repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36636/2/ENJIS...
AL-SAM‘ MENURUT AL-GHAZÂLÎ
(Ditinjau dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Strata 1 (S-1)
Oleh
Enjis Saputra
NIM : 109033100041
PROGRAM STUDI AQIDAH FALSAFAH
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul AL-SAMÂʻ MENURUT AL-GHÂZÂLI DITINJAU
DARI ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI, telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2017. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag.) pada
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta, 30 Oktober 2017
Sidang Munaqasyah;
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Tien Rohmatin, M.A. Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A. NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 197804242015031001
Anggota;
Penguji 1, Penguji 2,
Hanafi, M.A. Dr. ArrazyHasyim, M.A. NIP: 19691216 199603 100 2
Pembimbing;
Nanang Tahqiq, M.A. NIP: 19660201 199103 1 001
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
f = ف a = ا
ق b = ب = q
k = ك t = ت
l = ل ts = ث
م j = ج = m
n = ن ḥ = ح
w = و kh = خ
h = ه d = د
’ = ء dz = ذ
ى r = ر = y
z = ز
s Untuk Madd dan Diftong = س
آ sy = ش = â
إى sh = ص = î
و أ dl = ض = û
و أ th = ط = aw
ay = أى zh = ظ
‘ = ع
gh = غ
vi
ABSTRAK
Enjis Saputra
Al-Samâ‘ Menurut al-Ghazâlî (Ditinjau dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi)
Al-Ghazâlî mendefinisikan al-samâ‘ sebagai nyanyian religius yang dapat
menggerakkan dan membangkitkan hati. Nyanyian menurutnya adalah suara yang
merdu dan suara yang merdu itu terbagi menjadi dua, yaitu suara merdu yang
dapat dipahami seperti syair (puisi atau lirik) yang keluar dari pita suara manusia.
Suara yang tidak dapat dipahami seperti suara yang keluar dari pita suara hewan
seperti kicau burung dan lain-lain, termasuk suara benda keras yaitu alat musik.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud al-samâ‘ dalam penelitian ini adalah
aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian (syair-syair) dengan musik atau
tanpa alat musik yang bercorak religius sebagai upaya penyucian jiwa.
Secara ontologis al-Ghazâlî menjelaskan bahwa al-samâ‘ ialah nyanyian
yang dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.
Ia memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material,
tetapi juga memunyai fungsi spiritual.
Secara epistemologi al-samâ‘ialah bentuk al-samâ‘, baik sebagai notasi
maupun nyanyian, tidak hanya terdapat pesan-pesan tentang keindahan, tetapi
juga menyimpan pesan tentang kecintaan kepada Tuhan. Inilah yang membedakan
dari seni musik lainnya, yang hanya menyimpan makna keindahan semata.
Secara aksiologis al-samâ‘ menyimpan makna-makna tersirat tentang
kerinduan kepada Tuhan. Makna tersebut nanti yang akan dipahami dan
menggoncangkan hati pendengar hingga sampai pada titik musyâhadah dan
mukâsyafah.
vii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang amat sangat mendalam, penulis serahkan jiwa dan raga ini
kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada
penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muḥammad saw beserta keluarganya,
para sahabat serta para pengikutnya yang telah menyebarluaskan warisan
kenabian dan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas
pengharaman ahli Fiqh terhadap musik. Tampaknya al-Ghazâlî memunyai
pandangan lain yang jauh lebih menarik terhadap status musik. Ia justru
menjadikan musik sebagai salah satu jalan menuju Tuhan.
Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya
merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada:
1. Drs. Nanang Tahqiq, MA yang telah membimbing saya dengan sangat sabar,
teliti dan mencerahkan hingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam), terima
kasih telah menyetujui proposal skripsi. Terimakasih atas keramahan, nasihat
dan bantuannya hingga akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
3. Dekan Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
membantu saya.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1
B. Batasan Masalah .................................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ................................................................................................. 7
D. Metode Penelitian .................................................................................................. 7
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................................... 8
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................................... 8
BAB II BIOGRAFI ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ
A. Perjalanan Hidup ........................................................................................ 9
B. Karya-Karya ............................................................................................. 13
BAB III TEORI AL-SAM‘ (MUSIK)
A. Pengertian ................................................................................................ 16
B. Fungsi ....................................................................................................... 19
D. Tanggapan para Ahli Fiqh terhadap Konsep al-Samâ‘ ............................ 24
BAB IV AL-SAM‘ ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ
A. Ontologi ................................................................................................... 32
B. Epistemologi ............................................................................................ 35
C. Aksiologi .................................................................................................. 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 61
B. Saran-saran ............................................................................................... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara bahasa, kata ألسماع (al-samâ‘) dalam kamus al-Munjid berasal dari
kata سمع dan إستماع yang berarti mendengarkan.1 Sedangkan Oliver Leaman
mengartikan kata al-samâ‘ dengan sensasi yang mengacu pada pendengaran hati,
semacam meditasi.2 Tetapi para ilmuwan Islam memunyai pandangan yang
berbeda tentang al-samâ‘. Sebagian memandang bahwa al-samâ‘ adalah
mendengarkan dan pendengaran, sebagian lagi memandang istilah al-samâ‘
sebagai kata lain dari musik.
Di antara ilmuwan yang mengartikannya dengan mendengarkan ialah al-
Qusyayrî al-Nîsâbûrî. Baginya al-samâ‘ ialah aktifitas mendengarkan syair yang
bernada indah.3 Tidak jauh berbeda darinya, Anniemarie Schimmel juga
mengartikan al-samâ‘ dengan mendengarkan musik dan gerakan tari.4 Meskipun
mereka mengartikannya dengan mendengarkan, tetapi obyek dari aktifitas tersebut
ialah musik.
Sedangkan bagi al-Fârâbî al-samâ‘ merupakan salah satu istilah Arab
untuk musik.5 Tetapi ia membatasinya sebagai musik yang hanya menggambarkan
pengalaman suci yang bersifat spiritual. Sedangkan musik menurut orang Arab
1 Louis Ma’lûf, Al-Munjid (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1991), cet. xxxvi, h. 351. 2 Oliver Leaman, Estetika Islam, terj. Irfan Abu Bakar (Bandung: Mizan, 2005), cet. i, h.
174. 3Al-Qusyayrî al-Nîsâbûrî, Risâlah al-Qusyayriyyah: Induk Ilmu Tasawuf, terj.
Muhammad Luqman Hakim (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet. ii, h. 422. 4 Anniemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ii, h. 228. 5 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 174.
2
kuno (sebelum masuknya ajaran Islam) dipandang sebagai suatu irama yang
berasal dari semacam gendang atau bentuk ritme.6
Lebih menarik lagi ungkapan Syihâbuddîn ʻUmar Suhrawardî bahwa al-
samâ‘ tidak hanya meliputi suara merdu yang bersifat lahir, tetapi juga suara
merdu yang bersifat batin.7 Suara batin yang dimaksud ialah seruan Allah yang
sampai pada dirinya. Maka al-samâ‘ menurutnya ialah segala suara, baik yang
dapat didengarkan oleh telinga atau suara yang dapat didengarkan oleh hati.
Sedangkan al-Ghazâlî menggunakan al-samâ‘ sebagai bagian dari musik.
Mengenai kajian tentang al-samâ‘, ia membahasnya di bab khusus dalam karya
magnum opusnya, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu “Kitâb Âdâb al-Samâ‘ wa al-Wajd”.8
Baginya al-samâ‘ sangat erat kaitannya dengan bunyi atau gelombang suara yang
ditangkap oleh pendengaran. :
9االسماع دهليز نإالم القلوب إلى وال مفذ السماع خفاياها استثارة إلى سبيل وال
Dan tiada cara untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi itu
(rahasia yang tersimpan dalam gudang hati) selain dengan al-samâ‘,
dan tidak satu pun jalan masuk suara ke dalam hati tanpa melalui pintu
pendengaran.
Dalam hal ini, mengidentifikasi dan mengidentikkan al-samâ‘ bukan saja
bunyi yang memunyai irama dan merdu, tetapi juga nyanyian (nada juga
lirik/syair.
طيب صوت انه االعم صف ول فا
Maka sifat dari nyanyian itu ialah suara yang merdu. 10
6 ʻAbdurraḥmân al-Baghdâdî, Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari,
terj. Rahmat Kurnia dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 15. 7 Syihâbuddîn ʻUmar Suhrawardî, ʻAwârif al-Maʻârif, terj. Ilma Nugrahani Ismaʻil
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) cet. i, h. 59 8 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz II (Singapura: Sulaymân Mara’ȋ, tt), h. 266. 9 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 266.
3
Hal ini selaras dengan ungkapan Syihâbuddîn ‘Umar Suhrawardî bahwa
al-samâ‘ terdiri dari suara-suara merdu, langgam (bentuk irama nyanyian) yang
serasi dan padu.11
Dalam teks lain, al-Ghazâlî melanjutkan penjelasannya mengenai
nyanyian, bahwa nyanyian tidak hanya suara yang berirama dan merdu, tetapi ia
juga dapat dipahami dan memunyai fungsi menggerakkan hati. Bahkan ketika
menguasai hati seseorang, nyanyian akan memuntahkan segala yang ada dalam
hati.
Dengan demikian, al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî ialah nyanyian yang
dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.12 Ia
memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material, tetapi
juga memunyai fungsi spiritual.
Dalam rangka menjelaskan konsep al-samâ‘ Ghazâlî secara komprehensif,
tulisan ini akan menelitinya dari tiga aspek falsafah: ontologi, epistemologi dan
aksiologi.
Dalam gagasan al-Ghazâlî, al-samâ‘ memunyai tiga sumber. Pertama,
benda keras ( إما أنه تخرج من جماد ). Kedua, pita suara hewan ( من حنجرة إما أنه تخرج ).
Ketiga, pita suara manusia ( إما أنه تخرج من حنجرة اإلنسان ).13
Benda-benda keras ialah material atau benda-benda yang disebut juga
dengan istilah alat musik, misalkan drum, serunai, gitar, suling dan lainnya. Pita
suara hewan seperti pita suara burung murai, merpati dan hewan lainnya.
10 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268. 11 Syihâbuddîn ‘Umar Suhrawardî, ‘Awârif al-Ma‘ârif, h. 59. 12 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan,
2001), cet. xi, h. 169. 13 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 269.
4
Sedangkan pita suara manusia ialah alat dan organ tubuh manusia yang dapat
mengeluarkan bunyi yang sempurna.
Dari sumber-sumber bunyi yang sudah dijelaskan di atas, adakalanya al-
samâ‘ berbentuk notasi, adakalanya berupa nyanyian. Al-samâ‘ berbentuk notasi
ketika suara tersebut keluar dari benda keras atau pita suara burung. Contoh dari
bentuk notasi ini seperti bunyi gitar, seruling, kicauan burung dan lainnya
Sedangkan nyanyian merupakan bentuk al-samâ‘ yang keluar dari pita suara
manusia, dalam bentuk syair (lirik).
Yang menarik dalam kajian epistemologi al-samâ‘ ini ialah terletak pada
bentuknya. Dalam bentuk al-samâ‘, baik sebagai notasi maupun nyanyian, tidak
hanya terdapat pesan-pesan tentang keindahan, tetapi juga menyimpan pesan
tentang kecintaan kepada Tuhan.14 Inilah yang membedakan dari seni musik
lainnya, yang hanya menyimpan makna keindahan semata.15
Tema-tema yang akan dibahas dalam karya tulis ini meliputi metode,
sumber dan bentuk al-samâ‘. Metode diartikan sebagai cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud,16 al-samâ‘. Sumber ialah tempat
keluar.17 Itu berarti tempat keluarnya al-samâ‘. Sedangkan bentuk ialah wujud
yang ditampilkan.18 Dengan demikian, bentuk al-samâ‘ ialah wujud yang
ditampilkan al-samâ‘.
Berdasarkan kajian ontologi yang pernah saya paparkan di atas, metode
yang cocok untuk al-samâ‘ ialah metode intuitif, karena al-samâ‘ merupakan
14 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312. 15 Marcia Muelder Eaton, Persoalan-Persoalan Dasar dalam Estetika, terj. Embun
Kenyowati (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h.90. 16 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 951. 17 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia, h. 1387. 18 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia, h. 179.
5
bentuk pengalaman batin. Metode ini digunakan oleh intuisionalisme. Metode ini
digunakan untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung dari pengalaman
intuitif.19 Pengalaman tersebut ditangkap oleh hati yang kemudian menjadi suatu
pengetahuan bagi seseorang yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan al-samâ‘, al-Ghazâlî mengatakan bahwa rindu
akan Tuhan yang begitu mendalam merupakan sesuatu yang bersifat batin.
Sedangkan sesuatu yang bersifat batin hanya dapat dikenali atau ditangkap oleh
indra hati.20 Keadaan hati tersebut yang kemudian tertuang dalam al-samâ‘. Maka,
al-samâ‘ merupakan pengetahuan secara langsung tentang pengalaman batin.
Untuk membuktikan kebenaran al-samâ‘, seseorang harus mengalami
langsung. Terdapat dua tahap dalam membuktikan kebenarannya. Tahap pertama,
memahami makna nyanyian. Tahap kedua ialah lahirnya kesan yang sangat
mendalam dari nyanyian tersebut. Dalam tahap kedua ini, seseorang akan
mengalami wajd yaitu perasaan yang mendalam di dalam hati yang terbangkitkan
oleh al-samâ‘.21
Sebagai bentuk eskpresi kerinduan kepada Tuhan, al-samâ‘ menyimpan
makna-makna tersirat tentang kerinduan kepada Tuhan. Makna tersebut nanti
yang akan dipahami dan menggoncangkan hati pendengar hingga sampai pada
titik musyâhadah dan mukâsyafah. Sebagaimana dijelaskan Khudori Soleh bahwa
al-samâ‘ dapat pula menciptakan kerinduan kepada hidup abadi dan kerinduan
kepada Tuhan bagi para penikmatnya, karena ia merupakan bentuk ekpresi kreatif
19 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h.140. 20 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312. 21 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 318-321.
6
dalam citra cipta Tuhan.22 Paragraf terakhir merupakan pembahasan tentang
aksiologi al-samâ‘. Penulis membahasnya karena ontologi, epistemologi dan
aksiologi memunyai keterkaitan erat.23
Dari keunikan tersebut yang telah dijelaskan, menjadi sangat menarik
untuk dikaji lebih mendalam tema tentang al-samâ‘ yang disajikan al-Ghazâlî.
Maka dari itu penulis menjadikan al-samâ‘ al-Ghazâlî sebagai tema penelitian
skripsi dengan judul al-Samâ‘ menurut al-Ghazâlî: Ditinjau dari Aspek
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
B. Batasan Masalah
Penulis memfokuskan pembatasan masalah skripsi ini pada kajian tentang
aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, pokok perumusan yang akan
dituangkan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah konsep al-Samâ‘ dalam
pandangan al-Ghazâlî. Kemudian bagaimana landasan ontologi dan
epistemologinya dan seperti apa aspek aksiologinya.
D. Metode Penelitian
Skripsi ini adalah hasil dari penelitian pustaka dengan rujukan buku primer
Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karangan Abû Ḥâmid al-Ghazâlî.
Sedangkan rujukan buku sekunder ialah Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam; Disertasi Abdul Muhaya, Bersufi melalui Musik,
22 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Falsafah Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
h. 310. 23 Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1987),
h.15.
7
Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh al-Ghazâlî: Hazrat Inayat khan, The Heart of
Sufism dan masih banyak lagi buku-buku tambahan.
Metode yang digunakan adalah metode deskripsi-analitik. Metode
deskriptif digunakan untuk menjelaskan segala hal tentang al-samâ‘ dengan jalan
mengumpulkan data, menyusun atau menglasifikasikannya, menganalisis dan
menginterpretasikannya. Metode analitik digunakan untuk mengangkat pendapat
al-Ghazâlî tentang al-samâ‘.
Teknik penulisan, dan penyusunan menggunakan Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Sedangkan pedoman transliterasi menggunakan
pedoman Paramadina.
E. Tinjauan Kepustakaan
Kajian mengenai pemikiran al-Ghazâlî memang sudah banyak dilakukan
oleh sarjana UIN Syarif Hidayatullah, demikian juga dengan kajian mengenai al-
samâ‘ dan musik.
Skripsi-skripsi tersebut di antaranya ialah Etika Sosial menurut Abû
Ḥâmid al-Ghazâlî oleh Muslihuddin jurusan Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014;
Al-Ghazâlî : Tela‘ah Falsafi tentang Pencarian Sumber Ilmu Pengetahuan dalam
Kitab al-Munqizh min al-Dlalâl oleh Muhammad Wahib. MH.
Musik dalam Tradisi Tasauf: Studi al-Samâ‘ dalam Tarekat Mawlawiyah
oleh Zaenal Abidin pada tahun 2008. Mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dimensi Musik dalam
8
Islam: Pemikiran Hazrat Inayat Khan oleh Ali Kemal pada tahun 2010,
mahasiswa Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Seni Musik dalam Tasauf: Studi Kasus terhadap Lagu-lagu Dewa 19 pada Album
Laska Cinta oleh Cecep Burhanuddin pada 2012, Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Dan Kajian Hadis-hadis Tematik tentang Seni Musik oleh
Subur Abdurrahman pada 2012, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tetapi dari sekian banyak pembahasan tersebut tidak satu pun yang
membahas pemikirannya tentang al-samâ‘. Maka dari itu, penulis akan membahas
secara komprehensif tentang konsep al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian yang
komprehensif mengenai pandangan al-Ghazâlî mengenai konsep al-samâ‘.
Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini ialah:
1. Untuk mengetahui latar belakang al-Ghazâlî sehingga muncul konsep
al-samâ‘.
2. Untuk mengetahui lebih jelas konsep al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî.
3. Untuk mengetahui relevansi al-samâ‘ menurut Abû Ḥâmid al-Ghazâlî
dalam masyarakat.
9
BAB II
BIOGRAFI ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ
A. Perjalanan Hidup al-Ghazâlî
Nama lengkapnya adalah Abû Ḥâmîd Muḥammad bin Muḥammad al-
Ghazâlî seorang ulama yang berpengaruh dan diagungkan dalam dunia Islam.
Gelarnya antara lain adalah Ḥujjah al-Islâm yang mengandung arti bukti
kebenaran. Al-Ghazâlî dilahirkan di desa Gazaleh dekat Thus, Turjan Utara
tahun 450.H/1058 M.1 Ayahnya salah seorang ilmuwan, pencipta ilmu
pengetahuan dan seorang sufi yang saleh, tetapi kondisinya tidak mendukung
untuk mendalami ilmu pengetahuan. Ia menginginkan anaknya al-Ghazâlî dan
Aḥmad dapat mendalami ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, sang ayah
menyerahkan kedua anaknya kepada salah seorang sahabatnya. Kedua anak
itu kemudian mendapat bimbingan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Kemudian gurunya itu menyarankan kepada al-Ghazâlî dan saudaranya untuk
melanjutkan pelajaran pada sebuah sekolah di kota kelahirannya dan mereka
pun melanjutkan pelajaran pada sekolah tersebut tanpa dipungut biaya.
Di kota kelahirannya ini al-Ghazâlî pertama kali memelajari ilmu-
ilmu agama, di antaranya fiqh kepada Alimad ibn Muḥammad al-Zakhrânî.
Untuk memeroleh pendidikan yang lebih tinggi al-Ghazâlî pergi merantau.
Mula-mula ia pergi ke Jurjan di sebelah Tenggara Laut Kaspia.2 Namun
sebelum al-Ghazâlî melanjutkan pendidikannya di Jurjan, terlebih dahulu ia
belajar kepada Aḥmad ibn Muḥammad al-Razkâni al-Thûsî. Kemudian
1 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî (Jakarta: LPSI, 2008), h. 17. 2 Ridjaluddin, Sabar dalam Pandangan Imam al-Ghazâlî (Ciputat: Lembaga Kajian Islam
Nugraha Ciputat, 2009), h. 28.
10
setelah dianggap cukup untuk belajar di daerahnya sendiri, lalu berangkat ke
Jurjan dan di sana berguru kepada salah seorang imam besar di Ḥaramayn
(Makkah dan Madînah), pada perguruan yang dipimpin oleh Abû Nash al-
Islâmî ini, dan secara lebih luas ia memelajari berbagai disiplin ilmu yang
meliputi semua bidang ilmu bahasa dan agama.3
Barulah pada tahun 1077 M. ia pergi ke Nisapur. Ketika berada
Nisapur, al-Ghazâlî banyak menimba ilmu tasauf dari al-Juwaynî, selain itu
memelajari ilmu tasauf dari Syekh Abû Alî al-Fadl ibn Muḥammad ibn al-
Farmadî (wafat 477 H). Selama belajar ilmu tasauf kepada Syekh tersebut ia
juga mengajar dan menulis ilmu fiqh. Ketika al-Juwaynî wafat dan pelajaran
tasaufnya sudah dikuasai, ia pindah ke Mustaskar untuk mengikuti berbagai
forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual.4
Pada 478 H/085 M. al-Ghazâlî masuk ke dalam lingkaran istana
Nizhâm al-Mulk, wazir Saljuk yang sangat berkuasa, Sultan Malik Syah, dan
menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizhâm al-Mulk mengangkatnya
menjadi pengajar fiqh Syâfi‘iyyah tahun 484 H. di Madrasah Nizhâmiyyah
Baghdad (484 H./1091 M.) dan dalam waktu singkat al-Ghazâlî mampu
menarik banyak murid.
Selama empat tahun dia menjadi guru besar dan terkenal.
Mahasiswanya lebih dari 300 pada saat yang bersamaan ia menguasai
falsafah al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dan belajar sendiri suatu prestasi yang belum
pernah dicapai oleh seorang teolog pada saat itu. Pertama ia menulis
rangkuman obyektif yang lebih panjang dari kedua pendapat failasuf itu,
3 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 17. 4 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 17.
11
tulisan itu dijadikan sebuah buku yang berjudul Maqâshid al-Falâsifah.
Setelah itu al-Ghazâlî menulis kritik yang begitu mengena terhadap
pandangan yang mengenai al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dalam Tahâfut al-
Falâsifah.
Tetapi di balik fenomena keberhasilannya, al-Ghazâlî mengalami
penderitaan batin. Ia mengalami keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang ia
peroleh selama ini. Setiap pengetahuannya, baik di bidang teologi maupun
falsafah, mengandung kelemahan. Teologi dan falsafah tidak mengantarkan
keyakinan yang sebenarnya. Oleh sebab itu, pada tahun 1095 M. al-Ghazâlî
meninggalkan Baghdad dan pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji.
Kepergian al-Ghazâlî ke Makkah hanyalah sebagai jalan untuk meninggalkan
karirnya sebagai ahli hukum, teolog dan dosen universitas agar dapat
mengabdi kepada Tuhan secara sempurna. Motif yang sebenarnya untuk
menjawab perubahan drastis ini dipertanyakan. Salah satu faktornya adalah
ketidakpercayaan al-Ghazâlî sendiri terhadap ilmu pengetahuan empiris dan
rasional. Di samping itu hubungan yang jelek dengan penguasa Bani Saljuk
yang bernama Barkiyaruk yang diangkat pada bulan Februari 1095 M. juga
merupakan faktor yang memengaruhi keputusan itu. Barkiyaruk adalah
seorang sultan yang gemar khamr dan bermewah-mewahan. Alasan yang
utama adalah antipati terhadap sikap keduniaan yang menyolok dari sebagian
rekan-rekannya para ahli hukum dan sarjana. Ini dilakukan al-Ghazâlî karena
ia merasa tidak bisa menegakkan kehidupan yang lurus dalam masyarakat
seperti itu. Tindakan ini merupakan reaksi yang biasa buat orang-orang yang
12
benar-benar alim di daerah relatif sederhana menghadapi kehidupan
masyarakat yang serba hedonis.5
Ia kembali ke Persia sebelum 493 H./1099 M., dan meneruskan
uzlahnya selama musim panas pada tahun 499 H./1106 M. ketika Fakhr al-
Mulk, wazir Sultan Sanjar Saljuk, membujuknya agar meringkas ajaran
fiqhnya di Madrasah Nizhâmiyyah Nisapur. Kembalinya al-Ghazâlî ke
kehidupan publik hanya berlangsung kurang lebih dua tahun, karena pada 503
H./1109 M. ia akhirnya kembali menetap di Thus, tempat ia meninggal pada
505 H./1111 M.
Dalam periode panjang uzlahnya, terjadi transformasi mendalam pada
minat spekulatif al-Ghazâlî dan bahkan pandangan hidupnya. Ia tak tertarik
lagi pada falsafah dan mencurahkan diri sepenuhnya pada tasauf dan
pembaharuan ajaran agama ortodoks. Dalam Munqizh, autobiografi yang
disusun antara 501 H./1107 M. dan 503 H./1109 M., ia mengungkapkan
perasaan yang nyaris mesianik (messianic), yang sadar bahwa “Tuhan Yang
Mahatinggi telah berjanji menghidupkan kembali agama-Nya pada awal
setiap abad”. Al-Ghazâlî yakin bahwa dirinyalah orang yang ditunjuk
menjalankan tugas tersebut bagi zamannya, dan mengejar tujuan
pembaharuannya itu dengan menyusun karya besar, yang berjudul Iḥyâ‘
‘Ulûm al-Dîn, dan ringkasan lengkap karya penting tersebut, yaitu Kitab al-
Arba‘în fî Ushûl al-Dîn di samping ringkasannya yang berbahasa Persia,
Kîmiyâ‘ al-Sa‘âdah.6
5 Ridjaluddin, Psikologi Islam: Jiwa Pemikiran al-Ghazâlî dan Keterkaitannya Teori
Psikologi Barat Modern, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI Uhamka Jakarta, 2009), h. 55-56. 6 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,h. 328.
13
Al-Ghazâlî dalam riwayatnya selain mahir berbicara juga amat
produktif menulis. Karya tulisannya diperkirakan lebih dari 228 buku atau
risalah dalam berbagai lapangan ilmu: tasauf, teologi, falsafah, logika, fiqh,
dan lain-lain. Sayang sekali dari ratusan karyanya kurang lebih 54 judul buku
saja yang sudah dijumpai oleh kalangan ilmuwan kontemporer.7
Sebagai ulama yang mengerti falsafah, al-Ghazâlî menyerang falsafah
secara telak, sebab menurutnya, falsafah akan merugikan agama. Menurutnya
falsafah itu terdiri dari enam cabang, yaitu: matematika, logika, politik, etika
dan ketuhanan.
Tiga cabang pertama katanya tidak ada sangkut pautnya dengan
agama, karena itu tidak perlu diserang atau diingkari. Sedangkan ilmu politik
dan etika tidak lain menurut al-Ghazâlî berasal dari Nabi dan sufi yang
kemudian dimanfaatkan oleh para failasuf. Hanya pada cabang ketuhanan
(metafisik) dijumpai berbagai pendapat-pendapat yang menurutnya perlu
disalahkan.8
B. Karya-karya
Dewasa ini, banyak orang menulis tentang al-Ghazâlî, dengan
mengemukakan berbagai bentuk tulisan dan kerangka akademik, sesuai
disiplin ilmu yang dimilikinya.
Para fuqaha misalnya membahas sosok dan karya al-Ghazâlî melalui
kitab fiqhnya yang terkenal, yang bermadzhab Syâfi‘î. Kitab fiqh karya al-
Ghazâlî yang disusun berdasarkan keluasan dan kedalaman wawasan ilmu
fiqhnya, ternyata ada empat kitab, yaitu: al-Basîth, al-Wâjiz, al-Wasîth dan
7 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 19. 8 Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, h. 20.
14
khulâshah. Masing-masing dari keempat kitab fiqh di atas, memuat fiqh
sampai pada tataran tertentu.
Dari kalangan ilmu ushul fiqh banyak membahas ilmu ushûl fiqh al-
Ghazâlî melalui kitabnya al-Mankhûl, yang ditulis pada masa mudanya
dengan meringkas pendapat-pendapat gurunya, Imâm al-Ḥaramayn. Di
samping itu, al-Ghazâlî juga menulis kitab al-Musytasyfâ yang kemudian hari
kitab ini dinilai sebagai salah satu pilar ilmu ushûl fiqh.
Adapun orang-orang yang gemar memelajari falsafah, ilmu kalâm,
dan logika kebanyakan mengaji karya-karya al-Ghazâlî melalui kitab di
antaranya ialah
1. Maqâshid al-Falâsifah,
2. Tahâfut al-Falâsifah,
3. Al-Munqizh Min al-Dlalâl,
4. Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd,
5. Fayshal al-Tafriqah,
6. Qawâ‘id al-Aqâ‘id,
7. Al-Maqshûd al-Asmâ‘ fî Syarḥ Asmâ’Allâh al-Ḥusnâ,
8. Mi’yar al-Ulûm, Muḥiqqu al-Nazhar,
9. Al-Qisthas al-Mustaqîm,
10. Iljâm al-‘Awwâm fî al-‘Ilmi al-Kalâm,
11. Jawâhir al-Qur’ân,
12. Kîmiyâ‘ al-Sa‘âdah,
13. Ma‘ârij al-Quds,
14. Misykât al- Anwâr.
15
Sekalipun kitab terakhir ini masih diragukan sebagai karyanya.
Para peniliti dari disiplin ilmu tasauf, akhlak dan pendidikan, rata-rata
melakukan studinya melalui karya-karya al-Ghazâlî, di antaranya ialah:
1. Iḥya ‘Ulûm al-Dîn (sebagai karya yang terbesar),
2. Minhâj al-‘Âbidîn, Bidâyah al-Hidâyah,
3. Mîzân al-‘Amal,
4. Mi‘râj as-Sâlikîn,
5. Ayyuhâ al-Walad.
Adapun para penulis dari kalangan ilmu perbandingan agama, dapat
memelajari karya-karya al-Ghazâlî melalui kitab, di antaranya ialah
1. Al-Qawl al-Jamîl fî al-Raddi ‘alâ Man Ghayyara al-Injîl,
2. Fadlâ’il al-Bâthiniyah,
3. Ḥujjah al-Ḥaqq,
4. Mufashshal al-Khilâf,
5. Al-Raddu al-Jamîl li Ilâhiyyât Îsâ bi Sharḥ al-Injîl dan lain-lain.
Di samping itu para penulis akan banyak mendapatkan pengetahuan-
pengetahuan lain dari karya al-Ghazâlî, seperti pengetahuan tentang ekonomi,
dengan teorinya yang mendalam dan kompetitif. Bagi para peniliti yang
mengetahui kitab Iḥyâ ‘Ulûm al-Dîn saja, mereka akan mendapatkan
pengetahuan tersebut, di samping juga terdapat pada kitab-kitab lain, seperti
di dalam kitab Al-‘Ilm, Asrâr al-Zakâh, Kasb al-Ma‘îsyah, al-Ḥalâl wa al-
Ḥarâm, al-Bukhl, Al-Zuhd, dan lain-lainnya.9
9 Yûsuf Qaradlâwî, al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra, terj. Hasan Abrari (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 43-45.
16
BAB III
TEORI AL-SAM‘
A. Pengertian
Mengenai musik spiritual yang dibahas dalam penelitian ini adalah
musik spiritual yang berkembang dalam dunia spiritual Islam, yaitu musik
yang digunakan oleh para sufi, yang lebih dikenal dengan istilah al-samâ‘. Al-
samâ‘ secara bahasa berasal dari bahasa Arab; samâ‘, sam‘, sami‘a, yang
berarti mendengar.1 Dalam kamus al-Munjid kata al-samâ‘ diartikan sebagai
mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat diartikan al-ghinâ
(nyanyian).2 Kata al-samâ‘, dalam bahasa Arab Klasik bisa berarti nyanyian,
musik atau alat musik.3 Kemudian istilah ini dikenal sebagai sebutan untuk
penggunaan musik oleh para sufi sebagai sarana pencarian Tuhan, atau
sebagai alat bantu kontemplatif.4 Kata al-samâ‘ dalam bahasa Inggris berarti
hearing, listening, listening in auditioning, audition.5 Para sarjana Barat
kebanyakan mengartikan al-samâ‘ dengan listening to musik and singing,
spiritual music, dan spiritual concert. Ini karena para sarjana Barat itu melihat
bentuk lahiriah dari praktik al-samâ‘, yang berupa kegiatan mendengarkan
syair, nyanyian yang diiringi instrumen musik secara berkelompok (konser
musik).6
Dr. Ihsan Ilahi Dhahir memberikan pengertian al-samâ‘ sebagai
kegiatan mendengarkan lagu dan bait-bait syair dengan
1 J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Libririe Du
Liban, dan London: Mac Donald & Evans LTD, 1980), h. 430. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 19 3 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 20. 4 Cyril Glasse, “as-samâ‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron
A Masudi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 352. 5 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 19 6 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 27.
17
menggunakan alat musik dan terkadang tidak. Jika tidak
menggunakan alat, maka disertai dengan siulan dan tepuk tangan.
Ibn ‘Ajîbah al-Ḥusnî berkata, al-samâ‘ ialah mendengarkan syair-
syair dengan melodi dan musik.7
Di antara ilmuwan yang mengartikannya dengan ‘mendengarkan’ ialah al-
Qusyayrî al-Nîsâbûrî. Baginya al-samâ‘ ialah aktifitas mendengarkan syair yang
bernada indah.8 Tidak jauh berbeda darinya, Anniemarie Schimmel juga
mengartikan al-samâ‘ dengan mendengarkan musik dan gerakan tari.9 Meskipun
mereka mengartikannya dengan mendengarkan, tetapi obyek dari aktifitas tersebut
ialah musik.
Sedangkan bagi al-Fârâbî al-samâ‘ merupakan salah satu istilah Arab
untuk musik.10 Tetapi ia membatasinya sebagai musik yang hanya
menggambarkan pengalaman suci yang bersifat spiritual. Sedangkan musik
menurut orang Arab kuno (sebelum masuknya ajaran Islam) dipandang sebagai
suatu irama yang berasal dari semacam gendang atau bentuk ritme.11
Menurut Amâtullâh Amstrong, al-samâ‘ adalah ”konser spiritual” atau
audisi atau pendengaran. Istilah ini mengacu secara khusus pada perkumpulan
kaum sufi yang mempergunakan musik dan lagu sebagai sarana untuk membuka
qalbu. 12 Dalam tradisi sufi, musik umumnya sangat dihormati. Al-samâ‘ secara
7 Dr. Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi
(Bekasi: PT. Darul Falah ,2015), h. 167
9 Annimarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ii, h. 228 52 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 174. 53ʻAbdurraḥmân al-Baghdâdî, Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari,
terj. Rahmat Kurnia dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 15. 50 Amatullah Amstrong, Sufi Terminology (Al-Qamus Al-Sufi), The Mystical Languae Of
Islam (Bandung:Mizan, 2001), h. 253.
18
harfiah berarti “audis” dan dalam tradisi sufi al-samâ‘ mengacu pada
pendengaran dengan hati, semacam meditasi. 13
Secara substansial praktik al-samâ‘ merupakan salah satu dari pengalaman
mistis para sufi, yang menurut William James, pengalaman mistis itu memiliki
empat karakteristik yaitu : a) tidak dapat dilukiskan b) kebenarannya tidak dapat
diragukan lagi oleh para penempuhnya c) merupakan kondisi spiritualitas yang
cepat sirna namun berkesan sangat kuat d) merupakan kondisi pasif yang datang
dari anugerah Tuhan. Oleh karena itu al-samâ‘ dalam kalangan sufi memiliki arti
yang beragam dan penjelasannya melalui bahasa tidak pernah sampai pada
deskripsi realitas sebenarnya.14
Elemen sentral yang menjadikan praktik spiritual ini disebut musik sufi
adalah: di dalamnya terdapat ritual yang menggunakan suara manusia yang
membacakan syair-syair (lirik) yang ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muḥammad
dan para wali.15
Kekuatan utama yang menghidupkan musik dalam praktik al-
samâ‘ adalah manifestasi kata-kata Tuhan secara esensial. Kata itu mengingatkan
manusia terhadap suatu kondisi sebelum penciptaan, masih bersatu dengan jiwa
universal, terpancar dari cahaya original.16
Al-Qusyayrî juga memberikan penjelasan dalam risalahnya tentang al-
samâ‘ dengan mengatakan bahwa al-samâ‘ adalah menemukan berbagai rahasia
51 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 192 14 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 24-25 15 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasauf, terj. Arif Anwar (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2003), h. 254. 16 Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein Nasr
(ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M. Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S.
Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin SF. (Bandung: Mizan, 2003), h. 608-609.
19
yang tersembunyi (al-ghuyûb) melalui pendengaran hati, dengan pemahaman hati
nurani terhadap hakekat Tuhan yang dituju (al-murâd).17
Menurut Ikhwân al-Shâfa‘, al-samâ‘ merupakan musik yang memunyai
nilai agung. Ia merupakan musik yang menjulang tinggi ke alam ruhaniah.
Sedangkan unsur-unsurnya, baginya yang harus terpenuhi dalam musik adalah
suara yang mengandung lagu, nada, dan cengkok.
Dalam beberapa sumber tentang tasauf, al-samâ‘ dapat diartikan secara
eksoterik, sebagai kegiatan mendengarkan musik atau nyanyian atau syair (lagu-
lagu) untuk mencapai derajat ekstase (wajd).18
Sedangkan al-Ghazâlî mendefinisikan al-samâ‘ sebagai nyanyian religius
yang dapat menggerakkan dan membangkitkan hati. Nyanyian menurutnya adalah
suara yang merdu dan suara yang merdu itu terbagi menjadi dua, yaitu suara
merdu yang dapat dipahami seperti syair (puisi atau lirik) yang keluar dari pita
suara manusia. Suara yang tidak dapat dipahami seperti suara yang keluar dari pita
suara hewan seperti kicau burung dan lain-lain, termasuk suara benda keras yaitu
alat musik.19 Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud al-samâ‘ dalam penelitian
ini adalah aktivitas mendengarkan musik atau nyanyian (syair-syair) dengan
musik atau tanpa alat musik yang bercorak religius sebagai upaya penyucian jiwa.
B. Fungsi al-Samâ‘
Dalam lintasan sejarah dunia Islam, banyak sekali sufi yang seniman dan
seniman yang jadi sufi. Bahkan terkadang ada di antara mereka sulit
membedakan mana keduanya lebih menonjol, apakah dia sebagai sufi atau
17 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 23.
19 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h.305
20
seniman.20 Dan salah satu seni yang akrab bagi para sufi adalah al-samâ‘. Al-
samâ‘ bagi para sufi memiliki kedudukan yang penting sebagai sarana spiritual
mereka. Bagi mereka al-samâ‘ (musik) memiliki fungsi yang beragam
membawa jiwa ke alam realitas, menyejukkan hati, mengeluarkan permata
Ilahiyah yang tersimpan dalam relung hati, pembersih hati, dan meningkatkan
kerinduan dan kecintaan kepada Allah. Dan bahkan musik juga dijadikan sarana
mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mencapai derajat wushûl .21 Oleh
karena itu banyak dalam karya-karya tulisan mereka, terdapat bab khusus yang
membahas al-samâ‘. Seperti di dalam kitab Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah dan Iḥyâ‘ ‘Ulûm
al-Dîn sebagai karya terbesar Abû Ḥâmîd Muḥammad ibn Muḥammad al-
Ghazâlî, Bâwariq ‘al-Ilm karya Aḥmad al-Ghazâlî, saudara Abû Ḥâmîd
Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazâlî, al-Risalah al-Qusyayriyyah fî ‘Ilm at-
Tashawwuf karya Abû al-Qâsim al-Qusyayry, al-Luma‘ karya Abû Mashr al-
Sarrâj dan lain-lain.
Kalau kita kaji secara psikologis musik dapat mengantarkan jiwa
pendengar untuk berpulang ke alam ide universal, yaitu alam di mana seluruh
jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang berasal dari kenikmatan bersifat
rohani.22
Al-Syâdzilî
berpendapat bahwa al-samâ‘ (musik) memiliki beberapa
fungsi, yaitu; menyejukkan batin para sufi yang sedang mengarungi perjalanan
spiritualitas, membangkitkan roh para wali, dapat menyejukkan roh-roh,
meringankan belenggu (dalam perjalanan spiritualitas), menghilangkan
20 Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2014), h. 203 21 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 17-18 22 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 56
21
kesedihan dan dapat mendatangkan kebahagiaan.23 Al-Safaraynî berkata bahwa
al-samâ‘ dapat mengobarkan sesuatu yang ada dalam hati, menggerakkan suatu
yang ada di dalamnya.24
Namun selain fungsi yang bermanfaat bagi sufi itu, di sisi lain musik
dapat menyebabkan keburukan bagi pendengarnya. Al-Syiblî (seorang sufi wafat
tahun 334 H.) memberi peringatan, “Mendengarkan musik secara lahiriah adalah
godaan dan secara batiniah merupakan pelajaran. Siapa yang mengenal tanda-
tanda mistis (isyârah) boleh mendengarkan pelajaran itu. Jika tidak dapat (dan ia
mendengarkan), maka ia telah mengundang godaan dan membiarkan dirinya
terkena bencana”.25
Secara psikologis terdapat hubungan saling memengaruhi antara musik
dengan kondisi jiwa. Suatu saat musik dapat memengaruhi kondisi jiwa, di saat
lain terjadi sebaliknya.26 Oleh karena itu, failasuf seperti al-Kindî menggunakan
alat musik, bukan sekedar hiburan semata, tetapi ia menggunakannya sebagai
obat untuk menyembuhkan penyakit jiwa dan raga.27
Ikhwân al-Shafâ‘ berpendapat bahwa yang membedakan musik dari
seni-seni yang lain adalah bahwa substansi yang kepadanya bekerja, yaitu jiwa-
jiwa pendengarnya, sebagaimana unsur yang dipakainya, not-not dan irama, itu
berhubungan dengan sesuatu yang sangat halus dan material. Musik memilki
predikat kemuliaan tertinggi karena di dalammya terdapat kekuatan, yang
mampu membangkitkan semangat, yang dapat menerbangkan jiwa yang telah
teratur proporsinya untuk masuk ke dalam wadah tempat jiwa-jiwa itu
23 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 57 24 Bakâr‘Abd al-Qâdir ‘Isâ, Spiritualitas Ideal Dalam Islam, h. 127-128. 25 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 60. 26 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 62 27 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 11
22
dahulunya berasal.28
Pengaruh yang ditanamkan oleh irama dan melodi dari
seorang musikus dalam jiwa pendengarnya itu beragam. Kesenangan yang
ditarik jiwa-jiwa dari irama-irama dan melodi, serta cara jiwa-jiwa tersebut
menariknya juga beragam dan berbeda-beda. Itu tergantung pada tingkatan yang
di dalamnya terdapat jiwa bersemayam dalam wilayah gnosis (al-ma‘ârif) dan
pada sifat baik perilaku yang menjadi objek permanen dari cintanya. Maka
ketika setiap jiwa mendengarkan gambaran-gambaran yang sesuai dengan obyek
dari kegembiraannya, kesenangannya, akan merasa senang dan gembira dalam
bayangan bahwa musik itu terbuat dari yang dicintainya.29
Bagi para sufi al-samâ‘ adalah cahaya santapan ruhani, karena al-samâ‘
adalah penggambaran lembut tentang seluruh perbuatan dan dengannya watak
bisa diketahui.30 Dalam ‘Awârif al-Ma‘ârif dikatakan bahwa musik (al-samâ‘)
bagi sebagian orang seperti makanan. Bagi sebagian orang lainnya, ia seperti
obat, dan bagi sebagian orang, ia seperti kipas. Ungkapan ini pada dasarnya,
menunjukkan bahwa musik memiliki fungsi, energi, penyembuhan dan penyejuk
jiwa manusia.31 Seperti juga yang dikatakan al-Qusyayrî bahwa al-samâ‘
(mendengarkan musik) adalah perjalanan yang dapat mengantarkan kita ke
pesan-pesan gaib, penjelasan yang dapat menghilangkan keraguan, merupakan
makanan dan obat bagi ruh, penyejuk dan pembersih hati.32
Al-Hujwîrî menyebutkan salah seorang dari syaikhnya berkata, “al-
samâ‘ adalah pengungkapan rahasia-rahasia karena di dalamnya terdapat hal-hal
28 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, h.597 29 Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein Nasr
(ed), Ensiklopedi Tematis, h. 602-603. 30 Abu Mashr as-Sarraj, Al-Luma, Risalah Gusti, h.342 31 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 9 32 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 17
23
yang gaib.” Ini senada dengan al-Kalabadzî, ia berkata, “al-samâ‘ adalah
istirahat dari kelelahan waktu, bernafas bagi orang-orang sufi, dan
pengungkapan rahasia-rahasia bagi orang yang memunyai kesibukan.”33
Menurut Aḥmad al-Gḥazâlî, mendengarkan musik dapat menghilangkan
tabir hati, menggelorakan rasa cinta Ilahi, menghantarkan sufi ke derajat
kesempurnaan dan menjadikannya sampai ke tingkat musyâhadah.34
Sementara al-Ghazâlî dalam kitab Kimîyâ‘ al-Sa‘âdah menjelaskan
fungsi al-samâ‘ bagi para sufi, yaitu mereka menggunakan al-samâ‘ (musik)
untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka.
Karena berkat bantuan musik mereka sering mendapatkan visi dan gairah ruhani.
Dalam keadaan seperti ini hati mereka menjadi bersih seperti yang di Bakâr
dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa
dicapai melalui laku prihatin. Mereka semakin menyadari keterkaitan mereka
dengan dunia ruhani sehingga perhatian pada dunia secara bertahap sirna,
bahkan kadang-kadang kesadaran inderawi mereka hilang.35
Dengan demikian, bagaimanapun musik memiliki banyak manfaat bagi
kehidupan spiritualitas. Sehingga bagi mereka yang dapat memanfaatkan musik
spiritual menganggap penggunaan musik tidaklah selalu haram karena telah
terbukti dapat membantu meningkatkan pengalaman spiritual dan kondisi
spiritual.
33 Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi, h. 168 34 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 1
35 Al-Ghazâlî, Kîmiyâ ‘ al-Sa‘âdah, h.85.
24
C. Tanggapan para Ahli Fiqh terhadap Konsep al-Samâ‘
Sebagian ulama mengategorikan al-samâ‘ sebagai perbuatan yang tidak
bermanfaat, dapat menumbuhkan kemunafikan, dan termasuk hal yang dilarang
oleh agama. Ahli fiqh mengharamkan al-samâ‘ karena memertimbangkan
dampak negatif yang ditimbulkan oleh musik sebagai alasan keharamannya.
Mereka memasukkan kebiasaan yang jelek yang sering diiringi dengan musik dan
selanjutnya memutuskan bahwa musik itu jelek atau paling tidak dipandang
sebagai sesuatu yang mendatangkan mudarat yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh darinya. Oleh karena itu musik
harus disingkirkan dari kehidupan sosial.
Sebagaimana yang dikatakam ‘Abû Âbdullâh ibn Baththah al-Akbarî,
“Sesungguhnya lagu mengeluarkan manusia dari garis keseimbangan dan
mengubah akal. Seseorang menyanyi, ia mengerjakan hal-hal yang ia pandang
buruk jika ia tidak bernyanyi, misalnya menggerak-gerakkan kepala, bertepuk
tangan, menghentakkan kaki ke tanah, dan lain sebagainya yang biasa dikerjakan
orang-orang berakal kerdil. Lagu mengharuskan terjadinya semua hal tersebut,
bahkan reaksi lagu tersebut hampir sama dengan reaksi minuman keras yaitu
sama-sama menghilangkan akal, oleh karena itu, sudah semestinya lagu
dilarang.” Salah seorang ulama berkata, “Berhati-hatilah kalian terhadap lagu,
karena lagu itu meningkatkan syahwat dan menghilangkan kemuliaan, serta sama
dengan minuman keras dan menimbulkan apa yang ditimbulkannya.” Dr. Ilahi
Dhahir dalam bukunya Darah Hitam Tasawuf mengomentari kata tersebut,
bahwa apa yang dikatakan orang ini benar, orang yang bersangkutan memandang
baik ketika ia mendengarkan al-samâ‘ apa yang tadinya ia tidak pandang baik,
25
misalnya membunyikan jari-jari, bertepuk tangan dan dansa, serta ia melakukan
tindakan-tindakan yang menunjukkan akalnya tidak waras.36
Nada, nyanyian dan alat-alat musik menurut mereka dapat mengakibatkan
berkurangnya gairah jiwa dalam menunaikan tugas-tugas keagamaan dan bahkan
dapat mendorong pendengarnya untuk mencapai kepuasaan sensual, mendorong
orang untuk bermabuk-mabukan.37
Para sahabat Rasulullah. juga memiliki pendapat tentang musik dan
nyanyian. ‘‘Abdullâh ibn Mas‘ûd mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan
kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman.” ‘Abdullâh
ibn ‘Umar pernah melewati sekelompok orang yang sedang melakukan ihram,
dan di antara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka ia berkata, “Ingatlah,
semoga Allah tidak mendengarkan kamu.” ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs berkata, “
Rebana haram, al-ma‘âzif (alat-alat musik) haram, al-kubah (bedug atau
gendang, dan sejenisnya) haram dan seruling adalah haram.”38
Diriwayatkan dari al-Ḥasan yang berkata, “Rebana tidak termasuk sunnah
kaum Muslimin, karena yang diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau
mendengarkan syair dan itu tidak bisa dijadikan dalil pembolehan lagu, karena
syair adalah perkataan yang teratur sedang perkataan lainnya tidak bersajak.
Sekarang lagu berubah dengan melodi-melodi.”39
36 Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah hitam Tasawuf, h. 211. 37 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 2-3. 38 Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Hukum Lagu, Musik dan Nasyid Menurut Syariat Islam
(Bogor: Pustaka at-Taqwa, 2015), h. 35-36. 39 Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah hitam Tasawuf, h.211
26
Sa‘îd ibn Musayyid berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar membenci
nyanyian dan menyukai rajaz (satu jenis syair)”. Al-Dlaḥaq berkata, “Nyanyian
akan merusak hati dan menjadikan Allah murka.”40
Menurut al-Qâdlî, al-Syâf‘î mengharamkan mendengarkan nyanyian
wanita yang bukan mahram dalam keadaan apapun juga, baik secara langsung
maupun tidak langsung (tertutup oleh tabir), baik wanita itu adalah hamba sahaya
ataupun wanita merdeka. Al-Syâf‘î juga berpandapat bahwa jika ada orang yang
memiliki budak perempuan dan kemudian orang itu mengajak orang lain untuk
mendengarkan nyanyian budak itu maka pemilik budak itu adalah orang safih;
yang ditolak kesaksiannya. Al-Syâf‘î memakruhkan permainan memukul-mukul
kuku binatang dengan kayu, karena perbuatan itu biasanya dilakukan oleh orang
zindiq untuk melalaikan dirinya dari al-Qur’ân.41
Begitu juga dengan Mâlik melarang keras musik. Apabila seseorang membeli
budak perempuan, kemudian ternyata budak perempuan itu adalah seorang
penyanyi, maka hendaklah pembeli budak itu mengembalikan budak itu kepada
penjualnya. Pendapat ini diikuti juga oleh madzhab-madzhab ahli Madinah,
kecuali Ibrâhîm ibn Sa‘d.42
Abû Hanîfah memiliki pandangan yang sama terhadap hukum
mendengarkan musik dan lagu. Ia memandang makruh hal tersebut, bahkan orang
yang mendengarkan nyanyian termasuk dosa. Pendapat ini sama dengan pendapat
Ahli Kufah lainnya, yaitu: Sufy‘ân al-Tsaurî ri, Ḥammîd, Ibrâhîm, al-Sya‘bî, dan
ulama Kufah lainnya.43
40 Muslim Atsari, Adakah Musik Islami? (Solo: At-Tibyan, 2015), h. 35 41 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Libanon: Dar Al-Fikr, tt), h. 269. 42 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268. 43 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 587.
27
Namun kita tidak dapat mengingkari bahwa musik dan nyanyian memiliki
fungsi yang banyak dalam kehidupan manusia.44 Seperti pembaḤasan fungsi al-
samâ di atas, bahwasannya telah kita ketahui kehebatan dan kekuatan suara yang
indah, terutama dalam membaca al-Qur’an dan melantunkan panggilan shalat
(adzan). Bagi mereka, suara yang indah (musik) tersebut tidak hanya
menyenangkan pendengaran namun dapat menggetarkan jiwa, karena ia berpadu
pada misi Ilâhiyah.45
Mereka yang membolehkan nyanyian dan musik mengutip dari beberapa
Ḥadîts sebagai berikut: Ḥadîts yang diriwayatkan ‘Ubay ibn Ka‘b ra. bahwa
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya syair mengandung hikmah.”
Ḥadîts yang diriwayatkan Salamah ibn al-Awka‘ ra. berkata, “Kami keluar
bersama Rasulullah ke Khaybar. Kami berjalan di malam hari, kemudian salah
seorang laki-laki dari kaum berkata kepada Amîr ibn al-Awka‘, “Apakah kamu
tidak keberatan jika kamu melantunkan syair kepada kami, dari waktumu yang
sangat pendek?” Dan Amir seorang penyair, turun menyatu dengan suatu kaum
dan berujar,
Tanpamu tak kuraih petunjuk
Sedekah dan shalat
Tebuslah diriku untukmu
Luruskan langkahmu
Hujanilah kedamaian
Tatkala bencana melanda
Rasulullah. bersabda, “Siapakah gerangan yang mendendangkan syair
tersebut?” mereka berkata, “Amîr ibn al-Awka‘, Rasulullah. berkata, “Semoga
Allah. memberikan rahmat kepadanya.”
44 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7 45 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 9
28
Ḥadîts yang diriwatkan Sa‘id ibn al-Musayyab berkata, “‘Umar berjalan di
suatu masjid, dan Ḥasan mendendangkan syair, kemudian ‘Umar memandanginya
dengan pandangan yang mengingkari (sinis). Kemudian dia, Ḥasan berkata, ‘Aku
telah mendendangkan syair dan pada waktu itu ada seseorang yang lebih baik
daripada kamu (yang dimaksud orang yang lebih baik adalah Rasulullah).46
Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhârî pula, dari al-Zuhrî, dari ‘Urwah
dari ‘Â’isyah ra. bahwa Abû Bakr ra. masuk kepadanya dan di dekatnya ada dua
sahaya perempuan dari hari-hari Mina memukul rebana dan menari, sedang
Rasulullah. menutupi tubuh dengan bajunya. Maka Abû Bakr ra. membentak
kedua orang itu. Kemudian Rasulullah. menyingkap wajahnya dan berkata,
“Biarkan kedua orang itu, hai Abû Bakr, karena ini adalah hari raya.”47
Juga kisah yang dilakukan perempuan-perempuan yang berdendang
dengan rebana dan lagu ketika menyambut kedatangan Rasulullah dari Makkah:
Telah terbit purnama pada kita
Dari bukit-bukit al-Wadâ‘
Wajiblah syukur bagi kita
Selama penyeru mengajak kepada Allah.48
Bahkan Aḥmad al-Ghazâlî, saudara dari Abû Ḥamîd al-Ghazâlî,
menegaskan bahwa barang siapa yang menyatakan bahwa mendengarkan
nyanyian dan tabuhan rebana adalah haram, maka seakan-akan ia menyatakan
bahwa Rasulullah telah melakukan dan mendengarkan sesuatu yang haram. Dan
barangsiapa yang punya prasangka demikian maka ia kafir.49
46 ‘Abd al-Qâdir ‘Îsâ, Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat Press (Tangerang
Selatan: Ciputat Press, 2007), h. 120-121 47 Al-Ghazâlî, RingkasanIḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995) h. 139. 48 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 172. 49 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 166.
29
Adapun pendapat ulama yang memerbolehkan mendengarkan musik
datang dari Abû Thâlib al-Makkî. Menurut Abû Thâlib, para sahabat Nabi, seperti
‘Abdullâh ibn Ja‘far, ‘Abdullâh bin Zubayr, Mughîrah ibn Syu‘bah, Mu‘âwiyah
dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan
musik atau nyanyian hampir sudah menradisi di kalangan ulama salaf ataupun
para tâbi‘în. Bahkan, kata Abû Thâlib, ketika dia berada di Makkah, pada saat
peringatan hari-hari besar, orang-orang Ḥîjâz merayakannya dengan pagelaran
musik.
Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madînah. Seperti yang
diakui sendiri oleh Abû Thâlib bahwa dia pernah melihat Qâdlî Marwan
memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang
sufi. Al-‘Athâ’ juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi
dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.
Suatu ketika Abî Ḥasan ibn Salîm ditanya Abû Thâlib, “Mengapa engkau
melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaydî, Sirrî al-Saqatî dan Dzûn al-
Nûn al-Mishrî senang mendengarkan musik?” Ḥasan ibn Salîm menjawab, “Saya
tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-
orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau
dalam mendengarkan musik.”50
Al-Nawawî berkata, “Tidak dilarang melantunkan syair di dalam masjid
jika syair tersebut memuji kenabian dan Islam, mengandung hikmah, akhlaq yang
mulia, zuhd dan sesamanya dari macam-macam kebaikan.” Abû Bakr Ibn al-
50 Al -Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268.
30
‘Arabî, komentator Sunan al-Tirmidzî, berkata: ”Tidak dilarang melantunkan syair
di dalam masjid, ketika memuji agama dan mengamalkan syari’ah.”
Kisah penunggang kuda, yang dikatakan Ḥujjah al-Islâm, al-Ghazâlî, di
dalam Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, “Penunggang kuda yang selalu berada di belakang
onta, adat Arab pada masa Rasulullah dan masa sahabat, dia tidak melakukan
kecuali melantunkan syair dengan suara yang merdu dan suara yang berimbang.
Dan tidak ada satu sahabat pun yang melarangnya.” 51
Di samping itu, ahli fiqh Khalîl Nahlawî al Damasyqî membolehkan al-
samâ‘, dan bahkan hukum al-samâ‘ disunnahkan selama tujuannya adalah
mendendangkan petunjuk, nasihat baik dan manfaat yang lain, di mana tabiat
mendengarkannya akan berpengaruh pada jiwa yang paling mendasar. Pengaruh
yang paling mendasar yang dimaksud ialah mendengarkannya dapat
menggerakkan hati, keramahan dengan kehadiran yang transenden dan rindu
kepada cahaya Muḥammad.52
Sayyid Sâbiq pun juga berkomentar mengenai kontroversi al-samâ‘.
Dalam bukunya yang berjudul Fikih Sunnah 2, dia mengatakan bahwa al-samâ‘
boleh dilakukan oleh siapa pun. Untuk memperkuat argumennya ia mengutip
Ḥadîts Nabi yang berbunyi;
فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: يا أبا بكر دعهما فإن لكل قوم عيد وهذا عيدنا53
Nabi Muḥammad berkata “hai Abû Bakr, tiap-tiap kaum memunyai hari
raya.
51 Bakr ‘Abd al-Qâdir ‘îsâ, Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat Press
(Tangerang Selatan: Ciputat Press, 2007), h. 123. 52 Bakr ‘Abd al-Qâdir ‘îsâ, Spiritualitas Ideal dalam Islam, h. 125. 53 Sayyid Sâbiq, Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf (Bandung: al Ma’arif, 1990), h. 291.
31
Ḥadîts ini muncul karena suatu hari raya Abû Bakr masuk ke suatu tempat,
yang di sana terdapat dua orang cahaya yang sedang bernyanyi mengenai
peristiwa waktu perang bu‘ats. Melihat itu, Abû Bakr berkata, “wahai hamba
Allah, tidakkah itu nyanyian-nyanyian setan? Maka Nabi menjawab dengan
Ḥadîts yang diulas di atas.
32
BAB IV
AL-SAM‘ ABÛ ḤÂMID AL-GHAZÂLÎ
A. Ontologi
Sedangkan al-Ghazâlî menggunakan al-samâ‘ sebagai bagian dari musik.
Mengenai kajian tentang al-samâ‘, ia membahasnya di bab khusus dalam karya
magnum opusnya, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu “Kitâb Âdâb al-Samâ‘ wa al-Wajd”.
Baginya al-samâ‘ sangat erat kaitannya dengan bunyi atau gelombang suara yang
ditangkap oleh pendengaran. :
1االسماع دهليز نإالم القلوب إلى وال مفذ السماع إال خفاياها استثارة إلى سبيل وال
Dan tiada cara untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi itu (rahasia
yang tersimpan dalam gudang hati) selain dengan al-samâ‘, dan tidak
satu pun jalan masuk suara ke dalam hati tanpa melalui pintu
pendengaran.
Tentunya setiap suara pasti memunyai gelombang, tetapi yang dimaksud al-
Ghazâlî tentang gelombang suara tersebut ialah bunyi yang memunyai irama dan
merdu. Bunyi yang berirama dan merdu itulah yang disebut dengan nyanyian,
طيب صوت انه االعم صف وفال
Maka sifat dari nyanyian itu ialah suara yang merdu.2
Mengenai suara yang merdu ini, al-Ghazâlî mengutip firman Allah
“Allah menambahkan ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” (Q.s Fâthir [35]: 1).
Ada yang mengatakan bahwa maksud dari kata ‘menambahkan’ dalam ayat
tersebut adalah suara yang merdu. Rasulullah bersabda, “Allah. tidak mengutus
seorang nabi kecuali bersuara bagus.” Sabda Rasulullah lainnya, “Siapa saja
1 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 266. 2 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 268.
33
yang membaca al-Qur’ân dengan suara merdu, maka Allah. maka akan
mendengarkan bacaannya lebih daripada seorang mendengar nyanyian dari
penyanyi [budak] wanitanya.” Ada sebuah Ḥadîts yang memuji Nabi Dâwud as.,
bunyinya adalah, “Sesungguhnya Nabi Dâwud biasa bernyanyi dengan suara
demikian merdu sehingga manusia, jin, binatang liar dan burung berkumpul
bersama untuk mendengar suaranya itu.” Hampir empat ratus jenazah dbawa ke
hadapan Nabi Dâwud as. dan beliau menyanyikan lagu-lagu dengan suara
merdunya. Pada suatu hari Rasulullah memuji sahabat Abû Mûsâ al-Asy‘arî
dengan sabdanya, “Sesungguhnya telah diberikan kepadanya (Abû Mûsâ al-
Asy‘arî) serunai dari serunai-serunai keluarga Nabi Dâwud.”3
Dalam teks lain al-Ghazâlî menerangkan bahwa al-samâ‘ ialah
mendengarkan suara yang baik berirama dan dimengerti maknanya serta
menggerakkan hati dan hal itu berarti kenikmatan yang dirasakan oleh indera
pendengaran dan hati seperti kenikmatan oleh indera penglihatan dengan
memandang kepada tanaman hijau serta kenikmatan yang dirasakan hati. 4
Hal ini selaras dengan ungkapan Syihâbuddîn ‘Umar Suhrawardî bahwa al-
samâ‘ terdiri dari suara-suara merdu, langgam (bentuk irama nyanyian) yang serasi
dan padu.5
Dari awal penjelasan di atas tentang pengertian musik, unsur pokok
dalam musik serta pendapat ahli musik tentang asal musik, dapat diketahui
bahwa substansi musik adalah suara, di mana para ahli fisika, termasuk Ibn
3 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 306. 4 Al-Ghazâlî, Ringkasan Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Jakarta: Pustaka Amani: 1995) h.136. 5 Syihâbuddîn, ‘Umar Suhrawardî, ‘Awârif al-Ma‘ârif, h. 59.
34
Sînâ menyatakan bahwa suara adalah gelombang udara. Secara ontologis
musik merupakan perpaduan antara unsur material dan spiritual; tersusun dari
elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Adapun esensi musik
berupa substansi rohaniah, yaitu jiwa pendengar.6
Dalam teks lain, al-Ghazâlî melanjutkan penjelasannya mengenai
nyanyian, bahwa nyanyian tidak hanya suara yang berirama dan merdu, tetapi ia
juga dapat dipahami dan memunyai fungsi menggerakkan hati. Bahkan ketika
menguasai hati seseorang, nyanyian akan memuntahkan segala yang ada dalam
hati.
Dengan demikian, al-samâ‘ menurut al-Ghazâlî ialah nyanyian yang
dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.7 Ia
memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material, tetapi
juga memunyai fungsi spiritual.
Karena di dalam al-samâ‘ tercakup nyanyian religius, dijelaskan al-
Ghazâlî kata al-ghinâ berarti lagu atau nyanyian, termasuk al-samâ‘ atau
nyanyian religius.8 Mendengarkan syair religius (al-samâ‘) dapat menggerakkan
dan membangkitkan hati. Apabila yang tetap berakar kuat di dalam hati dapat
digerakkan dan dibangkitkan dengan mendengarkan syair religius. 9
6 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h, 52. 7 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan, 2001),
cet. xi, h. 169. 8 Al-Ghazâlî, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309. 9 Al-Ghazâlî, Iḥya’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309.
35
B. Epistemologi
Tema-tema yang akan dibahas dalam epistemologi ini meliputi: metode,
sumber dan bentuk al-samâ‘ .
1. Metode
Metode diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai suatu maksud10 al-samâ‘.Dalam kajian tentang epistemologi, terdapat
beberapa metode dalam memeroleh pengetahuan di antaranya ialah metode logis,
observasi dan intuitif.11 Metode logis ialah teknik memeroleh pengetahuan melalui
akal.12 Artinya suatu pernyataan akan dikatakan pengetahuan yang benar apabila
peryataan tersebut merupakan kesimpulan dari premis-premis yang kebenarannya
sudah teruji.
Metode observasi merupakan teknik mendapatkan pengetahuan melalui
pengamatan inderawi.13 Bagi penganutnya, metode ini adalah metode paling
otentik karena kebenarannya dapat dibuktikan secara langsung oleh indera.
Sedangkan metode intuitif adalah cara memeroleh pengetahuan melalui hati.
Metode ini juga disebut dengan metode pengetahuan secara langsung, karena
didapatkan melalui pengalaman.14
Sebagaimana al-Ghazâlî katakan bahwa dalam al-samâ‘ terdapat
hubungan antara yang diketahui dan yang mengetahui. Yang diketahui merupakan
10 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indnesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 951. 11 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 52. 12 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2004), cet. ix, h. 135. 13 Anton Bakker, Metodologi Penelitian Falsafah (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet. x, h.
21-22. 14 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 141.
36
suatu obyek. Dalam ontologi Islam obyek pengetahuan terdiri dari obyek fisik dan
metafisik.15 Sedangkan obyek dari al-samâ‘ ialah obyek metafisik.
16فيها ما تخزج المستلذة الموزونة فالنغمات
Maka segala nyanyian yang berirama yang enak didengar itu merupakan
bentuk ungkapan yang keluar dari perasaan yang tersembunyi dari dalam
hati.17
Dalam teks di atas dijelaskan bahwa al-samâ‘ merupakan suatu bentuk
ungkapan pengalaman yang ditangkap oleh hati, berupa keadaan rindu yang begitu
mendalam kepada Tuhan. Pengalaman dalam hati tersebut ialah pengalaman
spiritual. Pengalaman spiritual merupakan suatu obyek yang diketahui. Sedangkan
yang mengetahui ialah subyek yang merasakan yang kemudian
mengungkapkannya dalam bentuk nyanyian. Dengan demikian dalam al-samâ‘
terdapat suatu makna yang hendak disampaikan kepada penikmatnya tentang
keadaan yang pernah dialami.
Berdasarkan kajian ontologi di atas, metode yang cocok untuk al-samâ‘
ialah metode intuitif, karena al-samâ‘ merupakan bentuk pengalaman batin.
Metode ini digunakan oleh intuisionalisme. Metode ini digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan secara langsung dari pengalaman intuitif.18 Pengalaman
tersebut ditangkap oleh hati yang kemudian menjadi suatu pengetahuan bagi
seseorang yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan al-samâ‘, al-Ghazâlî mengatakan bahwa rindu
akan Tuhan yang begitu mendalam merupakan sesuatu yang bersifat batin.
Sedangkan sesuatu yang bersifat batin hanya dapat dikenali atau ditangkap oleh
15 Mulyâdhî Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 31. 16 Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 266. 17 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 303-304. 18 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h.140.
37
indra hati.19 Keadaan hati tersebut yang kemudian tertuang dalam al-samâ‘. Maka,
al-samâ‘ merupakan pengetahuan secara langsung tentang pengalaman batin.
Sebagaimana juga dikatakan oleh al-Fârâbî bahwa al-samâ‘ berarti
mendengar, yang menggambarkan musik sebagai pengalaman suci dan
meletakkannya ke dalam kategori spiritual. 20 Metode intuitif sangat diperlukan,
baik dalam membuat karya-karya seni maupun memahaminya. 21 Dengan intuisi,
al-samâ‘ bisa membantu melahirkan suasana bathin yang halus, indah dan estetis.
Bahkan pada saat bersamaan, jiwa seseorang yang halus, lembut dan estetis dapat
mengekspresikan sesuatu yang bernilai seni. 22 Jadi jelaslah bahwa musik berasal
dari kehidupan spiritual alami yang ada di dalam hati. 23
Kemudian metode berikutnya adalah metode observasi, yaitu metode
dengan panca indera. Mengenai hal ini al-Ghazâlî mengatakan bahwa suara merdu
yang dilakukan oleh manusia mengikuti suara merdu binatang-binatang ciptaan
Allah, tidak sesuatu pun pada makhluk Allah yang tidak dikuti oleh manusia. 24
Dengan kata lain segala sesuatu yang ada di alam ini, merupakan sumber inspirasi
manusia dalam menciptakan seni musik.
Sebagaimana yang dijelaskan Ikhwân al-Shâfâ’ dengan mengatakan bahwa
musik adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Jagat raya ini tersusun
dengan komposisi termulia dan gerakan dengan komposisi yang mulia juga.
Gerakan-gerakan itu menghasilkan suara yang indah, harmonis, terpadu, silih
19 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312. 20 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 174 21 Hazrat Inayat Khan, The Heart of Sufism, (Bandung: Pt. Mizan Pustaka, 2005) h.402 22 Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika Penerbit, 2014) h. 203 23 Hazrat Inayat Khan, The Heart of Sufism, h. 301 24 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 307
38
berganti, dan enak didengar serta dapat membahagiakan jiwa ahli langit, malaikat,
dan jiwa-jiwa yang bercahaya.25
Sebagaimana pandangan Abdul Muhaya bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk menciptakan musik merupakan fitrah sebagaimana fitrah
manusia yang mampu melihat, mencium, mendengar dan berjalan. Failasuf yang
termasuk dalam madzhab ini adalah al-Fârâbî. Ia berpendapat bahwa manusia
memiliki tabiat menangkap suara indah di sekelilingnya, kemudian dari itulah
musik tercipta oleh manusia. Max Muller juga memiliki teori yang sama dengan al-
Farâbî, bahwa musik merupakan kreatifitas manusia yang muncul setelah manusia
mendengarkan suara-suara alam yang indah. Manusia menyeleksi suara-suara
alam, kemudian suara yang tidak disukainya dibuang dan suara yang indah
diterimanya. Suara yang indah itu dipadukan dengan suara-suara lainnya sehingga
muncullah harmonisasi suara indah yang akhirnya melahirkan sebuah komposisi
musik.26
Ikhwân al-Shâfâ’ kemudian mengembangkan teori ini dengan mengatakan
bahwa musik adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Jagat raya ini
tersusun dengan komposisi termulia dan gerakan dengan komposisi yang mulia
juga. Gerakan-gerakan itu menghasilkan suara yang indah, harmonis, terpadu, silih
berganti, dan enak didengar serta dapat membahagiakan jiwa ahli langit, malaikat,
dan jiwa-jiwa yang bercahaya.27
2. Sumber
25 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h, 47 26 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h, 48 27 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.48.
39
Dalam gagasan al-Ghazâlî, al-samâ‘ memunyai tiga sumber. Pertama,
benda keras ( إما أنه تخرج من جماد ). Kedua, pita suara hewan ( إما أنه تخرج من حنجرة
28.( إما أنه تخرج من حنجرة إنسان ) Ketiga, pita suara manusia .(الحيوان
Benda-benda keras ( إما أنه تخرج من جماد ) ialah material atau benda-benda
yang disebut juga dengan istilah alat musik, misalkan drum, serunai, gitar, suling
dan lainnya.
Alat musik berdasarkan sumber bunyinya terbagi menjadi lima sumber
bunyi:
- Aerophone, yaitu alat musik yang sumbernya dari getaran udara. Jenis alat
musik ini dimainkan dengan ditiup atau dipompa.
Contoh alat musik yang dimainkan dengan ditiup: melodion, recorder, tuba,
seruling, klarinet, saxophone dan lain-lain.
Sedangkan dengan cara dipompa: akordion
- Chordophone, yaitu jenis alat musik yang bersumber dari dawai. Jenis alat
musik ini cara memainkannya dengan cara dipetik, ada yang digesek, ada
juga yang ditekan.
Contoh alat musik yang dimainkan dengan dipetik: ukulele, banjo, gitar,
sitter, harpa, kecapi, bass gitar dan lain-lain.
Contoh alat musik yang dimainkan dengan cara digesek: cello gesek, contra
bass, biola, rebab dan lain-lain.
Contoh alat musik yang dimainkan dengan cara ditekan: piano akustik dan
orgen
28 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h.307
40
- Idiophone, yaitu alat musik yang sumber suaranya dari alat itu sendiri. Cara
memainkannya dengan dipukul.
Contoh: belyra, perangkat gamelan, kulintang, ketipung, tamborin, calung,
angklung, arumba, rebana dan lain-lain
- Membranophone, yaitu alat musik yang sumber suaranya dari membran
atau selaput, (membran dapat berupa: mika, kulit, plastik atau fiberglass.)
Contoh: tamborin, ketipung, tam-tam, senar drum, bedug, rebana, kendang,
genderang, timpani dan lain-lain.
- Elektrophone, yaitu alat musik yang sumber bunyinya dari rangkaian
elektronika yang terdapat di dalam alat tersebut. Dengan kecanggihan
teknologi alat tersebut dapat menghasilkan segala macam alat musik. Cara
memainkannya cukup dengan menekan tombol dan tuts yang ada. Contoh:
keyboard.29
Sementara dalam tradisi al-samâ‘ alat musik yang digunakan berbeda-beda,
contoh: tarekat Mawlâwiyyah, Baktasyiyyah dari Turki, Chistiyyah dari India
menggunakan alat musik seperti kecapi, tanbur (pandore), rebab (rebec), qanun
(sitar), gendang dan seruling bambu (nay).30Orang-orang Kurdi menggunakan alat
musik mandolin yang bergagang panjang dengan dua atau tiga tali.31 Sementara di
Andalusia alat musik yang digunakan adalah kecapi, rebab, gendang dan
seruling.32
29 http:// like-seni-blogspot.co.id/2014/03/alat-musik-berdasarkan-sumber-
bunyi.html?m=1 30 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. Tim
Penerjemah Mizah (Bandung: Mizan, 2003), h. 611. 31 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 626-627. 32 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, h. 633.
41
Sumber al-samâ‘ yang kedua dan ketiga adalah pita suara hewan ( إما أنه
seperti suara burung murai, merpati dan lain-lain, termasuk ( الحيوان تخرج من حنجرة
suara manusia ( إما أنه تخرج من حنجرة إنسان ). Menurut al-Ghazâlî, itu semua
termasuk suara merdu alami yang berirama, karena asal atau sumber suara binatang
dan manusia adalah kerongkongan.33
Dari ketiga sumber suara tersebut, suara manusialah yang paling sempurna,
seperti yang dikatakan oleh failasuf dan musikolog al-Fârâbî bahwa suara manusia
mampu menyatukan kembali tiga sifat seni musik, yaitu: bisa membawa
kesenangan dan ketenangan, membangkitkan emosi tertentu dan perasaan tertentu,
serta membicarakan tentang imajinasi dan ide-ide inspiratif. Musik instrumental
kadang-kadang memiliki kualitas tertentu dari ketiga sifat tertentu.34
3. Bentuk
Sedangkan yang terakhir ialah tentang bentuk al-samâ‘. Bentuk al-samâ‘
yang dimaksud ialah hasil dari sumber-sumber bunyi yang sudah dijelaskan di atas.
Hasil dari sumber-sumber tersebut, adakalanya al-samâ‘ berbentuk notasi, irama
adakalanya berupa nyanyian. Al-samâ‘ berbentuk notasi dan irama ketika suara
tersebut keluar dari benda keras dan pita suara burung. Contoh dari bentuk notasi
ini seperti bunyi gitar, seruling, kicauan burung dan lainnya.
Menurut fungsinya alat musik terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
a) Melodis
Yaitu alat musik yang biasanya membunyikan melodi pada suatu lagu, pada
umumnya alat musik ini tidak bisa memainkan kord secara sendirian. Contoh alat
musik melodis adalah biola, terompet, flute dan lain-lain.
33 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 307. 34 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, . 615.
42
b) Harmonis
Yaitu alat musik yang dimainkan untuk memainkan harmoni pada suatu lagu.
Karena alat musik ini bisa memainkan tiga nada atau lebih secara bersamaan.
Contoh alat musik harmonis adalah gitar, keyboard, piano, harpa, kentrung, sitter
dan lain lain.
c) Ritmis
Yaitu alat musik yang dimainkan sebagai pengiring sekaligus pengatur
tempo pada lagu. Biasanya alat musik ritmis bernada tetap atau tidak bernada.
Contoh alat musik ritmis adalah drum, tamborine, gendang dan lain-lain.35
Maka dapat disimpulkan, bahwa alat musik yang bernada atau bernotasi
adalah alat musik harmonis dan melodis. Sedangkan alat musik yang tidak
memiliki nada tetap atau tidak bernada adalah alat musik ritmis, karena alat musik
ritmis memiliki fungsi sebagai pengatur tempo atau irama lagu.
Di dalam musik, nada dan ritme adalah elemen yang prinsipal untuk
membangun musik.36Lebih menarik lagi yang dikatakan Abdul Muhaya bahwa
secara psikologis, ritme dan dan tempo dalam lagu dapat memengaruhi jiwa
pendengarnya.37
Dalam bentuknya, alat musik tersebut bisa dimainkan hanya alat musik
ritmis saja, atau yang disebut dengan istilah perkusi, yang dimainkan dengan cara
dipukul, ditabuh, digoyang, digosok atau cara lainnya, dengan menggunakan alat
seperti tongkat dan tangan kosong, seperti gendang, rebana, hadroh, marawis,
tamborine, gong dan lain-lain. Atau alat musik ritmis dengan penyanyi, seperti
35 https:// daramarih97. Wordpress.com/ tugas-tugas/ materi-musik/ penggolongan-alat-
musik/ 36 Hazrat Inayat Khan, The Heart of Sufism, h. 306. 37 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 67.
43
yang dilakukan perempuan-perempuan yang berdendang dengan rebana dan lagu
ketika menyambut kedatangan Rasulullah. dari Makkah:
Telah terbit purnama pada kita
Dari bukit-bukit al-Wadâ‘
Wajiblah syukur bagi kita
Selama penyeru mengajak kepada Allah.38
Atau alat musik saja (melodis, harmonis dan ritmis) tanpa penyanyi atau
yang dikenal dengan istilah instrumental.
Sedangkan ditinjau dalam bentuk notasi, para musikus Arab, Turki dan
Persia kontemporer mendaftar bentuk-bentuk nada tersebut kira-kira berjumlah 22
atau 24, dan yang biasa dipakai ada 12, sementara dalam masa klasik, dipakai kira-
kira seratus.
Bentuk dan tingkatan nada atau mode (dalam bahasa Arab: maqâm, dalam
bahasa Turki: makam; dalam bahasa Persia dastgah atau awaz) adalah suatu tipe
melodi yang diekspresikan melalui serangkaian suara yang disusun dengan baik.
Setiap mode memiliki nama tertentu, yang menunjukkan asal-usul geografisnya
seperti ḥijâz, Nahawând, ‘Irâqî atau posisi dari not-nya yang dominan seperti pada
kecapi: dugah (posisi kedua, atau A), sigah (posisi ketiga atau B) atau
menunjukkan wilayah jiwa fenomena kosmis yang diharapkan bisa diterjemahkan
oleh mode tersebut ke dalam musik: farahfaza (kegembiraan); nesim (angin sepoi);
shaba, (angin pagi, yang membawa kerinduan); zemzeme (bisikan). Konon para
musikus masa lalu tahu pasti tentang maqam dan menampilkannya sesuai dengan
pengetahuan ini, hal seperti ini secara sebenarnya masih dilakukan di India Utara
38 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 172.
44
dan Pakistan, yang sistem ragasnya mengikuti aturan-aturan yang sangat mirip
dengan mode-mode dari Persia, Turki dan Arab.39
Sedangkan bentuk al-samâ‘ yang keluar dari pita suara hewan seperti
burung adalah berupa kicauan. Menurut al-Ghazâlî, suara burung merupakan suara
merdu yang berirama namun tidak dapat dipahami.40Sementara yang keluar dari
pita suara manusia adalah berupa nyanyian, nyanyian menurut al-Ghazâlî adalah
suara merdu yang dapat dipahami, sebab di dalamnya berisikan syair atau sajak
yang berasal dari manusia ataupun Tuhan (firman), sebagian sufi ada yang memilih
al-samâ‘ dengan bait-bait syair. Mereka beragumentasi lewat sabda Rasulullah.
“Sesungguhnya di dalam syair terkandung hikmah”.41 Sedangkan sebagian lain
memilih al-samâ‘ (mendengar) al-Qur’ân. Mereka beragumentasi dengan firman
Allah,
“Dan bacalah al-Qur’ân dengan tartil (perlahan-lahan)” (Q.s. al-
Muzzammil: 4).
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.”
(Q.s. al-Ra‘d: 28).
Mereka juga beragumentasi dengan sabda Rasulullah. yang mengatakan
kepada Ibn Mas‘ûd, “Bacalah!” Lalu Ibn Mas‘ûd bertanya, “Apakah saya akan
membacanya, semetara kepadamu al-Qur’ân diturunkan?” lalu Rasulullah.
bersabda, “Saya lebih suka mendengarkan bacaan orang lain”42
Al-Ghazâlî menklafikasikan suara manusia sebagai suara merdu berirama
yang dapat difahami.43 Namun syair yang dimaksud al-Ghazâlî dalam kajian ini
adalah syair religius yang dapat menggerakkan dan membangkitkan hati.44
39 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 611-612. 40 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 305. 41 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 305. 42 Abu Mashr as-Sarraj, Al-Luma, Risalah Gusti, h. 568-569. 43 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 305.
45
Dalam tradisi keagamaan sering dibedakan antara musik vokal (suara
manusia) dan musik yang dihasilkan oleh instrumen. 45Apresiasi terhadap musik
vokal secara historis, sudah ada sejak pra-Islam baik di kalangan bangsa-bangsa
Arab maupun bangsa-bangsa lain. Posisi tersebut tidak bergeser pada masa lalu.46
Hal itu dapat kita lihat pada sikap Rasulullah, ketika al-Nabîghah al-Ja‘dî
melagukan beberapa syairnya di hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda
kepadanya, “Semoga Allah tidak memecahkan gigimu.” ‘A’isyah ra. berkata
bahwa para sahabat Rasulullah biasa membacan (menyanyikan) beberapa bait syair
di hadapan Rasulullah, dan beliau hanya tersenyum. ‘Amr ibn al-Syurayd
meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, “Aku telah mendendangkan seratus bait
syair gubahan Ummiyah ibn Abi al-Shult di hadapan Rasulullah. Semuanya
disambut oleh Rasulullah dengan ucapan beliau, “Teruskan, teruskan.”47
Memang banyak terjadi musik atau nyanyian yang membangkitkan nafsu
setan dalam diri manusia. Namun juga musik dan nyanyian justru membangkitkan
kebaikan. Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa ada tujuh tempat nyanyian yang di
dalamnya berstatus disunnahkan.
Pertama, nyanyian orang yang tengah berhaji. Mereka berjalan berkeliling
dari satu negeri ke negeri lain dengan nyanyian dan serunai. Nyanyian seperti itu
halal, dan syair-syair yang mereka nyanyikan berhubungan dengan Ka‘bah, maqam
Ibrâhîm, Ḥatim, sumur Zam-zam, dan tempat-tempat (syiar-syiar) agama lainnya.
Nyanyian tersebut dapat membangkitkan perasaan rindu untuk berhaji ke Baitullah
dan tempat-tempat suci lainnya.
44 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309. 45 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 54. 46 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 55. 47 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309.
46
Kedua, para pejuang (mujahid yang sedang berperang) harus diberi
semangat untuk berperang melawan musuh dengan nyanyian. Nyanyian semacam
itu juga halal karena dapat meningkatkan keberanian untuk melawan orang kafir
yang diperangi dan keberanian untuk memertaruhkan hidup karena Allah.
Ketiga, apabila dua orang pejuang bertemu di medan perang, lalu mereka
menyanyikan lagu dan membacakan syair untuk membangkitkan dan menambah
keberanian, maka nyanyian dan syair semacam itu halal karena untuk
menggerakkan kesungguhan berperang.
Keempat, nyanyian sedih atau nyanyian berkabung. Ada dua macam
nyanyian berkabung, yaitu terpuji dan tercela. Nyanyian sedih yang tercela adalah
apabila nyanyian itu menambah kesedihan setelah terjadi bencana atau musibah.
Bersedih karena kematian seseorang termasuk jenis ini karena kesedihan ini
mengungkapkan rasa ketidakrelaan terhadap qadla (keputusan) Allah. Adalah
nyanyian sedih yang terpuji adalah apabila seseorang mengungkapkan
kesedihannya karena dosa-dosa yang telah lalu. Nabi ‘Adam as. menangis
(bersedih) memohon ampun kepada Allah atas kesalahan dan kekhilafannya. Nabi
Dâwud. pun menangis atas perbuatan khilafnya. Banyak orang meninggal karena
mendengar ungkapan kesedihan Nabi Dâwud. tersebut. Perbuatan tersebut adalah
terpuji dan membawa sesuatu kepada hal yang terpuji juga terpuji.
Kelima, nyanyian pada saat perayaan. Nyanyian demikian dapat menambah
kesenangan dan kebahagiaan pada saat perayaan dan pada hari untuk
mengungkapkan rasa syukur dan bahagia. Hari-hari yang dimaksud antara lain
adalah hari raya, walimah pernikahan, perayaan hari kelahiran pada waktu seorang
bayi lahir, yaitu aqiqah atau perayaan pengkhitanan seorang anak. Ketika
47
Rasulullah. kembali ke Madînah, dari atap rumah para wanita bernyanyi
menyambut kedatangan beliau, “Telah terbit purnama raya di atas kita dari bukit
Tsaniyyatih al-Wadâ‘ di Makkah, wajiblah kita bersyukur kepada Allah yang
Mahakuasa.” Inilah ungkapan kegembiraan atas kedatangan Rasulullah ke
Madînah dari kepergiannya. Maka demikian adalah terpuji.
Sayyidah ‘Âisyah juga pernah mengatakan, “Aku melihat anak-anak
Ḥabsyî bermain di dalam masjid pada Hari Raya, lalu Rasulallah menutupiku
dengan selendang beliau.” Pada saat itu usia ‘Aisyah ra. belum dewasa, ia merasa
bosan melihat permainan anak Habsyi itu sehingga Rasulullah menutupi
pandangannya.
Keenam, nyanyian para pecinta (orang yang cinta kepada Allah). Nyanyian
ini meningkatkan kecintaan kepada Allah dan memberi kepuasan dan kenikmatan
bagi hati dan jiwa.
Ketujuh, nyanyian seseorang yang mencari kecintaan dan keridlaan Allah
dan merindukan pertemuan dengan-Nya.48
Bahkan Nabi Dâwud pun bernyanyi dan memainkan alat musik untuk
memuji dan mengagungkan Allah.49
Beberapa contoh bait-bait syair yang digunakan oleh para sufi dalam
meningkatkan spiritualnya, seperti dari kitab Mawlidiyyah al-Barzanjî (w.1190
H./1766 M.) di antara kata-kata khususnya adalah sebagai berikut:
Tuan kami Muḥammad selalu tersenyum, ramah; ia tidak pernah
menunjukkan kekasaran sedikit pun, juga kekerasan dalam kata-katanya
atau dalam peringatan-peringatannya; ia tidak pernah menunjukkan
hasrat-hasratnya dan tidak mau memvonis orang lain serta tidak
berbicara yang menyakiti mereka. Ketika ia berbicara, para sahabatnya
48 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 309-312. 49 Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah ( Jakarta: Zaman, 2001), h.85.
48
diam seakan-akan ada burung sedang bertengger di atas kepala
mereka; mereka tidak pernah mengangkat suara untuk mendebat, dan
ketika mereka berbicara, dialah yang diam.
Syair lain yang juga sangat populer di kalangan sufi Afrika Utara dan
Timur Tengah adalah Burdah, “jubah”, yang disusun di Mesir oleh Muḥammad al-
Busyirî (w. 694 H./1926 M); satu karya yang judulnya mengingatkan akan suatu
penyembuhan yang menakjubkan.
Di Turki, pertemuan-pertumuan dari para Darwisy dengan tarian berputar,
tarekat Mawlawiyyah, juga dibuka dengan pujian kepada Nabi, Naat-i Sherif
karangan Itri (1050-1123 H./1640-1711 M.).50
Selain syair-syair yang dibuat manusia, suara manusia memiliki
kemampuan khusus menyampaikan kata/kalam Tuhan. Rasulullah. bersabda,
“Allah tidak akan mengutus seorang nabi kecuali bersuara bagus”. Sabda
Rasulullah lainnya, “Siapa saja yang membaca al-Qur’ân dengan suara merdu,
maka Allah. akan mendengarkan bacaannya lebih daripada seseorang mendengar
nyanyian dari penyanyi (budak) wanitanya”.51
Walaupun pembacaan al-Qur’ân tidak dimaksudkan bersifat musikal, tetapi
acap menggunakan prinsip-prinsip musikal.52Term-term yang dipakai pembacaan
al-Qur’ân tidak mengambil apapun dari kosa-kata musikal; kata-kata yang dipakai
itu, seperti qirâ’ah (membaca), tartîl atau tilâwah (seni membaca), tajwîd dari akar
kata jwd (menghiasi), dan tidak pernah memakai kata ghinâ (lagu, musik vokal).53
Prinsip-prinsip musikal yang digunakan saat pembacaan al-Qur’ân adalah
notasi-notasi yang juga digunakan dalam musik, yaitu maqam atau mode seperti:
50 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 620-621. 51 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 306. 52 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 182. 53 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 616.
49
Ḥijâz, Nahawând, shâbâ’ dan lain-lain. Mengenai hal itu Rasulullah menegaskan
“Bacalah al-Qur’ân dengan mengikuti melodi dan intonasi orang Arab”.54
C. Aksiologi
Aksiologi al-Ghazâlî adalah tujuan akhir al-samâ‘. Menurutnya,
mendengar nyanyian religius dapat mengeluarkan dari lubuk hati yang terdalam
semua kekuatan pandangan terhadap berbagai hal dan perasaan mendalam serta
hasrat yang tak terkatakan yang hanya dapat dirasakan dan tidak dapat
terungkap. Perasaan ini dapat menyusup ke dalam organ tubuh lainnya selain
hati. Keadaan mabuk dalam istilah kaum sufi disebut dengan wajdah yang
berasal dari kata wujûd atau kesenangan.55 Atau dengan kata lain wajd adalah
refleksi dari keadaan yang dihasilkan al-samâ‘.
Adapun kata wajd yang sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris
“ecstasy”, secara terminologi, menunjukkan pada suatu perasaan yang
ditimbulkan oleh rasa cinta yang sungguh-sungguh kepada Allah dan kerinduan
untuk bertemu dengan-Nya. Perasaan tersebut menggelora ketika mendengarkan
musik; seperti perasaan tenang, merinding, takut, pasrah kepada Allah.56
Kesenangan yang muncul di dalam hati merupakan pengaruh dan akibat
dari nyanyian religius yang tidak ada sebelumnya. Nyala api kesenangan yang
muncul di dalam hati membakar kekotoran hati seperti api menghilangkan
kotoran yang terkumpul pada intan dan permata yang tak ternilai harganya.
54 Seyyed Houssen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, h. 617. 55 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 311-312. 56 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.79.
50
Hasilnya adalah kejernihan dan kecerahan hati yang tampak dalam musyâhadah
dan mukâsyafah.
Dengan kata lain, pandangan menjadi terbuka (tidak terhijab lagi)
sehingga seseorang dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam. Inilah sasaran para
pecinta Allah dan menjadi tujuan akhir pencarian mereka. Siapa saja yang dapat
mencapai tujuan ini, maka ia akan memperoleh kedekatan tertentu pada Allah.
Tujuan ini mungkin diperoleh dengan al-samâ‘, mendengar nyanyian religius.
57
Al-Ghazâlî menjelaskan bahwa ada dua tahapan dalam mendengarkan
nyanyian. Tahapan pertama adalah memahami makna nyanyian. Tahap kedua
adalah kesenangan (perasaan berkesan yang sangat mendalam).
Tahap pertama, pada tahap ini dibagi menjadi beberapa keadaan,
antara lain,
a) Keadaan alamiah hati untuk mendengar nyanyian dan tidak memiliki
keasyikan lain selain mendengar nyanyian. Dan ini diperbolehkan.
Tingkat ini adalah tingkat pendengaran paling rendah, karena burung
dan binatang lainnya juga berada dalam tahapan ini.
b) Keadaan mengapreasiasi setelah memahami makna nyanyian dan
menerapkan obyek pada orang tertentu. Para pemuda termasuk
dalam keadaan ini karena nafsu syahwat mereka muncul karena
mendengar nyanyian ini. Hal ini dilarang.
c) Keadaan di mana semua nyanyian yang didengar oleh orang yang
mendengar dalam hubungannya dengan Allah. dan perubahan
57 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 312.
51
keadaan hati, ia terapkan pada keadaan dirinya.58 Ini adalah al-samâ‘
bagi sufi pemula (al-murîdîn).59 Al-Ghazâlî menjelaskan bahwa
tujuakan mereka hanyalah untuk mengenal Allah.60 Nyanyian itu
memunculkan perasaan-perasaan batiniah orang yang mendengar.
Lalu, orang yang mendengar itu memaknai nyanyian tersebut
berdasarkan keadaan diri dan hati mereka. Contoh seperti seorang
sufi yang mendengar seorang penyair bermadah, “Seorang utusan
berkata, ‘lihatlah aku besok!’” Pada saat itu ia jatuh pingsan karena
merasa sangat gembira. Ketika ia sadar kembali, ia ditanya tentang
perasaannya itu (mengapa ia pingsan), dan kemudian ia menjawab,
“Aku teringat sabda Rasulullah, ‘Para penghuni surga (ahli surga)
akan mendatangi Rabbnya sekali seminggu, yaitu pada setiap hari
Jumat. Oleh karena itu, nyanyian dapat membangkitkan perasaan-
perasaan tersembunyi seseorang seperti khamr membangkitkan nafsu
seseorang. Kecuali seseorang yang dijaga atau diselamatkan oleh
Allah dengan cahaya petunjuk-Nya.
d) Para sufi yang telat melewati tingkatan dan kondisi spiritualitas.
Mereka, ketika mendengar lantunan syair dan sebagainya, tidak lagi
terpengaruh selain Allah. 61Inilah tingkatan tertinggi ma‘rifah, di
mana mereka kehilangan segala sesuatu kecuali pengenalan atau
ma‘rifah kepada Allah. Bahkan ia kehilangan kepribadiannya,
keadaannya, dan amal serta perbuatannya. Ia seperti orang yang
58 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 318-319. 59 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. .64 60 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 319. 61 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.64-66
52
terombang-ambing di lautan di mana ia tenggelam di dalamnya. Dan
keadaan orang itu, seperti keadaan para wanita yang terpotong
tangan mereka ketika melihat ketampanan Nabi Yusûf.62
Keadaan kaum sufi mengibaratkan dirinya telah fanâ‘ fillâh (lenyap
atau hilang ke dalam Allah). Seakan-akan ia telah fana dari segala
sesuatu selain Yang Mahaesa yang disaksikannya (al-Waḥid al-
Masyhûd). Orang yang sangat mencintai Allah tidak dapat melihat
sesuatu yang lain selain Allah. Ia seperti seorang yang tengah mabuk
sehingga kehilangan rasa terhadap segala sesuatu.
Dan sesungguhnya, tingkat yang paling sempurna (al-kamâl) adalah suatu
keadaan di mana seseorang melupakan (fanâ‘) kehidupan dan keadaanya. Orang
yang mencapai tingkat demikian mendengar nyanyian untuk Allah dan mendengar
ilmu tentang dan dari Allah. Tingkat ini adalah untuk seseorang yang dirinya
tenggelam dalam cahaya kebenaran dan melintas batas keadaan dan amalan.
Kefanaan orang itu bukanlah kefanaan tubuh tetapi kefanaan jiwa. Dengan jiwa,
maksudnya bukanlah dengan darah dan daging, tetapi lathifah atau esensi (rahasia)
yang berhubungan dengan Allah dan yang merupakan sesuatu yang spiritual.
Esensinya adalah seperti sebuah cermin bersing yang jernih-terang tak berwarna.
Cermin itu dapat menerima warna apapun yang dijatuhkan kepadanya.63
Ini adalah termasuk tingkatan dari tingkatan-tingkatan ilmu mukâsyafah;
suatu tingkatan yang kadang-kadang menimbulkan rasa yang disebut dengan
ittiḥâd dan kadang disebut dengan ḥulûl.64 Ḥulûl artinya perubahan keadaan atau
perubahan rupa atau bentuk, transfigurasi. Nama lain dari ḥulûl adalah ittiḥâd atau
62 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 320. 63 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 320. 64 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 66-67.
53
perpindahan. Hal ini hampir sama dengan umat Nasrani yang mendakwakan lâhût
dan hâsût (sifat Ilah dan kemanusian).65
Tahap Kedua, setelah memahami nyanyian, datanglah apa yang disebut
sebagai kesenangan atau kesan yang sangat mendalam dari nyayian tersebut. Dzûn
al-Nûn al-Mishrî berkata bahwa, “Mendengarkan nyanyian religius mengantarkan
orang yang mendengar kepada kebenaran”. Abû al-Husayn al-Darrâj berkata,
“Dalam al-samâ‘ terdapat hubungan kesenangan (al-wajd) yaitu perasaan
mendalam di dalam hati dan jiwa yang terbangkitkan akibat dari mendengar
nyanyian”. Abû al-Husayn berkata lagi, “Mendengarkan nyanyian religius
membawaku ke lapangan yang indah dan memberi kepadaku minuman lezat dalam
cangkir kesucian dan, karena itu aku memperoleh maqam kenikmatan dan
kelezatan”.
Seorang ahli hikmah berkata, “Nyanyian itu adalah makanan bagi jiwa ahli
ma‘rifah.” ‘Amr ibn ‘Utsmân al-Makkî berkata, “Tidak ada kata yang dapat
menjelaskan al-wajd (kesenangan, perasaan yang sangat mendalam seperti mabuk)
karena al-wajd adalah rahasia (sirr) Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin
dan teguh keyakinannya.” Abû Sa‘îd ibn al-‘Arabî berkata bahwa makna al-wajd
adalah diangkatnya hijab, maksudnya adalah penutup atau selubung antara seorang
hamba dengan Rabbnya, menyaksikan yang gaib (al-Raqîb), penampakan kata-kata
yang tersembunyi sehingga menghadirkan pemahaman. Abû Sa‘îd berkata pula,
“al-wajd akan muncul pada saat berdzikir dengan hebat, pada saat ketakutan yang
menggoncangkan atau karena penghinaan, atau pada saat mendapatkan keuntungan
(faedah) besar, pada saat tergelincir hebat, pada saat melihat seuatu yang gaib,
65 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 321.
54
pada saat bersedih karena kehilangan sesuatu, atau karena sesal atas dosa-dosa
yang telah lalu.” Al-wajd artinya menghadirkan sesuatu yang lahir, berhadapan
yang lahir dengan yang lahir, yang batin dengan yang batin, yang gaib dengan
yang gaib, rahasia dengan rahasia (sirr dengan sirr). Karena itu, ada perjalanan
tanpa menggunakan kaki dan berdzikir tanpa dzikir lahiriah.66
Al-wajd adalah keadaan mental yang dihasilkan dari keadaan mental, yang
terbagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah mukâsyafah dan musyâhadah yang
membawa kepada pengetahuan yang gaib dan tidak terbayangkan. Jenis kedua
adalah membawa kepada perubahan, ketakutan dan penyesalan yang tak
terbayangkan. Dan hanya mendengarkan nyanyianlah keadaan-keadaan ini akan
terbangunkan. Apabila ada perubahan atau gerakan anggota-anggota tubuh (secara
lahiriah) disebabkan oleh nyanyian, maka itulah yang disebut dengan al-wajd.
Muslim al-Badanî berkata, “Pada suatu hari, para ahli hikmah (Sḥaḥîh Mar‘î,
Utsbah al-Ghulâm, ‘Abd al-Wâḥid dan Muslim Aswarî) duduk di dekat kami di
pinggir pantai. Lalu ia meneruskan ceritanya, pada suatu malam aku menyiapkan
makanan untuk mereka. Lalu aku mengundang mereka makan dan mereka pun
datang. Tatkala aku meletakkan makanan di hadapan mereka, tiba-tiba seorang
penyanyi melantunkan sebuah nyanyian berikut,
“Siapa saja yang terus-menerus lupa akhirat
Dengan makanan lezat
Akan dilemparkan ia ke neraka
Makanan lezat pun tiada guna.”
Muslim al-Badanî melanjutkan ceritanya, mendengar nyanyian tersebut,
‘Utsbah al-Ghulâm memekik dengan keras lalu jatuh pingsan. Mereka pun tidak
66 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 321-322.
55
memakan makanan yang aku sajikan dan kemudian aku angkat makanan itu dari
hadapan mereka.67
Apabila suci dan bersih, maka hati dapat mendengarkan pesan dari langit
dan juga dapat melihat Nabi Khidlir karena Nabi Khidlir nampak pada mereka
yang memiliki pengalaman jiwa dalam berbagai bentuk yang berlainan. Dalam
keadaan seperti ini, para malaikat menjelmakan dirinya kepada para nabi.
Rasulullah melihat malaikat Jibril dua kali dalam bentuknya yang menutupi
seluruh langit. Itulah yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya.
“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibrîl) yang sangat kuat, yang memunyai
akal cerdas; dan (Jibrîl itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang ia
berada di ufuk yang tinggi.” (Q.s. al-Najm [53]: 5-7).
Pengetahuan yang terbangkitkan pada diri seseorang dalam keadaan hati
yang tidak umum disebut al-tasharruf (pengetahuan ruhaniah bawaan atau sejenis
firasat). Karena itulah Rasulullah bersabda, “Takutilah firasat orang mukmin
karena mereka melihat dengan Cahaya Ilahi.” Rasulullah memberi isyarat
mengenai al-kasyaf ini dengan sabdanya, “Apabila setan-setan tidak mengganggu
hati anak ‘Adam, niscaya mereka (mampu) memandang alam malakut yang
tinggi.”
Berkaitan dengan beberapa jenis pengetahuan di seputar ilmu batiniah atau
ruhaniah, apabila wajd pergi, maka kasyf dapat dijelaskan. Kasyf tidak dapat
dijelaskan karena kasyf adalah sesuatu yang gaib dari dunia yang gaib. Al-Ghazâlî
menjelaskan bahwa ada dua jenis wajd yaitu, al-wajd yang muncul secara spontan,
dan al-wajd yang dihasilkan dengan melalui berbagai kesulitan. Sebagaimana
67 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 322.
56
Rasulullah pernah bersabda, “Ya Allah, Rabbku, anugerahilah aku untuk dapat
mencintai Engkau dan mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai
orang yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau.” 68
Perasaan yang bergetar dan lembut karena takut kepada Allah dapat pula
disebut dengan al-wajd. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetar hati mereka,
dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Allah mereka bertawakkal.” (Q.s. al-Anfâl [8]: 2).
Dengan demikian, dari segi keadaannya, takut kepada Allah adalah al-wajd.
Dari berbagai riwayat disebutkan bahwa banyak di antara kaum sufi yang
jatuh ke dalam al-wajd setelah mendengar alunan bacaan al-Qur’ân. Rasulullah
bersabda, “Surah Hud dan surat-surat lainnya yang serupa dengannya telah
membuat aku beruban.” Hal ini bisa menjelaskan tentang al-wajd. Dalam suatu
riwayat Rasulullah ketika membaca sebuah ayat al-Qur’ân berikut,
Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat
dan neraka yang menyala-menyala. Dan makanan yang menyumbat di
kerongkongan dan adzab yang pedih. (Q.s. al-Muzzammil [73]: 12-13}.
Beliau lalu pingsan. Dalam suatu riwayat Rasulullah membaca ayat,
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-
hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesunnguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Mâ’idah [5]:
118).69
Lalu beliau menangis. Dalam riwayat lainnya, Rasulullah, apabila
membaca ayat rahmat (ayat yang isinya tentang rahmat), maka beliau berdo’a dan
68 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 323-324. 69 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 324.
57
wajahnya tampak gembira. Kegembiraan itu disebut dengan al-wajd. Allah memuji
orang yang memunyai al-wajd atau disebut ahl al-wajd disebabkan oleh al-Qur’ân.
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muḥammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata
disebabkan kebenaran (al-Qur’ân) yang telah mereka ketahui (dari kitab-
kitab mereka sendiri), seraya berkata, ‘Ya Rabb kami, kami telah beriman,
maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran al-Qur’ân dan kenabian Muḥammad}’” (Q.s. al-Mâ’idah [5]:
83).
Diriwayatkan pula, bahwa apabila Rasulullah mengerjakan shalat, maka
dadanya berbunyi menggelegak seperti bunyi gelegak air yang mendidih di dalam
periuk.70
Keadaan para sufi ternama pun tidak jauh berbeda. Pada suatu malam bulan
Ramadhan, al-Syiblî tengah berada di masjid. Ia mengerjakan shalat di belakang
imam. Pada waktu itu imam membaca,
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan penyelenya pan
itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami,”
(Q.s. al-Isrâ’ [17]: 86).
Tiba-tiba al-Syiblî berteriak-teriak sehingga mukanya berubah menjadi
merah padam dan hatinya pun amat takut. Al-Junayd berkata, “Aku masuk ke
tempat Sirrî al-Suqthî. Aku melihat di hadapannya seorang laki-laki yang pingsan.”
Lalu Sirri berkata kepadaku,”Ini orang yang baru saja mendengar sebuah ayat al-
Qur’ân, lalu jatuh pingsan.” Maka aku berkata kepadanya, “Bacakan kepadanya
ayat itu lagi.” Lalu kepadanya dibacakan ayat tersebut, maka ia pun siuman. Lalu
Sirrî bertanya, “Dari manakah sumbernya sehingga engkau mengatakan
demikian?” Aku menjawab, “Aku melihat Nabi Ya‘kûb buta matanya karena
70 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 324-325.
58
kehilangan putranya, maka karena puteranya pula beliau dapat melihat kembali.”
Sirrî memandang jawaban baik tersebut dan memerlihatkannya, pada syair yang
dibacakan al-Junaid berikut,
Kuminum lagi segelas khamer dan kutemui keselamatan
Kuperoleh citarasa dan kuminum dengan kenikmatan.
Apabila pembacaan ayat al-Qur’ân tidak menyebabkan hati seseorang
mengalami perubahan, maka ia ibarat orang yang tidak mendengar apapun ketika
kepadanya dikatakan sesuatu. Ia tidak ada bedanya dengan seorang yang bodoh,
tuli dan dungu.71
Namun keadaan spiritual itu (al-wajd) seringkali dicapai tidak hanya
melalui lantunan ayat-ayat al-Qur’ân tetapi juga melalui lantunan syair-syair
(nyanyian) dan musik.72 Oleh karena itu, tidak heran kalau orang-orang sufi
berkata, “Al-samâ‘ lebih mampu mendatangkan al-wajd daripada membaca al-
Qur’ân dan lebih kuat pengaruhnya.”73
Menurut Al-Ghazâlî, bahwa tidak seluruh ayat al-Qur’ân dimaksudkan
untuk membangkitkan emosi, misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti
mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan seperdua untuk saudara
perempuannya, atau perintah seorang janda mesti menunggu empat bulan sebelum
menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang, dan mesti orang yang sangat
peka yang dapat tenggelam mendengar lantunan ayat-ayat seperti itu.
71 Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, h. 326. 72 Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah, h. 90. 73 Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi, h. 196.
59
Alasan lainnya, bahwa orang-orang telah begitu akrab dengan al-Qur’ân,
bahkan banyak orang yang hafal sehingga akibat terlalu sering diulang-ulang,
pengaruhnya semakin lemah. 74
Dalam keterangan lain pada buku Darah Hitam Tasawuf, Dr. Ihsan Ilahi
dlahir mengungkap alasan lainnya,
Pertama, sesungguhnya irama perkataan dengan dukungan cita rasa syair
memunyai pengaruh yang kuat di hati. Jadi suara yang berirama lagi indah itu
berbeda dari suara indah tapi tidak berirama. Dan irama itu ada dalam syair dan
tidak ada dalam al-Qur’ân.
Kedua, sesungguhnya pengaruh syair yang berirama itu berbeda dari
pengaruh melodi. Perbedaan pengaruh tersebut ditentukan oleh pemanjangan
sesuatu yang pendek, atau pemendekan sesuatu yang panjang, atau berhenti di
tengah-tengah kalimat, atau memotong dan menyambungnya. Itu semua
diperbolehkan dalam syair dan tidak boleh diterapkan dalam al-Qur’ân karena ia
harus dibaca seperti diturunkan. Memanjangkan waqaf , dan memotongnya dengan
menyalahi prosedur membaca al-Qur’ân adalah haram atau makruh. Jadi jika
seseorang membaca al-Qur’ân seperti awal ia diturunkan, maka pengaruhnya
hilang darinya dan penyebabnya ialah irama lagu. Pengaruh sebab tersebut
independen, kendati tidak bisa dipahami, sebagaimana pada paduan nada, atau
seruling, atau alat-alat lainnya yang tidak bisa dipahami.
Ketiga, sesungguhnya lagu yang berirama bisa menjadi kuat dengan
harmoni dan suara-suara lain yang beriram di luar tempat pertemuan, seperti
memukul kayu sehingga berbunyi, atau menabuh rebana, dan lain sebagainya.
74 Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah, h. 91-92.
60
Karena al-wajd yang lemah itu tidak bisa dipengaruhi kecuali dengan alat yang
kuat dan ia bisa kuat dengan seluruh alat-alat tersebut. Masing-masing alat tersebut
memunyai pengaruh yang berbeda dari yang lain.
Keempat, bisa jadi penyanyi mendendangkan lagu dengan bait-bait syair
yang tidak sesuai dengan kondisi pendengar. Jika bait-bait syair tersebut tidak
sesuai dengan kondisi dirinya, ia pun membencinya, melarangnya dan meminta
yang lain saja. Jadi tidak semua bait itu cocok dengan semua kondisi dan al-Qur’ân
termasuk dalam kategori ini.
Kelima, sesungguhnya al-Qur’ân adalah firman Allah, sedangkan firman-
Nya adalah sifat-Nya. Al-Qur’ân adalah kebenaran yang tidak sanggup dipikul
manusia jika al-Qur’ân tersebut telah muncul, karena ia bukan makhluk yang tidak
mampu dipikul oleh sifat-sifat yang diciptakan. Sedang suara-suara merdu itu
sesuai dengan watak manusia dan kaitan suara-suara merdu dengan watak manusia
adalah kesenangan dan bukan hak. Sedang kaitan al-Qur’ân yang merupakan
firman Allah dengan watak manusia adalah kaitan hak dan bukan kesenangan.75
75 Ihsan Illahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi, h. 198-
199.
61
BAB V
A. KESIMPULAN
Dari apa yang dijelaskan di atas dapat penulis simpulkan bahwa al-samâ‘
menurut al-Ghazâlî ialah nyanyian yang dinikmati pendengarnya, dapat dipahami
dan menggerakkan hati pendengar. Ia memandang al-samâ‘ sebagai kesenian
yang tidak hanya bersifat material, tetapi juga memunyai fungsi spiritual.
Secara ontologis al-Ghazâlî menjelaskan bahwa al-samâ‘ ialah nyanyian
yang dinikmati pendengarnya, dapat dipahami dan menggerakkan hati pendengar.
Ia memandang al-samâ‘ sebagai kesenian yang tidak hanya bersifat material,
tetapi juga memunyai fungsi spiritual.
Sedangkan secara epistemologi al-samâ‘ialah bentuk al-samâ‘, baik
sebagai notasi maupun nyanyian, tidak hanya terdapat pesan-pesan tentang
keindahan, tetapi juga menyimpan pesan tentang kecintaan kepada Tuhan. Inilah
yang membedakan dari seni musik lainnya, yang hanya menyimpan makna
keindahan semata.
Sedangkan secara aksiologis al-samâ‘ menyimpan makna-makna tersirat
tentang kerinduan kepada Tuhan. Makna tersebut nanti yang akan dipahami dan
menggoncangkan hati pendengar hingga sampai pada titik musyâhadah dan
mukâsyafah.
B. SARAN-SARAN
Pertama, musikus dan musisi Islam di tanah air hendaknya mengetahui
bagaimana dan apa tujuan para sufi menggunakan musik dan nyanyian religi.
Ternyata orang-orang sufi terdahulu meletakkan posisi sebagai sesuatu aktivitas
62
yang suci. Dari merekalah kita dapat belajar agar menggunakan musik dan
nyanyian religi sebagai sarana spiritual.
Kedua, Umat Islam mesti bangga dengan warisan-warisan seniman
terdahulu, karena para musikus Islam tidak menggunakan partitur sebagaimana
musikus barat, tetapi di Islam sendiri telah merangkum dalam bentuk yang disebut
maqam atau tingkatan nada atau mode. Oleh karena musikus Islami perlu
mempelajari maqam tersebut, seperti bayati, hijaz, shoba, jiharkah, nahawand, rost
dan sikah.
Ketiga, hendaknya para musisi dan penyanyi membuat syair-syair yang
bermutu, baik dari segi arransment maupun pesan yang dimaksud.
Keempat, para musikus, musisi maupun penyanyi religi jangan khawatir
dengan persaingan pasar musik di tanah air. Lihatlah bagaimana Maher Zein yang
laku keras di pasaran Internasional, sebab memang Maher Zein mampu membuat
arransment, syair dan nada yang berkwalitas tinggi.
63
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Amatullah. Sufi Terminology (Al-Qamus Al-Sufi), The Mystical
Languae Of Islam, Bandung:Mizan, 2001.
Atsari, Muslim. Adakah Musik Islami?, Solo: At-Tibyan, 2015.
Al-Baghdâdî, ʻAbdurraḥmân. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik
dan Tari, terj. Rahmat Kurnia dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Bakker, Anton. Metodologi Penelitian Falsafah, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Dhahir, Ihsan Illahi. Darah Hitam Tasawuf Study Kritis Kesesatan Kaum Sufi ,
Bekasi: PT. Darul Falah, 2015.
Eaton, Marcia Muelder. Persoalan-Persoalan Dasar dalam Estetika, terj. Embun
Kenyowati, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Ernst, Carl W.. Ajaran dan Amaliah Tasauf, terj. Arif Anwar, Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2003.
Al-Ghazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Libanon: Dar Al-Fikr, tt.
Al-Ghazâlî, Kîmîya al-Sa’âdah, Jakarta: Zaman, 2001.
Al-Ghazâlî, Mutiara Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan,
2001.
Al-Ghazâlî, RingkasanIḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Jakarta: Pustaka Amani, 1995. ‘Isâ,
Bakâr‘Abd al-Qâdir. Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat
Press, Tangerans Selatan: Ciputat Press, 2007.
Glasse, Cyril. “as-samâ‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj.
Ghufron A Masudi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
http:// like-seni-blogspot.co.id/2014/03/alat-musik-berdasarkan-sumber-
bunyi.html?m=1
https:// daramarih97. Wordpress.com/ tugas-tugas/ materi-musik/ penggolongan-
alat-musik/
‘Isâ, ‘Abd al-Qâdir. Spiritualitas Ideal dalam Islam, terj. Tim Ciputat Press,
Tangerans Selatan: Ciputat Press, 2007.
J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Libririe Du
Liban, dan London: Mac Donald & Evans LTD, 1980.
Jawas, Yazid ibn Abdul Qadir. Hukum Lagu, Musik dan Nasyid Menurut Syariat
Islam, Bogor: Pustaka at-Taqwa, 2015.
64
Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein
Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis.
Kattsoff, Louis O.. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2004.
Khan, Hazrat Inayat. The Heart of Sufism, Bandung: Pt. Mizan Pustaka, 2005.
Leaman,Oliver. Estetika Islam, terj. Irfan Abu Bakar, cet. I, Bandung: Mizan,
2005).
Ma’lûf, Louis. Al-Munjid, cet. Xxxvi, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1991.
Michon, Jean Louis. “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein
Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M.
Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S. Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin
SF., Bandung: Mizan, 2003.
Nasr, Seyyed Houssen. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj.
Tim Penerjemah Mizah. Bandung: Mizan, 2003.
Al-Nîsâbûrî, Al-Qusyayrî. Risâlah al-Qusyayriyyah: Induk Ilmu Tasawuf, terj.
Hakim, Muhammad Luqman. cet. ii, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Proklamasi,
1987.
Penyusun, Tim. Kamus Besar Bahasa Indnesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Ridjaluddin, Kehidupan Sufistik Versi al-Ghazâlî, Jakarta: LPSI, 2008.
Ridjaluddin, Psikologi Islam: Jiwa Pemikiran Al-Ghazâlî Dan Keterkaitannya
Teori Psikologi Barat Modern, Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI
Uhamka Jakarta, 2009.
Ridjaluddin, Sabar dalam Pandangan Imam al-Ghazâlî, Ciputat: Lembaga Kajian
Islam Nugraha Ciputat, 2009.
Sâbiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, Bandung: al Ma’arif, 1990.
Schimmel, Annimarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Suhrawardî, Syihâbuddîn ʻUmar. ʻAwârif al-Maʻârif, terj. Ilma Nugrahani Ismaʻil,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Falsafah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
65
Qaradlâwî, Yûsuf, al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra, terj. Hasan Abrari,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Umar, Nasaruddin. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit, 2014.