New BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2982/3/BAB-II.pdf · 2018. 7. 11. · 12...

25
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Definisi Strategi Coping Menurut Mu’tadin (2002) strategi coping adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stress yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Sedangkan Ross dan Aitamier (Erdinalita, 2006), mengemukakan bahwa coping adalah tindakan yang dilakukan seseorang sebagai respon terhadap sumber stress, baik itu bersifat nyata (real) maupun hal-hal yang dipersiapkan individu sebagai sumber stress. Pearlin dan Schooler (Erdinalia, 2006), mendefiniskan coping sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan eksternal kehidupan, yang ditujukan untuk mencegah, menghindari atau mengontrol distress emosional. Kemudian Folkman dan Lazarus (dalam Mitchell, 2004) memberikan definisi lain yang menyatakan bahwa coping adalah usaha kognitif dan behavioral untuk mengatasi tuntutan-tuntutan spesifik yang bersifat eksternal maupun internal, dimana kapasitasnya dianggap melebihi sumber daya yang dimiliki individu.

Transcript of New BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2982/3/BAB-II.pdf · 2018. 7. 11. · 12...

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Strategi Coping

    1. Definisi Strategi Coping

    Menurut Mu’tadin (2002) strategi coping adalah suatu proses

    dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stress

    yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara

    melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa

    aman dalam dirinya.

    Sedangkan Ross dan Aitamier (Erdinalita, 2006), mengemukakan

    bahwa coping adalah tindakan yang dilakukan seseorang sebagai respon

    terhadap sumber stress, baik itu bersifat nyata (real) maupun hal-hal yang

    dipersiapkan individu sebagai sumber stress.

    Pearlin dan Schooler (Erdinalia, 2006), mendefiniskan coping

    sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan eksternal kehidupan, yang

    ditujukan untuk mencegah, menghindari atau mengontrol distress

    emosional. Kemudian Folkman dan Lazarus (dalam Mitchell, 2004)

    memberikan definisi lain yang menyatakan bahwa coping adalah usaha

    kognitif dan behavioral untuk mengatasi tuntutan-tuntutan spesifik yang

    bersifat eksternal maupun internal, dimana kapasitasnya dianggap

    melebihi sumber daya yang dimiliki individu.

  • 13

    Matheny (dalam Erdinalita, 2006) memberikan definisi coping

    sebagai usaha, baik itu sehat maupun tidak sehat, sadar maupun tidak sadar

    untuk mencegah, mengeliminasi ataupun memperlemah sumber stress atau

    mentolerir efek yang dapat ditimbulkannya semaksimal mungkin.

    Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa coping

    merupakan usaha kognitif dan behavioral yang sehat maupun tidak sehat,

    disadari maupun tidak disadari untuk dicegah, menghilangkan atau

    memperlemah sumber stress baik yang bersifat eksternal maupun yang

    bersifat internal, yang dianggap melebihi kapasitas sumber daya yang

    dimiliki individu.

    2. Klasifikasi dan bentuk strategi coping

    Bentuk strategi coping pada seseorang dilakukan berdasarkan pada

    persepsi dan bagaimana ia menganilisis situasi yang dihadapinya (Papalia,

    2009). Seseorang akan berpikir dan berupaya untuk beradaptasi memilih

    tindakan yakni strategi untuk dapat mengatasi tuntutan-tuntutan yang

    membebaninya. Menurut Folkman dan Lazarus (Sarafino, 1998; Safaria &

    Saputra, 2005) ada dua jenis strategi coping yaitu :

    a. Problem –Focused Coping (PFC)

    Problem-focusesd coping adalah strategi coping atau usaha untuk

    mengurangi situasi stress dengan cara mengembangkan kemampuan

    atau mempelajari keterampilan yang baru untuk mengubah dan

  • 14

    menghadapi situasi, keadaan atau pokok permasalahan. Adapun bentuk

    dari problem focused – coping, yaitu :

    1) Confrontive Coping ialah strategi yang ditandai oleh usaha-usaha

    yang bersifat agresif untuk mengubah situasi, termasuk dengan

    cara mengambil resiko. Hal ini dilakukan individu dengan cara

    tetap bertahan pada apa yang diinginkan.

    2) Planful Problem-Solving yaitu menganalisa setiap situasi yang

    menimbulkan masalah serta berusaha mencari solusi secara

    langsung terhadap masalah yang dihadapi.

    3) Seeking social support adalah strategi yang ditandai oleh usaha-

    usaha untuk mencari nasihat, informasi atau dukungan

    emosional dari orang lain.

    b. Emotion Focused – coping (EFC)

    Emotion focused – coping merupakan strategi untuk mengontrol

    respon emosional terhadap situasi yang sangat menekan Emotion

    focused coping cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu

    atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang stressful. Adapun

    bentuk dari emotion focused – coping, yaitu :

    1) Distancing adalah usaha mengeluarkan upaya kognitif untuk

    melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan

    positif.

  • 15

    2) Self-Control strategi dimana seseorang mencoba untuk mengatur

    perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya ntuk

    menyelesaikan masalah.

    3) Accepting Responsibility adalah suatu strategi dimana individu

    menerima bahwa dirinya memiliki peran dalam masalah yang

    dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan

    keluarnya.

    4) Escape-avoidance strategi berupa perilaku menghindar atau

    melarikan diri dari masalah dan situasi stres dengan cara

    berkhayal atau berangan-angan juga dengan cara makan,

    minum, merokok, menggunakan obat-obatan dan beraktivitas.

    Dengan melakukan strategi ini individu berharap bahwa situasi

    buruk yang dihadapi akan segera berlalu.

    5) Positive Reappraisal strategi yang ditandai oleh usaha-usaha

    untuk menemukan makna yang positif dari masalah atau situasi

    menekan yang dihadapi, dan dari situasi tersebut individu

    berusaha untuk menemukan suatu keyakinan baru yang

    difokuskan pada pertumbuhan pribadi.

    Beberapa Beberapa pakar teori lainnya kemudian mencoba

    mengembangkan pengklasifikasian strategi coping yang dikemukakan oleh

    Lazarus & Folkman tersebut. Carver, Scheier, & Weintraub (1989),

    mengemukakan strategi coping terdiri atas empat jenis yaitu :

  • 16

    a. Problem focused coping, merupakan strategi atau usaha untuk

    mengurangi situasi stres dengan cara mengembangkan kemampuan

    atau mempelajari keterampilan yang baru untuk mengubah dan

    menghadapi situasi, keadaan atau pokok permasalahan. Adapun

    bentuk dari Problem focused coping adalah sebagai berikut:

    1) Active coping, yaitu proses mengambil langkah-langkah aktif

    untuk mencoba untuk menghapus atau menghindari stressor atau

    untuk memperbaiki dampaknya. Active coping termasuk memulai

    aksi langsung, meningkatkan upaya seseorang, dan berusaha

    untuk menjalankan upaya coping dengan cara bertahap.

    2) Planning, memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab

    stres antara lain dengan membuat strategi untuk bertidak,

    memikirkan tentang langkah atau upaya yang perlu diambil

    dalam menangani suatu masalah.

    3) Suppresion of competing, berarti berusaha untuk menghindari

    agar tidak terganggu oleh peristiwa lain, bahkan

    mengenyampingkan hal-hal lain, untuk menghadapi stressor.

    4) Restrain Coping, menunggu sampai sebuah kesempatan yang tepat

    untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak sebelum

    waktunya.

    5) Seeking instrumental social support, yaitu mencari saran,

    bantuan atau informasi.

  • 17

    b. Emotional focused - coping merupakan suatu usaha untuk

    mengontrol respon emosional terhadap situasi yang sangat

    menekan. Adapun bentuk dari Emotional focused coping adalah

    sebagai berikut:

    1) Positive reinterpretation and growth, tumbuh sebagai hasil

    pengalaman dan mengambil sisi positif dari hal yang terjadi.

    2) Acceptance, menerima kenyataan bahwa peristiwa stress telah

    terjadi dan nyata.

    3) Denial, upaya untuk menolak kenyataan peristiwa yang

    menekan.

    4) Religious, peningkatan keterlibatan dalam kegiatan religius.

    5) Seeking emotional social support, yaitu melalui dukungan

    moral, simpati atau pengertian.

    c. Dysfunctional coping merupakan usaha yang mencerminkan

    pencarian dukungan sosial untuk memperoleh saran atau

    mengekspresikan emosi. Adapun bentuk dari Dysfunctional coping

    adalah sebagai berikut:

    1) Focusing on and venting of emotional, fokus pada kesulitan

    atau gangguan apa pun yang dialami seseorang dan meluapkan

    perasaan.

    2) Behavioral disengagement, mengurangi upaya seseorang untuk

    menangani stressor, bahkan menyerah untuk berupaya mencapai

  • 18

    tujuan yang berkaitan dengan stressor. Behavioral disengagement

    dikenal dengan istilah-istilah seperti ketidakberdayaan.

    3) Mental disengagement, berbagai kegiatan yang berfungsi untuk

    mengalihkan perhatian orang agak pikiran tidak diganggu oleh

    stressor.

    d. Recently developed, yaitu usaha yang berhubungan dengan upaya

    untuk menghindari hal-hal yang terkait tentang masalah maupun

    emosi. Adapun bentuk dari Recently developed adalah sebagai berikut:

    1) Alkohol/Penggunaan Obat: beralih ke penggunaan alkohol atau

    obat lain sebagai cara melepaskan diri dari stressor.

    2) Humor: membuat lelucon tentang stressor.

    Pakar teori lainnya, yaitu Aldwin & Revenson (dalam Indirawati,

    2006), membagi coping yang berfokus pada masalah serta coping yang

    berfokus pada emosi ke dalam 8 strategi serta menambahkan faktor

    dukungan sosial kedalam klasifikasi tersebut. Strategi-strategi yang

    termasuk dalam coping yang berfokus pada masalah adalah sebagai

    berikut:

    a. Exercised Caution yaitu usaha yang ditujukan untuk menunda tingkah

    laku yang dapat menimbulkan ancaman atau konsekuensi negative.

    b. Negosiasi yaitu usaha yang diarahkan kepada pihak yang terlibat

    dalam situasi masalah tersebut, seperti berusaha untuk mengubah

    pikiran orang lain atau mengekspresikan kemarahan kepada orang

    tersebut.

  • 19

    c. Tindakan Instrumental yaitu usaha untuk menyelesaikan masalah yang

    ada.

    Sedangkan strategi-strategi yang termasuk ke dalam coping yang

    berfokus pada emosi adalah sebagai berikut:

    a. Escapism, yaitu suatu usaha untuk melupakan atau melarikan diri dari

    masalah dengan menggunakan obat-obatan, alkohol dsb.

    b. Minimization, yaitu usaha coping yang secara sadar menolak

    memikirkan masalah terlalu dalam dan meneruskan hidup seperti tidak

    ada yang terjadi.

    c. Menyalahkan diri sendiri, yaitu strategi pasif yang diarahkan kedalam

    diri sendiri daripada ke masalah itu sendiri.

    d. Pencarian Makna, yaitu usaha yang ditujukan untuk menemukan

    kepercayaan baru atau menemukan apa yang terpenting dalam hidup.

    Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa ada

    dua kelompok besar klasifikasi strategi coping menurut Folkman &

    Lazarus (Sarafino, 2004) yaitu Problem Focused – coping dan Emotional

    Focused – coping, kemudian ditambahkan dua kelompok strategi coping

    oleh Carver, Scheier, & Weintraub (1989) yaitu Dysfunctional coping

    dan Recently developed.

    3. Coping Outcome (tugas coping)

    Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif

    adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan

  • 20

    menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak

    dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus

    (dalam Sarafino, 1994) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan

    efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping

    yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :

    a. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan

    prospek untuk memperbaikinya.

    b. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.

    c. Mempertahankan gambaran diri yang positif.

    d. Mempertahankan keseimbangan emosional.

    e. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.

    4. Proses Strategi coping

    Lazarus (dalam Safaria, 2009) mengatakan bahwa ketika

    individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau perubahan

    lingkungan (situasi yang penuh tekanan), maka akan melakukan penilaian

    awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut.

    Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal yang positif, netral, atau

    negatif. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi

    untuk terjadinya tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal)

    akan muncul. Penilaian sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan

    individu dalam mengatasi tekanan yang ada.

  • 21

    Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, seperti apakah

    saya dapat menghadapi ancaman dan sanggup menghadapi tantangan

    terhadap kejadian. Setelah memberikan penilaian primer dan sekunder,

    individu akan melakukan penilaian ulang (re-appraisal) yang akhirnya

    mengarah pada pemilihan strategi coping untuk penyelesaian masalah

    yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.

    Keputusan pemilihan strategi coping dan respon yang dipakai

    individu untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari

    dua faktor. Pertama, faktor ekternal dan kedua, faktor internal. Faktor

    eksternal termasuk didalamnya adalah ingatan pengalaman dari berbagai

    situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari berbagai situasi

    yang penting dalam kehidupan. Faktor internal, termasuk didalamnya

    adalah gaya coping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan sehari-

    hari dan kepribadian seseorang tersebut. Setelah keputusan dibuat untuk

    menentukan strategi coping yang dipakai, dengan mempertimbangkan

    dari faktor eksternal dan internal, individu akan melakukan pemilihan

    strategi coping yang sesuai dengan situasi tekanan yang dihadapinya

    untuk penyelesaian masalah.

    5. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping seseorang

    Menurut Mu’tadin (2002) cara individu menangani situasi yang

    mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi:

  • 22

    a. Kesehatan fisik

    Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha

    mengatasi stress individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang

    cukup besar.

    b. Keyakinan atau pandangan positif

    Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti

    keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan

    individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan

    menurunkan kemampuan strategi coping tipe Problem focused - coping.

    c. Keterampilan memecahkan masalah

    Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,

    menganalisa situasi, mengidentifkasi masalah dengan tujuan untuk

    menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan

    alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan

    pada akhirnya melaksanakan rencana dengan suatu tindakan yang tepat.

    d. Keterampilan sosial

    Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan

    bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial

    yang berlaku dimasyarakat.

    e. Dukungan sosial

    Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan

    emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota

    keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

  • 23

    f. Materi

    Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang

    penunjang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

    Menurut Smet (1994), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

    coping seseorang adalah:

    a. Variabel dalam kondisi individu

    Variabel dalam kondisi individu mencakup umur, tahap kehidupan,

    jenis kelamin, temperamen, faktor genetik, inteligensi, pendidikan,

    suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

    b. Karakteristik kepribadian

    Karakteristik kepribadian mencakup introvert-extrovert, stabilitas

    emosi secara umum, kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of

    control, kekebalan, dan ketahanan.

    c. Variabel sosial kognitif

    Variabel sosial kognitif mencakup dukungan sosial yang dirasakan,

    jaringan sosial, dan kontrol pribadi yang dirasakan.

    d. Hubungan dengan lingkungan sosial

    Hubungan dengan lingkungan sosial adalah dukungan sosial yang

    diterima, integrasi dalam hubungan interpersonal. Dukungan antar

    individu dengan lingkungan sosial bersifat timbale balik, dimana

    lingkungan mempengaruhi individu dan individu mempengaruhi

    perkembangan lingkungan (Walgito, 1998). Menurut Sarason (1998),

    dukungan sosial akan sangat membantu individu untuk melakukam

  • 24

    penyesuaian atau perilaku coping yang positif serta pengembangan

    kepribadian dan dapat berfungsi sebagai penahan untuk mencegah

    dampak psikologis yang bersifat gangguan.

    Lebih lanjut Folkman dan Lazarus (dalam Pramadi dan Lasmono,

    2003) berpendapat bahwa cara individu dalam menghadapi masalah juga

    dipengaruhi oleh sumber-sumber individual seseorang seperti pengalaman,

    persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan dan

    situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus

    yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman. Adapun

    faktor-faktor tersebut yaitu :

    a. Faktor individual

    1) Perkembangan usia

    Pramadi dan Lasmono (2003) menyebutkan bahwa perkembangan

    usialah yang menyebabkan perbedaan dalam pemilihan strategi

    coping, yaitu sejumlah struktur psikologis seseorang dan sumber-

    sumber untuk melakukan coping akan berubah menurut

    perkembangan usia dan akan membedakan seseorang dalam

    merespon tekanan.

    2) Tingkat pendidikan

    Menurut Pramadi dan Lasmono (2003) seseorang yang memiliki

    tingkat pendidikan yang tinggi memiliki pola pikir berani dalam

    mengambil sikap untuk mengatasi masalah dan tidak menunda-

    nunda. Karena kemungkinan itu akan bertambah membebani pikiran.

  • 25

    dapat diartikan juga bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan

    yang tinggi akan cenderung untuk menggunakan Problem Focused –

    coping dalam menyelesaikan masalahnya.

    3) Jenis kelamin

    Menurut Seiffge (dalam Wangmuba, 2009) bahwa gadis Jerman dan

    Israel dalam melakukan coping cenderung untuk mencari dukungan

    sosial dibandingkan laki-laki, gadis Jerman yang paling condong

    untuk menarik diri sebagai pelaku untuk bertahan. Selain itu hasil

    penelitian Nursasi dan Fitriyani (2003) menyebutkan bahwa

    perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan pula dalam

    pemilihan strategi coping, yaitu wanita lanjut usia dan jenis coping

    yang berfokus pada emosional juga kurang diminati oleh pria lanjut

    usia.

    4) Kepribadian

    Menurut Tarnumidjojo (2004), seseorang dengan kepribadian yang

    puas dengan diri sendiri, mudah dituntun, namun memiliki ego yang

    lemah atau seseorang yang memiliki ego yang cukup kuat, namun

    cenderung menghindar dari tekanan, cenderung menggunakan

    emotional focused – coping.

    5) Kematangan emosional

    Berdasarkan hasil penelitian Hasan (2005) dapat diketahui bahwa

    terdapat pengaruh kematangan emosional terhadap pemilihan

    strategi coping pada remaja. Individu dengan tingkat emosi matang

  • 26

    cenderung memilih strategi coping yang berorientasi pada

    pemecahan masalah (direct action) dan sebaliknya, individu yang

    emosinya kurang matang cenderung memilih strategi coping yang

    berorientasi meredakan ketegangan (palliation).

    6) Status sosial ekonomi

    Menurut Billings dan Moos (dalam Mu’tadin, 2002), seseorang

    dengan status sosial ekonomi yang rendah akan menampilkan bentuk

    coping yang kurang aktif, kurang realistis dan lebih fatal untuk

    menampilkan respon menolak, dibandingkan dengan seseorang

    dengan status ekonomi yang lebih tinggi.

    7) Kesehatan mental

    Individu yang memiliki kesehatan mental yang buruk, umumnya

    kurang efektif dalam memilih strategi menghadapi tekanan. Fakta ini

    diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang

    depresi mempunyai coping menghadapi tekanan yang berbeda

    dengan orang non depresi (Hapsari, 2002).

    8) Keterampilan memecahkan masalah

    Keterampilan memecahkan masalah meliputi kemampuan untuk

    mencari informasi, menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah

    dnegan tujuan menghasilkan alternatif tindakan, kemudian

    mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil

    yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan

    melakukan suatu tindakan yang tepat (Mu’tadin, 2002).

  • 27

    b. Konteks lingkungan

    1) Kondisi penyebab stress (tingkat masalah)

    Hasil penelitian Tanumidjojo (2004), menunjukkan bahwa

    penggunaan emotional focused – coping akan lebih banyak

    digunakan atau sesuai untuk mengatasi stress yang diakibatkan

    kondisi-kondisi yang tidak dapat diubah atau yang sudah menemui

    jalan buntu atau kondisi di luar kekuatan individu yang mampu

    menimbulkan trauma.

    2) Sistem budaya

    Berdasarkan penelitian Pramadi dan Lasmono (2003), dapat

    diketahui bahwa identitas sosial yang meliputi nilai, minat, peraturan

    sosial, sistem agama, dan sistem tingkah laku mempengaruhi bentuk

    coping yang ditampilkan, antara lain seperti pada budaya Bali.

    Masyarakat Bali yang terikat dengan sistem adat dan berkaitan

    dengan keagamaan Hindu yang sangat kuat, menjadikan orang Bali

    cenderung introvert tetapi terbuka akan informasi dari luar dan lebih

    menampilkan Problem focused – coping.

    3) Dukungan sosial

    Menurut Taylor (2006) strategi coping akan lebih efektif dalam

    menghadapi konflik apapun bila mendapat dukungan dari saudara,

    orangtua, teman, tenaga professional yang akan lebih mempermudah

    individu tersebut melakukan coping yang tepat dalam menghadapi

    dan memecahkan masalah.

  • 28

    Carver, Scheier, & Weintraub (1989) mengatakan bahwa strategi

    coping juga dipengaruhi oleh kepribadian. Tipe kepribadian dengan ciri-

    ciri ambisius, kritis terhadap diri sendiri, tidak sabaran, melakukan

    pekerjaan yang berbeda dalam waktu yang sama, mudah marah dan

    agresif, akan cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada

    emosi (EFC). Sebaliknya seseorang dalam tipe kepribadian dengan ciri-ciri

    suka rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah,

    berbicara dan bersikap dengan tenang, serta lebih suka memperluas

    pengalaman hidup, cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus

    pada masalah (PFC).

    Taylor (1995) menyatakan faktor yang mempengaruhi coping yang

    dilakukan individu lebih berasal dari dukungan orang-orang di sekitar

    individu, seperti misalnya saudara, orang tua, suami atau istri, anak, teman

    atau menggunakan jasa tenaga professional seperti psikolog yang dapat

    membantu individu dalam melakukan coping yang tepat, dalam usaha

    menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi.

    Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulikan bahwa faktor-

    faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil strategi coping

    stressnya adalah adanya pengaruh internal dan pengaruh eksternal

    seseorang tersebut.

  • 29

    B. Single Mother

    1. Definisi single mother

    Menurut Gunawan (2006) single parent adalah orang yang

    melakukan tugas sebagai orang tua (ayah atau ibu) seorang diri, karena

    kehilangan/terpisah dengan pasangannya. Sementara itu, menurut Hurlock

    (1999) pengertian single parent adalah orangtua yang telah menduda atau

    menjanda entah bapak atau ibu, yang mendapatkan tanggung jawab untuk

    memelihara anak-anak setelah kematian pasangannya,perceraian atau

    kelahiran anak diluar nikah.

    Definisi single mother menurut Papalia, Stern, Feldman, & Camp

    (2002) adalah wanita yang ditinggal suami atau pasangannya karena suatu

    penyebab, diantaranya berpisah karena meninggal dunia atau bercerai dan

    memutuskan tidak menikah karena fokus untuk membesarkan anaknya

    seorang diri.

    Anderson & Schale (1998) menyebutkan bahwa single mother

    adalah wanita dewasa yang memutuskan untuk hidup sendiri tanpa

    pendamping dikarenakan perpisahan atau perceraian. Sedangkan Exter

    (dalam Anderson, 1998) mengatakan bahwa menjadi single mother

    merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen

    untuk tidak menikah atau tidak menjalin hubungan intim dengan orang

    lain.

    Sementara itu Saund (dalam Papalia, Stern, Feldman, & Camp,

    2002), menjelaskan bahwa individu yang telah terikat erat dengan figure

  • 30

    suaminya namun karena suatu hal kehilangan partner untuk bertukar

    pikiran, mengurus rumah tangga dan membesarkan anak dapat disebut

    dengan single mother.

    Berdasarkan berbagai definisi single parent dan single mother

    diatas, terlihat perbedaan diantara keduanya. Single parent diartikan

    sebagai orang yang menjalani tugas sebagai orang tua seorang diri, baik itu

    pria maupun wanita. Sedangkan single mother adalah sebutan untuk wanita

    yang menjalani peran sebagai orang tua tunggal tanpa adanya figure pria

    sebagai suami baik itu karena keputusan perpisahan ataupun meninggal

    dunia.

    Menjadi single mother disebut oleh Ellison (2003) sebagai situasi

    yang khusus sekaligus ekstrem yang menantang bagi seorang wanita, hal

    ini karena umumnya individu menjadi single mother terlebih dahulu

    melewati masa-masa yang penuh stress, ketakutan, dan rasa bersalah dari

    kejadian-kejadian traumatis yang dialaminya, baru kemudian

    menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru serta tanggung jawab yang

    lebih besar terhadap keluarganya.

    2. Permasalahan pada Single Mother

    Menurut William Goode J (1983) single mother yang mengalami

    perpisahan dengan pasangan baik itu karena perceraian ataupun kematian

    akan merasakan beberapa hal yaitu :

    a. Penghentian kepuasan seksual.

  • 31

    b. Hilangnya persahabatan, kasih atau rasa aman

    c. Hilangnya model peran orang dewasa untuk diikuti anak-anak.

    d. Penambahan dalam beban rumah tangga bagi pasangan yang

    ditinggalkan terutama dalam menangani anak-anak.

    e. Penambahan dalam persoalan ekonomi, terutama jika si suami atau

    isteri meninggalkan rumah.

    f. Pembagian kembali tugas-tugas rumah tangga dan tanggung jawab.

    Hurlock (2004) menjabarkan masalah yang sekiranya dihadapi oleh

    single mother :

    a. Masalah ekonomi : setelah kehilangan suami, ibu akan mengalami

    kurangnya pendapatan keluarga. Seorang single mother memulai

    bekerja pada usia madya, biasanya mereka tidak dapat memperoleh

    pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

    b. Masalah sosial : ketika suaminya meninggal maka seorang single

    mother akan menemukan bahwa tidak ada tempat untuknya apabila

    berada di antara pasangan yang menikah. Kemudian dengan

    kemampuan ekonomi yang rendah mengakibatkan seorang single

    mother tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di

    masyarakat.

    c. Masalah praktis : single mother mencoba untuk menjalankan hidup

    rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh pasangan, akan

    tetapi setelah kehilangan suami semua pekerjaan dilakukan seorang diri.

  • 32

    misalnya membetulkan peralatan rumah tangga, single mother pun

    harus mengupah orang lain dengan menurunnya pendapatan.

    d. Masalah seksual : ada hasrat seksual yang tidak terpenuhi karena sudah

    tidak mempunyai pasangan, dan merasa kesepian.

    e. Masalah tempat tinggal : bila status ekonominya tidak memungkinkan,

    seorang single mother akan pindah kerumah yang lebih kecil.

    Sedangkan, kondisi kedua adalah apakah single mother mempunyai

    seseorang untuk bisa diajak tinggal bersama.

    f. Masalah psikologis : ibu cenderung merasa tidak menentu dan

    identitasnya kabur setelah kehilangan suami, yang sebelumnya

    identitasnya tergantung dengan suaminya.

    g. Masalah keluarga : apabila masih mempunyai anak yang tinggal

    serumah, maka single mother harus memainkan peran ganda yaitu

    sebagai ayah dan ibu, dna harus menghadapi masalah yang timbul

    dalam keluarga tanpa pasangan selain itu juga menghadapi masalah

    yang berhubungan dengan anggota keluarga dari pihak suami.

    h. Sulitnya memenuhi figur ayah bagi anak : figur seorang ayah ini harus

    tetap terpenuhi agar pertumbuhan fisik dan psikis anak tetap berjalan

    dengan baik.

    Perubahan-perubahan yang dialami keluarga dengan single parent

    tersebut membuat mereka harus mampu dapat menyesuaikan diri dengan

    kondisi dan peran serta tugas-tugas ganda yang harus dilakukan, terutama

    pada pasangan yang ditinggal meninggal yang dianggap belum

  • 33

    mempunyai kesiapan baik secara mental maupun finansial sehingga dapat

    mengatasi perubahan yang terjadi.

    Peran ibu sebagai single parent dalam keluarga merupakan suatu

    tanggung jawab yang harus dilakukan. Mengurus kebutuhan keluarga,

    mencari nafkah, mengurus anak tentu bukanlah hal mudah yang bagi

    seorang single mother. Maka dari itu, untuk melaksanakan tanggung jawab

    yang begitu besar, single mother harus memiliki cara-cara untuk

    menghadapi tekanan dair berbagai sumber permasalahan yang muncul.

    Usaha untuk dapat keluar dari situasi yang menekan, dan mencari cara untuk

    mengatasi permasalahn yang dihadapi dikenal dengan istilah coping (Smet,

    1994).

    3. Gambaran umum Coping pada Single Mother

    Menurut Lazarus (1976) pada umumnya setiap manusia memiliki

    banyak kebutuhan yang ingin dipenuhinya dalam hidup. Kebutuhan itu

    dapat berupa kebutuhan fisik, psikis dan sosial. Sayangnya, dalam

    kehidupam nyata kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak selalu dapat

    dipenuhi, keadaan itu yang seringkali membuat seseorang merasa tertekan

    secara psikologi (psychological stress). Respon perilaku yang tertekan itu

    dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang bermacam-macam

    tergantung sejauh mana seseorang tersebut memandang masalah yang

    sedang dihadapi yaitu adanya proses primary appraisal (pernilaian awal)

    untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut dapat

    diartikan sebagai hal yang positif, netral, atau negatif. Begitu juga halnya

  • 34

    dengan wanita yang kemudian memasuki perubahan status baru yaitu

    menjadi seorang single mother karena kematian suami, lalu single mother

    akan melakukan penilaian awal dari kejadian dan masalah yang muncul

    setelah itu. Jika single mother memandang positif masalah yang terjadi,

    maka respon perilaku yang ditampilkan pun bisa dalam bentuk

    penyesuaian diri yang sehat, penerimaan diri yang bagus dan cara-cara

    mengatasi masalah yang konsruktif. Sebaliknya, jika single mother

    menganggap negative masalah yang terjadi pada dirinya, maka akan

    memperlihatkan respon dalam bentuk perilaku neurotis dan patologis.

    Proses ini termasuk penilaian sekunder (secondary appraisal) karena

    berbentuk perilaku pengukuran terhadap kemampuan individu dalam

    mengatasi tekanan yang ada.

    Menurut Hurlock (2004) permasalahan yang sekiranya muncul

    pada single mother adalah masalah ekonomi, masalah sosial, masalah

    praktis, masalah psikologis, masalah seksual, masalah tempat tinggal,

    masalah keluarga dan sulitnya memenuhi figure ayah pada anak.

    Adapun coping yang biasanya digunakan oleh single mother

    karena ditinggal meninggal suami adalah coping religious, dimana

    individu akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan agar dimudahkan dan

    diberikan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah, ikhlas, sabar dan

    bersyukur dalam menghadapi cobaan hidup (Dahlan, 2005).

    Berdasarkan hasil penelitian Tanumidjojo & Lestari (2004),

    menunjukkan bahwa penggunaan emotional focused – coping akan lebih

  • 35

    banyak digunakan atau sesuai untuk mengatasi stress yang diakibatkan

    kondisi-kondisi yang tidak dapat diubah atau yang sudah menemui jalan

    buntu atau kondisi di luar kekuatan individu yang mampu menimbulkan

    trauma. Menurut Conrad (2004), bentuk strategi coping yang aktif lebih

    sesuai apabila digunakan dalam menghadapi situasi yang tingkatnya di

    bawah kontrol dan tidak sesuai untuk situasi yang tidak terkontrol, dalam

    hal ini seperti seseorang yang memiliki tingkat stress yang tinggi akan

    mengurangi kemampuan seseorang untuk memilih dan melakukan coping

    yang efektif.

    Taylor (2006) mengungkapkan bahwa beberapa kepribadian

    mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stress dan strategi coping yang

    digunakan, seperti kepribadian yang optimistik yang dapat diasosiasikan

    dengan kecenderungan penggunaan problem focused – coping, dengan

    mempertimbangkan dukungan sosial dan penekanan pada pandangan

    positif terhadap situasi yang meninmbulkan stress tersebut.

    C. Pertanyaan Penelitian

    1. Central question :

    Bagaimana gambaran coping single mother lakukan dalam

    menghadapi masalah yang muncul setelah suami meninggal?

  • 36

    2. Sub question :

    a) Apa saja permasalahan yang muncul setelah suami meninggal?

    b) Bagaimana coping yang single mother lakukan untuk

    menghadapi masalah yang muncul setelah suami meninggal?

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Definisi Strategi Coping 2. Klasifikasi dan bentuk strategi coping 3. Coping Outcome (tugas coping) 4. Proses Strategi coping 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping seseorang

    B. Single Mother 1. Definisi single mother 2. Permasalahan pada Single Mother 3. Gambaran umum Coping pada Single Mother

    C. Pertanyaan Penelitian