Negara

22
Negara, Masyarakat Sipil dan Demokrasi: Dalam Perspektif Sketsa Hibriditas (State, Civil Society and Democracy On Hibriditas Sketsa Perspektive ) A. Latar Belakang Banyak orang berasumsi bahwa orde reformasi menandai berlangsungnya sebuah masa transisi; proses peralihan dari otoritarianisme orde baru menuju orde demokrasi baru. Berbagai perangkat kenegaraan dan kemasyarakatan baru disusun dalam upaya meneguhkan agar transisi ini kelak menemukan akhir yang gemilang. Teori-teori tentang transisi demokrasi telah menyuguhkan gambaran tentang bagaimana rezim-rezim otoritarian tumbang dan rezim-rezim baru berupaya meraih sebuah cita-cita tentang demokrasi yang terkonsolidasi (bdk. Diamond et.al., 1988). Teori ini pada mulanya dibangun melalui kajian-kajian tentang fenomena demokratisasi di Amerika Latin dan Afrika. Keruntuhan rezim- rezim otoriter di benua itu, membuat orang berpaling pada sistem demokrasi liberal ala Amerika Serikat dan Eropa Barat. Beberapa teori menambahkan bahwa bahwa nilai-nilai demokrasi di negeri-negeri itu harus dibangkitkan baik dari serpihan-serpihan tradisi setempat maupun digerakkan melalui pembiakan institusi-institusi demokrasi baru. Demokrasi memang telah menjadi agama global. Hampir tiada satu negeripun di belahan bumi ini yang tidak bereaksi

Transcript of Negara

Page 1: Negara

Negara, Masyarakat Sipil dan Demokrasi:

Dalam Perspektif Sketsa Hibriditas

(State, Civil Society and Democracy On Hibriditas Sketsa

Perspektive)

 

A. Latar Belakang

Banyak orang berasumsi bahwa orde reformasi menandai

berlangsungnya sebuah masa transisi; proses peralihan dari

otoritarianisme orde baru menuju orde demokrasi baru. Berbagai

perangkat kenegaraan dan kemasyarakatan baru disusun dalam upaya

meneguhkan agar transisi ini kelak menemukan akhir yang gemilang.

Teori-teori tentang transisi demokrasi telah menyuguhkan gambaran

tentang bagaimana rezim-rezim otoritarian tumbang dan rezim-rezim

baru berupaya meraih sebuah cita-cita tentang demokrasi yang

terkonsolidasi (bdk. Diamond et.al., 1988). Teori ini pada mulanya

dibangun melalui kajian-kajian tentang fenomena demokratisasi di

Amerika Latin dan Afrika. Keruntuhan rezim-rezim otoriter di benua itu,

membuat orang berpaling pada sistem demokrasi liberal ala Amerika

Serikat dan Eropa Barat. Beberapa teori menambahkan bahwa bahwa

nilai-nilai demokrasi di negeri-negeri itu harus dibangkitkan baik dari

serpihan-serpihan tradisi setempat maupun digerakkan melalui

pembiakan institusi-institusi demokrasi baru.

Demokrasi memang telah menjadi agama global. Hampir tiada

satu negeripun di belahan bumi ini yang tidak bereaksi sensitif

mendengar kata ini. Tapi, demokrasi juga melahirkan aneka tafsir

terhadap dirinya. Tiada satu penjelasanpun tentang demokrasi yang

bisa merepresentasikan maknanya yang absolut. Akibatnya, tidak ada

satu praktik demokrasi yang seragam di berbagai negara. Meskipun

Amerika dan Eropa Barat dianggap sebagai kampiun demokrasi dunia,

Page 2: Negara

praktik demokrasi merekapun berbeda satu sama lain. Tapi, satu hal

yang pasti, praktik demokrasi negeri-negeri di kedua kawasan itu

mereka menjadi rujukan bagi praktik serupa di berbagai belahan dunia

lainnya. Berbagai naskah akademik yang diproduksi oleh para ilmuwan

Barat tentang teori-teori demokrasi telah menjadi bacaan wajib bagi

para penganjur demokrasi di negara-negara yang kemudian disebut

sebagai Dunia Ketiga. Terhadap semua teori itu, respons yang muncul

juga beraneka rupa; menelannya habis-habis, menolaknya mentah-

mentah atau menyikapinya secara eklektik. Secara teoritis, mereka

yang memuntahkannya mentah-mentah akan dicap berada pada kutub

otoritarian, yang mencecapnya habis-habis secara otomatis menghuni

kutub demokratis, sementara yang bersikap eklektik akan berada pada

kutub yang dalam wacana politik kontemporer disebut kutub hibrida.

 Untuk mengeksplorasi ketiga variasi ini, penulis akan memulai

dari definisi demokrasi yang dianggap standar dalam teks-teks

akademis Barat. Seturut teks standar Barat, demokrasi diartikan

sebagai cara mengelola pemerintahan dan partisipasi warganegara di

dalamnya. Salah satu teori dominan tentang demokrasi yang jamak

diterima dalam wacana demokrasi Barat adalah teori yang

dikemukakan oleh Robert A. Dahl. Menurut Dahl, karakteristik inti dari

demokrasi memuat tiga hal. Pertama, adanya persaingan yang sehat

untuk meraih posisi-posisi dalam pemerintahan; kedua, partisipasi

warganegara dalam memilih para pemimpin politik dan; ketiga,

terselenggaranya kebebasan sipil dan politik, termasuk terjaminnya

hak-hak asasi manusia (Martinussen, 1997: 195). Rezim-rezim politik

yang tidak memenuhi ketiga persyaratan ini dapat dikategorikan

sebagai rezim otoritarian, sementara mereka yang telah dengan

sempurna memenuhinya dapat dianggap telah demokratis.

Selanjutnya muncul pertanyaan tentang bagaimanakah “hukumnya”

Page 3: Negara

rezim-rezim yang menerapkan hanya sebagian (entah kecil ataupun

besar) dari ketiganya; atau mengakomodasi semua persyaratan

namun tidak sepenuhnya menerapkannya?

 

B. Rezim Hibrida

Para ilmuwan politik seperti Terry Lynn Karl, Friedbert W Rüb dan

Heidrun Zinecker (2007) mengajukan tesis baru tentang rezim hibrida.

Mereka berupaya mencari titik terang dalam ruang abu-abu antara

demokrasi dan otoritarianisme. Menurut Karl, rezim hibrida muncul

sebagai persoalan transisi. Dia mengamati fenomena transisi

demokrasi di Amerika Tengah di mana perubahan rezim belum diiringi

perubahan pemerintahan yang oligarkis. Kondisi ini yang ia sebut

sebagai hibriditas. Hibriditas akan berakhir manakala konsolidasi

demokrasi telah tercapai. Rub mengajukan pandangan yang berbeda.

Menurutnya, rezim hibrida adalah tipe yang bersifat unik dan tidak

terkait sama sekali dengan masalah transisi demokrasi. Rezim hibrida

adalah buah dari kombinasi dikotomik antara dua karakteristik: di satu

sisi adalah demokrasi (dengan pemilu yang bebas beserta aturan

hukum yang mengikat) dan, di sisi lain, otoritarianisme (dengan

struktur pemerintahan formal yang tidak pasti dan akses pada

pemerintahan yang tidak dibatasi oleh hukum). Rezim model ini bisa

berlangsung di manapun dan kapanpun. Sementara itu, Zinecker

menyebut pendapat kedua pendahulunya tersebut bersifat teleologis.

Rub, menurutnya, secara implisit menyatakan bahwa jalan menuju

demokrasi yang ditempuh oleh bekas rezim otoritarian diinterupsi oleh

rezim hibrida. Ia pun hanya menggabungkan kedua segmen lama

(otoritarianisme) dan baru (demokrasi) sebagai satu tipe baru, tanpa

menelaah kompleksitas rezim hibrida itu sendiri yang, menurut

Page 4: Negara

Zinecker, bisa saja terdiri dari segmen-segmen non-demokratis dan

non-otoritarian sekaligus.

 Atas dasar itu, Zinecker kemudian mengajukan tesisnya sendiri

tentang rezim hibrida. Ia memberikan lima kriteria untuk membangun

apa yang disebutnya model demokrasi/otoritarian dan non-

demokrasi/non-otoritarian. Agar sebuah rezim disebut (tidak)

demokratis, ia harus memiliki lima hal: Pertama, pemerintahan (non-)

sipil. Hal ini untuk menggusur pemerintahan militer dan menegakkan

supremasi sipil atas militer. Kedua, (non-) poliarki. Ia berfungsi untuk

meluruhkan kemungkinan otoritarian dari rezim berpemerintahan sipil

dengan menegakkan suatu rezim demokratis-representatif. Versi non-

demokratis dari dua segmen pertama ini, pemerintahan non-sipil dan

non-poliarki, bisa menggiring pada tampilnya rezim otoritarian. Tapi,

tiga segmen sisanya berikut ini dalam versi non-demokratisnya tidak

serta merta merefleksikan otoritarianisme, namun mungkin menjadi

basis bagi suatu bentuk non-otoritarian dari sebuah rezim non-

demokratis. Ketiga, (tidak) adanya aturan hukum (rule of law). Ini

membedakan rezim liberal dan non-liberal. Keempat, ke(bi)adaban

([non-] civility). Penghapusan kekerasan yang dilakukan segmen non-

negara dari sebuah rezim dengan menegakkan legitimasi monopoli

negara atas penggunaan kekuatan dan kekerasan. Kelima,

eksklusi/inklusi politik. Penghapusan segmen rezim yang memiliki

watak politik eksklusif agar terbuka partisipasi yang tak terbatas dan

tanpa kekerasan dari semua kekuatan politik. Singkatnya, adanya

sebuah rezim demokratis-parsipatoris dan masyarakat sipil yang

otonom.

 Yang menarik dari kajian Zinecker adalah analisisnya tentang

civil society sebagai satu bagian dari pembentuk rezim hibrida. Rezim

politik menyangkut gaya pemerintahan. Ia tidak identik dengan

Page 5: Negara

negara; ia bahkan melampaui negara. Maka, kajian tentang rezim tidak

hanya menyangkut kajian tentang relasi antar-institusi negara, namun

juga menelaah hubungan antara negara dan masyarakat sipil dan, di

sisi lain, hubungan di antara warganegara aktif secara politik namun

hidup tanpa bergantung pada negara. Agar pemerintahan berjalan

efektif, sebuah rezim harus memiliki jangkauan pada masyarakat sipil.

Bagi Zinecker, tidak ada pemerintahan yang efektif jika dalam

masyarakat sipilnya masih terdapat aktor-aktor yang bisa memveto

kekerasan. Dalam rezim non-otoritarian, tindak kekerasan terbesar

muncul dari aktor-aktor non-negara yang berada di dalam masyarakat

sipil. Keadaban sebuah rezim politik dengan demikian bertumpu pada

keadaban masyarakat sipil. Demokrasi yang berlangsung pada level

negara tidak selalu berjalan seiring dengan demokrasi pada tingkat

masyarakat sipil. Zinecker ingin meluruhkan teori-teori yang selalu

melihat masyarakat sipil secara normatif dan mengabaikan telaah

yang lebih analitis. Ia ingin melihat masyarakat sipil dari dalam dirinya

sendiri, bukan dari luar. Selama ini terdapat pemisahan antara negara

yang politis dan masyarakat sipil yang non-politis. Negara yang politis

cenderung “buruk” atau tidak beradab (uncivilized) dan masyarakat

sipil terkesan “baik” atau beradab (civilized).

 Bagi Zinecker, masyarakat sipil adalah semua struktur dan

asosiasi yang dibentuk oleh aktor-aktor yang mengisi ruang societal

antara keluarga, ekonomi dan negara. Masyarakat sipil bersifat politis

dan merupakan bagian dari rezim politik. Ia bisa mencakup segmen

demokratis dan non-demokratis, beradab dan biadab sekaligus.

Masyarakat sipil yang demokratis adalah pula yang beradab (civilized),

namun masyarakat sipil yang beradab tidak mesti demokratis.

 Wacana tentang rezim hibrida menarik diperbincangkan dalam

konteks Indonesia; apakah ia relevan? Akan tetapi, soal pokok yang

Page 6: Negara

terlebih dahulu harus dijawab adalah bagian manakah dari rezim-rezim

di Indonesia yang hendak disangkutkan dengan perdebatan ini?

Jawaban dari pertanyaan itu terkait dengan posisi terhadap konsep

hibriditas itu sendiri. Menurut penulis, hibriditas yang ditawarkan oleh

Zinecker tak ubahnya bersifat teleologis, seperti halnya yang

ditawarkan oleh dua orang pendahulunya. Zinecker hanya lebih

banyak mengakomodasi kompleksitas, namun tetap mempertahankan

konsep-konsep yang lebih merupakan klaim-klaim tentang esensi

seperti demokrasi dan otoritarianisme. Zinecker memang tidak

menyebut secara spesifik di tanah mana demokrasi sejati telah

berhasil disemai. Namun, dalam paparannya ia selalu mengulang-

ulang dikotomi antara negara-negara maju dan berkembang dengan

mengisyaratkan yang pertama sebagai demokratis dan yang terakhir

sebagai otoritarian atau hybrid. Akan tetapi, di sisi yang lain, jawaban

dari pertanyaan ini juga harus diletakkan pada konteks spasial dan

temporal yang paling relevan dan paling disorot dari Indonesia terkait

dengan pengalaman demokratisasinya.

 Posisi hibriditas yang menjadi afinitas penulis adalah versi yang

banyak dikemukakan oleh teoritisi pascakolonial. Hibriditas dalam

model ini muncul sebagai strategi dan praktik kebudayaan. Ia

senantiasa berada pada ambang liminal yang menghindarkan diri dari

setiap kategorisasi yang bersifat biner; demokratis versus otoritarian,

maju versus berkembang dan sebagainya. Ia menghuni apa yang oleh

Homi Bhaba disebut ruang ketiga dari setiap oposisi biner. Hibriditas

mengatakan bahwa semua kategori budaya senantiasa bersifat

transnasional dan translasional. Bersifat transnasional karena wacana-

wacana pascakolonial kontemporer berakar pada sejarah khusus

tentang perpindahan budaya, baik lewat perbudakan, ‘pelancongan’

dengan misi pemeradaban, migrasi penduduk Dunia Ketiga ke Barat

Page 7: Negara

setelah Perang Dunia II, atau lalu lintas para pengungsi politik dan

ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri-negeri Dunia Ketiga.

Bersifat translasional karena sejarah-sejarah spasial tentang

perpindahan tersebut – sekarang diikuti dengan ambisi-ambisi

territorial dari teknologi media global – menjadikan persoalan tentang

bagaimana budaya menandai, atau apa yang ditandai oleh budaya,

sebagai sebuah isu yang kompleks (Bhaba… ). Demokrasi-pun bersifat

transnasional dan translasional. Apa yang oleh Amerika disebut

sebagai kampanye demokrasi, misalnya, bagi bangsa-bangsa lain tak

lebih sebagai model baru otoritarianisme. Penulis berpendapat bahwa

tidak ada sebuah rezim yang selamanya demokratis atau otoritarian,

entah di bangsa-bangsa Barat maupun Timur. Karena merupakan

sebuah praktik kebudayaan, analisis tentang hibriditas sejatinya tidak

terletak pada analisis normatif-institusional, namun dalam praktik yang

dilakukan oleh aktor-aktornya. Meskipun bersikap kritis terhadap

pendekatan Zinecker, penulis melihat bahwa ia telah menunjukkan

adanya ruang ketiga hibriditas dengan kemungkinan hadirnya suatu

rezim non-demokratis yang berkarakter non-otoritarian.

 Dalam sejarah Indonesia kontemporer, isu ini akan lebih relevan

jika dikaitkan dengan perkembangan Indonesia pasca-Reformasi.

Pasca keruntuhan rezim orde baru yang oleh banyak pengamat

disebut sebagai rezim pembangunan represif-otoritarian (lihat Herbert

Feith, 1980), Indonesia memang segera menentukan langkahnya

menempuh jalan demokratisasi. Dalam standar teks demokrasi,

Indonesia relatif telah terbebas dari otoritarianisme. Persyaratan

pertama dan kedua yang diajukan Zinecker telah dipenuhi oleh

Indonesia. Supremasi sipil atas militer dan kekuasaan yang

representatif relatif telah terpenuhi, meskipun tidak sepenuhnya. Tidak

ada lagi kekuatan mayoritas. Dua kali pemilu yang digelar pada tahun

Page 8: Negara

1999 dan 2004 menunjukkan puspa ragam kekuatan politik baru,

meski tidak benar-benar baru. Pada pemilu pertama, PDI-P, yang

merupakan metamorforsa dari PNI orde lama dan PDI orde baru,

menjadi partai pemenang pemilu. Meski demikian, kadernya kalah

dalam permainan politik di MPR memperebutkan kursi presiden.

Pemenangnya justru kader dari partai pemenang keempat, PKB.

Namun, presiden terpilih inipun kemudian terjungkal dalam permainan

politik yang sama.

 Elitisme memang tidak bisa terkontrol pada tahap awal

demokrasi baru ini. Demokrasi dirayakan penuh euforia. Partai-partai

bekerja sama secara radikal dan beroposisi secara fundamental pula.

Abdurrahman Wahid dipilih dan dijatuhkan oleh orang-orang yang

persis sama. Pada tahap selanjutnya, aturan main pun diubah.

Konstitusi, kitab suci yang diagungkan sebelumnya, bahkan sudah

empat kali diamandemen. Sistem pemilu diubah dari proporsional

menjadi semacam perpaduan antara distrik- proporsional. Hal ini untuk

memperagam rekrutmen elite bukan hanya atas basis keparpolan,

namun juga representasi kedaerahan. Apalagi selanjutnya diatur

pembentukan lembaga semacam senat, DPD, demi hanya menyiasati

status MPR yang keberadaannya terancam setelah beberapa

kewenangannya terpangkas. Presiden memang tidak lagi dipilih MPR,

namun dipilih oleh langsung oleh rakyat. DPD-pun tidak memiliki tugas

yang jelas layaknya senat dalam sistem demokrasi modern. Pada

pemilu 2004, bekas kekuatan politik rezim otoritarian terguling, Partai

Golkar, berhasil memenangkan pemilu, meskipun bukan (lagi) sebagai

mayoritas tunggal. Namun, yang mengejutkan, presiden pilihan

langsung rakyat bukan berasal dari partai pemenang, melainkan dari

partai yang sama sekali baru, Partai Demokrat.

Page 9: Negara

 Namun, drama politik belum berhenti. Elitisme belum pula

pudar. Partai-partai besar di DPR, disponsori PDI-P, Partai Golkar dan

PPP, segera membangun aliansi oposisi yang menamakan diri Koalisi

Kebangsaan. Partai penguasa yang bersikap panik dan reaktif

membangun tandingannya; koalisi kerakyatan. Peta koalisipun rontok

setelah penguasa berhasil merebut kepemimpinan politik di partai

pemenang pemilu, Partai Golkar. Penguasa juga diuntungkan dengan

konflik-konflik internal yang terjadi pada beberapa partai besar seperti

PPP dan PKB. Konflik itu justru membuat partai-partai tersebut

mendekat pada kekuasaan. Akibatnya, di satu sisi, persebaran elite

politikpun menjadi timpang. Pemerintah mengalami pengeroposan dari

dalam karena banyaknya kekuatan politik yang bermain di dalamnya.

Dalam kasus ini, memang rezim otoritarian telah berlalu, tapi rezim

yang efektif tidak kunjung nampak pula.

 Terkait dengan kriteria ketiga, adanya supremasi hukum, pada

tarap permukaan nampak berjalan. Tapi, penegakan hukum lebih mirip

sebagai sebuah etalase politik daripada sebuah kinerja mandiri dan

terlembaga yang dilakukan oleh para penegak hukum. Beberapa kasus

besar yang ditangani para penegak hukum saat ini, misalnya, lebih

banyak menjerat para elite penguasa lama yang notabene sekarang

menjadi kekuatan oposisi. Beberapa orang yang terindikasi kasus

pelanggaran hukum tertentu, namun berhasil merapat ke kekuasaan

terjamin “keselamatan” mereka. Model penegakan hukum semacam

itu hanya semakin membuat orang mengembangkan taktik-taktik baru

pelanggaran hukum. Jika dahulu, misalnya, budaya korupsi menghuni

ranah ketaksadaran, sekarang ia telah menjadi bagian dari praktik

kebudayaan yang dilakukan secara sadar. Ia muncul dalam kesadaran

ganda aparat birokrasi; sebagai aparatus negara modern dan kuasi

aristokrat. Karakter beambtenstaat warisan kolonial memang masih

Page 10: Negara

menyisakan persoalan (bdk. Sutherland dalam Kayam, 1989). Bagi

para penyelenggara pemerintahan yang berpenghasilan paspasan

namun berpenampilan selaksa aristokrat, korupsi adalah cara produksi

alternatif dan spekulatif. Selain itu, adanya supremasi hukum di sini

lebih banyak berimplikasi pada rapuhnya kuasa negara, terutama,

dalam mengontrol persaingan ekonomi. Selain karena perilaku koruptif

aparat, para pengusaha kaya juga selalu menyewa pengacara papan

atas yang mampu menyiasati tafsiran pasal-pasal sehingga meloloskan

mereka dari jerat hukum.

 Kriteria keempat menyangkut keadaban sebuah rezim. Sebuah

rezim disebut beradab manakala terjadi perpaduan antara civilized

state dan civilized civil society. Negara beradab ketika ia memiliki

legitimasi atas monopoli penggunaan kekuatan dan kekerasan. Secara

hukum TNI dan Polri memiliki legitimasi itu. Persoalan terjadi para

ranah masyarakat sipil. Di beberapa tempat masih terdapat unsur-

unsur dari masyarakat sipil yang gemar memobilisasi kekuatan

melakukan razia bahkan penghakiman sepihak tanpa aparat mampu

mencegahnya. Kehadiran laskar-laskar yang seringkali

mengatasnamakan agama tertentu dan melakukan aksi-aksi sepihak

masih menjadi pemandangan yang menonjol baik di pusat maupun

terutama di daerah-daerah. Konflik-konflik komunal di Kalimantan,

Ambon, Poso dan Papua juga melibatkan unsur-unsur masyarakat sipil

yang bersenjata. Beberapa analis memang menyebutkan bahwa

aparat berwenang memiliki keterlibatan baik dalam pemersenjataan

maupun pembiaran aktivitas mereka. Namun, hal itu tidak mengurangi

krisis keadaban yang terjadi dalam masyarakat sipil. Kriteria keempat

tersebut memiliki korelasi dengan kriteria kelima tentang

inklusifitas/eksklusifitas politik sebuah rezim. Dalam rezim reformasi,

partisipasi publik memang dibuka secara lebar dan dijamin oleh

Page 11: Negara

konstitusi. Meski demikian, masih terdapat segmen tertentu dari rezim

baik dari level negara maupun masyarakat sipil yang berwatak

eksklusif dan membatasi partisipasi warganegara lainnya. Fatwa-fatwa

penyesatan yang dilakukan oleh MUI dan diamini oleh berbagai ormas

keagamaan adalah contoh dari pengekangan atas partisipasi

demokratis. Hal itu ditambah dengan aksi penyerbuan massa terhadap

para pengikut ajaran-ajaran tertentu yang tidak sesuai dengan

mainstream ajaran tertentu. Kampanye-kampanye penegakan syariat

Islam oleh beberapa elemen umat Islam dalam beberapa hal juga

merupakan kasus yang sama.

 

C. Masyarakat Sipil Pascafordisme

Jika menilik kategori standar mengenai masyarakat sipil,

memang tidak pada tempatnya meletakkan organisasi-organisasi

keagamaan dan etnisitas pada kategori tersebut (lihat Allan). Tapi,

tanpa memasukkannya orang tidak akan mendapatkan penjelasan

apapun tentang masyarakat sipil di Indonesia. Muhammad AS Hikam

telah menjelaskan dengan baik peran strategis ormas-ormas

keagamaan sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjadi

pendorong demokratisasi di Indonesia. Varian lain dari organisasi

masyarakat sipil di Indonesia, tentu saja, adalah Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang mulai berkecambah sejak tahun 1970-an,

ormas kepemudaan dan organisasi intelektual. Cerita-cerita tentang

organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia era orde baru sarat

dengan cerita-cerita kepahlawanan yang romantis. Mereka tampil

sebagai penggerak barisan oposisi dan sponsor kemandirian

masyarakat. Meskipun, banyak pula dari mereka yang menjadi

komprador negara, kepanjangan tangan negara di masyarakat atau

bahkan bermuka dua. Watak organisasi masyarakat sipil di Indonesia

Page 12: Negara

mulai menampak pascareformasi, terutama, ketika terjadi migrasi

besar-besaran aktivis organisasi masyarakat sipil menjadi politisi dan

pejabat publik. Agenda demokratisasi yang menjadi misi reformasi-pun

semakin gencar disorongkan. Dan, rezim hibrida-pun lahir dari

perdebatan mereka. Namun, rezim hibrida selanjutnya melahirkan juga

hibrida baru dalam organisasi masyarakat sipil.

 Penting dicatat, jalan demokrasi, selain pilihan, adalah juga

prasyarat yang diberikan untuk mengakhiri krisis ekonomi. Hibriditas

dalam konteks Indonesia, dengan demikian, harus diletakkan dalam

konteks upaya Indonesia menyelesaikan krisis ekonominya yang

sebagian besar dilakukan dengan menerima resep-resep tawaran IMF

dan Bank Dunia. Indonesia sejatinya tengah mengulang kembali

sejarah negara-negara Afrika dan Amerika Latin di awal 1990-an yang

menempuh transisi demokrasi mereka melalui program penyehatan

ekonomi. Dalam paket resep itu, demokratisasi memang menjadi

prasyarat utama yang digariskan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Demokratisasi, dalam hal ini, menyangkut pemenuhan prosedur-

prosedur penyelenggaraan kekuasaan tertentu; mulai dari pemilu

demokratis hingga good governance (bdk. Abrahamsen, 2004). Pada

puncaknya, demokratisasi dimuarakan pada liberalisasi; the best

government is the least government. Partisipasi publik dibuka lebar-

lebar dengan menekan intervensi negara pada batas minimal; dunia

usaha harus dibangkitkan kembali dengan menyemarakkan pasar

investasi; beberapa perusahaan negara perlu disehatkan dengan

melakukan privatisasi dan; aturan hukum dibuat secara ketat untuk

menjamin persaingan ekonomi yang sehat.

 Demokratisasi dalam konteks itu bagi sebagian besar organisasi

masyarakat sipil di Indonesia memiliki dilema tersendiri. Di satu sisi, ia

adalah sebuah keharusan sejarah, namun di sisi lain, ia tidak

Page 13: Negara

diharapkan karena berkembang melalui intervensi asing. Namun,

terlepas dari semua perdebatan tentang liberalisasi, masyarakat sipil-

pun “dipaksa” untuk menempatkan diri dalam arus liberalisasi yang

berlangsung. (Diper)lemahnya peran negara secara otomatis membuat

masyarakat sipil mereguk keuntungan tersendiri. Di satu sisi, lembaga-

lembaga donor asing lebih melirik mereka daripada negara. Di sisi lain,

negara juga membutuhkan mereka demi mengais legitimasi dan

menyewa tenaga professional mereka. Kucuran donor asing semakin

melimpah ruah dan proyek pemerintah pun tak pernah sepi. Organisasi

masyarakat sipil inipun bahkan melakukan hal-hal yang semestinya

menjadi tugas negara; mulai penghitungan hasil pemilu hingga

pengentasan kemiskinan. Merekapun juga mengambil alih banyak

tugas-tugas legislatif dan yudikatif; mulai pengawasan kinerja

pemerintah hingga investigasi kasus-kasus korupsi. Mereka menyadari

posisi strategis ini, sehingga, tak heran jika pascareformasi, industri

LSM pun semakin berkecambah.

 Maka, alih-alih menyelesaikan misinya sebagai motor gerakan

sosial, organisasi masyarakat sipil justru berkembang menjadi industri

jasa modern. Mereka memiliki kantor-kantor yang dikelola secara

professional. Bagi institusi-institusi yang mapan, para aktivisnya

mengisi lapisan kelas-kelas borjuis baru. Mereka tidak hanya bekerja di

satu institusi, namun pada banyak lainnya. Lingkup kerja mereka tidak

lagi nasional, namun dalam sistem jaringan transnasional. Institusi

masyarakat sipil ini memang menjadi cara produksi kapitalis baru yang

mulai meninggalkan sistem produksi massal a la perusahaan

manufaktur. Mereka menyemarakkan apa yang disebut sebagai

generasi kapitalisme pascafordisme dengan paradigma flexible

production (Thompson…). Dalam pascafordisme terjadi transformasi

bukan hanya tentang bagaimana kita membuat sesuatu, namun juga

Page 14: Negara

bagaimana kita hidup dan apa yang kita konsumsi. Kerja dalam cara ini

adalah sesuatu yang integral dengan totalitas kehidupan; orang tidak

dilokalisir dalam ruang bersekat atau dibatasi oleh waktu kerja, tapi

dibiarkan menentukan ritmenya sendiri. Tidak seperti produksi massal

yang mempekerjakan buruh tidak terampil, produksi fleksibel

menuntut para pekerja yang terpelajar dan memiliki kemampuan

mengendalikan dirinya sendiri. Produksi fleksibel terutama muncul

dalam lembaga-lembaga penyedia jasa; klinik, firma hukum, jasa

konsultan, institusi pendidikan dan sebagainya. Organisasi masyarakat

sipil dapat dimasukkan di dalamnya dengan pertimbangan

karakteristik yang sama. Perbedaannya hanya pada dimensi

transaksinya; instansi profit pada umumnya melakukan transaksi

horizontal dengan nasabah, customer atau klien, sementara ormas

atau LSM bertransaksi secara vertikal dengan donator.

 Di sini, kemudian muncul persoalan tentang keadaban (civility)

dan kewarganegaraan (civic) yang memberi karakter bagi masyarakat

sipil. Keadaban tidak lagi sekadar menyangkut isu-isu kekerasan,

namun juga isu kemandirian; sementara kewarganegaraan

menyangkut tanggung jawab politis sebagai warganegara. Kedua isu

saling bertautan satu sama lain. Kemandirian terhadap negara tidak

lantas digantikan pada ketergantungan pada yang lain sehingga

mengikis tanggung jawab kewarganegaraannya. Dan, organisasi

masyarakat sipil di negeri ini, terbukti dihimpit oleh tekanan negara

dan swasta. Secara ekonomi, organisasi masyarakat sipil tersebut

adalah organisasi pemburu rente; mereka bergantung pada donor

mana yang bersedia menerima program-program mereka atau

memberikan proyek-proyek baru bagi mereka. Namun, secara politis,

ada empat posisi yang jamak dipilih. Pertama, berkolaborasi dan

menerima proyek-proyek pemerintah secara total. Kedua, menghindari

Page 15: Negara

kerjasama dengan negara dengan lebih membuka diri pada swasta.

Ketiga, menolak kerja sama dengan negara maupun dengan pihak

swasta tertentu, semisal lembaga donor internasional atau perusahaan

industri berat. Keempat, menerima kerja sama dari manapun secara

professional tanpa harus terikat. Pada umumnya, ormas dan NGO

memilih posisi keempat. Dan, pada posisi ini, berbagai ideologi dan

idealisme diperdebatkan, ditata ulang bahkan ditransgresikan.

 Di sini kita sampai pada perdebatan kita tentang hibriditas dan

liminalitas. Apakah dengan memungut donasi swasta asing, orang

telah menggadaikan kewarganegaraannya? Apakah dengan

bekerjasama dengan pemerintah, orang telah membuang

kemandiriannya? Apakah dengan menerima keduanya, orang telah

melupakan idealismenya? Tiada satupun yang menyangkal bahwa

diskursus tentang masyarakat sipil sendiri bukanlah diskursus yang

tercipta karena pengalaman domestik, namun diskursus impor yang

diapropriasi oleh pengalaman lokal. Di tempat asalnya, masyarakat

sipil bersifat mandiri (dari negara) karena hidup beriringan dengan

berfungsinya ekonomi pasar kapitalis. Organisasi-organisasinya hidup

dari bisnis mandiri, seperti media, atau dari kesadaran filantropis

masyarakatnya yang tinggi. Sementara, saat datang ke negeri-negeri

berkembang, ide-ide ini dicangkokkan pada ragam organisasi yang

ada. Seperti kita persaksikan, iapun selanjutnya dirawat oleh

kapitalisme pasar; baik domestik maupun asing. Ia dipromosikan

dalam misi liberalisasi dan demokratisasi yang salah satu idenya

adalah berkurangnya intervensi negara (terhadap pasar). Namun

soalnya, diskursus nasionalisme belumlah pudar seluruhnya. Di satu

sisi, lembaga-lembaga kapitalis asing masihlah merupakan

representasi dari kepentingan entitas-entitas tertentu berlabel bangsa,

negara atau kawasan. Di sisi lain, berkurangnya intervensi negara, di

Page 16: Negara

sini lebih berarti lemahnya kekuatan dan kekuasaan negara. Karena

soalnya selalu kapitalisme, maka, pada tahap domestik, para kapitalis

nasional lebih berkuasa daripada institusi tertinggi negara. Dari

perombakan kabinet SBY sejak edisi pertama hingga terakhir,

misalnya, orang dapat melihat betapa kokohnya posisi Aburizal Bakrie,

raja lumpur yang anak perusahaannya telah terbukti – secara sangat

meyakinkan sekali – mengubur puluhan desa di Sidoarjo.

 Namun persoalan-persoalan di atas tidak selalu bekerja dalam

aras logika tunggal, ia bersifat sangat kompleks. Dan, masyarakat sipil

hibrida selalu menyiasatinya. Sebagaimana pasar yang bekerja

mencapai tujuannya sendiri, masyarakat sipil inipun pada akhirnya

berkembang menggapai identitasnya sendiri.

 

 Daftar Pustaka

Abrahamsen, Rita. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan (terj. Heru Prasetia). Yogyakarta: Lafadl.

 Allan, Kenneth.2006. Contemporarty Social and Sociological Theories:

Visualizing Social Worlds. California: Pine Forge Press.  Bhabha, Homi K, 1994. The Location of Culture. London: Rouletge.  Diamond, L., Seymour M. Lipset dan J.J. Linz (eds). 1988. Democracy in

Developing Countries. Boulder: Westview Press.  Feith, Herbert. “Repressive-Developmentalist Regimes in Asia: Old

Strenghts, New Vulnerabilities.” Prisma-The Indonesian Indicator 19 December 1980. Hlm. 39-55.

Kayam, Umar. “Transformasi Budaya Kita.” Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989. Jogjakarta: UGM Press.

 Martinussen, John. 1997. Society, State & Market: A Guide to

Competing Theories of Development. London: Zed Books.

Page 17: Negara

 Zamjani, Irsyad. “Abad Korupsi”. Kompas, 8 November 2005.

____________. Negara, Masyarakat Sipil dan Demokrasi. Jakarta: Departemen Sosiologi UI.

Zinecker, Heidrun. 2007. Democracy, Diversity, And Conflict: Regime-Hybridity and Violent Civil Societies in Fragmented Societies – Conceptual Considerations. Ithaca: Cornell University Peace Studies Program.