OBAT APG

download OBAT APG

of 24

Transcript of OBAT APG

OBAT APG-II Karena dosis yang efektif untuk mengatasi gejala skizofrenia tidak menimbulkan efek samping ekstrapiramidal, jenis obat ini disebut dengan APG-II. Efek terapeutiknya didapat melalui kerjanya sebagai antagonis reseptor serotonin dan dopamine. Dibawah ini dibahas obat-obat APG-II

Risperidon Risperidon adalah derivate benzisoksazol. Ia merupakan APG-II pertama yang mendapat persetujuan FDA setelah klozapin. FARMAKOKINETIK Absorbsi Risperidon diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral. Pada penelitian fase I, risperidon memperlihatkan farmakokinetik linier pada dosis antara 0,5-25 mg/hari. Risperidon dimetabolisme di hati menjadi 9-hidroksi risperidon. Profil hasil metabolitnya sama dengan komponen induknya. Kadar plasma puncak komponen induknya terlihat dalam satu jam setelah digunakan sedangkan hasil metabolitnya (9-hidroksi risperidon) dalam tiga jam. Bioavailabilitasnya hampir 100%, baik pada risperidon maupun pada 9-hidroksi risperidon. Risperidon terikat dengan protein sebanyak 90% sedangkan metabolitnya sebanyak 70%. Eksresinya terutama melalui urin yaitu sebanyak 31% dari dosis yang digunakan. Absorbsi obat tidak dipengaruhi oleh makanan. Metabolisme dan Eliminasi Risperidon dimetabolisme oleh enzim hepar yaitu CYP 2D6. Waktu paruhnya bervariasi sesuai aktivitas enzim tersebut. Pada metabolizer ekstensif, yaitu pada sekitar 90% orang kulit putih dan 99% orang Asia, waktu paruh risperidon adalah sekitar 3 jam. Metabolitnya, 9-hidroksi risperidon, dimetabolisme lebih lambat oleh oksidatif N-dealkilasi. Sebaliknya, metabolizer buruk memetabolisme risperidon terutama melalui jalur oksidatif dan waktu paruhnya dapat lebih dari 20 jam. FARMAKODINAMIK Mekanisme Kerja Risperidon bekerja sebagai antagonis poten pada serotonin (terutama 5-HT2A) dan dopamine D2. Afinitasnya terhadap reseptor 1 dan 2 juga tinggi tetapi terhadap -adrenergik atau muskarinik afinitasnya lebih rendah. Afinitas risperidon terhadap 5-HT2A adalah 10-20 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan terhadap reseptor D2. Pada in vivo, ikatan terhadap reseptor D2 terjadi pada

dosis 10 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikatan terhadap reseptor 5-HT2A. afinitas terhadap reseptor 5-HT2A adalah 100 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan terhadap subtipe reseptor serotonin lainnya. Metabolitnya, 9-hidroksi risperidon, mempunyai afinitas yang sama dengan komponen induknya. Baik risperidon maupun metabolitnya, memperlihatkan afinitas yang tinggi pada reseptor 5HT2A, pada jaringan otak tikus. Pada manusia, terlihat pula pada sel COS-7. Ikatan risperidon terhadap reseptor 5-HT2A adalah 20 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan klozapin dan 170 kali bila dibandingkan dengan haloperidol. Afinitas risperidon dan 9-hidroksirisperidon terhadap dopamine D4 dan D1 sama kuatnya bila dibandingkan dengan klozapin dan haloperidol. Tidak ada afinitas risperidon terhadap reseptor asetilkolin muskarinik sedangkan terhadap histaminergik H1, derajat afinitasnya adalah sedang. Afinitas risperidon terhadap reseptor 2-adrenergik relatif lebih tinggi tetapi terhadap reseptor 1adrenergik adalah sebanding dengan klorpromazin dan 5-10 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan klozapin. Dosis ED50 risperidon yang dibutuhkan untuk menghambat stereotipi yang diinduksi apomorfin, pada tikus, adalah 0,5 mg/kg. dengan dosis ini sekitar 40% reseptor D2, 80% reseptor 5-HT2A, 50% reseptor H1, 38% reseptor 1-adrenergik, dan 10% reseptor 2adrenergik diokupansi. (Lehman AF et al., 2004; vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Penelitian yang menggunakan positron emission Tomography (PET), dilakukan 12-14 jam setelah dosis terakhir risperidon, menunjukkan bahwa okupansi reseptor D2 berkisar antara 63589%. Okupansi D2 dengan risperidon, dosis 0,8 mg, adalah 50%. Subjek yang menggunakan risperidon 6 mg/hari memperlihatkan rerata okupansi D2 sekitar 79%. Derajat okupansi yang sama terjadi pada olanzapin dengan dosis 30 mg/hari. Pada beberapa subjek, besarnya okupansi ini dapat melebihi ambang terjadinya EPS. Okupansi 5-HT2A lebih besar dari 95% terjadi pada risperidon dengan dosis 2-4 mg/hari. Penelitian preklinik menunjukkan bahwa kemampuannya mengantagonis dopamine sama kuatnya dengan haloperidol tetapi dalam menginduksi terjadinya katalepsi, kemampuannya kurang bila dibandingkan dengan haloperidol. Oleh karena itu, efek samping ekstrapiramidal lebih ringan pada risperidon bila dibandingkan dengan haloperidol. Aktivitas pada reseptor 5-HT2 bermanfaat dalam mengatasi gejala negative pada skizofrenia. Penelitian yang menggunakan PET menunjukkan bahwa dosis 1-4mg memblok D2 sesuai dengan yang dibutuhkan untuk memberikan efek terapetik. Konsentrasi Dalam Darah dan Aktivitas Klinik Tidak begitu jelas hubungan antara efikasi klinik dengan konsentrasi plasma risperidon. Sebagian besar subjek membutuhkan dosis 4 mg/hari tetapi ada pula yang membutuhkan dosis lebih tinggi yaitu 6-8 mg/hari.

DOSIS Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet dan cairan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 2 mg/hari dan besoknya dapat dinaikkan menjadi 4 mghari. Sebagian besar ODS membutuhkan 4-6 mg/hari. Bila ODS memperlihatkan agitasi, dianjurkan untuk memberikan terapi tambahan lorazepam 2 mg/hari sampai agitasinya terkendali. Perbaikan dengan risperidon terlihat dalam delapan minggu pertama. Apabila respon risperidon tidak adekuat, dianjurkan untuk menaikkan dosis hingga 8 mg/hari. Responnya lebih cepat daripada haloperidol. Risperidon bisa diberikan sekali sehari dan efektivitasnya sama dengan pemberian dua kali per hari. Dosis untuk orang tua atau penderita Parkinson adalah 1 mg/hari atau lebih kecil untuk mencegah terjadinya efek samping. INTERAKSI OBAT Fluoksetin dan paroksetin menginhibisi enzim CYP 2D6. Kedua obat ini memblok konversi risperidon menjadi metabolitnya sehingga kadar risperidon dapat meningkat. Sebaliknya, karbamazepin menginduksi enzim CYP 2D6 sehingga meningkatkan konversi risperidon menjadi metabolit 9-hidroksi risperidon. Oleh karena itu, apabila risperidon diberikan bersamaan dengan karbamazepin, dosis risperidon harus ditingkatkan. Peningkatan konsentrasi plasma risperidon dapat meningkatkan resiko efek samping, misalnya terjadi simtom ekstrapiramidal. Risperidon merupakan inhibitor lemah enzim CYP 2D6 sehingga pengaruhnya terhadap klirens obat lain tidak begitu bermakna. Orang tua, orang dengan metabolism buruk, membutuhkan dosis yang lebih rendah (50%-60%). EFEK SAMPING Secara umum, risperidon ditoleransi dengan baik. Bila dibandingkan dengan placebo, sakit kepala dan pusing lebih sering terjadi pada risperidon dengan dosis 6 mg/hari. Sedasi, merasa lelah, pusing, hipotensi ortostatik, palpitasi, peningkatan berat badan, berkurangnya gairah seksual, disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada risperidon daripada placebo. Peningkatan berat badan denga risperidon, selama 10 minggu penggunaannya, adalah 2 kg sedangkan pada haloperidol hanya 0,5 kg. Meskipun risperidon tidak terikat secara bermakna dengan reseptor kolinergik muskarinik, mulut kering, mata kabur, dan retensi urin, dapat terlihat pada beberapa ODS dan sifatnya hanya sementara. Hanya prolaktin yang dinyatakan terpengaruh oleh risperidon sedangkan hormone lainnya, misalnya hormone tiroid, pertumbuhan, follicle stimulating hormone (FSH), dan luteinizing hormone (LH), serta kortisol tidak terpengaruh. Terjadinya efek samping ekstrapiramidal sangat bergantung dari besarnya dosis. Distonia dapat terjadi pada dosis berkisar antara 4-16 mg/hari. Pemanjangan interval QTc yang bermakna tidak terdeteksi pada dosis hingga 25 mg/hari. Dosis besar (overdoses) dengan risperidon, secara

umum tidak membahayakan, yaitu pemanjangan QTc derajatnya sedang dan tidak ada komplikasi jantung yang serius. (Goff DC, 2004) RISPERIDON INJEKSI JANGKA PANJANG (RIJP) Risperidon merupakan APG-II pertama yang tersedia dalam bentuk injeksi jangka panjang. Penggunaan RIJP dapat mengurangi variabilitas farmakokinetik. Selain itu, terdapat kepastian bahwa obat digunakan oleh ODS. Oleh karena itu, ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan indikasi penggunaan RIJP. Kepatuhan terhadap pengobatan meningkat ketika risperidon oral diganti dengan RIJP. Efektivitasnya sama dengan risperidon oral. (Kane JM et al., 2003) Farmakodinamik dan Farmakokinetik RIJP Obat RIJP bekerja sebagai antagonis kuat pada serotonin 5-HT2A dan reseptor dopamine D2. Pada histaminergik H1, adrenergik 1 dan reseptor 2, ia bersifat antagonis sedang. Obat RIJP tidak mempunyai afinitas dengan muskarinik kolinergik atau reseptor adrenergik 1 dan 2. Formula RIJP mempunyai farmakokinetik linier dengan dosis 2-75 mg. Risperidon tablet oral dan RIJP adalah bioekuivalen. Berbeda dengan tablet oral, konsentrasi puncak RIJP lebih rendah dan fluktuasinya dalam plasma sangat kecil. Tidak adanya first-pass hepatic metabolism dan adanya hidrolisis partikel kecil (micro-sphreses), menyebabkan dosis RIJP lebih kecil tetapi efikasinya sama dengan dosis besar risperidon oral. Waktu paruh metabolit aktifnya, 9hidroksirisperidon, adalah 3-6 hari. Pada wal pemberian, jumlah obat yang dilepaskan sangat kecil (1% dari dosis total). Pelepasan yang bermakna dimulai tiga minggu kemudian dan dipertahankan sampai 4-6 minggu. Oleh karena itu, risperidon oral tetap dibutuhkan selama tiga minggu pertama pengobatan. (Eerdekens M et al.,2004) Metabolisme risperidon terutama terjadi di hati. Hasil metabolisme utama melalui hidroksilasi risperidon menjadi 9-hidroksi risperidon dilakukan oleh isoenzim sitokrom CYP 2D6 dan sebagian kecil melalui N-dealkilasi. Risperidon merupakan inhibitor lemah enzin CYP 2D6. Oleh karena itu, ia tidak menghambat kliren obat yang dimetabolisme oleh enzim tersebut. Pemberiannya bersamaan dengan karbamazepin atau obat lain yang menginduksi enzim tersebut dapat mengurangi konsentrasi plasma risperidon atau metabolit aktifnya. Sebaliknya, pemberiannya bersamaan dengan obat yang menghambat enzim CYP 2D6 dapat mengurangi metabolisme dan meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal atau efek samping lainnya. (Kane JM et al., 2003) Tabel 4 di bawah ini memperlihatkan khasiat RIJP.

Farmakodinamik

Farmakokinetik

Metabolisme dan eliminasi

Antagonis serotonin 5-HT2A, dopamine D2, histaminergik H1, adrenergik 1 dan 2. Meningkatnya derajat okupansi reseptor D2 dengan meningkatnya dosis RIJP. Sedikit atau hamper tidak ada afinitasnya terhadap kolnergik muskarinik atau reseptor adrenergic 1 dan 2 Kadar plasma steady state dicapai setelah injeksi ke-4. Interval injeksi adalah dua minggu. Farmakokinetik linier. Formula oral dan injeksi bioekuivalen tetapi RIJP dikaitkan dengan rendahnya konsentrasi puncak steady state dan kurangnya fluktuasi dalam plasma bila dibandingkan dengan formula oral. Dimetabolisme oleh sitokrom P450 (CYP) isoenzim 2D6 menjadi 9-hidroksirisperidon. Waktu paruh RIJP adalah 3-6 hari. RIJP dikeluarkan tubuh secara sempurna setelah 6-7 minggu.

Dosis RIJP Untuk ODS yang tidak sedang menggunakan risperidon, dianjurkan untuk memastikan terlebih dahulu bahwa tolerabilitasnya dengan risperidon oral cukup baik. Setelah itu, RIJP dapat diberikan setiap 2 minggu di bokong atau di lengan. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa atau orang tua adalah 25 mg setiap 2 minggu. Bila tidak berespon dengan 25 mg, dosis dapat dinaikkan menjadi 37,5 mg-50 mg. peningkatan dosis boleh dilakukan setiap 4 minggu. Untuk pasien dengan gagal ginjal atau hati, dosis awal sebaiknya adalah 12,5 mg. meskipun demikian, manfaat dosis ini belum pernah diteliti secara klinis. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Quetiapin FARMAKODINAMIK Quetiapin merupakan suatu derivate dibenzotiazepin yang bekerja sebagai antagonis 5-HT1A dan 5-HT2A, dopamine D1, D2, histamine H1 serta reseptor adrenergic 1 dan 2. Afinitasnya rendah terhadap reseptor D2 dan relatif lebih tinggi terhadap serotonin 5-HT2A. afinitasnya sangat rendah terhadap kolinergik muskarinik dan tidak terikat dengan reseptor benzodiazepine. Afinitasnya yang rendah terhadap kolinergik menyebabkan kurangnya resiko efek samping antikonergil. Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan afinitas quetiapin pada reseptor-reseptor neurotransmitter. (Cheer SM and Wagstaff AJ, 2001)

Tabel 6. Afinitas Quetiapin pada Reseptor Neurotransmiter di Otak RESEPTOR Adrenergik 1 Adrenergik 2 Dopamin D1 Dopamin D2 Histamin H1 Serotonin HT1A Serotonin 5-HT FARMAKOKINETIK Quetiapin oral 975-250 mg, 3x/hari), diabsorbsi dengan cepat, konsentrasi plasma puncak (Cmax) dicapai rerata dalam 1-5 jam.12 (Frank AF, Gunderson JG, 1990) Rerata steady-state area under the plasma consentration-time curve (AUC) dari 0-8 jam (AUC8) pada laki-laki dan pada perempuan adalah 1070 dan 1200 ng h/mL dengan quetiapin 75 mg tiga kali per hari, 2300 dan 2410 ng h/mL dengan quetiapin 150 mg tiga kali per hari serta 3380 dan 4080 ng h/mL dengan quetiapin 250 mg tiga kali per hari. Nilai Cmax pada laki-laki dan perempuan ketika steady-state adalah 277 dan 295 ng/mL dengan quetiapin 75 mg tiga kali per hari, 625 dan 572 ng/mL dengan quetiapin 150 mg tiga kali per hari, dan 778 dan 879 ng/mL dengan quetiapin 250mg tiga kali per hari. Konsentrasi steady-state akan dicapai dalam dua hari dosis. Bila dibandingkan dengan formulasi cair, formulasi tablet adalah 100% bioavailable. Quetiapin sedikit sekali terpengaruh oleh makanan. Volume distribusinya sangat besar yaitu 710L pada laki-laki dan 672l pada perempuan yang menerima quetiapin 250mg tiga kali per hari. Pada konsentrasi terapetik sebanyak 83% terikat dengan plasma protein. Quetiapin terutama dimetabolisme oleh hepar melalui sulfoksidasi dengan sitokrom P450 (CYP) 3A4. Sebagian besar metabolitnya tidak aktif. Aktivitas quetiapin terutama melalui komponen induknya. (Frank AF, Gunderson JG, 1990; Preston JD et al., 2010) Rerata klirens oral quetiapin 75-250mg yang diberikan tiga kali per hari adalah 72-89 L/jam. Dosis 250mg tiga kali per hari dikaitkan dengan rerata waktu paruh eliminasi sebesar 5,8 jam pada laki-laki dan 6,6 jam pada permpuan. (DeVance CL and Nemerroff CB,2001) EFIKASI QUETIAPIN Ada beberapa ujiklinis yang membandingkan manfaat quetiapin dengan placebo dan dengan APG-I (haloperidol atau klorpromazin)) serta APG-II lainnya pada ODS. Penelitian yang mengevaluasi manfaat quetiapin terhadap ODS dengan kekambuhan akut menunjukkan bahwa quetiapin lebih efektif mengatasi psikopatologi global, memperbaiki respon klinik (misalnya, 20 % perbaikan pada skala psikopatologi global) dan perbaikan gejala positif skizofrenia. Bukti Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk menghambat 50% ikatan ligand (nmol/L) 94 271 1268 329 30 717 148

perbaikan gejala negative dengan quetiapin tidak begitu jelas karena perbaikan yang signifikan dengan quetiapin bila dibandingkan dengan placebo tidak konsisten. Perbaikan gejala negative lebih disebabkan oleh perbaikan gejala negative sekunder (misalnya, dikaitkan dengan parkinsonisme atau psikosis) bukan karena efek langsung terhadap gejala negative primer. Bila dibandingkan dengan haloperidol dan klorpromazin, quetiapin menunjukkan perbaikan yang hamper sama atau kadang-kadang lebih besar pada psikopatologi global, gejala positif dan negative. Sebuah penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa derajat perbaikan antara quetiapin dengan APG-I adalah sama. Perbaikan psikopatologi global, gejala positif dan negative dengan quetiapin (rerata dosis= 254 mg/hari, N=553) adalah sama dengan risperidon (rerata dosis= 4,4 mg/hari, N=175). Untuk gejala depresif, quentiapin lebih baik daripada risperidon. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap ODS yang resisten terhadap pengobatan menunjukkan bahwa proporsi ODS yang memenuhi criteria respon, lebih besar pada subjek yang mendapat quetiapin (600 mg/hari, N=143) bila dibandingkan dengan yang mendapat haloperidol 20 mg/hari (52%:38%). Meskipun demikian, rerata perubahan pada psikopatologi global, gejala positif, gejala negative adalah sama pada kedua kelompok. Bila dibandingkan dengan obat APG-I, quentiapin lebih bermanfaat untuk neurokognitif. Perbaikan yang bermakna pada kognisi global, pemikiran dan kelancaran verbal, dan daya ingat segera lebih baik pada kelompok subjek yang mendapat quetiapin 300-600 mg/hari (N=13) bila dibandingkan dengan haloperidol 10-20 mg/hari (N=12). Perbaikan yang bermakna pada kognisi global, fungsi eksekutif, atensi dan memori verbal lebih besar pada subjek yang diobati dengan quetiapin 300-600mg/hari bila dibandingkan dengan kelompok subjek yang diobati dengan haloperidol 12 mg/hari DOSIS Quetiapin merupakan antipsikotika yang efektif untuk fase akut skizofrenia dengan kisaran dosis antara 300-800 mg/hari. Ada bukti yang menunjukkan bahwa efektivitasnya lebih tinggi pada dosis yang lebih besar (> 800 mg/hari). Quetiapin tersedia dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan dosis 25 mg, 100 mg, 200 mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali per hari. Selain itu, juga tersedia quetiapin-XR dengan dosis 300 mg dan 400 mg, satu kali per hari. EFEK SAMPING Secara umum, quetiapin ditoleransi dengan baik. Risiko efek samping ekstrapiramidal, abnormalitas konduksi kardiak, efek antikolinergik, peningkatan prolaktin dan efek samping

seksual sangat rendah sedangkan risiko sedasi cukup tinggi. Risiko hipotensi otostatik, takikardi, peningkatan berat badan dan abnormalitas metabolic derajatnya sedang. Tidak ada efek samping ekstrapiramidal meskipun dosisnya > 800 mg/hari. Risiko terjadinya akatisia sangat rendah. (Lehman AF et al., 2004; VanKammen DP, Marder SR, 2005b). Peningkatan berat badan dengan quetiapin lebih kecil bila dibandingkan dengan APG-I, rerata penambahan berat badan berkisar antar 2-9 kg. keadaan ini dapat diatasi dengan melakukan psikoedukasi, misalnya mengubah gaya hidup, diet, dan latihan fisik. Semua ODS yang menggunakan antipsikotika, termasuk quetiapin, harus dipantau berat badannya, lingkaran pinggang, dan glukosa sebelum menerima obat dan secara teratur selama penggunaan. (Baptista T et al., 2002) Penelitian preklinik (pada binatang percobaan) menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan resiko katarak dengan quetiapin. Oleh karena itu, FDA menyarankan untuk pemeriksaan optalmologi sebelum dan setiap enam bulan penggunaan quetiapin. Risiko ini tidak ditemukan pada manusia. Belum pernah ada laporan mengenai hubungan antara risiko peningkatan katarak dengan quetiapin, setelah obat ini dipasarkan. Selama fase titrasi atau pada awal pengobatan, adanya sedasi, hipotensi ortostatik, dan takikardi harus dipantau. Quetiapin dapat diberikan dua kali sehari karena waktu paruh eliminasinya enam jam. Pemberian dosis besar, sebaiknya diberikan pada malam hari, terutama pada awal pengobatan, karena dapat memperbaiki toleransi terhadap sedasi. Quetiapin terutama dimetabolisme oleh CYP3A4. Oleh karena itu, ia dapat berinteraksi dengan zat lain yang menghambat atau menginduksi enzim tersebut. Klirens oral quetiapin meningkat lima kali lipat bila ia diberikan bersamaan dengan fenitoin (sangat kuat menginduksi CYP3A4) dan 68% bila diberikan bersama tioridazin. Bila diberikan bersamaan dengan ketokonazol, klirens menurun sebanyak 84% (sangat kuat menginhibisi CYP3A4). (vanKammen DP, Marder Sr,2005b) Tidak terjadi interaksi obat yang bermakna secara klinis, antara quetiapin dengan sodium divalproat, bila obat tersebut diberikan secara bersamaan. Begitu pula halnya penggunaan secara bersamaan antara quetiapin dengan fluoksetin, imipramin, haloperidol, litium atau dengan risperidon, farmakokinetik quetiapin tidak terpengaruh secara bermakna. (Potkin SG et al., 2002a; Potkin SG et al., 2002b). Metabolisme quetiapin terganggu (minimal) pada ODS dengan gangguan ginjal dan cukup bermakna pada ODS dengan penyakit hepar. Rokok tidak mempengaruhi metabolisme quetiapin. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Aripiprazol Aripiprazol merupakan antipsikotika baru yang memiliki profik farmakologi unik. Ia merupakan antipsikotika dihidroquinolinon. Secara kimia, ia tidak berhubungan dengan fenotiazin, butirofenon, tinobenzodiazepin, dan antipsikotika lainnya. Secara farmakologik, mekanisme kerjanya baru. ARIPIPRAZOL SEBAGAI STABILISATOR SISTEM DOPAMIN-SEROTONIN Agonis parsial D2 berkompetisi pada reseptor D2 untuk dopamine endogen sehingga terjadi pengurangan aktivitas fungsi dopamine. Karena skizofrenia dengan gejala positif dikaitkan dengan peningkatan aktivitas dopamine, pengurangan aktivitas tersebut dapat meredakan gejala. Keunikannya ini menyebabkan aripiprazol disebut juga dengan antipsikotika generasi ketiga atau stabilisator system serotonin-dopamin. Selain itu, ia juga dikaitkan dengan kurangnya dampak yang berhubungan dengan antagonis D2 di mesokortek, nigrostriatum, dan tuberoinfundibulum. Aripiprazol merupaka agonis parsial dopamine pertama yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai antipsikotika yang efektif untuk mengobati skizofrenia. PROFIL FARMAKOLOGI Aripiprazol merupakan agonis parsial kuat pada D2, D3, dan 5-HT1A serta antagonis 5-HT2A. ia juga merupakan afinitas yang tinggi pada reseptor D3, afinitas sedang pada D4, 5-HT2c, 5-HT7, 1-adrenergik, histaminergik (H1), dan serotonin reuptake site (SERT), dan tidak terikat dengan reseptor muskarinik kolinergik. Metabolit aktifnya, dehidro-aripiprazol, memperlihatkan afinitas yang sama dengan komponen induknya di reseptor D2 dan tidak terlihat adanya perbedaan profil farmakologi yang bermakna secara klinik. (Grunder G et al., 2022) Agonis parsial merujuk kepada kemampuan untuk menghambat reseptor bila reseptor tersebut terstimulasi berlebihan dan mampu merangsang reseptor bila diperlukan peningkatan aktivitas reseptor tersebut. Tidak seperti APG-II lainnya, mengurangi gejala positif dengan menghambat reseptor D2, aripiprazol bekerja dengan menstabilkan reseptor atau meodulasi tempat pengikatan. Apabila terjadi suplai dopamine yang berlebihan (muncul gejala positif), aripiprazol akan mengikat reseptor dopamine tersebut dan kemudian meredakan stimulasinya. Akibatnya, terbentuk sinyal yang stabil yang hamper mendekati fungsi fisiologi normal sehingga terjadi pengurangan gejala psikotik. (Byars A et al., 2002) Sebuah penelitian yang menggunakan positron emission tomography (PET) melaporkan bahwa setelah 14 hari pemberian aripiprazol, dosis 0,5-30 mg per hari, terlihat okupansi reseptor D2 sekitar 40%-95%. Meskipun okupansi reseptor D2 di striatal lebih dari 90%, akibat penggunaan aripiprazol dosis tinggi, gejala ekstrapiramidal tidak ditemukan. Teori sebelumnya menyatakan bahwa EPS akan muncul, apabila okupansi D2 reseptor lebih dari 70%-80%. Hal ini menunjukkan bahwa teori tersebut hanya berlaku untuk obat dengan antagonis sempurna, bukan untuk aripiprazol yang bersifat agonis parsial. (Yokoi F et al., 2002)

Bila transmisi dopamine berkurang, aripiprazol mampu nmeningkatkan aktivitas transmisi tersebut melalui peningkatan aktivitas intrinsiknya. Mekanisme kerja yang unik ini dikaitkan dengan kemampuannya mengobati gejala negative yang diduga disebabkan oleh hipodopaminergik. Aripiprazol juga bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin 5-HT1A dan antagonis pada reseptor 5-HT2A. agonis parsial pada reseptor 5-HT1A diketahui memberikan efek anksiolitik. Antagonis pada reseptor 5-HT2A dapat memperbaiki gejala negative. (Millan MJ, 2000) Aripiprazol memiliki afinitas sangat rendah terhadap histamine (H1) dan muskarinik (M1). Hambatan pada reseptor 1-adrenergik dikaitkan dengan hipotensi ortostatik. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) FARMAKOKINETIK DAN DISPOSISI Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet, cairan dan injeksi. Dosis awal yang direkomendasikan yaitu antara 10-15 mg dan diberikan sekali sehari. Kisaran dosis yaitu antara 10-30 mg/hari. Karena kemungkinan ada rasa mual, insomnia, dan akatisia, dianjurkan untuk memberikan dosis awal lebih rendah. Beberapa klinikus mengatakan bahwa dosis awal 5 mg dapat meningkatkan tolerabilitas. Aripiprazol tidak terpengaruh oleh makanan. Setelah pemberian oral, aripiprazol diserap dengan baik dengan konsentrasi puncak plasma terjadi dalam waktu 3-5 jam. Bioavaibilitasnya adalah 87%. Di dalam plasma, aripiprazol dan metabolit utamanya, dehidro-aripiprazol, terikat dengan protein lebih dari 99%, terutama dengan albumin. Aripiprazol terdistribusi di luar system vaskuler. Waktu paruh eliminasi aripiprazol dan metabolitnyaa adalah 47 jam dan 94 jam (untuk metabolit aktifnya yaitu dehidro-aripiprazol). Waktu pencapaian stabilnya obat dalam plasma (steady state) adalah setelah hari ke-14. Aripiprazol dimetabolisme terutama di hepar. Ada dua enzim sitokrom hepar yaitu P450, 2D6 dan 3A4 yang mengkatalisasi dehidrogenase aripiprazol menjadi dehidro-aripiprazol. Aripiprazol tidak melakukan glukoronidasi langsung dan bukan substrat untuk enzim sitokrom P450: 1A1, 1A2, 2A6, 2B6, 2C8, 2C9, 2C19, dan 2E1. Pada penggunaan aripiprazol, penyesuaian dosis terkait dengan umur, gender, ras, merokok, status fungsi hepar dan ginjal ODS, tidak diperlukan. Sekitar 25%-55% dapat ditemukan dalam urin dan feses. Aripiprazol yang tidak diubah dieksresikan melalui urin sebanyak 1% dan 18% melalui feses. Aripiprazol sedikit berpengaruh terhadap enzim hepar lainnya tetapi tidak mempengaruhi metabolisme obat lainnya. INTERAKSI OBAT Obat-obat yang menginduksi CYP3A4, misalnya karbamazepin, dapat meningkatkan klirens aripiprazol sehingga menurunkan kadar plasmanya. Sebaliknya, obat-obat yang menghambat

CYP3A4 (misalnya, ketokonazol) atau menghambat CYP2D6 (misalnya, quinidin, fluoksetin, dan paroksetin) dapat menghambat eliminasi aripiprazol sehingga meningkatkan kadar plasma aripiprazol. Aripiprazol tidak menyebabkan interaksi farmakokinetik yang bermakna secara klinik dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh enzim P450 lainnya. Pada penelitian in vivo, aripiprazol 10-30 mg juga tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6 (dekstrometorfan), CYP2C9 (warfarin), dan CYP2C19 (omeprazol). Selain itu, aripiprazol juga tidak berpotensi untuk mempengaruhi obatobat yang dimetabolisme oleh CYP1A2. (McGavin JK and Goa KL, 2002) Obat-obat di bawah ini memerlukan penyesuaian dosis bila diberikan bersamaan dengan aripiprazol; Famotidin Pemberian aripiprazol bersamaan dengan famotidin, antagonis H2, penghambat asam lambung protein, dapat menurunkan solubilitas aripiprazol, dan kemudian memperpanjang waktu dan menurunkan jumlah absorbs. Valproat Apabila valproat dan aripiprazol diberikan bersamaan, steady state Cmax dan AUC aripiprazol berkurang 25%. Walaupun demikian, ada penelitian lain yang memperlihatkan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna terhadap steady state aripiprazol, bila ia diberikan bersamaan dengan valproat. Antihipertensi Kombinasi aripiprazol dengan obat-obat antihipertensi dapat menimbulkan hipotensi. Obat yang tidak memerlukan penyesuaian dosis aripiprazol adalah lithium, dekstrometorfan, warfarin, dan omeprazol. Pemberian litium bersamaa dengan aripiprazol tidak mempengaruhi konsentrasi aripiprazol. Litium tidak dimetabolisme dan tidak terikat dengan protein, serta dieksresikan dalam bentuk utuh di urin. Oleh karena itu, pemberiannya bersamaan dengan aripiprazol tidak mempengaruhi farmakokinetik aripiprazol atau metabolit aktifnya. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) EFEK SAMPING Sebuah penelitian jangka pendek, placebo-kontrol, melaporkan bahwa tidak ada perbedaan insidensi berhentinya dari pengobatan akibat kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) antara kelompok yang mendapat aripiprazol (7%) dengan yang mendapat placebo (9%). Sakit kepala, mengantuk, agitasi, dyspepsia, ansietas, dan mual merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan secara spontan oleh kelompok yang mendapat aripiprazol.

Efek samping ekstrapiramidalnya tidak berbeda secara bermakna dengan placebo. (McQuade R et al., 2002a) Akatisia dapat terjadi dan kadang-kadang dapat sangat mengganggu ODS sehingga sering mengakibatkan penghentian pengobatan. Insomnia dapat pula ditemui. Tidak ada peningkatan berat badan dan diabetes mellitus pada penggunaan aripiprazol. Selain itu, peningkatan kadar prolaktin juga tidak dijumpai. Aripiprazol tidak menyebabkan perubahan interval QTc. Terjadinya kejang pernah dilaporkan. (vanKammen DP, Marder SR,2005b) Sebuah penelitian yang dilakukan selama 52 minggu, membandingkan aripiprazol dengan haloperidol, menunjukkan bahwa terdapat penambahan berat badan minimal pada kelompok yang mendapat aripiprazol yang ketika awal terapi mempunyai body mass index (BMI) < 23, sedangkan ODSyang BMInya pada awal terapi > 27, mengalami pengurangan berat badan. (McQuade R et al., 2002b) Penelitian lainnya, dilakukan selama 26 minggu, membandingkan aripiprazol dengan olanzapin, menunjukkan bahwa aripiprazol dikaitkan dengan penurunan berat badan, rata-rata 0,9 kg selama penelitian tersebut sedangkan olanzapin meningkatkan berat badan sebanya 3,6 kg. Aripiprazol dapat menurunkan kadar rata-rata kolesterol secara signifikan sedangkan olanzapin, risperidon, dan haloperidol menimbulkan peningkatan kadar kolesterol. Berbeda dengan haloperidol dan risperidon, aripiprazol tidak menyebabkan peningkatan kadar prolaktin. Tidak ada laporan mengenai kejadian sindroma neuroleptik malignansi akibat aripiprazol. ODS yang sudah stabil dan kemudian obatnya diganti dengan aripiprazol melaporkan terjadinya insomnia. Insomnia yang terjadi biasanya bersifat sementara dan hilang dengan penambahan sedative-hipnotik. (Saha A, 2001) KONTRAINDIKASI Aripiprazol dikontraindikasikan terhadap ODS-ODS yang diketahui hipersensitif terhadap obat aripiprazol. Karena aripiprazol bekerja sebagai antagonis reseptor 1-adrenergik, hipotensi ortostatik dapat terjadi. ODS-ODS dengan kelainan jantung tidak diikutsertakan dalam penelitian-penelitian aripiprazol. Oleh karena itu, penggunaan aripiprazol pada ODS dengan riwayat infark jantung, jantung iskemik, gagal jantung, dan abnormalitas konduksi jantung, serta penyakit serebrovaskuler, atau kondisi yang berpotensi terjadinya hipotensi (hipovolum, dehidrasi, dan memakai antihipertensi) sebaiknya dihindari. Selain itu, tidak ada penelitian pada wanita hamil dan menyusui sehingga penggunaan aripiprazol pada ODS yang harnil dan menyusui tidak dianjurkan. Kejang terjail pada 0,1% (1/926) ODS yang diobati dengan aripiprazol jangka pendek. Oleh karena itu, aripiprazol sebaiknya tidak digunakan pada ODS dengan riwayat kejang atau kondisikondisi yang menurunkan ambang kejang (misalnya, demensia Alzheimer). Seperti antipsikotika lainnya, aripiprazol mempunyai potensi untuk mempengaruhi ketrampilan motorik. Oleh karena itu, mengendarai mobil dan mengoperasikan mesin-mesin yang berbahaya, sebaiknya berhatihati. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

PADA LANJUT USIA Keamanan dan efikasi aripiprazol pada ODS psikotik usia lanjut dan demensia dengan gangguan perilaku belum pernah diteliti. Kehati-hatian perlu sekali dilakukan karena dapat menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik, kesulitan menelan, mengantuk berlebihan, yang semuanya ini dapat mempredisposisi terjadinya kecelakaan atau aspirasi. EFIKASI ARIPIPRAZOL PADA SKIZOFRENIA Beberana uji klinis, membandingkan aripiprazol dengan plasebo dan dengan APG-l, memperlihatkan efektivitas aripiprazol pada fase akut skizofrenia. Perbaikan pada psikopatologi global, dalam respon klinis ( 20% perbaikan psikopatologi global), dan pada gejala positif lebih besar pada kelompok aripiprazol bila dibandingkan dengan plasebo. Perbaikan pada gejala negatif tidak konsisten. Ada dugaan bahwa perbaikan gejala negative dengan aripiprazol lebih disebabkan oleh perbaikan gejala negatif sekunder (misalnya, terkait dengan perbaikan gejala parkinsonisme) tetapi bukan akibat efek langsung pada gejala negative primer. Tidak ada perbedaan perbaikan psikopatologi global, respons klinis, gejala positif dan negative antara penggunaan haloperidol atau klorpromazin dengan penggunaan aripiprazol. Sebuah penelitian lainnya menunjukkan bahwa aripiprazol lebih efektif bila dibandingkan dengan haloperidol Aripiprazol juga efektif dalam mengurangi risiko kekambuhan. Sebuah uji klinis, dilakukan selama 26 minggu, randomisasi, buta-ganda pada ODS dengan skizofrenia dalam fase akut, memperlihatkan bahwa waktu terjadinya kekambuhan lebih panjang pada kelornpok ODS yang diobati dengan aripiprazol (dosis 15 mg/hari) biia dibandingkan dengan yang mendapat plasebo (57%:34%). Sebuah uji klinis lainnya, dilakukan selama 52 minggu, randomisasi, buta-ganda terhadap ODS dengan eksaserbasi akut skizofrenia menunjukkan bahwa angka respon dan waktu berhentinya dari penelitian adalah lebih tinggi pada kelompok yang mendapat aripiprazol 30 mg/hari bila dibandingkan dengan yang mendapat haloperidol 10 mg/hari. Proporsi ODS yang menyelesaikan penelitian hingga 52 minggu lebih besar pada kelompok yang mendapat aripiprazol (43%) bila dibandingkan dengan yang mendapatkan haloperidol (30%). (Saha A, 2001) Olanzapin Pada tahun 1990, suatu komponen, mirip dengan klozapin, yang disebutnya dengan olanzapin, dipatenkan. Olanzapin dapat mengobati skizofrenia. Pada tahun 1995, olanzapin pertama kali, digunakan untuk mengobati penderita skizofrenia. Dosisnya berkisar antara 5-30 mg/hari. Gejala-gejala skizofrenia dapat membaik dan efek samping ekstrapiramidalnya juga rendah. Pada tahun 1997, berdasarkan hasil beberapa penelitian, FDA memberikan persetujuan penggunaan olanzapin secara luas di dunia. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

STRUKTUR OLANZAPIN Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin dan secara kimia, ia terkait dengan klozapin, suatu dibenzodiazepin. Rumus kimianya adalah 2-methyl-4- (4-methyl -1 piperazinyl) -1 OHthieno [2,3-b][1,5] benzodiazepine. Kemiripannya dengan klozapin, terlihat dan tingginya afinitas olanzapin terhadap beberapa reseptor neurotransmiter, misalnya dopamin (DA), D2, D3, D4, dan D5, serotonin 2 (5-HT2); muskarinik, histamine 1(H1), dan 1- adrenergik. PROFIL FARMAKOLOGIK Penelitian in vitro dan penelitian preklinik menunjukkan bahwa olanzapin mempunyai khasiat antipsikotika yang signifikan dan efek samping EPS nya rendah. Rendahnya efek sarnping disebabkan oleh ikatannya yang tidak selektif pada DA. Ikatan APG-I sangat selektif terhadap reseptor yang termasuk kelompok D2 (D2 -like). Reseptor yang termasuk ke dalam D2-like yaitu D2, D3, dan D4, sedangkan reseptor yang termasuk D1-like yaitu D1 dan D5. Obat APG-I memblok D2-like lebih besar bila dibandingkan dengan D1-like. Misalnya, haloperidol memblok D2-like lebih besar bila dibandingkan dengan D1-like (25:1). Klozapin terikat pada semua subtipe dopamin secara parsial dengan rasio D2: D1 sama dengan 0,7:1. Olanzapin, secara parsial, hanya selektif terhadap D2-like, dengan rasio D2 terhadap D1 yaitu 3:1. Ia terletak antara haloperidol dengan klozapin. Olanzapin memberikan efek antipsikotika dengan gejala EPS minimal adalah karena olanzapin bekerja lebih selektif pada traktus dopaminergik A10 (yang berjalan dari tegrnentum ventral ke area mesolimbik). Efeknya pada A9 (nigrostriatal), yang memediasi EPS, sangat kecil. Dengan kata lain, pemberian olanzapin secara kronik, menghambat aktivitas neuron A10 secara signifikan tanpa menghambat traktus A9 secara bermakna. Selain dengan dopamin, dari penelitian klinis terlihat bahwa olanzapin juga berikatan dengan reseptor kolinergik muskarinik M1-M2, 1- adrenergik,dan Hl. (Schulz SC et al.,2004) Dalam percobaan binatang, olanzapin dapat mengurangi perilaku yang aktif (memanjat-rnanjat) yang diinduksi olen apomorfin dan mengantagonis hiperaktivitas yang diinduksi oleh stimulansia. Kecenderungan olanzapin untuk menimbulkan katalepsi juga rendah. Katalepsi merupakan indikator untuk menilai kecenderungan terjadinya EPS. Rasio dosis olanzapin yang dibutuhkan untuk menimbulkan katalepsi ternadap dosis yang dibutuhkan untuk mengharnbat penghindaran terkondisi, merupakan bentuk lain untuk.menilai efikasi atipik. Nilainya lebih tinggi bila dibandingkan dengan obat-obat konvensional dan ini juga rnenjadi petunjuk suatu "atipik". Efek farmakologik lainnya harnpir sarna dengan klozain yaitu bekerja mengantagonis reseptor 5HT2. Sistern serotonin rnerupakan urnpan balik negatif terhadap dopaminergik. Oleh karena itu, dengan menghambat 5-HT2A, risiko EPS dapat dikurangi. Olanzapin, sama halnya dengan klozapin, afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2A, 5HT2C cukup tinggi dan terhadap reseptor 5-HT3

afinitasnya sedang, serta terhadap 5-HT1, afinitasnya rendah. Profil afinitasnya ini berbeda dengan APG-l dan komponen atipik lainnya. (Bymaster F et al.,1996) Olanzapin berefek pula terhadap sistern lainnya, rnisalnya mempunyai afinitas kuat pada reseptor muskarinik Ml-5(berkontribusi pula sebagai anti-EPS). Walaupun demikian, beberapa ODS, dalam praktik klinik, daoat rnemperlihatkan efek samping antikolinergik yang signifikan. Olanzapin melawan efek fensiklidin. Fensiklidin suatu anastesi disosiatif psikotogenik, yang bekeria mengantagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA). Olanzapin juga bersifat antagonis terhadap 1- adrenergik (berkontribusi dalam terjadinya hipotensi) dan histaminergik (berkontribusi dalam terjadinya sedasi dan penambahan berat badan). Selain itu, olanzapin hampir tidak mempunyai efek terhadap 2- dan adrenergik, H2, nikotinik, -aminobutyric acid (GABA), opioid, sigma, atau reseptor benzodiazepin. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) FARMAKOKINETIK DAN DISPOSISI Olanzapin diabsorbsi dengan baik melalui pemberian oral. Konsentrasi puncak, pada sebagian besar individu, terjadi 4-6 jam setelah penggunaan. Sekitar 40% dosis yang diberikan mengalarni metabolisme cepat pertama dan tidak mencapai sirkulasi sistemik sehingga makanan sedikit sekali mempengaruhi ketersediaan biologiknya. Ada dua formulasi oral yang tersedia saat ini yaitu tablet oral biasa dan tablet oral yang terdesintegrasi. Tablet terdesintegrasi secara oral dapat larut sempurna dalam dua menit setelah diletakkan di lidah. Setelah satu dosis oral, olanzapin 12,5 mg, sekitar 57% ditemukan dalam urin dan 30% dalam feses. Pada penelitian in vitro, sekitar 93% olanzapin terikat dengan protein, terutama dengan albumin dan 1-acid glycoprotein. (Chue P and .Jones B,2002) Olanzapin dimetabolisme menjadi beberapa metabolit. Metabolit utamanya yaitu 10-Nglucoronide dan 4-N-desmethyl-olanzapin. Setelah pemberian jangka lama, rata-rata konsentrasi plasma metabolit ini adalah 44% dan 30% dari konsentrasi olanzapin. Metabolit lainnya yaitu 4N-oxide olanzapin dan 2-hydroxymethyl olanzapine. Enzim sitokrom P450 1A2 merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan 4'-N-desmethyl-olanzapine. Enzim flavin-containing monooxigenase-3 (FMO-3) berperan dalam pembentukan 4-N-oxide olanzapine serta enzim sitokrom P450 2D6 berperan dalam pembentukan 2-hydroxymethyl olanzapine. Meskipun enzim 1A2 merupakan enzim metabolisme utama, klirens olanzapin tidak berkaitan secara bermakna dengan rasio paraksantin-kafein (merupakan ukuran aktivitas enzim 1A2). Analisis lainnya menyatakan bahwa rasio metabolik plasma 4-Ndesmethyl-olanzapine terhadap olanzapin, secara bermakna, berkaitan dengan klirens olanzapin. Parameter farmakokinetik olanzapin, terkait enzim 2D6, tidak berbeda secara signifikan antara metaboliser yang baik (extensive metabolizer) dengan yang buruk (poor metabolizer).

Farmakokinetik olanzapin terlihat linier dalam kisaran dosis yang direkomendasikan. Rerata konsentrasi puncak olanzapin, setelah delapan hari pemberian dosis 7,5 mg/hari, pada 12 orang laki-laki ( 11 perokok), adalah 18.3 ng/ml. Rerata waktu paruh adalah 36 jam, rerata klirens adalah 29.4L/jam. Waktu paruh kedua metabolit utama (4-N-desmethyil-olanzapine dan 10-Nglucoronide) adalah 92,6 jam dan 39,6 jam dengan AUCO-24 adalah 57ng*jam/mL dan 112 ng*jam/mL. Peneliti lainnya juga melaporkan bahwa rerata waktu paruh olanzapin sekitar 30 jam dan rerata klirensnya adalan 25L/jam. Konsentrasi steady state olanzapin pada pemberian sekali sehari selama satu minggu, adalah dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi setelah dosis tunggal. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa olanzapin merupakan substrat intermediet P-glycoprotein.(vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Klirens olanzapin menurun pada wanita dan orang tua. Pada wanita, klirens olanzapin adalah 25%-30% lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Sebuah penelitian juga memperlihatkan bahwa konsentrasi olanzapin, setelah pemberian satu minggu, dosis 12,5 mg/hari, lebih tinggi pada wanita bila dibandingkan dengan laki-laki (29 ng/mL: 19 ng/mL). Konsentrasinya tetap lebih tinggi setelah dosis dinaikkan menjadi 25 mg/hari dengan rerata konsentrasi plasma pada minggu ke-8 adalah 65 ng/mL pada wanita dan 35 ng/mL pada.lakilaki. (Kelly DL et al., 1999) Klirens pada usia lanjut adalah 30% lebih rendah bila dibandingkan dengan usia muda. Waktu paruh pada usia lanjut yaitu 50% lebih panjang. Penelitian pada anak dan remaja (usia 1018 tahun) memperlihatkan bahwa farmakokinetiknya sama dengan orang dewasa yang tidak merokok. Rerata Tmax (waktu yang dlbutuhkan untuk mencapai konsentrasi plasma maksimum) adalah 4,7 jam. Rerata klirens oral adalah 9,6 L/jam dan rerata waktu paruh adalah 37,2 jam. (Schulz SC et al, 2004) Gangguan fungsi ginjal dan hati tidak mempengaruhi disposisi olanzapin. Sebuah penelitian melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan farmakokinetik yang bermakna antara individu dengan gangguan hepar dengan individu tanpa gangguan hepar. Meskipun demikian, konsentrasi olanzapin 10-N-glukoronida meningkat dalam urin penderitra sirosis. Sebuah penelitian yang membandingkan farmakokinetik olanzapin pada subjek dengan gangguan ginjal yang mendapat olanzapin satu jam sebelum hemodialisa dengan subjek gangguan ginjal yang mendapat olanzapin selama 48 jam di antara dialysis melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan farmakokinetik yang bermakna di antara kedua kelompok. Olanzapin tidak terdeteksi di dalam cairan dialysis pada kelompok yang mendapat olanzapin satu jam sebelum hemodialisis. Data ini menunjukan bahwa penyesuaian dosis olanzapin pada penderita dengan gagal ginjal, tidak diperlukan (vanKammer DP, Marder SR, 2005b)

MEKANISME KERJA Obat-obat yang lebih kuat menghambat reseptor dopamin dikategorikan sebagai APG-I sedangkan yang lebih kuat menghambat serotonin dikategorikan sebagal APG-II. Olanzapin, baik penelitian in vitro maupun in vivo, memiliki kemampuan memblok 5-HT2A lebih besar bila dibandingkan dengan reseptor DA. Sebuah penelitian yang menggunakan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa olanzapin, pada semua kisaran dosis, memblok 5-HT2A lebih besar (95% atau lebih besar) bila dibandingkan dengan kemampuan memblok dopamin. Olanzapin memiliki banyak persamaan dengan klozapin dalam hal struktur kimia dan kemampuan memblok reseptornya. Kemampuannya dalam menghambat berbagai reseptor ini dikaitkan dengan peranannya yang signifikan sebagai antipsikotika. Blokade dopamin, serotonin dan histamin, mungkin juga neurotransmiter lainnya, merupakan kemampuan olanzapin sebagai antipsikotika. Masing-masing neurotransmiter memiliki berbagai reseptor. Untuk dopamin, ada lima reseptor yang berbeda yang dikelompokkan ke dalam dua subtipe (D1 dan D5; D2, D3, dan D4) dengan lokasi yang berbeda. Obat-obat antipsikotika bekerja pada region-regio yang spesifik. Oleh karena itu, obat-obat APG-II, misalnya olanzapin dapat menurunkan gejala psikotik tanpa menyebabkan gangguan gerak. Kerjanya yang spesifik ini juga didukung oleh penelitian biologi molekuler yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan ekspresi c-fos di regio spesifik di otak, misalnya area kaudatus. (Robertson GS and Flbiger HC, 1995) Selain itu, juga ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam mengurangi gejala psikotik tanpa disertai efek samping ektrapiramidal dapat pula disebabkan oleh kecepatan lepasnya beberapa obat antipsikotika dari reseptor. Obat-obat yang menghambat reseptor tetapi ia dengan cepat meninggalkan reseptor tersebut, menunjukkan bahwa obat itu memiliki potensi pada reseptor tersebut sehingga ia dapat mengurangi gejala psikosis tetapi aktivitas reseptor tersebut tetap dalam keadaan "fisiologis" karena cepat dilepaskannya. Mekanisme kerja ini menyebabkan keberhasilan olanzapin mengatasi gejala psikotik tanpa adanya EPS pada dosis yang direkomandasikan. Walaupun demikian, pada dosis yang lebih tinggi (30 mg/hari), kemampuannya memblok dopamine meningkat sehingga dapat menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Glutamat, suatu neurotransmiter eksitatori, berperan pula dalam patofisiologi skizofrenia. Teori ini didukung oleh efek psikotomimetik antagonis glutamat seperti fensiklidin dan ketamin. Sebuah penelitian klinik memperlihatkan manfaat agonis glutaminergik (D-sikloserin) dalam pengobatan skizofrenia. (Goff DC et al., 1995) Apabila glutamate diberikan kepada ODS skizofrenia, perbaikan gejala negatif dan fungsi kognitif dapat terlihat tetapi tidak terlihat terjadinya perbaikan gejala positif. Ada peneliti yang juga memperlihatkan peranan olanzapin pada glutamat yaitu penelitian pada tikus yang mempelajari tentang inhibisi prepulse. Inhibisi prepulse merupakan suatu ukuran gerbang

sensomotorik yang dinyatakan terganggu pada penderita skizofrenia. Olanzapin dinyatakan dapat memperbaiki defisit inhibisi prepulse yang diinduksi oleh isolasi. Karena ada hubungan antara antagonis NMDA dengan innibisi prepulse, penemuan ini membuktikan bahwa terdapat mantaat olanzapin terhadap sistem glutaminergik. Sebuah penelitian lainnya yang melihat efek olanzapin terhadap kadar glutamate, menggunakan magnetic resonance spectroscopy, melaporkan bahwa kadar glutamate meningkat setelah penggantian dari APG-I ke olanzapin. Pada kelompok yang menunjukkan peningkatan kadar plasma glutamat juga memperlihatkan peningkatan konsentrasi glutamate otak. Peningkatan tersebut disertai dengan perbaikan gejala psikotik. (Goff DC et al.,2002) Dekatnya hubungan anatomi antara neurotensin dengan system neurotransmiter lain yang terlibat pada skizofrenia, perubahan kadar neurotensi otak ketika diberikan obat antipsikotika dan miripnya efek antara pemberian secara langsung neurotensin dengan efek antipsikotika, menimbulkan dugaan bahwa neuropeptida neurotensin berperanan pula pada skizofrenia. Terdapat peningkatan mRNA neurotensin setelah pemberian olanzapin. Pola perubahan neurotensin yang terlihat dengan olanzapin berbeda dengan yang terlihat dengan haloperidol. Efek ini sama dengan yang terlihat pada klozapin. Oleh karena itu, efek olanzapin pada neurotensin diduga juga penting pada skizofrenia. (Binder EB et al.,2011) INDIKASI Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA sebagai antipsikotika untuk sklzofrenia, skizoafektif, dan bipolar episode manik dan campuran. Dasar pemberian persetujuan ini adalah dari hasil-hasil penelitian olanzapin yang dilakukan. Penelitian awal menunjukkan bahwa kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari. Mula-mula dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/hari, di malam hari. Kemudian, klinikus menggunakan dosis lebih tinggi yaitu rata-rata 13 mg/hari. Di ruang perawatan, klinikus sering memberikan olanzapin dengan dosis 5 mg di pagi hari dan 10 mg di malam hari. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) EFEK SAMPING Efek samping pada penggunan klinis tidak begitu berbeda dengan penelitian preklinis yang dilakukan yaitu kurangnya efek samping neurologik, misalnya efek samping ekstrapiramidal (EPS), distonia dan akatisia. Bahkan, pada kelompok-kelompok yang sensitif terhadap antipsikotika, misalnya penyakit Parkinson, efek sampingnya juga rendah. Pada penelitian obat, fase II dan III, kelompok yang mendapat olanzapin memperlihatkan perbaikan EPS pada akhir penelitian bila dibandingkan dengan ketika mereka memasuki penelitian (baseline). Sebagian besar penelitian tersebut menggunakan APG-I sebagai kontrolnya. Efek samping neurologik lebih jarang pada kelompok yang mendapat olanzapin bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat haloperidol. Misalnya,parkinsonisme (14% : 38%) dan akatisia (12% : 40%). Rendahnya EPS dapat pula memprediksi rendahnya tardive

diskinesia. Pemberian antiparkinsonisme pada penelitian obat olanzapin lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian obat risperidon (13%:32%). (Schulz SC et al., 2004) Efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan olanzapin yaitu penambahan berat badan. Penambahan berat badan dapat berkontribusi dalam ketidakpatuhan terhadap antipsikotika sehingga dapat meningkatkan angka kekambuhan. Dengan penurunan efek samping neurologik clengan obat-obat APG-II, sindrom metabolik muncul menjadi risiko utama pada ODS yang menggunakan obat tersebut. Sindrom metabolik harus menjadi perhatian khusus klinikus. Sebuah penelitian meta-analisis yang menilai perubahan berat badan akibat pemberian antipsikotika memperlihatkan bahwa klozapin dapat meningkatkan berat badan 4,45 kg, olanzapin 4,15 kg, risperidon 2,1 kg, haloperidol 1,08 kg, dan plasea bo menurunkan berat badan 0,74 kg. Rata-rata penelitian berlangsung lebih dari 10 minggu. Pada penelitian jangka panjang, subjek yang berat badannya meningkat lebih dari 7% adalah 30%-50%. Rendahnya berat badan sebelum mendapat terapi dan baiknya respons klinis terhadap pemberian olanzapin dikaitkan dengan tingginya efek samping penambahan berat badan. Perhatian yang lebih besar tentang penambahan berat badan yaitu pada anak-anak dan remaja. Mereka akan terpapar dengan obat lebih lama dan mereka juga sangat memperhatikan penampilan. Sebuanh penelitian yang dilakukan selama 12 minggu melaporkan bahwa berat badan remaja yang dirawat meningkat sebanyak 7,2 6,3 kg, dua kali peningkatan berat badan yang terjadi pada kelompok yang mendapat risperidon. Peningkatan berat badan yang 7% tersebut terdapat pada sekitar 90% remaja yang menggunakan olanzapin. Penelitian rerata penambanan berat badan pada remaja, berusia kurang dari 18 tahun menderita skizofrenia, menggunakan olanzapin lebih dari 18 minggu, adalah 6,5 kg (Fidling RL et al., 2003) . qniperlipidemia, ketbasidbsis diabetik, sebagian besar nny n dan&0ianzap in., Kasuskasus yang dilapbrkan ke FDA Drug banwa awitan baru diabetes dan hiperglikemia yang iQ78%0. Sebanyak 35% dari yang menderita diabetes ketesi,s atau asid0sis.3;Sebanya_k 8% keibm pbk mengalami ketbasidbsis besar kasus teriadibada enambulan avvai pengbbatan , kasus terjadipada buian pertama pengbbatan. yangt_mengguniakan data dasar yang cukup besar meiapbrkan banwa setelah penggunaan blanzapin dan kibzapin, reiatif tinggi I biia risperiddn atau APG|. 0ieh karena itu, pemantauan

terjadinya (vanKammen DP, i\/Iarder SR, 2005b; Schulz et at ~ 200*0 P 0 as S

A , b {$i08i$?Yi$,Qi078 T0Vi00i 0000i0,W0,| nD00800a000,, ii, 0