Nonton Wayang atau Dangdut · 2017. 1. 3. · Title: Nonton Wayang atau Dangdut Author: ikwan...

25
Nonton wayang atau dangdut?: Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid dalam pertunjukan wayang kulit di Jember IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 1 Nonton wayang atau dangdut?: Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid dalam pertunjukan wayang kulit di Jember IKWAN SETIAWAN Peneliti di Matatimoer Institute Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ e-mail: [email protected] Wayang Kulit: Tarikan-tarikan Politik Kolonial-Poskolonial dalam Pertunjukan ―Wayang adalah Jawa dan Jawa adalah wayang!‖ Ungkapan tersebut kiranya sesuai untuk menggambarkan bagaimana wayang telah menjadi identitas budaya yang selama ratusan tahun dilekatkan pada jati diri orang Jawa Mataraman, di manapun mereka berada sehingga untuk memahami beragam peristiwabaik ekonomi, politik, maupun sosio-kulturalyang terjadi pada masyarakat Jawa sepertinya belum lengkap sebelum dikaitkan dengan cerita wayang. Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana dikutip Sears (2005), dalam pengasingannya di negeri Belanda (1914) pernah menulis dalam sebuah majalah berbahasa BelandaDe Indische Gidstentang wayang. Dia menjelaskan: Dalam (wayang) orang Jawa mewujudkan bagian bijak dari kedalaman filosofis dan mistik; dia menyatakan sisi kedalaman hidupnya. Tidak mengherankan jika di istana aristokrat ataupun di rumah-rumah keluarga miskin, wayang menjadi teater rakyat yang sangat digemari. Orang tua dan muda menghabiskan waktu untuk mendengarkan ukara dalang, mengikuti ceritanya tentang dewata dan raja, pangeran dan kesatria, bagaimana mereka menderita dan kalah, merasa terpenjara oleh hasrat, menjadi budaknya, dan akhirnya, bagaimanapun juga, mampu memenangkan pertarungan. Wayang adalah ciptaan asli orang Jawa yang telah dipertunjukkan di istana keraton Daha sekita tahun 800 dan direvisi pada sekita tahun 1500 oleh Sunan Kalijaga. Tentu, karena wayang memang benar-benar kreasi orang Jawa, maka melaluinya seseorang bisa belajar banyak hal tentang kehidupan dalam orang Jawa. Masyarakat Teosofis Cabang Hindia-Belanda telah melakukan pekerjaan yang baik dengan memasukkan kembali (drama India) Sakuntala dan menerbitkan hasil penelitiannya. Namun, apakah wayang memang sejak awal menjadi identitas ―budaya dalam‖ orang Jawa? Sears mempunyai pendapat berbeda tentang hal itu. Popularitas wacana wayang sebagai identitas kultural Jawa tidak bisa dilepaskan dari usaha diskursif yang melibatkan kepentingan politis sebagai berikut: (1) ide wayang sebagai esensi budaya Jawa merupakan produk kesalinghubungan antara visi estetik Jawa dan Belanda serta agenda intelektual yang menghasilkan dan dihasilkan dengan wacana modernitas.; (2) ide tersebut juga sesuai dengan para ahli Belanda dan aparat pemerintahdan kedua kelompok tersebut saling melampauikarena wayang bisa menggusur perhatian dari potensi yang cukup mengganggu dari unifikasi Jawa di bawah panji Islam yang mulai berkembang pada 1912 dalam wujud Sarikat Islam; dan (3) baik bagi nasionalis Jawa dan Hindia, memposisikan wayang sebagai esensi budaya Jawa dan mengsasosiasikannya dengan perkembangan spiritual serta kebajikan adiluhung secara

Transcript of Nonton Wayang atau Dangdut · 2017. 1. 3. · Title: Nonton Wayang atau Dangdut Author: ikwan...

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    1

    Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN

    Peneliti di Matatimoer Institute

    Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ

    e-mail: [email protected]

    Wayang Kulit: Tarikan-tarikan Politik Kolonial-Poskolonial dalam Pertunjukan

    ―Wayang adalah Jawa dan Jawa adalah wayang!‖ Ungkapan tersebut kiranya

    sesuai untuk menggambarkan bagaimana wayang telah menjadi identitas budaya yang

    selama ratusan tahun dilekatkan pada jati diri orang Jawa Mataraman, di manapun

    mereka berada sehingga untuk memahami beragam peristiwa—baik ekonomi, politik,

    maupun sosio-kultural—yang terjadi pada masyarakat Jawa sepertinya belum lengkap

    sebelum dikaitkan dengan cerita wayang. Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana dikutip

    Sears (2005), dalam pengasingannya di negeri Belanda (1914) pernah menulis dalam

    sebuah majalah berbahasa Belanda—De Indische Gids—tentang wayang. Dia

    menjelaskan:

    Dalam (wayang) orang Jawa mewujudkan bagian bijak dari kedalaman filosofis dan mistik;

    dia menyatakan sisi kedalaman hidupnya. Tidak mengherankan jika di istana aristokrat

    ataupun di rumah-rumah keluarga miskin, wayang menjadi teater rakyat yang sangat

    digemari. Orang tua dan muda menghabiskan waktu untuk mendengarkan ukara dalang,

    mengikuti ceritanya tentang dewata dan raja, pangeran dan kesatria, bagaimana mereka

    menderita dan kalah, merasa terpenjara oleh hasrat, menjadi budaknya, dan akhirnya,

    bagaimanapun juga, mampu memenangkan pertarungan. Wayang adalah ciptaan asli

    orang Jawa yang telah dipertunjukkan di istana keraton Daha sekita tahun 800 dan

    direvisi pada sekita tahun 1500 oleh Sunan Kalijaga. Tentu, karena wayang memang

    benar-benar kreasi orang Jawa, maka melaluinya seseorang bisa belajar banyak hal

    tentang kehidupan dalam orang Jawa. Masyarakat Teosofis Cabang Hindia-Belanda telah

    melakukan pekerjaan yang baik dengan memasukkan kembali (drama India) Sakuntala

    dan menerbitkan hasil penelitiannya.

    Namun, apakah wayang memang sejak awal menjadi identitas ―budaya dalam‖ orang

    Jawa? Sears mempunyai pendapat berbeda tentang hal itu. Popularitas wacana wayang

    sebagai identitas kultural Jawa tidak bisa dilepaskan dari usaha diskursif yang

    melibatkan kepentingan politis sebagai berikut: (1) ide wayang sebagai esensi budaya

    Jawa merupakan produk kesalinghubungan antara visi estetik Jawa dan Belanda serta

    agenda intelektual yang menghasilkan dan dihasilkan dengan wacana modernitas.; (2)

    ide tersebut juga sesuai dengan para ahli Belanda dan aparat pemerintah—dan kedua

    kelompok tersebut saling melampaui—karena wayang bisa menggusur perhatian dari

    potensi yang cukup mengganggu dari unifikasi Jawa di bawah panji Islam yang mulai

    berkembang pada 1912 dalam wujud Sarikat Islam; dan (3) baik bagi nasionalis Jawa

    dan Hindia, memposisikan wayang sebagai esensi budaya Jawa dan

    mengsasosiasikannya dengan perkembangan spiritual serta kebajikan adiluhung secara

    mailto:[email protected]

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    2

    cepat diadopsi karena nasionalis bisa menggunakannya untuk membicarakan hak

    politik di bawah kuasa Belanda.

    Ajaran-ajaran normatif wayang merupakan pintu masuk bagi wacana kolonial

    untuk menggusur perkembangan Islam yang bisa membahayakan kuasa sosial-politik

    Belanda. Para pemikir Belanda memandang ajaran dan tradisi pra-Islam—Hindu dan

    Budha—bisa digunakan untuk membendung perkembangan tersebut karena elit-elit

    Jawa dan rakyat pedesaan masih terbiasa dengan tradisi tersebut. Pemikiran tersebut

    sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Masyarakat Teosofis Cabang Hindia Belanda

    yang mulai mengembangkan kajian mitologi Hindu-Jawa yang bisa menjadi basis bagi

    agama Jawa (Javanese religion) sehingga bisa menggusur Islam. Apa yang dilakukan

    kemudian adalah mendirikan pusat pendidikan dalang sehingga wayang yang semula

    dianggap banyak menyimpang dari tradisi Hindu bisa diperbaiki dan mengembalikan

    ajaran-ajaran Jawa pra-Islam ke dalam kesadaran massa serta mengikis keyakinan

    fanatik terhadap Islam. Dari proses tersebut bisa dilihat adanya kejelian dan

    kecerdikan dari para ahli Belanda untuk memanfaatkan tradisi pra-Islam yang masih

    mengakar dalam masyarakat Jawa sebagai alat untuk mewacanakan kuasa kolonial

    melalui wayang guna mengeliminir wacana Islam, sebagaimana dilakukan di wilayah

    lain Hindia-Belanda, seperti Aceh maupun Minang.

    Apa yang diwacanakan oleh kolonial memang berhasil memberikan pemahaman

    bagi warga Hindia-Belanda—baik elit maupun rakyat biasa—bahwa wayang berisi

    ajaran-ajaran moralitas dan reliji yang sesuai dan akan menjadi identitas kultural

    Jawa, meskipun asumsi tersebut bisa dipertanyakan lagi mengingat orang Jawa

    memang sudah sejak dulu mengenal wayang dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.

    Namun, keberhasilan tersebut ternyata juga dimaknai lain oleh kaum nasionalis

    Hindia-Belanda untuk mempropagandakan wacana kebangsaan berorientasi Hindia,

    dan bukannya Jawa. Dalam tulisan yang sama, Tjipto Mangunkusumo memaparkan:

    Prajurit penguasa asing yang terdiri dari ―buto‖ (orgres) membuat camp di hutan (di mana

    seorang pangeran agung tengah berjalan sendiri). Pertemuan dengan sang pangeran tidak

    terhindarkan. Sang pangeran agung, yang diminta untuk kembali, membalas bahwa ia

    lebih baik mati daripada harus menggagalkan perjalanannya. Pertempuran pecah,

    pertempuran antara pejuang agung yang sendiri dan keseluruhan prajurit buto, satu

    melawan banyak, melawan semua. Cerita itu hampir mirip dengan dongeng peri, cerita

    dari dalang. Pangeran bertubuh kecil melawan raksasa dalam jumlah banyak. Dan, apakah

    kita tidak melihat ini dalam kehidupan nyata yang terjadi lagi dan lagi? Apakah kita tidak

    memahami bahwa seringkali terjadi manusia kecil, yang dibangkitkan dari spirit yang

    hidup di dalam dirinya, berani untuk mengambil tugas yang di balik pertimbangan yang

    tipis seseorang akan berpikir untuk jauh melampaui kekuatannya?

    Paparan Tjipto menunjukkan adanya usaha untuk melakukan perlawanan sekaligus

    fungsi penyadaran secara ideologis kepada para pembaca, bahwa kolonial Belanda

    adalah ―para buto‖ yang sebenarnya bisa dikalahkan oleh kesatria yang berani

    melakukan perjuangan melampaui batas-batas kekuatannya sendiri. Namun, karena

    tulisan tersebut ditulis untuk pembaca Belanda yang hendak pergi ke Hindia, apa yang

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    3

    dilakukan Tjipto sebenarnya merupakan usaha untuk mengkritik sekaligus

    menegosiasikan kepentingan pribumi kepada orang-orang Belanda yang sudah banyak

    merugikan masyarakat dengan kuasa dan kekuatannya.

    Usaha Tjipto tersebut menandakan selalu adanya ruang ketiga yang

    mempertemukan bermacam kepentingan di dalam tanda-tanda budaya, termasuk

    wayang, yang bersifat ideologi dan sudah disepakati di dalam masyarakat. Wayang

    pada masa kolonial, memang menjadi bagian aparatus hegemonik kultural untuk

    mengendalikan keliaran dan subversi yang bisa muncul dalam masyarakat. Namun,

    sebagai tanda konsensual, kelompok lain dalam masyarakat, seperti Tjipto yang

    nasionalis Hindia, berhak juga menggunakannya secara dekonstruktif untuk

    menegosiasikan kepentingan-kepentingan politik, meskipun hanya sebatas tulisan,

    yang berorientasi pada kesadaran berbangsa dalam konteks Hindia-Belanda dan bukan

    dalam konteks Jawa. Artinya pemaknaan pesan moralitas dan reliji bahwa yang baik

    selalu menang dan yang jahat selalu kalah oleh kolonial maupun elit Jawa ditunda

    pemaknaannya melalui penggantian makna oleh elit nasionalis Hindia-Belanda.

    Pemaknaan wayang sebagai media untuk menyebarkan kuasa hegemonik juga

    dilakukan oleh rezim pemerintah, baik pada masa Sukarno maupun Orde Baru. Kedua

    rezim, dengan konteks yang berbeda, hampir sama dengan rezim kolonial yang

    berkolaborasi dengan elit Jawa, berusaha memaknai wayang dalam rangka untuk

    menjaga kepentingan dan keberlangsungan politik dalam lingkup keindonesiaan,

    meskipun dengan menggunakan contoh produk budaya Jawa. Rezim Sukarno terkenal

    dengan kebijakan politik budaya yang lebih mengedepankan produk budaya sendiri,

    tanpa banyak mengambil yang berasal dari luar. Kebijakan ini memberikan

    keuntungan, baik secara kultural maupun finansial, bagi para seniman rakyat yang

    merasa memperoleh perhatian lebih secara politis dari pemerintah maupun partai

    politik yang tumbuh subur pada masa itu. Apa yang tidak menguntungkan bagi

    seniman rakyat pada masa ini adalah terlalu suburnya kepentingan ideologi dari partai

    politik yang pada akhirnya menghadirkan tragedi bagi keberlangsungan hidup kesenian

    dan seniman rakyat. Sebagian besar seniman rakyat yang bergelut dalam seni Jawa,

    terutama dalam kethoprak, ludruk, jaranan, janger, dan lain-lain, pada masa Orla

    memang lebih banyak berafiliasi ke dalam LEKRA yang menjadi underbow PKI.

    Perubahan kecenderungan politik akibat meletusnya G 30 S 1965, menjadikan para

    seniman rakyat sebagai korban dari rekayasa politik nasional—atau bahkan

    internasional?—yang hanya menguntungkan segelintir elit yang kemudian menjadi

    penggagas, pelaksana, dan penikmat rezim Orba.

    Pada masa Orba, wayang seperti menjadi the silent drama di mana para dalang

    tidak berani atau tidak memberanikan diri untuk melakukan kritik-kritik politik,

    ketika pertunjukan lain, seperti teater modern, berani menggelar karya-karya yang

    beraroma subversif untuk mengganggu kepentingan rezim. Kondisi itu bisa dimaklumi

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    4

    karena pada masa tragedi 65, para seniman rakyatlah yang menjadi korban kekezaman

    politik. Tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa Orba terhadap kemungkinan-

    kemungkinan subversif, baik dalam dunia politik maupun kesenian menjadi faktor

    eksternal yang menjadikan mereka takut. Wayang cenderung aman dari tindakan

    represif rezim karena cerita wayang itu sendiri, jarang sekali menampilkan potensi

    resisten karena sudah dibingkai dalam keteraturan moralitas dan hirarki yang sulit

    untuk diganggu oleh kawula biasa. Bahkan dalam salah satu lakon yang terkesan

    subversif, Petruk Dadi Ratu, ending cerita tetap mengembalikan Petruk, sang

    Punakawan, ke dalam peran semula setelah menyadari kesalahannya yang melawan

    kodrat sebagai abdi Pandawa, meskipun pada awalnya para kesatria Pandawa tidak

    mampu mengalahkannya. Alih-alih memberdayakan wayang sebagai bagian dari

    kebijakan pembangunan nasional dalam segala bidang, rezim Orba tidak begitu banyak

    menunjukkan keberpihakan terhadap perkembangan wayang kulit. Meskipun

    demikian, rezim menggunakan kuasanya untuk menciptakan wayang suluh dan wayang

    pancasila untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah yang didukung oleh

    ketertiban dan keamanan di level masyarakat. Pemerintah juga menggunakan wayang

    sebagai medium untuk mensosialisasikan program pemerintah seperti Keluarga

    Berencana, Penataran P-4, dan lain-lain. Partai berkuasa, Golkar, dalam beberapa

    kesempatan kampanye menjelang pemilu juga menggunakan pertunjukan wayang

    untuk menyampaikan propagandanya, bukan melalui penciptaan lakon sendiri, tetapi

    melalui sisipan-sisipan dalam dialog yang dilakukan dalang.

    Merekayasa pakem dalam batas modernitas-tradisional-posmordernitas

    Wayang memang selalu menyediakan ruang bagi kepentingan-kepentingan yang

    mengelilinginya, meskipun para dalang atau seniman-seniman lain yang terlibat di

    dalamnya, seperti asisten dalang, pengrawit, maupun sinden juga mempunyai

    kepentingan lain yang mereka negosiasikan melalui pertunjukan wayang. Meskipun

    mewarisi tradisi pakem-minded sebagai jejak kuasa hegemonik warisan kolonial dan

    keraton, tidak sedikit dalang yang memberanikan diri untuk membuat kreasi-kreasi

    baru dalam pertunjukannya. Beberapa dalang yang berangkat dari lingkungan

    akademis, semisal Humardani (STSI Surakarta), menciptakan model wayang ringkes

    yang berdurasi satu atau dua jam. Pertunjukan yang dilakukan memang banyak

    memangkas adegan dan dialog dalam satu cerita, tetapi tidak menghilangkan esensi

    utama dari lakon yang dimainkan. Sementara beberapa dalang yang lebih banyak

    menggelar pertunjukannya untuk melayani tanggapan, melakukan improvisasi estetik

    dengan memasukkan kesenian pop-industri, seperti campursari atau dangdut sebagai

    pelengkap pertunjukan yang bertujuan untuk membuat betah penonton. Pioner dari

    improvisasi tersebut adalah Ki Manteb Sudarsono yang kemudian banyak ditiru oleh

    para dalang, baik di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Beberapa dalang,

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    5

    seperti Ki Enthus Susmono, juga membuat ‗lompatan yang mengejutkan‘ dengan cara

    mendesakralisasi keadiluhungan dan kelemah lembutan dalam tuturan wayang melalui

    penggunaan tuturan yang dicampur bahasa kasar bahkan tidak jarang berasosiasi

    porno.

    Keberanian dalang untuk melakukan negosiasi kepentingan berupa improvisasi

    estetik pertunjukan, memang bukan semata-mata sebagai peristiwa estetik. Lebih dari

    itu, improvisasi tersebut berkorelasi dengan persoalan kultur yang lebih besar dalam

    konteks masyarakat yang sedang bergerak di ruang antara: menatap modernitas-global

    sembari meyakini kultur tradisional sebagai pengaruh dari perkembangan industri

    budaya di tengah-tengah masyarakat. Para dalang jelas membutuhkan biaya untuk

    menggelar sebuah pertunjukan sehingga mereka dituntut untuk melakukan

    perombakan—meskipun tidak secara total—terhadap pakem dan cerita demi untuk

    terus memperbarui nilai tawar wayang di mata masyarakat yang sedang bergeser

    orientasi dan kesukaan kulturalnya. Tidak perlu tergesa-gesa berbicara pelestarian

    tradisi karena bagi para dalang yang pertama-tama diperhatikan adalah kesediaan

    masyarakat untuk nanggap sehingga mereka perlu menghadirkan tontonan yang

    menarik. Di samping itu, dalam interpretasi bebas-kritis, keberanian melakukan

    improvisasi juga bisa menandakan adanya gerakan untuk mengganggu kemapanan dan

    keadilihungan pakem dan cerita yang diwacanakan oleh pihak keraton dan kolonial

    pada masa lampau. Apakah dengan demikian hal itu bisa dikatakan sebagai resistensi?

    Iya, dalam konteks memunculkan gangguan terhadap konsensus estetik dan moralitas

    wayang yang sudah terlanjur menjadi hegemoni bagi kesadaran kultural masyarakat

    Jawa.

    Dari perspektif tradisionalisme yang selalu membayangkan adanya keadiluhungan

    di balik pakem dan cerita wayang, improvisasi yang dilakukan para dalang tersebut

    jelas bisa mengacaukan tatanan estetik yang selama ini berusaha dilestarikan. Namun,

    apa yang bisa dilakukan para dalang ketika wacana modernitas sudah menjadi ideologi

    baru bagi masyarakat terkini? Wayang, kenyataannya, tengah hidup di zaman yang

    membutuhkan sesuatu yang serba cepat—baik dalam hal komunikasi-informasi, produk

    estetik, makanan, pakaian, dan pengetahuan—di mana kemonotonan menjadi ‗barang

    antik‘ yang kurang atau tidak lagi applicable bagi gerak cepat transformasi zaman, yang

    tidak hanya berlangsung di kota, tetapi juga di pelosok dusun. Sangat tidak mungkin

    mengharapkan kaum muda desa terus mencintai wayang sesuai dengan pakemnya,

    karena mereka sudah terbiasa memandang dan menikmati produk-produk modernitas

    industri budaya di tanah air yang sebagian besar memang mengambil inspirasi dari

    Amerika dan Eropa. Kecepatan tayangan di televisi juga menjadikan warga dusun

    semakin larut di depan ‗kotak ajaib‘ yang lebih berani menghadirkan beragam pilihan

    dari pada sekedar duduk atau berdiri bercampur debu hanya untuk semalaman

    menonton wayang dan belum tentu bisa mengikuti jalinan ceritanya.

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    6

    Dalam konteks di atas, apakah layak untuk dikatakan bahwa wayang telah

    kehilangan jati diri dan terhegemoni oleh kuasa diskursif modernitas melalui

    improvisasi-improvisasi yang jelas-jelas melampaui batas-batas kewajaran pakem?

    Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab hanya dalam satu perspektif karena berkaitan

    dengan beberapa persoalan kultural masyarakat desa saat ini. Para dalang memang

    tengah menikmati proses terhegemoni industri budaya yang selalu menawarkan

    kebaruan dan kecepatan estetik sebagai ideologi pertunjukannya. Para dalang memang

    tidak bisa menolak untuk tidak mengakomodir ‗teriakan‘ penonton muda yang sedang

    bergelora dan bersemangat dalam menyongsong pergeseran nilai dan norma dalam

    masyarakat lokal. Ketika mengabaikan semua tuntutan itu, tentu saja, mereka akan

    kehilangan pemasukan finansial sebagai sumber ekonomi untuk mengupah para sinden,

    pengrawit, hingga dirinya sendiri. Namun, para dalang juga tidak mau sepenuhnya

    kehilangan orientasi tradisional, terutama karakteristik wayang.

    Dalam batas-batas itulah, para dalang dan juga sebenarnya tengah masuk ke

    dalam praktik ―transkulturalisme‖. Ortiz (dikutip Sommer, 2005: 173) menjelaskan

    proses tersebut sebagai berikut:

    Kata, seperti akulturasi kehilangan kebaruan secara bersama-sama dengan mereduksi

    pertentangan kultural Dunia Baru ke dalam proses satu-arah transisi dari satu budaya ke

    budaya lain, dan beragam konsekuensi sosialnya. Namun, transkulturalisme adalah terma

    yang lebih tepat…Manusia, ekonomi, budaya, ambisi semuanya menjadi asing di sini,

    sementara waktu, berubah, ―burung-burung yang terbang‖ mengitari negeri,

    mengutamakan hasil, melawan harapan-harapannya, dan tanpa pengakuannya. Semua hal

    di atas dan berikut, hidup bersama dalam atmosfer yang sama dari teror dan penindasan,

    si tertindas diteror hukuman, penindas diteror balas dendam, semua selain keadilan, selain

    perubahan, selain diri mereka sendiri. Dan semua berada dalam proses yang menyakitkan

    dari transkulturalisme.

    Dalam transkulturalisme berlangsung percampuran-percampuran kultural dalam

    nuansa hibrid dan sinkretik di antara bermacam kebudayaan yang ada dalam

    masyarakat melalui proses yang cukup kompleks dan rumit. Hasilnya memang luar

    biasa, budaya-budaya yang ada mampu melebur, meskipun dengan suasana yang

    menyakitkan karena harus kehilangan sebagian besar karakteristik kulturalnya. Para

    dalang memang tidak lagi ditindas oleh penjajah, namun penjajah itu muncul dalam

    bentuk baru industri budaya yang menggusur harapan hidup mereka dan keseniannya

    sehingga mereka harus melakukan percampuran yang diharapkan mampu

    memunculkan kembali minat masyarakat dan mengembalikan hak ekonomi dan

    kultural mereka, meskipun harus melakukan ―rekayasa pakem‖ sembari ―melepas

    sebagian pakaian yang selama ini dikenakan dan dicintai‖.

    Namun, sekali lagi, apakah rekayasa pakem tersebut menandakan

    ketidakberdayaan para dalang untuk masuk ke dalam hegemoni industri budaya pop?

    Apakah itu semua menyakitkan bagi para dalang? Iya, kalau memang hegemoni

    diartikan sebagai proses kuasa tanpa koersif dengan menghadirkan konsensus dari

    kelas subordinat—dalam hal ini dalang—melalui penggunaan produk-produk kultural

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    7

    yang dianggap milik bersama. Tidak menyakitkan, karena para dalang memiliki

    kesadaran untuk bersikap adaptif terhadap perkembangan dan pergeseran orientasi

    kultural masyarakat desa. Apa yang perlu dicatat adalah selalu ada negosiasi yang

    terus berlanjut dalam proses hegemonik di mana kelas subordinat tidak serta-merta

    tunduk. Para dalang berusaha terus menegosiasikan kepentingan ekonomi dan kultural

    yang mereka impikan dan yakini dalam laku kehidupan. Mereka menggunakan

    sebagian produk industri budaya modern untuk meneruskan perjuangan di ranah

    kreatif sehingga seolah-olah menunjukkan ketertundukan sekaligus

    ketidaktertundukan: berhasil dikuasai tetapi tidak sepenuhnya dikuasai. Tradisi besar

    estetik seni modern yang mengutamakan kecepatan dan kebaruan diganggu dengan

    tampilan estetik posmodern ala wayang yang memunculkan percampuran antara

    kebenaran subjektif tradisi dan kebenaran subjektif budaya modern: the presence of the

    past in the present, tetapi tetap tidak kehilangan atmosfer tradisi.

    Di tengah-tengah medan budaya poskolonial yang dipenuhi tradisi besar

    modernitas, para dalang tengah bermain-main dengan tradisi posmo untuk terus

    menunjukkan eksistensinya dalam pemahaman ganda modernitas dan tradisonalitas

    sembari mengganggu kemapanan hegemoni modernitas sekaligus melakukan

    pembacaan ulang tradisionalitas untuk menghasilkan budaya hibrid. Argumen Sangari

    (1995: 144-145) tentang penulis hibrid menarik untuk dicermati:

    …penulis hibrid terbuka terhadap dua dunia dan terkonstruksi di dalam sesuatu yang

    bersifat nasional dan internasional, sistem politik dan kultural dari kolonialisme dan

    neokolonialisme. Menjadi hibrid adalah untuk memahami dan mempertanyakan

    sepertihalnya untuk merepresentasikan tekanan-tekanan penempatan historis. Yang

    hibrid…juga merupakan dasar analisis politik dan perubahan…Sebagai ensemble budaya,

    modernisme dikumpulkan, sebagian, melalui internalisasi dari teritori geograpik yang

    berbahaya—yang saat ini diinkorporasikan baik sebagai citra/metafor ‗primitif‘ atau

    sebagai struktur nonlinier yang mobile. Meskipun dimaksudkan sebagai kritik, inkorporasi

    tersebut sering menjadi alat bagi renovasi ideologi borjuis, khususnya melalui

    institusionalisasi modernisme. Ironisnya, kemungkinan ‗pembebasan‘ modernisme

    internasional, oposisional, dan ‗revolusioner‘ bagi penulis dan seniman Dunia Ketiga

    muncul pada saat modernisme menggunakan produk-produk budaya negara non-barat

    secara luas dalam fragmen estetik. Modernisme yang mereka pinjam secara mendalam

    sudah diimplikasikan dalam sejarah mereka sendiri, didasarkan secara partial pada

    penyesuasian secara acak dan remodeling terhadap kemungkinan ‗yang membebaskan‘ dan

    menggelorakan tradisi lokal mereka sendiri.

    Sebagai wacana dan praktik kultural hegemonik, modernitas Barat memang tidak

    sanggup membatasi dirinya dari kemungkinan-kemungkinan dekonstruktif yang

    dilakukan oleh para seniman lokal yang tengah membaca modernitas itu sendiri.

    Kesenian-kesenian industrial yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat

    desa saat ini, dibaca ulang oleh para dalang wayang sebagai sebuah peluang untuk

    ‗dimasuki‘ dan digunakan menggelorakan kembali pertunjukan wayang kulit.

    Para dalang, dengan demikian, telah menunjukkan pembacaan subversif dalam

    konteks poskolonial dan posmodern dengan menunjukkan ironi dari kemapanan narasi

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    8

    besar modernitas yang selalu ditonjolkan sebagai kebenaran mutlak—objektif—yang

    harus diikuti oleh umat manusia di belahan dunia manapun ketika mereka ingin

    dikatakan maju: selalu ada potensi subversif dari dalam. Hutcheon (1995: 133)

    menjabarkan ―potensi subversif dari dalam‖ sebagai berikut:

    Di samping area formal dan tematik dari perhatian mutual (antara posmodernisme dan

    poskolonialisme, pen)…terdapat juga apa yang disebut sesuatu yang strategik atau retorik:

    penggunaan rangkaian ironi sebagai wacana ganda atau terpecah yang mempunyai potensi

    mengganggu dari dalam. Beberapa pemikir telah mengamati valorisasi dari ironi sebagai

    tanda bagi peningkatan nilai kode pos-struktural yang diakui dalam masyarakat Barat,

    namun pos-strukturalisme bisa juga dilihat sebagai produk usaha kultural yang lebih besar

    dari posmodernisme. Dalam kasus lain, meski, sebagai pembicaraan-ganda, mode silat

    lidah (forked-tongued mode), ironi menjadi strategi retorik populer untuk bergerak dari

    dalam wacana mapan sembari melawannya pada saat bersamaan.

    Para dalang, bagaimanapun juga, tengah masuk ke dalam wacana dan praktik

    modernitas yang serba disiplin dengan orientasi produk-produk budayanya. Alih-laih

    ikut memapankan kebenaran produk-produk budaya tersebut di tengah-tengah

    masyarakat, para dalang justru memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri

    dan sekaligus menunjukkan bahwa produk estetik industrial yang beraroma Barat

    sekalipun bisa dicuri dan digunakan balik untuk menyerangnya melalui percampuran

    dengan budaya lokal. Keunggulan produk budaya modern diganggu bukan dimusuhi,

    bukan melalui peniadaan tetapi penggunaan yang bertujuan bukan untuk kemapanan

    budaya modern, tetapi kontestasi budaya lokal—wayang.

    Para dalang memang tengah—dan mungkin akan terus—melakukan rekayasa

    estetik berupa penyiasatan terhadap pakem cerita dan pertunjukan yang disesuaikan

    dengan konteks perkembangan dan dinamika kultural dalam masyarakat sebagai

    patron yang harus dilayani dan ditundukkan demi sebuah eksistensi. Tentu saja,

    pembacaan teoretik ini membutuhkan pembuktian-pembuktian empiris yang bisa jadi

    memunculkan realitas-realitas yang mendukung ataupun berbeda dari cara pembacaan

    ini. Sangat mungkin, rekayasa estetik yang dilakukan para dalang di level lokal—dalam

    hal ini Jember—tidak serumit yang diasumsikan dalam kerangka pembacaan tersebut.

    Atau, sangat mungkin pula, negosiasi dan adaptasi kultural yang mereka lakukan lebih

    rumit dan njlimet dari realitas surfisial yang tampak sangat sederhana. Semuanya

    memang serba mungkin dalam ruang dan konteks kultural yang semakin

    terfragmentasi dewasa ini.

    Menentukan sikap di antara pergeseran kultural

    Sebagai daerah yang secara administratif masuk ke dalam wilayah administratif

    Jawa Timur, Jember, secara kultural ternyata tidak sama dengan wilayah-wilayah lain

    yang memang sudah memiliki karakteristik partikular dalam hal budaya. Hal serupa

    juga terjadi dalam wayang kulit. Ketika daerah-daerah lain, seperti Kediri, Malang,

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    9

    Surabaya, Jombang, Sidoarjo, dan Lamongan, mengembangkan gaya pewayangannya

    sendiri, para dalang di Jember ternyata lebih berkiblat ke gaya Surakarta. Kondisi ini,

    paling tidak, disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sebagian besar komunitas Jawa di

    Jember bagian Selatan dan Barat memang berasal dari migran Mataraman—Surakarta

    dan Ngayogkarta serta wilayah-wilayah Jawa Timur yang dekat dengan Jawa Tengah.

    Kedua, beberapa dalang muda di Jember menimba ilmu pewayangan langsung dari

    Solo. Kedua faktor itulah yang secara estetik mengikat gaya pewayangan dari para

    dalang di Jember, meskipun dalam perkembangannya mereka juga tidak sepenuhnya

    mengambil dari gaya Surakarta.

    Sampai dengan era 90-an awal, pakem, baik dalam hal cerita maupun struktur

    estetik pertunjukan, masih menjadi orientasi bagi para dalang dalam menggelar

    pertunjukan. Cerita yang bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana menjadi

    suguhan setiap kali ada pertunjukan wayang di mana banyak penonton rela begadang

    sampai byar (matahari terbit) hanya untuk menikmati adegan dan dialog yang

    dilakonkan oleh para dalang karena pada masa itu memang belum terlalu banyak

    hiburan bagi wong ndeso di Jember, kecuali acara-acara di TVRI dan pertujukan

    kesenian rakyat lainnya. Di Jember sendiri, pada masa ini, terdapat beberapa dalang

    yang serius dalam melakoni pakem dan menceritakan kisah-kisah epos, seperti (Alm)

    Mbah Gombloh yang berasal dari Semboro. Keterikatan pada pakem sebenarnya lebih

    dikarenakan selera kultural masyarakat yang memang belum banyak dipengaruhi oleh

    wacana dan produk industri budaya pop sehingga apapun yang disuguhkan para dalang

    akan tetap menarik untuk dinikmati.

    Perkembangan zaman dan pesatnya industri budaya pop lambat laun merubah

    atau menggeser orientasi kultural masyarakat, terutama kaum muda, terhadap

    kebenaran ajaran dan kisah dalam pertunjukan wayang kulit. Para pemuda desa yang

    sudah terbiasa dengan hingar-bingar pertunjukan musik—baik dangdut, campursari,

    kendang kempul, pop maupun rock—tentu tidak akan betah untuk berlama-lama

    menonton cerita wayang yang patuh pada pakem dan cerita aslinya. Pertunjukan

    wayang yang terlalu menurut pada pakem bagi sebagian besar kaum muda tentu akan

    menjadi nostalgia terhadap masa lampau yang tidak mungkin mereka jangkau lagi.

    Namun benarkah semata-mata desakan budaya pop dan kultur modern yang telah

    menggeser pemahaman tersebut? Ki Jagat Waluyo Sakibi, salah satu dalang senior di

    Semboro yang sudah tidak mau wayangan lagi, memberikan pernyataan yang berbeda:

    Sekarang ini saya sudah bingung untuk mengikuti alur dan cerita setiap pertunjukan

    wayang, sudah tidak jelas mana yang seharusnya benar. Para dalang sepertinya sudah

    mulai tidak begitu memperhatikan alur cerita, karena terlalu asyik dengan improvisasi-

    improvisasi pertunjukan, terlalu banyak waktu untuk campursari atau dangdutan, sampai-

    sampai inti ceritanya tidak kesampaian. Apalagi penonton, jelas mereka tidak dong apa

    maksud dari ceritanya, paling hanya beberapa penonton dari generasi tua yang masih bisa

    mengerti. Padahal banyak ajaran yang baik-baik dari wayang. Saat ini cerita wayang itu

    seperti tempelan belaka, sementara yang utama ya, campursari atau dangdutan itu.

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    10

    Memang, kalau diruntut lagi, ini juga kesalahan dalang sendiri, terutama Ki Manteb

    Sudarsono yang mempelopori tampilan campursari dan improvisasi lainnya. Nah, dalang

    Jember itu kan bergurunya ke mbahnya dalang itu, jadinya ya, seperti sekarang ini, ndak

    jelas, ndak karuan. (Wawancara, 22 Juni 2008)

    Apa yang dituturkan Ki Jagat menandakan dua hal sekaligus. Pertama, adanya

    kekhawatiran dari generasi seniman tua yang masih pakem-minded demi melihat

    ketidakberaturan yang dilakukan para dalang muda dalam pertunjukannya sehingga

    menghilangkan ajaran-ajaran yang dianggap adiluhung dalam cerita wayang.

    Kekhawatiran ini secara semiotik merupakan penanda bagi munculnya krisis dalam

    budaya lokal yang akan bisa hilang, bukan hanya karena desakan budaya industrial,

    tetapi juga karena ulah dalang itu sendiri. Kedua, munculnya respons internal dari para

    dalang untuk melakukan kreativitas estetik dalam menyikapi perkembangan kultur

    masyarakat dan pesatnya desakan budaya pop yang dihadirkan oleh industri. Artinya,

    pergeseran sosio-kultural sebagai akibat wacana dan praktik modernitas menjadikan

    para dalang mengambil sikap kreatif agar masyarakat tetap menggemari pertunjukan

    wayang, meskipun harus menggeser aturan-aturan pakem yang menjadikan wayang

    tidak murni lagi.

    Pertentangan dalam menyikapi pakem pewayangan, memang tidak sampai

    berujung pada konfrontasi diskursus secara terbuka antara mereka yang berpandangan

    tradisional dan adaptif. Namun, realitas kultural dalam masyarakat—seperti terlihat

    dalam skema di atas—menunjukkan bahwa para dalang yang kukuh dalam memegang

    pakem, lambat-laun hilang dari pagelaran wayang. Sementara para dalang muda yang

    Budaya modern masyarakat desa

    Sikap tradisionalis dalang: ingin mempertahankan

    pakem

    Sikap adaptif dalang: Mengambil dari yang

    nge-pop sebagai strategi bertahan

    Bertahan dengan rekayasa estetik: menampilkan

    kesenian modern (campursari, dangdut, rock, kendang kempul

    Perlahan hilang dari ruang

    kultural desa

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    11

    adaptif melalui improvisasi pertunjukan tetap eksis dalam jagat pewayangan di Jember.

    Mereka antara lain: Siswo Utomo (Semboro), Edi Siswanto (Ambulu), Timbul (Ambulu),

    Andy (Semboro), dan Wiwid (Semboro). Siapa yang benar dan siapa yang salah, bukan

    lagi menjadi acuan yang tepat untuk melihat perkembangan wayang, karena masing-

    masing pihak tentu mempunyai argumen masing-masing dalam memposisikan

    keberpihakan dalam menentukan sikap.

    Alasan utama untuk menentukan sikap, bagi Ki Jagat Waluyo sebagai wakil dari

    dalang sepuh, tentu lebih didasarkan pada aspek klangenan terhadap keadiluhungan

    ajaran moralitas dan kultural Jawa yang ada di balik cerita wayang seperti sudah

    diwacanakan secara turun-temurun melalui pendidikan dalang maupun pendidikan

    kebudayaan di institusi akademis. Ketika wayang sudah ter-erosi sebagai akibat dari

    percampuran dengan produk-produk musik yang hanya mengedepankan aspek

    kesenangan, tentu cerita tentang kebajikan akan menjadi kabur dan tidak lagi

    memperoleh kontekstualitasnya dalam pagelaran wayang. Namun, para dalang muda,

    juga mempunyai alasan yang kuat, mengapa harus melakukan percampuran. Siswo

    Utomo memaparkan:

    ―Sekarang ini posisi wayang serba sulit. Masyarakat desa itu tidak seperti dulu lagi.

    Mereka itu sudah modern. Lihat saja, VCD musik, baik dangdut, campursari, rock, pop,

    sangat murah dan mudah didapatkan. Mereka itu sebenarnya lebih tertarik untuk

    menonton musik. Bagi kami yang muda-muda, kondisi itu sungguh menyulitkan. Oleh para

    dalang sepuh kami ini dituntut untuk terus nguri-uri kabudayan Jawa, tetapi masyarakat

    sendiri sudah sulit menerimanya. Apa jadinya, sulit kan? Tidak mungkin kalau nuruti

    pakem terus-menerus, bisa-bisa wayang tidak laku lagi dan hilang, musnah, amblas dari

    peredaran. Maka, yang bisa kami lakukan, ya membuat siasat untuk bertahan dengan

    menampilkan pertunjukan musik. Tambahan campursari atau, sesekali kendang kempul

    dan dangdut, tidak lain hanya digunakan untuk menarik minat generasi muda agar mau

    datang ke pagelaran wayang. Kita semua, sebagai dalang, tentu tidak ingin wayang tiba-

    tiba hilang dari peredaran. Nah, dengan menampilkan pertunjukan musik, minimal,

    mereka tertarik untuk melihat. Minimal itu. Meskipun mereka tidak paham sepenuhnya

    makna atau cerita yang disajikan, yang penting mereka tahu apa itu wayang. Itu dulu

    yang penting. Jangan sampai kaum muda kita jadi tidak mengenal wayang. ‖ (Wawancara,

    25 Juli 2007)

    Bagaimanapun juga, ruang kultural desa sebagai ―lahan basah‖ bagi para dalang

    memang sedang bergeser. Kaum muda di desa lebih suka menikmati produk musik

    industrial, baik yang beraroma Barat (sebagaimana yang diusung band-band di Jakarta)

    maupun lokal (seperti campursari maupun kendang kempul). Para ibu lebih memilih

    sinetron sebagai ―tontonan wajib‖ di waktu malam. Anak-anak sudah mulai asyik

    dengan play station. Remaja sekolahan lebih menikmati MTV maupun chatting di

    warung-warung internet yang sudah mulai merambah wilayah kecamatan. Artinya,

    desa bukan lagi menjadi ―ruang eksotis bersifat rural dan natural‖ yang jauh dari

    jangkauan lalu-lintas peradaban dan kebudayaan modern. Meskipun masih

    mempraktikkan tradisi-tradisi lokal warisan leluhur atau tradisi beraroma Islam,

    seperti selamatan dan tahlilan, toh wong ndeso dalam praktik sehari-hari sedang

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    12

    menikmati keterpesonaan terhadap ―imaji indah modernitas‖ sebagaimana yang

    berlangsung pada ruang kultural kota. Kondisi-kondisi itulah yang menjadikan para

    dalang muda, seperti Ki Siswo Utomo, memutar otak untuk kemudian memilih ―pakem

    tambahan‖ seperti pertunjukan lagu-lagu dangdut (bergaya koplo), campursari, kendang

    kempul, maupun lagu-lagu pop yang di-koplo-kan.

    Improvisasi estetika-hibrid dalam pertunjukan wayang

    Transformasi dan improvisasi estetik-hibrid pada pagelaran wayang, dengan

    demikian, menjadi strategi survival untuk bisa terus berkontestasi di ruang kultural

    desa yang sangat ambivalen. Memang, motivasi ekonomi tampak sebagai keniscayaan

    yang tidak bisa ditawar lagi, karena para dalang, sinden, maupun pengrawit butuh

    uang untuk tambah kebutuhan sehari-hari, meskipun honor dari tanggapan sebenarnya

    juga tidak mencukupi. Dalam konteks impovisasi estetik-hibrid itulah, telah terjadi

    ambivalensi pemberdayaan kesenian tradisi-lokal yang pada sisi berusaha untuk

    melakukan penguatan terus-menerus, tetapi di sisi lain harus memasukkan elemen-

    elemen kesenian modern yang sangat kontras atau bahkan bisa mengurangi aura dari

    kesenian tersebut. Ambivalensi tersebut tentu akan menghasilkan tontonan-tontonan

    yang secara sekilas tidak lagi memegang pakem pertunjukan wayang kulit seperti

    dilakukan pada masa lampau, meskipun tidak sepenuhnya pakem hilang karena siasat-

    siasat estetik sebisa mungkin disesuaikan dengan bagian-bagian pertunjukan wayang.

    Ambivalensi yang dihasilkan dari improvisasi estetik-hibrid, dengan demikian, tetap

    menghasilkan nilai strategis bagi dalang dan pertunjukannya.

    Tampilan tambahan yang paling kentara dalam pertunjukan wayang saat ini

    adalah pertunjukan musik campursari, kendang kempul, dangdut, maupun pop-

    industrial yang sedang nge-trend di masyarakat desa. Hal ini bisa masuk akal karena di

    wilayah pedesaan Jawa Jember (bagian Selatan) musik-musik yang sedang nge-pop

    adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kultural mereka. Dangdut,

    campursari dan kendang kempul, tidak hanya disukai oleh generasi 30 tahun ke atas,

    tetapi juga generasi 20 tahunan. Sementara musik pop-industrial memang lebih banyak

    disukai oleh generasi belasan tahun sampai 20 tahunan, meskipun generasi 30 tahunan

    juga masih ada yang menggemari. Sedangkan generasi 50 tahunan ke atas lebih

    menyukasi gending-gending klasik beraroma Mataraman yang kalem. Tambahan

    pagelaran musik tersebut biasanya berlangsung sebelum jejer pembukaan, cangik-

    limbuk di tengah-tengah alur pertunjukan, dan gara-gara di bagian akhir sebelum

    pertunjukan berakhir.

    Pertunjukan musik sebelum jejer biasanya dimulai pukul 21.00 WIB. Sebelum

    pertunjukan dimulai para sinden yang berdandan Jawa, kebaya lengkap, dengan

    rambut disanggul bersiap di atas panggung. Duduk bersebelahan dengan para sinden,

    yang biasanya berjumlah 5 orang, para penyanyi dangdut dengan pakaian khas yang

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    13

    serba minim. Para pengrawit dengan pakaian Jawa lengkap juga sudah siap dengan

    instrumennya masing-masing. Para pemusik juga memegang alat masing-masing,

    meskipun pakaian mereka tidak njawani, tetapi tetap seragam. Ketika semua sudah

    siap, maka wiraswara atau MC akan segera membuka pagelaran. Dengan bahasa Jawa

    alus, MC menyapa tuan rumah sembari mengucapkan terima kasih serta tidak lupa

    menyapa para penonton. Para penonton yang terdiri dari anak-anak SD, kaum muda,

    hingga yang tua, laki-laki dan perempuan, berkumpul di depan panggung, siap

    menikmati hiburan. Kehadiran pertunjukan musik sebelum jejer sekilas mengesankan

    adanya perubahan dramatis dari sebuah pagelaran wayang kulit karena selama ini jejer

    dengan suluk dalang dianggap sangat sakral dan menjadi syarat wajib. Dengan

    digelarnya pertunjukan musik pembuka, maka kesan kesakralan tersebut tergantikan

    oleh hingar-bingar tembang, dentuman musik, dan goyang pinggul para penyanyi.

    Namun, itu semua memang tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu jam

    pertunjukan. Lagipula, inilah cara untuk menarik perhatian penonton agar segera

    berkumpul di depan panggung.

    Salah satu dari pesinden biasanya akan dipersilakan menyanyi terlebih dahulu,

    bukannya penyanyi dangdut. Lagu campursari yang sudah populer di masyarakat

    menjadi pilihan tembang untuk dipersembahkan kepada penonton. Lagu seperti Perahu

    Layar, Nyidam Sari, Wuyung, Sewu Kutho, dan beberapa lagu lainnya, biasanya

    menjadi pilihan. Pada pembukaan, para pengrawit biasanya ikut mengiringi dengan

    alunan nada gamelan dan kendang yang menonjol. Namun, sampai di tengah-tengah

    lagu—reff—para pemusik segera mengambil kendali musik dengan memasukkan

    instrumen-instrumen modern seperti gitar, keyboard, bass, drum, dan ketipung. Musik

    segera berganti menjadi koplo yang menghangatkan suasana malam dan batin

    penonton. Koplo akan terus dimainkan sampai lagu berakhir.

    Meskipun musik koplo sangatlah rancak, beda dengan karawitan atau musik

    campursari standard, pesinden yang sedang menyanyi sudah mempunyai aturan-aturan

    normatif untuk tidak bergoyang berlebihan. Gaya panggung mereka tetaplah berada

    dalam garis-garis kesantunan Jawa. Konteks kultur yang melekat pada diri mereka,

    seperti terepresentasikan dalam pakaian yang dikenakan, rupa-rupanya ikut

    memberikan batasan-batasan yang secara sadar tidak dilanggar. Mereka sadar bahwa

    mereka juga akan nembang—mengiringi lakon—sebagai bagian integral dari pagelaran

    wayang. Hal itu pula yang membedakan mereka dengan penyanyi dangdut.

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    14

    Gambar 1

    Dua orang sinden sedang beratraksi di atas panggung dengan lagu campursari

    (Pagelaran wayang kulit Dalang Ki Siswo Utomo dari Kelompok Sabda Kawedar, di Desa Gading Rejo, Kec.

    Umbulsari, Jember, 7 Juni 2009, Foto koleksi Ikwan Setiawan)

    Hal yang kontras ditampilkan oleh para penyanyi dangdut yang berpakaian serba

    minim dan bergoyang ala Inul (penyanyi dangdut yang mempopulerkan goyang ngebor

    dan kemudian diikuti oleh banyak penyanyi dangdut lain dengan gaya goyang yang

    berbeda). Meskipun berpakaian mini, mereka juga masih mengenakan socking untuk

    menutupi kaki. Rata-rata mereka adalah gadis remaja yang masih duduk di SMA atau

    bahkan ada yang di SMP. Beberapa juga sudah lulus SMA. Ketika MC mempersilahkan

    mereka naik ke pentas, maka musik dangdut menyambut kehadiran mereka. Lagu-lagu

    yang dibawakan adalah lagu-lagu dangdut, kendang kempul, dan pop-industrial dari

    band-band terkenal Jakarta. Tanpa rasa canggung berada dalam ruang beratmosfer

    Jawa yang sebenarnya penuh nuansa alus, mereka menyapa bernyanyi dan bergoyang

    mengikuti irama koplo.

    Gambar 2

    Dua penyanyi dangdut koplo sedang menampilkan kebolehannya di atas panggung

    (Pagelaran wayang kulit Dalang Ki Wahyu Widodo Gomblo Atmojo dari Kelompok Ngesti Manunggal, di

    Desa Semboro Kec. Semboro, 31 Mei 2009, Foto koleksi Ikwan)

    Atraksi kedua penyanyi di atas memang mengesankan kontras dalam hal estetika

    pertunjukan wayang. Background wayang yang sangat tradisional seakan menjadi

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    15

    setting dari atraksi modernitas yang tidak terbendung lagi di tengah-tengah ruang

    kultural masyarakat desa. Sesaat, ekspresi Jawa wayang seolah-olah ‗diambil alih‘ dan

    ‗ditundukkan‘ oleh ekspresi koplo: panggung tengah menjadi milik kedua penyanyi

    tersebut. Cerita-cerita keadiluhungan narasi wayang sebagaimana yang diimpikan oleh

    generasi tua yang lahir di era 50-an seperti terhapus oleh kelincahan dan ‗keliaran‘ para

    penyanyi koplo yang memang sedang menjadi trend. Deretan wayang di belakang

    mereka tampak hanya menjadi pelengkap yang ‗tidak berdaya‘. Begitupula para

    pesinden yang harus memberikan kesempatan kepada para penyanyi koplo untuk

    menghibur penonton.

    Namun demikian, pagelaran musik pembuka tidak semuanya menampilkan

    penyanyi dangdut koplo. Kalau penanggap selaku tuan rumah yang punya hajatan tidak

    menghendaki penyanyi koplo hadir dalam pertunjukan musik pembuka atau cangik

    limbuk, maka dalang juga tidak akan menghadirkannya. Realitas tersebut menandakan

    bahwa di balik kecenderungan umum untuk menyukai para penyanyi koplo dengan

    atraksi-atraksi sensualnya, masih ada sebagian kecil masyarakat yang lebih menyukai

    sesuatu yang njawani. Bahkan di antara mereka ada juga yang menghendaki musik

    pembuka hanya diisi oleh gending-gending klasik Mataraman, tanpa adanya musik

    koplo, meski untuk cangik limbuk tetap menggunakan campursari, kendang kempul,

    dan dangdut koplo tanpa penyanyi, khusus pesinden. Meskipun tanpa menghadirkan

    penyanyi koplo, penonton tetaplah antusias untuk menikmati pagelaran musik

    pembuka. Memang penonton yang hadir, terutama dari kalangan muda, tidak sebanyak

    ketika ada penyanyi koplo. Namun, penonton yang hadir tetap menikmati pagelaran.

    Pagelaran musik pembuka akan berakhir pada pukul 22.00 WIB, ketika dalang

    mulai membuka cerita wayang dengan suluk dengan diiringi gending-gending

    pewayangan. Ketika dalang memulai pertunjukan, ratusan penonton yang semula

    menikmati pagelaran musik, satu per satu beranjak, terutama mereka yang berasal dari

    generasi muda dan ibu-ibu. Namun, para bapak yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas

    biasanya masih bertahan. Mereka inilah yang disebut penonton wayang tulen,

    sementara penonton kategori pertama adalah penonton pemula. Penonton tulen ini

    biasanya akan bertahan sampai pagelaran berakhir menjelang Subuh. Jumlah mereka

    berkisar antara 50 orang.

    Pukul 22.00 WIB, biasanya dalang akan membuka wayang dengan jejer untuk

    kemudian memaparkan cerita pendahuluan yang akan dimainkan pada pagelaran.

    Dalam jejer, para dalang masih menggunakan pakem, yakni membuka cerita dengan

    membeber gunungan sebagai penanda awal setiap lakon, disusul suluk, dan dialog

    antartokoh—biasanya ber-setting keraton. Setelah berlangsung 1 ½ jam, tepatnya pukul

    23.30 WIB, cerita biasanya memasuki konflik. Di saat itulah jalannya cerita harus

    berhenti terlebih dahulu karena pertunjukan memasuki breaking, yang, lagi-lagi

    menghadirkan pertunjukan musik: cangik-limbuk.

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    16

    Sebenarnya cangik limbuk adalah nama dua tokoh perempuan jenaka, yakni ibu

    dan anak yang dialog di antara keduanya biasanya,pada dalang melakukan kritik-kritik

    terhadap apa-apa yang berlangsung dalam masyarakat, dari persoalan moralitas,

    pergaulan bebas, korupsi pejabat, bahkan masalah politik. Untuk masalah politik,

    dengan sangat halus, biasanya dalang akan menyampaikan pesan-pesan politis yang

    seringkali dipengaruhi oleh pilihan ideologis parpol dalang yang bersangkutan. Saat

    cangik limbukan, dalang juga akan membacakan permintaan lagu dari para penggemar,

    tuan rumah, maupun penonton umum. Para dalang menerima pesan tersebut melalui

    SMS atau secarik kertas. Biasanya mereka juga menerima bingkisan berupa rokok yang

    dikhususkan bagi dalang. Dalang biasanya membaginya dengan para pengrawit. Lagu-

    lagu yang akan disajikan berasal dari permintaan-permintaan tersebut.

    Semua pesinden dan penyanyi dangdut akan mendapatkan giliran untuk

    menyanyikan lagu. Mereka bisa menyanyikannya solo, berdua, ataupun duet dengan

    penyanyi laki-laki yang berasal dari tamu, penonton, atau wiraswara. Sebelum

    menyanyi, dalang akan berbasa-basi dengan penyanyi, sekedar menanyakan

    keadaannya. Terkadang celetukan-celetukan genit dari pesinden keluar dalam dialog

    singkat tersebut, menjadikan suasana semakin gayeng. Semata-mata hiburan adalah

    istilah yang tepat untuk mendeskripsikan pertunjukan cangik limbuk. Para tamu yang

    diundang untuk menyanyikan lagu bersama penyanyi atau pesinden, terkadang ada

    yang napel (memberi uang kepada pesinden atau penyanyi). Adapun jumlahnya

    tergantung kepada si tamu.

    Gambar 3

    Dua penyanyi menunjukan kebolehan mereka berjoget sambil menyanyi ―Makan Durian‖, sementara

    seorang penyanyi ‗melayani‘ permintaan seorang sinoman menyanyikan lagu ―Kerinduan‖, ciptaan Rhoma

    Irama

    (Pertunjukan Ki Andy Very Bisono, 20 Juni 2009, Foto koleksi Ikwan Setiawan)

    Segala keadiluhungan cerita wayang yang dijadikan tuntunan orang Jawa, sejenak

    diporak-porandakan oleh hasrat untuk memuaskan diri dalam keliaran-keliaran estetik

    oleh para pendukungnya sendiri. Estetika wayang yang pada masa lampau

    dipertontonkan semalam suntuk dengan jedah cangik limbuk dan goro-roro, pada masa

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    17

    kini berubah menjadi pertunjukan wayang di mana unsur lakon ceritanya hanya

    berlangsung selama 3 jam dan unsur hiburannya 4 jam. Pagelaran musik sebelum jejer,

    cangik limbuk, dan goro-goro, adalah permainan di ―ruang antara pertunjukan‖ yang

    mensubversi secara langsung segala tatanan diskursif dari tradisi wayang sebagai

    budaya luhur Jawa. Harapan-harapan normatif agar wayang dimainkan secara baik

    dan sesuai pakem yang diwariskan nenek moyang serta dimasuki pengaruh kolonial

    nilai-nilai filosofis, nyatanya memang mudah sekali ditunda dan dimaknai secara liar

    oleh para senimannya sendiri. Hibridisasi kultural yang melingkupi pola pikir dan

    praktik kultural masyarakat desa Jawa di Jember sebagai pendukung atau pewaris

    pasif wayang telah menjadikan pertunjukan wayang diwarnai dengan artikulasi-

    artikulasi dari budaya-budaya dominan yang sedang berkembang. Dalam kondisi-

    kondisi itulah, wayang kulit mesti dibicarakan, bukan lagi semata-mata sebagai

    warisan yang mesti dilestarikan dalam kemandegan pakem, tetapi dalam kedinamisan

    proses sosio-kultural yang mempengaruhi estetikanya. Dalam improvisasi estetik-

    hibrid, sangat mungkin terjadi proses hilangnya sebagian nilai-nilai kearifan filosofis

    Jawa dan digantikan oleh estetika hiburan yang lebih kental.

    Re-negosiasi tradisi: Meniadakan penyanyi dangdut

    Pertunjukan sebagai sebuah struktur teks yang dinamis, tentu saja, akan selalu

    memunculkan kontradiksi-kontradiksi pemaknaan, baik dari seniman maupun

    penikmatnya. Struktur dan makna tidak bisa menjadi sesuatu yang utuh dan

    berkesinambungan. Begitupula kenikmatan-kenikmatan yang dihasilkan dari proses

    pemaknaan. Artinya, akan selalu muncul negosiasi-negosiasi yang terus berkembang

    dalam sebuah pertunjukan, sehingga hegemoni estetik akan mendapatkan ‗gangguan-

    gangguan baru‘ yang berasal dari dalam. Hal serupa juga terjadi dalam pertunjukan

    musik yang melengkapi pagelaran wayang kulit. Pemaknaan kembali struktur dan

    model pertunjukan musik yang menyuguhkan goyang aduhai para penyanyi dangdut

    dengan pakaian minimnya oleh komunitas penikmat, ternyata memperoleh respons dari

    dalang.

    Sedahsyat apapun pergeseran selera estetik masyarakat Jawa di Jember sebagai

    akibat transformasi sosio-kultural yang sedang berlangsung, banyak penikmat

    wayang—utamanya yang berasal dari generasi 50-an, 40-an, dan sebagian kecil 30-an,

    masih memposisikan wayang sebagai ‗benar-benar‘ identitas kultural Jawa. Akibatnya,

    mereka merasa kurang respek terhadap kehadiran penyanyi-penyanyi dangdut koplo

    yang bergaya seksi di atas panggung wayang. Saat ini, sebagian penanggap wayang di

    wilayah Semboro, juga sudah mulai meminta dalang untuk menampilkan ―murni Jawa

    + musik‖. Artinya, tidak boleh ada penyanyi dangdut yang berada di atas pentas karena

    dianggap kurang sesuai dengan adat Jawa, sehingga yang memberikan hiburan musik

    cukup suara merdu para pesinden. Bahkan di beberapa desa di wilayah Kecamatan

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    18

    Umbulsari, seperti Gading Rejo, tuan rumah tidak segan-segan meminta dalang untuk

    tidak terlalu lama mementaskan hiburan musik campursari karena bisa menghilangkan

    ceritanya.

    Ki Siswo Utomo, yang semula meyakini resep hibrid dengan menghadirkan

    penyanyi dangdut koplo sebagai bentuk negosiasi wayang dalam konteks masyarakat

    terkini, mulai berpikir ulang akan ‗kebenaran‘ konsep tersebut. Pendapat para

    penikmat setia yang diperolehnya dari ngobrol di warung kopi, menjadikannya berpikir

    untuk menawarkan kepada penanggap untuk meniadakan penyanyi dangdut koplo

    dalam pertunjukannya.

    ―Awalnya saya pikir, kehadiran penyanyi dangdut bisa menarik perhatian penonton

    pemula, agar mereka mau menonton wayang. Nyatanya, mereka hanya bertahan ketika

    ada pertunjukan musik. Berarti ndak ada efek positif seperti yang saya harapkan semula.

    Nah, sementara para penonton setia saya mulai mengeluh tentang kehadiran para

    penyanyi dangdut di atas pentas, mendampingi para pesinden. Saya berpikir, berarti

    kehadiran penyanyi dangdut itu hanya ngriwuki pagelaran wayang. Mereka juga bilang,

    bahwa pertunjukan musik campursari dan kendang kempul itu tidak menjadi soal, asalkan

    yang menyanyikan cukup para pesinden. Dari situ, kemudian saya sadar bahwa kehadiran

    penyanyi dangdut bukanlah kewajiban yang harus dituruti. Akhirnya, setiap mau pentas,

    saya ngomong dulu pada tuan rumah agar tidak usah memakai penyanyi dangdut.

    Ndilalah, ada sebagian penanggap yang memang meminta saya tidak membawa penyanyi

    dangdut dari luar pesinden. Alasan mereka bukanlah alasan ekonomi, tetapi para penyanyi

    itu ngriwuki keagungan pagelaran wayang kulit. Untuk wilayah Semboro, ada beberapa

    penanggap yang sepakat, tetapi juga ada yang tetap meminta penyanyi dangdut.

    Sementara di beberapa wilayah Umbulsari, termasuk Gading Rejo, memang sudah bisa

    diterapkan.‖ (Wawancara, 28 Juni 2009)

    Penjelasan Ki Siswo Utomo tersebut menandakan adanya proses pengendapan dan

    pemikiran kritis dari seorang dalang terhadap konsepsi dan praktik yang dijalani

    selama ini. Keliaran-keliaran estetik yang ia lakoni demi memuaskan hasrat

    transformatif para penonton muda ternyata tidak mampu membuatnya puas. Peran

    seorang dalang yang bukan semata-mata sebagai penghibur, tetapi juga tukang tutur,

    mendorongnya untuk kembali menyuguhkan pertunjukan wayang dan musik yang tetap

    mengedepankan unsur perfoma kejawaan. Akhirnya, pertunjukan musik pembuka,

    limbukan, dan goro-goro dalam pertunjukannya dinyanyikan oleh para pesinden, tanpa

    penyanyi dangdut.

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    19

    Gambar 4

    Pesinden Aris sedang menyanyikan sebuah tembang campursari

    bersama seorang penonton setia Ki Siswo Utomo

    (Pertunjukan Ki Siswo Utomo, Babatan Sidomekar, Semboro, 27 Juni 2009. Foto Koleksi Ikwan Setiawan)

    Pertunjukan musik full pesinden ternyata tetap disukai oleh penonton baik yang

    muda maupun yang tua. Pagelaran yang pada prinsipnya murni menghibur bisa

    diterima bahkan oleh penonton dari generasi tua, karena para pesinden yang

    berpakaian Jawa. Pakaian sebagai salah satu penanda kultural ternyata mampu

    ‗mengalahkan‘ ketidaksukaan penonton generasi tua terhadap pagelaran musik yang

    selama ini menampilkan penyanyi dangdut koplo. Kehadiran pesinden dengan lagu

    campursari maupun kendang kempul juga lebih bisa terterima karena pada masa

    lampau para pesinden juga menyanyikan gending-gending ketika limbukan dan goro-

    goro. Kastur, penonton wayang berusia 50 tahunan dari Babatan Semboro,

    mengungkapkan:

    ―Dangdut yang itu sebenarnya tidak sesuai untuk wayang kulit, apalagi para penyanyinya

    yang berpakaian ‗kayak gitu‘ (pen, seksi). Benar-benar njomplang (pen, tidak sesuai). Tapi,

    ya, gimana lagi, memang sudah ombak-nya zaman. Anak-anak muda sekarang memang

    suka dangdut. Kalau saya memang lebih suka yang klasik-klasik, yang tradisional, karena

    pengalaman masa kecil saya kalau nonton wayang, ya yang klasik-klasik itu. Susahnya,

    dalang sekarang itu tidak ada lagi yang memainkan wayang kayak zaman dulu lagi.

    Terlalu banyak lagunya, ceritanya tidak ketemu. Ya, kalaupun banyak lagunya, ndak pa-

    pa, yang penting yang nyanyi itu pesinden. Kalau pesinden yang nyanyi, kesan Jawa-nya

    tetep ada. Lebih sopan, ndak urakan. Saya bisa betah nonton wayang.‖ (Wawancara 28

    Juni 2009)

    Meskipun ada perbedaan jenis lagu yang dinyanyikan, nuansa tradisional yang diusung

    campursari dan kendang kempul tetap sesuai dengan selera generasi tua. Persoalan

    kehadiran drum, gitar, bass, maupun irama koplo dalam musik pengiring, rupa-rupanya

    tidak menjadi masalah serius, senyampang pesinden tetap berada pada garis-garis

    kesopanan. Apa yang disampaikan Pak Kastur, paling tidak, menunjukkan adanya

    ambivalensi kultural generasi tua Jawa di Jember, utamanya dalam selera kesenian.

    Mereka memang tidak suka dengan tampilan-tampilan seronok penyanyi dangdut

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    20

    dalam pertunjukan wayang, namun mereka juga tidak mempermasalahkan musik

    koplo, asalkan para pesinden yang menyanyi di atas panggung.

    Beragam penonton, beragam cerita

    Membicarakan wayang dengan segala perkembangannya tentu membutuhkan

    sebuah analisis lain, utamanya tentang bagaimana penonton wayang yang sangat

    beragam memaknai dan memahami proses transformasi dan improvisasi estetik

    tersebut. Seringkali para dalang berargumen bahwa segala dekonstruksi estetik yang

    mereka lakukan demi memenuhi pergeseran selera penonton dengan tujuan utama

    menarik hati dan perhatian para penonton pemula. Argumen tersebut, dalam konteks

    kekinian, memang sesuai dengan pandangan kultural kaum muda desa yang sudah

    terbiasa dengan produk-produk budaya yang cukup dinamis, seperti musik dangdut,

    pop-industrial, campursari, maupun kendang kempul Banyuwangen. Apa yang luput

    dari perhatian para dalang adalah para penonton dari generasi tua, 50 tahun ke atas,

    yang masih juga setia menonton wayang untuk menemuka pesan-pesan filosofis dari

    pertunjukan. Begitupula dengan anak-anak belia yang mungkin datang ke pertunjukan

    wayang demi melihat keramaian para pedagang atau keinginan-keinginan lain yang

    perlu juga dipertimbangkan signifikansinya.

    Bagi penonton wayang tulen yang berasal dari generasi usia 50 tahun ke atas,

    menonton wayang tentu bukan saja menonton pertunjukan musiknya. Bagi mereka

    pagelaran wayang merupakan sebuah ruang untuk menemukan makna-makna dalam

    menghayati segala proses kehidupan. Kehidupan bagi mereka tidak hanya semata-mata

    dipahami melalui ajaran-ajaran agama formal, seperti Islam, tetapi juga agama-agama

    informal, seperti wayang, yang memuat pantulan cerita kehidupan yang sebenarnya.

    Dari pagelaran itulah mereka sebenarnya berharap akan menemukan hikmah

    bagaimana memaknai problem-problem kehidupan yang terjadi dalam dunia nyata.

    Namun, ketika pertunjukan wayang sudah kehilangan sebagian nilai-nilai luhurnya,

    pun mereka mempunyai pendapat yang berbeda.

    Lek Sukir, 55 tahun, warga Sidomekar Semboro, mempunyai pendapat yang

    menarik untuk disimak.

    ―Wayang sekarang itu tidak seperti wayang pada zaman dulu. Saya masih ingat, pada

    zaman dulu wayang itu dimulai siang hari, ba‘da Dhuhur, lalu istirahat sebentar

    menjelang Maghrib dan dilanjutkan lagi ba‘da Isya‘. Lakon ceritanya utuh, dari awal

    hingga akhir. Jadi, misalnya, bercerita tentang Baratayudha, penonton itu tahu bahwa

    nanti dalang akan membuka cerita seperti ini lalu di tengah-tengah seperti itu sampai

    pada bagian akhir, meskipun ada juga limbukan dan goro-goro-nya. Penonton tidak

    kehilangan cerita. Nah, kalo sekarang, para dalang itu sudah ndak karuan, yang

    ditonjolkan, ya musiknya itu. Para dalang sekarang juga tidak sehebat dalang dulu. Saya

    ingat sama (Alm) Pak Gombloh. Dia itu dalang yang sangat terkenal di wilayah Semboro

    dan sekitarnya. Dia itu pinter sekali orangnya ketika ndalang. Masing-masing tokoh

    wayang mempunyai suara yang berbeda, sesuai dengan sifat asli si wayang. Dari suara

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    21

    yang dikeluarkan dalang, penonton sudah tahu wayang ini adalah Bisma, Bathara Guru,

    Werkudoro. Lha, kalo sekarang, dalang itu suara untuk tokoh satu dan tokoh lain hampir

    sama, jadi kurang menarik lagi‖. (Wawancara, 31 Mei 2009)

    Bagi penonton sepuh seperti Lek Sukir, keistimewaan wayang tetap terletak pada

    bagaimana seorang dalang memainkan keutuhan cerita dan bagaimana mereka bisa

    membuat spesifikasi-spesifikasi karakterisasi bagi masing-masing tokohnya. Dengan

    pemahaman itulah, mereka akan lebih mudah untuk menyerap makna luhur dari

    sebuah pagelaran. Masalahnya, dalang sekarang, baik yang berasal dari wilayah

    Semboro maupun Ambulu, lebih banyak bermain-main dengan improvisasi pertunjukan,

    sehingga keutuhan alur cerita bukan lagi menjadi persoalan serius, karena yang

    penting bagi mereka adalah bagaimana penonton, khususnya dari generasi muda, mau

    hadir di pertunjukan. Pencapaian-pencapaian kualitas personal dalang, seringkali

    dikalahkan oleh kualitas pesinden dan penyanyi koplo yang dibawa serta dalam

    pagelaran. Kondisi itulah yang menjadikan penonton tua, seperti Lek Sukir, enggan

    menonton wayang sampai pagi, tidak seperti masa mudanya dulu.

    Pemahaman yang agak berbeda diberikan oleh Joko Wiyono, 40 tahun, juga warga

    Sidomekar Semboro. Joko adalah penggemar berat wayang. Pada masa mudanya ketika

    merantau ke Kalimantan, dia sempat menjadi pengrawit dalam komunitas wayang yang

    berkembang pada komunitas Jawa diasporik di sana. Ketika kembali menetap di

    Semboro, dia tetap menggemari wayang, meskipun tidak lagi ikut memainkan gamelan.

    Dalam setiap pertunjukan wayang di Semboro, dia selalu berusaha untuk hadir, kecuali

    ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan.

    Wayang memang sudah banyak berubah. Jujur, dulu saya menggemari wayang karena

    cerita dan juga adegan perang yang diwarnai dengan sabetan-sabetan khas para dalang.

    (Alm) Mbah Gombloh masih saya ingat sebagai dalang yang paling top dalam memainkan

    cerita wayang, jadi saya jadi tahu bagaimana isi sebenarnya sebuah cerita. Lha, kalo

    sekarang, saya sudah susah menemukan keunikan-keunikan itu dari dalang muda di

    Semboro. Semua rata-rata berlomba-lomba untuk menampilkan pesinden dan penyanyi

    ayu-ayu. Saya akhirnya kalo nonton wayang, ya tidak lagi ngoyo untuk memahami

    ceritanya, lha memang sudah ndak ketemu ceritanya. Yang penting, ya sindennya yang

    asyik untuk dilihat dan suaranya enak untuk didengar. Kalau dengan penyanyi dangdut,

    apalagi yang koplo-an, saya tidak begitu suka, kurang sip. Tetep pesinden-nya yang

    menarik perhatian. Kalo pesindenya asyik-asyik, ya, saya bisa bertahan sampai cangik-

    limbukan atan bahkan sampai goro-goro dan selesainya cerita. Tapi, kalo kurang asyik, ya,

    sampai cangik-limbukan sudah pulang. Saya juga lebih suka melihat pesinden

    menyanyikan lagu-lagu campursari atau kendang kempul dibandingkan lagu dangdut asli.

    Kurang menarik. Kalo campursari atau kendang kempul, meski iramanya pake‘ koplo, saya

    masih bisa mengikuti. Sebaliknya, kalo musiknya terlalu kalem dan bergaya Mataraman,

    saya rasa kurang pas. (Wawancara, 20 Mei 2009)

    Pernyataan Joko di atas, paling tidak, menyiratkan bagaimana pengaruh diskursif dari

    pertunjukan wayang saat ini terhadap penonton. Joko sebenarnya masih mewarisi

    tradisi menonton wayang seperti penonton usia 50 tahun ke atas, yakni memahami

    cerita di tambah dengan adegan perangnya. Namun, karena wayang sekarang tidak lagi

    mengedepankan itu semua, akhirnya ia lebih menikmati tampilan dan atraksi suara

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    22

    para pesindennya. Sebuah pilihan yang masuk akal di tengah-tengah ketidakjelasan

    struktur cerita. Ketertarikannya terhadap campursari dan kendang kempul

    menandakan bahwa ia sebenarnya masih lebih suka musik yang berirama tradisi,

    ketimbang dangdut murni. Masih ada kerinduan terhadap musik yang bernuansa

    tradisi, meskipun sudah dicampur dengan irama koplo. Sekali lagi, sebuah ambivalensi

    pandangan kultural masyarakat Jawa di Jember sangat jelas terlihat. Masyarakat Jawa

    di Jember yang kebanyakan berasal dari tradisi subkultur Mataraman—bukannya dari

    subkultur Arek sebagai asal dangdut koplo—ternyata juga bisa menerima tradisi estetik

    yang beraroma agak kasar seperti koplo dengan liukan-liukan goyang, dengan syarat

    tetap ada unsur tembang yang bernuansa tradisi.

    Sementara bagi sebagian besar penonton dari kaum muda (20 – 30 tahunan),

    menonton wayang memang sudah identik dengan menonton sinden dan penyanyi

    cantik, bukan lagi cerita yang penuh ajaran bijak. Untuk penonton usia ini, mereka

    memang secara umum mengerti cerita wayang, terutama dari epos Mahabarata dan

    Ramayana, tetapi secara detil tidak mengerti dan memang tujuan mereka datang ke

    wayang tidak untuk menikmati cerita. Bergembira dengan tembang-tembang yang

    dipersembahkan para pesinden dan penyanyi dangdut adalah tujuan mereka menikmati

    wayang. Penonton kategori ini, biasanya akan berada di depan pentas ketika musik

    pembuka yang dimainkan. Dengan antusias mereka menikmati suara dan goyang

    penyanyi dangdut serta gemulai gerak dan merdu suara para pesinden. Namun, setelah

    pagelaran musik selesai, biasanya mereka akan segera meniggalkan pentas, menuju

    warung-warung kaki lima dadakan yang menyediakan makanan maupun minuman.

    Dalam sebuah pertunjukan Ki Siswo Utomo untuk memperingati Kemerdekaan RI

    ke-64 di Dusun Babatan Sidomekar Semboro, 18 Agustus 2009, saya menanyakan

    perihal tahu tidaknya ia tentang cerita yang sedang dimainkan dalang. Waktu itu lakon

    yang dimainkan adalah Wahyu Tejomoyo. Dengan enteng ia menjawab: ―Saya ndak

    tahu, Mas. Pokoknya seneng lihat sinden dan penyanyinya nya menyanyi‖. Sugeng

    memang penonton fanatik wayang, tetapi bukan pada ceritanya tetapi pada suara

    merdu dan keelokan tampilan para pesinden. Kenikmatan-kenikmatan ‗memandang‘

    dan ‗mendengar‘ para pesinden sudah menjadi orientasi yang berlaku umum bagi

    penonton muda wayang. Pesinden, kemudian, menjadi objek tatapan yang menjadi

    objek keter-dipandangan dari hasrat memandang para penonton. Atraksi dalang dalam

    mengola suluk, memerangkan wayang dan segala keunikan ceritanya, bukan lagi

    menjadi orientasi penting bagi penonton muda. Memang masih ada penonton dari

    generasi 40 tahun ke atas yang menonton wayang karena ingin mendapatkan pelajaran

    berharga dari kisah yang disajikan dalang, namun jumlahnya sangat minor.

    Para penonton juga tetap menjadikan kualitas suara pesinden sebagai acuan

    penting dalam menyukai mereka, selain tampilan elok mereka. Para penonton ini

    adalah penonton setia atraksi para pesinden, yang biasanya menonton pertunjukan

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    23

    sampai acara selesai. Sekali lagi, tujuan utama mereka bukanlah untuk mengikuti

    cerita dan atraksi yang disajikan dalang, tetapi menonton pesinden nembang

    campursari berirama dangdut koplo dan Banyuwangen berbalut kebaya Jawa.

    Kelompok penonton setia ini, biasanya sudah hadir ketika acara pagelaran dibuka

    dengan pertunjukan musik. Namun, ada juga yang baru hadir ketika mendekati acara

    limbukan, sekitar pukul 23.30 – 24.00 WIB. Mereka ini biasanya datang per kelompok

    yang berasal dari beberapa wilayah, Semboro, Umbulsari, bahkan dari Lumajang.

    Meskipun, bukan berbentuk organisasi formal, para penonton tersebut mengidentifikasi

    diri mereka sebagai PPS alias Paguyuban Pengayom Sinden, Paguyuban Penjemput

    Sinden, serta Paguyuban Penonton Sinden. Memang penamaan tersebut sekilas

    terkesan guyonan, tetapi anggota-anggota paguyuban itu jelas-jelas ada walaupun

    sangat informal.

    Dalang sendiri sangat menghormati kehadiran para penonton setia tersebut.

    Begitupula sebaliknya. Setiap kali limbukan di mulai, dalang pasti menyebut nama

    mereka satu per satu. Mereka juga mengirim pesan, baik melalui secarik kertas

    maupun SMS. Relasi ‗mutualis‘ ini diikuti permintaan lagu dari penonton kepada

    dalang yang biasanya disertai rokok atau uang sejumlah tertentu. Dalang, kemudian,

    akan meminta satu per satu dari pesinden untuk menembangkan lagu-lagu campursari

    atau Banyuwangen yang diminta mereka. Ketika pesinden menyanyikan lagu-lagu yang

    dipesan, dia akan mendapatkan saweran atau tapelan dari penonton yang merasa

    lagunya dinyanyikan. Tidak jarang dari mereka yang kemudiam di minta dalang untuk

    menemani pesinden menyanyi. Kalau sudah seperti itu, maka panggung wayang seakan

    disulap menjadi panggung musik dengan para pesinden yang memuaskan hasrat

    memandang para penontonnya. Cerita wayang bukan lagi narasi yang dinantikan. Ia

    tergantikan oleh kenikmatan menonton pertunjukan musik.

    Sebuah transformasi dalam menonton wayang, jelas-jelas sudah, sedang, dan

    mungkin akan terus berlangsung di masa mendatang. Kalau pada zaman dulu,

    menikmati cerita wayang dengan pesan-pesan adiluhungnya menjadi tujuan utama

    para penonton, dengan limbukan dan goro-goro sebagai selingan, maka sekarang pesan-

    pesan tersebut digantikan oleh gaya eksotis tubuh dan tembang para pesinden. Bahkan

    beberapa penonton pada pertunjukan Ki Siswo Utomo (18 Agustus 2009, Babatan,

    Sidomekar, Semboro) dengan sedikit berseloroh mengatakan, ―Lha wong, sudah sering

    ndalang, kok masih saja ndalang, mbok sindene cepat suruh nyanyi‖. Ucapan itu

    terlontar ketika dalang agak lambat masuk ke adegan limbukan. Meskipun bernada

    guyon, namun, realitas ucapan tersebut menandakan keinginan untuk segera menonton

    para pesinden nembang.

    Ketika wayang bukan yang utama: Simpulan

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    24

    Pilihan orientasi kultural masyarakat desa berbasis Jawa di Jember, memang

    tidak pernah berdiri-sendiri dan bukan tidak terpengaruh oleh desain budaya

    metropolitan, regional, dan setting lokalitas yang ‗mengelilingi‘ dan ikut

    mengkonstruksi imaji dan pikiran kultural mereka. Keberlangsungan lalu-lintas

    kultural yang meghadirkan produk-produk budaya pop kota ke dalam masyarakat

    pedesaan, baik melalui siaran televisi maupun produk-produk industri rekaman, telah

    menjadi realitas yang tidak bisa ditawar dan ditolak lagi. Mekanisme-mekanisme

    tradisi untuk memperlambat laju percepatan masuknya pengaruh budaya luar ke dalam

    imaji dan realitas desa, seakan semakin sulit terwujud.

    Pola pikir dan laku hibrid yang oleh sebagian pemikir dikatakan sebagai bentuk

    usaha untuk memasuki modernitas ataupun meninggalkannya untuk kembali

    memperkuat tradisi, nyatanya perlu direvisi kembali. Tesis-tesis besar tentang

    kekuatan hibridisasi kultural, memang tidak bisa diyakini berlaku general, karena

    partikularitas dan kompleksitas persoalan yang berlangsung dalam lokalitas masing-

    masing. Dalam kasus wayang, hibriditas kultural itu nyatanya tidak mampu membuat

    generasi muda desa menikmati dan mencintai narasi dan wacana filosofis yang

    disuguhkan dalang. Masuknya musik dangdut, campursari, dan Banyuwangian dalam

    pertunjukan wayang di Jember, paling tidak, menunjukkan bahwa hibriditas telah

    memangsa kekuatan budaya lokal itu sendiri, sehingga penonton-penonton muda tidak

    lagi memosisikan wayang sebagai ―yang utama‖. Bagi mereka yang utama adalah

    pertunjukan dangdut koplo dengan para penyanyi yang siap bergoyang dan menggoyang

    suasana. Memang, ada dalang yang berusaha menghilangkan adegan penyanyi dangdut

    dengan para sinden yang menyanyikan lagu dangdut. Namun itu semua juga tidak bisa

    dijadikan patokan umum, karena semua berpulang kepada keinginan tuan rumah dan

    kecenderungan penonton. Lagipula, meskipun para sinden, tetap saja mereka

    menyanyikan lagu-lagu dangdut atau campursari populer.

    Kalaupun ada sebuah dampak positif dari proses campur-aduk estetika

    pertunjukan wayang yang berlangsung di Jember—atau bahkan di daerah-daerah

    lain—adalah masih adanya ikon ke-Jawa-an di tengah-tengah modernitas desa yang

    semakin biasa. Paling tidak, wayang masih ada, meskipun intensitas pertunjukannya

    tidak sesering puluhan tahun silam. Meskipun hanya sebatas menjadi selebrasi

    penanda ke-Jawa-an, paling tidak, di tengah-tengah posmodernitas dan poskolonialitas

    masyarakat yang semakin biasa dengan tumpang-tindih elemen-elemen kultural,

    wayang masih menjadi tanda ikonik dan indeksikal yang mengatakan bahwa masih ada

    perayaan Jawa dalam masyarakat desa yang semakin biasa dengan budaya modern.

    Daftar bacaan

    Sears, Lauire J.2005. ―Intellectuals, Theosophy, an Failed Narratives of the Nation in

    Late Colonial Java‖. Dalam Henry Schwarz & Sangeeta Ray (eds). A Companion to

    Postcolonial Studies. Malden (USA): Blackwell Publising.

  • Nonton wayang atau dangdut?:

    Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid

    dalam pertunjukan wayang kulit di Jember

    IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

    25

    Hutcheon, Linda. 1995. ―Circling the Downspout of Empire‖. Dalam Bill Aschroft, Garret

    Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London:

    Routledge.

    Sangari, Kumkum. 1995. ―The Politics of the Possible‖. Dalam Bill Aschroft, Garret

    Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London:

    Routledge.

    Sommer, Doris. 2005. ―A Vindication of Double Consciousness‖. Dalam Henry Schwarz &

    Sangeeta Ray (eds). A Companion to Postcolonial Studies. Malden (USA):

    Blackwell Publising.