NILAI SEJARAH DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA...
Transcript of NILAI SEJARAH DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA...
NILAI SEJARAH
DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Dio Mohamad Nurdiansah
109013000120
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
NILAI SEJARAH
DALAN{ NOVEL PULANG
KARYA LEILA S. CHUDORT
DAN IMPLIKASTNYA TBRHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA TNDONESIA
SKR1PSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pendidikan (S.pd.)
Oleh
Dio l\fohamad Nurdiansah
I09013000120
a
JURUSAN PENDIDIKAI\ BAHASA DAI\ SASTRA INDONESTA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IJI\TVERSITAS TSLAM NBGE,RI SYARIF HTDAYATULLAH
JAKARTA
201s
iBar.vah Bimbingan
embimbing
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Nilai Sejarah dalam Novel Pulung karya Leila S. Chudori danImplikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia disusun oleh DIOMOHAMAD NURDIANSAH Nomor Induk Mahasisu,a 109013000120, diajukan kepadaFakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telahdinyatakan lulus dalam Ltjian Munaqasah pada tanggalT April2015 di hadapan dervanpenguji Karena itu. penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.pd) dalam bidangPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta, 7 April 2015Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Sidang (Ketua Program Studi pendidikan Bahasadan Sastra Indonesia)Dra. Hindun, M.PdNIP. 19701215 20A9D 2 001
Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa dan SastraIndonesiaDona Aji Karunia Putra, i\{ANIP 1984040920t101 I 01s
Penguji IDr. Siti Nuri Nurhaidah, NrtANlP.
Penguji IlAhmad Bahtiar, M. HumNIP 19760118 200912 I 002
Tanggal
\Ll ,4yn l/uli
tY/01 t5
Mengetahui,
Itas Tarbiyah dan KeguruanSyarif Hidayatullah
ib Raya, M.A)198203 1 007
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
nama
tempat, tanggal lahir
}JIM
jurusan
judul skripsi
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS
: Dio Mohamad Nurdiansah
: Jakart4 15 Mei 1990
.109013000120
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Irrdonesia
: Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karyaLeila S. Chudori dan Implikasinya terhadapPembela_iaran Bahasa dan Sastra Indonesia
:Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum.dosen pernbimbing
Dengan ini menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (Sl) diUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlak-u di Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya ataumerupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersediamenerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta.
Jaka
mtffimzum.EMPEIL
NIM 109013000120
i
ABSTRAK
Dio Mohamad Nurdiansah, 109013000120, “Nilai Sejarah dalam Novel Pulang
karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing:
Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum.
Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana nilai
sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori? 2. Bagaimana implikasi nilai
sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia? Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan nilai sejarah
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Memaparkan implikasi nilai sejarah
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk
mendeskripsikan data berupa unsur-unsur pembangun novel dan nilai sejarah
yang terkandung dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat karena
data-datanya berupa teks. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis
dokumen yaitu novel Pulang karya Leila S. Chudori dan studi pustaka untuk
mencari dan mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian mengenai nilai
sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Nilai Sejarah yang diperoleh berupa Tragedi 1965, Masa Pemerintahan Soeharto,
dan Tragedi 1998. Penelitian mengenai nilai sejarah dalam novel Pulang ini dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas XI semester 2.
Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek mendengarkan dengan memahami
pembacaan novel. Kompetensi Dasar yang sesuai yakni menemukan nilai-nilai
dalam novel yang dibacakan.
Kata Kunci: Sejarah, Novel, Pulang, Leila S. Chudori
ii
ABSTRACT
Dio Mohamad Nurdiansah, 109013000120, "The Value of History in Novel Pulang
by Leila S. Chudori and Implications of Learning Indonesian Language and
Literature", Language and Literature Education Majors of Indonesia, Faculty of
Science Education and Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Supervisor: Drs.
Jamal D. Rahman, M. Hum.
This study has a formulation of the problem as follows: 1. How the value of history in
the novel Pulang by Leila S. Chudori? 2. What are the implications of historical value
in the novel Pulang by Leila S. Chudori towards learning the language and literature
Indonesia? Purpose of this study is to explain the elements of the novel builder
Pulang by Leila S. Chudori. Explain the value of history in the novel Pulang by Leila
S. Chudori. Describe the implications of historical value in the novel Pulang by Leila
S. Chudori towards learning Indonesian language and literature.
Methods used in this study is a qualitative method for describing data in the form of
elements builders novel and historical value contained in the novel Pulang Leila S.
Chudori. Data collection techniques used in this study is the technique of note
because the data in the form of text. Engineering research is the analysis of a
document that is novel Pulang by Leila S. Chudori and literature to find and collect
the literature which supports research on the value of history in the novel Pulang by
Leila S. Chudori and its implications for learning Indonesian language and literature.
Historical value obtained in the form of Tragedy 1965, The Reign of Soeharto, and
Tragedy in May 1998. Research on the value of history in the novel can be implied to
learning Indonesian Language and Literature in the Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) in the eleventh grade high school semesters 2. Competency
Standards corresponding to listen to understand the aspects of reading novels. Basic
Competence corresponding if find the values in the novel read.
Keywords: History, Novel, Pulang, Leila S. Chudori
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., yang telah
memberikan rezeki dan karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
berjudul Nilai Sejarah dalam Novel “Pulang” karya Leila S. Chudori dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Salawat serta
salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., beserta kerabat,
keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun
dapat dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A,. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dona Aji Kurnia, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi
penulis;
5. Dr. Siti Nuri Nurhaidah, MA., selaku dosen penguji I skripsi penulis;
6. Ahmad Bahtiar, M.Hum., selaku dosen penguji II skripsi penulis;
7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;
iv
8. Keluarga penulis yakni Bapak Bambang Eddy Usmanto, Ibu Nurochwati,
Geno Mohamad Nurdiansah, dan Amalia Rachmadanty yang senantiasa
mendukung dan memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi ini;
9. Mba Ivan dan Mas Hendi yang telah memotivasi dan meminjamkan
printernya demi mendukung penulis dalam proses penulisan skripsi ini;
10. Naila Mufidah, M. Ismar Jamal Akbar, Saepul Bahri, Shibgoh, Ahmad
Ridho, Maria Ulfah, dan Wiwien Winarti beserta kawan-kawan Permasi
yang telah meluangkan waktu untuk membelikan kertas A4, memberikan
motivasi, dan tidak berisik disaat penulis sedang mengerjakan skripsi ini;
11. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas
partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan
kritik membangun terhadap karya tulis ini.
Wassalamualaikum wr.wb.
Jakarta, Februari 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................ 3
C. Pembatasan Masalah ....................................................... 3
D. Rumusan Masalah ........................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ............................................................ 4
F. Manfaat Penelitian .......................................................... 4
G. Metodologi Penelitian ..................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................... 8
A. Nilai Sejarah .................................................................... 8
B. Novel ............................................................................... 10
C. Unsur Intrinsik Prosa ...................................................... 11
D. Pendekatan Mimetik........................................................ 14
E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .................... 15
F. Penelitian yang Relevan .................................................. 17
BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ................................... 21
A. Biografi Leila S. Chudori ................................................ 21
B. Sinopsis Novel Pulang .................................................... 23
vi
BAB IV NILAI SEJARAH DALAM NOVEL PULANG
KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA ....................................................... 25
A. Unsur Intrinsik Prosa ...................................................... 25
1. Tema .......................................................................... 25
2. Tokoh dan Penokohan ............................................... 26
3. Alur ........................................................................... 33
4. Latar .......................................................................... 36
5. Sudut Pandang ........................................................... 38
6. Gaya Penceritaan ....................................................... 42
B. Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S.
Chudori ............................................................................ 44
1. Indonesia Periode 1965-1966 ................................... 44
2. Indonesia Periode 1966-1998 ................................... 48
C. Implikasi terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia ........................................... 59
BAB V PENUTUP ............................................................................ 63
A. Simpulan ......................................................................... 63
B. Saran ................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ vii
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Karya sastra menawarkan
berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.
Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan kesungguhan dan
kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan
pandangannya. Sastra sebagai cermin dari kehidupan tersebut tentu saja
menawarkan bentuk penyampaian intuitif yang khas. Dengan bahasa yang
menjadi alat dalam sastra, aspek sastra tidak terlepas dari teks atau tulisan. Sastra
sendiri dibangun dari tiga unsur perwujudan bahasa yakni puisi, prosa, dan drama.
Sastra dan sejarah memiliki hubungan yang sangat dekat tapi jauh, jauh
tapi dekat. Paradoks ini tak terhindarkan, karena di satu sisi sejarah kerapkali
menjadi sumber sastra, dan sastra merupakan salah satu sumber sejarah, terutama
ketika sastra dahulu merupakan sumber tertulis utama karena minimnya sumber-
sumber lain dalam merekonstruksi sejarah. Dalam konteks itulah, hubungan sastra
dan sejarah amat dekat.
Namun di sisi lain, sejarah tetaplah sejarah dan sastra tetaplah sastra.
Sejarah berdasarkan faktualitas sedangkan sastra berdasarkan fiksionalitas yang
menjadikan hubungan sejarah dan sastra mengalami ketegangan abadi antara fakta
dan fiksi, membuat jarak antara sejarah dan satra amat jauh. Namun demikian, di
tengah ketegangan abadi itu, sejarah dan sastra tak pernah benar – benar terpisah.
Banyak karya sastra kita hingga sekarang bersumberkan sejarah, atau sejarah
ditulis dalam bentuk karya sastra.
Semua itu menunjukan bahwa sejarah dan sastra memiliki hubungan
penting. Sudah tentu sejarah merupakan salah satu sumber karya sastra dari waktu
2
ke waktu, dari satu peristiwa ke lain peristiwa. Jikalau karya satra tidak bisa
dijadikan sumber sejarah, ia toh merefleksikan suatu sikap terhadap sejarah.1
Novel dalam ilmu kesusastraan merupakan salah satu bentuk prosa. Novel
memiliki kekhasan yakni jalan cerita yang kompleks. Permasalahan yang
disampaikan seorang penulis novel dapat terdiri dari berbagai macam hal.
Berbagai hal tersebut tentu saja erat kaitannya dengan kehidupan para tokoh yang
dimunculkan oleh penulis. Cerita yang dihadirkan dalam novel tak ubahnya
sebagai sebuah catatan sejarah dari kehidupan tokoh. Lebih jauh dari itu, dapat
pula tokoh memasuki suatu peristiwa penting yang menjadi sejarah.
Beberapa karya prosa baik novel maupun cerpen banyak kita temui bukan
hanya bernilai hiburan dan estetika semata, melainkan juga berisi kandungan
sejarah. Sebut saja beberapa judul seperti novel-novel ‘Tetralogi Buru’ karya
Pramoedya Ananta Toer, novel Kubah karya Ahmad Tohari, cerpen Clara karya
Seno Gumira Ajidarma. Karya-karya tersebut seolah membantu ingatan kita
kembali pada peristiwa-peristiwa penting yang hadir lewat pelataran dalam
penceritaan karya-karya tersebut.
Salah satu novel yang memuat nilai sejarah yakni karya Leila S. Chudori
yang berjudul Pulang. Pada umumnya, pengarang meleburkan fakta dan tema
dengan bantuan sarana-sarana sastra seperti konflik, sudut pandang, simbolisme,
ironi, dan sebagainya.2 Leila S. Chudori menulis cerita Pulang dengan bantuan
sarana-sarana sastra tersebut. Dia menjadikan sejarah sebagai peristiwa kehidupan
tokoh-tokohnya dengan penyusunan konflik yang terjadi, sudut pandang dari
berbagai tokoh yang seolah memosisikan mereka sebagai narasumber, simbol-
simbol pewayangan yang menciptakan nuansa romantisme, dan masih banyak hal
lain yang mengesankan bahwa sejarah bukan hanya dapat dibaca dari buku-buku
sejarah atau film dokumentasi, melainkan juga mampu disampaikan lewat
kandungan nilai sejarah dalam jalinan cerita pada novel Pulangnya tersebut.
1 Jurnal kritik, teori dan kajian sastra. sejarah di hadapan sastra, nomer 3 tahun II, 2012, h. 4
2 Stanton, Robert. Teori Fiksi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 9.
3
Nilai sejarah dalam novel Pulang dapat dipahami dari latar sejarah yang
digunakan Leila S. Chudori untuk membangun kisah dalam novelnya. Itulah
sebabnya untuk memahami pengalaman yang digambarkan oleh cerita, hendaknya
dipahami terlebih dulu fakta-fakta dan tema yang menjadi elemen-elemennya.3
Nilai sejarah dalam novel Pulang menjadikan novel tersebut memiliki sisi lebih
dalam mencerminkan peristiwa di dalam masyarakat yang saat ini sudah banyak
mengenyampingkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang dialami oleh rakyat
Indonesia.
Oleh karena itulah, karya sastra sangatlah penting untuk membuka pikiran
para siswa di Indonesia agar dapat merasakan getirnya perjuangan bangsa yang
berliku dan diharapkan dapat menumbuhkan rasa nasionalisme yang begitu besar
dan memperjuangkan hingga tetes darah penghabisan dengan terus belajar dan
berkembang memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah penelitian ini adalah:
1. Terdapat novel yang bisa dijadikan salah satu sumber sejarah.
2. Diperlukannya penelitian terhadap nilai sejarah dalam novel.
3. Kurangnya perhatian terhadap pembelajaran nilai sejarah dalam novel
beserta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah peneliti, maka pembatasan masalah yaitu
Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
3Ibid., h. 12.
4
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalahnya
adalah:
1. Bagaimana nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori?
2. Bagaimana implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
2. Memaparkan implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai pengembangan di bidang sastra terutama dalam mengkaji nilai
sejarah yang terkandung dalam novel. Selain itu juga diharapkan dapat
memberikan sumbangsih penelitian ilmiah terhadap karya prosa.
2. Manfaat praktis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai pengembangan di bidang pendidikan baik bagi para pendidik dan
mahasiswa kependidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari implikasi
penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, sedangkan methodos itu
sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui,
mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian
5
lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas,
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat
berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk
menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan
dipahami.4
Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi.5 Tujuan dari penelitian kualitatif ini
adalah untuk menyajikan penafsiran secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselediki.
Lebih jauh, para ahli merumuskan penelitian kualitatif sebagai berikut:
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,
pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersbeut secara holistik
(utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya
sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.
David Williams menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan
data pada sutu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan
dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Jelas
definisi ini memberi gambaran bahwa peneltian kualitatif mengutamakan
latar alamiah, metode alamiah, dan dilakuikan oleh orang yang
mempunyai perhatian alamiah.
Penulis buku penelitian kualitatif lainnya (Denzin dan Lincoln 1987)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian uang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Dari segi pengertian ini, para penulis masih tetap mempersoalkan latar
alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan
fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian kualitatif adalah
berbagai macam metode penelitian. Dalam penelitian kualitatif metode
4Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-3 2007), h. 34. 5Ibid., h. 46.
6
yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan
pemanfaatan dokumen.6
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapatlah disintesiskan bahwa
penelitian kaulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.7
Metode penelitian kualitatif yang digunakan penulis yaitu content analysis
atau analisis isi. Penelitian ini berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi
dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Penelitian ini dengan
menggunakan analisis isi mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang
menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode
analisis isi digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen. Dalam penelitian
ini dokumen yang dimaksud adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen,
yaitu berupa novel berjudul Pulang karya Leila S. Chudori. Data tersebut
merupakan novel yang diterbitkan pada cetakan kedua, Januari 2013 oleh
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah:
1. Teknik inventarisasi
Dalam teknik ini peneliti melakukan inventarisasi terhadap novel yang
memiliki nilai sejarah yakni novel Pulang karya Leila S. Chudori.
2. Teknik baca simak
6Dikutip dalam Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Rosda Karya, 2011), Cet. 29, h. 4. 7Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda
Karya, 2011), Cet. 29, h. 6.
7
Dalam teknik ini peneliti membaca, menelaah, memahami, dan
mengidentifikasikan nilai sejarah dalam novel tersebut.
3. Teknik pencatatan
Dalam teknik ini peneliti mencatat hal-hal penting yang mendukung
nilai sejarah dalam novel tersebut.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga
komponen, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
a. Reduksi data
Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci.
Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang
akan dianalisis, yaitu nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S.
Chudori.
b. Penyajian data
Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun
secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut
kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi mengenai nilai sejarah
yang terkandung dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
c. Penarikan simpulan
Pada tahap ini dibuat kesimpulan mengenai hasil dari data yang diperoleh
sejak awal penelitian. Penarikan kesimpulan memuat hasil data berupa
nilai sejarah apa saja yang disampaikan penulis lewat novel Pulang karya
Leila S. Chudori.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Penelitian terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori tentu saja
memerlukan landasan teori. Penjelasan mengenai teori-teori yang berhubungan
dengan penelitian sangat penting dilakukan sebelum menyajikan hasil penelitian.
Teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian terhadap novel Pulang ini
dapat dipaparkan sebagai berikut.
A. Nilai Sejarah
Nilai atau value (Inggris) atau valere (Latin) berarti berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu
dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek
kepentingan.1 Filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas menyatakan, nilai adalah the
addressee of a yes, ―sesuatu yang ditujukan dengan ‗ya‘‖, karena nilai selalu
mempunyai konotasi positif sehingga nilai menjadi sesuatu yang kita benarkan
dan kita aminkan.2 Dalam Ensiklopedi Britanica yang dikutip oleh Noor Syam
menyebutkan bahwa nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu
objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.3
Sejarah berasal dari kata syajarah yakni dari bahasa Arab yang berarti
pohon. Kata ini masuk ke Indonesia sesudah terjadi akulturasi antara kebudayaan
Indonesia dengan kebudayaan Islam. Dalam kaitan tersebut, hadir bermacam-
macam pengertian ―sejarah‖ yaitu silsilah, riwayat, babad, tambo atau tarikh.4
Sejarah dalam arti sempit mempelajari manusia masa lampau, sepanjang
hal itu dapat diteliti dari keterangan-keterangan tertulis yang berasal dari
1Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak ; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan
Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h.
29. 2Bertened, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. 11, h. 149.
3Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 46.
4Ibid., h. 27.
9
zamannya dan kemudian sampai kepada kita. Dalam arti luas sejarah berusaha
mengungkapkan manusia masa lalu dalam menjalani riwayatnya sejak dari mula,
tidak peduli apakah keterangan yang ditinggalkannya berupa keterangan tertulis
atau bukan.5
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sejarah mengandung
tiga pengertian yaitu: asal-usul (keturunan) silsilah; kejadian dan peristiwa yang
benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat; tambo, pengetahuan atau uraian
tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau; ilmu
sejarah.
Beberapa pengertian dari sejarah salah satunya dipaparkan oleh Louis
Gottschalk sebagaimana berikut ini.
Sejarah—dalam bahasa Inggris history—berasal dari kata benda Yunani
istoria yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani
Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan sistematis mengenai
seperangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan faktor atau
tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu meskipun jarang, masih tetap
hidup di dalam bahasa Inggris yang disebut natural history.6
Pengertian lain mengenai sejarah dapat dilihat dari pemaparan Jan Romein
berikut ini.
Kata history berarti ―masa lampau umat manusia‖. Bandingkan dengan
kata Jerman untuk sejarah, yakni geschichte, yang berasal dari kata
geschehen yang berarti terjadi. Geschichte adalah sesuatu yang telah
terjadi. Peristiwa dan kejadian itu benar-benar terjadi pada masa lampau.7.
Nilai sejarah yaitu pendekatan karya sastra yang melihat satu fenomena
atau gejala sejarah. Karya sastra dipahami selalu berkaitan dengan masa lalu
karena karya satra terlahir sebagai buah karya seorang pengarang, maka
keterkaitan masa lalu itu juga berlaku untuk pengarang, sejarah sastra dengan
implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu.
5 Dra. Sugihastuti, M.S., Teori Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet ke-2.
2007), h. 161. 6Dikutip dari Prof. Drs. H. Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat
Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta. 2002, h. 27. 7Ibid., h. 27.
10
Nilai sejarah adalah hal-hal yang erat kaitannya dengan sejarah. Waktu
yang telah lewat sudahlah lewat, tidak dapat diraih atau dikejar lagi. Begitu juga
dengan peristiwa-peristiwa yang hanya sekali terjadi. Oleh karena itu, semua
peristiwa yang telah lewat tidak dapat ditemui lagi dan tidak akan terulang
kembali. Peristiwa yang telah lewat itu dapat juga sampai kepada manusia karena
meninggalkan jejak. Jejak tersebut menjadi komponen penting yang tidak dapat
ditinggalkan dalam penulisan sejarah.
B. Novel
Dalam bidang sastra, prosa sering dihubungkan dengan kata fiksi. Kita
sering mendengar kata prosa fiksi. Kata fiksi berarti khayalan atau tidak
berdasarkan kenyataan. Padahal dalam kenyataan, karya sastra yang berwujud
prosa diciptakan dengan bahan gabungan antara kenyataan dan khayalan. Banyak
karya prosa yang justru idenya berangkat dari kenyataan.8
Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan
dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi
tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu
dengan pemeranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak
dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.9
Karya fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam
bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai
macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar
panjang-pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang
mendukung cerita itu sendiri.10
Bentuk karya fiksi yang terkenal dewasa ini adalah novel dan cerita
pendek (cerpen). Dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab roman
hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia.
Digunakannya istilah roman waktu itu adalah wajar karena sastrawan di Indonesia
waktu itu umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, yang lazim menamakan
bentuk ini dengan roman.
Di antara para ahli teori sastra kita memang ada yang membedakan antara
novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu
8 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: Grassindo. 2008), h. 127.
9 Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. (Yogyakarta: Sinar Baru. 1987), h. 66
10 Ibid., h. 66
11
konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan
yang tegas: sedangkan roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik
kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-
kanak sampai dewasa dan meninggalkan dunia. Novel merupakan karya fiksi
yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan
disajikan dengan halus.11
C. Unsur Intrinsik Prosa
Berbicara mengenai anatomi fiksi berarti berbicara tentang struktur fiksi
atau unsur-unsur yang membangun fiksi itu. Struktur fiksi itu secara garis besar
dibagi atas dua bagian, yaitu : (1) Struktur luar (ekstrinsik) dan (2) struktur dalam
(intrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di
luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut,
misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik,
keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (intrinsik)
adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau
perwatakan tema, alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.12
1. Penokohan dan perwatakan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita.13
Tokoh cerita biasanya mengemban
suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan
(karakteristik) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-
tunduk, ucapan, atau sejalan tidaknya antara apa apa yang dikatakan dengan apa
yang dilakukan.14
Berdasarkan Kamus Istilah Sastra, tokoh adalah orang yang
memainkan peran dalam karya sastra. Penokohan adalah proses penampilah tokoh
dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita.15
Penokohan dapat dilakukan melalui teknik kisahan dan teknik ragaan. Watak dan
sifat tokoh terlihat dalam lakuan fisik (tindakan dan ujaran) dan lakuan rohani
(renungan atau pikiran).16
11
Semi, Atar. Anatomi Sastra. (Padang: Angkasa Raya. 1988), h. 32. 12
Atar Semi, op. cit., h. 35. 13
Atar Semi, op. cit., h. 79. 14
Atar Semi, op. cit., h. 37. 15
Atar Semi, op. cit., h. 206. 16
Zaidan, Abd., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007. op.cit., h. 206.
12
2. Tema
Menurut Aminuddin tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema
berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang
diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan
pemaparan oleh pengarangnya.17
Tema dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar.
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam
karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa
yang terkait dengan penokohan dan latar.18
Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut.
Yang menjadi unsur gagasan sentral adalah topik atau pokok pembicaraan dan
tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya. Jadi, secara praktis
dapat dikatakan pengertian tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat
pengarang.19
3. Alur (plot)
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang
disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.20
Berdasarkan Kamus Istilah Sastra alur
adalah unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra yang
memperlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan antara lain oleh
hubungan sebab akibat, tokoh, tema, atau ketiganya.21
Menurut Abrams, alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-
tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita.22
Dengan demikian, alur itu merupakan perpaduan
unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.
17
Siswanto, op. cit., h. 161. 18
Hasanuddin WS, op.cit., h. 103. 19
Atar Semi, op. cit., h. 43. 20
Atar Semi, op. cit., h. 43. 21
Zaidan, Abd., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007. h. 26. 22
Siswanto, op. cit., h. 159.
13
4. Latar
Latar dalam Kamus Istilah Sastra diartikan sebagai waktu dan tempat
terjadinya lakuan di dalam karya sastra atau drama.23
Aminuddin memberi
batasan latar dalam karya fiksi berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta
memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.24
Latar cerita adalah lingkungan
tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang,
waktu.25
Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai fiksionalitas yang
secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah
diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas
suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang di dalam
drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama.26
5. Gaya Penceritaan
Menurut Aminuddin, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta
mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual
dan emosi pembaca.27
6. Titik Pandang/ Sudut Pandang
Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat
itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, temapt, waktu dengan gayanya
sendiri.28
Titik pandang oleh Aminuddin diartikan sebagai cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.29
Harry Shaw
menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam
23
Zaidan, op. cit., h. 118. 24
Aminudin, op. cit., h. 149. 25
Atar Semi, op. cit., h. 46. 26
Hasanuddin, op. cit., h. 94. 27
Siswanto, op. cit., h. 159. 28
Siswanto, op. cit. h. 151. 29
Siswanto, op. cit. h. 152.
14
waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2)
sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah
dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih
pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.30
D. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik merupakan suatu pendekatan yang setelah
menyelidiki karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu
dihubung-hubungkan hasil temuan itu dengan realita objektif. Betapapun sebuah
karya sastra sebagai otonom tetap masih mempunyai hubungan dengan
sumbernya, dan sampai sejauh mana hubungan tersebut perlu diselidiki lebih
lanjut. Otonomi sastra tidak berarti menghambat pencaharian hubungan data
imajinatif dengan data normatif dan data praktis dalam masyarakat yang
menghidupkan dan menyuburkan karya satra tersebut.31
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.32
Jadi,
pendekatan mimetik adalah kritik yang membahas dan menilai karya sastra
dihubungkan dengan realita atau kenyataan. Dalam kritik ini karya sastra
dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Karya sastra dianggap refleksi,
tiruan, ataupun cermin dari realitas.
Menurut Abrams, pendekatan mimetik atau mimesis merupakan
pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam
pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah
dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan
yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan
demikian karya seni berada dibawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh
Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya satra seni berusaha menyucikan jiwa
30 Siswanto, op. cit. h. 152.
31Hasanuddin, op. cit., h. 108.
32Siswanto, op. cit., h. 188.
15
manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun
dunianya sendiri.33
Dalam pandangan Lowenthal sastra sebagai cermin nilai dan perasaan,
akan meurjuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang
berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial.
Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan
pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat
berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya,
pengarang secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa
terlalu banyak diimajinasikan.
Karya sastra pada dasarnya merupakan karya ekspresif seorang pengarang,
tetapi di dalamnya juga kadang terungkap data yang menyangkut keadaan sosial
dari periode tertentu. Keadaan sosial seperti struktur sosial, kelas sosial, dan
lembaga-lembaga sosial, bahkan penggambaran keadaan sosial itu cenderung
lebih mendekati kenyataan dan tidak dilukiskan semata-mata menurut fantasi atau
imajinasi yang bebas.34
E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia bidang sastra adalah agar (1) peserta didik mampu menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.35
Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi
33
Nyoman, op. cit., h. 70. 34
Dudung Abdurrahman, M.Hum, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), h. 35. 35
Siswanto, op. cit., h. 212.
16
kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra
(puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan
tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi
kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai
dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra
meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya
satra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra
meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa,
drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai
sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.36
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial,
dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam
mempelajari semua bidang studi.37
Pembelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun
tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4.
Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial. 5. Menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 6. Menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan
isi dan jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu,
maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena itu,
36
Siswanto, op. cit., h. 212. 37
Euis Sulastri, Dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia 2, (Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. iv.
17
sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Proses
pembelajaran tetap berada pada aktivitas peserta didik sebagai subjek.38
Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun
demikian, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa.
Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pada pengajaran sastra
yang dasarnya mengemban misi afektif (memperkaya pengalaman siswa dan
menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya) yang
memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan
terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap
tata nilai –baik dalam konteks individual maupun sosial. Sastra memang tidak bisa
dikelompokan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan
bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi
dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca,
menyimak, maupun berbicara. Dalam prakteknya, pembelajaran sastra berupa
pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra,
dan berbicara sastra.
F. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian
berjudul Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot Robert
Stanton penulis Eko Sulistyo mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, 2014. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur plot novel
Pulang karya Leila S. Chudori. Pengetahuan mengenai struktur plot berguna
untuk meningkatkan apresiasi pembaca terhadap novel Pulang. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis
struktur plot novel Pulang dengan cara mendeskripsikan strukturnya terlebih
dahulu, kemudian mendeskripsikan aspek estetisnya. Teori yang digunakan adalah
teori struktural Robert Stanton. Robert Stanton menekankan pentingnya fungsi
dalam struktur sebuah karya sastra. Dalam plot Pulang, deskripsi identitas dan
38
Euis, op. cit., h. iv.
18
karakter tokoh, deskripsi latar, dan konflik-konflik ditampilkan dengan cara
sedikit demi sedikit. Penampilan yang sedikit demi sedikit berfungsi untuk
menciptakan suspense dan suprise. Plot Pulang bersifat rekat dan plausible. Rekat
dan plausible berfungsi untuk membuat Pulang seperti kenyataan. Untuk
menguatkan temanya, Pulang menggunakan ironi dramatis (ironi plot). Adapun
kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan,
sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah
penelitiannya.
Penelitian selanjutnya yang relevan dengan skripsi ini adalah Nilai
Historis Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer
dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
karya Nizar Maulana Akbar Shidiq mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peristiwa sejarah
yang ditampakkan pada novel tersebut dan untuk mengetahui implikasi aspek
historis novel tersebut dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam meneliti nilai
historis novel tersebut penulis menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan
mimetik adalah kritik yang membahas dan menilai karya sastra dihubungkan
dengan realitas atau kenyataan. Dalam kritik ini karya sastra dianggap sebagai
tiruan alam atau kehidupan. Karya sastra dianggap sebagai refleksi, tiruan,
ataupun cermin dari realitas. Sehingga dalam pemahamannya karya sastra dilihat
dalam hubungannya dengan realitas. Peristiwa sejarah pada tahun 1940-1950-an
yang terdapat di Indonesia khususnya Banten, menjadi latar novel tersebut,
peristiwa tersebut ada empat, yaitu peristiwa tentang pembuatan jalan pelabuhan
Ratu dan tambang mas Cikotok, penjajahan Jepang, penjajahan Belanda, dan
Pemberontakan Darul Islam. Dari semua peristiwa tersebut, peristiwa tetang
pemberontakan Darul Islam paling banyak, hal ini mendominasi dari keseluruhan
novel. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah
penelitian terhadap sejarah dalam novel. Sedangkan perbedaan penelitian ini
dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan. Nizar Maulana Akbar
19
Shidiq menggunakan novel berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan,
sedangkan penelitian ini menggunakan novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Penelitian selanjutnya yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian
yang dilakukan Annisa Rachmawati (NPM: 0702140022), Program Studi
Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok,
2016, Tinjauan Mengenai Aspek Realis dan Nilai Historis dalam Buku Afke’s
Tiental karya Nienke van Hichtum. Cerita fiksi yang mengangkat hal-hal yang
berangkat dari realitas kehidupan dikenal sebagai fiksi realistik, yaitu cerita yang
menampilkan model kehidupan sehari-hari. Buku Afke’s Tiental karya Nieken
Van Hichtum merupakan salah satu contohnya, sebuah buku yang menampilkan
gambaran nyata kehidupan keluarga pekerja di Belanda pada akhir abad ke-19.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan aspek realis dan nilai historis yang ada
dalam buku Afke’s Tiental dari segi isi dan bentuk untuk mengetahui hal-hal yang
diungkapkan dalam buku tersebut dan bagaimana cara mengungkapkannya.
Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi
berjudul Nasionalisme dan Refleksi Sejarah Indonesia Novel Burung-Burung
Manyar karya Y.B. Mangunwijaya yang ditulis oleh Mulyono (NIM:
2101506012), Progam Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, 2008. Hasil penelitian adalah sebagai
berikut. Pertama, nasionalisme umumnya selalu dipahami sebagai sebuah ideologi
yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan kepada
bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Namun, lain halnya
dengan Mangunwijaya yang melihat nasionalisme tidak terletak dalam
keikutsertaannya dalam suatu pihak yang disebut sebagai kebenaran tetapi, lebih
pada keberanian untuk memilih. Kedua, ternyata terdapat kaitan antara sastra dan
realitas sosial, termasuk di dalamnya sejarah. Di satu sisi penulis membuktikan
adanya kesejajaran antara nasionalisme dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia
dalam kurun waktu tahun 1934 – 1978 yang terbagi dalam peristiwa-peristiwa
selama penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, dan masa
Orde Baru dalam novel Burung-Burung Manyar dengan nasionalisme dan sejarah
20
perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun waktu tersebut, di sisi lain Y.B.
Mangunwijaya menyajikan beberapa fakta yang berbeda. Adapun kesamaan
penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian terhadap sejarah dalam
novel, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data
yang digunakan serta pendekatan yang digunakan.
Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi
berjudul Kajian Historisisme dalam Novel Keindahan dan Kesedihan karya
Yasunari Kawabata yang ditulis oleh Nurul Laili pada tahun 2012, Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang. Keindahan dan Kesedihan adalah satu roman yang
terkenal yang telah mendapakan hadiah nobel yang ditulis oleh Yasunari
Kawabata, salah satu roman yang dapat dianalisis dari studi yang berbeda dari
teori berkaitan kesusasteraan. Studi psikologi, feminisme, historisisme baru, dan
historisisme adalah salah satu contoh suatu teori yang pentas untuk meneliti
roman tersebut. Salah satu dari teori yang dapat menganalisis roman tersebut
adalah historisisme. Yanusari mendapatkan hadiah dari hasil bekerja dengan
pedoman memusatkan atas berbagai poin-poin dari pengarang dan kehidupan
masyarakat yang asli Jepang. Ia menulis berdasarkan pada suatu perbandingan
riwayat hidup pengarang dan pekerjaannya, pembaca dapat memahami bahwa
pengarang bertautan dalam berbagai format pengaturan dan peran di dalam roman
tersebut. Studi historisisme di dalam roman Kawabata mempertahankan nilai-nilai
Jepang yang tradisional yang mana mempertimbangkan juga hedonisme yang
membentang dalam kehidupan modern masyarakat Jepang.
21
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA
A. BIOGRAFI LEILA S. CHUDORI
Leila S. Chudori lahir di Jakarta 12 Desember 1962. Karya-karya awal
Leila dipublikasikan saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku,
dan Hai. Pada usia dini, ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah
Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andara.
Leila menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific
(United World Colleges) di Victoria, Kanada, dan dilanjutkan studi Political
Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada.
Selama itu ia menulis di majalah Zaman, Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity
(Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Buku kumpulan
cerita pendeknya Malam Terakhir (Pustaka Utama Grafiti, 1989; Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009, 2012) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die
Letzte Nacht (Horlemman Verlag).
Terakhir Leila menulis sekenario film pendek Drupadi (produksi sinemart
dan miles films, sutradara Riri Riza), sebuah tafsir kisah Mahabarata; dan film
Kata Maaf Terakhir (Maruli Ara, 2009) yang diproduksi sinemart.
Berbicara soal prestasi, Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat
beasiswa menempuh pendidikan di "Lester B. Pearson College of the Pacific
(United World Colleges)" di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan
Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Nama Leila S.
Chudori juga tercantum sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus
sastra "Dictionnaire des Creatrices" yang diterbitkan EDITIONS DES FEMMES,
Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan
profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni. Pada tahun 2001 Leila
menjadi salah satu juri Festival Film asia Pasifik yang diadakan di Jakarta.
22
Tahun 2002, Leila menjadi juri Festival Film Independen Indonesia SCTV.
Tahun 2010 dan 2011, Leila juga menjadi juri Indonesian Movie Awards, sebuah
festival film yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun televisi swasta, RCTI.
Leila adalah penggagas dan penulis sekenario drama televisi berjudul
Dunia Tanpa Koma (produksi sinemart, sutradara Maruli Ara) yang menampilkan
Dian Sastro Wardoyo dan ditayangkan di RCTI pada 2006. Drama televisi ini
mendapat penghargaan Sinetron Terpuji Festival Film Bandung 2007 dan Leila
menerima penghargaan sebagai Penulis Skenario Drama Terpuji pada festival dan
tahun yang sama.
Selain itu, Leila juga pernah menjadi editor tamu untuk jurnal sastra
berbahasa Inggris Menagerie bersama John McGlynnyang diterbitkan Yayasan
Lontar. Dan untuk kariernya, sejak tahun 1989 hingga kini, Leila bekerja sebagai
wartawan majalah berita Tempo. Bersama Bambang Bujono, Leila juga menjadi
editor buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di MajalahTempo. Di tahun-tahun awal,
Leila dipercayakan meliput masalah internasional terutama Filipina dan berhasil
mewawancarai Presiden Cory Aquino pada tahun 1989, 1991 di Istana
Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan
Tiannamen, Cina, WWC di Cambridge University pada tahun 1992, Presiden
Fidel Ramos di Manila pada tahun 1992, Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Mohamad di Jakarta, pada tahun 1992, Pemimpin PLO Yaseer Arafat pada tahun
1992 dan 2002 di Jakarta, Nelson Mandela pada tahun 1992 di Jakarta, dan
Pemimpin Mozambique Robert Mugabe pada tahun 2003, di Jakarta. Kini Leila
adalah Redaktur Senior Majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa
dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut.
Pada tahun 2009, Leila S. Chudori meluncurkan buku kumpulan cerpen
terbarunya 9 dari Nadira (yang oleh banyak kritikus sastra dianggap sebagai
novel) dan penerbitan ulang buku Malam Terakhir oleh Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG) yang dilangsir oleh harian Kompas sebagai “kembalinya anak
emas sastra Indonesia”. Dengan terbitnya kembali karya baru Leila, maka pada
23
bulan Desember 2011, ia diundang menghadiri Asia Pacific Literary
Symposium di Perth; Winternachten literary Festival yang diadakan Writers
Unlimited, Den Haag Belanda bulan Januari 2012, dan Acara Sastra Soirée Leila
Chudori yang diselenggarakan Asosiasi Indonesia-Prancis di Paris.1 Leila
berdomisili di Jakarta bersama putri tunggalnya, Rain Chudori Soerdjo Atmodjo
yang juga menulis cerita pendek dan resensi film.2 Beberapa pengarang dengan
karyanya telah memenangi anugrah sastra bergengsi di Indonesia, kusala sastra
khatulistiwa, termasuk novel Pulang karya Leila S. Chudori pada tahun 2013.
Dalam cerita yang tertuang pada novel Pulang, penulis menarik garis
linier antara 3 peristiwa bersejarah: G 30 S/PKI 1965, revolusi Prancis Mei 1968,
dan kerusuhan Mei 1998 yang melanda Indonesia yang menandai runtuhnya rezim
Orde Baru. Pulang adalah kisah suka duka eksil politik yang melarikan diri ke
luar negeri karena sudah diharamkan menginjak tanah airnya sendiri.
B. SINOPSIS NOVEL PULANG
Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, 1968, Dimas Suryo,
seorang eksil politik dari Indonesia, bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang
ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama Dimas
menerimma kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara
dan dinyatakan tewas.
Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe adalah eksil
politik Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang,
diburu, dan dicabut paspor Indonnesia-nya karena dekat dengan orang-orang
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berafiliasi dengan Partai Komunis
Insonesia. Mereka tetap bertahan hidup layak dengan membuka dan mengelola
Restoran Tanah Air, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggiran Paris. Di tengah
kesibukan mengelola restoran Tanah Air di Paris, Dimas bersama tiga kawannya
terus menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar,
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Leila_S._Chudori
2 Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Gramedia, 2012), Cet. 2, h 459-460
24
ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan 30 September. Apalagi
dia tidak bisa melupakan Surti Anandari istri Hananto yang bersama ketiga
berbulan-bulan diinterogasi tentara.
Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Devraux
akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman
keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa yang
terkuak oleh Lintang bukan sekedar masa lalu Ayahnya dengan Surti Anandari,
tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya mempunyai kaitan
dengan Ayah dan juga kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara Alam putera
Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang menjadi kerusuhan terbesar dalam
sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya presiden Indonesia yang
sudah berkuasa selama 32 tahun.
25
BAB IV
PEMBAHASAN
NILAI SEJARAH DALAM NOVEL PULANG
KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
A. Unsur Intrinsik Prosa
1. Tema
Leila S. Chudori menjadikan perjuangan untuk memahami arti kehidupan
sebagai tema dalam novel Pulang. Hal ini dapat dilihat dari jalan hidup para
tokohnya yang ditempa beragam masalah untuk memahami dan menyikapi
dengan bijak kehidupan mereka dengan orang-orang terdekat bahkan dengan diri
mereka sendiri. Beberapa di antaranya dapat dijabarkan dari jalan hidup dua tokoh
utama berikut ini:
a. Dimas Suryo memilih untuk menetap di Prancis saat pemerintahan
dan aparat di Indonesia meneror keselamatan dirinya. Selama menetap
di Prancis dia menyadari bahwa kerinduannya terhadap tanah air jauh
lebih besar dibanding kebencian dan teror yang datang dari orang-
orang yang berkepentingan di Indonesia. Nasionalismenya selalu
menjadi jati dirinya dan ditunjukkannya dengan membangun sebuah
restoran bersama teman-temannya. Restoran yang dia bangun bukan
hanya berurusan tentang makanan dan pelayanan terhadap para
konsumen, melainkan juga tentang menunjukkan rasa cinta terhadap
tanah air. Selama menetap di Prancis pula, Dimas Suryo memahami
bahwa cinta sejati yang dia miliki hanya untuk kekasih lamanya, Surti
Anandari. Meskipun dia juga mencintai Viviene Deveraux, dia
menyadari bahwa perjuangannya dahulu merelakan Surti Anandari
adalah untuk memahami bahwa mencintai seseorang bukan untuk
26
diartikan sebagai kebersamaan, melainkan bagaimana dia mampu
untuk melindungi dan mengayomi orang yang dia cintai.
b. Lintang Utara yang terlahir dari dua orang tua yang berbeda
kebangsaan dan besar di lingkungan keluarga yang hancur membuat
Lintang Utara menjadi seorang wanita yang merasa tidak memiliki jati
diri. Masa lalu ayahnya sebagai warga negara Indonesia yang „tidak
tinggal‟ di Indonesia untuk alasan yang jelas membuatnya merasa jauh
dan tidak mengenal Indonesia. Hingga nasib memilihnya untuk
mengenal Indonesia secara langsung dengan datang sendiri ke
Indonesia, dia harus menerima kenyataan bahwa Indonesia memang
bagian dari dirinya yang hilang. Hanya dengan kedatangannya ke
Indonesia itulah dia baru dapat memahami arti Indonesia baginya.
Bahkan yang lebih penting dari itu, kedatangannya ke Indonesia
memperat hubungannya dengan sang ayah karena Lintang akhirnya
memahami betapa ayahnya memendam rasa rindu terhadap Indonesia
tercinta.
2. Tokoh dan Penokohan
a. Dimas Suryo
Dimas Suryo merupakan salah satu tokoh utama dalam novel Pulang ini.
Bahkan, judul Pulang merujuk pada cita-citanya untuk bisa pulang ke Indonesia.
Dimas Suryo, seorang wartawan Kantor Berita Nusantara terjebak teror
pemusnahan orang-orang yang terkait atau diduga terkait gerakan kiri oleh
pemerintah saat itu. Demi menjaga keselamatan dirinya dan juga teman-temannya,
dia memutuskan untuk hidup terasing di beberapa negara hingga akhirnya
menetap di Prancis. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan novel di bawah ini:
Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah
menyadari itu sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah
dia untuk berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le
chaos politique yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan,
kemanusiaan Dimas dan kawan-kawannya, hingga mereka harus
27
memungut serpihan dirinya dan membangun itu semua kembali agar bisa
kembali menjadi sekumpulan manusia yang memiliki harkat yang utuh.1
Mungkin pada saat itulah Vivienne perlahan berhasil menjadikan
Paris seperti rumah persinggahan. Bukan rumah. Tetapi rumah
persinggahan. Lama-kelamaan matanya yang hijau terasa tulus dan
menyediakan perlindungan bagiku, seperti sebatang pohon tanjung rindang
yang melindungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan bayang-
bayang.2
Dimas Suryo lalu menikah dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita
sekaligus aktivis mahasiswa Prancis pada saat itu. Selama menetap di Prancis,
Dimas Suryo tidak bisa melupakan kekhawatirannya terhadap orang-orang yang
dia cintai di Indonesia. Meskipun hidup jauh dari keluarga dan orang yang dia
cintai, Dimas tetap memantau apa yang terjadi pada mereka. Cinta sejatinya, Surti
Anandari yang manakala saat itu hidup menjanda karena suaminya, Hananto
Prawiro ditangkap dan dieksekusi mati, melewati hari-hari yang keras bersama
ketiga anaknya. Dimas Suryo dengan penuh kepedulian menemani Surti Anandari
meski lewat surat menyurat. Bentuk perhatiannya tersebut membantu Surti dan
ketiga anak-anaknya untuk bisa lebih tegar menghadapi kehidupan yang penuh
ancaman.
“Sungguh. Kini aku menghormati dan menyayangi Surti seperti
saudara. Dia adalah isteri Mas Hananto.”3
Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri tak yakin. Aku tahu,
setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih bergetar dan teriris.
Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si bungsu yang tak
pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku berlompatan. Itu adalah
nama-nama pemberianku. Aku tak pernah tahu apakah Mas Hananto
meyadarinya.4
Di belahan dunia lain, ketegaran dan perjuangan hidupnya bersama teman-
teman setanah airnya mereka buktikan dengan membuat sebuah restoran khas
Indonesia. Restoran Tanah Air, begitu mereka menamainya, telah menjadi wadah
1 Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Gramedia, 2012), Cet. 2, h. 203.
2 Ibid., h. 84.
3 Ibid., h. 41.
4 Ibid., h. 41.
28
meluapkan kerinduan Dimas dan teman-temannya terhadap Indonesia. Seperti
kutipan novel dibawah ini:
“Untuk restoran kita.”
Kami saling memandang.
“Apa ya namanya, Mas Nug?” Risjaf bertanya.
Mas Nug melirikku. “Kita tanya pada sang penyair.”
Aku menatap kawanku satu per satu. Ada yang hilang di sana.
Seharusnya ada lima.
“Kita,” aku menghela nafas, “adalah empat pilar dari Restoran
Tanah Air.”
Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang
jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku.5
Pada akhirnya, penantian Dimas selama berpuluh-puluh tahun akhirnya
berhenti saat ajalnya memanggil dan dia bisa beristirahat dengan tenang,
berpulang di tanah Indonesia yang dia cintai. Hal ini dikisahkan oleh Lintang,
putrinya, sebagai berikut:
Tetapi di balik semua kisah itu, Ayah juga menyelipkan
keinginannya yang hampir berbunyi seperti wasiat. “Seperti Bhisma, aku
juga ingin memilih tempatku bersemayam terakhir kali,” katanya setengah
menggumam. Semula aku menyangka Ayah ingin dimakamkan di sana,
bersama para sastrawan, musikus, dan filsuf pujaannya. Tentu saja itu
mustahil. Baru belakangan aku sadar, Ayah sebetulnya mempunyai mimpi
untuk bisa dimakamkan di Indonesia. Ketika Ayah memperkenalkan puisi
karya penyair Indonesia, Chairil Anwar, barulah aku paham: Ayah ingin
dimakamkan di sebuah tanah bernama Karet, yang terdengar begitu puitis
di telingaku.6
Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki
aroma yang berbeda dengan tanah Cimetiere du Pere Lachause. Tanah
Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang.7
b. Lintang Utara
Lintang Utara merupakan anak semata wayang Dimas Suryo dan Vivienne
Deveraux. Hidup sederhana sejak kecil dan dicintai oleh kedua orangtuanya
5 Ibid., h. 104.
6 Ibid., h. 154.
7 Ibid., h. 447.
29
memang pernah dialami oleh Lintang. Akan tetapi, asal-usul sang ayahnya yang
tidak jelas dan penuh misteri menjadikannya kehilangan identitas. Dia terombang-
ambing dengan rasa nasionalisme apa yang seharusnya ada di dalam dirinya.
Sebagai seorang Prancis namun memiliki darah Indonesia yang tidak dia kenal:
Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan
harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari
seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan
kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak
tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan,
tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran.8
Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak kukenal,
bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain
bernama Prancis. ... Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di
dalam diriku itu.9
Kehidupan Lintang semakin hampa tatkala kedua orangtuanya berpisah.
Perceraian kedua orangtuanya membawa dampak pada dirinya untuk bersikap
tidak peduli terhadap ayahnya dan segala hal yang berhubungan dengan ayahnya,
termasuk Indonesia. Namun, nasib membawanya untuk datang ke Indonesia.
Penelitiannya terhadap Indonesia membuka satu per satu masa lalu sang ayah
yang selama ini tidak dapat dia pahami. Rasa cintanya terhadap Indonesia
perlahan muncul, begitu pula dengan rasa cintanya terhadap sang ayah. Tragedi
1998 menambah pula pemahamannya terhadap Indonesia, tempat yang selalu
dicita-citakan oleh sang ayah sebagai tempat untuk pulang. Seperti yang dapat
telah dijabarkan oleh Leila S. Chudori dalam novel tersebut:
Ayah dan Maman yang saya cintai,
Saya tak akan bisa menjawab pertanyaan saya sendiri. Apa yang
bisa saya petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. ...10
Teriakan „reformasi‟ itu menonjok gendang telinga, sementara dari
arah lain terdengar sayup-sayup rombongan mahasiswa menyanyikan
sebuah lagu balada yang liriknya kukenal betul: “...aku mendengar suara/
jerit makhluk terluka/...orang memanah rembulan...,”
8 Ibid., h. 137.
9 Ibid., h. 137.
10 Ibid., h. 413.
30
Aku tersentak. Jantungku berdebar.
Kini, aku rasa aku tahu di mana rumahku.11
c. Vivienne Deveraux
Vivienne Devaraux merupakan seorang wanita yang cerdas dan
pemberani. Dia menjadi salah satu mahasiswa yang aktif melakukan perlawanan
terhadap pemerintah Prancis. Keistimewaannya tersebut membuat Dimas Suryo
tertarik padanya. Vivienne Devaraux dan Dimas Suryo akhirnya menikah dan
berusaha menciptakan kehidupan yang normal bagi keluarga kecil mereka. Akan
tetapi, kehidupan masa lalu Dimas yang penuh polemik terutama terkait
hubungannya dengan Surti Anandari membuat Vivienne memilih untuk berpisah
dengan Dimas meskipun wanita itu sangat mencintai Dimas.
Cinta pada pandangan pertama, cinta yang bergelora, keinginan
menjelajahi sesuatu yang “baru” dan “asing” dan serba tak diketahui
ternyata tak cukup untuk mempertahankan perkawinan. Aku menyadari itu
belakangan. Betapapun aku mencintai Dimas dan rela memberikan apa
pun yang ada di dalam diriku, hingga kini aku tak pernah tahu apakah
Dimas pernah mencintaiku sebesar cintaku padanya. Meskipun, dia
menuliskan sebuah puisi sebagai hadiah perkawinan untukku. Kata Dimas,
perkawinan cara Indonesia—entah Indonesia bagian yang mana—
lazimnya menggunakan mas kawin. Mas kawin Dimas adalah puisi ini:
“Benarkah angin tak sedang mencoba/ menyentuh bibirnya yang begitu
sempurna...”
Menurut dia, itulah yang tercipta saat dia melihatku ketika terjadi
gerakan Mei 1968. Tetapi, apakah dia memang mencintaiku seutuhnya?
Dan selamanya?12
d. Surti Anandari
Tokoh perempuan yang dicintai oleh dua orang pria ini memang tidak
seberuntung wanita lain. Dia memilih untuk menikah dengan Hananto Prawiro.
Namun kemudian, pria tersebut ditangkap dan tewas dieksekusi mati karena
diduga dan masuk dalam daftar orang-orang kiri. Kemalangan Surti tidak berakhir
11
Ibid., h. 441. 12
Ibid., h. 203.
31
di situ saja, dia juga harus mendapatkan banyak ancaman kekerasan fisik maupun
psikis. Meskipun begitu, Surti sekuat tenaga melindungi dan bertahan hidup demi
anak-anaknya.
Puluhan tahun kemudian, Surti Anandari ikut memberikan pengalaman
berharga yang menjadi titik balik bagi Lintang Utara. Surti Anandari dengan
penuh ketegaran menceritakan segala peristiwa pilu yang dialaminya kepada
Lintang. Kisah tersebutlah yang membuka hati Lintang untuk memahami arti
cinta sang ayah dan juga Indonesia.
e. Hananto Prawiro
Hananto Prawiro merupakan sahabat sekaligus pesaing Dimas Suryo. Dia
merupakan senior Dimas sejak di dunia kampus. Berbekal sikap kritis dan
keaktifannya di dunia tulis menulis membawanya menjadi seorang wartawan.
Akan tetapi, karena ketertarikannya dengan aktivitas dan diskusi bersama
golongan kiri membuatnya harus mengorbankan dirinya sendiri. Dia tewas
dieksekusi mati dan meninggalkan istrinya Surti Anandari bersama ketiga orang
anaknya yang masih kecil.
“Bapak Hananto, saya Lettu Mukidjo.” Dia tersenyum. Dialah
yang bersuara sopan dan penuh tata krama tadi. Kini aku bisa melihat
matanya yang bercahaya. Dia tersenyum puas. Dari sneyumnya itu sleintas
aku menangkap silau gigi emas yang menyeruak melalui bibirnya. Aku
tahu, dia puas karena aku adalah butir terakhir rangkaian yang mereka
buru. Ratusan teman-temanku sudah mereka tangkap sejak perburuan yang
dimulai tiga tahun lalu.
“Mari ikut kami...”13
f. Segara Alam
Segara Alam merupakan nama yang diberikan Dimas Suryo untuk
anaknya kelak bersama Surti Anandari. Meskipun pada akhirnya Surti menikah
dengan Hananto Prawiro, nama pemberian Dimas tersebut tetap dipakai olehnya
13
Ibid., h. 5.
32
untuk menamai anaknya. Segara Alam yang sejak kecil hidup dalam ancaman
tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda yang cerdas, pemberani, dan tanggap.
Segara Alam tumbuh dengan rasa ketidakpercayaan pada pemerintah dan
bahkan antipati pada sikap pemerintah. Di tengah pemerintahan Orde Baru, Alam
dengan berani mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat meskipun dirinya
mendapat stigma „anak tapol‟. Keinginan terbesarnya adalah menguak kebenaran
sejarah.
Saat kuliah, aku bertekad untuk melihat sejarah dengan lebih jernih
daripada sekadar menajdi „anak Bapak‟. Literatur yang tersedia sangat
terbatas. Sejarah resmi sudah jelas hanya satu pihak. Aku juga tak ingin
hanya melihat segalanya dari sisi defensif. Dari perbincangan informal
dengan sejarawan yang diam-diam mengakui ada kepentingan Orde Baru
untuk mengukuhkan kekuasaan, persoalannya ada pada konflik di
kalangan elite. Namun, aku tak tahu apakah posisi Bapak dan kawan-
kawannya itu cukup tinggi untuk mengetahui langkah-langkah kedua
pihak. Segala yang gelap tentang 30 September masih ahrus digali, apa
yang sesungguhnya terjadi.14
Di sisi lain, kedatangan Lintang Utara ke Indonesia telah memberi arti lain
bagi Alam tentang perjuangan mengartikan cinta yang sebenarnya. Kemarahan
Alam terhadap masa lalunya membuat dirinya tidak dapat berkomitmen terhadap
cinta. Tragedi Mei 1998 membawa hikmah lebih bagi Alam dan Lintang untuk
meyakini bahwa mencari kebenaran demi kehidupan dan juga cinta harus
diperjuangkan. Cinta terhadap tanah air, keluarga, dan orang yang dikasihi.
“Coba,” dia mengambil tanganku dan meletakkannya di atas
dadaku. “Apa rasanya setiap kali mereka meneriakkan
„reformasi‟?”
Degup jantung yang lebih cepat dan darahku berdesir.
“Aku selalu merasa kau adalah bagian rumah ini, Lintang.”
Ada rasa hangat yang mengalir ke dadaku. “Do you think so?”
“Sangat. Kau berakar di sini.”
Aku masih terdiam.15
14
Ibid., h. 297. 15
Ibid., h. 440.
33
g. Aji Suryo
Aji Suryo adalah adik kandung dari Dimas Suryo. Dia berupaya keras
melindungi kakaknya meskipun dirinya dan keluarganya sendiri sering mendapat
ancaman dari pihak yang mencurigai keberadaan Dimas. Aji Suryo banyak
memberikan informasi kepada Dimas terkait kondisi keluarga di Indonesia serta
kondisi Surti beserta anak-anaknya. Sebagaimana salah satu kutipan surat dari Aji
Suryo kepada Dimas terkait peristiwa-peristiwa keji yang menimpa keluarga
orang-orang yang memiliki hubungan dengan PKI berikut ini:
Sekali lagi Ibu menekankan sebaiknya Mas Dimas tetap di Eropa
saja. Kami sudah merasa lebih tenang di Jakarta. Perburuan semakin
mengganas, bukan hanya pada mereka yang dianggap komunis, atau
ramah kepada PKI. Kini keluarga atau sanak famili pun kena ciduk. Ada
yang dikembalikan, ada yang hilang begitu saja, ada yang dihanyutkan ke
sungai. Kebetulan Ibu dan aku hanya sempat dipanggil beberapa kali ke
Guntur, tetapi kami diperbolehkan pulang setelah seharian menjawab
yang itu-itu saja. kebanyakan pertanyaan mereka berkisar tentang
kegiatan Mas Dimas dan apakah kami mengenal Mas Hananto, Mas Nug,
Bung Tjai, dan Bung Risjaf. Mereka juga berkali-kali bertanya apa yang
dilakukan Mas Dimas di Peking beberapa tahun lalu. Bahkan, entah
bagaimana, mereka tahu bahwa seharusnya yang berangkat ke Santiago,
Havana, dan Peking adalah Mas Hananto.16
3. Alur
Alur yang digunakan penulis dalam novel ini adalah alur maju. Alur
tersebut dimulai pada tahun 1968 saat terjadinya peristiwa penangkapan orang-
orang yang berhubungan dengan PKI. Salah satu orang yang ditangkap yakni
Hananto Prawiro. Hananto ditangkap karena dicurigai terlibat dengan PKI.
Penulis menjelaskannya melalui kutipan berikut ini.
Kami saling memandang. Aku bisa melihat air mata yang
mengambang di pelupuk mata Adi. Aku tahu, dia tak berdaya. Aku
mengangguk dan mengambil jaketku. Hari ini tanggal 6 April 1968.
Kulirik lenganku. Aku baru ingat, arlojiku sudah kuberikan pada Dimas.
Kudengar dia, Nug, dan Risjaf sedang bersembunyi di Peking. Titoni 17
16
Ibid., h. 19.
34
Jewels itu mungkin akan membantunya lebih tepat waktu. Aku hanya
mengamati warna pergelangan tanganku yang belang.17
Pada tahun yang sama, Dimas Suryo bersama beberapa rekannya yang
menjadi orang-orang pelarian baru saja tiba di Prancis. Mereka menunggu situasi
di Indonesia kembali aman untuk kemudian bisa pulang ke tanah air.
Aku bisa mencium udara bulan Mei yang penuh dengan bau sangit
tubuh yang jarang bertemu air. Bau mulut yang tak bertemu odol
bercampur dengan aroma alkohol, menguarkan semangat perlawanan yang
tak tertandingkan.18
Ia juga menjelaskan pada saat itu di Prancis sedang terjadi pemberontakan
mahasiswa terhadap pemerintah Prancis. Dia menjadi saksi bagaimana semangat
para mahasiswa tak ubahnya semangat para mahasiswa di Jakarta yang juga
mendemonstrasi pemerintahan:
Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas
keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat.
Perseteruan ini antara mahasiswa dan buruh melawan pemerintah De
Gaulle. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi
tak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Kita bahkan tak tahu apa
sesungguhnya yang dicita-citakan oelh setiap pihak yang bertikai, kecuali
kekuasaan. Betapa porak poranda. Betapa gelap.19
Alur terus maju hingga pada tahun 1993. Pada saat ini, kisahan tengah
berpusat pada Segara Alam. Kenangan Alam mengenai bapaknya, pengalamannya
sebagai anak dari seorang pria yang dituduh sebagai anggota PKI, dan dampak
dari pemusnahan segala yang diduga berbau PKI diceritakan oleh Alam.
Pengalaman tersebut menjadi catatan kelam di masa kecilnya sebagaimana yang
dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
Ini adalah sejarah. Mereka meniupkan kisah yang membuat masa
kecilku berantakan, kumuh, dan berisik.20
Segara Alam berkeyakinan kuat bahwa sejarah yang selama ini
diwajibkan oleh pemerintah untuk diketahui rakyat barulah dari satu sudut
17
Ibid., h. 4. 18
Ibid., h. 10. 19
Ibid., h. 10. 20
Ibid., h. 286.
35
pandang saja. Masih banyak sejarah yang harus dikuak untuk menyampaikan
kebenaran.
Menurutku, pemilik sejarah adalah para perenggut kekuasaan dan
kelas menengah yang haus harta dan tak berkeberatan duduk reriungan
mesra bersama penguasa. Aku lebih suka menggunakan kata “perenggut”,
karena mereka yang berkuasa selama puluhan tahun sesungguhnya tak
berhak memerintah negeri ini. sedangkan kelas menengah yang tercipta
selama era Orde Baru ini adalah kelas yang sebetulnya mempunyai pilihan
untuk menjadi kritis; yang seharusnya mampu mempertanyakan perangkat
Orde Baru yang sudah tak mempunyai logika saking korupnya. Hingga
usiaku yang ke-28 ini, saat Orde Baru memperluas Monumen ini menjadi
Museum Pengkhianatan PKI, Orde Baru semakin berkibar.21
Lima tahun kemudian tepatnya pada Mei 1998 terjadi peristiwa bersejarah
lainnya di Indonesia yakni masa reformasi pemerintahan Presiden Soeharto. Masa
reformasi ini diwarnai tragedi huru-hara di antaranya penembakan beberapa orang
mahasiswa, peristiwa anarkis dan penjarahan massal, pemerkosaan, dan
ketidakstabilan ekonomi. Namun demikian, beberapa pihak terutama mahasiswa
akhirnya berhasil menggulingkan rezim Presiden Soeharto.
Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan
gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan
ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan
Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya
mereka orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi
juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka, darah
kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan kaca tebal yang
berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa benda mati disebut sesuatu
yang mati? Terkadang mereka lebih „hidup‟ dan lebih jujur memberikan
saksi.22
Juni 1998 adalah saat Dimas memperoleh impian terbesarnya yakni pulang
ke Indonesia. Dia pulang untuk selama-lamanya, bersatu di tanah Karet. Sebelum
kematiannya, Dimas menuliskan surat perpisahan untuk anak semata wayangnya,
Lintang Utara. Dalam suratnya, Dimas menyatakan kebanggaannya terhadap
Lintang. Dia juga menginginkan Lintang untuk berani memilih kehidupan seperti
apa yang ingin dijalaninya.
21
Ibid., h. 289. 22
Ibid., h. 414.
36
Hal kedua, apa yang akhirnya kau petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A,
Lintang? Apa yang kau temui dalam waktu lebih dari sebulan di Jakarta
tak cukup menjelaskan seluruh faktor yang membentuk sebuah Indonesia.
Tugas akhirmu telah menjelaskan sebagian kecil, sebagian suara dari
Indonesia. Meski „kecil‟, Ayah yakin itu menjadi besar dan vokal karena
dokumentermu adalah sebuah suara yang lain, the voices from the other
side, yang selama 32 tahun tak boleh bersuara. Sesudah pemakaman Ayah
nanti, cobalah pikirkan apakah setelah wisuda, kau akan kembali ke
Jakarta atau menetap di Paris. Aku tak akan memaksakan pilihanmu. Paris
dan Jakarta adalah rumahmu yang kini punya arti tersendiri bagimu. Di
mana pun kamu memilih, kamu akan dekat dengan sebagian dari dirimu.
Maman di Paris dan Ayah di Karet, Jakarta. ... . Lintang, kau menghidupi
hidupku. Dan kalau pun aku sudah mati, kau tetap hidup di dalam diriku.23
4. Latar
a. Latar Tempat
Jakarta
Latar dalam novel Pulang ini salah satunya yakni di kota Jakarta di era 60-
an, saat pemerintah gencar-gencarnya memusnahkan semua yang berhubungan
atau diduga berhubungan dengan PKI. Selain itu, Jakarta di era 90-an saat situasi
politik di bawah kekuasaan Orde Baru berada di puncak keruntuhan menjadi latar
penting lainnya dalam novel Pulang:
Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Aku mengikuti
mereka menghampiri dua buah mobil yang diparkir di depan Thahaja
Foto: Nissan Patrol dan Toyota kanvas. Lettu Mukidjo, pemilik gigi emas,
mempersilakan aku menumpang jip Toyota kanvas. Aku membayangkan
wajah Surti, Kenanga, Bulan, dan Alam. Dan entah mengapa, dari sleuruh
kawan-kawanku, hanya wajah Dimas Suryo yang terus-menerus
mengikutiku. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan
ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi, sate Pak
Heri, warung bakmi godog, dan terakhir lampu neon Thahaja Foto yang
berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.24
Paris
Kota Paris menjadi latar lainnya dalam novel Pulang. Dimas bersama
teman-teman pelariannya menjadikan Paris sebagai rumah kedua untuk
23
Ibid., h. 447. 24
Ibid., h. 5.
37
melanjutkan hidup. Di Paris ini sendiri, Dimas menikah dengan Vivienne
Devaraux dan memiliki seorang putri bernama Lintang Utara. Awal kedatangan
Dimas ke Paris bertepatan dengan peristiwa gerakan mahasiswa dan buruh di sana
untuk menggulingkan pemerintahan De Gaulle. Bertahun-tahun kemudian, Paris
pula lah yang menjadi saksi bagaimana kerinduan Dimas begitu mendalam
terhadap tanah airnya, Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori:
Sungguh ganjil. Seharusnya malam itu para tentara menjeratku di
Jakarta. Tetapi sekarang aku di sini, di tengah ribuan mahasiswa Prancis
yang bergelora. Di tengah jeritan mereka, aku mencium bau parit Jakarta
bercampur aroma cengkih kretek dna kepulan kopi hitam. Kilatan sinar di
mata mahasiswa Prancis ini mengingatkan kawan-kawan di Jakarta.
Kilatan mata dan semangat yang berbuih. Suara garang yang penuh
tuntutan untuk masyarakat yang lebih adil meski kelak sebagian dari
mahasiswa idealis itu akan menjadi bagian dari kekuasaan.25
b. Latar Waktu
1968
Dalam bab “Paris, Mei 1968” menggunakan latar belakang Gerakan Mei
1968 Prancis, yaitu serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai universitas di
Paris-di antaranya Universitas Sorbonne dan University of Paris di Nanterre.
Setelah beberapa bulan kemudian suasana di Paris 1968 digambarkan melalui
Dimas dalam novel Pulang:
Selama beberapa bulan kemudian, Vivienne dan aku berlagak
seperti para flaneur yang berjalan-jalan karena ingin menikmati langkah
kaki dan kota Paris. Revolusi Mei 1968 tiba-tiba seperti tak lagi bersisa...26
1998
Dalam latar waktu yang selanjutnya ialah pada pada tahun 1998, di
Jakarta, pada saat itu para mahasiswa, buruh, dan masyarakat miskin kota bersatu
padu menuntut agar presiden soeharto turun dari jabatannya. Karena telah terjadi
krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan terhadap pak harto untuk memimpin
25
Ibid., h. 11. 26
Ibid., h. 15.
38
kembali Indonesia. Seperti yang digambarkan oleh Leila pada kutipan di bawah
ini:
Salemba pasti sudah penuh sesak dengan lautan manusia dan
spanduk yang menyelimuti Jakarta Pusat. Saat ini spanduk itu masih
mempersoalkan isu ekonomi: menolak kenaikan harga, kenaikan harga
listrik, bahan bakar minyak. Kami mendengar bahwa pemerintah percaya
diri untuk menaikan harga BBM meski situasi sedang sangat parah. Pasti
dia menyangka tahun 1998 sama dengan tahun 1967 dan 1968, ketika dia
baru saja berkuasa dan menaikan harga BBM.27
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis dalam novel Pulang ini adalah
sudut pandang campuran. Sudut pandang campuran tersebut terbagi sesuai
pembagian bab berdasarkan tokoh utama sebagai pelaku utama antara lain pada
bab Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Vivienne Deveraux, Lintang Utara, dan
Segara Alam. Selain sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama, novel
ini juga menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu.
a. Dimas sebagai orang pertama pelaku utama
Sudut pandang Dimas banyak dipakai oleh penulis untuk menyampaikan
kisahan dalam novel Pulang. Hal ini dapat dilihat dari dominasi penceritaan
Dimas Suryo di dalam novel Pulang. Dimas menggambarkan keberadaannya di
Prancis hanyalah sebuah persinggahan. Dia berupaya keras untuk kembali ke
Indonesia, meskipun sebagian besar teman-temannya telah menganggap Prancis
sebagai rumah kedua. Dimas tidak mampu untuk menjadikan Prancis sebagai
rumah keduanya karena dia merasa dirinya tidak pantas mendapat perlakukan
kejam dari pemerintah Indonesia dan menjadi orang yang terasing dari negerinya
sendiri. Dimas hanyalah seorang korban dari kecurigaan pemerintah Indonesia
terhadap oknum-oknum PKI.
27
Ibid., h. 299.
39
Aku menepis Mas Nug dan Vivienne yang mencoba
menenangkanku. Aku harus pulang. Aku harus pulang! Aku mencoba
mencari tiket. Tiket apa saja. pesawat, kapal laut. Apa saja yang penting
aku pulang. ... Malam itu, Mas Nug menyampaikan selembar telegram.
“Jangan pulang koma situasi belum cukup aman titik doakan ibu tenang
koma kami tahlil terus titik”28
Adanya sudut pandang Dimas sebagai orang pertama pelaku utama ini
juga banyak digunakan untuk menyampaikan kondisi eks tahanan politik yang
berada di luar negeri. Kerinduan Dimas terhadap Indonesia serta perjuangan
kerasnya untuk bisa hidup di Prancis manakala dia juga harus berjuang keras
untuk bisa pulang ke Indonesia.
“Seharusnya sekalian menghirup kopi luwak.” Tiba-tiba saja aku
menyebut nama yang berbahaya itu. Merindukan sesuatu yang eksotis di
tengah Eropa dalam keadaan miskin, sama saja dengan mengoyak hati.
Indonesia dan segala yang berhubungan dengannya seharusnya kututup
dan aku kubur meski untuk sementara—agar aku bisa meneruskan hidup.29
Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dikelilingi
keluarga yang sangat mencintaiku? Mengapa aku tetap merasa ada
sepotong diriku yang masih tertinggal di tanah air?30
b. Lintang Utara sebagai orang pertama pelaku utama
Sudut pandang Lintang Utara sebagai orang pertama pelaku utama
digunakan untuk menegaskan posisinya sebagai seorang anak eks tahanan politik.
Lintang yang tak pernah menginjakkan kaki di Indonesia hanya dapat mengenal
Indonesia melalui sisi ayahnya yang seorang eks tahanan politik dan penuh
misteri. Hal ini membuatnya kebingungan untuk menentukan identitas dirinya
sendiri.
Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak kukenal,
bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain
bernama Prancis.
28
Ibid., h. 83. 29
Ibid., h. 28. 30
Ibid., h. 87.
40
Desiran darah asing itu senantiasa terasa lebih deras dan
mendorong degup jantungku bergegas setiap kali aku mendengar suara
gamelan di antara musim dingin yang menggigit; atau ketika aku
mendengar kisah wayang dari Ayah tentang Ekalaya yang merasa terus-
menerus ditolak kehadirannya atau Bima yang cintanya tak berbalas. Atau
jika Maman—dengan bahasa Indonesia yang terbata—membacakan puisi
Sitor Situmorang tentang seorang anak yang kembali ke tanah airnya,
tetapi tetap merasa asing. Desiran itu selalu terasa asing, nikmat, dan
penuh teka-teki. Segala yang berbau Indonesia, tanah yang bagiku hanya
sebuah kisah magis, seperti sebuah tempat yang hidup di dalam angan-
angan; sama seperti setiap kali aku membaca novel sastra yang mengambil
lokasi di negara yang belum pernah aku kunjungi. Indonesia, bagiku,
adalah sebuah nama di atas peta. Ia hanya konsep. Pengetahuan yang
konon mengalir di dalam tubuhku, berbagi kawasan dengan darah
Prancis.31
Selain menegaskan tentang pencarian identitas, sudut pandang Lintang
sebagai tokoh utama pelaku utama pun digunakan saat terjadinya peristiwa
reformasi di tahun 1998. Adanya latar reformasi 1998 ini menjadikan Lintang
yang hanya mengenal Indonesia dari sosok ayahnya akhirnya dapat mengetahu
sendiri arti Indonesia melalui sudut pandangnya sendiri.
c. Hananto Prawiro sebagai orang pertama pelaku utama
Sudut pandang Hananto Prawiro sebagai orang pertama pelaku utama
hadir salah satunya saat terjadi pembersihan anggota PKI dan atau orang-orang
yang terlibat dengan PKI. Sudut pandang Hananto Prawiro menjadikan penarasian
mengenai upaya penangkapan pasca G 30 S PKI menjadi sebuah penarasian dari
sisi korban.
Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Aku mengikuti
mereka menghampiri dua buah mobil yang diparkir di depan Thahaja
Foto: Nissan Patrol dan Toyota kanvas. Lettu Mukidjo, pemilik gigi emas,
mempersilakan aku menumpang jip Toyota kanvas. Aku membayangkan
wajah Surti, Kenanga, Bulan, dan Alam. Dan entah mengapa, dari sleuruh
kawan-kawanku, hanya wajah Dimas Suryo yang terus-menerus
mengikutiku. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan
ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi, sate Pak
31
Ibid., h. 137.
41
Heri, warung bakmi godog, dan terakhir lampu neon Thahaja Foto yang
berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.32
Penulis tidak menceritakan bagaimana peristiwa eksekusi terhadap
Hananto Prawiro, namun melalui sudut pandang Hananto sebagai orang pertama
pelaku utama ini dapat diketahui bagaimana penangkapan dan penculikan gencar
diberlakukan pasca pemberontakan PKI di tahun 1965. Bahkan, banyak orang
yang diburu hingga harus menyamar dan berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya untuk mengamankan diri, salah satunya seperti yang dialami oleh Hananto
Prawiro yang terus berpindah tempat.
d. Vivienne Deveraux sebagai orang pertama pelaku utama
Sudut pandang Vivienne Deveraux sebagai orang pertama pelaku utama
lebih banyak digunakan untuk menggambarkan Vivienne Deveraux dalam
memandang dan menilai apa yang terjadi pada suaminya, Dimas Suryo, yakni
terkait keberadaan Dimas di Prancis dan kisah cintanya yang tidak tuntas karena
Dimas, sebagaimana yang dipandang oleh Vivienne, hanya mencintai Surti.
Pada saat itulah aku tahu: aku tak pernah dan tak akan bisa
memiliki Dimas sepenuhnya. Saat itu pula aku tahu mengapa dia selalu
ingin pulang ke tempat yang begitu dia cintai. Di pojok hatinya, dia selalu
memiliki Surti dengan segala kenangannya. Yang kemudian dia abadikan
di dalam toples itu.33
e. Segara Alam sebagai orang pertama pelaku utama
Sudut pandang Segara Alam sebagai orang pertama pelaku utama
digunakan untuk menggambarkan cara pandang Alam dalam menyikapi persoalan
hidup keluarganya. Sepanjang hidupnya yang dipenuhi dengan ketidakadilan dan
teror diceritakannya dengan penuh dendam dan kebencian terhadap pemerintah.
Namun demikian, dendam dan kebencian tersebut membuahkan hasil yang positif
yakni pembentukan pribadinya yang kuat dan berusaha mencari kebenaran, kritis,
dan produktif. Salah satunya dengan pendirian lembaga swadaya masyarakat.
32
Ibid., h. 5. 33
Ibid., h. 216.
42
Saat kuliah, aku bertekad untuk melihat sejarah dengan lebih jernih
daripada sekadar menajdi „anak Bapak‟. Literatur yang tersedia sangat
terbatas. Sejarah resmi sudah jelas hanya satu pihak. Aku juga tak ingin
hanya melihat segalanya dari sisi defensif. Dari perbincangan informal
dengan sejarawan yang diam-diam mengakui ada kepentingan Orde Baru
untuk mengukuhkan kekuasaan, persoalannya ada pada konflik di
kalangan elite. Namun, aku tak tahu apakah posisi Bapak dan kawan-
kawannya itu cukup tinggi untuk mengetahui langkah-langkah kedua
pihak. Segala yang gelap tentang 30 September masih harus digali, apa
yang sesungguhnya terjadi.34
f. Orang ketiga serba tahu
Sudut pandang orang ketiga serba tahu digunakan untuk menceritakan
peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel baik secara fisik, perasaan,
maupun pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Pencerita tidak mengambil peran
sebagaimana yang dapat ditemukan pada sudut pandang orang pertama pelaku
utama dalam novel ini. Pencerita berada di luar cerita dan mengetahui segala hal
yang terjadi.
Mereka semua terdiam. Baik Aji, Retno, maupun Andini sudah tahu
bahwa sejak empat tahun terakhir Rama bekerja sebagai salah satu akuntan
terpercaya di BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Mereka juga
mahfum bahwa bila Rama bisa lolos litsus masuk BUMN, itu berarti dia pasti
tak menggunakan nama Suryo dan berbohong tentang latar belakangnya. Aji
tahu betul untuk masuk ke dalam sebuah perusahaan milik negara harus
melalui birokrasi yang luar biasa yang memastikan calon pegawainya betul-
betul bebas dari „kekotoran‟ hubungan darah dengan tahanan politik atau eksil
politik.35
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Pulang memiliki
sudut pandang campuran yang digunakan untuk memperkuat penarasian yang
dialami oleh tokoh-tokohnya.
6. Gaya Penceritaan
Gaya penceritaan Leila S. Chudori untuk menyampaikan gagasannya
dalam novel Pulang menggunakan media bahasa yang indah. Gaya penceritaan
34
Ibid., h. 297. 35
Ibid., h. 341.
43
tersebut di antaranya terdiri dari penggunaan gaya bahasa sebagaimana berikut
ini:
a. Personifikasi
Malam sudah turun, tanpa gerutu dan tanpa siasat.36
Seperti jala hitam yang yang mengepung kota.37
Jika lagu “Anggrek Moelai Timboel” itu menembus seluruh Paris
yang tengah bersemi, maka kami semua teringat setangkai anggrek
bernama Rukmini.38
“Ini bisa berjodoh dengan bawang putih, cabai merah, dan terasi.
Tapi apakah ini,” aku mengambil sepotong ikan salmon fillet,
“cocok dengan terasi? Saya ragu, saya belum mencobanya. Yang
jelas mereka belum saling mengenal dan belum saling berdekatan
atau saling bergairah.”39
Dari jendela Metro, aku melihat Paris di musim semi yang
murung.40
Negara kelahiran ayahmu sedang bergolak.41
Semakin aku dewasa, semakin banyak pula ceritera tentang tanah
air yang jauh itu, yang dalam film-film dokumenter memiliki laut
biru dan pohon kelapa yang memanggil-manggil.42
b. Hiperbola
Aku melirik tanpa memuntahkan seluruh pertanyaanku.43
Musim panas yang luar biasa gerah dan berhasil mengelupas kulit;
musim gugur yang menyebarkan segala serbuk yang membuat
kami bersin-bersin; musim dingin yang menggerogit tulang Melayu
36
Ibid., h. 1. 37
Ibid., h. 1. 38
Ibid., h. 51. 39
Ibid., h. 115. 40
Ibid., h. 131. 41
Ibid., h. 134. 42
Ibid., h. 144. 43
Ibid., h. 43.
44
kami yang manja; atau musim semi yang kami anggap seperti
remaja pancaroba: kadang dingin berangin, kadang hangat.44
c. Perumpamaan
Berita itu seperti bunyi denging nyamuk di senja hari di Solo.45
Bola matanya yang berwarna biru itu seperti batu cincin pirus
Maman.46
d. Metafora
Tikus di depanku ini bukan hanya gemar mencelakakan sahabat
sendiri seperti Hananto, tetapi dia memang orang oportunis yang
tak layak dianggap ada.47
e. Sarkasme
Lalu, kenapa? Bukankah semua negara berkembang selalu saja
bergolak karena situasi sosial dan politik yang tak stabil? Negara-
negara Amerika Latin, Afrika, dan sebagian Asia ada saja yang
memiliki pemimpin diktator yang korup dan militeristik.48
f. Repetisi
“Tak inginkah kau menjenguk kembali asal mula dirimu? Tak
inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan kawan-
kawannya terbang ke sini, ke sebuah negara yang nyaris tak
memiliki hubungan historis dengan Indonesia?”49
B. Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori
1. Indonesia Periode 1965—1966
Peristiwa 1965-1966 merupakan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang
menjadi lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi
sebagai akibat dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan
44
Ibid., h. 91. 45
Ibid., h. 50. 46
Ibid., h. 133. 47
Ibid., h. 125. 48
Ibid., h. 134. 49
Ibid., h. 134.
45
penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara.
Peristiwa 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan G30S-PKI pada
masa Orde Baru adalah masa kelam sejarah Indonesia. Politik Indonesia pada
masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi September, konflik Partai Komunis
Indonesia dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin,
menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan
pembalasan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh
masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tentu tak bisa dinilai dengan
norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu
hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-politik-ekonomi
pada masa itu pula.50
a. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
... Jangankan mendengar nama Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan
Malaka. Jangan pula menyebut peristiwa berdarah 30 September 1965, ...51
Dalam kutipan novel tersebut disinggung peristiwa Gerakan 30
September, peristiwa tersebut adalah permulaan dari sejarah gelap bangsa
Indonesia yang sampai saat ini masih terjadi perdebatan panjang terkait kisah
sesungguhnya peristiwa tersebut. Menjelang Peristiwa pemberontakan PKI pada
tanggal 30 September 1965, berbagai isu telah berkembang di masyarakat, yang
mengindikasikan akan terjadinya peristiwa politik yang besar. Di Surat Kabar
Bintang Timur, para seniman Lekra juga telah ikut mengindikasikan akan adanya
peristiwa besar.52
Selain itu, dalam Lentera, Surat Kabar Bintang Timur juga dimuat sebuah
naskah berjudul Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total, yang ditulis oleh
50
Kurniawan, dkk., Pengakuan Algojo 1965 Investigasi Tempo Perihal Pembantaian
1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2014), h. 4. 51
Leila, op. cit., h. 15. 52
Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru Sebuah
Memoar, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), h. 97.
46
Pramoedya Ananta Toer (9 Mei 1965).53
Fenomena Pramoedya yang sibuk
dengan istilah “membabat” dan senantiasa menggunakan bahasa kasar dan keras
kepada musuh-musuh politik PKI di samping berbagai aksi politik PKI yang
makin lama makin berani, adalah bagian dari latar belakang yang menjadi dasar
pada satu Oktober 1965 untuk tidak terlalu terkejut dengan kejadian dramatis pagi
itu.54
Di Santiago, di tengah konferensi itu, kami mendengar dari ketua
panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa 30 September. Kami
terpana. Sama sekali tidak menduga ada peristiwa sekeji itu. Berkali-kali
aku meminta Mas Nug mengulang apa yang dia dengar dari Ximenez.
Jenderal-jenderal diculik? Dibunuh?55
Pada kutipan novel di atas, Dimas mencoba meyakinkan dirinya sendiri
tentang peristiwa Gerakan 30 September. Sejarah mencatat bahwa “Gerakan 30
September” dipelopori oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon
Cakrabirawa, dini hari malam Jumat telah menculik sejumlah jenderal Angkatan
Darat.56
Apa yang terjadi pada hari itu sesungguhnya dimulai sejak pagi hari yang
masih buta, pengawal pribadi Presiden melaksanakan penculikan atas beberapa
perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Achmad Yani,
Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Panjaitan, Mayjen Harjono, serta
Brigjen Sutojo. Jenderal Nasution, kemudian ternyata berhasil menyelamatkan
diri, meskipun seorang putrinya Ade Irma Suryani dan ajudan Pak Nas, Kapten
Pierre Tendean akhirnya gugur dalam peristiwa penculikan itu.57
53
Ibid., h. 99. 54
Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2013), h. 23. 55
Leila, op. cit., h. 69 56
H. Rosihan Anwar, Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara
Politik 1961-1965, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 376. 57
Sulastomo, op. cit., h. 129.
47
b. Situasi Indonesia Setelah Tragedi September 1965
Kondisi Indonesia pasca G30S dalam kutipan novel di bawah menunjukan
beberapa hal yakni penanganan tahanan politik, terjadinya pembunuhan serta
diskriminasi terhadap orang-orang yang sesungguhnya tidak tahu-menahu,
termasuk anggota partai PKI sekalipun, yang menjadi korban kebijakan pimpinan
partainya.58
Suasana di waktu itu sudah sampai pada “dibunuh atau membunuh”,
siapapun yang menang. Dapat dilihat pada kutipan novel dibawah ini:
Ada dua helai surat itu di saku jaketku. Sudah sejak awal tahun
semua yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia atau keluarga PKI
atau rekan-rekan anggota PKI atau bahkan tetangga atau sahabat yang
dianggap dekat dengan PKI diburu-buru, ditahan, dan diinterogasi. Dik Aji
menceritakan begitu banyak kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih
banyak lagi yang mati.59
Kondisi masa itu sangat genting, kabar percobaan kudeta 30 September
1965 menyulut perlawanan serentak hampir di semua daerah. Penangkapan besar-
besaran PKI di Jawa Timur dimulai pada pertengahan Oktober 1965. Dua pekan
setelah Gestapu, demo dan kerusuhan masih berskala kecil dan sporadis. Gerakan
mulai terorganisir pada 16 Oktober 1965. Saat itu, terbentuk Komite Aksi
Pengganyangan.60
Enam bulan sebelum Partai Komunis Indonesia dinyatakan
sebagai partai terlarang, ratusan ribu orang Indonesia sudah dibunuh dengan
tuduhan mendukung komunisme.61
Peristiwa tersebut dapat kita lihat dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori, melalui tokoh Dimas yang menceritakan kejadian-
kejadian yang terjadi di Indonesia pasca Gerakan 30 September 1965. Sampai
akhirnya terjadi peristiwa sejarah yang mengubah kepedihan menjadi semakin
kelam bagi orang-orang yang dekat dengan PKI.
“Mas Hananto adalah mata rantai terakhir yang akhirnya diringkus.
Sebagian besar redaksi Kantor Berita Nusantara disapu habis. Yang tersisa
58
Sulastomo, op. cit., h. 264. 59
Leila, op. cit., h. 11. 60
Kurniawan, dkk., Pengakuan Algojo 1965 Investigasi Tempo Perihal Pembantaian
1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2014), h. 24. 61
Ibid., h. 144.
48
adalah kelompok Islam atau kelompok sekuler yang dianggap menentang
komunis. Juga sudah pasti yang dekat dengan tentara,”62
Dari hari ke hari, bahkan setiap tiga jam, kami mendengar berbagai
berita buruk silih berganti. Anggota partai komunis, keluarga partai
komunis atau mereka yang dianggap simpatisan komunis diburu habis-
habisan. Bukan hanya ditangkap, tapi terjadi eksekusi secara besar-besaran
di seantero Indonesia. Berita-berita ini muncul seperti sketsa-sketsa yang
digambarkan oleh muncratan darah. Secara serentak kami disergap
insomnia berkepanjangan. Bahkan Risjaf yang gampang tidur itu kini
melotot sepanjang malam.
2. Indonesia Periode 1966-1998
a. Surat Perintah Sebelas Maret
Kabar yang kami peroleh selalu saja terlambat sekitar dua sampai
tiga minggu. Bahkan bisa sampai sebulan. Misalnya pada awal bulan April
1966, kami mendengar berita yang paling sukar dipercaya. Konon, bulan
Maret lalu, tiga orang jenderal mendatangi Bung Karno di Istana Bogor
dan memintanya menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret. Aku
masih tak paham apa yang terjadi di tanah air. Bagaimana bisa rapat
kabinet yang dipimpin Bung Karno itu terinterupsi hingga seorang
pimpinan besar revolusi harus diselamatkan ke Istana Bogor? Dan
bagaimana bisa tiga orang jenderal di Bogor menyodorkan surat yang
begitu penting dan menentukan nasib bangsa ini? Peristiwa ini betul-betul
menentukan segalanya. Aku menjadi gerah dengan sirkus politik ini.63
Dalam kutipan novel Pulang di atas disinggung suatu kejadian yang akan
mengubah perjalanan Indonesia. Pada tanggal sebelas bulan Maret tahun 1966,
enam bulan setelah terjadi pemberontakan PKI, sebuah peristiwa bersejarah yang
menandai perubahan kepemimpinan di Indonesia terjadi. Surat Perintah Sebelas
Maret atau terkenal dengan singkatan Supersemar menjadi bukti sebagai
pemindahtangangan tampuk kepemimpinan di Indonesia.
Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 Bung Karno memperoleh
laporan, bahwa Istana telah di kepung oleh para demonstran, disertai pasukan
yang tidak berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan ke Istana Bogor.
Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu
62
Leila, op. cit., h. 37. 63
Leila, op. cit., h. 75.
49
tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen Basuki
Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amirmachmud.64
Soekarno menerima
kunjungan tersebut, kunjungan tersebut menghasilkan naskah sebuah perintah
untuk memberi wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk memulihkan
keamanan, melaksanakan kebijakan Presiden Soekarno, serta menjaga keamanan
pribadi Presiden Soekarno sendiri.65
Surat Perintah 11 Maret itu diserahkan kepada Pak Harto malam hari di
Kostrad oleh ketiga jenderal. Langkah pertama Pak Harto setelah menerima
Supersemar itu adalah memerintahkan konsep surat keputusan pembubaran PKI.66
PKI dinyatakan terlarang mulai 12 Maret 1966, sehari setelah Soeharto menerima
Supersemar. Sehari sebelumnya, PKI masih menjadi partai sah dan terbesar di
Indonesia, dan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Tapi, pada tanggal itu,
ratusan ribu warga negara Indonesia sudah dibunuh dengan tuduhan mendukung
PKI.67
MPRS kemudian memutuskan untuk mengambil langkah yang tegas
terhadap PKI. Bahkan MPRS juga mengambil keputusan untuk melarang
penyebaran Marxisme.68
b. Eks Tahanan Politik Indonesia
Penangkapan para korban yang diduga terlibat yang disebut dalam
kelompok Gerakan 30 September 1965 (G30S), dimulai sejak bulan Oktober
1965, di Sumatera Selatan, Para Korban ada yang hilang di tengah perjalanan, di
penahanan sementara sebelum dikirim ke penahanan akhir yaitu Kamp Penahanan
Pulau Kemarau-Palembang pada sekitar bulan Februari 1966 sampai pada tahun
1979.
KORAMIL (PUTERPRA), penjara-penjara atau tempat yang dikuasai oleh
aparat militer yang didapat dengan pemaksaan. Ditempat-tempat penahanan inilah
para korban mulai diperiksa oleh aparat yang terdiri dari unsur tentara, polisi dan
64
Sulastomo, op. cit., h. 223. 65
Kurniawan, dkk., op. cit., h. 156. 66
Sulastomo, op. cit., h. 224. 67
Kurniawan, dkk., op. cit., h. 157. 68
Sulastomo, op. cit., h. 797.
50
Jaksa. Selama pemeriksaan inilah para korban mengalami berbagai bentuk
kekerasan seperti penganiayaan, perkosaan, bahkan sampai kepada pembunuhan.
Selama dalam penahanan ini selain mengalami kekerasan, para korban juga sangat
sedikit atau bahkan tidak diberi akses kepada keluarga, dan tidak diberi makanan
yang layak bahkan terdapat korban-korban yang sama sekali tidak diberi
makanan. Beberapa saksi menerangkan méreka melihat tahanan-tahanan lain me-
ninggal karena kekuarangan makanan. Sebagian kecil tahanan dibawa ke
pengadilan untuk menjalani proses pengadilan yang dianggap oleh para korban
sebagai pengadilan yang tidak jujur dan fair. Hukuman penjara yang didapat
sangat maksimal bahkan beberapa orang mendapat huku- man mati. Sebagian
tahanan, pada tahun-tahun berikutnya dipindahkan ketempat-tempat kamp
pengasingan seperti pulau Buru dan Nusakambangan.69
Seperti yang diperlihatkan
oleh Leila dalam novel Pulang-nya.
Ketika aku mengambil segelas es leci, aku mendengar beberapa
lelaki yang jelas tengah terlibat dalam debat.
“Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?”
“Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?”
“Sudah pada Bersih Lingkungan?”
“Kan itu larangan bagi tapol untuk bekerja jadi PNS. Atau jadi
guru atau wartawan. Cuma datang ke pesta, memang kenapa?”70
Ada sesuatu tentang Ayah dan Indonesia yang selalu ingin
kupahami. Bukan Cuma soal sejarah yang penuh darah dan persoalan
nasib para eksil politik yang harus berkelana mencari negara yang bersedia
menerima mereka. ada sesuatu yang membuat Ayah selalu peka terhadap
penolakan. Aku mulai memahami sedikit demi sedikit ketika dia begitu
obsesif bercerita tentang Ekalaya.71
Dalam kutipan novel di atas mengingatkan kita tentang Intruksi Menteri
Dalam Negeri No.32/1981 dan Pedoman Pelaksanaannya yang menjadi dasar
pencantuman kode-kode khusus dalam Kartu Tanda Penduduk ex-tapol, yang
terkenal dengan ET. Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan
69
Roichatul Aswadiah dan Muhammad Nurkhoiron, e-book Ringkasan Eksekutif Laporan
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, (Jakarta: KOMNASHAM RI, tanpa
tahun) h. 27. 70
Leila, op. cit., h. 161. 71
Leila, op. cit., h. 183.
51
Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI, para
Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI mendapat perlakuan yang
sangat diskriminatif. karena peraturan ini, maka diskriminasi ini tak hanya tertuju
pada mantan tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka. Seperti
yang diungkapkan Leila S. Chudori melalui kutipan novel Pulang:
Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari.
Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan,
berubah keluarga...segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari
kami terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar
tubuhnya sendiri. Gangguan, atau Mas Nug lebih suka menyebutnya
„tantangan‟, yang kami hadapai datang bertubi-tubi. Karena itu, setelah
keberhasilan malam pembukaan ini membutuhkan antagonis.72
Peraturan yang ditetapkan kepada para eks-tapol, mereka terkena tekanan
mental yang luar biasa dengan adanya momok „bersih lingkungan‟, mereka
sampai harus membuat surat keterangan tidak terlibat G30S/PKI. Mereka
membuat surat keterangan tersebut agar dapat mengurangi beban mental, agar
mereka lebih diterima oleh masyarakat pada masa itu. Bahkan untuk sekolah,
menjadi PNS, atau bekerja di instansi-instansi pemerintah pada masa tersebut
wajib di screening secara mendetail oleh intelejen demi terlaksananya „bersih diri‟
dan „bersih lingkungan‟.
Dengan adanya Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan
Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI. Pada
masa Orde Baru, banyak dari istri dan anak-anak yang terlantar, atau yang dijauhi
oleh sanak-saudaranya sendiri. Adik dan kakak atau mertua, yang segan
mendekati mereka, karena takut kalau dicap “tidak bersih lingkungan”. Dapat
dilihat pada kutipan novel di bawah ini, bagaimana Leila S. Chudori
menggambarkan dengan jelas dan tegas ketegangan yang terjadi pada masa
tersebut:
“Kasian loo, di KTP mereka harus diletakkan tanda ET. Terus,
Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di media sekarang
menggunakan nama samaran. Lha tapi kami semua tahuu kalau Sinar
Mentari itu ya nama samaran Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas
72
Leila, op. cit., h. 120.
52
Muuuur. Bikin nama samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu
lo, anak-anaknya sekarang ikut-ikut kerja di media. Pake nama samaran
juga. Rupanya sedang jadi model menggunakan nama samaran. Ya bapak,
ya anak, semuanya samar-menyamar.” Dia terkikik begitu lama dan
panjang hingga aku teringat adegan Bima menyobek mulut Sangkuni
dalam Bharatayudha. (h. 125)
Perlakuan para diplomat KBRI pun selalu tak ramah terhadap para eks
tahanan politik. Dikarenkana adanya instruksi tersebut pada masa Orde Baru
tentang kebijakan “Bersih Diri” dan “Bersih Lingkungan”.
c. Rezim Presiden Soeharto
Masa-masa di sekitar tahun 1970-an adalah saat upaya perubahan struktur
politik dimulai. Orde Baru yang telah menghadapi masa kritis transisi Orde Lama
ke Orde Baru sudah tentu perlu landasan politik yang lebih kukuh, tidak semata-
mata untuk mempertahankan Orde Baru, tetapi juga untuk memberikan landasan
politik yang lebih sehat.73
Sesuai dengan tekad untuk kembali ke UUD 1945
secara murni dan konsekuen, acuan berpikir sudah tentu harus ke sana. Dan
kenyataan ini harus dihadapi dengan kebesaran jiwa, mendahulukan kepantingan
bangsa dan negara daripada kepentingan golongan atau pribadi.
Meskipun kekuatan Orde Baru memang berada di mana-mana, tetapi hasil
yang dicapai oleh Golongan Karya memang pantas menjadi tolok ukur yang
utama. Transisi Orde Lama ke Orde Baru, adalah memang wajar diwarnai
pergeseran peranan politik parpol ke Golkar. Dan mampukah Golkar
memenangkan Pemilu? Pertanyaan seperti ini wajar, mengingat peranan PNI dan
NU yang mungkin masih besar. Tetapi, pada akhirnya memang Pemilu
terselenggarakan juga pada tahun 1971. Golkar ternyata dapat memenangkan
Pemilu dan sebaliknya PNI mengalami kemundiran yang luar biasa, NU relatif
stabil.74
Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah jelas aku
tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Kementerian Pertanian
73
Sulastomo, op. cit., h. 273. 74
Sulastomo, op. cit., h. 274.
53
itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan sesekali mendistribusikannya
dalam newsletter untuk teman-teman sesama eksil politik di Eropa. Aku
mendapat kabar dari rekan-rekan yang bekerja di media di Jakarta tentnag
perkembangan terbaru, misalnya pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden Soeharto. Aku juga
mendengar, beberapa intelektual seperti sosiolog Arief Budiman
mengkritik proyek ini. perkembangan politik yang semakin mengerikan
adalah bagaimana partai politik semakin dikuasai eksekutif, dan
bagaimana anggota parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka belaka.
Itu kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada kawan-kawan sejawat
di Eropa. Newsletter dengan tenaga gratis itu ternyata cukup populer
sehingga jika sumbangan yang masuk sudah cukup banyak, aku bisa
mencetaknya dalam bentuk seperti koran, dengan bantuan desain Risjaf.75
Perjalanan bangsa terus berlangsung, Presiden Soeharto selalu berhasil
mengemudikan kapal bernama Indonesia melalui badai demi badai yang memang
harus dihadapi dan dimenangkan. Namun, tidak demikian yang terjadi ketika
badai topan baru bernama “krisis moneter global” menimpa kawasan Asia pada
1997. Kapal besar yang dikemudikan Pak Harto oleng terkena imbasnya, setelah
badai krisis moneter itu juga meremukkan perekonomian Thailand.
Tapi puluhan tahun berlalu dan Sang Jenderal semakin kuat dan
semakin ditakuti. Mungkin gaya pemerintahan Indonesia tidak sama
dengan gaya para jenderal di negara-negara Amerika Latin. Tapi Sang
Jenderal masih mencengkeram takhtanya dengan kuat.76
d. Tragedi dan Reformasi Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa besar dalam sejarah Indonesia.
Setiap tahun selalu ada yang memperingatinya. Namun dengan berlalunya waktu,
tidak banyak yang mengetahui atau ingat gambaran besarnya, di mana benang
merah yang mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian lain, dan apa yang ada di
balik suatu peristiwa atau rentetan peristiwa. Kerusuhan Mei 1998 telah
menyebabkan tragedi besar, dalam, dan berkepanjangan bagi banyak komunitas
dan keluarga, tapi juga telah mengangkat ke permukaan segi-segi positif dari rasa
kemanusiaan yang masih inheren dalam masyarakat Indonesia.
75
Leila, op. cit., h. 86 76
Leila, op. cit., h. 204
54
Di Jakarta, mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan
akademisi mulai menyuarakan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari
jabatannya. Namun dalam aksi-aksinya pengunjuk rasa ini menghadapi bahaya
fisik serius, karena aparat keamanan langsung dikerahkan untuk “mengamankan”
mereka. Kendati demikian, aksi-aksi ini tidak berhenti begitu saja. Tiap hari ada
saja sejumlah pendemo yang ditangkapi lalu ditahan.77
Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan, mimbar
bebas mahasiswa—yang sudah berlangsung sejak 1 Mei—pasti akan
sangat panas pada puncaknya, tanggal 20 Mei. Informasi ini sudah
beredar di kalangan mahasiswa, baik yang tergabung dalam Forkot
(kalau tak salah ini singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra-kampus
yang terdiri dari belasan perguruan tinggi) maupun mahasiswa, aktivis,
dan para wartawan. Saya yakin para lalat—maaf saya sudah mulai
tertular menggunakan istilah Alam—yang mendengung juga sudah
menyampaikan info ini kepada keamanan, karena di kampus mana pun
yang saya kunjungi sejak tanggal 9 Mei lalu penjagaan sangat ketat.78
Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan
alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang mengahdiri aksi
berkabung ini. Aku melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil
Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung Nasution.79
Di Jakarta, Mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan
akademisi mulai menyerukan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari
jabatannya. Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat
berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto.
Gejolak politik ini terkait juga dengan situasi perekonomian yang semakin buruk
akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan Asia seperti Thailand,
Korea Selatan, dan Filipina, di samping Indonesia. Nilai tukar rupiah terus
melorot, kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok, dan lain-
77
Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: PT
Kompas Media, 2014), h. 21 78
Leila, op. cit., h. 410 79
Leila, op. cit., h. 415
55
lain.80
Suasana pada saat kerusuhan terjadi digambarkan oleh Leila sebagai
berikut:
“Selama kau tidur tadi, entah sudah berapa mobil dibakar, toko-
toko dijarah. Mita sudah diantar Agam ke Bintaro. Kalau sudah begini,
baisanya warga pemukiman akan saling koordinasi mencari cara
pencegahan agar jangan sampai terjadi apa-apa dengan rumah dan
keluarga mereka.”
Aku tercengang.
“Massa memasuki pemukiman? Lalu apa yang akan mereka
lakukan?”
“Apa saja. menjarah, merampok, apa saja yang dilakukan orang-
orang keji yang blingsatan terutama jika sudah bergerak sebagai bagian
dari gerombolan. Tapi mudah-mudahan itu tak terjadi,” kata Alam
mencoba menenangkan aku, meski aku merasa dia menenangkan dirinya
sendiri. “Tapi ada sesuatu yang khas tentang psikologi kelompok di negeri
ini. begitu bergerombol, tinggal teriak „maling‟ atau „komunis‟, tanpa
tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan
kena hajar.”81
Masyarakat jadi anarkis, mereka menjarah, membakari toko-toko dan
pusat perbelanjaan yang rata-rata milik etnis Tionghoa. Gadis-gadis dan wanita
Tionghoa diperkosa. Situasi semakin parah dan tidak terkendali, menimbulkan
kemarahan, rasa dikhianati, rasa dijadikan korban, dan rasa putus asa yang
merebak di kalangan rakyat yang merasa kehilangan pegangan.82
Demonstrasi
terjadi di berbagai tempat, terutama di kampus-kampus dan sekitarnya. Di tengah
suhu politik yang memanas itu Pak Harto berangkat menghadiri KTT Non-Blok di
Kairo, Mesir. Di Tanah Air, demonstrasi mahasiswa semakin menjadi. Pada 12
Mei 1998 suasana kian chaos akibat ditembaknya empat Mahasiswa Universitas
Trisakti yang berdemonstrasi di bawah Jembatan Semanggi:
Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan
gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan
ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan
Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya
merekam orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi
80
Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik
Para Penguasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 118. 81
Leila, op. cit., h. 424. 82
Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: PT
Kompas Media, 2014), h. 22.
56
juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka, darah
kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan kaca tebal yang
berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa benda mati disebut sesuatu
yang mati? Terkadang mereka lebih „hidup‟ dan lebih jujur memberikan
saksi.83
Pada kutipan novel di bawah dipaparkan bahwa ribuan mahasiswa sudah
menunggu kepulangan Soeharto dari KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Ribuan
mahasiswa menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk meminta Soeharto turun
dari kursi presiden.
Jakarta, 16 Mei 1998
Ketika terdengar kabar Presdien Soeharto sudah mendarat di
Jakarta kemarin, Alam dan kawan-kawannya tampak keranjingan. Bukan
karena kehadirannya akan menyelesaikan persoalan, tetapi karena “saatnya
Indonesia membuat perhitungan dengannya”.
Gaya Gilang dan Alam seperti dua jenderal yang siap mengangkat
senjata meski „senjata‟ mereka Cuma sikat gigi yang dibawa kemana-
mana. Tetapi memang banyak harapan yang agak mengawang. Menurut
Gilang, sejak kemarin dia mendengar banyak tokoh yang bertemu di
beberapa tempat secara terpisah. Salah satunya dia mendengar dari
berbagai sumber bahwa Nurcholis Madjid—yang dipanggil dengan nama
Cak Nur oleh Gilang, dan aku lupa bertanya apa arti „cak‟—bertemu
dengan beberapa tokoh atas undangan salah seorang petinggi militer di
Markas Besar ABRI. Katanya, Nurcholis membaut semacam coret-coretan
konsep yang perlu disampaikan kepada Presiden Soeharto. Isinya ada
beberapa poin, tapi yang paling menarik dan membuat Gilang dan Alam
seperti menang perang adalah Presiden diminta untuk tidak bersedia
dipilih lagi dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan dalam
waktu secepatnya. 84
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa di Istana Merdeka, 9 tokoh
diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib,
Nurcholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad
Bagdja, dan Ma‟aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang,
83
Leila, op. cit., h. 414. 84
Leila, op. cit., h. 432
57
karena diajak Nurcholish sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, Yusril niscaya
dibutuhkan.85
Kerusuhan Mei 1998 terjadi dalam bentuk kerusuhan massal yang meliputi
berbagai tindakan pembunuhan, penganiayaan, parusakan, pembakaran,
penjarahan, penghilangan orang secara paksa dan pemerkosaan. Kerusuhan
diyakini terkait erat dengan proses pergeseran elit politik saat itu yang kemudian
diikuti mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai
momentum kemenangan gerakan reformasi.
Ponselku berbunyi, mita. Dia menyuruhku menyusul mereka
semua ke gudng DPR. Semua mahasiswa sedang menuju ke sana dan
menduduki gedung parlemen itu. Sementara aku meminta supir taksi untuk
melarikan kendaraan selekas mungkin, aku bertanya-tanya mengapa lama
sekali Alam berpuasa bicara hanya karena Nara menelepon aku. Tiba di
gedung DPR, di sana sudah penuh dengan mahasiswa dan tokoh-tokoh
yang sama seperti di kampus Trisakti beberapa hari lalu. Mereka berorasi
dengan isi yang sama: reformasi dan Presiden Soeharto turun. Aku
berjalan dengan perasaan enteng. Aneh sekali, suasana di DPR siang itu
terasa agak festive. Rasanya aku tak percaya baru beberapa hari yang lalu
telah terjadi kerusuhan dan kekejian di negeri ini.86
e. Etnis Tionghoa Indonesia di Tengah Tragedi Mei 1998
Lalu mengapa harus ada peristiwa kekerasan persis di depan
mataku pada saat aku mulai mencintai tempat ini, juga orang-orangnya?
Menyerang dan menghajar rumah-rumah orang-orang Indonesia keturunan
Tionghoa? Tahun berapakah ini? 1998? Apakah kita mundur dua abad
sembari mengadopsi kedunguan rasialisme? Atau setelah 33 tahun, tak ada
yang berubah? Aku harus mengoreksi ucapanku pada Ayah.87
Dalam novel Pulang, Leila menuliskan bagaimana nasib etnis tionghoa
pada saat kerusuhan mei 1998 terjadi. Beberapa sumber sejarah mencatat bahwa
etnis Tionghoa Indonesia kerap kali menjadi korban saat tragedi berdarah di
negeri ini berlangsung. Sejak mulai krisis moneter pada 1997, itu adalah awal
85
Liputan 6, 21 mei 1998: Soeharto Lengser, Sebelumnya Terjadi Apa di Istana?, 21 Mei
2014 at 09.24 WIB. 86
Leila, op. cit., h. 437 87
Leila, op. cit., h. 427.
58
mula dari kerusuhan Mei 1998. Para pejabat menyatakan bahwa krisis ekonomi
melanda Indonesia karena orang-orang Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar
negeri, dan Tionghoa-Tionghoa yang masih berada di Tanah Air, menimbun
barang-barang sembako sehingga rakyat sengsara dan kelaparan.88
Mita terdengar menahan sabar dengan kebodohanku, “Keturunan
Tionghoa selalu jadi sasaran pertama, Madame Sorbonne. Rumah-rumah
diserang, dijarah. Aku belum tahu info selanjutnya. Diskusi dengan Alam
saja, aku harus menemani ibuku, dia masih linglung.”89
Tersebar berita bahwa sejumlah kawasan bisnis dan pemukiman yang
banyak dihuni warga etnis Tionghoa menjadi kerusuhan hebat. Pembakaran,
penjarahan, penganiayaan terjadi tanpa ada aparat keamanan yang datang
menolong, meskipun warga mengatakan berkali-kali menelepon dan memanggil
mereka.90
Semua dideskripsikan dengan jelas oleh Leila:
...Sepanjang jalan yang kusaksikan adalah mal-mal kecil maupun
besar yang hangus tinggal tulang belulang, trotoar, dan pagar yang luluh
lantak, tanda dan rambu jalanan yang lepas atau meleleh terbakar, gedung-
gedung yang biasanya terlihat megah tinggal kerangka hitam yang sia-sia.
ATM hancur lebur. Supermarket, bank-bank, dan pertokoan apalagi.
Denyut ekonomi dan bisnis negara ini betul-betul disembelih.
Kesimpulannya, hingga pagi hari ini, Jakarta di pagi hari betul-betul
seperti neraka yang sudah lelah menyiksa.91
Sedangkan Laporan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TPGF) membuka
latar lebih luas. Benar para pelaku kerusuhan Mei menjadikan etnis Tionghoa
sebagai sasaran tembaknya, kalau dilihat dari peta kejadiannya. Namun tidak
berarti hanya warga keturunan Tionghoa saja yang menjadi korban. Untuk
mencapai tujuannya juga, apakah itu dalam upaya merenggut kekuatan dalam
pertikaian politik atau motivasi lain, para pelaku tidak ragu-ragu mengorbankan
rakyat kecil yang sengaja mereka iming-imingi dengan kepuasan “membalas
88
Anggraeni, op. cit., h. 68. 89
Leila, op. cit., h. 426. 90
Anggraeni, op. cit., h. 22. 91
Leila, op. cit., h. 433.
59
dendam” pada kelompok keturunan Tionghoa yang mereka gambarkan sebagai
orang-orang kaya yang layak dirampok.92
Melalui siaran televisi, dengan tega mereka menyiarkan korban
yang terbakar. Bertumpuk dan dimasukkan begitu saja ke dalam kantong
hitam. Dan aku tak bisa lagi menyebutkan kisah-kisah tentang
penyerangan dan perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa.
Ceritanya begitu simpang siur dan terlalu grotesque sehingga kepalaku
terasa digedor-gedor. (433)
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan pembelajaran yang
dapat menambah wawasan peserta didik terhadap permasalahan kehidupan.
Membaca karya sastra seperti novel menjadikan peserta didik lebih peka terhadap
hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Nilai-nilai yang dapat diperoleh peserta didik
dalam membaca karya sastra salah satunya dapat berupa nilai sejarah. Dengan
demikian, mengetahui sejarah dapat dilakukan dengan melakukan pembacaan
terhadap novel.
Novel Pulang karya Leila S. Chudori memiliki banyak nilai sejarah yang
dapat menambah pengetahuan siswa mengenai sejarah yang pernah terjadi di
Indonesia. Nilai sejarah yang terdapat dalam novel memiliki kelebihan tersendiri
yakni penarasian yang dapat mengolah kepekaan siswa terhadap rasa
kemanusiaan. Selain itu, siswa mendapatkan pengalaman baru dalam
membandingkan penyajian sejarah. Di sisi lain, guru juga dapat menjelaskan lebih
mendetail mengenai kaitan unsur ekstrinsik yang membangun sebuah karya sastra.
Skripsi tentang nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori
dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas XI
SMA semester 2 dengan standar kompetensi mendengarkan, memahami
pembacaan novel dan kompetensi dasar menemukan nilai-nilai dalam novel yang
92
Anggraeni, op. cit., h. 144.
60
dibacakan. Berikut ini adalah RPP yang sesuai dengan implikasi nilai sejarah
dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
SEKOLAH : SMA/MA .....................
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : XI
SEMESTER : 2
TAHUN PELAJARAN : ....................
A. STANDAR KOMPETENSI :
Mendengarkan : Memahami pembacaan novel
B. KOMPETENSI DASAR :
Menemukan nilai-nilai dalam novel yang dibacakan
C. INDIKATOR :
No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilau Budaya dan
Karakter Bangsa
1 Menemukan nilai sejarah dalam novel Pulang
karya Leila S. Chudori. Mandiri
Tanggung Jawab
Komunikatif
Kritis
2 Mendiskusikan nilai-nilai sejarah dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori.
D. TUJUAN PEMBELAJARAN :
Siswa dapat:
Menemukan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Mendiskusikan nilai-nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Churdori.
E. MATERI PEMBELAJARAN :
Novel yang dibacakan yakni novel Pulang karya Leila S. Chudori
61
Nilai-nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori
F. METODE PEMBELAJARAN :
Penugasan
Diskusi
Tanya Jawab
Ceramah
G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN :
No Kegiatan Belajar Alokasi Waktu
1 Kegiatan Awal :
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini.
15 menit
2 Kegiatan Inti :
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, siswa:
Membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Menemukan nilai sejarah dalam novel Pulang
karya Leila S. Chudori.
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, siswa:
Mendiskusikan nilai-nilai sejarah dalam novel
Pulang karya Leila S. Chudori.
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum
diketahui.
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum
diketahui.
60 menit
3 Kegiatan Akhir:
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.
Penugasan
15 menit
H. ALOKASI WAKTU :
2 x 40 menit
I. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN :
Novel Pulang karya Leila S. Chudori
J. PENILAIAN :
Jenis Tagihan:
tugas individu
ulangan
Bentuk Instrumen:
uraian bebas
62
pilihan ganda jawaban singkat
Mengetahui, Bekasi,
Kepala SMA/MA............ Guru Mata Pelajaran,
_________________ ___________________
63
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini terdiri dari
pergerakan Partai Komunis Indonesia dan perkembangannya di sekitar
tahun 1960-an, tragedi September 1965 saat terjadinya penculikan dan
pembunuhan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat oleh PKI, situasi
pemerintahan setelah tragedi September 1965 yakni banyaknya penculikan
dan pengeksekusian terhadap pihak-pihak yang terlibat dengan gerakan
Partai Komunis Indonesia, terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret, kondisi
eks tahanan politik yang berada di luar negeri yakni sulit untuk
mendapatkan akses pulang ke tanah air, masa pemerintahan Presiden
Soeharto yakni pembangunan yang dilakukannya serta tindakan KKN
yang menjadi catatan hitam dalam pemerintahannya, tragedi Mei 1998 dan
runtuhnya rezim Soeharto, etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusahan
Mei 1998.
2. Penelitian mengenai nilai sejarah dalam novel Pulang ini dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas XI semester
2. Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek mendengarkan dengan
memahami pembacaan novel. Kompetensi Dasar yang sesuai yakni
menemukan nilai-nilai dalam novel yang dibacakan. Kegiatan
menganalisis nilai sejarah ini di samping menambah pengetahuan terhadap
pengkajian novel, juga menambah pengetahuan siswa terhadap sejarah
bangsa Indonesia yang pernah terjadi.
64
B. Saran
Pada bagian akhir penelitian ini penulis ingin menyampaikan beberapa
saran sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan. Adapun saran-saran
yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran
sastra, tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran menulis novel dari
kondisi di sekitar siswa. Dikatakan demikian, karena ternyata pengalaman-
pengalaman yang terdapat dalam novel Pulang Karya Leila S. Chudori
mengandung banyak sejarah yang terjadi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk memasukan unsur-
unsur pengalaman sebagai bahan pembelajaran menulis novel. Hal tersebut
dilakukan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan ide,
gagasan dan pengalamannya dalam bentuk bahasa tulis.
2. Peneliti menyarankan agar para peneliti-peneliti yang lain dapat
mengungkapkan berbagai sejarah Indonesia melalui novel-novel yang
berkembang seiring dengan perkembangan sejarah itu sendiri.
3. Untuk mengkaji pengalaman-pengalaman dalam karya sastra, khususnya
novel dapat dilakukan melalui pengakajian unsur-unsur yang membangun
karya sastra tersebut.
4. Guru hendaknya mengkaji pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam
karya sastra sebagai acuan ketika akan menentukan bahan pembelajaran
apresiasi sastra. Sebagian besar pengkajian hanya dilakukan pada struktur
dan gaya bahasa suatu karya sastra, tidak mencakup pengalaman-
pengalaman yang terdapat dalam karya sastra.
5. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia semakin diminati oleh siswa
karena memiliki banyak manfaat untuk menambah wawasan sosial,
budaya, dan sejarah bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
1999.
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Sinar Baru. 1987
Anggraeni, Dewi. Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta:
PT Kompas Media. 2014.
Anwar, H. Rosihan. Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan Sebelum
Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007.
Aswadiah, Roichatul. dan Nurkhoiron, Muhammad. e-book Ringkasan Eksekutif
Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta:
KOMNASHAM RI.
Atmazaki, Drs. Ilmu Sastra, Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990.
Cet.Ke-10.
Bertened. Etika, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama. 2011. Cet. 11.
Chudori, Leila S. Pulang. Jakarta: Gramedia. 2012. Cet. 2.
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah. 2011.
Jalaludin dan Abdillah Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan.
Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997.
Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012.
Kurniawan, dkk., Pengakuan Algojo 1965 Investigasi Tempo Perihal
Pembantaian 1965. Jakarta: PT Tempo Inti Media. 2014.
Lesmana , Tjipta. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para
Penguasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2009
Mahayana, Maman S. Eksintrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 2007.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Cet.
29, 2011.
Poeze, Harry A. Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik I. Jakarta: PT
Temprint. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Cet. 3 2007.
Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Prospektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Cet.
1.
Said, Salim. Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian. Bandung: Mizan
Media Utama. 2013.
Said, A. Umar. Instruksi Mendagri No 32/1981 Perlu Dihapus Segera.
http://umarsaid.free.fr. 19.56 WIB. 11 Februari 2015.
______________. Rehabilitasi Hak Sipil Dan Hak Politik Bagi Ex-Tapol.
http://umarsaid.free.fr. 20.21 WIB. 11 Februari 2015.
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grassindo. 2008.
Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak ; Peran Moral Intelektual, Emosional,
dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008. Cet. 2.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. 2007 (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), h. 9.
Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet ke-2. 2007.
Sulastomo. Hari-Hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru Sebuah
Memoar. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2008.
Sulastri, Euis, Dkk. Bahasa dan Sastra Indonesia 2. Jakarta : Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
Tamburaka, H. Rustam E. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah.
Sejarah Filsafat, dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta. 2002.
Zaidan, Abd., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.