Nyaris bangkrut

6
Nyaris bangkrut, perusahaan pelat merah ini bangkit dan terus berbenah diri. Pendapatannya bahkan tembus Rp 1 triliun. Apa strategi yang ditempuhnya? Ibarat bus yang kempes dan oleng, tapi lalu berbenah dan berjalan gagah. Begitulah gambaran PT Rekayasa Industri (Rekind). Ya, dalam perjalanannya, BUMN yang didirikan mantan Menteri Perindustrian, Hartarto, pada 12 Agustus 1981 ini memang beberapa kali mengalami jatuh- bangun hingga jalannya terseok-seok. Bahkan, kinerjanya sempat seperti roller coaster; naik-turun. Namun, ya itu tadi, ibarat bus yang tangguh, Rekind tidak kolaps. Justru dua tahun terakhir kinerjanya makin moncer. Pada 2002, Rekind membukukan pendapatan Rp 1,1 triliun dan tahun 2003 tercatat Rp 1,5 triliun. Namun, setahun kemudian prestasi itu oleng; pendapatan hanya Rp 500 miliar. Tahun 2005 omset tumbuh kembali menjadi Rp 1 triliun, tapi menukik lagi menjadi Rp 800 miliar pada 2006, dan naik lagi jadi Rp 1,7 triliun tahun 2007. Tahun ini, ditargetkan mencapai Rp 2,3 triliun dengan laba bersih Rp 100 miliar. Situasi mirip papan jungkit ini sebetulnya relatif bagus. Merunut ke belakang, Rekind sempat dalam situasi yang sangat buruk. Prahara besar menerpa di tahun 1994. Kala itu perseroan dipercaya menjadi main contractor pembangunan pabrik Pupuk Sriwijaya (Pusri) I. Celakanya, terjadi ketidakcermatan mengalkulasi bisnis: nilai proyek sebesar US$ 240 juta cuma dihargai US$ 211 juta. Rekind rugi US$ 29 juta. Buntutnya, BUMN ini segera terjun bebas, masuk kelompok perusahaan pelat merah yang gering seperti pabrik kertas Leces dan Goa. Kalangan internal Rekind bahkan ada yang menyebut 1994 sebagai tahun kebangkrutan. Annus horribilis, tahun mengerikan.Menteri Muda Perindustrian saat itu, Tungky Ariwibowo, bergerak cepat menyelamatkan keadaan. Menurut Tungky, kondisi Rekind tidak jelek-jelek amat karena SDM-nya banyak yang berkualitas. Lalu, dia pun menawarkan solusi: Pusri melakukan debt to equity swap (konversi utang menjadi saham). Seluruh utang Rekind di vendor dan subkontraktor dibayar oleh pabrik pupuk itu. Konsekuensinya, 100% saham pemerintah dikonversi jadi milik Pusri. Setelah disetujui, pabrik pupuk di Palembang itu pun menggandeng “saudaranya”, PT Pupuk Kaltim, untuk menginjeksi modal ke Rekind sebesar US$ 17 juta.Maka tahun berikutnya, masuklah fase survival. Di tahun 1995 itu juga, masuk Harry G. Soeparto, Presdir PT Krakatau Engineering Corporation. Harry didaulat menjadi Dirut Rekind. Tanpa berlama-lama, dia pun mengeluarkan jurus untuk membalik arah (turnaround) perusahaan. Dengan tetap mempertahankan orang-orang

Transcript of Nyaris bangkrut

Page 1: Nyaris bangkrut

Nyaris bangkrut, perusahaan pelat merah ini bangkit dan terus berbenah diri. Pendapatannya bahkan tembus Rp 1 triliun. Apa strategi yang ditempuhnya?Ibarat bus yang kempes dan oleng, tapi lalu berbenah dan berjalan gagah. Begitulah gambaran PT Rekayasa Industri (Rekind). Ya, dalam perjalanannya, BUMN yang didirikan mantan Menteri Perindustrian, Hartarto, pada 12 Agustus 1981 ini memang beberapa kali mengalami jatuh- bangun hingga jalannya terseok-seok. Bahkan, kinerjanya sempat seperti roller coaster; naik-turun. Namun, ya itu tadi, ibarat bus yang tangguh, Rekind tidak kolaps. Justru dua tahun terakhir kinerjanya makin moncer. Pada 2002, Rekind membukukan pendapatan Rp 1,1 triliun dan tahun 2003 tercatat Rp 1,5 triliun. Namun, setahun kemudian prestasi itu oleng; pendapatan hanya Rp 500 miliar. Tahun 2005 omset tumbuh kembali menjadi Rp 1 triliun, tapi menukik lagi menjadi Rp 800 miliar pada 2006, dan naik lagi jadi Rp 1,7 triliun tahun 2007. Tahun ini, ditargetkan mencapai Rp 2,3 triliun dengan laba bersih Rp 100 miliar. Situasi mirip papan jungkit ini sebetulnya relatif bagus. Merunut ke belakang, Rekind sempat dalam situasi yang sangat buruk. Prahara besar menerpa di tahun 1994. Kala itu perseroan dipercaya menjadi main contractor pembangunan pabrik Pupuk Sriwijaya (Pusri) I. Celakanya, terjadi ketidakcermatan mengalkulasi bisnis: nilai proyek sebesar US$ 240 juta cuma dihargai US$ 211 juta. Rekind rugi US$ 29 juta. Buntutnya, BUMN ini segera terjun bebas, masuk kelompok perusahaan pelat merah yang gering seperti pabrik kertas Leces dan Goa. Kalangan internal Rekind bahkan ada yang menyebut 1994 sebagai tahun kebangkrutan. Annus horribilis, tahun mengerikan.Menteri Muda Perindustrian saat itu, Tungky Ariwibowo, bergerak cepat menyelamatkan keadaan. Menurut Tungky, kondisi Rekind tidak jelek-jelek amat karena SDM-nya banyak yang berkualitas. Lalu, dia pun menawarkan solusi: Pusri melakukan debt to equity swap (konversi utang menjadi saham). Seluruh utang Rekind di vendor dan subkontraktor dibayar oleh pabrik pupuk itu. Konsekuensinya, 100% saham pemerintah dikonversi jadi milik Pusri. Setelah disetujui, pabrik pupuk di Palembang itu pun menggandeng “saudaranya”, PT Pupuk Kaltim, untuk menginjeksi modal ke Rekind sebesar US$ 17 juta.Maka tahun berikutnya, masuklah fase survival. Di tahun 1995 itu juga, masuk Harry G. Soeparto, Presdir PT Krakatau Engineering Corporation. Harry didaulat menjadi Dirut Rekind. Tanpa berlama-lama, dia pun mengeluarkan jurus untuk membalik arah (turnaround) perusahaan. Dengan tetap mempertahankan orang-orang terbaik, Harry membangun organisasinya menjadi customer focus. Rekind dibuatnya menjadi perusahaan yang fokus melayani pelanggan per pelanggan. Demi kepuasan klien, dia bahkan berani berinvestasi dalam urusan teknologi informasi -- sesuatu yang terbilang masih jarang dilakukan pada saat itu. “Rekind membeli software paling canggih agar engineer merancang desain tidak manual lagi, tapi dengan plain design system. Sementara (itu), orang lain menggunakan AutoCAD saja masih grogi. Waktu itu kami dipaksa mengeksekusi proyek berjalan, sambil mengonversi sistem dari manual ke computerized. Ini lompatan besar,” kata Triharyo Soesilo, Dirut Rekind sekarang yang waktu itu masih jadi salah seorang kepala proyek.Pembenahan yang dilakukan Harry terbilang sukses. Rekind berhasil membukukan pendapatan Rp 50 miliar di akhir 1995. Dan tahun-tahun berikutnya, momentum untuk memperbaiki keadaan semakin terbuka ketika krisis moneter 1997-98 datang mengentak. Alih-alih membawa kabar duka, krismon malah mengembuskan angin surga. Lantaran nilai proyeknya mayoritas dalam kurs US$, pundi-pundi BUMN ini kian menggembung. Mayoritas proyek yang digarap berupa pembangunan pabrik pupuk.Setelah itu, semuanya seperti bersahabat. Tahun 1999-2002 bahkan boleh dibilang masa keemasan. Setelah terancam bangkrut, kesehatan keuangan Rekind meraih rapor Triple A. Bukan hanya laba bersih sebesar Rp 130-300 miliar diraup, perusahaan pun melenggang tanpa utang. Saking bagusnya, pada saat melakukan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threat) pada 2003, manajemen menyatakan perusahaan

Page 2: Nyaris bangkrut

dalam situasi “survive”. Ibaratnya, tak ada lagi teriakan “May day, may day!” sebagai tanda gawatnya situasi. Maklum, pendapatan tercatat Rp 1,5 triliun.Namun, memang tak ada yang abadi di dunia ini. Dengan cepat, bulan madu dengan Dewi Fortuna terkoyak. Tahun 2004-05, proyek pabrik pupuk berkurang -- bahkan kini tidak ada lagi. Jeleknya, Rekind pun terlena dukungan pemilik perusahaan, Pusri dan Pupuk Kaltim, guna mendapatkan proyek dengan mudah, alias tanpa mekanisme tender. Sungguh sebuah sindrom complacency (merasa cukup) yang banyak menghinggapi perusahaan yang berhasil turnaround.Untunglah, sebelum berlarut, manajemen sigap mencari solusi. “Kami butuh bantuan ‘dokter’ untuk general check-up,” Triharyo menegaskan. Maka, disewalah konsultan manajemen guna mendeteksi masalah dan mengatasinya. Sementara itu, Triharyo sendiri boleh dibilang adalah man in crisis. Di saat Rekind tersandung persoalan, dia malah diangkat sebagai dirut tahun 2004. Lantas, apa saja jalan keluar yang ditempuhnya? Menurutnya, belajar dari kegagalan 1994, dia menemukan tiga strategi sebagai solusinya. Pertama, menggeser prinsip customer focus menjadi customer centric. Kesannya memang sekadar mengubah kata. Namun, ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Kalau customer focus, intinya melayani pelanggan per pelanggan. Adapun customer centric, berarti Rekind sudah ada sejak awal di meja perencanaan sang pemberi proyek. “Contoh untuk proyek Pertamina senilai US$ 253 juta, kamilah yang menceritakan dan menjual ide ke mereka. Pendeknya, kami ikut membangun,” papar Triharyo meyakinkan.Strategi selanjutnya, mencari bisnis baru yang bakal dibina, dan meninggalkan proyek pembangunan pabrik pupuk. Sebelumnya, lini bisnis Rekind berkutat pada bidang petrokimia dan pupuk. Mulai 2004, di tangan Triharyo, diubah menjadi empat lini bisnis: refinery, gas, geothermal dan mineral. “Kami yakin semua itu memiliki nilai tinggi ke depan. Nilai tambang Indonesia adalah salah satu terbesar di dunia,” ungkapnya.Langkah ketiga: mengembangkan inovasi. “Kami menggunakan benchmark perubahan ini dari Telkom. Bagi kami, kok bisa BUMN jasa, labanya Rp 6 triliun pada 2004,” ujar Triharyo membeberkan alasan pilih Telkom sebagai panutan. Dia melihat perusahaan telekomunikasi itu berhasil mengembangkan inovasi melalui Divisi RisTI-nya. Dan Telkom justru masuk ke bisnis seluler ketika orang lain belum memikirkan -- lewat Telkomsel. Telkom punya sense hebat untuk pengembangan bisnis. “Kami sempat undang beberapa orang Telkom untuk membuat sesi khusus, sharing.” Inilah transformasi bisnis yang ditempuh Rekind. Di luar tiga hal tersebut, Triharyo juga memetakan persoalan. Dan hasil analisis menyebutkan, bisnis mesti dibagi menjadi tiga gugus yang bergerak bersama. Gugus pertama, bisnis manajemen grup. Kedua, product owners atau teknologi. Artinya, teknologi apa yang paling cocok untuk memberikan nilai tambah. Ketiga, program manajemen yang mengatur sumber daya, jadwal dan deadline. Di berbagai perusahaan, biasanya direktur pemasaran, operasional dan keuangan terpisah. Berdiri sendiri-sendiri. Di Rekind, hal itu diubah: direktur pemasaran, teknologi dan program manajemen digabung dalam satu kelompok. Jadi, di bawah posisi dirut, ada para EVP bisnis yang mengelola bisnis-bisnis sendiri. Sebut saja EVP Energi, EVP Infrastruktur, EVP Industrial, dan EVP Investment. Di bawah EVP, terdapat cluster-cluster. Umpamanya, di bawah EVP Industrial ada cluster gas, geothermal dan refinery. “Kami membuat cluster-cluster. Itulah langkah customer centric dengan kelompok-kelompok bisnis,” ujar Triharyo menguraikan. Dia melanjutkan, dengan model ini, maka bila ada proyek bisnis, Rekind selalu mendatangkan tiga tim: teknologi, program manajemen (mengatur kapan tender, merancang deadline proyek, dan sebagainya), serta bisnis (menghitung soal keuangan). Sebelumnya, langkah tersebut tidak dijalankan. “Belum end to end, hanya standar jual jasa perusahaan biasa, melalui divisi pemasaran,” ungkapnya. Ternyata, langkah terobosan ini membuat Rekind lebih cepat bergerak. Tak ayal, sejak itu pertumbuhan bisnis melesat kembali. Bahkan hebatnya, setelah meninggalkan proyek pembangunan pabrik pupuk, pasar mancanegara

Page 3: Nyaris bangkrut

sukses digarap. Sebagai gambaran, dari total proyek senilai Rp 2,3 triliun di tahun 2007, sekitar Rp 600 miliar diperoleh dari proyek luar negeri. Lantas, bagaimana Rekind yang didukung 1.000 karyawan (650 diantaranya adalah insinyur) ini membangun SDM-nya, mengingat ada perubahan lini bisnis? Triharyo menegaskan, pada prinsipnya komponen-komponen dasar membangun pabrik itu sama. Namun, ada dua kelompok keahlian. Ada kelompok yang ilmunya standar. Ada pula kelompok yang ilmunya spesifik, sesuai dengan sasaran industrinya. Misalnya, membuat kilang minyak, tentu harus dipelajari oleh orang yang ahli kilang minyak. Berarti perlu merekrut orang baru? “Tidak juga,” kata putra Soesilo Soedarman (alm.), mantan menteri zaman Soeharto, itu. Menurutnya, jika pernah membuat pabrik, pasti lebih gampang mendirikan pabrik apa saja nantinya. Sebab, ilmunya sama saja sebagaimana orang yang pandai memasak. Resep merancang pabrik itu sendiri banyak tersedia di pasaran, bisa dibeli dengan nilai 1%-2% dari harga satu pabrik. Oh ya, dulu (sebelum Rekind berdiri) seluruh pabrik di Indonesia dikuasai kontraktor asing. Kondisi Rekind yang sedang bagus-bagusnya kini tak membuat manajemen terlena lagi. Perbaikan bersinambung (continous improvement) di empat lini bisnis mesti dilakukan. Agenda bisnis lima tahun ke depan pun telah disiapkan. Untuk jangka pendek, bila rencananya disetujui DPR, Rekind bakal melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada September 2008. Setelah itu? “Masalah bangsa ini adalah energi yang fokusnya di minyak bumi dan gas. Kedua sumber daya alam itu sudah sulit didapat di darat. Maka, seluruh aktivitas ada di offshore, karena onshore-nya sudah habis,” Triharyo memaparkan. Itulah sebabnya, kelak offshore menjadi target bisnis Rekind. “Kami sudah tahu nilai pasar migas US$ 14 miliar per tahun, terdiri atas nilai offshore US$ 9 miliar, sisanya onshore,” ujarnya. Rekind telah memetakan apa saja sasaran bisnis offshore, termasuk teknologi berikut tim yang diperlukan.Selain migas, Rekind hendak masuk ke bisnis geothermal. “Tidak ada kompetitor untuk membangun geothermal. Yang bisa membangun hanya kami,” kata Triharyo yakin. Sementara itu, tren energi biofuel pun dianalisis potensinya. “Makanya, kami rancang bisnis biofuel dari jarak pagar, (dan) dari CPO (crude palm oil),” imbuh eksekutif yang murah senyum ini. Roy Daroyni mengamini agresivitas Rekind menjemput peluang bisnis belakangan. “Yang membuat Rekind terus berkembang adalah kemampuan membaca perubahan tren pasar engineering & construction. Juga, kemampuan berubah dan responsif atas perubahan itu,” kata Manajer Bisnis Global dan Kepala Perwakilan Kantor Malaysia Rekind itu. Agar terus tumbuh, Roy menyarankan Rekind memasuki bisnis investasi, terutama bidang engineering & konstruksi yang berbasis teknologi tinggi.Usulan Roy masuk di akal. Bagi Triharyo sendiri, semua peluang bisnis yang menggiurkan mesti dianalisis dan dijajaki sejak dini. Apalagi, Rekind tengah bersiap diri menjadi pemain global. Ambisi Rekind menjadi pemain global bukanlah impian belaka. Pasalnya, BUMN yang awalnya perusahaan engineering procurement & construction (EPC) itu telah menorehkan sejumlah prestasi. Simak saja, Rekind tengah membangun proyek bioetanol, pabrik bahan bakar dari ketela yang dimiliki Medco dengan kapasitas 60 ribu kiloliter. “Kami juga mengubah Pertamina tidak hanya menjadi produsen BBM, tapi juga harus menjadi penghasil petrochemical dan lebih bagus lagi jika produknya dari off gas atau gas buang, yang diubah oleh Rekind menjadi propylene. Jadi, Pertamina tidak harus mengirim naphtha ke Chandra Asri untuk diubah menjadi propylene atau ethylene,” ungkap Triharyo. Akhir Januari 2008 Rekind telah menandatangani kontrak dengan Pertamina untuk membangun pabrik propilena itu senilai US$ 283 juta. Gebrakan lain, dari lima pabrik geothermal yang dibangun di Indonesia pada kurun 2-3 tahun ini, Rekind telah membangun empat pabrik di antaranya. Dua pabrik sudah diresmikan Presiden RI, salah satunya berkapasitas 20 megawatt di Lahendong II. Pabrik geothermal di Layangindo II akan menjadi terbesar di dunia dengan kapasitas 2x110 megawatt. Bukan cuma itu. Rekind pun berhasil membangun tiga pabrik biodiesel terbesar di dunia dengan total kapasitas kira-

Page 4: Nyaris bangkrut

kira 1,2 juta ton. Semuanya dibangun di Dumai yang dimiliki oleh Grup Wilmar. Dalam waktu kurang dari dua tahun, ketiga pabrik itu rampung dibangun. Padahal kalau melihat sejarah, Jerman membutuhkan waktu 10 tahun untuk membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,2 juta ton. Bila ditengok ke belakang, hampir seluruh pabrik pupuk di Indonesia dibangun oleh Rekind. Bahkan, 60% pabrik pupuk di Malaysia pun dibangun perusahaan pelat merah ini. “Makanya kami punya perwakilan di Malaysia, bahkan di Brunei. Baru saja kami mendapat proyek pembangunan pabrik gas di Brunei senilai US$ 47 juta, juga proyek besar di Serawak, tepatnya di Miri, pabrik gas (yang) nilainya US$ 42 juta. Sebelumnya juga mendapat proyek pembangunan pupuk NPK di Simenanjung Malaysia senilai US$ 36 juta,” Triharyo menjelaskan.Seluruh pabrik semen BUMN di Indonesia, sambungnya, juga dibangun oleh Rekind. Dan untuk diketahui, pembangunan pipa gas dari Sumatera Selatan ke Pulau Jawa sepanjang 168 km menyeberangi Selat Sunda dengan kedalaman hampir 200 m di bawah permukaan laut dilakukan Rekind pula. Yang lainnya, “Proyek Balongan merupakan karya Rekind yang masuk dalam proyek Blue Sky.” Di mata A.B. Susanto, Rekind bisa disejajarkan dengan Bechtel Corp. dan Fluor Corp., perusahaan-perusahaan besar EPC dunia selain Halliburton. “Rekind tidak hanya unggul di pasar lokal, tapi namanya diperhitungkan dengan banyaknya proyek di luar negeri,” ucap CEO The Jakarta Consulting Group (JCG) itu. Menurutnya, Rekind telah melakukan corporate turnaround dengan baik. Strategi yang kompleks pun dijalankan, seperti penggantian arah bisnis, penerapan strategi baru, pengalihan kompetensi karyawan baru, serta alokasi biaya besar untuk perubahan dan komitmen untuk transformasi.Kini, Susanto menambahkan, pendekatan holistis tengah dilakukan Rekind dan JCG dalam menyiapkan diri sebagai pemain global. Salah satuya, untuk pendekatan eksplorasi digunakan Strategic Exploratory Meeting. Semua awak diajak meeting secara detail sehingga dari sana bisa didapat analisis SWOT yang lengkap. “Ketika peralihan bisnis tahun 2005, orang-orang Rekind juga belum melakukan, tapi mereka mau berubah melalui proses,” tuturnya. Mereka punya visi yang sama: menuju Rekind yang lebih maju. Alhasil, tranformasi tersebut berjalan dengan baik. Menurutnya, dalam setiap transformasi, yang harus diingat adalah visi yang kuat, strategi yang tepat, cara membuat business plan yang tepat, budaya kerja yang mendukung, serta eksekusi yang benar. “Menariknya, Rekind tidak mengalami gejolak internal dalam transformasi bisnisnya. Hal ini jarang terjadi di BUMN mana pun,” ujarnya memuji.Dalam transformasi bisnis, gejolak internal yang destruktif memang sebisa mungkin dijauhi. Tanpa itu, bisa-bisa Rekind kembali berjalan sempoyongan. ***