NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

167
NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN [Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia] Penulis: Joko Tri Haryanto Tim Peneliti : Joko Tri Haryanto, Zakiyah, Marmiati Mawardi, Setyo Boedi Oetomo, Romzan Fauzi, Dahlan AR, Lilam Kadarin Nuryanto, Rosidin, Sulaiman, Arnis Rachmadhani Penerbit Litbangdiklat Press Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Transcript of NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Page 1: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia i

NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

[Konstruksi “Agama” dan Pelayanan

Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia]

Penulis: Joko Tri Haryanto

Tim Peneliti : Joko Tri Haryanto, Zakiyah, Marmiati Mawardi, Setyo Boedi Oetomo,

Romzan Fauzi, Dahlan AR, Lilam Kadarin Nuryanto, Rosidin, Sulaiman, Arnis Rachmadhani

Penerbit Litbangdiklat Press

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Page 2: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesiaii

NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN(Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama

dan Berkepercayaan di Indonesia)

Hak cipta dilindungi Undang-UndangAll RIghts Reserved

Penulis:Joko Tri Haryanto

Editor:Mustofa asrori

Peneliti:1. Joko Tri Haryanto (Kab. Pati Jawa Tengah)

2. Zakiyah (Kab. Pati Jawa Tengah)3. Marmiati Mawardi (Kab. Pati Jawa Tengah)

4. Setyo Boedi Oetomo (Kab. Malang Jawa Timur)5. Romzan Fauzi (Kab. Malang Jawa Timur)

6. Dahlan AR (Kab. Malang Jawa Timur)7. Lilam Kadarin Nuryanto (Kab. Malang Jawa Timur)8. Rosidin (Kab. Sumba Barat Nusa Tenggara Timur)

9. Sulaiman (Kab. Sumba Barat Nusa Tenggara Timur)10. Arnis Rachmadhani (Kab. Sumba Barat Nusa Tenggara Timur)

Desain Cover & Layout:Sugeng

Diterbitkan oleh:LITBANGDIKLAT PRESS

Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta PusatTelepon: 021-3920688

Fax: 021-3920688Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id

Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan:Pertama, November 2018

ISBN : 978-979-797-378-0

Page 3: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia iii

PRAKATA PENULIS Segala puji syukur kehadirat Allah swt. Akhirnya kami

bisa menyajikan hasil penelitian tentang kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara dalam bentuk buku ilmiah, tidak sekedar laporan teknis penelitian. Tugas mewujudkan buku ini merupakan suatu beban berat bagi kami bahkan sejak awal dirancangnya penelitian ini. Tema penelitian ini berasal dari Prof.(R) Dr. H. Koeswinarno, M.Hum. di tahun-tahun awal beliau menjadi Kepala Balai Litbang Agama Semarang. Saat itu beliau memberi tantangan kepada kami, peneliti di bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, saat itu masih disebut bidang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan penelitian dengan tema yang cukup “sensitif” yaitu bagaimana dapat dirumuskan kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara.

Padahal dalam bidang sosiologi, kata “agama” bersama dengan kata “budaya” merupakan istilah yang paling sulit didefinisikan. Apalagi hal “agama” di Indonesia ini merupakan masalah yang sensitif bagi masyarakat. Penyusunan kriteria ini tentu akan bertabrakan dengan berbagai perspektif masyarakat tentang agama yang dianutnya, lengkap dengan kepentingan masing-masing baik yang laten maupun yang manifes. Indonesia merupakan bangsa yang memiliki pluralitas agama. Tidak hanya enam agama yang dianut oleh penduduk Indonesia, tetapi juga ada agama-agama lainnya baik yang bersifat universal (dianut oleh masyarakat di berbagai negara lain di dunia) maupun kepercayaan yang berasal dan dianut oleh masyarakat secara terbatas di lokal-lokal wilayah tertentu di Tanah Air ini.

Page 4: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesiaiv

Persoalan pelayanan yang dilakukan oleh negara terhadap agama, atau tepatnya pemeluk agama di masyarakat masih seringkali mengemuka. Negara seringkali dipandang diskriminatif dalam melakukan pelayanan terhadap umat beragama, terutama agama-agama di luar enam agama yang selama ini telah mendapatkan pelayanan. Munculnya anggapan negara mengakui agama tertentu dan tidak mengakui agama lainnya, sementara ada beberapa agama yang dianggap sebagai agama resmi dan di luar itu dianggap tidak resmi sehingga tidak layak mendapatkan pelayanan. Pandangan-pandangan semacam ini tidak saja membangun citra negatif bagi pemerintah, tetapi juga menunjukkan bahwa pelayanan negara terhadap penganut agama dan kepercayaan harus diperbaiki. Salah satu akar persoalan dalam hal ini adalah adakah kriteria yang jelas tentang kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara. Hal ini karena muncul pula kekhawatiran, bahwa semua orang atau sekelompok orang bisa saja mengaku-aku sebagai kelompok agama dan menuntut mendapatkan pelayanan.

Sungguh ini pekerjaan yang sulit dan berat. Oleh karena itu, sebelum penelitian kami difasilitasi melakukan workshop untuk menajamkan arah dan metode penelitian. Petunjuk dan dukungan dari para narasumber terutama Prof. Akh. Muzakki,M.Ag, Grad Dip SEA, M.Phil, Ph.D. dari UIN Sunan Ampel, dan Prof. Dr. Jusuf Irianto, M.Com., Guru Besar Ilmu Manajemen SDM FISIP Universitas Airlangga sangat membantu di awal-awal penyusunan rencana penelitian ini. Terlebih dengan berdiskusi di kantor bersama Dr. Fatimah Husain dari UIN Sunan Kalijaga, Antropolog dari UGM Prof, Dr. Heddy Shri Ahimsa–Putra, dan Dr. M.Muhsin Jamil, MA., sosiolog UIN Walisongo Semarang semakin menyemangati para peneliti.

Page 5: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia v

Tema ini ternyata memang terbukti “seksi”, karena dalam tahun 2015-2017 persoalan pelayanan agama oleh negara ini sering mengemuka. Terakhir sekali, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian sebagian pasal-pasal dan UU Sistem Kependudukan yang berimplikasi pada keharusan negara untuk mengakomodir pencantuman kepercayaan dalam kartu tanda penduduk (KTP). Persoalan kolom agama ini sudah menjadi polemik di masyarakat sejak beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, dalam penyusunan buku ini kami merasa perlu mengakomodasi informasi-informasi terbaru.

Dengan tersusunnya buku ini, kami berharap dapat menjadi pemantik diskusi yang lebih hangat dan mendalam tentang pelayanan negara terhadap umat beragama dan berkepercayaan. Buku yang kami susun ini mungkin hanya sesuatu yang kecil, tetapi semoga ini menjadi sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Kontribusi dari tim peneliti yang telah mengumpulkan data-data dari lapangan semoga menjadi amal saleh.

Rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada Kepala Balai Litbang Agama Semarang yang telah memfasilitasi penelitian hingga terwujud buku ini; kepada para narasumber akademisi, narasumber lapangan baik dari masyarakat, komunitas-komunitas penghayat, komunitas agama-agama lokal Sedulur Sikep dan tokoh-tokoh agama Marapu, serta para pejabat di lingkungan Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, di ketiga wilayah Kabupaten Pati, Kota/Kabupaten Malang, dan Nusa Tenggara Timur, serta pihak-pihak lain atas segala dukungan dan informasinya.

Persoalan pelayanan yang dilakukan oleh negara terhadap agama, atau tepatnya pemeluk agama di masyarakat masih seringkali mengemuka. Negara seringkali dipandang diskriminatif dalam melakukan pelayanan terhadap umat beragama, terutama agama-agama di luar enam agama yang selama ini telah mendapatkan pelayanan. Munculnya anggapan negara mengakui agama tertentu dan tidak mengakui agama lainnya, sementara ada beberapa agama yang dianggap sebagai agama resmi dan di luar itu dianggap tidak resmi sehingga tidak layak mendapatkan pelayanan. Pandangan-pandangan semacam ini tidak saja membangun citra negatif bagi pemerintah, tetapi juga menunjukkan bahwa pelayanan negara terhadap penganut agama dan kepercayaan harus diperbaiki. Salah satu akar persoalan dalam hal ini adalah adakah kriteria yang jelas tentang kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara. Hal ini karena muncul pula kekhawatiran, bahwa semua orang atau sekelompok orang bisa saja mengaku-aku sebagai kelompok agama dan menuntut mendapatkan pelayanan.

Sungguh ini pekerjaan yang sulit dan berat. Oleh karena itu, sebelum penelitian kami difasilitasi melakukan workshop untuk menajamkan arah dan metode penelitian. Petunjuk dan dukungan dari para narasumber terutama Prof. Akh. Muzakki,M.Ag, Grad Dip SEA, M.Phil, Ph.D. dari UIN Sunan Ampel, dan Prof. Dr. Jusuf Irianto, M.Com., Guru Besar Ilmu Manajemen SDM FISIP Universitas Airlangga sangat membantu di awal-awal penyusunan rencana penelitian ini. Terlebih dengan berdiskusi di kantor bersama Dr. Fatimah Husain dari UIN Sunan Kalijaga, Antropolog dari UGM Prof, Dr. Heddy Shri Ahimsa–Putra, dan Dr. M.Muhsin Jamil, MA., sosiolog UIN Walisongo Semarang semakin menyemangati para peneliti.

Page 6: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesiavi

Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini. Oleh karena itu segala saran, masukan, dan kritikan akan kami terima dengan senang hati.

Penulis

Page 7: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia vii

DAFTAR ISI

Prakata Penulis ........................................................................... iii Daftar Isi...................................................................................... ix PROLOG : PROBLEMATIKA PELAYANAN NEGARA TERHADAP UMAT BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN ................................................................ 1 MENDISKUSIKAN AGAMA DAN PELAYANAN NEGARA .................................................................................... 13 Perspektif-Perspektif tentang Agama ..................................... 13 Kebebasan Beragama .............................................................. 24 Pelayanan Negara ...................................................................... 30 Pelayanan Negara terhadap Agama ..................................... 37 REALITAS SOSIAL KEAGAMAAN DAN PROSES MENUJU REFORMULASI ....................................................... 43 Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Pati Jawa Tengah ......................................................................................... 45 Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Malang Jawa Timur ........................................................................................... 53 Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Sumba Barat NTT .............................................................................................. 60 Proses Menuju Reformulasi Kriteria Agama yang Dilayani ....................................................................................... 64 KRITERIA “AGAMA” DAN PROBLEM PELAYANAN OLEH NEGARA ........................................................................ 75 Pandangan Masyarakat tentang Kriteria Agama ................ 75 Persoalan dalam Pelayanan Negara terhadap Pemeluk Agama ....................................................................................... 85

Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini. Oleh karena itu segala saran, masukan, dan kritikan akan kami terima dengan senang hati.

Penulis

Page 8: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesiaviii

REFORMULASI KRITERIA “AGAMA” DAN PELAYANAN NEGARA ...................................................... 103 Reformulasi Kriteria Agama dalam Konteks Pelayanan Negara ......................................................................................... 103 Rekonstruksi Pelayanan Negara terhadap Umat Beragama dan berkeyakinan ...................................................................... 110 EPILOG : BERANI UNTUK MELAYANI ............................... 115 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 121 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. POLICY BRIEF “REFORMULASI KRITERIA AGAMA

DALAM KONTEKS PELAYANAN NEGARA” .......... 127 2. KERANGKA ACUAN FOCUSED-GROUP

DISCUSSION (FGD) “KRITERIA AGAMA YANG DAPAT DILAYANI OLEH NEGARA” ........................... 139

3. PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ ATAU PENODAAN AGAMA ......................................... 145

4. PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 ...................................................................................... 149

INDEKS ....................................................................................... 155

Page 9: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 1

PROLOG : PROBLEMATIKA PELAYANAN NEGARA

TERHADAP UMAT BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN

Pemerintah Indonesia telah berupaya serius untuk memutus mata rantai kebijakan yang dinilai diskriminatif dalam pelayanan terhadap masyarakat untuk mendirikan tatanan kehidupan bersama yang lebih adil dan bermartabat. Upaya ini didasarkan pada pengakuan kesetaraan warga negara apapun latar belakang suku, bahasa, adat, kepercayaan, warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Hal ini tercermin dalam Amandemen UUD 1945, dan ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, antara lain: Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi rasial dan etnis.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, bahkan menegaskan bahwa dirinya adalah menterinya semua agama. Hal ini dinyatakan oleh Menteri Agama pada saat menjadi Keynote Speech pada VOA Indonesia Conference dengan tema “The Role of Media In Diversity Reporting In a Diverse Society” di Bandung 10 Agustus 2015 (Kemenag: 2015). Pernyataan ini menjadi “garansi” terhadap kemerdekaan beragama yang tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama lainnya yang ada di Indonesia.

REFORMULASI KRITERIA “AGAMA” DAN PELAYANAN NEGARA ...................................................... 103 Reformulasi Kriteria Agama dalam Konteks Pelayanan Negara ......................................................................................... 103 Rekonstruksi Pelayanan Negara terhadap Umat Beragama dan berkeyakinan ...................................................................... 110 EPILOG : BERANI UNTUK MELAYANI ............................... 115 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 121 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. POLICY BRIEF “REFORMULASI KRITERIA AGAMA

DALAM KONTEKS PELAYANAN NEGARA” .......... 127 2. KERANGKA ACUAN FOCUSED-GROUP

DISCUSSION (FGD) “KRITERIA AGAMA YANG DAPAT DILAYANI OLEH NEGARA” ........................... 139

3. PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ ATAU PENODAAN AGAMA ......................................... 145

4. PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 ...................................................................................... 149

INDEKS ....................................................................................... 155

Page 10: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia2

Berbagai peraturan perundangan tersebut ternyata tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat secara adil, beberapa penganut/pemeluk agama khususnya selain enam agama besar masih mengeluhkan adanya sejumlah diskriminasi atau pembedaan perlakuan pelayanan negara terhadap mereka. Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Perkembangan dan Pelayanan Hak-Hak Sipil Agama Baha’i, Sikh, dan Tao di Indonesia tahun 2014, misalnya menyebutkan, bahwa di beberapa daerah hak-hak sipil para penganut agama-agama tersebut tidak terlayani dengan baik. Mereka belum dapat mencantumkan agamanya dalam KTP, secara umum mereka juga mendapatkan kesulitan dalam beberapa pelayanan hak sipil mereka seperti proses pencatatan perkawinan, akte kelahiran anak, dan pendidikan agama di sekolah sesuai agama/keyakinan (Nuh, 2014).

Salah satu contoh kasus yang sempat menjadi polemik adalah status Agama Baha’i. Berawal dari pertanyaan tentang status agama ini oleh Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pelayanan kependudukan, Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari pemerintah (Dokumen surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

Page 11: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 3

Contoh persoalan dalam pelayanan negara terhadap agama-agama adalah dalam bidang Administasi kependudukan. Dokumen kependudukan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) beberapa waktu lalu terjadi polemik tentang pencantuman agama dalam kolom di KTP. Sebagian masyarakat setuju dan mendukung agar kolom agama dalam KTP tetap diadakan, sementara sebagian masyarakat yang lain menolak dan menginginkan agar kolom agama tersebut dihapuskan. Demikian pula belum ada keseragaman dari lembaga yang berwenang terhadap keberadaan aliran kepercayaan. Ada daerah yang mencantumkannya sebagai aliran kepercayaan, ada yang mengosongkan, ada yang “dipaksa” mencantumkan salah agama dari 6 agama mayoritas (Rosyid, 2015: 136-138).

Perkembangan terbaru dari polemik kolom agama pada KTP ini adalah dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pengujian Pasal 61 dan 64 pada UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admisnitrasi Kependudukan berimplikasi pada perubahan pencantuman data agama yang harus mencakup pula Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain masalah pengertian agama dalam undang-undang tersebut, persoalan lainnya adalah pencantuman data agama bagi penganut kepercayaan ini sesuai prinsip pelayanan publik yang non-diskriminasi. Keputusan MK ini bersifat final dan mengikat bagi semua pihak termasuk pemerintah. Namun keputusan ini juga menimbulkan polemik dalam pengaturan pedataan administrasi kependudukan. Keputusan MK yang bersifat final dan mengikat ini mengabulkan permohonan dari pihak pemohon yang merupakan perwakilan penghayat kepercayaan untuk mencantumkan nama kepercayaan dalam data penduduk pada elemen data agama, yang dalam UU

Berbagai peraturan perundangan tersebut ternyata tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat secara adil, beberapa penganut/pemeluk agama khususnya selain enam agama besar masih mengeluhkan adanya sejumlah diskriminasi atau pembedaan perlakuan pelayanan negara terhadap mereka. Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Perkembangan dan Pelayanan Hak-Hak Sipil Agama Baha’i, Sikh, dan Tao di Indonesia tahun 2014, misalnya menyebutkan, bahwa di beberapa daerah hak-hak sipil para penganut agama-agama tersebut tidak terlayani dengan baik. Mereka belum dapat mencantumkan agamanya dalam KTP, secara umum mereka juga mendapatkan kesulitan dalam beberapa pelayanan hak sipil mereka seperti proses pencatatan perkawinan, akte kelahiran anak, dan pendidikan agama di sekolah sesuai agama/keyakinan (Nuh, 2014).

Salah satu contoh kasus yang sempat menjadi polemik adalah status Agama Baha’i. Berawal dari pertanyaan tentang status agama ini oleh Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pelayanan kependudukan, Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari pemerintah (Dokumen surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

Page 12: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia4

Adminduk tersebut mengatur untuk penganut penghayat kepercayaan dalam kolom tersebut dikosongi atau diberi tanda strip (-).

Permasalahan kolom agama sebenarnya telah lama mengemuka terutama sewaktu Menteri Dalam Negeri melontarkan ide penghapusan kolom agama pada KTP. Ide ini kemudian ditentang oleh banyak kalangan terutama dari kelompok agamawan (Mustolehudin dan Muawanah, 2017: 231-242). Keputusan MK tersebut malah menguatkan agar pencantuman atau pemerincian data “agama” harus mencakup pula “kepercayaan”. Dengan demikian kolom agama dalam administrasi kependudukan tetap diadakan dan juga mencakup antara agama dan kepercayaan.

Tanggapan masyarakat terhadap keputusan MK ini beragam antara yang pro dan kontra. KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi soal aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP akan menjadi polemik di masyarakat. Walaupun fatwa MK itu sifatnya final dan mengikat tetapi implikasinya besar sekali. MUI tegas menolak keputusan MK soal penghayat kepercayaan karena aliran kepercayaan tidak bisa disetarakan dengan agama dan bukan termasuk identitas (Kompas 13/11/2017, Republika 16/11/2017). Kalangan politisi, di antaranya Djan Faridz dari PPP juga mempersoalkan keputusan MK tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan keresahan masyarakat dan menyulitkan pemerintah dalam implementasinya (Sindonews, 14/11/2017).

Pihak yang menyambut baik keputusan ini terutama adalah para penghayat kepercayaan termasuk penganut agama lokal. Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan

Page 13: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 5

Indonesia Pusat, Naen Soeryono, mengapresiasi keputusan MK tersebut, karena dari masalah kolom agama tersebut banyak hak warga Penghayat Kepercayaan yang diabaikan dan cenderung mendapat perlakuan diskriminatif dalam layanan kependudukan, pendidikan, hingga penerimaan pegawai negeri sipil dan TNI-Polri (voaindonesia 8/11/2017). Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, menanggapi posistif keputusan MK itu dari sisi kebangsaan Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika yang memang harus mengakomodasi kepentingan penghayat kepercayaan (Metrotvnews, 13/11/2017).

Pihak pemerintah sendiri menerima Keputusan MK sebagai keputusan bersifat final dan mengikat. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa pemerintah akan melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya implikasi status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom Agama di KTP elektronik (Kompas, 7/11/2017). Kepala Biro Humas Data, dan Informasi Kementerian Agama, Mastuki, Kemenag menghormati dan mendukung penuh keputusan MK dan ikut melindungi penghayat kepercayaan dari diskriminasi (CNN Indonesia, 8/11/2017).

Permasalahan lainnya adalah pendidikan agama di sekolah, di mana sesuai amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, lembaga pendidikan wajib memberikan agama sesuai agama siswa dan diajarkan oleh guru seagama. Namun dalam praktiknya, agama-agama minoritas dan penganut aliran kepercayaan tidak mendapatkan haknya untuk mempelajari agamanya. Berbagai persoalan tersebut terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang masyarakatnya terdapat pemeluk agama di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Adminduk tersebut mengatur untuk penganut penghayat kepercayaan dalam kolom tersebut dikosongi atau diberi tanda strip (-).

Permasalahan kolom agama sebenarnya telah lama mengemuka terutama sewaktu Menteri Dalam Negeri melontarkan ide penghapusan kolom agama pada KTP. Ide ini kemudian ditentang oleh banyak kalangan terutama dari kelompok agamawan (Mustolehudin dan Muawanah, 2017: 231-242). Keputusan MK tersebut malah menguatkan agar pencantuman atau pemerincian data “agama” harus mencakup pula “kepercayaan”. Dengan demikian kolom agama dalam administrasi kependudukan tetap diadakan dan juga mencakup antara agama dan kepercayaan.

Tanggapan masyarakat terhadap keputusan MK ini beragam antara yang pro dan kontra. KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi soal aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP akan menjadi polemik di masyarakat. Walaupun fatwa MK itu sifatnya final dan mengikat tetapi implikasinya besar sekali. MUI tegas menolak keputusan MK soal penghayat kepercayaan karena aliran kepercayaan tidak bisa disetarakan dengan agama dan bukan termasuk identitas (Kompas 13/11/2017, Republika 16/11/2017). Kalangan politisi, di antaranya Djan Faridz dari PPP juga mempersoalkan keputusan MK tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan keresahan masyarakat dan menyulitkan pemerintah dalam implementasinya (Sindonews, 14/11/2017).

Pihak yang menyambut baik keputusan ini terutama adalah para penghayat kepercayaan termasuk penganut agama lokal. Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan

Page 14: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia6

Budha, dan Khonghucu). Di Jawa Tengah misalnya, terdapat penganut Agama Baha’i yang telah eksis sejak tahun 1959 di kabupaten Pati, komunitas Sedulur Sikep yang mengaku menganut Agama Adam, dan para penganut aliran kepercayaan. Di Jawa Timur juga demikian, terdapat penganut Agama Baha’i dan aliran kepercayaan. Sementara di wilayah luar Jawa, terutama di Nusa Tenggara Timur, ada banyak komunitas-komunitas agama lokal, seperti Marapu, Boti, Jingitiu, dan sebagainya. Para pemeluk agama di luar enam agama besar ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh negara karena persoalan identitas agamanya.

Kasus di atas hanyalah sedikit dari ilustrasi tentang bagaimana masyarakat Indonesia secara umum dan khususnya aparatur pemerintah belum memiliki keseragaman atas pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan para pemeluknya. Munculnya polemik mengenai agama mana yang patut mendapatkan pelayanan dari negara mengemuka karena dalam implementasi pelayanan terhadap warga negara, terkait dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya masih belum ada keseragaman oleh lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga memunculkan adanya diskriminasi terhadap penganut agama atau kepercayaan tertentu. Padahal faktanya, Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, di mana di dalamnya hidup secara berdampingan berbagai suku bangsa dan pemeluk agama. Keberagamaan di Indonesia dalam konteks sosiologis bangsa Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam Penetapan Presiden no. 1/Pn.Ps/1965 setidaknya menyebutkan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Agama-agama di luar yang disebutkan di atas juga diterima dan dibiarkan keberadaannya di Indonesia. Semua umat

Page 15: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 7

beragama memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, sehingga dalam berbangsa juga harus ada egalitarian atau kesetaraan yang saling hormat menghormati antarkelompok masyarakat, termasuk antarumat beragama.

Setiap warga negara dilindungi oleh undang-undang untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya. Namun dalam praktiknya, terjadi pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama ini. Pelanggaran ini dapat dilakukan tidak hanya dilakukan oleh kelompok umat beragama kepada umat yang lain, atau kelompok faham agama terhadap kelompok yang lain, bahkan juga oleh negara. Terlebih, karena negara berdasarkan konstitusi berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia, tanpa terkecuali, di antaranya melindungi kebebasan beragama, maka dengan ketidakadanya perlindungan dan pelayanan, serta sikap deskriminatif terhadap kelompok agama tertentu, maka hal itu juga termasuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama (Fauzi dan Panggabean [eds.], 2009).

Salah satu fenomena yang dirasa penting pada tahun-tahun belakangan ini adalah isu pelayanan negara terhadap umat beragama. Catatan penting dalam konteks keagamaan di Indonesia, antara lain:

1. Negara memberikan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi, yakni dalam Pasal 29 UUD 1945.

2. Negara atau pemerintah tidak berada dalam posisi mengakui atau tidak mengakui agama-agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.

3. Bangsa Indonesia secara faktual menganut berbagai agama dan kepercayaan, di mana agama yang dianut oleh

Budha, dan Khonghucu). Di Jawa Tengah misalnya, terdapat penganut Agama Baha’i yang telah eksis sejak tahun 1959 di kabupaten Pati, komunitas Sedulur Sikep yang mengaku menganut Agama Adam, dan para penganut aliran kepercayaan. Di Jawa Timur juga demikian, terdapat penganut Agama Baha’i dan aliran kepercayaan. Sementara di wilayah luar Jawa, terutama di Nusa Tenggara Timur, ada banyak komunitas-komunitas agama lokal, seperti Marapu, Boti, Jingitiu, dan sebagainya. Para pemeluk agama di luar enam agama besar ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh negara karena persoalan identitas agamanya.

Kasus di atas hanyalah sedikit dari ilustrasi tentang bagaimana masyarakat Indonesia secara umum dan khususnya aparatur pemerintah belum memiliki keseragaman atas pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan para pemeluknya. Munculnya polemik mengenai agama mana yang patut mendapatkan pelayanan dari negara mengemuka karena dalam implementasi pelayanan terhadap warga negara, terkait dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya masih belum ada keseragaman oleh lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga memunculkan adanya diskriminasi terhadap penganut agama atau kepercayaan tertentu. Padahal faktanya, Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, di mana di dalamnya hidup secara berdampingan berbagai suku bangsa dan pemeluk agama. Keberagamaan di Indonesia dalam konteks sosiologis bangsa Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam Penetapan Presiden no. 1/Pn.Ps/1965 setidaknya menyebutkan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Agama-agama di luar yang disebutkan di atas juga diterima dan dibiarkan keberadaannya di Indonesia. Semua umat

Page 16: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia8

mayoritas bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

4. Agama-agama selain yang disebutkan tersebut bukan berarti tidak diakui negara.

5. Beberapa bentuk keagamaan dan kepercayaan di beberapa wilayah di Indonesia yang secara terbatas dianut oleh masyarakat menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri dan menuntut pula pelayanan negara terhadapnya.

6. Negara wajib melakukan pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan amanat konstitusi dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah negara memiliki kesulitan-kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Namun negara memiliki kewajiban konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama melalui pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia. Untuk itu, negara perlu memiliki kriteria yang jelas mengenai “agama” yang dapat dilayani oleh negara dan bagaimana bentuk pelayanan yang dapat diberikan negara terhadap umat beragama dan berkepercayaan.

Adapun agama dan kepercayaan di Indonesia, dalam realitasnya tidak hanya enam agama mayoritas yang disebutkan dalam PNPS Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda

Page 17: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 9

Wiwitan, Agama Kaharingan, Agama Baha’i, dan sebagainya. Demikian pula dalam agama-agama mayoritas pun terdapat aliran-aliran yang dianggap berbeda dari arus utama agama tersebut, misalnya Aliran Syiah dan Ahmadiyah dalam Islam atau Saksi Yehova, Gereja Mormon dan Gereja Ortodoks dalam agama Kristen. Berbagai agama dan kepercayaan tersebut juga dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 sebagai bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi.

Berangkat dari hal-hal di atas, buku ini mencoba memantik dan memberi bahan diskusi terkait dengan konsep kriteria “agama” yang dapat dilayani oleh negara. Beberapa hal penting yang hendak diajukan dalam buku ini adalah kriteria yang bersifat operasional tentang pengertian agama yang dapat dilayani oleh negara; dan konsep implementatif pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan pemeluknya. Ujung muara dari diskusi ini diharapkan sampai pada bentuk perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi pemerintah dan kerangka acuan dalam melaksanakan pelayanan terhadap umat beragama sebagai warga negara Indonesia melalui beberapa kementerian terkait. Kementerian Agama mengemban tanggung jawab dalam pembangunan bidang agama dapat memanfaatkan buku ini dalam tugasnya melayani segenap umat beragama di Indonesia. Selain Kementerian Agama, hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi pemerintah secara umum dalam pelayanan kepada masyarakat yang terkait dengan kehidupan keagamaan, misalnya bidang kependudukan, pendidikan, hukum, dan sebagainya. Dengan demikian tulisan ini juga penting bagi

mayoritas bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

4. Agama-agama selain yang disebutkan tersebut bukan berarti tidak diakui negara.

5. Beberapa bentuk keagamaan dan kepercayaan di beberapa wilayah di Indonesia yang secara terbatas dianut oleh masyarakat menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri dan menuntut pula pelayanan negara terhadapnya.

6. Negara wajib melakukan pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan amanat konstitusi dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah negara memiliki kesulitan-kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Namun negara memiliki kewajiban konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama melalui pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia. Untuk itu, negara perlu memiliki kriteria yang jelas mengenai “agama” yang dapat dilayani oleh negara dan bagaimana bentuk pelayanan yang dapat diberikan negara terhadap umat beragama dan berkepercayaan.

Adapun agama dan kepercayaan di Indonesia, dalam realitasnya tidak hanya enam agama mayoritas yang disebutkan dalam PNPS Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda

Page 18: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia10

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Menjelaskan Prosedur

Buku ini diolah dari hasil penelitian Balai Litbang Agama Semarang yang mengangkat topik kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara, di mana tema ini mengandung isu penting yakni kriteria agama dalam konteks administrasi negara; dan pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan umat pemeluknya. Kriteria agama membutuhkan pandangan-pandangan inklusif tentang agama dan hubungannya dengan negara. Adapun pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama penting dikaji dalam konteks evaluasi terhadap kebijakan negara dalam melayani umat beragama. Pendekatan kualitatif akan digunakan dalam penelitian ini, di mana penelitian ini akan mendeskripsikan posisi agama-agama dalam sistem pelayanan negara, dan analisis evaluasi kebijakan negara dalam melayani agama dan umat beragama.

Data-data bersumber dari pengumpulan data di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan representasi dari kondisi masyarakat Jawa pada umumnya, di mana karakteristik yang diharapkan adalah dominasi budaya Jawa yang mayoritas Islam sehingga kelompok agama lain menjadi minoritas, termasuk kelompok-kelompok aliran kepercayaan cukup banyak. Di Jawa Tengah terdapat penganut agama lokal,

Page 19: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 11

agama selain enam agama besar di Indonesia, dan aliran keagamaan, seperti komunitas Sedulur Sikep atau Samin yang menganut Agama Adam, umat Agama Baha’i, dan penganut aliran kepercayaan. Adapun Provinsi Nusa Tenggara Timur dipandang representasi dari kondisi masyarakat wilayah Indonesia bagian timur, di mana karakteristik masyarakatnya merupakan percampuran berbagai suku bangsa yang didominasi oleh Agama Katolik dan Kristen. Di NTT juga masih terdapat agama-agama lokal, seperti Agama Marapu yang dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat.

Tabel 1. Kondisi Umat Beragama di Tiga Lokasi

Pati - Jateng Malang - Jatim

Sumba Barat - NTT

Agama besar 6 agama besar 6 agama besar

6 agama besar

Mayoritas Islam Islam Kristen

Agama minoritas

Baha’i Baha’i -

Agama lokal Sedulur Sikep/Samin

- Marapu (terbesar)

Aliran keagamaan lain

Ahmadiyah, Syiah

Ahmadiyah, Syiah, al-Umm

Saksi Yehova

Aliran kepercayaan

16 aliran 30 aliran 200-an aliran

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Menjelaskan Prosedur

Buku ini diolah dari hasil penelitian Balai Litbang Agama Semarang yang mengangkat topik kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara, di mana tema ini mengandung isu penting yakni kriteria agama dalam konteks administrasi negara; dan pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan umat pemeluknya. Kriteria agama membutuhkan pandangan-pandangan inklusif tentang agama dan hubungannya dengan negara. Adapun pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama penting dikaji dalam konteks evaluasi terhadap kebijakan negara dalam melayani umat beragama. Pendekatan kualitatif akan digunakan dalam penelitian ini, di mana penelitian ini akan mendeskripsikan posisi agama-agama dalam sistem pelayanan negara, dan analisis evaluasi kebijakan negara dalam melayani agama dan umat beragama.

Data-data bersumber dari pengumpulan data di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan representasi dari kondisi masyarakat Jawa pada umumnya, di mana karakteristik yang diharapkan adalah dominasi budaya Jawa yang mayoritas Islam sehingga kelompok agama lain menjadi minoritas, termasuk kelompok-kelompok aliran kepercayaan cukup banyak. Di Jawa Tengah terdapat penganut agama lokal,

Page 20: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia12

Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, FGD, observasi, dan telaah dokumen/literatur. Informan dan narasumber meliputi penerima pelayanan yang terdiri dari kelompok 6 agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu), kelompok agama yang “belum diakui”, komunitas agama-agama lokal, dan komunitas Aliran Kepercayaan; dan pelaku pelayanan bidang agama (Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Tehnik Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan, berbagi pengalaman dan pengetahuan antar peserta FGD terkait dengan tema ini.

Adapun telaah dokumen dilakukan terhadap regulasi dan kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) terkait dengan pelayanan terhadap agama dan umat beragama. Telaah lainnya dilakukan terhadap pustaka hasil kajian atau penelitian terkait dengan kasus-kasus pelayanan negara terhadap umat beragama, termasuk kasus-kasus terkait pelayanan negara terhadap kelompok-kelompok agama yang ada di masyarakat.

Strategi analisis dalam buku ini menggunakan pendekatan kebijakan karena terkait dengan tindakan-tindakan negara. Analisis yang dilakukan menggunakan model integratif, yakni analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang timbul, baik sebelum’ maupun ‘sesudah’ suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini untuk mendapatkan solusi untuk pengembangan ke depan, dan evaluasi atas kebijakan yang telah dilakukan secara terintegrasi (Suharto, 2008).

Page 21: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 13

MENDISKUSIKAN “AGAMA” DAN PELAYANAN NEGARA

Perspektif-perspektif tentang Agama

Agama dalam masyarakat, dapat dipandang dari perspektif teologis sekaligus sosiologis. Namun demikian perspektif teologis dan sosiologis ini akan bertemu dan bermuara pada satu hal yang sama yaitu masyarakat itu sendiri. Bahkan agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal oleh karena semua masyarakat memiliki suatu cara berfikir dan pola perilaku yang layak disebut sebagai agama atau dipandang sebagai sikap religius yang diwujudkan dalam simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik guna menunjukkan atau memahami eksistensi keberadaan dirinya dalam kehidupan ini. (Sonderson, 1993 : 517)

Definisi agama menurut Sonderson (1993 : 520), yaitu:

a. Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktik maupun seperangkat kepercayaan, di mana kepercayaan ritual itu terorganisir secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota masyarakat atau beberapa segmen masyarakat.

b. Kepercayaan-kepercayaan yang bersangkutan dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan memvalidasi secara empirik karena tidak ada sangkut pautnya dengan pembuktian dan kesahihan ilmiah.

Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, FGD, observasi, dan telaah dokumen/literatur. Informan dan narasumber meliputi penerima pelayanan yang terdiri dari kelompok 6 agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu), kelompok agama yang “belum diakui”, komunitas agama-agama lokal, dan komunitas Aliran Kepercayaan; dan pelaku pelayanan bidang agama (Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Tehnik Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan, berbagi pengalaman dan pengetahuan antar peserta FGD terkait dengan tema ini.

Adapun telaah dokumen dilakukan terhadap regulasi dan kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) terkait dengan pelayanan terhadap agama dan umat beragama. Telaah lainnya dilakukan terhadap pustaka hasil kajian atau penelitian terkait dengan kasus-kasus pelayanan negara terhadap umat beragama, termasuk kasus-kasus terkait pelayanan negara terhadap kelompok-kelompok agama yang ada di masyarakat.

Strategi analisis dalam buku ini menggunakan pendekatan kebijakan karena terkait dengan tindakan-tindakan negara. Analisis yang dilakukan menggunakan model integratif, yakni analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang timbul, baik sebelum’ maupun ‘sesudah’ suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini untuk mendapatkan solusi untuk pengembangan ke depan, dan evaluasi atas kebijakan yang telah dilakukan secara terintegrasi (Suharto, 2008).

Page 22: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia14

c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah.

Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu masyarakat, (Berger, 1991: 59) yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann, (Berger, 1991: 205) bahwa agama merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti pedapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence. Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius.

Agama merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan turut serta dalam membentuk jiwa dan pandangan hidup manusia Indonesia. Ajaran agama yang dilakukan oleh pengikutnya merupakan hasil interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran (teks-teks suci) yang kemudian dijadikan sebagai model pengetahuan bagi mereka. Model-model pengetahuan tersebut menjadi keyakinan dan pedoman untuk mewujudkan tindakan-tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Durkheim (dalam Perucci, 1977 : 298) memberikan definisi agama sebagai satu kesatuan dan sistem kepercayaan dan praktiknya yang dihubungkan

Page 23: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 15

dengan sesuatu yang bersifat suci (sakral) dan disatukan dalam sebuah komunitas sosial dengan kepatuhan / ketaatan atau individu yang ada di dalamnya terhadap segala perintah dan larangan.

Agama dalam kehidupan manusia dapat dipahami dan diamalkan menurut atau sesuai dengan pemahaman dan pengalaman pemeluk agama tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wach (1983: 108) bahwa pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi pengalaman keagamaan tersebut mencakup: dimensi pemikiran keagamaan, dimensi peribadatan atau ritual keagamaan, dan dimensi kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan.

Penjelasan terhadap elaborasi Wach adalah pertama, dimensi pemikiran diterapkan untuk mengungkap tentang materi pembinaan dalam pemikiran atau keyakinan keagamaan. Pada dimensi ini akan mencakup konsepsi ketuhanan, sifat-sifat Tuhan, dewa, makhluk halus, hakekat hidup sesudah mati. Sistem keyakinan erat hubungannya dengan sistem upacara serta menentukan tata urut dari unsur dan rangkaian acara serta peralatan yang dipakai dalam upacara (Koentjaraningrat, 1990:147).

Kedua, dimensi peribadatan merupakan pengamalan keagamaan yang nyata yaitu suatu tanggapan total mendalam atau integritas atas Tuhan. Pada dimensi ini akan digunakan untuk pengungkapan materi pembinaan dalam aspek ritual atau peribadatan. Sedang upacara/ritual ini sebuah sistem upacara yang terdiri atas aneka macam upacara seperti berdoa, bersujud, berkurban, bersesaji, berpuasa dan lainnya. Beberapa jenis upacara keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara siklus atau berkala, dan ada pula upacara

c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah.

Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu masyarakat, (Berger, 1991: 59) yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann, (Berger, 1991: 205) bahwa agama merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti pedapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence. Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius.

Agama merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan turut serta dalam membentuk jiwa dan pandangan hidup manusia Indonesia. Ajaran agama yang dilakukan oleh pengikutnya merupakan hasil interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran (teks-teks suci) yang kemudian dijadikan sebagai model pengetahuan bagi mereka. Model-model pengetahuan tersebut menjadi keyakinan dan pedoman untuk mewujudkan tindakan-tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Durkheim (dalam Perucci, 1977 : 298) memberikan definisi agama sebagai satu kesatuan dan sistem kepercayaan dan praktiknya yang dihubungkan

Page 24: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia16

yang dilakukan hanya sekali waktu atau tidak berkala (Koentjaraningrat, 1990:147).

Ketiga, dimensi persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan. Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu organisasi penyiaran agama (Koentjaraningrat, 1990:148).

Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Menurut Koentjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990:377). Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-unsur rangkaian upacara serta peralatan upacara (Koentjaraningrat, 1990:157). Sistem upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1990:147).

Istilah religi juga sering digunakan untuk menggantikan kata agama. Religi (Koentjaraningrat, 1985: 230), yakni suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius; (2) sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supranatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau

Page 25: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 17

makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut (dalam komponen 2), dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut (dalam komponen 3).

Dengan menggunakan istilah religi, Koentjaraningrat (1974, 1984) membedakan tiga pengertian, yaitu (1) agama dipakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha, (2) religi untuk sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, dan gerakan-gerakan kebatinan, dan sebagainya, (3) kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, yaitu, komponen kedua dalam tiap agama maupun religi (sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, supernatural, serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan).

Puspito (1989: 35) menjelaskan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial atau kemasyarakatan. Dalam hal ini, agama bukan hanya dipandang sebagai seperangkat aturan mutlak yang datangnya dari Tuhan, akan tetapi dipandang sebagai perangkat aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Senantiasa ada dimensi kemasyarakatan yang berhimpitan antaragama satu dan agama lain.

Sosiologi agama – secara konsepsional – menggunakan dua istilah untuk menjelaskan fenomena kegamaan manusia. Istilah yang pertama adalah “religi” yaitu hal-hal atau fenomena-fenomena umum yang berhubungan dengan yang

yang dilakukan hanya sekali waktu atau tidak berkala (Koentjaraningrat, 1990:147).

Ketiga, dimensi persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan. Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu organisasi penyiaran agama (Koentjaraningrat, 1990:148).

Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Menurut Koentjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990:377). Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-unsur rangkaian upacara serta peralatan upacara (Koentjaraningrat, 1990:157). Sistem upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1990:147).

Istilah religi juga sering digunakan untuk menggantikan kata agama. Religi (Koentjaraningrat, 1985: 230), yakni suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius; (2) sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supranatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau

Page 26: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia18

sakral (sacred). Istilah yang kedua adalah “agama” yang menunjuk pada institusi-institusi yang berbeda-beda dan khusus yang berhubungan dengan Yang Mahasuci (Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, 2010: 470-471). Emile Durkheim menyatukan kedua konsep itu ke dalam satu definisi dengan menegaskan bahwa agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang; kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan yang meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja (Emile Durkheim, 1915: 62).

Kerangka konseptual tersebut di atas dapat juga dilihat dari dua segi agama, yaitu segi substantif dan segi fungsional. Secara substantif agama mencakup karakteristik esensial kepercayaan manusia akan fenonema luar biasa yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat dijelaskan oleh intelektualitasnya. Sedangkan secara fungsional agama menggambarkan utilitas atau manfaatnya bagi kehidupan individu dan/atau masyarakat, misalnya dalam hal memberi makna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, segi substantif menyatakan apa itu agama sementara segi fungsional menyatakan apa yang dilakukan oleh agama (Inger Furseth, 2006:18). Dari segi fungsional atau empiris agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibentuk oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya (Hendropuspito, 1983: 34).

Page 27: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 19

Baron van Hugel (dalam Dorothee Soelle, 2001: 49) mengatakan bahwa setiap agama yang hidup memiliki tiga elemen agama, yaitu elemen institusional, elemen intelektual, dan elemen mystikal. Elemen pertama mencakup obligasi-obligasi organisasi sosial dan aspek-aspek historis agama. Elemen kedua mencakup pokok-pokok kepercayaan (credo), ajaran, dan pengakuan iman. Sedangkan elemen mystikal meliputi aspek-aspek ritual dan pengalaman batiniah dengan Tuhan.

Dukheim (1965:62) dalam karyanya “The Elementary Forms of The Religious Life”, bahwa agama adalah suatu suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktik-praktik yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang secred, yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang mengajarkan moral yang tinggi ke dalam suatu komunitas, yang disebut gereja di mana semua orang mengidentifikasikan diri padanya. Selain itu, teori agama sebagaimana yang dikemukakan oleh Geertz (1973: 90), dalam bukunya “Abangan, Santri dan Priyayi, dalam Masyarakat Jawa” mengatakan bahwa “Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.”

sakral (sacred). Istilah yang kedua adalah “agama” yang menunjuk pada institusi-institusi yang berbeda-beda dan khusus yang berhubungan dengan Yang Mahasuci (Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, 2010: 470-471). Emile Durkheim menyatukan kedua konsep itu ke dalam satu definisi dengan menegaskan bahwa agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang; kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan yang meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja (Emile Durkheim, 1915: 62).

Kerangka konseptual tersebut di atas dapat juga dilihat dari dua segi agama, yaitu segi substantif dan segi fungsional. Secara substantif agama mencakup karakteristik esensial kepercayaan manusia akan fenonema luar biasa yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat dijelaskan oleh intelektualitasnya. Sedangkan secara fungsional agama menggambarkan utilitas atau manfaatnya bagi kehidupan individu dan/atau masyarakat, misalnya dalam hal memberi makna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, segi substantif menyatakan apa itu agama sementara segi fungsional menyatakan apa yang dilakukan oleh agama (Inger Furseth, 2006:18). Dari segi fungsional atau empiris agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibentuk oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya (Hendropuspito, 1983: 34).

Page 28: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia20

Pada dasarnya agama berhubungan dengan sistem kepercayaan terhadap dewa atau dewa-dewa yang bersemayam dalam kekuatan gaib suatu benda. Beberapa kepercayaan disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan ritual pemujaan (Isaacs, 1993). Agama berperan sebagai pengikat para pemeluknya dalam suatu ikatan kepercayaan terhadap Tuhan atau Dewa, serta sekaligus sebagai sarana penghubung di antara manusia. Agama masuk dalam ruang bawah sadar dan mengejawantah dalam kehidupan sehari hari para pengikutnya. Selain itu, agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Poerwadarminto, 1976).

Dari sisi bentuknya agama terkadang didefinisikan sebagai kebudayaan batin manusia yang memiliki potensi psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Sementara itu, apabila dilihat dari segi isinya agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan yang tidak bisa dianggap sebagai kebudayaan (Arifin, 1987). Dua gagasan ini kemudian menghasilkan pembedaan antara agama wahyu dan agama yang dianggap sebagai kebudayaan. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga agama besar yang diyakini sumbernya berasal dari wahyu yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan kategori kedua berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat sendiri, di antaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran Taoisme, agama Hindu dan Budha. Selain kategorisasi tersebut, ahli antropologi dan sosiologi juga membagi agama menjadi dua kelompok besar yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme merupakan agama penyembah dzat yang tidak berbentuk/gaib; yang kemudia dibagi lagi menjadi agama penyembah Roh dan penyembah Tuhan. Materialisme memiliki kepercayaan akan

Page 29: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 21

adanya Tuhan yang mewujud dalam bentuk benda/materi seperti patung, binatang dan berhala (Kahmad, 2000).

Dalam perspektif sosiologis, agama bukan sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai sesuatu yang profan berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya. Robert N. Bellah, sebagaimana yang dikutip oleh Jamali (2008 : 140) agama sebagai struktur bermakna yang digunakan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan kepedulian-kepedulian utamanya. Parsudi Suparlan, dalam Roland Robertson (1998 : v) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukungnya tidak nampak tercakup di dalamnya. Karena itu, secara khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.

Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes (2000). Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community. (1) Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya; (2) Code merupakan pedoman tata tindak

Pada dasarnya agama berhubungan dengan sistem kepercayaan terhadap dewa atau dewa-dewa yang bersemayam dalam kekuatan gaib suatu benda. Beberapa kepercayaan disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan ritual pemujaan (Isaacs, 1993). Agama berperan sebagai pengikat para pemeluknya dalam suatu ikatan kepercayaan terhadap Tuhan atau Dewa, serta sekaligus sebagai sarana penghubung di antara manusia. Agama masuk dalam ruang bawah sadar dan mengejawantah dalam kehidupan sehari hari para pengikutnya. Selain itu, agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Poerwadarminto, 1976).

Dari sisi bentuknya agama terkadang didefinisikan sebagai kebudayaan batin manusia yang memiliki potensi psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Sementara itu, apabila dilihat dari segi isinya agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan yang tidak bisa dianggap sebagai kebudayaan (Arifin, 1987). Dua gagasan ini kemudian menghasilkan pembedaan antara agama wahyu dan agama yang dianggap sebagai kebudayaan. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga agama besar yang diyakini sumbernya berasal dari wahyu yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan kategori kedua berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat sendiri, di antaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran Taoisme, agama Hindu dan Budha. Selain kategorisasi tersebut, ahli antropologi dan sosiologi juga membagi agama menjadi dua kelompok besar yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme merupakan agama penyembah dzat yang tidak berbentuk/gaib; yang kemudia dibagi lagi menjadi agama penyembah Roh dan penyembah Tuhan. Materialisme memiliki kepercayaan akan

Page 30: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia22

(perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3) Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi; (4) Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam kepercayaan itu.

Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin (2009 : 57), memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut:

“Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol (seperti kata dan isyarat, cerita dan praktik, objek dan tempat) yang secara religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”.

Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin (2009: 7) bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak (Ultimate Reality).

Budaya maupun adat istiadat yang melekat dalam kepercayaan sebuah komunitas atau masyarakat yang memiliki keempat ciri tersebut bisa dikatakan sebagai agama, meski oleh penganutnya sendiri tidak menyebutnya sebagai agama. Dengan demikian, para penganut penghayat

Page 31: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 23

kepercayaan juga dapat dikatakan sebagai pemeluk agama. Dengan kata lain Sunda Wiwitan, Parmalim, Wetu Telu, dan juga Tolotang bisa disebut sebagai agama yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dan tidak layak untuk didiskriminasi.

Keberadaan agama dalam masyarakat juga memiliki beberapa fungsi antara lain; Berfungsi edukatif karena ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang; fungsi penyelamatan karena agama membawa petunjuk atau doktrin untuk mendapatkan keselamatan terutama bagi kehidupan setelah di dunia ini; fungsi perdamaian karena agama mengajarkan kebaikan budi, keselarasan, dan harmoni dalam kehidupan; fungsi social control karena agama memberi arah bagi kehidupan bersama dan bermasyarakat; fungsi solidaritas karena agama membangun ikatan sosial dan komitmen bersama para pemeluknya; dan fungsi transformatif di mana agama memberi mendorong terjadinya perubahan sosial menuju pada peradaban; fungsi kreatif karena agama dapat menjadi inspirasi munculnya kreativitas umat beragama dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan terutama budaya; dan fungsi sublimatif di mana fungsi agama tidak lepas dari spiritualitas, di mana penghayatan terhadap nilai-nilai menjadi point penting (Setiadi,et.al., 2009:149).

Berangkat dari kajian-kajian di atas, maka antara agama dan kepercayaan tidak bisa dipisahkan, sekaligus secara substansial tidak memiliki berbeda. Agama dan kepercayaan memiliki peran dan fungsi dalam konteks personal dan sosial sekaligus. Dalam konteks Indonesia, pengertian agama dan kepercayaan dipahami secara terpisah, di mana agama ditujukan untuk merujuk pada kelompok keagamaan besar (mayor), sedangkan kepercayaan digunakan

(perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3) Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi; (4) Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam kepercayaan itu.

Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin (2009 : 57), memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut:

“Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol (seperti kata dan isyarat, cerita dan praktik, objek dan tempat) yang secara religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”.

Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin (2009: 7) bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak (Ultimate Reality).

Budaya maupun adat istiadat yang melekat dalam kepercayaan sebuah komunitas atau masyarakat yang memiliki keempat ciri tersebut bisa dikatakan sebagai agama, meski oleh penganutnya sendiri tidak menyebutnya sebagai agama. Dengan demikian, para penganut penghayat

Page 32: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia24

untuk merujuk kelompok keagamaan kecil (minor). Walaupun demikian, bangsa Indonesia telah bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Berketuhanan merupakan landasan setiap agama dan kepercayaan, sehingga setiap warga negara yang beraam dan berkepercayaan mendapatkan hak dan jaminan melaksanakan agama dan kepercayaannya yang dilindungi oleh konstitusi (Pasal 29 UUD 1945).

Kesepakatan tersebut merupakan paling mendasar dalam diskusi terkait agama dan kepercayaan di Indonesia. Rasanya sulit untuk mendapatkan kesepakatan/makna tunggal terhadap definisi agama. Oleh karena itu, kriteria gejala keagamaan yang hidup di masyarakatlah yang dapat disepakati bersama, mengingat Indonesia adalah “negara kesepakatan”. Kajian-kajian ini diharapkan dapat menuju pada kesepakatan tersebut tentunya dalam konteks pelayanan negara. Kesepakatan negara sudah barang tentu dalam bentuk regulasi dan peraturan yang tentunya mempertimbangkan berbagai aspek baik sosial, politik, maupun kesejarahan.

Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama merujuk pada kebebasan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang untuk membuat keputusan apa pun sehubungan dengan agama dan nilai-nilai yang diyakini. Koshy (1992, dalam Hafsin, 2010), kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat aspek utama; kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan, (liberty of religious expression), kebebasan melakukan perkumpulan

Page 33: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 25

keagamaan (liberty of religious association) dan kebebasan untuk melembagakan ajaran keagamaan (liberty of reli-gious institutionalization). Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama, yakni aspek kebebasan nurani merupakan hak yang paling asli dan absolut dalam pengertian bahwa ketidakterpisahannya (inalienability) dari diri seseorang melampaui ketiga aspek lainnya.

Kebebasan beragama berdimensi internal dan sekaligus eksternal. Oleh karena itu kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan dan nilai-nilai agamanya, tidak boleh sampai mengakibatkan hilang atau terhambatnya kebebasan agama orang atau kelompok lain. Kebebasan nurani (liberty of conscience) masuk dalam dimensi internal sedangkan kebebasan mengekspresikan ajaran agama, kebebasan membentuk asosiasi keagamaan serta kebebasan melembagakan ajaran agama masuk dalam dimensi eksternal. Jika dimensi internal sifatnya absolut, maka dimensi eksternal bersifat relatif, dalam arti bahwa hak untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan, hak melembagakan ajaran agama serta hak untuk membentuk asosiasi keagamaan terkait erat dengan institusi sosial lainnya seperti hukum dan politik. (Hafsin, 2010)

Dengan kebebasan beragama, berarti seseorang antara lain dapat: (1) beriman, beribadah dan memberi kesaksian keagamaannya seperti yang ia kehendaki (atau sebaliknya: membebaskan dirinya dari semua itu), tanpa gangguan apa pun; (2) mengganti keimanan atau agamanya kapan dan di mana saja; dan (3) membentuk serta menjalankan organisasi keagamaan untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya, dan untuk menjelaskannya kepada pihak lain. (Fauzi dan Panggabean (eds.). 2009)

untuk merujuk kelompok keagamaan kecil (minor). Walaupun demikian, bangsa Indonesia telah bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Berketuhanan merupakan landasan setiap agama dan kepercayaan, sehingga setiap warga negara yang beraam dan berkepercayaan mendapatkan hak dan jaminan melaksanakan agama dan kepercayaannya yang dilindungi oleh konstitusi (Pasal 29 UUD 1945).

Kesepakatan tersebut merupakan paling mendasar dalam diskusi terkait agama dan kepercayaan di Indonesia. Rasanya sulit untuk mendapatkan kesepakatan/makna tunggal terhadap definisi agama. Oleh karena itu, kriteria gejala keagamaan yang hidup di masyarakatlah yang dapat disepakati bersama, mengingat Indonesia adalah “negara kesepakatan”. Kajian-kajian ini diharapkan dapat menuju pada kesepakatan tersebut tentunya dalam konteks pelayanan negara. Kesepakatan negara sudah barang tentu dalam bentuk regulasi dan peraturan yang tentunya mempertimbangkan berbagai aspek baik sosial, politik, maupun kesejarahan.

Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama merujuk pada kebebasan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang untuk membuat keputusan apa pun sehubungan dengan agama dan nilai-nilai yang diyakini. Koshy (1992, dalam Hafsin, 2010), kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat aspek utama; kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan, (liberty of religious expression), kebebasan melakukan perkumpulan

Page 34: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia26

Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia (HAM) secara internasional, di antaranya dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan PBB pada 16 Desember 1966 (Mudzhar, 2009).

Dalam pasal 18 konvenan tersebut dinyatakan:

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

(3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

(4) Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

Menurut Ayat 3 Pasal 18 di atas, kebebasan untuk mewujudkan agama atau keyakinan seseorang hanya boleh dibatasi oleh hukum dan pembatasan-pembatasan yang

Page 35: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 27

diperlukan untuk melindungi: (1) keamanan umum (public safety), (2) ketertiban umum (public order), (3) kesehatan umum (public health), (4) moral masyarakat (public moral) dan (5) hak-hak fundamental serta kebebasan orang lain (Hafsin, 2010).

Indonesia memang tidak meratifikasi undang-undang tersendiri tentang hak kebebasan beragama, tetapi bukan berarti Indonesia tidak melindungi kebebasan beragama warga negaranya. Mahfud MD mencoba menjelaskannya melalui konsepsi prismatik, bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya (Mahfud M.D., 2007).

Indonesia telah berupaya memberi jaminan terhadap kebebasan beragama dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 22 dan 70, dan terlebih lagi dengan amandemen UUD 1945 tanggal 18 Agustus 2000 dengan menambahkan beberapa pasal, khususnya Pasal 28E, 28I, dan 28J, yang juga mengatur tentang kebebasan beragama dan pembatasannya yang hanya dapat dilakukan melalui undang-undang (Mudzhar, 2009).

Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia (HAM) secara internasional, di antaranya dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan PBB pada 16 Desember 1966 (Mudzhar, 2009).

Dalam pasal 18 konvenan tersebut dinyatakan:

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

(3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

(4) Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

Menurut Ayat 3 Pasal 18 di atas, kebebasan untuk mewujudkan agama atau keyakinan seseorang hanya boleh dibatasi oleh hukum dan pembatasan-pembatasan yang

Page 36: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia28

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 22 menyebutkan:

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan Pasal 70 UU ini selengkapnya sebagai berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pasal 28E, UUD 1945, berbunyi:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

Page 37: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 29

di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 berbunyi:

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Kebebasan beragama ini, dalam praktiknya tentu mengalami kondisi-kondisi yang mengakibatkan berkurangnya nilai kebebasan beragama. Mengikuti rumusan dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS-UGM), pelanggaran kebebasan beragama dapat dilihat dari dua dimensi. Pertama, dimensi regulasi negara, yaitu undang-undang dan/atau peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya. Dimensi ini mencakup apakah undang-undang atau peraturan negara sudah atau belum menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan, apakah juga undang-undang atau peraturan itu sudah dijalankan di tingkat praktis, apakah pemerintah turut campur dalam mengatur kebebasan seseorang atau kelompok untuk beribadah, berorganisasi, berdakwah, dan lainnya. Dimensi kedua adalah regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama. Di sini, yang disoroti adalah sejauh mana seseorang atau kelompok-kelompok tertentu membatasi

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 22 menyebutkan:

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan Pasal 70 UU ini selengkapnya sebagai berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pasal 28E, UUD 1945, berbunyi:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

Page 38: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia30

kebebasan beragama seseorang atau kelompok-kelompok lain (Fauzi dan Panggabean [eds.], 2009).

Pelayanan Negara

Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997: 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Pemerintah mempunyai tiga fungsi utama yang harus dijalankan, yaitu, public service function (fungsi pelayanan masyarakat), development function (fungsi pembangunan), protection function (fungsi perlindungan). Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan oleh pemerintah dengan sebaik-baiknya, untuk kelangsungan pemerintahan itu sendiri. Dalam menjalankan fungsi tersebut maka dibentuklah birokrasi. Birokrasi merupakan suatu sistem yang dibangun oleh pemerintah agar fungsi-fungsinya yaitu pelayanan, pembangunan, dan perlindungan, dapat berlangsung dengan efektif dan efesien.

Adapun pelayanan atau service menurut istilah Oxford (dalam Yusni, 2015: 318-332) , didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Sebuah sistem yang

Page 39: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 31

menyediakan sesuatu yang kebutuhan masyarakat, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau perusahaan swasta, oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pelayanan yang dilakukan negara terhadap masyarakat termasuk pelayanan dalam bentuk jasa. Pelayanan ini mengandung pengertian segala usaha yang mempertinggi kepuasan pelanggan, (Sutopo dan Suyanto, 2006 : 8-9) dalam hal ini adalah masyarakat yang memanfaatkan jasa pelayanan negara. Pengertian pelayanan sesuai definisi Gronroos sebagaimana dikutip oleh Ratminto dan Atik (2007 : 2) adalah :

“Suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.”

Pelayanan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pertama, core service yakni pelayanan yang ditawarkan kepada pelanggan yang merupakan produk utama; kedua, facilitating service yakni fasilitas pelayanan tambahan kepada pelanggan namun bersifat wajib; dan ketiga, supporting service yakni pelayanan tambahan (pendukung) untuk meningkatkan nilai pelayanan atau untuk membedakan dengan pelayanan-pelayanan dari pihak “pesaingnya”. (Sutopo dan Suyanto, 2006. 13)

Pada umumnya kualitas pelayanan jasa ini dapat diidentifikasikan dalam lima karakteristik, (Nasution, M.N. 2005. 87) yaitu:

kebebasan beragama seseorang atau kelompok-kelompok lain (Fauzi dan Panggabean [eds.], 2009).

Pelayanan Negara

Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997: 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Pemerintah mempunyai tiga fungsi utama yang harus dijalankan, yaitu, public service function (fungsi pelayanan masyarakat), development function (fungsi pembangunan), protection function (fungsi perlindungan). Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan oleh pemerintah dengan sebaik-baiknya, untuk kelangsungan pemerintahan itu sendiri. Dalam menjalankan fungsi tersebut maka dibentuklah birokrasi. Birokrasi merupakan suatu sistem yang dibangun oleh pemerintah agar fungsi-fungsinya yaitu pelayanan, pembangunan, dan perlindungan, dapat berlangsung dengan efektif dan efesien.

Adapun pelayanan atau service menurut istilah Oxford (dalam Yusni, 2015: 318-332) , didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Sebuah sistem yang

Page 40: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia32

a. Adanya bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, personil dan sarana komunikasi.

b. Keandalan (reliability), atau kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segara dan memuaskan.

c. Daya tangkap (responsiveness), berupa keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan menberikan pelayanan dengan cepat.

d. Adanya kepastian (assurance), yang mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya dari staf sehingga timbul kepercayaan dan keyakinan dari pelanggan.

e. Empati, yakni hubungan komunikasi yang baik, kesediaan untuk peduli, memberi perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan.

Adapun model pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila terdapat, pertama, sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa. Kedua, kultur pelayanan dalam organisasi penyelnggaraan pelayanan. Ketiga, sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa (Ratminto dan Atik, 2007 : 53).

Di Indonesia, konsepsi pelayanan publik oleh pemerintah sering dipergunakan secara bersama-sama dengan sinonim dari konsepsi pelayanan umum. Pelayanan umum sendiri dipakai untuk menerjemahkan konsep public service. Dan istilah pelayanan umum dapat disejajarkan dengan istilah pelayanan publik (Ratminto dan Atik, 2007 : 4). Menurut Widodo (2006:84), “pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau

Page 41: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 33

masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan”.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan umum sebagai berikut:

“Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.”

Mengikuti definisi di atas, pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksnakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pada penyelenggara pelayanan publik oleh pemerintah, ada dua macam pelayanan publik yaitu penyelenggaraan publik yang bersifat primer dan pelayanan publik yang bersifat sekunder. Pelayanan publik primer adalah penyediaan barang/jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak

a. Adanya bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, personil dan sarana komunikasi.

b. Keandalan (reliability), atau kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segara dan memuaskan.

c. Daya tangkap (responsiveness), berupa keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan menberikan pelayanan dengan cepat.

d. Adanya kepastian (assurance), yang mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya dari staf sehingga timbul kepercayaan dan keyakinan dari pelanggan.

e. Empati, yakni hubungan komunikasi yang baik, kesediaan untuk peduli, memberi perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan.

Adapun model pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila terdapat, pertama, sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa. Kedua, kultur pelayanan dalam organisasi penyelnggaraan pelayanan. Ketiga, sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa (Ratminto dan Atik, 2007 : 53).

Di Indonesia, konsepsi pelayanan publik oleh pemerintah sering dipergunakan secara bersama-sama dengan sinonim dari konsepsi pelayanan umum. Pelayanan umum sendiri dipakai untuk menerjemahkan konsep public service. Dan istilah pelayanan umum dapat disejajarkan dengan istilah pelayanan publik (Ratminto dan Atik, 2007 : 4). Menurut Widodo (2006:84), “pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau

Page 42: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia34

mau harus memanfaatkannya. Sedangkan pelayanan publik sekunder adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah tetapi di dalamnya pengguna/klien tidak harus menggunakannya karena adanya penyelenggaraan pelayanan sejenis. (Ratminto dan Atik, 2007 : 9)

Adapun jenis-jenis pelayan publik berdasarkan Kepmen PAN No. 63 Tahun 2003 tantang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yaitu:

a. Pelayanan administratif yaitu pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegitan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte (pernikahan, kelahiran, kematian), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

b. Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampainnya kepada konsumen langsung (sebagai unit atau individual) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya. Misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

Page 43: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 35

c. Pelayanan jasa yaitu pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana dan penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggraan transportasi, pos, dan lain sebagainya.

Tujuan dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat (Ratminto dan Atik, 2007 : 19). Adapun syarat dari pelayanan publik sebagaimana Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004 adalah sebagai berikut;

a. Transparansi: Pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas: Dalam pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

c. Kondisional: Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

d. Partisipatif: Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

mau harus memanfaatkannya. Sedangkan pelayanan publik sekunder adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah tetapi di dalamnya pengguna/klien tidak harus menggunakannya karena adanya penyelenggaraan pelayanan sejenis. (Ratminto dan Atik, 2007 : 9)

Adapun jenis-jenis pelayan publik berdasarkan Kepmen PAN No. 63 Tahun 2003 tantang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yaitu:

a. Pelayanan administratif yaitu pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegitan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte (pernikahan, kelahiran, kematian), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

b. Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampainnya kepada konsumen langsung (sebagai unit atau individual) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya. Misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

Page 44: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia36

e. Kesamaan Hak: Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status ekonomi.

f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban: Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Prinsip penyelenggaraan pelayanan sebagaimana juga disebutkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2004.

a. Kesederhanaan: Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan diakses.

b. Kejelasan: Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal : Persyaratan tehnis dan administrasi pelayanan; unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/sengketa/dalam pelaksanaan pelayanan publik; dan rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu: Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

d. Akurasi: Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.

e. Keamanan: Produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.

f. Tanggungjawab: Pimpinan penyelenggaraan pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

Page 45: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 37

g. Kelengkapan sarana dan prasarana : Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana tehnologi telekomunikasi dan informatika.

h. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan : Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan, santu, ramah, dan memberikan pelayanan dengan ikhlas.

i. Kenyamanan: Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih rapi, lingkungan yang menarik, tempat ibadah dan lainnya.

Pelayanan Negara terhadap Agama

Indonesia bukanlah negara teokrasi yang menjadikan satu agama menjadi satu agama resmi negara, dan juga bukanlah negara sekuler yang mengabaikan agama-agama yang dianut oleh rakyatnya. Lebih tepatnya Indonesia adalah religious nation state (negara kebangsaan yang religius), yang menghormati dan membina semua agama yang dianut oleh rakyatnya sepanjang berkemanusiaan dan berkeadaban (Mahfud MD, 2006: 30).

Maka relasi yang terjalin antara negara-agama sebagai pelindung adalah memberikan jaminan dalam suatu kebijakan hukum yang tidak bersifat diskriminatif, bila kita simak lebih jauh sebenarnya nilai-nilai yang ada pada Pancasila telah memberikan perlindungan dan jaminan bagi realitas agama di Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup (weltanschaung) maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi sebuah pranata nilai yang menuntun bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita bangsa, dengan demikian sebagai sebuah ideologi tata nilai Pancasila menjadi landasan bagi

e. Kesamaan Hak: Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status ekonomi.

f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban: Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Prinsip penyelenggaraan pelayanan sebagaimana juga disebutkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2004.

a. Kesederhanaan: Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan diakses.

b. Kejelasan: Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal : Persyaratan tehnis dan administrasi pelayanan; unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/sengketa/dalam pelaksanaan pelayanan publik; dan rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu: Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

d. Akurasi: Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.

e. Keamanan: Produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.

f. Tanggungjawab: Pimpinan penyelenggaraan pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

Page 46: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia38

setiap implemantasi perwujudan cita-cita dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.

Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa melandasi pikiran yang terkandung dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari ketentuan Pasal 29 UUD 1945 di atas dapat dikaji pola relasi yang terjalin antara negara dan agama, Pasal 29 Ayat (1) dengan jelas memperlihatkan negara Indonesia adalah negara yang religius berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Pasal 29 ayat (2), Pasal ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama, di mana terminologi penduduk cakupannya lebih luas dari sekedar warga negara, sehingga negara memberikan jaminan tidak hanya terhadap warga negara saja melainkan juga orang asing yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Harjono, 1998: 59).

Pasal 29 ini tidak memberikan wewenang kepada negara untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan agama, tetapi memberikan perlindungan kebebasan bagi pemeluknya. Rumusan Pasal 29 Ayat (1) dengan adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi negara segala produk cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) mesti bernafaskan nilai-nilai religius, dan ini berarti setiap produk hukum haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan fungsi menjamin negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 Ayat (2) harus ditafsirkan

Page 47: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 39

memberi peluang untuk melakukan ibadah tanpa gangguan, dan menyediakan perangkat pelindung sebagai upaya preventif (Harjono, 1998: 61). Ketentuan Pasal 29 UUD 1945 tidak memberikan limitasi agama yang hendaknya dianut oleh penduduk di Indonesia, dan tidak pula memberikan kewenangan pada negara untuk mengakui satu agama tertentu sebagai agama resmi negara.

Pelayanan pemerintah terkait dengan agama yang ada di Indonesia menganut politik pembedaan, sebagaimana tercermin dalam Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.

Dengan kata-kata “Di muka umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Tju (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena enam macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain.

Pada PNPS tersebut, pemerintah membedakan antara agama-agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius/ Khonghucu), dan agama-agama lain di luar enam agama tersebut. Perlakukan pemerintah

setiap implemantasi perwujudan cita-cita dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.

Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa melandasi pikiran yang terkandung dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari ketentuan Pasal 29 UUD 1945 di atas dapat dikaji pola relasi yang terjalin antara negara dan agama, Pasal 29 Ayat (1) dengan jelas memperlihatkan negara Indonesia adalah negara yang religius berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Pasal 29 ayat (2), Pasal ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama, di mana terminologi penduduk cakupannya lebih luas dari sekedar warga negara, sehingga negara memberikan jaminan tidak hanya terhadap warga negara saja melainkan juga orang asing yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Harjono, 1998: 59).

Pasal 29 ini tidak memberikan wewenang kepada negara untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan agama, tetapi memberikan perlindungan kebebasan bagi pemeluknya. Rumusan Pasal 29 Ayat (1) dengan adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi negara segala produk cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) mesti bernafaskan nilai-nilai religius, dan ini berarti setiap produk hukum haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan fungsi menjamin negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 Ayat (2) harus ditafsirkan

Page 48: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia40

terhadap enam agama yang dianut hampir seluruh penduduk Indonesia, pemerintah memberikan jaminan, bantuan-bantuan, dan perlindungan. Adapun perlakukan pemerintah terhadap agama-agama di luar enam agama adalah mereka mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya. Agama-agama tersebut mendapatkan jaminan berdasarkan amanat Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, hal ini tidak berarti bahwa di luar keenam agama yang disebutkan tersebut negara mempunyai hak menafikan keberadaannya, dan jaminan yang sama harus diperoleh bagi para penganutnya.

Bentuk pelayanan pemerintah terhadap enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius/ Khonghucu), diwujudkan dalam bentuk struktur dalam Kementerian Agama. Struktur direktorat jenderal di bawah Kementerian Agama merupakan kelembagaan yang secara khusus menangani pelayanan terhadap keenam agama tersebut.

Adapun pelayanan pemerintah terhadap agama-agama di luar enam agama tersebut tidak dilakukan secara khusus. Pemerintah tetap melakukan pelayanan terhadap umat-umat agama di luar enam agama tersebut sebagai mana pelayanan terhadap warga secara umum. Namun demikian, dalam praktiknya ternyata pelayanan-pelayanan terhadap warga negara yang beragama selain enam agama tersebut terdapat persoalan-persoalan. Secara umum, pelayanan negara terhadap warga negara yang berkaitan dengan identitas agama adalah menyangkut administrasi kependudukan seperti akte perkawinan, akte kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Pendidikan agama. Pelayanan-pelayanan

Page 49: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 41

dalam bidang-bidang tersebut masih bermasalah karena warga negara yang memeluk agama di luar enam agama, termasuk penganut aliran kepercayaan, tidak dapat dilakukan sebagaimana terhadap warga negara umat dari 6 agama tersebut.

terhadap enam agama yang dianut hampir seluruh penduduk Indonesia, pemerintah memberikan jaminan, bantuan-bantuan, dan perlindungan. Adapun perlakukan pemerintah terhadap agama-agama di luar enam agama adalah mereka mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya. Agama-agama tersebut mendapatkan jaminan berdasarkan amanat Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, hal ini tidak berarti bahwa di luar keenam agama yang disebutkan tersebut negara mempunyai hak menafikan keberadaannya, dan jaminan yang sama harus diperoleh bagi para penganutnya.

Bentuk pelayanan pemerintah terhadap enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius/ Khonghucu), diwujudkan dalam bentuk struktur dalam Kementerian Agama. Struktur direktorat jenderal di bawah Kementerian Agama merupakan kelembagaan yang secara khusus menangani pelayanan terhadap keenam agama tersebut.

Adapun pelayanan pemerintah terhadap agama-agama di luar enam agama tersebut tidak dilakukan secara khusus. Pemerintah tetap melakukan pelayanan terhadap umat-umat agama di luar enam agama tersebut sebagai mana pelayanan terhadap warga secara umum. Namun demikian, dalam praktiknya ternyata pelayanan-pelayanan terhadap warga negara yang beragama selain enam agama tersebut terdapat persoalan-persoalan. Secara umum, pelayanan negara terhadap warga negara yang berkaitan dengan identitas agama adalah menyangkut administrasi kependudukan seperti akte perkawinan, akte kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Pendidikan agama. Pelayanan-pelayanan

Page 50: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia42

Page 51: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 43

REALITAS SOSIAL KEAGAMAAN

DAN PROSES MENUJU REFORMULASI

Kemajemukan bangsa Indonesia selain dari dimensi etnisitas, juga pluralitas keagamaan. Orientasi kehidupan masyarakat terhadap keberagamaan sangat kuat sehingga dalam kehidupan sosial, budaya, dan bahkan politik di masyarakat sangat mempertimbangkan faktor agama. Dasar negara Pancasila dalam sila pertamanya, “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa faktor agama atau ketuhanan menjadi landasan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Walaupun bangsa Indonesia sama-sama memegang teguh sila atau dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, praktik keberagamaan di masyarakat tidaklah monolitik. Tidak hanya terdapat agama yang berbeda-beda, melainkan juga pandangan dan sikap dalam beragama juga beragam dan kontekstual.

Konteks sosial dan budaya dari bangsa Indonesia yang wilayahnya terbentang luas Sabang sampai Merauke tentu sangat berpengaruh terhadap kehidupan keagamaan di masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil sensus penduduk 2010, diketahui bahwa Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa yang sebagian besarnya berada di Papua dan Kalimantan. Walaupun demikian, Suku Jawa merupakan mayoritas dan tersebar di 40% wilayah Indonesia (Na’im dan Syaputra, 2011).

Adapun dari komposisi penduduk berdasar agama, agama yang paling banyak dianut oleh penduduk

Page 52: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia44

berturut-turut adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khong Hu Cu dan lainnya. Pemeluk Agama Islam pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen), kemudian pemeluk Agama Kristen sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen) dan pemeluk Agama Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91 persen). Kemudian pemeluk Agama Hindu adalah sebanyak 4.012.116 jiwa (1,69 persen) dan pemeluk Agama Budha sebanyak 1.703.254 jiwa (0,72 persen). Sementara itu, Agama Khonghucu sebagai agama termuda yang diakui oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05 persen) (Na’im dan Syaputra, 2011: 10).

Tabel 2. jumlah dan persentase penduduk menurut agama tahun 2010

AGAMA JUMLAH PEMELUK (JIWA)

PERSENTASE (%)

Islam 207.176.162 87,18 Kristen 16.528.513 6,96 Katolik 6.907.873 2,91 Hindu 4.012.116 1,69 Budha 1.703.254 0,72 Konghucu 117.091 0,05 Lainnya 299.617 0,13 Tidak Terjawab 139.582 0,06 Tidak Ditanyakan 757.118 0,32 Jumlah 237.641.326 100 Sumber : Na’im dan Syaputra, 2011: 10

Dari tabel di atas, penduduk yang menganut agama selain enam agama besar ternyata mencapai 0,13% yang bahkan ini lebih besar dari agama Khonghucu. Hal ini menunjukkan adanya agama-agama lain di luar enam agama

Page 53: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 45

yang mayoritas dianut oleh penduduk Indonesia. Keberadaan agama-agama tersebut, baik enam agama yang mayoritas maupun agama selain itu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan demikian, maka negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang adil terhadap para umat beragama tersebut.

Pada bab ini akan dideskrispikan konteks sosial dan keagamaan di tiga wilayah, yaitu Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Sumba Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketiga wilayah ini dipandang representatif mewakili tipologi keberagamaan masyarakat Indonesia di wilayah kerja Balai Litbang Agama Semarang. Di wilayah Kabupaten Pati terdapat komunitas Agama Baha’i yang merupakan salah satu agama yang diakui secara internasional tetapi termasuk agama minoritas di Indonesia. Adapun dua wilayah lainnya yaitu di Kabupaten Malang terdapat berbagai aliran penghayat kepercayaan, dan di Sumba Barat terdapat Agama Merapu yang merupakan agama lokal di wilayah Sumba. Ketiga wilayah ini merupakan gambaran kecil dari keragaman sosial keagamaan masyarakat yang perlu disikapi oleh negara dalam melakukan pelayanan terhadap umat beragama.

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Pati Jawa Tengah

Secara geografis, Pati merupakan sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang letaknya di sebelah utara propinsi ini, bersebelahan dengan Kabupaten Kudus di sebelah barat dan Rembang di sebelah timurnya. Mayoritas masyarakat di daerah ini merupakan petani dan diikuti dengan penduduk yang bekerja sebagai nelayan serta bekerja di sektor industri,

berturut-turut adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khong Hu Cu dan lainnya. Pemeluk Agama Islam pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen), kemudian pemeluk Agama Kristen sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen) dan pemeluk Agama Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91 persen). Kemudian pemeluk Agama Hindu adalah sebanyak 4.012.116 jiwa (1,69 persen) dan pemeluk Agama Budha sebanyak 1.703.254 jiwa (0,72 persen). Sementara itu, Agama Khonghucu sebagai agama termuda yang diakui oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05 persen) (Na’im dan Syaputra, 2011: 10).

Tabel 2. jumlah dan persentase penduduk menurut agama tahun 2010

AGAMA JUMLAH PEMELUK (JIWA)

PERSENTASE (%)

Islam 207.176.162 87,18 Kristen 16.528.513 6,96 Katolik 6.907.873 2,91 Hindu 4.012.116 1,69 Budha 1.703.254 0,72 Konghucu 117.091 0,05 Lainnya 299.617 0,13 Tidak Terjawab 139.582 0,06 Tidak Ditanyakan 757.118 0,32 Jumlah 237.641.326 100 Sumber : Na’im dan Syaputra, 2011: 10

Dari tabel di atas, penduduk yang menganut agama selain enam agama besar ternyata mencapai 0,13% yang bahkan ini lebih besar dari agama Khonghucu. Hal ini menunjukkan adanya agama-agama lain di luar enam agama

Page 54: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia46

perdagangan dan jasa (BPS, 2012). Salah satu tanda wilayah ini merupakan daerah pertanian terpancang pada slogan kabupaten “Pati Bumi Mina Tani”. Sementara dari sisi agama, penduduk di daerah ini memeluk enam agama besar (Islam. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu) serta agama lainnya termasuk agama Baha’i dan penganut/penghayat Kepercayaan.

Data di BPS Kabupaten Pati tahun 2015 memperlihatkan dari 1.232.912 jiwa penduduk Kabupaten Pati, yang beragama Islam sebanyak 1.200.656 jiwa (97,38%), pemeluk Kristen 17.850 jiwa (1,4%), Katolik 6.713 jiwa (0,5%), Hindu 462 jiwa (0,04%), Budha 7.038 jiwa (0,57%) dan agama lainnya sebanyak 193 jiwa (0,015%) (BPS Kabupaten Pati, 2015: 136). Keberadaan umat beragama tersebut didukung dengan tersedianya fasilitas rumah ibadah, sebagai berikut: Masjid sebanyak 1.117 unit, Musala sebanyak 4.578 unit, Gereja Kristen 144 unit, Gereja Katolik 7 Unit, Pura 32 unit, dan Vihara 2 unit (BPS Kabupaten Pati, 2015: 133).

Selain agama-agama tersebut di atas, tidak tercatat umat agama yang lain. Misalnya, jumlah pemeluk agama Baha’i belum tercatat dalam data dokumen yang ada di kantor Kementerian Agama karena agama tersebut “dianggap” belum sebagai “agama” yang “diakui” oleh negara, meskipun secara empiris terdapat beberapa orang pemeluk agama Baha’i. Bisa jadi mereka umat Baha’i masuk dalam kelompok “lainnya” tersebut dalam data statistik. Sementara secara nyata di Pati terdapat pemeluk agama Baha’i yang terdiri atas 9 kepala keluarga yang meliputi 21 orang dewasa, empat anak-anak, dan tiga balita yang belum diregistrasikan ke Majlis Rohani Nasional (Wawancara dengan Tokoh agama Baha’i, 19 Oktober 2015). Mengenai tiga balita tersebut belum

Page 55: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 47

dapat disebut sebagai umat Baha’i sampai mereka didaftarkan, karena orang tua Balita tersebut belum “memutuskan” apakah nantinya si anak tersebut akan menjadi Baha’i ataupun tidak. Seseorang akan dianggap sebagai pemeluk Baha’i setelah ia terdaftar di Majlis Rohani Nasional.

Masyarakat Baha’i (sebutan untuk komunitas Baha’i) di Pati semuanya tinggal di Desa Cebolek Kidul Kecamatan Margoyoso, sebuah desa yang letaknya di bagian utara Kota Pati dan jaraknya kira-kira 20 km dari pusat kota Pati. Dari sembilan keluarga tersebut, mereka masih saling mempunyai hubungan keluarga, misalnya bapak Suryono adalah suami dari Ibu Sulistiyowati yang merupakan putri dari Bapak Jamal (almarhum). Ibu Jamal merupakan saudara dari Bapak Sanus, dari keluarga tersebut putra-putri mereka juga memeluk agama Baha’i.

Keberadaan masyarakat Baha’i ini telah ada di Desa Cebolek Kidul sejak sekitar tahun 1956/1957 yang awalnya dibawa oleh dr. Samsi yang berasal dari Iran yang diperbantukan di sebuah rumah sakit di Rembang. Dari dr. Samsi tersebut kemudian ada orang Pati yang tertarik dan kemudian masuk agama Baha’i. Orang pertama asli Pati yang memeluk Baha’i adalah Darsuki pada tahun 1956/1957. Setelah itu terdapat Triono yang juga dianggap generasi awal pemeluk agama Baha’i di Pati. Kemudian disusul oleh yang lainnya (wawancara dengan umat Baha’i, 19 dan 26 Oktober 2015).

Sedangkan untuk penghayat kepercayaan terdapat ribuan penganutnya, dari jumlah tersebut terdapat sebagian yang juga merupakan penganut agama tertentu misalnya seorang muslim yang sekaligus penghayat kepercayaan, atau seorang pemeluk Kristen atau Budha yang juga penghayat kepercayaan (Wawancara dengan Penghayat Kepercayaan, 24

perdagangan dan jasa (BPS, 2012). Salah satu tanda wilayah ini merupakan daerah pertanian terpancang pada slogan kabupaten “Pati Bumi Mina Tani”. Sementara dari sisi agama, penduduk di daerah ini memeluk enam agama besar (Islam. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu) serta agama lainnya termasuk agama Baha’i dan penganut/penghayat Kepercayaan.

Data di BPS Kabupaten Pati tahun 2015 memperlihatkan dari 1.232.912 jiwa penduduk Kabupaten Pati, yang beragama Islam sebanyak 1.200.656 jiwa (97,38%), pemeluk Kristen 17.850 jiwa (1,4%), Katolik 6.713 jiwa (0,5%), Hindu 462 jiwa (0,04%), Budha 7.038 jiwa (0,57%) dan agama lainnya sebanyak 193 jiwa (0,015%) (BPS Kabupaten Pati, 2015: 136). Keberadaan umat beragama tersebut didukung dengan tersedianya fasilitas rumah ibadah, sebagai berikut: Masjid sebanyak 1.117 unit, Musala sebanyak 4.578 unit, Gereja Kristen 144 unit, Gereja Katolik 7 Unit, Pura 32 unit, dan Vihara 2 unit (BPS Kabupaten Pati, 2015: 133).

Selain agama-agama tersebut di atas, tidak tercatat umat agama yang lain. Misalnya, jumlah pemeluk agama Baha’i belum tercatat dalam data dokumen yang ada di kantor Kementerian Agama karena agama tersebut “dianggap” belum sebagai “agama” yang “diakui” oleh negara, meskipun secara empiris terdapat beberapa orang pemeluk agama Baha’i. Bisa jadi mereka umat Baha’i masuk dalam kelompok “lainnya” tersebut dalam data statistik. Sementara secara nyata di Pati terdapat pemeluk agama Baha’i yang terdiri atas 9 kepala keluarga yang meliputi 21 orang dewasa, empat anak-anak, dan tiga balita yang belum diregistrasikan ke Majlis Rohani Nasional (Wawancara dengan Tokoh agama Baha’i, 19 Oktober 2015). Mengenai tiga balita tersebut belum

Page 56: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia48

Oktober 2015). Oleh karenanya, jumlah penghayat kepercayaan ini bisa saling tumpang tindih dengan jumlah pemeluk agama secara keseluruhan apabila diperhitungkan secara tersendiri. Meskipun demikian, terdapat beberapa organisasi/kelompok penghayat kepercayaan dengan data jumlah anggotanya.

Data dari Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kabupaten Pati yang diserahkan ke Kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Pati disebutkan bahwa terdapat 14 kelompok penghayat kepercayaan. Meskipun kelompok-kelompok tersebut memiliki kesamaan sebagai penghayat kepercayan, tiap-tiap aliran tersebut memiliki ajaran dan cara-cara ritual yang berbeda-beda. Misalnya ada yang dengan ritual sujud untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, ada pula yang “bersemedi” untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Secara kelembagaan, masing-masing kelompok penghayat kepercayaan memiliki sekretariat (kantor sekretariat ini umumnya adalah rumah dari warga/tokoh dari aliran kepercayaan tersebut, bukan merupakan bangunan kantor layaknya sekretariat dari sebuah organisasi ataupun lembaga profesional), dan mempunyai tokoh/sesepuh (sesepuh ini biasanya merujuk kepada seseorang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman rohani/spiritual yang tinggi), ketua, serta anggota.

Berikut ini adalah rincian data kelompok penghayat Kepercayaan tersebut;1

1 Data berdasarkan daftar organisasi penghayat kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Pati. Data ini berasal dari Kantor Dinas Pariwisata, Budaya dan Olahraga Kabupaten Pati. Kantor

Page 57: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 49

a. Roso Sejati, mempunyai anggota sebanyak 325 orang dengan diketuai oleh Sudjud, S.Pd dan tokoh/sesepuh Ngatmin Al-Amin. Kelompok ini bersekretariat di Jln Flamboyan XII RT.05 RW 05 perumahan Wijaya Kusuma Kutoharjo Pati. Alamat sekretariat ini merupakan rumah dari Wardoyo, salah satu penganut Roso Sejati dan sekaligus sekretaris Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK). Paguyuban ini belum terdaftar secara resmi di kantor Kesbangpol kabupaten Pati. “Terdaftar secara resmi” ini maksudnya adalah terdaftar sebagai organisasi masyarakat dan telah mendapatkan “Surat Keterangan Terdaftar” (SKT) dari kantor Kesbangpol.

b. Sapta Darma; ini merupakan kelompok dengan jumlah penghayat terbesar di Pati dengan jumlah 2.572 orang. Kebanyakan dari penganut aliran ini berada di kecamatan Juwana Pati. Begitu pula dengan sekretariatnya berlokasi di Growong Lor RT.02 RW.01 Jl.Komodo 110 kecamatan Juwana. Sesepuhnya adalah Soerip Sastro Widjojo dan ketua paguyubannya adalah Purwoco. Kelompok ini secara kelembagaan telah mempunyai sebuah organisasi yang tertata bernama Persatuan Warga Sapta Darma (Persada). Ormas ini telah terdaftar di Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Pati dengan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bernomor 010/202.223/ORMAS/2011 dan 033/STTPKO/ORMAS/2006. Paguyuban ini juga telah mempunyai “sanggar” tempat untuk melakukan ritual kepercayaan mereka. Selain itu,

dinas ini mendapatkan data tersebut dari pengurus Himpunan Penghayat Kepercayaan Kabupaten Pati. Selain itu, data juga di dapatkan dari hasil FGD pada 24 Oktober 2015 dengan beberapa orang perwakilan organisasi penghayat kepercayaan

Oktober 2015). Oleh karenanya, jumlah penghayat kepercayaan ini bisa saling tumpang tindih dengan jumlah pemeluk agama secara keseluruhan apabila diperhitungkan secara tersendiri. Meskipun demikian, terdapat beberapa organisasi/kelompok penghayat kepercayaan dengan data jumlah anggotanya.

Data dari Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kabupaten Pati yang diserahkan ke Kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Pati disebutkan bahwa terdapat 14 kelompok penghayat kepercayaan. Meskipun kelompok-kelompok tersebut memiliki kesamaan sebagai penghayat kepercayan, tiap-tiap aliran tersebut memiliki ajaran dan cara-cara ritual yang berbeda-beda. Misalnya ada yang dengan ritual sujud untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, ada pula yang “bersemedi” untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Secara kelembagaan, masing-masing kelompok penghayat kepercayaan memiliki sekretariat (kantor sekretariat ini umumnya adalah rumah dari warga/tokoh dari aliran kepercayaan tersebut, bukan merupakan bangunan kantor layaknya sekretariat dari sebuah organisasi ataupun lembaga profesional), dan mempunyai tokoh/sesepuh (sesepuh ini biasanya merujuk kepada seseorang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman rohani/spiritual yang tinggi), ketua, serta anggota.

Berikut ini adalah rincian data kelompok penghayat Kepercayaan tersebut;1

1 Data berdasarkan daftar organisasi penghayat kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Pati. Data ini berasal dari Kantor Dinas Pariwisata, Budaya dan Olahraga Kabupaten Pati. Kantor

Page 58: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia50

Sapta Darma merupakan aliran kepercayaan yang telah mempunyai petugas perkawinan yang diangkat dan disahkan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan RI, sehingga perkawinan warga Sapta Darma diakui oleh negara dan dapat dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

c. Pramono Sejati; aliran kepercayaan “Pramono Sejati” di dalam daftar disebutkan tiga kali dengan jumlah penganutnya yang berbeda-beda. Ketika dikonfirmasikan kepada ketua paguyuban ini bahwa ketiganya merupakan kelompok yang sama, namun memiliki tokoh/sesepuh di dalam masing-masing tempat tersebut. Dua list yang disebutkan memiliki kesamaan data, sehingga hanya dalam tulisan ini hanya dijelaskan satu kali saja. Disebutkan bahwa Pramono Sejati dengan alamat sekretariat di Desa Batangan Kecamatan Pati mempunyai tokoh/sesepuh Ki Hadi Suyitno dan ketua paguyubannya adalah Ngarpani. Jumlah warganya adalah 356. Sementara Pramono Sejati yang bersekretariat di Desa Sentul Kecamatan Cluwak, sesepuhnya adalah Mirosana dan ketuanya Suparwi, serta dengan jumlah warganya 175 orang. Tidak seperti aliran kepercayaan yang lain, untuk menjadi anggota atau warga Pramono Sejati ada pendaftarannya dan calon anggota tersebut diminta mengisi formulir pendaftaran serta ada biaya pendaftaran yang harus dibayarkan. Aliran ini juga mempunyai paguyuban yang terdaftar di kantor Kesbangpol dengan nama “Paguyuban Pramono Sejati” dengan SKT bernomor 049/202.23/ORMAS/2013.

d. Purnomo Sidi; dengan tokoh/sesepuhnya dan ketua paguyubannya adalah H.Harsono. Alamat sekretariat

Page 59: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 51

aliran ini berada di Desa Bulungan RT.05 RW. 02 Kecamatan Tayu dan beranggotakan 27 penghayat. Aliran kepercayaan ini belum terdaftar secara resmi di kantor Kesbangpol Pati.

e. Ilmu Kasampurnan Jati; beranggotakan 37 orang dengan tokoh/sesepuhnya dan ketuanya adalah Koemen. Sekretariatnya berlokasi di Jln.Medani No.119 RT 5/2 Dk.Bambang Kecamatan Cluwak. Aliran ini juga belum mempunyai SKT.

f. Budi Luhur; sekretariatnya berada di desa Kletek Kecamatan Pucakwangi, beranggotakan 95 orang. Paguyuban ini diketuai oleh Agus Irianto dan sesepuhnya adalah Lamidjan. Kelompok ini juga belum memiliki SKT.

g. Sastro Jendro Hayuning Pngruwating Diyu; mempunyai anggota sebanyal 16 orang, dengan sesepuh dan ketua paguyuban bernama H.Widodo H.S. kelompok yang beralamat di Jl. P.Sudirma Gang IV Pati ini belum ber-SKT.

h. Suci Rahayu; sekretariatnya berada di Jl.Jambu No.19 RT 02 RW 05 Kecamatan Wedarijaksa. Sesepuh dari aliran kepercayaan ini adalah Sugeng, sementara ketuanya adalah Suyanto. Jumlah pengikut aliran ini sebanyak 62 orang penghayat.

i. Latian Kajiwan; beranggotakan sebanyak 325 orang dengan sesepuh Murdianto dan ketua paguyuban Sunarto. Alamat sekretariat kelompok Latian Kajiwan berada di Desa Mojoagung Kecamatan Trangkil.

Sapta Darma merupakan aliran kepercayaan yang telah mempunyai petugas perkawinan yang diangkat dan disahkan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan RI, sehingga perkawinan warga Sapta Darma diakui oleh negara dan dapat dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

c. Pramono Sejati; aliran kepercayaan “Pramono Sejati” di dalam daftar disebutkan tiga kali dengan jumlah penganutnya yang berbeda-beda. Ketika dikonfirmasikan kepada ketua paguyuban ini bahwa ketiganya merupakan kelompok yang sama, namun memiliki tokoh/sesepuh di dalam masing-masing tempat tersebut. Dua list yang disebutkan memiliki kesamaan data, sehingga hanya dalam tulisan ini hanya dijelaskan satu kali saja. Disebutkan bahwa Pramono Sejati dengan alamat sekretariat di Desa Batangan Kecamatan Pati mempunyai tokoh/sesepuh Ki Hadi Suyitno dan ketua paguyubannya adalah Ngarpani. Jumlah warganya adalah 356. Sementara Pramono Sejati yang bersekretariat di Desa Sentul Kecamatan Cluwak, sesepuhnya adalah Mirosana dan ketuanya Suparwi, serta dengan jumlah warganya 175 orang. Tidak seperti aliran kepercayaan yang lain, untuk menjadi anggota atau warga Pramono Sejati ada pendaftarannya dan calon anggota tersebut diminta mengisi formulir pendaftaran serta ada biaya pendaftaran yang harus dibayarkan. Aliran ini juga mempunyai paguyuban yang terdaftar di kantor Kesbangpol dengan nama “Paguyuban Pramono Sejati” dengan SKT bernomor 049/202.23/ORMAS/2013.

d. Purnomo Sidi; dengan tokoh/sesepuhnya dan ketua paguyubannya adalah H.Harsono. Alamat sekretariat

Page 60: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia52

j. Kawruh Hak; sesepuh dan ketua aliran kepercayaan ini adalah Suwono dengan anggota berjumlah 65 orang. Lokasi sekretariat berada di Desa Ngagerl Kecamatan Dukuh Seti.

k. Tunggul Sabdo Jati; sekretariat berada di Sido Kerto Pati, ketua paguyuban adalah Ali Setiawan, dengan jumlah anggota 22 orang.

l. Kebatinan 09 Pambuko Jiwo; ketua kelompok ini adalah Heri Sutristianto HW, dengan sekretariat berada di desa Mukti Harjo Pati, jumlah anggota sebanyak 53 orang.

m. Aliran Kebatinan Perjalanan; sekretariat berada di desa Mbingung Polorejo RT 03/02 Kecamatan Winong, ketua paguyubannya adalah Ngatijo dengan pengikut sebanyak 43 orang.

n. Ngesti Tunggal/Pangestu; sesepuh dan ketua dari paguyuban ini adalah Ny. Tukimin, dengan anggota sebanyak 84 orang. Sekretariatnya berada di Jl. Kol. R. Sugiono 2B Pati.

Di Kabupaten Pati juga terdapat komunitas Samin (Sedulur Sikep) yang mengaku menganut agama “Adam”. Komunitas ini bertempat tinggal di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo, desa ini berada sekitar 35 km dari pusat kota Pati. Komunitas Samin juga sering disebut sebagai komunitas adat yang meyakini ajaran-ajaran leluhur yang mereka sebut sebagai agama Adam. Menurut para tokoh dan tetua Samin, agama adalah ageman yang berfungsi untuk menuntun perilaku

Dari masing-masing agama dan penghayat Kepercayaan tersebut terdapat beragaman aliran, faham

Page 61: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 53

ataupun kelompok keagamaan yang berkembang. Agama Islam di Pati kebanyakan berfaham ahlu sunnah wal jamaah dan berafiliasi ke organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Namun demikian, di dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa kelompok keagamaan seperti Muhammadiyah, Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Ahmadiyah, Syiah, LDII dan lainnya. Di daerah ini juga banyak terdapat kelompok tarekat yang berkembang dengan jumlah anggota yang signifikan.

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Malang Jawa Timur

BPS Kota Malang (2014) menyebutkan komposisi etnik masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA). Komposisi penduduk asli berasal dari berbagai etnik (terutama suku Jawa, Madura, sebagian kecil keturunan Arab dan Cina). Bangunan tempat ibadah banyak yang telah berdiri semenjak jaman kolonial antara lain Masjid Jami (Masjid Agung), Gereja (Alun-alun, Kayutangan dan Ijen) serta Klenteng di Kota Lama. Malang juga menjadi pusat pendidikan keagamaan dengan banyaknya Pesantren dan Seminari Alkitab yang sudah terkenal di seluruh Nusantara. Kekayaan seni budaya budaya yang dimiliki Kota Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisonal yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Tari Topeng, namun kini semakin terkikis oleh kesenian modern. Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan gaya kesenian Jawa Tengahan (Solo, Yogya), Jawa Timur-Selatan (Ponorogo, Tulungagung, Blitar) dan gaya kesenian Blambangan (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi) (BPS Kota Malang, 2014).

j. Kawruh Hak; sesepuh dan ketua aliran kepercayaan ini adalah Suwono dengan anggota berjumlah 65 orang. Lokasi sekretariat berada di Desa Ngagerl Kecamatan Dukuh Seti.

k. Tunggul Sabdo Jati; sekretariat berada di Sido Kerto Pati, ketua paguyuban adalah Ali Setiawan, dengan jumlah anggota 22 orang.

l. Kebatinan 09 Pambuko Jiwo; ketua kelompok ini adalah Heri Sutristianto HW, dengan sekretariat berada di desa Mukti Harjo Pati, jumlah anggota sebanyak 53 orang.

m. Aliran Kebatinan Perjalanan; sekretariat berada di desa Mbingung Polorejo RT 03/02 Kecamatan Winong, ketua paguyubannya adalah Ngatijo dengan pengikut sebanyak 43 orang.

n. Ngesti Tunggal/Pangestu; sesepuh dan ketua dari paguyuban ini adalah Ny. Tukimin, dengan anggota sebanyak 84 orang. Sekretariatnya berada di Jl. Kol. R. Sugiono 2B Pati.

Di Kabupaten Pati juga terdapat komunitas Samin (Sedulur Sikep) yang mengaku menganut agama “Adam”. Komunitas ini bertempat tinggal di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo, desa ini berada sekitar 35 km dari pusat kota Pati. Komunitas Samin juga sering disebut sebagai komunitas adat yang meyakini ajaran-ajaran leluhur yang mereka sebut sebagai agama Adam. Menurut para tokoh dan tetua Samin, agama adalah ageman yang berfungsi untuk menuntun perilaku

Dari masing-masing agama dan penghayat Kepercayaan tersebut terdapat beragaman aliran, faham

Page 62: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia54

Penduduk Kota Malang umumnya adalah para pendatang yang bertempat tinggal di Kota Malang. Mereka adalah pedagang, pekerja dan pelajar/ mahasiswa yang tidak menetap dan dalam kurun waktu tertentu kembali ke daerah asalnya. Sebagian besar berasal dari wilayah di sekitar Kota Malang untuk golongan pedagang dan pekerja. Sedang untuk golongan pelajar/mahasiswa banyak yang berasal dari luar daerah (terutama wilayah Indonesia Timur) seperti Bali, Nusa Tenggara, Timor Timur, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Hasil registrasi penduduk pada sensus 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Malang berdasarkan laju pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk adalah 820.243 jiwa. Sedangkan proyeksi penduduk Kota Malang tahun 2013 menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 840.803 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 415.101 jiwa dan perempuan sebanyak 425.702 jiwa. Jumlah penduduk tersebut berada pada 256.647 keluarga, yang tersebar di 4.120 RT dan 548 RW dalam 5 wilayah kecamatan yaitu Lowokwaru, Sukun, Klojen, Kedungkandang, dan Blimbing. Kota Malang memiliki luas 110.06 Km². Jumlah penduduk pada tahun 2012 berdasarkan agama yang dianut sebagai berikut, yaitu Islam 739.354 (95,51%), Kristen 64.735 (2,05%), Katolik 63.169 (1,8%), Budha 39.950 (0,54%), Hindu 37.700 (0,47%), Khonghucu 4.310 (0,13%) (BPS Kota Malang, 2014).

Data dari Kantor Kementerian Agama Kota Malang menyebutkan jumlah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebanyak 10.500 orang yang berasal dari 13 paguyuban. Sedangkan di Kabupaten Malang menurut sumber dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Malang, jumlah

Page 63: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 55

pengikutnya ada 6.249 dari 30 paguyuban. Kalau agama lainnya adalah Baha’i yang jumlahnya di Malang Raya sebanyak 30 orang. Berikut ini adalah nama-nama paguyuban penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan jumlah anggotanya, yang ada di Kota Malang.

Tabel 3. Data Organisasi Penghayat Kepercayaan di Kota Malang

No. Kelurahan Nama Org / Paguyuban Pengikut

Kec. Klojen 01. Kauman Pasinaon Kawruh Jiwo. 100 02. Kidul Dalem Pengurus Daerah Persatuan

Warga Sapta Dharma 1.500

03. Samaan Perguruan Ilmu Sejati Malang. 1.500 04 Bareng PDB (Paguyupan Dharma Bakti

Cabang Malang) 2.500

Kec. Kedungkandang 05. Sawojajar KAWRUH PERJALANAN. 200 06. Mergo-sono KBTTPK (KAWRUH BATIN

TULIS PAPAN KASUNYATAN). 200

Kec. Sukun

07. Karang Besuki Bulad Satu (Budi Lestari Ajining Djiwo)

500

08. Kawruh Sastro Jendro Cokroningrat.

500

Kec. Blimbing 09. Arjosari PSNB (Paguyuban Sujud

Nembah Bekti). 400

10. Polehan Kawruh Subud (Susilo Budi Dharma).

500

Penduduk Kota Malang umumnya adalah para pendatang yang bertempat tinggal di Kota Malang. Mereka adalah pedagang, pekerja dan pelajar/ mahasiswa yang tidak menetap dan dalam kurun waktu tertentu kembali ke daerah asalnya. Sebagian besar berasal dari wilayah di sekitar Kota Malang untuk golongan pedagang dan pekerja. Sedang untuk golongan pelajar/mahasiswa banyak yang berasal dari luar daerah (terutama wilayah Indonesia Timur) seperti Bali, Nusa Tenggara, Timor Timur, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Hasil registrasi penduduk pada sensus 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Malang berdasarkan laju pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk adalah 820.243 jiwa. Sedangkan proyeksi penduduk Kota Malang tahun 2013 menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 840.803 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 415.101 jiwa dan perempuan sebanyak 425.702 jiwa. Jumlah penduduk tersebut berada pada 256.647 keluarga, yang tersebar di 4.120 RT dan 548 RW dalam 5 wilayah kecamatan yaitu Lowokwaru, Sukun, Klojen, Kedungkandang, dan Blimbing. Kota Malang memiliki luas 110.06 Km². Jumlah penduduk pada tahun 2012 berdasarkan agama yang dianut sebagai berikut, yaitu Islam 739.354 (95,51%), Kristen 64.735 (2,05%), Katolik 63.169 (1,8%), Budha 39.950 (0,54%), Hindu 37.700 (0,47%), Khonghucu 4.310 (0,13%) (BPS Kota Malang, 2014).

Data dari Kantor Kementerian Agama Kota Malang menyebutkan jumlah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebanyak 10.500 orang yang berasal dari 13 paguyuban. Sedangkan di Kabupaten Malang menurut sumber dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Malang, jumlah

Page 64: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia56

11. Blimbing. Pamu (Purwo Ayu Mardi Utomo).

1.500

Kec. Lowokwaru 12. Tlogomas Perwathin (Perhimpunan Warga

Theosafi Indonesia) 100

13. Tulusrejo Paguyupan Ngesti Tunggal Cabang Malang.

1.000

Sumber: Humas Kankemenag Kota Malang

Anggota paguyuban penghayat ini biasanya tidak terbatas hanya masyarakat Kota Malang saja, tetapi juga berasal dari wilayah lain, apalagi posisi Kota Malang yang ada di dalam lingkungan Kabupaten Malang, sehingga sangat besar kemungkinan ada warga Kota Malang yang menjadi anggota paguyuban penghayat di Kabupaten Malang. Demikian pula sebaliknya, dimungkinkan terdapat anggota penghayat kepercayaan yang berada di Kabupaten Malang merupakan warga dari Kota Malang. Berikut data organisasi peghayat kepercayaan di Kabupaten Malang.

Tabel 4. Data Organisasi Penghayat Kepercayaan Di Kabupaten Malang

NO

NAMA ORGANISASI

KETUA ALAMAT JUMLAH

ANGGOTA

1 ILMU SEJATI MUKADI/ H. SUTRISNO

Dsa Pujon Lor, Kec. Pujon

798

2 SAPTO DARMO SOEJOSO Desa Ngroto, Kec. Pujon

264

3 HARDO PUSARAN

K. PITAYANTO Dsa Ngroto, Kec. Pujon

182

4 ILMU SEJATI SISWO HARDJO Desa Wonoagung, Kec, Kasembon

100

Page 65: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 57

5 PENGESTU WAKIDI Desa Sukosari, Kec. Kasembon

38

6 PERSADA III DARMOKO, S.Pd Desa Sukosari, Kec. Kasembon

44

7 ILMU SEJATI SUWARNO Desa Mulyorejo, Kec. Ngantang

26

8 SAPTO DARMO WASITO HADI S. Desa Ngantru, Kec. Ngantang

172

9 PANGESTU GUNAWAN AM Jl. Kertanegara 63, Singosari

527

10 PERGURUAN ILMU SEJATI

KADUN Kel. Lawang, Kec. Lawang

92

11 SAPTO DARMO SUPENO ROHANI

Jl. Indrakila 41 Lawang

103

12 SUJUD NEMBAH BEKTI

KAMI D Desa Kalianyar, Kec. Lawang

150

13 PANGESTU NY. RM. SAID Jl. P. Sudirman 174, Kec. Lawang

87

14 PAGUYUBAN PENGHAYAT KEPRIBADEN

SUPROBO Jl. Suwoto Sidodadi, Kec. Lawang

100

15 ILMU SEJATI SUNARYO Jl. Argoboyo, Kec. Karangploso

140

16 SAPTO DARMO DODIK SUPARMAN

Desa Karangjuwet, Kec. Karangploso

18

17 JENDRA HAYU-NING WIDODO TUNGGAL

HIDAYAT Desa Bokor, Kec. Tumpang

802

18 SAPTO DARMO H. NGADENI W Desa Tulus Besar, Kec. Tumpang

39

19 PANDHOWO ADI SUPRAPTO Desa Poncokusumo, Kec. Poncokusumo

100

11. Blimbing. Pamu (Purwo Ayu Mardi Utomo).

1.500

Kec. Lowokwaru 12. Tlogomas Perwathin (Perhimpunan Warga

Theosafi Indonesia) 100

13. Tulusrejo Paguyupan Ngesti Tunggal Cabang Malang.

1.000

Sumber: Humas Kankemenag Kota Malang

Anggota paguyuban penghayat ini biasanya tidak terbatas hanya masyarakat Kota Malang saja, tetapi juga berasal dari wilayah lain, apalagi posisi Kota Malang yang ada di dalam lingkungan Kabupaten Malang, sehingga sangat besar kemungkinan ada warga Kota Malang yang menjadi anggota paguyuban penghayat di Kabupaten Malang. Demikian pula sebaliknya, dimungkinkan terdapat anggota penghayat kepercayaan yang berada di Kabupaten Malang merupakan warga dari Kota Malang. Berikut data organisasi peghayat kepercayaan di Kabupaten Malang.

Tabel 4. Data Organisasi Penghayat Kepercayaan Di Kabupaten Malang

NO

NAMA ORGANISASI

KETUA ALAMAT JUMLAH

ANGGOTA

1 ILMU SEJATI MUKADI/ H. SUTRISNO

Dsa Pujon Lor, Kec. Pujon

798

2 SAPTO DARMO SOEJOSO Desa Ngroto, Kec. Pujon

264

3 HARDO PUSARAN

K. PITAYANTO Dsa Ngroto, Kec. Pujon

182

4 ILMU SEJATI SISWO HARDJO Desa Wonoagung, Kec, Kasembon

100

Page 66: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia58

20 JOWO LUGU HADI TANJAM/ MISDRAM

Desa Pandanmulyo, Kec. Tajinan

52

21 BULAD (BUDI LESTARI AJINING JIWO)

Kl DALIL Desa Pagelaran, Kec. Pagelaran

1.887

22 PERGURUAN ILMU SEJATI

Drs. MURAWI Desa Kanigoro, Kec. Gondanglegi

130

23 PENGHAYAT KEPRIBADEN

EDI MARET Desa Garotan, Kec. Wajak

47

24 PANGESTU SUDIRMAN Desa Kenongosari, Kec. Turen

25

25 PAGUYUBAN ILMU SEJATI

SUPADI Jl. Tendean II/ 7, Kec. Turen

11

26 PAGUYUBAN DHARMA BAHKTI

SUKRI Kecamatan Turen 15

27 KASAMPURNAN RASA SEJATI

SUKEMI Desa Sedayu, Kec. Turen

245

28 PENGHAYAT KEPRIBADEN

KADERI Desa Talok, Kec. Turen

21

29 BULAD (BUDI LESTARI AJINING JIWO)

DJAMIN Desa Mentaraman, Kec. Donomulyo

14

30 SAPTO DARMO NITI YAHUDI Desa Tawang Rejeki, Kec. Turen

20

Sumber : Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Malang

Kaitannya dengan hubungan antarumat beragama, Kota Malang pada khususnya relatif terjaga kerukunannya dengan baik. Hal ini berkat dari usaha Forum Kerukunan Umat Beragama, pemerintah, dan masyarakat yang aktif mengadakan silaturahmi pada setiap malam tahun baru, malam 17 Agustus, dan malam ulang tahun Kota Malang. Selain itu FKUB juga mengadakan pertemuan rutin setiap hari

Page 67: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 59

Jumat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi selama sepekan sehingga tidak berlarut-larut.

Hubungan baik tersebut tidak hanya antarumat beragama saja, tetapi juga hubungan antartokoh agama dengan kelompok-kelompok penghayat kepercayaan. Di kota Malang, sebelum terbentuknya FKUB bahkan sudah terlebih dahulu ada sebuah forum kerukunan yang bernama Forum Komunikasi Antara Umat Baragama dan Penghayat Kepercayaan (FKAUB). Pendiri FKAUB ini adalah para tokoh masyarakat dan tokoh agama. Beberapa waktu lalu, FKAUB bekerja sama dengan ICRP ikut serta menyelesaikan kerusuhan di Banyuwangi dan Situbondo.

Pada 28 Oktober 2015 telah diresmikan adanya MLKI di Malang Raya. MLKI adalah wadah nasional organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bernama Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia disingkat Majelis Luhur, yang dibentuk dari hasil “Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, yang dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 13–17 Oktober 2014 di Yogyakarta. Dengan adanya MLKI nanti para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi berbicara pada tataran kelompok atau paguyuban, tetapi pada masalah-masalah umum saja. Kalau masalah pengajaran pendidikan di sekolah-sekolah itu urusan masing-masing paguyuban. Paguyuban yang sudah siap dengan kurikulum pendidikan di sekolah adalah Sapto Darmo, Sumarah, Kapribaden, dan Perjalanan.

20 JOWO LUGU HADI TANJAM/ MISDRAM

Desa Pandanmulyo, Kec. Tajinan

52

21 BULAD (BUDI LESTARI AJINING JIWO)

Kl DALIL Desa Pagelaran, Kec. Pagelaran

1.887

22 PERGURUAN ILMU SEJATI

Drs. MURAWI Desa Kanigoro, Kec. Gondanglegi

130

23 PENGHAYAT KEPRIBADEN

EDI MARET Desa Garotan, Kec. Wajak

47

24 PANGESTU SUDIRMAN Desa Kenongosari, Kec. Turen

25

25 PAGUYUBAN ILMU SEJATI

SUPADI Jl. Tendean II/ 7, Kec. Turen

11

26 PAGUYUBAN DHARMA BAHKTI

SUKRI Kecamatan Turen 15

27 KASAMPURNAN RASA SEJATI

SUKEMI Desa Sedayu, Kec. Turen

245

28 PENGHAYAT KEPRIBADEN

KADERI Desa Talok, Kec. Turen

21

29 BULAD (BUDI LESTARI AJINING JIWO)

DJAMIN Desa Mentaraman, Kec. Donomulyo

14

30 SAPTO DARMO NITI YAHUDI Desa Tawang Rejeki, Kec. Turen

20

Sumber : Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Malang

Kaitannya dengan hubungan antarumat beragama, Kota Malang pada khususnya relatif terjaga kerukunannya dengan baik. Hal ini berkat dari usaha Forum Kerukunan Umat Beragama, pemerintah, dan masyarakat yang aktif mengadakan silaturahmi pada setiap malam tahun baru, malam 17 Agustus, dan malam ulang tahun Kota Malang. Selain itu FKUB juga mengadakan pertemuan rutin setiap hari

Page 68: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia60

Paguyuban penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam menyambut datangnya bulan Suro, sering mengundang pemerintah daerah setempat. Seperti yang dilaksanakan oleh Paguyuban Darma Bakti yang berpusat di Kabupaten Batu Malang dalam perayaannya mengundang pihak Kelurahan setempat. Yang berada di Kota Malang bahkan mengundang Walikota Malang dalam perayaannya, seperti yang dilakukan oleh Paguyuban Naluri Budaya Leluhur. Selain itu Paguyuban Naluri Budaya Leluhur juga mengundang tokoh-tokoh enam agama mainstream, untuk melakukan doa bersama.

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Sumba Barat NTT

Penduduk Kabupaten Sumba Barat berjumlah kurang lebih 114.927 Jiwa. Data Penduduk dan Data Keagamaan di Kabupaten Sumba Barat Tahun 2015 dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Sumba Barat

No Data Penduduk Jumlah Penduduk Prosentase 1 Kristen 64.975 56.54 % 2 Katolik 29.215 25.42 % 3 Islam 5.644 4.91 % 4 Hindu 151 0.13 % 5 Budha 16 0.01 % 6 Lain-Lain 14.924 12.99 % JUMLAH 114.925 100 %

Page 69: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 61

Umat beragama di Kabupaten Sumba Barat beribadat pada rumah ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Berikut data rumah ibadah di Sumba Barat:

Tabel 6. Jumlah Rumah Ibadah di Sumba Barat

No RUMAH IBADAT JUMLAH PROSENTASE 1 Kristen 154 75,12 % 2 Katolik 40 19,52 % 3 Islam 10 0,48 % 4 Hindu 1 - 5 Budha - - 6 Lain-lain - - JUMLAH 205 100 %

Pada masyarakat Sumba Barat, dan di pulau Sumba pada umumnya dikenal terdapat agama atau kepercayaan lokal yang disebut Marapu. Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Aliran Kepercayaan Marapu adalah suatu sistem kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan tertinggi, yang disebut Mawolu-Marawi, artinya yang membuat dan menciptakan. Wujud Mawolu-Marawi merupakan sesuatu yang abstrak dan diyakini sebagai sumber kehidupan yang mampu memberikan keselamatan dan ketenteraman bagi umat manusia (Anisah, 2013 : 32). FD Wellem (2004 : 42) mengatakan bahwa kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Jika disembah, mereka akan memberi berkat, perlindungan, dan pertolongan yang baik. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia

Paguyuban penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam menyambut datangnya bulan Suro, sering mengundang pemerintah daerah setempat. Seperti yang dilaksanakan oleh Paguyuban Darma Bakti yang berpusat di Kabupaten Batu Malang dalam perayaannya mengundang pihak Kelurahan setempat. Yang berada di Kota Malang bahkan mengundang Walikota Malang dalam perayaannya, seperti yang dilakukan oleh Paguyuban Naluri Budaya Leluhur. Selain itu Paguyuban Naluri Budaya Leluhur juga mengundang tokoh-tokoh enam agama mainstream, untuk melakukan doa bersama.

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Sumba Barat NTT

Penduduk Kabupaten Sumba Barat berjumlah kurang lebih 114.927 Jiwa. Data Penduduk dan Data Keagamaan di Kabupaten Sumba Barat Tahun 2015 dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Sumba Barat

No Data Penduduk Jumlah Penduduk Prosentase 1 Kristen 64.975 56.54 % 2 Katolik 29.215 25.42 % 3 Islam 5.644 4.91 % 4 Hindu 151 0.13 % 5 Budha 16 0.01 % 6 Lain-Lain 14.924 12.99 % JUMLAH 114.925 100 %

Page 70: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia62

ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Bagi masyarakat Sumba, kepercayaan Marapu tersebut dipandang sebagai agama asli masyarakat Sumba yang diyakini, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Karena itu, kepercayaan Marapu hingga kini masih hidup dan dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Hal ini terlihat pada jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat, yang menyebutkan bahwa jumlah pemeluk agama Islam sebanyak 8.543 orang, pemeluk agama Kristen sebanyak 79.065 orang, pemeluk agama Kathalik sebanyak 20.961 orang, pemeluk agama Hindu sebanyak 198 orang, dan lainnya sebanyak 17.047 orang (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka 2010). Oleh informan, kelompok lainnya diinterpretasikan sebagai penganut Kepercayaan Marapu (Wawancara, 29 Oktober 2015).

Kehidupan masyarakat pedesaan berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut Paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa Kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap Kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian Paraingu yang disebut Kuataku. Pengertian Paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan Kuataku disamakan dengan kampung.

Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu Marapu Ratu (Maha Leluhur). Misalnya, Maha Leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia. Oleh karena itu, rumah pemujaan tersebut diberi nama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang), yang dalam luluku (bahasa puisi

Page 71: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 63

berbait) disebut Uma Ndapataungu—Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan masyarakat Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara fisik rumah itu terlihat kecil, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan.

Hampir semua segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan sehingga bisa dikatakan agama Marapu menjadi inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat di Sumba memiliki keterikatan oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan (solidaritas).

Dalam perkembangannya, masyarakat mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun, pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Penyebaran agama Kristen dilakukan sejak tahun 1881, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk beralih agama. Sekolah-sekolah pekabaran Injil (Zending) didirikan

ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Bagi masyarakat Sumba, kepercayaan Marapu tersebut dipandang sebagai agama asli masyarakat Sumba yang diyakini, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Karena itu, kepercayaan Marapu hingga kini masih hidup dan dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Hal ini terlihat pada jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat, yang menyebutkan bahwa jumlah pemeluk agama Islam sebanyak 8.543 orang, pemeluk agama Kristen sebanyak 79.065 orang, pemeluk agama Kathalik sebanyak 20.961 orang, pemeluk agama Hindu sebanyak 198 orang, dan lainnya sebanyak 17.047 orang (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka 2010). Oleh informan, kelompok lainnya diinterpretasikan sebagai penganut Kepercayaan Marapu (Wawancara, 29 Oktober 2015).

Kehidupan masyarakat pedesaan berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut Paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa Kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap Kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian Paraingu yang disebut Kuataku. Pengertian Paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan Kuataku disamakan dengan kampung.

Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu Marapu Ratu (Maha Leluhur). Misalnya, Maha Leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia. Oleh karena itu, rumah pemujaan tersebut diberi nama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang), yang dalam luluku (bahasa puisi

Page 72: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia64

pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks School (Sekolah Rakyat). Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan.

Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu. Semenjak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah

Proses Menuju Reformulasi Kriteria Agama yang Dilayani

Penelitian ini diawali dengan persiapan penelitian yaitu merancang desain penelitian dan instrumen penelitian menentukan lokasi dan metode pengumpulan data. Proses persiapan tersebut menghadirkan narasumber untuk pengayaan teori dari UIN Sunan Kalijaga Dr. Fatimah Husain, antropolog dari UGM Prof, Dr. Heddy Shri Ahimsa –Putra, dan Dr. M.Muhsin Jamil, MA., sosiolog UIN Walisongo Semarang yang dilakukan dalam beberapa kali diskusi.

Langkah selanjutnya dilaksanakan studi pendahuluan pada tanggal 27 September sampai dengan tanggal 03 November 2015. Studi pendahuluan ini untuk memperoleh informasi tentang kondisi keberagamaan masyarakat, kasus-kasus keagamaan yang terjadi di lokasi penelitian, kasus pendirian rumah Ibadah, aliran kepercaayan dan agama

Page 73: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 65

lokal yang terjadi di masing-masing masyarakat sasaran penelitian. Di samping itu juga guna menjalin relasi dengan beberapa pihak seperti: Kementerian Agama Kabupaten, Disbudparpora, Kesbangpol, Dinas Pendidikan, dan Ormas Keagamaan setempat. Hasil studi pendahuluan ini penting untuk menyusun kegiatan lebih lanjut yaitu persiapan lapangan dengan menyempurnakan desain operasional penelitian dan instrumen penelitian.

Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan antara pertengahan Oktober 2015 sampai dengan minggu pertama November 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan telaah dokumen. Wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh kunci seperti tokoh agama baik yang agama besar maupun agama lokal, tokoh penghayat kepercayaan, pejabat pelaksana pelayanan publik, yang dimanfaatkan untuk mendapatkan data awal dan pendalaman terhadap data yang diperoleh pada studi awal. Pengumpulan data juga dilakukan dengan model Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan beberapa kali di tiap-tiap lokasi penelitian, yang meliputi FGD terhadap kelompok agama besar, kelompok agama lokal atau kepercayaan, dan kelompok agama di luar enam agama besar.

1. Diskusi Bersama Masyarakat Kabupaten Pati

Kegiatan FGD pertama pada senin 19 Oktober 2015 dengan komunitas Baha’i dilakukan di rumah tokoh Baha’i di Cebolek Kidul, kecamatan Margoyoso. Kelompok Baha’i menyambut peneliti dengan ramah serta menjamu peneliti dengan aneka makanan. Diskusi berlangsung dengan

pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks School (Sekolah Rakyat). Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan.

Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu. Semenjak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah

Proses Menuju Reformulasi Kriteria Agama yang Dilayani

Penelitian ini diawali dengan persiapan penelitian yaitu merancang desain penelitian dan instrumen penelitian menentukan lokasi dan metode pengumpulan data. Proses persiapan tersebut menghadirkan narasumber untuk pengayaan teori dari UIN Sunan Kalijaga Dr. Fatimah Husain, antropolog dari UGM Prof, Dr. Heddy Shri Ahimsa –Putra, dan Dr. M.Muhsin Jamil, MA., sosiolog UIN Walisongo Semarang yang dilakukan dalam beberapa kali diskusi.

Langkah selanjutnya dilaksanakan studi pendahuluan pada tanggal 27 September sampai dengan tanggal 03 November 2015. Studi pendahuluan ini untuk memperoleh informasi tentang kondisi keberagamaan masyarakat, kasus-kasus keagamaan yang terjadi di lokasi penelitian, kasus pendirian rumah Ibadah, aliran kepercaayan dan agama

Page 74: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia66

dihadiri oleh beberapa pengurus Baha’i mereka adalah tokoh-tokoh yang dapat memberikan informasi dan pandangan relasi baha’i dan negara. Para penganut Baha’i sangat antusias menyambut peneliti karena sebelum datang ke sana sudah menghubungi terlebih dahulu untuk kesediaannya dan menentukan waktu pertemuan. Dari FGD tersebut diperoleh informasi tentang layanan negara terhadap kelompok Baha’i maupun hal-hal yang belum dipenuhi oleh negara terkait dengan hak untuk beragama sesuai dengan agama dan keyakinannya. Selain hasil diskusi peneliti mendapatkan beberapa dokumen tentang keberadaan Kelompok Baha’i di Pati antara lain hak perlindungan negara terhadap Baha’i. Sebagaimana agama yang enam yang telah mendapatkan legalitas negara Baha’i juga mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pembawa wahyu dan juga memiliki kitab suci. Pengikut Baha’i telah terorganisir dan tersebar di Indonesia.

Kegiatan FGD kedua Selasa, 20 Oktober 2015 dengan komunitas Sedulur Sikep yang berdomisili di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo. Pertemuan dengan Sedulur Sikep ini diatur oleh Kasi kebudayaan Disbudparpora Kabupaten Pati bapak Soponyono dan Bapak Sumadi warga Baturejo yang menjadi perantara untuk mengumpulkan Tokoh Sedulur Sikep. Diskusi dilakukan di rumah yang biasa dipakai pertemuan Sedulur Sikep. Para sesepuh sudah berkumpul ada 6 orang, mereka adalah orang-orang yang masih mempertahankan ajaran Samin yang mereka sebut dengan agama Adam. Dalam diskusi ini yang banyak berperan adalah Mbah Ndoyo yang oleh komunitas Sikep dianggap sebagai sesepuh dan Mbah Nyoto yang lebih banyak menyampaikan informasi tentang Sedulur Sikep terkait

Page 75: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 67

dengan pelayan pemerintah dan hak–hak sipil mereka seperti kepemilikan KK, KTP dan dalam perkawinan.

FGD ke tiga dilakukan dengan kelompok penghayat aliran kepercayaan. Kegiatan ini dilaksanakan di rumah sekretaris HPK Bapak Wardoyo pada 24 Oktober 2015. Kegiatan ini diikuti perwakilan dari aliran Sapto Dharmo, Suci Rahayu, Pramono Sejati, dan Roso Sejati. Peserta lima orang ditambah satu orang dari Dinas Kebudayaan. Para tokoh ini dipilih berdasarkan kriteria jumlah anggota yang tergolong banyak, sedang dan sedikit. Jumlah anggota terbanyak panganut Sapto Dharmo dengan jumlah anggota 2572 orang, kemudian yang tegolong sedang aliran Pramono Sejati 356 orang dan Roso Sejati jumlah anggota 325 orang,dan yang paling sedikit aliran Suci Rahayu anggotanya 62 orang. FGD dimulai pada jam 09.30 oleh Marmiati Mawardi, karena perlu menunggu hasil foto kopy dukumen tentang aliran kepercayaan untuk bahan diskusi, namun sebelum acar formal di buka sudah terjadi dialog kepada para tokoh aliran kepercayaan yang telajh hadir. Diskusi diawali dengan perkenalan baik peneliti maupun penghayat setelah itu peneliti menyampaikan dasar pemikiran dan diskusi tujuan diskusi. Selanjutnya para tokoh dimohon umtuk menyampaikan pendapatnya maupun pengalamannya terkait dengan pelayanan negara terhadap penghayat aliran kepercayaan. Ketua HPK menyampaikan definisi agama dan perbedaan antara agama dan aliran kepercayaan dan pendapat tersebut dikuatkan tokoh lainnya. Terkait dengan pelayanan negara dibahas mengenai pelayanan pendidikan, perkawinan, penulisan agama dalam kolom KTP dan hal-hal yang belum dilayani negara. Bagi penghayat sudah cukup terlayani pemerintah terkait dengan hak-gak sipil mereka.

dihadiri oleh beberapa pengurus Baha’i mereka adalah tokoh-tokoh yang dapat memberikan informasi dan pandangan relasi baha’i dan negara. Para penganut Baha’i sangat antusias menyambut peneliti karena sebelum datang ke sana sudah menghubungi terlebih dahulu untuk kesediaannya dan menentukan waktu pertemuan. Dari FGD tersebut diperoleh informasi tentang layanan negara terhadap kelompok Baha’i maupun hal-hal yang belum dipenuhi oleh negara terkait dengan hak untuk beragama sesuai dengan agama dan keyakinannya. Selain hasil diskusi peneliti mendapatkan beberapa dokumen tentang keberadaan Kelompok Baha’i di Pati antara lain hak perlindungan negara terhadap Baha’i. Sebagaimana agama yang enam yang telah mendapatkan legalitas negara Baha’i juga mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pembawa wahyu dan juga memiliki kitab suci. Pengikut Baha’i telah terorganisir dan tersebar di Indonesia.

Kegiatan FGD kedua Selasa, 20 Oktober 2015 dengan komunitas Sedulur Sikep yang berdomisili di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo. Pertemuan dengan Sedulur Sikep ini diatur oleh Kasi kebudayaan Disbudparpora Kabupaten Pati bapak Soponyono dan Bapak Sumadi warga Baturejo yang menjadi perantara untuk mengumpulkan Tokoh Sedulur Sikep. Diskusi dilakukan di rumah yang biasa dipakai pertemuan Sedulur Sikep. Para sesepuh sudah berkumpul ada 6 orang, mereka adalah orang-orang yang masih mempertahankan ajaran Samin yang mereka sebut dengan agama Adam. Dalam diskusi ini yang banyak berperan adalah Mbah Ndoyo yang oleh komunitas Sikep dianggap sebagai sesepuh dan Mbah Nyoto yang lebih banyak menyampaikan informasi tentang Sedulur Sikep terkait

Page 76: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia68

FGD keempat dilaksanakan di Kota Pati pada Selasa, 27 Oktober 2015. Peserta FGD para tokoh agama dari lima agama yaitu dari tokoh agama Islam, Kristen, Buddha, Hindu. Sedangkan perwakilan dari agama Khonghucu tidak ada karena belum ada perwakilan di Kemenag. Selain itu, informasi keberadaan umat Khonghucu tidak diperoleh. Dalam kegiatan tersebut perwakilan dari agama Hindu tidak hadir. Selain tokoh agama juga diundang kepala Kementerian Agama Kabupaten Pati, namun beliau tidak bisa hadir dan diwakilkan kepada kasi Bimas Islam. Akademisi yang diundang dalam kegiatan FGD tersebut dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Pati. Hasil diskusi tersebut antara lain para tokoh agama maupun akademisi mempertahankan agama yang telah dilayani negara adalah enam dan tidak perlu penambahan, Baha’i maupun agama Adam tidak bisa digolongkan sebagai agama. Kriteria agama mengacu kepada No.1/PN.PS/1965.

FGD kelima juga dilakukan di kota Pati pada Kamis, 29 Oktober 2015. Peserta FGD aparat pemerintah yang dipilih berdasarkan tugas dan fungsinya dalam memberi pelayanan hak-hak sipil kepada warga negara penganut agama dan kepercayaan yaitu; Kesbangpolinmas, Dinas Kependudukan, Dinas Pendidikan, Kantor Litbang Kabupaten Pati, Kasubag TU Kementerian Agama yang kebetulan juga pengurus MUI, Bagian Kesra Kantor Pemerintah Kabupaten Pati dan FKUB secara kebetulan Ketua FKUB juga akademisi karena menjadi tenaga pengajar di STAIN Kudus. Dalam diskusi ini masukan dari dinas ini cukup mewarnai diskusi. Para peserta secara berurutan menyampaikan pendangannya mengenai agama dan pelayanan yang terkait dengan hak-hak sipil pemeluk agama dan penghayat aliran kepercayaan. Tidak beda dengan para tokoh agama, kelompok diskusi ini juga berpendapat

Page 77: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 69

agama yang dilayani negara sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam PNPS.

2. Diskusi dengan Masyarakat Kabupaten Malang

Pelaksanaan FGD pertama dengan para tokoh enam agama ‘resmi’ dan perwakilan FKUB Kota Malang. Kegiatan FGD dilaksanakan pada 20 Oktober 2015 bertempat di Aula kantor kemenag Kota Malang dengan jumlah partisipan yang hadir delapan orang partisipan. Kedelapan peserta ini adalah tokoh-tokoh agama dari Majelis Umat Kristen Indonesia Malang Raya, Pengurus Gereja Katolik Keuskupan Malang, Pengurus PHDI Kota Malang, Pengurus Wali Umat Budha (WALUBI) Kota Malang, Pengurus Cabang NU Kota Malang, Majelis Agama Khonghucu (Makin Genta Rohani) Kota Malang, dan pengurus FKUB Kota Malang dari unsur Islam dan Kristen.

Partisipan hampir merata memberikan komentar dan pendapat, tidak didominasi dari seseorang atau kelompok tertentu. Tema yang banyak menyita waktu diskusi adalah mengenai kriteria agama yang layak dilayani, karena partisipan masih tarik ulur erkait definisi agama, antara agama samawi (langit) dan agama ardli (bumi), antara agama dan kepercayaan, antara enam agama atau lebih dari enam agama yang dilayani negara. Masing-masing pihak sudah menyadari keterbatasan negara dalam memberikan pelayanan dan perlindungan. Hanya dari utusan umat Hindu yang cenderung setuju jika pelayanan negara tidak hanya kepada enam agama ‘resmi’, tetapi jika memungkinkan negara bisa melayani kelompok agama apapun agar semua warga negara merasa nyaman.

FGD keempat dilaksanakan di Kota Pati pada Selasa, 27 Oktober 2015. Peserta FGD para tokoh agama dari lima agama yaitu dari tokoh agama Islam, Kristen, Buddha, Hindu. Sedangkan perwakilan dari agama Khonghucu tidak ada karena belum ada perwakilan di Kemenag. Selain itu, informasi keberadaan umat Khonghucu tidak diperoleh. Dalam kegiatan tersebut perwakilan dari agama Hindu tidak hadir. Selain tokoh agama juga diundang kepala Kementerian Agama Kabupaten Pati, namun beliau tidak bisa hadir dan diwakilkan kepada kasi Bimas Islam. Akademisi yang diundang dalam kegiatan FGD tersebut dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Pati. Hasil diskusi tersebut antara lain para tokoh agama maupun akademisi mempertahankan agama yang telah dilayani negara adalah enam dan tidak perlu penambahan, Baha’i maupun agama Adam tidak bisa digolongkan sebagai agama. Kriteria agama mengacu kepada No.1/PN.PS/1965.

FGD kelima juga dilakukan di kota Pati pada Kamis, 29 Oktober 2015. Peserta FGD aparat pemerintah yang dipilih berdasarkan tugas dan fungsinya dalam memberi pelayanan hak-hak sipil kepada warga negara penganut agama dan kepercayaan yaitu; Kesbangpolinmas, Dinas Kependudukan, Dinas Pendidikan, Kantor Litbang Kabupaten Pati, Kasubag TU Kementerian Agama yang kebetulan juga pengurus MUI, Bagian Kesra Kantor Pemerintah Kabupaten Pati dan FKUB secara kebetulan Ketua FKUB juga akademisi karena menjadi tenaga pengajar di STAIN Kudus. Dalam diskusi ini masukan dari dinas ini cukup mewarnai diskusi. Para peserta secara berurutan menyampaikan pendangannya mengenai agama dan pelayanan yang terkait dengan hak-hak sipil pemeluk agama dan penghayat aliran kepercayaan. Tidak beda dengan para tokoh agama, kelompok diskusi ini juga berpendapat

Page 78: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia70

Pelaksanaan FGD yang kedua dilaksanakan bersama dengan para tokoh penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME dan tokoh umat Baha’i Kota Malang. Lokasi kegiatan FGD di Aula Kantor Kemenag Kota Malang dengan delapan peserta, yang berasal dari Paguyuban Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU) Malang, Paguyuban Purwaning Dumadi Malang, Paguyuban Jendro Hayuningrat Widodo Tungga (Pandawa), Paguyuban Naluri Budaya Leluhur Malang, Paguyuban Dharma Bakti Pusat, Malang, Paguyuban Dharma Bakti, Paguyuban Pasinaon Kawruh Jiwa, dan tokoh umat Baha’i di wilayah Malang.

Semua partisipan memberikan komentar dan pendapat, tidak dominasi dari seseorang atau kelompok tertentu. Meskipun umat Baha’i hanya satu orang namun diberikan porsi berbicara relatif sama dengan kelompok penghayat kepercayaan. Tema mengenai kriteria agama yang layak dilayani menjadi topik diskusi yang cukup ramai. Bagi umat Baha’i tidak begitu banyak menyampaikan pendapatnya, tetapi lebih pada harapan agar negara juga memberikan pelayanan dan perlindungan yang layak bagi umat agama Baha’i. Kondisi berbeda dengan yang disampaikan oleh kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME. Regulasi untuk pelayanan dan perlindungan yang harus diberikan oleh negara bagi kelompok ini sudah banyak. Selain yang terkait dengan administrasi kependudukan, regulasi mengenai layanan perkawinan, pemakaman, dan pendirian tempat peribadatan (sarasehan/sasana/candi/nama lain) juga sudah ada aturannya. Namun, implementasi di lapangan belum bisa seperti yang diamanatkan dalam regulasi tersebut.

Page 79: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 71

Pelaksanaan FGD ketiga dilaksanakan dengan peserta dari kalangan akademisi dan aparatur birokrasi Kota Malang. Diksusi tersebut dilaksanaan 26 Oktober 2015 di Aula Kantor Kementerian Agama Kota Malang. Adapun peserta FGD tersebut adalah Muhajir, S.Pd, M.Ag., Kasubbag TU Kankemenag Kota Malang; Amsiyono, SH, S.Ag. M.Sy., Kasie Bimas Islam Kankemenag Kota Malang/Dosen Fak. Ushuludin UIN Malik Ibrahim Malang; Drs. I Gusti Ngurah Kabyratha, Kasubid Wawasan Kebangsaan Bakesbangpol Kota Malang; Kunto Widodo, Kasubid Pembauran Bakesbangpol Kota Malang, Slamet Utomo, S.H., Kabid Kependudukan Dispendukcapil Kota Malang; Yusita Pusparini, Staf Subbag. Penyusunan Program Dinas Pendidikan Kota Malang; dan DR. H.M. Munjab M., dosen Pascasarjana UIN Malik Ibrahim Malang/ Sekretaris FKUB Kota Malang.

Pelaksanaan FGD ketiga berjalan sangat serius terkait kriteria agama yang layak dilayani negara. Partisipan dari Kankemenag sangat keras menentang jika ada agama lain yang dilayani negara melalui Kankemenag. Agama Baha’i dalam pandangan mereka belum bisa menyatakan diri sebagai agama resmi. Posisi mereka adalah agama selain enam agama yang mendapat bantuan dan aminan dari negara, di mana keberadaannya hanya dijamin dan dibiarkan asal tidak mengganggu masyarakat. Sementara itu kelompok penghayat kepercayaan tidak bisa dikategorikan sebagai agama, mereka itu harusnya memeluk salah satu dari enam agama ‘resmi’. Pemaknaan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 adalah semua masyarakat harus mempunyai identitas agama dan menjalankan ajaran agama tersebut dengan kepercayaan yang ada dalam agama tersebut. Jadi, klausul pasal itu dimaknai tidak ada ruang bagi penghayat kepercayaan menghimpun diri menjadi kelompok yang ingin dilayani layaknya umat

Pelaksanaan FGD yang kedua dilaksanakan bersama dengan para tokoh penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME dan tokoh umat Baha’i Kota Malang. Lokasi kegiatan FGD di Aula Kantor Kemenag Kota Malang dengan delapan peserta, yang berasal dari Paguyuban Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU) Malang, Paguyuban Purwaning Dumadi Malang, Paguyuban Jendro Hayuningrat Widodo Tungga (Pandawa), Paguyuban Naluri Budaya Leluhur Malang, Paguyuban Dharma Bakti Pusat, Malang, Paguyuban Dharma Bakti, Paguyuban Pasinaon Kawruh Jiwa, dan tokoh umat Baha’i di wilayah Malang.

Semua partisipan memberikan komentar dan pendapat, tidak dominasi dari seseorang atau kelompok tertentu. Meskipun umat Baha’i hanya satu orang namun diberikan porsi berbicara relatif sama dengan kelompok penghayat kepercayaan. Tema mengenai kriteria agama yang layak dilayani menjadi topik diskusi yang cukup ramai. Bagi umat Baha’i tidak begitu banyak menyampaikan pendapatnya, tetapi lebih pada harapan agar negara juga memberikan pelayanan dan perlindungan yang layak bagi umat agama Baha’i. Kondisi berbeda dengan yang disampaikan oleh kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME. Regulasi untuk pelayanan dan perlindungan yang harus diberikan oleh negara bagi kelompok ini sudah banyak. Selain yang terkait dengan administrasi kependudukan, regulasi mengenai layanan perkawinan, pemakaman, dan pendirian tempat peribadatan (sarasehan/sasana/candi/nama lain) juga sudah ada aturannya. Namun, implementasi di lapangan belum bisa seperti yang diamanatkan dalam regulasi tersebut.

Page 80: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia72

beragama (dalam hal pencatatan sipil, upacara perkawinan, lembaga perkawinan, pelajaran agama, hingga tempat peribadatannya).

Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan partisipan dari Dinas Pendidikan Kota Malang. Partisipan ini lebih memaknai agama yang layak dilayani dalam pemahaman universal, di mana hak-hak individu dalam memilih dann menjalankan agamanya dijamin oleh hukum internasional yang juga telah diratifikasi oleh hukum nasional. Wakil Bakesbangpol Kota Malang dan Dispendukcapil Kota Malang berpandangan bahwa layanan kepada kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME dan penganut agama selain dari enam agama ‘resmi’ tegantung pada regulasi yang ada saja. Selama ini dua lembaga tersebut mengaku sudah menjalankan regulasi teknis terkait pelayanan dan perlindungan kepada mereka.

3. Diskusi dengan Masyarakat Kabupaten Sumba Barat NTT

Pertemuan FGD pertama dilaksanakan pada hari Senin, 26 Oktober 2015 di Aula Amal Bakti Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat NTT yang di hadiri oleh para Tokoh Agama, di antaranya yang hadir dari Perwakilan GKS (Pdt. Marlina Billi, S.Th), Gereja Katholik Paroki (Romo Preddy Siantusri, Fr), PHDI (I Nyoman Tenda), FKUB (Pdt. P.B. Ndjurumana) Kabupaten Sumba Barat, MUI (Muhammad Afif) dan Kepala Subbag TU Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat (Hau Tumanggara, S.Pd). Pertemuan ini dibuka resmi oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat Drs. Petrus Fahik.

Kegiatan FGD yang kedua dilaksanakan di Aula Amal Bakti Kantor Kementerian Agama Kab. Sumba Barat pada

Page 81: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 73

Selasa, 27 Oktober 2015 bersama beberapa tokoh pimpinan keagamaan dan kepercayaan. Pada diskusi ini terungkap bahwa aliran kepercayaan Marapu adalah nama sebuah kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di pulau Sumba lebih dari setengah penduduk sumba atau sekitar 80%. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Para pemeluk Marapu ini masih mendapatkan perlakuan diskriminasi dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Untuk bersekolah saja mereka harus memilih salah satu 5 agama yang diakui oleh pemerintah alasannya pemda setempat karena seperti itu aturan dari pemerintah pusat.

Pelaksanaan FGD ketiga dilaksanakan pada Rabu, 28 Oktober 2015 di Aula Amal Bakti Kantor Kementerian Agama Kab. Sumba Barat bersama beberapa pimpinan Dinas terkait. Hadir dalam pertemuan Kepala Kantor Kemeterian Agama Kab. Sumba Barat, Kapala KESBANGPOL, Kepala seksi Pendidikan dan Bimas Islam yang di wakili oleh Kepala KUA Kec Kota H. Rustam S.Ag, Kepala Seksi Urusan Kristen di wakili oleh Staf Bimas Kristen, Kepala Dinas DUKCAPIL, adapun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata berhalangan hadir.

Mereka minta agar agama mereka diproteksi juga dengan terbentuknya lembaga adat/lembaga studi agama lokal ini bisa diakui oleh undang-undang. Ada diskriminasi hak-hak mereka yang tidak terlayani karena mereka masih kesulitan masalah administrasi yag berkaitan soal KTP, KK, dan Akte kelahiran karena mereka masih beragama Marapu.

beragama (dalam hal pencatatan sipil, upacara perkawinan, lembaga perkawinan, pelajaran agama, hingga tempat peribadatannya).

Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan partisipan dari Dinas Pendidikan Kota Malang. Partisipan ini lebih memaknai agama yang layak dilayani dalam pemahaman universal, di mana hak-hak individu dalam memilih dann menjalankan agamanya dijamin oleh hukum internasional yang juga telah diratifikasi oleh hukum nasional. Wakil Bakesbangpol Kota Malang dan Dispendukcapil Kota Malang berpandangan bahwa layanan kepada kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME dan penganut agama selain dari enam agama ‘resmi’ tegantung pada regulasi yang ada saja. Selama ini dua lembaga tersebut mengaku sudah menjalankan regulasi teknis terkait pelayanan dan perlindungan kepada mereka.

3. Diskusi dengan Masyarakat Kabupaten Sumba Barat NTT

Pertemuan FGD pertama dilaksanakan pada hari Senin, 26 Oktober 2015 di Aula Amal Bakti Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat NTT yang di hadiri oleh para Tokoh Agama, di antaranya yang hadir dari Perwakilan GKS (Pdt. Marlina Billi, S.Th), Gereja Katholik Paroki (Romo Preddy Siantusri, Fr), PHDI (I Nyoman Tenda), FKUB (Pdt. P.B. Ndjurumana) Kabupaten Sumba Barat, MUI (Muhammad Afif) dan Kepala Subbag TU Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat (Hau Tumanggara, S.Pd). Pertemuan ini dibuka resmi oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat Drs. Petrus Fahik.

Kegiatan FGD yang kedua dilaksanakan di Aula Amal Bakti Kantor Kementerian Agama Kab. Sumba Barat pada

Page 82: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia74

Page 83: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 75

KRITERIA “AGAMA”

DAN PROBLEM PELAYANAN OLEH NEGARA

Pandangan Masyarakat tentang Kriteria “Agama”

Menurut tokoh agama di Kabupaten Pati, kedudukan agama lebih tinggi daripada kepercayaan, sehingga aliran kepercayaan tidak termasuk agama. Keenam agama yang sudah ditetapkan tersebut tidak usah ditambah lagi, karena jika agama–agama lokal diakui, akan membuka peluang semua agama lokal minta untuk diakui ini sangat merepotkan dalam hal pelayanan negara terhadap agama-agama tersebut, karena jumlahnya ratusan. Lebih lanjut dikatakan agama lokal tidak memenuhi persyaratan sebagaimana kriteria agama. Pendapat ini dikuatkan oleh para tokoh agama yang lain yang sepakat agama yang sudah ditetapkan itu sudah cukup.

Menurut Dahwan dari akademisi dalam kegiatan FGD di Pati mengatakan kriteria agama sebagaimana ketetapan pemerintah yaitu ada Tuhan, Nabi, Kitab, Umat dan sistem theologi. Samin itu bukan agama, karena Samin lebih dekat dengan budaya, demikian juga Baha’i bukan agama.

Agama lokal agama yang diyakini komunitas tertentu dalam wilayah tertentu dan tidak ada kesamaan ajaran dengan keyakinan sesama komunitas di wilayah yang berbeda. Seperti komunitas Sedulur Sikep atau Samin yang menyatakan diri sebagai penganut agama Adam. Tata cara

Page 84: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia76

peribadatan mereka tidak ada kesamaan antara Sedulur Sikep yang berada di Pati, Kudus maupun yang ada di Blora. Mereka menjalankan laku sebagaimana ajaran leluhur mereka di masing-msing daerah. Pengajaran dari sesepuh atau para orang tua kepada keturunannya dilakukan dengan tradisi lesan, sehingga pengamalan ajaran sesuai dengan apa yang dapat diserap.

Bagi agama lokal seperti kelompok Sedulur Sikep di Sukolilo Pati yang mengaku menganut agama Adam, agama adalah ageman yang membuat dunia ini menjadi ramai. Diakui atau tidak agama Adam oleh pihak lain termasuk pemerintah, bagi Sedulur Sikep ini tidak ada masalah karena mereka bersikap apatis terhadap pelayanan negara. Hal terpenting bagi mareka adalah melestarikan ajaran leluhur mereka yang secara turun temurun disampaikan kepada anggota keluarganya atau keturunannya.

Agama begi Sedulur Sikep juga berarti “gaman” atau senjata yaitu “gamane wong lanang”( senjatanya orang laki-laki. Mereka mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang, Adam iku pengucapku” ( aku ini orang, agamaku Adam, namaku laki-laki dan Adam itu ucapan. Mereka menyatakan dari Adamlah asal hidup dan mati. Adam sumber segalanya. (Afia, ed, 1999;33). Dalam istilah Mbah Ndoyo agama iku sing biso ngramekke donya/zaman. Maksudnya dengan alat tersebut lahirlah anak –anak yang menjadikan dunia ini menjadi ramai. Pendapat ini senada dengan pengakuan Sedulur Sikep di Pati.

Menurut Samiyono (2010:101) secara sosiologis Agama Adam dapat dikatagorikan sebagai agama. Pandangan ini mengacu pada pemahaman Durkheim, agama Adam memenuhi beberapa persyaratan. Unsur yang menyatukan dalam Agama Adam terdapat dalam ajaran Pandom Urip yang

Page 85: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 77

isinya mengatur kehidupan bersama untuk melaksanakan ajaran leluhur. Unsur yang menyatukan Sedulur Sikep “isi ajaran” (system of bilief) atau doktrin. Unsur ke kedua adanya pemahaman yang diungkapkan melalui sistem kepercayaan.

Danius Widi tokoh agama Katholik mengemukakan, agama secara normatif sebagaimana dalam UU, sisi lain apa bila ritual membuat orang lebih baik perlu dipertimbangkan, kalau sudah mengakui adanya Tuhan perlu direspon/ bisa dimasukkan dalam kriteria agama, dia mencontohkan komunitas Samin yang mengakui agama Adam. Menurut Dahwan Hadi akademisi dari STAIP Agama Adam yang diakui oleh komunitas Samin atau Sedulur Sikep bukan agama karena Samin lebih dekat dengan tradisi. Kecuali mereka masih mengakui salah satu agama induknya, ia mencontohkan seperti Islam Laku Samin.

Perwakilan agama Katolik dalam FGD di Pati menyatakan bahwa, agama-agama di luar yang enam, dan bahkan aliran-aliran kepercayaan yang dianut dan dianggap sebagai agama oleh penganutnya harus dihargai dan diberi kesempatan. Ia mencontohkan, Sedulur Sikep yang menganut agama Adam memiliki ajaran yang mulia, budi pekerti, dan sebenarnya itu menjadi tujuan semua agama. Taat, tokoh agama Buddha mengemukakan Kementerian Agama perlu membuka wadah baru untuk mengakomodir agama lokal, mengakui adanya Tuhan tetapi masuk kebudayaan ini perlu pemikiran. Meskipun pengajarannya melalui tradisi lesan perlu di perhatikan.

Kondisi yang sama juga dialami oleh masyarakat penganut agama lokal lainnya, yaitu agama Marapu di Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat, banyak yang menjadi penganut kepercayaan lokal

peribadatan mereka tidak ada kesamaan antara Sedulur Sikep yang berada di Pati, Kudus maupun yang ada di Blora. Mereka menjalankan laku sebagaimana ajaran leluhur mereka di masing-msing daerah. Pengajaran dari sesepuh atau para orang tua kepada keturunannya dilakukan dengan tradisi lesan, sehingga pengamalan ajaran sesuai dengan apa yang dapat diserap.

Bagi agama lokal seperti kelompok Sedulur Sikep di Sukolilo Pati yang mengaku menganut agama Adam, agama adalah ageman yang membuat dunia ini menjadi ramai. Diakui atau tidak agama Adam oleh pihak lain termasuk pemerintah, bagi Sedulur Sikep ini tidak ada masalah karena mereka bersikap apatis terhadap pelayanan negara. Hal terpenting bagi mareka adalah melestarikan ajaran leluhur mereka yang secara turun temurun disampaikan kepada anggota keluarganya atau keturunannya.

Agama begi Sedulur Sikep juga berarti “gaman” atau senjata yaitu “gamane wong lanang”( senjatanya orang laki-laki. Mereka mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang, Adam iku pengucapku” ( aku ini orang, agamaku Adam, namaku laki-laki dan Adam itu ucapan. Mereka menyatakan dari Adamlah asal hidup dan mati. Adam sumber segalanya. (Afia, ed, 1999;33). Dalam istilah Mbah Ndoyo agama iku sing biso ngramekke donya/zaman. Maksudnya dengan alat tersebut lahirlah anak –anak yang menjadikan dunia ini menjadi ramai. Pendapat ini senada dengan pengakuan Sedulur Sikep di Pati.

Menurut Samiyono (2010:101) secara sosiologis Agama Adam dapat dikatagorikan sebagai agama. Pandangan ini mengacu pada pemahaman Durkheim, agama Adam memenuhi beberapa persyaratan. Unsur yang menyatukan dalam Agama Adam terdapat dalam ajaran Pandom Urip yang

Page 86: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia78

Marapu. Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Jika disembah, mereka akan member berkat, perlindungan, dan pertolongan yang baik (Wellem, 2004 : 42). Aliran Kepercayaan Marapu adalah suatu sistem kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan tertinggi, yang disebut Mawolu-Marawi, artinya yang membuat dan menciptakan. Wujud Mawolu-Marawi merupakan sesuatu yang abstrak dan diyakini sebagai sumber kehidupan yang mampu memberikan keselamatan dan ketenteraman bagi umat manusia (Anisah, 2013 : 32).

Bagi masyarakat Sumba, kepercayaan Marapu tersebut dipandang sebagai agama asli masyarakat Sumba yang diyakini, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Karena itu, kepercayaan Marapu hingga kini masih hidup dan dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Hal ini terlihat pada jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat, yang menyebutkan bahwa jumlah pemeluk agama Islam sebanyak 8.543 orang, pemeluk agama Kristen sebanyak 79.065 orang, pemeluk agama Katholik sebanyak 20.961 orang, pemeluk agama Hindu sebanyak 198 orang, dan lainnya sebanyak 17.047 orang (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka 2010). Oleh informan, kelompok lainnya diinterpretasikan sebagai penganut Kepercayaan Marapu.

Jika melihat dari berbagai definisi agama menurut hasil kajian di atas, dari pakar antropologi maupun sosiologi maka Agama lokal seperti agama Adam maupun agama Baha’i dapat memenuhi syarat sebagai agama sebagai agama sesuai dengan pendapat para pakar tersebut. Oleh karena itu, Danius

Page 87: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 79

mengusulkan agar ada pendampingan dari Kemenag untuk agama lokal termasuk Baha’i yang ada di Pati.

Kelompok Baha’i yang berdomosili di Cebolek Kidul, Margoyoso, Pati, termasuk agama lainnya. Kategori ini berdasarkan hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, sebagaimana tercantum dalam surat Nomor: SJ/B.VII/1/HM.00/675/2014 yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian dalam Negeri terkait dengan penganut Baha’i menjelaskan bahwa:

1) Baha’i adalah agama dan bukan aliran dari suatu agama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29,Pasal 28E serat Pasal 28 I. Undang-Undang Dasar 1945 agama Baha’i dapat hidup di Indonesia dan siapa saja warga negara Indonesia berhak memeluk agama Baha’i serta beribadat sesuai dengan ajaran agamanya;

2) Berdasarkan ketentuan penjelasan Undang- Undang Nomor: I/PNPS/1995, agama Baha’i seperti halnya agama-agama di luar enam agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) mendapat jaminan penuh dari negara, serta dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Agama Baha’i independen dan universal, bukan sekte agama tertentu dan memiliki sumber ajaran dan nabinya Baha’ullah. Ajaran Baha’i: 1) mewujudkan teranformasi rohani dalam kehidupan; 2) memperbaruhi lembaga masyarakat berdasar prinsip keesaan Tuhan,kesatuan agama, dan persatuan manusia; 3) keesaan Tuhan; 4) kebebasan beragama; 5) kesatuan dalam keanekaragaman; 6) peningkatan

Marapu. Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Jika disembah, mereka akan member berkat, perlindungan, dan pertolongan yang baik (Wellem, 2004 : 42). Aliran Kepercayaan Marapu adalah suatu sistem kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan tertinggi, yang disebut Mawolu-Marawi, artinya yang membuat dan menciptakan. Wujud Mawolu-Marawi merupakan sesuatu yang abstrak dan diyakini sebagai sumber kehidupan yang mampu memberikan keselamatan dan ketenteraman bagi umat manusia (Anisah, 2013 : 32).

Bagi masyarakat Sumba, kepercayaan Marapu tersebut dipandang sebagai agama asli masyarakat Sumba yang diyakini, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Karena itu, kepercayaan Marapu hingga kini masih hidup dan dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Hal ini terlihat pada jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat, yang menyebutkan bahwa jumlah pemeluk agama Islam sebanyak 8.543 orang, pemeluk agama Kristen sebanyak 79.065 orang, pemeluk agama Katholik sebanyak 20.961 orang, pemeluk agama Hindu sebanyak 198 orang, dan lainnya sebanyak 17.047 orang (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka 2010). Oleh informan, kelompok lainnya diinterpretasikan sebagai penganut Kepercayaan Marapu.

Jika melihat dari berbagai definisi agama menurut hasil kajian di atas, dari pakar antropologi maupun sosiologi maka Agama lokal seperti agama Adam maupun agama Baha’i dapat memenuhi syarat sebagai agama sebagai agama sesuai dengan pendapat para pakar tersebut. Oleh karena itu, Danius

Page 88: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia80

kehidupan spiritual, ekonomi, sosial-budaya, musyawarah sebagai dasar keputusan: 7) kesetiaan pada pemerintah; 8) mewajibkan pendidikan bagi anak; 9) agama menjadi sumber perdamaian dan keselarasan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa (Rosyid, 2015: 48-49).

Sementara itu, di dalam kelompok penghayat kepercayaan sendiri ternyata umumnya juga menganut salah agama dari enam agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau Khonghucu. Wardoyo, pengurus HPK Kabupaten Pati, menyatakan bahwa ia seorang muslim, yang bahkan berlatar belakang pesantren, tetapi mengikuti aliran kepercayaan karena merasa aliran kepercayaan ini dapat meningkatkan penghayatannya terhadap ajaran-ajaran Islam. Banyak kawan-kawannya di penghayat juga beragama Islam, Katolik, atau Kristen yang taat.

Walau demikian, ada pula penghayat kepercayaan merasa cukup dengan ajaran aliran kepercayaannya tersebut, dan itu dianggap sebagai agamanya. Seorang tokoh Aliran Sapto Darmo menyatakan bahwa Sapto Darmo itu agama baginya, ia tidak menganut agama apapun kecuali Sapto Darmo tersebut. Baginya, di aliran penghayat yang diyakini tersebut terdapat ajaran-ajaran yang baik dan ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sapto Darmo sendiri telah mensistematisasi ajarannya sehingga dalam aliran ini juga memiliki kitab-kitab ajaran, sanggar untuk ritual, dan kelembagaan yang cukup tertib.

Di antara penghayat kepercayaan ada pula yang masih tetap meyakini agama, salah satu dari enam agama, tetapi kewajiban ritual agamanya tidak lagi dilakukan dan digantikan dengan ritual penghayat kepercayaannya. Hal ini karena ia memandang tujuan agama untuk menyatu dengan

Page 89: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 81

Tuhan, sementara dengan agama dirinya tidak bisa mencapai hal tersebut, tetapi dengan metode dari penghayat ia bisa merasakan kedekatan dengan Tuhan. Adapun ajaran-ajaran moral, ia merasa ajaran penghayat kepercayaan sama dan selaras saja dengan tujuan agama, mengajarkan kebaikan, bahkan di penghayat kepercayaan, sikap kebaikan itu benar-benar dihayati, sehingga komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan itu di lingkungan penghayat sangat tinggi.

Ketua HPK Kabupaten Pati, Sugeng menyebutkan bahwa terdapat tiga kriteria penghayat aliran kepercayaan, yakni; 1) Penghayat murni yaitu tidak menganut salah satu agama dari yang enam (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) melainkan menganggap apa yang diyakini itu adalah agama; 2) Setengah murni penghayat menganut salah satu agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Pengamalan ajaran kepercayaan untuk memperkuat dalam melaksanakan ajaran agama; 3) penganut coba-coba, di mana penganut yang sudah mengetahui bagaimana penghayat harus berperilaku tetapi baru sebatas rasa ketertarikan belum melaksanakan sepenuhnya seperti apa yang dilakukan oleh penghayat.

Sekretaris HPK Kabupaten Pati, Wardoyo juga mengungkapkan adanya masyarakat penganut aliran kepercayaan yang pada dasarnya ia menganut salah satu agama yang ada dan mengikuti aliran kepercayaan untuk mendapatkan penghayatan atas agamanya, aliran kepercayaannya ini menjadi semacam “tarekat” atau jalan untuk menghayati tujuan agamanya. Adapula penganut penghayat kepercayaan yang dia menganut agama tertentu tetapi dalam praktik kesehariannya memilih untuk

kehidupan spiritual, ekonomi, sosial-budaya, musyawarah sebagai dasar keputusan: 7) kesetiaan pada pemerintah; 8) mewajibkan pendidikan bagi anak; 9) agama menjadi sumber perdamaian dan keselarasan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa (Rosyid, 2015: 48-49).

Sementara itu, di dalam kelompok penghayat kepercayaan sendiri ternyata umumnya juga menganut salah agama dari enam agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau Khonghucu. Wardoyo, pengurus HPK Kabupaten Pati, menyatakan bahwa ia seorang muslim, yang bahkan berlatar belakang pesantren, tetapi mengikuti aliran kepercayaan karena merasa aliran kepercayaan ini dapat meningkatkan penghayatannya terhadap ajaran-ajaran Islam. Banyak kawan-kawannya di penghayat juga beragama Islam, Katolik, atau Kristen yang taat.

Walau demikian, ada pula penghayat kepercayaan merasa cukup dengan ajaran aliran kepercayaannya tersebut, dan itu dianggap sebagai agamanya. Seorang tokoh Aliran Sapto Darmo menyatakan bahwa Sapto Darmo itu agama baginya, ia tidak menganut agama apapun kecuali Sapto Darmo tersebut. Baginya, di aliran penghayat yang diyakini tersebut terdapat ajaran-ajaran yang baik dan ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sapto Darmo sendiri telah mensistematisasi ajarannya sehingga dalam aliran ini juga memiliki kitab-kitab ajaran, sanggar untuk ritual, dan kelembagaan yang cukup tertib.

Di antara penghayat kepercayaan ada pula yang masih tetap meyakini agama, salah satu dari enam agama, tetapi kewajiban ritual agamanya tidak lagi dilakukan dan digantikan dengan ritual penghayat kepercayaannya. Hal ini karena ia memandang tujuan agama untuk menyatu dengan

Page 90: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia82

mengamalkan ajaran aliran kepercayaan dari pada ajaran agama formalnya.

Bagi penghayat aliran kepercayaan murni apa yang dilakukan telah dianggap cukup menggantikan agama, karena mereka mengakui adanya adanya tuhan yang maha kuasa. Sebagaimana disampaikan oleh Kasi Kebudayaan Saptonyono para penghayat tidak mengenal Allah SWT, tapi mereka mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan welas asih (bersifat pengasih). Tetapi aliran kepercayaan menurut Pak Nyono bukan agama.

Dengan demikian, sesungguhnya di masyarakat penganut aliran atau penghayat kepercayaan ini terbagi dalam empat tipe, yaitu pertama, tipe murni yakni penganut aliran kepercayaan yang menganggap dan menjadikan alirannya ini sebagai pengganti agama, karena itu ia tidak memeluk salah agama yang lain kecuali aliran kepercayaannya. Kedua tipe jalan atau metode, yakni penganut aliran kepercayaan yang pada dasarnya ia menganut salah satu agama yang ada dan mengikuti aliran kepercayaan untuk mendapatkan penghayatan atas agamanya, aliran kepercayaannya ini menjadi semacam “tarekat” atau jalan untuk menghayati tujuan agamanya. Ketiga tipe alternatif yakni penganut penghayat kepercayaan yang dia menganut agama tertentu tetapi dalam praktik kesehariannya ajaran aliran kepercayaan. Bedanya tipe alternatif ini dengan tipe murni adalah tipe alternatif ini masih merasa memiliki agama. Keempat tipe coba-coba, yakni orang-orang yang (baru) tertarik dan simpatik dengan ajaran penghayat kepercayaan tetapi belum melakukan sepenuhnya apa yang dilakukan oleh penghayat aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Page 91: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 83

Perbedaan agama dan kepercayaan menurut versi penghayat sebagaimana disampaikan Bapak Sugeng (ketua HPK Pati), agama dan kepercayaan itu sama, seperti di Islam ada tingkatan dalam berhubungan dengan Yang Maha Kuasa ada makrifat, maka di penghayat kepercayaan juga ada tingkatannya. Beda agama dan kepercayaan agama ada tokohnya (nabi) dan ada buku/kitab yang menjadi petunjuk bagi umatnya. Adapun pada kepercayaan ada wangsit, penerima wangsit bukan hanya orang-orang tertentu tetapi semua penghayat bisa menerima/ mendapat wangsit sesuai dengan tingkatannya.

Pandangan di atas senada dengan pendapat Koentjaraningrat, (1999: 149) yang membedakan konsep agama, religi dan aliran kepercayaan. Penyebutan agama untuk dipakai menyebut agama–agama yang resmi diakui oleh negara yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khongucu. Religi dipakai kalau bicara tentang Baha’i, agama Adam, dan segala macam gerakan kebatinan. Sedangkan kepercayaan merupakan komponen kedua dalam tiap agama maupun religi.

Menurut Mashadi penganut aliran Sapto Dharmo sebelum tahun 1965 Sapto Dharmo termasuk agama. Dalam kamus Prawiro-Admojo agama dalam kitab Jawa kuno adalah kitab hukum dan Undang-Undang. Agama adalah tata cara manembah suci kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan dunia akhirat.

Bedanya agama dan kepercayaan Agama, agama ada keyakinan, nabi, dan kitab, sedangkan kepercayaan didapatkan dari wahyu atau petunjuk terang. Lebih lanjut dijelaskan dalam aliran Sapto Dharmo (wahyu) berisi tujuh hal meliputi:

mengamalkan ajaran aliran kepercayaan dari pada ajaran agama formalnya.

Bagi penghayat aliran kepercayaan murni apa yang dilakukan telah dianggap cukup menggantikan agama, karena mereka mengakui adanya adanya tuhan yang maha kuasa. Sebagaimana disampaikan oleh Kasi Kebudayaan Saptonyono para penghayat tidak mengenal Allah SWT, tapi mereka mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan welas asih (bersifat pengasih). Tetapi aliran kepercayaan menurut Pak Nyono bukan agama.

Dengan demikian, sesungguhnya di masyarakat penganut aliran atau penghayat kepercayaan ini terbagi dalam empat tipe, yaitu pertama, tipe murni yakni penganut aliran kepercayaan yang menganggap dan menjadikan alirannya ini sebagai pengganti agama, karena itu ia tidak memeluk salah agama yang lain kecuali aliran kepercayaannya. Kedua tipe jalan atau metode, yakni penganut aliran kepercayaan yang pada dasarnya ia menganut salah satu agama yang ada dan mengikuti aliran kepercayaan untuk mendapatkan penghayatan atas agamanya, aliran kepercayaannya ini menjadi semacam “tarekat” atau jalan untuk menghayati tujuan agamanya. Ketiga tipe alternatif yakni penganut penghayat kepercayaan yang dia menganut agama tertentu tetapi dalam praktik kesehariannya ajaran aliran kepercayaan. Bedanya tipe alternatif ini dengan tipe murni adalah tipe alternatif ini masih merasa memiliki agama. Keempat tipe coba-coba, yakni orang-orang yang (baru) tertarik dan simpatik dengan ajaran penghayat kepercayaan tetapi belum melakukan sepenuhnya apa yang dilakukan oleh penghayat aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Page 92: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia84

1) Kepercayaan kepada Tuhan YME, setyotuhu marang sing maha asih lan Maha Agung.

2) Jujur lan sucine ati kudu setia nindaake angger negara.

3) Melu cawe-cawe cancut tali wondo njaga adeke nusa lan bangsa.

4) Tulung marang sapa wae yen perlu kanti karo oranduweni pamprih apa wae kejobo rasa welas asih

5) Wani urip kanti kepitoyo saka kekuatane dewe( mandiri)

6) Tanduke marang warga bebrayan kudu sosilo tansah agawe pepadang marang leliyan.

7) Yakin yen kahanan donyo iki owah dusir ( hanyokro manggilingan).

Penghayat aliran kepercayaan Sapto Dharmo tergolong pada kategori penghayat kepercayaan murni karena mereka tidak menganut salah satu agama dari keenam agama yang telah mendapatkan layanan penuh dari pemerintah/ negara. Penganut aliran ini telah mendapat layanan pemerintah dalam hal perkawinan, karena beberapa tokoh Sapto Dharmo telah diberikan kepercayaan untuk menikahkan anggotanya. Beberapa tokoh penghayat aliran kepercayaan di Kabupaten Pati menganut salah satu agama dari keenam agama yang besar di antara tokoh tersebut ketua HPK dan sekretaris HPK. Dilihat dari keasalan penganut aliran kepercayaan antara lain dari Suci Rahayu dan Roso Sejati.

Posisi agama lokal selama ini dianggap sama dengan aliran kepercayaan. Keduanya memang ada titik persamaannya, tetapi juga ada perbedaan mendasar. Jika umumnya penganut kepercayaan adalah ajaran mereka yang lebih filsafati dan teosofi, yang karena itu banyak yang ajarannya berupa filsafat lokal, ajaran leluhur, dan tafsir lokal

Page 93: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 85

atas ajaran-ajaran agama. Banyak penganut aliran kepercayaan yang berasal dari penganut agama, lalu tertarik untuk terlibat dan mengikuti ajaran penghayat kepercayaan. Sedangkan agama lokal, ajaran dan ritual mereka telah tertradisikan sejak lama, dan umumnya penganut agama lokal adalah orang lokal dan asli yang mendapatan ajaran tersebut secara turun temurun.

Problem bagi agama lokal yang umumnya masih berbasis tradisionalismenya, adalah tidak ada/belum ada tradisi kodifikasi ajaran. Tradisi yang mereka lakukan berbasis pada tradisi lisan, transfer pengetahuan dan ajaran melalui lisan, sehingga mereka tidak memiliki kitab. Tradisionalisme ini juga membuat mereka kurang mampu atau bahkan tidak mau menerapkan pengorganisasian pada kelompok mereka.

Dengan demikian di masyarakat dapat ditemukan beberapa kategori “agama”. Sebagian besar masyarakat menganut salah satu dari enam agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau Khonghucu. Sebagian kecil masyarakat menganut agama yang bersifat universal lainnya selain enam agama tersebut, seperti agama Baha’i yang ada di Malang dan Pati. Masyarakat juga ada yang memeluk agama lokal yang diaut oleh komunitas lokal yang berbasis pada adat tertentu seperti agama Adam di komunitas Samin, dan penganut agama Marapu di NTT.

Persoalan dalam Pelayanan Negara terhadap Pemeluk Agama

1. Pelayanan Identitas Diri

Setiap warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun wajib untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP).

1) Kepercayaan kepada Tuhan YME, setyotuhu marang sing maha asih lan Maha Agung.

2) Jujur lan sucine ati kudu setia nindaake angger negara.

3) Melu cawe-cawe cancut tali wondo njaga adeke nusa lan bangsa.

4) Tulung marang sapa wae yen perlu kanti karo oranduweni pamprih apa wae kejobo rasa welas asih

5) Wani urip kanti kepitoyo saka kekuatane dewe( mandiri)

6) Tanduke marang warga bebrayan kudu sosilo tansah agawe pepadang marang leliyan.

7) Yakin yen kahanan donyo iki owah dusir ( hanyokro manggilingan).

Penghayat aliran kepercayaan Sapto Dharmo tergolong pada kategori penghayat kepercayaan murni karena mereka tidak menganut salah satu agama dari keenam agama yang telah mendapatkan layanan penuh dari pemerintah/ negara. Penganut aliran ini telah mendapat layanan pemerintah dalam hal perkawinan, karena beberapa tokoh Sapto Dharmo telah diberikan kepercayaan untuk menikahkan anggotanya. Beberapa tokoh penghayat aliran kepercayaan di Kabupaten Pati menganut salah satu agama dari keenam agama yang besar di antara tokoh tersebut ketua HPK dan sekretaris HPK. Dilihat dari keasalan penganut aliran kepercayaan antara lain dari Suci Rahayu dan Roso Sejati.

Posisi agama lokal selama ini dianggap sama dengan aliran kepercayaan. Keduanya memang ada titik persamaannya, tetapi juga ada perbedaan mendasar. Jika umumnya penganut kepercayaan adalah ajaran mereka yang lebih filsafati dan teosofi, yang karena itu banyak yang ajarannya berupa filsafat lokal, ajaran leluhur, dan tafsir lokal

Page 94: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia86

Identitas yang terdapat dalam KTP tersebut terdapat kolom agama yang semestinya menunjukkan agama yang dianut oleh si pemilik KTP. Warga negara yang menganut salah satu dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu) tidak mengalami masalah dalam pencantuman identitas agama, karena di dalam KTP dicantumkan identitas agama yang mereka peluk.

Namun pada KTP milik warga negara yang beragama di luar enam agama tersebut tidak dapat tercantum nama agama yang dianut oleh pemilik KTP. KTP yang dimiliki oleh umat agama Baha’i di Kabupaten Pati dan Malang pada kolom agama hanya terisi tanda strip (-), sehingga tidak menunjukkan identitas pemilik KTP sebagai pemeluk agama Baha’i. Pada saat pengisian blangko pengajuan KTP sejak dari administrasi surat pengantar RT, RW, hingga tingkat desa, umat agama Baha’i ini mencantumkan identitas agama adalah agama Baha’i. Namun setelah KTP diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang, identitas agama tersebut kosong atau strip (-).

Masalah KTP ini sudah terjadi sejak masa Orde Baru, di mana saat itu warga umat Baha’i bahkan harus mengisi kolom identitas agama dengan memilih salah satu dari lima agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Mulai pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, umat Baha’i tidak lagi ditekan untuk mencamtumkan identitas agama dari lima agama tersebut pada KTP mereka. Walaupun demikian, KTP yang mereka miliki sampai sekarang belum bisa dimunculkan identitas agama Baha’i. Pada kolom identitas tersebut hanya berisi strip (-). Harapan umat Baha’i adalah mereka dapat menunjukkan identitas sebagai pemeluk agama Baha’i dalam kartu identitas KTP tersebut.

Page 95: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 87

Hal yang sama juga terjadi pada umat-umat agama lokal, seperti komunitas Sedulur Sikep atau Samin di Sukolilo Kabupaten Pati dan Agama Marapu di Sumba Barat Nusa Tenggara Timur. Sedulur Sikep meyakini bahwa agama yang mereka anut adalah agama Adam, sebagaimana juga penganut kepercayaan Marapu menganggap agama mereka adalah agama Marapu.

Sikap umat agama lokal ini cenderung sama, tidak terlalu peduli dengan identitas agama dalam kolom agama di KTP. Hal ini karena sikap lugu komunitas Sedulur Sikep yang menjadi ciri perilaku sosial mereka. Bagi Sedulur Sikep, karena pemerintah yang mengeluarkan KTP maka terserah pada kebijakan pemerintah. Umumnya KTP yang dimiliki oleh warga Sedulur Sikep pada kolom agama dituliskan agama Islam, yang di lingkungan mereka merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar warga. Masalah KTP ini, memiliki atau tidak memiliki KTP, bahkan bagi sebagian warga komunitas Sedulur Sikep ini bukanlah hal yang penting. Bagi mereka yang penting bagi orang hidup itu adalah berkata benar dan berperilaku yang baik. Namun demikian, mereka menyatakan akan lebih senang kalau pemerintah bisa mengakui bahwa mereka beragama Adam dan identitas sebagai pemeluk agama Adam ini dapat dimunculkan dalam identitas agama pada KTP.

Pada masyarakat kepercayaan Marapu, KTP yang mereka miliki umumnya dalam kolom agama tercantum agama mayoritas di sana, yakni Kristen. Walau demikian, dalam keseharian mereka lebih banyak melakukan amal ibadah kepercayaan Marapu, bahkan banyak yang tidak mengenal ajaran Kristen. Kondisi penganut kepercayaan Marapu ini tidak terdaftar di Kesbangpol, sehingga mereka

Identitas yang terdapat dalam KTP tersebut terdapat kolom agama yang semestinya menunjukkan agama yang dianut oleh si pemilik KTP. Warga negara yang menganut salah satu dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu) tidak mengalami masalah dalam pencantuman identitas agama, karena di dalam KTP dicantumkan identitas agama yang mereka peluk.

Namun pada KTP milik warga negara yang beragama di luar enam agama tersebut tidak dapat tercantum nama agama yang dianut oleh pemilik KTP. KTP yang dimiliki oleh umat agama Baha’i di Kabupaten Pati dan Malang pada kolom agama hanya terisi tanda strip (-), sehingga tidak menunjukkan identitas pemilik KTP sebagai pemeluk agama Baha’i. Pada saat pengisian blangko pengajuan KTP sejak dari administrasi surat pengantar RT, RW, hingga tingkat desa, umat agama Baha’i ini mencantumkan identitas agama adalah agama Baha’i. Namun setelah KTP diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang, identitas agama tersebut kosong atau strip (-).

Masalah KTP ini sudah terjadi sejak masa Orde Baru, di mana saat itu warga umat Baha’i bahkan harus mengisi kolom identitas agama dengan memilih salah satu dari lima agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Mulai pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, umat Baha’i tidak lagi ditekan untuk mencamtumkan identitas agama dari lima agama tersebut pada KTP mereka. Walaupun demikian, KTP yang mereka miliki sampai sekarang belum bisa dimunculkan identitas agama Baha’i. Pada kolom identitas tersebut hanya berisi strip (-). Harapan umat Baha’i adalah mereka dapat menunjukkan identitas sebagai pemeluk agama Baha’i dalam kartu identitas KTP tersebut.

Page 96: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia88

juga terkendala untuk dimasukkan dan dilayani sebagai aliran kepercayaan. Kendala yang mereka hadapi adalah kelompok kepercayaan ini umumnya tidak memiliki organisasi keagamaan atau majelis agama yang dapat mewakili mereka untuk melakukan pendaftaran di Kesbangpol, maupun mewakili umatnya untuk bernegosiasi dengan negara.

Pada masa sekarang di Sumba Barat pendaftaran dan pengisian formulir KTP sudah ada poin lain-lain dalam kolom agama. Dalam keterangan poin lain-lain tercantum kepercayaan Marapu. Hal ini menandakan bahwa ada upaya pemerintah Kabupaten Sumba Barat untuk mewadahi warga masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu memilih sesuai agama dan kepercayaan yang dianut. Pelayanan dan bimbingan hak-hak sipil bagi umat beragama Marapu selama ini dirasakan sudah lebih baik meskipun masih ada kesan “dipaksakan” untuk masuk agama lain, karena umat agama Marapu harus memilih salah satu agama yang diakui kepemelukannya oleh pemerintah, yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam hal ini, umat agama Marapu memilih agama Kristen untuk dicantumkan dalam KTP. Meskipun demikian, umat agama Marapu dalam kehidupan sehari-hari diberikan kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan keyakinannya. Bagi umat agama Marapu, mencantumkan agama apapun di dalam KTP bukan masalah, karena esensi beragama tidak berada di KTP, melainkan berada dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan bermasyarakat.

Persoalan KTP ini juga terjadi pada pengikut aliran atau penghayat kepercayaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Walaupun aliran kepercayaan ini dipandang bukan termasuk agama, tetapi sebagian penganut penghayat kepercayaan

Page 97: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 89

meyakini bahwa penghayat kepercayan merupakan agama itu sendiri. Kelompok penghayat kepercayaan yang tidak menganut agama tertentu, dan hanya memeluk aliran kepercayaan saja ini disebut penghayat kepercayaan kelompok murni. Kelompok yang berpandangan seperti tersebut tidak bersedia dimasukkan dalam kelompok agama tertentu. Mereka lebih menginginkan untuk disebutkan dalam identitas agama pada KTP adalah nama aliran kepercayaannya atau secara umum penghayat kepercayaan. KTP yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Pati milik penghayat kepercayaan diisi dengan tanda strip (-).

Penghayat kepercayaan di Kabupaten Pati maupun di Malang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni kelompok murni, kelompok jalan, dan kelompok alternatif. Penghayat kepercayaan kelompok murni adalah mereka yang menjadikan aliran kepercayaan tersebut sebagai panduan spiritual sepenuhnya sehingga bagi kelompok ini aliran penghayatan dianggap telah cukup untuk menggantikan agama. Penghayat kepercayaan kelompok jalan adalah penghayat kepercayaan yang memiliki agama dan menjadikan aliran kepercayaan ini sebagai jalan untuk semakin menghayati keimanan agama mereka. Kelompok kedua ini tetap dalam agama yang mereka anut dan melaksanakan juga ajaran aliran kepercayaannya sebagai cara memperkaya spiritualitas agama yang mereka yakini. Adapun penghayat kepercayaan kelompok alternatif adalah penganut aliran kepercayaan yang mereka masih beragama tetapi sudah tidak lagi menggunakan agamanya sebagai landasan kerohanian mereka. Mereka mencukupkan diri dengan praktik-praktik ajaran dan religi dari aliran kepercayaan yang mereka anut.

juga terkendala untuk dimasukkan dan dilayani sebagai aliran kepercayaan. Kendala yang mereka hadapi adalah kelompok kepercayaan ini umumnya tidak memiliki organisasi keagamaan atau majelis agama yang dapat mewakili mereka untuk melakukan pendaftaran di Kesbangpol, maupun mewakili umatnya untuk bernegosiasi dengan negara.

Pada masa sekarang di Sumba Barat pendaftaran dan pengisian formulir KTP sudah ada poin lain-lain dalam kolom agama. Dalam keterangan poin lain-lain tercantum kepercayaan Marapu. Hal ini menandakan bahwa ada upaya pemerintah Kabupaten Sumba Barat untuk mewadahi warga masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu memilih sesuai agama dan kepercayaan yang dianut. Pelayanan dan bimbingan hak-hak sipil bagi umat beragama Marapu selama ini dirasakan sudah lebih baik meskipun masih ada kesan “dipaksakan” untuk masuk agama lain, karena umat agama Marapu harus memilih salah satu agama yang diakui kepemelukannya oleh pemerintah, yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam hal ini, umat agama Marapu memilih agama Kristen untuk dicantumkan dalam KTP. Meskipun demikian, umat agama Marapu dalam kehidupan sehari-hari diberikan kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan keyakinannya. Bagi umat agama Marapu, mencantumkan agama apapun di dalam KTP bukan masalah, karena esensi beragama tidak berada di KTP, melainkan berada dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan bermasyarakat.

Persoalan KTP ini juga terjadi pada pengikut aliran atau penghayat kepercayaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Walaupun aliran kepercayaan ini dipandang bukan termasuk agama, tetapi sebagian penganut penghayat kepercayaan

Page 98: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia90

Penganut Agama Baha’i dan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME boleh mengosongkan kolom agama (tidak memilih enam agama) namun dalam database di Dispendukcapil setempat terekam identitas agama/ kepercayaan mereka. Hal ini karena dalam form isian awal pendaftaran penduduk atau pencatatan perkawinan harus memilih kepercayaan/agama lainnya dan mencantumkan nama kelompok kepercayaannya itu dengan melampirkan bukti dokumen identitas dari pimpinan kelompok/ lembaganya. Pandangan birokrat (Dispendukcapil), pada kartu identitas seseorang jika kolom agamanya tidak terisi maka individu tersebut adalah penganut kepercayaan atau agama lainnya.

2. Pelayanan Pencatatan Perkawinan

Peristiwa perkawinan termasuk peristiwa kependudukan penting yang menurut undang-undang kependudukan termasuk peristiwa yang harus dicatatkan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan itu sendiri dapat sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan peristiwa perkawinan khusus untuk warga negara beragama Islam dilakukan oleh petugas pencatat perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA), adapun umat beragama selain Islam dan termasuk penganut Aliran Kepercayaan pencatatan perkawinan dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Atas pencatatan peristiwa perkawinan itu, lembaga-lembaga yang berwenang tersebut mengeluarkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa perkawinan yang

Page 99: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 91

dilakukan telah sah secara agama dan mendapatkan pengakuan legal dari negara.

Pelayanan pencatatan perkawinan dengan penerbitan akta perkawinan terhadap peristiwa perkawinan yang dilakukan oleh umat dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik Hindu, Budha, dan Khonghucu) tidak ada persoalan. Hal ini karena agama-agama tersebut memang sudah sejak awal dilayani pencatatan perkawinannya, kecuali agama Khonghucu yang pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama, sehingga pelayanannya baru bisa terlayani setelah era reformasi. Termasuk juga pelayanan perkawinan bagi penghayat kepercayaan, pada saat sekarang ini perkawinan penganut aliran kepercayaan dengan tata cara aliran kepercayaannya telah dapat dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Namun perkawinan pada umat beragama selain enam agama tersebut belum bisa dilayani untuk pencatatan perkawinannya. Akibatnya, keluarga umat Baha’i yang telah melaksanakan prosesi perkawinan menurut agama Baha’i tidak bisa mendapatkan akta perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang. Agama Baha’i bukanlah termasuk aliran dalam agama Islam. Oleh karena itu tidak dapat dilayani pencatatan perkawinannya oleh KUA yang hanya khusus melayani pencatatan perkawinan umat Islam. Namun untuk mendapatkan pelayanan pencatatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, perkawinan umat Baha’i ini tertolak karena bagi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Agama Baha’i ini belum jelas kedudukannya apakah sebagai agama atau bukan.

Penganut Agama Baha’i dan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME boleh mengosongkan kolom agama (tidak memilih enam agama) namun dalam database di Dispendukcapil setempat terekam identitas agama/ kepercayaan mereka. Hal ini karena dalam form isian awal pendaftaran penduduk atau pencatatan perkawinan harus memilih kepercayaan/agama lainnya dan mencantumkan nama kelompok kepercayaannya itu dengan melampirkan bukti dokumen identitas dari pimpinan kelompok/ lembaganya. Pandangan birokrat (Dispendukcapil), pada kartu identitas seseorang jika kolom agamanya tidak terisi maka individu tersebut adalah penganut kepercayaan atau agama lainnya.

2. Pelayanan Pencatatan Perkawinan

Peristiwa perkawinan termasuk peristiwa kependudukan penting yang menurut undang-undang kependudukan termasuk peristiwa yang harus dicatatkan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan itu sendiri dapat sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan peristiwa perkawinan khusus untuk warga negara beragama Islam dilakukan oleh petugas pencatat perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA), adapun umat beragama selain Islam dan termasuk penganut Aliran Kepercayaan pencatatan perkawinan dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Atas pencatatan peristiwa perkawinan itu, lembaga-lembaga yang berwenang tersebut mengeluarkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa perkawinan yang

Page 100: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia92

Polemik ini sebenarnya telah terjawab dengan adanya surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri yang menjelaskan tentang keberadaan Agama Baha’i. Pertanyaan tersebut terkait keperluan Kemendagri memiliki dasar dalam memberi pelayanan administrasi kependudukan. Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari Pemerintah (Dokumen Surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

Pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil belum bisa melayani pencatatan perkawinan umat agama Baha’I saat ini. Hal ini karena belum adanya pedoman tehnis untuk melayani warga negara di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu). Ketiadaan aturan untuk melayani pencatatan perkawinan di luar enam agama tersebut menyebabkan pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang tidak berani memberikan pelayanan terhadap umat Baha’i. Akibatnya umat Baha’i tidak memiliki akte perkawinan yang diterbitkan oleh Dinas kependudukan dan Catatan Sipil.

Kasus serupa juga dialami oleh warga komunitas Sedulur Sikep yang menganut Agama Adam di Desa Baturejo Sukolilo dan Penganut Agama Marapu di Sumba Barat NTT. Perkawinan mereka umumnya tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Ada dua faktor penyebab tidak tercatatkannya perkawinan Sedulur Sikep. Pertama,

Page 101: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 93

karena mereka sendiri memang tidak berniat untuk mencatatkan perkawinan tersebut karena memandang hal itu tidak penting bagi kehidupan mereka. Kedua, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak dapat melayani pencatatan perkawinan tersebut karena tidak dilakukan menurut aturan dari salah satu dari enam agama. Demikian juga Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tidak bisa melayani pencatatan perkawinan tersebut karena bukan termasuk umat Islam.

Adapula kejadian penganut Marapu untuk mendapatkan bukti pencatatan perkawinan mereka masuk ke agama Islam. Proses pencatatan perkawinan biasanya lebih rumit. Selain syarat-syarat yang telah ditentukan, pengantin juga harus memperoleh pernyataan dari kedua orang tua diketahui kepala desa sebagai tindakan prefentif apabila ada permasalahan di kemudian hari. Prosesi syahadat dilimpahkan kepada takmir masjid dengan surat pernyataan masuk Islam dari yang bersangkutan. Setelah seagama Islam baru proses KUA dilaksanakan dan di dahului adat belis sebelumnya. Mahar yang biasa di KUA yaitu seperangkat alat sholat dan jarang terjadi mahar berupa uang. Pernah pula mahar berupa uang 10 ribu.

Nasib Umat Baha’i, Sedulur Sikep dan Penganut Marapu yang tidak bisa dilayani untuk pencatatan perkawinannya oleh negara tersebut berbeda dengan nasib kelompok aliran kepercayaan. Perkawinan yang dilakukan oleh penghayat atau penganut aliran kepercayaan sejak tahun 2007 telah dapat dicatatkan dan dikeluarkan akta perkawinannya oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Hal ini karena pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37

Polemik ini sebenarnya telah terjawab dengan adanya surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri yang menjelaskan tentang keberadaan Agama Baha’i. Pertanyaan tersebut terkait keperluan Kemendagri memiliki dasar dalam memberi pelayanan administrasi kependudukan. Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari Pemerintah (Dokumen Surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

Pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil belum bisa melayani pencatatan perkawinan umat agama Baha’I saat ini. Hal ini karena belum adanya pedoman tehnis untuk melayani warga negara di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu). Ketiadaan aturan untuk melayani pencatatan perkawinan di luar enam agama tersebut menyebabkan pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang tidak berani memberikan pelayanan terhadap umat Baha’i. Akibatnya umat Baha’i tidak memiliki akte perkawinan yang diterbitkan oleh Dinas kependudukan dan Catatan Sipil.

Kasus serupa juga dialami oleh warga komunitas Sedulur Sikep yang menganut Agama Adam di Desa Baturejo Sukolilo dan Penganut Agama Marapu di Sumba Barat NTT. Perkawinan mereka umumnya tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Ada dua faktor penyebab tidak tercatatkannya perkawinan Sedulur Sikep. Pertama,

Page 102: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia94

Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pada Bab X PP No. 37 Tahun 2007 tersebut diatur dengan rinci persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Berdasarkan peraturan ini, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melayani pencatatan perkawinan yang dilakukan berdasarkan ajaran aliran kepercayaan.

Tiadanya pelayanan pencatatan perkawinan terhadap Umat Baha’i, Sedulur Sikep yang menganut agama Adam, dan penganut agama Marapu berakibat pada tidak adanya pengakuan negara secara legal formal terhadap perkawinan mereka. Ketiadaan pengakuan ini berdampak pada keluarga terutama masalah status anak dalam pencatatan kelahiran atau akta kelahiran.

3. Pelayanan Akta Kelahiran

Peristiwa kelahiran termasuk peristiwa kependudukan yang harus dicatatkan. Akta Kelahiran adalah Akta Catatan Sipil hasil pencatatan peristiwa kelahiran seseorang, sehingga menjadi wujud pengakuan negara mengenai status individu, status perdata, dan status kewarganegaraan seseorang. Bayi yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga dan diberi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya. Sebagai hasil pelaporan kelahiran, diterbitkan Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran.

Persyaratan untuk pelayanan pencatatan kelahiran ini, di antaranya menyertakan akta perkawinan orang tua yang nantinya akan menunjukkan nasab si anak. Bagi pasangan

Page 103: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 95

yang tidak memiliki akta perkawinan, perkawinan mereka dianggap tidak sah, walaupun itu dilaksanakan sesuai dengan tata cara agama yang mereka anut. Anak yang terlahir dari pasangan yang tidak memiliki akta perkawinan tetap dilayani pencatatan kelahiran anak mereka oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Namun karena menurut hukum Indonesia perkawinan tersebut tidak sah karena tidak dicatatkan maka anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut status hukumnya sama dengan anak luar kawin yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya (lihat Pasal 43 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya.

Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak, di mana dalam akta tersebut tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian ketentuan Pasal 55 Ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Umat Baha’i di Pati dan Malang, warga komunitas Sedulur Sikep di Pati, serta penganut agama Marapu di Sumba Barat NTT tetap mendapatkan pelayanan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil walaupun tidak memiliki akta perkawinan. Namun oleh karena perkawinan mereka tersebut dianggap tidak sah oleh negara, dan karena itu anak-anak mereka tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya. Akta kelahiran dari pasangan Baha’i, Sedulur Sikep, dan penganut Marapu hanya menunjukkan peristiwa kelahiran seorang anak yang terlahir dari seorang perempuan, atau

Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pada Bab X PP No. 37 Tahun 2007 tersebut diatur dengan rinci persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Berdasarkan peraturan ini, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melayani pencatatan perkawinan yang dilakukan berdasarkan ajaran aliran kepercayaan.

Tiadanya pelayanan pencatatan perkawinan terhadap Umat Baha’i, Sedulur Sikep yang menganut agama Adam, dan penganut agama Marapu berakibat pada tidak adanya pengakuan negara secara legal formal terhadap perkawinan mereka. Ketiadaan pengakuan ini berdampak pada keluarga terutama masalah status anak dalam pencatatan kelahiran atau akta kelahiran.

3. Pelayanan Akta Kelahiran

Peristiwa kelahiran termasuk peristiwa kependudukan yang harus dicatatkan. Akta Kelahiran adalah Akta Catatan Sipil hasil pencatatan peristiwa kelahiran seseorang, sehingga menjadi wujud pengakuan negara mengenai status individu, status perdata, dan status kewarganegaraan seseorang. Bayi yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga dan diberi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya. Sebagai hasil pelaporan kelahiran, diterbitkan Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran.

Persyaratan untuk pelayanan pencatatan kelahiran ini, di antaranya menyertakan akta perkawinan orang tua yang nantinya akan menunjukkan nasab si anak. Bagi pasangan

Page 104: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia96

seorang ibu tanpa menyebutkan nama ayah dalam akta tersebut.

Walaupun demikian, dalam Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati untuk keluarga-keluarga penganut agama Baha’i di Desa Cebolek Kidul ini mencantumkan nama ayah dan nama ibu dari anak-anak mereka. Hanya saja, keterangan agama dalam kolom agama di KK tersebut tidak dituliskan nama agama Baha’i melainkan hanya berisi tanda strip (-). Hal tersebut sebagaimana kasus KTP, yakni identitas agama dalam kolom agama hanya diberi tanda strip (-). Tidak dicantumkannya nama agama Baha’i dalam KK maupun KTP tersebut karena Undang-undang No. 23 Tahun 2006 (Pasal 61) menyebutkan bahwa keterangan kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

4. Pelayanan Pendidikan

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara pada usia sekolah harus mendapatkan pendidikan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Negara telah memenuhi kewajiban pendidikan ini dengan mengatur pendidikan agama dan keagamaan. Pada pendidikan agama, ditegaskan bahwa lembaga pendidikan harus memberikan pendidikan agama kepada anak didik dan

Page 105: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 97

menyediakan guru agama, dan apabila tidak mampu dapat bekerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian apabila sekolah tidak tersedia guru yang seagama dengan anak didik, maka anak didik tersebut dapat diajar oleh tokoh agama atau guru yang ditunjuk oleh majelis agama dari anak didik tersebut.

Pelayanan pendidikan terhadap anak didik yang menganut salah satu dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu) tidak ada masalah karena terlayani oleh Kementerian Agama. Namun untuk anak didik yang berasal dari agama di luar agama yang enam tersebut, belum dapat dilayani semua. Kasus di kabupaten Pati, dinas pendidikan belum bersedia untuk memberikan izin penyelenggaraan pendidikan agama di luar enam agama tersebut. Hal ini menjadi persoalan karena di Kabupaten Pati terdapat komunitas penganut agama Baha’i, di mana anak-anak Baha’i tidak dapat dilayani untuk mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan mereka.

Walaupun dari dinas pendidikan menyatakan tidak dapat melayani, karena berdasarkan peraturan pendidikan agama hanya melingkupi pendidikan dari enam agama saja, tetapi kebijakan tiap-tiap sekolah nampaknya berbeda-beda. Di Kecamatan Margoyoso Pati, ada sekolah yang bersedia memberikan kesempatan siswa Baha’i untuk mendapatkan pendidikan agama Baha’i. Pelayanan pendidikan agama bagi anak-anak penganut agama Baha’i di Kota Malang juga belum sesuai dengan keinginan mereka, mereka masih mengikuti pendidikan agama dari agama yang dipilih meski dalam keseharian mereka beribadah sesuai ajaran Baha’i.

Adapun pada komunitas Sedulur Sikep di Pati, pola pendidikan mereka masih tradisional, yakni pendidikan oleh

seorang ibu tanpa menyebutkan nama ayah dalam akta tersebut.

Walaupun demikian, dalam Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati untuk keluarga-keluarga penganut agama Baha’i di Desa Cebolek Kidul ini mencantumkan nama ayah dan nama ibu dari anak-anak mereka. Hanya saja, keterangan agama dalam kolom agama di KK tersebut tidak dituliskan nama agama Baha’i melainkan hanya berisi tanda strip (-). Hal tersebut sebagaimana kasus KTP, yakni identitas agama dalam kolom agama hanya diberi tanda strip (-). Tidak dicantumkannya nama agama Baha’i dalam KK maupun KTP tersebut karena Undang-undang No. 23 Tahun 2006 (Pasal 61) menyebutkan bahwa keterangan kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

4. Pelayanan Pendidikan

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara pada usia sekolah harus mendapatkan pendidikan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Negara telah memenuhi kewajiban pendidikan ini dengan mengatur pendidikan agama dan keagamaan. Pada pendidikan agama, ditegaskan bahwa lembaga pendidikan harus memberikan pendidikan agama kepada anak didik dan

Page 106: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia98

keluarga. Bagi Sedulur Sikep, orang tua adalah guru yang sejati bagi anak-anak Sedulur Sikep. Hal ini menyebabkan anak-anak Sedulur Sikep sangat sedikit yang bersekolah. Adanya guru yang mengajarkan ajaran Sikep, oleh warga Sedulur Sikep sendiri dipandang tidak sesuai, dan tidak diakui oleh mereka.

Pendidikan anak Merapu di sekolah mengikuti pelajaran agama yang diadakan sesuai guru sekolahnya, baik Kristen atau Katholik. Tidak ada pilihan lain asal anak-anak bisa mendapat pendidikan agama meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan alasan kekurangan tenaga pengajar maka dalam kenyataannya banyak guru agama yang hanya lulusan SMA. Mereka yang baru selesai studi diminta untuk mengajar di sekolah. Kekurangan tenaga pengajar hampir terjadi di Pulau Sumba pada umumnya, sehingga ketika ada lulusan SMA yang baru selesai mereka diminta masyarakat atau lembaga untuk menjadi guru di suatu sekolah. Dengan demikian, jangankan penyediaan guru agama, sedangkan guru secara umum saja di wilayah ini mengalami kekurangan.

Pendidikan bagi anak-anak penganut aliran kepercayaan, umumnya mereka akan mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini karena sebagian penganut aliran adalah penganut agama, atau yang masuk dalam kelompok jalan dan alternatif. Permasalahan pendidikan terhadap anak penganut Aliran kepercayaan adalah yang menganut aliran kepercayaan murni. Sementara ini di Pati tidak ada tuntutan untuk pengajaran aliran kepercayaan. Kasus yang pernah terjadi di kabupaten Kudus, di mana ada siswa yang tidak bersedia mengerjakan soal tes agama, karena ia penganut Sedulur Sikep. Persoalan ini

Page 107: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 99

sempat dibawa sampai ke dinas pendidikan di tingkat provinsi dan bahkan sampai Jakarta. Akhirnya, diputuskan si anak ini dibuatkan soal tersendiri oleh tokoh Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) dan nilainya untuk pengganti agama.

Pandangan dari pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, apabila semua kelompok meminta pendidikan agama atau keyakinannya sendiri-sendiri, maka pemerintah yang akan repot sendiri. Kualitas pendidikan agama menjadi tidak bisa distandarkan, karena kelompok-kelompok kepercayaan, agama Baha’i, atau agama apapun, dituntut gurunya sesuai standar dan ketentuan formal. Selain itu, dinas pendidikan juga tidak bisa melakukan pelayanan pendidikan untuk kepercayaan karena aturan yang berlaku pendidikan agama di sekolah hanya untuk yang kategori agama.

Layanan pendidikan pada sekolah maupun perguruan tinggi yang belum bisa mengakomodir kepentingan umat agama di luar enam agama ‘resmi’ karena kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada regulasi ini hanya disebut enam agama ‘resmi’ yang memiliki satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dalam Pasal 1. Meskipun pada Pasal 4 PP Nomor 55 Tahun 2007 mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama”. Frase ‘agama yang dianutnya’ ini memberikan konsekuensi kembali kepada enam agama ‘resmi’ meskipun tidak ada rumusan yang jelas terhadap agama apa saja yang

keluarga. Bagi Sedulur Sikep, orang tua adalah guru yang sejati bagi anak-anak Sedulur Sikep. Hal ini menyebabkan anak-anak Sedulur Sikep sangat sedikit yang bersekolah. Adanya guru yang mengajarkan ajaran Sikep, oleh warga Sedulur Sikep sendiri dipandang tidak sesuai, dan tidak diakui oleh mereka.

Pendidikan anak Merapu di sekolah mengikuti pelajaran agama yang diadakan sesuai guru sekolahnya, baik Kristen atau Katholik. Tidak ada pilihan lain asal anak-anak bisa mendapat pendidikan agama meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan alasan kekurangan tenaga pengajar maka dalam kenyataannya banyak guru agama yang hanya lulusan SMA. Mereka yang baru selesai studi diminta untuk mengajar di sekolah. Kekurangan tenaga pengajar hampir terjadi di Pulau Sumba pada umumnya, sehingga ketika ada lulusan SMA yang baru selesai mereka diminta masyarakat atau lembaga untuk menjadi guru di suatu sekolah. Dengan demikian, jangankan penyediaan guru agama, sedangkan guru secara umum saja di wilayah ini mengalami kekurangan.

Pendidikan bagi anak-anak penganut aliran kepercayaan, umumnya mereka akan mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini karena sebagian penganut aliran adalah penganut agama, atau yang masuk dalam kelompok jalan dan alternatif. Permasalahan pendidikan terhadap anak penganut Aliran kepercayaan adalah yang menganut aliran kepercayaan murni. Sementara ini di Pati tidak ada tuntutan untuk pengajaran aliran kepercayaan. Kasus yang pernah terjadi di kabupaten Kudus, di mana ada siswa yang tidak bersedia mengerjakan soal tes agama, karena ia penganut Sedulur Sikep. Persoalan ini

Page 108: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia100

boleh dianut oleh siswa. Pemahaman tentang ini juga harus kembali memperhatikan pada Pasal 3 regulasi tersebut yang menyebutkan: “Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama”. Dengan demikian maka yang dilayani adalah pendidikan agama dari enam agama yang ada di Kemenag. Hal inilah yang membatasi ruang bagi pengembangan kurikulum dan memberikan pelajaran agama di luar enam agama yang ada di Kemenag. Akibatnya, sekolah dan perguruan tinggi pun hanya menerima peserta didik dan mahasiswa yang mau menerima pendidikan agama dari salah satu dari enam agama di Kemenag.

5. Pelayanan Tempat Ibadah/Ritual dan Pemakaman

Umat Baha’i yang ada di Malang yang berjumlah sekitar 30 orang hingga saat ini belum memiliki tempat ibadah tersendiri, bahkan sekretariat Majelis Ruhani Setempat sebagai lembaga Agama Baha’i di level kabupaten/kota juga tidak memiliki tempat tersendiri. Peribadatan dan pertemuan warga Baha’i di Kota Malang maupun Kabupaten Pati dilakukan secara bergilir di rumah warga Baha’i, sedangkan sekretariat Majelis Ruhani Setempat ikut pada rumah individu yang ditunjuk sebagai pengurus, pemilihan pengurusnya dilakukan setahun sekali. Bagi Umat Baha’i di Kabupaten Pati, kebutuhan memiliki rumah ibadah sendiri bagi mereka tidak terlalu mendesak. Hal ini karena dalam ajaran Baha’i tidak ada kegiatan ritual atau sembahyangan yang berjamaah kecuali untuk ritual jenazah.

Kondisi berbeda dialami oleh kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME, di mana tentang pendirian tempat peribadatan mereka telah diatur dalam Peraturan

Page 109: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 101

Berasama Mendagri dengan Menbudpar Nomor 43 dan 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME mendirikan tempat berdoa (sanggar/ sasana/sarasehan) cukup mengajukan ijin kepada kepala daerah setempat dengan syarat cukup dengan syarat administrasi dan teknik. Hal ini ternyata dapat menimbulkan kerawanan, karena aturan ini berkesan lebih longgar dbandingkan mendirikan rumah ibadah agama yang diatur dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 14 di mana selain persyaratan tehnis juga harus mendapatkan bukti pengguna 90 orang dan pendukung dari lingkungan sebanyak 60 orang. Kerawanan ini terbukti dengan penolakan pendirian sanggar di Kabupaten Rembang beberapa waktu lalu. Di Kabupaten Pati, di kecamatan Trangkil dan Wedari jaksa juga pernah terjadi penolakan pembangunan sanggar oleh warga.

Persoalan pelayanan pemakaman juga terjadi Kabupaten Pati. Umat Baha’i yang meninggal dunia tidak boleh dimakamkan di pemakaman umum desa. Ketika umat Baha’i yang meninggal pertama adalah Supriyono (alm) tahun 2006, pemakaman untuk almarhum dipermasalahkan, dan akhirnya diputuskan dimakamkan di makam desa tetapi ditempatkan di pinggir. Kemudian pada saat pemakaman kedua, Pak Narto tahun 2010, benar-benar ditolak untuk dimakamkan di makam desa. Pihak keluarga bermaksud memakamkan di salah satu lahan milik warga Baha’i, itupun dilarang. Pihak desa menawarkan pemakaman khusus untuk non-muslim yang terletak di daerah tambak dekat sungai. Tanah itu sebenarnya milik dinas pengairan, yaitu tanah bantaran sungai. Kondisi pemakaman berada di bantaran sungai di daerah tambak, pada saat musim hujan sering banjir,

boleh dianut oleh siswa. Pemahaman tentang ini juga harus kembali memperhatikan pada Pasal 3 regulasi tersebut yang menyebutkan: “Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama”. Dengan demikian maka yang dilayani adalah pendidikan agama dari enam agama yang ada di Kemenag. Hal inilah yang membatasi ruang bagi pengembangan kurikulum dan memberikan pelajaran agama di luar enam agama yang ada di Kemenag. Akibatnya, sekolah dan perguruan tinggi pun hanya menerima peserta didik dan mahasiswa yang mau menerima pendidikan agama dari salah satu dari enam agama di Kemenag.

5. Pelayanan Tempat Ibadah/Ritual dan Pemakaman

Umat Baha’i yang ada di Malang yang berjumlah sekitar 30 orang hingga saat ini belum memiliki tempat ibadah tersendiri, bahkan sekretariat Majelis Ruhani Setempat sebagai lembaga Agama Baha’i di level kabupaten/kota juga tidak memiliki tempat tersendiri. Peribadatan dan pertemuan warga Baha’i di Kota Malang maupun Kabupaten Pati dilakukan secara bergilir di rumah warga Baha’i, sedangkan sekretariat Majelis Ruhani Setempat ikut pada rumah individu yang ditunjuk sebagai pengurus, pemilihan pengurusnya dilakukan setahun sekali. Bagi Umat Baha’i di Kabupaten Pati, kebutuhan memiliki rumah ibadah sendiri bagi mereka tidak terlalu mendesak. Hal ini karena dalam ajaran Baha’i tidak ada kegiatan ritual atau sembahyangan yang berjamaah kecuali untuk ritual jenazah.

Kondisi berbeda dialami oleh kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME, di mana tentang pendirian tempat peribadatan mereka telah diatur dalam Peraturan

Page 110: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia102

pada saat digali harus menggunakan pompa air karena lubang kubur berisi air.

Aliran penghayat kepercayaan juga ada kasus penganut penghayat kepercayaan ditolak dimakamkan di pemakaman umum desa, karena diklaim pemakaman tersebut pemakaman muslim. Solusi yang ditawarkan pihak desa adalah agar anggota keluarganya mau dimakamkan di pemakaman tersebut maka keluarganya harus menyatakan diri masuk Islam. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan penggunaan tanah untuk keperluan tempat makam membedakan antara pemakaman umum, pemakaman bukan umum, dan pemakaman khusus. Pemakaman umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membeda-bedakan agama dan golongan yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II atau pemerintah desa. Pemakaman bukan umum apabila pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau keagamaan. Sedangkan pemakaman khusus untuk pemakaman yang memiliki arti khusus karena faktor sejarah dan kebudayaan. Oleh karena itu penolakan dengan alasan makam desa adalah makam umum muslim tidak ada dasar hukumnya.

Page 111: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 103

REFORMULASI KRITERIA “AGAMA”

DAN PELAYANAN NEGARA

Reformulasi Kriteria “Agama” dalam Konteks Pelayanan Negara

Agama yang dimaksudkan pada bagian ini adalah agama dalam perspektif pelayanan negara dengan mempertimbangkan konteks empiris masyarakat Indonesia. Realitas keberagamaan dalam masyarakat Indonesia, terdapat berbagai agama dan kepercayaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Hal ini sesungguhnya telah diungkapkan pula dalam PNPS No. 1 tahun 1965, yang menyatakan bahwa : Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena enam macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan- bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarathustra, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

pada saat digali harus menggunakan pompa air karena lubang kubur berisi air.

Aliran penghayat kepercayaan juga ada kasus penganut penghayat kepercayaan ditolak dimakamkan di pemakaman umum desa, karena diklaim pemakaman tersebut pemakaman muslim. Solusi yang ditawarkan pihak desa adalah agar anggota keluarganya mau dimakamkan di pemakaman tersebut maka keluarganya harus menyatakan diri masuk Islam. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan penggunaan tanah untuk keperluan tempat makam membedakan antara pemakaman umum, pemakaman bukan umum, dan pemakaman khusus. Pemakaman umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membeda-bedakan agama dan golongan yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II atau pemerintah desa. Pemakaman bukan umum apabila pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau keagamaan. Sedangkan pemakaman khusus untuk pemakaman yang memiliki arti khusus karena faktor sejarah dan kebudayaan. Oleh karena itu penolakan dengan alasan makam desa adalah makam umum muslim tidak ada dasar hukumnya.

Page 112: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia104

Hal yang bisa disimpulkan dari PNPS tersebut adalah bahwa di negara ini terdapat dua kategori agama, yaitu agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia yang mencakup enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu); dan agama lainnya. Agama lainnya tersebut adalah agama-agama selain enam agama tersebut yang dipeluk pula oleh penduduk Indonesia. Selain istilah agama, PNPS ini juga menunjukkan adanya badan/aliran kebatinan yang sekarang ini dikenal sebagai aliran atau penghayat kepercayaan.

Pelayanan negara terhadap agama dan kepercayaan ini dibedakan, yaitu untuk agama dilayani oleh kementerian agama, sedangkan untuk aliran kepercayaan dilayani oleh kementerian yang membidangi kebudayaan. Pelayanan terhadap aliran kepercayaan ini telah diatur dalam PBM Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 43 dan 41 tahun 2009 tentang pedoman pelayanan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun pelayanan terhadap enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu) dilakukan oleh Kementerian Agama dalam bentuk struktur dalam Kementerian Agama, di mana masing-masing agama tersebut dilayani oleh direktorat jenderal. Pada struktur Kementerian Agama Republik Indonesia baru ada lima Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat, yaitu Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Katolik, Ditjen Hindu dan Ditjen Buddha. Sementara untuk Agama Konghucu masih bernaung di bawah Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia, dan berada di dalam eselon II yaitu Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Khusus untuk Agama Islam, dalam

Page 113: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 105

struktur Kementerian Agama juga terdapat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Jenderal Penyelenggara haji dan Umroh, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.

Pemerintah, melalui struktur dalam Kementerian Agama melakukan pelayanan-pelayanan terhadap enam agama tersebut. Pelayanan negara terhadap enam agama selain melalui struktur dalam Kementerian Agama, juga dilaksanakan oleh kementerian lainnya. Salah satunya adalah pelayanan dalam bidang pencatatan perkawinan, di mana khusus umat Islam pencatatan perkawinan dan penerbitan akte perkawinan dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Adapun perkawinan dari umat beragama selain Agama Islam dilayani oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.

Persoalan yang muncul adalah tidak adanya institusi negara yang melakukan pelayanan terhadap kelompok agama lainnya, yaitu kelompok agama di luar agama yang enam dan di luar aliran kepercayaan. Negara perlu mengakomodasi kepentingan kelompok agama lainnya ini melalui sebuah kelembagaan, apakah dalam struktur tersendiri dalam Kementerian Agama atau kementerian lainnya. Namun pemerintah juga memerlukan kejelasan tentang kriteria agama yang dapat dilayani. Hal ini karena agama lainnya, agama yang dianut penduduk Indonesia di luar enam agama, jumlahnya bisa sangat banyak. Apabila negara harus melayani semua agama-agama tersebut maka akan memberatkan negara, terutama berkaitan dengan anggaran pelayanan. Dengan demikian kriteria ini dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu agama tersebut dapat dilayani atau tidak.

Hal yang bisa disimpulkan dari PNPS tersebut adalah bahwa di negara ini terdapat dua kategori agama, yaitu agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia yang mencakup enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu); dan agama lainnya. Agama lainnya tersebut adalah agama-agama selain enam agama tersebut yang dipeluk pula oleh penduduk Indonesia. Selain istilah agama, PNPS ini juga menunjukkan adanya badan/aliran kebatinan yang sekarang ini dikenal sebagai aliran atau penghayat kepercayaan.

Pelayanan negara terhadap agama dan kepercayaan ini dibedakan, yaitu untuk agama dilayani oleh kementerian agama, sedangkan untuk aliran kepercayaan dilayani oleh kementerian yang membidangi kebudayaan. Pelayanan terhadap aliran kepercayaan ini telah diatur dalam PBM Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 43 dan 41 tahun 2009 tentang pedoman pelayanan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun pelayanan terhadap enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu) dilakukan oleh Kementerian Agama dalam bentuk struktur dalam Kementerian Agama, di mana masing-masing agama tersebut dilayani oleh direktorat jenderal. Pada struktur Kementerian Agama Republik Indonesia baru ada lima Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat, yaitu Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Katolik, Ditjen Hindu dan Ditjen Buddha. Sementara untuk Agama Konghucu masih bernaung di bawah Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia, dan berada di dalam eselon II yaitu Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Khusus untuk Agama Islam, dalam

Page 114: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia106

Negara mempunyai kewajiban agar tidak melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik. Pembatasan yang dilakukan atas hak terkait memang diperbolehkan oleh ketentuan yang ada dalam kovenan, tetapi negara harus dapat menunjukkan bahwa pembatasan itu memang diperlukan dan dilakukan secara proporsional. Pembatasan yang dilakukan juga harus tetap menjamin perlindungan hak asasi manusia tetap efektif dan terus-menerus, serta tidak boleh dilakukan dengan cara yang dapat mengancam terlindunginya hak tersebut (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009).

Sebagaimana prinsip hukum tidak berlaku surut, maka pelayanan terhadap enam agama tidak perlu dipersoalkan lagi. Persoalan yang mendesak adalah adanya kelompok agama di luar agama yang enam tersebut yang belum dilayani, sehingga harus dipikirkan solusi agar hak-hak mereka sebagai warga negara pun dapat dipenuhi oleh negara. Dengan demikian, kriteria yang dibutuhkan adalah kriteria yang akan diterapkan terhadap agama-agama di luar enam agama.

Suatu kriteria atau definisi tidak dipungkiri juga bersifat inklusi dan eksklusi. Suatu kriteria akan memasukkan sebagian yang sesuai dengan kriteria tersebut, dan akan mengeluarkan sebagian yang lain karena tidak sesuai. Penyusunan kriteria agama ini tidak lepas dari proses inklusi dan eksklusi tersebut. Namun hal ini tentu bukan berarti ada warga negara yang tidak terlayani, karena dalam kaitannya dengan hak-hak sipil, negara berkewajiban untuk memberikan jaminan. Hal ini karena dalam PNPS No.1 Tahun 1965 menjelaskan bahwa agama lainnya, di luar enam agama, juga mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya. Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa makna kata “dibiarkan” yang

Page 115: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 107

terdapat di dalam Penjelasan Pasal 1 paragraf 3 UU Pencegahan Penodaan Agama harus diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang, dan bukan dibiarkan dalam arti diabaikan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009).

Dengan demikian kriteria agama ini merujuk pada agama dalam kategori agama lainnya dalam PNPS No. 1 tahun 1965 tersebut. Hasil dari kegiatan Workshop tentang penyusunan kriteria agama yang dapat dilayani negara yang diselenggarakan di Surabaya, 22-25 Agustus 2015, dan hasil FGD yang diselenggarakan terkait tema ini, dapat diusulkan suatu kriteria tentang agama yang dapat dilayani negara sebagai berikut:

“Agama yang secara de facto telah ada dan berkembang di wilayah Indonesia dengan tidak bertentangan dengan

peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta secara de jure telah mendapatkan

pengakuan dari pemerintah”

Agama yang dimaksud dalam kriteria di atas adalah sistem keyakinan yang bersifat sakral, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai pedoman umat manusia untuk berhubungan dengan Tuhan, melalui suatu ritual ibadah, dan berhubungan sesama manusia, dan alam lingkungan melalui tindakan moral, dalam bentuk ajaran suci yang bertujuan pada kebaikan di kehidupan ini dan setelahnya. Agama dalam konteks pelayanan negara membutuhkan “wakil” untuk berkoordinasi dengan negara, oleh karena itu, pada syarat tambahan dari agama adalah adanya lembaga/institusi keagamaan atau majelis agama sebagai wakil yang merepresentasikan agama tersebut. Dengan demikian dapat disederhanakan syarat agama adalah:

Negara mempunyai kewajiban agar tidak melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik. Pembatasan yang dilakukan atas hak terkait memang diperbolehkan oleh ketentuan yang ada dalam kovenan, tetapi negara harus dapat menunjukkan bahwa pembatasan itu memang diperlukan dan dilakukan secara proporsional. Pembatasan yang dilakukan juga harus tetap menjamin perlindungan hak asasi manusia tetap efektif dan terus-menerus, serta tidak boleh dilakukan dengan cara yang dapat mengancam terlindunginya hak tersebut (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009).

Sebagaimana prinsip hukum tidak berlaku surut, maka pelayanan terhadap enam agama tidak perlu dipersoalkan lagi. Persoalan yang mendesak adalah adanya kelompok agama di luar agama yang enam tersebut yang belum dilayani, sehingga harus dipikirkan solusi agar hak-hak mereka sebagai warga negara pun dapat dipenuhi oleh negara. Dengan demikian, kriteria yang dibutuhkan adalah kriteria yang akan diterapkan terhadap agama-agama di luar enam agama.

Suatu kriteria atau definisi tidak dipungkiri juga bersifat inklusi dan eksklusi. Suatu kriteria akan memasukkan sebagian yang sesuai dengan kriteria tersebut, dan akan mengeluarkan sebagian yang lain karena tidak sesuai. Penyusunan kriteria agama ini tidak lepas dari proses inklusi dan eksklusi tersebut. Namun hal ini tentu bukan berarti ada warga negara yang tidak terlayani, karena dalam kaitannya dengan hak-hak sipil, negara berkewajiban untuk memberikan jaminan. Hal ini karena dalam PNPS No.1 Tahun 1965 menjelaskan bahwa agama lainnya, di luar enam agama, juga mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya. Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa makna kata “dibiarkan” yang

Page 116: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia108

1. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

2. Sistem peribadahan/ritual

3. Sistem ajaran atau kitab suci

4. Umat

5. Lembaga agama

Agama yang dapat dilayani oleh negara Indonesia secara de facto telah ada dan berkembang di Indonesia. Pembuktian suatu agama tersebut nyata ada dan berkembang di Indonesia harus dibuktikan bahwa umat penganutnya adalah penduduk Indonesia dengan jumlah dan lingkup penyebaran yang cukup representatif, agama tersebut ada dan dipraktikkan di Indonesia dalam waktu yang relatif lama sehingga menjadi bukti bahwa agama tersebut telah berkembang dan dapat diterima oleh lingkungan di wilayah Indonesia.

Agama yang dapat dilayani juga suatu agama yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini mensyaratkan agar agama harus: menerima Pancasila dan UUD 1945; menjaga keutuhan NKRI; tidak mengajarkan pandangan yang melawan ideologi negara; dan tidak mengajarkan melawan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agama untuk dilayani oleh negara juga harus memenuhi syarat de jure atau legalitas. Oleh karena itu agama harus mendapatkan pengakuan dari negara. Pengakuan ini berupa sistem registrasi kepada negara, dan negara mendaftar agama-agama tersebut sesuai dengan kriteria dan syarat di atas. Untuk kepentingan registrasi agama-agama (lainnya) ini

Page 117: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 109

maka dibutuhkan suatu institusi tersendiri untuk melakukan verifikasi kelayakan agama tersebut untuk terdaftar sebagai agama lainnya yang dapat dilayani oleh negara. Proses regstrasi ini haruslah dilakukan oleh kelembagaan yang mewakili agama.

Agama-agama yang tidak memenuhi kriteria yang berkaitan dengan syarat de facto dan de yure, tidak berarti tidak boleh ada di Indonesia. Agama-agama tersebut tetap mendapatkan jaminan dan perlindungan dari negara, tetapi tidak mendapatkan bantuan sebagaimana agama yang telah teregistrasi. Adapun agama yang tidak memenuhi kriteria yang berkaitan dengan persyaratan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan sendirinya tidak boleh ada dan dilarang keberadaannya. Hal ini karena agama tersebut dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Proses-proses pengakuan negara teradap agama ini akan melahirkan kategorisasi agama-agama dalam konteks pelayanan negara di Indonesia. Kategori tersebut adalah :

1. Enam agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu)

2. Agama lainnya

3. Agama lokal

4. Aliran kepercayaan

Kategori agama lainnya dan agama lokal perlu untuk dibedakan. Agama lainnya lebih merujuk pada konsep agama universal, yakni agama yang telah nyata-nyata ada dan dianut oleh penduduk di negara-negara lain. Pada agama-agama yang bersifat universal umumnya telah

1. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

2. Sistem peribadahan/ritual

3. Sistem ajaran atau kitab suci

4. Umat

5. Lembaga agama

Agama yang dapat dilayani oleh negara Indonesia secara de facto telah ada dan berkembang di Indonesia. Pembuktian suatu agama tersebut nyata ada dan berkembang di Indonesia harus dibuktikan bahwa umat penganutnya adalah penduduk Indonesia dengan jumlah dan lingkup penyebaran yang cukup representatif, agama tersebut ada dan dipraktikkan di Indonesia dalam waktu yang relatif lama sehingga menjadi bukti bahwa agama tersebut telah berkembang dan dapat diterima oleh lingkungan di wilayah Indonesia.

Agama yang dapat dilayani juga suatu agama yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini mensyaratkan agar agama harus: menerima Pancasila dan UUD 1945; menjaga keutuhan NKRI; tidak mengajarkan pandangan yang melawan ideologi negara; dan tidak mengajarkan melawan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agama untuk dilayani oleh negara juga harus memenuhi syarat de jure atau legalitas. Oleh karena itu agama harus mendapatkan pengakuan dari negara. Pengakuan ini berupa sistem registrasi kepada negara, dan negara mendaftar agama-agama tersebut sesuai dengan kriteria dan syarat di atas. Untuk kepentingan registrasi agama-agama (lainnya) ini

Page 118: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia110

memiliki sistem pengorganisasian tertib dan sumber daya manusia yang baik. Oleh karena itu. Agama-agama yang bersifat universal ini dapat melakukan registrasi untuk dapat dilayani oleh negara.

Adapun pada kelompok agama-agama lokal yang berbasis ajarannya berkaitan erat dengan tradisi, adat, dan budaya lokal dikategorikan sendiri dalam kategori agama lokal. Ada beberapa persoalan agama lokal ini untuk disamakan dengan agama lainnya. Penganut ajaran agama lokal seringkali tumpang tindih dengan agama yang lain, terutama enam agama besar. Ada penganut salah satu dari enam agama besar tetapi ia sekaligus menjalankan ajaran-ajaran agama lokal yang dianggap sebagai bagian dari tradisi. Pada masyarakat Dayak misalnya, banyak tokoh-tokoh adat Dayak yang berbasis tradisi Kaharingan adalah muslim, bahkan sudah melaksanakan ibadah haji. Demikian pula di agama Marapu, dan juga di lingkungan komunitas Sedulur Sikep, banyak tokohnya yang telah menjadi pemeluk salah satu dari enam agama besar. Oleh karena itu, para pemeluk agama lokal yang “murni” tidak memeluk agama lainnya, dapat masuk dalam kategori ini.

Rekonstruksi Pelayanan Negara terhadap Agama

Usulan pelayanan terhadap agama lainnya dan agama lokal ini dibedakan. Agama lainnya diusulkan untuk dilayani dalam struktur Kementerian Agama, Adapun agama lokal dengan basis tradisi dan sifat perlu mendapatkan dukungan untuk proses pelembagaannya, sehingga bisa menjadi wakil dalam berkoordinasi dengan pemerintah, maka tetap dilayani di bawah kementerian yang membidani kebudayaan bersama

Page 119: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 111

dengan aliran kepercayaan. Adapun dalam persoalan- persoalan yang menyangkut peribadatan umum (forum eksternum) dari agama lokal dan aliran kepercayaan perlu untuk dikoordinasikan antara Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian yang membawahi kebudayaan.

Sesuai dengan PNPS No.1 Tahun 1965 dan penjelasan

Mahkamah Konstitusi, maka selain enam agama besar, semua agama dan kepercayaan lainnya juga harus mendapatkan jaminan dan pelayanan dari negara. Namun negara juga perlu mempertimbangkan dari berbagai perspektif, seperti aspek anggaran. Apakah negara memiliki anggaran yang cukup untuk menerapkan suatu kebijakan pelayanan terhadap semua agama secara sama. Oleh karena itu, juga menjadi penting untuk menerapkan kebijakan secara proporsional. Oleh karena itu tidak salah disusun gradasi pelayanan terhadap agama-agama di Indonesia secara proporsional dengan tetap menjamin terpenuhinya hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi.

memiliki sistem pengorganisasian tertib dan sumber daya manusia yang baik. Oleh karena itu. Agama-agama yang bersifat universal ini dapat melakukan registrasi untuk dapat dilayani oleh negara.

Adapun pada kelompok agama-agama lokal yang berbasis ajarannya berkaitan erat dengan tradisi, adat, dan budaya lokal dikategorikan sendiri dalam kategori agama lokal. Ada beberapa persoalan agama lokal ini untuk disamakan dengan agama lainnya. Penganut ajaran agama lokal seringkali tumpang tindih dengan agama yang lain, terutama enam agama besar. Ada penganut salah satu dari enam agama besar tetapi ia sekaligus menjalankan ajaran-ajaran agama lokal yang dianggap sebagai bagian dari tradisi. Pada masyarakat Dayak misalnya, banyak tokoh-tokoh adat Dayak yang berbasis tradisi Kaharingan adalah muslim, bahkan sudah melaksanakan ibadah haji. Demikian pula di agama Marapu, dan juga di lingkungan komunitas Sedulur Sikep, banyak tokohnya yang telah menjadi pemeluk salah satu dari enam agama besar. Oleh karena itu, para pemeluk agama lokal yang “murni” tidak memeluk agama lainnya, dapat masuk dalam kategori ini.

Rekonstruksi Pelayanan Negara terhadap Agama

Usulan pelayanan terhadap agama lainnya dan agama lokal ini dibedakan. Agama lainnya diusulkan untuk dilayani dalam struktur Kementerian Agama, Adapun agama lokal dengan basis tradisi dan sifat perlu mendapatkan dukungan untuk proses pelembagaannya, sehingga bisa menjadi wakil dalam berkoordinasi dengan pemerintah, maka tetap dilayani di bawah kementerian yang membidani kebudayaan bersama

Page 120: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia112

PNPS No. 1 Tahun 1965 telah menunjukkan adanya gradasi pelayanan negara terhadap agama-agama di Indonesia. Bagian penjelasan PNPS menunjukan bahwa enam agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia mendapatkan jaminan (kemerdekaan beragama), bantuan- bantuan, dan perlindungan. Adapun agama lainnya mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya, yang dalam penjelasan Mahkamah Konstitusi diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang. Pembedaan pelayanan ini proporsional mengingat penganut agama adalah subyek pelayanannya, di mana enam agama nyata-nyata dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia wajar mendapatkan perhatian yang lebih besar pula.

Gradasi pelayanan negara paling minimal adalah terjaminnya kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian pelayanan negara tidak boleh kurang dari jaminan dan perlindungan terhadap umat beragama untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya tersebut. Berikut usulan gradasi pelayanan oleh negara:

1. Pelayanan dasar: menjamin perlindungan untuk menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan yang tidak bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku.

2. Pelayanan pengakuan: menjamin perlindungan untuk menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan, dan pengakuan terhadap identitas agama dalam pencatatan sipil.

Page 121: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 113

3. Pelayanan kelembagaan: menjamin perlindungan untuk menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan, pengakuan terhadap identitas agama dalam pencatatan sipil, dan bantuan-bantuan yang dikelola melalui struktur dalam Kementerian Agama

Kemerdekaan memeluk agama dan beribadah merupakan hak setiap warga yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Oleh karena itu, sekalipun suatu agama atau aliran kepercayaan tidak teregistrasi, juga akan mendapatkan hak jaminan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan tersebut. Berikut pelayanan negara terhadap agama-agama:

Tabel 7. Pelayanan Negara Terhadap Agama-Agama

Status Agama Pelayanan Lembaga Pelayanan

Terregistrasi

Enam agama besar

Pelayanan kelembagaan

Kementerian Agama

Agama lainnya Pelayanan pengakuan Kementerian Agama

Agama lokal Pelayanan pengakuan

Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian yang membidangi Kebudayaan

Aliran kepercayaan

Pelayanan pengakuan

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi Kebudayaan

Tidak terregistrasi

Agama

Pelayanan dasar - Aliran

kepercayaan

PNPS No. 1 Tahun 1965 telah menunjukkan adanya gradasi pelayanan negara terhadap agama-agama di Indonesia. Bagian penjelasan PNPS menunjukan bahwa enam agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia mendapatkan jaminan (kemerdekaan beragama), bantuan- bantuan, dan perlindungan. Adapun agama lainnya mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya, yang dalam penjelasan Mahkamah Konstitusi diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang. Pembedaan pelayanan ini proporsional mengingat penganut agama adalah subyek pelayanannya, di mana enam agama nyata-nyata dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia wajar mendapatkan perhatian yang lebih besar pula.

Gradasi pelayanan negara paling minimal adalah terjaminnya kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian pelayanan negara tidak boleh kurang dari jaminan dan perlindungan terhadap umat beragama untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya tersebut. Berikut usulan gradasi pelayanan oleh negara:

1. Pelayanan dasar: menjamin perlindungan untuk menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan yang tidak bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku.

2. Pelayanan pengakuan: menjamin perlindungan untuk menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan, dan pengakuan terhadap identitas agama dalam pencatatan sipil.

Page 122: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia114

Page 123: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 115

EPILOG

BERANI UNTUK MELAYANI

Agama dalam konteks realitas sosial dan regulasi terdapat kesenjangan konsep. Hal ini menyebabkan munculnya persoalan pelayanan terhadap warga negara yang berkaitan dengan identitas agama. Regulasi yang ada, semisal UU No. 5 Tahun 1969 tentang PNPS No. 1 Tahun 1965, dalam penjelasannya menyebutkan terdapat enam agama (Islam, Kristen, Katolik, HIndu, Budha, dan Khonghucu) yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, dan agama lainnya yang juga dijamin oleh UUD 1945. Namun undang-undang ini secara politis dijadikan landasan bahwa negara hanya mengakui enam agama itu saja. Sebagaimana disebutkan ditegaskan pula dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Realitas keberagamaan di masyarakat Indonesia, selain terdapat enam agama juga terdapat agama-agama lainnya, baik yang bersifat universal (internasional) maupun agama-agama yang bersifat lokal atau asli (indigenous) yang beasal dari Indonesia sendiri. Satu realitas bahwa komunitas umat agama Baha’i di Kabupaten Pati Jawa Tengah dan Kabupaten/kota Malang Jawa Timur termasuk agama universal karena dianut di berbagai negara lainnya. Sementara agama lokal yang ditemukan antara lain Agama Adam yang dianut oleh komunitas adat Sedulur Sikep (Samin) di Pati Jawa Tengah, dan Agama Marapu yang dianut oleh warga Sumba Barat Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Indonesia selain memeluk agama-agama tersebut di atas, juga terdapat

Page 124: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia116

masyarakat yang memeluk atau mengikuti aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan. Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan mereka. Perkawinan umat Baha’i, penganut agama Adam, dan Agama Marapu tidak bisa dicatatkan dan dikeluarga akta perkawinannya oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil oleh karena di UU Administrasi Kependudukan tidak diatur perkawinan agama di luar enam agama. Akibatnya, anak-anak yang lahir dari keluarga tersebut dalam akta kelahirannya disebut sebagai anak seorang ibu atau perempuan saja, adapun nama ayah tidak dicantumkan. Hal ini mengakibatkan stigmatisasi sosial, sebagai keluarga yang perkawiannya tidak sah. Demikian pula dalam hal identitas agama dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga tidak bisa dituliskan agama melainkan hanya dikosongkan atau tanda strip (-).

Absennya negara untuk mengakui identitas agama tersebut juga berdampak pada pelayanan bidang pendidikan. UU No. 3 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pengajar yang seagama. Anak-anak dari umat Baha’i, terutama di sekolah negeri, tidak bisa

Page 125: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 117

memperoleh hak tersebut karena pihak sekolah tidak bisa melayani atau memberi kesempatan mereka mendapatkan pendidikan agama Baha’i, bahkan ada yang diminta untuk masuk agama tertentu.

Pada era reformasi, tuntutan kesetaraan dan pengakuan terhadap keberadaan agama selain enam agama besar dan agama-agama lokal mengemuka. Apalagi terhadap agama-agama ini ternyata tidak kelembagaan negara yang bertugas melayani kelompok agama-agama lainnya tersebut. Akibatnya pelayanan terhadap agama lainnya ini menjadi terkendala di lapangan. Negara, terutama Kementerian Agama memiliki itikad untuk dapat melayani semua agama, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama. Negara dengan keterbatasannya bermaksud untuk melayani semua agama. Oleh karena itu, diperlukan suatu kriteria tentang agama yang dapat dilayani oleh negara.

Berangkat dari pandangan-pandangan akademik tentang agama, dan pandangan para pelaku agama di masyarakat sebagaimana hasil temuan penelitian ini maka kriteria tentang agama yang dapat dilayani negara sebagai berikut:

“Agama yang secara de facto telah ada dan berkembang di wilayah Indonesia dengan tidak bertentangan dengan

peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta secara de jure telah mendapatkan

pengakuan dari pemerintah”

Suatu agama disebut sebagai agama apabila memiliki : Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; Sistem peribadahan/ritual; Sistem ajaran atau kitab suci; Umat; dan Lembaga agama. Agama untuk dapat dilayani oleh negara ia

masyarakat yang memeluk atau mengikuti aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan. Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan mereka. Perkawinan umat Baha’i, penganut agama Adam, dan Agama Marapu tidak bisa dicatatkan dan dikeluarga akta perkawinannya oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil oleh karena di UU Administrasi Kependudukan tidak diatur perkawinan agama di luar enam agama. Akibatnya, anak-anak yang lahir dari keluarga tersebut dalam akta kelahirannya disebut sebagai anak seorang ibu atau perempuan saja, adapun nama ayah tidak dicantumkan. Hal ini mengakibatkan stigmatisasi sosial, sebagai keluarga yang perkawiannya tidak sah. Demikian pula dalam hal identitas agama dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga tidak bisa dituliskan agama melainkan hanya dikosongkan atau tanda strip (-).

Absennya negara untuk mengakui identitas agama tersebut juga berdampak pada pelayanan bidang pendidikan. UU No. 3 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pengajar yang seagama. Anak-anak dari umat Baha’i, terutama di sekolah negeri, tidak bisa

Page 126: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia118

harus secara de facto telah ada dan berkembang di Indonesia. Pembuktian suatu agama tersebut nyata ada dan berkembang di Indonesia harus dibuktikan bahwa umat penganutnya adalah penduduk Indonesia dengan jumlah dan lingkup penyebaran yang cukup representatif, agama tersebut ada dan dipraktikkan di Indonesia dalam waktu yang relatif lama sehingga menjadi bukti bahwa agama tersebut telah berkembang dan dapat diterima oleh lingkungan di wilayah Indonesia.

Agama yang dapat dilayani juga suatu agama yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini mensyaratkan agar agama harus: menerima Pancasila dan UUD 1945; menjaga keutuhan NKRI; tidak mengajarkan pandangan yang melawan ideologi negara; dan tidak mengajarkan melawan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agama untuk dilayani oleh negara juga harus memenuhi syarat de jure atau legalitas. Oleh karena itu agama harus mendapatkan pengakuan dari negara. Pengakuan ini berupa sistem registrasi kepada negara, dan negara mendaftar agama-agama tersebut sesuai dengan kriteria dan syarat di atas.

Konteks keberagamaan di Indonesia menunjukkan adanya kategori agama dan kepercayaan sebagai berikut : enam agama besar, agama universal lainnya, agama lokal, dan aliran kepercayaan. Negara berkewajiban menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan. Oleh karena itu pelayanan negara terhadap agama dan kepercayaan ini secara minimal harus mencerminkan hal tersebut. Gradasi pelayanan negara paling minimal adalah terjaminnya kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan

Page 127: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 119

agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian pelayanan negara tidak boleh kurang dari jaminan dan perlindungan terhadap umat beragama untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya tersebut. Pelayanan terhadap semua agama baik yang terregistrasi maupun tidak oleh negara harus mencakup pelayanan dasar atau minimal tersebut. Pelayanan terhadap agama lainnya dan agama lokal adalah pelayanan pengakuan, dan pelayanan terhadap enam agama besar adalah pelayanan kelembagaan.

Butuh Keberanian Menerobos

Berdasarkan hasil temuan di atas, maka direkomendasikan kepada Kementerian Agama, agar:

1. Kementerian Agama mempertimbangkan kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara dan kategori bentuk pelayanan negara terhadap agama-agama hasil penelitian ini sebagai bahan kajian akademis dalam pembahasan legal draft (rancangan undang-undang) tentang kerukunan umat beragama atau perlindungan umat beragama.

2. Kementerian Agama membentuk suatu fungsi kelembagaan yang bertugas melakukan registrasi agama-agama di luar enam agama besar yang selama ini belum terlayani dengan baik oleh negara.

3. Kementerian Agama berkoordinasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan untuk pengaturan registrasi agama-agama lainnya, baik agama universal maupun agama lokal (indigenous) dan pelayanan terhadap kelompok agama-agama tersebut.

harus secara de facto telah ada dan berkembang di Indonesia. Pembuktian suatu agama tersebut nyata ada dan berkembang di Indonesia harus dibuktikan bahwa umat penganutnya adalah penduduk Indonesia dengan jumlah dan lingkup penyebaran yang cukup representatif, agama tersebut ada dan dipraktikkan di Indonesia dalam waktu yang relatif lama sehingga menjadi bukti bahwa agama tersebut telah berkembang dan dapat diterima oleh lingkungan di wilayah Indonesia.

Agama yang dapat dilayani juga suatu agama yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini mensyaratkan agar agama harus: menerima Pancasila dan UUD 1945; menjaga keutuhan NKRI; tidak mengajarkan pandangan yang melawan ideologi negara; dan tidak mengajarkan melawan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agama untuk dilayani oleh negara juga harus memenuhi syarat de jure atau legalitas. Oleh karena itu agama harus mendapatkan pengakuan dari negara. Pengakuan ini berupa sistem registrasi kepada negara, dan negara mendaftar agama-agama tersebut sesuai dengan kriteria dan syarat di atas.

Konteks keberagamaan di Indonesia menunjukkan adanya kategori agama dan kepercayaan sebagai berikut : enam agama besar, agama universal lainnya, agama lokal, dan aliran kepercayaan. Negara berkewajiban menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan. Oleh karena itu pelayanan negara terhadap agama dan kepercayaan ini secara minimal harus mencerminkan hal tersebut. Gradasi pelayanan negara paling minimal adalah terjaminnya kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan

Page 128: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia120

4. Kementerian Agama mendorong pengkajian ulang dan revisi terhadap beberapa peraturan perundangan yang kurang mengakomodasi hak dan kebutuhan umat beragama selain enam agama besar, antara lain : UU No.5 Tahun 1969 tentang PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (terkait denga pengelompokan dan jenis pelayanan negara); UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (terkait klausul agama yang diakui oleh negara); PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (tidak adanya pengaturan tentang pendidikan bagi umat agama selain enam agama besar dan penganut kepercayaan); PMA No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah (terkait pendidikan agama yang tidak memberi ruang pendidikan di luar enam agama besar); Peraturan Bersama Menteri (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (terkait dengan pembangunan sanggar).

Page 129: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 121

DAFTAR PUSTAKA

Budiono. 2013. “Politik Hukum Kebebasan Beragama dan berkepercayaan di Indonesia”. Jurnal Yustisia Edisi 86 Mei-Agustus 2013. Hlm. 108-118.

BPS Kabupaten Pati. 2015. Kabupaten Pati dalam Angka 2016. Pati: BPS Kab.Pati.

Dokumen Surat Menteri Agama no.MA/276/2014 tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia

Hammer, Stefan and Husein, Fatimah. 2013. Religious Pluralism and Religious Freedom (Religions, Society, and the State in Dialogue Contributions to the Austrian-Indonesia Dialogue). Yogyakarta: Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM & Departement of Legal Philosphy, Law of Religion and Culture Uviversity of Vienna Austria.

Hasse J. 2011. “Deeksistensi Agama Lokal di Indonesia”. Jurnal al-Fikr Volume 15 nomor 3 tahun 2011. Hlm. 450-458.

Hidayah, Sita. 2012. “The Politic of Religion the Invention of ‘Agama’ in Indonesia. Jurnal Kawistara Volume 2 no.2, 17 Agustus 2012. Hlm. 105-224.

Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia no.140/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang no.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945.

Kholiluddin, Tedi dkk. 2015. Jalan Sunyi Pewaris Tradisi, Diskriminasi Layanan Publik terhadap Penghayat Kepercayaan di Jawa Tengah. Semarang: eLSA Press dan Yayasan TIFA

4. Kementerian Agama mendorong pengkajian ulang dan revisi terhadap beberapa peraturan perundangan yang kurang mengakomodasi hak dan kebutuhan umat beragama selain enam agama besar, antara lain : UU No.5 Tahun 1969 tentang PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (terkait denga pengelompokan dan jenis pelayanan negara); UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (terkait klausul agama yang diakui oleh negara); PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (tidak adanya pengaturan tentang pendidikan bagi umat agama selain enam agama besar dan penganut kepercayaan); PMA No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah (terkait pendidikan agama yang tidak memberi ruang pendidikan di luar enam agama besar); Peraturan Bersama Menteri (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (terkait dengan pembangunan sanggar).

Page 130: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia122

Leonard Swidler and Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global (Philadelphia: Temple University Press, 2000

Mudzhar, M.Atho’. 2010. “Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia dan Berbagai Negara”. Makalah disampaikan dalam Kajian tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140 tanggal 19 April 2010 tentang Uji Materil UU No.1/PNPS/1965, diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dilaksanakan di Hotel Anna Muara, Padang, pada 28 Juni 2010.

Mustolehudin dan Muawanah, Siti. 2017. “Kontroversi Pengisian Kolom Agama di KTP bagi Penganut Aliran Kepercayaan: Studi Pada Media Cetak, On Line, dan Media Sosial. Jurnal Smart Volume 3 nomor 2 Juli-Desember 2017. Hlm. 231-242.

Na’im, Akhsan, dan Syaputra, Hendry. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS

Nuh, Nuhrison M. 2014. “Eksistensi Agama Baha’i di Beberapa Daerah di Indonesia (Studi Kasus di Pati (Jateng), Banyuwangi/Malang (Jatim), Palopo (Sulsel) dan Bandung (Jabar)”. Makalah disampaikan dalam Seminar Eksistensi Agama Baha’i, Tao dan Sikh di Indonesia, oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, di hotel Millenium Jakarta pada tanggal 22 September 2014.

Rahmah, Alef Musyahadah dan Sudrajat, Tedi. 2009. “Penemuan Hukum ‘in Concreto’ dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”. Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 No.2 Mei 2009. Hlm. 95-102.

Page 131: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 123

Rohidin. 2015. Konstruksi Baru Kebebasan Beragama, Menghadirkan Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negara Hukum Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Rosyid, Moh. 2015. Agama Baha’i dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syafi’ie, Muhammad dan Umiyati, Nova. (ed.). 2012. To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Tim Kehidupan Keagamaan. 2015. “Kriteria Agama yang dapat Dilayani Negara”. Laporan Penelitian Balai Litbang Agama Semarang.

Yusni, Muhammad Ali. 2015. “Studi Tentang Pelayanan Haji Di Kementerian Agama Kota Samarinda”. E-journal Ilmu Pemerintahan, Vol. 3. No. 1: 318 – 332

Internet :

Kemenag. 2015. “Negara dan Media, Teladan Rawat Keberagaman”. Dalam http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=279536 diunduh 4 September 2015

Kompas 13/11/2017, “Maruf Amin Putusan MK Final dan Mengikat tetapi Implikasinya Besar Sekali”. dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/11/13/18151261/maruf-amin-putusan-mk-final-dan-mengikat-tetapi-implikasinya-besar-sekali. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Republika 16/11/2017, “MUI Tegas Tolak Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan”. dalam http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/11/16/ozi8s3384-mui-tegas-tolak-putusan-mk-soal-penghayat-kepercayaan. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Leonard Swidler and Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global (Philadelphia: Temple University Press, 2000

Mudzhar, M.Atho’. 2010. “Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia dan Berbagai Negara”. Makalah disampaikan dalam Kajian tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140 tanggal 19 April 2010 tentang Uji Materil UU No.1/PNPS/1965, diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dilaksanakan di Hotel Anna Muara, Padang, pada 28 Juni 2010.

Mustolehudin dan Muawanah, Siti. 2017. “Kontroversi Pengisian Kolom Agama di KTP bagi Penganut Aliran Kepercayaan: Studi Pada Media Cetak, On Line, dan Media Sosial. Jurnal Smart Volume 3 nomor 2 Juli-Desember 2017. Hlm. 231-242.

Na’im, Akhsan, dan Syaputra, Hendry. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS

Nuh, Nuhrison M. 2014. “Eksistensi Agama Baha’i di Beberapa Daerah di Indonesia (Studi Kasus di Pati (Jateng), Banyuwangi/Malang (Jatim), Palopo (Sulsel) dan Bandung (Jabar)”. Makalah disampaikan dalam Seminar Eksistensi Agama Baha’i, Tao dan Sikh di Indonesia, oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, di hotel Millenium Jakarta pada tanggal 22 September 2014.

Rahmah, Alef Musyahadah dan Sudrajat, Tedi. 2009. “Penemuan Hukum ‘in Concreto’ dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”. Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 No.2 Mei 2009. Hlm. 95-102.

Page 132: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia124

Voaindonesia 8/11/2017, “Penghayat Kepercayaan Sambut Baik Putusan MK”. dalam https://www.voaindonesia.com/a/penghayat-kepercayaan-sambut-baik-putusan-mk-/4106538.html. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Metrotvnews 13/11/2017, “Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan di Mata Ulama”. dalam http://news.metrotvnews.com/read/2017/11/13/787399/putusan-mk-soal-penghayat-kepercayaan-di-mata-ulama. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Sindonews 14/11/2017, “PPP Nilai Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan Bisa Picu Konflik”. dalam https://nasional.sindonews.com/read/1257336/15/ppp-nilai-putusan-mk-soal-penghayat-kepercayaan-bisa-picu-konflik-1510656142. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Kompas 7/11/2017, “Pemerintah akan Patuhi Putusan MK Terkait Hak Administrasi Penghayat”. dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/20160391/pemerintah-akan-patuhi-putusan-mk-terkait-hak-administrasi-penghayat. Diunduh tanggal 19 November 2018.

CNNindonesia 8/11/2017, “Kemenag Putusan MK Tak Samakan Definisi Agama dan Kepercayaan”. dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171108192924-20-254421/kemenag-putusan-mk-tak-samakan-definisi-agama-kepercayaan/. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Page 133: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 125

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Voaindonesia 8/11/2017, “Penghayat Kepercayaan Sambut Baik Putusan MK”. dalam https://www.voaindonesia.com/a/penghayat-kepercayaan-sambut-baik-putusan-mk-/4106538.html. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Metrotvnews 13/11/2017, “Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan di Mata Ulama”. dalam http://news.metrotvnews.com/read/2017/11/13/787399/putusan-mk-soal-penghayat-kepercayaan-di-mata-ulama. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Sindonews 14/11/2017, “PPP Nilai Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan Bisa Picu Konflik”. dalam https://nasional.sindonews.com/read/1257336/15/ppp-nilai-putusan-mk-soal-penghayat-kepercayaan-bisa-picu-konflik-1510656142. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Kompas 7/11/2017, “Pemerintah akan Patuhi Putusan MK Terkait Hak Administrasi Penghayat”. dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/20160391/pemerintah-akan-patuhi-putusan-mk-terkait-hak-administrasi-penghayat. Diunduh tanggal 19 November 2018.

CNNindonesia 8/11/2017, “Kemenag Putusan MK Tak Samakan Definisi Agama dan Kepercayaan”. dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171108192924-20-254421/kemenag-putusan-mk-tak-samakan-definisi-agama-kepercayaan/. Diunduh tanggal 19 November 2018.

Page 134: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia126

Page 135: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 127

POLICY BRIEF “REFORMULASI KRITERIA AGAMA

DALAM KONTEKS PELAYANAN NEGARA” BALAI LITBANG AGAMA SEMARANG

Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya mendapat jaminan dari UUD 1945. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama dan kepercayaan. Namun demikian, belum semua warga negara mendapatkan layanan dan jaminan perlindungan sepenuhnya, khususnya mereka yang berada di luar enam agama besar (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Khonghucu); misalnya agama Baha’i, pengahayat kepercayaan, agama lokal (agama Marapu dan agama Adam). Hal ini dikarenakan belum adanya kejelasan terhadap kriteria agama dan kepercayaan yang dapat dilayani oleh negara serta beragamnya interpretasi terhadap aturan-aturan yang mengatur masalah ini. Ketidakjelasan ini menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat seperti tidak terlayaninya hak-hak sipil seperti pelayanan administrasi kependudukan, pencatatan pernikahan, pendidikan agama dan kepercayaan di sekolah, dan potensi terjadinya konflik di masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya kriteria agama dan kepercayaan yang dapat dilayani oleh negara, dan negara perlu melakukan peningkatan pelayanan terhadap mereka.

Page 136: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia128

Ditujukan kepada:

1. Komisi VIII DPR R.I.

2. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

3. Menteri Agama

4. Menteri Dalam Negeri

5. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

7. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

8. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama

9. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

10. Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri

11. Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

12. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM

13. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan BAPPENAS

14. Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama

Isu-isu Strategis

1. Pemerintah belum memiliki peraturan perundang- undangan yang tegas tentang kriteria agama, akibatnya terjadi perbedaan perlakuan pelayanan terhadap kelompok

Page 137: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 129

umat beragama di luar enam agama besar (Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu) yang berpotensi terjadinya diskriminasi.

2. Sebagian penduduk Indonesia memeluk agama di luar enam agama besar (Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu) namun belum terlayani secara baik oleh negara karena ketidakjelasan struktur pemerintah yang berwenang menangani pelayanan terhadap kelompok ini.

3. Peraturan perundang-undangan terkait dengan pelayanan terhadap agama/umat beragama dan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang telah diundangkan ada yang berpotensi menghambat pelayanan negara terhadap umat beragama di luar enam agama besar, sebaliknya ada regulasi yang tumpangtindih dan berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

Pengantar

Jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan beragama sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 29 tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Umat agama-agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara berhak untuk mendapatkan pelayanan negara tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2004 adalah prinsip kesamaan hak, di mana pelayanan publik tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status ekonomi.

Ditujukan kepada:

1. Komisi VIII DPR R.I.

2. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

3. Menteri Agama

4. Menteri Dalam Negeri

5. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

7. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

8. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama

9. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

10. Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri

11. Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

12. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM

13. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan BAPPENAS

14. Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama

Isu-isu Strategis

1. Pemerintah belum memiliki peraturan perundang- undangan yang tegas tentang kriteria agama, akibatnya terjadi perbedaan perlakuan pelayanan terhadap kelompok

Page 138: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia130

Agama dalam konteks regulasi dan realitas sosial terdapat kesenjangan konsep. Hal ini menyebabkan munculnya persoalan pelayanan terhadap warga negara yang berkaitan dengan identitas agama. Regulasi yang ada, semisal Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dalam penjelasannya menyebutkan terdapat enam agama (Islam, Kristen, Katolik, HIndu, Budha, dan Khonghucu) yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, dan agama lainnya yang juga dijamin oleh UUD 1945. Namun undang-undang ini secara politis dijadikan landasan bahwa negara hanya mengakui enam agama itu saja. Sebagaimana disebutkan ditegaskan pula dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Realitas keberagamaan di masyarakat Indonesia, selain terdapat enam agama juga terdapat agama-agama lainnya, baik yang bersifat universal (internasional) maupun agama-agama yang bersifat lokal atau asli (indigenous) yang berasal dari Indonesia sendiri. Penelitian ini mendapatkan terdapat komunitas umat agama Baha’i di Kabupaten Pati Jawa Tengah dan Kabupaten/kota Malang Jawa Timur yang termasuk agama universal karena dianut di berbagai negara lainnya. Sementara agama lokal yang ditemukan antara lain Agama Adam yang dianut oleh komunitas adat Sedulur Sikep (Samin) di Pati Jawa Tengah, dan Agama Marapu yang dianut oleh sebagian masyarakat Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Indonesia selain memeluk agama-agama tersebut di atas, juga ada yang memeluk atau mengikuti aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di antara penganut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Page 139: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 131

ini terdapat penghayat murni, yakni penganut kepercayaan yang mencukupkan diri dengan ajaran kepercayaannya tanpa memeluk satu agama pun.

Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,Budha, dan Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan. Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan mereka. Perkawinan umat Baha’i, penganut agama Adam, dan Agama Marapu tidak bisa mendapatkan akta perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena di UU Administrasi Kependudukan tidak diatur perkawinan agama di luar enam agama. Akibatnya, anak-anak yang lahir dari keluarga tersebut dalam akta kelahirannya disebut sebagai anak seorang ibu atau perempuan saja, adapun nama ayah tidak dicantumkan. Demikian pula identitas agama mereka tidak bisa dimunculkan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Hak anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama dan oleh guru yang seagama juga tidak terpenuhi. Pendidikan agama dalam regulasi yang ada hanya merujuk pada pendidikan agama untuk enam agama besar saja.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah Negara memiliki kesulitan-kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Sementara pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan negara terhadap semua umat

Agama dalam konteks regulasi dan realitas sosial terdapat kesenjangan konsep. Hal ini menyebabkan munculnya persoalan pelayanan terhadap warga negara yang berkaitan dengan identitas agama. Regulasi yang ada, semisal Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dalam penjelasannya menyebutkan terdapat enam agama (Islam, Kristen, Katolik, HIndu, Budha, dan Khonghucu) yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, dan agama lainnya yang juga dijamin oleh UUD 1945. Namun undang-undang ini secara politis dijadikan landasan bahwa negara hanya mengakui enam agama itu saja. Sebagaimana disebutkan ditegaskan pula dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Realitas keberagamaan di masyarakat Indonesia, selain terdapat enam agama juga terdapat agama-agama lainnya, baik yang bersifat universal (internasional) maupun agama-agama yang bersifat lokal atau asli (indigenous) yang berasal dari Indonesia sendiri. Penelitian ini mendapatkan terdapat komunitas umat agama Baha’i di Kabupaten Pati Jawa Tengah dan Kabupaten/kota Malang Jawa Timur yang termasuk agama universal karena dianut di berbagai negara lainnya. Sementara agama lokal yang ditemukan antara lain Agama Adam yang dianut oleh komunitas adat Sedulur Sikep (Samin) di Pati Jawa Tengah, dan Agama Marapu yang dianut oleh sebagian masyarakat Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Indonesia selain memeluk agama-agama tersebut di atas, juga ada yang memeluk atau mengikuti aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di antara penganut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Page 140: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia132

beragama di Indonesia sebagaimana pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa beliau adalah menterinya semua agama. Oleh karena itu dibutuhkan definisi dan kriteria agama yang tepat untuk konteks pelayanan negara.

Kebijakan yang Ada

1. UUD 1945, UU no.39 tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 memberi jaminan kemerdekaan bagi warga negara untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya, sebagai bagian dari hak asasi manusia.

2. Undang-Undang no.1/PNPS/1965 membedakan agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia (mencakup enam agama besar) yang mendapatkan jaminan dan bantuan-bantuan, dan agama lainnya yang mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya.

3. Peraturan Pemerintah no.83 tahun 2015 tentang Kementerian Agama, Peraturan Pemerintah no.14 tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 43/41 Tahun 2009 menjadi dasar kebijakan politik keagamaan membedakan antara kelompok agama dan kelompok aliran/penghayat kepercayaan, di mana kelompok agama yang dilayani dalam struktur kemneterian agama hanya mencakup enam agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu), dan kelompok penghayat kepercayaan dilayani oleh kementerian yang membidangi kebudayaan.

4. Negara memberlakukan politik pengakuan dengan hanya mengakui enam agama untuk dilayani oleh pemerintah

Page 141: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 133

melalui pelayanan pencatatan sipil: pasal 8 Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

5. Undang-undang no.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur pelayanan sipil dalam hal pencatatan perkawinan hanya diperuntukkan bagi penganut enam agama besar dan penghayat kepercayaan, adapun kepada pemeluk agama di luar enam agama, baik agama universal maupun agama lokal yang telah melakukan perkawinan menurut agama mereka tidak bisa dicatatkan oleh negara.

6. Peraturan Menteri Agama no. 16 tahun 2010 mengatur pelayanan pendidikan agama hanya melingkupi Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara agama lainnya dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak diatur dalam perundang-undangan sehingga anak didik dari kalangan mereka tidak mendapatkan pelayanan pendidikan agama/kepercayaan yang mereka peluk.

7. Pemerintah telah mengatur pembangunan rumah ibadah untuk agama dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no.9 dan 8 tahun 2006, dan untuk sanggar/tempatsarasehan/ ritual penghayat kepercayaan melalui Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) No. 43/41 Tahun 2009.

Implikasi Kebijakan

1. Negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan melayani (to fulfill) bagi semua umat beragama yang ada di Indonesia.

beragama di Indonesia sebagaimana pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa beliau adalah menterinya semua agama. Oleh karena itu dibutuhkan definisi dan kriteria agama yang tepat untuk konteks pelayanan negara.

Kebijakan yang Ada

1. UUD 1945, UU no.39 tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 memberi jaminan kemerdekaan bagi warga negara untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya, sebagai bagian dari hak asasi manusia.

2. Undang-Undang no.1/PNPS/1965 membedakan agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia (mencakup enam agama besar) yang mendapatkan jaminan dan bantuan-bantuan, dan agama lainnya yang mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya.

3. Peraturan Pemerintah no.83 tahun 2015 tentang Kementerian Agama, Peraturan Pemerintah no.14 tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 43/41 Tahun 2009 menjadi dasar kebijakan politik keagamaan membedakan antara kelompok agama dan kelompok aliran/penghayat kepercayaan, di mana kelompok agama yang dilayani dalam struktur kemneterian agama hanya mencakup enam agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu), dan kelompok penghayat kepercayaan dilayani oleh kementerian yang membidangi kebudayaan.

4. Negara memberlakukan politik pengakuan dengan hanya mengakui enam agama untuk dilayani oleh pemerintah

Page 142: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia134

2. Munculnya tuntutan dari pemeluk agama untuk pemerintah mengakui dan melayani agama-agama di luar enam agama besar, baik agama universal maupun lokal yang berkembang di masyarakat.

3. Ketiadaan kriteria yang jelas tentang agama dalam konteks pelayanan negara dan bentuk pelayanan negara secara khusus menyulitkan aparatur negara sebagai pelaksana pelayanan dalam memberikan pelayanan dan anggarannya.

4. Tidak adanya peraturan yang mengatur pelayanan terhadap agama-agama selain enam agama besar berpotensi menyebabkan tidak terpenuhinya jaminan terhadap hak-hak asasi dan hak sipil pemeluk agama selain enam agama besar, seperti dalam hal pelayanan kependudukan dan pendidikan.

5. Perbedaan peraturan perundangan terkait persoalan yang sama, seperti pembangunan rumah ibadah agama dan sanggar/tempat sarasehan/ritual penghayat kepercayaan memiliki syarat yang berbeda sehingga menimbulkan kebingungan bagi masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik.

Rekomendasi Kebijakan

1. Pemerintah perlu untuk menetapkan suatu peraturan perundangan yang mengklasifikasi dan mengkategorisasi kriteria agama dalam konteks pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama di Indonesia.

2. Usulan keriteria agama yang dapat dilayani negara adalah : “Agama yang secara de facto telah ada dan berkembang di wilayah Indonesia dengan tidak bertentangan dengan

Page 143: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 135

peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta secara de jure telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah”.

a. Agama yang dimaksud adalah suatu ajaran yang mengandung Kepercayaan terhadap Tuhan YME; memiliki sistem peribadahan/ritual; memiliki sistem ajaran atau kitab suci; memiliki umat pemeluknya, dan memiliki lembaga agama.

b. Makna de Facto telah ada dan berkembang di wilayah Indonesia adalah bukti bahwa agama tersebut telah dapat diterima oleh masyarakat di wilayah Indonesia, yang dibuktikan dengan : 1) jumlah penganut yang signifikan; 2) tersebar dalam lingkup wilayah yang signifikan; 3) telah dianut dan dipraktikkan dalam waktu yang relatif lama.

c. Makna tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di NKRI adalah: 1) menerima Pancasila dan UUD 1945; 2) menjaga keutuhan NKRI; 3) tidak mengajarkan pandangan yang melawan ideologi negara; dan 4) tidak mengajarkan melawan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Makna de Jure telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah adalah agama tersebut harus "terregistrasi" oleh negara dan ini.

e. Peraturan terkait registrasi agama hanya ditujukan pada agama-agama selain enam agama besar yang telah dilayani oleh negara.

f. Syarat jumlah penganut, jumlah wilayah sebaran, dan lama waktu keberadaan suatu agama perlu dipertegas

2. Munculnya tuntutan dari pemeluk agama untuk pemerintah mengakui dan melayani agama-agama di luar enam agama besar, baik agama universal maupun lokal yang berkembang di masyarakat.

3. Ketiadaan kriteria yang jelas tentang agama dalam konteks pelayanan negara dan bentuk pelayanan negara secara khusus menyulitkan aparatur negara sebagai pelaksana pelayanan dalam memberikan pelayanan dan anggarannya.

4. Tidak adanya peraturan yang mengatur pelayanan terhadap agama-agama selain enam agama besar berpotensi menyebabkan tidak terpenuhinya jaminan terhadap hak-hak asasi dan hak sipil pemeluk agama selain enam agama besar, seperti dalam hal pelayanan kependudukan dan pendidikan.

5. Perbedaan peraturan perundangan terkait persoalan yang sama, seperti pembangunan rumah ibadah agama dan sanggar/tempat sarasehan/ritual penghayat kepercayaan memiliki syarat yang berbeda sehingga menimbulkan kebingungan bagi masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik.

Rekomendasi Kebijakan

1. Pemerintah perlu untuk menetapkan suatu peraturan perundangan yang mengklasifikasi dan mengkategorisasi kriteria agama dalam konteks pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama di Indonesia.

2. Usulan keriteria agama yang dapat dilayani negara adalah : “Agama yang secara de facto telah ada dan berkembang di wilayah Indonesia dengan tidak bertentangan dengan

Page 144: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia136

secara kuantitatif melalui kajian sosiologi/antropologi, hukum dan pelayanan publik yang dilakukan bersama Kementerian Agama dan kementerian terkait lainnya secara bersama-sama.

3. Pemerintah perlu menyusun sistem registrasi agama untuk melakukan pendataan, pelayanan registrasi, dan verifikasi kelayakan agama yang dapat dilayani oleh negara.

4. Pemerintah perlu membentuk badan/komisi/lembaga yang mengurusi negara mendaftar agama-agama tersebut sesuai dengan kriteria dan syarat di atas di bawah Kementerian Agama dan/atau bersama kementerian lain yang terkait.

5. Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan-perundangan yang menghambat pelayanan terhadap umat beragama, terutama agama selain enam agama besar, seperti terkait pelayanan pendidikan agama dan pelayanan sipil kependudukan (identitas agama dalam kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, pencatatan perkawinan, pencatatan kelahiran).

6. Pemerintah perlu melakukan penyelarasan peraturan perundang-undangan yang memiliki substansi sama atau bersentuhan antara agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, seperti dalam peratutan terkait syarat pendirian rumah ibadah dan pembangunan sanggar, dan terkait dengan pendidikan agama bagi anak didik yang memeluk agama dan pendidikan kepercayaan bagi anak didik penghayat kepercayaan.

Page 145: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 137

Referensi/Sumber Informasi

Budiono. 2013. “Politik Hukum Kebebasan Beragama dan berkepercayaan di Indonesia”. Jurnal Yustisia Edisi 86 Mei-Agustus 2013. Hlm. 108-118.

Hammer, Stefan and Husein, Fatimah. 2013. Religious Pluralism and Religious Freedom (Religions, Society, and the State in Dialogue Contributions to the Austrian-Indonesia Dialogue). Yogyakarta: Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM & Departement of Legal Philosphy, Law of Religion and Culture Uviversity of Vienna Austria.

Hasse J. 2011. “Deeksistensi Agama Lokal di Indonesia”. Jurnal al-Fikr Volume 15 nomor 3 tahun 2011. Hlm. 450-458.

Hidayah, Sita. 2012. “The Politic of Religion the Invention of ‘Agama’ in Indonesia. Jurnal Kawistara Volume 2 no.2, 17 Agustus 2012. Hlm. 105-224.

Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia no.140/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang no.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945.

Kholiluddin, Tedi dkk. 2015. Jalan Sunyi Pewaris Tradisi, Diskriminasi Layanan Publik terhadap Penghayat Kepercayaan di Jawa Tengah. Semarang: eLSA Press dan Yayasan TIFA

Mudzhar, M.Atho’. 2010. “Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia dan Berbagai Negara”. Makalah disampaikan dalam Kajian tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140 tanggal

secara kuantitatif melalui kajian sosiologi/antropologi, hukum dan pelayanan publik yang dilakukan bersama Kementerian Agama dan kementerian terkait lainnya secara bersama-sama.

3. Pemerintah perlu menyusun sistem registrasi agama untuk melakukan pendataan, pelayanan registrasi, dan verifikasi kelayakan agama yang dapat dilayani oleh negara.

4. Pemerintah perlu membentuk badan/komisi/lembaga yang mengurusi negara mendaftar agama-agama tersebut sesuai dengan kriteria dan syarat di atas di bawah Kementerian Agama dan/atau bersama kementerian lain yang terkait.

5. Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan-perundangan yang menghambat pelayanan terhadap umat beragama, terutama agama selain enam agama besar, seperti terkait pelayanan pendidikan agama dan pelayanan sipil kependudukan (identitas agama dalam kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, pencatatan perkawinan, pencatatan kelahiran).

6. Pemerintah perlu melakukan penyelarasan peraturan perundang-undangan yang memiliki substansi sama atau bersentuhan antara agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, seperti dalam peratutan terkait syarat pendirian rumah ibadah dan pembangunan sanggar, dan terkait dengan pendidikan agama bagi anak didik yang memeluk agama dan pendidikan kepercayaan bagi anak didik penghayat kepercayaan.

Page 146: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia138

19 April 2010 tentang Uji Materil UU No.1/PNPS/1965, diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dilaksanakan di Hotel Anna Muara, Padang, pada 28 Juni 2010.

Nuh, Nuhrison M. 2014. “Eksistensi Agama Baha’i di Beberapa Daerah di Indonesia (Studi Kasus di Pati (Jateng), Banyuwangi/Malang (Jatim), Palopo (Sulsel) dan Bandung (Jabar)”. Makalah disampaikan dalam Seminar Eksistensi Agama Baha’i, Tao dan Sikh di Indonesia, oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, di hotel Millenium Jakarta pada tanggal 22 September 2014 .

Rahmah, Alef Musyahadah dan Sudrajat, Tedi. 2009. “Penemuan Hukum ‘in Concreto’ dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”. Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 No.2 Mei 2009. Hlm. 95-102.

Rohidin. 2015. Konstruksi Baru Kebebasan Beragama, Menghadirkan Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negara Hukum Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Rosyid, Moh. 2015. Agama Baha’i dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syafi’ie, Muhammad dan Umiyati, Nova. (ed.). 2012. To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Tim Kehidupan Keagamaan. 2015. “Kriteria Agama yang dapat Dilayani Negara”. Laporan Penelitian Balai Litbang Agama Semarang.

Page 147: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 139

KERANGKA ACUAN FOCUSED-GROUP DISCUSSION (FGD)

KRITERIA AGAMA YANG DAPAT DILAYANI OLEH NEGARA

DASAR PEMIKIRAN

Sesungguhnya telah ada upaya serius pemerintah Indonesia untuk memutuskan mata rantai kebijakan yang dinilai diskriminatif dan mendirikan tatanan kehidupan bersama yang lebih adil dan bermartabat. Upaya ini didasarkan pada pengakuan kesetaraan warga negara apapun latar belakang suku, bahasa, adat, kepercayaan, warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Hal ini tercermin dalam amandemen UUD 1945, ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional (Antara lain: Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya , UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi rasial dan etnis.), sampai penerbitan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (serta PP No. 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006), UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan lainnya.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahkan menegaskan bahwa dirinya adalah menterinya semua agama, sebagaimana dinyatakan beliau saat menjadi Keynote Speech pada VOA Indonesia Conference dengan tema “The Role of Media In Diversity Reporting In a Diverse Society” di Bandung 10 Agustus 2015. Jaminan konstitusi tersebut tidak

19 April 2010 tentang Uji Materil UU No.1/PNPS/1965, diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dilaksanakan di Hotel Anna Muara, Padang, pada 28 Juni 2010.

Nuh, Nuhrison M. 2014. “Eksistensi Agama Baha’i di Beberapa Daerah di Indonesia (Studi Kasus di Pati (Jateng), Banyuwangi/Malang (Jatim), Palopo (Sulsel) dan Bandung (Jabar)”. Makalah disampaikan dalam Seminar Eksistensi Agama Baha’i, Tao dan Sikh di Indonesia, oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, di hotel Millenium Jakarta pada tanggal 22 September 2014 .

Rahmah, Alef Musyahadah dan Sudrajat, Tedi. 2009. “Penemuan Hukum ‘in Concreto’ dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”. Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 No.2 Mei 2009. Hlm. 95-102.

Rohidin. 2015. Konstruksi Baru Kebebasan Beragama, Menghadirkan Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negara Hukum Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Rosyid, Moh. 2015. Agama Baha’i dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syafi’ie, Muhammad dan Umiyati, Nova. (ed.). 2012. To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Tim Kehidupan Keagamaan. 2015. “Kriteria Agama yang dapat Dilayani Negara”. Laporan Penelitian Balai Litbang Agama Semarang.

Page 148: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia140

saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda Wiwiitan, Agama Kaharingan, Agama Baha’i, dan sebagainya. Berbagai agama dan kepercayaan tersebut juga dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 sebagai bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi.

Namun berbagai peraturan perundangan tersebut tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat secara adil, beberapa penganut/pemeluk agama khususnya selain enam agama besar masih mengeluhkan adanya sejumlah diskriminasi atau pembedaan perlakuan pelayanan Negara terhadap mereka. Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Perkembangan dan Pelayanan Hak-Hak Sipil Agama Baha’i, Sikh, dan Tao di Indonesia tahun 2014, misalnya menyebutkan, bahwa di beberapa daerah hak-hak sipil para penganut agama-agama tersebut tidak terlayani dengan baik. Mereka belum dapat mencantumkan agamanya dalam KTP, secara umum mereka juga mendapatkan kesulitan dalam beberapa pelayanan hak sipil mereka seperti proses pencatatan perkawinan, akte kelahiran anak, pendidikan agama di sekolah sesuai agama/keyakinan, dan pendirian rumah ibadat.

Pemerintah menginginkan dapat melayani umat beragama dengan sebaik-baiknya. Namun negara juga membutuhkan kepastian terkait apa atau siapa yang akan

Page 149: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 141

dilayani, bagaimana melayani mereka, dan apakah bentuk-bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Berangkat dari persoalan tersebut, maka Balai Litbang Agama Semarang melaksanakan penelitian mengenai kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara. Salah satu metode dalam penelitian ini adalah pengumpulan data melalui diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) untuk menggali informasi-informasi dan pandangan berbagai kalangan masyarakat terkait tema kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara.

TUJUAN DISKUSI

1) Mengetahui pandangan-pandangan berbagai kalangan masyarakat terkait kriteria agama

2) Mengetahui pandangan-pandangan berbagai kalangan masyarakat terkait pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama

3) Mengetahui pengalaman-pengalaman pelayanan sipil terkait dengan identitas agama

4) Mengidentifikasi kasus-kasus pelayanan sipil terkait dengan identitas agama

5) Mengetahui pandangan-pandangan kalangan masyarakat terkait kebebasan dan perlindungan beragama

6) Mengetahui pengalaman-pengalaman terkait kebebasan dan perlindungan beragama

7) Mengidentifikasi kasus-kasus kebebasan dan perlindungan beragama

saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda Wiwiitan, Agama Kaharingan, Agama Baha’i, dan sebagainya. Berbagai agama dan kepercayaan tersebut juga dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 sebagai bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi.

Namun berbagai peraturan perundangan tersebut tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat secara adil, beberapa penganut/pemeluk agama khususnya selain enam agama besar masih mengeluhkan adanya sejumlah diskriminasi atau pembedaan perlakuan pelayanan Negara terhadap mereka. Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Perkembangan dan Pelayanan Hak-Hak Sipil Agama Baha’i, Sikh, dan Tao di Indonesia tahun 2014, misalnya menyebutkan, bahwa di beberapa daerah hak-hak sipil para penganut agama-agama tersebut tidak terlayani dengan baik. Mereka belum dapat mencantumkan agamanya dalam KTP, secara umum mereka juga mendapatkan kesulitan dalam beberapa pelayanan hak sipil mereka seperti proses pencatatan perkawinan, akte kelahiran anak, pendidikan agama di sekolah sesuai agama/keyakinan, dan pendirian rumah ibadat.

Pemerintah menginginkan dapat melayani umat beragama dengan sebaik-baiknya. Namun negara juga membutuhkan kepastian terkait apa atau siapa yang akan

Page 150: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia142

BEBERAPA PERTANYAAN PENTING

a) Bagaimana kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara: apakah yang dimaksud dengan agama; apa syarat suatu agama; apa beda agama dan aliran kepercayaan/penghayat kepercayaan; siapakah yang berhak menyatakan sesuatu itu agama atau bukan agama; apakah harus suatu agama diakui/diresmikan oleh negara; apakah untuk pengakuan agama negara melakukannya sendiri, atau perlu lembaga dari kalangan masyarakat sendiri, atau pemerintah dan masyarakat; siapakah wakil dari masyarakat yang representatif untuk membantu pemerintah memutuskan pengakuan suatu agama; apa yang dapat dijadikan indikator suatu agama? Apakah adanya “perangkat keagamaan” (misal: Tuhan-Nabi-Kitab-Umat, sistem teologi dan perilaku yang tertulis, sistem ritual, organisasi majelis agama, dan/atau lainnya) menjadi penting; apakah perlu mempertimbangkan jumlah dan sebaran umat dalam level nasional dan/atau lokal; apakah keberadaan “agama” tersebut telah dapat diterima/diakui dengan mempertimbangkan keberadaannya/kemunculannya di Indonesia dan/atau dunia; dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang relevan.

b) Bagaimana implementasi pelayanan negara terhadap agama: bagaimana pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama/kepercayan selama ini; apakah pelayanan yang telah dilakukan negara terhadap agama, kelompok beragama/umat beragama, dan umat beragama serta penganut kepercayaan secara individual; bidang pelayanan apa sajakah yang terkait dengan agama dan kepercayaan; bagaimana pelayanan negara terkait agama

Page 151: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 143

dan kepercayaan dalam bidang pendidikan, administrasi kependudukan (pencatatan perkawinan, akta kelahiran, kartu identitas kependudukan/KTP, kartu keluarga), pelayanan pemulasaraan jenazah (pengaturan pemakaman), pendirian rumah ibadah/sanggar ritual; bagaimana kasus-kasus yang terjadi dalam pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama/kepercayaan; bagaimana problem-problem yang dihadapi pelaku pelayanan dalam melaksanakan pelayanan kepada agama/umat beragama/kepercayaan; apasajakah regulasi-regulasi yang mendasari pelayanan pemerintah terhadap agama/umat beragama dan kepercayaan; adakah persoalan dalam mengimplementasikan regulasi tersebut dan apa pemecahannya; dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang relevan.

c) Bagaimana bentuk kebebasan dan perlindungan beragama/kepercayaan di masyarakat: bagaimana rambu-rambu kebebasan beragama agar tidak melanggar hak orang lain dan masyarakat; bagaimana bentuk penghormatan masyarakat terhadap kebebasan beragama dan kepercaya umat lain; bagaimana masyarakat melindungi agama/kepercayaannya; bagaimana posisi umat beragama/kepercayaan terhadap perlindungan terhadap umat lain agama/kepercayaan; bagaimana posisi negara dalam konflik antar/intern umat beragama/kepercayaan; bagaimana negara harus bersikap terhadap konflik keagamaan; apakah kasus-kasus yang terjadi kaitannya dengan kebebasan dan perlindungan beragama/kepercayaan; dan pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan.

BEBERAPA PERTANYAAN PENTING

a) Bagaimana kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara: apakah yang dimaksud dengan agama; apa syarat suatu agama; apa beda agama dan aliran kepercayaan/penghayat kepercayaan; siapakah yang berhak menyatakan sesuatu itu agama atau bukan agama; apakah harus suatu agama diakui/diresmikan oleh negara; apakah untuk pengakuan agama negara melakukannya sendiri, atau perlu lembaga dari kalangan masyarakat sendiri, atau pemerintah dan masyarakat; siapakah wakil dari masyarakat yang representatif untuk membantu pemerintah memutuskan pengakuan suatu agama; apa yang dapat dijadikan indikator suatu agama? Apakah adanya “perangkat keagamaan” (misal: Tuhan-Nabi-Kitab-Umat, sistem teologi dan perilaku yang tertulis, sistem ritual, organisasi majelis agama, dan/atau lainnya) menjadi penting; apakah perlu mempertimbangkan jumlah dan sebaran umat dalam level nasional dan/atau lokal; apakah keberadaan “agama” tersebut telah dapat diterima/diakui dengan mempertimbangkan keberadaannya/kemunculannya di Indonesia dan/atau dunia; dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang relevan.

b) Bagaimana implementasi pelayanan negara terhadap agama: bagaimana pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama/kepercayan selama ini; apakah pelayanan yang telah dilakukan negara terhadap agama, kelompok beragama/umat beragama, dan umat beragama serta penganut kepercayaan secara individual; bidang pelayanan apa sajakah yang terkait dengan agama dan kepercayaan; bagaimana pelayanan negara terkait agama

Page 152: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia144

OUTPUT

a) Inventarisasi pandangan-pandangan masyarakat terhadap kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara

b) Inventarisasi permasalahan-permasalahan pelayanan negara terhadap agama dan kepercayaan;

c) Inventarisasi permasalahan-permasalahan terkait kebebasan dan perlindungan terhadap agama dan kepercayaan

d) Rekomendasi bentuk-bentuk pelayanan administratif dan hak-hak sipil lainnya oleh pemerintah kepada semua pemeluk agama dengan tanpa membedakan besarnya jumlah penganut agama tersebut.

PENUTUP

Kajian terkait kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara ini penting sebagai bahan kebijakan pemerintah dalam melayani segenap warga negara. Berbagai informasi dan data dalam kegiatan diskusi ini menjadi bahan yang sangat berharga untuk penyusunan rekomendasi terkait kriteria agama yang dapat dilayani negara, bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh negara, dan implementasi kebebasan dan perlindungan terhadap agama dan umat beragama/kepercayaan. Oleh karena itu, kami menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada para partisipan diskusi ini atas masukan-masukan dalam kegiatan FGD ini. Semoga ke depan, negara dapat meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap seluruh umat beragama/kepercayaan dengan baik.

Page 153: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 145

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965

TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama;

b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat, soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden;

Mengingat : 1. pasal 29 Undang-undang Dasar;

2. pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar;

3. penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 (Lembara-Negara tahun 1962 No. 34);

4. pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;

OUTPUT

a) Inventarisasi pandangan-pandangan masyarakat terhadap kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara

b) Inventarisasi permasalahan-permasalahan pelayanan negara terhadap agama dan kepercayaan;

c) Inventarisasi permasalahan-permasalahan terkait kebebasan dan perlindungan terhadap agama dan kepercayaan

d) Rekomendasi bentuk-bentuk pelayanan administratif dan hak-hak sipil lainnya oleh pemerintah kepada semua pemeluk agama dengan tanpa membedakan besarnya jumlah penganut agama tersebut.

PENUTUP

Kajian terkait kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara ini penting sebagai bahan kebijakan pemerintah dalam melayani segenap warga negara. Berbagai informasi dan data dalam kegiatan diskusi ini menjadi bahan yang sangat berharga untuk penyusunan rekomendasi terkait kriteria agama yang dapat dilayani negara, bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh negara, dan implementasi kebebasan dan perlindungan terhadap agama dan umat beragama/kepercayaan. Oleh karena itu, kami menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada para partisipan diskusi ini atas masukan-masukan dalam kegiatan FGD ini. Semoga ke depan, negara dapat meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap seluruh umat beragama/kepercayaan dengan baik.

Page 154: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia146

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA.

Pasal 1

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pasal 2

(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Page 155: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 147

Pasal 3

Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 4

Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA.

Pasal 1

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pasal 2

(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Page 156: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia148

Pasal 5

Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965 SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3.

Page 157: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 149

PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965

TENTANG PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU

PENODAAN AGAMA

I. UMUM

1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan;

5. Keadilan Sosial.

Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa)

Pasal 5

Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965 SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3.

Page 158: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia150

tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.

2. Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Di antara ajaran-ajaran/ perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi- organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.

3. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk

Page 159: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 151

menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing.

4. Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).

5. Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini, oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang telah ada. Dengan Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggu gugat hak hidup Agama-gama yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini

tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.

2. Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Di antara ajaran-ajaran/ perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi- organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.

3. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk

Page 160: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia152

dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alatalat/cara-cara untuk menyelidikinya.

Page 161: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 153

Pasal 2

Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya.

Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganutpenganut aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo pasal 169 K.U.H.P.).

Pasal 3

Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut.

Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.

dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alatalat/cara-cara untuk menyelidikinya.

Page 162: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia154

Pasal 4

Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum di atas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain.

Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.

Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.

Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya.

Pasal 5

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2726.

INDEKS

A Administrasi Kependudukan, 94, 95,

115, 116, 120, 130, 131, 133, 139 administrasi negara, 10 agama, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 44, 45, 46, 47, 52, 54, 55, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 124, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 154

agama lokal, 4, 6, 8, 10, 12, 45, 65, 73, 75, 76, 77, 79, 84, 85, 87, 109, 110, 115, 117, 118, 119, 127, 130, 133, 140

ageman, 52, 76 ahlu sunnah wal jamaah, 53 Ahmadiyah, 9, 11, 53 alam gaib, 16, 17 Aliran Kebatinan Perjalanan, 52 aliran Suci Rahayu, 67 Amandemen UUD 1945, 1

B Budi Luhur, 51

D development function, 30 Durkheim, 14, 18, 76

F fatwa MK, 4 FD Wellem, 61 FKUB, 58, 59, 68, 69, 71, 72

G Gereja Mormon, 9 Gereja Ortodoks, 9

H Himpunan Penghayat Kepercayaan

(HPK), 48, 49, 99

I Ilmu Kasampurnan Jati, 51

K Kabihu, 62 Kaharingan, 9, 110, 140 Kantor Urusan Agama, 90, 91, 93,

105 Kawruh Hak, 52 Kebatinan 09 Pambuko Jiwo, 52 kebebasan beragama, 7, 8, 9, 24, 25,

27, 29, 79, 140, 143 kekuatan gaib, 20 Kementerian Agama, 5, 9, 40, 46, 54,

65, 68, 71, 72, 73, 77, 79, 97, 104,

Page 163: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 155

Pasal 4

Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum di atas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain.

Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.

Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.

Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya.

Pasal 5

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2726.

INDEKS

A Administrasi Kependudukan, 94, 95,

115, 116, 120, 130, 131, 133, 139 administrasi negara, 10 agama, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 44, 45, 46, 47, 52, 54, 55, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 124, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 154

agama lokal, 4, 6, 8, 10, 12, 45, 65, 73, 75, 76, 77, 79, 84, 85, 87, 109, 110, 115, 117, 118, 119, 127, 130, 133, 140

ageman, 52, 76 ahlu sunnah wal jamaah, 53 Ahmadiyah, 9, 11, 53 alam gaib, 16, 17 Aliran Kebatinan Perjalanan, 52 aliran Suci Rahayu, 67 Amandemen UUD 1945, 1

B Budi Luhur, 51

D development function, 30 Durkheim, 14, 18, 76

F fatwa MK, 4 FD Wellem, 61 FKUB, 58, 59, 68, 69, 71, 72

G Gereja Mormon, 9 Gereja Ortodoks, 9

H Himpunan Penghayat Kepercayaan

(HPK), 48, 49, 99

I Ilmu Kasampurnan Jati, 51

K Kabihu, 62 Kaharingan, 9, 110, 140 Kantor Urusan Agama, 90, 91, 93,

105 Kawruh Hak, 52 Kebatinan 09 Pambuko Jiwo, 52 kebebasan beragama, 7, 8, 9, 24, 25,

27, 29, 79, 140, 143 kekuatan gaib, 20 Kementerian Agama, 5, 9, 40, 46, 54,

65, 68, 71, 72, 73, 77, 79, 97, 104,

Page 164: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia156

105, 110, 113, 116, 117, 119, 120, 123, 128, 131, 132, 136

kesenian Blambangan, 53 Koentjaraningrat, 15, 16, 17, 83 kolom agama, 3, 4, 5, 86, 87, 88, 90,

96, 116, 131 komunitas moral, 18 komunitas Samin, 52, 77, 85 Kovenan Hak Sipil dan Politik, 106 Kovenan Internasional, 1, 26, 139 Kuataku, 62

L Latian Kajiwan, 51 LDII, 53 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, 21 Lukman Hakim Saefuddin, 132, 139 luluku, 62

M Mahfud M.D, 27 Mahkamah Konstitusi, 3, 4, 5, 106,

111, 112, 121, 137 Majelis Ruhani Setempat, 100 Majlis Rohani Nasional, 46 Majlis Tafsir Al-Qur’an, 53 manembah suci, 83 Marapu, 6, 11, 61, 62, 63, 64, 73, 77,

78, 85, 87, 88, 92, 93, 94, 95, 110, 115, 116, 127, 130, 131

Marapu Ratu, 62 Mastuki, 5 Mawolu-Marawi, 61, 78 MLKI, 59 Muhammadiyah, 53

N Naen Soeryono, 5 Nahdlatul Ulama, 53 negara, 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 17,

24, 26, 27, 28, 29, 31, 37, 38, 40, 43, 45, 46, 50, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 79, 83, 84, 85, 86, 88, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 127, 129,130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 139, 140, 141, 142, 143, 144

Ngesti Tunggal/Pangestu, 52

O organisasi religius, 16

P Pancasila, 24, 27, 37, 38, 43, 108,

118, 135 Pandom Urip, 76 Panongu Ndapakelangu, 63 Paraingu, 62 Parsudi Suparlan, 21 Pelayanan dasar, 112, 113 Pelayanan kelembagaan, 113 Pelayanan pengakuan, 112, 113 pelayanan publik, 3, 32, 33, 35, 36,

65, 129, 136 pencatatan perkawinan, 2, 90, 91, 92,

93, 94, 105, 133, 136, 140, 143 pendekatan kebijakan, 12 pengalaman batiniah, 19 pengalaman keagamaan, 15 penghayat kepercayaan, 3, 4, 5, 23,

45, 47, 48, 54, 56, 59, 60, 65, 70, 71, 72, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 89, 91, 93, 96, 100, 102, 104, 129, 132, 133, 134, 136, 142

Penghayat Kepercayaan, 5, 47, 49, 55, 56, 59, 90, 101, 120, 121, 123, 124, 137

Penodaan Agama, 8, 107, 120, 121, 122, 137

PNPS, 8, 39, 69, 79, 103, 104, 106, 107, 111, 112, 115, 120, 121, 122, 130, 132, 137, 138, 145, 149

PNPS No.1 Tahun 1965, 106, 111 Prai Marapu, 62 Pramono Sejati, 50, 67 protection function, 30 public service function, 30 Purnomo Sidi, 50 Pusat Kerukunan Umat Beragama

(PKUB), 104

R Realitas Mutlak, 22 regulasi negara, 29 regulasi sosial, 29 religi, 16, 17, 83, 89 religious nation state, 27, 37 ritual, 13, 15, 19, 20, 48, 49, 77, 80,

85, 88, 100, 107, 108, 117, 133, 134, 135, 142, 143

Robert N. Bellah, 21

S Said Aqil Siroj, 5 Saksi Yehova, 9, 11 Sapta Darma, 49 Sastro Jendro Hayuning Pngruwating

Diyu, 51 Shinto, 39, 103, 152 Sikh, 2, 122, 138, 140

Sisdiknas, 5 sistem kepercayaan, 14, 17, 18, 20,

61, 77, 78 sistem keyakinan, 16, 17, 21, 107 sistem ritus, 16 Sistem upacara, 16 social control, 23 Sonderson, 13 Suci Rahayu, 51, 67, 84 Sunda Wiwiitan, 140 Syiah, 9, 11, 53

T Tao, 2, 122, 138, 140 Taoism, 39, 103, 152 Tari Topeng, 53 Thomas Luckmann, 14 Tjahjo Kumolo, 5 Tunggul Sabdo Jati, 52

U Uma Ndapataungu, 62

Y Yahudi, 20, 39, 103, 152

Z Zarasustrian, 39, 152

Page 165: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 157

105, 110, 113, 116, 117, 119, 120, 123, 128, 131, 132, 136

kesenian Blambangan, 53 Koentjaraningrat, 15, 16, 17, 83 kolom agama, 3, 4, 5, 86, 87, 88, 90,

96, 116, 131 komunitas moral, 18 komunitas Samin, 52, 77, 85 Kovenan Hak Sipil dan Politik, 106 Kovenan Internasional, 1, 26, 139 Kuataku, 62

L Latian Kajiwan, 51 LDII, 53 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, 21 Lukman Hakim Saefuddin, 132, 139 luluku, 62

M Mahfud M.D, 27 Mahkamah Konstitusi, 3, 4, 5, 106,

111, 112, 121, 137 Majelis Ruhani Setempat, 100 Majlis Rohani Nasional, 46 Majlis Tafsir Al-Qur’an, 53 manembah suci, 83 Marapu, 6, 11, 61, 62, 63, 64, 73, 77,

78, 85, 87, 88, 92, 93, 94, 95, 110, 115, 116, 127, 130, 131

Marapu Ratu, 62 Mastuki, 5 Mawolu-Marawi, 61, 78 MLKI, 59 Muhammadiyah, 53

N Naen Soeryono, 5 Nahdlatul Ulama, 53 negara, 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 17,

24, 26, 27, 28, 29, 31, 37, 38, 40, 43, 45, 46, 50, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 79, 83, 84, 85, 86, 88, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 127, 129,130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 139, 140, 141, 142, 143, 144

Ngesti Tunggal/Pangestu, 52

O organisasi religius, 16

P Pancasila, 24, 27, 37, 38, 43, 108,

118, 135 Pandom Urip, 76 Panongu Ndapakelangu, 63 Paraingu, 62 Parsudi Suparlan, 21 Pelayanan dasar, 112, 113 Pelayanan kelembagaan, 113 Pelayanan pengakuan, 112, 113 pelayanan publik, 3, 32, 33, 35, 36,

65, 129, 136 pencatatan perkawinan, 2, 90, 91, 92,

93, 94, 105, 133, 136, 140, 143 pendekatan kebijakan, 12 pengalaman batiniah, 19 pengalaman keagamaan, 15 penghayat kepercayaan, 3, 4, 5, 23,

45, 47, 48, 54, 56, 59, 60, 65, 70, 71, 72, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 89, 91, 93, 96, 100, 102, 104, 129, 132, 133, 134, 136, 142

Penghayat Kepercayaan, 5, 47, 49, 55, 56, 59, 90, 101, 120, 121, 123, 124, 137

Penodaan Agama, 8, 107, 120, 121, 122, 137

PNPS, 8, 39, 69, 79, 103, 104, 106, 107, 111, 112, 115, 120, 121, 122, 130, 132, 137, 138, 145, 149

PNPS No.1 Tahun 1965, 106, 111 Prai Marapu, 62 Pramono Sejati, 50, 67 protection function, 30 public service function, 30 Purnomo Sidi, 50 Pusat Kerukunan Umat Beragama

(PKUB), 104

R Realitas Mutlak, 22 regulasi negara, 29 regulasi sosial, 29 religi, 16, 17, 83, 89 religious nation state, 27, 37 ritual, 13, 15, 19, 20, 48, 49, 77, 80,

85, 88, 100, 107, 108, 117, 133, 134, 135, 142, 143

Robert N. Bellah, 21

S Said Aqil Siroj, 5 Saksi Yehova, 9, 11 Sapta Darma, 49 Sastro Jendro Hayuning Pngruwating

Diyu, 51 Shinto, 39, 103, 152 Sikh, 2, 122, 138, 140

Sisdiknas, 5 sistem kepercayaan, 14, 17, 18, 20,

61, 77, 78 sistem keyakinan, 16, 17, 21, 107 sistem ritus, 16 Sistem upacara, 16 social control, 23 Sonderson, 13 Suci Rahayu, 51, 67, 84 Sunda Wiwiitan, 140 Syiah, 9, 11, 53

T Tao, 2, 122, 138, 140 Taoism, 39, 103, 152 Tari Topeng, 53 Thomas Luckmann, 14 Tjahjo Kumolo, 5 Tunggul Sabdo Jati, 52

U Uma Ndapataungu, 62

Y Yahudi, 20, 39, 103, 152

Z Zarasustrian, 39, 152

Page 166: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia158

Page 167: NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Negara Melayani Agama dan Kepercayaan (Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia 159