Neuroregenerasi
-
Upload
deril-ridwan -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
description
Transcript of Neuroregenerasi
Neuroregenerasi yang terjadi di PNS terjadi dalam berbagai macam derajat. Ujung akson muncul dari ujung proksimal dan berkembang hingga ke bagian distalnya. Perkembangannya diatur oleh factor kemotaktis yang disekresi oleh sel Schwann.Jejas pada sistem saraf perifer secara spontan akan memicu migrasi sel fagosit, sel Schwann dan makrofag ke daerah lesi untuk menghancurkan debris seperti jaringan rusak. Ketika akson terputus, ujung yang masih tertinggal di tubuh utama disebut sebagai bagian proksimal, sedangkan yang tidak disebut segmen distal. Setelah jejas, ujung proksimal dari akson akan mengalami pembengkakan dan mengalami degenerasi retrograde, tapi begitu debris di ujungnya di bersihkan, sel saraf akan menumbuhkan kembali akson . Akson proksimal akan terus tumbuh selama badan sel utama tetap intak, dan tetap berhubungan dengan neurolemmosit di endoneurial. Pertumbuhan akson dapat mencapai kecepatan 2 mm pada akson yang kecil dan 5 mm pada saraf yang lebih besar. Segmen distal yang terputus itu selanjutnya akan mengalami degenerasi wallerian dalam beberapa jam setelah terpapar jejas, akson dan myelin akan mengalami degenerasi tapi endoneurium masih tetap ada. Pada tahap yang lebih lanjut, tabung endoneurium yang tertinggal itu akan mengarahkan kembali akson yang baru tumbuh ke target yang benar. Selama degenerasi wallerian, sel Schwann yang teletak di endoneurial akan melindungi dan mempersiapkan tabung endoneurial. Di lain pihak, makrofag dan sel Schwann akan mengeluarkan factor neurotropik yang akan mempercepat pertumbuhan.1
Sel saraf pada sistem saraf pusat, jika mengalami trauma yang menghancurkan, maka tidak dapat diganti baru karena sel tersebut tidak dapat berproliferasi kembali. Akan tetapi jika serat saraf tepi mengalami trauma (luka atau terpotong), sel tersebut akan berusaha memperbaiki, melakukan regenerasi saraf yang rusak dan memperbaharui fungsinya dengan cara menstimulus serangkaian proses metabolisme dan proses struktural (reaksi akson). Reaksi akson dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Reaksi lokal (local reaction): reaksi yang terjadi pada tempat traumanya. Ujung yang mengalami trauma mendekat dan menyatu untuk menutup kedua bagian yang terpotong agar sitoplasma akson tidak hilang. Makrofag kemudian datang untuk memakan dan membersihkan daerah yang luka dari debris (kotoran).
2. Reaksi anterograde (anterograde reaction): reaksi yang terjadi pada bagian distal dari tempat trauma. Ujung akson menjadi hipertrofi dan berdegenerasi dalam waktu seminggu, sehingga kontak dengan membran pasca-sinaps akan berakhir. Sel Schwann kemudian akan berproliferasi, memfagositasis debris akson terminal yang hancur. Bagian distal akson ini mengalami degenerasi Wallerian yang menyebabkan akson menjadi terpecah-pecah dan sel-sel Schwann berproliferasi dengan cepat yang kemudian akan memakan puing-puing akson dan selubung mielin. Jaringan ikat yang menyelubungi serat saraf tersebut tidak mengalami perubahan. Ruangan yang terdapat di antara jaringan ikat ini kemudian akan terisi oleh sel-sel Schwann/sel neurolema yang berproliferasi secara cepat, yang akan berfungsi sebagai penuntun bagi akson yang baru tumbuh
yang bergerak menuju ke bagian postsinaps dengan kecepatan 1 sampai 2 mm per hari. Ada pula akson yang tidak mencapai sasaran yang fungsinya tepat, yaitu ke jaringan parut.
3. Reaksi Retrograde: reaksi yang terjadi pada bagian proksimal dari tempat terjadinya trauma. Pada reaksi ini, terjadi kromatolisis yaitu perikarion neuron yang hancur menjadi hipertrofi, badan Nisslnya akan tercerai berai dan inti sel akan bergeser dari tempatnya semula. Setelah 3 minggu bila sel saraf bebas dari trauma baru, badan sel kemudian secara aktif mensintesa ribosom-ribosom bebas, protein dan berbagai molekul-molekul berukuran besar (makromolekul) dan dapat berlangsung selama beberapa bulan. Selama itu, bagian proksimal akson dan selubung mielin yang menyelubunginya akan berdegenerasi. Kemudian beberapa tunas akson akan muncul dari ujung proksimal tersebut, dan berjalan mengisi ruang selubung jaringan ikat dengan dibimbing oleh sel-sel Schwann menuju ke sel sasaran. Tunas yang pertama mencapai sel target akan langsung membentuk sinaps, sementara tunas-tunas yang lain akan berdegenerasi. Proses regenerasi ini berlangsung kira-kira dengan kecepatan 3-4 mm/hari. Sel saraf mempunyai pengaruh tropik (mempengaruhi kehidupan) sel target. Jika sel saraf mati, maka sel-sel lainnya yang merupakan target dari sel saraf tersebut juga akan mengalami atropi dan degenerasi. Proses ini disebut dengan degenerasi transneuron (transneuronal degeneration)
Regenerasi Sel Saraf
Sel saraf merupakan sel yang unik dibandingkan dengan sel-sel lainnya. Salah satu keunikannya adalah ketidakmampuannya dalam berproliferasi (sebagian besar pendapat) dan hanya mampu meregenerasi aksonnya. Oleh karena itu, sel saraf termasuk kedalam sel permanen. Lembar Tugas Mandiri ini akan membahas tentang proses regenerasi sel saraf tepid an berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Kemampuan proliferasi sel saraf, masih controversial. Ada yang berpendapat bahwa sel saraf tidak akan mampu berproliferasi, pendapat lain mengatakan sel saraf mampu berproliferasi walaupun sangat lambat, dan ada yang berpendapat bahwa sel saraf mampu berproliferasi, walaupun di sistem saraf pusat. Tapi bagaimanapun, kerusakan yang ada pada sistem saraf pusat, bersifat permanen dan tidak bisa diubah seperti semula. Berbeda dengan sistem saraf pusat, jika kerusakan berada di sistem saraf tepi, akan ada reaksi akson. 1
Reaksi akson secara garis besar terdiri dari perbaikan kerusakan, memperbaharui proses, dan memulihkan fungsi. Reaksi akson ini, terjadi pada 3 tempat, yaitu tempat spesifik kerusakan dimana akan terjadi reaksi lokal, bagian distal tempat kerusakan dimana akan terjadi perubahan anterograde, dan bagian proksimal tempat kerusakan dimana akan terjadi perubahan retrograde. (Gambar 1)
1. Reaksi LokalReaksi lokal ini sangat membutuhkan peran dari sel-sel neuroglial. Pasalnya, pada reaksi lokal akan terjadi proses perbaikan jaringan yang rusak. Selain itu, reaksi lokal pada tempat kerusakan akan juga terjadi proses pembuangan debris-debris yang merupakan sisa-sisa sel yang rusak. 1
2. Reaksi AnterogradeReaksi anterograde ini terjadi pada bagian distal (bawah) dari tempat kerusakan. Pada bagian bawah tersebut, akan terjadi beberapa perubahan, diantaranya:
a. Terminal akson menjadi bersifat hipertrofi dan kemudian akan berdegenerasi. Hal ini menyebabkan terputusnya post-sinaps. Sisa-sisa akson terminal akan difagosit oleh sel Schwann dan hasil proliferasi sel Schwann akan membentuk akson terminal yang baru.
b. Seluruh akson bagian distal dari tempat kerusakan, akan berdegenerasi (wallerian degeneration / orthograde degeneration). Makrofag dan sel Schwann spesifik akan memfagositosis sisa-sisa akson.
c. Sel Schwann berproliferasi sehingga membentuk tabung Schwann (Schwann tube). 1
d. Sel target dari neuron yang mengalami kerusakan, kemungkinan akan mengalami atrofi dan gangguan. Hal inilah yang disebut transneuronal degeneration. 2
3. Reaksi Retrograde
Pada reaksi retrograde ini, bagian proksimal dari letak kerusakan akan mengalami degenerasi yang nantinya akan bersamaan dengan terbentuknya akson yang baru. Beberapa proses yang terjadi pada reaksi retrograde ini, antara lain:
a. Perikarion mengalami chromatolysis, dimana perikarion akan mengalami hipertrofi, badan Nissl akan tidak beraturan, dan inti selnya akan menuju ke tepi. Disisi lain, ribosom bebas dan protein serta makromolekul lainnya akan diproduksi lebih. 2
b. Akson bagian proksimal akan ber-regenerasi. Hal ini akan memerlukan bantuan dari sel Schwann, makrofag, dan juga fibroblast.
c. Selubung myelin akan terbentuk. Akson bagian distal dan proksimal akan bertemu kembali. 1
Kemampuan regenerasi sistem saraf pusat tidak sama dengan kemampuan regenerasi sistem saraf pusat. Pasalnya, sistem saraf pusat tidak mempunyai sel Schwann dan juga jaringan ikat. Proses fagositosis pada sistem saraf pusat ini dilakukan oleh mikroglia, sel yang berperan sebagai makrofag di sistem saraf pusat. Tempat bekas sel yang rusak, akan digantikan oleh sejumlah besar sel glia. Hal ini akan menghasilkan glial scar yang dipercaya akan menghambat proses perbaikan. 1
Tidak semua regenerasi sel saraf menghasilkan perbaikan yang sempurna. Pada beberapa kasus, akan terjadi neuron yang terlalu banyak ataupun neuron tersebut tidak pada tempat yang benar. Regenerasi yang tidak benar ini, akan dihancurkan kembali. Penghancuran ini disebut dengan plasticity. Plasticity ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan, yaitu neurotrophins yang diproduksi ole hsel glial, sel Schwann, neuron, dan juga sel target yang spesifik. 1
Respon Neuron Terhadap trauma
Sebagai sebuah sel hidup, neuron dapat mengalami kerusakan dan cedera jika terpajan
oleh trauma-trauma yang dekstruktif, seperti trauma fisik, kimia, maupun infeksi. Proses
pemulihan pada jaringan saraf dapat terjadi dalam batas batas tertentu. Jaringan saraf yang
hancur tidak dapat digantikan oleh sel saraf yang baru. Hal ini disebabkan karena tingkat
diferensiasi sel saraf yang tinggi dan ketidakmampuan sel neuron untuk berproliferasi dalam
hampir semua keadaan.
a. Degenerasi Sel Saraf
Jika cedera terjadi pada badan sel saraf, maka akan terjadi degenerasi seluruh neuron
termasuk dendrit dan akson karena tidak terjadi sintesis protein. Pada akhirnya neuron akan
mati dan debrisnya akan dimakan oleh sel mikroglia dan makrofag, kemudian astrosit dan
fibroblas akan mengisi ruang yang ditinggalkan neuron dengan jaringan parut.
Cedera pada processus sel saraf, misalnya akson, dapat terjadi regenerasi. Jika akson sel saraf
terputus, maka akan terjadi perubahan degeneratif pada segmen distal yang terpisah dari
badan sel, sebagian akson pada sisi proksimal, dan kemungkinan pada badan sel tempat asal
akson.
1). Reaksi Lokal
Pada tempat di sekitar trauma, ke dua ujung yang mengalami trauma akan saling berusaha
mendekat dan menyatu guna menutup ke dua ujung yang terpotong dan mencegah hilangnya
bagian sitoplasma akson. Makrofag kemudian datang untuk memakan dan membersihkan
daerah yang luka dari debris.
Jika terdapat celah yang terlalu lebar antara segmen distal dan proksimal akson atau bila
segmen distal hilang sama sekali, akan terbentuk neuroma, yaitu serabut saraf yang tumbuh
tidak teratur dan membentuk benjolan. Neuroma merupakan sumber nyeri yang spontan.
2). Degenerasi Wallerian
Pada sisi distal dari tempat lesi, akan terjadi proses degenerasi yang dinamakan Degenerasi
Wallerian. Pada susunan saraf tepi, akson akan membengkak dan berbentuk iregular pada
hari pertama, dan akson terpecah menjadi fragmen-fragmen pada hari ketiga atau keempat
dan debrisnya akan dicerna oleh makrofag dan sel Schwann.
Selubung mielin akan terurai secara perlahan dan pada sitoplasma sel Schwann akan
tampak butir-butir lipid. Butir-butir lipid tersebut akan dikeluarkan dari sel Schwann untuk
difagosit oleh makrofag jaringan. Selain itu makrofag juga akan mengeluarkan Interleukin-1
yang menstimulasi sel Schwann untuk mensekresikan zat pemicu pertumbuhan sel saraf.
Selubung jaringan ikat endoneurium akan tetap mempertahankan strukturnya. Sel Schwann
kemudianya akan berproliferasi dengan cepat dan memenuhi selubung jaringan ikat tersebut.
Selubung endoneurium dan Sel Schwann kadang disebut band fiber. Sel Schwann kemudian
berperan sebagai saluran atau terowongan penuntun akson jika beregenerasi, agar akson
tumbuh mengikuti jalur yang seharusnya seperti saat sebelum terjadi cedera. Jika tidak terjadi
regenerasi, maka akson akan digantikan oleh jaringan ikat yang dihasilkan oleh fibroblast.
Pada sistem saraf pusat, juga terjadi degenerasi yang mirip. Debris hasil degenerasi akson
akan dibersihkan oleh mikroglia. Tetapi tidak terbentuk band fiber sehingga akson tidak
dapat beregenerasi ke arah yang seharusnya. Astrosit akan berproliferasi menggantikan
akson.
Perubahan pada segmen proksimal akson juga mirip dengan yang terjadi pada segmen
distal, tetapi hanya sampai segmen nodus ranvier yang terdekat. Pita-pita proliferasi sel
Schwann akan menonjol dari selubung endoneurium yang terpotong.
3). Degenerasi Retrograd
Setelah terjadi trauma, selain degenerasi pada akson, degenerasi juga dapat terjadi pada
badan sel saraf. Degenerasi ini dinamakan degenerasi retrograd. Degenerasi ini dapat
disebabkan karena hilangnya suplai tropik retrogad karena terputusnya segmen distal neuron.
Perubahan yang khas pada badan sel terjadi pada dua hari pertama dan meningkat sampai
maksimal pada waktu 2 minggu setelah cedera.
Badan nissl pada perikarion akan menyebar ke seluruh sitoplasma, menjadi halus dan lebih
granular yang mengakibatkan pengurangan sifat basofilik sitoplasma. Proses ini dinamakan
kromatolisis. Perubahan ini dimulai dari dekat akson Hillock dan akan menyebar ke seluruh
perikarion. Selain itu, nukleus akan berpindah dari tempatnya menuju tepi badan sel dan
terjadi pembengkakan sitoplasma. Derajat kromatolisis dan pembengkakan sitoplasma
bergantung pada jarak lesi terhadap badan sel. Pembengkakan akan semakin besar jika cedera
semakin dekat dengan perikarion sementara cedera pada segmen yang paling distal dari
neuron menyebabkan perubahan badan sel yang sangat sedikit dan tidak terdeteksi.
Tersebarnya badan Nissl dan pergeseran nukleus dapat disebabkan karena edema seluler,
sementara tidak terwarnainya badan Nissl terjadi karena tersebarnya RNA sitoplasma secara
luas. Degenerasi ini berperan penting dalam peningkatan sintesis protein yang sangat
diperlukan dalam regenerasi dan penggantian materi sel yang hilang akibat cedera.
Ujung-ujung sinaptik pada badan sel dan dendrit dapat menjauhi badan sel saraf.
Selanjutnya akan digantikan oleh sel Schwann pada sistem saraf tepi dan sel astrosit atau
mikroglia pada sistem saraf tepi. Proses ini disebut synaptic stripping. Kemungkinan
penyebab sinaptic stripping ini adalah hilangnya daya lekat membran plasma setelah cedera
dan stimulasi sel-sel penyokong oleh zat-zat kimia yang dilepaskan oleh neuron yang cedera.
Jika cedera cukup besar, sel dari sistem imun seperti makrofag dan monosit dapat datang dan
bermigrasi ke tempat ini.
b. Neuropati
Kerusakan pada sistem saraf tepi dinamakan neuropati. Serat saraf tepi adalah serabut saraf
yang menghubungkan sistem saraf pusat dengan organ-organ tubuh, baik reseptor maupun
efektor. Neuropati adalah kondisi dimana sel saraf perifer mengalami kerusakan atau
degenerasi. Lesi dapat terjadi pada dendrit, badan sel, maupun akson. Lesi paling umum
terjadi adalah lesi aksonal. Lesi pada neuropati dapat terjadi pada neuron sensorik, neuron
motorik, neuron otonom, dan kombinasinya. Kerusakan pada neuron tipe tertentu akan
menimbulkan gejala yang berhubungan dengan fungsinya masing-masing. Jika neuropati
terjadi pada neuron motorik, maka penderita akan mengalami kelemahan otot, kram, dan
kejang otot. Pada beberapa kasus, neuropati dapat menyebabkan kehilangan keseimbangan
dan koordinasi. Kerusakan neuron sensorik dapat menyebabkan sensasi geli, kebas, maupun
nyeri. Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan saraf sensorik biasanya dideskripsikan
sebagai sensasi seperti menggunakan sarung tangan, sensasi terbakar, beku, atau tersetrum,
dan kepekaan yang ekstrim terhadap sentuhan. Fungsi involunter akan terganggu jika
kerusakan terjadi pada neuron otonom. Gejala yang dapat terjadi karena kerusakan ini dapat
meliputi tekanan darah dan denyut jantung yang abnormal, berkurangnya kemampuan
bernafas, constipasi, disfungsi kandung kemih, dan disfungsi seksual. Kerusakan akibat
neuropati juga dipengaruhi oleh jumlah serat saraf yang rusak. Mononeuropati adalah
kerusakan pada satu serat saraf. Polineuropati adalah neuropati yang lebih sering terjadi dan
mempengaruhi daerah yang lebih luas karena terjadi pada banyak serat saraf. Kerusakan yang
mempengaruhi bagian tubuh yang sama pada kedua sisi tubuh dinamakan neuropati simetris.
Kerusakan pada serabut saraf dapat disebabkan karena trauma fisik, misalnya fraktur tulang,
luka yang merusak jaringan saraf, maupun tekanan terus menerus pada serat saraf yang
disebabkan oleh keadaan sedentari dalam waktu lama di kursi roda atau tempat tidur maupun
karena gerakan yang repetitif dan terus menerus oleh otot. Salah satu jenis neuropati yang
umum karena penggunaan otot yang berlebihan adalah sindrom Carpal tunnel yang terjadi
ketika saraf yang menginervasi pergelangan tangan tertekan. Biasanya sindrom tersebut
terjadi pada orang-orang yang pekerjaannya membutuhkan gerakan yang berulang dengan
tangan, seperti buruh pabrik dan pengguna keyboard komputer dalam waktu yang lama.
Selain karena trauma fisik, neuropati juga dapat disebabkan karena kondisi kesehatan seperti
diabetes, iskemik, gangguan jantung, gangguan ginjal, agen infeksi, maupun agen kimia
seperti toksin. Biasanya neuropati yang disebabkan karena hal-hal tersebut adalah
polineuropati. Salah satu jenis polineuropati yang serius adalah sindrome Guillain-Barre,
dimana sistem imun tubuh menyerang saraf-saraf tubuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala
cendrung muncul secara cepat dan akan semakin parah dalam waktu yang singkat, dan
biasanya mengarah pada paralisis. Gejala awal meliputi kelemahan otot dan kehilangan
sensasi. Neuritis adalah kondisi inflamasi dari sistem saraf perifer yang merupakan
manifestasi dari kerusakan pada sistem saraf tersebut. Gejala neuritis dapat bervariasi mulai
dari lemah otot, nyeri sampai kehilangan sensasi. Perawatan pada neuritis pada umumnya
adalah menggunakan obat-obat analgesik untuk meredakan nyeri dan mengandalkan
kemampuan sistem saraf untuk beregenerasi dan memperbaiki dirinya sambil tetap menjaga
asupan nutrisi. Makanan yang baik untuk perawatan neuritis diantaranya adalah susu kedelai,
yang mengandung lesitin, vitamin B1 dan asam glutamat, wortel, bayam, gandum utuh, dan
berbagai makanan yang mengandung vitamin B, khususnya B1, B2, B6 dan B12.
c. Regenerasi Badan Sel Saraf
Nukleolus akan bergerak ke tepi nukleus dan kelompokan polisom akan terlihat
kembali pada sitoplasma. Hal ini menunjukkan bahwa sintesis DNA dan protein dipercepat
untuk mempersiapkan reformasi akson. Selanjutnya terjadi rekonstitusi struktur badan Nissl,
posisi nukleus kembali ketengah dan pembengkakkan badan sel semakin berkurang.
d. Regenerasi Pada Sistem Saraf Tepi
Pertumbuhan kembali akson pada sistem saraf tepi setelah cedera dapat terjadi.
Pemulihan ini bergantung pada keadaan tabung endoneurium dan kemampuan tropik dari sel
Schwann. Akson akan mulai tumbuh dari bagian proksimal mengisi celah yang ditinggalkan
pada bagian distal mengikuti jalan yang dibentuk oleh sel Schwann menuju organ-organ akhir
saraf, baik efektor maupun reseptor. Mekanisme yang berperan dalam proses ini adalah faktor
kemotropik yang diproduksi sel Schwann di potongan distal menarik akson untuk tumbuh,
terdapat Neuron Growth Factor (NGF) yang menstimulasi pertumbuhan akson di potongan
distal, dan ada faktor penghambat di dalam perineurium untuk mencegah akson
meninggalkan serat saraf.
Jika potongan distal dan proksimal serat saraf berdekatan, maka sel Schwann akan
mengalami pembelahan mitosis. Sel Schwann tersebut kemudian akan mengisi ruang dalam
membran basalis tabung endoneurium potongan proksimal sampai nodus ranvier berikutnya
dan pada potongan distal untuk membentuk kolom-kolom sel yang padat sampai mencapai
ujung serat saraf dan organ-organ yang dipersarafi. Bila terdapat celah kecil antara dua
potongan tersebut, maka sel Schwann yang telah berproliferasi akan membentuk pita yang
menjembatani kedua celah tersebut. Kolom sel Schwann akan berfungsi sebagai pemandu
agar akson baru yang tumbuh mempersarafi jalur yang sama dengan akson yang lama.
Pada setiap ujung proksimal akson yang tersisa akan muncul tunas-tunas atau
filamen-filamen halus yang multipel dengan ujung yang membulat. Filamen-filamen ini akan
tumbuh di sepanjang celah diantara sel-sel Schwann. Filamen-filamen ini kemudian tumbuh
dan masuk ke ujung proksimal tabung endoneurium. Hanya satu filamen yang menetap di
dalam endoneurium dan filamen lainnya berdegenerasi. Filamen yang tersisa tersebut akan
tumbuh mengikuti sel Schwann dan mempersarafi kembali organ-organ motorik atau sensorik
di ujungnya. Jika akson terus tumbuh dalam jalur perifer yang sesuai, pada akhirnya kontak
sinaptik yang normal dapat kembali terjadi.
Begitu akson mencapai organ akhirnya, sel Schwann yang terdekat mulai membentuk
selubung mielin. Proses ini dimulai di tempat awal lesi dan meluas ke arah distal. Dengan
cara ini, terbentuk nodus Ranvier dan Insisura Schmidt-Lanterman.
Diperlukan waktu beberapa bulan agar persarafan dapat bekerja dengan baik.
Kecepatan regenerasi sangat bergantung pada tempat cedera dan panjang akson yang
terpotong. Kecepatan pertumbuhan normal akson adalah 3-4 mm/hari. Namun kecepatan
regenerasi secara keseluruhan adalah sekitar 1,5 mm/hari bila memperhitungkan hambatan
yang akan dialami akson ketika melintasi jaringan yang cedera. Sebagian besar akson yang
baru terbentuk hanya dapat mencapai besar diameter 80% dari akson awal. Hal ini
menyebabkan kecepatan konduksi impuls menjadi lebih lambat dari sebelumnya. Selain itu,
pemulihan ini cenderung menghasilkan lebih banyak persarafan neuron pada serat otot
sehingga kontrol terhadap gerakan otot menjadi terganggu.
Neurodegeneration is the umbrella term for the progressive loss of structure or function of neurons, including death of neurons. Many neurodegenerative diseases including ALS, Parkinson's, Alzheimer's, and Huntington's occur as a result of neurodegenerative processes. Such diseases are incurable, resulting in progressive degeneration and/or death of neuron cells.[1] As research progresses, many similarities appear that relate these diseases to one another on a sub-cellular level. Discovering these similarities offers hope for therapeutic advances that could ameliorate many diseases simultaneously. There are many parallels between different neurodegenerative disorders including atypical protein assemblies as well as induced cell death.[2][3] Neurodegeneration can be found in many different levels of neuronal circuitry ranging from molecular to systemic.
Links between neurodegenerative disorders
Genetics
Many neurodegenerative diseases are caused by genetic mutations, most of which are located in completely unrelated genes. In many of the different diseases, the mutated gene has a common feature: a repeat of the CAG nucleotide triplet. CAG encodes for the amino acid glutamine. A repeat of CAG results in a polyglutamine (polyQ) tract. Diseases showing this are known as polyglutamine diseases.[4][5]
Polyglutamine: A repeat in this causes dominant pathogenesis. Extra glutamine residues can acquire toxic properties through a variety of ways, including irregular protein folding and degradation pathways, altered subcellular localization, and abnormal interactions with other cellular proteins.[4] PolyQ studies often use a variety of animal models because there is such a clearly defined trigger – repeat expansion. Extensive research has been done using the models of nematode (C. elegans), and fruit fly (Drosophila), mice, and non-human primates. Mammalian data is often needed for FDA approval of drugs, which means that the bulk of the research is done using mice. Using data from the other animals (C. elegans and Drosophila primarily) is often a precursor to finding the equivalent mammalian gene.[5][6]
o Nine inherited neurodegenerative diseases are caused by the expansion of the CAG trinucleotide and polyQ tract.[7] Two examples are Huntington's disease and spinocerebellar ataxias. For a complete list see the table under Polyglutamine (PolyQ) Diseases in the article Trinucleotide repeat disorder. While polyglutamine-repeat diseases encompass many different neurodegenerative disorders, there are many more it does not apply to. The genetics behind each disease are different and often unknown.
Protein misfolding
Several neurodegenerative diseases are classified as proteopathies as they are associated with the aggregation of misfolded proteins.
alpha-synuclein : can aggregate to form insoluble fibrils in pathological conditions characterized by Lewy bodies, such as Parkinson's disease, dementia with Lewy bodies, and multiple system atrophy. Alpha-synuclein is the primary structural component of Lewy body fibrils. In addition, an alpha-synuclein fragment, known as the non-Abeta component (NAC), is found in amyloid plaques in Alzheimer's disease.
tau: hyperphosphorylated tau protein is the main component of neurofibrillary tangles in Alzheimer's disease.
beta amyloid : the major component of senile plaques in Alzheimer's disease.
Intracellular mechanisms
Protein degradation pathways
Parkinson's disease and Huntington's disease are both late-onset and associated with the accumulation of intracellular toxic proteins. Diseases caused by the aggregation of proteins are known as proteinopathies, and they are primarily caused by aggregates in the following structures:[2]
cytosol, e.g. Parkinson's & Huntington's nucleus, e.g. Spinocerebellar ataxia type 1 (SCA1)
endoplasmic reticulum (ER), (as seen with neuroserpin mutations that cause familial encephalopathy with neuroserpin inclusion bodies)
extracellularly excreted proteins, amyloid-β in Alzheimer's disease
There are two main avenues eukaryotic cells use to remove troublesome proteins or organelles:
ubiquitin–proteasome: protein ubiquitin along with enzymes is key for the degradation of many proteins that cause proteinopathies including polyQ expansions and alpha-synucleins. Research indicates proteasome enzymes may not be able to correctly cleave these irregular proteins, which could possibly result in a more toxic species. This is the primary route cells use to degrade proteins.[2]
o Decreased proteasome activity is consistent with models in which intracellular protein aggregates form. It is still unknown whether or not these aggregates are a cause or a result of neurodegeneration.[2]
autophagy–lysosome pathways: a form of programmed cell death (PCD), this becomes the favorable route when a protein is aggregate-prone meaning it is a poor proteasome substrate. This can be split into two forms of autophagy: macroautophagy and chaperone-mediated autophagy (CMA).[2]
o macroautophagy is involved with nutrient recycling of macromolecules under conditions of starvation, certain apoptotic pathways, and if absent, leads to the formation of ubiquinated inclusions. Experiments in mice with neuronally confined macroautophagy-gene knockouts develop intraneuronal aggregates leading to neurodegeneration.[2]
o chaperone-mediated autophagy defects may also lead to neurodegeneration. Research has shown that mutant proteins bind to the CMA-pathway receptors on
lysosomal membrane and in doing so block their own degradation as well as the degradation of other substrates.[2]
Membrane damage
Damage to the membranes of organelles by monomeric or oligomeric proteins could also contribute to these diseases. Alpha-synuclein can damage membranes by inducing membrane curvature,[8] and extensive tubulation and vesiculation were observed when these proteins were incubated with artificial phospholipid vesicles.[8]
Mitochondrial dysfunction
The most common form of cell death in neurodegeneration is through the intrinsic mitochondrial apoptotic pathway. This pathway controls the activation of caspase-9 by regulating the release of cytochrome c from the mitochondrial intermembrane space (IMS). Reactive oxygen species (ROS) are normal byproducts of mitochondrial respiratory chain activity. ROS concentration is mediated by mitochondrial antioxidants such as manganese superoxide dismutase (SOD2) and glutathione peroxidase. Over production of ROS (oxidative stress) is a central feature of all neurodegenerative disorders. In addition to the generation of ROS, mitochondria are also involved with life-sustaining functions including calcium homeostasis, PCD, mitochondrial fission and fusion, lipid concentration of the mitochondrial membranes, and the mitochondrial permeability transition. Mitochondrial disease leading to neurodegeneration is likely, at least on some level, to involve all of these functions.[9]
There is strong evidence that mitochondrial dysfunction and oxidative stress play a causal role in neurodegenerative disease pathogenesis, including in four of the more well known diseases Alzheimer's, Parkinson's, Huntington's, and Amyotrophic lateral sclerosis.[10]
Axonal transport
Axonal swelling and spheroids have been observed in many different neurodegenerative diseases. This suggests that defective axons are not only present in diseased neurons, but also that they may cause certain pathological insult due to accumulation of organelles. Axonal transport can be disrupted by a variety of mechanisms including damage to: kinesin and cytoplasmic dynein, microtubules, cargoes, and mitochondria.[11] When axonal transport is severely disrupted a degenerative pathway known as Wallerian-like degeneration is often triggered.[12]
Programmed cell death
Programmed cell death (PCD) is death of a cell in any form, mediated by an intracellular program.[13] This process can be activated in neurodegenerative diseases including Parkinson's disease, amytrophic lateral sclerosis, Alzheimer's disease and Huntington's disease.[14] There are, however, situations in which these mediated pathways are artificially stimulated due to injury or disease.[3]
Apoptosis (type I)
Apoptosis is a form of programmed cell death in multicellular organisms. It is one of the main types of programmed cell death (PCD) and involves a series of biochemical events leading to a characteristic cell morphology and death.
Extrinsic apoptotic pathways: Occur when factors outside the cell activate cell surface death receptors (e.g., Fas) that result in the activation of caspases-8 or -10.[3]
Intrinsic apoptotic pathways: Result from mitochondrial release of cytochrome c or endoplasmic reticulum malfunctions, each leading to the activation of caspase-9. The nucleus and Golgi apparatus are other organelles that have damage sensors, which can lead the cells down apoptotic pathways.[3][15]
Caspases (cysteine-aspartic acid proteases) cleave at very specific amino acid residues. There are two types of caspases: initiators and effectors. Initiator caspases cleave inactive forms of effector caspases. This activates the effectors that in turn cleave other proteins resulting in apoptotic initiation.[3]
Autophagic (type II)
Autophagy is essentially a form of intracellular phagocytosis in which a cell actively consumes damaged organelles or misfolded proteins by encapsulating them into an autophagosome, which fuses with a lysosome to destroy the contents of the autophagosome. Many neurodegenerative diseases show unusual protein aggregates. This could potentially be a result of underlying autophagic defect common to multiple neurodegenerative diseases. It is important to note that this is a hypothesis, and more research must be done.[3]
Cytoplasmic (type III)
The final and least understood PCD mechanism is through non-apoptotic processes. These fall under Type III, or cytoplasmic cell death. Many other forms of PCD are observed but not fully understood or accepted by the scientific community. For example, PCD might be caused by trophotoxicity, or hyperactivation of trophic factor receptors. In addition to this, other cytotoxins that induce PCD at low concentrations act to cause necrosis, or aponecrosis – the combination of apoptosis and necrosis, when in higher concentrations. It is still unclear exactly what combination of apoptosis, non-apoptosis, and necrosis causes different kinds of aponecrosis.[3]
PCD and neurodegeneration
In the above mentioned neurodegenerative diseases, PCD may be pathogenic. In order to identify the potential of neuroprotective targets in PCD machinery, there were experimental models conducted on these neurodegenerative diseases. These studies showed that the expression of certain components have been altered by genetic and pharmacological means. Expression of PCD molecular components are said to be controlled by gene and antisense therapy, but this needs further research. Pharmacological approaches involve inhibitors of caspase activity, and caspase inhibition might delay cell death in the different experimental models.[14]
Specific disorders
Alzheimer's disease
Main article: Alzheimer's disease
The following paragraph was taken from the Alzheimer's disease page.
Alzheimer's disease is characterised by loss of neurons and synapses in the cerebral cortex and certain subcortical regions. This loss results in gross atrophy of the affected regions, including degeneration in the temporal lobe and parietal lobe, and parts of the frontal cortex and cingulate gyrus.[16]
Alzheimer's disease has been hypothesized to be a protein misfolding disease (proteopathy), caused by accumulation of abnormally folded A-beta and tau proteins in the brain.[17] Plaques are made up of small peptides, 39–43 amino acids in length, called beta-amyloid (also written as A-beta or Aβ). Beta-amyloid is a fragment from a larger protein called amyloid precursor protein (APP), a transmembrane protein that penetrates through the neuron's membrane. APP is critical to neuron growth, survival and post-injury repair.[18][19] In Alzheimer's disease, an unknown process causes APP to be divided into smaller fragments by enzymes through proteolysis.[20] One of these fragments gives rise to fibrils of beta-amyloid, which form clumps that deposit outside neurons in dense formations known as senile plaques.[21][22]
Parkinson's disease
Main article: Parkinson's disease
Parkinson's disease is the second most common neurodegenerative disorder[citation needed] and manifests as bradykinesia, rigidity, resting tremor and posture instability. The crude prevalence rate of PD has been reported to range from 15 per 100,000 to 12,500 per 100,000, and the incidence of PD from 15 per 100,000 to 328 per 100,000, with the disease being less common in Asian countries. Parkinson's disease is a degenerative disorder of the central nervous system. It results from the death of dopamine-generating cells in the substantia nigra, a region of the midbrain; the cause of cell-death is unknown. The following paragraph is an excerpt from the Pathophysiology section of the article Parkinson's disease.
The mechanism by which the brain cells in Parkinson's are lost may consist of an abnormal accumulation of the protein alpha-synuclein bound to ubiquitin in the damaged cells. The alpha-synuclein-ubiquitin complex cannot be directed to the proteosome. This protein accumulation forms proteinaceous cytoplasmic inclusions called Lewy bodies. The latest research on pathogenesis of disease has shown that the death of dopaminergic neurons by alpha-synuclein is due to a defect in the machinery that transports proteins between two major cellular organelles — the endoplasmic reticulum (ER) and the Golgi apparatus. Certain proteins like Rab1 may reverse this defect caused by alpha-synuclein in animal models.[23]
Recent research suggests that impaired axonal transport of alpha-synuclein leads to its accumulation in the Lewy bodies. Experiments have revealed reduced transport rates of both wild-type and two familial Parkinson's disease-associated mutant alpha-synucleins through
axons of cultured neurons.[11] Membrane damage by alpha-synuclein could be another Parkinson's disease mechanism.[8]
The main known risk factor is age. Susceptibility genes including α-synuclein, leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK-2), and glucocerebrosidase (GBA) have shown that genetic predisposition is another important causal factor.
Huntington's disease
Main article: Huntington's disease
The following paragraph is an excerpt from the Mechanism section of the article Huntington's disease.
HD causes astrogliosis [24] and loss of medium spiny neurons.[25][26] Areas of the brain are affected according to their structure and the types of neurons they contain, reducing in size as they cumulatively lose cells. The areas affected are mainly in the striatum, but also the frontal and temporal cortices.[27] The striatum's subthalamic nuclei send control signals to the globus pallidus, which initiates and modulates motion. The weaker signals from subthalamic nuclei thus cause reduced initiation and modulation of movement, resulting in the characteristic movements of the disorder.[28]
Mutant Huntingtin is an aggregate-prone protein. During the cells' natural clearance process, these proteins are retrogradely transported to the cell body for destruction by lysosomes. It is a possibility that these mutant protein aggregates damage the retrograde transport of important cargoes such as BDNF by damaging molecular motors as well as microtubules.[11]
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
Main article: Amyotrophic Lateral Sclerosis
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS/Lou Gehrig’s Disease) is a disease in which motor neurons are selectively targeted for degeneration. In 1993, missense mutations in the gene encoding the antioxidant enzyme Cu/Zn superoxide dismutase 1 (SOD1) were discovered in subsets of patients with familial ALS. This discovery led researchers to focus on unlocking the mechanisms for SOD1-mediated diseases. However, the pathogenic mechanism underlying SOD1 mutant toxicity has yet to be resolved. More recently, TDP-43 and FUS protein aggregates have been implicated in some cases of the disease, and a mutation in chromosome 9 (C9orf72) is thought to be the most common known cause of sporadic ALS.
Recent independent research by Nagai et al.[29] and Di Giorgio et al.[30] provide in vitro evidence that the primary cellular sites where SOD1 mutations act are located on astrocytes. Astrocytes then cause the toxic effects on the motor neurons. The specific mechanism of toxicity still needs to be investigated, but the findings are significant because they implicate cells other than neuron cells in neurodegeneration.[31]
Aging and neurodegeneration
The greatest risk factor for neurodegenerative diseases is aging. Mitochondrial DNA mutations as well as oxidative stress both contribute to aging.[10] Many of these diseases are late-onset, meaning there is some factor that changes as a person ages for each disease.[2] One constant factor is that in each disease, neurons gradually lose function as the disease progresses with age.
Therapeutics
The process of neurodegeneration is not well-understood so the diseases that stem from it have, as yet, no cures. In the search for effective treatments (as opposed to palliative care), investigators employ animal models of disease to test potential therapeutic agents. Model organisms provide an inexpensive and relatively quick means to perform two main functions: target identification and target validation. Together, these help show the value of any specific therapeutic strategies and drugs when attempting to ameliorate disease severity. An example is the drug Dimebon (Medivation). This drug is in phase III clinical trials for use in Alzheimer's disease, and also recently finished phase II clinical trials for use in Huntington's disease.[5] In March 2010, the results of a clinical trial phase III were released; the investigational Alzheimer's disease drug Dimebon failed in the pivotal CONNECTION trial of patients with mild-to-moderate disease.[32] With CONCERT, the remaining Pfizer and Medivation Phase III trial for Dimebon (latrepirdine) in Alzheimer's disease failed in 2012, effectively ending the development in this indication.[33]
In another experiment using a rat model of Alzheimer's disease, it was demonstrated that systemic administration of hypothalamic proline-rich peptide (PRP)-1 offers neuroprotective effects and can prevent neurodegeneration in hippocampus amyloid-beta 25–35. This suggests that there could be therapeutic value to PRP-1.[34]
Protein degradation offers therapeutic options both in preventing the synthesis and degradation of irregular proteins. There is also interest in upregulating autophagy to help clear protein aggregates implicated in neurodegeneration. Both of these options involve very complex pathways that we are only beginning to understand.[2]
The goal of immunotherapy is to enhance aspects of the immune system. Both active and passive vaccinations have been proposed for Alzheimer's disease and other conditions, however more research must be done to prove safety and efficacy in humans.[35]