Nero Petid

download Nero Petid

of 37

description

Or

Transcript of Nero Petid

Bab 4. Pentingnya Neuropeptida Sensorik dan Respon ImunHANNEKE P. M. VAN DER KLEIJ DAN JOHN BIENENSTOCKSistem saraf dan sistem imun telah lama diketahui saling berkaitan erat. Bab ini akan menggambarkan bagaimana sistem imun dan sistem saraf berinteraksi, serta menjelaskan mengenai senyawa yang ada dan yang disekresikan ditambah ekspresi reseptor yang saling menunjang. Kami akan berkonsentrasi pada peranan neuropeptida sensorik terkait dengan sel yang terlibat dalam sistem inflamasi. Pertama, kami akan membicarakan sistem imun dan sistem saraf dari sudut pandang umum. Kedua, kami akan berkonsentrasi terhadap jenis sel spesifik dan bagaimana neuropeptida sensorik saling berinteraksi dengan sel imun yang berbeda-beda pada tingkat ini. Terakhir, karena serat saraf terproyeksi pada setiap organ dalam tubuh, kita akan menitikberatkan pada interaksi neuropeptida sensorik dengan sel imun dalam jaringan yang berbeda. Kami akan menunjukkan bagaimana pengaruh lingkungan lokal dapat mengubah banyak fungsi dari semua sel yang ada. Konsekuensi dari garis besar tersebut membuat bab ini mebahas beberapa informasi yang terlalu dalam.I. PENDAHULUAN

Semakin banyak penelitian mendemonstrasikan interaksi antara sistem saraf dan sistem imun (1-3). Sistem saraf pusat (SSP) telah diketahui dapat mengatur fungsi imun. Sebagai contoh, lesi pada SSP dapat mengarah pada perubahan respon imun (4,5). Respon imun juga dapat terkondisi melibatkan paradigma belajar SSP (6,7). Lebih jauh lagi, telah ditemukan bahwa respon imun perifer dapat mengubah kecepatan tembakan sinyal dari neuron dalam SSP (8). Akibatnya, informasi tidak hanya mengalir dari SSP menuju sistem imun, tetapi juga dalam arah yang berkebalikan. Sebagai contoh, sel imun dapat memproduksi neuropeptida seperti substansi P dan -endorfin (9). Neuropeptida dihasilkan oleh sistem saraf dan oleh semua jenis sel lainnya, e.g., substansi P oleh eosinofil. Asetilkolin (ACh) dihasilkan oleh sel non-neuron. Di sisi lain, neuron mampu membuat sitokin seperti IL-1 (10). Ditambah, sel sistem imun yang memiliki reseptor untuk hormon dan neurotransmiter inang, termasuk reseptor untuk katekolamin, ACTH, peptida opioid, substansi P dan vasoactive intestinal peptide (VIP). Reseptor ini telah terbukti berespon secara in vitro dan/atau in vivo terhadap substansi neurotransmiter, dan manipulasinya dapat mengubah respon imun (11,12). Ditambah, SSP juga memiliki reseptor yang sama dengan sistem imun terhadap neuropeptida dan neurotransmiter sebagaimana terhadap sitokin. Sehingga, kedua sistem tersebut dapat saling berkomunikasi secara dua arah akibat digunakannya rangkaian molekul dan reseptor yang sama (13).Saraf terkait erat dengan sel inflamasi, terutama sel mast dan limfosit (14,15). Hubungan saraf-kekebalan yang ditemukan dalam usus melibatkan sel mast, sebagaimana eosinofil dan sel plasma (16). Sel dari sistem imun dan produk mereka diketahui mempengaruhi neurotransmisi sentral dan perifer, mengarah pada konseptualisasi sistem komunikasi neuroimun dua arah. Ditambah, neuropeptida dari saraf sensorik dapat secara langsung memodulasi fungsi sel Langerhans. Penelitian lebih jauh mendemonstrasikan hubungan morfologik sel mast-saraf yang serupa dalam hati, mesenterium, kandung kemih dan kulit. Interaksi ini mempengaruhi berbagai fungsi fisiologis dan patofisiologis termasuk perkembangan seluler, pertumbuhan dan diferensiasi, imunitas, perekrutan leukosit, inflamasi, sebagaimana perbaikan jaringan (17-19).Regulasi imun diperantarai lewat peristiwa kaskade yang membutuhkan interaksi sel dengan sel dan sekresi antar sel tersebut, seperti sitokin dan antibodi, untuk mengatur respon mereka. Inter-relasi yang rumit antara sistem saraf dan sistem imun menerima semakin banyak perhatian (a) atas sifat dua arahnya dan (b) atas produksi sitokin oleh sistem saraf dan neuropeptida oleh sistem imun/inflamasi.II. SISTEM IMUNMolekul imunitas seperti sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan dapat memodulasi fungsi sistem saraf lewat jalur pensinyalan majemuk. Stresor imunologis dapat melibatkan sitokin dan molekuk kekebalan lain dalam interaksi dua arah dengan neuroendokrin otak, peptide dan sistem neurotransmiter. Terdapat dua respon pertahanan utama dari pemicu imunologis pada tubuh. Imunitas bawaan merujuk pada respon awal oleh tubuh untuk mempertahankan diri melawan dan melenyapkan mikroba dan mencegah infeksi. Imunitas adaptif atau kekebalan yang didapat merujuk pada mekanisme pertahanan spesifik antigen yang bisa memerlukan beberapa hari untuk memberikan proteksi dan dirancang untuk bereaksi dengan, menetralisir dan melenyapkan antigen spesifik.Sel dendritik (DC/dendritic cell) dan sel natural killer (NK) adalah komponen seluler utama dalam sistem imun bawaan. Sel NK mengenali dan mengikat sel inang terinfeksi virus dan sel tumor, menginduksi apoptosis mereka (20). Setelah teraktivasi, sel NK dapat menghasilkan berbagai sitokin dan kemokin, yang dapat memiliki efek langsung terhadap pertumbuhan tumor serta menginduksi respon inflamasi dan anti-viral (21). Dalam keadaan sakit, kontak pertama antara sel NK dan DC paling sering terjadi di lokasi infeksi ketika kedua jenis sel tersebut direkrut ke dalam jaringan dalam respon terhadap infeksi. Banyak sitokin yang diketahui memacu fungsi sel NK diproduksi oleh DC sebagai respon terhadap infeksi mikroba (22). Misalnya, DC merupakan sumber utama dari IL-5, sitokin yang penting bagi perkembanga sel NK, dan juga memacu sel NK untuk bertahan hidup dan berproliferasi (23). Setelah proses priming oleh produk derivate patogen, interaksi balasannya menyebabkan interaksi aktivasi kuat dalam respon imun bawaan.Set kedua dari sel NK, sel NK sel T (NKT), baru-baru ini diidentifikasi. Sel NKT memiliki karakteristik dari sel NK maupun sel T (24), Sel NKT diduga memainkan peran perantara dalam menjembatani imunitas bawaan dan imunitas didapat. Mereka berespon pada berbagai stimulus eksternal meskipun dengan sedikit sekresi sitokin, terutama IL-4 dan IFN- (25). Sel NKT memainkan peranan imunoregulasi penting lewat produksi sitokin Th1 (IFN-) dan Th2 (IL-4) (24), Terdapat bukti bahwa komunikasi antara sel NK dan NKT diperantarai terutama oleh IFN-. Ditambah, produksi IFN- memiliki peranan penting dalam respon sitotoksik (25). Disregulasi produksi IL-4 dapat mengakibatkan inflamasi kronis dan penyakit autoimun (26). Gangguan produksi IFN- oleh sel NKT mengakibatkan sitotoksisitas sel NKT yang tidak efisien karena sel NKT saling berkomunikasi lewat IFN- untuk mengaktivasi sel NK (25). Jalur yang menghubungkan fungsi sel NK dan NKT ini penting dalam berbagai kondisi dimana induksi sitokin bawaan rendah (i.e., induksi oleh IL-12 dan/atau IFN/) selama infeksi virus atau bakteri (24).Imunitas bawaan dirancang untuk mengenali sedikit struktur yang hampir selalu tetap yang ditemukan pada banyak mikroorganisme yang berbeda. Infeksi oleh mikroorganisme pathogen memicu sekelompok respon imun, fisiologis, metabolic dan perilaku yang dikenal sebagai reaksi fase akut. Respon ini diperantarai oleh aktivasi sel imun bawaan yang mengenali produk bakteri dan virus lewat reseptor lir-Toll pada membrane (TLR/Toll-like receptor). Penelitian menunjukkan bahwa peranan esensial daari TLR adalah dalam aktivasi berbagai imunitas bawaan dan adaptif (27). Pengenalan ligan memicu respon pertahanan inang, termasuk produksi sitokin inflamasi, produksi molekul ko-stimulasi dan induksi pertahanan anti-mikroba. Aktivasi sel dendritik oleh ligan TLR diperlukan untuk maturasi mereka dan kemampuannya untuk menginisiasi respon imun (27). Lipopolisakarida (LPS), fragmen aktif dari bakteri gram negatif, berikatan dengan TLR-4 pada monosit dan makrofag, yang mengaktivasi jalur pensinyalan intraseluler yang rumit dan menyebabkan aktivasi faktor transkripsi inti. Telah dibuktikan bahwa LPS intraperitoneum menginduksi protein IL-1 dalam nervus vagus yang konsisten dengan waktu aktivasi pensinyalan imun. Sehingga diduga terdapat mekanisme yang tidak biasa dimana IL-1 bekerja sebagai molekul penghubung antara sistem imun dan nervus vagus, dan kemudian SSP (28). Lebih jauh lagi, pemberian sistemik LPS rekombinan atau sitokin proinflamasi seperti IL-1 kepada hewan laboratorium yang sehat atau sukarelawan manusia memicu serangkaian respon, termasuk komponen sentral dalam bentuk demam, aktivasi sumbu hipotalamis-pituitari-adrenal dan gejala perilaku sakit (29,30). Tanda klinis yang sama dapat diinduksi oleh injeksi LPS atau IL-1 ke dalam ventrikel lateral otak, yang membuktikan bahwa otak mampu mengenali sinyal molekul imun. Perilaku sakit yang diinduksi sitokin dapat dilihat sebagai respon neuroimun terhadap aktivasi imunitas bawaan. Di dalam otak, sitokin yang diproduksi sama dengan yang dihasilkan oleh sel kekebalan bawaan, dan molekul tersebut bertindak pada reseptor di otak yang identik dengan yang terdapat pada sel kekebalan. Saraf aferen primer berfungsi sebagai jalur komunikasi utama antara sitokin sentral dan perifer (29,30).Laporan terbaru telah mengidentifikasi dan menggambarkan jalur neural sebagai yang mengendalikan dan mengatur respon imun perifer, Ringkasnya, dua peptida imunomodulator VIP dan adenylate cyclase-activating polypeptide (PACAP) ada dalam dan disekresikan baik oleh saraf maupun sel kekebalan (31). VIP/PACAP memiliki efek anti-inflamasi umum, baik dalam imunitas bawaan maupun didapat. Dalam imunitas bawaan, menghambat produksi sitokin dan kemokin pro-inflamasi dari makrofag, mikroglia dan sel dendritik. Ditambah, VIP/PACAP mengurangi ekspresi molekul ko-stimulasi dalam sel penyaji antigen (antigen-presenting cells), sehingga mengurangi stimulasi sel T CD4+ spesifik antigen. Pada imunitas adaptif, VIP/PACAP memacu respon tipe Th2, dan mengurangi respon pro-inflamasi tipe Th1 (31).Sistem imun adaptif dapat dibagi ke dalam imunitas humoral, yang diperantarai oleh sel B penghasil antibody, dan imunitas yang diperantarai sel, yang diperantarai oleh limfosit T. Terdapat jenis sel T yang berbeda: sel T helper, Th0, Th1, Th2, sel T regulator (Treg) dan sel Natural Killer T (NKT), yang mengarahkan respon imun adaptif. Treg tampaknya penting dalam mencegah penyakit autoimun dan dalam respon sistem tersebut terhadap agen penyerang yang datang. Sel Th1 dan Th2 diduga berasal dari precursor Th0 nave yang memproduksi kisaran jenis sitokin yang luas. Jika terdapat IL-12 dan IL-18 (dari sel dendritik), Th0 akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 yang menyekresikan IL-2, IFN- dan TGF-, atau jika terdapat IL-4 (dari sel B atau sel dendritik limfoid) mereka akan berdiferensiasi menjadi sel Th2 yang menyekresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Jenis respon ini saling menghambat satu sama lain, dan perubahan dari satu menjadi yang lain secara langsung terhubung dengan sitokin yang dibuat oleh respon imun bawaan.Langkah pertama dalam responsivitas imun adalah ketersediaan antigen dalam bentuk yang dapat ditangkap, diproses dan disajikan oleh DC kepada sel T CD4+, CD8+, dan/atau sel B (32). Jaringan DC imatur merasakan organisme yang menyerang lewat TLR mereka (33). Ketika menerima sinyal aktivasi, mereka menjalani perubahan fenotipik dan fungsional, termasuk peningkatan ekspresi molekul permukaan yang membantu dan memacu aktivasi sel T, pola perubahan sekresi sitokin dan kemokin mengarah pada penarikan sel T, pemacuan aktivasi sel T dan pengarahan fenotip akhir mereka (Th0, Th1, Th2, atau Treg) (34,35). DC yang menerima TNF, stimulus pleiotropik aktivasi DC, dan prostaglandin E menghasilkan IL-12 kadar rendah dan menginduksi populasi campuran antara sel Th0 dan Th1. DC menyekresikan IL-12 dan IFN- kadar tinggi yang menyebabkan timbulnya respon kuat dari Th1.Sistem saraf mengeluarkan neuropeptida pada situs lokal spesifik terjadinya infeksi atau gangguan, yang dapat mempengaruhi pengarahan respon Th1/Th2 dan berikutnya mempengaruhi respon imun. Singkatnya, calcitonin gene-related peptide (CGRP) dapat menghambat produksi IFN- tergantung besarnya dosis, selain itu, substansi P dan VIP dapat menekan produksi IL-4 (36). Katekolamin kemungkinan memainkan peranan penting dalam mengatur respon imun adaptif sebagaimana sel Th1 mengekspresikan reseptor adrenergik (37). Lebih jauh lagi, keberadaan reseptor adrenergik pada menimbulkan dugaan bahwa sistem saraf simpatik mungkin juga mengatur produksi antibody (37).

III. SISTEM SARAF

Sistem saraf mampu mengatur fungsi imun dan inflamasi. Bukti eksperimental menunjukkan adanya peranan penting dari sistem saraf otonom dalam komunikasi dua arah antara otak dan sistem imun, menggarisbawahi kemampuan otak dalam mengawasi status kekebalan dan mengendalikan inflamasi. Sistem saraf pusat dan sistem imun berinteraksi secara dua arah. Neuropeptida, neurohormon dan neurotransmitter dari SSP berinteraksi dengan sistem imun, yang pada gilirannya memberi umpan balik kepada otak dan menginduksi perubahan baik dalam perilaku seperti respon sakit dan perubahan dalam sistem imun (38,40). Sitokin yang dihasilkan di perifer dapat mempengaruhi otak, menimbulkan perilaku sakit dan aktivasi neuroendokrin dan sirkuit terkait stres otonom (41,42).Sistem saraf pusat memperingatkan sistem imun terhadap adanya perubahan pada lingkungan dengan menggunakan neuropeptida, neurotransmiter dan reseptor sitokin yang sama dengan yang digunakan oleh sel kekebalan. Contohnya yaitu efek dari stres yang menumpulkan fungsi imun. Pengenalan stimulus seperti virus dan bakteri oleh sistem imun menyebabkan transmisi informasi dari SSP untuk menimbulkan respon fisiologis. Jika terjadi infeksi peritoneum oleh bakteri, terjadi perubahan pada tubuh seperti demam yang terkait dengan perilaku sakit. Respon ini merupakan akibat langsung dari sitokin proinflamasi yang berasal dari sel imun yang memberi sinyal pada SSP lewat nervus vagus subdiafragma (13,43).Dalam sistem saraf otonom, saraf-sarafnya terkait erat dengan sel inflamasi, terutama sel mast (2). Transmiter kimiawi baik dalam ganglion pre-sinaps maupun post-sinaps pada sistem parasimpatis adalah ACh. Serat saraf yang menyekresikan ACh dari ujung-ujungnya disebut sebagai serat kolinergik. ACh merupakan neurotransmiter yang bekerja lewat reseptor nikotinik pada sinaps pre-ganglionik. Adrenalin dan noradrenalin, sebagaimana norepinefrin (NE), neurotransmiter simpatis klasik, merupakan katekolamin. Serat saraf noradrenergik dari sistem saraf simpatis mengeluarkan NE dan peptida lokal lain sebagai sinyal untuk memanggil dengan reseptor permukaan yang tepat. Sel dari sistem imun, termasuk limfosit T dan B, sel NK dan makrofag, mengekspresikan reseptor adrenergik dan , reseptor untuk NE (44,45). Aktivasi sistem saraf simpatis in vivo, atau stimulasi limfosit dengan agonis reseptor selektif in vitro, merubah jalannya proliferasi, diferensiasi dan produksi sitokin oleh limfosit dan makrofag. Lebih jauh lagi, sitotoksisitas sel NK in vivo mungkin ditekan lewat reseptor adrenergik -nya sebagai respon terhadap aktivitas sistem saraf simpatis (46). Peranan katekolamin dalam regulasi imunitas akan dibahas lebih jauh dalam bagian lain.Tambahan atas neurotransmiter klasik yaitu asetilkolin dan noradrenalin, berbagai peptida dengan aktivitas neurotransmiter beberapa tahun terakhir ini diketahui disintesis dan disekresikan baik oleh neuron otonom maupun neuron kolinergik parasimpatisdi antaranya CGRP dan takikinin substansi P, neurokinin A, neurokinin B dan senyawa yang baru ditemukan, hemokinin (47,48). Takikinin dan CGRP juga tampaknya bertindak sebagai mediator dari neurotransmiter eksitatorik non-adrenergik non kolinergik (NANC). Sistem eksitatorik/inhibitorik non-adrenergik non kolinergik (e-NANC, i-NANC) telah diteliti secara luas. Istilah eksitatorik dan inhibitorik dapat diterapkan pada otot polos jalan napas, akan tetapi neurotransmiter juga bekerja pada target lain seperti pembuluh darah, kelenjar dan epitel, dimana kerja individunya bisa bervariasi. VIP dan nitrit oksida (NO) sama-sama terlokalisasi dalam saraf vagus motorik, tetapi juga dapat ditemukan pada saraf sensorik dan simpatis. Secara umum, cara kerjanya serupa terhadap jaringan target, dan makna relatifnya dapat bervariasi menurut jaringan target dan spesies. Substansi P dan neurokinin A juga disekresikan dari saraf sensorik, dan merupakan golongan keluarga takikinin. Akhirnya, penting untuk mengetahui bahwa ACh; substansi P, NO dan bahkan neurotransmiter lainnya dapat disintesis oleh sel bukan saraf (49,50). Pengaturan sintesis dan sekresi mediator-mediator ini belum sepenuhnya terungkap. Sehingga, gambaran apapun tentang homeostasis, terutama di bawah kondisi dimana terdapat stimulasi imun atau inflamasi, masih belum sepenuhnya diketahui.IV. NEUROPEPTIDANeuropeptida terutama diproduksi di dalam otak, meskipun hampir setiap jaringan dalam tubuh mampu memproduksi dan saling bertukar neuropeptida. Aktivitas imunologis neuropeptida diperantarai oleh reseptor spesifik. Keberadaan reseptor-reseptor spesifik untuk substansi P (51,52), somatostatin (53), CGRP (54), corticotrophin releasing hormone (CRH) (55), peptida melanokortin (56,57), VIP dan peptida-peptida terkait diketahui terdapat pada sel-sel imun. Keberadaan reseptor neuropeptida spesifik ini dalam sel imun mencerminkan kerangka fungsi neuropeptida sebagai mediator interaksi neuroimun, Substansi P, CGRP dan VIP merupakan neuropeptida yang paling sering terlibat dalam modulasi neuroimun.Somatostatin (SOM), CGRP, substansi P dan neurokinin A merupakan neuropeptida NANC. SOM menjalankan berbagai fungsi inhibitorik terhadap respon imun lewat aktivasi reseptor spesifik (58). Hingga saat ini, lima jenis reseptor yang berbeda telah diklon dan dibedakan, sst1-5 (59,60). Sst utama yang diekspresika di dalam sel sistem imun tikus adalah sst3 dan sst4, berkebalikan dengan yang diekspresikan oleh manusia dan tikus, dimana sst2 tampaknya merupakan subtipe utama yang diekspresikan oleh sistem imun (61). Baru-baru ini, ten Bokum et al. (61) menentukan lokasi reseptor SOM pada lesi inflamasi pada artritis rematoid. SSt2 diekspresikan oleh sel endotel dalam venula sinovial dan subset makrofag sinovial, yang diduga berperan sebagai sel efektor penting dalam artritis rematoid. SOM mempengaruhi supresi produksi IgG dalam sel B, termasuk IgE (62), modulasi proliferasi limfosit dan reduksi infiltrasi eosinofil dalam hipereosinofilia.Neuron sensorik secara khas mengekspresikan kelompok neuropeptida tertentu, takikinin dan CGRP. Selama beberapa tahun, SP, neurokinin A, neurokinin B dan dua versi yang lebih panjang, yaitu neurokinin A, neuropeptida (NP) dan neuropeptida K (NPK), diduga sebagai satu-satunya anggota keluarga takikinin mamalia (63). Anggota keluarga ini semakin diperluas oleh identifikasi terbaru hemokinin (47,48). Satu-satunya fungsi yang sejauh ini disandang oleh hemokinin yaitu kemungkinan perannya dalam limfopoiesis. Pada mamalia, takikinin bertindak sebagai neurotransmiter, faktor parakrin atau endokrin, dan neuroimunomodulator. Aksi pentingnya termasuk vasodilatasi, ekstravasasi plasma, kontraksi otot polos, sekresi, eksitasi neuronal dan pengolahan informasi sensorik.Substansi P, neurokinin A dan neurokinin B adalah anggota keluarga takikinin yang paling dikenal dan sama-sama memiliki sekuens Phe-X-Gly-Leu-Met-NH3 pada ujung terminal-C. Dua gen berbeda yang disebut preprotakikinin A dan B mengodekan takikinin. Neurokinin B berasal dari preprotakikinin B, sedangkan yang lain berasal dari preprotakikinin A. Preprotakikinin A memliki tujuh ekson yang secara bergantian dapat dibagi-bagi untuk menghasilkan preprotakikinin-A , , dan . Baru-baru ini, gen takikinin tambahan, preprotakikinin C, diketahui mengodekan takikinin baru yang dirancang sebagai hemokinin (64).Neuropeptida menunjukkan berbagai efek proinflamasi. Mereka disekresikan sebagai respon terhadap stimulasi nosiseptif oleh nyeri, iritan mekanis dan kimia untuk memerantarai respon kulit terhadap infeksi, cedera dan penyembuhan luka (65). Mereka diketahui mengaktivasi berbagai sel imun lewat reseptor neuropeptida afinitas tinggi atau oleh aktivasi langsung kaskade pensinyalan protein-G tanpa reseptor intermediet (66,67). Laporan terbaru juga menunjukkan keberadaan mRNA prekursor neurokinin B pada plasenta dan uterus manusia maupun tikus (68-70). Data ini mendukung gagasan tentang distrubusi yang lebih luas dari peptida ini yang mungkin tidak hanya bertindak sebagai neurotransmiter tetapi juga memiliki fungsi endokrin.A. Substansi P

Substansi P merupakan molekul yang terdiri atas 11 asam amino dan berasal dari gen preprotakikinin A. Substansi P terdistribusi secara luas dalam sistem saraf pusat, tepi dan enterik dari banyak spesies. Fungsi substansi P pada SSP adalah sebagai neurotransmiter, dan reseptor neurokinin 1 (NK) terletak pada area yang berbeda dalam otak dan penting dalam mempengaruhi respon perilaku dan neurokimiawi terhadap stres psikologis maupun somatik. Substansi P mungkin juga mengoordinasikan respon terhadap stres lewat interaksinya dengan aksis HPA dan sistem saraf simpatis (71,72). Ditambah, substansi P terlibat dalam jalur sensorik dan terutama, jalur nosiseptif (73). Di perifer, substansi P telah diidentifikasi pada akhir neuron sensorik tipe C dan aferen otonom di seluruh tubuh (74). Substansi P ditemukan dalam lokasi inflamasi, dan inflamasi memacu ekspresinya (75-77). Saraf yang mengandung susbtansi P melimpah dalam mukosa dan dalam ganglia, sumsum spinal, otak, jalan napas, kulit dan di sekitar vaskuler (78,79). Beberapa neuron sensorik, baik intrinsik maupun ekstrinsik, memproduksi substansi P. Substansi P neuronal disimpan di dalam vesikel dan disekresikan dari saraf sensorik sebagai respon terhadap berbagai stimulus seperti leukotrien, prostaglandin dan histamin (79). Ditambah, substansi P dapat disintesis dan dilepaskan dari sel imun seperti makrofag dan eosinofil, terutama jika ada penyakit (80,81).Endopeptidasi neural (NEP) atau enkefalin adalah enzim pendegradasi neuropeptida yang diekspresikan dalam permukaan banyak jenis sel termasuk neuron, leukosit, sel epitel dan sel otot polos. NEP memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap substansi Pdan mendegradasinya tanpa meninggalkan metabolit aktif (82). Pemblokiran NEP menunda degradasi substansi P. Tikus transgenik yang tidak dapat mengekspresikan NEP menderita peningkatan jumlah suatu bentuk kolitis sebagai respon terhadap asam dinitrobenzena sulfonat. Pemberian antagonis reseptor substansi P atau NEP rekombinan mencegah eksaserbasi inflamasi (83). Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa defek ekspresi NEP sehingga terjadi over-ekspresi substansi P semakin memperburuk derajat inflamasi. Babi guinea tidak terpengaruh oleh inhalasi substansi P; tetapi sejumlah kecil substansi P yang diberikan bersama-sama dengan inhibitor NEP menyebabkan bronkokonstriksi pada hewan coba, sehingga diduga jumlah NEP lokal dapat membantu mengatur efek fungsional substansi P in vivo (84).B. Hemokinin

Baru-baru ini, anggota keluarga hemokinin diperluas oleh penemuan gen takikinin ketiga, preprotakikinin-C mRNA mengodekan takikinin yang disebut hemokinin-1 (85,86). Seperti substansi P, hemokinin-1 memiliki afinitas tinggi dengan reseptor NK-1. Suatu pengamatan penting menemukan fakta bahwa ekspresi konstitutif mRNA hemokinin lebih sering terjadi pada leukosit dan jaringan limfoid, bukan di sistem saraf (87). Hemokinin-1 diajukan sebagai regulator limfopoiesis sel B dan T. mRNA PPT-C diekspresikan dalam sel B pada sumsum tulang, dimana dia akan memacu prekursor sel B untuk bertahan hidup dan berproliferasi. Pengamatan ini menduga bahwa hemokinin merupakan faktor autokrin, memiliki peranan dalam perkembangan sel B. Tetapi, tikus yang tidak dapat mengekspresikan NK-1 tidak menderita limpofenia, sehingga diduga hemokinin tidaklah esensial untuk pertumbuhan sel B (88). Nelson et al. (87) mendemonstrasikan bahwa ekspresi mRNA preprotakikinin-C oleh makrofag, sel dendrit dan garis silsilah mikroglia. Hal ini menunjukkan bahwa sel mikroglia, yang digambarkan sebagai makrofag yang tinggal di dalam otak, adalah sumber potensial dari hemokinin-1. Terdapat kemungkinan bahwa hemokinin-1 memiliki peranan signifikan dalam komunikasi antara sel imun pada SSP (89), dan antara sel imun dan sel neuron yang mengekspresikan reseptor NK-1.Penelitian mendemonstrasikan pentingnya reseptor NK-1 selama infeksi bakteri (90), virus (91) dan parasit (92). Demonstrasi ekspresi mRNA preprotakikinin-C oleh makrofag dan sel dendritik juga menyebabkan respon inang yang diperantarai takikinin melawan patogen mikroba. Fakta bahwa mRNA preprotakikinin-C lebih sering diekspresikan oleh leukosit menimbulkan dugaan bahwa hemokinin-1 mungkin berkontribusi dalam perkembangan dan/atau aktivasi respon imun.

C. CapsaicinCapsaicin adalah penyebab rasa pedas dalam buah red pepper dari genus capsicum, termasuk paprika, jalapeno dan cayenne (93). Efek capsaicin terasa sebagai sensasi nyeri terbakar yang tajam ketika berkontak dengan membran mukosa. Jansco dan Porszasz (94) merupakan orang pertama yang menunjukkan bahwa capsaicin secara selektif dan spesifik mengeksitasi suatu subpopulasi neuron sensorik yang dapat digunakan sebagai cara yang baik untuk mempelajari subpopulasi neuron sensorik.Reseptor capsaicin, TRPV1 merupakan gerbang ion spesifik nosiseptor yang bekerja sebagai target molekuler dari capsaicin (96). Karena reseptor sensitif capsaicin juga berespon terhadap molekul lain yang berhubungan dengan moietas vaniloid, reseptor ini disebut sebagai reseptor vaniloid (VR1 atau TRPV1) (97). Struktur dan sekuens asam amino dari TRPV1 serupa dengan keluarga transient receptor potential (TRP) dari gerbang kation (98). Selain TRPV1, tiga reseptor TRPV lainnya telah ditemukan (TRPV2, TRPV3 dan TRPV4). Sejauh ini, belum banyak yang telah diketahui mengenai peranan reseptor-reseptor ini dalam inflamasi neurogenik. Sehingga dalam ulasan ini, kita akan berfokus hanya pada TRPV1.

TRPV1 tidak hanya bisa diaktivasi oleh capsaicin, tetapi juga oleh panas menyengat atau proton, yang mana semuanya dapat menimbulkan nyeri in vivo. Selain diekspresikan oleh subpopulasi neuron sensorik, TRPV1 juga diekspresikan oleh berbagai sel neuron dan non-neuron. Mayoritas utama sel yang mengekspresikan TRPV1 merupakan sel nosiseptor yang juga mengekspresikan substansi P dan CGRP. Baik aferen primer somatik maupun viseral sama-sama mengekspresikan TRPV1 dan molekul tersebut diekspresikan oleh ujung perifer dan banyak daerah dalam SSP (99,100). Lebih jauh lagi, ekspresi mRNA dan protein TRPV1 dalam kultur sel epitel gaster dan kandung kemih tikus juga tampak mengekspresikan TRPV1 baik pada tingkat mRNA maupun protein (101).Perubahan sensitivitas VR1 terhadap agonis atau tingkat ekspresinya diperkirakan mempengaruhi sensitivitas neuron sensorik secara bermakna dengan konsekuensi dalam penyakit-penyakit inflamasi seperti asma dan IBD. Kebanyakan efek neurogenik dalam jalan napas, usus, atau traktus urinarius diperantarai oleh efek langsung ujung saraf sensorik lewat stimulasi VRI (102). Sehingga, antagonis VR1 bisa bermanfaat sebagai pengobatan berbagai kisaran penyakit yang mempengaruhi sistem saraf pusat.Ekspresi TRPV1 tampak meningkat selama kondisi inflamasi. Nerve growth factor (NGF), bradikinin dan protease dapat meningkatkan fungsi VR1 (103). Singkatnya, triptase, protease utama yang disekresi oleh sel mast, mengeksitasi neuron sensorik VR1 positif (104. Faktor yang menurunkan ekspresi TRP1 termasuk pengobatan vaniloid dan deprivasi NGF (105). Temuan ini menunjukkan peranan penting dari ekspresi TRPV1 dalam perkembangan nyeri neuropatik dan hiperalgesia. Perubahan terkait penyakit dalam ekspresi TRPV1 telah dijelaskan dalam IBD dan IBS meskipun mekanisme yang meregulasi ekspresi gen TRPV1 di bawah kondisi patologis masih belum diketahui.D. Reseptor NeurokininTakikinin dapat berikatan dengan reseptor neurokinin dengan afinitas yang berbeda-beda. Tiga subtipe berbeda dari reseptor mamalia telah diidentifikasi dan disebut sebagai NK-1, NK-2 dan NK-3. Reseptor NK-1 memiliki afinitas tertinggi terhadap substansi P dan hemokinin. Reseptor NK-1 dan NK-2 berturut-turut berikatan dengan afinitas tertinggi dengan neurokinin A dan B (106-108). Reseptor takikinin termasuk dalam superfamili reseptor terkopel protein G dengan karakteristik struktural terdiri atas tujuh heliks transmembran. Segenap tiga reseptor neurokinin tersebut sama-sama memiliki homologi derajat tinggi (109,110).Substansi P dipercaya bertindak sebagai salah satu neurotransmiter yang paling signifikan (111). Reseptor NK-1 terdistribusi luas baik pada sistem saraf pusat maupun perifer dan terletak dalam sel otot polos, glandula submukosa, pembuluh darah dan sel inflamasi (108,112). Reseptor NK-1 takikinin diajukan terlibat dalam banyak kondisi fisiologis maupun patologis seperti stimulus nyeri, inflamasi neurogenik, motilitas intestinum, vasodilatasi, kontraksi otot polos dan respon imun (77,113). Reseptor NK-2 telah dideteksi pada sistem saraf pusat tetapi lebih luas terdistribusi di perifer seperti traktus respiratorius, gastrointestinal dan urinarius. Aktivasi subtipe reseptor ini menimbulkan fasilitasi pelepasan transmiter, eksitasi neuronal dan stimulasi sel-sel imun tertentu (113). Reseptor NK-2 juga ditemukan pada otot polos. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa reseptor NK-2 terlibat dalam bronkokonstriksi (65,113). Tetapi, fungsi pasti dari reseptor ini pada sistem saraf pusat masih belum diungkapkan. Jika dibandingkan dengan reseptor NK-1 dan NK-2, masih sedikit yang telah diketahui mengenai fungsi biologis reseptor NK-3. Reseptor takikinin NK-3 terutama terdapat pada sistem saraf pusat dan perifer (114,115) dan dideteksi dalam jaringan perifer tertentu seperti uterus dan otot rangka manusia, otak dan beberapa neuron enterik pada spesies yang berbeda-beda (111,116,117). Penelitian yang menggunakan agonis dan antagonis selektif merujuk pada peranan sentral dari reseptor takikinin NK-3, yang mungkin terlibat dalam depresi dan kecemasan (118). Sebaliknya, peranan tipe reseptor takikinin ini pada tingkat perifer masih belum diungkap.Sel sistem imun juga diketahui mengekspresikan reseptor neurokinin, terutama reseptor NK-1. Lagipula, makrofag (119,120), sel dendritik (121), limfosit T (51,122) dan limfosit B (123,124) semuanya memiliki kemampuan untuk mengekspresikan reseptor NK-1.

E. Neuropeptida NANC Inhibitorik

Transmiter utama yang memerantarai transmisi neural inhibitorik NANC adalah VIP dan NO. VIP ditemukan pada SSP dan saraf perifer, terutama saraf peptidergik (125). Saraf peptidergik melimpah dalam jaringan mukosa, serta usus halus dan usus besar (126,127). Lebih jauh lagi, VIP dapat ditemukan bersama-sama dengan substansi P dalam neuron enterik dari pleksus mienterikus dan pleksus submukosa, jaringan limfoid termasuk timus, limpa dan Peyers patch (128). Konsensus umum menyatakan bahwa VIP adalah neurotransmiter NANC inhibitorik yang penting yang merelaksasikan otot polos jalan napas, seperti NO. Senyawa tersebut dapat dihancurkan oleh enzim lokal seperti endopeptidase netral (NEP), serta triptase dan kimase sel mast. Tiga reseptor untuk VIP telah diidentifikasi dan merupakan anggota keluarga terkopel protein-G, tujuh reseptor transmembran. Limfosit T tikus diketahui memproduksi VIP saat teraktivasi (131). VIP dan reseptornya akan dibahas lebih rinci dalam bab ini.Nitrit oksida (NO) juga ditemukan dalam saraf pada jalan napas dan merelaksasi otot polos jalan napas. NO merupakan molekul pensinyal dengan fungsi regulasi yang penting seperti regulasi tekanan darah, neurotransmisi dan pertahanan imun inang (132). NO, dilepaskan bersamaan dengan CGRP, tampaknya memainkan peranan dalam imunosupresi yang diinduksi UVB meskipun mekanisme aksinya belum diketahui (133). Pada traktus respiratorius, NO dibentuk dan dilepaskan oleh berbagai sumber termasuk sel endotel dan epitel, saraf otot polos jalan napas dan sel inflamasi. NO ditemukan dalam endotel vaskuler, pada epitel respirasi babi guinea (134), penderita asma (135), kemungkinan pada manusia sehat, dalam saraf motorik simpatis paru-paru dan bahkan pada saraf epitel, menitikberatkan peranan NO sebagai mediator mukosa (134). Mekanisme pelepasan NO dari saraf masih belum jelas. Bukti-bukti mengarahkan bahwa NO merupakan transmiter NANC inhibitorik utama, setidaknya pada manusia. Pada spesies lain, NO ditemukan dan memiliki peranan kooperatif dengan VIP. Kebanyakan saraf yang mengandung VIP adalah saraf kolinergik, mengandung kolin asetiltransferase, dan VIP juga ditemukan bersama-sama dengan SP atau CGRP pada mukosa saraf, mungkin termasuk epitel. NO ditemukan dalam saraf motorik kolinergik bersama dengan VIP.

PACAP termasuk dalam anggota keluarga peptida VIP. Dua neuropeptida secara struktural berhubungan dan dilepaskan dari organ limfoid setelah stimulasi antigenik, dan memodulasi fungsi sel inflamasi lewat reseptor spesifik (31). Sejauh ini, tiga reseptor yang berbeda telah dikenali dan didefinisikan sebagai PAC-R, VPAC1-R dan VPAC2-R. PACAP, tetapi bukan VIP, berikatan dengan VPAC1-R dan VPAC2-R (136). Reseptor VIP/PACAP diekspresikan dalam berbagai populasi sel imun. VPAC1 tampaknya diekspresi terus-menerus baik dalam limfosit dan makrofag yang belum atau sudah distimulasi (137). Di sisi lain, VPAC2 diekspresikan hanya dalam limfosit dan makrofag yang telah distimulasi (130,138). VIP dan PACAP diekspresi bersama-sama dalam timosit positif tunggal dan positif ganda (CD4+, CD8+) dan dalam limfosit T dan B dari limpa dan nodus limfe (139). Mereka memicu respon Th2 dan menghambat respon Th1 in vivo dan in vitro. Makrofag yang diberikan PACAP in vitro mendapatkan kemampuan untuk menginduksi sitokin Th2 (IL-4 dan IL-5) dan mengambat sitokin Th1 (IFN-, IL-2) dalam sel T CD4+ yang telah diaktivasi antigen. Lebih jauh lagi, VIP dan PACAP menghambat produksi TNF, IL-1, IL-6 dan NO oleh mikroglia yang telah diaktivasi lipopolisakarida (LPS) (140).F. Peptida terkait Gen Kalsitonin

CGRP merupakan neuropeptida yang disusun oleh 37 asam amino. CGRP disintesis dalam badan sel saraf sensorik dan ditranspor menuju ujung saraf, dimana CGRP kemudian dilepaskan oleh ambilan kalsium dependen voltase. Serat saraf sensorik distimulasi oleh stimulus nyeri dan beberapa mediator inflamasi seperti IL-1 dan PGE2 (141). CGRP ditemukan pada seluruh permukaan tubuh, di sekitar seluruh pembuluh darah dan pada seluruh permukaan internal dan eksternal, dimana dia dapat mempengaruhi respon imun dan inflamasi. Pelepasan CGRP sering diiringi oleh pelepasan substansi P (142), tetapi CGRP ditemukan sendiri pada beberapa neuron motorik dan enterik (142).Terdapat dua isoform dari CGRP, dan , yang berasal dari dua gen yang berbeda, dimana yang satu mengodekan hormon kalsitonin. Reseptor CGRP terdiri atas tujuh domain transmembran, reseptor terkait protein-G. Reseptor CGRP diklasifikasikan ke dalam dua kelas utama, subtipe CGRP1 dan CGRP2. Reseptor CGRP diidentifikasi beberapa tahun lalu dalam jaringan limfoid. Reseptor tersebut ditemukan dalam makrofag, sel T dan sel B dewasa, serta dalam sel B yang masih berkembang pada sumsum tulang (143-145). CGRP1 ditemukan di seluruh tubuh termasuk dalam sistem saraf dan endokrin (146-148).CGRP menghambat proliferasi sel T dengan menghambat produksi IL-2. Pada makrofag, ia menghambat presentasi antigen dan fungsi makrofag lain termasuk fagositosis (149). Ia juga menstimulasi produksi sejumlah sitokin seperti IL-6, IL-10 dan TNF. Injeksi CGRP in vitro menghambat onset reaksi hipersensitivitas tipe lambat (150), mendukung peranan CGRP dalam regulasi sistemik aktivasi imun. Memang, Hosoi et al. (151) sebelumnya menyimpulkan bahwa CGRP mampu menghambat aktivitas sel Langerhans (LC) dan inisiasi respon imun yang diinduksi antigen. Lebih jauh lagi, CGRP yang diinjeksikan intrakutan terlibat dalam patogenesis kegagalan induksi hipersensitivitas kontak setelah radiasi ultraviolet B dosis rendah akut (152). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa CGRP memiliki kapasitas untuk memacu toleransi kulit dan bahwa mekanismenya berkontribusi dalam toleransi yang dipacu oleh radiasi ultraviolet B dosis rendah akut.CGRP endogen secara umum mampu memodulasi fungsi imun, sebagian diduga lewat efek inhibitoriknya terhadap fungsi LC. Hal ini menunjukkan bahwa CGRP mampu menghambat baik induksi dan ekspresi fungsi imun seluler fundamental serta menimbulkan dugaan tentang adanya interaksi antara sistem saraf dan fungsi imunologis. Observasi ini menunjukkan kemungkinan SSP mampu menekan inisiasi respon imun, dan juga efektif dalam memodulasi sistem imun. Keseluruhan, terdapat bukti eksperimen substansial yang menunjukkan bahwa CGRP mampu mempengaruhi fungsi dan perkembanga sel inflamasi dan sel imun dalam lingkungan mikro lokal lewat mekanisme yang diperantari reseptor spesifik.G. Neurotransmiter Non-neuronal

Walau secara klasik neuropeptida dilepaskan dari saraf otonom dan sensorik, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa mereka mungkin juga disintesis dan dilepaskan oleh sel inflamasi, terutama dalam penyakit. Sejak lebih dari dua dekade telah ada beberapa laporan yang menduga bahwa limfosit memproduksi banyak neuropeptida yang berbeda. Substansi P diketahui sebagai produk leukosit manusia, tikus dan mencit yang dapat dilepaskan pada lokasi inflamasi (50,153,154). Eosinofil manusia dan mencit memproduksi dan menyekresikan substansi P (153,155), dan telah diketahui bahwa sel T pada granuloma di limpa yang terkena skistosomiasis murin mengekspresikan mRNA preprotakikinin A. Lebih jauh lagi, LPS menginduksi produksi mRNA preprotakikinin A dan substansi P dari makrofag peritoneum mencit (156) sebagaimana makrofag alveolar tikus dan manusia (80). Bersama-sama, penelitian-penelitian tersebut dengan jelas mendemonstrasikan bahwa leukosit yang distimulasi mampu mengekspresikan mRNA PPT dan produk gen PPT, meskipun konsentrasinya secara bermakna lebih sedikit jika dibandingkan dengan takikinin yang berasal dari neuron. Sumber alternatif neuropeptida yang berasal dari sel imun ini dapat mewakili sumber tambahan dari takikinin pada jaringan yang mengalami inflamasi, menyediakan kontribusi takikinergik non-neurogenik kepada proses inflamasi lokal (157).Sejauh ini masih belum jelas mengapa leukosit dapat mengekspresikan takikinin. Tampaknya stimulus yang menginduksi produksi dan sekresi takikinin neuronal berbeda dengan stimulus yang dapat membangkitkan sekresi substansi P oleh leukosit. Lebih jauh lagi, mungkin bahwa produksi neuropeptida yang berasal dari leukosit terjadi dalam area dengan inervasi neuron sensorik yang terbatas sehingga dapat mengkompensasi kekurangan relatif respon modulasi.

Neurotransmiter ACh ditemukan dalam sel epitel, sel endotel, otot dan sel imun seperti sel mononuklear, granulosit, makrofag alveolar dan sel mast (49,158,159). Ekspresi ACh disertai oleh keberadaan kolinesterase serta reseptor nikotinik dan muskarinik (49,158,160). Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa ACh non-neuronal bertindak sebagai molekul pensinyalan seluler lokal daripada sebagai neurotransmiter. Sehingga ACh non-neuronal harus dibedakan dari ACh neuronal terutama karena terdapat perbedaan fungsi yang nyata di antara keduanya.V. SISTEM SARAF ENTERIK

Sistem saraf enterik merupakan jaringan serat-serat saraf independen dan sangat saling terhubung yang menginervasi visera (traktus gastrointestinal, pankreas, kandung empedu). Sistem saraf enterik penting untuk mengatur motilitas dan sekresi. Sistem ini terdiri atas pleksus berganglion yang tertanam dalam dinding intestinum dan terbagi ke dalam ganglia submukosa dan ganglia mienterikus yang tersebar di antara otot longitudinal dan sirkuler. Neuron dalam ganglia submukosa dapat diklasifikasikan sebagai neuron aferen primer intrinsik (IPAN/intrinsic primary afferent neuron), interneuron, neuron sekretomotor dan vasodilator (161,162). Ganglia mienterikus juga mengandung neuron motorik, menginervasi lapisan otot longitudinal dan sirkuler, dan neuron sekretomotor yang berproyeksi ke arah mukosa (163). Dengan komponen-komponen neural ini, sistem saraf enterik (SSE) mampu menjalankan refleks-refleks saraf yang mengendalikan dan mengkoordinasikan motilitas, sekresi dan aliran darah. Sistem saraf usus mampu menjalankan fungsi integratif yang independen dari SSP. Sistem gastrointestinal manusia kekurangan inervasi SSP, tetapi mampu mengkoordinasikan pencernaan, motilitas, sekresi dan absorbsi. Neuron-neuron yang mengendalikan fungsi usus terletak sepenuhnya di dalam usus, dan untuk alasan ini SSE kadang disebut sebagai little brain (164).Substansi P terutama dipenukan dalam IPAN submukosa. Keberadaan reseptor NK-1 dalan kolonosit yang terisolasi menimbulkan dugaan bahwa terdapat elemen yang tepat untuk aktivasi refleks akson dari sel epitel usus (165). MacNaughton et al. (166) menandai respon sekretomotor yang dibangkitkan oleh takikinin dalam preparat in vitro submukosa dan mukosa-submukosa dari ileum babi guinea dengan menggunakan kombinasi teknik intraseluler dan teknik pencatatan Ussing chamber. Temuan mereka menimbulkan dugaan bahwa sekresi yang dibangkitkan takikinin pada ileum babi guinea diperantarai oleh reseptor NK-1 dan NK-3 pada neuron sekretomotor submukosa dan bahwa saraf sensiti capsaicin melepaskan takikinin yang mengaktivasi reseptor NK-1.VI. JALUR ANTI-INFLAMASI KOLINERGIKSinyal aferen menuju otak mampu membentuk refleks yang menyebabkan respon anti-inflamasi, yang sebagian diperantarai oleh cabang eferen nervus vagus (167,168). Jalur anti-inflamasi kolinergik ini terutama diperantarai oleh reseptor ACh nikotinik yang diekspresikan oleh makrofag jaringan dan monosit darah. ACh dapat berinteraksi secara spesifik dengan subunit alfa7 reseptor ACh nikotinik dari makrofag, mengarah pada deaktivasi seluler dan inhibisi pelepasan sitokin (169).Endotoksin (atau LPS) adalah produk dari setiap bakteri gram negatif, yang dapat menyebabkan syok (hipotensi) dan akhirnya, kematian. Hal ini terjadi akibat aktivasi makrofag oleh LPS untuk melepas TNF, yang merupakan mediator utama syok yang diinduksi LPS akut (169,170). Wang et al. Menunjukkan kemampuan ACh dalam menekan produksi TNF makrofag in vitro. Stimulasi aktivitas nervus vagus eferen menghambat respon inflamasi sistemik terhadap endotoksin. Temuan ini merupakan yang pertama kali mendemonstrasikan jalur anti-inflamasi parasimpatis yang sebelumnya tidak dikenal dimana SSP memodulasi respon inflamasi sistemik. Kelompok Tracey menyebutnya sebagai jalur anti-inflamasi kolinergik.VII. NEUROTROPINMediator klasik inflamasi tidak sendirian dalam kemampuan mereka mempengaruhi interaksi antara sel-sel dalam sistem imun dan saraf. Berdasarkan profil ekspresi mereka, neurotropin merupakan kandidat yang baik dalam memediasi interaksi sel imun-saraf.

NGF adalah anggota keluarga neurotropin yang pertama kali ditemukan pada 1950-an, kini bersama dengan brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan neurotropin 3/5. NGF adalah protein neurotropin yang paling dikenal dan diperlukan agar sel neuron mampu bertahan hidup dan berdiferensiasi, baik dalam sistem saraf pusat dan perifer. Sifat fungsional neuron juga dipengaruhi oleh NGF. Singkatnya, NGF ditunjukkan meningkatkan produksi neuropeptida dalam neuron sensorik dan berkontribusi dalam hipersensitivitas inflamasi (171). Ditambah, pada kultur neuron ganglion nodosa, produksi substansi P diatur oleh NGF (172). NGF dan BDNF adalah salah satu dari mediator paling efektif yang terlibat dalam hiperalgesia inflamasi (171).Efek biologis dari neurotropin diperantarai oleh ikatannya baik dengan reseptor spesifik berafinitas tinggi trkA (untuk NGF), trkB (untuk BDNF) dan trkC (untuk NT-3) atau reseptor berafinitas rendah reseptor pan-neurotropin p75 (NTR). Reseptor neurotropin secara luas diekspresi di perifer dan SSP sebagaimana juga oleh sel sistem imun (169,173). Reseptor NGF pada sel mast bertindak sebagai autoreseptor , mengatur sintesis dan pelepasan NGF sel mast, dan pada saat yang sama menjadi sensitif terhadap NGF di lingkungan. Banyak sel imun mengekspresikan reseptor NGF berafinitas tinggi. Hal ini memungkinkan NGF memacu pelepasan mediator inflamasi. Beberapa mediator ini, seperti IL-1, IL-4, IL-5, TNF dan IFN pada gilirannya dapat menginduksi pelepasan NGF (169,174). Sehingga, NGF tampaknya berfungsi sebagai mediator baik pada sel imun maupun sel saraf dan kemungkinan berperan sebagai faktor integratif yang penting dalam komunikasi antara sistem saraf dan sistem imun (175).Terdapat semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa NGF bekerja pada sel imun, terpisah dari efek neurotropiknya. NGF memacu diferensiasi, aktivasi dan produksi sitokin dari sel mast dan makrofag (176,177), dan mengaktivasi eosinofil (178). Lebih jauh lagi, NGF memiliki sifat kemoatraktan, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah sel mast dan degranulasi sel-sel itu (179-181). Injeksi NGF menyebabkan proliferasi sel mast sebagian karena degranulasi sel mast (182). NGF juga mempengaruhi aktivitas basofil, eosinofil, neutrofil, makrofag dan sel T. Baik NGF tikus maupun NGF rekombinan manusia memperhebat pelepasan histamin dan dengan kuat memodulasi pembentukan mediator lipid oleh basofil dalam respon terhadap berbagai stimulus (183) .Efek priming NGF terhadap basofil terjadi dengan cepat, tergantung dosis dan memerlukan konsentrasi NGF rendah. Ditambah, BDNF dapat memicu pelepasan histamin pada sel mast otak tikus, menimbulkan dugaan bahwa sel mast tersebut mengandung reseptor TrkA dan TrkB (184).Kulit mamalia mengekspresikan bebagai faktor pertumbuhan neurotropik yang penting untuk pertumbuhan, proliferasi dan pemeliharaan saraf seperti NGF. Neurotropin kutaneus diekspresikan oleh neuron sensorik dan simpatis dan sel non-neuron, sehingga mengendalikan nosisepsi, mekanoresepsi, homeostasis epidermis, inflamasi dan pertumbuhan rambut (185,186). Selama inflamasi, ekspresi NGF meningkat secara bermakna pada saraf yang terkait dengan daerah yang meradang (171).Selama proses inflamasi, NGF juga diproduksi oleh berbagai sel imun. Sel mast (187), sel T (188) dan sel B (189), eosinofil, limfosit (190) dan sel epitel (191) mampu mensintesis NGF. Stimulasi alergen in vitro terhadap sel mononuklear dari tikus yang telah disensitisasi menghasilkan sintesis NGF yang diperhebat (192). Ditambah, produksi NGF diperhebat oleh stimulasi antigen pada sel Th2 tikus dan manusia (193,194). Sintesis BDNF telah terdeteksi pada sel T, sel B, makrofag dan sel mast manusia (195,196). Juga terdapat bukti penguatan produksi neurotropin pada inflamasi (192). Sel T dan makrofag yang diaktivasi memproduksi BDNF selama inflamasi alergi (192).NGF dapat memiliki efek pro-inflamasi dan anti-inflamasi bergantung pada situasi dan konsentrasi senyawa tersebut. Pada tikus, Braun et al. baru-baru ini menunjukkan bahwa pemberian NGF per nasal pada tikus menginduksi hiperesponsivitas jalan napas yang diukur lewat stimulasi bidang elektrik (electrical field) (197). Di sisi lain, ekspresi NGF meningkat setelah cedera otak. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan produksi NGF dalam SSP selama penyakit otak seperti multiple sclerosis dapat menekan inflamasi dengan mengganti respon imun menjadi mekanisme supresif yang anti-inflamatif (198). Dalam suatu penelitian, injeksi limfosit CD4+ yang telah ditransfeksi dengan gen NGF baik sebelum atau sesudah induksi ensefalomielitis alergi menghambat onset demielinasi (199). Inhibisi yang kuat terhadap proses autoimun menunjukkan bahwa ekspresi NGF lokal mencegah migrasi sel inflamasi di sepanjang endotel vaskuler. Lebih jauh lagi, peranan fungsional NGF dan NT-3 dipelajari dalam model kolitis eksperimental. Pre-terapi dengan anti-NGF atau anti-NT-3 menyebabkan peningkatan signifikan dalam keparahan inflamasi eksperimental (200). Temuan ini menimbulkan dugaan adanya peran regulasi NGF dan NT-3 dalam inflamasi eksperimental pada usus.Fakta bahwa NGF dapat bersifat anti-inflamasi atau pro-inflamasi dalam kondisi yang berbeda adalah contoh yang penting dari kompleksitas interaksi antara molekul neuroaktif dan sistem imun dan inflamasi.

VIII. KOMUNIKASI NEUROPEPTIDA: SEL IMUN YANG BERBEDA

A. Limfosit T dan BSerat saraf peptidergik berada dekat dengan limfosit dalam banyak jaringan limfoid (201). Memang, sel mononuklear dimodifikasi oleh neuropeptida. Keberadaan reseptor neuropeptida pada permukaan limfosit mendukung interaksi ini. Substansi P mungkin memperhebat proliferasi yang diinduksi mitogen pada manusia (202) dan limfosit tikus, serta sintesis IgA oleh sel-sel dari limpa, Peyers patches dan nodus limfe enterik (203). VIP meningkatkan respon IgA dalam nodus limfe mesenterik dan limpa, tetapi menghambat sintesis IgA dalam limfosit dari Peyers patches. Lebih jauh lagi, substansi P bersifat kemotaktik untuk sel T dan B pada darah perifer manusia (204). Selain itu, juga telah dilaporkan bahwa substansi P merupakan faktor pertumbuhan dan diferensiasi bagi sel B (192) dan menstimulasi produksi sitokin, kemotaksis (78), dan pergantian fenotip Th1/Th2 pada sel T (205). Sel T tikus dan manusia mampu mengekspresikan reseptor NK-1, tetapi ekspresinya dalam sel B masih kontroversial. Beberapa aktivitas biologis dari substansi P terjadi hanya dalam konsentrasi tinggi, diduga terdapat jalur yang independen dari reseptor NK-1, sedangkan beberapa aktivitas dapat diblokir oleh antagonis reseptor NK-1. Bukti yang jelas mengenai pentingnya reseptor NK-1 pada sel T datang dari penelitian oleh Blum et al. (206) yang menggunakan model tikus untuk skistosomiasis. Pada tikus knockout reseptor NK-1, diamati reduksi bermakna ukuran granuloma dibandingkan dengan pada hewan tipe-liar. Produksi IFN- yang terbatas oleh tikus knockout yang terinfeksi menimbulkan dugaan bahwa sel T merupakan target yang penting bagi substansi P pada skistosomiasis. Substansi P dan VIP tampak mempengaruhi kemampuan sel B dewasa dalam menyekresikan imunoglobulin. Braun et al. (192) menunjukkan bahwa takikinin dapat memperkuat sekresi Ig pada kultur yang distimulasi sitokin. Reseptor NK-1 diketahui terdapat pada sel B, dan dampak biologisnya terbukti lewat kemampuan substansi P dalam merangsang sintesis Ig dalam keberadaan sinyal kedua. Tambahan LPS atas berbagai konsentrasi substansi P menghasilkan produksi IgM optimal pada konsentrasi substansi P subanomolar, sedangkan peningkatan konsentrasi (100 nM) tidak efektif (207). Peristiwa ini diperantarai oleh reseptor NK-1. Stimulasi VIP terhadap limfosit, seperti substansi P, membutuhkan sinyal ko-stimulasi (208).

Substansi P ditemukan dalam konsentrasi tertinggi pada traktus GI (209) dan paru-paru (210). Pada Peyers patch, bukti-bukti menimbulkan dugaan bahwa ujung saraf yang mengandung substansi P menginfiltrasi zona sel T dan berhubungan dengan makrofag. Misalnya, pada pasien dengan kolitis ulserativa, peningkatan kadar limfosit T disertai oleh peningkatan neuron yang mengandung substansi P. Pada inflammatory bowel disease manusia, peningkatan substansi P seperti juga mRNA reseptor NK-1 pada usus diketahui berhubungan dengan sel T mukosa (77). Berbagai penelitian melaporkan peningkatan ekspresi substansi P yang berasal dari neuron setelah terjadi inflamasi.Beberapa model inflamasi pada penyakit hewan dan manusia menyediakan bukti bahwa reseptor NK-1, berlokasi pada leukosit dan ligannya, substansi P, mempengaruhi respon imun. Misalnya, Trichinella spiralis, suatu parasit yang menginduksi respon imun Th2 pada usus tikus, menginduksi peningkatan substansi P bergantung sel T pada pleksus otot-mesenterium, dan pemblokiran reseptor NK-1 mengurangi inflamasi usus (211). Pada inflamasi akibat skistosomiasis murin, telah ditunjukkan bahwa NK-1 dan substansi P memainkan peranan penting dalam respon regulasi. Substansi P mengatur produksi IFN- sel T lewat interaksinya dengan reseptor NK-1 yang diekspresikan oleh sel (122).Molekul lainnya yang baru ditemukan, hemokinin, masuk dalam kelompok takikinin, merupakan agonis NK-1 selektif (212). Konsentrasi tinggi neuropeptida ini diketahui menstimulasi proliferasi limfosit B (85). Telah diduga bahwa hemokinin merupakan faktor autokrin yang berkontribusi dalam daya tahan prekursor sel B pada sumsum tulang (85).B. Sel Dendritik

Sel dendritik (DC) merupakan antigen-presenting cell (APC) utama, memainkan peranan penting dalam respon imun melawan infeksi. Fungsi ini penting baik dalam respon bawaan dini dan respon adaptif yang muncul berikutnya (213). Dalam perkembangan inflamasi pada jaringan perifer, berbagai sitokin dan kemokin dilepaskan oleh DC pada daerah yang terkena. DC dilaporkan mengandung mRNA substansi P atau preprotakikinin yang mengkodekan substansi P dan neurokinin A (50). Nelson et al. dengan jelas membuktikan bahwa kultur DC secara konstitutif mengekspresikan mRNA PPT-C. DC mieloid mengekspresikan mRNA yang mengodekan hemokinin-1 dalam kadar tinggi. Serupa, mRNA NK-1 atau NK-2 telah dideteksi di dalam DC (50) sebagaimana ekspresi reseptor VPAC-1 dan VPAC-2 (149). CGRP, VIP dan somatostatin dilepaskan dari DC (214). Sehingga pemeriksaan neuropeptida harus diikutkan dalam pemeriksaan regulasi imun fungsi sel T oleh DC.Karena DC merupakan APC yang paling efisien yang menstimulasi sel T naif, sehingga memicu terbentuknya imunitas adaptif, tidak mengejutkan jika terdapat interaksi antara neuropeptida dan sel dendritik DC ditemukan dalam sistem saraf pusat dan tepi (215). Penggunaan immunostaining neuropeptida dan DC mengungkapkan hubungan antara anatomis dan fungsional antara keduanya (151). Di dalam hati, kontak antara pewarnaan serat saraf untuk substansi P, VIP dan CGRP teramati (216). Pada paru-paru, inflamasi meningkatkan kadar neuropeptida secara bermakna, DC terletak dekat dengan serat saraf tidak bermielin (217). Secara fungsional, DC pulmoner terikat dengan substansi P dan menampakkan peningkatan motilitas in vitro dalam respon terhadap konsentrasi substansi P yang berbeda-beda. Untuk menyelidiki peranan pengaruh saraf terhadap respon imun paru terhadap antigen yang terinhalasi, tikus sebelumnya diberi capsaicin dan kemudian dipaparkan antigen. Pemberian capsaicin pada neonatus menghambat akumulasi DC di sekitar pembuluh darah pulmoner kecil (217).Neuropeptida perifer dapat secara langsung menarik DC imatur, dan pada saat yang sama dapat menangkap DC matur pada lokasi inflamasi neurogenik. Konsentrasi neuropeptida yang rendah dapat meningkatkan motilitas DC menuju sumber neuropeptida, terutama serat saraf sensorik. Sel yang mencapai serat-serat ini akan menjalani maturasi fungsional dan fenotipik, yang menjaga mereka tetap di sana. Perilaku yang berlawanan ini mungkin diakibatkan oleh perubahan pada jalur transduksi sinyal dari reseptor neuropeptida pada DC imatur dan matur (218). Tidak terdapat perbedaan antara ekspresi reseptor neuropeptida pada DC imatur dan matur (219), tetapi perbedaan ditemukan pada beberapa kemokin (220). Sehingga, efek ini diperantarai oleh reseptor spesifik, yang mengubah jalur transduksi sinyal dari DC pada tahap maturasi yang berlainan. Temuan ini menyediakan bukti akan adanya hubungan antara imunitas adaptif dan sistems araf, sebagaimana pengamatan oleh Hosoi et al. (151) menunjukkan pentingnya CGRP sebagai penurun poten fungsi DC.C. Makrofag

Makrofag memiliki berbagai fungsi penting yang terlibat dalam pertahanan inang, imunomodulasi dan perbaikan jaringan. Mereka memproduksi banyak jenis mediator, termasuk interleukin, kemokin dan nitrit oksida.Bukti-bukti yang mendukung bahwa makrofag dapat memproduksi substansi P dan mengekspresikan reseptor NK-1 semakin banyak (119,221). Substansi P dapat menstimulasi makrofag manusia untuk melepaskan TNF, IL-6 dan IL-1 (222,223). Substansi P menghambat IFN- dan produksi TGF- yang diinduksi LPS (224). Ditambah, makrofag tikus memproduksi somatostatin sebagai respon terhadap LPS, IL-10, IFN- dan TNF. Laporan lain menduga bahwa substansi P bekerja sebagai faktor priming daripada sebagai stimulator langsung. Substansi P mungkin mensentisisasi makrofag dan membuatnya semakin responsif terhadap LPS (225,226). Makrofag dari tikus yang mengalami stres melepaskan IL-6 akibat paparan LPS in vitro (227). Substansi P bertanggung jawab atas aktivasi makrofag dan memprimasi mereka untuk pelepasan IL-6 yang diinduksi LPS. Makrofag yang telah distimulasi oleh substansi P kemudian memproduksi mediator inflamasi PGE2, tromboksan B2 dan ion superoksida (228,229). Makrofag juga memiliki reseptor untuk CRF dam CRF dapat menginduksi produksi IL-1, IL-6 da TNF (230). Respon imun bawaan dapat dipengaruhi oleh neuropeptida, terutama karena reseptor NK-1 ditemukan pada makrofag (119,222) dan sel dendritik (121). Penelitian in vivo telah mendemonstrasikan peranan reseptor NK-1 dalam inisiasi respon inang melawan bakteri dan virus patogen. Peningkatan ekspresi reseptor NK-1 oleh salmonella dapat secara signifikan meningkatkan respon makrofag yang diperantarai substansi P, secara langsung membunuh bakteri. Ditambah, substansi P mampu memperkuat sekresi IL-1, IL-6 dam TNF oleh makrofag (222). Mencit yang defisien dalam ekspresi reseptor NK-1 juga telah digunakan untuk menyelidiki pentingnya reseptor neuropeptida ini dalam respon inang melawan patogen. Contohnya, pentginya reseptor NK-1 pada skistosomiasis yang telah dibahas sebelumnya (206).D. Neutrofil dan Eosinofil

Terdapat beberapa laporan mengenai efek langsung dari substansi P terhadap neutrofil dan eosinofil, tetapi konsentrasi substansi P biasanya tidak sesuai secara fisiologis. Kebanyakan efek tersebut memerlukan neuropeptida kadar tinggi, sedankan pada kadar rendah, neuropeptida memprimasi respon terhadap stimulus lain yang jika tidak bisa tidak efektif (231). CGRP dan substansi P memiliki efek degranulasi terhadap eosinofil, selain itu substansi P, CGRP dan VIP diketahui menstimulasi migrasi eosinofil (232). Dalam suatu penelitian in vivo terhadap pasien rinitis alergika, tampak substansi P memperhebat perekrutan eosinofil setelah paparan alergen berulang. Lebih jauh lagi, substansi P dapat menginduksi produksi IL-8 dari neutrofil darah perifer manusia (233) dan menstimulasi sekresi peroksidase eosinofil pada babi guinea (234). CGRP mampu menyebabkan eosinofilia pada paru-paru in vivo dan mungkin berkontribusi terhadap inflamasi jalan napas pada pasien asma (235).Penelitian mengenai kemotaksis eosinofil menunjukkan bahwa neuropeptida saja tidak akan berpengaruh. Tetapi ketika eosinofil sebelumnya diberikan peptida, respon kemotaktik terhadap platelet-activating factor (PAF) atau leukotrien B4 diperhebat secara bermakna pada pasien alergi (236). Potensiasi efek substansi P dan CGRP terhadap kemotaksis eosinofil yang diinduksi dengan PAF pada subyek alergi berturut-turut diperhebat secara bermakna oleh antagonis substansi P dan oleh antagonis reseptor CGRP manusia. Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa neuropeptida mungkin memainkan peranan bermakna dalam infiltrasi eosinofil lewat primasi pada sel-sel dalam inflamasi alergi.Di samping efek langsung dari substansi P, efek tidak langsungnya lebih umum dan lebih mudah dideskripsikan. Neutrofil bermigrasi ke dalam jaringan akibat inflamasi neurogenik yang disebabkan oleh interaksi substansi P dengan reseptor NK-1 pada sel endotel. Ditambah, substansi P mampu menginduksi produksi faktor kemotaktik neutrofil dari sel epitel bronkial lembu (237). Lagipula, substansi P menstimulasi adhesi di antara sel lewat induksi molekul adhesi (238).E. Sel Mast

1. Komunikasi Sel Mast-SarafPenelitian histologis mengungkapkan hubungan yang erat antara sel mast dan neuron baik pada sistem saraf tepi maupun pusat (2,175). Hubungan anatomis yang erat antara sel mast dan substansi P dan ujung saraf sensorik yang mengandung CGRP dilaporkan terdapat pada berbagai jaringan termasuk kulit (239,240), usus (1), duramater (241,242) dan mukosa jalan napas (16,240). Selain hubungan anatomis, sel mast juga membentuk hubungan fungsional antara sistem imun dan sistem saraf, dan sel mast tampaknya bertindak sebagai karier informasi dua arah. Mekanisme neuronal terlibat dalam aktivasi sel mast dan sel mast bertindak sebagai transduser informasi utama antara saraf perifer dan peristiwa inflamasi lokal (243). Pada model in vitro dari kultur campuran sel mast dan neurit ganglion servikal, aktivasi selektif neurit oleh racun kalajengking menyebabkan peningkatan ambilan kalsium pada sel mast terkait lewat pelepasan substansi P dan interaksi dengan reseptor NK-1 (76), yang selanjutnya diikuti oleh pengerutan membran sel pada daerah yang berkontak (244). Saraf tepi memiliki populasi sel mast yang melimpah, dan manipulasi saraf tepi ini menyebabkan perubahan pada kepadatan sel mast (245).Sel mast dan saraf pada banyak jaringan terus-menerus berkontak satu sama lain dan sama-sama memiliki sejumlah sinyal aktivasi dimana untuk beberapa sinyal tersebut kedua sel mengekspresikan reseptornya (seperti vaniloid) (104). Ditambah, baik sel mast dan saraf berespon terhadap stimulasi lewat sekresi mediator yang sebelumnya telah dibentuk, banyak di antaranya diproduksi oleh kedua sel (NGF, neuropeptida dan enotelin-1). Lagipula, bagian yang besar dari neuron aferen spinal primer yang mengandung CGRP dan substansi P mengekspresikan proteinase-activated receptor 2 (PAR-2). Protease seperti triptase dari sel mast yang terdegranulasi baru-baru ini diketahui membelah PAR-2 pada neuron aferen spinal primer, yang menyebabkan pelepasan substansi P, aktivasi reseptor NK-1 dan amplifikasi inflamasi, serta hiperalgesia termal dan mekanis (246). Mekanisme inflamasi neurogenik yang diinduksi oleh protease dapat berkontribusi terhadap efek pro-inflamasi sel mast pada penyakit manusia. Ditambah, PAR-2 juga diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit dan sel endotel dari kulit yang meradang (247). Triptase pada gilirannya mengaktivasi PAR-2 pada keratinosit dan sel endotel selama inflamasi.Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa mediator yang berasal dari sel mast seperti histamin, serotonin dan sitokin memodulasi neurotransmisi NANC (248,249). Ujung saraf NANC mengekspresikan reseptor untuk histamin (H1 dan H3) dan serotonin (5-HT2a) (250,251), dan ekspresi reseptor H1 histamin setidaknya ditingkatkan dalam saraf NANC primer pada inflamasi (252). Mediator sel mast seperti TNF dapat mensensitisasi serat C aferen dengan menurunkan ambang rangsangnya (249,253) tetapi juga dapat menyebabkan pelepasan langsung substansi P, neurokinin A dan CGRP dari serat tak bermielin (248).2. Stimulasi Sel MastTambahan terhadap IgE dan antigen, sejumlah sitokin, hormon dan neuropeptida dapat memicu sekresi sel mast (254,255). Contoh dari beberapa neuropeptida tersebut termasuk somatostatin (256), neurotensin (257), PACAP (258), CGRP (259) dan substansi P (260). Stem cell factor (SCF) dan NGF dapat memacu pertumbuhan sel mast dan juga memicu degranulasinya (261). SCF juga dilaporkan menginduksi sel mast untuk menjadi responsif terhadap PACAP (262). SCF dan NGF juga disekresikan oleh sel mast, dimana substansi P telah dilokalisasi pada sel mast kulit manusia, menunjukkan adanya kerja autokrin (263,264).Keratinosit, sel Langerhans, fibroblas, sel mast dan sel endotel mengekspresikan reseptor neurokinin fungsional, sedangkan protein-G pada sel mast juga dapat diaktivasi oleh substansi P lewat cara yang tidak diperantarai oleh reseptor (265). Stimulasi protein-G akhirnya mengarah pada produksi dan pelepasan mediator sel mast. Telah ditunjukkan bahwa reseptor NK-1 fungsional diekspresikan dalam sel mast tikus in vitro saat tersedia IL-4 dan SCF (266). Baru-baru ini, Bischoff et al. menyelidiki ekspresi reseptor takikinin pada sel mast manusia dan menemukan bahwa sel mast manusia yang diambil dari mukosa usus tidak mengekspresikan reseptor NK-1, NK-2 atau NK-3 secara konstitutif (267). Tetapi, ketika distimulasi oleh reseptor IgE, sel mast tersebut mulai mengekspresikan reseptor NK-1, bukan NK-2 dan NK-3, menimbulkan dugaan bahwa kondisi jaringan spesifik seperti inflamasi alergi dapat mengarah pada ekspresi reseptor NK-1 oleh sel mast.Interaksi saraf-sel mast terlibat baik dalam regulasi homeostatik dan patologik. Karena synaptic cell adhesion molecule (SynCAM), disebut juga spermatogenic Ig superfamily (SgIGSF), diekspresikan baik pada saraf maupun sel mast, dan karena molekul ini berikatan secara homofilik, molekul ini dapat menjadi kandidat terbaik untuk mendukung hubungan tersebut (268). In vitro, sel mast dengan SgIGSF/SynCAM menempel pada neurit; hal ini dihambah oleh pemblokiran SgIGSF/SynCAM. Sel mast tanpa SgIGSF/SynCAM bersifat defektif dalam penempelannya dengan neurit, dan transfeksi dengan SgIGSF/SynCAM pada sel mast terutama memerantarai penempelan dan juga memacu komunikasi antara saraf-saraf terkait.Aktivitas sel mast jelas lebih rumit daripada peristiwa semua atau tidak sama sekali (all-or-nothing) (393) yang dilaporkan oleh suatu penelitian patch clamp bahwa sel mast tidak berespon terhadap substansi P konsentrasi rendah (dalam kisaran pikomolar), tetapi aktivasi dan penundaan degranulasi tersebut terjadi setelah paparan kedua. Sehingga sel mast dapat mengalami primasi ketika terpapar pada substansi P konsentrasi rendah yang secara fisiologis relevan, dan menurunkan ambang aktivasi berikutnya. Stimulasi awal ini diduga berkorelasi fungsional dengan priming. Jika sel mast memang terprimasi ketika terpapar dengan substansi P, maka molekul tersebut akan menurunkan ambang stimulus yang mengaktifkan sel mast. Lebih jauh lagi, sekresi dapat terjadi tanpa bukti adanya degranulasi, dan bahkan molekul-molekul yang disimpan dalam granula yang sama dapat disekresikan sendiri-sendiri (269). Sel mast tampaknya semakin terlibat dalam proses inflamasi dimana degranulasi eksplosif tidak teramati. Secara ultrastruktural, penelitian oleh Ratliff et al. (270) menunjukkan bahwa sel mast berada dekat dengan serat saraf tak bermielin. Sel-sel mast ini mengandung granula-granula yang secara ultrastruktural terlihat mengalami degranulasi dan aktivasi, terkait dengan sekresi diferensial. Marshall et al. (179) menunjukkan bahwa NGF dosis serendah 10 ng/ml yang menginduksi produksi IL-6 tetapi menghambat pelepasan TNF dari sel mast peritoneal tikus, menunjukkan bahwa bahkan sinyal molekuler tunggal dapat membangkitkan keseimbangan antara hasil akhir pro-inflamasi dan anti-inflamasi pada satu tipe sel tunggal. Data-data tersebut mendukung potensi regulasi sel mast oleh sistem saraf pusat dan menimbulkan dugaan bahwa modulasi sel mast dapat terjadi in vivo tanpa degranulasi.IX. PERSARAFAN DALAM PROSES INFLAMASI

Inervasi saraf pada sebuah organ diperlukan untuk menimbulkan reaksi inflamasi tertentu (271). Substansi P dan peptida takikinin terkait terlibat dalam proses inflamasi dan dalam transmisi informasi nosiseptif sensorik. Organ-organ dengan kepadatan tinggi reseptor neuropeptida, seperti usus dan paru-paru, diduga lebih rentan terhadap inflamasi (272). Misalnya, infeksi tikus oleh nematoda Nipposotrongylus brasilensis menyebabkan hiperplasia sel mast dan neuroplastisitas pada saraf-saraf mukosa usus selama inflamasi. Dalma hal ini juga termasuk fase neurodegeneratif dini dan regenaratif akhir yang tampak berkorelasi dengan kepadatan sel mast (1).Selama inflamasi, mediator hiperalgesik diproduksi oleh sel imun yang menginvasi atau oleh sel penghuni (resident cell) (sitokin, kemokin, NGF, leukotrien, prostaglandin, ATP). Sedikit diketahui bahwa mediator analgesik juga dihasilkan dalam jaringan yang meradang, yang melawan rasa nyeri. Senyawa ini termasuk peptida opioid, somatostatin dan sitokin-sitokin anti-inflamasi (273). Meskipun mediator-mediator ini berkontribusi terhadap kemampuan tubuh dalam melawan infeksi dan destruksi integritas jaringan, mereka juga membangkitkan nyeri oleh aktivasi reseptor terspesialisasi yang terlokalisasi dalam neuron aferen primer nosiseptif. Peptida opioid diproduksi dalam jaringan inflamasi perifer oleh sel imun dan pelepasannya bisa dipicu oleh berbagai jenis stimulasi. Mereka berikatan dengan reseptor opioid perifer sehingga membangkitkan analgesia endogen yang poten (274). Cedera jaringan perifer menyebabkan migrasi sel imun yang mengandung peptida opioid menuju lokasi radang. Pelepasan subsekuen dan kerja peptida-peptida ini pada reseptor opioid yang berlokasi dalam ujung saraf sensorik perifer menyebabkan analgesia endogen (275). Peptida opioid yang disekresikan oleh sel imun sejauh ini merupakan peptida yang paling luas diteliti dalam kontrol nyeri inflamasi perifer. Datangnya sel imun yang mendangung opioid juga bergantung pada interaksi neuroimun (275), karena inhibisi sentral nyeri oleh pemberian morfin intratekal mengurangi jumlah sel imun yang mengandung opioid pada lokasi inflamasi dan juga menganggu kerja analgesia opioid perifer endogen.Artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang dicirikan oleh inflamasi membran sinovial pada banyak sendi. Secara eksperimen, atrtitis ajuvan paling berat pada sendi yang paling luas diinervasi (276). Secara klinis, diketahui bahwa pasien hemiplegik tidak mendertia artritis pada sisi tubuh yang lumpuh (277). Lagipula, bila saraf yang menginervasi sendi dipotong, artritis tidak dapat diinduksi pada sendi yang tidak mendapat inervasi (276,278). Miao et al. (279) menunjukkan bahwa aktivitas impuls pada aferen vagus memiliki efek inhibitorik oleh nikotin dalam memodulasi ekstravasasi plasma yang diinduksi bradikinin, Jalur spinal tampaknya penting dalam memerantarai efek ini. Pada artritis reumatoid, siniviosit lir-fibroblas bertindak sebagai penghubung antara sistem imun dan sistem saraf (280). Terdapat bukti yang mengarahkan bahwa substansi P dan reseptor NK-1 memainkan peranan dalam penyakit artritis. Sinoviosit dari pasien dengan artritis reumatoid mengekspresikan mRNA reseptor NK-1 (281). Substansi P diduga meningkatkan ekspresi VCAM-1 yang diinduksi sitokin lewat reseptor substansi P spesifik, sehingga menyebabkan efek sitokin pro-inflamasi menjadi lebih berpotensi (282). Hubngan antara inervasi saraf dan inflamasi teramati dalam situasi klinis lainnya seperti diabetes dimana respon inflamasi tidak adekuat karena inervasi saraf dipengaruhi oleh penyakit (neuropati diabetes).X. INFLAMASI NEUROGENIK

Neuropeptida yang dilepaskan dari saraf sensorik menginduksi kisaan luas reaksi inflamasi termasuk vasodilator yang meningkatkan ekstravasasi plasma, pembengkakan jaringan dan pelekatan sel inflamasi pada endotel, sehingga memfasilitasi infiltrasi seluler (106,283). Efek ini diproduksi oleh takikinin (substansi P, neurokinin A dan neurokinin B) dan CGRP yang dilepaskan dari ujung perifer neuron sensorik primer yang sensitif terhadap capsaicin secara kolektif dirujuk sebagai inflamasi neurogenik (284). Beberapa penelitian telah menunjukkan peranan inflamasi neurogenik pada jalan napas (285-287), kulit (288,289), pankreas (290), traktus urinarius dan sistem pencernaan (291). Inflamasi neurogenik melibatkan perubahan fungsi neuron sensorik akibat mediator inflamasi, yang meninguksi pelepasan lebih jauh neuropeptida dari ujung saraf sensorik (292,293).Neuron sensorik memiliki peranan dalam inflamasi neurogenik (292). Kini telah jelas bahwa sel mast dan mediatornya juga penting dalam inflamasi neurogenik (293). Dalam berbagai penelitian, sel mast jaringan selalu memberi bukti secara ultrastruktural adanya aktivasi bahkan pada kondisi normal, menimbulkan dugaan bahwa sel ini terus-menerus memberikan informasi kepada sistem saraf (241). Fakta bahwa mereka terletak pada lokasi dekat dengan paparan lingkungan eksternal, seperti kulit, traktus respiratorius dan gastrointestinal, menitikberatkan hubungan tersebut.Disamping berperan dalam pembentukan potensial aksi, ujung serat-C juga merupakan sistem sekretorik, melepaskan takikinin untuk menyebabkan inflamasi neurogenik. Juga terdapat bukti histologis keberadaan sitokin terutama IL-6, di dalam baik saraf sensorik maupun otonom (294). Pelepasan sitokin pro-inflamasi ini akan menyebabkan inflamasi pada daerah yang terkena dan menunjukkan hubungan langsung antara stimulasi neurogenik dan pelepasan sitokin pro-inflamasi (294). Stimulasi serat-C tersebut oleh berbagai faktor kimia dan mekanik menyebabkan suatu kondisi pada neuron aferen yang membangkitkan refleks parasimpatis dan impuls antidromik yang menjalar di sepanjang ujung saraf perifer. Komunikasi seperti itu dari saraf yang satu menuju yang lain, tanpa melewati badan sel, disebut sebagai refleks akson yang menimbulkan pelepasan lokal takikinin dan CGRP dari ujung serat-C (107). Refleks akson bertanggung jawab atas banyak respon fisiologis lokal terhadap antigen, misalnya pada paru yang tersensitisasi (295,296) dan jaringan usus (297,298), serta telah lama diketahui terlibat dalam vasodilatasi lokal pada kulit (299). Stimulasi antidromik serat sensorik vagus babi guinea menyebabkan kontraksi pada otot polos jalan napas yang diisolasi diperantarai oleh takikinin (300). Penelitian yang lebih jauh menunjukkan bahwa pelepasan neuropeptida juga dapat diinduksi lewat depolarisasi langsung ujung tersebut.XI. SISTEM SARAF PUSAT

Otak, saraf dan sistem imun merupakan sistem adaptif utama dalam tubuh (301). Beberapa jalur diketahui menghubungkan otak dan sistem imun, seperti sistem saraf otonom lewat pengaruh saraf langsung dan kedua, aliran humoran neuroendokrin lewat pituitari. CRH yang disekresikan oleh glandula pituitari adalah regulator utama sumbu HPA dan sintesis kortison, dan bekerja sebagai koordinator respon stres (302). CRH juga diduga terlibat secara perifer dalam respon jaringan terhadap stres pada kulit, traktus respiratorius dan usus.Sistem saraf pusat dapat dan memang mengaktivasi atau bahkan menghambat peristiwa kekebalan dan inflamasi. Aktivasi stres oleh sumbu hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) memiliki efek bimodal tersebut. CRH mengaktivasi sel mast perifer (303), kortikosteron dapat menghambat peristiwa inflamasi dan katekolamin memiliki efek yang kompleks. Hipnosis dibuktikan menghamabt reaktivitas kulit terhadap alergen dalam uji hipersensitivitas alergi klasik (304,305), dan kami telah menunjukkan bahwa pengkondisian Pavlovian klasik dapat menyebabkan sekresi oleh sel mast (306).Pada sistem saraf pusat, sel mast dapat berpartisipasi dalam pengaturan respon inflamasi lewat interaksi dengan sumbu HPA. Matsumoto et al. (307) menunjukkan bahwa pada anjing, degranulasi sel mast SSP membangkitkan aktivasi HPA sebagai respon atas pelepasan histamin dan CRH. Pada penelititan ini, anjing secara pasif disensitisasi oleh IgE dan dipaparkan pada antigen spesifik secara sentral atau perifer. Kedua jalur tersebut menyebabkan pelepasan kortison dari glandula adrenal. Efek ini dapat ditiru oleh injeksi senyawa sekretagog sel mast intrakranial 48/80, dan diblokir oleh antibodi CRH maupun penyekat histamin H1 tetapi bukan penyekat H2. Hasil penelitian ini menimbulkan dugaan bahwa sel mast intrakranial dapat beraksi sebagai sensor alergen, dan bahwa respon adrenokortikal yang teraktivasi dapat mewakili reaksi pertahanan inang untuk mencegah anafilaksis. CRH juga diduga terlibat secara perifer dalam respon jaringan terhadap stres pada kulit, traktus respiratorius dan gastrointestinal, serta kandung kemih. Banyak, jika tidak semua, perubahan yang direkam menunjukkan keterlibatan sel mast dan aktivasi neuronal, aktivasi neuronal sering diperantarai oleh neurotensin dan/atau substansi P.Neuropeptida sentral menginisiasi respon stres sistemik lewat aktivasi jalur neuroendokrin seperti sistem saraf simpatis, sumbu HPA dan sistem renin-angiotensin, bersama dengan pelepasan hormon stres (i.e., katekolamin, kortikosteroid, hormon pertumbuhan, glukagon dan renin) (308). Efek ini ditemukan dalam berbagai model stres termasuk pilek, stres tekanan emosi, dan stres penghindaran air (309-311), Neuropeptida CGRP ditemukan dalam struktur-struktur pusat seperti pituitari dan terlibat dalam modifikasi inflamasi (312). Keberadaan imunoreaktivitas lir-CGRP pada nuklei vagal (313) menimbulkan dugaan bahwa CGRP mungkin memiliki peranan fungsional dalam efek protektif aferen vagal pada proses radang. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemaparan hewan coba terhadap stres imobilisasi meningkatkan motilitas kolon dan efek ini diperantarai oleh pelepasan CRH. Pothoulakis et al. (314) mendemonstrasikan bahwa pelepasan CRH selama stres imobilisasi meningkatkan transit kolonik lewat jalur neuronal dan stimulasi pelepasan musin kolon lewat aktivasi neuron dan sel mast kolon. Hasil ini menyediakan dukungan atas peranan yang penting dari CRH dalam respon kolon yang diperantarai stres dan hubungan antara sistem saraf dan sistem imun.XII. RESPON STRESSistem saraf pusat tampaknya memiliki kapasitas untuk menimbulkan, sebagaimana ia memodulasi, reaksi inflamasi umum, tidak hanya sebagai respon terhadap infeksi, trauma dan kerusakan jaringan, tetapi juga sebagai respon terhadap stres (38,40). Stres psikologis menyebabkan pelepasan mediator kimiawi termasuk norepinefrin (NE), serotonin dan asetilkolin, yang mengaktivasi sel nukleus paraventrikuler (PVN) dari hipotalamus yang menghasilkan CRH (308). CRH merupakan regulator utama dari sumbu HPA dan koordinator dasar atas respon stres. CRH perifer diduga memiliki efek pro-inflamasi. CRH juga menstimulasi lokus koreolus, sekumpulan padat sel otonom pada batang otak, untuk mensekresikan NE pada ujung-ujung saraf simpatis (315).Meskipun CRH merupakan koordinator mayor dari respon stres, substansi P mungkin juga berpartisipasi dalam respon stres dengan mengaktivasi sumbu HPA dan sistem saraf sensorik. Kadar substansi P meningkat dalam otak sebagai respon terhadap banyak tipe berbeda dari stres psikologis seperti berurusan dengan masalah (316), tekanan (317) dan kecemasan (318). Pada amigdala, terdapat peningkatan bermakna dari substansi P dan prekursornya, preprotakikinin setelah berbagai stresor psikologis pada tikus. Dua area lain yang terlibat dalam perilaku dan diinervasi oleh substansi P yaitu substansia nigra dan raphe median.

Substansi P dapat menstimulasi sumbu HPA secara langsung atau tidak langsung dengan meningkatkan arginin vasopresin (AVP), stimulator kuat aktivitas HPA (319). Sel-sel imun seperti makrofag juga terlibat dalam berbagai jenis stres. Uji renang dalam air dingin menyebabkan peningkatan kadar substansi P dan reseptornya pada makrofag peritoneum sebagaimana peningkatan substansi P peritoneum.A. Stres Akut versus Kronis

Pola umum perubahan imunologis muncul sebagai bagian dari penyelidikan efek dari stres. Sebagai observasi umum atas model stres pada hewan, stres akut tampaknya membangkitkan respon imun dan reaktivitas imun lainnya, sedangkan stres kronis menekannya (320). Pola umum defisit terlihat pada stresor kronis termasuk berkurangnya proliferasi limfosit dan produksi sitokin imun yang diperantari sel seperti IL-2 dan IFN- (321). Alterasi imunologis ini sering disertai oleh bukti peningkatan produksi mediator stres seperti epinefrin dan kortisol. Respon imun aktif itu sendiri mencerminkan sumber stres sistemik yang berdampak pada otak dan memodifikasi berbagai fungsi neuroendokrin dan perilaku. Sehingga sistem imun kini dilihat sebagai kontributor potensial terhadap abnormalitas perilaku terkait stres, seperti depresi klinis (29,322). Telah diduga bahwa perubahan yang diinduksi secara imunologis pada otak mengaktivasi neuropeptida, sehingga menunjang keadaan adaptatif dari keterangsangan yang memacu penyesuaian perilaku yang tepat selama penyakit infeksi.XIII. KOMUNIKASI SARAF-IMUNITAS PADA BERBAGAI JARINGAN

A. KulitBaik serat saraf maupun sel inflamasi mampu melepaskan neuromediator sehingga mengaktivasi reseptor spesifik pada sel target dari kulit. Dermis diperkaya oleh saraf sensorik eferen primer, saraf parasimpatis kolinergik post-ganglionik, serta saraf simpatis kolinergik dan adrenergik post-ganglionik (311). Neuromediator kulit termasuk neurotransmiter klasik seperti katekolamin dan asetilkolin dilepaskan dari sistem saraf otonom. Neuropeptida termasuk substansi P, VIP dan CGRP dapat dilepaskan dari serat saraf sensorik atau otonom dan beberapa sel epidermis maupun dermis. Neuropeptida dibuktikan mengaktivasi sejumlah sel target termasuk sel Langerhans, sel endotel dan sel mast (323). Observasi oleh Egan et al. (324) menunjukkan bahwa terutama akson tak bermielin berkaitan dengan sel mast sebagaimana sel Langerhans pada primata maupun tikus.1. Neuropeptida dan Sel Mast

Sel mast kulit mampu berespon terhadap trauma, melepaskan berbagai mediator inflamasi lewat respon yang distimulasi saraf sensorik segera atau lewat refleks akson, yang menginduksi pelepasan neuropeptida dari ujung saraf perifer, yang pada gilirannya mengarah pada lebih banyak aktivasi sel mast. Neuropeptida dilepaskan sebagai respon terhadap stimulasi nosiseptif oleh nyeri, iritan mekanis dan kimiawi untuk memerantarai respon kulit terhadap infeksi, cedera dan penyembuhan luka.Efek substansi P telah digambarkan dalam keratinosit, termasuk folikel rambut, sel mast, fibroblas dan sel endotel. Peningkatan serat saraf SP-imunoreaktif epidermis telah diamati pada beberapa penyakit radang kulit manusia (325). Substansi P adalah salah satu dari neuropeptida utama yang bertanggung jawab dalam reaksi kulit yang ditandai oleh eritema, nyeri dan pembengkakan (239). Ditambah, substansi P dapat menyebabkan pelepasan histamin (326) dan TNF (327) dari sel mast kulit, yang pada gilirannya menyebabkan vasodilatasi. Capsaicin (yang melepaskan neuropeptida dari saraf) yang diberikan pada kulit manusia menginduksi pelepasan kimase dalam 6 jam dan induksi E-selektin pada endotel mikrovaskuler di dekatnya. Peristiwa ini konsisten dengan pelepasan substansi P dari akson dan stimulasi subsekuen dari interaksi sel mast yang diperantarai sitokin dan endotel. Tetapi, pemberian capsaicin identik dari kulit manusia yang dicangkokan pada tikus imunodefisien (yang jumlah akson tak bermielin-nya sedikit) gagal menunjukkan hasil temuan yang serupa (324). Hasil tersebut mendemonstrasikan bahwa akson tak bermielin menghubungkan sel Langerhans dan sel mast dermis.Interaksi kekebalan-saraf diketahui terlibat dalam kulit selama stres. Stres secara bermakna dapat meningkatkan jumlah folikel rambut yang mengandung sel apoptotik dan juga secara bermakna meningkatkan jumlah kluster makrofag perifolikuler yang diaktivasi dan jumlah sel mast yang berdegranulasi, meskipun ia menurunkan jumlah limfosit T intraepitel. Substansi P tampaknya merupakan mediator kunci dari inhibis pertumbuhan rambut yang diinduksi stres in vivo. Perubahan imun yang diinduksi stres ini dapat meniru akibat injeksi neuropeptida substansi P pada tikus non-stres (328,329). Peningkatan jumlah serat sensorik imunoreaktif-substansi P, seperti yang terlihat pada dermis dari tikus yang mengalami stres, merupakan hasil dari kadar tinggi NGF yang transien (330), menimbulkan dugaan bahwa NGF adalah elemen sentral dari inflamasi neurogenik perifolikuler yang berkembang selama terjadi respon kulit tikus terhadap stres. Jadi, stres dapat menghambat pertumbuhan rambut in vivo, kemungkinan lewat aktivasi makrofag dan/atau sel mast yang bergantung pada substansi P dan NGF.Penelitian-penelitian terbaru telah menduga bahwa sel mast memainkan peranan krusial dalam penurunan respon imun dan induksi toleransi setelah pemaparan kulit terhadap radiasi ultraviolet B (UVB). Interaksi antara sel mast dan sistem saraf tampaknya terlibat dalam supresi imun yang dimediasi UVB. TNF, dilaporkan berasal dari sel mast, diketahui sebagai sitokin utama yang terlibat dalam pensinyalan efek imunosupresif dari UVB (331). Bukti-bukti menunjukkan bahwa sel mast dipicu untuk melepaskan TNF sebagai respon atas neuropeptida CGRP, yang juga dilepaskan pada ujung saraf kulit yang dirusak UVB (332).Beberapa kondisi inflamasi kulit, termasuk dermatitis atopik dan psoriasis, diperberat oleh stres. Bukti terbaru menduga bahwa interaksi antara sel mast, neuron dan keratinosit mungkin terlibat dalam eksaserbasi tersebut. CRH dan reseptornya ditemukan dalam kulit, dan kadarnya meningkat mengikuti stres (333). Sel mast manusia mensintesis dan mensekresi CRH sebagai respon terhadap crosslink dengan reseptor IgE. Sel mast juga mengekspresikan reseptor CRH, yang aktivasinya mengarah pada pelepasan selektif sitokin dan mediator pro-inflamasi lain (334). Reseptor CRH antagonis juga dapat digunakan untuk menghambat aktivasi sel mast yang diinduksi stres dan menyediakan pilihan terapeutik baru untuk kondisi inflamasi kronis yang diperparah oleh stres.2. Neuropeptida pada Komunikasi Saraf-Sel Dendrit