Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan...

242
Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris, dan Prancis Lakso Anindito Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi Bambang Widjojanto Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat? Andreas Nathaniel Marbun Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian Hariman Satria Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia Refki Saputra Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi Gunardi Endro Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap Raden Diky Dermawan Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi Antoni Putra Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Putusan Nomor: 127/PID. SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST) Aradila Caesar Ifmaini Idris Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective Denny Indrayana 03

Transcript of Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan...

Page 1: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

Nomor 1, Maret 2017

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris, dan Prancis L a k s o A n i n d i t o

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di KorporasiB a m b a n g W i d j o j a n t o

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?A n d r e a s N at h a n i e l M a r b u n

Ke Arah Pergeseran Beban PembuktianH a r i m a n S at r i a

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di IndonesiaR e f k i S a p u t r a

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan KorupsiG u n a r d i E n d r o

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, CilacapR a d e n D i k y D e r m a w a n

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi A n t o n i P u t r a

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Putusan Nomor: 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST)A r a d i l a C a e s a r I f m a i n i I d r i s

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s PerspectiveD e n n y I n d r aya n a

03

Page 2: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

Jalan HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta 12920, Telp: (021) 2557 8300

CALL FOR PAPERSDigagas dan terbit pertama kali di tahun 2015, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS lahir untuk merespons kebutuhan para stakeholder antikorupsi terutama akademisi, yang membutuhkan wadah untuk mengkomunikasikan hasil penelitian atau kajian ilmiahnya. KPK memahami potensi besar para mahasiswa, akademisi dan peneliti yang mampu melahirkan pemikiran dan gagasan yang segar. Latar belakang keilmuan yang dimiliki masyarakat akademik, sudah selayaknya dapat menjadi bekal untuk menciptakan karya ilmiah yang mencerahkan.

Untuk Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS mencari artikel atau tulisan dengan subyek sebagai berikut:

1. Kajian teoretis dan konseptual mengenai persoalan korupsi dan pemberantasan korupsi

2. Hasil penelitian empiris dengan tema “Korupsi Korporasi”

3. Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

4. Resensi Buku

SYARAT DAN KETENTUAN1. Naskah yang dikirim merupakan karya ilmiah original, hasil

pemikiran atau hasil riset empiris dan tidak mengandung unsur plagiarism

2. Artikel yang dikirim belum pernah dipublikasikan sebagian atau seluruhnya di jurnal lain, media cetak,buku, hand out, atau seminar

3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia, terdiri dari 5.000-8.000 kata maksimal 20 halaman (dalam format Word)

4. Artikel dikirim selambat-lambatnya pada tanggal 20 April 2017, artikel yang lolos seleksi akan diberitahukan paling lambat 31 Mei 2017

5. Hak penerbitan dan publikasi atas artikel yang terpilih menjadi hak milik Komisi Pemberantasan Korupsi

6. Penulis harus mengirimkan artikel dalam file Word (.doc,.docx atau .rtf) dan identitas penulis (CV) melalui e-mail yang ditujukan kepada: [email protected]

PEDOMAN PENULISAN1. Menggunakan tipe huruf Times News Roman ukuran font 12 ,

dengan spasi 1,5. Ukuran kertas yang digunakan adalah A4 (210 mm x 297 mm) menggunakan format satu kolom, dan margins: last custom (top 2,5 cm; left 2,5 cm; bottom 2,5 cm; right 2,5 cm).

2. Naskah ditulis dalam format jurnal dengan sistem bariskredit (byline)

3. Abstrak/sinopsis tidak lebih dari 400 kata. Ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), diikuti dengan sedikitnya 4 kata kunci (keywords).

4. Daftar Pustaka memuat sumber yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini.

5. Informasi pedoman penulisan secara lengkap dapat diakses melalui tautan berikut: http://acch.kpk.go.id/jurnal-integritas

Kajian Ilmu Hukum termasuk: Hukum Pidana; Hukum Administrasi Negara; Hukum Tata Negara; Hukum Perdata (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Kajian Ilmu Ekonomi termasuk: Ekonomi Makro/Mikro (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Kajian Ilmu Administrasi termasuk : Administrasi Negara/Publik; Administrasi Bisnis; Administrasi Pembangunan; Otonomi Daerah; Pelayanan Publik; Kebijakan Publik; Good Corporate Governance (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Moneter/Fiskal/Perbankan; Kemiskinan/Industri/Ketenaga-ker jaan (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Kajian Ilmu Sosiologi, Politik serta Antropologi: Ilmu Sosiologi; Ilmu Politik; Ilmu Kriminologi (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial; Ilmu Antropologi (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Kajian Ilmu Manajemen termasuk: Operasional; Keuangan/Pasar Modal; Sumberdaya Manusia (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Kajian Ilmu Akuntansi termasuk: Akuntansi Keuangan; Akuntansi Manajemen; Akuntansi Pemerintahan; Auditing (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)

BIDANG KAJIANMengingat kajian terkait Korupsi ini multidisipliner, maka Call for Papers ini tidak membatasi bidang kajian.

Namun periset dapat menyajikan sesuai bidang keahliannya, yang di antaranya adalah:

Untuk Informasi lebih lanjut, kunjungi: http://acch.kpk.go.id/

Page 3: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Page 4: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS adalah Jurnal Ilmiah Berkala yang memuat artikel hasil penelitian maupun artikel konseptual di bidang ilmu pengetahuan antikorupsi. Jurnal diterbitkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.

Diterbitkan oleh: KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Jalan Kuningan Persada Kav. 4 Jakarta 12950. Telp: (021) 2557 8300 e-mail: [email protected]

Penanggung Jawab :Pimpinan KPK

Pemimpin Redaksi: Laode M. Syarif Sekretaris Redaksi:Angela Ayu Kuswardhani Redaktur Pelaksana:Pahala NainggolanR. Bimo Gunung Abdul Kadir Dr. B. Herry Priyono Feri Amsari, SH, MH Ahmad Khoirul Umam, MAGV Fachru Nofrian, DEA Hendi Yogi Prabowo, MforAccy, Suwarsono Mitra Bestari:Prof. Dr Ningrum Natasya Sirait SH, Mli Prof.Dr.Saldi Isra, SH, MPA Pengelola/Penyunting:Febri DiansyahYuyuk Andriati Iskak Zulkarnain Meinardy Budi Prasetyo Lufti Avianto Indah OS Aida Ratna Zulaiha Indira Malik Hani Mairina Matan Dian Novianthi Adhi Setyo Tamtomo

Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis, dan tidak mewakili

pandangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Page 5: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

iii

Daftar Isi

Pengantar Redaksi ...............................................................................v

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris, dan Prancis ...................................................... 1Lakso Anindito

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi .......................... 31Bambang Widjojanto

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat? .........................................53Andreas Nathaniel Marbun

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian ...........................................87Hariman Satria

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia .........................................................115Refki Saputra

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi ................................................................................ 131Gunardi Endro

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap ....................................... 153Raden Diky Dermawan

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi ......................................................................... 173Antoni Putra

Page 6: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

iv Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Putusan Nomor: 127/Pid.sus/Tpk/2015/Pn.jkt.pst) .......... 191Aradila Caesar Ifmaini Idris

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective ..................................................................215Denny Indrayana

Page 7: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

v

P e n g a n t a r R e d a k s i

Korporasi Harus Bertanggung Jawab

Seiring berjalannya waktu, pelan tapi pasti Jurnal Integritas KPK menyapa lagi pembaca yang budiman pada Vol 3. Edisi 1 tahun 2017. Berbeda dengan Volume sebelumnya, kali ini Jurnal INTEGRITAS menampilkan topik utama tentang Korupsi di Sektor Swasta dan Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi (Corporate Criminal Liability). Topik ini dirasa perlu untuk dibahas secara khusus karena sangat sedikit literatur yang membahas masalah corporate criminal liability padahal keberadaan pertanggungjawaban korporasi telah diakui dan tersebar dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti: (i) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (ii) UU Kehutanan, (iii) UU Tindak Pidana Korupsi, (iv) UU Tindak Pidana Pencucian Uang, (v) UU Perikanan; dan sejumlah Peraturan Perundangan-Undangan lainnya. Sayangnya sampai dengan sekarang sangat sedikit korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang mereka lakukan.

Patut disayangkan karena pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dikenakan pada segelintir perusahaan dan kebanyakan hanya pada sektor lingkungan hidup. Menurut catatan yang terdapat dalam direktori putusan Mahkamah Agung, salah satu contoh penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di sektor lingkungan hidup diawali pada kasus pembakaran hutan PT Adei Plantation yang kemudian disusul dengan sejumlah kasus lingkungan lainnya. Salah satu kasus yang dianggap fenomenal adalah kasus PT Kallista Alam dimana hakim menghukum dengan total denda Rp 366 milyar. Putusan fenomenal tersebut disusul dengan putusan yang lebih dahsyat lagi dalam putusan PT National Sago Prima (anak perusahaan PT Sampoerna Agro) yang sampai dengan ditulisnya artikel ini masih dalam proses banding, baik dalam gugatan perdata maupun tuntutan pidana. Yang jelas dalam gugatan perdata yang dilayangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,

Page 8: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

vi Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menghukum PT National Sago Prima dengan ganti rugi lebih dari Rp 1 trilyun. Sekarang kita sedang menunggu babak akhir dari proses hukum yang sedang berjalan. Sayangnya putusan-putusan yang progresif di bidang lingkungan hidup tidak diikuti dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Sampai dengan hari ini, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap di bidang tanggung jawab pidana korporasi untuk tindak pidana korupsi hanya satu kasus yakni kasus PT Giri Jaladhi Wana yang dendanya hanya Rp 1,3 milyar, padahal banyak sekali perusahaan yang menyuap pejabat negara. Kenyataan seperti ini patut disayangkan karena hanya pengurus korporasi yang dikenai tanggung jawab pidana sedangkan korporasinya sendiri melenggang dengan bebas. Kenyataan seperti ini juga bertolakbelakang dengan praktik di negara-negara lain seperti Singapore, Malaysia, Hongkong, Inggris, USA dan negara-negara lain.

Sadar akan ketimpangan tersebut, KPK bekerjasama dengan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri telah berhasil merumuskan tata cara penegakan hukum pidana korporasi yang dirumuskan dalam Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini diharapkan dapat memudahkan aparat penegak hukum (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan memutus perkara-perkara yang melibatkan korporasi. Kehadiran Perma ini juga diharapkan dapat memberikan ‘early warning’ pada korporasi agar tidak lagi melakukan penyuapan kepada pejabat publik di negeri ini, karena aparat penegak hukum telah memiliki ‘guidance’ yang lengkap untuk menjerat korporasi yang nakal.

Seiring dengan perkembangan yang menggembirakan ini, Jurnal ini berupaya menghadirkan sejumlah artikel yang membahas tentang korupsi di sektor swasta dan pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagaimana dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Lakso Anindito yang membahas “perbandingan lingkup tindak pidana korupsi dan pembuktian kesalahan korporasi di Indonesia, Inggris dan Perancis”, dan artikel Bambang Widjojanto yang membahas “relasi korupsi korporasi dan korupsi politik di Indonesia”. Masih dalam lingkup korporasi, Andreas Nathaniel Marbun membahas secara khusus “kemungkinan menjerat suap di sektor swasta” karena

Page 9: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

vii

sampai hari ini UU Tipikor kita masih belum jelas soal korupsi di sektor swasta padahal di negara-negara lain korupsi yang dilakukan oleh sesama sektor swasta juga dapat dipidana.

Selanjutnya, Jurnal Vol 3 Edisi 1 tahun 2017 ini juga memuat artikel yang ditulis oleh Hariman Satria yang secara khusus membahas “beban pembuktian (burden of proof) dalam tindak pidana korupsi” dan disusul dengan artikel yang tak kalah menarik yang ditulis oleh Refki Saputra yang membahas secara khusus norma-norma yang terdapat dalam RUU Perampasan Aset yang sampai hari ini belum dibahas di DPR. Dia berharap bahwa RUU tersebut juga akan memuat norma-norma universal dalam perampasan aset yang dikenal dengan “non-conviction based asset forfeiture”.

Disamping artikel-artikel di atas, edisi 1 tahun 2017 juga memuat sejumlah artikel yang berhubungan dengan upaya-upaya pencegahan korupsi, seperti yang ditulis oleh Gunardi Endro yang mempertanyakan “makna integritas dan pertentangannya dengan korupsi”. Disamping itu, Raden Diky Dermawan mengulas dengan apik soal ‘peran jejaring aktor dalam mencegah korupsi di sektor sumber daya alam, khususnya di kawasan Segara Anakan Cilacap”, yang kemudian disusul dengan tulisan Antoni Putra yang membahas secara spesifik ‘pentingnya penguatan tata kelola dan transparansi informasi publik di perguruan tinggi”.

Dua artikel terakhir, agak berbeda sifatnya dengan artikel-artikel di atas karena satu mengeksaminasi kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan dimana Aradila Caesar Ifmaini Idris secara khusus meneliti dengan seksama “Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1A Jakarta Pusat dengan terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/ 2015/PN.JKT.PST). Sebagaimana suatu eksaminasi, tulisan ini melihat penerapan teori, prinsip, dan norma hukum pidana dalam putusan pengadilan”. Sedang artikel terakhir menceritakan pengalaman Denny Indrayana dalam “mendampingi Presiden SBY dalam mengawal kebijakan-kebijakan dan upaya-upaya pemberantasan korupsi”. Artikel ini ditulis dalam bahasa Inggris dan hal ini juga sesuai dengan visi-misi dewan redaksi Jurnal Integritas karena di masa mendatang, jurnal ini diharapkan terbit dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris).

Page 10: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

viii Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Sebagai Pemimpin Redaksi, saya bersyukur dan berterima kasih karena kontributor dari artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini, cukup beragam karena disumbangkan oleh akademisi, praktisi dan aktivis antikorupsi. Dari segi sebaran wilayah, artikel-artikel yang hadir juga hampir mewakili keragaman nusantara. Disamping itu, dari segi fokus yang mengangkat korupsi di sektor swasta dan tanggung jawab pidana korporasi makin menguatkan tekad KPK bahwa korporasi harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka jika melakukan tindak pidana korupsi.

Saya juga berharap kiranya para kontributor dapat lebih beragam di masa yang akan datang dan sekurang-kurangnya dapat mewakili setiap kajian antikorupsi yang ada di setiap perguruan tinggi sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Anti Corruption Summit 2016 di Jogjakarta. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada para penulis, Redaktur Pelaksana, Mitra Bestari, Sekretaris Redaksi, Pengelola/Penyunting dan pada semua pihak yang telah membantu terbitnya edisi ini.

Salam Antikorupsi

Laode M SyarifPemimpin Redaksi

Page 11: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

1

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris, dan Prancis

Lakso Anindito

Direktorat PJKAKI Komisi Pemberantasan Korupsi

[email protected]

A B S T R A K

Tulisan ini akan membahas lingkup tindak pidana korupsi dan kesalahan dari korporasi berdasarkan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Masih minimnya kajian terkait pembuktian kesalahan korporasi khususnya pada kasus korupsi merupakan salah satu alasan masih minimnya penggunaan pendekatan pertanggungjawaban pidana korporasi. Pembuktian kesalahan korporasi merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menentukan pertanggungjawaban

Page 12: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

2 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

pidana korporasi sehingga menjadi hal yang masih terus didiskusikan baik oleh para ahli maupun penegak hukum. Selain itu, UU Tindak Pidana Korupsi tidak secara langsung menyebutkan jenis-jenis delik yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga perlu upaya penafsiran dari penegak hukum. Bagian pertama tulisan ini akan membahas mengenai lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi. Sedangkan, bagian kedua tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana pembuktian kesalahan korporasi pada kasus korupsi. Sebagai perbandingan, penulis memilih Prancis dan Inggris dalam mengkaji dua isu tersebut dengan alasan bahwa kedua negara tersebut merupakan negara yang meletakkan pondasi pada perkembangan civil law dan common law.

Kata Kunci: Kesalahan, Lingkup Tindak Pidana Korupsi, Korporasi, Code Pénal Français, UK Bribery Act 2010 dan UU Tindak Pidana Korupsi.

A B S T R A C T

This paper examines scope of offences and culpability of corporation for corruption offences based on corporate criminal liability concept and regulations. Among law enforcement officers and experts in Indonesia, culpability of corporation is very important issue to determine criminal liability of corporation that has made law enforcement officers reluctant to prosecute legal person particularly if that crimes related with corruption. Moreover, although Indonesia Eradication Corruption Act regulates corporate criminal liability, this law is not mentioning the scope of offences directly that legal person could be liable. First part of this paper elaborates corruption offences that might apply to corporation based on regulation and statutory interpretation methods. Second part of this paper examines how imposing culpability of corporation in corruption offences. This paper also compares both United Kingdom and French Law on imposing corporate criminal liability from common law and civil law traditions perspective.

Keywords: Culpability, Scope of Corruption Offences, Corporation, Code Pénal Français, UK Bribery Act 2010, Indonesia Eradication Corruption Act

Page 13: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

3

P E N D A H U L U A N

Pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia telah digunakan sejak 1951 dengan adanya UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Untuk tindak pidana korupsi telah diakui bahkan sebelum pembentukan United Nations Convetion Against Corruption melalui UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi). Permasalahannya, sampai hari ini, baru terdapat satu kasus tindak pidana korupsi yang menggunakan pendekatan pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu kasus PT Giri Jaladhi Wana. Permasalahan yang kerap timbul adalah terkait hukum acara, lingkup tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban terhadap korporasi dan pembuktian kesalahan korporasi. Hukum acara terkait teknis tata cara pemeriksaan pada proses penegakan hukum korporasi baik dalam tahap penyidikan, penuntutan sampai dengan putusan pengadilan juga belum ada sehingga dibutuhkan pedoman. Sedangkan, lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan oleh korporasi dan tidak dilakukan oleh korporasi. UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebagaimana Code Pénal Français di Prancis tidak menyebutkan secara detail dalam satu pasal bentuk-bentuk tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi sebagaimana UK Bribery Act 2010 di Inggris. Hal tersebut terkadang menimbulkan kesalahpahaman dari penegak hukum bahwa semua bentuk tindak pidana dalam UU Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan oleh korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Persoalan ini menyulitkan identifikasi awal pada saatmelakukan penyelidikan dan penyidikan serta kesulitan dalam penggunaan pasal saat penyusunan surat dakwaan dan tuntutan pada tahap persidangan.

Pembuktian kesalahan korporasi merupakan isu lain yang menjadi kendala dalam penegakan hukum karena adanya perbedaan bentuk kesalahan korporasi berdasarkan beberapa teori. Hal tersebut memiliki peran penting pada saat persidangan sehingga menjadi jelas terkait sejauh mana penuntut umum harus membuktikan dan

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 14: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

4 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

hal yang perlu diperhatikan hakim dalam menemukan kesalahan korporasi pada saat proses pembuktian sebagai dasar dari putusan. Terlebih terdapat kecenderungan adanya pencampuradukan berbagai pendekatan teori kesalahan korporasi pada praktek penegakan hukum sehingga berpotensi menambah beban penuntut umum dalam proses pembuktian. Hal tersebut menjadi salah satu sebab minimnya korporasi yang dimajukan sebagai terdakwa. Terlebih hukum pidana di Indonesia masih mengkuti doktrin “Geen Straf Zonder Schuld” sehingga kesalahan korporasi mempunyai fungsi penting dalam pemidanaan korporasi di Indonesia.

Penulisan ini akan lebih memfokuskan pada pembahasan lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi dan pembuktian kesalahan korporasi sehingga dapat menjadi salah satu referensi untuk mendukung proses penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi dengan pelaku korporasi di Indonesia. Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa saat ini terdapat upaya dari Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan acara yang akan diatur melalui peraturan Mahkamah Agung. Sebagai perbandingan akan ditampilkan juga bagaimana perkembangan dua isu tersebut di Inggris dan Prancis.

M E T O D E P E N E L I T I A N

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif berdasarkan berbagai referensi tertulis, putusan, buku, jurnal dan peraturan perundangan baik dalam maupun luar negeri. Adapun metode penafsiran terkait regulasi yang digunakan adalah penafsiran secara semiotik (semiotic/literal Interpretation) dan sistematis (systematic interpretation). Penafsiran secara semiotik dilakukan dengan membatasi penafsiran terbatas pada susunan kata pada legislasi tersebut, sebagaimana diungkapkan Markus Rehberg terkait penafsiran legislasi menurut tradisi civil law (Rehberg, 2010: 8) sebagai berikut:

“….The wording is starting point as well as the barrier for interpretation...”

Sedangkan, penafsiran sistematis dilakukan dengan melihat hubungan antar pasal maupun legislasi lain yang berlaku secara keseluruhan dalam suatu sistem hukum (Rehberg, 2010: 8) sebagai berikut:

“…Many Rule can only be understood with regard to other provisions…”

Page 15: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

5

Berdasarkan pendekatan tersebut, hal yang dilakukan adalah dengan menghubungkan penafsiran secara semiotik melalui penggunaan pendefinisian lingkup subjek. Lebih lanjut, penafsiransecara sistematis dilakukan dengan menghubungkan penggunaan subjek pelaku yang digunakan dalam delik dalam UU Tindak Pidana Korupsi maupun undang-undang lain yang terkait.

Pemilihan objek penelitian selain Indonesia adalah Prancis dan Inggris. Pemilihan tersebut didasarkan pada studi sejarah yang dilakukan bahwa Inggris merupakan negara yang menjadi referensi utama dalam perkembangan aliran common law (Head, 2012, 361-364 ) serta merupakan negara awal yang mengakui mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi (OECD, 2015: 18). Sedangkan, Prancis merupakan pusat perkembangan civil law (Head, 2012, 91-92) dimana hukum pidana Indonesia sangat terpengaruh. Selain itu, Prancis termasuk negara awal selain Belanda yang mengadopsi penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi (Wagner, 1999: 5).

P E M B A H A S A N

Lingkup Tindak Pidana Tidak seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada Korporasi. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan Inggris dan Prancis yang juga membatasi tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada Korporasi.

Kerajaan Inggris mengatur tindak pidana korupsi secara khusus dalam United Kingdom Bribery Act 2010 (UK Bribery Act 2010). Lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban diatur secara khusus dalam Section 7 UK Bribery Act 2010 berupa tindak pidana penyuapan (offences of bribing another person) sebagaimana diatur dalam Section 1 UK Bribery Act 2010 dan tindak pidana penyuapan yang terkait dengan penyelenggara negara lain (Bribery of foreign public officials) sebagaimana diatur dalam Section 6 UK Bribery Act, sebagaimana diatur dalam Section 7 (1) (a) UK Bribery Act 2010 sebagai berikut:

“For the purposes of this section, A bribes another person if, and onlyif,A—(a)is,orwouldbe,guiltyofanoffenceundersection1or6(whetherornotAhasbeenprosecutedforsuchanoffence)”

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 16: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

6 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Colin Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et al, 2011: 95) yang menyatakan:

“Section7providesinrespectofA’soffencesthat:Itmustamounttoasection1orsection6offence,i.e.anactivegeneralbriberyoffencesorbriberyofaforeignpublicofficial…”

Pendekatan tersebut berbeda dengan Prancis yang belum secara khusus mempunyai undang-undang pemberantasan tindak pindana korupsi. Tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain terkait korupsi di Prancis masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Prancis (Code Pénal Français) yang terdiri dari tindak pidana Korupsi berupa penyuapan baik pasif dan aktif (corruption), perdagangan pengaruh (influence peddling), mendapatkan manfaat secara ilegal (illegal taking of interest) dan keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public procurement) (Marsigny, 2016). Khusus untuk kejahatan yang dilakukan Korporasi, tidak seperti Inggris yang menyebutkan secara spesifik dalam salah satu pasal,Prancis membuka bahwa seluruh tindak pidana yang terdapat dalam Code Pénal Français sesuai Article 121-2 Code Pénal Français dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada Korporasi selama memenuhi kriteria pertanggungjawaban, yaitu:

“Les personnes morales, à l’exclusion de l’Etat, sont responsables pénalement, selon les distinctions des articles 121-4 à 121-7, des infractions commises, pour leur compte, par leurs organes ou représentants……”

(Legal persons, with the exception of the State, are criminally liablefortheoffencescommittedontheiraccountbytheirorgansorrepresentatives, according to the distinctions set out in articles 121-4 and 1217)

Akan tetapi, secara teori, Korporasi dikecualikan terhadap tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang sebagai manusia (Natural Person) (Chance, 2012, 10) sebagai berikut:

“In theory, a corporate entity can commit any offence exceptforoffenceswhich,bytheirverynature,canonlybecommittedbynatural persons.”

Berdasarkan hal tersebut maka tindak pidana korupsi yang dapat dan dimintakan pertanggungjawaban terhadap korporasi melingkupi:a. Tindak pidana Korupsi berupa penyuapan (corruption)

sebagaimana diatur dalam Articles 433-1 dan 435-3 (aktif) serta

Page 17: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

7

Articles 432-11 and 435-1 (pasif) Code Pénal Français;b. Perdagangan pengaruh (influence peddling/trafic d’influence)

sebagaimana diatur dalam Article 432-11 Code Pénal Français dan Articles 435-2 and 435-4 Code Pénal Français;

c. Mendapatkan manfaat secara ilegal (illegal taking of interest/De la prise illégale d’intérêts) sebagaimana diatur dalam Article 432-12 dan 432-13 Code Pénal Français; dan

d. Keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public procurement/Des atteintes à la liberté d’accès et à l’égalité des candidats dans les marchés publics et les délégations de service public) sebagaimana diatur dalam Article 432-14.Akan tetapi, seluruh tindak pidana tersebut khususnya untuk

tindak pidana dengan pelaku penyelenggara negara terdapat pengecualian terhadap negara serta pembatasan pertanggungjawaban pidana kepada otoritas publik dengan detail yang akan dibahas pada bagian pembuktian kesalahan.

UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang hampir serupa dengan Prancis yang tidak menjabarkan dalam satu pasal tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada Korporasi sehingga dibutuhkan penafsiran secara semiotik (semiotic/literal Interpretation) dan sistematis (systematic interpretation) untuk menentukan suatu tindak pidana dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh korporasi sebagaimana dibahas pada bagian metode penelitian.

Berdasarkan pendekatan tersebut, hal yang dilakukan adalah dengan menghubungkan penafsiran secara semiotik melalui penggunaan pendefinisian lingkup subjek. Lebih lanjut, penafsiransecara sistematis dilakukan dengan menghubungkan penggunaan subjek pelaku yang digunakan dalam delik dalam UU Tindak Pidana Korupsi maupun undang-undang lain yang terkait. Pasal 1 Angka 1 UUTindakPidanaKorupsimendefinisikankorporasisebagaiberikut:

“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

Definisi tersebut membuat adanya perluasan objek yang tidakhanya meliputi perusahaan dengan bentuk badan hukum dan bukan badan hukum, tetapi juga perkumpulan atau badan bukan perusahaan baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Artinya termasuk juga organisasi seperti yayasan. Lebih lanjut, Korporasi dalam Pasal

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 18: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

8 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

1 Angka 3 UU Tindak Pidana Korupsi dimasukkan dalam salah satu definisidari“Setiaporang”yangdidefinisikansebagaiberikut:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”

Berdasarkan definisi tersebut, maka apabila kita hubungkansecara sistematis antar pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi maka tindak pidana yang memasukkan “Setiap orang” sebagai bagian dari delik adalah: a) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara; b) Penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara; c) pemberian suap; dan d) pemberian hadiah karena jabatan; dan ketentuan undang-undang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 13 dan Pasal 14 UU Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, termasuk juga pembantuan atau permufakatan jahat yang dilakukan sehingga terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 15 dan Pasal 16 UU Tindak Pidana Korupsi. Lebih lanjut, termasuk juga tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi yaitu: mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi serta tidak memberikan atau memberikan keterangan secara tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi walaupun keterangan korporasi belum diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sehingga pasal tersebut belum relevan digunakan saat ini.

Apabila kita lanjutkan penafsiran tersebut secara sistematis maka tidak seluruh tindak pidana yang pada deliknya menyebutkan “Setiap orang” dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi. Hal tersebut dikarenakan tidak seluruh perbuatan tersebut dapat dilakukan oleh korporasi.

Perbuatan penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Delik tersebut diatur dalam Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

Page 19: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

9

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Unsur jabatan atau kedudukan dalam delik tersebut merupakan sesuatu yang melekat pada orang sebagai manusia (natural person) bukan pada korporasi karena korporasi tidak dapat memiliki jabatan atau kedudukan. Hal tersebut selaras dengan penjelasan Indrianto Seno Adji bahwa terkait pasal dengan rumusan penyalahgunaan kewenangan tersebut berhubungan dengan penafsiran yang harus dikaitkan dengan lapangan hukum tata usaha negara dan hukum perdata karena kaitannya dengan jabatan yang dilakukan dalam posisinya dalam konteks penyalahgunaan kewenangan (Seno Adji, 2006, 425- 426). Untuk itu, walaupun “Setiap orang” dalam terdapat dalam unsur delik tersebut tetapi korporasi tidak dapat dimasukkan dalam kualifikasi delikmengingat pembatasan pada frase “karena jabatan atau kedudukan” .

Tidak jauh berbeda adalah ketentuan tindak pidana lain terkait pebuatan curang yang terdiri dari setiap orang yang bertugas mengawasi tetapi sengaja membiarkan perbuatan curang terjadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

“…… b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dalam kondisi tertentu pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap korporasi.”

Pada delik tersebut frase “bertugas mengawasi” yang merupakan adopsi dari Pasal 388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terasosiasi pada orang manusia yang secara jabatan atau didelegasikan untuk melakukan pengawasan. Walaupun, apabila hanya digunakan penafsiran secara Semiotik maka berpotensi tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh Korporasi dalam beberapa kondisi. Misalnya,

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 20: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

10 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dalam kondisi tugas pengawasan pembangunan atau penyerahan bahan bangunan dalam kontrak diserahkan sepenuhnya kepada pihak ketiga dalam bentuk korporasi yang memang secara profesional mempunyai bisnis melakukan pengawasan pembangunan. Akan tetapi, terkait penafsiran tersebut berpotensi menyebabkan perbedaan di kalangan ahli.

Tabel 1. Perbandingan Antara UK Bribery Act 2010, Code Pénal Français dan UU Tindak Pidana Korupsi Terkait Lingkup Tindak Pidana yang Dapat Dilakukan dan Dimintakan Pertanggungjawaban kepada Korporasi

UK BRIBERY ACT 2010

CODE PÉNAL FRANÇAIS UU TINDAK PIDANA KORUPSI

a. Tindak pidana penyuapan (offences of bribing another person) sebagaimana diatur dalam Section 1; dan

b. Tindak pidana penyuapan yang terkait dengan penyelenggara negara lain (Bribery of foreign public officials) sebagaimana diatur dalam Section 6.

a. Tindak pidana Korupsi berupa penyuapan (corruption) sebagaimana diatur dalam Articles 433-1 dan 435-3 (aktif) serta Articles 432-11 and 435-1 (pasif). Khusus untuk pasif, secara umum dikenakan terhadap tindak pidana dengan pelaku penyelenggara negara dalam bentuk orang karena merupakan delik untuk penyelenggara negara, walaupun otoritas publik dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kondisi tertentu yang akan dibahas di bagian pembuktian kesalahan;

b. Perdagangan pengaruh (influence peddling/trafic d’influence) sebagaimana diatur dalam Article 432-11 dan Articles 435-2 and 435-4;

c. Mendapatkan manfaat secara ilegal (illegal taking of interest/De la prise illégale d’intérêts) sebagaimana diatur dalam Articles 432-12 dan 432-13; dan

d. Keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public procurement/Des atteintes à la liberté d’accès et à l’égalité des candidats dans les marchés publics et les délégations de service public) sebagaimana diatur dalam Article 432-14.

a. Perbuatan melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 2;

b. Pemberian suap kepada penyelenggara negara, PNS, hakim atau advokat sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 dan Pasal 6;

c. Pebuatan curang yang terdiri dari setiap orang yang melakukan perbuatan curang dalam keadaan perang sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a dan c;

d. Pemberian hadiah karena jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13; dan

e. Ketentuan undang-undang lain yang memasukan suatu tindak pidana sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 selama dapat dilakukan oleh korporasi.

Catatan: selain kelima tindak pidana ini terdapat juga tindak pidana yang terkait dengan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 21.

Selain penjabaran diatas yang dilakukan penelaahan secara semiotik terhadap delik dengan pembatasan “Setiap orang” dan penyesuaian secara sistematis dengan pasal lain, masih terdapat satu delik terkait pemborong dan penjual bangunan yang dapat memasukkan Korporasi sebagai subjeknya, yaitu sebagaimana

Page 21: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

11

tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :

“…..a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.”

Frase pemborong dan penjual bahan bangunan dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan oleh Korporasi pada praktek sehari-hari sehingga merupakan tindak pidana yang dapat dilakukan dan oleh Korporasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka apabila dibandingkan antara UK Bribery Act 2010 dan UU Tindak Pidana Korupsi terdapat pembandingan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.

Berdasarkan penjelasan dan Tabel 1 tersebut terdapat perbedaan pengaturanmengenaikualifikasitindakpidanayangdapatdilakukandan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi di Inggris, Prancis dan Indonesia. Perbedaan tersebut baik terkait model pengaturan delik dan maupun substansi deliknya, tetapi dengan kesamaan bahwa delik tersebut haruslah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi bukan delik yang hanya dapat dilakukan oleh manusia.

K E S A L A H A N K O R P O R A S I

Persoalan mengenai pembuktian kesalahan terhadap korporasi merupakan persoalan yang masih terus berkembang sampai saat ini. Pembahasan mengenai kesalahan menjadi sangat penting karena secara umum hukum pidana di Indonesia mensyaratkan adanya kesalahan sebagai elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana (Hiarej, 2015, 153). Sebagaimana diketahui bahwa menurut H.B. Vos terdapat 3 (tiga) unsur utama dari kesalahan sebagaimana dikuti Eddy O.S. Hiarej dalam penjelasan elemen dari kesalahan (Hiarej, 2015, 162), yaitu:a. Dapat dipertanggungjawabkan pelaku (Toerekeningsvatbaarheid

van de dader);b. Hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya yang biasanya

dalam bentuk sengaja atau alpa (Een zekere psychische verhouding

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 22: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

12 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

van de dader tot heit feit, die kan zijn of opzet of schuld in engere zin); dan

c. Tidak ada dasar-dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya (Het niet aanwezig zijn van gronden, die de toerekenbaarheid van het feit aan de dader uitsluiten).

Dari ketiga elemen tersebut, tulisan ini akan lebih fokus pada elemen kedua dari kesalahan yaitu terkait pembuktian hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya. Hal tersebut karena masih kuatnya berlaku asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” dalam praktek hukum pidana di Indonesia. Walaupun demikian, secara teori, tidak seluruh pertanggungjawaban pidana korporasi harus membuktikan kesalahan. Di sisi lain, perlu dipahami bahwa bentuk kesalahan korporasi dalam beberapa kondisi dapat berbeda dengan bentuk kesalahan pada tindak pidana yang dilakukan orang sebagai manusia (natural person).

V.S. Khana membagi secara umum bahwa terdapat pertanggungjawaban pidana korporasi yang membutuhkan pembuktian kesalahan dan tidak perlu pembuktian kesalahan (Khana, 1996: 11). Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi tidak selalu perlu membuktikan hubungan antara mens rea dengan actus reus, seperti legislasi yang secara tegas menggunakan pendekatan pertanggungjawaban pidana koporasi dengan pendekatan strict liability. Sedangkan, untuk pertanggungjawaban pidana korporasi yang membutuhkan pembuktian hubungan antara mens rea dengan actus reus, V.S. Khana, Profesor Hukum di Michigan University, dalam tulisan salah satu tulisan doktoralnya di Harvard Law School membagi secara umum menjadi 2 (dua) pendekatan untuk menyederhanakan variasi mens rea yang banyak. Hal tersebut sebagaimana pendapat Laufer yang dikutip V.S. Khana (Khana, 1996: 16) sebagai berikut:

“for instance, Federal Legislation, as Laufer notes, provides more than 100 types of mens rea, including over 20 formulations of “willfulness” it self.”

Adapun dua bentuk tersebut adalah mens rea dengan pelaku tunggal (The Single Actor Mens Rea Standard) dan kolektif mens rea (The Collective Mens Rea Standard). Pada pendekatan pertama,

Page 23: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

13

mens rea pelaku tunggal (The Single Actor Mens Rea Standard), mens rea dari pelaku diatribusikan kepada korporasi sehingga mens rea pelaku adalah mens rea korporasi tersebut (Khana, 1996: 20). Bentuk tersebut berlaku dalam teori vicarious liability dan identification model. Teori vicarious liability adalah pendekatan dimana suatu perbuatan dianggap dilakukan dan dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi ketika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi tersebut dan tindakan tersebut dilakukan dalam lingkup korporasi atau lingkup tugas yang melakukan tindak pidana tersebut (Vermeulen et al, 2010: 56). Pendekatan ini merupakan pendekatan paling tua dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi terdapat salah satunya pada kasus New York Central & Hudson River Railroad Co. v United States (212 U.S. 418) pada tahun 1909 di Amerika dan lebih jauh pada tahun 1842 di Inggris pada kasus Birmingham & Gloucester Railway Co. (3 QB 223) (OECD, 2015: 18). Melalui pendekatan tersebut mens rea pekerja atau agen korporasi yang melakukan tindak pidana diatribusikan kepada korporasi. Sedangkan teori identification model merupakan pengembangan dari teori vicarious liability dengan pembeda bahwa untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi pelaku tindak pidana harusnya pengurus inti dari korporasi tersebut. Pendekatan ini kerap disebut juga alter ego sehingga mens rea pengurus korporasi adalah mens rea dari korporasi tersebut. Pendekatan ini berkembang dari 3 (tiga) kasus di Inggris pada tahun 1944 (OECD, 2015: 18).

Pendekatan kedua, kolektif mens rea (The Collective Mens Rea Standard), mens rea diambil dari adanya pengetahuan dari pegawai yang ada dalam suatu korporasi secara luas tersebut (Khana, 1996: 22-24). Pengetahuan kolektif tersebut belum tentu dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila dimintakan pertanggungjawaban secara personal. Sebagai contoh adalah teori culture model dan aggregation model. Culture model melihat bahwa suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan dari budaya keseharian perusahaan (de Maglie, 2005: 558). Sedangkan, aggregation model lebih melihat kesalahan secara berimbang dari keseluruhan bisnis proses korporasi tersebut sebelum dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi (Vermeulen et al, 2010: 58).

Pendekatan lain adalah pendekatan khsusus yang lebih dekat

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 24: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

14 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

kepada kelalaian, yaitu pertanggungjawaban atas kelalaian dalam prosedur dan kebijakan (Liability of Negligent Procedures and Policies) (Khana, 2006: 28-29). Pertanggungjawaban dimintakan ketika Korporasi gagal melakukan pencegahan atas tindak pidana yang dilakukan karena lemahnya prosedur dan kebijakan internal.

Pendekatan-pendekatan tersebut akan membantu dalam dapat mengkaji pendekatan pembuktian kesalahan yang akan dilakukan. Khususnya dalammengidentifikasi pendekatan di Inggris, Prancisdan Indonesia.

K e s a l a h a n K o r p o r a s i d a l a m U K B r i b e r y A c t 2 0 1 0 d i I n g g r i s

Pada legislasi di Inggris suatu perbuatan dianggap telah dilakukan dan dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi apabila suatu perbuatan pidana dilakukan oleh orang yang mempunyai asosiasi dengan korporasi secara sengaja dengan tujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi. Hal tersebut sesuai dengan Section 7 (1) UK Bribery Act 2010, yaitu:

“Arelevantcommercialorganisation(“C”)isguiltyofanoffenceunder this section if a person (“A”) associated with C bribes another person intending—(a) to obtain or retain business for C, or(b) to obtain or retain an adventage in the conduct of business for C”

Adapun perbuatan pidana yang dilakukan adalah sesuai dengan lingkup tindak pidana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian lingkup pidana. Sedangkan, orang yang mempunyai asosiasi dengan korporasi adalah orang yang melakukan suatu aktivitas untuk atau atas nama korporasi tanpa mempertimbangkan kapasitas dari orang tersebut baik sebagai pekerja, agen atau subsidiaries, sebagaimana diatur dalam Section 8 (1) dan (2) UK Bribery Act 2010, yaitu:

“(1) For the purposes of section 7, a person (“A”) is associated with C if (disregarding any bribe under consideration) A is a person who performs services for or on behalf of C.

(2) The capacity in which A performs services for or on behalf of C does not matter.

Page 25: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

15

(3) Accordingly A may (for example) be C’s employee, agent or subsidiary.”

Hal yang menarik adalah klausul terkait tidak mementingkan kapasitas dari orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut kecuali posisi orang tersebut adalah pekerja. Klausul tersebut dijelaskan oleh Colin Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et al, 2011: 93) sebagai berikut:

“It does not matter in what capacity A acts on C’s behalf whether as an employee, agent or subsidiary except that where A is an employee of C it is to be presumed that A is performing services for and on behalf of C unless the contrary show”

Pertanggungjawaban dapat dimintakan apabila adanya mens rea dari orang yang berasosiasi dengan korporasi dalam melakukan tindak pidana harus dengan sengaja dan bertujuan untuk menguntungkan korporasi. Apabila orang tersebut sudah terbukti melakukan tindak pidana dengan tujuan tersebut maka korporasi harus bertanggungjawab tanpa perlu pembuktian adanya perintah dari pengurus korporasi dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Korporasi hanya dapat menghindari tanggungjawab apabila dapat membuktikan bahwa korporasi tersebut sudah melakukan upaya yang sesuai (adequate procedure) untuk dalam mencegah tindak pidana tersebut terjadi, yang dijamin sesuai dengan Section 7 (2) UK Bribery Act 2010 sebagai berikut:

“But it is a defence for C to prove that C had in place adequate procedures designed to prevent persons associated with C from undertaking such conduct”

Berdasarkan hal tersebut maka titik tekan pendekatan yang digunakan di Inggris adalah pemidanaan terhadap kegagalan korporasi dalam mencegah terjadinya tindak pidana (Failure of commercial organisations to prevent bribery). Apabila kita mendasarkan pada pembagian yang dilakukan oleh V.S. Khana maka masuk dalam golongan ketiga, yaitu: pertanggungjawaban atas kelalaian dalam prosedur dan kebijakan (Liability of Negligent Procedures and Policies). Melalui pendekatan delik kegagalan mencegah tersebut, perlu digarisbawahi bahwa pendekatan Inggris

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 26: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

16 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

sepintas mirip dengan pendekatan yang jamak digunakan pada vicarious liability yang mengatribusikan kesalahan pegawai menjadi kesalahan korporasi sehingga mens rea pegawai adalah mens rea korporasi tetapi pada konteks Inggris pendekatan UK Bribery Act 2010 lebih condong pada jenis kesalahan ketiga. Hal tersebut karena titik beratnya secara mutlak korporasi dianggap bersalah apabila gagal dalam mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang berasosiasi dengan korporasi tersebut dan tidak dapat membuktikan bahwa sudah dilakukan upaya yang memadai (adequate procedures) dalam mencegah tindak pidana tersebut terjadi. Pendapat ini merupakan penegasan dari pendapat Colin Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et al, 2011: 89) sebagai berikut:

“…Itisoffenceofstrictliability,butissubjecttothedefencethatthe organization had adequate procedures in place to prevent person associated with it from committing bribery…”

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah korporasi baru dapat dituntut ketika sudah adanya putusan hukum tetap terhadap pelaku lapangan suap dalam hal ini pekerja atau orang yang terasosiasi, mengingat pendekatan yang digunakan adalah strict liability atas kegagalan melakukan pencegahan. Menurut Colin Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard tidak harus adanya putusan tetap tetapi penuntut umum harus dapat membuktikan dengan standar pembuktian pidana bahwa apabila nantinya orang yang berasosiasi tersebut dituntut maka akan dinyatakan bersalah dan terbukti mempunyai maksud menguntungkan korporasi (Nicholls et al, 2011: 95). Hal tersebut berdasarkan Section 7 (3) a UK Bribery Act 2010 yang tidak membatasi pada “is” tetapi adanya klasula “or would be” dalam perumusan delik.

Hal yang menarik adalah penerapan tanggung jawab seketika tersebut tidak semata-mata menekan korporasi, beban pencegahan juga diberikan kepada pemerintah dengan adanya kewajiban bagi pemerintah walaupun sebatas regulasi untuk membuat pedoman pencegahan korupsi sebagaimana diamanatkan pada Section 9 (1) UK Bribery Act 2010 sebagai berikut:

“The Secretary of State must publish guidance about procedures that relevantcommercial organisations can put in place to prevent

Page 27: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

17

persons associated with them from bribing as mentioned in section 7(1).”

Melalui panduan tersebut maka korporasi dapat mempunyai landasan dalam membuat sistem pencegahan korupsi yang dilakukan oleh orang yang berasosiasi dengannya. Kementerian Kehakiman (Ministry of Justice) yang dijabat oleh Kenneth Clarke dan Kejaksaan Agung (Attorney General) telah mempublikasikan panduan tersebut sejak 30 Maret 2011 dan berlaku sejak 1 Juli 2011 (Ministry of Justice, 2011). Panduan tersebut berisi 6 (enam) prinsip penting dalam pencegahan korupsi yang terdiri dari: Prinsip Prosedur Proposional (Proportionate Procedures), Prinsip Komitmen Pimpinan Korporasi (Top-level Commitment), Penilaian atau Perkiraan Resiko (Risk Assessment), Uji Kelayakan (Due Diligence), Komunikasi (Communication) dan Pemantauan serta Evaluasi (Monitoring and Review) (Ministry of Justice, 2011).

Kesalahan Korporasi dalam Code Pénal Français di Prancis

Republik Prancis mengatur pendekatan berbeda dari Kerajaan Inggris dan Wales dalam pembuktian kesalahan. Untuk memahami hal tersebut maka terlebih dahulu prasyarat suatu perbuatan pidana dianggap dilakukan korporasi sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi.

Prasyarat pertama adalah tindakan tersebut dilakukan oleh organ atau representasi dari korporasi (les personnes morales) dengan penjabaran dalam Articles 121-2 Code Pénal Français, sebagai berikut:

“Les personnes morales, à l’exclusion de l’Etat, sont responsables pénalement, selon les distinctions des articles 121-4 à 121-7, des infractions commises, pour leur compte, par leurs organes ou représentants”

(Legal persons, with the exception of the State, are criminally liable for the offences committed on their account by their organs or representatives, according to the distinctions set out in articles 121-4 and 121-7)

Berdasarkan pendekatan tersebut yang harus melakukan adalah organ atau representasi resmi korporasi yang dapat berupa: pimpinan

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 28: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

18 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

atau manajemen dari korporasi tersebut yang berhak mewakili secara hukum. Selain itu, dalam kondisi tersebut termasuk pekerja atau pihak lain yang mendapatkan pendelegasian untuk menjalankan suatu pekerjaan tertentu (express power of attorney/délégation de pouvoir)(CliffordChance,2012:10).

Persyaratan kedua adalah korporasi (personnes morales) tersebut bukanlah negara dengan adanya pengaturan pengecualian terhadap negara (l’exclusion de l’Etat). Sedangkan, untuk otoritas publik tingkat lokal terdapat ketentuan dalam Articles 121-2 Code Pénal Français sebagai berikut:

“….Toutefois, les collectivités territoriales et leurs groupements ne sont responsables pénalement que des infractions commises dans l’exercice d’activités susceptibles de faire l’objet de conventions de délégation de service public…”

(However, local public authorities and their associations incur criminal liabilityonly foroffencescommitted in thecourseof theiractivities which may be exercised through public service delegation conventions.)

Artinya otoritas publik tingkat lokal tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sebatas pada korporasi (personnes morales) yang fungsi pelayanan publik dari otoritas tersebut dapat didelegasikan kepada pihak ketiga. Hal tersebut sebagaimana konsep hukum Prancis dimana pemerintah daerah dapat mendelegasikan sebagian fungsi pelayanan publik kepada pihak lain, tentunya fungsi tersebut bukan merupakan fungsi strategis yang dilarang untuk didelegasikan, seperti: sekolah, rumah sakit, pembangkit listrik dan penyedia gas (IFAC: 2001, 5-6). Salah satu contoh dari pelayanan publik yang dapat didelegasikan adalah perusahaan daerah penyedia jasa angkutan umum.

Perbuatan pidana sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya yang telah memenuhi delik dan dilakukan oleh organ atau representasi korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi apabila kesalahan korporasi terbukti. Hal tersebut salah satunya dengan terbuktinya hubungan antara mens rea dengan perbuatan tersebut. Pada konsep Prancis, mens rea orang yang merupakan organ atau representasi korporasi yang melakukan perbuatan pidana dapat diatribusikan menjadi mens rea dari korporasi serta tidak

Page 29: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

19

terpisah dari mens rea korporasi sesuai dengan bunyi Articles 121-2 Code Pénal Français. Pandangan ini sesuai dengan penjelasan Katrin Decket (Peith et al, 2011: 164), yaitu:

“First, the principle laid down in art. 121-1 Penal Code does not seem to imply that it is necessary to establish fault on the part of legal person, distinct from the fault of the organs or representatives. Second, and most importantly, the need to establish a separate fault on the part of the legal person has explicitly been rejected by the Cour de cassation. And, there are still other arguments that argue against a “double fault” requirement”

Adapun kesalahan dari organ atau representasi tersebut tidak berbeda dengan bentuk kesalahan pada umumnya. Kesalahan tersebut dapat dalam bentuk kesengajaan, kecerobohan maupun kelalaian dari organ atau representasi dari Korporasi sesuai dengan Articles 121-3 Code Pénal Français. Walaupun demikian, menurut Katrin Decket pada prakteknya terdapat pendapat bahwa kesalahan dari organ dan representasi tetap harus dilihat dalam konteks “atas nama korporasi” (Peith et al, 2011: 161-162) . Tidak seluruh kesalahan dari organ atau representasi dari korporasi dapat secara langsung diatribusikan menjadi kesalahan korporasi. Untuk menafsirkan “atas nama korporasi” tersebut dapat merujuk pada edaran (circular) Kementerian Kehakiman Prancis tertanggal 14 Mei 1993 yang mengomentari rancangan Articles 121-2 Code Pénal Français. Pada surat tersebut, Kementerian Kehakiman menerjemahkan ketentuan tersebut sebagai berikut (Peith et al, 2011: 161-162):

“alegalpersonwillnotbeheldliableforoffencescommitedbyadirector in the exercise of his functions, if the director acts on his own behalf and his own personal interest”

Melalui penafsiran tersebut maka korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan tanpa dilihat dalam rangka apa perbuatan tersebut dilakukan. Prancis menganut lingkup yang lebih luas dalam Articles 121-2 Code Pénal Français dengan melihat kesalahan organ dan representasi “atas nama korporasi” dibandingkan “untuk kepentingan korporasi” sebagaimana dianut dalam Section 7 UK Bribery Act 2010. Sebagaimana penjelasan para ahli, pendekatan “atas nama korporasi” melingkupi bukan hanya “dengan nama korporasi” tetapi juga “untuk kepentingan korporasi”. Oleh karena

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 30: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

20 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

itu, suatu tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi apabila dilakukan oleh organ dan representasi korporasi dalam rangka untuk mempertahankan dan menjaga fungsi dari korporasi bahkan dalam kondisi korporasi tidak mendapatkan keuntungan secara langsung sekalipun.

Kesalahan Korporasi dalam UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Suatu perbuatan pidana dianggap dilakukan oleh Korporasi di Indonesia apabila memenuhi ketentuan Pasal 20 ayat 2 UU Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:

“Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”

Berdasarkan hal tersebut, suatu tindakan dianggap dilakukan oleh Korporasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur penting sebagai berikut: a. Adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan;b. Pelaku tindak pidana adalah orang-orang yang mempunyai

hubungan kerja atau hubungan lain baik sendiri maupun bersama-sama; dan

c. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkungan korporasi.

Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi dalam konteks ini adalah tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi sebagaimana telah dibahas sebelumnya di atas.

Kedua, pelaku tindak pidana adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain baik sendiri maupun bersama-sama.Apabilakitatafsirkansecarasistematis,makadefinisihubungankerja dapat kita temui dalam Pasal 1 Angka 15 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:

“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”

Melalui definisi tersebut maka melingkupi lingkup internalkorporasi dalam segala level jabatan serta tidak terbatas pada level

Page 31: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

21

pengambil kebijakan. Khusus untuk perseroan terbatas bahkan terbatas pada pekerja di bawah direksi (Umar Kasim, 2013). Sedangkan untuk direksi dan hubungan di luar hubungan kerja, masuk dalamlingkuphubunganlain.Definisihubunganlaintidakdijelaskandalam UU Tindak Pidana Korupsi. Apabila ditafsirkan secara semiotik dalam rangkaian kalimat “…hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain…” maka dapat ditafsirkan sebagai hubungan lain selain dari hubungan kerja. Hubungan selain hubungan kerja dalam hukum memiliki variasi yang sangat luas. Mulai dari hubungan hukum suatu direksi dengan perseroan terbatas sesuai UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hubungan keperdataan dalam bentuk sub kontraktor kepada korporasi atau orang lain untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, hubungan kontraktual dalam penggunaan jasa hukum sampai dengan hubungan dengan pihak ketiga untuk mengurus suatu urusan korporasi termasuk juga perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan korporasi sesuai dengan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Artinya memberikan keluasan bagi penuntut umum dan hakim dalam menafsirkan hubungan lain di luar hubungan kerja selama dapat dibuktikan hubungan tersebut. Perbuatan tersebut dapat dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama sehingga tetap dapat dianggap dilakukan korporasi walaupun dilaksanakan oleh seorang pegawai.

Ketiga,lingkungankorporasitidakdidefinisikandalamUUTindakPidana Korupsi. Terdapat berbagai pendapat dalam menafsirkan lingkungan korporasi. Misalnya apabila tindak pidana tersebut masih dalam bagian lingkup usaha dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga korporasi, contohnya pada putusan PT Giri Jaladhi Wana. Akan tetapi, apabila kita merujuk pada Rancangan Naskah Akademis Peraturan Mahkamah Agung Pertanggungjawaban PidanaKorporasiyangdidasarkanrisetdankonsultasiahli,definisilingkungan korporasi lebih luas sebagai berikut:

“Lingkungan korporasi adalah lingkup Korporasi atau lingkup usaha Korporasi atau lingkup kerja yang termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha Korporasi baik langsung maupun tidak langsung.”

Berdasarkan penjelasan rancangan naskah akademis tersebut, tindak pidana yang dilakukan tidak terbatas hanya untuk mewujudkan

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 32: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

22 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

tujuan usaha yang tercantum dalam anggaran dasar tetapi juga kegiatan lain yang mendukung kegiatan usaha korporasi tersebut baik langsung maupun tidak langsung.

Apabila kita sandingkan dengan penjelasan teori pertanggungjawaban pidana korporasi, ketiga unsur tersebut menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam UU Tindak Pidana Korupsi adalah pendekatan vicarious liability sesuai penjelasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan dapatnya suatu tindakan dianggap telah dilakukan korporasi apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan kerja dalam segala tingkat jabatan, bahkan hubungan lain selain hubungan kerja selama tindakan tersebut dilakukan dalam lingkungan korporasi. Berbeda juga dengan pendekatan identification model yang membatasi suatu tindak pidana apabila dilakukan oleh pengurus korporasi dalam level direksi. Dalam hal tindakan dilakukan, pendekatan Indonesia lebih mirip dengan pendekatan Inggris yang juga mendasarkan pada hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan kerja.

Selanjutnya, bagaimana melihat kesalahan korporasi dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Apabila konsisten dengan jenis pendekatan yang digunakan dalam Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi yang menyatukan perbuatan orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan pekerja adalah perbuatan korporasi sesuai teori vicarious liability, maka pada konteks mens rea orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut juga teratribusikan menjadi mens rea dari korporasi tersebut sesuai teori vicarious liability. Berdasarkan pengalihan tersebut, bahkan beberapa ahli pidana seperti Mardjono Reksodiputro memasukan penggolongan vicarious liability sebagai pemidanaan tanpa perlu pembuktian kesalahan korporasi secara tersendiri sehingga tidak dinilai sebagai kesalahan korporasi (Reksodiputro, 2015: 13). Pada pengelompokan, V.S. Khana tetap memasukkan vicarious liability atau dikenal juga sebagai respondent superior sebagai pertanggungjawaban dengan pembuktian kesalahan korporasi sebagai bagian dari jenis single actor mens rea standard dengan alasan bahwa kesalahan tetap tidak hilang sebagaimana strict liability tetapi hanya mengatribusikan kesalahan pekerja yang melakukan tindak pidana menjadi kesalahan korporasi. Hal tersebut berdasarkan putusan U.S. v. Hilton Hotel Corp dan putusan

Page 33: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

23

pada tingkat banding pada kasus U.S. v. Twentieth Century Fox Film Corporation pada tahun 1989. Putusan-putusan tersebut menegaskan mens rea korporasi adalah atribusi dari mens rea pekerja pada pendekatan vicarious liability (V.S. Khana, 1996: 20-21). Akan tetapi, terdapat kesamaan maksud antara Marjono Reksodiputro, Muladi (Muladi dan Dwidya P, 2020: 113-116) dan V.S. Khana, yaitu: melalui konsep vicarious liability, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahan pekerja tanpa perlu membuktikan kesalahan korporasi secara tersendiri dan berbeda dengan kesalahan pekerja.

Tentunya atribusi kesalahan tersebut sesuai dengan batasan pada Pasal 20 ayat (1), yaitu adanya penegasan bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi “dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi”. Artinya pekerja yang melakukan tindakan pidana tersebut haruslah dilakukan dalam kerangka kepentingan korporasi. Hal tersebut dengan penggunaan “dilakukan oleh atau atas nama korporasi” yang khusus pada isu ini lebih dekat dengan pendekatan “atas nama korporasi” dalam Articles 121-2 Code Pénal Français sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Batasan ini penting untuk dapat menjaga agar pendekatan atribusi mens rea dari pelaku lapangan dapat secara tepat diatribusikan kepada korporasi karena tidak semua mens rea dari pelaku langsung dapat diatribusikan kepada korporasi.

Lebih lanjut, terkait bentuk dari kesalahan korporasi yang diatribusikan dari orang yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lainnya hanya dapat terlihat dari variasi bentuk kesalahan yang mungkin muncul dari rumusan pasal yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan secara kongkrit sesuai elemen kedua dari kesalahan yang diungkapkan oleh Vos. Untuk itu diperlukan simulasi dalam penggunaan pasal tersebut.

Simulasi KasusSimulasi ini akan menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tindak

Pidana Korupsi dengan isi sebagai berikut:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 34: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

24 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau….”

Untuk mempermudah pemahaman maka perlu mengganti frase “setiaporang”menjadi “korporasi” sesuaidefinisipadaPasal 1UUTindak Pidana Korupsi. Apabila diterapkan dalam beberapa kondisi sebagai berikut maka:

Kondisi 1

Orang bernama A yang merupakan manajer di PT X melakukan penyuapan pembuatan KTP di kelurahan dengan sengaja dan bertujuan mempercepat pengurusan sehingga KTP tersebut dapat segara dipakai sebagai syarat mengurus kenaikan pangkat menjadi General Manager yang saat ini kosong. Perbuatan yang dilakukan A memenuhi seluruh unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi serta tidak adanya alasan penghapus pidana. Apakah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban?

Pada kondisi 1 tersebut, PT X tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban walaupun syarat suatu perbuatan A dapat dianggap sebagai perbuatan PT X terpenuhi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU Tipikor. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan kerja dengan Korporasi. Penuntut umum dapat mendasarkan bahwa perbuatan tersebut secara tidak langsung masuk dalam lingkungan korporasi karena dengan segera mendapatkan KTP maka mendukung bisnis korporasi karena posisi general manager segera terisi. Akan tetapi, tindakan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena tindakan tersebut bukanlah “dilakukan atau atas nama korporasi” karena pembuatan KTP lebih cenderung pada kepentingan A sebagai individu dan jenis dokumen yang diurus bukan kepentingan korporasi. Selain itu, mens rea dari A yang mempunyai maksud untuk segera mendapatkan promosi yang tercermin dari tindakan melakukan suap tidak dapat diatribusikan menjadi mens rea korporasi.

Page 35: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

25

Kondisi 2Orang bernama B yang merupakan manajer di PT Y melakukan

penyuapan pengurusan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada Bupati dengan sengaja dan bertujuan mempercepat pengurusan sehingga korporasi tersebut dapat segera melakukan usaha perkebunan. Perbuatan yang dilakukan B memenuhi seluruh unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi serta tidak adanya alasan penghapus pidana. Apakah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban?

Pada kondisi 2 tersebut, PT Y dapat dimintakan pertanggungjawaban. Syarat suatu perbuatan dapat dianggap menjadi perbuatan korporasi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi terpenuhi karena tindak pidana merupakan tidak pidana yang dapat dilakukan korporasi, B merupakan manager dari PT Y sehingga mempunyai hubungan kerja dan dilakukan sesuai dalam konteks lingkungan korporasi. Pada kondisi 2 ini, kesalahan dalam bentuk kesengajaan B melakukan suap agar PT Y dapat segara melakukan bisnisnya sehingga masuk dalam kepentingan korporasi. Hal tersebut menyebabkan mens rea B dapat diatribusikan menjadi mens rea PT Y dalam bentuk kesengajaan dengan maksud.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas maka secara singkat suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi apabila memenuhi tahapan yang tepat. Tahap pertama, terpenuhinya syarat tindak pidana korupsi yang dianggap dilakukan oleh korporasi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU Tipikor dan terpenuhinya delik sesuai dengan pasal yang digunakan. Kedua, terpenuhinya syarat bahwa tindak pidana korupsi tersebut adalah tindak pidana yang masuk dalam lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi serta tidak adanya alasan penghapus pidana. Ketiga, terpenuhinya pembuktian kesalahan melalui atribusi mens rea dari orang yang meiliki hubungan kerja atau hubungan lain melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada tahap kedua diatas menjadi mens rea korporasi dengan bentuk kesalahan sesuai dengan delik yang dilakukan dengan syarat mens rea tersebut memang dapat diatribusikan sebagai mens rea korporasi.

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 36: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

26 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

K E S I M P U L A N D A N S A R A N

Pertama, lingkup tindak pidana. Pada lingkup tindak pidana terdapat perbedaan pengaturan antara Inggris, Prancis dan Indonesia.Inggrismenyebutsecaraspesifiktindakpidanayangdapatdilakukan oleh korporasi sesuai dengan Section 7 (1) a UK Bribery Act 2010. Berbeda dengan Prancis dan Indonesia yang menggunakan ketentuan yang mengatur secara umum tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi sehingga dibutuhkan penafsiran terkait tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi.

Penyuapan merupakan lingkup tindak pidana yang diakui dapat dilakukan oleh Korporasi pada hukum Inggris, Prancis dan Indonesia walaupun khusus penyuapan pejabat asing hanya diakui di Inggris dan Prancis. Selain penyuapan, Prancis memasukkan tindak pidana yang dapat dilakukan korporasi berupa perdagangan pengaruh (influence peddling/trafic d’influence), mendapatkan manfaat secara ilegal (illegal taking of interest/De la prise illégale d’intérêts) dan keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public procurement/Des atteintes à la liberté d’accès et à l’égalité des candidats dans les marchés publics et les délégations de service public). Sedangkan Indonesia, selain penyuapan, memasukkan juga perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan atau ekonomi negara, perbuatan curang, pemberian hadiah dan tindak pidana lain yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi.

Kedua, kesalahan korporasi. Inggris, Prancis dan Indonesia menggunakan pendekatan berbeda terkait kesalahan (mens rea, schuld) dari Korporasi. Inggris menggunakan pendekatan tidak perlu dibuktikan kesalahan korporasi apabila kesalahan pelaku sudah dapat dibuktikan selama tindak pidana tersebut bertujuan untuk keuntungan korporasi. Hal tersebut karena pendekatan Inggris adalah korporasi dianggap bersalah apabila gagal menerapkan prosedur pencegahan (adequate procedure) sehingga tindak pidana tersebut terjadi (Liability of Negligent Procedures and Policies). Sedangkan Prancis, menggunakan pendekatan atribusi mens rea dari organ atau representasi dari Korporasi menjadi mens rea dari Korporasi sepanjang tindakan tersebut masih sesuai dengan tujuan usaha korporasi. Indonesia dalam UU Tindak Pidana Korupsi menggunakan pendekatan teori vicarious liability. Pendekatan tersebut diterjemahkan melalui orang yang memiliki hubungan kerja

Page 37: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

27

atau hubungan lain yang melakukan tindak pidana dalam lingkungan korporasi maka mens rea orang tersebut dapat diatribusikan menjadi mens rea korporasi selama dilakukan untuk kepentingan korporasi serta tindak pidana tersebut dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi.

Untuk ke depan dapat disarankan agar penerapan pertanggungjawaban pidana yang menggunakan pendekatan UU Tindak Pidana Korupsi konsisten menggunakan pendekatan teori vicarious liability sehingga dalam persidangan baik penuntut umum maupun hakim tidak terbebani oleh pendekatan lain yang tidak dianut dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pendekatan tersebut sesuai dengan pendekatan dalam pemberantasan korupsi yang digunakan pada skala internasional. Sebagai alternatif, dapat pula digunakan pendekatan Strict Liability dengan dilengkapi Liability of Negligent Procedures and Policies sebagaimana yang diterapkan di Inggris.

R E F E R E N S I

A Quaid, Jennifer, 1998, The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity : An Analysis, McGill Law Jurnal/Reveu De Droit McGill Vol. 43.

Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi, Kebijakan, Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta

Dargham, Christian dan Charles-Henri Boeringer, Corporate Liability inEurope,2012,CliffordChanceLLP:London

De Maglie, Chistina, 2005, Models of Corporate Criminal Liability In Comparative Law, Washington University Global Studies Law Review [Vol. 4:547]

Emmanuel Marsigny et al, 2016, Bribery & Corruption: Third Edition, Global Legal Insights

Head, John W., 2011, Great Legal Traditions - Civil Law, Common Law and Chinese Law in Historical and Operational Perspective, Durham (North Carolina): Carolina Academic Press

Hiariej, Eddy OS, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta

IFAC Public Sector Committee, 2001, The Delegation of Public Services in France: An Original

Method of Public Administration: Delegated Public Service, IFAC. Hal 5-6

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 38: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

28 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Khana, V.S, 1996, Corporate Mens Rea : A Legal Construct In Search of A Rationale, The Center for Law, Economics, and Buisness, Harvard Law School, Cambridge

Ministry of Justice, 2011, The Bribery Act 2010: Guidance about Procedures which relevant commercial organisations can put into place to prevent persons associated with them from bribing, MoJ, London

Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Nicholls QC, Colin et al., 2011, Corruption and Misuse of Public Office:SecondEdition,OxfordUniversityPress,Oxford

OECD, 2012, Phase 3 Report on Implementing the OECD Anti- Bribery Convention in France, OECD

Peith, Mark et, al, 2011, Corporate Criminal Liability, Springer. Katrin Deckert

Rehberg, Markus, 2010, Statutory Interpretation and Civil Law Methodology on Munich University Summer Training in European and German Law 2010, Munich

Reksodiputro, Mardjono, 2015, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya, FGD International Standards On Corporate Criminal Lability yang diselenggarakan KPK-OECD pada tanggal 28 Juli 2015.

Wagner, Markus, 1999, Corporate Criminal Liability National and International Responses, International Society for the Reform of Criminal Law, 13th International Conference, Malta, 8-12 July 1999

Kasim, Umar, 2010, Karyawan Diangkat Jadi Direksi, Hukum Online sesuai dengan alamat http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4608/karyawan-diangkat-jadi-direksi diakses pada Jumat, 4 November 2016.

Legislasi

Code Pénal Français

France Penal Code (English Version SPENCER Q, John Rason)

United Kingdom Bribery Act 2010

UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Page 39: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

29

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 2001

UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Putusan Putusan PN BANJARMASIN Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm

Putusan PT BANJARMASIN Nomor 04/PID.SUS/2011/PT. BJM

Birmingham & Gloucester Railway Co. pada tahun 1842

Hudson River Railroad Co. v United States pada tahun 1909

United States v Twentieth Century Fox Film Corporation pada tahun 1989

Regina v Innospec Limited pada tahun 2010

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Page 40: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

30 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Page 41: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

31

R e l a s i K o r u p s i K o r p o r a s i d a n K o r u p s i P o l i t i k :

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi

Bambang Widjojanto

Dosen Pidana Universitas Trisakti

[email protected]

A B S T R A K

Dalam banyak kasus korupsi, diduga keras, korporasi juga terlibat dan menjadi bagian kejahatan tapi korporasi hampir tidak pernah dijadikan subyek hukum yang diperiksa dan diminta pertanggungjawabannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ada fakta lain yang juga sangat faktual, di sebagian besar kasus korupsi yang dilakukan korporasi juga terjadi korupsi politik. Bahkan, ada indikasi yang tak terbantahkan, ada korupsi politik di dalam korupsi korporasi. Untuk itu diperlukan suatu kajian awal untuk melihat relasi diantara keduanya. Di dalam kajian digunakan rujukan berupa peraturan perundangan, informasi yang dikemukakan oleh media, putusan pengadilan dan juga buku referensi. Ada persekutuan antara tindak korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak pemegang otoritas dengan jabatan politik tertentu dengan pihak yang mewakili kepentingan korporasi. Mereka menyalahgunakan sumber daya publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan

Page 42: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

32 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

privat dan kelompoknya sendiri. Pada kasus tertentu, dana yang digunakan berasal dari korporasi dan ditujukan untuk “membeli” otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara. Pada konteks ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat mendikte hingga menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa disebut sebagai capital and corporate driven atas berbagai proyek yang tidak ditujukan untuk kepentingan publik. Penegak hukum mengalami kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di dalam kasus ini karena sifat kasusnya menjadi beyond the law.

Kata Kunci: Korupsi, Korupsi Korporasi, Korupsi Politik

A B S T R A C T

In many cases of corruption, alleged, corporations are also involved and become the part of a criminal but corporations almost never be subjects of law are requested its accountability at the Corruption Court. There is another fact, in the majority of cases of corruption which is conducted by corporations also happen political corruption. In fact, there are indications that the undeniable, there is political corruption in corporate corruption. It required an initial study to look at the relationships between corporate and political corporation. In the study used a reference the laws, the information presented by the media, court decisions and reference books. There is an alliance between corrupt corporate and political corruption which involving the authorities who have political authority with the party which representing the interests of corporations. They misuse of public resources which come from state finances to private interests and his own groups. In certain cases, the funds were taken from the corporation and is intended to “buy” the authority which is owned by the state administration. In this context, a corporation with its capital strength can dictate to mastering their interests. There is capital and corporate driven on a variety of projects that are not intended for the public interest. law enforcement face difficulty to be able to handle this case because of the nature of the case be beyond the law.

Keywords: Corruption, Corporate Corruption, Political Corruption

Page 43: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

33

P E N D A H U L U A N

Ada 2 (dua) frasa kunci yang menjadi bagian penting dari tulisan ini, yaitu: Korupsi Politik dan Korupsi Korporasi. Tentu, kedua frasa itu perlu dijelaskan makna operasionalnya tetapi juga akan dilacak, apakah pada keduanya ada relasi sehingga terjadi pertautan satu dan lainnya. Selama ini, ada dugaan, disebagiannya, korupsi korporasi tidak berdiri sendiri, ada “jejak” korupsi politik yang menyertai dan menjadi bagian dari korupsi korporasi. Bagaimana jika terjadi pertautan dan juga konsolidasi kepentingan diantara keduanya, apakah modus operandi operasi makin menjadi “solid” dengan “dampak” yang juga kian besar magnitudenya.

Secara umum, korupsi yang diduga dilakukan korporasi telah dirumuskan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam rumusan pasal pada delik kejahatan yang tersebut di dalam UU Tindak Pidana Korupsi, dimulai dengan menggunakan frasa kata “setiap orang”. Pada frasa kata tersebut, setiap orang dimaknai sebagai orang perseorangan dan juga termasuk korporasi (Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun 1999).

Bahkan, di dalam Pasal 1, Angka 1 UU tersebut di atas, juga dirumuskan pengertian dari korporasi, sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Berdasarkan uraian tersebut, “setiap orang” juga termasukkorporasidapatdikualifikasimenjadisubyekdari suatu tindak pidana korupsi. Bahkan, di dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sudah dijelaskan hal ihwal mengenai korupsi yang dilakukan korporasi dan atau pengurusnya.

Ada 3 (tiga) hal menarik berkaitan dengan korupsi korporasi ini bila dikaitkan dengan keinginan KPK untuk membawa kasus korupsi ke depan pengadilan, yaitu: pertama, KPK menyatakan bahwa sebagian besar kasus penyuapan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi; kedua, tidak ada satu pun korporasi yang dihukum dalam seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK yang melibatkan korporasi karena korupsi yang ditangani baru sebatas pribadi atau perorangan; ketiga, kasus korupsi korporasi, disebagiannya, juga melibatkan politisi selain aparatur birokrasi. Pernyataan ini hendak menegaskan, ada kepentingan lain yang potensial bekerja di dalam kasus korupsi korporasi.

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 44: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

34 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Berkaitan dengan pernyataan di dalam butir ketiga di atas, ada suatu pertanyaan yang mengemuka, apakah korupsi politik menjadi sesuatu yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari korupsi lainnya, khususnya korupsi korporasi serta juga punya hubungan dengan kepentingan politik. Pada kenyataan lainnya, ada banyak ditemukan fakta, korupsi juga dilakukan oleh kalangan parlemen yang kerap disebut sebagai politisi, dan korupsi juga dilakukan bersama birokrasi dan korporasi. Itu sebabnya menarik untuk dikaji, adakah pengaruh politik tertentu yang menyebabkan pihak lain menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan hukum.

Secara umum, tidak ada satu pun penjelasan normatif yang tersebut dan disediakan oleh suatu peraturan perundangan yang dapat menjelaskan pengertian korupsi politik. Artidjo Alkostar, Hakim di Mahkamah Agung, mencoba melakukan “ijtihad hukum” dengan merumuskan korupsi politik melalui berbagai pertimbangan hukum di dalam kasus-kasus yang diputuskannya, khususnya pada kasus-kasus korupsi diajukan kasasi ke Mahkamh Agung.

Misalnya saja, di dalam kasus Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar, dihukum lebih tinggi dari tuntutan Penuntut Umum. Salah satu alasan dalam pertimbangan hukum yang dirumuskan oleh Majelis Hukum Kasasi menyatakan, korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya, sebagiannya, dialirkan untuk kegiatan politik. Tindakan sedemikian oleh Majelis HakimMAdikualifikasisebagaitindakankorupsipolitik.

Begitupun, pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq, mantan PresidenPKS,HakimAgungArtidjo,memperberathukumanLuthfimenjadi18 tahun penjara. Dalam putusan ini, Artidjo membangun konstruksi hukum yang dirumuskan di dalam pertimbangan putusan berkaitan dengan suatu tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai “korupsipolitik”. Korupsi politik dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan.

Di dalam Putusan Anas Urbaningrum yang dituduh dengan dakwaan berlapis, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya dinyatakan, apa yang dilakukan oleh Anas untuk memperkaya dirinya dan orang lain, tidak hanya disebut sebagai tindak pidana korupsi saja. Perbuatan Anas yang menggunakan uang hasil kejahatannya, sebagai bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk mencapai obsesi politiknya melalui berbagai upaya “politik” oleh Mahkamah Agung

Page 45: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

35

dinyatakandandikualifikasi sebagai tindakanyangdisebutdengankorupsi politik juga.

Berdasarkan uraian di atas, ada hipotesis yang hendak dikemukakan, yaitu: pertama, ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara; kedua, tindakan itu, sedari awal, dapat ditunjukkan dengan menggunakan “pengaruh” yang dimilikinya yang dapat saja terjadi kombinasi antara penyelenggara negara dan pejabat publik (kasus Anas dan kasus Luthfi Hasan);ketiga, sebagian uang dari hasil kejahatan itu dilakukan untuk kegiatan yang dikatagorisir sebagai aktivitas politik (kasus Iriana); keempat, adanya niat yang diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perbuatan tertentu yang dikualifikasi sebagai suatu “kepentinganpolitik”; kelima, interpretasi terhadap pengertian politik, aktivitas politik dan kepentingan, ditafsirkan secara eksesif di dalam berbagai pertimbangan hukum di atas.

Untuk mengonfirmasi hipotesisi di atas, dapat dilihat padasalah satu argumen pertimbangan hukum MA dalam kasus Anas. Pada pertimbangan hukum dimaksud dikemukakan bahwa tindakan yang dilakukannya Anas itu berkaitan dengan kepentingannya untuk “merebut” jabatan politik tertentu. Lebih lanjut pertimbangan dimaksud menyatakan sebagai berikut:

“...Bahwa putusan Judex Facti bersifat kontradiktif, karena dalam pertimbangannya telah menyebutkan bahwa Terdakwa melakukan lobi-lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN adalah untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dan calon Presiden. Hal tersebut secara yuridis memenuhi kualifikasi unsur hadiah dan janji yang patutdiketahui dan patut diduga diberikan untuk menggerakkan agar melakukan dan tidak melakukan semata dalam jabatannya seperti tertuang dalam unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001;...”

Ada hal yang menarik, di dalam kasus korupsi politik sesuai hipotesis di atas, ada peran korporasi yang dijadikan sarana dan prasarana kejahatan. Korporasi dipakai sebagai alat dan digunakan untuk melakukan kejahatan korupsi, pada pelaksanaannya, bersekutu dan bersimbiose dengan penggunaan kewenangan “politik” tertentu

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 46: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

36 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

yang kemudian disebut sebagai korupsi politik. Pada ujungnya, kesemuanya itu dapat ditujukan untuk “kepentingan” politik tertentu.

Di dalam kasus Anas, ada perusahaan yang kemudian dikenal bernama Permai Group, suatu badan usaha yang diindikasikan, baik secara langsung dan tidak langsung digunakan untuk menjadi instrumen dalam melakukan kejahatan bersama-sama dengan Nazaruddin dan kawan lainnya. Pada kasus dimaksud dengan uraian dakwaan serta petimbangan hukum atas kasus di atas, kelak dapat dilihat, sejauh mana relasi dan integrasi kepentingan diantara korupsi korporasi dan korupsi politik.

Hal tersebut di atas menjadi penting untuk dilakukan pengkajian, selama ini, korupsi korporasi seolah menjadi bagian terpisahkan yang tidak ada kaitannya dengan korupsi politik. Padahal, relasi diantara keduanya terjadi begitu faktual serta menyebabkan kejahatan menjadi canggih dan kompleks serta kian memiliki kekuatan yang kian sulit untuk “dikendalikan” oleh sebagian penegak hukum yang belum sepenuhnya independen sehingga kasus-kasus tersebut potensial tidak sepenuhnya dapat diperiksa dan dikontestasi secara fair trial.

Pendeknya,kini,korupsitidakhanyadapatdikualifikasisebagaikejahatan terorganisir yang bersifat transnasional saja tetapi juga kejahatannya potensial dilakukan secara solid dan terintegrasi antara kepentingan korporasi, birokrasi dan politisi sehingga terjadilah suatu kejahatan korupsi terorganisir di sektor korporasi yang berkelindan dengansuatukejahatanyangdikualifikasisebagaikorupsipolitik.

Ada intensi, cukup banyaknya fakta yang memperlihatkan, kasus korupsi mempunyai hubungan segitiga diantara pihak korporasi, politisi dan birokrasi. Pada situasi seperti ini, sebagian lembaga penegakan hukum yang tidak independen, potensial berada di dalam “bayangan” kepentingan kekuasaan dan pada situasi seperti itu, lembaga penegakan hukum yang belum sepenuhnya independen akan kesulitan menjalankan fungsi dan kewenangannya secara akuntabel serta berpihak sepenuh-penuhnya pada kepentingan kepastian, kemaslahatan dan keadilan.

Yang agak mengerikan dan sangat menguatirkan, kini, ada diskursus yang terus menerus muncul, yaitu: terjadinya politik kartel dan kian solidnya kekuasan oligarki yang mempunyai kekuatan untuk mengkooptasi kekuasaan. Bahkan, ada sinyalemen yang kian terang benderang yang menunjukkan dengan sangat jelas, politik kartel

Page 47: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

37

dan kekuasatan oligarki ini telah mulai bekerja secara sistematis dan terstruktur di dalam sistem kekuasaan dan disebagiannya telah “menguasai” kepentingan kekuasaan sehingga tidak lagi berpihak pada kepentingan kemaslahatan publik.

M E T O D E K A J I A N

Di dalam melakukan kajian digunakan 3 (tiga) sumber utama, yaitu: pertama, peraturan perundangan yang berkaitan dengan kajian; kedua, informasi berupa berita yang dikemukakan oleh media yang dapat diakses. Bisa saja terjadi, pernyataan dari berbagai Pimpinan lembaga yang dikutip media dan berkaitan dengan maksud pengkajian, dijadikan bahan rujukan penulisan; dan ketiga, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap karena sudah diputus oleh Mahkamah Agung.

Berpijak pada ketiga sumber utama di atas maka dilakukan kajian dan pembahasan dengan merujuk pada maksud kajian dan penulisan. Ada asumsi yang didasarkan atas suatu fakta yang telah dan tengah terjadi. Di satu sisi, modus operandi korupsi terus berkembang melebihi kemampuan pemahaman yang diketahui kebanyakan kalangan. Adakalanya, perkembangan itu jauh melebihi lingkup peraturan perundangan yang ada. Di sisi lainnya, aparatur penegakan hukum mempunyai keterbatasan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya karena perkembangan kejahatan yang bisa terjadi beyond the law.

Untuk itu diperlukan kajian yang ditujukan untuk melihat lebih teliti tingkat perkembangan kejahatan, mengabstraksi kajian untuk membangun diskursus pada level publik agar kesenjangan antara perkembangan kejahatan dengan peraturan perundangan dapat terus dikendalikan agar tidak terjadi “gap” yang terlalu lebar sehingga meniadakan kepastian hukum. Selain itu, kajian juga penting dilakukan agar menjaga prioritas perhatian dari aparat penegak hukum untuk terus menerus “berpihak dan mengelola” kepentingan kemaslahatan publik sepenuh-penuhnya.

Kajian ini juga dapat digunakan dan sekaligus ditujukan untuk mengkonstruksi suatu gagasan dalam bentuk yang lebih solid yang kelak dapat dipakai untuk membangun diskursus di level masyarakat. Selain itu, kajian ini juga potensial digunakan untuk menginisiasi gagasan dan memperdebatkannya, atau kajian awal yang kelak akan

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 48: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

38 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

disempurnakan guna mendorong percepatan perubahan berbagai peraturan perundangan agar ketentuan perundangan dimaksud senantiasa kompatibel dengan berbagai perkembangan kejahatan serta dapat digunakan secara efektif untuk mengendalikan kejahatan tersebut.

F A K T A P E R K E M B A N G A N K O R U P S I D A N P E M B A H A S A N

Ada pernyataan yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Ketua KPK. Pernyataan tersebut menyatakan, ternyata, 90% kasus korupsi yang ditangani KPK turut melibatkan sejumlah korporasi, baik sebagai pelaku kejahatan, orang yang bersama-sama melakukan kejahatan maupun pihak yang membantu memberi sarana dan prasarana kejahatan. Modusnya, antara lain, berbentuk penyuapan untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau memengaruhi kebijakan.

KPK juga mengemukakan suatu data yang menyatakan, sejak tahun 2004 hingga Juni 2016, kasus terbanyak yang ditangani KPK adalah kasus penyuapan, yakni sebesar 50,9%. Ada sekitar 28,7% di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, serta 8,5% merupakan kasus penyalahgunaan anggaran. Fakta lainnya, kasus korupsi yang berkaitan dengan korporasi yang ditangani KPK baru sebatas pribadi atau perorangan tetapi KPK belum pernah menjadikan perusahaan atau korporasi sebagai tersangka kasus korupsi.

Pada belakangan ini, ada satu kasus yang mendapatkan perhatian publik. Kasus dimaksud tengah ditangani KPK, yaitu: kasus suap yang berkaitan dengan pembahasan Perda Reklamasi Jakarta. Kasus itu melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja yang diduga keras melakukan tindak penyuapan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Dana penyuapan sebesar Rp.2 miliar, diduga, ditujukan untuk kepentingan Agung Podomoro terkait reklamasi atas pulau di sebelah utara Jakarta.

Kedua kasus di atas tengah diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Salah satu hal yang membuat kasus ini menjadi sangat menarik, kasus ini menyangkut investasi dalam jumlah triliunan rupiah serta juga keuntungan atas investasi sangat fantastis karena bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Penyuapan

Page 49: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

39

hanya sebesar Rp.2 miliar adalah suatu jumlah yang nilainya bak serpihan pasir belaka bila dibandingkan dengan keuntungan investasi yang dihasilkan pengembang.

Ada kekuatiran yang sangat mendalam dan masuk akal. Jika jumlah keuntungan atas proyek itu begitu fantastis hingga mencapai puluhan triuliun rupiah, bukan hal yang tidak mungkin bila dana tersebut sebagiannya “digelontorkan” sebagai “pelumas” untuk menjustifikasiproyek.Tindakaninikerapdisebutjugasebagaibiayarente ekonomi-politik yang perlu “dilunasi” agar dapat legitimasi kekuasaan. Bila hal dimaksud dilakukan, diduga, kekuasaan potensial akan terbeli dan tidak akan mampu mengendalikan wibawa dan kehormatannyadibawahkapitaldankomoditifikasikepentingan.

Selain itu, kasus ini juga menjadi sangat menarik karena masih ada banyak hal belum terungkap termasuk dalam kaitannya dengan kepentingan korporasi untuk kemudian ditarik relasinya dengan korupsi politik. Misalnya saja, apakah Ariesman Widjaja dalam kapasitas sebagai Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri? Bukankah Ariesman hanya salah satu direktur saja yang sesungguhnya menjalankan kepentingan dari kebijakan korpotasi atau bahkan kepentingan dari owner korporasi? Ada begitu banyak korporasi yang punya kepentingan atas persoalan pasal yang berkaitan dengan tambahan kontribusi sebesar 15% bagi pemilik izin reklamasi, apakah hanya satu korporasi saja yang terlibat atas kepentingan yang melibatkan begitu banyak korporasi lainnya.

Pada konteks politik, apakah kepentingan kapital untuk “menundukkan dan menguasai” parlemen, dilakukan hanya dengan menyuap seorang Sanusi saja? Padahal ada begitu banyak pertemuan lain yang melibatkan cukup banyak pimpinan parlemen daerah dan alat kelengkapan dewan di dalam pembahasan draf peraturan daerah, khususnya yang menyangkut kontribusi tambahan 15% tersebut. Lalu, kenapa hanya Sanusi saja yang bertanggungjawab atas persoalan yang begitu besar. Semoga saja, kasus Sanusi dijadikan pintu masuk untuk membongkar potensi penyuapan yang lebih struktural.

Begitupun dalam kaitannya dengan birokrasi, juga muncul banyak pertanyaan lainnya. Seperti misalnya, ada pembicaraan antara pimpinan birokrasi dengan pemilik korporasi. Bahkan, pemilik korporasi juga melakukan berbagai pertemuan, baik dengan politisi yang mewakili kekuasaan di parlemen maupun dengan kalangan

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 50: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

40 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

birokrasi lainnya, termasuk Basuki TP sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta. Diduga, sebagian besar pertemuan dimaksud memuat pembicaraan yang berkaitan soal reklamasi.

Lihat saja keterangan Sugianto Kusuma yang kerap dipanggil dengan nama Aguan, di muka persidangan di awal September 2016, mengemukakan pertemuannya dengan kepala pemerintahan DKI “… 2013 pertama datang untuk silaturahmi Pak Wagub, … sebetulnya saya kenal dia sudah cukup lama ... Kalau ketemu yang bukan resmi sudah sering ... Waktu di Pantai Mutiara waktu Pak Ahok wagub minta ada tambahan kontribusi ... Dari pihak Pemprov yang mengumpulkan di Pantai Mutiara, yang datang dari Intiland, Agung Podomoro, Ancol dan saya … karena pemerintah daerah mau bangun rusun, jadi perlu banyak dana maupun tanah …”.

Ternyata, Aguan juga bertemu pimpinan DPRD Jakarta untuk membahas rancangan aturan pulau reklamasi pada awal Desember 2015. Pada suatu media dikemukakan, Aguan memanggil Ketua DPRDPrasetyoEdiMarsudi,WakilKetuaMohamadTaufik,anggotaBadan Legislasi Ongen Sangaji, dan Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin, diperantarai Mohamad Sanusi yang menjadi tersangka suap Rp 2 miliar. Mereka membahas kemungkinan menurunkan kontribusi tambahan dari 15 menjadi 5%, Aguan keberatan karena 15 persen setara Rp 11,8 triliun. Media dimaksud menyatakan Ongen Sangaji membenarkan pertemuan tersebut. “… Pertemuan itu ada, saya sudah jelaskan ke KPK …”.

Pada kasus Jakabaring dan Hambalang juga terjadi hal serupa, seperti yang sudah di kemukakan di atas. Pada kasus Jakabaring dan Hambalang, bertemulah tiga kepentingan besar, yaitu para politisi yang punya akses pada parlemen dan juga pemerintahan untuk menentukan suatu proyek tertentu, korporasi yang mencari akses untuk mendapatkan proyek pembangunan dari kementerian dengan menggunakan dana APBN dan pihak birokrasi yang biasa ditunjuk mewakili kepentingan kementerian dalam mengurus proyek.

Pertama kali, kasus suap Jakabaring terungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK tanggal 21 April 2011. Ada tiga lembar cek, yaitu: 2 (dua) lembar dari Bank BCA dan satu lembar dari Bank Mega senilai Rp. 3.289.850.000 digunakan sebagai sarana penyuapan yang berkaitan dengan proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring di Sumatera Selatan. Proyek ini dibiayai APBN melalui Daftar Isian Pembangunan Anggaran (DIPA) 2010, berupa

Page 51: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

41

block grant dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) ke Pemerintah Daerah Sumatera Selatan.

Di dalam kasus di atas, Muhammad Nazaruddin juga diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan dinyatakan bersalah. Mahkamah Agung memutuskan untuk memeriksa dan mengadili sendiri kasus dimaksud. Salah satu pertimbangan hukum yang menjadi dasar untuk Mahkamah Agung menyatakan telah terpenuhinya tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Bahwa perbuatan Terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu Anggota DPR R.I secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan dengan beberapa orang dari Anggota Komisi X DPR R.I yaitu Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Koordinator di Badan Anggaran DPR R.I dari Komisi X), Mahyudin (Ketua Komisi X DPR R.I);

b. Bahwa Terdakwa juga aktif mengadakan pertemuan dengan WafidMuharam(Sesmenpora)danAndiMalarangeng(MenteriPemuda dan Olah Raga) yang bertujuan mengatur agar anggaran Proyek Pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring, Sumatera Selatan disetujui oleh Badan Anggaran DPR R.I;

c. Bahwa Terdakwa juga aktif melakukan pertemuan dengan Dudung Purwadi dan Mohamad El Idris selaku Direktur Utama dan Direktur Marketing PT. DGI Tbk. dan mengupayakan PT. DGI Tbk. menjadi pelaksana pekerjaan proyek Pembangunan Wisma Atlet Jakabaring. Dari upaya aktif tersebut, Terdakwa meminta komitmen fee kepada Mohamad El Idris Direktur Marketing PT. DGI Tbk.;

Pada kasus di atas, ada tiga peran strategis yang dilakukan terdakwa. Dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, terdakwa “menggalang” para koleganya sendiri di parlemen untuk menyetujui kebijakan penganggaran bagi kementerian tertentu. Selain itu, terdakwa juga bertemu dan berkomunikasi dengan kementerian yang memiliki pos anggaran atas proyek tertentu yang dananya sudah disetujui parlemen; dan juga, terdakwa berkordinasi dengan penguasa yang korporasinya akan digunakan untuk melaksanakan proyek pembangunan.

Bila dipelajari dengan sangat cermat, kasus ini bermula dari hanya dari 3 (tiga) orang tidak dikenal banyak dikenal publik (Mindo Rosalina

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 52: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

42 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Manulang, Mohamad El Idris dan Wafid Muharam). Kemudian,kasus ini berkembang dan ternyata melibatkan Nazaruddin. Pada akhirnya, jugamenyeret berbagai figur yang sudah begitu dikenalpublik sehingga menjadi 11 (sebelas) kasus lainnya berhasil dibawa ke pengadilan oleh KPK.

Adapun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan korporasinya Nazaruddin, yaitu antara lain: kasus Anas Urbaningrum. Putusan Mahkamah Agung di dalam salah satu pertimbangannya menyatakan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa Permai Group adalah salah satu tempat bisnis Terdakwa menerima fee di samping yang lainnya. Dalam Permai Group, Terdakwa sebagai owner (Pemilik) yang dikelola oleh Mindo Rosalina Manulang dan Yulianus serta M. Nazaruddin sebagai Bendahara. Uang tidak bisa keluar tanpa persetujuan Terdakwa;

Bahwa perbuatan Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan dititipkannya PT. Adhi Karya memperoleh Proyek Hambalang dan persiapan Terdakwa untuk menjadi Calon Ketua Umum Partai Demokrat;

Bahwa Yulianis berangkat ke Kongres Partai Demokrat di Bandung dengan membawa uang sejumlah USD 7,000,000 yang hampir semuanya bersumber dari Permai Group, uang tersebut untuk dibagikan kepada DPC-DPC;

Bahwa pembelian tanah di Jogyakarta mempunyai hubungan kausal dengan sisa uang dari fee-fee proyek yang berasal dari APBN sehingga Terdakwa melakukan tindakan menyamarkan uang dari fee-fee proyek Hambalang/APBN sebagaimana terungkap dalam fakta hukum di persidangan yang disampaikan oleh saksi Yulianis dan M. Nazaruddin sehingga perbuatan Terdakwa merupakan tindakan pencucian uang;

Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan korupsi politik. Rangkaian perbuatan Terdakwa secara berlanjut memenuhi unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 64 KUHP sebagaimana dakwaan pertama dan Pasal 3 Undang Undang No. 8 Tahun 2010 Jo Pasal 65 ayat (1) (dakwaan kedua) dan Pasal 3 ayat (1) Undang Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2003;

Page 53: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

43

Adapun pihak lainnya yang terlibat dengan perusahaan Nazaruddin, yaitu antara lain: Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng. Mereka adalah politisi dari partai yang sama yang kebetulan menjadi partainya penguasa dan kasusnya sudah diadili. Selain itu, ada nama beken dari partai lainnya, sepert: Olly Dondokambey dan I Wayan Koster yang belum jelas penanganannya yang diduga terlibat bersama Angelina.

Di berbagai kesempatan lainnya, Nazaruddin mulai dan acapkali menyebut berbagai pihak lainnya, seperti: Setya Novanto, Marwan Jafar, Ganjar Pranowo, Abdul Kadir Karding, Azis Syamsudin, Mirwan Amir, termasuk Ibas dan Gamawan Fawzi. Menurut Nazaruddin, mereka dinyatakannya sebagai pihak yang diduga punya keterlibatan dengan kasus-kasus lainnya, seperti antara lain: kasus E-KTP dan kasus lainnya.

Sementara itu, ada kasus lainnya, yaitu: Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar 2003-2013 yang tersangkut kasus korupsi dengan modus menyalahgunakan anggaran subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat Tahun Anggaran 2007-2008 untuk proyek perumahan Griya Lawu Asri (GLA).

Pengadilan Negeri Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ke Rina. Putusan ini dikabulkan pda 29 April 2015. Tapi di tingkat kasasi, Hakim Agung Artidjo Alkostar, bersama MS Lumme dan Krisna Harahap memperberat hukuman Rina menjadi 12 (dua belas) tahun penjara atau 2 (dua) tahun di atas tuntutan jaksa.

Pada putusan itu, Hakim Agung Artidjo menyatakan dan merumuskan bahwa tindakan Rina dikualifikasi sebagai korupsipolitik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Lebih lanjut dikemukakan “… Terdakwa mempergunakan sebagian uang hasil korupsi sebesar Rp 2,4 miliar untuk kepentingan pribadi, yaitu dibagikan kepada pengurus politik pendukung terdakwa dalam rangka Pilkada 2008 sehingga perbuatan terdakwa merupakan korupsi politik …”.

Berkaitan dengan tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai‘korupsi politik’, Hakim Agung Artidjo juga menyatakan, mantan PresidenPKSLuthfiHasanIshaaqLHItelahmelakukankejahatan‘korupsi politik’, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 54: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

44 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

digunakan sebagai alat kejahatan sehingga memperberat hukuman Luthfimenjadi18(delapanbelas)tahunpenjara.

Dalam putusan tersebut dikemukakan “… Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan kekuasaan legislatif dengan Maria Elizabeth Liman, pengusaha impor daging sapi, merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) …”. Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan seperti tersebut di atas maka dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu sebagai berikut:

Pertama, tindakan yang dilakukan berbagai pihak, seperti: MuhammadNazaruddin,AnasUrbaningrum,RaniIrianidanLuthfiHasanIshaaqtelahdikualifikasisebagaitindakpidanakorupsidankeputusannya telah tetap menurut hukum karena sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung.

Ada pihak lainnya yang belum diperiksa di pengadilan tetapi di dalam dakwaan sudah disebutkan dan tindakan kejahatan dilakukan secara bersama-sama maka kepada mereka telah layak untuk dikualifikasi melakukan tindakan yang disebut koruptif. Ada jugakasus dari Ariesman Widjaja dan Mohamad Sanusi yang proses hukumnya di pengadilan sedang dilakukan tetapi belum selesai.

Karena pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio atau corruptus” atau dari kata asal “corrumpere“, yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua dan turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi; serta dipadankan dengan pengertian yang dirumuskan The Lexicon Webster Dictionary, maka tindakan koruptif adalah tindakan yang bersifat kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina ataumemfitnah.

Para pihak yang sudah disebutkan di dalam dakwaan, rumusan dakwaannya telah diuji di muka pengadilan dan para pihak itu dinyatakan telah menerima sesuatu yang bertentangan dengan perundangan, kewajiban hukum serta kepatutan, para pihak tersebut sudah dapat dikualifikasi telah melakukan suatu tindakan yangdikualifikasisebagaiperbuatankorupsi.

Kedua, tindakan subyek hukum tersebut di dalam poin pertama dilakukan oleh para pihak yang menjadi bagian dan punya relasi dengan politik dalam berbagai aspeknya. Salah satunya, korupsi

Page 55: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

45

tersebut dilakukan pejabat publik yang juga politisi dan sebagian uang hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Pada konteks itu, mereka menggunakan korporasi sebagai sarana dan prasarana kejahatan.

Pendeknya, tindakan sebagian para pihak seperti tersebut di dalam butir pertama, juga berkaitan dengan korporasi, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya Permai Group, perusahaan itu secara faktual dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, perusahaan dimaksud juga melakukan tindakan lain yang merupakan bagian dari kejahatan lainnya dengan menggunakan uang yang didapatkan dari hasil kejahatan.

Ketiga, ada fakta kongkrit yang tidak terbantahkan, korporasi yang dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan dimaksud, secara hukum, tidak pernah dinyatakan sebagai perusahaan pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Selama ini, di dalam pratik penegakan hukum di Indonesia, sebagian besar kejahatan korupsi, pihak atau subyek hukum yang dibawa dan diperiksa serta dihukum pengadilan hanyalah pelaku yang mewakili korporasi atau sebagian pemiliknya saja.

Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dimana ada frasa kata “setiap orang” yang artinya, setiap orang adalah orang perseorangan dan juga termasuk korporasi belum diefektifkan dan diaktifkan secara paripurna. Oleh karena itu, perusahaan Permai Group, PT Agung Podomoro Land, PT. Adhi Karya, PT DGI, Dutasari Citra Laras, PT. Indoguna Utama dan perusahaan lainnya yang terlibat di dalam tindak pidana korupsi masih terus dapat bekerja dan beroperasi kendati secara faktual telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan para pemiliknya.

Fakta ini hendak menegaskan, sebagian besar pelaku kejahatan, maksudnya, korporasi yang terlibat maupun menjadi bagian dari kejahatan belum disentuh dan ditarik menjadi pihak yang juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Pemerintahan melalui lembaga dan aparatur penegakan hukumnya telah melakukan pembiaran dengan sangat sempurna atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.

Itu sebabnya, KPK harus didorong untuk segera mengaktualisasikan komitmennya dan kehendak kuatnya untuk membawa kasus

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 56: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

46 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

korporasi, khususnya, korporasi yang diduga terlibat melakukan tindak pidana korupsi ke depan persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Fakta bahwa korporasi belum dibawa ke pengadilan dapat dimaknai sebagai tindak pembiaran. Di KPK ada sekitar 90% kasus korupsi yang ditanganinya berkaitan dan turut melibatkan korporasi. Oleh Karena itu, KPK harus didorong untuk sesegera mungkin menanganai penyuapan yang dilakukan korporasi untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau memengaruhi kebijakan. Itu juga artinya, dugaan kasus penyuapan yang dilakukan korporasi, yakni sebesar 50,9%, serta 28,7% di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, dan 8,5% kasus penyalahgunaan anggaran.

Salah seorang Hakim Agung, Surya Jaya dalam diskusi bertajuk “Pertanggungjawaban dan Pemidanaan Korporasi dalam Perkara Tipikor” menuyatakan “… korporasi seringkali digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana, bahkan sampai dijadikan tameng untuk melindungi hasil kejahatan yang dilakukan seorang pengurus korporasi. Hampir setiap perkara korupsi yang dilakukan seseorang atas nama perusahaan bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri …”.

Korupsi korporasi sudah menjadi perhatian dari komunitas internasional. Setidaknya hal ini dapat dilacak dari aturan yang dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal UNCAC Tahun 2013 yang menyatakan “… Each State Party shall take measures, in accordance with the fundamental principles of its domestic law, to prevent corruption involving the private sector, enhance accounting and auditing standards in the private sector and, where appropriate, provide effective, proportionate and dissuasive civil, administrative or criminal penalties for failure to comply with such measures …”.

Di dalam pasal di atas, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta dan bahkan diminta memberikan sanksi, baik perdata, administratif atau pidana yang efektif. Di bagian pasal lainnya, juga diatur, tindak pidana korupsi oleh korporasi, yaitu: penyuapan di sektor swasta dan penggelapan kekayaan di sektor swasta.

Di dalam kriminologi kejahatan, semula dikenal kejahatan korporasi, baik yang dilakukan pihak yang mewakili atau menjadi manajer di perusahaan maupun perusahaan itu sendiri. Di beberapa referensi dikemukakan “… corporate crime refers to crimes

Page 57: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

47

committed either by a corporation (i.e., a business entity having a separate legal personality from the natural persons that manage its activities), or by individuals acting on behalf of a corporation or other business entity …”.

Selain itu, di berbagai ketentuan, terjadi apa disebut sebagai overlaps antara kejahatan korporasi dengan white-collar crime, organize crime maupun state corporate crime. Sebenarnya, di sisi lainnya, juga tidak bisa disebut sebagai tumpang tindih karena di dalam kejahatan korporasi juga dapat terdapat sifat dan karakter yang berkaitan dengan white-collar crime, organize crime maupun state corporate crime.

Hal ini disebabkan, sebagian besar pelaku kejahatan di korporasi adalah kalangan profesional yang memang memiliki kemampuan mengorganisasikan kejahatan lebih baik dan canggih ketimbang kejahatan yang dilakukan penjahat biasa, misalnya: melalui pencucian uang. Hal serupa juga dengan state-corporate crime karena di dalam banyak kasus, kejahatan terjadi karena adanya kerjasama penyelenggara negara dengan pejabat korporasi yang disebutkan “… in many contexts, the opportunity to commit crime emerges from the relationship between the corporation and the state ...”.

Bahkan ada pernyataan yang provokatif yang menyatakan “… there is evidence that the private sector has as much responsibility in generating corruption as the public sector … particular situations such as state capture can be very damaging for the economy …”. Pada situasi seperti itu, indikasi bekerja kekuatan oligarki menjadi menarik untuk diperhatikan.

Di Amerika dan Inggris, kejahatan korporasi, termasuk di dalamnya korupsi di korporasi menjadi salah satu fokus utama yang sangat diperhatikan. Oleh karena itu, ada aturan yang sangat ketat yang mengatur hal dimaksud, khususnya pada berbagai perusahaan besar yang operasinya mencakup level internasional. Perusahaan dimaksud, diwajibkan untuk mencari partner bisnis yang juga memperhatikan hal yang berkaitan dengan etik dan perilaku anti bribery. Hal tersebut dikemukakan oleh Sullivan (John D Sullivan, 2011, 2) dengan menyatakan:

In fact, legislation such as the U.S. Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) or the United Kingdom Bribery Act places legal responsibility on large companies for the behavior of their suppliers and distributors in global value chains. Enforcement of these laws is creating pressure

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 58: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

48 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

for companies to seek overseas business partners who share their commitment to anti-corruption. It also removes deniability of wrongdoing at the C-suite level when a local agent or supplier pays a bribe. Therefore, internal compliance becomes a key element of the board’s approach to risk management.

Apa yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan bila dilihat berbagai fakta kejahatan yang melibatkan korporasi di berbagai negara tersebut. Daftar di bawah ini menjelaskan kejahatan korporasi yang dilakukan di Amerika yang ditangani dengan menggunakan FCPA di dalam pemerintahan Obama (Merrill, 2011, The Ten Largest Global Business Corruption Cases), yaitu sebagai berikut:

DATE COMPANY (HQ COUNTRY) DOJ SETTLE-MENT AMOUNT

CHARGE

12/15/2008 Siemens (Germany) $1.6 billion Bribed Argentine government officials to win government i.d. contract

2/11/2009 KBR/Halliburton (U.S.) $579 million Led four-company global consortium that bribed Nigerian officials to win construction contracts

2/5/2010 BAE Systems (U.S.) $448 million Paid $2 billion in bribes to Saudi Arabian ambassador Bandar bin Sultan in a multi-billion-dollar arms deal

7/7/2010 Snamprogetti (Netherlands) $240 million Bribed Nigerian officials to win construction contracts

6/28/2010 Technip S.A. (France) $240 million Bribed Nigerian officials to win construction contracts

4/6/2011 JGC Corp. (Japan) $219 million Bribed Nigerian officials to win construction contracts

4/1/2010 Daimler AG (Germany) $195 million Made illegal payments to foreign officials worth tens of millions of dollars in at least 22 countries

3/10/2011 Alcatel-Lucent (France) $137 million Bribed officials to win telecommunications contracts in Costa Rica, Honduras, Taiwan, Malaysia and other countries

11/4/2010 Panalpina World Transport (Switzerland)

$76 million Oil transport company and U.S. affiliate paid thousands of bribes totaling at least $27 million to foreign officials in at least seven countries, including Angola, Azerbaijan, Brazil, Kazakhstan, Nigeria, Russia and Turkmenistan

4/8/2011 Johnson & Johnson (U.S.) $70 million Bribed government-paid doctors and health officials to promote sales of medical devices in Greece, Poland and Romania

Bilamana data di atas dikaitkan dengan informasi lainnya,

Page 59: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

49

berkaitan dengan indikasi adanya korupsi di dalam sistem keuangan di Amerika maka akan ditemukan hal menarik. Merrill menuliskannya sebagai berikut “… if you ask most Americans, they will agree that the financial system is corrupt. It is generally assumed that just like most politicians, most big bankers are corrupt by nature …”.

Dengan demikian, kejahatan korporasi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia tapi juga terjadi di berbagai negara lainnya. Pada kejahatan itu, ditemukan relasi indikasi korupsi yang dilakukan politisi dan pengusaha di dalam kejahatan korporasi. Itu sebabnya, ada ketentuan hukum yang tegas dengan sanksi yang sangat keras seperti diatur di US Foreign Corrupt Practice Act maupun United Kingdom Bribery Act sebagai salah satu strategi untuk memberantas korupsi.

Berkaitan dengan korupsi politik, Blechinger (Corruption and Political Parties 2002, ) menyebutkan ada 3 (tiga) jenis korupsi yang berkaitan dengan politik, yaitu korupsi yang dilakukan: pertama, partai politik sebagai salah satu aktor kunci; kedua, korupsi yang berkaitan dengan proses dan sistem pemilihan umum; dan ketiga, korupsi yang terjadi karena adanya perselingkuhan kekuasaan dan bisnis. Yakni, adanya persekongkolan antara politisi dengan pebisnis.

Berkaitan dengan korupsi jenis ketiga di atas, Mark Philp (Conceptualizing Political Corruption 2002, 42 & 51) menyatakan bahwa korupsi politik “… where people break the rules, and do so knowingly, while subverting the public interest in the search for private gain and the benefit of a third party, in ways which runs directly counter to the accepted standards of practices within the political culture …”.

Lebih lanjut, Mark Philp menyatakan bahwa prasyarat untuk dapat sebagai perbuatan korupsi politik, yaitu: pertama, dilakukan pejabat publik; kedua, merusak kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh publik; ketiga, dilakukan dengan mengeksploitasi jabatan publik untuk kepentingan pribadi, serta bertentangan dengan regulasi dan standar etis perilaku pejabat publik dan budaya politik; kelima, tindakannya menguntungkan pihak ketiga, salah satu caranya dengan memfasilitasi sehingga pihak ketiga tersebut mempunyai akses terhadap kebijakan dan kemudahan pelayanan yang tidak diperoleh orang lain. Sekali lagi, situasi ini potensial menciptakan peluang terbentuknya oligarki politik-bisnis.

Pada banyak kasus korupsi politik, acapkali dilakukan

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 60: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

50 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

penyalahgunaan kewenangan yang bersifat diskresi. Itu sebabnya, tindakan tersebut biasa disebut sebagai discritionery corruption Karena memanipulasi kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan sehingga seolah nampaknya bersifat sah tetapi sesungguhnya tidak legitimated. Di dalam bentuk yang sudah akut dan dilakukan secara sistematis dan terstruktur kelompok kekuasaan maka tindak korupsi yang terjadi biasa disebut sebagai ideological corruption yaitu suatu jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok dan dilakukan secara terorganisir dengan kelompok dimaksud.

K E S I M P U L A N

Berdasarkan seluruh uraian di atas, ada beberapa hal penting lain yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan korupsi korporasi dan korupsi politik, yaitu antara lain sebagai berikut:

Pertama, korupsi korporasi dan korupsi politik acapkali berkaitan satu dan lainnya. Bahkan, seolah ada relasi yang tak terpisahkan satu dan lainnya. Berbagai contoh yang diajukan di dalam pembahasan di atas menunjukan hal tersebut;

Kedua, di dalam korupsi korporasi, pelakunya bisa saja hanya berasal dari korporasi dimaksud saja tetapi juga dapat terjadi, adanya kerjasama diantara penyelenggara negara dengan kalangan korporasi. Di dalam contoh lainnya, penyelenggara negara tertentu yang juga memiliki atau sebagai pemegang saham dari suatu korporasi.

Ketiga, pada konteks di atas, pihak yang menjadi bagian dari lembaga dan kepentingan kekuasaan dana atau kepentingan politik tertentu memanfaatkan atau menyalahgunakan, akses dan otoritas yang dimiliknya dengan menggunakan korporasi yang ada dalam kendalinya atau menjadi bagian dari kepentingannya. Pendeknya, di dalam praktiknya, para pemegang mandat kekuasaan, acapkali menggunakan korporasi seperti telah diuraikan di atas, baik secara langsung yang ada di bawah kendalinya atau secara tidak langsung bekerja bersama digunakan sebagai sarana dan prasarana untuk melakukan kejahatan.

Keempat, juga dapat terjadi, sedari awal, ada persekutuan atau sindikasi antara tindak korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak yang memegang dan memiliki otoritas dan kewenangan yang melekat pada jabatan politik tertentu dengan

Page 61: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

51

pihak yang mewakili kepentingan korporasi untuk secara bersama memanfaatkan, mengeksploitasi atau menyalahgunakan sumber daya publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan privat dan kelompoknya sendiri.

Kelima, kini, ada indikasi, persilangan kepentingan antara korporasi, penyelenggara negara dan politisi dan korupsi politik tidak menggunakan keuangan negara secara langsung sehingga sulit dibuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara. Pada kasus tertentu, dana yang digunakan berasal dari korporasi dan ditujukan untuk “membeli” otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara. Pada konteks ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat mendikte hingga menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa disebut sebagai capital and corporate driven atas berbagai proyek yang tidak ditujukan untuk kepentingan publik.

Penegak hukum mengalami kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di dalam kasus ini karena sifat kasusnya menjadi beyond the law. Pada kasus ini, pemilik otoritas “menggadaikan” kewenangannya atau memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan pemilik kapital yang telah “membayarnya”, bisa saja secara tidak langsung. Pendeknya, kebijakan untuk kepentingan publik telah “dibajak” oleh kepentingan korporasi tetapi menggunakan dalih untuk dan atas nama kepentingan rakyat dan pembangunan

Keenam, besaran dampak dan kerugian pada jenis korupsi korporasi yang bersekutu atau berselingkuh dengan korupsi politik bisa sangat besar sekali. Sangat mungkin terjadi, kapitalisasi dan eksploitasi keuntungan yang dahsyat luar biasa. Secara langsung, seolah, tidak merugikan keuangan negara tetapi sesungguhnya kemaslahatan publik akan sangat dirugikan sekali karena corporate driven mengejar kapitalisasi profit dan acapkali menegasikandan mendelegitimasi kepentingan rakyat, khususnya, rakyat kecil kebanyakan dan kaum dhuafa.

Ketujuh, persekutuan dan perselingkuhan korupsi politik dan korupsi korporasi kerap dilakukan dengan membangun kebijakan tertentu yang berpihak dan mempunyai favoritism dan menguntungkan kepentingan dari korporasi tertentu yang sudah membiayai dan membeli otorits kekuasaan dari penyelenggaraan negara.

Kesemuanya itu ditujukan untuk mendelegitimasi terjadinya unsur menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi(Bambang Widjojanto)

Page 62: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

52 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

hukum karena semua peraturan hukum dibuat dirancang untuk melegitimasi penyalahgunaan. Legal tapi tidak legimated atau legal tapi tidak berbasis pada kepentingan kemaslahatan publik.

R E F E R E N S I

Blechinger, Verena, 2002, Corruption and Political Parties, Presentation USAID MSI, Management Systems International

Fockema Andreae, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Bina Cipta, 1983

John D Sullivan PhD., The Role of Corporate Governance in Figthing of Corruption, 2011

Philp, Mark, 2002, “Conceptualizing Political Corruption”, dalam Heidenheimer, Arnold J. & Johnston, Michael (eds), Political Corruption: A Hand Book, Third Edition, Transaction Publisher: New Jersey

Mahkamah Agung, Putusan No. 1261 K/Pid.Sus/2015

Mahkamah Agung, Putusan No. 2223 K/Pid.Sus/20012

United Nation Convention Against Corruption Tahun 2013

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

Undang Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Undang Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

UndangUndangNo.7Tahun2006tentangRatifikasiUNCAC2003

http://www.thefiscaltimes.com/Articles/2011/12/13/The-Ten-Largest-Global-Business-Corruption-Cases by Merrill Goozner, The Fiscal Times, December 13, 2011

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/063762580/terkuak-aguan-diduga-dalang-suap-reklamasi-ini-buktinya

http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/30/1320464/Korporasi.yang.Terlibat.Korupsi.Kerap.Tak.Tersentuh.Hukum

http://jateng.tribunnews.com/2016/08/11/kpk-perusahaan-bisa-jadi-tersangka-korupsi

http://kbr.id/08-2016/ketua_kpk__akan_ada_korporasi_jadi_tersangka_korupsi/83938.html

http://news.detik.com/berita/3293009/cerita-aguan-soal-kontribusi-bagi-pengembang-reklamasi-yang-berubah-ubah

Page 63: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

53

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?

Andreas Nathaniel Marbun

MaPPI – Fakultas Hukum Universitas Indonesia

[email protected]

A B S T R A K

Kerugian yang diakibatkan suap di sektor privat, tidak hanya soal jumlah uang, tetapi juga menciptakan inefisiensi, memperbanyakkejahatan, memperlamban pertumbuhan, dan memperburuk citra dan iklim investasi nasional secara makro. Tak heran, dikarenakan sedemikian parahnya dampak yang diciptakan, hingga Konvensi PBBtentangpemberantasankorupsi(UNCAC)yangtelahdiratifikasiIndonesia, pun akhirnya menganjurkan agar negara-negara mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Namun, hingga detik ini Indonesia belum mengkategorikan suap di sektor swasta sebagai suatu tindak pidana korupsi. Sehingga, setiap pelaku suap di sektor swasta tidaklah dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Wajar jika kerap kali masyarakat kebingungan mencari cara bagaimana agar sistem hukum Indonesia dapat menjerat para pelaku suap di sektor privat. Meski begitu, bukan berarti suap di sektor swasta tidak dapat dijerat dengan hukum positif Indonesia. Bahkan sebelum lahirnya UNCAC, Indonesia sudah terlebih dahulu mempidana suap di sektor swasta, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU 11/1980). Sayangnya, aturan ini bagai ketentuan yang terlupakan dan

Page 64: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

54 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

nyaris tak pernah digunakan. Adanya permasalahan yang sistemik, sedikit banyak mempengaruhi enggannya penegak hukum untuk menerapkan peraturan tersebut.

Kata kunci: Suap Sektor Swasta/Privat, UNCAC, Korupsi, Suap, Inefisiensi

“The private sector also has a crucial role. Good behaviour is good business. Business groups can convert anti-corruption action into firm support for sustainable development. I call on everyone to help end corruption, and come together for global fairness and equity. The world and its people can no longer afford, nor tolerate, corruption.” (Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa, dalam pesannya pada hari anti-korupsi dunia, tanggal 9 Desember 2014)

P E N D A H U L U A N

Desember 2016 kemarin, genap sudah satu dekade Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa melawan Korupsi (United Nation Convention Againts Corruption yang selanjutnya akan disebut dengan UNCAC)diratifikasiolehIndonesia.Penelitiantentanggap analysis antara UNCAC dengan undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 yang kemudian diubah melalui undang-undang nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) juga sudah bertebaran dimana-mana dan dilakukan oleh banyak peneliti dan pemerhati hukum. Sayangnya, belum ada usaha serius dari pemerintah untuk sepenuhnya comply dengan UNCAC.

Hal tersebut tidaklah salah sepenuhnya, mengingat dari kesebelas tindakan yang dikriminalisasi dalam UNCAC, ada yang bersifat mandatory offences, dan ada pula yang bersifat non-mandatory offences. Dalam hal ini, Indonesia memang memiliki hak untuk tidak mengikuti sepenuhnya pengaturan yang ada di UNCAC. Prof. Eddie O.S. Hiariej menyatakan bahwa kedua sifat tersebut memiliki kaitan dengan kesepakatan negara-negara peserta dalam konvensi tersebut. Jika suatu tindakan yang dikriminalisasikan bersifat mandatory berarti ada kesepakatan dari seluruh peserta konvensi untuk mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang nasionalnya sehingga menimbulkan kewajiban dari negara pihak (state party) (Eddy O.S. Hiariej, 2014). Sebaliknya, jika suatu tindakan bersifat non-mandatory berarti tidak ada kesepakatan di antara para

Page 65: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

55

peserta konvensi untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai kriminal.

Untuk membedakan kedua sifat tersebut, terdapat kata kunci yang membedakan antara tindakan yang bersifat mandatory offences dan non-mandatory offences. Untuk mandatory offences pasti terdapat klausul ‘Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan,…” (Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences,…) Sedangkan untuk non-mandatory offences pasti terdapat klausul “Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan,…” (Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences).

Dari kesebelas tindakan yang dikriminalisasi oleh UNCAC, ada enam tindakan yang bersifat mandatory yakni;1. Penyuapan pejabat publik nasional (Bribery of national public

officials)2. Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi

internasional publik (Bribery of foreign public officials and officials of public international organizations)

3. Penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik (Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official)

4. Penyalahgunaan fungsi (Abuse of function)5. Pencucian hasil kejahatan (Laundering of proceeds of crime) 6. Menghalangi proses peradilan (Obstruction of justice)

Disamping itu, terdapat 5 tindakan yang bersifat non-mandatory offences, yakni;1. Perdagangan pengaruh (Trading in influence) 2. Memperkaya diri sendiri secara tidak sah (Illicit enrichment)3. Penyembunyian (Concealment)4. Penggelapan kekayaan di sektor swasta (Emblezzement of

property in the private sector dan)5. Penyuapan di sektor swasta (Bribery in the private sector)

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 66: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

56 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Dari kelima non-mandatory offences yang diatur pada UNCAC, salah satu yang cukup sering menjadi sorotan dan topik pembahasan, baik tingkat nasional maupun internasional adalah tentang penyuapan di sektor swasta.

Apa Itu Bribery in Private Sector?Kisah tentang kasus korupsi bukan merupakan hal baru dalam

kehidupan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Joseph T.Wells (2012, xi) yang menyatakan “Corruption is not a new development for humankind. As long as there have been recorded accounts of human history, there have been stories of deceptive self-dealing and betrayal for personal gain.” Hal ini sejalan dengan fakta dari lintasan sejarah peradaban manusia dimana seolah-olah korupsi telah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari masyarakat, mulai dari peradaban pada zaman yunani kuno,1 peradaban pada zaman romawi2, peradaban pada zaman kegelapan (dark age) atau abad pertengahan (medieval),3 hingga di abad 21 ini4.

Sebelum bicara tentang suap di sektor privat, perlu rasanya kita semua memahami bahwa korupsi pada dasarnya tak hanya dapat terjadi di sektor publik. Sektor swasta juga tak luput dari korupsi. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Robert Klitgaard yang menyatakan, “Corruption can be defined as the misuse of office for personal gain. The office can be a public office, or it can be any position of power, including the private sector, nonprofit organizations, even university professors.” (Robert Klitgaard, 2008) Terkait pemahaman korupsi pada sektor privat secara umum, Antonio Argandoña menjelaskan “Private-sector corruption means that a manager or employee chooses to act for his own benefit, and contrary to his duties and responsibilities” (Antonio Argandoña, 2003). Bentuknya-pun bermacam-macam, Transparency International (2009) menjelaskan bahwa, “Corruption in the private sector takes many forms, among

1 Baca Kellam Conover, Bribery in Classical Athens, (New Jersey: University of Princeton, 2010)

2 Baca Joseph T. Wells, Op.cit. dan Anthonny A. Barrett, Caligula, The Corruption of Power, (London, Routledge, 1989)

3 Baca Zaccheus Gbenga A., Corruption of The Church During The Medieval Period: A Brief Study dan Don Fanning, “Roman Catholic Era Medieval Period”, (Virginia: Liberty University, 2009)

4 Baca Leo V. Ryan, “Combating Corruption: The 21st-Century Ethical Challenge”, Business Ethics Quarterly, Cambridge University Press, Vol. 10, No. 1, Globalization and the Ethics of Business (Jan., 2000)

Page 67: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

57

them bribery, undue influence, fraud, money laundering and collusion.”

Dari penjelasan Transparency International tersebut, dapat dilihat bahwa suap di sektor swasta merupakan salah satu bentuk korupsi yang dapat terjadi pada sektor privat. Bribery in Private Sector itu sendiri sudah diatur dalam pasal 21 UNCAC. Adapun pengaturan lengkap dari ketentuan tersebut ialah sebagai berikut;

“Article 21 UNCAC: Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish ascriminaloffences,whencommittedintentionallyinthecourseofeconomic,financialorcommercialactivities:

(a) The promise, offering or giving, directly or indirectly, of anundue advantage to any person who directs or works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself or for another person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain from acting;

(b) The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of an undue advantage by any person who directs or works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself or for another person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain from acting”

Singkatnya, suap di sektor swasta itu sendiri sama seperti suap pada sektor publik, hanya saja pihak yang menerima suap (passive bribery), bukanlah pejabat publik dan pihak yang menerima suap tersebut bertindak sesuatu (commission), maupun tidak bertindak sesuatu (omission) yang berlawanan dengan kewajibannya.5 Sebagai contoh, jika ada seorang bagian kepegawaian atau Human Resource Development di suatu perusahaan swasta X, diberikan sejumlah uang oleh salah satu calon pelamar kerja, agar si pemberi uang tersebut dapat bekerja di perusahaan tersebut, dan kedua belah pihak sepakat dan memiliki niat yang sama (meeting of mind), maka hal tersebut masuk dalam kategori ‘bribery in private sector.

Untuk terjemahan pada Bahasa Indonesia sendiri, banyak pihak yang menggunakan terminologi ‘Suap (di) Sektor Swasta’ maupun

5 Perlu diperhatikan bahwa suap berbeda dengan pemerasan. Perbedaan tersebut lahir dari asal niatan penerima suap tersebut. Baca Lars Johannsen et.al., Private-to-Private Corruption; A survey on Danish and Estonian business environment, hlm. 19 Mereka menyatakan bahwa “[B]ribery (in private sector) relates to acts where the employee breaches his loyalty to the firm in his own interests. When bribes are requested, it becomes a case of extortion.”

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 68: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

58 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

‘Suap (di) Sektor Privat’. Dikarenakan belum ada terjemahan resmi yang diatur oleh peraturan tertentu, oleh karena itu, dalam paper ini, penulis akan menggunakan kedua terminologi tersebut secara bergantian.

A P A D A M P A K B U R U K K O R U P S I S E K T O R S W A S T A ?

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Korupsi selalu membawa dampak buruk. Tidak hanya pada tataran pemerintahan, namun juga sektor swasta (bahkan di setiap sektor). Lebih jauh Harriet Kemp (2014) pernah menyatakan;

“The effects of corruption on society are well documented.Politically it represents an obstacle to democracy and the rule of law; economically it depletes a country’s wealth, often diverting it to corruptofficials’pocketsand,atitscore,itputsanimbalanceintheway that business is done, enabling those who practise corruption to win… [C]orruption is not a victimless crime; it leads to decisions being made for the wrong reasons… Corruption costs people freedom, health and human rights and, in the worst cases, their lives. It may also cost companies”

Berangkat dari pernyataan Kemp, salah satu dampak buruk yang disebabkan oleh adanya korupsi di sektor swasta ialah adanya inefisiensidisektorswastaitusendiri.Lebihlanjut,OrganisationforEconomic Co-operation and Development (OECD), sebuah organisasi yang bergerak dan mempromosikan kebijakan yang memberi dampak positif dalam sektor ekonomi dan sosial (2014) juga menjelaskan terkait munculnya inefisiensi jika terjadi kasus korupsi di sectorprivat. Lengkapnya, OECD menyampaikan sebagai berikut;

“Overall, corruption reduces efficiency and increases inequality. Estimates show that the cost of corruption equals more than 5% of global GDP (US$ 2.6 trillion, WorldEconomic Forum) with over US$ 1 trillion paid in bribes each year (World Bank). It is not only a question of ethics; we simply cannot afford such waste.”

Lebih lanjut, OECD (2014) juga menjelaskan bahwa korupsi memperberat biaya untuk melakukan suatu proses perdagangan, lengkapnya OECD menjelaskan bahwa;

“First, bribes and drawn-out negotiations to bargain them add additional costs to a transaction. Second, corruption brings with it the

Page 69: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

59

risk of prosecution, important penalties, blacklisting and reputational damage. Third, engaging in bribery creates business uncertainty, as such behaviour does not necessarily guarantee business to a company; there can always be another competing company willing toofferahigherbribetotiltthebusinessinitsfavour.Onthemacrolevel, corruption distorts market mechanisms, like fair competition anddetersdomesticandforeigninvestments,thusstiflinggrowthandfuture business opportunities for all stakeholders.”

Peningkatan biaya tersebut tidak hanya terjadi bagi para businessman, tetapi juga berdampak buruk bagi para konsumen hinggaketidakefisiensianpenggunaandanalokasisumberdaya.Halini sebagaimana dielaborasi lebih lanjut oleh Wendy Robinson (2013) yang menyatakan:

“Because corruption entails improper use of the available resources,itcanjeopardizetheefficiencyofabusinessorganization…Resources that could be useful in implementing business strategies are derailed or used unproductively. The practice may lead to loss of customers who lose faith in the organization and prefer rival products, leading to losses. Besides, internal or external corruption may force a companytoinflateitspricessoastorecoverlostresources.Competingfirmscanseizethisopportunitytooutdotheaffectedfirm,leadingtoasignificantdeclineinmarketsharefortheaffectedorganization.Thefirmcanalsoaccruelossestryingtoreassureitscustomers,partnersand the general public, or dealing with sanctions and lawsuits resulting from its corruption activities.”

Terkait buruknya dampak yang ditimbulkan korupsi bagi sektor privat, Firma Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) chapter India6 pernah membuat suatu survey tentang Suap dan Korupsi terkait dengan dampaknya terhadap ekonomi dan bisnis. Adapun dalam laporan tersebut, KPMG (2011) menyatakan;

“Respondents opined that the biggest impact of corruption on business is its tendency to skew the levelplayingfi eld andattractorganisations with lesser capability to execute projects. Such practices couldhaveaseriousimpactonefficiencyandthequalityofdeliveryresulting in increased costs, a point again highlighted by 99 percent of respondents.”

6 Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) merupakan suatu jaringan internasional yang berhubungan dengan jasa perpajakan dan advisory services. KPMG berpusat di Amstelveen, Belanda

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 70: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

60 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Atas survey tersebut, KPMG India memberikan beberapa data hasil survey yang telah dilakukan lembaga tersebut, diantaranya ialah impact of corruption in business dan cost of corruption. Adapun datanya sebagaimana ditampilkan di bawah.:

Tidaksekedarinefisiensi,korupsidisektorswastajugaberdampakpada buruknya sistem persaingan usaha disuatu negara tertentu (hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian penjabaran mengenai pengaturan suap di sektor swasta negara Switzerland). Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan Wendy Wysong (2012) yang menyatakan;

“[F]ocus has broadened to include bribery in the private sector, largely due to market pressures. While private sector bribery does not directly affect the public trust vested in the government, itdirectly impacts fair competition standards and hampers economic developmentinmanyregionsincludingsomeAsiaPacificcountries.”

Page 71: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

61

Tak heran jika Switzerland, pernah mengkategorikan korupsi (suap lebihspesifiknya)di sektor swasta,masuksebagaiketentuanpidana yang ada dalam Undang-Undang Persaingan Usaha negara tersebut.

Dampak jangka panjangnya, suatu perusahaan pasti dapat terkena imbas kerugian jika terus menerus berada dalam lingkungan bisnis yang bersifat korup. Hal ini sebagaimana dijelaskan juga oleh Gina Marie Cheeseman (2009) yang menyatakan “[A] 2007 survey of business executives found that 43 percent of respondents believed they lost business because a competitor paid a bribe.” Lebih lanjut, Wendy Robinson (2013) menjabarkan dampak buruk berupa perusahaan yang akan merugi dalam jangka mendatang. Lengkapnya, beliau berpendapat:

“…[R]esources that would be used in implementing important business operations are instead employed in unrelated or unproductive functions. Bribery in the process of awarding tenders and contracts may result in enlistment of incompetent contractors. In the process, businessefficiencyandproductivitysuffer.Inefficiencycanalsoresultfrom employees who are demoralized -- due to corruption in the business. Besides, fraud in the recruitment process may lead to hiring ofincompetentemployeeswhoareunproductiveinthefirm.”

P E R B A N D I N G A N K E T E N T U A N S U A P D I S E K T O R S W A S T A

BelandaBelanda merupakan salah satu negara yang telah mempidana suap

di sektor swasta, dan memasukkan kebijakan pemidanaan terhadap suap di sektor suap tersebut ke dalam KUHP Belanda.7 Terkait suap

7 Sebagai pengantar, dapat dibaca di Bonelli Erede Papalardo et.al, Compliying With Bribery Laws in Key European Jurisdiction, https://www.slaughterandmay.com/media/1775736/complying-with-bribery-laws-in-key-european-jurisdictions.pdf , diakses pada tanggal 7 November 2016

Baca juga GAN Bussiness Anti-Corruption Portal, Netherlands Corruption Report, http://www.business-anti-corruption.com/country-profiles/Netherlandsdiakses pada tanggal 7 November 2016

Secara umum, Netherland’s Corruption Report melaporkan “The Dutch Penal Code makes it illegal for anyone to give or receive a bribe in the public or private sector”

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 72: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

62 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

di sektor swasta ini, Belanda mengkriminalisasi tindakan tersebut, karena adanya pihak yang telah menerima suatu pemberian dari pihak lain agar yang menerima tersebut bertindak di luar daripada ketentuan yang ada dengan tanpa niat baik. Lengkapnya, Bonelli Erede Papalardo et.al (2012) menjelaskan bahwa “In the Netherlands, private sector bribery is criminalized if the bribed person conceals his gift or promise from his employer in breach of the requirement to act in good faith.”

Lebih lanjut, pada dasarnya terdapat perbedaan terminologi yang digunakan oleh KUHP Belanda dengan UNCAC dalam merumuskan delik suap di sektor swasta ini. Jika UNCAC menggunakan terminologi ‘Bribery in Private Sector’, Belanda justru menggunakan definisi‘Private Commercial Bribery’ (Mark F. Mendelsohn et.al., 2014: 192). Namun dalam rumusan pengaturannya, tidaklah memiliki pengaturan yang berbeda dengan suap di sektor privat. Tak heran, jika GRECO (Group d’Etats Contre la Corruption/ Group of States Against Corruption), sebuah organisasi yang menilai kecocokan produk hukum dan program-program anti-korupsi di negara-negara Eropa dengan konvensi anti-korupsi yang telah dibuat dan disepakati oleh Uni Eropa, justru mengkategorikan delik tersebut sebagai ‘bribery in private sector’. (2008)

Semenjak 1967, KUHP Belanda tidak hanya mempidana Suap Aktif terhadap Pejabat Publik sebagaimana diatur dalam section 177 Dutch Criminal Code (selanjutnya akan disebut DCC atau KUHP Belanda) – 178 DCC, dan Suap Pasif terhadap Pejabat Publik sebagaimana diatur dalam section 363 DCC – 364 DCC, tapi juga mempidana Suap di Sektor Swasta, baik aktif maupun pasif, sebagaimana diatur dalam section 328ter DCC ayat 1 dan 2 yang mengatur sebagai berikut:

“1. Any person who, in a capacity other than that of civil servant, either in the service of his employeror acting as an agent, accepts or requests a gift or promise or service in consideration for certain acts he has undertaken or has refrained from undertaking or will undertake or will refrain from undertaking in the course of his duties as employee or agent, and who, in violation of good faith, conceals the acceptance or request of the gift or promise or service from his employer or principal, shall be liable to a term of imprisonment not exceeding two years orafineofthefifthcategory.(PassiveBribery)

Page 73: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

63

2. Any person who gives a gift or makes a promise or renders or offers a service to another person who, in a capacity other than that of civil servant, is in the service of an employer or acts as an 135 agent, in consideration for certain acts he has undertaken or has refrained from undertaking or will undertake or will refrain from undertaking in the course of his duties as employee or agent, the gift or promise or service being of such nature or given, made, rendered or offered under such circumstances that he might reasonably assume that the latter, in violation of good faith, will not disclose the gift or promise to his employer or principal, shall be liable to the same punishment. (Active Bribery)”

Berbeda dengan UNCAC yang menggunakan definisi ‘undue advantage’ sebagai salah satu unsur dalam pasal tersebut, KUHP Belanda justru menjabarkan bentuk-bentuk ‘advantage’ secara leterlijk. KUHP Belanda menggunakan frasa pemberian (gift), janji (promise), dan tindakan tertentu (service), untuk‘mengganti’definisi‘advantage’.(Bram Meyer, et.al., 2014: 45). Terkait dengan unsur pemberian itu sendiri, pemberian tersebut tidak harus barang atau uang namun juga hal-hal lain. Hal ini sebagaimana pernah diputuskan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) pada tahun 1994 yang telah mempertimbangkan dalam putusannya (yang akhirnya putusan tersebut menjadi yurisprudensi), bahwa menyediakan/ memberikan sexual favours dapat masuk sebagai kategori pemberian (gift), Putusan Hoge Raad 31 May 1994, NJ 1994, 673). Frasa-frasa yang telah dijadikan unsur dalam delik tersebut, telah digunakan dan dijelaskan lebih lanjut pada yurisprudensi yang dibuat oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) yang menyatakan bahwa pemberian, janji, dan tindakan tertentu itu dapat bersifat materil maupun immaterial (J.F.L. Roording; 2002, dan Mendelsohn et.al; 2014). Lebih jauh, Mahkamah Agung Belanda juga memberi penjelasan bahwa meskipun ‘gift’, ‘promise’, dan ‘service’ tersebut harus memiliki suatu nilai tertentu bagi si penerima, namun hal tersebut dapat pula berupa barang non-komersil yang hanya bernilai oleh si penerima tersebut sebagaimana terdapat pada pertimbangan Hoge Raad 25 April 1916, NJ 1916, 551.

Dalam pengaturan suap di sektor swasta yang ada di KUHP Belanda, ketiadaan akuntabilitas atau penyembunyian (concealment)

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 74: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

64 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dari pemberian, janji, dan tindakan tertentu tersebut merupakan core dari delik tersebut. Lengkapnya, Mark F. Mendelsohn (2014) menyatakan;

“The concealment of the gift, promise or service constitutes the central element of the offence. The Parliamentary Commission that drafted the provision argued that it is the concealment that violates the integrity of labor relations. Because of that, this provision does not require that the recipient acts ‘in breach of his duties’, but only that the gift, promise or service is rewarded for acts or omissions in relation to the recipient’s occupational capacity. In a sense, the concealment of the gift could be regarded as a breach of an employee’s or agent’s general duty of transparency towards its employer or principal. The additional requirement that the employee or agent must have concealed the gift (promise, etc.) in violation of the requirements of good faith stresses this argument.”

Dikarenakan pemerintah dan politik hukum Belanda yang telah comply dengan UNCAC dan juga dengan European Anti-Corruption Convention yang mana mendorong negara-negara Eropa untuk segera mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Tak heran jika Belanda mendapat pujian dari Komisi Uni Eropa (European Commision, 2014).

PrancisMeskipun tergolong negara maju, namun Prancis mendapat rapor

buruk dari OECD yang menilai bahwa pemberantasan korupsi di Prancis masih jauh tertinggal ketimbang negara maju di kawasan eropa barat lainnya. (OECD; 2014, Reed Smith LLP; 2016, Complience Week; 2014). Prancis juga telah mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Induk dari sistem hukum civil law ini telah mempidana pelaku suap disektor privat, baik aktif maupun pasif, semenjak tahun 2005. Prancis mengkategorikan suap disektor swasta dalam Chapter V dengan judul “Corruption of Person not Holding a Public Function”. Ketentuan mengenai Active Private Bribery diatur dalam pasal 445-1 KUHP Prancis yang berbunyi;

“Persons who unlawfully offer, at any time, directly or indirectly, benefits, promises, donations, gifts or any other advantages, for

Page 75: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

65

themselves or others, to persons who do not exercise public authority, perform public duties or hold elective public office but who hold a managerial position or undertake other work, in an occupational or social capacity, for an individual or legal person or for any other body, in exchange for performing or refraining from performing actions in accordance with or facilitated by their activities or duties, in breach of their legal, contractual or professional obligations, shall be punishable by five years’ imprisonment and a fine of € 75 000.”

Tidak hanya suap aktif, Prancis juga mengatur suap pasif di sektor swasta. Pengaturan Passive Private Bribery tersebut diatur dalam pasal 445-2 KUHP Prancis yang berbunyi.

“Persons who do not exercise public authority, perform public dutiesorholdelectivepublicofficebutwhoholdamanagerialpositionor undertake other work, in an occupational or social capacity, for an individual or legal person or for any other body, and who unlawfully request or agree to, at any time, directly or indirectly, for themselves orothers,benefits,promises,donations,giftsoranyotheradvantagesin exchange for performing or refraining from performing actions in accordance with or facilitated by their activities or duties, in breach of their legal, contractual or professional obligations, shall be punishable byfiveyears’imprisonmentandafineof€75000.”

Berbeda dengan UNCAC yang menggunakan terminologi “undue advanteges”, Prancis justru menjabarkan secara keseluruhan manfaat-manfaat yang dapat didapatkan oleh seorang pelaku pasif suap di sektor swasta, terutama yang bersifat materil (benefits, promises, donations, gifts). Namun untuk dapat menjangkau manfaat-manfaat imateril, Prancis akhirnya menggunakan terminologi “any other advantages”. Dengan demikian, pelaku aktif suap di sektor swasta yang memberikan manfaat secara imateril (hubungan seksual, hak pilih, dsb) juga dapat dijerat menggunakan ketentuan ini. (GRECO; 2008)

Lebih jauh, Prancis juga mengatur hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku suap di sektor privat. Bagi pelaku perorangan suap aktif maupun pasif pada sektor privat diatur dalam pasal 445-3 KUHP Prancis. Adapun pengaturan tersebut mengatur sebagai berikut;

“Naturalpersonsfoundguiltyoftheoffencessetoutinarticle445-

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 76: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

66 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

1 and 445-2 also incur the following additional penalties:1º: Forfeiture of civic, civil and family rights as set out in article 131-

26;(righttovote,beelected,righttoholdjudicialoffice,giveanexpert opinion before court, represent or assist a party before court, the right to make a witness statement in court, the right to be tutor or curator)

2º: the prohibition to carry on the professional or social activity in the exerciseorthecontextofwhichtheoffencewascommitted,foramaximumoffiveyears.

3º:theconfiscation,accordingtotheconditionssetoutinarticle131-21, of the thing which was used or intended for the commission of theoffenceorofthethingwhichisitsproduct,exceptforarticlessubject to restitution;

4º: the display or dissemination of the decision according to the conditions set out in article 131-35.”

Sedangkan bagi pelaku badan hukum (legal person) diatur dalam pasal 445-4 KUHP Prancis, yang mana aturannya sebagai berikut:

Legal persons can be held criminally liable, according to the conditionssetoutinarticle121-2,foroffencesdefinedbyarticle445-1and 445-2. The penalties incurred by legal persons are: 1º:afineaccordingtotheconditionssetoutinarticle131-38;2º: the penalties referred to in 2º, 3º, 4º, 5º, 6º and 7º of article 131-

39foramaximumoffiveyears.Theprohibitionreferredto in2º of article 131-39 concerns the activity in the exercise or the contextofwhichtheoffencewascommitted;

3º:theconfiscation,accordingtotheconditionssetoutinarticle131-21, of the thing which was used or intended for the commission of theoffenceorofthethingwhichisitsproduct,exceptforarticlessubject to restitution;

4º: the display or the dissemination of the decision according to the conditions set out in article 131-35.

Berdasarkan pengaturan pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka hukuman yang dapat dijatuhkan bagi pelaku perorangan tidak hanya sekedar 5 tahun penjara dan denda senilai €75,000,tetapi dapat juga dihilangkan hak politiknya, dihilangkan hak untuk dapat menduduki jabatan tertentu, dan hukuman tambahan lainnya. Sedangkan hukuman bagi badan hukum (legal person) sebagaimana

Page 77: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

67

diatur dalam pasal 445-4, maka perusahaan yang melakukan suap di sektor swasta, baik pasif maupun aktif dapat dibebankan hukuman hingga denda hingga € 375.000 (5 kali lebih besar dari hukumandenda perorangan), ditambah dengan larangan untuk berhubungan dengan pihak tertentu yang terlibat dalam kasus a quo, pengawasan khusus terhadap badan hukum tersebut dari pihak yang berwenang, hingga larangan untuk melakukan aktivitas komersil selama waktu tertentu (Proskauer; 2010).

SwitzerlandPada tanggal 1 Juli 2016, Switzerland telah mengkriminalisasi

suap di sektor privat, baik aktif maupun pasif. Ketentuan suap aktif sektor privat terdapat pada pasal 322octies (334) ayat (1) KUHP Switzerland yang mengatur sebagai berikut;

“Anypersonwhooffers,promisesorgivesanemployer,companymember, agent or any other auxiliary to a third party in the private sector an undue advantage for that person or a third party in order that the person carries out or fails to carry out an act in connection withhisofficialactivitieswhichiscontrarytohisdutiesordependenton his discretion is liable to a custodial sentence not exceeding three years or to a monetary penalty.”

Sedangkan pengaturan suap pasif sektor privat diatur pada pasal 322novies (335) ayat (1) KUHP Switzerland yang mengatur sebagai berikut;

“Any person who as an employer, company member, agent or any other auxiliary to a third party in the private demands, secures the promise of, or accepts an undue advantage for himself or for a third party in order that the person carries out or fails to carry out an act in connection with his official activities which is contrary to his duties or dependent on his discretion is liable to a custodial sentence not exceeding three years or to a monetary penalty.”

Sebelumnya, semenjak tahun 1986, Switzerland telah terlebih dahulu melarang suap di sektor privat yang bersifat aktif. Ketentuan tersebut tidak diatur dalam KUHP Switzerland, melainkan diatur dalam Undang-Undang Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (Unfair Competition Act), tepatnya pada pasal 4 huruf (b) Unfair Competition Act tersebut yang mengatur sebagai berikut;

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 78: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

68 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

“Shall be deemed to have committed an act of unfair competition, anyone who, in particular … (b) Seeks to obtain advantage for himself or for someone else by

affording or offering to employees, agents or other ancillariesof a third party benefits towhich they are not legally entitledin order to induce those persons to act contrary to their duty in accomplishing their service or professional tasks”

Sedangkan pengaturan pemidanaanya diatur dalam pasal 23 dalam ketentuan Unfair Competition Act yang berbunyi sebagai berikut;

“Whoever intentionally commits an act of unfair competition within the meaning of Sections 3, 4 (bribery in private sector), 5 or 6 shall be liable, on complaint, to three years imprisonment or a fine of up to 100,000 francs.”

Dari ketentuan pidana di Prancis tersebut, kita dapat melihat bahwa pelaku suap aktif di sektor swasta dapat dijerat dengan pemidanaan berupa pidana penjara hingga 3 tahun atau pidana denda hingga ₣100.000 (francs) = + € 15.200 (euro). Dengan diberlakukannyaKUHP baru tersebut, maka secara langsung ketentuan yang ada dalam Unfair Competition Act tersebut tidaklah berlaku lagi.

Padadasarnyaterdapatperbedaansignifikandalampengaturantentang suap di sektor privat pada kedua ketentuan tersebut. Pertama, dalam ketentuan Unfair Competition Act, penyuap aktif diatur dalam pasal 4 huruf (b) dapat dipidana berdasarkan pasal 23 undang-undang tersebut. Sebaliknya, pelaku suap pasif tidak dapat dijerat berdasarkan undang-undang tersebut (maupun undang-undang lainnya pada masa tersebut) dikarenakan belum ada dasar hukum yang mempidana penerima suap pada sektor privat. Hal ini sejalan dengan laporan yang dibuat oleh Schellenberg Wittmer (2006), salah satufirmahukumdiSwiss,yangmenyatakan,“[T]he bribed person in the past could not be held responsible in terms of criminal law – at least not under the umbrella of passive private bribery... [T]he bribed person would get away with it and remain unpunished.”

Lebih lanjut, walau penerima suap dalam bribery in private sector belum dapat dijerat dengan ketentuan pemidanaan terhadap penerima suap pada sektor privat pada masa itu, namun tidak

Page 79: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

69

menutup kemungkinan bahwa penerima suap tersebut dipidana berdasarkan dasar hukum lainnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Schellenberg Wittmer (2006) yang menjelaskan “There was, however, a possibility that this behavior would fall within the scope of another criminal offence (e.g. embezzlement, breach of trust, fraud)”.

Hal tersebut jelas berbeda dengan konsep pemidanaan terhadap pelaku suap pada sektor privat di Siwtzerland pada saat ini. Saat ini, KUHP Switzerland telah secara tegas membagi dan mempidana, baik pemberi maupun penerima suap. Pemberi suap dipidana berdasarkan pasal 322octies (334) KUHP Switzerland, dan penerima suap dipidana berdasarkan pasal. 322novies (335) KUHP Switzerland. Sehingga penerima suap di sektor privat sudah dapat dijerat berdasarkan ketentuan tersebut.

Perbedaan berikutnya, terdapat pada pihak yang dapat mengajukan dugaan terjadinya suap di sektor privat di Switzerland. Jika berdasarkan Unfair Competition Act, maka yang dapat mengajukan laporan terjadinya pemberian/penawaran suap hanyalah pihak-pihak tertentu yang kepentingan ekonominya dirugikan karena terjadinya delik penyuapan tersebut (seperti konsumen atau perusahaan terkait). Sehingga, deliknya berupa delik aduan8. Hal tersebut diatur secara tegas berdasarkan pasal 23 yang mengatur sebagai berikut;

“…[A] complaint may be lodged by anyone entitled to institute civil proceedings under Sections 9 and 10.”

Adapun pengaturan section 9 dan 10 Unfair Competition Act sebagaimana dimaksud pada pasal 23 tersebut mengatur sebagai berikut;

Pasal 9(1) Whoever, through an act of unfair competition, suffers or is likely

to suffer prejudice to his clientele, his credit or his professional reputation, his business or his economic interests in general,

8 Sebagai pengantar untuk memahami perbedaan antara delik biasa (gewone delicten) dan delik aduan (klach delicten) baca P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung; Citra Aditya, 2011) hlm. 217-218. Baca juga Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cetakan V,(Jakarta;RajaGrafindoPersada, 2010) hlm. 132 dan Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta; Cahaya Atma Pustaka, 2014) hlm. 110-113

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 80: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

70 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

may request the courts: (a) to prohibit an imminent prejudice; (b) to remove an ongoing prejudice; (c) to establish the unlawful nature of a prejudice if the consequences still subsist.

(2) Hemay,inparticular,requirethatarectificationorthejudgmentbe communicated to other persons or be published.

(3) He may, further, in accordance with the law of obligations, institute proceedings for damages and redress and may also require the surrender of profits in accordance with the provisions on agency without authority.”

Pasal 10“(1) Proceedings under Section 9 may also be instituted by customers

whose economic interests are threatened or prejudiced by an act of unfair competition.

(2) Proceedings under Section 9(1) and (2) may also be instituted by: (a) professional and trade associations whose statutes authorize them to defend the economic interests of their members; (b) organizations of national or regional scope devoted by statute to the protection of consumers.”

Hal ini jelas berbeda dengan pengaturan yang ada dalam KUHP Switzerland. Dengan diaturnya penyuapan aktif dan pasif dalam KUHP Switzerland, maka semua perkara dapat diproses hukum tanpa bergantung pada siapa yang melaporkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dr. Andreas Länzlinger et.al (2016) yang menyatakan bahwa “Further, private sector bribery now constitutes a public offence… Prosecution of private sector bribery will therefore no longer depend on filing a criminal complaint in all cases”, yang juga ditambahkan oleh Dr. Jakob Höhn et.al (2016) yang menyatakan bahwa “private sector bribery will be considered a public offence, i.e. it will be prosecuted ex officio (regardless of whether a complaint has been filed)”. Dengan demikian, pengaturan tersebut secara langsung telah mengubah konstruksi delik penyuapan di sektor privat yang awalnya merupakan delik aduan menjadi delik laporan/biasa.

Meskipun begitu, tidak semua perkara dapat dituntut tanpa adanya pengaduan. Ayat 2 dari Pasal 322octies (334) dan 322novies (335) KUHP Switzerland mengatur bahwa dalam kasus-kasus yang ringan, delik tersebut hanya dapat dituntut berdasarkan adanya aduan. Lengkapnya, ketentuan terkait delik aduan tersebut mengatur sebagai berikut;

Page 81: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

71

“In minor cases, the offence is only prosecuted on complaint.”

Sayangnya, ketidakjelasan pengaturan lebih lanjut terkait pemisahan antara mana kasus yang kecil dan besar telah membuat ketidakpastian dalam pengaturan bribery in private sector di Switzerland. Hal tersebut dipertegas juga oleh Dr. Andreas Länzlinger et.al. (2016) yang menjelaskan bahwa “… [H]owever, as the new provisions do not specify what qualifies as a minor case, it is uncertain what will fall into this category.”

Adapun persamaan keduanya terdapat pada hukuman yang dijatuhkan sama-sama 3 tahun penjara dan sama-sama dapat dijatuhi hukuman denda. Perlu dicatat pula banyak yang berpendapat bahwa aturan suap di sektor privat sebagaimana diatur di KUHP Switzerland tersebut merupakan respon dari kasus suap di FIFA. Tak heran jika Radius Global Growth Experts (2016) menyatakan “The new rules have been dubbed “Lex FIFA” and are seen as a response to the bribery uncovered within football’s world governing body, FIFA, which is headquartered in Zurich.”

InggrisBerbeda dengan negara-negara sebelumnya yang memasukkan

delik suap ke dalam KUHP negaranya masing-masing, Inggris sebagai negara common law dan tidak meng-kodifikasi tiap-tiap deliknyakedalam suatu criminal code, memiliki pengaturan mengenai suap dalam United Kingdom Bribery Act tahun 2010 (UK Bribery Act). Ketentuan tersebut sempat memicu perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum di Inggris perihal apakah ketentuan tersebut dapat berjalan dengan efektif, atau hanya sekedar euforia semata (David Aaronberg dan Nichola Higgins; 2010). Akhirnya, Munir Patel, seorang panitera di Pengadilan Magistrat Redbridge menjadi orang pertama yang terbukti dan diputus bersalah berdasarkan UK Bribery Act ini setelah adanya laporan investigatif dari kantor berita di Inggris, The Sun, yang berhasil membongkar modus operandi Patel (Eoin O’Shea; 2011) semenjak diberlakukan pada tahun 2010. Dalam ketentuan tersebut, tidak dibedakan secara spesifik antara public officer maupun private sector bribery.

Namun, ketentuan tersebut memisahkan antara tindak pidana suap umum (general bribery offences), dengan tindak pidana suap yang dilakukan terhadap pejabat publik asing (bribery of foreign

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 82: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

72 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

public officials). Lebih lanjut, ketentuan dan pembabakan delik dalam UK Bribery Act sedikit berbeda dengan negara-negara lain.9 Jika negara lain secara umum mengatur delik suap dalam rumusan norma-norma umum berdasarkan unsur-unsur delik (elements of offence), Inggris justru melakukan pembabakan suap melalui contoh. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan di setiap pasal yang mengatur delik suap.

Meskipun Inggris tidak melakukan pembedaan antara public officer dan private sector bribery, namun rumusan delik suap yang ada dalam UK Bribery Act pada dasarnya sudah dapat mencakup delik suap secara umum (baik sektor publik maupun privat). Ketentuan tersebut membagi dua kategori, yakni suap aktif (offences of bribing another person) sebagaimana diatur dalam pasal 1 UK Bribery Act dan suap pasif (offences relating to being bribed) sebagaimana diatur dalam pasal 2 UK Bribery Act. Adapun pengaturan suap aktif dalam UK Bribery Act mengatur sebagai berikut:

“[Section1]Offencesofbribinganotherperson:(1) Aperson (“P”) is guilty of anoffence if eitherof the following

cases applies.(2) Case 1 is where—

(a) Poffers,promisesorgivesafinancialorotheradvantagetoanother person, and

(b) P intends the advantage— (i) to induce a person to perform improperly a relevant

function or activity, or(ii) to reward a person for the improper performance of

such a function or activity.(3) Case 2 is where—

(a)Poffers,promisesorgivesafinancialorotheradvantagetoanother person, and

(b) P knows or believes that the acceptance of the advantage would itself constitute the improper performance of a relevant function or activity.”

9 Penulis pribadi tidak tau mengapa hal ini terjadi, namun besar kemungkinan hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sistem hukum antara Inggris dengan negara Belanda, Prancis, dan Switzerland, yang berimplikasi pada berbeda pula sistem dan cara perumusan ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan di Inggris.

Page 83: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

73

Sedangkan pasal 2 UK Bribery Act yang mana mengatur tentang suap pasif berbunyi sebagai berikut;

“[Section2]Offencesrelatingtobeingbribed:(1) Aperson(“R”)isguiltyofanoffenceifanyofthefollowingcases

applies.(2) Case3iswhereRrequests,agreestoreceiveoracceptsafinancial

or other advantage intending that, in consequence, a relevant function or activity should be performed improperly (whether by R or another person).

(3) Case 4 is where— (a) Rrequests,agreestoreceiveoracceptsafinancialorother

advantage, and(b) the request, agreement or acceptance itself constitutes the

improper performance by R of a relevant function or activity.(4) Case5iswhereRrequests,agreestoreceiveoracceptsafinancial

or other advantage as a reward for the improper performance (whether by R or another person) of a relevant function or activity.

(5) Case 6 is where, in anticipation of or in consequence of R requesting, agreeing to receive or accepting a financial orother advantage, a relevant function or activity is performed improperly—(a) by R, or(b) by another person at R’s request or with R’s assent or

acquiescence”

Melalui ketentuan tersebut, penegak hukum di Inggris dapat mencocokkan kasus nyata dengan pengaturan berupa contoh-contoh kasus sebagaimana diatur dalam UK Bribery Act. Sebagai contoh, jika polisi menemukan fakta dan bukti bahwa Budi selaku pemilik klub sepakbola Manchester United memberikan uang sejumlah Rp 900.000.000 kepada Suswono yang merupakan pemain sepakbola handal dari klub Manchester City dengan tujuan agar Suswono bertindak tidak sportif dan diberi kartu merah oleh wasit atau bermain ‘tidak secara profesional’ agar akhirnya diganti oleh pelatih Manchester City dengan pemain lain, pada suatu laga final antaraManchester United melawan Manchester City, dan kemudian Suswono setuju dengan permintaan Budi dan Suswono melakukan

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 84: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

74 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

apa yang dimintakan oleh Budi, maka polisi Inggris dapat menjerat Budi berdasarkan kasus pertama dengan dasar pasal 1 ayat (2) UK Bribery Act, dan Suswono dapat dijerat berdasarkan kasus ketiga melalui pasal 2 ayat (2) UK Bribery Act. Sedangkan untuk kasus terhadap pejabat publik, kasus Munir Patel sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya sudah dapat menjadi contoh keberlakuan UK Bribery Act bagi para pemangku jabatan publik.

Adapun pengaturan pemidanaan terkait subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana dalam UK Bribery Act dapat dijatuhkan kepada perorangan maupun badan hukum. Pengaturan terkait subjek hukum pelaku perorangan suap di Inggris, diatur dalam pasal 11 UK Bribery Act, yang mengatur sebagai berikut;

“[Section 11] Penalties:(1) Anindividualguiltyofanoffenceundersection1,2or6isliable—

(a) on summary conviction, to imprisonment for a term not exceeding12months,ortoafinenotexceedingthestatutorymaximum, or to both,

(b) on conviction on indictment, to imprisonment for a term not exceeding10years,ortoafine,ortoboth….”

Sedangkan bagi pelaku korporasi diatur dalam pasal 14 UK Bribery Act, yang mana ketentuannya sebagai berikut;

[Section14]Offencesundersections1,2and6bybodiescorporateetc:(1) This section applies if an offence under section 1, 2 or 6 is

committed by a body corporate or a Scottish partnership.(2) Iftheoffenceisprovedtohavebeencommittedwiththeconsent

or connivance of— (a) aseniorofficerofthebodycorporateorScottishpartnership,

or (b) apersonpurportingtoactinsuchacapacity,theseniorofficer

or person (as well as the body corporate or partnership) is guiltyoftheoffenceandliabletobeproceededagainstandpunished accordingly…

(4) In this section— “director”, in relation to a body corporate whose affairs aremanaged by itsmembers,means amember of thebodycorporate,“seniorofficer”means—(a) in relation to a body corporate, a director, manager, secretary

or other similar officer of the body corporate, and…”

Page 85: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

75

Menariknya, pengaturan pada pasal 11 UK Bribery Act membedakan dua mekanisme penyelesaian kasus suap dengan pemidanaan yang berbeda pula. Dalam pasal 11 ayat (1) huruf a, memperbolehkan pelaku suap untuk menjalani hukuman tanpa proses persidangan dengan Jury. Singkatnya, ketentuan tersebut memberi definisi melalui summary conviction.10 Summary Conviction merupakan putusan dua hingga tiga hakim magistrate dan satu hakim distrik melalui Summary Proceeding yang mana Summary Proceeding itu sendiri merupakan proses peradilan yang menangani perkara-perkara pidana yang ringan (Summary Offences). Dalam Summary Proceeding tidak ada Jury. Lembaga yang berwenang mengurusi Summary Proceeding ini bernama Magistrates’ Courts. Setiap proses pidana di Inggris harus melalui Magistrates’ Courts (pengadilan tingkat pertama) yang mana kasus tersebut akan dinilai berat ringannya. Terdapat beberapa perkara pidana berat tertentu yang tidak boleh ditangani Magistrates’ Court, seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, atau perampokan (perkara tersebut biasa dikenal dengan sebutan Indictable Offences). Magistrates’ Courts hanya dapat menghukum pidana maksimal 12 bulan dan denda maksimal £5,000. Jika Magistrates’ Court menilai terdakwa harus dihukum lebih dari batasan tersebut, maka Magistrates’ Court dalam putusannya harus menyatakan bahwa kasus ini harus ditangani oleh Crown’s Court (pengadilan yang lebih tinggi)

Pada umumnya, kasus-kasus yang ditangani melalui mekanisme ini merupakan kasus-kasus ringan. Tak heran jika, UK Bribery Act memberi batasan bahwa perkara suap yang diputus berdasarkan summary conviction hanya dapat dijatuhkan penjara maksimal 12 bulan dan denda tidak boleh lewat dari batas yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan summary proceeding. Perlu dicatat pula, bahwa dalam pemidanaan terhadap korporasi dalam UK Bribery Act menganut sistem strict liability dimana dibuktikan niat ataupun positive action dari korporasi tersebut. (Brigid Breslin, Doron Ezickson, dan John Kocoras; 2010)

Sedangkan untuk kasus yang diputus berdasarkan putusan melalui proses persidangan biasa (melalui dakwaan hingga putusan bersalah

10 . Untuk lebih jelasnya baca United Kingdom Magistrates’ Court Act 1980 dan lihat https://www.gov.uk/courts/magistrates-courts dan https://www.gov.uk/courts/crown-court

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 86: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

76 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

atau tidaknya oleh jury dan ditentukan pemidanaannya oleh hakim), dapat dikenakan penjara 10 tahun dan denda yang tidak terbatas (Tim Pope dan Thomas Webb; 2010). Namun perlu dicatat, Inggris sebagaimana negara common law pada umumnya juga memiliki sentencing guidelines yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim di Inggris agar tidak sembarangan menjatuhkan berat-ringannya hukuman terhadap para terpidana, dan juga menghindari terjadinya angka disparitas hukuman yang tinggi dari setiap putusan hakim.11

P E N G A T U R A N S U A P P A D A S E K T O R S W A S T A D I I N D O N E S I A

Jika kita mengacu dan mencoba ‘membedah’ UU Tipikor, pada dasarnya kita dapat melihat bahwa jenis-jenis korupsi yang terdapat pada BAB II12 undang-undang tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, antara lain;1. Korupsi Kerugian Keuangan Negara

a) Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara (pasal 2)

b) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara (pasal 3)

2. Suap – menyuapa) Menyuap pegawai negeri (pasal 5 ayat 1 huruf a dan b)b) Memberi hadiah kepada pegawai karena jabatannya (pasal

13)c) Pegawai negeri menerima suap (pasal 5 ayat 2, pasal 12

huruf a dan b)d) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan

jabatannya (pasal 11)e) Menyuap hakim (pasal 6 ayat 1 huruf a)f) Menyuap advokat (pasal 6 ayat 1 huruf b)g) Hakim dan advokat menerima suap (pasal 6 ayat 2)h) Hakim menerima suap (pasal 12 huruf c)i) Advokat menerima suap (pasal 12 huruf d)

11 Untuk memahami sentencing guidlines lebih dalam dan mengunduh sentencing guidline untuk kasus suap di Inggris dapat diakses di https://www.sentencingcouncil.org.uk

12 Kecuali pasal 4, 12C, 19, dan 20

Page 87: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

77

3. Penggelapan dalam jabatana) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan

penggelapan (pasal 8)b) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan

administrasi (pasal 9)c) Pegawai negeri merusak bukti (pasal 10 huruf a)d) Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti (pasal

10 huruf b)e) Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti (pasal

10 huruf c)4. Pemerasan

a) Pegawai negeri memeras (pasal 12 huruf e dan g)b) Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain (pasal 12

huruf f)5. Perbuatan curang

a) Pemborong berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf a)b) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang (pasal 7

ayat 1 huruf b)c) Rekanan TNI atau Polri berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf

c)d) Pengawas rekanan TNI atau Polri membiarkan perbuatan

curang (pasal 7 ayat 1 huruf d)e) Penerima barang TNI atau Polri membiarkan perbuatan

curang (pasal 7 ayat 2)f) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga

merugikan orang lain (pasal 12 huruf h)6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

a) Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya (pasal 12 huruf i)

7. Gratifikasia) Pegawai negerimenerima gratifikasi dan tidak laporKPK

(pasal 12 B jo pasal 12 C)

Dari pengaturan yang ada di UU Tipikor tersebut, tidak ada satupun yang mengatur dan mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Maka, mengingat ketentuan pasal 1 KUHP dan asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali), suap di sektor swasta tidaklah dapat dijerat dengan UU Tipikor.

Namun perlu dicatat, meskipun pada UU Tipikor tidak ada

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 88: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

78 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor swasta, namun bukan berarti Indonesia tidak memiliki pengaturan pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor swasta. Jika dicermati lebih lanjut, pada dasarnya Indonesia telah memiliki pengaturan pemidanaan terhadap suap di sektor swasta. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (selanjutnya disebut UU Suap). Pasal 2 UU Suap mengatur tentang pelaku suap aktif, dan pasal 3 mengatur pelaku suap pasif. Adapun ketentuan lengkap dari peraturan tersebut berbunyi;

Pasal 2Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang

dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belasjuta rupiah).

Pasal 3Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia

mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).

UU Suap tersebut dibentuk karena adanya permasalahan perihal penyuapan di kalangan olahraga (sepak bola) yang ramai dibicarakan oleh masyarakat pada masa itu (Wantjik Saleh; 1983). Bahkan lebih jauh, Prof. Oemar Seno Adji (1984) menyatakan bahwa isu tersebut pernah menjadi pembahasan yang tidak hanya ramai di masyarakat, namun juga terjadi perdebatan hangat di antara para ahli hukum pada saat itu (Oemar Seno Adji; 1984). Lebih lengkap, Prof. Indriyanto Seno Adji (2007) menjelaskan sejarah pembentukan UU Suap tersebut secara ringkas. Adapun pemaparan yang beliau sampaikan ialah:

“Persoalan muncul ketika masalah suap menyuap ini terjadi

Page 89: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

79

dalam kaitan dengan olah raga, terutama olah raga sepak bola sekitar tahun 1980-an. Saai itu, terjadi suap menyuap dalam pertandingan galatama sepak bola yang menjadikan soal suap menjadi isu hukum yang cukup polemistis, karena berdasarkan existing and present law, sebagaimana pinjaman istilah dari Prof. Oemar Seno Adji, S.H., bahwa polemik ini menjadi berkepanjangan mengingat sebagian besar pakar hukum pidana memilki kesatuan pendapat bahwa aturan suap menyuap dalam KUH Pidana tidak mencakup persoalan suap menyuap yang terjadi di bidang olahraga, termasuk olahraga sepak bola.

Mengingat urgensitasnya, permasalahan suap yang sifatnya non-official government, pemerintah memandang perlu mengajukan suatu rancangan mengenai Tindak Pidana Suap yang berkaitan dengan bidang olahraga, meskipun setelah dilakukan dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, konsep RUU ini tidak saja berlaku terhadap bidang olah raga , tetapi memasuki seluruh bidang yang sifatnya non-official governmental dengan segala persoalan yang timbul kelak pada UU No. 11 Tahun 1980…”

Pendapat yang diberikan Prof. Oemar Seno Adji (1984) pada saat terjadinya perdebatan itu ialah tidak sepakat jika ada pihak swasta yang dikenakan pasal suap berdasarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi. Lengkapnya, beliau menyampaikan:

“Menjadi titik sentral dalam persoalan penyuapan adalah pengertian tentang “pegawai negeri”, yang mendapat perluasan baik dalam pasal 92 KUH Pidana maupun dalam pasal 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi (UU 3/1971)…

Agak jelas, bahwa para olahragawan sukar dapat tercangkub dalam pengertian hukum administratif maupun menurut ketentuan KUH Pidana, yang memperluas pengertian tentang “pegawai negeri”/pejabat menurut pengertian hukum pidana…

Ditegaskan pula dalam penjelasan, bahwa rumusan pasal ini tidak termasuk orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu Perseroan Terbatas, Firma, CV, dan lain sebagainya yang seluruh modalnya dari modal swasta…

Maka, jikalau kita dapat mempergunakan UU 3/1971 sebagai dasar langkah hukum terhadap para olah ragawan, mereka tidak dapat dikategorisir sebagai pegawai negeri, selama mereka tidak menerima gaji atau upah dari badan-badan hukum yang mempergunakan modal (dan kelonggaran) dari negara…

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 90: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

80 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

[O]lahragawan tersebut (yang) tidak menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau dari badan-badan yang menerima bantuan darikeuangannegara(ataudaerah),tidakdapatdikwalifisirsebagaipegawai negeri seperti dimaksudkan oleh pasal 2 dari UU 3/1971.

Maka, baik pasal 209 KUH Pidana, Pasal 1 (1) d UU 3/1971 (dalam bidang penyuapan aktif) maupun pasal-pasal 418 dan 419 KUH Pidana (sebagai penyuapan pasif) tidak dapat dipergunakan terhadap mereka.”

Jika kita melihat ketentuan pada pasal 2 dan pasal 3 UU Suap tersebut, tidak ada unsur pejabat publik dalam kedua pasal tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan suap yang ada di UU Tipikor, yang mana berdasarkan sejarah perkembangannya, UU Tipikor tersebut berasal dari KUHP. Apabila ditarik dari sejarahnya, istilah korupsi memang baru ada pada saat berlakunya Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 16 April 1958 no. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 Tahun 1958) (staf AL No. Prt/Z.1/I/7) dan konsepsi tersebut berlanjut terus hingga Peperpu No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 24/Prp/1960), lalu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, yang kemudian diubah lagi menjadi UU Tipikor yang berlaku hingga sekarang. Namun ketentuan perihal suap tetap mengadopsi dan mengacu ke KUHP. Bahkan UU 31/1999 masih menyebutkan dan mengacu secara jelas ke pasal-pasal yang ada di KUHP.

Sehingga tak heran jika UU Tipikor yang berlaku sekarang, tidak menyertakan (absorbsi) UU Suap yang diberlakukan pada tahun 1980. Prof. Oemar Seno Adji (1984) juga pernah menjabarkan pendapatnya terkait perbedaan unsur pejabat publik tersebut. Beliau berpendapat;

“Perluasan jangakauan yang dapat memidanakan setiap orang yang melakukan suap menyuap dan yang dinyatakan oleh Memori Penjelasan sebagai perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan sifat, dan yang tidak terbatas pada pegawai negeri…Perluasan pada undang-undang (UU Suap) ini tidak saja menyebebut dalam lingkungan perbuatan ini (suap) para “administrator” ataupun apa yang dinamakan “public officials” (pegawai negeri dalam perundang-undangan kita), melainkan mencangkub para “politician” dan mereka yang hidup dalam dunia “business.”

Meskipun perdebatan tentang UU Suap ini sempat hangat beberapa dekade silam, namun sungguh disayangkan yang mana kini

Page 91: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

81

nampaknya ketentuan tersebut seolah ‘terlupakan’ dan (mungkin) tak pernah digunakan. Meskipun pada dasarnya, ketentuan tersebut belum pernah dicabut (Homes E. Moyer, Deny Sidharta dan Winotia Ratna; 2015). Tak berlebihan rasanya jika penulis menggunakan terminologi ‘terlupakan’, karena dari sekian banyak tulisan dan diskursus yang diangkat oleh banyak orang, mulai dari akademisi hingga pengamat anti korupsi di Indonesia, seolah-olah semua sepakat bahwa Indonesia tidak memiliki instrumen hukum apapun yang dapat menjerat suap di sektor swasta. Jamin Ginting (2016) contohnya, yang secara eksplisit menyatakan bahwa “Meski UNCAC telahdiratifikasidenganUUNo7/2006,ketentuantentangkorupsidi sektor swasta belum dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Juga belum ada satu peraturan tentang korupsi di sektor swasta”, atau Adnan Topan Husodo (2016) yang dengan gamblang menjelaskan bahwa

“dalam perspektif legal-formal, kita hanya mengenal kejahatan korupsi pada sektor publik, yakni segala perbuatan atau jenis korupsi yang diatur dalam UU No 31/1999 dan UU No 20/2001 mengenai Tindak Pidana Korupsi, di mana pusat dari perhatiannya pejabat publik/pegawai pemerintah/pegawai negeri sipil”.

Belum jelas apa yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, namun pemerintah betul-betul perlu berkaca dan melihat sistem pencatatan peraturan perundang-undangan yang sudah dan sedang berlaku saat ini.

Padahal, kasus suap di sektor swasta banyak terjadi di masyarakat. Seperti laporan investigasi majalah Tempo edisi 2 November 2015 dengan judul “Jejak Suap Resep Dokter”. Laporan tersebut merupakan pemberitaan tentang dugaan kasus penyuapan yang dilakukan PT. Interbat kepada dokter-dokter di berbagai rumah sakit, baik swasta maupun pemerintah. Dalam laporan investigasi ini disebutkan bahwa terjadi suap dari perusahaan farmasi kepada dokter. Sebanyak 2.125 dokter juga diduga menerima suap hingga Rp 131 miliar. Tempo membeberkan laporan investigasi tersebut beserta dengan foto-foto slip pemberian uang dari perusahaan farmasi tersebut kepada para dokter. Namun nampaknya, tak ada seorang pun yang berpendapat bahwa para dokter tersebut dapat dijerat dengan ketentuan UU Suap.

Hal ini juga menunjukkan bahwa penegakan hukum pemberantasan suap sektor privat di Indonesia masih jauh dari kata layak. Pemerintah seolah melupakan penegakan hukum dalam

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 92: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

82 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

pemberantasan suap di sektor privat. Belum jelas mengapa Indonesia sedemikian mudah ‘melupakan’ ketentuan ini. Berkaca dari negara-negara lain sebagaimana penulis telah jelaskan sebelumnya, konsepsi suap seharusnya tidak saja dipandang dapat terjadi di sektor publik dan hanya dapat merugikan kepentingan publik. Pemerintah Indonesia perlu menyadari bahwa menjaga neraca ‘persaingan’ itu sama pentingnya dengan menjaga neraca ‘pelayanan masyarakat’. Absennya penegakan hukum pada suap sektor privat mematikan ‘gairah’ masyarakat untuk berkompetisi secara sehat di berbagai sektor, sama halnya ketiadaan penegakan hukum pada suap di sektor publik, mematikan kepercayaan publik kepada para pelayan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi dirinya sendiri dan mencari tahu alasan mengapa selama ini aparatur penegak hukum Indonesia tidak pernah tegas dan konsisten menghukum para pelaku suap di sektor privat?

Perlu dicatat pula bahwa pada dasarnya kasus suap sektor swasta tidak hanya terjadi baru-baru ini saja. Konstruksi kasus suap di sektor swasta bahkan sudah terjadi sejak dahulu, bahkan sebelum perdebatan pembuatan UU Suap tersebut pada tahun 1980. Namun kasus tersebut terjadi pada ranah perdata, tepatnya kasus Lindenbaum vs Cohen. Jika biasanya mahasiswa hukum di tiap-tiap perguruan tinggi mempelajari kasus Lindenbaum vs Cohen dalam kaitannya terhadap perbuatan melawan hukum, namun pada dasarnya kasus tersebut di saat bersamaan menggambarkan konstruksi kasus penyuapan di sektor privat. Hal ini tergambar dari pertimbangan Hoge Raad yang menyatakan;

“Bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai sebuah perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewjaiban hukum pelakunya, atau melawan kesusilaan ataupun kehati-hatian yang sepatutnya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, terkait perlindungan pribadi atau barang orang lain. Sedangkan seseorang yang karena kesalahannya melakukan perbuatan itu, mengakibatkan timbulnya kerugian pada orang lain, diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut”

Bahwa pengertian ini tentu juga meliputi perbuatan seseorang yang untuk keuntungannya sendiri, melalui pemberian hadiah-hadiah dan janji-janji, membujuk pegawai dari pesaingnya, untuk mengambil dan membuka rahasia-rahasia perusahaan tuannya” (Arsil, Nur Syarifah, dan Imam

Page 93: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

83

Nasima; 2014).Dengan melihat pertimbangan Mahkamah Agung Belanda pada

kasus tersebut, dapat dilihat bahwa konstruksi yang terjadi dalam kasus Lindenbaum vs Cohen ini juga dapat dikategorikan sebagai bribery in private sector.

Perlu diingat pula, bahwa UNCAC ‘menganjurkan’ tiap negara untuk menjadikan suap di sektor privat ini sebagai tindak pidana (criminal offence), bukan menganjurkan tiap negara untuk menjadikan suap di sektor swasta ini masuk dalam kategori ‘korupsi’. Sehingga jika Indonesia tidak mengatur suap di sektor privat tersebut di dalam UU Tipikor, maka bukan berarti Indonesia tidak comply dengan pengaturan bribery in private sector yang diatur dalam UNCAC.

Memang, hal tersebut menjadi terkesan aneh. Korupsi di sektor privat yang secara konseptual-teoritis masuk sebagai kategori korupsi sehingga diatur dalam UNCAC, namun justru di Indonesia suap di sektor swasta tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi karena tidak masuk sebagai kategori korupsi di Indonesia berdasarkan UU Tipikor.13 Hal tersebut bukan berarti tidak memiliki dampak sama sekali dalam penegakan peraturan tersebut. Justru tidak diaturnya ketentuan suap di sektor swasta pada UU Tipikor memiliki keterkaitan dengan aktor yang dapat melakukan pemberantasan dan penegakan ketentuan tersebut. Singkatnya, seringkali penegakan hukum korupsi dikaitkan hanya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga muncul pertanyaan besar, apakah KPK bisa menangani pelaku suap di sektor swasta yang diatur di UU Suap?

Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) membatasi kewenangan KPK untuk hanya bisa melakukan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun secara teori suap secara umum (kepada pejabat publik maupun pada sektor swasta) masuk dalam kategori Tindak Pidana Korupsi, namun dalam hukum positif Indonesia, Tindak Pidana Korupsi adalah apa yang diatur dalam UU Tipikor.

Dengan demikian, hanya polisi-lah yang berwenang melakukan penyidikan, dan jaksa-lah yang berwenang untuk melakukan penuntutan yang berdasarkan UU Suap tersebut. KPK tidak dapat menangani perkara ini. Inilah saatnya, bagi polisi dan kejaksaan

13 Hasil wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro tanggal 31 Oktober 2016, di Gedung Pascasarjana Universitas Pancasila

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 94: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

84 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

membuktikan diri bahwa mereka dapat dipercayai publik untuk menangani kasus suap di sektor swasta, yang mana kasus ini tidaklah dapat ditangani KPK.

K E S I M P U L A N

Suap dapat terjadi, tidak hanya di sektor publik namun juga sektor privat. Secara konsep, satu-satunya perbedaan hakiki antara suap di sektor swasta dengan suap di sektor publik terdapat pada keterlibatan para pihak. Jika pada suap di sektor publik melibatkan peran pejabat publik, suap di sektor privat justru tidak ada kaitannya sama sekali dengan jabatan yang diemban oleh pejabat publik.

Di berbagai negara, pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor swasta sudah merupakan hal yang lumrah. Baik bagi negara yang menganut sistem hukum civil law, maupun common law. Negara-negara tersebut mengkriminalisasi suap di sektor swasta, karena secara nature-nya, suap sektor swasta dengan suap sektor publik sama-sama merusak tatanan sosial dan merugikan pihak yang tidak melakukan praktik suap-menyuap.

Indonesia sudah memiliki instrumen hukum yang dapat mempidana pelaku suap di sektor swasta. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Meskipun Indonesia sudah memiliki pengaturan terkait tindak pidana suap yang tidak ada kaitannya dengan pejabat publik, (sektor swasta murni) bahkan sebelum UNCAC mengatur bribery in private sector, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1980, namun penegakan hukum dari peraturan tersebut nampaknya masih bermasalah.

Nampaknya, sistem peraturan perundang-undangan yang tidak karuan dan pemberantasan korupsi yang hanya berpusat pada KPK membuat orang melupakan salah satu undang-undang penting ini. Maka dari itu, penegak hukum di Indonesia abad 21 seharusnya tidaklah perlu berlelah-lelah untuk mempermasalahkan dan memperdebatkan lagi bagaimana mempidana pelaku suap di sektor swasta selayaknya penegak hukum tahun 70-an.

S A R A N

Suap (maupun korupsi secara umum) di sektor swasta telah membawa begitu banyak dampak buruk terhadap sektor bisnis. Oleh

Page 95: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

85

karena itu, perlu ada penegakan hukum untuk dapat memberikan penghukuman terhadap para pelaku korupsi di sektor swasta, terutama pada kasus suap di sektor swasta. Pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap pelaku suap di sektor swasta secara konkret, agar seluruh masyarakat Indonesia juga menyadari bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela dan tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang biasa.

Mengingat Rancangan KUHP sedang bergulir di DPR, ada baiknya anggota parlemen mempertimbangkan untuk memasukkan ketentuan delik suap sektor privat ini masuk ke dalam RKUHP. Adapun kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi ketentuan suap sektor swasta yang telah ada sebelumnya. Ditambah lagi, ketentuan pidana yang terkodifikasi kemungkinan besar akanmemudahkan penegak hukum untuk ‘mengingat’ tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai delik atau tindak pidana di Indonesia.

Pada tataran akademisi dan juga aktivis anti-korupsi, literatur dan penelitian mengenai isu suap sektor swasta di Indonesia khususnya perlu diperbanyak. Seyogyanya tidak hanya sekedar penelitian kualitatif, tetapi juga penelitian kuantitatif empiris berupa penelitian lapangan mengenai isu suap di sektor privat. Hal ini semata-mata untuk membantu dan memberikan sumbangsih modal bagi pemerintah dalam melihat permasalahan suap di sektor privat yang terjadi di Indonesia, sebelum pemerintah membuat kebijakan dan strategi pemberantasan suap di sektor swasta ini. Dengan demikian, pemberantasan suap di sektor privat memiliki arah dan strategi yang jelas serta terukur.

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?(Andreas Nathaniel Marbun)

Page 96: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

86 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Page 97: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

87

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian

Hariman Satria

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

[email protected]

A B S T R A K

Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia lebih difokuskan pada proses peradilan pidana. Proses tersebut bermula dari tahap penyidikan, pembuktian, penuntutan hingga vonis hakim di pengadilan. Pembuktian adalah tahapan yang sangat esensial baik kepada terdakwa maupun penuntut umum. Dikatakan demikian karena ketika terjadi silang sengkarut pendapat antara terdakwa dan penuntut umum maka pembuktianlah yang akan menjadi rujukan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam pembuktian dikenal beberap teori yakni teori positif, teori conviction intme, teori conviction rasionee dan teori negatif. Teori negatif ini digunakan dalam Pasal 183 KUHAP. Teori-teori tersebut menekankan bahwa beban pembuktian tindak pidana adalah ada pada penuntut umum. Hal ini selaras denga asas actori incumbit onus probandi atinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam perkembangannya peraturan anti korupsi Indonesia memperkenalkan pembalikan pembuktian, khususpadagratifikasiyangdianggapsuapsebagaimanadisebutkandalam Pasal 12B jo Pasal 37. Selain itu dalam peraturan anti korupsi juga memperluas episentrum alat bukti petunjuk dalam KUHAP. Perluasan ini sasarannya adalah untuk memudahkan penyidikan

Page 98: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

88 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dan pembuktian tindak pidana korupsi. Pembalikan pembuktian juga diadopsi dalam peraturan anti pencucian uang. Bahkan dalam peraturan a quo mengenalkan prinsip pembalikan pembuktian murni, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Jadi pembuktian yang awalnya hanya menjadi domain jaksa (beban pembuktian konvensional) kemudian mengalami pergeseran (shifting) kepada terdakwa (pembalikan beban pembuktian – reversal of burden of proof). Prinsip pembalikan pembuktian pada dasarnya terbagi dua yakni pembalikan pembuktian murni (absolut) yang dikenalkan dalam tindak pidana pencucian uang dan pembalikan pembuktian bersifat terbatas dan berimbang yang dikenalkan dalam tindak pidana korupsi.

Kata Kunci: Hukum Acara Pidana, Beban Pembuktian.

A B S T R A C T

The eradication of corruption in Indonesia in the present day is more focused on the criminal justice process. The process starts from the stage of investigation, proof, prosecution, and to the verdict in court. Proof is a very important stage, either to the defendant or to the prosecutor. Because of its nature of contentious argument between both of the parties, the proof becomes the reference for the judge in submitting the verdict. Proof recognizes several theories; positive theories, conviction intme, conviction rasionee, and negative theories. The negative theory is laid down in the Article 183 of the Criminal Procedure Code. These theories emphasizes that the burden of proof is of the prosecutor’s responsibility. This is consistent with the principles of actori incumbit onus probandi , which means “the necessity of proof always lies with the person who lays charges ”. In the development of anti-corruption laws in Indonesia, reversal burden of proof is introduced, notably on some gratifications that are deemed as bribery, as defined in Section 12B in conjunction with Article 37. In addition to the anti-corruption and money laundering regulation, reversal burden of proof also expands the epicenter of evidence in Criminal Procedure Code. The expansion is targeted to facilitate the investigation and proof of evidence for both of the criminal acts. Such proof is also adopted in the anti-money laundering regulations. Even in the regulations, a quo introduces the principles of pure reversal burden of proof, as

Page 99: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

89

defined in the Article 77 and 78. Thus the proof initially in the domain of prosecutor (conventional burden of proof) then undergoes a shift towards the defendant (reversal burden of proof). The principle is basically divided into two; 1). Pure reversal burden of proof (absolute), applied in money laundering law, and 2). Limited or balance reversal burden of proof, applied in anti-corruption law.

Keywords:Criminal Procedure, burden of proof

P E N D A H U L U A N

Praktik peradilan pidana secara umum terbagi atas tiga tahap yakni tahap penyidikan, penuntutan dan tahap pemeriksan sidang pengadilan. Dalam pemeriksaan sidang pengadilan tahapan yang sangat esensial adalah ihwal pembuktian (Satria, 2012). Dikatakan demikian karena pembuktian diibaratkan berada dalam posisi sentral baik kepada terdakwa atau penasehat hukumnya maupun kepada jaksa penuntut umum. Tahap ini sangat krusial sebab ketika terjadi silang pendapat antara terdakwa dan penuntut umum maka pembuktianlah yang akan menjadi rujukan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan (Anshorudin, 2004:31-33). Artinya keberadaan alat-alat bukti yang relevan dengan perkara yang sedang diperiksa akan berkorelasi positif dengan putusan hakim. Jika dalil penuntut umum tidak mampu dibantah oleh terdakwa maka konsekuensinya hal itu akan merugikan posisinya, sebaliknya jika terdakwa mampu membuktikan bantahannya maka akan menguntungkan bagi terdakwa. Pembuktian juga akan sangat bermanfaat bagi hakim sebab melalui tahapan ini, tersedia kesempatan untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh terdakwa dan penuntut umum sebelum majelis hakim menjatuhkan vonis.

Secara umum proses pembuktian perkara pidana telah diatur Pasal 183 sampai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Meskipun demikian khusus tindak pidana korupsi masih diatur tersendiri lagi yakni pada Pasal 12B jo Pasal 26A jo Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dibuatnya pengaturan yang demikian menunjukan bahwa pembentuk undang-undang meyakini kalau proses pembuktian memegang peranan penting dalam proses peradilan korupsi. Merujuk pada pasal-pasal

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 100: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

90 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

tersebut maka untuk menyatakan seseorang terlibat atau tidak dalam tindak pidana korupsi akan sangat bergantung pada proses pembuktian di pengadilan tindak pidana korupsi.

Paralel dengan peraturan anti korupsi adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 73 jo Pasal 77 peraturan a quo secara implisit mengatur proses pembuktian yang berbeda dengan KUHAP. Itu artinya baik peraturan anti korupsi maupun pencucian uang cenderung mengatur lebih spesialis ketentuan tentang pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sifat dan karakter kedua kejahatan tersebut yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Baik tindak pidanakorupsimaupunpencucianuangdikualifikasi sebagaiextra ordinary crime sehingga membutuhkan extra ordinary process (Seno Adji, 2007:347). Tindak pidana korupsi biasanya berkelindan dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini dapat dipahami karena salah satu core crimes dari money laundering adalah tindak pidana korupsi.

Kembali pada proses pembuktian kedua tindak pidana tersebut, ada beberapa hal yang diperkenalkan di dalamnya, misalnya ketentuan tentang alat bukti yang berbeda dengan alat bukti dalam KUHAP, memperkenalkan juga istilah pembalikan beban pembuktian terbatas dan berimbang dalam tindak pidana korupsi dan pembalikan pembuktian murni (absolut) dalam tindak pidana pencucian uang. Hal ini selain menunjukan adanya kekhususan (lex specialis) juga kekhasan kedua peraturan a quo bila dibandingkan dengan KUHAP. Sebab prinsip dasar pembuktian adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Artinya beban pembuktian pada dasarnya diawali oleh penuntut umum kemudian diakhiri oleh terdakwa. Derivatif dari asas ini adalah actore non probante reus absolvitur artinya jika tidak dapat dibuktikan maka terdakwa harus dibebaskan (Hiariej, 2012:43). Korelasinya dengan pembuktian dalam tindak pidana korupsi, metode pembuktian konvensional yang dimulai pada penuntut umum kemudian diikuti oleh terdakwa akhirnya mengalami pergeseran (shifting) sehingga dapat dimulai pada terdakwa khusus dalam perkara gratifikasi. Demikian pula dalam tindak pidanapencucian uang yang secara langsung memperkenalkan pembalikan pembuktian murni (refersal of burden of proof).

Dibuatnya pengaturan demikian sasarannya adalah agar

Page 101: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

91

pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang berjalan efektif. Namun demikian di sisi yang lain menuntut profesionalisme, kecakapan penyidik dan penuntut umum terutama KPK dalam hal pembuktian di pengadilan. Sebab jika hakikat pembuktian pada kedua peraturan tersebut gagal dipahami maka bukan tidak mungkin akan menguntungkan terdakwa sehingga berkontribusi menghambat laju pemberantasan korupsi. Agar lebih sistematis maka tulisan ini berpijak pada tiga bagian penting yakni konsepsionalisasi tindak pidana korupsi, pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia dan sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang. Mengacu pada uraian tersebut, pertanyaan mendasar yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimanakah paradigma pergeseran beban pembuktian dalam hukum acara pidana korelasinya dengan pembuktian dalam tindak pidana korupsi?

T I N J A U A N T E O R I T I S

1. Konsepsionalisasi Tindak Pidana KorupsiBanyak jalan menuju Roma. Ungkapan usang ini seperti

mengingatkan setiap orang bahwa ada banyak cara dan sudut pandang dalam melihat sebuah objek. Satu sudut pandang dalam melihat objek akan memberikan pemaknaan yang berbeda dengan sudut pandang lainnya. Demikian halnya jika membahas mengenai korupsi,adabanyakpandanganahliyangmencobamemberidefinisimengenai korupsi namun semuanya tergantung sudut pandang masing-masing. Hal ini bisa difahami karena cara pandang seseorang terhadap korupsi secara mutatis mutandis juga akan mempengaruhi pemberiandefinisiterhadapkorupsi.Pengakuansederhanadiuraikanoleh Robert O. Tilman, bahwa seperti halnya keindahan, pengertian korupsi sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut mana orang memandangnya. Penggunaan suatu perpsektif tentu akan menghasilkan pemahaman atau paradigma yang tidak sama tentang makna korupsi dengan penggunaan perspektif yang lain (Tilman, 1988:59).

Olehsebabitusebelummenentukandefinisidarisuatukejahatanan sich korupsi maka penentuan perspektif dan paradigma menjadi sangat penting. Seperti yang diungkapkan oleh Michalowsky yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perspektif dan paradigma mengenai suatu kejadian di sekitar kita dipergunakan

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 102: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

92 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

untuk mengamati dan menganalisis semua kejadian sebagai suatu dwi tunggal. Pemahaman kritis terhadap suatu teori seharusnya dimulai dengan menyelidiki perspektif dan paradigma dasar yang menghasilkan teori tersebut (Atmasasmita, 1995:55). Pada dasarnya antara perspektif dan paradigma mempunyai tujuan yang sama, yakni menetapkan masalah yang harus diselidiki dan jalan keluar yang harus ditempuh. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Perspektif adalah cara pandang yang dapat dilihat dari berbagi segi terhadap suatu makna dan penghayatan atas makna tersebut, sedangkan paradigma jauh lebih sempit karena cara pandang yang bersifat khusus tentang suatu gejala (Peorwadarminta, 1990:642-675). Kembali pada pembahasan tentang korupsi, penulis akan memaparkan beberapa konsep yang berkaitan dengan itu sehingga dapat menuntun pembaca dalam memahami makna korupsi secara substansial.

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio atau menurut webstudent dictionary adalah coruptus. Selanjutnya dijelaskan bahwa corruptio berasal dari suatu kata latin yang lebih tua yaitu corumpere. Dari bahasa latin itulah turun dalam berbagai bahasa di eropa, seperti Inggris: corruption, corrupt; Prancis: corruption; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dapat diduga kata korupsi yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diadopsi atau diterima ke dalam bahasa Indonesia yaitu “korupsi” (Hamzah, 2007:4). Secara harfiah kata-kata tersebut berarti, kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Secara tegas diuraikandalam The lexicon Webster dictionary, corruption (L. corruption (n-)) The act of corrupting or the state of being corrupt; putrefactive; decomposition. Putrid matter; moral perversion; depravity; perversion of integrity; corrupt or dishonest, proceedings; bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from of a word (Hamzah, 2007:5).

Hampir sama dengan yang dimuat dalam The lexicon Webster dictionary, Sanford H. Kadish, mengartikan korupsi hubungannya dengan penyuapan. Dikatakan oleh Kadish, corruption is the act or practice of benefiting a person in order to betray a trust or to perform a duty meant to be performed freely, bribery occurs relation to a public official and, derivatively, in private transaction (Kadish, 1983:119). Pendapat senada dikemukakan oleh George E. Rush,

Page 103: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

93

bahwa corruption is illegal act by a sworn peace officer, including all violitions of fiduciary trust and the professional code of conduct and ethics (Rush, 2003:84) Dalam perkembangannya istilah dan arti kata korupsi tersebut akhirnya diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia yang oleh Poerwadarminta, kata korupsi dimaknai sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Poerwadarminta, 1990:616).

Masih terkait dengan konsep korupsi, undang-undang anti korupsi Indonesia tidakmemberikan definisi yang pasti dan ketatmengenai pengertian korupsi. Undang-undang anti korupsi hanya mengkualifikasikan 30 perbuatan yang kemudian disebut sebagaitindak pidana korupsi. Diantara 30 perbuatan tersebut dikenal beberapa tipe korupsi, misalnya korupsi karena perbuatan curang, korupsi karena gratifikasi, korupsi karena penyuapan dan korupsikarena menyalahgunakan wewenang serta korupsi karena perbuatan melawan hukum (wedderechtelijke). Demikian pula dalam UNCAC 2003 yang kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003 tidak memberikan definisiyangstrict tentang korupsi. Namun dalam konvensi ini telah menyebutkan ragam perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagaikorupsi. Pertama, Bribery of national public official atau penyuapan pejabat-pejabat publik nasional. Kedua, bribery of foreign public officials and official of public international organizations atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi internasional publik. Ketiga, embzellment, misappropriation or other diversion of property by public official atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh pejabat publik. Keempat, trading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Kelima, abuse of function atau penyalahgunaan fungsi. Keenam, illicit enrichment atau memperkaya diri secara tidak sah. Ketujuh, bribery in the privat sector atau penyuapan pada sektor swasta. Kedelapan, emblezzement of property in the privat sector atau penggelapan kekayaan dalam sektor swasta. Kesembilan, laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil kejahatan. Kesepuluh, concealment atau penyembunyian. Kesebelas, obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses peradilan (UNODC, 2003:17-21).

Sikap pembentuk undang-undang anti korupsi dan UNCAC 2003 yang tidakmemberikandefinisiyangstrict terhadap korupsi dapat

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 104: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

94 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

difahami karena memang korupsi memiliki banyak dimensi sehingga pembatasan dengan definisi tertentu akan menghambat upayapemberantasan kejahatan ini. Perlu penulis sampaikan bahwa istilah korupsi juga dikenal di negara lain meskipun dengan kosa kata yang berbeda dengan Indonesia. Di Malaysia, misalnya terdapat peraturan anti kerakusan sebagai pengganti kata peraturan anti korupsi. Sering pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang berasal dari bahasa Arab, riswah. Sesuai kamus Indonesia-Arab kata “riswah” berarti sama dengan korupsi (Hamzah, 2007:6).

Melalui beberapa definisi korupsi secara harfiah tersebutmakadapat ditarik kesimpulan bahwa jika membahas mengenai korupsi maka sesungguhnya itu merupakan terminologi yang sangat luas ruang lingkupnya. Tergantung sudut pandang seseorang dalam memahami istilah korupsi. Karena lingkup korupsi sangat luas cakupannya maka pendekatan dalam memahaminya juga dapat bermacam-macam sesuai dengan cara kita melihat masalah itu. Pada satu sisi ada orang yang memahami korupsi dengan menggunakan pendekatan sosio kriniminologi tetapi pada sisi lainnya ada pula yang mengupas masalah korupsi dengan menggunakan pendekatan normatif. Begitu pula sebagian orang menggunakan pendekatan ekonomi dalam mengkaji dan memahami korupsi.

Keanekaragaman pemahaman terhadap korupsi yang berangkat dari sudut pandang yang berbeda-beda sebetulnya dapat mengakibatkansulitnyamencaridefinisiyangpastimengenaikorupsi.Namun demikian, bagi penulis cara pandang yang berbeda secara positif akan sangat membantu memahami lebih dalam mengenai korupsi termasuk cara-cara pencegahan dan pemberantasannya. Dengan kata lain perbedaan tersebut justru menjadi sebuah khasanah dalam upaya memahami dan mengenal korupsi sehinga setiap orang akan berusaha menghindari kejahatan tersebut. Oleh karenaitupenulismenolakdefinisiyangketatdanterbatasmengenaikorupsikarenapembatasandefinisikorupsijustruakanmendistorsipemahaman terhadap korupsi itu sendiri. Lagi pula akan lebih baik bagi kita untuk memikirkan pemberantasan dan pencegahan korupsi daripadasibukmencaridefinisikorupsiitusendiri.

Masih mengenai tindak pidana korupsi, pada dasarnya kejahatan ini sangat terkait erat dengan kekuasaan. Kejahatan korupsi yang terjadi pada hampir semua negara di dunia ini selalu berkorelasi positif dengan kekuasaan yang disalahgunakan atau diselewengkan. Sehingga

Page 105: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

95

pelaku kejahatan maha haram ini adalah mereka yang memangku jabatan-jabatan publik baik itu di sektor pemerintah maupun pada sektor-sektor swasta. Bertalian dengan itu Lord Acton menyampaikan semacam postulat, power tends to corrupt and absolut power to corrupt absolutely (Satria, 2014:21). Bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut maka korupsinya juga absolut. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Montesqieu dalam The Spririt of Law, bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfatkan kekuasaan (Montesqieu, 1993:27). Dalam kaitannya dengan memanfaatkan kekuasaan inilah, maka sering terjadi apa yang disebut abuse of power yang acapkali memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang pada ujungnya merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Perihal abuse of power korelasinya dengan kejahatan korupsi, maka sesungguhnya narasi korupsi Indonesia sangat terkait erat dengan aspek politik, ekonomi dan kekuasaan. Secara gamblang mengenai hal ini dikemukakan oleh Theodore M. Smith, of the whole corruption in Indonesia appers to present more of a recurring political problem than an economic. It undermines the legitimacy of the goverment in the eyes of the young, educated elite and most civil servant. Corruption reduces support for the government among eliles at the province and regency level (Krisnawati, et.all, 2006:38).

2. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana IndonesiaMembahas tentang pembuktian, bukanlah sesuatu yang mudah

sebab ruang lingkup pembuktian cukup luas episentrumnya. Rangkaian pemahamannya, kita dapat mulai dari terminologi pembuktian, asas-asas pembuktian, parameter pembuktian dan alat-alat bukti. Ini adalah sebuah proses yang cukup panjang dan tidak dapat diselesaikan dalam satu pokok bahasan. Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis hanya akan mengupas secara sistematis pada tiga hal penting yakni terminologi pembuktian; parameter pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia yang secara mutatis mutandis memiliki relasi yang kuat dengan tema di atas.

PERTAMA, terminologi pembuktian. W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa kata pembuktian berasal dari suku kata bukti yang artinya sesuatu hal yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 106: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

96 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

suatu peristiwa. Sedangkan pembuktian berarti perbuatan atau cara membuktikan (Poerwadarminta, 1990:184). Dalam bahasa Belanda, bukti disebut sebagai bewijs (evidence) berarti hal yang menunjukan kebenaran yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan pembuktian disebut sebagai proof yang artinya penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang maupun di luar undang-undang (Hamzah, 2008:68). Intinya bukti menyangkut hal yang menunjukan atau menyampaikan kebenaran tentang suatu peristiwa sedangkan pembuktian (proof) menyangkut perbuatan atau cara membuktikan melalui alat-alat bukti (evidence).

Bertalian dengan itu, Eddy O.S. Hiariej mengatakan, bahwa dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai bukti yakni evidence dan proof. Kendatipun demikian ada perbedaan yang esensial diantara keduanya. Evidence adalah lebih dekat pada pengertian alat bukti menurut hukum positif, sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang mengarah pada suatu proses (Hiariej, 2012:43). Argumentasi ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ian Dennis, evidence is information to provides grounds for belief that a particular fact or set of fact is true. Proof is a term with a variable meaning. In legal discourses it may refer to outcome of the process of evaluating evidence and drawing inferences from it, or it may be used more widely to refer to the process itself and/or to the evidence which is being evaluated (Dennis, 2007:3-4).

Penegasan lebih jauh ihwal evidencedikemukakanolehJeffersonL. Ingram, evidence has been defined as the means employed for the purpose of proving an unknown or dispute fact, and it is either judical or extra judical (L. Ingram, 2009:24). Pendapat senada dikemukakan oleh Larry E. Sulivan and Marie Simonetti Rossen, evidence is anything that tands to prove and disaprove an alleged fact (Sulivan dan Rossen, 2005:178). Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa evidence lebih condong pada alat-alat bukti baik untuk menguatkan dalil seseorang maupun untuk membantah kebenaran tentang dalil atau suatu peristiwa. SedangkanHenryCampbellBlacktidakmendefinisikanproof tetapi membangun logika argumentatif ihwal hubungan antara evidence dan proof. Ditegaskan oleh Campbell Black, proof is the effect of

Page 107: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

97

evidence or the estabilshment of a fact by evidence (Campbell Black, 1968:1380). Sementara itu W. Ken Katsaris mengatakan bahwa proof is the result of evidence (Katsaris, 1976:7). Dengan demikian jika berbicara tentang proof pada dasarnya menyangkut tentang pembuktian artinya bagaimana alat-alat bukti (evidence) digunakan sebagai bukti. Karena itulah baik Campbell Black maupun Katsaris melihat keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi. Tegasnya evidence adalah sarana yang digunakan untuk proof.

KEDUA, parameter pembuktian. Menurut Eddy O.S. Hiariej, terdapat enam hal yang berhubungan dengan parameter pembuktian. Pertama, bewijstheorie. Kedua, bewijsmiddelen. Ketiga, bewijsvoering. Keempat, bewijslast. Kelima, bewijskracht. Keenam, bewijsminimum (Hiariej, 2012:15-26). Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan. Perspektif doktrin, teori pembuktian terbagi atas empat hal. Pertama, posistief wettelijk bewijstheorie yaitu pembuktian menurut undang-undang secara positif. Bambang Poernomo mengatakan bahwa pembuktian undang-undang secara positif berarti pembuktian yang sangat bergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang tanpa diperlukan keyakinan hukum (Poernomo, 1993:40). Pendapat senada dikemukakan oleh D. Simons, bahwa pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif adalah berusaha menyingkirkan semua pertimbangan yang subjektif hakim dan sekaligus mengikat hakim secara ketat sesuai peraturan pembuktian (Hamzah, 2008:229).

Bila memang demikian maka sistem pembuktian positif ini menempatkan alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang sebagai alat bukti mutlak terlepas dari keyakinan hakim yang mengadili perkara. Hakim tidak lagi berpedoman dengan keyakinannya sehingga seolah-olah hakim menjadi robot pelaksana dari undang-undang. Jadi keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang dapat dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana karena justru undang-undang lah yang sangat menentukan terbukti tidaknya perbuatan terdakwa. Singkatnya undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim termasuk cara hakim dalam memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.

Diskursus sistem pembuktian secara positif ini, kemudian

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 108: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

98 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

ditanggapi oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan, bahwa jika dikaji secara hakiki maka sistem pembuktian positif memang mempunyai segi negatif dan segi positif. Segi negatifnya adalah hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa karena sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan sisi positifnya adalah bahwa sistem ini benar-benar menuntut hakim untuk mencari kebenaran, salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga sekali majelis hakim menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang maka tidak perlu lagi hakim bertanya pada hati nuraninya (Harahap, 2000:789-799).

Kedua, conviction in time atau pembuktian menurut keyakinan hakim melulu dimaknai sebagai sistem pembuktian yang menekankan bahwa hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Harahap, 2000:799). Menurut D. Simons teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nurani hakim sendiri yang menetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan (Hamzah:2008:252). Selanjutnya Andi Hamzah, menyatakan bahwa pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu lazimnya digunakan pada pengadilan adat dan swapraja karena pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum (Hamzah:2008:252). Ketiga, conviction rasionee adalah pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan pertimbangan yang logis berarti menempatkan hakim dalam mengambil keputusan selain berdasarkan keyakinannya juga harus didukung oleh fakta-fakta hukum yang logis. Artinya bahwa hakim diberikan kebebasan untuk memutuskan perkara dengan memperhatikan keyakinannya atas kesalahan terdakwa namun keyakinan tersebut mesti didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional (Harahap:2000:299).

Keempat, negatief wettelijk bewijstheorie adalah hakim dalam memutuskan bersalah tidaknya terdakwa selain berdasarkan pada alat-alat bukti yang ditentukan secara limitatif oleh undang-undang juga harus diikuti oleh keyakinan hakim. Luhut M.P. Pangaribuan

Page 109: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

99

mengatakan bahwa dari teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif pada hakikatnya merupakan peramuan antara teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Pangaribuan, 2008:34). Bila memang demikian maka substansi pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini adalah pembuktian kesalahan terdakwa sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang dan selanjutnya hakim harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa benar yang melakukan perbuatan pidana yang dituduhkan.

Teori pembuktian ini sejalan dengan teori pembuktian yang digunakan dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi eksistensi keyakinan hakim bertalian dengan kesalahan terdakwa, diperoleh setelah adanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pendeknya paling tidak ada beberapa kriteria oleh hakim dalam menentukan bersalah tidaknya terdakwa, yaitu pertama, kesalahan terdakwa harus terbukti sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah (prima facie evidence). Kedua, bahwa atas dasar dua alat bukti tersebut maka hakim harus memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana secara nyata terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Ihwal keyakinan hakim, maka ada tiga hal yang harus dibentuk. Pertama, keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU. Kedua, keyakinan bahwa terdakwa benar melakukannya. Ketiga, hakim yakin bahwa terdakwa dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukannya (Chazawi, 2008:32-33).

KETIGA, alat-alat bukti dalam hukum acara pidana. Pembahasan tentang alat bukti pada dasarnya berhubungan dengan bewijsmiddelen yakni alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa pidana. Dalam hukum acara pidana Indonesia ketentuan tentang alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu sebagai berikut :

1. Keterangan saksiJeffersonL.Ingrammendefinisikanketerangansaksisebagai

testimony is evidence that comes to the court through witnesses

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 110: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

100 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

speaking under oath or affirmation (L. Ingram, 2009:25. Sering pula keterangan saksi disebut sebagai eyewitness dan earwitness. Eyewitness adalah seseorang yang memberikan keterangan tentang suatu peristiwa berdasarkan yang dilihatnya. Sedangkan earwitness adalah seseorang yang memberikan keterangan tentang suatu peristiwa yang didengarnya tetapi tidak dilihatnya sendiri (Garner, 2004:548-626). Sudah barang tentu eyewitness dan earwitness ini adalah alat bukti yang digunakan dalam sistem hukum anglo saxon yang berbeda dengan peraturan di Indonesia. Meskipun demikian baik eyewitness maupun earwitness adalah termasukdalamdefinisisaksimenuruthukumpositifIndonesia.

Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan, bahwa saksi adalah orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan Pasal 1 angka 27 menguraikan, bahwa keterangan saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Satria, 2012:49). Definisi saksi dalam Pasal 1angka 26 jo Pasal 1 angka 27 tersebut kemudian diperluas oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011. Secara ekspilisit dikategorikan sebagai keterangan saksi menurut putusan ini adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Hiariej, 2012:103).

Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan Pasal 185 ayat (2) mengungkapkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (Pasal 185 ayat 3 KUHAP). Apabila memperhatikan rumusan Pasal 185 ayat (1-3) tersebut pada

Page 111: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

101

dasarnya berhubungan dengan prinsip unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) dan syarat minimum pembuktian. Bahwa agar alat bukti saksi memiliki kekuatan hukum mengikat dan diakui sah maka harus terpenuhi minimal dua orang saksi. Jika hanya satu orang maka saksi tersebut dianggap tidak sah karena sesuai dengan prinsip unus testis nullus testis (Latin) atau een getuige geen getuige (Belanda). Demikian halnya dengan alat bukti, untuk membuktikan bahwa seseorang bersalah maka harus terpenuhi prinsip minimum pembuktian yakni minimum dua alat bukti (prima facie evidence). Jadi dua alat bukti yang dimaksud adalah bersifat kuantitatif. Dalam hal ini alat bukti saksi – minimal dua orang saksi ditambah dengan alat bukti yang lain maka dengan sendirinya telah terpenuhi syarat minimum pembuktian.

2. Keterangan ahliPasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan ahli

adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Dalam penjelasan KUHAP disebutkan bahwa keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Terkait dengan keberadaan ahli dalam pemeriksaan perkara dijelaskan oleh Ron Delisle, Don Stuart & David Tanovich, admission of expert evidence depends on the aplication of the following criteria: first, relevance. Second, necessity in assisting the trier of fact. Third, the absence of any exclusionary rule. Fourth, a properly qualified expet (Delisle dan Tanovich, 2010, 860). Selain itu pula seorang ahli harus memiliki pengalaman, kecakapan, terlatih dan memiliki pengetahuan atau ketarampilan tertentu. Ditegaskan oleh Tristam Hodgkinson dan Mark James mengatakan experienced, the one who is expert or ho has gained skill experiece; trained by experience or practice, skilled, skilful, as does the noun the one who special knowledge or sceel causes him to be regarded as an authority, a specialist (Hodgkinson dan James, 2007:33).

Dalam KUHAP juga membedakan keterangan ahli di

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 112: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

102 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan di depan sidang pengadilan. Jika seorang ahli memberikan keterangan secara langsung di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah, keterangan tersebut adalah alat bukti keterangan ahli yang sah. Sementara itu jika seorang ahli di bawah sumpah memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli (Hiariej, 2012:107).

3. SuratMenurut Asser-Anema surat adalah segala sesuatu yang

mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Hamzah, 2008, 127). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh A. Pitlo, bahwa surat adalah pembawa tanda bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta sebab benda ini tidak termuat tanda bacaan (Prodjohamijojo, 1990:138). Surat yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti dapat meliputi: pertama, berita acara dan surat lain dala bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di dengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Kedua, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan. Ketiga, surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Keempat, surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (Pasal 187 KUHAP).

4. PetunjukBerdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP, petunjuk

didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yangkarena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

Page 113: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

103

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk tersebut dapat diperoleh dari: keterangan saksi; surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya (Pasal 188 ayat 3 KUHAP).

Adami Chazawi kemudian merumuskan beberapa persyaratan suatu petunjuk agar menjadi alat bukti. Pertama, adanya perbuatan, kejadian dan keadaan yang bersesuaian dan menunjukkan telah terjadi tindak pidana, terdakwa yang melakukan serta ia bersalah atas tindak pidana tersebut. Kedua, bersesuaian antara perbuatan, kejadian dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan. Ketiga, persesuaian itu menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana juga menunjukkan siapa pelakunya. Kempat, petunjuk hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti yakni keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Chazawi, 2008:73-74).

5. Keterangan terdakwaPasal 189 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa keterangan

terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang dikatakan mengandung nilai pembuktian yang sah adalah berupa: pertama, keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan. Kedua, isi keterangannya mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri. Ketiga, keterangan tersebut hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri. Keempat, keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (Hiariej, 2012:112).

P E M B A H A S A N

Berbicara tentang pembuktian dalam tindak pidana korupsi akan difokuskan pada dua hal. Pertama, ihwal alat bukti. Kedua, ihwal

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 114: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

104 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

teori pembuktian yang digunakan dalam peraturan a quo. Agar lebih sistematis dan mudah dipahami maka secara garis besar akan diulas sebagai berikut:

1. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.Ketentuan tentang alat bukti dalam tindak pidana korupsi diatur

dalam Pasal 26A yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: pertama, alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Kedua, dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,baikyangtertuangdiataskertas,bendafisikataupunselainkertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Lingkup alat bukti yang telah disebutkan dalam Pasal 26A tersebut pada dasarnya adalah perluasan alat bukti petunjuk yang telah diuraikan dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Itu artinya peraturan a quo hanya melengkapi pengaturan alat bukti yang telah diperkenalkan oleh KUHAP. Jadi uraian alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 KUHAP masih tetap dipertahankan tetapi khusus menyangkut bukti petunjuk mendapatkan perluasan sesuai dengan sifat dan karakter tindak pidana korupsi. Perluasan ini sekaligus menjadi langkah responsif dan antisipatif pembentuk undang-undang dalam melihat modus operandi tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara-cara lebih sistematis dan sulit di deteksi oleh aparat penegak hukum. Bukti petunjuk dalam literatur, biasa disebut sebagai circumstansial evidence atau bukti tidak langsung. George R. Rush menyebut circumstantial evidence sebagai evidence from which a fact can be reasonably inferred, although not directly proven (Rush, 2003:56). Jadi meskipun petunjuk adalah bukti tidak langsung tetapi tetap saja dapat digunakan sebagai bukti jika didukung oleh alat-alat bukti yang lain, seperti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Hamburger, 2008:247).

Perspektif teori, uraian alat-alat bukti dalam undang-undang

Page 115: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

105

anti korupsi tersebut kelihatannya lebih condong pada alat bukti yang selama ini digunakan oleh negara-negara sistem hukum anglo saxon,sepertiAmerikaSerikatdanInggris.Haliniterkonfirmasidariargumentasi yang dikemukakan oleh Colin Evans ihwal evidence. Evans mengatakan evidence can take many forms. It might be the testimony of an eyewitness, a fragment of DNA or a fingerprint, a fiber, some documents, or perhaps even a confession (Evans, 2010:7). Jadi wujud bukti dapat beraneka ragam, misalnya saksi mata, ahli, dokumen, sidik jari dan DNA.

Merujuk pada ragam bentuk bukti tersebut, Larry E. Sulivan & Marie Simonetti Rossen kemudian membagi bukti dalam tiga kategori yaknibuktilangsung,buktitidaklangsungdanbuktifisik.Ditegaskanoleh Sulivan & Rossen, most evidence can be devided in to three broad categories: direct evidence, indirect evidence and physical evidence (Sulivan dan Rossen, 2005:178). Bukti langsung membentuk unsur kejahatan melalui penuturan saksi mata, pengakuan atau apapun yang diamati termasuk tulisan dan suara, video atau rekaman digital. Bukti tidak langsung didasarkan pada perkataan dengan analisis yangmasukakal.Sedangkanbuktifisikdihasilkandaripenyidikankriminal. Secara gamblang diulas oleh Sulivan & Rossen, direct evidence establishes an element of a crime through any eyewitness account, cenfession or anything observed including writings, audio, video or digital recording. Indirect evidence is based on inference and deductive reasoning. Physical evidence result from a criminal investigation (Sulivan dan Rossen, 2005:179).

Masih mengenai bukti, dalam tindak pidana korupsi di Indonesia mayoritas bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK adalah berbentuk dokumen dan rekaman komunikasi yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi. Rekaman tersebut diperoleh dari hasil penyadapan. Ihwal penyadapan ini telah diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Apabila memperhatikan rumusan dokumen dalam peraturan a quo maka ruang lingkupnya sangat luas yang dapat menjangkau banyak hal terkait dengan pengungkapan tindak pidana korupsi. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh JeffersonL. Ingram, documentary evidence includes all types of traditional documents, records, photographs, pictures, X-ray images, drawings,

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 116: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

106 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

audio-and videotapes, as well as writing that are not obcectionable under the various exclusionary rules (L. Ingram, 2010:25). Kembali pada undang-undang anti korupsi, meluasnya ruang lingkup dokumen tersebut kelihatannya sengaja dibuat oleh pembentuk undang-undang agar mempermudah penemuan bukti oleh penyidik sehingga memudahkan pula pengungkapan tindak pidana korupsi.

Meskipun demikian bukti-bukti yang diperoleh penyidik tersebut harus tetap relevan atau berhubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang diungkap. Hal ini untuk mengantisipasi abuse of power oleh aparat penegak hukum dalam menyidik tindak pidana korupsi, apalagi lingkup bukti sangat luas cakupannya. Ian Dennis kemudian mengajukan tiga proposisi terkait dengan itu. First, evidence must be relevant in order for court to receive it. That it must relate to some fact which is proper object of proof in the proceedings. Second, evidence must also be admisible, meaning that it can properly be received by courts as matter of law. Third, exclusionary discretion or exclusionary rules (Dennis, 2007:5-6). Prinsip exclusionary discretion ini berhubungan dengan putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Mapp vs Ohio yang mana hakim mengatakan bahwa we hall that all evidence obtained by searches and seizures in violation of the constitution is, by that some authority, inadmisible in a state court (Katsaris, 1976:63). Intinya tidak diakui sebagai bukti apabila perolehan bukti tersebut dilakukan dengan cara yang melanggar hukum (unlawful legal evidence). Max M. Houck kemudian menguraikan bahwa bukti yang tidak dapat digunakan karena diperoleh secara tidak sah disebut dengan tainted evidence artinya bukti yang ternodai. Termasuk dalam bukti yang ternodai adalah derivative evidence atau bukti yang tidak asli (Hiariej, 2012:12). Sedangkan ihwal relevant dan admisible maksudanya adalah bahwa suatu bukti harus berhubungan dan dapat diterima oleh para pihak dalam kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi. Bukti yang diterima mutatis mutandis adalah relevan tetapi yang bukti relevan belum tentu dapat diterima.

Berdasarkan uraian tersebut diatas berikut argumentasi beberapa yuris, kita dapat mengatakan bahwa untuk kepentingan pemberantasan korupsi perluasan alat bukti petunjuk adalah rasional dan mutlak dibutuhkan. Menghadapi tindak pidana korupsi yang kian hari makin menggurita maka diperlukan perluasan cara dalam memperoleh bukti. Memperluas episentrum bukti

Page 117: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

107

petunjuk mengindikasikan bahwa upaya serius dari negara untuk memudahkan KPK dan aparat penegak hukum lain dalam menyidik perkara korupsi. Perluasan ini diharapkan akan berkorelasi positif dengan keberhasilan pengungkapan dan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi.

2. Teori Pembuktian Dalam Peraturan Anti Korupsi Indonesia

Ihwal teori pembuktian dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada dasarnya berkorelasi dengan teori pembuktian dalam hukum acara pidana. Karena itu di atas telah diulas empat teori pembuktian yang dikenal dalam hukum acara pidana namun hanya teori negatif yang digunakan dalam Pasal 183 KUHAP. Teori-teori tersebut dalam perjalanannya tidak mutatis mutandis diterapkan dalam undang-undang anti korupsi. Oleh karena itu sebelum diulas lebih jauh tentang teori pembuktian dalam tindak pidana korupsi maka terlebih dahulu penulis akan mengutip secara lengkap dua pasal dalam peraturan a quo yang secara langsung berhubungan dengan teori pembuktian. Pertama, Pasal 12B yang menyebutkan bahwa setiapgratifikasikepadapegawainegeriataupenyelenggaranegaradianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a) yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebutbukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b)yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pembuktianbahwagratifikasitersebutsuapdilakukanolehpenuntutumum. Kedua, Pasal 37 ayat (1) yang menyebutkan bahwa terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Kedua pasal tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain sehingga bukansesuatuyang terpisah-pisahkan.GratifikasidalamPasal 12Badalah berhubungan dengan hak pembuktian dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) peraturan a quo.

Paling tidak ada lima makna penting bila memahami hakikat Pasal 12B yakni pertama, subjek gratifikasi adalah pegawai negeri atau

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 118: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

108 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

penyelenggara negara. Kedua, perbuatan menerima gratifkasi adalah bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketiga, ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a pada prinsipnya secara operasional akan diterapkan pada Pasal 37. Keempat, pembalikan pembuktian dalam peraturan a quo adalah hanya berlaku pada tindak pidanakorupsiberupasuapmenerimagratifikasiyangnilainyaRp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih. Kelima, bagi tindak pidanakorupsisuapmenerimagratifikasiyangnilainyakurangdari10.000.000 (sepuluh juta rupiah) maka beban pembuktiannya tetap berada di tangan jaksa penuntut umum.

Berdasarkan ulasan tersebut, kita dapat mengatakan bahwa sistem pembalikan pembuktian dalam tindak pidana korupsi terbagi dua yakni pembalikan pembuktian dan bukan pembalikan pembuktian – pembuktian biasa (konvensional). Pembalikan pembuktian dapat dijumpai dalam Pasal 12B ayat (1) peraturan a quokhususpadapenerimagratifikasi.Sedangkanbukanpembalikanpembuktian – pembuktian konvensional dapat ditemukan pada Pasal 12B ayat (2) khususmenyangkut gratifikasi yang nilai kurang dariRp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Atas dasar itulah Indriyanto Seno Adji menegaskan bahwa sistem pembuktian dalam Pasal 12B tersebut bersifat terbatas dan berimbang. Terbatas karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara keseluruhan dan absolut pada semua delik yang ada pada undang-undang anti korupsi. Sedangkan berimbang artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilaksanakan oleh penuntut umum (Seno Adji, 2006:134).

Ketentuan pembalikan pembuktian pada dasarnya juga telah direkomendasikan oleh masyarakat internasional melalui Pasal 31 angka 8 UNCAC 2003, state parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful orign of such alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the fundamental principle of their domestic and with the nature of judical and other proceedings (UNODC, 2003:25). Ada dua makna penting dari ketentuan UNCAC 2003 tersebut. Pertama, pelaku dapat memperlihatkan atau menerangkan asal muasal harta kekayaan yang sah tetapi diduga berasal dari hasil kejahatan. Kedua, proses perampasan tersebut harus tetap sesuai dengan prinsip dasar hukum nasional termasuk pula hukum acara pidananya. Secara implisit

Page 119: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

109

ketentuan ini telah mengadopsi pembalikan pembuktian pada orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi. Sayangnya peraturan ini hanya sebagai non mandatory obligation sehingga negara-negara peserta konvensi dapat memilih menerapkan atau tidak, tergantung kehendak negara yang bersangkutan.

Masih mengenai pembalikan pembuktian, di atas telah ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 12B bertalian erat dengan Pasal 37. Khusus Pasal 37 peaturan a quo pada dasarnya terkandung dua hal. Pertama, pembalikan pembuktian adalah hak terdakwa sebagaimana disebutkan pada ayat (1). Pengaturan demikian sebetulnya bukanlah suatu kemajuan sebab hak pembuktian adalah sudah melekat pada setiap warga negara yang dituduh melakukan tindak pidana termasuk juga tindak pidana korupsi. Singkatnya penyebutan hak terdakwa dalam pembuktian adalah sekedar menegaskan hak terdakwa yang secara alami telah melekat ketika ia dijadikan tersangka atau terdakwa. Kedua, penegasan tentang pembalikan pembuktian sebagaimana disebutkan pada ayat (2). Artinya bahwa ada konsekuensi yuridis ketika terdakwa berhasil membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini pengadilan akan menjadikan sebagai dasar dalam memutuskan bahwa dakwaan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Namun demikian jika terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi maka hal itu akan dijadikan dasar juga bagi hakim untuk menghukum terdakwa.

Intinya adalah bahwa mekanisme pembalikan pembuktian yang diatur dalam Pasal 37 ayat (2) adalah berkorelasi positif dengan Pasal 12B ayat (1) huruf a. Ketika seseorang didakwa oleh penuntut umum karena telah menerima gratifikasi berupa suapmaka pembuktiannya adalah kepada terdakwa. Apabila ia berhasil membuktikan maka dakwaan penuntut umum mutatis mutandis tidak terbukti kosekuensinya terdakwa dibebaskan dari dakwaan (actore non probante reus absolvitur). Jadi Pasal 12B ayat (1) huruf a adalah tindak pidana gratifikasinya sedangkan Pasal 37adalah opersionalisasi pembuktiannya berupa pembalikan beban pembuktian (reversal of burden of proof). Selain Pasal 37 sebetulnya masih ada Pasal 37A yang juga berhubungan dengan pembalikan pembuktian tetapi Pasal 37A ini tidak memiliki hubungan dengan Pasal 12B ayat (1) huruf a tersebut. Pasal ini hanya berhubungan dengan pembalikan pembuktian tentang asal muasal harta benda

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 120: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

110 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

terdakwayangbukanberasaldarigratifikasi.Pembalikan pembuktian dalam perkembangannya tidak hanya

dikenal dalam peraturan anti korupsi tetapi juga dalam tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Dalam Pasal 77 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan Pasal 78 ayat (1) berbunyi: dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Merujuk pada uraian tersebut di atas hanya ada dua kemungkinan bagi terdakwa yakni pertama, mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Kedua, terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Jika terdakwa mampu membuktikan maka konsekuensinya penuntut umum wajib mengajukan bukti yang dimilikinya yang dapat menunjukan bahwa harta kekayaan terdakwa berasal dari hasil tindak pidana. Tetapi jika terdakwa tidak mampu membuktikan maka hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana dan harta kekayaan terdakwa yang berasal dari tindak pidana disita untuk negara.

K E S I M P U L A N D A N S A R A N

1. KesimpulanTerdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam tulisan

ini. Pertama, berbicara tentang pembuktian dalam tindak pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dengan pembuktian dalam hukum acara pidana secara umum. Pada dasarnya terdapat beberapa teori pembuktian yakni teori positif, teori conviction intme, teori conviction rasionee dan teori negatif. Teori negatif ini yang diadopsi dalam Pasal 183 KUHAP. Kedua, dalam perkembangannya peraturan anti korupsi Indonesia memperkenalkan pembalikan pembuktian khusus pada gratifikasiyangdianggapsuapsebagaimanadisebutkandalamPasal12B jo Pasal 37. Ketiga, peraturan anti korupsi dan pencucian uang juga memperluas episentrum alat bukti petunjuk dalam KUHAP. Perluasan ini sasarannya adalah untuk memudahkan penyidikan dan pembuktian tindak pidana korupsi.

Page 121: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

111

Keempat, selain dalam tindak pidana korupsi, pembalikan pembuktian juga diadopsi dalam peraturan anti pencucian uang. Bahkan dalam peraturan a quo mengenalkan prinsip pembalikan pembuktian murni. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Kelima, pembuktian yang awalnya hanya menjadi domain jaksa (beban pembuktian konvensional) kemudian mengalami pergeseran (shifting) kepada terdakwa (pembalikan beban pembuktian – refersal of burden of proof). Prinsip pembalikan pembuktian terbagi dua yakni pembalikan pembuktian murni (absolut) yang dikenalkan dalam tindak pidana pencucian uang dan pembalikan pembuktian bersifat terbatas dan berimbang yang dikenalkan dalam tindak pidana korupsi.

2. SaranPertama, meskpun UNCAC 2003 menyebut bahwa pembalikan

pembuktian sifatnya non mandatory obligation namun kiranya penting dievaluasi agar undang-undang anti korupsi secara tegas menggunakan prinsip pembalikan pembukitan baik terhadap gratifikasimaupunbentuktindakpidanakorupsiyanglain.Kedua, pembalikan pembuktian tersebut tetap dalam konteks tidak melanggar prinsip non self incrimination dalam hukum pidana. Karena itu asas-asas fundamental dalam hukum pidana mesti diadopsi secara tegas oleh undang-undang anti korupsi. Ketiga, perumusan alat bukti seharusnya tidak hanya memperluas episentrum alat bukti petunjuk tetapi secara langsung mengatur tentang alat bukti baru selain yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Hal ini menjadi penting sebab sebagai penegasan kehususan peraturan anti korupsi dibandingkan dengan KUHAP. Keempat, salah satu alat bukti yang dapat ditambahkan adalah dokumen elektronik dan peta, seperti yang digunakan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketentuan ini penting ditambahkan karena pada saat ini tindak pidana korupsi di bidang sumber daya alam sedang marak terjadi. Kelima, kedepan khusus menyangkut pembalikan pembuktian murni seperti dalam peraturan anti pencucian uang agar dibuat sebuah peraturan khusus yang mengatur prosedur beracara tersendiri sehingga dapat memberikan kepastian hukum (legal certainty).

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 122: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

112 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

R E F E R E N S I

Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.

__________________, 2007, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta.

Anshorudin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Atmasasmita, Romli, 1995, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam Perspektif Kriminologi dan Viktimologi, FH UII, Yogyakarta.

Black, Henry Campbell, 1968, Black Law Dictionary: Definition of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern (Fourth Edition), ST Paul Minn-West Publishing.co, New York.

Chazawi, Adami, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung.

Delisle, Ron, Stuart, Don & Tanovich, David, 2010, Evidence: Principle and Problems (Ninth Edition), Carswell Thomson Reuters, Canada.

Dennis, Ian, 2007, The Law of Evidence (Third Edition), Swet and Maxwel, London.

Evans, Colin, 2010, Criminal Justice: Evidence, Chelsea House Publisher, New York.

Garner, Bryan A, 2004, Blacks Law Dictionary, West Thomson Bussines, New York.

Hamburger, Philip, 2008, Law and Judical Duty, Harvard University Press, Massachusetts-London.

Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,PTRajaGrafindoPersada,Jakarta.

_____________, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta.

_____________, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika,Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan),SinarGrafika,Jakarta.

Page 123: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

113

Hiariej, Eddy O.S., 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.

Hodgkinson, Tristram and James, Mark, 2007, Expert Evidence Law and Practice, Sweet and Maxwell, London.

Ingram,JeffersionL,Criminal Evidence (Tenth Edition), LexisNexis-Anderson Publishing, New York.

Kadish, Sanford H, 1983, Encyclopedia of Crime and Justice (Volume I), The Free Press Macmilan Publisher, New York.

Katsaris, W. Ken, 1976, Evidence and Procedure in the Administration of Justice, John Wiley & Sons, New York.

Krisnawati, Dani, Riyanto, Sigid, Gunarto, Marcus Priyo, Supriyadi dan Hiariej, Eddy O.S., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Ilmu dan Amal, Jakarta.

Montesqieu, 1993, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pangaribuan, Luhut M.P., 2008, Hukum Acara Pidana: Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Djambatan, Jakarta.

Poernomo, Bambang, 1993, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta.

Poerwadarminta, W.J.S., 1990, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Prodjohamijojo, Martiman, 1990, Komentar atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pradnya Paramita, Jakarta.

Rush, George E, 2003, The Dictionary of Criminal Justice (Sixth Edition), McGraw-Hill Companies, California.

Satria, Hariman, 2014 Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press, Yogyakarta.

______________, 2012, Penerbitan SKPP Oleh Kejaksaan Dalam Proses Peradilan Pidana, Genta Publishing, Yogyakarta.

Sulivan, Larry E. & Rossen, Marie Simonetti, 2005, Encyclopedia of Law Enforcement (Volume I), Sage Publication, London.

Tilman, Robert O, 1988, Timbulnya Birokrasi Pasar Gelap;

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian(Hariman Satria)

Page 124: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

114 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Administrasi, Pembangunan dan Korupsi di Negara Baru, dalam Muchtar Lubis dan James C, Scoot, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta.

United Nations Convention Against Corruption 2003, UNODC-United Nations Office on Drugs and Crime, United Nations, New York.

Page 125: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

115

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia

Refki Saputra

Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang – Sumatera Barat

[email protected]

A B S T R A K

Upaya pemulihan aset hasil kejahatan merupakan salah satu perhatian utama dari komunitas global dalam menanggulangi kejahatan keuangan saat ini. Hal ini menjadi salah satu kaidah yang diatur dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Dimana, negara-negara pihak diharapkan dapat memaksimalkan upaya-upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa tuntuan pidana. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah digagas oleh pemerintah, diharapkan

Page 126: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

116 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

upaya pemulihan aset hasil kejahatan dapat diefektifkan. Beberapa tantangan yang harus dihadapi pemerintah diantaranya terkait dengan isu hak atas harta kekayaan dan juga proses peradilan yang adil. Mengingat pendekatan perampasan in rem telah menggeser nilai kebenaran materil tentang kesalahan dalam hukum pidana menjadi sebatas kebutuhan akan kebenaran formil atas asal-usul harta kekayaan. Dalam pengimplementasian RUU Perampasan Aset nantinya, pemerintah setidaknya harus menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan sama sekali tidak membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu aset merupakan hasil kejahatan.

Kata Kunci: perampasan aset, perampasan in rem, harta hasil kejahatan

A B S T R A C T

Asset Recovery efforts from proceeds of crime is one of the main concerns of the global community to tackle the current financial crime. This has become one of the rules set out in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) in 2003. Where, state parties are expected to maximize the efforts of confiscation of assets of crime without criminal charges. Through the draft Bill Confiscation of assets that have been initiated by the government, is expected to attempt recovery of assets from crime can be effected. Some of the challenges faced by the government of which were related to the issue of property rights and also a fair trial. Considering the in rem confiscation approach has been to shift the value of the material truth about errors in the criminal law be limited to the need for a formal truth on the origin of the assets. In implementing the legislation of confiscation of assets in the future, the government should at least be asserted that the mechanisms used did not prove the guilt of a person, but only to prove that an asset is the result of a crime.

Keywords: asset recovery, in rem forfeiture, procceds of crime

“If we cannot arrest the criminals, why not confiscate their assets?”

—Liz O’Donnell TD, Irish Politician,

Page 127: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

117

P E N D A H U L U A N

Berbagai upaya penanggulangan kejahatan terus berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan itu sendiri. Dimana upaya menangkap pelaku kejahatan untuk kemudian dipenjarakan agar mendapatkan efek jera berangsur-angsur mulai menemui kegagalan demi kegagalan, terutama bagi kejahatan yang terkait dengan upaya mencari keuntungan finansial secara ilegal. Belakangan, upayamenanggulangi kejahatan ini mulai bergeser pada tindakan mengejar keuntungan ilegal yang didapat ketimbang pelaku aktivitas ilegal itu sendiri.

Pandangan ini mulai berkecambah pada saat merebaknya jaringan pengedaran narkotika antar-negara yang membuat penegak hukum kesulitan untuk menumpasnya. Hasil dari produksi narkotika ilegal tersebut tumbuh sangat cepat dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-an. Jumlah uang yang didapat dari hasil kejahatan berjumlah sangat besar dan sanggup membiayai aktivitas kejahatan berikutnya. Selain itu, mereka dapat menyuap para pejabat publik, termasuk para penegak hukum setempat untuk menutupi kejahatan yang dilakukan.

Hingga tahun 1986, upaya-upaya penegakan hukum di Amerika Serikat untuk memerangi narkoba dengan memenjarakan mereka yang mengedarkan dan menggunakan narkoba terbukti tidak memberikan kesuksesan. Pemerintah Federal Amerika kemudian menggalakkan upaya perang melawan narkoba (War on Drugs), namun dengan pendekatan yang berbeda. Penegak hukum mencari metode lain untuk mengejar pelaku kejahatan, yakni mengarah kepada hasil kejahatan (going for the money), dalam hal ini dengan memotong langsung kepada pusat kejahatannya (head of the serpent) menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata sebagai langkah awal. Paradigma penegakan hukum yang dilakukan saat itu tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, melainkan juga melalui pengejaran terhadap ‘keuntungan’ ilegalnya (confiscate ill-gotten gains) (Vetori, 2006). Meminjam ungkapan yang digelorakan oleh Fancois Noel Babeuf (1760-1797) sebagai orang pertama yang menyuarakan cita-cita kaum sosialisme, bahwa secara etis apa yang dicuri dari rakyat harus sedapat mungkin dirampas kembali (Suseno, 2016). Hasil kejahatan merupakan sesuatu yang tidak boleh dimiliki terus menerus oleh pelaku kejahatan, dan karenanya harus dikembalikan kepada yang berhak atasnya.

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 128: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

118 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Model pengejaran terhadap keuntungan ilegal, kemudian diformalkan dalam ketentuan United Nations Convenant Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Selain mengatur beberapa ketentuan tentang kerjasama penanganan tindak pidana korupsi di dunia, UNCAC juga memandatkan kepada negara anggota untuk mengupayakan perampasan aset hasil kejahatan. Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC yang mengharuskan semua Negara Pihak untuk mempertimbangkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus di mana pelanggar tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan atau dalam kasus-kasus yang lainnya. Dalam hal ini, fokus UNCAC bukan hanya pada satu tradisi hukum saja, sebab perbedaan fundamental yang ada dalam setiap tradisi hukum akan menghambat implementasi konvensi. Karena itu diusulkan agar setiap Negara Pihak menggunakan perampasan tanpa tuntuan pidana (Non Conviction Based- NCB) sebagai alat atau sarana – yang mampu melampaui perbedaan sistem hukum – untuk merampas aset hasil korupsi disemua yurisdiksi (Ramelan dkk, 2012).

Indonesia sebagai negara pihak dalam UNCAC sebagaimana yang diformalkan dalam UU No. 7 Tahun 2006, dengan tetap mempertimbangkan kedaulatan nasional diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan ketentuan dalam konvensi tersebut. Ikhwal perampasan aset tanpa tuntutan pidana, Indonesia sudah menjadikannya sebagai usulan produk hukum (RUU) ke DPR sejak tahun 2012 melalui pembuatan Naskah Akademis. Jika dilihat secara umum, materi muatan RUU Perampasan Aset dianggap sangat revolusional dalam proses penegakan hukum terhadap perolehan hasil kejahatan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari 3 (tiga) perubahan paradigma dalam penegakan hukum pidana. Yakni pertama, pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, melainkan aset yang diperoleh dari kejahatan. Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata. Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya.

RUU Perampasan Aset ditujukan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan. Dengan demikian, keberadaan RUU Perampasan Aset ini telah mengubah paradigma

Page 129: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

119

dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi (rehabilitationist). Apakah kemudian, dengan bekerjanya RUU Perampasan Aset ini akan menggeser bahkan menghilangkan proses penegakan hukum konvensional dalam mengejar pelaku kejahatan atau kemudian melakukan kolaborasi di antara kedua pendekatan tersebut.

M E T O D E P E N E L I T I A N

Penelitian ini dilakukan secara normatif dengan menganalisis beberapa konsep pendekatan perampasan aset tanpa tuntutan pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) terhadap materi muatan RUU Perampasan Aset. Analisis dilakukan dengan menjabarkan beberapa norma yang mendasari kebijakan perampasan aset, mulai dari UNCAC hingga peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan mekanisme perampasan aset yang sudah ada. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan teori-teori hukum yang relevan dengan masalah yang dimunculkan.

N C B A S S E T F O R F E I T U R E : M E R A M P A S A S E T H A S I L T I N D A K P I D A N A M E L A L U I J A L U R P E R D A T A

Dalam Pasal 1 angka 8 RUU Perampasan Aset, disebutkan tentang definisi Perampasan In Rem yang berarti suatu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana. Secara tegas di sini disebutkan bahwa terhadap aset yang diduga dari dan untuk tindak pidana disidangkan dalam sebuah pengadilan perdata.

Penggunaan mekanisme perdata dalam merampas aset hasil tindak pidana tersebut dilakukan murni dalam dugaan kasus tindak pidana dengan putusan berupa pengambilalihan aset yang diduga dari hasil tindak pidana tanpa disertai dengan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari mekanisme ini karena memang yang dihadapkan ke pengadilan oleh penuntut umum adalah aset itu sendiri bukan pelaku. Adapun

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 130: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

120 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

pihak yang berkepentingan dengan aset yang dimaksud (bisa jadi pihak yang diduga pelaku) dapat menjadi pihak terkait didalam persidangan untuk mempertahankan aset tersebut. Penggunaan mekanisme perdata dalam perkara pidana ini merupakan pilihan pragmatis dari masyarakat global dalam UNCAC untuk memberantas kejahatan, khususnya korupsi. Namun demikian, pilihan tersebut penting untuk dijelaskan secara teoritik dan paradigmatik, agar tidak terkesan hanya mengambil “jalan pintas” dalam penegakan hukum.

Secara historis, fenomena kejahatan terorganisir seperti peredaran narkotika internasionl ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran tentang konsep perampasan (confiscation) dalam sistem peradilan pidana. Sebelumnya, hukum acara pidana yang berlaku didunia secara umum, pada masa lampau hanya mengenal mekanisme perampasan tradisional yang disebut sebagai perampasan terhadap instrumen kejahatan (instrumentum sceleris) atau objek dari kejahatan (objectum sceleris). Hampir semua sistem peradilan pidana yang berlaku, tidak menyediakan mekanisme perampasan terhadap hasil kejahatan (producta/fructa sceleris). Hal ini dikarenakan, terhadap kejahatan yang tidak menimbulkan korban secara langsung (victimless), pelaku seolah-olah terbebas dari kewajiaban membayar ganti rugi. Terhadap pelaku,hanyadikenakanpidanabadan(fisik)berupapemenjaraan.Hal ini berbeda dengan jenis kejahatan yang menimbulkan korban langsung, dimana para korban atau keluarganya dapat mengajukan gugatan materil kepada pelaku kejahatan, seperti yang dipraktikkan di negara Belgia dan Prancis. Kekuranglengkapan hukum tersebut, memberikan keleluasaan bagi para pelaku kejahatan menikmati hasil kejahatan. Seperti kejahatan peredaran narkotika di Inggris dalam perkara R. v. Cuthbertson (1981), dimana pengadilan dianggap tidak berwenang merampas keuntungan yang diperoleh dari kejahatan (Stessens, 2003). Salah satu alasan mengapa hasil kejahatan tidak dapat dikenakan perampasan saat itu adalah karena hasil kejahatan dapat dipungut pajaknya, dan oleh karena itu merupakan wewenang dari lembaga pemungut pajak (Alldridge, 2003). Namun, walaupun terkesan sebagai suatu kemunduran, perkara ini kemudian menjadi titik balik bagi perkembangan hukum perampasan modern.

Perampasan harta hasil kejahatan sebenarnya berakar dari sebuah prinsip keadilan yang sangat fundamental, dimana suatu kejahatan tidak boleh memberikan keuntungan bagi pelakunya (crime should not pay), atau dengan kata lain, seseorang tidak boleh mengambil

Page 131: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

121

keuntungan dari aktivitas ilegal yang ia lakukan (Alldridge, 2003). Adapun doktrin hukum pidana yang melarang seseorang mendapatkan keuntungan dari suatu kejahatan tersebut, paling jelas dapat dilihat dalam suatu kasus pembunuhan seorang suami oleh istrinya, Florence Maybrick dengan menggunakan racun di Inggris. Dimana, pada tahun 1981, pengacara dari Maybrick, Richard Cleaver, mengajukan banding, tapi bukan untuk memohon keringanan hukuman atas kliennya, melainkan karena polis asuransi sang suami yang telah diwasiatkan kepada kliennya tidak bisa dicairkan, karena oleh pengadilan pertama, pelaku pembunuhan dianggap tidak bisa menerima keuntungan dari kejahatan yang ia lakukan (Alldridge, 2003; Sly, 2009).

Perampasan yang kemudian dipilih adalah dengan menggunakan jalur perdata. Artinya, perampasan terhadap aset hasil kejahatan dilakukan tanpa perlu mengenakan sanksi pidana terhadap pelaku. Artinya, konsentrasi penegak hukum hanya kepada asetnya, bukan pelaku. Perampasan melalui jalur perdata ini dipilih, karena perampasan pidana yang sudah ada harus dikaitkan dengan kesalahan terdakwa. Artinya, harus ada pembuktian kesalahan terlebih dahulu baru aset yang dihasilkan dari tindak pidana dapat dirampas oleh negara.

Sementara, mengungkap dan membuktikan kejahatan terorganisir (organized crime) yang menjadi fenomena kejahatan modern bukanlan perkara yang mudah. Pengejaran terhadap pimpinan organisasi kejahatan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat internasional menemui kegagalan demi kegagalan karena sulitnya menemukan jejak-jejak mereka dalam aktivitas kejahatan di lapangan. Mereka ini adalah orang-orang yang hanya memberikan perintah untuk melakukan aksi-aksi kriminal, dan kemudian sebagai pihak yang menerima keuntungan hasil kejahatan. Maka, pilihan untuk hanya mengejar aset hasil kejahatan ketimbang menemukan pelakunya dianggap sebagai terobosan dari dinamika dunia kejahatan yang semakin kompleks.

Terlebih, dalam tindak pidana korupsi, hasil kejahatan yang merupakan kerugian negara yang harus segera dipulihkan karena terkait dengan perekonomian dan hak dari warga negara, maka mekanisme perdata dianggap sangat relevan. Mengingat, hukum perdata tidak bertujuan untuk menghukum, melainkan dirancang untuk dua hal. Pertama, status quo ante yaitu untuk mengembalikan

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 132: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

122 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

posisi dari pihak yang dirugikan. Kedua, untuk mengkompensasi pihak yang dirugikan akibat kerusakan yang dideritanya (Ramelan et.al., 2012).

T A N T A N G A N P E N G G U N A A N N C B A S S E T F O R F E I T U R E D A L A M R U U P E R A M P A S A N A S E T

Aset sebagai pihak dalam proses pengadilanMekanisme NCB Asset Forfeiture atau perampasan in rem dalam

memerangi kejahatan financial (financial crime) sudah tidak bisa ditawar lagi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Cassella (2008) bahwa perampasan pidana tidak akan pernah cukup untuk mengambil-alih keuntungan ekonomis yang didapat oleh pelaku kejahatan. Hal ini sangat beralasan mengingat prinsip utama dari perampasan pidana yang harus terlebih dahulu mensyaratkan pembuktian kesalahan dari pelaku untuk dapat merampas asetnya. Sementara, banyak sekali kondisi yang tidak memungkinkan untuk menyeret pelaku untuk dituntut secara pidana. Seperti pelaku yang buron, pelaku meninggal dunia, pelaku memiliki imunitas, dan pelaku tidak diketahui keberadaannya.

Pada dasarnya, perampasan in rem memiliki tujuan yang sama dengan perampasan pidana, yakni untuk mengambil hasil dari kejahatan, namun dengan proses yang berbeda. Mekanisme ini menempatkan negara sebagai penggugat dan aset sebagai tergugat, sementara pihak-pihak yang terkait dengan proses perampasan adalah pihak intervensi (claimants). Dalam mekanisme perampasan in rem di USA menggunakan nama yang tidak biasa seperti United States V. $ 160,000 in U.S. Currency atau United States V. Contents of Account Number 12345 at XYZ Bank Held in the Name of Jones (Cassella, 2008). Disini berlaku teori fiksi hukum diterapkanterhadap aset yang biasanya sebagai objek, namun dalam mekanisme ini diposisikan sebagai subjek. Aset dianggap dapat melakukan suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan. Konsep perampasan in rem ini berasal dari sejarah hukum di Amerika pada abad kedelapan belas dimana dengan memberikan nama kepada aset selundupan seperti kapal bajak laut atau kapal penyelundup budak ketika pemiliknya berada di luar Amerika yang mana tidak dapat dijerat oleh hukum Amerika (Cassella, 2007).

Page 133: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

123

Sekilas perampasan in rem memang mirip dengan gugatan perdata dalam kasus pidana yang sudah dikenal dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dimana, diatur tentang peran Jaksa yang dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dalam perkara perdata dan Tata Usaha Negara (Pasal 30 ayat 2) sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN). Namun, peran JPN dalam perkara pidana ini masih menggunakan hukum acara perdata murni. Dimana, aset masih diperlakukan menjadi objek sengketa dan gugatan dialamatkan kepada pihak yang menguasai aset.

Model perampasan in rem dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan adanya kerugian negara (vide Pasal 32, 33, 34 dan Pasal 38 UU Tipikor). Sementara pendekatan anti-pencucian uang melalui strategi follow the money yang dianggap lebih maju dari pendekatan pidana konvensional masih kurang memuaskan karena pada dasarnya masih dilakukan setelah putusan pengadilan dijatuhkan (post-conviction forfeiture). Walaupun tidak harus membuktikan tindak pidana asalnya (predicate crime), namun dalam persidangan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus menentukan jenis tindak pidana asalnya untuk dirumuskan dalam dakwaan jaksa penuntut umum nantinya. Pembuktian terbalik dalam perkara TPPU merupakan pelengkap dari pembuktian kesalahan seseorang untuk dapat dihukum melakukan tindak pidana pencucian uang. Hanya dalam hal terdakwa meninggal dunia saja, perampasan in rem benar-benar diterapkan dalam perkara TPPU, yakni tanpa membuktikan kesalahan, cukup permintaan untuk merampas aset milik terdakwa yang diduga merupakan hasil tindak pidana (Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010). Oleh sebab itu, Gallant dan King (2013) menyebut perampasan in rem ini merupakan perubahan yang cukup radikal dari pendekatan investigasi, penuntutan, dan penghukuman pidana konvensional.

Titik tekan dari perampasan in rem adalah mengungkap hubungan antara aset dengan tindak pidana, bukan hubungan antara aset dengan pelaku (Cassella, 2007). Kesalahan bukan merupakan bagian pembuktian dalam perampasan in rem, melainkan bukti formil tentang asal-usul harta aset. Aset yang diduga berasal dari tindak pidana, sepanjang tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya, maka pengadilan dapat memutus bahwa aset tersebut ‘tercemar’ dan

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 134: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

124 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dapat dirampas oleh negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Namun penting untuk diingat, bahwasannya perampasan in rem

ini bukan hendak menggantikan proses peradilan pidana terhadap pelaku kejahatan. Walaupun perampasan in rem dianggap lebih efektif, namun tidak direkomendasikan sekiranya penegak hukum cukup mampu menuntut pelaku secara pidana. Mengingat, untuk menanggulangi kejahatan, tetap harus menggunakan sanksi hukum pidana dan juga dengan perampasan aset hasil kejahatan (Greenberg, 2009). Artinya, model perampasan in rem ini tidak dapat memotong (bypass) semua proses hukum pidana yang seharus dapat dikenakan kepada seorang pelaku kejahatan. Kecuali apabila keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur pidana, maka baru perampasan in rem bisa digunakan. Akan lebih baik juga apabila pendekatan perampasan pidana dan perampasan in rem tersebut digunakan secara bersamaan (Greenberg, 2009).

Merampas aset tanpa membuktikan kesalahan Mekanisme perampasan tanpa tuntutan pidana yang dianggap

terobosan ini mengandung poin yang sangat krusial. Yaitu, terkait dengan hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28-H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” Perlindungan terhadap aset seseorang memang sangat dilindungi dari kesewenang-wenangan negara, sebagai salah satu ciri negara hukum (rule of law). Maka, penting untuk dilihat sejauh mana perampasan aset tersebut tidak menyalah prinsip-prinsip konstitusional.

Bagi sebagian kalangan yang memandang perampasan aset yang diduga “hasil tindak pidana” harus didahului oleh keputusan atau kepastian tentang tindak pidana yang menghasilkan aset kejahatan tersebut, memang sangat mungkin menganggap model perampasan perdata ini bertentangan dengan konstitusi. Misalnya, hal ini pernah dilakukan oleh terpidana korupsi Akil Mochtar melaui Uji Materi UU No. 8 Tahunn 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke Mahkamah Konstitusi. Ia mempersoalkan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa: “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidan Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya,” terutama

Page 135: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

125

dalam kata “tidak” yang bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Pada intinya, adanya kata “tidak” tersebut menyebabkan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang yang menghasilkan aset ilegal tidak perlu dibuktikan, dianggap bertentangan dengan konstitusi. Ia beranggapan bahwa tindak pidana asal (predicate crime) ini yang menghasilkan aset hasil kejahatan yang kemudian disembunyikan melalui metode-metode pencucian uang. Jika tidak dibuktikan tindak pidananya, mustahil akan ditemukan pencucian uangnya, apalagi dirampas untuk negara.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 77/PUU-XII/2004, sebenarnya sudah menyatakan bahwa Pasal 69 UU TPPU tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, jika dilihat dalam pertimbangan hukumnya, MK tidak begitu mengulas tentang argumen hukum yang lugas mengapa tindak pidana asal tersebut tidak perlu dibuktikan. MK melalui putusannya hanya menjabarkan bahwa akan ada ketidakadilan jika seorang yang nyata-nyata telah menerima keuntungan dari TPPU tidak bisa diproses apabila tindak pidana asalnya tidak bisa dibuktikan. MK hanya mencontohkan Pasal 480 KUHP tentang penadahan yang sudah sejak lama tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. Hal ini menjadikan konsep perampasan aset tanpa memerlukan bukti kesalahan melalui In Rem atau Civil Forfeiture masih perlu dijelaskan lebih lanjut.

Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini juga telah menerapkan penyitaan terhadap hasil kejahatan. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa yang dapat dilakukan penyitaan adalah: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasi dari tindak pidana. Dalam kasus pencurian misalnya, benda yang dicuri sebagai hasil dari kejahatan yang dapat disita jika ditemukan oleh penyidik pada saat penangkapan, penggeledahan. Begitu juga dalam kasus korupsi, hasil kejahatan yang disita misalnya pada saat ditemukannya sejumlah uang yang diduga sebagai uang suap kepada pejabat publik tertentu. Hal mana, uang tersebut juga termasuk sebagai kerugian negara yang dapat dirampas oleh negara. Hanya saja, paradigma yang digunakan masih bersifat in personam yang masih melekatkan aset dengan individu sebagai tersangka atau terdakwa. Aset yang disita kemudian harus dibuktikan merupakan

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 136: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

126 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

bagian daripada pembuktian unsur kesalahan dari pelaku.Sementara dalam penyitaan yang bersifat in rem, yang

menggunakan pembuktian terbalik, dimana yang diperlukan hanyalah sebatas pembuktian dengan standar “keseimbangan probabilitas” atau “keseimbangan kemungkinan” (balanced probability). Teori balanced probability principle atau pembuktian keseimbangan kemungkinan ini, memisahkan antara kepemilikan aset dengan tindak pidana. Teori ini menempatkan perlindungan terhadap terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (presumption of innoncence) sebagai penjabaran prinsip non-self incrimination yang harus diimbangi kewajiban terdakwa untuk membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya (Yusuf, 2013).

Jika dalam kasus pidana, standar pembuktian memerlukan derajat kemungkinan yang sangat tinggi, dengan diksi ‘secara sah dan meyakinkan’ atau dalam sistem hukum anglo saxon berdasarkan ‘beyond reasonable doubt’, maka dalam ‘balanced probability’, yang maksudnya ‘sesuatu lebih mungkin terjadi daripada tidak’ (Ramelan, et. al., 2008). Model pembuktian perdata ini berlandaskan prinsip prepondance of evidance, dimana suatu kebenaran semata-mata didasarkan pada alat bukti mana yang lebih meyakinkan atau dapat diukur dengan siapa yang memiliki bukti lebih banyak (Pohan et.al 2008) dan pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau menuntut hak tersebut. Maka, dalam perampasan perdata ini, keyakinan hakim tidak dibutuhkan untuk menentukan suatu harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana, karena standar pembuktian yang sudah diturunkan dari standar pembuktian pidana ke perdata.

Sebagai penegasan, dapat disimak pertimbangan Hakim W.J Kitchen dalam perkara R. v Nayanchandra Shah di Kanada, yang menyatakan pendiriannya terhadap perkara pencampuran hasil kejahatan dengan hasil yang legal oleh terdakwa, dengan pandangan sebagai berikut :

“tujuan dari penggunaan standar pembuktian yang lebih rendah adalah untuk menyelesaikan kesulitan untuk membuktikan hal-hal yang mungkin hanya diketahui oleh si terdakwa. Penuntut harus mampu membuktikan secara meyakinkan fakta terjadinya tindak pidana dan jumlah dari hasil tindak pidana tersebut. Namun bukti untukmengidentifikasi bagianmana yangmerupakan hasil tindakpidana adalah suatu hal lain. Pemindahan hasil tindak pidana oleh

Page 137: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

127

tersangka bisa dilakukan sebagai suatu manipulasi harta ketika hal tersebut berada di luar kontrol dan pengawasan dari orang lain. Tindakan tersembunyi tersebut bisa menjadi sangat mudah dilakukan dengan makin meningkatnya kecanggihan transaksi komersial dan kemampuan untuk membuat perintah pemindahan hak atas barang melalui komputer atau elektronik pada skala nasional maupun internasional. Terdakwa memiliki beban korelatif untuk membuktikan bahwa keseimbangan dari kemungkinan bahwa barang yang diperiksa tidaklah dibeli dari hasil kejahatan (Ramelan, et. al, 2008).

Sementara, untuk mencegah terjadainya pelanggaran dalam mekanisme ini, penuntut umum harus terlebih dahulu memiliki dugaan kuat (probable cause) adanya kayakinan bahwa aset tersangka/terdakwa diperoleh secara melanggar hukum. Di sini, ditekankan kepada penuntut umum untuk harus terlebih dahulu memiliki bukti, bahwa seorang memiliki kekayaan transaksi keuangan diluar kewajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa dengan menggunakan teori ‘kemungkinan berimbang’ ini dalam perampasan aset (negara melawan aset), bukan ditujukan untuk menyatakan kesalahan dan menghukum seorang tersangka (Yusuf, 2013).

Masalah kewenangan mengadiliSebagaimana konsep perampasan in rem yang merupakan

proses penegakan hukum pidana namun mengadopsi proses peradilan perdata dengan mengedepankan kebenaran formil, bukan kebenaran materil. Dalam Naskah Akademis RUU Perampasan Aset ini, penanganan prosesnya merupakan wewenang dari Pengadilan Umum (Ramelan, et.al, 2012). Pengadilan umum yang dimaksud merupakan pengadilan tingkat pertama yang ada di setiap kota/kabupaten yang berisikan hakim yang sehari-hari memutus perkara pidana dan perdata.

Rumusantersebuttidakmenunjuksecaraspesifikkriteriahakimyang dapat memutus perkara permohonan perampasan aset nantinya. Mengingat konteks perampasan aset in rem yang menggunakan mekanisme peradilan perdata, yang mana nantinya putusan yang dikeluarkan berupa penetapan, maka kriteria hakim yang dirujuk dalam hal ini lebih kepada hakim yang biasa memeriksa perkara perdata. Namun, sebenarnya mekanisme pembuktian tentang asal-

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 138: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

128 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

usul aset adalah dengan mekanisme pembuktian terbalik yang tidak biasa dilakukan terhadap perkara-perkara perdata pada umumnya. Maka, dengan demikian untuk memastikan efektifitas prosesperampasan aset in rem dapat dilakukan dengan memadupadankan hakim pidana dan perdata atau hakim yang diberikan pelatihan khusus tentang mekanisme perampasan aset in rem.

Kemudian, terkait dengan wewenang pengadilan khusus tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) yang tidak dirujuk dalam naskah akademis RUU Perampasan Aset. Hal ini sesungguhnya ahistoris dengan semangat pembentukan pengadilan tipikor. Dimana saat itu ada pemikiran agar penanganan perkara korupsi bisa lebih efektif oleh suatu pengadilan khusus tindak pidana korupsi karena dilengkapi hakim-hakim yang sudah memiliki keahlian yang spesifikdalampenanganantindakpidanakorupsi,baikhakimpadaperadilan umum dan hakim ad hoc. Konsep perampasan in rem yang diformalkan dalam konvensi anti-korupsi (UNCAC), karena maraknya penyembunyian hasil kejahatan dari tindak pidana ini. Maka sudah selayaknya perkara-perkara perampasan aset in rem ini juga dapat dilakukan di pengadilan tipikor apabila aset yang tercemar diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

P E N U T U P

Perkembangan teknologi yang membuat transaksi ekonomi saat ini tidak mengenal batas negara (borderless), dimana pelaku kejahatan yang terpisah dengan penikmat hasil kejahatan membuat mekanisme hukum pidana konvensional dirasa belum cukup untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan dimaksud. Metode perampasan aset secara in rem melalui NCB Asset Forfeiture ini merupakan konsep yang revolusioner dalam merampas hasil kejahatan. Prosesnya yang lebih efektif karena menerabas beberapa asas hukum dan juga dengan menurunkan standar pembuktian dalam perkara pidana, dianggap berpotensi akan berhadap-hadapan dengan prinsip peradilan yang adil (due process of law) dan juga hak atas kepemilikan harta kekayaan seseorang (property rights). Hal ini misalnya berkaca dari pengalaman gugatan uji materi terhadap beberapa pasal dalam UU TPPU, seperti ikhwal pembuktian terbalik dan pembuktian tindak pidana asal. Walaupun Putusan MK sudah menegaskan konstitusionalitas dari pasal-pasal yang diujikan, namun

Page 139: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

129

putusan tersebut tidak mendudukkan landasan teoritis yang kuat tentang konsep hasil kejahatan dan perkembangan tentang kejahatan keuangan kontemporer.

Tantangan terbesar untuk mengintrodusir hukum perampasan aset in rem dalam RUU Perampasan Aset adalah bagaimana menjelaskan pendekatan ini yang memisahkan hubungan aset hasil kejahatan dengan pelaku kejahatan. Walaupun tidak sama sekali bertujuan untuk menghilangkan proses hukum pidana, namun adakalanya perampasan in rem nantinya memang sama sekali hanya mengejar harta kekayaan hasil kejahatan tanpa mempedulikan siapa pelakunya. Hal ini semata-mata disatu sisi ditujukan untuk mengembalikan kerugian akibat kejahatan yang dilakukan dan meminimalisir pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak asasi manusia.

R E F E R E N S I

A. BukuAlldridge, P. 2003. Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation,

Civil Recovery, Criminal Laundering and Taxation of Proceeds of Crime. Hart Publishing. Oregon.

Cassella, S. D. 2007. Asset Forfeiture Law in the United States. Chapters 1 and 2. Juris Publishing. New York, NY.

Pohan, A. et. al. 2008. Pengembalian Aset Kejahatan. Pusat Kajian Anti Korupsi [PuKAT] Korupsi Fakultas Hukum UGM dan Kemitraan. Yogyakarta.

Ramelan. et. al. 2008. Panduan untuk Jaksa Penuntut Umum Indonesia dalam Penanganan Harta Hasil Perolehan Kejahatan. Indonesia – Australia Legal Development facility. Jakarta.

Ramelan, et. al. 2012. Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta.

Sly, N. 2009. Murder by Poison. The History Press. United Kingdom.

Stessens, G. 2003. Money Laundering: A New International Law Enforcement Model. Cambridge University Press. USA.

Suseno, F. M. 2016. Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Cet. 10. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Page 140: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

130 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Vettori, B. 2006. Tough on Criminal Welath: Exploring the Practice of Proceeds from Crime Confiscation in the EU. Springer. Netherlands.

Yusuf, M. 2013. Merampas Aset Koruptor; Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Peneribit buku Kompas. Jakarta.

Greenberg, T. S et. al. 2009. Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture. The World Bank. Washington DC.

Jurnal

Cassella, S. D. 2008. The case for civil forfeitureWhy in Rem proceedings are an essential tool for recovering the proceeds of crime. Journal of Money Laundering Control. 11 (1): 8 – 14.

Gallant, M. M and Colin King. 2013. The Seizure of Illicit Assets: Patterns of Civil Forfeiture in Cananda and Ireland. Common Law World Review. 42: 91-109.

B. Peraturan dan Putusan PengadilanUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2004.

United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) 2013.

Page 141: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

131

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi

Gunardi Endro

Universitas Bakrie

[email protected]

A B S T R A K

Kata ‘integritas’ dipakai secara luas untuk menyatakan kompaknya atau utuhnya sesuatu, teridentifikasi dari reaksinya terhadaprangsangan dari lingkungannya. Penyelisikan makna hakiki integritas pada akhirnya berujung pada pemahaman tentang pentingnya dua proses yang berlangsung serentak, yaitu proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal. Pada kasus manusia atau institusi yang dikendalikan manusia, proses pengendalian internal berkaitan dengan persoalan bagaimana membangun dan mempertahankan identitas diri, sedangkan proses partisipasi eksternal berkenaan dengan persoalan bagaimana mewujudkan keputusan dan tindakan yang baik berdasarkan identitas diri itu. Identitas diri seharusnya tidak terlepas dari keputusan dan tindakan yang baik. Meskipun kekuasaan dibangun dari kemampuan partikular, kekuasaan itu seharusnya dipergunakan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, integritas merupakan suatu keutamaan, suatu karakter baik manusia atau budaya baik organisasi, yang menimbulkan daya dorong bagi pemiliknya untuk mewujudkan keputusan dan tindakan bagi kebaikan

Page 142: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

132 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

bersama. Karakter atau budaya ini jelas bertentangan dengan korupsi, karena korupsi merupakan tindak penyalahgunaan kekuasaan dengan memanipulasi kebaikan bersama demi kepentingan pribadi tertentu. Jadi, karakter integritas dan budaya integritas secara langsung bertentangan dengan korupsi. Pengembangan karakter integritas dan budaya integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

Kata Kunci: Integritas, pengendalian internal, partisipasi eksternal, kebaikan bersama, korupsi

A B S T R A C T

The word “integrity” is widely used to state the compactness or the intactness of a thing, identified from its reactions against the surrounding stimuli. An investigation of the true meaning of integrity ultimately leads to understanding the importance of two simultaneous processes, namely the self-governance process and the externally participation process. In the case of human being or human-controlled institution, the self governanve process is associated with the issue of how to build and maintain self-identity, whereas the externally participation process is associated with how to actualize good decisions and actions based on that self-identity. The self-identity should be inseparable from the good decisions and actions. Though any power is built from particular capabilities, it should be used for the common good. Therefore, integrity is a virtue, a good human character or a good organizational culture, that disposes those who posses it to exercise decisions and actions for the common good. This character or culture is clearly contrary to corruption, because corruption is an abuse of power by manipulating the common good for particular interests. Thus, character of integrity and culture of integrity are in direct opposition to corruption. Developing character of integrity and culture of integrity contains a logical necessity of preventing corruption.

Keywords: integrity, self-governance, external participation, common good, corruption

P E N D A H U L U A N

Integritas menjadi kata yang sering sekali disebutkan beberapa dekade belakangan ini, namun pemaknaannya tidak jelas.

Page 143: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

133

Ketidakjelasan itu mungkin terkait dengan terlalu banyaknya sesuatu yang dapat diberikan atribut integritas. Integritas dikaitkan dengan karakteristik tertentu yang dimiliki sesuatu apa saja, seperti misalnya integritas jembatan, integritas database, integritas jaringan listrik, integritas tubuh, integritas orang, integritas kesenian, integritas perusahaan, integritas pasar, integritas pemerintahan, integritas negara, dan bahkan integritas ekosistem. Meskipun ada nuansa karakteristik “kompak” atau “utuh” pada setiap sesuatu yang berintegritas, namun petunjuk tentang apa persisnya dan bagaimana mewujudkan kekompakan atau keutuhan itu belum jelas.

Dalam hal orang, misalnya, integritas umumnya dihubungkan dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang baik (Audi & Murphy 2006). Pengembangannya seringkali dikaitkan dengan upaya pencegahan korupsi, sehingga salah satu indikator yang paling sering disebutkan sebagai representasi sifat orang yang berintegritas adalah kejujuran. Namun, bagaimana menjelaskan kejujuran dalam kaitannya dengan kekompakan/ keutuhan? Meskipun benar bahwa orang tidak mungkin memiliki integritas tanpa mempraktikkan kejujuran, tetapi bukan tidak mungkin seseorang yang selalu jujur memiliki tingkat integritas yang rendah (Carter 1996, 52). Kejujuran buta tanpa pertimbangan kelayakan konteks malah bisa menunjukkan sifat narsistik dan ketidakpedulian terhadap akibat buruk yang bakal menimpa orang lain (Martin 1996, 121), suatu sifat yang tampaknya bertentangan dengan integritas.

Kalaupun integritas dikaitkan dengan karakter orang yang penuh pertimbangan, karakter yang menjamin apa yang dilakukannya selalu tepat, namun kaitan itu bukanlah tanpa syarat. Seorang yang berintegritas tidak selayaknya terlalu perhitungan hingga mengabaikan ikatan afeksi pribadi, perasaan belas kasih, dan emosi moral pada umumnya. Kalaupun integritas dikaitkan dengan karakter orang yang teguh memegang komitmennya, kemungkinan perbaikan komitmen pun tidak bisa diabaikan bagi orang yang berintegritas. Seorang yang berintegritas memang tidak akan kompromistis ketika dihadapkan pada kesulitan, tetapi bukan tidak mungkin dia harus mengevaluasi dan memperbaiki komitmennya atas alasan fundamental agar dia tidak melawan dirinya sendiri (Davion 1990).

Jadi belum ada satu patokan yang bisa dipakai sebagai rujukan untuk penjelasan komprehensif tentang makna integritas. Semakin terkenal kata integritas dalam berbagai penggunaannya, semakin

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 144: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

134 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik, justru semakin kabur maknanya. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki dan menemukan patokan penjelas makna integritas agar supaya bisa menjadi petunjuk arah dalam setiap diskusi tentang integritas dan terutama dalam setiap upaya pengembangan karakter dan budaya integritas. Sebagai langkah awal, penyelisikan asal mula makna integritas perlu dilakukan.

Menyelisik Asal Mula Makna IntegritasSecara etimologis, kata integritas (integrity), integrasi

(integration) dan integral (integral) memiliki akar kata Latin yang sama, yaitu “integer” yang berarti “seluruh” (“whole or entire”) atau “suatu bilangan bulat” (“a whole number”), bilangan yang bukan bilangan pecahan (Skeat 1888, 297; Black 1825, 215-6). Jadi, sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, dimana nuansa keutuhan atau kebulatannya tidak dapat dihilangkan. Meskipun sesuatu yang berintegritas terdiri dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya selalu terjaga sebagai hasil dari hubungan timbal balik yang kuat diantara elemen-elemennya. Namun bersatunya elemen-elemen itu lebih merupakan suatu persatuan (incorporation) daripada suatu kesatuan (unity), karena identitas elemen tidak hilang. Identitas tiap elemen dari sesuatu yang berintegritas masih bisa dikenali, meskipun fungsinya sulit dipisahkan dari fungsi keseluruhan. Istilah sederhana “kompak” dan “kekompakan” barangkali tepat untuk menggambarkan bersatunya elemen-elemen sesuatu yang berintegritas sedemikian sehingga konotasi keutuhan atau kebulatannya (wholeness) tetap terjaga.

Menariknya, integritas bisa masuk dalam kategori peristilahan evaluatif maupun non-evaluatif, tergantung pada apakah sesuatu yang memiliki integritas itu melibatkan manusia di dalamnya ataukah tidak. Jika sesuatu yang memiliki integritas adalah sesosok manusia atau sesuatu yang meliputi manusia sebagai salah satu pengendalinya, seperti misalnya perusahaan, pasar dan ekosistem, maka integritas merupakan istilah evaluatif. Namun jika manusia tidak ada di dalam sesuatu yang memiliki integritas, seperti misalnya jembatan, database, jaringan listrik dan benda-benda mati lainnya, maka integritas merupakan istilah non-evaluatif. Sebagai istilah yang evaluatif, integritas diapresiasi sebagai patokan

Page 145: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

135

dalam mempertimbangkan baik-buruk suatu tindakan. Sedangkan sebagai istilah yang non-evaluatif, integritas hanyalah dipakai untuk menyatakan suatu fakta. Keduanya tetap mengandung makna konotatif kekompakan (whole) yang menggambarkan kualitas hubungan antar elemen-elemen sesuatu yang memilikinya.

Ketika integritas non-evaluatif menjadi atribut dari sesuatu yang memilikinya, kekompakan hubungan antar elemen teridentifikasidari fakta bahwa identitas sesuatu tersebut tetap bertahan meskipun berada dalam tekanan lingkungan yang berubah-ubah. Jembatan yang memiliki integritas, misalnya, akan tetap berfungsi baik sebagai jembatan tanpa perubahan bentuk, meskipun jumlah dan berat kendaraan yang melaluinya berubah-ubah. Sistem jaringan tenaga listrik yang memiliki integritas akan tetap menjamin pasokan tenaga listrik ke konsumen-konsumen, meskipun beberapa bagiannya diistirahatkan untuk pemeliharaan. Di sini, integritas menggambarkan kualitas daripada dua proses sekaligus, yaitu proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal. Proses pengendalian internal adalah mekanisme yang terjadi di dalam sesuatu yang memiliki integritas, bagaimana elemen-elemen mengatur hubungan antara satu dengan yang lain ketika merespon tekanan lingkungan sedemikian sehingga kekompakan identitasnya tetap terjaga. Proses partisipasi eksternal adalah mekanisme yang terjadi pada sesuatu yang memiliki integritas, bagaimana ketika merespon tekanan lingkungan kekompakan diekspresikan secara fungsional sesuai dengan identitasnya. Pada integritas non-evaluatif, kedua proses itu tunduk pada hukum alam dan berlangsung serentak, tak terpisahkan. Keduanya beroperasi secara natural untuk menyatakan fakta ada-tidaknya identitas yang sudah tertetapkan terlebih dahulu (predetermined). Jembatan yang memiliki integritas, misalnya, akan tetap berfungsi sebagaimana identitas jembatan yang sesungguhnya. Sedangkan jembatan yang tidak memiliki integritas akan gagal berfungsi sebagaimana jembatan dan menjadi bukan jembatan lagi.

Ketika integritas evaluatif menjadi atribut dari sesuatu yang memilikinya, seperti misalnya sosok individu manusia atau sosok individu organisasi yang dikendalikan manusia, kekompakan identitas tetap bertahan meskipun sosok individu tersebut tertantang harus merespon keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Sosok individu yang berintegritas tidak menyerahkan diri pada pengaruh luar atau

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 146: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

136 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

mengubah dirinya menjadi sosok lain tergantung konteks hidupnya, melainkan tetap bertahan dengan perilaku yang menunjukkan satu identitas dirinya yang asli dalam berbagai konteks hidupnya. Persoalannya, karena manusia memiliki kebebasan kehendak, mau tidak mau harus memilih: ingin menjadikan diri sosok seperti apa dan ingin berbuat apa, maka identitas yang dipertahankannya tidak tertetapkan terlebih dahulu (not predetermined). Demikian pula perbuatan-perbuatan yang mau mengekspresikan identitas tersebut. Baik identitas yang mau dipertahankan maupun perbuatan yang mau dilakukan sebagai ekspresi identitasnya bergantung pada pilihan manusia. Dengan kata lain, proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal tidak tunduk pada hukum alam dan tidak ada hubungan natural kausalistik di antara keduanya. Integritas tidak dicapai melalui pemenuhan hukum alam, melainkan diupayakan secara aktif melalui pilihan identitas dan tindakan yang seharusnya dilakukan karena ada nilai lebih yang akan diperoleh dengan pilihan identitas dan tindakan itu. Di sini, integritas bukan menyatakan fakta apa yang terjadi, melainkan menyatakan apa yang seharusnya diupayakan.

Peran sentral manusia pada sesuatu yang memiliki integritas evaluatif membuat integritas tak dapat dipisahkan dari aspek moral (aspek baik-buruk manusia sebagai manusia). Berdasarkan hakekat dirinya sebagai manusia, orang yang berintegritas atau organisasi yang berintegritas diharapkan mengambil keputusan dan tindakan yang bermoral. Dan keputusan dan tindakan yang bermoral itu harus mengekspresikan identitas diri yang dibangunnya untuk menegaskan bahwa makna kekompakan pada dirinya terwujud dan terekspresikan. Jadi, ada dua aspek integritas bagi individu orang atau individu organisasi yang berintegritas: pertama, integritas berkaitan dengan bagaimana individu membangun dan mempertahankan identitas dirinya (proses pengendalian internal); dan kedua, integritas berkaitan dengan bagaimana individu melakukan perbuatan yang bermoral (proses partisipasi eksternal). Makna integritas yang benar seharusnya mencakup dua aspek tersebut bersama-sama. Tetapi tampaknya tidak mudah menemukan satu kriteria yang dapat merepresentasikan dua aspek tersebut sekaligus. Dalam sejarah perkembangannya, makna integritas-evaluatif cenderung direduksi dengan menekankan salah satu aspeknya saja. Memang reduksi makna tidak terjadi pada integritas non-evaluatif, karena proses

Page 147: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

137

pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal tunduk pada hukum alam, keduanya memiliki hubungan kausalitas dan secara natural terjadi bersamaan (serentak). Namun justru integritas dalam makna evaluatif lah yang sering diperbincangkan di masyarakat. Reduksi makna menjadi persoalan serius.

Pereduksian Makna IntegritasReduksi makna integritas jenis pertama adalah dengan

menekankan proses pengendalian internal atau menekankan kriteria bagaimana kekompakan terwujud pada diri (self) atau identitas diri (self identity) individu yang memilikinya. Apa yang dianggap penting pada reduksi jenis ini adalah keadaan atau adanya kekompakan identitas diri, bagaimana individu membangun dan mempertahankan kekompakan identitas dirinya. Taylor (1985), misalnya, memaknai integritas dengan menekankan pada bagaimana individu secara sadar memilih dan mengintegrasikan berbagai hasrat/keinginan menjadi kehendak yang terpadu sedemikian sehingga terbangun diri yang kompak. Williams (1973) memaknai integritas sebagai kesetiaan pada beberapa proyek hidup mendasar yang paling membentuk identitas diri individu yang memilikinya. Demikian pula Blustein (1991) mengaitkan makna integritas dengan individu yang setia pada komitmen-komitmen mendasar yang membentuk identitas diri individu yang memilikinya. Calhoun (1995) menggambarkan pemilik integritas sebagai individu pemikir yang memperjuangkan tegaknya komitmen-komitmen yang dipegangnya dan memperlakukan komitmen-komitmen itu sebagai sesuatu yang sangat bernilai. McFall (1987) menegaskan pentingnya individu untuk memelihara integritas dengan menolak segala macam kompromi terhadap komitmen-komitmen pembentuk identitasnya.

Masalah yang muncul dari reduksi makna integritas jenis pertama tersebut adalah tiadanya persyaratan normatif pada kriteria pemberian atribut integritas. Sepanjang individu memenuhi kriteria formal, yaitu mampu membangun, memelihara dan mentransformasikan berbagai hasrat/keinginan, proyek hidup mendasar, ataupun komitmen, menjadi identitas diri yang kompak maka ia adalah individu yang berintegritas. Tidak ada persyaratan apakah keputusan dan tindakan yang mengekspresikan hasrat/keinginan, proyek hidup mendasar dan komitmen itu sesuai tuntutan moral ataukah tidak. Moralitas ekspresi identitas diri tergantung pada

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 148: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

138 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

kebetulan apakah individu yang bersangkutan memiliki kesadaran moral ataukah tidak. Oleh karena itu, individu yang jahat dan kejam namun memiliki identitas diri yang kompak bisa dianggap sebagai individu yang berintegritas. Integritas bukan lagi suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Kesimpulan seperti itu pada umumnya sulit diterima. Pertanyaan tentang kandungan moral di dalam makna integritas pun kemudian muncul.

Meskipun adanya kandungan moral di dalam makna integritas sulit ditolak, hubungan antara integritas dan moralitas seringkali diinterpretasikan secara berbeda-beda tergantung pada moralitas versi mana yang dipakai sebagai patokan: apakah versi individu penerima atribut integritas ataukah versi individu pemberi atribut integritas. Halfon (1989) melihat bahwa moralitas versi penerima atribut integritas lah yang seharusnya menjadi patokan. Menurut Halfon, integritas dikaitkan dengan komitmen individu yang memberlakukan pada dirinya pandangan moral yang secara konseptual jelas, secara logika konsisten, dan memperhitungkan semua fakta empiris dan pertimbangan moral. Calhoun (1995) mengemukakan pendapat yang serupa dengan menegaskan bahwa individu yang berintegritas harus tetap membela tegaknya pertimbangan terbaiknya sendiri meskipun perlu menghormati pertimbangan terbaik individu lain. Masalahnya, kedua pendapat itu tidak bisa memberikan batas demarkasi yang jelas antara individu yang berintegritas dan individu yang fanatik. Implikasi yang dapat ditarik dari kedua pendapat itu adalah bahwa individu fanatik, seperti misalnya seorang teroris yang berpandangan radikal, masih mungkin disebut sebagai individu yang berintegritas. Kesimpulan ini secara intuitif juga sulit diterima.

Reduksi makna integritas jenis kedua adalah dengan menekankan proses partisipasi eksternal atau menekankan moralitas tindakan versi individu pemberi atribut integritas. Kriteria yang dipakai sebagai patokan adalah bagaimana konsistensi tindakan moral individu yang menerima atribut integritas teridentifikasi olehpemberi atribut integritas. Karena, tindakan moral merupakan wujud ekspresi kekompakan diri individu dari segi kemanusiaannya. Ashford (2000), misalnya, memaknai integritas dengan menekankan segi objektivitas bagaimana individu harus patuh pada komitmennya terhadap kewajiban-kewajiban moral. Bagi Ashford, konsepsi diri individu dapat dikembangkan namun harus disesuaikan dengan persyaratan-persyaratan moral nyata dari luar dirinya. Implikasi

Page 149: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

139

dari pemaknaan integritas objektif seperti itu adalah bahwa atribut integritas hanya bisa diberikan kepada individu yang moralitasnya bersesuaian dengan standar moralitas masyarakat pemberi atribut. Masalahnya, pemberian atribut integritas umumnya tidak secara ketat mensyaratkan persetujuan moral pemberi atribut. Sebagaimana ditunjukkan Cox, La Caze dan Levine (2003), kita dapat tetap menghormati seseorang sebagai orang yang berintegritas meskipun kita tidak setuju dengan pandangannya tentang persoalan moral tertentu. Memaksakan persetujuan moral pemberi atribut berarti merendahkan individu itu sendiri sebagai subjek moralitas. Dengan kata lain, reduksi makna jenis kedua ini mengabaikan aspek personal individu, seperti misalnya hasrat/ keinginan, pertautan emosional dan komitmen pribadi terhadap proyek hidup mendasar. Padahal pengabaian pentingnya aspek personal individu sama saja berarti pengabaian pentingnya individu itu sendiri sebagai sumber tindakan moral. Individu tidak diapresiasi sepantasnya sebagai subjek moralitas.

Jadi, reduksi makna integritas jenis pertama maupun jenis kedua menimbulkan masalah serius. Penekanan pada proses pengendalian internal memenuhi makna kekompakan dari aspek personal individu tetapi mengabaikan aspek moralitas tindakannya, sehingga individu yang jahat tidak dapat ditolak kemungkinannya menjadi individu yang menerima atribut integritas. Sedangkan penekanan pada proses partisipasi eksternal memenuhi makna kekompakan dari aspek moralitas tindakan individu tetapi mengabaikan aspek personalnya, sehingga individu lebih berperan sebagai objek moralitas daripada berperan sebagai subjek moralitas. Tantangan selanjutnya adalah menemukan konstruksi pemahaman yang dapat mengembalikan makna dasar integritas dan memberikan kriteria tunggal untuk pemberian atribut integritas dengan makna dasarnya itu.

Mengembalikan Makna Dasar Integritas

Tidak mudah mengembalikan makna dasar integritas “kekompakan” dengan mengintegrasikan proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal. Proses pengendalian internal yang berkaitan dengan bagaimana individu secara personal membangun dan mempertahankan identitas diri (aspek personal) mencerminkan partikularitas dan subjektivitas. Artinya, individu sebagai subjek sepenuhnya sadar tentang keadaan partikular dirinya, keadaan partikular yang diinginkannya, dan nilai-nilai yang harus

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 150: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

140 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dirujuk dalam tindakannya pada konteks tertentu. Proses partisipasi eksternal yang berkaitan dengan moralitas tindakan individu (aspek moral) mencerminkan universalitas dan objektivitas. Artinya, tindakan individu bisa dijelaskan secara objektif dari segi kewajarannya terkait baik-buruknya bagi manusia, sehingga tindakan itu dapat diterima secara universal. Makna kekompakan tercermin dari kedua aspeknya: aspek personal dan aspek moral. Jika proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal terintegrasikan, maka identitas diri akan sungguh-sungguh terekspresikan menjadi tindakan-tindakan moral dan makna kekompakan akan sungguh-sungguh terwujud dengan kedua aspeknya itu.

Berikut ini akan diajukan konstruksi pemahaman dengan latar belakang etika keutamaan Aristoteles (Aristotle) untuk mengembalikan makna dasar integritas. Konstruksi pemahaman yang dimaksud di sini ditopang oleh dua pilar pemahaman, yaitu pemahaman tentang hubungan dan tindakan moral dan pemahaman tentang konsep diri. Pilar pemahaman pertama berkaitan dengan proses partisipasi eksternal, sementara pilar pemahaman kedua berkaitan dengan proses pengendalian internal.

1. Pemahaman tentang Hubungan dan Tindakan Moral Hubungan baik antar manusia dipahami sebagai hubungan

yang ada di dalam suatu ‘ruang konsep’ komunitas ideal yang mempersatukan mereka. Hubungan baik antara suami dan istri, misalnya, dipahami sebagai hubungan yang ada dalam perspektif konsep keluarga yang ideal. Hubungan moral tidak dipahami secara sederhana sebagai hubungan diadik manusia-A dan manusia-B, melainkan dipahami sebagai hubungan triadik manusia-A, manusia-B dan komunitas ideal. Akibatnya, tindakan moral tidak secara sederhana dipahami sebagai tindakan yang langsung mempengaruhi kepentingan atau kebutuhan manusia lain (other-regarding action), melainkan dipahami sebagai tindakan berkeutamaan (virtuous action) yang mempengaruhi kepentingan atau kebutuhan manusia lain melalui proses perwujudan komunitas ideal. Contohnya, ketika ada banyak pengemis meminta-minta, tindakan yang baik barangkali bukan dengan mendermakan uang receh kita (karena ternyata aktivitas pengemisitudikoordinirolehseorangmafia),melainkandenganmendorong Dinas Sosial Pemerintah setempat untuk mengambil

Page 151: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

141

tindakan disiplin-berkeadilan guna mengatasi masalah sosial itu. Melalui perwujudan komunitas yang ideal, pengemis-pengemis itu akan dihantarkan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai manusia. Jadi, tindakan moral atau tindakan berkeutamaan merupakan upaya partisipatif mewujudkan komunitas yang ideal.

2. Pemahaman tentang Konsep Diri

Konsep diri merupakan konsep yang lumer karena “diri” tampaknya tidak dapat dianggap secara sederhana sebagai objek untuk suatu penjelasan yang sifatnya deskriptif. Dengan adanya aneka perjalanan dan pengalaman hidup, sulit menjelaskan apakah diriku ini tetap sama selamanya ataukah ada perbedaan antara diriku saat ini dan diriku sepuluh tahun yang lalu. Kalau berbeda, lalu siapakah diriku ini? Sepertinya diri bukanlah sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu hasil dari proses pembentukan yang berlangsung terus-menerus (Hadi 2010, 133-4). Oleh karena itu, diri lebih tepat dipahami secara evaluatif sebagai sesuatu yang menjadi (becoming), “menjadi diri” dengan melakukan perbuatan-perbuatan untuk mewujudkannya karena ada nilai lebih yang akan diperoleh di dalamnya. Dalam hal ini, perbuatan yang dilakukannya adalah tindakan moral atau tindakan berkeutamaan, sedangkan diri yang mau diwujudkannya adalah diridarisosokindividuyangmengidentifikasikandirinyadengankomunitas ideal. Konsep diri yang dirujuk di sini disebut konsep “diri yang diperluas” (the expanded self).

Konsep diri-yang-diperluas dapat ditemukan akarnya di dalam etika keutamaan Aristoteles (Aristotle). Aristotle (2001) dalam karyanya Ethica Nicomachea paragraf IX.9.1170b.5-7 menyatakan “…if as the virtuous man is to himself, he is to his friend also (for his friend is another self)…” Artinya, orang berkeutamaan (virtuous man) akan menempatkan seorang teman sebagai “diri yang lain” (another self) seakan-akan diri yang sesungguhnya lebih luas daripada batas diri yang alami. Pertemanan yang baik (virtuous friendship) mengatasi batas terpisahnya individu satu dengan individu lain sedemikian rupa sehingga ada suatu persatuan antara diri dan diri-yang-lain. Namun, berbeda dengan interpretasi Stern-Gillet (1995) yang menganggapnya sebagai persatuan yang sifatnya psikis, persatuan tersebut harus diinterpretasikan sebagai persatuan yang sifatnya konseptual. Ada skema hubungan triadik

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 152: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

142 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

antara “orang berkeutamaan” (virtuous man), “diri sendiri” (self), dan “temannya” (another sellf) sedemikian sehingga hanya jika diri sendiri dan temannya memiliki atribut orang yang berkeutamaan maka diri sendiri dan temannya akan saling menempatkan yang lain sebagai diri-yang-lain (another self). Kalau kumpulan individu dalam pertemanan yang baik (virtuous friendship) – dimana masing-masing individu memiliki atribut orang berkeutamaan – disebut komunitas ideal, maka skema hubungan triadik tersebut merupakan skema hubungan antara komunitas ideal (ideal community), diri-sendiri (self), dan temannya (another self). Dengan begitu, seseorang yang mau mewujudkan dirinya dengan tindakan berkeutamaan (mau menjadi orang yang berkeutamaan) akanmengidentifikasikandirinyadengankomunitasidealkarenadisitu temannya ditempatkannya sebagai diri-yang-lain. Diri di sini adalah “diri-yang-menjadi”, diri yang dalam artian tertentu diperluas dengan komunitas ideal (the expanded self), atau diri yang hanya akan terwujud jikalau komunitas ideal secara partisipatif diwujudkannya.

Dua pilar pemahaman tersebut menunjukkan adanya hubungan ‘kausalitas’ antara pilar pemahaman pertama dan pilar pemahaman kedua, antara proses partisipasi eksternal dan proses pengendalian internal. Keduanya secara konseptual harus terjadi bersamaan (serentak). Diri atau identitas diri individu akan terwujud ketika dia melakukan tindakan moral, yaitu melakukan upaya partisipatif mewujudkan komunitas ideal. Sebaliknya, tindakan moral (tindakan berkeutamaan) akan dilakukan ketika dia mengekspresikan dirinya melalui upaya partisipatif mewujudkan komunitas ideal yang merupakan bagian dari dirinya. Dengan demikian, makna dasar integritas “kekompakan” dikembalikan melalui pengidentifikasiandiri dengan komunitas ideal dan upaya partisipatif untuk mewujudkannya. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok individuyangselalumengidentifikasikandirinyadengankomunitasideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk mewujudkannya. Tidak ada persoalan motivasional disini.

Pertanyaan yang kemudian barangkali muncul, apakah ciri-ciri komunitas ideal dan bagaimanakah jika ada banyak komunitas yang harus diupayakan secara partisipatif oleh individu menjadi komunitas-komunitas ideal? Sebagai makhluk sosial, setiap individu dapat

Page 153: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

143

dipastikan menjadi anggota dari banyak komunitas yang kesemuanya harusdiperjuangkanmenjadikomunitasideal.Definisisingkatdarikomunitas ideal adalah suatu komunitas yang seharusnya ada untuk tujuansesungguhnya,yaitutujuanyangsecarahierarkisdidefinisikandengan kehidupan yang baik (the good life) sebagai tujuan akhirnya. Di bidang ekonomi, misalnya, seorang individu menjadi elemen komunitas perusahaan, komunitas perusahaan menjadi elemen komunitas pasar, dan komunitas pasar menjadi elemen komunitas umat manusia. Di bidang kemasyarakatan, seorang individu menjadi elemen keluarga, keluarga menjadi elemen komunitas kelurahan, komunitas kelurahan menjadi elemen komunitas kabupaten, komunitas kabupaten menjadi elemen komunitas Negara, dan komunitas Negara menjadi elemen komunitas umat manusia. Di bidang keprofesian, seorang profesional menjadi elemen komunitas keprofesian, dan komunitas keprofesian menjadi elemen komunitas umat manusia. Tujuan masing-masing komunitas didefinisikanberdasarkan tujuan komunitas yang lebih besar sedemikian sehingga tujuan akhir komunitas paling besar (komunitas umat manusia) akan selalu mendasari tujuan setiap komunitas. Adapun tujuan komunitas paling besar (komunitas umat manusia) adalah kehidupan bersama yang baik (the good life) atau kebahagiaan bersama di dalam komunitas (eudaimonia).

Dengan demikian, setiap komunitas ideal harus mendasarkan tujuannya demi kehidupan bersama yang baik (the good life) sebagai tujuan akhir. Agar tujuan akhir tersebut bisa tercapai, tiga keutamaan/ kebajikan/ nilai sosial harus diupayakan keterwujudannya yaitu kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring) dan keadilan (justice). Kemandirian individual (autonomy) diperlukan agar setiap elemen (anggota) mampu ikut serta mengalami kehidupan bersama yang baik (the good life) dengan melakukan upaya partisipatif mewujudkan komunitas ideal dan, dengan begitu, menjadi elemen (anggota) yang berintegritas. Kepedulian (caring) diperlukan untuk membawa setiap elemen (anggota) ke dalam kehidupan bersama dengan elemen-elemen lainnya dan mewujudkan komunitas ideal. Keadilan (justice) diperlukan agar setiap elemen (anggota) tetap bisa mempertahankan identitasnya dalam artian bahwa ia mendapatkan haknya untuk memberikan kontribusi spesifik sebagai upayapartisipatif mewujudkan komunitas ideal.

Selain kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring)

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 154: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

144 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dan keadilan (justice), setiap komunitas ideal memiliki keutamaan/ kebajikan/nilaisosial lainyangperdefinisiharus jugadiupayakanketerwujudannya di dalam komunitas itu dan di elemen-elemen komunitas itu. Komunitas pasar yang memiliki integritas, misalnya, mewujudkannilai-sosialefisiensiagartujuansesungguhnyatercapai.Perusahaan (anggota komunitas pasar) yang berintegritas, selain mewujudkannilai-sosialefisiensijugaharusmewujudkannilaiyangterkait dengan kualitas layanan agar tujuan sesungguhnya tercapai. Karyawan (anggota komunitas perusahaan) yang berintegritas, selain mewujudkan nilai-sosial efisiensi dan kualitas layanan jugaharus mewujudkan tercapainya nilai tertentu sesuai dengan peran spesifiknya di perusahaan. Dengan begitu, antara komunitas yangmemiliki integritas dan elemen-elemennya sangat erat hubungannya (intimate) sedemikian sehingga seolah-olah identitas elemen sulit dipisahkan dari identitas komunitas. Kesimpulan ini mematahkan argumentasi Kasulis (2002) yang memisahkan intimasi (intimacy) dari integritas (integrity), karena disini integritas justru mensyaratkan intimasi antara komunitas dengan elemen-elemennya. Untuk mewujudkan diri sebagai elemen yang memiliki integritas, elemen itu harus melakukan upaya partisipatif untuk mentransformasikan komunitas-komunitas yang lebih besar (dimana ia menjadi anggotanya) menjadi komunitas-komunitas ideal.

Jadi, makna dasar integritas dikembalikan melalui perwujudan skema hierarkis komunitas-komunitas ideal sebagaimana dijelaskan di atas. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok individu yang selalu mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas-komunitasideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk secara hierarkis mewujudkan semuanya. Karyawan yang berintegritas akan memperjuangkan perusahaan tempatnya bekerja menjadi perusahaan yang beintegritas, dengan mana perjuangannya itu sekaligus juga menghantarkan perusahaan melaksanakan upaya partisipatif mewujudkan pasar yang berintegritas dan pasar mewujudkan kehidupan bersama yang baik di masyarakat (komunitas umat manusia). Agar hal itu terwujud, ketika karyawan tersebut mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan dilakukan, nilai-nilai sosial dasar bagi kehidupan bersama yang baik (komunitas umat manusia), yaitu kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring) dan keadilan (justice) menjadi prioritas pertama sebelum nilai-nilai sosial lain berturut-turut: efisiensi

Page 155: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

145

(komunitas pasar), kualitas layanan (komunitas perusahaan), dan nilaisosialyangberkaitandenganperanspesifiknyasendirididalamperusahaan. Jadi jelas bahwa sosok individu yang berintegritas akan selalu melakukan upaya partisipatif terbaik dengan ikut mengelola berfungsinya semua partikularitas (pada contoh karyawan tersebut: kemampuan spesifiknya, perusahaan tempatnya bekerja, pasartempat perusahaannya beroperasi) demi kehidupan bersama yang baik. Karakteristik seperti ini menjadi cikal-bakal pertentangannya dengan korupsi.

Pertentangan Integritas dengan KorupsiSecara etimologis, kata korupsi (corruption) memiliki padanan

kata Latin “corruptus” ataupun “corrumpere” yang berarti merusak, menghancurkan, membusuk, dan hancur berkeping (Skeat 1888, 136; Klein 1971, 169). Makna ini bersesuaian dengan penjelasan Aristotle (2001) dalam karyanya De Generatione et Corruptione bahwa korupsi (corruption), sebagai lawan dari pembentukan/ pembangkitan (generation), mengacu pada sesuatu yang berhenti menjadi, yang mengalami kemerosotan, atau yang binasa. Pada seorang manusia, korupsi berarti kemerosotan pada kecenderungan berperilaku dari apa yang seharusnya menjadi perilaku manusia. Sedangkan pada konteks pemerintahan suatu Negara, korupsi berarti kemerosotan yang sifatnya sistemik terhadap praktik-praktik dan komitmen-komitmen yang membentuk sistem pemerintahan yang sehat (Buchanan 2004). Makna korupsi seperti itu lebih menekankan gambaran korupsi sebagai fenomena sistemik dari sudut pandang sesuatu yang terkorupsi. Masalahnya, gambaran korupsi sebagai fenomena sistemik cenderung melebih-lebihkan peran kebaikan bersama (common good) dan cenderung mengabaikan adanya kemungkinan bahwa tindakan tunggal (non-sistemik) yang koruptif bisa sama destruktifnya dengan korupsi sistemik.

Alternatif pemaknaan lain terhadap korupsi adalah dari sudut pandang seseorang atau sekelompok orang yang mengorupsi. Gambaran korupsi yang disorot berupa tindakan tunggal yang secara rasional bisa dikategorikan sebagai korupsi. Euben (1989) menggambarkan korupsi sebagai tindakan tunggal seperti itu dengan melandaskan pada asumsi bahwa setiap orang merupakan individu egois yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Asumsi Euben merujuk pada kodrat manusia egoistik yang diilustrasikan Hobbes

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 156: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

146 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

(1651) dalam karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya bagi manusia lainnya namun setiap manusia dapat mengamankan keberadaan dan memenuhi kepentingan dirinya melalui kesepakatan bersama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan Negara. Jadi menurut Euben (1989), pemegang kekuasaan publik (Negara) yang mendapatkan legitimasi dari seluruh individu (hasil kesepakatan bersama) diwajibkan menyelenggarakan kekuasaannya sesuai dengan standar yang ditetapkan demi kepentingan seluruh individu (kepentingan publik). Korupsi kemudian dimaknai sebagai penyelenggaraan kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar. Hal initercerminpadadefinisiyangditetapkanolehWorldBank(1997)bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan yang sifatnya privat (the abuse of public power for private gain). Masalah yang timbul dari gambaran korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik adalah pengabaian adanya fakta bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya privat bisa lebih destruktif dibandingkan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik. Sebagai contoh, misalnya, skandal korporasi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan privat oleh beberapa pemimpin bisnis di bursa saham Amerika awal abad ke-21 menimbulkan dampak krisis ekonomi yang terbukti lebih menyengsarakan masyarakat luas daripada dampak skandal korupsi pejabat publik suatu Negara.

Oleh karena itu, jika korupsi mau dipahami secara lebih komprehensif daripada korupsi yang hanya terdefinisikan secaralegal formal sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik, maka korupsi harus dilihat secara paradigmatik sebagai penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang kehidupan. Seorang petinju yang mau menerima uang suap untuk mengalah, dokter yang menolak memberi kesaksian atas malpraktik koleganya, atlet yang menggunakan doping agar menang dalam perlombaan olahraga, dosen yang menjiplak tulisan orang lain, ataupun bahkan seseorang yang membohongi teman hidupnya untuk kepuasan nafsunya sendiri, kesemuanya itu merupakan kasus yang secara paradigmatik dapat dimasukkan ke dalam kategori korupsi (Miller 2013). Pada kasus-kasus tersebut, orang memiliki kekuasaan berdasarkan kepercayaan komunitas terhadap kemampuan partikular yang dimilikinya untuk menjalankan peran demi kebaikan bersama (common good). Ketika kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu (partikular) dengan memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih digunakan untuk kebaikan bersama, maka kasus korupsi secara

Page 157: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

147

paradigmatik telah terjadi. Jadi jelas, korupsi secara paradigmatik memanipulasi kebaikan bersama (common good) untuk kepentingan partikular.

Sementara itu, dari penjelasan tentang integritas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa integritas merupakan keutamaan/ kebajikan yang mendorong individu yang memilikinya untuk melakukan upaya partisipatif terbaik mewujudkan kehidupan bersama yang baik (the good life) melalui pengelolaan berfungsinya semua partikularitas yang individu tersebut miliki atau pengaruhi keterwujudannya. Individu yang dimaksud di sini bisa berupa seorang manusia atau suatu institusi/ organisasi yang secara fungsional dikendalikan atau dipengaruhi sekelompok manusia di dalamnya. Pada seorang manusia, integritas merupakan suatu karakter yang baik, sedangkan pada suatu institusi/ organisasi, integritas merupakan suatu budaya organisasi yang baik. Baik pada seorang manusia maupun pada suatu institusi/ organisasi, integritas menimbulkan daya dorong untuk mengarahkan berfungsinya partikularitas demi kebaikan umum yang sebanyak mungkin manusia bisa ikut merasakan (common good).

Dengan demikian, ekspresi integritas secara langsung berlawanan dengan korupsi. Sementara tindakan yang berintegritas mengarahkan berfungsinya partikularitas demi kebaikan bersama, korupsi mengarahkan apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama demi kepentingan partikular. Sementara tindakan yang berintegritas mempromosikan atau memperbesar kemungkinan terwujudnya komunitas ideal, korupsi merusak atau memperkecil kemungkinan terwujudnya komunitas ideal. Karena arahnya secara substansial persis berlawanan, integritas tidak hanya secara empiris mencegah korupsi melainkan secara logis niscaya menangkal korupsi. Dengan kesimpulan ini tidak berarti bahwa individu yang memiliki integritas cenderung mengabaikan pentingnya partikularitas. Terkait dengan pentingnya partikularitas, tiga catatan berikut barangkali bisa melengkapi gambaran tentang integritas dan individu yang memiliki integritas.

Pertama, bagi individu yang berintegritas, vitalitas atau daya hidup partikularitas sangat penting karena hanya dengan partikularitas yang daya hidupnya kuat, kebaikan bersama dalam komunitas ideal akan semakin bisa diwujudkan. Pada kasus tertentu, upaya kreatif individu mempertahankan daya hidup partikularitas dengan mengorbankan perwujudan kebaikan bersama untuk sementara

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 158: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

148 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

waktu bisa jadi merupakan bagian dari rencana tindakan yang paling tepat, karena dengan melakukannya individu tersebut pada akhirnya bisa memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan bersama. Seorang eksekutif perusahaan, misalnya, terpaksa harus mengorbankan nilai-nilai sosial tertentu untuk mempertahankan keberadaan perusahaannya di komunitas pasar yang korup, sementara dia memproyeksikan bagaimana pada akhirnya perusahaannya dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagiperbaikan moralitas komunitas pasar dan bagi perwujudan kebaikan bersama dalam komunitas ideal umat manusia. Ada kesan “urgensi” pada upaya mempertahankan daya hidup partikularitas, tetapi daya hidup partikularitas yang dipertahankan itu tidak boleh menjadi tujuan akhir. Setiap segmen proses menjadi bagian dari upaya besar yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya kebaikan bersama dalam komunitas ideal umat manusia.

Kedua, berhubung setiap individu memiliki partikularitas yang berbeda-beda sementara tujuan akhirnya satu yaitu terwujudnya kebaikan bersama, rencana upaya partisipatif individu yang berintegritas harus mempertimbangkan persaingannya dengan rencana upaya partisipatif yang ditawarkan individu-individu lainnya sedemikian sehingga upaya partisipatif terbaik yang diputuskan dan dijalankannya dapat secara masuk akal dipertanggungjawabkan. Upaya partisipatif terbaik yang diputuskannya, relatif terhadap partikularitas yang dimilikinya, dapat diterima akal sehat individu lain karena siapapun yang memiliki partikularitas yang sama cenderung akan mengambil keputusan yang sama. Individu yang berintegritas selalu siap mempertanggungjawabkan bahwa upaya partisipatif yang dipilihnya akan memberikan kontribusi terbaik bagi perwujudan kebaikan bersama, meskipun upaya partisipatif yang dipilihnya itu justru dengan memberikan kesempatan individu lain yang lebih ahli (memiliki partikularitas yang lebih baik) untuk mengambil peran yang lebih besar. Individu yang berintegritas tidak akan berlindung di balik minimnya partikularitas yang dimilikinya untuk bermalas-malasan dari peluang mewujudkan kebaikan bersama dan, sebaliknya, tidak akan menggunakan alasan perwujudan kebaikan bersama untuk mengambil sebanyak mungkin peran meskipun partikularitas yang dimilikinya tidak memadai. Individu yang berintegritas selalu meningkatkan mutu partikularitas yang dimilikinya, misalnya mengasah kompetensi dan kemampuan

Page 159: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

149

organisasi tempatnya berkiprah, demi peningkatan upaya partisipatif mewujudkan kebaikan bersama.

Ketiga, organisasi (komunitas) yang berintegritas tidak hanya melakukan upaya partisipatif mewujudkan kebaikan bersama tetapi juga memastikan bahwa upaya itu merupakan hasil kerjasama dari anggota-anggotanya dalam memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan bersama. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ketentuan bahwa individu yang berintegritas (manusia atau organisasi dengan manusia di dalamnya) tidak akan memudarkan identitas elemen-elemennya. Jika elemen-elemennya berupa agen moral (manusia atau organisasi dengan manusia di dalamnya), maka kemandirian individual (autonomy) dari agen-agen moral harus dijaga sedemikian sehingga mereka masing-masing bisa mengekspresikan identitas, partikularitas yang dimilikinya, bagi terwujudnya kebaikan bersama. Integritas organisasi (komunitas) merupakan hasil upaya anggota-anggota yang berintegritas, merupakan cerminan anggota-anggota yang berintegritas. Organisasi yang berintegritas hanya akan terwujud bersamaan dengan terwujudnya anggota-anggota yang berintegritas (co-realization or co-actualization). Budaya integritas organisasi mendorong terbentuknya karakter integritas anggota-anggotanya. Semakin kuat karakter integritas anggota-anggotanya, semakin kuat identitas anggota-anggotanya yang diekspresikan demi kebaikan bersama, semakin kuat kualitas dan daya hidup partikularitas anggota-anggotanya yang diekspresikan demi kebaikan bersama, semakin kuat pula budaya integritas organisasi. Dengan demikian, baik pentingnya kebaikan bersama (common good) maupun pentingnya partikularitas individu, tidak saling merendahkan dan direndahkan.

Jadi bagi individu yang berintegritas, urgensi daya-hidup partikularitas yang dimilikinya perlu dipertahankan (catatan pertama), kualitas partikularitas yang dimilikinya harus terus-menerus ditingkatkan (catatan kedua), dan pentingnya partikularitas yang dimilikinya tidak akan direndahkan atas dasar alasan kebaikan bersama (catatan ketiga). Makna integritas tidak menekankan polarisasi “partikularitas” versus “kebaikan bersama (common good)” dengan memosisikan satu lebih penting daripada yang lain, melainkan menekankan arah fungsional dari partikularitas ke kebaikan bersama (common good). Penekanan pada arah fungsional ini menunjukkan bahwa ekspresi integritas secara substansial berlawanan dengan

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 160: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

150 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

korupsi, karena korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama (common good) ke arah kepentingan partikular. Jelas sebagai karakter yang baik atau budaya organisasi yang baik, integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

K E S I M P U L A N

Meskipun penggunaan kata integritas dalam retorika politik di masyarakat saat ini berpengaruh besar dalam meningkatkan keprihatinan moral terhadap korupsi, namun ketidakjelasan dalam penyajian maknanya akan membuat pengaruh tersebut berhenti di tataran politik saja dan tidak berlanjut ke dalam rancangan keputusan dan tindakan riil yang secara sistematis bisa menangkal korupsi. Penyelisikan makna integritas di sini dilakukan secara filosofisuntukmenemukanmaknadasarnya,menjelaskanbagaimanamakna dasar itu kemudian direduksi hingga muncul berbagai varietas makna yang beredar di masyarakat, dan mengupayakan skema pengembalian makna dasar agar supaya mendapatkan satu patokan makna integritas yang jelas. Integritas tampaknya tidak cukup direpresentasikan oleh kejujuran, kecermatan dalam berperilaku, keteguhan dalam berkomitmen, atau pun keutamaan/ kebajikan/ nilai-nilai lain seperti: kesederhanaan, kesabaran, visioner, keberanian, kedisiplinan, kerja keras, kerjasama, tanggung jawab, dan sebagainya. Keutamaan/ kebajikan/ nilai-nilai tersebut lebih merupakan akibat dari terwujudnya individu yang berintegritas daripada menjadi penyebab munculnya individu yang berintegritas.

Hasil penyelisikan menunjukkan bahwa integritas individu akan terwujudketikaiaselalumengidentifikasikandiridengankomunitas-komunitas ideal sedemikian rupa sehingga ia akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk secara hierarkis mewujudkan komunitas-komunitas ideal dalam rangka mewujudkan dirinya. Kebaikan bersama (common good) terjamin dan terjaga keberadaannya di dalam komunitas-komunitas ideal itu. Jadi, skema pengembalian makna dasar integritas menyajikan kontrasnya perbedaan antara integritas dan korupsi. Sementara korupsi merupakan perilaku penyalahgunaan kekuasaan dengan memanipulasi apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama demi kepentingan partikular (kepentingan pribadi tertentu), integritas merupakan keutamaan/ kebajikan (virtue) yang menimbulkan daya dorong untuk mengelola berfungsinya kekuasaan

Page 161: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

151

partikular (kekuasaan yang terkait dengan kompetensi, sumberdaya, dan kemampuan individu maupun organisasi) demi kepentingan kebaikan bersama. Arah fungsional integritas tepat berlawanan dengan korupsi sehingga secara logis integritas niscaya bertentangan dengan korupsi. Baik integritas maupun korupsi disini dipahami secara paradigmatik. Maknanya tidak dibatasi oleh pengertian legal-formal. Makna tunggal integritas yang disajikan secara paradigmatik di sini direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai landasan teoretis bagi praktik pengembangan karakter integritas dan budaya integritas dalam rangka upaya menangkal korupsi.

R E F E R E N S I

Aristotle. 2001. “Ethica Nichomachea.” Dalam The Basic Works of Aristotle, terj. W.D. Ross, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.

____________. “Politica.” Dalam The Basic Works of Aristotle, terj. Benjamin Jowett, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.

____________. “De Generatione et Corruptione.” Dalam The Basic Works of Aristotle, terj. Harold H. Joachim, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.

Ashford, Elizabeth. 2000. “Utilitarianism, Integrity, and Partiality.” Journal of Philosophy XCVII:8 (August): 421-39.

Audi, Robert, dan Patrick Murphy. 2006. “The Many Faces of Integrity.” Business Ethics Quarterly 16(1): 3-21.

Black, Harrison. 1825. An Etymological and Explanatory Dictionary of Words Derived from the Latin. 2nd ed. London: Longman.

Blustein,Jeffrey.1991.Care and Commitment: Taking the Personal Point of View. New York: Oxford University Press.

Buchanan, Bruce. 2004. “The Moral Physics of the Body Politic: Changing Contours of Corruption in Western Political Thought.” Dalam Proceedings of the Australasian Political Studies Association Conference. University of Adelaide (September - October 2004). http://www.adelaide.edu.au/apsa/papers/.

Calhoun, Cheshire. 1995. “Standing for Something.” Journal of Philosophy XCII(5): 235-60.

Carter, Stephen L. 1996. Integrity. New York: Basic Books.

Cox, Damian, Marguerite La Caze, dan Michael P. Levine. 2003. Integrity and the Fragile Self. Aldershot-Hants: Ashgate.

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi(Gunardi Endro)

Page 162: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

152 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Davion, Victoria M. 1990. “Integrity and radical change.” Dalam Feminist Ethics, ed. Claudia Card. Kansas: Kansas University Press.

Endro, Gunardi. 2007. Integrity in Economic Life: An Aristotelian Perspective. Dissertation. National University of Singapore.

Euben, J. Peter. 1989. “Corruption.” Dalam Political Innovation and Conceptual Change, ed. Terence Ball, James Farr dan Russell L. Hanson. New York: Cambridge Univ. Press.

Hadi, Protasius Hardono. 2010. Potret Siapakah Aku. Yogyakarta: Kanisius.

Halfon, Mark S. 1989. Integrity: A Philosophical Inquiry. Philadelphia: Temple Univ. Press.

Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan. London: Andrew Crooke at the Green Dragon.

Kasulis, Thomas P. 2002. Intimacy or Integrity: Philosophy and Cultural Difference. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Klein, Ernest. 1971. A Comprehensive Etymological Dictionary of the English Language. Amsterdam: Elsevier.

Martin, Mike W. 1996. Love’s Virtue. Lawrence: University Press of Kansas.

McFall, Lynne. 1987. “Integrity.” International Journal of Ethics 98:1 (October): 5-20.

Miller, Seumas. 2013. “Integrity.” Stanford Encyclopedia of Philosophy. plato.stanford.edu/entries/corruption/ (Fri Jan 25, 2013).

Skeat, Walter W. 1888. An Etymological Dictionary of the English Language. 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.

Stern-Gillet, Suzanne. 1995. Aristotle’s Philosophy of Friendship. Albany: State University of New York Press.

Taylor, Gabriel. 1985. Pride, Shame and Guilt: Emotions of Self-Assessment. New York: Oxford University Press.

Williams, Bernard. 1973. “A Critique of Utilitarianism.” Dalam Utilitarianism for and against, ed. J.J. Smart & Bernard Williams. Cambridge: Cambridge University Press.

World Bank. 1997. World Development Report: The State in a Changing Society. Washington D.C.: World Bank.

Page 163: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

153

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap

Raden Diky Dermawan

Program Pendidikan Sarjana Antropologi Sosial, Universitas Indonesia

[email protected]

A B S T R A K

Studi ini mendeskripsikan adanya praktik menyimpang pada proses perubahan tenurial di Segara Anakan dari common property menjadi private property yang dilakukan oleh para aktor atas dampak terjadinya perubahan bentang alam berupa terbentuknya daratan sedimentasi. Sebagai sumber daya alam komunal, Segara Anakan menjadi struggle area bagi para aktornya. Konsekuensi

Page 164: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

154 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dari hal ini telah melahirkan kontestasi dan negosiasi dalam memanfaatkan dan menguasai sumber daya alam. Setiap aktor, baik mereka yang memiliki relasi kuasa maupun tidak, menunjukkan aksi untuk memiliki dan mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam yang dikuasainya secara pribadi. Studi ini menemukan bahwa aktor yang memiliki relasi kuasa berusaha mempertahankan akses agar mendapatkan legitimasi untuk menguasai sumber daya alam. Aktor dimaksud ialah pejabat formal di lingkup pemerintahan lokal. Sedangkan aktor yang tidak memiliki relasi kuasa, membentuk jejaring aktor berdasarkan persepsi kekerabatan dan ketokohan ialah langkah menguasai sumber daya alam. Berdasakan usaha tersebut, aktor-aktor diatas disinyalir telah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan sumber daya alam karena bertentangan dengan norma di komunitas maupun hukum agraria berlaku. Studi ini bersifat eksploratif dengan tiga tahap dalam pengumpulan data, yakni (1) melakukan pengukuran hubungan antar aktor dengan analisis kuantitatif, (2) wawancara mendalam dan observasi partisipan tehadap aktor yang dianggap tokoh dari output tahap 1, dan (3) membangun kesepakatan diantara para aktor dalam mengelola kawasan Segara Anakan melalui diskusi grup terfokus. Argumentasi dari studi ini melihat bahwa ada usaha aktor-aktor lainnya untuk memberikan kontrol dengan membentuk jejaring aktor secara terintegrasi dalam pemberantasan praktik menyimpang di komunitas adat Kampung Laut sebagai komunitas yang bermukim di kawasan pesisir Segara Anakan.

Kata kunci: common property, aktor, sumber daya alam, jejaring aktor

P E N G A N T A R

Masalah penyimpangan—korupsi sebagai top of mind -nya—tidak pernah ada habisnya untuk dibicarakan karena fenomena ini semakin meluas dan berdampak tidak baik dalam beberapa tahun terakhir. Publik disuguhkan berbagai narasi aktivitas korupsi yang dijalankan oleh beberapa orang—bahkan hampir sebagian dari mereka merupakan aktor penting dalam pengambil kebijakan negara. Indonesia belum mampu keluar dari kemelut permasalahan ini meskipun berbagai upaya telah digulirkan. Regulasi dibentuk

Page 165: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

155

untuk meminimalisir dan memberi sanksi terhadap perilaku korupsi. Begitu pun dibentuk—dan diperkuatnya—institusi penegak hukum dalam memberantas korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya didukung oleh social movement yang berasal berbasis gerakan akar rumput di tengah lingkungan masyarakat. Di samping itu, Nasrum (2013) mengingatkan bahwa menelaah permasalahan korupsi tidak semata berbicara hukum, namun perlu dikembalikan kepada aspek budaya sebagai latar belakang korupsi itu muncul di lingkungan masyarakat.

Tindakan korupsi pada pengelolaan menjadi kejahatan yang berdampak buruk, tidak hanya bagi manusia, namun bagi keutuhan ekosistem. Nampaknya, pemberitaan mengenai korupsi pada sektor pengelolaan masih kalah apabila dibandingkan penyimpangan pada sektor pembangunanfisikmaupunpelanggaran hukum. Sektor inimenjadi penting untuk diperhatikan dan dicegah karena menyangkut food security bagi manusia. Makanan yang dikonsumsi oleh manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa berasal penuh dari keseimbangan alam. Ketika alam dijadikan arena tindakan korupsi dan mengancam keutuhannya, cukup dimungkinkan alam tidak lagi memberikan manusia sumber pangan yang cukup optimal. Hal ini disinggung oleh Adhuri (1998) yang mengkhawatirkan jika pelanggaran pada sektor lingkungan atau alam tidak mendapatkan atensi maupun tertanggulangi dengan segera, permasalahan keterbatasan pangan menjadi mungkin untuk terjadi.

Adalah Segara Anakan sebagai salah satu yang ada di Indonesia dan dalam penelitian penulis terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya oleh berbagai aktor. Segara Anakan merupakan kawasan pesisir yangmengalamiperubahanbentangalamsecarasignifikanberupaterbentuknya tanah timbul akibat adanya sedimentasi. Sedimentasi tersebut berlangsung karena material-material aliran sungai-sungai besar yang bermuara di Segara Anakan tidak bisa masuk ke laut lepas (Samudera Hindia) secara langsung. Penelitian yang dilakukan oleh Ardli danWolff (2008) menyebutkan bahwa kawasan perairan diSegara Anakan pada tahun 1978 seluas 17.090 hektar. Pada tahun 2003 terjadi penyusutan wilayah perairan hampir setengahnya sehingga tersisa 9.597 hektar. Wilayah daratan yang terbentuk akibat sedimentasi banyak dikonversi menjadi kawasan persawahan dengan 8.644,4 hektar. Perubahan bentang alam tersebut mengakibatkan adanya perubahan di masyarakat seperti perubahan mata pencaharian yang semula nelayan menjadi petani. Menyusutnya kawasan perairan

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 166: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

156 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

memaksa masyarakat harus beralih menjadi nelayan. Selain itu, perubahan bentang alam menghasilkan sumber daya alam yang bersifat common property. Akibat sifatnya yang milik bersama, setiap masyarakat berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya alam tersebut. Pada pola seperti ini, ada aktor-aktor yang kemudian “memanfaatkan” momentum untuk mengatur tata kelola

Gagasan Hardin (1968) mengenai common property menjadi relevan untuk menjabarkan kondisi sosial komunitas Kampung Laut dalam proses terjadinya perubahan bentang alam. Hardin dengan maksud “tragedi” hendak memprediksi bahwa ekploitasi tanpa batas terhadap sumber daya milik bersama akan berdampak pada kehancuran. Kehancuran tersebut menunjukkan adanya perilaku manusia yang condong bersifat abuse. Hardin melihat bahwa dari peristiwa pemanfaatan atas sumber daya alam milik bersama, akan ada pihak yang diuntungkan dan mengalami kerugian. Ketika ada pihak mengambil keuntungan atas pemanfaatan sumber daya alam, di sisi lain kerugian akan menjadi pertanggungan bersama dari aktor-aktor terlibat. Apabila fenomena ini berjalan dan berlaku secara terus menerus—sesuai kekhawatiran Hardin, masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pemanfaatan hingga mengalami keterpurukan ekonomi akibat adanya pemanfaatan common property. Hardin mengusulkan dua solusi utama menangani “tragedi” yang dikhawatirkannya, yakni adanya pengawasan dari Negara dan perubahan menjadi private property (privatisasi).

Perubahan bentang alam yang terjadi di Segara Anakan telah melahirkan dinamika dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber daya alam. Tanah timbul yang bertansformasi daratan menjadi struggle area bagi tokoh-tokoh dalam komunitas, begitu pula wilayah perairan dan sumber daya alam lainnya. Sanjatmiko (2016) telah menjabarkan bahwa masyarakat yang berada di sekitar Segara Anakan memanfaatkan sumber daya alam dengan seperangkat akses dan jejaringnya untuk mendapatkan keuntungan terbesar. Pada penjelasannya, terdapat aktor-aktor yang memiliki kuasa untuk memanfaatkan, di sisi lain ada aktor yang mengoptimalkan jejaringnya. Kontestasi ini akan menerjemahkan bahwa ada aktor yang mendapatkan dan tidak mendapatkan akses untuk memanfaatkan sumber daya alam milik bersama. Gambar 1. Perubahan bentang alam di Segara Anakan sejak tahun (a)1987,(b)1995,(c)2003,dan(d)2006(ArdlidanWolff2008)

( c) (d)

Page 167: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

157

memaksa masyarakat harus beralih menjadi nelayan. Selain itu, perubahan bentang alam menghasilkan sumber daya alam yang bersifat common property. Akibat sifatnya yang milik bersama, setiap masyarakat berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya alam tersebut. Pada pola seperti ini, ada aktor-aktor yang kemudian “memanfaatkan” momentum untuk mengatur tata kelola

Gagasan Hardin (1968) mengenai common property menjadi relevan untuk menjabarkan kondisi sosial komunitas Kampung Laut dalam proses terjadinya perubahan bentang alam. Hardin dengan maksud “tragedi” hendak memprediksi bahwa ekploitasi tanpa batas terhadap sumber daya milik bersama akan berdampak pada kehancuran. Kehancuran tersebut menunjukkan adanya perilaku manusia yang condong bersifat abuse. Hardin melihat bahwa dari peristiwa pemanfaatan atas sumber daya alam milik bersama, akan ada pihak yang diuntungkan dan mengalami kerugian. Ketika ada pihak mengambil keuntungan atas pemanfaatan sumber daya alam, di sisi lain kerugian akan menjadi pertanggungan bersama dari aktor-aktor terlibat. Apabila fenomena ini berjalan dan berlaku secara terus menerus—sesuai kekhawatiran Hardin, masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pemanfaatan hingga mengalami keterpurukan ekonomi akibat adanya pemanfaatan common property. Hardin mengusulkan dua solusi utama menangani “tragedi” yang dikhawatirkannya, yakni adanya pengawasan dari Negara dan perubahan menjadi private property (privatisasi).

Perubahan bentang alam yang terjadi di Segara Anakan telah melahirkan dinamika dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber daya alam. Tanah timbul yang bertansformasi daratan menjadi struggle area bagi tokoh-tokoh dalam komunitas, begitu pula wilayah perairan dan sumber daya alam lainnya. Sanjatmiko (2016) telah menjabarkan bahwa masyarakat yang berada di sekitar Segara Anakan memanfaatkan sumber daya alam dengan seperangkat akses dan jejaringnya untuk mendapatkan keuntungan terbesar. Pada penjelasannya, terdapat aktor-aktor yang memiliki kuasa untuk memanfaatkan, di sisi lain ada aktor yang mengoptimalkan jejaringnya. Kontestasi ini akan menerjemahkan bahwa ada aktor yang mendapatkan dan tidak mendapatkan akses untuk memanfaatkan sumber daya alam milik bersama. Gambar 1. Perubahan bentang alam di Segara Anakan sejak tahun (a)1987,(b)1995,(c)2003,dan(d)2006(ArdlidanWolff2008)

( c) (d)

a

c

b

d

Kontestasi yang terjadi di komunitas yang mengitari Segara Anakan tidak terpisahkan dari pemahaman bahwa sumber daya alam di Segara Anakan memiliki keterbatasan dan ketangguhan jika dibandingkan dengan kawasan sumber daya alam di lokasi lainnya. Keterbatasan itu melingkupi seperti terbatasnya hasil tangkap ikan di wilayah perairan karena pendangkalan dan penyusutan wilayah tangkap ikan, tidak optimalnya hasil pertanian yang disebabkan masuknya air laut (air asin) pada wilayah pertanian, hingga terganggunya kegiatan perkebunan atau perhutanan masyarakat akibat sengketa dengan pengelola Lapas Nusakambangan yang masih berlangsung hingga saat ini. Penulis berasumsi bahwa semakin terbatasnya sumber daya alam akan menyebabkan semakin “diperebutkannya” sumber daya alam tersebut. Bagi aktor yang tidak berhasil menguasai sumber daya alam pada konteks tersebut, maka aktor tersebut mengalami ketertinggalan dan perlu mencari alternatif lain disamping mengandalkan pemanfaatan untuk bertahan hidup (livelihood). Pada konteks lain, untuk “mengakali” terbatasnya sumber daya alam tertentu, beberapa aktor masyarakat melakukan peralihan terhadap mata pencahariannya seperti dahulu menjadi nelayan. Pilihan demikian menjadi teramat umum setelah ada perubahan bentang alam

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 168: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

158 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Penulisan ini penting dilakukan, berhubungan dengan perubahan tenurial yang terjadi di kawasan Segara Anakan. Proses sedimentasi kawasan perairan menjadi daratan yang terjadi secara masif terutama sejak tahun 1980an, menjadi ruang pertarungan (struggle area) dari para aktor didalamnya untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di wilayah itu. Proses-proses perubahan tenurial yang terjadi menurut pemikiran Hardin dapat dijelaskan secara lebih dinamis melalui penjelasan para aktor yang terlibat di dalam proses tenurial di kawasan Segara Anakan dengan atau tanpa mereka menguasai/memiliki properti. Kontestasi di antara mereka melalui akses jejaring dan kuasa yang dimilikinya menguatkan peran mereka dalam membawa persoalan sosial dan lingkungan kawasan Segara Anakan (Sanjatmiko 2016). Peluso dan Ribot (2003) melihat bahwa ada semacam susunan jaringan akses dari aktor-aktor. Perhatian mereka memungkinkan ahli memetakan perubahan proses dan hubungan akses, aktor dengan sumber daya alam. Konsep akses disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Akses secara empirik memfokuskan diri pada siapa yang mendapatkan apa, dalam cara apa, dan kapan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam. Kekuatan ini terdiri atas material, kebudayaan, dan ekonomi politik dengan ikatan dan jaringan kekuasaan yang menyusun akses sumber daya alam. Dengan melihat hal tersebut, penulisan ini ingin melihat signfikansi jaringan aktor terhadappemanfaatan, penguasaan, dan pengawasan terhadap sumber daya alam di Segara Anakan.

Implikasi terhadap Perubahan Bentang AlamSebagai titik sentral dari pertemuan 4 sungai-sungai besar dari

pulau Jawa, Kampung Laut menghadapi dampak pengendapan tanah yang teraliri oleh sungai-sungai tersebut. Endapan tanah dan material yang dibawa sungai seyogyanya terlepas ke laut, namun terhalang oleh keberadaan Pulau Nusakambangan yang berada dekat dengan titik muara dari sungai-sungai itu. Secara perlahan-lahan, endapan tersebut menumpuk dan menjadi padat karena tekanan arus sungai yang cukup besar. Lambat laun, fenomena tersebut berujung pada terbentuknya daratan-daratan baru hasil dari sedimentasi. Secara tidak langsung, proses sedimentasi ini menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyusutan wilayah perairan di Segara Anakan.

Page 169: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

159

Diagram 1. Peralihan Lahan Mangrove di Segara Anakan Tahun 2003(diolahdariArdlidanWolff2005)

Peralihan Lahan Mangrove di Segara Anakan Tahun 2003

Persawahan Pemukiman Tegalan

Area Industri Pertambakan Lainnya

Proses sedimentasi mulai dirasakan oleh masyarakat cukup kuat pada tahun 1980-an, bersamaan dengan meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat yang membawa material lumpur dan endapan tanah ke Segara Anakan melalui aliran sungai. Hasil penelitianArdli danWolff (2005)melihatbahwapada tahun 1978terjadi peralihan kawasan perairan dan lahan mangrove di Segara Anakan akibat adanya proses sedimentasi. Pada masa tersebut, luas lahan mangrove sebesar 17.090 hektar, mengalami penurunan hingga tersisa 9.597 hektar (43,8%) pada 2003. Pada rentang waktu tersebut, lahan mangrove telah dikonversi menjadi lahan sawah (8.644,4 hektar), pemukiman (225 hektar), tegalan (1.108 hektar), area industri (97,7 hektar), tambak (515,1 hektar) dan lainnya (353,7 hektar). Hasil penelitian tersebut menguatkan anggapan bahwa ada peralihan lahan akibat terjadinya sedimentasi secara besar-besaran dengan memanfaatkan daratan timbul sebagai kawasan milik bersama. Konversi lahan yang paling besar beralih untuk wilayah pertanian.

Penyusutan wilayah perairan dan pertambahan kawasan daratan berakibat besar pada pola sosial dari masyarakat di Ujung Alang. Penulis memetakan terdapat tiga dampak besar dari adanya perubahan bentang alam bagi masyatakat Kampung Laut. Pertama,

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 170: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

160 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

masyarakat melakukan peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi petani. Peralihan tersebut adalah sebuah konsekuensi logis dari tidak optimalnya kembali kawasan perairan sebagai kawasan menangkap ikan. Dahulu dikisahkan para nelayan sering mendapat ikan-ikan dalam ukuran cukup besar. Namun, saat ini nelayan banyak diganggu oleh keberadaan ikan kating yang menjadi hama bagi populasi udang peci dan biota air lainnya. Kedua, terdapat upaya dari masyarakat untuk memanfaatkan. Proses sedimentasi membuat pola pikir masyarakat mengarahkan diri untuk mengoptimalkan sumber daya alam yang berada di sekitarnya, walaupun bersifat terbatas. Tidak sedikit dari masyarakat yang kini memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagai wilayah wisata, menebang pohon mangrove, atau menjadikannya produk pangan lokal. Ketiga, terbentuknya struktur pemerintahan untuk memberikan tata aturan terhadap masyarakat. Setelah ditemukan komunitas yang mendiami Segara Anakan, Pemerintah sigap dengan membentuk Pemerintahan Lokal—setingkat bau atau Dusun—dan Pemerintahan Desa. Sebagai puncak otonomi terjadi pada tahun 2000 ketika Bupati Cilacap berkunjung ke Kampung Laut dan berjanji akan membentuk Pemerintah Kecamatan agar lebih memudahkan akses birokrasi yang sebelumnya terpusat di Kecamatan Kawungaten.

Livelihood System dan Basis Ekonomi MasyarakatPenulis melihat bahwa Kampung Laut sebagai komunitas yang

menghuni kawasan Segara Anakan adalah daerah yang memiliki keunikan apabila ditinjau dari basis ekonomi dari masyarakat. Tiap-tiap desa yang berada di dalam lingkup Kampung Laut masing-masing memiliki basis ekonomi yang berbeda-beda dengan disesuaikan kondisi alam sebagai penopang kehidupan. Masyarakat menggantungkan hampir seluruh kebutuhan hidupnya dari alam. Kondisi demikian mengasumsikan bahwa livelihood system sebagai kebutuhan ekonomi di Kampung Laut selalu disediakan dan difasilitasi oleh alam (Sulistiono, 2011). Masyarakat mengoptimalkan livelihood systemnya untuk menguasai dan memanfaatkan sebagai strategi untuk bertahan hidup.

Tabel 1. Persebaran Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kampung Laut Tahun 2014 (BPS Cilacap 2015:62-63)

Page 171: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

161

JUMLAH (JIWA)

Buruh Tani 1.613Nelayan 1.439Buruh Industri 211Buruh Bangunan 97PNS 44TNI/POLRI 7Pensiunan 10

Tabel 2. Ragam Livelihood Masyarakat Kampung Laut Acuan Tahun 2016 (Data lapangan)

PEKERJAAN POTENSI PENGHASILAN (PER HARI) MASA KERJA (SETAHUN)

Pengangkut air Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPenebang pohon mangrove Rp. 5.000,- Sepanjang tahunPenangkap katak Rp. 100.000 s.d Rp. 150.000,- Musim penghujanPenangkap burung Rp. 20.000,- s.d Rp. 800.000,- Sepanjang tahunPenebang nipah Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPengumpul kayu bakar Rp. 3.000,- Sepanjang tahunPencari kerang totok Rp. 100.000,- Sepanjang tahunPenambang pasir Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahunPenambang batu kapur Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahunPekerja bangunan Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,- Sepanjang tahunPenjahit Rp. 50.000,- s.d Rp. 75.000,- Sepanjang tahunPetambak Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPetani/pekebun Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPencari ikan (nelayan) Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahunPemijat Rp. 30.000,- s.d Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPemangkas rambut Rp. 20.000,- s.d Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPemotong kayu Rp. 150.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahunPencari batu akik Rp. 50.000,- Sepanjang tahunPemoles batu akik Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,- Sepanjang tahunPencari bibit mangrove Rp. 100.000,- Sepanjang tahunPengemudi compreng Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahun

Dinamika Common Property dan Private PropertyPerubahan pola penguasaan dan pemanfaatan sumber daya

alam dari common property ke private property di wilayah Segara Anakan salah satunya ditunjukkan dalam penggunaan alat tangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat. Sebelum proses sedimentasi berlangsung secara intensif sekitar tahun 1980-an, wilayah perairan Segara Anakan masih merupakan kawasan perairan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Laut sebagai fishing ground “milik” bersama. Berbagai jenis alat tangkap ikan dan sejenisnya digunakan yang pada dasar penggunaanya dilakukan pada kawasan common

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 172: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

162 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

fishing ground. Sejalan dengan terjadinya proses sedimentasi yang mendorong juga terjadinya semakin sempit kawasan fishing ground di Segara Anakan, beberapa alat tangkap yang digunakan pada kawasan common fishing ground sudah tidak digunakan lagi karena semakin menyempit dan hilangnya kawasan common fishing ground. Alat tangkap ikan seperti banjang, pasangan sero, gilap, ngambang, jaring lingkung pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Pada masa ini jenis alat tangkap ikan yang masih digunakan karena masih sesuai dengan kondisi fishing ground yang semakin menyempit dan semakin dangkal seperti jaring, perangkap kepiting (traping) seperti wadong dan mencari kerang totok.

Perubahan proses pemanfaatan sumber daya alam dari private property ke common property di Kampung Laut, ditunjukkan dalam kasus pemanfaatan lahan mangrove yang dijadikan sebagai kawasan wisata dan penelitian mangrove di Desa Ujung Alang. Dari segi kepemilikkan dan penguasaan lahan tersebut merupakan milik perorangan dan dikuasai oleh perorangan pula dengan penguat surat berupa Surat Penguasaan Tanah (SPT) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Empat orang yang menguasai lahan tersebut tergabung dalam Kelompok Tani Mangrove desa Ujung Alang dengan jumlah anggota 18 orang. Saat ini lahan seluas 6 Hektar tersebut digunakan sebagai kawasan wisata mengrove yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal, pihak universitas dan institusi penelitian seperti LIPI dan LAPAN untuk melakukan penelitian. Pihak pemilik lahan secara perorangan maupun kelompok, tidak memungut biaya atas penggunaan jasa lingkungan lokasi wisata dan penelitian mangrove tersebut. Sebaliknya manfaat yang didorong oleh kelompok petani mangrove tersebut adalah menyediakan makanan untuk dibeli oleh pengunjung yang sifatnya tidak wajib dengan harga yang terjangkau. Dengan dibukanya wisata kawasan mangrove, warga sekitar mendapat manfaat ekonomi melalui penyediaan jasa dan perdagangan yang dibutuhkan oleh pengunjung. Di sisi lain pengurus kelompok tani mangrove tersebut tidak mau menarik iuran masuk bagi pengunjung karena adanya rasa kuatir penetapan pajak wisata oleh pihak pemerintah Kabupaten Cilacap atau justru kawasan tersebut akan diambil alih oleh pemerintah Kabupaten Cilacap sebagai aset daerah. Menguasai Sumber daya Alam: Kontestasi dan Negosiasi Aktor

Page 173: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

163

Dalam penjelasan teori akses, beberapa orang atau institusi bisa mengontrol sumber daya alam sementara yang lain mempertahankan akses mereka melalui siapa yang mengontrol sumber daya alam. Perhatiannya pada perbedaan hubungan akses sebagai satu jalan akses yang bisa dilihat sebagai sebuah analisis dinamika. Analisa akses juga membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam, dengan ada atau tidak kepemilikan barang pada mereka (Ribot dan Peluso, 2003). Gejala demikian ditemukan pula dalam studi ini. Temuan gejala ini akan disampaikan dalam dua bagian, yaitu kontestasi dalam cara memperoleh akses dan bagaimana akses tersebut digunakan untuk mendapat keuntungan tanpa harus memiliki atau menguasasi sumber daya alam.

Memasuki persoalan kontestasi antar para aktor dalam pemanfatan yang memunculkan kontestasi maupun negosiasi, dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut.a. Kasus tata batas antara Perhutani dengan masyarakat di

Kecamatan Kampung Laut. Kasus ini diawali oleh perbedaan interpretasi atas penguasaan tenurial antara negara yang diwakili oleh Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani) dengan masyarakat Desa Ujung Alang. Tarik menarik antara dua kepentingan ini menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu tetap diperbolehkannya warga menempati dan memanfaatkan lahan milik Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani), namun kepemilikkan tidak berada pada mereka.

b. Antar para aktor pemilik lokasi jaring apong. Konflikantar pemilik kawasan jaring apong terjadi disebabkan oleh pergeseran batas dan pengalihan hak milik kepada orang lain tanpa disaksikan oleh pihak Pemerintah Desa atau saksi yang memadai. Kompromi yang dihasilkan untuk penyelesaian konflik batas lokasi adalah kesepakatan jarak minimal 300meter antar jaring apong. Kompromi atas pengalihan hak atas lokasi jaring apong, maka Pemerintah Desa mengeluarkan surat sertifikat tanda bukti kepemilikan lokasi jaring apong. Kedua langkahtersebutberhasilmengurangikonflikyangterjadiakibatpemanfaatan lokasi jaring apong.

c. Kasus pengkaplingan lahan atas saran Kepala Desa. Seluruh tanah sedimentasi yang berada di Kampung Laut, sebagian besar sudah terkapling-kapling dan dikuasai sebagai private

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 174: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

164 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

property. Bahkan sebagian tanah tersebut sudah memiliki Surat Pemberitahuan Pajak (SPT); yang berarti satu langkah bukti penguasaan atas lahan tanah sedimen bagi individu. Namun demikian, tidak semua tanah sedimentasi tersebut telah memiliki SPT seperti yang terjadi di Desa Ujung Alang. Oleh Kepala Desa setempat, tanah sedimentasi tersebut diminta untuk ditandai batas-batas kepemilikannya sehingga jelas luasan penguasaannya. Setelah Kepala Desa mendapatkan data luasan dan pemilik tanah sedimen yang belum memiliki SPT tersebut, kemudian diajukan sebagai agunan bank dengan persetujuan dari Bupati Cilacap. Bupati Cilacap tidak mau menyetujui permintaan tersebut untuk mendukung pengajuan kredit ke bank dengan jaminan lokasi tanah sedimen warga seluas total sekitar 2500 hektar dan belum mempunyai surat-surat bukti penguasaan/kepemilikan. Sebagian warga Desa Ujung Alang merasa curiga kepada Kepala Desa atas proses yang dilakukannya yang akan mendapatkan keutungan pribadi dari proses pengajuan kredit ke bank tersebut dengan jaminan tanah sedimentasi.

d. Elit Desa Klaces yang menjual Tanah Bengkok milik Desa Ujung Alang di wilayah Klaces. Lokasi tanah bengkok desa Ujung Alang terletak dalam kawasan Klaces. Hal ini disebabkan karena Klaces secara luasan tidak dapat dijadikan sebagai desa karena luas wilayahnya tidak memenuhi syarat. Agar dapat memenuhi syarat sebagai desa, maka tanah bengkok Ujung Alang yang pada awalnya merupakan desa induk pemekaran dari Ujung Alang dijadikan sebagai bagian dari wilayah Klaces. Pada saat adanya program pengukuran lahan oleh BPN guna mengeluarkan batas dan surat SPT, tanah bengkok Ujung Alang di Klaces tersebut diakui oleh seorang aparat desa Klaces sebagai miliknya sehingga sampai pada kondisi pihak BPN mengeluarkan SPT lahan tanah bengkok atas nama pribadi aparat desa tersebut. Kondisi ini ternyata menyulut kemarahan aparat Ujung Alang yang mengetahui bahwa tanah bengkok tersebut bukanlah milik pribadi sehingga tidak bisa dikeluarkan SPT-nya. Pada kondisi lain ternyata Kepala Desa Ujung Alang mendiamkan kejadian ini yang menambah kemarahan para pamong Desa Ujung Alang.

e. Antara otoritas LP Nusakambangan dengan komunitas Kampung Laut. Pihak LP Nusakambangan mengklaim 100 meter wilayah darat jalan merupakan kawasan milik LP

Page 175: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

165

Nusakambangan. Oleh sebab itu, petani tidak diperkenankan menggarap dalam lahan tersebut. Pada kenyataanya, jumlah lokasi lahan yang digarap dalam kawasan pulau Nusakambangan semakin luas. Informan petani penggarap lahan dari Ujung Alang mengaku memberikan retribusi dalam bentuk beras hasil pertanian kepada oknum petugas Nusakambangan agar tidak dilarang untuk menggarap lahan tersebut.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya kontestasi dan kompromi diantara para aktor dalam perannya sebagai masyarakat atau elit desa dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Segara Anakan. Di antara para aktor tersebut, terdapat aktor yang menguasai atau memiliki property, namun ada aktor yang tanpa harus menguasai atau memiliki property tetapi memainkan peran penting dalam kasus tersebut. Aktor tersebut memiliki kuasa dan akses yang lebih dari aktor-aktor lain sehingga perannya menjadi sangat penting.

Menelaah Peran AktorKawasan Segara Anakan dengan komunitas Kampung Laut

merupakan sebuah struggle area yang di dalamnya berisi ruang pertarungan antar aktor dalam memperebutkan SDA. Sebagai suatu struggle area, tidak terlepas dari perubahan bentang alam dalam bentuk sedimentasi yang didukung oleh kondisi karakteristik alam, tekanan penduduk dan kebutuhan ekonomi komunitas di dalamnya. Aspek negara dalam lingkup pemerintahan lokal, regional dan nasional serta adanya relasi kuasa antar aktor yang memiliki akses juga memberikan kontribusi kompleksitas dalam “ruang” kompetisi dan negosiasi di Segara Anakan tersebut.

Demikian pula dengan proses perubahan kepemilikan dari common property ke private property. Para aktor dengan beragam latar belakang sejarah dan kepentingan, menggunakan akses yang mereka miliki guna mendapat keuntungan terhadap pemanfaatan. Begitu pula proses perubahan pemanfaatan dari private property menjadi common property, tidak akan dapat berlangsung tanpa relasi kuasa dan akses yang dimiliki oleh para aktornya. Melalui analisis aktor dalam penelitian ini, tidak hanya menjelaskan proses perubahan tenurial yang terjadi dalam kawasan yang mengalami perubahan bentang alam. Dengan akses dan relasi kuasa yang

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 176: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

166 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dimilikinya ternyata beberapa aktor mendapat keuntungan lebih dibanding dengan lainnya tanpa ia harus memiliki sumber daya alam tersebut. Membentuk Jejaring Aktor

Sebagai suatu metode konseptual, network analysis dalam ilmu sosial terbagai dalam 4 tipologi utama (Borgatti dkk., 2009), yakni similiraties, social relation, interactions, dan flows. Masing-masing tipologi memiliki tujuan tertentu dalam melakukan eksplanasi. Tujuan itu tertuang pada tabel di bawah.

Tabel 3. Tipologi utama dalam network analysis (Borgatti dkk., 2009; Borgatti dan Everett., 2013)

SIMILIARITIES SOCIAL RELATIONS INTER-ACTIONS

FLOWS

LOCATION MEM-BERSHIP

ATRIB-UTE

KINSHIP OTHER ROLE

AFFEC-TIVE

COGNI-TIVE

Same spatial and temporal space

Same club

Same event

Etc

Same gender

Same attitude

Etc

Mother of

Sibling of

Friend of

Boss of

Competi-tor of

Likes

Hates

Knows

Knows about

Sees as happy

Etc

Sex with

Taked to

Adviced

Helped

Harmed

Etc

Informa-tions

Beliefs

Personel

Research

Etc

Bagaimana analisis aktor dalam jejaring akses bisa digunakan sebagai desain penelitian ini? Analisis aktor sebenarnya sudah digunakan sebagai sebuah metode sejak 1970-an. Pendekatan ini mulai berkembang karena rasa ketidakpuasan para ahli antropologi terhadap analisis struktur fungsional yang konvensional (Agusyanto, 2014; Bossevain, 1972; Wolfe, 1978). Ketika para ahli mulai mengarahkan perhatian pada masyarakat yang lebih kompleks, mereka mengalami banyak kesulitan atau merasakan kekurangan dari pendekatan struktur fungsional. Kesulitan ini disebabkan karena pendekatan struktur fungsional dibangun dari studi masyarakat tribal yang masih terisolasi dengan perubahan sosial. Kesulitan mulai dirasakan ketika masyarakat dengan batas-batas isolasi menjadi semakin bias sehingga masyarakat tidak bisa dilihat sebagai suatu

Page 177: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

167

struktur yang mempunyai fungsi di dalamnya. Tipologi di atas mengasumsikan akan terbentuknya jaringan aktor

di komunitas Kampung Laut. Jaringan aktor tersebut terbentuk akibat adanya persamaan terhadap persepsi similiraties, social relation, interactions, dan flows. Jaringan aktor memiliki signifikansi yangbesar bagi masyarakat Kampung Laut dalam mengelola sumber daya alam. Setiap aktor yang dipersepsikan memiliki jaringan aktor yang kuat dan besar, maka mereka dapat menguasai akses dan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, aktor-aktor ini dapat memberikan pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh aktor-aktor lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dengan jaringan aktornya dapat mengawasi pemanfaatan dan relasi kuasa oleh aparat desa, begitu pun sebaliknya.

Gambar 2. Pemetaan Jaringan Sosial dan Persepsi Kekerabatan di Ujung Alang

Kustoro

Bono

Abdulrohim

Prasono

Tugino

Wahyono

Siswanto

Rusna

Yustinus Parmin

Ujang

Febri

Hartono

Rohim

Jarwo

Dalam memetakan siapa-siapa saja yang terlibat dalam jaringan aktor, penulis menggunakan instrumen analisis kuantitatif berupa

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 178: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

168 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

penyebaran kuesioner dengan studi kasus di Desa Ujung Alang. Kuesioner lebih menekankan pada persepsi ketokohan dari informan dalam konteks sebagai sosok kenal, kekerabatan, dan partisipasi dalam kerjasama pengelolaan program bantuan. Penyebaran kuesioner dibatasi hanya 10 orang informal dengan metode snowball. Pertama, kuesioner ditanyakan kepada informan kunci pada penelitian ini. Kedua, menyebarkan kuesioner pada orang-orang yang namanya disebutkan oleh informan kunci atau sebelumnya sesuai prioritas tertinggi sesuai penyebutan.

Berdasarkan kuesioner yang telah disebar dan diisi oleh informan sebanyak 10 orang, didapatkan data mengenai jaringan sosial kekerabatan—bersifat kedekatan. Penentuan kelompok-kelompok itu dilandaskan pada modus tertinggi dari setiap tokoh yang disebutkan. Selain itu, dipertimbangkan juga sikap masing-masing aktor dalam keseharian atas aktor-aktor yang disebutnya. Berikut adalah hasil pengelompokan tersebut.

Gambar 3. Pemetaan Jaringan Aktor di Ujung Alang

Wahyono Cs Kustoro Cs

Yustinus Cs

Jarwo

Kus, Bon, Abd, Pras, dan Tug dapat bergabung menjadi satu jaringan sosial karena memiliki kedekatan yang cukup erat dan

Page 179: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

169

menjadi kelompok masyarakat yang vokal dalam menyuarakan bentuk penyimpangan. Wah, Sis, dan Rus menjadi satu kelompok jaringan karena sebagai satu warga dusun yang sama dan sedang mengelola kelompok tani—kelompok tani yang paling berkembang dan mandiri di Kampung Laut. Yus, Uja, Feb, Har, dan Roh bergabung ke dalam kelompok jaringan yang sama diakibatkan profesi yang sama sebagai aparat desa dan berhimpun pada relasi profesional. Sedangkan, Jar tidak berkelompok karena tidak teraksesnya aktor tersebut oleh siapapun dalam kuesioner. Meskipun penulis memisahkan berdasarkan kelompok-kelompok besar, tidak menutup kemungkinan ada kerja sama dan kooperasi lain yang dibangun oleh antar aktor dan antar kelompok. Pengelompokan di atas penting untuk melihat kelompok yang saling bersaing dan bernegosiasi, sebagaimana diuraikan oleh Saifuddin (2005) Refleksi terhadap Hardin’s Theory of the Common Model

Proses perubahan common property ke private property di kawasan Segara Anakan terjadi dengan perubahan bentang alam akibat proses sedimentasi. Temuan ini sejalan dengan Hardin’s Tragedy of the Common Model (Hardin, 1968). Secara umum proses perubahan kepemilikan yang terjadi adalah dari common property ke private property. Dari sisi pemanfaatan, penelitian ini juga menemukan adanya perubahan dari private property menjadi common property. Kondisi ini berarti suatu kawasan yang dilindungi secara private, tetapi dari segi pemanfaaatanya dilakukan secara common. Keadaan ini langka terjadi, di tengah-tengah situasi aktor yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Sebagaimana saran Ostrom (1988) bila privatization dan centralization justru akan menyebabkan over-explotation, manakala negara gagal mengawasi dan membatasi explotasi. Oleh sebab itu hybrid institution merupakan salah satu pilihan yang diusulkan dalam pengelolaan. Dua puluh dua tahun kemudian sejak Hardin’s Tragedy of the Common Model dimunculkan pada 1968, didasari oleh temuan akumulatif Fenny dkk (1990) melihat bahwa private, negara dan komunal secara potensial memiliki pilihan pengelolaan secara bersama dalam bentuk co-management.

Studi-studi sejenis dari seluruh dunia juga menghasilkan contoh bahwa pemanfaatan secara bersama yang berdasarkan perlindungan tidak selalu berakhir dengan hasil yang tragis. Konsep common

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 180: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

170 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

property telahmengalami proses pendefinisian ulang berdasarkantemuan empirik dan diperlukan alternatif pemahaman teoritis tentang konsep common property. Perspektif teori yang muncul pada saat ini berasumsi bahwa common property tidak sebagai kelompok yang memanfaatkan sumber daya alam secara bersama; namun sebagai suatu institusi dari suatu pengelolaan yang dilakukan sendiri dengan turut berpartisipasinya para pihak berkepentingan sebagai anggota untuk menyiasati keterbatasan kewenangannya.

McKean (dalam Jhonson dan Kristen, 2004) bahwa common property adalah “as an arrangement in which a group of resource users share rights and duties toward a resource”. Situasi ini merupakan suatu sistem dari shared private property dengan batas-batas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan. Sistem ini sebagaimana halnya dengan regim property yang lain “mengemas hak dan kewajiban” dari para pihak yang memiliki kepentingan. Hak dan kewajiban diberikan dan dimiliki oleh setiap pihak berkepentingan untuk memanfaatkan dan menjaga sumber daya alam secara bersama. Beberapa contoh hasil studi telah menunjukkan efektifitas penerapan tanggung jawab bersama daricommon property berbasis shared private property dengan batas-batas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan.

Sebagai suatu proses refleksi atas tulisan ini, penting untukmempertimbangkan konsep co-management masuk dalam pola pengelolaan sumber daya alam common property. Upaya pengelolaan ini diharapkan dapat menghindarkan dari praktik korupsi yang selama ini belum bisa dibatasi secara optimal dari gerakan bawah. Dalam perjalanannya, co-management akan 4 stakeholders kunci, yaitu (1) pelaku pemanfaat sumber daya alam; (2) pemerintah, termasuk pusat dan daerah; (3) stakeholders lain yang di dalamnya termasuk anggota masyarakat lain, pemilik modal, pelaku perdagangan produk, pengolah produk dan lain-lain; (4) agen perubahan termasuk penyuluh perikanan, NGO, perguruan tinggi dan lembaga riset. Dari situasi demikian, muncul pertanyaan apakah inisiatif hybrid institution untuk menuju co-management akan muncul dengan sendirinya sebagai kontrol atas kegiatan menyimpang dalam pemanfaatan sumber daya alam? Tentu berpulang pada inisiatif dan peran dari para aktor yang terlibat di dalamnya.

P E N U T U P

Page 181: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

171

Ketika Hardin (1968) sudah cukup fasih dalam menjabarkan perubahan hak tenurial dengan melihat adanya open access sebagaimana dicetuskan oleh Ribot dan Peluso (2003), penting bagi kita untuk memperhatikan aktor-aktor yang terlibat pada dinamika tersebut. Kenapa aktor? Ribot dan Peluso (2003) melihat bahwa beberapa orang dan institusi bisa mengontrol sumber daya alam sementara yang lain mempertahankan akses mereka melalui “siapa” yang bisa mengontrol sumber daya alam. Beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam, baik dengan atau tanpa kepemilikan properti mereka.

Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan yang telah berhasil dibentuk oleh para aktor, mereka akan berkesempatan untuk menguasai dan memanfaatkan, di sisi lain mereka dapat melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan. Dalam konteks ini, jaringan aktor sebagai bagian dari integrasimasyarakat akanmemiliki signifikansebagai alat kontrol pencegahan praktik korupsi dan semata-mata menguntungkan diri sendiri atas relasi kuasa dan akses yang dimiliki. Kesamaan tipikal yang dimiliki oleh setiap jaringan aktor akan berimplikasi semakin kuatnya pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang ada, khususnya bagi kawasan sumber daya alam yang mengalami perubahan bentang alam.

R E F E R E N S I

Adhuri, D. S. 1998. ‘Saat Sebuah Desa Dibakar Menjadi Abu: Hak Ulayat Laut dan Konflik Antar Kelompok di Pulau Kei Besar’,dalam Antropologi Indonesia 58:92-109.

Agusyanto, R. 2014. Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta: Rajawali Press.

Ardli, E. R. danM.Wolff. 2005. Spatial and Temporal Dynamicsof Mangrove Conversion at Segara Anakan, Cilacap. Naskah dipersentasikan di 10th ISSM International Conference. 30 September-1 Oktober. Paris, Prancis.

. 2008. ‘Quantifying Habitat and Resources Use Changes in the Segara Anakan Lagoon (Cilacap, Indonesia) Over the Past 25 Years (1978-2004)”, dalam Asian Journal of Water, Environment, and Pollution 5(4):59-67.

Badan Pusat Statistik. 2015. Kecamatan Kampung Laut dalam

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Page 182: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

172 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Angka Tahun 2015.

Borgatti, S. P. dkk. 2009. ‘Network Analysis in the Social Sciences’, dalam Science 323(5916):892-895

Borgatti, S. P. dan M. G. Everett. 2013. Analyzing Social Network. Los Angeles: Sage Publication.

Bossevain, J. 1972. “Preface”: Network Analysis Studies in Human Interaction. Paris: Mouton & Co.

Fenny, D. dkk. 1990. ‘The Tragedy of the Commons: Twenty-Two Years Later’, dalam Human Ecology 8(1):1-19.

Hardin, G. 1968. ‘The Tragedy of the Commons’, dalam Science 162:1243-1248.

Jhonson, K. dan N. Kristen. 2004. ‘Common Property and Conservation: The Potential for Effective Communal ForestManagement within a National Park in Mexico’, dalam Human Ecology 32(6):703-733

Nasrum, M. 2013. ‘Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya’, dalam Antropologi Indonesia 34(1):1-14.

Ostrom, E. 1988. ‘Institutional Arrangements and the Commons Dilemma’, dalam E. Ostrom dkk (Peny.). Rethinking Institutional Analysis and Development. San Francisco: Institute for Contemporary Studies Press.

Ribot, J. C. dan N. L. Peluso. 2003. ‘A Theory of Access’, dalam Rural Sociology 68(2):153-181.

Saifuddin, A. F. 2005. ‘Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan: Kajian Kasus di Jakarta’, dalam Antropologi Sosial 29(3):309-320.

Sanjatmiko, P. 2016. Common Property di Tengah Perubahan Bentang Alam Kawasan Segara Anakan. Depok: Departemen Antropologi UI.

Sulistiono. 2011. Social Capital and Rural Road Development (A Case Study of Kampung Laut, Cilacap). Yogyakarta: University of Gadjah Mada Press.

Wolfe, W. A. 1978. “The Rise of Networks Thinking in Anthropology”, dalam Social Networks 1(1):53-64.

Page 183: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

173

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi

Antoni Putra

Fakultas Hukum Universitas Andalas

[email protected]

A B S T R A K

Banyaknya Perguruan Tinggi yang bermasalah dengan korupsi merupakan akibat dari tidak transparannya pengelolaan informasi. Sistem manajemen yang berbelit-belit menyebabkan publik kesulitan mengakses informasi yang berguna untuk mengawasi setiap kegiatan Perguruan Tinggi. Salah satu cara agar Perguruan Tinggi terbebas dari praktek korupsi adalah dengan memperbaiki tata kelola Perguruan Tinggi, yaitu menciptakan media pengelolaan informasi yang baik. Sebagaimana tuntutan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan demi untuk menjamin keterbukaan informasi publik, setiap badan publik wajib memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Hal ini berguna untuk memberi jaminan kepada publik agar dapat menerima informasi yang tidak ditemukan dalam website Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Jika melihat pengelolaan informasi di beberapa Perguruan Tinggi negeri tentang ketersedian informasi di website, Perguruan Tinggi yang bersangkutan masih belum menunjukkan adanya publikasi yang baik terhadap informasi yang

Page 184: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

174 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

seharusnya diketahui publik. Informasi seperti tata kelola Perguruan Tinggi yang harusnya diketahui publik masih minim tersedia. Sistem pengelolaan data perlu diperbaiki agar terciptanya Perguruan Tinggi yang transparan dan akuntabel. Bila telah demikian, kontrol publik terhadap Perguruan Tinggi dapat menghindarkan terjadinya praktek korupsi, serta pihak Perguruan Tinggi akan lebih hati-hati dalam mengelola informasi, sebab bila terjadi kesalahan dapat berakibat fatal. Dengan begitu, Perguruan Tinggi dapat menjadi model pengelolaan keterbukaan informasi publik yang baik. Dari situ dapat kita ambil kesimpulan bahwa Perguruan Tinggi harus memperbaiki sistem pengelolaan informasi yang berbasis teknologi (website) dan memperbaiki manajemen permintaan data secara langsung. Karena Perguruan Tinggi sebagai tempat lahirnya kaum intelektual harus menjadi contoh sempurna bagaimana mengelola informasi yang baik. Bila pengelolaan informasi di badan publik baik, maka potensi terjadinya korupsi pun semakin kecil.

Kata kunci : keterbukaan informasi publik, transparansi, korupsi.

A B S T R A C T

Many colleges have problems with corruption is a result of a lack of transparency in the management of information. The management system of convolute cause difficuly accessing public information that is useful to monitor every activity of the college. One way that university are free from corrupt practices to improve governance of the university, which is to create a good media information management. as demanded by Act No. 14 of 2008 on Public Information. And in order to ensure transparency of public information, every public body shall have the Documentation and Information Management Officer (PPID), it is useful to provide assurance to the public in order to receive information not found in the website of the universities. If you look at the management of information in some public university about the availability of information on the website, the college in question has yet to be a good publicity to information that should be publicly known. Information such as the governance of university that should be known to the public is still minimal available. Data management systems need to be improved for the creation of colleges of

Page 185: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

175

transparency and accountability. When it is so, public control of the college may prevent the occurrence of corruption, as well as the university will be more careful in managing information, because if something goes wrong can be fatal. By doing so, the college can be a management model that better public information disclosure. From there we can draw the conclusion that university should improve the management system of information-based technologies (website) and improve demand management data directly. Because the college as the birthplace of intellectuals must be a perfect example of how to manage information better. When the management of information in public agencies is good, then the potential for corruption can to be smaller.

Keywords: public informaation disclosure, transparency, corruption.

P E N D A H U L U A N

Kasus korupsi yang terjadi di Perguruan Tinggi merupakan akibat dari tidak transparannya manajemen pengelolaan informasi di Perguruan Tinggi. Kurangnya ketersediaan informasi yang dapat diakses publik telah menyebabkan pengawasan publik terhadap Perguruan Tinggi menjadi sangat minim.

Seperti halnya korupsi yang terjadi di beberapa Perguruan Tinggi. Di antaranya korupsi yang melibatkan guru besar Universitas Tadulako (Untad) Prof Dr Sultan MSi dan Fauzian Tendri Sisi Mantan Bendahara Lemlit Untad atas dugaan terlibat korupsi dana penelitian tahun 2013-2014 sebesar Rp980 juta (antaranews.com, 2016). Prof Salmadanis, Guru Besar IAIN Imam Bonjol Padang, ditahan karena diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada pembangunan kampus IAIN Imam Bonjol III di Sungai Bangek, Padang (sumbarsatu.com, 2016). Mantan Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga, dengan nilai proyek sekitar Rp 300 miliar dan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 85 miliar (tempo.co, 2016). Dan dapat pula diperkirakan masih banyak kasus korupsi lainnya yang terjadi di Perguruan Tinggi.

Sebagaimana Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik yaitu Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 186: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

176 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

instrumen hukum yang mendukung perwujudan transparansi. Undang-undang ini lahir untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi (Partodihardjo 2009). Sebagaimana yang dijamin Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 f yang berbunyi “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kategori informasi publik yang harus disediakan Perguruan Tinggi adalah Informasi berkala, tersedia setiap saat dan serta merta. Namun kondisi media informasi kampus, seperti di UI, Unand dan UBH masih belum mempublikasi ketiga informasi tersebut dengan baik.

Ketiga Perguruan Tinggi tersebut sengaja penulis jadikan objek penelitian tentang mekanisme pengelolaan informasi publik di Perguruan Tinggi. Sebab ketiga Perguruan Tinggi itu terdiri dari Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), Badan Layanan Umum (BLU), dan Perguruan Tinggi swasta.

Sebagai badan publik, Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas informasi publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi tersebut kepada masyarakat luas. Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan akan tercipta tata kelola Perguruan Tinggi yang transparan dan akuntabel sebagai salah satu cara untuk menciptakan Perguruan Tinggi yang anti-korupsi.

Dengan demikian, Publik dapat mengawasi pengelolaan Perguruan Tinggi dengan baik, dan Perguruan Tinggi dapat termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi terhadap pengelolaan sistem informasi yang baik. Sebab jika terjadi kesalahan, maka kesalahan itu dapat berakibat fatal terhadap Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dan upaya tersebut diharapkan dapat mewujudkan good governance dan mencegah praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Perguruan Tinggi. Dengan begitu pula, Perguruan Tinggi sebagai tempat lahirnya kaum terdidik dapat menjadi contoh badan publik yang mengelola informasi dengan baik. Bila pengelolaan informasi di badan publik baik, maka potensi terjadinya korupsi pun semakin kecil.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah

Page 187: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

177

ini penulis bermaksud untuk mengulas bagaimana manajemen pengelolaan informasi di Perguruan Tinggi dalam rangka mendorong transparansi Perguruan Tinggi?

K E T E R B U K A A N I N F O R M A S I P U B L I K D A N K O R U P S I

a. Hak Atas InformasiSebagai manusia kita mempunyai hak mendasar yang disebut

dengan hak asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).

Selain hak asasi manusia, warga negara Indonesia juga mempunyai hak atas informasi. Hak atas informasi ini dijamin UUD 1945. Pada pasal 28F dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Untuk menguatkan ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, maka disusunlah Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU KIP memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh informasi yang dikuasai oleh badan publik. UU KIP memberikan acuan yang jelas kepada warga negara tentang tata cara memperoleh informasi dari badan publik, yang mana masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas maupun anggaran badan-badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan publik lainnya (Partodihardjo 2009).

b. Jenis Informasi publikMenurut UU KIP terdapat dua jenis informasi publik yang ada

di badan publik, yaitu informasi yang terbuka dan informasi yang dikecualikan, masing-masing adalah sebagai berikut:

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 188: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

178 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

1. Informasi yang terbuka1) Informasi badan publik yang wajib diumumkan secara

berkala meliputi:1. Informasitentangprofilbadanpublik,yangmeliputi:

a. Informasi tentang kedudukan atau domisili beserta alamat lengkap, ruang lingkup kegiatan, maksud dan tujuan, tugas dan fungsi badan publik serta unit-unit dibawahnya.

b. Struktur organisasi, gambaran umum tiap satuan kerja,profilsingkatpejabat.

2. Ringkasan informasi tentang program dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan dalam lingkungan badan publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Nama program/kegiatan; b. Penanggungjawab, pelaksana program dan

kegiatan serta nomor telepon dan/atau alamat yang dapat dihubungi;

c. Target dan/atau capaian program dan kegiatan; d. Jadwal pelaksanaan program dan kegiatan; e. Anggaran program dan kegiatan yang meliputi

sumber dan jumlahnya; f. Agenda penting terkait pelaksanaan tugas badan

publik; g. Informasi khusus lain yang berkaitan langsung

dengan hak-hak masyarakat; h. Informasi tentang penerimaan calon pegawai dan/

atau pejabat badan publik; i. Informasi tentang penerimaan calon peserta

didik pada badan publik yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk umum.

3. Informasi tentang kinerja dalam lingkup badan publik berupa narasi realisasi program dan kegiatan yang telah maupun sedang dijalankan;

4. Informasi tentang laporan keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi: a. Rencana dan laporan realisasi anggaran. b. Neraca. c. Laporan arus kas dan catatan atas laporan

keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi yang berlaku.

Page 189: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

179

d. Daftar aset dan investasi. 5. Ringkasan akses Informasi Publik sekurang-kurangnya

terdiri atas: a. Jumlah permohonan Informasi Publik yang

diterima b. Waktu yang diperlukan dalam memenuhi setiap

permohonan Informasi Publik c. Jumlah permohonan Informasi Publik yang

dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya dan permohonan Informasi Publik yang ditolak

d. Alasan penolakan permohonan Informasi Publik 6. Ringkasan tentang peraturan, keputusan, dan/atau

kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi publik yang dikeluarkan oleh Badan Publik.

7. Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh Informasi Publik, serta tata cara pengajuan keberatan serta proses penyelesaian sengketa Informasi Publik berikut pihak-pihak yang bertanggungjawab yang dapat dihubungi;

8. Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh pejabat Badan Publik maupun pihak yang mendapatkan izin atau perjanjian kerja dari Badan Publik yang bersangkutan;

9. Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait;

10. Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur evakuasi keadaan darurat di setiap kantor Badan Publik.

2) Informasi badan publik yang wajib diumumkan secara serta

mertaInformasi publik yang wajib diumumkan secara serta

merta adalah informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum antara lain: 1. Informasi tentang keadaan bencana non-alam seperti

kegagalan industri atau teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan;

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 190: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

180 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

2. Bencanasosialsepertikerusuhansosial,konfliksosialantar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror;

3. Informasi tentang racun pada bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat; atau

4. Informasi tentang rencana gangguan terhadap utilitas publik.

3) Informasi badan publik yang wajib tersedia setiap saat.Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat

sekurang-kurangnya terdiri atas: 1. Daftar Informasi Publik yang sekurang-kurangnya

memuat:a. Nomor b. Ringkasan isi informasi c. Pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai

informasi d. Penanggungjawab pembuatan atau penerbitan

informasie. Waktu dan tempat pembuatan informasi f. Bentuk informasi yang tersedia g. Jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip;

2. Informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau atau kebijakan Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Dokumen pendukung seperti naskah akademik,

kajian atau pertimbangan yang mendasari terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut

b. Masukan-masukan dari berbagai pihak atas peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut

c. Risalah rapat dari proses pembentukan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut

d. Rancangan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut

e. Tahap perumusan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut

f. Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan yang telah diterbitkan;

Page 191: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

181

3. Seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU KIP;

4. Informasi tentang organisasi, administrasi, kepegawaian, dan keuangan;

5. Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya;

6. Surat-menyurat pimpinan atau pejabat Badan Publik dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya;

7. Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/atau dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya, dan laporan penaatan izin yang diberikan;

8. Data perbendaharaan atau inventaris; 9. Rencana strategis dan rencana kerja Badan Publik; 10. Agenda kerja pimpinan satuan kerja; 11. Informasi mengenai kegiatan pelayanan Informasi

Publik yang dilaksanakan, sarana dan prasarana layanan Informasi Publik yang dimiliki beserta kondisinya, sumber daya manusia yang menangani layanan Informasi Publik beserta kualifikasinya,anggaran layanan Informasi Publik serta laporan penggunaannya;

12. Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang ditemukan dalam pengawasan internal serta laporan penindakannya;

13. Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang dilaporkan oleh masyarakat serta laporan penindakannya;

14. Daftar serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan;15. Informasi Publik lain yang telah dinyatakan terbuka

bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

16. Informasi tentang standar pengumuman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bagi penerima izin dan/atau penerima perjanjian kerja;

17. Informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum.

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 192: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

182 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

2. Informasi yang dikecualikanInformasi Publik yang dikecualikan sifatnya rahasia dan tidak

dapat diakses oleh publik sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Informasi Publik dikecualikan secara limitatif berdasarkan pada Pasal 17 UU KIP. Untuk menjelaskan informasi yang dikecualikan/dirahasiakan yaitu (Partodihardjo 2009):1. Consequential harm, informasi tertentu dapat dikategorikan

rahasia apabila pejabat publik secara memuaskan mampu menjelaskan konsekuensi atau resiko kerugian yang muncul.

2. Balancing public interest, setelah ditimbang bahwa kepentingan publik untuk tidak membuka informasi lebih besar dibandingkan dengan kepentingan publik untuk mengakses informasi.

c. Prinsip Pelayanan Publik yang BaikPelayanan publik yang baik dapat pula tercermin dengan adanya

akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (Alsyam dan Afriani 2016). Menurut Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sebagai berikut:1. Efektifitas, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang

menjadi tujuan dan sarana.2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan

diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang memintanya.

3. Transparan, mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:a. Prosedur/tata cara pelayanan;b. Persyaratan (teknis maupun administratratif);c. Pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan

pelayanan yang baik;d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja pejabat/pejabat penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

Page 193: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

183

5. Efisisensi,mengandungarti:a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi oleh hal-hal yang

berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;

b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam hal proses pelayanan masyarakat yang mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari pejabat penanggung jawab pemberi layanan.

6. Ketepatan waktu, mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

7. Responsif, mengandung makna adanya daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi publik yang dilayani.

8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi publik yang dilayani dan senantiasa mengalami kemajuan.

d. Relasi Transparansi dan KorupsiSebagai badan publik dan instansi pendidik, Perguruan Tinggi

wajib menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Prinsip transparansi berarti bahwa pengelolaan Perguruan Tinggi harus terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek kecurangan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi yang dapat merugikan masyarakat. Prinsip akuntabilitas merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan.

Disinilah letak relasi transparansi dan korupsi itu, yaitu transparansi akan menciptakan situasi dimana ruang publik untuk mengawasi kegiatan Perguruan Tinggi menjadi tidak terbatas. Namun jika transparansi informasi di Perguruan Tinggi tidak terlaksana, maka patut dicurigai bahwa ada sesuatu yang ditutupi yaitu berupa tindak pidana korupsi. untuk itu, Perguruan Tinggi sebagai badan publik harus bisa diminta pertanggungjawaban bila terjadi korupsi, melalui mekanisme UU KIP, Perguruan Tinggi harus dianggap sebagai subjek hukum sehingga berlaku ketentuan Pasal Pasal 20

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 194: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

184 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

P E N G E L O L A A N M E D I A I N F O R M A S I P E R G U R U A N T I N G G I

a. Instrumen UU KIP1. Komisi Informasi

Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi non litigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik, menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi public (Komisi Informasi Pusat 2014).2. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). PPID merupakan pejabat administrasi yang wajib ada di setiap badan publik.

b. Kondisi Pengelolaan Informasi di PTDari beberapa contoh Perguruan Tinggi yang penulis jadikan

objek penelitian yaitu: Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan Universitas Bung Hatta, tidak satu pun yang menyajikan informasi secara lengkap di dalam website sehingga publik kesulitan untuk dapat mengetahui informasi. Didalam website Perguruan Tinggi yang bersangkutan penulis tidak menemukan kejelasan menyangkut informasi yang harus disajikan secara berkala, seperti rencana dan laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi yang berlaku.

Bahkan di Universitas Andalas (Unand), tidak ada kejelasan menyangkut PPID. Bahkan Unand sempat menolak surat permintaan informasi yang diajukan perkumpulan Integritas dengan alasan di Unand tidak ada PPID, sehingga surat harus langsung ditujukan ke Rektor.

Page 195: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

185

Akibat kurang baiknya pengelolaan informasi di Unand telah menyebabkan mereka menerima gugatan dari perkumpulan Integritas di Komisi Informasi Sumatera Barat. Dalam kasus Universitas Andalas, peneliti Integritas menggugat Unand dalam kasus transparansi pengelolaan bus kampus. Dimana pihak Unand enggan memberikan data pengelolaan bus kampus yang pengelolaannya diserahkan ke swasta. Tanpa adanya penjelasan yang jelas, pihak Unand malah menyatakan bahwa tidak semua orang boleh mengetahui pengelolaan data menyangkut pengelolaan bus kampus ini. Meski dalam mediasi di persidangan KI Padang, pihak Unand yang dalam ini diwakili oleh kuasa hukumnya Ade Gustara, menyatakan akan memperbaiki pengelolaan manajemen informasi di Unand, namun tetap bersikeras tidak mau memberikan data yang dimintai Integritas (catatan: argumen ini merupakan kesimpulan dari proses mediasi antara Universitas Andalas sebagai Termohon dan Integritas sebagai pemohon pada tanggal 26 September 2016 di Komisi Informasi Sumatera Barat).

Sebelum perkumpulan Integritas mengajukan permintaan data, Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP) Universitas Andalas telah terlebih dahulu melakukan permintaan data. Namun pihak Unand menolak permintaan data yang diajukan UKM PHP tersebut dengan alasan bukan setiap orang boleh mengetahui informasi tersebut, bahkan pihak Unand yang diwakili oleh kuasa hukumnya memintai Nama dan Nomor BP mahasiswa yang bersangkutan dan ditandai sebagai mahasiswa pembangkang (catatan: argumen ini merupakan kesimpulan dari proses mediasi antara Universitas Andalas sebagai Termohon dan Integritas sebagai pemohon pada tanggal 26 September 2016 di Komisi Informasi Sumatera Barat).

Hal-hal demikian tentu menggambarkan bahwa keterbukaan informasi publik di Perguruan Tinggi masih jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas. Implementasi UU KIP masih belum terlaksana dengan baik di Perguruan Tinggi. Keberadaan PPID masih sebatas tertib administrasi dengan belum adanya kinerja yang baik oleh PPID setiap Perguruan Tinggi.c. Pengelolaan Informasi yang Ideal di PT

Idealnya, sebagai instansi pendidikan, hendaknya Perguruan Tinggi mencerminkan sebuah kelembagaan yang antikorupsi, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar pelayanan publik yang baik dan adanya pengelolaan informasi yang dapat diakses publik dengan

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 196: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

186 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

mudah. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan Perguruan Tinggi untuk menciptakan pengelolaan informasi yang ideal dan mencerminkan kampus anti-korupsi, yaitu:

1. Memperbaiki kinerja PPIDPPID harus bekerja maksimal dalam menjalankan tanggung

jawab mengelola informasi di Perguruan Tinggi. PPID harus mampu menciptakan situasi dimana informasi yang menjadi hak publik dapat diakses dengan mudah. Tanggung jawab PPID bukan hanya sebatas memberi jaminan agar publik dapat mengakses informasi, namun juga memastikan informasi yang diterima masyarakat itu terjamin kualitasnya. PPID juga harus bertanggungjawab memperbaiki setiap kesalahan informasi yang disajikan, sehingga tidak terjadi kebingungan atas kesalahan penyajian informasi tersebut.2. Menyampaikan Informasi dengan baik di media website

Perguruan Tinggi melalui PPID harus menciptakan media informasi berupa website dengan baik. Informasi yang disajikan di media website harus jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman/kekeliruan publik saat mengakses informasi, itu yang petama. Kedua, informasi yang disajikan di dalam media website harus terperinci, seperti: memuat daftar informasi yang tersedia, meletakkan informasi sejenis dalam satu kelompok, dan menjelaskan secara rinci informasi yang ada. Kemudian yang terakhir atau yang ketiga, informasi yang disajikan di media website harus lengkap, dengan artian sebuah informasi yang dipublikasi tidak terpotong-potong, melainkan dijelaskan sekaligus mulai dari awal hingga akhir. Hal ini bertujuan agar publik dengan mudah mengakses informasi tanpa perlu mengutak-atik beberapa halaman di media website dan memberikan jaminan kualitas informasi yang didapatkan publik.

Dengan demikian, publik dapat mengawasi setiap kegiatan dan menganalisis laporan Perguruan Tinggi. Jika terjadi kesalahan informasi yang disajikan, publik dapat meminta pertanggungjawaban Perguruan Tinggi untuk memperbaiki, dan bila hasil perbaikan masih bermasalah dan terindikasi adanya korupsi, maka publik dapat melakukan tuntutan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.

Page 197: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

187

3. Memberikan Perlindungan terhadap Partisipasi Mahasiswa

Maksudnya adalah Perguruan Tinggi wajib memberikan jaminan bahwa tidak akan ada intimidasi terhadap mahasiswa yang berpartisipasi, mengkritisi pengelolaan informasi dan membantu mengungkap korupsi di Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi harus memberikan jaminan kepada mahasiswa bahwa keikutsertaannya dalam mengkritisi dan melaporkan dugaan tindak pidana korupsi tidak akan berimbas kepada perkuliahannya. Sebab selama ini kendala utama yang menyebabkan mahasiswa tidak mampu mengkritisi pengelolaan informasi di Perguruan Tinggi dan melaporkan dugaan korupsi adalah intimidasi dan rasa takut akan menimbulkan masalah dengan perkuliahannya.

K E S I M P U L A N

Sebagaimana kewajiban dari badan publik, Perguruan Tinggi wajib menerapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan baik. Dalam UU KIP, prinsip ini menuntut badan publik untuk membuka/mempublikasi informasi guna untuk menciptakan kondisi pengelolaan badan publik yang transparan dan akuntabilitas. Jika Perguruan Tinggi menolak untuk membuka infomasi ke publik, maka dapat dicurigai bahwa ada yang ditutup-tutupi, yaitu berupa tidak pidana korupsi. Untuk itu, melalui UU KIP dengan mekanisme keterbukaan informasi publik, Perguruan Tinggi dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap segala bentuk informasi yang menjadi hak publik. Dan jika ada indikasi terjadinya korupsi, Perguruan Tinggi dapat pula dituntut dengan ketentuan UU Tipikor. Mekanisme seperti ini bertujuan untuk meminimalisir peluang terjadinya korupsi di Perguruan Tinggi.

Sebab Perguruan Tinggi sebagai tempat berkumpulnya kaum intelektual harus menjadi contoh badan publik yang anti korupsi dengan menerapkan UU KIP dengan baik. Namun bila Perguruan Tinggi terlibat korupsi, maka sudah dipastikan perilaku tersebut akan diadopsi oleh mahasiswa, apalagi yang melakukan korupsi tersebut melibatkan tenaga pendidik, yakni Guru Besar dan jajaran pendidik lainnya. Sebab Guru Besar merupakan kasta tertinggi dalam ilmu pengetahuan akan selalu dicontoh oleh mahasiswa, dosen, dan masyarakat luas. Sebagaimana hakikatnya, murid akan melakukan

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 198: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

188 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

lebih dari apa yang dilakukan gurunya, seperti peribahasa yang mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

R E F E R E N S I

BukuChazawi Adami, 2016. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Raja

GrafindoPersada,Jakarta.

Soemarno Partodiharjo, 2009. Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tim Komisi Informasi Pusat, 2014, Komisi Informasi Pusat, The Jawa Pos Institute Of Pro-Otonomi, Jakarta.

Tim Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006. Memahami Untuk Membasmi”, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.

Tim Sosialisasi Undang-Undang Perguruan Tinggi, ...., Otonomi dan Tata Kelola Perguruan Tinggi, Nizam, Jakarta.

Jurnal Alsyam dan Afriani, “Efektifitas Peran Ombusdman Republik

Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat Dalam Rangka Memberikan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombusdman Di Kota Padang”, Yustisia, Volume 23, Nomor 1, Januari-Juni 2016

Peraturan Perundang-UndanganRepublik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 nomor 61.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli

Page 199: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

189

2009, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Diundangkan di Jakarta pada 23 September 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.

WebsiteAntara News, Fauzi, “Guru Besar Untad ditahan terkait korupsi”,

http://www.antaranews.com/berita/574453/guru-besar-untad-ditahan-terkait-kasus-korupsi , diakses tanggal 29 September 2016.

Sumbarsatu.com, “Guru Besar IAIN Imam Bonjol padang dan Notaris di tahan Kejari Padang”, http://www.sumbarsatu.com/berita/13233-guru-besar-iain-imam-bonjol-padang-dan-notaris-ditahan-kejari-padang, diakses tanggal 29 September 2016.

Tempo, “Korupsi RS Unair KPK Tetapkan Rektor Unair Tersangka”, https://m.tempo.co/read/news/2016/03/30/078758257/korupsi-rs-unair-kpk-tetapkan-mantan-rektor-unair-tersangka, diakses tanggal 2 Oktober 2016

www.bunghatta.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016

www.ui.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016

www.unand.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi(Antoni Putra)

Page 200: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

190 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Page 201: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

191

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Putusan Nomor: 127/Pid.sus/Tpk/2015/Pn.jkt.pst)

Aradila Caesar Ifmaini Idris

Indonesia Corruption Watch

[email protected]

A B S T R A K

Eksaminasi Putusan terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1A Jakarta Pusat Atas nama Terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/ 2015/PN.JKT.PST) bertujuan untuk melihat apakah hakim dalam memutus perkara tersebut telah memenuhi asas-asas dan prinsip yang berlaku dalam hukum pidana. Selain itu juga memberikan penilaian yang objektif atas pertimbangan dan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis

Page 202: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

192 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Hakim Tindak Pidana Korupsi. Juga memberikan gambaran umum atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah tuntuan Jaksa Penuntut Umum, pertimbangan hakim dan putusan memiliki keseimbangan dan korelasi yang membangun logika berpikir yang menyeluruh. Ketiga elemen tersebut haruslah sejalan dan proporsional sehingga menghasilkan putusan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Eksaminasi ini juga diharapkan untuk dapat memberikan masukan bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam melihat dan menyelesaikan persoalan atau perkara sejenis. Sehingga dapat pula meningkatkan kualitas penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hasil eksaminasi ini menunjukkan adanya Misconduct of Judge yang dilakukan majelis hakim dalam pertimbangan dan putusannya. Majelis hakim kurang teliti dalam merumuskan pertimbangan hakim dengan melihat porsi kesalahan dan peran dari terdakwa. Hal Selain itu juga keliru dalam menerapkan aturan tentang Justice Collaborator yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama di Dalam Tindak Pidana tertentu. Majelis Hakim juga menyimpangi aturan minimum khusus dalam Undang-Undang Tipikor dimana ancaman hukuman minimum yang diatur dalam Pasal 12 huruf c adalah 4 tahun penjara. Justru Majelis Hakim dengan mempergunakan pertimbangan hukum yang lemah dan keliru menjatuhkan putusan dibawah ancaman minimum yaitu 2 tahun penjara. Terdakwa yang merupakan Hakim harusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya. Hakim justru memutus sangat ringan bagi terdakwa yang telah mencoreng wajah lembaga peradilan. Ke depan hukuman bagi pelaku yang merupakan hakim haruslah dikenakan hukuman yang seberat-beratnya.

Kata Kunci: Eksaminasi, Amir Fauzi, Justice Collaborator, Korupsi

P E N D A H U L U A N

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri di tahun 2003 sedikitnya ada 48 hakim dan pegawai pengadilan yang tersandung kasus korupsi (Indonesia Corruption Watch, 2016). Jumlah tersebut terus meningkat seiring gencarnya KPK melakukan operasi tangkap

Page 203: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

193

tangan terhadap hakim dan pegawai pengadilan sepanjang tahun 2016. Kondisi lembaga peradilan yang korup sudah berlangsung lama. Sejak memasuki rezim reformasi praktik busuk di lembaga peradilan terlihat semakin jelas dan dilakukan secara vulgar. Hampir di setiap lini dan tahapan peradilan praktik korupsi terpelihara dengan baik. Indonesia Corruption Watch mencatat praktik korupsi sudah dimulai sejak perkara masuk ke Pengadilan hingga putusan (Indonesia Corruption Watch , 2003). Korupsi di pengadilan dilakukan dengan berbagai pola seperti, jual beli majelis hakim, negosiasi putusan dan meminta uang balas jasa.

Salah satu contoh kasus yang paling menyita perhatian publik adalah kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pencucian uang yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Akil Mochtar menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Lebak, Kabupaten Empat Lawang, Kota Palembang dan Lampung Selatan, Kabupaten Buton, Kabupaten Pulau Morotai, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pilkada Provinsi Banten. Selain menerima suap, Akil Mochtar juga melakukan pencucian uang saat menjadi Anggota DPR dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Atas perbuatannya Akil Mochtar diganjar hukuman penjara seumur hidup. Putusan ini menjadi putusan bersejarah karena merupakan putusan pengadilan tipikor pertama yang berani memutus terdakwa dengan hukuman maksimal seumur hidup.

Selain kasus Akil Mochtar, kasus korupsi berupa suap kepada hakim juga terjadi di banyak daerah. Salah satunya adalah kasus suap tiga orang hakim PTUN Medan yaitu, Tripeni Arianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi yang dilakukan oleh Pengacara senior O.C Kaligis. Pada 9 Juli 2015, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap ketiganya di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Uang suap yang berasal dari Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pudjo Nugroho diserahkan kepada pengacara O.C Kaligis untuk diberikan kepada ketiga hakim PTUN Medan. Suap tersebut diberikan berkaitan dengan upaya pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terkait pengusutan kasus korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.

Dalam perkara tersebut pemberian suap dimaksudkan untuk

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 204: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

194 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

mengatur Majelis Hakim yang akan memeriksa pengujian kewenangan tersebut dan mengatur putusan yang akan dikeluarkan. Operasi Tangkap Tangan ini pada akhirnya ikut menyeret O.C Kaligis, Gatot Pudjo Nugroho dan istri sebagai pelaku dan inisiator pemberian suap. Ketiga hakim PTUN Medan yang menerima suap dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menuntut ketiganya 4 tahun penjara. Selain itu vonis ini lebih rendah dibandingkan ancaman hukuman sebagaimana pasal yang didakwakan kepada mereka.

K A S U S P O S I S I

16 Maret 2015, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melakukan pemanggilan terhadap Ahmad Fuad Lubis selaku Ketua Bendahara Umum Daerah sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Atas panggilan tersebut Ahmad Fuad Lubis menyampaikan secara langsung kepada Gatot Pudjo Nugroho selaku Gubernur Sumatera Utara terkait adanya surat panggilan tersebut. Gatot Pudjo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti kemudian berkonsultasi dengan O.C Kaligis membahas upaya yang dapat dilakukan agar dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam surat panggilan tidak diarahkan kepada Gatot Pudjo Nugroho. Atas pertemuan tersebut disepakati untuk melakukan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. O.C Kaligis memerintahkan M. Yagari Bastara untuk menyiapkan draft permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.

April 2015, Sehubungan dengan rencana pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, O.C Kaligis, M. Yagari Bastara dan Yurinda Tri Achyuni menemui Syamsir Yusfan yang merupakan Panitera Pengganti pada Pengadilan Tata Usaha Medan meminta agar dipertemukan dengan Ketua PTUN Medan, Tripeni Irianto Putro. Dalam pertemuan tersebut O.C Kaligis menyampaikan maksud kedatangannya yaitu untuk mengajukan permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera di PTUN Medan.

Page 205: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

195

Atas maksud tersebut Tripeni Irianto Putro mempersilahkan untuk diajukan. Setelah berkonsultasi, O.C Kaligis memberikan uang sejumlah SGD 5.000 (lima ribu dollar singapura) kepada Ketua PTUN Medan, Tripeni Irianto Putro.

5 Mei 2015, sebelum mendaftarkan permohonan pengujian, O.C Kaligis kembali menjumpai Tripeni Irianto Putro dan memberikan uang sejumlah SGD 10.000 (sepuluh ribu dollar singapura) dengan permintaan agar Tripeni Irianto Putro menjadi hakim yang menangani perkara tersebut. Setelah pemberian uang tersebut, O.C Kaligis memerintahkan M. Yagari Bastara untuk mendaftarkan permohonan pengujian.

6 Mei 2015, Tripeni Irianto Putro menetapkan dirinya, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi sebagai Majelis hakim yang memeriksa permohonan tersebut. Setelah menerima berkas perkara Majelis Hakim berdiskusi tentang perkara tersebut.

18 Mei 2015, dilaksanakan sidang pertama dengan acara pembacaan permohonan dan tanggapan termohon. Sebelum sidang, O.C Kaligis menemui Tripeni Irianto Putro untuk meyakinkan yang bersangkutan agar memutus sesuai dengan petitum dalam permohonan.

2 Juli 2015, O.C Kaligis dan M. Yagari Bastara menemui Tripeni Irianto Putro mendesak agar permohonannya dimasukkan dalam wewenang PTUN dan menyerahkan satu amplop putih berisi uang, namun ditolak oleh Tripeni Irianto Putro. M. Yagari Bastara kemudian bertemu dengan Darmawan Ginting dan Syamsir Yusfan dan menyampaikan permintaan O.C Kaligis agar nantinya putusan dibuat sesuai dengan petitum yaitu, surat perintah penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan surat permintaan keterangan oleh Kejaksaan Tinggi dinyatakan tidak sah karena harus ada pemeriksaan pengawasan internal terlebih dahulu. Atas permintaan tersebut Darmawan Ginting meminta imbalan dan meminta dipertemukan dengan O.C Kaligis.

Dalam musyawarah Majelis Hakim, Darmawan Ginting menyampaikan pertemuan dengan M. Yagari Bastara, yang kemudian Tripeni Irianto Putro meminta Darmawan Ginting dan Amir Fauzi untuk membantu mengabulkan permohonan O.C Kaligis. Kemudian dalam rapat musyawarah hakim disepakati untuk mengabulkan sebagian permohonan.

2 Juli 2015, O.C Kaligis bertemu dengan Evy Susanty untuk

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 206: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

196 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

membicarakan perkembangan persidangan sekaligus memberikan uang sejumlah USD 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika Serikat) sebagai tambahan dari uang sebelumnya yang telah diberikan kepada Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi. Uang tersebut kemudian diserahkan oleh M. Yagari Bastara kepada Darmawan Ginting dan Amir Fauzi, masing-masing USD 5.000 (lima ribu dollar Amerika Serikat). Atas penerimaan uang tersebut Darmawan Ginting dan Amir Fauzi melaporkan kepada Tripeni Irianto Putro.

7 Juli 2015, Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi membacakan putusan perkara Gugatan No. 25/G/2015/PTUN-MDN dengan amar putusan mengabulkan permohonan untuk sebagian dan menyatakan keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 Tanggal 31 Maret 2015 perihal Permintaan Keterangan terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemprov. Sumut ada unsur penyalahgunaan Wewenang, serta menyatakan tidak sah Keputusan Termohon nomor : B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 perihal Permintaan Keterangan terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemprov. Sumut.

8 Juli 2015, Syamsir Yusfan menghubungi M. Yagari Bastara dan mengatakan Ketua PTUN meminta uang untuk pulang mudik. Kesokan harinya M. Yagari Bastara mengantarkan uang sejumlah USD 5.000 (lima ribu dollar Amerika Serikat) terkait permintaan Tripeni Irianto Putro dengan persetujuan O.C Kaligis. Sesaat setelah pemberian uang, Penyidik KPK melakukan penangkapan terhadap M. Yagari Bastara dan tripeni Iriano Putro.

D A K W A A N

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum mendakwa Amir Fauzi dengan menggunakan dakwaan Alternatif.

PertamaPasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Atau

Kedua

Page 207: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

197

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (5) Ke-1 KUHPidana. Pasal-pasal yang didakwakan adalah sebagai berikut:

Pasal 12 Huruf c Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001

“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;”

Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”

Pasal 55 Ayat (1) ke -1 KUHPidana “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut

melakukan perbuatan itu; TUNTUTANPada pokoknya Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan

Korupsi meminta kepada Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut agar:1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI bersalah melakukan tindak

pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 208: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

198 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan Pertama.

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa: (Hal 3 – Hal 90) seluruhnya dikembalikan kepada Penuntun Umum untuk dipergunakan dalam perkara atas nama Terdakwa M. Yagari Bastara..

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).

P U T U S A N M A J E L I S

Majellis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdiri dari Tito Suhud selaku Hakim Ketua, Ibnu Basuki Widodo dan Didiek Riyono Putro sebagai Anggota Majelis Hakim pada tanggal 27 Januari 2016 membacakan putusan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA sebagaimana tercantum dalam dakwaan Pertama;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

3. Menetapkan masa selama terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.5. Memerintahkan barang bukti berupa: (Hal 334 – Hal 427 )

dikembalikan kepada penuntut untuk dipergunakan dalam

Page 209: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

199

perkara atas nama Terdakwa M. Yagari Bastara.6. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).

C A T A T A N H U K U M

Sebagaimana telah diuraikan diatas, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan terdakwa Amir Fauzi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana tercantum dalam dakwaan pertama. Amir Fauzi dijatuhi hukuman penjara 2 tahun dengan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 2 bulan kurungan. Meski diputus bersalah oleh Majelis Hakim namun setidaknya ada 2 catatan hukum terkait upaya memeriksa dan mengadili perkara. Kedua catatan tersebut diantaranya mengenai Tuntutan Ringan jaksa Penuntut Umum, Vonis Ringan dan Justice Collaborator.

Tuntutan Penuntut Umum Masih Dalam Kategori RinganPengaturan tentang tuntutan pidana (Requisitoir) tidak secara

rinci diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara umum tuntutan pidana merupakan surat yang memuat pembuktian surat dakwaan yang didasarkan pada alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa yang disertai dengan tuntutan pidana (RM, 2006).

Tuntutan pidana dibacakan setelah proses pembuktian terhadap perkara pidana dilakukan antara penuntut umum dan terdakwa / penasihat hukum. Meskipun dalam KUHAP tidak secara rinci menjelaskan tentang anatomi dari tuntutan pidana (requisitoir) tetapi dalam praktiknya, tuntutan pidana terus berkembang dari masa ke masa. Keberadaan tuntutan pidana menjadi sangat penting mengingat fungsi pentingnya dalam proses pemeriksaan perkara.

Tuntutan pidana pada intinya haruslah menjelaskan korelasi antara perbuatan yang dituduhkan dan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Hal ini penting karena penuntut umum harus dapat menyimpulkan korelasi keduanya dengan mendasarkan pada analisa hukum agar didapati tuntutan pidana yang proporsional dan optimal bagi terdakwa. Selain juga mempertimbangkan aspek

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 210: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

200 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

tujuan pemidanaan bagi terdakwa. Sayangnya, Putusan No. 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST

tidak mengurai secara lengkap tuntutan pidana (requisitoir) jaksa penuntut umum. Sehingga sulit mengurai dengan pasti bagaimana jaksa menyimpulkan perbuatan terdakwa dikaitkan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan untuk menghasilkan tuntutan pidana yang proporsional dan optimal dengan tujuan pemidanaan. Putusan hanya mengutip tuntutan hukuman bagi terdakwa. Dikutip dalam putusan Halaman 3, Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa Amir Fauzi dengan hukuman:1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI bersalah melakukan

tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan Pertama;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 4 (empat tahun) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan.

Jika dilihat dari tuntutan, Jaksa Penuntut Umum meyakini bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa Amir Fauzi lebih sesuai dengan kriteria unsur dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibandingkan dengan dakwaan kedua. Dalam Hal ini terdakwa Amir Fauzi yang merupakan Hakim PTUN Medan bersama dengan Majelis Hakim lain (Tripeni Irianto Putro dan Darmawan Ginting) telah menerima suap untuk mempengaruhi putusan yang dibuat dalam gugatan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang diajukan oleh O.C Kaligis. Dimana keyakinan tersebut timbul dengan melihat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.

Page 211: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

201

Pasal 12 Huruf c sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas mengatur ancaman hukuman minimum yaitu 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. Jika merujuk pada Poin 2 tuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa dihukum 4 tahun 6 bulan penjara. Tuntutaninimasihtergolongdalamklasifikasihukumanyangringanmengingat ancaman hukuman minimum dalam Pasal 12 Huruf c adalah 4 tahun penjara.

Meski di satu sisi perbuatan yang diurai dalam dakwaan telah terbukti dalam fakta persidangan, namun tidak didapati penjelasan tentang kesimpulan Jaksa Penuntut Umum dengan tuntutan hukuman yang dikenakan Jaksa Penuntut Umum. Ketiadaan penjelasan yang utuh tentang requisitoir berakibat pada tidak ditemukannya dasar pemikiran pengenaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sehingga alasan dibalik tuntutan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara tidak dapat dilihat. Apakah tuntutan hukuman tersebut sebanding dengan peran dan bobot kesalahan terdakwa.

Meski begitu ketiadaan hubungan antara kesimpulan Jaksa Penuntut Umum dengan jumlah tuntutan hukuman pidana dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan komparasi (comparative approach). Dalam perkara ini menjadi relevan untuk melihat apakah tuntutan dalam perkara dengan terdakwa Amir Fauzi sudah optimal diterapkan dengan memperbandingkan tuntutan pidana dalam perkara sejenis.

Dalam beberapa perkara yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkaitan dengan Pasal 12 Huruf c, setidaknya tercatat ada 10 Hakim yang pernah terjerat kasus korupsi (Untuk perkara Syarifudin, hakim tidak sepakat dengan jaksa yang mengenakan pasal 12 huruf c dan mengenakan terdakwa dengan Pasal 5 ayat 2). Dari tabel terlihat bahwa perkara yang pernah ditangani oleh KPK dimana melibatkan Hakim sebagai penerima suap, justru dituntut dengan kategori hukuman yang berat. Tuntutan paling ringan dikenakan kepada Heru Krisbandono yang tersangkut kasus suap dalam persidangan korupsi APBD Kab. Grobogan dan Ramlan Comel yang menerima hadiah dari mantan Walikota Bandung untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi Bantuan Sosial Pemerintah Kota Bandung. Baik Heru Krisbandono dan Ramlan Comel dituntut 10 tahun penjara.

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 212: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

202 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Tuntutan terberat dikenakan kepada Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi yang menerima suap dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Selain Akil Mochtar, hakim lain yang dituntut hukuman berat adalah Syarifudin. Syarifudin merupakan Hakim Kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menerima suap terkait perkara pailit PT. Sky Camping Indonesia. Hakim Syarifudin dituntut 20 tahun penjara.

Tabel 1. Daftar Hakim Terjerat Korupsi oleh KPK

NO PERKARA KORUPSI TERDAKWA TUNTUTAN JPU

VONIS HAKIM

WAKTU

1. Menerima Suap dari Sri Dartutik, Adik terdakwa Kasus Korupsi APBD Kab. Grobogan

Heru Kris-bandono

10 Tahun 6 Tahun 5 April 2013

2. Kartini Juliana Marpaung

15 Tahun 8 Tahun 5 April 2013

3. Menerima Suap dalam Gugatan PT Onamba Indonesia

Imas Dianasari

13 Tahun 6 Tahun 30 Januari 2012

4. Menerima Suap dalam Perkara penyimpangan dana pemeliharaan Mobil DPRD Grobogan

Pragsono 11 Tahun 5 Tahun 8 April 20145. Asmadinata 11 Tahun 5 Tahun 22 April

20146. Menerima suap Rp 150 juta. Diduga

uang yang diterima Hakim Setya dari Asep ini berkaitan dengan dugaan suap bantuan sosial (Bansos) di Bandung.

Setyobudi Tejocahyo

16 Tahun 12 Tahun 17 Januari 2013

7. Menerima hadiah Rp. 1,9 Miliar dan USD 160 Ribu dari Mantan Walikota Bandung Dada Rosada untuk mempengaruhi hasil sidang perkara Bansos Pemkot Bandung

Ramlan Comel

10 Tahun 7 Tahun 9 Desember 2014

8. Menerima Suap Rp. 250 Juta dari Kurator Puguh Wirawan terkait kepengurusan harta pailit PT. Sky Camping Indonesia

Syarifudin 20 Tahun 4 Tahun 28 Februari 2012

9. Menerima Suap dari DL Sitorus Ibrahim 12 tahun 6 Tahun 2 Agustus 2010

10. Suap dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi

Akil Mochtar

Seumur Hidup

Seumur Hidup

30 Juni 2014

Jika dibandingkan dengan tuntutan yang dikenakan kepada Terdakwa Amir Fauzi dengan data tabel maka akan terlihat gap yang sangat besar. Dalam banyak perkara suap hakim, Jaksa Penuntut Umum selalu menuntut terdakwa dengan hukuman yang terbilang berat. Sayangnya dalam perkara ini hal tersebut tidak terjadi. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi standar bagi Jaksa dalam meletakkan berat ringannya tuntutan yang diajukan.

Page 213: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

203

Dalam praktiknya, pengenaan tuntutan terhadap terdakwa perkara korupsi dalam perkara suap mempertimbangkan beberapa aspek seperti jumlah nilai suap, kedudukan atau jabatan si penerima suap dan aspek konsekuensi yang timbul dari pemberian suap. Jika merujuk pada data tabel, status penerima suap yang merupakan Hakim dijadikan sebagai faktor utama dalam mengenakan tuntutan tinggi bagi terdakwanya. Jabatan Hakim yang merupakan jabatan yang mulia dan bermartabat tinggi serta menuntut integritas tanpa cela menempatkan kedudukan Hakim berbeda dari jabatan publik atau pejabat negara pada umumnya. Hakim yang merupakan tulang punggung keadilan menjadi dasar pemberat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Dengan mengingat beberapa tuntutan dalam perkara terdahulu sudah sepantasnya Jaksa Penuntut Umum mengenakan tuntutan yang lebih berat bagi terdakwa Amir Fauzi. Terlepas dari jumlah suap yang diberikan oleh Gatot Pudjo Nugroho dan O.C Kaligis, profesi Hakim yang mulia dan menjalankan fungsi penegakan hukum dan keadilan harus jadi dasar pengenaan tuntutan yang berat.

Vonis Ringan dan Penetapan Justice CollaboratorSelain tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,

penting kiranya mengupas lebih jauh amar putusan Majelis Hakim. Meskipun Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi namun perlu didalami soal pertimbangan hakim dan hukuman yang dijatuhkan kepada Terdakwa. Hukuman yang dijatuhkan tersebut juga harus dapat dirasionalisasikan dengan pertimbangan hakim. Secara sederhana, hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim haruslah sejalan dan proporsional dengan pertimbangan hakim. Dengan demikian hukuman yang dijatuhkan pun dapat dipertanggungjawabkan oleh Majelis Hakim.

Dalam putusannya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang intinya sebagai berikut:1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA sebagaimana tercantum dalam dakwaan Pertama;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebesar

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 214: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

204 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Bahwa berdasarkan putusan hakim, Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 Huruf c, dan dihukum dengan 2 tahun penjara. Dari amar putusan tersebut dapat dengan jelas terlihat adanya kejanggalan. Jika kita kembali melihat ancaman hukuman yang termuat dalam Pasal 12 Huruf c, yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;”

Ancaman hukuman dalam Pasal 12 huruf c dibagi atas pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara kurun waktu tertentu paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Sedangkan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa Amir Fauzi adalah 2 tahun penjara. Hukuman ini justru lebih ringan dari ancaman minumum hukuman dalam Pasal 12 huruf c yakni 4 tahun. Majelis Hakim dalam hal ini menyimpangi ketentuan Pasal 12 huruf c dan mengurangi hukuman bagi terdakwa lebih rendah dari pidana minimum.

Penjatuhan pidana dibawah ancaman pidana minimun ini didasarkan pada argumentasi hakim yang menyebutkan:

“Menimbang, bahwa Terdakwa tidak ditetapkan sebagai Justice Collaborators sebagimana tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, namun dari fakta hukum yang ada, ternyata keadaan Terdakwa telah memenuhi syarat menjadi Justice Collaborator, maka dengan demikian hal ini akan dapat dijadikan sebagai alasan yang meringankan dalam penjatuhan pidana;”

Page 215: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

205

Pertimbangan hakim tersebut membawa kita pada pertanyaan, Apakah tepat pertimbangan Majelis Hakim tersebut untuk dijadikan dasar pengurangan hukuman bagi terdakwa? Namun sebelum masuk kedalam analisis perlu dibahas terlebih dahulu Justice Collaborator untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang hal tersebut.

Istilah Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama dapat dijumpai dalam banyak literatur atau aturan dan konvensi internasional. Dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) disebutkan bahwa:

Article 37. Cooperation with law enforcement authorities1. Each State Party shall take appropriate measures to encourage

persons who participate or who have participated in the commission of an offence established in accordance with this Convention to supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes and to provide factual, specific help to competent authorities that may contribute to depriving offenders of the proceeds of crime and to recovering such proceeds.

2. Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention.

3. Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention.

Prinsip pokok yang diatur dalam UNCAC ini kemudian menjadi satu pedoman penyusunan aturan tentang pelaku yang bekerjasama dalam hukum nasional. Aturan yang lebih terperinci tentang keberadaan pelaku yang bekerjasama juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban. Undang-Undang 31 Tahun 2014 secara jelas menggambarkan Justice Collaborator sebagai Saksi Pelaku. Dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (2) disebutkan:

“Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 216: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

206 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama”.

Selanjutnya dalam Pasal 28 Disebutkan bahwa:“(2) Perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat sebagai berikut:a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak

pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);

b. sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana;

c. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;

d. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan

e. adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman,tekanansecarafisikataupsikisterhadapSaksiPelakuatau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.”

Dari kedua ketentuan tersebut dapatlah ditarik prinsip-prinsip umum tentang keberadaan saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator. Aturan lebih teknis mengenai Justice Collaborator diatur pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, ketentuan tentang pemberian status Justice Collaborator diatur dalam Poin ke-9 SEMA 4/2011, yang berbunyi:9. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi didalam proses peradilan;

b. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud

Page 217: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

207

secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;

Poin ke-9 SEMA 4/2011 mendudukan ketentuan a dan b sebagai syarat utama diberikannya status Justice Collaborator kepada terdakwa. Selain itu keberadaan ketentuan a dan b haruslah dipahami bersifat kumulatif karena merupakan bentuk syarat yang harus dipenuhi.

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim secara jelas menyebutkan bahwa “Terdakwa tidak ditetapkan sebagai Justice Collaborator ......”, hal ini membawa implikasi hukum bahwa terdakwa tidak memenuhi kriteria Justice Collaborator sebagaimana yang diamanatkan oleh SEMA 4/2011. Meskipun dalam perkembangannya terdakwa bersikap kooperatif dan mengakui perbuatannya serta mempermudah penegak hukum membongkar perkara ini secara lebih jelas, namun Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya tidak pernah menetapkan terdakwa sebagai saksi pelaku yang bekerjasama / Justice Collaborator.

Dalam perkara yang sama, Jaksa Penuntut Umum justru menjadikan terdakwa M. Yagari Bastara dan terdakwa Tripeni Irianto Putro sebagai Justice Collaborator. Bahwa dalam Keterangan Terdakwa (Halaman 149) yang termuat dalam putusan No. 124/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST dengan terdakwa Tripeni Irianto Putro, disebutkan:

Bahwa Terdakwa ditetapkan sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) berdasarkan Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RI No. KEP -892/01-55/09/2015 tertanggal 23 September 2015 Tentang Penetapan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam tindak pidana korupsi atas nama tersangka Tripeni Irianto Putro.

Pemberian status Justice Collaborator bagi Tripeni Irianto Putro telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam SEMA 4/2011. Berbeda halnya dengan terdakwa Amir Fauzi yang tidak pernah mendapatkan status tersebut dari Jaksa Penuntut Umum. Oleh karenanya, tidak seharusnya Majelis Hakim memberikan status Justice Collaborator kepada Terdakwa Amir Fauzi.

Kejanggalan pemberian status Justice Collaborator bagi terdakwa Amir Fauzi diperkuat dengan pertimbangan hakim yang

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 218: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

208 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

lemah. Meskipun Majelis Hakim dalam pertimbangannya berhasil membangun argumentasi kesalahan terdakwa namun di sisi lain Majelis Hakim gagal dalam menjelaskan bobot kesalahan dan peran terdakwa. Pertimbangan Majelis Hakim mengenai bobot kesalahan dan peran terdakwa dalam perkara a quo amatlah penting untuk mengukur hukuman yang tepat bagi terdakwa.

Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 yang di-juncto-kan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP memberi pengertian bahwa terdakwa dalam melakukan perbuatan pidana tidak dilakukan secara seorang diri dan dilakukan secara bersama-sama. Pasal 55 ayat (1) KUHP pada akhirnya menjadi salah satu alat ukur dalam menentukan peran dan bobot kesalahan terdakwa. Tanpa mempertimbangkan pasal ini rasanya penjatuhan hukuman pidana menjadi tidak proporsional. Konstruksi Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:

Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:a. mereka yang melakukan (Plegen)b. yang menyuruh melakukan (Doenplegen)c. turut serta melakukan (Medeplegen)

Plegen, adalah seorang yang memenuhi semua unsur delik. Artinya pelaku dapat dalam artian pengertian tunggal maupun dalam pengertian jamak. Sedangkan Doenplegen, adalah orang yang menyuruh lakukan suatu perbuatan pidana. Setidaknya ada 3 syarat penting dalam Doenplegen, Pertama, alat yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana adalah orang. Kedua, orang yang disuruh melakukan tidak memiliki kesengajaan, kealpaan atau kemampuan bertanggung jawab. Ketiga, sebagai konsekuensi syarat kedua adalah bahwa orang yang disuruh melakukan tidaklah dapat dijatuhi pidana. Dan yang terakhir adalah Medeplegen, atau yang secara sederhana sengaja ikut bekerja untuk melakukan perbuatan. (Hiariej, 2014)

Sayangnya Majelis Hakim perkara a quo tidak secara rinci dan cermat menjelaskan kualifikasi perbuatan terdakwa. Dalampertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan:

Menimbang, bahwa unsur ke empat (Pasal 55 ayat 1/penyertaan) bersifat alternatif, artinya apabila salah satu peranan dalam unsur ini terbukti, maka unsur keempat dianggap telah terpenuhi;

Page 219: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

209

Bahwa Majelis Hakim menyatakan “.....salah satu peranan dalam unsur ini....” merujuk kepada bentuk-bentuk penyertaan dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP, yaitu melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan. Dengan demikian Majelis Hakim haruslah dapat membuktikan salah satu peran dari terdakwa Amir Fauzi dalam konteks penyertaan.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya hanya menjelaskan fakta hukum yang ada, nampak adanya kerjasama untuk mewujudkan penerimaan hadiah berupa uang dari O.C Kaligis melalui M. Yagari Bastara kepada Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi yang memeriksa dan memutus perkara permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dan dalam kesimpulannya Majelis Hakim berpendapat bahwa Unsur “Secara bersama-sama melakukan tindak pidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP telah terpenuhi.

Dalam hal ini Majelis Hakim gagal menjelaskan bentuk peranan terdakwa dalam konteks Pasal 55 ayat (1) KUHP. Dengan demikian sulit rasanya menerima logika hukuman yang dijatuhkan namun disatu sisi Majelis Hakim gagal menunjukkan peranan terdakwa. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan kesalahan dan peran terdakwa dalam perkara a quo.

Selain itu, Majelis Hakim juga luput dalam mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa Amir Fauzi. Dalam Putusan No. 124/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST dengan terdakwa Tripeni Irianto Putro, Majelis Hakim ikut mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan kesalahan terdakwa dan yang meringankan terdakwa. Dalam pertimbangannya, faktor yang memberatkan terdakwa Tripeni Irianto Putro adalah karena perbuatan terdakwa telah mencederai institusi pengadilan. Selain itu Majelis Hakim juga ikut mempertimbangkan mempertimbangkan efek dari penerimaan uang suap oleh Hakim PTUN Medan. Lebih jauh Majelis Hakim turut mempertimbangkan tujuan pemidanaan bagi terdakwa Tripeni Irianto Putro dalam menjatuhkan hukuman. Namun hal ini justru tidak dijumpai dalam putusan terdakwa Amir Fauzi. Padahal Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili 2 terdakwa tersebut adalah Majelis Hakim yang sama.

Idealnya, Majelis Hakim haruslah mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan hukuman bagi terdakwa. Selain juga mempertimbangkan tujuan pemidanaan dalam

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 220: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

210 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

menjatuhkan hukuman bagi terdakwa. Dalam perkembangannya setidaknya ada empat teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, teori absolut, relatif, gabungan dan teori kontemporer.

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, teori kontemporer relevan untuk diterapkan. Wayne R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pemidanaan adalah sebagai detterent effect atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. Demikian juga pemidanaan bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai perbuatan yang dilarang (Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, 2014). Maka jika dikaitkan dengan perkara dengan terdakwa Amir fauzi tujuan pemidanaan ini tidak tergambar dalam pertimbangan hakim dan didalam amar putusan.

K E S I M P U L A N

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam putusannya menyatakan terdakwa Amir Fauzi, Hakim PTUN Medan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Majelis Hakim kemudian menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi terdakwa Amir Fauzi. Meskipun dinyatakan bersalah namun ada sejumlah kelemahan dalam putusan tersebut yang menyebabkan terdakwa Amir Fauzi tidak dihukum dengan hukuman yang setimpal dan proporsional.

Majelis Hakim keliru dalam menerapkan aturan tentang Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama. Majelis Hakim menyimpangi aturan yang dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. Hakim tanpa melihat pemenuhan syarat dalam SEMA 4/2011 memberikan status Justice Collaborator kepada terdakwa Amir Fauzi.

Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman didasarkan pada pertimbangan yang kurang mendalam. Dan dalam menjatuhkan hukuman justru menyimpangi aturan Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001. Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi terdakwa Amir Fauzi padahal Pasal 12 huruf c mengatur hukuman minimal 4 tahun penjara.

Apa yang dilakukan Majelis Hakim dapat dikategorikan sebagai Misconduct of Judges. Karena dengan sengaja mengabaikan aturan-

Page 221: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

211

aturan yang mengatur dan membatasi diskresi hakim. Dengan demikian tindakan Majelis Hakim dengan memutus perkara ini dengan sengaja mengabaikan kerangka hukum adalah bentuk pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Majelis Hakim juga menunjukkan keseragaman pertimbangan. Dalam perkara yang sama justru hakim tidak menunjukkan pertimbangan yang seragam antara terdakwa Tripeni Irianto Putro dan terdakwa Amir Fauzi.

Selain hukuman yang dijatuhkan tidak setimpal dengan kesalahan terdakwa, jaksa juga memiliki peran dalam konteks membuktikan kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman bagi terdakwa. Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini juga tidak optimal dalam melakukan penuntutan. Tuntutan yang ringan bagi terdakwa jelas-jelas tidak memiliki basis argumentasi yang cukup memadai. Dalam beberapa perkara sejenis yang pernah ditangani oleh Jaksa Penuntut Umum KPK, seringkali menuntut hakim yang menerima suap dengan tuntutan pidana yang berat.

R E K O M E N D A S I

Berdasarkan catatan dan kesimpulan terhadap putusan No. 127/PID.SUS/ TPK/2015/PN.JKT.PST maka rekomendasi yang dapat disampaikan antara lain adalah, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi memberikan pemahaman yang jelas dan dapat diikuti oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi tentang tujuan pemidanaan. Hal ini dilakukan agar adanya keseragaman putusan pengadilan dan pertimbangan hukumnya. Jangan sampai dalam perkara yang serupa Hakim menjatuhkan hukuman yang saling bertolak belakang dikarenakan tujuan pemidanaan yang berbeda-beda. Dalam hal ini penggunaan teori kontemporer cukup relevan bagi perkara korupsi. Selain memberikan nestapa dan pembalasan bagi pelaku korupsi, putusan pengadilan juga memiliki nilai edukasi dan pencegahan bagi masyarakat.

Selain itu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus secara bersama-sama mengawasi hakim dalam menjatuhkan putusan. Apakah ada unsur Misconduct of Judges atau Legal Error dalam sebuah putusan. Hal ini penting karena esensi keduanya sangatlah berbeda. Legal Error menempatkan hakim sebagai subjek yang tidak memiliki kesengajaan dalam menjatuhkan putusan yang kurang tepat. Sedangkan Misconduct of Judges terdapat unsur kesengajaan

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 222: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

212 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

dalam membuat putusan yang keliru. Yang dalam perkara ini hakim secara nyata menunjukkan kekeliruannya.

Selain itu, Jaksa Penuntut Umum juga harus lebih berani menjatuhkan tuntutan yang lebih berat bagi hakim yang menerima suap. Hakim yang merupakan tonggak keadilan seharusnya bisa dihukum dengan seberat-beratnya dibandingkan dengan pelaku lain. Meskipun hanya sebagai penerima dan bukan inisiator perbuatan namun jabatan yang melekat padanya haruslah dipandang sebagai faktor pemberat. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pemidanaan juga tercapai. memberikan nestapa bagi pelaku dan juga mencegah hakim lain melakukan perbuatan yang sama.

R E F E R E N S I

Anak Buah OC Kaligis Berstatus “Justice Collaborator” Sejak Juli 2015. Kompas.com. Rabu.20 Januari 2016

Eddy O.S Hiariej. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta. Cahaya Atma Pustaka

Indonesia Corruption Watch. 2016. Catatan Daftar Aparat Penegak Hukum Terjerat Korupsi. Jakarta

Indonesia Corruption Watch. 2003. Menyingkap Mafia Peradilan. Jakarta. Setara Press

Jadi Justice Collaborator Gary Divonis 2 Tahun Penjara. Tempo.co. Rabu. 17 Februari 2016

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST)

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Atas Nama Terdakwa Tripeni Irianto Putro (Nomor: 124/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST)

Suharto RM. 1997. Penuntutan Dalam Praktik Peradilan. Jakarta. SinarGrafika

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama Di Dalam Tindak Pidana Tertentu.

United Nation Convention Against Corruption

Page 223: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

213

Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Widyo Pramono. 2016. Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya (Sebuah Perspektif Jaksa). Jakarta. Penerbit Buku Kompas

Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Page 224: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

214 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Page 225: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

215

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective1

Denny Indrayana

Faculty of Law, University of Gadjah Mada, Visiting Professor at the Melbourne Law School and Faculty of Arts - University of Melbourne

[email protected]

This paper shares my experiences in combating corruption under President Susilo Bambang Yudhoyono’s (SBY) administration from 2004 to 2014. In particular, I want to give you my inside story as President SBY’s Special Advisor for Legal Affairs from 2008 to 2009; his Special Advisor

for Legal Affairs, Human Rights, and Anti-Corruption from 2009to 2011; and his Deputy Minister for Law and Human Rights from 2011 to 2014. I hope my experience of six years in government that I will share with you tonight may be of some use in building a better understandingofhowdifficultistocombatcorruption,evenforthestrongest authority in the country, the President.

I should admit that my observations may be subjective, because of my close relationship with Pak SBY, but I can guarantee that I will try my best to give you an academic and objective overview of the anticorruption agenda under his administration. I will leave it to you

1 This paper has never been published but was presented on my inauguration as Visiting Professor in the University of Melbourne on the 20 September 2016.

Page 226: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

216 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

to decide how successful I am in doing this! If you disagree with me, it does not matter. In fact, disagreeing is better, so we can have more fruitful discussions!

T H E P R E S I D E N T A F T E R R E F O R M A S I : A M O R E C H A L L E N G I N G J O B

Let me begin by sharing with you my argument that to be an effective president one should have at least three things: moreconstitutionalpowers,strongpoliticalsupport,andsufficientcontrol.Ifirstdeliveredthisargumentinmyinaugurationspeechasprofessorof constitutional law in the Faculty of Law of the University of Gadjah Mada in 2011. To put it in mathematical terms, my argument is:

EP = CP + PS + CEP=EffectivePresidencyCP = Constitutional PowersPS = Political SupportC = Control

By ‘constitutional powers’, I mean the authority that a president has, as outlined in the constitution. The more he has, the more effective a president become, and vice versa. It is not difficult toconclude that the president after the reformasi, especially after the four constitutional amendments made between 199 and 2002, is constitutionally a weaker president. The 1945 Constitution used to be called as an “executive heavy constitution”, meaning that the constitution give more powers to the president compared to the other branches. The amendments mean it has become a more limited executive constitution, with more checks and balances. One example of the impact of the amendment is the limitation of presidential term, previously unlimited, to a maximum of two terms, or ten years. This amendment is crucial to save Indonesia from experiencing another president for life, or at least one ruling for more than 30 years as Soeharto did during the New Order era.

Second, ‘political support’ here means mainly support from political parties, especially those who have seats or members in the parliament, that is, the House of Representatives (DPR). With more limited powers, the post- reformasi Presidents have serious problems with political support. None of the presidents since the reformasi have led a party that enjoys a majority in the DPR. The situation is

Page 227: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

217

completelydifferenttoSoeharto’spresidency,wherethepresident’sparty, GOLKAR, enjoyed an, on average, 68.5% majority in the DPR. In fact, none of the parties since the reformasi have been able to win more than 30% of the national vote, with the only exception being the Struggle Indonesia Democratic Party (PDIP), which won 33.7% in 1999 election. In the last national election, 2014, PDIP still won theelectionbutdidsowithjust19.26%ofthevote.Tobeaneffectivepresident, one should gain at least majority support from the House, so as to be able to easily pass laws, make policies and appoint people to strategic positions.

This lack of reliable majority political party support has directly contributedtothedifficultiesallpost-reformasi presidents have faced in leading the country. The president has no option other than to try toestablishasolidcoalitionofparties,whichisnotalwaysaneffectivesolution. It is, in fact, very challenging. In Bahasa Indonesia I would say, instead of having a coalition that is solid, the president usually ends up with coalition that is sulit (difficult).

My third element is sufficient control. A president with moreconstitutional power and enough political support may still not be a goodpresidentunlessthereisasufficientsystemofcontrol,orchecksand balances, not only from the opp osition, but also from the public and the media. In any case, this control factor is the key. A president whoisnotcontrolledwouldbeveryeffectivebut,atthesametime,destructive.Apresidentsubjecttotoomuchcontrolwillbeineffective:heorshewillnotbeabledeliveronpoliciesanddefinitelywouldfinditverydifficulttofulfillcampaignpromises.Itisveryclearthatafterreformasi control of the president comes from many directions, among others, a much stronger and sharper DPR, far more active NGOs, and, of course, the media. By contrast, in the New Order era, Soeharto was subject to very limited control, and sometimes almost none.

So, compared to Soekarno and Soeharto, the post-reformasi president faces far more challenges to be an effective ruler. Withmore limited powers, minority political support and weak coalitions, andmanymoreeffectivecontrolsonhimorher,thepresidentmustsomehow lead a country like Indonesia, which has so many extremely complex problems, including, of course, corruption, one the root causes of so many other problems.

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective(Denny Indrayana)

Page 228: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

218 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

P R E S I D E N T Y U D H O Y O N O A N D P O L I T I C A L S U P P O R T

I will now discuss the political support President SBY had. I focus on this factor because it is more dynamic than the other two: constitutional powers and control. Another reason to discuss his political support is that it is one of the key factors in combating corruption in Indonesia. In fact, the political landscape is crucial in determining whether a president’s agenda will be successful or not.

Althoughthenumberswerenotsodifferent,theeffectivenessofpoliticalsupportforYudhoyonowasdifferentbetweenthefirstandsecond terms of his presidency. The coalition from 2004 to 2009 consisted of 8 parties, equivalent to 73.3% of the DPR.

The coalition from 2009 to 2014 was consisted of 6 parties, equivalent to 75.5% members of the DPR. The votes for Democrat Party increased almost three times, from 7.45% votes in 2004 to 20.85% in 2009.

I would argue, however, that, in the end, this increase made no significant difference to the struggle against corruption. Accordingto the numbers – and especially the Democrat Party’s basic political capital, which increased almost threefold – Yudhoyono’s capacity to combat corruption was supposed to be much stronger. Unfortunately, this proved not to be the case at all.

After winning the 2009 election, President SBY was optimistic about his second term. He told me that the significant increasein the Democrat Party vote is a strong mandate for him to run the government more effectively, including as regards anti-corruptionefforts.OnethingaboutwhichheandImiscalculatedwasthattheincrease in his political mandate did result in increased supported from his own coalition. That did not happen. In fact, political attacks in his second term were sometimes more frequent and intense than inhisfirstterm.Strangely,theseattacksmainlycameNOTfromtheopposition, that is, the PDIP, led by Megawati Soekarnoputri. The most dangerous attacks came, in fact, from within the coalition.

ItisclearthatcoalitionsupportduringPresidentSBY’sfirsttermwas more solid than in his second term. There were many reasons for this. One is Golkar’s position. Originally, Golkar had no history of supporting an elected president in the post-reformasi period. They nominated their own candidate, and lost the battle. In 2004,

Page 229: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

219

not long after he was inaugurated as Vice President, Jusuf Kalla (JK) won the chair of Golkar, and re-positioned the party as a supporter of government. JK and Golkar’s significant political experiencecontributed to the government’s political stability and reduced attacks onSBY’sfirstpresidency.

The situation was very different in the second term. Golkaragain nominated its own candidate and loss the battle in the 2009 presidential election. They also again eventually joined the cabinet and became part of the government coalition. This time, however, Golkar’ssupportwasnotasstrong.Unlikethefirstterm,whentheChair of Golkar was also the Vice President, in the second term, the Chair of Golkar, Aburizal Bakrie, had no position in the government. He was not even a member of the cabinet. The resulting half-hearted supportofGolkarhadasignificantimpacttothesolidityofparties’coalition. Moreover, the Prosperous Justice Party (PKS), another coalition member, took the same position as Golkar, that is, it only partially supported the President.

In fact, only few months after being inaugurated as members of cabinet and coalition, Golkar and PKS aggressively initiated a Special Committee to investigate Bank Century case, something President SBY did not want to happen. I recently accompanied a former senior minister who visited Melbourne. He told me that he actually advised President SBY to expel both Golkar and PKS from the coalition. I shared his view, but I also understood the dilemma President SBY faced at the time.

I know that President SBY was, on several occasions, very angry and seemed likely to expel Golkar and PKS. But, after making more carefulpoliticalcalculations,hefinallydecidedtokeepbothpartiesinside the tent, rather than let them join the opposition, led by PDIP,andmakeitmorestrongerandeffective,thuscreatingaverydangerous political risk for his administration. I know, for sure, that this was not an easy decision for SBY—but he had limited options.

Having Boediono as Vice President in his second term gave SBY a big opportunity to strengthen the anticorruption agenda. An academic, not a politician, Pak Boediono was appointed as a technocrat. He thereforehadnoconflictofinterestpoliticallyorintermsofbusinessthat wouldmake it difficult for him to reinforce good governanceand wage war against corruptors. Unfortunately, however, having no formal position in a political party turned out also to be a disadvantage

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective(Denny Indrayana)

Page 230: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

220 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

for someone holding a strategic political position in Indonesia. In fact, the Bank Century case saw Vice President Boediono and the reformist Minister of Finance, Sri Mulyani, both become political targets, attacked by politicians led by Golkar, PDIP and PKS.

The first sixmonths of the second term of the SBY presidencywere very tough. The Bank Century case was always headline news and hearings were broadcast live by almost all television stations, owned by the president’s opponents. It was only after President SBY finallyallowedSriMulyanitoresignasMinistertobecomeManagingDirector of the World Bank that the attacks slowed down. This showed that the Bank Century case was really more a personal attack than something in the national interest.

During these troubled six months President SBY tried to exercise more powers to combat corruption. Several times he made public statementscallingforafightagainstanybodywhotriedtoavoidtaxpayments. I could only guess against which persons and company groups those statements were directed. I think the Indonesia public knew perfectly well who the president was referring to. Despite this, once he lost a vote in the DPR to stop the Bank Century case, President SBY had no option other than to make political compromises.

I remember that on the night of that loss, we were in the State House near the palace monitoring the voting process. President SBY asked a rhetorical question, “What if the government coalition only consisted of three parties”. I assumed he was referring to the Democrat Party, the National Mandate Party (PKB) and the National Awakening Party (PKB), who fully supported his position in the Bank Century case in the DPR. He paused and then added, “It is not good to make decision when you are full of anger”. Two weeks after that, in a very small meeting of just a few participants held at his house in Cikeas,SBYexplainedthathehadfinallydecidedtostepbackalittlebit, to decrease political tensions and focus more on the economic agenda. It was after that meeting that the so-called Joint Secretariat of Coalition was established and Aburizal Bakrie became its head.

This six months of Bank Century battles constituted clear evidence that the war against corruption would not be successful without a clean political landscape. Even a president with a strong mandate will always have to make very careful calculations if he or she wants to pursue an anticorruption agenda.

Another lesson from SBY’s two terms was that the strength of

Page 231: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

221

his political support was related in complex ways to stability of the governmentandtheprogressofanticorruptionefforts.Iwouldarguethatthefirsttermofhispresidencywasmorestable.Politicalsupportfor President SBY and Vice President JK was more solid than for SBY and Boediono. ‘Stable’, however, does not mean less corrupt. The New Order of Soeharto is a clear example of a more stable administration that was actually very corrupt. In fact, if you seriously want to combat corruption in a very corrupt political landscape, the political situation will certainly NOT be stable. The problem of maintaining political stability and at the same time combating corruption is the primary challenge of any leader of a corrupt country, and the Indonesian president is not excluded from that test.

Moreover, in Indonesia, political support is not necessarily positive, particularly because political parties are still part of the problem—andnotthesolution—foranticorruptionefforts.Tomakethe situation worse, the parties are usually closely linked with corrupt businessmen who support them financially. This financial supportmeans the parties lack independence and are easily contaminated by corrupt practices and vested interests. Regrettably, the numbers of tycoons, or as we say, ‘konglomerat’ who support the parties are notmany,andtherefore,Indonesianpartiesareeasilyinfluencedbysmall number of powerful oligarchs who have access to the parties’, and the country’s, top leaders.

In fact, according to the latest report of World Bank, Indonesia ranks as the world’s third worst concentration of wealth, where only 10% own 77%, or 1% own 50.3% of the country’s wealth. Further, according the Economist, Indonesia ranks as seventh worst in crony-capitalism index, where about two-third of the richest Indonesian run their business with the support of the authorities, or in collusion with them. This situation makes the anti-corruption agenda even more difficult.Onewaytosolvetheproblemisbyreformingthefinancialsystems of political parties, so they are more independent and not so easily contaminated by the intervention of corrupt businessmen.

P R E S I D E N T S B Y A N D A N T I - C O R R U P T I O N A G E N D A

I joined the palace in late 2008, only one year before President SBY finished his first term but I learned a lot about his approach

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective(Denny Indrayana)

Page 232: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

222 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

to combating corruption in his early years. One of the very firstinstructions issued by President Yudhoyono was on corruption eradication acceleration. I understand why some of the anti-corruptionNGOscriticizedthis instructionas ineffectivebut itwasat least a clear and strong gesture by a President who wanted to put anti-corruption on his priority agenda.

‘Ineffective’ was also the term used by his critics to describeSBY’s initiative to set up a Coordinating Team to combat corruption. Indonesia Corruption Watch was suspicious that the team would be a rival – and a threat - to the Corruption Eradication Commission (KPK). I also criticized that Coordinating team, argued the President should instead support and strengthen the KPK. However, I now think that what the President tried to establish could actually be a good idea – we need a better coordination system among the police and public prosecution service, especially in handling corruption cases.

Another important initiative in relation to anti-corruption was when President SBY sought to implement the Law on Military, prohibiting the Indonesia National Army (TNI) from carrying on business. The President set up a team to prepare the transfer of TNI businesses to a more legitimate format. This initiative was not widely covered by the media, but was it actually a very good and important initiative.

President SBY’s approach of setting up ad hoc committees to execute his anticorruption agenda actually showed how complex the problems are. Pak SBY is a very disciplined and correct person who always works according to the constitution and regulations. In fact, one of his habits is to always carry a copy of the constitution, signed with his name, in his pocket. Therefore to ask him to make a decision that did not accord with the written laws is impossible. He nonetheless accept my advice to set up some ad hoc committees to deal with corruption issues, even if their legal basis was not always strong.

Two of these committees were the Task Force to Eradicate Judicial Mafiaand IndependentTeam to InvestigateChandraHamzahandBibid Samad Riyanto, the two commissioners of KPK. These ad hoc committeesweredirect responses to theconflictbetweenKPKandcorrupt policemen. Therewere three big conflicts of this kind - in2009, 2012 and most recently in 2015. I would like to share with you how President SBY handled the conflict against KPK in 2009 and

Page 233: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

223

2012.Iwillnotdiscussthethirdconflictin2015,becauseitwasnotunder SBY’s administration, the timeframe of our discussion. I will also avoid it because it will inevitably involve my own subjective views as I was named a corruption suspect mainly because I strongly and publicly supported the KPK in this third battle with the corrupt police.

P R E S I D E N T S B Y A N D S U P P O R T F O R T H E K P K

Almost every time President SBY needed to communicate with the KPK, he would ask me to contact its leaders. The President knew very well that KPK is an independent body that is not under the control of his executive branch but he also knew that informal but respectful communication is always important. One principle that SBY kept mentioning to me was that communication should not be an intervention in KPK, preventing them from doing their job of eradicating corruption. Indeed, the President did not seek to prevent the KPK from investigating corruption cases against Aulia Pohan, the father-in-law of his eldest son. SBY also never used his presidential powers to try to stop cases against leaders of his own Democrat Party, despite the damage these investigations did to his party.

Interventions in legal case are clearly prohibited according to SBY’s principles. Yet, I did manage to ask the President to rescue the KPK from being attacked by corruptors. In late 2009, almost at the same time the Century case was initiated by the DPR, two commissioners of the KPK, Chandra Hamzah and Samad Riyanto, were named as suspects by the Indonesian police. This case quickly became an open conflictbetweenKPKandcorruptpolice.Civilsocietyintensivelyandextensively launched a public campaign under the tag of ‘gecko versus crocodile’ (Cicak Vs Buaya), to show their support from KPK, which was symbolized as the gecko, with corrupt police as the crocodile. Ironically, the gecko and crocodile image was first suggested bySusno Duadji, a three star police general, in an interview with Tempo magazine to show the KPK had no chance against the police.

I believed that the cases against the two KPK commissioners were fabricated. Based on this and inputs from anti-corruption colleagues, I suggested President SBY set up an independent team to investigate the cases against them. It was not easy to convince SBY, but surprisingly, one night he called me and asked me to draft a presidential decree to establish the team. He even allowed me to propose members of the

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective(Denny Indrayana)

Page 234: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

224 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

independent team.Finally the independent team was established and named as the

8 Team, because it consisted of eight people, led by the late Adnan Buyung Nasution, also previously a professor in this faculty. I was the secretary of the team. After inviting and interviewing many people, the team concluded within 2 weeks that there were no evidence against ChandraandBibit.ThePresidentfinallymadeapublicstatementthatthe case against the two commissioners should be settled ‘out of the court’, meaning no legal prosecution should be carried out against both of them.

Further, to follow up one of the recommendations of the 8 Team, PresidentSBYformedtheTaskForcetoforEradicationLegalMafia.Judicial corruption was clear from our investigation of Chandra and Bibit’s case. I therefore recommended the President establish an ad hoc taskforceunderhisdirectiontocombatthejudicialmafia.Actually,IwasnotconfidentthePresidentwouldacceptmysuggestionbutoneday he invited me in a meeting in Cikeas, and told me that he wanted to putthebattleagainstjudicialmafiaasthenumberonepriorityforthe100 Days Program with which he wished to start his 2nd term. Then, at another meeting in the State House, he instructed me to draft the Presidential Decree to set up the task force. It existed for two years, from2009 to2011,andwas ledbyaveryeffectivefigure,KuntoroMangkusubroto. I was again the secretary of this ad hoc team.

Unfortunately, the authority of the team was limited, because to have the power as legal enforcer, it needed a statute as a legal basis, not just a presidential decree. However, we managed to increase publicawarenessoftheneedtofightagainstthejudicialmafia.Oneof the cases widely covered by the media was the Gayus Tambunan case. I found this corrupt taxofficial inSingapore,wherehewasafugitive, and persuaded him to come back to Jakarta. It turns out that thecasewasaveryhighprofileone.AfterreturningfromSingapore,Idirectly requested to meet the President in Cikeas and reported to him classifiedinformationthatIlearnedfromGayusabouttheidentityofthe companies he worked with to illegally reduced their tax bills.

I knew that the owner of the companies was very upset and unhappy that Gayus’s case had blown up in this way. In one occasion, he was spoke directly to me and made his unhappiness very clear. I believethisstrongpoliticalandbusinessfiguremanagedtoinfluencethe decision-making process such that the anti-judicialmafiaTask

Page 235: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

225

Force was not extended beyond its original two years as we had planned it would.

In 2012, when I was the Deputy Minister of Law and Human Rights, anotherconflicttookplacebetweenKPKandcorruptpolicemen,inrelation to a corruption case investigated by KPK against Djoko Susilo, a two-star general. This time none of the commissioners of KPK were legally attacked, but Novel Baswedan, a very senior investigator of KPK, who had led Djoko’s case, was named a suspect in a torture case. Accordingly, the case against Novel was widely seen as another attempt to criminalize the KPK. It became the second gecko versus crocodileconflict.

Although I was not his special legal advisor anymore, President SBY called me and asked my advice on the second conflict. HespecificallyaskedmewhohadthejurisdictiontohandleDjoko’scase,because the police argued that they had the authority over the case, not the KPK. I explained to SBY that KPK clearly has the jurisdiction over the police based on the KPK Law itself. After carefully reading the law, President SBY agreed with me and made a public speech that the KPK should continue to handle the corruption case against Djoko. SBY further indicated that he instructed the police to halt the case against Novel Baswedan.

The two gecko versus crocodile conflicts clearly showed SBY’ssupport for the KPK. I should mention, however, that his support mightalsohavebeeninfluencedbypublicpressure.Thetwoconflictswere widely covered by the media—print and electronic. They were therefore, monitored by President SBY as important issues to which he needed to pay more attention.

P R E S I D E N T S B Y A N D P U B L I C P E R C E P T I O N S

Another factor I think important is the influence of publicperceptions on the anti-corruption agenda during SBY’s presidency. SBY always monitored the media—including social media—, particularly as regards the anti-corruption agenda. His decision would,therefore,beinfluencednotonlybypoliticalconsiderationbutalso public perceptions.

In terms of public perception, the two “gecko versus crocodile” conflictswereclearexamplesofhowastrongpubliccampaigncouldinfluencePresidentSBY’sdecisionmaking. Iknow that, inmaking

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective(Denny Indrayana)

Page 236: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

226 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

decisions, he tried to listen to as many people as possible. I understand thatforthefirstgeckoversuscrocodileconflictin2012,SBYorderedan independent polling company to conduct a survey on popular aspirations for the case against the two commissioners of KPK. The surveyresultwasdefinitelyakeysourceofinformationusedbySBYto make his decision in favor of KPK.

However, it is important to understand that not all of SBY’s decisions were decided by all public pressure. In relation to the death penalty for example, although there was strong public support to execute drug dealers, SBY was very careful in making decisions on clemency. In fact, at one meeting I attended, he clearly mentioned that he is not in favor of death penalty. Pak SBY could not publicly mention this position, however, because the death penalty was held to be constitutional by the Constitutional Court. Hence, despite strong support from the public, SBY instead deliberately postponed some executions.

C O N C L U S I O N

My six years as President SBY’s special advisor and deputy minister wastrulyan invaluableexperience.Iwasabletoseefirsthandhowregulations are developed and applied in real politics, especially in relation to anti-corruption cases. My conclusion is not unique - the Indonesian experience is similar to that of other countries who have corruption as one of the main problems they face. No president has a magic spell that can easily make the corruption disappear. No president can effectively run the country without the presenceof strong constitutional power, enough political support and the presenceofeffectivecontrolmechanisms.

In Indonesia, post-reformasi presidents, including SBY, faced major challenges in delivering anti-corruption reforms. The constitutional reforms limited presidential powers; political support of more than 50% of the parliament cannot easily be won or be maintained; and the sources of control – that is, checks and balances, are very strong and come from many directions. Therefore, President SBY’s anti-corruption agenda has had some achievements but also failures. One of the reasons for this is that the political elites did not fully support the war against corruption. Some of the parties’ leaders were even investigated and jailed by KPK, including the previous chair

Page 237: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

227

and treasurer of Democrat Party, the party of President SBY himselfSBY therefore tried very hard to balance a lack of political support

and the necessity of combating corruption. This is why his fightagainst corruption achieved some success, but left many unresolved challenges. The dilemma of any president in the current politics of Indonesia,includingSBY,ishowtocombatcorruptioneffectively,andat the same time keep strong and stable political support so as to be abletodeliversignificanteconomicgrowthforthepeople’sprosperity.Regrettably, to combat corruption is probably to point the gun at the verypoliticiansorbusinessmenwhopoliticallyorfinanciallysupportthepresidenthimself.Andsometimestheyfightback,andtherefore,thegunbackfires!

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective(Denny Indrayana)

Page 238: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

228 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

ACCH.KPK.GO.ID

NEWDESIGN

CLICK NOW

Page 239: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

Alamat : Jln. Kuningan Persada Kav. 4, Setiabudi Jakarta 12950Email: [email protected] | Telepon : 021 2557 8498 Fax : 021 5290 5592 | Website : www.kpk.go.id

SAJIANPENUH GIZISEPUTARINFORMASI ANTIKORUPSI

Page 240: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

230 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Anda mengetahui tindakan korupsi yang telah atau akan dilakukan oleh seseorang

Segera kunjungi KPK Whistleblower's System

https://kws.kpk.go.id

Mari bersama mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Mudah, Cepat dan Dijamin Kerahasiannya !

?AYO lapor ke KPK

Page 241: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

RADIO 9:00 - 12:00 WIB

TV 12:00 - 17:00 WIB

HANYA DI

STREAMING

Anda mengetahui tindakan korupsi yang telah atau akan dilakukan oleh seseorang

Segera kunjungi KPK Whistleblower's System

https://kws.kpk.go.id

Mari bersama mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Mudah, Cepat dan Dijamin Kerahasiannya !

?AYO lapor ke KPK

Page 242: Nomor 1, Maret 2017 - jurnal.kpk.go.id · Nomor 1, Maret 2017 Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,

232 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Akses Informasi tentang sekolah,puskesmas, rumah sakit dan

layanan publik lainnyasecara mudah dan cepatmelalui smartphone Anda

Aplikasi Mobile Pencegahan Korupsi

Jagaperizinanku

Jagarumah sakitku

JagaSekolahku

Jagapuskesmasku

ISSN 2477-118X