NILAI STRATEGIS MALAKA DALAM KONSTELASI …staff.ui.ac.id/system/files/users/dmarihan/material/...1...
Transcript of NILAI STRATEGIS MALAKA DALAM KONSTELASI …staff.ui.ac.id/system/files/users/dmarihan/material/...1...
1
NILAI STRATEGIS MALAKA DALAM
KONSTELASI POLITIK ASIA TENGGARA AWAL ABAD XIX
Studi Kasus tentang Strategi Maritim1
Djoko Marihandono2
1. Pendahuluan
Pada awal abad XIX untuk pertama kali kawasan Asia Tenggara merasakan
dampak langsung dari perubahan dan konflik politik yang terjadi di antara negara-
negara besar Eropa. Konflik ini dipicu oleh permusuhan antara Prancis-Belanda dan
Inggris bersama sekutu-sekutunya yang memuncak dengan usaha Napoleon untuk
menguasai Eropa dan mematahkan kekuatan Inggris. Konflik tersebut tidak terbatas
di Eropa saja, melainkan berubah menjadi perang global yang melanda seluruh dunia
termasuk Asia Tenggara.
Dengan adanya peristiwa ini, kawasan Asia Tenggara ikut terseret menjadi
medan perang besar antara negara-negara Eropa yang memiliki koloni seperti Inggris,
Belanda, Spanyol dan Prancis. Asia Tenggara, khususnya kawasan Semenanjung
Malaka, memiliki nilai strategis karena menjadi urat nadi ekonomi dan sumber
pasokan bagi mesin perang negara-negara yang berkonflik di Eropa. Inggris yang
sudah memiliki kedudukan kuat di Ceylon dan India bermaksud menghancurkan
kekuatan Prancis-Belanda di Hindia Timur. Untuk mencapai tujuan itu, Inggris
bermaksud menutup perairan selat Malaka sebagai satu-satunya jalan pelayaran yang
menghubungkan Hindia Timur dengan Eropa. Bila hal ini tercapai, bisa dipastikan
bahwa koloni Prancis-Belanda di Jawa akan jatuh ke tangan Inggris.
1.1 Konflik Prancis-Belanda melawan Inggris
Konflik besar dan lama yang melanda Eropa antara Prancis dan Inggris
dimulai pada perang yang berlangsung selama seratus tahun (La guerre de cent ans).
Perang ini dimulai pada tahun 1328 dan baru berakhir pada tahun 1553. Peristiwa itu
bermula ketika raja Inggris yang saat itu menguasai wilayah Aquitaine merasa berhak 1 Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional, Universitas Hasanuddin dan
Universiti Kerajaan Malsaysia, Makassar, 24-27 November 2006 2 Penulis adalah staf pengajar di Departemen Sejarah Program Studi Prancis, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
2
untuk menggantikan raja Prancis yang baru saja meninggal dunia dan tidak memiliki
keturunan. Para bangsawan istana di Prancis menghendaki agar Philippe de Valois
yang mewarisi tahta itu. Akibat dari perebutan tahta ini meletus perang antara Prancis
dan Inggris yang dimulai pada tahun 1328. Perang berlanjut terus hingga pasukan
Prancis berhasil dikalahkan oleh pasukan Inggris di wilayah Crécy pada tahun 1346.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1356, pasukan Prancis melakukan perlawanan
untuk membunuh tentara Inggris di wilayah itu, namun kenyataannya pasukan Inggris
jauh lebih kuat daripada pasukan Prancis. Di kota Poitiers pada tahun itu pasukan
Prancis berhasil dikalahkan oleh Inggris. Bahkan Raja Prancis Jean Le Bon (yang
bergelar Raja Louis XII) berhasil ditangkap oleh Inggris dan dibebaskan dengan
syarat membayar denda dan menyerahkan sebagian wilayah Prancis ke Inggris.
Menjelang akhir abad XIV dan awal abad XV, perang besar tidak pernah terjadi,
karena di wilayah itu terjadi serangan wabah pes yang memakan banyak korban
Prancis. Pertempuran besar kembali terjadi pada tahun 1515, ketika pasukan Prancis
yang dipimpin oleh Du Gueslin, Menteri Angkatan Perang Raja Charles VII, berhasil
menghimpun pasukannya dan menyerang pasukan Inggris yang berada di wilayah
Prancis. Namun, akhirnya pasukannya berhasil dikalahkan oleh Inggris di kota
Azincourt, bahkan pasukan Inggris berhasil menguasai sebagian besar wilayah
Prancis.
Perlawanan terhadap Pasukan Inggris yang menguasai Prancis dilakukan lagi,
ketika muncul seorang gadis kecil yang bernama Jeanne d’Arc yang berasal dari
wilayah Lorraine. Ia berhasil meyakinkan Raja Charles VII untuk bangkit bersama
melawan kekuasaan Inggris, dan meminta izin untuk memimpin pasukan Prancis
untuk menyerang pasukan Inggris. Jeanne d’Arc berhasil mengusir pasukan Inggris
keluar dari wilayah Poitiers. Namun, akhirnya ia kalah pada pertempuran di
Compiègne. Akhirnya ia tertangkap dan dijatuhi hukuman mati karena dianggap
bid’ah dengan cara dibakar hidup-hidup di kota Rouen pada tanggal 30 mei 1431.3
Kemunculan Jeanne d’Arc menyemangati rakyat Prancis, khususnya raja Charles
VII. Ia membangkitkan semangat rakyatnya untuk melawan Inggris dengan
membentuk pasukan artileri yang dipersenjatai dengan kanon. Pada tahun 1453, 3 Jeanne d’Arc dianggap bid’ah karena pada saat bertempur ia selalu mengenakan baju dan celana panjang putih. Saat itu masyarakat Prancis menganggap bid’ah bagi wanita yang menggunakan celana panjang (Duby 1995:340)
3
pasukan Prancis berhasil menghalau keluar dari perbatasan Prancis di wilayah Pas de
Calais. Dengan demikian berakhirlah perang besar dan panjang antara kedua bangsa.
Perang antara dua negara adidaya terjadi lagi ketika raja Louis XIII berkuasa
(1601—1643). Menteri Pertahanannya yang bernama Armand Jean du Plessis de
Richelieu (1585—1624), membangun beberapa benteng di sekitar kota untuk
menghalangi para pemeluk Protestan yang akan meminta bantuan kepada pihak
Inggris. Wilayah pantai yang berhadapan dengan Inggris dijaga ketat untuk
mengawasi jangan sampai pasukan Inggris menyusup ke wilayah Prancis. Serangan-
serangan yang dilakukan oleh pasukan Inggris berhasil dihalau oleh Prancis, yang
menyebabkan jatuhnya banyak korban di kedua belah pihak.
Ketika kedudukan Raja Louis XIII digantikan oleh Raja Louis XIV (1638—
1715), perdana menterinya, Colbert mendesaknya agar membangun angkatan laut
yang kuat untuk mengimbangi gabungan antara armada Inggris dan Belanda,
khususnya untuk mempertahan wilayah koloni yang berada di benua Amerika. Dua
tahun sebelum meninggal, Louis XIV terpaksa harus menyerahkan sebagian wilayah
koloninya di Amerika kepada Inggris (Canada). Persaingan antara kedua negara
Eropa di wilayah koloni mencapai puncaknya pada saat Raja Louis XV berkuasa.
Pada masa kekaisaran Louis XV terjadi beberapa kali perang antara Prancis dan
Inggris, antara lain: Perang pewarisan tahta Austria (1740—1748), perang tujuh tahun
(1756—1763), dan perang kemerdekaan Amerika (1775—1782). Perang ini didasari
atas persaingan perdagangan laut yang mendatangkan keuntungan besar bagi para
pedagang masing-masing negara.
Perang antara Prancis dan Inggris kembali terjadi setelah pecahnya Revolusi
Prancis tahun 1789. Prancis yang setelah meletusnya Revolusi Prancis, telah
menganut sistem demokrasi, merasa terancam oleh kekuatan negara-negara lain yang
masih menganut sistem monarki seperti: Inggris, Prusia, Italia dan Austria. Negara-
negara besar itu, terutama Inggris beranggapan bahwa paham Revolusi Prancis
membahayakan kelangsungan negaranya. Oleh kartena itu, negara-negara itu
beraliansi untuk menghancurkan Prancis.
4
1.2 Perjanjian Amiens
Pada tahun 1784, Belanda mengadakan perjanjian perdamaian dengan
Inggris. Inggris dan Belanda, sebagai negara yang memiliki banyak koloni di luar
Eropa, melakukan perdamaian, khususnya untuk tidak saling merebut wilayah koloni
yang telah dikuasainya. Sebagai akibat dari perjanjian ini, Prancis memandang
Belanda sebagai wilayah yang sangat membahayakan bagi Prancis, karena Inggris
akan memanfaatkan wilayah Belanda sebagai pangkalan dalam upaya menyerang
Prancis. Prancis memanfaatkan orang-orang dari kelompok Patriot yang anti dinasti
Oranye untuk melakukan propaganda mengusir Inggris dari wilayah Belanda.
Bahkan, terjadi upaya menyingkirkan Stathouder Willem V (dari dinasti Oranye)
yang saat itu dikenal sangat dekat hubungannya dengan Raja Inggris (Groenewold
1989:14—15). Upaya itu berhasil setelah Prancis berhasil menguasai Utrecht pada
bulan Januari 1794. Upaya Willem V berunding dengan Prancis mengalami jalan
buntu, sehingga Prancis berhasil mendirikan negara boneka Prancis yang dinamai
Republik Bataf di bawah pimpinan Rutger Jan Schimmelpenninck.4
Kondisi di Eropa semakin tidak menentu. Beberapa kali upaya penyerangan
ke Belanda dilakukan baik oleh Prusia, Rusia, Inggris atau gabungan antarnegara-
negara itu, namun tidak berhasil mengusir Prancis dari wilayah Belanda. Akibat dari
didirikannya Republik Bataf, Inggris mulai merencanakan untuk menggerogoti
wilayah koloni milik Belanda yang dikenal kaya akan rempah-rempah dan hasil
bumi. Inggris yang sebelum peristiwa itu telah memiliki pangkalan armada di Penang
dan telah menguasai wilayah Malaka pada tahun 17835, akan mudah menguasai
wilayah Hindia Timur.6 Rencana ini dilaksanakan dengan pengiriman beberapa buah
kapal ke Batavia yang dipimpin oleh Kapten Henry Lidgbert Ball yang menaiki kapal
fregat The Daedalus dengan kekuatan 52 meriam. Kapal ini dikawal oleh beberapa
4 Republik Bataf saat itu terbagi atas 7 privinsi, yakni: Hollande, Zeeland, Friseland, Guelderland, Overijssel, Groningen dan Utrecht. (http://fr.wikipedia.org/wiki/Provinces-Unies). 5 Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis pada tanggal 14 Januari 1641. Namun, pada tahun 1783 Malaka yang dikenal sebagai “Mutiara dalam rumah portugis” ini jatuh ke tangan Inggris. 6 Istilah Hindia Timur Belanda (Indes Orientales Néerlandais) digunakan oleh Prancis untuk menyebut wilayah koloni Belanda di Asia. Ditinjau dari sudut geografis, wilayah koloni Belanda terdiri atas Hindia Barat (West Indie) dan Hindia Timur (Oost Indie). Koloni Belanda di Hindia Barat terdiri atas dua koloni, yakni Suriname yang meliputi wilayah Guyana Belanda dan Curacao yang meliputi wilayah Bonaire, Aruba, St. Martin Belanda, St. Eustasius dan Saba. Sementara itu, wilayah Hindia Timur atau dikenal juga sebagai wilayah Hindia Belanda (Nederlandsche-Indie) meliputi wilayah dari Malaka, sampai ke Pulau Timor (termasuk Jawa) (Mangkudilaga 1981: 11)
5
kapal perang lain seperti kapal perang Centurion yang dipimpin oleh Kapten Reyner
yang berkekuatan 56 meriam, kapal fregat The Brave yang dipimpin oleh Kapten
Alexander dengan 64 pucuk meriam, dan kapal Sybille di bawah komando kapten
Adam dengan 44 pucuk meriam. Pada tanggal 22 Agustus 1800, Kapten Ball dari
kapal Daedalus memberikan pengumuman kepada Gubernur Jenderal dan Dewan
Hindia di Batavia bahwa mereka diberikan perintah oleh Laksamana Inggris untuk
memblokade pelabuhan Batavia dan semua pelabuhan lain di Jawa dengan menyita
semua kapal yang akan keluar masuk pelabuhan Batavia. Petinggi di Batavia
memberikan jawaban atas pengumuman itu bahwa mereka tetap setia pada
kewajibannya, yaitu mempertahankan wilayah koloni yang menjadi tanggung
jawabnya. Mereka kemudian menguasai pulau Onrust, Kuypers, Edam, di Kepulauan
Seribu yang dikenal sebagai pangkalan armada Belanda sekaligus memiliki dok untuk
perbaikan kapal.7 Pulau-pulau ini berhasil dikuasai oleh armada Kapten Ball pada
tanggal 25 Agustus 1800. Bahkan, teluk Batavia telah dikuasai sepenuhnya oleh
Inggris semenjak tanggal 26 Agustus 1800. Rencana Inggris saat itu adalah
menguasai Batavia. Oleh karena itu, pendaratan langsung dilakukan di pantai
Marunda. Inggris terpaksa harus meninggalkan Jawa setelah mendapatkan
perlawanan dari Belanda pada tanggal 9 Nopember 1800. Kapten Ball memutuskan
untuk meninggalkan pulau Jawa karena armada Inggris dianggap terlalu kecil untuk
memblokade seluruh pantai pulau Jawa yang hanya berkekuatan 5 armada tempur
dengan terlebih dahulu menghancurkan pulau-pulau Onrust, Edam, Kuypers, Hoorn,
dan Purmeren dan menjarah isi bangunan yang ada di sana. Setelah mengetahui
kekuatan tentara Belanda di Jawa, dari Malaka, Inggris merencanakan untuk
menguasai Ternate. Rencana itu dilaksanakan, dan Ternate jatuh ke tangan Inggris
pada tanggal 19 Juni 1801.8
Bila kita menengok situasi dan kondisi di Eropa, keadaan di Laut Tengah
(Méditeranée) masih tetap genting. Banyak kapal perang Inggris yang terjebak
dengan terjadinya perang antara Inggris dan Prancis di wilayah Mesir. Banyak
armada Inggris yang berada di Laut Tengah. Sangat sulit bagi armada Inggris untuk
keluar dari Laut Tengah karena Selat Gibraltar telah dikuasai oleh Prancis. Dengan 7 Pulau Kuipers berada di sebelah pulau Onrust, dan saat ini namanya berubah menjadi pulau Cipir. 8 Tentang hal ini, mohon dibaca artikel tulisan Dr, LWG de Roo yang berjudul “JW Cranssen te Ternate, 13 September 1799—18 Juni 1801” yang dimuat di majalah TBG tahun 1867 jilid XVI.
6
tujuan mengeluarkan armada tempurnya keluar dari Laut Tengah, Inggris bersedia
berunding dengan Prancis. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Amiens, yang
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1802.
Perjanjian Amiens yang ditandatangani oleh wakil dari Prancis, Republik
Bataf dan Spanyol di satu pihak dan Inggris dan Irlandia di pihak lain. Dari sudut
pandang Prancis dan sekutunya, perjanjian ini dianggap sebagai perjanjian yang
menguntungkan Prancis dan sekutunya, terutama wilayah koloni mereka. Dalam
perjanjian ini disepakati bahwa Inggris akan mengembalikan semua wilayah koloni
yang telah dikuasainya kepada Prancis dan sekutunya, kecuali Ceylon. Perjanjian
yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1802 ini membawa angin segar,
khususnya bagi pengelola wilayah koloni yang sudah amat jenuh dengan peperangan
yang sangat merugikan mereka, karena berakibat pada tidak lakunya komoditi hasil
bumi dari wilayah koloni.9
1.3 Penaklukan Wilayah Koloni Hindia Timur
Meletusnya kembali perang antara Inggris dan Prancis setahun setelah
ditandatanginya perjanjian Amiens membawa dampak yang besar terhadap masa
depan wilayah koloni di Hindia Timur.10 Inggris telah berhasil mengeluarkan semua
armada yang ditugaskan di Mesir keluar dari Laut Tengah. Permintaan Inggris untuk
tetap mempertahankan Ceylon dijadikan pangkalan armada dalam rangka menjaga
wilayah koloni Inggris di India dan menopang koloni Inggris di Mesir melalui Laut
Merah.
Sejalan dengan perkembangan politik di Prancis, Napoléon Bonaparte
melakukan perubahan sistem ketatanegaraannya dari Konsul Pertama (Premier
Consul) menjadi Kaisar Prancis (Empereur) pada akhir tahun 1804. Perubahan ini
membawa dampak pada membesarnya peperangan antara Prancis dan Inggris.
Ekspansi Napoléon ke wilayah Eropa dan penerapan politik kontinental, yang
diterapkan oleh Napoléon dibalas oleh ultimatum Inggris yang akan menguasai semua
wilayah koloni Prancis di timur Tanjung Harapan. Satu per satu wilayah koloni 9 Akta perjanjian Amiens berisi 22 pasal, ditandatangani oleh Napoléon Bonaparte (Konsul Pertana Republik Prancis), Schimmelpenninck (wakil dari republik Bataf), Azara (wakil kerajaan Spanyol), dan Carnwallis wakil kerajaan Inggris dan irlandia (http://napoléon.org/traité_d’amiens.html) 10 Pada tanggal 20 Mei 1803 kembali terjadi perang antara Inggris dan Prancis yang disebabkan oleh tuduhan masing-masing yang menganggap melanggar isi perjanjian itu (www.e-chronology.org).
7
Prancis jatuh. Pelaksanaan ultimatum oleh Inggris ini dimulai dengan penguasaan
wilayah yang amat strategis, yakni penguasaan wilayah Tanjung Harapan. Tanjung
Harapan di bawah Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens (kelak Gubernur Jenderal
Hindia Timur pengganti Daendels) harus menyerah kalah dan menyerahkan wilayah
itu kepada Inggris pada tanggal 23 Januari 1805.
Setelah kejatuhan Tanjung Harapan, Inggris berupaya untuk memblokade
pulau Jawa, langkah awal sebelum realisasi rencana besarnya, yakni menguasai pulau
Jawa. Pada tanggal 18 Oktober 1806, sebuah kapal Inggris Inggris muncul di
pelabuhan Batavia. Kapal perang ini merompak sebuah perahu layar dan perahu
fregat. Sebelum merapat di Batavia, kapal-kapal ini dihujani dengan tembakan artileri
dari darat, sehingga menyebabkan kapal Inggris beserta rampasannya harus segera
menjauhi pantai. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 27 Nopember 1806,
sekelompok armada Inggris yang berpangkalan di Malaka, muncul di Laut Jawa.
Oleh penjaga pantai, ketujuh kapal perang Inggris ini semula dikira kapal Prancis.
Namun, begitu mendekati pantai, barulah diketahui bahwa ketujuh kapal itu adalah
kapal perang Inggris. Laksamana Sir Edward Pellew, pemimpin armada ini
mendapatkan instruksi untuk menghancurkan semua kapal Belanda yang
dijumpainya. Ketika mendarat di pelabuhan Batavia, didapatinya 20 kapal dagang
dan 8 kapal perang sedang berlabuh di sana. Laksamana Pellew melancarkan
serangan dengan mengerahkan 18 kapal tempurnya untuk menyerang kapal Belanda,
yang menyebabkan kapal Belanda tidak dapat berkutik sama sekali.11 Akibat dari
serangan itu, delapan kapal dari armada Hartsinck dan beberapa kapal dagang hancur
(Stapel 1940:24).
Pellew memang diinstruksikan dari Malaka untuk menghancurkan kapal-kapal
Belanda. Oleh karena itu, ia tidak melanjutkan misinya dengan pendaratan, tetapi
terus melakukan operasi di sekitar kepulauan Onrust dan Kuipers. Dengan operasi
yang dilancarkan oleh Pellew, pulau Jawa menjadi terisolasi. Kekuatan armada laut
Belanda praktis lumpuh, sehingga pelabuhan Batavia praktis tidak terlindungi, karena
tidak ada satu kapal pun yang berlabuh di sana, sedangkan sisa-sisa armada Belanda 11 Hageman (1857 355-356) menyatakan bahwa pada saat Belanda berada di bawah pemerintahan Republik Bataf, Inggris merasa gentar dengan gabungan armada Belanda dan Prancis. Oleh karena itu, Laksamana Pellewlah yang dikirim ke Jawa diiringi dengan tujuh kapal perang yang dilengkapi dengan 356 meriam dengan maksud untuk menghancurkan kapal perang gabungan itu dan menyita kapal-kapal dagangnya.
8
di perairan laut Jawa dan Lautan Hindia telah habis dihancurkan oleh armada Inggris.
Sementara itu, di pangkalan armada Gresik, masih terdapat beberapa kapal
penghubung yang diubah fungsinya menjadi kapal perang. Insiden laut antara kapal
Belanda dan kapal Inggris kembali terjadi pada bulan April 1807. Sebuah kapal
Inggris berhasil merampas empat kapal dagang Belanda. Kejadian ini mengakibatkan
Laksamana Hartsinck, komandan keamanan laut Hindia Belanda mengundurkan diri
dan segera kembali pulang ke Belanda.
Pada akhir Nopember 1807, Laksamana Pellew berpatroli di wilayah Selat
Madura, dikawal oleh delapan kapal perang, yakni: Culloden, Powerfull, Fox, Corlyn,
Semarang, Victor, Seaflower, dan Diana, yang membawa 270 pucuk meriam. Dari
selat ini, ia melihat adanya beberapa kapal yang sedang berlabuh. Oleh karena itu, ia
menulis surat kepada komandan pelabuhan Gresik, Kapten Cowell agar segera
menyerahkan kapal-kapal itu. Apabila kapal-kapal yang berlabuh itu diserahkan
kepada Inggris, Pellew menjamin tidak akan melakukan penyerangan ke darat.
Kapten Cowell, komandan pelabuhan Gresik tidak menanggapi surat ini, malahan
menyita rakit dan menahan anak buah kapal Inggris yang bertugas sebagai kurir.
Pellew akhirnya memutuskan untuk mendaratkan 1.400 orang marinirnya untuk
membebaskan kurirnya, yang salah satu di antara kurir itu adalah anak kandung
Laksamana Pellew (Faber 1931:31). Masalah ini selesai setelah terjadi kesepatan
antara Laksamana Pellew dan D.F. van Alphen, wakil walikota Surabaya pada
tanggal 3 Desember 1807. Akhirnya Inggris meninggalkan Gresik setelah dicapai
kesepakatan antara Pellew dan Alphen.12
Upaya menguasai pulau Jawa untuk sementara ditunda saat kedatangan
Daendels di Jawa. Hal ini disebabkan telah tersadapnya informasi oleh pihak Inggris
yang mengatakan bahwa kedatangan Daendels di Jawa dikawal oleh beberapa kapal
perang besar Belanda-Prancis di bawah pimpinan Laksamana AA Buyskes (Deventer
1865:347). 13
12 Kesepakatan antarkedua belah pihak berisi antara lain: a. Inggris akan meninggalkan Gresik tanpa menuntut pampasan perang; b. Kapal Belanda yang rusak harus segera dibakar; c. Peralatan tempur yang berada di pantai Madura harus segera dibongkar; d. Orang Belanda harus memasok air minum gratis kepada awak armada Inggris; dan e. Orang Belanda harus mengizinkan pedagang daging menjual dagangannya kepada awak armada Inggris (Faber 1931 31-32) 13 Semula Laksamana AA Buyskess diperintahkan untuk mengawal Daendels ke Jawa. Karena persiapan yang dilakukan oleh Buyskess memerlukan waktu selama tiga bulan, maka Daendels pergi ke Jawa tanpa pengawalan. Raja Belanda Louis Napoléon menugaskan kepada Buyskess untuk
9
Pada saat permulaan masa kekuasaan Daendels di Jawa (1808), Inggris telah
berhasil melakukan blokade laut atas pulau Jawa, tetapi upaya untuk menyerang
pulau Jawa belum dapat dilakukan. Upaya untuk mengetahui kekuatan lawan telah
dilakukan oleh armada laut Inggris, antara lain dengan menghancurkan pangkalan
armada laut di Teluk Meeuwen yang belum selesai dibangun oleh Daendels. Inggris
juga memanfaatkan beberapa tokoh pribumi untuk mengetahui kekuatan angkatan
bersenjata pemerintah Hindia Timut antara lain dengan mendekati orang-orang
Banten.
2. Strategi Inggris Menguasai Asia Tenggara
Setelah ultimatum Inggris dijatuhkan sebagai reaksi atas dilakukannya politik
Kontinental Napoléon Bonaparte, Inggris mulai menyusun kekuatan untuk menguasai
Asia. Tujuan Inggris melakukan blokade laut atas wilayah Hindia Timur antara lain
untuk memutus semua pengangkutan bahan pangan dari wilayah ini, mencegah
semua penjualan dan pengapalan produk ke Eropa serta untuk mengukur kekuatan
militer Belanda (Mijer 1839:229-230). Rencana menguasai wilayah Belanda di Asia
Tenggara, sudah direncanakan pada bulan Juli 1810, ketika terjadi penyatuan wilayah
Belanda dengan Prancis. Ada dua target yang direncanakan, yakni menguasai Ternate
dan Jawa, dua wilayah yang dianggap sangat penting oleh Inggris. Penyerangan ke
kedua wilayah ini sudah direncanakan dengan baik, dengan melibatkan armada-
armada yang bertugas di wilayah lain.14 Terlebih lagi dalam upaya menaklukkan
Jawa, armada dari India dikerahkan dengan melalui beberapa rute. Armada dari
Bombay, diberangkatkan menuju Madras, yang merupakan titik pertemuan pertama.
Kemudian armada akan berkumpul kembali di Malaka, yang merupakan titik temu
kedua. High Lands merupakan titik temu ketiga, untuk selanjutnya menuju ke
Tanjung Sambar (atau Batu Titi) di ujung Barat Borneo yang merupakan titik temu
keempat. Dari sini semua armada berkumpul untuk segera menyerbu ke Jawa.
menggantikan Daendels sebagai Gubernur jenderal apabila Daendels tidak sampai ke Jawa (Stapel 1940: 36) 14 Beberapa pulau di Maluku telah jatuh ke tangan Inggris 2 tahun sebelum penggabungan wilayah Belanda dengan Prancis.
10
2.1 Hubungan Politik Malaka--Calcutta
Laporan tentang Malaka telah menarik perhatian para petinggi di India. Dua
tahun sebelum Raffles tiba di Penang, Lord Minto mendapatkan laporan dari John
Leyden, seorang ahli bedah dari Skotlandia, yang sangat dikaguminya.15 Dalam
laporannya itu, John Leyden ketika berkunjung ke Penang pada tahun 1805, tertarik
dengan seorang pemuda yang bernama Raffles, yang sangat mahir akan
pengetahuannya tentang bangsa-bangsa Timur. Lord Minto segera sadar, bahwa ia
telah menemukan seorang “Leyden” yang lain. Ketika kepulauan Maluku direbut
pada tahun 1808, Lord Minto memiliki ide untuk mengangkat Raffles sebagai
pemimpin sementara di kepulauan itu. Ketika laporan Raffles kepada Leyden
ditunjukkan kepada Lord Minto, Lord Minto pun mengagumi laporan itu. Ketika
Raffles mendengar desas-desus rencana penaklukan Mauritius dan Réunion oleh
Inggris, Raffles merasa jenuh dan bosan tinggal di Penang, karena menurut rencana
ia akan ditempatkan di Kepulauan Maluku. Dengan rencana penyerangan itu, maka
sudah dapat dipastikan penempatannya di kepulauan Maluku akan tertunda. Ia juga
sudah jenuh dengan atasannya di Penang, yang sangat sering bersikap arogan,
padahal mereka sebenarnya tidak mengetahui apa-apa tentang raja-raja Maluku.
Kejenuhan ini mendorong Raffles untuk berlayar ke Calcutta, guna menemui Lord
Minto, Gubernur Jenderal di Calcutta. Ia terkejut dengan kedatangan Raffles tiba-tiba,
meskipun ia harus memberitahu bahwa penugasannya ke Maluku akan diberikan
kepada orang lain. Keduanya sepakat bahwa masih ada pulau-pulau lain yang lebih
menarik daripada Maluku, seperti Jawa. Lord Minto sangat kagum akan Raffles yang
memahami banyak hal tentang pulau Jawa. Dari pembicaraan ini, tercetuslah ide
untuk segera melakukan penaklukan atas pulau Jawa, karena Ingrgis sadar bahwa
Prancis akan menjadikan Jawa sebagai pangkalan dalam upaya menyerbu ke India.
Dalam rencana besar Lord Minto, penyerangan ke wilayah Asia Tenggara
merupakan rencana ketiga setelah rencana pertama yakni penaklukan Mauritius dan
rencana kedua penaklukan Réunion (Bourbon). Mauritius telah direbut Inggris pada
bulan Desember 1909, dan Réunion pada tanggal 8 Juli 1810. Dalam merealisasikan
15 Lord Minto menyebut John Leyden sebagai seorang “ahli Melayu yang Sempurna” (Coupland 1926: 23)
11
rencana ketiganya, Lord Minto menemui kesulitan karena kurangnya ahli tentang
Melayu. Dengan kedatangan Raffles, maka Lord Minto kini telah memiliki dua orang
ahli, yakni Leyden dan Raffles. Dari kekagumannya kepada Raffles, akhirnya pada
bulan Oktober 1810, Lord Minto mengangkat Raffles sebagai calon Gubernur
Jenderal wilayah raja-raja Melayu, dan mempersiapkan jalur untuk penyerangan ke
Jawa. Untuk persiapan itu, Raffles telah menetapkan pilihannya untuk bermarkas di
Malaka. (Coupland 1926: 25).
Kemampuan Raffles ternyata melebihi target yang ditetapkan oleh Lord
Minto. Ia menunjukkan kemampuannya yang hebat, jauh dari pekerjaan semua yang
menjadi juru tulis di India House dan sekretaris di Penang. Dalam tiga atau empat
bulan, ia telah menyusun laporan yang sangat rinci bukan hanya tentang Jawa, tetapi
juga Borneo, Celebes, Bangka, lengkap dengan suku-suku penghuninya, penguasa
mereka dan watak-wataknya. Laporan itu juga dilampiri hasil bumi yang merupakan
primadona dari pulau-pulau itu. Bahkan hubungan pulau-pulau itu dengan Jepang,
Amerika juga dilaporkannya. Usulan bagaimana cara mengelola pulau-pulau itu
serta sistem pemerintahan yang baik di pulau-pulau itu juga ikut dilaporkan.
Pada tanggal 9 Mei 1811, Lord Minto tiba di Malaka. Ia memutuskan untuk
memimpin sendiri ekspedisi ke Jawa. Ia juga mengangkat Raffles menjadi sekretaris
Gubernur Jenderal.
2.2 Konflik Inggris dan Raja-Raja Melayu di Penang
Pada awal abad XIX, terjadi perubahan penting dalam konstelasi politik di
kawasan Asia Tenggara. EIC (East Indie Company) yang di atas kertas masih
merupakan perusahaan dagang, tetapi sejauh menyangkut India, ternyata menjadi
suatu lembaga politik. Kompeni Inggris ini telah memperoleh status baru di India dan
Inggris sendiri. Di India, EIC memperoleh tanggung jawab kewilayahan karena
setelah tahun 1765, EIC menjadi pemungut pajak dan bunga di Bengala yang menjadi
lembaga pemerintah. Di Inggris, EIC semakin dianggap sebagai sarana negara yang
memerlukan pasukan yang besar, kontrol Gubernur Jenderal dan Dewan (sejak tahun
1773), pembentukan Mahkamah Agung yang bebas di Calcutta, dan dibentuknya
12
badan kontrol yang bertanggung jawab kepada parlemen Inggris (1784).16 Sebagai
perusahaan niaga, kepentingan utamanya pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX
terletak pada perdagangan melalui selat Malaka sampai Cina. Sebenarnya,
perdagangan dengan Cina telah menyelamatkan EIC dari kebangkrutan sebagai akibat
dari ulah para pengelolanya yang korup dan cara kerja yang tidak efisien. Komoditi
yang dibawa oleh para pedagang dari India ke Cina selain teh juga candu. Meskipun
tidak mengapalkan sendiri candu untuk dibawa ke Cina, Kompeni EIC mengizinkan
kapal-kapal negara memuatnya dan memonopoli perdagangan candu yang banyak
diperoleh dari Bengala.17
Penegakan kekuasaan Inggris di Asia Tenggara pada awal abad XIX
mendapatkan hambatan, khususnya dari orang-orang Bugis yang telah lebih dahulu
menghuni pantai Jawa, Sumatera, dan semennjung Malaya. Baik Belanda maupun
penguasa lokal tidak mampu untuk mencegah mereka bermukim di tempat-tempat
terpilih di dekat muara sungai atau selat. Dilihat dari sejarahnya, orang Bugis mampu
menguasai Kesultanan Johor dan membangun pusat pemerintahannya di Riau. Dari
sini, mereka memperluas pengaruhnya ke utara melalui Semenanjung Malaya, dan
memisahkan Malaya Belanda dari pasokan timah di Selangor, Perak dan Kedah, dan
berdagang timah langsung dengan Inggris dan pengusaha asing lain. Oleh karena itu,
ketika Sultan Melayu Johor meminta bantuan Belanda dalam upaya menggulingkan
kekuasaan Bugis, Belanda menanggapi positif permohonan bantuan itu karena akan
memperoleh wilayah Siak. (1755). Setelah Belanda memperoleh konsesi baru atas
Johor untuk melakukan monopoli timah, mereka mengusir semua pedagang asing
lainnya. Sekitar tahun 1770 orang Bugis Selangor mendesak Sultan Kedah agar
membayar upeti berupa perak. Karena tidak puas dengan jawabannya, mereka
menyerbu Kedah dan menjarah ibukotanya. Suatu permintaan bantuan untuk
mengusir orang Bugis yang ditulis oleh Sultan Kedah pada tahun 1771 diterima oleh
Kompeni EIC di Madras. Namun, pada saat itu, permintaan tersebut tidak ditanggapi.
Akan tetapi, ketika Dewan Madras menerima instruksi dari London untuk memulai
16 Lihat tulisan Brian Harrison, 1954. South-East Asia: A Short History. Macmillan & Co. Bab XII tentang terbentuknya perimbangan kekuatan baru. 17 EIC lebih beruntung daripada VOC. Pasokan kopi yang dikontrol dan diekspor dari Jawa tidak dapat menutupi kerugian negara, sehingga tidak mampu menyelamatkannya dari kebangkrutan. Lebih-lebih dalam persaingan dunia, pada pertengahan dan akhir abad ke-18 Belanda kehilangan posisi kepemimpinan internasionalnya di bidang perdagangan dan keuangan
13
perundingan bagi pemukiman permanen di Aceh, diputuskan untuk mengadakan
penyelidikan mengenai prospek perdagangan bukan hanya di Aceh, tetapi juga di
Kedah dan Selat Malaka. Penyelidikan itu membuahkan suatu kesempatan untuk
membuka pangkalan armada di sana. Dewan Madras membalas surat dari London
yang melaporkan bahwa bila di Kedah dibuka pangkalan armada, maka akan jauh
lebih bermanfaat daripada di Aceh.
Pada tahun 1785, diputuskan untuk membangun pangkalan di Kedah, yang
akan dijadikan pelabuhan singgah bagi kapal-kapal yang menuju ke Cina atau
sebaliknya, untuk mengimbangi kembalinya kontrol Belanda di Selat Malaka.
Dengan pembangunan pangkalan itu, Sultan Kedah akan mendapatkan perlindungan
dari Inggris. Namun, akhirnya diputuskan bahwa Pulau Penang akan diserahkan
kepada Inggris untuk dibangun pangkalan armada laut bagi kepentingan tersebut.
Pada tahun 1790 tidak ada yang diperoleh sebagai pegganti bagi Penang di
luar tawaran ganti rugi tahunan kepada Sultan. Sultan Bugis di Selangor telah
mengusir orang-orang Belanda pada tahun 1785 dan diikuti oleh Sultan Melayu di
Johor. Ketika persekutuan orang Bugis dan Melayu di Johor dibentuk pada tahun
1790, disetujui untuk menyerang orang Inggris untuk keluar dari Penang. Namun,
sebelum pasukan gabungan itu menyerang Penang, Inggris telah menyerang lebih
dahulu tentara Melayu tanpa banyak kesulitan. Melalui perjanjian 1 Mei 1791
penyerahan Pulau Penang disahkan. Sultan memperoleh ganti rugi tahunan, tetapi
tidak mencampuri urusan pertahanan kedua belah pihak.
Pulau Penang dalam waktu singkat menarik para pemukim, sehingga pada
tahun 1795, jumlah penduduknya mencapai 20 ribu orang, termasuk 3.000 orang
Cina. Tetapi ketika Kompeni Inggris menyadari sepenuhnya nilai potensial Penang
sebagai koloni dagang, Kompeni Inggris belum yakin benar tentang nilainya sebagai
investasi dari sudut pandang strategisnya. Oleh karena itu, para penguasa Inggris
lebih menyukai mempertahankan Penang sebagai pangkalan tanpa memperhitungkan
resiko politiknya. Akibatnya, Penang terbengkalai lebih dari 20 tahun.
Pendudukan Inggris atas Malaka pada tahun 1795 dilakukan atas nama
pemerintah pengungsian Willem V (stathouder) Belanda. Gabungan pemerintah
Inggris-Belanda (yang dibentuk sebelum penyerangan Prancis atas Belanda) berhasil
menguasai benteng Malaka. Namun, kondisinya berbeda ketika Belanda dipimpin
14
oleh Republik Bataf. Pembentukan pemerintahan republik boneka Prancis itu
menciptakan perpecahan antara pejabat di Jawa dan di Timur pada umumnya. Selama
perang berlangsung, mereka menghadapi dua alternatif: kontrol dari Prancis atau
pendudukan Inggris. Opini Belanda terbelah atas pilihan dua dampak buruk ini. Di
Batavia, masyarakat terpecah menjadi dua, mereka yang mendukung dinasti Oranye
yang berpihak kepada Inggris dan mereka yang pro Prancis. Bagi kelompok yang
terakhir ini, usaha Inggris menduduki pulau Jawa harus dihadapi dengan perlawanan
(Harisson 1954: 160)
Para pejabat kompeni Inggris di India dan di London menganggap Penang
kurang meyakinkan untuk dijadikan pangkalan armada. Sebaliknya Malaka dipilih
sebagai pangkalan armada di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Lord Minto
memutuskan untuk memimpin ekspedisi penyerangan ke Jawa dari Malaka (idem).
3. Malaka sebagai Pangkalan bagi Penyerangan ke Jawa oleh Inggris
Pada tahun 1811, Lord Minto, Gubernur Jenderal EIC di India memutuskan
untuk menaklukkan pulau Jawa, yang saat itu dikuasai oleh Belanda sebagai sekutu
Prancis. Untuk merealisasikan keputusannya itu, suatu ekspedisi gabungan angkatan
laut dan darat yang kuat disiapkan. Dari India, pasukan disiapkan dari Bombay,
Benggala dan Madras.
Armada Bombay mengirim satu divisi delapan kapal di bawah Komodor
Hayer. Divisi ini terdiri atas 20 kapal di bawah komando Maxfield, kapal
Mourington di bawah pimpinan kapten Pearce dengan 20 meriam, kapal Cunora
dibawah komando Kapten Watkins dengan 16 meriam, kapal Nautilus dibawah
komando Komodor Walker dengan 14 meriam, kapal Vestal dengan 12 meriam di
bawah komando Komandan Hall, kapal Criel dengan 12 meriam di bawah Komandan
Macdonald, kapal Thetis dengan 12 meriam di bawah Letnan Philip dan kapal Psyke
di bawah Letnan Tamer dengan 12 meriam. Kapal-kapal ini diiringi dengan 57 kapal
pengangkut. Dengan demikian hampir 100 buah kapal meninggalkan India.
Pada tanggal 11 April 1811 divisi pertama dari pasukan ekspedisi darat di
bawah komando Kolonel Robert Holo Gillespie berangkat dari Madras, dikawal oleh
fregat Caroline menuju ke Penang, yang saat itu dikenal sebagai pelabuhan Prince of
Wales, yang merupakan titik pertemuan (meeting point) yang pertama. Tiga hari
15
kemudian, divisi militer kedua tiba di bawah Mayor Jenderal Frederich Wetherall
yang dikawal oleh fregat Pheaton. Semua tim ekspedisi harus meninggalkan Penang
pada tanggal 24 Mei 1811, dan baru tiba di Malaka tanggal 1 Juni 1811 sebagai titik
pertemuan kedua. Di Malaka telah menunggu pasukan dari Benggala yang dikawal
oleh fregat Camelia. Pasukan itu telah tiba di sana 6 minggu sebelumnya.
Lord Minto yang mengikuti persiapan dan pemberangkatan ekspedisi ini
berangkat dengan menggunakan kapal Modeste. Panglima ekspedisi Letnan jenderal
Sir Samuel Auchmuty berada di kapal Akbar. Pada tanggal 12 Juni ekspedisi
berangkat meninggalkan Malaka. Seluruh pasukan berjumlah 10.700 orang termasuk
5.000 tentara Eropa. Mereka melewati Selat Malaka menuju ke High Islands yang
dijadikan titik temu ketiga. Pada tanggal 3 Juni ekpedisi ini telah memasuki Lautan
Hindia. Ekspedisi menuju ke pelabuhan Tanjung Sambar di ujung barat daya Borneo,
yang dijadikan titik temu yang keempat. Letnan Jenderal Auchmuty mengumpulkan
semua pasukan dan pada tanggal 27 Juli 1811 ekspedisi ini berangkat menuju ke
pulau Jawa.18
Pada tanggal 30 Juli ekspedisi ini telah sampai di pulau Bumpheir, dekat
Sungai Indramayu, untuk mengamati kembalinya fregat yang dikirim untuk tujuan
pengintaian. Fregat ini bergabung kembali dengan tim ekspedisi lainnya pada tanggal
3 Agustus 1811. Pada hari itu, ekspedisi kembali berlayar dan mereka bertemu
dengan kapal-kapal yang memantau pantai di bawah komando Kolonel Mackenzie.
Karena pantai Cilincing yang dianggap cocok untuk pendaratan jaraknya 10 mil dari
kota Batavia, semua armada yang beristirahat pada siang hari diharuskan untuk segera
melanjutkan perjalanan dan melakukan pendaratan. Pada tanggal 3 Agustus
ekspedisi melewati Ujung Krawang dan pada petang harinya melewati Sungai
Marunda.
Di sini kapal-kapal menunggu air laut pasang.Pada tanggal 4 Agustus pukul 2
sore, mereka tiba di Cilincing dan mempersiapkan untuk pendaratan. Semua pasukan
peserta ekspedisi ini telah dibagi menjadi empat brigade. Persiapan pendaratan
dilakukan pada petang harinya. Pasukan perintis Inggris langsung didaratkan,
sementara pasukan dari Saxen-Weimar yang merupakan pasukan kavaleri dan artileri
18 Sumber lain mengatakan bahwa ekspedisi sampai di Tanjung Sambar pada tanggal 20 Juli 1811, dan sehari kemudian ekspedisi ini meninggalkan Tanjung Sambar menuju ke Jawa. (IMT 1877 Jilid 1
16
baru didaratkan pada tanggal 5 Agustus. Pada tanggal 4 malam, konflik terjadi antara
penjaga pos terdepan dan pasukan patroli kavaleri Belanda-Prancis. Namun,
peristiwa ini tidak menghambat gerak laju pasukan Inggris ke Batavia. Pada tanggal 5
Agustus, pasukan Inggris bergerak melalui Cakung dan Pulo Gadung, yang jaraknya
6 mil dari Cilincing. Akan tetapi, jalur ini menghadapi banyak kesulitan dan serangan
dari pihak Belanda. Oleh karena itu, diputuskan untuk menarik pasukan ini dan
menyatukannya dengan pasukan yang menuju ke Batavia.
Pasukan perintis di bawah kolonel Gillespie menerobos masuk ke
perkampungan dengan tujuan untuk mencapai jalan ke benteng Meester Cornelis.
Tanpa diduga, pada tanggal 8 pagi, Letnan Jenderal Auchmuty mengirim ajudannya
untuk memantau kota. Mereka kembali dengan membawa Kepala Pengadilan Belanda
yang dikirim oleh warga untuk meminta perlindungan dari Inggris. Ketika kota
Batavia diserahkan, tembakan penghormatan dilepaskan dari kapal perang kerajaan,
dan pada petang hari, Kolonel Gillespie bersama sebagian besar pasukan perintis
yang berjumlah kira-kira 1.000 orang memasuki kota dan mendudukinya. Pada
tanggal 9 Agustus petang, Laksamana Stopford dengan kapal Scipron bergabung
dengan ekspedisi itu dan mengambil alih kendali semua armada.
Setelah ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang tanggal 18 September 1811,
Surabaya menyerah kepada Inggris tanpa perlawanan. Kemudian wilayah lain seperti
Makasar, Timor, dan semua wilayah jajahan Belanda-Prancis diduduki oleh pasukan
Inggris. Dengan demikian, peperangan panjang telah berakhir. Jawa dengan Gubernur
pertamanya Sir Stamford Raffles tetap dalam kondisi tidak aman. Jawa tetap
dijadikan bagian dari India. Oleh karena itu, jabatan Raffles di Batavia bukan
Gubernur Jenderal, melainkan Letnan Gubernur Jenderal. Untuk mengamankan
wilayah ini, ia memerlukan pasukan militer yang besar dan sebagian armada
termasuk beberapa kapal penjelajah milik Kompeni EIC.
4. Kesimpulan
Rencana penaklukan Jawa oleh Lord Minto sudah lama dirancang, namun
sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena kurangnya orang yang memiliki
pengetahuan akan situasi dan kondisi di Jawa. Di kalangan para petinggi Inggris,
khususnya di antara para perwira angkatan laut Kerajaan Inggris dan para pejabat EIC
17
di India, terdapat perbedaan pandangan. Dilihat dari nilai strategis, para perwira
armada Inggris memberikan prioritas pada Ceylon sebagai titik tolak penyerbuan ke
Jawa, sementara para pejabat EIC mempertimbangkan Malaka sebagai lokasi yang
lebih layak. Hal ini karena para pejabat EIC, terutama Lord Minto dan Raffles
memandang Malaka bukan hanya memiliki arti strategis tetapi juga ekonomi untuk
menaklukan Hindia Timur. Selain itu, Malaka merupakan pulau yang diserahkan oleh
Belanda kepada EIC sehingga di Malaka EIC memegang hak dominasi dan
administrasi sepenuhnya. Di sisi lain Penang lebih memiliki nilai strategis bagi
kekuatan armada Inggris karena secara geografis Penang memenuhi syarat bagi
pangkalan laut. Selain itu Penang merupakan pulau yang langsung berada di bawah
kontrol angkatan laut Inggris (British Navy Admiralty).
Ketegangan ini berlangsung bertahun-tahun tetapi akhirnya berhasil diatasi
dengan kedatangan Marsekal Daendels sebagai Gubernur Jenderal Belanda di Jawa.
Dengan melihat strategi Daendels, para pejabat Inggris menyatukan pendapat untuk
menggunakan Malaka dan Penang sebagai titik tolak penyerbuan dengan
pertimbangan lebih mudah mengawasi strategi pertahanan Prancis-Belanda di Jawa.
Untuk itu pemerintah Inggris di London memutuskan untuk segera mengirim pasukan
yang bertugas menguasai Jawa. Setelah Jawa dan wilayah lain dikuasai Inggris, Jawa
dijadikan bagian dari India. Jabatan yang diberikan kepada Raffles adalah Letnan
Gubernur Jenderal yang bertanggung jawab kepada atasannya Lord Minto yang
menjabat sebagai Gubernur jenderal di Calcutta.
Ditinjau dari konteks strategi Inggris untuk menaklukan Jawa dari India,
posisi Malaka dan Penang sangat strategis dan taktis. Keduanya bukan hanya
merupakan pangkalan singgah melainkan juga sebagai meeting point bagi suatu
armada tempur. Tanpa adanya Malaka, armada laut Inggris akan kesulitan karena
jarak antara India dan Jawa terlalu jauh sehingga kebutuhan logistik tidak mungkin
terpenuhi bagi seluruh pasukan ekspedisi. Secara taktis, kedua pangkalan di selat
Malaka ini merupakan pangkalan bagi pemantau mobilitas dan kekuatan tempur
pasukan Belanda-Prancis di Jawa. Tempat pemantauan ini tidak mungkin dilakukan
dari Ceylon maupun India yang terlalu jauh dari Jawa. Dengan kejatuhan Jawa
setelah Malaka dan Penang, seluruh kawasan ekonomi di sebelah timur Tanjung
Harapan yang bersumber dari pusat-pusat produksi di Asia Timur berada di bawah
18
pengaruh Inggris. Ini merupakan bukti dari ancaman Inggris untuk membalas sistem
kontinental yang mengisolir Inggris di Eropa.
19
BIBLIOGRAFI
Andaya, Barbara Watson. “Malaka under the Dutch 1641—1795” dalam The Transformation of a Malay Capital, Bab VIII. Malaka: The Kernial Singh Sandhu.
Collis, Maurice. 2000. Raffles. Singapore: Graham Brash. Coupland, R. 1926. Raffles 1781—1826. Bab IV. London: Oxford University Press. Daendels, Herman Willem. 1814. Staat der nederlandsche oostindische Bezittingen
onder het Bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels. ‘s Gravenhage.
Deventer, S. Van. 1865. Bijdragen tot de Kennis van het landeleijk Stelsel op Java.
Eerste deel. Zalt Bommel, John Noman en Zoon. Deventer, M.L. 1891 “Daendels-Raffles” dalam Indische Gids Jilid I . Doel, van den. 1994. De Stille Macht: Het Europese Binnenlands Bestuur op Java en
Madoera 1808—1942. Amsterdam: Uitgeerij Bert Bakker. Duby, George.1995. Histoire de la France. Paris: Larousse. Eerde, J.C. van. 1929. “De personlijke verhouding tusschen Raffles en Muntinghe”
dalam Indische Gids Jilid I. Faber, von GH. 1931. Oud Soerabaia. Uitgegeven door de gemeente Soerabaia ter
gelegenheid van haar zilveren jubileum op 1 April 1931. Hageman, J. “De Engelschen op Java” dalam Tijdschrift van bataviaasch
Genootschap voor Taal-, Land, en Volkenkunde. Jilid IV tahun 1857. Harrison, Brian. 1954. South-East Asia: A Short History. Bab XII. London:
Macmillan & Co. Hooyer, GB. 1895. De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch Indie van 1811—1894.
Batavia: G. Kolff & Co. Hullu, J. De. 1919. “De Engelschen in 1811 door Hendrik Merkus de Kock” dalam
Indische Gids, Jilid II.
20
Marihandono, Djoko. 2005.Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808—1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte. Disertasi. Depok: Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
-----------------.2004. Jatuhnya Pulau Jawa ke Tangan Inggris: Kesalahan Strategi
Pertahanan Jan Willem Janssens. Seminar hasil penelitian pengajar Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Mangkudilaga, Machfudi. 1981. Bunga Rampai Sejarah ketatanegaraan Hindia
Belanda. Jakarta: Arsip Nasional RI Mijer, P. 1839. “Geshiedenis der Nederlandsche Oost Indie Bezittingen onder de
Franche Heerschappij” dalam Tijdschrift voor Nederlandsche Indie. Jilid II, tahun ke-2.
Muhlenfeld. A. 1929. “Betrekking tusschen Ile de France en Java in het eerste
decennium der 19de eeuw” dalam Feestbundel nij Gelegenheid van 150 Jarig Bestaan 1778. Weltevreden: G. Koff.
Kennedy, J. History of Malaya 1400—1959. Bab IV. London: Macmillan&Co. Norman, HD Levyssohn. 1857. De Britsche heerschappij over Java en
Onderhoorigheden (1811—1816). ‘S Gravenhage: Gebroeders Belinfante. NN. 1896. “Europeesche Zeden op Java in Daendels’ Tijd” dalam Indiscje Gids. Jilid
I, hal: 81-82. NN. 1871. “De Verdiging van Java 1808—1811” dalam Indische Military Tijdschrift.
Batavia: Bruincing&Wijt. NN. 1895.”Een Bijdrage tot de Geschiedenis van Java’s Verovering in 1811”. Dalam
BKI, Jilid XLV. NN. 1877. “Bijdrage tot de Geschiedenis de Verovering van Java door Engelschen
over het jaar 1811” dalam Indische Militaire Tijdschrift. Jilid I. Pompe, kapten. 1872. Geschiedenis der Nederlandsche Overzeesche Bezittingen.
Schoonhoven, SE van Nooten. Roo, LWG de. 1867. “JW Cranssen te Ternate 13 September 1799—18Juni 1801”
dalam TBG Jilid XVI. Stapel, FW. 1940. Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Amsterdam: Joost van den
Vondel.
21
Gambar 1: Pangkalan British Admiralty di Tanjung Harapan
Gambar 2:
Rute Ekspedisi Penaklukan Pulau Jawa
22
Gambar 3:
Malaka Pusat EIC di Asia Tenggara
Gambar 4:
Peta Tanjung Sambar sebagai meeting point ke-empat