Novel Riang Merapi

324
1 Sebuah Novel Karya Divan Semesta

Transcript of Novel Riang Merapi

1

Sebuah Novel Karya

Divan Semesta

2

BISIKAN

Kebanyakan orang mengalami intimidasi dari lingkungan saat ia pindah keyakinan

yang dipeluk turun menurun oleh trahnya. Si Dwi seorang teman SMA Riang di Jogja sempat

tidak mendapat kiriman uang selama dua tahun karena pindah keyakinan dari agama Hindu

ke Kristen. Teman Riang yang satunya lagi, yang namanya Maimoon pernah kepergok akibat

salah perhitungan. Disangkanya orang tua dia sudah pergi arisan hingga bisa leluasa tunaikan

sholat. Eh, baru sujud rakaat pertama dilakukan, bunyi ceklik terdengar di kamar. Pintu

terbuka dan gelombang suara bariton serta alto mencapai empat oktaf sampai ke telinga, “O

YESUS!” Mama Maimoon histeris menangis dan dengan semangat inkuisisi abad keimanan

Eropa, bapak anak itu kalap! Dalam posisi sujud pantat anaknya menjadi samsak.

Ditendanglah satu-satunya buah percampuran antara zygoth dan sperma mereka pas di

bokong! Meclenglah membentur sudut lemari. Ubun-ubun si anak benjol sebesar telur

merpati. Tak beres di sana si bapak menggampar Maimoon menggunakan tulang carpals

Plak! Plak! Plak! sembari menunjuk tangan ke pintu rumah dan berkata “Aku tak sudi punya

anak seperti kamu! Memalukan keluarga. Durhaka! Hina! Are you understand! Are you

understand? Pergi!” Dan semua bala yang membuat asmanya teman Riang kambuh itu

terjadi karena dia pindah tempat ngetem, pindah dari agama Katolik ke Islam.

Biar kejadiannya menyeramkan, setidaknya si Maimoon itu lebih beruntung

ketimbang si Dwi karena cuma setahun dia diintimidasi: dikutuk, diancam mau dibunuh dan

dipreteli mendekati mutlisi. Namun, setahun kemudian semuanya wassalam. Mamanya

datang ke kosan. “Mama rindu kamu Delilah,” katanya sembari membujuk anak

perempuannya yang murtad. ”Kembalilah ke rumah!”

Karena si Maimoon yang dulu memang bernama Delilah itu bersikukuh, Papanya pun

mengiming-imingi: Delilah bakal disekolahkan ke negeri kiwi, tepatnya ke Port Moresby

New Zealand.

BAGI KELUARGA RIANG konflik perpindahan tempat ngetem macam itu tak

pernah berlaku. Sudah berapa kali entah dia pindah-pindah keyakinan: dari Hindu ke Islam

pernah ia lakukan. Itu pun cuma satu semester. Dipikirnya –pada saat itu-- bapak dia bakal

murka, ternyata tidak. Sewaktu bapak tahu beliau cuma sendawa. “Terserah situ. Yang

terpenting jangan dibuat macam-macam. Dibuat sampai kamu berani mencak-mencak!

Sampai kamu datang ke depan Ibu dan Bapak cuma untuk ngomong, KAFIR! KAFIR!

Seenak dengkulmu. Kalau kau seperti itu nantinya … kalau kau begitu juntrungannya bapak

3

cuma bisa berpesan. Tolong diingat siapa yang susah payah melahirkan kamu. Siapa yang

susah payah ngurus dan netekin kamu? Ibumu toh?!”

Setelah itu tak ada letupan. Monggo silahkan pindah. Tidak ada efek. Adem ayem

saja. Damai sejahtera. Aman sentausa seperti Indonesia yang benar-benar raya. Marilah kita

dentangkan sebuah lagu keramat yang sering dinyanyikan siswa sewaktu upacara bendera.

Coba yang di sana tolong di genjrang-genjrengkan gitarnya. Awali dengan kunci C. mulai…

Indonesia tanah air beta

Pujaan abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala, slalu dipuja-puja bangsa

Di sanaaaaa…..tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bundaaaa

Tempat…(lupa) hari tua

Tempat (lupa) menutup mata.

MERBABU TEGAK membentengi desa dari risauan angin. Baik pagi, siang,

terlebih malam, suasananya sejuk. Di pagi dan senja, horison benteng alam setinggi lebih dari

tiga ribu meter itu berubah menjadi warna beludru. Bersamanya lautan aura mistis

mengambang di angkasa, bersinar-sinar memberitahu bahwa cahaya alam adalah perlambang

keajaiban.

Di sini, di tempat Riang berada ini kegelapan dan cahaya dapat bersatu menjadi

sebuah lukisan surealis yang indah. Saat awan berbondong-bondong datang, angin

membentuknya menjadi kuda berkepala harimau; cabikan daging manusia yang digilas

kereta; atau bulatan-bulatan misterius seperti lukisan psikotik si bohemian kuping rebing Van

Gogh.

Desa Riang berada di kangkangan gunung itu, menyempil di lekuk lembah, di sisi

belantara dan hutan yang sedikit pepohonan besarnya. Lerengnya ditumbuhi kol yang apabila

tua warna daun juga bonggolnya menjadi hijau pekat dan yang muda berwarna hijau pastel,

sementara di sisi lainnya, umbi wortel berwarna oranye menghunjami lahan pertanian dan

daun-daun bawang menyucuk-nyucuk angkasa mengeluarkan aroma menyengat yang nikmat.

Ya, kisah ini berawal dari desa di lereng Merbabu yang indah. Kisah ini berawal

ketika rintik air melayang dibawa kabut, ketika --untuk pertama kalinya-- Riang melihat dua

lelaki berjalan seperti kalkun, mengaso di pos penjagaan lokasi wisata Kopeng.

4

Saat itu Riang memberi mereka sedikit perhatian. Hanya senyum yang dilampirkan.

Ia yakin jika kedua lelaki itu bakal bertemu dengannya dalam tempo yang sesingkat-

singkatnya, secepat-cepatnya.

Setengah jam kemudian kedua lelaki itu sampai di tepi halaman rumah Riang. Salah

seorang di antara mereka membuka tas, mengendurkan otot dan menggerakkan jemari tangan

sambil melirik jam saat lelaki satunya mengetuk pintu rumah.

Bapak menyambut selagi Riang mengintip dari balik jendela. Percakapan terdengar.

Kedua orang itu menuju ruang sebelah, ruang yang khusus didirikan bagi para pendaki

sebelum mereka tancap gas melanjutkan perjalanan menuju puncak. Di dalam ruangan yang

bisa menampung hingga empat puluh pendaki tu tidak terdapat tempat tidur konvensional.

Keluarga Riang sebatas menyediakan panggung sederhana agar para pendaki tidak tidur di

lantai. Kondisi itu pun sudah lebih dari cukup sebab, mereka nemang sudah terbiasa tidur

beralas tanah dan berselimut ponco, bahkan sebagian kecilnya sudah terbiasa tidur dan

melamun di samping jenazah.

Setelah cukup lama berada di dalam rumah, Riang keluar mengantar teh panas,

hendak mengundang kedua pendaki itu mengikuti ‘syukuran kecil’ atas panen berlimpah

yang keluarga Riang nikmati tahun ini. Masuk ke dalam, ruangan kosong melompong. Riang

tidak dapat menemukan mereka. Ia menyimpan baki teh panas di atas panggung kayu. Angin

dingin masuk, pintu lantas ditutup. Riang termenung. Sesuatu mengganggunya. Sewaktu

berjalan melewati gerbang pekuburan, ia berpapasan dengan beberapa lelaki. Sekilas Riang

merasa pernah melihat salah seorang di antara mereka, tapi hingga saat ini ia belum dapat

menyimpulkannya.

Riang pun keluar, dan di bawah pohon beringin dekat rumah ia menjumpai Oerip.

Tetangganya yang baru menikah itu tidak melihat pendaki yang Riang maksud. Setelah

memberitahu Oerip bahwa penjualan panen tahunan bisa diambil di rumahnya, Riang lantas

pergi menyusuri jalan batu. Ia berpikir kedua pria itu hendak membeli Djarum Coklat, rokok

yang konon paling mantap jika dihisap di ketinggian, sembari melengkapi kekurangan bahan

makanan.

Sesampainya di warung Riang menemukan Simbok Rahayu tengah menyeduh mie

instant rasa rawon untuk anaknya, Parman.

”Hari ini ndak ada pendaki yang ke sini, Mbok?” tanya Riang.

”Ada juga yang beli batu baterai, Yang,” jawab Simbok.

“Dua orang?!”

”Bukan, sendiri Yang.”

5

Riang menduga. ”Lelaki berewok, yang pakai kupluk, yang lehernya dililit kain

merah?” tanyanya.

Simbok mengiyakan sambil mengetuk mangkuk mie hingga menimbulkan bunyi ting

berkali-kali.

“Orangnya sendirian Mbok?”

“Memangnya kenapa Yang?”

”Di gerbang pekuburan aku melihatnya tidak sendirian.” Riang meminta penegasan,

”Benar dia sendirian, Mbok?”

Simbok sewot “Sudah dibilang sendirian, ya sendirian!”

Riang tertawa. Ia mencomot pisang goreng lalu pergi menuju lahan di mana leluhur

desa Thekelan dikuburkan.

Menuruni jalan batu yang menyimpan dingin, sunyi menjadokan ketukan langkah

kaki Riang terdengar. Di kuburan itu tak ada tanah merah yang baru. Semuanya menua.

Batu-batu nisan terlihat jompo, gerbang pekuburan lembab dan tampak kehilangan vitalitas

dimakan usia. Jangkrik mengerik. Kerosak pohon kemboja yang disiurkan angin

menciptakan suasana yang mencekam. Bayang-bayang hitam pohonnya bergerak-gerak

melambai. Sunyi kembali datang dan sebuah bisikan tiba-tiba terdengar:

R

i

a

n

g

K e m a r i

R

i

a

n

g

A y o k e s i n i

R

i

a

6

n

g

A k u i n i

M

b

a

h

m

u

J a n g a n

T

a

k

u

t

Sesuatu di luar akal tiba-tiba menyebut nama Riang berulang-ulang Mendengar

bisikan itu tubuh Riang mendadak dijalari dingin yang menjalar seperti ubi jalar.. Bulu kuduk

Riang meremang menancapi udara. Ia ingin berlari tetapi takut jika sesuatu yang membisiki

telinganya itu memiliki persamaan dengan tingkah laku anjing. Anjing yang semakin garang,

yang semakin kurang ajar apabila yang digonggongi mengeluarkan ilmu mustika alias ilmu

musti kabur, angkat kaki dan berlari.

Saat pinus hutan menjadikan bayangan bukit di sebelah barat Merbabu terlihat seperti

pucuk senjata tajam, Riang berbalik. Sesampainya di halaman rumah ia melihat halaman

pintu ruangan di samping terbuka lebar. Kedua orang yang dicarinya sudah kembali. Riang

masuk ke dalam rumah menghangatkan badan. Tak terpikirkan lagi olehnya berbincang.

Yang kini mengisi tempurung kepala Riang hanya bisikan yang masih menyisakan rasa heran

bercampur kekhawatiran.

Riang menyegerakan masuk ke kamar. Orang tuannya menganggap biasa. Mereka

pikir anaknya tengah membutuhkan waktu menyendiri, melakukan semedhi. Mereka tidak

tahu jika hati anaknya kebat-kebit seperti hati perawan yang baru saja dinodai dan dirogol

kokolnya satpam.

7

Sekeping merah tersisa di angkasa. Bintang-bintang menyala, menggantikan matahari

yang meredup di batas cakrawala. Usai selamatan Riang tertidur dan keesokan harinya ia

sudah bisa memulai kehidupan seperti biasa.

TESIS VI

8

D u m!

Du m!

Du m!

Dentum Merapi menghamparkan permadani ketakutan. Suaranya mengkelebat di

seluruh penjuru mata angin. Echonya menggelegarkan desa hingga keraton Yogyakarta.

Dentum pertama menyebabkan ketuban seorang Ibu pecah. Tak lama berselang lelaki itu

lahir ke dunia berbekal nama Riang sebagai lokomotifnya dan Merapi sebagai gerbongnya.

Riang Merapi demikian gagah perwira namanya. Beruntunglah dia yang memiliki

nama sedemikian wow-nya sebab dalam setiap perkenalan pertama yang hangat, hampir

setiap orang merenungi dan sejenak mengomentarinya, --dan itulah-- sebab, mayoritas orang-

orang yang baru mendengar nama Riang pasti membayangkan perawakan yang tegap,

membayangkan keberadaan lelaki yang bugar berotot selang, berkulit plat kuningan,

berambut gimbal dengan karakter khas Merapi yang meledak-ledak.

Benar kulit Riang berwarna coklat. Benar jika dia cukup kuat mengangkat beban

yang dua kali lipat dari massa tubuhnya, tapi jika awak dia dikatakan tegap seperti anggota

angkatan bersenjata Timor Leste, atau kalau dibayangkan rambutnya didreadlocks seperti

rambut penyembah kaisar Ethiophia Hailie Selasie, pada kenyataannya tidak. Nehi nehi nehi.

Penampakan Riang bisa dikatakan biasa-biasa saja.

Setiap nama adalah cangkang yang memiliki kisah menarik dibaliknya, demikian pula

dengan nama Riang. Dia sang pemilik nama yang menggetarkan itu tidak begitu saja

mengetahui asal muasal penamaan dirinya setelah plop keluar dari cervix ibunya. Riang baru

memahami makna keramat yang disematkan kepadanya, itu pun setelah usia dia sama dengan

pertambahan usia planet biru sewaktu mengorbit matahari selama 1826 hari dengan

kecepatan rata-rata 107 ribu km/jam.

“Le kemari. Duduk di sini. Bapak mau cerita,” bujuk Bapak mengajak Riang bicara.

Riang meletakan pengki yang sedari tadi ia buat mainan. Riang duduk bersandar di

dada bapak sambil memandangi puncak Merapi yang mengepulkan asap. “Cerita apa Pak’e?”

tanyanya.

“Mau tahu kenapa bapak menamakanmu Riang?”

Kepala Riang mendongak ke arah dagu bapak.“Mau Pak’e.”

“Kamu tahu Riang artinya apa?”

“Ndak Pak’e”

“Nama Riang artinya bahagia. Bapak bahagia dikaruniai anak lelaki sepertimu.”

“Kalau bukan anak lelaki, apa Bapak tidak bahagia?” tanya Riang menyela.

9

Bapak tersenyum. “Ya bahagia.” Beliau mengusap bulir keringat di cambang Riang.

Pertanyaan anaknya kadang memang merepotkan. “Kalau nanti Kau sudah besar” kata Bapak

melanjutan. ”Le, kalau nanti kamu sudah menikah, punya anak lelaki atau perempuan, Kamu

akan memandang sama untuk anak pertama”

“Lntas kalau sama, kenapa Pak’e bahagia?”

“Ya bahagia. Ya … ya …” Bapak bingung memikirkan pertanyaan Riang. Di kepala

bapak ada banyak kata yang dibolak-baliknya. Kalau anak perempuan tidak sama berarti

tidak bahagia. Hm, kalau sama berarti bahagia. Bukannya sama-sama yang justru sama

bahagianya. “Ya… ya …honocorokodotosowolo …” ujar bapak berusaha menepiskan

pertanyaan yang membingungkan itu, tapi Riang malah terus menerus bertanya.

“Kenapa honocoroko Pak’e?”

Bapak tertawa. Ia tak mau ikut mencampur pikiran anaknya yang kompleks.

Dihisapnya rokok klobot.

“Begini Nak …” Bapak menghisap rokok klobotnya, “namamu itu dulu bukan Riang

pada awalnya. Bapakmu ini ndak tahu harus menamakan kamu apa, padahal ... waktu ibu mu

itu hamil tua, bapak suka menghina,” bapak tertawa. ”Nama yang dulu ibumu berikan jelek

semua,” katanya.

“Kenapa dihina? Kan menghina kan dosa Pak’e?”

Bapak seperti dipentung. “Ya … ya, ya tapi bagaimana?” Bapak gagap. Lidahnya

seperti dipentung. Ia menyerah. ”Memang dosa ... memang dosa, tapi nama yang ibumu beri

itu kurang Le’ …”

“Kurang apa Pak’e?”

“Ya kurang sreg poko’e.”

“Tapi kan dosa Pak’e?”

“Iya! Tapi ... tapi apa Kamu mau dikasih nama Pitono?” Bapak membuat muslihat:

mengalihkan pertanyaan Riang. ”Lha kamu lahirnya kapan saja belum ada yang tahu! Aneh

ibumu itu!”

“Pitono artinya apa Pak’e?”

“Jam pitu wes ono! Kamu mau dikasih nama itu?!”

Riang meraba-raba. “Ya ndak Pak e’!” Nama yang diberikan ibu memang kurang

menjanjikan dibandingkan namanya sekarang.

“Nah,” sambung bapak, ”Kamu saja ndak mau dinamai Pitono apa lagi aku!” Bapak

menjentikkan abu rokok lalu menghisap dalam-dalam dan menjadikan hisapannya itu sebagai

ancang-ancang. “Dulu ... namamu bukan Riang. Waktu bapak mentertawakan nama Pitono

10

itu ibumu marah. Ya sudah! Kata ibumu. Cari nama yang sampean mau! Akhirnya Bapak

jadi kelimpungan Le’.”

“Kenapa bisa kelimpungan Pak’e?”

“Soalnya sampai kandungan ibumu tua, Pak’e belum menemukan nama yang

kedengaran enak, kedengaran nikmaaaaaaaaat.”

”Lalu, lalu Pak’e?”

”Pas Merapi meledak, Kamu lahir!”

Ya! saat dentum Merapi terdengar, sewaktu letus pertamanya menjungkir balikkan

bebatuan, memuntah dan melelehkan agar-agar bersuhu ribuan derajat yang mengkilat, serta

merta saat itu juga bapak Riang melunjak gembira. Nama yang sedari dulu pusing dipikirkan

tiba-tiba meng-eureka dari balik gumpal otaknya.

Baspak memberi anak pertama yang keluar dari rahim istrinya itu nama Gembira.

Penamaan awal itu merupakan ungkapan yang jujur melompat dari hati seorang bapak yang

baru mendapat jagoan pertama –yang juga bakal selamanya. Kebahagiaan yang luar biasa itu

pula yang menyebabkan bapak meletakkan nama Merapi sebagai tetangga nama Gembira.

Namun, karena tidak enak dalam mengucapkannya, maka di hari kedua, nama Gembira

bukan saja diusir tapi disemayamkan seperti ari-ari yang tak boleh dipungut kembali:

Gembira diganti Riang, yang hingga kini masihlah Riang. Mengenai nama Merapi

bagaimana ceritanya?

Ah Ari Tulang! Kau jangan berpura-pura bodohlah! (logat Batak Mandailing bah!)

CAHAYA MATAHARI sampai di desa Thekelan setelah melakukan perjalanan

yang cukup lama. Cahayanya mendandani wajah angkasa, mengelus lekukan lereng Merbabu

yang sedikit mirip pinggul janda. Cahayanya yang eksotis berbisik agar ‘janda raksasa’ itu

menyiapkan tubuh semloheinya untuk menyambut pada pendaki yang –pada saatnya nanti—

akan berteriak kelojotan ketika mengagumi keindahan belukar dan gundukan karangnya.

Pagi itu di Thekelan, kayu pagar dan rerumputan yang menyempil di bebatuan

jalanan, berembun. Suara burung memantul di dinding lembah. Ada yang bersuara seperti

tekukur, adapula yang melengking. Riang bangun. Ia membuka pintu rumah, merasakan

udara dingin menyapu wajahnya

Setiap subuh kerjaan dia ya begini. Keluar dari kamar, membuka pintu, melamun,

memegang pokok pagar dan mengharapkan sapu yang digenggamnya tiba-tiba beraksi

membersihkan halaman sendiri. Setiap pagi seperti inilah, Riang memandangi lanskap,

11

mensyukuri betapa hidup dia dipenuhi berkah meski migrasi keluarganya menuju Thekelan

tidak dilakukan atas dasar pilihan.

Dulu, Riang memiliki keluarga besar yang tinggal di bawah Merapi di dekat kali

Boyong, tetapi itu dulu pada tahun 1995 sebelum aliran awan panas memangsa enampuluh

empat nyawa. Kakek, nenek, bibi, paman, ponakan dan sepupu dari pihak bapak serta ibu

Riang lebih baik nasibnya, dibandingkan dengan nasib penuduk yang menjadi arang. Bagi

keluarga besar Riang, tak ada istilah manusia panggang bagi mereka, sebab tak ada yang

tersisa. Alakazam, sim salabim, abracadabra ibra azhari! Keluarga Riang hilang. Amblas

dikremasi wedhus gembel gunung Merapi. Dari tanah liat menjadi debu.

Riang mengingat apa yang ia lakukan sewaktu awan panas menimbulkan suara

daging yang mendesis dan tulang penduduk desa yang mengkeretak. Saat itu Riang dan

ibunya tengah memasukkan rumput ke dalam karung goni di lereng barat gunung Merapi.

Riang masih mengingat bagaimana dengkur mengerikan terdengar dari kejauhan, awan hitam

gerak cepat menyelancari angin. Semakin awan itu mendekat, suhu bertambah panas dan

cuaca menjadi semakin kelam, dan burung-burung menjadi seperti buah masak yang

berjatuhan.

Riang menatap langit. Menyaksikan awan hitam yang memberik kiriman guntur

menakutkan, Riang segera membuang sabit yang menggantung di celana pendeknya. Ia

melemparkan ranting kayu yang berada di punggung ibunya.

Kedua anak beranak itu berlari menuruni jalan setapak, menerjang bebatuan dan

onak, terpontang panting dalam kebingungan dan ketakutan. Lima puluh meter dari tubuh

mereka gugusan cemara terbakar. Suasana mencekam. Dan ketika manusia sudah tak mampu

lagi melihat harapan, ketika manusia sudah harus ikhlas melepaskan diri dari usaha yang

dilakukan, selaris angin yang puitis datang menjinakkan aliran awan panas.

Ibu Riang menoleh. Ia menyaksikan keajaiban datang menyelamatkan. Aliran awan

panas itu mendadak belok kiri, grak angkat kaki. Entah bagaimana kejadiannya, anggota

keluarga kecil Riang selamat. Kawasan penambangan tempat bapak biasa menambang pasir

tidak dilalui aliran awan jahanam. Dan kalau pun awan itu tetap bersikukuh keluarga nuklir

Riang tetap bakal selamat sebab –kebetulan—di hari yang naas itu bapak mengirim dua truk

pasir ke Bantul.

Jadi begitulah, hanya keluarga Riang yang disisakan bencana, hanya keluarga Riang

yang menjadi penerus trah keluarga.

12

Usai kejadian tak ada yang tersisa kecuali petak peninggalan kakek di Thekelan yang

tanpa bukti surat tanah, kecuali patok dan beberapa penanda yang apabila di bawa ke

pengadilan tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan. Keluarga Riang benar-benar harus

merangkak dari awal, namun hidup harus tetap berjalan. Bapak segera mendirikan rumah

kecil di bawah gunung Merbabu.

Saat itu tidak ada orang Thekelan yang memanfaatkan pengetahuan hilangnya surat

tanah keluarga Riang. Mereka bersimpati. Semuanya berbudi kecuali satu orang yang

hidupnya senantiasa disarati keburukan hingga feses, hingga ampas kotoran. Lelaki yang di

paru-parunya dijamuri syakwasangka itu biasa membuat masalah sepele menjadi alat

berkelahi.

Lelaki itu Kardi. Lelaki yang hatinya di siasati purbasangka itu pernah memukul

kakek Oerip dengan bata merah karena ia merasa diperhatikan. Kardi, yang tidak ketulungan

itu tidak pernah menganggap perlu menghormati orang lain. Mau kepala pamong praja, mau

anak gorila, mau turunan siluman ular sanca dia tidak peduli. Bagaimana dengan keluarga

Riang yang baru menetap di Thekelan?

Semula keluarga Riang tidak tahu menahu (siapa Kardi), hingga lelaki liar itu datang

tanpa spada tanpa kulonuwun. Dalam syukuran pendirian rumah keluarga Riang itu Kardi

memasuki ruang tengah tanpa melepaskan sandal. Di luar, lima orang temannya berjaga.

Lengan kaus mereka dilinting. Beragam corak tato dari yang cabul macam lukisan di bak

truk, tulisan norak seperti i love you Ratna hingga yang seram-seram semisal tato

kalajengking dan kepala macan kumbang sengaja mereka perlihatkan.

Suasana rumah saat itu berubah. Muka penduduk pias. Suasana canda mendadak

berhenti karna sodoran mukanya. Kardi berkacak pinggang. Seperti periskop kapal selam

kepala dia berputar.

“Namaku Kardi.” Satu persatu dilihatnya wajah penduduk desa. “Orang-orang ini

tahu siapa aku!” ia menunjuk dan mengultimatum ”Jadi … Kalian keluarga baru di desa ini

harus tahu siapa penguasa di sini! Kalian harus tahu siapa aku!”

Riang menatap wajahnya.

“Kau! Sini!” Kardi berteriak. Ia marah.

Riang diam. Ia menatap bukan karena keberanian. Riang yang masih empat belas

tahun diam ketakutan.

Merasa perintahnya Riang elakkan, mata Kardi langsung membelalak. Bola matanya

membesar dua kali lipat. Ia menggoyang golok pada sabuknya. Semua mata mengarah ke

pinggang Kardi. Kehawatiran membuat kupu-kupu berada di perut semua orang. Beberapa

13

orang penduduk desa mulai kesemutan namun rasa yang diindera Riang berbeda. Ketakutan

menimbulkan gempa berskala dua richter mengguncang tubuhnya. Riang mengingat

ketakutan yang sama seperti saat ia berlari menyelamatkan diri dari awan panas Merapi.

Gelas kopi yang Riang pegang tumpah.

Kardi cuma menggertak. Lelaki bau ikan asin itu menyarungkan golok lalu

melanjutkan koakannya di ruang tengah. “Aku begini supaya kalian, koak koak! … Sekarang

kumpulkan sumbangan (inilah intinya). Penduduk desa merogoh kantung, seribu per kepala.

Koak-koak! Jangan sampai koak-koak! Dan ”siapa saja yang memberi informasi ke polisi

maka akan ku koak-koak!”

Setelah kedatangan yang tak jelas titik komanya itu, Kardi pulang membawa belasan

bungkus rokok yang dimasukan ibu ke dalam gelas hadiah cat Avian. Ia tidak sadar

punggungnya ditusuk-tusuk kebencian. Ia tidak sadar jika mata penduduk desa

membicarakan kutukan.

Kardi? Siapa dia? Musuh nomor satu masyarakat Thekelan itu anak Samsu, ustad tua

yang di masa mudanya gemar membantu apa saja: membetulkan genting mbok Sumi oke,

menggebah ayam mbah Karjo yang rabun tidak mengapa, mengajar ngaji, masya Allah ... tak

perlu meminta karna itu hobinya.

Lantas, apa yang salah dengan Samsu hingga anaknya jadi begajul macam begitu?

Tidak ada yang salah dengan kehidupan masa muda sang ustad, kecuali keinginannya

menikahi Marmi seorang perempuan dipanggil Marmut --sejenis tikus tetapi bukan tikus--,

sebagai panggilan kesayangan mantan pacarnya yang tewas dipukuli di atas motor RX King.

Seperti biasa, pernikahan antara Samsu dan Marmut diawali dengan persamaan kehidupan

masa pernikahan pasangan muda yang bahagia di tahun pertama. Namun, semakin masa-

masa yang asoy --menurut lagak Jakartanya-- itu menjauh, semakinlah tampaklah tabiat

Marmut.

Wanita cantik macam si cantik Marmut memang seperti mobil mewah yang

membutuhkan pelumas super perusahaan trans nasional; membutuhkan bensin yang bukan

saja tidak bersubsidi tetapi pertamax; belum lagi asuransi bodi dan cat dempul. Dipikir-pikir

Samsu keadaan seperti ini harus dibendung. Kondisi semacam ini berbahaya: bisa membuat

celaka dunia akhirat. Dan ayat-ayat serta hadist pun Samsu keluarkan menjelang malam usai

bikin peluh.

Anehnya, semenjak ayat-ayat dikeluarkan permintaan barang bukannya mereda. Dan

ketika tuntutan tuntutan Marmot bertambah banyak dan kebanyakannya tidak masuk akal,

14

Samsu mulai menimbang untuk menjatuhkan adzab: Marmut harus ditalak. Tetapi, hingga

sampai saat ini Marmut tak pernah ia ceraikan. Hati Samsu tak sampai.

Perceraian merupakan salah satu perbuatan yang paling dibenci Tuhan. Samsu

mengetahui itu, dan ia pun mulai berpikir dan merenung: mengapa kerja keras dan kebaikan

yang telah ia tebar di Thekelan tidak menjadikan hidupnya berkecukupan.

Samsu mendapat pencerahan. Ia menyadarai, kadang, kebaikan di dunia hanya

menggembungkan tabungan di akhirat sana. Lantas, Samsu pun turun gunung dengan niat

mulia menyelamatkan perahu cadik (bahtera) rumah tangganya. Samsu berkerja menjadi kuli

penggulung jala di pelabuhan. Tak kuat menahan anyir laut ia banting setir menjadi kuli batu.

Keberuntungan datang saat Samsu mendapat kenalan yang melempangkan jalan: Tauke yang

di kabari kecanggihan kerja dan keuletan Samsu, mengajaknya jualan di dekat Tanah

Genting Malaysia. Samsu menerima lalu ia mulai berpindah-pindahlah dia dari satu daerah

ke daerah di wilayah persemakmuran salah satu negara di Eropa dan hal inilah yang tidak ia

sangka menjadi salah satu masalah utamanya:

Selama banting tulang demi keluarga, Samsu tidak pernah bertemu Kardi kecuali dua

kali setahun di saat Lebaran Haji dan Idul Fitri tiba, maka, Wajar jika Samsu merasa dilistriki

usai sebuah surat memberitahukan dia bahwa anaknya yang dulu fitrah kini berubah menjadi

anak jin tomang, keponakannya setan.

Kabar itu benar, bukan kabar burung melainkan kabar dari pemilik sangkar burung.

Kabar dari orang Thekelan ia buktikan langsung melalui mata kepalanya. Samsu memergoki

anaknya makan sambel terong di bulan Ramadhan. Hati yang sudah hancur menjadi lebur.

Anak yang dulu dulu ia timang-diambing-ambing malah mendelikan mata saat dinasehati dan

diingatkan.

Ketika liburannya berakhir, Samsu pun membawa kesedihan sewaktu ia balik ke

Malaysia. Dan, belum hilang kesedihannya, sebuah kabar dikirim oleh Oerip, anak muda

yang dulu pernah ia ajari ngaji: Kardi berteman berbagai jenis orang jahat, katanya.

Melalui sebuah hadis kullu mauluudin yuuladu alal fitrah, setiap manusia lahir dalam

keadaan fitrah, Samsu diingatkan bahwa lingkunganlah yang membentuk perilaku sesat

anaknya.

Tak ada yang meleset, sesuai dengan perkiraannya: di perguruan tinggi jalanan Kardi

terlibat praktik kerja nyata pengutilan pemukulan dan aneka macam kenakalan. Di

sekolahnya, bukan saja Kardi melakukan kenakalan pada temannya bahkan ia pernah

mempermak wajah Kepsek yang putih berubah menjadi hijau kebiruan seolah keracunan

15

Waktu itu Kepsek shock! Knalpot Datsunnya meleduk. Esok harinya Kepsek

memanggil Kardi yang sore sebelumnya dipergoki penjaga sekolah tengah memasukan ketela

pohon pada knalpot mobilnya.

Selaku seorang pemimpin yang wajib beri momongan Kepsek sabar. Ia menasehati

anak itu, tapi karena Kardi bebal, nasihatnya tak mempan. Di titik inilah temperatur Kepsek

mendadak naik. Ia marah dan tak sadar jika gigi palsunya lepas.

“Stop! Stop!” Kepsek menjaga wibawa. Ia membentak.

Bukannya berhenti Kardi malah makin ngakak gak gak tertawa melihat gigi Kepsek

melompat seperti kodok.

Tingkah laku tuna etika dan peradaban macam begini membuat Kepsek murka!

Telapak tangannya terbang dan landing di jidat Kardi. Ia mengusir anak itu dari kantornya.

Dan untuk yang terakhirkalinya, keesokan hari Kardi merancang ulah. Sewaktu Kepsek

tengah men-starter vespa karyawan kontrak tata usaha, sebuah jitakan maut tiba-tiba mampir

pada batok kepala yang tidak pernah Kepsek programi reboisasi.

Kepsek mendapati si anak sialan itu tengah cengar-cengir dan bacagi yang

merupakan amalan taekwondo –yang Kepesek peragakan setiap latihan-- ia berikan di

pundak Kardi si anak tersayang: ia menendang Kardi dari sekolah untuk selamanya, dalam

artian literal dan kontekstual.

NAH, karena ingin memperbaiki arah keluarga yang melenceng dari ajaran agama

itu, atau setidaknya meminimalisir pancaran tulang sulbinya dari pengaruh lingkungan,

Samsu menguatkan tekad untuk pulang. Sayangnya kehadiran Samsu, tidak berarti apa-apa.

Mendengar bapaknya datang, si anak bukannya pulang. Ia malah melanjutkan aksinya.

Kardi yang berubah menjadi kriminal mengundang polisi untuk terus menerus

mendatangi Thekelan, menjadikan Samsu stress dan putus asa menghadapi kenyataan das

sein yang tidak sesuai dengan realitas das sollen.

Samsu menjadi gagu dan Marmut pun kemudian menggantikan posisinya dalam

memberikan penjelasan di hadapan aparat keamanan.

”Dari SMA anak saya tidak pernah kemari!” Jelas Marmut, padahal semua orang

Thekelan mahfum: sejak naik pangkat jadi residivis perampok toko emas, bersama sembilan

orang temannya Kardi datang ke Thekelan. Tanpa diketahui Samsu ia mampir ke rumah

membawa bekal dan alat pertukangan menuju Merbabu.

Entah karena yakin, berani atau dungu, Kardi dan gerombolan residivis lainnya

bernyanyi saat –di malam hari-- mereka pergi menuju Merbabu. Suara sumbang itu sampai

16

membuat ayam berkotek bangun, sampai sapi-sapi melenguh dan anjing yang dipelihara

untuk memperingati kedatangan celeng, menggonggong riuh. Auuuu!

Tak ada yang sanggup menegur rombongan itu. Warga yang kebetulan berpas-pasan-

an dengan mereka segera menyingkir. Jalan batu menuju Merbabu itu ibaratnya jalan aspal

bagi pemilik Harley Davidson. Tuan besar Kardi datang! Sirine dimainkan! Yang ada di

dalam rumah segera mematikan lampu, lalu mengintip dari balik horden.

Beberapa hari kemudian polisi mendatangi Thekelan. Tak ada satu pun penduduk

yang berani melaporkan Karena sebelumnya beredar desas-desus, warga desa tetangga yang

didodet Kardi karena memberi tahu ke arah mana gerombolan mereka lari. Kardi tak

terjamah, hingga saat ini ia dan gerombolannya masih berada di belantara Merbabu untuk

mendirikan hidup sembari berteduh di sebuah gubug.

Tiga tahun yang lalu ketika tengah mengumpulkan kayu dan jamur--, Riang pernah

melihat gubug itu. Dindingnya terbuat dari kayu pohon pinus yang menghujam setengah

meter ke dalam tanah. Atapnya dilapisi plastik hitam yang biasa dijadikan pot tanaman oleh

penduduk Thekelan. Riang bimbang. Di satu sisi takut ia jika gubug tersebut benar menjadi

sarang gerombolan Kardi, tetapi di sisi lain ia tergoda oleh keberadaan jamur sebesar piring

yang berada di dekatnya.

Riang tak kuasa menolak. Ia menyembunyikan keranjang lalu beringsut perlahan.

Baru beberapa meter merangkak Riang mendapati seorang penghuni gubug keluar sambil

menggaruk-garuk punggung menggunakan tangan kanan sementara tangan kirinya membuka

risleting. Lelaki brewok itu membuat pancuran di sela pepohonan sambil berteriak

menanyakan keberadaan Kardi.

Balasan mengudara. Seseorang dari dalam gubug bilang: Kardi tengah mengincar

ayam jantan di dekat wihara lalu lelaki brewok itu pun pergi sambil mengancingkan celana.

Riang segera menyisihkan ranting. Ia tak ingin patahannya menimbulkan bunyi lalu

mendatangkan bahaya. Riang merangkak. Dan jamur raksasa itu pun tercerabut dari tanah.

Tak menyiakan waktunya, Riang segera mengambil keranjang. Sayang, beberapa meter

sebelum balik menuju jalan setapak, terlihat dari kejauhan. Riang tak sempat sembunyi. Ia

tak bisa berlari karena beban di punggung mempersulit dirinya.

Saat Kardi mendekat, nafas Riang mulai tak beraturan. Riang tak mampu berpikir. Ia

hanya teringat kejadian tatkala Kardi memasuki ruang tengah rumahnya. Riang gemetar. Ia

takut namun saat melihat Percik, ayam jantannya ditangkapi, Riang memaki: Itu ayam

jantanku! O cecunguk! O badjingan! (Tentu saja hanya di dalam hati)

17

Kardi tahu ayam yang dibawanya milik anak lelaki yang beberapa tahun lalu pernah

ia bentak, karenanya ia hanya berkata. “Sekarang ayam mu jadi hak milikku!”

Sinting.

Kardi menerka raut wajah Riang. “Situ kesal?!”

Riang malah diam. Unjuk rasa yang kentara itu membuat Kardi emosi.

Ditendangnya perut Riang menggunakan lutut.

Karena tengah menggendong keranjang Riang tak mampu mengontrol keseimbangan.

Ia sempoyongan, lalu jattuh.

“Diajak ngomong baik-baik malah bisu! Tuna wicara atau Situ mau digorok, hah!”

Membayangkan bagaimana sakitnya digorok, Riang bergidik. “Ndak Mas! Jangan

Mas!” Riang menguik-uik.

“Begitu kalau ditanya,” kata Kardi Puas. ”Mau apa ke sini?! Mau menjadi mata-mata,

hah?!”

Riang ampun-ampunan. ” “Ndak, ... tengah mencari jamur Mas. “ Riang menyorong

kantung yang menyelempang di tubuhnya

Kardi menengok ke dalam keranjang. Ia mengeluarkan pisau. ”Seenaknya Kau ambil

jamur di halaman rumahku! Jamur ini sudah lama kupelihara tahu!”

Riang hampir mampret kalau Kardi tidak menjambak. Riang bersyukur, karena Kardi

hanya berniat memutuskan tali keranjangnya. “Sekarang pulang!” bentak Kardi sambil

mendorong badan Riang sampai doyong. ”Situ jangan buka mulut kalau ada yang tanya!”

Kardi berbalik arah. Ia tidak takut jika Riang bakal menikamnya dari belakang. Kardi

yakin seratus persen, anak yang ada belakang tubuhnya tidak akan membuat dirinya celaka.

Dari sejak itu hingga sekarang, tidak ada lagi polisi yang datang ke Thekelan.

Penyebabnya sudah barang tentu bukan karena Riang. Aparat keamanan letih dengan

pencarian yang tak pernah didukungan penduduk Thekelan. Kini, --mesti penduduk desa

yakin jika gerombolan Kardi masih ada di sekitar Merbabu—mereka tak lagi bisa

memastikan apa Kardi dan gerombolannya masih berada di dalam gubugnya.

Gerombolan itu bukannya pensiun. Mereka memperluas wilayah pencurian melalui

perpindahan tempat ala orang purba, dan karena beberapa bulan lalu Riang sering menerima

laporan dari para pendaki yang kehilangan ransel dan barang, Riang pun menduga, pencurian

itu dilakukan di pertigaan jalan setapak, antara puncak Syarif 3119 m dan Kenteng Songo

3142 m. Pelakunya, siapa lagi.

18

SEMALAMAN Riang memikirkan bisikan-bisikan yang mengaku Simbah. Tapi pagi

ini ia berusaha mengesampingkan bisikan yang ia dengar di gerbang kuburan. Ada hal yang

yang lebih penting harus ia tuntaskan. Pagi itu Riang mengambil kesimpulan pertama: lelaki

brewok yang berpapasan dengannya di gerbang kuburan adalah lelaki yang pernah ia pergoki

--tiga tahun yang lalu—tengah kencing sebelum Riang dipergoki Kardi. Kesimpulan ke dua:

orang itu hendak berbuat jahat. Riang kemudian teringat dua orang lelaki yang hendak

mendaki Merbabu pagi ini. Kesimpulan ketiga ditariknya. Ya! Gerombolan Kardi mencuri

atau bahkan merampok mereka.

Setelah menyimpulkan apa yang harus dilakukan, apa lantas Riang harus

memberitahu ke dua orang itu agar tidak mendaki pagi ini? Sebaiknya begitu. Namun,

pikiran sederhana Riang berkerja untuk mencari alternatif lain agar kedua orang itu tidak

merasa rugi ketika Merbabu telah nampak di depan mata mereka!

Sepilon-pilonnya Riang dalam mengambil kesimpulan, setidaknya anak pegunungan

ini berbeda dari kebanyakan ahli filsafat yang hanya memikirkan kondisi dunia namun tidak

ikut serta merubahnya, maka melalui tesis ke IV Riang pun memutuskan untuk mengantar

kedua lelaki itu hingga selamat sampai di puncak.

Riang mungkin mengigau ingin menyelamatkan dunia tapi bukankah kitab moralitas

berkata menyelamatkan satu nyawa ibarat menyelamatkan seluruh umat manusia? Tesis ke

IV inilah yang menjadikan wajah Riang berpendar cerah.

Di pagi hari itu salah seorang pendaki memergokinya: mendapati Riang tengah

tersenyum memperhatikan dinding Merbabu, menggenggam sapu sambil menyaksikan

matahari yang tengah mengoplos warna-warna di angkasa menggunakan cahayanya yang

indah

“Sudah lama melamun?” tanya seorang pendaki sambil menyisir rambutnya

menggunakan jemari tangan.

“Sudah setengah jam yang lalu.” Riang tersenyum.

Lelaki itu pendendam. Ia merasa harus membalas senyuman Riang. “Namaku Pepei,”

katanya, mengulurkan tangan.

Tangan yang dingin berjabatan dengan tangan yang hangat.

“Kemarin sore Mas mencari kami ya?!” tanyanya tiba-tiba.

Bagaimana lelaki ini bisa tahu? Riang bingung.

”Dari mas Oerip,” Pepei menjelaskan.

”O”

Mereka diam

19

Pepei mengalihkan pembicaraan. “Dini hari begini Masnya sudah keluar rumah?”

“Iya.”

Pembicaraan kemudian berlanjut dengan dengan huruf o dan gabungan y dan a: ya.

O ya, o ya, o dan ya.

O dan ya yang keluar dari mulut Riang membuat bosan. Pepei memilih pergi usai

meminjam sendal. Ia balik ke dalam, mengambil sikat gigi yang diimbuhi pasta, kemudian

pergi menuju bak penampungan air di dekat wihara. Di sana ia menjumpai sahabat karib

yang bahunya bergetar menahan dingin. Ia mencium wangi pasta gigi dan pembersih di

wajahnya. Rambutnya lelaki bernama Fidel itu klimis.

Sekembalinya dari bak penampungan Pepei mendapati sahabatnya tengah bicara

dengan orang yang sebelumnya berkata o ya o ya menyebalkan. Pepei kemudian masuk ke

dalam ruangan, kemudian keluar membawa sebungkus rokok. Dimasukkan sampah plastik ke

dalam kantung celana. Disodorkannya bungkus rokok untuk Riang. Riang menjentik sisa

rokok kreteknya, ia mengambilnya sebatang. Pepei memantikkan geretan untuknya. Api

menyerobot keluar dari dalam lubang geretan. Asap pun mengepul.

Riang kini leluasa bicara. “Hendak mendaki jam berapa?” tanyanya. Riang merasa

ujub dan bangga dengan bau mulutnya.

“Jam tujuhan.” Pepei memasukan batang rokok ke dalam mulut. Badan yang

sebelumnya bergetar hebat bergerak beraturan. Hisapan rokok membantu kinerja paru-

parunya. “Tidak berangkat bertani?” tanya dia kepada Riang.

“Tidak, Mas. Paling-paling nanti pagi mencari kayu. Seminggu yang lalu bapak,

melihat pohon besar tumbang di jalan setapak dekat Pereng Putih. Dari pada busuk,

sebaiknya pohon itu dimanfaatkan.”

“Penduduk yang lainnya ndak tahu?”

“Ndak tahu apa?”

“Pohon yang tumbang?”

“O… Kayunya pasti masih teronggok di jalan. Saya belum melihat penduduk

Thekelan membawa lempengan kayu sejak seminggu yang lalu.”

Fidel yang berada di samping mereka, tersisih. Ia membiarkan kedua orang itu

berbincang sementara dirinya memandangi dinding Merbabu yang setiap pertambahan

detiknya mengingatkan dia pada keajaiban teknologi yang membuat foto hitam putih menjadi

berwarna.

“Mas baru pertama kali naik Merbabu, ya?” kali ini Riang yang ganti bertanya.

20

“Ya? Tapi, orang yang di samping Mas Riang pernah,” Pepei menunjuk ketika Riang

melirik Fidel.

“Masnya pernah lewat mana?” tanya Riang pada Fidel.

Fidel lupa, tetapi ia yakin selama ini ia belum pernah melewati jalur Kopeng.

Jawaban inilah yang menimbulkan ilham di dalam diri Riang. Ia lantas menjelaskan

beberapa jalur yang ada namun ia menekankan bahwa jalur yang pemandangannya paling

menarik, jalur yang paling indah yang pernah ia lalui adalah jalur Kopeng. ”Start awalnya, ya

dari desa ini!” ujarnya bangga. “Dan, kalau seandainya masih menginginkan pemandangan

yang lebih indah lagi, Mas-Masnnya harus berbelok ke arah Tenggara dari jalur yang biasa

pendaki tempuh.” Riang terkekeh, ”trek rahasia Mas! Karena jarang ada pendaki yang

mengetahui, jalurnya sudah lama tidak dilalui.”

Kedua orang itu mulai terpengaruh oleh kekehan Riang yang bernada misteri itu

Fidel yang sedari tadi tenang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya,

“Petanya bisa dibuatkan?” pintanya pada Riang.

Aha, inilah saatnya.

“Sulit Mas! Sukar!” Riang pura-pura berpikir. ” Begini saja ... bagaimana kalau

kalian aku antar saja?”

Berpandang-pandanglah mereka. Dan pada jam tujuh lewat dua menit, Fidel serta

Pepei melakukan packing, sementara sang gembala mempersiapkan semuanya: Riang

menukar uang dengan sendal capit baru. Ia memasukan pakaian, bahan makanan berupa

beras dan beberapa bungkus mie. Ia mengambil geretan yang tergeletak di perapian dan

memasukan golok ke dalam sarung lalu ia selipkan ke pinggang sewaktu ibu tengah

membungkus nasi dan sayuran untuk bekal di perjalanan.

Beberapa belas menit kemudian, --di depan rumah-- Pepei mengeluarkan dua lembar

poto kopi KTP dari dompetnya. Ia memberikannya secara estafet kepada Fidel, lalu Fidel

menyerahkan lembaran dengan tambahan beberapa helai uang pada Bapak sebagai balas jasa

penginapan (Bapak menolak).

Mereka pun berangkat. Wajah Fidel dan Pepei tampak jelas bahagia. Mereka tak

sadar jika kebahagiaan menjadikan alpa: jam tangan Fidel ketinggalan di Thekelan. Kedua

orang itu begitu bahagia hingga tidak mengetahui jika hati orang yang mengantarkan mereka

mulai dirawani kerusuhan.

21

SIULAN BATU

Riang tak mau terus terang. Tetap ia tak mau. Ia memasukan kekhawatiran ke dalam

peti dan menggemboknya di dasar hati. Apa yang sebenarnya bakal Riang lakukan, apa yang

hendak Riang rencanakan jika gerombolan Kardi memergokinya? Tidak ada. Memang tiga

tahun merupakan waktu yang lama untuk mempupuk keberanian. Tapi tak semua lelaki

telaten memupuk keberaniannya hingga tanaman dia berubah menjadi pohon keberanian

yang rindang.

Perihal keberanian Riang memang ada kemajuan. Buktinya ia memilih untuk

mengantar dan menyimpangkan Fidel dan Pepei dari jalur protokol yang biasa dilewati,

tetapi sebatas itu -- tetap saja-- tak cukup. Pikiran Riang terlampau sederhana.

ANGKASA BIRU diarsir ujung pohon pinus yang tajam. Awan melayang perlahan

menuju tenggara. Angin mengajak bercanda penduduk Thekelan yang beranjak dari

peraduan, hendak menuntaskan panenan. Angin bersiul memainkan simfoni ketenangan

22

yang dalam. Satu persatu penduduk Thekelan menyimpang dari jalan batu menuju lahan

garapan. Menuju gundukan yang ditutupi plastik pupuk terlihat dari jalan batu.

Gundukan itu berisi tumpukkan wortel, kol, bawang, dan kentang yang kemarin

siang tak sempat petani bawa. Beberapa orang menyelinapkan tangan di bawah plastik hitam,

lantas melemparkan beberapa ikat hasil pertanian ke arah Riang. Ia menerima sayuran segar

yang bisa ia jadikan sup ke dalam tas gendongnya.

Memasuki hutan habislah iring-iringan penduduk. Tinggallah mereka bertiga di jalan

setapak yang ditutup helai dedaunan pinus mati. Buah pinus yang berbentuk lonjong dan

berbuku berserakan. Beberapa pohon terlihat cedera. Pada batangnya terdapat goresan

beralur spiral berupa jalan bagi lendir terpentin, menuju wadah yang terbuat dari batok

kelapa.

Pepei menyepak kebekuan saat perjalanan mendekati dua jam. Riang tak mendengar

suara sumbang keluar dari lubang penciumannya. Nafas Pepei teratur. Sambil berjalan ia

berkata.

“Jalan setapak, udara segar, potongan kayu, semuanya merupakan partikel-partikel

pembentuk alam. Mereka mampu mengolah dan memanfaatkan unsur-unsur yang terkandung

di dalam diri, untuk meningkatkan kehidupan manusia, meningkatkan taraf peradaban yang

sudah dikembangkan semenjak manusia ada. Pernahkan setiap manusia berpikir bahwa hidup

memiliki awal dan akhir, bahwa pada akhirnya manusia akan mati dan melebur menjadi

bagian dalam keagungan semesta. Adakah manusia yang akan mati, berakhir setelah

memiliki guna?”

Pepei tidak menujukan perkataannya pada Riang mau pun pada sahabatnya. Riang

menengok Fidel. Ia tengah menggigit pangkal bolpoint. Orang yang dimintainya pendapat

angkat bahu –tersenyum. Fidel menjawab tanda tanya yang ada di muka Riang dengan

memiringkan telunjuk di keningnya.

Belum selesai Riang membalikan badan, Pepei kembali berkata-kata.

“Manusia. …manusia,

Ah manusia. Bagaimana seandainya jika kau tidak ada?

Kalau manusia tidak ada, mengapa kita ada?.

Mengapa kita merasa.

Lantas apa yang dimaksud rasa?

Duhai gila.

Mengapa kita ada?.

Dengan maksud apa k i ta a a a a a ada?”

23

Riang memikirkan apa yang Pepei lontarkan.

“Mengapa aku harus ada?” Parau, Pepei menekankan kata-kata.

“O, mengapa aku harus ada!”

Rintang memutar badannya. Fidel kembali memiringkan telunjuknya.

“O, seandainya tuhan ada,

mengapa Tuhan tak memberi tahu

tujuan penciptaan manusia dan semesta?

O, siapa yang mengetahui tujuan keberadaan kita?

Manusia manakah yang mengetahuinya?

Pendetakah?

filosofkan?

ilmuwankah?

petapakah?

O, haruskan hidupku terombang-ambing seperti ini?

O’ haruskan Tuhan ada?”

Riang membalikan badannya. Seperti mimpi yang datang berulang, ia menemukan

Fidel tengah memiringkan telunjuk di keningnya.

Tiba-tiba Pepei berhenti.

“Di depan tampak sebatang pohon menghalangi jalan,

Ini merupakan tanda bahwa keberakhiran. Akhir kepastian.

Tak mungkin dihindari, tak mungkin ditepis.

Batu kelamaan akan menghilang digerus angin.

Manusia,

binatang dan tumbuhan …

tinggal menunggu waktu, menanti tanggal mainnya.

Mati adalah kepastian.

O’, lantas apa yang akan kita hadapi

setelah kematian?”

24

Riang mulai terganggu. Ia melihat berkeliling, berusaha matikan ucapan Pepei Tebing

batu warna putih keabu-abuan memanjang di sebelah kanan. Seekor elang melayang.

Rimbunan tanaman perdu menempel. Ada tetesan air yang masuk ke dalam rimbunan

tanaman perintis itu.

“Kita sampai di pereng putih. Ini pohon mati yang kemarin aku ceritakan.” Kali ini

Riang yang ganti bicara.

Sambil mendengarkan penjelasan, Pepei memegang pohon yang tumbang. “Biasanya

pohon tumbang dijadikan apa oleh penduduk desa?” Pepei membelai batang pohon.

Wajahnya diselimuti kasih sayang.

“Tergantung kebutuhan”, jawab Riang. Ia bersyukur berhasil menimbulkan penasaran

yang mengalihkan kegilaan Pepei. “Kalau butuh lemari pakaian,” lanjut Riang, ”ya, dibuat

lemari. Kalau butuh perluasan kandang ya dijadikan kandang. Kalau dinding rumah lapuk,

ya, dijadikan dinding.”

Pepei mengangguk, terantuk-antuk.

Beberapa saat kemudian sesal mendatangi Riang. Penjelasan Riang Pepei gunakan

untuk mengganggu Riang dari pangkal, hingga menghunjam ke akar eksistensinya.

“Pohon seperti ini. Pohon yang terlihat tak memiliki daya di hadapan manusia ini …

pohon yang sering manusia tebang sekedar dijadikan penunjuk arah … pohon yang sering

ditendangi pendaki hanya untuk perlihatkan lelucon barbarnya … ternyata … O ... O ...

dalam kematiannya masih memberikan bakti untuk kita. Untuk manusia. Bakti untuk apa?”

Pepei bertanya dan menjawabnya sendiri pula. “Baktinya untuk menjadi, menjadi tempat

menyimpan pakaian, baktinya untuk dijadikan pelindung bagi hewan peliharaan dari

terkaman binatang liar, bakti diri dibakar, agar tubuh kita memperoleh kehangatan.“

Pepei menetesi kepala Riang dengan kata-kata seperti penyair gila,

“O, pohon ini memberi makna

untuk

Kehidupan manusia,

O’, sudahkan manusia berikan makna

Untuk alam semesta?

O, sudahkah kita?

Jika di dunia, manusia hanya hidup untuk dirinya,

hanya untuk kepuasannya dan kesombonganya saja …

lantas mengapa manusia dianggap sebagai mahkluk

25

yang paling mulia melebihi kemuliaan emas, topaz ... O

intan.

Sementara, sementara ... tumbuhan pada kenyataannya

lebih mulia jika dibandingkan dengan manusia.”

Riang meminta pertolongan. Ia mengais penjelasan yang tak mampu ia temukan. Sial!

Jawaban Fidel idem, sama, menduplikasi layaknya amuba!

Hati Riang kacau. Benarkah tindakannya menemani mereka menuju puncak

Merbabu? Haruskah ia mendampingi orang-orang yang di setiap pertambahan langkahnya

semakin membuat ia ragu?

Ah bukan ragu! Riang ketakutan! Ia ingin berlari meninggalkan mereka.

Berada di tengah orang gila adalah pilihan yang gila pula. Riang masih sehat. Ia tak

mau terular. Ia harus pergi berlari tetapi pikiran untuk meninggalkan mereka tertimbun pasir.

Bagaimana dengan keselamatan dua orang ini? Bagaimana? Riang terdampar pada dua

pilihan. Ia termenung di atas pohon yang telah mati. Hatinya bimbang. Sangat-sangat

bimbang! Ia tak sadar jika tetesan kata-kata Pepei mulai merembes di dalam pikirannya.

”Pepohonan selalu memberikan bakti pada manusia,

apakah manusia lebih mulia

bila tak pernah memberikan baktinya?”

Racauan itu menelusup, menembus masuk ke dalam tulang tengkorak. Ucapan itu

membuat Riang –seakan— mandi di pancuran. Suhu tubuhnya sontak sejuk, pikirannya

terbuka seluas cakrawala, pikirannya hampir tak bertapal hampir tak berbatas.

Aku harus menolong mereka. Kegelisahan ini tidak sebanding dengan keselamatan

mereka. Aku harus berkorban seperti pohon yang tumbang. Berbakti! Aku harus berbakti

seperti pohon yang tumbang itu!... Tak kan, tak akan kubiarkan mereka menjadi arwah!

Dan mereka pun beranjak.

Setengah jam perjalanan dari pohon mati Pepei tidak lagi berbicara. Ia hanya bersiul-

siul. Tanda-tanda yang menjadi penghalang jalan setapak rahasia mulai tampak. Rerumputan

nampak mengembang di kanan kirinya. Jalan rahasia itu terhalang batu dan longsoran tanah

yang terjadi setahun lalu.

Sebelum menyimpang dari jalan protokol Riang menyuruh Fidel dan Pepei istirahat.

Riang memeriksa keadaan. Lima menit kemudian ia kembali, menyerahkan buah arbei yang

memenuhi kantung bajunya. Setelahnya Riang berjalan melawan arah dari jalan yang tadi

telah ditempuhnya.

”Apa yang kau lakukan?” Tanya Pepei sebelum Riang menjauh.

26

Riang menjawab asal. Mencari jamur, katanya.

Empat menit kemudian Riang kembali.

Tak ada yang ditenteng, oleh tangan Riang, sebab alasan sebenarnya bukan itu. Riang

menyelidik, ia memastikan mereka aman dari kuntitan gerombolan Kardi. Fidel memasukan

arbei ke dalam kantung plastik transparan dan mengaitkannya di pinggang. Sebelum rute

baru dimulai Riang mengatakan bahwa monyet dan kucing hutan bersarang di sepanjang

jalan yang akan mereka lewati. Pepei berhenti bersiul. Itu yang diharapkan. Riang khawatir

jika rombongan Kardi mendengar siulannya.

Riang kemudian mengitari longsoran. Ia lantas memasuki jalan setapak yang tertutup

semak-semak. Duapuluh meter kemudian ia keluarkan golok. Ranting pohon yang

menghambat dibabat. Mereka berjalan dalam diam. Hening diganti kepak sayap belalang.

Pekik monyet terdengar. Jalan semakin curam, menurun. Hingga ...

Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiiiiiiii

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt!!!! (bunyi melengki ng terdengar panjang)

”Suara apa itu?” tanya Fidel.

”Suara angin di Watu Gubug.” Jawab Riang sambil membersihkan wajahnya yang

gatal.

Beberapa langkah kemudian ketiga orang itu sampai di kali kecil yang bening. Riang

turun mengisi air. Pepei dan Fidel mencuci mukanya. Aliran kali kecil mengalir hingga ke

penampungan Thekelan.

Fidel mengeetatkan tali ransel, saat perjalanan kembali dilakukan. Adalah hal yang

wajar, sebab mereka menghadapi tanjakan curam selama setengah jam ke depan.

Sesampainya di puncak lembah, Pereng Putih tampak. Dua ekor elang terlihat melanglang di

atasnya. Pemandangan itu membuat Pepei dan Fidel menggelengkan kepalanya.

Desa Thekelan terlihat jelas di bawah. Atap wihara berwarna merah cerah. Petak-

petak sayuran terhampar bagai permadani yang dibentangkan raksasa Kilau-kilau air pada

bak penampungan menyilaukan mata. Pemandangan menakjubkan itu melukis kegembiraan

di wajah Pepei dan Fidel. Hal itu Riang syukuri benar. Kegembiraan Riang memupuskan

kekhawatiran di dalam dirinya hingga kemudian sepi pun datang dan ...

Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiiiiiiii

iiiiiiiiiiiiiiiiit!! (bunyi melengking kembali terdengar panjang)

Perjalanan dilanjutkan hingga sampai di batu berkumpul yang –kumpulannya--

mengesankan persekutuan. Batu-batu itu memanjang hingga menuju ujung Watu Gubug.

Bebatuan itu tersusun rapi, seolah ada yang menatanya.

27

Tepat jam dua siang mereka berhenti di depan batu besar yang masyur. Batu memiliki

bolong besar tepat di tengah.

Suiiiiiit! (bunyi menjadi pendek)

Pepei dan Fidel masuk ke dalam batu hingga otot-otot mereka menjadi lemas. Mereka

mengantuk ...

Lantas, kemana bunyi suit?

Hilang?!

OBROLAN YANG TAK JELAS

Sirkulasi yang baik membuat mereka tidur pulas selama tiga jam dan si penunjuk

jalan baru bangun saat matahari tenggelam. Riang keluar dari bolongan batu. Fidel

menyodorkan cangkir dan roti saat melihat Riang telah berada di sampingnya. Roti

tenggelam di dalam cangkir. Perut Riang kenyang. Ia mengmpulkan ranting-ranting kayu

untuk menghangatkan badan. Dimasukannnya kayu ke dalam batu yang dapat bersiul.

Dinding bolongan di dalam batu itu dibercaki butiran kaca. Ruangannya mampu

memuat lima orang dewasa, tingginya sekitar satu meter, memiliki dua lubang, yakni lubang

yang mereka tempati sementara lubang lainnya yang sebesar roda mobil bisa mereka jadikan

perapian mini.

Riang memperhitungkan agar api tidak terlihat dari gubuk gerombolan Kardi. Ia

membuat rangka menggunakan ranting yang tersisa. Atap rangkanya ia lapisi kertas koran

dan rerumputan. Selesai mengerjakan Riang merasakan angin menderas di buhulnya. Ia

masuk ke dalam bolongan dan mengeluarkan sayuran.

Tanggap oleh kesibukan Riang Fidel masuk ke dalam dan memasang kompor parafin

di dekat lubang perapian. Matras digelar, tak lama berselang, sup jadi. Mereka makan. Dua

kali perut Riang kenyang. Setelahnya, Rokok putih dinyalakan. Riang menolak tawaran

Pepei. Rokok kretek yang diselipkan di dalam dompetnya dimainkan. Busss...Buss...Buss!

Dalam sekejap ruangan menjadi pekat.

28

Di saat saat seperti ini cerita pun mengalunlah. Batu yang mereka tempati biasa di

beri makan oleh penduduk desa dan pendaki yang percaya. Makanan batu ini adalah

sebungkus rokok kretek dan klobot, dua genggam bunga mawar melati, cerutu menyan,

bunga kemboja, satu kendi besar berisi air, ditambah nasi dan ayam bakar camani merupakan

persyaratan dasar pemberian sesaji. Semuanya dimasukkan ke anyaman besar dan ditujukan

untuk mencari jodoh, menebak toto gelap, memohon arwah leluhur memerangi hama, agar

lelembut Merbabu tidak lagi menjahili pendaki.

Untuk keperluan yang terakhir tadi Riang pernah menyaksikan dua kepala kerbau

disajikan diatas nampan, dimasukan ke dalam bolongan batu setelah belasan pendaki hilang.

Pepei dan Fidel berusaha memahami. Mereka serius mendengar apa yang Riang tak

paparkan dan –mereka-- tak mengeluarkan satu komentar apapun pun, hingga ketika Riang

mengemukakan keraguannya akan pengaruh mahluk gaib yang bisa mencelakakan atau

membuat manusia bahagia, penuturan pun dimulai.

”Sejak zaman purba manusia memiliki ketertarikan terhadap keajaiban yang berada di

luar dirinya.” Tutur Pepei. ”Manusia, kita, mengagumi gumpalan awan dan berkah hujan.

Manusia, kita, berdecak-decak atas kemampuan hujan menyulap tanaman untuk tumbuh

dengan cantik dan baik. Manusia terkagum-kagum menyaksikan hasil bercocok tanam yang

semarak, manusia terkagum-kagum tasa melimpahnya hasil perburuan, besarnya gelombang

di samudera, tiupan angin yang mampu membawa bahtera berlayar dari satu pulau ke pulau

lainnya. Manusia pun terbelalak manakala menyaksikan kekuatan negatif alam berupa

gempa, kekuatan air bah, kekuatan taufan di kepulauan tropis! Manusia heran, kita super

heran. Hal ini menjadi semacam rahasia dan untuk medapatkan jawaban atas rahasia yang

membuat heran itu, segala peristiwa kemudian manusia sangkutpautkan dengan kekuatan

gaib yang manusia anggap berada di balik seluruh kejadian. Manusia berkhayal, fenomena

alam nan dahsyat mereka kaitkan dengan kebahagiaan dan amarah mahluk kasat mata yang

tak mampu manusia indera ...”

Pepei coba menyederhanakan. ”Kalau melihat ibu Masnya murka, apa yang akan Mas

lakukan?”

Apa maksudnya ia bertanya? Mau mengetes Riang? Bukankah tidak semua orang

bisa ditanya seenaknya, --namun-- bukannya balas bertanya, Riang malah terburu-buru untuk

menjawab apa yang Pepei tanyakan.

”Melakukan sesuatu yang beliau mau.” Tanggap Riang.

”Seperti halnya Mas, jika alam tampak menakutkan, manusia zaman purba

melakukan tindakan yang --manusia anggap—akan disenangi mahluk kasat mata. Manusia

29

memberi sesaji, mereka mengabulkan pesanan yang dianggap keinginan mahluk kasat mata

yang menguasai alam. Mereka melakukan berbagai macam hal agar pertanian, perburuan,

dan segala hal yang mereka usahakan tidak dikenai bala.”

”Dulu ...” Pepei panjang bercerita, ”bangsa Teotihuakan memiliki ritual agar dewa

musim semi Xipo Totec tidak menurunkan murka. Imam-imam yang dianggap paling

mengerti keinginan dewa menyeleksi wanita terpilih untuk mereka tikam dengan belati batu

lalu jantung wanita-wanita terpilih yang masih segar, yang masih berdenyut itu diambil

hidup-hidup. Para Imam dan pengikut agama Teotihuakan menganggap apa yang mereka

lakukan sebagai simbol penyambutan bergantinya musim dingin menuju semi. Tak selesai

sampai di sana, mereka menganggap para dewa membutuhkan simbolisasi yang sempurna,

lantas kulit wanita-wanita pilihan itu mereka kelupas untuk dikenakan para imam selagi

merapal mantra dan menari-nari sembari mengelilingi altar.”

Riang mengatakan cerita itu seram sekali.

Ohoi bangsa bangsa Toltec lebih seram lagi, sanggah Pepei. Apa yang dilakukan

bangsa Toltec lebih memuakan lagi, apa yang mereka lakukan lebih menakutkan dari bangsa

Teotihuakan. Datangnya musim semi –adalah-- berarti pengurbanan besar. Tentara Toltec

kemudian mencari kurban dengan menculik atau memerangi suku-suku kecil yang tersebar

mengelilingi kota besar mereka. Suku-suku itu diburu, di matikan dan kurbannya bukan

hanya ratusan. Dalam satu hari tumpukkan mayat bergelimpangan di dekat altar. Oh, Riang

tak bisa membayangkan bila pengurbanan manusia masih berlaku di abad ini. Ia tidak

sanggup membayangkan jika imam abad kontemporer ini adalah Kardi.

Riang bersyukur ketika Pepei mengisahkan bahwa manusia sudah mampu

memperkiraan alam, manusia sudah mampu mempelajari gejala, sudah mampu

mengendalikan bahkan memanfaatkan alam untuk kehidupan. Semakin abad bertambah

kemampuan manusia makin baik. Jika dulu manusia mengetahui musim yang baik untuk

bercocok tanam melalui rasi bintang tapi manusia tidak mempu mendatangkan hujan, kini

manusia sudah bisa membuat tempat bercocok tanam yang tak terpengaruh musim.

“Tidak berhenti di sana kita yang semula hanya menunggu hujan terbang ke awan,

membawa berkarung-karung bubuk garam, ammonium nitrat dan bahan kimia lain untuk

ditebarkan di atas awan: untuk memaksa awan menurunkan hujan.”

“Dari yang percaya, menyerahkan nasib serta memberi sesaji pada pada penguasa alam,

manusia mulai beralih mempercayai dirinya sendiri, pada kekuatan dirinya, tidak pada yang

lain! Hanya kepada dirinya manusia percaya! Menyandarkan segala!”

“Maksudnya?” tanya Riang kepada Pepei.

30

“Jangan menyandarkan diri pada kegaiban, masukilah dirimu sendiri, temukanlah

kekuatan untuk mengelola kehidupan. Temukanlah kekuatan ilmiahmu sendiri!”

“Maksudnya?”

Setelah–di rumahnya-- Riang mengatakan o dan ya, o dan ya, kini pertanyaan

‘maksudnya-maksudnya’ yang bertubi ia sampaikan, membuat Riang tampak seperti anggota

sekte yang tidak memiliki kreatifitas. Padahal, --di dunia tertentu—perkataan Pepei masih

standar. Pemaparan tersebut belum merambah perkataan bapak atom Democritus hingga

Menheim, dari Durkheim, si kere Marx hingga pemikiran Deridda yang licin berlendir

seperti belut.

Beberapa hal yang Pepei paparkan memang masih terlalu cepat untuk Riang cerna,

tetapi pada kenyataannya Riang memang tidak bodoh bodoh amat. Yang ia perlukan saat ini

hanyalah duduk manis dan tidak terburu-buru mempertanyakan hal-hal yang mendesak di

kepalanya. Selanjutnya, Riang tak mengetahui kelanjutan arah pembicaraan ketika Fidel

menggertak Pepei dan mengejeknya. Untuk sementara keikutsertaan Riang dalam

pembicaraan berakhir. Ia merasa belum mampu masuk ke dalamnya. Pembicaraan itu masih

terlalu cepat.

Riang hanya menyimak, menyaksikan bagaimana Fidel menyangkal bahwa tidak

semua manusia yang percaya pada Yang Maha Mengendalikan alam menjauhi pemikiran

ilmiah. Newton, Pascal dan Einstein adalah bukti. Yang lainnya pun tidak hanya berdoa agar

taufan reda. Manusia beriman menerbangkan kamera kecil super canggih untuk mengetahui,

untuk menggali penyebab, untuk mengendalikan kebuasan alam, tetapi mereka tetap

menyadari bahwa tidak semua hal bisa di laboratoriumkan, dan tidak semua hal yang tidak

bisa dilaboratoriumkan bukan merupakan sesuatu nyata.

Siapa yang buas? Jawabannya, tentu alam, tetapi pikiran Riang jauh melampaui. Buas

dalam metafora Riang adalah bab serudukan badak dan cakaran singa.

“Kita tahu di dunia ini ada banyak paham,” Fidel menyambung, “keyakinan akan

keberadaan Tuhan ataupun penafikan terhadap-Nya, tidak ada sangkut pautnya dengan upaya

manusia menjelajah, mengeksplorasi alam semesta. Di alam ini ada manusia beriman tapi

pemalas, ada pula manusia yang tak percaya tetapi juga pemalas yang sama. Yang satunya

menyandarkan semua hal dengan jawaban sederhana: “ya itu karena Tuhan” sementara yang

satunya lagi mengatakan, “tidak ada tuhan, yang terjadi di alam semesta hanyalah hukum

alam. Lalu mereka diam membatu dan berlumut di dalam dunia filsafat yang pasif.”

Pepei menyepak Fidel “Kebenaran itu relatif!” kataya, “Tetapi, di antara kebenaran

yang relatif itu hanya pemahamankulah yang benar,” Pepei bercanda.

31

“Gneuti Seuton! Pahamilah kaplingmu sendiri!” Fidel menyalak.

“Sialan! Obrolan kita tak pernah berakhir. Sudah berapa kali kita bicara dan Kau tak

lantas meyakinkanku!”

“Justru argumentasimu yang tak meyakinkan!”

Mereka saling membantah.

Pepei meninju lengan Fidel, sahabatnya yang telah lama dipisahkan oleh bus antar kota

dan provinsi. Pepei merindukan Fidel. Dan di atas bolongan batu itu,s langit yang

menggantung menyerupai atap tenda yang melengkung. Atmosfer seakan kantung plastik

yang melindungi kemah bumi dari canon ball angkasa yang tajam laksana belati. Bintang-

bintang silih berganti berpijar.

Ketiga lelaki itu pun tertidur hingga matahari datang menyepuh pagi.

BEBERAPA RATUS METER dari bolongan seorang lelaki memaki-maki dengan

kata-kata kasar sambil menendang batang pohon, menjatuhkan dua ekor tentara semut yang

tengah menggendong larva anggota koloninya. Sementara itu, belasan orang lelaki yang

mengelilinginya menadah tetesan anggur murahan yang masih menempel di pohon sembari

memainkan kartu remi porno, untuk membunuh rasa bosan.

32

SESAT

Api padam sejak subuh. Bakaran rantingnya menjadi karbon. Pagi, ini ada begitu

banyak energi yang terkumpul. Riang keluar dari batu. Ia menuju ujung atas Watu Gubug,

mencermati adakah jejak kaki gerombolan Kardi di dalam kompleks di mana batu bersiul

berada.

Riang tak menemukan jejak apa pun. Ia lantas berbalik dan mendapati Fidel tengah

menggulung sleeeping bag bulu angsa, memasukan matras dan sebuah tabung hitam,

sementara Pepei tengah sibuk memasak telur. Setelah sarapan, perjalanan mereka lanjutkan

Sekitar satu jam ke depan mereka sudah mulai meniti jalan menanjak yang berujung di

kompleks pemancar. Tanjakan yang membuat pening tersebut membuat ketiga orang itu

kehausan.

Sampai di pemancar air habis. Di tempat ini pendaki yang masuk di luar jalur Kopeng

biasa mencari air di dekat kawah kecil, --mereka tak tahu—padahal, di dalam kompleks

pemancar itu, di balik kawat berduri terdapat tong berisi air bersih.

Riang segera membuka tas. Ia mengambil celana jeans untuk ia jadikan pembalut.

Riang tak rela jika tangannya berdarah saat memanjat. Hap! Riang sampai di kawat tertinggi.

Hap! Tubuhnya mendarat di tanah. Mimiknya melambangkan kejayaan. Riang pun berjalan

dipenuh kebanggan hingga --kebanggaan itu pupus—saat ia menemukan Fidel dan Pepei

tengah mengisi beberapa botol plastik tanpa rasa bersalah. Kedua orang itu masuk ke dalam

kompleks pemancar melalui sebuah celah. Maka di hadapan tong itulah kejayaan Riang pun

hancur menjadi puing.

33

Selepas menara pemancar, rerumputan di lembah dan puncak bukit terlihat serapih

karpet lapangan futsal. Kicauan burung terdengar. Saat itu matahari yang berada di posisi

seperempat kubah langit belum mampu menerangi lembah dengan cahaya. Fidel mengambil

sudut yang pantas diabadikan (semuanya pantas. Tak ada yang tidak). Dari tempat ini

perjalanan menuju puncak masih lama. Masih harus lewati bukit-bukit dan tebing yang

indah.

Mereka melanjutkan perjalanan meniti Kenteng Songo –sebuah jalur selebar satu meter

dengan jurang yang dalam dengan bebatuannya yang mudah runtuh. Kerikil menggelinding

menuju jurang. Debu dan pasir menghalangi pandangan. Kawah Condro Dimuko terlihat

samar. Inilah jalan terberat di Merbabu yang mewajibkan para pendaki untuk menghemat

nafas.

Tiga orang lelaki itu tak banyak bicara, mereka menekuni jalan. Sepi menyebabkan

suara keresek ransel, serta langkah kaki terdengar jelas. Di saat-saat letih dan sunyi seperti

ini, tak mungkin, ada satu pun pekerja yang masih memikirkan kantornya. Di saat seperti ini,

--bahkan-- seorang penakut yang berjalan di tengah malam, tidak akan lagi memiliki

kesempatan untuk berpikit tentang setan. Yang menguasai tempat ini hanya adalah

ketenangan yang membuat tentram.

Akhirnya, setelah meniti tanjakan itu selama setengah jam mereka sampai di tanah

datar yang bagi para pendaki berarti surga. Mereka istirahat. Ketiga orang itu berada di

puncak dua tanduk: puncak Syarif dan Kenteng Songo.

“Inilah tanjakan setan.” Riang memberikan informasi.

“Kalau disebut tanjakan setan, ... yang meniti tanjakannya disebut apa?!” Pepei

melempar botol mineral lalu Fidel menyerahkan botol air mineral pada Riang.

“Yang menaikinya berarti setan!” Riang asal bicara sambil memuaskan dahaga.

“Berarti ada tiga setan di tempat ini!” kata Pepei tertawa.

Setelah mengatakan itu angin tiba-tiba datang. Bunyi lengkingan terdengar jelas.

Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

iiiiiiiiiiiiiit!!

Dari kejauhan rombongan orang terlihat berjalan beriringan. Kilatan-kilatan besi

memantul. Riang tak tahu siapa mereka tapi dari kecepatan langkah kaki nya ... Firasat

datang ... sepertinya ... sepertinya ... ya Tuhan, mudah-mudahan jangan! Riang berdoa.

Wajahnya seputih bedak. Jemarinya pucat, kakinya bergetar hebat.

Menyaksikan perubahan itu, Pepei segera membuka ransel. Ia mengambil teropong dan

memberikannya pada Riang. Melalui lensa Riang melihat beberapa orang memegang parang.

34

Riang tidak mengenal orang-orang itu tetapi beberada detik kemudian, --dari patahan setapak

dekat pemanca-- sesosok lelaki brewok yang ditemuinya di gerbang kuburan muncul. Orang

kelima belas sang empunya gerombolan, tampak!

Hati Riang diboyong huru-hara.

Fidel dan Pepei menatap Riang meminta penjelasan. Namun Riang tak sempat

memberi keterangan secara detail. Ia meringkas.

“Kita harus berangkat, mereka begal!”

“Begal apa?” Fidel meneropong barisan itu.

“Aku tak bisa menjelaskan! Satu jam lagi mereka sampai di tempat ini! Kita harus

segera pergi menuju puncak, sekarang!” Riang beranggapan ke dua orang di samping dia

merupakan tanggung jawabnya. “Kalian harus selamat sampai di Jogja!” katanya terdengar

hebat.

Fidel menepuk bahu Riang. Ia berjalan lebih dulu, namun langkahnya terhenti.

“Del?!” tegur Pepei mengingatkan.

“Ya!?”

“Foto! Siapa tahu ini hari terakhir kita di dunia,” Pepei tertawa.

Setelah menghabiskan sepuluh buah jepretan mereka berjalan seperti dikejar setan!

Riang tak habis pikir mengapa gerombolan Kardi bisa mengetahui keberadaan mereka.

Ia tak mengerti apa yang terjadi, namun mendadak, angin besar mengiibarkan rambut Pepei

yang panjang. Suara siulan terdengar.

Aaaaaaaah, bolongan batu di Watu Gubug tidak bersiul tadi malam. Bagaimana

mungkin gerombolan iblis itu tidak berfikir ke sana. Sial! Riang mengutuk. Ia memukuli

kepalanya. Pepei segera menenangkan Riang dengan sebatang rokok yang terbakar. Mereka

kemudian menyusul Fidel yang tengah meniti tebing curam.

Beberapa saat kemudian, batu besar berwarna hitam menghadang perjalanan mereka.

Sepintas tak ada jalan, namun di samping batu itu terdapat setapak kecil selebar setengah

meter. Ketiga orang itu kemudian meretas jalan dan menemukan gundukan eidelweis.

Setelah tebing curam terlewati, ketiga orang itu pun sampai di puncak tertinggi.

Sebuah letusan menyambut. Merapi terlihat kokoh berdiri. Tubuhnya kelabu. Bagi

Pepei dan Fidel gunung itu tampak menakjubkan, tetapi bagi Riang, tidak! Bentuk

mengkerucut itu menandakan angkuhnya kekuatan alam. Merapi –baginya—merupakan

lambang kejahatan.

35

Merapi memang tak memiliki jiwa dan keinginan, Riang memahami itu tetapi

ketidaksukaannya tetap sukar untuk dihilangkan. Di atas puncak tertinggi Merbabu itu ia

lebih suka melayangkan pandangannya menuju arah barat tempat Sindoro dan Sumbing: dua

buah gunung yang kini sebagian hutannya telah habis dibabat.

Riang mengingatkan, tak ada waktu untuk mengaso di puncak Merbabu. Pepei segera

membuang air di botol, meringankan beban. Kini langkah kakinya tidak lagi tersendat. Ia

bahkan mampu berlari menuruni bukit yang jalur setapaknya sambung menyambung dengan

Merapi.

Fidel yang lebih dulu berangkat, tersusul. Semakin cepat berlari, semakin jauh

gerombolan Kardi berada di belakang mereka. Saat ketiga orang itu memasuki padang

eidelweis udara menjadi dingin. Sengatan matahari menjadi tak terasa di kulit. Kabut pun

datang menyandung perjalanan.

Fidel dan Pepei segera menyalakan senter, lalu mengenakannya di kepala sementara

Riang yang tak membawa alat penyinaran mereka tempatkan di tengah. Perjalanan

menembus kabut tebal dilanjutkan hingga dua ratus meter ke depan. Setelahnya senter tak

bisa lagi diandalkan.

“Berhenti di sini dulu,” Fidel mengusulkan, namun dalam kebingungan Riang

merasakan gerombolan Kardi masih tetap menghantuinya. Riang ketakutan. Ia memaksa

Fidel dan Pepei untuk terus melangkah.

“Mereka tidak akan diam diri!” kata Riang tercekat. “Gerombolan itu mengetahui seluk

beluk Merbabu! Kita harus pergi... kita harus pergi!”

Fidel dan Pepei tak sampai hati mendengar suara itu. Mereka langsung melanjutkan

perjalanan, hingga akhirnya buah ketakutan Riang menjadi penyebab hilangnya arah

perjalanan mereka menuju Selo. Riang menyesal. Mereka tersesat!

36

DANAU MISTIS

Menembus kabut tebal memang merupakan perbuatan terkutuk. Riang tahu itu tapi

terkadang ketakutan membuat seseorang hilang akal. Ia tidak lagi mengenal kawasan yang

saat ini dipijaknya.

Kabut hilang beberapa jam yang lalu. Hutan seperti labirin yang diciptakan untuk

menyesatkan. Riang tak dapat lagi melihat matahari untuk mengetahui kepastian waktu.

Matahari terhalang pepohonan tinggi. Fidel segera mengambil inisiatif setelah Riang

berulang kali menggelengkan kepalanya saat ditanya mengenai posisi mereka. Fidel

langsung naik ke atas pohon. Sampi di dahan pertama ia meminta Pepei untuk melempar

tabung berwarna hitam.

Fidel menggantungkannya di leher. Ia merayap lincah setangkas cicak di batang dan

dahan pohon. Cara memanjat Fidel tidak tampak seperti gerakan penyadap terpentin yang

kaku.Keahlian memanjat tebing membantunya mengurangi pijakan kaki dan genggaman jari

yang memboroskan energi.

Dalam sekejap pohon setinggi lima belas meter ia taklukan hingga batang yang paling

ujung. Fidel mengeluarkan teropong dari balik bajunya. Ia memandangi seluruh kawasan

hutan, lalu membuka tabung berisi selembar peta. Fidel menerpong, melihat peta, matanya

berkeliling, mulutnya mengguman: Merapi, Merbabu. Ia mencari tanda untuk menentukan

arah utara kemudian merogoh kompas. Ia membidik puncak Merapi dan Merbabu, lantas

mengeluarkan bolpoint dan menuliskan angka-angka di balik peta.

Usai menghitung, Fidel menggulung dan menjatuhkan peta bersamaan dengan tabung

hitam. Saat peta jatuh ke tanah, Riang melihatnya (peta itu) mirip dengan peta selalu di bawa

37

tim SAR. Peta itu dilengkapi dengan garis-garis kontur, garis imajinasi yang menyerupai

sidik jari manusia.

“Ini aliran air yang kita lewati saat menuju Watu Gubug. Ini puncak Merapi dan

Merbabu! Kita berada di sini, di pinggir jurang ini,” Fidel menjelaskan sembari menunjuk

garis kontur yang rapat bersinggungan antara satu garis dengan garis lainnya.

Pepei berjalan menyelidik. Ia menembus pepohonan. “Di sini jurang curam,” Pepei

berteriak, memastikan.

“Sebelum potong kompas sebaiknya kita melipiri jurang lebih dulu,” ujar Fidel sambil

memandang Riang.

“Bagaimana kalau kita kembali mencari jalan menuju Selo?” Riang mengusulkan.

“Kita sudah jauh tersesat. Kalau pun menemukan jalur menuju Selo, kemungkinan

besar gerombolan itu berada di depan kita. Aku khawatir mereka membagi diri menjadi dua

kelompok. Jika bersikukuh, kita akan terjebak di antara dua kelompok itu!” katanya.

Riang faham, terjebak berarti berbahaya. Ia menghela nafas, menghela beban

perasaan bersalah, menghela kekesalan terhadap dirinya sendiri karena kedua orang itu untuk

melanjutkan perjalanan karena alasan yang ia buat.

“Se...se... sebenarnya...” Riang gugup, “sebenarnya, gerombolan Kardi mengincar

kalian sejak di Thekelan,” ia mengaku.

Siapa Kardi tentulah Pepei dan Fidel mana tahu. Riang pun mengkisahkan gubug

tempat Kardi bersembunyi hingga menceritakan keberadaan lelaki berewok yang ia temui di

dekat gerbang kuburan.

“Seandainya aku berfikir sedikit ... kejadiannya tidak akan sesulit ini! Maafkan aku ...,”

Riang memohon.

Pepei tersenyum. “Berfikir sedikit itu yang seperti apa?” Ia malah mempertanyakan hal

yang tidak penting.

“Harusnya aku berpikir nyawa lebih penting ketimbang antarkan kalian,” jawab Riang

yang tak menyadari jika ia tengah dialihkan.

“Jadi harusnya Kau menyelamatkan dirimu sendiri?!” Pepei menaikan tempernya.

“Bukan! Bukan Mas!” Riang terdesak. “Aku seharusnya memberitahu kalian sejak di

Thekelan. A-ak- aku ... aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku berpikir kepalang ... kepalang

kalian jauh-jauh datang... sayang apabila perjalanan ke puncak Merbabu tidak kalian

lanjutkan.”

Pepei dan Fidel tertawa.

38

“Seandainya siulan batu Watu Gubug kuperhitungkan,” lanjut Riang, “kejadiannya

mungkin tidak akan begini.”

“Apa hubungan gerombolan Kardi dengan siulan di Watu Gubug?” tanya Fidel.

“Kalau ada angin dan di dalam batu tidak ada orang, batu itu akan terus menerus

bersiul. Hilangnya siulan di sore hingga subuh hari menandakan adanya beberapa orang yang

tengah berkumpul di dalam bolongan batu. Melalui ketiadaan siulan batu, gerombolan Kardi

mengetahui: ada orang yang melewati jalur pendakian yang sudah lama tidak biasa dipakai

pendaki. Aku sungguh menyesal!” ucap Riang.

Pepei bosan. Ia mengingatkan. “Mas?!” tanyanya.

“Ya,” jawab Riang.

“Tak ada yang harus disalahkan,” kata Pepei. “Setidaknya kami bisa lebih mengenal

Masnya.” Pepei melirik Fidel yang tengah tersenyum.

“Nyawa memang harus dipikirkan,” kata Fidel menyambung, “Tetapi jika mati, matilah

karena ajal memang sudah tiba. Kalau kami mati kelaparan, mati kekurangan air, terkena

hipotermia atau mati dimakan binatang buas, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena itulah

hidup.”

“Asal jangan mati sewaktu kami buang air besar!” celetuk Pepei tertawa.

“Memang mati buang air besar dosa?!”

“Tidak, tapi malu.” ” Fidel menyanggah Riang,

Senyum Riang muncul untuk yang pertama kalinya di pagi ini.

“Mas Riang...” Fidel mengingatkan. “Jangan menjerumuskan diri dengan menyalahkan

terlalu berlebih. Tak usahlah terlalu dipikirkan! Yang penting Mas Riang sudah berani

menentukan hidup! Berani menantang!”

“Berani menentukan hidup, keberanian menantang?”

“Ya! Keberanian menantang hidup! Keberanian untuk menantang ego, keberanian

untuk tidak mendekam saat kami tengah diincar bahaya.”

Mendengar sanjungan itu wajah Riang mendadak merah.

“Riang sudah berani memilih! Berani mengganti ego dengan sikap altruis. Riang sudah

berani mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang.”

“Ah Mas ini. Bukankah itu...e...sikap apa tadi?” Rasa berdosa Riang hampir hilang.

“Sikap altruis: mau mengorbankan diri.”

“Bukannya lebih baik aku memberikan informasi mengenai gerombolan Kardi, pada

saat ketika kita masih berada di Thekelan, ketimbang dekati bahaya seperti ini? Bukankah

sikap yang aku miliki ini sikap yang bodoh .... Ini bukan, .... sifat apa tadi, ... Mas ...?”

39

“Altruis!”

“Ini bukan sifat altruis yang pintar Mas. Ini altruis yang bodoh!”

Fidel menunjuk dada. “Riang .... Jangan pernah menyesali apa yang pernah Kau

perbuat! Jangan pernah mengandai-andai, mengulur angan-angan mengenai suatu kesalahan

di masa lampau! Penyesalan tidak akan berfungsi jika tidak menjadikan peristiwa masa lalu

sebagai pembelajaran! Penyesalan hanya untuk sekali! Setelahnya tatap masa depan! Jangan

pernah melihat ke belakang!”

Riang merasa senang di angkat-angkat, di puja puji. Ia menggunakan cara-cara

merendahkan untuk mendengarkan bujukan dan sanjungan berkali-kali.

“Tapi, sikapku tetap bukan altruis yang pintar. Aku tetap bodoh,” ujar Riang

membantah.

Fidel memangkas. Ia bukannya tak tahu apa yang tak sadar Riang lakukan. Fidel hanya

menjawab. “Perihal bodoh atau tidaknya, terserahlah ...”

Pepei tertawa.

Tawa itu bukan untuk merajam Riang. Tawa itu merupakan pertolongan pertama agar

Riang mau melepaskan dirinya dari rasa bersalah.

Tak lama setelah berbincang, ransel pun sudah berada di punggung masing-masing

orang. Mereka beranjak menempuh jurang yang dibentuk oleh bebatuan kapur. Dalam

perjalanan itu lumut-lumut terlihat menyediakan tempat bagi tanaman kecil di tebing untuk

tumbuh. Lumut gemuk tersebut meneteskan air bening yang steril. Dari jurang ini ketiga

orang itu menyaksikan pinus pegunungan tumbang. Suaranya terdengar berderak

menakutkan. Sampai di bawah, Riang memandang ke atas. Tebing terjal itu –setidaknya--

memiliki ketinggian lebih dari duapuluh meter.

Matahari terlihat jelas dari bawah. Bolanya tampak condong ke arah barat. Tanah yang

mereka pijak tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau pernah dilewati manusia. Beberapa

meter ke depan kaki ketiga orang itu mulai menginjak rawa-rawa. Setelah berputar-putar

sekian lama di tanah yang basah, mereka menemukan sebuah danau mungil. Fidel dan Pepei

bersiul girang.

Riang menyapu pandangan. Mengapa danau ini tidak pernah diceritakan orang? Aneh.

Di tengah danau, asap tipis terlihat membumbung, melayang-layang lalu diam seperti

sesosok mahluk yang seram. Ikan-ikan putih dan abu-abu sebesar telapak tangan

berseliweran di dalam danau. Di pinggirnya, lumpur coklat bergerak-gerak: ada beberapa

40

kepiting yang lezat untuk disantap. Seekor belibis terbang di ujung danau paling jauh lalu

masuk ke dalam semak dan berkoak.

“Tempat apa ini?” tanya Pepei mendahului pertanyaan Fidel

Riang menggeleng. Tak berapa lama kemudian, --setelah menyibak tanaman--, Fidel

menemukan lahan yang dipenuhi bantalan lumut. Riang tak mampu menutupi kegirangan

saat ia memperhatikan tempat yang nyaman bagi mereka untuk bermalam.

Tenda dibuka sementara Fidel menggelar peta. “Daerah ini tidak terpetakan,” Fidel

tenggelam. “Danau ini mungkin tidak pernah disinggahi para pendaki.”

“Danau mistis!” komentar Pepei.

“Bukan mistis. Hanya suram,” jelas Fidel menyamarkan.

Riang terganggu saat Pepei mengucapkan kata-kata mistis. Mistis? Danau ini misterius!

Bayang-bayang kejadian di gerbang kuburan menziarahi Riang lagi.

Riang bergidik.

Pepei merasakan getaran itu. “Ada apa?” tanyanya berusaha menenangkan.

“Tidak apa-apa.”

Hati Riang mulai diselipi rasa tidak aman.

TENDA DOOM BERSIH seperti baru. Warnanya didominasi merah marun, sisanya

kuning. Rangka yang terbuat dari serat fiber melengkung di luar. Setelah selesai mendirikan

tenda Pepei mengambil benang pancing dan kail di antara gulungan tali rapia. Ia masuk ke

dalam tenda, mengambil parang dan roti. Ia mengitari danau, mencari ranting yang cukup

kuat untuk menahan tarikan ikan. Tak menemukan, kemudian Pepei naik ke atas pohon,

mengayunkan parang yang menimbulkan suara erangan.

“Apa alam memiliki jiwa?” Riang bertanya pada Fidel. “Apa pepohonan memiliki

nyawa?”

“Nyawa?” Fidel kebingungan dengan pertanyaan serius yang datang tanpa lampu sen.

“Jika yang dimaksud nyawa seperti jiwa manusia, aku mana tahu? Tetapi, jika yang

dimaksud nyawa adalah kemampuan untuk tumbuh dan berkembang, mungkin pohon

memilikinya.”

“Mungkin?”

“Mungkin artinya aku tak dapat memastikan jawabanku tepat atau tidak.”

Fidel menatap Riang. Ia meminta penjelasan: pertanyaan yang datangnya tiba-tiba itu.

“Suara pohon yang Mas Pepei tebang, terdengar sedih. Pohon itu mengerang!s”

41

Fidel merenung. “Aku merasakan keanehan yang Kau rasakan. Kupikir yang dirasakan

Pepei pun demikian.” Hati-hati Fidel bertanya, “Maaf ... agamamu apa Yang?”

Riang menggelengkan kepalanya.

“Tidak tahu agamamu apa?” Suara Fidel datar, tak berteriak, tak berkecipak.

“Aku tidak tahu.”

“Percaya Tuhan?”

“Tentu.”

Fidel menghela nafas. Nampaknya penjelasannya akan panjang. Ia mengetahui benar

jika lelaki di hadapannya takut setan. “Ini pemahamanku. Ini kepercayaanku.” Fidel memilih

kata-kata dan memulainya. “Aku sangsi mahkluk halus dapat dilihat di bumi. Aku belum

bertemu mereka. Banyak orang yang mempercayai wujud halus seperti palasik, pocong yang

–yang tubuhnya dibelit kain kafan; genderuwo yang seram; atau tuyul yang dianggap sebagai

penyebab raibnya uang, tapi, aku ... seumur hidupku belum pernah melihat mereka, belum

begitu mempercaya jika mahluk-mahluk itu mampu menampakkan diri. Aku hanya

mempercayai hal-hal yang gaib, tanpa embel-embel penggambaran bentuknya seperti

apa,” Saat mengatakan itu wajah Fidel mengesankan ketenangan yang sulit dicapai.

“Mengenai keanehan yang kita rasakan, saat ini, adalah hal yang wajar. Keanehan adalah

sesuatu yang alami.” Fidel berusaha meraba kondisi orang yang ada di sampingnya. “Riang?”

Fidel bertanya.

“Ya?”

“Waktu pertama kali melihat kota yang baru Kau lihat, apa yang Kau rasakan?”

“Bingung,” jawab Riang singkat.

“Dulu kau bingung dengan kota yang dipadati orang, sekarang kejadiannya sama! Siapa

yang bakal merasa nyaman berada di tempat yang tak tercetak di dalam peta. Siapa yang

langsung merasa nyaman saat tersesat tiba-tiba menemukan danau yang airnya berwarna

hijau pekat, danau yang seolah dihuni mahkluk hijau menyeramkan. Riang ... merasa aneh

tidak merupakan sebuah masalah. Merasakan keanehan pada saat ini merupakan sesuatu

sikap yang wajar.”

Fidel membiarkan Riang mengendapkan apa yang ia katakan. Setelah agak lama,

barulah ia melanjutkan.

“Riang pernah melihat mahkluk halus?”

“Tidak,” jawab Riang. “Tapi teman-temanku pernah melihatnya. Mas Oerip pernah

menjumpai lelembut Merbabu. Rambutnya panjang, wajahnya cantik tapi pucat,” Riang

sedikit bersemangat, seolah peristiwa itu ia sendiri yang mengalami..

42

“Apa Mas Oerip melihat lelembut dengan mata kepaalanya sendiri? Menyetuh dengan

tangannya sendiri?” Tanya Fidel.

Riang tak yakin. Ia tak menjawab.

“Bagaimana jika kuusulkan saja, ... Kau bisa mempercayai penggambaran mahluk

yang menyeramkan seandainya Kau melihat atau menyentuh mahluk itu dengan tanganmu

sendiri.”

Pertanyaan cerdas keluar dari mulut Riang, “Apa untuk meyakini, kita harus menyentuh

dan melihat terlebih dulu?”

“Meski tidak mutlak seperti itu, tapi untuk kasus ini, ya! Demi menjaga dirimu dari

ketakutan yang berlebih, dari hal-hal yang bisa membuat kita kehilangan kontrol diri. Ya!

Kau harus melihat dan menyentuhnya dulu sebelum mempercayai penggambaran yang

dikatakan orang. Yang ...” kata Fidel menekankan, “manusia terkadang melakukan dusta.”

“Aku tidak mengerti?” Riang berusaha mencecar. “Mas tidak mempercayai hantu?”

“Aku mempercayai jika mahkluk halus itu ada, tetapi aku belum mempercayai jika

mahluk-mahluk itu dapat mengganggu manusia dengan penampakannya. Ingat ... pe nam pa

kan nya,” Fidel mengeja, “sebab bagaimana mau percaya, bagaimana dikatakan

menggangguku jika bertemu sekali seumur hidup pun, aku tak pernah. Kadang, aku baru bisa

meyakini sesuatu setelah melihat atau menyentuhnya, tapi itu kadang-kadang, ... dan teknik

ini ternyata berhasil membebaskanku dari rasa takut yang menjijikan.”

Riang tidak mencecar dengan pertanyaan ‘maksudnya?’ ia mengerti sebagian dan tak

mengerti sebagian yang lainnya. Ia cuma bilang, “Kata-kata Mas membuatku pusing.”

Fidel tak perlu melanjutkan toh tujuan awal dia untuk mengurangi ketakutan pada diri

Riang berhasil dilakukan.

Fidel tersenyum. Riang membalas. O begitu banyak senyum.

Rupanya senyum dapat membuat orang yang kalut menjadi tenang. Yang suram

menjadi bahagia.

SEMENTARA ITU itu di bagian danau lainnya, tak satupun bibir ikan yang jontor

dikait kail Pepei. Riang kemudian menyampaikan kornet yang diberkani Fidel. Pepei

kemudian kembali membuat bulatan umpan. Tak lama berselang, benang pancingnya diseret

ikan yang bernasib sial. Sebuah tarikan lantas melayangkan ikan ke udara. Ikan itu

membentur pohon. Satu ikan besar memar. Mulutnya sobek mengeluarkan darah.

43

Riang dan Pepei membawa dua ekor ikan menuju tenda. Sebelum di masak, Riang

membedah dua ekor ikan di pinggiran danau, sendirian. Saat itulah keganjilan kembali

mendatanginya. Sebuah suara memanggilnya.

R

i

a

n

g

K e m a r i

R

i

a

n

g

A y o k e s i n i

R

i

a

n

g

A k u i n i

M

b

a

h

m

u

J a n g a n

44

T

a

k

u

t

Riang menepis bisikan itu. Tapi suara yang sama semakin jelas di telinganya. Bulu

kuduk Riang tegap. Ia tergopoh-gopoh, menyelesaikan pekerjaannya lalu menghilang di

pintu tenda. Bersamaan dengan itu lenyap pulalah pembicaraan antara dirinya dengan Fidel.

Hitam mulai mengepung. Malam menjadikan danau segelap kubangan aspal. Bulan tak

sanggup mengintip yang dilakukan ketiga orang itu menggunakan permukaan danaunya. Di

luar tenda onggokan kayu kering tampak berdiri menyerupai piramida: kayu terbakar tetapi

hutan yang lebat memborgol api. Cahaya api tidak mungkin melarikan diri untuk

menyampaikan pesan pada gerombolan Kardi.

MALAM ITU, karena terlalu banyak ganggang, Pepei membawa air di dalam wadah

ke dekat perapian. Genangan air yang dari jauh terlihat pekat, dari dekat kini terlihat hijau

kekuningan. Ia kemudian menampung air di dalam peples besi dan panci kecil: menunggu

ganggang dan tanah mengendap. Tak mau tinggal diam, Riang lantas membantu Pepei

membuat penampungan air hujan, sembari berharap agar hujan segera datang hingga mereka

tak lagi kerepotan menunggu mengendapkan tanah dan ganggang hingga keesokan harinya.

Tak jauh dari ke dua orang itu, Fidel berhasil mengubah kayu menjadi abu yang panas.

Ikan segera ia masukan ke dalam perapian. Tak beberapa lama kemudian ketiga orang itu

sudah bersantap sambil berbincang ringan. Ketiga orang itu kemudian masuk ke dalam tenda,

mengistirahatkan badan. Tak berapa lama kemudian hujan pun turun deras dan ketika –di

pertengahan malam-- hujan mereda, sebuah suara kembali datang menyapa Riang.

R

i

a

n

g

K e m a r i

45

R

i

a

n

g

A y o k e s i n i

R

i

a

n

g

A k u i n i

M

b

a

h

m

u

J a n g a n

T

a

k

u

t

A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.

M a s u k ke d a l a m k e d a m a i a n.

R i a n g ... D a m a i Riang!

46

Mendengar suara misterius itu, Riang langsung menempelkan badannya di tubuh Fidel.

Fidel bangun, ia menebarkan kantung tidurnya. Lelaki itu menyangka jika Riang hampir mati

kedinginan. Ia tak menyadari jika tubuh Riang bergetar karena ketakutan yang sangat.

PLASTIK PENAMPUNGAN diluberi air hujan. Seekor semut dan sebuah daun

kering mengambang di atas genangannya. Fidel menuangkan genangan air itu ke dalam

botol. Sisa genangannya ia manfaatkan untuk memasak air teh dan merebus mie, sementara

air endapan danau ia gunakan untuk menanak nasi.

Pagi itu Riang kembali bangun kesiangan. Ia tak sempat melakukan apapun pagi ini.

Sekedar untuk cuci muka atau buang air pun belum. Riang mengingat kembali suara yang

mampir di telinganya tadi malam. Acapkali ia mengigat suara itu, acapkali pula ia tersesat di

dalam pikirannya: mengapa suara yang mengaku sebagai simbah itu kini manambahkan kata

damai? Riang berusaha menggodam pertanyaan itu hingga serpih remah-remah. Tetapi, tidak

bisa. Riang membutuhkan pertolongan. Ia segera membuka tenda dome. “Mas?” sahutnya

pada Fidel. Mulut tenda terbuka lebar.

Fidel melirik. “Badanmu segar?” tanyanya sambil menyodorkan gelas.

Riang menghirup air.

“Ada apa Yang?” tanya Fidel setelah menyaksikan kesadaran Riang bertambah.

“Sore kemarin kita membicarakan keberadaan mahluk halus ...”

“Kemarin kita bicara tentang keberadaan dan penggambarannya, lantas?” Fidel

menatap Riang. Tak ada satu orang pun yang pernah ia kenal langsung membicarakan topik

yang berat seperti itu setelah bangun tidur.

“Bagaimana Mas mempercayai keberadaan mahkluk halus, sedang Mas sendiri

belum pernah melihat, meraba atau mengajaknya bicara?”

Fidel memperhatikan rongga mata Riang. Hitam. Tidurnya tak nyenyak.

“Apa yang terjadi tadi malam?” Fidel curiga. Ia berusaha menyelidikinya.

“Tidak apa,” Riang mengelak.

Fidel tahu. Ia membiarkan Riang. Manusia tidak bisa dipaksa. Kalau Riang bersedia,

ia pasti akan membeberkan semuanya.

“Mempercayai keberadaan berbeda dengan mengetahui wujudnya.” Jelas Fidel

sambil menambahkan air teh pada gelas yang dipegang Riang. “Ada, belum tentu dapat

diketahui wujudnya...”

Keriut di wajah di Riang kurang lebih menanyakan: apa pula ini?!

47

“Mempercayai keberadaan berarti mempercayai adanya sesuatu di alam semesta,

tetapi mempercayai tidak otomatis mengetahui langsung wujudnya: Riang mendengar aku

bersuara, tetapi bagaimana wujud suaraku?”

“Tidak tahu”

“Bukankah suara itu ada? Bagaimana wujudnya?” Fidel tak memaksa Riang

menjawab. Ia melanjutkan. “ Karena tiupan angin, aku merasakan dingin sewaktu mencuci

muka di bak penampungan wihara dekat rumahmu, tetapi bagaimana bentuk angin itu?

Seperti apa bentuk dingin itu? Aku tidak tahu tetapi aku yakin angin ada. Ketika dikejar-kejar

gerombolan Kardi, kita cemas. Kita tahu bahwa kita cemas, tetapi seperti apa bentuk rasa

cemas itu? Kita tidak tahu tetapi kita mengetahui bahwa cemas itu ada. Keberadaan suara,

angin, perasaan cemas itu ada, tetapi kita tidak bisa melihat wujudnya. Tidak terlihat itu

bukan berarti tidak ada.”

“Rasanya aku mulai paham.”

“Kau merasa paham lantas seperti apa bentuk rasa faham?” Fidel menguji.

Riang tertawa. “Sudah! Sudah!” katanya. Dan dengan itu ketakutannya sedikit reda.

Fidel berusaha mengkoreksi pengertian Riang mengenai perbedaan antara

keberadaan dan wujud. Ia memahami bahwa yang dimaksud keberadaan dalam

pertanyaan: “Bagaimana mempercayai keberadaan mahkluk halus sedang Mas sendiri

belum pernah melihat, meraba atau mengajaknya bicara?” Adalah pertanyaan mengenai

wujud.

Riang cerdas. Ia mengkonfrontir pekataan Fidel kemarin sore bahwa untuk

mempercayai wujud atau penggambaran mahluk halus seperti yang dikatakan orang-orang,

ia diharuskan untuk menyentuh atau setidaknya melihat lebih dulu apa yang dikatakan orang

sebelum ia mempercayainya. Riang pikir Fidel tidak konsisten dengan ucapannya kemarin.

Salah sangka itu terjadi karena Riang belum bisa membedakan makna kata: mempercayai

keberadaan, dengan mempercayai wujud atau penggambaran (khusus) mahluk halus yang

diberitakan orang, semacam Oerip.

“Jadi, apa menurutmu, aku mempercayai keberadaan mahluk halus atau tidak?” Fidel

kembali bertanya, untuk memastikan.

“Percaya! Seperti kepercayan adanya angin dan perasaan cemas.”

“Aku mempercayai keberadaan mahluk halus bukan karena menyandarkan pada

analogi atau perumpamaan suara, angin dan perasaan. Itu cuma untuk membedakan

pengertian kata keberadaan dan wujud,” Fidel tertawa.

Riang tidak. Otaknya keriut.

48

“Jika kebanyakan orang mempercayai keberadaan mahluk halus dikarenakan

merasakannya, sedangkan aku tidak,” Fidel meluruskan penangkapan Riang. “Aku

mempercayai keberadaan mahluk halus karena menyandarkan kepercayaan dari informasi

yang disampaikan Tuhan melalui kitab suci.”

“Lantas, orang lain mempercayai mahluk halus dari mana?”

“Bisa dari informasi yang diberikan oleh sesuatu yang ia percaya: bisa dukun bisa

manusia.”

“Bisa juga ia benar-benar melihatnya,” sanggah Riang.

“Bisa iya melihatnya, dan bisa juga tidak, tetapi untukku .... aku tetap tidak

mempercayai penggambaran mahluk halus sebelum benar-benar melihat dan

membuktikannya sendiri, karena terkadang ketika orang mengatakan melihat wujudnya,

padahal terkadang wujudnya memang tidak ada.”

Pembicaraan ini semakin sulit bagi Riang.

“Orang sering kali menyimpulkan wujud mahluk halus padahal bisa jadi ia salah

menganalisa fakta. Kita sering melihat atau mendengar orang lari terbirit-birit karena

menurut penuturannya, mereka melihat hantu hitam, melihat sosok mahluk menyeramkan

yang dikepalanya menggeliat-geliat ular, padahal setelah diselidiki ternyata bukan mahluk

halus atau hantu. Apa yang mereka lihat adalah bayangan pohon kering yang disinari cahaya

bulan.”

“Lantas dari mana Mas mempercayai keberadaan mahluk halus?”

“Kan sudah kubilang mempercayainya dari kitab suci. Mengenai wujudnya seperti

apa aku tidak tahu, sebab aku belum menemukannya. Aku akan mempercayai wujud atau

penggambaran mahluk halus bila aku menemukan wujud, melihat dan membuktikannya

langsung, atau menemukan informasi penggambaran mahluk halus dari kitab suci dan

informasi yang kitab suci menyuruhku untuk mempercayainya. Aku belum merasa perlu

mempercayai penggambaran wujud mahluk halus dari dukun atau manusia di sekitar kita

karena manusia itu selalu alpa.”

“Lantas kita harus mempercayai dari siapa?”

“Dari firman Tuhan yang disampaikan melalui kitab suci.”

“Bagaimana kita percaya pada informasi yang diberikan Tuhan?” Pertanyaan Riang

naik jabatan. Ia maju selangkah.

“Bagaimana kita bisa tidak mempercayai Tuhan Pencipta Semesta Alam jika kita telah

membuktikan-Nya? Bagaimana kita bisa tidak mempercayai informasi yang disampaikan-

Nya, jika kita telah membuktikan keberadaan Tuhan sementara kita tidak mempercayai

49

informasi yang diberikan-Nya? Lalu kepada siapa lagi kita menaruh kepercayaan?” jawab

Fidel. “Apa Riang pernah disuntik?” tanyanya.

Riang tidak melihat adanya keterkaitanan antara suntik menyuntik dengan

kepercayaan terhadap Tuhan, namun ia berusaha mengikuti alur pembicaraan.

“Pernah.”

“Di mana?”

“Di tangan.”

“Berapa kali?”.

“Di tangan sekali, di pantat berkali-kali! Aku tidak menghitungnya. Sebegitu

pentingkah?”

“Sebegitu pentingkah pantat, maksudmu begitu?”

“Ya bukan to Mas!”

“Maksudmu, sebegitu pentingkah keterkaitan antara disuntik dengan kepercayaan

terhadap informasi yang diberikan Tuhan?”

Riang lega, orang yang ia pikir kehilangan fokus pembicaaraan ternyata mengerti

sepenuhnya apa yang akan dibicarakan.

“Kau akan mengerti kaitannya, tetapi sebelumnya mari kita sistematikakan dulu.”

pandu Fidel. “ Tetap di lanjutkan?” tanyanya.

“Ya.”

“Sehabis disuntik pernahkah Riang bertanya mengenai racikan bahan kimia apa yang

dimasukkan dokter ke dalam tubuh Riang?”

“Tidak. Untuk apa bertanya?”

“Bukan untuk apa, tetapi mengapa, mengapa tidak menanyakannya?!”

“Sebab aku percaya penuh pada dokter.”

“Mengapa harus percaya penuh, padahal banyak dokter yang melakukan praktik ilegal,

praktik gelap. Padahal, banyak dokter yang menyuntik cairan kimia yang salah dan membuat

penyakit seseorang bertambah parah.”

“Dokter di desaku pintar dan baik,” sergah Riang. “Tidak pernah satu orang pun yang

bertambah parah setelah diobati olehnya!”

Fidel tersenyum, “Riang mempercayai dokter, karenanya Riang menganggap tidak

perlu untuk bertanya: mengenai bahan kimia apa yang dimasukkan dokter ke dalam pantat?”

“Ya”.

“Nah, sekarang kembali ke pokok permasalahan yang kita bicarakan: mengapa Riang

tidak mempercayai sesuatu yang di sampaikan Pencipta manusia, mengenai suatu hal

50

sementara Riang malah lebih mempercayai yang diciptakan-Nya?”

“Mempercayai yang diciptakan-Nya? Mempercayai siapa?”

“Orang-orang yang membicarakan wujud mahluk halus ciptaan Tuhan?”

Riang diam.

“Apa mungkin kita menuduh Tuhan berbohong berkenaan dengan informasi yang

disampaikan-Nya, sementara kita mengakui bahwa dia Pencipta manusia?”

Riang menggaruk kepala, “Oh iya, tapi ...”

“Tapi apa?”

“Bagaimana kalau kita tidak mengakui adanya Pencipta manusia?”

“Kalau tidak mengakui adanya Pencipta, wajar jika dia tidak mempercayai informasi

yang diberikan Tuhan. Karena baginya Tuhan tidak ada.”

“Berarti dia tidak mempercayai keberadaan dan wujud mahluk halus?”

“Itu wajar. Bagaimana mau mempercayai keberadaan mahluk halus terlebih

wujudnya sementara mempercayai Tuhan yang menciptakan mahluk --termasuk diantaranya

mahluk halus-- saja tidak?"

Riang berpikir lama. “Lantas,” tanyanya, “informasi dari Tuhan mana yang dapat

kupercaya.”

Fidel menganggap pertanyaan itu sebagai sebuah kejutan. Riang cerdas.

“Banyak orang yang mengatakan bahwa kitab yang dipegangnya adalah kitab

informasi yang paling terpercaya. Artinya kitab yang di pegangnya dianggap sebagai

sebenar-benarnya kitab suci ciptaan Tuhan untuk mengatur dan memberikan informasi gaib,

termasuk mahluk halus pada manusia. Maka, ketika ada banyak orang yang mengatakan

kitab suciku adalah kitab suci ciptaan Tuhan, apa yang harus kita lakukan?”

“Aku tidak tahu.”

“Membandingkan!”

“Membandingkan?”

“Ya! Membandingkan, meneliti kitab suci yang mana yang sesungguhnya ciptaan

Tuhan atau malah reka-rekaan manusia belaka,” Fidel memperhatikan wajah Riang yang

bersinar.

Riang mendapat pencerahan.

“Kau memahami bagaimana manusia menemukan alur untuk mempercayai

keberadaan sesuatu yang gaib, bukan saja mengenai mahluk gaib, tetapi juga mengenai

surga, neraka bahkan awal penciptaan manusia dari mana?”

Riang berpikir hingga semenit. Fidel membiarkan.

51

“Aku memahaminya,” ucap Riang tiba-tiba.

“Dan kau memahami alur fikiran manusia yang tidak mempercayai hal gaib?”

“Setidaknya faham sedikit Mas.”

“Sedikit juga tidak apa!”

Riang kembali menghirup teh yang sedari tadi ia biarkanmenganggur.

“Mas?”

“Apa?”

“Saat kita percaya keberadaan mahkluk halus melalui informasi yang disampaikan

kitab suci-Nya, lalu bagaimana cara kita mempercayai keberadaan Tuhan? Kepercayaan

terhadap Tuhan disandarkan pada apa?”

“Disandarkan pada alam semesta menggunakan kekuatan akal kita,” jawab Fidel

gembira. Pertanyaan Riang mengejutkannya lagi.

“Mengapa untuk mengetahui keberadaan Tuhan kita harus menyandarkan pada alam

semesta menggunakan kekuatan akal? Mengapa bukannya dengan panca indera?”

“Mengetahui keberadaan alam semesta menggunakan apa?” tanya Fidel tersenyum

memahami.

“Menggunakan Indera?”

“Benar! Menggunakan telinga, penciuman, penglihatan. Dan salah satu syarat untuk

menjalankan akal dengan baik ialah menggunakan hal hal tadi, menggunakan perangkat

indera. Kamu mempercaya Tuhan?”

“Aku mempercayainya!”

“Lantas Kau mempercayai keberadaan Tuhan dengan apa?” Fidel menguji.

“Aku tidak tahu! Tetapi yang kutahu alam semesta itu teratur. Dan apa pun alasannya

keteraturan selalu ada yang menciptakan.”

“Alam semesta memang teratur sehingga terkesan mustahil jika terjadi dan muncul dari

sebuah kebetulan. Sebagai contoh, ada beberapa angka yang dianggap membuktikan

penciptaan yang tak mungkin kebetulan. Dan ini harus diuji.” Ujar Fidel. “Contoh ini sedikit

klasik.”

Fidel mengambil penggaris pita di dalam tabung hitam. Ia meminta Riang berdiri.

Riang mengikuti arahannya. Ia mengambil penggaris untuk mengukur tinggi badan,

kemudian membagi dengan jarak pusar ke telapak kaki; mengukur pinggang ke kaki dan

membagi dengan panjang lutut sampai kaki; membagi panjang jari dan membagi dengan

lekuk jari; yang terakhir, membagi panjang pundak ke ujung kaki dan membaginya dengan

siku ke ujung jari.

52

“Hasilnya: selalu 1,618: phi” ucap Fidel.

Riang terperanjat amat sangat. “Menakjubkan!” teriaknya. “Mengapa bisa seperti

ini?”

“Mengapa? The golden number of human life Fibonaci jawabannya. The golden

number of human life, merupakan bukti keberadan Arsitek Agung penciptaan. Semua

manusia kalau diukur seperti itu hasilnya, sama.”

“Mungkin Tuhan menggunakan penggaris saat menciptakan manusia?”

Fidel tertawa. “Dan menggunakan millimeter blok untuk menggambar cetakan wanita

cantik,” sambutnya.

Riang menggelengkan kepala berulang-ulang. “Menakjubkan! Me-m-menakjubkan!”

“Jangan dulu bahagia!” Fidel kembali mengetes Riang. “Latas, bagaimana dengan

manusia cacat yang tak memiliki jemari tangan dan kaki untuk membuktikan adanya angka

fibonacci? Apa mereka tak menakjubkan juga?”

Riang tak dapat menjawab. Penemuan yang membahagiakan itu dihantam palu.

Kebahagiaannya melesak hingga ke dasar bumi.

Fidel tidak mau membiarkan Riang kebingungan. Ia segera mengangkatnya kembali.

“Riang ...” ujar Fidel. “Manusia tak begitu memerlukan angka fibonaci untuk

membuktikan keseriusan penciptaan. Susunan saraf yang ada di dalam tubuh orang cacat, di

dalam aliran darah, di degup jantung mereka membuktikan betapa rumitnya proses

penciptaan. Alam semesta, termasuk manusia di dalamnya, tidaklah terjadi secara kebetulan

seperti saat kita mendapat lotre”.

Riang merasa lega, namun ada lagi yang hendak ia pertanyakan. ” ”Mas?”

”Ya?”

”Maaf ...” Riang bertanya hati-hati. ”Agama yang Mas Fidel anut, apa?”

”Memangnya kenapa?”

”Hanya ingin tahu saja.”

Fidel mengatur nafas. ”Menurut bahasa, agamaku bermakna damai. Islam berarti

damai.”

Mendengar kata damai Riang tiba-tiba terkena setrum! Bukankah suara yang

menghantuinya itu menambahkan perkataan:

M a s u k ke d a l a m k e d a m a i a n.

R i a n g ... D a m a i Riang!

M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.

R i a n g ... D a m a i Riang!

53

Sesuai dengan apa yang Fidel sampaikan. Riang tenggelam di dalam arus deras

pikirannya. Ia tak begitu memperhatikan lagi apa yang Fidel sampaikan. Kata damai terus

menerus mengiang-ngiang di telinganya. Memompa jantungnya, mempercepat aliran darah

di aortanya dan membangkitkan perasaan yang tak menentu. Mata Riang melompong!

Pandangannya kosong!

KEMARIN SORE Kardi masih berharap bisa menyusul sasarannya, tetapi ketika

kabut datang menyandung harapannya menjadi pupus. Kabut mengaburkan semua benda.

Jangankan menemukan kedua pendaki, untuk pulang pun mereka kesulitan. Sore datang dan

kabut tak jua hilang. Malam datang dan kabut menghilang. Ketiadaan senter memaksa

gerombolan itu menginap. Mereka menebasi ranting pepohonan, mengumpulkan dedaunan

untuk mereka jadikan atap bivak.

Pagi harinya, kekesalan memuncak! Malam dingin yang memaksa Kardi untuk tidur

bertumpuk-tumpuk bersama anak buahnya membuat Kardi mengutuk. Ia menghabiskan

seluruh perbendaharaan makian. “Asu!” teriaknya.

Kardi membangunkan beberapa orang anggota gerombolan yang mendengkur. Dalam

perjalanan pulang, pepohonan menjadi sasaran goloknya. Kardi membacok mereka. Sampai

di kaki gunung, penduduk kampung menjadi pelampiasan kemarahannya.

Gerombolan Kardi membuat onar.

54

PULANG

Setelah mendengar kata damai yang dikatakan Fidel, Riang berjibaku menghilangkan

sejuta macam pertanyaan yang mengganjal pikirannya. Ia bingung: mengapa di kepalanya

antri pertanyaan yang ingin keluar dari loketnya? Mengapa sejak kenal mereka pertanyaan-

pertanyaan yang dulu ia penjarakan kabur melarikan diri dan menemukan kebebasannya?

Jeruji dibobol. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah maling yang merongrong kenyamanan

hidup Riang.

Sejak Riang menyelesaikan sekolah menengah atas, sejak ia pulang dari Yogya ke

Thekelan pertanyaan-pertanyaan menghilang untuk sementara tetapi ketika Pepei meracau di

jalan setapak, di dekat pohon mati, pertanyaan-pertanyaan itu kembali mengendap-endap

seperti copet. Pertanyaan-pertanyaan itu tengah menunggu Riang lengah. Pertanyaan-

pertanyaan tersebut menyerupai gerilyawan Siera Maestra saat menjatuhkan rezim Batista.

RIANG MASIH MELAMUN saat Pepei menyerahkan dua ekor ikan pada Fidel.

Riang merasa tidak nyaman. Ia bangkit, membantu Fidel memasak satu ikan lagi. Usai

sarapan mereka berkemas..

Meninggalkan danau, Riang tidak mendengar suara aneh sekedar untuk mengucapan

selamat jalan. Danau yang Riang lihat untuk pertama dan terakhir kalinya itu menghilang.

Hanya ceritanya saja yang hidup dari mulut ke mulut, dari kicau ke kicau: menjadi obrolan

para pendaki dan setiap penduduk desa. Ketiga orang itu berjalan perlahan menembus

belantara. Parang berpindah tangan saat seorang di antara mereka kelelahan, karenanya, yang

memimpin jalan pun bergantian.

Tantangan terberat selama tersesat hanya pada saat mereka melipiri jurang yang

dalam. Selanjutnya tak ada masalah kecuali sepatu karet Riang yang menyebabkan kakinya

koyak. Kaki Riang lengket mengeluarkan bau tak sedap. Pepei mengambil tindakan. Ia

mempelester kaki Riang dan melapisinya dengan kain katun dan wol. Riang merasa

langkahnya menjadi nyaman, rasa sakitnya berkurang.

Beberapa jam kemudian, ketiga orang itu sudah melewati vegetasi khas pegunungan.

Ketika sebuah semak duri berbuah warna warni mereka sibak, perjalanan pulang menemui

55

titik terang. Jalan setapak yang semula Riang kira jalan air, memandu ketiga orang itu

menuju arah perkampungan. Semua keletihan dan ketidak pastian musnah saat mereka

melihat genting warna hitam terpanggang matahari. Di tempat itu kumpulan ternak mulai

tampak sebesar potongan lidi. Pemandangan ini membuat orang yang tersesat kembali

merasa berbudaya. Pemandangan itu membuat mereka tentram. Dan dari bukit terakhir pun,

suara sungai kecil terdengar berdenyar. Sampai di sana mereka berleha-leha di alirannya.

Ketiga orang itu memakan biskuit, meminum air hujan dan mencampurnya dengan sirup.

Usai rehat cukup lama, mereka kembali berjalan. Sore harinya ketiga orang itu sudah sampai

di perkampungan.

Riang tak mengenali perkampungan yang ia lewati, sebab memang perkampungan itu

jarang dilewati pendaki. Penduduknyapun merasa janggal melihat tiga orang tiba-tiba

berjalan beriringan. Biasanya iring-iringan yang mereka lihat adalah iring-iringan tukang

panggul kantung mayat.

Di gerbang kampung, energi mereka isi. Ketiga orang itu melahap nasi dan lauk pauk

sederhana, namun –nasi dan lauk pauk itu-- mereka rasakan paling nikmat sedunia. Dan di

warung itulah desas desus mengenai munculnya gerombolan residivis yang mengacau desa

Selo terdengar siaranya. Sekitar jam sembilan tadi, berita di radio menginformasikan bahwa

ketika gerombolan membuat kekacauan, tak ada yang melawan sebab saat itu ketika

gerombolan –yang diberitakan radio berjumlah puluhan orang datang-- hampir seluruh lelaki

dewasa tengah berada di lahan pertanian. Berita di radio diulang-ulang hingga menjadi topik

pembicaraan yang paling hangat hari ini.

“Iki lho! Iki lho beritane, ini lho. Ini lho beritanya!” pemilik Radio berteriak antusias

sewaktu duri ikan pindang selip di geraham Riang.

Jumlah orang-orang yang mengacau kampung terdengar terlalu berlebihan. Jumlah

gerombolan hanya belasan orang.

Keresek ... keresek... keresek

“Mboten jelas Pak! volumene di agengaken. Kurang jelas Pak! Volumenya

diperbesar!” pinta Riang.

Keresek ... keresek ... Volume radio diperbesar.

Sejak tadi siang aparat kepolisian bergerak. Dalam investigasinya, radio menyiarkan

langsung komentar korban. “Dasar mucikari!” kata seorang perawan kampung yang diisengi

perabotannya. Wanita lain yang mengaku rambutnya dijambak dan seorang ibu yang

ditendang, memaki-maki. “Polisi harus segera menangkap bajingan-bajingan itu!” kata dua

orang pemilik warung yang tabungannya dibobol.

56

Berita selesai. Penyiar menjanjikan kabar terbaru beberapa saat ke depan dan di saat

berita beralih menuju berita harga kol dan jantung pisang, dahi Pepei tiba-tiba mengkerut.

Bukan, bukan dikarenakan pemberitaan radio. Sesuatu yang menjalar di pangkal paha Pepei

membuatnya gatal. Seekor binatang –menyerupai lintah—menempel di sana. Pepei mencabut

lalu meletakkan binatang itu di tanah. Ia meminta satu kantung plastik air panas pada pemilik

warung. Pepei meletakannya di kantung celana untuk merredakan gatal. Setelahnya barulah

mereka turun dari perkampungan menuju jalan aspal.

Dalam perjalanan itu Riang membujuk Pepei dan Fidel agar tidak mengantar dirinya.

Ia mengkhawatirkan keselamatan dua orang, yang sebenarnya lebih banyak menyelamatkan

dirinya. “Mengenai jam yang ketinggalan, biar kuantar,” ucap Riang membujuk. Tetapi,

kedua orang itu tetap bersikukuh.

“Ini bukan tentang jam,” elak Fidel “Jika gerombolan Kardi mencegat, apa yang

akan Riang lakukan jika sendiri melawan lima belas orang? Jika bertiga, setidaknya

gerombolan itu akan berfikir dua kali untuk menyerang?”

Tentu saja. Pepei menambahkan.

“Mungkin, kita tidak sanggup melawan mereka semua, tapi semakin banyak jumlah

orang yang melawan, semakin banyak pula waktu yang bisa kita ulur?”

“Mengulur apa?” tanya Riang.

“Memberi kesempatan agar penduduk Thekelan memberi pertolongan.”

Tak ada lagi yang bisa Riang lakukan. Ia tahu pernyataan mereka tak mungkin bisa

digubrisnya. Pernyataan kedua orang itu merupakan keputusan yang fix.

Riang segera menghentikan bus yang melaju di jalan aspal. Mereka berada di

dalamnya hingga dua jam perjalanan. Ketika sampai di pasar Kopeng bus berhenti. Ketiga

orang itu turun lalu berjalan melewati gerbang wisata. Mendung di lokasi wisata Kopeng

menyebabkan suasana menjadi suram. Riang menemui penjaga. Ia yang sudah Riang kenal

bertahun-tahun tidak tahu menahu mengenai peristiwa yang terjadi di Selo tadi pagi. Penjaga

yang dahulu pernah tinggal di Thekelan tidak melihat gerombolan Kardi memasuki lokasi

wisata tempatnya bertugas.

Ketiga orang itu berjalan lagi, naiki tangga tanah sambil sesekali menyapu pandangan

ke segala arah. Tak ada yang mencurigakan namun Riang belum yakin selamat hingga ia

melewati gerbang kuburan. Kabar baik dari penjaga Kopeng tidak menyurutkan

kekhawatirannya. Riang bukan saja khawatir akan keberadaan gerombolan Kardi. Gerbang

kuburan yang nanti akan mereka lewati mengingatkan dia pada bisikan yang membuatnya

sulit pejamkan mata.

57

Gerbang kuburan semakin dekat, ratusan nisan tampak kusam dan mengerak Angin

mendorong pohon-pohon sampai doyong. Suara krak yang ditimbulkan mengingatkan Riang

pada tulang yang patah.

Di tempat itu segalanya tampak mencurigakan dan ... sebuah suara pekak tiba-tiba

menjadi sangsakala yang seolah menggulung tulang ekor Riang. Seorang lelaki yang

dikenalnya muncul dari balik semak.

“Setan alas!” mata Kardi terbelalak, melalap. “Rupanya anak setan ini yang membuat

semua kacau! Asu!”

Seorang lelaki mengelus brewoknya, anggota gerombolan yang lainnya melompat

keluar dari semak-semak di pinggir jalan setapak. Lima belas orang mengepung. Empat

orang lelaki memegang pentungan kayu, lima lainnya memegang golok, senjata sisanya

kepalan tangan.

Riang merasa tulangnya dipresto. Tulang punggungnya tiba-tiba rapuh, kekurangan

zat kapur.

“Kalau tidak mau mati, jangan melawan!” Kardi memperingatkan. “Serahkan barang-

barang Kalian!” Kardi berteriak mengancam Pepei dan Fidel, lalu menunjuk Riang. “Untuk

Asu yang satu itu!” Goloknya ia mainkan. “Aku akan memberinya pelajaran yang tak

mungkin dilupakan! Kau akan mengisi sisa hidupmu dengan penyesalan!”

Kardi hendak membuat cacat.

Ancaman itu membuat Riang tak mampu gerakkan badan. Ancaman adalah sirap. Tak

terpetik keinginan Riang untuk melawan. Ia mendadak mencium bau kemboja. Riang merasa,

dirinya tengah dimasukan ke dalam keranda. Riang hanya bisa menaruh harapan. Ia hanya

bisa memandang, meminta tolong dan menatap. Tetapi apa yang Riang harap? Ia tak melihat

adanya indikasi Pepei dan Fidel akana bergerak. Kedua orang itu malah meletakan ranselnya

di tanah.

Lelaki yang perkataannya tentang mahluk halus demikian meyakinkan, kini Riang

saksikan --dengan mata kepalanya—sendiri, gemetar. Lutut kaki Fidel tampak bergerak

secepat jarum mesin jahit. Yang lebih tak bisa dipercayai, lelaki lain yang sok-sokkan

bersabda tentang kegunaan pohon tumbang, yang belagak bicara kematian: o kematian

adalah kepastian, o apa yang akan kita hadapi setelah kematian, o dan o berlagak seolah jalan

setapak adalah panggung teater itu, membuat Riang ingin hoek sor! Yang berarti muntah.

Pepei sok-sok-an itu kencing di celana.

Gerombolan Kardi tertawa.

“Badan dan muka boleh keren, tapi kelakuan? Kayak banci!” Teriak Kardi mengejek.

58

Riang kecewa. Mengapa bisa seperti itu? Dimanakah janji mengulur waktu, sebelum

penduduk desa datang membantu? Kepercayaan Riang akan keberanian ke dua orang itu

wafat. Riang ingin menangis, namun ... tiba-tiba ... di detik-detik yang tak mungkin ia duga,

sebuah senter terbang dan menghantam! Bersamaan dengan itu, ketika Pepei melempar

ranselnya, sebuah tas kecil berwarna coklat terjatuh. Pepei segera mengeluarkan parang dan

mengayunkannya menuju bahu lelaki bertubuh paling besar. Lelaki itu mengelak lalu

membuat sabetan ke arah kepala.

Pepei menghindar. Ujung golok tipis membeset wajah. Ia tak merasakan apa-apa,

luka itu terlampau ringan. Dan jeda waktu antara sabetan dan tarikan tangan itu lantas Pepei

manfaatkan. Ia menyerang balik dan “Krak!” Bunyi tulang terdengar patah. Tak ada darah

yang memancar. Pepei belum mengeluarkan parang dari sarungnya, namun dua orang sudah

terkapar.

Di sisi lainnya, senter yang sebelumnya Fidel lempar membuat anak buah Kardi

terhempas di tanah. Di tangannya alat penerang itu menjadi senjata yang berbahaya. Usai

menghantam satu kepala lagi, senter yang ada di tangan Fidel hancur berkeping. Tak ada lagi

senjata, namun Fidel tak mau memberi kesempatan bernafas. Ia meringsek dan memukul satu

lelaki lain dengan tangkas! Ia bergulat di tanah dengan seorang yang –tubuhnya—lebih kecil

darinya. Beberapa pitingan dan bogem ke arah dagu membuat penjahat bertubuh kecil

pingsan.

Di tengah-tengah kejadian yang begitu cepat, Riang tersulut. Ia kalap. Ketakutan

membuatnya nekat. Ia menyabet pinggang anak buah Kardi yang bertubuh tambun. Usus

yang terburai membuat lelaki itu kelojotan hampir mati.

Lelaki brewok yang Riang temui di gerbang kuburan ia kejar. Ia menebas golok di

lambung. Lelaki brewok berkelit cepat. Parang Riang menggombang angin.

Peristiwa yang begitu cepat terjadi membuat gerombolan Kardi mundur dan tak lagi

mengelilingi mereka rapat. Lima orang telah terkapar di jalan, dan semak-semak. Keraguan

mulai mengganggu gerombolan yang tersisa. Mereka tak mau lagi bertindak gegabah.

Mereka mulai menaksir kekuatan lawan, dan saat taksir menaksir itu terjadi, akal Riang yang

beku mulai mencair.

“Tolong! Toloooooooong, begal! Ada begaaaaaaall!!” pita suara Riang bergetar

hebat. Teriakan pertama mengantarkan dua orang petani yang melengkapi dirinya dengan

pacul dari lokasi wisata Kopeng. Teriakan kedua membawa seorang ibu penggarap lahan

kentang. Clurit berada di genggamannya.

Kardi bimbang. Ia dan gerombolannya kebingungan.

59

Riang terus teriak. “Begaaaaall! Toloooooooooooong! Ada begal!” Teriakan Riang

yang terakhir disambut kentongan dari arah Thekelan.

Keputusan diambil.

Gerombolan Kardi surut. Kardi menyuruh anak buahnya berlari masuk ke dalam

hutan. Lelaki berewok segera memungut tas coklat yang terjatuh saat Pepei melemparkan

ranselnya. Bersama Kardi, ia menyusul sisa gerombolan. Kedua orang itu memotong lahan

pertanian bersama delapan orang lainnya. Dari kejauhan Kardi berhenti. Ia berteriak

mengancam. “Riang!! Lusa Kau pasti mampus di tanganku!”

Kemeja planel Kardi berkibar sebelum tubuhnya menghilang.

DARI ARAH THEKELAN kerumunan orang lari membawa macam senjata. Sisa

anak buah Kardi yang terkapar menjadi bulanan penduduk desa. Beberapa orang hampir mati

setelah kepalanya diadu dengan batu. Polisi kemudian datang memisahkan.

Mereka langsung menggiring lima pesakitan menuju bak mobil di pintu wisata

Kopeng. Di tempat itu mereka menyusun siasat: memobilisasi masyarakat untuk mengadakan

penyisiran.

Hingga beberapa hari kemudian, penyisiran tak menghasilkan apa pun juga, namun

kini, peristiwa dikalahkannya gerombolan menyehatkan kepercayaan diri penduduk

Thekelan. Jika gerombolan Kardi dibekuk oleh tiga orang, bagaimana hal nya jika orang-

orang satu desa bersatu meringkus mereka?

SORE SETIBANYA di rumah, bapak memeluk Riang erat-erat. Di ruang tengah

ibu menggamit langannya. Pada wajah Riang ibu meletakkan pipinya yang dicucuri air mata.

“Ndak kurang apa pun Bu... ndak kurang apa pun...” sahut Riang menenangkan. Di luar

rumah, ia melihat Fidel dan Pepei diinterogasi tentang ihwal kejadian oleh aparat kepolisian.

Mereka dikelilingi penduduk desa yang mengharap datangnya kisah perkelahian yang hebat.

Kedua lelaki itu berusaha meminimalisir peran yang mereka lakukan. Dan hal ini membuat

banyak penduduk desa kecewa.

Malam hari itu, sebenarnya Riang ingin mendengar kembali, ia ingin mengulangi

lagi kejadian yang telah mereka alami bersama. Tetapi sehabis makan ikan yang mereka

dapatkan di danau Merbabu, kedua orang itu tidak membicarakan hal yang Riang inginkan.

Mereka tertidur begitu saja, seolah-seolah mengalami hal yang biasa terjadi.

Esok hari, tepat jam delapan pagi Fidel dan Pepei memutuskan pergi. Riang

kemudian menyerahkan jam tangan Fidel yang tertinggal. Di gerbang kawasan wisata

60

Kopeng, mereka berpisah. Kedua orang sahabat itu Riang dekap erat. Mereka membalasnya

dengan peluk erat dan genggaman tangan yang rekat.

“Sampai jumpa lagi Mas!” ujar Riang. “Suatu saat nanti, mungkin aku akan

mengunjungi Mas di Yogja.” Lalu Riang beralih ke arah Fidel. “Mudah-mudahan Mas Fidel

senantiasa sehat dan bisa lekas kembali ke Thekelan!” katanya.

Fidel tersenyum dan entah mengapa Riang tiba-tiba tertawa. “Lain waktu bukan aku

yang ke Thekelan. Lain waktu Riang yang akan ke tempatku?”

Mobil kemudian berjalan perlahan. Sesekali klaksonnya terdengar. Dari kejauhan

Riang melihat tangan Pepei keluar dari jendela angkutan. Lelaki itu membuang kantung

plastik transparan ke dalam bak sampah. Terulang dalam ingatan Riang, kilasan peristiwa

saat Pepei memasukkan air panas ke dalam kantung celana untuk meredakan gatalnya.

Riang tertegun. Ia tak sadar menepukkan tangan di jidatnya! Riang menginsyapi.

Riang bersyukur. Lelaki itu ... Pepei, mengetahui benar, betapa pentingnya fungsi toilet

umum.

Riang sungguh-sungguh bersyukur.

MITOS

Sejak Fidel dan Pepei meninggalkan Thekelan etos kerja penduduk desa meningkat.

Keberanian membuat aura desa benderang, akibatnya banyak yang berubah. Thekelan yang

61

semula sepi menjadi ramai. Wartawan radio dan surat kabar Yogyakarta, berbondong datang

meminta penjelasan rinci perihal perubahan itu. Mereka mencoba menggali peristiwa

perkelahian yang terjadi di gerbang kuburan juga di danau Merbabu, Dan dari sekian banyak

informasi yang diberitakan, tentu ada salah satu yang menyimpang dari kebiasaan. Wartawan

yang seharusnya menerakan fakta di dalam surat kabarnya malah memuat head line “Seorang

Penduduk Thekelan Menemukan Ikan Purba.” Head line surat kabar lokal itu menampilkan

kerangka ikan.

Seingat Riang, tulang ikan danau Merbabu yang ibu masak untuk syukuran

dibuangnya di bak sampah. Riang tidak tahu keesokan harinya wartawan yang

mewawancarainya meminta Oerip mengubek tempat sampah. Tulang ikan yang Oerip

dapatkan itu lah yang dicetak surat kabar sebagai penguat judul headline.

Riang Merapi, bukan saja menemukan ikan purba. Riang Merapi berhasil menemukan

danau gaib, danau misteri dengan kekuatan supranaturalnya. Ia memiliki ilmu suci, ilmu

alam akhirat guna menerawang objek kasat mata.

Pemberitaan bombastis tersebut menggembol imbas psikologis yang tak disangka.

Thekelan mendadak diluberi ratusan peziarah dan paranormal dari ujung barat hingga ujung

timur pulau Jawa. Penjual mie pangsit, es campur, air keramat, pakaian, mainan anak dan

batu akik, tumplek di sana, di sekitar rumah Riang. Akibatnya banyak peristiwa membuat

Riang kerepotan. Pemilik warung yang dulu Pepei mintai seplastik air panas untuk redakan

gatal datang memintanya meridloi penjualan plastik berisi air berkah di halaman depan

rumahnya. Riang mempersilahkan tetapi tentu saja tidak di halaman depan rumahnya yang

sesak.

Seperti halnya entrepreneur kawakan, pemilik warung tak patah arang mendapat

penolakan. Ia berusaha, datang saban minggu terus menerus membawa sebungkus rokok,

kopi sebagai sesaji agar Riang bukan saja meridloi tetapi merestui. Pucuk dicinta ulam pun

tiba, setelah lima kali bolak balik Riang tetap bersikukuh. Lelaki itu harus merelakan diri

menjual air plastik bermerek Air Keramat Danau Merbabu di depan Wihara.

Usaha pencarian danau keramat terus menerus di lakukan. Bersamaan dengannya

mitos baru muncul. Di dasar danau Merbabu bersemayam azimat Majapahit yang akan

membangkitkan kharisma menyerupai kharisma presiden dan wakil presiden NKRI yang

utama: Soekarno – Hatta. Azimat akan mengucurkan karomah gamelan yang bernama Kyai

Pinurbo Joko hanya untuk penemunya seorang! Azimat adalah khadam pengganti doberman:

tak akan ada lagi wadam yang mengganggu kenyamanan hidup dengan bas betotnya. Tak ada

lagi penjaja serbuk abate! Tak ada lagi godaan duda dan baby sitter nakal yang tidurkan anak

62

majikan dengan ctm! Sirna sudah loyo! Hilang bala dan marabahaya! Hidup keharmonisan

keluarga!

Penjual batu akik pun mendompleng berkata-kata, berkhutbah di atas bukit, ajarkan

moralitas terkutuk. Ini bukan khurafat! Batu akik dilirik! Ini sejalan dengan ajaran sunan Kali

Jaga! Batu akik dibeli! Ini serpihan sisa batu hitam hajar aswad! Batu akik laris mensugesti

peziarah hingga ke alam akhirat. Batu akik adalah radar, lampaui endusan terwelu dan

musang! Adalah penuntun yang mempermalukan gprs! Inilah batu yang akan menuntun

kalian wahai saudara! Wahai umat! Duhai pengikut arwah Nyai Blorong dan bung-bung

penganut ajaran setia Murba Tan Malaka!

Sampai berbusa-busa, sepercaya apa pun orang terhadap tuah, tak seorang pun

berhasil menemukan azimat. Penjual batu akik yang ahli memanipulasi psikologi masa

akhirnya ditimpa sial. Dari arah Merbabu, seorang bapak bercelana sontog turun

bersemangat. Ia yang membeli batu akik berkali kali, tanpa cang tanpa cing dan cong

langsung melayangkan jotosan yang membuat ketupat di dalam perut remek. Penjual batu

akik kelenger, pingsan setelah mental setengah meter. Ia segera di larikan menuju klinik

pengobatan terdekat.

Penjual batu akik yang naas hilang, namun busa busa dan kecapnya masih bisa

Riang rasakan. Satu minggu kemudian sebuah mercedes benz hijau metalik berhenti tepat di

depan halaman rumah.

Seorang lelaki tegap keluar dari pintu depan, tergopoh-gopoh keluar, menuntun

seorang ibu turun dari pintu belakang. Wangi parfum si ibu tercium hingga kediaman

Hamengkubuono lima.

“Rumah Mas Riang Merapi dimana?” Tanya lelaki tegap.

Menggunakan jempol penjual nangka menunjuk. “Di atas Pak.” katanya.

Mengetahui ada yang mencarinya, Riang bergegas masuk ke dalam.

Beberapa detik kemudian suara dehem merayap di ruangan tengah.

“Ehem! Pemisi ... kulonuwon!”

“Monggo.” Riang melihat wanita setengah baya melihat-lihat keadaan.

“Benar, ini rumahnya Mas Riang Merapi?” Tanya lelaki itu tersenyum melihat

cecak di atap rumah.

“Bukan! Di sini bukan rumahnya Riang Merapi!”

“O, saya sangka...” lelaki itu membetulkan kerah jas. “Maaf kalau begitu.” Ia

berbalik namun sang ibu gerakan kepala memberi kode.

“Adik kenal Mas Riang Merapi?” Sang ajudan menghadap Riang kembali.

63

“Kenal.”

“Rumah beliau dimana ya?”

“Ya disini.” Riang geli dipanggil beliau.

Kalau di desa ini, tentu tahu, tapi kediaman pasnya beliau saya ndak tahu. Adik bisa

tunjukkan rumah beliau?” tanya sang ajudan sopan.

“Ya di sini!”

“Disini dimana?” Si ibu hilang kesabaran.

“Ya di sini! Saya Riang Merapi.”

“Oladalah ini Mas Riang?” Sang ajudan terkejut. “Lagi berkunjung ke rumah

teman?” Tanyanya.

“Ini rumah orang tua, saya belum punya rumah.” Jawab Riang.

Sang ibu melepas kacamata hitam, mengeluarkan tangan kanan menggenggam

tangan Riang erat.

Riang mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Si ibu menolaknya. Ia datang

hanya ingin memastikan karena tak memiliki waktu panjang. Tapi hukum evolusi mana pun

selalu mengatakan, orang yang membutuhkan akan tunduk pada yang dibutuhkan. Sang ibu

bersama ajudan masuk ke dalam ruang tamu.

Setelah berbasa-basi sedikit Riang langsung menuju pokok permasalahan.

“Ada apa perlu apa, sampai Ibu jauh-jauh datang ke sini?”

“Begini ...” Si ibu membuat jeda. “Sebelum langsung ke tujuannya saya harus

bertanya dahulu.”

Riang membuka telapak tangannya.

“Benar, Mas Riang pernah sampai di danau keramat Merbabu?”

“Bukan saja aku! Dua orang teman ku ikut serta!” Jawab Riang nakal.

“Langsung dengan mata kepala sendiri?!” Ibu itu memastikan.

“Bukan hanya dengan mata, mancing ikan! Saya mancing ikan Bu!” Riang terkekeh

seperti kakek-kakek.

“Bagaimana gambaran danaunya?”

Maka diceritakanlah detail keadaan danaunya.

Usai selesai menceritakan, mendadak sang Ibu menjentikkan jari. “Ctak!” Bunyinya

nyaring sekali.

“Tepat seperti yang dikatakan paranormal Jaka Edan” Katanya bergairah.

“Memang apa katanya?” Riang penasaran.

64

“Beliau bilang di dasar lumpur danau Merbabu tersimpan azimat Majapahit...” bla,

bla bla”

Artinya sang ibu ingin membantu suaminya mendapat azimat untuk membantu

promosi kenaikan jabatan suaminya.

Mendengar itu Riang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

“Uedaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!” teriak dia.

Wajah ibu pejabat berubah. Ia mengira Riang menghina diri dan suaminya. Riang

faham, salah sangka dapat berakibat buruk padanya. Ia memutar cara menghilangkan

kesalahpahaman.

“Apa kulit Jaka Edan berwarna coklat Bu?”

Wanita itu tidak tahu arah pertanyaan Riang, tetapi ia menjawab, “Benar!”

“Sudah berapa kali Jaka Edan datangi rumah Ibu?”

Wanita itu menelengkan mata pada sang ajudan.“Sekitar tiga kali ya?”

“Lebih dari itu...” Sang ajudan mengkoreksi. “Kalo ndak salah lebih dari lima kali.”

“Apa selama datang ke sana Mbah Jaka Edan mengenakan blangkon hitam?”

“Ya!” jawab si Ibu.

“Selalu hitam?”

“Cermat!”

“Apa janggutnya dilinting? Pakai baju orang yang sering ke masjid?”

“Baju koko maksudnya?”

“Tidak tahu! Pokoknya warna hitam. Baju yang sering dipake ke masjid?”

“Tepat!”

“Apa cengkoknya seperti logat orang Tegal?”

“Pas!” Sang Ibu sumringah.

“Walah gawat!”

Wajah sang Ibu mulai di warnai kekhawatiran.

“Bagaimana bisa gawat?!”

“Kalau memang Jaka Edan ciri-cirinya begitu! Berarti... berarti ...”

Si ibu mendesak. “Berarti apa!?”.

“Berarti Ibu kena tepu! Ibu ditepuuu!” Riang menahan tawa. “Jaka Edan itu

pedagang batu akik!”

Si ibu stress mendengarnya, apalagi ketika Jaka Edan dipukuli. Wajah si Ibu

merah. Kata-kata kasar tumpah dari mulutnya. ”Ealah. Wueddan! Wewe gombel! Nasi

65

goreng basi! Jus tai kuda! Meses tai cicak! Uaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah kiamat! Kiamat

aku!”

Mendengar makian-makian aneh yang seumur hidup baru ditemuiya Riang tak bisa

menahan tawa. Mati-matian ia berusaha mengentikan. Ia butuh pengalihan.

“Memang kenapa Bu?” Riang bertanya.

“Uangku ludes buat beli batu akik!” keringat dingin si Ibu bercucuran. Dan kata-

kata makian yang lebih aneh dari semburan yang pertama keluar. “Mas Riang punya

kedigjayaan?” Tanya si Ibu sebelum pingsan.

Riang kebingungan. Apa maksudnya?

“Mas punya keahlian? Atau mungkin punya benda yang mumpuni menambah

kharisma? Tolong suami saya ... tolong” Ibu itu mengemis.

Riang tidak mau berbohong. “Tidak Bu! Aku bukan paranormal seperti ... seperti ...

seperti ... JAKA EDAN!”

Jaka Edan adalah supersonik! Nama itu membuat telinga si Ibu menggelegar. Ia tak

kuat menahannya. Sang Ibu pingsan selama satu jam. Bangunnya ia menangis, bertaubat,

menyesali amblasnya uang duapuluh juta untuk membeli batu akik, bukan! Bukan hanya batu

akik! Tapi batu akik super tuah milik murid terbaik Sunan Bonang.

Mendengarnya, Riang malah dungu bertanya. “Bu ... kalau boleh tahu ... murid

Sunan Bonang itu siapa?”

Si ibu gelengkan kepala. Dan ia pun pingsan untuk yang kedua kalinya selama tiga

puluh menit. Lelaki sopan yang menjadi ajudannya merasa tidak enak, ia tidak mau

merepotkan. Diangkatnya tubuh sang majikan.

Di halaman depan rumah Riang, tiba-tiba sang ajudan mengingat masa-masa ketika

ia masih menjadi buruh angkut pelabuhan. Ia mengingat bagaimana sulitnya mengangkut

karung beras merah di punggungnya.

Riang salut. Jaka Edan istiqomah dengah profesi yang dijalankannya.

Heibat!

MACAM-MACAM KEANEHAN dan kejadian gila yang dialaminya membuat

Riang mengkait-kaitkan kejadian yang ia alami. Informasi bisa mengangkat orang biasa

setinggi-tingginya! Jika pemberitaan membuatnya tenar, pastilah kemahaberanian,

kemahaganasan gerombolan Kardi disebabkan obrolan penduduk yang terlalu berlebihan.

Obrolan itu membuat mereka makin ditakuti, padahal ketakutan yang berawal dari diri

66

sendiri membuat semua lemah terpecah. Jika obrolan dihentikan dan penduduk bersatu

mungkin sejak dulu desa Thekelan akan menjadi aman. Pikiran Riang selalu jauh.

Bisikan Simbah yang membuat kantong kemihnya bocor, entah mengapa tak pernah

mendatangi Riang kembali. Tetapi Riang tak meninggalkan ajakan “simbah” Ia terus

menerus memikirkan maksud dan penyebab hadirnya bisikan tersebut. Ia tak menemukan

jawabannya, hingga ibu menceritakan hal yang memaksanya untuk mengingat kembali.

Di atas kayu yang terbuat dari robohan pohon di dekat Pereng Putih, ibu

membicarakan masa muda Simbah yang ia habiskan dalam pengembaraan. Beliau gemar

mencari tempat menyepi, tempat bersemedi, kata ibu. Tapi simbah berbeda dengan temannya

kebanyakan. Dia orangnya penasaran. Selalu ingin membuktikan apa yang diceritakan

teman-temannya mengenai penampakan.

Teman-teman simbah sempat kesal, sebab setiap mereka menceritakan sebuah

keanehan, simbah yang langsung mencari tempat itu selalu bilang bohong, bohong, bohong.

Teman simbah tidak punya alat untuk menyangkal, tetapi ada waktunya ketika mereka pun

bersorak dan berhuray manakala simbah bertemu Kanjeng Ratu Kidul setelah melakukan

semadhi selama tujuh hari di Parang Tritis.

Sebelum bertemu Kanjeng Ratu Kidul, kata teman teman Simbah bangga, dari laut

terdengar suara-suara gemerincing. Orang-orang berteiak Lampor! Suara kentungan dipukul

keras-keras. Segala macam benda yang berbunyi ditabuh, agar mahkluk halus pengiring

kereta kuda Kanjeng Ratu Kidul tidak merasuki badan. Suasana sepi. Simbah tak peduli, ia

melanjutkan semedi, tapi baru sebentar menutup mata, simbah merasa pahanya ditepuk. Ia

membuka mata dan melihat wanita cantik datang menyerahkan kembennya. Waktu

kembennya Simbah ambil, wanita cantik itu hilang! Begitu pula dengan kembennya.

Pertemuan seseorang dengan Kanjeng Ratu Kidul di mata teman-teman Simbah

merupakan kejadian langka. Sangat-sangat langka. Mereka yang bertahun-tahun mendahului

Simbah dalam melakukan semadhi pun, belum pernah bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Meski

pun ingin berjumpa dengan sosok yang diidam-idamkan, mereka tak pernah mendapatkan

barang sekali, atau setengah kali, bahkan seperempat kali pun.

Pertemuan dengan Kanjeng Ratu Kidul akhirnya menjadi perantara antara simbah

dengan seorang pemimpin paguyuban mistis ternama. Adik jadi simpatisan paguyuban kami

saja, katanya. Simbah tidak tahu, dari mana, orang-orang paguyuban tahu ia pernah bertemu

Kanjeng Kidul. Simbah tak begitu peduli. Ia melanjutkan semedhinya sendiri.

Tak tahu lah apa yang didapat dari semedhi Simbah selanjutnya namun teman-

temannya berusaha menerka, menyangka-nyangka.

67

“Waktu kemarin dia baru kembennya, bagaimana kalau dapat yang lainnya?” kata

Mbah Jamus yang menyangka Simbah terkena sirep.

Biar teman-teman Simbah lainnya hampir berpikiran sama, mereka berusaha

mengusir jauh-jauh pikiran semacam itu. “Husy!” kata mereka. “Ojo ngomong koyok ngunu.

Ora ilo. Ngkuk ditekani! (Jangan ngomong kayak gitu. Pamali. Nanti didatangi)”

Teman yang lain yang suka ikut nimbrung tetapi tidak percaya kejadian macam

begitu malah terangsang. “Kalau didatangi. Alhamdulillah, ya tak ajak!”

“Ngajak nyapo?”

“Ngajak iku!”

“Iku opo!?”

...

Tentulah, bincang macam itu berlanjut ke hal-hal yang tak baik buat perkembangan

psikologi anak yang kak Seto kembangkan. Sudahlah. Kekotoran pikiran semacam itu harus

dihentikan. Simbah bersih. Jika pikirannya macam pikiran teman-temannya tentu Simbah

akan mencari tempat semedhi yang penunggunya putri-putri cantik macam Nyi Rambut

Kasih atau Banowati. Simbah tidak berpikir urusan fisik sederhana. Peristiwa di pantai

selatan malah membuatnya ingin menemukan Kanjeng Sunan Gunung Lawu yang selalu

dibicarakan. Tentunya Riang tidak boleh bertanya pada ibu apa simbah punya kelainan? Jika

Simbah punya kelainan, mungkin itu lain soal tetapi kenyataannya setelah ia semedhi dan tak

menemukan sang Sunan, Simbah beranjak menuju sebelah utara hutan Krendawahana. Ia

ingin membuktikan keberadaan raksasa bernama Sang Hyang Pamoni.

Sulit membayangkan ke-dajjal-an dan ke-syaitonirrajim-an Simbah, jika ia bukan

saja bergairah dengan sesama lelaki tetapi bergairah pula sama raksasa.

Riang mati-matian menghapus segala kemungkinan. Ia menolak akalnya bisikan-

bisikan lain yang membicarakan hubungan antara simbah Dengan Buto Cakil.

Tak adala lagi yang terjadi. Tak ada lagi mahkluk halus semenjak pemberian

kemben di pantai selatan membulatkan Simbah untuk mengentikan pengembaraannya.

Teman-teman yang menganggap simbah memiliki potensi tentu tak setuju, mereka

memalangi ketika simbah mulai mencoba menjalani hidupnya yang sehat. Simbah mencari

kerja di Kraton.

“Sebabnya apa?” tanya Riang sewaktu ibu katakan beliau berhenti mengabdi pada

sultan setelah tiga tahun berkerja, kemudian Simbah pergi dan menetap di desanya sendiri, di

bawah kaki Merapi.

68

Ibu tidak tahu penyebabnya, tetapi beliau menyangka karna simbah jatuh cinta sama

nenek Riang. Semua orang termasuk ibu hanya bisa berspekulasi. Yang tahu penyebabnya

hanya Simbah dan Sultan.

Dan di kemudian hari, di kaki Merapi lahirlah ibu Riang meramaikan dunia

Simbah. Setelah cukup dewasa ibu kemudian menikah, bercocok tanam dengan lelaki desa

hingga menghasilkan tanaman yang dalam kelahirannya diharapkan jam tujuh sudah ada

(jam pitu wes ono).

Semua manusia pastilah mengingat waktu yang merupakan pertanda bagi proses

perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Demkianlah dengan kelahiran yang menjadi

penanda. Simbah menganggap kelahiran Riang sebagai sebuah perubahan drastis dalam

hidupnya. Bukan saja ia makin sayang pada keluarga, bukan pula ia jadi sering bolak-balik

ke Yogyakarta sekedar untuk membeli makanan dan pakaian buat cucunya. Sejak Riang

lahir, Simbah menjadi semakin bijak.

Menurut penuturan teman-teman yang masih berharap simbah kembali ke dunia

perkembenan, seorang lelaki berambut kriwil, seorang lelaki yang sering Simbah temui di

Yogyakarta lah yang mempengaruhi cara pikirnya.

Ibu lupa nama lelaki itu. Beliau memutar gelas, berharap putaran itu dapat

mengembalikan ingatannya.

“Siapa Bu?” Riang terus memaksa.

“Sebentar...sebentar” Ibu berpikir keras. “Sebentar lagi dapat.”

“Emha Ainun Najib Bu!?”

“Ndak pasti itu. Tapi eeee....” Ia seperti mengingatnya.

Riang mendesak, “Emha Bu?! Emha?! Simbah pernah bicara dengan Emha?!”

“Ya ndak pasti ...belum tentu! Tapi sepertinya ...”

“Yang benar Bu?!”

Ibu berdiri, masuk ke dalam kamar menemui Bapak.

“Pak..Pak! Yang dahulu meng-islam-kan Simbah siapa?”

“Emha Ainun Nadjib!” Teriak Bapak agar Riang mendengarnya.

“Haaaaaaaaaaaaa!!” Riang melongo. “Emha Ainun Nadjib mengislamkan Simbah?”

Kepala Riang jadi berat seberat-beratnya. Emha pernah mengislamkan Simbah?

Lagi-lagi, suara itu mencor kepalanya.

R

i

a

69

n

g

K e m a r i

R

i

a

n

g

A y o k e s i n i

R

i

a

n

g

A k u i n i

M

b

a

h

m

u

J a n g a n

T

a

k

u

70

t

A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.

M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.

R i a n g ... D a m a i Riang!

“Kenapa melamun Nak?” Ibu menepuk paha Riang. Riang tergagap.

“Bagaimana kelanjutannya Bu?” Ia menjawab sekenanya.

“Bagaimana bagaimana? Setelah masuk Islam simbah mu ya jadi seperti orang Islam!

Sering shalat. Puasa di bulan ramadhan!” Ibu melihat Riang. “Jangan melamun hei!”

Riang mengusap wajah, mengucek matanya.“Terus bagaimana lagi Bu?”

“Bagaimana, bagaimana?! Yang bagaimana itu kamu Nak!” Ibu suruh Riang ke air.

“Kalau melamun bisa kesurupan!” Ia mengingatkan.

Riang cuci muka ibu melanjutkan cerita. Sampai di bab kepunahan keluarganya cerita

berhenti. Ibu menangis. Riang memeluk tubuhnya. Ia merasa tulang pundak ibu menusuk

dadanya. Ibu semakin kurus. Setelah tangisan reda, ibu melanjutkan cerita, menguak teka teki

mengenai suara misterius yang dulu pernah memanggil manggilnya.

“Sukanya Simbah, sukanya simbah ...” Ibu tertawa geli, “jilati kupingmu Nak setiap

jam delapan pagi.” Tapi, Riang haramkan ikut-ikutan tertawa apalagi ketika mendapat

informasi jika beliau suka membisik-bisikan sesuatu dikupingnya. Sesuatu seperti yang ia

dengan di gerbang kuburan dan danau Merbabu.

Riang bergumul dengan pikirannya. Saat itu, tentunya ia tak mungkin berpikir

tentang teori Freud mengenai alam bawah sadar. Ia tak mungkin menganalisa bisikan itu

mengambang di permukaan kesadaran saat kondisi mentalnya sedang jatuh. Riang cuma

berkata. “O, rupanya itu! Rupanya penyebabnya begitu!”

Apa yang ibu utarakan menjadi bahan perenungan baginya. Inilah yang membedakan

Riang dengan teman-teman sebayanya. Inilah yang menyebabkan Riang acapkali terlihat

bimbang dari segi keyakinan: bingung saat pikirkan alasan mengapa ia harus beragama.

Riang bimbang mendapati fakta.

Untuk apa agama? Sementara, orang-orang yang melakukan kekacauan di dunia,

adalah orang-orang yang menganut agama! Untuk apa agama, sementara, yang

menumpahkan darah di dunia, yang berperilaku amoral adalah orang-orang yang mengaku

memiliki agama! Untuk apa aku memeluk agama jika pemukanya ... jika seorang guru ngaji

mushola dekat sekolahnya digebuk ramai-ramai waktu kepergok menjilat payudara santrinya.

Untuk apa memeluk agama yang pemuka agamanya yang kata Delilah, temannya SMA,

71

pernah bilang, bahwa ada pastur yang kepergok menikmati anal seks dengan biarawati di

gerejanya!

Gila! Mereka yang beragama seharusnya memberi contoh! Riang yakin bahwa agama

tidak bisa mengkontrol manusia! Dan ia terus menerus menghabiskan energi,

mempertanyakan kenapa dirinya harus beragama? Harus melakukan ritual padahal tidak

shalat, puasa, pergi ke gereja, melakukan misa, bersemedi atau ritual macam apa pun juga

manusia bisa hidup. Ia masih bisa bernafas, masih bisa makan minum, dan masih bisa

berhubungan baik dengan sesamanya, teman-temannya.

Perenungan-perenungan itu tidak bersumber dari buku-buku yang ajarkan

epistemologi, tidak pula berdasar penelaahan hermeuneutika yang rumit dan kadang tak bisa

digunakan. Perenungan itu disamaknya dari kehidupan sehari-hari di Yogyakarta dan

mengendur ketika Riang menyelesaikan sekolahnya.

Sewaktu kedua orang itu datang, sewaktu Fidel dan Pepei datang, pertanyaan yang

ada di kepalanya menghantui Riang kembali. Ia merasa harus mempetanyakan, harus

merenungi semuanya. Ia merasa aneh, mengapa Fidel beragama? Mengapa dia meyakini

agama –yang di negeri ini—pengikutnya paling banyak menempati penjara? Mengapa agama

kakekku serupa dengan agama yang dianut Fidel?

Sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala, ketika tak ada

seorang pun yang bisa diajak Riang bicara, berbagi cerita.

Mengapa Riang tidak membicarakan hal ini dengan orang tuanya? Apakah Riang

merendahkan mereka. Tentu tidak, Riang hormat, meninggikan ke dua orang tua di atas

segalanya. Ia sangat mencintai mereka. Cintanya bahkan bisa dikatakan seperti orang-orang

norak kekurangan sumber bacaan yang kemudian mengatakan pada kekasihnya, “Cintaku se

dalam samudera.” Atau cinta kita melebihi tingginya langit.” Lebih kreatif jika mengatakan

cintaku setinggi pohon mahoni, cintaku hingga astana giri bangun (maksudnya hingga

dikubur masih cinta) atau cinta kita sedalam dompet seperti tulisan yang tertera di bak truk

menuju Blora.

Akan tetapi, sesuatu yang norak adakalanya benar. Cinta Riang pada orang tua,

begitulah kenyataannya. Meski dia mencintai mereka, dalam masalah tertentu seseorang

tidak mungkin berbagi. Di keluarganya Riang tidak terbiasa membicarakan hal-hal yang bisa

mengeluarkan keringat darah dan munculkan bintang-bintang di kening. Riang memilih

menyimpan pertanyaan dan perenungan di kepalanya sendiri.

72

Riang keluar mencari udara segar, setelah ia mengkhatamkan pembicaraan dengan

ibu. Ia merokok, memandangi dinding Merbabu yang berkilat seakan dipernis. Di halaman

itu Riang serasa dibisiki.

Mengapa tidak kudatangi Emha, sekalian datangi Pepei saja?

Bisikan itu tidak muncul dari alam bawah sadarnya.

Riang memang harus menyegerakan diri memecahkan krisis eksistensi ini, sebab jika

tidak, sebab jika terus dipendam, bisa-bisa pikiran-pikirannya menjadi humus yang

membusuk di batok kepala. Jika tidak Riang bisa gila. Riang segera habiskan rokoknya.

Masuk ke dalam kamar ia menghitung uang yang di simpannya di kaleng biskuit Marie.

Jumlahnya yang beberapa puluh ribu cukup untuk membiayai hidupnya selama seminggu.

Malam hari, setelah orang tuanya memberi izin, Riang mengemas baju. Bapak

memberi Riang uang panen yang tersisa. Total uang yang ada di dompetnya ternyata cukup

banyak. Cukup untuk berpetualang menuju arah Barat pulau Jawa.

Riang teringat kembali janjinya pada Fidel.

Apa janji itu harus ia tepati?

NURANI

Kardi marah atas kejadian di gerbang kuburan. Lima anak buahnya habis, tinggal

sembilan yang tersisa. Saat mengetahui kabar penyisiran yang dilakukan penduduk desa dan

aparat kepolisian, ia mangkel. “Apa kita ini kutu sampai harus di sisir!” Baskom yang

malang, baskom yang digunakan sebagai wadah sementara tangan dan kaki menjadi mesin

cuci retak ditendang, retak pada hantaman ke dua dan ambrol sepenuhnya pada hantaman ke

lima. Busa cucian terbang, airnya tumpah. Kardi tak mempedulikan. Ia pilin planel dan

celana jeansnya yang kotor oleh tanah. Air mengucur. Ia menjemurnya di bentangan tali

73

rapia. Setelah cuciannya di keringkan oleh angin, Kardi bersama gerombolan yang tersisa

mengungsi dari pegunungan.

Melarikan diri dari penyisiran, mereka berpencar sejak batas akhir hutan. Mereka

menunggu malam untuk sampai di perkampungan, mengendap-endap menuju jalan raya

naiki bison, bis kecil menuju Solo atau menghentikan truk masuk ke dalam bak kayu, menuju

habitatnya semula di Yogyakarta.

Di Yogyakarta, untuk beberapa saat Kardi dan lelaki brewok menghindari pasar

tempat mereka dulu mencari nafkah. Kedua orang ini cukup cerdas. Mereka mengira aparat

kepolisian masih akan melakukan pencarian di tempat-tempat yang mereka pernah singgahi.

Kedua orang itu pun bersembunyi dari satu kontrakan ke kontrakan teman teman lainnya

yang satu aliran. Mereka baru melakukan aktivitas seperti biasa setelah pemberitaan media

massa reda. Keduanya menuju pasar, menumpang bersama preman yang Kardi kenal semasa

SMA. Mereka melakukan aktivitas menjemukan yang dulu pernah dilakukan: menarik uang

parkir sepeda motor, pajak keamanan yang sudah dilakukan belasan tahun oleh preman

sebelumnya. Beberapa bulan setelahnya kehidupan kedua orang itu berubah setelah seorang

lelaki dari organisasi kepemudaan mendekati mereka.

LANTAS SIAPAKAH LELAKI BREWOK yang selalu dampingi Kardi, siapakah

dia yang seolah-olah berprofesi sebagai asistennya seandainya Kardi adalah direktur PT.

Gunung Harta yang bergerak dalam usaha minyak curah. Dialah Sekarmadji, seorang yang

bertampang seram, kejam, tetapi sesungguhnya hati dia tidak sekeras intan. Di hari ke dua

ketika penyisiran berlangsung, Sekarmadji menemukan tas coklat yang di pungutnya saat

peristiwa gerbang kuburan. Tas yang sebelumnya ia berikan pada Kardi itu menggantung di

antara dahan pintu.

Sekarmadji naiki pohon. Setelah mendapatkannya ia tidak menyegerakan diri menuju

gubug. Ia bersandar di batang pohonnya, membaca buku catatan yang ada di dalam tas. Buku

itu menyedot kesadarannya. Sekarmadji linglung. Hatinya menjadi berat.

Aneh jika perasaan berkecambah, tumbuh dengan sendirinya. Di masa lalu

sesungguhnya Sekarmadji bukanlah orang yang tak beradab. Di kota kecilnya dulu ia pernah

mengalami hidup berkecukupan. Awal kejatuhan kenyamanan hidupya berawal dari

komplikasi penyakit bapaknya.

Sekarmadji masih mengingat bentuk Othang baik-baik. Masih tergambar jelas di

benaknya, sisiran rambut Othang yang klimis. Ia masih mengingat bagaimana lelaki itu

memilin-milin janggut khas orang-orang shalih dan menggunakan atraksi berbahasa yang

74

santun untuk mengajak bapaknya bisnis lobster serta madu dari hutan di pinggiran pantai

selatan.

“Kenapa tidak mencoba pinjam uang di bank?” tanya Bapaknya, ketika Othang

ajukan proposal peminjaman uang. Othang tersenyum bijak atas pertanyaan itu. Ia lantas

menjelaska perbedaan antara riba dengan sistem sirkah mudarabah, yakni sistem bagi hasil

yang tidak libatkan rente di dalam pengerjaannya.

Bapak Sekarmadji yang sebetulnya memahami keharaman riba, tertawa. Ia percaya

dengan Othang, sebab bukan satu kali dua kali ia melihat pemuda itu shalat berjamaah di

masjid desanya. Perilaku Othang ia anggap jaminan mutu.

Dana pensiun cair karena garansi, tetapi tak ada angin tak ada hujan beberapa hari

setelah uang pinjaman di berikan, Othang diketahui raib pada hari Jumat! Ia yang ibadahnya

diketahui jagoan, tidak masuk ke dalam gua menuju dan shalat menuju Masjidil Haram di

Makkah. Bapak Sekarmadji tidak mempercayai kemampuan seperti macam wali seperti itu.

Ia mulai berpikir pemuda yang sudah ia beri kepercayaan dengan derajat kepercayaan seratus

prosen itu meruntuhkan kepercayaannya.

Bapak Sekarmadji depresi. Ia tidak tahu jika pemuda Othang bukan orang yang

lidahnya ringan dipergunakan untuk urusan kibul mengkibul seperti kebanyakan orang yang

dengan mudahnya menggunakan sumpah atas nama Allah, demi Allah’. Othang tak seperti

yang dibayangkan orang-orang. Raibnya Othang dikarenakan ketentuan yang berasal dari

luar kekuasaan dia.

Othang tidak disembunyikan jin untuk di sunat, --apa yang mau disunat?—Othang

tidak terkait dengan mistisme timur macam itu. Jika dirunut, cerita hilangnya Othang berawal

saat dia melakukan survei sarang lebah kayu di dalam hutan pinggiran pantai selatan. Saat

menemukan sebuah sarang lebah yang gemuk, ponakan dia yang setengah waras setengah

dungu, melempar sarang lebah kayu itu. Otomatis lebah marah. Mereka mengejar ke dua

orang itu. Kejadian yang seharusnya dipandang horror menjadi sesuatu yang

menggembirakan bagi ponakan Othang. Sambil lari ia tertawa, sementara di sampingnya

adrenalin Othang melonjak membuat larinya menjadi semakin cepat. Ia lari, terus lari

menyelamatkan diri, tak sadar jika di hadapannya terdapat jurang limapuluh meter. Othang

terjun bebas. Di udara ia berusaha membuat gerakan agar ketika jatuh posisi tubuhnya

vertikal menembus permukaan laut. Namun lelaki malang itu tak sempat melakukannya.

Othang mendarat keras di permukaan laut. Ia merasa tubuhnya dihantam dinding raksasa.

Othang pingsan dan tenggelam.

75

Di atas jurang, ponakan Othang di hadapkan pada dua pilihan: menolong pamannya

atau berlari memutar. Si idiot masih memiliki tanggung jawab. Ia loncat dari ketinggian,

masuk ke dalam laut dengan posisi sempurna. Saat tubuh pamannya ia dapatkan, ponakan

Othang tak mampu mengangkat. Nafasnya sesak. Pada akhirnya dua orang itu menjadi

teman-teman cumi dan ikan kakap. Jasad mereka terseret arus liar bawah laut, masuk ke

dalam gua dan mendekam hilang untuk selamanya.

Peristiwa macam ini memang sangat sulit dipercaya, tetapi adakalanya dalam satu

tahun kita membaca atau mendengar sebuah peristiwa yang sama sekali tidak pernah terpikir

akan menimpa manusia: di Jakarta seorang seorang ibu melahirkan di bawah pohon yang

tumbuh di kompleks rumah sakit bersalin; di negeri gajah putih, seorang pilot di skor karena

sempat-sempatnya menurunkan helikopter dalam latihan tempur hanya untuk mencari jamur

yang di pesan ibunya; ada lagi kumpulan warga Kamboja yang memakan mayat teman-

temannya karena cadangan makanan di perahu pengungsian habis. Atau peristiwa

pembakaran diri Yan Pallach seorang mahasiswa Praha yang menjadikan dirinya sebagai

obor peringatan bagi tentara beruang dari Rusia. Di hadapan peristiwa yang benar-benar

terjadi itu apa yang terjadi pada Othang dan ponakannya tampak kecil.

Bapak Sekarmadji tidak tahu musibah tersebut, karenanya cukup manusiawi jika

buruk sangka membuat beliau depresi, membuat ia digerogoti penyakit lamanya. Bapak yang

semula bugar dan sehat menjadi kurus. Sisa uang pensiunan dan tabungannya amblas

terkuras membiayai perawatan di rumah sakit. Ia berbaring tanpa daya di tempat tidurnya dan

tanggung jawab pun beralih pada anaknya yang tertua.

Seperti sinetron rumah produksi Raam Punjabi yang gampang di tebak, bantuan entah

dari keluarga atau tetangganya yang berkecukupan tidak juga datang. Tidak ada yang bisa

atau lebih tepatnya tidak ada yang mau membantunya membuat Sekarmadji patah arang.

Dengan teramat sederhana, kebencian mulai tubuh di hatinya. Ia memutuskan pergi dari desa

kelahirnya, menetap dari satu kota ke kota lain.

Tingkat pendidikan Sekarmadji yang di zaman ini sulit digunakan membuatnya putus

asa. Bergabung dengan Kardi merupakan cara pintas. Di Yogyakarta pertambahan waktu

selanjutnya menjadikan Kardi sebagai kawan dekat yang mendangkalkan nurani Sekarmadji.

Sekarang buku itu ada di tangannya. Apa yang harus ia lakukan ketika nurani

memanggil-manggil, menagih-nagih hak yang harus ditunaikan pemiliknya. Nurani berusaha

menguasai kontrol dirinya, namun itu belum cukup, hingga suatu kejadian datang dan

mengingatkan Sekarmadji akan kesalahan jalan yang sudah cukup lama ditempuhnya.

76

PENGAKUAN

Agustus. Sudah setahun Riang tak menyambangi. Yogyakarta tidak begitu banyak

yang berubah. Hampir sama seperti dulu. Di jalan, motor-motor susul menyusul. Helm catok

yang fungsinya –sebatas— supaya tidak ditilang polisi –bukan sebagai pelindung kepala--,

menempel di sebagian besar pengendara. Warung-warung berjejer di pinggir jalan. Di balik

kaca penghalang debu jalanan, goreng lele yang renyah, pecel sayuran, tempe bacem,

sambal, sayur asam, tahu, rempeyek dan ikan teri putih sebesar kelingking, membuat lidah

Riang menggeliat. Riang harus bertahan, harus bersabar, mutlak musti bertekad! Tarif makan

warung pinggir jalan itu mahal. Ia yang biasa hidup sederhana harus berhemat. Manusia yang

belum kaya, jangan terlalu dihamba bisikan selera!

77

Yogyakarta, kini terasa panas bagi Riang. Perubahan suhu yang drastis berakibat pada

kesehatan tubuhnya. Baru sebentar berada di kota ini, temperatur badannya naik.

Menggunakan lengan baju, ia seka keringat. Nodanya coklat. Minyak yang ada di mukanya

jadi penyaring debu dan karbon monoksida. Di setopan ia bertemu dengan wanita manis

berwajah gulali. Badannya harum, tetapi sayang-disayang bulu ketiaknya tidak dicukur.

Wanita itu bilang, tujuan Riang masih jauh, masih harus menggunakan bus.

Dibilang jauh, Taryan ketawa. Ia memilih jalan. Jauhnya orang kota tentu tidak

sebanding dengan jauhnya orang desa, apalagi yang bilang jauh itu wanita. Riang melewati

beberapa lampu merah, melewati bangunan universitas megah yang halamannya luas. Ia

ingin masuk tapi rasanya segan. Lagipula tujuannya ke Yogyakarta bukan untuk jalan-jalan

melainkan bertemu Emha, bertemu budayawan berikut menyambangi dan bertanya mengenai

banyak hal yang mengganggunya pada Pepei.

Dari jalan besar Riang belok ke arah kiri, menuju gang berhias gapura tujuh belasan

bergambar tentara menggenggam senjata otomat zaman Westerling, bren! Mulut tentara itu

menganga, kakinya nyeker. Tiang lain pada gapura menggambarkan extrimis republiken

tengah menikam dua tentara Dai Nipon yang berteriak Akh! Sementara tentara satunya lagi

mengumpat, Bagero!. Di atas gapura, kain merah putih terbentang. Di tengah-tengahnya

tergantung triplek putih bertuliskan Dirgahayu Republik Indonesia yang ke sekian, tak lupa

diembel-embeli pekik meredeka! Dengan huruf kapital tentunya!

Sekitar seratus meter dari gapura jalan menurun. Alamat rumah Pepei akhirnya Riang

temukan. Rumah itu bercat hijau. Halamannya ditanam rambutan. Di depannya terdapat

lapangan bulu tangkis yang berhimpitan dengan wartel dan warung keperluan sehari-hari.

Ktuk! ktuk! ktuk! Riang mengetuk pintu rumah, “Permisi!”

Seekor ayam yang asyik tidur, terusik. Ayam itu terperanjat, terbang keluar dari balik

pagar. Minibus yang tengah melaju, meninjunya. Tubuh si jago yang gagah msenghantam

pohon asam! Rem tangan di tarik. Krek! Minibus berhenti ditanjakan. Pengemudi turun.

Wajahnya pias.

”Siapa pemilik ayam ini Mas?” Pengemudi bertanya pada Riang, wajahnya pias.

”Mana ku tahu? Baru pertama ke sini Mas.” jawab Riang singkat.

Pengemudi bingung. Di belakang minibus antrian mobil membunyikan klakson tan

tin tan tin ketika mengetahui bahwa yang sekarat bukan manusia.

Pengemudi minimbus segera pinggirkan kendaraan tepat di atas tanjakan. Orang-

orang berkerumun. “Lekas panggil Paijo!” Teriak seseorang pada anak yang tubuhnya

78

terlihat paling kecil di kerumunan. Anak itu berlari dibayang-bayangi gigitan tato laba-laba

pada bahu pemuda yang baru saja memberinya perintah.

Tak lama berselang, orang yang dicari si anak datang. Ia menatap ayamnya, nanar.

Paijo mengelus sambil memandang mata pengemudi minibus. Pengemudi minibus lekas

minta maaf. Beberapa orang berkhayal, polisi yang nantinya datang terlambat akan

menggunakan kapur tulis seperti yang digunakan polisi bule saat memberi tanda tempat

kejadian perkara di film action yang sering mereka tonton.

Tak ada film action karena Paijo memaafkannya. Pengemudi minibus bernafas lega.

Ia serahkan uang tapi Paijo menepis nya. “Tidak usah Mas! Saya yakin Mas tidak berniat

menubruk ayam saya! Ini kecelakaan! Setiap kejadian adalah qudrat dan iradat-Nya.”

Pengemudi minibus tak begitu saja percaya. Ia sodorkan uang, membungkuk-bungkuk,

namun segigihnya orang, pastilah menyerah jika sudah berhadapan dengan manusia

berkeyakinan cadas. Setelah sebelumnya mengatakan ’maaf’ yang Riang hitung sudah

diucapkan lebih dari duapuluh empat kali, pengemudi mini bus berlalu.

Konsentrasi Paijo kini terfokus pada ayam sekarat yang didekapnya. Ia menarus ayam

yang malang itu di samping net bulu tangkis. Ia berlari menuju tempat Riang berdiri. Riang

khawatir, benar-benar khawatir! Jangan-jangan Paijo tahu kalau dirinya yang membuat ayam

terbang. Tidak! Paijo melewatinya begitu saja. Di Yogya Riang bersyukur untuk yang

pertama kali dan yang kedua kalinya saat Paijo mengetuk pintu, dan berteriak “Masssssssss!

Mas Pepei!”

Tak ada jawaban dari dalam. Paijo membuka pintu, masuk ke dalam dan kembali

berteriak. Tak lama kemudian ia keluar membawa pisau dapur. Paijo belari menderu-deru,

menuju lapangan bulu tangkis. Sebelum piaraannya mati, ia menyembelih ayamnya,

“Alhamdulillah masih sempat!” katanya.

Dalam pada itu seseorang yang datang dari belakang mengejutkan Riang “Ada apa?”

Tanyanya. Lelaki yang bertanya melihat ayam yang menggelepar, “O kusangka ...” lalu ia

menoleh pada Riang dan berteriak. “Ya ampuuuuun! Bandoooo… ya ampun Bando …

Riang! Sejak kapan ada di depan!”

Riang latah ikut-ikutan. “Ya ampunnnnn Mas Pepei. Ya ampuuuun!” sambil

menempelkan kedua tangan di pipi seperti Meisyi saat membawakan acara Bando di salah

satu stasiun televisi swasta.

“Masuk-masuk!” Pepei membawa Riang ke dalam. “Silahkan duduk!” Katanya.

Saat Riang duduk tanpa memberitahu akan kemana, Pepei meninggalkannya. Ia

keluar dari pintu belakang.Riang duduk diatas ubin yang sudah dialasi tikar.

79

Di ruangan itu Riang tidak melihat tempat duduk. Majalah lawas berserakan.

Lembaran-lembarannya lepas. Ada hektar yang di paku pada meja kayu. Sebuah jam

sederhana tergantung di tembok. Sebuah televisi tua dimatikan. Di sampingnya pesawat

telepon dialasi tatak rotan menclok.

Beberapa menit kemudian Pepei kembali dari pintu depan. Ia membawa makanan

ringan, kacang-kacangan, wafer dan es jeruk.

”Sejak kapan di Yogya?” Sambil menuang air yang maha segar itu, Pepei memulai

perbincangan.

”Baru saja sampai.” Jawab Riang datar.

”Kabar orangtuamu bagaimana?”

”Baik-baik saja.”

Jika sudah lama tidak bersua membuat atmosfer sebuah perjumpaan akan menjadi

hambar. Pepei membiarkan Riang makan dan membiasakan diri terlebih dulu. Pepei

menjerang air di dapur dan membawa dua gelas air hitam. Wangi air itu sampai di hidung

Riang.

”Ayo diminum!”

”Baik Mas.”

”Jadi kayak robot!?” Pepei tertawa memandang Riang. Ia berusaha memecah

kekakuan.

”Siapa ?” Tanya Riang sambil menghirup kopi.

”Ya kamu!”

Riang tidak begitu ahli dalam permainan psikologi perbincangan semacam ini, maka

ia alihkan obrolan. ”Mas membaca koran beberapa bulan lalu?”

”Tentang apa?”

”Tentang kita, tentang danau keramat di Merbabu, tentang perkelahian yang waktu

itu...”

”Bagaimana bisa?” Pepei menatap langit-langit yang sempit, ”...menemukan ikan

purba?!” Saat tertawa, amandel Pepei kelihatan. ”Ada-ada saja! Seminggu berturut-turut

Thekelan dimuat di koran, diberitakan di radio, setelah itu apa yang terjadi di sana?”

”Yang terjadi bagaimana?” Riang kebingungan.

”Ada yang berubah?”

”Apa?”

”Ya apa?!” Pepei pura-pura kesal. ”Apa yang berubah di Thekelan?” Tanyanya.

80

”O itu,” Riang melongo. ”Sekarang banyak orang yang ziarah ke Thekelan Mas...”

Dan ia pun menceritakan semuanya. Mendengar cerita Riang tentang ibu pejabat yang

semaput, air kopi nyembur mengenai baju Riang.

”Yang!?” Tanya Pepei setelah meminta maaf.

”Iya Mas?”

”Tadi kau ceritakan perubahan di Thekelan, sekarang, kau mengalami perubahan

macam apa?”

Yang berubah tentangku?” Riang menunjuk dirinya.

”Iya, yang tentangmu!” Pepei hampir-hampir menggelengkan kepala. ”Sekarang

kamu terkenal di mana-mana, diberitakan di media massa, barangkali kamu banyak ditaksir

wanita?”

Riang hilang keseimbangan, mendengar pertanyaan itu. ”Ah mas ini! Sungguh

Maaaas! Ndak ada niat pacaran! Repot kalau harus membiayainya.”

”Siapa yang bertanya tentang pacaran. Aneh, aku kan Cuma bertanya, apa kamu

sudah ditaksir wanita, lagipula, memangnya kalau pacaran harus membiayai. Aturan dari

mana itu? Membiayai itu kalau sudah kawin. Ini kan belum.”

”Orang pacaran butuh uang. Masak pacaran di tempat menanam sayur?”

”Lha! Di tempat wisata Kopeng, kan gratis?!”

”Gratis iya tapi makannya?”

”Bawa dari rumah!”

Riang cengangas cengigis. ”Oh iya .... oh iya .... benar Mas!”

”Oh iya-oh iya! Kalau gitu siapa pacarmu sekarang?”

Riang membungkuk-bungkuk. ”Ampunnnnn sungguh tak punya ... malu aku Mas...

sudah!”

Pepei menahan tawa.

Obrolan terhenti. Riang berpikir.

”Kalau Masnya sendiri bagaimana?”

”Apanya yang bagaimana?”

”Pacar lho Mas. Pacar!” Mata riang berkedap kedip.

”Simbahmu!!! Malas aku omongin itu!”

Lelaki yang ada dihadapan Riang lumayan licik, tapi ia tidak begitu

mempermasalahkanya.

Beberapa detik keduanya diam lagi.

”Omong-omong ada perlu apa di Yogyakarta Yang?” Tanya Pepei tak berbasa-basi.

81

”Mau temui Emha Mas!” Riang bangga, wajahnya ceria. ”Mas tau rumahnya?”

”Emha? Emha mana?! Kalau Paijo Emha yang ayamnya kamu kageti itu, ya tahu!”

Mendengar Paijo Emha, mendengar ayam membuat darah di muka Riang seakan

disedot selang. Ia merasa membutuhkan waktu yang lama untuk menjawabnya. Leher Riag

dingin.

Pepei tertawa melihat raut wajah Riang yang kebingungan harus mengutarakan apa.

Pepei memberi kesempatan, bagi Riang untuk bernafas. ”Mukamu belel,” katanya. ”Lebih

baik kau bersihkan badan dulu sebelum ketemu lelaki itu sore ini”

”Ketemu siapa Mas?”

Hampir-hampir Pepei berteriak! ”Katanya mau ketemu Emha?!”

”O ya ya...Benar Mas? Mas tahu tempatnya?!”

Pepei malas menjelaskan. Ia memberikan instruksi. ”Setelah kamu makan kita

berangkat ke sana!”

Karena rahasianya dipegang, Riang manut saja. Banyak hal membuat Riang terlihat

dongo dan itu wajar karena manusia memang begitu, memang mudah kehilangan kecepatan

berpikir, kehilangan kemampuan mengolah kata di beberapa suasana termasuk ketika

bertemu dengan teman yang sudah lama tak ia jumpai atau ketika rahasia yang ia simpan

ternyata terbongkar dalam tempo yang sangat singkat. Hanya orang hebatlah yang bisa

mengatasinya dengan cepat.

DI DALAM KAKUS yang panjang kali lebarnya satu kali satu meter, Riang

membakar rokok. Ia berusaha santai agar bayang-bayang ayam Paijo menghilang. Tapi tak

bisa. Oh mengapa Mama, Oh mengapa Papa. Kalau saja warga tidak berkerumun

mengelilingi ayam itu, Riang akan mengakui perbuatannya. Di zaman yang Ronggowarsito

tidak akan kuat menempatinya ini, di zaman yang edan begini, Riang takut jika ia di hakimi

beramai-ramai atas kesalahan yang tak ia sengaja.

Dari kakus yang sepi, Riang mendengar suara air dituang dari dalam sumur. Suara

lain datang. Langkah kakinya terdengar.

“Mas Pepei di mana Dikau?”

“Di belakang!” Jawab Pepei, “lagi nimba!”

”Mau mandi Mas?!”

”Ndak! Buat sodaraku dari Tepus!”

“Walah, dari Tepus?! Simas yang guanteng tadi itu dari Tepus? Sekarang dia ada

dimana?”

82

“Di kamar mandi!”

Volume suara berkurang. Paijo berbisik, “Nama teman Mas siapa?.”

“Kalau mau tau namanya, tanya aja sendiri.”

“Masak nanya orang di kamar mandi? Ya ndak sopan?”

“Ya nanti kalau dia sudah selesai mandi.” Jawab Pepei tertawa.

Mendengar suara Paijo, Riang langsung gemetar. Ia mempetajam pendengarannya.

Katel digeser dari tempatnya semula. Ada gelas yang beradu dengan asbak. Langkah kaki

mendekat ke kamar mandi. Suara besi beradu dengan porselein. “Pisaunya sudah dicuci. Aku

taruh ditempat semula!” Teriak Paijo. Langkah kaki menghilang. Degup jantung Riang tak

lagi kencang.

Konsentrasinya Riang beralih dari ayam menuju konsentrasi yang seculum:

konsentrasi di sini dan saat ini. Ia mulai memperhatikan penghuni kakus, mengikuti gerak

beberapa buah kecoak yang kegeeran dikejar-kejar cecak. Ia mulai memikirkan hal yang

aneh-aneh, Kalau di bawah kloset ini ada kerajaan kecoak, jumlah anggotanya ada berapa

ya? Beratus-ratus? Rajanya sebesar apa ya? Ratunya cantik atau tidak?

Byur! Byur! Byur!

Riang selesaikan mandinya. Kulitnya sudah tak terasa lengket.

"Bagaimana segar?” Tanya Pepei sambil memberikan handuk dari atas pintu seng.

”Segar!” Riang membuka pintu.

”Memangnya sirup!?”

”Mas ini ...” Riang memperlihatkan gigi, tertawa, ”Tadi, mas Paijo datang untuk apa

Mas?”

”Menyelidik?”

Riang gelagapan.

”Tadi dia cuma mau kembalikan pisau!” Jawab Pepei menenangkan. ”Mas Paijo itu

warga RT yang paling disenangi di rumah ini.” Pepei melirik Riang yang wajahnya semakin

memperlihatkan rasa khawatir. ”Tenang, rahasia akan tetap menjadi rahasia!” Pepei

tersenyum jahil. ”Kita bakal makan besar malam ini!” Ujarnya menutup pembicaraan.

Pepei merasa tak harus menjelaskan maksud perkataannya. Setelah cerita ke sana

kemari ia mengajak Riang makan di warung yang dikatakannya termurah di Yogya.

Diambilnya kunci motor teronggok di samping telepon. Dinaikinya motor yang Pepei

namakan Jolly Jomper, kuda seorang cowboy yang tembakannya melebihi kecepatan

bayangan. Jika dalam komik si Jolly bisa diandalkan, sayang, dalam kenyataan si Jolly

berbeda dengan yang ada dalam khayalan. Motor Honda warna merah tahun enam puluh

83

sembilan itu selambat siput. Melampaui beberapa buah warung, satu siskamling dan dua

tanjakan, si Jolly terengah-engah. Sesampainya di warung si Jolly istirahat sembarangan.

Lempengan kayu kayu bernomor terlihat bertumpukan di samping warung yang

suasananya gelap seperti gua. Seorang lelaki tua langsung mengambil dua centong nasi dari

bakul.

”Lauknya apa nak Pepei?”

”Ayam!”

”Dada atau paha?”

”Telurnya saja Mbah!”

”Bisa kualat kamu!” Simbah mengancam. Mulutnya tampak ompong.

Pepei meminta Simbah menambahkan sayur dan kerupuk di menu makan siangnya, ia

kemudian menggeser posisinya.

”Ini siapa?” wajah keriput Simbah mendekati wajah Riang.

Sebelum Riang menjawab, Pepei mendahului ”Ini Riang Mbah. Dari Tepus!”

”Tepus?”

Riang hendak membantah apa yang dikatakan tapi ia memilih diam karena tiba-tiba

tangan Simbah bergerak cepat menempatkan tiga centong nasi padanya.

Riang mengambil tempe.

Wajah Simbah terlihat sedih. ”Ayo ... ayo makan apa saja! Pilih yang lain Nak!”

Riang mengambil tahu.

”Masya Allah Nak ... Jangan begitu! Ayo yang lainnya. Ambil saja!”

Riang bingung. Baru kali ini ia bertemu pemilik warung yang memaksa calon

pelanggan apa yang harus dimakan. ”Tahu tempe juga tidak apa-apa.” Jawab Riang, tapi

Simbah malah mengambil sepotong hati sapi untuknya. Riang tak mungkin mengembalikan.

Dari meja panjang Pepei berteriak. ”Mbah ... maaf, aku pesan es teh dua.”

Simbah mengadu-aduk nasi menahan emosi. ”Ndak usah maaf-maafan” katanya, ”...

sebentar!”

Ruang makan itu lumayan besar jika dibandingkan dengan ruangan tempat Simbah

duduk. Besarnya empat kali empat meter. Ditengah-tengahnya terdapat meja dan sesisir

pisang raja. Dan di temboknya terdapat bercak-cercak minyak.

Bunyi kelintingan gelas beradu dengan sendok. Bunyinya terdengar nyaring.

Dentingnya terdengar kemana-mana menguatkan kesan ruangan tersebut seperti gua.

”Mas?” Riang dekatkan mulutnya pada telinga Pepei.

”Ya?”

84

”Kenapa Mas ngapusi, bohongi Simbah dan mas Paijo?”

”Ngapusi apa?”

”Kalau aku dari Tepus!” Riang masih berbisik.

”Apa guyon ndak boleh?”

Riang tak berani bilang tak boleh.

Dalam beberapa tahun ini guyonan atau lelucon berkenaan dengan Tepus sedang in.

Tepus, daerah yang sangat jauh dari Yogya itu, tanah retak-retak. Konon hanya ketela pohon

yang mampu bertahan di tanahnya yang gersang. Kemiskinan dan keterbelakangan lahan

daerah itulah yang menjadikan Tepus menjadi objek hiburan, objek guyonan, meski di

beberapa orang tujuannya bukan untuk memperolok-olokan. Jika mau disamakan, mungkin

guyonan semacam ini mirip dengan guyonan mengenai desa Samin yang kejujuran

penduduknya dianggap sebagai keluguan.

Sambil makan, dan memikirkan Tepus, tak sengaja Riang memperhatikan Pepei

cukup lama. Lalaki itu memilki rahang yang kokoh persegi. Rambutnya yang dahulu

panjang, kini dipangkas pendek, rapi. Dagunya ditumbuhi bulu-bulu tipis berwarna

kecoklatan. Kelopak matanya besar. Tatapan matanya simpatik. Hidungnya mancung,

semancung mancungnya. Pada pipinya melintang garis luka. Dipikir Riang wajahnya seperti

wajah peranakan Eropa. Hanya kulit coklatnya yang mengindentifikasi kalau ia orang Asia

dan tentunya dari wilayah tenggara. Riang hanya mampu mengidentifikasi Pepei dari

penampakkan luar. Ia belum terlatih. Ia hanya merasa wajah lelaki yang ada di hadapannya

membuat nyaman.

Riang mengelus-elus perut. Lambungnya membutuhkan sedikit ruangan untuk

sirkulasi udara. Pada saat seperti itulah Pepei menanyakan keperluan Riang untuk bertemu

Emha. Riang lantas menceritakan awal masuknya Simbah ke dalam Islam, tak lupa pula ia

menjelaskan kaitan antara suara yang muncul di danau Merbabu, di gerbang kuburan dengan

bisikan-bisikan Simbah waktu Riang masih kecil.

”Kamu tertarik agama Simbahmu?” Pepei menghabiskan es tehnya.

Riang mengangguk. ”Kalau bisa, kalau tak keberatan, aku minta diajari Islam sama

Mas?”

Segaris senyum muncul di wajah. “Kalau begitu kita cari Emha!” Pepei tidak

mengiyakan. Ia menuju Simbah

“Disatukan harganya Mbah.”

Sembunyi-sembunyi Simbah menunjuk “Untuk Mas itu, gratis Nak!”

”Kenapa harus gratis?”

85

”Kan kasihan dari Tepus.”

Kebaikan Simbah membuat Pepei tak nyaman. Ia ingin mengatakan kalau yang ia

bilang cuma guyonan, tapi ia mengurungkannya. Pepei tidak enak. Dan sejak saat itu, meski

hanya guyon ia tak mau lagi mengatakan pada orang lain kalau Riang berasal dari Tepus.

Riang menggunakan helm catok!

Jolly Jumper meringkik!

Ketepak…ketepak…ketepak!

Gas ditekan pol!

Ketepak…ketepak…ketepak!

Lajunya tidak seperti siput lagi. Ya sedikit cepat! Seperti jalan putri keraton!

Dari kejauhan suara gamelan terdengar. Mulut Riang menguap! Lebar.

LEWATI BENTENG VREDEBERG dekat pusat wisata kota (Malioboro) mereka

menyusuri tempat orang-orang yang dahaga akan ilmu mencari pemuasan: Shoping. Buku-

buku bertebaran, bertumpuk-tumpuk menggoda. Bagi laki-laki sang pencinta, buku

merupakan wahana onani intelektual. Bagi wanitanya, ya tentu saja vibratornya!

Sesampainya di tempat yang mereka tuju kekecewaan datang. Hari ini tak ada itu yang

namanya Emha. Mereka tak mungkin menemukannya selama satu atau dua bulan ke depan.

Menurut pamflet --yang ditempelkan di gerbang beberapa perguruan tinggi dan dinding-

dinding jalanan--, Emha tengah berkeliling di berbagai kota, melakukan konser dengan

sekumpulan orang yang tergabung dalam sebuah kelompok kesenian religius. Tujuannya,

membangkitkan kerinduan manusia pada Tuhannya.

Mendapati kata rindu, Riang jadi teringat oleh pengalamannya beberapa tahun silam

tatkala mendatangi sebuah mushala yang karpet kuning golkarnya bau pesing. Ia

menyengajakan diri datang kesana, demi mendengar penuturan seorang ustad mengenai

kecintaannya pada Tuhan.

Tak tuntas hanya menjadi pendengar di antara puluhan pendengar lainnya, sehabis

khutbah ia menuju ruangan di balik mimbar. Ia datangi Ustad dan duduk bersila. Riang yang

saat itu sedang naiki kadar spiritualnya ingin mengetahui bagaimana pengalaman ketika sang

ustad mendekatkan diri kepada Tuhan, maka, pada Sang Ustad, Riang pun mengungkapkan

bahwa ia benar-benar rindu untuk berasyik-mahsyuk dengan Tuhan. Ia mengakui bahwa

dirinya sudah sejak lama melupakan ’hubungan intim’ dengan Pemilik Semesta.

Riang fikir kejujurannya dalam hal itu bakal membuat sang ustad berkopeah haji

simpati. Praktik ilmu komunikasi yang secara tidak langsung dijalankan, bahwa seseorang

86

akan terbuka seandainya orang yang memulai bicara lebih dahulu membuka diri,

kenyataannya gatot alias gagal total!

Riang melihat ada yang menyala di tubuh sang ustad berkopeah. Dada dan bahunya

naik turun seperti tangga eskalator.

“Tuhan ingin berhubungan intim?!” Ludah sang ustad muncrat.

Riang kaget bukan kepalang. “Tarik perkataanmu!” bentak sang ustad, ”Jika tidak ...

KAFIR KAU!”

Badan Riang doyong ke belakang, manakala sang ustad menambah semburannya.

Riang tidak tahu jika ia tengah berhadapan dengan pengkhutbah yang tak mau

mendengarkan penjelasan terlebih dahulu. Ia tengah berhadapan dengan tipe ustad yang

menguasai pengadilan kehidupan. Manusia yang asal memvonis orang tanpa berusaha

mengetahui latar belakang mengapa. Riang tidak tahu jika ia berhadapan dengan manusia

penebar fitnah, penebar detonator kebencian untuk diledakan agar orang-orang yang

dianggapnya kafir mati kutu ketakutan! Riang tidak tahu, sungguh tidak menahu mengenai

hal itu. Riang hanya tahu jik dirinya tengah dilecehkan.

Seperti halnya tawon yang hanya akan mengganggu jika diganggu, Riang pun

menyengat!

“Memang ada apa dengan kafir, hah! Memang kenapa kalau aku KAFIR! Apa Tuhan

tak mengajari sopan santun pada orang KAFIR hah!”

Mendapat perlawanan dari lelaki yang dianggapnya masih bau minyak telon, sang

ustad meradang “Astagfirullah! ... SETAN!”

Riang tak mau kalah. Ia berdiri di pintu geser musholla, ”Yang setan itu Sampeyan!”

cemooh Riang. ”Dasar ustad gila!” Bentaknya sambil berteriak, berlari menutup perdebatan

yang tak sehat.

Sebenarnya pemuda yang dikatakan bau minyak telon oleh sang ustad adalah lelaki

yang tahan terhadap makian, tapi seperti umumnya manusia, ketika kegelisahan datang

menggeser titik ekuilibrium mental, maka emosilah yang mengkontrol kendali atas dirinya.

Riang pun demikian. Ia hampir tidak pernah bisa tahan dengan orang yang malang dirundung

syak wasangka. Apa salah, kalau dia ingin bercumbu dengan sesuatu yang dianggapnya

transedental? Apa salah? Memang ketika mengatakan itu birahi Riang tengah tinggi-

tingginya, sampai-sampai, manusia, setan, babi, pepohonan, dan jin sudah tak bisa

menampung horny purbanya!? Apa Riang pengen berzigi-zig-zag sampai pelumasnya habis

di hisap spon vagina Tuhan?

87

Kecintaan mendalam terkadang hanya bisa diungkapkan dengan bahasa bersayap.

Bahasa sastra. Dan mengenai hal ini, orang-orang, banyak yang tidak tahu ditidak-tahunya.

Mereka pura-pura tahu atas sesuatu yang tidak-mereka ketahui sehingga wajar jika benturan

fisik yang dibenci Tuhan seringkali meletus. Dor!

DOR! Sebuah paku besar menembus kaki motor. Pepei tidak menghentikan laju

motor yang didorongnya meski sudah berada di samping tambal ban. Ia tetap menuntun si

Jolly tanpa melirik ke arah tukang tambal ban yang sempat menyapanya. Setelah melewati

beberapa kelokan ke depan, barulah si Jolly diperban. Setelah sembuh, ia meringkik!

Keteplak! keteplok! Pulanglah mereka.

Sampai di rumah, rasanya tubuh Riang letih sekali! Ia ingin merebahkan diri, tapi tak

jadi. Menunggu malam tiba, ia menimba air, kemudian mengambil handuk dari dalam tas.

Kegelapan datang. Di balik pohon waru, cahaya merah pudarkan biru angkasa. Kepak ayam-

ayam jago terdengar dari kejauhan. Malam melingkupi seluruh Yogjakarta. Lampu-lampu

neon dan bohlam menggantikan matahari. Matahari diganti listrik, yang diperangkapkan

manusia dalam bentuk bulatan dan tabung gas. Manusia yang semula dikuasai alam, yang

tergantung pada alam, kini berbalik menguasai dan memanfaatkan unsur alam untuk

membuat nyaman kehidupannya.

Setelah tubuh Riang wangi. Setelah asam keringatnya hilang, ia melunglai. Setelah

maghrib, Riang menutup mata, untuk sementara.

DI ATAS KASUR RIANG MENGGELIAT laksana ular sanca. Jarang tidurnya

senyaman ini. Tidur yang sempurna membuat aliran darahnya terasa. Di kamar ini sebuah

cermin besar menempel di dinding. Pada bagian lain, lemari plastik tersudut. Beberapa

sisinya robek. Jika pemilik kamar malas memasang perangkap sudah bisa dipastikan tikus

nikmat beranak di dalam robekannya. Di kamar ini tak ada yang menarik, kecuali rak buku

yang menempel di dinding. Buku-buku berjejer rapih dari bawah lantai sampai menyentuh

plafon. Riang khwatir jika raknya rubuh. Ia melihat paku-paku yang menyambungkan antar

sudutnya berkarat. Pembuatan raknya tak mengikuti peraturan pembuatan rak yang layak.

Riang berniat memberitahukan hal ini pada Pepei.

Riang bangun, mengucek mata, membuka pintu kamar ... pas keluar ...

Krompyang!

Ia menumbuk seseorang.

88

Piring seng meloncat ke atas. Sebuah benda kecoklatan membentur tembok. Riang

menangkapnya. Benarlah apa yang dikatakan Pepei mengenai ’makan besar’. Ayam malang

itu berada dalam cangkup tangannya. Ayam yang tadi siang sayapnya masih gagah

berkepak-kepak itu kini mengepulkan uap panas dari badannya.

Paijo memaafkan Riang. Ia memberikan ayam panggang pada Riang setelah

meletakan ayam itu kembali di atas piring seng. Paijo pergi setelah mengetahui orang yang

ditemui tidak mengetahui keberadaan Pepei.

Tak beberapa lama setelah Paijo pergi, lelaki yang dicari membawa nasi bungkus

tanpa lauk. Pepei meyakini ramalannya mengenai makan besar bakal terlaksana benar.

Santap malam pun berlangsung. Di suapan pertama, Riang merasa tak nyaman memakan

ayam yang mati karena ulahnya, tapi rasa dibunuhnya menggunakan pikiran. Suapan pertama

dan kedua memang sedikit sulit menelan, selanjutnya, demi penghematan, rasa bersalah

sebaiknya harus dihilangkan.

”Ada apa?” Tanya Pepei ketika Riang memperhatikan wajahnya.

”Luka di wajah Mas tidak bisa hilang ya?”

Pepei meraba bekas luka goresan di gerbang kuburan. ”Mafia Italia wajahnya kan

kayak gini.”

”Mafia Italia?”

Riang tidak tahu Sisilia, God Father dan Don Corleon, Pepei mengerti. ”Kalau

dioperasi, pasti bisa dihilangkan,” katanya. ” Tapi, kalau dilihat-lihat wajahku jadi makin

bagus kalau begini ...”

”Mas?”

”Ya?”

”Bagaimana caranya supaya kita berani berkelahi,” tanya Riang tiba-tiba, ”supaya

bisa menjaga diri seperti waktu dulu Mas beraksi.”

”Beraksi? Memangnya Sarimin, pakai beraksi segala.” Pepei berusaha alihkan

pembicaraan.

”Mas?”

Pepei malas menjawab. Ia hanya mendehem.

”Apa rahasia supaya aku bisa berani seperti Mas?”

Riang kebelet menjadi pemberani. ”Besok aku beritahu rahasianya,” Pepei

menjanjikan, ”tapi Kau jangan bertanya lagi tentang hal ini.”

Riang mengangguk. Ia mengigit tulang rawan paha ayam.

Tak lama kemudian, pertanyaan dengan topik yang berbeda diajukannya.

89

“Mas?”

”Iya?”

”Pernah mengalami pusing karena tidak tahu tujuan hidup Mas apa?”

Mendengar pertanyaan berbobot tiga ribu kilogram yang berbeda dengan pertanyaan

tiga ons sebelumnya, Pepei hampir memuntahkan nasi. ”Tak ada lampu sen!”

“Lampu sen? Maksudnya apa?”

“Pertanyaan seberat itu kamu mulai tanpa awalan!”

“Pertanyaan berat?”

“Saking beratnya hanya sedikit orang yang mau bertanya dan serius

memecahkannya!” Pepei melancarkan tenggorokannya. ”Akhir-akhir ini kamu tengah

mengalami kegelisahan?”

”Mas bisa tahu?”

Riang mengangguk.

”Bukannya tahu. Aku hanya meraba. Jika ada orang yang bertanya mengenai tujuan

hidup, biasanya ia tengah alami kegelisahan. Saat ini kau berada di persimpangan

jalan!Hidupmu akan berubah cepat!”

“Masak Mas?”

Pepei tertawa, “Masak kangkung. Masak telor ceplok. Mangga masak he … he …he.”

Ia mencungkili daging ayam yang menyelip di giginya.

“Masak mas?”

“Apa karena aku bicara sambil tertawa jadi nggak percaya?”

“Aku tidak mengerti maksud persimpangan jalan yang Mas katakan!?”

“Tak usahlah itu difikirkan” sahutnya. ”Nanti kau bakal menemukan maksud

perkataanku seperti apa, dan bagaimana. Perlahan saja, tidak usah terburu-buru. ...Yang?”

“Apa?” Sebenarnya Riang masih mengolah kata-kata Pepei mengenai persimpangan

jalan tetapi ia berusaha mendengarkan.

“Ayam ini sudah mati! Kalau mati seperti yang Kau makan ini, Riang bakal

kemana?”

Riang belum memahami kaitan antara ayam dengan pertanyaannya mengenai tujuan

hidup. Tapi pertanyaan yang disodorkan Pepei membutuhkan jawaban. Ia hendak menjawab

pertanyaan yang dianggapnya mudah, namun pertanyaan itu membuat jiwanya

bergemerincing dan pikirannya seakan dicantoli beban berat. Ia merasa kesulitan.

Pepei mengulangi pertanyaanya.

90

“Kalau mati kamu bakal kemana Yang? Bakal menjadi tanah? Jadi materi kembali?

Coba lihat ayam ini … Awalnya, ia materi yang hidup kemudian ditubruk mobil. Disembelih

mas Paijo, di goreng, dan sekarang ini sudah masuk ke dalam perut kita! Setelah diolah usus,

ia bakal keluar menjadi pupuk! Tubuh ayam ini akan bersatu kembali dengan materi asalnya:

tanah! Setelah mati, ayam ini tak mungkin bertamasya kemana-mana! Tempat akhir

kehidupan adalah tanah. Menuju tanah.”

“Manusia mati akan kedua tempat Mas. Kalau tidak ke surga, ya ke neraka.” Kuduk

Riang merinding.

“Itu menurut pendapatmu. Tapi orang atheis berbeda paham denganmu.” Pepei

mengambil dua gelas. Ia menuangkan air ke dalamnya. Diminumnya dalam satu tegukan. Ia

kemudian membungkus kertas nasi dan memasukannya ke dalam kantung plastik. Sendok

yang kotor tergeletak di lantai.

“Menurut mereka, menurut orang atheis, surga dan neraka sebenarnya tidak ada.

Surga itu karangan nenek moyang saja. Surga dan neraka itu rekayasa, dan Kamu pun bisa

membuat karangan yang serupa.” Pepei mengambil jeda, ”Yang? Bagaimana mau masuk di

akal, keberadaan hidup dialam baka, sementara, di dalam kehidupan ini, tidak pernah ada

orang yang menelepon dari surga: kalau dia sedang asyik-asyiknya adu kelamin dengan

bidadari; kalau dia sedang makan dari piring emas dan mandi di telaga kolesterum? Padahal,

sekali lagi Yang, sekali lagi ..., tak ada satu orang pun yang pernah memberi telegram dari

neraka, memberi kabar melalui sandi morse dan mengatakan bahwa dubur dia tengah dicolok

tusukan sate sampai tembus ke mulut. Tak pernah ada satu orang pun yang memberi kabar

peringatan, bahwa setelah malaikat, sang eksekutor puas colok mencolok dubur seseorang

menggunakan tusukan sate, ia berkacak pinggang sambil tertawa, ”Ha…ha…ha itulah

akibatnya, Kalau di dunia ini, manusia pernah bersetubuh dengan kambing tetangga....

hahaha itu balasan kelalaian, bagi orang yang menyebabkan ayam tetangga mati ditabrak

colt!”

Hal itu terlalu berbahaya bagi Riang. Lidah Pepei, menghantam akalnya,

Akal Riang membenarkan

Akalnya menafikan!

Seperti yang dijelaskan Fidel di danau, Pencipta pasti ada! Pencipta

tidak mungkin tidak ada. Bukti yang diungkap Fidel mengenai angka-

angka fibonacci demikian mengagumkan, tapi di dalam hati Riang

muncul riot, meruyak kerusuhan!

“Masih mau dilanjutkan?”

91

Riang tak mau mengatakan ya, tetapi tak mampu pula mengatakan jangan.

Riang t e r p a h a t di dinding,

menjadi a r c a,

menjelma …

menjadi p a t u n g yang tak memiliki

kehendak.

Pepei masuk ke dalam kamar Saat orang yang diajaknya berbicara membisu, dan

balik sambil membawa buku berwarna biru.

“Ada pertanyaan yang menarik di dalamnya. Coba baca dan renungkan.”

Riang membuka halaman yang ditunjukan Pepei. Saat membaca kalimat yang tertera

di dalamnya, jemari Riang bergetar seolah tengah memegang gergaji mesin. Riang

melepaskan buku itu. Rasanya dunia berputar lebih cepat.

“Bagaimana?”

Tuhan itu maha Kuasa, maha Pencipta. Bisakah Tuhan yang maha Kuasa dan

Pencipta itu menciptakan suatu benda yang sangat besar … sehingga Tuhan tidak mampu

untuk mengangkatnya?

Tatapan Pepei tajam menguliti muka, masuk ke dalam kornea mata, menembus

daging … masuk kedalam pemikiran dan perasaan Riang. Ia terguncang. O’ sungguh

mengerikan.

Pepei mengerti apa yang dialami Riang. Ia berhenti mendesaknya, berhenti

memberikan ancaman --yang secara tidak langsung— membuatnya mengkeret ketakutan.

“Sudahlah nanti saja kita teruskan.” Pepei memegang lembut bahu Riang. Ia berdiri

menuju kamar mandi.

Ditinggalkan Riang di dalam alam kebingungan yang menakutkan. Sudah berapa

belas tahun, Riang meyakini bahwa Tuhan ada, tetapi di hadapan pertanyaan itu ia merasa

tidak mampu untuk membuktikan-Nya. Apa yang pernah diutarakan Fidel sepertinya sirna

begitu saja. Kesadarannya akan keberadaan Tuhan menjadi sebesar atom. Ia dikalahkan oleh

pertanyaan-pertanyaan itu. Tidak! O’ Riang belum kalah. Ia bertekad untuk menjatuhkan

pertanyaanya.

Riang tak bisa tidur. Ia mengalami kegelisahan sepanjang malam. Matanya pejam tapi

pikiranku tidak! Ia melayang -layang seperti burung di dalam alam fikiran. Ia berpindah-

pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa sayap Dari satu pohon pertanyaan-ke pohon

pertanyaaan yang tak juga terselesaikan. Pertanyaan yang membuat tidurnya tak nyenyak

terus menerus mengganda, beranak pinak pertanyaan-pertanyaan yang baru. Ia putuskan

92

untuk berhenti memikirkannya lebih lanjut, namun pikirannya yang kacau membuat Riang

tidak bisa menikmati tidur di atas kasur yang empuk!

Kasur empuk, fasilitas yang nyaman dan memikat memang bukan jaminan

kebahagiaan. Letak kebahagiaan kemungkinan besar … ada di dalam fikiran.

MATAHARI SUDAH SEPENGGALAN, sinarnya cukup kuat untuk mengeringkan

pakaian yang basah. Riang tak menemukan Pepei di sampingnya. Ia bangun dari tidurnya,

kongkok di kasur ia memperhatikan jejeran buku yang ada. Itu barang-barang yang

mengerikan! Buku biru yang membuatnya bingung mengintip di antara himpitan

ensiklopedia. Riang begidik. Satu buku memusingkan, bagaimana dengan buku yang lain. Ini

buku-buku yang membuat kacau pemikiran orang!

Kamar menjadi lorong sepi. Lorong yang menakutkan! Lorong yang dihiasi barang-

barang mengerikan! Bagaimana mungkin kekacauan terjadi padaku? Kenapa kekacauan tidak

terjadi pada Pepei. Dia punya pertanyaan aneh, tapi kenapa pertanyaan itu tidak membuat dia

memiliki beban berat? Apa yang menyebabkannya? Riang mual. Ia masuk ke dalam kamar

mandi. Sekeluarnya dari sana ia mencari Pepei di ruang tamu, di kamar mandi sebelah, di

sumur dan halaman depan, hasilnya nihil. Ia tak menemukannya di mana-mana.

Dalam pada itu, ia mulai menemukan keanehan, mengapa rumah yang besar ini,

penghuninya hanya Pepei? Kemana yang lain? Apa dia memang sendiri di rumah ini?

Pepei sebenarnya hanyalah bagian dari tujuh orang yang tinggal di rumah ini. Rumah

ini sebenarnya merupakan tempat kumpul, base camp, atau semacam shelter, bagi orang-

orang yang berkumpul dalam jaringan yang Pepei buat bagi orang-orang yang membutuhkan

tempat barang sehari, dua hari atau sebulan sebelum menemukan tempat yang cocok untuk

dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Sehari-hari tempat ini selalu diisi diskusi, dan tempat

bedah dan nonton film. Hari-hari yang sepi ini lebih dikarenakan orang-orang yang tinggal di

sana tengah mengadakan pendampingan selama beberapa minggu terhadap sebuah kasus

penyerobotan tanah di sebuah desa, di pinggiran Yogyakarta.

Pepei tidak ikut serta, karena perkerjaannya sebagai kepala perpustakan di sebuah

lembaga penelitian membutuhkan tenaga dan fikiran ekstra. Hari sabtu minggu dan hari-hari

besar lain adalah hari perayaan dia, hari liburan untuk menyegarkan diri kembali dari

rutinitas kerja. Beruntunglah orang yang tidak mengetahui hari kerja Pepei, datang ke tempat

itu tanpa perencanaan dan bertemu dengannya.

Kebingungan, setelah mencari Pepei ke sana ke mari, membuat Riang memutuskan

untuk duduk di ruang tengah, melihat tumpukan majalah. Bosan, ia mencari-cari remote

93

control. Tidak menemukan alat itu, ia nyalakan televisi yang mati. Itu hanya sebentar.

Setelah menekan-nekan tombol salurannya cukup lama, ia bosan. Televisi dimatikan.

Riang kembali gelisah. Saat ini ia tidak tahan dengan kesendirian. Pandangan

matanya beralih dari satu titik ke titik lain. Ia berdiri mondar-mandir. Masuk ke dalam

kamar, melihat kembali jejeran buku, merasakan kembali bagaimana tangannya maju mundur

utuk memegang buku biru yang membuatnya ragu.

Sepi itu tak berlangsung lama. Azan dzuhur berkumandang. Sebuah ketukan

terdengar dari luar. Seseorang masuk begitu saja. Riang terkejut!

”Mau bertemu dengan siapa?” Tegur Riang.

Bukannya menjawab lelaki itu malah balik bertanya.”Lha, kamu siapa?!”

”Aku Mahdi! Apa urusan kamu di sini?”

Riang menyodorkan nama sebagai ketebelence”Aku teman Mas Pepei...”

”Ooooh” Senyum sinis muncul di sisi kanan bibir Mahdi.

”Mas salah satu penghuni rumah ini?”

”Bukan... maen-maen aja ke sini!” Mahdi masuk ke dalam dapur. Ia menyeduh kopi

kemudian datang kembali, menyalakan rokok.

”Dzuhur!” Ia seolah mengingatka Riang.

”Ya?”

”Sudah Dzuhur, nggak shalat?”

“Nggak Mas, nanti aja…”

Tahun ini, Riang hanya shalat dua kali. Itu pun shalat sunah, Iedul Adha dan Iedul

Fitri.

”Kamu muslim?”

”KTP sih iya tapi kalau ditanya agamanya apa aku tak tahu harus jawab apa.”

”Kok aneh! Kalau di KTP mu muslim, Kamu jangan setengah-setengah. Kalau

muslim Kamu harus jalankan tetek bengek ibadah!” sekali lagi Mahdi bilang: jangan

setengah-setengah!

Riang tidak suka caranya berbicara. Alarm dirinya berbunyi. Tetek bengek?

Memangnya ibadah itu tetek? Sembarangan bicara orang ini!

Mahdi tersenyum mendapati Riang terdiam.

”Aku juga dulu seperti Kamu ...” Mahdi senyum sinis lagi. Ia meralat ucapannya,

”Maksudku, dulu aku lebih dari Kamu. Agamaku juga Islam...” Mahdi memikirkan siapa

nama orang yang tadi berkenalan dengannya...”Siapa namamu ... sori?”

”Riang!”

94

”Ya, agamaku juga Islam tapi ... lain soal ketika aku bertemu dengan seseorang ...”

Mahdi menunggu Riang bertanya tapi Riang tetap diam seperti sediakala.

”Di Parang Tritis, di pantai berpasir hitam itu pada satu waktu aku ketemu seorang

lelaki yang tengah memandang laut. Aku ajak dia untuk bicara tentang apa saja. Apa saja

yang pokok ujungnya bakalan kubelokan pada ajakan untuk beribadah pada Tuhan. Tapi

Kamu tahu? Ternyata orang yang akan aku ajak itu tak bertuhan! Edan ... aku baru pertama

kali ketemu orang yang gak percaya Tuhan! Hari itu adalah kesempatan. Aku ajak dia bicara

tentang ketuhanan, ia meladeni. Aku ajak dia untuk buktikan pencipta di balik ciptaan, dan

lelaki itu malah bilang ketiadaan pencipta di balik ciptaan! Aku tidak bisa mematahkan

logikanya. Aku bingung. Aku tidak bisa membungkam mulutnya. Karena kesal, aku pura-

pura pulang dan pas orang itu lengah, aku ambil cangkang kerang besar! Dari belakang aku

hantam kepalanya! Orang itu kejang-kejang! Mampus orang kafir tak bertuhan! Aku ludahi

mukanya. Aku pergi selagi lelaki itu mengerang-erang, tapi setelahnya, ... setelahnya, Kamu

tau apa yang terjadi?”

”Tidak.” jawab Riang mulai tertarik dengan obrolannya.

”Aku pulang ke masjid tempatku menjadi takmir. Tempatnya di pinggir pantai Parang

Tritis... aku pikir aku menang melawan orang kafir, tapi dalam perjalanan pulang mataku

tidak fokus memperhatikan lingkungan. Pandangan mata ku mendadak kosong. Hatiku

mengajak bicara...

Benarkah?

Jangan-jangan?

Kalau begitu ...

Ah masak? bermain dikepalaku!

Aku berusaha menghalau yang diungkap orang atheis yang

baru ku hantam!

Tiba di masjid, kata-kata tak bisa lagi kubendung lagi! Kata-kata itu mengalir...

semakin malam dan siang berganti pertanyaan itu mampat dan membludak! Aku tak bisa

membendungnya! Makin dipikir makin sesak, makin pekat menutup kesadaran! Aku jadi si

peragu... keraguan itu semakin rindang, sampai akhirnya aku terlambat mengetahui, jika aku

jadi ...” Mahdi mengajak Riang masuk ke dalam ceritanya.

”Jadi apa?”

”Jadi edan! ... kata orang-orang, aku jadi sering berteriak-teriak tengah malam, dan

mengaku sebagai Imam Mahdi pada orang-orang yang datang di sore dan malam hari untuk

mengaji. Aku imam penyelamat zaman!”

95

”Bagaimana Mas bisa sembuh?”

”Itulah... aku ditemui orang yang aku pukul kepalanya pakai kerang dari belakang!

Semula orang itu mau menyelesaikan masalah, tapi saat melihat diriku seperti itu, dia merasa

kasihan... lelaki itu malah ajak aku bicara... dan gilaku sembuh! Aku sadar!”

Mahdi sadar dalam versinya. Orang yang kepalanya dihantam, yang semula

mendatangi Mahdi untuk membuat perhitungan, memahami bahwa orang yang tengah

ditemuinya mengalami kerusakan mental yang berawal dari penyangkalan argumentasi

terhadap sebuah keyakinan. Di satu sisi Mahdi tak mau melepaskan keimanan yang lalu, di

sisi lain, fikiran membisikan bahwa perkataan orang yang ditemuinya di Parang Tritis adalah

kebenaran.

Lelaki itu mengajak Mahdi membuka pikiran. Lelaki itu menuntunnya hingga Mahdi

mengetahui permasalahan apa yang dihadapinya benar. Ia mengajaknya menuju ujung

sebuah keyakinan.Ujung di mana keyakinan berawal. Mahdi ditemani agar ia mau bersikap

jujur terhadap pikirannya sendiri. Dan ketika Mahdi memilih untuk jujur, ia pun sembuh

perlahan-lahan. Gilanya hilang.

”Bisa nebak orang itu siapa?”

Riang menggeleng kepala.

”Orang itu Pepei!”

”Hah, Mas Pepei?!”

”Iya si Pepei!”

”Hebat ...” Riang tersenyum.

Tapi Mahdi menyanggahnya, ”Itu dulu... maksudku, hebatnya dulu. Kalau sekarang,

... pekerjaan yang buat dia diam di dalam ruangan ber-AC buat pemikirannya mandul!

Kenikmatan hidup buat dia jadi lemah! Jadi tidak seberapi-api dulu! Hilang sudah

konsistensinya terhadap perubahan! Dialektikanya mandek! Ia jadi mahluk yang ditinggalkan

evolusi! Purba! Ya ... jadi manusia purba yang hampir-hampir tak memiliki guna....Orang

yang mengkhianati rakyat sebaiknya minggir!”

Riang tidak mengerti atas dasar apa orang ini menjelek-jelekkan Pepei setelah

mengangkatnya. Seharusnya ia menghargai Pepei yang telah menuntun kesadarannya.

Lagipula, seenaknya saja menuduh Pepei tak mempercayai Tuhan.

”Apa urusanmu dengan si Pepei?” Mahdi kembali mengajak Riang bicara.

”Untuk ketemu Emha!”

”Emha Ainun Nadjib?”

”Benar.”

96

”Untuk apa temui itu orang?”

”Aku mau belajar Islam.”

”Agama Islam? Alaaaah .... memangnya agama benar-benar berasal dari Tuhan?

Agama itu kebudayaan! Hasil cipta rasa dan karsa! Agama manusia yang buat! Tuhan itu

hanya ada di kepala manusia! Materi selalu mendahului essensi! Tuhan itu dusta yang dibuat

manusia! Aku tidak mempercayai keberadaannya! Tuhan telah kubunuh! Lehernya sidah

kugorok sampai darahnya terpancar-pancar!”

Riang tidak mau menimpali perkataannya. Ia hanya diam, mencoba melarikan

pandangannya dari tatapan Mahdi. Ia berusaha lari dari sergapan pemikiran Mahdi, namun

lelaki itu terus mengejarnya. Dia berusaha memasukan pemikirannya pada pemikiran Riang.

Kuping Riang terbuka namun pemikirannya tertutup dari apa yang dibicarakan.

Cukup sudah!

Tapi Mahdi tak mau berhenti. Ia terus menerus bicara tentang Tuhan itu tidak ada!

Tuhan diciptakan manusia karena ketidakberdayaannya!

”Yang, agama Tuhan hanyalah perkakas yang digunakan manusia jahat untuk

melindungi kejahatannya. Agama itu bangkai! Tai!”

Riang ingin memukulnya, bukan karena apa yang diutarakan Mahdi. Ia membenci

bombardirnya yang memuakan. Setan! Seharusnya ia melihat orang yang diajaknya bicara

tengah melakukan apa. Kalau dia bilang menjadi sadar karena tidak mempercayai Tuhan, tapi

apa dia tidak memikirkan kalau perkataannya berangasan itu pertanda... pertanda kalau dia

kesurupan! Kesurupan itu tidak sadar!

Bukan main Riang kesal padanya. Tanpa memperdulikan perasaan Mahdi, toh Mahdi

sendiri tidakmemperdulikan perasaannya, maka Riang masuk ke dalam kamar.

Setan dia datang lagi!

Mahdi masuk ke kamar. Awalnya ia berpura-pura melihat-lihat buku, kemudian

bersandar di dekat Riang. Dan kembalilah Mahdi meracau.

”Boleh aku tanya? ... Boleh kan?”

”Terserah Kau!” Riang menatapnya garang! Ia menggelar tubuhnya di kasur.

”Coba perhatikan pertanyaan ini Bung”

Bang bung bang bung!

”Aku ada oleh karena itu Riang ada... Riang ada karena itu aku ada.... alam semesta

itu ada oleh karena kita ada.... kita ada oleh karena itu Tuhan ada.... seandainya kita berpikir

bahwa Tuhan tidak ada berarti Tuhan memang tidak ada! Tuhan itu cuma ada di dalam

pikiran manusia Yang!”

97

Perkataan itu memaksa Riang untuk menundukkan kepala. Bangsat! Riang melamun.

Kata-kata itu mengorek hati dan mencemari kesadarannya. Di tengah kebingungan, Pepei

masuk ke ruang tengah, menggosok-gosok rambutnya yang basah. Ia yang bertelanjang dada

membuat Mahdi terkejut.

Sedari tadi, setelah membeli makan siang untuk Riang, Pepei berada di sumur.

Obrolan Mahdi yang meledak-ledak didengarnya. Ia tidak menyegerakan diri masuk ke ruang

tengah demi mendengar mendengar perkataan Mahdi dari luar. Dijelek-jelekan sedemikian

rupa, Pepei tetapi ia cukup mampu menahan emosinya. Baginya, meski tidak bisa

dibenarkan, usaha jelek menjelekkan itu biasa terjadi di dalam dunia ide. Dan saat ini ketika

memasuki ruang tengah, ia melihat seolah-olah mata Riang meminta tolong padanya.

” Jangan terlalu difikirkan. Itu cuma permainan kata-kata!” Pepei tanggap.

Riang melihat wajah Mahdi sekilas. Wajahnya berubah. Mahdi serasa di martil! Ia

menerka-nerka apakah Pepei mendengar perkataannya. Keringat dingin mulai mengucur!

”Mari kita ulangi perkataan Mahdi,” ajak Pepei. ”Jika Mahdi ada maka Riang ada?...

hm ... Di... umurmu berapa?”

Mahdi berusaha mempertahankan harga dirinya. Ia memaksa menjawab dan melihat

Pepei sinis. ”Dua puluh empat!” katanya.

Pepei berpaling ”Umurmu?!”

Riang menjawab, ” ...”

Nah, sewaktu Mahdi ada, Riang belum ada kan? ... Berarti jika aku ada belum tentu

kamu ada! Jika Mahdi ada belum tentu kamu juga ada!”

Pepei melirik ke arah Mahdi.

”Nah yang kedua, ... alam semesta ada oleh karena kamu ada, karena kita ada!

Benarkah begitu? Tidak mesti! Sewaktu kita ada .... sewaktu kita belum dilahirkan, alam

semesta sudah ada! .... ” Pepei kembali melirik ke arah Mahdi. Ia menanti respon orang yang

telah menjelek-jelekkan dirinya.

”Yang ketiga .... ketika Mahdi mengatakan seandainya kita tidak ada maka berarti

Tuhan pun tidak ada, kemudian aku membakar Mahdi ... aku membakar Riang ... maka

Tuhan akan tetap ada! Alam semesta akan tetap nyata! Itulah jawaban orang yang menyakini

agamanya! Tuhan tetap ada! Apa yang Mahdi utarakan hanya akrobatik kata! Permainan

bekel semata!”

Riang merasa tenang oleh jawaban yang Pepei sampaikan. Uh, Mahdi memfitnah

Pepei, tak mempercayai Tuhan! Keterlaluan! Riang geram! Ia menganggap Pepei

membelanya, pada kenyataanya tidak juga. Nanti segalanya akan terbuka.

98

Mahdi berkeringat, kausnya basah di ketiak. Tak berucap, ia mendengus! Tanpa

berkata-kata ia meninggalkan mereka lalu menuju sumur. Lelaki itu membutuhkan air untuk

meredakan emosinya.Selepas apa yang mereka bicarakan di ruangan tengah, Pepei menyusul

Mahdi menuju sumur. Riang mendengar perdebatan yang berusaha di tahan namun mereka

tak mampu menyembunyikan.

”Apa yang kau lakukan?! Memangnya segampang itu berpindah keyakinan?!” Pepei

susah payah menekan suaranya.

”Apa salahku? Memang faktanya demikian! Mas sekarang jadi hilang keberanian!

Hilang keradikalan!”

”Apa kau fikir keradikalan, keberanian harus ditampakkan dengan sampah doktrinasi

semacam itu?! Gunakan adab dalam bicara ... Tak peduli keyakinannya apa, orang harus

memiliki etika!”

”Indoktrinasi apa?! Ini kebenaran!”

”Memang Kau sudah lama mengenalnya? Kalau sudah, tidak terlalu

dipermasalahkan! Ini ...! Baru kenal saat itu, Kau sudah langsung menset semena-mena

pikiran Riang, mengindoktrinasinya!”

”Mas ... sudah tekena racun humanisme universil!” Riang mendengar Mahdi tertawa.

”Aku tak peduli humanisme! Aku tak ambil pusing dengan bermacam isme! Yang

aku peduli: manusia apa pun keyakinannya, tidak berhak melakukan doktrinasi dalam

melakukan penyebaran keyakinannya!”

Brak! ... Duk! Duk! Duk! Riang mendengar bunyi ember jatuh, dan mendengar

ancaman.

”Kalau berani jangan dengan benda mati! Kalau kau memang yang sejati, lawan aku!

Jangan seperti waktu dulu saat Kau menghantamku dari belakang!!!”

Riang tegang mendengarkannya. Ia berandai-andai, bagaimana kalau tantangan itu

diterima Mahdi?

Perkelahian tak bersambut.

Mahdi tahu, ia tak mungkin mengalahkan Pepei. Ia meninggalkan Pepei melewati ruang

tengah tanpa melihat Riang. Ia membanting pintu! Keras-keras!

Adanya pertengkaran itu menjadikan Riang tak kerasan. Kedatangannya

mengakibatkn kedua orang itu terlibat perseteruan. Ia pun memutuskan untuk pulang

sebelum Ashar tiba. Seribu satu alasan dipikirkannya, dan ia menemukan bahwa Bapak

membutuhkannya di Thekelan, untuk mengurusi lomba panjat pinang tujuh belasan.

99

Pepei tak berusaha menahan kepergiannya Riang. Ia sendiri tidak merasa nyaman

dengan apa yang terjadi. Usai mengantar pada sebuah lokasi, menuntaskan janji pembicaraan

mengenai keberanian, Pepei antar Riang hingga terminal. Dimasukinya bus yang akan

membawa Riang menuju Kopeng.

Dia atas bus itu Pepei meminta maaf atas segala sesuatu yang membuat pikiran Riang

tidak beres. Ia menambahkan kalimat bergharga yang ternyata merupakan pertemuan

penghabisan dengannya.

”Yang ... kamu bisa berlari dan boleh berlari dari pertanyaan mendasar mengenai

tujuan hidup yang terus menerus datang menuntutmu! Namun ... pertanyaan itu akan terus

menerus mengejarmu dikala sibuk, mau pun disaat kamu sendiri.”

”Tak ada yang bisa bersembunyi darinya Yang! Kamu harus menemukan jawaban

pertanyaan yang pernah kamu pertanyakan ... Jika tidak Kamu akan terus menerus

mengalami kegelisahan! Jika tidak menuntaskannya, Kamu bakal menjadi manusia yang

hidupnya setengah-setengah! Manusia yang tidak mengetahui tujuan hidupnya di dunia untuk

apa!”

”Ingat! Tak ada satu pun manusia yang bisa bersembunyi dari bisikan hatinya. ...tak

ada satu manusia pun... ”

Riang meresapi kedalamannya. Kata-katanya yang sejuk menjalari hati. Kata-kata

yang Pepei ucapkan direkamnnya di dalam memori.

”Terimakasih atas segalanya Mas!”

Mesin bus menyala. Supir bus meloncat dan duduk dibelakang setir.

Sebelum Pepei turun, Riang mempertanyakan sebuah pertanyaan yang akan

mempengaruhi penerimaannnya terhadap warna warni keyakinan.

”Maaf kalau boleh tahu agama Mas Islam ya?”

Pepei tak lekas menjawabnya. Ia menghirup nafas dalam. Pandangannya kokoh,

senyumnya menyapa Riang dengan kedamaian.

”Apa hubungan kita bakal terpengaruh hanya karena kita memiliki perbedaan

keyakinan!?”

Riang menggeleng.

”Kalau aku tidak beragama bagaimana?”

”Tidak beragama?”

”Agamaku bukan Islam seperti yang Kakekmu, Emha, dan yang sahabatku Fidel anut.

Aku tidak mempercayai satu agama pun Yang.”

”Bagaimana mungkin?”

100

”Mungkin saja, realitanya berdiri di hadapanmu.”

”Mas tak mempercayai Tuhan?”

”Ya.” Pengakuannya demikian tenang. Ketenangan itu mempengaruhi penerimaan

Riang terhadap keyakinannya.

”Setidaknya aku tidak penasaran,” desah Riang. Ia kemudian tersenyum,

mengulurkan tangan. Mereka berjabatan.

Pepei turun turun dari bus yang mulai berjalan perlahan.

SORE INI ADA KESEGARAN di udara ketika Riang berhadapan dengan atheis

yang santun. Atheis yang sangat baik padanya dan Riang yakin, ia baik pula terhadap orang

lain. Riang bersyukur sempat mengenali dirinya. Mengenal sesosok lelaki tegar, yang

konsisten menjalani keyakinan akan ketidakpercayaan terhadap Tuhan, namun memiliki

kebaikan hati yang berbanding terbalik dengan informasi, yang dulu sering disampaikan

melalui pendidikan moral guru-guru di sekolahnya. Seandainya banyak orang seperti Pepei,

tentu … bumi ini bakal awet selama-lamanya.

101

KONSPIRASI

Di sebuah jalan, di bawah tiang listrik mati tiga orang pria berkumpul. Yang satu

tampak tenang namun kata-katanya tajam dan kejam. Yang lainnya tinggal dijerang

menunggu titik didih pembicaraan untuk meluapkan kemarahan.

”Coba kita permak dia, tidak usah di matikan. Ini sebatas pelajaran! Siapa yang

mengkhianati ... siapa yang membangkang, siapa yang menghalangi jalannya partai maka ia

harus dihentikan! Kita harus membuatnya kapok!”

”Apa kau yakin dia bakal takut oleh ancaman kita?! Kau sendiri yang bilang, kalau

dia tidak pernah memperlihatkan rasa takutnya pada orang!”

”Dia memang tidak pernah memperlihatkan rasa takutnya, tapi apakah manusia tidak

memiliki rasa takut? Dia memilikinya hanya tidak memperlihatkan pada siapa-siapa.”

”Siapa yang akan menjalankan rencananya? Siapa yang berani berhadapan

dengannya!? Apa kau tidak pernah berpikir, kedepannya, bagaimana kalau dia tau dan dia

memperpanjang urusan dengan kita?”

”Aah, terlalu banyak pertimbangan, bisa-bisa mandek urusannya! yang harus kita

pikirkan, dia ..., itu menghalang-halangi pergerakan partai secara tidak langsung, dia

menggerogoti dari dalam, menjadikan kader-kader muda sebagai pembangkang. Maksudku,

itu cukup untuk dijadikan alasan untuk menggunakan kekerasan padanya!

”Bukannya jalan partai kita sepenuhnya pemikiran, tidak menggunakan kekerasan?!”

”Siapa bilang begitu. Jika sekarang tidak mungkin lain kali ya! Kau pikir Stalin, si

tangan besi dulunya melakukan apa? Dia dibesarkan Lenin dan dibiarkan melakukan segala

tindak kekerasan untuk mendukung partai! Melakukan sabotase, intimidasi terhadap gerakan

lain dan kawan yang tak sehaluan dengan kinerja partai! Ini wajar dalam pergerakan ide.

Sebuah ide harus selalu dikawal kekuatan otot! Lagipula, apa yang orang katakan tentang

lelaki itu, apa yang kau dan kita bayangkan tentangnya terlalu berlebihan. Kalau kau takut

berhadapan dengannya, kau memiliki kawan yang saling menguatkan. Kawan-kawan satu

jaringan, satu ide, satu radikalisme dalam pemikiran ini. Kau pikir mereka tidak akan tinggal

diam jika salah seorang diantara kita digebuki oleh seorang pengkhianat! Yang perlu Bung

tahu, dia itu sendiri meski banyak orang yang memiliki ke dekatan personal dengannya, dia

102

selalu sendiri... Dalam pengamatanku dia tidak mau melibatkan orang lain dengan masalah

yang dihadapinya. Apalagi jika masalah pribadi.”

”Apa yang kau maksud di cukup jantan?” Pria itu mendengus.

”Dia tidak pernah mengajak orang lain berkelahi untuknya. Ini kelebihan dia tetapi

sekaligus kekurangannya. Kita akan manfaatkan itu!”

”Bukankah kita jadi terlihat seperti pecundang? Melawan seorang menggunakan

banyak orang? Kalau begini, rasanya pun tidak membenarkannya.” Seorang pria membantah.

”Nurani lagi nurani lagi! Nurani itu bukan alat berpikir. Alat berpikir itu otak!

Sekarang yang harus dipikirkan adalah partai dan tujuannya. Siapapun yang menggembosi,

yang mempreteli dari dalam, dia harus dihancurkan! Caranya tak masalah dengan apa saja!

Materi di hadapan materi sama saja!”

Orang yang diajak bicara mengulangi kalimat terakhirnya, seolah membenarkan,

”Hmmm materi di hadapan materi sama saja! Oke kalau begitu, tapi siapa yang

melaksanakannya?”

”Kau saja!”

”Kenapa mesti aku?”

”Kau kan punya lingkaran pertemanan dengan preman!?”

Pria yang dilimpahi tanggung jawab menatap sinis. ”Memang kau tak memiliki teman

preman apa?!”

”Bukan begitu. Baiklah ... kalau aku yang kalian tunjuk untuk membereskan, tidak

masalah, tapi ...” ia berpikir tapi tidak menemukan jawaban. ”sebaiknya jangan ... aku ... aku

... tahu aku tidak bisa mengalahkannya!”

”Memangnya aku bisa?!”

”Pukul saja dari belakang! Seperti yang kau ceritakan dulu pernah memukulya dari

belakang!”

”Aku memang pernah sukses, tapi tidak untuk yang ini, tidak untuk sekarang!”

”Pecundang! Bilang saja kau takut padanya!”

Orang yang dikata-katai meranggas, ia marah!

”Apa Kau bilang?!” lelaki itu mengangkat kerah pria yang mengata-ngatainya, tetapi

salah satu yang sedari tadi paling sedikit melibatkan diri melerai.

”Sudah ... untuk apa gunanya bertengkar! Aku punya seorang kenalan. Saat ini dia

sedang kudekati. pikirannya hampir berubah total sama dengan pemikiran kita! Kalian tahu

sendiri bagaimana radikalnya orang yang baru berubah. Dia yang akan kita gunakan untuk

103

memberi pelajaran ... tak usahlah kita menggunakan tangan sendiri untuk membersihkan

kotoran!”

Dengan leraian dan penjelasan itu, selesailah permasalahan. Tapi apakah orang yang

mereka limpahkan harapan mau melakukannya?

JEEP BERJALAN PERLAHAN menuju warung tempat Suwito biasa nongkrong.

Jeep berhenti. Pintu terbuka. Ada enam pria di dalamnya. Lima pria bertubuh keka,

menggunakan jaket dan emblem sebuah organisasi pemuda turun dari pintu Jeep, mendatangi

warung. Satu pria lainnya yang berwajah paling bersih, berambut paling klimis menggerak-

gerakan leher dan tangannya. Sepatu boots, berbunyi ketepak-ketepok di jalan. Sampai di

warung, ia mengeluarkan pak sigaret dari kantung celana jeansnya. Pria itu menggerakan

roda kecil pada kota berlabel Zippo. Cur! Api menyembur.

“Di mana Suwito?!” Tanyanya menekan orang-orang yang berada di dalam warung.

Orang-orang itu memiliki naluri yang peka seperti binatang. Mereka diam. Solidaritas

membuat mereka bungkam.

“Sekali lagi aku tanya, di mana Suwito?! Mana yang namanya Suwito?!”

Bahasa tubuh beberapa orang beriak. Sekilas mata mereka menunjuk Suwito yang

saat itu sedang merokok santai di bawah pohon, di dekat warung.

Lelaki itu faham. Pria itu mendatanginya.

“Kau yang namanya Suwito!?”

Orang yang ditanya menghembuskan asap, ke samping “Aku Suwito! Kenapa?!”

Pria itu menghisap dalam-dalam rokoknya. Lalu, “Pfuuuuuuh!” ia menghembuskan

asap menuju wajah orang yang sedari tadi dicari. Ia berpaling pada empat lelaki yang

mengikutnya. “Ini orangnya!” lelaki itu memberi instruksi. ”Pukuli dia! Kalian kuandalkan,”

ia memfokuskan perintahnya, ”terutama Kau yang harus membuktikan!”

Kardi menarik kerah baju. Suwito berontak! Dua orang lainnya tanggap, mereka

memberangus tangan Suwito dari belakang. Saat tubuh Suwito dipaksa mendekati tubuh

lelaki yang memberi instruksi, tensi amarah Suwito drop. Emblem nama yang di jaket lelaki

itu menggetarkan jiwanya. Minus yang diderita matanya, membuat Suwito menyesal. Ia tak

mungkin menentang. Dua orang pria mendorong tubuhnya. Suwito diseret ke selokan dekat

bangunan kosong. Ia mulai ketakutan. Wajahnya seperti baru dikucek pemutih oleh laundry!

Mereka berhenti di samping selokan. Suwito merunduk-runduk mengingat kematian.

Lelaki yang memerintah masuk ke dalam Jeepnya. Kardi lantas melompat. Kepalanya

menyundul hidung Suwito sampai berdarah. Ia diseret ke arah bangunan kosong. Lutut

104

Suwito ditendang, kepalanya diadu dengan tembok. Ia melenguh. “Uh, uh, uh!” Ulu hatinya,

disodok boots. Suwito meringis.

Pria yang memberi perintah surut. Ia memberi isyarat pada pria lainnya untuk

mempermak Suwito. Tubuhnya jadi gebok pisang. Ia ditendang, dibogem, disiku, dipiting. Ia

ingin melawan tapi informasi yang beredar tentang nama seorang pemimpin organisasi

kepemudaan membuatnya tak berani. Suwito mengiba.

”Om Toto! Ampun Om. Sakit! Nyeri! Uh, uh, uh” Ia meringis dan memohon ampun,

tetapi lelaki yang dipanggil om Toto olehnya malah menghisap sigaretnya dalam-dalam.

Suwito tak tahu lagi siapa yang harus dimintai pertolongan Benaknya berkejap-kejap

ingatan akan kampung halaman di Ambon. Ia teringat akan perlindungan dan kasih sayang

yang senantiasa di berikan ayahnya. Ia melolong “Papaaaaa....! Tolong anakmu

Papaaaaaaaa!”

Mendengar teriakan menyedihkan itu, Sekarmadji, salah seorang di antara pria itu

terpengaruh. Ia mengendurkan cengkraman tangannya. Suwito merasakan. Di tengah situasi

yang mencekam ia melihat kesempatan. Dengan hentakan yang cepat Suwito melepaskan

cengkraman tangan pria satunya. Suwito lepas, ia berlari mengerahkan kemampuannya yang

terbaik. Kardi berusaha mencegahnya. Suwito berlari seakan larinya merupakan pertaruhan

hidup dan mati.

Tapi itu untuk sementara. Suwito salah menentukan arah larinya. Ia melewati Jeep.

Brak! Pintu Jeep terbuka. Wajah Suwito yang sudah tak karuan membentur kaca yang tebal.

Tubuhnya meluruh ke bawah. Beramai-ramai lelaki yang semula memburu mengangkat

tubuhnya, membawa dia ke pinggir solokan, lalu melemparkannya.

Tubuh Suwito melayang! Tulang punggungnya lebih dulu membentur dasar selokan!

Tak henti di sana, Kardi meloncat ke dalam selokan, menginjak Suwito! Histeria Suwito

berteriak, ia melolong ketakutan, menggeliat di dalam selokan.

Ia meratap, “Mamaaaaaaaaaa, tolong beta! Mamaaaaaaaaaaaaa …” Tolong betaaaaa!

............. Tolong Mama! Anakmu mau dimatikan Mamaaaaa! Tolooooong!”

Hanya sebentar Suwito berteriak, karena balok pajang yang gemuknya sebesar

kepalan membuatnya diam. Suwito koma. Ditinggalkan begitu saja di selokan.

SORE HARI, setelah kejadian di selokan, di sekretariat organisasi kepemudaan,

Mahdi bertemu dengan Toto. Ia menceritakan segalanya tentang lelaki itu. Mahdi

105

menambah-nambahi garam dan ketumbar obrolannya. Hampir di akhir pembicaraan, Mahdi

berpesan, supaya tidak ada yang dihabisi. ”Cukup di beri pelajaran!” ujarnya.

”Don ...!?” Toto melirik pada pemuda yang sudah duapuluh tahun dipeliharanya.

”Menurutmu siapa yang pantas melakukan ini?!”

”Aku pantas!” sahut Gendon.

”Ya, ya ... aku tak meragukanmu, tapi kalau mau membunuh lalat yang digunakan

bukan meriam.” Toto terkekeh.

Gendon tersanjung.

”Tapi lelaki itu pintar berkelahi!” Mahdi memotong.

”Comberan! Kau ... yang tak mengetahui apa-apa, tak perlu bicara!” Toto yang tak

bisa diinterupsi, menghardik. ”Kalau dua orang baru itu tidak mampu membereskan, akan

kupertimbangkan orang lain untuk menembakknya!”

Kelenjar keringat Mahdi mengendut. Membunuh itu bukan memberi pelajaran. Mahdi

ingin mengutarakan pemikirannya, namun pria di sampingnya memberi tanda agar ia tak

kembali bicara.

”Mas Toto, maaf ...” Obrolan beralih kendali, teman Mahdi yang ganti bicara, ”saya

rasa terlalu besar resikonya jika harus membunuh lelaki itu. Bagaimana kalau aparat

kepolisian mengkaitkan pembunuhan itu dengan gerakan? Habislah semua. Sia-sialah apa

yang sudah dibangun demikian lama.”

”Oke kita akan beri dia sedikit pelajaran saja.” Toto sedikit simpati pada teman

Mahdi, ia tersenyum” Bagaimana Don?”

Gendon mengangguk, ”Oke! Paling lambat lusa, aku beritahukan dua orang baru itu

untuk menyelesaikan masalah ini.”

Mahdi pun pulang. Ia menganggap hubungan yang selama ini ia jalin dengan

tokoh kepemudaan itu menghasilkan sesuatu. Mahdi tak tahu, jika Toto tak mau tahu apa

yang dilakukan Mahdi dan gerakannya. Toto tak memperdulikan klaim keadilan sosial yang

diungkap dalam setiap pembicaraan. Ia ia tak mau soalan konsep penyamarataan, ia

menganggap tai kucing semua organisasi dan orang-orang yang berbusa bicara tentang

penindasan. Apa yang ia lakukan merupakan perencanaan matang hasil timbang

menimbang.Yang Toto ingin hanya kepatuhan buta dan pengembalian atas uluran tangan

yang harus dikembalikan jika satu saat ia meminta.

SEBELUM GENDON MEMBERI TAHU tugas Sekarmadji dan Kardi yang baru,

tanpa bisa diperkirakan, situasi menjadi buruk. Tanpa sengaja Sekarmadji merasa mengenal

106

lelaki yang tengah berjalan di stasiun. Sebuah kejadian membuat wajah lelaki itu tersimpan

baik di dalam memorinya.

Di dekat penjual es balok, lelaki itu berpandangan dengan Sekarmadji, tetapi seperti

kebanyakan penumpang lain, pandangan itu hanya sekilas, tidak menambat. Lelaki itu tidak

sadar jika sapuanpandangnya itu mendekatkan dirinya pada bahaya hanya dalam hitungan

beberapa menit ke depan.

Tak sadar atas apa yang dilakukannya, Sekarmadji berlari. Ia mencari Kardi dan

menemukannya tengah berbincang dengan seorang juru parkir. Mendengar penuturan

Sekarmdji, Kardi langsung meloncat dari bangku panjang yang ia duduki. Mereka berjalan

cepat, khawatir penumpang kereta api yang menghanyutkan lelaki yang mereka cari. Pada

lorong yang dindingnya ditulisi exit mereka menanti. Dua lelaki itu memperhatikan satu

persatu kerumunan orang-orang, hingga lorong itu hampir menjadi lengang.

“Dia memakai baju apa?” Kardi tak sabar.

“Kaus putih, celana jeans hitam!”

Perburuan itu membuat mereka terengah. Ada semacam ketegangan dalam setiap

pertambahan langkah Sekarmadji. Ia tak yakin atas apa yang dilakukannya. Mereka terus

mencari, berputar dan memperhatikan kerumunan remaja beransel, melihat seorang bapak

yang membujuk anaknya menggunakan bonus mainan yang terdapat dalam bungkus

makanan ringan, juga ibu-ibu, dan tante-tante yang menggeret koper plastiknya menuju

bagasi taksi.

“Itu orangnya!” Sekarmadji berteriak, melihat punggung lelaki yang mereka cari.

Dan langkah kaki pun berderap-derap, setengah berlari. Sekarmadji melihat Kardi

memasukan tangan kanannya ke pinggang. Dalam ketergesaan itu segalanya menjadi cepat.

Ketegangan mulai menguasai. Ia kemudian teringat sesuatu, tetapi apa yang ia ingat tak akan

membantu menghentikan takdir yang akan terjadi.

Sekarmdji tiba-tiba merasakan bumi menjadi sedemikian malas berotasi. Waktu

melambat saat ia melihat tangan Kardi keluar dari pinggangnya. Sekarmadji berteriak

“Jangaaaaan!” namun Kardi tidak mendengar. Ia tak mau mendengarnya sebab dirinya telah

dikuasai keinginan babi yang buta!

Di samping penjual es balok , seorang lelaki jatuh terlentang oleh tusukan yang

sempurna. Belati menancap di tepian jantungnya. Hembus nafasnya melemah. Ia merasa

sakit, hanya dalam beberapa detik. Setelahnya ... lelaki itu kehilangan segalanya. Menjelang

dibunuhnya cahaya sore oleh malam ... di stasiun kota tua itu, seorang lelaki terkapar menjadi

bangkai.

107

KE BARAT

Alam selalu menuai kehendaknya kapan saja. Tak bisa dimutlakkan. Manusia yang

merupakan salah satu unsur di dalamnya, pun demikian, bahkan bisa jadi manusia merupakan

unsur alam yang paling rumit untuk diprediksi.

108

Sejak meninggalkan Yogya, semua menjadi sepi. Tak ada kabar yang Pepei beri

untuknya. Surat-surat Riang tak jua dibalas. Pepei melupakan lelaki dari udik. Lelaki yang

letak rumahnya hampir masuk ke dalam hutan rimba.

Riang merasa disepelekan tapi ia tidak gegabah untuk memvonis sebuah keadaan

sementara ia tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Riang seharusnya beriman pada

Pepei. Aku mempercayainya, ujar Riang, tapi apa memang demikian. Jangan jangan

kepercayan hanyalah pelarian untuk mempercayai bahwa aku tidak diinginkan.

Riang menginginkan pertanyaan itu lewat tanpa melihat lampu penyebrangan. Lewat

begitu saja tak usah dihiraukan, tetapi kesepian justru menstimulasi pertanyaan lainnya

mengenai keimanan: jangan-jangan keimanan hanyalah pelarian yang menenangkan?

Gumamnya, lantas apakah seorang yang tak beriman tidak akan mendapat ketenangan?

Astaga!

Riang terkejut. Ada ruh yang terus menerus mengajaknya berdialog. Ruh sialan itu

menuntutnya untuk menguak kabut pertanyaan yang selama ini ia represi. Riang kembali

gelisah. Pencariannya terhadap Emha di Yogyakarta yang salah sasaran, semakin

membuatnya kebingungan. Emha yang diucapkan ibu, yang informasinya beliau dapatkan

dari bapak ternyata bukan Emha yang ada dalam bayangannya.

Bapak hanya asal bicara. Emha yang mengislamkan Simbah, ternyata Emha antah

berantah. Emha yang sangat sulit ditelusuri dimana keberadaan dan kediamannya. Teka-teki

semakin sulit untuk dipecahkan.

Riang makin sering diam di berbagai kesempatan. ”Riang di rasuki penghuni

Merbabu,” kata seorang penduduk Thekelan. Sungguh, otak Riang tak kosong! Mereka

semua salah! Pemikiran Riang tak melompong! Dalam diamnya ia berfikir! Otaknya berjalan

seperti mesin. Otaknya turbo! Otaknya bergerak cepat, melompat-lompat seperti kuda-kuda

yang biasa dipacu untuk mengantar sayuran --hasil lahan pertaniannya-- menuju Tumpang.

Riang tak peduli orang lain bakal membicarakan dia seperti apa. Kegelisahan

membuat repot dengan dirinya sendiri. Tak ada waktu luang untuk memikirkan anggapan

orang karna kekacauan pikirannya begitu hitam dan menakutkan! Semakin ia diam dan

berusaha mengasingkan diri, semakin sering pula ucapan Pepei sowan di kepalanya.

“Manusia. …manusia,

Ah manusia. Bagaimana seandainya jika kau tidak ada?

Kalau manusia tidak ada, mengapa kita ada?.

Mengapa kita merasa.

Lantas apa yang dimaksud rasa?

109

Duhai gila.

Mengapa kita ada?.

Dengan maksud apa k i ta a a a a a ada?”

Riang memikirkan lontarkan perkataan Pepei di Merbabu.

“Mengapa aku harus ada?” Parau, Pepei menekankan kata-kata.

“O, mengapa aku harus ada!”

Riang mengingat bagaimana ia memutar badannya dan Fidel kembali

memiringkan telunjuknya.

“O, seandainya tuhan ada,

mengapa Tuhan tak memberi tahu

tujuan penciptaan manusia dan semesta?

O, siapa yang mengetahui tujuan keberadaan kita?

Manusia manakah yang mengetahuinya?

Pendetakah?

filosofkan?

ilmuwankah?

petapakah?

O, haruskan hidupku terombang-ambing seperti ini?

O’ haruskan Tuhan ada?”

“Di depan sebatang pohon halangi jalan,

Ini merupakan tanda bahwa keberakhiran. Akhir kepastian.

Tak mungkin dihindari, tak mungkin ditepis.

Batu kelamaan akan menghilang digerus angin.

Manusia,

binatang dan tumbuhan …

tinggal menunggu waktu, menanti tanggal mainnya.

Mati adalah kepastian.

O’, lantas apa yang akan kita hadapi

setelah kematian?”

110

Semakin ia berdiam dan berusaha mengasingkan diri semakin sering bisikan Simbah

silaturahmi di kepalanya.

R

i

a

n

g

K e m a r i

R

i

a

n

g

A y o k e s i n i

R

i

a

n

g

A k u i n i

M

b

a

h

m

u

J a n g a n

111

T

a

k

u

t

A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.

M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.

R i a n g ... D a m a i Riang!

Riang semakin masuk ke dalam. Terjerumus ke dalam lubang hitam. Ia tengah

melintasi padang kekacauan. Inikah yang dirasakan Mahdi. Bukankah yang kualami kini

sama dengan yang dialaminya? Mataku tidak lagi fokus terhadap lingkungan. Di dalam

hatiku muncul dialog-dialog yang berpangkal pada pertanyaan

Benarkah?

Jangan-jangan?

Kalau begitu

Ah masak? bermain dikepalanya

Bukankah ini yang dirasakan Mahdi dalam pertarungan keyakinannya?

Anarki memukul-mukul kepala Riang.

Di gubug yang berdiri di tengah lahan yang tengah ia garap Riang meringkuk,

menangis dan tertawa sendiri. Ia merasa aneh dengan eksistensinya. Riang belum berkarat. Ia

masih mampu melewati semua kegelisahan ini. Masih ada waktu untuk menuntaskan

pencarian jawaban atas teka-teki yang membingungkan. Masih ada harapan baginya untuk

membuat sebuah pondasi keimanan.

Riang akan terus mencari Tuhan! Ia akan menyembah-Nya! Atau sebaliknya menjadi

seperti Mahdi ....mengangkat batu di atas kepala dan mengkeprak kepala Tuhan sampai

Tuhan menguik-nguik seperti anjing budugan yang buang air besar karena ketakutan! Ia tidak

akan mengkasihani Tuhan!

Riang berani untuk menjadi!

Perjalan hidupnya masih panjang.

WAKTU BERLANJUT ...

di sekitar lokasi wisata Kopeng ... bola yang sudah berjuta tahun memberi

penghidupan pada bumi menjadi katarak di mata! Hujan turun perlahan! Rintihan-rintihannya

112

menjulur terputus-putus, membasahi baju. Hujan yang tercurah terasa hangat sehangat air

kencing. Apakah mungkin di atas langit ribuan malaikat tengah membuka risleting? Cur!

Cur! Mereka merasa bosan, menanti perintah Tuhan untuk mengurusi manusia. Saking

sebalnya mereka tidak tahan! Melawan Tuhan tidak mampu maka pelampiasannya

dikencingilah manusia!? Riang tertawa.

Usai turunkan hasil pertanian di pasar terdekat menggunakan mobil carteran,

punggung Riang bebas merdeka. Ia menembus gerimis menuju pos Kopeng. Selama satu jam

lebih, di pos Kopeng itu, ia menanti. Hujan pun berhenti. Ia menjentik puntung rokok ke

dalam bak. Selarik angin memutarkan sampah di hadapannya. Sisa air hujan mengalir

mengikuti hukum alam, menuju tempat yang rendah.

Angin datang memacu, mengibas tubuh orang-orang, yang mulai berani berhamburan

menuju jalanan. Beberapa orang menahan topi dengan kedua tangannya. Kertas koran yang

diremas-remas, menggelinding, mencocol air seperti roti yang dicocol pada gelas kopi.

Robekan kertas koran lainnya yang ada di sebuah kios, ditiup angin, terbang membumbung,

lalu meliuk.

Riang berjalan cepat, melewati apa saja. Ia khawatir hujan susulan datang sementara

ia tak menyadari jika selembar kertas koran melayang hanya beberapa jengkal di atas

kepalanya. Tiupan angin nampak bersemangat. Kertas koran dengan iklan sepenuh halaman

itu menyusul, melewati tubuhnya. Di jembatan kecil, hembus angin tertahan oleh

pepohonan. Kertas koran kehilangan daya, turun ke bawah, dua kali bergoyang ke kanan ke

kiri lalu menubruk dan menutupi wajah.

Riang berhenti sejenak, memperhatikan koran yang berisi iklan mobil dengan latar

belakang pegunungan dan pesawahan subak yang berundak. Ia lipat kertas koran di

kantungnya sambil berjalan pulang menuju rumahnya. Ia tidak tidak menyentuh kertas koran

itu bahkan hingga ia menggantung baju di belakang pintu rumahnya. Riang tidak mengetahui

bahwa di balik iklan sepenuh halaman itu sebuah berita genting menanti untuk dibaca.

Subuh hari, usai menyapu halaman ia memasukan pakaian kotor yang terbengkalai

beberapa hari ke dalam ember. Sewaktu mengeluarkan barang-barang yang ada di saku

celana dan bajunya, sebuah warta ia temukan dari kantung baju yang kemarin ia kenakan.

Warta yang berasal dari kertas koran di balik separuh iklan itu membuat Riang mengambang

seakan berada di pertengahan dunia nyata dan khayalan.

Seorang lelaki ditusuk sampai mati di stasiun Tugu. Aparat kepolisian mendapati

bahwa korban penusukan adalah lelaki yang beberapa bulan lalu pernah mengagalkan usaha

pembegalan di Thekelan. Dari sana polisi mengembangkan kemungkinan kejadian bermotif

113

dendam, tidak ada satu barang berharga pun yang hilang dari tubuh korban. Informan yang

tak mau disebutkan identitasnya memberitahu ciri-ciri pelaku. Dari ciri-ciri fisiknya, Riang

menarik kesimpulan bahwa mereka adalah lelaki yang pernah mencegatnya di gerbang

kuburan, dan lelaki yang diberitakan tewas dalam kejadian adalah lelaki yang sangat

dikenalnya.

Tepat pada jam yang sama sewaktu Riang menunggu hujan yang seolah diciptakan

untuk memberi kabaran: empat bulan yang lalu Pepei mati di tikam, di dapan sebuah stastiun.

RIANG TAK BEGITU MENGERTI mengenai keberanian bangsa Aria saat

meruntuhkan imperium besar Romawi. Riang tak begitu mengerti mengenai arti keberanian.

Tetapi, keberanian itu muncul ketika ia teringat akan obrolan antara dirinya dengan Pepei, di

sebuah masjid besar berkubah menjelang kepulangannya menuju Thekelan.

Amarah mendorong keberanian Riang hingga ke puncak! Ia pun berkemas dan

hengkang dari desa Thekelan. Menuju bagian barat pulau Jawa.

TARYAN

Sementara itu, saat Riang tengah menimbang nimbang untuk pergi dari desanya, di

dekat barongan. seorang lelaki bertubuh kurus memisahkan diri. Ia berlari, dari massa yang

mengacungkan senjata. Ia mengeluarkan segenap tenaga demi menyelamatkan saudaranya.

Di kali kecil, dipotongnya kali, di kuburan cina, diseberanginya kuburan cina. Ia terjang

onak, ia tendang kerikil. Beberapa kali terjatuh ia pantang mengeluh. Ia tak mau berhenti

meski darah merembes di sela-sela bulu matanya. Ia berlari, berlari dan terus berlari karena

tak rela saudaranya dibakar hidup-hidup di hadapan orang-orang yang dicintai dan

mencintainya.

Di sebuah rumah yang bisa dianggap megah penduduk desa, Taryan duduk dikelilingi

orangtua, mertua, istrinya Radia dan anaknya Chaidir. Mereka berharap kabar yang datang

114

mampu melemaskan syaraf ketegangan. Bukannya ketegangan itu hilang, kedatangan yang

diharapkan malah membawa mereka menuju puncak kecemasan. Setio, lelaki kurus itu

datang mengabarkan dan Taryan harus diungsikan. Ia harus diselamatkan sampai

permasalahan terselesaikan.

Mertua Taryan masuk ke dalam kamar. Dari laci lemari, ia mengambil uang simpanan

dan memasukan beberapa helai baju hangat ke dalam tas. Taryan melihat air mata istrinya

mengalir deras. Ia memandang anak tirinya, ”Jaga ibumu baik-baik Nak!?” Chaidir tak

menangis, ia menganggukan kepala. Pintu belakang dibuka. Diiringi tangisan Radia yang

memecah hati, Taryan berjanji ia akan segera kembali setelah keadaan terkendali. Ia

menghilang di batas antara cahaya dan kegelapan.

Ketika senja menjadi pertanda dibunuhnya cahaya matahari oleh malam, Taryan

berangkat dari Magelang.

MENGGUNAKAN BUS ANTAR PROVINSI Taryan sampai di Jakarta. Dalam

perjalanan panjangnya yang pertama, ia renungi kejadian yang seumur hidupnya baru ia

rasakan. Tak habis fikir, mengapa di dunia ini ada orang sejahat Hatta? Mengapa sedemikian

gampangnya penduduk desa mempercayai berita busuk yang mengatakan bahwa dirinya

memuja babi, mengapa karena menikahi Radia ia harus dihabisi.

Turun dari tangga bus, sandal swallow mendarat di aspal yang tergenang air berwarna

coklat kekuningan. Ia tak mempedulikan. Ia hampa. Matanya menerawang kosong. Kejadian

yang dialaminya beberapa jam lalu membuat shock. Ia tak mampu merespon keadaan di

sekelilingnya. Ia tak merasa jika sebuah mata berongga memperhatikan dari kejauhan dan

mengikutinya dalam diam.

Di bangku plastik berwarna biru Taryan menjatuhkan diri. Ia lihat gelandangan tidur

di balik pilar-pilar beralas koran dan kardus. Lagu dangdut disetel mengoyak telinga.

Beberapa lelaki mengerumun di bawah warung tenda. Mereka bermain judi ceki-ceki

menggunakan kartu gaple. Suara-suara cekakak gemuruh memecah keheningan. Bising

mesin bis yang baru datang dari Garut, Kuningan, Banjar atau kota-kota di jawa Timur

membuat pekak. Dua orang sundal tertawa liar. Panas! Bibir mereka merah darah; matanya

bercelak hitam; pipinya retak-retak karena ramuan bedak yang tak rata karena mercuri.

Ingat dirinya berada di kota besar Taryan membuka tas, mengambil alamat yang

disematkan mertuanya ke dalam dompet. Mata berongga yang sedari tadi memperhatikan

bergerak mendekat. Di dekat tiang listrik yang dicahayai lampu, pemilik mata itu

115

menampakkan wujud. Ia berjalan perlahan mendatangi Taryan sembari mengambil sebatang

rokok dari saku bajunya.

”Kau punya api?” lelaki itu menyatukan jari, membentuk kepalan, sambil

menggerakan jempolnya di hadapan Taryan.

Taryan merogoh korek api john koping tanderstickor dari kantung celana bahan.

Bungkus korek api yang lembab oleh keringat mengharuskan lelaki itu menggesek bungkus

korek api selama beberapa kali. Korek api menyala namun setiap kali itu pula angin meredup

dan mematikannya.

Lelaki itu membenamkan kepalanya ke dalam kemeja. Ada noda berwarna merah

menyala di sana. Asap keluar dari kerah baju. Rokok terbakar.

Taryan terhibur oleh lelaki itu menyalakan rokok dan mengeluarkan kepalanya

seperti kura-kura.

”Kau mau ke mana?”

”Mau ke Jakarta!” Jawab Taryan.

”Ini Jakarta! ... mau kemana di Jakartanya? Payah Kau ini!”

Taryan tergeragap, ia tanggap, ”O Anu Mas! Saya mau ke Tanjung Priok. Mau

ketemu saudara.”

“Tanjung Priok daerah mana?”

“Ndak tau juga, tapi sebentar...” Taryan membuka risleting dompetnya, mengeluarkan

kertas, memberikannya.

”Mas tau alamatnya?”

Lelaki itu mengambil kertas yang disodorkan.

”Mas tahu?” Taryan mendesak.

Lelaki itu berteriak. ”Mana mungkin aku tak tahu! Daerah ini dekat dengan rumah

sahabat karibku, si Mangunsong! Nah ... coba Kau cari angkutan kota di luar terminal sana!”

Tiba-tiba lelaki bertubuh tambun itu memperhatikan tubuh Taryan, ”... Kau orang udik dari

mana sampai tak tahu ibukota kita!?” Ia tertawa.

”Saya dari Magelang, Masnya sendiri?”

”Ya sendirilah tentu! Ada-ada saja Kau ini!”

”Maksud saya, Mas sendiri dari mana? Saya dari Magelang.”

”Oh... ya ... ya ... aku tanggap ... aku tanggap!” ia tertawa. ”Asalku, Sumatera Utara!”

”Jauh sekali rumahnya! Nama saya Taryan! Mas sendiri!?”

116

Lelaki itu berpikir sejenak. Ia hampir salah lagi mengartikan pertanyaan Taryan.”Aku

tanggap ... aku tanggap! Namaku Leonard!” Lelaki tambun itu tertawa. Disangkanya dari

perkenalan itu obrolan akan berpanjang putar. Tak tahunya,

”Kalau begitu ... terima kasih. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi ... saya kesana

Mas?”

”Santai lah...”

”Tapi saya harus pergi.”

”Hai...hai ... Aku tidak bisa memaksa! Tapi, biar Kau aku antar sebab di sini kalau

jalan sendiri bahaya! Kemarin ada orang Garut mati! Ditusuk! Dari pada ada apa-apa dan

apa-apa dari pada, biar aku antar Kau saja!”

Taryan menyetujui. Ia membungkuk, memasukan dompet ke dalam tas dan risleting

ditutupnya rapat-rapat. Angin meniup kain-kain spanduk dan botol aqua. Bungkus gorengan

dan karcis peron yang remek, menggelosor mengikuti tiupan angin. Suara hingat bingar

dangdut koplo berderit. Taryan tak tahu, di luar terminal di sebuah pohon rindang yang

membuat suram apa saja yang ada di bawahnnya, empat orang menunggu kedatangannya.

Tak lama berselang, mereka sampai di pohon itu. Taryan dan Leonard memasuki

bayangan yang suram. Empat orang yang berada di balik pohon mengepung. Tanpa basa-basi

keempat orang itu serempak menyerang. Sebuah pukulan mencium wajah Taryan. Pukulan

lainnya datang menyusul!

Menerima serangan mendadak Taryan kebingungan setengah mati. ”Ada apa ini?!”

Salah seorang berusaha menyarang pukulan lagi di muka Taryan. Si korban menangkis.

Taryan balas melawan. Dijerembabkan satu orang. Kakinya melayang, namun sebelum

kakinya sampai, seseorang memukul Taryan dari belakang. Ia hilang keseimbangan. Ia

kelimpungan. Ia berharap Leonard membantunya. Dan ... betapa terkejut Taryan memergoki

Leonard yang tengah berusaha menendang rusuknya.

Taryan berkelit namun sebuah hempasan kaki kering mengenai pinggangnya. Suara

buk terdengar nyaring! Ia terpojok! Tangannya dipasung. Taryan tak bisa membela diri.

Wajahnya berdarah! Dengkulnya jatuh di aspal. Dalam hujan pukulan dan tendangan ia

ngap-ngapan. Taryan hilang kesadaran saat Leonard menjadikan wajahnya asbak rokok.

SETENGAH JAM KEMUDIAN... jemari Taryan bergerak. Kukunya menggores

pasir yang menggendap. Ia pegangi kepala. Pusing tersisa. Pandangannya masih berpendar-

pendar saat azan subuh singgah di telinga. Ia mengikuti seruan ”mari meraih kemenangan!”

Taryan merasa membutuhkan Tuhan. Dimasukinya gang-gang kecil. Sebuah mesjid kecil

117

menyambutnya dalam keremangan. Ia menuju tempat wudu; memutar keran air; membilas

noda-noda merah pada muka dan bajunya. Ia hadapi cermin dan terpana saat menyaksikan

gigi depannya tanggal.

Hilangnya satu gigi, wajahnya mendadak berubah total. Wibawanya tanggal. Taryan

meringis. Gusi yang mulai dirasakan perih, mengalihkan perhatian, ia bersuci, masuk ke

dalam masjid dan mengikuti shalat subuh yang baru saja dimulai.

Seusai shalat, --ketika-- orang-orang berhamburan keluar, Taryan jongkok di atas

karpet hijau yang lembab dan koyak. Dalam keadaan seperti ini ia tak tahu melarikan diri ke

mana. Ia menjadi individu lemah yang perlu mencurahkan keluh kesah pada sesuatu yang tak

pernah dilihatnya. Setamat memanjatkan doa Taryan mendapati dirinya hanya berdua

bersama seorang lelaki tua.

”Asalamualaikum!”

Orangtua itu membalikan badan ”Apa ane pernah ketemu ente sebelumnya?”

Taryan menggeleng.

”Ada perlu?!”

”Saya Taryan Pak. Baru pagi tadi saya sampai di Jakarta. Saya dari Jawa, sampai di

sini karena ... hop … hop… hop.” (ia ceritakan kejadian di kampung hingga perihal

Leonard), ”Saya butuh pertolongan, uang saya habis”

Lelaki tua itu memandang. ” KTP Ente?”

”KTPnya ada di dompet. Dompet saya diambil Leonard Pak”

Lelaki tua tak percaya,

”Ada perlu apa di mari?!”

”Di mari?”

”Ente perlu apa di Jakarta?!”

”Ketemu paman istri saya Pak ...”

”Ketemuan di mana?!”

”Ndak tahu di mananya.”

”Ente ini bigimana? Ke Jakarta nggak tau tujuan! Sedeng apa sedeng?!”

“Kalau ndak salah Priok nama daerahnya!”

“Tanjung Priok di mana?!”

Taryan gelengkan kepala. ”Mertua saya yang nyimpan alamat keluarga di dalam

dompet. Sekarang dompetnya di tangan Leonard. Sungguh tidak hapal alamatnya! Sungguh

Pak!”

118

“Alesan! Orang kayak Ente bejibun! Minggu kemaren ampir sama! Kagak jauh-jauh

alesannya! Eh sore arinya, ntu orang gua liat maen judi di terminal! Tiga hari yang lalu, hari

kemaren kejadiannya kayak gini juga! Pelakunya aja nyang beda ...kalo dulu laki, nyang ini

ibu-ibu. Datang ke masjid pake nangis-nangis. Alesannya sama ama yang kemaren ...

kecopetan! Terus sekarang Ente!!! Ane udah kagak pecaye!” Lelaki tua itu menantang. Ia

tidak takut badan kerempeng Taryan.

”Mending Ente cari kerja nyang bener dah! Jangan jadi tukang tipu!!! Ente masih

muda. Jangan nyiain idup. Jangan ampe nyesel pas tua nanti!” Lelaki tua berdiri dan

meninggalkan suara sendalnya yang berat.

Taryan melemaskan kakinya di teras masjid. Tubuhnya rebah. Air matanya menitik.

Ia merasa lelah hingga tak sadar, selama beberapa jam Taryan tertidur di atas sajadah, hingga

matahari yang memanggang atap seng, membangunkannya, mengaktifkan kembali otaknya.

Ia lihat jam di atas mimbar kayu bertulis kaligrafi Allah dan Muhammad. Ia merangkai ide.

Jam bingkai emas berbentuk masjid berdetak. Suaranya menyamai detak jantung Taryan.Ia

berjingkat, memisahkan jam dengan paku yang menancap di dinding. Ia masukan jam itu ke

dalam baju.

Jam terlalu besar, Taryan mengurungkan niat. Kepala kembali berputar. Di ujung

kanan kiri dekat pintu, didapatinya dua buah sarung, satu buah mukena. Taryan

menimbangnya. Usai berkalkulasi ia mengurungkan niat kemudian memasuki mimbar yang

terdiri dari tiga tingkat. Ia dapati mix pada tingkat ke tiga; ia dapati lima buah Al Quran pada

tingkat ke dua; dan sebuah kotak kayu, keropak masjid pada tingkat pertama. Ia intip. Di

dalamnya gelap. Taryan ambil besi penyangga mix. Ia pukulkan besi ke arah kunci gembok

berkali-kali.

Gembok terbuka. Suaranya terdengar merdu di telinga. Ia tumpahkan seluruh isinya

ke lantai. Uang yang ada di dalam keropak berisi dua keping receh seratusan, dua lembar

uang lima ratus, tiga lembar lima ribu dan 11 lembar uang seribuan. Jika seluruhnya

ditambahkan maka berjumlah Rp 27200. Taryan mengeruk seluruh uang, memasukannya ke

dalam kantung celana bahan. Taryan beranjak keluar mushalla. Dalam perjalanan kembali

menuju terminal ia diganggu perasaan berdosa, maka diniatkannyalah untuk mengembalikan

uang akhirat itu. Direalisasikannya entah kapan, setidaknya niat itu membuat Taryan cukup

ringan.

Taryan terus berjalan menuju terminal. Sampai di sana ia melakukan gerak cepat. Di

belinya satu botol Aqua serta dua sobek roti seharga dua ribu rupiah. Ia setop bus yang

menurut aparat DLAJR menuju Tanjung Priok. Naik ke atas bus, melalui jendela kusam

119

dilihatnya lokasi di mana Leonard memukulnya habis-habisan. Bus berjalan. Kernet turunkan

Taryan di terminal karena tak tahu tujuan. Turun dari bus ia berjalan menuju sebuah gang

dekat terminal. Ia ingin bertanya pada kumpulan orang yang ada di depan gang, namun

diurungkan karena kebanyakannya bermuka seram tak bercahaya. Pengalaman mengajarkan

Taryan memilah wajah mana yang bisa dipercaya. Ia terus berjalan hingga seorang anak

muda bermata sipit membuatnya merasa harus bertanya. Taryan mendekati meski ia tahu

kemungkinan pemuda itu mengenal paman Radia sangat kecil. Tapi Taryan tak punya pilihan

lain. Tak punya tujuan lain sebab seluruh keluarga di pihak orangtua kandungnya berada di

perbatasan desanya dengan desa Radia. Artinya percuma saja jika ia lari ke sana. Ia

membuka mulutnya setengah. Sebelum suaranya keluar sempurna, pemuda sipit yang

menggunakan menggunakan topi Chicago Bulls, celana jeans Keller ngatung dan singlet

merek Swan itu menanggapi.

“Kayak pusing. Nyari siapa Mas?”

Taryan perlihatkan giginya yang bolong. “Nyari keluarga Dik.”

“Siapa?”

”Paman istri saya.”

Anak muda sipit menggaruk pantat. “Paman istri Mas pasti punya nama dong?!”

“Kalau ndak salah e, ... Joko ... ee, namanya Joko Suseno!”

Tubuhnya anak muda itu tersentak kebelakang, “Siapa? Joko Suseeeeenooooo!?”

Taryan hampir berjingkrak

“Joko Suseno yang mana!? Jangan dulu kayak gitu ...”

“Walah ... wong belum pernah ketemu”

”Alamatnya?”

”Ilang!”

”Mas orang baru di sini?”

”Iya!”

”Kalo gini susah Mas. Tapi siapa tau orang yang Mas cari, cocok ma Joko Suseno

yang gue kenal. Orangnya kumisan? Badannya tinggi besar?”

Taryan tidak tahu wajah paman Radia seperti apa namun dipikirnya, Masak di dunia

ini ada orang bernama sama?

”Ya ..! ya!” sahut Taryan.

Anak muda itu berdiri dari kursi kayu panjang. Ia masuk ke dalam warung dan

kembali sambil mengigit batang korek api. Tanpa bicara apapun pada Taryan, anak muda itu

120

masuk ke dalam gang. Taryan ragu untuk mengikuti dan anak muda itu baru menyadari

setelah jarak 10 meter berlalu. Ia menegok ke belakang, melambaikan tangan.

“Katanya mau ketemu Joko!? Sini gua anter!”

Taryan kuatkan hati. Ia masuki gang kumuh. Kertas nasi bungkus, karet gelang dan

plastik berserakan di sisi kanan gang itu. Semakin ke dalam, semakin becek tanahnya.

Seorang perempuan tua mengenakan kutang hitam menjemur kain diatas genting; seorang

anak peerempuan berumur belasan tahun membetulkan antena televisi. Musik dangdut

meraja, membisingi udara. Udara sepak! Banyak panci gosong digantungkan. Sabut kelapa

untuk mencuci gelas dan piring tergeletak. Baskom berisi air dan piring kotor ditinggalkan

pemiliknya. Ayam kejar mengejar. Ada yang berkelahi menggunakan taji. Ada yang

melindungi anaknya. Ada seonggok bangkai kucing dimakan tikus.

Tidak seperti rumah-rumah di desa Taryan, keadaan di gang ini memprihatinkan.

Rumah-rumah satu petak didirikan di atas tanah yang sempit. Dempet. Tak ada celah untuk

bernafas. Lorong-lorongnya terlalu gelap dan bercabang. Taryan tak mungkin kembali ke

gerbang tempatnya bertanya.

Delapan belas menit berlalu. Anak muda itu berhenti di sebuah rumah tingkat

berbahan triplek. Taryan masuk ke dalam setelah anak muda itu mengisyaratkan untuk

mengikutinya.Di dalam ruangan yang –ternyata—kosong itu, Taryan melihat ke atas. Ia

temukan banyak sekali sarang labah-labah. Atapnya bolong. Sinar matahari menerobos dari

celah-celahnya.. Keraguan muncul.

“Ini rumah bapak Joko Suseno!?”

Anak muda itu berbalik. Ia tatap Taryan sambil mengeluarkan suara yang nyaring

seakan mulutnya menyimpan pengeras suara, ”Ctok!” Beberapa detik setelah suara ctok

menjalar di dinding, tiga pemuda keluar. Umur mereka terlihat lebih tua ketimbang anak

muda yang mengantarkan Taryan. Ia merasa dalam bahaya. Benar, baru saja merasa, ketiga

orang itu memamerkan pisau yang diselipkan di ikat pinggang. Melihat banyaknya bilah

pisau keberanian Taryan amblas. Ia pasrahkan nasibnya.

Anak muda bermata sipit yang tadi mengantar, tidak ikut menggeledah. Ia

memerintah. Menyuruh anak buahnya membuka baju dan celana. Taryan patuh, lain halnya

ketika ia diperintah membuka celana dalam. Untuk urusan yang satu ini ia memohon. Ketiga

pemuda tak pedulikan. Taryan menelanjangi diri dan mereka mendapatkan alat kelamin dan

perlengkapannya, juga geretan serta uang sebesar 22.200,- rupiah. Ke tiga pemuda murka

atas ketidak terus terangan Taryan. Salah seorang di antara mereka maju mencabut pisau.

121

Sebelum pisau berkata, anak muda bermata sipit yang memberi isyarat. Taryan bersyukur tak

jadi berdarah.

Anak muda sipir menyuruh Taryan membalikan badan. Dan sebuah tendangan

sampai. Badan Taryan menghantam pintu triplek. Pintu jatuh.

“Pergi Luh!” Anak muda sipit melempari Taryan dengan pakaian dan celananya

Tak ada orang yang menaruh iba. Taryan menggunakan baju dan celana di tempat

terbuka.Seluruh kekayaan habis. Taryan berjalan gontai tak tentu arah, mencari jalan keluar

dari gang setan. Keinginan mencari Joko Suseno sirna. Kini ia hanya berfikir bagaimana

melakukan survival di tengah lingkungan predator kota Jakarta.

Dua hari setelah kejadian. Dua hari setelah bosan makan nasi buangan, Taryan

mengemis, meminta belas kasihan orang. Dengannya ia membeli makanan yang layak dan

menabung. Di hari ketujuh uang dikantungnya mencapai 10.000,- rupiah. Di hari ketujuh

yang keramat itulah, Taryan sampai di sebuah bangunan yang dikerumuni pedagang kaki

lima. Ia sampai di stasiun kereta yang menghubungkan kota Jakarta dan Surabaya. Ia

berkehendak pulang. Tekadnya bulat, meski uangnya tak mencukupi. Ia siap hadapi resiko. Ia

sudah tak tahan hidup seperti itu dan keinginan yang ditumbuhkan derita menjadi obor

pembakar. Taryan segera mendekati restoran cepat saji di sekitar stasiun. Ia tunggu makanan

yang dilempar ke bak sampah. Ia kumpulkan makanan sisa untuk bekalnya di perjalanan.

Sebuah botol plastik dibuang pemiliknya. Sebuah kaleng biskuit teronggok Makanan dari bak

sampah yang sekiranya awet, ia masukan ke dalam kaleng lalu ia isi kentang goreng serta

beberapa potong biskuit yang ditinggalkan penumpang kereta.

Merasa cukup dengan bekal mengkerenyitkan, ia menyodok tangannya menuju

celana dalam. Ia ambil lembaran kertas kusam yang nilai instrinsiknya tidak sesuai dengan

nilai exstrinsik. Dengan lembaran itulah ia membeli dua sachet shampo anti ketombe. Taryan

masuk ke dalam stasiun. Menunggu antrian kamar mandi yang dindingnya ditulisankan, gent.

Di dalam kamar yang keramiknya berair itu, ia membuka pakaian yang lengket. Ia siram air

di kepala. Air berjalan di dada, paha dan kelingking kakinya. Dirobeknya shampo. Disisik

rambutnya. Di bersihkan leher, muka, ketiak, hingga telapak kakinya yang kapalan. Segar

menjalar. Baru kali ini ia rasakan mandi menjadi salah satu anugerah terbesar. Perasaan

nikmat membuat matanya berkaca-kaca. Mandi menyegarkan kesadaran, mengembalikan

ingatan Taryan pada keluarga, pada Chaidir, pada saat ia mendekap Radia di malam-malam

yang sesak. Ia terkenang akan panas tubuh Radia. Taryan teramat sangat rindu. Di

kepengapan kamar mandi yang airnya kuning berbau besi, ia ambil busa-busa Tatkala satu

gelembungn terbang dan pecah di lantai, Taryan terisak. Ia merintih. Ia menangis

122

Tangisan adalah ledakan.

Beban yang menghimpit kehidupannya hancur berkeping, keping.

Tangisan

memusnahkan kekalutan.

Tangisan

mensucikan amarahnya pada Tuhan.

Hajatnya tuntas. Tubuh Taryan melandai di bak kamar mandi.

Keluar dari sana, Ia melangkah, bersiul-siul. Kali ini ia harus meredakan debaran

jantungnya sembari mencari jalur kereta ekonomi. Gerbong ditemukan. Tak begitu lama

menunggu, gerbongnya datang. Taryan masuk, dan menemukan satu-satunya tempat yang

difikirnya aman bersembunyi hanyalah di kamar mandi. Di antara sambungan gerbong ia

menikmati aroma kemenangan yang keluar dari kelamin jutaan penumpang kereta. Taryan

tak peduli jenis kelaminnya apa. Gerbong kereta pun bergerak. Suaranya derak-menderak.

MENGGELANDANG

Waktu seperti trenggiling, berguling-guling di tanah menindas semut yang menjadi

sisa makanannya. Demikian pula dengan Riang. Ia digulung waktu. Rencananya semula

memburam tidak seenak mie ayam.

Selepas berangkat dari Thekelan menuju Yogya, Taryan tak menemukan lelaki yang

dicari meski seluruh terminal Yogyakarta sudah ia hampiri. Ia semakin yakin Simbok Marmi

atau Marmut, menipu dirinya. Seburuk-buruknya anak, --meski mengetahui anaknya

melakukan kesalahan besar-- orang tua tetap akan bepikir berpuluh kali untuk memberikan

informasi yang akan membahayakan anaknya. Peribahasa itu khusus untuk orang tua yang

akal dan perilakunya pertengahan antara waras dan tidak. Peribahasa itu, tentunya tak berlaku

untuk Mbok Marmi, duga Riang.

Riang tak putus asa. Ia terus menekuni apa yang dicarinya. Dan sebuah pribahasa lain

dari negeri kita mengatakan bahwa sepandai-pandainya tupai buang gas akhirnya terendus

123

juga, terbukti dalam kehidupan Riang. Informasi mengenai keberadaan Kardi, ia dengar

melalui perbincangan di warung kopi.

”Nyeberang ke Kalimantan!” seorang tukang becak menerka.

” Genduruwo itu kabur ke Bandung!” yang lainnya menyanggah.

”Biar hidup wong gendheng itu tidak tenang! Biar modiar sekalian!” timpal penjual

soto Lamongan

Informasi itu simpang siur di jalanan. Di bicarakan diam-diam namun dipenuhi

dendam. Kebencian Riang adalah kebencian orang-orang itu juga dan informasi yang tak

memiliki akurasi tersebut memancingnya untuk terus mengejar Kardi.

“Lain waktu bukan aku yang ke Thekelan. Lain waktu Riang yang akan ke

tempatku.”

Keyakinan Fidel akan ucapan yang di sampaikannya di Kopeng, membuat Riang tak

ragu pergi menuju kota pelarian itu. Sesampainya di Bandung kenyataan segera

menghampiri. Ia menemukan kontrakan yang kosong.

”Fidel mangkat ka nu tebih,” jawab induk semangnya.

Mojang Priangan yang orisinil cantik itu menterjemahkan perkataan indungna,

ibunya. ”Fidel pergi ke tempat yang jauh Kang.”

Mengenai jauhnya berapa kilometer, letaknya di mana, induk semang dan anaknya

tak dapat menunjukkan. Mereka hanya menjawab, ”Fahan, fahan ... naon nya, apa ya, di

tempat Sadam Husein sigana mah, sepertinya.”

”Irak?” Jawab Riang.

”Sigana! Mungkin!”

”Sugan We, bisa saja di Iran, nggak tahu lah, Kang.” Anaknya yang cantik

memungkas.

Kedua orang itu tak dapat meyakinkan Riang. Harapan bertemu Fidel menjadi ampas.

Tak ada tempat berteduh bagi Riang tetapi ia tak peduli jika harus menggelandang. Ia tak

peduli meski harus menjalani hidup di jalan.

PAGI BUTA. Dingin akhir musim kemarau menjeruji kaki. Cahaya lampu hotel dan

rumah mewah Dipati-Ukur memantul dari steinles stell pagar yang cerlang. Bintang pagi

meremang. Subuh datang membuka hari. Bergulirlah kembali. Malam digilir pagi dan pagi

digilir malam. Terus seperti itu hingga seisi semesta gulung tikar.

Berada ruang besar yang disanggah hukum alam, Riang meringkuk, berselimut kertas

koran alas shalat jumat kemarin siang. Ia diami ghetto di bawah semesta nan rindang. Tempat

124

kediaman itu ia dibuatnya menggunakan peti buah, spanduk curian dan terpal sobek yang ia

jahit. Terpal dan spanduk ia jadikan sebagai atap sementara kayu peti buah yang di ikat tali

rapia ia jadikan rangka. Tempat kediaman itu tak pantas disebut kediaman, sedikit lebih

pantas jika disejajarkan dengan kandang.

Jam delapan. Toet-toet knalpot, ketepok ladam kuda dan tapak kaki sepasang manula

memopor kesadarannya. Riang membuka mata. Lendir yang halangi pandangan,

membuatnya berpikir tentang lendir yang bisa dijadikan lem perangko atau pengganti garam

perangsang nafsu makan. Riang melihat ke kanan dan ke kirinya. Ia tak menemukan orang

yang selama ini menemaninya di jalanan. Riang hany melihat seorang perempuan berambut

kusut tengah jongkok tak jauh dari tempatnya, tertawa di dalam bak sampah.. Rambut kusut

perempuan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya.

Baju Riang lusuh. Mulutnya bau septictank. Di kupingnya dedak kuning menumpuk.

Di rongga hidungnya lendir hijau mulai mengerak. Rasa jijik pada diri sendiri membuatnya

merasa bersalah.

Riang berniat mandi. Ia bangun dari conblock dan baru menyadari jika perempuan itu

memperhatikannya. Perutnya perempuan itu bengkak. Riang tiba-tiba teringat kisah yang

beberapa waktu lalu dianggapnya dongeng belaka.

”Ada seorang betina gila. Betina gila yang dicokok dari jalanan,” demikianlah

Aplatun mengawali ceritanya. ”Betina gila itu di ambil sekelompok preman menggunakan

mobil bak!” Pemilik warung indomie itu mulai mendesis. Ia mulai mendramatisir. ”Lalu, lalu

perempuan gila itu dibawa ke sebuah tempat, sebuah tempat yang jumlah manusianya dalam

satu kilometer hanya sejumlah rokok di dalam satu bos! Di tempat sepi itu, si perempuan

gila di masukan ke dalam kali. Perempuan gila yang kulitnya bau kesemek busuk itu diberi

sabun!” Aplatun mencermati benar wajah Riang dan Taryan. ”Orang gila mana ngerti yang

namanya kebersihan.” Aplatun meringkik senyaring ringkikan kuda. ”Bukannya bersihin

badan, eh ... eh dia malah nyipratin air orang-orang yang nunggu tontonan streaptease gratis

di pinggir kali!”

”Streaptease apa Ton?” tanya Taryan antusias.

”Nari bugil, gaya ular kobra,” Aplatun mendongak, tertawa.

”Terus, terus?”

”Preman-preman itu gak sabar.”

”Sebabnya?”

”Perempuan gila itu ngulangin kegiatannya.”

”Ngulangin apa?”

125

”Nyiprat air!” Riang mencemooh kesal. ”Lanjut Ton!” ia tak sabar.

”Waktu si perempuan gila itu ’ngulang-ngulang kegiatannya’ preman-preman pada

buat undian. Yang kalah harus mandiin, harus nyampoin perempuan gila itu di kali!”

”Yang undian siapa?”

”PREMAN!!” Riang membentak Taryan sebelum Aplatun menjawabnya.

Ada kemenangan yang muncul diketiak saat Taryan berhasil menjahili Riang. Ia

tertawa.

”Setelah di mandiin gimana Ton?”

”Ya tentulah!”

”Tentulah apa?” Tanya Riang penasaran.

”Lelaki yang sudah mimpi basah harusnya bisa nebak!” Taryan balas berteriak

membuat pekak. ”Disetrum Yang ... Disetrum!”

”Dan setelah disetrum, perempuan gila itu menjadi-jadi!” Aplatun menggambarkan

seolah ia menggambarkan kebahagiaan Socrates dalam Phaedo sebelum filsuf Athena itu

menenggak hemlok, racun.

”Menjadi apa?” Riang keracunan.

”Haus seks!” Aplatun tertawa penuh kebahagiaan.

Di sanalah cerita berakhir. Di sana pulalah Riang menganggap cerita Aplatun

berlebihan. Terlalu banyak dramatisasi. Tetapi, lain soal ketika Riang perut perempuan gila

di hadapannya melendung. Perempuan gila itu pertanda. Ia mulai memperhatikan perempuan

gila yang tengah jongkok dan makan sepuasnya di dalam bak sampah. Dilihatnya mata

perempuan itu berkeliling seperti komedi putar. Perempuan gila itu melihat makanan.

Berkeliling melihat segala macam lalu melihat makanan. Lalu melihat Riang. Melihat

makanan. Melihat Riang. Melihat makanan. Melihat Riang.

Perempuan gila cengar-cengir. Ia lempar makanan basi yang ada ditangannya.

Badannya ngesot dan... horas bah! ... dimasukannya jari yang masih ditempeli nasi ke dalam

kemaluan. Astaganaga bung Rhoma! Dia masturbasi! Hawa tubuh Riang mencapai titik

panasnya! Riang gemetar! Baru sekali ia melihat kejadian live macam gini.

Riang palingkan pandangan. Di balik kaca belakang angkutan kota, anak-anak SMA

tertawa. Orang-orang melihat ke arah Riang, lalu melihat si perempuan gila. Riang dan dia.

Dia dan Riang. Uh malu! Riang lekas menjauh. Ia benar-benar insyap.

Semua rencana yang dipikirkannya pagi itu buyar. Ia bergegas menjumpai Taryan.

”Cerita Aplatun benar!”

126

Lalu peristiwa penting melebihi perang Paregreg bahkan perang tiga tahun di

Stalingard itu membuat kedua lelaki aneh itu rela berjalan selama seperempat jam, tergopoh-

gopoh menuju warung sekaligus pemilik radio penyebar informasi amatir.

Aplatun yang tengah menabur merica di atas telur setengah matang melihat ke dua

orang ini berjalan ke arahnya, masuk ke dalam warungnya, terengah-engah menceritakan apa

yang dialami Riang pagi itu.

”Orang gila yang Kamu lihat itu korban kejadian sebelumnya.” Komentar Aplatun

santai. Ia malah menjerumuskan ke dua orang aneh di hadapannya pada cerita lain yang tak

kalah menjijikan.

Riang dan Taryan menukar pandangan. ”Sebelumnya berarti ada yang ...”

”Tidak, tidak!” Aplatun memang jago menimbulkan pertanyaan dan angan-angan

yang kebablasan. ”Tidak ada perempuan gila lagi dalam ceritaku! Cerita ini lebih keren lagi.”

Katanya.

”Ayo Ton... Ayo Ton!” Riang dan Taryan menyemangati.

Lantas diceritakannyalah, ditanamnya belati di dalam dubur aki-aki, kakek-kakek.

”Dan tahukah kalian?”

”Apa wahai begawan?” Riang tertawa.

”Belati yang ditanam di dubur adalah hasil cocok tanam ’belati tumpul’ si aki waktu

muda!”

Di neraka dunia tempat Riang menjebloskan diri, sudah tak terhitung preman

menanam belati tumpul di dubur anak jalanan. Kalau anak-anak malang berteriak kesakitan

”Wuah! Akh! Ampun!” si preman malah teriak. ”O Yeah! Yeah,” kerasukan setan

kenikmatan. Kebiasaan umat nabi Luth itu dilakukan hingga si anak jadi terbiasa dan karna

terbiasa, kejadian ini menjadi siklus. Anak-anak kecil yang dulu di tanam balik balas

menanam di dubur anak kecil yang tak berani melawan. Tapi tidak semuanya begitu.

Ada seorang anak yang tidak malang melintang di dunia sodom dan gomoroh. Setelah

disodom, ia menunggu kesempatan. Ia memendam amarahnya. Ia tunggu perhitungan dengan

orang yang pernah menyodomnya. Setelah dewasa. Setelah menjadi penguasa lahan parkir di

Cileunyi dubur aki-aki yang di masa lalu pernah mempraktikan kesesatan itu ditikamnya.

Lalu, munculah pertaubatan besar akhir zaman. Jalanan sepi kasus penyodoman. Preman-

preman dewasa mulai mencari jalan aman penyalur kebutuhan biologisnya. WTS dan orang

gilalah yang terkena getahnya. Perempuan gila yang Riang temui, salah satunya.

127

Taryan gelengkan kepala. Riang tidak. Ia hanya menggeleng setengah. Riang teringat

danau Merbabu. Ia teringat bagaimana cara Pepei dan Fidel membangun sebuah kepercayaan

dalam dirinya. Ia ragu lagi pada Aplatun. Cerita dia tidak pernah Riang lihat dengan matanya

sendiri. Keberadaan perempuan gila memang bisa menjadi bukti, tetapi bisa jadi bukan.

Cerita penanaman belati yang terrlalu ekstrim itu membuat Riang merasa perlu

menambahkan melihat perempuan gila disetubuhi. Dipikirnya lagi Aplatun bisa saja

mengarang bebas.

”Cerita itu berasal dari mana? Dari siapa?”

Mata Aplatun yang sipit makin menyipit. Senyumnya yang melar membuatnya

nampak misterius. Senyum Aplatun msenimbulkan spekulasi. Bisa jadi anaknya! Yang ada di

dalam perut perempuan gila itu anaknya! Aplatun tega khianati keluarganya! Tapi masa?

Riang yang bertanya, dan Riang pun yang membantah, Lha berkeluarga itu bisa saja

karangan dia. Aslinya Aplatun jangan-jangan! Jangan-jangan?

Riang meragukan Aplatun. Ia mulai mengingat, mengkaitkan segala sesuatunya,

termasuk tawaran bertubi agar ia dan temannya tidur di warung Indomie milik Aplatun.

Riang mulai terjangkiti. Ia mulai khawatir jika sebilah belati tumpul ditanam di lubang

belakangnya.

Untuk sementara kekhawatiran mengidap di dalam diri Riang. Tak lama keraguan itu

hilang sebab niatan Aplatun memang tulus. Di luar apa yang dikhawatirkan Riang,

sesungguhnya rasa curiga yang dimiliki Riang tatkala hidup dijalan sudahlah benar. Jalanan

itu keras seperti kehidupan zaman purba saat tyranosaurus jadi raja. Asal punya power,

punya kekuatan, semua seakan sah jadi kanibal. Sah --diangkat tanpa surat pengangkatan--

jadi tukang kadal, tukang bunuh, tukang sodom. Di jalananlah awal mula seleksi alam

manusia terjadi. Karenanya jika mau survive seseorang harus benar-benar mempercayai

setelah melewati proses mencurigai.

MENCURIGAI adalah sesuatu yang tidak dijadikan bekal oleh teman Riang.

Beberapa bulan lalu, teman yang sudah pernah ’mimpi basah dan disetrum juga menyetrum’

itu menderita di Jakarta. Penderitaan tak tertanggunglah yang membuatnya memutuskan

pulang ke desa.Ia berharap permasalahannya di desa sudah diselesaikan keluarganya melalui

pihak yang berwajib.

Duduk di depan ruangan, di mana jutaan penumpang mengeluarkan air seni. Manusia

perlu udara bersih. Lelaki itu pun demikian. Sialnya keinginan yang wajar namun tak tepat

128

waktu, menghentikan perjalanannya. Petugas memergoki lelaki itu tengah berjalan di

gerbong kereta. Karena tak punya karcis dan yang paling fatal tidak memiliki uang untuk

ditempel lalu disalam-salam, lelaki itu dimaki dan diturunkan secara paksa, diusir. Ia berjalan

sambil berpikir apa salah emak mengandungnya? Tentu emaknya tidak salah karena yang

salah adalah orang yang menyalahkan emaknya. Lelaki itu berjalan tak tentu arah.

Kecapaian. Ia lelap di dekat bengkel sepeda. Bangunnya ia masuk angin.

Riang tengah menyeduh genangan terakhir bubur kacang hijau, saat lelaki itu bersin.

Dilihatnya lelaki itu tengah menyeka mulut menggunakan kerah baju. Lelaki itu merasa

diperhatikan. Tidak seperti perempuan gila, lelaki itu menundukkan pandangan lalu berdiri.

Jalannya menyorong-nyorong. Ia pegang bak sampah lantas jatuh. Orang-orang di trotoar

mengambil jalan memutar, menghindar. Yang kepalang lewat menyalip dengan cepat. Kalau

diibaratkan tekanan gas kendaraan bermotor, mungkin kecepatan salipnya mencapai 20

km/jam.

Riang kasihan melihatnya tengkurap di jalan. Ia hampiri, ia bangunkan, ia silangkan

lengan lelaki itu di bahunya. Riang bawa lelaki itu menuju warung tempatnya makan. Lelaki

itu diberi pemilik warung Indomie segelas teh panas. Lelaki itu terharu. Ia meminta maaf

sekonteiner banyaknya.

Saat teguk teh terakhir melorot di kerongkongan, sejak saat itu pula, Riang mendapat

dua kebahagiaan. Ia mendapat dua orang teman: Aplatun, si pemilik warung indomie dan

seorang lelaki asal Magelang. Namanya tentu saja Taryan!

Sebagai teman, Aplatun memiliki perbedaan dengan teman Riang yang lamanya dia

di tempat orang buang air seni itu ternyata tidak membuat apresiasi seninya semakin tinggi.

Jika Aplatun selalu memberi mereka makan, Taryan sebaliknya. Ia menyusahkan. Ini beban

untuk Riang. Buruk-buruknya ia pernah menganggap pertolongannya akan menjadi

’asuransi’ apabila ia ditimpa kecelakaan di masa mendatang dan tentu, apa yang

dilakukannya ia anggap sebagai konsekuensi hubungan pertemanan.

Waktulah yang menguji hubungan mereka. Di saat Riang sudah lama menghapus

asuransi yang di tanamnya sejak lama, hal yang tak di duga-duga datang ketika Taryan yang

di pagi harinya ia tahu tidak memiliki uang sepeser pun tiba-tiba datang membawa dua bos

rokok, dua bungkus pecel lele. Jangankan Riang, Taryan sendiri tidak menduga karena

setelah mengemis dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, di wilayah institut ternama, ia

terjongkang di bawah pohon besar yang berjajar. Ia tak dapat uang. Di bawah pohon Taryan

memohon pada Tuhan dikasih nasi bungkus untuk dimakan. Permohonan itu di rendahkan

tingkatannya. Ia mohon untuk tega matikan kucing. Untuk tega makan cecurut bakar.

129

Permohonan itu tak pernah terkabul, namun apakah perbuatan Tuhan waktu Taryan

menemukan dompet abu di genangan air, di samping pohon tempatnya bersandar? Taryan

menganggapnya ya. Ia menahan senyum melihat banyaknya uang di dalam dompet.

Tak seperti pertama kali kala ia merasa dosa mengambil uang keropak kemudian

berniat mengembalikannya, kali ini Taryan membuang hatinya. Alasan kepepet memuaskan

isi kepalanya. Dompet berikut kartu pengenal yang ada di dalam dompet ia buang. Taryan

menggulung uang yang ada di dalam dompet menggunakan karet gelang. Di belinya nasi

bungkus dan bahan untuk ngelepus

Riang curiga karena Taryan lain dari biasanya.

”Dapat uang dari mana?” Riang menginterogasi.

Taryan tidak ubris pertanyaan Riang. Ia malah menyuruh Riang kembali makan.

”Laper kan?” katanya.

Ya jelas Riang lapar, tapi kadang orang lapar pun butuh kejelasan terlebih jika si

pemberi adalah orang yang selama ini hidupnya di bawah pas-pasan.

”Situ nyuri ya?!”

Taryan tidak tersinggung. Ia angkat kakinya yang mirip pipa.

”Tanya- tanya segala! Makan saja nanti mengik!”

Riang mengumpat, namun ia sadari, bagi gelandangan, makan tentu lebih utama dari

rasa penasaran, maka secepat burung kasuari mematuk sagu yang menempel di rambut bocah

Irian, secepat itu pula Riang makan. Perutnya kembung.

”Enak?” Taryan mengelus perut Riang.

”Enak tapi Kurang!” Riang tertawa.

Dan diberinya Riang uang limaribuan.

Itu cuma permulaan. Esok harinya, Taryan bawakan makanan yang enak-enak. Ia

belikan temannya karedok, masakan padang, tahu gejrot, pempek palembang, dan yang luar

biasanya ia ngomong begini: ”Mau disetrum atau nyetrum Yang?” Taryan memasang

tampang serius.

Taryan lagak. Riang tahu, temannya itu tidak punya keberanian. Sepengetahuannya

shalat pun masih jalan. Malahan kalau tidak tahu besoknya makan apa, Taryan mengemis

sambil puasa. Keganjilan itu membuat pikiran Riang habis.

Seperti yang sudah pernah di singgung --beberapa waktu lalu-- oleh sebuah

peribahasa (namun kali ini lebih mahsyur) bahwa: selama-lamanya kentut dipendam akhirnya

perepet juga maka rahasia uang yang dimiliki Taryan pun terkuak. Bengep-bengep di wajah

dan noda darah di kepala Taryan mengawali terbongkarnya rahasia kekayaan dia. Uang

130

Taryan beralih ke tangan preman. Cerita selanjutnya tidak perlu dikisahkan. Apapun yang

terjadi, bagi Riang, Taryan telah menunjukkan bagaimana hubungan pertemanan mereka

berjalan Sejak itu hitung-hitungan asuransi di kepala Riang benar benar hilang. Teman

adalah teman.

HARI ITU, ketika Riang bertemu perempuan gila, semua jerih payah dan pemberian

Bapaknya habis. Taryan pun tak bisa mengharap uang bercucuran dari upaya dia mengemis,

pasalnya kemudaan diri dia membuat orang sudi najis memberi uang padanya. Kalau pun ada

yang memberi, itu lebih dikarenakan mencari aman.. Satu-satunya yang bisa diharapkan

hanyalah Aplatun.

Mereka tidak bertepuk sebelah tangan dengan tangan monyet. Aplatun adalah

manusia yang menghargai hubungan pertemanan. Dia bukan binatang. Selamatlah mereka.

Makanan yang diberi Aplatun di hari ini membuat Riang dan Taryan semangat mencari uang.

Mereka berpencar. Di sebuah lokasi pembangunan Riang menemukan kerumunan. Kasak-

kusuk terdengar: dua orang pekerja ketiban batu yang jatuh dari ketinggian. Tiga kepal batu

jatuh disenggol buruh yang tengah memperbaiki tiang penyangga. Batu pertama jatuh

merobek spanduk asuransi kerja, dua batu lainnya membentur helm dua orang pekerja

pemanggul pipa. Karena jatuhnya dari tempat tinggi, helm yang mereka kenakan tidak begitu

berfungsi. Dua buruh bangunan pingsan. Bukan sulap bukan sihir, celah sempit yang

melebihi sempitnya titian rambut dibagi tujuh itu dimasuki Riang. Ia meliuk di antara

kerumunan. Ia bertanya untuk mengetahui siapa mandor bangunan. Satu jam kemudian,

mandor tidak saja ditemui olehnya. Dengan sedikit kemampuan bicara yang lebih tinggi dari

kemampuan kaum buruh dan tani, Riang meyakinkan mandor untuk memperkerjakan dia.

Mandor memutuskan. Riang dipekerjakan lataran sang mandor diburu atasan, dan atasan

mandor diburu atasan lainnya untuk tuntaskan kerjaan.

Riang pun semangat berlari, usai menyelesaikan draft kontrak kerja, demi

memberitahu kebahagiaan itu pada Taryan. Ada informasi perkerjaan yang juga bisa Taryan

dapatkan namun pada akhirnya keinginan Riang tak kesampaian. Mandor memang butuh

pekerja, akan tetapi akal sehat menuntut dia untuk mempekerjakan orang yang memiliki

selembar kartu sebagai jaminan. Dalam pekerjaan sekecil apa pun, identitas diri menjadi

sangat diperlukan. Mandor tidak mungkin meluluskan keinginan setiap orang.

Taryan kecewa. Riang mengerti. Ia tak mau membahas segala hal menyangkut

pekerjaan barunya, termasuk ketika mandor mengharuskan Riang tidur di bedeng. Ia bingung

siapa yang nanti temani Taryan.

131

“Kenapa nggak di ajak kerja? Kan bisa sama-sama tidur di bedeng.”

”Sudah ku ajak Ton.” jawab Riang pada Aplatun yang panggilan kecilnya Ton.

”Kalau mandor percaya padamu, kan lain soal?”

”Percaya sama orang baru? Sudah dijelaskan, tetap tak percaya.”

“Jadi hanya karna KTP?”

”Pasti karena itu!”

“Kalau tidak pernah mencoba, Kau tidak akan pernah tahu.”

“Ampun Ton! Aku sudah bawa Taryan tapi mandor menolak!”

“Sekarang apa yang dia perbuat?”

”Taryan?”

”Ya.”

“Dia tidak bilang waktu tadi pergi.” Riang mengembungkan paru-parunya. Ia

mengela nafas. ”Aku kasihan padanya....”

Aplatun merasakan kesedihan itu.

”Karena pekerjaan ini, aku terpaksa tidur di bedeng Ton!”

Aplatun menerka macam kesulitan yang ada dalam pernyataan Riang.

”Yang, Yang! Kau ini! Dari dulu sudah ku bilang, kalau mau tidur itu sepele! Tidur di

sini saja! Nggak usah di jalan! Kau pikir tawaran itu untuk mu saja? Untuk Taryan juga!

Demi solidaritas antar teman yang kukatakan pasti benar!”

Lepaslah satu beban. Riang merasa ringan saat melihat Taryan mendatanginya sambil

menjinjing kantung kresek yang dipenuhi segepok gajih kambing.

”Menjijikan yang Kau bawa!”

”Pinjami aku uang, Ton.” Taryan cengegesan.

“Untuk apa?” Aplatun memencet hidungnya.

“Beli obat merah.”

Aplatun membuka laci harta karunn. Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna

merah.

”Besok ku ganti Ton.”

”Tak usah! Amal!”

Aplatun tahu apa yang akan dilakukan Taryan. Gaji kambing itu akan membantunya

mengemis. Sejak saat itu Taryan menjadikan ngemis sebagai profesi. Setiap hari, puluhan

uang receh masuk berdenting-denting ke dalam plastik biru deterjen miliknya. Selang dua

hari kemudian, profesi inilah yang akan menyelamatkan Riang dari kelaparan. Selang dua

132

hari ke depan, Taryan kembali membuktikan eratnya siklus simbiosis parasitisme dan

mutualisme antara dirinya dengan mahluk biologis yang satunya, kawannya yang tak ada

dua: Riang.

TAKDIR MEMPERTEMUKAN

Mencurigai adalah sesuatu yang tidak dijadikan bekal oleh teman Riang. Beberapa

bulan lalu, teman yang sudah pernah ’mimpi basah dan disetrum juga menyetrum’ itu

menderita di Jakarta. Penderitaan tak tertanggunglah yang membuatnya memutuskan pulang

ke desa. Lelaki itu tahu bahwa permasalahan yang tidak dapat dipastikan kesudahannya, bisa

membuat dia masuk ke lubang yang sama berbahaya dengan kehidupan di Jakarta.

Ia berharap permasalahannya di desa sudah diselesaikan keluarganya melalui pihak

yang berwajib. Naiklah ia di kereta kelas kambing. Ia duduk di depan ruangan, di mana

jutaan penumpang mengeluarkan seni. Belama-lama di dekat tempat sebau itu, tentu tidak

membuat apresiasi seni si lelaki makin tinggi. Manusia perlu udara bersih. Lelaki itu pun

demikian. Sialnya keinginan yang wajar namun tak tepat waktu itu menghentikan

perjalanannya.

Petugas memergoki lelaki itu tengah berjalan di gerbong kereta. Karena tak punya

karcis dan yang paling fatal tidak memiliki uang untuk ditempel, lalu disalam-salam, lelaki

itu dimaki dan diturunkan secara paksa, diusir.

Ia berjalan sambil berpikir apa salah emak mengandungnya? Tentu emaknya tidak

salah, karena yang salah adalah orang yang menyalahkan emaknya. Lelaki itu berjalan tak

tentu arah. Kecapaian. Ia lelap di dekat bengkel sepeda. Bangunnya ia masuk angin.

Riang tengah menyeduh genangan terakhir bubur kacang hijau, saat lelaki itu bersin.

Dilihatnya lelaki itu tengah menyeka mulut menggunakan kerah baju. Lelaki itu merasa

diperhatikan. Tidak seperti perempuan gila, lelaki itu menundukkan pandangan lalu berdiri.

Jalannya menyorong-nyorong. Ia pegang bak sampah lantas jatuh.

133

Orang-orang di trotoar mengambil jalan memutar, menghindar. Yang kepalang lewat

menyalip dengan cepat. Kalau diibaratkan tekanan gas kendaraan bermotor, mungkin

kecepatan salipnya mencapai 20 km/jam. Riang kasihan melihatnya tengkurap di jalan. Ia

hampiri, ia bangunkan, ia silangkan lengan lelaki itu di bahunya. Riang bawa lelaki itu

menuju warung tempatnya makan. Lelaki itu diberi pemilik warung indomie segelas teh

panas. Lelaki itu terharu. Ia meminta maaf sekonteiner banyaknya.

Saat teguk teh terakhir melorot di kerongkongan lelaki itu, sejak saat itu pula, Riang

mendapat dua kebahagiaan. Ia mendapat dua orang teman: Antoni, si pemilik warung

indomie dan seorang lelaki asal Magelang. Namanya tentu saja Taryan.

Sebagai teman, Antoni memiliki perbedaan dengan Taryan. Jika Antoni selalu

memberi mereka makan, Taryan sebaliknya. Ia menyusahkan. Ini beban untuk Riang, Buruk-

buruknya ia pernah menganggap pertolongannya akan menjadi ’asuransi’ apabila ia ditimpa

kecelakaan di masa mendatang. Ini tidak berlangsung lama. Apa yang dilakukannya untuk

Taryan dianggapnya sebagai konsekuensi hubungan pertemanan.

Waktulah yang menguji hubungan pertemanan mereka. Di saat Riang benar-benar tak

memiliki uang, ’asurani’ yang sudah dihapus dari pikirannya datang. Hal ini pun tak

disangka sebab ia tahu jika hari yang lalu itu, Taryan tidak dapat uang sepeser setelah

mengemis. Yang ia tahu tiba-tiba Taryan datang membawa dua bos rokok, dua bungkus

pecel lele.

Kejadian macam begini pun jauh dari dugaan Taryan, karena lapar setelah mengemis

dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, di wilayah institut ternama, Taryan terjongkang di

bawah pohon besar yang berjajar. Ia tak dapat uang. Di bawah pohon, Taryan mohon pada

Tuhan dikasih makan. Ia mohon untuk tega matikan kucing. Untuk tega makan curut bakar.

Permohonan itu tak pernah terkabul. Tuhan tak pernah menawar –sekedar—nasi bungkus

untuk dimakan. Namun, apakah perbuatan Tuhan waktu Taryan menemukan dompet abu, di

genangan air, di samping pohon tempatnya bersandar? Taryan menganggapnya ya.

Taryan bersorak, berhuray ada uang banyak di dalamnya. Tak seperti kali pertama

kala ia merasa dosa mengambil uang keropak, dan berniat mengembalikannya. Kali ini

Taryan membuang hatinya. Alasan kepepet ia punya di kepalanya. Dompet berikut kartu

pengenal yang ada di dalam dompet Taryan buang. Uangnya ia masukan ke dalam celana

setelah di gulung menggunakan karet gelang.

Riang curiga karena Taryan lain dari biasanya.

”Dapat uang dari mana?” tanyanya.

134

Taryan tidak ubris pertanyaan Riang. Ia malah menyuruh Riang kembali makan.

”Laper kan?” katanya.

Ya jelas, Riang lapar, tapi kadang orang lapar pun butuh kejelasan terlebih jika si

pemberi adalah orang yang selama ini hidupnya di bawah standar pas-pasan.

”Situ nyuri ya?!”

Taryan tidak tersinggung. Ia angkat kakinya yang mirip pipa.

”Tanya- tanya segala! Mending makan aja. Nanti mengik!”

Riang mengumpat, namun segera ia insyapi. Sebab, bagi gelandangan, makan tentu

lebih utama dari penasaran.

Secepat burung kasuari mematuk sagu yang menempel di rambut bocah Irian, secepat

itu pula Riang makan. Perutnya kembung.

Taryan menepuk perut Riang.

”Enak?”

”Enak tapi Kurang!” Riang tertawa.

Dan diberinya Riang uang limaribuan.

Itu cuma permulaan. Esok harinya, Taryan bawakan makanan yang enak-enak. Ia

belikan temannya karedok, masakan padang, tahu gejrot, pempek palembang, dan yang luar

biasanya ia tawarkan cewek.

”Mau disetrum atau nyetrum Yang?”

Taryan llagak. Riang tahu, Taryan tidak punya keberanian untuk itu.

Sepengetahuannya shalat pun masih jalan. Malahan kalau tidak tahu makan apa, besoknya

Taryan mengemis sambil puasa. Keganjilan itu membuat Riang kehabisan pikir.

Seperti yang sudah pernah di singgung --beberapa waktu lalu-- oleh sebuah

peribahasa (namun kali ini lebih mahsyur) bahwa: selama-lamanya kentut dipendam akhirnya

perepet juga, maka rahasia uang yang dimiliki Taryan terkuak. Bengep-bengep di wajah dan

noda darah di kepala Taryan mengawali terbongkarnya rahasia kekayaan dia.

Riang mengetahui asal muasal uang temannya dan mengetahui pula kemana uang itu

amblas. Uang Taryan beralih ke tangan preman. Apapun yang terjadi, bagi Riang, Taryan

telah menunjukkan bagaimana hubungan pertemanan mereka berjalan Sejak itu tak ada lagi

hitung-hitungan asuransi di kepalanya. Teman adalah teman.

Setelah dua orang itu kehabisan uang, lantas apa yang terjadi?

Taryan tak bisa mengharapkan dari hasil mengemis, pasalnya kemudaan diri dia

membuat orang, sudi najis memberi uang padanya. Kalau pun ada yang memberi, itu lebih

dikarenakan mencari aman. Uang simpanan Riang pun ludes. Semua jerih payah dan

135

pemberian Bapaknya habis. Satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Antoni. Tangan

mereka tak bertepuk sebelah tangan dengan tangan monyet. Antoni adalah manusia yang

menghargai hubungan pertemanan. Dia bukan binatang. Selamatlah mereka.

Diberi makan, Riang dan Taryan semangat mencari uang. Mereka berpencar mencari

peluang. Peluang pertama menjumpai Riang saat sebuah kecelakaan terjadi. Riang melihat

kerumunan. Kasak-kusuk terdengar: dua orang pekerja ketiban batu yang jatuh dari

ketinggian. Katanya tiga kepal batu jatuh disenggol buruh yang tengah memperbaiki tiang

penyangga.

Batu pertama jatuh merobek spanduk asuransi kerja, dua batu lainnya membentur

helm dua orang pekerja pememanggul pipa Karena jatuhnya dari tempat tinggi, helm yang

mereka kenakan jadi tidak begitu berfungsi apalagi fungsi menyelamatkan kerja mereka.

Dua buruh bangunan pingsan. Segera celah sempit yang melebihi sempitnya celah

Keiber itu dimasuki sang pencari peluang. Riang meliuk-liuk di antara kerumunan. Ia

bertanya untuk mengetahui siapa mandor bangunan.

Satu jam kemudian, dengan sedikit kemampuan bicara yang lebih tinggi dari

kemampuan buruh bangunan, Riang meyakinkan mandor untuk memperkerjakannya. Dalam

keadaan biasa, siapa yang bakal percaya, dan mau memperkerjakan orang yang datang tiba-

tiba? Tapi bukankan keadaan di dunia, tidak selamanya merupakan keadaan biasa? Mandor

memutuskan. Riang dipekerjakan.

Takar-menakar di kepala mandor yang akhirnya menghasilkan keputusan itu lataran

ia diburu atasan, dan atasan mandor diburu atasan lainnya untuk tuntaskan kerjaan.

Selesai menyepakati draft kontrak, Riang semangat lari demi memberitahu Taryan.

Pikirnya ada pekerjaan kasar yang bisa Taryan lakukan. Sayang, keinginan Riang tak

kesampaian.

Dalam pekerjaan sekecil apa pun, identitas diri menjadi sangat diperlukan. Memang,

mandor butuh pekerja, akan tetapi akal sehatnya menuntut dia untuk mempekerjakan orang

yang memiliki selembar kartu sebagai jaminan. Mandor tidak mungkin meluluskan keinginan

Taryan

Taryan kecewa. Riang mengerti. Ia tak mau membahas segala hal menyangkut

pekerjaan barunya, termasuk ketika mandor mengharuskan Riang tidur di bedeng. Siapa

yang nanti temani Taryan?, pikirnya. Riang perlu jalan keluar.

“Kenapa nggak di ajak kerja? Kan bisa sama-sama tidur di bedeng.”

”Sudah ku ajak Ton.”

”Tidak bisa? ”Kalau mandor percaya padamu, kan lain soal?”

136

”Percaya sama orang baru? Sudah dijelaskan, tetap tak percaya.”

“Jadi hanya karna KTP?”

”Pasti karena itu!”

“Kalau tidak pernah mencoba, Kau tidak akan pernah tahu.”

“Ampun Ton! Aku sudah bawa Taryan, tapi mandor nolak!”

“Sekarang apa yang dia perbuat?”

”Taryan?”

”Ya.”

“Tidak tahu! Dia tidak bilang waktu tadi pergi. Aku kasihan padanya....”

Antoni merasakan kesedihan itu.

”Karena pekerjaan ini, aku terpaksa tidur di bedeng Ton!”

Antoni menerka macam kesulitan yang ada dalam pernyataan Riang.

”Yang, Yang! Kau ini! Dari dulu sudah ku bilang, kalau Kau mau tidur, tidur di sini

saja! Nggak usah di jalan! Kau pikir tawaran itu untuk mu saja? Demi solidaritas antar teman

yang kukatakan pasti benar!”

Lepaslah beban Riang. Ia tidak merasa dosa saat Taryan menemuinya di warung

indomie.

Taryan menjinjing kantung kresek. Isinya segepok gajih kambing.

”Apa yang kau bawa?” tanya Antoni.

”Nanti kau tahu. Ton ... sekarang pinjami aku uang.” Taryan cengegesan.

“Untuk apa?”

“Beli obat merah.”

Antoni membuka laci harta karunnya. Diberikannya beberapa lembar uang berwarna

merah.

”Besok ku ganti Ton.”

”Tak usah! Amal!”

Antoni tahu apa yang dilakukannya. Gaji kambing itu digunakan Taryan

membantunya mengemis. Alhasil, setiap hari, puluhan uang receh masuk berdenting-denting

ke dalam plastik biru deterjen milik Taryan..

Sejak saat itu Taryan menjadikan ngemis sebagai profesi. Tak lama lagi, profesi

inilah yang akan menyelamatkan Riang dari kelaparan. Selang dua hari, Taryan kembali

membuktikan eratnya hubungan timbal balik antar mereka.

137

MABUK

Sore hari, usai lempar ratusan batu-bata, bahu dan pergelangan tangan Riang terasa

pegal. Dua kuli bangunan yang sejak awal jadi teman Riang bekerja mengajaknya pulihkan

stamina.

”Kita minum Big Boss Yang.”

”Cape pegel ilang, badan jadi hangat. Ada lagi khasiat yang utama.” teman Riang

sesama buruh bangunan tersenyum genit.

”Minuman apa itu?” tanya Riang, ”bagaimana dengan khasiatnya?”

”Bisa membuat lelaki seperti kita jadi banteng!”

”Ngamuk diranjang!” seru kuli yang satunya.

“Bukan cuma ngamuk, Yang. Nanduk-nanduk!”

“Kelojotan!”

Mereka tertawa dan Riang percaya. Maka setelah dua orang kuli itu shalat Isya,

dibawanyalah Riang menuju penjual jamu. Sampai di sana salah seorang teman kerja Riang

berteriak. “Biasa!” dan tersedialah tiga cangkir minuman bening warna kuning.

Riang membaui Big Boss. Ia curiga. “Akohol!?” tanyanya sambil mendelikan mata.

Dua kuli berpandangan. ”Emang pernah minum AO Yang?!”

“AO?!”

“Anggur Cap Orang Tua! Masak gak tau?”

“Ndak tahu itu!”

“Udah minum Topi Miring?”

Riang mengangkat bahu.

“Minuman beralkohol!” jelas kuli yang satunya, menengak seseloki air jeruk yang

menemani Big Boss.

“Ndak pernah tapi waktu di SMA pernah hampir minum.”

Penjelasan ”hampir” menjadi bahan cemoohan.

“Eu maneh mah. Alah! Kamu itu! Nanya-nanya minuman alkohol, tapi teu nyaho, tapi

nggak tau Topi Miring jeung sama AO!”

138

Ketidaktahuan merupakan kelemahan. Riang pun dibombardir oleh dua orang kuli

mengenai khasiat Big Bos yang menggemparkan dan anak kemarin sore ini, akhirnya tertarik

juga.

”Pahit!” Desis Riang saat mencoba.

”Pan, kan jamu!”

”Jamu kuat Yang!”

Ludeslah Big Boss yang ada tangan Riang. Minuman ditambah. Dua kuli menyoraki.

Memberi semangat supaya Riang minum untuk yang keduakalinya. Satu menit setelah

meletakan gelas ke dua, Riang merasa tubuhnya diayun. Badannya digoyang ke kiri ke

kanan. Ia bakal hilang kesadaran. Ia tak kuat. Dunia yang lambat membuat tubuhnya terasa

dicanteli gandulan besi. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya Riang mabuk berat.

Dua kuli bangunan tak menyangka, jika efek Big Boss sedemikian kuat untuk teman

barunya itu. Usai habiskan minum mereka membawa Riang pulang menuju bedeng. Namun

apa yang bisa diharapkan dari dua orang pemabuk? Keduanya putus asa. Setelah membopong

cukup lama, Riang ditinggalkan di samping monumen Pancasila yang sakti mandraguna.

Pagi hari menjelang kembalinya matahari, Riang bangun. Ia mengingat-ingat apa

yang telah terjadi. Ia menemukan. Riang mengumpat meski diakuinya benar khasiat Big Boss

membuatnya bugar. Riang mulai merasa khawatir. Ia harus memastikan berada pada jam

berapa hari ini, di dunia ini.

Ketegangan menyedot seperempat stamina tubuhnya.

”Sekarang jam berapa Mbak?” Ia bertanya pada seorang wanita.

Simbak yang seharusnya dipanggil teteh tak mendengar. Riang mengulang

”Maaf ... Mbak. Sekarang jam berapa?!”

Muka si Mbak pucat! Bulu -bulu halus di sekitar lehernya berdiri. si Mbak menarik

kemeja birunya cepat-cepat.

”... jam 8.30.”

Jam 8.30 ... jam 8.30!!!

Plak! Riang menghantam jidat. Ia berteriak

”Mati aku!”

Mendengar kata mati, si teteh geulis gumelis terkejut. Ia lari, melolong-lolong.

”Toloooooooooooooooooooooong!” Sebuah angkutan kota yang bunyi knalpotnya

menyerupai kentut berhenti menyelamatkannya.

Seharusnya Riang tertawa menyaksikan akibat yang ia perbuat. Kehawatiran

membuat sense of humornya hilang. Menyadari dirinya terlambat, Riang terpekur. Ia mulai

139

berpikir buruk mengenai nasibnya ke depan. Riang tak mau jadi pengemis seperti Taryan. Ia

tidak mau menadahkan tangan sambil tidur-tiduran seperti binatang dabba, seakan reptil

yang melata! Riang tidak mau. Ia lebih memilih jadi kuli karena tahu, menjadi pengemis itu

susah menahan gengsi.

Tubuh Riang lemas, perutnya sakit! Cahaya matahari tak lagi terasa hangat. Muncul

dingin di perutnya! Pengaruh cairan kekuningan Big Bos mengaduk perutnya. ”Sialan!

Sialan!” Umpat Riang berulang-ulang.

Kata sialan tak pernah bisa merubah keadaan. Riang pun memberanikan diri menemui

mandor di tempat kerjanya. Jujur ia jelaskan semua kejadan bahkan yang seharusnya tak ia

ceritakan.

Mandor tak ambil pusing. Ia tak butuh alasan, terlebih jika alasan itu tak ia sukai.

Bagi mandir mabuk merupakan perkara berat. Riang langsung divonis. Ia tidak bisa

mengajukan banding. Keputusan telah di buat. Ia dipecat!

Dengan wajah yang lesu ia menuju warung Aplatun.

”Taryan kemana Ton?”

Antoni angkat bahu, bibirnya bergelayut. ”Mana kutahu. Malam tadi kusuruh tidur di

sini. Dia tak mau.”

”Kenapa tak kerja?!”

Riang tak menjawab. Big Bos lebih dulu mencuri perhatiannya. Mengaduk-aduk

perutnya. Perut Riang merilit. Ia menuju kamar mandi. ”Ikut buang air Ton!” Riang berlari,

berteriak.

Antoni tidak bilang jika air PAM di warung tak mengalir deras. Riang keluar. Ia lari

terbirit menuju WC perguruan tinggi. Riang mengejan cukup lama di sana. Ia merasa sakit

perutnya merupaka siksaan terberat untuk umat manusia. Ia tak mengetahui bagaimana

sakitnya seorang wanita saat melahirkan, pinggulnya serasa dijebol! Riang tak akan pernah

mengetahui.

Selesai menuntaskan hajat, Riang berjalan menuju kediamannya semulanya yang

berupa tenda darurat beratap terpal itu. Di jalan ia mengantungi kerikil sebagai berhala

penangkal. Ia tak mau kapacirit, buang air di celana, di jalan raya.

140

DR NURLAILA

Taryan tertawa kebablasan. Cerita mengenai bujukan maut dua kuli bangunan dan

Big boss membuatnya jatuh. Hilangnya pekerjaan Riang tak jua menyurutkan tawanya.

Riang kesal. Dari pada berakhir menjadi pertengkaran ia pejamkan mata. Lima menit

kemudian ia tak mengingat apa-apa. Selang dua jam ia mimpi buang air besar. Ia bangun dan

merasa seekor alien ada di dalam perutnya. Riang melesat menuju kamar mandi masjid jami.

Balik dari sana ia lanjutkan tidur. Setengah jam kemudian ia bangun dalam keadaan tegang,

merasa tertekan, mengalami perasaan terancam. Ia lari lagi. Malam itu, bulak baliknya Riang

ke kamar mandi melebihi jumlah bulak-baliknya Adam dan Hawa dari Shafa menuju Marwa.

Ketika tak ada lagi yang bisa dikeluarkan perutnya, Riang tertidur. Bangunnya ia

temukan dua pil pereda sakit perut, juga nasi hangat dan lauk-pauknya. Lebih dari itu, ia

menemukan uang receh di sakunya. Riang bersyukur sebab sisa upahnya kemarin, hanya

cukup untuk sekali makan. Hari ini Riang habiskan waktunya di dalam tenda.

SORE HARI. Taryan datang dari balik tikungan. Ia bawakan Riang satu lembar

celana panjang dan jaket tentara. Acuh-tak acuh ia lempar celana dan jaket berpenutup kepala

itu ke arah sahabatnya.

“Pake!” Taryan melempar. ”Persediaan celanamu habis. Untuk sementara pakai dulu

yang kubeli!”

”Maaf nyusahin situ!” Hati Riang serasa di gosok batu. Ia terharu.

Taryan menghela nafas, “Yang? ... kau ingat waktu pertama kali kita bertemu?”

Riang anggukan kepala.

“Sekarang saatnya aku balas kebaikanmu!”

Mereka diam.

”Yang?”

Riang masih diam.

“Kita akan saling menjaga!”

Mata Riang buram. Ia mengangguk pelan. Ia sandarkan badan dan limpangkan jaket

di dengkulnya. Taryan merasa canggung melihat Riang seperti itu. Menggunakan alasan:

belum shalat ashar, ia pergi, tetapi baru beberapa langkah berjalan Taryan tertawa kemudian

141

berbalik.

“Nih seadanya!” Ia melemparkan sebuah kantung plastik lagi. Taryan melangkah

kembali menuju masjid.

Riang membuka bungkusan yang dilemparkan. Ia menemukan kerupuk lepek dan

sebungkus nasi di dalamnya. Meski tanpa lauk-pauk Riang merasa nikmat. Air yang

memburami matanya merembes, mengalir melewati hidung, menetes dan menjadi kuah yang

menggarami nasi bungkusnya.

Satu jam setelah makan berselang, sakit Riang bertambah parah. Riang berak di

celana. Ia pikir Taryan berniat membunuhnya.

TARYAN YANG DATANG saat udara magrib diisi kesejukan, terkejut saat

menemukan Riang yang tengah kelojotan. Kalau terus menerus begini temannya bisa mati.

Maka di bawanya Riang menuju warung Aplatun.

”Sebaiknya kau bawa Riang ke dokter Nurlaila.” Aplatun memberi saran.

”Tak punya uang Ton!” Mendengar kata dokter Taryan ketakutan.

”Coba kamu ke sana!Dia bukan dokter matre!”

Bukan dokter matre berarti menjadi idola di kalangan tak berpunya. Menjadi idola di

kalangan tak berpunya berarti sang dokter tidak memberi tarif gila, seperti dokter yang

kerasukan mengejar setoran. Menjadi idola di kalangan tak punya adalah jaminan bahwa si

dokter tidak akan mempengaruhi pasiennya untuk membeli obat mahal yang ditawarkan

salesman pabrik farmasi, agar ia bisa pergi dua kali ke luar negeri setahun sekali.

Berbekal alamat dan teh pahit buatan Aplatun, Riang dan Taryan berjalan hingga

terminal Kebun Kelapa. Di sana orang-orang berteriak menjual baju, menjual celana bekas

dan baru. Tukang stiker menyingkir, menutup barang dagangannya dengan terpal biru.

Tukang martabak dan gorengan dibanjiri cahaya neon. Suara minyak panci penggorengan

mendesis-desis. Penjual buku memasukan buku pelajaran, tuntunan praktis bercocok tanam,

komik sampai majalah porno ke dalam gerobak.

Dekat penjual kaset yang memakai anting di bibir, Riang dan Taryan masuk ke dalam

angkutan kota yang gelap. Calo meminta jatah. Uang berpindah dan roda berputar beratus

ribu kali hingga mereka sampai di pusat kota: Dago. Di sana orang-orang keluar seperti

gerombolan kelelawar. Anak remaja pria dan wanita bergandengan tangan. Mereka masih

muda. Masih murni, belum bau tanah. Selang-seling manusia berkerumun, masuk ke dalam

pertokoan atau sekedar duduk-duduk di cafe. Cahaya benderang. Mesin mobil-mobil mewah

hampir menempel di tanah. Suara bas menendang-nendang. Lampu merah menyala. Mobil

142

berhenti. Bunga mawar putih yang dilapisi plastik transparan dijajakan Beberapa orang

membeli tanpa meminta kembalian. Lampu hijau menyala, derum memekakan telinga.

Beberapa mobil melesat cepat. Angkutan yang mereka tumpangi berjalan lambat, mengedut-

ngendut.

Lampu merah lagi. Anak kecil memakai topi berwarna hijau dekil, masuk ke dalam.

Tingginya kira-kira sedada Riang. Kakinya kanannya menjejak angkutan kota. Yang kiri,

menjejak aspal. Ia memakai sendal jepit yang mereknya sama dengan yang Riang pakai.

Swallow. Jemarinya kusam. Dari mulutnya yang bau, suara cericit keluar. Ia menyanyi.

Suaranya sumbang.

Azan telah mengumandang (Tangannya berbunyi)

Di puncak menara tinggi.

Memanggil kaum muslimin dan muslimat, bergegas untuk bersembahyang.

Panggilan Tuhan yang Esa,

jangaaaanlah engkau abaikan. Lima kali sehari semalam,

la ... la ... la la ... (Ia lupa).

Anak itu membuka topi. Kepalanya plontos. Dijulurkannya topi itu ke arah Riang dan

Taryan. Mereka memberi senyum pada si anak. Seorang wanita belia memasukan dua ratus

rupiah. Anak kecil berbaju necis memberikan uangnya. Penjual suara bertubuh kecil turun

dari angkutan kota. Dan lampu hijau pun menyala.

”Sampai di Simpang Dago,” Taryan bersuara. “Aku biasa mangkal di sana Yang!” Ia

menunjuk warung buah-buahan yang ramai oleh warna. Ada jeruk --yang warna oranyenya

bikin perut Riang melilit. Ada apel merah. Ada anggur yang membuat liur Taryan terbit dari

kerongkongan.

“Di bawah triplek itu,” Taryan menujuk papan bertuliskan Jus Ngeunah ”aku

meniipu mahasiswa ITB yang katanya pintar-pintar itu.”

“Orang yang pandai berakting, harusnya jadi bintang film.” Riang berkomentar

lemas.

Taryan memukuli dadanya seperti kingkong.

Angkutan kota berhenti di depan sekolah bertingkat dua, saat Taryan berteriak ”Kiri”.

Mereka menatap plang-plang, dan masuk ke dalam gang.

143

Dr. Umum Nurlaila

Praktik Dari Hari Senin – Sabtu

Pukul 17.30-21.00

Pas! Mereka masuk ke dalam ruang praktik. Warna cream dinding membuat mereka

silau. Sebuah buku tulis terbuka di atas meja bertaplak putih. Seorang wanita muda

tersenyum. Lampu membuat rambutnya yang panjang terlihat merah. Riang dan Taryan

membalas senyumnya.

“Baru kesini?” Tanya wanita itu ramah

“Iya. Nganter teman!” Taryan antarkan Riang menuju sofa. ”Sebentar ya Mbak.”

“Namanya siapa?”

“Saya Taryan!”

Wanita itu tidak memakai lipstik tapi warna bibirnya merah jambu mengkilat ditimpa

cahaya lampu. Ia keluarkan karton hijau bergaris.

”Akang, sakit apa?”

Taryan menunjuk. “Yang sakit bukan saya. Itu ...”

“Jadi yang sakit bukan Akangnya.” Wanita itu mengambil tip ex. “Nama teman Mas

siapa?”

“Riang?”

Taryan kebingungan. Wanita itu melihat ke arah Riang, meminta nama panjangnya.

“Riang Merapi!” Riang menyahut dari tempat duduknya, kemudian mengenakan

penutup kepala, memperhatikan wanita itu, namanya Milea. Ia mengingat baik-baik huruf

yang menempel di dada wanita itu. Melihat Milea membuat sakit perutnya berkurang. Selesai

menulis nama, Milea masuk ke dalam sebuah ruangan. Tak lama, pintu dibuka. Pasien wanita

berpakaian seronok muncul. Mukanya lesu. Sekarang, giliran Riang dan Taryan masuk ke

dalam.

Seorang wanita tua berwajah keibuan duduk di sana. Umur nya sekitar 50 tahunan. Ia

persilahkan si pasien duduk dan menceritakan keluhan. Setelahnya Riang berbaring di

ranjang.

Dokter menekan perutnya. “Sakit atau tidak?”

“Sakit!”

“Asal dari mana?” Dokter Nurlaela memasang stetoskop.

“Thekelan Jawa Tengah Bu.”

“Disini kerja?”

144

“Jadi kuli bangunan di Kebun Kelapa.” Riang berbohong. Ia malu mengakui

statusnya sekarang.

“Di Bandung ada keluarga?”

“Ndak ada!”

Pemeriksaan selesai. Ada tanda tanya di wajah dokter. Riang memakai baju dan

jaketnya.

“Terakhir mengkonsumsi apa?” tanya dokter sembari mencuci tangan di keran.

Hampir saja Riang bilang Big Boss. Kerudung yang dikenakan dokter Nurlaila

membuatnya tak tega berterus terang.

”Tongkol” yang terucap dari mulut Riang.

”Untuk sementara makan bubur saja.” Dokter mengambil kertas. ” Selama dua hari

ini, jangan makan yang keras-keras.”

Riang menyenggol dengkul Taryan.

Taryan memasukan tangan ke dalam kantung celana. “Biayanya berapa Bu?”

“Sebentar,” Dokter menulis resep di kertas. “Apotik ada di samping.” Katanya.

Taryan mengulang pertanyaan, “Maaf Bu ... berapa biaya berobatnya?”

“Tidak usah.”

“Jangan!” Teriak Riang dan Taryan hampir bersamaan.

“Tak apa. Uangnya dibelikan obat saja”.

”Jangan Bu!”

Dokter Nurlaila tersenyum melihat bolong di gigi Taryan. Tak perlu lagi ada

percakapan mengenai biaya, sebab keputusannya sudah final.

Riang dan Taryan pamit berdiri. Taryan mengambil tangan dokter Nurlaila. Dahinya

ia letakan di atas lengannya. Dokter kebingungan. Mereka pun keluar. Saat pintu hampir

tertutup, dokter keluar dari ruangannya. Kali ini suaranya terdengar hangat. “Lekas sembuh

ya Nak!” Hari ini hati kedua orang itu dipenuhi bunga. Dokter Nurlaila membuat bahagia.

Mereka memetik pelajaran bahwa tak selamanya orang yang kelihatan dingin tak mempunyai

kepedulian.

Malam itu di bawah temaramnya bintang Taryan bermimpi bertemu mertuanya.

Riang lain lagi. Ia bermimpi bertemu Milea. Dalam mimpinya, Milea mencoreng morengi

wajah Riang dengan arang. Dalam tidurnya Riang tertawa. Subuh harinya, ia sudah bisa

kentuti wajah Taryan.

KETERTARIKAN

145

Satu minggu setelah berobat, seorang pria memperhatikan tenda darurat Riang.

Wajahnya bolong-bolong bekas cacar. Ia menyembunyikan rambut keritingnya di balik topi

bergambar Iwan Fals. Rahangnya yang tegas bertentangan dengan kedua lesung pipitnya.

Kausnya berwarna putih. Ada tulisan Djarum Coklat berwarna merah di dadanya. Ia

menggunakan jeans abu-abu yang serat-seratnya terlihat di bagian dengkul. Pria itu

menggendong gitar. Ia memergoki Riang yang tengah memperhatikan kalender lama

bergambar wanita yang lagi nungging. Pria itu kemudian mencocokan wajah Riang dengan

photo yang ada di tangannya. Riang tak tahu. Ia dicari sejak lama.

Sebelum hampiri Riang, pria itu meminjam korek api dari pejalan kaki. Korek api

lembab. Matanya berkeliling mencari pedagang asongan. Ia tak menemukan. Pria itu

kemudian berjalan, sampai di tenda darurat yang menyerupai kandang ia lantas jongkok,

menggerakkan tangan dan memberi isyarat pada Riang bahwa ia ingin meracuni paru-

parunya. Tanpa melihat wajahnya lebih dahulu, refleks Riang sibuk mencari geretan. Di balik

onggokan baju, ia menemukan geretan kuning yang sudah beberapa hari tidak ia digunakan.

Pria itu mengulurkan tangan. Riang tengadah. Ia terkejut melihat tingkat kerusakan wajah

lelaki yang ada di hadapannya. Pria itu biasa dengan respon pertama yang biasa dia dapatkan.

Ia mengembalian geretan lalu menawarkan jabatan tangan.

Riang tak tahu rencana yang ada di balik kepala pria yang ada di hadapannya. Tak

terasa obrolan sudah berlangsung lebih dari lima belas menit. Riang merasa nyaman

dengannya. Nama panggilan pria itu, Awas Bentar. Namanya aslinya tenggelam karena

sebuah kejadian.

”Suatu saat, waktu aku tengah ngamen di Jakarta hujan lebat datang tiba-tiba! Petir

menyambar pohon paling tinggi di daerah UKI. Semua orang nunduk. Semua orang takut.

Seram! Kejadian itu menyeramkan! Aku melihat langit. Cahaya seperti akar muncul di

angkasa. Sebelum suara menggelegar muncul, aku teriak! Aku mengkhawatirkan teman-

temanku. Aku berteriak .... AWAS BENTAR!!! dan sejak saat itulah nama Awas Bentar jadi

panggilan untukku. Resmi!” Ia mengepulkan asap rokoknya.

”Jadi yang ganti nama aslimu, Aep Ahmadi itu, teman-temanmu?”

Pertanyaan tak berbobot itu dijawab Bentar dengan senyuman. Ia masukan abu rokok

ke dalam bolongan gitar.

”Siang begini tidak bekerja?”

Karena Riang tidak berhadapan dengan seorang wanita seperti Milea, ia tak ragu

untuk mengatakan terus terang. ”Pengangguran.” katanya, berharap menemukan peluang.

146

”Pengangguran banyak rizki?”

Riang tertawa.

”Bisa main gitar?”

”Sedikit.”

”Mau ikut ngamen?”

Ia menimbang-nimbang tanpa tahu apa yang harus ditimbang. ”Kalau bisanya cuma

kunci standar, tidak apa-apa?” tanya Riang.

”Tidak masalah. Kunci lainnya nanti ku beri contoh.”

”Kapan mulai?”

”Sekarang.”

Riang berbinar. Ia berjalan di samping teman barunya. Bentar mengajaknya menuju

daerah kost-kosan mahasiswa, di Simpang Dago, Dipati-Ukur dan daerah tugu Pancasila.

Mereka menaiki angkot Kebun Kelapa menuju Kimia Farma, lantas turun dan menunggu

DAMRI pulang dari terminal Leuwi Panjang.

” Itu dia!” Bentar berteriak. Bus reot datang.

Kedua orang gelantungan seperti monyet padahal ruang bus cukup leluasa. Untuk

Bentar gelantungan itu berarti gaya sedang untuk Riang mengikuti saja.

Di dalam bus orang-orang duduk beraturan. Hanya dua orang lelaki yang berdiri.

Kaca jendela digeser setengah. Angin masuk. Suasana sumpek hilang. Leher-leher beraneka

warna putih, kuning, dan coklat menantang. Dari pintu belakang, Bentar melangkah ke

depan. Ia memegang besi di langit-langit. Gas DAMRI yang tak stabil membuat jalannya

seperti Kwei Cheng Kein. Di tengah-tengah bus, Bentar berteriak lantang. “Kalau Anda

menyangka bahwa Anda tidak akan bertemu lagi, tidak mungkin menjumpai lagi pengamen

jalanan maka .... Anda semua … SALAH BESAR! ........ Selamat Siang! Salam pembebasan

untuk teman-teman yang sedang menikmati pendidikan! Untuk yang lain, saya ucapkan

semoga bisnis hari ini berjalan lancar.”

Tak duk, tak duk, suara gitar di tepuk.

”Maaf jika saya mengganggu!”

Gonjreng… gonjreng!.

Bentar bernyanyi diiringi pantun.

”Dari manakah datangnya lintah,

darilah sawah terus turun ke kali.

Perut mual serasa mau muntah,

147

padahal nyium perek cuma sekali!

(Dia berhenti nyanyi, memainkan gitar,

kemudian diselingi kembali pantun)

Kalaulah tuan nanti pergi ke pasar,

titiplah saya sekilo kentang.

Sungguh mati lutut suka gemetar,

kalau liat cewe tidur telentang!

Ke kamar mandi aku tak masuk mandi,

tapi untuk mencuci tempat menggoreng.

Pada nona aku tak Bermaksud berjanji,

tapi hanya sekedar tularin Koreng.

Ada roda dijalan tanjakan,

tertimpa dahan si pohon jengkol.

Ada janda menjerit kesakitan,

gak taunya lagi dikerjain banpol

Tinggilah tinggi air pancuran,

terdengar kicau si burung pipit.

Padahal satu bulan baru pacaran,

badan kurus habis dijepit!

Jalan-jalan ke kampung,

pacaran menjadi kadal di dalam gua.

Mati juga aku tak penasaran,

kalau sudah gamparin mertua!

Terbanglah tinggi kapal-kapalan,

jatuh ke ember ada airnya.

Sungguhlah cantik itu perawan,

waktu ditelanjangin banyak kutilnya!

148

Nenek2 ompong makan bengkuang,

tukang kredit datang menagih.

Nenek-nenek ditindihin anak bujang,

dasar genit … besoknya minta lagi

Ada seorang bapa datang merinding,

gak tahan ingin kencing.

Rasanya diri ini mau mati,

waktu mimpi pantat digerogotin kucing!

Tentara jepang gagah tegak berdiri,

tapi kalau perang dia takut sendiri.

Ke anak orang sayang kaya ke anak sendiri.

Kalo liat bini orang lupa bini

sendiri eeeh, dasar laki-laki!”

Lagu berhenti.

Orang-orang di dalam bus tertawa. Ada yang nangis. Ada yang memegang perut. Ada

yang senyum simpul mendengar lagu yang pernah dibawakan Doel Sumbang.

Bentar mohon pamit. “Terima kasih. Mudah-mudahan tidak tersinggung! Kalau

tersinggung Saya mohon maaf.” Ia senteri orang-orang dengan senyum. Orang-orang

membalas dengan senter yang sinarannya lebih kuat. Mereka terhibur.

Bentar mengambil kantung permen. Didatanginya penumpang satu persatu.

Kebanyakan orang memberi dua ratus rupiah. Orang yang terbahak sampai keluar air mata

memberinya uang seribuan. Uang mengalirlah. Bunyinya sampai di kuping Riang. Cring-

cring!

Bus sampai di tempat ngetem. Orang-orang berhamburan. Gencet-gencetan.

Kondektur marah. “Sabar! Sabar!” bentaknya. Seorang penumpang, nyeletuk. ”Sabar! Yang

sabar di sayang kucing!” Orang-orang tak pedulikan. Kondektur hampir murka. Ia tahan

untuk mengucapkan sumpah serapah tak senonoh. Dari mulutnya akhirnya keluar rapal

istighfar. Ia cuma takut penumpangnya tergilas. Riang dan Bentar tinggalkan kerumunan,

meloncat paling awal. Mereka berjalan menuju warung tegal.

149

Suara mix masjid keresekan. Azan mengudara. Suaranya timbul tenggelam.

Gelombangnya terhalang rimbun pohon flamboyan, suara kendaraan dan teriakan calo-calo

angkutan. Masuki ke dalam warteg, dangdut remix meradang mengombang-ambing.

Syairnya mengenai derita wanita yang menjadi janda.

Botol-botol kecap dan saus kosong tergeletak di pipiran kedai. Jam dinding gambar

balita gelengkan kepala. Segelas kopi panas disajikan. Tukang ojek keluarkan gulungan uang

yang diikat karet.

“Minum apa?” Bentar memecah perhatian Riang.

“Air putih!”

Bentar tersenyum sinis. ”Kamu pikir uang yang aku dapat bakal di bawa mati?”

Ucapan itu mengartikan: pesanlah apa saja! Masalah bayar kutanggung sampai tujuh

turunan! Tapi, Riang tak mengerti.

“Es jeruk dua Bu!” Bentar acungkan dua jari.

Ibu berambut kusam, jalan ke arah cerek. Ia ciduk air menggunakan gayung panjang.

Ia masukan isinya ke dalam termos bunga. Di ambilnya dua buah gelas besar. Diperasnya

dua buah jeruk nipis, dibubuhkannya dua sendok gula pasir. Sendok yang diputar berpuluh

kali timbulkan orkes. Balok es ditusuk besi tajam sekurus lidi. Bongkah es tambah isi gelas.

“Tertarik ngamen?” Bentar bertanya.

“Daripada ngemis, ngamen lebih terpandang, lebih cepat datang uang.”

“Kapan mau mulai?”

“Mulai?” Riang pura-pura.

”Ya! Kapan mulai makan?”

Oh, Riang kecewa.

”Ya, mulai ngamen lah!”

Bukan menjawab waktu kesiapan dia kapan, Riang malah semangat bilang, ”Mau!”

“Kalau begitu, datang kerumahku dulu saja.” Bentar pinjam pulpen. Ia sobek kertas

rokok. Dituliskannya alamat dibalik kertas alumunium emas. ”Podok Liliput. Dago elos 62.”

“Kamu bisa main gitar kan?” Bentar memastikan.

“Cuma kunci standar.”

“Bagus! Itu dasar!” Bentar angkat jari. “Bu pesan nasi satu pake perkedel, tambah

kangkung,” ia menoleh. “Kamu makan apa?”

Riang menjawab masih kenyang padahal perutnya keroncongan.

”Jangan basa-basi ah!” Bentar angkat alis. “Bu satu lagi. Sama!”

Siang itu perut Riang membuntal. Usai bicara tak tentu arah, Riang ucap terima kasih

150

waktu Bentar tengah mencongkel biji cabai. Mereka berpisah.

Riang teringat Taryan. Ia berjalan menuju simpang Dago. Menurut taksirannya,

tempat Taryan mangkal tak kurang satu kilometer jauhnya. Selama sepuluh menit ia lewati

bermacam hal. Mahasiswa-mahasiswi seliwer berlawanan atau berjalan searah dengannya.

Kebanyakan dari mereka memakai baju seragam hitam putih.

Melewati kedai kedai kopi, ia melihat mahasiswi berambut sebahu datang ke arah

penjual rujak. Wanita itu mengambil semangka, duduk di bangku panjang bersama seorang

lelaki kekar. Wanita lainnya bertubuh mungil, rambutnya dihias bandana corak bunga,

bersandar di mesin fotokopi bermerek Xerox. Lampu mesin fotocopy yang seterang petir itu

mengelus jerawatnya. Wanita itu tersenyum. Seorang lelaki tua menyekop debu dan sampah

plastik yang terserak. Dimasukannya sampah itu ke dalam tong bekas cat.

Riang sampai di perempatan Dago. Ia tak temukan Taryan di samping kios buah, di

bawah triplek Jus Ngeunah yang beberapa waktu lalu ditunjuknya. Riang melangkah lebih

jauh melewati warung masakan padang. Ia menemukan sahabatnya tengah duduk dekat

etalase kacamata. Setelah menukar uang seribu dengan sebungkus keripik singkong, Riang

menepuk pundak Taryan.

“Lha kok di sini!?” Taryan terkejut.

Riang tak lekas menjawab. Ia sibuk mengunyah. Taryan merebutnya. Tak berapa

lama kemudian cerita pun mengalir.

“Mau ngamen tapi tak punya gitar?” Taryan berikan tanggapan sinis, setelah Riang

menyelesaikan ceritanya.

Riang nyengir.

Taryan mendesak.

“Ngamen pake apa? Pakai kecrekan?! Tepuk-tepuk tangan?! Ndak pantas! Yang

pantas pake kecrekan itu anak kecil!”

“Lha orang dia punya dua. Dia mau meminjamkan gitarnya!”

”Baru pertama ketemu sudah berani pinjamkan gitar,” Taryan geleng kepala. Sewa?”

“Gratis!”

“Wah… wah! Baru pertama kali sudah baik gitu. Situ ditipu! Si Bentar itu orang

mana dia?! Batak?!”

Riang menggoda. ”Bukan! Dia tinggal di Kampung Rambutan!”

“Orang kampung Rambutan? Tuh! Kamu ditipu Yang!” Taryan menunjuk mukanya.

“ Mau gigi depanmu hilang hah?!”

”Dia asli Garut!”

151

”Sama saja!” Taryan sebal. Dia diam. Mereka diam.

Lima menit kemudian Riang menyerah. Ia memberi Taryan pengertian.

”Yan.... aku tak punya pilihan. Kamu tau sendiri kalau uangku habis. Lagipula, kalau

Bentar memang seperti yang kau pikirkan, ia tak bakal dapat apa-apa dariku. Dia bakal rugi

habiskan waktu denganku!”

Taryan tak beri komentar. Malam harinya tawaran Bentar memeriahkan mimpi Riang.

SOLIDARITAS

Taryan belum bisa membujuk Riang. Selogis apapun alasan yang Riang beri, ia tetap

tak setuju atas keputusan Riang. Kampung Rambutan, masa lalunya di Jakarta merupakan

salah satu pengalaman terbaik bagi Taryan. Pengalaman yang membuat giginya tanggal,

uang di kancut, serta Leonard dan anak muda sipit yang menurut kajian ilmu antropologi

tidak menyiratkan ciri-ciri fisiknya berasal dari tanah Tuanku Rao dan Sisingamangaraja itu,

menanamkan sikap skeptis padanya. Pagi ini, sebelum sore hari mereka menemui Bentar di

Dago elos, Taryan terus berpikir, mencari cara agar Riang mau mengikuti sarannya.

152

Warung Aplatun tampak di depan mata. Dari kejauhan mereka melihat tangan

pemilik warung melambai. Aplatun butuh receh. Ia tahu kepada siapa uang besar harus

dipecah.

Kantung Taryan tak lagi memberatkannya, uang logam di ganti uang kertas yang

ringan, yang semua ekonom mengetahui bahwa nilai yang tertera di permukaannya hanyalah

dusta, Aplatun mulai menggosip: mengenai IP pelanggannya tadi yang turun, tentang wajah

drop outnya, tentang kuliahnya di sastra jurusan basket karena kuliahnya dihabiskan di

lapangan basket.

Aplatun melucu. Riang, Taryan dan seorang pelanggan lain tak ingin humor Aplatun

disia-siakan. Mereka pun memberi Aplatun tawa kemanusiaan.

”Sekarang anak itu malah kecanduan game.” Aplatun memulai lagi. ”Tak tahulah apa

jadinya! Tak ada urusan!”

Pelanggan yang sebelumnya ikut tertawa bersama Riang dan Taryan menyelesaikan

makannya. Ia memberikan uang pas lalu melenggang keluar dan menyalakan mesin

motornya yang berplat merah.

”Kalau dia,” Aplatun menunjuk keluar, ”anak yang barusan tadi kuliahnya di jurusan

peternakan gigi!”

”Jurusan apa itu?” Taryan kebingungan.

”Lha giginya maju!”Aplatun tertawa. Riang diam tak timpali. Biar dia dari desa, dari

udik Riang tetap tidak suka gurauan tak berperadaban semacam itu. Aplatun merasa tidak

nyaman. Merasa salah dengan ucapannya, larilah si bujang mencuci mangkuk dan gelas yang

sudah menumpuk, meninggalkan Riang dan Taryan yang tengah menikmati sarapan paginya.

Di sana Taryan kembali membujuk Riang. Ia terus menerus membicarakan perihal

yang haram di bicarakan karena mengandung bahasan SARA. Riang tak peduli. Sejak

bertemu Bentar dan memperhatikan betul wajah serta kepribadiannya, ia sudah memutuskan.

Kekeraskepalaan Riang membuat Taryan yang kesal, meminta bantuan. ”Ton,” Taryan

berteriak, menyindir, ”... masa dia mau percaya sama orang yang baru dikenal!”

Orang yang dimintai bantuan sadar diri. Aplatun baru saja keluar, menghindari

perang dinginnya dengan Riang. Ia belum mau mengomentari. Ia menunggu apa yang bakal

Riang katakan.

”Yan, mungkin situ ada benarnya,” Riang berniat membalikan, ”tapi kalau pikiranku

begitu terus, mencurigai setiap orang terus, apa situ pikir kita bakal bertemu, menjadi

teman?”

Taryan butuh waktu untuk mencerna, menggambarkan bagaimana dulu Riang

153

membopongnya sewaktu tengkurap di jalan. Membopong dirinya, orang yang sama sekali

tidak Riang kenal.

”Tapi, waktu itu situ yang nolong aku, bukan orang lain.” Taryan bersikukuh.

Riang mengambil nafas. ”Banyak orang jahat, tapi tidak semua orang jahat kan?”

Tanya Riang.

Taryan kalah telak. Ia tahu Riang benar, bahkan sejak alasan awal alasan bahwa

dirinya tak punya uang. Riang pun tahu, apa yang dilakukan sahabatnya --berusaha

membalikan pikirannya-- adalah sebentuk solidaritas serupa dengan pengorbanan Taryan

untuk tetap bersamanya di jalan, meski ia tahu uang yang dimiliki Taryan dari mengemis,

sebenarnya bisa digunakan untuk membeli tiket kereta. Alasan mengapa Taryan tidak

melakukannya adalah sebentuk rahasia. Riang malas menanyakannya. Ia hanya menanam

keyakinan, bahwa suatu saat nanti Taryan bakalan pulang. Riang berusaha berpikir jernih

bahwa yang dilakukan sahabatnya adalah –pula-- sedikit dari usaha dia untuk melindunginya.

Sampai di titik itu, Riang menyesal mengungkit kebaikan yang pernah ia lakukan, untuk

membalikan keadaan.

Aplatun masuk ke dalam warung membawa gelas dan mangkuk yang masih

bercucuran. Dari luar terdengar desis pipa PAM yang bocor. Ia mengambil plastik dan tali

yang terbuat dari karet ban. Aplatun kembali keluar.

”Situ harusnya ambil pelajaran!”

Taryan yang sudah tidak bisa menggunakan pikirannya. Taryan membuat Riang

bosan. Ia tidak mungkin mempan. Ia biarkan Taryan mengulang-ulang membicarakan

pengalamannya. Taryan hanya tidak ingin kehilangan harga diri usai argumentasinya

dikalahkan.

”Situ dengar ndak aku bicara? Situ dengar Yang?! Jangan sampai Situ nyesel! Orang

batak yang kutemui, si Leonard itu itu gila! Yang di Kampung Rambutan awalnya baik! Sok-

sokan baik! Orang yang satunya lagi yang aku kira benar ternyata begajul juga! Apalagi

orang kemarin kutemui di dekat BIP, orang yang pernah buat aku babak belur, yang ampil

dompet temuan itu... sama juga!”

Riang teringat ketika Taryan menawarinya main cewek dan membelikannya makanan

usai menemukan sebuah dompet.

”Hah!” Riang tak sadar jika ia berdiri.

Taryan hentikan kicauannya. Ia tertegun.

154

”Di mana tadi!? Di BIP kau bilang?!” Riang memaksa.

Suasana tiba-tiba berbalik. Taryan bingung. Marahnya padam. Ia tidak menemukan

kata untuk menjelaskan.

”Di mana?” Riang menekan. ”Di BIP?!” Ia memastikan.

Taryan tidak punya maksud mengungkit sial yang pernah orang lain timpakkan, tetapi

ia kadung bicara.

“Yang, aku sudah ndak mikirin itu.” Taryan berubah dingin. Panas lima puluh

sembilan derajat yang beberapa detik lalu dicapainya, berubah menjadi dua derajat selsius.

“Yan!?”

”Sudah. Aku malas bahas itu.” Taryan reflek meminum es teh sisa pelanggan yang

masih teronggok di meja.

”Kalau malas, kenapa Situ bilang lihat preman yang buat Situ bengep?!”

“Kalau tahu sikapmu bakal begini, mustahil aku cerita.” Jawab Riang asal. ”Aku

cerita bukan supaya Situ ngamuk.”

”Siapa yang ngamuk!?”

”Situ! Lha, aku cerita supaya situ jangan percayai ... siapa itu namanya ... siapa?!”

Riang tak menjawab pertanyaan Taryan.

”Ceritaku bukan untuk balas dendam.” Taryan mematenkan.

Riang berpikir cepat. “Ini bukan masalah balas dendam!” Keahliannya yang

terpendam ia gunakan, ia keluarkan ”Ini masalah mengingatkan! Kalau preman itu didiamkan

apa yang terjadi?”

Taryan tak peduli. Ia menerawang ke depan. Tangannya, mengetuk-etuk gelas.

“Yan, ... bagaimana mereka mau sadar kalau ndak ada yang mengingatkan? Mereka

bakal terus jahati orang! Nodong orang! Nakutin orang! Bener kan?!”

Riang haluskan suaranya. ”Yan ... kalau semua orang kayak Situ, di dunia ini tidak

bakal ada nabi!”

Taryan menjauhi mata Riang namun ia mulai tertarik karena Riang menyebut-nyebut

nabi.

”Kamu fikir nabi Musa diturunkan untuk apa?!”

“Untuk umatnya.”

“Sungguh tepat untuk umatnya! Tapi bukan itu maksudku! Musa diturunkan untuk

mengingatkan! ... Isa diturunkan untuk apa?”

“Untuk mengingatkan seperti mau mu itu!”

“Bukan mauku! Situ cinta Muhammad ndak!?”

155

Taryan diam.

Riang menemukan celah.

“Muhammad diturunkan untuk apa?”

“Mengingatkan!.”

“Benar!” Taryan didesaknya hingga ke pojok. ”Sekarang, agamamu apa?”

“Dari dulu juga Situ tahu!”

“… Kalau agamamu Islam, Kamu ndak mau mengiikuti nabimu? Apa Situ

tidak mau peringatkan orang lain supaya tidak kembali melakukan kejahatan lagi?”

Taryan gamang. Disaat itulah Aplatun masuk. Teriakan Taryan di awal-awal

pembicaraan membangkitkan naluri alaminya Wajahnya merah padam. Ia seakan menahan

benda besar yang hendak keluar dari tubuhnya.

”Aku dengar sedari tadi! Siapa mau kelahi?!” Aplatun meminta penjelasan yang

sebenarnya sudah jelas baginya.

Mulut Riang terbuka, hendak menjelaskan semuanya, namun mendadak Taryan

mennyalipnya untuk menyederhanakan permasalahan. Penyederhanaan ini malah

memanjang. Kepanjangan inilah yang justru membuka selubung pengunci mahluk yang

bersemayam di tubuh Aplatun.

“KAMPANG!” Hidung Aplatun mendadak kembang kempis Ia marah. Nafasnya

menghembus-hembus! ”Orang Batak itu suaranya saja yang besar!!! Kalau ditantang kelahi

pakai pisau, kabur semua!!! KAMPANG!!! Biar ku tujah mereka! Biar! Biar mereka tahu

kalau berurusan dengan temannya siapa!!!”

Ghuarg! Awan tabrakan. Suara petirnya melabrak rongga pendengaran. Suara

Aplatun sungguh menakutkan! Tidak cukup, Ia gebrak triplek putih. Gelas yang ada di

atasnya berajojing meloncat setengah senti.

“Aku ikut kelahi dengan kalian!!!” Blar! Petir ganas menyambar! “Kurus-kurus

begini, aku pernah jadi pemimpin bajing luncat!” Dan mengucur deraslah cerita menakutkan

dari keran mulut Aplatun.

Diceritakan bagaimana dulu, ia menyengajakan diri menumpang bis eksekutif menuju

Bengkulu. Manakala bus sampai di Jerambah Kawat, manakala orang masih terlelap, Aplatun

menyiram lantai bus pakai bensin. Aplatun teriak, menggertak! Suaranya bangunkan semua

penumpang! Diperintahnya orang-orang preteli hiasan dan dompet. Di perintahnya supir bus

berhenti injak pedal gas. Kalau tidak, Aplatun ancam: bus itu bakal dia bakar!

Bus berhenti. Teman-teman --yang memang sudah menunggu di Jerambah Kawat--,

naik. Tidak ada satu penumpang pun yang berani melawan, kecuali satu orang lelaki yang

156

perawakannya mirip tentara. Aplatun kalap. “Kau mau jadi pahlawan hah!?” Ia teriak! Maka

di bacoknya kepala orang itu sampai mati! Wanita yang ada di dalam bis ringsut. Tak ada

yang teriak kecuali seorang lelaki yang dandan ala banci.

Penumpang bus sadar. Mereka tidak bisa melawan. Maka, beberapa wanita menjadi

sukarelawan: mempreteli anting-anting, gelang, tusuk konde emas, cicin tunangan, walkman

dan dompet milik sendiri, untuk dimasukan ke dalam karung goni.

Aplatun, merasa harus yakinkan Riang dan Taryan. Cerita yang tak kalah seram

ditambahkan.“Dulu, aku pernah masuk Angkatan Darat di Palembang. Di sana aku ketemu

komandan brengsek, yang kalau aku salah sedikit dia selalu ngancam kalau aku bakal

dipecat! Kerjanya maen perintah seolah aku ini hewan! Aku melawan! Komandanku marah!

Aku digamparnya! Maka aku matikan saja dia!”

Bukannya si komandan yang memecat, malah Aplatun yang memecat sang komandan

dari kehidupan di dunia. Si komandan dipersonanongratakan dari alam manusia menuju alam

baka! Perbuatan ini sebabkan Aplatun masuk berita koran-koran besar. Akibatnya lahan

hidup dia di Palembang menyempit. Aplatun lari ke Jakarta. Di waktu-waktu ke depannya, ia

jadi tangan kanan preman nomor satu di Kampung Rambutan.

Riang dan Taryan tak habis pikir. Dia ... Aplatun yang kerempeng itu... Aplatun yang

banyak omong itu ... punya masa yang kelam, punya cerita seram yang bisa buat manusia

biasa keriput.

Dukungan Aplatun, dengan skill tersendiri yang seharusnya membuat Riang bahagia.

Cerita masa lalu Aplatun tidak membuatnya senang. Ia malah berpikir: bagaimana jika

preman itu dipecat Aplatun dari nikmatnya kehidupan di dunia?

Pemukulan dan perampasan harus di balas dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi

balasan yang setimpal itu bukan dibunuh!

Di antara waktu jeda, Riang berpikir..

“Aku senang kau punya itikad baik. Siapa yang tidak senang Ton ... tapi maaf, kali ini

jangan!” Ia temukan alasan.

“Jadi kau …?!” Ada kata-kata yang tak mampu kelur dari mulut Aplatun.

Riang khawatir Aplatun merasa disepelekan. “Bukan! Bukan aku sangsi

keberanianmu, tapi sekarang ini Kau sudah hidup tenang. Sudah hidup baik-baik! Kalau ikut

kami, tusuk sana tusuk ini, apa yang terjadi?”

“Tak peduli! Aku tak peduli. Pantang kata kutarik lagi. Pantang! Tak mungkin takut.

Nenek moyang ini tak pernah takuti apa! Aku bunuh orang-orang itu!”

“Bukan! Bukan begitu … ,” Riang rendahkan suaranya, “Aku tahu kau tidak takut

157

kecuali takut pada Tuhan,” Riang sengaja sebut nama Tuhan. Nama Tuhan biasanya mujarab

redakan marah. “Aku tahu Ton… aku tahu… tapi masalah tidak semudah yang dibayangkan.

Kalau kau menujah, yang ditujah mati, apa selesai? Tidak. Kau bakal dicari, bukan cuma

dicari segelintir orang Batak. Bakal orang-orang Batak se-Bandung!”

“Kalau semua uber aku, tidak takut aku! Nenek moyang ini, sejak kemerdekaan

berjuang demi tegaknya UUD 45! Aku tahu, biar mereka bajingan tapi bajingan untuk

Belanda! Nenek moyangku, kakekku, arwah kakekku Mat Kancil bakal malu kalau lihat

keturunannya, aku Aplatun tidak turun tangan! Ikut bela kawan! Tidak perlu satu! Seribu

orang Batak, aku lawan mereka! Sepulau Samosir, aku tujah satu persatu!”

Riang berusaha kesankan dirinya berani. Kesankan kalau ia dan Taryan bisa

selesaikan masalah sendiri, “Demi Tuhan Ton ... jangan dipotong dulu perkataanku ... Ton …

kalau aku dan Taryan ndak apa–apa tujah sana-sini Habis beri pelajaran, habis bunuh itu

preman, bisa pergi semau kita. Bagaimana dengan mu? Kau pasti rugi. Mau dikemanakan

warung yang kau bangun? Mau kau bawa? Warung tak mungkin digendong. Membangun

warung baru butuh modal, butuh uang, perlu biaya dan masalah tidak mungkin selesai di situ

saja! Kalau warung Kau tutup, bagaimana nasib istrimu?”

Kehidupan istri, keluarga yang disayang, adalah salah satu cobaan terberat sepanjang

sejarah manusia. Wajar jika Aplatun goyah. “Tapi!... Tapi!...,” Aplatun masih berusaha

menyangkal, namun pikiran menghambatnya. Pengaruh Riang sampai di kepalanya. Sebelum

Aplatun mendapat celah, Riang menyudahi.

“ ... Terimakasih! Aku dan Taryan hargai keberanianmu. Solidaritas sudah cukup.

Lebih dari cukup! Aku bangga punya teman sepertimu! Aku gembira, di zaman seperti ini

tersisa manusia yang pentingkan orang lain ketimbang dirinya. Inilah yang dinamakan altruis

Kamu preman shalih Ton. Kau pemberani. Kau tak usah libatkan diri. Aku janji, bilang

padamu, kalau temui masalah. Aku yakin, ini bisa diselesaikan,” Riang menyikut perut

Taryan.

Aplatun tak bicara lagi. Ia masuk ke dalam sekat triplek, mengambil golok panjang

berkarat. Diberikannya benda berbahaya itu, ”Buat jaga-jaga,” katanya. Riang tak menolak.

Untuk sementara golok itu akan disimpannya ditempat yang aman. Serah terima berlangsung

baik, aman dan terkendali. Untuk Taryan, Aplatun mengambil garpu. Ia bengkokan hingga

gagangnya dapat dikepal. Dua ruas tengah garpu tajam dibengkokkan menggunakan jempol.

Dua ruas itu bisa dijadikan senjata, menusuk orang. Suk!

158

SEPATU ROMBENG

Setelah mandi di masjid Agung, tubuh Riang dan Taryan bersih dan suci. Mereka

duduk di bawah terpal, Taryan berniat membincangkan cerita mengenai kehebatan dan

kedigjayaan Aplatun, namun orang di sampingnya tak mereken, tak memperdulikan. Riang

masih melayang-layang memikirkan kehebatan dirinya, memikirkan bakat terpendamnya

ketika mempengaruhi dua orang dalam satu hari. Riang tak habis pikir bisa mengeluarkan

kata-kata beracun semacam itu. Kata-kata yang bisa pengaruhi orang, kata-kata yang bisa

buat orang beringas jadi tenang, kata-kata yang bisa membolak-balik, mengaduk-aduk

pikiran orang. Ia hampir takabur. Senyum sendiri, mesem sendiri.

Apa yang Taryan katakan, ia dengar selewat. Riang dalam keadaan mabuk. Dalam

kondisi kepayang. Penyesalannya saat memaksa Taryan mengingat pertolongan yang ia

berikan hilang. Pertolongan yang pernah dilakukannya malah membuat Riang berkhayal dan

mengasosiasikannya dengan kata-kata altruis yang canggih. Riang mengulang kembali kata

yang pernah didengarnya. Altruis, altruis, altruis. Dalam pada itu, kejapan kata yang

membuatnya bahagia mengingatkan dia akan dua orang pria: Fidel entah di mana, dan Pepei

159

... O, Riang sedih. Riang berusaha melupakan. Hari itu waktu mereka menghabiskan waktu

dengan menggosipi apa saja yang menyangkut diri Aplatun, tentunya kisah perempuan gila

yang Riang temui di jalanan, tak luput dari perhatian.

Pada akhirnya acara gosip itu membuat Riang dan Taryan akur. Perseteruan tak perlu

dilanjutkan. Riang memilih waktu baik --yang entah kapan--, untuk membicarakan perihal

balas dendam.

Di bawah atas kulit bumi, dibawah terpal, mereka bersila damai, padahal di sebuah

ruangan, seorang pria gagah memberi instruksi. Orang-orang berseragam yang mengitari

tubuhnya mengangguk-angguk, memperhitungkan jam yang tepat untuk melakukan

gebrakan.

MALAM ITU, dalam diam Riang dan Taryan perhatikan keadaan sekeliling:

voltase tak stabil membuat lampu masjid agung redup berkedip, seorang ibu mengarahkan

pancuran air pipis balitanya menuju dinding tong sampah, seorang nenek memilih menyetop

kuda ketimbang angkutan kota, di samping tenda darurat penjudi goblok tenggak minuman

keras. Penjudi plus pemabuk itu kalah. Kalau sudah begini, malam dibuatnya menjadi

berisik, membuat Riang dan Taryan kesulitan memejamkan mata. Kata-kata kasar yang

dikeluarkan mulut pemabuk itu tak lucu. Hal ini berbeda dengan kawan-kawannya satu kubu

kemaksiatan.

Riang dan Taryan hapal benar binatang apa yang paling sering penjud-penjudi itu

teriakan sebagai umpatan, sebagai lakaran. Riang dan Taryan pasti rindukan lakaran itu.

Merindukan kehadiran Bapak yang di kepalanya selalu bertengger kopeah haji. Bapak yang

tak pernah langgar absensi di areal perjudian itu tentu bukan dalam rangka khutbah

ittaqullah! Bertaqwalah kepada Allah, melainkan untuk menyemangati dan membandari judi

kartu gaple dan remi.

Taryan yang suka shalat di masjid Agung tahu kalau bapak itu rajin shalat, meski

gerakannya secepat pelatuk Woody Wood Packer. Taryan tahu bapak itu dzikirnya berabad,

dan seharusnya ia sebal atas sikap munafik yang dipraktikan olehnya, namun tingkah laku

dan kata-kata si bapak membuat Taryan merasa harus mengecualikan. Se-preman-

premannya, sebejat-bejatnya, orang Sunda, mereka masih bisa menjadi Kabayan --dan

tentunya—masih memiliki kesempatan mempersunting ’Nyai Iteung’ yang cantik jelita.

”Kumaha mun tarohanana iman Islam!? Gimana kalo tarohannya iman Islam” Kata

si Bapak pada suatu waktu. “Mun tarohannana agama mah bosen! ’kalau taruhan agama sih

160

bosen’ Ayeuna, anu tarohanana leuwih keren mah, sekarang taruhan yang paling mutakhir di

antara yang mutakhir sih ... MATA SIA DICOLOK!!! MATA LU GUA COLOK! Wani teu!

Berani gak!’”

Riang dan Taryan yang sedikitnya sudah paham bahasa Sunda tertawa hampir habis

tenaga. Bapak itu memang edisi khusus yang tidak ada dua. Kalau kebanyakan penjudi

ucapkan, ”ANYING! ’Anjing!’ di setiap kekalahan dan kemenangan yang didapatkan, si

bapak yang acapkali dipanggil bos itu punya gaya beda. Kalau dia kalah yang pertama

dilakukan nyanyi lagu bung Rhoma:

Judi!

(Judi! Teot!)

menjanjikan kemenangan

Judi!

(Judi! Teot!)

menjanjikan kekayaan

Bohong! Bohong!

(kata bohong sengaja ia teriakan

di kuping orang yang paling dekat dengannya)

Kalaupun kau menang,

itu awal dari kekalahan.

Bohong! Bohong!

Kalaupun kau kaya,

itu awal dari kemiskinan

Judi!

(Judi! Teot!)

meracuni kehidupan.

Judi!

(Judi! Teot!)

meracuni keimanan

Pasti! Pasti!

karna perjudian,

161

orang malas dibuai harapan

...

Apapun namanya bentuk judi

itu perbuatan Keji!

Selesai nyanyi si Bos selalu ingatkan, ”UANG JUDI NAJIS! TIADA BERKAH!

APAPUN NAMANYA BENTUK JUDI!!” tidak puas di sana. Ia kemudian bercerita tentang

penjudi-penjudi yang bakal digosongkan menggunakan setrika sebesar traktor di neraka

Saqor!

Cerita tidak buat penjudi lainnya takut. Mereka tak peduli dengan neraka dan cerita

seseram apapun mengenainya. Mereka tak kuat tahan tawa. Riang bahkan pernah melihat

buih keluar dari mulut mereka.

Si Bos berkopeah haji itu memang hebat. Ia bukan saja mampu teriak, berkata

melainkan juga bernyanyi demi kepentingannya. Kalau ia menang di putarbalikannya lirik

bung Rhoma. Ia bernyanyi: "Uang judi memang penuh berkah! Itulah berkahnya judi! ... Judi

teot! ... dan seterusnya.

Riang dan Taryan boleh tertawa oleh perilaku sesat itu, tetapi seorang ustad muda di

masjid jami tidak! Ustad muda itu kesal. Ia tak sanggup melihat munculnya manusia yang

mainkan kesakralan surga dan neraka, memainkannya seolah tempat yang indah dan seram

itu tidak ada! Wajar jika pada satu waktu, usai shalat Isya, ustad muda itu menziarahi, dengan

niat menasehati para penjudi.

Bukannya sadar mereka malah balas khotbah sang ustad dengan olokan. Apa mau di

kata, maksud baik sang ustad muda dimutilasi oleh si Bos penjudi-penjudi gila. “Maneh teh

lemet keneh. Nyaho naon heh!? ’Lu tuh masih ingusan heh! Tau apa kamu tentang

kehidupan?!’ Mun maneh geus boga kaluarga, karak nyaho!, Kalau Lu dah punya keluarga,

baru tau!”

“Heeuh! ’Iya, benar!’” Penjudi yang mengelilingi si Bos kompak bersuara.

Lantas apa yang menjadi bantahan sang ustad muda?

“HARAM!!! Ini dosa benar! Sekali dosa besar tetap dosa besar!!” ia berkacak

pinggang.

Di hadapan anak buah, si Bos pantang mengalah.

“He … he … Dosa?! Ku aing di sunat siah! ’Hei hei, dosa?! Gua sunat luh! Sia kudu

nyaho kana kaayaan beul! ’Elu harus tau keadaan, bebal!’ Mun sia jadi aing, mun anak sia

di imah congor na ngangap-ngangap menta kadaharan, istri gering rek ngajuru, maneh

162

ngaharap ti mana?!m Kalau Elu jadi gua, kalau anak Elu di rumah, mulutnya ngangap-

ngangap minta makan, istri sakit mau melahirkan, mau ngeharap dari mana?’ Pamarentah?!

Cuiih! Pemerintah?! Cih!” Ia meludah. “Ti iraha pamarentah ngurusan aing sakaluarga?!

’Sejak kapan pemerintah ngurus keluarga gua?! Anak aing paeh ge teu paduli. Cuih! Anak

gua modar aja nggak peduli. Cuih!”

Ustad muda diam, lalu balik pulang. Dan perjudian pun berlanjutlah. Namun

keesokan malamnya, di jam-jam ketika perjudian tengah ramai, sang ustad datang bawa batu

sekepal tangan. Ia lempar batu itu! Melayang ...! Kopeah haji tersambar! Si bos jungkal

sekaligus dengan badan! Pingsan! Dari kepala si bos keluar darah. Arena judi kacau balau!

Penjudi-penjudi marah! Kartu remi dan gaple mereka lempar ke tanah. Mereka berdiri,

mengambil ancang-ancang. Mereka kejar itu ustad.

Ustad lari karena jumlah yang mengejar dirinya terlampau banyak. Bukan main!

Larinya cepat sekali! Dia berkelat-kelit, meliak-liuk gesit. Sayang! batu yang ia lempar

datangkan sial. Batu itu dilempar balik, menyerempet muka si ustad sampai pipinya codet!

Ustad terhuyung-huyung! Dan habislah badan dia dipukuli sampai sekarat.

Taryan dan Riang ingin membantu. Namun keinginan mereka hanya sampai bab niat.

Mereka hanya bisa doakan agar sang ustad tidak mati. Kalaupun mati mudah-mudahan

matinya syahid. Masuk surga!

Setelah para penjudi puas memukuli si ustad, barulah Riang dan Taryan mendatangi

got tempat ustad malang itu njompret. Ajal belum datang. Nafas sang ustad masih ada. Itulah

mengapa, sejak kejadian tragis itu tak ada satu orang pun yang mau menjadi martir. Perjudian

tak mungkin bubar hingga sebuah kejadian melakukannya.

MALAM ITU UDARA MENGHANGAT. Sebentar lagi hujan. Riang lupa ia ia

harus pergi ke rumah Bentar. Gosip mengenai Aplatun membuat dirinya hilang ingatan.

Menjelang tengah malam, Riang mulai merasa tidak enak dengan Bentar. Ia jadi takut

membayangkan Bentar menolak kedatangannya. Ia teringat atas apa yang dilakukan mandor

terhadapnya. Riang dipecat karena terlambat, karena bangun kesiangan. Ia takut

kesempatannya kali ini pupus akibat alpa.

Berulang kali Riang melihat Taryan yang tengah tidur pulas. Melihat lelaki yang

tidak ia ketahui merasa senang karena berhasil mengalihkan pikirannya ke arah Bentar.

Taryan terlihat letih. Belakangan ini, temannya itu acapkali bangun malam. Taryan

merahasiakan apa yang dilakukannya. Yang Riang tahu, Taryan selalu menggoyang kakinya,

163

pura-pura bertanya, “Sudah tidur Yang?,” Kalau Riang mengguman ia merebahkan badannya

kembali. Kalau Riang tak keluarkan reaksi, Taryan menyegerakan diri berjingkat keluar.

Riang sempat berpikir kalau sahabatnya tak punya pertahanan diri. Ia tidak tahan

karena dipikirnya Taryan sudah pernah ’mencoba’ dan dari obrolan masa remajanya, Riang

mendengar bahwa orang yang sudah ‘mencoba’ suka kecanduan. Pikiran buruk berusaha

Riang tepiskan, toh, setiap Taryan pulang, Riang tidak pernah mencium parfum perempuan

bergincu tebal yang sering berpapasan dengan Riang di jalanan. Hingga saat ini, kelakuan

Taryan masih menjadi misteri baginya.

Riang ikut rebahkan diri. Kesadarannya melarut. Tidurnya satu manusia lagi, mebuat

bumi semakin sepi. Deru mobil sesekali terdengar. Para penjudi sudah ditinggalkan begitu

banyak keramaian. Hanya tinggal mereka yang tersisa.

Tak jauh dari tempat itu, orang-orang berseragam yang di waktu sore mengangguk,

telah tentukan siasat dan jam. Beberapa puluh orang mereka datangkan dari suatu tempat

untuk lakukan penggarukan. Di malam yang gerah itu, suara sirine merayap di udara.

Suaranya belum sampai ke tempat Riang dan Taryan. Orang-orang berlari.

Desas-desus menyebar mengembang di udara. Penjudi kasak-kusuk. Puluhan orang

berseragam datang dari arah Dago. Mereka sampai di belakang masjid besar alun-alun. Suara

sirine mulai terdengar. Sayup. Orang berlarian dari arah masjid. Suara teriakan terdengar.

”Aparat! Aparat!”

Suara hingar bingar. Serombongan orang datang membawa kayu, membawa

pentungan! Mereka ’garuk’ warung dan gelandangan yang membuat Pemkot ’geli’. Penjudi-

penjudi di samping tenda bukannya malah melarikan diri. Mereka yang mabuk lempari

petugas Kamtibmas menggunakan botol dan gelas. ”Prang! Prang!” Beling pecah membentur

aspal. Tak satu pun petugas yang cedera.

Petugas masygul! Mereka mendatangi kumpulan penjudi. Pentungan membuat para

penjudi, akhirnya kocar-kacir melarikan diri. Beberapa orang yang tertangkap, dipukuli, lalu

dilempar ke dalam truk, sementara itu otak judi –si bos berkopeah haji selamat, sebab waktu

kejadian berlangsung si bos itulah yang lebih dulu melarikan diri.

Riang bangun. Keriuhan terdengar. Ia tak melihat Taryan di sampingnya. Riang

keluar. Ia melongo, menggaruk kepalanya menyaksikan Kamtibmas melancarkan operasi

penggarukan. Dari kejauhan, dari balik pengkolan seseorang berlari seperti orang liar. ”Yang

kabur! Kabur,” katanya. Riang sadar. Ia ambil harta yang tersisa. Ke dua orang itu tak sempat

mempreteli bahan bangunan rongsok yang mereka curi dan temukan. Riang dan Taryan terus

berlari, menyembunyikan diri. Di balik kegelapan mereka menyaksikan terpal, spanduk dan

164

kayu-kayu penyangga tenda darurat diterjang. Satu-satunya tempat kediaman bagi mereka

dirubuhkan. Sedih mendatangi seperti ubi jalar. Sedih membuat mereka tersesak. Tak ada

yang bisa dilakukan. Kedua orang ini gontai, berjalan meninggalkan kenangan.

Malam menua. Hujan tak jadi datang. Tak ada bulan dan bintang. Yang ada hanya

cahaya buatan manusia sinari jalan. Dari jendela angkutan kota, pohon-pohong, dinding

bangunan dan tiang-tiang berlari. Semua yang usang harus ditinggalkan. Malam ini ...

kehidupan layaknya sepatu rombeng!

UNTUKMU EMAK

Sementara itu

Kardi tengah bersembunyi di gundukan tanah. Seorang petani kentang meninggalkan

lahannya, berdendang pupuh kinanti. Kardi beringsut-ingsut lalu berdiri dari gundukan tanah

setelah meyakini si petani itu tak mungkin kembali hingga keesokan hari. Kardi pun melihat

Sekarmadji tengah tertawa, menggosok-gosok tangan, meludah-ludahi telapak seolah-olah

dengannya ia hendak melakukan sebuah pekerjaan berat yang membutuhkan persiapan.

Dalam sekejap beberapa puluh kentang tercerabut dari tanah, dikeruk oleh tangan dua orang

pelarian yang kelaparan.

Sekarmadji memilih kentang yang besar dan kelihatan matang ketimbang yang

lainnya. Kentang itu akan mereka rebus sebelum di makan. Lauk pauknya bakal mereka

dapatkan di sebuh kandang ayam dekat jembatan. Mereka meninggalkan lubang galian.

Sekarmadji bersiul-siul menanggung kebahagiaan. Dalam perjalanan menuju kandang ayam

kedua orang itu mendengar suara motor di tanjakan, mereka melihat motor trail melompat di

atas gundukan. Kardi sembunyi di balik batu. Sekarmadji mengikutinya.

Bising mendekat. Kopling berpindah saat motor trail menginjak batas bawah tanjakan

curam. Sesosok lelaki berbadan besar memainkan keseimbangan di atas jok. Beberapa meter

mendekati akhir tanjakan motor melambat. Karung goni dan karung plastik beras membebani

165

si pengendara. Ketika kopling kembali di tekan dan gigi satu dimasukkan, motor menggerung

keras, melewati akhir tanjakan, Kardi tiba-tiba melompat. Ia menendang motor hingga

pemiliknya terjungkal berguling-guling di tanah. Motor terpisah. Lelaki itu terpuruk. Ban

motor tertahan di celah bebatuan. Saat Kardi kesulitan mengambil motor, lelaki berbadan

tegap mendadak bangkit, memberikan kejutan.

“Awas!” Sekarmadji mengingatkan, namun ia terlambat. Lelaki itu lebih dulu

menempatkan kepalan di leher Kardi. Ban motor yang hampir lepas dari himpitan batu,

masuk kembali. Kardi jatuh tak sadarkan diri.

Tak bisa melihat temannya diperlakukan semena-mena, Sekarmadji melempar lelaki

itu menggunakan kentang. Hanya beberapa yang mengenai, itu pun tak terasa. Badan lelaki

itu terlampau besar. Orang dihadapinya memiliki postur tubuh paling tinggi yang pernah ia

hadapi. Pengalaman Sekarmadji memaksanya untuk menafikan perbedaan tinggi lawan

hingga tak menjadikannya persoalan. Pada kenyataannya, hanya dengan dua pukulan di

rusuk dan ulu hati, Sekarmadji pun jatuh bermesraan dengan tanah.

Lelaki itu menanggalkan dua begundal, lalu ia meninggalkan mereka begitu saja.

SEKARMADJI bangunkan Kardi. Mereka lantas memunguti kentang yang

berserakan, lalu melanjutkan perjalanan. Peristiwa yang baru mereka alami membuat rencana

mencuri ayam terlupakan. Mereka terus berjalan hingga mendekati rumah kediaman masa

kecil Sekarmadji.

Memasuki pekarangan rumah, Sekarmadji mendapati pekarangan itu dihiasi pucuk-

pucuk tanaman dan sayur mayur dan kandang ayam berwarna biru muda. Ia masuk

memandangi emak-nya yang tengah pulas, tidur di bale-bale. Bale-bale berderak. Sekarmadji

memeluk wanita tua itu. Sebuah drama tercipta.

“Siapa yang menanam sayur di depan rumah Mak? Othang atau Nenden Mak?”

Sekarmadji bertanya usai isak dan haru reda.

Lelaki dengan ciri fisik diucapkan Emak.

Sekarmadji enggan menerima.

“Lelaki yang mengendarai motor trail? Yang tubuhnya tinggi itu, bangunkan kandang

ayam juga, Mak?!”

Emak mengiyakan.

Sekarmadji merahasiakan apa yang terjadi, namun, di desa yang sepi, ketika jarang

ada orang yang datang meramaikan, siapa kira-kira yang bakal di curigai ketika penduduk

desa bertambah dua? Siapa yang bakal menjadi tersangka sementara seorang lelaki yang

166

dikenal penduduk desa akan kebaikan hatinya, memberitahu keberadaan dua orang begundal

di dekat gundukan tanah tak jauh dari lahan kentang.

Sekarmadji tak berani berkelit. Ia tak memiliki energi untuk berbohong ketika Emak

mendengar kejadian itu dari orang di desa.

“Kau masih shalat nak?” Emak bertanya sambil mengelus-elus rambut Sekarmadji.

Sekarmadji teringat kata dan makna dosa.

“Dosa yang tersangkut paut dengan manusia, teu tiasa, tidak bisa diselesaikan dengan

penyesalan. Kau mengetahuinya.” Sekarmadji ditangisi seolah dirinya sudah menjadi mayit.

“Lekas datangi lelaki itu. Kalau kau masih shalat, minta maaflah nak.”

Sekarmadji menunduk.

“Jangan kemana-mana setelah kau menemuinya. Kembalilah ke desa. Teu kudu tebih-

tebih milarian artos, tidak perlu mencari uang jauh-jauh jika hasilnya tidak membawa

berkah. Bantu Emak di sini nak. Bantu Emak mengurusi adik-adikmu!”

Sekarmadji berangkat menuju kota yang memang, sebelumnya harus mereka tuju.

Sampai di Bandung, bukan alamat lelaki tegap yang lebih dulu mereka cari. Kardi malah

mengajaknya menemukan orang yang dititipi Gendon untuk mengurusi mereka.

Tempat singgah di sebuah terminal ditemukan dan hingga pagi berlipat ganda

menjadi dua, Sekarmadji tak tunaikan janji. Esok datang, kembali berulang dan Sekarmadji

pun menghentikan janjinya. Ia mengganti janjinya dengan kalimat “Jika sudah siap, pasti

kutemui lelaki itu!”

Ketika hari itu telah mantap, waktu tak berpihak padanya.

167

PONDOKAN

(Sejak saat itu…kehidupan berjalan sangat singkat.)

Kayu pinus digantung. Permukaannya yang tertera tulisan pondok Liliput

dininabobokan angin. Kayu warna orangenya mengantuk. Kasian kayu itu. Dia belum pernah

mencicipi kopi dari daerah Lintang Empat Lawang. Lampu sepuluh watt di tempat itu

menjadikan bayang-bayang tembok batu bata tampak suram. Halaman depan pondok

ditanami kaktus. Bunga-bunga mekar ditempa sinar purnama, mengeluarkan sulur-sulur dari

batang yang ditanggalkan. Beberapa bunga jatuh.

Pagi itu dua orang yang di babak beluri kemalangan sambangi pondokan.

"Dik Riang kemari,” Riang menghayal datangnya respon Bentar, ”mari aku jambaki

rambutmu agar peningmu itu tak membuatmu semaput! Jambakkan tanganku akan membuat

migrain yang diakibatkan penderitaanmu sedikit hilang!”

Pagi itu ada percik kembang api di perut mereka tatkala menduga reaksi yang bakal

mereka terima. Riang khawatir Bentar tidak membuka telapak tangan lebar-lebar,

menyambutnya. Riang sadar diri, sore kemarin ia tak penuhi janji dan kali ini pun, ia datang

tak membawa kemaluan: mendatangi pondokan pagi-pagi buta saat semua orang terjongkang

di peraduan. Riang mengeraskan hati, menguatkannya hingga tak sadar cemas membuat

Riang meremas pantat temannya, membuat Taryan hampir berteriak. Bagaimanapun juga

cerca tak akan membuat orang mati. Benarlah apa yang di katakan si juling Sartre ketika

mengatakan lebih baik kita difitnah dari pada di bunuh!

168

Tok! tok! toroktok! Riang mengetuk pintu. Kalaulah ia tepati janji datang kemarin,

sore, mungkin Riang bakal mengetuk pintu dengan nada yang lebih ceria, lebih berbobot dan

menyeni. Seni yang akan mengiingatkan orang-orang pada rampak beduk yang di takol

bertalu-talu ketika ramadhan hampir hilang di penghujung bulan. Bunyi ketukannya tok!

torok tok dug! toroktok duk! tak dug tak dug!

Tak ada jawaban dari dalam, tetapi lamat-lamat mereka mendengar suara telapak kaki

mendatangi. Suaranya semakin jelas. Pintu berbunyi. Lingga kunci beradu dengan yoni

bolongan pintu. Pintu terbuka. Seorang lelaki berdiri di baliknya. Riang mengenalnya. Pria

itu melawan kantuk. Bentar tak memaki. Ia hanya berkata, “masuk.” sederhana sekali.

Kedua orang itu masuk ke dalam ruang tamu pondokan, lantas Bentar menuju ke

kamar, mengambil dua buah bantal dan menyerahkan pada Riang dan Taryan. Di saat itulah

sikut tajam Taryan memberi kode menusuk pinggang Riang.

”Bilang padanya ...” Taryan mengancam.

Bentar keriutkan dahi.

”Ikut ke kamar mandi mas?” Jawab Riang.

”Apa?”

”Mau ikut kebelakang. Kebelet!”

Bentar lihat Taryan. Ia berusaha menahan sesuatu. ”Beol! Ee?!”

Riang mengangguk mewakili Taryan.

“Disini nggak ada kamar mandi. Kamu kebelakang saja.”

Riang lihat senyum kecil Bentar,Taryan tidak.

Bentar kembali ke kamar lalu membawa dua buah sentar. Ia memberikan senter yang

satunya pada Taryan.

Pintu dibuka. Taryan mengikuti. Riang rebah di sofa. Ia beradaptasi dengan ruang

gelap. Ia melihat gundukan yang tak bisa dipastikan. Riang berpikir untuk menjelaskan

penyebab ia dan Taryan datang ke tempatnya, tetapi setelah mengantar Taryan, Riang

melihat kantuk Bentar tak tersisa. Ia terlihat menahan tawa. Pagi ini, lelaki itu terlihat tak

membutuhkan penjelasan. Konsentrasinya seakan pecah. Ia lebih memfokuskan diri dalam

usahanya menahan tawa. Klimaks pun datang sewaktu Bentar melihat Taryan balik ke dalam

pondokan. Tawa Bentar tiba-tiba memberondong, meledak-ledak, menghambur dan terasa

separti tambur yang di pukul. Tawanya seperti bola bekel, memantul ke mana-mana.

Bentar berusaha menahan diri tapi siapa yang bisa menahan tawa jika rasa geli sudah

menjalar di otak bagian kanan? Bentar tak bisa. Ia kesulitan menyudahinya apalagi ketika

memperhatikan tubuh lelaki dihadapannya basah. Bentar kembali ke dalam kamar ketika ia

169

merasa tawanya berlebihan. Di dalam kamar lantas terdengar suara wanita, yang juga ikut-

ikutan tertawa. Suara tawa dan tangis silih berganti, bersahut-sahutan, saling timpal

menimpal seperti acapela.

Sepi tiba-tiba ... dan tawa itu datang kembali. Lalu berhenti dan berkobar-kobar lagi,

bergelombang lagi meninggi seperti tsunami menghantam jejeran pohon kelapa yang menjadi

di gerogoti kelomang, kumang. Tawa itu terus menerus, hampir nonstop, sampai Riang dan

Taryan hampir tak bisa tidur karenanya.

SUBUH DATANG. Dari jendela besar terlihat beberapa orang melewati pondokan.

Jendela besar itu seolah sengaja di persembahkan pemilik pondokan untuk pejalan kaki

mematut-matut diri bergaya. "Hm, saya sudah ganteng belum ya? Hm ... pantat saya kok

tetap tepos padahal saya sudah latihan mejen selama sebulan." Atau, "nah loh rambut gue

makin polem ajah. Keren akh!" Apa itu polem? Polem itu poni lempar!

Riang bangun saat gundukan berisi tiga orang anak lelaki bergerak. Seorang wanita

mendatangi tempat Riang, membawakannya teh dan surabi. Riang segera mengusik

temannya. Taryan terbangun dari tidurnya, tergeragap, mengetahui seorang wanita duduk

didekatnya dengan megah. Ia memperbaiki sikapnya. Trayan, –sewajarnya lelaki— setiap

saat selalu ingin terlihat elegan di hadapan wanita. Sayang disayang, “prepeeeeeeeeeeet!

Brewek! Dut!. Dut!. Berewek!” Knalpot Taryan mengacaukan performanya. Kepalang

kehilang muka, Taryan berdiri hampir berlari. Tak berbasa-basi ia berlari menuju pintu,

seakan larinya itu merupakan lari penghabisan.

Wanita itu melarang, “Buang airnya di dalam saja!”

Taryan dan Riang kebingungan. Seperti ada piloxan tanda tanya di jidat mereka.

”Di sana!” wanita itu menunjuk, ”kamar mandi ada di dalam!”

Sementara Taryan menghilang, Riang bertanya, keheranan. “Di rumah ini ada kamar

mandi?”

Wanita itu tak langsung menjawab. “Kang Bentar,” katanya, ”begitu pekerjaannya.

Jahilnya tak pernah hilang. Hampir setiap orang yang pertama kali datang ke pondokan

mendapat perlakuan yang sama. Setiap orang di sini tahu penyakitnya.”

Riang bingung atas sikap Bentar, namun ia bersyukur sebab meski ia pertama kali

datang, Taryan justru –secara tak sengaja—membantu menyelamatkan mukanya. Terima

kasih kawan. Ia bersyukur, karena menemukan anggapan lama, yang mengatakan bahwa

tawa merupakan tanda jika tuan rumah senang dengan tamunya. Demikianlah.

170

Wanita yang kini berbicara dengan Riang tampak cantik, namun menurutnya, wanita

yang ada di dokter Nurlaila jauh lebih cantik, bahkan Taryan bukan saja mengatakan,

”ceuwantik!” --sebuah kekhasan Jawa ketika menambahkan kekaguman atau kelebihan

sesuatu-- lebih dari itu, ia merasa perlu menambahkan huruf Qaf. ”Pakai qalqalah Qubro!”

katanya. “Qo, Qo, Qo!” Tenggorokannya cekok-cekok. “Bukan kaf!. Bukan qalqolah sugro

tapi Qubro!" "Kiamat Sugra itu kecil!, tetapi kiamat Qubra itu kiamat yang besar! Cantik

betul itu bukan cantik tapi: CantiQ! Pake Qo! CantiQ! CantiQ!”

Riang tak mengerti, tapi, terserah dialah! Lantas, mengapa Riang masih berpikir

tentang wanita yang ada di Dr. Nurlaila? Ia tak memahaminya. Melihat Eva, wanita yang ada

di depannya, bayangan wanita yang pernah ditemui di Dr. Nurlaila tiba-tiba melintas.

Taryan kembali dari kamar mandi. Ada endemik ganja di pondokan ini. Anak-anak

yang baru bangun ikut tertawa. Ada yang edarkan jamur tahi sapi di ruangan ini. Eva

memperlihatkan gusinya, Bentar tergelak sampai lehernya hampir keseleo, sementara

sebatang bulu di hidung Riang, putus, tak sanggup menahan gempa tektonik diseluruh

anggota tubuhnya.

Taryan memohon belas kasihan. Perutnya membutuhkan perhatian lebih dari sekedar

tawa. Ia pun tak bisa marah. Masih untung di jahili buang air di kali, bagaimana jika disuruh

menggali tanah.

Tawa pun bubar ketika masing-masing orang memisahkan diri agar tak tertular

Bentar keluar dari kamarnya setelah berhasil mengendalikan diri. Ia melihat Taryan yang

tengah menyeruput teh dan menyobek surabi pemberian Eva di meja. Untuk sementara

Bentar tidak mau melihat wajah Taryan. Ia mengalihkannya pada anak-anak.

“Nggak mandi dulu?” Tanya Bentar.

“Tanggung.” seorang anak mewakili jawaban teman yang lainnya.

” Ayo! Biar seger, cuci muka!”

Anak-anak menuruti perkataan Bentar. Mereka masuk ke dalam kamar mandi. Bentar

memandang jauh ke luar halaman. Menghirup oksigen perlahan. Setelah merasa yakin

mampu mengendalikan dirinya, Bentar duduk di ruang tengah, mengajak Riang dan Taryan

berbincang.

Anak-anak yang disuruhnya cuci muka, keluar dari pintu belakang, lalu berkaca pada

sebuah jendela besar.

”Berangkat dulu Kang!”

Bentar keluar, mewanti-wanti.

“Nggak saya mah, tapi kalo si Agus, nggak tau Kang!” Seorang anak membela diri.

171

Agus meninju temannya,

“Teu Kang! Nteu dedeuieun deui. Tidak Kang, tidak lagi."

Bentar tersenyum. “Kalau kalian ngelem yang rugi bukan akan, tapi kalian!”

"Dunia akherat nya Kang?!" Agus nyeletuk.

Bentar tertawa. Ketiga anak berjalan, saling tendang. Agus ditendang teman yang

menuduhnya. Yang menuduh tendang yang satunya. Mereka pergi.

Riang dan Taryan pernah mengalami hal itu. Mereka mengetahui bagaimana berada

di jalanan saat melihat kekasaran orang dewasa mempengaruhi anak-anak kecil seusia

mereka.

Riang terkejut. Ia membiarkan bentar berbicara.

"Tak ada yang tanggung jawab. Anak-anak itu masih terlalu kecil!”

"Tanggung jawab orang tua?" Tanya Taryan.

"Pemerintah, orangtua, keluarga mereka."

“Pernah dengar pepatah singa tidak mungkin terkam anaknya, apalagi manusia?”

tanya Bentar.

Riang dan Taryan menyimak.

”Kadang di dunia nyata ini, pepatah tak berlaku. Anak-anak itu lari dari orang tuanya.

Mereka takut pulang. Takut dipukuli tanpa sebab.” Bentar memegang kuping cangkir tehnya.

”Kamu suka ngelem? Mau ceritakan tentang dirimu Yang?”

Riang terkejut. Tidak! Bukan karena perkataan Bentar, melainkan karena lelaki yang

ada di hadapannya masih mengingat namanya. Riang tidak tahu, Bentar mengetahui dirinya

lebih dalam dari yang ia sangka.

"Yang?" Bentar membangunkan Riang.

Untuk apa Riang menceritakan dirinya? Atas kepentingan apa? Riang malas cerita

namun ia butuh pertolongan Bentar. Jika ada yang ingin di dapat maka ada yang harus

dilepaskan, maka dirangkumlah cerita mengenai hal-hal yang tak perlu disembunyikan. Tak

lupa Riang mengenalkan Taryan untuk melanjutkan cerita. Selesai bercerita, terbukalah

penerimaan yang memang Riang dan Taryan harapkan.

“Kalian bisa tinggal di pondokkan,” sahut Bentar. "Tak perlu bayar iuran! Aku hanya

ingin kalian baik-baik di sini."

Itu artinya Riang dan Taryan dilarang macam-macam.

"Kalau Kalian buat satu kali macam saja, aku bisa maafkan. Kalau diulangi, kalian

harus tahu diri. Faham konsekuensinya.” Bentar mencari jeda, ” ... sampai saat ini aku tidak

pernah mengusir satu orang pun dari pondokan... jadi kalian harus paham konsekuensinya.”

172

”Berbuat macam-macam itu apa?” tanya Riang.

Bentar tertawa, karena lupa menjelaskan.

Syarat ’jangan macam-macam’ itu bukan sesuatu yang memberatkan. Bentar hanya

mensyaratkan: mereka tidak mabuk dan membuat onar di dalam pondokan. Persyaratan itu

ingatkan Riang pada Bos Besar alias Big Bos, dan inti dari semua syarat yang dikemukakan

Bentar, sebenarnya –bagi Riang dan Taryan—merupakan syarat tanpa syarat, bagaimana

tidak, selama ini kedua orang itu tidak pernah menghabiskan umurnya dengan melakukan

kegiatan ’macam-macam’. Kalau pun pernah, itu pun berarti jarang. Tak ada yang berat.

Persyaratan yang bentar kemukakan mereka anggap seringan kapas guling dan bantal.

Sejak saat itulah, sejak diperbolehkannya mereka menetap, hidup mereka terasa

berjalan singkat, karena sebenarnya, pondokan hanyalah sebuah jembatan. Jembatan yang

meriah.

173

JEMBATAN INI

Berada di sebuah tempat, tanpa memiliki penghasilan, tanpa miliki sesuatu untuk

dibarter atau ditukar adalah sifat parasit yang berusaha Riang jauhi. Ia tidak berdiam diri.

Riang tidak mau jadi manusia yang kerjanya hanya makan, buang air, main dan melamun. Ia

punya harga diri tinggi. Teramat tinggi, tak tersentuh.

Selama menjalani hidupnya di pondokan bersama Taryan, ia membantu apa yang bisa

dibantu: memapas rumput, mengikuti piket membersihkan lantai, membenahi atap yang

bocor, membantu Eva beli sayur atau belanja untuk pondokan. Di samping itu, tentu, Riang

belajar mengamen yang benar, mengamen tidak asal mengeluarkan bunyi sembarang.

”Keluarkan dari mulutmu, lidahmu, pita suaramu!” Bentar menuntun. ”Jika suaramu

tidak bagus, tidak sama dengan kunci dan nada, yaknilah, sumber suaramu itu bukan berasal

dari mulut tapi dari tembolok! Kau harus bedakan suaramu dengan suara ayam!” ketus

Bentar pada Riang.

Di belakang pondokan terdapat sanggar yang dihubungkan jembatan bambu --yang

pernah Taryan jadikan pijakan buang air besar--, di sanalah Riang belajar padukan nada dan

suara bersama macam orang yang kadang pergi laksana kelabang, kadang kembali, kadang

menetap sekian lama lalu hilang begitu saja. Di sanalah Riang ditempa. Di sebuah sanggar

yang mirip tempat penampungan. Sebuah sanggar yang cukup luas untuk dijadikan tempat

bagi anak anak untuk koprol dan berguling, atau jika perlu, bisa dijadikan tempat senam bagi

ibu-ibu PKK.

Sanggar itu di kelilingi tempat duduk sederhana terbuat dari batang kelapa. Setiap

malam minggu orang-orang berbondong menyaksikan pentas seni dan pembacaan puisi.

Menyaksikan orang-orang multi talenta membawa ’paku’, memaku penduduk, memaku

pengunjung hingga membuat mereka terpaku di batang-batang kelapa. Yang tidak kebagian

tempat merelakan dirinya bersila seperti anak kecil yang keranjingan mendapat kisah dan

musik yang menakjubkan.

Di sini Riang berkenalan dengan musisi jalanan yang keahliannya membuat Riang

174

tercengang. Musisi yang kemahirannya melolong dan uikkan gitar, meggempur perkusi dan

menggesek biola membuat Riang iri, menjadikannya merasa tercampak bukan karena sakit

campak. Tidak. Biar orang desa, orang tuanya Riang mengetahui manfaat imuniasi. Ia merasa

tercampak karena skill nya yang tak ada setai kuku dari keahlian mereka.

Riang sukai benar alat musik yang disebutkan terakhir. Biola. Alat mungil yang

gesekannya membuat perasaan Riang memuncak. Suara yang keluar seakan menjelma

menghubungkan antar waktu. Gesekannya menjadi knop pembuka sebuah tempat yang jauh-

jauh hari Riang tinggalkan. Lengkingannya menggambarkan erangan keluarga besar Riang

saat terpanggang disapu awan panas Merapi. Gesekan biola dewa itu tak hanya membawa

Riang pada kesedihan. Gesekan yang syahdu membuatnya dialiri kesegaran dan ketenangan.

Seandainya energi yang dikeluarkan biola adalah makanan nyata yang terbuat dari materi

yang sama seperti masakan ibunya, lidah Riang tentu akan menjulur, menangkapi ’makanan’

seperti lidah cecak saat menangkap lalat hijau. Hap hap hap! Demikianlah. Iri positif

kembangkan keinginan dan keahlian Riang. Iri positif mendorong Riang untuk menguasai

alat musik yang menjadi alat utama sumber penghasilannya.

Riang tak hanya selalu mengikuti Bentar mengamen dengan suara seadanya. Riang

tak mau sampai di situ. Ia ingin terus berubah, ia hampir mati dan sekarat berusaha hingga

orang-orang mampu menikmati lagu yang ia bawakan. Itulah mengapa, kemampuannya yang

berkembang dari hari ke hari membuat uang dikantung Riang semakin banyak, hingga

sebagian uangnya dirasa cukup untuk ia belikan gitar yang Bentar tawarkan. Riang mencicil

hingga gitar itu jadi miliknya.

Lain dengan Riang, lain pula dengan Taryan. Karena tidak memiliki kemampuan

dasar di bidang seni, Bentar berpikir keras untuk mencari jalan pada saat Taryan mengeluhka

mata pencahariannya (mengemis). Melalui kenalannya, Bentar mendapat pemecahan. Taryan

diberi kesempatan berkerja sebagai pembersih water closed sebuah perguruan tinggi.

”Aku ndak punya KTP!” Sahut Taryan mengaku.

”Yan,” Bentar bersikap kebapakan, ”kalau keinginanmu bersumber dari keinginan

memuliakan diri, biar diriku yang kau jadikan jaminan! Tidak perlu KTP-KTP an!” Tanpa

hitam di atas putih, tanpa lem dan materai, hanya bermodal kepercayaan yang andalannya

adalah kejujuran, Taryan pun berkerjalah.

Penerimaan itu membuat Taryan bangga. Ia berteriak bahagia saat hari pertamanya

tiba. Bagai mesin yang sudah lama tidak dinyalakan, ia begitu bersemangat. Taryan meminta

Riang mencukur rambutnya yang tak pernah dicukur semenjak mangkat dari kampungnya.

Ia terlihat rapi jali. Taryan begitu tinggi berdiri di atas altocumulus, ia demikian gembira

175

hingga terus bersiul-siul di dalam kamar mandi. Di hadapan cermin, rambutnya ia polesi

Brisk. Tubuhnya ia semproti minyak colongan yang biasa Eva gunakan sebagai pewangi

ruangan, dan setelah penampilan serta performanya dirasa tak ada bandingannya, beberapa

butir debu jatuh dari para-para disenggol tokek kecil. Debu itu melayang, masuk menggelitik

hidung Taryan. ”Hua hua huatsyi! Hua hua huatsyi!” Muka Taryan yang merupakan

pencapaian paripurna sekota Bandung hari itu, kembali pengok seperti sedia kala. Mandinya

jadi tak berguna. Ah, bagaimana pun keadaannya, Taryan tetap ceria baik saat pergi atau pun

baliknya. Aha!

Hidup seperti inilah yang membuat waktu terasa berjalan singkat bagi Riang dan

Taryan. Hidup yang singkat adalah hidup yang dipenuhi makna. Hidup penuh makna adalah

kehidupan dimana orang yang menjalaninya tidak merasa bahwa waktu berjalan apa adanya.

Bumi berputar sama cepatnya dengan aktivitas mereka. Benar, waktu tidaklah berubah. Yang

berubah hanyalah pemaknaan manusia terhadap kejadian yang ada di hadapannya. Semakin

manusia bahagia, semakin cepat pula keberlangsungan hidupnya.

Riang dan Taryan merasakan itu karena kebahagiaan merupakan bagian dari hidup

mereka di pondokan. Berada di pondokan seperti berada di sebuah universitas alam, berada

di sebuah institusi non formal yang memberi kebebasan dengan pembatasan yang luas.

Pondokan bukan saja merupakan tempat berteduh. Pondokan adalah tempat dimana pasangan

Eva dan Bentar berbagi dengan sesamanya. Mereka dan sahabat lainnya mengajarkan banyak

orang keahlian merajut, memasak, menghitung, mengaji, memainkan alat musik dan --sedikit

demi sedikit berusaha—memahamkan bahwa ‘bentuk’ dunia bisa diubah andai manusia mau

berusaha.

Di pondokan, mereka yang berkecimpung dan mengkecimpungkan diri di dalamnya,

tidak di fokuskan untuk menghadapi masa depan material, meski secara tidak langsung yang

dipelajari dalam pondokan mendukung usaha kearah sana. Fokus utama pembelajaran di

pondokan itu adalah pembentukan manusia yang mau bertanggung jawab terhadap diri dan

pilihannya. Menjadi manusia yang eksis! Ujar Iqbal dan kalangan philosof of reason lainnya

macam Kierkegard, Tolstoi dan Nietzche. Menjadi manusia ayam jago! ujar Bentar

menambahkan. Menjadi manusia yang memiliki taji untuk berhadapan dengan kerasanya

kehidupan! Untuk memperjuangkan hidup hingga batasan akhirnya!

Inilah pondokan revolusioner tanpa senjata. Inilah pondokan pendobrak. Pondokan

yang diisi oleh kolektivisme yang memuja penuh pada semangat persamaan, egalitarian. Di

sinilah guru dalam artian formal dinihilkan. Guru yang berkecap-kecap di depan kelas yang

menjadikan muridnya adukan semen di perabukan. Guru yang menuntut penghambaan

176

muridnya untuk patuh, dihadiahi kentut di pondokan ini. Mereka diajarkan untuk berdiri satu

derajat.

“Tak ada hierarki yang batasi manusia! Aku hanyalah pencari mutiara. Pencari

mutiara yang tersemat di dalam dalam hati, di dalam akal budi, dan itu ada di setiap diri

manusia yang kutemui. Termasuk di dalam diri kalian semua!” ujar Bentar saat seseorang

sematkan pujian.

Seseorang acungkan tangan ”Hierarki itu apa?”

”Hierarki itu tingkatan ...”

Dan beberapa orang mendapat perbendaharaan kata-kata baru.

”Ya .. ketiadaan hierarki, ketiadaan tingkatan di pondokan ini, di tempat kita duduk

bersama ini akan membentuk kita untuk percaya terhadap diri. Hierarki dalam pengajaran

akan timbulkan hamba, timbulkan ketidak beranian bertanggung jawab!”

Mata Bentar berkeliling, ”Mungkin, kita memang berbeda dari segi pemahaman.

Berbeda adalah wajar, asal perbedaan itu tidak mensahkan manusia untuk membuat

tingkatan! Bagiku guru adalah kita semua! Guru adalah kehidupan sehari-hari, adalah

pengalaman mengenai keberadaan kita di tengah semesta!”

Banyak yang mengerti, banyak pula yang tidak mengerti perkataan Bentar. Kalau

sudah begitu kesabaran untuk menjelaskan pun dipraktikkan.

”Kehidupan sehari-hari, pengalaman yang ada di dalamnya adalah guru! Semua hal

adalah guru, tak peduli bernyawa atau tidak! Tidak dipertimbangkan apakah yang

menyampaikannya masih kecil atau sudah berkepala tiga, atau bahkan medusa,” Bentar

melirik. Eva tertawa, menyadari penggunaan medusa akan membuat orang-orang tambah tak

mengerti.

Bentar tak usai di situ, ia memulai start untuk mempraktikkan, dan membuktikan

bahwa semua hal adalah guru.

”Anak yang ada di sampingmu itu guru kita...” Bentar melirik ke arah Taryan.

”Anak kecil itu!?! Anak sekecil itu!?” Taryan menunjuk Agus yang mulai berlagak,

berdiri dan membusungkan dada. Tingkah laku Agus membuat orang di sekitar tertawa.

Taryan seperti tak mau percaya.

”Anak yang menurutmu kecil itu guru kita!”

Orang-orang yang sudah lama tinggal di pondokkan, memahami apa yang akan

terjadi. Mereka tersenyum. Mereka melakukan konspirasi. "Bogem dia Gus!” Bentar

meninju tangannya sendiri.

Agus menerima bendera perang yang diserahkan padanya. Agus menjentikkan

177

matanya. ”Kang Taryan!” Agus mulai genit, ”kang Taryan!”

Orang yang dipanggil membentak. ”Apa!?”

”Kang Taryan, katanya, kata kang Riang, kang Taryan kaya?”

Taryan melirik ke arah Riang. Riang tidak mengaku! Ia menggelengkan kepala

seakan mengatakan ’apa untungnya aku bilang ke Agus kalau Situ kaya!?"

Taryan alihkan pandangan. Ia terbayang Ahmad dan Radia. Ia terbayang puluhan

ekor kambing, lahan pertanian yang makmur, pondasi rumah yang terbuat dari beton. Ia

melayang pada ingatan kala ia gemar membeli tiket bioskop menggunakan sepeda motor

yang kecepatannya kalahkan kuda paling gagah di Magelang untuk boyong Radia dan

Ahmad menonton film-film Onky Alexander atau Kevin Kostner, Van Dame, dan Michael

Dudikov. Taryan terbayang. Sebelum kenangan itu hambai dirinya, sayup-sayup ia

mendengar Agus mengulang,

”Kang Taryan, kang Taryan kaya!”

Semua yang ada di pondokan diam menanti respon.

”Tau dari mana aku kaya?!” Taryan melecehkan.

”Tau! Agus tahu kalau kang Taryan kaya!”

”Apa buktinya kalau aku kaya?” Taryan mulai terkena racun yang membuat

kepalanya besar. Ia mulai kegeeran. ”Memangnya Agus pernah ke Magelang?”

Agus memberi jeda...

”Agus tidak pernah ke rumah Akang, tapi Agus tau kalau Akang kaya! Akang kaya ...

karna Akang punya mata untuk lihat matahari. Akang kaya ... karna Akang punya kuping

untuk dengar suara burung setiap pagi! Akang punya kaki untuk berjalan, punya tangan

untuk bekerja ... Akang kaya! Beneran ... Akang kaya!”

Mendengar perkataan itu Taryan diam. Ia ambruk di hadapan Agus. Agus menjewer

kupingnya. O’, tidak, tidak! Agus juga menjewer kuping temannya yang tak habis pikir,

duduk melongo. Dia menjewer kuping Riang. Taryan lekas memeluk Agus. Saat anak itu

berteriak. ”Kang ... eungaaaaaaaap! Kang sesak nafas!” Pelukan Taryan melonggar.

Drama itu merogoh hati dan pikiran Riang.

”Siapa yang ajari?!”

Bentar tersenyum. ”Tidak ada!” sahutnya. ”Sejak datang kesini ia sudah punya

konsep kekayaan seperti itu!”

”Inikah yang dimaksud semua orang adalah guru?!” tanya Riang.

”Bukan hanya semua orang!" Bentar meluruskan. ”Semua hal, semua bisa dijadikan

sarana belajar! Belajar setiap hari! Belajar setiap saat!”

178

”Tidak capai belajar terus?! Apa tidak sulit?!”

”Ya sulit, ya cape!"

"Lantas bagaimana?"

Untuk pertahankan kesadaran memang sulit! Aku sendiri kadang lupa, hingga aku

tidak mendapatkan pembelajaran setiap hari, tapi setidaknya aku berusaha, setidaknya aku

terus mencari intisari hidup yang aku jalani.”

”Intisari nekad!” Agus berteriak.

”Husy!” Eva menggebahnya. Teman-teman Agus menjitakinya. Semua orang yang

berkumpul di pondokan tertawa.

”Semua orang yang melakukan pembelajaran itu sama,” lanjut Bentar, ”Ya,

semuanya sama,

sama,

sama,” kata itu diulang karena penting.

“Karenanya... karena manusia sama, maka tidak patut kita merendahkan diri dan

rendahkan orang lain! Kita harus belajar sederajat …belajar berdiri di antara manusia dengan

perasaan sama dan berbangga sebagai manusia yang setara!”

Itulah periode kebangkitan. Kata-kata itu, ucapan itu menimbulkan efek yang luar

biasa. Inilah lingkungan terbaik. Lingkungan yang ajarkan Riang untuk kembali lakukan

pencarian. Bukan! Bukan pencarian terhadap Kardi dan Sekarmadji, melainkan pencarian

terhadap diri sendiri. Pencarian terhadap kemanusiaan. Pencarian terhadap kekhasan dan

keunikan karakter diri manusia, dirinya! Pencarian terhadap tujuan hidupnya! Tak heran,

keberadaan Riang di pondokan ingatkan dia akan pertanyaan yang dulu senantiasa

mengganggunya. Riang benar-benar ingin mengetahui, mengapa tiba-tiba ia berada di dunia?

Pertanyaan itu datang mengorek kesadaran Riang.

Akan kemana aku setelah mati?....

Mau apa aku ini?

Riang kembali didatangi kegelisahan.

Batinnya terus meringsek pemikiran.

Adakah di balik perjalanan ini, aku menemukan akhir?

Apakah kehidupan ini seperti halnya pemberentian akhir bus DAMRI?

Seperti apakah pemberhentian akhir?

Apakah pangkalan akhir adalah kematian,

lalu apa yang akan terjadi?

179

Diri ini hilang begitu saja?

Sesederhana itukah hidup?

Ataukah setelah mati aku akan berjalan di padang abadi?

Meyakini keberadaan Jannah, seperti yang orang Islam yakini?

Nirwana?

Surga bagi orang Kristen?

Mau dibawa kemana hidupku ini?

Adakah Neraka?

Adakah Surga?

Adakah hari pembalasan?

Riang ingin mencari sebuah kunci. Ia tidak ingin dirasuki kegelisahan terus.

Keimanan yang pernah ia dapat terguncang-guncang! Keimanannya bagai kumpulan kartu

remi yang dijajarkan, menunggu runtuh hanya dengan satu tiupan!

Riang tak beriman.

Tidak! Ia masih beriman.

Beriman, bahwa dirinya tak beriman.

Riang kembali didatangi kekalutan. Tubuhnya mengigil, memikirkan pertanyaan yang

mulai mecereweti lagi hidupnya.

O’ berat. O’ beban. O’ sesal.

Andai ia bisa memilih, ia lebih memilih, seperti yang dibisikkan seorang filsuf

Delphi, Riang sungguh memilih untuk tidak dilahiran. Ia tidak ingin dibebani. Ia memilih

untuk ditiadakan semenjak awal. Selagi muasal. Namun, berandai-andai dan menyesal

sungguh tak miliki guna, karena Riang sudah berada di dunia. Sesal bukan jawaban baginya.

Penyesalan adalah kepengecutan yang tak bersandar pada relita bahwa: "AKU TELAH

ADA!" Jawaban bagi kegelisahan adalah pencarian! Usaha Riang untuk temukan jawaban:

“mengapa aku ada?” merupakan keberanian yang tidak disadari banyak orang!

180

SUP NOT BOMB

Kesibukan tak bisa dijadikan alasan bagi manusia untuk mengesampingkan

pertanyaan-pertanyaan terkait eksistensi diri Riang. Kesibukan adalah perbuatan pragmatis

yang mutlak dilakukan manusia untuk pemenuhan kebutuhan jasadinya. Tetapi pertanyaan

mengenai eksistensi, mengenai darimana aku berasal, akan kemana setelah aku mati dan mau

di bawa kemana hidup ini aku bawa, harus senantiasa dicari, harus senantiasa ditemukan.

Jika dengan alasan sibuk, manusia menyiakan 18, 25 atau bahkan 80 tahun usianya tanpa

menyempatkan diri merenung, mencari jawaban atas teka-teki yang mau tak mau harus

dijawab rasanya manusia itu gila. Dan Riang memilih untuk tidak menjadi gila. Bahkan

sebelum organ reproduksinya matang, Riang sudah memulai perjalanan dirinya ke dalam. Ia

menelusuri jiwa dan pikirannya. Ia jatuh bangun dalam melakukan penelusuran ini. Jatuh

oleh kebingungan, terbangun oleh kegelisahan. Terus menerus seperti itu. Jatuh oleh

kebingungan, bangun kembali untuk melakukan pencarian. Kedua sahabat yang pernah ia

temani di Merbabu: Pepei dan Fidel lah yang membangunkan dirinya setelah lama terjatuh,

hampir tak bangun. Kedatangan mereka menjadikan keran pertanyaan yang ada di kepalanya

mulai menetes kembali, kemudian menderas, memancar-mancar, lalu kehidupan berjalan dan

pertanyaan itu di sumbat kesibukan di jalanan saat ia dan Taryan mengambil peran setengah

gembel.

Kesibukan pertahankan diri, hanya pertahankan diri, hampir menyumbat

perenungannya. Namun kini di pondokan, waktu luang dan minimnya kekhawatiran akan

nafkah kehidupan membuat Riang kembali pikirkan eksistensi mengapa adanya. Hal ini tidak

sungguh-sungguh berlangsung sewaktu ia masih berada di jalan. Meski pikiran, meski

pertanyaan itu sempat melintas, namun dengan mudahnya pertanyaan itu ditindas. Kebutuhan

akan makan, pekerjaan, jaminan akan hidup keesokan harinya adalah bos yang

memerintahkan Riang untuk meminggirkan pertanyaan yang ada di alam pikirannya.

Berada di Pondokan menjadikan semuanya berbeda. Suplai makanan terus mengalir.

”Dari mana asalnya?” Di beri marsupilami? Tidak mungkin. Marsupilami hanya memberi

makan anaknya. Marsupilami tidak bisa memberi makan manusia. Manusialah yang bisa

memberi makan marsupilami. Bolak balik memikirkan marsupilami tentu tidak menjawab

pertanyaan dan Sup Not Bombs (SNB) yang mengawali jawabannya.

Promotor SNB lah yang mengalirkan kebutuhan pokok, di samping –memang--,

pengurus pondokan memiliki kantung cadangan untuk menghidupi orang-orang yang

181

kebetulan tinggal di sana. Pagi itu, Riang dan Taryan melihat langsung bagaimana SNB

dilaksanakan.

Suara motor trail terdengar dari kejauhan. Seiring berhentinya dua buah mesin motor

di depan pondokan, kukuruyuk ayam menelusup hingga ke sanggar. Dua orang lelaki yang

seminggu lalu Riang saksikan perseteruannya, mengangkat ayam-ayam yang terikat. Satu

karung wortel, kentang, kol, berapa ikat seledri, serta daun bawang dijatuhkan dari pangkuan.

”Bruk!” Suara itu menjadi peresmian kegiatan yang akan dilakukan. Kuali-kuali besar di

keluarkan dari pondokan. Eva mengambil baskom untuk mencuci sayuran. Bentar menguliti

kentang dan wortel. Riang dan Taryan membantunya. Mereka semua bersuka cita atas apa

yang akan mereka kerjakan.

Sup Not Bombs adalah duplikasi dari gerakan internasional yang lebih memilih

menyumbangkan makanan ketimbang perang. Gerakan yang dinamakan Food Not Bombs

(FNB) ini lahir di Cambridge, Massachusetts pada tahun 1980 oleh aktivis anti nuklir. Di

kemudian hari gerakan ini memeriahkan dunia bersama gerakan anti globalisasi yang

setidaknya tercatat di awali oleh gerakan Laskar Pelangi, Green Peace.

FNB merupakan gerakan otonom yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Menjadi salah satu jaringan yang manivestonyanya selalu di bacakan ibarat mantra yang

melingkupi sanggar saat kegiatan SNB di adakan.

Food Not Bombs!

Karena makanan adalah hak semua orang,

bukan hak istimewa segelintir orang saja!

Karena ada cukup makanan untuk semua orang d imana-mana!

Karena kekurangan bahan makanan pokok adalah bohong!

Karena disaat kita lapar atau kedinginan,

kita punya hak untuk mendapatkan,

apa yang kita inginkan dengan cara meminta, mengamen, atau menempati

bangunan-bangunan kosong!

Karena kapitalisme menjadikan makanan sebagai sumber keuntungan,

bukan sebagai sumber nutrisi!

Karena makanan tumbuh pada tanaman!

Karena kita butuh lingkungan bukan kendali!

Karena kita butuh rumah bukan penjara!

182

Karena kita butuh makanan bukan bom!

Sepertinya kekanak-kanakkan saat kita terus menerus mendengar manivesto tersebut

dibacakan seolah mulut pesertanya berasal dari alat perekam, namun mereka yang datang ke

sanggar bersungguh-sungguh untuk itu. Lagipula bagaimana bisa mengejek mereka jika

Bentar mengucapkan perkataan seperti ini:

”Sup not Bomb bukanlah kegiatan amal! Bukan sekedar kegiatan yang memberi

makanan tanpa menjelaskan mengapa seseorang tidak bisa makan! Bukan kegiatan amal

yang membuat seseorang tertidur dan kenyang, bukan kegiatan yang rentan dimanfaatkan

Kapitalisme untuk melanggengkan kekuasaannya!”

”Kegiatan kami tidak untuk diikuti orang-orang yang moto hidupnya, kalau lapar

galak tapi kalau kenyang bego! Kami berbeda! Kolektif ini berdiri agar kita semakin keras

berteriak! Makanan yang kita konsumsi harus menjadi suplai energi! Teriakan yang semula

lemah harus menjelma menjadi makian! Dari makian menjelma menjadi kebencian! Menjadi

kemarahan yang akan membakar bangunan besar Kapitalisme! Menghancurkan kontrol

kapitalisme terhadap makanan!”

SNB justru mengesankan sebaliknya. Mengesankan pembangkangan yang dibentuk

oleh individu-individu otonom, yang memahami bahwa hidup harus senantiasa di rayakan

dan semua manusia berhak untuk melakukannya.

ADALAH WALUH, seorang vegan, vegetarian radikal, anggota Food Not Bombs,

yang memberi inspirasi mengenai pendirian dupilikat gerakan internasional tersebut. Lelaki

yang tengah menurunkan sayuran dari motor trailnya itu, membenci jika binatang

diperlakuan semena-mena. Binatang memiliki hak yang sama untuk hidup seperti manusia.

Bagaimana mungkin seorang vegan berkawan dengan Fred, lelaki yang memanggul

beberapa ekor ayam di sampingnya. Lelaki yang dalam kegiatan tersebut memilih tugas

sebagai tukang menyembelih ayam?

Perkawanan bukan tanpa cobaan. Perkawanan mereka diawali perseteruan. Di pantiki

sebuah pertengkaran logika yang mengendurkan sikap keduanya.

“Kalau anak-anak vegan konsisten dengan hak hidup, seharusnya vegan tidak makan

sayur. Kalau binatang memiliki hak hidup yang sama dengan manusia, kenapa sayur tidak

memiliki hak hidup pula. Kenapa Kau memakan kol, membuat wortel menjadi jus, kacang

kedelai kau tenggelamkan di baskom, kemudian kau peras hingga cairan tubuhnya mengalir

hanya untuk dijadikan susu sebagai pengganti susu sapi?” tanya Fred menguji.

183

Waluh tak siap dengan pertanyaan itu. Seperti petualang yang terperangah

menemukan peninggalan purbakala sebuah pemikiran, seperti itulah yang Waluh rasakan.

”Untuk menjamin hak hidup kenapa kita tidak membuat kesepakatan tidak makan

saja?” desak Fred.

”Lantas apa yang manusia makan?" Tanya Waluh. "Bagaimana manusia bisa

bertahan?"

”Kita bukan bicara apa yang manusia makan! Kita bicarakan hak hidup seperti yang

sering kau propagandakan! Jika bicara hak hidup, makan sajalah batu, namun sebelumnya

kau harus berpikir panjang lebih dulu, apakah batu memiliki jiwa atau tidak. Jangan-jangan

batu memilikinya.”

”Jangan berandai-andai!”

”Siapa yang lebih dulu?! Kau sendiri dulu yang berandai-andai bahwa binatang pun

memohon belas kasihan ketika disembelih untuk dijadikan makanan! Kau yang bertanya

bagaimana jadinya jika alien menangkap manusia di gurun Nevada kemudian manusia

mengui-uik sebelum disembelih meminta belas kasihan! Kau bilang Alien tak mengerti

permohonan belas kasih manusia, dan hal itu sama saja dengan rengekan kambing saat akan

disembelih. Sebenarnya binatang mengajak manusia berkomunikasi sebelum disembelih.

Kita hanya tidak mengerti bahasa mereka, bukankah seperti itu yang Kau katakan?”

”Tapi!”

”Kalau berandai-andai tak usahlah makan sayur! Kasihan sayuran!”

Waluh tersentak dengan pembalikan pengandaian dari binatang menuju sayuran. Ia

berusaha melawan ego di dalam dirinya. Ia bimbang dan mulai berpikir tentang apa yang ia

bicarakan pada orang-orang selama ini. Ia mulai berpikir untuk berdamai membiarkan

keyakinan orang namun ia tetap melaksanakan keyakinannya sediri.

Bimbang tertanam, lantas bertunas menjadi aktivitas. Waluh berubah tetapi ia tetap

tidak mau mentolerir kebengisan terhadap binatang. Dia memang tak memiliki devinisi dan

standarisasi kebengisan. Makna kebengisan dalam pemikirannya bukan undang-undang yang

bisa diketatkan aturannya, akan tetapi kebengisan itu bisa ia rasakan ketika tingkah laku Fred

terhadap binatang sudah sangat keterlaluan.

Beberapa waktu setelah ucapan Fred menetralkan agresifitasnya sebagai seorang

vegan, Waluh melihat anak-anak pondokan mengelilingi Fred. Dilihatnya, lelaki itu

mengambil salah satu ayam jantan, lalu menekan dengkul ayam tersebut dan meminta Agus

untuk memegang lehernya. Darah mengalir! Ayam jantan menggelepar, lehernya lunglai. Ia

yang disembelih, Fred lemparkan ke dalam kebun singkong.

184

Agus dan teman-temannya jongkok. Sesuatu yang mengerikan terjadi! Ayam jantan

yang sebelumnya menggelepar berdiri dengan kepala yang hampir putus! Ayam jantan

engambil ancang ancang. Ia yang mati berlari, berkeliling tak tentu arah karena matanya

tidak bisa digunakan. Ayam itu terbang membentur tembok setelah menerobos semak-semak.

Sepuluh menit berlalu! Ayam jantan yang malang tak juga mati! Fred tertawa. Ketiga

anak pondokkan tidak. Mereka ketakutan. Agus tak tahan. Ia menangkap ayam yang malang,

mencengkram badannya dan memasukan ayam itu ke dalam bak sampah yang baru saja di

bakar Eva.

”Kenapa dimasukan ke sana?!” Fred tertawa. ”Manggangnya bukan sekarang, nanti

malam!”

Ayam malang jumpalitan di udara. Ia kehabisan tenaga. Terbakar. ”Kasian Kang!”

Fred berlari menyelamatkan makanannya. Lantas, Waluh bergerak cepat menyaingi

laju kaki Fred. Pukulan mendarat di kening. Kaki Fred terbongkar dari tanah. Ia terjerembab

oleh sebuah pukulan yang mantap.

“Anjing!” Waluh meraung. ”Matikan saja! Tapi jangan Kau permainkan mahluk

bernyawa!" Diambilnya kerah Fred. ”Setan! Ini yang kau ajarkan pada anak pondokan!”

Fred terangkat. Waluh memakukan tatapannya. ”Jangan menyiksa binatang apa pun

di hadapanku!” gertaknya.

”Menyiksa apa?!”

”Kau tahu itu! Kau menyiksa mahluk bernyawa!”

Keributan membuat pemilik pondokan keluar. Bentar melihat ayam jantan

menggelepar dan terbakar sia-sia di dalam bak sampah. Ia melihat ada amarah yang meluap

dan tumpah! Ia melerai.

Fred hanya ingin memperlihatkan pada anak-anak, bahwa menekan dengkul ayam

sebelum menyembelihnya, entah bagaimana akan membuat ayam yang disembelih mampu

bertahan lama sebelum ayam itu mati. Di luar perkiraannya, kejadian itu berubah

menyeramkan saat Agus memasukan si ayam ke dalam bak sampah yang terbakar.

Fred berusaha memahami apa yang dilakukan Waluh, namun ia tetap tak bisa

menerima, bagaimana mungkin darah seekor ayam demikian berharga ketimbang darah yang

meleleh di hidungnya?

Kekesalan Fred hampir menyerupai dendam. Ia me-meti-es-kan kekesalannya untuk

ia buka pada waktu yang tidak tepat. Ia tak sadar jika serangannya di kemudian hari ibarat

membuka kotak pandora, ibarat mengundang taufan Katrina.

Pelampiasan kekesalan Fred pada Waluh terjadi pada saat Waluh tengah memaparkan

185

apa yang ia yakini benar mengenai tindakan kembali ke alam yang meliputi penggunaan

pupuk menggunakan kompos atau kotoran hewan di hadapan petani di sekitar pondokan dan

sanggar.

Saat Waluh mulai bicara mengenai penyelamatan burung, sebagai imbas penggunaan

pupuk alami, pada momentum itulah Fred menyela.

“Bicara menyelamatkan bumi? Bukannya kerjaanmu cuma ngasi makan burung?!

Yang penting itu bukan menyelamatkan burung tapi menyelamatkan manusia. Manusia

adalah pusatnya semesta!”

Fred sebenarnya faham sindiran tajamnya salah alamat, namun emosi yang

ditabungnya sejak perselisihannya dengan Waluh, membuat dia kehilangan kontrol.

Sindirannya merambah pada sesuatu yang seharusnya tak di rambah. Waluh tak

mengomentari, ia membiarkan Bentar untuk menjawabnya. Ia memilih untuk diam.

Usai forum, saat Riang tengah malas-malasan karena kecapaian, taufan itu pun

datang.

“Kalau kau bilang organisasi penyelamatan burung tak ada kerjaan, kalau Kau bilang

mengurusi burung tidak ada manfaatya, kalau Kau anggap kami naif karena Kau tidak

melihat organisasi penyelamatan burung mengurusi gepeng, mematikan koruptor yang buat

negara ini bangkrut, sudah seharusnya Kau berpikir sistematis! Coba berpikir sistemik,

anjing!”

”Setiap orang punya bidang garapannya masing-masing. Semua orang punya peran.

Semua orang seharusnya saling menghargai. Petakanlah masalah, jadilah burung di langit,

terbang melihat keterkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya!”

”Bergabung dengan organisasi pecinta burung, memberi pakan, menjaga burung—

burung langka, mengembangbiakan untuk dilepas ke hutan tidak sesederhana seperti yang

Kau liat! Berpikirlah sistematis, anjing! Burung habitatnya hutan! Belantara saat ini

digergaji, dijadikan penyokong industri furnitur raksasa. Di tebangi untuk digantikan dengan

rumah peristirahatan, villa, lapangan golf beratus hektar! Membela hak burung sama dengan

menggalang isu untuk membongkar” rayap hutan” dan tikus birokrasi! Bersama isu

perlindungan burung kami menyatakan perang terhadap illegal loging, pembabatan hutan

yang bukan hanya sebabkan burung kehilangan tempat tinggal, tapi manusia pun juga! Suku-

suku pedalaman yang terancam punah! Bersama isu penyelamatan burung terkait

penggalangan suara untuk melawan pemerintah yang tidak ambil pelajaran dan bebal dalam

permasalahan ini! Bersama isu penyelamatan burung, terkait juga isu penangkalan banjir!”

”Kau bisa lihat apa yang terjadi jika hutan dibabat, ruang hijau didesak mall dan

186

pabrik! Banjir dibilang pemerintah karena sampah! Padahal hutan mereka bunuh! Liat

Punclut! Lihat Dago Pakar! Malapetaka semua! Banjir di sukarno Hatta karena tak ada

hutan! Tak ada tempat hidup untuk burung! Malapetaka untuk burung, malapetaka untuk

manusia! Berpikir sistematis, anjing!”

Cobalah hitung makian anjing yang ditujukan Waluh untuk Fred. Kotak pandora itu

telah terbuka. Badai Katrina itu telah datang terbangkan pepohonan, jamban tempat Taryan

buang air di tengah malam, membuat Riang bergidik. Tak ada perlawanan yang dilakukan

oleh Fred. Bersamaan datangnya badai yang mengerikan itu, terbang pula kesombongan di

hati Fred.

Adakalanya kekerasan hati perlu dibenturkan dengan kekerasan bicara yang

mengandung kekayaan argumentasi dan logika. Tidak semua manusia sama. Kekerasan bisa

menjadi obat yang mujarab bagi manusia berbeda. Salah satu manusia itu adalah Fred.

Saat diam dipergilirkan, pikiran Fred bermetamorfosa menjadi ayakan logika.

Perenungan datang. Ia memilah barang berharga miliknya yang dilemparkan badai ke udara.

Ia berlari ke sana kemari, memunguti harta yang pernah dipendamnya: nuraninya.

Orang seperti inilah yang bisa diharapkan berpihak pada kebenaran. Fred bertanggung jawab

atas apa yang diperbuatnya. Ia fair merubah persepsi, dan tindakkannya. Dan tahukah apa

yang terjadi dengan Riang?

Ia mengigil! Ada sesuatu yang mempesonanya. Waktu seolah break dance, jalan

patah dan merangkak di pikirannya. Ada kekaguman yang membuat wajahnya yang semula

tegang menjadi tenang. Ada sesuatu yang Riang pulungi dari keporak-porandaan yang

dilihatnya.

Riang menambah kepekaannya, memperkaya afeksinya, mengubah alam bawah

sadarnya dan mempercepat respon dua untuk melakukan tindakan di sebuah taman yang

dinamakan orang Jurrasic Park. Sore menjadi saksi saat Riang memergoki empat orang

anak SD mengendap-endap, mendekati tempatnya berada. Mereka menunjuk-nunjuk,

memandang ke atas pohon.

Riang mengikuti arah pandang keempat anak itu. Ia melihat seekor burung kuning

kecil bertengger di salah satu dahannya. Ia melihat dua di antara anak SD itu memungut

kerikil. Mereka mengluarkan ketapel. Karet merah melar. Riang segera mengambil pasir

yang ada di dekat jalan. Di lemparkannya pasir itu di antara rimbun dedaunan. Burung kecil

terkejut. Dilentingkannya dahan kecil menjadi alas penerbangan. Burung melesat cepat.

“Yaaaaaaaah!” Anak-anak itu melihat ke arah Riang. Mereka kecewa.

Riang meminta maaf. Ia lantas, berkisah tentang tentang burung-burung kecil di

187

Merbabu. Ia menyederhanakan kata, bagaimana burung-burung akan memiliki guna lebih

bagi alam apabila dibiarkan terbang bebas di angkasa. Dijelaskannya pula keterkaitan dengan

hutan dan bunga, bagaimana dengan bantuan paruh dan kakinya, putik sari tersebar dan

perkawinan antar bunga terjadi. Dengan bantuan burung dunia kita menjadi indah, menjadi

berwarna. ”Burung kecil itu salah satunya,” jelas Riang.

”Yang membuat dunia dipenuhi bunga?” tanya seorang anak.

Riang mengangguk. Si anak yang bertanya mengucapkan terima kasih. Tak berapa

lama berselang ketiga anak lainnya serempak mengucapkan kata yang sama.

”Terima kasih om!”

Aduh! Aduh! Mendengarnya hidung Riang meler-meler. Aduh aduh wajahnya

menjadi merah. Empat anak itu mengerjap-erjap. Kekecewaan mereka punah hanya dalam

sekejap.

PRIIIIT! Suara peluit terdengar. Kini saatnya Riang bertugas. Ia harus memastikan

agar wortel, daging, kentang, dan bahan-bahan lain yang sedang berenang di dalam sup

matang merata. Tak lama Riang berteriak, ”Sup mataaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!”

Sup yang masih mendidih di dalam kuali besar, diangkut ke atas pick up. Kompor

minyak tanah dimasukan bersama dengan tikar, terpal dan meja. Pukul enam lewat beberapa

menit, belasan orang bersuka cita. Mobil bergerak. Dua motor trail milik Fred dan Waluh

berjalan mesra, beriringan.

APLATUN ITU BINATANG APA?

Biar tak punya kaki, langkah SNB untuk yang kesekian kalinya berjalan lancar.

Panci-panci yang pada ujungnya menempel lemak kini melompong. Air panas di dalam

jerigen menjadi dingin dan menggenang. Sayur-sayur yang berceceran, dan remah-remah

nasi dibersihkan. Pick up yang diparkir di belakang monumen menggerung. SNB bulan ini

selesai.

Riang menjinjing kantung plastik transparan sementara Taryan membawa sebungkus

nasi dalam genggaman. Mereka tak membawa kantung hitam untuk menyamarkan pemberian

yang ingin mereka persembahkan pada Aplatun. Mereka berjalan setelah menemukan cukup

alasan.

188

Dari kejauhan warung Aplatun kini tampak terlihat segar. Catnya yang mengelotok

ditimpa cahaya kuning matahari, berpendar menyilaukan. Warung itu tampak sehat dan

segar.

”Ada sesuatu yang berubah...” Kata-kata Riang lebih dimaksudkan bukan secara fisik,

melainkan secara spiritual. Secara spiritual warung Aplatun berubah. Ada sesuatu yang

membuatnya bersinar.

Taryan tak mengerti. Ia hanya mengerti bahwa kenyataannya warung itu memang

telah berubah.

”Ton.... Ton!?” Tanpa basa-basi dan lupa mengucapkan salam, kedua orang itu

berteriak riuh rendah.

Tak ada jawaban, seorang wanita terlihat tergopoh-gopoh berlari dari pinggir jalan.

Wanita itu membenahi rambut yang menyempil dari kerudungnya.

”Aplatun ada?” Riang dan Taryan curiga.

Wanita itu memperhatikan wajah Riang dan Taryan. Ia mengingat ciri-ciri wajah

seperti yang pernah diceritakan. Ia berpikir lambat. Lima detik kemudian jarum ingatan yang

sedari tadi dicari dalam tumpukan jerami pikiran ditemukan. ”Mas Riang?” jempolnya

menunjuk. Lengan bajunya bergeser Pergelangan tangannya terlihat putih, bersih.

Riang dan Taryan belum bisa menerima kenyataan jika di warung Aplatun terdapat

seorang wanita berwajah sopan dan mengembirakan. Mereka kebingungan.

”Bang Aplatun selalu membicarakan kalian,” wanita itu menjelaskan. Air panas

dituang. Keretak gelas tipis terdengar. Bubuk hitam dibubuhkan ke dalamnya. Harum

mendatangi hidung Riang dan Taryan.

”Mas Masnya sudah lama tidak datang ke warung ini?” Wanita itu menuntut. ”Bang

Aplatun selalu menunggu setiap malam. Bang Aplatun selalu bilang, di Bandung cuma kalian

temannya.”

Riang dan Taryan tidak menjawab.

”Maaf ... teteh jangan marah,” ujar Riang.

”Marah untuk apa?”

”Teteh siapanya Aplatun?”

Wanita itu tesenyum. ”Menurut Mas Mas, saya siapanya bang Ap?”.

Riang berharap dia adiknya, tapi mulutnya malah menjawab, ”Jangan-jangan

istrinya?”

Wanita itu tersenyum anggun. Jawaban itu mengambang. Wanita itu masih tampak

bagaikan misteri.

189

”Beberapa minggu yang lalu, bang Ap, muter-muter di terminal, mencari Mas-

Masnya. Ia bertemu pedagang asongan yang bilang kalau kalian sudah tidak di Kebun

Kelapa. Bang Aplatun pikir, Mas Mas nya sudah kembali, ternyata masih di sini. Bang Ap

pasti gembira. Alhamdulillah!”

”Sekarang orang yang akan bergembira ada di mana?” Tanya Riang tertawa.

”Jualan kaus di belakang gedung sate. Pulangnya sehabis Dzuhur. Mas Masnya

tunggu di sini saja.”

Wanita itu menyajikan kopi. Dibenahinya mangkuk dan gelas yang membuat warung

berantakan. Ia meminta izin ke belakang.

Riang dan Taryan mencecap, merasakan kopi itu istimewa, padahal, sesungguhnya

ramuan yang dibuat istri Aplatun tak ada beda. Riang dan Taryan lalu membicarakan hal

yang tak berguna. Agak lama di warung Aplatun membuat dua orang itu merasa bosan.

”Mba?” Riang merogoh uang.

Wanita itu masuk tergopoh-gopoh. Riang dan Taryan melihat sekilas keanehan pada

perutnya. Ada kehidupan di dalam rahim dia. Riang dan Taryan saling menukar pandang.

Taryan tiba-tiba mengucapkan, ”amin!”

”Amin?” istri Aplatun mencari jawaban.

Taryan yang reflek mengatakan mengucap amin, mengelak. ”Ya amin!” jawabnya tak

nyambung. Lalu mereka pun berpamitan dan menitipkan pesan. Aplatun tak usah khawarir,

tempat tinggal Riang dan Taryan, kini jauh baik ketimbang tempat tinggalnya dulu. Mereka

lalu memberikan sup sisa SNB, meletakan uang pembayaran.

Istri Aplatun tidak menolak sup dan nasi yang diberikan, namun ia menolak bayaran

atas apa yang ia ikhlaskan.

Dengan itu tak ada lagi hal unik yang bisa diceritakan tentang Aplatun dan istrinya.

Riang dan Taryan tak ingin mengganggu kehidupan mereka. Riang mengingat bagaimana

Aplatun memberinya golok dan garpu. Ia tak tega melihat kebahagiaan wanita itu sebab

Riang berfirasat yang bukan-bukan. Ia takut jika sewaktu-waktu keberadaan dirinya dan

Taryan akan menyeret Aplatun kembali menuju kehidupan masa lalunya. Riang kasihan pada

keluarga dan bakal anak mereka. Mereka hanya akan datang ke tempat itu, sekali-kali untuk

silaturahmi.

Beberapa meter setelah keluar dari warung, suara muntah terdengar.

”Amin!” Taryan mengusap wajahnya.

”Lho, amin apa?”

“Mudah-mudahan jadi anak yang soleh.”

190

”Amin sebelumnya apa?”

”Sama.”

Riang tersenyum. Ia membetulkan celana.

”Yan?”

”Ya?”

”Kalau seandainya istri Aplatun pawang binatang, yang dipawanginya binatang apa?”

Karena pola pikir Taryan seperti lensa konvergen, jawabannya tentu yang biasa.

Taryab menjawab macam binatang yang sering diinderanya. Riang lain, ia berpikir jauh,

membanding-bandingkan Aplatun dengan ikan tenggiri, babi rusa, kecebong, hingga ikan

paus. Riang tak menemukan banyak persamaan antara Aplatun dengan binatang-binatang

yang dipikirkannya, hingga akhirnya ia memutuskan jawaban yang paling benar. Baginya,

Aplatun adalah manusia.

Ia dan Taryan pun manusia.

Binatang yang sama.

Mamalia yang radik!

BUKAN ORANG BATAK

Kehidupan berjalan apa adanya. Taryan merasa nyaman. Di kampus tempatnya

bekerja, secara rutin atasan dia menularkan harga diri raja diraja pada manusia siapa pun

juga.

”Asal kau profesional, pekerjaan apa pun tak perlu menjadikanmu seperti dubuk yang

hobi mengangguk-angguk, menunduk-nunduk!”

Di antara anak buahnya ada yang tak mengetahui dubuk itu apa, tetapi si atasan tetap

mengoceh mengenai harga diri yang tak ketulungan.

”Manusia itu sendiri yang tentukan harga dirinya.” Atasan Riang yang nyentrik ini

benar-benar mempraktikkan apa yang ia omongkan. Si Junaedi, yang bertanggung jawab

terhadap kebersihan langit pernah ia pergoki bersikap seperti dubuk.

”Jangan kayak gitu dong,” kata atasan Taryan menggunakan logat Jakarta. ”Kamu itu

kerja! Bukan jadi budak! Tunduk-tunduk di hadapan orang udah nggak zaman. Kalau gitu di

191

keraton atau di depan kiai mu, masih mungkin, tapi kamu di sini berkerja bukan untuk

menjadi budak!

Junaedi diam, atasan melanjutkan. ”Kita nyari makan. Mereka yang kamu tunduk-

tunduki itu nggak pernah kasi kita makan. Jangan malu! Jangan pernah merendahkan diri!

Hargai diri!” katanya. ”Kalau kamu sendiri nggak ngehargain, siapa yang mau ngehargain?!”

Dibangunkannya harga diri si Junaedi hingga bangunan harga dirinya yang reot

berubah menjadi bangunan kepercayaan yang gagah. Kepercayaan diri si pekerja bertambah,

berlipat-lipat. Perlahan-lahan badan teman-teman Taryan tegap jika berhadapan dengan

orang, dan mungkin juga jika mereka harus dihadapkan pada orang keraton atau pun kiai,

karena yang dimaksud ’kiai dan keraton’ oleh atasannya, sebenarnya hanya sekedar pemanis

kata-kata belaka. Situasi kerja seperti ini memiliki pengaruh besar terhadap keselamatan

mental Taryan.

Situasi yang khas itu memang merupakan sebuah situasi yang tidak tiba-tiba terjadi.

Jaringan pertemanan, solidaritas satu pemikiran membentangkan hubungan yang luas antara

pondokkan dengan sahabat-sahabat di luar. Salah satunya adalah atasan Taryan. Jaringan itu

terajut kuat, menyebar hingga batas-batas yang sukar untuk diperkirakan.

Di luar itu, perkerjaan dan kehidupan Taryan yang mulai ’mapan’ di pondokkan,

akhirnya mendorong dia untuk menyurati Radia. Taryan tak lagi memiliki halangan

psikologis untuk memberitahu kabar dirinya kepada sang istri. Ia bahkan menjelaskan

panjang lebar bagaimana perjalananannya yang merana sebelum sampai di pondokkan.

Surat-surat menyurat dengan kertas cap Harvest atau kertas-kertas warna norak berisi rayuan

gombal di sertai bubuhan cap listik membombardir pondokan.

Bagi Riang surat Radia, mengisyaratkan kepulangan Taryan. Ia berusaha menjauhkan

kekhawatiran itu dari pikirannya. Sejak saat itu ia mulai memupuk kesiapannya, berjuang

untuk melepaskan Taryan jika saatnya tiba.

Semua orang butuh bahagia. Setiap manusia punya alur dan cara hidup yang berbeda.

Riang percaya. Ia berjuang untuk itu, maka untuk melempangkan jalan sahabatnya, sekalipun

Riang tidak pernah mengungkit kembali perihal pembalasan dendam yang pernah

menjadikan Aplatun kalap.

Berbagai kejadian silih berganti mendatangi, seolah tidak memiliki keterkaitan

dengan tujuan awal keberangkatan Riang. Apa yang Riang inginkan belum kesampaian.

Ihwal pembalasan dendam atas kematian Pepei, ihwal kesokheroikannya Riang pun terpaksa

diredam, namun, hal ini tidak untuk selamanya berlangsung, karena sebuah kejadian lain

menyambungkannya kembali di saat libur hari keagamaan datang.

192

SAAT ITU TAK ADA YANG MEMULAI hari dengan cara tak wajar, kecuali

pertanyaan seorang bapak berumur lima puluh tahunan yang diarahkan pada Bentar.

“Aya teu Kang, pernah ada tidak Kang, orang yang pernah kemasukan Allah?”

Mendengar pertanyaan itu semua orang hampir mengeluarkan liur, tertawa.

Bentar tak bisa menjawabnya. Tak ada yang bisa menjawabnya. Pertanyaan itu

mengarungi kekosongan. Si Bapak ikut tertawa. Ia yang bertanya sebenarnya tidak benar-

benar ingin menemukan jawaban. Dia hanya ingin meramaikan. Dia merasa puas jika orang-

orang disekelilingnya tertawa. Di dalam dirinya tidak ada guncangan pemikiran. Tidak ada

yang menggoyahkan keimanan. Pertanyaan itu berlalu begitu saja.

Semula Riang tertarik dengan pertanyaan si Bapak, namun ketertarikannya tersedot

oleh tingkah laku seorang lelaki yang berdiam diri tatkala orang lain tertawa. Lelaki aneh itu

menggunakan topi hijau berlambang perhutani. Topinya dimiringkan, --hingga-- lidah

topinya membuat bayangan hitam yang menyebabkan wajah orang itu tersamarkan.

Sedari awal Riang memperhatikan ia meyudut di pinggiran. Gerak-gerik tubuhnya

mencurigakan. Di kepala Riang menari-nari godaan untuk menuduhnya maling sandal hingga

tukang kutil kutang. Inti dari semua buruk sangka itu, Riang tidak menyukai gerak-gerik

lelaki tersebut. Bagaimana tidak curiga, ketika orang tertawa lelaki itu malah diam. Ketika

orang lain diam, ia malah menambah kadar diamnya. Ketika Waluh mempersilahkan lelaki

itu bicara, ia menunduk, kemudian menyodorkan tangan dan mempersilahkan orang lain

untuk bicara. Kecurigaan Riang bertambah. Setiap Riang menatap matanya, setiap kali pula

lelaki itu menunduk. Mata lelaki itu seolah berlari sprint menjauhi palang papan berbentuk

mata Riang.

Di pertengahan obrolan, Riang melihat orang itu menjalin komunikasi dengan Fred

yang ada di sampingnya. Setiap kali mereka bicara Fred selalu melihat ke arah Riang.

Riang berpikir, mungkin ia kenalan Fred dan Fred seperti berpikir sebaliknya, seperti

halnya dua orang pengantin yang tengah mereka-reka tamu asing yang hadir dalam resepsi

pernikahan mereka.

Riang gelisah. Ia ingin memastikan. Ketika pembicaraan selesai, Riang berusaha

menghampirinya. Aneh! Semakin dekat jarak Riang dengannya, semakin ekstrim lelaki itu

membenamkan wajah menggunakan topi yang ia kenakan. Saat Riang hampir menyentuhnya,

lelaki itu berdiri, lalu mundur beberapa langkah dan berhenti karena tubuhnya membentur

tembok. Lelaki itu segera berbalik arah, berjalan cepat, seolah baru saja bertemu dedemit.

Riang membiarkankannya melangkah hati-hati melewati jembatan. Ia mulai merasa

193

tak nyaman atas perbuatannya.

”Teman?” Fred datang memegang bahu Riang meminta penjelasan.

Mendengar pertanyaan itu, Riang langsung berlari. Ia memanggil. Lelaki itu tak mau

menoleh. Langkahnya dipergegas. Semakin cepat… semakin cepat! Ia berlari kecil. Dari

kejauhan lelaki itu menoleh ke belakang, melihat Riang membuntutinya. Ia menyiapkan

ancang-ancang! Lelaki itu melesat!

“Hei jangan lari… mau kemana?!” Riang mengejar sekuat tenaga sambil berteriak.

Penduduk sekitar sanggar dan beberapa orang yang entah dari mana, menganggap

lelaki itu melakukan kejahatan. Kini ia diuber banyak orang. Waluh ikut berlari. Larinya

cepat. Ia menyusul Riang.

”Berhenti!” Waluh ikut memperingatkan.

Lelaki itu tak mau, ia terus berlari hingga beberapa detik kemudian kausnya berada

dalam cengkraman. Bunyi kaus sobek terdengar dari kejauhan! Lelaki itu terus berusaha

melepaskan diri, terus berusaha berlari, namun kekuatan Waluh menjadikan tenaga dan laju

kakinya tak berarti. Waluh tak melakukan apa pun. Ia tidak memukul atau menendang. Ia

hanya menangkap dan memeluk lelaki itu kuat. Waluh sepenuhnya sadar, tubuh dan

tangannya yang liat adalah penjara bagi siapa pun yang berada di dalamnya. Waluh menjadi

kantung semar dan lelaki itu menjadi lalat.

Gerakan perlawanan menjadi sekedar guncangan yang justru membuat topi terjatuh.

Saat topi lelaki itu lepas, pengalaman pahit tentang diri Riang di rewind. Tanjakan setan,

parang-parang yang berkilauan, berita di radio, pekuburan, ancaman matanya, sahabatnya

yang mati ditusuk berbayang-bayang di benak Riang. Tapi … mengapa lelaki itu merungkut

selemah rumput Mengapa tubuhnya sedemikian kurus. Astaga, matanya nampak cekung,

mukanya tampak ketakutan menawarkan gencatan, memohon perdamaian. Riang sungguh

tak tahu apa yang harus dilakukan hingga orang-orang berdatangan.

Penduduk yang berlari dari sanggar sampai di lokasi kejadian. Beberapa orang

berteriak-teriak menanyakan keberadaan maling, namun setelah mendekat, mereka malah

diam dan menyelinap mundur di balik punggung orang-orang yang datang kemudian.

Beberapa orang balik ke sanggar. Beberapa yang lainnya menyaksikan bagaimana

keberadaan Riang mengintimidasi lelaki yang penduduk ingin gebuki sampai rubuh

berkalang tanah.

Masih berada di kantung semar lelaki itu menyembah Riang. O’ dimana lelaki

brewok yang dulu berkuasa? Dimana kegarangan dirinya? Riang tak sampai hati. Ia mulai

mengasihaninya. Riang melihat siksa yang menjadi deterjen pembilas dosa di matanya.

194

Riang melihat kemurnian lelaki itu. Ia merasakan batin yang meraung-raung dilindas

penyesalan. Ia merasa iba melihat tubuh lelaki itu menyusut/

”Sudah sudah!” bujuk Riang saat melihat lelaki itu mencucurkan air mata.

Tangis lelaki itu tidak juga mau berhenti. Ia malah bersujud. Ia menghamba

sahayakan diri, mengikhlaskan tubuhnya didera hukuman.

“Sudahlah …. Jangan mempermalukan diri mu seperti itu!” Riang mengambil bahu

dan lelaki itu malah menyungkurkan diri, memeluk kakinya.

Melihat peristiwa yang menggoncangkan itu, Waluh beranggapan bahwa lelaki lelaki

yang saat itu telah ia lepaskan, memiliki sangkut paut pribadi dengan Riang. Ia tak mau ikut

campur, padahal, sesungguhnya lelaki itu pernah berurusan dengan dirinya. Waluh tak tahu,

karenanya, ia pun pergi meninggalkan pondokan menggunakan motor trailnya.

Riang membutuhkan ketenangan untuk membicarakan banyak hal dengan lelaki itu.

Ia merasa membutuhkan tempat yang aman dari pendengaran banyak orang. Eva memberi

tempat yang lapang, di sebuah kebun, tepat di belakang podokan. Taryan dibiarkan

mengikutinya. Mereka pun duduk di bangku yang terbuat dari akar tanaman teh.

“Sampeyan bukan orang Batak?” Taryan yang duduk di belakang punggung Riang

tiba-tiba bertanya.

Lelaki itu menunduk. Taryan terus memperhatikan.

“Sampeyan pernah kepruk kepala orang pakai bata?!”

Lelaki itu mengangkat kepala. Ia sering melakukannya, namun di kota ini, yang

pernah melakukan itu hanya temannya.

Taryan meneliti wajah lelaki itu benar-benar. Usai perampasan --dompet yang

sebelumnya Taryan temukan-- terjadi, ia mem-pelat-i wajah orang-orang yang pernah

membuat kepalanya berdarah. Taryan merasa terang. Penglihatannya terasa benderang.

“Sampeyan yang waktu itu ambil uang di dompetku! Sampeyan temannya preman

yang mukul kepalaku! Ayo ngaku!”

Lelaki itu terpojok. “Yang mana?! Preman yang mana?!”

Ada ruang kosong, hanya antara Riang dan Taryan sementara lelaki itu kembali

bergulat di dalam ruangannya sendiri.

“Di kota ini, beberapa bulan lalu, temanmu pernah rampas uang orang! Dan kau ada

di sampingnya.” Riang terinfeksi perkataan Taryan untuk menginterogasinya.

Lelaki itu lemas. Ia mengaku.

Taryan memandangnya. Dilihat tubuh lelaki itu kuyu di-shower-i ketakutan. Lelaki

itu terpecah belah. Ia lunglai tak bisa memaknai keberadaan dirinya. Jiwanya seolah

195

dicerabut paksa oleh tang yang kasat mata. Ia makin merunduk, terus merunduk, melingakar

seperti keong yang bersembunyi di dalam cangkangnya. Lelaki itu meminta ampun, meminta

maaf, meminta penyucian.

Taryan belum pernah mengalami kejadian semacam ini. Ia tersedak, tak mampu, tak

tahu harus melakukan apa. Ia hanya bisa menggelengkan kepala.

Lelaki itu terus berulang-ulang meminta maaf seakan dirinya didesain seperti sebuah

program yang salah copy. Lelaki itu terus meminta maaf, meminta Riang untuk

memasukannya ke dalam purgatory. Ia tak lagi mampu mengingat dosanya di masa lalu.

Ketakutannya membuat dia histeria, menjadikannya bimbang menyerupakan gila.

“Ampuni! Ampuni! Ampuni aku!” lelaki itu mengerang.

Siapa yang tahan dengan erangan itu. Tidak Riang. Tidak pula Taryan, yang segera

memutuskan untuk melupakan benar, sesuatu yang sesungguhnya memang ingin ia lupakan

dan pernah ia sarankan pada Riang. Taryan tidak ingin menuntut pembalasan, ia malah ingin

menyelamatkan. Dosa lelaki itu harus ditimbun.

“Sudahlah…” sebatas itu yang bisa Taryan ucapkan. Rengkuhan pada bahu lelaki

tersebut mewakili seluruh permufakatan untuk memaafkan.

Riang terharu dengan perbuatan Taryan, namun masih ada satu lagi yang

menahannya. Ia harus membereskan persoalan, ada yang masih harus dituntaskan, di

khatamkan.

“Siapa yang membunuh sahabatku?!” tanya Riang.

Lelaki itu mengangkat lehernya. “Bu… bu… bukan aku Mas! Aku hanya

memberitahu!” Ia takut, semakin takut. “Yang melakukan itu bukan aku! ... Aku … aku

hanya memberitahu. Kardi! … Kardi Mas!” Lelaki itu tergeragap. Lututnya lemas. Ia terisak.

Semakin lama, isakannya makin kentara. Ia menangis.

Riang merasa kelu. Lelaki yang kini bersimpuh di hadapannya adalah lelaki yang

sama, yang dulu dipergokinya memancurkan air seninya di sela-sela pepohonan, sambil

berteriak menanyakan Kardi yang tengah mengincar ayam jantannya, si Percik di Thekelan.

Lelaki yang kini terpekur seperti burung yang disiram air panas di hadapannya itu

adalah lelaki berewokan yang menyergapnya saat turun dari Merbabu bersama Fidel dan

Pepei. Lelaki itu Sekarmadji, seorang yang bertampang seram, kejam, tetapi sungguh hatinya

tidak sekeras intan sejak dirinya memungut tas coklat Pepei yang membuatnya bimbang.

Riang merasa digulati perasaan kelu. Ia mendesahkan nafasnya, seolah-olah hari ini

adalah hari terakhir dia menghirup oksigen di dunia. Kebencian Riang kini tak terbagi.

Dendamnya Riang, kini hanya untuk Kardi.

196

Di sela-sela tangisannya Sekarmadji menggapai-gapai. Suaranya terputus.

“Tas mas, … tas…tas…”

Riang ia teringat akan tas Pepei yang dibawa Kardi sewaktu melarikan diri,

menghindari keroyokan penduduk desa Thekelan.

“Tasnya aku simpan di rumah,” jelas Sekarmadji. “Tak ada sesuatu pun di sana

kecuali dua buah buku dan alat tulis. Di dalamnya hanya terdapat uang lima puluh ribu

rupiah. Sungguh …aku tak mengambil apa pun darinya. Sungguh aku tidak berbohong!”

“Untuk sementara,” Sekarmadji membuka dompet,” ini uangnya teman Mas.”

“Tasnya dan isinya menyusul,” tambahnya.

Riang menolak.

Sekarmadji berkaca-kaca,

“Ada yang lebih penting dari sekedar uang dan tas!”

Sekarmadji tak memberi respon. Ia menunduk.

“Mas jangan menyembunyikan! …. di mana Kardi?!”

Wajah Riang panas. Degup jantungnya berubah mendentum seperti meriam setelah

Sekarmadji memberinya informasi. Riang hampir tak percaya. Kardi tak jauh dengan

pondokkan. Riang muskil untuk percaya, ia masih butuh untuk memastikan. “Di terminal

Dago?!”

Berulang untuk memastikan. Dan berulang-ulang pula Sekarmadji mengatakan ‘ya’.

Pembunuhan yang dilakukan Kardi di stasiun Yogyakarta memaksa mereka

menyembunyikan diri. Toto yang meminta Gendon mengutus Sekarmadji dan Kardi untuk

mencederai Pepei tak mengetahui urusan yang sebelumnya terjadi antara Pepei dan Kardi di

kuburan Thekelan. Ia hanya mengetahui bahwa Kardi dan Sekarmadji bisa menjadi anjing

yang buas terhadap orang lain namun berprilaku ramah terhadap manjikan jika mereka

memeliharanya.

Pembunuhan yang dilakukan Kardi merupakan semacam teskes. Apa yang terjadi

melebihi sesuatu yang ia harapkan. Menyadari itu, setelah kejadian Toto segera meminta

Gendon untuk menghubungi rekannya di Bandung,

“Sebelum sampai di Bandung, Kardi lebih dahulu pergi menuju kediamanku …”

Sekarmadji ragu-ragu mengaku. Ia melihat berkeliling, mencari lelaki yang sebelumnya

membekuk setelah mengulati dirinya. Sekarmadji tidak melihat Waluh di sekitar pondokkan,

namun ia memilih untuk tak melanjutkan. Sekarmadji memilih untuk memutuskan

kalimatnya.

Riang tak menangkap keraguan itu. Fokusnya hanya pada Kardi. Ia tak mau tahu

197

siapa yang disebut Gendon dan Toto oleh Sekarmadji.

“O, mas…” Riang menyaksikan Sekarmadji merintih lagi.

“O Apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa ini?!” Sekarmadji menangis.

“Apa yang harus kulakukan?! Aku malu di hadapan Alloh! Aku tak memiliki harga lagi di

hadapan-Nya! Oh, dengan apa aku harus menebus dosaku?! Ya Alloh…”

Riang merasa kasihan, tetapi tangisan dan keluh pertaubatan yang terus berulang itu,

akhirnya membuat Riang risih.

“Mas pulang saja,” bujuk Riang.

Sekarmadji sengguk. Ia tak habis pikir. Apa yang dikatakan Riang keluar dari

prakiraan cuaca pikirannya.

“Tapi … Mas… Oo…”

Riang memotong, sebelum Sekarmadji meneruskan rintihannya.

“Sudahlah… Mas tutupi lembaran lalu! Jalani yang ada di depan, dan Mas haramkan

untuk menengok ke belakang! Mas jangan pernah tenggelam dalam penyesalan! Terus

melaju! Buka lembaran baru!”

“Tapi dosa ini …” Sekarmadji merintih lagi.

Taryan mengehela nafasnya/ “Kalau pun teringat kesalahan, jadikan saja kesalahan

itu sebagai pelajaran, tapi, Mas tetap jangan pernah tenggelam dalam penyesalan! Semua

manusia pasti pernah melakukan dosa! Dan semua manusia diberi waktu untuk memperbaiki

diri! Mas memiliki kesempatan itu…”

”Syarat utamanya dimulai dari satu: mulailah mengampuni diri dan jangan melakukan

perbuatan jahat lagi! Jangan pernah melakukan perbuatan yang pernah Mas timpakan pada

kami ke orang lain!”

Sekarmadji ragu.

Entah bagaimana Riang bisa se-agung itu. Kata-kata Pepei dan Fidel saat Riang

menyesatkan kedua orang itu di Merbabu, membantunya.

“Sebaiknya Mas pulang,” bujuk Riang.

Sekarmadji tak tahu harus berkata apa. Ia berdiri. Menunduk, lalu memeluk pemuda

di hadapannya, rekat. Riang membiarkan pundaknya basah.

Sekarmadji berpamitan. Ia berjalan semakin cepat, semakin cepat. Ia alpa bahwa

tujuannya semula adalah untuk meminta maaf pada orang yang membekuknya sewaktu

melarikan diri dari kejaran Riang. Ia datang untuk mencari Waluh, lelaki yang membuatkan

kandang ayam, membantu menanam sayuran di pekarangan rumah keluarganya. Terkadang

emosi menjadikan seseorang hilang ingatan.

198

Sebelum tubuh Sekarmadji menghilang, ia membalikan badan, mengelap pipi

menggunakan punggung lengannya. “Mas orang baik … terima kasih!”.

Bertepatan dengan teriakan singkat Sekarmadji, Eva keluar membawa segelas susu

yang dikirim Fred untuk pondokkan.

Hilangnya Sekarmadji, tentu membuat wanita itu kecewa.

DUA MINGGU SETELAH MABUK tangisan dan senggukan, buku harian Pepei

sampai di pondokkan. Tas berisi buku catatan perenungan Pepei itulah yang merubah

kehidupan Sekarmadji. Riang tersenyum membacanya. Ia teringat kembali akan kesegaran

udara sewaktu dirinya berhadapan dengan atheis yang santun. Atheis yang sangat baik

padanya --dan Riang yakin, ia baik pula terhadap orang lain.

Riang bersyukur sempat mengenali Pepei, sempat mengenal sesosok lelaki tegar

yang konsisten menjalani keyakinan akan ketidakpercayaan terhadap Tuhan, namun memiliki

kebaikan hati yang berbanding terbalik dengan informasi yang sering disampaikan guru-guru

melalui pendidikan moral di sekolanya.

”Seandainya banyak orang seperti Pepei, tentu bumi ini bakal awet selama-lamanya.”

Riang kembali melontarkan kata-kata yang sama saat bus Yogya menderum hendak

berangkat menuju Thekelan.

Buku harian yang ditulis Pepei --sebelum menjadi atheis--, menggoyang hidup

Sekarmadji hingga ke sendi-sendi. Riang tersenyum kala menyadari seorang atheis mampu

mengantarkan seorang durjana untuk mengingat kematian dan juga mengimani kembali, hari

pembalasan.

Riang menangis.

199

BALAS DENDAM

Ingatan mengenai Kubah

Kartu atm di telan mesin. Antrian memanjang di belakang pintu transparan saat

penyangga sepeda motor Pepei di turunkan. Helm membuat rambut Riang kusut. Pagi tidak

terasa dingin karena tempat itu tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketinggian

Thekelan. Kedua orang itu membersihkan tangan dan kaki dialiran air keran.

Masuk ke dalam, suasana lengan. Ada kedamaian seperti yang biasa ditemukan di

tempat peribadatan. Angin masuk dari bawah tangga, menjadikan ruangan segar, membuat

lantai ruangan besar diseraki orang-orang yang terlelap istirahat. Ada yang memejamkan

mata, ada yang baru saja bangun dan menguap.

Pepei mengajak Riang menuju tengah ruangan. Kubah masjid yang mereka jejak

demikian besar, mungkin sebesar Aya Sophia, sebuah gereja yang dirubah menjadi masjid

akibat pertempuran yang berlangsung lama di Konstantinopel.

“Lihatlah ke atas!” tunjuk Pepei.

Riang duduk. Ia berada di bawah lampu raksasa. Tepat berada di titik tengah, sesuatu

menguasainya. Bukan mistis. Sesuatu yang dapat dirasionalkan, merambati perasaannya.

“Apa pendapatmu?” Pepei berbaring, tersenyum.

“Sukar untuk di katakan, aku merasa … aku merasa kecil...” Kesulitan menjabarkan

lantas membuat Riang diam.

“Kau berada tepat di bawah kubah. Kau merasa kecil, merasa demikian mungil di

bawah lingkaran yang kau pandang. Ada perasaan mengagungkan. Ada keindahan,

ketakjuban, keinginan untuk tenggelam. Kau berhadapan dengan keagungan yang di buat

oleh manusia.”

Riang tak mengerti penuh namun ia membenarkan. Riang takzim.

200

“Akal budi! Seni arsitektur kubah!” Pepei berbisik. Rombongan orang lewat, berhenti

lalub berbaris dua saf, “membuat manusia yang berada di bawahnya merasa kecil. Melebur

bersama semesta keagungan! Bentuk kubah di dalam bangunan-bangunan yang dianggap

suci didesain: untuk mengingatkan manusia bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari alam

semesta dan keagungan yang indah dan tak terbatas! Kubah merupakan lambang

ketertundukan!”

Kedua orang itu melangkah keluar dari bangunan megah tersebut. Burung-burung

mendarat di terpal, menyerbu kacang-kacangan yang jatuh tercecer dari sebuah kantung

kertas yang bocor. Tangga masjid licin oleh tetesan air sisa wudlu. Di sisi belakang yang sepi

dinding masjid terkelupas.

“Keberanian serupa dengan kubah!” ujar Pepei. Ia mengelap kaca motor yang kusam.

“Ketakutan memang alamiah, tetapi jika ketakutan bisa dikemudikan, seorang lelaki bertubuh

kecil bisa menjelma jadi raksasa di hadapan orang yang memiliki kaki, tangan dan tubuh

yang kokoh! Jiwalah yang menjadi penentu keberanian! Kau tak akan bisa menakut-nakuti,

Kau tak akan bisa membuat orang lain segan, Kau tak akan bisa menjadikan lawanmu

berpikir belasan kali, jika jiwamu Kau kerdilkan! Letak keberanian ada di sana.” Jarinya

menunjuk ke arah kepala Taryan.

“Di kepala?”

“Di otakmu! Di akal pikiranmu! Dengannya Kau dapat menundukkan serigala!

Menundukkan macan! Gunakan akalmu!”

Motor oleng ke arah kanan. Satu mesin berputar, menggerakan mesin yang lainnya.

Ratusan kerja mekanik membuat besi beroda itu menjauhi masjid. Nomor serial sebuah

rahasia terbuka. Memori memuatnya. Otak Riang menyimpannya.

KEBERANIAN PASANG DAN SURUT. Keberanian ada di otak manusia.

Kekhawatiran yang datang Riang lemahkan. Keragu-raguan ia tikam. Diingatnya kembali

situasi gerbang kuburan ketika Kardi dan gerombolannya berbalik arah menuju hutan

Merbabu kala api keberanian penduduk Thekelan tumbuh menyatu. Diingatnya kembali

mitos yang ia tebarkan.

Kepalan Riang menggebrak lantai kayu pondokkan yang sepi.

“Akan kuciptakan kubah!” Teriak Riang gegap gempita. Ketika otak memunculkan

eureka dan aha elebernis, segala sesuatu menjadi jernih seperti wahyu yang baru saja turun.

“Kubah?!” Taryan melongo. Dianggapnya Riang kesurupan arwah kuli bangunan.

“Mari menanam!”

201

Terbayang bercocok tanam dalam pikiran Taryan.

“Mari menabur!”

Anak itu gila! Kawannya kemasukan setan kuburan!

Riang kemasukan, tapi bukan kemasukan setan. Di dalam otaknya bergentayangan

informasi. Ingatan silih ganti, bertumbukkan, saling berciuman. Diendapkannya,

diheningkannya. Riang menemukan sistematika mengenai awalan berperang yang jauh

dimulai sebelum era Sun Tzu.

Riang meneliti informasi mengenai Kardi agar pembalasan dendamnya terlaksana

serapih gerakan Janitsar Otsmani mengangkut gelondongan kayu yang diperintahkan Al

Fatih demi menyulap bukit menjadi bahtera untuk menggempur dinding Byzantium. Riang

merahasiakan apa yang akan diperbuat. Ia tak ingin apa yang nanti dilakukan menjadi getah

yang menempel di tubuh penghuni pondok. Ia tak ingin menyusahkan dan membawa

persoalan yang memungkinkan pondokkan diporandakkan.

Semula Riang ingin menanggung semuanya sendiri, tetapi Taryan adalah teman

senasib. Ia bersumpah untuk membantu Riang. Tak ada rencana yang berubah ketika Taryan

membantu. Semua berjalan dengan semestinya. Sembah sujudnya Sekarmadji mereka awali

sebagai modal. Bapak yang bertanya mengenai kerasukan Allah, yang menjadikan gunjingan

sebagai sifat yang menyimpang, menyebarkan informasi kemaha besaran Riang secara

sukarela tanpa perlu diminta, tanpa perlu diberitahukan rencananya apa. Inilah perang urat

syaraf dan pemanfaatan yang dipelajari ahli strategi di Pentagon sana.

Cerita-cerita heroik di bakar. Kemenyannya merebak ke mana-mana. Asap, asap

dusta menelusup ke pelipiran, dibicarakan anak-anak, disebarluaskan si Ongki anaknya kang

Nurdin pada pamannya, ujang Eboh yang tengah mencuci sandal. Ibu-ibu tak luput terkena

godaan. Mulut-mulut saling tular menular hingga sampai di kuping pemuda-pemuda

pengangguran yang punya keahlian orisinil menerbangkan burung merpati. Mulut klub

Japati, klub yang memiliki puluhan burung merpati pos, menerbangkan informasi itu pada

nenek enam orang anak yang makin membuat kisah Riang semakin seru. Makin berkepul-

kepul cerita, makin dahsyat ilmu kibul mengkibul yang diperantarai Hermes bernama

Taryan.

Minggu pertama itu Riang diceritakan menjadi perambah hutan. Gergaji mesin yang

pertama kali ia pergunakan bukan untuk menebang kayu tetapi membelah kaki Jagawana.

Saat peluru Jagawana meleset memecahkan sebongkah batu, Riang mengambil kesempatan.

Suara mengerikan kemudian mendominasi seluruh suara di hutan melebihi auman macan.

Groah! Akh!

202

Riang lari ke perbatasan Malaysia lantas membantu menyelundupkan batu bara. Tak

betah di sana, ia pergi ke Jawa menuju stasiun Senen. Baru beberapa bulan bergaul dengan

lingkungan keras Jakarta, Riang sudah berbuat onar, menjadi penyebab huru-hara antara

orang Batak dan Palembang. Riang yang berada di pihak jemo Palembang menusuk seorang

preman sampai mati; satu di leher; lima di dada. Kerusuhan terjadi selama tiga hari. Polisi

datang bertruk-truk. Riang si pemain baru dalam dunia kriminal--, dinobatkan sebagai

buronan. Ia disebut-sebut dengan nama mat Kater. Sebuah julukan yang berawal dari

perbuatannya menusukkan pisau cutter lalu mematahkan pisaunya di dalam tubuh korban.

Riang kabur, hidupnya dari todong sana-todong sini, hampir perkosa tapi tak tega, ia

hantamkan balok jati pada pinggang tukang sate Madura, ia ambil cincin emas anak orang

China. Ia lakukan apa saja untuk bertahan. Ia terus mengembara hingga dalam perjalanan itu

ia bertemu abah Sharun pensiunan perbaikan tower PLN yang profesinya setinggi ilmu

agamanya.

Babak ke dua, pada minggu selanjutnya, cerita mengenai kekebalan tubuh Riang dari

proyektil dan tusukan mengepul. Mengetahui Riang melakukan tindakan dianggap lebih

buruk dari merampok, Abah Sharun mengingatkan, “Cabut susukmu Riang! Sirik itu

mengerikan!”

Riang ingin taubat sempurna, tetapi ia tak bisa mencabutnya bahkan hingga saat ini.

Ilmu nomor satu yang ditanam tanam di tubuh Riang menjadikan hanya sedikit orang pintar

yang memiliki kemampuan menetralisirnya. Susuk itu tidur di dalam tubuh Riang. Susuk itu

seperti kekuatan yang bersemayan di dalam tubuh mahluk hijau Hulk. Kekuatan

mengerikannya bisa muncul apabila pemiliknya membutuhkan.

Berita tersebar dari mulut ke telinga. Riang berharap preman tanggung di sekeliling

Kardi akan berpikir dua kali jika waktu pembalasan dendam yang direncanakan tiba.

Merdu nyanyian dan tebar kibulan itu memang dirasakan Riang. Saat ia jalan di bibir

gang, beberapa pemuda pengangguran menegurnya sopan.

“Kamana ’Aa? Mau kemana Kak?” sapa mereka. Padahal sebelumnya mereka tidak

pernah begitu. Atau, pas Riang mencari geretan, seseorang pengamen yang juga berprofesi

sebagai preman tiba-tiba menawarkan bantuan. “Bade ngisep ’Aa! Mau merokok Mas?”

Dahsyat! Hebat! Durga! Sensasi kelas tinggi! Riang makin yakin manusia dapat

dipengaruhi informasi. Segala persiapan kemudian diselesaikan. Untuk mempertahankan diri,

tak mungkin Riang meminjam lagi golok Aplatun. Ia mengeluarkan uang membeli pisau di

pasar. Riang berusaha menjauhkan Riang, memisahkan temannya agar Taryan tak mengikuti

langkah terakhir yang akan Riang lakukan.

203

Taryan menolak. Ia tak mau hanya menanti. Ia ingin ikut menikmati benih informasi

yang ia bantu tanam sebelumnya. Taryan menyadari konsekuensinya. Taryan ingin melihat

orang yang pernah mengkepruk kepalanya, meski ia yakin tak bakalan tega membalas

perlakuannya dengan kadar yang sama.

Menjelang H-1 pembalasan tiba, Taryan mendatangi terminal Dago. Ia ingin

mengetahui sejauh mana mitos mengembang. Ia ingin memastikan siapa yang mereka incar.

Juru parkir memberi telunjuk, memberi tahu wajah Kardi. Taryan terkesima. Lelaki yang

menjadi musuh kawannya adalah benar, lelaki yang juga pernah membuat kepalanya ternoda

oleh darah.

Taryan mengenalinya baik. Lelaki itu yang membuat ia tidak dapat pulang menemui

Radia. Lelaki itu yang membuatnya tidak bisa membawakan lagi makanan enak untuk Riang.

Pulang ke pondokkan, kepercayaan diri Taryan menjadi bulat. Tekadnya menjadi kuat!

MALAM JUMAT yang keramat.

Tak satupun, harapan yang mampir di benak Riang dan Taryan selain menyelesaikan

urusan. Mungkin, ini malam terakhir mereka di Bandung dan pondokan. Sebuah surat sudah

mereka persiapkan.Terimakasih dan permintaan maaf terkait kepergian yang tiba-tiba mereka

tumpahkan. Riang dan Taryan memilih menghilang begitu saja. Menjadi ingatan yang tak

ada satu orang pun mampu memastikan realitanya. Biarlah semua berlalu seperti bakaran

kapas, menjadi serat-serat rapuh dalam penghabisan, diterbangkan angin hingga tak tersisa.

Riang dan Taryan memperhatikan sanggar yang menyenangkan. Merekam baik-baik

keadaan serta pegalaman yang membuat sel-sel otak mereka berdenyar lancar. Mata mereka

kuyu, sayu. Mereka menghormati Bentar dan Eva. Mereka mengharap kedua orang itu

sanggup memaafkan apa yang mereka lakukan. Pondokan akan tinggal kenangan.

Melalui jalan potong, mereka menuju terminal, menyibak alang-alang yang runcing

dan melewati beberapa buah pancuran. Jalan raya di depan. Riang dan Taryan tak lagi bicara.

Keadaan menjadi tegang. Tak ada keraguan. Jika kalah, kalahlah! Mati-matilah! Sekarat-

sekaratlah! Riang tak peduli. Ia hanya ingin menuntaskan siksa dan kutukan. Ia berniat habis-

habisan. Dendam tak akan membuatnya bersikap fair. Ada dibelakang atau dihadapan Kardi,

ia akan tetap menikamnya sampai mati! Ia tak musti adil! Jahannam itu yang lebih dulu tidak

fair terhadap Pepei! Ini adalah pembalasan dendam bukan usaha untuk menjadi jagoan dan

pahlawan!

Terminal. Kijang-kijang angkutan kota dan colt berwarna hijau berbaris sesuai

dengan jurusannya. Ada oli yang berceceran, puntung rokok bergeletakan beberapa di

204

antaranya masih terbakar Sampah-sampah terserak meski tongnya baru terisi setengah.

Sebuah truk diparkir di depan sebuah toko beras yang tutup. Dahak truk yang batuk pada

knalpotnya mencemari paru-paru bayi berumur satu bulan yang lengket di pelukan ibunya.

Gambar lelaki berkumis ala Hitler menghias kios mie ayam. Lelaki berkumis itu berkata,

Ojolali! sambil mengacungkan jempol yang lebih besar dari kepalanya. Seorang pengendara

motor masuk ke dalam terminal. Selempang yang terjulur ke bawah dagu menyelimuti mulut

dan hidungnya. Masih banyak orang-orang yang berteriak. Masih ada yang sekedar

menggerutu. Bising mengintervensi.

Riang bertanya pada calo angkutan kemudian menuju ke belakang terminal tempat

Kardi mangkal. Saat kritis itu tiba. Tak ada gelembung ketakutan. Bulatan-bulatan yang

semula menganggu pecah. Jika Edison menemukan lampu dan membuat manusia tak lari lagi

dari monster kegelapan, Riang menemukan bahwa dendam telah membuka terangnya jalan

yang menihilkan rasa takutnya. Ia menemukan penyanggah yang Pepei sampaikan mengenai

Kubah. Ia beriman pada informasi yang Taryan sebarkan.

Di bawah lapak yang siang hari tadi menjadi depot es, beberapa bilah kayu di pasang

menjadi dipan yang nyaman untuk istirahat. Ada bantal yang mengesankan Kardi dan teman-

temannya sudah menganggap terminal ini sebagai tempat kediaman. Lima orang tampak

duduk-duduk dan melemparkan jejaring pandangan. Mereka bisu. Riang memperbaiki

langkahnya. Ia masuk ke dalam bayangan atap. Taryan yang berada di sampingnya gemetar.

Tak ada suara. Hanya tatapan dan aura yang pesing yang mengganggu kenyamanan!

Lima pria bangkit. Kutub negative dan kutub negatif lainnya akan bertumbukan! Resonansi!

Seakan tujuh ekor cupang, pertempuran antar mata terjadi. Ada pertempuran di dalam

kegelapan!

Ke lima orang itu tak terpengaruh! Riang mulai khawatir akan keberhasilan informasi

yang diceritakan Taryan. Dengan kecerdasan yang melintas Taryan menyalakan rokok yang

terselip di mulut Riang. Muka Riang jelas terlihat, benderang, meredup, lalu menghilang.

Wajah Riang terekam dengan baik meski hanya beberapa detik.

Alarm berbunyi! Hoy! inilah mitos itu. Inilah wajah lelaki yang memiliki wajah dua

dimensi. Wajah kegelapan dan cahaya. Seperti Ahura Mazda. Akulah pemberi surga dan

neraka! Akulah api yang menggado laron menjadi lalapan!

“Eh, … tos timana ‘Aa? Dari mana Mas?”

Awalan yang baik.

205

Awalan yang baik. Rasa nyaman tercipta. Pemuda yang tadi bertanya menyalakan

korek api tepat di wajahnya. Pria itu membakar korek api untuk yang kedua kalinya. “Di,

pang meulikeun lilin, belikan lilin!” ujarnya.

Orang yang disuruh, tergopoh membusanakan kakinya yang telanjang menggunakan

sandal. Ia berlari. Meloncat-loncat dan balik lagi membawa sebuah lilin. Dinyalakannya lilin

itu.

Satu persatu senyum berkelap-kelip memperhatikan wajah Riang.

“Bade milarian saha Aa? Mencari siapa Mas?”

“Main,” jawab Riang singkat.

“Meuni kitu si A’a mah. Kalo maen mah mending ka Gasibu, pan keur aya nu

manggung, dangdutan. Suka begitu si Mas ini. Kalau mau main mending ke Gasibu. Kan

sekarang ada yang manggung, dangdutan.”

“Kardi kemana? Aku ada perlu dengannya.” Riang mengalihkan pertanyaan.

“Abdi tos lami teu pependak. Sudah lama nggak ketemu.” Pria itu berpikir. ”Kardi

teh rerencanganana Akang? Kardi temennya Mas?!”

Aha edan! Dia mengetahui nama Riang. Managemen mitos Riang berhasil. Iklan!

Taryan piawai membuat iklan! Ia pantas diikutsertakan dalam tim sukses Pilkada!

”Kardi teh babaturan akang zamen bareto. Zaman aki-aki disunatan pake tambang,

zaman nini-nini di tumpakan kuda, sanes? Sekarmadji itu temennya Mas Riang zaman dulu?

Zaman pas kakek-kakek di sunatin pake tambang, pas nenek-nenek ditunggangi kuda,

bukan?” Pria itu tertawa. Ia berusaha melucu.

Dehidrasi. Ia sadar Riang tak suka. Pria itu memperbaiki sikapnya.

“Kehuelanya ’Aa. (sebentar ya Mas).” Ia bertanya pada pemuda yang tadi

membawakan lilin. Pemuda itu berlari lagi, lalu balik membawa seseorang yang

menyengajakan diri untuk menyampaikan informasi mengenai Kardi.

Saat klimaks datang, tiba-tiba takdir berbelok begitu saja. Kardi hilang dijemput Jeep

berwarna merah. Lelaki sialan itu hilang, menguap! Riang kecewa! Harus sampai kapan ia

berada di kota ini?

Nasib manusia benar-benar tidak dapat diprediksi. Nasib Riang seperti dipimpongkan

entah oleh siapa. Ping di lambungkan … pong … di smash sintir dan menukik. Pong yang

mengecewakan pada waktunya akan menjadi ping kebahagiaan hanya dalam hitungan hari.

KEJUTAN

206

Setelah kepergian mereka ke terminal, Riang dan Taryan kembali kepondokan.

Mereka mengubur rapat apa yang telah mereka lakukan beberapa minggu yang lalu. Kedua

orang itu menganggap penghuni pondokan tak mengetahui apa pun mengenai apa yang

terjadi. Riang dan Taryan tidak mengetahui, keluasan jangkauan indera penghuni pondokan

melebihi perkiraan yang mereka sangka.

DI ATAS PUNUK BUKIT, langlang burung pipit sibakan awan ikal layaknya bulu

domba. Pipit itu membumbung tinggi di jalur bebas tanpa hambatan. Dari angkasa terlihat

bebukitan yang berseni di arsir angin. Sebuah kotak terletak di tengah ruang hijau terbuka.

Jauh dari kotak yang merupakan kompleks pondokan dan sanggar itu seliris garis putih yang

merupakan air terjun tampak berasap.

Pagi ini Riang dan Taryan akan meniti bebukitan, memotong susunan karang,

melewati air terjun tersebut.

Ransum yang dimasukan Riang ke dalam tas terlau banyak. “Tidak usah terlalu

banyak,” tegur Bentar. “Di sana banyak ikan, lagipula malam ini kita pulang.” Bentar

menunjuk pepohonan yang bergerombol.“Di sana hutan kopi! Jangan dulu masuk ke

dalamnya. Tunggu aku tepat di depan hutan kopi itu.”

Taryan masih mencari cacing di tanah gembur dekat sanggar, saat Riang menuruni

tangga bata. Melihat Riang melangkah semakin jauh, ia segera mengikat daun talas

menggunakan serat bambu. Geliat cacing yang berada di dalam lipatan daun membuat

tangannya geli. Taryan berlari. Ia bersiul menikmati pagi yang bergizi.

Kawasan di luar pagar sanggar merupakan kawasan gelap, sebuah wilayah tera

incognita bagi mereka yang tak pernah berjalan jauh semenjak hidup di pondokan. Matahari

membuat pori-pori kedua orang itu hangat. Keringat bermunculan sekecil titik lalu membesar

menjadi jentik-jentik dan menggembung sebesar biji jagung. Saat keringat di pori-pori

meleleh Riang dan Taryan sampai di hutan kopi. Cuit, cuit suara burung dan kepak sayapnya

terdengar jelas. Ada gemericik air. Suaranya tak begitu jauh. Riang istirahat di atas rumput,

sementara Taryan lebih tertarik melihat aliran sungai. Ia menghilang.

Baru saja Riang menguap, sebuah teriakan histeris terdengar “Masya Allah Riang!

Masya Allah!”

Riang melupakan kantuknya. Ia berlari searah dengan tempat menghilangnya Taryan.

Ia melihat aliran sungai. Merah bertebaran di mana-mana. Taryan tergeletak, di dahan pohon.

Riang memungut ranting. “Sialan!” umpatnya. Ia melemparkan ranting di tangannya kuat-

207

kuat. Taryan mengikik. Ia membalasnya lemparan itu menggunakan jambu air yang

menggunduk di dalam genggaman tangannya.

Pohon jambu air berbuah lebat. Buah-buahnya berjatuhan ke tanah. Ada yang busuk,

namun sebagiannya yang masih segar membuat liur menetes. Riang tergoda untuk memanjat.

Ada saja jambu yang jatuh ke sungai setiap Riang menggoyang dahannya. Kedua orang itu

mengantungi dan memakan jambu air liar sampai puas.

Fred tiba lebih dulu di pelipiran hutan kopi. Ia berteriak. Teriakannya disambut Riang

dan Taryan lalu ketiga orang itu menghabiskan hampir sebagian jambu air matang yang

tumbuh di pohon. Setengah jam kemudian, Bentar dan Eva sampai di tepian hutan. Taryan

menyambut mereka dengan tingkah laku monyet, menyorongkan jambu air yang ia masukan

ke dalam serokan.

Memasuki hutan kopi perubahan terasa. Hawa menjadi segar. Hutan kopi yang

mereka masuki adalah refrigerator alami. Pepohonan rapi berjejer. Tak ada biji-bijian yang

menempel di dahannya. Hutan ini mandul, menopause, tak produktif lagi. Pohon kopi terlihat

diselang selingi tepus, semacam obat alami pereda panas. Di tengah jalan, Riang yang berada

di depan rombongan menemukan onggokan arang. Ada tiga batu mengepung kayu yang

sudah mengitam. beberapa jam yang lalu beberapa orang melanjutkan mematikan bakaran,

mematikannya dan meninggalkan hutan kopi. Mereka terus berjalan. Cahaya semakin terang

di depan. Aliran air, --yang semenjak pertengahan hutan menghilang- -, terdengar kembali

suaranya. Rombongan itu keluar dari hutan.

“Ini kebun, bukan hutan!” protes Riang. Wilayah itu hanyalah kebun kopi yang

menyendiri memisahkan diri.

Bentar yang saat itu tengah mencabut tanaman rheumason tak mau ambil pusing.

Didekatkanya akar tanaman pada Eva. Hidung perempuan itu blong. Suara guruh terdengar.

Tebing batu basah. Percikan air tanah merayap di dinding lalu jatuh. Tebing batu itu

ditumbuhi lumut dan didominasi tanaman yang lumrah dijadikan tanaman pagar yang

merambat seperti jenggot. Tanaman itu tampak subur menutupi dinding selebar lima puluh

meter. Tinggi tebing batu yang mereka lewati sulit diprediksi ketinggiannya.

Memasuki jalan batu yang licin berair, beberapa tanaman, merunduk menahan

terpaan air. Pepohonan yang membusuk, tumbang di samping jalan. Tanaman-tanaman tropis

bergoyang-goyang oleh angin deras yang menghempas dari arah selatan. Ada gemuruh dalam

kesunyian, terkadang menjedar-jedar menakutkan.

Keluar dari tebing mereka masuk ke dalam ruangan terbuka. Ada raksasa di tempat

itu. Sebuah air terjun yang megah tampak di hadapan. Air liurnya yang putih, menimpa

208

bebatuan mengukir salah satu batu membentuk cincin-cincin besar. Di hadapan Raksasa

putih mereka istirahat sementara Eva bergerak menaiki puing-puing bebatuan, menyeberangi

aliran air, menuju sebuah pondok kayu. Bentar menyusulnya.

Air terjun itu pasti sudah ada sejak zaman purba, mungkin pernah dijadikan tempat

minum stego dan tyranosaurus, menjadi tempat menggembleng kesaktian pendekar zaman

dulu, dan pernah dibalikan oleh satu pukulan, seperti yang dilakukan Ryu dalam Saint Saiya

yang sering Riang tonton di Yogya saat SMA. Air terjun itu memiliki panorama yang indah.

Akar-akar yang kokoh dan pohon-pohon raksasa yang bergerombol mengelilingi air terju itu

mengesankan penjara alam yang indah. Di beberapa sisi tebing, akar-akar yang kokoh,

menjadikan bebatuan menjadi bongkahan. Di pertengahan tebing kiri, sebuah akar sebesar

diameter phyton tiba-tiba bergerak, menjulur ke bawah. Seorang lelaki turun menggunakan

akarnya. Baju lelaki itu berkibar. Sampai di bawah, lelaki itu masuk ke dalam kolam yang

dingin. Badannya ditempa curahan air dari ketinggian puluhan meter. Riang tahu rasanya

tubuh ditimpa air dari ketinggian belasan meter. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.

Wajahnya serasa ditampar sandal jepit. Riang melihat tubuh lelaki itu memerah, tetapi ia tak

mendengar erang atau goyangan tubuh yang mengesankan lelaki itu kesakitan.

Riang tidak sadar, saat dirinya melihat lelaki itu wajah Fred mendadak berubah.

Lelaki itu mencemari udara di sekitar dengan tatapan yang memangsa. Fred beringsut

perlahan, mencari kesempatan. Suaranya mengalahkan deru air.

“Tahu tidak?” Fred mencolek tulang iga Riang, kasar.

Riang berpaling.

“Eva,” Fred menunjuk, “wanita itu tengah membuat feature mengenai keyakinan

tradisional setempat untuk majalah luar. Kau tahu fokus tema yang diangkat dalam tulisan

Eva?”

Riang tidak tahu.

“Mengenai pertemuan antara Adam dan Hawa.” Fidel mendekatkan mulutnya. “Kau

tahu di mana nenek moyang manusia itu bertemu?”

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Muncul di saat yang tidak tepat. Riang ragu

menjawabnya.

“Di Batu Jajar?” jawab Fred.

Adam bertemu Hawa di Arafah. Guru agama Riang yang mengatakannya.

“Kau tahu, Yang?” Fred menyoodorkan bibirnya yang berubah membentuk corong.

Riang mana tahu.

“Adam turun ke dunia tidak pakai kolor. Tidak pakai cangcut!”

209

Seperti seks, prostitusi, kondom, dan kelamin, maka cangcut dan kolor adalah sebuah

kode. Menyebut salah satu di antaranya akan membukakan kolektif ingatan yang diterpakan

koran kuning yang memiliki kelainan dan Chomsky menyebut cara yang sudah dipraktikan di

Timur Tengah mengenai term terorisme dan radikalisme sebagai American Ideological

system. Riang tidak seideologis itu. Pikirannya Riang merah jambu. Cabul Ideological

system Riang berdering-dering. Ia berkhayal, jika Adam tidak menggunakan cawat

bagaimana dengan Hawa?

“Kau tahu Yang?!” Fred mengejutkannya lagi. “Kolor Adam terbuat dari daun talas!

Adam menggunakan kolor daun talas! Kau tahu?!”

Riang mengikik. Cabul ideological systemnya masih berbunyi. “Gatel dong!”

katanya.

“Ya jelas! Bagian vitalnya Adam beruntusan.” Fred tertawa. “Tahu sendiri, pohon

talas zaman purba sebesar apa. Getahnya ratusan kali lebih gatal ketimbang pohon tales

zaman sekarang!”

Fred sorongkan mulutnya di daun telinga Riang. “Kau tahu siapa yang membuat anu

Adam gatal?”

Dalam permasalahan seperti ini, Riang tangkas. “Daun talas!” katanya bahagia.

“Euhhh!” Fred kecewa. “Kan aku bilang siapa, bukan apa.”

Riang tampak harus kembali ke zaman SMA.

“Kau tahu siapa?!”

“Siapa?!”

“Yang…” Fred berahasia. “Yang buat titit Adam gatal-gatal itu Tuhan! Tuhan

sekalian alam!”

Fred jadi tampak menakutkan. Ia terlihat berubah. Riang melihat giginya yang kuning

bertambah. Kerongkongannya seolah berubah menjadi gua Selarong.

“Lu tahu Allah buat Adam pakai apa?” Fred menteror.

Riang yang masih terkejut, belum bisa menerima perubahan itu menjawab lurus.

“Pake kun fayakun.” Riang teringat kembali guru SMA-nya. Ia belum sanggup menahan

pertanyaan yang datang. Ia masih merasa pertanyaan itu seolah tak pernah ditanyakan. Ia

merasa dirinya bermimpi.

“Salah! Mana ada kun fayakun! Adam diciptakan… ya… ya…” Fred meminta Riang

untuk mendekatinya, “sini…sini Aku bisikin lagi!”

Riang memberikan kupingnya.

“Adam diciptakan dari sperma tuhan! AIR MANI ALLAH!”

210

Riang mental sepuluh meter. Membentur bongkahan batu besar. Ia seakan merasakan

lelaki yang berada di bawah air terjun mencabut akar tumbuhan dan menggunakan akar itu

untuk mencambuknya.

Riang step (lumpuh).

Dalam kondisi itu, Fred mengetahui pada saat seperti itu siapa pun sukar untuk

memulihkan diri. Kesempatan itu ia gunakan benar. Fred mendongeng. “Waktu zaman

Pleistosen dulu, tuhan sendiri. Setelah sekian tahun, ia tak tahan. Tuhan tak bisa menahan

libido-nya! Ia menggesekkan kemaluannya ke batu karang. Digeseknya sampai bucat!

Sperma-Nya muncrat! Dia puas. Tuhan puas! Ia yang maha mengetahui terbang ke angkasa.

Di tengah-tengah perjalanan tuha pulang ke surga, seekor biawak betina datang. Si biawak

ngaso di batu tempat sperma Tuhan keluar. Si biawak tidak sadar, jika sperma tuhan

merangkak mendekati kelaminnya yang mangap-mangap! Biawak itu hamil! Tiba-tiba

………… seperti katanya penciptaan dunia, biawak itu hamil! Dan kau tahu siapa yang ada

di perutnya?! Kau tahu siapa?! …. ADAM Yang!!! Cangkokan sperma tuhan itu berwujud

Adam!” Fred tersenyum mengerikan. Ia mengambil kesimpulan. “Jadi… kalau ada yang

bilang Adam datang dan tercipta tiba-tiba begitu saja turun ke dunia, itu salah! Salah total!

Salah hu akbar! Bagaimana bisa Adam lahir dengan sendirinya?! Ibunya Adam itu

biawak!!!”

Perkataan Fred membuat Riang ingin bunuh diri. Marah dan rasa tidak percaya jika

Fred yang mengatakan itu, membuat Riang tak bisa berbuat apa-apa. Riang menggapai-gapai,

melarikan pandangannya, dari pandangan yang memangsa.

Fred terus tancapkan keraguan di pikiran Riang.

Seperti halnya menghadapi gempuran perkataan Mahdi di Yogyakarta, Riang

menutupi pendengarannya, tapi gempuran itu tidak serta merta hilang. Gempuran itu

membekas di dalam pikiran.

Riang memaksa diri melihat Bentar dan Eva turun dari pondok kayu. Kedua orang itu

mendekati lelaki di bawah air terjun tanpa mengganggu. Bentar membuka payung untuk

menjaga lensa kamera dan Eva menembaknya. Mereka berjalan, menuju samping air terjun,

menaiki akar lalu menggunakan isyarat tangan.

Riang melompat. Ia berjalan tak mempedulikan Fred. Sekitar sepuluh meter

menjalari akar, Eva dan Bentar menghilang di telan bebatuan. Kedua orang itu masuk ke

dalam lorong hijau dihiasi dedaunan dan bunga-bunga terompet berwarna ungu. Lorong yang

cukup panjang dengan kemiringan tigapuluh derajat itu memudahkan seseorang untuk

sampai di atas air terjun raksasa.

211

Riang menyusul Bentar dan Eva, ia tak menyadari jika Taryan meneriakinya. Riang

terus melangkah. Sampai di lorong hijau, menuju ujungnya, lalu berbelok ke kanan dan

menyibak dedaunan yang menutupi jalan. Riang menemukan Bentar dan Eva istirahat di

sebuah kebun teh tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya..

“Di sekitar wilayah ini,” papar Eva, “ada sebuah masyarakat yang mengakulturasikan

kepercayaannya dengan kekuatan alam.” Eva tersenyum pada Riang. “Kau melihat orang

yang turun memanfaatkan akar Yang?”

Riang diam. Ia menyeka wajahnya.

“Butuh tenaga besar untuk turun dari sana. Apalagi jika harus menaikinya,” ujar Eva.

“Lorong yang kita masuki tadi tersambung hingga ke atas air terjun. Di atasnya kita bisa

menemukan sebuah arca yang dililiti akar pohon yang menjulur hingga ke dasar air terjun.

Naik dan turunnya lelaki yang kau lihat di air tejun tadi adalah ritual peribadatan.” Eva

sedikit bingung. Riang tidak memberinya respon.

Bentar melirik. Ia melanjutkan penjelasan. “Masyarakat yang bisa kita temui satu kilo

ke arah tenggara dari tempat ini Yang … masyarakat di sana percaya, di bawah air tejun yang

kita lewati tadi Adam dan Hawa bertemu!”

Dar! Mendengar pertemuan Adam dan Hawa halilintar menyambar! Pantat Riang

hangus! Ke dua orang itu melihat hentakan tubuh Riang. Riang tak bisa ditanya. Ia

mengasingkan dirinya dalam perjalanan. Ia diam. Perjalanan yang panjang jadi tak terasa saat

konsentrasi pecah. Jalan setapak terus menanjak, menanjak dan menanjak hingga akhirnya

Riang menyadari kakinya menginjak hamparan rumput Jepang. Tampak sejajar dengan

matanya rumah mungil bergaya arsitektur Jepang berdiri. Jendela-jendela kotak

mendominasi. Genting rumah terbuat dari rumbia hitam. Tak ada pagar, hanya rumput yang

menandakan batasnya.

Di samping rumah mungil itu, ratusan mentimun mengintip siap petik. Bunga kol

merekah, warnanya hijau tua. Ada kolam air deras pinggir lahannya. Pada muara kolam itu

ditaruh roda besar. Bunyi gerakannya memecah hening. Sebuah kabel disambungkan ke

dalam rumah. Roda itu dijadikan pembangkit liistrik oleh pemiliknya. Rombongan orang dari

pondokan berjalan menuju pintu utama rumah. Tiga buah kursi, satu meja dan sebuah kursi

malas, bergoyang-goyang. Seseorang baru saja duduk di atasnya.

Bentar mengenal baik rumah kayu ini. Ia mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Tiga kali

ia rasakan cukup. Bentar masuk ke dalam dan tidak menemukan seorang pun di sana. Tak

berapa lama kemudian suara gebrakan terdengar. Dua buah keranjang yang dipenuhi wortel

dan beberapa tomat jatuh di atas papan kayu.

212

Seorang berbadan besar menunduk, wajahnya ditutupi caping. Sebilah clurit

tergantung di pinggangnya. Ia mengangkat kepala. Waluh! Lelaki gagah itu terkapar di atas

lantai. Ia lagsung mengambil air pada botol yang terletak di tengah tubuh Taryan dan Eva,

tanpa meminta izin.

“Lelaki itu itu di mana?” Tanpa basa-basi Bentar langsung bertanya padanya.

“Masih di kolam!” jawab Bentar padat.

“Di hulu sungai?”

“Kemarin air meluap. Ada kemungkinan bendungan di hulu roboh. Dia pulang jika

bendungan sudah dibenahi.”

Bentar tersenyum. “Mudah-mudahan anak ini bahagia!”

Anak ini? Siapa yang dimaksud anak ini?

Obrolan berakhir. Maknanya hanya diketahui beberapa orang. Waluh lantas

mengambil beberapa buah wortel. Ia mencucinya di dalam kolam. Eva masuk ke dalam

rumah kayu menyiapkan makanan, sementara Riang dan Taryan mengitari kolam dan

halaman luas yang digunakan Waluh mensupport Sup Not Bomb. Jika tanah ini tidak

menghasilkan ia mendatangkan bahan makanan dari lahan lainnya di Lembang atau

Pangalengan. Waluh mengelola lahan, mengkomersilkan ke swalayan untuk mensubsidi

pasokan bahan makanan dan kegiatan dan membuat jaringan antar pemilik lahan. Jaringan itu

ia gunakan untuk menjamin distribusi makanan dari pemilik lahan bagi yang membutuhkan.

“Satu kilo ke arah tenggara ada lahan seluas tiga hektar milik Sup not Bomb. Jika

kalian jalan lagi sekitar dua kilo kalian akan menemukan lahan pertanian yang luasnya enam

kali lapangan bola.” Tunjuk Bentar pada Taryan dan Riang. “Pemilik lahan itu petani tua

dari Jakarta. Dia pendukung berat SNB. Coba lihat titik cahaya di bawah sana,” Bentar

menunjuk ke arah lembah, “itu cahaya rumah petani miskin yang juga mendermakan hasil

pertanian yang tak seberapa untuk panjangkan usia saudara kita.”

KETIKA SORE JEMBATANI MALAM Riang sudah membenahi denyut nadinya.

Ia menjauhi Fred untuk sementara. Setelah maghrib lewat beberapa orang memasuki rumah.

Tiga orang wanita seusia Eva. Sisanya laki-laki semua.

Beberapa saat kemudian, anggota kumpulan itu bertambah. Seorang lelaki jangkung

datang. Dari perawakan, rambut, wajah, dan bola matanya, jelas ia bukan berasal dari ras

yang sama dengan orang-orang yang berkumpul sebelumnya. Ada sesuatu yang menyatukan

mereka di sini.

213

Lelaki jangkung itu memperkenalkan diri. Dia datang sembunyi-sembunyi,

menggunakan paspor untuk wisata ke Bali, menyeberang dan akhirnya sampai ke tempat ini.

Eve menterjemahkan. Chris berharap kedatangannya bisa diterima.

“Di Inggris saya bertemu dengan Eva. Saya sempat berdiskusi mengenai keadaan

politik Indonesia. Saya di sini bukan ingin ikut campur. Saya datang, hanya ingin berbagi.

Saya yakin Your’e experiences beyond mine, pengalaman kalian jauh melampaui pengalaman

saya. In this spot kita bisa saling memahami, berbincang, mengisi.” Chris diam merumuskan

apa yang hendak ia sampaikan. “Kita sama-sama memahami, saat ini politik Indonesia

tengah memanas. Suasana di negeri ini keruh. Eva bilang, pemerintah akan menindak siapa

pun, yang dianggap berusaha menggulingkan pemerintahan .... maaf… di mana pun saya

berkunjung, aparat pemerintah dunia ketiga selalu menjadi antek kapitalisme global.

Perusahaan transnasional yang dibangun pemilik modal dunia, melakukan kerjasama dengan

pemerintah negara ketiga. Mereka adalah penguasa yang sesungguhnya.”

”Mengatas namakan stabilitas penanaman modal, mereka membuat kebijakan yang

menghantam gerakan-gerakan bawah tanah. Mereka takut pada jaringan-jaringan kecil yang

satu saat nanti akan membesar menjadi rival yang menakutkan. Jaringan-jaringan itu mereka

putus menggunakan cara yang halus hingga represi. Entah sudah berapa ribu anak muda

hilang karenanya…”

“Saya mendengar, saya ikut bersimpati. Kita kehilangan kontak akibat kehilangan

terlalu banyak pemuda-pemuda yang memahami kekuatan informasi. Komunikasi harus

kembali di bangun. Teman-teman di luar berusaha membantu. Di Filipina, Australia,

Singapura, Malaysia, Amerika, mereka mensupport kegiatan yang kalian lakukan. Saya

hanya ingin mengatakan bahwa kalian tidak sendiri saat ini.”

Seseorang menjelaskan keadaan. Bahasa Inggrisnya terpatah-patah.

“Gerakan-gerakan Leninis mencuri start. Organisasi-organisasi underbow mereka

lebih dulu turun. Gerakan-gerakan pembangkangan yang di organisir secara terselubung,

mulai bergerak. Kita mendengar di Garut, di Cianjur selatan, Sukabumi, di Tapos, muncul

demonstrasi-demonstrasi kecil. Mahasiswa-mahasiswa pun, sudah mendesas-desuskan

munculnya revolusi di Jakarta. Mereka percaya, rekayasa sosial berawal dari kerjasama antar

gerakan, yang meski memiliki landasan berbeda tapi untuk saat ini memiliki tujuan yang

sama. Gerakan mahasiswa dan gerakan Marxis memiliki common enemy yang sama:

tumbangkan rezim yang telah lama berkuasa. Apa kita masih harus tinggal diam?”

“Kita tidak akan bergabung dengan mereka!” Tegas yang lainnya.

214

Chris tak mau mendominasi pembicaraan. Ia menyadari, disini, ia tidak datang untuk

menyetir apa yang seharusnya dilakukan. Ia hanya seorang tamu saja. Tak lebih dari itu.

“Untuk saat ini, kita tidak akan bergabung dengan mereka.” Kali ini Waluh yang

bicara.“Kawan-kawan mahasiswa dan gerakan Stalinis belum memiliki dasar yang kuat

untuk menggantikan sistem. Terlalu cepat jika revolusi sistemik terjadi.”

“Jika bersikukuh, yang nanti terjadi, revolusi prematur seperti peristiwa Prambanan.

Revolusi seperti itu mudah dimatikan antek-antek kapitalis. Revolusi terlalu dini akan

tumpas. Pikiran masyarakat belum berpihak secara sadar mendukung revolusi. Mereka hanya

faham kalau mereka disusahkan. Tak lebih dari itu. Masyarakat hanya memamah

propaganda.” Waluh melirik,” bagaiman telaah kolektif anarki di tempatmu?”

“ In England our movement running by methodology of education. Tak ada

propaganda, jika propaganda itu hanya dilakukan sekedar membakar amarah. Rakyat akan

bersimpati dan tidak akan balik menyerang, suatu saat kami yakin masyarakat akan bergerak

atas pemahaman, bukan propaganda. Proses pendidikan harus dijalankan. Kami menganggap

satu-satunya cara berubah adalah pendidikan. Revolusi dan propaganda, cara pintas

pendidikan jalanan, tidak akan menggantikan apa pun selain kekacauan. Kami tidak

bergabung dengan gerakan seperti itu. Kami anarki pasifis.”

“Tak ada yang dikhwatirkan,” seseorang menambahkan, “lagipula yang hanya

mereka siapkan hanya atap bukan bangunan berpikir yang kokoh. Mereka masih lemah. Tak

ada yang perlu ditakutkan. Kekuatan mereka bahkan belum samai kekuatan, kala mereka

menyetir Soekarno.”

“Kita tidak akan bergabung dengan mereka kan?” Seorang wanita memastikan.

“Untuk apa?” Waluh mengambil ancang-ancang, “hanya sekedar untuk memamerkan

dan berkata bahwa kita bergerak? Tidak, kita tidak akan tercebur dalam kolam kejatuhan

yang sama. Dulu, dalam Revolusi Jerman 1918, ide-ide anti-negara telah diletakkan ke dalam

praktiknya. Berbagai anarkosindikalisme didirikan dan dideklarasikan, bahwa mereka

independen dan memiliki otonomi penuh. Tapi kemudian otonomi ini dihancurkan aliansi

pemerintah komunis bersama milisi-milisi fasis yang pro negara dan kaum sayap kanan.

Semua bersatu menghancurkan anarkosindikailis.”

“Pada tahun 1921 ketika pelaut Petrograd bersama kaum buruh menduduki kota

Kronstad, kita dibantai habis-habisan oleh Tentara Merah Bolshevijk dan Trotsky dengan

angkuhnya berkata, pada akhirnya pemerintah Soviet, dengan tangan besi, telah membawa

Russia lepas dari anarkisme! Padahal, dulu, seolah-olah mereka mendukung kita dalam

tuntutan-tuntutan revolusinya. Saat ini kita memahami yang terjadi. Tetap di tempatnya. Kita

215

tetap melakukan hal yang biasa kita lakukan! Kita tak akan melakukan kekerasan, sebab

kekerasan adalah sebuah bentuk penguasaan dan pemaksaan! Kekerasan pun hanya akan

menyebabkan perbudakan,” Waluh mulai mempersuasi. “Mungkin diantara kita ada yang

memiliki prinsip yang berbeda. Tapi tolong, kita harus stigma yang telah di bakukan

Kapitalisme terhadap Anarkisme!”

Ada kemelompongan di dalam. Eva kemudian mengajak mereka semua untuk

mendengarkan Chris kembali. Lelaki itu menceritakan secara detail bagaimana kegiatan-

kegiatan yang dia lakukan bersama gerakannya untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Ia

mengambarkan bagaimana langkah yang dilakukan teman-teman di Inggris untuk

memperkuat masyarakat dan komunitas menggunakan konsep anarkisme. Untuk

menciptakan sebuah dunia dimana orang-orang datang bersama-sama membentuk tatanan

masyarakat baru, yang bebas. maka kita harus melakukan hal-hal yang alamiah. Anarki

adalah kegiatan membangun diri dalam bentuk paling sederhana: menolong tetangga

disekitar, menanam sendiri makanan, mendukung aksi-aksi pemogokan, hingga demonstrasi

di dimana pun juga sebagai upaya penentangan terhadap konfrensi WTO; sebagai tanggapan

atas diberlakukannya kebijakan-kebijakan pasar bebas, menolong menjagakan anak,

menjawab apabila ditanya, hingga tidak menjadi tipikal seseorang yang diharapkan oleh

sistem. Anarki adalah kerjasama yang saling menguntungkan, ko-operasi dan tidak

menyerahkan hidupmu pada orang lain untuk mengaturnya.

“We trying to keep our tradition. Do it yur self. D. I. Y.” ujar Chris. “Saya berbangga

ketika melihat teman-teman berhasil melakukan hal kecil seperti SNB tetapi berarti besar

atau seperti yang dilakukan petani-petani di Brazil. Ratusan dari ribuan petani yang

mengorganisir diri dalam MST (organisasi gerakan para petani hamba) menduduki lahan-

lahan pertanian untuk kemudian mengolah Lahan secara kolektif. Tahun 1994 lalu, kaum

Zapatista memapankan zona otonomi di berbagai desa di daerah Chiapas, Meksiko. Kami

berpikir, untuk terus tularkan tradisi resistensi dan perlawanan. Mereka mengangkat senjata.

Kita mungkin berbeda pemahaman dalam mengartikan anarkisme tetapi kolektif Chiapas

menjalankan tradisi pendidikan dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Saya pikir kita

semua faham bagaimana anarkisme diwujudkan.”

Riang dan Taryan tak bisa ikuti perbincangan itu. Keterbatasan berbahasa dan

kurangnya informasi menjadikan mereka seperti selada yang kesepian teronggok di pasar

swalayan. Mereka tak perlu berharap mengerti sebab inti kedatangan mereka bukan untuk

mendengarkan Chris, si bule anglosaxon itu membicarakan ideologi otonomi. Kedua orang

216

itu merasa tak berguna. Ingin keluar dari ruangan rasanya tidak nyaman karena harus

meminta izin memotong pembicaraan.

Taryan melihat kegelapan yang ada di balik jendela. Angin dingin masuk ke dalam

ruangan melalui pintu. Riang mencuri-curi pandang memperhatikan Fred yang seolah-olah

tengah merekam seisi ruangan dengan matanya.

Saat perbincangan mulai melonggar, dari kejauhan suara motor trail terdengar

memecah konsentrasi. Situasi yang semula hangat berubah menjadi tegang. Hanya Bentar

Eva dan Waluh yang tidak terganggu. Mereka mengenal suara knallpot motor trail itu. Mesin

motor berhenti. Langkah sepatu boots beradu dengan tanah. Beban jatuh di lantai.

Langkahnya terdengar berat. Pintu dibuka. Cahaya lampu menegur wajahnya kala lelaki itu

memasuki rumah kayu.

“Hai Chris,” sapanya. “Di sini terlalu gerah ya,” lelaki itu tersenyum, memandang

persatu. “Bagaimana kalau kita santap malam di luar.” Ia membujuk. Dan wajah lelaki itu

tiba-tiba menukik. Tatap matanya menyambar ke arah Riang.

“Riang Merapi … Lama tak bersua. Selamat datang di gubug kecilku kawan!”

sambutnya ramah. Bahagia mengerjap di matanya.

Suara itu hanya dikeluarkannya sekali, tetapi resonansinya terasa lambat bagi Riang.

“Riang Merapi … Lama tak bersua. Selamat datang di gubug kecilku kawan!”

“Riang Merapi … Lama tak bersua,

Selamat datang di gubug kecilku kawan!.”

“Riang Merapi … lama tak bersua,

Selamat datang di gubug kecilku kawan!.

Suara itu?

Suara itu?!

..

.

“Fidel!”

Riang bangun dari duduknya. Ia setengah berlari. Sebelum menubruknya, Fidel

mengulurkan tangannya yang hangat di bahu Riang. Dipeluknya rekat. Riang tak kuasa

menahan haru. Ia menangis. “Mas Fidel ada disini?”

217

Fidel melepaskan pelukan, ”ceritanya panjang” Ia meminta izin keluar rumah. Riang

mengikutinya. Taryan menyusul berjingkat jingkat padahal tak semestinya ia begitu sebab

orang-orang ikut berhamburan keluar, mengambil gelembung plastik dan arang yang ada di

gudang belakang.

Bentar menghampiri. Ia meninju pangkal lengan Fidel.

“Hai Petir,” sapa Fidel “Bandrek pesananmu ada di dalam tasku!”

Keakraban itu menimbulkan kecurigaan. “Mas kenal Kang Bentar?!” Tanya Riang.

“Menurutmu?”

Riang diam.

“Lebih dari sekedar kenal,” Fidel menjelaskan. “Dia teman baikku.”

“Kalau Mas kenal, kalau begitu, be…berarti Mas tahu aku ada di Bandung?”

“Sabar,” Fidel tertawa. “Episode kita masih panjang Mas!”

“Panggil aku Riang saja, Mas.”

“Begitu halnya denganku!” Perkataan Riang di makannya. “Jangan panggil aku Mas.

Panggil seperti teman-teman biasa memanggilku.”

“Oh ya … Mas … eh Del … eh Mas saja ya?”

Fidel terseyum. “Terserahlah mau panggil aku apa.”

Riang senggol Taryan. “Ini temanku!”

“Mas ini siapanya Riang?” sederhana sekali Taryan bertanya.

Riang sebal dengan pertanyaan itu, tapi siapakah Fidel baginya? Ia hanya bertemu

dengannya sekali tetapi pengalamannya bersama Fidel seakan pengalaman seseorang yang

hidup dan berteman selama bertahun-tahun. Riang tak bisa menjelaskan. Fidel pun kesusahan

dibuatnya.

“Saya? Siapanya Riang?”

Sulit untuk menjawabnya.

Waktu di sandera. Over hang selama beberapa detik.

Riang memutuskan. “Ia penyelamatku di Merbabu. Sudah berapa kali kita bicarakan

ini. Kau lupa?!.”

“Temennya Mas Pepei itu?”

“Tepat! Riang itu …” Fidel masih sulit mendevinisikan. “Ya, Riang-ku!” Fidel

sedikit lega.

Usai menyeduh minuman hangat, Bentar datang menggoda. Uap bandrek dam kopi

membuat orang-orang melupakan tua. Bentar menarik kursi malasnya. “Fidel itu sepupuku.”

Ia mengakuinya santai.

218

“Fidel yang memberitahukan keberadaan dirimu di kota ini.” Bentar pasang tampang

tak bersalah. “Sebelum ia pergi ke Isfahan, aku di wajibkannya mencarimu. Taruhannya,

nyawa.” Katanya serius. “Kalau aku tak menemukan dirimu…” ia menunjuk Riang, “bisa-

bisa aku digergaji olehnya!”

Fidel tertawa.

“Kenapa tak memberitahu kalau mas Bentar kenal mas Fidel sejak lama?” Riang

menuntut.

“Itu asyiknya!”

“Asyik darimana!?”

“Asyik pikirkan cara supaya Kau betah di pondokan! Supaya tak balik ke jalan! Aku

khawatir kau akan pulang ke Thekelan. Kau hanya akan ke pondokan, seandainya Fidel

pulang.”

“Dari mana mas mengetahui wajahku?”

“Memangnya tidak ada kamera foto apa? Waktu kau antar Fidel dan Pepei di

Merbabu kau kan di foto!”

Penjelasan itu masuk akal, tapi Riang tetap merasa janggal. “Mas tahu dari siapa aku

di Bandung?” Riang menuntut memperkarakan Fidel. Dalam pikiran dia, tak mungkin orang

tahu segalanya.

“Aku bertemu orang tuamu di Thekelan.” Fidel menjawab.

“Bertemu orang tuaku?”

“Bukan hanya itu. Aku bertemu bapaknya Kardi.”

“Sekarmadji pernah datang ke pondokan, Mas tahu juga tentang itu?”

“Bentar yang menceritakannya padaku. Itu kebetulan yang luar biasa.”

Bentar menegur. “Yang!”

Riang bingung dengan setelan suara Bentar.

“Maksudmu menyebarkan desas-desus di sekitar pondokan itu, apa?!”

Riang tak siap menjawab. Ia tak memahami, mengapa hampir seluruh perbuatannya

diketahui dua orang yang ada dihadapannya. Riang bingung. Wajahnya matang.

Bla…blap…blup, Bentar menjelaskan detail peristiwa yang terjadi pada sepupunya.

Fidel tertawa. Ia pun menceritakan bagaimana mitos Merbabu mendongkrak pandangan

orang terhadap pemuda yang ada di hadapan mereka.

“Ia membuka hijab informasi!” Fidel menjelaskan pada Bentar. “Ia berhasil

memanfaatkan informasi!”

219

Bentar bersandiwara. Ia marah pada Riang. “Jadi pembelajaran yang kau dapatkan

digunakan untuk menipu penduduk di sekitar pondokan?! Jahat kau, Yang!”

Riang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tertawa, dan Taryan, selaku

asisten dalam persekongkolan di terminal Dago berusaha membelanya.

“Jahat tapi hebat!” ucap Taryan bersemangat.

Riang bengkak. Wajahnya yang sudah matang dipepes menjadi merah dan kalau

sudah gede rasa sebaiknya diam.

Eva dan dua orang wanita lainnya memotong perbincangan. Mereka membawa

mangkuk-mangkuk kecap berikut racikan jahe beberapa siung bawang merah dan tomat.

Chris ikut menebas daun pisang, melemaskannya menggunakan api bersama yang lainnya.

Suasana gembira tiba. Nasi bercampur bumbu-bumbu ikan baker dihidangkan. Chris diberi

kesempatan pertama untuk mencicipi ikan bakar. Nasi dan lauk yang dihidangkan itu

menyatukan ras. Rasa menghubungkan bangsa. Inilah persaudaraan yang terjalin karena

makanan.

DINI HARI, Chris dan beberapa kawan-kawan yang lainnya pulang. Taryan, tak

sanggup lagi melanjutkan obrolan. Ia mendengkur pelan sewaktu Riang melanjutka

pembicaraannya dengan Fidel.

Riang menumpahkan isi hatinya.

“Aku hampir gila mas,” jelasnya. “Sejak Mas dan Mas Pepei datang ke desa, aku jadi

seperti ini…”

Fidel tersenyum. “Kau hendak menuntutku karena itu?”

Riang tiba-tiba mengingat ucapan Fred. “Aku gelisah!” ucapnya.

Fidel mengetahui kegelisahan macam apa yang ada di kepala Riang. Ia hanya

menjawab.“Kau sedang mengandung, Yang!” Senyumnya mencair lagi. “Kelahiranmu sudah

dekat! Kau akan melompat, melompat jauh ke depan!”

“Apa yang saat ini kau fikirkan menunjukkan eksistensimu! Bahwa kau manusia yang

sedang berfikir, manusia yang tengah berusaha menggali makna kehidupannya sendiri!”

“Ada keputusasaan di kala Kau merasa tak mampu menyelesaikannya, ada

kegelisahan yang harus ditebus karenanya. Kau tahu Yang … kegelisahan itu ibarat sebuah

canopy trail, ibarat sebuah jembatan yang menguatkan arah hidup manusia. Kegelisahan

adalah jembatan. Dan jembatan --seperti yang kita ketahui-- bukan tempat kediaman yang

nyaman … Tempat kediaman yang nyaman adalah tempat akhir, di mana kita tak perlu lagi

menanyakan apa tujuan penciptaan manusia”

220

“Tapi kegelisahanku?” Riang merajuk. Wajahnya memerah.

“Tidak boleh tidak …” Fidel menunjuk, “manusia, aku, kamu, kita haru melewati

jembatan tersebut! Hanya dengan melaluinya kita dapat mencapai tingkatan demi tingkatan

di dalam kehidupan! Ketika manusia ingin mendaki tingkatan itu, ia akan menghadapi

bermacam ujian! Jika seseorang yang ingin naik tingkat dalam beladiri, ia diharuskan

bertanding, menahan pukulan, mengelitkan tendangan. Ia memerlukan kecemasan untuk

sampai pada tingkatan, pada sabuk selanjutnya! Jika ujian itu diselesaikan dengan baik, naik

tingkatlah ia. Tetapi jika tidak, ia akan terus menerus berada di tempat yang sama! Inilah

hakikat dari ujian. Hakikat dari kecemasan dan kegelisahan yang kau alami!”

Fidel menghirup sepertiga udara yang mampu ia tampung. Menghisap dan

melepaskannya dengan santai.

“Kegelisahan adalah jembatan menuju kesempurnaan dirimu sebagai manusia…

Percayalah Yang! Kau akan melompat jauh! Tinggal menunggu momentum, Kau akan

terbang meninggalkan orang-orang disekelilingmu! Kau memiliki potensi yang besar untuk

itu! Kau wajib meyakininya! Yakini dalam hatimu! Yakini itu di dalam! Jangan ragukan!”

Ucapan itu membuat Riang adem. Rasanya pas.

“Mas tidak takut gila? Pernahkah mengalaminya?”

Fidel tersenyum.

“Mas ngin terlihat misterius ya?”

Fidel tertawa. Pertanyaan itu tepat sasaran. Fidel menerawang “Ya … aku pernah

mengalami ketakutan. Aku tahu rasanya saat kita sudah tidak bisa lagi mengkontrol

pemikiran kita sendiri. Aku mengerti bagaimana kecemasan itu membuat pikiran terlalu

berdenyar hingga kita merasa direpotkan, bagaimana mencicipi kekhawatiran yang

berdentang-dentang, kala kita berada di atas tempat tidur, kala mata kita tertutup… merasa

tersiksa dan kita mengharapkan tak akan bangun keesokan harinya …Kadang kita berandai-

andai bahwa kehidupan adalah stop kontak yang tinggal kita tekan tombol off. … clik … jika

ingin mematikannya, gelaplah semua! Tapi, adakalanya di saat-saat seperti itu kita menjadi

takut menghadapi pertanyaan: adakah kehidupan setelah kematian, akankah kita mati dan

mati saja menghilang karena tak ada kehidupan lain selain di dunia. Kita tak yakin! Kita

merasa tak mampu meyelesaikannya! Kita merasa menyesal dan merasa harus mengutuki diri

kita sendiri! …. Inilah …inilah titik kritis. Inilah ambang batas saat kita akan menjadi gila!

Tinggal satu langkah. Dan saat ini Riang mungkin sedang berada di ambang batas itu!”

Benderang sekali. Kenyamanan akan terasa jika seseorang mengetahui bahwa dirinya

dipahami.

221

“Yang kau alami itu memang berat Yang… dan semakin diperberat sewaktu

lingkungan menvonis kamu! Memvonis bahwa kau tidak memiliki keimanan! … Kau di

hakimi! Kau dibeliungi! Kau dipermalukan di hadapan orang lain dan dirimu sendiri!

…Mereka jahat! Mereka belum pernah mengalami kegelisahan, tetapi mereka menjatuhkan

persangsian pada kita! Mereka bukan mengobati. Mereka tak sadar, jika apa yang mereka

lakukan membuat seseorang yang membutuhkan jawaban, menjadi pendiam, menjadi malas

untuk membincangkan apa yang ada di dalam kepala karena khawatir orang-orang yang akan

kita temui, bakal menghantam kita kembali, menyakiti kita kembali! … Semakin dalam

kegelisahan itu datang, semakin tak ada teman untuk berbagi, maka tahukah Kamu apa yang

terjadi ketika hal itu terjadi pada orang yang mengalami kegelisahan?!”

Riang menggelengkan kepala. Ia masih inginkan terang.

“Gelisah akan mengeruhi pikiran, menumbuhkan prasangka, saat orang menyalahkan!

Betapa menyakitkan saat mendengar mereka menghakimimu, membeliungimu, mengeratmu

hingga serpih! Mereka adalah orang yang belum pernah mengalami essensi keimanan yang

harus dilalui melalui pergulatan pemikiran! Mereka masih S.D. Dan –mungkin-- selamanya

akan menjadi anak S.D.”

Fidel memandang Riang dengan tatapan sayang.

“Kau berbeda! Kau adalah manusia yang berani menjalani kegelisahan itu! Kelasmu

tidak akan mentok di sekolah dasar saja. Teruslah naik kelas, sampai ijazah kematian di

lekatkan waktu untuk dirimu!”

Fidel tiba-tiba mentertawakan dirinya sendiri. Secangkir kopi tumpah. Apa yang ia

katakan terlalu panjang. Penjelasannya terlalu meluber. Terlalu semangat, membuat dia

merasakan terlalu berlebihan.

“Mas mengerti diriku.” Riang tak peduli, ia terkesima.

Fidel bernafas lega. “Hanya manusia yang pernah mengalami keggilaaanlah yang

mengerti bagaimana rasanya menjadi gila! Dan hanya orang yang pernah gilalah, yang

mengetahui siapa yang memiliki potensi menjadi gila!” Fidel berderai.

“Mudah-mudahan kita tidak, ya Mas?”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia.” Fidel bersikukuh.

“Ya … ya! Mas benar!” Riang sok tahu. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia

karena Adam pun ada dari ketidakmungkinan, dari ketiadaan!”

“Kau mulai berfilsafat?” Fidel berpikir, “Yang?!”

“Ya?”

“Duluan telur … duluan ayam?”

222

“Kok jadi main teka-teki?” protesnya.

“Jawab dulu saja.”

”Nyerah Mas!”

“Kok langsung nyerah?”

“Aku tidak menemukan jawabannya. Sudah kupikirkan dari dulu.” Riang ganti

bertanya, “kalau begitu jawabannya apa?”

Tanpa rasa bersalah, Fidel mengatakan tidak tahu.

“Masak yang mengajak main tidak tahu jawabannya?!” Riang menuntut.

“Kapan aturannya kalau yang mengajak teka-teki harus tahu jawaban?”

Rian diam. Dia kehabisan ucapan.

“Kukatakan tidak tahu, karena saat itu, saat ayam pertama muncul di dunia, aku

belum ada.” Fidel menjelaskan. “Aku tidak menemukan informasi berkenaan dengan siapa

yang lebih dulu, ayam atau telur dulu kah, dari sumber informasi yang aku percayai.” Fidel

mengungkit sebuah peristiwa. “Kau masih mengingat sumber informasi yang dulu pernah

kita bicarakan?”

“Yang kita bicarakan di danau Merbabu lalu?” Riang menggali ingatannya. Tapi ia

tidak bisa mengkaitkannya.

“Dalam masalah telur dan ayam aku tidak menemukan sumber informasi yang

kupercayai.”

“Masa teka-teki jawabannya seperti itu! Tidak seru!” Riang mencela.

Fidel tertawa. “Kalau mau ramai bolehlah aku berspekulasi. Kemungkinan besar …

ayam ada lebih dulu sebelum telur.”

“Mengapa?”

“Adam pengulu manusia berawal dari seorang anak. Begitu halnya dengan ayam.

Seperti halnya Adam, nenek moyang ayam bukanlah telur. Tetapi ayam itu sendiri?! Bener!”

“Aku ndak ngerti!”

“Sudahlah.”

Suasana sepi. Trilunan bintang mengkerlip di atas sana. Tiba-tiba langit membuka

diri.

Riang menunjuk. “Mas ada meteor…!”

Sambil melihat angkasa ia Fidel berkata.“Sebentar lagi hijabmu akan terbuka!”

Riang melirik ke arahnya. Fidel terus menyenteri angkasa.

Meteor berjatuhan.

Tidak satu.

223

Banyak sekali.

Ini hujan meteor!

Sebuah kejadian langka.

“Mas … aku ingin menjadi meteor!”

“Bercahaya sebelum meredup. Menjadi seperti mereka!”

“Dalam sekali ucapan Mas.”

“Ya, inilah bahasa batin antar orang gila. Tak perlu lagi penjelasan. Satu kata akan

menjelaskan yang menyamudera.”

“Aku mengerti. Aku memahami!.”

“Aku tak meragukan kemampuanmu. Tak usah Kaukatakan itu!”

“Mas?”

“Apa?.”

….

“Apa?.”

“Ndak ...”

“Sudahlah … tidur sana.”

“Aku belum mengantuk.”

“Ya sudah …” Fidel berjalan meninggalkannya.

“Mas … mau kemana?”

“Aku harus memeriksa generator!”

“Aku ikut.”

“Kau tidur saja. Hari-hari kita masih panjang.”

KATA-KATANYA ADALAH HARAPAN. Riang berdiri untuk mengakhiri. Ia

ingin berkata bahwa ia senang bertemu dengannya. Bahwa Fidel adalah anugerah. Bahwa

dialah yang merupakan satu-satunya harapan. Riang ingin mengucapkan terimakasih

padanya. Entah mengapa, Riang ingin mengatakan ia sangat menyayanginya, tetapi hal itu

urung dilakukan. Mengatakan rasa sayang pada seorang lelaki memang mengerikan!

Pertengahan malam itu hati Riang meluas … tak bertapal batas … Pikirannya menjadi

fluida, meleleh. Tubuhnya menjadi ringan, bersatu dengan alam. Ia merasa ingin terbang.

224

PERPISAHAN

Kertas-kertas yang semalam berserakan rapih kembali. Rumah kayu menjadi bersih

seperti sedia kala. Beberapa orang yang berdiskusi tadi malam, pulang. Beberapa lainnya

berangkat memancing.

Riang tidur terlampau nyenyak. Ia seperti di-anastesi. Bentar dan rombongan

pondokan –termasuk Taryan—telah lama pulang. Sarapan mie yang disediakan Eva telah

berubah menjadi dingin. Riang bangun setelah lampu mulai berkelap-kelip seperti arklilik.

meredup, nyala, meredup, nyala selama beberapa detik hingga Riang yang tengah berbaring

di bawahnya khawatir terkena ledakan bohlam.

Fidel masuk ke dalam rumah menyaksikan pekerjaannya lalu kembali membenahi

peralatan.

“Taryan pulang dini hari.” Jelasnya sambil mematikan saklar. Fidel mengajak Riang

sarapan. Mereka menyelesaikannya lalu keluar rumah, jalan-jalan, bertawaf mengitari lahan

pertanian.

“Tanah ini luasnya hampit dua hektar.” Fidel menunjuk batu. “Dari ujung sana …”

ia mengalihkan telunjuknya menuju pohon cemara bercabang dua, “Bentar yang mengajakku

mengelola tanah ini. Baru sepetak yang kami tanami sayuran.” Fidel menoleh. “Kau mau

membantu mengelolanya? Kami, aku dan Bentar tak sanggup melakukannya.”

“Mengelola tanah ini Mas?”

225

“Iya.”

“Taryan bagaimana?”

“Dia boleh ikut.”

“Asyik! Asyeeiiik!” Diliputi kesenangan tingkat tinggi karena mengetahui bahwa

dirinya akan kembali bekerja seperti halnya seorang pemuda Thekelan bekerja, Riang berlari

ke sana-kemari seolah lahan itu merupakan pekarangan taman bermain anak-anak. Riang

terus berlari, hingga suruk di rawa-rawa, membuat baju dan celana dia satu-satunya kotor

terendam lumpur.

Siang harinya Riang menuju kepondokkan. Ia mengambil pakaian tanpa diantar,

menemui Taryan dan membujuknya.

“Bantu aku Yan!”

“Bagaimana dengan kerjaanku?” Taryan diam.

“Aku yang bilang ke Bentar!” Riang pasang badan.

“Bukan itu,” Taryan tertawa. “Apa Situ ndak kasihan sama Bentar kalau aku harus

keluar kerja? Ini masalah kepercayaan. Kalau aku keluar akhir bulan ini, bagaiman nasib

orang baru di pondokan, orang baru yang nantinya butuh pekerjaan? Apa Situ ndak mikir?

Nanti atasanku bakalan ndak percaya sama Bentar karena orang seperti aku ini, seenak

udelnya keluar karena alasan sepele. Alasan bisa di buat tapi aku pantang berbohong.

Lagipula …” Taryan menghela nafas, “mertuaku sudah kirimi aku kabar mengenai keadaan

di Magelang.”

Riang tahu apa yang akan dibicarakan. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia hanya

pura-pura tertawa. Riang merasakan sesak.

“Yang?” tanya Taryan tampak ragu-ragu. “Awal bulan depan aku pulang. Uang

simpananku sudah lebih dari cukup untuk membiayai perjalanan pulang.” Taryan tahu Riang

lemas.

“Bagaimana dengan penduduk Desa dan Karno?” Riang memaksa bertanya.

“Keadaan di desa aman. Beberapa bulan sejak kepergianku Karno ditangkap. Ia

kembali berbuat onar.”

“Karno pasti kapok membuatmu begini.” Riang tak memiliki harapan. Ia menepiskan

kekecewaan,

Taryan tersenyum. “Ya, Karno pasti malu padaku.”

“Kau akan membalas perlakuan orang-orang di desa, Yan?”

226

Taryan melambungkan pandangannya, “Untuk apa? Katanya. “Semua hal yang

kualami sudah ada ketentuannya. Semua sudah digariskan. Dia berkehendak agar aku keluar

dari desa, menemui orang-orang di sini, menemui Situ. Hidup seperti ini memberiku banyak

hal. Banyak yang kudapatkan.”

“Pasti banyak sekali!” Riang tersenyum. Ia mulai mengikhlaskan kehendak Taryan.

“Pokoknya, kalau Situ pulang, jangan lupa memberitahu! Jangan membuatku marah seperti

pagi tadi!”

“Tadi pagi apa?!” Taryan mengelak.

“Kau tinggalkan aku di rumah Fidel!”

“Lha, aku sudah membangunkanmu!”

Riang murung.

Nafas Taryan terhempas. Ia mengatur pernafasan. “Aku pasti bilang Yang,” angguk

Taryan dalam. “Yang … terimakasih untuk segalanya,” nada suara Taryan tertekan.

“Terima kasih untuk apa?”

“Untuk perhatianmu ketika aku sakit … atas perhatianmu … atas segalanya,

semuanya! Terima kasih atas kesetiakawananmu … atas bimbinganmu!”

“Sudah-sudah tak perlu begitu! Kalau mau pergi, pergilah sana!” humor kuli Riang

keluar. “Pergi Kau! PERGI SANA!”

Retina mata kedua orang itu bocor. Ada air yang mengucur, meninggalkan bekas

yang hangat di hati, membuat siapapun yang tidak pernah merasakan panasnya api

persahabatan cemberut.

RIANG LUPA pesan Fidel untuk membawakan buku harian Pepei. Sore itu fokusnya

hanya berkemas, melupakan buku yang juga penting bagi Fidel. Ia memasukan seluruh

barang yang dimilikinya. Keesokan paginya, Riang kembali ke rumah kayu Fidel. Pemilik

pondokan tidak mengantarnya hingga pagar. Mereka tahu, sesekali, Riang masih akan

menginap di pondokan.

Beberapa hari kemudian Riang kembali ke pondokan. Tidak ada satu orang pun di

sana. Taryan masih bekerja. Bentar mengantar Eva yang sedang mengikuti tes. Bosan

menunggu, Riang menemani Fidel belanja persediaan makananan. Setelahnya, di tengah

jalan pulang menuju pondokan, ia melihat Taryan menyetop angkutan. Dipikirnya, Taryan

yang akan lebih dulu sampai di pondokkan. Ternyata tidak. Sejam kemudian wajah

sahabatnya yang tengil itu tampak. Taryan menjinjing empat buah kantung hitam besar.

227

Taryan menghempaskan tubuhnya. Ia memberikan satu kantung untuk Bentar dan

Eva, dan meminta maaf karena tak bisa membalas budi baik keduanya

“Maaf! Maaf! Lebaran masih lama!”

Komentar Bentar usai mereka mengatakan terimakasih membuat Taryan tertawa. Ia

kemudian mengambil sebuah kantung hitam lainnya. “Ini untukmu!” katanya. Ia

menghadiahi Riang sebuah buku tulis tebal bergembok. Kantung lainnya berisi makanan

untuk orang-orang yang berkumpul di pondokan.

“Lainnya lagi?” Agus mendesak. Anak itu melihat beberapa kantung yang belum

jelas pemiliknya. Taryan tersipu ketika Eva menegur anak kecil itu. Barang-barang di dalam

kantung-kantung yang tersisa itu untuk Radia anak dan keluarga Taryan di Magelang.

Malam ini menjadi malam penghabisan antara Riang dan Taryan. Orang-orang yang

mengenalnya bermain habis-habisan. Suara biola Bentar dan gitar yang bermantra

mempertemukan kegembiraan yang ada di dalam hati dan mencuatkannya. Masing-masing

berusaha memberikan kemahiran, memaksimalkan apa yang mereka miliki untuk membuat

Taryan gembira.

Malam itu Riang tidak mengatakan sesuatu yang berharga untuk Taryan, namun

Riang meyakini adanya keberadaan ikatan yang sulit dipahami kecuali oleh orang yang

mengerti. Jika bahasa lisan tidak selalu mewakili keadaan yang sebenarnya untuk apa

seseorang melisankan. Riang tidak mau memaksakan dirinya, ia tak mungkin bisa, karena

bahasa yang agung iu tak bisa diwakilkan keluasannya oleh lidah manusia yang terbatas.

Riang diam dan membiarkan simbol bahasa yang menyemesta berjalan alami apa adanya.

Ke dua orang ini pun tidur saat pertengahan malam menjelang. Wajah mereka terlihat

teduh tanpa tekanan, minim beban seperti bayi pada sebuah mobil yang melaju kencang di

sebuah jalur bebas hambatan.

Saat saat yang tak Riang harapkan itu datang. Derit—derit roda besi yang memasuki

stasiun, menunggu ribuan orang sebelum gerbongnya beranjak menuju arah tempat terbitnya

matahari di ufuk timur. Riang berharap, jalur yang Taryan tempuh bersama kereta itu akan

membawanya kepada kebenderangan, menuju arah kebahagiaan.

“Yan?!” Riang berusaha menutupi kesedihannya.

“Apa?”

“Situ ndak layak lagi dihina. Kalau situ bertemu dengan petugas yang dulu

menendangmu perlihatkan seluruh kekayaanmu! Sombongkanlah tiketmu! Pelihatkan uang

kertas yang kau kumpulkan itu! Biar dia tahu Yan!... Biar mereka tahu.”

228

Taryan yakin tidak akan bertemu dengan petugas sialan yang pernah ia ceritakan pada

hampir semua penghuni pondokan. Di balik jendela kereta, Taryan menunduk. Wajahnya

muram.

“Yan!” Riang membentak. “Jangan seperti itu!” ia menegurnya. “Ayo ketawa

Yan!.Ayo ketawa! Sama-sama ketawa!

Riang tertawa seperti terpaksa. Ia mengeluarkan tangannya dari jendela.Fidel, Bentar,

dan Eva memahami permainan emosi saat mereka mengantar Taryan pergi.

“Hua...ha...ha...ha!.”

“Hua...ha...ha...ha!.”

“Teruslah tertawa Yan!...teruslah tertawa! Jangan pernah berhenti mentertawakan

dunia! Jangan pernah bersedih! Terus tertawa! Jangan berhenti!”

Taryan terbahak-bahak! Ia tak tahu apa yang harus ditertawakan tetapi mulutnya

terbuka. “Hua… ha… ha… orang gila! Orang gila!”

Riang tertawa diejek Taryan. Ia berteriak ketika roda kereta berputar pelan. “Aku

selalu mendoakan! Kau senantiasa kudoakan!”

Riang terseguk.

Selamat jalan kawan! Berkah kepulanganmu itu... adalah milikmu. Kali ini, jangan

biarkan orang lain merampasnya! Rebutlah kebahagiaan bersama Radia dan anakmu,

....bersama keluarga besarmu ...

Doa Riang Merapi menyertai langkah panjangmu!

Kereta menjauh lalu hilang ditelan kelokan.

229

METEOR

Fidel mengetahui bagaima posisi Taryan di mata Riang. Ia mengetahui bagaimana

kekosongan yang dialami, ketika seseorang yang lama mengisi hidup kita tiba-tiba hilang.

Ada kekosongan yang membuat kenyataan seperti soda pada sebuah kaleng minuman. Fidel

memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk membantu Riang --secara alami-- cepat keluar

dari situasi yang membuatnya selambat moluska.

Saat membaca buku catatan Pepei, Fidel melihat Riang tengah memperhatikan ikan di

tepian kolam. Fidel memanggilnya. “Ada yang ingin kuberitahu,” ujar Fidel usai memberi

batasan pada buku yang baru saja ia tutup.

Fidel keluar dari rumah dan mengambil banyak langkah. Riang mengikutinya. Di

dekat bukit suara jangkrik makin berisik. Krik krik krik! Membuat kuping terasa berdenyit.

Fidel masuk ke dalam hutan. Tak begitu jauh dari batas hutan dan lahan pertanian, ia berhenti

di depan sebatang pohon yang dikelilingi semak-semak. Fidel menerobos. Riang mengikuti

jejaknya di atas semak lebat yang terkuak. Gundukan semak-semak hampir kembali pada

posisinya saat ketika Fidel jongkok, meraba-raba sesuatu di kakinya. “Mundur,” Fidel

memberi perintah. Suara penghalang terdengar. Ada sesuatu yang terlepas. Sebuah pintu

kecil besi yang menempel di tanah terbuka.

Riang tegang Tempat apa ini. Fidel menuruni tangga. Riang mengintip di luar.

Fidel memberi isyarat pada Riang untuk terus mengikutinya. “Tutup pintunya!” Riang

mengambil gagang pintu, menutup pintu karatan itu dari tangga yang kemudian ia jejak. Ia

terus turun ke bawah, masuk ke tanah.

230

Bertemu lorong yang datar Riang melihat sebuah ruangan kecil yang nyaman. Udara

di ruangan itu terasa dingin tetapi tidak terasa lembab. Sebuah lorong rahasia –lainnya--

tempat angin bertukar sapa sebelum keluar masuk membersihkan udara, membuat tempat itu

sehat. Di sudut ruangan sebuah meja tertancap di lantai tanah. Tangga berulir yang terbuat

batu bata tak disemen menjadi penghubung ruang yang ada di atas. Sebuah ranjang besi,

termos dan gelas kosong tertata rapi. Rak-rak buku berjejer melebihi koleksi yang pernah

Riang lihat di tempat Pepei.

“Ini, untuk membuka pintu besi yang tadi kita lewati.” Fidel memberikan duplikat

kunci pada Riang yang terperangah. “dan ini,” lanut Fidel, “untuk jalan masuk yang

satunya.” Fidel melemparkan satu duplikat lagi. Riang menangkapnya.

“Habiskanlah waktumu di sini. Tapi jangan ingkar. Kau tidak boleh memberitahu

siapa pun mengenai ruangan ini.”

Fidel membuka pintu diatas kepalanya, keluar dari ruang bawah tanah. Naiki tangga

yang sama, Riang masih mendengar langkah orang di atasnya, namun setelah kakinya

menjejak lantai atas, ia tak mendengar langkahnya bergema, menandakan ada ruangan

kosong di bawahnya. Riang mendapati dinding dapur mengepung dirinya. Riang berdecak.

Riang kembali ke bawa, matanya terpaku pada rak-rak yang terkesan tua namun bersih, tidak

tampak kusam. Di dalam ruangan bawah tanah ini, Riang menemukan kesenangan

mengakses ilmu pengetahuan yang dipenjarakan ke dalam onggokan kertas. Riang

menjelajahi rawa, ngarai, gurun pasir, pasir hidup, atmosphere, ia meniti jalan menuju

mercusuar pemikiran. Ia melewati batas-batas negeri tanpa harus membeli visa dan paspor,

masuk ke dalam situasi genting dunia, mengintip tragedi, menyaksikan ironi, beringsut

menuju pemakaman cerdik cendikia dan mempelajari satire dunia. Ia merasa lingkungannya

yang dulu mengecil. Semakin lama ia berada di ruangan ini, ia semakin merasa mungil

melebihi kecilnya proton dan neutron. Riang menganggap dirinya disterilisasi, di bakar api

spirtus yang menjadikan kesadarannya gerah berkobar-kobar.

RUMAH KAYU FIDEL berada di tengah lahan di antara puncak bukit berbentuk

seperti laguna. Dengan halaman depan yang menantang matahari, rumahnya disinari cahaya

matahari sampai jam 10.00 pagi. Setelahnya, tak beda dengan cuaca di Thekelan. Tempat itu

menjadi dingin. Jika sore datang hampir semua benda-benda di sana jadi berbayang.

Fidel mebersihkan tangan, dan kakinya di aliran air yang mengucur deras ke dalam

kolam. Ia mengelap muka dengan handuk putih. Riang menunggunya, melihat rumah-rumah

231

dan jalan tol yang memanjang seperti sungai. Pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap setiap

hari membuat nafas orang-orang menjadi sesak.

“Apa yang Kau pikirkan?” Fidel datang setelah menyelesaikan ibadahnya.

Riang menanti Fidel untuk membicarakan ruang bawah tanah yang beberapa jam lalu

ia masuki. Riang memberi Fidel air putih yang hangat, menanti. Ia tak mendengar penjelasan

apa pun. Fidel tidak menganggap apa yang ia tunjukkan sebagai suatu keanehan. Hingga

malam tiba Riang merasa Fidel tak akan membicarakan hal itu. Ia pun berusaha menganggap

ruang bawah tanah sebagai sesuatu yang biasa.

Malam ini Riang merasa tubuhnya letih, usai mengolah lahan pertanian, tetapi ia

masih menyempatkan diri mengambil setumpuk buku dari ruang bawah tanah. Lelah tidak

membuat keingintahuan Riang lenyap. Ia menekuni lembaran demi lembaran ensiklopedia di

tangannya. Di sampingnya Fidel diam tak bicara. Ia memandangi tulisan tangan Pepei

sahabatnya. Setelah agak lama, ia menutup buku catatan itu. Di samping Fidel terdapat

sebuah radio transistor.

“Apa arti Pepei untukmu?” tanyanya tiba-tiba.

Riang memandangi Fidel. “Mas tahu Emha?” Ia melantur. Ia tak mendengar

pertanyaan itu. Fidel membiarkan Riang untuk sementara. Ia melantur tanpa dosa.

“Di Yogyakarta kami mencari Emha. Aku meminta tolong mas Pepei membantuku

mencarikannya.”

“Emha Ainun Nadjib?”

“Sebenarnya bukan Emha yang itu.” Riang menceritakan kesalah pahaman yang

diakibat jawaban ngasal bapaknya. “Emha lain yang mengajari kakekku untuk mengenal

lebih dalam tentang Islam.”

“Tapi, akhirnya Kau bertemu Emha?”

Riang tertawa. “Tidak, akhirnya ya hanya numpang tidur di tempat mas Pepei. Mas

…” tanya Riang hati-hati seolah di tempat itu ada orang lain selain mereka.

”Aku bertemu orang aneh di sana!”

“Orang aneh?”

“Mas kenal Mahdi?.”

Fidel tak menjawab. Wajah Fidel sedikit berubah. “Apa yang ia katakan?” tanyanya

“Aku diajak Mahdi membunuh Tuhan!” jawab Riang tanpa tendeng aling.

Fidel tersenyum. Ia memainkan tombol on transistor yang dekat dengan tangan

kanannya. Sebuah lagu terdengar lamat..

232

“Aku tak suka Mahdi mendesak-desakku, Mas. Dia seperti orang kerasukan! Mahdi

atheis!” ” Riang mengadu.

“Waktu itu ada Pepei di sampingmu?”

“Tidak ada, tapi Mas Pepei mendengar apa yang diucapkan Mahdi. Aneh,” ungkap

Riang. “Mas Pepei justru membelaku.”

“Di mana letak keanehan itu?” tanya Fidel.

“Waktu antar aku pulang, Mas Pepei juga begitu.”

“Begitu bagaimana?.”

“Ia tak percaya Tuhan. Dia atheis,”

“Anehnya di mana?”

“Kenapa dia malah membelaku?”

“Bukannya membela Mahdi maksudmu?” tanya Fidel

Riang memberi isyarat setuju. Nafas Fidel lembab. “Ada konsep keadilan di

kepalanya … Pepei fair.” Jawab Fidel. “Ia mempercayai manusia tidak bisa dipaksa untuk

mengambil sebuah keyakinan. Keyakinan adalah kesadaran, bukan proses pemerkosaan,

bukan pengagahan kesadaran.” Fidel menghirup air hangat di tangannya. “Pepei atheis yang

shalih … atheis yang santun,” sahutnya.

“Mereka sama-sama tak percaya Tuhan, mengapa mereka saling berseteru?!” tanya

Riang.

“Dia …” nafas Fidel tak berarturan, tak beritme. Ia merindukan sahabatnya. “Pepei,

satu diantara lelaki yang paling fair yang pernah kutemui. Ia akan mengatakan benar

seandainya benar. Ia akan mengungkapkan salah seandainya salah. Ia membela siapa saja

tanpa memperdulikan keyakinan seseorang itu apa. Ia menganggap apa yang Mahdi lakukan

bukan saja keliru tetapi salah”

“Mengapa Mahdi harus membenci Mas Pepei separah itu?”

Fidel berusaha berkelit. “Tak baik membicarakan orang,” katanya, namun kemudian

ia berpikir, “tapi, okelah, ... maaf,” Fidel menimbang, “Mahdi itu salah didik. Pikirannya

yang sudah terbuka ia hamba sahayakan pada mentornya yang batu. Atheis kepala batu

merusak Mahdi, menghilangkan kemanusiaannya. Mereka memecah belah hubungan

persahabatan antara Mahdi dengan Pepei. Mereka menanamkan kebencian pada diri Mahdi

untuk membalas pikiran Pepei yang tidak sesuai dengan maksud yang mereka inginkan.

Mereka menjadikan Mahdi manusia liar. Mahdi dididik untuk menganggap orang lain

sebagai sahayanya. Mahdi dididik beranggapan bebas untuk memperlakukan orang lain di

luar keyakinan dia sekehendak hatinya.”

233

“Mereka siapa?!” tanya Riang sok-sok menyelidiki. “Siapa orang atheis batu yang

Mas bilang itu, apa aku mengenalnya?”

“Tak perlu tahu sedetil itu,” senyum Fidel terlihat samar. “Aku malas bergosip,” kata

Fidel singkat.

“Yang masih sulit kupahami,” sambung Riang, “mengapa orang yang tak

mempercayai Tuhan bisa berseteru, padahal keyakinan mereka sama?”

“Aku sudah menjawabnya, Yang?” Fidel tertawa memikirkan jawaban yang baru

saja ia sampaikan kurang tepat sasaran.

“Yang mana…?”

“Sssst…sst…” bisiknya. Nada piano yang dikenal Fidel, tiba-tiba mengalun.

“Dengarkan ini.” Transistornya bernyanyi

“Imagine there’s no heaven

It easy if you try

No hell below us

Above us only sky

Imagine all the people

Living for today

Imagine theres no country

It isn’t hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion to

Imagine all the people

living life and peace

you may say i am dreamer

but iam not the only one

I hope someday you will join us

And the world will lives as one.

Riang memperhatikan Fidel. Wajahnya menuntut jawaban. Apa maksudnya?

“Jhon Lenon!” pekik Fidel.

“Masa jawabannya Jhon Lenon?”

Tawa Fidel pasang. Usai tawanya surut ia menjelaskan. “Yang menyebabkan

manusia saling berseteru bukan hanya karena satu hal. Banyak faktor Yang! Manusia itu

bukan benda! Manusia itu memiliki jiwa dan jiwa bisa dipengaruhi beragam hal! Dendam!

Kebencian yang mengakar! Kecemburuan! Banyak hal! Atheis dengan atheis bisa saling

234

menghantam! Agnostik dengan agnostik bisa saling berseteru, yang beragama dengan yang

beragama bisa saling memutilasi karena persoalan sepele! Manusia itu tidak sepenuhnya

berjalan dengan nilai yang diyakini, karena manusia adalah manusia .. Banyak faktor yang

mempengaruhi tingkah lakunya. Sumber kericuhan di dunia ini, bukan serta merta karena

agama atau anti agama, tetapi terkadang, karena manusia itu sendiri.”

Perkataan Fidel mengganggu kesimpulan Riang tentang agama. Dulu ia berpikir

untuk apa beragama? Ia tak mau agama yang timbulkan kekacauan. Ia tak mau beragama

karena beragama pun bisa menimbulkan konflik.

“Apa mas Pepei tidak pernah menimbulkan kericuhan, tidak pernah menjadi

penyebab konflik?!”

“Bukannya tidak suka, tetapi sangat jarang,” jawab Fidel. “Konflik hanya jika

dibutuhkan. Apa yang terjadi di gerbang kuburan Thekelan itu, perlawanan yang kita lakukan

adalah konflik. Di pihak kita, dan pihak siapa pun juga yang masih memiliki akal yang

jernih, sesuatu yang gerombolan Kardi lakukan merupakan kesalahan, dan karena Pepei

memiliki keberanian, dan karena kamu juga memiliki keberanian, kita melawan mereka.

Konflik yang Pepei lakukan tidak muncul karena dengki, iri hati. Bukan karena permasalahan

sepele, bukan karena ingin merampas hak, menindas orang lain hingga menimbulkan

kekacauan. Pepei jarang menimbulkan kericuhan.”

“Mengapa jarang?” Riang masih tidak puas.

Fidel hanya menjawab. “Karena almarhum adalah manusia!”

“Apa mereka yang berseteru bukan manusia?”

“Manusia! Mereka manusia …” ” untuk pertama kalinya, Riang melihat Fidel

menggaruk kepala. “Sulit aku memaparkan…”ujarnya. “Suatu saat, suatu masa, kau akan

mengerti, kau akan memahaminya, bahkan hingga tulang ekor.” Fidel tersenyum.

“Tulang ekor?”

“Tulang sulbi maksudnya.”

“Tulang sulbi? Aku tak mengerti.”

“Sudahlah!” Fidel kesal.

“Tak bisa sekarang?”

Fidel Head banger, ekstrim goyangkan kepala.

“Kok bisa-bisanya Mas berteman dengan mas Pepei? Apa karena kalian manusia?”

Fidel tersenyum. “Kami bukan manusia! Kami primata sejenis anoa!”

“Anoa bukan primata Mas.” Riang membantah. “Anoa itu mamalia!”

235

Fidel menggelengkan kepalanya, Penjelasan Riang hampir patahkan lehernya. Susah

juga berbicara dengan pemilik ilmu biologi sekaliber Riang. Bagaimana jika dihadapannya

adalah ahli biologi molekul, bagaimana dengan kimia biologi? Apa yang harus Fidel

sampaikan jika Riang adalah profesional dalam kajian biologi moral versus biologi

prostitusi? Fidel menyerah.

“Sejak dahulu kami bersahabat,” kata Fidel. “Segala hal yang paling buruk dan yang

paling baik pernah kami lalui bersama. Aku mengetahui sejak kapan ia berubah dan

sebaliknya pun demikian. Kami sadar, setiap manusia memang harus berubah. Semua orang

harus mencari jati dirinya sendiri. Semua punya pilihan, tapi, untuk persahabatan … aku

menerima Pepei apa adanya seperti saat pertama kali aku mengenal dia. Aku menghargai

prinsip Pepei. Aku memaklumi atas pilihan yang dilakukannya. Jalan orang memang

berbeda, tetapi perbedaan keyakinan itu tidak akan membuat persahabatan kami hancur.”

”Tidak seru kalau tidak ada musuh-musuhan!”

“Kami pura-pura musuhan.” Fidel meyakinkan. “Biar terkesan membiarkan,

meskipun terkesan tak saling memperdulikan keyakinan masing-masing, sebenarnya proses

alami melalui diskusi tengah kami jalani. Tidak ada doktrinasi. Kami saling menyayangi,

lagipula apakah Pepei memang pantas dimusuhi?”

Kata-kata Fidel menghunjam.

“Mas?”

“Ya?”

“Aku ingin segera melewati kegelisahanku!”

“Kenapa harus dilewati?” Fidel mengetes Riang.

“Karena kegelisahan adalah jembatan!” jawab Riang menduplikasi perkataan Fidel

beberapa hari yang lalu.

Fidel protes. “Itu perkataanku, bukan perkataanmu!”

”Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa ku selesaikan,” Riang memberengut.

“Terlalu banyak pertanyaan yang membuatku tidak waras!”

Suara panggilan tiba-tiba terdengar.

“Sudah maghrib,” Fidel mengingatkan. Waktu berbincang sudah habis. “Mudah-

mudahan aku memiliki kunci agar Kau mampu membatasi pertanyaan-pertanyaan yang bisa

membuat hidupmu tak nyaman.”

Riang mengerti. Ia berdoa agar kuncinya pas.

Fidel menggulung celana. “Jadi…”

“Jadi apa Mas?.”

236

“Jadi … apa arti Pepei untukmu?”

Riang tak menemukan kata yang tepat. Ia tidak bisa memastikan adonan pada loyang

yang pas. Riang hanya mengungkapkan perasaannya pas-pasan. “Mesti sekejap, bagiku …

Mas Pepei demikian berarti.”

Mata Fidel berair. “Seperti meteor!” ucapnya lirih.

Riang tak berani melihat Fidel. Ia mengalihkan pandangan ke atas bukit yang sepi.

Malam ini Riang tak mau menganggunya. Ia membiarkan Fidel menyepi … menggali sunyi.

237

TUHAN

Riang memandangi album foto. Seperti kebiasaan orang, ia memandangi wajahnya

sebelum melihat wajah dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Merapi terlihat tampak kukuh

seperti raksasa rahwana: sombong dan culas, selain itu tampak kibaran bendera, tawa Pepei

dan keseriusan Fidel, bolongan batu serta tebing-tebing yang gagah. Riang mematung. Ada

jutaan kesan, yang menumpuk di kepalanya Ia mengetahui sekuat apa desir angin di sana, ia

masih menangkap kesan ketakutan yang ditampakkan wajahnya saat suasana genting terjadi

manakala gerombolan Kardi memburu mereka. Riang teringat Pepei. Rasanya kejadian itu

baru saja berlalu sementara di rumah kayu Fidel ia sudah menjalani hidupnya selama enam

bulan.

Riang memasukan album kenangan itu kembali. Ia melihat jajaran rak buku.

Diambilnya buku yang belum ia selesaikan. Halaman terakhir yang ia baca dinodai tanah

lahan pertanian yang kemarin ia olah. Buku itu menjadi salah satu bukti bagaimana pemuda

itu membaca buku sekenanya di mana saja: di tepian kolam, di air terjun, di bangku teras

rumah, di kamar mandi, di ruang bawah tanah. Di mana-mana Riang membawanya, mengejar

sesuatu yang ia anggap tertinggal.

Ia pernah ditegur Fidel karena menaruh buku di atas batu. Kalau tak hujan sebenarnya

tak apa, Fidel tak akan menegurnya, tetapi buku yang ia tinggal sembarangan itu menjadi tak

karuan bentuknya, menjadi lepek. Antar antar halaman menjadi rekat tak bisa dibaca kecuali

setelah Riang menjemurnya hingga menjadi kering. Kecerobohan Riang itu terjadi untuk

yang kedua kalinya, setelah secara tak sengaja pula ia mengubur ensiklopedia ke dalam

lubang yang akan Waluh jadikan lubang percobaan biogas.

Membaca membawa perubahan berarti pada Riang. Ia membaca, kemudian bertanya,

dan membahas hal-hal yang tidak bisa dijangkau pikiran, atau membahas pertanyaan yang

senantiasa menziarahi dirinya. Saat membaca folklore Riang membandingkannya dengan

pencatatan yang merupakan salah satu teknik pendokumentasian ilmiah. Menyadari

kelebihan dan kekurangan metode itu Riang menjadi terobsesi untk melakukan pencatatan.

Buku yang diberikan Taryan menjadi hadiah yang berguna baginya. Apa pun yang ingin ia

tanyakan, yang ingin ia hafal dan yang ingin ia kembangkan ia tulis di dalam bukunya.

238

Ketika membaca perikehidupan dan kronik peradaban serta biografi tokoh yang ada di

dalamnya, Riang digugah oleh birahi keingintahuan akan kebangkitan dan keruntuhan

bangsa-bangsa. Tatkala ia melakukan korespondensi antar alam pikiran, ia merasa menjadi

pelari marathon yang tertatih-tatih kehabisan nafas.. Manakala eksplorasinya menerabas alam

eksakta, ia mengakui kelemahan dirinya. O betapa mulianya ilmuwan yang membantu

kehidupan material manusia. Ah Riang bukan saja menjadi pelari marathon. Ia melakukan

thriathlon. Ia memasifkan kerja otak yang diimbangi dengan kerja fisiknya di lahan

pertanian. Riang merasa segar. Fase ini ia rasakan seperti meminum jus bianglala melalui

cangkir piala. Ini fase carpe diem, fase mimesis, momentumnya berdansa tango, menjadi

swingger, bergoyang dombret sambil memainkan kolintang. Ini fase teriakan parau Sid

Vicious pada lirik pertama Anarki in U.K menuju lengkingan lulusan les musik Sebastian

Bach dalam lirik “good by to blues-nya” Yngwy Malmsteen.

Riang kesurupan! Kemasukan bukan dalam kegelisahan, tetapi gila dalam melakukan

pencarian, menapaki kebijaksanaan. Riang merapihkan folder pikirannya. Ia satu langkah

menuju pemikiran yang mapan. Ia berada di bawah alam kedewasan untuk memilah dan

memilih madzhab pemikiran. Tempatnya berteduh kini memberi banyak makna. Semua yang

pernah ia alami: asuhan orang tua, kehidupan masa SMA, pendakian yang mempertemukan

dirinya dengan Fidel dan Pepei, jalanan, pondokan Bentar, rumah kayu, SNB dan bermacam

peristiwa lain ia rasakan manisnya karena ia dapat menarik hikmah di balik kejadian yang

telah ia lewati..

Riang mengembalikan kembali buku yang rusak oleh hujan. Sebelum keluar dari ruangan

bawah tanah dan menaiki tangga, tiba-tiba Riang merasa ragu mengunci pintu besi. Ia

mengambil senter dan berjalan hingga ke ujung lorong. Pintu sudah terkunci namun ia malah

membukanya kembali. Suara jangkrik terdengar. Ia menyibak dan berjalan merebahkan

semak-semak, menuju sebuah pekarangan luas di pinggiran hutan yang secara alamiah

rumputnya lembut dan tumbuh sejajar, sama rata. Sampai di tempat itu ia duduk

mencangklong.

Petak yang terbuka menghadapi lembah. Angin menyisir rambut Riang. Lahan datar

yang Riang olah di bawah petak tanah --yang saat ini tengah ia duduki-- tinggal menunggu

panen. Bulan menyirami lahan itu dengan sinarnya. Lampu jauh hotel berbintang lima

menyorot ke angkasa . Riang teringat. Di awal kedatangannya ia merasa tidak bisa

membatasi gondola pertanyaan yang berlayar di sungai pikirannya. Ia teringat bagaimana

Fidel menjanjikannya kunci pembuka agar ia tak terlalu kewalahan menghadapi aliran

239

pertanyaan yang mengendap di kepalanya. Ia mengingat bagaimana Fidel meletakan

punggungnya lalu bersandar di batu.

“Pohon tumbang yang menghalangi jalan kita di Merbabu dulu pun dikeroposi

waktu.” Fidel memulai pembicaraan menggunakan bahasan siklus kehidupan. “Matahari

yang merajai angkasa pun memiliki durasi. Umur! Setiap mahluk memiliki umur sendiri!

Manusia adalah mahluk, yang juga akan mengalami akhir yang sama dengan mahluk lainnya.

Manusia berada dalam kungkungan waktu dan dikeroposi oleh waktu secara alamiah. Kita

lahir sebagai bayi, beranjak dewasa, merenta, kehilangan energi, lalu mati! Kesadaran akan

keberakhiran ini akan melahirkan pertanyaan mengenai awal dan bagaimana menjalani

kehidupan. Ini masalah klasik dari awalan manusia ada hingga saat ini saat.”

Masih terbayang di pikiran Riang, suatu masa ketika Pepei berkata dalam pertemuan

penghabisan dengannya. ” ... kau bisa berlari dan boleh berlari dari pertanyaan mendasar

mengenai tujuan hidup yang terus menerus menuntutmu!”

“Aku tidak mau hidup setengah-setengah Mas.” Kata Riang. “Aku harus

menuntaskan pertanyaan yang memusingkan ini.” Riang mengeluh, “aku … aku, lelah

dengan ketidakstabilan ini! Aku tidak ingin bersembunyi. Aku tidak ingin terus alami

ketidakpastian! Aku ingin memecahkannya!”

“Ya, Kau akan memecahkan!” ujar Fidel memberi sugesti pada Riang, “Kau akan

menstrukturkan, mensistematikakan pertanyaan juga pikiranmu!”

“Bagaimana agar bisa, bagaimana caranya?”

“Awalilah dengan mempercayai Tuhan, atau menafikannya, bahkan malah tidak

memperdulikan keberadaan atau ketidakberadaan-Nya sekalian!”

Kepala kopong. Riang tak paham.

“Theis: percaya Tuhan, atheis: menafikannya, agnostik: tidak mempedulikan ada atau

tidaknya.” Fidel memaksa. “Kau harus memilihnya!”

“Aku tak bisa memilih, aku tak tahu harus memilih apa!”

Riang tersenyum.

“Yang membuat kita kelimpungan, yang membuat kita gelisah dicereweti begitu

banyak pertanyaan dikarenakan banyak hal. Bisa jadi karena kita belum menemukan untuk

apa tujuan hidup di dunia, belum bisa menjawab dari mana kita berasal, dan akan kemana

setelah tubuh kita ini habis fungsi, mati. Bisa pula, karena kita tidak mengetahui sejauh mana

kinerja akal kita berkerja, seluas apa cakrawalanya, selebar apa jangkauannya.”

“Orang yang telah mendapat jawaban asal muasal sert tujuan akhir yang dicapai

setelah kematian, biasanya akan mengetahui tujuan hidup dia yang sebenarnya. Kehalauan,

240

kegelisahan akan mudah ia atasi. Hidupnya akan di warnai makna, dan lebih dari itu, ketika

ia telah mengetahui sampai di mana batasan berpikir, maka ia akan dengan mudah

mengumpulkan, mengorganisasikan pertanyaan mana yang benar-benar harus ia pikir dan

cari jawabannya dan mana pertanyaan yang sekedar ia jadikan tamasya di alam pikirannya.”

Tentu, Riang tak memahami utuh apa yang diungkap Fidel, namun ia menangkap

substansinya..

“Tamasya? Sepertinya asyik,” Riang membayangkan.

“Jika Kau sudah memiliki struktur berpikir dan mengetahui batasan-batasan yang tak

mungkin Kau jangkau dengan kekuatan akalmu, maka pertanyaan yang dulu Kau anggap

menyeramkan, menakutkan, mendirikan bulu kuduk akan Kau anggap sebagai hiburan. Jika

Kau memahami tamasya pikiran, kau akan mengetahui mana pertanyaan yang mengalihkan,

yang mengombang-ambingkan dan Kau hanya akan menganggap pertanyaan itu sekedar

pengasah otak, sekedar hiburan di taman ria.”

Fidel tahu, seseorang tak mudah mengerti apa yang ia ungkap. Ia berusaha

mencairkan kepekatan. “Sebelum kau bertamasya, kita harus mengetahui lebih dulu makna

mengenai struktur pemikiran.” Fidel mengetahui perjalanan pemahaman Riang masih jauh

dan panjang.

STRUKTUR. FIDEL MENGAMBIL KERIKIL dan melemparkannya.

“Coba kau raup bebatuan yang ada di bawah kakimu!” Fidel berteriak. “Anggaplah

bebatuan itu kelereng berjumlah seribu. Lemparkan kelereng itu sekuat tenaga! Lempar!”

Riang meraup dan melemparkannya. Saat batu jatuh ke tanah. Fidel bertanya.

“Berapa kemungkinannya kumpulan kelereng itu membentuk bulat, bujur sangkar,

persegi panjang atau membentuk sebuah garis lurus vertikal ke atas?”.

“Mana mungkin,”.jawab Riang.

“Apa!? Tak dengar!”

“Mana mungkin!”

“Teriak yang!”

“Mana mungkin!!!” Gema pantul kemana-mana. “Kin…kin…kin!”

“Kemungkinan kelereng yang jatuh ke tanah kemudian membentuk formasi bulat,

bujur sangkar, persegi panjang atau membentuk sebuah garis lurus vertikal ke atas adalah:

0,0000000000000000000000000. Tidak ada ujung pangkalnya! Mustahil! Lantas bagaimana

dengan bintang yang ada disana?! Bagaimana dengan planet-planet di luar bumi manusia!

Bagaimana keberadaan Bima Sakti yg terdiri dari bilyunan bintang! Bagaimana galaksi

241

lainnya! Bagaimana degan semua planet dan bintang yang ada dan memiliki garis edarnya

masing-masing?!”

“Mereka tak saling berbenturan kecuali pada masa tertentu! Mereka memiliki

keteraturan garis edar! Rumit! Keteraturan itu lebih rumit dari sudut-sudut pada bujur

sangkar dan trapesium!”

“Bumi melayang dalam sebuah ruangan kosong! Begitu pula Matahari, Mars dan

lainnya! Mana penyangganya? Mana tiang beton cakar ayamnya? Mungkinkah itu terjadi

karena kebetulan sementara sesuatu yang sederhana, sepatu, gelang, diciptakan pengrajinnya,

gedung dan kendaraan yang berlalu lalang di jalanan, kita yakini diciptakan manusia. Kita

pahami tidak ada dengan sendirinya.”

“Jika ada yang mengatakan alam terbuat dari materi, apa yang harus kusangkal. Aku

mengakui bahwa alam terbuat dari materi. Tidak masalah untuk meyakini itu, tetapi siapa

yang menciptakan awal pembentukan alam semesta dari materi yang setitik itu? Materi itu

sendiri? Apa materi yang setitik itu dapat mengatur rotasi planet dan bintang pada porosnya?

Apakah titik kecil (materi) itu yang melakukan penjagaan, agar bumi dan bulan menyepakati

garis edarnya masing-masing hingga tidak saling bertumbukkan?”

“Mungkinkah seonggok materi, mengatur Pluto, Jupiter atau Sedna agar mereka, agar

planet tersebut melayang di sebuah ruangan besar yang kosong? Mungkinkah itu semua?

Mungkinkah kemunculan hukum alam, hukum peredaran bintang, hukum planet dan bintang

yang menggantung di ruangan kosong terjadi dan ada dengan sendirinya?”

Riang berpikir. Ia membisu.

“Bahkan bukti penciptaan bisa kau lihat di sana.” Fidel menunjuk.

Riang meraba alisnya.

“Setelah kau dewasa, pendek rambut di atas matamu hampir pasti selalu seperti itu.

Mengapa rambut alis tidak tumbuh seperti rambut yang menempel di kepalamu?”

Riang membayangkan alisnya, memanjang seperti rambutnya yang lama tak

dipangkas. Ia membayangkan bulu matanya menempel di makanan, menyapu jalanan,

alisnya menjadi rumbai-rumbai seperti tirai dan surai keledai membuat mata dan kepalanya

menjadi berat. Riang bahkan terlalu jauh berpikir. Pikirannya beranak pinak. Riang berkhayal

hidup sejahtera karena dirinyalah yang pertama membuka salon pangkas alis dan bulu mata

dalam sejarah. Ia bahkan telah menyiapkan pengembangan usaha creambath bulu idung dan

rebonding ketiak.

Khayalan yang jika dibiarkan akan mengalahkan khayalan J.K. Rowling serta

Danarto itu dimatikan oleh perkataan Fidel. “Bukti penciptaan ada di salah satu inderamu

242

juga!” Fidel menunjuk mata Riang. “Pernahkan berpikir mengapa mata kita memiliki

keterbatasan? Mengapa kita tidak bisa melihat benda yang super kecil seperti virus bakteri

dan amuba? Mengapa telinga kita tidak bisa mendengar suara yang jauh? Bukankah asyik

jika kita memiliki ketidakterbatasan jangkauan indera. Kita bisa menjadi sekuat Clark Kent,

bisa berubah seperti mimikri, digjaya seakan Wisanggeni, dan kalau kau wanita kau bisa

menjadi Mantili dalam serial cantik Brama Kumbara, menjadi wanita Amazon yang hebat,

menjadi manusia super di antara manusia super lainnya.”

Riang berpikir.

“Semua ada aturannya.” Papar Fidel. “Penciptaan tidak dibuat ibarat sirkus

ketangkasan. Penciptaan bukanlah sesuatu yang dibuat main-main. Jika kita memiliki

kekuatan: kemampuan melihat benda super kecil, memperhatikan detail, memperhatikan

lipatan-lipatan kecil maka kita tidak akan menyukai wanita secantik apa pun parasnya.

Dalam detail wajah si cantik akan berubah menjadi mengerikan. Kulit wajahnya bolong-

bolong oleh pori-pori. Jerawat kecil akan menjadi kawah. Lemak yang menyumbatnya akan

kita lihat seakan nanah yang menjijikan dan menakutkan. Kita akan melihat seribu satu

macam ancaman karena mata kita melihat ribuan hewan mikroskopis yang bentuknya

berbuku-buku, berlendir, berbulu tajam dan mengerikan di permukaan wajah kita bukan

hanya wajah kita tentunya. Wanita cantik yang kita bicarakan tadi akan menampakan diri

seperti siluman!”

“Bukan hanya mata, jika telingamu peka, Kau akan kesulitan menikmati tidur.

Kecoak yang merayap di pipa akan terdengar seperti suara garukan gabus pada dinding yang

kasar. Obrolan-obrolan yang puluhan meter dari tempatmu berbaring akan terasa nyata

berada hanya beberapa senti dari kupingmu. Derum mobil, suara motor satu kilometer dari

tempatmu, buah yang jatuh, penyewan game, dingdong, tangisan anak, akan membuatmu

depresi. Suara akan menjadi terror, melemahkan mental, membuatmu gila!”

“Jika kita mau melihat tubuh kita sendiri kita akan melihat beragam keagungan,

melihat keteraturan. Kulit yang kita kenakan ini, tidak sembarangan melekat. Kulit

merupakan benteng agar tubuh tidak mudah cedera ataupun mudah terkena organisme yang

membahayakan kesehatan tubuh, kulit menjaga agar tubuh kita stabil suhunya dan tidak

kering. Kerangka manusia berfungsi untuk menahan guncangan, menjadi penopang daging,

otot serta organ bagian dalam tubuh kita. Otot menjadi semacam kabel yang menarik tulang

untuk menimbulkan gerakan. Peredaran darah yang bergeraknya satu arah. Peredaran yang

memiliki panjang sekitar sembilan puluh enam ribu kilometer yang di pompa oleh jantung

yang hanya sekepalan, kemudian berputar di dalam tubuh kita, yang dalam sekali putarannya

243

hanya memakan waktu kurang dari satu menit. Dan kegiatan yang rumit serta menakjubkan

itu terjadi tanpa membutuhkan istrirahat, terus berkerja sepanjang hidup kita. Belum lagi

kalau kita berbicara otak manusia, berbicara tentang organ tubuh lainnya.”

“Yang …” ucap Fidel lembut. “Kau, aku, manusia, alam semesta, tidak ada karena

permainan. Manusia tidak muncul tiba-tiba. Desain diri kita dan mahluk lainnya, terlampau

sempurna untuk dikatakan muncul dari kebetulan atau ketidaksengajaan yang tidak bisa

dideskripsikan.”

Riang tiba-tiba mengingat sesuatu “Tapi,” Ia menyanggah, “jika memang Pencipta itu

ada, bisakah Pencipta yang maha kuasa itu menciptakan batu besar, batu yang super besar,

hingga Ia tidak bisa mengangkatnya?”

Fidel tertawa. “Kau dapat dari mana pertanyaan itu?”

Riang mengaku. “Buku yang diperlihatkan mas Pepei!” lugas.

“Itu pertanyaan yang mengalihkan.” Fidel menegaskan. “Ada banyak pertanyaan

yang mengalihkan keyakinan kita untuk mempercayai Tuhan. Yang kau utarakan salah satu

diantaranya. Atau yang lain, misalnya: untuk apa kita menyembah Tuhan yang tak berkuasa

atas iblis? Bukankah dia yang maha kuasa seharusnya mencegah iblis yang telah

meneebarkan wabah kejahatan di dunia? Seharusnya Tuhan menjadikan iblis baik, atau kisah

tentang anak taman kanak-kanak yang diminta berdoa agar Tuhan memberinya gulali dan

sekantung permen.”

Riang teringat kembali akan pertanyaan Mahdi di Yogyakarta. Ia teringat kembali

pernyataan sperma tuhan dan biawak. Tak sadar ia menggumam. “Sperma tuhan

mengalihkan?!”

“Apa.” Fidel memastikan.

“Tidak Mas.” Riang mengelak. Tadi ia mengeluarkan pernyataan yang ditujukan bagi

dirinya.

“Mas… untuk apa kita menyembah Tuhan, apa guna kita bersujud pada-Nya, untuk

apa kita mempercayai-Nya, toh manusia tidak akan mati kalau tidak mempercayai Dia?”

Fidel mengulum senyumnya. “Itu termasuk yang mengalihkan,” katanya.

Riang diajak untuk kembali menata pikiran.

“Mempercayai Tuhan tidak agar kita mati karena mau percaya pada Tuhan atau tidak

manusia akan mati juga. Mempercayai Tuhan, menyembahnya merupakan beragam tanda:

tanda penyerahan kita atas rahasia yang tidak bisa kita singkap, tanda terimakasih manusia,

tanda penghambaan, tanda-tanda lainnya.”

“Jika Tuhan maha kuasa mengapa Dia tidak menjadikan iblis memiliki kebajikan?”

244

“Tebak apa yang kupikirkan?” tanya Fidel tiba-tiba.

“Aku tidak tahu,” Riang menjawab spontan.

Kau tidak bisa menebak pikiranku, apalagi pikiran Tuhan yang dahsyat,” Fidel

tertawa. “Tuhan memberi pilihan agar mahluknya memilih yang baik dan yang salah, agar

mahluknya memilih konsekuensi perbuatan yang telah ia kerjakan dan Iblis telah

memilihnya. Kalau Tuhan menciptakan segala sesuatu penuh kebaikan, nanti akan ada pula

manusia yang bertanya … kalau begitu Tuhan Maha tidak Demokratis. Kata manusia,

seharusnya setiap mahluk diberikan pilihan. Serba salah. Apa yang kau tanyakan, kenapa

iblis tidak diciptakan saja penuh kebaikan seperti malaikat merupakan salah satu rahasia

kehidupan terbesar. Yang paling penting dari semua yang kita bicarakan ini, apakah hanya

dengan pertanyaanmu itu, apakah dengan pertanyaan lain yang terlontar lantas Tuhan

menjadi tak?”

“Ini rahasia mas…” Riang berbisik meski hanya ada dua manusia yang berada di

lahan itu. “Fred pernah mengatakan di pondokan, bahwa mahluk Tuhan yang paling beriman

itu Iblis.” Riang mengadu.

“Fred?” Fidel merasa aneh. Dahinya berkerenyit.

Riang melanjutkan. “Iblis tidak mau bersujud pada manusia sebab iblis tahu yang

patut di sembah itu bukan Adam, melainkan Tuhan, Allah.”

“Ya,” Fidel mengakui. “Kisah tidak mau sujudnya iblis itu ada di injil dan Quran…”

Riang memotong, “lantas untuk apa Tuhan menghukum Iblis atas kesalahan yang

tidak terbukti? Kalau pun Iblis memang salah, kesalahannya kecil. Tidak ada bandingannya

dengan dosa yang dibuat manusia. Manusia membunuh ribuan orang dalam perang,

memperkosa, menyiksa manusia lainnya, sementara salah iblis hanya tidak mau bersujud

pada Adam. Dimana kesalahan besarnya?”

“Mengutip Fred lagi?” Fidel curiga.

Riang mengangguk.

“Aku tak tahu penjelasan sahabat-sahabat Kristianiku mengenai hal ini tapi dalam

pandang keyakinanku, perintah sujud Tuhan pada iblis bukan perintah penghambaan, bukan

perintah agar Adam menjadi majikannya, menjadi sembahan-nya. Sujud dalam kitab-ku

memiliki banyak pengertian, dua diantaranya: sujud penghambaan seperti halnya ketika aku

shalat dan sujud penghormatan layaknya yang malaikat lakukan terhadap Adam. Tuhan

meminta Iblis bersujud kepada Adam bukan untuk menghamba tetapi menghormati mahluk

yang memiliki pengetahuan. Iblis membangkang melakukan penghormatan, ia menolaknya

karena di dalam diri dia ada kesombongan, padahal iblis mengetahui yang memerintah dia

245

bukan manusia, bukan malaikat, tetapi pemilik alam semesta. Iblis mengetahui bahwa yang

memerintahkan adalah Zat yang menciptakan dirinya, maka pembangkangan macam apa

yang terbesar ketimbng pembangkangan mahluk yang sudah mengetahui Penciptanya, yang

sudah berhadapan langsung dengan pembuatnya?”

“Bukankah Adam membangkang juga? Bukankah Adam memakan buah larangan?”

“Adam membangkang, tetapi ia menangis setelah melakukan kesalahan, ia bertaubat.

Ini berbeda dengan iblis. Dia malah mengancam Tuhan untuk terus menggoda manusia untuk

menjadi temannya di Neraka.”

Riang sedikit lega. Seolah tak percaya.

“Ada banyak pertanyaan, ada banyak hal tentang kisah Tuhan, tentang Iblis dan

manusia.” Fidel melebarkan. “Ada yang mengatakan bahwa diturunkannya Adam ke bumi

dikarenakan Tuhan cemburu. Tuhan takut akan kekuatan manusia setelah memakan buah

Khuldi. Kata mereka, Tuhan takut jika manusia menyainginya. Mereka katakan juga bahwa

sesungguhnya Iblis bukanlah penjahat. Iblis adalah penolong manusia untuk mencapai

kekuatan, merebut keabadian. Persepsi ini berusaha disamakan dengan kisah Yunani

mengenai Promoteus yang mencuri api keabadian dari Zeus untuk ia berikan pada manusia.

Api keabadian merupakan kekuatan dan Zeus dalam mitologi itu diidentikkan dengan Tuhan.

Padahal, satu kisah lain dengan kisah lainnya tidak bisa disamakan, dipaksakn untuk

dicocokkan, karena sumbernya pun berbeda. Mengenai buah khuldi, , dalam pandangan

pemikiran keagamaan Islam, buah tersebut banyak di terjemahkan sebagai buah kejahatan

kemanusiaan. Adam dihukum karena tidak menggunakan akal pikirannya untuk menjauhi

kejahatan. Penafsiran lainnya mengenai diturunkanya Adam oleh Tuhan, bukan dikarenakan

hukuman memakan buah khuldi, melainkan karena memang perencanaan Tuhan bagi

manusia untuk mengolah planet biru ini, untuk mengolah bumi … lagipula kalau yang

dituduhkan oleh mereka bahwa Tuhan ketakutan jika Adam mengalami keabadian dan

mendapatkan pengetahuan setelah memakan khuldi, apa yang perlu ditakutkan, jika Ia

memang Tuhan? Sejak kapan Tuhan yang menciptakan takut pada yang diciptakan? Apa

magma yang bergejolak di bawah bumi itu tidak bisa Ia gunakan untuk membinasakan

manusia? Apa kehancuran bintang-bintang oleh kekuatan alam yang Ia pegang tidak cukup

untuk membuat manusia menjadi ampas abu? Dialah pemegang kekuatan, mengapa dia takut

kepada ciptaan yang besarnya cuma sepertrilyun dari besaran bumi yang diciptakan oleh-

Nya?”

“Tuhan maha gagah!” ucap Riang. Kesehatannya pulih.

246

“Jika kau memahami struktur keimanan, kau akan mengetahui mana pertanyaan

dan ungkapan yang mengalihkan. Manusia boleh kesulitan untuk memberi jawaban

mengenai pertanyaan ketuhanan. Orang boleh membuat bingung manusia lainnya tentang

keberadaan Tuhan dengan aneka pertanyaan, tetapi apakah hanya dengan pertanyaan itu,

dengan akrobatik kata itu Tuhan lantas jadi tak ada sementara bukti penciptaan-Nya, bukti

keberadaan-Nya merentang di keajaiban dan keagungan alam semesta, di tubuh kita.”

“Lantas siapa yang menciptakan Tuhan?” Riang tak yakin dengan pertanyaan yang ia

ucapkan.

“Kalau Tuhan ada yang menciptakan,” Fidel tersenyum, “apakah kita akan tetap

menafikan keberadaan Pencipta manusia? Apakah pertanyaan itu menghapus keberadaan

Pencipta kita di dalam semesta yang teramat nyata?”

“Maksudku bukan itu…” Riang berusaha menjabarkan tetapi ia tak menemukan.

Fidel menolongnya, berusaha mengerti pikirannya. “Sebenarnya, kalau Tuhan

diciptakan, berarti dia bukan Tuhan. Kalau kejadianku dibentuk hukum alam, katakanlah

yang orang lain katakan sebagai tuhan adalah hukum alam, maka dalam kepercayaan yang

menjadi sandaranku, dalam keyakinanku: Tuhan adalah tempat segala sesuatu berawal.

Termasuk tempat bersandar hukum alam yang membentuk kejadian diriku.”

“Tapi menurut Mas sesuatu yang menakjubkan itu diciptakan. Tuhan itu

menakjubkan, berarti dia diciptakan. Siapa yang menciptakan diri-Nya?” Riang gemetar. Ia

merasa takut dengan pertanyaannya sendiri.

Fidel menyentuh tubuh Riang, ia menenangkannya. “Kalau tuhan di ciptakan, berarti

dia bukan tuhan. Pertanyaan lanjutan dari pertanyaan tersebut adalah … siapa yang

menciptakan yang tidak bisa diciptakan? Ini pertanyaan yang membingungkan, dan

selamanya akan membingungkan bukan hanya untukmu saja, tapi untuk orang yang mau

berpikir dan bertanya sejauh itu dan sedalam itu.”

Fidel memandang Riang. “Coba jawab pertanyaanku. Apa dengan pertanyaan itu

Tuhan menjadi tidak ada?” Fidel melepaskan tatapannya. “Pertanyaan itu hanya untuk

mengalihkan.” Fidel mengingatkan. “Keteraturan semesta merupakan jawaban yang

memuaskan mengenai eksistensi Pencipta. Keteraturan alam merupakan jawaban yang logis

ketimbang menihilkan, menolkan, menafikan ketiadaan Pencipta di balik segala macam

keteraturan yang dahsyat yang melingkupi seluruh alam. Bagaimanapun juga, ada Sesuatu

yang menciptakan diri kita. Kita diciptakan dan dibentuk mungkin oleh pembantu-Nya

Tuhan, mungkin malaikat yang memegang hukum alam atau entah oleh siapa yang kita tidak

mengetahuinya, namun pada hakikatnya kita tidak bisa menyangkal bahwa kita diciptakan.”

247

“Lantas siapa yang ciptakan Tuhan.” Riang tahu ia mengulangi pertanyaan. Ia merasa

tegang.

“Hm,” Fidel mendesah. “Di sanalah batas berpikir manusia. Di sanalah tapal

batasnya. Bukan hanya kau dan aku, bukan hanya kita, seluruh manusia tidak bisa melampaui

hal itu. Di sanalah keterbatasan manusia sebagai mahluk yang serba bisa. Di sanalah

kegelapan yang tidak mungkin bisa kita sibak. Sampai di sini tamasya pikiran kita berhenti.

Di luar itu batas berpikir manusia, kita memerlukan sandaran dan jika memaksakan maka

kita berkhayal.”

Riang berpikir, ia menciptakan sebuah sistem berpikir di kepalanya untuk

memecahkan pertanyaan siapa yang menciptakan tuhan. Ia tak menemukan. Ia merasa

gamang.

Fidel menepuk Riang. “Kehampaanlah yang akan kita peroleh jika berusaha

mengungkit sesuatu yang tak mampu kita pikirkan. Kehampaanlah yang akan kita dapatkan

jika berusaha melampaui batas kemampuan berpikir kita, melewati tamasya pikiran manusia.

Jika terlarut dalam pikiran seperti itu, Kita akan merasa sia-sia, lebih jauh lagi, merasa bahwa

hidup yang kita jalani ini serasa begitu mengerikan. Ketidak tahuan akan rahasia tersebut

membuat pikiran kita kacau, galau. Sesal akan datang. Kita menyesal dilahirkan. Kesal ada

dan menjalani kehidupan di dunia, lantas, apa penyesalan tersebut dapat menjadikan kita

musnah, menjadi tidak dilahirkan? Tidak. Kita telah ada di dunia. Hidup adalah untuk

berjuang. Hidup tidak untuk disesali. Kita ada untuk memperjuangkan sesuatu yang kita

yakini. Manusia yang dikepung kebingungan, kegelisahan, dan tidak mampu menyingkap

rahasia yang teramat gelap seharusnya menjadikan dirinya sadar bahwa ia memerlukan

sandaran dan seharusnya sandaran itu merupakan sesuatu yang berkuasa terhadap dirinya.

Kita menyebutnya Tuhan.”

“Kalau Tuhan ada, mengapa tak bisa kita lihat, tak bisa kita raba?”

“Memang bentuk Tuhan untuk saat ini tak bisa dilihat. Tapi, keberadaanya dapat

manusia rasakan melalui perasaan dan dibuktikan keberadaan-Nya melalui pikiran. Kita tidak

melihat pesawat, tetapi kita mendengar suaranya. Pesawat terbangnya jenis apa, kita tak tahu,

tapi kita tahu pesawat itu ada. Tuhan itu nyata, namun bentuk dan wujud Zatnya seperti apa

kita tak tahu. Dan suatu saat, mungkin, kita akan melihat-Nya.

“Kalau begitu Tuhan ada.”

“Keteraturan adalah bukti keagungan sebuah desain penciptaan. Kagungan desain

penciptaan adalah pikiran yang masuk akal ketimbang menafikan Tuhan tetapi tidak

248

memiliki bukti selain asumsi mengenai aneka macam kejadian yang dianggap sebagai

kebetulan.”

“Untukku, keberadaan Tuhan itu masuk akal,” ungkap Riang.

“Terserahmulah,” ujar Fidel tertawa.

Riang mengingat betul apa yang terjadi setelah perbincangan itu. “Jangan gampang

teralihkan dengan pertanyaan yang mengalihkan. Jadilah api yang tak terpadamkan!” kata

Fidel mentransfer energi. “Buku-buku di ruang bawah tanah itu adalah salah satu bahan

bakarnya.”

Dengan tekun, satu persatu buku-buku Riang baca dan Riang pelajari. Ia melalap-

lalap, membakarnya satu persatu, hingga satu persatu buku-buku gosong menjadi abu. Ketika

Riang menemukan sesuatu yang membingungkan, ia mendiskusikan segala sesuatunya

hingga apa yang ia pelajari menjadi kobaran api yang semakin besar nyalanya, semakin

panas tariannya, semakin haus, semakin ritmis geliatnya.

MORALITAS

Riang masih berada di lahan yang tak jauh dari ruang bawah tanah. Ia masih

memandang ke belakang.

“Tuhan, adalah awalan, dan Tuhan adalah akhir tempat manusia kembali,” ungkap

Fidel mengawali. “Jika sudah menjawab dari mana kita berasal dan akan menuju kemana

setelah kita mati, maka apa yang seharusnya manusia lakukan untuk mengisi kehidupan?”

Riang menyimak.

249

“Ada beberapa pandangan mengenai hal ini. Satu kalangan menyatakan bahwa Tuhan

adalah pembuat jam. Usai membuat jam Tuhan tidak ikut dalam pengaturan kehidupan

manusia. Manusialah yang menentukan moralitas mana yang terbaik bagi dirinya. Kata satu

kubu yang lainnya, tidak mungkin! Tidak mungkin yang menciptakan tidak memberikan

petunjuk moralitas bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Televisi dan mobil pun ada

pabriknya. Kalau rusak, memperbaikinya harus mengikuti aturan pabrik. Manusia pun

demikian.”

“Tuhan yang mana yang harus diikuti aturan-Nya?”tanya Riang.

“Itu pertanyaan yang bagus. Tapi apa sebaiknya kita tidak membandingkan dulu

logika antara satu kubu dengan kubu lainnya.”

“Apa kaitannya?”

“Jawaban mengenai Tuhan yang mana yang harus diikuti aturan-Nya seperti yang kau

tanyakan tadi akan menjadikan kita memilih moralitas yang diungkap dalam agama-agama,

sementara saat ini kita tidak akan membandingkan antar agama lebih dulu, tetapi membicara

sesuatu yang lebih mengakar dari padanya, yakni benarkah Tuhan membuat aturan moralitas

untuk ditaati, ataukah Tuhan malah membiarkan manusia untuk mencari aturan moralnya

sendiri?”

Fidel membiarkan Riang berpikir lama.

“Aku sedikit kesulitan untuk mempermudah permasalah moralitas ini,” ungkap Fidel

jujur. “Tapi, begini saja.” Fidel merangkai. “Apa menurutmu korupsi itu kejahatan?”

“Tentu saja! Setiap manusia mempercayai korupsi adalah kejahatan!”

“Pemerkosaan, pembunuhan bayi menggunakan gergaji mesin, mencopet dompet

nenek-nenek, menembaki sembarang orang karena tak memiliki uang untuk latihan menjadi

cowboy, apakah itu salah?”

“Salah! Luar biasa salahnya!”

“Mengapa salah?”

“Karna semua agama, mengatakan itu salah.”

“Itu kalau kau sudah percaya agama.” Fidel tersenyum. “Kita kan tidak sedang

memperbincangkan agama. Yang kita bicarakan, apakah aturan moralitas dari Tuhan itu

benar-benar ada?”

“Aku tak tahu mas. Aku bingung.”

“Semua contoh yang kusampaikan dianggap kejahatan, karena perilaku itu merampas

hak orang!”

250

“Kalau tidak merampas hak orang lain, apa suatu perbuatan tidak dikatakan sebagai

kejahatan?”

“Tergantung dari cara kita memandang. Aturan moralitas agama-agama, setidaknya

agama yang besar, mengatakan contoh yang kuberikan adalah kejahatan, tetapi karena agama

memiliki definisi hak sendiri, maka terkadang perbuatan yang “tidak mengambil hak orang

lain” dianggapnya sebagai perbuatan tercela. Kehidupan seks bebas, bersetubuh tanpa ikatan

agama salah satu contohnya.”

“Jika memang tidak melanggar hak manusia lainnya, mengapa agama melarang?”

Tanya Riang.

“Karena agama memiliki definisi haknya sendiri. Seks bebas melanggar hak Tuhan

mengenai pengaturan kehidupan seks, dalam aturan agama.”

“Sepertinya tidak masuk hitungan?”

“Masuk hitungan logikamu?” Fidel tertawa.

“Iya.”

“Itu wajar, tetapi mengerti aturan moralitas agama tidak bisa dilihat sekilas dari sisi

itu saja. Kita harus masuk ke hal-hal yang lebih dalam lagi.” Fidel berpikir, “Aku sukar

menjabarkan. Aku berikan pertanyaan saja.”

Riang menanti.

“Apakah hubungan seks antara anak dan ibunya, antara bapak dengan anaknya, bisa

dibenarkan oleh moralitas kepalamu?”

“Ampun bunda!” Riang mengembik. “Memikirkannya saja tak berani!

Memikirkannya saja merupakan sesuatu yang memalukan!”

“Bukankah jika suka sama suka tidak apa-apa? Asal tidak merampas hak orang tidak

mengapa? Kalau kau, ibu, bapakmu ikhlas sukarela kan tidak menjadi masalah?”

Riang kehabisan nafas.

Fidel membuatnya sesak. “Bersetubuh dengan orang tua kita, dengan nenek atau

kakek kita tidak menjadi masalah asal kita sama-sama ikhlas. Asal tidak sama-sama

dirugikan. Semuanya sama-sama nikmat, selesai masalah.”

“Jadi… jadi,” Riang tak sanggup melanjutkan. Ia ketakutan. Lelaki di sampingnya

punya kelainan! Sinting! Riang merasa dipancangkan untuk menyetujui statement Fidel.

Lebih dari itu, ia merasa dijerumuskan Bentar dan Eva untuk mengenal Fidel.

“Jadi Mas… jadi…”

“Aku hanya bertanya,” Fidel paham Riang mengkeret. “Itu bukan pemahamanku.

Ambil nafas. Tenangkan dirimu.” Fidel tersenyum. “Aku hanya menanyakan konsistensimu.

251

Jika moralitas yang baik dilandaskan “asal tidak merampas hak orang” maka mau tak mau

kau harus menyetujui apa yang dilakukan keluarga yang mengikhlaskan incest atau

hubungan seks antar anggota keluarganya.”

Fidel menuang kopi. “Kita sudahi dulu. Tenangkan dirimu.”

“Tak usah mas. Aku minum dulu saja.”

Fidel berdiri. Ia menggerakan badannya. Tak berapa lama isyarat itu datang. Riang

terlihat lebih jernih parasnya. “Lanjutkan Mas,” pinta Riang.

“Siapkan dirimu. Kita melakukan petualangan yang lebih ekstrim lagi. Kita tamasya

sejauh yang kita bisa. Kendalikan nafasmu.”

Riang menarik nafas. Ia merasa lebih sigap. Lebih siap.

“Jika landasan perbuatan adalah tidak saling merugikan, tidak saling merampas,

lantas siapakah yang memiliki otoritas untuk menentukan bahwa tindakan yang dilandaskan

pemahaman tidak saling merugikan adalah sebuah kebenaran?”

“Otoritas?” Jenis barang macam apa itu, mata Riang meminta penjelasan,

“Siapa yang memiliki hak untuk menentukan mana yang benar dan yang salah.”

Riang mengerti. “Akal manusia. Yang berhak menentukan adalah akal manusia!”

“Mengapa mengambil paksa hak orang tidak diperbolehkan, mengapa aku harus

mengikuti akal orang jika kepalaku mengatakan tidak apa-apa bila aku membunuh orang lain

yang tidak kusukai. Bukankah hidup du dunia ini merupakan perjuangan. Yang lemah

dimakan, yang kuatlah yang akan menjadi pemenang! Itu alamiah! Membunuh itu alamiah!

Memakan manusia hal yang biasa, binatang pun kadang melakukannya. Memperkosa tidak

mejadi persoalan besar. Balas memperkosa saja kalau kita diperkosa!”

Riang ngos-ngosan. Pertanyaan-pertanyaan dan perkataan itu tak tertangguhkan. Tak

tertahankan, terlampau mengerikan. Ia membisu.

Fidel meraba ketidaksiapan mental itu. Ia membenamkan ketakutan Riang, dengan

mengganti caranya menjelaskan.

“Orang mungkin akan mengatakan itu tidak manusiawi. Perkosaan, kanibalisme

dalam kehidupan adalah hal yang mengerikan, yang dilakukan untuk mengambil paksa hak

orang lain, tetapi siapakah yang berhak menentukan hal ini mengerikan, dan hal itu tidak

mengerikan, sementara tidak ada satu otoritas pun yang mengatakan bahwa perbuatan itu

benar. Kemudian, manusia berharap pada otoritas akalnya. Tapi apakah otoritas akal itu?

Samakah satu otoritas akal dengan otoritas lainnya? Jika sama, mengapa ada pembunuhan

atas nama Teotihuakan yang dulu kita bicarakan di danau Merbabu. Kau masih

mengingatnya?” tanya Fidel.

252

Riang memberi tanda. Ia masih mengingat apa yang mereka bicarakan di danau

Merbabu.

“Jika antara satu otoritas dengan otoritas lain memiliki kesamaa, mengapa di dunia ini

masih ada klan kanibal di Amerika tengah atau suku kanibal lainnya yang masih hidup di

belantara Irian sana?”

Riang merangkak. ”Tidak boleh memperkosa, tidak boleh memakan manusia,

diperlukan manusia untuk menjaga perdamaian.”

Fidel tersenyum. Jika senyum itu terbit, Riang mulai faham, Fidel akan dengan

mudahnya membuat senyum itu tenggelam.

”Aku tahu itu,” ucap Fidel, ”tapi kita bukan membicarakan perdamaian. Kita

membicarakan hal yang lebih radikal lagi. Jika Kau mengetengahkan perdamaian untuk

memenangkan pendapatmu, maka Kau sudah menganggap perdamaian adalah kebaikan.

Maka, atas otoritas siapa perdamaian dikatakan sebagai sebuah kebenaran, sementara

kekacauan adalah kekeliruan? Siapa yang berhak mengatasnamakan perdamaian? Siapa yang

menentukan perdamaian adalah kebaikan? Kenapa pembunuhan dan pemerkosaan dikatakan

kejahatan? Siapa yang menentukan?”

Riang diam.

”Jika sama-sama fair, tidak melibatkan moralitas apa pun, maka tidak ada satu pun

manusia yang berhak mengklaim kebenaran kerangka moralitas. Pembunuhan, pemerkosaan

tidak sama baiknya dengan menjaga perdamaian.”

”Di alam ini tidak ada klaim yang mutlak. Dan ketika ketiadaan klaim yang mutlak

itulah yang akan menimbulkan kekacauan, meski dalam pikiran yang teramat ekstrim

kekacauan itu pun bukanlah sesuatu yang salah karena tidak ada klaim yang memiliki

otoritas untuk mengatakan kekacauan itu benar atau salah.”

Riang berusaha keras memahami. Ia tak sampai-sampai. Ia menggapai-gapai.

”Yang, ... di titik inilah manusia mengalami kebingungan, mengalami kekalutan.

Disinilah banyak manusia masuk ke dalam labirin. Manusia masuk ke dalam ruangan berisi

jalan yang dipenuhi jutaan kelokan. Yang gila tak bisa keluar darinya. Dan pada satu titik

kekalutan dan kebingungan yang tak bergaris finish, para filsuf non agama mencari cara

singkat menjebol dinding labirin. Mereka keluar dengan menjadikan konsensus peraturan:

manusia tidak boleh saling memakan, tidak boleh memperkosa, tidak boleh mermpas hak

manusia lainnya, yang ditetapkan bersama untuk menjaga apa yang dinamakan keharmonisan

kehidupan, untuk mengatasnamakan perdamaian.”

253

”Para filsuf berusaha menjadikan peraturan itu universal. Padahal, mereka tidak yakin

dengan keuniversalan itu, sebab tak ada satupun otoritas yang bisa mengatakan bahwa

moralitas a atau b adalah kebenaran mutlak. Standar kebenaran ini kemudian disebarluaskan,

di globalisasikan, meringsek nilai nilai lokal dan kegamaan.”

”Agama perlahan digeser, dan hak asasi manusia (HAM) perlahan dijadikan sebagai

agama baru. HAM dimutlakkan sebagai kebenaran dan pemikir agama perlahan-lahan

menstandarkan nilai moralitas agama yang mereka miliki untuk distandarkan dengan HAM.

Yang tidak sesuai dengan HAM dinafikan, diinterpretasi ulang sesuai dengan nilai kebenaran

para filsuf yang semula kebingungan menentukan siapa yang berhak menentukan otoritas

moral. Tetapi, di kalangan pemikir keagamaan lainnya, kebingungan untuk menentukan siapa

yang berhak menentukan otoritas kebenaran moral, justru semakin menguatkan kepercayaan,

bahwa hanya Tuhanlah yang berhak menentukan apa yang layak dan tidak bagi manusia!”

“Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa penyandaran moralitas kepada

‘otoritas’ Tuhan yang disimpulkan pemikir keagamaan sebagai sebuah kemalasan berpikir,

dan tindakan orang-orang dungu yang putus asa. Padahal, kembali lagi …jika mau fair,

bukankah konsensus bersama mengenai HAM pun dilahirkan dari keputusasaan, dilahirkan

dari kebingungan juga kemalasan ketika manusia masuk ke dalam dan ingin keluar dari

labirin moralitas yang membingungkan.”

“Pemikir agama yang radikal tidak bisa dikatakan malas berpikir dalam penentuan

standar moralitas sebab mereka pernah mencapai kondisi yang sama. Mereka pernah masuk,

bertamasya ke dalam labirin, berpikir mendalam, hingga pikiran yang mendalam itu justru

menjadi landasan bagi mereka untuk tunduk pada aturan moralitas yang bersumber dari

ajaran moralitas keagamaan. Tuhanlah tempat manusia bersandar! Tuhanlah tempatku

bersandar!”

“Aku?” Riang mempertanyakan pengakuan Fidel.

“Ya tempatku bersandar,” jawab Fidel.

Riang sumringah. Ia yang belum siap berhadapan dengan pemikir radikal atheis,

agnostic, atau berhadapan dengan pemikir yang percaya tuhan tetapi tidak percaya

keberadaan aturan moralitas Tuhan itu, merasa tenang di hadapan orang yang meyakini

moralitas yang bersumber dari otoritas yang disebutnya berasal dari Tuhan.

Ketenangan memeluk Riang. Beban di kepalanya hilang.

“Jadi mas tidak setuju pemerkosaan?”

Fidel tertawa.

“Termasuk tidak bolehnya makan daging manusia?”

254

“Juga tidak bolehnya bersetubuh dengan orangtuaku!” Ujar Fidel menambah untuk

lebih meyakinkan.

Riang lega.

“Orang memang tidak boleh merampas hak orang lain. Tetapi, devinisi tidak boleh

merampas hak orang atau bahkan merampas hak diri kita sendiri pun, seharusnya tidak kita

sandarkan pada otoritas moralitas manusia yang tidak memiliki kekuatan klaim! Devinisi

rampas merampas hak itu, kuserahkan pada pemilik diriku, pemilik dan pengatur alam

semesta. Kuserahkan pada Tuhan yang menurunkan aturan! Pada agama!”

“Agama kan banyak Mas?”

“Itu pertanyaan yang pas di waktu yang tepat.” Fidel melihat jamnya. “Tapi, waktu

membatasi. Istirahatlah!”

“Aku belum mengantuk,” Riang menantang.

“Kalau aku sudah.” Fidel pura-pura menguap.

“Ya sudah, kalau mengantuk istirahat saja.” Riang pura-pura kecewa.

“Aku tahu kau berpura-pura!” tegur Fidel.

Riang tertawa. “Jadi, apakah berusaha menggali sejauh mana kemampuan kita dalam

menentukan akar moralitas adalah tamasya berpikir juga?”

Fidel terhenyak. Dalam persangkaannya Riang masih membutuhkan waktu lama

untuk mengendapkan apa yang telah ia paparkan.

“Jadi itu tamasya juga Mas?”Riang menegur.

“Bagi orang yang memiliki struktur pemikiran penggalian yang kita lakukan adalah

tamasya pikiran. Tamasya ya hanya tamasya, bukan tempat pemberhentian. Tamasya

hanyalah sekedar relaksasi pikiran, aktivitas olahraga untuk mengasah sejauh mana

kemampuan akal kita menjangkau sebuah permasalahan. Tamasya bukanlah tempat kita

diam. Tamasya hanyalah hiburan. Bukan sesuatu yang bisa menjadi sumber keyakinan orang

yang memiliki struktur pemikiran.” Fidel mengalihkan pandangannya. “Yang?”

“Ya Mas?”

“Bukan hanya dalam ilmu, tetapi dalam keyakinan, dalam hal keimanan pemahaman

terstruktur itu luar biasa penting!

Hm … Bukan hanya dalam ilmu,

dalam keyakinan pun,

pemahaman terstruktur itu penting!

Pemahaman itu benar-benar mengikat, seakan kaus kutang yang ketat.

255

Riang menyalin ingatannya ke dalam buku. Desir angin lembah menerpa tak

berkesudahan. Karena merasa dingin ia berbalik arah. Pintu besi ditutup. Hewan yang

memiliki kualitas kecerdasan tingkat tinggi itu, kembali sarangnya.

CERMIN

Dalam pembicaraannya mengenai pencarian, pergulatan manusia dengan keyakinan,

Fidel tidak menyertakan figure pembela eksistensi Tuhan paling mutakhir dan figur

penyangkal Tuhan terbesar, Dawkins dengan teori mengenai meme, virus akal budi yang

mendapat pencerahan dari bapak evolusi, Darwin.

Riang hanya dipahamkan mengenai sebuah fondasi. Ia hanya diberikan pemahaman

mengenai tiang pancang keimanan dan dijelaskan kembali mengenai sandaran informasi

yang pernah Fidel sampaikan saat mereka menginap di danau Merbabu. Bahwa, setelah

manusia meyakini keberadaan Tuhan, setelah seseorang menyimpulkan adanya informasi

256

yang diberikan Tuhan untuk mengelola kehidupan, maka ia akan berhadapan dengan

berbagai klaim keagamaan bahwa kitab inilah, atau kitab itulah yang merupakan wahyu

Tuhan untuk manusia.

Dalam taraf seperti ini manusia akan melakukan serangkaian pengujian mengenai

otentisitas kitab termasuk di dalamnya mengenai penelitian bahasa atau salah satu cara yang

paling sederhana dan bukan yang paling canggih ialah dengan meneliti sejarah bagaimana

kitab suci itu di bukukan: apakah pencatatan kitab suci tersebut dilakukan ketika Nabi --yang

dianggap pembawa kabar ayat-ayat Tuhan-- masih hidup, dalam artian, pencatatannya

langsung dilakukan ketika nabi mendapatkan wahyu atau penulisan kitab suci itu dilakukan

jauh-jauh hari setelah sang nabi wafat? Hal ini perlu dipertimbangkan karena perbedaan

waktu antara pencatat dengan orang yang dicatat ucapannya, akan mempengaruhi tinggi atau

rendahnya distorsi informasi yang disampaikan Tuhan pada sang nabi.

Mencari kitab yang tidak terdistorsi, atau yang paling rendah tingkat distorsinya akan

menunjukan bahwa manusia tersebut adalah manusia yang serius melakukan pencarian. Ia

tidak dengan mudahnya meyakini seluruh keyakinan itu benar atau bahkan semua agama

salah, sebelum ia melakukan penelaahan yang dalam bukan hanya penelaahan terhadap

kesamaan imbauan moral atau beberapa tuntunan etika yang tertera di dalam kitab kitab yang

berserakan di dunia, tetapi penelaahan yang lebih dari sekedar itu. Dan penelahan yang

sistematis seperti itu tentu membutuhkan waktu yang panjang melebihi panjang coki-coki

atau bahkan tubuh ular boa.

Riang akan menjalani tahapan untuk memahaminya, akan tetapi –setidaknya--, saat

ini Riang sudah memahami sistematika sederhana mengenai pencarian keimanan terhadap

sumber informasi.

TAK ADA JAM yang bisa memastikan posisi matahari di angkasa. Riang tertdur

tanpa ada yang membangunkan. Malam kemarin, usai merenung ia kembali menuju ruang

bawah tanah. Riang tak berniat tidur di atas sebab Fidel tidak ada semenjak sore kemarin di

rumah kayunya. Riang bangun, menuju ke atas ruang bawah tanah. Ia membersihkan dirinya

di kamar mandi, menghangatkan sarapan dan memastikan tidak ada kerjaan yang harus ia

lakukan di lahan. Riang lantas kembali lagi ke ruang bawah tanah.

Riang membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia mengambil novel yang Fidel sarankan.

Baru beberapa belas halaman ia membaca dari atas terdengar suara aneh yang mencurigakan.

Konsentrasi Riang terpecah. Suara langkah kaki terdengar berketuk-ketuk. Ada seseorang

257

yang berjalan bolak balik di atas sana. Langkah kaki itu lalu menjauh, hilang perlahan. Sunyi

kembali datang. Lalu langkah kaki itu kembali datang.

Riang menunggu yang terjadi, ia tak mengenal bunyi langkah kaki itu. Sesorang

berhenti tepat di pintu masuk ruang bawah tanah. Suara gerendel pintu terdengar di buka

paksa. Suara itu terdengar kasar. Riang melihat berkeliling. Ia khawatir. Tak ada alat. Tak

ada yang bisa ia jadikan senjata. Ruangan ini hanya berisi buku. Riang membalikan ranjang.

Alas ranjang terbuat dari kawat, ia tak menemukan kayu di baliknya. Mata Riang kembali

berputar. Ia mengeluarkan buku yang paling besar dan tebal dari rak buku. Riang menanti.

Suara paksaan terdengar lagi. Riang tak ragu. Tak mesti ragu. Yang di atas bukan

Fidel. Keringat turun mengelap dadanya. Ia menanti. Suara gerendel pintu tiba-tiba berhenti.

Langkah kaki menjauh lagi. Lalu hilang sama sekali. Orang itu pergi.

Riang menunggu cukup lama. Ia menenangkan diri lalu naik ke atas, membuka pintu

perlahan. Ia menyamarkan langkahnya, memeriksa seluruh ruangan.

Tak ada orang. Riang melihat keluar melalui jendela. Di bukanya pintu. Ia tak

menemukan siapa pun di sana. Ia menuju ruang tengah, duduk dan membiarkan besi panjang

yang ia temukan menemaninya.

Di ruang tengah itu cuaca terlihat mendung. Riang lalu beranjak menekan saklar,

menyalakan lampu. Lampu berkedip-kedip lantas mati. Ada yang salah dengan kincir air di

dekat air terjun. Riang menutup jendela dan mengambil peralatan lalu mengunci pintu dan

memeriksanya hingga ia merasa yakin.

Riang menuju kincir air. Ia melihat air sungai luber. Ada kemungkinan banjir di hulu.

Riang mengecek pandangannya. Mendung di ujung. Ia berlomba dengan awan hitam. Air

terasa semakin deras. Kincir air yang tampak dari kejauhan, berhenti berputar. Ada sesuatu

yang membuatnya tersendat. Tak hanya itu saja, Riang melihat seorang wanita melompati

batu menuju hulu.

“Hei! Jangan ke atas. Banjir bandang!” Riang berteriak berkali-kali tetapi suara air

meredam teriakannya. Ia menyusul. Wanita itu hilang.

Sampai di kincir air Riang melihat bongkahan batu besar yang menghambat

putarannya. Ia mencari kayu, menjadikannya pengungkit. Batu terlempar. Kincir kembali

berputar perlahan lalu bertambah cepat hingga kecepatan yang Riang lihat tidak seperti

biasanya. Riang segera menyusul wanita itu.

Setelah terpeleset dua kali, ia sampai di hulu sungai. Di danau yang dingin tempat

curahan air terjun ditampung, debit air bertambah tinggi. Riang melihat wanita itu berada di

atas batu. Riang merasa mengenal raut wajahnya. Ia melihat wanita itu diam untuk sementara

258

lalu mengembangkan tangannya dan melompat seolah kedua tangannya adalah sayap. Tubuh

wanita itu meluncur deras. Air berbusa dan Riang berharap sayap itu membuatnya

mengambang di atas air.

Riang mulai berpikir tentang kematian. Ia berlari, melompat-lompat di atas batu dan

keseimbangannya muncul paripurna. Sampai di tepian danau Riang menajamkan matanya

dan di dalam danau yang berwarna hijau remang itu ia melihat tubuh wanita bergerak liar

jauh di kedalaman. Ia melihat tubuh wanita itu menggeliat lalu berhenti. Nafasnya habis.

Riang langsung meluncur. Ia masuk ke dalam danau dan berusaha keras mengayuh

tangannya hingga berhasil menyentuh tubuh wanita itu. Dipeluknya pinggang wanita itu lalu

ia membawanya ke atas dan membiarkan kepala wanita itu tepat berada di atas permukaan.

Dalam pada itu Riang tiba-tiba merasa sesak. Ia tak bisa bernafas. Ketika mengangkat tubuh

wanita itu, Riang masih memeluk pinggangnya. Ia menggunakan teknik bodoh: membawa

kepala wanita kepermukaan tetapi kepala dia sendiri masih berada di dalam air dengan posisi

lengan berada di pinggang wanita yang ingin ia tolong. Riang tak bisa bernafas. Untung, air

yang yang bergerak ke tepian mempercepat masa kritis itu.

Saat kakinya menjejak batu di pinggiran danau Riang langsung menyembur keluar.

Nafasnya terengah-terengah. Ia menyeret wanita itu ketepian pada sebuah batu besar yang

datar. Ia mengenalnya, benar-benar mengenalnya. Wanita itu pernah ia temui di Dr. Nurlaila

Wanita itu Milea.

Riang merasa khawatir. Tak ada tanda kehidupan dari tubuhnya. Riang terpaksa

menekan dada Milea dan memberinya nafas bantuan. Matanya terbuka. “Ka..” Milea

menggumam. Kesadarannya hilang tetapi ia selamat. Detak nafasnya mulai teratur.

Riang lantas menyalipkan tangan, mengangkat paha dan melingkarkan kaki MIlea di

pinggangnya. Riang melompati batu, setengah berlari sembari menggendongnya. “Turunkan

aku.” Kata Milea saat mereka melewati kincir air.

Riang tak percaya Milea dapat menyanggah tubuhnya. Benar saja, baru beberapa

detik berkata, kesadaran Milea hilang. Sesampainya di rumah kayu. Riang segera

membaringkannya di sofa. Ia tak tahu harus melakukan apa: untuk mengganti bajunya, Riang

tak merasa mampu. Riang hanya memandangi Milea lalu suara dengung motor trail terdengar

jelas dan Riang mulai merasa tenang.

Fidel datang. Ada Waluh tepat berada di belakang tubuhnya.

“Ia hampir tenggelam,” Riang menjelaskan.

Fidel mengecek urat nadi di leher Milea. Ia mengambil selimut untuk menghangatkan

tubunya dan hati Riang tiba-tiba bergetar saat Fidel memandang lembut wajah Milea.

259

Minuman hangat datang. Waluh memberikan cangkir pada Riang sementara cangkir

yang satunya ia letakan di meja.

“Kasihan anak ini.” Ujar Waluh saat mereka menunggu Milea siuman.

Fidel diam. Ia tak memberi komentar. Ia masuk ke dalam kamarnya lalu

mengeluarkan alat tulis dan kaca. Ia meminta Riang untuk mengambar. Riang menolak

namun Fidel memaksanya. Riang tak mengerti maksud kegiatan yang harus ia lakukan.

Tak berapa lama, wanita itu pun siuman dan melihat dua orang di antara tiga orang

yang ada di hadapannya tersenyum. Fidel memberikan cermin padanya. Milea terperangah.

Mulutnya tiba-tiba menjadi lebar, senyumnya semakin lapang, dan hampir saja rumah kayu

itu rubuh diguncang tawa yang meledak-ledak. Milea bangkit, lalu memukuli Fidel.

“Bukan aku!” Fidel spontan menunjuk Riang. “Dia!”

Entah, setan dari mana yang lewat hingga Riang menuruti saja apa yang

diperintahkan Fidel saat Milea tak sadarkan diri. Mulut Milea ia gambari kumis, patil ikan

lele yang biasa tumbuh di dagu sesepuh kuntau film-film China. Riang menambahkan tahi

lalat berbulu di bawah bibir Milea, tak ketinggalan bulatan merah di pipinya. Hasilnya

mujarab! Riang tak bisa berkelit. Milea tak mau tahu. Ia mengarahkan kepalannya sekuat

tenaga di tubuh Riang. Fidel dan Waluh langsung menghambur keluar rumah. Mereka

mendahului Riang berlari.

“Kau ...kau!” Milea terus menyalahkan Riang.

“Apa salahku?!” Riang membela diri.

Milea memukul punggung Riang.

“Apa salahku?!” Riang berlari.

“Kau... kau... betapa teganya!” Milea jauh tertinggal di belakang. Ia hanya bisa

mengancam lalu duduk di tanah. Fidel yang berada di dekat Milea masih mencoba

menjahilinya. Ia mendatangi Milea, membawa kaca. Milea melirik dan lagi-lagi kaca itu

hampir pecah karena tawanya! Milea mengatur nafasnya, namun beberapa detik kemudian,

tawanya yang tertahan keluar lagi dari mulutnya. Milea kuatkan diri, lalu ia berdiri dan

kembali mengejar Fidel.

Fidel terus saja menjahili Milea. Ia memperlambat langkah kakinya, namun dua meter

sebelum tangan Milea menyentuh bajunya, Fidel kembali berlari seolah kerasukan. Fidel

mengulanginya hingga dua kali, sampai menjadikan Milea kehabisan nafas. Milea menyerah.

Fisiknya yang lemah memaksany untuk mengatur nafas dan duduk di samping ladang

sayuran. Fidel merasa salah. Ia lantas duduk di dekatnya..

“Terima kasih,” ucap Milea lirih. Ia menangis.

260

Riang dan Waluh tidak tahu harus melakukan apa. Mereka membisu.

“Peluk aku … ” pinta Milea tiba-tiba.

Medengar permintaan itu, dunia Riang seolah berhenti berputar. Ia bersyukur melihat

Fidel hanya menepuk bahu wanita itu.. Fidel tak bisa melakukan lebih. Ia hanya bisa

memandang dan menghangatkan Milea menggunakan matanya.

MENJELANG MAGRIB saat matahari tenggelam tubuh Milea sudah terbungkus

kain wol yang hangat. Hujan sudah berhenti sejak sejam yang lalu. Motor trail Waluh

menggerung

“Sudah malam.” Fidel memberi isyarat padanya.

Milea cemberut. “Aku tak akan melakukan itu lagi,” janjinya pada semua.

Fidel menggulung koran, memukul kepalanya. “Ya, ya, ya, jangan melakukan

tindakan bodoh lagi!”

Milea sebal. Figur wanita dewasa yang Riang lihat di tempat praktet Dr. Nurlaila

hilang. Di mata Riang, Milea kini tampak seperti seorang adik yang ingin ia lindungi. Milea

seperti adik bungsu yang manja, padahal pada kenyataannya Riang tak pernah dan tak akan

memiliki adik. Maghrib itu Riang benar-benar sok tahu.

MANUSIA PLANET NAMEC

261

KEMARIN RIANG merasakan khasiat Big-Bos kembali. Tubuhnya menjadi ringan,

tak berbobot.

“Kamu Riang! Riang Merapi!” Milea mengingat namanya.

Bagaimana mungkin, o opium dan segala macam jenis mirasantika, Riang tengah

mabuk kepayang. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya.

Milea tertawa menyaksikan perubahan wajah Riang yang kentara.

“Fidel yang memberitahu namamu,” terang Milea.

“Kapan?!” Riang mencurigainya. “bahkan tahu sejak aku sakit perut itu?” tebak

Riang.

Senyum Milea bernada rahasia.

“Kenapa tidak memberitahuku?!” kata-kata Riang terdengar seperti pendakwa ruang

pengadilan.

Milea tak merasa bersalah. Fidel menyuruhnya mengambil bagian dalam rencana. Riang

teringat perkataan Bentar kala ia menuntut penjelasan yang sama di hadapan Fidel. Ada

begitu banyak rahasia yang tidak ia ketahui. Riang membatalkan tuntutannya. Biarlah hal itu

menjadi hiburan baginya.

Semenjak Pepei –kakaknya-- wafat, hidup Milea menjadi jarang berwarna. Hidupnya

seolah hasil cetak operator yang hanya memberikan pilihan foto hitam putih atau B/W. Tidak

ada warna pelangi. Warna hidup Milea meluntur.

“Aku tak tahu rasanya kehilangan keluarga,” ujar Fidel. “Aku tak pernah

mengalaminya. Aku tak bisa membayangkan ketika satu-satunya keluarga yang tertinggal

tidak lagi dapat aku pandangi. Tindakan putus asa, untuk mengakhiri hidup adalah tindakan

yang salah, tetapi apa yang Milea lakukan adalah sesuatu yang manusiawi.”

Kehilangan itu merupakan gempuran terparah yang dilakukan nasib terhadap Milea.

Riang memikirkan betapa nelangsa-nya Milea. Ia pernah kehilangan keluarga, tetapi ia masih

memiliki orang tua. Rahang Riang menggeretak. Pembunuhan Pepei berdampak besar pada

penderitaan yang melebar. Kardi adalah komet besar yang membuat dunia Milea hancur

berantakan. Ia merupakan meteor kepunahan! Kardi adalah vacuum cleaner penghisap

kebahagiaan.

Riang sudah sampai pada titik yang ia tidak sadari. Seperti tua bangka berkedok ingin

melindungi seorang anak SMA padahal ia menyukainya, Riang tak sadar jika hatinya sama.

Keinginan standar jagoan-jagoan untuk melindungi yang dicintainya mulai tumbuh. Ia tak

262

sadar, sikapnya justru membuat Milea ketergantungan. Pertolongan yang ia lakukan di danau

merupakan awalan. Milea berterimakasih dan berharap lebih padanya.

Sisi getir kehidupan adalah kekecewaan. Jika tak ingin kecewa maka hidup tak perlu

di gantung. Milea memang harus cepat dilepaskan. Ia harus segera dimandirikan.

PAGI ITU Riang berkemas. Kemarin sore, sebelum membawa pulang Milea, Waluh,

meninggalkan pesan. Balasan surat dari Thekelan sudah sampai di pondokkan. Bentar yang

menyimpannya, kata Waluh. Sampai di pondokkan Riang membuka surat bapak yang isinya

sederhana. Kedua orang tua Riang menanyakan kapan pulang.

Riang tersedu. Apa yang ingin ia dapatkan di kota ini? Pencarian keparat Kardi

tampaknya usai. Tak ada lagi yang dapat Riang telusuri. Pertanyaan-pertanyaan yang

membuatnya pusing pun telah mereda seiring pemahamannya tentang tamasya, keimanan

dan kaus kutang.

Riang saat ini adalah Riang yang berbeda dengan Riang di masa lalunya, dan ia

meyakini bahwa Riang di masa yang akan datang akan menjadi Riang yang lebih baik

ketimbang Riang di masa ini. Riang di masa kini tak takut menghadapi perubahan. Ia yang

pernah mengalami fase kegelisahan yang mendekati kegilaan. Riang mengetahui dan mampu

menjabarkan bahwa kegelisahan merupakan sesuatu yang berat dan kegilaan adalah sesuatu

yang kita tak tahu harus bagaimana, ketika kita tak bisa membuka jalan ke depan atau balik

lagi ke belakang. Fase yang membuat manusia berjalan di tempatnya. Ia telah melewati fase

itu. Kegelisahan yang berdentam adalah suatu fase yang apabila terlewati akan

menjadikannya kuat.

Kalaulah boleh membuat pembagian manusia berdasarkan kegelisahan yang

dialaminya, maka di dunia ini terdapat manusia yang tidak mau melakukan pertaruhan untuk

meningkatkan kapasitas intelektualnya; Ada pula manusia yang mengikuti kehidupan

layaknya alunan air. Dia melaju dengan ketenangannya, mendapatkan pembelajaran tanpa

mengalami proses yang berat. Dia mencicil sedikit demi sedikit kemampuan intelektualnya

dan manusia seperti ini jarang mengalami kompleksitas kedahsyatan pergulatan pemikiran.

Bagi mereka kemungkinan menjadi gila itu kecil karena pembelajaran yang mereka lakukan

bersifat alamiah. Dua sifat itu tidak dimiliki Riang. Dan Fidel mengatakan “Itu bukan kita!”

Riang adalah manusia yang seperti Fidel jabarkan. Riang adalah manusia planet

Namec!

“Kau mengingat Bezita?!” tanya Fidel pada suatu waktu.

Riang mengangguk.

263

“Bezita manusia planet Namec. Ia manusia yang sama dengan Son Go Ku. Jika kau

perhatikan, orang planet Namec memiliki sifat ambisius yang alamiah! Mereka

mempertaruhkan apa saja untuk menjadi kuat. Mereka meningkatkan kekuatannya dengan

melakukan latihan dan pertempuran yang mendekati ambang kematian. Bezita mengetahui

itu. Ia mengalami peningkatan kekuatan yang pesat. Ia mempertaruhkan kematian untuk

mendapatkan kekuatan dan kita pun sama! Kita adalah orang-orang yang baik secara sadar

atau tidak, mau mempertaruhkan keyakinan yang ada di dalam diri kita. Kita meyakini

kosekuensi pertaruhan keyakinan adalah datangnya kegelisahan dan mengalami kegilaan.

Kegelisahan dan kegilaan adalah konsekuensi negatif pencarian makna yang kita lakukan,

tetapi, jika kita berbicara tentang konsekuensi positif kegelisahan maka kita akan

mendapatkan segarnya saripati kehidupan. Kita mengalami peningkatan-peningkatan yang

signifikan! Karena itulah kita mau dan berani mempertaruhkan keimanan!”

Mahdi pun manusia planet yang sama. Ia melakukan pertaruhan yang berbahaya. Ia

pernah gila karena ketika akal menyangkal keyakinan yang dulu dianutnya, hati Mahdi

menolak. Argumentasi yang ditemuinya di Parang Tritis ternyata lebih baik dari

argumentasinya tentang ketuhanan. Di dalam jiwa Mahdi muncul pergulatan. Ia tidak

sanggup menerima kehebatan argumentasi Pepei, tetapi ia tidak bisa meninggalkan

keyakinannya yang dulu dan pertemuannya dengan Pepei untuk yang keduakalinya,

membuat Mahdi terbebas dari keterpecah kepribadian.

Riang memang sebal pada Mahdi tetapi ia mulai bersimpati pada manusia yang

mengalami banyak hal yang sama dengannya.

“Proses yang Mahdi alami adalah lukisan perjalanan hidupnya. Lukisan itu tidak akan

selesai hingga ia mati… Lukisan kita pun belum selesai,” ungkap Fidel. “Kita tidak tahu

kedepannya akan menjadi apa. Masa depan bukan milik kita! Entah aku akan memiliki

keyakinan yang kuat atau murtad, aku tidak tahu! Kita tengah berproses dan orang yang

menjalani proses pencarian --yang sama-- adalah orang yang memiliki kedekatan spiritual

dengan kita. Kita tidak berhak melecehkan mereka! Melecehkan orang atheis, melecehkan

agama agama lain diluar agama kita, melecehkan agnostis selama mereka menyadari dan

menjalani proses pencarian kebenaran dalam kehidupannya. Kita tidak berhak melecehkan

karena masa depan selalu terbuka untuk di jalani, karena masa depan itu gelap, meskipun kita

berusaha menentukan, dan menjalani sebab akibatnya. Waktu merupakan kanvas dan

kematian merupakan tetesan terakhir warna pada kuas kehidupan. Kita tidak mengetahui

akhir hidup kita. Berusahalah dan teruslah berdoa.” Kata Fidel.

264

Riang kini sudah berani mengatakan, kakinya telah menjejak tanah planet Namec dan

itu berarti bahwa ia masih harus mencari jembatan-jembatan kegelisahan untuk ia lalui demi

meraih derajat kesempurnaan sebagai manusia yang selalu ingin berkembang.

Saat memikirkan hal tersebut kedamaian datang seperti saat Riang duduk di bawah

pohon yang mengeluarkan banyak O2. Suplai oksigen menderas masuk ke dalam paru-

parunya. Seakan pasien tuberkolosis yang tengah menikmati terapi, Riang mengantuk. Ia

merasa hidup tanpa beban, seolah sampai dalam keadaan puncak, ketika ia baru dilahirkan.

Kata-kata, ungkapan dan keindahan ucapan sahabatnya membuat Riang ingin mengerat lidah

Fidel menggunakan silet.

SURAT DARI ORANG TUA Riang yang menanyakan kepastian dirinya untuk

pulang membuat Riang merasa tidak nyaman. Masih di pondokkan, ia menuliskan jawaban

dan langsung memposkannya.

Riang masih harus di uji. Kegelisahan, dan pertanyaan-pertanyaan di masa lalunya –

memang—kini tidak menjadi beban, tetapi apakah manusia hanya mengalami kegelisahan

ketika melakukan pencarian terhadap keyakinan.

Riang masih merasa harus berada di tempat ini karena dirinya mulai dijangkiti rasa

hampa yang ia sendiri sulit untuk menjabarkannya. Riang ingin tahu tapi tak mengetahui

harus memulai darimana. Ada yang mendesak. Ada yang berontak di dalam dirinya. Ia tak

mengerti. Ia melamun.

Fidel melihat diri Riang hilang. “Jujurlah…” masih di pondokan Fidel menodongnya.

Riang ragu. Ia tak tahu. Ia tak mengerti.

“Bicaralah… bicarakan apa saja,” ujar Fidel.

“Aku merasa ada yang mengganjal. Selama ini aku mendapatkan begitu banyak

pelajaran berharga dari Mas. Aku mendapatkan pencerahan pemikiran, mendapat beribu

macam manfaat darinya. Aku bingung. Aku merasa diri tak berguna. Mas memberi banyak

hal, tapi aku tak pernah…” Riang khawatir atas apa yang ia ucapkan, lalu ia berusaha

menjaga perasaan mas Fidel. “Bukan … bukan memberi materi pada mas, tapi sesuatu yang

berharga di atasnya.. Maaf … aku merasa …”.

Jantung Riang berdetak.

“Kau merasa tidak memiliki harga?” Fidel tergelak.

Pertanyaan itu membuat pintu hati Riang terbuka. Ada yang mengalir. Deras. “Aku

merasa tak berguna. Hidupku seakan sia-sia. Aku tidak bisa memberi. Tidak bisa berbagi!

265

Aku merasa terasing! Merasa terkucilkan. Hal ini sukar kujelaskan.” Riang menunduk. “Aku

orang yang aneh ya mas?”

Fidel menggeleng. “Sudah berapa lama kita hidup di dalam rumah yang sama?”.

“Berbulan-bulan,” jawab Riang.

“Itu waktu yang cukup lama.”

Riang mengangguk

“Yang, kalau kukatakan bahwa kau berguna, bahwa kau berharga, bahwa belajar itu

tidak mutlak mendengarkan sebuah perkataan, melainkan –juga-- upaya mempelajari

aktivitas seseorang, apa Kau akan merasa tenang jika aku mengatakan, bahwa Riang pun

memberikan banyak hal melalui apa yang Riang lakukan, bukan yang Riang katakan?” Fidel

bernafas tenang. “Jujurlah apa adanya. Jangan dipendam.”

“Aku sendiri jadi bingung,” Riang menggaruk kepalanya. Perasaan Riang terlalu

dalam. Ia sulit untuk mengungkapkannya.

Supaya Riang lebih mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan, sekali lagi Fidel

bertanya, “apa yang membuat Riang merasa tidak berharga dan berguna di hadapanku?”.

Riang berfikir lama. Diam tak bicara. Ia tak menemukan juga.

Fidel tersenyum. Rasa-rasanya ia mengetahui apa yang terjadi dengan diri Riang.

“Yang … saat ini kau sedang mengalami puncak-puncaknya pembelajaran. Kuperhatikan kau

sudah banyak membaca? Kau meningkat di segala hal. Kau haus akan segala macam hal

yang tersangkut paut dengan pengetahuan dan jika kini kau menginginkan sesuatu yang lebih

dari itu, mungkin ini adalah kesadaran yang tak bisa Kau ungkap bahwa kau memerlukan

eksistensi, bahwa Kau memerlukan pengakuan?”

Ucapan Fidel terasa vulgar.

“Jika saat ini hal itu terjadi pada dirimu, biar kukatakan bahwa mendapat pengakuan,

merasa ingin dihargai adalah sesuatu yang wajar. Penghargaan memang seharusnya tidak

menjadi tujuan manusia, tetapi penghargaan adalah sesuatu yang wajar. Kau memerlukan

eksistensi untuk ketenangan spiritualmu. Peningkatan pengetahuan memang harus disertai

potensi lainnya. Manusia yang mendapatkan banyak input mutlak memerlukan output. Ketika

manusia terlalu banyak pemasukan tetapi di satu sisi ia tidak memiliki saluran untuk

mengeluarkannya, maka manusia akan merasa sakit. Bukankah makan tak buang air itu

sakit?”

“Ah, mas ini!”

“Aku sungguh-sungguh!” ucap Fidel. “Manusia akan menderita jika ia terus menerus

minum tetapi tidak memiliki system saluran pembuangan air di dalam tubuhnya. Hal ini sama

266

dengan dengan pengetahuan. Jika Kau terlalu banyak memasukan pengetahuan tetapi tidak

memiliki medium untuk menyalurkannya kau akan merasakan sakit!”

“Sakit jiwa maksudnya?” Riang tertawa. Riang tahu Fidel benar.

“Ya sakit jiwa! Sedeng! Kurang lima menit! Gelo siah!” Fidel membentak.

Riang tertawa.

“Ada pemasukan ada pengeluaran. Itu hukum alam. Jika Kau tidak melakukan

ekskresi, apabila Kau tidak mengeluarkan pengetahuanmu maka akan terjadi sesuatu. Jika

saat ini Kau merasakan ganjalan yang demikian memberatkan, kupikir itu wajar, karena

mungkin, karena di tempat ini, Kau …”. Fidel berfikir keras untuk mengunyah kata-katanya,

menjadikannya lembut. “Salahkah anggapanku ini …?”

Anggapan apa Mas?”.

“Kau terlalu menghormatiku, sehingga Kau tidak berani berpendapat banyak saat aku

ada?”.

Riang tunawicara. Ia menjadi seperti pengantin yang baru saja naik ranjang.

Muka Riang merah.

“Yang … jika memang seperti itu. Jika memang eksistensiku, keberadaanku

membuatmu ragu-ragu, menjadikan dirimu merasa tidak nyaman untuk mengeluarkan

pemikiran pribadimu, maka sudah selayaknya aku tidak menjadi sahabat bagimu!”

“Aku menghormati Mas!” Riang memprotes.

"Apa penghormatan mengharuskan seseorang bungkam?! Kufikir kau bukannya tidak

bisa memberi jika memberi itu berargumentasi atau bertukar fikiran denganku! Kau hanya

tidak berani!” Fidel mengetahui perkataan yang ia susun berdasarkan anggapannya semula –

mengenai eksistensi-- tepat sasaran. “Yang …” Fidel melanjutkan,

”penghormatan adalah sesuatu yang baik karena penghormatan adalah tindakan yang bisa

mengantarkan kita pada pengertian, mengantarkan kita pada keselarasan! Tetapi, jika

penghormatan itu justru membuat seseorang, membuat Kau menjadi kacung pemikiranku

rasanya lebih baik Kau tidak menghormatiku lagi!”

“Menghormati bukan berarti merendahkan diri! Menghormati bukan berarti

membungkam isi hati! Pengutaraan isi hatimu, penyuaraan pendapatmu, orisinalitas

pemikiranmu justru sebuah penghormatan yang besar bagi ku! Betapa bangganya aku jika

bisa melihat dirimu seperti itu!”

Riang mengangguk lesu. Perkataan Fidel tepat menggambarkan keadaan hatinya.

Riang merasa lesu, merasa berdosa karena menganggap dirinya memaksakan kehendak, agar

Fidel mengakui eksistensi dirinya.

267

Riang salah menyangka. Pada wajah Fidel tidak terlukiskan gurat-gurat penyesalan

dan kekecewaan. Fidel adalah edisi khusus. Ia adalah manusia pilihan yang telah diciptakan.

Fidel telah siap dengan apa yang terjadi, bahkan sejak saat ia menempatkan Riang di rumah

kayunya, sejak ia memperkenalkan sahabat-sahabatnya. Ia telah menyadari bahwa sejak kata-

kata dalam perbincangan ini keluar dari mulutnya, sebuah babakan baru dalam hubungannya

dengan Riang telah ia ramalkan.

“Kau akan menjadi raksasa suatu saat nanti...” ujar Fidel dan ia melihat Riang ingin

membantah kata-katanya. “Tidak, jangan Kau hentikan dulu! Aku tidak bermaksud

mematikanmu lebih awal dengan memuji! Aku mengetahui benar potensi yang Kau miliki!

Keberanianmu, ketekunanmu, kehausanmu! Sejak dulu aku tidak pernah menganggapmu

sebagai ladang yang hendak ku garap. Di alam persahabatan ini semua sahabat adalah sama!

Sejak dulu aku tidak pernah membiarkanmu berada di belakang tubuhku karena Kau bukan

budakku! Kau ada di sampingku, Kau sahabatku!”

Tenggorokan Riang serak. “Dulu aku tak menyadarinya.”

“Dan Sekarang Kau baru sadar?!” Fidel menonjok hati Riang.

Ingus Riang meleleh. Ia bersyukur bertemu dengan orang mampu memahami

pendalaman dirinya. “Aku mencintai Mas!” Kata-kata itu mengalir begitu saja.

“Dan aku tak akan mengatakan cintaku padamu.” Fidel tidak menampiknya.

Beberapa saat kemudian kedua orang itu terdiam.

Apa yang mereka bicarakan menjadi ngambang. Lalu apa yang harus Riang lakukan

jika ia telah mengetahui apa yang ia inginkan?

“Mengapa tidak Kau buat zine saja?!”

Dan penemuan yang dilontarkan Fidel abad ini pun tercipta.

268

MANUSIA PLANET NAMEC YANG SETARA

“Aku tak tahu rasanya. Tak pernah aku mengalaminya. Kupikir apa yang dilakukan

Milea manusiawi.” Ujar Fidel mengomentari.

“Ayah ibu ku pernah kehilangan keluarga, tapi ia masih memiliki satu sama lainnya.

Mereka masih memiliki diriku.” Riang memikirkan betapa nelangsa-nya Milea.

“Lintang …” Fidel menerawang. “Dia paling tahu memanjakan adiknya. Ia paling

mengerti memperlakukan Milea, menyayanginya hingga melebihi apa yang ia sayangi di

dunia. Rasa sayang timbulkan ketergantungan. Bayangkan, apa yang kau rasakan ketika satu-

satunya keluarga yang tertinggal, kakakmu tidak lagi dapat kau pandangi wajahnya. Apa

yang berkemul di hatimu saat kakak yang kau kagumi tidak lagi tampakkan keagungannya di

hadapanmu? Ketika matamu terbuka. Segalanya sirna. Kehilangan itu merupakan gempuran

terparah yang dilakukan nasib terhadap Milea.”

Riang menggeretak. Kardi adalah komet besar yang membuat dunia Milea hancur

berantakan. Ia merupakan meteor kepunahan! Pembunuhan hanyalah starting point sebuah

penderitaan. Pembunuhan Lintang berdampak besar pada penderitaan yang melebar.

Riang paham Milea harus di pisahkan dari ketergantungan. Riang paham itu, namun

kenyataannya ia tidak bisa menggelakkan Milea dari dirinya. Apa yang dilakukannya di

danau, pertolongannya, tidak sadar menjadikan Milea berterimakasih dan berharap lebih

padanya. Wanita itu memang harus dilepaskan. Sisi getir kehidupan adalah kekecewaan. Jika

tak ingin kecewa maka hidup tak perlu di gantung.

SEBELUM MEMBAWA PULANG Milea, Waluh, meninggalkan pesan. Balasan

surat Riang sudah sampai di pondokkan.

“Bentar yang menyimpannya. Kau sampaikan saja pada Riang,” ujarnya pada Fidel.

269

Maka, pagi-pagi benar Riang berkemas. Sampai di pondokkan ia segera membaca

surat bapaknya. Isinya sederhana, menanyakan kapan pulang. Riang tersedu. Apa yang ingin

ia dapatkan di kota ini? Pencarian keparat Kardi pun tampaknya usai. Tak ada yang dapat

ditelusuri. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya pusing mereda, seiring pemahamannya

tentang tamasya, keimanan dan kaus kutang.

Ia mensyukuri dipertemukan dengan orang yang memahami dirinya. Riang saat ini

adalah Riang yang berbeda dengan Riang di masa lalunya, dan ia yakin Riang di masa yang

akan datang akan menjadi Riang yang lebih baik ketimbang Riang di masa ini.

Riang tak takut akan perubahan. Menjadi gila, kegelisahan yang berdentam adalah

sesuatu yang jika dilewati akan membuatnya kuat. Ia teringat akan penjabaran Fidel

mengenai dirinya sendiri, mengenai fase yang sama yang pernah ia lalui.

“Aku tak menyesal, alami fase-fase kegilaan,” ujar Fidel pada suatu waktu.

“Awalnya, terasa berat, karena kegilaan adalah ketika kita tidak tahu lagi harus bagaimana.

Ketika kita tidak bisa membuka jalan ke depan atau balik lagi ke belakang. Kita berjalan di

tempat!”

“Aku merasakannya, aku pernah mencobainya,” ungkap Riang.

“Di dunia ini, setidaknya manusia yang tidak mau melakukan pertaruhan untuk

mengalami peningkatan kapasitas intelektualnya. Ada pula manusia yang mengikuti

kehidupan layaknya alunan air. Dia melaju dengan ketenangannya. Mendapatkan

pembelajaran tanpa mengalami proses yang berat. Dia mencicil sedikit demi sedikit

kemampuan intelektualnya. Orang seperti ini jarang mengalami kompleksitas kedahsyatan

pergulatan pemikiran. Bagi mereka, kemungkinan menjadi gila itu kecil karena pembelajaran

yang mereka lakukan bersifat alamiah.”

“Itu bukan kita.”

“Benar.” Riang tersenyum. “Sudah kau selesaikan komik Dragon Ballz?”

“Belum semua.”

“Sudah sampai pada kemunculan Bezita?”.

“Sudah.”

“Bezita manusia planet Namec. Ia manusia yang sama dengan Son Go Ku. Orang.

Orang planet Namec ambisius! Mereka pertaruhkan apa saja untuk menjadi kuat. Mereka

tingkatkan kekuatannya dengan mendekati ambang kematian. Mereka tahu, seandainya

melatih diri dengan cara-cara yang menyiksa, hingga hampir mati, mereka akan mengalami

peningkatan kekuatan yang pesat. Mereka pertaruhkan kematian untuk mendapatkan

kekuatan! Kita pun sama! Kita adalah orang-orang yang baik secara sadar atau tidak, mau

270

pertaruhkan keyakinan yang ada di dalam diri! Kita meyakini kosekuensi pertaruhan itu

adalah kegelisahan dan mengalami kegilaan. Kegelisahan dan kegilaan adalah konsekuensi

negatife pencarian makna yang kita lakukan. Tapi, jika kita berbicara tentang konsekuensi

positif maka kita akan mendapatkan segarnya saripati kehidupan. Kita mengalami

peningkatan-peningkatan yang signifikan. Karena itulah kita mau mempertaruhkan keimanan

kita”.

Riang teringat Mahdi. “Mengapa dia seperti itu?” tanyanya. “Apa Mahdi alami hal

yang sama dengan diri kita?”

“Jelas! Mahdi melakukan pertaruhan yang berbahaya. Ia gila karena ketika akal

menyangkal keyakinan yang dulu dianutnya, hati Mahdi menolak. Argumentasi Lintang yang

ditemuinya di Parang Tritis lebih baik dari argumentasinya tentang ketuhanan. Di dalam

jiwanya terjadi dua pergulatan. Ia tidak sanggup menerima kehebatan argumentasi Lintang,

tetapi ia tidak bisa tinggalkan keyakinannya yang dulu. Kepribadiannya terpeleset.”.

“Ya, Mahdi memang pernah alami hal yang sama dengan yang kualami.” Riang

insyaf. “Pertemuannya dengan Lintang, untuk yang keduakalinya, membuatnya bebas dari

pecahnya kepribadian. Apa pun keyakinannya, kupikir Mahdi hebat! Proses yang dialaminya

menakjubkan!”

“Kau pernah sebal ke Mahdi Yang?”.

“Dia patut disebali kok. Tapi, aku mulai menaruh simpati!”

“Itu, karena kau dan dia mengalami proses yang hampir sama.”

“Mungkin ya... aku tidak tahu.”

“Proses yang Mahdi alami adalah lukisan perjalanan hidupnya. Lukisan itu tidak akan

selesai hingga ia mati… Lukisan kita pun belum selesai Yang. Kita tidak tahu kedepannya

akan jadi apa. Masa depan bukan milik kita! Entah kedepannya, aku akan memiliki

keyakinan yang kuat atau murtad. Aku tidak tahu! Kita tengah berproses dan orang yang

menjalani proses pencarian --yang sama--, adalah orang yang memiliki kedekatan spiritual

dengan kita. Kita tidak berhak lecehkan mereka! Melecehkan orang atheis, melecehkan

agama agama lain diluar agama kita, melecehkan agnostis selama mereka menyadari dan

menjalani peroses pencarian kebenaran dalam kehidupannya. Kita tidak berhak melecehkan,

karena masa depan selalu terbuka untuk di jalani, karena masa depan adalah sebuah kanvas

besar kehidupan yang bisa dilukis oleh macam keyakinan apapun”.

Kata-kata Fidel, ungkapannya, keindahan ucapannya… Riang ingin mengerat lidah

Fidel menggunakan silet.

271

“Sebelum aku menjadi gila,” terang Riang. “Tolong katakana pada orang bahwa

kegilaan ini karena aku berusaha menggenggam keyakinanku yang purba ketimbang

menggantinya dengan yang baru! Kalau saya gila tolong jelaskan hal itu ke orang-orang yang

saya cintai!”

“Aku berdoa agar tidak memberitahukan itu ke orang-orang.”

“Dan saya pun berdoa untuk Mas!” Riang tertawa.

Jembatan kegelisahan telah Riang lalui, meski masih terlalu dini dan harus diuji. Jika

ia sudah berani mengatakan, bahwa kini kakinya menjejak di tanah planet Namec bezita,

maka ia harus mencari jembatan-jembatan kegelisahan untuk ia lalui. Agar ia meraih derajat

kesempurnaan, sebagai manusia yang selalu ingin berkembang.

Saat memikirkan itu, kedamaian datang seperti saat ia duduk di bawah pohon yang

mengeluarkan banyak O2. Suplai oksigen menderas masuk ke dalam paru-parunya.

Seakan pasien tuberkolosis yang menikmati terapi oksigen. Riang mengantuk. Ia

merasa hidup tanpa beban, seolah sampai dalam keadaan puncak, ketika baru dilahirkan.

Tapi itu beberapa waktu lalu.

“Kapan pulang?” membuatnya tidak nyaman. Masih di pondokkan, ia tuliskan

jawaban dan langsung memposkannya. Ia masih merasa harus di tempat ini, karena ia mulai

dijangkiti kembali rasa hampa.

RIANG TAK MENEMUKAN JAWABANNYA. Ia ingin tahu tapi tak tahu

memulai darimana agar ia tahu. Ia duduk di hadapan Fidel kembali. Bagaimana memulainya?

Hampa, ia ingin sesuatu. Ada yang mendesak. Ada yang berontak di dalam dirinya. Ia tak

mengerti.

“Aku melihat dirimu hilang. Aku merabanya. Jujurlah…” Todong Fidel padanya.

“Aku tak tahu… aku tak mengerti akan diriku, Mas.”

“Bicaralah… bicarakan apa saja.”

“Aku merasa ada yang mengganjal. Selama ini aku mendapatkan begitu banyak

pelajaran berharga dari Mas. Aku mendapatkan pencerahan pemikiran, mendapat beribu

macam manfaat darinya. Mas tahu benar bagaimana perkembanganku saat ini.”

“Aku mendengarkan Yang, aku mendengarkanmu.”

“Aku merasa diri tak berguna.”

“Apa yang membuatnya?”

“Mas memberi banyak hal, tapi aku tak pernah…” Baru saja Fidel akan berbicara,

Riang memotongnya. “Bukan … bukan memberi materi pada mas, tapi sesuatu yang

272

berharga di arasnya. Aku … Aku tidak bisa memberi pengetahuanku pada mas Fidel

mengenai apa yang kuketahui. Maaf … aku merasa …”.

Jantung Riang berdetak.

“Di hadapanku, kau merasa tidak memiliki harga?”

Pertanyaan itu membuat pintu hati Riang terbuka. Ada yang mengalir. Deras. “Aku

merasa tak berguna. Hidupku seakan sia-sia. Aku tidak bisa memberi. Tidak bisa berbagi!

Aku merasa terasing! Merasa terkucilkan. Hal ini sukar kujelaskan.” Riang menunduk. “Aku

orang yang aneh ya mas?”

Fidel menggeleng. “Sudah berapa lama kita hidup di dalam rumah yang sama?”.

“Berbulan-bulan.”

“Sudah cukup lama.”

Riang mengangguk

“Yang, kalau kukatakan bahwa kau berguna, bahwa kau berharga. Bahwa belajar itu

tidak mutlak mendengarkan sebuah perkataan, melainkan –juga-- upaya mempelajari

aktivitas seseorang. Apa Riang akan merasa tenang, jika aku mengatakan, bahwa Riang pun

memberikan banyak hal melalui apa yang Riang lakukan, bukan yang Riang katakan?”

“Dengan mengatakan itu, apa Riang merasa nyaman?” Fidel bernafas tenang.

“Jujurlah apa adanya. Jangan dipendam.”

“Terus terang belum. Aku sendiri jadi bingung,” Riang menggaruk kepalanya.

“Perasaan ini terlalu dalam hingga sulit untuk kuungkapkan.”

“Supaya lebih gampang lagi, aku tanya: apa yang membuat Riang merasa tidak

berharga dan berguna di hadapanku?”.

Riang berfikir lama. Diam tak bicara. Ia tak menemukan juga.

Fidel tersenyum. “Yang … saat ini kau sedang mengalami puncak-puncaknya

pembelajaran. Kau haus akan segala macam hal yang tersangkut paut dengan pengetahuan!

Kau inginkan sesuatu lebih dari itu! Ada kesadaran yang tak bisa kau ungkap bahwa kau

memerlukan eksistensi! Kau memerlukan pengakuan. Manusia memang begitu. Ini wajar.

Manusia adalah mahluk yang perlu dihargai dan ingin dihargai.”

“Kuperhatikan kau sudah banyak membaca? Kau meningkat di segala hal. Disaat

itulah kau memerlukan eksistensi diri untuk ketenangan spiritualmu. Peningkatan

pengetahuan seseorang memang harus disertai perluasan potensi lainnya.”

“Kau banyak mendapatkan input dan kau memerlukan output. Manusia ingin berbagi

dan kau pun ingin berbagi. Hanya saja kau bingung caranya”.

273

Riang renungi kata-katanya. Benar. Ia sudah mendapat input yang demikian banyak.

Ia mendapatkan banyak pengetahuan melalui pembacaan pembacaan literature yang

bertumpuk begitu banyaknya di ruang bawah tanah. Ia mendapat begitu banyak masukan dari

orang yang ada di hadapannya.

“Apa yang terjadi jika sesuatu digembungkan terus menerus tetapi tidak ada

penyusutan?” Tanya Fidel. “Ketika terlalu banyak masukan dan manusia tidak memiliki

saluran untuk mengeluarkannya, maka manusia akan merasa sakit. Bukankah makan tak

buang air itu sakit?”

“Ah, mas ini!”

“Aku sungguh-sungguh! Apa banyak minun, tetapi tidak pipis tidak akan membuat

manusia menderita.”

“Menderita.” Jawab Riang menyerah.

“Demikian dengan pengetahuan. Jika kau terlalu banyak memasukan pengetahuan,

tanpa mengeluarkannya, membaginya kau bisa sakit.”

“Sakit jiwa maksudnya?” Riang tertawa. Ia tahu Fidel benar.

“Ya sakit jiwa! Sedeng! Kurang lima menit! Gelo siah!” bentak Fidel

Riang tertawa.

Fidel memeriksa jidat Riang, “Masa? Kau tidak demam? Ambienmu tidak kambuh!?”

“Mas ini!”

“Ada pemasukan ada pengeluaran. Itu hukum alam. Jika kau tidak melakukan

ekskresi, mengeluarkan pengetahuanmu maka akan terjadi sesuatu. Jika kau merasakan

ganjalan yang demikian memberatkan, kufikir wajar, karena mungkin, karena kau …”. Fidel

berfikir keras untuk mengunyah kata-katanya, menjadikannya lembut. “Salahkah anggapanku

ini …?”

Anggapan apa Mas?”.

“Kau terlalu menghormatiku, sehingga kau tidak berani berpendapat banyak saat aku

ada?”.

Riang diam lagi.

“Kau seperti pengantin yang baru naik ranjang!”

Muka Riang merah.

“Yang … jika memang seperti itu. Jika memang eksistensiku, keberadaanku membuat

Riang tak mengeluarkan pemikiran pribadi yang orisinil, sudah selayaknya aku tidak menjadi

sahabat bagimu!”

“Aku menghormati Mas!”

274

"Apa penghormatan mengharuskan seseorang bungkam? Kufikir kau bukannya tidak

bisa memberi, jika memberi itu berargumentasi atau bertukar fikiran denganku! Kau tidak

berani!”

“Yang … penghormatan adalah sesuatu yang baik karena penghormatan adalah

tindakan yang bisa mengantarkan pada pengertian. Mengantarkan pada keselarasan!. Tapi,

jika penghormatan justru membuat kau menjadi kacung pemikiranku, rasanya lebih baik kau

tidak hormat padaku!”

“Menghormati bukan berarti merendahkan diri! Menghormati bukan berarti

membungkam isi hati! Pengutaraan isi hatimu, penyuaraan pendapatmu, orisinalitas

pemikiranmu justru sebuah penghormatan yang besar bagi ku! Betapa bangganya aku jika

bisa melihat dirimu seperti itu!”

Riang mengangguk lesu. Perkataan Fidel tepat menggambarkan keadaan hatinya.

Riang merasa lesu, merasa berdosa karena menganggap dirinya memaksakan kehendak, agar

Fidel mengakui eksistensi dirinya.

Tetapi bukankah Fidel adalah edisi khusus? Manusia pilihan yang telah diciptakan?

Di wajahnya tidak terlukiskan gurat-gurat penyesalan dan kekecewaan. Fidel siap dengan apa

yang terjadi, sejak saat ia menempatkan Riang di rumah ini. Sejak ia memperkenalkan

teman-temannya dengan Riang.

Ini babakan baru dalam hubungan Riang dengannya. Apa yang akan terjadi

selanjutnya?

“Kau akan menjadi raksasa suatu saat nanti...” Fidel mulai meracau.

“Ah mas ini.” Riang gilani.

“Tidak! Jangan-jangan kau hentikan dulu! Aku tidak bermaksud mematikanmu lebih

awal dengan memuji! Aku mengetahui benar potensi yang kau miliki! Keberanianmu,

ketekunanmu, hausmu!”

“Terus hargai otakmu yang punya kapasitas jutaan giga itu! Manfaatkan! Hingga kau

tak mampu lagi memanfaatkannya! Dunia ini teramat ramai! Suatu saat kau akan

meredakannya! Dunia ini teramat sunyi dan kamu akan menyorak-nyorakinya!”

“Percayai dan hargai dirimu! Manusia itu sama di mata Tuhannya! Sejak dulu aku

tidak pernah menganggapmu sebagai lading yang hendak ku garap. Di alam persahabatan,

semua sahabat adalah sama!”

“Sejak dulu aku tidak membiarkan Riang berada di belakang tubuhku, karena Riang

bukan budak ku! Kau ada di sampingku, kau sahabatku!”

Tenggorokan Riang serak. “Dulu aku tak menyadarinya.”

275

“Dan Sekarang kau baru sadar.”

Ingus Riang meleleh.

Fidel membentak. “Sadarlah wahai manusia! Taubatlah wahai invertebrata!”

“Sadarlah unggas unggas dan minyak jelantah!” Riang tertawa.

“Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Atas proses perubahan yang tekun kau

lakukan!”

Riang tak mau kalah. “Terimakasih pula atas pelajaran betapa pentingnya makna

sebuah persahabatan.”

“Terima kasih!”.

“Aku mencintai mas!” Kata-kata itu mengalir begitu saja.

“Dan aku tak akan mengatakan cintaku padamu.” Fidel tidak menampiknya.

Ah, persahabatan kadang tidak mutlak diawali dari kesetaraan. Riang tahu diri, meski

sejak dulu Fidel telah menerima dirinya, ia tetap merasa tidak setara. Riang sadar, kesetaraan

yang didapatkannya, pun, melalui pertolongan Fidel. Kesetaraan baginya bukanlah

kesetaraan dari berbagai sudut pandang. Baginya Fidel lebih dari segalanya. Semua itu hanya

dapat ditandingi oleh Lintang. Mereka setara. Layaknya mur dan baut mereka saling

melengkapi satu sama lainnya.

Mereka tak berbahasa. Diam.

“Mengapa tidak kau buat zine saja?!”

Lalu penemuan yang dilontarkan Fidel abad ini pun tercipta.

ZINE

276

“Dengan nama Tuhanmu! Mabuklah!” Waluh memberi Riang setumpuk zine.

Milea tertawa. Ia mengeluarkan setumpuk zine lain dari ranselnya.

“Banyak sekali!” Riang mencicit minta ampun. Ia membalik-balikan tumpukkan zine

itu hingga lecek. Prisca Pricilia, Kontaminasi Kapitalis, No Compromise, HC, Openmind,

Tiga Martil, Brigade Lawan Arus, Apocalypse hanyalah beberapa zine yang Riang pegang

ditangannya.

Bundelan kertas yang dipegangnya adakalanya sarkas namun full logika. Di penuhi

makian yang berseni, sinisme, kritisme, skeptisisme. Ada yang memadukannya dengan data,

ada pula yang sembarang nyablak mengenai kehidupan sehari-hari yang dipenuhi kesegaran

caci maki. Zine-zine adalah tempat pembuangan.

“Tempat modol, beol!”

“Jangan bicara kotor! Ada anak-anak di sini!” Eva mengingatkan.

Riang mengerti. Bukankah ekskresi adalah membuang sesuatu. Fred tidak berlebihan.

Membuat zine pada hakikatnya seperti yang pernah dikatakan Fidel dan dikuatkan Fred,

adalah juga membuang kesakitan. Jadi, kata Waluh jika Kau ingin membuatnya, jangan

pernah terbebani berpikir mengenai apa tulisanmu berguna atau tidak, bagus atau jelek. Zine

adalah tempat berbagi. Zine adalah tempat pelepasan, yang isinya tidak seperti yang Riang

dapatkan di media massa atau majalah-majalah yang dikatakan Waluh, majalah mainstream.

Zine-zine itu bernyawa! Memiliki jiwa-jiwa! Uh… uh Riang tertantang untuk mencipta!

“Bagaimana dengan desainnya? Bagaimana dengan izinnya!?”

“Memang syarat membuat zine harus ada izin dari pemerintah? Memang pemerintah

bisa mengatur seluruh kehidupan kita?” Waluh tergelak. “D.I.Y do it your self! Semangat

zine ada di sana! D.I.Y adalah pengambilan alihan kontrol yang dilakukan negara dan

menggantikannya dengan kontrol individu! Zine itu otonom! Buat sendiri, tulis sendiri!

Kalau kau tidak bisa menulis, curi tulisan orang! Pembajakan untuk pengetahuan adalah sah!

Untuk masalah desain-mendesain, gampang! Yang penting saat ini, selesaikan saja dulu

tulisanmu!”

Riang pun mengalihkan seluruh tulisannya pada buku catatan ke atas selembar kertas

kuarto. Setelah memodifikasi bahasa dan ia merasa kontennya sudah cukup. Riang pun

melapor. “Sudah selesai!” katanya.

“Tambahkan ini!” Fidel mengambil puisi-puisinya.

“Muat juga terjemahanku ini!” Waluh mengeluarkan print out mengenai biografi

Zapata.

277

“Lha desainnya bagaimana?” tanya Riang.

Milea membawakan majalah bekas yang menumpuk di gudang.

“Gunting topi tentara itu” Fidel menunjuk foto topi tentara pada sebuah majalah.

“Gunting semua. Preteli. Gambar apa saja. Ban, pisau dapur, pistol, gelas mineral, obeng,

gambar kerbau, apa saja yang Kau anggap cocok dengan karakter tulisan yang akan Kau

muat di dalam zinemu!” Fidel tahu Riang bingung. “Gunting saja!” sahutnya. “Tak usah

bertanya!”

Fidel meminta Milea untuk membantu Riang menggunting paragrap tulisannya.

Setelah gunting menggunting selesai. Fidel mengambil kertas kosong, yang segera ia penuhi

dengan guntingan paragrap tulisan yang terkumpul. Kertas menjadi penuh warna setelah

dihiasi gambar-gambar yang terkesan tak beraturan.

“Tunggu sebentar!” Waluh membawa lembaran kertas-kertas itu. “Jangan kemana-

mana,” teriaknya pada Riang.

Riang menunggu. Bagaimana jadinya, majalah tanpa izin itu? Bagaimana bentuk

majalah aneh yang dikerjakan dengan kepercayaan diri di luar batas itu?

Dua jam kemudian, suara knalot yang menyejarah sampai di pondokan. “Aku

memfoto copi 200 eksemplar. Ini!” Suar bruk! zine yang diikat tali rapia terdengar keras.

Riang membukanya. Oladalah! Megaphone nama zine-nya! Namanya tertera jelas,

teramat sederhana namun Riang melihatnya menyala, deemikian meriah! Uah! Cup! Cup

muah! Segala macam bentuk sukacita! Semua suka cita! Tak ada bir tak ada psikotropika

yang membuat huru hara! Semua gembira! Derit kereta uap Christopher Morley! Terima

kasih untukmu duhai dewi penggandaan masal! Duhai kekasih para nabi dan mesin foto

kopi!

Zine Megaphone membuat Riang bangga! Bagaimana bisa? Aku yang membuatnya?

Oh tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak! Riang berteriak dalam hati. Kepalanya benar-benar

iritasi! Riang tersenyum gembira seolah hari itu adalah hari di mana amalan baik diterima

menggunakan tangan kanannya.

“Kita distribusikan siang ini!”

“Mengapa tidak?!” Riang menjawab tantangan Bentar.

“Tapi uangnya mana?!”

“Uang apa?”

“Ini masalah sensitif Bung!” Bentar menghentikan kegembiraan Riang. “Kau pikir

foto kopi dua ratus eksemplar menggunakan daun?! Dua ratus eksemplar itu menggunakan

uangku!”

278

Riang terpojok.

“Uang simpananmu! Uang simpananmu!” Bentar seperti satuan pamong Kemarikan!

Kamarikan!”

Riang menghabiskan uang di dompetnya.

“Segini sih cuma dua puluh lima eksemplar!” ejek Bentar.

Fidel tertawa. “Kubayar lima puluh eksemplar untuknya!”

Milea ikut serta. “Aku tujuh puluh lima!”

“Lima puluh eksemplar yang lainnya mana?!” wajah Bentar mulai tampak seperti

anggota asosiasi penagih hutang.

Tak ada lagi yang relakan uangnya.

“Ngutang Mas,” Riang memelas. “Ngutang ya Mas?”

Fred memperagakan tangannya. “Om, om minta uang om. Om kasihan Om!”

“Yah, kalau begitu aku talangi saja!” Bentar pura-pura kecewa.

“Ashik! Asyek!” Riang berhula-hula! Ia tahu semua orang bermain sandiwara.

DALAM ETHOS D.I.Y, seseorang tak mungkin mengetahui berapa eksemplar zine

yang sudah ia sebarluaskan. Di luar kopian yang dikeluarkan pembuatnya, zine dapat

menggandakan diri tanpa bisa dikontrol. Pembajakan atas suatu karya seni, suatu perbuatan

yang di dalam dunianya dilakukan tanpa izin tetapi tetap dengan mencantumkan nama

penciptanya sebagai bentuk penghormatan. Gairah membajak inilah yang mampu

menjadikan sebuah zine yang hanya dicetak 100 eksemplar, menggandakan dirinya hingga

menjadi 5000 eksemplar.

Pembajakan adalah perlawanan! Adalah salah satu keyakinan utama bahwa ilmu

pengetahuan harus dikembangkan tanpa batas. Melalui distro-distro, dan Peniti Merah

Jambu, sebuah jaringan informasi penerbitan zine, Megaphone masuk ke daftar zine baru

yang dicari.

Riang tak tahu jika Megaphone-nya ditenteng orang di sebuah beberapa gigs (konser)

Skin Head di Jakarta, dibicarakan wanita yang cuping hidungnya dihiasi tindikan. Ia tak

mengetahui jika potokopian Zine-nya dibarter dengan uang dan zine luar kota yang berbeda,

ditukar dengan kaset, ditukar dengan kaus, ditukar dengan keikhlasan.

Megaphone mengganda tersebar hingga ke Malang, sebuah kota yang ethos D.I.Y

kolektif underground-nya nya tak perlu di ragukan kembali. Respon yang tak terduga pun

berdatangan. Satu bulan semenjak pendistribusian zine Megaphone, enam buah surat sampai

279

di pondokkan. Riang tak menanggapi surat-surat itu. Ia bukannya besar kepala. Uang Riang

tidak mencukupi untuk membalas surat-surat yang entah dari mana itu.

“Kita cantumkan e-mail di edisi Megaphone selanjutnya,” Milea menyarankan.

Mengenai, email itu barang apa, Riang tak tahu. Ia mau belajar. Ia rela menjadi anak

bawang. Milea mengajari Riang, sesuatu yang di abad informatika ini merupakan sesuatu

yang sangat sederhana. Diajaknya Riang ke warung internet. Di sederhanakannya

pengetahuan teknologi komunikasi untuk Riang. Keduanya tak sadar. Riang dan Milea, tak

memahami jika hubungan mereka menjadi hangat. Zine semakin menautkan hubungan

mereka.

Semenjak dibukanya alamat surat elektronik Megaphone, korespondensi pun

berlangsung dengan baik selama dua edisi ke depan. Saat edisi ke lima tengah di siapkan dua

buah subjek melaut di dunia elektrik dan sampai di geladak maya perahu Riang. Dari

seseorang yang mengakui kera Ngalam, arek Malang, seorang wanita --yang sejak edisi ke

dua Megaphone dilepaskan-- memberi tanggapan. Ia mengajak Riang bertemu, sementara

dari Jakarta sebuah attachment meminta Riang menjadi salah satu pengisi obrolan santai

mengenai Zine dan ideologi contra cultura

Menerima surat yang terakhir itu liver Riang jadi tak seimbang. Ia berdebar. Aku

yang anak desa ini? Aku … Aku …tulisanku di baca mahasiswa yang sebentar lagi sarjana?

Oh Atlas menduduki bola bumi! Dunia terbalik! Oh, Riang masih ingin hidup seribu tahun

lagi!

“Datangilah Jakarta!” dukung Fidel. Ia bersemangat saat mengetahui berita itu.

Percaya diri Riang masih setengah. Riang berharap Fidel menemaninya. Semisal

purwaceng dan ginseng, Fidel adalah suplemen yang berkhasiat, buat Riang. Fidel tak

menampiknya.

SABTU SUBUH mereka berkemas menuju stasiun. Jam sembilan pagi kereta

memasuki stasiun Gambir Jakarta. Di stasiun itu nyala emas terlihat membeku di kejauhan.

Monas berdiri sendiri di tengah lahan gersang paving block. Kereta ekonomi oranye datang.

Perjalanan mereka lanjutkan hingga Pondok Cina.

Saat kereta singgah di Pondok Cinta, dari jendela kereta seseorang wanita membawa

nama Riang pada selembar karton. Mereka turun.

Seorang mahasiswi menyalami Fidel. “Mas Riang,” terkanya.

“Bukan.” Fidel menunjuk orang di sampingnya.

280

Riang keteteran. Apa wajahnya tidak tampak intelek? Apa performa dirinya tidak

meyakinkan? Riang tidak menggunakan stavolt. Kepercayaan dirinya naik turun saat itu.

Wanita yang mengaku bernama Nizar itu tidak merasa nyaman dengan

kesoktahuannya. Ia menyogok Riang dan Fidel menuju kantin. Di areal kantin, Nizar

memesan makan pagi lalu menyerahkan kertas biodata. Riang merasa lega. Nizar tidak

mempermasalahkan jenjang pendidikannya dan beban Riang hilang setengah ketika Nizar

mengatakan, “Terserah Mas, membahas apa asal yang nanti disampaikan terkait dengan tema

yang diketengahkan.”

Usai makan, tak jauh dari kantin, Riang kemudian dipertemukan dengan seorang

pembuat zine Lelaki pembuat zine Arvatar yang Nizar perkenalkan mengaku menggunakan

nama pena Illuminat dalam zinenya, namun nama aslinya Joned. Nama yang sedikit aneh di

kuping orang Jawa Tengah itu membuat Riang sukar menyembunyikan tawanya. Di kepala

Riang sepertinya ada speaker yang terus menerus mengumandangkan nama Joned. Illuminati.

Joned. Illuminati… Jauh sekali zine dengan nama pembuatnya, pikir Riang. Di hadapan

lelaki yang rambutnya gimbal dan kakinya dibalut boots tinggi itu Riang mati-matian

menahan tawa. Riang tidak mau dihabisi lelaki botak menyeramkan itu. Bagaimana ia

sanggup melawan jika kausnya saja bertuliskan: sendiri melawan sistem. Luar binasa!

Masuk ke dalam auditorium Fidel memisahkan diri. Riang dan Joned menunggu tepat

di hadapan meja panjang. Tak beberapa lama kemudian acara di mulai. Seorang pria lainnya

bergabung Ia mengenakan planel. Rambutnya cepak. Bibirnya di tindik.

“Bleeding Balerina zine.” Demikian ia memperkenalkan produknya.

“Riang. Dari Megaphone zine.”

Lelaki itu tertawa karena lupa menyebut nama. “Namaku Sama!” ucapnya.

“Nama mas Riang?” Riang tak percaya.

“Namaku Sama!”

Riang ragu. “Nama mas sama dengan namaku?”

Lelaki itu menunjuk mukanya. “Namaku Sama! Bukan Riang!”

Riang berpikir keras. “Sama… Riang?”

Lelaki itu kesal. “Nama aku Sama! Sama! Sama! Bukan Riang!”

Riang mencerna cukup lama. Tak merasa nyaman. Ia tak menanyakan lagi

kebingungannya pada lelaki yang kemudian moderator memanggilnya Sama. Obrolan aneh

yang tak bertahan lama itu terjadi di tengah suasana ramai. Riang merasa dipandangi

mahasiswi cantik. Riang grogi. Ia merasa terbebani. Bagaimana jika tak bisa bicara?

Bagaimana jika ia menjadi tuna rungu? Keringat mendadak bermunculan di sela jemarinya.

281

Riang gemetar. Di dadanya ada tambur. Lidahnya berubah menjadi sekering savana. Dua

kali ia mengosongkan gelas mineral, dan tindakannya itu membuat kandung kemihnya

kembung. Riang kebelet kencing.Ya Tuhan. Bagaimana ini. Kantungi batu! Riang teringat

petuah masa-masa remajanya, namun di mana ia harus memungutnya? Carilah yang berat-

berat, bisikan nenek moyangnya datang. Mikropon? Tidak mungkin! Boots Joned? Uh itu

akan mendatangkan perang etnis Rwanda. Keringat Riang sampai di bagian belakang

lehernya. Ini masa kritis.

“Mbak … mbak!” Riang tak menyadari jika didekatnya tergeletak mike. Sound system

yang dipancangkan di setiap rangka bangunan merekam dan mempidatokan suaranya. Panitia

yang tengah membagikan kopi-an zine bereaksi.

“Mau apa?!” Sama menawarkan pertolongan.

“Pengen pipis. Ndak tahan!” Riang tak sadar jika ia memegang senjata

pamungkasnya.

Sama yang penampilannya berbanding terbalik dengan kebaikan hati segera merebut

mike, lalu menekan tombolnya. Mike mati, tetapi suara seseorang yang tengah menggenggam

biological future weapon itu terlanjur didengar seisi ruangan. Riang sadar ia ditertawakan. Ia

merasa malu, tetapi pipis adalah prioritas utama dan pertama. Tak ada yang lebih penting

darinya. Riang langsung berjalan cepat setelah panitia memberi Riang kode untuk

mengantarnya.

Saat misi terselesaikan dan prioritas utama telah Riang tunaikan yang tertinggal

dalam diri Riang adalah rasa malu. Riang malu. Ia mencuci wajahnya keras. Kini, gardu

listrik kepercayaan dirinya bukan saja tanpa stavolt. Kepercayaan diri Riang hilang.

Fidel mengetahui tentang hal itu. Ia keluar dari tempat duduknya kemudian meminta

panitia yang tengah menunggu Riang untuk kembali ke ruangan. Fidel menungguinya cukup

lama dan menyaksikan bagaimana ketika pintu kamar mandi wajah yang lepek, seolah-olah

wajah itu merupakan makanan basi swalayan yang dikomplain beberapa pelanggan melalui

surat pembaca Kompas.

Fidel berusaha membantu Riang untuk bersikap biasa. Ia memasang mimik tak

memiliki ingatan. Ia memasang sikap biasa hingga menjadikan Riang merasa aneh dengan

sikapnya. Ia tak sadar jika Fidel mengambil inisiatif, mengalihkan perhatiannya. Fidel

membicarakan beberapa arahan tanpa sekalipun mengetengahkan subjek yang menjadi bahan

ketakutan Riang. Dan sekembali Riang ke dalam auditorium, kepercayaan diri Riang tumbuh

kembali.

282

Riang mendapat kesempatan terakhir bicara dalam obrolan santai itu. Joned dan Sama

mengawalinya. Dua orang itu terbiasa bicara di hadapan orang. Dengan analogi yang

menyentil, pemaaparan mereka menjadi renyah. Ketika giliran Riang tiba, Riang merasa

kandung kemihnya serasa mau bocor. Tak percaya diri datang membuatnya kembali kalut. Ia

melihat Fidel. Riang membutuhkan bantuannya. Di sudut kiri atas auditorium Fidel pun

berdiri memberi energi. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencontohkan agar Riang

mengikutinya. Rasa nyaman menjalar, membuat Riang merasa ringan saat Fidel

mengacungkan jempol.

Genggaman pada mike Riang perkuat..

“Ehm… selamat siang. Siang-siang selamatan!”

Orang-orang terhibur. Ada senyum yang ditebar dan saat suasana hangat di ruangan

itu menyebar, dengan cerdasnya Riang mengambil kesempatan, mulai berkicau. Ia tidak

membicarakan mengenai counter hegemoni dan contra cultura terhadap kapitalisasi yang di

musuhi kebanyakan pembuat zine. Ia hanya membicarakan hal yang sederhana bagaimana

zine bisa membuatnya merasa lega. Merasa berharga. Merasa bulat, menjadi utuh dan penuh.

Tentu, pembicaraan yang begini, tidak sepenuhnya sesuai dengan tema panitia yang

bombastis. Riang tidak menangkap efek negatifnya kekecewaan panitia, tetapi ia tak

membutuhkan waktu lama untuk mengobati kekecewaan mereka. Riang membayarnya!

Kontan tanpa bon!

Dalam sesi berikutnya, beberapa orang kemudian mengutarakan pendapatnya

mengenai materi ketiga zine. Ada diantara komentator yang memuji artikel mengenai

perjuangan Zapatista bersama suku asli di Chiapas Mexico dan memberi apresiasi mengenai

essay konsepsi ideologi yang diuraikan zine Megaphone. Mereka tidak tahu jika tulisan itu

bukan Riang yang membuatnya. Riang berharap, Fidel mau membicarakan hal tersebut,

tetapi dari kejauhan ia hanya melihat Fidel memberi tanda, bahwa dirinya menyerahkan

sepenuhnya pembahasan pada Riang.

Riang memberikan jawaban tuntas, lalu dari tengah-tengah peserta tiba-tiba seseorang

pria meminta panitia untuk memberikan mike. Ia sudah memendam apa yang ingin ia

utarakan sedari tadi. Di sesi pertama, pria itu sudah mengangkat tangannya berkali-kali tetapi

moderator tak memberinya kesempatan. Lelaki itu mengambil mike. Wajahnya terlihat biasa

tetapi mulutnya luar biasa. “Zine ini sampah total,” katanya. Pria itu memasukan tangannya,

ke saku celana dengan gaya yang hampir menyerupai tolak pinggang. “Apalagi ketika zine

ini membicara ideology,” lelaki itu melanjutkan. “Ideologi itu mencret. Mencret monyet.

Karena ideology perang muncul.

283

Antara manusia berjibaku, perang! Saling berseteru! Ideologi tak memiliki fungsi selain

melakukan dekonstruksi! Melakukan penghancuran total manusia, apalagi ideologi agama.

Nah, yang kau tulis dalam zine mu ini lucu. Kukatakan sekali lagi, ideologi yang kau

sampaikan itu mencret. Seharusnya dunia tak memiliki ideologi, yang penting bagi manusia

bukan ideologi tapi rasa saling menghormati.” Kata mencret berulang-ulang dikatakannya

dengan santai, hampir tidak mengeluarkan emosi. “Apa pula ini?” Pria itu lalu mengewer-

ewer zine Riang seolah jijik. “Zine ini seolah-olah memberitakan sesuatu, tetapi yang di muat

di dalamnya bukan contoh berita. Bahasa dan kata-katanya tidak sesuai dengan kaidah

jurnalistik. Di sini banyak sekali ketidak seimbangan. Orang yang membuatnya tidak intelek,

selalu merasa paling benar. Cobalah berada di tengah, jangan membuat berita yang

berpihak.”

Moderator yang kurang jam terbang mulai mengingatkan, tetapi dengan gaya sok-nya

Riang mengatakan tidak apa-apa. “Biar ramai.” Katanya.

Moderator berpikir cepat. Ia yang bertanggung jawab mengendalikan forum, tetapi ia

dituntut pula untuk membuat suasana menjadi hangat. Ia tergoda oleh tawaran “biar ramai”-

nya Riang. Ia memberi Riang jatah bicara.

“Yang penting rasa saling menghormati,” Riang memulai, “tapi komentarmu tidak

sesuai dengan apa yang Kau katakan. Ibarat kecelakaan, ucapanmu ibarat tabrakan beruntun

truk tronton di jalan! Kau mengajarkan orang untuk saling menghormati, tapi Kau sendiri

tidak memulai untuk menghormati keyakinan orang mengenai ideologi! Banyak hal yang

juga harus di pertanyakan mengenai omonganmu tadi: apakah benar yang paling penting di

dunia adalah saling menghormati. Apa bentuk saling menghormati itu? Apa saling

menghormati akan menyelesaikan seluruh permasalahan manusia? Hidup di dunia lebih

rumit dari itu. Negeri ini kaya. Bagimana agar kita dapat menikmati sumber daya alam yang

sama? Bagaimana mendistribusikannya secara merata? Apa dengan saling menghormati

masalah-masalah itu akan terselesaikan? Di sanalah salah satu arti pentingnya ideologi.

Distribusi adalah salah satu unsur kecil yang diatur ideologi.” Riang tak merasa jika ia

berbicara cepat. Nada bicaranya memperlihatkan emosinya naik. Hal itu menguntungkan

sebab Riang menjadi lupa segalanya. Ia hanya terfokus pada apa yang ingin ia sampaikan.

Fidel terkejut dengan yang di sampaikan Riang. Ia tidak tahu hingga sejauh dan

secepat itu nalar Riang terasah. Ia tak mengira. Fidel tak menyangka. Fidel yang semula

bertopang dagu. Duduk siaga, menanti ungkapan-ungkapan macam apa yang diungkapkan

anak desa Thekelan tersebut.

284

“Mungkin majalahku, zine yang kubuat itu tidak sesuai dengan harapanmu. Tidak

apa. Aku tidak menganggapnya sebagai masalah, sebab sejak awal membuat zine Aku hanya

ingin berbagi. Apalagi, jika bicarakan kaidah kata dan bahasa. Apa itu?” Riang mengangkat

tangan dan bahunya. “Aku tak tahu. Apa aku harus memahami kaidah bahasa Indonesia yang

baik dan benar dulu sebelum membuat zine? Kalau seperti itu kapan buatnya? Kalau seperti

itu buat saja koran. Aku tidak mu terbebani. Biar saja orang mengatakan apa. Aku tak

memerlukan tetek bengek peraturan berbahasa, tih peraturan itu manusia yang membuatnya.

Aku juga bisa membuat aturan berbahasa. Aturan yang tidak memiliki aturan. Kenyataannya

apa yang kutuliskan ini bukan untuk dijadikan koran harian. Zine adalah zine. Terserah yang

membuatnya. Kalau yang membuatnya mau bicara tentang menghayal menjadi kambing, apa

salahnya? Kalau zine bicara tentang mengupil yang enak memangnya kenapa? Kalau yang

buatnya tidak menafikan keberpihakan, toh, kamu yang mungkin menganggap diri berada di

tengah-tengah berpihak juga! Kalau Kau tetap merasa ini sebagai sebuah masalah, buat saja

zine sendiri. Jangan dibuat susah!”

Bantahan Riang seperti setrika. Lelaki itu panas. “Bisa saja ngeles! Orang yang anut

ideologi kebanyakannya memang kepala batu macam ini!” Ia yang santai menjadi deras.

“Itulah kenapa –seperti yang kukatakan—ideologi membuat manusia saling berperang,

terutama ideologi agama yang membuat manusia menjadi ganas. Agama itu virus akal budi!”

Riang tertawa. Tawanya semakin membuat panas. “Memang aku jagoannya! Aku

jagoan ngeles!” Riang menyombong. Dalam benak Riang tergambar jelas bayangan masa

lalu dia mengenai agama. Tergambar jelas bagaima cara Fidel menggambarkan kesalahan

pengambilan kesimpulan yang pernah ia lakukan.

“Inilah ciri-ciri fundamentalis agama!” Pria itu menyimpulkan jawaban Riang ketus.

Riang langsung menggunting perkataannya. “Apa yang salah dengan

fundamentalis?! Kamu pun fundamentalis! Fundamentalis tengah-tengah! Kalau Kamu

mengatakan aku radikal maka Kau pun radikal! Kau pikir ada gunanya? Bahkan orang yang

menulis artikel tentang ideologi di zine-ku jauh lebih baik ketimbang dirimu!” Riang melihat

Fidel, tetapi Fidel menunggu. Ia membiarkan Riang. Ia mempercayakan padanya.

“Lihat di sana!” Riang menunjuk Fidel. Tak etis memang, tetapi Fidel melazimkan.

“Dia, lelaki itu tidak pernah menyepelekan orang! Dia faham bagaimana berhubungan

dengan manusia! Dia paham, seseorang berhak memilih jalan hidupnya, tetapi setiap orang

pun berhak meninjau keyakinan yang lain. Yang dia lakukan dalam zine-ku hanya

berkomunikasi. Caranya pun santun, berbeda dengan caraku! Dia tidak sok-sokkan seperti

lagakmu! Dia yang menghormati orang lain biasa saja dengan mulutnya! Kamu! Kamu yang

285

bilang ke sana kemari bahwa dirimu bukan fundamentalis, pada kenyataannya malah

memperlihatkan bahwa pemahaman dirimulah yang paling benar!”

“Ah!” Pria itu membantah. Ia menunjukan artikel dalam zine Riang. “Sistem yang

Kau propagandakan dalam zine mu itu sistem kuno! Ideologi purba yang tak berhak hidup di

zaman modern ini!”

Moderator mencari artikel yang dimaksud lelaki itu. Ia berusaha masuk ke dalam

perdebatan. “Di zine mas Riang ada pemahaman mengenai ideologi dan sistem yang tadi

disebut purba,” moderator bertanya “bagaimana menjelaskannya?”

Riang sudah marah. “Bisa jadi yang diyakini Mas itu lebih purba ketimbang

keyakinan sahabatku!” jelasnya pada moderator. Riang bukannya memaparkan pertanyaan.

Ia malah kembali menyasar pria itu. “Purba dan tidak purba hanya propaganda! Propaganda

tidak perlu dibicarakan karena propaganda bahasa tidak perlu di perbincangkan oleh pencari

kebenaran!”

Pria itu membantah. “Tetap saja! Sesuatu yang purba tidak mungkin diterapkan lagi,

di sini dan saat ini!” Pria itu bertahan. “Yang diperlukan manusia bukan formalisasi! Yang

diperlukan manusia kesejahteraan, keadilan! Dasar muslim kepala batu!”

Riang sampai pada puncaknya. “Aku bukan muslim! Aku tak beragama!!” Wajahnya

terlihat merah. Pria itu salah melakukan diagosa. Ia meminum racun. Auditorium benar-benar

menjadi sepi! Moderator mulai berpikir untuk mengakhiri forum. Ia berusaha mencari jeda

bernafas untuk memutus perdebatan, tetapi nafas Riang terlalu panjang. Seakan hutan

belukar, jeda bernafas sukar moderator temukan.

“Keadilan! Kesejahteraaan!” sambung Riang. “Macam apa keadilan dan

kesejahteraan itu? Keduanya filosofi kehidupan!” Riang marah. “Setiap manusia mudah saja

membicarakan keadilan dan kesejahteraan! Camat, walikota tak ubahnya sama dengan

tukang becak, tak jauh beda dengan gelandangan jika sudah membicarakan keadilan dan

kesejahteraan! Keadilan dan kesejahteraan itu filosofi yang harus dibumikan! Apa yang

dibicarakan temanku dalam tulisannya sudah jauh meninggalkan tetek bengek yang Kau

koarkan! Ia sudah bicara bagaimana membumikan keadilan dan kesejahteraan dalam

pengaturan sistem, dalam perangkat ideologi, dalam tataran yang bahkan bersifat matematis!

Kau ku ajak berbisnis! Mari bisnis warung internet! Kita sama-sama menginginkan

keadilan! Tapi keadilan yang bagaimana! Pembagian untukku sekian, sebagai pemilik modal,

dan Kau sebagai pengelola warnet sekian! Hak kamu begini! Hak aku begitu! Dalam bisnis,

dalam distribusi pengelolaan sumber daya alam, dalam pengelolaan harta warisan, dalam

peperangan, dalam pengumpulan harta untuk distribusi kesejahteraan semua konsep harus

286

dibumikan. Sekarang … keadilan dan kesejahteraan macam apa yang Kau inginkan itu!

Bagaimana membumikannya! Mari kita membandingkan!”

Mendengar tantangan Riang, pria itu keracunan arsenik. Ia tercekik. Riang memberi

tiger upper cut macam pukulan Guild Street Fighter dalam permainan ding-dong. Pria itu

membisu. Ia terkena mantra, tak bisa bergerak. Pria itu beku seperti ditenung! Sunyi

mengurung auditorium seakan karamba.

Di atas sana, tiba-tiba Fidel berdiri. Cahaya lampu ruang yang dibiaskan kaca-kaca

bergoyang. Mata Fidel berkaca-kaca. Ia menepukan tangannya di udara. Fidel bangga!

Gemuruh menjelma. Tepuk tangan di mana-mana, menggema! Untuk pertama kalinya, Riang

dimuliakan. Tepuk tangan menjebol pertahanan jiwanya. Riang tak kuat menahan haru.

Bukan karena kemenangan tetapi karena rasa kasihan. Pria yang dipukulinya habis pergi

meninggalkan forum yang bukan lagi miliknya. Ia mundur perlahan. Riang memandangnya

dengan penyesalan. Kemanusiaannya bermain. Lelaki itu hanya orang biasa, sama seperti

dirinya. Ia manusia yang butuh dihargai bahkan setelah ia dikalahkan. Pria itu menghilang di

balik kerumunan.

Moderator bernafas lega. Acara yang ia pandu berakhir klimaks. Ia mengakhiri

tanggungjawabnya.

“Tatum valet auctoritas quantum valet argumentatio! Aforisma bahasa Latin

mengatakan bahwa nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya. Mengutip terjemahan

bebas sebuah ayat: silahkan sekolah yang tinggi-tinggi! Silahkan! Tetapi jika sekolah yang

tinggi itu tidak membawa karya untuk manusia, maka sejarah dan masyarakat akan lupakan

dan tinggalkan kita semua! Demikian perkataan Pram! Terima kasih! Dan … mari kita beri

applause untuk mas Riang Merapi!”

Tepuk tangan menggema. Lebih meriah dari yang pertama. Dan hal itu justru

membuat Riang bertambah sedih.

DEBAT YANG MENYIMPANG dari Zinee dan ideology contra cultura tentu tidak

menjadikan orang-orang yang hadir berubah drastis pemikirannya. Perubahan paham tak

semudah mengangkat tangan lebih tinggi dari kepala agar burung unta tidak menyerang

manusia.

“Kadang manusia tidak bisa mengatakan seluruh isi kepalanya. Mungkin lelaki itu

memiliki sejuta macam argumentasi untuk membalikan argumentasimu, argumentasi di

dalam tulisanku,” kata Fidel. “Kadang, ketika emosi menyisihkan ketenangan dan peranan

akal, argumentasi di dalam kepala yang semula luas, menjadi sempit. Mungkin karena

287

kondisi psikologi yang kurang baik pada saat itu, lelaki yang ada di forum tadi tidak bisa

mengeluarkan argumentasi dengan jernih. Bisa jadi Kau mengalami hal yang sama. Dalam

kondisi normal Kau merasa mudah mematahkan pendapat-pendapat tertentu, tetapi dalam

forum yang disesaki banyak orang, dalam forum yang di hadiri orang-orang yang sering kita

lihat di televisi dan kita baca pendapatnya di media massa, ada kalanya kita merasa tertekan.

Tekanan itulah yang akan menghambat manusia dalam mengungkapkan seluruh isi

pikirannya.”

“Yang…” Fidel memalingkan padangannya. “Tak ada manusia yang kalah dalam

diskusi.”

“Lantas yang kalah siapa?” tanya Riang.

“Yang kalah, adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya salah. Yang kalah adalah

orang yang hatinya sudah mengatakan bahwa argumentasinya tidak bisa dipertanggung

jawabkan tetapi ia terus menerus melakukan pembenaran.”

Roda besi mulai mengayuh. Pluit panjang merusakkan gendang telinga masinis. Fidel

tumbang saat mencium jok kereta yang tengik. Di saat yang sama, lelaki di sampingnya

melamunkan banyak hal dan tentu saja: melamunkan Milea.

LIBURAN YANG TAK MUNGKIN TIBA

Begadang membuat tubuh Fred limbung. Tidur hanya dua jam membuat jalannya,

seperti orang yang baru menenggak minuman keras. Fred kecapaian menyusun laporan yang

dipesan. Laporan itu seharusnya ia kerjakan bertahap, ia cicil sedikit demi sedikit, tapi

kebiasaan menjadikan laporan itu menumpuk.

Sampai di sebuah rumah, Fred menekan bel dua kali. Seorang berseragam biru,

kamera cctv mengintipnya dari atas gerbang. “Mari masuk Mas.” Lelaki berseragam biru,

288

mengenal Fred baik “Bapak ada di dalam,” katanya.

Gerbang terbuka. Fred masuk. Ia diantar pemuda berseragam biru berbadan tegap. Ia

melewati pintu yang dipasang alat deteksi. Fred kemudian berjalan di ruangan besar yang

menyerupai lobi hotel bebintang lima. Dua tangga mengulir sementara lidah karpetnya

menjulur berwarna hijau. Sampai di lantai, lidah itu menyebar memenuhi seluruh ruangan.

Lukisan-lukisan menempel pada dinding ruangan. Guci yang berasal dari perahu penjelajah

China yang karam di abad 12 terlihat terawat. Kamera menggantung hampir di setiap sudut

ruang.

Fred merasa tak nyaman saat mendengar salakan anjing. Di masa kecilnya kuping

kanan dia pernah digigit anjing. Setengah kuping yang tersisa itu mewajibkan Fred untuk

memanjangkan rambutnya. Fred terus berjalan mendekati suara yang membuatnya tak

nyaman. Saat ia melihat dua ekor anjing berada dalam jeruji pagar yang memisahkan rumah

dan lahan tempat latihan, Fred memberanikan diri keluar rumah. Lelaki yang disebut bapak

oleh penjaga meminta dia untuk menemuinya di tepi luar pagar.

Di bawah payung rumbia, lelaki paruh baya yang akan Fred temui terlihat santai.

Kaus kutang tidak mampu menekan gelambir lemak pada perutnya

“Kemari!” bapak berkacamata hitam, yang mulutnya di penuhi cerutu yang gemuk itu

memanggil.

Fred ragu. Seekor anjing memandangnya lekat. Kekuatan tenaga ke dua anjing itu

diekspresikan oleh dua kaki depan yang terangkat hingga tigapuluh centimeter dari tanah.

Garis lekukan otot dua anjing tersebut tampak di sekujur badannya. Di kepalanya, otot pipi

terlihat kencang dan kuat. Otot kepala sekitar telinga dan kepala bagian atas tampak rata,

sementara otot pada paha belakang, kaki depan serta kepala ke dua anjing itu terlihat besar.

Ekor kedua anjing itu mengibas liar.

Fred mengetahui anjing jenis apa yang menggonggonginya. Gigi kedua anjing itu

setajam belati. Cengkraman taringnya tidak bisa dibuka, selain menggunakan pengungkit.

Taringnya bahkan mampu membuat ban motor besar pecah. Kedua anjing pitbull itu mampu

mematahkan leher seekor sapi, mematikan herder, membunuh babi hutan dan manusia

dengan kondisi yang menggenaskan. Yang paling menakutkan adalah, anjing pitbull itu

memiliki kemampuan melompati pagar setinggi setengah meter tanpa ancang-ancang yang

berarti.

Fred memang berhak khawatir. Ia orang baru bagi si anjing. Ia tak bisa

membayangkan jika kedua anjing itu berlari melompati pagar lalu membuat kuping kirinya

289

rebing. Fred bukan saja tak mau kehilangan kuping. Fred tak mau mati tersia karena lehernya

di pitek rahang anjing.

Sang majikan memberi kode pada penjaga untuk menenangkan kedua pitbull. Penjaga

lelaki yang jauh-jauh hari Riang cari itu segera menggiring pitbull masuk ke dalam kandang.

Kedua anjing itu menyalak ke arah Fred kemudian pergi mengibaskan otot ekornya yang liat.

SEJAK berada di terminal Dago, Kardi menunggu cukup lama. Kepergiannya dari

terminal Dago ia anggap sebagai sebuah anugerah. Dalam pikirannya semula, menjadi

penjaga anjing bukan sesuatu yang ia angankan, dan tak dapat ia banggakan. Tetapi, anjing

yang mana, dan anjing yang seperti apa? Jika menjadi penjaga anjing nenek-nenek atau

menjadi pengantar anjing tante-tante genit macam cihuahua, atau menjaga anjing yang jika

dilempar sepatu hak tinggi sudah mengkeret, menguik-uik macam pudle, mungkin Kardi

boleh kecewa.

Di tempat ini ia memperoleh kepercayaan menjaga anjing yang semula ia recehkan.

Dua pitbull itu benar-benar membuatnya bangga. Kardi merasa dipercaya.

Saat ini, Kardi, mulai menyadari posisinya. Ia hanyalah preman biasa. Seorang

pengacau liar yang hanya dianggap sebelah mata. Ia menyadari bahwa kekuasaan yang benar

sebenar-benarnya dapat ia temukan pada diri sang Bapak. Otak, kekayaan, kemampuan

mengorganisasi orang-orang, dan tentu saja kelihaian sang Bapak dalam berpolitik yang licik

merupakan syarat tinggi dalam meraih kekuasaan.

Kardi mulai berkaca. Keinginan itu membuatnya merelakan diri untuk mengabdi.

Kardi ingin yang lebih tinggi. Ia ingin yang membukit, menggunung, ia ingin memancang

hingga ke langit-langit. Berjalan perlahan pun tak apa. Menjaga serta melatih pitbull

merupakan awalan yang sempurna. Kardi cukup puas dan bangga.

DUA PITBUL yang kembali ke dalam kandang menjadikan Fred merasa aman untuk

menyerahkan catatannya. Ia melihat kertas yang malam kemarin ia kerjakan dengan susah

payah, dilihat si Bapak pun tidak. Lelaki paruh baya itu malah meminta Fred untuk mencoba

cerutunya. Fred tak terbiasa, tapi ia mengambilnya.

“Kau kelihatan capai?!” Sang Bapak membujuknya. “Liburlah.” Cerutu terbakar.

Pipi yang gemuk kempong.

Fred tak terbiasa menghisap cerutu. Ketebalan dan harga cerutu tak pernah

membuatnya cocok. Fred mencoba tertawa, “Entah sejak kapan, aku tak berlibur,” katanya

sambil terbatuk.

290

“Itulah…” Batuk Fred ia jadikan pembenaran, “kerjaan seperti yang Kau lakukan ini

bisa membuat orang menjadi gila,” ia menunjuk kertas yang Fred serahkan padanya. “Kau

terlalu stress! Nikmatilah hidup… berliburlah …”

Fred hanya tersenyum.

Lelaki paruh baya itu mengetahui maknanya. “Kau berhak melupakan kerjaanmu.

Kau perlu memulihkan diri… berliburlah!” Lelaki itu faham. Memata-matai bukanlah

perkerjaan yang mudah. Menjadi mimikri membuat mental Fred ringsek. “Mainlah ke

Sengigi,” bujuknya, “Tenangkan dirimu, seminggu dua minggu di sana. Jangan menolak

tawaranku. Istirahatlah di sana.”

Catatan yang tersusun rapi dibawa masuk ke dalam ruangan. Catatan itu berisi siapa

yang menggerakkan ratusan orang kolektif bawah tanah saat mereka menuntuk hak

masyarakat Punclut atas air. Catatan itu menjabarkan dengan detail mengenai kegiatan seni

di pondokan, rapat-rapat terorganisir yang diadakan di rumah kayu Fidel, kondisi tempat

rapat hingga kebiasaan orang-orang yang aktif dan simpatisan lain yang ikut memfasilitasi

aneka macam kegiatan.

Sejak aksi yang menyebabkan amuk massa di Punclut, rencana pendirian perusahaan

air mineral yang dimiliki lelaki setengah baya itu terbengkalai. Tanah perusahaan airnya

menjadi sengketa, terlantar dikeroposi masa.

Kerugian harus segera di tambal. Catatan Fred membantu lelaki setengah baya itu

melengkapi dan menjabarkan apa saja yang harus dibutuhkan saat ia memerintahkan orang-

orang suruhannya untuk melakukan eksekusi.

Kesimpulan sudah di dapat. “Terima kasih.” ujar Fred. Ia mengatakan akan berlibur

setelah memastikan semuanya selesai. Fred masih berusaha menunjukan harga dirinya yang

tersisa.

Fred membuka pintu taksi. Tak ada yang dipikirkanya selain ingin membalas dendam

atas waktu yang ia habiskan selama beberapa malam di hadapan komputernya. Ia ingin

segera menghilang di peraduan. Fred ingin tidur, melupakan segalanya. Melupakan

pengkhianatan pada orang-orang yang sudah menghargainya. Ia hanya ingin tidur. Tidur

sehat yang dipikirnya akan membuat dia terbebas dari rasa bersalah.

291

RAA

Milea. Milea.

Payah. Riang terlalu meninggikan peranan Milea di dalam zine-nya. Itulah mengapa,

sejak tidur di jok kereta, nama Milea terus menerus mengiang di telinganya. Riang tersesat

dalam reaksi kimia. Riang engah jatuh cinta. Ia berharap Milea ada di pondokan.

Sesampainya ia di sana, Riang berencana untuk menceritakan apa yang dialaminya di

Jakarta. Tetapi, rencana tinggal rencana lain padang lain belalang, lain seprai lain tumbila

dan lain kepala, lain pula kutu pemikiran.

292

Milea yang ditemuinya di pondokan memasang tampak tidak peduli. Riang merasa

hutan hijaunya mendadak luruh disiram agen oranye. Ia tak tahu kesalahan apa yang telah

diperbuatnya. Dua hari tiga hari ke depan, wajah Milea tetap demikian. Perubahan tidak

pernah datang. Riang merasa tak diberkati. Ada apa? Haruskah ia bertanya pada rumput yang

bergoyang? Mestikah ia berkiblat pada petuah Ebiet yang sudah menjadi standar.operasional

script writer yang kehilangan kreatifitas? Pada siapa Riang harus bertanya? Pada cacing

kremi yang ngendon di usus dua belas jarinya, pada Oma-Opa yang sering ia lihat latihan tai

chi di lapangan Gasibu? Pada siapa? Mungkin pada zine-nya.

Riang melarikan diri ke warung internet. Ia membuka e-mail dan menemukan

beberapa surat. Sebuah surat yang datangnya dari Malang terbuka. Riang tak merasa pernah

membukanya. Hanya ia dan Milea yang mengetahui kata sandinya. Riang menerka, tetapi

ketertarikan malah membuatnya perhatiannya pada Milea mengendur. Bujuk rayu di saat

seseorang naik daun memang mengerikan.

Kau tak membalas suratku? Sekarang .. Raa ada di Bandung.

Kapan kita bertemu? Raa di sini hanya sampai hari minggu.

Datanglah ke Holiday inn.

Raa menyertakan emoticon yang membuat Riang kelu.

Surat itu dikirim dua hari yang lalu. Esok hari Sabbath. Ini hari Jumat. Di dua hari

yang keramat itu Riang masih berharap bisa bertemu Raa.

Aku kesana. Esok aku ke sana. 8.00. Balasnya singkat.

SABTU. 7.45 Riang sudah berada di atas angkutan kota Dago-Kelapa. Riang melihat

Holiday Inn seperti ketika orang Yahudi melihat tanah Zionis yang dijanjikan. Ia

menyeberangi ruas jalan yang dibelah dua. Hotel itu terlihat megah, perkasa. Dua buah

patung singa hitam yang diletakkan di lahan parkir memandang mobil bermerk kijang seolah

buruannya sementara yang bermerek panther seakan tampak sebagai kawannya.

Mobil-mobil hilir mudik menurunkan nona, tante, dan om. Di depan pintu utama

hotel, dua orang muda-mudi membuka kaca millimeter. Senyumnya santun, hanya untuk

yang mulia seorang ratu dan raja dalam semalam. Tamu masuk bergiliran. Riang lulus dari

cegatan satpam, melewati senyum pemikat muda-mudi bell boy yang andalan. Ia masuk ke

293

dalam ruangan besar dan segar. Wangi parfum dan roti yang membuat noni dan meneer

Belanda malas berkerja, merebak di udara. Ada beberapa lukisan menggantung. Di samping

sebuah tangga, Cepot, sebuah patung salah satu maskot humorologi Sunda tersenyum

memperlihatkan giginya yang ompong tinggal dua. Bar dan tumpukan minuman keras

tampak berikut koran-koran nasional yang diletakkan dengan posisi handuk yang tengah

dijemur. Riang bingung.

“Ada yang bisa di bantu,” tanya office boy.

Riang menyebut nama. Lelaki itu meminta Riang duduk di sofa putih tempat

bercengkrama. Lift berbunyi. Pintu terbuka. Layanan naik turun tak mengeluarkan keringat

itu menteleportasikan seorang nenek renta dan cucunya. Seorang lelaki keluar menjinjing

laptop. Pintu lift tertutup, lalu terbuka lagi dan membawa seorang bapak gendut yang tengah

memandangi wanita muda di sampingnya. Bapak gendut itu mengantungi cerutu di saku

baju. Wanita muda tertawa penuh gairah menyadari jika dirinya diperhatikan. Wanita itu

meninggalkan bapak gendut yang masih menatapnya dengan pandangan lapar. Wanita itu

melangkah membawa tumpukkan majalah.

Raa kah dia? Rambutnya terlihat sehat bercahaya dan tubuhnya berdiri tegak

sempurna. Ia menyapu seluruh ruangan. Matanya adalah kuas dan pandangannya adalah

warna. Ia melangkah ke depan, menemukan seorang diantara banyak lelaki yang

memandangnya.

“Riang Merapi!” tanyanya serta merta.

Riang angkat tangannya. Riang mengangguk. Ia di serbu oleh seribu satu kehormatan.

“Raa?” tanya Riang, sambil berdiri sok-sok-an bersahaja.

“Sudah lama menunggu?” Raa tersenyum behel menyerupai bintang muncul di

giginya.

Riang canggung. Ia tak bisa memulai.

“Sudah sarapan Yang?” Raa langsung mengambil inisiatif yang malah membuat

mulut Riang mangap. Wajah Riang merah. Ia tak sanggup. Riang tak kuat dengan panggilan

‘Yang’ yang ia khayalkan sayang itu. Sayang… O yayang! Mengapa Kau tidak membawa

setangkai bunga? Tanya Raa. Untuk apa bunga? Jawab Riang, itu terlampau old school dan

teramat tradisional. Akan lebih baik jika Aku membawakannmu kemocheng! Riang

mengidap neurosis. Alangkah lebih baik jika ia mengaji falaq bin nas.

Saat Riang tengah melamun itu, Raa menggamit lengannya tiba-tiba. Sembarangan.

Tindakan itu benar-benar sukar di maafkan. Listrik mengalir dari tangan Raa. Ia berusaha

menangkal segala macam goda. Hati Riang berontak. Ingatannya akan membuat aliran listrik

294

dari tangan Raa melemah. Riang merasa berdosa. Seraut wajah membayang. Riang tak mau

meyakiti Milea.

Riang tak sadar jika Raa telah menuntunnya hingga memasuki ruang makan. Ada

belasan senyum ditebarkan pelayan. Di ruangan itu tercium wangi mentega. Aneka macam

selai dan buah-buahan, tumpukkan roti, butiran gula dan coklat dihidangkan di satu meja.

Meja lainnya di penuhi makanan pembuka, sementara di sampingnya di hidangkan makanan

penutup. Riang tak tahu aturan tutup buka macam risleting celana atau macam tutup buka

lajur puncak pada hari sabtu dan minggu. Bagi Riang makan adalah makan. Lezat hanyalah

tambahan. Yang penting kenyang.

Kursi di geser. Raa duduk dengan adab puluhan tahun, sementara adab Riang adalah

adab karbitan. Riang tidak terbiasa.

Pelayan datang memasang sehelai serbet. “Kopi atau teh?” tanyanya.

Tujuan Riang ke hotel ini bukan untuk minum kopi dan makan. Tujuannya hanyalah

bertemu dengan Raa.

“Suka kopi atau cenderung teh?” Tanya Raa menegaskan tawaran pelayan. Ia

memperhatikan betul wajah lelaki di hadapannya.

Di saku Riang hanya ada lima ribu. “Tidak usah, terima kasih,” katanya.

“Kenapa?” tanya Raa sambil menuangkan cairan hitam di gelas Riang.

Riang menghentikan nafas. Riang mendadak menjadi tua dan beruban karena

memikirka uang, tetapi Riang mulai berfilsafat. Pikirnya, yang terjadi maka terjadilah!

Raa tiba-tiba tersenyum. Ia melihat lelaki gendut yang berada satu lift dengannya kini

tepat berada di belakang Riang.

“Ini pacarmu?” Suaranya terasa berat dan tangannya terasa lebar di bahu Riang.

Riang mencium bau tembakau yang keras.

“Dia, papaku!” ujar Raa setelah menghabiskan waktu seper sepuluh detik untuk

berpikir.

Riang mencoba mempercayai lelaki yang bersama Raa di lift adalah ayahnya.

“Ini Riang Pa,” ujar Raa memecahkan perhatian.

Riang mengulurkan tangan. Ia memperkenalkan diri. Lelaki itu menyambut uluran

tangan Riang.

“Tak baik aku ganggu kalian,” lelaki itu tertawa. “Papa pergi dulu,” ucapnya pada

Raa sambil mengedipkan mata. “Semua sudah papa bayar. Ajak Mas mu ini,” katanya.

“Ajak apa Pa?” tanya Raa,

“Jangan keterlaluan!” katanya pura-pura marah. “Makan!”

295

Papa pergi. Raa tertawa dan Riang merasa lega. Ia tidak harus memikirkan uangnya

yang tinggal lima ribu itu.

“Mengapa anaknya tak seputih papanya?” tanya Riang bercanda.

“Tak ada manusia yang bisa memilih warna asal kulitnya. Termasuk memilih ibu atau

ayahku,” jawab Raa tegas.

Riang merasa tidak nyaman ketika menyinggung permasalahan warna. Riang tak

meneruskan. Raa kemudian beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sebuah roti

berlapis coklat dan mentega diatasanya.

“Ini croissant?” Riang menebak-nebak.

Raa tertawa. Riang tak peduli. Ia begitu bahagia. “Seumur hidup aku baru

memakannya.” Pikiran Riang dibawa croissant menuju perang Salib. Ia teringat bagaimana

penduduk Eropa wilayah tertentu membuat roti berbentuk bulan sabit yang digunakan orang

Saracen sebagai lambang pada benderanya. Memakan croissant yang berawal dari crecent

dan Saracen ibarat memakan megapolitan Islam di Cordova.

Sesuatu yang lazim kemudian dibicarakan oleh dua orang yang dipertemukan karena

kesukaan yang sama. Raa menyetir Riang hingga batas-batas yang seharusnya tidak diterabas

ia anggap lazim. Raa memang cerdas, Riang tidak menyadarinya.

Setelah obrolan dan makanan berat di habiskan mereka pun berpisah untuk

selamanya.

Tugas Raa selesai. Ia kembali ke lantai tiga. Masuk ke dalam kamarnya dan

dikejutkan oleh lelaki yang beberapa waktu lalu ia panggil papa.

“Riang tak tahu apa-apa,” Raa menjelaskan sambil membuka sendalnya di peraduan.

Lelaki paruh baya itu mendadak hilang ingatan. Tubuh Raa yang memerah

menjadikan permasalahan mengenai rekaman peristiwa penganiayaan warga Punclut terpaksa

ia kesampingkan. Ia meyakini, catatan Fred akan memberikan jalan.

MANAKALA CHAOS di mulai dari peraduan, melalui sebuah jendela kaca yang

besar dan berkeringat, sebuah mobil hitam terlihat berhenti di pelipiran jalan. Di dalam mobil

fiat hitam itu, seorang wanita memperhatikan Riang menjinjing kaus dan tumpukan zine

melalui kaca spion. Wanita itu teringat akan e-mail yang ia buka beberapa hari yang lalu.

Wanita itu merasa sakit. Ia tak berani memikirkan apa yang telah terjadi antara Riang dan

Raa di dalam hotel itu.

296

PLAK!

MILEA HILANG. Sudah beberapa hari ini ia meminta izin tak masuk kerja. Dr

Nurlaila tak mengetahuinya. Seisi pondokkan tak tahu apa yang terjadi. Riang takut. Seisi

pondokkan takut. Rumah Milea sepi. Tetangganya pun tak bisa memberikan informasi. Fidel

mengecek air terjun. Milea tak ada di sana. Seluruh pondokkan khawatir. Hampir semua

orang dewasa di pondokan tahu, bahwa sejak kematian orangtuanya ia terperangkap dalam

tubuh orang dewasa dan kematian Pepei menjadikan keadaan ini bertambah sulit.

Ada kemungkinan lain. Fidel mengemas tenda dan sleeping bag, menyerahkannya

pada Riang. “Pergilah ke Ranca Upas,” kata Fidel. “Esok kami menyusulmu.”

Fidel tidak bisa meninggalkan aksi yang menjadi tanggungjawabnya. Hari ini seluruh

anggota SNB dan beberapa veteran bentrokan berdarah kasus air Punclut berkumpul di

pondokan. Informasi sudah tersebar. Mereka bermaksud menampakkan reaksi yang lebih

keras. Ini berarti bahwa patok-patok tanah harus di cabut dan mereka berharap aksi ini

menjadi aksi terakhir hingga pemerintah dan media massa mau mengangkat masalah

penyerobotan sumber air yang disertai intimidasi fisik menjadi masalah nasional.

Riang tidak pernah diikutsertakan aksi sebelum dan setelah aksi pemukulan di

Punclut. Beberapa orang, terutama Fidel dan orang di pondokan memiliki pertimbangan

sendiri mengapa Riang tidak ikut disertakan dalam aksi. Karenanya, mereka tidak

menganggap Riang kehilangan solidaritas terlebih dalam aksi ini Riang dibebankan tugas

untuk mencari Milea. Riang pun melenggang ketika suasana pondokkan mulai tampak hiruk

pikuk..

SEPANJANG PERJALANAN sejak terminal terakhir hingga Kawah Putih dan

pemandian air panas, pepohonan meranggas. Batangnya berwarna hitam. Ujung-ujung dahan

yang paling tinggi kecoklatan. Daun-daunnya luruh terserak seperti peminta-minta berbaju

kumal di pinggir jalan. Tanda-tanda kebakaran reda di penangkaran rusa Ranca Upas. Usai

297

Riang membayar tiket masuk petugas jagawana menunjukkan lokasi mobil fiat hitam yang

menurutnya sudah berada di tempat parkir sejak dua hari yang lalu. “Pemiliknya, tadi pagi

memberi makan rusa,” ungkap jagawana. Riang cukup lega mendapatkan kepastian itu. Ia

pun beranjak masuk. Sekitar satu kilometer dari pos penjagaan ia menemukan fiat hitam

Milea.

Milea tidak ada di mobilnya. Ia kemudian menaiki tempat pengamatan di mana

wisatawan leluasa melihat penangkaran hingga batas pagarnya yang paling jauh. Puluhan

gelondongan kayu, menjadi tempat berpijak. Atap tempat pengamatan rusa ini terbuat dari

ijuk hitam yang lembab ditumbuhi lumut. Terlihat dari sana, pagar penangkaran dan

kumpulanan rusa yang bertingkah malas. Tak satu pun dari puluhan rusa itu yang meloncat-

loncat seperti dalam bayangan anak-anak. Mereka berdesak-desakan saling menghangatkan.

Di sana Riang tak melihat tanda-tanda keberadaan Milea. Ia turun dari tempat

pengamatan, menyinggahi warung satu persatu. Milea tetap tak dia temukan. Riang

menunggu cukup lama. Ia mulai khawatir.

Menjelang sore, udara di tempat itu mendadak menjadi dingin. Atap bumi

mengisyaratkan mendung. Kekhawatiran Riang bertambah. Mendung meng-arang. Cahaya

benderang keluar dari balik awan. Beberapa detik kemudian suara halilintar terdengar.

Milea…Milea… dengung Riang.

mendung memblok senja. Cuaca kelam dan warna menghitam.

Pletak! …

Pletak! …

Pletak! …

Riang mengaduh. Bongkahan es terjun dari lngit. Bunyi suara keras teredam dempul.

Kap dan atap fiat hitam Milea terlihat penyok dari kejauhan.

Milea… berilah pertanda.

Riang berlari ke tempat pengamatan. Ia memastikan. Ia berteriak. Tak ada jawaban.

Gema di telan cuaca buruk. Suara di makan gemuruh batu. Riang merasa hilang sandaran. Ia

membutuhkan sesuatu.

Ya Tuhan lindungilah Milea… Ya Tuhan….Riang bersujud.

Ya Tuhan berilah aku kesempatan menyembahmu…. Berilah keajaiban agar hatiku

tidak kotor menafikann-Mu. Ya Tuhan penguasa alam, penguasa amarah dan badai, penguasa

kebaikan dan murka, lindungilah Milea dari badaimu.

298

Riang bersujud. Ia tak mempedulikan bongkahan batu es yang mendarat di

punggungnya. Riang terus bersujud di hamparan rumput.

Lelaki tua penjaga warung melihatnya dari kejauhan. Ia mengambil payung lalu

belari dan menyeret Riang. “Setelah hujan es reda, Abah bantu mencari kawanmu Nak!”

lelaki tua itu membujuknya.

Tetapi, kapan hujan es ini akan berhenti? Setengah jam berlalu. Empat puluh lima

menit…satu jam… satu setengah jam… dua jam…. Hujan tak juga reda.

Riang harus berusaha. Tak ada doa yang tak diiringi kerja. Ia harus berusaha. Pak tua

meminjaminya ponco, senter dan payungnya. Riang menerobos hujan, namun baru beberapa

langkah ia berjalan Riang mendengar sayup teriakan.

“Tunggu Nak, aku ikut!”

Riang berbalik arah, mengambil bilah kayu bernomor yang biasa digunakan Pak Tuan

untuk menutup warung. Pak tua mencegah. “Tak perlu, teu nanaon, tidak apa-apa.” katanya.

“Kudu buburu, harus cepat-cepat.” Ucapan pak tua mengisyaratkan keyakinan yang kuat.

“Lekas pergi Nak! Adikmu tak bisa menunggu!”

Riang berbohong saat Pak Tua menanyakan status Milea. Mereka kemudian berjalan

menembus hujan dan angin kencang, mengelilingi pagar penangkaran.

Setengah jam kemudian hujan es hilang berganti hujan yang mencopot tulang.

Mereka memasuki rawa. Kaki kedua orang itu semakin sulit digerakan. Setiap melangkah

setiap itu pula Riang memforsir tenaga keluarkan kakinya dari benaman Lumpur. Tak berapa

lama kemudian sandal Riang putus, amblas ke dalam lumpur. Bersusah payah mereka keluar

dari rawa. Hujan dan lumpur tak lagi menyulitkan namun berjalan di dalam hutan bukannya

tanpa halangan. Jalan setapak berubah menjadi jalan air. Beberapa kali kaki mereka

tergelincir.

Di dalam hutan Riang mulai merasa lelah. Sudah tiga jam berlalu. Langkah adalah

doa yang berjalan. Riang tak mau kalah. Tetapi, tanda-tanda tak juga tampak. Pak tua

memandangnya. Riang merasa kasihan. Ia mengerti. Mereka membutuhkan tambahan

bantuan. Kedua orang itu pun beranjak menuruni bukit.

Saat-saat menuju pos jagawana itu, hujan menembus dedaunan. Riang tak bisa

membayangkan bagaimana hujan berlangsung di tempat terbuka. Hutan lebat ini tak mampu

meredam serbuan air. Malam kemudian datang dan menjadikan jarak pandang berkurang,

sementara senter yang mereka pegang tidak bisa menembus jarak lebih dari dua meter. Di

luar itu kegelapan paripurna meraja. Adakah kegelapan merupakan perlambang? Riang

mengingat perjalanannya di Kopeng saat menemukan kertas koran yang memberitakan

299

kematian Pepei. Kejadian buruk itu menjadikan pikiran Riang tak karuan. Apakah ini

pertanda? Riang mengusir jauh-jauh pikiran negative dalam benaknya. Ia membuang pikiran

bangsat itu menuju pinggiran jalan setapak, membuangnya ke dalam semak-semak. Riang

terus berjalan dan …….. bruk!............... Pak tua ambruk. Sebuah benda mengait kedua

kakinya. Riang mengarahkan senter ke bawah, dan ia pun … berteriak.

“Pak … adikku…!”

Posisi tubuh Milea telungkup. Riang mengambil tubuh itu, dam membersihkan

wajahnya.

“Milea…..?” Riang berbisik.

Detak jantung Milea melemah. Badannya membiru.

Riang mengenali gejala itu. Milea terkena hipotermia.

Keadaan darurat tak membutuhkan banyak tanya. Pak tua mengerti. Ia segera

membantu menempatkan Milea ke punggung Riang. Pak tua melangkah cepat, tetapi Riang

tak bisa mengikuti. Jalan setapak terlalu licin. Mereka melewati jembatan. Air kali terlihat

mengepul. Melewati jembatan Riang memantapkan langkahnya. Ia berlari melawan waktu.

Seratus meter dari jembatan sebuah telaga tampak. Bau belerang tercium di sela hujan.

“Telaga air panas?!” Riang berteriak.

Pak tua mengangguk.

“Ada pemandiaannya?”

Hujan masih mengucur deras. Riang mengulangi beberapa kali pertanyaannya. Pak

Tua mengerti. Ia berlari menuju sebuah bangunan. Pintu pemandian terkunci. Kaki Pak Tua

melayang. Pintu pun dobrak berderak. Di dalam pemandian tak ada penerangan. Cahaya

senter menyoroti bak yang kusam dan dinding yang berwarna kuning. Riang langsung

menceburkan diri. Ia memangku badan Milea, dan memeluknya erat.

Riang meminta tolong pada Pak Tua untuk melanjutkan perjalanan ke pos jawagana.

Mereka membutuhkan bantuan. Riang kembali berpikir cepat. Riang memberi instruksi “Di

tas saya ada tenda! Tolong Bapak dirikan tenda itu di dalam warung dan sediakan minuman

serta makanan hangat! Jangan lupa ambil kantung plastik besar yang bisa Bapak bawa! Air di

sini harus dimasukan ke dalam tenda!” katanya.

Pak Tua tak tersinggung, “Itu saja?” jawaban yang keluar dari mulutnya.

“Ya!”

Ketika Pak Tua pergi, Riang menyenteri wajah Milea, kemudian menyandarkan

tubuhnya pada dinding bak. Riang meletakan wajah Milea di dadanya. Tanah yang melekat

di dahi Milea, ia seka. Pipi yang semula membiru, mulai terlihat merah. Rambut Milea yang

300

panjang mengambang di petmukaan air. Ya Tuhan! Riang benar-benar takut kehilangannya.

Ia menciumi pipi Milea. Mencium hidungnya, mata, bibirnya. Riang takut kehilangan Milea.

Ya Tuhan, dengan nyala-Mu, hangatkanlah tubuh Milea.

Ya Tuhan. Hanya pada-Mu aku menggantungkan harapan.

Ya Tuhan buatlah Milea siuman.

Bibir Milea yang semula mengatup terbuka. Merekah. Indah.

“Kaa… ka Pepei…” Milea mendesah.

Berbahagialah Pepei yang sedemikian dirindukan, yang sedemikian diharapkan.

Berbahagiah Pepei.

Milea terus menerus mengerang.

HUJAN PERLAHAN REDA. Dari kejauhan kecipak langkah Pak Tua terdengar.

Tak ada langkah lain yang menyertainya.

“Tak ada jagawana, Nak! Mereka pergi!” jelas Pak tua terengah.

Di saat-saat genting Riang dilatih agar tak merasa butuh terhadap penyesalan. Ia

melakukan apa yang bisa ia lakukan.

“Kantung plastiknya ada Pak?” tanyanya.

“Hanya ada tiga. Hendak diapakan, Nak!?”

“Masukkan air panas kedalamnya,” Riang menunjuk pancuran.

Derasnya aliran air membuat ketiga kantung plastik besar itu cepat terisi. Pak tua

mengikat dan membawa satu kantung menuju warung, sementara Riang keluar dari bak, dan

segera memfokuskan diri pada nafas serta langkah kakinya. Riang berlari.

Memasuki warung Riang merasa sesak, “Di mana tendanya?” tanya Riang.

“Ada di kamar.”

Tenda masih teronggok di lantai. Pak tua meminta maaf. Ia tidak mengerti cara

mendirikannya.

Luna lantas dibaringkan di atas papan. Riang segera membuka ikatan dan menepiskan

rangka tenda. Dengan satu gerakan, tenda tiba-tiba berdiri membentuk doom secara ajaib,

membuat Pak Tua takjub. Riang langsung menghamparkan kantung tidur di dalamnya. Ia

meminta Pak Tua untuk memasukan plastik berisi air panas ke dalam tenda.

Riang membopong Milea. Saat membuka bajunya, Pak tua paham apa yang

dikerjakan Riang. Ia mundur, mengambil kantung air yang tersisa.

301

Riang menutup tenda. Nadinya berdenyar hebat. Desing jantungnya melebihi rentetan

AK-47 senjata khas pejuang Afghanistan. Ia lantas mengangkat kaus Milea yang basah,

menahan nafas.

Ya Tuhan jangan Kau biarkan kejahatan menguasai diriku. Riang membuka kaus

dalam Milea. Riang silap. Untuk pertama kalinya ia melihat dada wanita. Pikiran-pikiran

aneh melintas.

Tuhan, ampuni diriku. Jauhkanlah kejahatan. Jauhkanlah.

Riang mempercepat apa yang memang harus dilakukan. Ia tak mau menghayati tubuh

Milea. Ia menolak dan menganggapnya menggarap patung.

Milea adalah patung. Patung adalah Milea. Riang utarakan mantra.

Saat membuka kancing celana jeans Milea, Riang mengalihkan pandangannya. Ia

mempercepat apa yang ia lakukan lalu menjalani tahapan pertolongan selanjutnya:

memasukan Milea ke dalam kantung tidur. Riang merebahkan diri di samping Milea sembari

merangkul pinggangnya. Dua tubuh merapat. Rekat.

Tak berapa lama, satu kantung plastik berisi air panas lainnya sampai. Saat Pak Tua

hendak kembali berlari, Riang tiba-tiba mengingat mobil Milea. Ia berteriak. “Pak… tolong

carikan kunci mobil di celana jeans adik saya.”

Pak Tua tak menemukan kunci yang diminta. Ia kembali mengambil plastik berisi air

panas yang terakhir. Setelah menyelesaikan apa yang Riang pinta, Pak Tua keluar dari

warungnya. Ia menanti mobil untuk memberi pertolongan. Hingga tengah malam tiba tak ada

satupun derum mobil yang terdengar sampai di warung.

Hanya ada dua orang di warung malam itu. Riang menyaksikan bagaimana Milea

masih memanggil Pepei dalam igauannya. Setiap kali Milea mengigau saat itu pula Riang

mendekapnya. Igauan Milea baru hilang ketika subuh datang.

Jantung Milea mulai berdetak seperti biasa. Fase kritis mereka lewati. Riang merasa

lega. Ia pun mengantuk, tertidur dan bermimpi: tubuhnya terperosok ke dalam jurang tak

berdasar. Perasaan tegang mengganggunya. Riang terbangun, dan terkejut merasakan geliat

yang luar biasa di tubuhnya.

Milea siuman. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, memastikan siapa yang tengah

menghimpit tubuhnya. Tangan Riang lantas menyusup. Ia meraba-raba kantung tidur, lalu

membuka risletingnya pada bagian dalamnya. Milea sadar apa yang terjadi. Ia tiba-tiba

berteriak tertahan. Milea bangkit dan berbalik. Ia tak sadar jika tubuhnya polos, tak terhalang

oleh sehelai benang pun.

302

Wajah Milea terlihat pias menyaksikan tubuh telanjang di hadapannya. Riang malu!

Ia segera menutup tubuhnya menggunakan kantung tidur..

Milea tak percaya. Ia marah dan hempasan itu pun datang.

Plak!!!

Milea menutup wajahnya..

“Aku tak menyangka!” Ia terisak.

Riang mengambil celananya. Ia mengambil tangan Milea.

Milea menepiskan tangan Riang, kasar, “Mana pakaianku!?” teriaknya histeris.

Riang menunjuk.

Milea mengenakan baju dan celana yang basah.

“Masih basah. Nanti Kau sakit,” Riang membujuk. “Gunakan saja baju dan

celanaku,” katanya.

Milea hilang keseimbangan. “K-K-Kau…Kau…”Emosinya tertahan.

“Aku menemukanmu tak sadarkan,” jelas Riang.

“Kau memanfaatkan keadaan!!!” suara Milea terdengar serak.

“Dengar dulu! Tolong Milea… tolong dengar penjelasanku!”

“Tidak! Tidak ada yang perlu di jelaskan!” Amarahnya di telan tangisan. Dengan

tubuh yang lemas, Milea berjalan ke pintu …dan

Bruk!!!

“Milea kau salah sangka.” Lirih Riang.

Milea tak mendengar penjelasan Riang. Ia pingsan.

Riang kembali membaringkan Milea di dalam tenda. Kening wanita itu panas. Milea

panas. Ia harus dilarikan ke rumah sakit. Riang segera keluar dari warung. Ia tak menemukan

Pak Tua. Riang kembali masuk ke dalam warung, menuju dapur, mengambil dua bungkus

mie, menggoreng dua buah telur untuk sarapan.

Hingga makanan itu dingin Milea tak menjamahnya. Wanita itu masih tak sadarkan

diri.

Situasi ini berbahaya. Riang lantas meninggalkan Milea, mencari kunci ke dalam

hutan, menuju tempat Milea rubuh. Ia tak menemukan. Kunci teronggok di dalam bak

pemandian air panas. Riang menemukannya tak berapa lama kemudian, lalu berlari kencang

mecari Pak Tua hingga pos jagawana.

Riang menemukan Pak Tua terkantuk-kantuk di pinggir jalan, tak jauh dari pos

jagawana. “Bapak bisa mengendarai mobil?” tanya Riang.

303

“Bisa juga motor, Nak!”

“Mana motornya?”

“Tidak punya, Nak.” Pak Tua tak hendak melucu. Ia hanya menjawab.

Hingga pagi ini ia belum menemukan satu mobil pun yang melintas sejak kemarin

malam. “Sebentar lagi penjaga pos datang,” ujar Pak Tua berusaha menenangkan Riang.

Ada kepastian yang membuat hati Riang tenang. Riang berbalik ke warung. Dalam

perjalanan itu ia mendengar bunyi motor trail yang ia kenal. Riang bersyukur. Waluh datang

pada saat yang diperlukan.

JAM SEMBILAN SIANG ITU, Milea sudah mendapat perawatan. Waluh kembali

ke Ranca Upas mengambil motornya yang tertinggal. Riang bersikeras untuk mengucapkan

terima kasih pada Pak Tua, tetapi Waluh menolaknya, “Biar kusampaikan saja!” ujarnya

tegas.

Waluh kemudian mengingatkan Riang pada situasi tak menentu yang ia ceritakan

dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia bukan saja menyarankan, tetapi memerintahkan

Riang untuk menjauhi pondokkan.

“Pergilah ke rumah kayu Fidel,” katanya. “Istirahatlah dulu! Siang ini, aku, Bentar

dan Eva menyusul.”

Riang tiba-tiba teringat Fidel.

Bukankah Fidel berjanji akan menjemputnya di Ranca Upas?

304

MOBILISASI YANG MENIPU

Mundur ke belakang. Keluarga Sekarmadji merupakan salah satu warga desa yang

dirugikan semenjak pendirian hatchery (lahan pembibitan udang) di Cianjur Selatan, sejak

kuwu Daryo mengumumkan “Lahan ini bukan punya kita! Sudah ada kuitansinya! Punya

orang luar!

Warga desa mengerti fungsi kuitansi tetapi pada siapa orang luar membeli tanah yang

sudah mereka garap sejak tahun 1970-an.

Tak pernah ada yang memiliki tanah di pinggiran samudera Hindia itu. Mungkin

VOC pernah mengklaim kepemilikannya, tapi VOC sudah lama hengkang, bahkan sejak

kedudukannya di ganti Belanda yang kemudian pergi diusir Jepang, lalu Jepang terkena

karma diusir sekutu, kemudian warga sekitar dan solidaritas kemanusiaan antar ummat

manusia berjuang menggunakan senjata dan --melalui-- perundingan internasional demi

mengusir agresi yang dilakukan tentara dari negeri Holand.

Perjalanan sejarah desa Cibenda itulah yang menjelaskan mengapa karuhun-karuhun

desa yang usianya sudah melebihi delapan puluhan bersyahadat bahwa tidak ada tanah untuk

hatchery. Mereka bersaksi bahwa tanah di Cibenda adalah tanah tak bertuan salian tanah

milik Allah, kecuali tanah milik Allah!

Tanah kosong itu memang miliki Allah tetapi beberapa tahun setelah merdeka tanah

itu menjadi milik negara yang kemudian oleh penduduk desa ditanami pandan laut: untuk

305

disamak, ditanami padi: tentu saja untuk di makan, di tanami ketela dan ribuan pohon

penghasil santan untuk dijadikan sebagai mata pencaharian..

Lalu, setelah berpuluh-puluh tahun penduduk desa melakukan usaha mandiri atas

tanah milik negara –yang tidak diurus negara itu—tiba-tiba tanah-tanah di patok. Tanah itu

bukan lagi dimiliki negara. Tanah menjadi milik swasta. Menjadi milik perorangan melalui

kongkalingkong badan pertanahan tanpa bincang-bincan persetujuan dengan penduduk desa.

Penduduk desa tidak tahu, sebenarnya status tanah di Cibenda itu telah diselesaikan di

kota hanya dalam hitungan hari, di saat yang bersamaan ketika mereka melihat sebuah papan

pengumuman: tanah sengketa berdiri di tengah-tengah lahan pencaharian mereka. Itulah

mengapa, ketika kuwu Daryo dan aparat desa yang juga ditunjuk menjadi fasilitator ganti

rugi hektaran tanah mengizinkan truk-truk tronton datang, penduduk desa terperangah.

Truk yang bagi warga desa besarnya termasuk aujubillah itu membawa kayu,

potongan besi penyangga dan semen. Seorang supir truk yang bersahabat dengan penduduk

desa memberi bocoran, tempat itu akan dibangun apa. “Pabrik pengalenga udang!” katanya,

tetapi buruh lain yang wajahnya sukar untuk dipercaya mengatakan, untuk pabrik terasi juga.

Ketika cor-coran beton ditumpahkan, warga Cibenda bertambah bingung “Yang di

sana untuk untuk resort!” jelas Kuwu. “Itu bagus, bahkan nanti di daerah kita akan ada

bianglala seperti di Ancol!” kata Kuwu berbelit-belit.

Mau biang lala atau gula biang, tak satupun warga desa yang peduli. Mereka tak

memerlukan apa pun selain tanah yang sudah mereka garap turun temurun selama berpuluh

tahun itu menjadi tempat garapan seperti semula, atau kalaupun tidak, penduduk desa

Cibenda mendapatkan hak untuk diikutsertakan dalam perundingan nasib tanah di wilayah

mereka.

Perundingan tak pernah dilakukan. Hal inilah yang membuat tensi darah penduduk

desa naik.

“Aing geus teu tahan! saya sudah tidak tahan! Kumaha aing bisa hirup mun kieu!

Bagaimana saya mau hidup kalau begini! Paeh geus aya nu nentukeun, mati sudah ada yang

menentukan” cerocos Mang Uple siap berperang.

Keesokan harinya, Mang Uple yang sebelumnya tak begitu dianggap warga,

memasuki areal pembangunan yang konon hendak dijadikan pabrik pengalengan. Golok di

tangan kanannya, menjadikan Mang Uple yang bertubuh kecil menjadi besar menakutkan.

Mang Uple mengetahui, Mang Uple sadar jika hanya dengan golok di tangannya,

pembangunan pabrik pengalengan tidak akan berhenti. Golok yang menghantam pondasi

306

beton hingga beberapa kali menjadikan goloknya roheng dan tumpul, namun Mang Uple

tidak kehilangan akal. Di dekat generator ia menancapkan goloknya pada batang pisang.

Mata Mang Uple menyala-nyala. Jerigen solar ia lemparkan! “Kaluar maraneh!

Kaluar! Keluar semua! Keluar semua!” ia mengusir buruh bangunan.

Solar menempel di bedeng. Golok di cabut. Korek api menyala. Bedeng terbakar.

Buruh-buruh bangunan yang semula hanya memperhatikan mendadak marah. Mereka

kemudian berlari mengejar Mang Uple hingga sampai batas pagar pembangunan.

Mang Uple berhasil meloloskan diri. Tanggung jawab Mang Uple saat ia sendiri

menyerahkan diri ke kator polisi, menaikan posisinya di hadapan warga desa dan juga

menaikan daya tawar warga dihadapan pengelola hatchery. Dan karena Mang Uple pula,

kasus kasus penyerobotan tanah di desa Cibenda lolos dan di dengar hingga kemana-mana

meski media masa ragu-ragu memberitahukannya. Di Cibenda, Mang Uple kini menjadi ikon

yang melebihi Ernesto Che Guvara, karena ikon ini terdiri dari darah dan daging yang hidup

di tengah-tengah warga desa.

Suasana panas yang mengasyikan itulah yang mengundang beberapa orang untuk

mendatangi desa yang juga merupakan tempat kelahiran Sekarmadji. Kasus yang terjadi di

desa Cibenda sebenarnya hanya satu kasus dari kasus lainnya yang bertebaran namun

dipencilkan. Waluh segera menggali informasi di Cibenda kemudian bersama beberapa orang

lainnya mengorganisasikan kasus-kasus di desa-desa lainnya, termasuk yang terjadi di

wilayah Punclut.

Membela bagi orang semisal Waluh dan yang lainnya memang merupakan kengerian

yang mengasyikan. Kegemaran mendekati bahaya memang ‘penyakit kejiwaan’, namun tak

apalah jika penyakit kejiwaan tersebut di salurkan pada hal-hal yang berguna bagi

kemanusiaan.

“Jangan sinis begitu!” kata seorang pejabat. ”Pemanfaatan lahan tidur di Punclut

bukan anti kemanusiaan!” katanya.

”Benar,” Waluh memotong, ”pemanfaatan itu tidak anti kemanusiaan, tetapi jika

pemanfaatannya melibatkan warga yang sudah menggarap turun temurun di sana,” ujar

Waluh tenang.

”Pengelolaan air terjun oleh pihak swasta akan menghasilkan apa yang kita kenal

sebagai trickle down effect!” pejabat mantan lulusan Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia,

mengaum menggunakan salah satu komponen di dalam teori ekonomi pasar bebas. “Lihatlah

villa-villa yang bertebaran di sekitar air terjun,” kata dia. ”Penduduk mendapat rezeki dari

kerja menjaga villa-villa di sana, pikirlah yang sehat, belum lagi ...”

307

”Ya!” Fidel memotong ucapan si pejabat dengan sinis. ”Trickle down effect adalah

upah yang didapat penjaga villa di kawasan Punclut dari kapitalis pemilik tambang! Ya!

Trickle down effect adalah secuil upah yang di dapat penduduk setempat, usai memperbaiki

pipa sumber air, usai pemodal di Jakarta memprivatisasi kepemilikan sumber air Punclut

demi pendirian pabrik air mineral, yang akan mematikan akses penduduk untuk

mengkonsumsi air langsung dari mata airnya! Ya! Trickle down effect adalah upah minimum

regional yang didapat jutaan buruh setelah bekerja habis-habisan, sementara dari memerkosa

sumber daya alam pemilik, pejabat dan kroninya terbiasa menghabiskan beratus kali lipat

upah minimum regional per/bulan hanya untuk membeli Virtue! Ya! Trickle down effect

merupakan alat pembenaran keserakahan yang dilegalisasikan oleh negara! Trickle down

effect adalah pembayaran atas tindakan amoral terhadap minyak, lng, batubara, air terjun,

mata air, dan segala sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan jika

trickle down effect dianggap sebagai upah, maka penjaga, buruh bangunan, buruh tani adalah

gadis yang dilacurkan, sementara kaum kapitalis dan sistem yang menaungi sistem tersebut

adalah mucikarinya!”

Di mana-mana aktivis bertaruh di meja judi. Nyawa ditaruhkan dengan pembebasan

tanah ala Mao di iringi lagu this song of freedom Redemption Song dan untuk pertaruhan ini,

Riang tidak pernah dilibatkan. Anak gunung Merbabu itu benar-benar dilokalisir dari

koordinasi yang sejak kedatangan aktivis-aktivis straight edge, skin head, kolektif anarki,

mahasiswa yang mengadvokasi tanah warga, dan beberapa kolektif lainnya yang tergabung

dalam gerakan bawah tanah Bandung di rumah kayu Fidel.

Riang mungkin menganggap dianaktirikan, tetapi Fidel dan kawan-kawannya tidak

menganggap demikian. Semua ada perencanaannya. Dan jika saat itu tiba, seseorang bahkan

tak mungkin membendung kecenderungannya untuk bersikap heroik atas tuntutan yang

dilandasi pertanggungjawaban seseorang pada Pemilik tongkat bisbol hari pembalasan.

Riang teringat betul apa yang pernah dikatakan Fidel padanya, bahwa “Perenungan

teologis yang tidak membawa pada pergerakan akan membuat seseorang lumpuh!” dam

dalam perjalanan mengantar Milea menuju rumah sakit itu, Riang cemburu atas aksi kedua

yang dilakukan Fidel dan kawan-kawannya di Punclut. Aksi mereka merupakan

pengejawantahan direct action yang pernah Fidel ucapkan.

Cerita Waluh mengenai aksi yang tidak Riang ikuti justru tidak menjadikan Riang

untuk berhati-hati. Semangatnya justru malah menderu-deru. Ia ingin berada di tengah-

tengah kaum yang mengidentifikasi dirinya dengan pembangkangan massal terhadap WTO

pada tahun 1992 di Seatle. Ia ingin melawan trinitas WTO, IMF, World Bank yang ia belum

308

mengetahui sepenuhnya apa. Ia ingin bersama Fidel yang bergerak karena keyakinannya

teologisnya.. Ia ingin m\empraktikkan direct action: melakukan aneka pencurian yang

sebenarnya merupakan tuntutan keadilan, menghancurkan bangunan dan instalasi yang

dipersiapkan pengembang mata air Punclut dengan kunci Inggris, pipa besi yang ditemukan

di lokasi keributan, atau melemparkan molotov setelah memastikan buruh pembangunan

aman dikondisikan.

Riang mengingat benar apa yang Fidel ucapkan ketika membicarakan direct action

dihadapan anak-anak muda yang setiap minggunya berkumpul di pondokan.

“Jika kalian sudah melampirkan berkali-kali surat pemberitahuan tetapi birokrasi tidak

meresponnya, maka kalian berhak mengobrak-abrik lapak minuman keras, pelacuran dan judi

yang berlangsung di hadapan kalian! Jika pemerintah hanya memberikan vonis empat tahun

bagi koruptor yang memakan uang masyarakat ratusan, milyaran bahkan trilyunan rupiah

maka kalian berhak menusuknya di pengadilan lalu menyeret koruptor itu untuk dibunuh di

hadapan pengadilan rakyat! Jika kalian merasa kecamatan telah berlaku tidak adil meminta

administrasi KTP hingga ratusan ribu rupiah, maka kalian berhak mencuri uang dengan

jumlah yang sama di kantor kecamatan itu! Jika majikan kalian tidak mau membayar gaji

yang telah menjadi hakmu, maka curi computer yang ada di kantormu!

“Apa yang kita bicarakan ini mengerikan,” seorang pemuda baik hati

mengungkapkan. “Jangan-jangan nanti kalian mensahkan pemboman terhadap orang sipil tak

berdosa untuk meraih tujuan!?”

“Tidak!” jawab Fidel. “Jika hal itu dilakukan maka itu merupakan tindakan yang

salah kaprah! Keyakinanku menentang tegas hal itu! Tak satu agama pun yang membenarkan

tindakan barbarian tersebut!”

“Tapi itu tindakan melawan hukum. Itu tindakan anarkis!”

“Aku hanya akan melawan hukum yang sudah terbeli! Ini bukan tindak anarkis dalam

pengertian kamus. Direct action adalah sebuah kontrol individu yang hanya segelintir orang

yang bisa melakukannya. Direct action buka tindakan chaotic! Direct action bukan tindakan

mensahkan bangsat, keculasan, kejahilan orang-orang yang dijiwanya hanya terdapat

keinginan mau menang sendiri, merasa benar di kepala sendiri! Ini adalah tindakan mata di

balas mata yang tidak popular di kalangan kalangan Ghandiisme, atau pasifisme! Ini hanya

tindakan pengambilan hak yang sudah dicuri individu, komunitas, bahkan penindasan yang

dilakukan oleh aparatur negara! ”

“Tapi cara damai harus dilakukan!”

309

“Sudah kami lakukan!” tegas Fidel setelah mengutip kasus Punclut, Cibenda Cianjur

Selatan, Ciamis dan lainnya. “Kami sudah melakukan cara yang disebut baik-baik itu! Media

cetak sudah kami bombardir dengan surat pembaca! Kami sudah melayangkan surat

pemberitahuan ke berbagai instansi untuk menyelesaikan penembakkan dua orang warga

Punclut, intimidasi dan kebangsatan lain yang terjadi di sana! Tapi tidak ada tindakan! Kami

sudah bosan! Kami tahu jika tindakan ini tidak mutlak membuat bangsat sadar, tapi direct

action akan memberi efek jera, karena tindakan ini bukanlah cara pertama dan satu-satunya

melainkan sebuah alternative cara yang bisa dilancarkan apabila tindakan pesuasif

dipentalkan oleh kebebalan! Kami bukan pengikut Ghandiisme, kami bukan Pasifis!” dan

jawaban yang disampaikan Fidel menjadi pembeda antara direct action dengan aksi teroris.

Direct action hanyalah tindakan pengambilan hak ketika birokrasi, hukum dan negara

menjelma telah menjadi zombie.

Riang membayangkan bagaimana Fidel mengancam ruang dewan ketika hal-hal yang

baik dalam pengertian formal sudah tidak digubris. Riang membayangkan bagaimana Fidel

dan kawan-kawannya mengancam dewan dengan konsep direct action, mengancam dewan

dengan tindakan yang sebenarnya tak jauh dengan budaya vendetta dan ia, si anak gunung

Merbabu itu menyadari betapa mengerikannya jika ia tidak melibatkan diri karena ia yakin

pada suatu hari akan berhadapan dengan dengan Pemilik tongkat bisbol.

Riang kini sadar, ia tumbuh di dalam lingkungan yang didirikan bukan untuk

bermain-main. Cerita Waluh terhadap peristiwa penghancuran penyerobotan tanah untuk

instalasi air menyadarkannya bahwa Fidel tidak hanya membicarakan apa yang diyakininya,

tetapi melaksanakannya dengan perencanaan yang matang.

KISAH PENGAMBILALIHAN hak atas air dan tanah untuk kepentingan warga

Punclut yang diceritakan Waluh dalam perjalanan menuju rumah sakit pun tidak bisa

digolongkan ke dalam sebuah tindakan sporadis minim strategi. Pada saat peristiwa Punclut

terjadi, petani penggarap, warga desa beberapa daerah lain yang lahannya diserobot

menggunakan puluhan truk datang berbondong.

Aparat keamanan yang dipusatkan di gedung dewan tak menyadari jika Fidel dan

kawan-kawannya bergerak menjauhi pusat keramaian. Mereka menyerbu Punclut dan

berhasil melakukan tindakan keras tanpa ceceran darah di tanah.

310

Fidel dan kawan-kawannya membumihancurkan super struktur pembuatan instalasi

air. Inilah tindakan balasan setelah penembakkan dilancaran pihak pengelola dalam aksi

Punclut yang pertama dan inilah yang membuat Riang malah makin tergila-gila.

Riang terlalu platonis. Riang ingin diceburkan ke dalam dunia yang berwarna itu. Ia

tak sabar, namun saat ini ia masih membutuhkan rehat. Bagaimana pun juga, mengingat-

ingat tamparan Milea membuat metal Riang lemah. Tamparan itu benar-benar memarut

fisiknya.

TEGAP MENANTANG

Riang yang diharuskan untuk mengambil jalan lain melewati pondokan, tidak

mengetahui jika pondokkan yang berada dibelakang tubuhnya sudah diobrak-abrik orang

suruhan sang Bapak. Lima belas menit di depan Riang, Fred menjauhi Kardi yang tengah

menggiring seekor pitbull, diantara puluhan tukang onar yang membawa dua jerigen bensin

dan beberapa orang yang mempersenjatai diri mereka dengan pistol dan senjata tajam.

Riang terus berjalan. Rasa letih membuat pikirannya tak fokus. Langkahnya

semerawut. Usai mengambil jalan potong melewati pondokkan, Riang membayangkan

betapa jauhnya perjalanan. Ia masih harus memasuki hutan kopi, melewati air terjun beserta

lorong-lorongnya lalu melewati perkebunan teh dan lahan pertanian yang luas.

Riang hampir-hampir putus asa. Ia benar-benar tak sanggup jika harus sampai saat ini

juga. Fisiknya yang diforsir kemarin malam, memaksa dia mengistirahatkan dirinya di depan

hutan kopi, tepat di bawah pohon tempat ia dan Taryan pernah mengumpulkan jambu.

Kericik air membuat istirahat yang diniatkan sebentar membuatnya menjadi lama.

Angin membantu menghela kesadarannya. Riang tertidur. Pada awalnya ia tak memimpikan

apa pun jua, namun di akhir-akhir tidurnya, ia terkenang kembali sahabat-sahabatnya.

Taryan, Fidel, Bentar dan Eva, Antoni, bahkan Agus menyapanya. Informasi mengenai aksi,

perihal kemungkinan pembalasan yang dilakukan penanam modal di Punclut, larangan

beristirahat di pondokkan dan segala kemungkinan buruk lain yang diceritakan Waluh

membuat alam pikirannya bergerak. Dalam mimpi bola mata Riang mengendut-endut cepat.

Ia mimpi yang bukan-bukan.

Riang bangun. Mimpi buruk menjadikan pengisian energi tubuhnya tidak berlangsung

baik. Tidur siang satu jam tidak mengaruniakan kebugaran sempurna. Ia baru merasa segar

setelah air terjun memijat punggungnya. Setelah air terjun ia lewati Riang memasuki

311

kawasan kebun teh, lalu menyaksikan menyaksikan bagaimana angkasa dicoreng morengi

asap hitam.

Was-was melanda. Ia berjalan cepat seolah ikuti lomba. Tak jauh dari hamparan

rumput Jepang, ia melihat rumah kayu Fidel terbakar api. Atap rumbianya sebagian habis

menjadi abu lalu dihembuskan angin. Riang bersembunyi. Di lahan mentimun, ia melihat

orang-orang menampakkan wajah tegang.

Orang-orang itu mencari rekaman tindak penembakan yang mereka lakukan dalam

aksi warga Punclut yang pertama. Fred merasa dongkol rekaman yang ia informasikan

kepada sang Bapak tidak ditemukan, baik di pondokan dan di rumah kayu Fidel.

Rencana lain harus dilaksanakan. Lelaki bertubuh atletis yang berada di luar rumah

memberi isyarat. Ia berteriak agar Fred keluar. Bensin diguyur pada dinding rumah. Lelaki

itu memerintahkan pria lainnya untuk mengelilingi rumah, memastikan tidak ada satu pun

orang yang bisa keluar lalu menyebar informasi pembakaran rumah kayu dan –menyebarkan

informasi— mengenai usaha melenyapkan barang bukti penembakan di Punclut.

Botol bensin dilemparkan ke atap rumah. Sebuah letusan terdengar. Botol bensin

pecah diserempet peluru. Gesekan yang ditimbulkannya menyalakan api. Api muncrat turun

di berbagai sisi atap rumbia. Api berlari cepat menuju dinding. Berlari mengagumkan

mengelilingi tiang-tiang, jendela dan pintu lalu menggabungkan diri pada satu titik. Asap

hitam mulai muncul, lalu di sapu angin. Api bertambah besar.

Lelaki bertubuh tegap bak perenang pekan olahraga nasional itu berteriak lagi. Ia

memastikan agar Fred keluar rumah. Ia tak mengetahui jika di dalam rumah itu Fidel

mengintai dari celah pintu bawah tanah. Fidel merangkak setelah mengetahui rumah kayu

menjadi panas oleh api. Secepat gerilyawan pembebasan Fidel merangkak. Ia mengambil

mulut Fred lalu membantingnya.

“Apa yang kau cari?!” bisik Fidel mengancam.

Fred diam.

“Apa yang kau cari itu memusnahkan nuranimu sendiri?!” Fidel mengingatkan.

Tapi Fred tetap diam. Ia lebih memilih memfokuskan konsentrasi untuk

membebaskan diri. Fred bukan bukan orang sembarang. Ia mengetahui beberapa teknik

keluar dari kuncian. Fred bukan orang biasa yang pernah dikalahkan Waluh usai

mempraktikkan kekejian pada seekor ayam.

Keluar dari pitingan itu Fred segera menghantam kepala Fidel menggunakan tulang

belakang tengkorak kepalanya. Beberapa kali daerah di wajah dihantam membuat hidung

Fidel patah. Darah membuat mulutnya terasa asin. Alis Fidel koyak. Fred langsung berdiri,

312

menendang tulang rusuk Fidel, tetapi tangan Fidel yang bergerak cepat membuat tubuh Fred

kembali tidak seimbang.

Fred terjatuh. Ia dikurung oleh tubuh Fidel. Ia menggapai-gapai kaki kursi. Tangan

Fred segera membentuk benteng pertahanan seperti yang dilakukan Chris Jhon sang petinju.

Kursi mental ke samping, melenceng keluar jendela. Tak ada satu orang pun yang berani

masuk ke dalam. Api semakin besar. Asapnya membuat sesak. Waktu semakin sempit. Fidel

menubruk Fred. Kepalanya meleset menuju ulu hati, tetapi lengannya melingkar di kepala

Fred. Setelah Fidel memastikan posisi tangannya, kakinya langsung menyambar perut Fidel

menggunakan dengkul dan menghentak, membalikkan tubuh Fred sekuat tenaga menuju

lantai. Punggung Fred membentur tiang. Tulang lehernya retak. Nyerinya tak terkira. Asap

semakin tebal. Paru-paru ke dua lelaki itu sudah sampai pada batas yang tak dapat ditolerir.

Dengan sisa kekuatan Fidel meninggalkan Fred yang tergolek tak memiliki

kemampuan. Fidel merayap menggunakan lengan dan dengkulnya. Ia membuka pintu bawah

tanah lalu terjatuh. Pintu tertutup. Asap menyusup ke dalam. Fidel merangkak, menjauhi

asap. Di tiga perempat lorong bawah tanah ia pingsan.

Di atas ruang bawah tanah, Fred menggelepar seperti ayam yang dulu pernah disiksa

olehnya. Tangan Fred terlihat dari luar jendela, diubari api, menjadi gosong. Api mengamuk

membuat atap rumah ambruk. Palang penyangga terjun bebas mengakhiri rasa sakit yang

menjalar di tubuh lelaki itu.

Di lahan mentimun, Riang yang sudah bisa menguasai dirinya mengendap-endap,

memutar. Ia memiliki harapan, menuruni lereng bukit lalu berlari menuju tempat Fidel biasa

membincangkan segala hal dengannya. Dalam keadaan itu ia tak mengingat jika sesuatu

terjadi di luar kesadaran. Jemari tangannya menancap di tanah. Di lereng bukit itu ia

merangkak cepat seperti binatang berkuku tajam. Bukit itu dengan mudah ia daki.

Riang menuju semak-semak. Asap terlihat meleleh dari pintu yang tersembunyi. Ia

bergegas masuk ke dalam. Asap membuat Riang terganggu. Ia membuka baju dan

menggunakannya untuk menyaring asap.

Lorong gelap. Lampu padam. Riang tak bisa menyaksikan apa-apa. Ia ragu untuk

melanjutkan. Beberapa meter ke depan Riang memutuskan untuk berhenti, tetapi beberapa

langkah kemudian ia sudah tidak tahan. Nafasnya serasa tercekik. Ia berbalik dan … sebuah

tangan tiba-tiba memegang pergelangan kakinya. Riang jongkok meraba. Instingnya

bermain. Ia menarik tangan Fidel, menyeret tubuhnya. Di tangga ia memanggul tubuh Fidel

ke atas.

313

Saat pintu lorong terbuka ia merasa lega. Udara segar yang meski masih bercampur

asap menolongnya. Riang membanting pintu dan melemparkan tubuh Fidel ke luar, namun

… belum selesai ia mengatur nafasnya, sebuah laras senapan menempel di kepalanya.

“Di sini Bang!” seseorang berteriak antara tegang dan senang.

Pitbul menyalak. Riang mendengar langkah kaki mendekatinya. Ia mengangkat

tangan tak memiliki kesempatan melawan. Riang diikat. Ia melihat wajah sahabatnya

berjelaga, namun ia bersyukur masih bisa melihat gerakan halus di dada. Jantung Fidel masih

memompa darahnya. Perutnya masih berdenyut konstan.

Riang bersyukur sahabatnya masih bisa bernafas. Kini, yang ia khawatirkan hanya

dirinya. Orang-orang berkumpul mengelilingi Riang. Riang tak mampu menatap wajah

mereka. Ia memilih berdamai. Lalu ketika salakan anjing terdengar didekatnya, Riang

merasakan wajahnya berputar. Tulang pipinya berguncang disepak. Dalam pening ia melihat

seseorang mengayunkan kembali kakinya. Orang itu hilang akal. Kaki mendarat di tubuh dan

wajah Riang. Darah bertebaran di tanah. Lidah Riang tergigit. Gigi gerahamnya terasa nyeri.

“Siapa suruh menghabisi dia, goblog!” Lelaki bertubuh atletis memaki. Kardi yang

memukuli Riang sampai habis disergap, sementara anjing yang ada di tangannya di alihkan.

Sebelum kesadaran Riang pupus, ia melihat mulut yang benar-benar dikenalnya meludah.

Ludahnya bau pasaran, bau mayat!

Setelah amukan api reda, beberapa lelaki diperintahkan untuk menuruni tangga,

memasuki lorong bawah tanah. Berbekal senter mereka memeriksa buku-buku yang

berwarna kecoklatan lalu membalikan risbang. Mereka tak menemukan rekaman yang

dibicarakan Fred. Mereka hanya berharap pada dua orang yang tertangkap. Puluhan orang itu

kemudian berjalan. Mereka bergantian menjinjing Fidel dan Riang seakan klan kanibal yang

tengah menjinjing hewan buruan.

MALAM HARINYA, Waluh, Bentar dan Eva sampai di rumah kayu. Mereka hanya

melihat reruntuhan. Diantara reruntuhan itu tercium bau daging matang. Ketiga orang itu

mengais-ais arang. Ketakutan akan takdir seorang sahabat membuat mereka ketakutan.

Sebuah tangan mereka temukan terlihat hitam kaku dan meregang, di balik

reruntuhan. Bentar dan Waluh membuka sisa bakaran perlahan dan memastikan bahwa

mereka tidak mengenal tubuh yang hangus itu. Tinggi tubuh mayat tersebut lebih pendek

ketimbang tubuh, Fidel sahabat mereka. Bentar kemudian mencari-cari pintu ruang bawah

tanah. Ia menemukan dan membukanya, menyalakan senter lalu masuk memeriksa dan tak

menemukan seorang pun juga di sana.

314

Ketiga orang itu segerameninggalkan rumah kayu dengan perasaan yang berkecamuk.

Sampai di tempat seorang kawan mereka bergerak cepat, mengumpulkan teman yang tersisa.

Tak ada yang hilang kecuali Fidel dan Riang. Dan pada saat seseorang memberitahukan Fred

hilang, bulu kuduk ketiga orang yang telah menyaksikan jasad yang gosong terbakar itu

meremang.

Orang-orang segera menyusun rencana. Draft kronologis peristiwa Punclut dan

kemungkinan keterkaitan antara dirusaknya pondokkan dan dibakarnya rumah kayu serta

penemuan mayat tak dikenal mereka susun. Jam sepuluh pagi draft digandakan lalu

dibagikan pada beberapa lembaga advokasi yang mereka percaya dan media massa lainnya.

Aksi lanjutan disusun. Informasi berantai di tangkap seluruh jaringan gerakan sub

culture di Bandung serta beberapa organisasi lainnya. Jam satu siang hari itu, Riuh rendah

orang-orang menyemut, berkumpul di gedung sate Bandung.

Jalan di samping kiri gedung pemerintahan yang bersambung dengan Bandung Indah

Plaza segera diriuh rendahi pekikan. Klakson digonggongkan. Kendaraan pribadi dan

angkutan menyingkir. Yel-yel membakar. Dari arah Jatinangor ratusan orang berdatangan

mengeluarkan bunyi begemuruh. Arus massa terbelah menjadi dua, saat bus kuning

membelah jalan. Penumpang bus itu sesak. Di atasnya berdiri lima orang. Tiga menggunakan

slayer dan ikat kepala yang lainya memegang megaphone. Di jalanan patroli polisi tampak

terkejut. Empat orang polisi yang saat itu tengah istirahat belari memastikan pagar gedung

dewan terkunci. Tak ada barikade berduri.

Surat yang baru disampaikan setengah jam lalu membuat aparat tak siap. Mereka

membutuhkan waktu untuk mengkoordinasikan anggotanya di lapangan. Waktu jeda itu

dimanfaatkan oleh rombongan lain yang berjumlah seratusan. Rombongan ini menentang

arah ratusan orang yang berjalan menuju gedung pemerintahan. Mereka anak-anak muda

pakaiannya di dominasi warna hitam. Rambut beberapa orang diantaranya ditegakkan lem

uhu melawan grafitasi. Warna-warna menyala. Beberapa orang melilitkan rantai anjing di

saku celana, beberapa lainnya mengenakan rantai di leher.

Wartawan terpilah menjadi dua. Mereka ragu-ragu untuk tetap bertahan di gedung

pemerintahan atau mengikuti aksi lainnya. Beberapa wartawan yang akurasi informasinya

bisa dipertanggungjawabkan mengambil sepeda motor, beberapa di antaranya berlari menuju

RRI.

Rombongan seratusan orang ini menemukan gerbang RRI yang sudah ditutup satpam.

Penjaga keamanan tampak kebingungan. Bentar yang berada di dalam rombongan

melakukan negoisasi. Jumlah orang yang ada di belakangnya memuluskan jalan.

315

Auman! Pekikkan! Kemarahan menyala-nyala di udara. Mereka masuk, menduduki

ruangan, dan beberapa orang lainnya menuju ruang siaran. Waluh dan Bentar mengambil

mike. Beberapa orang kawan mencari operator radio, meminta mereka untuk menyiarkan apa

yang ingin mereka sampaikan, on air!

Seorang operator menolak. “Bisanya hanya siaran tunda!” kata dia. Tetapi dari ruang

siaran seorang teman berteriak. Ia mendapatkan operator yang bisa mengacak program RRI

nasional. “Siang ini berita bisa kita bajak!” teriaknya.

Operator itu segera di paksa masuk ke dalam ruang siaran. Di bawah tekanan operator

muda itu hanya memakan waktu hampir setengah jam untuk mengacak siaran pusat. On air!

Saat siaran baru berjalan beberapa menit, seorang kawan lain masuk. Ia berteriak

membuat kaca ruang siaran berembun. “Situasi kacau! Polisi sebentar lagi datang! cepat!

Teman-teman berusaha mempertahakan!”

Bentar mengambil inisiatif. “Masukkan wartawan!” ujarnya. “Biar mereka menjadi

saksi penangkapan kita.” Setelah berkata demikian ia mempercepat apa yang ingin di

sampaikannya.

WTO, IMF, World Bank, serta imbas penanaman modal asing dan dibukanya

pengelolaan hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam selain oleh Negara ia jabarkan.

Bentar sampai di puncak kemarahannya ketika membeberkan penyerobotan tanah di berbagai

daerah. Ia menceritakan kronologis Punclut. Seluruh keterkaitan yang masih menjadi dugaan

ia jabarkan. Hilangnya Fidel dan Riang penemuan mayat membuatnya berang. Makian di

selipkan … puisi-puisi… pekikan kaum bercaping…kesadaran akan emansipasi … pestisida

korupsi… anjing… anjing dan anjing dilontarkan. dan …

Dar! Dar! Dua buah letusan letusan tiba-tiba terdengar.

Seorang wartawan yang terkena gas air mata mengingatkan. “Polisi menyerbu!”

Suaranya hingga ke dalam. Pintu ruangan didobrak! Kaca pecah! Lampu kilat berkejaran.

Wartawan yang ada di dalam ruangan merekam kejadian yang tak mungkin terulang.

Selasa menjelang Ashar itu, Waluh, Bentar dan kawan-kawanya digelandang polisi

menuju truk bak terbuka. Mereka tak melawan. Pembajakan yang mereka lakukan tak sia-sia.

Peristiwa pembajakan kantor dan pembajakan berita resmi RRI itu menjadi kisah yang

gaungnya tak mungkin hilang di masa yang akan datang.

MANAKALA PEMBAJAKAN RRI BERAKHIR di sisi terluar kota itu, Riang

merasakan tubuhnya mengalami banyak guncangan. Kelokan, jalan berbatu yang telanjang

tanpa aspal membuat seluruh isi truk terguncang. Tak jauh dari tubuhnya, Fidel berbaring,

316

mempertahankan posisinya, berpura-pura pingsan sambil mencerna keadaan. Truk berhenti.

Lelaki yang ada ada di dalam truk menyeret tubuh Fidel dan Riang.

Suara jangkrik terdengar. Riang dan Fidel tak melihat apa-apa. Mata mereka ditutup

kain semenjak mereka di lemparkan ke dalam truk. Tubuh Fidel di gotong, sementara Riang

diperintahkan berjalan jongkok. Seseorang lelaki mendekati Riang.

“Sudah kuingatkan di Merbabu!!”

Riang berusaha menerka dalam diam.

Kardi tertawa dingin. “Aku setanmu!” ujarnya. “Tak aku sangka kita akan bertemu

lagi!” ia kemudian duduk dan berbisik. “Kali ini kau akan mati! Mati! Mati ditanganku!”

Ancaman itu membuat Riang ketir. Ia tak terlatih mengelola emosinya menghadapi

penculikan. Dalam kepalanya muncul gambaran-gambaran penyiksaan. Gambaran itu makin

rindang, berbuah lebat. Sebelum ngeri yang sesungguhnya mendatangi, Riang dihancurkan

oleh kemungkinan-kemungkinan negatif yang di sodorkan pikirannya. Riang strees. Ia mual.

Malam itu Riang dimasukan ke dalam sebuah ruangan tak berwarna selain hitam.

Lampu dimatikan. Tak ada makanan. Organ tubuhnya mulai berkerja mengambil cadangan

lemak. Makanan masih bisa ditangguhkan, tetapi air. Riang kehausan. Di hari ke dua,

matahari menyerobot masuk. Riang di gelandang keluar, diperintahkan jongkok untuk

memakan makanan anjing. Ia mendengar suara riuh dari kejauhan. Riang menyaksikan Fidel

dikalungi tali. Ia bersyukur masih bisa melihat lelaki itu. Riang terharu. Ia tak melihat

ketakutan di wajah Fidel.

Fidel demikian tenang saat ia dibawa ke dekat Riang. Fidel ditelanjangi hingga hanya

menggunakan cawat. Ia di guyur air dingin dari dalam tong. Tubuhnya memar-memar di

beberapa bagian. Warna merah sisa darah masih menempel. Fidel mengigil. Ikatan pada

tubuhnya di perketat lalu Fidel dimasukan ke dalam tong berisi air. Fidel dipukuli, dipaksa

masuk ke dalam airnya. Tong ditutup. Beberapa puluh detik kemudian tong bergetar lalu

rubuh. Air mancur keluar, Fidel mengap-mengap. Wajah tenangnya terlihat merah padam.

“Di mana video itu!?” lelaki bertubuh atletis membentak.

Fidel menatap. “Terbakar bersama kawanmu!” ungkapnya.

Lelaki itu marah. Ia tak percaya, Fidel pastilah berdusta. Lelaki itu ingin mengetahui

batas kekuatan yang dimiliki Fidel. Ia memasukan Fidel lagi ke dalam tong lainnya yang

berisi sedikit air. Batu kerikil di masukan ke dalam tong. Kali ini bukan hanya dikeram. Lima

orang mementungi tong itu dengan kayu dan sepatu, lalu tong digelindingkan di turunan.

Tong berlari hingga menyimpang dari jalannya lalu berhenti setelah membentur pohon. Fidel

317

dalam keadaan tak sadarkan diri saat tong di buka. Ia ditarik ke atas oleh seutas tambang. Di

dekat Riang, Fidel dipaksa siuman.

Lelaki bertubuh gempal yang ingin terlihat garang lantas mengambil tusuk gigi. Ia

menginjak lengan Fidel lalu tusuk gigi itu ia masukan ke dalam kuku Fidel. Fidel menahan

sakit. Mulutnya mengatup, merapal-rapal sesuatu yang tak asing bagi orang yang

menyiksanya. Fidel terus merapal. Rapalan itu tak mengalihkan rasa sakit yang tak tertahan

tak terbayangkan. Jeritan terdengar ketika tusuk gigi yang ketiga membongkar kuku jari

tengah. Fidel merintih di hadapan Riang. Fidel yang biasa terlihat gagah berusaha melawan

rasa sakitnya.

Betapa menyakitkan melihat orang yang Riang kagumi dihinakan. Riang meneteskan

air mata menyaksikan peragaan kejahatan yang belum sampai batasnya. Riang tak hendak

memperdulikan keadaannya. Dalam suasana sempit Riang teringat kembali atas apa yang

telah Fidel lakukan padanya. Ia teringat masa-masa ketika dirinya masih teronggok dalam

bentuk bebatuan dan Fidel ulet memahatnya. Riang berubah menjadi karya seni yang indah.

Riang teringat ketika Fidel mengatakan, akan selalu ada hari esok. Akan selalu ada hari

kemenangan. Kejarlah kemenanganmu di masa ini. Cintailah hidup, akan tetapi jika takdir

sudah menentukan dan kemenangan tidak berada di tangan maka kemenangan itu akan tiba

bagi orang yang mempercayai kehidupan sesudah kematian.

Apakah tidak ada kemenangan Riang di dunia? Riang masih ingin menikmati sari pati

kehidupan. Ia ingin keluar dari celah sempit ini. Tidak sendirian. Ia ingin bersama Fidel.

Riang memperhatikan wajah Fidel yang kuyu di hadapannya mulai bercahaya.

Matanya yang bengkak mulai terbuka. Entah mengapa Fidel tersenyum padanya. Riang tahu,

dalam kondisi hidup mati seperti ini, adalah manusiawi untuk memperlihatkan ketakutan,

tapi Fidel mulai tersenyum. Ia berusaha menenangkan Riang dengan senyumannya seolah

mengatakan, santai … Ini hanya kepingan. Atau, menguatkan Riang bahwa pengalaman

seperti ini sudah seringku alami. Kita akan baik-baik saja.

Fidel memberi energi positif. Ia berusaha menguatkan Riang. Berada di dekatnya

ibarat mendekati sebuah adaptor. Ibarat mempersilahkan diri ditranfer energi besar yang

disalurkan secara alami.

Riang tak sadar, ketika ia tengah memperhatikan Fidel, lelaki bertubuh atletis

berbisik. “Mungkin kau kuat, tapi apa kau kuat melihat temanmu kami siksa?!” Lalu lelaki

bertubuh atletis memberi tanda pada lelaki berbadan gempal untuk berhenti menyiksa Fidel.

Lelaki berbadan gempal itu mengganti posisi. Ada kesenangan psikotik di matanya.

Ia menuju Riang, lalu mengikat lengan Riang pada sebatang pohon. Orang-orang berkumpul

318

lalu membantunya mebogemi tubuh Riang. Ulu hati Riang mulai kempis, ekspresi wajahnya

kacau, tubuhnya dihantam sampai ringsek. Riang bersujud di tanah. Ia hampir tak kuat

menahan sakitnya. Lalu generator dinyalakan. Percikan api yang muncrat membuat Riang

ketakutan.

Fidel terus tersenyum, tetapi senyum itu malah menimbulkan dengki. Lelaki bertubuh

gempal memergoki. Ia kesal lantas, tas! tas! Percikan api muntas. Tas! Tas! Tas! Tubuh

Riang di sengat. Peredaran darahnya beku. Matanya mebeliak merah Riang kejang-kejang

hingga membuat dahan pohon bergoyang.

Fidel menyadari, memfokuskan diri pada penyiksaan di hadapannya justru akan

memperlambat upaya dia membebaskan diri. Fidel bergegas. Patahan-patahan tusuk gigi

yang sebelumnya dipergunakan untuk menyiksa, ia gunakan untuk memutuskan serabut tali

rami yang mengikat tangannya. Ketika tusuk gigi sudah tak berfungsi, ia meraba-raba dan

menemukan ceceran kerikil yang membuatnya pingsan di dalam tong. Gesekan batu kerikil

ia percepat pada tali rami. Dan ketika ketajaman batu kerikil itu berkurang, tali rami putus.

Fidel memperhatikan keadaan seksama. Ia melihat orang-orang menyaksikan

penyiksaan itu dari jarak yang bisa Fidel taksir. Ia melakukan kalkulasi lalu melihat letak

senjata. Senjata yang paling dekat adalah yang tersemat di pinggang lelaki gempal yang

tengah menyetrum Riang. Belati itu terselip di pinggang, disarungi kulit sapi. Fidel telah

menentukan momentum.

Jerita Riang kembali terdengar. Beberapa lelaki yang menyaksikan penyiksaan sudah

merasa tak kuat, akan tetapi mereka berpura-pura menguatkan diri. Sama halnya ketika tusuk

gigi membongkar kuku Fidel, orang-orang itu menganggap kekejaman yang lelaki gempal

praktikan sudah keterlaluan. Ada sikap manusia yang tersisa di dalam diri mereka tetapi

lelaki bertubuh gempal itu tidak. Ia binatang, melebihi binatang ternak.

Riang terus menjerit. Tubuhnya meronta lidahnya terasa kering, air liurnya mencelat

kemana-mana dan ketika jeritan terkeras itu menihilkan suara generator, Fidel segera berdiri

dan berlari menubruk. Ia Menghantam iga dan merampas pisau. Seseorang mencabut pistol..

Fidel menjadikan tubuh lelaki bertubuh gempal sebagai tameng.

“Buka!” Fidel memerintahkan mereka untuk membuka ikatan di tubuh Riang.

Tak ada yang bergerak. Mereka menanti reaksi lelaki bertubuh atletis.

“Kepung dia!”

Fidel dikelilingi. Ia tak mungkin memiliki kesempatan. Ia memilih mempertaruhkan

kemungkinan yang belum terpikirkan oleh gerombolan orang ini. Fidel menikam pelan di

punggung belakang lelaki bertubuh gempal. Lelaki itu berontak, memaksa diri berbalik dan

319

tikaman ke dua merobek pipinya. Lelaki itu terhuyung, meminta bantuan. Tangannya

mendompleng bumi, jemarinya meremas tanah.

Fidel berlari zig-zag ketika letusan terdengar. Peluru menembus pohon pisang, dan

masuk ke dalam tanah. Fidel terus berlari. Pisau digengaman tangannya mulai menembus

bahu seorang lelaki. Ia mencabut pisaunya lalu berlari mencari sasaran lain. Darah muncrat

dari leher. Usus dicungkil, menjulur keluar. Gerombolan itu kalang kabut. Lelaki bertubuh

atletis memerintahkan mundur, menjaga jarak. Fidel terus berputar.

“Kardi!” Lelaki bertubuh atletis berteriak.

Kandang di buka. Salakan anjing terdengar. Fidel gentar. Sebelum pitbul sampai di

tempat itu ia berharap bisa membebaskan Riang. Fidel terus menerus berlari dan memangsa

orang-orang dengan pisau yang ada di genggamannya. Seseorang yang menguatkan diri

memungut pipa. Pisau dan besi berbenturan. Di saat itulah Kardi datang dan melepaskan tali

kekang.

Pitbul menyerang, ia melompat terjang. Mengigit paha. Fidel tak mau merasakan rasa

sakit itu. Ia tusukkan pisau di kepala pitbul. Anjing itu mati di tempat. Tertatih Fidel

mendekati Kardi. Pitbul ke dua dilepaskan, memutar mencari kesempatan. Ketika pisau

merobek baju Kardi, pitbul melompat mencengkramkan pisau email yang menempel di

rahangnya pada tengkuk Fidel.

Ini pertarungan penghabisan. Pistol menyalak. Lengan kiri Fidel tertembus peluru.

Dalam sisa kekuatannya ia terus maju, menihilkan rasa sakit. Ia ingin membawa seseorang

dalam kematiannya. Fidel menangkap tangan Kardi menggunakan tangan yang dikoyakkan

peluru. Kardi hilang keseimbangan. Tubuhnya maju tak bisa di tahan. Tubuhnya menjadi

lahan. Pisau tertanam, menancap hingga tepian jantung, tepat di bagian tubuh yang sama saat

ia membunuh seseorang lelaki gagah di dekat stasiun Yogyakarta.

Fidel membungkuk. Ia mulai kehabisan tenaga. Taring pitbul itu mulai meretakkan

leher, hampir menembus otak kecilnya. Fidel tersenyum. Seyum itu sedemikian cantik.

Sebuah senyuman yang mewah. Sebuah senyum agung yang berbekas.

Fidel memberikan senyum yang tak akan bisa Riang lihat lagi untuk selamanya.

Senyum itu adalah pertukaran yang sebanding. Sebuah senyum kebahagiaan ketika seseorang

mempertaruhkan hidup untuk sesuatu yang diyakininya.

Ia terkulai. Fidel meninggal. Tubuhnya kandas.

Riang menangis. Ia tak lagi memikirkan kesakitannya sendiri. Riang tergolek lemas.

Cahaya hidupnya di matikan paksa. Ia melihat orang-orang mendekati tubuh Fidel,

memastikan. Urusan Fidel di dunia ini sudah tamat. Kini tubuhnya di seret anjing. Lelaki

320

bertubuh atletis lalu meminta seseorang untuk datang menangani. Anjing pitbul di beri

daging. Rahangnya mengendur. Gigi taringnya lepas dari tengkuk Fidel.

Jasad Fidel dimasukan ke dalam tong. Riang menangis lagi. Ia melihat jasad itu

dihinakan. Ia tak tahan atas perilaku itu. Uratnya mengencang. Riang tak merasa tubuhnya

berguncang-guncang dan tali yang menahan dirinya tiba-tiba terlepas. Riang tidak tahu apa

yang terjadi. Yang ia tahu ia marah. Kemurkaan membuat seluruh kenekatan dan kekuatan

menetap di tubuhnya. Riang merasa jika dirinya seperti di pisahkan dari jasadnya. Ia seakan

menyaksikan sebuah kejadian dalam film, menyaksikan tubuhnya kalap, menyerang orang-

orang yang menggelindingkan tong yang berisi Fidel, sahabat tersayangnya.

Riang pukul mereka.

Ia mencakar!

Ia menendang dengan kekuatan yang memenclengkan tiga orang.

Tong Fidel berhenti menggelinding. Riang menghentikannya. Mendirikannya. Ia tak

mendengar hembus nafas. Ia tak mendengar rintih kesakitan. Riang belum bisa menerima

jika sahabatnya sudah berkawan dengan ajal.

Riang murka dengan derajat kemurkaan yang tak pernah dirasakannya. Ia mengambil

seonggok kayu, mematahkan satu orang yang menyergap badannya. Dua orang datang

memiting Riang. Mereka tak kuat menahan kekuatan magis itu.

Empat orang tak sanggup.

Lima orang dihempaskannya.

Delapan orang, Riang hampir takluk.

Ia dikerubungi. Tangan kakinya di pasung.

Riang terus melawan. Ia masih menggelepar. Digunakannya segala macam cara.

Digigitnya salah satu diantara mereka. Kepingan daging jatuh. Raungan-raungan yang

menjijikan. Mulut Riang di hantam. Mulutnya dimasukan kain. Ia tersumbat. Riang

melemah. Ia tak mampu lagi berbuat apa-apa dan derapun datanglah!

Pukulan dan tendangan bersatu dengan ludan dan makian. Dirinya adalah tempat

sampah. Puas sudah! Tubuh Riang di masukan ke dalam tong. Inilah saat-saat dimana

kepasrahan datang. Tak ada yang bisa menolong Riang.

Tong ditutup…

Cahaya hilang.

Tong..tong..tong..tong..tong..tong.

yang biasa diisi bensin, solar, minyak tanah

saat ini di isi manusia.

321

Tong…tong..tong..tong…

menjadi lorong yanghitam

seperti putaran roda bis …

serasa masuk ke dalam penggilingan.

…berputar…berputar semakin cepat.

suara geledak geleduk…

Suara…suara pukulan yang bising di telinga.

Seperti gemuruh seperti ada ledakan…

Ada drum band.

Semakin cepat betputar…

Pening…pusing…

Riang ingin muntah. Aku ingin muntah.

“Heiiii…buka! Aku mau muntah! Tolong!

Wu..wue…wuek..

WHO…EEEKKKKK!

Tong berhenti berputar. Tong didirikan.

Ada cahaya.

Tutup tong di buka.

Riang melihat ke atas.

Wajah dipenuhi cairan lambungnya sendiri.

Lelaki itu tersenyum sinis…

Ya ia rasa mengenalnya.

Riang berusaha konsentrasi…

Riang mengenalnya.

Ya…seperetinya dia Kardi.

H a l u s i n a s i

Mata Riang semakin kabur.

Ia dijambak. Diludahi dua kali.

“Kau akan mati!”

Lelaki itu memasukkan beberapa buah benda.

322

Tong ditutup kembali.

Berputa…putar lagi…

Tong-…tong….

Riang mulai merasakan perih…

Ada tusukan…tusukan kecil…

Benda apa yang dimasukkan lelaki itu?

…tubuh Riang seperti ditusuk paku …

Riang mengeram menahan sakit. Ia kencing.

Pipis di celana…

Riang berak di celana!

…tong

…tong

... tong …

Kepala kembali di atas,

kaki di bawa

Leher nyeri tertancap…

Semua badan nyeri tertancap…

Kesakitan memuncak…

Inilah ambang batas ketika Riang tak menyadari segalanya.

Seperti masuk ke alam baka.

Kesakitan perlahan dicerna.

Kesakitan dan pening di lahap.

…di cerna…

Tida..tiba..

Riang masuk ke dalam kedamaian.

…………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………

………putaran…putaran ini …………………………… …………………. Seolah ia berdiri

di atas bumi melanglang… layang layang. Riang seakan

323

keluar dari tong dan menyaksikan bumi dari luar pengaruh gravitasi. Indahnya. Tong ini

tidak jauh dari bumi yang sedang berotasi. Ada kedamaian. Terus berputar pada porosnya.

….. …………………………….bumi ini adalah tong ……………………………………

…………………………………aku adalah bumi ini……………………………………..

………..…………………………...….ektase……………………………………………..

……………………Apa ektase yang dirasakan Rumi seperti ini …………………………

…………………………………..Riang mengantuk………………………………………..

………….damai…………

Damai..damai….

Allah…………….

……Allah………….Allah…

Allah….Allah…..Allah……....Allah……...Allah……….

Allah……….Allah…….Allah………

Mengapa aku menyebut naman-Nya?

Allah……Allah…….Allah……..kenapa ia melafadzkan kekhasan-Nya?

Allah…..Allah………..Allah……….

Allah………Allah………Alllah………………..

Allah………Allah………………Allah………

Allah………Alllah……………..Allah…….

Damai sekali…

Sejuk…

Tong..tong berputar…

Apakah Fidel merasakan hal yang sama di tong itu?

Riang berharap ya. Ia berharap anugerah yang serupa.

Kuharap ia dapatkan. Keajaiban menihilkan kesakitan….

Ya Tuhan…

Ya Tuhan…

Ayo terus putarkan…

Semakin cepat semakin nikmat….

Semakin dahaga….semakin terasa damai.

Bumiku adalah tong ini…tong ini adalah bumiku….

324

Riang mulai tak merasakan putarannya…

Ia berada di poros bumi…

Allah mematikan hukum alam untuknya

…huah…

Riang mengantuk…lalu senyap… dan tertidur lelap.

RIANG BANGUN, menanti apa yang terjadi. Tapi, di luar tak terdengar apa pun. Ia

menunggu. Terus menunggu. Setelah cukup lama, tong itu ia goyangkan, ke kanan, ke kiri

hingga terjatuh. Ia meneendang tutupnya! Tutup tong terbuka, Riang merangkak dan berdiri.

Dilihatnya keadaan sekeliling.

Tak ada manusia selain dirinya. Ia berada di tengah hutan. Mereka membuang Riang

di jurang. Jauh dari keramaian. Mereka sudah menganggapnya mati.

Riang melongok ke dalam tong sekali lagi. Ia menemukan celana pendek dan puluhan

paku. Ia lantas memperhatikan tubuhnya sendiri. Tak ada bekas paku dan tusukan. Tubuhnya

hanya terasa pegal. Riang kebal. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia mengenakan

celana pendek, kemudian berputar-putar mencari tong lain yang berisi jasad Fidel.

Riang berharap keajaiban tetapi ia tak menemukannya. Ia hanya bisa berharap Tuhan

mematikan hukum alam pada Fidel. Ia berharap luka yang tertancap di tengkuk, luka yang

membuat tubuh Fidel robek dan memar akan terasa seperti yang dirasakannya.

Seandainya Fidel benar mati, ia berdoa semoga tong yang di tempatinya menjadi

lorong kecil yang membebaskan dirinya dari dunia yang profan.

Tak ada kekhawatiran.

Riang seperti terbebas dari angka

Ia menjadi nol lagi.

Hilang semua asa. Lenyap seluruh asa

Ia berjalan… terus berjalan. Jika orang-orang memandangnya kalah, tak mengapa!

Sebab bagi dia kemenangan tidak ditentukan dari hidup dan matinya seseorang, melainkan

tetap beradanya dia di dalam ruang kebenaran…selama-lamanya! Seabadi-abadinya!

Riang memanterakan bahwa dirinya tidak pernah kalah. Bahwa Fidel tak pernah

tunduk untuk mengalah. Ia akan selalu berdiri tegap …

Menantang!

dan mengancam!

-TAMAT-