NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1271/1/SRI...

92
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10) SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Sri Widayati NIM 11112150 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016

Transcript of NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1271/1/SRI...

i

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-QUR‟AN

(TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

Sri Widayati

NIM 11112150

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2016

ii

i

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-QUR‟AN

(TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

Sri Widayati

NIM 11112150

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2016

ii

iii

iv

v

MOTTO

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangannya)

hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Qur‟an surat al-ahzab: 21).

PERSEMBAHAN

Untuk orang tuaku, adik-adikku,

Keluargaku, dosen-dosenserta guru-guruku

Teman-teman seperjuanganku, sahabat-sahabatku,

Dan teman spesialku yang selalu setia “menemaniku.”

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala

rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-

QUR‟AN (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10),” membahas tentang nilai pendidikan

akhlak dalam al-Qur‟an, lebih khususnya nilai pendidikan akhlak yang terkandung

dalam surat „Abasa ayat 1-10.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak bantuan

dari berbagai pihak, baik berupa material maupun spiritual. Selanjutnya penulis

haturkan ucapan terimakasih kepada mereka yang memiliki andil besar atas

terselesaikannya skripsi ini:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

IAIN Salatiga

3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

4. Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag selaku dosen pembimbing yang

senantiasa memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Ibu Dra.Ulfah Susilowati,M.SI selaku dosen pembimbing akademik

6. Bapak / Ibu dosen beserta karyawan IAIN Salatiga

.

vii

viii

ABSTRAK

Widayati, Sri. 2016. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an (Telaah

Surat „Abasa Ayat 1-10). Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama

Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag.

Kata Kunci: Nilai, Pendidikan Akhlak, al-Qur‟an

Problematika rendahnya akhlak yang berarah pada kehancuran bangsa ini.

Sehingga untuk menyelamatkan bangsa seluruh masyarakat, orang tua, pendidik

harus membiasakan anak dengan akhlak yang baik agar tercipta generasi yang

berakhlak mulia. Kembali kepada ajaran al-Qur‟an dan as-Sunnah merupakan

solusi yang tepat dalam menyelesaikan krisis akhlak. Penelitian yang berjudul

“Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-

10)” ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan: 1. Bagaimana

konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam? 2. Bagaimana nilai-nilai

pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat „Abasaayat 1-10.

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, atau bahan-bahan

bacaan untuk mencari pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang

pendidikan akhlak. Kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan. Metode analisis

data yang penulis gunakan adalah analisis mawdhu‟i dan analisis semantik.

Berdasarkan telaah dari literature maka hasil penelitian menunjukkan

bahwa: 1. konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam meliputi nilai,

macam-macam nilai, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak

dan sumber pendidikan akhlak. 2. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

dalam surat „Abasa ayat 1-10, antara lain: memberikan penghargaan yang sama,

tidak berfikir negatif terhadap orang lain dan bersikap cermat dan berhati-hati

dalam mengambil suatu tindakan.

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... iii

PENGESAHAN .................................................................................................. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5

E. Metode Penelitian .......................................................................... 6

F. Penegasan Istilah ............................................................................ 8

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 11

BAB II LANDASAN TEORI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ........ 12

A. Nilai ............................................................................................... 12

1. Pengertian Nilai ........................................................................ 12

2. Macam-macam Nilai ................................................................. 13

B. Pendidikan Akhlak ......................................................................... 13

x

1. Pengertian Pendidikan Akhlak .................................................. 13

2. Tujuan Pendidikan Akhlak ....................................................... 16

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak .......................................... 17

4 Sumber Pendidikan Akhlak ...................................................... 27

BAB III ASBĀBUN NUZŪL, POKOK-POKOK ISI SURAT

„ABASA, MUNĀSABAH DAN TAFSIR QUR‟AN SURAT

„ABASA AYAT 1-10 ........................................................................... 28

A. Asbâbun Nuzūl QS. „Abasa Ayat 1-10 .......................................... 28

B. Pokok-pokok Isi Surat „Abasa Ayat ............................................. 31

C. Munâsabah QS. „Abasa Ayat 1-10 ................................................ 32

D. Pandangan Mufasir dan Penafsiran Tentang al-Qur‟an Surat

„Abasa Ayat 1-10 ........................................................................... 35

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM

QS. „ABASA AYAT 1-10 ................................................................. 51

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak ....................................................... 51

B. Aplikasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kehidupan

Sehari-hari ...................................................................................... 59

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 64

A. Kesimpulan ................................................................................... 64

B. Saran-saran .................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Daftar Riwayat Hidup

Lampiran II : Lembar Konsultasi

Lampiran III : Daftar Nilai SKK

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang mengandung jalan hidup manusia

yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia

kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, baik dunia maupun akhirat kelak.

Sumber agama Islam adalah al-Qur‟an dan al-Hadits. Allah telah memberikan

pegangan dan pedoman kepada setiap hamba-Nya dalam menjalankan

kehidupannya, agar nantinya dapat menjalankan kehidupannya dengan baik

serta tidak menyimpang dari tatanan syari‟ah. Pegangan tersebut adalah al-

Qur‟an. Fungsi al-Qur‟an diturunkan adalah sebagai pokok ajaran Islam, yang

mendasari ajaran-ajaran hukum, dan peraturan bagi umat manusia

(Budihardjo, 2012: 13). Dasarnya antara lain terdapat pada Q.S. an-Nisā‟/4:

105 yang berbunyi:

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan

membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa

yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi

penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang

khianat”.(QS. an-Nisā‟: 105)

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa

berpedoman kepada al-Qur‟an, manusia dapat belajar menjalankan

2

kehidupannya dengan baik, karena didalamnya mengandung panduan, aqidah,

hukum, kisah, petunjuk, ibadah serja janji dan ancaman. Semua petunjuk yang

terkandung di dalam al-qur‟an menuntun manusia untuk berakhlak mulia, dan

seluruh kandungan dalam al-Qur‟an berisi petunjuk dari Allah. Allah Swt

berfirman:

“(al-Qur‟an) ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk

serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”(Ali Imrān: 138).

Petunjuk yang diberikan kepada setiap manusia itu berupa akal,

kecerdasan dan pengetahuan untuk dikembangkan dan juga petunjuk atau

hidayah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Untuk mencapai hal

tersebut, maka manusia salah satunya yaitu harus memperhatikan pendidikan

akhlak. Hal itu karena akhlak adalah buahnya Islam yang diperuntukkan bagi

seorang individu dan umat manusia, dan akhlak menjadikan kehidupan ini

menjadi manis dan elok. Tanpa akhlak, yang merupakan kaidah-kaidah

kejiwaan dan sosial bagi individu juga masyarakat, maka kehidupan manusia

tidak berbeda dengan kehidupan hewan dan binatang (hafidz dan Kastolani,

2009: 107). Allah telah menjadikan contoh akhlak yang luhur dalam al-

Qur‟an dan mengajak kaum muslimin untuk menyerupai nilai-nilai dalam al-

Qur‟an tersebut. Selain itu, Islam juga menjadikan Rasulullah sebagai sumber

teladan yang baik dalam akhlak, sebagaimana firman Allah:

3

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu, bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan

kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”(al-Ahzāb: 21).

Selain terdapat dalam al-Qur‟an, juga dalam hadits Rasulullah:

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak

yang baik”.

Melihat firman-firman Allah dan hadits Rasulullah tersebut, kita

sebagai umat Islam dianjurkan untuk meneladani Rasulullah SAW karena

seluruh umat Islam pastilah tahu bahwa Rasulullah adalah diutus kepada umat

manusia untuk menyempurnakan akhlak. Pada prinsipnya akhlak itu mengatur

pola tingkah laku manusia melalui dua cara yaitu hablumminallah, hubungan

manusia dengan Allah dan hablumminannas hubungan manusia dengan

sesama manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat

terpisahkan dari manusia lain, pastinya juga tidak dapat terpisahkan dari

interaksi atau hubungan, yang mana dari hubungan-hubungan tersebut

membutuhkan akhlak agar tetap terjaga keharmonisannya.

Anak didik di dalam pendidikan dibina dan dikembangkan dengan

usaha-usaha agar bisa meneruskan kehidupan bangsa yang maju dan

berpendidikan serta bermoral, dan berbudi pekerti yang baik. Pendidikan

merupakan suatu sistem yang menetapkan pengaruh adanya efektifitas dari

keluarga dan sekolah dalam membentuk generasi muda dari aspek jasmani,

4

akal dan akhlak. Pendidikan akhlak memiliki tujuan utama yaitu agar manusia

senantiasa berada dalam kebenaran dan di jalan yang lurus, jalan yang telah

ditetapkan oleh Allah.

Namun, di zaman yang semakin maju sekarang ini mengalami

kemerosotan kualitas akhlak. Seperti contohnya di masyarakat, banyak anak-

anak yang berani membantah kepada yang lebih tua atau bahkan kepada orang

tuanya sendiri, jangkar atau memanggil nama tanpa sebutan pak, mas, bu,

dll.Bahkan sama sekali tidak memiliki tata krama dalam pergaulan. Di media

cetak atau televisi, sering kita jumpai berita mengenai pembunuhan anak oleh

orang tuanya sendiri.

Kaitannya dengan permasalahan tersebut terutama di dalam dunia

pendidikan maka perlu kita perhatikan pendidikan akhlak agar manusia

setidaknya dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Atas

dasar beberapa realita di atasmenjadikan alasan dan mendorong penulis untuk

menyusun skripsi dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-QUR‟AN (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam?

2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat „Abasa

ayat 1-10?

5

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat

„Abasa ayat 1-10.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat,

baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi para pembaca di dunia pendidikan dan khususnya

terutama mengenai konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dan nilai-

nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam surat „Abasa ayat 1-

10.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberi masukan kepada pendidik, pemikir di masa

mendatang, atau pun seluruh manusia dalam mensosialisasikan

pendidikan akhlak sesuai dengan ajaran Islam. Dan juga, hasil

penelitian ini dapat digunakan untuk mempelajari nila-nilai pendidikan

akhlak dalam surat „Abasa ayat 1-10 secara komprehensif dan

mendalam dalam rangka memperbaiki kualitas akhlak.

6

E. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penulisan penelitian ini, data-data yang berkaitan dengan

masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan Library Research

(penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan

dengan metode pengumpulan data pustaka (Zed, 2004: 3). Hal ini

dilakukan dengan jalan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar,

2009: 91). Sumber data primer ini berupa al-Qur‟an surat “Abasa

ayat 1-10 beserta tafsirnya baik berupa haidts-hadits maupun

penjelasan dan tafsir-tafsir para ulama‟ diantaranya adalah tafsir al-

Misbah karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Maraghi karya Ahmad

Mustafa al-Maraghi, al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen

Agama RI, tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar Rifa‟i,

dan tafsir al-Azhar karya HAMKA..

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui

pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek

penelitiannya. Dalam hal ini data sekundernya adalah buku-buku

7

yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi

dari data sumber primer.

2. Metode Analisis Data

a. Analisis Mawdhu‟i

Analisis mawdhu‟i atau metode tafsir al-mawdhu‟i menurut

istilah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan menghimpun

ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti

sama-sama membicarakan satu topik dan menyusunnya berdasarkan

kronologi dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut (Budihardjo, 2012:

50). Metode ini penulis gunakan untuk membahas ayat al-Qur‟an

surat „Abasa ayat 1-10 dan berupaya menghimpun ayat-ayat al-

Qur‟an yang lain dari berbagai surat yang berkaitan dengan tema

yang dibahas, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

b. Analisis Semantik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), semantik

adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai

seluk beluk dan pergeseran arti kata. Sedangkan secara etimologis,

semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna

dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga

hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan

objek semantik (Izutsu, 2003: 3). Dalam penelitian ini, penulis juga

menggunakan analisis semantik untuk membahas ayat al-Qur‟an

surat „Abasa.

8

F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari adanya kemungkinan penafsiran yang salah

tentang istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis

perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara

lain:

1. Nilai

Nilai yaitu esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti

bagi kehidupan. Kata majemuk “nilai-nilai” menurut Muhaimin berasal

dari kata dasar “nilai” diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan

sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting (Muhaimin,

1993: 110). Dalam hal ini, nilai yang dimaksudkan adalah nilai pendidikan

yang terdapat dalam surat „Abasa ayat 1-10. Selain itu, nilai juga diartikan

sifat yang melekat pada sesuatu sistem kepercayaan yang telah

berhubungan dengan subjek yang memberi arti (Thoha, 1996: 60). Subjek

yang dimaksud di sini yaitu manusia yang meyakininya.

2. Pendidikan Akhlak

Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari istilah

Pedagogi yaitu berasal dari bahasa Yunani Kuna Paidos dan agoo. Paidos

artinya “budak” dan agoo artinya “membimbing”. Akhirnya pedagogie

diartikan sebagai „budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar

(Jumali dkk, 2004: 19). Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan

tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan

sekaligus kepribadian. Dengan demikian hakikat pendidikan adalah

9

kegiatan formal yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi,

administrasi yang secara simultan memproses peserta didik menjadi lebih

bertambah pengetahuan, Skiil dan nilai kepribadiannya dalam suatu

keteraturan kalender akademik. Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003

tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengemdalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan pendidikan akan dihasilkan

manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, dan memiliki kesadaran

akan penciptaan dirinya.

Secara etimologi, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari

Khuluq ( ) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat

(Munawwir, 1984: 364). Berakar dari kata khalaqa ( ) yang berarti

menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang

diciptakan) dan khalq (penciptaan) (Ilyas, 2007: 1). Masih di dalam buku

yang sama, yaitu Kuliah Akhlak oleh Yunahar Ilyas (2007: 2), pengertian

akhlak secara terminologi menurut beberapa tokoh diantaranya:

1. Imam al-Ghazali:

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan

pemikiran dan pertimbangan”.

10

2. Ibrahim Anis:

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya

lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa

membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.

3. Abdul Karim Zaidan:

“(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa,

yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai

perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan

atau meninggalkannya”.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui pendidikan

akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak yang berkaitan

dengan perilaku yang harus ditanamkan pada diri anak sejak mulai dini.

Penanaman ini dapat di lakukan melalui pendidikan baik formal maupun

non formal. Dengan pendidikan akhlak menjadikan kehidupan manusia

itu lebih harmonis.

3. Al-Qur‟an

al-Qur‟an secara bahasa berarti pengumpulan dan penghimpunan

(Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, 1967: 78). Sedangkan secara istilah al-

Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW merupakan mukjiat bagi Nabi Muhammad SAW, dinukilkan secara

mutawatir dan membacanya bernilai ibadah serta tertulis dalam mushhaf,

diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nās

(Budihardjo, 2012: 3).

11

Sedangkan yang diteliti dalam penulisan ini adalah mengenai surat

„Abasa ayat 1-10 karena ayat tersebut ada kaitannya dengan nilai-nilai

pendidikan akhlak.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam

membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara

garis besar sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

penegasan istilah, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Landasan Teori Nilai-nilai Pendidikan Akhlak. Pada bab ini

akan dibahas mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak yang meliputi:

pengertian nilai, macam-macam nilai,pengertian pendidikan akhlak, tujuan

pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan sumber pendidikan

akhlak.

Bab III Asbābun nuzūl, munāsabah, pokok-pokok isi surat „Abasa dan

tafsir Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10.

Bab IV Analisis. Pembahasan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-

Qur‟an (telaah surat „Abasa ayat 1-10) dan aplikasi nilai-nilai pendidikan

akhlak dalam kehidupan sehari-hari.

Bab V Penutup. Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran.

12

BAB II

LANDASAN TEORI

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

A. NILAI

1. Pengertian Nilai

Ada banyak tokoh pendidikan yang mengartikan apa itu nilai.

Nilai menurut Milton Rokearch dan James Bank adalah suatu tipe

kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan

dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan,

atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan

(Thoha, 1996: 60). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa

nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu dan berhubungan

dengan subjek yang memberi arti yaitu orang yang mempercayainya.

Masih di dalam buku yang sama Chabib Thoha mengutip

pendapat J.R. Fraenkel yang mendefinisikan nilai yaitu a value is an

idea a concept about what some one thinks is important in life (Thoha,

1996: 60). Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa nilai bersifat

subjektif, artinya nilai menurut masyarakat satu belum tentu dapat

diterapkan untuk masyarakat lainnya. sebagai contoh, segenggam

garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada

segenggam emas. Karena garam lebih berarti untuk mempertahankan

kehidupan. Sedangkan segenggam emas lebih berarti bagi orang kota.

Adanya perbedaan tersebut dikarenakan dari segi manfaat suatu

13

objek/hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda dari masyarakat satu

dengan masyarakat lainnya.

2. Macam-macam Nilai

Menurut Noeng Muhadjir, nilai dibagi menjadi dua yaitu nilai

ilahiyah dan nilai insaniyah (Muhadjir, 1987: 64). Nilai ilahiyah

adalah nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah). Nilai ilahiyah

dibagi menjadi dua. Pertama, nilai ubudiyah yaitu nilai tentang

bagaimana seseorang seharusnya berlaku atau beribadah kepada

Allah. Nilai ilahiyah juga bisa disebut dengan “hablum minallah”.

Kedua, nilai muamalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Allah bagi

manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan sosialnya.

Sedangkan nilai insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai

individual, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai estetik. Nilai

insaniyah ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”.

Berdasarkan adanya macam-macam nilai tersebut, maka

penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai ilahiyah maupun

nilai insaniyah yang terdapat pada surat “Abasa ayat 1-10.

B. Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan Akhlak

Untuk memudahkan dan memahami pengertian pendidikan

akhlak, terlebih dahulu membutuhkan pemahaman mengenai akan dua

kata yaitu pendidikan dan akhlak. Karena pendidikan akhlak

14

terbentuk dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “akhlak”. Dalam

pendidikan banyak sekali para ahli pendidikan yang mengemukakan

pendapatnya tentang pengertian pendidikan.

Menurut M.J. Langeveld pendidikan adalah kegiatan

membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan mandiri.

Juga menurut David Reisman, pendidikan adalah kegiatan yang harus

berujud lembaga yang mampu counter cyclical, yaitu sekolah harus

lebih banyak mengajukan dan menanamkan nilai dan norma-norma

yang tidak banyak dikemukakan oleh kebanyakan lembaga sosial yang

ada di dalam masyarakat. Sekolah harus bertindak sebagai agent

ofchange dan creative (Jumali, 2004: 20). Dalam pendidikan itu

terdapat usaha, pengaruh dan perlindungan yang diberikan oleh orang

dewasa dengan menanamkan nilai-nilai yang baik sehingga

terbentuklah manusia dewasa, mandiri dan mulia.

Dalam bahasa Arab, pendidikan sama dengaa “At-Tarbiyah”,

kata At-Tarbiyah berasal dari kata “robaya” ( ) yang berarti

mendidik, mengajar, mengasuh, dan kata “robba-robaya” ( - )

yang berarti mengasuh, mendidik, mengemong (Atabik Ali dan

Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2003: 952). Sedangkan pengertian At-

Tarbiyah dalam buku Ilmu Pendidikan Islam yang dikutip oleh

Achmadi (1987: 2), menerangkan lebih lengkap bahwa ditinjau dari

asal bahasa pengertian At-Tarbiyah mencakup empat unsur:

a. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia

15

b. Mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka

ragam (terutama akal budinya).

c. Dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan

anak.

Untuk pengertian akhlak itu sendiri adalah perbuatan yang

dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan

itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat

melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan

pemikiran (Nata, 1997: 5). Sedangkan menurut Imam al-Ghazali di

dalam buku Akhlak Tasawuf yang dikutip oleh Abuddin Nata, akhlak

adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-

macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan

pemikiran dan pertimbangan.

Berdasarkan pengertian tersebut, jelaslah bahwa akhlak harus

mencakup dua syarat, yang pertama perbuatan itu harus konstan yang

mana dilakukan berulang kali kontinu dalam bentuk yang sama

sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan yang konstan itu

harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya

tanpa pertimbangan dan pemikiran. Melihat dari pengertian

pendidikan dan akhlak di atas, menurut penulis, pendidikan akhlak

adalah suatu proses atau usaha sadar untuk memberikan bimbingan

melalui penanaman nilai-nilai Islam terutama mengenai perbuatan

sehingga terbentuklah manusia yang berbudi pekerti luhur.

16

2. Tujuan Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak merupakan salah satu pendidikan yang

mana dari situlah kita akan mengetahui banyak teori yang

menjelaskan tentang akhlak, banyak contoh-contoh akhlak mulia yang

diberikan oleh pendidik atau pun kita dapat mengetahui bagaimana

akhlak yang terdapat pada suri tauladan kita yakni Nabi Muhammad

SAW yang mana dari situlah ditujukan agar kita dapat mengikuti atau

mencontoh akhlak-akhlak mulia dan senantiasa berada dalam

kebenaran serta berjalan di jalan yang lurus. Meneladani Nabi

Muhammad SAW adalah kewajiban bagi umat Islam. Perintah untuk

menjadikan beliau suri tauladan adalah firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat)

Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”

(al-Ahzāb, 33: 21).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan

pendidikan akhlak adalah agar terbinanya akhlak terpuji dan mulia

sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Selain itu,

pendidikan akhlak juga memiliki tujuan yaitu agar manusia berada

dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang

telah digariskan oleh Allah SWT. (Mahmud, 2004: 159). Inilah yang

17

akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di

akhirat.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

Menurut Yunahar Ilyas (2007: 17), di dalam bukunya Kuliah

Akhlak membagi akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah,

Akhlak terhadap Rasulullah, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam keluarga,

akhlak dalam masyarakat dan akhlak bernegara. Adapun uraiannya

adalah sebagai berikut:

a. Akhlak terhadap Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau

perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk

kepada Allah sebagai Khalik (Nata, 2002: 147). Sikap atau

perbuatan tersebut harus mencerminkan akhlak mulia yang

menggunakan tolok ukur ketentuan Allah.

Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia

perlu berakhlak kepada Allah, diantaranya:

1) Allah yang menciptakan manusia.

2) Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra berupa

pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari di

samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada

manusia.

3) Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang

diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.

18

4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya

kemampuan menguasai daratan dan lautan.

Dalam berakhlak kepada Allah manusia mempunya banyak

cara diantaranya yaitu dengan taat dan tawadduk kepada Allah,

karena Allah SWT yang telah menciptakan manusia untuk

berakhlak kepadanya dengan cara menyembah kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah:

“Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”(QS. adh-

Dhāriyāt: 56).

b. Akhlak terhadap Rasulullah SAW

Semua umat Islam tahu bahwa Rasulullah SAW adalah

Nabi dan Rasul terakhir, dan kewajiban bagi setiap manusia untuk

beriman kepada-Nya. Iman tidak cukup dengan hanya sekedar

meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal

yang sudah dijelaskan di dalam al-Qur‟an dan hadits tentang

bagaimana bersikap terhadap Rasulullah SAW. Itulah yang

dinamakan akhlak terhadap Rasulullah. Rasulullah SAW adalah

manusia istimewa yang memiliki suri teladan bagi umat Islam dan

pada-Nya juga terdapat akhlak-akhlak mulia yang pantas untuk kita

teladani. Adapun diantara perilaku atau akhlak yang harus

dilakukan oleh setiap umat Islam terhadap Rasulullah adalah

sebagai berikut:

19

1) Mencintai dan memuliakan rasul

2) Mengikuti dan mentaati rasul

3) Mengucapkan shalawat dan salam

c. Akhlak manusia kepada diri sendiri

Cakupan akhlak terhadap diri sendiri adalah semua yang

menyangkut persoalan yang melekat pada diri sendiri, semua

aktifitas, baik secara rohaniah maupun secara jasadiyah

(Nasharuddin, 2015: 257). Adapun akhlak terhadap diri sendiri

menurut Yunahar Ilyas (2007: 81) di dalam buku “Kuliah Akhlak”

itu meliputi:

1) Shidiq

Shidiq (ash-sidqu) secara bahasa berasal dari kata -

- yang artinya benar, nyata, berkata jujur, lawan

dari dusta atau bohong (al-khadzib) (Munawwir, 1984: 770).

Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam keadaan

benar lahir batin, benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan

(shidqal-hadits) dan benar perbuatan (shidiq al-„amal). Antara

hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi

antara perkataan dan perbuatan. Rasulullah SAW

memerintahkan setiap muslim untuk selalu shidiq, karena sikap

shidiq membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan

mengantarkannya ke syurga. Sebaliknya beliau melarang

umatnya berbohong, karena kebohongan akan membawa

20

kepada kejahatan dan kejahatan akan berakhir di neraka. Selain

itu Allah SWT menyukai orang-orang yang menepati janji.

Dalam al-Qur‟an disebutkan pujian Allah kepada Nabi Isma‟il

yang menepati janjinya:

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah

Isma‟il (yang tersebut) di dalam al-Qur‟an. Sesungguhnya ia

adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang

Rasul dan Nabi”(QS. Maryam 19: 54).

2) Amanah

Amanah secara bahasa berasal dari kata ––

artinya jujur, dapat dipercaya (Munawwir, 1984: 40). Dalam

pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal:

menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain,

menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang

diberikan kepadanya dan lain-lain sebagainya. Tugas-tugas

yang dipikulkan Allah kepada umat manusia, oleh al-Qur‟an

disebut sebagai amanah (amanah taklif). Allah berfirman:

21

“Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada

langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan

untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan

mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS.

Al-Ahzāb 33: 72)

3) Istiqāmah

Secara etimologis, istiqāmah berasal dari kata –

- yang berarti tegak lurus. Dalam terminologi

akhlak, istiqāmah adalah sikap teguh dalam mempertahankan

keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai

macam tantangan dan godaan. Perintah supaya beristiqamah

ini dinyatakan dalam al-Qur‟an dan sunnah. Allah berfirman:

“Maka beristiqamahlah kamu pada jalan yang benar,

sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang

telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui

batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu

kerjakan”. (QS. Hud 11: 112)

22

4) „Iffah

Secara etimologis, „iffah adalah bentuk masdar dari

–– yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang

tidak baik. Dan berarti kesucian tubuh. Sedangkan secara

terminologi, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari

segala hal yang akan merendahkan, merusak dan

menjatuhkannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

...

“...Apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan

yang tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga

kehormatan diri” (QS. al-Furqān: 72).

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya

zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang

buruk” (QS. al-Isrā‟: 32).

Dari dua ayat tersebut adalah contoh bentuk dari „iffah.

Seorang muslim maupun muslimah diperintahkan untuk

menjaga penglihatan dan pergaulannya. Tidak mengunjungi

tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak

pula melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa

mengantarkannya kepada perzinaan.

5) Mujāhadah

Mujāhadah berasal dari kata -- yang

berarti mencurahkan segala kemampuan. Dalam konteks

23

akhlak mujāhadah adalah mencurahkan segala kemampuan

untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat

pendekatan diri terhadap Allah SWT. Untuk mengatasi dan

melawan semua hambatan tersebut diperlukan kemauan keras

dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Perjuangan sungguh-

sungguh itulah yang dinamakan mujāhadah. Dalam hal ini

Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari

keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada

mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-

benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-

„Ankabūt 29: 69)

6) Syajā‟ah

Syajā‟ahsecara etimologis berasal dari kata –

– artinya berani (Munawwir, 1984: 695), yaitu berani

yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh

pertimbangan. Keberanian di sini ditentukan oleh kekuatan hati

dan kebersihan jiwa. Tawādhu‟ artinya merendahkan hati,

tidak memandang dirinya lebih dari orang lain. Orang yang

tawādhu‟ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik

bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta

kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain

24

sebagainya, semua itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah

berfirman:

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari

Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh

kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta

pertolongan” (QS. an-Nahl 16: 53).

7) Malu

Malu (al-haya‟) secara bahasa bersal dari kata –

yang artinya hidup (Munawwir, 1984: 315). Hidup dan

matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu. Malu

adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan

melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Sifat malu

tersebut adalah malu ketika melanggar peraturan Allah yaitu

kepada Allah, diri sendiri dan malu kepada orang lain.

Perasaan ini dapat menjadi bimbingan kepada jalan

keselamatan dan mencegah dari perbuatan nista. Allah

berfirman:

25

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka

tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka,

ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan

rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha meliputi

(ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”(QS. an-

Nisā‟: 108).

8) Sabar

Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berasal dari kata

–– berarti sabar, tabah hati (Munawwir, 1984:

760). Secara terminologi, sabar berarti menahan diri dari

segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha

Allah. Orang-orang yang memiliki sifat sabar akan

mendapatkan balasan syurga karena kesabaran mereka. Allah

berfirman:

“Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat

yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan

mereka disambut dengan pengormatan dan ucapan selamat di

dalamnya” (QS. al-Furqān: 75).

9) Pemaaf

Dalam bahasa arab, sifat pemaaf di sebut dengan al-

„afwu, yaitu berasal dari kata –– yang berarti

memaafkan atau mengampuni (Munawwir, 1984: 950).

Sedangkan arti pemaaf itu sendiri adalah sikap suka memberi

maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa

benci dan keinginan untuk membalas.

26

Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan

kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf

dari yang bersalah, karena sesungguhnya Allah Maha pemaaf.

Allah berfirman:

“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau

menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang

lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha

Kuasa”(QS. an-Nisā‟: 149).

d. Akhlak dalam keluarga

Seperti yang terdapat di dalam buku Pendidikan Agama

Islam yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali (2008: 358), akhlak

dalam keluarga, karib kerabat diantaranya adalah saling membina

rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling

menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada ibu

bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang, dan memelihara

hubungan silaturrahim yang dibina orang tua.

e. Akhlak terhadap bermasyarakat

Akhlak terhadap masyarakat menurut Mohammad Daud Ali

(2008: 358) dalam bukunya Pendidikan Agama Islam antara lain:

1) memuliakan tamu. 2) menghormati nilai dan norma yang berlaku

dalam masyarakat bersangkutan. 3) saling menolong dalam

melakukan hal kebajikan dan taqwa. 4) menganjurkan anggota

27

masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri

serta orang lain melakukan perbuatan jahat (munkar).

f. Akhlak Bernegara

Akhlak bernegara di sini meliputi: bermusyawarah,

menegakkan keadilan, amar ma‟ruf nahi munkar dan juga

membentuk hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang

dipimpin.

4. Sumber Pendidikan Akhlak

Berbicara tentang akhlak, di dalam Islam banyak dimuat dalam

al-Qur‟an dan hadits. Hal tersebut karena al-Qur‟an dan hadits adalah

sumber akhlak. Sumber tersebut merupakan ukuran atau batasan-

batasan mengenai baik dan buruk atau mulia dan tercela suatu

tindakan sehari-hari bagi manusia (Ilyas, 2007: 4)

Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau

buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena syara‟ (al-Qur‟an dan

hadits) menilainya demikian. Dengan penjelasan tersebut, maka

sumber pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan hadits yang

merupakan sumber utama agama Islam.

28

BAB III

ASBĀBUN NUZŪL, POKOK-POKOK ISI SURAT „ABASA,

MUNĀSABAH, DAN TAFSIR QUR‟AN

SURAT „ABASA AYAT 1-10

A. Asbābun Nuzūl QS. 'Abasa Ayat 1-10

Asbābun nuzūl terdiri dari dua kata yaitu asbāb dan nuzūl. Secara

bahasa, kata asbāb adalah bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab.

Kata nuzūl adalah isim masdar dari nazala yang berarti menurunkan sesuatu

atau kejadian sesuatu (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, V, 1967: 417). Jadi kata

asbābun nuzūl dapat diartikan sebab-sebab turunnya al-Qur‟an. Sedangkan

secara istilah, asbābun nuzūl menurut Muhammad Ali Ash Shabuni adalah

sebagai sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat al-

Qur‟an (Ash-Shabuni, 1999: 45).

Sebelum membahas tentang asbābun nuzūl surat „Abasa ayat 1-10,

terlebih dahulu penulis ingin mengetahui sekilas tentang surat „Abasa. Surat

„Abasa terdiri dari 42 ayat, termasuk kelompok surat Makiyyah, diturunkan

setelah surat an-Najm. Nama „Abasa (ia bermuka masam) diambil dari

perkataan „Abasa yang terdapat pada ayat pertama surat ini (Departemen

Agama RI, 2009: 544). Selain itu, ada juga yang menamainya surat ash-

Shakhkhah (yang memekakkan telinga), surat as-Safarah (para penulis kalam

Ilahi), dan surat al-A‟mā (sang tuna netra) (Shihab, 2012: 67). Nama-nama

tersebut diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surat „Abasa.

29

Adapun asbābun nuzūl surat „Abasa ayat 1-10 yang terdapat dalam

Al-Qur‟an dan tafsirnya yaitu:

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling (1). karena seorang

buta telah datang kepadanya („Abdullah bin Ummi Maktum) (2). dan tahukah

engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa)

(3). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat

kepadanya? (4). Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-

pembesar Quraisy) (5). Maka engkau (Muhammad) memberi perhatian

kepadanya (6). Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman) (7). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan segera

(untuk mendapatkan pengajaran) (8). Sedang dia takut (kepada Allah) (9).

Engkau (Muhammad) malah mengabaikannya (10).

Al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 546)

menjelaskan bahwa surat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa

seorang buta yang bernama „Abdullāh bin Ummi Maktūm anak paman

Khadijah. Beliau termasuk diantara sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama

memeluk Islam. Ketika Rasulullah melaksanakan jihad dan meninggalkan

kota Madinah, beliau ini yang ditunjuk untuk menjadi sesepuh kota madinah,

mengimami sholat dan juga sering melakukan adzan seperti Bilal.

Peristiwa ini terjadi di Makkah yaitu ketika Rasulullah SAW sedang

melaksanakan dakwah kepada pembesar Quraisy. Beliau dengan sungguh-

sungguh mengajak mereka masuk Islam dengan harapan bahwa jika mereka

30

telah memeluk agama Islam, niscaya akan membawa pengaruh besar pada

orang-orang bawahannya. Diantara pembesar Quraisy yang sedang dihadapi

itu adalah „Utbah bin Rabi‟ah, Syaibah bin Rabi‟ah, Abu Jahal bin Hisyam,

al-„Abbas bin „Abdul-Mutalib, Umayyah bin khallaf, dan al-Walid bin al-

Mugirah. Besar sekali keinginan Rasulullah untuk mengislamkan mereka itu

karena melihat kedudukan dan pengaruh mereka kepada orang-orang

bawahannya.

Ketika Rasulullah sedang sibuk menghadapi para pembesar Quraisy,

tiba-tiba datanglah „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan menyela pembicaraan-

Nya dengan ucapannya, “Ya Rasulullah, coba bacakan dan ajarkan kepadaku

apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadamu. Ucapan itu diulanginya

beberapa kali sedang ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah sedang sibuk

menghadapi pembesar Quraisy. Melihat perbuatan „Abdullāh bin Ummi

Maktūm tersebut, Rasulullah merasa kurang senang yang seolah-olah

mengganggu beliau dalam kelancaran tabligh-Nya, sehingga beliau

memperlihatkan muka masam dan berpaling darinya (Depag, 2009: 546).

Allah menyampaikan teguran kepada Rasulullah yang telah bermuka

masam terhadap „Abdullāh bin Ummi Maktūm. Karena dengan sifat bermuka

masam atau memalingkan dari orang buta tersebut dapat menimbulkan

perasaan tidak enak atau menyakiti hati. Padahal sesungguhnya Rasulullah

telah diperintahkan untuk bersikap ramah. Maka turunlah ayat ini sebagai

teguran atas sikap Rasulullah saw kepada sahabat tersebut.

31

B. Pokok-pokok Isi Surat „Abasa

1. Keimanan

Dalil-dalil keesaan Allah dan keadaan manusia pada hari kiamat.

Hal ini tercantum dalam surat „Abasa ayat 33-42. Dalam al-Qur‟an dan

tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 557-558), pada hari kiamat

orang-orang kafir merasa sedih dan menyesal karena telah datang tiupan

Malaikat Isrofil yang kedua kalinya. Manusia pada hari ini berpisah dari

saudara, ibu, dan bapaknya bahkan istri dan anak-anaknya untuk

menyelamatkan diri dari bencana yang sangat menakutkankan. Pada hari

kiamat manusia terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan mukmin

yang bahagia dan golongan kafir yang celaka.

2. Penghargaan yang Sama

Dalam berdakwah hendaknya memberi penghargaan yang sama

kepada orang-orang yang diberi dakwah (tercantum dalam surat „Abasa

ayat 1-10). Allah menegur Nabi Muhammad karena bermuka masam dan

berpaling dari „Abdullāh bin Ummi Maktūm, seorang sahabat yang buta

dan memohon diberi pelajaran oleh Nabi ketika beliau sedang sibuk

menghadapi pembesar-pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam

(Depag, 2009: 548).

3. Peringatan Untuk Tidak Mengulangi Tindakan

Allah memberi peringatan kepada Nabi agar tidak lagi

mengulangi tindakan-tindakan ketika ia menghadapi „Abdullāh bin

Ummi Maktūm, yaitu tercantum dalam surat „Abasa ayat 11-16. Yang

32

dimaksud dengan tindakan-tindakan di sini adalah bersikap

memalingkan/bermuka masam yaitu ketika Rasulullah sedang

menghadapi pembesar Quraisy, tibalah „Abdullāh bin Ummi Maktūm

yang menyela dakwah Rasulullah.

4. Peringatan Untuk Bersyukur

Cercaan Allah kepada manusia yang tidak mensyukuri nikmat

Allah, yang mana tercantum dalam surat „Abasa ayat 17-22. Karena Allah

telah memberikan nikmat dengan menciptakan manusia dan melimpahkan

nikmat-Nya dalam tiga tahap yaitu kelahiran, pertengahan, dan bagian

akhir/penghabisan. Begitu banyak nikmat Allah, maka tidak wajar jika

manusia mengingkarinya.

C. Munāsabah QS. „Abasa Ayat 1-10

Secara etimologi, munāsabah berasal dari kata .

kata tersebut merupakan bentuk tsulatsi mujaradnya (nasaba) yang

berarti hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain (Budihardjo, 2012: 39).

Sedangkan secara terminologi, munāsabah memiliki arti segala

sesuatu yang menerangkan korelasi atau hubungan antara suatu ayat dengan

ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada di mukanya

(Syadali, 1997: 168). Selain itu, di dalam buku pembahasan Ilmu-ilmu al-

Qur‟an karya Budihardjo (2012: 39), munāsabah mengandung pengertian

adanya kecocokan, kepantasan dan keserasian antara ayat dengan ayat atau

surat dengan surat, atau munāsabah adalah kemiripan yang terdapat pada hal-

33

hal tertentu dalam al-Qur‟an baik pada surat maupun pada ayat-ayatnya yang

menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lainnya.

Munāsabah antar ayat atau antar surat dalam al-Qur‟an didasarkan

pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya

saling terkait. Sehingga ilmu munāsabah dioprasionalisasikan untuk

menemukan hubungan-hubungan yang mengaitkan antara satu ayat dengan

ayat yang lain (http://pemikiranislam.wodpress.com, diakses pada tanggal 1

Juni 2016).

QS. „Abasa ayat 1-10 ini tentang teguran yang diberikan oleh Allah

kepada Rasulullah terhadap sikap beliau. Yaitu ketika Rasulullah sedang

menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy, yang beliau

harapkan agar masuk Islam. Ketika itu datanglah „Abdullāh bin Ummi

Maktūm, seorang sahabat yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah saw

membacakan ayat-ayat al-Qur‟an yang telah diturunkan Allah. Akan tetapi

Rasulullah bermuka masam dan memalingkan muka dari „Abdullāh bin

Ummi Maktūm yang buta itu. Lalu Allah menurunkan surat ini sebagai

teguran atas sikap Rasulullah kepada sahabat tersebut. Akan tetapi pada

bagian ini penulis akan membahas munāsabah antar surat yaitu surat „Abasa

dengan surat sebelum dan sesudahnya.

Mengenai munāsabah QS. „Abasa, surat ini memiliki hubungan

dengan surat sebelum dan sesudahnya, yaitu sebagai berikut:

34

1. Munāsabah dengan Surat Sebelumnya

Pada akhir surat an-Nazi‟at diterangkan bahwa Nabi Muhammad

hanyalah pemberi peringatan kepada orang-orang yang takut kepada hari

kiamat, yang berbunyi:

“Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut

kepadanya (hari berbangkit)” (an-Nazi‟at: 45).

Pada permulaan surat „Abasa dijelaskan bahwa dalam memberikan

penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi peringatan

dengan tidak memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat, seperti

antara tokoh-tokoh bangsawan Quraisy dengan orang buta yang bernama

„Adullah bin Ummi Maktum (Depag, 2009: 546). Sahabat Nabi yang

terkenal ini sebenarnya bernama „Abdullah bin Syuraih bin Malik bin Abi

Rabi‟ah. Ibunya yang bernama Ummi Maktūm adalah anak paman

Khadijah sehingga lebih dikenal dengan nama „Abdullāh bin Ummi

Maktūm.

2. Munasabah dengan Surat Sesudahnya

Dalam tafsir al-Qur‟an oleh Departemen Agama (2009: 560),

hubungan surat „Abasa dengan surat sesudahnya yaitu at-Takwir adalah

sama-sama menerangkan tentang huru-hara pada hari kiamat, sama-sama

menerangkan bahwa manusia pada hari kiamat dibagi menjadi dua dan

pada surat „Abasa, Allah menegur Muhammad SAW, sedang dalam at-

35

Takwir Allah menegaskan bahwa Muhammad SAW adalah seorang

Rasul yang mulia.

Mengenai situasi dan keadaan hari kiamat, dalam surat „Abasa

dijelaskan semua manusia sibuk dengan urusan mereka masing-masing

karena dahsyatnya gejala-gejala alam yang mengiringinya. Masing-

masing menyikapi hari kiamat sesuai dengan amal perbuatan mereka.

Orang-orang mukmin tertawa gembira, sedangkan orang-orang kafir

wajah mereka menjadi kelam karena ketakutan dan kesedihan. Pada surat

at-Takwir, Allah bersumpah dengan berbagai makhluk-Nya seperti

matahari yang dihancurkan, dan unta-unta bunting yang tidak

dipedulikan lagi dan sebagainya. Tujuan sumpah itu adalah memberitahu

manusia bahwa di hari kiamat manusia akan mengetahui semua amal

perbuatan mereka di dunia dan buku catatan amal mereka.

D. Pandangan Mufasir dan Penafsiran Tentang al-Qur‟an Surat „Abasa

Ayat 1-10

Al-Qur‟an diturunkan dengan berbahasa Arab. Oleh sebab itu kita bisa

memahami serta mengetahui isi kandungan al-Qur‟an dengan mempelajarinya

melalui kitab-kitab karya ulama ahli tafsir yang beraneka ragam. Diantaranya

adalah al-Qur‟an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI, tafsir al-Maraghi

karya Ahmad Mustafa al-Maragi, tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab,

tafsir al-Azhar karya HAMKA dan ringkasan tafsir Ibnu Katsir oleh

36

Muhammad Nasib ar-Rifa‟i. Maka di sini penulis akan menguraikannya

sebagai berikut:

1. Penafsiran Ayat Ke 1-2

Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2012: 70)

dimulai dengan penjelasan kemudian penyebutan kata-kata sulit masuk

kedalam penjelasan, seperti „Abasa, dan al-a‟mā. Tafsir Ibnu Katsir karya

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 80) dimulai dengan penjelasan

kemudian diberi hadits-hadits Nabi. Dalam tafsir Ibnu Katsir ini tidak

terdapat kosa kata sulit. Tafsir al-Maragi (1993: 69) dimulai dengan

penafsiran kata-kata sulit seperti „Abasa, tawallā dan an jā‟a hul-a‟mā,

pengertian secara umum kemudian penjelasan. Tafsir al-Qur‟an oleh

Departemen Agama RI dimulai dengan kosa kata, penjelasan ayat dan

kesimpulan. Di dalam tafsir al-Azhar karya HAMKA tidak terdapat kosa

kata, dimulai dengan penjelasan.

“Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang kepadanya

seorang tuna netra”.

Dalam al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI

(2009: 547) mengenai ayat ini Allah swt menegur Nabi Muhammad saw

yang bermuka masam dan berpaling dari „Abdullāh bin Ummi Maktūm

yang buta, ketika sahabat ini menyela pembicaraan Nabi dengan beberapa

tokoh Quraisy. Saat itu „Abdullāh bin Ummi Maktūm bertanya dan

meminta Nabi saw untuk membacakan dan mengajarkan beberapa wahyu

37

yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali karena

ia tidak tahu Nabi sedang sibuk mengahadapi beberapa pembesar Quraisy.

Dalam skala prioritas, sebenarnya Nabi saw sedang menghadapi

tokoh-tokoh penting yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini

akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dakwah selanjutnya.

Maka adalah manusiawi apabila Nabi SAW tidak memperhatikan

pertanyaan „Abdullāh bin Ummi Maktūm, apalagi telah ada porsi waktu

yang telah disediakan untuk pembicaraan Nabi dengan para sahabat. Akan

tetapi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia terbaik dan contoh teladan

utama bagi setiap orang mukmin (uswah hasanah), maka Nabi tidak boleh

membeda-bedakan derajat manusia. Dalam menetapkan skala prioritas

juga harus lebih memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki

kelemahan seperti „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang buta. Maka

seharusnya Nabi lebih mendahulukan pembicaraan dengan “Abdullāh bin

Ummi Maktūm daripada dengan para tokoh Quraisy.

Dalam peristiwa ini Nabi SAW tidak mengatakan sepatah katapun

kepada „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang menyebabkan hatinya terluka,

tetapi Allah SWT melihat raut muka Nabi Muhammad SAW yang masam

dan tidak mengindahkan „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang

menyebabkan dia tersinggung. Dijelaskan juga bahwa „Abdullāh bin

Ummi Maktūm adalah seorang yang bersih dan cerdas. Apabila

mendengarkan hikmah, ia dapat memeliharanya dan membersihkan diri

dari kebusukan kemusyrikan. Adapun para pembesar Quraisy itu sebagian

38

besar adalah orang-orang yang kaya dan angkuh sehingga tidak sepatutnya

Nabi terlalu serius menghadapi mereka untuk diislamkan. Tugas Nabi

hanya sekedar menyampaikan risalah dan persoalan hidayah semata-mata

berada di bawah kekuasaan Allah. Kekuatan manusia haris dipandang dari

segi kecerdasan pikiran dan keteguhan hatinya serta kesediaan untuk

menerima dan melaksanakan kebenaran (Depag, 2009: 547).

Nabi sendiri setelah ayat ini turun selalu menghormati „Abdullāh

bin Ummi Maktūm dan sering memuliakannya melalui sabda beliau,

“Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Allah.

Apakah engkau mempunyai keperluan?”.

Dalam keterangan tafsir al-Misbah, apa pun hubungannya surat

„Abasa ayat 1-2 ini bagaikan menyatakan bahwa: Dia, yakni Nabi

Muhammad SAW berubah wajahnya sehingga tampak bermuka masam

dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh keinginannnya

menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin atau salah

seorang dari mereka. Dia berpaling karena telah datang kepadanya seorang

tuna netra yang memutuskan pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu

(Shihab, 2012: 70).

Di dalam tafsir Ibnu Katsir, menurut beberapa kalangan mufassir

Rasulullah SAW berdialog dengan beberapa orang pembesar Quraisy yang

diantaranya adalah dalam riwayat anas bin Malik r.a. pembesar itu

bernama Ubay bin Khalaf. Menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah

Utbah bin Rabi‟ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthalib.

39

Rasulullah sering berdialog dengan pembesar-pembesar Quraisy tersebut

dengan tujuan agar mereka beriman. Tiba-tiba datang kepada beliau laki-

laki buta yaitu Abdullāh bin Ummi Maktūm. Abdullāh meminta Nabi saw.

untuk membacakan beberapa ayat al-Qur‟an kepadanya dan berkata, “Ya

Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepada

engkau”, Rasulullah SAW berpaling darinya dengan wajah masam,

menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog

dengan orang lain yakni pembesar Quraisy.

Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah SAW pun

pulang, tiba-tiba Allah menahan pandangannya dan menundukkan

kepalanya. Selanjutnya Allah menurunkan ayat, “Dia bermuka masam dan

berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya” (Muhammad Nasib

Ar-Rifa‟i, 2000: 80). Keberpalingan itu karena Rasulullah SAW sangat

menginginkan kalau sesaat saja itu dihentikan pastilah dia tidak akan

mendapatkan kesempatan untuk berbicara di hadapan para pembesar

tersebut, sebab beliau sangat mengharapkan mereka mendapatkan hidayah.

Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 72) Rasulullah SAW berubah

masam dan berpaling tatkala datang kepadanya seorang tuna netra. Ia tidak

menghendaki pembicarannya terpotong olehnya. Penyebutan tuna netra

atau orang buta dalam ayat tersebut merupakan pemberitahuan

akan keuzurannya yang harus dimaklumi dalam hal ia memotong

pembicaraan Nabi SAW ketika ia sedang disibukkan oleh pertemuannya

dengan orang banyak. Bisa jadi kebutaan ini merupakan „illat yang

40

menyebabkan marah dan berpalingnya Rasulullah SAW dari padanya.

Seolah-olah ayat ini mengatakan, maka kamu (Muhammad) seharusnya

lebih berbelas kasihan dan berlaku lemah lembut kepadanya.

Dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa ini menurut ahli-ahli

bahasa yang mendalami al-Qur‟an merasa benar-benar betapa mulia dan

tinggi susun bahasa wahyu itu dari Allah terhadap rasul-Nya. Beliau

disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada

orang yang datang bertanya, hendaklah bermuka manis terus, sehingga

orang-orang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai.

Mengenai penjelasan ayat 1-2 ini merupakan teguran yang sanga halus

sekali karena tidaklah dipakai bahasa berhadapan, tidak pula bersifat

larangan. Di sini Rasulullah saw. disebut sebagai orang ketiga, Allah tidak

mengatakan engkau melainkan dia (HAMKA, 1982: 44). Dengan

membahasakannya sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus.

Apalagi dalam hal ini Rasulullah saw. tidaklah membuat suatu kesalahan

yang disengaja atau yang mencolok mata.

Dari beberapa penjelasan mengenai penafsiran tersebut, penulis

lebih condong pada al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI.

Dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw bermuka masam ketika „Abdullah

bin Ummi Maktum menyela pembicaraan Nabi Muhammad saw dengan

beberapa tokoh Quraisy. Saat itu „Abdullāh bin Ummi Maktūm bertanya

dan meminta Nabi SAW untuk membacakan dan mengajarkan beberapa

wahyu yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali

41

karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk mengahadapi beberapa pembesar

Quraisy.

Akan tetapi pada kejadian ini Nabi Muhammad SAW tidak

memperhatikan pertanyaan „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan hal ini

adalah manusiawi karena pada skala prioritas Nabi Muhammad saw sangat

mengharapkan tokoh-tokoh Quraisy untuk masuk Islam. Meskipun

menetapkan skala prioritas juga harus tetap berlaku adil dengan yang

dihadapinya atau tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya

sehingga tidak akan menimbulkan sifat tersinggung atau kecewa. Nabi

Muhammad SAW hanya sekedar menyampaikan risalah jadi Nabi tidak

sepatutnya terlalu serius menghadapi tokoh Quraisy sehingga tidak

memperhatiakan „Abdullāh bin Ummi Maktūm. Persoalan hidayah semata-

mata berada di bawah kekuasaan Allah.

2. Penafsiran Ayat ke 3-4

“Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin

membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat

baginya pengajaran itu?”.

Teguran ayat-ayat yang lalu dilanjutkan oleh ayat di atas. Dalam al-

Qur‟an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 548) dalam ayat-

ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menegur Rasul-Nya, “Apa yang

memberitahukan kepadamu tentang keadaan orang buta ini? Boleh jadi ia

ingin membersihkan dirinya dengan ajaran yang kamu berikan kepadanya

atau ingin bermanfaat bagi dirinya dan ia mendapat keridaan Allah,

42

sedangkan pengajaran itu belum tentu bermanfaat bagi orang-orang kafir

Quraisy yang sedang kamu hadapi itu”. Dalam tafsir al-Misbah oleh

Quraish Shihab (2012: 72) mengenai ayat ini dijelaskan bahwa: Apakah

yang menjadikanmu mengetahui, yakni engkau tidak dapat mengetahui,

walau berupaya keras menyangkut isi hati seseorang, boleh jadi ia sang

tuna netra itu ingin membersihkan diri, yakni beramal shaleh dan

mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama walau dengan

tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atau ia ingin mendapatkan

pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau dalam

bentuk yang tidak terlalu banyak.

Kata yazzakkā asalnya adalah yatazakkā tetapi huruf

ta tidak disebut, ia diganti dengan huruf za‟ dan di-idgham-kan,

demikian juga dengan kata yadzdzakkar asalnya yatadzakkar.

Ini menurut al-Biqa‟i, untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut

diharapkan oleh yang bersangkutan dapat wujud walau tidak terlalu

mantap.

Di dalam tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000:

911) tidak terdapat kosa kata sulit. Akan tetapi ayat tersebut memiliki

maksud yaitu barang kali dia (seorang tuna netra) ingin membersihkan

dirinya, artinya dia akan mendapatkan hati yang bersih dan suci, “atau dia

ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat

kepadanya,” yaitu dia dapat menjadikannya sebagai nasihat dan penengah

dari perbuatan-perbuatan haram.

43

Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 73) juga dijelaskan mungkin ia

(Abdullāh bin Ummi Maktūm) hendak membersihkan diri dengan apa

yang ia dengar dan apa yang ia terima dari Rasulullah SAW sehingga ia

akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta

nasehat kepada Rasulullah SAW kemudian ia mengambil manfaat dari

peringatan dan nasehat-nasehat Rasulullah SAW. Dijelaskan dalam tafsir

al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45)

melalui ayat 3-4 ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa

Abdullāh bin Ummi Maktūm itu lebih besar harapannya akan berkembang

lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia

buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih kebutaan tidaklah

akan menghambat kemajuan iman seseorang.

Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut penulis lebih condong

kepada tafsir al-Azhar karya HAMKA. sebab tafsir al-Azhar ini

menjelaskan Abdullāh Ibnu Ummi Maktūm mempunyai harapan yang

lebih besar untuk menerima ajaran yang diberikan oleh Rasulullah dan

akan berkembang lagi menjadi orang yang suci. Meskipun dia seorang

yang buta akan tetapi dia mempunyai jiwa yang bersih.

3. Penafsiran Ayat ke 5-10

“Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani

padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. dan

44

adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut,

maka engkau terhadapnya mengabaikan”.

Dalam ayat-ayat ini, Allah melanjutkan teguran-Nya, “Adapun

orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba cukup dan mampu,

mereka tidak tertarik untuk beriman padamu, mengapa engkau bersikap

terlalu condong pada mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk

Islam”. Allah mengingatkan Nabi Muhammad, “Dan adapun orang seperti

„Abdullāh bin ummi Maktūm yang datang kepadamu dengan bersegera

untuk mendapat petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut

kepada Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu

bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan permintaannya” (Depag,

2009: 548).

Menurut Quraish Shihab (2012: 72), ayat 5-10 surat „Abasa ini

menjelaskan sikap Nabi Muhammad SAW kepada tokoh kaum musyrikin

yang beliau sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan:

Adapun orang-orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena

memiliki harta, anak, atau kedudukan sosial serta pengetahuan maka walau

ia tidak memiliki motivasi untuk takut kepada Allah, engkau terhadapnya

saja bukan kepada tuna netra itu melayaninya dengan menjelaskan secara

sungguh-sungguh ajaran Islam.

Sebenarnya sikap Rasulullah SAW terhadap tokoh-tokoh kaum

musyrikin itu terdorong oleh rasa takut beliau jangan sampai beliau dinilai

belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itulah teguran ini

dilanjutkan dengan menyatakan bahwa: Engkau wahai Nabi agung

45

melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia, yakni yang

engkau layani itu, tidak membersihkan diri yakni tidak beriman walau

dalam tingkat sekecil apa pun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu

dengan bersegera, yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran

sedang ia takut kepada Allah, maka sebaliknya, engkau terhadapnya

mengambil sikap mengabaikan.

Kata istaghnā terambil dari kata ghaniya dan

ista. Ghain dan nun dan huruf mu‟tal, keduanya asli sakhih (ghain

dan nun). Keduanya menunjukkan cukup dan yang lain suara (Ahmad bin

Fāris bin Zakariyā, IV, 1967: 397). Di dalam tafsir al-Misbah karya M.

Quraish Shihab (2012: 73), kata berarti tidak butuh. Huruf sin

pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Ia merasa tidak

butuh kepada Allah serta petunjuk Nabi Muhammad SAW karena

kekayaan, pengetahuan, dan kedudukan sosialnya.

Kata tashaddā terambil dari kata shadā, yaitu gema

yakni suara yang memantul. Seseorang yang menghadapi orang lain dan

melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, sehingga ia tidak

berhenti kecuali kalau orang itu berhenti, sebagaimana gema suara dan

pantulannya akan terus terdengar sampai terhentinya suara itu. Siapa yang

melakukan hal itu dinamai tashaddā (Shihab, 2012: 73). Dalam tafsir al-

Maragi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 69) kata

tashaddā memiliki arti menyambut.

46

Kata talahhā terambil dari kata - lahā-yalhā yang

berarti menyibukkan diri dengan sesuatu sehingga mengabaikan yang lain

(Shihab, 2002: 73). Dalam tafsir al-Maragi kata talahhā memiliki arti

menganggap remeh atau mengabaikannya (Ahmad Mustafa al-Maraghi,

1993: 69).

Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911)

firman Allah SWT, “Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau

terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak

membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan

bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”.

Terjemah tersebut memiliki maksud yaitu “adapun orang yang merasa

dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya”. Yaitu, adapun orang kaya

dan menyombongkan diri dari dakwahmu, maka kamu selalu begitu

terbuka kepadanya dengan harapan dia mendapatkan petunjuk, “padahal

tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri”. Yaitu,

padahal kamu tidak diminta untuk melakukan itu kalau dia tidak mau

membersihkan hatinya. “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan

bersegera, sedang dia takut kepada Allah”, yaitu dia menuju ke arahmu

dan menginduk kepada kamu agar dia mendapatkan petunjuk dari dakwah

kamu, “maka kamu mengabaikannya”, yaitu berpura-pura tidak sempat.

Allah Ta‟ala memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memberikan

peringatan dengan tidak mengkhususkan orang per orang, akan tetapi

47

disamaratakan semuanya. Kemudian Allah lah yang akan memberi

petunjuk kepada jalan yang lurus bagi siapa saja yang Dia kehendaki.

Setelah Nabi mendapat teguran itu, beliau sangat menghormati

keberadaan Abdullāh bin Ummi Maktūm. Dan, Ibnu Ummi Maktūm ini

adalah salah seorang muadzin. Nabi SAW beliau bersabda:

“Sesungguhnya Bilal itu adzan di tengah malam. Karenanya,

makan dan minumlah sehingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi

Maktum”.

Mengenai namanya, yang paling masyhur adalah Abdullah, namun

ada juga yang mengatakan namanya Amar.

Selanjutnya Allah Ta‟ala berfirman, “Sekali-kali jangan.

Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan”. Yang

dimaksud ajaran-ajaran Tuhan di sini adalah surah ini atau wasiat untuk

menyamakan sikap terhadap semua orang, dalam menyampaikan ilmu,

antara golongan atas dan golongan bawah.

Allah SWT berfirman, “Maka barang siapa yang menghendaki,

tentulah dia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan”,

yaitu surah atau nasihat ini, dan kedua-duanya diabadikan bahkan seluruh

isi Qur‟an dalam mushaf yang dimuliakan, artinya diagungkan dan

dihormati, “yang ditinggikan”, yaitu mempunyai kedudukan dan derajat

yang sangat tinggi “lagi disucikan” dari berbagai macam noda,

pengurangan dan penambahan. Allah Ta‟ala berfirman, “Di tangan para

duta,” maksudnya yaitu para malaikat yang menjadi duta antara Allah dan

48

para abdi-Nya. Selanjutnya Allah Ta‟ala berfirman, “Yang mulia lagi

berbakti”, maksudnya akhlak mereka sangat baik dan suci. Atas dasar ini

sangat dianjurkan bagi para penyandang al-Qur‟an agar perbuatan dan

ucapannya berada di atas keseimbangan dan bimbingan.

Dalam tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi

(1993: 73) kaum Quraisy yang dihadapi Nabi adalah orang yang merasa

dirinya kaya dengan harta benda dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tidak

membutuhkan iman dan apa yang ada pada Rasulullah. Akan tetapi

Rasulullah melayani mereka dengan suatu harapan akan kesediaan mereka

memasuki Islam dan kesediaan untuk beriman. Rasulullah saw. tiada lain

hanyalah seorang Rasul yang diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa

yang datang dari Allah. Rasulullah telah menunaikan hal tersebut.

Rasululllah tidak perlu mengharapkan ke-Islam-an mereka.

Adapun terhadap orang yang bergegas datang kepadamu karena

ingin memperoleh hidayah dari-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya

dan ia berbuat demikian itu karena dorongan rasa takut kepada-Nya serta

berlaku hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan tetapi

engkau justru meremehkan dan mengabaikan serta tidak bersedia

menjawabnya (al-Maraghi, 1993: 73). Dalam penjelasan ini mengandung

kesimpulan: janganlah engkau (Rasulullah SAW) terlalu berharap akan ke-

Islam-an mereka (kaum Quraisy). Dan jangan pula menyibukkan diri

dengan ajakan kepada mereka kemudian engkau memalingkan muka dari

49

orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada

Allah (tuna netra).

Dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim

Amrullah (1982: 45-46), kaum Quraisy adalah merasa dirinya cukup yaitu

merasa dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi dan merasa dirinya

kaya. Orang-orang yang merasa dirinya cukup itu memandang enteng

segala nasihat. Pekerjaan besar, perjuangan-perjuangan yang hebat

tidaklah dimulai oleh orang-orang yang telah merasa cukup, biasanya

orang yang demikian datangnya ialah kemudian sekali, setelah melihat

pekerjaan orang telah berhasil.

“Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci”. Padahal

sebaliknyalah yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orang-

orang seperti itu tempoh akan banyak terbuang. Karena mereka masuk ke

dalam perjuangan lebih dahulu akan memperkajikan, berapa keuntungan

benda yang akan didapatnya. Di dalam ayat ini Allah telah

membayangkan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak

mau menempuh jalan kesucian. Yang akan rugi hanya mereka sendiri,

karena masih bertahan dalam penyembahan berhala (HAMKA, 1982: 46).

Penjelasan ini hampir sama dengan tafsir al-Maraghi, karena tugas Nabi

adalah menyampaikan saja.

“Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat”.

Kadang-kadang datang dari tempat yang jauh-jauh, sengaja hanya hendak

mengetahui hakikat ajaran agama, atau berjalan kaki karena miskin tidak

50

mempunyai kendaraan sendiri, dan dia pun dalam rasa takut, yaitu rasa

takut kepada Allah, karna iman mulailah tumbuh, maka engkau

terhadapnya berlengah-lengah. Sejak teguran ini Rasulullah SAW merobah

taktiknya yang lama. Lebih-lebih terhadap orang-orang baru yang datang

dari kampung-kampung yang jauh, Rasulullah bersikap lemah lembut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis lebih condong pada tafsir

al-Maraghi. Sebab tafsir al-Maraghi ini menjelaskan kaum Quraisy yang

sedang dihadapi Nabi adalah kaum yang merasa dirinya kaya dengan harta

benda dan kekusasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan

apa yang ada pada Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah melayani mereka

dengan suatu harapan akan kesediaan mereka membutuhkan iman dan

masuk Islam. Adapun terhadap orang yang lemah yaitu „Abdullāh Ibn

ummi Maktūm Rasullah justru meremehkan dan mengabaikannya dengan

tidak bersedia menjawabnya. Padahal „Abdullāh Ibn ummi Maktūm

datang kepada Rasulullah dengan bergegas mengharap hidayah dan ingin

mendekatkan diri pada-Nya serta berlaku hati-hati agar tidak terjerumus

kepada jurang kesesatan. Dengan begitu Rasululah tidak perlu

mengharapkan ke-Islam-an kaum Quraisy, karena tiada lain Rasulullah

hanyalah Rasul yang diperintahkan menyampaikan apa-apa yang datang

dari Allah. Rasulullah tidak perlu menyibukkan diri menghadapi kaum

Quraisy kemudian memalingkan memalingkan muka dari „Abdullāh Ibn

Ummi Maktūm.

51

BAB IV

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM QS. SURAT „ABASA AYAT 1-10

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

Penulis mencoba untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak

yang terkandung di dalam surat „Abasa ayat 1-10. Diantaranya:

1. Memberikan Penghargaan Yang Sama

Yang dimaksud dengan memberikan penghargaan yang sama di

sini adalah dengan tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang

lainnya.

Hal ini ditunjukkan olehsikap Nabi Muhammad SAW yang

bermuka masam dan berpaling ketika sedang menghadapi kaum Quraisy

dan tibalah datang seorang tuna netra yang memotong pembicaraannya.

Nabi begitu perhatian terhadap orang-orang Quraisy karena mengharapkan

mereka masuk Islam, sedangkan Nabi justru bermuka masam dan

memalingkan seorang tuna netra yang benar-benar mengharapkan ajaran-

ajaran Nabi. Hal ini seharusnya tidak dilakukan Nabi, dan apa yang

dilakukan beliau ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-

hari yang sangat kasih kepada yang butuh.

52

“Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang

kepadanya seseorang tunanetra”.

Ayat di atas menyatakan bahwa: Dia, yakni Nabi Muhammad SAW

berubah wajahnya sehingga tampak bermuka masam dan memaksakan

dirinya berpaling didorong oleh keinginannnya menjelaskan risalahnya

kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin atau salah seorang dari mereka. Dia

berpaling karena telah datang kepadanya seorang tuna netra yang

memutuskan pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu (Shihab, 2012: 70).

Ayat tersebut sampai ayat sampai ayat sepuluh menurut banyak

ulama turun menyangkut sikap Nabi Muhammad SAW kepada sahabat

beliau „Abdullāh Ummi Maktūm, ketika Nabi Muhammad SAW sedang

sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Mekkah,

atau salah seorang utamanya, yaitu al-Walid Ibn al-Mughirah. Nabi

Muhammad SAW berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran

mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam. Jika para pembesar

masuk Islam tentunya hal ini akan membawa dampak positif bagi

perkembangan dakwah Islam. Namun saat itu „Abdullāh Ummi Maktūm

yang rupanya tidak mengetahui kesibukan penting Nabi itu lalu menyela

pembicaraan Nabi SAW memohon agar diajarkan kepadanya tentang apa

yang telah diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut

riwayat, perkataan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm tersebut diucapkan

berkali-kali dan sikap Abdullāh tersebut tidak berkenan di hati Nabi

53

namun Nabi Muhammad tidak menegur atau memarahinya. Hanya saja

nampak pada raut wajah Nabi rasa tidak senang, maka turunlah ayat di

atas menegur nabi Muhammad SAW atas sikapnya terhadap Abdullāh Ibn

Ummi Maktūm (Shihab, 2012: 70-71).

Apa yang dilakukan oleh Abdullāh Ibn Ummi Maktūm

termasuk perbuatan tidak sopan apabila seandainya Abdullāh Ibn Ummi

Maktūm mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW sedang sibuk dengan

orang lain dan beliau mengharapkan keislamannya. Akan tetapi Allah

SWT tetap menegur Rasullah SAW atas perbuatannya yang telah

berpaling dari Abdullāh Ibn Ummi Maktūm. Dalam ayat ini Rasullah

disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada

orang yang datang bertanya, hendaklah bermuka manis, sehingga orang-

rang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai (HAMKA,

1982: 44).

Teguran Allah terhadap sikap Rasulullah SAWagar semua

orang tahu bahwa mukmin yang fakir lebih baik daripada orang fakir yang

kaya, dan memperlihatkan bahwa orang yang beriman itu lebih utama dan

lebih baik, sekalipun ia seorang fakir, daripada memperhatikan orang-

orang kaya karena menginginkan keimanan mereka, sekalipun perbuatan

tersebut termasuk salah satu kemaslahatan. Dari beberapa penjelasan

tersebut diketahui bahwa Nabi Muhammad pada waktu itu sedang

berhadapan dengan orang-orang besar yaitu kaum Quraisy dengan penuh

harap orang-orang Quraisy mau masuk Islam. Kemudian datanglah juga

54

seorang tuna netra, Abdullāh Ibn Ummi Maktūm yang lemah, sangat

mengharapkan ajaran Nabi Muhammad akan tetapi beliau bermuka

masam dan tidak memperhatikan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm. Hal

mengandung nilai pendidikan akhlak yaitu mengajarkan bahwasanya

didalam menghadapi orang-orang harus memberikan penghargaan yang

sama, yaitu dengan tidak boleh membeda-bedakan antara yang satu

dengan lainnya. Hal ini bersifat umum, kepada siapa saja entah itu guru

terhadap muridnya, orang tua terhadap anaknya atau terhadap sesama

teman atas keberagaman manusia mengenai perbedaan diantara kaya,

miskin, cantik, jelek, dan lain-lain. Jika hal ini benar-benar diperhatikan

maka hidup manusia akan menjadi lebih harmonis.

2. Tidak Berfikir Negatif Terhadap Orang Lain

Berfikir negatif/prasangka dalam istilah sehari-hari dipahami

sebagai pendapat atau anggapan kurang baik mengenai sesuatu sebelum

mengetahui (menyaksikan dan menyelidiki) sendiri (Republika, 2006:

129). Muslim tidak dibenarkan meyakini dan mempercayai sesuatu yang

didasarkan pada prasangka.

“Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin

membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat

baginya pengajaran itu?”.

Quraish Shihab berkata dalam bukunya al-Misbah (2012: 72)

bahwa: Apakah yang menjadikanmu mengetahui, yakni engkau tidak

55

dapat mengetahui, walau berupaya keras menyangkut isi hati seseorang,

boleh jadi ia sang tuna netra itu ingin membersihkan diri, yakni beramal

shaleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama

walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atauia ingin

mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaranitu

walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak. Dalam tafsir al-Maraghi

(1993: 73) juga dijelaskan mungkin ia (Abdullāh Ibn Ummi Maktūm)

hendak membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia

terima dari Rasulullah SAW sehingga ia akan terbebas dari bahaya

perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta nasehat kepada Rasulullah SAW

kemudian ia mengambil manfaat dari peringatan dan nasehat-nasehat

Rasulullah SAW juga dijelaskan dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul

Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45) melalui ayat 3-4 ini Rasulullah

SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Abdullāh Ibn Ummi Maktūm itu

lebih besar harapannya akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci,

seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata

buta, kalau jiwa bersih kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan

iman seseorang.

Sudah dijelaskan pada ayat yang pertama bahwa Rasulullah telah

bermuka masam terhadap kedatangan seorang tuna netra (Abdullāh Ibn

Ummi Maktūm), dan pada ayat ini padahal Rasulullah tidak mengetahui

apa maksud dan tujuan kedatangan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm sehingga

beliau telah bermuka masam terhadap Abdullāh Ibn Ummi Maktūm dan

56

lebih perhatian kepada kaum Quraisy. Hal ini mengandung nilai

pendidikan akhlak yaitu agar tidak berfikir negatif terhadap orang lain,

sehingga akan menimbulkan sikap yang baik pula terhadap orang yang

dihadapi.

3. Bersikap Cermat dan Berhati-hati dalam Mengambil Suatu Tindakan

Dalam kamus umum bahasa Indonesia karya Poerwadarminta

(1987: 202), cermat adalah seksama, teliti dengan penuh minat

(perhatian), serta tidak tergesa-gesa dan tidak ceroboh dalam

melaksanakan pekerjaan. Allah tidak menyukai makhluknya yang

bekerja/bertindak dengan tergesa-gesa karena bisa menimbulkan

kesalahan dan kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Bersikap cermat

dan berhati-hati di dalam mengambil suatu tindakan terkandung di dalam

surat „Abasa ayat 5-10, sebagai berikut:

“Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya

melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan

diri. danadapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”.

Ayat di atas menyatakan: Adapun orang-orang yang merasa tidak

butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak, atau kedudukan sosial

serta pengetahuan maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut

57

kepada Allah, engkau terhadapnya saja bukan kepada tuna netra itu

melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam.

Dalam al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009:

548), juga dijelaskan “adapun orang-orang kafir Mekah yang merasa

dirinya serba cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman

padamu, mengapa engkau bersikap terlalu condong pada mereka dan

ingin sekali supaya mereka masuk Islam”. Allah mengingatkan Nabi

Muhammad, “Dan adapun orang seperti Abdullāh Ibn Ummi Maktūm

yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapat petunjuk dan

rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada Allah jika ia jatuh ke dalam

lembah kesesatan, maka kamu bersikap acuh tak acuh dan tidak

memperhatikan permintaannya”.

Sebenarnya sikap Rasulullah SAW terhadap tokoh-tokoh kaum

musyrikin itu terdorong oleh rasa takut beliau jangan sampai beliau dinilai

belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itulah teguran ini

dilanjutkan dengan menyatakan bahwa: Engkau wahai Nabi agung

melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia, yakni yang

engkau layani itu, tidak membersihkan diri yakni tidak beriman walau

dalam tingkat sekecil apa pun. Dan adapun siapa yang datang

kepadamudengan bersegera, yakni penuh perhatian untuk mendapatkan

pengajaran sedang ia takut kepada Allah, makasebaliknya, engkau

terhadapnya mengambil sikap mengabaikan.

58

Menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911) di dalam

bukunya tafsir Ibnu Katsir, firman Allah SWT,“Adapun orang yang tidak

butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu

kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang

kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya

mengabaikan”.Terjemah tersebut memiliki maksud yaitu “adapun orang

yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya”. Yaitu,

adapun orang kaya dan menyombongkan diri dari dakwahmu, maka kamu

selalu begitu terbuka kepadanya dengan harapan dia mendapatkan

petunjuk, “padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak

membersihkan diri”. Yaitu, padahal kamu tidak diminta untuk melakukan

itu kalau dia tidak mau membersihkan hatinya. “Dan adapun orang yang

datang kepadamu dengan bersegera, sedang dia takut kepada Allah”, yaitu

dia menuju ke arahmu dan menginduk kepada kamu agar dia

mendapatkan petunjuk dari dakwah kamu, “maka kamu

mengabaikannya,” yaitu berpura-pura tidak sempat.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa kandungan nilai pendidikan akhlaknya adalah

bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan. Karena

dalam peristiwa tersebut, setidaknya terlebih dahulu Rasulullah

mengetahui bagaimana karakter kaum Quraisy/orang kafir Mekkah dan

seorang tuna netra, sehingga tidak akan terjadi salah satu pihak yang

merasa terpalingkan. Pada peristiwa itu, Rasulullah sangat perhatian dan

59

terbuka terhadap orang-orang Quraisy. Padahal orang-orang Quraisy

tersebut merasa cukup, kaya dan menyombongkan diri dari dakwah Rasul.

Sebaliknya Rasulullah bersikap mengabaikan terhadap „Abdullāh Ibn

Ummi Maktūm, yang sebenarnya dia takut kepada Allah, mendatangi

Rasul dengan maksud agar mendapatkan petunjuk. Padahal

sesungguhnya tiada celaan atas Rasulullah kalau kaum Quraisy tidak

beriman.

B. Aplikasi Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari

Islam tidak menetapkan nilai-nilai akhlak hanya pada wacana dan teori

saja. Di samping mengajarkan teori tentang akhlak, Islam juga menuntut

umatnya untuk mempraktikkan akhlak tersebut. Islam tidak pernah

mengajarkan kepada kita untuk sekedar mempelajari teori tanpa

mengaplikasikannya dalam praktik kehidupan sehari-hari (Mahmud, 2004:

59). Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran

akhlak di dalamnya.

Manusia akan memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat

apabila manusia mengamalkan nilai-nilai pendidikan akhlak. Karena

pendidikan akhlak memiliki tujuan yang utama yaitu agar manusia berada

dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah

digariskan oleh Allah SWT (Mahmud, 2004: 159). Inilah yang akan

mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia maupun akhirat.

60

Penjelasan nilai-nilai pendidikan akhlak yang tergkandung dalam surat

„Abasa ayat 1-10, dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari diantanya:

1. Memberikan Penghargaan Yang Sama

Dalam memberikan penghargaan yang sama yaitu dengan tidak

membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam

kehidupan, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari

makhluk lainnya. Manusia akan berhubungan dan berhadapan dengan

manusia lainnya dengan penuh keanekaragaman, dari kalangan bawah,

menengah, maupun kalangan atas. Ada yang kaya, miskin, jelek, cantik,

hitam, putih, semua itu adalah sama di sisi manusia, yang membedakan

hanyalah ketaqwaan dan hatinya.Hal ini tersirat di dalam surat al-Hujurāt

ayat 13, yang berbunyi:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya

orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang

paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Mengenal”(QS. al-Hujurāt: 13).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam kehidupan sehari-

hari manusia harus memberlakukan manusia lainnya dengan sama, tidak

61

memilih kasih dan juga harus menghargai. Contoh lainnya yaitu

berperilaku sayang kepada semua manusia baik kaya atau pun miskin.

2. Tidak Berfikir Negatif Terhadap Orang Lain

Berfikir negatif/prasangka dalam istilah sehari-hari dipahami

sebagai pendapat atau anggapan kurang baik mengenai sesuatu sebelum

mengetahui (menyaksikan dan menyelidiki) sendiri (Republika, 2006:

129). Muslim tidak dibenarkan meyakini dan mempercayai sesuatu yang

didasarkan pada prasangka. Allah SWT juga memerintahkan manusia

untuk menjauhi prasangka buruk. Sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-

sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan

janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan

satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan

daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik

kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha

Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurāt: 12).

Perintah menjauhi prasangka buruk juga disebutkan dalam hadits

sebagai berikut:

62

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “jauhilah

oleh kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk itu adalah sedusta-

dustanya kata hati, janganlah pula kalian meraba-raba (menyangka-

nyangka) dan menyelidiki kesalahan orang lain” (Al-Albani, 2013: 353).

Dari penjelasan ayat dan hadits tersebut, sangatlah jelas bahwa

Allah melarang manusia untuk berburuk sangka/berfikir negatif.

Prasangka buruk merupakan sifat kebalikannya dari prasangka baik.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus meninggalkan sifat prasangka

buruk dan menumbuhkan prasangka baik, yang mana sifat ini akan

mendatangkan manfaat. Contoh perilaku berprasangkan baik terhadap

orang lain dapat ditunjukkan dengan cara senang, berfikir positif dan

sikap menghormati kepada orang lain tanpa ada rasa acuh tak acuh atau

pun curiga, tidak memata-matai orang.

3. Bersikap Cermat dan Berhati-hati dalam Mengambil Suatu

Tindakan

Cermat merupakan sikap berhati-hati dalam menjalankan sesuatu,

penuh dengan perhatian, serta tidak tergesa-gesa dan tidak ceroboh dalam

melaksanakan pekerjaan. Sikap kehati-hatian ini dimaksudkan agar tidak

terjadi kesalahan atau kejadian yang tidak diinginkan baik dalam

mengerjakan atau mengambil suatu tindakan. Allah SWT berfirman:

63

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan

Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab)-Ku. Maka janganlah kamu

minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera”(Qs. Al-Anbiyā‟/21:

37).

Oleh karena itu pekerjaan/tindakan haruslah dilakukan dengan

hati-hati. Contoh sikap cermat dan berhati-hati dalam kehidupan sehari-

hari diantaranya: meneliti jawaban tujian sekolah sebelum dikumpulkan,

tidak berbicara atau bersikap yang dapat menyinggung perasaan orang

lain, tidak berlebihan dalam berbicara, tidak menuruti hawa nafsu saat

berbicara, istiqamah dan tidak munafik, berhati-hati dan tidak tergesa, dan

mendahulukan pekerjaan yang lebih penting daripada yang tidak perlu.

64

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan antara lain:

1. Konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam adalah nilai, macam-

macam nilai, pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup

pendidikan akhlak, dan sumber pendidikan akhlak.

2. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat „Abasa Ayat 1-10 meliputi:

a. Memberikan penghargaan yang sama.

b. Mengajarkan agar tidak berfikir negatif terhadap orang lain.

c. Mengajarkan bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil

suatu tindakan.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan saran-

saran sebagai berikut:

1. Untuk Dunia Pendidikan Islam

Pengajaran dan penanaman akhlak yang bersumber dari al-Qur‟an

dan hadits harus terus dilakukan, hal ini karena krisis moral yang semakin

memprihatinkan. Maka dari itu seorang pendidik diharapkan menekankan

pendidikan akhlak dalam proses belajar mengajar agar siswa-siswa

65

sebagai penerus bangsa menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak

mulia.

2. Untuk Pendidik

Penggalian terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an

harus terus dilakukan dan disosialisasikan sebagai salah satu langkah

perbaikan akhlak manusia dalam menjalani kehidupan di dunia agar

memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

66

DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2013. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta:

Pustaka Azzam.

Ali, Atabik &Ahmad Zuhdi Muhddlor. 2003. Kamus Kontemporer

ArabIndonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafik.

Ali, Muhammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Azwar, Saifuddin. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budihardjo. 2012. Pembahasan Ilmu-ilmu Al-Qur‟an. Yogyakarta: Lokus.

Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen

Agama RI.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Hafidz, Muhammad & Kastolani. 2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan

Modernitas. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

HAMKA. 1982. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Ibn Zakariyā, Ahmad bin Faris. 1967. Mu‟jam Maqāyis al-Lughah I, II, III, IV, V,

VI. Beirut: Dār al-Fikr.

Ilyas, Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI.

Izutsu, Toshihiko. 2003. Relasi Tuhan dan Manusia. Yogyakarta: PT Tiara

Wacana Yogya.

Jumali dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University

Press.

Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV.

Toha Putra.

Muhadjir, Noeng. 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:

Rake Sarasin.

67

Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia

Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

Nasharuddin. 2015. Akhlak :Ciri Manusia Paripurna. Jakarta: Rajawali Pers.

Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Poerwadarminta. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Republika. 2006. Seratus Cerita Tentang Akhlak. Jakarta: Republika.

Rifa‟i, Muhammad Nasib. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema

Insani Press.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Studi Ilmu Al-Qur‟an. Bandung: CV Pustaka

Setia.

Syadali, Ahmad dan Rofi‟i, Ahmad. 1997. Ulumul Qur‟an 1. Bandung: CV.

Pustaka Setia.

Shihab. M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-

Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati.

Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

http://pemikiranislam.wodpress.com, diakses pada tanggal 1 Juni 2016.

68

69

70

71

72

73

74

75

76

DAFTAR NILAI SKK

Nama : Sri Widayati

P.A : Dra. Ulfa Susilawati, M.Si

NIM : 111-12-150

Program Studi : PAI

NO Nama Kegiatan Tanggal Jabatan Nilai

1. OPAK STAIN Salatiga

2012

05-07

September

2012

Peserta 3

2. Orientasi Pengenalan

Akademik dan

Kemahasiswaan (OPAK)

08-0 9

September

2012

Peserta 3

3. Orientasi Dasar

Keislaman (ODK)

10 September

2012

Peserta 2

4. Seminar Entrepreneurship

dan Perkoperasian 2012

“Explore Your

Entrepreneurship Talent”

MAPALA MITAPASA

dan KSEI STAIN salatiga

11 September

2012

Peserta 2

5. Achievment Motivation

Training JQH&LDK

12 September

2012

peserta 2

6. Library User Education

oleh UPT Perpustakaan

STAIN Salatiga

13 September

2012

Peserta 2

7. Tabligh Akbar “Tafsir

Tematik dalam Upaya

Menjawab Persoalan Israel

dan Palestina” JQH

01 Desember

2012

Peserta 2

8. Bedah Buku “24 Cara

Mendongkrak IPK” UPT

Perpustakaan STAIN

Salatiga

05 Desember

2012

Peserta 2

9. Entreprenership Training

KSEI

25 Maret 2013 Peserta 2

77

10. Tafsir Tematik “Sihir

dalam Perspektif al-Qur‟an

dan Hukum Negara” oleh

JQH

04 Mei 2013 Peserta 2

11. Penerimaan Anggota Baru

(PAB) JQH 2013

23-24

November 2013

Peserta 2

12. Islamic Public Speaking

Training (IPST) dan

Sesorah Bahasa Jawa

(SBJ) LDK

5 Desember

2013

Peserta 2

13. Pendidikan dan Pelatihan

(DIKLAT) Keprofesian

oleh HMJ Tarbiyah

13-14 Mei 2014 Peserta 2

14. Islamic Public Speaking

Training (ISPT) Milad XII

LDK

09 Juni 2014 Peserta 2

15. Training Pembuatan

Makalah Oleh LDK

17 September

2014

Peserta 2

16. Diklat Microteaching oleh

HMPS PAI

08 November

2014

Peserta 2

17. Seminar “Mempertegas

Peran Pendidikan dalam

Mencerahkan Masa Depan

Anak Bangsa” HMI

cabang Salatiga komisariat

Walisongo

19 November

2014

Peserta 2

18. Diskusi Terbuka

“Soekarno, Apa Yang

Kalian Pikirkan?”LPM

Dinamika

09 Desember

2014

Peserta 2

19. Workshop Nasional

“Sukses akademik, Sukses

Bakat dan Hidup

Bermartabat dengan

Karya” HMPS PAI vs

Talent Center Indonesia

16 Desember

2014

Peserta 8

20. Seminar Sesorah Bahasa

Jawa (SBJ) Milad-XIII

LDK

07 Mei 2015 Peserta 8

78

21. National Seminar

“Understanding the World

by Understanding the

Language and the Culture”

CEC

04 Juni 2015 Peserta 8

22. Bedah Buku “Muda 7

Warna” HMJ PAI IAIN

Salatiga

23 September

2015

Peserta 2

23. Seminar nasional

Kewirausahaan “Jiwa

Muda, Berani

Berwirausaha” PAI

Kewirausahaan bersama

Disperindagkop Salatiga

30 Oktober

2015

Peserta

8

24. IAIN Bersholawat

“Menyemai Nilai-nilai

Islam Indonesia untuk

Memperkokoh NKRI

dalam mewujudkan

Baldatun Toyyibatun

Warobun Ghofur”

03 November

2015

Peserta 2

2

5

.

Seminar Nasional “Hak

Gender Kaum difabel

dalam Perspektif Sosiologi

dan Hukum Islam” HMJ

AS

24 Desember

2015

Peserta 8

26. Sosialisasi Pendidikan di

Desa Bambusari

“Pentingnya Pendidikan

Anak Untuk Menunjang

Kesejahteraan

Masyarakat” KKN IAIN

Salatiga

20 Februari

2016

Panitia 3

79