Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

18
LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT Nurhidayah Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi zakat sebagai ibadah maaliyah ijtimai’iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi dan kemasyarakatan) yang mempunyai status dan peran penting dalam syari’at Islam. Di samping berdimensi transendental, zakat juga berdimensi horizontal. Karenanya, pengelolaan zakat melalui kelembagaan mutlak diperlukan untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan peran zakat sebagai salah satu sumber perekonomian Islam dan bangsa. Kelembagaan zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, meliputi Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat, yang memiliki tugas membantu BAZNAS dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Baik BAZNAS maupun LAZ memiliki tugas yang sama, yaitu untuk mengumpulkan, dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama. Oleh karena itu dibutuhkan sinergisasi peran di antara keduanya agar dapat terkelola secara optimal, produktif dan tepat sasaran. Kata Kunci: Zakat, BAZNAS, Lembaga Amil Zakat, UU No. 23 Tahun 2011. Pendahuluan Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman Rasulullah Saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju perkembangan Islam itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya. Selama ini pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk konsumtif sehingga hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang signifikan, yakni hanya bersifat sementara. Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna yang maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola zakat yang baik dan benar. Namun demikian tidak seharusnya hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman menjadi tuntutan untuk dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara profesional. Fungsi zakat bukan hanya bagian dari ibadah, namun juga merupakan bagian dari tatanan ekonomi, sosial dan politik umat Islam. Keterkaitan negara dalam pengelolaan zakat tergantung kepada permasalahan dasar yang menjadikan zakat bagian dari hukum diyani yang bersifat qadha’i. 1 Hukum Islam yang bersifat diyani sangat bergantung kepada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Sementara hukum yang bersifat 1 A. A Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultha Thaha Press, 2007), h. 23.
  • Upload

    kabbone
  • Category

    Law

  • view

    2.559
  • download

    5

description

Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia berdasarkan konteks fikih dan Undang-Undang No. 23 tahun 2011.

Transcript of Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

Page 1: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

1

LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT

Nurhidayah

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi zakat sebagai ibadah maaliyah ijtimai’iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi dan kemasyarakatan) yang mempunyai status dan peran penting dalam syari’at Islam. Di samping berdimensi transendental, zakat juga berdimensi horizontal. Karenanya, pengelolaan zakat melalui kelembagaan mutlak diperlukan untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan peran zakat sebagai salah satu sumber perekonomian Islam dan bangsa. Kelembagaan zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, meliputi Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat, yang memiliki tugas membantu BAZNAS dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Baik BAZNAS maupun LAZ memiliki tugas yang sama, yaitu untuk mengumpulkan, dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama. Oleh karena itu dibutuhkan sinergisasi peran di antara keduanya agar dapat terkelola secara optimal, produktif dan tepat sasaran.

Kata Kunci: Zakat, BAZNAS, Lembaga Amil Zakat, UU No. 23 Tahun 2011.

Pendahuluan

Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman Rasulullah

Saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju perkembangan Islam

itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan

hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang

berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya. Selama ini

pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk konsumtif sehingga

hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang signifikan, yakni hanya bersifat

sementara.

Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna yang

maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola zakat yang baik

dan benar. Namun demikian tidak seharusnya hanya berdiam diri saja dan tidak

melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman menjadi tuntutan untuk

dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara profesional.

Fungsi zakat bukan hanya bagian dari ibadah, namun juga merupakan bagian dari

tatanan ekonomi, sosial dan politik umat Islam. Keterkaitan negara dalam pengelolaan

zakat tergantung kepada permasalahan dasar yang menjadikan zakat bagian dari hukum

diyani yang bersifat qadha’i.1 Hukum Islam yang bersifat diyani sangat bergantung

kepada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Sementara hukum yang bersifat

1A. A Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultha Thaha Press,

2007), h. 23.

Page 2: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

2

qadha’i melibatkan institusi-institusi tertentu yang mempunyai kekuatan secara hukum

untuk memaksakan dan menjamin berlakunya hukum Islam di tengah-tengah

masyarakat.

Mengingat peran organisasi pengelola zakat sangat penting, pada zaman

Rasulullah Saw. dikenal sebuah lembaga yang disebut Baitul Mal. Lembaga ini

memiliki tugas mengelola keuangan negara mulai dari mengidentifikasi, menghimpun,

memungut, mengembangkan, memelihara, hingga menyalurkannya. Sumber

pemasukannya berasal dari dana zakat, infaq, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak yang

dikenakan bagi non-muslim), ghanimah (harta rampasan perang) dan lain-lain.

Sedangkan penggunaannya untuk asnaf mustah}iq (yang berhak menerima) yang telah

ditentukan, untuk kepentingan dakwah, pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial

dan lain sebagainya.2

Di Indonesia, saat ini ada organisasi atau lembaga pengelola zakat. Keberadaan

organisasi tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang

pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan yang dibentuk pemerintah

atau lembaga yang didirikan oleh masyarakat. Adapun lembaga pengelolaan zakat

tersebut adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ)

dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).3 Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya

undang-undang ini ada perbaikan dari semua sektor. Bukan hanya perbaikan segi

kelembagaan, tapi dari segi kesadaran masyarakat dalam menyalurkan zakat melalui

lembaga juga meningkat. Dengan demikian penghimpunan zakat oleh pengelola zakat

juga bertambah sehingga bermanfaat bagi masyarakat miskin.

Dengan melihat Islam muncul sebagai sistem nilai yang mewarnai perilaku

ekonomi masyarakat, eksistensi zakat memiliki potensi strategis yang layak

dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan di Indonesia.

Namun selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan

belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya lembaga zakat

yang menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta

evaluasinya.

Dengan kata lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga

kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi, sehingga

kurang berdampak sosial yang berarti. Karenanya, peran pemerintah dalam mengatasi

masalah zakat tersebut sangat penting keberadaanya, baik melalui Lembaga Amil Zakat

di pusat maupun di daerah agar diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka tulisan ini secara khusus akan

mengkaji problematika kelembagaan zakat. Masalah ini diangkat karena didasarkan

2Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2006), h. 3. 3Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Zakat, Standar Operasional Prosedur Lembaga

Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012), h. 29.

Page 3: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

3

pada kebutuhan terhadap suatu pengelolaan zakat sebagai sumber dana yang dapat

dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama untuk mengentaskan masyarakat

dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial. Karenanya, perlu adanya

pengelolaan zakat melalui lembaga zakat secara profesional dan bertanggung jawab oleh

masyarakat bersama pemerintah.

Dalam membahas permasalahan tersebut di atas, tahapan yang dilakukan, yaitu:

pertama, menjelaskan terlebih dahulu apa itu lembaga zakat berdasarkan konteks fiqh,

dengan rincian pengertian zakat, dasar hukum, kelembagaan dan pengelolaan zakat di

masa Rasulullah Saw. Kedua, memfokuskan kelembagaan zakat berdasarkan undang-

undang sebagai legislasi hukum Islam di Indonesia. Ketiga, pengelolaan zakat melalui

lembaga zakat. Keempat, manajemen lembaga zakat dalam mengelola zakat. Kelima,

sumber daya manusia dalam pengelolaan lembaga zakat.

Lembaga Zakat dalam Konteks Fiqih

Zakat menurut lughah (bahasa), berarti nama’ artinya kesuburan, thaharah yang

artinya kesucian, barakah yang artinya keberkatan dan berarti juga tazkiyah tathhier

yang berarti mensucikan.4 Dari segi bahasa, kata ‚zakat‛ bahasa Arab az-zakah, yang

berarti: suci, bersih, tumbuh, berkembang, bertambah, subur, berkah, baik dan terpuji.

merupakan masdar dari zaka yang berarti berkembang, tumbuh, bersih dan baik.5

Menurut istilah fiqh Islam, zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari

kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak

menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di dalam syara’.6 Zakat

merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim untuk kesejahteraan muslim dan

oleh orang muslim.7 Zakat merupakan penyerahan sebagian harta benda yang telah

4Hasbi Ash-Shidiqiey, Pedoman Zakat (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 24

5Yusuf Qardawi, Fiqhuz-Zakat. Terjemahan oleh Didin Hafidhudddin dan Hasanuddin (Jakarta:

Pustaka Litera Antarnusa, 1991), h. 34. Lihat juga, Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir

(Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir, 1984), h. 616.

6Substansi sumber zakat dalam konsep fiqih dikenal dengan maha al-zakat, yaitu jenis harta

benda yang wajib dikeluarkan zakatnya. Prinsip dasar Alquran menyebutkan bahwa sumber zakat harus

mempunyai kriteria tertentu, seperti kelayakan (Qs. Ali Imran [3]: 92) dan bernilai ekonomis (Qs. al-

baqarah [2]: 267). Alquran juga telah menyebutkan beberapa jenis barang yang wajib dikeluarkan

zakatnya, seperti emas dan perak (Qs. al-Taubat [9]: 34), tanaman-tanaman dan buah-buahan (Qs. al

An'am [6]: 141), serta hasil usaha dan hasil bumi (Qs. al-Baqarah [2]: 267). Namun demikian, bukan

berarti sumber zakat hanya terbatas pada jenis barang itu, karena ayat-ayat Alquran dalam hal ini bersifat

dinamis pengertiannya dan dapat dikembangkan sejalan dengan perkembangan zaman. Lihat, Anshori,

Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Pajak di Indonesia

(Yogyakarta: Pilar Media, 2006), h. 12.

7Munawir Syadzali, et.al., Zakat dan Pajak, Jakarta (Cet. II; Jakarta: Bina Rena Pariwara,

1991), h. 160.

Page 4: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

4

ditentukan oleh Allah kepada yang berhak menerimanya. Zakat diwajibkan dalam

Alquran, hadis, dan ijma’ ulama. 8

Menurut Wahbah Zuhaily, zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka,

yang memiliki satu nisab dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Nisa>b adalah ‚kadar yang ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban

mengeluarkan zakat‛.9 Pengertian zakat menurut bahasa dan istilah mempunyai

hubungan yang erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan

menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik.10

Disebut zakat

dalam syari’at karena adanya pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat

membersihkan atau mensucikan pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran

imannya, karenanya zakat merupakan rukun Islam yang ketiga.11

Zakat menempati kedudukan yang sangat mendasar dan fundamental dalam

Islam. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Alquran sering disertai

dengan ancaman yang tegas, sebagaimana dijelaskan dalam surat Taubah {[9] ayat 34.12

Bahkan seringkali perintah membayar zakat diiringi dengan perintah mengerjakan

sholat.13

Hal ini menegaskan adanya kaitan komplementer antara ibadah sholat dan

zakat. Sholat berdimensi vertikal-ketuhanan, sementara zakat berdimensi horizontal-

kemanusiaan. Zakat tidak hanya saja sebagai wujud kebaikan hati orang-orang kaya

terhadap orang-orang miskin. Tetapi zakat merupakan hak Tuhan dan hak orang miskin

yang terdapat dalam harta.14

Dilihat dari segi kebahasaan, teks ayat-ayat tentang perintah zakat, sebagian

besar dalam bentuk ‘amr (perintah) dengan menggunakan kata atu (tunaikan); yang

bermakna: berketetapan, segera, sempurna sampai akhir, kemudahan, mengantar, dan

seorang yang agung.15

Kata tersebut bermakna al-itha, suatu perintah untuk menunaikan

8Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), h. 37. Lihat, Wahbah Al-Zuhayly,

Zakat Kajian Berbagai Madzab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 89. 9Wahbah, op. cit., h. 22.

10

Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press,

2002), h. 7.

11Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), h. 272.

12Lihat, Qs. At-taubah [9] ayat 34. Kementerian Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta:

Dirjen Bimas Islam Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, 2012), h. 259.

13

Alquran secara gamblang menyebutkan kata ‘zakat’ yang dirangkaikan dengan kata ‘shalat’

sebanyak 72 kali. Hal ini dapat diinterprestasikan bahwa perintah menunaikan zakat memiliki urgensi

sebanding dengan mendirikan shalat. Lihat, Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial; Dari Soal Lingkungan

Hidup, hingga Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995), 231.

14Djamal D, Pengelolaan Zakat oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan (Cet.I; Jakarta:

Korpus, t.t.), h. 76.

15

Quraish Shihab, Tafsir Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), h. 34.

Page 5: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

5

atau membayarkan. Selain perintah untuk mengeluarkan zakat, Islam juga mengatur

dengan tegas dan jelas tentang pemungutan dan pengelolaan harta zakat.

Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah Saw.

pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman.16

مـقراؤهـف على وترّد ياؤهمـنـأغ من ؤخدــت امىاهلم فى ةـصدق همـعلي رضـتـاف اهلل نَّ إملومـعفأ...

Artinya : ‚Maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang kafir di antara mereka…17

Menurut al-Hafiz Ibnu hajar, hadis di atas dapat dijadikan dalil bahwa imamlah yang

berhak memungut dan membagikan zakat, baik ia sendiri yang melakukannya atau

melalui wakilnya. Bahkan diperkenankan pemaksaan bagi yang tidak mau mengeluarkan

zakat.18

Begitu jelasnya kewajiban untuk mengeluarkan zakat, sehingga khalifah Abu

Bakar pernah memerangi orang yang menolak mengeluarkan zakat di masa

pemerintahannya. Pembahasan tentang zakat telah banyak dilakukan, tetapi telaah dari

perspektif pemberdayaan ekonomi masyarakat nampaknya belum banyak menjadi

sorotan.

Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, zakat tidak hanya dimaknai

secara teologis (ibadah) saja yaitu sebagai manifestasi kepatuhan individu kepada

Tuhan, tetapi dimaknai secara sosio ekonomi juga yaitu sebagai mekanisme distribusi

kekayaan. Sehingga selain membersihkan jiwa, dan harta benda, zakat juga berfungsi

sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna

mengurangi kemiskinan.19

Pada zaman Rasulullah Saw. dan para Khalifah al-Rasyidun, zakat merupakan

suatu lembaga negara, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat

para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah al-Rasyidun

membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian mengirim para petugasnya

menarik zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai wajib zakat. Zakat yang sudah

terkumpul tersebut dimasukkan ke baitul mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh

pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan Alquran dan hadis.20

16

Wahbah, op. cit., h. 277. 17

Abdillah bin Ismail, Shahih al- Bukhari (Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/ 1992), h. 27.

18

al-Hafiz Ibnu Hajar, Fathul Barri; Jilid III (Beirut: Dar al- Fikr, t.th.), h. 261.

19

Djamal, op. cit., h. 67.

20

Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Terj, Mukhtar Yahya (Cet. VIII; Jakarta: Mutiara,

1994), h. 144.

Page 6: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

6

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, untuk menghasilkan pengumpulan zakat maka

para pengusaha sebaiknya mengadakan ‚Badan Amalah‛ atau petugas yang mengurusi

zakat.21

Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang terampil,

menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan

amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan terjadi

adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq.

Rasulullah Saw. pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa

sahabat (‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, Ibnu Qais ‘Uba>dah ibn S{a>mit dan Mu‘a>z \ ibn Jabal)

sebagai ‘a>mil zakat (pengumpul zakat) di tingkat daerah. Para sahabat bertanggung

jawab membina beberapa negeri guna mengingatkan para penduduknya tentang

kewajiban zakat. Zakat diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong

bagi yang membutuhkan22

. Pada masa Rasulullah Saw., ada lima jenis kekayaan yang

dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan, hasil pertanian (gandum dan padi)

dan buah-buahan, dan rika>z (barang temuan).23

Selain lima jenis harta yang wajib zakat

di atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode kepemimpinan Rasullah Saw.

juga dikenakan wajib zakat.

Dalam bidang pengelolaan zakat Rasulullah Saw. memberikan contoh dan

petunjuk operasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis tersebut dapat

dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari: (1) Katabah, petugas yang

mencatat para wajib zakat, (2) H}asabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat, (3)

Juba>h, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki, (4) Khaza>nah,

petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan (5) Qasa>mah, petugas yang

menyalurkan zakat pada mustah}iq (orang yang berhak menerima zakat).24

Fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung antara wajib zakat atau muzakki

dan yang berhak menerima zakat. Amil zakat berkewajiban menyampaikan harta zakat

yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih tepat dan terarah

sesuai dengan tujuan disyariatkannya zakat itu. Di samping itu, amil zakat berfungsi

dan bertugas dalam menentukan dan mengidentifikasi orang-orang yang terkena wajib

zakat (muzakki), menetapkan kriteria harta benda yang wajib dizakati, menyeleksi

jumlah para mustah}iq zakat dan menetapkan jadwal pembayaran zakat bagi masing-

21

Hasbi, op. cit., h. 77. 22

Amer al-Roubaie, ‚Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim: Sebuah Penilaian

Kuantitatif‛. Islamika, Vol. 2, No. 3 Desember 2005, h. 91. 23

Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid; Jilid I (Surabaya: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub, t.t.), h. 182.

Bandingkan dengan Rifyal Ka’bah, dalam tulisannya yang tidak menyebut zakat peternak, padahal

masyarakat arab umumnya adalah pedagang, disamping sebagai peternak, terutama kambing atau domba.

Lihat Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h. 63. 24

Mustafa Edwin Nasution, et. al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana,

2006), h. 214.

Page 7: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

7

masing muzakki serta menentukan kriteria penyaluran harta zakat bagi tiap-tiap

mustah}iq sesuai dengan kondisi masing-masing.25

Lembaga Zakat dalam Konteks Undang-Undang

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan

syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan

keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.

Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk kedalam ranah hukum positif di

Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 38 tahun1999 tentang Pengelolaan

Zakat. Kemudian direvisi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negera

Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Lahirnya UU Nomor 23 tahun 2011

menggantikan UU No. 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum

pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11

Bab dengan 47 Pasal. Tak lupa di dalamnya juga mencantumkan ketentuan pidana dan

ketentuan peralihan.26

Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah untuk

mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah di

Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan (formalisasi) sesuai dengan

syariat Islam. Dan, harus memenuhi asas-asas amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian

hukum, terintegrasi, dan akuntabilias sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan

efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Di samping itu, pengelolaan zakat juga

bertujuan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

dan penanggulangan kemiskinan.27

Dalam undang-undang sebelumnya antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan

Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam relasi sejajar, bahkan dalam situasi tertentu

cenderung pada posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis). Sehingga muncul dikotomi

antara dua lembaga tersebut. BAZ seolah-olah milik pemerintah, sedang LAZ punya

masyarakat. Keadaan semacam itu dinilai kurang kondusif sehingga potensi yang begitu

25

Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial (Cet. II; Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2001), h. 171.

26

Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lihat, Tim Penyusun

Dirjen Pemberdaayaan Zakat, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia; Menurut Undang-Undang RI No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012),

h. 14. 27

Pasal 3, UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lihat, Elsi Kartika Sari, Pengantar

Hukum Zakat dan Wakaf (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 82.

Page 8: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

8

besar terabaikan sehingga pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki arah,

dimana saja wilayah mustah}iq yang lebih krusial.28

Dalam UU Nomor 23 tahun 2011 pasal 6 dan 7 ayat 1 dijelaskan, 5 peran

BAZNAS menjadi lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara

nasional. Fungsi BAZNAS disebutkan sebagai perencanaan, pelaksana, pengendalian

baik dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Selain itu,

pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Jika kemampuan

BAZNAS pada Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 memiliki kewenangan yang

terbatas sehingga dari sisi pengumpulan maupun pendistribusian kalah jauh dengan

LAZ. Akan tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang BAZNAS akan sangat

leluasa dengan memiliki hirarki dan jaringan hingga tingkat struktur yang paling bawah

bawah.29

Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No 38 tahun 1999

dirasakan kurang optimal dan memiliki kelemahan dalam menjawab permasalahan zakat

di tanah air. Selain itu pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai

dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaruan.

Karena itu di dalam UU Nomor 23 tahun 2011, pengelolaan lebih terintegrasi dan

terarah dengan mengedepankan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan

pendayagunaan. Problem mendasar yang dihadapi pada rezim zakat terdahulu adalah

adanya kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector. Karenanya, menurut

UU No. 23 Tahun 2011 tersebut, posisi negara merupakan regulator dan fasilitator,

tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan secara mandiri

sebagai lembaga nonstruktural. Dalam hal ini, BAZNAS tidak dapat diintervensi oleh

pemerintah atau lembaga lain yang bersifat mandiri (independen).30

Salah satu hal terpenting dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat di antaranya adalah terkait dengan penguatan kelembagaan. Dalam

undang-undang ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) disebutkan sebagai lembaga

pemerintah non struktural yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah, secara

teknis BAZNAS di bawah koordinasi kementerian agama. Jika pada Undang-Undang

Nomor 38 tahun 1999 yang duduk di BAZNAS disebut sebagai pengurus, maka di

dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebutannya

tidak lagi sebagai pengurus, tapi anggota komisioner.31

Karenanya, kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat tersebut merupakan kebutuhan akan pengaturan pengelolaan zakat yang

komprehensip demi tercapainya tujuan tata kelola zakat yang baik di Indonesia.

28

Tim Penyusun, op. cit., h. 29. 29

Lihat, Pasal 6 dan 7, UU No. 23 tahun 2011.

30Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU 23 tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat. Lihat, Tim Penyusun Pemberdayaan Zakat, op. cit., h. 41. 31

Ibid.

Page 9: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

9

Sekaligus merupakan jawaban dari keinginan masyarakat yang belum memperoleh

manfaat secara signifikan atas pengelolaan zakat, baik bagi muzakki maupun

mustah}iq. 32

Di samping itu, kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tersebut juga

berfungsi untuk menekan penyaluran dana zakat yang kurang tertata dan cenderung

sporadis. Mengingat, kecenderungan masing-masing organisasi pengelola zakat seperti

berjalan sendiri-sendiri. Melihat kenyataan yang demikian itu, undang-undang

pengelolaan zakat yang baru, kini lebih memberikan kepastian dan tanggungjawab baru

kepada sebuah lembaga yang (dipandang) mampu mengkoordinasikan kepentingan.

Pengelolaan Zakat Melalui Lembaga Zakat

Untuk mengoptimalkan pendapatan dana zakat perlu pengelolaan yang

berkualitas, untuk itu perlu adanya badan atau lembaga yang mengelola zakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia, organisasi pengelola zakat telah ada sejak

dahulu. Baik dalam bentuk pesantren, yayasan-yayasan sosial, maupun bentuk-bentuk

lainnya. Lembaga-lembaga ini biasanya menerima dana-dana zakat, infaq, shadaqah,

maupun wakaf dari masyarakat yang kemudian disalurkan melalui program-program

sosial, seperti pembangunan masjid dan pesantren, program da’wah, bantuan kepada

anak yatim, serta berbagai program sosial lainnya.33

Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola

secara melembaga dan profesional sesuai dengan syariat Islam yang dilandasi dengan

prinsip amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan

akuntabilitas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam

pengelolaan zakat. Zakat wajib didistribusikan kepada mustah}iq sesuai dengan syariat

Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan

prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.

Dalam tinjauan ekonomi, zakat adalah instrumen utama kebijakan fiskal negara

guna mendistribusikan kekayaan dan kesejahteraan yang berkeadilan.34

Oleh karena itu,

mekanisme manajemen pengelolaan harus mendapat perhatian serius. Organisasi atau

lembaga pengelola zakat harus mampu mengemban amanah mewujudkan potensi zakat

yang luar biasa, terutama di Indonesia yang mencapai triliunan rupiah.

Data dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI, menyebutkan

bahwa pengumpulan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan. Tahun 2011 BAZNAS berhasil mengumpulkan Rp 1,73 triliun,

32Ibid.

33Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk Organisasi

Pengelola Zakat (Bandung: Percetakan Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), h. 5-6. 34

Irfan Syauqi Beik, et. al., Indonesia Zakat & Development Report 2011: Kajian Empiris Peran

Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan (Ciputat: IMZ, 2011), h. 9.

Page 10: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

10

tahun 2012 berjumlah Rp 2,2 triliun, dan pada tahun 2013 BAZNAS dapat

mengumpulkan Rp 2,73 triliun. 35

Dalam upaya melaksanakan pengelolaan zakat yang melembaga dan profesional

diperlukan suatu lembaga yang secara organisatoris, kuat dan kredibel. Untuk itu

dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang secara kelembagaan mempunyai

kewenangan untuk melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat

secara nasional. BAZNAS yang merupakan lembaga pemerintah nonstruktural bersifat

mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.

Selain itu, dalam pelaksanaan pengelolaan zakat masyarakat juga dapat

membantu BAZNAS untuk melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan

pendayagunaan zakat dengan membentuk LAZ. Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 86/PUU-X/2012 tanggal 31 Oktober 2013 perihal pengujian Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pembentukan LAZ oleh masyarakat

dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang

pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum setelah memenuhi

persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapat

izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri.36

Sedangkan untuk perkumpulan orang, perseorangan, tokoh umat Islam (alim

ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang

belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dapat melakukan kegiatan pengelolaan zakat

dengan memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.37

Penguatan kelembagaan BAZNAS dengan kewenangan tersebut dimaksudkan

untuk memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustah}iq,

dan pengelola zakat serta untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengelolaan

zakat. Dengan pertimbangan luasnya jangkauan dan tersebarnya umat muslim di seluruh

wilayah Indonesia serta besarnya tugas dan tanggung jawab BAZNAS dalam mengelola

zakat, maka dalam pelaksanaannya dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS

kabupaten/kota.38

35

Berdasarkan hasil penelitian BAZNAS dan IPB pada tahun 2011, potensi zakat, infaq, dan

shodaqoh yang dimiliki oleh Indonesia sangatlah besar mencapai Rp 217 triliun tetapi potensi ini baru

terserap 1%. Selain itu, ternyata potensi zakat yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat

mencapai Rp 1,624 triliun. Lihat, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia,

‚Potensi Zakat PNS Mencapai Rp 1.624 Triliun,‛ Official Website Kementerian Koordinator

Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, http://www.menkokesra.go.id/artikel.html (10 Oktober 2014). 36

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No.

23 tahun 2011. Lihat, Kementerian Agama RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 31. 37Ibid. 38

Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Profil LPZ (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat

Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 15.

Page 11: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

11

BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota ini bertugas dan bertanggung

jawab dalam pengelolaan zakat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing.

Untuk membantu pengumpulan zakat, BAZNAS sesuai dengan tingkat dan

kedudukannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) pada lembaga negara,

kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, badan usaha milik negara,

perusahaan swasta nasional dan asing, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,

kantor-kantor perwakilan negara asing/lembaga asing, dan masjid-masjid.39

Berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat Tahun 2011, dalam

melaksanakan tugasnya, BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang melakukan tugas

pengelolaan zakat secara nasional harus menyelenggarakan fungsinya dalam

perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Begitu pun

dalam hal pengendalian, pelaporan maupun pertanggungjawaban pelaksanaan

pengelolaan zakat, BAZNAS dituntut mengoptimalkan pengelolaan zakat. Sedangkan

LAZ berfungsi membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,

dan pendayagunaan zakat.

Peran kedua organisasi tersebut sebagai penghimpun ZIS sangat membantu

pemerintah dalam menghimpun ZIS dari masyarakat, baik yang terhimpun melalui

individu maupun lembaga. Sinergisitas BAZNAS dan LAZ, selain untuk mewujudkan

misi bersama, manfaatnya agar dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan tidak saling

tumpang tindih fungsi, apalagi saling menghambat disebabkan adanya persaingan

memperebutkan eksistensi lembaga dan kepercayaan di mata masyarakat. Untuk itu,

sebaiknya pengelolaan zakat melalui lembaga akan tertata kelola dengan baik,

sementara lewat individu riskan terjadi penyimpangan, sehingga keberadaan organisasi

pengelola zakat dapat mencegah dana zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf dapat

tersalurkan dengan merata dan tepat sasaran.40

Dengan semakin banyaknya organisasi pengelola zakat, maka akan semakin

mudah dalam mensosialisasikan zakat. Di samping itu masyarakat muzakki dapat lebih

leluasa memilih lembaga yang amanah dan professional. Seiring dengan berjalannya

waktu, maka dengan sendirinya akan muncul dua kemungkinan: Pertama, dalam

mengeluarkan zakat para muzakki akan memilih lembaganya yaitu lembaga amil akan

terseleksi dengan sendirinya, sehingga bisa jadi lembaga yang terbentuk dengan

motivasi yang kurang baik akan macet, sebaliknya lembaga yang dibentuk dengan motif

yang benar akan semakin berkembang. Kedua, akan terjadi persaingan yang sehat yang

saling menguatkan satu dengan lainnya. Dan antar lembaga amil tersebut akan saling

menjual kelebihan dan program unggulan untuk meyakinkan para muzakki.41

39

Pasal 16, UU No. 23 tahun 2011. Lihat, Ibid., h. 16. 40

Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (Cet. I; Yogyakarta: UII Press,

2004), h. 188. 41Ibid., h. 206.

Page 12: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

12

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan zakat, apalagi yang memiliki

kekuatan hukum formal, memiliki beberapa keuntungan antara lain sebagai berikut :

a. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat;

b. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustah}iq zakat apabila berhadapan

langsung untuk menerima zakat daripada muzakki;

c. Untuk mencapai efisien dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan

harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat;

d. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan

yang Islami. Sebaliknya, jika zakat di serahkan langsung dari muzakki kepada

mustah}iq meskipun secara hukum syari’ah adalah sah, akan tetapi disamping akan

terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang

berkaitan dengan kesejahteraan ummat akan sulit di wujudkan.42

Manajemen Lembaga Zakat dalam Mengelola Zakat

Dengan melihat konsep manajemen dan konsep zakat secara integral akan

nampak sebuah paradigma tentang manajemen zakat komprehensif. Zakat tidak

mungkin dikelola secara main-main dan tidak serius. Di Indonesia sendiri, pengelolaan

zakat lebih didominasi intuisi. Tiap anggota organisasi menjalankan kegiatan dengan

persepsi masing-masing. Manajemen dalam arti sesungguhnya tidak dikenal. Pembagian

tugas dan struktur organisasi sudah ada tapi hanya formalitas.43

Dari sisi regulasi dan perundangan, manajemen zakat masih menganut

prinsip tathawu’i bukan ijbary. Dengan artian zakat masih bersifat sukarela tanpa

adanya ketentuan hukum yang mengharuskanya. Ditambah dengan belum jelasnya

aturan yang berkaitan dengan posisi zakat terhadap pajak, apakah zakat merupakan

pengurang pendapatan kena pajak (PPKP) atau pengurang pajak langsung (PPL).

Sehingga apabila seseorang telah membayar zakat maka pajak yang harus dibayarkanya

secara otomatis dipotong sejumlah zakat yang telah dibayarkanya.

Karenanya, tujuan legislasi zakat belum berjalan sesuai harapan. Bahkan

pengelolaan zakat belum bisa dijadikan salah satu alternatif bagi kebijakan fiskal yang

bisa menyangga kehidupan perekonomian.44

Ada beberapa hal yang perlu ditata ulang

terkait paradigma lama manajemen zakat di Indonesia yang masih menganut cara-cara

lama, seperti database yang tidak valid tentang kreteria dan jumlah muzakki dan

mustah}iq, permasalahan pendistribusian yang masih didominasi dalam bentuk

42

Abdul Kadir, dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema

Insani, 2002), hlm. 96. 43

Eri Sudewo, Manajemen Zakat, Infaq dan Sedekah (Cet. I; Ciputat: IMZ, 2012), h. 70. 44

Tim Institut Manajemen Zakat, Profil 7 BAZDA Provinsi dan Kabupaten Potensial (Cet. I;

Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2006), h. 9.

Page 13: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

13

konsumtif dan manajemen pengelolaan yang masih menggunakan perangkat lama dan

manual.45

Menurut Sudirman, ada beberapa faktor yang menyebabkan pengelolaan zakat

dengan sistem tradisional tidak maksimal, di antaranya yaitu: Pertama, sikap

menyepelekan, pengelolaan zakat dianggap sepele pada masa tradisional, karena zakat

sifatnya hanya bantuan dan pengelolaan bantuan itu merupakan pekerjaan sosial semata.

Kedua, tanpa manajemen, pengelolaan zakat sering kali tanpa bentuk manajemen yang

jelas. Pembagian tugas dan struktur organisasi hanya formalitas tanpa adanya alasan

yang jelas. Ketiga, minus monitoring dan evaluasi, salah satu dampak dari tiadanya

manajemen dan tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi. Keempat, tidak biasa

disiplin merupakan salah satu budaya di Indonesia yang kurang baik, sehingga molor

merupakan suatu keharusan.46

Sementara itu, manajemen dan sistem pengelolaan dana zakat di Indonesia

belum seluruhnya profesional dan memuaskan, juga tidak membuat hati masyarakat

Indonesia percaya sepenuhnya. Jika pada zaman Rasulullah dan khulafa al-Rasyidin

negara berperan aktif dengan model ‚jemput bola‛ dalam rangka mengumpulkan dan

mendistribusikan zakat dari para muzakki kepada mustah}iq, maka di Indonesia terjadi

polarisasi. Pertama, para muzakki menyerahkan zakatnya langsung pada pihak yang

berhak menerima zakat (mustah}iq). Kedua, zakat diserahkan kepada panitia atau

badan/lembaga amil zakat.47

Polarisasi penyerahan zakat seperti ini tidak pernah terjadi

di zaman Rasulullah Saw., khulafa al-Rasyidin, dan di dunia Islam modern, karena

itulah, tidak mengherankan apabila terjadi defisit-historis.

Karenanya, dalam perkembangan zakat terkait pasca revisi Undang-Undang

Pengelolaan Zakat, muncul dukungan untuk menjadikan zakat sebagai instrumen

kebijakan fiskal di satu sisi, namun di sisi lain berkembang juga wacana untuk

mempertahankan model manajemen zakat yang partisipatif. Seperti diketahui, model

manajemen partisipatif menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai regulator,

motivator dan pengayom lembaga zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Artinya Lembaga

amil zakat sebagai kekuatan partisipasi rakyat jangan dinegarakan.48

Alasannya, pertama, LAZ selama ini telah berhasil mempopulerkan zakat dan

memperoleh kepercayaan masyarakat. Meskipun diakui masih banyak yang belum

efektif dalam menghimpun dan menyalurkan zakat. Disebabkan karena kelemahan

mendasar seperti rendahnya kualitas SDM-nya, kapasitas organisasi dan dan manajerial

masih lemah, serta belum melembaganya pertanggungjawaban publik yang standar.

45

Sudewo, op.cit. 46

Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 72. 47

Rahmat Hidayat, ‚Pengelolaan Zakat di Indonesia dan Malaysia‛, dalam Harmoni, Vol V, No

20, Oktober-Desember 2006, h. 55. 48

Nuruddin Muhammad Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2006), h. 24.

Page 14: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

14

Kedua, bila birokrasi kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah

cenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami delegetimasi, ia pun

cenderung melemah, karena lazimnya kepercayaan rakyat terhadapnya juga merosot.

Ketiga, era reformasi dan demokratisasi ditandai dengan penguatan peran masyarakat

sipil dalam pembangunan nasional.49

Kepercayaan masyarakat kepada LAZ menunjukkan adanya penguatan peran

dan tanggung jawab sosial masyarakat sipil yang sesuai dengan konteks Indonesia

sekarang. Pemerintah dalam konteks ini perlu membuka ruang partisipasi publik untuk

turut mengeleminasi masalah kemiskinan. Di sini semangatnya pemerintah

menempatkan diri sebagai wasit, pengayom, dan motivator dan menyediakan piranti

yang kondusif bagi penguatan masyarakat sipil. Tidak dikehendaki negara menjadi

pelaku semua urusan, pengambil alih kreativitas publik.

Dalam hala model manajemen strategi fiskal, sejatinya menghendaki agar

pemerintah bertindak sebagai operator atau pelaksana. Alasannya, pertama, pemungutan

zakat dapat dipaksakan berdasarkan Qs. At-Taubah [9] : 103. Padahal satu-satunya

lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah

negara lewat perangkat pemerintahan seperti halnya pajak. Apabila hal ini disepakati

maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Kedua, potensi zakat

yang dikumpulkan dari masyarakat amat besar. Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk

turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang besar

sangat potensial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara

terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Potensi zakat yang cukup besar dan

sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana

pembangunan nasional tersebut. Keempat, memberikan kontrol kepada pengelola negara

yang masih digerogoti penyalahgunaan uang negara (korupsi).50

Sumber Daya Manusia pada Lembaga Zakat

Dalam konteks Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) setiap orang dalam organisasi

merupakan orang-orang yang rela bekerja untuk ummat, merasa terlibat dalam proses

penghimpunan hingga penugasa muzakki dalam menitipkan amanah terhadapnya, baik

secara langsung maupun tidak langsung dan bukan hanya sebagai pelaksana suatu fungsi

tertentu. Meskipun organisasi sosial, keprofesionalan organisasi tetap diutamakan.

Dalam rangka mengoptimalkan pendapatan dana zakat perlu pengelolaan yang

berkualitas, untuk itu perlu adanya badan atau panitia yang mengelola zakat (amil).

Untuk membentuk sebuah lembaga atau panitia amil zakat yang berkualitas paling tidak

ada tiga hal yang harus dipenuhi, yakni amanah, fathanah dan transfaransi.51

49

Ibid., h. 25. 50

Ibid., h. 26. 51

Muhammad Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat

(Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 97.

Page 15: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

15

Lembaga atau panitia pengelola (amil) zakat harus amanah (dapat dipercaya).

Karenanya, perlu adanya sistem akuntansi keuangan, untuk mengetahui akan ke mana

uang zakat tersebut mengalir. Sehingga nantinya diharapkan tumbuhnya kesadaran dan

kepercayaan masyarakat (muzakki) untuk menunaikan zakat melalui lembaga amil

zakat. Di samping sebuah lembaga pengelola zakat dapat dipercaya, juga harus fathonah

(profesional). Lembaga tersebut harus dikelola oleh orang-orang yang punya dedikasi

tinggi dan profesional dalam bidangnya, sehingga lembaga tersebut berjalan secara terus

menerus dan mampu menghasilkan dan mengawal program-program yang ada dengan

baik.52

Sebagaimana diketahui dana zakat adalah dana yang dikumpulkan dari

masyarakat (publik) untuk disalurkan kepada kepada masyarakat, atau dana yang

dikumpulkan dari muzakki oleh suatu instansi yang akan diserahkan kepada para

mustahiq. Karenanya, keterbukaan publik harus benar-benar terbuka, mengingat dana

yang dikelola tersebut berasal dari dana publik, sehingga aliran dana tersebut dapat

diketahui di mana disalurkan dan dimanfaatkan. Sifat keterbukaan ini penting agar para

muzakki mengetahui kemana distribusi dan pemanfaatan harta zakat mereka. Sebagai

wujud keterbukaan atas dana zakat yang dikelola, lembaga-lembaga pengelola zakat

dapat memberikan laporan secara langsung kepada masyarakat atau memanfaatkan

teknologi. Pemanfaatan tekhnologi sangat penting karena transparansi dapat diakses

oleh publik secara luas.53

Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang terampil,

menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan

amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan terjadi

adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq.54

Karena salah satu sebab mengapa

pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita kadangkala macet, barangkali yaitu karena

banyak badan pengumpul zakat yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Menurut Amin

Rais, ada dua sebab mengapa kewajiban zakat menjadi tidak lancar yaitu, pertama

memang para wajib zakat belum sadar pada kewajiban agamanya. Kedua, mereka sudah

sadar, tetapi tidak mau mengeluarkannya karena tidak percaya sepenuhnya pada panitia

pengumpul zakat.55

Ada beberapa aspek penyebab rendahnya SDM, sehingga pemberdayaan zakat

tidak maksimal. Seperti, program kerja yang kurang bersinergi dengan keperluan umat,

kurangnya frekuensi penyuluhan dan pembinaan tentang zakat, koordinasi antara

elemen pengelola zakat yang minim, masih kurangnya dana operasional (keterbatasan

52Ibid. 53Ibid., h. 99.

54

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 152. 55

Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1995), h. 63.

Page 16: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

16

dana) dan tidak validnya data serta tidak akuratnya laporan pertanggungjawaban atas

evaluasi pelaksanaan program sebagai alat pendeteksi keberhasilan dan kekurangan,

sehingga mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga,

sekaligus integritas pengelola lembaga tersebut.56

Catatan Akhir

Zakat adalah ibadah maliyah ijtima‟iyyah yang memiliki posisi yang sangat

penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan

kesejahteraan ummat. Jadi, disamping merupakan ibadah yang berdimensi mahdhah,

zakat juga berdimensi sosial. Padahal kalau melihat fakta di lapangan, sebenarnya

potensi zakat di Indonesia demikian besar. Umat Islam yang memenuhi syarat untuk

membayar zakat (muzakki) kian besar, namun potensi itu belum mampu menjadi

alternative untuk mengangkat angka kesejahteraan bagi kaum dhu’afa.

Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam, ajaran Islam sudah mulai

disempitkan dan dilupakan artinya, zakat seolah-olah hanya kewajiban individu dan

dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah,

sehingga lupa kalau zakat sebenarnya juga bertujuan untuk membantu hamba Allah

yang masih membutuhkan pertolongan. Hal ini disebabkan karena mundurnya peranan

Islam di panggung politik, ekonomi, ilmu, dan peradaban.

Salah satu indikator dari kurangnya kesadaran umat muslim mengenai zakat

tersebut, dapat dilihat dengan masih tingginya angka dan grafik kemiskinan di dunia

Islam, khususnya di lingkungan umat Islam di Indonesia. Hal ini terjadi karena belum

akuratnya pemahaman sebagian umat Islam tentang konsep zakat, pengelolaan zakat,

manajemen zakat bahkan Sumber Daya Manusia yang jujur, amanah, profesional.

Selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum

dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya Lembaga Zakat yang

menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta

evaluasinya. Dengan kata lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat

hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi

sehingga kurang berdampak sosial yang berarti.

Wa ’al-Lâhu a‘lam bi al-Shawâb.

56

Tim Penyusun, Panduan Organisasi Pengelola Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat

Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 8-9.

Page 17: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

17

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah bin Ismail. Shahih al- Bukhari . Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/

1992 M. Ali, Nuruddin Muhammad. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2006. al-Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-

Munawir, 1984. al-Roubaie, Amer. ‚Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim: Sebuah Penilaian

Kuantitatif‛. Islamika, Vol. 2, No. 3 Desember 2005. Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzab. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1995. Anshori, Abdul Ghofur. Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Pajak

di Indonesia. Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Ash-Shidiqiey, Hasbi. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Beik,

Irfan Syauqi. et.al. Indonesia Zakat dan Development Report 2011: Kajian Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan. Ciputat: IMZ, 2011.

Djamal D. Pengelolaan Zakat oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan. Jakarta:

Korpus, t.t. Djuanda, Gustian dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan . Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2006. Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press,

2002. Ibnu Hajar, al-Hafiz. Fathul Barri; Jilid III. Beirut: Dar al- Fikr, t.th. Ibnu Rusyd. Bida>yah al-Mujtahid; Jilid I. Surabaya: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub, t.t. Ka’bah, Rifyal. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan, 2004. Kementerian Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Dirjen Bimas Islam

Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, 2012. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. ‚Potensi Zakat

PNS Mencapai Rp 1.624 Triliun,‛ Official Website Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI. http://www.menkokesra.go.id/artikel.html (10 Oktober 2014).

Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKIS, 2001. Mas’ud, Muhammad Ridwan. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi

Umat (Yogyakarta: UII Press, 2005. Miftah, A.A. Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum. Jambi: Sultha

Thaha Press, 2007. Nasution, Mustafa Edwin. et.al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta:

Kencana, 2006.

Page 18: Nurhidayah; lembaga pengelola zakat

18

Qadir, Abdurrachman. Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Qardawi, Yusuf. Fiqhuz-Zakat. Terj: Didin Hafidhudddin dan Hasanuddin. Jakarta:

Pustaka Litera Antarnusa, 1991. Rais, Amin Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta.Bandung: Mizan, 1995. Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press,

2004. Sari, Elsi Kartika. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf . Jakarta: PT. Grasindo, 2007. Shihab,

Quraish. Tafsir Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini, 1992.

Sudewo, Eri. Manajemen Zakat, Infaq dan Sedekah.Cet. I; Ciputat: IMZ, 2012), h. 70. Sudirman. Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas . Malang: UIN Malang Press, 2007. Syadzali, Munawir., et.al. Zakat dan Pajak. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1991. Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, Terj, Mukhtar Yahya. Jakarta: Mutiara,

1994. Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Zakat. Standar Operasional Prosedur Lembaga

Pengelolaan Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012. Tim Penyusun Dirjen Pemberdaayaan Zakat. Standarisasi Amil Zakat di Indonesia;

Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012.

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. Profil LPZ. Jakarta: Dirjen Bimas Islam

Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012. Tim Penyusun. Panduan Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam

Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012. Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996. Widodo, Hertanto dan Teten Kustiawan. Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk

Organisasi Pengelola Zakat. Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001. Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial; Dari Soal Lingkungan Hidup, hingga Ukhuwah.

Bandung: Mizan, 1995. Zuhdi,

Masjfuk. Studi Islam Jakarta: CV. Rajawali, 1998.