Okeee

194
I. RETINA Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak. dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks. 1. Anatomi Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan multilapis yangmelapisi bagian dalam 2/3 poterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan corpus sillier, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, oraserrata berada disekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisanepitel pigmen retina sehingga juga bertumpuk dengan membrane Bruch, khoroid, dan sclera. Disebagian besar tempat, retina dan epithelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk ruang subretina. tetapi pada discus optikus dan ora serrata, retina dan epithelium pigmen retinasaling melekat kuat.Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada sentral retina. Ditengah-tengah retina posterior terdapat macula. Di tengah macula, sekitar 3,5 mm sebelah lateraldiscus optikus terdapat fovea.Retina menerima asupan darah dari dua sumber : khoriokapilaria yang berada tepat diluar membrane 1

description

word

Transcript of Okeee

I. RETINA Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak. dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks.

1. Anatomi

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan multilapis yangmelapisi bagian dalam 2/3 poterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan corpus sillier, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, oraserrata berada disekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisanepitel pigmen retina sehingga juga bertumpuk dengan membrane Bruch, khoroid, dan sclera. Disebagian besar tempat, retina dan epithelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk ruang subretina. tetapi pada discus optikus dan ora serrata, retina dan epithelium pigmen retinasaling melekat kuat.Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada sentral retina. Ditengah-tengah retina posterior terdapat macula. Di tengah macula, sekitar 3,5 mm sebelah lateraldiscus optikus terdapat fovea.Retina menerima asupan darah dari dua sumber : khoriokapilaria yang berada tepat diluar membrane Bruch yang memperdarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformisluar dan lapisan inti luar fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dariateria sentralis retina yang memperdarahi dua pertiga sebelah dalam.Berdasarkan topografi, retina dibagi menjadi retina sentral yaitu kurang lebih samadengan daerah macula dan retina perifer yaitu di daerah retina di luar daerah macula.Fungsi retina pada dasarnya ialah menerima bayangan visual yang dikirim ke otak.Bagian sentral retina atau daerah macula mengandung lebih banyak fotoreseptor kerucutdaripada bagian perifer retina yang memiliki banyak sel batang.Retina manusia terdiri atas sepuluh lapis. Urutan lapisan-lapisan tersebut (ke arahkornea)adalah:1. Retinal pigment epithelium (RPE)

2. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yangmempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut ( Rods / Cones).

3. Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel batang dan kerucut. Ketigalapis diatas avaskuler dan mendapat metabolism dari kapiler koroid.

5. Lapisan plexiformis luar, atau dikenal sebagai "Lapisan serat Henle" (Fiber layer of Henle) merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

6. Lapisan nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller. Lapisini mendapat metabolism dari arteri retina sentral.

7. Lapisan plexiformis dalam, merupakan lapisan aseluler, tempat sinaps sel bipolar, selamakrin dengan sel ganglion.

8. Lapisan sel ganglion, merupakan lapisan yang terdiri dari inti sel ganglion danmerupakan asal dari serat saraf optik.

9. Lapisan serabut saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju kearah saraf optic.Di dalam lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retrina.

10. Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.Epitel pigmen retina ( RPE ) terbentuk dari satu lapis sel, melekat longgar pada retina kecualidiperifer ( ora serata ) dan disekitar lempeng optic. RPE ini membentuk mikrovili yangmenonjol diantara lempeng segmen luar sel batang dan sel kerucut dan menyeimbanginya. Lapisan ini berfungsi memfagosit sisa segmen eksternal sel batang dan kerucut, memfasilitasi pasase nutrient dan metabolit antara retina dan koroid, serta berperan dalam regenerasi rodopsindan opsin sel kerucut, pigmen visual fotoreseptor yang mengolah kembali vitamin A. RPE jugamengandung granula melanin yang mengabsorpsi cahaya yang terpencar. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid. Batang lebih banyak daripada kerucut, kecuali didaerah makula, dimana kerucut lebih banyak. Fotoreseptor kerucut berfungsi untuk sensasi terang, bentuk serta warna. Fovea hanya mengandungfotoreseptor kerucut. Apabila fovea atau daerah makula menderita penyakit, maka visus sentral(dan tajam penglihatan) akan terganggu. Fotoreseptor batang berfungsi untuk melihat dalamsuasana gelap atau remang-remang. Apabila bagian retina perifer menderita penyakit, maka penglihatan malam, adaptasi gelap dan penglihatan samping akan terganggu. Daerah papil saraf optik terutama terdiri atas serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya penglihatan (bintik buta). Penyakit retina biasanya tidak memberi keluhan nyeri dan mata tidak merah. Pemeriksaanretina dilakukan dengan oftalmoskop direk atau oftalmoskop indirek, foto fundus biasa dan angiografi.

2. Fisiologi

Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk tnelihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskular pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsiri, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu mclekul protein opsin bergabung dengan 11 sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuh terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak oleh rodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah biru-hijau pada spektrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak penyerapan panjang gelombang di 430, 540, dan 575 nm masing-masing untuk sel kerucut peka-biru, hijau, dan merah. Fotopigmen sel kerucut terdiri dari 11-sis-retinal yang terikat ke berbagai protein opsin.Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektral retina bergeser dari puncak dominasi rodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut mengandung fotopigmen yang menyerap panjang-panjang gelombang tertentu dan secara selektif memantulkan atau menyalurkan panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm). Penglihatan siang hari terutama diperantarpi oleh fotoreseptor kerucut, senjakala oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.3. Kelainan Pada Retina3.1. PENYAKIT PADA MAKULA

3.1.1. DEGENERASI MAKULA TERKAIT USIADegenerasi makula yang terkait usia merupakan penyebab utama kebutaan permanen pada orang lanjut usia. Penyebab pasti belum diketahui, tetapi insidens gangguan ini meningkat pada setiap dekade setelah usia 50 tahun. Keterkaitan lain selain usia adalah ras (biasanya Kaukasus), jenis kelamin (sedikit predominansi wanita), riwayat keluarga, dan riwayat merokok. Penyakit ini mencakup spektrum temuan klinis dan patologis yang luas yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: noneksudatif ("kering") dan eksudatif ("basah"). Walaupun kedua tipe bersifat progresif dan biasanya bilateral, manifestasi, prognosis, dan penatalaksanaannya berbeda. Bentuk eksudatif yang lebih berat merupakan penyebab pada hampir 90% dari semua kasus buta akibat degenerasi makula terkait usia.

3.1.1.1. DEGENERASI MAKULA NONEKSIDATIFDegenerasi makula terkait usia noneksudatif ditandai oleti atrofi dan degenerasi retina bagian luar, epitel pigmen retina, membran Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat bervariasi. Dari perubahan-perubahan di epitel pigmen retina dan membran Bruch yang dapat dilihat secara oftalmoskopis, drusen adalah yang paling khas (Gambar 10-1). Drusen adalah tndapan putih-kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula danj kutub posterior. Seiring dengan waktu, drusen dapat membesar, menyatu, mengalami kalsifikasi, dan meningkat jumlahnya. Secara histopatologis, sebagian drusen terdiri dari kumpulan lokal bahan eosinofilik yang terletak diantara epitel pigmen dan membran Bruch; drusen mencerminkan pelepasan fokal epitela pigmen. Selain drusen, dapal muncul secara progresif gumpalan-gumpalan pigmen yang tersebar tidak merataj di daerah-daerah depigmentasi atrofi diseluruh macula. Derajat gangguan penglihatan bervariasi dan mungkin minimal. Angiografi fluoresens memperlihatkan pola hiperplasia dan atrofi epitel pigmen retina yang ireguler. Pada sebagian besar pasien, pemeriksaan elektrofisio logik memperlihatkan hasil normal.Belum terdapat pengobatan yang diterima secara umum atau cara-cara pencegahan degenerasi makula| jenis ini. Konsep bahwa antioksidan menurunkan risiko gangguan penglihatan sekarang sedang diteliti dalam uji klinis acak. Sebagian besar pasien yang memperlihatk drusen makula tidak pernah mengalami penurunan penglihatan sentral yang bermakna; perubahan-perubaha atrofik dapat menjadi stabil atau berkembang secara lambat. Namun, stadium eksudatif dapat timbul mendadak setiap saat, dan selain pemeriksaan oftalmologik yang teratur, pasien diberi Amsler grid untuk membantu memantau dan melaporkan setiap perubahan simtomatik yang terjadi.

3.1.1.2. DEGENERASI MAKULA EKSUDATIF

Walaupun pasien dengan degenerasi makula terkait usia biasanya hanya memperlihatkan kelainan noneksudatif, sebagian besar pasien yang menderita gangguan penglihatan berat akibat penyakit ini mengalami bentuk eksudat akibat terbentuknya neovaskularisasi subretina dan makulopati eksudatif terkait. Cairan serosa dari koroid di bawahnya dapat bocor melalui defek-defek kecil di membran Bruch, sehingga menimbulkan pelepasan-pelepasan lokal epitel pigmen. Peningkatan cairan tersebut dapat semakin menyebabkan pemisahan retina sensorik di bawahnya, dan penglihatan biasanya menurun apabila fovea terkena. Peiepasan epitel pigmen retina dapat secara spontan menjadi datar, dengan bermacam-macam akibat pada penglihatan, dan meninggalkan daerah geografik depigmentasi di bagian yang terkena.

Dapat terjadi pertumbuhan pembuluh-pembuluh baru ke arah dalam yang meluas dari koroid sampai ruang subretina dan merupakan perubahan histopatologik terpenting yang memudahkan timbulnya pelepasan makula dan gangguan penglihatan sentral ireversibel pada pasien dengan drusen. Pembuluh-pembuluh baru ini tumbuh dalam konfigurasi roda pedati datar atau sea-fan menjauhi tempat mereka masuk ke dalam ruang subretina. Kelainan klinis awal pada neovaskularisasi sub-retina bersifat samar dan sering terabaikan; selama stadium pembentukan pembuluh baru yang samar ini, pasien asimtomatik, dan pembuluh-pembuluh baru tersebut mungkin tidak tampak baik secara oftalmoskopis maupun angiografis.Dokter harus selalu curiga bahwa terdapat neovaskularisasi subretina apabila memeriksa pasien dengan tanda-tanda degenerasi makula terkait usia yang mendadak atau baru mengalami gangguan penglihatan sentral, termasuk penglihatan kabur, distorsi, atau suatu skotoma baru. Apabila pemeriksaan fundus memperlihatkan darah subretina, eksudat, atau lesi koroid hijau abu-abu di makula, kemungkinan besar terdapat neovaskularisasi dan harus segera dilakukan angiogram fluoresens atau hijau indosianin untuk menentukan apakah dapat diidentifikasi ada lesi yang dapat diterapi.

Walaupun sebagian membran neovaskular subretina dapat mengalami regresi spontan, perjalanan alamiah neovaskularisasi subretina pada degenerasi makula terkait usia mengarah ke gangguan penglihatan sentral yang ireversibel dalam selang waktu yang bervariasi. Retina sensorik mungkin rusak akibat edema kronik, pelepasan, atau perdarahan di bawahnya. Selain itu, pelepasan retina hemoragik dapat mengalami metaplasia fibrosa sehingga terbentuk suatu massa subretina yang disebut jaringan parut disiformis. Massa fibrovaskular yang meninggi dan ukurannya yang bervariasi ini mencerminkan stadium akhir degenerasi makula terkait usia eksudatif. Massa ini biasanya terletak di bagian sentral dan menimbulkan gangguan penglihatan sentral yang permanen.1) Pengobatan

Apabila tidak ada neovaskuiarisasi retina, tidak ada terapi medis atau bedah untuk pelepasan epitel pigmen retina serosa yang terbukti bermanfaat. Pemakaian interferon aifa parentecal, misalnya, belum terbukti efektif untuk penyakit ini. Namun, apabila terdapat membran neovaskular subretina eksirafovea yang berbatas tegas (> 200 pm dari bagian tengah zona avaskular fovea), diindikasikan fotokoagulasi laser. Dengan angiografi dapat ditentukan dengan tepat lokasi dan batas-batas membran neovaskular, yang kemudian diablasi secara total oleh luka-luka bakar yang ditimbuikan oleh laser. Fotokoagulasi juga menghancurkan retina di atasnya tetapi bermanfaat apabila membran subretina dapat dihentikan tanpa mengenai fovea.Fotokoagulasi laser kripton terhadap neovaskularisasi subretina avaskular fovea (< 200 m dari bagian tengah zona avaskular fovea) dianjurkan untuk pasien-pasien nonhipertensif. The Macular Photocoagulation Study Group telah menyempurnakan rekomendasi pengobatannya untuk penyakit subfovea dan memperlihatkan bahwa pasien-pasien tertentu mungkin memperoleh manfaat dari fotokoagulasi laser. Kemampuan untuk menentukan kecepatan dan arah pertumbuhan membran neovaskular subretina akan mempermudah pengambilan keputusan klinis mengenai perlu tidaknya dan kapan mengobati suatu membran tertentu pada kasus-kasus yang indikasi pengobatannya tidak jelas.Setelah fotokoagulasi membran neovaskular subretina berhasil dilakukan, neovaskularisasi rekuren di dekat atau jauh dari jaringan parut laser dapat terjadi pada separuh kasus dalam 2 tahun. Rekurensi sering disertai penurunan penglihatan berat, sehingga pemantauan yang cermat dengan Amsler grid, oftalmoskopi, dan angiografi perlu dilakukan. Pasien dengan gangguan penglihatan sentral di kedua matanya mungkin memperoleh manfaat dari pemakaian berbagai alat bantu penglihatan kurang.3.1.2. KORIORETINOPATI SEROSA SENTRALIS

Korioretinopati serosa sentralis ditandai oleh pelepasan serosa retina sensorik sebagai akibat dari kebocoran setempat cairan dari koriokapilaris melalui suatu defek di epitel pigmen retina. Penyakit ini biasanya mengenai pria bsrusia muda sampai pertengahan dan mungkin berkaitan dengan kejadian-kejadian stres kehidupan. Sebagian besar pasien datang dengan penglihatan kabur, mikropsia, metamorfosia, dan skotoma sentralis yang timbul mendadak. Ketajaman penglihatan sering hanya berkurang secara sedang dan dapat diperbaiki mendekati normal dengan koreksi hiperopik kecil.Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fundus dengan slitlamp; adanya pelepasan serosa retina sensorik tanpa peradangan mata, neovaskularisasi retina, suatu lubang kecil optik, atau tumor koroid bersifat diagnostik. Lesi epitel pigmen retina tampak sebagai bercak abu-abu kekuningan, bundar atau oval, kecil yang ukurannya bervariasi dan mungkin sulit dideteksi tanpa bantuan angiografi fluoresens. Zat warna fluoresens yang bocor dari koriokapilaris dapat tertimbun di bawah epitel pigmen atau retina sensorik, sehingga menimbulkan bermacam-macam pola termasuk konfigurasi cerobong asap yang terkenal itu.Sekitar 80% mata dengan korioretinopati serosa sentralis mengalami resorpsi spontan cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah awitan gejala. Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal, banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap waina, mikropsia, atau skotoma relatif. Duapuluh sampai 30 persen akan mengalarni sekali atau lebih kekambuhan penyakit, dan pernah dilaporkan adanya penyulit termasuk neovaskularisasi subretina dan edema makula sistoid kronik pada pasien yang sering dan berkepanjangan mengalami pelepasan serosa.Penyebab korioretinopati serosa sentralis tidak diketahui; tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa penyakit bersifat infeksiosa atau disebabkan oleh distrofi epitel pigmen retina. Fotokoagulasi laser argon yang diarahkan ke bagian yang bocor akan secara bermakna mempersingkat durasi pelepasan retina sensorik dan mempercepat pemulihan penglihatan sentral, tetapi tidak terdapat bukti bahwa fotokoagulasi yang segera dilakukan akan menurunkan kemungkinan gangguan penglihatan permanen. Walaupun penyulit fotokoagulasi laser retina sedikit, terapi fotokoagulasi laser segera sebaiknya tidak dianjurkan untuk semua pasien korio retinopati serosa sentralis. Lama dan letak penyakit keadaan mata yang lain, dan kebutuhan visual oku pasional merupakan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan pengobatan.

3.1.3. EDEMA MAKULAEdema retina yang mengenai makula mungkin menyertai berbagai penyakit peradangan intraokular, penyakit vaskular retina, bedah intraokular, degenerasi retina didapat atau herediter, obat, membran makula, atau tidak dike tahui. Edema makula mungkin bersifat difus, dengan cairan intraretina nonlokal menyebabkan penebalan makula. Apabila cairan edema teitimbun dalam ruang-ruang mirip sarang lebah lapisan inti dalam dan lapis; pleksiform luar, timhul keadaan yang disebut edema makula sisfoid pada angiografi fluoresens, zat warna fluoresens bocor dari kapiler-kapiler retina perifovea dan tertimbun dengan pola daun bunga di sekitar fovea.

Keterkaitannya dengan edema makula sistoid yang paling luas diketahui adalah bedah intraokuiar. Sekitar 36% mata yang menjalani ekstraksi katarak intrakapsular dan 20% mata yang menjalani ekstraksi katarak ekstrakapsular secara angiografis mengalami edema makula sistoid. Edema yang secara klinis bermakna biasanya terjadi dalam 4-12 minggu pascaoperasi, tetapi pada beberapa keadaan onsetnya mungkin tertunda beberapa bulan sampai tahun. Banyak pasien edema makula sistoid kurang dari 6 bulan mengalami penghentian kebocoran secara spontan dan sembuh tanpa peng-obatan. Terapi antiinflamasi topikal atau lokal (atau keduanya) mungkin bermanfaat dalam pemulihan ketajaman penglihatan pada sebagian pasien edema makula pascaoperasi kronik. Vitreolisis laser YAG dan vitrektomi secara bedah mungkin bermanfaat apabila edema makula disertai inkarserasi jaringan vitreosa di luka katarak. Apabila pemasangan lensa intraokuiar merupakan penyebab edema makula pascaoperasi akibat disain, posisi, atau fiksasinya yang tidak adekuat, perlu dipertimbangkan pengangkatan implan tersebut.

3.1.4. Sindrom Histoplasmosis Okular

Pada penyakit ini, pelepasan serosa dan hemoragik makula berkaitan dengan jaringan parut korioretina atrofik perifer multipel dan pembentukan jaringan parut korioretina peripapiler. Sindrom ini biasanya terjadi pada orang sehat berusia antara dekade ketiga dan keenam. Jaringan parut tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi sistemik subklinis sebelumnya oleh Histoplasma capsulatum. Pelepasan makula disebabkan oleh neovaskularisasi subretina, dan prognosis penglihatan bergantung pada jarak membran neovaskular ke bagian tengah fovea. Apabila membran meluas masuk ke dalam zona avaskular fovea, hanya 15% mata yang mempertahankan ketajaman penglihatan 20/40. Jaringan parut makula mungkin berubah seiring dengan waktu, dan 10% pasien dengan makula normal akan mengalami jaringan parut baru di bagian ini. Risiko relatif timbulnya neovaskularisasi subretina makula di mata kedua cukup bermakna, dan para pasien ini harus diberitahu akan pentingnyapemeriksaan berkala dengan Amsler grid dan segera memeriksakan diri apabila dideteksi ada perubahan.

Fotokoagulasi laser argon terhadap membran neovaskular subretina di luar zona avaskular fovea pada pasien simtomatik bermanfaat untuk mencegah penurunan penglihatan yang parah.

3.1.5. Epiteliopati Pigmen Plakoid Posterior Multifokal Akut (EPPPMA)

EPPPMA biasanya mengenai pasien sehat berusia muda yang mengalami penurunan penglihatan bilateral progresif cepat disertai dengan lesi-lesi subretina datar abu-abu-putih multifokal yang dapat dilihat secara oftalmoskopis yang mengenai epitel pigmen. Penyebab penyakit ini, yang pada banyak keadaan berkaitan dengan adanya penyakit mirip influenza, tidak diketahui: perjalanan dan sifat penyakit mengisyaratkan kemungkinan infeksi virus. Gambaran khas penyakit adalah resolusi lesi fundus yang cepat dan pemulihan lambat ketajaman penglihatan ke tingkat mendekati normal. Walaupun prognosis pemulihan penglihatan dalam penyakit akut yang swasirna ini baik, banyak pasien menyadari ada skotoma parasentral residual kecil apabila diperiksa. Kelainan pigmentasi yang luas dan menetap selama stadium lanjut EPPPMA dapat mirip dengan degenerasi retina luas; riwayat klinis dan temuan elektrofisiologis yang normal membantu pembedaan diagnosis banding ini.

3.1.6. Koroidopati Peripapiler Helikoid Geografik

Ini adalah penyakit peradangan progresif kronik dan multifokal rekuren pada koroid, koriokapiler, dan epitel pigmen retina. Penyakit ini biasanya mengenai retina jukstapapiler dan meluas secara radial ke arah makula dan retina perifer. Stadium aktif bermanifestasi sebagai lesi-lesi abu-abu kuning berbatas tegas dengan tepi tidak teratur yang tampak mengenai epitel pigmentdan koriokapiler. Vitritis, uveitis anterior, dan neovaskularisasi subretina pernah dilaporkan berkaitan dengan penyakit ini. Kelainan biasanya bilateral, dan penyebabnya tidak diketahui. Riwayat alamiah penyakit peradangan indolen ini bervariasi dan mungkin berhubungan dengan penyakit mata yang lain. Pengobatan kortikosteroid lokal atau sistemik mungkin bermanfaat apabila masih terdapat peradangan aktif; fotokoagulasi laser diindikasikan untuk penyulit neovaskularisasi subretina.

3.1.7. Korioretinitis Vitiliginosa (Retinokoroidopati Bird-Shot)

Ini adalah suatu sindrom yang ditandai oleh bercak-bercak difus berwarna krem setinggi epitel pigmen dan koroid, vaskulitis retina yang berkaitan dengan edema makula sistoid, dan vitritis. Keterkaitan dengan HLA-A29 dan dengan antigen S retina mengisyaratkan bahwa penyakit ini memiliki predisposisi genetik dan bahwa oirnunitas retina berperan dalam manifestasinya. Pada nyak kasus, pemeriksaan-pemeriksaan elektroretino grafi, elektro-okulografi, dan adaptasi gelap memperlihatkan hasil abnormal. Perjalanan penyakit adalah eksaserbasi dan remisi dengan akibat visual yang bervariasi; Kpenurunan penglihatan diperkirakan disebabkan oleh, edema makula sistoid kronik, atrofi optikus, jaringan parut makula, atau neovaskularisasi subretina. Terapi kortikosteroid belum terbukti efektif terhadap penyakit ini.3.1.8. Neuroretinopati Makula Akut

Heuroretinopati makula akut ditandai oleh onset skotoma-skotoma sentral akut dan penurunan ketajaman penglihatan ringan yang disertai oleh lesi-lesi retina parafovea berbentuk baji di retina sensorik bagian dalam pada satu atau kedua mata. Lesi makula tidak terlalu mencolok, berwarna coklat kemeranan, dan paling jelas dilihat dengan sinar bebas-merah. Pasien biasanya adalah orang dewasa muda dengan riwayat penyakit virus akut. Walaupun lesi di retina dapat menghilang, skotoma cenderung menetap dan simtomatik.

3.1.9. Sindrom Bintik Putih Multipel Evanesen

Ini adalah penyakit unilateral swasirrna dan akut yang terutama mengenai wanita muda dan secara klinis ditandai oleh bintik-bintik putih setinggi epitel pigmen, sel-sel di korpus vitreosus, dan kelainan elektroretino grafik. Penyebabnya tidak diketahui. Tidak terdapat tanda-tanda penyakit sistemik yang menyertai. Lesi retina secara perlahan mengalami regresi dalam beberapa minggu, hanya meninggalkan defek epitel pigmen retina yang ringan.

3.1.10. ANGIOID STREAKS

Angioid streaks ("coreng angioid") tampak sebagai garis-garis ireguler bergerigi yang memancar dari retina peripapiler ke dalam makula dan fundus perifer. Coreng tersebut mencerminkan dehisensi linier mirip retakan di membran Bruch. Lesi kadang-laporkan berkaitan dengan penyakit retina ini tetapi hubungan yang paling sering adalah dengan degenerasi membran Bruch akibat usia. Pasien dengan angioid streaks narus diperingatkan akan nsiko ruptur koroid akibat trauma pada mata yang ringan saja. Pasien yang berusia lebih tua berisiko mengalami ablasio retina serosa dan hemoragik akibat neovaskularisasi subretina.Terapi laser dapat digunakan untuk melakukan foto-koagulasi membran neovaskuiar ekstrafovea; namun. besar kemungkinannya terbentuk membran neovaskular lain. Terapi profilaktik untuk angioid streaks sebelum neovaskularisasi subretina terjadi tidak dianjurkan.3.1.11. DEGENERASI MAKULA MIOPIK

Miopia patologik adalah salah satu penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat dan ditandai oleh pemanjangan progresif mata yang disertai penipisan dan atrofi koroid dan epitel pigmen di makula. Atrofi korioretina peripapiler dan patahan-patahan linear dimembran Bruch ('lacquer cracks") adalah temuan khas padaoftal moskopi. Kelainan degeneratif pada epitel pigmen makula mirip dengan yang dijumpai pada pasien tua yang mengalami degenerasi makula terkail usia. Lesi khas pada penyakit ini adalah lesi makular yang meninggi, sirkular, dan berpigmen yang disebul bintik Fuchs. Sebagian besar pasien sudah berusia lima puluh tahunan, saat kelainan makula degeneratif menimbulkan gangguan penglihatan yang progresif lambat: penurunan ketajaman penglihatan yang berlangsung cepat biasanya disebabkan oleh degenerasi serosa atau hemoragik makula di atas membran neovaskuiar subretina.Angiografi fluoresens pada pasien miopia patologik mungkin memperlihatkan perlambatan pengisian pembuluh-pembuluh darah koroid dan retina. Angiografi berguna untuk mengidentifikasi dan menentukan lokasi neovaskularisasi subretina pada pasien yang mengalami pelepasan makula serosa atau hemoragik. Karena pada para pasien ini membran neovaskular subretina sering terletak di dekat dengan foveola, fotokoagulasi laser mungkin tidak dapat dilakukan. Karena membran neovaskular subretina cenderung tetap berukuran kecil dan karena atrofi korioretina yang berkaitan dengan fotokoagulasi cenderung meluas pada pasien miopia patologik, terapi retina dengan laser mungkin tidak terlalu menguntungkan seperti pada penyakit neovaskularisasi subretina makula lainnya.Kelainan korioretina pada miopia patologik mempermudah kerusakan dan ablasio retina. Kelainan-kelainan retina perifer yang mungkin dijumpai adalah degenerasi baru trotoar, degenerasi pigmentasi, dan degenerasi lattice. Kerusakan retina biasanya terjadi di daerah-daerah yang terkena lesi korioretina, tetapi dapat juga muncul di daerah-daerah retina yang tampak normal. Sebagian dari kerusakan ini, terutama jenis robekan retina yang bundar atau berbentuk mirip tapal-kuda, akan berkembang me-nyebabkan ablasio retina regmatogenosa.3.1.11.1. Lubang MakulaLubang makula adalah hilangnya retina sensorik parsial atau total (full-thickness) di makula. Kelainan ini paling sering terjadi pada wanita tua, dan walaupun kadang-kadang bilateral, kelainan ini jarang timbul secara bersamaan di kedua mata. Temuan khas pada pemeriksaan biomikroskop terhadap mata yang sakit adalah lubang bundar atau oval, pada seluruh ketebalan, dan berbatas tegas dengan diameter sepertiga diskus di bagian tengah makula, yang mungkin dikelilingi oleh daerah ablasio retina sensorik berbentuk cincin. Akibat lubang makuia total tersebut, keta'jaman penglihatan terganggu dan pada pemeriksaan dengan Amsler grid di jumpai metamorfopsia serta skotoma sentrai. Lubang makula mungkin ditutupi oleh operkulum jaringan retina. Traksi tangensial dari korteks vitreosa epiretina berperan penting dalam patogenesis pembentukan lubang makula. Stadium-stadium awal pembentukan lubang makula, misalnya bintik atau cincin fovea dalam yang berwarna kuning, mungkin reversibel sewaktu kortek vitreus posterior secara spontan memisah dari retina. Terapi untuk penyakit lubang makula adalah tindakan melekatkan kembali ke retina yang terletak di atas man set cairan subretina di sekeliling lubang. Sedang dilakukan suatu penelitian yang membandingkan bedah vitrektomi dengan observasi dalam penatalaksanaan penyakit ini.

Dapat terjadi proliferasi membran fibroselular di permukaan retina, baik di makula atau retina perifer. Kontraksi atau penyusutan membran-membran epiretinal ini dapat menimbulkan distorsi penglihatan dengan derajat bervariasi, edema intraretina, dan degenerasi retina di bawahnya. Pemeriksaan dengan biomikroskop biasanya memperlihatkan keriput-keriput pada retina dan pembuluh yang berkelok-kelok dan kadang-kadang juga memperlihatkan pcrdarahan retina, bercak cotton-wool, ablasio retina serosa, dan lubang makula; hampir selalu terdapat pelepasan korpus vitreosus posterior. Kelainan-kelainan yang berkaitan dengan membran epiretina adalah robekan retina dengan atau tanpa pelepasan retina regmatogenosa, penyakit peradangan korpus vitreum, trauma, dan berbagai penyakit vaskular retina. Pasien dengan distorsi makula dan penurunan penglihatan yang disebabkan oleh kontraksi'membran epiretina biasanya akhirnya tetap memiliki ketajaman penglihatan yang stabil, yang mengisyaratkan bahwa kontraksi membran berlangsung singkat dan swasirna. Pengelu pasan membran epiretina yang parah secara bedah dapat dilakukan dan memberi hasil baik, tetapi pada beberapa kasus terjadi pertumbuhan kembali jaringan epiretina. fotokoagulasi tidak berperan dalam pengobatan penyakit membran makula epiretina.

3.1.12. Makulopati Traumatik

Trauma tumpul ke segmen anterior mata dapat menyebabkan cedera countrecoup di retina yang disebut sebagai komosio retina. Retina membentuk warna abu-abu putih, terutama mengenai retina bagian luar dan mungkin terbatas di daerah makula (edema Berlin) atau mungkin meluas ke retina perifer. Pemutihan retina di daerah makula tersebut dapat sembuh sempurna, atau dapat di gangguan penglihatan sentral yang permanen dan terjadi disertai pembentukan jaringan parut retina berpigmen atau lubang makula. Trauma-yang serupa dengan yang menyebabkan edema Berlin juga dapat menimbulkan ruptur koroid disertai perdarahan subretina dan penurunan penglihatan sentral yang menetap.

Selain trauma tumpul, beberapa cedera traumatik yang mengenai makula juga penting diketahui. Retino-pati Purtscher ditandai oleh bercak-bercak pemutihan retina superfisial dan perdarahan retina di kedua mata pada pasien yang mengalami cedera kompresi parah pada kepala atau badan. Sindrom Terson dijumpai pada sekitar 20% pasien setelah perdarahan subdural atau subaraknoid traumatik (atau spontan) dan ditandai oleh perdarahan makula superfisial dan vitreosa. Retinopati Solaris mengaCu kepada suatu lesi fovea spesifik yang timbul setelah menatap matahari dan tampak sebagai lubang atau cekungan partial-thickness yang sering "berbentuk ireguler, berbatas tegas, dan biasanya bilateral di bagian tengah fovea.

3.1.13. DISTROFI MAKULA

Distrofi makula berbeda dari degenerasi. Distrofi bersifat herediter, tidak selalu tampak sejak lahir, dan tidak berkaitan dengan penyakit sistemik. Umumnya gangguan ini terbatas pada makula; gangguan ini dapat simetrik atau asimetrik, tetapi akhirnya kedua mata akan terkena. Pada stadium-stadium awal beberapa dari gangguan ini, ketajaman penglihatan dapat berkurang sementara kelainan makulanya ringan atau tidak tampak pada pemeriksaan dengan oftalmoskop, dan keluhan pasien sering dianggap mengada-ada. Sebaliknya, pada distrofi makula jenis lainnya, kelainan oftalmoskopik mungkin tampak sangat mencolok pada saat di mana pasien merasa tidak inengalami keluhan penglihatan. Salah satu metode untuk mehgklasifikasikan distrofi-distrofi makula yang sering dijumpai adalah berdasarkan perkiraan lapisan atau lapisan-lapisan anatomik retina yang terkena.

3.1.14. Retinoskisis Juvenilis Terkait-X

Ini merupakan suatu penyakit kongenital pada pria yang ditandai oleh sebuah lesi makula yang disebut "skisis fovea". Pada pemeriksaan dengan slitlamp, skisis fovca tampak sebagai kista retina superfisial berukuran kecil yang tersusun dalam pola stelata disertai oleh striae radial yang berpusat di daerah fovea. Ketajaman penglihatan biasanya antara 20/40 dan 20/200; kelainan lapangan pandang perifer terdapat pada 50% pasien retinoskisis perifer. Kutub posterior tampak normal pada angiografi fluoresens, dan hal ini mungkin berguna dalam membedakannya dengan diagnosis banding klinis yaitu edema makula sistoid. Kelainan gelombang B pada elektroretinogram konsisten dengan temuan histopatologik berupa pemisahan intraretina di lapisan serat saraf.3.1.15. Distrofi Kerucut-Batang

Distrofi kerucut batang merupakan suatu kelompok gangguan yang relatif jarang dijumpai dan dapat dianggap sebagai satu entitas dengan aneka macam ekspresivitas. Sebagian besar kasus bersifat sporadik, tetapi kasus-kasus familial biasanya diwariskan dengan pola pewarisan dominan otosom. Distrofi kerucut batang ditandai oleh keterlibatan fotoreseptor kerucut yang lebih dominan disertai defek penglihatan warna progresif dan penurunan ketajaman penglihatan. Secara biomikroskopis dan angiografis, kelainan yang paling sering dijumpai pada para pasien ini adalah adanya pola depig mentasi berbentuk mata sapi simetrik dan zona hiper-Huoresensi yang mengelilingi sebuah bintik nonfiuore sen sentral (serupa dengan yang tampak pada retinopati klorokuin). Seiring dengan perkembangan penyakit, elektioretinogram memperlihatkan penurunan mencolok fungsi sel kerucut yang disertai oleh penurunan ringan atau sedang fungsi sel batang. Penelitian histopatologik memperiihatkan tidak ada fotoreseptor makula dan paramakula, dan terdapat degenerasi epitel pigmen.

3.1.16. Fundus Albipungtatus

Fundus albipungtatus adalah suatu distrofi nonprogresif resesif otosom yang ditandai oleh adanya ribuan bintik putih kecil diskret setinggi epitel pigmen yang tersebar di sekitar kutub posterior dan midperifer retina. Pasien mengalami buta senja dengan ketajaman penglihatan normal, lapangan pandang normal, dan penglihatan warna normal. Walaupun elektroretinogram dan elektrooku logam biasanya memperlihatkan hasil normal, ambang adaptasi gelap sangat meningkat Retinitis pungtata albesens adalah varian distrofi ini yang progresif namun lebih jarang ditemukan.

3.1.17. Fundus Flavimakuiatus (Penyakit Stargardt)Ini merupakan suatu gangguan bilateral resesif otosom "yang ditandai oleh bintik-bintik kuning-putih dengan ukuran dan bentuk bervariasi terbatas di epitel pigmen retina. Banyak pasien menderita penurunan penglihatan sentral pada masa anak-anak; namun, keterlibatan makula dan hasil akhir penglihatan bervariasi. Angiografi fluoresens penting untuk membedakan bintik tersebut, bintik dari drusen; bintik ini biasanya hipofluoresens. Hasil pemeriksaan elektroretinogram dan elektrookulogram biasanya normal. Kelainan histopatologik terbatas di epitel pigmen; bintik kuning yang lampak secara klinis adalah penimbunan padat lipofusin di dalam sel-sel epitel pigmen yang membengkak.

3.1.18. Distrofi Viteliformis (Penyakit Best)

Distrofi vileliformis adaiah suatu gangguan dominan otosom dengan penetrasi dan ekspresivitas bervariasi yang biasanya muncul pada masa anak-anak. Gambaran oftalmoskop bervariasi dan berkisar dari gangguan pigmentasi ringan di dalam fovea sampai lesi viteliformis khas atau "egg yoke" di dalam makula sentral. Lesi khas mirip kista ini biasanya berbentuk cukup bundar dan berbatas tegas serta mcngandung bahan kuning opak homogen yang terletak setinggi epitel pigmen retina. "Egg-yoke" tersebut dapat mengalami degenerasi dan dapat berkaitan dengan neovaskularisasi subretina, perdarahan subretina, dan pembentukan jaringan parut luas di makula. Ketajaman penglihatan sering tetap baik, dan hasil elektroretinogram normal: tanda utama penyakit ini adalah. hasil pemeriksaan elektro-okulogram yang jelas abnormal.3.2. PENYAKIT RETINA PERIFER

3.2.1. ABLASIO RETINA

Istilah "ablasio retina" (retinal detachment) menandakan pemisahan retina sensorik. yi., fotoreseptor dan lapisan jaringan bagian dalam. dan epitel pigmen retina di bawahnya. Terdapat tiga jenis ulama: ablasio regmatogenosa, ablasio traksi. dan ablasio serosa atau hemoragik.

3.2.1.1. ABLASIO RETINA REGMATGENOSA

Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio retina adalah ablasio retina regmatogenosa. Karakteristik ablasio regmatogenosa adalah pemutusan total (full-thickness) (suatu "regma") di retina sensorik, traksi korpus vitreum dengan derajat bervariasi. dan mengalirnya korpus vitreum cair melalui defek retina sensorik ke dalam ruang subretina. Ablasio retina regmatogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan korpus vitreum posterior. Miopia, afakia, degenerasi lattice, dan trauma mata biasanya berkaitan dengan ablasio retina jenis ini. Oftalmoskopi tidak langsung binokular dengan depresi sklera memperlihatkan peninggian retina sensorik translusen yang lepas. Pemeriksaan yang teliti biasanya memperlihatkan satu atau lebih pemutusan retina total misalnya robekan berbentuk tapal kuda, lubang atrofik bundar. atau robekan sirkum-f'erensial anterior (dia'iisis retina). Letak pemutusan resina bervariasi sesuai dengan jenis; robekan tapal kuda paling sering terjadi di kuadran superotemporal, lubang atrofik di kuadran temporal, dan dialisis retina di kuadran inferotemporal, Apabila terdapat robekan retina multipel, maka defek biasanya terletak dalam 90 derajat satu sama lain.1) PengobatanBuckling sklera atau retinopeksi pneumatik merupakan dua teknik bedah yang paling populer dan efektif untuk perbaikan ablasio retina regmatogenosa. Kedua prosedur tersebut memerlukan penentuan lokasi pemutusan retina yang tepat dan terapi dengan diatermi, krioterapi, atau laser untuk membentuk suatu adhesi antara epitel pigmen dan retina sensorik. Pada tindakan bedah scleral buckling, pemutusan retina ditumpangkan pada sklera yang cekung oleh suatu eksplan. Indentasi sklera dapat dicapai dengan berbagai teknik dan bahan, yang masing-masing memiliki keunggulan dan kerugiannya sendiri-sendiri. Retinopeksi pneumatik adalah tindakan yang terdiri dari penyuntikan udara atau gas yang dapat memuai intraokular untuk melakukan tamponade pada retina yang terputus sementara adhesi korioretina terbentuk. Dilaporkan tingkat keberhasilan perlekatan ulang sebesar 90%, namun hasil visual bergantung pada status praoperasi makula. Apabila makula terkena oleh proses ablasio retina regmatogenosa tersebut, prognosis untuk pemulihan penglihatan total kurang begitu memuaskan.

3.2.1.2. ABLASIO RETINA AKIBAT TRAKSIAblasio retina akibat traksi adalah jenis tersering kedua dan terutama disebabkan oleh retinopati diabetes proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, retinopati pada pre-maturitas, atau trauma mata. Berbeda dengan penampakan konveks pada ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina akibat traksi yang khas memiliki permukaan yang lebih konkaf dan cenderung Iebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora serata. Gaya-gaya traksi yang secara aktif menarik retina sensorik menjauhi epitel pigmen di bawahnya disebabkan oleh adanya membran vitreosa epiretina, atau subretina yang terdiri dari fibroblas dan sel glia atau sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina akibat traksi pada diabetes, kontraksi korpus vitreum menarik jaringan fibrovaskular dan retina di bawahnya ke arah anterior menuju dasar korpus vitreum. Pada awalnya peiepasan mungkin terbatas di sepanjang arka dearkade vaskular, tetapi dapat terjadi perkembangan sehingga kelainan melibatkan retina midperifer dan makula. Vitreoretinopati proliferatif adalah penyulit ablasio retina regmatogenosa dan merupakan penyebab tersering kegagalan tindakan perbaikan bedah pada mata-mata tersebut.Proses patologik dasar pada mata yang mengalami vitreoretinopati proliferatif adalah pertumbuhan dan kontraksi membran selular di kedua sisi retina dan di permukaan korpus vitreum posterior. Traksi fokal dari membran selular dapat menyebabkan robekan retina dan menimbuikan kombinasi ablasio retina regmatogenosa traksional.1) Pengobatan

Terapi primer untuk ablasio retina akibat traksi adalah bedah vitreoretina dan mungkin melibatkan vitrektomi, pengangkatan membran, scleral buckling, dan penyuntikan gas intraokular.

3.2.1.3. ABLASIO RETINA SEROSA DAN HEMORAGIK

Ablasio retina serosa dan hemoragik dapat terjadi walaupun tidak terdapat pemutusan retina atau traksi vitreoretina. Ablasio ini adalah hasil dari penimbunan cairan di bawah retina sensorik dan terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid. Penyakit degeneratif, inflamasi, dan infeksi yang terbatas di makula, termasuk neovaskularisasi subretina yang disebabkan oleh bermacam-macam hal, mungkin berkaitan dengan ablasio retina jenis ini dan dijelaskan di bagian awal bab ini. Peiepasan jenis ini juga dapat berkaitan dengan penyakit peradangun dan vaskular sistemik. 3.2.2. RETINOPATI PREMATURITAS

Retinopati prematurites adalah suatu retinopati proliferatif yang merupakan penyebab tersenng kebutaan masa anak-anak di Amerika Serikat dan penyebab utarna kebutaan di seluruh negara maju. Klasifikasi internasional untuk penyakit ini membagi retina menjadi tiga zona dan menandai luas penyakit dengan angka-angka jam yang terkena; kelainan retina dibagi menjadi lima stadium.

Garis batasnya adalah sebuah pita putih sempit yang menandai taut retina vaskular dan avaskular di stadium 1; hal ini merupakan tanda oflalmoskopik defmitif yang pertama pada retinopali prematuritas. Seiring dengan peningkatan tinggi, lebar, dan volume pita dan meningginya pita ini dari bidang retina, tampak rigi stadium 2. proliferasi neovaskuiar ke dalam korpus vitreum menandai stadium 3. Stadium 4 ditandai oleh ablasio retina subtotal, dan tanda klinis stadium 5 adalah ablasio retina total berbentuk corong.1) Pengobatan

Pengobatan retinopati prematuritas didasarkan pada klasifikasi dan stadium penyakit. Perlu dicatat bahwa sejumlah pasien retinopati prematuritas mengalami regresi spontan. Perubahan retina perifer pada retinopati prematuritas yang mengalami regresi adalah retina avaskular, lipatan-lipatan perifer, dan robekan retina; kelainan-kelainan penyerta di kutub posterior antara lain terdiri dari melurusnya pembuluh-pembuluh temporal, meregangnya makula ke temporal, dan jaringan retina yang tampak tertarik ke atas diskus. Temuan-temuan lain pada retinopati prematuritas yang mengalarni regresi adalah miopia (yang mungkin asimetrik), strabismus, katarak, dan glaukoma sudut tertutup.

Sementara penyakit stadium 1 dan 2 tidak memerlukan tindakan selain observasi, untuk mata dengan penyakit stadium 3 perlu dipertimbangkan tindakan krioterapi transsklera atau fotokoagulasi laser. Bedah vitreoretina seperti dijelaskan di atas dalam bagian mengenai ablasio retina akibat traksi mungkin dapat dilakukan untuk penyakit stadium 4 dan 5. Etiologi dan pengobatan retinopati prematuritas serta protokol pemeriksaan penapisan yang dianjurkan. 3.2.3. DEGENERASI RETINA

Kelompok gangguan ini terdiri dari sejumlah penyakit. dengan berbagai manifestasi mata dan, kadang-kadang, sistemik. Di bagian ini, akan dibahas beberapa penyakit spesifik sebagai prototipe untuk memahami karakteristik-karakteristik utama degenerasi retina.

3.2.3.1. Retinitis Pigmentosa

Retinitis pigmentosa adalah sekelompok degenerasi retina herediter yang ditandai oleh disfungsi progresif foto-reseptor dan disertai oleh hilangnya sel secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina. Bentuk khas penyakh ini mungkin diturunkan sebagai sifat resesif otosom, dominan otosom, atau resesif terkait-X; sepertiga kasus tidak memiliki riwayat keluarga. Gejala utama retinitis pigmentosa adalah buta senja (niktalopia) dan penurunan lapangan pandang perifer secara progresif perlahan. Temuan oftalmoskopik yang paling khas adalah penyempitan arteriol-arteriol retina, timbulnya bercak-bercak di epitel pigmen retina, dan penggumpalan pigmen retina perifer, yang disebut sebagai "bone-spicule formation". Walaupun retinitis pigmentosa adalah gangguan fotoreseptor generalisata, pada sebagian besar kasus fungsi sel batang mengalami gangguan yang lebih parah sehingga timbul gejala-gejala subyektif yang berkaitan dengan penurunan fungsi skotopik. Elektroretinogram biasanya memperlihatkan penurunan hebat atau menghilangnya fungsi retina; elektrookulogram tidak memperlihatkan puningkatan sinar yang lazim. Penampakan fundus pada retinitis pigmentosa dapat mirip dengan gambaran pada beberapa penyakit lain, tennasuk korioretinitis, trauma, sumbatan vaskular, dan ablasio retina.

Efek suplemen vitamin pada perkembangan retinitis pigmentosa memerlukan penelilian lebih lanjut sebelum dapat dibuat rekomendasi pengobatan. Pasien yang mengidap penyakit ini perlu diberi konsultasi genetik dan rujukan ke badan-badan yang sesuai yang memberikan pelayanan bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan.3.2.3.2. Amaurosis Kongenital Leber

Amaurosis kongenital leber adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh gangguan pengiihatan beral atau kebutaan sejak masa bayi tanpa penyebab yang jelas. Penyakit ini biasanya diwariskan secara resesif otosom dan mungkin disertai oleh retardasi mental, kejang, dan kelainan ginjal atau otot. Temuan-temuan oftalmoskopik bervariasi; sebagian besar pasien memperlihatkan gambaran fundus normal atau hanya granularitas epitel pigmen retina yang samar dan sedikit penipisan pembuluh-pembuluh. Elektroretinogram yang sangat menurun atau menghilang mengisyaratkan disfungsi fotoreseptor generalisata, dan pada bayi pemeriksaan ini adalah satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosis secara pasti.

3.2.3.3. Atrofi Girata

Airofi girata adaiah suatu gangguan resesif otosom yang disebahkan oleh penurunan aktivitas ornitin aminotrans-ferase, suatu enxim matriks mitokondria yang mengkatalisis beberapa jalur asam amino. Insidens gangguan ini relatif tinggi di Finlandia, dan kelainan oftalmologinya merupakan manifestasi penyakit yang paling menonjol. Pasien biasanya mengalami niktalopia dalam dekade pertama kehidupan yang kemudian diikuti oleh penurunan progresif lapangan pandang perifer. Di bagian midperifer fundus selama masa remaja terbentuk daerah-daerah atrofi korioretina sirkular yang khas dan berbatas tegas yang menyatu dengan kelainan makula pada tahap lanjut perjalanan penyakit. Elektroretinogram menurun atau menghilang, dan elektrookulograrn menurun.

Pengobatan untuk penyakit ini adaiah suplementasi piridoksin, pembatasan arginin dalam makanan, dan pemberian lisin dalarr. makanan.

3.2.3.4. Atrofi Korioretina Perifer

Atrofi korioretina perifer (degenerasi batu trotoar) ada lab. degenerasi korioretina yang string dijumpai dan ditemukan pada hampir sepertiga mata orang dewasa. Secara oftalmoskopis, lesi tampak sebagai daerah-daerah kuning-putih, diskret, kecil, tersendiri atau berke lompok dengan pembuluh-pembuluh koroid di bawahnya yang menonjol dan batas berpigmen. Insufisiensi pembuluh koroid diperkirakan merupakan penyebab gangguan jinak ini karena kelainan-kelainan patologik terbatas di bagian retina yang diperdarahi oleh koriokapiler. Degenerasi batu trotoar tidak memiliki makna patologik yang besar, walaupun dapat merupakan tanda adanya penyakit vaskular perifer.

3.2.3.5. Degenerasi Lattice

Degenerasi lattice adaiah degenerasi vitreoretina here diter yang paling sering dijumpai, dengan perkiraan insidens sebesar 7% dari populasi umum. Degenerasi lattice lebih sering dijumpai pada mata miopik dan sering disertai ablasio retina, yang terjadi hampir sepertiga pasien dengan ablasio retina. Gambaran oftal moskopik mungkin berupa penipisan retina berbentuk; bundar, oval, atau linier, disertai pigmentasi, garis putih bercabang-cabang, dan bintik-bintik kuning keputihan; tanda utama penyakit adaiah retina yang tipis yang ditandai oleh batas tegas dengan perlekatan erat vitreoretina di tepinya. Adanya degenerasi lattice mata-mata tidak cukup memberi alasan untuk terapi profilaktik. Riwayat ablasio retina pada keluarga, ablasio retina di mata yang lain, miopia tinggi, dan afakia adalah faktor-faktor risiko terjadinya ablasio retina pada mata dengan degenerasi lattice, dan mungkin diindikasikan terapi profilaktik dengan bedah beku atau fotokoagulasi laser.

3.2.4. RERINOSKISIS

Retinoskisis degeneratif, tidak seperti retinoskisis juvenilis terkait-X yang dijelaskan di atas, adalah gangguan retina perifer didapat yang sering ditemukan dan diperkirakan terbentuk dari degenerasi sistoid perifer yang stidah ada. Pada hampir semua orang dewasa sedikit banyak dapat dijumpai kelainan kistik degenerasi sistoid perifer. Degenerasi sistoid ini ditandai oleh beberapa mikrokista intrarelina yang sering menyatu, menimbulkan gambaran peinbuluh yang berlobus-lobus, bercabang tidak teratur, dan berkelok-kelok. Degenerasi sistoid perifer dapat berkembang menjadi salah satu dari dua bentuk degeneratif retinoskisis, yang masing-masing ditandai oleh defek lapangan pandang yang berbatas tegas dan absolut.

Retinoskisis degeneratif tipikal terjadi pada 1% orang dewasa dan merupakan penyakit bilateral pada sepertiga pasien. Pada pemeriksaan klinis, penyakit ini tampak sebagai daerah belahan (splitting) retina berbentuk bundar atau oval dengan elevasi fusiformis lapisan bagian dalam dan rongga skisis yang secara optis kosong. Belahan retina terjadi di iapisan pleksiform luar. Penyulit misalnya pembentukan lubang dan perluasan mencolok ke posterior sangat jarang terjadi dan jarang memerlukan terapi.

Retinoskisis degeneratif retikular ditandai oleh daerah-daerah belahan retina berbentuk bundar atau oval di mana terjadi suatu elevasi bulosa lapisan bagian dalam yang sangat tipis. terutama di kuadran temporal bawah. Pada penyakit bentuk ini, daerah belahan biasanya terjadi di lapisan serat saraf, dan di sebelah anterior lesi biasanya terdapat degenerasi sistoid perifer. Apabila terdapat pemutusan retina di lapisan bagian dalam dan luar, maka dapat terjadi ablasio retina regmatogenosa yang mengancam makula. sehingga diperlukan terapi.

3.3. PENYAKIT PEMBULUH RETINA

3.3.1. RETINOPATI DIABETES

Retinopati diabetes adalah penyebab utama kebutaan di negara-negara Barat. Pandangan bahwa hiperglikemia kronik pada diabetes melitus adalah determinan utama timbulnya retinopati diabetes didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang mada dengan diabetes tipe I (dependen-insulin) paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit sistemik ini. Hasil-hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe II (non dependen-insulin), tetapi pada para pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat. Dianjurkan pasien diabetes melitus tipe I dirujuk untuk pemeriksaan oftalmologik dalam 3 tahun setelah diagnosis dan diperiksa ulang paling sedikit sekali setahun. Pasien diabetes tipe II harus dirujuk ke ahli oftalmologi pada saat diagnosis dan diperiksa ulang sedikitnya sekali setahun. Karena retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang hamil harus diperiksa oleh ahli oftalmologi pada trimester pertama dan kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.

Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, retinopati diabetes perfu dibagi menjadi kategori proliferatif dan nonproliferatif. Prevalens retinopati proliferatif pada diabetes tipe I dengan lama penyakit 15 tahun adalah 50%. Walaupun prevalens penyakit proliferatif pada pengidap diabetes tipe II dengan lama penyakit 15 tahun jauh lebih kecil, prevalens edema makula sebagai fungsi dari lama penyakit sistemik adalah sama untuk kedua kelompok.

3.3.1.1. RETINOPATI diabetes nonproliferatif

Retinopati diabetes adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit. Retinopati diabetes nonproliferatif adalah cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh yang terkena. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik yang disebut mikroaneurisma, sedangkan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok.

Dapat terjadi perdarahan-perdarahan di semua lapisan retina. Perdarahan akan berbentuk nyala api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal, sedangkan perdarahan berbentuk titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam, tempat sel-sel dan akson berorientasi vertikal.

Edema makula adalah penyebab tersering gangguan penglihatan pada pasien retinopati diabetes nonproliferatif. Edema terutama disebabkan oleh rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada tingkat endotel kapiler retina sehingga terjadi kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina di sekitarnya. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina. Dapat terbentuk zona-zona eksudat kuning kaya-lemak berbentuk bundar di sekitar kumpulan mikroaneurisma dan paling sering berpusat di bagian temporal makula. Walaupun prevalensi edema makula adalah 10% pada populasi diabetes sebagai suatu keseluruhan, terdapat peningkatan mencolok prevalensi tersebut pada mata yang mengalami retinopati berat.

Pada sumbatan mikrovaskular progresif, dapat timbul tanda-tanda peningkatan iskemia pada gambaran retinopati yang menjadi latar belakangnya dan menghasilkan gambaran klinis retinopati diabetes praproliferatif. Temuan yang paling khas adalah bercak-bercak cotton-wool, timbulnya gambaran manik-manik pada vena retina, dan pelebaran segrnental ireguler jaring kapiler retina (kelainan mikrovaskular intraretina). Penutupan kapiler-kapiler retina yang mengelilingi zona fovea yang avaskular dapat menyebabkan iskemia bermakna yang secara klinis bermanifestasi sebagai perdarahan retina gelap besar dan adanya arteriol-arteriol makula halus mirip benang. Mata yang mengalami edema makula dan iskemia yang bermakna memiliki prognosis pengiihaian yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser daripada mata dengan edema dan perfusi yang relatif haik.

Disfungsi penglihatan dai; elektrofisiologik yang berkaitan dengan diabetes mungkin terjadi akibat kelainan vaskular lokal dan efek metabolik sistemik penyakit yang mengenai retina. Timbul kelainan penglihatan warna biru-kuning khas, dan diskriminasi corak warna mungkin terganggu. Kepekaan kontras mungkin menurun, sekalipun pada ketajaman penglihatan yang normal. Pemeriksaan lapangan pandang mungkin memperlihatkan skotoma relatif yang sesuai dengan daerah-daerah edema dan nonperfusi retina, dan kelainan adaptasi gelap juga pernah dilaporkan. Kelainan elektroretinografik memiliki hubungan dengan keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan perkembangan retinopati. Angiografi fluoresens sangat bermanfaat dalam mendefinisikan kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati diabetes. Defek pengisian berukuran besar pada jaringan kapiler "nonperfusi kapiler" memperlihatkan luas iskemia retina dan biasanya paling menonjol di midperifer. Kebocoran zat warna fluoresens yang berkaitan dengan edema retina dapat rnengambil konfigurasi peta loid edema makula sistoid atau mungkin difus. Kelainan fluoresens lainnya adalah lengkung-lengkung vaskular dan pirau intraretina. Fokus pengobatan bagi pasien retinopati diabetes nonproliferatif tanpa edema makula adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit ''sistemik lain yang menyertai.

Suatu percobaan klinis terkontrol memperlihatkan bahwa terapi inhibitor aldosa duktase tidak mencegah perkembangan retinopati diabetes. Beberapa percobaan klinis yang baru-baru ini dilakukan memberi bukti-bukti meyakinkan bahwa terapi laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pasien yang secara klinis memperlihatkan edema bermakna memperkecil risiko penurunan penglihatan dan meningkatkan kemungkinan perbaikan fungsi penglihatan. Mata dengan edema makula diabetes yang secara klinis tidak bermakna biasanya hanya dipantau secara ketat tanpa terapi laser. Karena adanya dema makula dapat hanya sedikit atau bahkan tidak berkaitan dengan gangguan ketajaman penglihatan, para penyedia kesehatan primer harus menyadari pentingnya rujukan yang segera dan dini pasien diabetes ke ahli oftalmologi.

3.3.1.2. RETINOPATI DIABETS PROLIFERATIF

Penyulit mata yang paling parah pada diabetes melitus adalah retinopati diabetes proliferatif. Iskemia retina progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-pembuluh halus baru yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum (dan fluoresens) dalam jumlah besar. Neovaskularisasi sering terletak di permukaan diskus dan di tepi posterior zona perifer "nonperfusi". Neovaskularisasi iris, atau rubeosis iridis, juga dapat terjadi.

Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi ke permukaan posterior korpus vitreum dan menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai berkontraksi menjauhi retina. Apabila darah keluar dari pembuluh tersebut, terjadi perdarahan korpus vitreum masif dan dapat timbul penurunan penglihatan mendadak. Mata yang mengalami pelepasan total korpus vitreum posterior berisiko lebih kecil mengalami neovaskularisasi dan perdarahan korpus vitreum. Pada mata dengan retinopati diabetes proliferatif dan adhesi vitreoretinal persisten, jaringan neovaskular yang meninggi dapat mengalami fibrosis dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan menimbulkan kontraksi terus menerus pada korpus vitreum. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan retina akibat traksi progresif atau, apabila terjadi robekan retina, ablasio retina regmatogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau ditutupi oleh perdarahan korpus vitreum. Apabila kontraksi korpus vitreum telah sempurna di mata tersebut, maka retinopati proliferatif cenderung masuk ke stadium "involusional" atau burned-ont.

1) Pengobatan

Fotokoagulasi panretina laser argon biasanya diindikasikan untuk retinopati diabetes proliferatif. Pasien berisiko paling besar mengalami penurunan penglihatan bermakna apabila terdapat perdarahan praretina atau korpus vitreum atau neovaskularisasi diskus. Pada para pasien ini, fotokoagulasi panretina dapat secara bermakna menurunkan kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan menimbulkan regresi dan, pada beberapa kasus, hilangnya pembuluh-pembuluh baru tersebut. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur di seluruh retina, dengan tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh vaskular temporal utama. Walaupun mekanismenya belum dipahami secara jelas, foto koagulasi panretina mungkin bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami iskemia.

Peran bedah vitreoretina dalam penyakit mata diabetes proliferatif terus berkembang. Penatalaksanaan konservatif penglihatan monokulai yang disebabkan oleh perdarahan korpus vitreum diabetes pada pasien binokular adalah dengan membiarkan resolusi spontan dalatt beberapa bulan Hasil stiatu penelitian 4 tahun yang dirancang untuk menilai peran vitrektomi dini untuk perdarahan korpus vitreum yang parah dan retinopati diabetes proliferatif menyokong tindakan bedah ini sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihkan penglihatan yang baik.

3.3.2. SUMBATAN ARTERI RETINA SENTRALIS

Pasien dengan sumbatan arteri retina sentralis sering menyatakan riwayat penurunan penglihatan hebat yang tidak nyeri yang tsrjadi dalam periode beberapa detik: mungkin terdapat penurunan penglihatan transien sebelumnya (amaurosis fugaks). Ketajaman penglihatan berkisar antara menghitung jari dan persepsi cahaya pada 90% mata pada saat pemeriksaan awal. Defek pupil aferen dapat muncul dalam beberapa detik setelah sumbatan arteri retina, yang mendahului timbulnya kelainan fundus selama satu jam.

Secara oftalmoskopis, retina superfisial mengalami pengeruhan kecuali di foveola, yang memperlihatkan bercak merah cherry. Bercak merah cherry adalah pigmen koroid dan epitel pigmen retina yang dilihat melalui retina foveola yang sangat tipis dan berkontras dengan retina perifoveola yang lebih tebal dan translusen. Duapuluh lima persen mata dengan sumbatan arteri retina sentralis memiliki arteri-arteri silioretina yang tidak mengenai retina makula dan dapat mempertahankan sebagian ketajaman penglihatan sentral. Secara klinis, kekeruhan retina menghilang dalam 4-6 minggu, meninggalkan sebuah diskus optikus pucat sebagai temuan okular utama. Pada pasien berusia lanjut. arteritis sel raksasa harus disingkirkan dan apabila perlu segera diterapi dengan kortikosteroid sistemik dosis tinggi. Penyebab lain sumbatan arteri retina sentralis adalah arteriosklerosis dan emboli dari arteri karotis atau jantung.

1) Pengobatan

Saat ini tidak terdapai pengobatan yang memuaskan. untuk memperbaiki penglihatan pada pasien dengan sumbatan arteri retina sentralis. Karena kerusakan retina ireversibel ternyata terjadi setelah 90 menit sumbatan total arteri retina sentralis pada model primata subhuman, hanya tersedia sedikit waktu untuk memulai terapi. Dapat dilakukan parasentesis kamera anterior untuk menurunkan tekanan intraokular, dan dilaporkan penggunaan inhalasi campuran oksigen karbon dioksida untuk menginduksi vasodilatasi retina dan meningkatkan PO2 di permukaan retina. Antikoagulan sisternik biasanya tidak diberikan.

3.3.3. SUMBATAN ARTERI RETINA CABANG

Sumbatan arteri retina cabang biasanya bermanifestasi sebagai pengecilan lapangan pandang mendadak dan pengurangan ketajaman penglihatan apabila fovea terkena. Tanda-tanda edema retina di fundus disertai bercak-bercak cotton-wool terbatas di daerah retina yang diperdarahi oleh pembuluh yang tersumbat. Penyakit yang disehabkan oleh emboli lebih banyak apabila dibandingkan dengan sumbatan arteri retina sentralis, dan emboli sering diidentifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis. Migren, pemakaian kontrasepsi oral, dan vaskulitis juga harus dipertimbangkan.

3.3.4. SUMBATAN VENA RETINA SENTRALISSumbatan vena retina sentralis adalah gangguan askular retina dengan potensi menimbulkan kebutaan yang sering terjadi dan mudah didiagnosis. Pasien datang dengan penurunan penglihatan mendadak yang tidak nyeri.

Gambaran klinis bervariasi dan perdarahan retina kecil-kecil tersebar dan bercak coiton-wool sampai gambaran perdarahan hebat dengan perdarahan retina superfisial dan dalam, yang kadang-kadang dapat pecah ke dalam korpus vitreum. Sebagian besar pasien yang mengalami penyakit ini berusia lebih dari 50tahun. dan Isbih dari separuhnya mengidap penyakit kardiovaskular terkait lainnya. Glaukoma sudut terbuka kronik harus selalu disingkirkan.

Dua penyulit utama yang berkaitan dengan sumbatan vena retina sentralis adalah penurunan penglihatan akibat edema makula dan glaukoma neovaskular akibat neovaskularisasi iris. Disfungsi makula terjadi pada hampir semua mata yang mengalami sumbatan vena sentralis. Walaupun sebagian mata akan memperlihatkan perbaikan spontan, sebagian besar mengalami penurunan penglihatan sentral persisten akibat edema makula kronik. Hampir sepertiga mata dengan sumbatan vena retina sentralis memperlihatkan nonperfusi kapiler retina yang signifikan pada angiografi fluoresens; separuh dari mata tersebut akan mengalami glaukoma neovaskular.

1) Pengobatan

Fotokoagulasi laser panretina efektif mencegah dan mengobati glaukoma neovaskular pada mata dengan sumbatan vena retina sentralis iskemik. Sampai saat ini belum ada terapi yang terbukti efektif untuk edema makula yang terjadi akibat sumbatan vena retina sentralis; namun, fotokoagulasi laser makula grid pattern mungkin berperan dalam pengobatan penyakit ini.

3.3.5. SUMBATAN VENA RETINA CABANG

Sumbatan vena retina cabang bermanifestasi sebagai penurunan penglihatan unilateral mendadak disertai perdarahan intraretina yang terdistribusi secara segmental umbatan vena selalu terjadi di tempat persilangan arteriovena, dan dapat terjadi neovaskularisasi retina apabila sumbatan menyebabkan daerah non kapiler retina yang luasnya bergaris tengah lebih diskus. Penyulit penyakit yang mengancam penglihatan adalah edema makula. iskemia makula dan han korpus vitreosus akibat neovaskularisasi retina.

1) Pengobatan

Fotokoagulasi laser retina berperan penting dalam pengobatan penyakit ini. Apabila neovaskularisasi perifer dipastikan dengan angiografi fluoresens, dapat di berikan terapi laser yang mungkin menurunkan risiko perdarahan korpus vitreum sampai separuhnya Apabila penurunan penglihatan akibat edema makula menetap selama beberapa bulan tanpa perbaikan spontan biasanya diindikasikan fotokoagulasi grid pattern laser argon hadap makula. Terapi antikoagulan belum terbukti manfaat baik untuk mencegah atau mengobati sumbatan vena retina cabang. Penyakit mata penting lainnya yang terkait adalah glaukoma sudut terbuka kronik dan uveitis akibat sindrom Behcet.

3.3.6. MAKROANEURISMA ARTERIOL RETINA

Makroaneurisma retina adalah dilatasi fusiformis atau bulat arteriol-arteriol retina yang terjadi pada tiga turunan pertama bifurkasi arteriolar. Sebagian besar kasus bersifat unilateral, dan arteri superotemporal adalah pembuluh yang paling sering terkena. Dua pertiga pasien juga mengidap hipertensi arterial sistemik.

Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah berkurangnya penglihatan sentral akibat edema, eksudasi, atau perdarahan retina. Makroaneurisma dapat mengalami perdarahan ke dalam ruang subretina, ke dalam retina, di bawah membrana limitans interna, atau ke dalam korpus vitreurn; perdarahan "jam pasir merupakan gambaran khas dan disebabkan oleh perdarahan di bawah dan anterior retina.Walaupun indikasi yang jelas untuk terapi fotokoagulasi laser belum diketahui, terapi laser makroaneurisma harus dipertimbangkan apabila eksudat iemak yang keluar mengancam fovea.

II. NEURO-OFTALMOLOGI

Retina dan jaras-jaras penglihatan anterior ( nervus optikus, kiasma optikum, dan traktus optikus) merupakan bagian dari kesatuan otak yang utuh, yang menyediakan sebagian besar input sensoris total. Retina dan jaras penglihatan anterior sering memberikan petunjuk diagnostik penting untuk berbagai gangguan saraf pusat. Penyakit intrakranial sering menyebabkan gangguan penglihatan karena adanya kerusakan atau tekanan pada salah satu bagian dari jaras-jaras optikus. Nervus kranialis III, IV dan VI, yang mengontrol gerakan otot-otot okular, mungkin terkena saraf V dan VII juga berhubungan erat dengan fungsi mata.

Analisa Lapangan Pandang Dalam Menetukan Lokasi Lesi di Jaras Penglihatan

Lokasi lesi jaras penglihatan ditentukan dengan pemeriksaan lapangan pandang sentral dan perifer. Lesi disebelah anterior kiasma optikus (retina atau nervus optikus) menyebabkan defek lapangan pandang unileteral. Lesi dimana saja di jaras penglihatan yang terleta posterior terhadap kiasma menyebabkan defek homonimkontralateral. Lesi kiasma biasanya menyebabkan defek bitemporal.

Sebaiknya digunakan isopter multiple (obyek pemeriksaan dengan bebrbagai ukuran) untuk mengevaluasi defek secara menyeluruh. Defek lapangan pandang dengan suatu batas melandai (sloping), (defek lapangan pandang lebih besar dengan obyek pemeriksaan yang lebih kecil atau berwarna daripadadengan yang putih) mengisyaratkan edema atau penekanan (kompresi). Lesi iskemik atau vaskular lebih cendrung menghasilkan defek lapangan pandang dengan batas-batas yang curam.

Penyamaran lain yang penting adalah bahwa semakin kongruen defek lapangan pandang homonim (semakin mirip ukuran, bentuk, dan lokasi defek pada lapangan pandang terkait dikedua mata), semakin posterior letak lesi dijaras penglihatan. Lesi diregio oksipital cendrung menyebabkan defek identik dimasing-masing lapangan pandang, sedang lesi ditraktus optikus menyebabkan defek lapangan pandang homonim yang inkonguren (tidak serupa).

Khusus lesi dikorteks oksipitalis, tempat lapangan pandang sentral diwakili diposterior dan lapangan pandang atas diwakili di inferior, terdapat hubungan antara defek lapangan pandang dan lokasi lesi. Karena lobus oksipitalis mendapat perdarahan ganda dari sirkulasi serebralposterior dan media infar oksipitalis bisa atau bisa juga tidak menimbulkan kerusakan pada polus oksipitalis. Ini menyisakan lapangan pandang atau menimbulkan kehilangan lapangan pandang pada sisi hemianopia; adanya lapangan pandang sisa disebut sebagai macular sparing. Lesi oksipital juga dapat menimbulkan fenomena penglihatan residual. Pada fenomena ini, respon terhadap gerakan mungkin dapat dipertunjukan dilapangan pandang yang hemianopia tanpa adanya penglihatan yang terbentuk.

Suatu hemianopia homonium lengkap dimanapun letak lesinya, namun masih memiliki ketajaman penglihatanyang utuh disetiap mata karena masih adanya fungsi makula dilapangan penglihatan yang tersisa.1. Fisiologi1.1. Persyarafan Mata

1.1.1. Nervus Optikus

Beragam penyakit dapat mengenai nervus opticus. Tampilan klinis khas yang mengisyaratkan adanya penyakit nervus opticus adalah defek pupil aferen, penglihatan warna buruk, dan perubahan-perubahan pada discus optikus. Perlu diingat bahwa diskus optikus mungkin normal pada stadium awal penyakit yang mengenai nervus opticus retrobulbar, khususnya kompresi oleh suatu lesi intrakranial, walaupun telah terdapat penurunan lapangan pandang dan ketajaman penglihatan yang berat. Akson dapat mengalami disfungsi lama sebelum atrofi.

Edema diskus optikum terutama terjadi pada penyakit-penyakit yang mengenai bagian anterior nervus optikus, tetapi dapat juga terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi nervus optikus intraorbital. Edema diskus optikus dapat merupakan suatu tanda klinis penting, misalnya pada diagnosis neuropatik optik iskemik anterior; disini, edema diskus optikus harus ada pada stadium akut agar diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan klinis. Oklusi vena centralis vena centralis retnae, hipotoni okular, dan peradangan intraokular dapat menyebabkan edema diskus optikus sehingga memberi kesan salah adanya penyakit nervus opticus.

Atrofi optik adalah suatu respons nonspesifik terhadap kerusakan nervus optikus akibat sebab apapun. Karena nervus opticus terdiri atas akson-akson sel gangglion retina, atrofi optik dapat terjadi akibat penyakit retina primer, misalnya retinitis pigmentosa atau oklusi arteria centralis retinae. Ekskavasi caput nervi optici (pencekungan diskus optikus) umumnya merupakan suatu tanda neuropati optik glaukomatosa, tetapi ini dapat terjadi pada neuropati optik akibat sebab apapun. Pemucatan segmental dan atenuasi pembuluh-pembuluh darah retina sering timbul akibat neuropati optik iskemik anterior. Neuropati optik herediter biasanya menimbulkan pemucatan diskus segmental temporal bilateral disertai dengan hilangnya akson, khususnya, akson-akson papilomakular. Eksudat peripapilar menyertai edema diskus optikus akibat papilitis, neuropati optik iskemik, atau pa-piledema. (Istilah "neuroretinitis" untuk gabungan edema diskus optikus dan eksudat retina, termasuk macular star, kurang sesuai karena tidak adanya peradangan retina; eksudat yang ada merupakan suatu respons terhadap penyakit nervus opticus anterior. Ini dapat terjadi pada neuritis optik demielinatif dan jenis-jenis lainnya, neuropati optik iskemik anterior, dan papiledema. Istilah "neuroretinitis" lebih tepat digunakan bila terdapat peradangan sejati pada retina dan nervus opticus. Tanda-tanda penting lain yang muncul sebelum edema diskus adalah atrofi dan gliosis peripapilar, lipatan-lipatan korioretina, dan membran limitans interna yang mengeriput.Secara umum, terdapat hubungan antara derajat pemucatan diskus optikus dan penurunan tajam penglihatan, lapangan pandang, penglihatan warna, dan respons pupil, tetapi hubungan ini bervariasi tergantung pada yang mendasarinya. Pengecualian utama kaidah ini neuropati optik kompresif; pada kondisi ini, pemucatan diskus optikus umumnya merupakan suatu manifestasi yang sudah lanjut.1.1.2. Nervus Oculomotorius (III)Serat-serat motorik berasal dari sekelompok inti di substansia-grisea-sentralis ventral terhadap aquaductus cerebri setinggi colliculus superior. Nukleus kaudalis sentral di garis tengah mempersarafi kedua otot levator palpebrae superior. Subnukleus rektus superior yang berpasangan mempersarafi rektus superior kontralateral. Serat-serat efe-ren segera berdekusasi 'dan berjalan melalui subnukleus rektus superior yang berlawanan. Subnukleus untuk otot rektus medialis, rektus inferior, dan obliquus inferior juga merupakan struktur-struktur yang berpasangan tetapi mempersarafi otot-otot ipsilateral.

Fasikulus nervus oculomotorius berjalan melalui nukleus rubra dan sisi dalam substansia nigra untuk keluar di sisi medial pedunculus cerebrum. Saraf berjalan di sepanjang sisi sela tursika, di dinding luar sinus kavernosus, dan melalui fisura orbitalis superior masuk ke dalam orbita. Sesaat sebelum memasuki orbita, saraf tersebut terbagi dua menjadi cabang superior dan inferior; cabang superior mempersarafi otot levator palpebrae dan rektus superior, sedangkan cabang inferior mempersarafi otot-otot lain dan sfingter.

Parasimpatis berasal dari nukleus Edinger-Westphal tepat rostral dari nukleus motorik nervus ketiga dan berjalan melalui divisi inferior nervus ketiga ke ganglion ciliare. Dari sini nervus ciliaris brevis menyebar ke otot sfingter iris dan ke otot siliaris.

1.1.3. Nervus Trochlearis (IV)Serabut-serabut motorik (seluruhnya menyilang) berasal dari nukleus troklearis, tepat kaudal terhadap nervus ketiga setinggi colliculus inferior; kemudian berjalan ke posterior, berdekusasi di velum medularis anterior, dan berputar mengelilingi pedunculus cerebri. Nervus keempat berjalan dekat nervus ketiga di sepanjang dinding sinus kavernosus ke orbita, tempat saraf tersebut mempersarafi otot obliquus superior. Di antara saraf-saraf kranialis, nervus keempat bersifat unik karena berasal dari batang otak bagian dorsal.1.1.4. Nervus Abducens (VI)Serabut-serabut motorik (seluruhnya tidak menyilang) berasal dari nukleus di dasar ventrikel keempat di bagian bawah ports dekat genu interna nervus facialis. Setelah menembus pons, serabut-serabut tersebut keluar di sebelah anterior dan berjalan melewati ujung pars petrosus ossis temporalis ke dalam sinus kavernosus. Saraf ini kemudian masuk ke dalam orbita bersama nervus ketiga dan keempat untuk mempersarafi otot rektus lateralis.1.1.5. SEREBELUMSerebelum memiliki pengaruh modulasi yang penting bagi fungsi berbagai integrator saraf. Dengan demikian, organ ini berperan dalam mempertahankan tatapan dan me-ngontrol gerak sakadik, khususnya hubungan antara fase pulsasi dan fase bertahap pembentukan gerak sakadik. Disfungsi serebelum menimbulkan gaze-evoked nystagmus, melalui perannya dalam menahan tatapan, dan gangguan sakadik, terutama dismetria sakadik dengan amplitudo sakadik yang tidak tepat dan penyimpangan pascasakadik akibat ketidakcocokan antara fase pulsasi dan fase bertahap gerak sakadik.Serebelum juga penting dalam pengendalian gerak mengikuti maka disfungsi serebelum dapat menyebabkan gerak mengikuti menjadi terputus-putus (sakadik). Disfungsi serebelum juga dapat menimbulkan ketidaksejajaran mata, vertikal akibat skew deviation atau horizontal.2. Klasifikasi

2.1 Nervus Optikus

2.1.1 NEURITIS OPTIKNeuropati optik inflamatorik (neuritis optik) disebabkan oleh berbagai penyebab, tetapi penyebab yang paling sering adalah penyakit demielinatif, seperti sklerosis multipel. Neuritis retrobulbar adalah suatu neuritis optik yang terjadi cukup jauh di belakang diskus optikus sehingga diskus optikus tetap normal selama episode akut. Papilitis adalah edema diskus yang disebabkan oleh peradangan pada caput nervi optici (nervus opticus intraokular). Hilangnya penglihatan merupakan gejala utama neuritis optik dan secara khusus berguna untuk membedakan papilitis dari papiledema, yang sering membingungkan pada pemeriksaan oftalmoskopik.2.1.1.1 Neuritis Optik Demielinatif IdiopatikPada orang dewasa, neuritis optik demielinatif idiopatik biasanya bersifat unilateral dan terutama mengenai wanita (sekitar 3:1), dengan awitan terbanyak pada dekade ketiga dan keempat kehidupan. Penyakit ini, hingga 85% kasusnya, dilapor berkaitan dengan sklerosis multipel; ter-gantung pada beberapa faktor, di antaranya jenis kelamin, asal ras, dan lama follow-up. Neuritis optik yang mengenai kedua mata secara bersamaan dan menimbulkan papilitis lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, tetapi risiko perburukan menuju sklerosis multipel lebih kecil pada anak-anak.1. Gambaran Klinis

Hilang penglihatan umumnya bersifat subakut, berkembang setelah 2-7 hari. Pada orang dewasa, sekitar sepertiga pasien memiliki penglihatan yang lebih baik dari 20/40 selama serangan pertamanya; sepertiga lebih sedikit, penglihatannya lebih buruk dari 20/200. Penglihatan warna dan sensitivitas kontras juga sama terganggunya. Rasa nyeri di bagian mata didapatkan pada lebih dari 90% kasus, dan sekitar 50% pasien melaporkan bahwa nyeri diperburuk dengan pergerakan mata.

Hampir semua defek lapangan pandang dapat terjadi, tetapi dengan perimetri manual, yang paling sering terlihat adalah skotoma sentral. Skotoma tersebut biasanya sirkular, dengan ukuran dan kepadatan yang sangat bervariasi. Perluasan skotoma ke perifer seyogyanya menimbulkan kecurigaan adanya lesi kompresif. Pemeriksaan lapangan pandang sentral dengan automated perimetry paling sering menunjukkan kehilangan lapangan pandang difus. Refleks cahaya pupil melambat, dan bila kelainan nervus opticusnya tidak simetris, akan dijumpai defek pupil aferen.

Papilitis terjadi pada 35% kasus dewasa, dengan hiperemia diskus optikus dan pelebaran vena-vena besar sebagai tanda awal yang didapatkan pada pemeriksaan oftalmoskopik. Sering dijumpai pengaburan batas-batas diskus dan pengisian cawan fisiologis (filling of the physiologic cup). Mungkin didapatkan edema caput nervi optici, tetapi jarang dijumpai edema yang mencolok. Walaupun jarang, dapat timbul eksudat dan edema retina di berkas papilomakular; hal ini berhubungan dengan progresivitas menjadi sklerosis multipel yang lebih lambat. Perdarahan berbentuk nyala api di lapisan serat saraf dekat diskus optikus terlihat pada kurang dari 10% kasus. Sel-sel vitreus dapat ditemukan di daerah prapapilar pada kurang dari 5% kasus.

2. Diagnosis BandingPada kasus yang khas, diagnosis cukup berdasarkan klinis dan tidak diperlukan pemeriksaan lainnya. Bila dijumpai adanya gambaran yang atipik khususnya penglihatan yang tak kunjung membaik dalam 6 minggu setelah awitan harus dipikirkan diagnosis lain, terutama neuropati optik kompresif, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) atau computed tomography (CT). Berbagai entitas lain yang perlu ditimbangkan adalah neuritis optik tipe lain (lihat berikut), contohnya pada sarkoidosis atau lupus eritematosus sistemik, neuropati optik iskemik anterior, neuropati optik herediter Leber, ambliopia toksik, dan defisiensi vitamin B12; ambliopia toksik dan defisiensi vitamin B12 biasanya bermanifestasi dalam bentuk hilangnya penglihatan kedua mata yang simetris.

Papilitis perlu dibedakan dari papiledema (edema diskus optikus akibat peningkatan tekanan intrakranial) Pada papiledema, yang biasanya menimbulkan kelainan diskus optikus bilateral, sering terdapat peninggian caput nervi optici yang lebih berat, ketajaman penglihatan pascakoreksi yang normal, respons pupil terhadap cahaya normal, dan penglihatan lapangan pandang yang utuh kecuali perluasan bintik buta. Bila terdapat papiledema akut dengan dekompensasi vaskular (perdarahan dan bercak cotton wool) atau papiledema kronik dengan iskemia sekunder pada nervus opticus, defek lapangan pandang dapat berupa defek berkas serat saraf dan kuadrantanopia nasal. Papiledema akan sulit dibedakan dari papilitis bila papiledemanya asimetrik dan/ atau disertai dengan kehilangan penglihatan atau bila papilitisnya bilateral dan/atau disertai dengan gangguan penglihatan yang minimal. Diagnosis mungkin didasarkan pada hasil MRI dan pungsi lumbal, selain perjalanan klinis selanjutnya. Selama episode akut neuritis optik, MRI menunjukkan penyangatan (enhancement) gadolinium, peningkatan sinyal, dan kadang-kadang edema saraf yang terkena.3. Pemeriksaan

Penyangatan gadolinium dan edema nervus opticus mereda, tetapi peningkatan sinyal menetap. MRI otak menampilkan lesi substansia alba pada sekitar 50% pasien dengan neuritis optik terisolasi. Ini tidak menetapkan suatu diagnosis sklerosis multipel walaupun hasil MRI tersebut mengindikasikan suatu peningkatan risiko perburukan menuju sklerosis multipel yang nyata secara klinis (clinically definite multiple sclerosis) (lihat ber-ikut).

Visual evoked response (VER) mata yang terkena mungkin menunjukkan penurunan amplitudo atau peningkatan masa laten selama episode akut neuritis optik. Ini saja tidak cukup berguna untuk diagnosis, kecuali untuk membedakan neuritis optik retrobulbar dari makulopati subklinis; pada makulopati ini, terdapat abnormalitas pola ERG multifokal, dan mungkin ERG cone-derived. Setelah penglihatan pulih pasca episode neuritis optik, VER akan terus menunjukkan peningkatan masa laten pada sekitar sepertiga kasus, dan temuan ini bisa berguna untuk mengetahui episode neuritis optik demielinatif sebelumnya pada pasien-pasien yang menjalani pemeriksaan dengan dugaan skelrosis multipel.

4. Terapi

Terapi steroid melalui jalur apapun secara intravena (methylprednisolone, 1 g/hr selama 3 hari dengan atau tanpa diikuti prednisolone oral yang diturunkan perlahan-lahan (tapering), secara oral (methylprednisolone, 500 mg/hr hingga 2 g/hr selama 3-5 hari dengan atau tanpa diikuti prednisolone oral, atau prednisolone, 1 mg/kg/ hr diturunkan perlahan dalam 10-21 hari), atau melalui penyuntikan retrobulbar kemungkinan besar mempercepat perbaikan penglihatan, tetapi tidak mempengaruhi hasil penglihatan akhir. Pada multisenter besar Optic Neuritis treatment Trial di Amerika Serikat, prednisolone oral saja tidak mempercepat pemulihan penglihatan dan meningkatkan risiko kekambuhan neuritis di mata yang manapun.

5. PrognosisTanpa terapi, penglihatan secara khas mulai membaik dalam 2-3 minggu setelah awitan dan kadang-kadang membaik dalam beberapa hari. Setelah beberapa bulan, pemulihan mungkin terus berjalan secara perlahan-lahan; ketajaman penglihatan menjadi 20/40 atau lebih dijumpai pada lebih dari 90% kasus dalam 1 tahun dan 10 tahun sejak awitan, asalkan tidak ada episode neuritis optik yang lebih lanjut. Visus yang lebih buruk pada serangan akut berhubungan dengan hasil penglihatan yang lebih buruk, tetapi penglihatan "tanpa persepsi cahaya sekalipun dapat mencapai visus 20/20 setelah pemulihan. Hasil akhir penglihatan yang buruk juga berhubungan dengan lesi nervus opticus yang lebih lama, terutama bila nervus di kanalis optikus ikut terkena. Secara umum, terdapat hubungan yang erat antara perbaikan ketajaman penglihatan, sensitivitas kontras, dan penglihatan warna. Bila proses penyakitnya cukup destruktif, terjadi atrofi optik retrograd, tampak defek berkas serat saraf di lapisan serat saraf retina, dan diskusnya menjadi pucat. Pada kasus yang sangat berat atau kambuhan, tampak diskus warna putih kapur dengan batas tegas; pucatnya diskus tidak selalu berhubungan dengan buruknya ketajaman penglihatan.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan sklerosis multipel meliputi jenis kelamin perempuan, tidak adanya edema diskus optikus pada fase akut, abnormalitas MRI otak, dan pita-pita oligoklonal cairan serebrospinal. Pada Optic Neuritis Treatment Trial, secara keseluruhan, 38% neuritis optik demielinatif idiopatik episode pertama berisiko berkembang menjadi sklerosis multipel yang nyata secara klinis dalam 10 tahun. Angka ini berkisar antara 22% pada pasien yang da tang dengan MRI otak normal hingga 56% pada pasien dengan lesi di substansia alba. Pada laki-laki dengan edema diskus optikus fase akut tanpa kelainan MRI otak saat datang, risiko berkembangnya sklerosis multipel dalam 10 tahun hanyalah 5%. Kelainan neurologi pasien-pasien dengan sklerosis multipel yang nyata secara klinis biasanya ringan.

Pada pasien yang mengalami neuritis optik episode pertama disertai kelainan MRI otak saat datang, interferon -1a terbukti mampu menurunkan risiko perkembangan sklerosis multipel yang nyata secara klinis hingga sekitar 25% dan risiko perburukan lesi substansia alba serebral. Gejala-gejala seperti sakit flu dan depresi adalah efek samping yang sering dijumpai, tetapi, walaupun jarang, dapat membuat pengobatan dihentikan. Efek interferon ini serupa dengan efeknya pada frekuensi kekambuhan sklerosis multipel yang sering kambuh dan remisi. Perlu tidaknya pasien diterapi dengan interferon sejak serangan neuritis optik pertama harus ditentukan perindividu, berdasarkan kecenderungan setiap pasien berisiko mengalami episode demielinasi berikutnya; perlu juga dipertimbangkan kecenderungan hendaya yang relatif ringan pasca serangan-serangan berikutnya dan potensi efek samping terapi. Keuntungan terapi interferon cenderung meningkat bila pasien sering kambuh.

2.1.1.2 Sklerosis MultipelSklerosis multipel khasnya adalah suatu penyakit demielinasi pada sistem saraf pusat yang sering kambuh dan remisi. Penyebabnya tidak diketahui. Beberapa pasien dapat mengalami berituk penyakit yang progresif kronik, yang terjadi setelah periode kambuh dan remisi (progresif sekunder) atau, yang lebih jarang, terjadi sejak awal serangan (progresif primer). Yang khas pada penyakit ini adalah lesinya terjadi pada waktu yang berlainan dan di lokasi-lokasi yang tidak berbatasan pada sistem saraf yakni, "lesi-lesi tersebar dalam ruang dan waktu." Awitan biasanya pada dewasa muda; penyakit ini jarang muncul sebelum usia 15 tahun atau setelah 55 tahun. Terdapat kecenderungan untuk melibatkan nervus opticus dan kiasma optikum, batang otak, pedunculus cerebelum, dan medula spinalis, walaupun tak ada satupun bagian sistem saraf pusat yang bisa lolos dari pernyakit ini. Sistem saraf perifer jarang terkena.1. Gambaran Klinis

Neuritis optik mungkin merupakan manifestasi yang pertama. Dapat timbul serangan berulang, dan mata sebelahnya biasanya juga terkena. Secara keseluruhan, insidens neuritis optik pada sklerosis multipel adalah 90%, dan adanya keterlibatan nervus opticus yang simptomatik atau subklinis merupakan petunjuk diagnostik yang penting.

Diplopia adalah gejala awal yang umum ditemukan, paling sering terjadi akibat oftalmoplegia internuklear yang sering mengenai kedua mata. Penyebab yang kurang umum, yaitu lesi pada nervus kranialis ketiga atau keenam dalam batang otak. Nistagmus adalah tanda awal yang umum terjadi, dan tidak seperti kebanyakan manifestasi penyakit ini (yang cenderung mengalami remisi) nistagmus sering menetap (70%). Sklerosis multipel menimbulkan peradangan intraokular, terutama pembentukan selubung (sheating) vena retina perifer, yang dapat diperjelas dengan angiografi fluoresein. Selain ganguan pada mata, mungkin ditemukan kelemahan motorik disertai tanda-tanda piramidal, ataksia, inkoordinasi tungkai dengan tremor intensi, disartria, gangguan berkemih dan atau buang air besar, dan gangguan sensorik, khususnya parestesia.

2. PemeriksaanDiagnosis sklerosis multipel secara tradisional bergantung pada petunjuk klinis adanya penyakit substansia alba sistem saraf pusat yang tersebar dalam ruang dan waktu (kriteria Schumacher), kemudian didukung oleh kelainan pada MRI dan cairan serebrospinal (kriteria Poser). Lama kelamaan, untuk menetapkan penyebaran dalam ruang dan waktu, lebih dipentingkan adanya abnormalitas MRI otak dan medula spinalis, baru didukung oleh ciri-ciri klinis serta kelainan cairan serebrospinal (kriteria McDonald); dengan demikian, diagnosis dapat dilakukan lebih awal. Adanya pita-pita oligoklonal di cairan serebrospinal yang tidak ditemukan dalam serum menunjukkan produksi imunoglobulin intratekal. Ini merupakan petunjuk yang khas, tetapi tidak bersifat diagnostik. Mungkin terdapat limfositosis atau sedikit peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal selama fase kambuh akut. Defek lapisan serat saraf