Nurhidayah; lembaga pengelola zakat
description
Transcript of Nurhidayah; lembaga pengelola zakat
1
LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT
Nurhidayah
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi zakat sebagai ibadah maaliyah ijtimai’iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi dan kemasyarakatan) yang mempunyai status dan peran penting dalam syari’at Islam. Di samping berdimensi transendental, zakat juga berdimensi horizontal. Karenanya, pengelolaan zakat melalui kelembagaan mutlak diperlukan untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan peran zakat sebagai salah satu sumber perekonomian Islam dan bangsa. Kelembagaan zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, meliputi Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat, yang memiliki tugas membantu BAZNAS dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Baik BAZNAS maupun LAZ memiliki tugas yang sama, yaitu untuk mengumpulkan, dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama. Oleh karena itu dibutuhkan sinergisasi peran di antara keduanya agar dapat terkelola secara optimal, produktif dan tepat sasaran.
Kata Kunci: Zakat, BAZNAS, Lembaga Amil Zakat, UU No. 23 Tahun 2011.
Pendahuluan
Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman Rasulullah
Saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju perkembangan Islam
itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan
hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang
berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya. Selama ini
pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk konsumtif sehingga
hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang signifikan, yakni hanya bersifat
sementara.
Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna yang
maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola zakat yang baik
dan benar. Namun demikian tidak seharusnya hanya berdiam diri saja dan tidak
melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman menjadi tuntutan untuk
dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara profesional.
Fungsi zakat bukan hanya bagian dari ibadah, namun juga merupakan bagian dari
tatanan ekonomi, sosial dan politik umat Islam. Keterkaitan negara dalam pengelolaan
zakat tergantung kepada permasalahan dasar yang menjadikan zakat bagian dari hukum
diyani yang bersifat qadha’i.1 Hukum Islam yang bersifat diyani sangat bergantung
kepada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Sementara hukum yang bersifat
1A. A Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultha Thaha Press,
2007), h. 23.
2
qadha’i melibatkan institusi-institusi tertentu yang mempunyai kekuatan secara hukum
untuk memaksakan dan menjamin berlakunya hukum Islam di tengah-tengah
masyarakat.
Mengingat peran organisasi pengelola zakat sangat penting, pada zaman
Rasulullah Saw. dikenal sebuah lembaga yang disebut Baitul Mal. Lembaga ini
memiliki tugas mengelola keuangan negara mulai dari mengidentifikasi, menghimpun,
memungut, mengembangkan, memelihara, hingga menyalurkannya. Sumber
pemasukannya berasal dari dana zakat, infaq, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak yang
dikenakan bagi non-muslim), ghanimah (harta rampasan perang) dan lain-lain.
Sedangkan penggunaannya untuk asnaf mustah}iq (yang berhak menerima) yang telah
ditentukan, untuk kepentingan dakwah, pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial
dan lain sebagainya.2
Di Indonesia, saat ini ada organisasi atau lembaga pengelola zakat. Keberadaan
organisasi tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan yang dibentuk pemerintah
atau lembaga yang didirikan oleh masyarakat. Adapun lembaga pengelolaan zakat
tersebut adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ)
dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).3 Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya
undang-undang ini ada perbaikan dari semua sektor. Bukan hanya perbaikan segi
kelembagaan, tapi dari segi kesadaran masyarakat dalam menyalurkan zakat melalui
lembaga juga meningkat. Dengan demikian penghimpunan zakat oleh pengelola zakat
juga bertambah sehingga bermanfaat bagi masyarakat miskin.
Dengan melihat Islam muncul sebagai sistem nilai yang mewarnai perilaku
ekonomi masyarakat, eksistensi zakat memiliki potensi strategis yang layak
dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan di Indonesia.
Namun selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan
belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya lembaga zakat
yang menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta
evaluasinya.
Dengan kata lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga
kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi, sehingga
kurang berdampak sosial yang berarti. Karenanya, peran pemerintah dalam mengatasi
masalah zakat tersebut sangat penting keberadaanya, baik melalui Lembaga Amil Zakat
di pusat maupun di daerah agar diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka tulisan ini secara khusus akan
mengkaji problematika kelembagaan zakat. Masalah ini diangkat karena didasarkan
2Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 3. 3Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Zakat, Standar Operasional Prosedur Lembaga
Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012), h. 29.
3
pada kebutuhan terhadap suatu pengelolaan zakat sebagai sumber dana yang dapat
dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama untuk mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial. Karenanya, perlu adanya
pengelolaan zakat melalui lembaga zakat secara profesional dan bertanggung jawab oleh
masyarakat bersama pemerintah.
Dalam membahas permasalahan tersebut di atas, tahapan yang dilakukan, yaitu:
pertama, menjelaskan terlebih dahulu apa itu lembaga zakat berdasarkan konteks fiqh,
dengan rincian pengertian zakat, dasar hukum, kelembagaan dan pengelolaan zakat di
masa Rasulullah Saw. Kedua, memfokuskan kelembagaan zakat berdasarkan undang-
undang sebagai legislasi hukum Islam di Indonesia. Ketiga, pengelolaan zakat melalui
lembaga zakat. Keempat, manajemen lembaga zakat dalam mengelola zakat. Kelima,
sumber daya manusia dalam pengelolaan lembaga zakat.
Lembaga Zakat dalam Konteks Fiqih
Zakat menurut lughah (bahasa), berarti nama’ artinya kesuburan, thaharah yang
artinya kesucian, barakah yang artinya keberkatan dan berarti juga tazkiyah tathhier
yang berarti mensucikan.4 Dari segi bahasa, kata ‚zakat‛ bahasa Arab az-zakah, yang
berarti: suci, bersih, tumbuh, berkembang, bertambah, subur, berkah, baik dan terpuji.
merupakan masdar dari zaka yang berarti berkembang, tumbuh, bersih dan baik.5
Menurut istilah fiqh Islam, zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari
kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak
menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di dalam syara’.6 Zakat
merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim untuk kesejahteraan muslim dan
oleh orang muslim.7 Zakat merupakan penyerahan sebagian harta benda yang telah
4Hasbi Ash-Shidiqiey, Pedoman Zakat (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 24
5Yusuf Qardawi, Fiqhuz-Zakat. Terjemahan oleh Didin Hafidhudddin dan Hasanuddin (Jakarta:
Pustaka Litera Antarnusa, 1991), h. 34. Lihat juga, Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir
(Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir, 1984), h. 616.
6Substansi sumber zakat dalam konsep fiqih dikenal dengan maha al-zakat, yaitu jenis harta
benda yang wajib dikeluarkan zakatnya. Prinsip dasar Alquran menyebutkan bahwa sumber zakat harus
mempunyai kriteria tertentu, seperti kelayakan (Qs. Ali Imran [3]: 92) dan bernilai ekonomis (Qs. al-
baqarah [2]: 267). Alquran juga telah menyebutkan beberapa jenis barang yang wajib dikeluarkan
zakatnya, seperti emas dan perak (Qs. al-Taubat [9]: 34), tanaman-tanaman dan buah-buahan (Qs. al
An'am [6]: 141), serta hasil usaha dan hasil bumi (Qs. al-Baqarah [2]: 267). Namun demikian, bukan
berarti sumber zakat hanya terbatas pada jenis barang itu, karena ayat-ayat Alquran dalam hal ini bersifat
dinamis pengertiannya dan dapat dikembangkan sejalan dengan perkembangan zaman. Lihat, Anshori,
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Pajak di Indonesia
(Yogyakarta: Pilar Media, 2006), h. 12.
7Munawir Syadzali, et.al., Zakat dan Pajak, Jakarta (Cet. II; Jakarta: Bina Rena Pariwara,
1991), h. 160.
4
ditentukan oleh Allah kepada yang berhak menerimanya. Zakat diwajibkan dalam
Alquran, hadis, dan ijma’ ulama. 8
Menurut Wahbah Zuhaily, zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka,
yang memiliki satu nisab dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Nisa>b adalah ‚kadar yang ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban
mengeluarkan zakat‛.9 Pengertian zakat menurut bahasa dan istilah mempunyai
hubungan yang erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan
menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik.10
Disebut zakat
dalam syari’at karena adanya pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat
membersihkan atau mensucikan pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran
imannya, karenanya zakat merupakan rukun Islam yang ketiga.11
Zakat menempati kedudukan yang sangat mendasar dan fundamental dalam
Islam. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Alquran sering disertai
dengan ancaman yang tegas, sebagaimana dijelaskan dalam surat Taubah {[9] ayat 34.12
Bahkan seringkali perintah membayar zakat diiringi dengan perintah mengerjakan
sholat.13
Hal ini menegaskan adanya kaitan komplementer antara ibadah sholat dan
zakat. Sholat berdimensi vertikal-ketuhanan, sementara zakat berdimensi horizontal-
kemanusiaan. Zakat tidak hanya saja sebagai wujud kebaikan hati orang-orang kaya
terhadap orang-orang miskin. Tetapi zakat merupakan hak Tuhan dan hak orang miskin
yang terdapat dalam harta.14
Dilihat dari segi kebahasaan, teks ayat-ayat tentang perintah zakat, sebagian
besar dalam bentuk ‘amr (perintah) dengan menggunakan kata atu (tunaikan); yang
bermakna: berketetapan, segera, sempurna sampai akhir, kemudahan, mengantar, dan
seorang yang agung.15
Kata tersebut bermakna al-itha, suatu perintah untuk menunaikan
8Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), h. 37. Lihat, Wahbah Al-Zuhayly,
Zakat Kajian Berbagai Madzab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 89. 9Wahbah, op. cit., h. 22.
10
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), h. 7.
11Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), h. 272.
12Lihat, Qs. At-taubah [9] ayat 34. Kementerian Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta:
Dirjen Bimas Islam Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, 2012), h. 259.
13
Alquran secara gamblang menyebutkan kata ‘zakat’ yang dirangkaikan dengan kata ‘shalat’
sebanyak 72 kali. Hal ini dapat diinterprestasikan bahwa perintah menunaikan zakat memiliki urgensi
sebanding dengan mendirikan shalat. Lihat, Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial; Dari Soal Lingkungan
Hidup, hingga Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995), 231.
14Djamal D, Pengelolaan Zakat oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan (Cet.I; Jakarta:
Korpus, t.t.), h. 76.
15
Quraish Shihab, Tafsir Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), h. 34.
5
atau membayarkan. Selain perintah untuk mengeluarkan zakat, Islam juga mengatur
dengan tegas dan jelas tentang pemungutan dan pengelolaan harta zakat.
Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah Saw.
pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman.16
مـقراؤهـف على وترّد ياؤهمـنـأغ من ؤخدــت امىاهلم فى ةـصدق همـعلي رضـتـاف اهلل نَّ إملومـعفأ...
Artinya : ‚Maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang kafir di antara mereka…17
Menurut al-Hafiz Ibnu hajar, hadis di atas dapat dijadikan dalil bahwa imamlah yang
berhak memungut dan membagikan zakat, baik ia sendiri yang melakukannya atau
melalui wakilnya. Bahkan diperkenankan pemaksaan bagi yang tidak mau mengeluarkan
zakat.18
Begitu jelasnya kewajiban untuk mengeluarkan zakat, sehingga khalifah Abu
Bakar pernah memerangi orang yang menolak mengeluarkan zakat di masa
pemerintahannya. Pembahasan tentang zakat telah banyak dilakukan, tetapi telaah dari
perspektif pemberdayaan ekonomi masyarakat nampaknya belum banyak menjadi
sorotan.
Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, zakat tidak hanya dimaknai
secara teologis (ibadah) saja yaitu sebagai manifestasi kepatuhan individu kepada
Tuhan, tetapi dimaknai secara sosio ekonomi juga yaitu sebagai mekanisme distribusi
kekayaan. Sehingga selain membersihkan jiwa, dan harta benda, zakat juga berfungsi
sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna
mengurangi kemiskinan.19
Pada zaman Rasulullah Saw. dan para Khalifah al-Rasyidun, zakat merupakan
suatu lembaga negara, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat
para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah al-Rasyidun
membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian mengirim para petugasnya
menarik zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai wajib zakat. Zakat yang sudah
terkumpul tersebut dimasukkan ke baitul mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh
pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan Alquran dan hadis.20
16
Wahbah, op. cit., h. 277. 17
Abdillah bin Ismail, Shahih al- Bukhari (Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/ 1992), h. 27.
18
al-Hafiz Ibnu Hajar, Fathul Barri; Jilid III (Beirut: Dar al- Fikr, t.th.), h. 261.
19
Djamal, op. cit., h. 67.
20
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Terj, Mukhtar Yahya (Cet. VIII; Jakarta: Mutiara,
1994), h. 144.
6
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, untuk menghasilkan pengumpulan zakat maka
para pengusaha sebaiknya mengadakan ‚Badan Amalah‛ atau petugas yang mengurusi
zakat.21
Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang terampil,
menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan
amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan terjadi
adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq.
Rasulullah Saw. pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa
sahabat (‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, Ibnu Qais ‘Uba>dah ibn S{a>mit dan Mu‘a>z \ ibn Jabal)
sebagai ‘a>mil zakat (pengumpul zakat) di tingkat daerah. Para sahabat bertanggung
jawab membina beberapa negeri guna mengingatkan para penduduknya tentang
kewajiban zakat. Zakat diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong
bagi yang membutuhkan22
. Pada masa Rasulullah Saw., ada lima jenis kekayaan yang
dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan, hasil pertanian (gandum dan padi)
dan buah-buahan, dan rika>z (barang temuan).23
Selain lima jenis harta yang wajib zakat
di atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode kepemimpinan Rasullah Saw.
juga dikenakan wajib zakat.
Dalam bidang pengelolaan zakat Rasulullah Saw. memberikan contoh dan
petunjuk operasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis tersebut dapat
dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari: (1) Katabah, petugas yang
mencatat para wajib zakat, (2) H}asabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat, (3)
Juba>h, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki, (4) Khaza>nah,
petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan (5) Qasa>mah, petugas yang
menyalurkan zakat pada mustah}iq (orang yang berhak menerima zakat).24
Fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung antara wajib zakat atau muzakki
dan yang berhak menerima zakat. Amil zakat berkewajiban menyampaikan harta zakat
yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih tepat dan terarah
sesuai dengan tujuan disyariatkannya zakat itu. Di samping itu, amil zakat berfungsi
dan bertugas dalam menentukan dan mengidentifikasi orang-orang yang terkena wajib
zakat (muzakki), menetapkan kriteria harta benda yang wajib dizakati, menyeleksi
jumlah para mustah}iq zakat dan menetapkan jadwal pembayaran zakat bagi masing-
21
Hasbi, op. cit., h. 77. 22
Amer al-Roubaie, ‚Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim: Sebuah Penilaian
Kuantitatif‛. Islamika, Vol. 2, No. 3 Desember 2005, h. 91. 23
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid; Jilid I (Surabaya: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub, t.t.), h. 182.
Bandingkan dengan Rifyal Ka’bah, dalam tulisannya yang tidak menyebut zakat peternak, padahal
masyarakat arab umumnya adalah pedagang, disamping sebagai peternak, terutama kambing atau domba.
Lihat Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h. 63. 24
Mustafa Edwin Nasution, et. al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana,
2006), h. 214.
7
masing muzakki serta menentukan kriteria penyaluran harta zakat bagi tiap-tiap
mustah}iq sesuai dengan kondisi masing-masing.25
Lembaga Zakat dalam Konteks Undang-Undang
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan
syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk kedalam ranah hukum positif di
Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 38 tahun1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Kemudian direvisi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negera
Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Lahirnya UU Nomor 23 tahun 2011
menggantikan UU No. 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum
pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11
Bab dengan 47 Pasal. Tak lupa di dalamnya juga mencantumkan ketentuan pidana dan
ketentuan peralihan.26
Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah untuk
mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah di
Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan (formalisasi) sesuai dengan
syariat Islam. Dan, harus memenuhi asas-asas amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi, dan akuntabilias sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Di samping itu, pengelolaan zakat juga
bertujuan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan penanggulangan kemiskinan.27
Dalam undang-undang sebelumnya antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam relasi sejajar, bahkan dalam situasi tertentu
cenderung pada posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis). Sehingga muncul dikotomi
antara dua lembaga tersebut. BAZ seolah-olah milik pemerintah, sedang LAZ punya
masyarakat. Keadaan semacam itu dinilai kurang kondusif sehingga potensi yang begitu
25
Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial (Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 171.
26
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lihat, Tim Penyusun
Dirjen Pemberdaayaan Zakat, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia; Menurut Undang-Undang RI No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012),
h. 14. 27
Pasal 3, UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lihat, Elsi Kartika Sari, Pengantar
Hukum Zakat dan Wakaf (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 82.
8
besar terabaikan sehingga pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki arah,
dimana saja wilayah mustah}iq yang lebih krusial.28
Dalam UU Nomor 23 tahun 2011 pasal 6 dan 7 ayat 1 dijelaskan, 5 peran
BAZNAS menjadi lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara
nasional. Fungsi BAZNAS disebutkan sebagai perencanaan, pelaksana, pengendalian
baik dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Selain itu,
pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Jika kemampuan
BAZNAS pada Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 memiliki kewenangan yang
terbatas sehingga dari sisi pengumpulan maupun pendistribusian kalah jauh dengan
LAZ. Akan tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang BAZNAS akan sangat
leluasa dengan memiliki hirarki dan jaringan hingga tingkat struktur yang paling bawah
bawah.29
Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No 38 tahun 1999
dirasakan kurang optimal dan memiliki kelemahan dalam menjawab permasalahan zakat
di tanah air. Selain itu pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaruan.
Karena itu di dalam UU Nomor 23 tahun 2011, pengelolaan lebih terintegrasi dan
terarah dengan mengedepankan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan. Problem mendasar yang dihadapi pada rezim zakat terdahulu adalah
adanya kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector. Karenanya, menurut
UU No. 23 Tahun 2011 tersebut, posisi negara merupakan regulator dan fasilitator,
tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan secara mandiri
sebagai lembaga nonstruktural. Dalam hal ini, BAZNAS tidak dapat diintervensi oleh
pemerintah atau lembaga lain yang bersifat mandiri (independen).30
Salah satu hal terpenting dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat di antaranya adalah terkait dengan penguatan kelembagaan. Dalam
undang-undang ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) disebutkan sebagai lembaga
pemerintah non struktural yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah, secara
teknis BAZNAS di bawah koordinasi kementerian agama. Jika pada Undang-Undang
Nomor 38 tahun 1999 yang duduk di BAZNAS disebut sebagai pengurus, maka di
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebutannya
tidak lagi sebagai pengurus, tapi anggota komisioner.31
Karenanya, kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat tersebut merupakan kebutuhan akan pengaturan pengelolaan zakat yang
komprehensip demi tercapainya tujuan tata kelola zakat yang baik di Indonesia.
28
Tim Penyusun, op. cit., h. 29. 29
Lihat, Pasal 6 dan 7, UU No. 23 tahun 2011.
30Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Lihat, Tim Penyusun Pemberdayaan Zakat, op. cit., h. 41. 31
Ibid.
9
Sekaligus merupakan jawaban dari keinginan masyarakat yang belum memperoleh
manfaat secara signifikan atas pengelolaan zakat, baik bagi muzakki maupun
mustah}iq. 32
Di samping itu, kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tersebut juga
berfungsi untuk menekan penyaluran dana zakat yang kurang tertata dan cenderung
sporadis. Mengingat, kecenderungan masing-masing organisasi pengelola zakat seperti
berjalan sendiri-sendiri. Melihat kenyataan yang demikian itu, undang-undang
pengelolaan zakat yang baru, kini lebih memberikan kepastian dan tanggungjawab baru
kepada sebuah lembaga yang (dipandang) mampu mengkoordinasikan kepentingan.
Pengelolaan Zakat Melalui Lembaga Zakat
Untuk mengoptimalkan pendapatan dana zakat perlu pengelolaan yang
berkualitas, untuk itu perlu adanya badan atau lembaga yang mengelola zakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia, organisasi pengelola zakat telah ada sejak
dahulu. Baik dalam bentuk pesantren, yayasan-yayasan sosial, maupun bentuk-bentuk
lainnya. Lembaga-lembaga ini biasanya menerima dana-dana zakat, infaq, shadaqah,
maupun wakaf dari masyarakat yang kemudian disalurkan melalui program-program
sosial, seperti pembangunan masjid dan pesantren, program da’wah, bantuan kepada
anak yatim, serta berbagai program sosial lainnya.33
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola
secara melembaga dan profesional sesuai dengan syariat Islam yang dilandasi dengan
prinsip amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntabilitas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat. Zakat wajib didistribusikan kepada mustah}iq sesuai dengan syariat
Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Dalam tinjauan ekonomi, zakat adalah instrumen utama kebijakan fiskal negara
guna mendistribusikan kekayaan dan kesejahteraan yang berkeadilan.34
Oleh karena itu,
mekanisme manajemen pengelolaan harus mendapat perhatian serius. Organisasi atau
lembaga pengelola zakat harus mampu mengemban amanah mewujudkan potensi zakat
yang luar biasa, terutama di Indonesia yang mencapai triliunan rupiah.
Data dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI, menyebutkan
bahwa pengumpulan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Tahun 2011 BAZNAS berhasil mengumpulkan Rp 1,73 triliun,
32Ibid.
33Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk Organisasi
Pengelola Zakat (Bandung: Percetakan Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), h. 5-6. 34
Irfan Syauqi Beik, et. al., Indonesia Zakat & Development Report 2011: Kajian Empiris Peran
Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan (Ciputat: IMZ, 2011), h. 9.
10
tahun 2012 berjumlah Rp 2,2 triliun, dan pada tahun 2013 BAZNAS dapat
mengumpulkan Rp 2,73 triliun. 35
Dalam upaya melaksanakan pengelolaan zakat yang melembaga dan profesional
diperlukan suatu lembaga yang secara organisatoris, kuat dan kredibel. Untuk itu
dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang secara kelembagaan mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
secara nasional. BAZNAS yang merupakan lembaga pemerintah nonstruktural bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Selain itu, dalam pelaksanaan pengelolaan zakat masyarakat juga dapat
membantu BAZNAS untuk melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat dengan membentuk LAZ. Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 86/PUU-X/2012 tanggal 31 Oktober 2013 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pembentukan LAZ oleh masyarakat
dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum setelah memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapat
izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri.36
Sedangkan untuk perkumpulan orang, perseorangan, tokoh umat Islam (alim
ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang
belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dapat melakukan kegiatan pengelolaan zakat
dengan memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.37
Penguatan kelembagaan BAZNAS dengan kewenangan tersebut dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustah}iq,
dan pengelola zakat serta untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengelolaan
zakat. Dengan pertimbangan luasnya jangkauan dan tersebarnya umat muslim di seluruh
wilayah Indonesia serta besarnya tugas dan tanggung jawab BAZNAS dalam mengelola
zakat, maka dalam pelaksanaannya dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota.38
35
Berdasarkan hasil penelitian BAZNAS dan IPB pada tahun 2011, potensi zakat, infaq, dan
shodaqoh yang dimiliki oleh Indonesia sangatlah besar mencapai Rp 217 triliun tetapi potensi ini baru
terserap 1%. Selain itu, ternyata potensi zakat yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat
mencapai Rp 1,624 triliun. Lihat, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia,
‚Potensi Zakat PNS Mencapai Rp 1.624 Triliun,‛ Official Website Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, http://www.menkokesra.go.id/artikel.html (10 Oktober 2014). 36
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No.
23 tahun 2011. Lihat, Kementerian Agama RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 31. 37Ibid. 38
Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Profil LPZ (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat
Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 15.
11
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota ini bertugas dan bertanggung
jawab dalam pengelolaan zakat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing.
Untuk membantu pengumpulan zakat, BAZNAS sesuai dengan tingkat dan
kedudukannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) pada lembaga negara,
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, badan usaha milik negara,
perusahaan swasta nasional dan asing, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,
kantor-kantor perwakilan negara asing/lembaga asing, dan masjid-masjid.39
Berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat Tahun 2011, dalam
melaksanakan tugasnya, BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional harus menyelenggarakan fungsinya dalam
perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Begitu pun
dalam hal pengendalian, pelaporan maupun pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat, BAZNAS dituntut mengoptimalkan pengelolaan zakat. Sedangkan
LAZ berfungsi membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat.
Peran kedua organisasi tersebut sebagai penghimpun ZIS sangat membantu
pemerintah dalam menghimpun ZIS dari masyarakat, baik yang terhimpun melalui
individu maupun lembaga. Sinergisitas BAZNAS dan LAZ, selain untuk mewujudkan
misi bersama, manfaatnya agar dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan tidak saling
tumpang tindih fungsi, apalagi saling menghambat disebabkan adanya persaingan
memperebutkan eksistensi lembaga dan kepercayaan di mata masyarakat. Untuk itu,
sebaiknya pengelolaan zakat melalui lembaga akan tertata kelola dengan baik,
sementara lewat individu riskan terjadi penyimpangan, sehingga keberadaan organisasi
pengelola zakat dapat mencegah dana zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf dapat
tersalurkan dengan merata dan tepat sasaran.40
Dengan semakin banyaknya organisasi pengelola zakat, maka akan semakin
mudah dalam mensosialisasikan zakat. Di samping itu masyarakat muzakki dapat lebih
leluasa memilih lembaga yang amanah dan professional. Seiring dengan berjalannya
waktu, maka dengan sendirinya akan muncul dua kemungkinan: Pertama, dalam
mengeluarkan zakat para muzakki akan memilih lembaganya yaitu lembaga amil akan
terseleksi dengan sendirinya, sehingga bisa jadi lembaga yang terbentuk dengan
motivasi yang kurang baik akan macet, sebaliknya lembaga yang dibentuk dengan motif
yang benar akan semakin berkembang. Kedua, akan terjadi persaingan yang sehat yang
saling menguatkan satu dengan lainnya. Dan antar lembaga amil tersebut akan saling
menjual kelebihan dan program unggulan untuk meyakinkan para muzakki.41
39
Pasal 16, UU No. 23 tahun 2011. Lihat, Ibid., h. 16. 40
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (Cet. I; Yogyakarta: UII Press,
2004), h. 188. 41Ibid., h. 206.
12
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan zakat, apalagi yang memiliki
kekuatan hukum formal, memiliki beberapa keuntungan antara lain sebagai berikut :
a. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat;
b. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustah}iq zakat apabila berhadapan
langsung untuk menerima zakat daripada muzakki;
c. Untuk mencapai efisien dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat;
d. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan
yang Islami. Sebaliknya, jika zakat di serahkan langsung dari muzakki kepada
mustah}iq meskipun secara hukum syari’ah adalah sah, akan tetapi disamping akan
terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang
berkaitan dengan kesejahteraan ummat akan sulit di wujudkan.42
Manajemen Lembaga Zakat dalam Mengelola Zakat
Dengan melihat konsep manajemen dan konsep zakat secara integral akan
nampak sebuah paradigma tentang manajemen zakat komprehensif. Zakat tidak
mungkin dikelola secara main-main dan tidak serius. Di Indonesia sendiri, pengelolaan
zakat lebih didominasi intuisi. Tiap anggota organisasi menjalankan kegiatan dengan
persepsi masing-masing. Manajemen dalam arti sesungguhnya tidak dikenal. Pembagian
tugas dan struktur organisasi sudah ada tapi hanya formalitas.43
Dari sisi regulasi dan perundangan, manajemen zakat masih menganut
prinsip tathawu’i bukan ijbary. Dengan artian zakat masih bersifat sukarela tanpa
adanya ketentuan hukum yang mengharuskanya. Ditambah dengan belum jelasnya
aturan yang berkaitan dengan posisi zakat terhadap pajak, apakah zakat merupakan
pengurang pendapatan kena pajak (PPKP) atau pengurang pajak langsung (PPL).
Sehingga apabila seseorang telah membayar zakat maka pajak yang harus dibayarkanya
secara otomatis dipotong sejumlah zakat yang telah dibayarkanya.
Karenanya, tujuan legislasi zakat belum berjalan sesuai harapan. Bahkan
pengelolaan zakat belum bisa dijadikan salah satu alternatif bagi kebijakan fiskal yang
bisa menyangga kehidupan perekonomian.44
Ada beberapa hal yang perlu ditata ulang
terkait paradigma lama manajemen zakat di Indonesia yang masih menganut cara-cara
lama, seperti database yang tidak valid tentang kreteria dan jumlah muzakki dan
mustah}iq, permasalahan pendistribusian yang masih didominasi dalam bentuk
42
Abdul Kadir, dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema
Insani, 2002), hlm. 96. 43
Eri Sudewo, Manajemen Zakat, Infaq dan Sedekah (Cet. I; Ciputat: IMZ, 2012), h. 70. 44
Tim Institut Manajemen Zakat, Profil 7 BAZDA Provinsi dan Kabupaten Potensial (Cet. I;
Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2006), h. 9.
13
konsumtif dan manajemen pengelolaan yang masih menggunakan perangkat lama dan
manual.45
Menurut Sudirman, ada beberapa faktor yang menyebabkan pengelolaan zakat
dengan sistem tradisional tidak maksimal, di antaranya yaitu: Pertama, sikap
menyepelekan, pengelolaan zakat dianggap sepele pada masa tradisional, karena zakat
sifatnya hanya bantuan dan pengelolaan bantuan itu merupakan pekerjaan sosial semata.
Kedua, tanpa manajemen, pengelolaan zakat sering kali tanpa bentuk manajemen yang
jelas. Pembagian tugas dan struktur organisasi hanya formalitas tanpa adanya alasan
yang jelas. Ketiga, minus monitoring dan evaluasi, salah satu dampak dari tiadanya
manajemen dan tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi. Keempat, tidak biasa
disiplin merupakan salah satu budaya di Indonesia yang kurang baik, sehingga molor
merupakan suatu keharusan.46
Sementara itu, manajemen dan sistem pengelolaan dana zakat di Indonesia
belum seluruhnya profesional dan memuaskan, juga tidak membuat hati masyarakat
Indonesia percaya sepenuhnya. Jika pada zaman Rasulullah dan khulafa al-Rasyidin
negara berperan aktif dengan model ‚jemput bola‛ dalam rangka mengumpulkan dan
mendistribusikan zakat dari para muzakki kepada mustah}iq, maka di Indonesia terjadi
polarisasi. Pertama, para muzakki menyerahkan zakatnya langsung pada pihak yang
berhak menerima zakat (mustah}iq). Kedua, zakat diserahkan kepada panitia atau
badan/lembaga amil zakat.47
Polarisasi penyerahan zakat seperti ini tidak pernah terjadi
di zaman Rasulullah Saw., khulafa al-Rasyidin, dan di dunia Islam modern, karena
itulah, tidak mengherankan apabila terjadi defisit-historis.
Karenanya, dalam perkembangan zakat terkait pasca revisi Undang-Undang
Pengelolaan Zakat, muncul dukungan untuk menjadikan zakat sebagai instrumen
kebijakan fiskal di satu sisi, namun di sisi lain berkembang juga wacana untuk
mempertahankan model manajemen zakat yang partisipatif. Seperti diketahui, model
manajemen partisipatif menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai regulator,
motivator dan pengayom lembaga zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Artinya Lembaga
amil zakat sebagai kekuatan partisipasi rakyat jangan dinegarakan.48
Alasannya, pertama, LAZ selama ini telah berhasil mempopulerkan zakat dan
memperoleh kepercayaan masyarakat. Meskipun diakui masih banyak yang belum
efektif dalam menghimpun dan menyalurkan zakat. Disebabkan karena kelemahan
mendasar seperti rendahnya kualitas SDM-nya, kapasitas organisasi dan dan manajerial
masih lemah, serta belum melembaganya pertanggungjawaban publik yang standar.
45
Sudewo, op.cit. 46
Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 72. 47
Rahmat Hidayat, ‚Pengelolaan Zakat di Indonesia dan Malaysia‛, dalam Harmoni, Vol V, No
20, Oktober-Desember 2006, h. 55. 48
Nuruddin Muhammad Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 24.
14
Kedua, bila birokrasi kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah
cenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami delegetimasi, ia pun
cenderung melemah, karena lazimnya kepercayaan rakyat terhadapnya juga merosot.
Ketiga, era reformasi dan demokratisasi ditandai dengan penguatan peran masyarakat
sipil dalam pembangunan nasional.49
Kepercayaan masyarakat kepada LAZ menunjukkan adanya penguatan peran
dan tanggung jawab sosial masyarakat sipil yang sesuai dengan konteks Indonesia
sekarang. Pemerintah dalam konteks ini perlu membuka ruang partisipasi publik untuk
turut mengeleminasi masalah kemiskinan. Di sini semangatnya pemerintah
menempatkan diri sebagai wasit, pengayom, dan motivator dan menyediakan piranti
yang kondusif bagi penguatan masyarakat sipil. Tidak dikehendaki negara menjadi
pelaku semua urusan, pengambil alih kreativitas publik.
Dalam hala model manajemen strategi fiskal, sejatinya menghendaki agar
pemerintah bertindak sebagai operator atau pelaksana. Alasannya, pertama, pemungutan
zakat dapat dipaksakan berdasarkan Qs. At-Taubah [9] : 103. Padahal satu-satunya
lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah
negara lewat perangkat pemerintahan seperti halnya pajak. Apabila hal ini disepakati
maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Kedua, potensi zakat
yang dikumpulkan dari masyarakat amat besar. Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk
turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang besar
sangat potensial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara
terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Potensi zakat yang cukup besar dan
sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana
pembangunan nasional tersebut. Keempat, memberikan kontrol kepada pengelola negara
yang masih digerogoti penyalahgunaan uang negara (korupsi).50
Sumber Daya Manusia pada Lembaga Zakat
Dalam konteks Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) setiap orang dalam organisasi
merupakan orang-orang yang rela bekerja untuk ummat, merasa terlibat dalam proses
penghimpunan hingga penugasa muzakki dalam menitipkan amanah terhadapnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dan bukan hanya sebagai pelaksana suatu fungsi
tertentu. Meskipun organisasi sosial, keprofesionalan organisasi tetap diutamakan.
Dalam rangka mengoptimalkan pendapatan dana zakat perlu pengelolaan yang
berkualitas, untuk itu perlu adanya badan atau panitia yang mengelola zakat (amil).
Untuk membentuk sebuah lembaga atau panitia amil zakat yang berkualitas paling tidak
ada tiga hal yang harus dipenuhi, yakni amanah, fathanah dan transfaransi.51
49
Ibid., h. 25. 50
Ibid., h. 26. 51
Muhammad Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat
(Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 97.
15
Lembaga atau panitia pengelola (amil) zakat harus amanah (dapat dipercaya).
Karenanya, perlu adanya sistem akuntansi keuangan, untuk mengetahui akan ke mana
uang zakat tersebut mengalir. Sehingga nantinya diharapkan tumbuhnya kesadaran dan
kepercayaan masyarakat (muzakki) untuk menunaikan zakat melalui lembaga amil
zakat. Di samping sebuah lembaga pengelola zakat dapat dipercaya, juga harus fathonah
(profesional). Lembaga tersebut harus dikelola oleh orang-orang yang punya dedikasi
tinggi dan profesional dalam bidangnya, sehingga lembaga tersebut berjalan secara terus
menerus dan mampu menghasilkan dan mengawal program-program yang ada dengan
baik.52
Sebagaimana diketahui dana zakat adalah dana yang dikumpulkan dari
masyarakat (publik) untuk disalurkan kepada kepada masyarakat, atau dana yang
dikumpulkan dari muzakki oleh suatu instansi yang akan diserahkan kepada para
mustahiq. Karenanya, keterbukaan publik harus benar-benar terbuka, mengingat dana
yang dikelola tersebut berasal dari dana publik, sehingga aliran dana tersebut dapat
diketahui di mana disalurkan dan dimanfaatkan. Sifat keterbukaan ini penting agar para
muzakki mengetahui kemana distribusi dan pemanfaatan harta zakat mereka. Sebagai
wujud keterbukaan atas dana zakat yang dikelola, lembaga-lembaga pengelola zakat
dapat memberikan laporan secara langsung kepada masyarakat atau memanfaatkan
teknologi. Pemanfaatan tekhnologi sangat penting karena transparansi dapat diakses
oleh publik secara luas.53
Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang terampil,
menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan
amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan terjadi
adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq.54
Karena salah satu sebab mengapa
pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita kadangkala macet, barangkali yaitu karena
banyak badan pengumpul zakat yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Menurut Amin
Rais, ada dua sebab mengapa kewajiban zakat menjadi tidak lancar yaitu, pertama
memang para wajib zakat belum sadar pada kewajiban agamanya. Kedua, mereka sudah
sadar, tetapi tidak mau mengeluarkannya karena tidak percaya sepenuhnya pada panitia
pengumpul zakat.55
Ada beberapa aspek penyebab rendahnya SDM, sehingga pemberdayaan zakat
tidak maksimal. Seperti, program kerja yang kurang bersinergi dengan keperluan umat,
kurangnya frekuensi penyuluhan dan pembinaan tentang zakat, koordinasi antara
elemen pengelola zakat yang minim, masih kurangnya dana operasional (keterbatasan
52Ibid. 53Ibid., h. 99.
54
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 152. 55
Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1995), h. 63.
16
dana) dan tidak validnya data serta tidak akuratnya laporan pertanggungjawaban atas
evaluasi pelaksanaan program sebagai alat pendeteksi keberhasilan dan kekurangan,
sehingga mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga,
sekaligus integritas pengelola lembaga tersebut.56
Catatan Akhir
Zakat adalah ibadah maliyah ijtima‟iyyah yang memiliki posisi yang sangat
penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan ummat. Jadi, disamping merupakan ibadah yang berdimensi mahdhah,
zakat juga berdimensi sosial. Padahal kalau melihat fakta di lapangan, sebenarnya
potensi zakat di Indonesia demikian besar. Umat Islam yang memenuhi syarat untuk
membayar zakat (muzakki) kian besar, namun potensi itu belum mampu menjadi
alternative untuk mengangkat angka kesejahteraan bagi kaum dhu’afa.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam, ajaran Islam sudah mulai
disempitkan dan dilupakan artinya, zakat seolah-olah hanya kewajiban individu dan
dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah,
sehingga lupa kalau zakat sebenarnya juga bertujuan untuk membantu hamba Allah
yang masih membutuhkan pertolongan. Hal ini disebabkan karena mundurnya peranan
Islam di panggung politik, ekonomi, ilmu, dan peradaban.
Salah satu indikator dari kurangnya kesadaran umat muslim mengenai zakat
tersebut, dapat dilihat dengan masih tingginya angka dan grafik kemiskinan di dunia
Islam, khususnya di lingkungan umat Islam di Indonesia. Hal ini terjadi karena belum
akuratnya pemahaman sebagian umat Islam tentang konsep zakat, pengelolaan zakat,
manajemen zakat bahkan Sumber Daya Manusia yang jujur, amanah, profesional.
Selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum
dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya Lembaga Zakat yang
menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta
evaluasinya. Dengan kata lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat
hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi
sehingga kurang berdampak sosial yang berarti.
Wa ’al-Lâhu a‘lam bi al-Shawâb.
56
Tim Penyusun, Panduan Organisasi Pengelola Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat
Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 8-9.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah bin Ismail. Shahih al- Bukhari . Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/
1992 M. Ali, Nuruddin Muhammad. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006. al-Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-
Munawir, 1984. al-Roubaie, Amer. ‚Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim: Sebuah Penilaian
Kuantitatif‛. Islamika, Vol. 2, No. 3 Desember 2005. Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzab. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1995. Anshori, Abdul Ghofur. Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Pajak
di Indonesia. Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Ash-Shidiqiey, Hasbi. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Beik,
Irfan Syauqi. et.al. Indonesia Zakat dan Development Report 2011: Kajian Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan. Ciputat: IMZ, 2011.
Djamal D. Pengelolaan Zakat oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan. Jakarta:
Korpus, t.t. Djuanda, Gustian dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan . Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006. Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press,
2002. Ibnu Hajar, al-Hafiz. Fathul Barri; Jilid III. Beirut: Dar al- Fikr, t.th. Ibnu Rusyd. Bida>yah al-Mujtahid; Jilid I. Surabaya: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub, t.t. Ka’bah, Rifyal. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan, 2004. Kementerian Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Dirjen Bimas Islam
Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, 2012. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. ‚Potensi Zakat
PNS Mencapai Rp 1.624 Triliun,‛ Official Website Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI. http://www.menkokesra.go.id/artikel.html (10 Oktober 2014).
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKIS, 2001. Mas’ud, Muhammad Ridwan. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi
Umat (Yogyakarta: UII Press, 2005. Miftah, A.A. Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum. Jambi: Sultha
Thaha Press, 2007. Nasution, Mustafa Edwin. et.al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta:
Kencana, 2006.
18
Qadir, Abdurrachman. Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Qardawi, Yusuf. Fiqhuz-Zakat. Terj: Didin Hafidhudddin dan Hasanuddin. Jakarta:
Pustaka Litera Antarnusa, 1991. Rais, Amin Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta.Bandung: Mizan, 1995. Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press,
2004. Sari, Elsi Kartika. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf . Jakarta: PT. Grasindo, 2007. Shihab,
Quraish. Tafsir Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini, 1992.
Sudewo, Eri. Manajemen Zakat, Infaq dan Sedekah.Cet. I; Ciputat: IMZ, 2012), h. 70. Sudirman. Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas . Malang: UIN Malang Press, 2007. Syadzali, Munawir., et.al. Zakat dan Pajak. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1991. Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, Terj, Mukhtar Yahya. Jakarta: Mutiara,
1994. Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Zakat. Standar Operasional Prosedur Lembaga
Pengelolaan Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012. Tim Penyusun Dirjen Pemberdaayaan Zakat. Standarisasi Amil Zakat di Indonesia;
Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012.
Tim Penyusun Kementerian Agama RI. Profil LPZ. Jakarta: Dirjen Bimas Islam
Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012. Tim Penyusun. Panduan Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam
Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012. Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996. Widodo, Hertanto dan Teten Kustiawan. Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk
Organisasi Pengelola Zakat. Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001. Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial; Dari Soal Lingkungan Hidup, hingga Ukhuwah.
Bandung: Mizan, 1995. Zuhdi,
Masjfuk. Studi Islam Jakarta: CV. Rajawali, 1998.