Non Malefisence
description
Transcript of Non Malefisence
F R I D A Y , O C T O B E R 2 0 , 2 0 0 6
Pemecahan Dilema Etik dalam Kasus Penderitaan Klien dan Euthanasia Pasif
KASUS :
Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker
payudara terminal dengan metastase yang telah resisten terhadap
tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami nyeri
tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan
pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan
adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat
wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur
namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya
pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat
analgesik. Saat dilakukan diskusi perawat disimpulkan bahwa
penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik
(ethical dilemma). Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit
dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi
dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding.
Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat
keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran
yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan dilema
etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka
proses keperawatan / pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson &
Thompson, 1985).
Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik
sebagai berikut :
1. Mengembangkan data dasar
2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang
direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau
konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
6. Membuat keputusan
PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK
1. Mengembangkan data dasar :
a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat
b.Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk
memberikan penambahan dosis morphin.
c.Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien
d.Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan
penambahan dosis morphin, klien dan keluarganya menyalahkan
perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di
bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.
2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :
Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami
metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis
morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta penambahan dosis
pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga
mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik
yang terjadi adalah :
a.Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat
kematian klien.
b.Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak
klien.
3.Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang
direncanakan dan konsekuensi tindakan tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat
pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya
sendiri
4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk
manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian pasien
2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya
(meningkatkan ambang nyeri)
3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun
tidak sering dan apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan
kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada malam hari agar
klien bisa tidur cukup.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri
sehingga ia dapat cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan,
karena dokterlah yang secara legal dapat memberikan ijin
penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu didiskusikan dengan
klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat
ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu
klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya.
Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam
asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon
nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien, mengajarkan
manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
a.Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri
b.Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan
ambang nyeri
c.Mengoptimalkan sistem dukungan
d.Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif
terhadap masalah yang sedang dihadapi
e.Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan keyakinannya
6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan
konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu
mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling
tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu
dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi,
pengalihan perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi
efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila
alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah
ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan
dilaksanakan.
DISKUSI :
Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan
klien namun dapat mengakibatkan kematian klien atau membantu
pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia aktif. Di Indonesia hal
ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari
euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan
euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak pada
kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk
mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada
kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional
yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak
dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya
untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin akan
mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah
untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.
PRINSIP LEGAL DAN ETIK :
1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan
menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan
yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang.
Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan
dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau
tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat
mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan
tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak
relevan.
2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek
yang berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis
pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien
sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk
mempercepat kematiannya.
3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang
lain (non maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini.
Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang
bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat
kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang
berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk
mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan
tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang
tepat (doing good).
KEPUSTAKAAN :
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004),
Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th
Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of
Nursing, Philadelphia : Lippincott
http://bondanmanajemen.blogspot.com/2006/10/pemecahan-dilema-etik-dalam-kasus.html
Tourniquet lupa dilepas
Alinea1 Nn Dona, mengenakan jilbab, umur 23 tahun, datang ke rumah sakit dalam keadaan sadar, karena mengalami open fracture di tibia kanan pada pukul 9.00 pagi. Setelah dilakukan pemeriksaan di UGD dan di foto roentgen, Nn. Dona segera dipersiapkan untuk operasi. Dokter Pujo yang menangani kasus Nn Dona memberikan pengertian bahwa apa yang dialami Nn Dona termasuk kasus kegawatan, dan harus segera dioperasi dalam tempo 6 jam dari kejadian. Setelah memahami betul apa yang menimpa dan tindakan apa yang akan dilakukan terhadapnya, Nn Dona menyetujui dilakukan operasi. Operasi dijadwalkan jam 12.00 siang, kebetulan Nn. Dona sudah tidak makan sejak pukul 6.00 pagi tadi.
Alinea 2
Ketika akan dilakukan persiapan operasi, Nn. Dona terkejut dengan model baju operasi rumah sakit yang tidak sesuai dengan standarnya. Nn Dona memutuskan menolak mengenakan baju operasi yang tersedia karena tidak menggunakan jilbab yang sesuai standardnya. Atas bujukan dokter Pujo yang akan berperan sebagai ketua tim operasi akhirnya Nn. Dona mau memakai tutup kepala dan baju steril operasi yang ada.
Alinea 3
“Ini keadaan darurat Dona. Kalo Anda tidak mau memakai baju operasi yang ada, atau menunggu baju operasi yang sesuai standar Anda, akan memakan waktu. Infeksi segera menyebar ke seluruh tubuh. Dan tulang yang patah itu tidak akan mau menyatu.” Kata dokter Pujo.
Dalam keadaan kesakitan dan lemah… akhirnya Dona mau memakai baju operasi yang ada, walaupun tidak sesuai dengan standar yang ia maui.
“ya dokter” kata Dona lirih
Alinea 4
Setelah ada pernyataan “ya” dari Dona, segera paramedis bertindak, menyiapkan Dona agar “siap” dilakukan operasi. Ganti baju operasi, lavement, penyiapan obat-obatan anestesi beserta infusnya. Dengan mobile bed Dona dibawa menuju ruang operasi. Mengejar deadline waktu.
………………………….
Alinea 5
Operasi dimulai, sebelumnya tourniquet di pangkal paha mulai dipasang dan dikencangkan.
Pemasangan tourniquet berlangsung saat Dona mulai tidak sadar karena pengaruh anestesi. Sehingga paramedis lebih leluasa memasang tourniquet tanpa hambatan “psikologis” dari Dona. Karena kebanyakan paramedis serta dokter bedah dan anestesi juga laki-laki.
…………………………
Alinea 6
Reposisi dengan pemasangan pen telah dilakukan dengan sempurna, kondisi fisik stabil dan segera Dona di pindahkan ke ruang recovery pasca pembedahan. Beberapa saat kemudian Dona dipindah menuju bangsal.
………………………
Alinea 7
Saat di ruang recovery dokter Pujo melakukan visite. Karena Dona memakai jilbab dan baju jubah panjang, dokter Pujo agak sungkan untuk menyingkap bagian kaki yang dioperasi. Jadi tidak sampai mengamati kondisi paha atau kaki di bawahnya dengan seksama. Dia hanya melihat, yang penting tidak melihat ada rembesan darah yang banyak, berarti sudah aman.
Alinea 8
Sementara Dona terus mengeluh nyeri di seluruh tungkai dan kaki kanannya. Dokter Pujo telah mendapat keluhan itu secara langsung dari Nn Dona.
“Ga pa pa Dona, biasa itu, namanya tulang yang patah kemudian dipasang pen, terus timbul nyeri itu biasa. Nanti diberikan obat anti nyeri. Biar berkurang rasa nyerinya.” Kata dokter Pujo menenangkan.
“Tapi dokter, ini nyerinya seluruh kaki, tidak di bagian yang dioperasi saja, bahkan mulai ada rasa kesemutannya” sergah Dona yang menyeringai menahan rasa sakit.
“Nanti dikasih obat anti nyeri, insya Allah bisa mengurangi” kata dokter Pujo.
Alinea 9
Dokter Pujo memerintahkan kepada para medis untuk memberikan injeksi Novalgin per bolus.
“Sudah ya Dona…nanti kalau ada apa-apa lapor sama perawat jaga” kata dokter Pujo.
Malam itu tiga kali Dona mendapatkan injeksi Novalgin per bolus, untuk mengatasi rasa nyerinya.
………………………………..
Alinea10
Pagi hari jam 06.00, perawat mendapatkan laporan dari keluiarga bahwa seluruh tungkai kanan atas dan bawah hingga kakinya berwarna biru
Perawat jaga yang berjenis kelamin pria ini, segera merespons….kali ini tanpa meminta persetujuan Nn Dona, menyingkap jubah panjang yang menutupi tungkai bagian atas dan bawah, hingga terlihat jelas paha Nn Dona.
Alinea11
Betapa terkejutnya sang perawat jaga, ternyata tourniquet operasi belum dilepas. Spontan perawat ini bergumam..
“gimana tho yang operasi kok tourniquet tidak diambil” gumam perawat jaga.
“tourniquet saat operasi tidak diambil?” kata Dona dan ibunya yang menunggui.
………………………………
Alinea12
Akhirnya orang tua Dona mengadukan kasus yang dialami anaknya ini kepada direktur rumah sakit dengan marah-marah dan mengancam bila anaknya tidak pulih akan diadukan ke pengadilan. Sementara dokter Pujo melakukan visite dengan sembunyi-sembunyi saat orang tua Dona tidak ada (saat itu mereka masih menghadap direktur).
Alinea13
“Maafkan saya Dona, seharusnya saya kemarin tidak sungkan untuk menyingkap jubah Anda…biar jelas mengetahui penyebab nyeri yang Anda alami.” Kata dokter Pujo
“Lha terus pertanggung jawaban Anda apa?” bentak Dona.
“Saya hanya bisa berharap, semoga kelumpuhan akibat tourniquet ini hanya sementara…..mengenai biaya perawatan Anda sampai kelumpuhan kaki anda pulih biar saya yang menanggung. Biar dipotong gaji saya.” Kata dokter Pujo.
………………………………….
Alinea14
Pihak manajemen rumah sakit sangat intens sekali menjalin komunikasi, termasuk menggratiskan biaya operasi dan rawat inap. Mereka sangat berharap kasus ini tidak sampai keluar, apalagi tercium oleh wartawan.
…………………………………..
Happy ending. Kaki Dona yang lumpuh akibat tourniquet berangsur-angsur pulih. Walaupun waktu yang diperlukan rawat inap bertambah panjang sampai dua minggu. Dona akhirnya keluar rumah sakit dengan kaki terpasang pen tanpa kelumpuhan.
Kaidah dasar bioetika yang sesuaiNon Maleficence
Kasus gawat darurat harus segera dioperasi dalam 6 jam Non Maleficence : menolong pasien emergensi, mengobati pasien luka, do no harm to patient, melindungi pasien dari akibat yang lebih buruk. (alinea 1 baris ke 6)
Autonomi
Mengomunikasikan kepada pasien (Dona) mengenai kegawatan yang di derita dan keharusan untuk melakukan operasi (melaksanakan informed concent), menghargai rasionalitas / pilihan pasien untuk memakai jenis baju operasi, walaupun akhirnya bisa memberikan persuasi pada pasien, agar pasien menerima keadaan yang ada karena akan memperpanjang waktu terbuang sia-sia. (alinea 3 percakapan dokter Pujo dan Dona)
awan konflik antara autonomi dan non maleficence -->
Prima Facie memenangkan non maleficence.
Non Maleficence
….mengejar deadline waktu. (alinea 4 - 6). menolong pasien emergensi, mengobati pasien luka, do no harm to patient, melindungi pasien dari akibat yang lebih buruk.
Autonomi
Tourniquet dipasang dan dikencangkan saat Dona mulai tidak sadar… (alinea 5).
Menghargai privasi pasien, dan menjaga rahasia pasien.
Konflik Autonomi dan Non Maleficence (alinea 7)
Autonomi menghargai hak pasien menjaga keyakinannya untuk tidak memperlihatkan auratnya.
Dengan Non maleficence, tuntutan untuk mengambil alih sepenuhnya autonomi pasien, karena ada kepentingan pemeriksaan yang bila tidak dilakukan dapat berakibat fatal bagi pasien.
Harusnya berlaku PRIMA FACIE Non Maleficence mengalahkan Autonomi.
Beneficence
Dokter Pujo memberikan terapi untuk keluhan nyeri pasien (Dona)…. (alinea 8 – 9). Meminimalisir akibat buruk, paternalisme bertanggung jawab / berkasih sayang.
Non maleficence
Perawat tanpa meminta persetujuan menyingkap…. (alinea 10 – 11).
menolong pasien emergensi, mengobati pasien luka, do no harm to patient, melindungi pasien dari akibat yang lebih buruk.
Autonomi (alinea 12 – 14)
Menghargai harkat martabat pasien, menjaga hubungan dan tidak menghalangi autonomi pasien. Memberikan kesempatan kepada orang tua Dona mengungkapkan kemarahan dan kekesalannya. Tidak berbohong kepada pasien mengenai kenyataan yang terjadi.
Beneficence (alinea 12 – 14)
Ada tanggung jawab penuh walaupun terhadap kesalahan yang telah dilakukan. Menghargai hak pasien secara menyeluruh, dalam hal ini memberikan kesempatan kepada mengungkapkan rasa tidak puasnya, dan meminta bagaimana pertanggungjawaban dokter Pujo terhadap “keteledorannya”. Serta memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita pasien. (maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan).
Posted by Yusuf Alam Romadhon at 6:23 PM Labels: perenungan professionalism
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2007/11/tourniquet-lupa-dilepas.html
Sebelum kita mengenal lebih jauh mengenai etika kedokteran mari kita simak cermati kasus
berikut :
dr. T seorang ahli bedah yang berpengalaman, baru saja akan menyelesaikan tugas
jaga malamnya di sebuah rumah sakit sedang. Seorang wanita muda dibawa ke RS
oleh ibunya, yang langsung pergi setelah berbicara dengan suster jaga bahwa dia
harus menjaga anak-anaknya yang lain. Si pasien mengalami perdarahan vaginal dan
sangat kesakitan. dr. P melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan
pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi. dr. T segera
melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan
kepada pasien apakah dia bersedia opname di rumah sakit sampai keadaaanya benar-
benar baik. dr. Y datang menggantikan dr. T, yang pulang tanpa berbicara langsung
kepada pasien.
Dari kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus tersebut menimbulkan pertanyaan
mengenai pembuatan keputusan dan tindakan dokter bukan dari segi ilmiah ataupun teknis,
namun pertanyaan yang muncul adalah mengenai nilai, hak-hak, dan tanggung jawab. Dokter
akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini sesering dia menghadapi pertanyaan ilmiah
maupun teknis.
Jadi apakah sebenarnya etika itu dan bagaimanakah etika dapat menolong dokter berhadapan
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu?
Secara sederhana etika merupakan ilmu/kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral
secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada
masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari
keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti
’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’),
’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah
bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya
(doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi
orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara
yang lain. Dari definisi dan penjelasan tersebut maka dapat kita ketahui bahwa etika
kedokteran merupakan salah satu cabang dari etika yang berhubungan dengan masalah-
masalah moral yang timbul dalam praktek kedokteran. Etika kedokteran berfokus terutama
dengan masalah yang muncul dalam praktik pengobatan sedangkan bioetika merupakan
subjek yang sangat luas yang berhubungan dengan masalah-maslah moral yang muncul
karena perkembangan dalam ilmu pengetahuan biologis yang lebih umum. Bioetika juga
berbeda dengan etika kedokteran karena tidak memerlukan penerimaan dari nilai tradisional
tertentu dimana hal tersebut merupakan hal yang mendasar dalam etika kedokteran. Sebagai
seseorang yang profesinya bergelut dibidang medis, tentu dengan memahami etika
kedokteran kita akan siap menghadapi berbagai kasus yang mengandung refleksi etis tersebut
dengan jawaban, sikap, dan tindakan yang tepat.
Ada empat kaidah dasar bioetik yang digunakan dalam etika kedokteran yaitu beneficience,
non-maleficence, autonomy, dan justice.
Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai masing-masih kaidah dasar bioetik tersebut :
1. beneficience
prinsip berbuat baik
melakukan tindakanselalu diutamakan untuk kebaikan
dalam konteks medis berarti berusaha melakukan tindakan medis terbaik kepada
pasien
2. non-maleficence
prinsip untuk tidak melakuan tindakan berbahaya(buruk) yang merugikan terhadap
pasien
kewajiban dokter untuk tidak mencelakakan pasien
3. autonomy
mengakui hak-hak individu untuk menentukan nasib sendiri
prinsip menghargai hak pasien
4. justice
Prinsip keadilan atau bertindak adil terhadap semua pasien
Dalam pelaksanaannya sehari-hari beberapa kaidah dasar tersebut bisa saling bertentangan
satu dengan yang lainnya. Tentu hal itu sangat wajar karena masing-masing kaidah tersebut
mempunyai kekhasan nilai masing-masing. Namun kita harus dapat memilih yang mana lebih
prioritas. Contoh kecil saja yaitu ketika seorang dokter lebih mendahulukan pasien baru, yang
datang dalam keadaan gawat darurat daripada pasien-pasien yang telah antri lama di tempat
praktiknya. Hal itu menunjukkan adanya pertentangan antara kaidah justice dan non-
maleficence. Namun tindakan dokter tersebut dapat dibenarkan karena dalam kasus ini yang
menjadi prioritas adalah kaidah non-malefincence. Dari uraian yang sangat singkat ini maka
diharapkan kita akan lebih berusaha untuk memahami etika kedokteran, karena pada seorang
dokter tidak hanya dibutuhkan ketereampilan teknis dan teori semata tetapi juga
kemampuannya dalam menghadapi kasus-kasus yang berhubungan dengan etik.
Semoga bermanfaat…….
Referensi
1. Anonymous. 2009. Medical Ethics. Diakses dari Wikipedia tanggal 18 Juni 2009
2. Husairi, A. 2008. Materi Kuliah Kaidah Dasar Bioetik dan Pemecahan Masalah/Dilema
Etik Menggunakan Prima Facie. Banjarmasin : Bagian EHK FK Unlam
3. William, JR. 2006. Medical Ethics Manual(Panduan Etika Medis Disertai dengan Studi
Kasus Etika Pelayanan Medis Sehari-hari). Yogyakarta : Pusat Studi Kedokteran Islam
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
« humaniora 1kehidupan kuliah »
H U M A N I O R A 2
1.Etika Gawat-Darurat
Dalam KODEKI terdapat butir-butir yang berkaitan dengan kasus-kasus gawat darrat
yang kalau ditempatkan menurut urutan yang relevan lebih dahulu,susunannya
menjadi sebagai berikut :
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan,kecuali bila yakin ada orang lain bersedia dan mampu
melakukannya.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup
insani.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan ilmu
keterampilannnya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,maka ia wajib merujuk penderita
kepada dokter lain yang empunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
Seorang dokter dalam bekerjasama dengan pejabat dibidang kesehatandan bidang
lainnya serta masyarakat harus memelihara saling pengertian sebaik-baiknya.
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senatiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
Setiap dokter harus memelihara kesehatannyasupaya dapat bekerja dengan baik.
Etika Kedokteran
Etik berasal dari kata Yunani yang berarti ”yang baik” atau ”yang layak”. Ini
merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat. Yang dimaksud pekerjaan
profesi (profesio berarti pengakuan) antara lain adalah pekerjaan dokter, apoteker, dll.
Menurut kamus kedokteran : ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang
mengatur perilaku profesionalisme dokter.
Etik profesi yang tertua adalah etik kedokteran yang merupakan prinsip-prinsip
moral atau asas akhlak yang harus diterapkan oleh dokter dalam hubungan dengan
pasien, teman sejawatnya dan masyarakat umumnya.
Landasan etik kedokteran adalah :
1. Sumpah Hipokrates
2. Deklarasi Geneva
3. International Codes of Medical Ethics
4. Lafal Sumpah Dokter Indonesia
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia
6. Deklarasi Ikatan Dokter Sedunia
Medical Ethics adalah :
Code of behaviour : tata prilaku kelompok professional para pelaku dibidang medis
/ dokter .
Studi tentang nilai-nilai , moral , dan akhlak prilaku dokter.
Sesuai dengan prinsip dan pokok perilaku profesi seorang dokter .
Hubungan dokter-pasien = > hubungan antar sesama manusia
Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar sesama manusia. Oleh karena itu
mungkin saja terjadi perselisihan antara dokter-pasien. Sehingga perlu dibina
hubungan dokter dan pasien. Pada prinsipnya hubungan dokter dan pasien dapat
dibina bila masing-masing antar dokter dan pasien menjalankan hak dan kewajiban
antara mereka sendiri. Landasannya terdapat pada UU Kedokteran.
Hak dan kewajiban dokter :
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standard prosedur dan SOP serta
kebutuhan medis pasien
2. Merujuk pasien ke dokter dan orang yang dianggap lebih ahli.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah
pasien meninggal
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan
Hak dan kewajiban pasien
1. Meminta pendapat dokter dan orang lain
2. Menolak tindakan medis
3. Mendapatkan isi rekam medis
4. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
Hubungan dokter-pasien yang baik :
Etika Gawat-Darurat
Gawat Darurat yang sebenarnya adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan
pelayanan medik yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau.
Dalam pelayanan medik itulah para petugas kesehatan dituntut untuk benar-benar
menghayati dan mengamalkan etik profesinya karena dalam kondisigawat darurat
aspek psiko-emosional memegang peranan penting baik bagi penerima pelayanan
medik maupun bagi petugas kesehatan terkait.
2. Kaidah Dasar Bioetik
Kaidah dasar bioetik adalah landasan pertimbangan dalam mengambil keputusan oleh
dokter dalam bekerja. Kaidah dasar dasar bioetik juga merupakan kaidah dasar yang
harus dimiliki dokter sebelum melakukan tindakan medis.
ASPEK KAIDAH DASAR BIOETIK:
A.Non-Maleficence (darurat)
adalah tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih
pengobatan yang paling kecil resikonya bagi pasien dan memberikan yang paling
banyak manfaatnya bagi pasien sendiri.
Ciri-cirinya:
a.Menolong pasien emergency (darurat)
b.Mencegah pasien dari bahaya lebih lanjut
c.Manfaat pasienlebih besar dari kerugian dokter
B.Autonomy (Kemandirian)
Adalah menghormati hak pasien terutama dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
menghormati martabat manusia.
Ciri-cirinya :
a.Menghargai hak menentukan nasib sendiri
b.Berterus terang
c.Menghargai privasi pasien
d.Menjaga rahasia
e.Melaksanakan informed concern
C. Beneficence (berbuat baik)
Ciri-cirinya:
a. Altruisme terjaga (rela berkorban)
b.Menghormati martabat manusia
c. Mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga kesehatannya
d. bersikap ramah
General Beneficence = bersifat umum
Beneficence
Special Beneficence = contohnya : menolong orang cacat
D. Justice (Keadilan)
Ciri-cirinya:
a. Tidak tergantung SARA, social, ekonomi, budaya, dll
b.Hanya mementingkan kesehatan pasien
E. Primafacie yaitu memilih antar satu dari keempat kaidah dasar bioetik diatas
apabila ada dua kondisi atau lebih.
3. Perbedaan Kaidah Dasar Bioetik
Dalam hal ini dilihat pada saat dokter berada dalam kasus yang menyangkut dua
kaidah dasar atau lebih sehingga dokter harus melakukan prima-facie.
Beneficence :
- Keadaan pasien wajar
- Pada saat pasien banyak
- Keuntungan pasien lebih besar dari kerugian dokter
Nonmaleficence :
-Pada saat keadaan gawat darurat
-Terdapat pasien yang rentan, uzur, dll.
Autonomy :
- Apabila pasien dianggap kompeten (Mengerti penyakitnya,
berkepribadian matang)
Justice :
- Memberikan pelayanan yang sama
4. Latar belakang dan tujuan mempelajari Kaidah Dasar Bioetik
- Memahami dan mengerti agar mampu menerapkan Kaidah Dasar Bioetik sehingga
dapat membela diri dalam masalah hukum karena telah sesuai prosedur
- Menghasilkan dokter yang beretika sopan santun
- Agar reputasi dokter tidak jatuh
- Agar pelayanan kesehatan meningkat
5. Pelanggaran Kaidah Etik
Contoh – Contoh Pelanggaran Kaedah Dasar Bioetik
a. Pelanggaran kaidah Beneficence
Contoh pelanggaran beneficence yang terdapat pada kasus adalah ketika
menangani sang pasien gawat darurat , perawat yang tengah bertugas menangani
dengan tidak acuh dan terkesan biasa – biasa saja . Padahal , sesuai dengan aturan
beneficence , bahwa pelaku tindakan m edis harus bertindak ramah dan menolong
, bukan hanya sekedar menjalankan kewajiban saja. Contoh pelanggaran lainnya
antara lain : menarik honorarium diluar kepantasan ,tidak bertanggung jawab
terhadap pasien , dan memandang pasien hanya sebagai objek .
a. Pelanggaran kaidah non-maleficence
Contoh pelanggaran non-maleficence yang terdapat pada kasus ini adalah bahwa
dokter yang menangani pasien gawat darurat dating terlambat hingga tiga jam .
Hal ini membahayakan pasien . Contoh lainnya antara lain ;mencaci maki pasien ,
melakukan euthanasia ,atau melakukan kelalaian yang visa membahayakan
pasien.
a. Pelanggaran kaidah autonomy
Contoh pelanggaran autonomy antara lain ; merahasiakan diagnosa penyakit
pasien dari pasien itu sendiri , membocorkan rahasia pasien ,tidak melaksanakan
inform consent ,atau menyuruh pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat
keputusan .
a. Pelanggaran kaidah justice
Contoh pelanggaran justice antara lain ; membeda – bedakan pasien atas dasar
SARA , atau memberi pelayanan yang berbeda pada pasien dengan kasus yang
sama.
Dalam kasus 2 ”Dokter yang Lamban Menangani Pasien”, terjadi kaitan antara
etika kedokteran, hubungan dokter-pasien dan gawat-darurat. Penanganan dokter
dan kesehatan yang terkesan biasa-biasa saja.
Lamban dan tidak mengacuhkan, menjelaskan bahwa dokter tidak memiliki dan
mengamalkan etika kedokteran sesuai dengan landasan-landasannya. Dokter pun
tidak membina hubungan yang baik dengan pasien (dalam hal ini keluarga
pasien , karena pasien dalam kondisi kurang kompeten untuk menerima
informasi), sehingga tidak terjadi penyelesaian masalah dalam kasus ini dan
pasien pun tidak mendapat perlakuan baik, sebagai akibatnya pasien mengalami
kematian. Seharusnya dalam keadaan darurat pasien harus menerima pertolongan
secara cepat, tepat, bermutu dan terjangkau sesuai dengan kaidah bioetik
nonmaleficence.
Pelanggaran Etika Kedokteran:
1.Pelanggaran etik murni
menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari kelurga
sejawat dokter dan dokter gigi
mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya
Memuji diri sendiri di depan pasien
Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran bekesinambungan
Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri
2.Pelanggaran Etikolegal
pelayanan kedokteran di bawah standar
menerbitkan surat keterangan palsu
membukan rahasia
abortus provakatus
pelecehan seksual
6. Kompetensi Good Doctors
Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh dokter yang baik (good doctor), yaitu :
1.Good doctors make the care of their patients their first concern. Dokter yang
baik menjadikan perawatan terhadap pasiennya itu yang utama (patient’s
first).
2.Good doctors are competent. Dokter yang baik itu benar-benar ahli dan
menguasai bidangnya.
3.Good doctors keep their knowledge and skills up to date. Dokter yang baik
menjaga pengetahuan dan keahliannya agar selalu up to date, dan selalu
belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keahliannya itu agar dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi.
4.Good doctors establish and maintain good relationships with patients and
colleagues. Dokter yang baik itu membuat dan mempertahankan hubungan
yang baik terhadap pasien dan teman sejawatnya.
5.Good doctors are honest and trustworthy.Dokter yang baik adalah dokter yang
jujur dan dapat dipercaya.
6.Good doctors act with integrity.Dokter yang baik itu melakukan sesuatu dengan
integritas (dengan ketulusan hati ).
Sumber : www.gmc-uk.org
7.Pelanggaran kasus 2:
- Nonmaleficence : Karena dokter tidak mengutamakan pasien UGD (lamban)
- Beneficence: Karena dokter tidak melakukan yang baik
Namun, dalam kasus ini dokter dan pihak rumah sakit melanggar kaidah dasar bioetik
nonmaleficence, karena sesuai dengan contoh kasus pada buku Etika Kedokteran dan
Hukum Kesehatan karangan M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir yaitu Rumah sakit
dan atau seorang dokter yang menunda-nunda rawat inap penderita gawat darurat atau
menunda-nunda tindakan medik terhadap penderitanya atas alasan belum membayar
uang muka, berarti telah melanggar etik dan hukum sehingga dapat digugat di
pengadilan.
Agar tidak terjadi kasus seperti ini lagi maka:
-Pihak rumah sakit harus mempunyai SOP. SOP (Standar Operasional Prosedur)
adalah tata cara atau tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses kerja
tertentu yang dapat diterima oleh seorang yang berwenang atau yang
bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat penampilan atau kondisi
tertentu sehingga suatu kegiatan secara efektif dan efisien (Depkes RI, 1995).
-Tenaga medis harus mengetahui, memahami, mampu menerapkan Kaidah Dasar
Bioetik
-Dokter harus mengetahui kriteria Good Dokter
-Dokter harus mengetahui Hak dan Kewajiban Dokter-Pasien
-Dokter sebaiknya wajib mengetahui Etika Kedokteran
-Dokter diharuskan mengetahui Etika Dokter-Pasien, bagaimana berhubungan
dengan pasien
-Dan mengetahui sanksi apa saja yang didapat apabila melanggar Kaidah Dasar
Bioetik, danHukum. Sehingga dokter dapat lebih hati-hati dalam bekerja.
Apabila kasus seperti ini terjadi maka pihak korban dapat melaporkan dokter dan
rumah sakit kepada yang berwenang. Jika dokter adalah dokter tetap dan dirumah
sakit ada SOP maka dokter berhubungan dengan MKEK. Jika tidak ada SOP
maka rumah sakit melanggar hukum. Dan jika dokter tidak tetap, maka dokter
tidak melanggar peraturan hanya rumah sakit yang dituntut.
C. Daftar Pustaka :