repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS...

74
AL-SAM‘ MENURUT AL-GHAZÂLÎ (Ditinjau dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1) Oleh Enjis Saputra NIM : 109033100041 PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAH FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M.

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS...

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

AL-SAM‘ MENURUT AL-GHAZÂLÎ

(Ditinjau dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh

Gelar Sarjana Strata 1 (S-1)

Oleh

Enjis Saputra

NIM : 109033100041

PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAH

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H./2017 M.

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul AL-SAMÂʻ MENURUT AL-GHÂZÂLI DITINJAU

DARI ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI, telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2017. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag.) pada

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Jakarta, 30 Oktober 2017

Sidang Munaqasyah;

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Tien Rohmatin, M.A. Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A. NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 197804242015031001

Anggota;

Penguji 1, Penguji 2,

Hanafi, M.A. Dr. ArrazyHasyim, M.A. NIP: 19691216 199603 100 2

Pembimbing;

Nanang Tahqiq, M.A. NIP: 19660201 199103 1 001

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

f = ف a = ا

ق b = ب = q

k = ك t = ت

l = ل ts = ث

م j = ج = m

n = ن ḥ = ح

w = و kh = خ

h = ه d = د

’ = ء dz = ذ

ى r = ر = y

z = ز

s Untuk Madd dan Diftong = س

آ sy = ش = â

إى sh = ص = î

و أ dl = ض = û

و أ th = ط = aw

ay = أى zh = ظ

‘ = ع

gh = غ

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vi

ABSTRAK

Enjis Saputra

Al-Samâ‘ Menurut al-Ghazâlî (Ditinjau dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan

Aksiologi)

Al-Ghazâlî mendefinisikan al-samâ‘ sebagai nyanyian religius yang dapat

menggerakkan dan membangkitkan hati. Nyanyian menurutnya adalah suara yang

merdu dan suara yang merdu itu terbagi menjadi dua, yaitu suara merdu yang

dapat dipahami seperti syair (puisi atau lirik) yang keluar dari pita suara manusia.

Suara yang tidak dapat dipahami seperti suara yang keluar dari pita suara hewan

seperti kicau burung dan lain-lain, termasuk suara benda keras yaitu alat musik.

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud al-samâ‘ dalam penelitian ini adalah

aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian (syair-syair) dengan musik atau

tanpa alat musik yang bercorak religius sebagai upaya penyucian jiwa.

Secara ontologis al-Ghazâlî menjelaskan bahwa al-samâ‘ ialah nyanyian

yang dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.

Ia memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material,

tetapi juga memunyai fungsi spiritual.

Secara epistemologi al-samâ‘ialah bentuk al-samâ‘, baik sebagai notasi

maupun nyanyian, tidak hanya terdapat pesan-pesan tentang keindahan, tetapi

juga menyimpan pesan tentang kecintaan kepada Tuhan. Inilah yang membedakan

dari seni musik lainnya, yang hanya menyimpan makna keindahan semata.

Secara aksiologis al-samâ‘ menyimpan makna-makna tersirat tentang

kerinduan kepada Tuhan. Makna tersebut nanti yang akan dipahami dan

menggoncangkan hati pendengar hingga sampai pada titik musyâhadah dan

mukâsyafah.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vii

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang amat sangat mendalam, penulis serahkan jiwa dan raga ini

kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada

penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam

senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muḥammad saw beserta keluarganya,

para sahabat serta para pengikutnya yang telah menyebarluaskan warisan

kenabian dan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas

pengharaman ahli Fiqh terhadap musik. Tampaknya al-Ghazâlî memunyai

pandangan lain yang jauh lebih menarik terhadap status musik. Ia justru

menjadikan musik sebagai salah satu jalan menuju Tuhan.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya

merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada:

1. Drs. Nanang Tahqiq, MA yang telah membimbing saya dengan sangat sabar,

teliti dan mencerahkan hingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan

baik.

2. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam), terima

kasih telah menyetujui proposal skripsi. Terimakasih atas keramahan, nasihat

dan bantuannya hingga akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

3. Dekan Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak

membantu saya.

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1

B. Batasan Masalah .................................................................................................... 6

C. Rumusan Masalah ................................................................................................. 7

D. Metode Penelitian .................................................................................................. 7

E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................................... 8

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................................... 8

BAB II BIOGRAFI ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ

A. Perjalanan Hidup ........................................................................................ 9

B. Karya-Karya ............................................................................................. 13

BAB III TEORI AL-SAM‘ (MUSIK)

A. Pengertian ................................................................................................ 16

B. Fungsi ....................................................................................................... 19

D. Tanggapan para Ahli Fiqh terhadap Konsep al-Samâ‘ ............................ 24

BAB IV AL-SAM‘ ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ

A. Ontologi ................................................................................................... 32

B. Epistemologi ............................................................................................ 35

C. Aksiologi .................................................................................................. 49

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 61

B. Saran-saran ............................................................................................... 61

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara bahasa, kata ألسماع (al-samâ‘) dalam kamus al-Munjid berasal dari

kata سمع dan إستماع yang berarti mendengarkan.1 Sedangkan Oliver Leaman

mengartikan kata al-samâ‘ dengan sensasi yang mengacu pada pendengaran hati,

semacam meditasi.2 Tetapi para ilmuwan Islam memunyai pandangan yang

berbeda tentang al-samâ‘. Sebagian memandang bahwa al-samâ‘ adalah

mendengarkan dan pendengaran, sebagian lagi memandang istilah al-samâ‘

sebagai kata lain dari musik.

Di antara ilmuwan yang mengartikannya dengan mendengarkan ialah al-

Qusyayrî al-Nîsâbûrî. Baginya al-samâ‘ ialah aktifitas mendengarkan syair yang

bernada indah.3 Tidak jauh berbeda darinya, Anniemarie Schimmel juga

mengartikan al-samâ‘ dengan mendengarkan musik dan gerakan tari.4 Meskipun

mereka mengartikannya dengan mendengarkan, tetapi obyek dari aktifitas tersebut

ialah musik.

Sedangkan bagi al-Fârâbî al-samâ‘ merupakan salah satu istilah Arab

untuk musik.5 Tetapi ia membatasinya sebagai musik yang hanya menggambarkan

pengalaman suci yang bersifat spiritual. Sedangkan musik menurut orang Arab

1 Louis Ma’lûf, Al-Munjid (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1991), cet. xxxvi, h. 351. 2 Oliver Leaman, Estetika Islam, terj. Irfan Abu Bakar (Bandung: Mizan, 2005), cet. i, h.

174. 3Al-Qusyayrî al-Nîsâbûrî, Risâlah al-Qusyayriyyah: Induk Ilmu Tasawuf, terj.

Muhammad Luqman Hakim (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet. ii, h. 422. 4 Anniemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ii, h. 228. 5 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 174.

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2

kuno (sebelum masuknya ajaran Islam) dipandang sebagai suatu irama yang

berasal dari semacam gendang atau bentuk ritme.6

Lebih menarik lagi ungkapan Syihâbuddîn ʻUmar Suhrawardî bahwa al-

samâ‘ tidak hanya meliputi suara merdu yang bersifat lahir, tetapi juga suara

merdu yang bersifat batin.7 Suara batin yang dimaksud ialah seruan Allah yang

sampai pada dirinya. Maka al-samâ‘ menurutnya ialah segala suara, baik yang

dapat didengarkan oleh telinga atau suara yang dapat didengarkan oleh hati.

Sedangkan al-Ghazâlî menggunakan al-samâ‘ sebagai bagian dari musik.

Mengenai kajian tentang al-samâ‘, ia membahasnya di bab khusus dalam karya

magnum opusnya, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu “Kitâb Âdâb al-Samâ‘ wa al-Wajd”.8

Baginya al-samâ‘ sangat erat kaitannya dengan bunyi atau gelombang suara yang

ditangkap oleh pendengaran. :

9االسماع دهليز نإالم القلوب إلى وال مفذ السماع خفاياها استثارة إلى سبيل وال

Dan tiada cara untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi itu

(rahasia yang tersimpan dalam gudang hati) selain dengan al-samâ‘,

dan tidak satu pun jalan masuk suara ke dalam hati tanpa melalui pintu

pendengaran.

Dalam hal ini, mengidentifikasi dan mengidentikkan al-samâ‘ bukan saja

bunyi yang memunyai irama dan merdu, tetapi juga nyanyian (nada juga

lirik/syair.

طيب صوت انه االعم صف ول فا

Maka sifat dari nyanyian itu ialah suara yang merdu. 10

6 ʻAbdurraḥmân al-Baghdâdî, Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari,

terj. Rahmat Kurnia dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 15. 7 Syihâbuddîn ʻUmar Suhrawardî, ʻAwârif al-Maʻârif, terj. Ilma Nugrahani Ismaʻil

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) cet. i, h. 59 8 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz II (Singapura: Sulaymân Mara’ȋ, tt), h. 266. 9 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 266.

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3

Hal ini selaras dengan ungkapan Syihâbuddîn ‘Umar Suhrawardî bahwa

al-samâ‘ terdiri dari suara-suara merdu, langgam (bentuk irama nyanyian) yang

serasi dan padu.11

Dalam teks lain, al-Ghazâlî melanjutkan penjelasannya mengenai

nyanyian, bahwa nyanyian tidak hanya suara yang berirama dan merdu, tetapi ia

juga dapat dipahami dan memunyai fungsi menggerakkan hati. Bahkan ketika

menguasai hati seseorang, nyanyian akan memuntahkan segala yang ada dalam

hati.

Dengan demikian, al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî ialah nyanyian yang

dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.12 Ia

memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material, tetapi

juga memunyai fungsi spiritual.

Dalam rangka menjelaskan konsep al-samâ‘ Ghazâlî secara komprehensif,

tulisan ini akan menelitinya dari tiga aspek falsafah: ontologi, epistemologi dan

aksiologi.

Dalam gagasan al-Ghazâlî, al-samâ‘ memunyai tiga sumber. Pertama,

benda keras ( إما أنه تخرج من جماد ). Kedua, pita suara hewan ( من حنجرة إما أنه تخرج ).

Ketiga, pita suara manusia ( إما أنه تخرج من حنجرة اإلنسان ).13

Benda-benda keras ialah material atau benda-benda yang disebut juga

dengan istilah alat musik, misalkan drum, serunai, gitar, suling dan lainnya. Pita

suara hewan seperti pita suara burung murai, merpati dan hewan lainnya.

10 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268. 11 Syihâbuddîn ‘Umar Suhrawardî, ‘Awârif al-Ma‘ârif, h. 59. 12 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan,

2001), cet. xi, h. 169. 13 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 269.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

4

Sedangkan pita suara manusia ialah alat dan organ tubuh manusia yang dapat

mengeluarkan bunyi yang sempurna.

Dari sumber-sumber bunyi yang sudah dijelaskan di atas, adakalanya al-

samâ‘ berbentuk notasi, adakalanya berupa nyanyian. Al-samâ‘ berbentuk notasi

ketika suara tersebut keluar dari benda keras atau pita suara burung. Contoh dari

bentuk notasi ini seperti bunyi gitar, seruling, kicauan burung dan lainnya

Sedangkan nyanyian merupakan bentuk al-samâ‘ yang keluar dari pita suara

manusia, dalam bentuk syair (lirik).

Yang menarik dalam kajian epistemologi al-samâ‘ ini ialah terletak pada

bentuknya. Dalam bentuk al-samâ‘, baik sebagai notasi maupun nyanyian, tidak

hanya terdapat pesan-pesan tentang keindahan, tetapi juga menyimpan pesan

tentang kecintaan kepada Tuhan.14 Inilah yang membedakan dari seni musik

lainnya, yang hanya menyimpan makna keindahan semata.15

Tema-tema yang akan dibahas dalam karya tulis ini meliputi metode,

sumber dan bentuk al-samâ‘. Metode diartikan sebagai cara yang teratur dan

terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud,16 al-samâ‘. Sumber ialah tempat

keluar.17 Itu berarti tempat keluarnya al-samâ‘. Sedangkan bentuk ialah wujud

yang ditampilkan.18 Dengan demikian, bentuk al-samâ‘ ialah wujud yang

ditampilkan al-samâ‘.

Berdasarkan kajian ontologi yang pernah saya paparkan di atas, metode

yang cocok untuk al-samâ‘ ialah metode intuitif, karena al-samâ‘ merupakan

14 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312. 15 Marcia Muelder Eaton, Persoalan-Persoalan Dasar dalam Estetika, terj. Embun

Kenyowati (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h.90. 16 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, 2008), h. 951. 17 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia, h. 1387. 18 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia, h. 179.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

5

bentuk pengalaman batin. Metode ini digunakan oleh intuisionalisme. Metode ini

digunakan untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung dari pengalaman

intuitif.19 Pengalaman tersebut ditangkap oleh hati yang kemudian menjadi suatu

pengetahuan bagi seseorang yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan al-samâ‘, al-Ghazâlî mengatakan bahwa rindu

akan Tuhan yang begitu mendalam merupakan sesuatu yang bersifat batin.

Sedangkan sesuatu yang bersifat batin hanya dapat dikenali atau ditangkap oleh

indra hati.20 Keadaan hati tersebut yang kemudian tertuang dalam al-samâ‘. Maka,

al-samâ‘ merupakan pengetahuan secara langsung tentang pengalaman batin.

Untuk membuktikan kebenaran al-samâ‘, seseorang harus mengalami

langsung. Terdapat dua tahap dalam membuktikan kebenarannya. Tahap pertama,

memahami makna nyanyian. Tahap kedua ialah lahirnya kesan yang sangat

mendalam dari nyanyian tersebut. Dalam tahap kedua ini, seseorang akan

mengalami wajd yaitu perasaan yang mendalam di dalam hati yang terbangkitkan

oleh al-samâ‘.21

Sebagai bentuk eskpresi kerinduan kepada Tuhan, al-samâ‘ menyimpan

makna-makna tersirat tentang kerinduan kepada Tuhan. Makna tersebut nanti

yang akan dipahami dan menggoncangkan hati pendengar hingga sampai pada

titik musyâhadah dan mukâsyafah. Sebagaimana dijelaskan Khudori Soleh bahwa

al-samâ‘ dapat pula menciptakan kerinduan kepada hidup abadi dan kerinduan

kepada Tuhan bagi para penikmatnya, karena ia merupakan bentuk ekpresi kreatif

19 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h.140. 20 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312. 21 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 318-321.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6

dalam citra cipta Tuhan.22 Paragraf terakhir merupakan pembahasan tentang

aksiologi al-samâ‘. Penulis membahasnya karena ontologi, epistemologi dan

aksiologi memunyai keterkaitan erat.23

Dari keunikan tersebut yang telah dijelaskan, menjadi sangat menarik

untuk dikaji lebih mendalam tema tentang al-samâ‘ yang disajikan al-Ghazâlî.

Maka dari itu penulis menjadikan al-samâ‘ al-Ghazâlî sebagai tema penelitian

skripsi dengan judul al-Samâ‘ menurut al-Ghazâlî: Ditinjau dari Aspek

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

B. Batasan Masalah

Penulis memfokuskan pembatasan masalah skripsi ini pada kajian tentang

aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, pokok perumusan yang akan

dituangkan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah konsep al-Samâ‘ dalam

pandangan al-Ghazâlî. Kemudian bagaimana landasan ontologi dan

epistemologinya dan seperti apa aspek aksiologinya.

D. Metode Penelitian

Skripsi ini adalah hasil dari penelitian pustaka dengan rujukan buku primer

Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karangan Abû Ḥâmid al-Ghazâlî.

Sedangkan rujukan buku sekunder ialah Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi

Tematis Spiritualitas Islam; Disertasi Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik,

22 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Falsafah Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),

h. 310. 23 Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1987),

h.15.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

7

Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh al-Ghazâlî: Hazrat Inayat khan, The Heart of

Sufism dan masih banyak lagi buku-buku tambahan.

Metode yang digunakan adalah metode deskripsi-analitik. Metode

deskriptif digunakan untuk menjelaskan segala hal tentang al-samâ‘ dengan jalan

mengumpulkan data, menyusun atau menglasifikasikannya, menganalisis dan

menginterpretasikannya. Metode analitik digunakan untuk mengangkat pendapat

al-Ghazâlî tentang al-samâ‘.

Teknik penulisan, dan penyusunan menggunakan Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Sedangkan pedoman transliterasi menggunakan

pedoman Paramadina.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kajian mengenai pemikiran al-Ghazâlî memang sudah banyak dilakukan

oleh sarjana UIN Syarif Hidayatullah, demikian juga dengan kajian mengenai al-

samâ‘ dan musik.

Skripsi-skripsi tersebut di antaranya ialah Etika Sosial menurut Abû

Ḥâmid al-Ghazâlî oleh Muslihuddin jurusan Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin

dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014;

Al-Ghazâlî : Tela‘ah Falsafi tentang Pencarian Sumber Ilmu Pengetahuan dalam

Kitab al-Munqizh min al-Dlalâl oleh Muhammad Wahib. MH.

Musik dalam Tradisi Tasauf: Studi al-Samâ‘ dalam Tarekat Mawlawiyah

oleh Zaenal Abidin pada tahun 2008. Mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dimensi Musik dalam

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

8

Islam: Pemikiran Hazrat Inayat Khan oleh Ali Kemal pada tahun 2010,

mahasiswa Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

Seni Musik dalam Tasauf: Studi Kasus terhadap Lagu-lagu Dewa 19 pada Album

Laska Cinta oleh Cecep Burhanuddin pada 2012, Mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta; Dan Kajian Hadis-hadis Tematik tentang Seni Musik oleh

Subur Abdurrahman pada 2012, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tetapi dari sekian banyak pembahasan tersebut tidak satu pun yang

membahas pemikirannya tentang al-samâ‘. Maka dari itu, penulis akan membahas

secara komprehensif tentang konsep al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian yang

komprehensif mengenai pandangan al-Ghazâlî mengenai konsep al-samâ‘.

Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini ialah:

1. Untuk mengetahui latar belakang al-Ghazâlî sehingga muncul konsep

al-samâ‘.

2. Untuk mengetahui lebih jelas konsep al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî.

3. Untuk mengetahui relevansi al-samâ‘ menurut Abû Ḥâmid al-Ghazâlî

dalam masyarakat.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

9

BAB II

BIOGRAFI ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ

A. Perjalanan Hidup al-Ghazâlî

Nama lengkapnya adalah Abû Ḥâmîd Muḥammad bin Muḥammad al-

Ghazâlî seorang ulama yang berpengaruh dan diagungkan dalam dunia Islam.

Gelarnya antara lain adalah Ḥujjah al-Islâm yang mengandung arti bukti

kebenaran. Al-Ghazâlî dilahirkan di desa Gazaleh dekat Thus, Turjan Utara

tahun 450.H/1058 M.1 Ayahnya salah seorang ilmuwan, pencipta ilmu

pengetahuan dan seorang sufi yang saleh, tetapi kondisinya tidak mendukung

untuk mendalami ilmu pengetahuan. Ia menginginkan anaknya al-Ghazâlî dan

Aḥmad dapat mendalami ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, sang ayah

menyerahkan kedua anaknya kepada salah seorang sahabatnya. Kedua anak

itu kemudian mendapat bimbingan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Kemudian gurunya itu menyarankan kepada al-Ghazâlî dan saudaranya untuk

melanjutkan pelajaran pada sebuah sekolah di kota kelahirannya dan mereka

pun melanjutkan pelajaran pada sekolah tersebut tanpa dipungut biaya.

Di kota kelahirannya ini al-Ghazâlî pertama kali memelajari ilmu-

ilmu agama, di antaranya fiqh kepada Alimad ibn Muḥammad al-Zakhrânî.

Untuk memeroleh pendidikan yang lebih tinggi al-Ghazâlî pergi merantau.

Mula-mula ia pergi ke Jurjan di sebelah Tenggara Laut Kaspia.2 Namun

sebelum al-Ghazâlî melanjutkan pendidikannya di Jurjan, terlebih dahulu ia

belajar kepada Aḥmad ibn Muḥammad al-Razkâni al-Thûsî. Kemudian

1 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî (Jakarta: LPSI, 2008), h. 17. 2 Ridjaluddin, Sabar dalam Pandangan Imam al-Ghazâlî (Ciputat: Lembaga Kajian Islam

Nugraha Ciputat, 2009), h. 28.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

10

setelah dianggap cukup untuk belajar di daerahnya sendiri, lalu berangkat ke

Jurjan dan di sana berguru kepada salah seorang imam besar di Ḥaramayn

(Makkah dan Madînah), pada perguruan yang dipimpin oleh Abû Nash al-

Islâmî ini, dan secara lebih luas ia memelajari berbagai disiplin ilmu yang

meliputi semua bidang ilmu bahasa dan agama.3

Barulah pada tahun 1077 M. ia pergi ke Nisapur. Ketika berada

Nisapur, al-Ghazâlî banyak menimba ilmu tasauf dari al-Juwaynî, selain itu

memelajari ilmu tasauf dari Syekh Abû Alî al-Fadl ibn Muḥammad ibn al-

Farmadî (wafat 477 H). Selama belajar ilmu tasauf kepada Syekh tersebut ia

juga mengajar dan menulis ilmu fiqh. Ketika al-Juwaynî wafat dan pelajaran

tasaufnya sudah dikuasai, ia pindah ke Mustaskar untuk mengikuti berbagai

forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual.4

Pada 478 H/085 M. al-Ghazâlî masuk ke dalam lingkaran istana

Nizhâm al-Mulk, wazir Saljuk yang sangat berkuasa, Sultan Malik Syah, dan

menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizhâm al-Mulk mengangkatnya

menjadi pengajar fiqh Syâfi‘iyyah tahun 484 H. di Madrasah Nizhâmiyyah

Baghdad (484 H./1091 M.) dan dalam waktu singkat al-Ghazâlî mampu

menarik banyak murid.

Selama empat tahun dia menjadi guru besar dan terkenal.

Mahasiswanya lebih dari 300 pada saat yang bersamaan ia menguasai

falsafah al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dan belajar sendiri suatu prestasi yang belum

pernah dicapai oleh seorang teolog pada saat itu. Pertama ia menulis

rangkuman obyektif yang lebih panjang dari kedua pendapat failasuf itu,

3 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 17. 4 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 17.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

11

tulisan itu dijadikan sebuah buku yang berjudul Maqâshid al-Falâsifah.

Setelah itu al-Ghazâlî menulis kritik yang begitu mengena terhadap

pandangan yang mengenai al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dalam Tahâfut al-

Falâsifah.

Tetapi di balik fenomena keberhasilannya, al-Ghazâlî mengalami

penderitaan batin. Ia mengalami keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang ia

peroleh selama ini. Setiap pengetahuannya, baik di bidang teologi maupun

falsafah, mengandung kelemahan. Teologi dan falsafah tidak mengantarkan

keyakinan yang sebenarnya. Oleh sebab itu, pada tahun 1095 M. al-Ghazâlî

meninggalkan Baghdad dan pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji.

Kepergian al-Ghazâlî ke Makkah hanyalah sebagai jalan untuk meninggalkan

karirnya sebagai ahli hukum, teolog dan dosen universitas agar dapat

mengabdi kepada Tuhan secara sempurna. Motif yang sebenarnya untuk

menjawab perubahan drastis ini dipertanyakan. Salah satu faktornya adalah

ketidakpercayaan al-Ghazâlî sendiri terhadap ilmu pengetahuan empiris dan

rasional. Di samping itu hubungan yang jelek dengan penguasa Bani Saljuk

yang bernama Barkiyaruk yang diangkat pada bulan Februari 1095 M. juga

merupakan faktor yang memengaruhi keputusan itu. Barkiyaruk adalah

seorang sultan yang gemar khamr dan bermewah-mewahan. Alasan yang

utama adalah antipati terhadap sikap keduniaan yang menyolok dari sebagian

rekan-rekannya para ahli hukum dan sarjana. Ini dilakukan al-Ghazâlî karena

ia merasa tidak bisa menegakkan kehidupan yang lurus dalam masyarakat

seperti itu. Tindakan ini merupakan reaksi yang biasa buat orang-orang yang

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

benar-benar alim di daerah relatif sederhana menghadapi kehidupan

masyarakat yang serba hedonis.5

Ia kembali ke Persia sebelum 493 H./1099 M., dan meneruskan

uzlahnya selama musim panas pada tahun 499 H./1106 M. ketika Fakhr al-

Mulk, wazir Sultan Sanjar Saljuk, membujuknya agar meringkas ajaran

fiqhnya di Madrasah Nizhâmiyyah Nisapur. Kembalinya al-Ghazâlî ke

kehidupan publik hanya berlangsung kurang lebih dua tahun, karena pada 503

H./1109 M. ia akhirnya kembali menetap di Thus, tempat ia meninggal pada

505 H./1111 M.

Dalam periode panjang uzlahnya, terjadi transformasi mendalam pada

minat spekulatif al-Ghazâlî dan bahkan pandangan hidupnya. Ia tak tertarik

lagi pada falsafah dan mencurahkan diri sepenuhnya pada tasauf dan

pembaharuan ajaran agama ortodoks. Dalam Munqizh, autobiografi yang

disusun antara 501 H./1107 M. dan 503 H./1109 M., ia mengungkapkan

perasaan yang nyaris mesianik (messianic), yang sadar bahwa “Tuhan Yang

Mahatinggi telah berjanji menghidupkan kembali agama-Nya pada awal

setiap abad”. Al-Ghazâlî yakin bahwa dirinyalah orang yang ditunjuk

menjalankan tugas tersebut bagi zamannya, dan mengejar tujuan

pembaharuannya itu dengan menyusun karya besar, yang berjudul Iḥyâ‘

‘Ulûm al-Dîn, dan ringkasan lengkap karya penting tersebut, yaitu Kitab al-

Arba‘în fî Ushûl al-Dîn di samping ringkasannya yang berbahasa Persia,

Kîmiyâ‘ al-Sa‘âdah.6

5 Ridjaluddin, Psikologi Islam: Jiwa Pemikiran al-Ghazâlî dan Keterkaitannya Teori

Psikologi Barat Modern, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka Jakarta, 2009), h. 55-56. 6 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,h. 328.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

13

Al-Ghazâlî dalam riwayatnya selain mahir berbicara juga amat

produktif menulis. Karya tulisannya diperkirakan lebih dari 228 buku atau

risalah dalam berbagai lapangan ilmu: tasauf, teologi, falsafah, logika, fiqh,

dan lain-lain. Sayang sekali dari ratusan karyanya kurang lebih 54 judul buku

saja yang sudah dijumpai oleh kalangan ilmuwan kontemporer.7

Sebagai ulama yang mengerti falsafah, al-Ghazâlî menyerang falsafah

secara telak, sebab menurutnya, falsafah akan merugikan agama. Menurutnya

falsafah itu terdiri dari enam cabang, yaitu: matematika, logika, politik, etika

dan ketuhanan.

Tiga cabang pertama katanya tidak ada sangkut pautnya dengan

agama, karena itu tidak perlu diserang atau diingkari. Sedangkan ilmu politik

dan etika tidak lain menurut al-Ghazâlî berasal dari Nabi dan sufi yang

kemudian dimanfaatkan oleh para failasuf. Hanya pada cabang ketuhanan

(metafisik) dijumpai berbagai pendapat-pendapat yang menurutnya perlu

disalahkan.8

B. Karya-karya

Dewasa ini, banyak orang menulis tentang al-Ghazâlî, dengan

mengemukakan berbagai bentuk tulisan dan kerangka akademik, sesuai

disiplin ilmu yang dimilikinya.

Para fuqaha misalnya membahas sosok dan karya al-Ghazâlî melalui

kitab fiqhnya yang terkenal, yang bermadzhab Syâfi‘î. Kitab fiqh karya al-

Ghazâlî yang disusun berdasarkan keluasan dan kedalaman wawasan ilmu

fiqhnya, ternyata ada empat kitab, yaitu: al-Basîth, al-Wâjiz, al-Wasîth dan

7 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 19. 8 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 20.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

14

khulâshah. Masing-masing dari keempat kitab fiqh di atas, memuat fiqh

sampai pada tataran tertentu.

Dari kalangan ilmu ushul fiqh banyak membahas ilmu ushûl fiqh al-

Ghazâlî melalui kitabnya al-Mankhûl, yang ditulis pada masa mudanya

dengan meringkas pendapat-pendapat gurunya, Imâm al-Ḥaramayn. Di

samping itu, al-Ghazâlî juga menulis kitab al-Musytasyfâ yang kemudian hari

kitab ini dinilai sebagai salah satu pilar ilmu ushûl fiqh.

Adapun orang-orang yang gemar memelajari falsafah, ilmu kalâm,

dan logika kebanyakan mengaji karya-karya al-Ghazâlî melalui kitab di

antaranya ialah

1. Maqâshid al-Falâsifah,

2. Tahâfut al-Falâsifah,

3. Al-Munqizh Min al-Dlalâl,

4. Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd,

5. Fayshal al-Tafriqah,

6. Qawâ‘id al-Aqâ‘id,

7. Al-Maqshûd al-Asmâ‘ fî Syarḥ Asmâ’Allâh al-Ḥusnâ,

8. Mi’yar al-Ulûm, Muḥiqqu al-Nazhar,

9. Al-Qisthas al-Mustaqîm,

10. Iljâm al-‘Awwâm fî al-‘Ilmi al-Kalâm,

11. Jawâhir al-Qur’ân,

12. Kîmiyâ‘ al-Sa‘âdah,

13. Ma‘ârij al-Quds,

14. Misykât al- Anwâr.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

15

Sekalipun kitab terakhir ini masih diragukan sebagai karyanya.

Para peniliti dari disiplin ilmu tasauf, akhlak dan pendidikan, rata-rata

melakukan studinya melalui karya-karya al-Ghazâlî, di antaranya ialah:

1. Iḥya ‘Ulûm al-Dîn (sebagai karya yang terbesar),

2. Minhâj al-‘Âbidîn, Bidâyah al-Hidâyah,

3. Mîzân al-‘Amal,

4. Mi‘râj as-Sâlikîn,

5. Ayyuhâ al-Walad.

Adapun para penulis dari kalangan ilmu perbandingan agama, dapat

memelajari karya-karya al-Ghazâlî melalui kitab, di antaranya ialah

1. Al-Qawl al-Jamîl fî al-Raddi ‘alâ Man Ghayyara al-Injîl,

2. Fadlâ’il al-Bâthiniyah,

3. Ḥujjah al-Ḥaqq,

4. Mufashshal al-Khilâf,

5. Al-Raddu al-Jamîl li Ilâhiyyât Îsâ bi Sharḥ al-Injîl dan lain-lain.

Di samping itu para penulis akan banyak mendapatkan pengetahuan-

pengetahuan lain dari karya al-Ghazâlî, seperti pengetahuan tentang ekonomi,

dengan teorinya yang mendalam dan kompetitif. Bagi para peniliti yang

mengetahui kitab Iḥyâ ‘Ulûm al-Dîn saja, mereka akan mendapatkan

pengetahuan tersebut, di samping juga terdapat pada kitab-kitab lain, seperti

di dalam kitab Al-‘Ilm, Asrâr al-Zakâh, Kasb al-Ma‘îsyah, al-Ḥalâl wa al-

Ḥarâm, al-Bukhl, Al-Zuhd, dan lain-lainnya.9

9 Yûsuf Qaradlâwî, al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra, terj. Hasan Abrari (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), h. 43-45.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

16

BAB III

TEORI AL-SAM‘

A. Pengertian

Mengenai musik spiritual yang dibahas dalam penelitian ini adalah

musik spiritual yang berkembang dalam dunia spiritual Islam, yaitu musik

yang digunakan oleh para sufi, yang lebih dikenal dengan istilah al-samâ‘. Al-

samâ‘ secara bahasa berasal dari bahasa Arab; samâ‘, sam‘, sami‘a, yang

berarti mendengar.1 Dalam kamus al-Munjid kata al-samâ‘ diartikan sebagai

mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat diartikan al-ghinâ

(nyanyian).2 Kata al-samâ‘, dalam bahasa Arab Klasik bisa berarti nyanyian,

musik atau alat musik.3 Kemudian istilah ini dikenal sebagai sebutan untuk

penggunaan musik oleh para sufi sebagai sarana pencarian Tuhan, atau

sebagai alat bantu kontemplatif.4 Kata al-samâ‘ dalam bahasa Inggris berarti

hearing, listening, listening in auditioning, audition.5 Para sarjana Barat

kebanyakan mengartikan al-samâ‘ dengan listening to musik and singing,

spiritual music, dan spiritual concert. Ini karena para sarjana Barat itu melihat

bentuk lahiriah dari praktik al-samâ‘, yang berupa kegiatan mendengarkan

syair, nyanyian yang diiringi instrumen musik secara berkelompok (konser

musik).6

Dr. Ihsan Ilahi Dhahir memberikan pengertian al-samâ‘ sebagai

kegiatan mendengarkan lagu dan bait-bait syair dengan

1 J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Libririe Du

Liban, dan London: Mac Donald & Evans LTD, 1980), h. 430. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 19 3 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 20. 4 Cyril Glasse, “as-samâ‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron

A Masudi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 352. 5 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 19 6 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 27.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

17

menggunakan alat musik dan terkadang tidak. Jika tidak

menggunakan alat, maka disertai dengan siulan dan tepuk tangan.

Ibn ‘Ajîbah al-Ḥusnî berkata, al-samâ‘ ialah mendengarkan syair-

syair dengan melodi dan musik.7

Di antara ilmuwan yang mengartikannya dengan ‘mendengarkan’ ialah al-

Qusyayrî al-Nîsâbûrî. Baginya al-samâ‘ ialah aktifitas mendengarkan syair yang

bernada indah.8 Tidak jauh berbeda darinya, Anniemarie Schimmel juga

mengartikan al-samâ‘ dengan mendengarkan musik dan gerakan tari.9 Meskipun

mereka mengartikannya dengan mendengarkan, tetapi obyek dari aktifitas tersebut

ialah musik.

Sedangkan bagi al-Fârâbî al-samâ‘ merupakan salah satu istilah Arab

untuk musik.10 Tetapi ia membatasinya sebagai musik yang hanya

menggambarkan pengalaman suci yang bersifat spiritual. Sedangkan musik

menurut orang Arab kuno (sebelum masuknya ajaran Islam) dipandang sebagai

suatu irama yang berasal dari semacam gendang atau bentuk ritme.11

Menurut Amâtullâh Amstrong, al-samâ‘ adalah ”konser spiritual” atau

audisi atau pendengaran. Istilah ini mengacu secara khusus pada perkumpulan

kaum sufi yang mempergunakan musik dan lagu sebagai sarana untuk membuka

qalbu. 12 Dalam tradisi sufi, musik umumnya sangat dihormati. Al-samâ‘ secara

7 Dr. Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi

(Bekasi: PT. Darul Falah ,2015), h. 167

9 Annimarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ii, h. 228 52 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 174. 53ʻAbdurraḥmân al-Baghdâdî, Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari,

terj. Rahmat Kurnia dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 15. 50 Amatullah Amstrong, Sufi Terminology (Al-Qamus Al-Sufi), The Mystical Languae Of

Islam (Bandung:Mizan, 2001), h. 253.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

18

harfiah berarti “audis” dan dalam tradisi sufi al-samâ‘ mengacu pada

pendengaran dengan hati, semacam meditasi. 13

Secara substansial praktik al-samâ‘ merupakan salah satu dari pengalaman

mistis para sufi, yang menurut William James, pengalaman mistis itu memiliki

empat karakteristik yaitu : a) tidak dapat dilukiskan b) kebenarannya tidak dapat

diragukan lagi oleh para penempuhnya c) merupakan kondisi spiritualitas yang

cepat sirna namun berkesan sangat kuat d) merupakan kondisi pasif yang datang

dari anugerah Tuhan. Oleh karena itu al-samâ‘ dalam kalangan sufi memiliki arti

yang beragam dan penjelasannya melalui bahasa tidak pernah sampai pada

deskripsi realitas sebenarnya.14

Elemen sentral yang menjadikan praktik spiritual ini disebut musik sufi

adalah: di dalamnya terdapat ritual yang menggunakan suara manusia yang

membacakan syair-syair (lirik) yang ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muḥammad

dan para wali.15

Kekuatan utama yang menghidupkan musik dalam praktik al-

samâ‘ adalah manifestasi kata-kata Tuhan secara esensial. Kata itu mengingatkan

manusia terhadap suatu kondisi sebelum penciptaan, masih bersatu dengan jiwa

universal, terpancar dari cahaya original.16

Al-Qusyayrî juga memberikan penjelasan dalam risalahnya tentang al-

samâ‘ dengan mengatakan bahwa al-samâ‘ adalah menemukan berbagai rahasia

51 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 192 14 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 24-25 15 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasauf, terj. Arif Anwar (Yogyakarta: Pustaka Sufi,

2003), h. 254. 16 Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein Nasr

(ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M. Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S.

Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin SF. (Bandung: Mizan, 2003), h. 608-609.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

19

yang tersembunyi (al-ghuyûb) melalui pendengaran hati, dengan pemahaman hati

nurani terhadap hakekat Tuhan yang dituju (al-murâd).17

Menurut Ikhwân al-Shâfa‘, al-samâ‘ merupakan musik yang memunyai

nilai agung. Ia merupakan musik yang menjulang tinggi ke alam ruhaniah.

Sedangkan unsur-unsurnya, baginya yang harus terpenuhi dalam musik adalah

suara yang mengandung lagu, nada, dan cengkok.

Dalam beberapa sumber tentang tasauf, al-samâ‘ dapat diartikan secara

eksoterik, sebagai kegiatan mendengarkan musik atau nyanyian atau syair (lagu-

lagu) untuk mencapai derajat ekstase (wajd).18

Sedangkan al-Ghazâlî mendefinisikan al-samâ‘ sebagai nyanyian religius

yang dapat menggerakkan dan membangkitkan hati. Nyanyian menurutnya adalah

suara yang merdu dan suara yang merdu itu terbagi menjadi dua, yaitu suara

merdu yang dapat dipahami seperti syair (puisi atau lirik) yang keluar dari pita

suara manusia. Suara yang tidak dapat dipahami seperti suara yang keluar dari pita

suara hewan seperti kicau burung dan lain-lain, termasuk suara benda keras yaitu

alat musik.19 Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud al-samâ‘ dalam penelitian

ini adalah aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian (syair-syair) dengan

musik atau tanpa alat musik yang bercorak religius sebagai upaya penyucian jiwa.

B. Fungsi al-Samâ‘

Dalam lintasan sejarah dunia Islam, banyak sekali sufi yang seniman dan

seniman yang jadi sufi. Bahkan terkadang ada di antara mereka sulit

membedakan mana keduanya lebih menonjol, apakah dia sebagai sufi atau

17 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 23.

19 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h.305

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

20

seniman.20 Dan salah satu seni yang akrab bagi para sufi adalah al-samâ‘. Al-

samâ‘ bagi para sufi memiliki kedudukan yang penting sebagai sarana spiritual

mereka. Bagi mereka al-samâ‘ (musik) memiliki fungsi yang beragam

membawa jiwa ke alam realitas, menyejukkan hati, mengeluarkan permata

Ilahiyah yang tersimpan dalam relung hati, pembersih hati, dan meningkatkan

kerinduan dan kecintaan kepada Allah. Dan bahkan musik juga dijadikan sarana

mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mencapai derajat wushûl .21 Oleh

karena itu banyak dalam karya-karya tulisan mereka, terdapat bab khusus yang

membahas al-samâ‘. Seperti di dalam kitab Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah dan Iḥyâ‘ ‘Ulûm

al-Dîn sebagai karya terbesar Abû Ḥâmîd Muḥammad ibn Muḥammad al-

Ghazâlî, Bâwariq ‘al-Ilm karya Aḥmad al-Ghazâlî, saudara Abû Ḥâmîd

Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazâlî, al-Risalah al-Qusyayriyyah fî ‘Ilm at-

Tashawwuf karya Abû al-Qâsim al-Qusyayry, al-Luma‘ karya Abû Mashr al-

Sarrâj dan lain-lain.

Kalau kita kaji secara psikologis musik dapat mengantarkan jiwa

pendengar untuk berpulang ke alam ide universal, yaitu alam di mana seluruh

jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang berasal dari kenikmatan bersifat

rohani.22

Al-Syâdzilî

berpendapat bahwa al-samâ‘ (musik) memiliki beberapa

fungsi, yaitu; menyejukkan batin para sufi yang sedang mengarungi perjalanan

spiritualitas, membangkitkan roh para wali, dapat menyejukkan roh-roh,

meringankan belenggu (dalam perjalanan spiritualitas), menghilangkan

20 Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2014), h. 203 21 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 17-18 22 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 56

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

21

kesedihan dan dapat mendatangkan kebahagiaan.23 Al-Safaraynî berkata bahwa

al-samâ‘ dapat mengobarkan sesuatu yang ada dalam hati, menggerakkan suatu

yang ada di dalamnya.24

Namun selain fungsi yang bermanfaat bagi sufi itu, di sisi lain musik

dapat menyebabkan keburukan bagi pendengarnya. Al-Syiblî (seorang sufi wafat

tahun 334 H.) memberi peringatan, “Mendengarkan musik secara lahiriah adalah

godaan dan secara batiniah merupakan pelajaran. Siapa yang mengenal tanda-

tanda mistis (isyârah) boleh mendengarkan pelajaran itu. Jika tidak dapat (dan ia

mendengarkan), maka ia telah mengundang godaan dan membiarkan dirinya

terkena bencana”.25

Secara psikologis terdapat hubungan saling memengaruhi antara musik

dengan kondisi jiwa. Suatu saat musik dapat memengaruhi kondisi jiwa, di saat

lain terjadi sebaliknya.26 Oleh karena itu, failasuf seperti al-Kindî menggunakan

alat musik, bukan sekedar hiburan semata, tetapi ia menggunakannya sebagai

obat untuk menyembuhkan penyakit jiwa dan raga.27

Ikhwân al-Shafâ‘ berpendapat bahwa yang membedakan musik dari

seni-seni yang lain adalah bahwa substansi yang kepadanya bekerja, yaitu jiwa-

jiwa pendengarnya, sebagaimana unsur yang dipakainya, not-not dan irama, itu

berhubungan dengan sesuatu yang sangat halus dan material. Musik memilki

predikat kemuliaan tertinggi karena di dalammya terdapat kekuatan, yang

mampu membangkitkan semangat, yang dapat menerbangkan jiwa yang telah

teratur proporsinya untuk masuk ke dalam wadah tempat jiwa-jiwa itu

23 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 57 24 Bakâr‘Abd al-Qâdir ‘Isâ, Spiritualitas Ideal Dalam Islam, h. 127-128. 25 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 60. 26 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 62 27 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 11

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

22

dahulunya berasal.28

Pengaruh yang ditanamkan oleh irama dan melodi dari

seorang musikus dalam jiwa pendengarnya itu beragam. Kesenangan yang

ditarik jiwa-jiwa dari irama-irama dan melodi, serta cara jiwa-jiwa tersebut

menariknya juga beragam dan berbeda-beda. Itu tergantung pada tingkatan yang

di dalamnya terdapat jiwa bersemayam dalam wilayah gnosis (al-ma‘ârif) dan

pada sifat baik perilaku yang menjadi objek permanen dari cintanya. Maka

ketika setiap jiwa mendengarkan gambaran-gambaran yang sesuai dengan obyek

dari kegembiraannya, kesenangannya, akan merasa senang dan gembira dalam

bayangan bahwa musik itu terbuat dari yang dicintainya.29

Bagi para sufi al-samâ‘ adalah cahaya santapan ruhani, karena al-samâ‘

adalah penggambaran lembut tentang seluruh perbuatan dan dengannya watak

bisa diketahui.30 Dalam ‘Awârif al-Ma‘ârif dikatakan bahwa musik (al-samâ‘)

bagi sebagian orang seperti makanan. Bagi sebagian orang lainnya, ia seperti

obat, dan bagi sebagian orang, ia seperti kipas. Ungkapan ini pada dasarnya,

menunjukkan bahwa musik memiliki fungsi, energi, penyembuhan dan penyejuk

jiwa manusia.31 Seperti juga yang dikatakan al-Qusyayrî bahwa al-samâ‘

(mendengarkan musik) adalah perjalanan yang dapat mengantarkan kita ke

pesan-pesan gaib, penjelasan yang dapat menghilangkan keraguan, merupakan

makanan dan obat bagi ruh, penyejuk dan pembersih hati.32

Al-Hujwîrî menyebutkan salah seorang dari syaikhnya berkata, “al-

samâ‘ adalah pengungkapan rahasia-rahasia karena di dalamnya terdapat hal-hal

28 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, h.597 29 Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein Nasr

(ed), Ensiklopedi Tematis, h. 602-603. 30 Abu Mashr as-Sarraj, Al-Luma, Risalah Gusti, h.342 31 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 9 32 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 17

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

23

yang gaib.” Ini senada dengan al-Kalabadzî, ia berkata, “al-samâ‘ adalah

istirahat dari kelelahan waktu, bernafas bagi orang-orang sufi, dan

pengungkapan rahasia-rahasia bagi orang yang memunyai kesibukan.”33

Menurut Aḥmad al-Gḥazâlî, mendengarkan musik dapat menghilangkan

tabir hati, menggelorakan rasa cinta Ilahi, menghantarkan sufi ke derajat

kesempurnaan dan menjadikannya sampai ke tingkat musyâhadah.34

Sementara al-Ghazâlî dalam kitab Kimîyâ‘ al-Sa‘âdah menjelaskan

fungsi al-samâ‘ bagi para sufi, yaitu mereka menggunakan al-samâ‘ (musik)

untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka.

Karena berkat bantuan musik mereka sering mendapatkan visi dan gairah ruhani.

Dalam keadaan seperti ini hati mereka menjadi bersih seperti yang di Bakâr

dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa

dicapai melalui laku prihatin. Mereka semakin menyadari keterkaitan mereka

dengan dunia ruhani sehingga perhatian pada dunia secara bertahap sirna,

bahkan kadang-kadang kesadaran inderawi mereka hilang.35

Dengan demikian, bagaimanapun musik memiliki banyak manfaat bagi

kehidupan spiritualitas. Sehingga bagi mereka yang dapat memanfaatkan musik

spiritual menganggap penggunaan musik tidaklah selalu haram karena telah

terbukti dapat membantu meningkatkan pengalaman spiritual dan kondisi

spiritual.

33 Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi, h. 168 34 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 1

35 Al-Ghazâlî, Kîmiyâ ‘ al-Sa‘âdah, h.85.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

24

C. Tanggapan para Ahli Fiqh terhadap Konsep al-Samâ‘

Sebagian ulama mengategorikan al-samâ‘ sebagai perbuatan yang tidak

bermanfaat, dapat menumbuhkan kemunafikan, dan termasuk hal yang dilarang

oleh agama. Ahli fiqh mengharamkan al-samâ‘ karena memertimbangkan

dampak negatif yang ditimbulkan oleh musik sebagai alasan keharamannya.

Mereka memasukkan kebiasaan yang jelek yang sering diiringi dengan musik dan

selanjutnya memutuskan bahwa musik itu jelek atau paling tidak dipandang

sebagai sesuatu yang mendatangkan mudarat yang lebih banyak jika

dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh darinya. Oleh karena itu musik

harus disingkirkan dari kehidupan sosial.

Sebagaimana yang dikatakam ‘Abû Âbdullâh ibn Baththah al-Akbarî,

“Sesungguhnya lagu mengeluarkan manusia dari garis keseimbangan dan

mengubah akal. Seseorang menyanyi, ia mengerjakan hal-hal yang ia pandang

buruk jika ia tidak bernyanyi, misalnya menggerak-gerakkan kepala, bertepuk

tangan, menghentakkan kaki ke tanah, dan lain sebagainya yang biasa dikerjakan

orang-orang berakal kerdil. Lagu mengharuskan terjadinya semua hal tersebut,

bahkan reaksi lagu tersebut hampir sama dengan reaksi minuman keras yaitu

sama-sama menghilangkan akal, oleh karena itu, sudah semestinya lagu

dilarang.” Salah seorang ulama berkata, “Berhati-hatilah kalian terhadap lagu,

karena lagu itu meningkatkan syahwat dan menghilangkan kemuliaan, serta sama

dengan minuman keras dan menimbulkan apa yang ditimbulkannya.” Dr. Ilahi

Dhahir dalam bukunya Darah Hitam Tasawuf mengomentari kata tersebut,

bahwa apa yang dikatakan orang ini benar, orang yang bersangkutan memandang

baik ketika ia mendengarkan al-samâ‘ apa yang tadinya ia tidak pandang baik,

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

25

misalnya membunyikan jari-jari, bertepuk tangan dan dansa, serta ia melakukan

tindakan-tindakan yang menunjukkan akalnya tidak waras.36

Nada, nyanyian dan alat-alat musik menurut mereka dapat mengakibatkan

berkurangnya gairah jiwa dalam menunaikan tugas-tugas keagamaan dan bahkan

dapat mendorong pendengarnya untuk mencapai kepuasaan sensual, mendorong

orang untuk bermabuk-mabukan.37

Para sahabat Rasulullah. juga memiliki pendapat tentang musik dan

nyanyian. ‘‘Abdullâh ibn Mas‘ûd mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan

kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman.” ‘Abdullâh

ibn ‘Umar pernah melewati sekelompok orang yang sedang melakukan ihram,

dan di antara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka ia berkata, “Ingatlah,

semoga Allah tidak mendengarkan kamu.” ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs berkata, “

Rebana haram, al-ma‘âzif (alat-alat musik) haram, al-kubah (bedug atau

gendang, dan sejenisnya) haram dan seruling adalah haram.”38

Diriwayatkan dari al-Ḥasan yang berkata, “Rebana tidak termasuk sunnah

kaum Muslimin, karena yang diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau

mendengarkan syair dan itu tidak bisa dijadikan dalil pembolehan lagu, karena

syair adalah perkataan yang teratur sedang perkataan lainnya tidak bersajak.

Sekarang lagu berubah dengan melodi-melodi.”39

36 Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah hitam Tasawuf, h. 211. 37 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 2-3. 38 Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Hukum Lagu, Musik dan Nasyid Menurut Syariat Islam

(Bogor: Pustaka at-Taqwa, 2015), h. 35-36. 39 Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah hitam Tasawuf, h.211

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

26

Sa‘îd ibn Musayyid berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar membenci

nyanyian dan menyukai rajaz (satu jenis syair)”. Al-Dlaḥaq berkata, “Nyanyian

akan merusak hati dan menjadikan Allah murka.”40

Menurut al-Qâdlî, al-Syâf‘î mengharamkan mendengarkan nyanyian

wanita yang bukan mahram dalam keadaan apapun juga, baik secara langsung

maupun tidak langsung (tertutup oleh tabir), baik wanita itu adalah hamba sahaya

ataupun wanita merdeka. Al-Syâf‘î juga berpandapat bahwa jika ada orang yang

memiliki budak perempuan dan kemudian orang itu mengajak orang lain untuk

mendengarkan nyanyian budak itu maka pemilik budak itu adalah orang safih;

yang ditolak kesaksiannya. Al-Syâf‘î memakruhkan permainan memukul-mukul

kuku binatang dengan kayu, karena perbuatan itu biasanya dilakukan oleh orang

zindiq untuk melalaikan dirinya dari al-Qur’ân.41

Begitu juga dengan Mâlik melarang keras musik. Apabila seseorang membeli

budak perempuan, kemudian ternyata budak perempuan itu adalah seorang

penyanyi, maka hendaklah pembeli budak itu mengembalikan budak itu kepada

penjualnya. Pendapat ini diikuti juga oleh madzhab-madzhab ahli Madinah,

kecuali Ibrâhîm ibn Sa‘d.42

Abû Hanîfah memiliki pandangan yang sama terhadap hukum

mendengarkan musik dan lagu. Ia memandang makruh hal tersebut, bahkan orang

yang mendengarkan nyanyian termasuk dosa. Pendapat ini sama dengan pendapat

Ahli Kufah lainnya, yaitu: Sufy‘ân al-Tsaurî ri, Ḥammîd, Ibrâhîm, al-Sya‘bî, dan

ulama Kufah lainnya.43

40 Muslim Atsari, Adakah Musik Islami? (Solo: At-Tibyan, 2015), h. 35 41 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Libanon: Dar Al-Fikr, tt), h. 269. 42 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268. 43 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 587.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

27

Namun kita tidak dapat mengingkari bahwa musik dan nyanyian memiliki

fungsi yang banyak dalam kehidupan manusia.44 Seperti pembaḤasan fungsi al-

samâ di atas, bahwasannya telah kita ketahui kehebatan dan kekuatan suara yang

indah, terutama dalam membaca al-Qur’an dan melantunkan panggilan shalat

(adzan). Bagi mereka, suara yang indah (musik) tersebut tidak hanya

menyenangkan pendengaran namun dapat menggetarkan jiwa, karena ia berpadu

pada misi Ilâhiyah.45

Mereka yang membolehkan nyanyian dan musik mengutip dari beberapa

Ḥadîts sebagai berikut: Ḥadîts yang diriwayatkan ‘Ubay ibn Ka‘b ra. bahwa

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya syair mengandung hikmah.”

Ḥadîts yang diriwayatkan Salamah ibn al-Awka‘ ra. berkata, “Kami keluar

bersama Rasulullah ke Khaybar. Kami berjalan di malam hari, kemudian salah

seorang laki-laki dari kaum berkata kepada Amîr ibn al-Awka‘, “Apakah kamu

tidak keberatan jika kamu melantunkan syair kepada kami, dari waktumu yang

sangat pendek?” Dan Amir seorang penyair, turun menyatu dengan suatu kaum

dan berujar,

Tanpamu tak kuraih petunjuk

Sedekah dan shalat

Tebuslah diriku untukmu

Luruskan langkahmu

Hujanilah kedamaian

Tatkala bencana melanda

Rasulullah. bersabda, “Siapakah gerangan yang mendendangkan syair

tersebut?” mereka berkata, “Amîr ibn al-Awka‘, Rasulullah. berkata, “Semoga

Allah. memberikan rahmat kepadanya.”

44 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7 45 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 9

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

28

Ḥadîts yang diriwatkan Sa‘id ibn al-Musayyab berkata, “‘Umar berjalan di

suatu masjid, dan Ḥasan mendendangkan syair, kemudian ‘Umar memandanginya

dengan pandangan yang mengingkari (sinis). Kemudian dia, Ḥasan berkata, ‘Aku

telah mendendangkan syair dan pada waktu itu ada seseorang yang lebih baik

daripada kamu (yang dimaksud orang yang lebih baik adalah Rasulullah).46

Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhârî pula, dari al-Zuhrî, dari ‘Urwah

dari ‘Â’isyah ra. bahwa Abû Bakr ra. masuk kepadanya dan di dekatnya ada dua

sahaya perempuan dari hari-hari Mina memukul rebana dan menari, sedang

Rasulullah. menutupi tubuh dengan bajunya. Maka Abû Bakr ra. membentak

kedua orang itu. Kemudian Rasulullah. menyingkap wajahnya dan berkata,

“Biarkan kedua orang itu, hai Abû Bakr, karena ini adalah hari raya.”47

Juga kisah yang dilakukan perempuan-perempuan yang berdendang

dengan rebana dan lagu ketika menyambut kedatangan Rasulullah dari Makkah:

Telah terbit purnama pada kita

Dari bukit-bukit al-Wadâ‘

Wajiblah syukur bagi kita

Selama penyeru mengajak kepada Allah.48

Bahkan Aḥmad al-Ghazâlî, saudara dari Abû Ḥamîd al-Ghazâlî,

menegaskan bahwa barang siapa yang menyatakan bahwa mendengarkan

nyanyian dan tabuhan rebana adalah haram, maka seakan-akan ia menyatakan

bahwa Rasulullah telah melakukan dan mendengarkan sesuatu yang haram. Dan

barangsiapa yang punya prasangka demikian maka ia kafir.49

46 ‘Abd al-Qâdir ‘Îsâ, Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat Press (Tangerang

Selatan: Ciputat Press, 2007), h. 120-121 47 Al-Ghazâlî, RingkasanIḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995) h. 139. 48 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 172. 49 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 166.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

29

Adapun pendapat ulama yang memerbolehkan mendengarkan musik

datang dari Abû Thâlib al-Makkî. Menurut Abû Thâlib, para sahabat Nabi, seperti

‘Abdullâh ibn Ja‘far, ‘Abdullâh bin Zubayr, Mughîrah ibn Syu‘bah, Mu‘âwiyah

dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan

musik atau nyanyian hampir sudah menradisi di kalangan ulama salaf ataupun

para tâbi‘în. Bahkan, kata Abû Thâlib, ketika dia berada di Makkah, pada saat

peringatan hari-hari besar, orang-orang Ḥîjâz merayakannya dengan pagelaran

musik.

Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madînah. Seperti yang

diakui sendiri oleh Abû Thâlib bahwa dia pernah melihat Qâdlî Marwan

memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang

sufi. Al-‘Athâ’ juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi

dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.

Suatu ketika Abî Ḥasan ibn Salîm ditanya Abû Thâlib, “Mengapa engkau

melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaydî, Sirrî al-Saqatî dan Dzûn al-

Nûn al-Mishrî senang mendengarkan musik?” Ḥasan ibn Salîm menjawab, “Saya

tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-

orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau

dalam mendengarkan musik.”50

Al-Nawawî berkata, “Tidak dilarang melantunkan syair di dalam masjid

jika syair tersebut memuji kenabian dan Islam, mengandung hikmah, akhlaq yang

mulia, zuhd dan sesamanya dari macam-macam kebaikan.” Abû Bakr Ibn al-

50 Al -Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

30

‘Arabî, komentator Sunan al-Tirmidzî, berkata: ”Tidak dilarang melantunkan syair

di dalam masjid, ketika memuji agama dan mengamalkan syari’ah.”

Kisah penunggang kuda, yang dikatakan Ḥujjah al-Islâm, al-Ghazâlî, di

dalam Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, “Penunggang kuda yang selalu berada di belakang

onta, adat Arab pada masa Rasulullah dan masa sahabat, dia tidak melakukan

kecuali melantunkan syair dengan suara yang merdu dan suara yang berimbang.

Dan tidak ada satu sahabat pun yang melarangnya.” 51

Di samping itu, ahli fiqh Khalîl Nahlawî al Damasyqî membolehkan al-

samâ‘, dan bahkan hukum al-samâ‘ disunnahkan selama tujuannya adalah

mendendangkan petunjuk, nasihat baik dan manfaat yang lain, di mana tabiat

mendengarkannya akan berpengaruh pada jiwa yang paling mendasar. Pengaruh

yang paling mendasar yang dimaksud ialah mendengarkannya dapat

menggerakkan hati, keramahan dengan kehadiran yang transenden dan rindu

kepada cahaya Muḥammad.52

Sayyid Sâbiq pun juga berkomentar mengenai kontroversi al-samâ‘.

Dalam bukunya yang berjudul Fikih Sunnah 2, dia mengatakan bahwa al-samâ‘

boleh dilakukan oleh siapa pun. Untuk memperkuat argumennya ia mengutip

Ḥadîts Nabi yang berbunyi;

فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: يا أبا بكر دعهما فإن لكل قوم عيد وهذا عيدنا53

Nabi Muḥammad berkata “hai Abû Bakr, tiap-tiap kaum memunyai hari

raya.

51 Bakr ‘Abd al-Qâdir ‘îsâ, Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat Press

(Tangerang Selatan: Ciputat Press, 2007), h. 123. 52 Bakr ‘Abd al-Qâdir ‘îsâ, Spiritualitas Ideal dalam Islam, h. 125. 53 Sayyid Sâbiq, Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf (Bandung: al Ma’arif, 1990), h. 291.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

31

Ḥadîts ini muncul karena suatu hari raya Abû Bakr masuk ke suatu tempat,

yang di sana terdapat dua orang cahaya yang sedang bernyanyi mengenai

peristiwa waktu perang bu‘ats. Melihat itu, Abû Bakr berkata, “wahai hamba

Allah, tidakkah itu nyanyian-nyanyian setan? Maka Nabi menjawab dengan

Ḥadîts yang diulas di atas.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

32

BAB IV

AL-SAM‘ ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ

A. Ontologi

Sedangkan al-Ghazâlî menggunakan al-samâ‘ sebagai bagian dari musik.

Mengenai kajian tentang al-samâ‘, ia membahasnya di bab khusus dalam karya

magnum opusnya, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu “Kitâb Âdâb al-Samâ‘ wa al-Wajd”.

Baginya al-samâ‘ sangat erat kaitannya dengan bunyi atau gelombang suara yang

ditangkap oleh pendengaran. :

1االسماع دهليز نإالم القلوب إلى وال مفذ السماع إال خفاياها استثارة إلى سبيل وال

Dan tiada cara untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi itu (rahasia

yang tersimpan dalam gudang hati) selain dengan al-samâ‘, dan tidak

satu pun jalan masuk suara ke dalam hati tanpa melalui pintu

pendengaran.

Tentunya setiap suara pasti memunyai gelombang, tetapi yang dimaksud al-

Ghazâlî tentang gelombang suara tersebut ialah bunyi yang memunyai irama dan

merdu. Bunyi yang berirama dan merdu itulah yang disebut dengan nyanyian,

طيب صوت انه االعم صف وفال

Maka sifat dari nyanyian itu ialah suara yang merdu.2

Mengenai suara yang merdu ini, al-Ghazâlî mengutip firman Allah

“Allah menambahkan ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.

Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” (Q.s Fâthir [35]: 1).

Ada yang mengatakan bahwa maksud dari kata ‘menambahkan’ dalam ayat

tersebut adalah suara yang merdu. Rasulullah bersabda, “Allah. tidak mengutus

seorang nabi kecuali bersuara bagus.” Sabda Rasulullah lainnya, “Siapa saja

1 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 266. 2 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

33

yang membaca al-Qur’ân dengan suara merdu, maka Allah. maka akan

mendengarkan bacaannya lebih daripada seorang mendengar nyanyian dari

penyanyi [budak] wanitanya.” Ada sebuah Ḥadîts yang memuji Nabi Dâwud as.,

bunyinya adalah, “Sesungguhnya Nabi Dâwud biasa bernyanyi dengan suara

demikian merdu sehingga manusia, jin, binatang liar dan burung berkumpul

bersama untuk mendengar suaranya itu.” Hampir empat ratus jenazah dbawa ke

hadapan Nabi Dâwud as. dan beliau menyanyikan lagu-lagu dengan suara

merdunya. Pada suatu hari Rasulullah memuji sahabat Abû Mûsâ al-Asy‘arî

dengan sabdanya, “Sesungguhnya telah diberikan kepadanya (Abû Mûsâ al-

Asy‘arî) serunai dari serunai-serunai keluarga Nabi Dâwud.”3

Dalam teks lain al-Ghazâlî menerangkan bahwa al-samâ‘ ialah

mendengarkan suara yang baik berirama dan dimengerti maknanya serta

menggerakkan hati dan hal itu berarti kenikmatan yang dirasakan oleh indera

pendengaran dan hati seperti kenikmatan oleh indera penglihatan dengan

memandang kepada tanaman hijau serta kenikmatan yang dirasakan hati. 4

Hal ini selaras dengan ungkapan Syihâbuddîn ‘Umar Suhrawardî bahwa al-

samâ‘ terdiri dari suara-suara merdu, langgam (bentuk irama nyanyian) yang serasi

dan padu.5

Dari awal penjelasan di atas tentang pengertian musik, unsur pokok

dalam musik serta pendapat ahli musik tentang asal musik, dapat diketahui

bahwa substansi musik adalah suara, di mana para ahli fisika, termasuk Ibn

3 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 306. 4 Al-Ghazâlî, Ringkasan Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Jakarta: Pustaka Amani: 1995) h.136. 5 Syihâbuddîn, ‘Umar Suhrawardî, ‘Awârif al-Ma‘ârif, h. 59.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

34

Sînâ menyatakan bahwa suara adalah gelombang udara. Secara ontologis

musik merupakan perpaduan antara unsur material dan spiritual; tersusun dari

elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Adapun esensi musik

berupa substansi rohaniah, yaitu jiwa pendengar.6

Dalam teks lain, al-Ghazâlî melanjutkan penjelasannya mengenai

nyanyian, bahwa nyanyian tidak hanya suara yang berirama dan merdu, tetapi ia

juga dapat dipahami dan memunyai fungsi menggerakkan hati. Bahkan ketika

menguasai hati seseorang, nyanyian akan memuntahkan segala yang ada dalam

hati.

Dengan demikian, al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî ialah nyanyian yang

dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.7 Ia

memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material, tetapi

juga memunyai fungsi spiritual.

Karena di dalam al-samâ‘ tercakup nyanyian religius, dijelaskan al-

Ghazâlî kata al-ghinâ berarti lagu atau nyanyian, termasuk al-samâ‘ atau

nyanyian religius.8 Mendengarkan syair religius (al-samâ‘) dapat menggerakkan

dan membangkitkan hati. Apabila yang tetap berakar kuat di dalam hati dapat

digerakkan dan dibangkitkan dengan mendengarkan syair religius. 9

6 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h, 52. 7 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan, 2001),

cet. xi, h. 169. 8 Al-Ghazâlî, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309. 9 Al-Ghazâlî, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

35

B. Epistemologi

Tema-tema yang akan dibahas dalam epistemologi ini meliputi: metode,

sumber dan bentuk al-samâ‘ .

1. Metode

Metode diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk

mencapai suatu maksud10 al-samâ‘.Dalam kajian tentang epistemologi, terdapat

beberapa metode dalam memeroleh pengetahuan di antaranya ialah metode logis,

observasi dan intuitif.11 Metode logis ialah teknik memeroleh pengetahuan melalui

akal.12 Artinya suatu pernyataan akan dikatakan pengetahuan yang benar apabila

peryataan tersebut merupakan kesimpulan dari premis-premis yang kebenarannya

sudah teruji.

Metode observasi merupakan teknik mendapatkan pengetahuan melalui

pengamatan inderawi.13 Bagi penganutnya, metode ini adalah metode paling

otentik karena kebenarannya dapat dibuktikan secara langsung oleh indera.

Sedangkan metode intuitif adalah cara memeroleh pengetahuan melalui hati.

Metode ini juga disebut dengan metode pengetahuan secara langsung, karena

didapatkan melalui pengalaman.14

Sebagaimana al-Ghazâlî katakan bahwa dalam al-samâ‘ terdapat

hubungan antara yang diketahui dan yang mengetahui. Yang diketahui merupakan

10 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, 2008), h. 951. 11 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 52. 12 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya, 2004), cet. ix, h. 135. 13 Anton Bakker, Metodologi Penelitian Falsafah (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet. x, h.

21-22. 14 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 141.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

36

suatu obyek. Dalam ontologi Islam obyek pengetahuan terdiri dari obyek fisik dan

metafisik.15 Sedangkan obyek dari al-samâ‘ ialah obyek metafisik.

16فيها ما تخزج المستلذة الموزونة فالنغمات

Maka segala nyanyian yang berirama yang enak didengar itu merupakan

bentuk ungkapan yang keluar dari perasaan yang tersembunyi dari dalam

hati.17

Dalam teks di atas dijelaskan bahwa al-samâ‘ merupakan suatu bentuk

ungkapan pengalaman yang ditangkap oleh hati, berupa keadaan rindu yang begitu

mendalam kepada Tuhan. Pengalaman dalam hati tersebut ialah pengalaman

spiritual. Pengalaman spiritual merupakan suatu obyek yang diketahui. Sedangkan

yang mengetahui ialah subyek yang merasakan yang kemudian

mengungkapkannya dalam bentuk nyanyian. Dengan demikian dalam al-samâ‘

terdapat suatu makna yang hendak disampaikan kepada penikmatnya tentang

keadaan yang pernah dialami.

Berdasarkan kajian ontologi di atas, metode yang cocok untuk al-samâ‘

ialah metode intuitif, karena al-samâ‘ merupakan bentuk pengalaman batin.

Metode ini digunakan oleh intuisionalisme. Metode ini digunakan untuk

mendapatkan pengetahuan secara langsung dari pengalaman intuitif.18 Pengalaman

tersebut ditangkap oleh hati yang kemudian menjadi suatu pengetahuan bagi

seseorang yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan al-samâ‘, al-Ghazâlî mengatakan bahwa rindu

akan Tuhan yang begitu mendalam merupakan sesuatu yang bersifat batin.

Sedangkan sesuatu yang bersifat batin hanya dapat dikenali atau ditangkap oleh

15 Mulyâdhî Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 31. 16 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 266. 17 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 303-304. 18 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h.140.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

37

indra hati.19 Keadaan hati tersebut yang kemudian tertuang dalam al-samâ‘. Maka,

al-samâ‘ merupakan pengetahuan secara langsung tentang pengalaman batin.

Sebagaimana juga dikatakan oleh al-Fârâbî bahwa al-samâ‘ berarti

mendengar, yang menggambarkan musik sebagai pengalaman suci dan

meletakkannya ke dalam kategori spiritual. 20 Metode intuitif sangat diperlukan,

baik dalam membuat karya-karya seni maupun memahaminya. 21 Dengan intuisi,

al-samâ‘ bisa membantu melahirkan suasana bathin yang halus, indah dan estetis.

Bahkan pada saat bersamaan, jiwa seseorang yang halus, lembut dan estetis dapat

mengekspresikan sesuatu yang bernilai seni. 22 Jadi jelaslah bahwa musik berasal

dari kehidupan spiritual alami yang ada di dalam hati. 23

Kemudian metode berikutnya adalah metode observasi, yaitu metode

dengan panca indera. Mengenai hal ini al-Ghazâlî mengatakan bahwa suara merdu

yang dilakukan oleh manusia mengikuti suara merdu binatang-binatang ciptaan

Allah, tidak sesuatu pun pada makhluk Allah yang tidak dikuti oleh manusia. 24

Dengan kata lain segala sesuatu yang ada di alam ini, merupakan sumber inspirasi

manusia dalam menciptakan seni musik.

Sebagaimana yang dijelaskan Ikhwân al-Shâfâ’ dengan mengatakan bahwa

musik adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Jagat raya ini tersusun

dengan komposisi termulia dan gerakan dengan komposisi yang mulia juga.

Gerakan-gerakan itu menghasilkan suara yang indah, harmonis, terpadu, silih

19 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312. 20 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 174 21 Hazrat Inayat Khan, The Heart of Sufism, (Bandung: Pt. Mizan Pustaka, 2005) h.402 22 Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika Penerbit, 2014) h. 203 23 Hazrat Inayat Khan, The Heart of Sufism, h. 301 24 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 307

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

38

berganti, dan enak didengar serta dapat membahagiakan jiwa ahli langit, malaikat,

dan jiwa-jiwa yang bercahaya.25

Sebagaimana pandangan Abdul Muhaya bahwa manusia memiliki

kemampuan untuk menciptakan musik merupakan fitrah sebagaimana fitrah

manusia yang mampu melihat, mencium, mendengar dan berjalan. Failasuf yang

termasuk dalam madzhab ini adalah al-Fârâbî. Ia berpendapat bahwa manusia

memiliki tabiat menangkap suara indah di sekelilingnya, kemudian dari itulah

musik tercipta oleh manusia. Max Muller juga memiliki teori yang sama dengan al-

Farâbî, bahwa musik merupakan kreatifitas manusia yang muncul setelah manusia

mendengarkan suara-suara alam yang indah. Manusia menyeleksi suara-suara

alam, kemudian suara yang tidak disukainya dibuang dan suara yang indah

diterimanya. Suara yang indah itu dipadukan dengan suara-suara lainnya sehingga

muncullah harmonisasi suara indah yang akhirnya melahirkan sebuah komposisi

musik.26

Ikhwân al-Shâfâ’ kemudian mengembangkan teori ini dengan mengatakan

bahwa musik adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Jagat raya ini

tersusun dengan komposisi termulia dan gerakan dengan komposisi yang mulia

juga. Gerakan-gerakan itu menghasilkan suara yang indah, harmonis, terpadu, silih

berganti, dan enak didengar serta dapat membahagiakan jiwa ahli langit, malaikat,

dan jiwa-jiwa yang bercahaya.27

2. Sumber

25 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h, 47 26 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h, 48 27 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.48.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

39

Dalam gagasan al-Ghazâlî, al-samâ‘ memunyai tiga sumber. Pertama,

benda keras ( إما أنه تخرج من جماد ). Kedua, pita suara hewan ( إما أنه تخرج من حنجرة

28.( إما أنه تخرج من حنجرة إنسان ) Ketiga, pita suara manusia .(الحيوان

Benda-benda keras ( إما أنه تخرج من جماد ) ialah material atau benda-benda

yang disebut juga dengan istilah alat musik, misalkan drum, serunai, gitar, suling

dan lainnya.

Alat musik berdasarkan sumber bunyinya terbagi menjadi lima sumber

bunyi:

- Aerophone, yaitu alat musik yang sumbernya dari getaran udara. Jenis alat

musik ini dimainkan dengan ditiup atau dipompa.

Contoh alat musik yang dimainkan dengan ditiup: melodion, recorder, tuba,

seruling, klarinet, saxophone dan lain-lain.

Sedangkan dengan cara dipompa: akordion

- Chordophone, yaitu jenis alat musik yang bersumber dari dawai. Jenis alat

musik ini cara memainkannya dengan cara dipetik, ada yang digesek, ada

juga yang ditekan.

Contoh alat musik yang dimainkan dengan dipetik: ukulele, banjo, gitar,

sitter, harpa, kecapi, bass gitar dan lain-lain.

Contoh alat musik yang dimainkan dengan cara digesek: cello gesek, contra

bass, biola, rebab dan lain-lain.

Contoh alat musik yang dimainkan dengan cara ditekan: piano akustik dan

orgen

28 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h.307

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

40

- Idiophone, yaitu alat musik yang sumber suaranya dari alat itu sendiri. Cara

memainkannya dengan dipukul.

Contoh: belyra, perangkat gamelan, kulintang, ketipung, tamborin, calung,

angklung, arumba, rebana dan lain-lain

- Membranophone, yaitu alat musik yang sumber suaranya dari membran

atau selaput, (membran dapat berupa: mika, kulit, plastik atau fiberglass.)

Contoh: tamborin, ketipung, tam-tam, senar drum, bedug, rebana, kendang,

genderang, timpani dan lain-lain.

- Elektrophone, yaitu alat musik yang sumber bunyinya dari rangkaian

elektronika yang terdapat di dalam alat tersebut. Dengan kecanggihan

teknologi alat tersebut dapat menghasilkan segala macam alat musik. Cara

memainkannya cukup dengan menekan tombol dan tuts yang ada. Contoh:

keyboard.29

Sementara dalam tradisi al-samâ‘ alat musik yang digunakan berbeda-beda,

contoh: tarekat Mawlâwiyyah, Baktasyiyyah dari Turki, Chistiyyah dari India

menggunakan alat musik seperti kecapi, tanbur (pandore), rebab (rebec), qanun

(sitar), gendang dan seruling bambu (nay).30Orang-orang Kurdi menggunakan alat

musik mandolin yang bergagang panjang dengan dua atau tiga tali.31 Sementara di

Andalusia alat musik yang digunakan adalah kecapi, rebab, gendang dan

seruling.32

29 http:// like-seni-blogspot.co.id/2014/03/alat-musik-berdasarkan-sumber-

bunyi.html?m=1 30 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. Tim

Penerjemah Mizah (Bandung: Mizan, 2003), h. 611. 31 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 626-627. 32 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, h. 633.

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

41

Sumber al-samâ‘ yang kedua dan ketiga adalah pita suara hewan ( إما أنه

seperti suara burung murai, merpati dan lain-lain, termasuk ( الحيوان تخرج من حنجرة

suara manusia ( إما أنه تخرج من حنجرة إنسان ). Menurut al-Ghazâlî, itu semua

termasuk suara merdu alami yang berirama, karena asal atau sumber suara binatang

dan manusia adalah kerongkongan.33

Dari ketiga sumber suara tersebut, suara manusialah yang paling sempurna,

seperti yang dikatakan oleh failasuf dan musikolog al-Fârâbî bahwa suara manusia

mampu menyatukan kembali tiga sifat seni musik, yaitu: bisa membawa

kesenangan dan ketenangan, membangkitkan emosi tertentu dan perasaan tertentu,

serta membicarakan tentang imajinasi dan ide-ide inspiratif. Musik instrumental

kadang-kadang memiliki kualitas tertentu dari ketiga sifat tertentu.34

3. Bentuk

Sedangkan yang terakhir ialah tentang bentuk al-samâ‘. Bentuk al-samâ‘

yang dimaksud ialah hasil dari sumber-sumber bunyi yang sudah dijelaskan di atas.

Hasil dari sumber-sumber tersebut, adakalanya al-samâ‘ berbentuk notasi, irama

adakalanya berupa nyanyian. Al-samâ‘ berbentuk notasi dan irama ketika suara

tersebut keluar dari benda keras dan pita suara burung. Contoh dari bentuk notasi

ini seperti bunyi gitar, seruling, kicauan burung dan lainnya.

Menurut fungsinya alat musik terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

a) Melodis

Yaitu alat musik yang biasanya membunyikan melodi pada suatu lagu, pada

umumnya alat musik ini tidak bisa memainkan kord secara sendirian. Contoh alat

musik melodis adalah biola, terompet, flute dan lain-lain.

33 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 307. 34 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, . 615.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

42

b) Harmonis

Yaitu alat musik yang dimainkan untuk memainkan harmoni pada suatu lagu.

Karena alat musik ini bisa memainkan tiga nada atau lebih secara bersamaan.

Contoh alat musik harmonis adalah gitar, keyboard, piano, harpa, kentrung, sitter

dan lain lain.

c) Ritmis

Yaitu alat musik yang dimainkan sebagai pengiring sekaligus pengatur

tempo pada lagu. Biasanya alat musik ritmis bernada tetap atau tidak bernada.

Contoh alat musik ritmis adalah drum, tamborine, gendang dan lain-lain.35

Maka dapat disimpulkan, bahwa alat musik yang bernada atau bernotasi

adalah alat musik harmonis dan melodis. Sedangkan alat musik yang tidak

memiliki nada tetap atau tidak bernada adalah alat musik ritmis, karena alat musik

ritmis memiliki fungsi sebagai pengatur tempo atau irama lagu.

Di dalam musik, nada dan ritme adalah elemen yang prinsipal untuk

membangun musik.36Lebih menarik lagi yang dikatakan Abdul Muhaya bahwa

secara psikologis, ritme dan dan tempo dalam lagu dapat memengaruhi jiwa

pendengarnya.37

Dalam bentuknya, alat musik tersebut bisa dimainkan hanya alat musik

ritmis saja, atau yang disebut dengan istilah perkusi, yang dimainkan dengan cara

dipukul, ditabuh, digoyang, digosok atau cara lainnya, dengan menggunakan alat

seperti tongkat dan tangan kosong, seperti gendang, rebana, hadroh, marawis,

tamborine, gong dan lain-lain. Atau alat musik ritmis dengan penyanyi, seperti

35 https:// daramarih97. Wordpress.com/ tugas-tugas/ materi-musik/ penggolongan-alat-

musik/ 36 Hazrat Inayat Khan, The Heart of Sufism, h. 306. 37 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 67.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

43

yang dilakukan perempuan-perempuan yang berdendang dengan rebana dan lagu

ketika menyambut kedatangan Rasulullah. dari Makkah:

Telah terbit purnama pada kita

Dari bukit-bukit al-Wadâ‘

Wajiblah syukur bagi kita

Selama penyeru mengajak kepada Allah.38

Atau alat musik saja (melodis, harmonis dan ritmis) tanpa penyanyi atau

yang dikenal dengan istilah instrumental.

Sedangkan ditinjau dalam bentuk notasi, para musikus Arab, Turki dan

Persia kontemporer mendaftar bentuk-bentuk nada tersebut kira-kira berjumlah 22

atau 24, dan yang biasa dipakai ada 12, sementara dalam masa klasik, dipakai kira-

kira seratus.

Bentuk dan tingkatan nada atau mode (dalam bahasa Arab: maqâm, dalam

bahasa Turki: makam; dalam bahasa Persia dastgah atau awaz) adalah suatu tipe

melodi yang diekspresikan melalui serangkaian suara yang disusun dengan baik.

Setiap mode memiliki nama tertentu, yang menunjukkan asal-usul geografisnya

seperti ḥijâz, Nahawând, ‘Irâqî atau posisi dari not-nya yang dominan seperti pada

kecapi: dugah (posisi kedua, atau A), sigah (posisi ketiga atau B) atau

menunjukkan wilayah jiwa fenomena kosmis yang diharapkan bisa diterjemahkan

oleh mode tersebut ke dalam musik: farahfaza (kegembiraan); nesim (angin sepoi);

shaba, (angin pagi, yang membawa kerinduan); zemzeme (bisikan). Konon para

musikus masa lalu tahu pasti tentang maqam dan menampilkannya sesuai dengan

pengetahuan ini, hal seperti ini secara sebenarnya masih dilakukan di India Utara

38 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 172.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

44

dan Pakistan, yang sistem ragasnya mengikuti aturan-aturan yang sangat mirip

dengan mode-mode dari Persia, Turki dan Arab.39

Sedangkan bentuk al-samâ‘ yang keluar dari pita suara hewan seperti

burung adalah berupa kicauan. Menurut al-Ghazâlî, suara burung merupakan suara

merdu yang berirama namun tidak dapat dipahami.40Sementara yang keluar dari

pita suara manusia adalah berupa nyanyian, nyanyian menurut al-Ghazâlî adalah

suara merdu yang dapat dipahami, sebab di dalamnya berisikan syair atau sajak

yang berasal dari manusia ataupun Tuhan (firman), sebagian sufi ada yang memilih

al-samâ‘ dengan bait-bait syair. Mereka beragumentasi lewat sabda Rasulullah.

“Sesungguhnya di dalam syair terkandung hikmah”.41 Sedangkan sebagian lain

memilih al-samâ‘ (mendengar) al-Qur’ân. Mereka beragumentasi dengan firman

Allah,

“Dan bacalah al-Qur’ân dengan tartil (perlahan-lahan)” (Q.s. al-

Muzzammil: 4).

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.”

(Q.s. al-Ra‘d: 28).

Mereka juga beragumentasi dengan sabda Rasulullah. yang mengatakan

kepada Ibn Mas‘ûd, “Bacalah!” Lalu Ibn Mas‘ûd bertanya, “Apakah saya akan

membacanya, semetara kepadamu al-Qur’ân diturunkan?” lalu Rasulullah.

bersabda, “Saya lebih suka mendengarkan bacaan orang lain”42

Al-Ghazâlî menklafikasikan suara manusia sebagai suara merdu berirama

yang dapat difahami.43 Namun syair yang dimaksud al-Ghazâlî dalam kajian ini

adalah syair religius yang dapat menggerakkan dan membangkitkan hati.44

39 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 611-612. 40 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 305. 41 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 305. 42 Abu Mashr as-Sarraj, Al-Luma, Risalah Gusti, h. 568-569. 43 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 305.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

45

Dalam tradisi keagamaan sering dibedakan antara musik vokal (suara

manusia) dan musik yang dihasilkan oleh instrumen. 45Apresiasi terhadap musik

vokal secara historis, sudah ada sejak pra-Islam baik di kalangan bangsa-bangsa

Arab maupun bangsa-bangsa lain. Posisi tersebut tidak bergeser pada masa lalu.46

Hal itu dapat kita lihat pada sikap Rasulullah, ketika al-Nabîghah al-Ja‘dî

melagukan beberapa syairnya di hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda

kepadanya, “Semoga Allah tidak memecahkan gigimu.” ‘A’isyah ra. berkata

bahwa para sahabat Rasulullah biasa membacan (menyanyikan) beberapa bait syair

di hadapan Rasulullah, dan beliau hanya tersenyum. ‘Amr ibn al-Syurayd

meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, “Aku telah mendendangkan seratus bait

syair gubahan Ummiyah ibn Abi al-Shult di hadapan Rasulullah. Semuanya

disambut oleh Rasulullah dengan ucapan beliau, “Teruskan, teruskan.”47

Memang banyak terjadi musik atau nyanyian yang membangkitkan nafsu

setan dalam diri manusia. Namun juga musik dan nyanyian justru membangkitkan

kebaikan. Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa ada tujuh tempat nyanyian yang di

dalamnya berstatus disunnahkan.

Pertama, nyanyian orang yang tengah berhaji. Mereka berjalan berkeliling

dari satu negeri ke negeri lain dengan nyanyian dan serunai. Nyanyian seperti itu

halal, dan syair-syair yang mereka nyanyikan berhubungan dengan Ka‘bah, maqam

Ibrâhîm, Ḥatim, sumur Zam-zam, dan tempat-tempat (syiar-syiar) agama lainnya.

Nyanyian tersebut dapat membangkitkan perasaan rindu untuk berhaji ke Baitullah

dan tempat-tempat suci lainnya.

44 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309. 45 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 54. 46 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 55. 47 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

46

Kedua, para pejuang (mujahid yang sedang berperang) harus diberi

semangat untuk berperang melawan musuh dengan nyanyian. Nyanyian semacam

itu juga halal karena dapat meningkatkan keberanian untuk melawan orang kafir

yang diperangi dan keberanian untuk memertaruhkan hidup karena Allah.

Ketiga, apabila dua orang pejuang bertemu di medan perang, lalu mereka

menyanyikan lagu dan membacakan syair untuk membangkitkan dan menambah

keberanian, maka nyanyian dan syair semacam itu halal karena untuk

menggerakkan kesungguhan berperang.

Keempat, nyanyian sedih atau nyanyian berkabung. Ada dua macam

nyanyian berkabung, yaitu terpuji dan tercela. Nyanyian sedih yang tercela adalah

apabila nyanyian itu menambah kesedihan setelah terjadi bencana atau musibah.

Bersedih karena kematian seseorang termasuk jenis ini karena kesedihan ini

mengungkapkan rasa ketidakrelaan terhadap qadla (keputusan) Allah. Adalah

nyanyian sedih yang terpuji adalah apabila seseorang mengungkapkan

kesedihannya karena dosa-dosa yang telah lalu. Nabi ‘Adam as. menangis

(bersedih) memohon ampun kepada Allah atas kesalahan dan kekhilafannya. Nabi

Dâwud. pun menangis atas perbuatan khilafnya. Banyak orang meninggal karena

mendengar ungkapan kesedihan Nabi Dâwud. tersebut. Perbuatan tersebut adalah

terpuji dan membawa sesuatu kepada hal yang terpuji juga terpuji.

Kelima, nyanyian pada saat perayaan. Nyanyian demikian dapat menambah

kesenangan dan kebahagiaan pada saat perayaan dan pada hari untuk

mengungkapkan rasa syukur dan bahagia. Hari-hari yang dimaksud antara lain

adalah hari raya, walimah pernikahan, perayaan hari kelahiran pada waktu seorang

bayi lahir, yaitu aqiqah atau perayaan pengkhitanan seorang anak. Ketika

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

47

Rasulullah. kembali ke Madînah, dari atap rumah para wanita bernyanyi

menyambut kedatangan beliau, “Telah terbit purnama raya di atas kita dari bukit

Tsaniyyatih al-Wadâ‘ di Makkah, wajiblah kita bersyukur kepada Allah yang

Mahakuasa.” Inilah ungkapan kegembiraan atas kedatangan Rasulullah ke

Madînah dari kepergiannya. Maka demikian adalah terpuji.

Sayyidah ‘Âisyah juga pernah mengatakan, “Aku melihat anak-anak

Ḥabsyî bermain di dalam masjid pada Hari Raya, lalu Rasulallah menutupiku

dengan selendang beliau.” Pada saat itu usia ‘Aisyah ra. belum dewasa, ia merasa

bosan melihat permainan anak Habsyi itu sehingga Rasulullah menutupi

pandangannya.

Keenam, nyanyian para pecinta (orang yang cinta kepada Allah). Nyanyian

ini meningkatkan kecintaan kepada Allah dan memberi kepuasan dan kenikmatan

bagi hati dan jiwa.

Ketujuh, nyanyian seseorang yang mencari kecintaan dan keridlaan Allah

dan merindukan pertemuan dengan-Nya.48

Bahkan Nabi Dâwud pun bernyanyi dan memainkan alat musik untuk

memuji dan mengagungkan Allah.49

Beberapa contoh bait-bait syair yang digunakan oleh para sufi dalam

meningkatkan spiritualnya, seperti dari kitab Mawlidiyyah al-Barzanjî (w.1190

H./1766 M.) di antara kata-kata khususnya adalah sebagai berikut:

Tuan kami Muḥammad selalu tersenyum, ramah; ia tidak pernah

menunjukkan kekasaran sedikit pun, juga kekerasan dalam kata-katanya

atau dalam peringatan-peringatannya; ia tidak pernah menunjukkan

hasrat-hasratnya dan tidak mau memvonis orang lain serta tidak

berbicara yang menyakiti mereka. Ketika ia berbicara, para sahabatnya

48 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309-312. 49 Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah ( Jakarta: Zaman, 2001), h.85.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

48

diam seakan-akan ada burung sedang bertengger di atas kepala

mereka; mereka tidak pernah mengangkat suara untuk mendebat, dan

ketika mereka berbicara, dialah yang diam.

Syair lain yang juga sangat populer di kalangan sufi Afrika Utara dan

Timur Tengah adalah Burdah, “jubah”, yang disusun di Mesir oleh Muḥammad al-

Busyirî (w. 694 H./1926 M); satu karya yang judulnya mengingatkan akan suatu

penyembuhan yang menakjubkan.

Di Turki, pertemuan-pertumuan dari para Darwisy dengan tarian berputar,

tarekat Mawlawiyyah, juga dibuka dengan pujian kepada Nabi, Naat-i Sherif

karangan Itri (1050-1123 H./1640-1711 M.).50

Selain syair-syair yang dibuat manusia, suara manusia memiliki

kemampuan khusus menyampaikan kata/kalam Tuhan. Rasulullah. bersabda,

“Allah tidak akan mengutus seorang nabi kecuali bersuara bagus”. Sabda

Rasulullah lainnya, “Siapa saja yang membaca al-Qur’ân dengan suara merdu,

maka Allah. akan mendengarkan bacaannya lebih daripada seseorang mendengar

nyanyian dari penyanyi (budak) wanitanya”.51

Walaupun pembacaan al-Qur’ân tidak dimaksudkan bersifat musikal, tetapi

acap menggunakan prinsip-prinsip musikal.52Term-term yang dipakai pembacaan

al-Qur’ân tidak mengambil apapun dari kosa-kata musikal; kata-kata yang dipakai

itu, seperti qirâ’ah (membaca), tartîl atau tilâwah (seni membaca), tajwîd dari akar

kata jwd (menghiasi), dan tidak pernah memakai kata ghinâ (lagu, musik vokal).53

Prinsip-prinsip musikal yang digunakan saat pembacaan al-Qur’ân adalah

notasi-notasi yang juga digunakan dalam musik, yaitu maqam atau mode seperti:

50 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 620-621. 51 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 306. 52 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 182. 53 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 616.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

49

Ḥijâz, Nahawând, shâbâ’ dan lain-lain. Mengenai hal itu Rasulullah menegaskan

“Bacalah al-Qur’ân dengan mengikuti melodi dan intonasi orang Arab”.54

C. Aksiologi

Aksiologi al-Ghazâlî adalah tujuan akhir al-samâ‘. Menurutnya,

mendengar nyanyian religius dapat mengeluarkan dari lubuk hati yang terdalam

semua kekuatan pandangan terhadap berbagai hal dan perasaan mendalam serta

hasrat yang tak terkatakan yang hanya dapat dirasakan dan tidak dapat

terungkap. Perasaan ini dapat menyusup ke dalam organ tubuh lainnya selain

hati. Keadaan mabuk dalam istilah kaum sufi disebut dengan wajdah yang

berasal dari kata wujûd atau kesenangan.55 Atau dengan kata lain wajd adalah

refleksi dari keadaan yang dihasilkan al-samâ‘.

Adapun kata wajd yang sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris

“ecstasy”, secara terminologi, menunjukkan pada suatu perasaan yang

ditimbulkan oleh rasa cinta yang sungguh-sungguh kepada Allah dan kerinduan

untuk bertemu dengan-Nya. Perasaan tersebut menggelora ketika mendengarkan

musik; seperti perasaan tenang, merinding, takut, pasrah kepada Allah.56

Kesenangan yang muncul di dalam hati merupakan pengaruh dan akibat

dari nyanyian religius yang tidak ada sebelumnya. Nyala api kesenangan yang

muncul di dalam hati membakar kekotoran hati seperti api menghilangkan

kotoran yang terkumpul pada intan dan permata yang tak ternilai harganya.

54 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 617. 55 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 311-312. 56 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.79.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

50

Hasilnya adalah kejernihan dan kecerahan hati yang tampak dalam musyâhadah

dan mukâsyafah.

Dengan kata lain, pandangan menjadi terbuka (tidak terhijab lagi)

sehingga seseorang dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam. Inilah sasaran para

pecinta Allah dan menjadi tujuan akhir pencarian mereka. Siapa saja yang dapat

mencapai tujuan ini, maka ia akan memperoleh kedekatan tertentu pada Allah.

Tujuan ini mungkin diperoleh dengan al-samâ‘, mendengar nyanyian religius.

57

Al-Ghazâlî menjelaskan bahwa ada dua tahapan dalam mendengarkan

nyanyian. Tahapan pertama adalah memahami makna nyanyian. Tahap kedua

adalah kesenangan (perasaan berkesan yang sangat mendalam).

Tahap pertama, pada tahap ini dibagi menjadi beberapa keadaan,

antara lain,

a) Keadaan alamiah hati untuk mendengar nyanyian dan tidak memiliki

keasyikan lain selain mendengar nyanyian. Dan ini diperbolehkan.

Tingkat ini adalah tingkat pendengaran paling rendah, karena burung

dan binatang lainnya juga berada dalam tahapan ini.

b) Keadaan mengapreasiasi setelah memahami makna nyanyian dan

menerapkan obyek pada orang tertentu. Para pemuda termasuk

dalam keadaan ini karena nafsu syahwat mereka muncul karena

mendengar nyanyian ini. Hal ini dilarang.

c) Keadaan di mana semua nyanyian yang didengar oleh orang yang

mendengar dalam hubungannya dengan Allah. dan perubahan

57 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

51

keadaan hati, ia terapkan pada keadaan dirinya.58 Ini adalah al-samâ‘

bagi sufi pemula (al-murîdîn).59 Al-Ghazâlî menjelaskan bahwa

tujuakan mereka hanyalah untuk mengenal Allah.60 Nyanyian itu

memunculkan perasaan-perasaan batiniah orang yang mendengar.

Lalu, orang yang mendengar itu memaknai nyanyian tersebut

berdasarkan keadaan diri dan hati mereka. Contoh seperti seorang

sufi yang mendengar seorang penyair bermadah, “Seorang utusan

berkata, ‘lihatlah aku besok!’” Pada saat itu ia jatuh pingsan karena

merasa sangat gembira. Ketika ia sadar kembali, ia ditanya tentang

perasaannya itu (mengapa ia pingsan), dan kemudian ia menjawab,

“Aku teringat sabda Rasulullah, ‘Para penghuni surga (ahli surga)

akan mendatangi Rabbnya sekali seminggu, yaitu pada setiap hari

Jumat. Oleh karena itu, nyanyian dapat membangkitkan perasaan-

perasaan tersembunyi seseorang seperti khamr membangkitkan nafsu

seseorang. Kecuali seseorang yang dijaga atau diselamatkan oleh

Allah dengan cahaya petunjuk-Nya.

d) Para sufi yang telat melewati tingkatan dan kondisi spiritualitas.

Mereka, ketika mendengar lantunan syair dan sebagainya, tidak lagi

terpengaruh selain Allah. 61Inilah tingkatan tertinggi ma‘rifah, di

mana mereka kehilangan segala sesuatu kecuali pengenalan atau

ma‘rifah kepada Allah. Bahkan ia kehilangan kepribadiannya,

keadaannya, dan amal serta perbuatannya. Ia seperti orang yang

58 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 318-319. 59 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. .64 60 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 319. 61 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.64-66

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

52

terombang-ambing di lautan di mana ia tenggelam di dalamnya. Dan

keadaan orang itu, seperti keadaan para wanita yang terpotong

tangan mereka ketika melihat ketampanan Nabi Yusûf.62

Keadaan kaum sufi mengibaratkan dirinya telah fanâ‘ fillâh (lenyap

atau hilang ke dalam Allah). Seakan-akan ia telah fana dari segala

sesuatu selain Yang Mahaesa yang disaksikannya (al-Waḥid al-

Masyhûd). Orang yang sangat mencintai Allah tidak dapat melihat

sesuatu yang lain selain Allah. Ia seperti seorang yang tengah mabuk

sehingga kehilangan rasa terhadap segala sesuatu.

Dan sesungguhnya, tingkat yang paling sempurna (al-kamâl) adalah suatu

keadaan di mana seseorang melupakan (fanâ‘) kehidupan dan keadaanya. Orang

yang mencapai tingkat demikian mendengar nyanyian untuk Allah dan mendengar

ilmu tentang dan dari Allah. Tingkat ini adalah untuk seseorang yang dirinya

tenggelam dalam cahaya kebenaran dan melintas batas keadaan dan amalan.

Kefanaan orang itu bukanlah kefanaan tubuh tetapi kefanaan jiwa. Dengan jiwa,

maksudnya bukanlah dengan darah dan daging, tetapi lathifah atau esensi (rahasia)

yang berhubungan dengan Allah dan yang merupakan sesuatu yang spiritual.

Esensinya adalah seperti sebuah cermin bersing yang jernih-terang tak berwarna.

Cermin itu dapat menerima warna apapun yang dijatuhkan kepadanya.63

Ini adalah termasuk tingkatan dari tingkatan-tingkatan ilmu mukâsyafah;

suatu tingkatan yang kadang-kadang menimbulkan rasa yang disebut dengan

ittiḥâd dan kadang disebut dengan ḥulûl.64 Ḥulûl artinya perubahan keadaan atau

perubahan rupa atau bentuk, transfigurasi. Nama lain dari ḥulûl adalah ittiḥâd atau

62 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 320. 63 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 320. 64 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 66-67.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

53

perpindahan. Hal ini hampir sama dengan umat Nasrani yang mendakwakan lâhût

dan hâsût (sifat Ilah dan kemanusian).65

Tahap Kedua, setelah memahami nyanyian, datanglah apa yang disebut

sebagai kesenangan atau kesan yang sangat mendalam dari nyayian tersebut. Dzûn

al-Nûn al-Mishrî berkata bahwa, “Mendengarkan nyanyian religius mengantarkan

orang yang mendengar kepada kebenaran”. Abû al-Husayn al-Darrâj berkata,

“Dalam al-samâ‘ terdapat hubungan kesenangan (al-wajd) yaitu perasaan

mendalam di dalam hati dan jiwa yang terbangkitkan akibat dari mendengar

nyanyian”. Abû al-Husayn berkata lagi, “Mendengarkan nyanyian religius

membawaku ke lapangan yang indah dan memberi kepadaku minuman lezat dalam

cangkir kesucian dan, karena itu aku memperoleh maqam kenikmatan dan

kelezatan”.

Seorang ahli hikmah berkata, “Nyanyian itu adalah makanan bagi jiwa ahli

ma‘rifah.” ‘Amr ibn ‘Utsmân al-Makkî berkata, “Tidak ada kata yang dapat

menjelaskan al-wajd (kesenangan, perasaan yang sangat mendalam seperti mabuk)

karena al-wajd adalah rahasia (sirr) Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin

dan teguh keyakinannya.” Abû Sa‘îd ibn al-‘Arabî berkata bahwa makna al-wajd

adalah diangkatnya hijab, maksudnya adalah penutup atau selubung antara seorang

hamba dengan Rabbnya, menyaksikan yang gaib (al-Raqîb), penampakan kata-kata

yang tersembunyi sehingga menghadirkan pemahaman. Abû Sa‘îd berkata pula,

“al-wajd akan muncul pada saat berdzikir dengan hebat, pada saat ketakutan yang

menggoncangkan atau karena penghinaan, atau pada saat mendapatkan keuntungan

(faedah) besar, pada saat tergelincir hebat, pada saat melihat seuatu yang gaib,

65 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 321.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

54

pada saat bersedih karena kehilangan sesuatu, atau karena sesal atas dosa-dosa

yang telah lalu.” Al-wajd artinya menghadirkan sesuatu yang lahir, berhadapan

yang lahir dengan yang lahir, yang batin dengan yang batin, yang gaib dengan

yang gaib, rahasia dengan rahasia (sirr dengan sirr). Karena itu, ada perjalanan

tanpa menggunakan kaki dan berdzikir tanpa dzikir lahiriah.66

Al-wajd adalah keadaan mental yang dihasilkan dari keadaan mental, yang

terbagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah mukâsyafah dan musyâhadah yang

membawa kepada pengetahuan yang gaib dan tidak terbayangkan. Jenis kedua

adalah membawa kepada perubahan, ketakutan dan penyesalan yang tak

terbayangkan. Dan hanya mendengarkan nyanyianlah keadaan-keadaan ini akan

terbangunkan. Apabila ada perubahan atau gerakan anggota-anggota tubuh (secara

lahiriah) disebabkan oleh nyanyian, maka itulah yang disebut dengan al-wajd.

Muslim al-Badanî berkata, “Pada suatu hari, para ahli hikmah (Sḥaḥîh Mar‘î,

Utsbah al-Ghulâm, ‘Abd al-Wâḥid dan Muslim Aswarî) duduk di dekat kami di

pinggir pantai. Lalu ia meneruskan ceritanya, pada suatu malam aku menyiapkan

makanan untuk mereka. Lalu aku mengundang mereka makan dan mereka pun

datang. Tatkala aku meletakkan makanan di hadapan mereka, tiba-tiba seorang

penyanyi melantunkan sebuah nyanyian berikut,

“Siapa saja yang terus-menerus lupa akhirat

Dengan makanan lezat

Akan dilemparkan ia ke neraka

Makanan lezat pun tiada guna.”

Muslim al-Badanî melanjutkan ceritanya, mendengar nyanyian tersebut,

‘Utsbah al-Ghulâm memekik dengan keras lalu jatuh pingsan. Mereka pun tidak

66 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 321-322.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

55

memakan makanan yang aku sajikan dan kemudian aku angkat makanan itu dari

hadapan mereka.67

Apabila suci dan bersih, maka hati dapat mendengarkan pesan dari langit

dan juga dapat melihat Nabi Khidlir karena Nabi Khidlir nampak pada mereka

yang memiliki pengalaman jiwa dalam berbagai bentuk yang berlainan. Dalam

keadaan seperti ini, para malaikat menjelmakan dirinya kepada para nabi.

Rasulullah melihat malaikat Jibril dua kali dalam bentuknya yang menutupi

seluruh langit. Itulah yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya.

“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibrîl) yang sangat kuat, yang memunyai

akal cerdas; dan (Jibrîl itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang ia

berada di ufuk yang tinggi.” (Q.s. al-Najm [53]: 5-7).

Pengetahuan yang terbangkitkan pada diri seseorang dalam keadaan hati

yang tidak umum disebut al-tasharruf (pengetahuan ruhaniah bawaan atau sejenis

firasat). Karena itulah Rasulullah bersabda, “Takutilah firasat orang mukmin

karena mereka melihat dengan Cahaya Ilahi.” Rasulullah memberi isyarat

mengenai al-kasyaf ini dengan sabdanya, “Apabila setan-setan tidak mengganggu

hati anak ‘Adam, niscaya mereka (mampu) memandang alam malakut yang

tinggi.”

Berkaitan dengan beberapa jenis pengetahuan di seputar ilmu batiniah atau

ruhaniah, apabila wajd pergi, maka kasyf dapat dijelaskan. Kasyf tidak dapat

dijelaskan karena kasyf adalah sesuatu yang gaib dari dunia yang gaib. Al-Ghazâlî

menjelaskan bahwa ada dua jenis wajd yaitu, al-wajd yang muncul secara spontan,

dan al-wajd yang dihasilkan dengan melalui berbagai kesulitan. Sebagaimana

67 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 322.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

56

Rasulullah pernah bersabda, “Ya Allah, Rabbku, anugerahilah aku untuk dapat

mencintai Engkau dan mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai

orang yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau.” 68

Perasaan yang bergetar dan lembut karena takut kepada Allah dapat pula

disebut dengan al-wajd. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang

beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetar hati mereka,

dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka

(karenanya) dan kepada Allah mereka bertawakkal.” (Q.s. al-Anfâl [8]: 2).

Dengan demikian, dari segi keadaannya, takut kepada Allah adalah al-wajd.

Dari berbagai riwayat disebutkan bahwa banyak di antara kaum sufi yang

jatuh ke dalam al-wajd setelah mendengar alunan bacaan al-Qur’ân. Rasulullah

bersabda, “Surah Hud dan surat-surat lainnya yang serupa dengannya telah

membuat aku beruban.” Hal ini bisa menjelaskan tentang al-wajd. Dalam suatu

riwayat Rasulullah ketika membaca sebuah ayat al-Qur’ân berikut,

Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat

dan neraka yang menyala-menyala. Dan makanan yang menyumbat di

kerongkongan dan adzab yang pedih. (Q.s. al-Muzzammil [73]: 12-13}.

Beliau lalu pingsan. Dalam suatu riwayat Rasulullah membaca ayat,

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-

hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesunnguhnya

Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Mâ’idah [5]:

118).69

Lalu beliau menangis. Dalam riwayat lainnya, Rasulullah, apabila

membaca ayat rahmat (ayat yang isinya tentang rahmat), maka beliau berdo’a dan

68 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 323-324. 69 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 324.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

57

wajahnya tampak gembira. Kegembiraan itu disebut dengan al-wajd. Allah memuji

orang yang memunyai al-wajd atau disebut ahl al-wajd disebabkan oleh al-Qur’ân.

“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul

(Muḥammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata

disebabkan kebenaran (al-Qur’ân) yang telah mereka ketahui (dari kitab-

kitab mereka sendiri), seraya berkata, ‘Ya Rabb kami, kami telah beriman,

maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas

kebenaran al-Qur’ân dan kenabian Muḥammad}’” (Q.s. al-Mâ’idah [5]:

83).

Diriwayatkan pula, bahwa apabila Rasulullah mengerjakan shalat, maka

dadanya berbunyi menggelegak seperti bunyi gelegak air yang mendidih di dalam

periuk.70

Keadaan para sufi ternama pun tidak jauh berbeda. Pada suatu malam bulan

Ramadhan, al-Syiblî tengah berada di masjid. Ia mengerjakan shalat di belakang

imam. Pada waktu itu imam membaca,

“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan

apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan penyelenya pan

itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami,”

(Q.s. al-Isrâ’ [17]: 86).

Tiba-tiba al-Syiblî berteriak-teriak sehingga mukanya berubah menjadi

merah padam dan hatinya pun amat takut. Al-Junayd berkata, “Aku masuk ke

tempat Sirrî al-Suqthî. Aku melihat di hadapannya seorang laki-laki yang pingsan.”

Lalu Sirri berkata kepadaku,”Ini orang yang baru saja mendengar sebuah ayat al-

Qur’ân, lalu jatuh pingsan.” Maka aku berkata kepadanya, “Bacakan kepadanya

ayat itu lagi.” Lalu kepadanya dibacakan ayat tersebut, maka ia pun siuman. Lalu

Sirrî bertanya, “Dari manakah sumbernya sehingga engkau mengatakan

demikian?” Aku menjawab, “Aku melihat Nabi Ya‘kûb buta matanya karena

70 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 324-325.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

58

kehilangan putranya, maka karena puteranya pula beliau dapat melihat kembali.”

Sirrî memandang jawaban baik tersebut dan memerlihatkannya, pada syair yang

dibacakan al-Junaid berikut,

Kuminum lagi segelas khamer dan kutemui keselamatan

Kuperoleh citarasa dan kuminum dengan kenikmatan.

Apabila pembacaan ayat al-Qur’ân tidak menyebabkan hati seseorang

mengalami perubahan, maka ia ibarat orang yang tidak mendengar apapun ketika

kepadanya dikatakan sesuatu. Ia tidak ada bedanya dengan seorang yang bodoh,

tuli dan dungu.71

Namun keadaan spiritual itu (al-wajd) seringkali dicapai tidak hanya

melalui lantunan ayat-ayat al-Qur’ân tetapi juga melalui lantunan syair-syair

(nyanyian) dan musik.72 Oleh karena itu, tidak heran kalau orang-orang sufi

berkata, “Al-samâ‘ lebih mampu mendatangkan al-wajd daripada membaca al-

Qur’ân dan lebih kuat pengaruhnya.”73

Menurut Al-Ghazâlî, bahwa tidak seluruh ayat al-Qur’ân dimaksudkan

untuk membangkitkan emosi, misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti

mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan seperdua untuk saudara

perempuannya, atau perintah seorang janda mesti menunggu empat bulan sebelum

menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang, dan mesti orang yang sangat

peka yang dapat tenggelam mendengar lantunan ayat-ayat seperti itu.

71 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 326. 72 Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah, h. 90. 73 Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi, h. 196.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

59

Alasan lainnya, bahwa orang-orang telah begitu akrab dengan al-Qur’ân,

bahkan banyak orang yang hafal sehingga akibat terlalu sering diulang-ulang,

pengaruhnya semakin lemah. 74

Dalam keterangan lain pada buku Darah Hitam Tasawuf, Dr. Ihsan Ilahi

dlahir mengungkap alasan lainnya,

Pertama, sesungguhnya irama perkataan dengan dukungan cita rasa syair

memunyai pengaruh yang kuat di hati. Jadi suara yang berirama lagi indah itu

berbeda dari suara indah tapi tidak berirama. Dan irama itu ada dalam syair dan

tidak ada dalam al-Qur’ân.

Kedua, sesungguhnya pengaruh syair yang berirama itu berbeda dari

pengaruh melodi. Perbedaan pengaruh tersebut ditentukan oleh pemanjangan

sesuatu yang pendek, atau pemendekan sesuatu yang panjang, atau berhenti di

tengah-tengah kalimat, atau memotong dan menyambungnya. Itu semua

diperbolehkan dalam syair dan tidak boleh diterapkan dalam al-Qur’ân karena ia

harus dibaca seperti diturunkan. Memanjangkan waqaf , dan memotongnya dengan

menyalahi prosedur membaca al-Qur’ân adalah haram atau makruh. Jadi jika

seseorang membaca al-Qur’ân seperti awal ia diturunkan, maka pengaruhnya

hilang darinya dan penyebabnya ialah irama lagu. Pengaruh sebab tersebut

independen, kendati tidak bisa dipahami, sebagaimana pada paduan nada, atau

seruling, atau alat-alat lainnya yang tidak bisa dipahami.

Ketiga, sesungguhnya lagu yang berirama bisa menjadi kuat dengan

harmoni dan suara-suara lain yang beriram di luar tempat pertemuan, seperti

memukul kayu sehingga berbunyi, atau menabuh rebana, dan lain sebagainya.

74 Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah, h. 91-92.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

60

Karena al-wajd yang lemah itu tidak bisa dipengaruhi kecuali dengan alat yang

kuat dan ia bisa kuat dengan seluruh alat-alat tersebut. Masing-masing alat tersebut

memunyai pengaruh yang berbeda dari yang lain.

Keempat, bisa jadi penyanyi mendendangkan lagu dengan bait-bait syair

yang tidak sesuai dengan kondisi pendengar. Jika bait-bait syair tersebut tidak

sesuai dengan kondisi dirinya, ia pun membencinya, melarangnya dan meminta

yang lain saja. Jadi tidak semua bait itu cocok dengan semua kondisi dan al-Qur’ân

termasuk dalam kategori ini.

Kelima, sesungguhnya al-Qur’ân adalah firman Allah, sedangkan firman-

Nya adalah sifat-Nya. Al-Qur’ân adalah kebenaran yang tidak sanggup dipikul

manusia jika al-Qur’ân tersebut telah muncul, karena ia bukan makhluk yang tidak

mampu dipikul oleh sifat-sifat yang diciptakan. Sedang suara-suara merdu itu

sesuai dengan watak manusia dan kaitan suara-suara merdu dengan watak manusia

adalah kesenangan dan bukan hak. Sedang kaitan al-Qur’ân yang merupakan

firman Allah dengan watak manusia adalah kaitan hak dan bukan kesenangan.75

75 Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi, h. 198-

199.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

61

BAB V

A. KESIMPULAN

Dari apa yang dijelaskan di atas dapat penulis simpulkan bahwa al-samâ‘

menurut al-Ghazâlî ialah nyanyian yang dinikmati pendengarnya, dapat dipahami

dan menggerakkan hati pendengar. Ia memandang al-samâ‘ sebagai kesenian

yang tidak hanya bersifat material, tetapi juga memunyai fungsi spiritual.

Secara ontologis al-Ghazâlî menjelaskan bahwa al-samâ‘ ialah nyanyian

yang dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.

Ia memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material,

tetapi juga memunyai fungsi spiritual.

Sedangkan secara epistemologi al-samâ‘ialah bentuk al-samâ‘, baik

sebagai notasi maupun nyanyian, tidak hanya terdapat pesan-pesan tentang

keindahan, tetapi juga menyimpan pesan tentang kecintaan kepada Tuhan. Inilah

yang membedakan dari seni musik lainnya, yang hanya menyimpan makna

keindahan semata.

Sedangkan secara aksiologis al-samâ‘ menyimpan makna-makna tersirat

tentang kerinduan kepada Tuhan. Makna tersebut nanti yang akan dipahami dan

menggoncangkan hati pendengar hingga sampai pada titik musyâhadah dan

mukâsyafah.

B. SARAN-SARAN

Pertama, musikus dan musisi Islam di tanah air hendaknya mengetahui

bagaimana dan apa tujuan para sufi menggunakan musik dan nyanyian religi.

Ternyata orang-orang sufi terdahulu meletakkan posisi sebagai sesuatu aktivitas

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

62

yang suci. Dari merekalah kita dapat belajar agar menggunakan musik dan

nyanyian religi sebagai sarana spiritual.

Kedua, Umat Islam mesti bangga dengan warisan-warisan seniman

terdahulu, karena para musikus Islam tidak menggunakan partitur sebagaimana

musikus barat, tetapi di Islam sendiri telah merangkum dalam bentuk yang disebut

maqam atau tingkatan nada atau mode. Oleh karena musikus Islami perlu

mempelajari maqam tersebut, seperti bayati, hijaz, shoba, jiharkah, nahawand, rost

dan sikah.

Ketiga, hendaknya para musisi dan penyanyi membuat syair-syair yang

bermutu, baik dari segi arransment maupun pesan yang dimaksud.

Keempat, para musikus, musisi maupun penyanyi religi jangan khawatir

dengan persaingan pasar musik di tanah air. Lihatlah bagaimana Maher Zein yang

laku keras di pasaran Internasional, sebab memang Maher Zein mampu membuat

arransment, syair dan nada yang berkwalitas tinggi.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

63

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Amatullah. Sufi Terminology (Al-Qamus Al-Sufi), The Mystical

Languae Of Islam, Bandung:Mizan, 2001.

Atsari, Muslim. Adakah Musik Islami?, Solo: At-Tibyan, 2015.

Al-Baghdâdî, ʻAbdurraḥmân. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik

dan Tari, terj. Rahmat Kurnia dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.

Bakker, Anton. Metodologi Penelitian Falsafah, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dhahir, Ihsan Illahi. Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi ,

Bekasi: PT. Darul Falah, 2015.

Eaton, Marcia Muelder. Persoalan-Persoalan Dasar dalam Estetika, terj. Embun

Kenyowati, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Ernst, Carl W.. Ajaran dan Amaliah Tasauf, terj. Arif Anwar, Yogyakarta:

Pustaka Sufi, 2003.

Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Libanon: Dar Al-Fikr, tt.

Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah, Jakarta: Zaman, 2001.

Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan,

2001.

Al-Ghazâlî, RingkasanIḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Jakarta: Pustaka Amani, 1995. ‘Isâ,

Bakâr‘Abd al-Qâdir. Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat

Press, Tangerans Selatan: Ciputat Press, 2007.

Glasse, Cyril. “as-samâ‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj.

Ghufron A Masudi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

http:// like-seni-blogspot.co.id/2014/03/alat-musik-berdasarkan-sumber-

bunyi.html?m=1

https:// daramarih97. Wordpress.com/ tugas-tugas/ materi-musik/ penggolongan-

alat-musik/

‘Isâ, ‘Abd al-Qâdir. Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat Press,

Tangerans Selatan: Ciputat Press, 2007.

J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Libririe Du

Liban, dan London: Mac Donald & Evans LTD, 1980.

Jawas, Yazid ibn Abdul Qadir. Hukum Lagu, Musik dan Nasyid Menurut Syariat

Islam, Bogor: Pustaka at-Taqwa, 2015.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

64

Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein

Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis.

Kattsoff, Louis O.. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya, 2004.

Khan, Hazrat Inayat. The Heart of Sufism, Bandung: Pt. Mizan Pustaka, 2005.

Leaman,Oliver. Estetika Islam, terj. Irfan Abu Bakar, cet. I, Bandung: Mizan,

2005).

Ma’lûf, Louis. Al-Munjid, cet. Xxxvi, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1991.

Michon, Jean Louis. “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein

Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M.

Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S. Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin

SF., Bandung: Mizan, 2003.

Nasr, Seyyed Houssen. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj.

Tim Penerjemah Mizah. Bandung: Mizan, 2003.

Al-Nîsâbûrî, Al-Qusyayrî. Risâlah al-Qusyayriyyah: Induk Ilmu Tasawuf, terj.

Hakim, Muhammad Luqman. cet. ii, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Proklamasi,

1987.

Penyusun, Tim. Kamus Besar Bahasa Indnesia, Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, Jakarta: LPSI, 2008.

Ridjaluddin, Psikologi Islam: Jiwa Pemikiran Al-Ghazâlî Dan Keterkaitannya

Teori Psikologi Barat Modern, Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI

Uhamka Jakarta, 2009.

Ridjaluddin, Sabar dalam Pandangan Imam al-Ghazâlî, Ciputat: Lembaga Kajian

Islam Nugraha Ciputat, 2009.

Sâbiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, Bandung: al Ma’arif, 1990.

Schimmel, Annimarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono,

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Suhrawardî, Syihâbuddîn ʻUmar. ʻAwârif al-Maʻârif, terj. Ilma Nugrahani Ismaʻil,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Falsafah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS SAPUTRA-FU.pdfrepository.uinjkt.ac.id

65

Qaradlâwî, Yûsuf, al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra, terj. Hasan Abrari,

Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Umar, Nasaruddin. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit, 2014.