Nyeri Kronis Dan Depresi

53
BAB I PENDAHULUAN Gangguan fisik dapat mempengaruhi jiwa, dan sebaliknya gangguan jiwa dapat mempengaruhi atau menimbulkan gangguan fisik. Keadaan ini dapat menimbulkan kesulitan diagnosis bahkan tidak jarang menimbulkan doctor shopping, rujukan ke berbagai disiplin hingga akhirnya baru dipikirkan pendekatan secara psikiatri. 1 Menurut data di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 1996, rujukan ke bangsal psikiatri terbanyak berasal dari bangsal penyakit dalam (39,1%), bedah (18,1%), saraf (17,4%), dan ortopedi (9,4%). Gangguan penyesuaian dengan afek depresi merupakan diagnosis ketiga terbanyak setelah skizofrenia dan delirium akibat kondisi medik. Data lain menyebutkan 21-26% pasien rawat jalan di masyarakat memiliki gangguan psikiatri. Dari data tersebut, terlihat bahwa penyakit-penyakit di bidang penyakit dalam paling banyak berhubungan dengan gangguan psikiatri. Adapun penyakit fisik yang sering terjadi bersama depresi antara lain penyakit jantung koroner, infark miokard, stroke, diabetes melitus, parkinson, HIV, arthritis rheumatoid, dan kanker. 1 1

description

presentation

Transcript of Nyeri Kronis Dan Depresi

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan fisik dapat mempengaruhi jiwa, dan sebaliknya gangguan jiwa

dapat mempengaruhi atau menimbulkan gangguan fisik. Keadaan ini dapat

menimbulkan kesulitan diagnosis bahkan tidak jarang menimbulkan doctor

shopping, rujukan ke berbagai disiplin hingga akhirnya baru dipikirkan

pendekatan secara psikiatri.1

Menurut data di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto

Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 1996, rujukan ke bangsal psikiatri terbanyak

berasal dari bangsal penyakit dalam (39,1%), bedah (18,1%), saraf (17,4%), dan

ortopedi (9,4%). Gangguan penyesuaian dengan afek depresi merupakan diagnosis

ketiga terbanyak setelah skizofrenia dan delirium akibat kondisi medik. Data lain

menyebutkan 21-26% pasien rawat jalan di masyarakat memiliki gangguan

psikiatri. Dari data tersebut, terlihat bahwa penyakit-penyakit di bidang penyakit

dalam paling banyak berhubungan dengan gangguan psikiatri. Adapun penyakit

fisik yang sering terjadi bersama depresi antara lain penyakit jantung koroner,

infark miokard, stroke, diabetes melitus, parkinson, HIV, arthritis rheumatoid, dan

kanker.1

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang

berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk

perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,

kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.2

Nyeri pada penyakit kronis dan depresi berhubungan pada beberapa

tingkatan: neurobiologis, psikologis, dan perilaku. Pada tingkatan neurobiologis,

neurotransmitter seperti serotonin, norepinefrin berperan pada gangguan depresif.

Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif, selain itu

keterkaitan nosiseptor mungkin juga memicu eksaserbasi keadaan afek disforik.

Pada tingkatan psikilogis, terdapat hipotesis bahwa nyeri kronis termasuk dalam

bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen

1

tubuh, termasuk nyeri. Sebuah konsep yang sesuai, penekanan somatosensori yang

didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan

gejala disforik termasuk nyeri. Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan

somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik, dan

merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress

psikologis. Pada tingkatan perilaku, terdapat hipotesis bahwa depresi terjadi

sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai

sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari.3

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi

Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas

untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama

yang terjadi.4

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai

masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,

gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta

bipolar.2

2.1.1 Angka Kejadian

1. Jenis Kelamin

Angka kejadian pada perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-

laki. Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan

stresor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku

yang dipelajari tentang ketidakberdayaan.5

Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur dan negara,

terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada

wanita dibandingkan dengan laki-laki.2 Pada penelitian lain disebutkan

bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan

laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,

alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari

perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial dan

model perilaku keputusasaan yang dipelajari.2

Pada penelitian yang dilakukan NIMH ditemukan bahwa prevalensi yang

tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya

ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi

3

substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat

pada situasi Pre Menstrual Syndrome (PMS). Untuk wanita yang telah

menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan

pekerjaan, merawat anak dan orang tua lanjut usia, kekerasan dalam rumah

tangga dan kemiskinan.

2. Usia

Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50

tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut

usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari

20 tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol

dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.5

Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah

kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara

usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama

masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis

menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat

pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun.2 Pada penelitian lain

yang dilakukan oleh Akhtar didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi

terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada

kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari

NIMH menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada

kelompok usia >18 tahun (10%).

3. Status Perkawinan

Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan

interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.

Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk

menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal

ini berbanding terbalik untuk laki-laki.5

4

Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang

yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang

bercerai atau berpisah.3 Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar

memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada

pasangan yang bercerai atau berpisah.

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya

Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan

depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding

daerah perkotaan.5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An

Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden

dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi

yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar ditemukan tingkat depresi

terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)

sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan

pada responden dengan kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar

(13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya perbedaan

tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki

korelasi positif dengan terjadinya gangguan depresif.2

2.1.2 Etiologi

Etiologi depresi terdiri dari:

1. Faktor genetik

Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan

gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara, juga pada anak

kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga

tersebut.

5

Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam

perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan

genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak

mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik

kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan

gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga

menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan

depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada sanak

saudara derajat pertama.2

2. Faktor Biokimia

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam

metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin,

serotonin dan dopamin (Gambar 2.1.1) berperan dalam patofisiologi

gangguan mood.

Penelitian ilmiah dasar antara regulasi turun (down regulation) reseptor ß

adrenergik dan respon antidepresan meyatakan adanya peranan langsung

sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain bahwa aktivasi ɑ2

adrenergik menyebabkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.

Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien

bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin didalam cairan

serebrospinal yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang

rendah di trombosit.2

Aktivitas dopamine diperkirakan juga memiliki peranan dalam depresi.

Data menyatakan bahwa aktifitas dopamine mungkin menurun pada

depresi dan meningkat pada mania. Dua teori terakhir tentang dopamine

dan depresi adalah bahwa jalur dopamine mesolimbik mungkin mengalami

disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin

hipoaktif pada depresi.2

Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter

yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat

6

mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino

khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif

(vasopressin dan opiate endogen), regulasi neuroendokrin dan

neuroanatomis.2

Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama

oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon

pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien

dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,

penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan

kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing

Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).

Penelitian dasar dan klinis tentang hubungan depresi dan hipersekresi

kortisol menyatakan bahwa pelepasan kortisol berawal dari neuron di PVN

(paraventricular nucleus) melepaskan CRH (corticotropin releasing

hormone) yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik

(ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan

kortisol dari korteks adrenal.

Gangguan tiroid seringkali disertai disertai dengan gangguan afektif. Suatu

temuan pada penelitian menyatakan bahwa sepertiga dari semua pasien

dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul

yaitu TSH (thyroid stimulating hormone) terhadap infus TRH (thyrotopine

releasing hormone).

7

Gambar 2.1.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:

a. Hipotesis Katekolamin

Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin

pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui

kadang-kadang menimbulkan depresi lambat.

Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun

dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi

dan meningkat di saat mereka gembira.

b. Hipotesis Indolamin

Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-

hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamanya asam 5-hidroksi

indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA

rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang

mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak.

8

3. Faktor Hormonal

Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan

kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason.

Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil

abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien

dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam

keluarga.

Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan puerperium atau

menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum

menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore.

Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan

faktor penting dalam menentukan etiologi.

4. Faktor Kepribadian Premorbid

Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama

hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.

Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan

kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,

energetik dan lebih ramah dari rata-rata.5

Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan

dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar,

mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan

bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat

pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka

belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi

masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan

perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan

maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di

keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan

mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi

9

masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita

mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada

anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam

suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak

biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan

tinggi terhadap gangguan depresif.5

5. Faktor Lingkungan

Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak

peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan

dan mereka keluar dari lingkungan sosial. 80% serangan pertama depresi

didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada

serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak

yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan

populasi lainnya.

Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,

pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,

sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode

gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan

lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif

muncul.5

Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa

kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode

pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya.2 Satu teori yang

diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang

menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang

bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan

perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem

pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan

menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk

10

menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya

stresor eksternal.2

2.1.3 Klasifikasi

1. Episode Depresif

Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di

bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana

perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan

berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan

berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja

sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah :6

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada

episode tipe ringan sekalipun)

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. Tidur terganggu

g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke

hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat

memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu.

Sebagaimana pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan

variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah,

terutama di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan

agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol

daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin

juga terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol

berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang

sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode

depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa

11

sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi

periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan

berlangsung cepat.6

Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan

memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas mempunyai

makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah

kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat

dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa

yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih

daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari, bukti objektif

dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau

dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok,

penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat

badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,

sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala

itu pasti dijumpai.6

F32.0 Episode depresif ringan

Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan,

dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi yang

paling khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah sekurang-

kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan diagnosis

pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya seluruh

episode berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.6

Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang

gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan

kegiatan sosial, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama

sekali.6

F32.1 Episode depresif sedang

12

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang

ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya

tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin

tampil amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara

keseluruhan ada cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode

berlangsung minimal sekitar 2 minggu.6

Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi

kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan

rumah tangga.6

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan

atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi merupakan ciri

terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak berguna

mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata terutama

pada beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik

hampir selalu ada pada episode dpresif berat.

Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan

sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan

beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala

penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien mungkin

tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara

terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori

episode berat masih dapat dibenarkan. Episode depresif biasanya

seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika

gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan

untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.

Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan

mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga,

kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

13

Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat

tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan

subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut di

atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang

mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu.

Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina

atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi

psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham

atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan

suasana perasaan (mood).

Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia

katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini

hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan

gejala psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori

gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya

Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran

yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan

diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya

termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang

berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan, keresahan

dan penderitaan; dan campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau

keletihan menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti yang

kadang-kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT

14

F33 Gangguan Depresif Berulang

Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana

dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa riwayat

adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan

hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan

yang memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif

(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).

Usia dari onset, keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode

dari depresi, semuanya sangat bervariasi. Umumnya episode pertama

terjadi pada usia lebih tua dibanding dengan gangguan bipolar, dengan usia

onset rata-rata lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara

3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya

lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode,

namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya

menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus

tetap digunakan). Episode masing-masing dalam berbagai tingkat

keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh

sters; dalam berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi

menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.

Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang

mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya

akan mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka

diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.

2.1.4 Gambaran Klinik

Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya

energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya

sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada

mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang

normal.

15

Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi

dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir

mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat

aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur,

aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu

menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.5

Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain :

1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang

mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.

Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu

kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau

pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi

senyum).

2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini

hari dan membaik di siang hari.

3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh

diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.

Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus

dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,

tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan

keluarganya dari kehidupan yang sengsara.

4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan

dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan

kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi

gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang

nyata.

5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan

turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana

16

penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di

masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan

yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa

bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.

Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham

hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham

nihilistik.

6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.

7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan

bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia

merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.

8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri

sendiri mungkin ditemukan.

9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun

dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya

dapat menjadi insomnia total.

10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,

amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi

kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga

pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah

sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup

lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang

tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan

mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang

sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh

tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan

tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi

17

untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,

khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari

karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan

peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan

menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa.6

2.1.5 Diagnosis

Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada

DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental

and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa

depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang,

dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang,

dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang

episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik,

episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.

DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat

diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria

diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan

kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan

memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik

politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).

DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang

berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya

mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena

DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian

dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV

dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya pada situasi tertentu

memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan gejala-gejala.

18

Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga

menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting

lainnya, yaitu:

1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.

2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental

3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan

gangguan mental

4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya

selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak

punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran

anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan

teks dan didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang

berhubungan dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive

diorder), gangguan depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik

pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan gejala tidak mencapai

keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat. Pada

gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif memang mencapai

keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat tetapi

hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria

diagnostik untuk gangguan depresif berat.

DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat

secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan

depresi, dan juga menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.

a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik

Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit

yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk

.

19

b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik

Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari

gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok

pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive

terhadap terapi farmakologi dari pada pasien nonmelankolik.

c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal

Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan

secara resmi adalah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis

yang menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang

spesifik dan dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik adalah makan

berlebihan dan tidur berlebihan.

2.2 Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif

dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan

jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya

kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan.

Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan

dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi

nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).

Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan

jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang

nyata (pain without nociception).

2.2.1 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :

1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri

psikogenik.

20

2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.

3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.

4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik

Nyeri akut Nyeri kronik

- Lamanya dalam hitungan

menit

- Sensasi tajam menusuk

- Dibawa oleh serat A-delta

- Ditandai  peningkatan BP,

nadi, dan respirasi

- Kausanya spesifik, dapat

diidentifikasi secara biologis

- Respon pasien : Fokus pada

nyeri, menangis dan

mengerang, cemas

- Tingkah laku menggosok

bagian yang nyeri

- Respon terhadap analgesik :

meredakan nyeri secara efektif

- Lamannya sampai hitungan

bulan

- Sensasi terbakar, tumpul, pegal

- Dibawa oleh serat C

- Fungsi fisiologi bersifat normal

- Kausanya mungkin jelas

mungkin tidak

- Tidak ada keluhan nyeri, depresi

dan kelelahan

- Tidak ada aktifitas fisik sebagai

respon terhadap nyeri

- Respon terhadap analgesik :

sering kurang meredakan nyeri

 

Menurut derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu

melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang

hanya hilang jika penderita tidur.

3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,

penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu

tidur.

21

2.2.2 Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung

syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara

potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis

reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak

bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada

daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga

memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal

dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor

jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

1. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det)

yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan

2. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan

sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor

nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan

penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul

merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

22

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri

dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi

stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut

sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).

Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan

temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum

dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik

(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut

saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin

(serabut C). Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas

listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti

prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,

serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat

berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

2. Transmisi

Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor

saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan

serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana

impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh

traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya

impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui

neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan

sebagai persepsi nyeri.

3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang

dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini

juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau

meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.

23

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari

proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya

menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi

nyeri.

2.3 Hubungan Nyeri dan Depresi

Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas

untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama

yang terjadi.4

Kombinasi dari nyeri kronis dan depresi mungkin mengakibatkan

kemerosotan yang progresif. Tidak bergairah, menurunnya energi, gangguan tidur,

afek yang negatif, dan menurunnya hubungan sosial mungkin secara progresif

akhirnya berubah menjadi keterbatasan yang berat dan depresi.

Richard Sternbach menjelaskan bahwa beratnya keterbatasan akibat nyeri

termasuk dalam; sindrom nyeri kronis yang dikarekteristikkan dengan tanda

vegetatif dari depresi. Perilaku termasuk menurunnya tingkat aktivitas, banyaknya

penggunaan obat, banyaknya tindakan bedah, dan penurunan pada tingkat

pendapatan serta menurunnya keharmonisan keluarga. Konflik mental dan

interpersonal menjadi pemicu timbulnya keluhan nyeri, yang kemudian menjadi

sukar untuk diubah.

Pemahaman kita atas kompleksnya mekanisme depresi bahwa tidak hanya

masalah defisit biokimia pada jalur neurotransmitter sebagai pemicu depresi.

Genetik, biokimia, sosioekonomi, psikologis, lingkungan, dan faktor pengalaman

hidup semuanya memiliki peranan dalam kejadian depresi. Bagaimanapun juga

faktor resiko terbesar adalah stress yang kronis, yang diartikan sebagai kelebihan

kejadian negatif pada 6 bulan sebelum onset depresi.

24

2.3.1 Sumbu Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA) dan Stres

Stressor dapat didefinisakan sebagai semua jenis stimulus yang

mengganggu mekanisme homeostasis normal. Stressor dapat juga berupa

perubahan yang cepat pada temperatur tubuh atau tekanan darah, sedikitnya intake

makanan dalam waktu yang lama, penyakit, infeksi, dan nyeri. Selanjutnya

terdapat stressor yang sering kita jumpai, rasa takut, khawatir, kehilangan

pekerjaan. Pertahanan tubuh pertama dalam melawan perubahan homeostatik

adalah respon simpatis. Neuroendokrin pada sumbu stress hypothalamo-pituitary-

adrenal (HPA) secara tradisional dianggap makin lambat, perlindungan terhadap

stress. Walaupun demikian, seperti penyediaan substrat energi yang digunakan

untuk menyokong respon simpatis, sumbu stress HPA berpengaruh untuk semua

penilaian situasi stress, seperti perilaku dan adaptasi endokrin pada stress.4

2.3.2 Sumbu HPA pada Stres Kronis dan Depresi

Semua penelitaian pada manusia dan hewan, kelangsungan hidup selama

menerima stress kronis tidak hanya pada peningkatan sekresi hormone

kortikosteroid untuk pemeliharaan pada wajah dari kontrol umpan balik negatif,

tetapi juga bahwa penambahan respon kortikosteroid bisa mempercepat datangnya

stressor jika dibutuhkan. seperti kebutuhan dikte respon adaptif pada semua

tingkatan sumbu HPA. Namun kelanjutan dan lamanya stress mungkin

mengganggu sumbu HPA seperti pada luasnya mekanisme umpan balik negatif

yang terganggu; respon adaptif pada sumbu HPA mungkin menjadi maladaptif.

Selama stress kronis terdapat perubahan fungsi sumbu HPA yang menetap.

Terdapat persamaan yang mencolok antara perubahan tersebut dan itu terlihat

pada klinis depresi.

Dibawah ini terdapa skema yang menampilkan modulasi sumbu HPA pada

respon stress, jalur stimulasi pada sumbu HPA (kuning) ditampilkan dengan

warna hijau, dan jalur penghambat ditampilkan dengan warna merah. Stressor

yang berasal dari berbagai macam sumber mengaktifkan neuron pada sel parvo di

nucleus paraventrikularis yang mengandung salah satu dari CRH, vasopresin

arginin (AVP) atau keduanya. Peptida tersebut kemudian dilepaskan kedalam

25

system porta hipofisis dan ditransport ke kelenjar hipofisis anterior. CRH bekerja

pada kortikotropin kelenjar hipofisis sebagai sekretagok yang bersinergi dengan

sekretagok vasopressin yang lebih lemah untuk melepaskan hormone ACTH

kedalam sirkulasi sistemik. ACTH bekerja pada reseptor khusus di zona fasikulata

di korteks adrenal untuk sintesis awal dan melepaskan hormone glukokortikoid

kortisol. Glukokortikoid berfungsi terutama pada reseptor glukokortikoid (GR),

menekan umpan balik untuk mempengaruhi hipofisis agar mencegah pelepasan

ACTH lebih lanjut pada nucleus paraventrikularis untuk mencegah CRH lebih

lanjut dan pelepasan vasopressin, serta pada korteks adrenal untuk mencegah

pelepasan glukokortikoid lebih lanjut. Penambahan umpan balik mungkin

disediakan melalui reseptor glukokortikoid (GR) dan afinitas tinggi pada kerja

reseptor mineral kortikoid dalam hipokampus untuk memodulasi glutamate,

aktivasi stumulus dari penghambat GABAergik dalam bantalan nukleus dari stria

terminalis (BNST). Sumbu HPA mungkin juga diregulasi dengan penambahan

masukan stimulus serotonergik stemotak (5-HT) dan neuron noradrenergic (NA),

dari amigdala (A), dan dengan sitokin inflamasi interleukin-1ß (IL-1ß), semuanya

mungkin mengubah subjek menjadi umpan balik glukokortikoid negative.

Penambahan dalil masukan penghambat disediakan oleh glandula pinealis dan

substansi P neurokinin (SP).4

26

2.3.3 Sumbu HPA dan Nyeri Kronis

Nosiseptor dan interaksi sumbu HPA yang mungkin mendasari

komorbiditas dari nyeri kronis dan depresi di tampilkan dalam skema di bawah

ini. Pusat dari hipotesis akhir adalah konsep dari stress kronis yang ditimbulkan

oleh peran nyeri kronis untuk menghilangkan umpan balik negatif glukokortikoid

pada sumbu HPA, menghasilkan sebuah kontrol positif pada sumbu, dan regulasi

bawah dari reseptor glukokortikoid dalam otak dan perifer. Inflamasi dan cedera

saraf menstimulasi neuron yang nosiresponsif dalam tanduk belakang medulla

spinalis, dan menyampaikan informasi nosiseptif asenden pada brain stem untuk

menjadi gerbang dalam thalamus terdahulu untuk tafsiran kognitif dalam korteks

somatosensoris. Neuron monoaminergik pada brainstem normalnya menurun ke

medulaspinalis untuk bekerja sebagai sebuah “kerusakan” pada transmisi

nosiseptif. Selama nyeri kronis, hilangnya irama monoaminergik berespon

terhadap induksi glukokortikoid, penurunan monoamine mungkin memicu

penurunan impuls penghambat desenden ke medulla spinalis untuk efek

peningkatan sensasi nyeri, hilangnya penghambat glukokortikoid pada irama

sitokin proinflamasi untuk kejadian inflamasi perifer berkontribusi pada sensasi

nyeri. Meskipun stress akut adalah analgetik, mengisaratkan bahwa sirkuit

penghambat antara limbik dan korteks somatosensoris, stress kronis yang dipicu

oleh nyeri kronis mungkin ditujukan untuk regulasi bawah dari aktivitas

glukokortikoid termediasi dari hubungan penghambat ini, mengawali persepsi

nyeri yang telah ditingkatkan. Sama halnya, meskipun nyeri akut meningkatkan

mood melalui jalur simpatis dan jalur glukokortikoid (mengisaratkan eksitasi jalur

resiprokal antara somatosensoris dan korteks limbik), nyeri kronis yang diinduksi

regulasi bawah dari modulasi glukokortikoid pada jalur ini mungkin mengawali

mood terdepresi.4

27

2.3.4 Nyeri Kronis dan Depresi

Diperkirakan lebih dari 50 % pasien yang menderita nyeri kronis

menunjukkan diagnosa klinis gejala dari depresi. Namun nyeri kronis seperti

depresi bukanlah sebuah penyakit tersendiri. Pada ketentuan medis, hal ini

didefinisikan bahwa rentang waktu sebuah spektrum luas dari patofisiologi dan

etiologi psikoligis. Secara umum hal ini bisa dikategorikan dalam empat kelas

berdasarkan penyebabnya:

1. Tidak terdiagnosa secara medis atau penyakit bedah

2. Gangguan psikiatrik

3. Lesi neurologis (contoh: sklerosis multipel), atau

4. Lesi somatik (kanker, nyeri tulang belakang, nyeri kepala, HIV, dan

arthritis rheumatoid).

Pengobatan nyeri kronis terlihat sebagai tantangan yang sulit, hal ini

membutuhkan sebuah pendekatan multidisipliner termasuk farmakoterapi, terapi

kognitif, psikoterapi, dan bedah saraf.4

28

2.3.4 CRH dan Vasopressin

Disamping peran sebagai sekretagok sentral utama dari sumbu HPA, CRH

berperan suntuk memicu analgesik dengan aksi perifer maupun sentral. Aksi

analgetik perifer terlihat terhubung pada respon inflamasi lokal, bekerja pada

reseptor CRH pada sel imun menimbulkan pelepasan peptida opioid, dimana

mengubah penghambat aktivitas neuron aferen. Walaupun efek analgetik sentral

dari CRH sedikit dipublikasikan, Larivierre dan Melzack menyatakan bahwa

CRH pada rentang dosis yang sempit dapat bekerja sebagai antinosiseptif dalam

sistem saraf pusat. Aksi analgetik pada CRH terlihat dalam melawan keterlibatan

sumbu HPA yang hiperaktif dalam membentuk nyeri kronis, namun banyak kasus

klinis pada nyeri kronis berhubungan dengan penurunan ekspresi CRH pusat dan

penurunan pelepasannya.4

2.3.5 Sitokin

Potensi elemen inflamasi untuk memerankan regulasi pada sumbu HPA

independen dan mendasari kejadian imunologis, ini merupakan konsep baru, dan

terus didukung sejalan dilaporkan depresi pada kanker yang mendapat terapi

sitokin termasuk interferon. Kebanyakan bukti ilmiah pada penelitian untuk

interaksi sitokin dan HPA berkenaan dengan sitokinpleitropik proinflamasi, IL-1ß.

Injeksi sentral dai IL-1ß menghasilkan efek perilaku pada mimik berbagai gejala

penyakit depresi, termasuk supresi intake makanan, depresi aktivitas lokomotorik,

penurunan eksplorasi social, merubah persepsi ruang, menurunkan atensi, defisit

memori, hiperalgesia, dan peningkatan gelombang tidur lambat.4

2.3.6 Monoamin

Peran noradrenalin otak dan serotonin pada depresi telah dibuktikan,

namun bukti yang menyebutkan sebuah hubungan antara monoamine dan sumbu

HPA sering dilupakan. Data mengindikasikan bahwa efek utama dari noradrenalin

adalah sebuah fasilitas, dihubungkan melalui reseptor ɑ adrenergik. Noradrenergik

mempersarafi sel parvo pada nucleus paraventrikularis terutama muncul pada

kelompok sel A2 pada brain stem, dan berjalan melalui bundel adrenergik ventral

29

(VNAB) untuk mengenai sel CRH. Stimulasi elektris dari VNAB meningkatkan

sekresi kortisol plasma dan melepaskan CRH kedalam portal darah hipofisis.

ACTH yang dipicu stress dan pelepasan kortikosteron dilemahkan setelah lesi

pada serat noradrenergik di VNAB atau nucleus paraventrikularis dengan 6-

hidroksidopamin. Penurunan noradrenalin juga memblok transmisi impuls dari

subikulum ventral pada hipokampus hingga hipotalamus. Sinapsis neuron

glutamatergik tersebut dengan neuron GABA pada bantalan nukleus stria

terminalis (BNST), spekulasi yang menggembirakan bahwa penurunan irama

noradrenergik selama gangguan depresif mungkin menghasilkna peningkatan

aktivitas pada nukleus paraventrikularis melalui hilangnya penghambat irama

GABA. Penambahan jaringan untuk aktivasi HPA mungkin disediakan oleh

amigdala dimana diterima sebuah densitas input noradrenergik dari lokus soreolus

yang mempersarafi nukleus paraventrikularis. Lesi yang diperbaiki pada amigdala

dicetuskan oleh stress dengan melepas hormone HPA ke berbagai stressor. Peran

dari serotonin (5-HT) pada regulasi sumbu HPA telah dilaporkan terutama juga

stimulasinya. Obat yang menungkatkan pembuangan 5-HT seperti fenfluramine

menghambat ambilan 5-HT, termasuk menghambat pengambilan kembali

serotonin selektif. Nukleus paraventrikularis (PVN) menerima masukan

serotonergik dari nukleus raphe otak tengah melalui bundel otak depan, lebih

lanjut penurunan 5-HT dalam raphe atau PVN dengan neurotoksin 57-

dihidrotriptamin menyebabkan penurunan 5-HT di hipotalamus dan menghambat

stimulasi pelepasan kortikosteron. Tingginya konsentrasi kortikosteron

berhubungan dengan regulasi bawah pada reseptor 5-HT1A post sinaptik. Hal ini

menghasilkan perilaku anxiogenik, yang sering terlihat pada gangguan depresif.4

2.3.7 Substansi P

Aksi cepat substansi P pada sumbu HPA sedikit banyak dihambat, dimana

agonis NK2 dan NK3 terlihat di stimulasi. Namun penelitian dari efek substansi P

kronis sangat sedikit dilaporkan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa substansi

P langsung distimulasi korteks adrenal untuk melepas glukokortikoid, secara tidak

langsung menstimulasi medula adrenal untuk melepas katekolamin dan stimulasi

30

substansi P tersebut. Sel kromatin medulla adrenal mungkin berubah melalui

kontrol parakrin pada sel adrenokortikal. Lebih lanjut aktivasi jalur substansi P

sentral terjadi pada respon stress akut dan stimulus nyeri yang berbahaya, dan

pengulangan pemberian antidepresan menyebabkan sebuah regulasi bawah dari

substansi P pada berbagai area otak pada hewan percobaan. Peranan potensial

antidepresan pada antagonis substansi P masih dalam penelitian.4

31

BAB III

KESIMPULAN

Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas

untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama

yang terjadi. Nyeri pada penyakit kronis dan depresi berhubungan pada beberapa

tingkatan yaitu neurobiologis, psikologis, dan perilaku.

Angka kejadian depresi dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, status

perkawinan, riwayat sosioekonomi dan budaya. Etiologinya berupa faktor genetik,

biokimia, hormonal, faktor kepribadian premorbid, dan faktor lingkungan.

Adapun klasifikasinya di bagi atas episode depresi ringan, depresi sedang, depresi

berat (dengan atau tanpa gejala psikotik), episode depresif lain, depresi yang tidak

tergolongkan, dan depresi berulang. Diagnosa depresi menggunakan konsep

gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-IV dan

konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and

Behavioral Disorders.

Nyeri merupakan sensori subyektif dan emosional yang tidak

menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun

potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut jenisnya

nyeri dibagi atas nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.

Berdasarkan onsetnya dibagi menjad nyeri akut dan nyeri kronis. Berdasarkan

etiologinya dibagi atas nyeri onkologik dan nyeri non onkologik. Dan menurut

derajatnya dibagi menjadi nyeri ringan, sedang dan berat.

Mekanisme depresi pada nyeri kronis tidak hanya masalah defisit

biokimia pada jalur neurotransmitte. Genetika, biokimia, sosioekonomi,

psikologis, lingkungan, dan faktor pengalaman hidup semuanya memiliki peranan

dalam kejadian depresi. Bagaimanapun juga faktor resiko terbesar adalah stress

yang kronis, yang diartikan sebagai kelebihan kejadian negatif pada 6 bulan

sebelum onset depresi.

32

Mekanisme nyeri melibatkan sumbu hipotalamo-pituitari adrenal (HPA).

secara ringkas mekanisme nyeri dimulai dari stressor yang mengaktifkan neuron

sel parvo pada nukleus paraventrikularis yang mengandung corticotropine

releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) yang dilepaskan ke

hipofisis anterior, hal ini mengaktifkan CRH untuk melepaskan

adrenocorticotropine hormone (ACTH) ke sirkulasi sitemik, ACTH

mempengaruhi zona fasikulata di korteks adrenal untuk mensintesis

glukokortikoid (kortisol), kortisol menekan umpan balik untuk mencegah

pelepasan ACTH yang memicu sintesis kortisol. Selain itu mekanisme nyeri juga

dipengaruhi serotonin, noradrenalin dan sitokin serta neurokinin di glandula

pinealis yang mempengaruhi umpan balik negatif sehingga pelepasan kortisol

meningkat.

33

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Idaiani S, Bisara D. Komorbiditas Depresi dengan Penyakit Fisik

Menahun. Jurnal Penyakit Tidak Menular Indonesia Vol 1. Pulitbang

Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan Depkes RI. Jakarta;

2009; hal 19-29

2. Kaplan, HI, Sadock BJ, Grebb JA, Sinopsis Psikiatri “Ilmu Pengetahuan

Perilaku Psikiatri Klinis”, Jilid I. Binarupa Aksara Publisher. Jakarta;

2010; hal 791-878

3. Von KM, Gregory S. The Relationship Between Pain and Depression. The

British Journal of Psychiatry. Vol 168. The Royal Collage of Psychiatrist.

Seattle, Washington; 1996; p 101-108

4. Munro GB, Munro REB. Chronic Pain, Chronic Stress, and Depression.

Journal of Neuroendocrinology Vol 13. Laboratory of

Neuroendocrinology, Departemant of Biomedical Science. University of

Edinburgh. Copenhagen, Denamark; 2001; p 1009-1023.

5. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi. Dalam : Elvira SD, Hadisukanto G.

Buku ajar psikiatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta; 2010.hal.209 – 222

6. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan I.

Departemen Kesehatan RI; Jakarta; 2003

34