indonesia, 1998), Hal. 37-38.

51 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1998.), Hal. 35-36.

Page 48: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

37

terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan tersebut‖. 52

Pengertian tersebut

melihat sebuah kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-

tujuan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat

didukung dengan sanksi negatif.

Kekuasaan sebagai inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara selalu

dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat

berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya.

Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam

Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau

Negara.53

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ

sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam

melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan

keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara

atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan

yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus

ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.

Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,

52

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1998), Hal. 60-61.

53 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1998), Hal. 35

Page 49: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

38

akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam

pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk

bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Pelimpahan wewenang berkaitan dengan kekuasaan yang diberikan oleh

Undang-Undang atau legislasi dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Hal

yang menjadi dasar untuk melakukan tugas kenegaraan adalah adanya

kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Jabatan memproleh

wewenang melalui tiga sumber yakni: atribusi, delegasi dan mandat akan

melahirkan kewenangan (bevoegdheid, legal power, competence).54

Menurut J.G. Brouwer atribusi merupakan kewenangan yang diberikan

kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu

badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil

dari kewenangan yang ada sebelumnya.Badan legislatif menciptakan kewenangan

mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada

organ yang berkompeten.55

Sementara delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan

atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga

delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan

tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan

54

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid), dalam

Pro Justitia , Majalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan , Bandung, No.1

Tahun XVI, Hal. 139-140.

55 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars

Aeguilibri, 1998), Hal. 16-17.

Page 50: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

39

kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada

organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan

atas namanya.

Kepala daerah yang dibawah kendali pusat dalam penyelenggaraan

pemerintah daerah memiliki kewenangan tindakan pemerintahan sebagai kepala

daerah otonom maupun kepala wilayah. Kepala daerah dalam penyelenggaraan

pemerintah daerah melaksanakan kewenangan atribusi, delegasi dan mandat

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ditinjau dari mekanisme pemberian kewenangan, pemerintah daerah

hanya menerima penyerahan dari pusat. Hal itu karena di Indonesia mengatut

sistem Negara kesatuan Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal,

otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang

dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan

oleh negara bagian.

Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan

kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government, sedangkan

dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar berada pada local

government. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah pada negara kesatuan

seperti Indonesia otonominya lebih banyak bergantung pada political will

Pemerintah Pusat, yaitu sampai sejauh mana pemerintah pusat mempunyai niat

baik untuk memberdayakan local government melalui pemberian wewenang yang

lebih besar.

Page 51: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

40

2.3.2 Bentuk-Bentuk Dan Sumber Kewenangan

Max Webber membagi kewenangan dalam beberapa bentuk, di antaranya

sebagai berikut:56

a. Kewenangan Karismatik, Tradisional, Dan Rasional

Wewenang kharismatik, tradisional, dan rasional perbedaannya terletak

pada hubungan antara tindakan-tindakan dan dasar hukum yang berlaku.

Wewenang karismatik merupakan wewenang yang didasarkan pada karismatik

(daya tarik atau mahabbah), yaitu kemampuan khusus (yang berupa wahyu,

pulung) yang ada pada diri seseorang yang dianggap merupakan anugerah Tuhan

Yang Maha Kuasa.

Wewenang tradisional dapat dipunyai seseorang maupun kelompok orang

bersama-sama yang telah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam masyarakat

tertentu. Titik tekanan wewenang tradisional adalah karena kelompok ini memiliki

kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga dan bahkan menjiwai

masyarakat. Oleh karena, sudah demikian lamanya golongan ini memegang

kekuasaan, maka masyarakat percaya dan mengakuinya.

Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang sandarannya adalah

sistem hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem masyarakat yang

dimaksud dalam hal ini ialah hukum formal yang memiliki batasan, ketentuan,

prosedur, dan memiliki alat-alat hukum yang jelas, sehingga hukum yang

56

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), Hal. 764-

769.

Page 52: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

41

mengikat pada seluruh warga mayarakat ini yang menjadi referensi dari

pengabsahan wewenang yang dijalankan oleh pemegang wewenang ini.

b. Kewenangan Resmi Dan Tidak Resmi

Wewenang tidak resmi ialah wewenang yang berlaku dalam kelompok-

kelompok kecil yang sifatnya spontan, situasional, dan didasarkan pada faktor

saling kenal mengenal dan tidak diterapkan secara sistematis. Wewenang resmi

sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan, dan rasional. Biasanya dijumpai di

dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan bentuk kewenangannya

memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan sifatnya tetap.

c. Kewenangan Pribadi Dan Wewenang Teritorial

Wewenang pribadi sangat tergantungan pada solidaritas antara anggota-

anggota kelompok yang bersangkutan, dan unsur kebersamaan memegang

peranan yang sangat penting struktur wewenang bersifat konsentris (terpusat),

artinyadari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang

tertentu.

Wewenang teritoral, wilayah tempat tinggal memegang peranan yang

sangat penting. Pada kelompok-kelompok territorial, unsur kebersamaan

cenderung untuk berkurang, oleh karena desakan dari faktor-faktor

individualisme.

d. Kewenangan Terbatas Dan Wewenang Menyeluruh

Wewenang terbatas adalah wewenan yang tidak mencakup semua sektor

atau bidang kehidupan akan tetapi, hanya terbatas pada salah satu sektor atau

bidang. Wewenang menyeluruh berarti wewenang yang tidak dibatasi oleh

Page 53: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

42

bidang-bidang kehidupan tertentu. Misalnya setiap negara memiliki wewenang

yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedualatan wilayahnya.

Setiap tindakan pemerintahan dan / atau pejabat umum harus bertumpu

pada kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui 3 sumber:

a. Kewenangan Atribusi

Kewenangan yang berasal dari ada nya penyerahan atau pemberian suatu

kewenangan yang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-

undangan. Tidak terjadi distribusi kewenangan. Pada kewenangan atributif

pelaksanaan dilakukan oleh pejabat yang menerima kewenangan yang

baru itu yang bertanggung jawab adalah di tangan pejabat administrasi

negara yang menerima kewenangan baru itu.

b. Kewenangan Delegasi

Merupakan kewenangan yang bersumber dari pelimpahan wewenang dari

suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah yang lain berdasarkan

undang-undang yang berlaku. Kewenangan sudah ada terlebih dahulu dan

tidak ada kewenangan yang baru.

c. Kewenangan Mandat / Amanah / Penugasan

Kewenangan yang bersumber dari proses pelimpahan dari pejabat yang

lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Pada mandat secara yuridis

tanggung jawab tetap berada pada pejabat yang memberi mandat. Pada

setiap saat si pemberi mandat dapat menggunakan sendiri kewenangan

yang sudah diamanatkan.

Page 54: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

43

2.3.3 Sifat Dan Batasan Kewenangan

Terdapat tiga jenis sifat dalam kewenangan, yaitu :

a. Kewenangan Selalu Terikat Pada Suatu Masa Tertentu

Sifat wewenang yang berlaku ditentukan melalui peraturan perundang-

undangan. Jadi, apabila wewenang tersebut diterapkan setelah masanya, maka

kebijakan dianggap tidak sah begitu pula sebaliknya.

b. Kewenangan Selalu Terikat Pada Batas/Cakupan

Sifat wewenang yang selalu terikat pada batas yang ditentukan oleh batas

wilayah kewenangannya dan cakupan materi yang berlaku. Batas wilayah

kewenangan yang dimaksud adalah suatu keputusan hanya berlaku pada wilayah

tertentu. sedangkan, cakupan materi kewenangan ditentukan oleh peraturan yang

sesuai dengan kewenangan tersebut.

c. Kewenagan Terikat Pada Hukum/Peraturan Tertulis Dan Hukum

Tidak Tertulis

Sifat yang terakhir dimaksudkan Indonesia sebagai negara hukum yang

melaksanakan suatu kewenangan tersebut berdasarkan hukum yang ada. Jadi

setiap pejabat administrasi negara melaksanakan tugasnya secara bertanggung

jawab dan tidak lepas dari peraturan perundang-undangan.

Ada pendapat juga menyatakan bahwa sifat wewenang itu terdiri dari:

a. Kewenangan Terikat: apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan

dalam keadaan bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan.

b. Kewenangan Fakultatif: terjadi dalam hal badan tata usaha negara tidak

wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan.

Page 55: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

44

c. Kewenangan Bebas: apabila peraturan dasarnya memberikan kebebasan

kepada badan tata usaha negara untuk menentukan mengenai isi dari

keputusan yang akan dikeluarkan. Kewenangan tersebut oleh Hadjon

dibagi menjadi 2 yakni kewenangan i). untuk memutus secara mandiri, dan

ii). kebebasan penilaian terhadap tersamar.

Sedangkan untuk batasan-batasan yang terdapat dalam wewenang bisa

diartikan sebagai berikut, yaitu setiap wewenang itu dibatasi oleh isi / materi

(materiae), wilayah / ruang (locus), dan waktu (tempus). Cacat dalam aspek-aspek

tersebut menimbulkan cacat wewenang atau dalam artian bahwa di luar-luar

batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan tindakan tanpa wewenang

(onbevoegdheid). Tindakan tanpa wewenang bisa berupa i). onbevoegdheid

ratione materiae, ii). onbevoegdheid ratione loci, dan iii). onbevoegdheid ratione

temporis.

Page 56: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

45

BAB III

PEMBENTUKAN LEMBAGA WALI NANGGROE

DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA PASCA OTONOMI KHUSUS

3.1 Lembaga Wali Nanggroe (LWN)

3.1.1 Sejarah Pembentukan LWN

Dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh dimasa berperang melawan

penjajah Belanda pernah dibawah komando Teuku Umar, Tjut Nya‘ Dhien, Cut

Meuthia, dan Tengku Hasan Di Tiro (1873-1942) dan perang Medan Area

dibawah pimpinan komando Tengku Mohd. Daud Beureueh sebagai Gubernur

Militer untuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo (1945-1949). Kemudian dilanjutkan

dengan memproklamirkan Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Tengku

Mohd. Daud Beureueh dan terjadi peperangan dalam peristiwa Daarul

Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953-1964. Setelah perang

usai pada tahun 1959, Aceh memperoleh status daerah istimewa dari Republik

Indonesia yang dinyatakan otonom dalam bidang pendidikan, agama dan hukum

adat. Efek dari rasa kecewa, maka pada Tahun 1976 dideklarasi dan pembentukan

Gerakan Aceh Merdeka oleh Dr. Tengku Hasan M. di Tiro di Gunung Halimun,

Pidie. Dan perjalanan konflik masih panjang dari tahun 1976-2005,57

berkonflik

dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akhirnya tercapai kesepakatan

untuk berdamai dengan segala ketentuan dan kebijakan yang sudah disepakati

bersama.

57

Isma Sawitri, Amran Zamzami, B. Wiwoho, Simak dan Selamatkan Aceh, (Jakarta:

Panitia Peduli Aceh, 1999), Hal. 40-47.

Page 57: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

46

Sejarah Wali Nanggroe sendiri mengisahkan cerita yang terjadi pada 26

Maret 1873, perang berkecamuk di Aceh. Sejak itulah tanah Aceh di duduki

Belanda hingga pusat istana pemerintahan Kerajaan Atjeh (Dalam) dikuasai

Belanda pada 24 Januari 1874. Kejatuhan Dalam itu diyakini akibat

pengkhianatan dari dalam. Empat hari kemudian sulthan Aceh mangkat akibat

terkena wabah kolera di Lueng Bata dan dimakamkan di Pagar Aye. Beberapa

hari kemudian jasadnya dipindahkan ke Cot Bada, Samahani karena khawatir

makamnya akan dibongkar oleh Belanda.58

Dalam kecamuk perang itu kemudian Sulthan Muhammad Daud Syah

yang saat itu masih berusia 11 tahun diangkat menjadi raja. Karena sulthan masih

muda maka dibentuklah Lembaga Wali Nanggroe. Maka, pada 25 Januari 1874

melalui musyawarah Majelis Tuha peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad

Raja Keumala, Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala, dan

Teungku Tjik Di Tanoh Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha

peut itu menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut. Tiga hari kemudian pada

28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad

Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh

diangkatlah Al Malik Al Mukarram Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Saman Bin

Abdullah sebagai Wali Nanggroe Aceh yang pertama. Wali Nanggroe pada saat

58

Seperti dikutip dalam http://iskandarnorman.blogspot.com, yang diakses pada 1

September 2015.

Page 58: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

47

itu bertugas untuk memimpin rakyat Aceh dan menjaga wilayah kekuasaannya

serta keamanan Aceh supaya tidak dijajah oleh musuh.59

Wali yang berarti pengganti dan Nanggroe adalah Negara, maka Wali

Nanggroe dimaksud sebagai “Wali Negara yang mengisi kekosongan Sultan di

Kerajaan Aceh”.60

Dan istilah Wali Nanggroe ini muncul kembali setelah pada

tanggal 4 Desember 1976, Dr. Tengku Hasan M. di Tiro medeklarasikan Aceh

Merdeka di Gunung Halimun yang terletak di Tiro Kabupaten Pidie Provinsi

Aceh. Hasan Tiro menyatakan dirinya sebagai Wali Nanggroe (Wali Negara) yang

akan berperang dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk

memisahkan Aceh dari Kekuasaan Republik Indonesia. Pada waktu itu, Hasan

Tiro merangkul masyarakat Aceh untuk mendukung dalam upaya pemisahan

Aceh menjadi sebuah Negara.61

Setelah penandatanganan MoU Helsinski 2005 antara Pemerintah

Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka terbitlah Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang

59

Nama-nama Wali Nanggroe: 1. Al Malik Al Mukarram Tgk Tjik Di Tiro Muhammad

Saman Bin Abdullah (1874), 2. Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Amin Bin Muhammad Saman (1892),

3. Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam Bin Muhammad Saman (1896), 4. Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman Bin

Muhammad Saman (1898), 5. Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah Bin Muhamamd Saman (1902), 6. Tgk

Tjik Di Tiro Mayiddin Bin Muhamamd Saman (1905), 7. ditunjuk Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tgk

Tjik Di Tiro di Garot Muhammad Hasan dan Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin (1911),

8. Tgk Hasan Muhammad Di Tiro (1971), 9. Malik Mahmud Al-Haytar (2013). Dikutip dalam

http://iskandarnorman.blogspot.com diakses pada tanggal 1 September 2015.

60 Dikutip dari situs www.atjehlink.com/Mengintip jejak Wali Nanggroe di Aceh. Diakses

pada tanggal 1 September 2015.

61 Dr. Husaini M. Hasan, Sp. OG, Dari Rimba Aceh ke Stockholm; Catatan Dr. Husaini

M. Hasan ketika bersama Dr. Tengku Hasan M. di Tiro (Proklamator Aceh Merdeka), (Jakarta:

Batavia Publishing, 2015), Hal. 27-31.

Page 59: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

48

Pemerintah Aceh (UUPA) yang mengatur secara khusus penyelenggaraan

pemerintahan Aceh oleh pemerintah (Gubenur) Aceh dan masih dalam

wilayah/pengawasan NKRI. Kemudian, komitmen yang kuat untuk menjalankan

isi fakta tersebut adalah dengan mengimplementasikannya Lembaga Wali

Nanggroe sebagai amanah dari MoU Helsinski 2005 yang terdapat pada point

1.1.7 yang berbunyi “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala

perangkat upacara dan gelarnya”.62

Dan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006

tentang Undang-Undang Pemerintah Aceh pada BAB XII tentang Lembaga Wali

Nanggroe pasal 96 ayat (1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan

adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang

membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat

istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. (2)

Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan

lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. (3) Lembaga Wali Nanggroe

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang

bersifat personal dan independen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-

syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan

protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur

dengan Qanun Aceh. Kemudian pada pasal (97) dijelaskan bahwa Wali Nanggroe

berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau

62

Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, 2006, Nota Kesepahaman antara pemerintah

Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU

RI No. 11 Tahun 2006), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 182-183.

Page 60: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

49

lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang criteria dan tata caranya diatur

dengan Qanun Aceh.63

Pengaturan keberadaan Lembaga Wali Nanggroe dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) dan juga dalam Qanun

Aceh tentang Lembaga Wali Nanggroe ini, tidaklah dimaksudkan sebagai

nostalgia dan upaya kembali ke masa lalu, tetapi harus diartikan sebagai apresiatif

respon terhadap nilai-nilai yang pernah ada. Terutama dalam hal penyelenggaraan

pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Qanun Al-Asyi Kerajaan Atjeh

Darussalam untuk kita kembangkan menjadi nilai baru yang mampu merespon

perkembangan masa kini.64

Kebaradaan Lembaga Wali Nanggroe beserta dengan perangkatnya harus

mampu memperkuat dan menyempurnakan kekurangan kepemimpinan

pemerintah formal, guna mewujudkan Aceh baru yang maju dan modern, namun

tetap berpijak pada nilai-nilai luhur yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat. Terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe merupakan sebagai salah satu

wujud kekhususan Aceh, harus mampu melahirkan nilai tambah dalam

pengelolaan kehidupan kemasyarakatan baru agar dapat menghadapi dampak

negatif dari era globalisasi yang kini sedang berlangsung dan harus menjadi

kekuatan alternatif dalam penyelesaian berbagai masalah kemasyarakatan ketika

63

Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI

No. 11 Th.2006). (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 68.

64 Penjelasan umum dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun

Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro

Hukum Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 25-26.

Page 61: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

50

kekuasaan formal tidak mampu melakukannya. dan harus menjadi satpam untuk

legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh.

Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang

bersifat personal dan independen yang juga disebut sebagai Waliyul‘ahdi. Dan

mempunyai gelar dan mempunyai panggilan kehormatan ―Paduka Yang Mulia‖.65

Dan yang sekarang menjadi Wali Nanggroe (Wali Negara) adalah Paduka Yang

Mulia Al-Mukarram Al-Malik Mahmud Al-Haytar.

3.1.2 Landasan Terbentuknya LWN

Landasan hukum terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe adalah sebagai

berikut:

1. MoU Helsinski 2005 yang terdapat pada point 1.1.7 yang berbunyi

“Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat

upacara dan gelarnya”.66

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang

Undang-Undang Pemerintah Aceh pada BAB XII tentang Lembaga

Wali Nanggroe pasal 96 ayat (1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan

kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen,

berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan

65

Dikutip dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh

Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum

Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 5.

66 Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, Nota Kesepahaman antara pemerintah Republik

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11

Tahun 2006), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 182-183.

Page 62: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

51

kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian

gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. (2) Lembaga Wali

Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan

lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. (3) Lembaga Wali

Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang

Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. (4) Ketentuan

lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta

pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan

ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun

Aceh. Kemudian pada pasal (97) dijelaskan bahwa Wali Nanggroe

berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada

perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang

criteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh.67

3. Qanun Aceh No. 9 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Qanun Aceh

No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Di dalam Qanun

tersebut yang menjelaskan secara mendalam terkait kinerja dari

Lembaga Wali Nanggroe.68

67

Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI

No. 11 Th.2006). (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 68.

68 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun

2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum Sekretariat

Daerah Aceh, 2013).

Page 63: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

52

3.1.3 Peran dan Kewenangan LWN

Lembaga Wali Nanggroe (LWN) secara umum memiliki peran dalam

menjaring partisipasi masyarakat Aceh untuk memelihra budaya, adat istiadat

serta menjaga nilai-nilai keagamaan yang sudah melekat di hati masyarakat. Hal

itu sebagai upaya untuk mendorong setiap warga negara untuk mempergunakan

hak menyampaikan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan, yang

menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Partisipasi dimaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang

diambil mencerminkan aspirasi rakyat , sehingga dapat mengantisipasi berbagai

isu yang ada, pemerintah menyediakan saluran komunikasi agar rakyat dapat

menyalurkan partisipasi aktifnya.69

a. Lembaga Wali Nanggroe mempunyai Peran dan Tugas :

1. Membentuk perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan segala upacara

adat dan gelarnya;

2. Mengangkat, menetapkan dan meresmikan serta memberhentikan personil

perangkat Lembaga Wali Nanggroe;

3. Mengukuhkan DPRA dan Kepala Pemerintah Aceh secara adat;

4. Memberikan pandangan, arahan dan nasihat kepada Pemerintah Aceh dan

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Lembaga-Lembaga lainnya;

5. Menyampaikan usulan, saran dan pertimbangan kepada Pemerintah;

6. Memberi atau mencabut gelar kehormatan kepada seseorang atau lembaga;

69

Adi Sujatno, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan ke Arah

Kepemerintahan yang Baik (Good Goverment ), (Jakart: Team 4 AS, 2009), Hal. 40.

Page 64: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

53

7. Mengurus dan melindungi khazanah Aceh di dalam dan luar Aceh;

8. Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar

negeri untuk kemajuan peradaban Aceh;

9. Mengarahkan pengembangan sumber daya manusia Aceh yang berkualitas

dengan tetap melestarikan dan mengembangkan budaya dan adat istiadat

Aceh;

10. Menjaga perdamaian Aceh dan ikut berpartisipasi dalam proses

penyelesaian perdamaian dunia;

11. Menetapkan/mengumumkan ketentuan-ketentuan adat, hari-hari besar

adat dan memfasilitasi penghadapan masyarakat untuk menyampaikan

aspirasi dan menerima anugerah adat; dan

12. Mengangkat atau memberhentikan perwakilan adat di luar negeri.

b. Lembaga Wali Nanggroe mempunyai fungsi:

1. Perumusan dan penetapan kebijakan penyelenggaraan kehidupan lembaga-

lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-

upacara adat lainnya;

2. Penyiapan rakyat Aceh dalam pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan

sebagaimana ditentukan dalam qanun ini;

3. Perlindungan secara adat semua orang Aceh baik di dalam maupun di luar

Aceh;

4. Pelaksanaan penyampaian pandangan, arahan dan nasihat kepada

Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Lembaga-

Lembaga lainnya;

Page 65: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

54

5. Pelaksanaan penyampaian usulan, saran dan pertimbangan kepada

Pemerintah;

6. Pelaksanaan pembentukan perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan

segala upacara adat dan gelarnya;

7. Pelaksanaan pengangkatan, penetapan, peresmian dan pemberhetian

personil perangkat Lembaga Wali Nanggroe;

8. Pengukuhan DPRA dan Kepala Pemerintah Aceh secara adat;

9. Pelaksanaan pemberian dan pencabutan gelar kehormatan kepada

seseorang atau lembaga;

10. Penyelenggaraan pengurusan dan perlindungan khazanah Aceh di dalam

dan luar Aceh;

11. Pelaksanaan kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar

negeri untuk kemajuan peradaban Aceh;

12. Pemberian arahan dan petunjuk dalam pengembangan sumber daya

manusia Aceh yang berkualitas dengan tetap melestarikan dan

mengembangkan budaya dan adat istiadat Aceh; dan

13. Penyelenggaraan perdamaian Aceh dan ikut berpartisipasi dalam proses

penyelesaian perdamaian dunia.

Page 66: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

55

3.1.4 Struktur Kelembagaan LWN

Bagan 1. Struktur Kelembagaan Wali Nanggroe

(www.lwna.id)

3.2 Majelis Rakyat Papua (MRP)

3.2.1 Sejarah Pembentukan MRP

Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah sebuah lembaga di provinsi Papua,

yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Dalam

materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, secara eksplisit

Page 67: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

56

disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi

Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan

Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (Gubernur beserta

perangkatnya), dan Majelis Rakyat Papua (MRP).70

DPRP dan Pemerintah Provinsi sebagai Penyelenggara Pemerintah

Daerah.71

Sedangkan Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representatif kultural

orang asli Papua. Sebagai lembaga penyelenggara Pemerintah Daerah, DPRP

berwenang dalam melaksanakan fungsinya yang mencakup legislasi, budgeting

(penganggaran), dan pengawasan. Pemerintah provinsi berwenang dalam

melaksanakan fungsi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat serta

melaksanakan program pembangunan. Dalam struktur kepengurusan Majelis

Rakyat Papua mempunyai seorang Ketua Umum, Wakil-Wakil Ketua Umum dan

Seorang Sekretaris Jenderal yang terdiri atas wakil-wakil Adat, wakil-wakil

Agama, dan wakil-wakil Perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga

dari total anggota Majelis Rakyat Papua. Keanggotaan dan jumlah anggota

Majelis Rakyat Papua ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan Majelis

Rakyat Papua adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota Majelis Rakyat Papua

dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.72

70

Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan.

71 Lihat UU RI Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, BAB 1 Pasal 1 ayat

3 dan 4.

72 Lihat bagian keempat Majelis Rakyat Papua pasal 19, ayat 1,2, dan 3 dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Page 68: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

57

Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Majelis Rakyat Papua,

bahwa lembaga Majelis Rakyat Papua dibentuk untuk mengawal berjalannnya

otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Berikut ungkapannya :

“Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, mengatakan, telah

ada amanat UU No. 21 Tahun 2001 bahwa MRP sebagai lembaga kultur

tugasnya mengawal Otsus, yang dalam hal ini mengawal aturan

pelaksanaanya dan mengawal anggarannya. Hanya saja sampai sekarang

belum ada regulasi yang mengaturnya, yakni, Perdasus”.73

3.2.2 Landasan Terbentuknya MRP

Landasan hukum terbentuknya Lembaga Majelis Rakyat Papua adalah

seperti yang tercantum dalam beberapa Undang-Undang dan Peraturan lainnya,

diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua pada bagian keempat Majelis Rakyat Papua Pasal 19-25,

dan telah diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2008 tentang

Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

menjadi Undang-Undang.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2004 tentang

Majelis Rakyat Papua. Disinilah yang menjelaskan secara lebih mendetail

dan menyeluruh dari lembaga Majelis Rakyat Papua tersebut.

73

http://www.id.papua.us/2014/03/timotius-murib-tugas-majelis-rakyat.html yang diakses

pada 1 September 2015.

Page 69: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

58

3. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 3 Tahun 2008 Tentang

Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua.

4. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2008 Tentang

Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Majelis Rakyat Papua.

5. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010 Tentang

Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua.

3.2.3 Peran dan Kewenangan MRP

Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan institusi representasi kultural

orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan

hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat

dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup

beragama.

Melalui MRP sesungguhnya diharapkan hukum-hukum adat yang hidup

dalam masyarakat diakui keabsahannya sebagai hukum formal. Kedudukan

lembaga MRP tidak dijumpai di daerah lain, di mana dari sisi wewenang yang

dimiliki dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif dalam struktur parlemen

bikameral (sebagai majelis tinggi). Sebagai representasi masyarakat Papua,

Majelis Rakyat Papua memiliki wewenang yang besar, baik di dalam

pembentukan pemerintahan maupun penyelenggaraan pemerintahan. MRP inilah

yang akan menentukan bentuk konkrit kekhususan pemerintahan Papua.74

Ikhtiar awal dibentuknya MRP adalah dengan maksud sebagai inti paket

otonomi yang diberikan kepada propinsi Papua pada tahun 2001. Tetapi tak lama

74

Muchamad Ali Safa‘at , Artikel ; Problem Otonomi Khusus Papua, Hal 4-5.

Page 70: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

59

setelah Majelis ini terbentuk, ia langsung dihadapkan pada dua masalah besar,

yaitu lambatnya pembicaraan mengenai status hukum Irian Jaya Barat/IJB75

, dan

aksi kekerasan yang timbul dari aksi protes terhadap pertambangan raksasa

Freeport, sementara pemerintah Jakarta mengesampingkan setiap upaya mediasi.76

Untuk menghidupkan kembali usaha dialog yang sungguh-sungguh dan untuk

menyelamatkan institusi ini sebelum kebijakan otonomi gagal total, Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan MRP di Papua, dengan begitu

menunjukkan pentingnya MRP bagi pemerintah pusat. Sementara MRP juga

sebaiknya lebih fleksibel terhadap tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar dan

memberikan pilihan kebijakan yang realistis agar otonomi dapat berjalan dengan

baik.

Para pemimpin warga Papua telah membayangkan MRP sebagai sebuah

badan perwakilan para kepala suku Papua yang akan melindungi budaya, adat,

dan nilai-nilai Papua dalam menghadapi banjirnya pendatang dari luar Papua dan

dalam menghadapi eksploitasi sumber daya alam Papua. Sementara itu, para

politikus yang berbasis di Jakarta melihat MRP sebagai sebuah wadah

nasionalisme Papua dan karena itu mereka dengan sengaja membatasi

kekuasaannya serta menunda berdirinya MRP. Pada saat MRP berdiri, propinsi

Papua telah terbagi menjadi dua, sehingga banyak warga Papua yang kecewa

75

IJB (Irian Jaya Barat) merupakan sebuah propinsi baru yang dibentuk dari provinsi

Papua pada tahun 2003.

76 Jurnal International crisis group ; Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat Timbul

Jika Menghentikan Dialog, Edisi 23 Maret 2006, Hal. 1.

Page 71: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

60

dengan otsus dan mulai mempertanyakan bagaimana MRP dapat berfungsi dalam

kondisi seperti ini.77

Kekuasaan MRP sendiri seperti yang dimuat di Undang-undang adalah:

Memberikan pertimbangan dan persetujuan atas calon Gubernur dan wakil

Gubernur yang diajukan oleh DPRP; Memberikan pertimbangan dan persetujuan

atas calon anggota DPR RI, perwakilan regional untuk Provinsi Papua yang

diajukan oleh DPRD; Memberikan pertimbangan dan persetujuan atas rancangan

undang-undang dari Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) yang dibuat oleh DPRP

bersama dengan Gubernur; Memberikan nasihat, pertimbangan dan persetujuan

atas rencana kesepakatan kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah serta Pemerintah

Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua, khususnya yang

berhubungan dengan perlindungan hak Papua asli; Memperhatikan dan

menyampaikan aspirasi, keluhan komunitas adat, keagamaan, wanita dan publik

pada umumnya sehubungan dengan hak Papua asli, dan memfasilitasi kelanjutan

penyelesaiannya; dan Memberikan pertimbangan ke DPRP, Gubernur,

Kabupaten/Kota DPRP dan Bupati/Walikota dalam hal-hal sehubungan dengan

perlindungan hak Papua asli.78

a. Peran dan Fungsi MRP diantaranya sebagai berikut:

1. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur

dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRD. Kewenangan yang

77

Jurnal International crisis group ; Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat Timbul

Jika Menghentikan Dialog, Edisi 23 Maret 2006, Hal. 1.

78 Kekuasaan MRP bisa dilihat di: Peraturan Pemerintah no.54/2004 mengenai Komunitas

Parlemen Papua. Bisa dilihat di: www.papuaweb.org/goi/pp/2004-54-en.pdf, diakses pada 16

Oktober 2015.

Page 72: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

61

dimaksud hanya terbatas pada pertimbangan/konsultasi yang terkait

dengan masalah "keaslian" bakal calon gubernur sebagai orang Papua dan

"moral" dari pribadi yang bersangkutan.

2. Memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang

diajukan oleh DPRP bersama dengan Gubernur. Perdasus diadakan dalam

rangka pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang

dimaksud seperti Pasal 76 tentang "Pemekaran Provinsi menjadi provinsi-

provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah

memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya,

kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta

perkembangan di masa datang". Dengan demikian pemekaran wilayah

haruslah memperhitungkan faktor adat dan sosial budaya dari orang asli

Papua. Hak-hak itu antara lain, hak ulayat, hak dalam rangka perlindungan

dan pemberdayaan potensi sosial budaya sehingga pemekaran tidak

menyalahi kesatuan-kesatuan wilayah sosial-budaya dan adat, seperti yang

kita temui dalam UU No 45 Tahun 1999 yang asal membedah Papua

seperti membagi 'kue tar".

3. Memberi saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian

kerja sama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku

di Tanah Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak orang

asli Papua. Hak-hak itu adalah hak ulayat, hak persekutuan yang dimiliki

oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang

Page 73: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

62

merupakan lingkungan hidup para warganya, seperti hak untuk

memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya.

4. Menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat

beragama, dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak-lanjut

penyelesaiannya. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menciptakan Papua

yang damai sebagai perwujudan dari komitmen semua komponen

masyarakat di provinsi ini.

5. Memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota

dan bupati/walikota mengenai hal yang terkait dengan perlindungan hak-

hak orang asli Papua.

3.2.4 Struktur Kelembagaan MRP

Gambar 1. Struktur Kelembagaan MRP

Sumber : mrp.papua.go.id

Page 74: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

63

BAB IV

ANALISA PERBANDINGAN DINAMIKA KONFLIK PADA LEMBAGA

WALI NANGGROE DAN MAJLIS RAKYAT PAPUA DALAM

KONSTRUKSI OTONOMI KHUSUS

4.1 Analisa Perbandingan Peran, Wewenang, dan Dinamika Konflik LWN

dan MRP

Analisa peran, wewenang, dan dinamika konflik LWN dan MRP pada

pembahasan ini merupakan analisa dinamika konflik yang terjadi setelah otonomi

khusus berjalan. Kebijakan otonomi khusus diperoleh dari hasil win-win solution

antara Pemerintah Pusat RI dengan Daerah Aceh dan Papua. Sebelum ada

kesepakatan antara Pemerintah Pusat RI dengan Aceh dan Papua, di daerah

tersebut terlebih dahulu terjadi konflik pemberontakan yang berkepanjangan

dengan pemerintah pusat RI. Konflik yang berarti gejala sosial yang serba hadir

dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan

senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.79

Begitu pula apa yang terjadi antara Pemerintah Pusat RI dengan Aceh dan Papua.

Karena konflik yang ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara dua

kelompok, yaitu Pemerintah Pusat RI dengan Daerah Aceh dan Daerah Papua.

Reaksi atas konflik tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang

berujung pada kebijakan otonomi khusus untuk kedua daerah tersebut. Otonomi

khusus merupakan poin pokok dari desentralisasi daerah yang juga berarti sebagai

pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup Pemerintahan Pusat ke

79

Anton Van Harskamp (ed), Konflik-konflik dalam ilmu sosial, (Yogyakarta : Kanisius,

2009), Cet. 5, Hal. 161.

Page 75: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

64

Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan

pengotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat

dalam wilayah tertentu.80

Dalam hubungan dinamika politik pusat dan daerah, peranan dan fungsi

serta kewenangan kepala daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan

Pemerintahan Negara, Sudono Syueb menjelaskan dua fungsi pemerintahan,

diantaranya81

:

1. Sebagai kepala daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan

bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah.

2. Sebagai kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan

pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintahan Pusat di daerah.

Pemerintah Daerah didorong untuk menciptakan kebutuhan kesejahteraan

dalam kemakmuran serta berkeadilan yang melibatkan masyarakat, maka untuk

mewujudkan semua harapan itu dikembangkan konsep good governance

(kepemimpinan yang baik). Bachrul Elmi, memberikan penjelasan lebih lanjut

tentang governance bahwa kewenangan yang diamanatkan kepada pemerintahan

daerah, dilaksanakan untuk mengelola sumber daya sosial dan ekonomi dengan

tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.82

80

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: PT.Sinar

Grafika, 2008), Hal. 52.

81 Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan sampai

Era Reformasi, (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008), Hal. 58.

82 Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, (Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 2002), Hal. 7.

Page 76: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

65

Pada hakekatnya Pemerintahan Daerah melaksanakan asas desentralisasi

adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan pemerintahan

wajib dan pilihan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan

otonomi daerah adalah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang - undangan.

Pemerintah Daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturan-

peraturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma perintah

dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa konkrit serta

tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk keputusan untuk

menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan hukum adat.

Berbeda hal-nya jika peran dan wewenang dari LWN dan MRP, kedua

lembaga ini terbentuk dari UU Otsus yang telah diundangkan. Dan kedua lembaga

ini harus di implementasikan dalam sistem pemerintahan masing-masing daerah.

peran dan wewenang yang dimiliki kedua lembaga ini lebih kepada mengawal,

menjaga dan memberikan saran dan pertimbangan bagi Pemerintahan Daerah

dalam menjalankan roda pemerintahannya masing-masing.

4.1.1 Peran, Kewenangan, dan Dinamika Konflik dalam LWN

Analisa peran, wewenang, dan konflik ini berfokus pada dinamika konflik

dan masalah-masalah yang terjadi pada saat implementasi dan berjalannya LWN.

Qanun atau Undang-Undang LWN baru disahkan pada tahun 2012 dan

Page 77: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

66

perubahannya pada tahun 2013. Dan lembaga ini merupakan hasil undang-undang

Otonomi khusus. Otonomi khusus merupakan sebagai varian dari otonomi yang

menjadi bagian penting bagi perjalanan Indonesia karena kebijakan yang ada tidak

memberika kejelasan akan keberadaan suatu daerah dengan otonomi yang berbeda

dengan yang lain.

Lembaga Wali Nanggroe (LWN) merupakan kepemimpinan adat sebagai

pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina

dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat,

dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.83

Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga

pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali

Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Wali Nanggroe berhak

memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau

lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur

dengan Qanun Aceh. Ketentuan mengenai Lembaga Wali Nanggroe diatur

dengan Qanun Aceh.

Lembaga Wali Nanggroe juga diperbantukan oleh lembaga-lembaga adat,

lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di

bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas,

wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat

83

Dikutip dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh

Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum

Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 3.

Page 78: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

67

diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara

adat ditempuh melalui Lembaga Adat.

Lembaga - Lembaga Adat Aceh meliputi:84

1. Majelis Adat Aceh;

2. Imeum Mukim atau nama lain;

3. Imeum Chik atau nama lain;

4. Keuchik atau nama lain;

5. Tuha Peut atau nama lain;

6. Tuha Lapan atau nama lain;

7. Imeum Meunasah atau nama lain;

8. Keujreun Blang atau nama lain;

9. Panglima Laot atau nama lain;

10. Pawang Glee atau nama lain;

11. Peutua Peuneubok atau nama lain;

12. Haria Peukan atau nama lain; dan

13. Syahbanda atau nama lain.

Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan

perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-

nilai syari‘at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan ketentuan

adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh Lembaga Adat

dengan pertimbangan Wali Nanggroe.

84

Dikutip dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh

Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: (Aceh: Biro Hukum

Sekretariat Daerah Aceh, 2013), Hal. 5.

Page 79: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

68

Sejak awal isu mengenai rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe

(QLWN) tersebut sudah menimbulkan polemik dan kontroversi dikalangan

politisi, akademisi, maupun masyarakat sipil lainnya. Setidaknya hal ini bisa

dilihat dari kemunculan kelompok yang menamakan dirinya Gayo merdeka dan

masyarakat sipil yang menolak adanya QLWN.85

Gayo merdeka memandang

QLWN tersebut sangat diskriminatif. Terutama pada pasal wajib berbahasa Aceh

untuk menjadi Wali Nanggroe. Terkesan QLWN hanya menjadi kepentingan

tirani mayoritas suku di Aceh. Menurut kelompok ini QLWN perlu kiranya untuk

dievaluasi dan direvisi. Evaluasi antara lain adalah untuk mempertimbangkan dan

menghargai bahwa Aceh adalah satu kesatuan wilayah yang terdiri atas berbagai

suku bangsa yaitu Aceh, Gayo, Alas, singkil, Jamee, Kluet, Simeulue, Tamiang

dan suku lainnya. Sehingga klausul keturunan Aceh dalam QLWN perlu

diterjemahkan dan di perjelas untuk merepresentasikan seluruh suku yang ada di

Aceh.

Lembaga Wali Nanggroe ini juga menjadi permasalahan dikalangan

akademisi.86

Alasannya kurang lebih sama seperti yang dikemukakan oleh

kelompok Gayo merdeka. Ada yang beranggapan bahwa cara berpikir tim

pembuat QLWN tidak menjadikan kajian sensitif konflik berbasiskan stabilitas

sosial, politik dan keamanan dalam penyusunan QLWN. Logika berpikirnya,

jikalau memperhatikan hal tersebut sudah bisa dipastikan letupan reaksioner

85

http://www.acehtraffic.com/2012/11/massa-di-takengon-dan-bener-meriah.html,

diakses pada 15 November 2015.

86 http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses pada

15 November 2015.

Page 80: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

69

publik tidak terjadi, walaupun tidak signifikan namun mampu memperbesar

gerakan penolakan QLWN yang mengganggu stabilitas sosial, politik, dan

keamanan di Aceh. Menurut QLWN memang harus dibentuk jika berpatokan pada

kesepakatan dalam MoU Helsinki dan amanah dalam UUPA. Karena mandat dari

lembaga Wali Nanggroe harus memperhatikan dan mengakomodir keinginan

masyarakta lintas suku yang berada di Aceh, sehingga tidak terganggunya

stabilitas sosial, politik dan keamanan.87

Menyangkut tuntutan dari kelompok Gayo Merdeka mengenai

diskriminasi terhadap bahasa lain yang berkembang di Aceh selain bahasa Aceh,

DPRA telah memberi penjelasan dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (20) Qanun

Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe bahwa bahasa Aceh adalah

bahasa-bahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Namun

protes dan nada tidak setuju masih terus bergulir dari beberapa kelompok dan

berkembang kepada isu-isu disentregasi lama, yaitu isu pemekaran Provinsi Aceh

Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS).88

Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang beralamat dijalan pelangi

No. 42 Kampung Keuramat - Banda Aceh. Yayasan tersebut telah mengajukan

permohonan kepada presiden Republik Indonesia untuk membatalkan qanun Aceh

Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, menurut Safaruddin

selaku ketua YARA, setelah dicermati qanun tersebut secara formil bertentangan

87

http://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/masyarakat-aceh-tak-butuh-bendera-dan-wali-

nanggroe, diakses pada 15 November 2015

88 http://aceh.tribunnews.com/2013/05/29/bem-se-aceh-tenggara-tuntut-pemekaran-

provinsi-ala, diakses pada 15 November 2015.

Page 81: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

70

dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-

undangan. Sedangkan secara materil qanun tersebut telah bertentangan dengan

berbagai aturan perundangan yang lebih tinggi dan memposisikan Lembaga Wali

Nanggroe menyimpang dari pasal 96 undang-undang (UU) nomor 11 tahun 2006

tentang pemerintahan Aceh.89

Keberadaaan Lembaga Wali Nanggroe telah di amanatkan dalam pasal 96

dan 97 UU Nomor 11 tahun 2006 sebagai lembaga kepemimpinan adat dan bukan

sebagai jabatan politik, namun dalam pengaturannya QLWN memberikan

kewenangan kepada Wali Nanggroe untuk turut campur tangan dalam urusan

kebijakan dan politik.

Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan disebutkan bahwa setiap aturan hukum yang lebih tinggi (lex

superior derogate legi inferior). Yang mengandung makna: 1) aturan yang lebih

rendah merupakan pelaksanaan dari aturan yang lebih tinggi, 2) aturan yang lebih

rendah tidak dapat mengubah subtansi dari aturan yang lebih tinggi; 3) aturan

yang lebih rendah tidak menambah, mengurangi, dan tidak menyisipi suatu

ketentuan baru; dan 4) aturan yang lebih rendah tidak memodifikasikan subtansi

dan pengertian yang telah ada dalam aturan induknya.

Melihat pengaturan Wali Nanggroe didalam QLWN, maka posisi Wali

Nanggroe dalam struktur pemerintahan Aceh akan sejajar dengan Gubernur dan

DPRA, atau bahkan bisa setingkat lebih tinggi diatas gubernur dan DPRA. Hal ini

89

http://www.ajnn.net/2015/10/isu-pembubaran-lembaga-wali-nanggroe-kembali-

mencuat/, diakses pada 15 November 2015.

Page 82: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

71

terjadi karena Wali Nanggroe berperan dalam memberikan pandangan dan

pendapatnya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur dan DPRA.

Dalam tubuh Lembaga Wali Nanggroe juga memiliki satuan kerja yang hampir

mirip dengan yang sudah ada pada struktur pemerintahan formal di provinsi Aceh

seperti majelis pendidikan Aceh, Majelis pertambangan dan Energi. Majelis hutan

Aceh dan lain sebagainya.

Intinya, hingga saat ini permasalahan yang muncul dari QLWN telah

mendapat respon dari berbagai kelompok yang merepresentasikan suku tertentu.

Dan setelah kita analisa dinamika konflik yang terjadi didalam masyarakat terkait

perjalanan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe, maka sangat rentan dengan

konflik yang ditimbulkan, baik itu konflik antarsuku, konflik antar agama, konflik

antar elit politik, konflik tumpang tindih kewenangan antara Majelis Adat Aceh

(MAA) dan Lembaga Wali Nanggroe (LWN).

4.1.2 Peran, Kewenangan, dan Dinamika Konflik dalam MRP

Pada prinsip pembentukannya MRP memiliki peranan yang cukup

strategis dalam rangka memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua

dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,

pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Aktifitas

sosial politik MRP memiliki aspek pemerintahan dan kultural sebagai lembaga

representatif yang dibentuk untuk mengangkat dan mengaspirasikan kepentingan

masyarakat Papua dengan semangat Otonomi Khusus yang secara khusus

memiliki kewenangan untuk mengontrol dan mengawasi jalannya otonomi khusus

Page 83: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

72

propinsi Papua.90

Selain itu keberadaannya untuk mengaspirasikan kondisi riil

yang terjadi di kalangan masyarakat Papua dalam implementasi otonomi khusus

mengusul dan menyampaikan keluhan masyarakat Papua kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur untuk selanjutnya dibahas dan

dijadikan dasar untuk diambil kebijakan.

Pada awal pendiriannya MRP sempat mendapatkan tantangan dan

persoalan yang dihadapinya. Menurut laporan dari Crisis Grup,91

MRP berhasil

memainkan peranannya dalam melakukan Mediasi bersama tokoh-tokoh Papua

untuk mengurangi ketegangan atas konflik yang terjadi terutama pada saat aksi-

aksi demonstrasi yang dipimpin para mahasiswa Papua baik yang di Papua, Jawa

maupun Sulawesi yang menuntut ditutupnya pertambangan Freeport di Timika

dan ditariknya pasukan TNI disana, mencapai puncaknya pada tanggal 16 Maret

2003 di Abepura, ketika terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan

keamanan yang mengakibatkan empat anggota Polri dan seorang anggota TNI-AU

tewas, serta mengakibatkan beberapa warga sipil luka parah. Pencarian pelaku

oleh polisi selanjutnya dilakukan secara keras sehingga menciptakan suasana

tegang.

Secara normatif, inti dari pelaksanaan Otonomi khusus adalah

pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ini pada dasarnya untuk merangkul

90

Agus A. Alua, Seri Pendidikan Politik Papua No. 4 Kongres Papua 2000, 21 Mei – 04

Juni, Marilah Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, (Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan

Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2002), Hal. 13.

91 Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog, Crisis

Group Asia Briefing vol. 47, 23 Maret 2006, Hal. 1.

Page 84: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

73

rakyat asli Papua, pria dan wanita dari masyarakat adat dan institusi keagamaan.

Undang-undang memberikan MRP kekuasaan yang luas seperti kuasa untuk

menimbang dan menyetujui calon Gubernur. Menurut amanah Undang-Undang,

MRP seharusnya dibentuk 2 tahun setelah pelaksanaan otonomi khusus

diberlakukan tetapi Pemerintah Pusat takut akan potensi kekuatannya, sehingga

menunda pembuatan peraturan pemerintah mengenai pembentukan MRP hingga

hampir 4 tahun. Penundaan ini secara efektif menahan proses politik dan hukum

mengenai implementasi otonomi khusus, yang perlu disahkan oleh MRP.

Dibandingkan dengan apa yang diantisipasi dengan adanya otonomi khusus,

peraturan yang pada akhirnya membentuk MRP memberikan badan tersebut

kekuasaan yang terbatas. Ia berfungsi hanya sebagai badan budaya non-politik

dengan kekuasaan dan sumber daya yang terbatas untuk melindungi kepentingan

rakyat Papua asli.92

Melihat kenyataan itu, badan penelitian milik pemerintah, LIPI melakukan

studi soal dinamikan konflik politik di Papua dan menghasilkan proposal yang

detil diberi nama – Road Map Papua – untuk proses dialog yang dipimpin oleh

pemerintah dan bila memungkinkan difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.

Road Map tersebut mengidentifikasi 4 akar penyebab konflik:93

Pertama,

Marjinalisasi orang asli Papua, terutama dalam hal ekonomi, sebagai efek migrasi;

92

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian

Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan

Poso, Juni 2011, Hal 37.

93 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian

Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan

Poso, Juni 2011, Hal 39.

Page 85: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

74

Kedua, Kegagalan program pembangunan di Papua untuk mengatasi marjinalisasi

ekonomi; Ketiga, Perbedaan pemahaman yang mendasar terhadap sejarah antara

Jakarta dan Papua; Keempat, Warisan kekerasan yang dilakukan oleh Negara

terhadap masyarakat Papua. Atas analisa tersebut, LIPI menyarankan pendekatan

―Papua Baru‖ melalui kebijakan peneguhan yang memberi kekuasaan kepada

rakyat Papua.

Konflik yang kemudian muncul adalah Dewan Adat Papua (DAP)

menolak adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sehingga menimbulkan konflik

kepentingan antar elit suku di Papua.

Jalan dialog secara kultural antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Papua serta representasi dari masyarakat Papua terus dibahas dalam proses

konsultasi publik masyarakat sipil. Kelompok – kelompok yang berasal dari

berbagai pihak politik menyadari perlunya kesatuan dan walaupun ada perbedaan

pendekatan. Ide dialog antara Pemerintah Pusat dan Papua telah menarik

perhatian. Pada Juni 2010, MRP membuat 11 rekomendasi, 2 di antaranya yang

paling penting adalah mengembalikan Undang-undang Otonomi Khusus ke

Jakarta dan meminta Jakarta untuk mengadakan dialog dengan rakyat Papua asli.94

94

Rekomendasi MRP lainnya adalah: pelaksanaan referendum yang bertujuan untuk

kemerdekaan politik; PI mengakui pengembalian kekuasaan Rakyat Papua Barat yang

diproklamasikan pada 1 Desember 1961; mendesak komunitas internasional untuk melakukan

penutupan terhadap dana internasional yang diberikan untuk implementasi Undang-undang

Otonomi Khusus; tidak perlu revisi atas UU 21/2001 mengenai Otonomi Khusus; menghentikan

proses pemilihan kepala kabupaten di Papua; menghentikan transmigrasi dan melaksanakan

pengawasan yang ketat atas arus migrasi ke Papua; mendesak pelepasan semua tahanan poliotik

Papua di penjara di manapun di Indonesia. Lihat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current

Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah

Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Juni 2011, Hal 41.

Page 86: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

75

4.2 Analisa Perbandingan Persaingan Politik Antar Elit Tokoh dalam Media

Pembentukan sebuah institusi yang bekerja dalam interaksi dan persaingan

politik ditinjau dari kepentingan antar aktor akan sangat berpotensi untuk

menimbulkan konflik antar suku, atau pun beberapa aktor dengan aktor lainnya.

Selain konflik, kerjasama pun sering kali berlangsung antar aktor apalagi

pembentukan lembaga atau institusi akan menghasilan kesepakatan dalam

keputusan akhirnya.

Keterbukaan politik yang drastis pasca otonomi khusus telah membawa

implikasi pada perubahan pola policy making process. Era keterbukaan politik

telah menghasilkan kesepakatan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe (LWN)

dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Akan tetapi era keterbukaan melahirkan

persaingan politik dalam pembentukannya antara elit tokoh LWN dan MRP.

Munculnya persaingan politik pembentukan LWN dan MRP disebabkan oleh

adanya perbedaan pemahaman, kepentingan, dan tujuan.

Salah satu cara melihat terjadinya persaingan politik adalah melalui

wacana media massa. media massa menjadi arena persaingan politik dan

pembentukan opini publik yang sehat, interaksi gagasan antar elemen masyarakat

sipil ditingkat lokal dan nasional, serta berkemampuan memelihara tatanan

budaya yang berlandaskan nilai moral dan agama. Secara umum peran media

adalah sebagai sarana penyedia informasi politik, pendidikan politik dan kontrol

politik. Untuk itu media harus menyediakan informasi politik yang benar,

memproduksi wacana politik yang mencerdaskan dan mengontrol proses politik

agar berjalan sesuai dengan peraturan.

Page 87: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

76

Media cetak maupun elektronik, memiliki potensi strategis untuk

memberikan pengertian, membangkitkan kesadaran, mengubah sikap, pendapat

dan perilaku masyarakat. Media massa yang dapat menyebarkan informasi dengan

cepat diharapkan dapat menjadi alat kontrol sosial yang konstruktif dan efektif.

4.2.1 Persaingan Politik Antar Elit Tokoh dalam Media pada LWN

Mendukung Menolak

Pada pembentukan LWN ini terdapat aktor-aktor yang pro dan kontra.

Klasifikasi pro-kontra melalui tracking media massa, yaitu : Elemen-elemen atau

lembaga yang menolak adanya pembentukan LWN ataupun menolak adanya Wali

Nanggroe yang memimpin LWN diantaranya LSM, Masyarakat, Organisasi

Kemahasiswaan, dan Akademisi.95

LSM, Masyarakat, dan Organisasi Kemahasiswaan berpendapat bahwa

adanya LWN tidak memenuhi asas keadilan, karena hanya menguntungkan pihak

atau kelompok tertentu saja. Ada point dalam Qanun LWN yang tidak jelas, yaitu

terletak pada BAB V pasal 69 Butir C yang menyebutkan bahwa seorang Wali

Nanggroe harus bisa berbahasa Aceh fasih dan baik yang artinya kemungkinan

untuk suku lain di Aceh tidak bisa menjadi Wali Nanggroe. Hal tersebut dinilai

95

http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses pada

15 November 2015.

LSM, Masyarakat,

Organisasi

Kemahasiswaan,

Akademisi.

DPR Aceh LWN

Page 88: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

77

tidak mencerminkan representatif keberagaman Aceh. Selain itu pembentukan

LWN dan pemilihan Wali Nanggroe menurut mereka dilakukan dengan

terselubung, sehingga melanggar asas demokrasi.

Dalam hal ini para akademisi berpendapat bahwa penerapan LWN

cenderung adanya diskriminasi terhadap suku diantaranya Suku Gayo, Alas, dan

Singkil. Selain itu juga mengindikasikan adanya pelanggaran HAM, bertentangan

dengan pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Disisi lain pihak yang pro atau mendukung adanya LWN salah satu

diantaranya adalah DPR Aceh yang melihat dalam hal tujuan dan fungsi LWN,

yang mengatakan bahwa adanya pihak-pihak yang menolak atau kontra terhadap

LWN dikarenakan pihak-pihak tersebut kurang memahami akan tujuan di

bentuknya LWN itu sendiri yang justru bermanfaat untuk mengatur masyarakat

Aceh.

4.2.2 Persaingan Politik Antar Elit Tokoh dalam Media pada MRP

Mendukung Menolak

DPR Papua mendukung dibentuknya MRP dikarenakan kehadiran MRP

merupakan manifestasi amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang tertuang pada bab V pasal 5, ayat 2

yang menyatakan bahwa :

”Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua

dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural

Dewan Adat Papua

(DAP), Masyarakat,

dan Mahasiswa

DPR Papua MRP

Page 89: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

78

orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka

perlindungan hak-hak orang asli Papua,dengan berlandaskan pada

penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan

pemantapan kerukunan hidup beragama”.

Sedangkan Dewan Adat Papua (DAP), Masyarakat, dan Mahasiswa

menolak dibentuknya MRP bahkan hingga kini pihak-pihak tersebut

menginginkan MRP untuk di bubarkan. Beberapa alasan penolakan diantaranya

MRP dinilai belum mampu berfungsi lembaga protektor Orang Asli Papua baik

sebagai Anak Adat, Budaya dan Gereja/Tuhan. Misalnya, secara konkret dalam

kasus penembakan 5 siswa di Paniai, penembakan beberapa aktivitis di

Yahukimo, dan pembakaran Mushola di Tolikara yang mana urgensinya

sebenarnya ada pada manusia yang ditembak, bukan Mushola yang heboh di

seantero Indonesia. Ketika peristiwa itu terjadi seakan-akan MRP hanya berdiam

diri tanpa berbuat sesuatu yang tegas dan berarti.

Selain itu Majelis Rakyat Papua dibentuk hanya untuk kepentingan elit

politik (Politik Praktis). Dalam hal ini nampak jelas ketika segala macam

keputusan dan kebijakan yang akan dilahirkan MRP lebih cenderung terfokus

(didominasi) kebijakan yang semat-mata berhubungan dengan jabatan di

pemerintahan dan politik.96

Tugas dan fungsi MRP berbenturan dengan fungsi

Dewan Adat Papua (DAP), serta Lembaga Masyarakat Adat lainnya. Kehadiran

lembaga ini seakan-akan menjadi lembaga tandingan Dewan Adat Papua (DAP)

yang mana lebih diakui masyarakat asli Papua dan merupakan lembaga adat dan

96

http://mrp.papua.go.id/mrp-kpu-dan-parpol-wajib-laksanakan/, diakses pada 15

November 2015.

Page 90: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

79

pemerintahan non formal yang terstruktur dan telah lama dihargai dan dihormati

oleh segenap lapisan Masyarakat Asli Papua.

Page 91: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

80

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dalam kesimpulannya, maka desentralisasi asimetris merupakan otonomi

khusus yang mengatur adanya keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan

Mejelis Rakyat Papua (MRP). Hal ini merupakan manifestasi dari kebijakan

otonomi khusus yang menggambarkan kekhususan bagi daerah Aceh dan daerah

Papua pada dimensi kelembagaan. Karena dilihat dari dimensi kekhususan

otonomi khusus terdapat tiga dimensi, yaitu dimensi peristilahan, dimensi

kelembagaan, dan dimensi keuangan daerah.

Kemudian terdapat persamaan antara LWN dan MRP, antara lain :

1. Kedua lembaga tersebut sama-sama memperoleh kewenangan atributif,

kewenangan atributif adalah kewenangan yang diperoleh dari peraturan

undang-undang seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah

Aceh pada BAB XII tentang Lembaga Wali Nanggroe pasal 96-97. Dan

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua pada bagian keempat Majelis Rakyat Papua Pasal 19-25,

dan telah diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2008 tentang

Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

menjadi Undang-Undang.

Page 92: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

81

2. Kedudukan Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat Papua dalam

konstruksi undang-undang otonomi khusus bukan merupakan lembaga

legistlatif dan eksekutif. Melainkan sebagai lembaga representrasi kultural

yang didasarkan pada pilar adat, agama dan budaya. Akan tetapi dalam

praktek penyelenggaraan pemerintahan kedua lembaga tersebut memiliki

keterkaitan fungsional dengan badan legislatif dan eksekutif terutama

dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak dasar orang asli Aceh dan

orang asli Papua.

3. Dalam menjalankan peran dan fungsinya kedudukan LWN dan MRP

cenderung terbatas pada aspek pengawasan dan perwakilan, namun tidak

memiliki fungsi legeslasi yang nyata. Lembaga Wali Nanggroe hanya

mempunyai fungsi memberikan usulan dan pertimbangan dalam membuat

peraturan atau qanun Aceh, sedangkan Majelis Rakyat Papua hanya

berfungsi memberikan pertimbangan dan mengesahkan produk-produk

hukum yang berlaku di daerah Papua melalui perdasus. Sebagai

konsekuensinya dari kedudakan hukum yang ambivalen (legislatif dan

eksekutif) itu, maka produk hukum Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis

Rakyat Papua cenderung tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat (final and binding).

Sedangkan perbedaan dari kedua lembaga tersebut adalah, pertama,

Majelis Rakyat Papua mempunyai kewenangan lebih luas dibanding Lembaga

Wali Nanggroe, karena Lembaga Wali Nanggroe hanya berfungsi pada

memberikan usulan dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah dan Dewan

Page 93: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

82

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sementara Majelis Rakyat Papua berfungsi

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Pemerintah Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Kedua, Kalau dilihat dari segi budaya,

Lembaga Wali Nanggroe lebih melindungi dan menjaga masyarakat yang

homogen karena kebanyakan masyarakatnya Islam. Sedangkan Majelis Rakyat

Papua melindungi dan menjaga masyarakat yang cenderung heterogen karena

terdapat banyak etnis suku dan agama di Papua.

5.2 Saran – Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka otonomi khusus untuk daerah Aceh

dan Papua merupakan hasil dari konsensus bersama antara pemerintah pusat dan

daerah dalam menyelesaikan konflik akibat kesenjangan ekonomi dan politik.

Sehingga melahirkan Undang-Undang Otonomi Khusus dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah

Aceh. Dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua dan telah diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2008

tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi

Undang-Undang. Sebagai daerah yang mempunyai kekhususan, maka kedua

daerah tersebut mempunyai wewenang yang luas dalam mengatur dan

menjalankan pemerintahan daerannya masing-masing tanpa harus melampaui

kewenangan Pemerintahan Pusat.

Saran dari penulis untuk Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Rakyat

Papua adalah harus diberikan ruang gerak yang luas dalam membuat dan

Page 94: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

83

menetapkan peraturan yang berkaitan dengan budaya atau adat – istiadat daerah

masing-masing. Dan harus ada legislasi nyata bukan hanya sekedar memberikan

saran, pertimbangan dan lain-lain. Itupun harus dilihat juga apakah kedua lembaga

ini sudah berkerja sesuai peran dan fungsinya?. Apabila sudah, maka dapat

dipertimbangkan aspek fungsi legislasi dapat dikerjakan bersama – sama Pemda,

DPR Aceh dan DPR Papua bersama LWN dan MRP bukan hanya sebatas

perwakilan, memberikan saran dan pertimbangan.

Page 95: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

84

DAFTAR PUSTAKA

Nari, Markus, Dinamika Sosial dan Pemekaran Daerah, Jogyakarta: Penerbit

Ombak, 2010.

Bhakti, Ikrar Nusa, “Akankah Fajar Kemerdekaan Papua Merekah di Ufuk Timur

(sebuah pengantar)” dalam buku Mengapa Papua Ingin Merdeka,

Jayapura: Presidium Dewan Papua, 2002.

Raweyai, Yorrys Th, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Jayapura: Presidium

Dewan Papua, 2002.

Samule, Agus, Satu Setengah Tahun Otsus Papua; Refleksi dan Prospek, Papua:

Yayasan ToPanG, 2003.

Wally, Ramses, Momentum Reformasi Politik dan Ekonomi Di Tanah Papua;

Refleksi Pasca Implementasi Otsus dan Impres No.5 Tahun 2007, Jakarta

Barat: Cipro Media, 2008.

Piliang, Indra Jaya, Bouraq-Singa kontra Garuda; Pengaruh Sistem Lambang

dalam Separatis GAM terhadap RI, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010.

M. Setiadi, Elly, Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2011.

Lawang, Robert, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Jakarta: Universitas

Terbuka, 1994.

Hidayat, Syarif, “Desentralisasi dalam Perspektif State-Society Relation:

Rekonstruksi Konsep dan Pendekatan Kebijakan”, dalam Tim LIPI,

Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2006.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2008.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah ,Pasang Surut Hubungan Kewenangan

antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: PT Alumni, 2004.

Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: PT.Sinar

Grafika, 2008.

Muluk, Khairul, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayumedia

Publishing, 2005.

Page 96: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

85

Fauzi, Noer dan Zakaria, R.Yando, Mensiasati Otonomi Daerah, Yogyakarta :

Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”,

2000.

Van Harskamp (ed), Anton, Konflik-konflik dalam ilmu sosial, Cet. 5, Yogyakarta

: Kanisius, 2009.

Raho, Bernard, SVD, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007.

Hendropuspito, Sosiologi Sistematika, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1995.

Litvack, Jennie, Junaid Ahmad dan Richard Bird, Rethinking Decentralization in

Developing Countries, Washington, D.C. The World Bank, 1998.

Cheema, G. Shabbir, dan Dennis A. Rondinelli, “From Government

Decentralization to Decentralized Governance”, G. Shabbir Cheema dan

Dennis A. Rondinelli (eds.), Decentralizing Governance: Emerging

Concepts and Practices, Washington D.C.: Brooking Institution Press,

2007.

Rondinelli, Dennis, Decentralizing Urban Development Programs: A Framework

for Analyzing Policy, Washington, D.C.: USAID, Office of Housing and

Urban Programs, 1990.

Treisman, D., Decentralization and The Quality of Government, Los Angeles:

University of California, 2000.

Mawhood, P., (ed.), Local Government in The Third World: The Experience of

Tropical Africa, Chicheser: John Wiley & Sons, 1987.

Smith, Brian C., Decentralization: The Territorial Dimension of The State,

London: G. Allen & Unwin, 1985.

Robertson, David, A Dictionary of Modern Politics, 2nd

Edition, Rochester, Kent:

Europa Publications, 1993.

Rondinelli, Dennis A., Development Projects as Policy Experiments, London:

Routledge, 1993..

Syueb, Sudono, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan

sampai Era Reformasi, Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008.

Page 97: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

86

Elmi, Bachrul, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 2002.

Muslimin, Amrah, Aspek – Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni,

1986.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II, terj. Robert

M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Brouwer, J.G., dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen:

Ars Aeguilibri, 1998..

SH, Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Kata Hasta

Pustaka, 2005.

Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Sawitri, Isma, Amran Zamzami, B. Wiwoho, Simak dan Selamatkan Aceh,

Jakarta: Panitia Peduli Aceh, 1999.

Hasan, Sp. OG, Dr. Husaini M., Dari Rimba Aceh ke Stockholm; Catatan Dr.

Husaini M. Hasan ketika bersama Dr. Tengku Hasan M. di Tiro

(Proklamator Aceh Merdeka), Jakarta: Batavia Publishing, 2015.

Sujatno, Adi, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan ke Arah

Kepemerintahan yang Baik (Good Goverment ), Jakart: Team 4 AS, 2009.

Alua, Agus A., Seri Pendidikan Politik Papua No. 4 Kongres Papua 2000, 21 Mei

– 04 Juni, Marilah Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, Jayapura:

Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar

Timur, 2002.

The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford University Press, 1982.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2005.

Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11

Th.2006). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Buku Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan

Keempatbelas, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 2015.

Page 98: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

87

Jurnal, Artikel dan Makalah

Conyers, Diana, “Decentralization and Development: A Review of the

Literature”, dalam Public Administration and Development, Vol. 4, Issue

2, 1984.

Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih

dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung:

Universitas Parahyangan, 2000.

Rondinelli, Dennis A, “Government Decentralization in Comparative

Perspective: Theory and Practice in Developing Countries,” dalam

International Review of Administrative Sciences, Vol. 47, No. 2, 1981.

Rondinelli, Dennis A, John R. Nellis dan G. Shabbir Cheema, Decentralization in

Developing Countries: A Review of Recent Experience, World Bank Staff

Working Paper No. 581, Management and Development Series No. 8,

Washington, D.C.: World Bank, 1983.

Rondinelli, Dennis A, James S. McCullough dan Ronald W. Johnson, “Analysing

Decentralization Policies in Developing Countries: A Political-Economy

Framework”, dalam Development and Change, Vol. 20, No. 1, 1989.

Bollens, Prof Scott A., “Regional and Local Authonomy in Transitioning

Societies”, dalam International IDEA, “Continuing Dialogue towards

Constitutional Reform in Indonesia”, Jakarta, International IDEA, 2001.

Hadjon, Philipus M, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegheid),

dalam Pro Justitia , Majalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Katholik

Parahyangan , Bandung, No.1 Tahun XVI.

Kantaprawira, Rusadi, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Yogyakarta:Universitas

Islam Indonesia, 1998.

Hadjon, Philipus M, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga:

Surabaya, tanpa tahun.

Muttaqin, Azmi, dalam Makalah Penelitian Otonomi Khusus Papua Sebuah

Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua.

Schneider, A, “Decentralization: Conceptualization and Measurement”, dalam

Studies in Comparative International Development, Vol. 38, No. 3, 2003.

Safa’at, Muchamad Ali, Artikel ; Problem Otonomi Khusus Papua.

Page 99: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

88

Jurnal International crisis group ; Update Briefing, Papua: Bahaya yang Dapat

Timbul Jika Menghentikan Dialog, Edisi 23 Maret 2006.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for

Humanitarian Dialogue, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah

Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Juni 2011.

Jurnal International Encyclopaedia of The Social Sciences, Vol. 3.

Jurnal Hukum Internasional Vol. 4 No. 2 Januari, 2007.

Sumber Undang – Undang dan Peraturan Pusat atau Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenagan Pemerintah dan

Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis

Rakyat Papua.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah

Aceh.

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Majelis Rakyat Papua.

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Kedudukan Protokoler Pimpinan dan Anggota Majelis Rakyat Papua.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan

peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2008

tentang perubahan atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang

otonomi khusus bagi provinsi papua menjadi undang-undang.

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pemilihan

Anggota Majelis Rakyat Papua.

Page 100: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

89

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 8

Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Diperbanyak oleh: Aceh:

Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, 2013.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

Sumber Internet

Litvack, Jenny, dan Jessica Sheldon (eds.), “Decentralization: Briefing Note”,

World Bank Institute, 2005, Hal. 1, dalam

http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, diakses

15 Januari 2015.

Hofman, Bert, “Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure

Review”, World Bank Regional Public Expenditure Review Overiew

Report No. 26191-IND, The World Bank East Asia Poverty Reduction and

Economic Management Unit (June 2003), Hal. 2, dalam

http://www1.worldbank.org/publicsector/LearningProgram/Decentralizati

on/Hofman.pdf, diakses 13 Januari 2015.

M. Ryaas Rasyid,“The Policy of Decentralization in Indonesia”,

http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Decentralization/Presentation1.p

df, diakses 15 Januari 2015.

Nama-nama Wali Nanggroe, dikutip dalam http://iskandarnorman.blogspot.com

diakses 1 September 2015

Jejak Wali Nanggroe dalam situs www.atjehlink.com/Mengintip jejak Wali

Nanggroe di Aceh. Diakses 1 September 2015

Peran dan Tugas Majelis Papua dalam berita

http://www.id.papua.us/2014/03/timotius-murib-tugas-majelis-rakyat.html

diakses 1 September 2015.

Kekuasaan MRP bisa dilihat di: Peraturan Pemerintah no.54/2004 mengenai

Komunitas Parlemen Papua. Bisa dilihat di:

www.papuaweb.org/goi/pp/2004-54-en.pdf, diakses 16 Oktober 2015.

http://www.id.papua.us/2014/03/timotius-murib-tugas-majelis-rakyat.html, yang

diakses pada 1 September 2015.

Page 101: Oleh: Amizar Isma 109033200035 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40913/2/AMIZAR... · dalam hal ini mengenai sejarah pembentukan, perbedaan

90

http://www.acehtraffic.com/2012/11/massa-di-takengon-dan-bener-meriah.html,

diakses pada 15 November 2015.

http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses

pada 15 November 2015.

http://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/masyarakat-aceh-tak-butuh-bendera-dan-

wali-nanggroe, diakses pada 15 November 2015

http://aceh.tribunnews.com/2013/05/29/bem-se-aceh-tenggara-tuntut-pemekaran-

provinsi-ala, diakses pada 15 November 2015.

http://www.ajnn.net/2015/10/isu-pembubaran-lembaga-wali-nanggroe-kembali-

mencuat/, diakses pada 15 November 2015.

http://www.harianaceh.co/read/2011/01/06/6744/qanun-wali-nanggroe-2, diakses

pada 15 November 2015.

http://mrp.papua.go.id/mrp-kpu-dan-parpol-wajib-laksanakan/, diakses pada 15

November 2015.