NDC Vilia Angela 12.70.0179

25
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun Oleh : Nama: Vilia Angela W NIM: 12.70.0179 Kelompok D3 Acara II

description

Nata de coco merupakan satu produk fermentasi oleh jenis bakteri yang mampu menimbulkan lapisan gelatin sehingga diperoleh hasil produk yang kenyal.

Transcript of NDC Vilia Angela 12.70.0179

Acara II FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun Oleh :Nama: Vilia Angela WNIM: 12.70.0179

Kelompok D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

20152

3

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Analisa Ketebalan dan % Lapisan Nata de Coco

Hasil pengamatan terhadap pengujian Ketebalan dan % Lapisan Nata de Coco dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

D1200,50,702535

D21,200,50,6041,6750

D31,300,40,5030,7738,46

D4100,40,504050

D52,500,60,602424

Pada Tabel 1. Dapat dilihat bahwa tinggi media awal Nata milik masing-masing kelompok berbeda, dimana media awal dengan ukuran tertinggi adalah pada sampel milik kelompok D5. Pada pengukuran ketebalan tinggi nata pada hari ke-0 milik semua kelompok belum terbentuk. Pada seminggu pertama sampel milik semua kelompok mulai menunjukkan peningkatan, dengan ukuran nata tertinggi ada pada sampel milik kelompok D5. Dari nilai yang diperoleh, diketahui bahwa peningkatan tinggi ketebalan nata sebanding dengan tinggi media awal yang terbentuk. Seiring dengan semakin tinggi media awal milik sampel masing-masing kelompok maka semakin tinggi nilai ketebalan nata yang terukur. Nilai tinggi ketebalan nata pada minggu kedua (hari ke-14) nampak mengalami kenaikan dari minggu pertama, yang dapat dilihat dari hasil pengukuran semua sampel pada masing-masing kelompok, kecuali pada sampel milik kelompok D5 yang hasilnya tetap pada hari ke-7. Berdasarkan pengukuran di atas, nata dengan ketebalan yang paling tinggi terdapat pada sampel milik kelompok D1. Sedangkan apabila diamati dari nilai % Lapisan Nata, pada hari ke-0, semua sampel masing-masing kelompok belum ada yang menunjukkan terbentuknya lapisan nata. Pada minggu pertama, lapisan nata sudah mulai terbentuk dan berdasarkan hasil perhitungan nampak bahwa sampel dengan % lapisan nata paling besar terdapat pada sampel milik kelompok D2 yaitu 41,67. Namun, hasil perhitungan % lapisan nata yang paling kecil ditunjukkan oleh sampel milik kelompok D5. Pada minggu kedua hasil yang diperoleh dari nilai % lapisan nata sampel masih sama, yaitu kelompok D2 masih paling besar dan kelompok D5 yang paling kecil.

1.2. Analisa Sensoris Nata de Coco

Hasil pengamatan analisa sensoris terhadap Nata de Coco yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensoris Nata de cocoKelompok Aroma Warna Tekstur

D1++++

D2++++++

D3+++++++

D4+++++

D5++++

Keterangan : Aroma WarnaTekstur ++++: tidak asamputihsangat kenyal +++: agak asamputih agak beningkenyal ++: asamputih beningagak kenyal +: sangat asamkuningtidak kenyal

Pada Tabel 2. Dapat dilihat bahwa analisa bahan diukur secara sensoris. Berdasarkan hasil pengujian sensoris tersebut diperoleh data bahwa dari aroma semua sampel menunjukkan hasil yang sama yaitu aroma yang tidak asam. Ketika diamati dari warna nata milik masing-masing kelompok, maka sampel semua kelompok menunjukkan warna kuning, terkecuali pada sampel milik kelompok D3 dengan warna yang putih bening. Apabila diamati dari tekstur sampel yang terbentuk, maka nampak bahwa sampel dengan tekstur kenyal dimiliki oleh sampel milik kelompok D2 dan D4, sedangkan sampel milik kelompok D1, D3, dan D5 tekstur yang terbentuk adalah tekstur yang tidak kenyal.

2. PEMBAHASAN

Tanaman kelapa adalah jenis pohon yang tersebar luas di Indonesia, yang sering kita jumpai di daerah dekat pesisir pantai. Menurut Wowor et al. (2007) dari Jurnal Agrisistem, buah kelapa (Cocos nucifera L.) tersusun dari 4 komponen utama yaitu sabut, daging, air kelapa, dan tempurung kelapa. Air kelapa juga merupakan tergolong limbah kelapa sesungguhnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi nata, atau biasa disebut dengan nata de coco. Nata de coco menurut Halib et al. (2012) dari Jurnal 5, merupakan jenis makanan pencuci mulut dari Filipina dan umumnya disediakan dengan ukuran (1x1x1) cm3. Wowor et al. (2007) menjelaskan bahwa nata de coco merupakan satu produk fermentasi oleh jenis bakteri yang mampu menimbulkan lapisan gelatin sehingga diperoleh hasil produk yang kenyal. Berdasarkan namanya nata de coco, disini media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah air kelapa.

Dalam aplikasinya, menurut Wijayanti et al. (2012) dari jurnal 2, pembuatan nata hanya akan terjadi apabila di dalamnya terdapat aktivitas dari bakteri Acetobacter xylinum. Air kelapa mengandung karbohidrat, lemak, kalsium, fosfor, besi, dan garam-garam mineral lainnya masing-masing secara berurutan sebesar 4%; 0,1%; 0,02%; 0,01%. Keberadaan zat ini lah yang memungkinkan kinerja bakteri Acetobacter xylinum dapat terjadi dengan kualitas di atas rata-rata. Halib et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri yang diperlukan dalam pembentukan nata ini tergolong bakteri asam yang memiliki kemampuan untuk mengoksidasi tipe alkohol dan gula tertentu menjadi asam asetat. Selama proses produksi unsur karbon yang ada di dalam air kelapa akan dikonversi oleh Acetobacter xylinum menjadi selulosa extraselular sebagai metabolit.

Pambayun (2002) menjelaskan bahwa nata tidak hanya dapat dibuat dari air kelapa saja, tetapi juga dapat dibuat dari bahan lain seperti : sari kedelai (nata de soya), sari buah mangga (nata de mango), sari buah nanas (nata de pina), dan lain sebagainya. Penamaan nata ini didasarkan pada media yang akan digunakan bagi pertumbuhan bakteri. Ia juga menambahkan bahwa nata sesungguhnya dapat dibuat dari berbagai bahan asalkan bahan tersebut memiliki kandung gula, protein, dan mineral.

Dalam pembuatan nata de coco, terdapat 2 tahapan yang dilakukan yaitu pembuatan media dan fermentasi oleh bakteri. Berikut langkah kerja spesifik yang dilakukan dalam pembuatan nata de coco, antara lain: air kelapa yang sudah disediakan sebanyak 250 ml terlebih dahulu dan disaring dengan kain saring. Penyaringan air kelapa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Air kelapa disaring dengan kain saring.

Menurut Pratiwi et al. (2012), tahap penyaringan ini perlu dilakukan untuk memastikan air kelapa yang akan difermentasi bebas dari pengotor dengan ukuran partikel tertentu. Selanjutnya, air kelapa diberi tambahan gula pasir sebanyak 10% dan diaduk sampai larut. Wijayanti et al. (2012) menjelaskan bahwa penambahan gula pasir dilakukan dengan tujuan untuk memberikan tambahan sumber karbon bagi bakteri sehingga konversi karbon menjadi produk selulosa dapat berjalan, selain itu, alasan lain aplikasi gula pasir dalam pembuatan nata dikarenakan gula pasir merupakan sumber gula yang tergolong murah dan mudah didapatkan.

Tahap lain yang dilakukan yaitu penambahan amonium sulfat sebanyak 0,5%. Menurut Pambayun (2002), penambahan ammomium sulfat memiliki fungsi sebagai supply sumber nitrogen yang diperlukan, khususnya untuk mendukung aktivitas bakteri nata. Rahayu et al. (1993) menambahkan dengan keberadaan komponen sumber C dan N maka pembentukan asam nukleat dan protein dapat berjalan maksimal karena sumber C dan N digunakan sebagai sumber energi bagi bakteri, yang ketika kedua senyawa terdapat dalam bentuk molekul ammonia akan segera diserap langsung oleh sel bersama dengan beberapa sumber lainnya.

Dalam langkah selanjutnya penambahan asam cuka glasial dilakukan hingga pH yang tercapai adalah sebesar 4-5. Berdasarkan teori oleh Pambayun (2002), penambahan asam cuka glasial ini bertujuan untuk memastikan kondisi pH yang optimal bagi aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Menurut Wijayanti et al. (2012) dan Rahman (1992), aktivitas optimal yang memungkinkan metabolisme sempurna oleh Acetobacter xylinum dapat terjadi adalah pada kisaran pH 3,5 sampai 4, sehingga dengan tercapainya kondisi optimal bagi aktivitas Acetobacter xylinum diharapkan pembentukan substansi gel pada permukaan media dapat terbentuk. Pernyataan di atas diperkuat oleh teori yang diungkapkan oleh Jagannath et al. (2008), yang menjelaskan bahwa di dalam produk asam asetat akan mengalami pemecahan menjadi CO2 dan H2O sehingga menjadi sumber ATP tambahan bagi bakteri Acetobacter xylinum dan memungkinkan pembentukan selusosa berlangsung lebih cepat.

Selanjutnya, sampel dipanaskan hingga komponen di dalamnya larut, kemudian disaring kembali. Menurut teori oleh Astawan & Astawan (1991), proses pemanasan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk memastikan substrat bebas mikroba pengotor yang dapat menimbulkan persaingan pertumbuhan bagi kultur murni nantinya. Mikroorganisme pengotor yang ada akan menghambat pembentukan selulosa dari pemecahan glukosa yang ada. Disamping itu, dengan adanya proses pemanasan maka pelarutan komponen tambahan seperti gula, asam, dan lain sebagainya akan dipercepat dan larutan dapat menjadi lebih homogen. Proses penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan pengotor maupun bahan-bahan terendap lainnya dari larutan yang mungkin ada dan tertinggal di dalam sampel.

Pada tahapan fermentasi, sampel yang sudah dipanaskan dan disaring sebelumnya dimasukkan ke dalam wadah plastik bersih sebanyak 100 ml. Wadah plastik yang digunakan harus dipastikan bebas pengotor atau steril, karena wadah inilah yang akan digunakan sebagai tempat inkubasi nata de coco. Pengambilan 100 ml sampel dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sampel diambil sebanyak 100 ml

Selanjutnya, ke dalam sampel ditambahkan biang nata atau yang disebut dengan starter sebanyak 10%, lalu dilakukan penggojogan untuk memastikan semua starter yang sudah ditambahkan dapat bercampur homogen lalu kemasan ditutup dengan menggunakan kertas coklat. Semua tahapan ini dilakukan secara aspetis yaitu dengan cara didekatkan api. Sesuai dengan teori oleh Hadioetomo (1993) yang menyatakan bahwa penambahan kultur harus dilakukan seaseptis mungkin untuk meminimalkan terjadinya pencemaran mikroorganisme ke dalam sampel. Ketika pemindahan kultur dilakukan secara aseptik maka organisme yang tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanya biakan murni yang terdiri dari saru spesies tunggal. Penambahan kultur dapat dilihat pada Gamabr 3.

Gambar 3. Penambahan kultur A. xylinum.

Dalam aplikasinya, tujuan penutupan wadah sampel menggunakan kertas coklat yaitu untuk menjaga sampel dari kontaminasi oleh mikroba pengotor lainnya yang mungkin mencemari selama waktu inkubasi. Penutupan wadah sampel dengan kertas coklat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Wadah di tutup dengan kertas coklat.

Penambahan starter nata sebanyak 10% merupakan salah satu titik kritis pada tahap pembuatan nata de coco, karena apabila penambahan yang dilakukan tidak benar maka pertumbuhan bakteri yang diinginkan tidak akan terjadi. Hal ini disetujui oleh teori yang diungkapkan Rahayu et al. (1993) bahwa dalam penambahan ini lah yang memungkinkan kultur A. xylinum tumbuh dan mengubah komponen gula dalam sampel menjadi selulosa yang selanjutnya akan diubah secara ekstraseluler menjadi bentuk folikel yang liat selama tahap inkubasi. Jumlah penambahan starter yang dilakukan sebesar 10% sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pato & Dwiloka (1994), yaitu jumlah starter yang ditambahkan dalam pembuatan nata adalah antara 4-10%. Menurut mereka, penambahan starter diatas atau dibawah nilai tersebut akan menurunkan efisiensi pembentukan nata dengan karakter yang baik atau bahkan dapat menghambat terbentuknya lapisan nata. Salah satu faktor kritis yang perlu diperhatikan dalam penambahan starter ke dalam substrat menurut Pambayun (2002), yaitu kondisi suhu substrat pada saat akan ditambahkan starter. Dimana suhu ketika penambahan yang tepat tidak boleh melebihi 40oC karena dapat mematikan bakteri/starter yang ditambahkan.

Setelah melalui tahapan di atas, sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 2 minggu, dan dipastikan sampel tidak boleh digoyang selama waktu inkubasi, dengan tujuan untuk memastikan lapisan yang terbentuk oleh bakteri tidak terpisah-pisah. Hal ini sesuai dengan teori oleh Pratiwi et al. (2012), yang menyatakan bahwa waktu minimal fermentasi adalah 14 hari hingga nata dapat terbentuk sempurna. Penerapan suhu penginkubasian yang diaplikasikan didasarkan pada teori yang juga dikemukakan oleh Wijayanti et al. (2012), bahwa suhu inkubasi harus disesuaikan dengan suhu optimal pertumbuhan bakteri A. xylinum, karena pembentukan nata didukung oleh adanya aktivitas bakteri ini. Menurut Wijayanti et al. (2012) dan Rahayu et al. (1993), pertumbuhan bakteri A. xylinum optimal pada suhu sekitar (28-30)oC sehingga nata yang dihasilkan memiliki ketebalan optimum. Didukung pula oleh teori dari Pambayun (2002), yang menjelaskan bahwa di Indonesia, suhu ruang berkisar pada 28 oC, oleh sebab itu pengujian yang dilakukan dianggap sudah sesuai dengan teori yang ada. Disamping itu, menurut Rahayu et al. (1993) suhu penginkubasian yang terlalu tinggi dapat berdampak kematian bakteri dan penghambatan proses fermentasi, dan sebaliknya, aplikasi suhu yang terlalu rendah juga akan menyebabkan produk nata yang dihasilkan menjadi terlalu lunak atau bahkan tidak memungkinkan terbentuknya lapisan nata sama sekali.

Pada tahap selanjutnya, dilakukan pengamatan sampel yang sudah terbentuk pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 untuk mengamati perubahan yang terjadi pada sampel bertahap. Parameter pengamatan yang dilakukan mulai dari terbentuknya permukaan cairan dan ketebalan lapisan nata yang terbentuk, selanjutnya, perhitungan persentase kenaikan ketebalan nata dilakukan. Lapisan nata dapat terbentuk sebagai hasil modifikasi gula oleh bakteri A. xylinum menurut Pambayun (2002) dan Palungkun (1996) karena adanya enzim ekstraseluler hasil metabolisme bakteri A. xylinum, dimana enzim tersebut berperan dalam mempolimerisasi komponen gula menjadi bentuk ribuan rantai (homopolimer) atau disebut selulosa yang akan membentuk jaringan mikrofibril panjang dalam produk yang awalnya berupa substrat. Puspitasari & Cynthia (2012) dari Jurnal 3 menambahkan bahwa selulosa merupakan salah satu komponen makro dari biomassa tanaman, salah satu selulosa yang paling efisien, diproduksi oleh bakterium berupa Acetobacter xylinum yang mampu memproduksi nata de coco. Mereka juga menjelaskan bahwa keunggulan selulosa hasil produksi mikrobia adalah kemurnian kandungan kimianya yang berhubungan dengan hemiselulosa dan lignin.

Salah satu hasil proses fermentasi lainnya diluar selulosa menurut Pambayun (2002) dan Palungkun (1996) adalah gelembung-gelembung gas CO2 yang mampu melekat pada jaringan selulosa, sehingga jaringan selulosa menjadi terangkat ke permukaan cairan. Berdasarkan teori ini maka hasil pengamatan yang dilakukan selama praktikum dibenarkan karena akan tampak terbentuknya lapisan di atas permukaan larutan. Apabila diamati dari sampel pada hari-hari berikutnya akan nampak pula suatu produk kenyal berwarna putih. Menurut Palungkun (1996), tampilan tersebut merupakan hasil fermentasi yang telah berlangsung selama beberapa lama, dimana jutaan jasad renik yang sudah tumbuh dalam bahan memproduksi jutaan lembaran benang selulosa yang memadat sehingga memberikan tampilan produk memadat dan berwarna transparan hingga putih. Menurutnya, produk yang semacam itu lah yang disebut dengan nata. Selama tahapan pembentukan benang selulosa ini harus dipastikan tidak ada goncangan pada wadah karena dapat mengakibatkan padatan nata yang belum sempurna turun dan tenggelam ke dasar cairan. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, maka diperoleh hasil uji tinggi ketebalan nata, % lapisan data, dan hasil pengujian sensoris. Pada data hasil pengujian tinggi ketebalan nata, dapat dilihat bahwa pada hari ke-0 sampel milik semua kelompok belum menunjukkan terbentuknya lapisan nata. Hal ini benarkan oleh Jagannath et al. (2008), karena dalam jurnalnya, mereka menjelaskan bahwa lapisan nata akan mulai terbentuk pada hari ke 15 sampai 20 setelah diinkubasi, dan tinggi awal nata yang baru terbentuk adalah sekitar 0,8-1,0 cm. Apabila diamati dari hasil pengujian, tinggi ketebalan nata minggu pertama berkisar antara 0,4-0,6, sehingga pengujian kurang lebih dianggap sesuai dengan teori yang ada.

Namun, memang tinggi ketebalan nata dari masing-masing sampel setiap kelompok berbeda-beda, meskipun awalnya diberi perlakuan yang sama. Tinggi yang berbeda ini mungkin saja terjadi karena dari awal ukuran wadah yang digunakan juga berbeda-beda, ada yang melebar, dan ada pula yang tinggi tetapi sempit luasnya, sehingga dari pengukuran diperoleh hasil pengukuran tinggi yang berbeda-beda. Di samping itu, perbedaan ketebalan lapisan nata pada masing-masing sampel tiap kelompok dikarenakan adanya goncangan yang terjadi selama proses inkubasi. Sesuai dengan toeri yang dikemukakan oleh Rahayu (1993), bahwa adanya guncangan wadah pada proses inkubasi dapat menyebabkan lapisan nata yang belum sempurna akan tenggelam sehingga hal ini akan mempengaruhi ketebalan akhir nata. Kemudian salah satu faktor yang memicu lainnya adalah human error, yaitu ketika memasukkan starter ke dalam sampel, pengukuran yang dilakukan berbeda-beda sehingga kesempurnaan proses metabolisme oleh bakteri juga tidak maksimal. Selain itu, menurut Tranggono & Sutardi (1990), keaseptisan pemasukan kultur starter juga mempengaruhi, ketika tidak aseptis maka akan memicu kotaminasi oleh mikroba pengotor lainnya yang efeknya menimbulkan persaingan pertumbuhan dalam substrat dan metabolisme bakteri Acetobacter xylinum menjadi tidak sempurna.

Apabila diamati dari tabel hasil pengamatan maka diperoleh data bahwa tinggi ketebalan nata atau diamati dari % lapisan nata pada minggu ke-2 semua mengalami kenaikan. Menurut Wijayanti et al. (2012), bila penambahan sukrosa cukup maka pertumbuhan bakteri yang mendukung terjadinya proses metabolisme pasti baik, begitu pula dengan penambahan asam asetat, ketika penambahan sesuai dengan kebutuhan kondisi keasaman bakteri maka proses metabolisme akan berlangsung baik.

Berdasarkan pengujian sensoris oleh seorang panelis, maka diamati dari aromanya, maka semua sampel milik masing-masing kelompok adalah sama yaitu tidak asam. Hal ini menunjukkan bahwa proses pencucian yang dilakukan oleh semua kelompok sudah benar yaitu dibiarkan di bawah air mengalir, sesuai dengan teori oleh Rahman (1992), yang menjelaskan bahwa dengan proses pencucian yang tepat maka asam dari nata akan terbuang semakin banyak. Oleh sebab itu, tahap pencucian tergolong tahapan yang penting pula dalam pembuatan nata de coco, diperjelas pula oleh teori dari Fardiaz (1992), yang menyatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan menghasilkan asam asetat selama proses metabolisme yang dapat menimbulkan rasa asam pada produk nata apabila tidak dicuci.

Ketika sampel dibandingkan dari parameter warna, maka diperoleh hasil dimana sampel semua kelompok kecuali sampel kelompok D3 berwarna putih bening, sedangkan sampel milik kelompok D1, D2, D4, dan D5 berwarna kuning. Ketika dibandingkan dengan teori yang ada oleh Pambayun (2002), sesungguhnya warna nata yang muncul adalah putih hingga transparan dikarenakan adanya jutaan lembar benang selulosa hasil metabolisme oleh bakteri Acetobacter xylinum. Sedangkan warna kuning yang dihasilkan oleh nata de coco, menurut Davideck et al. (1990), dikarenakan adanya reaksi Maillard pada sampel dimana terjadi reaksi antara gula dan protein dan perlakuan suhu tinggi yang berlebihan.

Apabila diamati dari segi tekstur, maka diperoleh hasil pengujian sebagai berikut mulai dari sampel milik kelompok D1 sampai D5 tekstur yang diperoleh tidak kenyal, sedangkan pada sampel milik kelompok D2 dan D4 diperoleh sampel yang kenyal, sedangkan pada kelompok D3 diperoleh tekstur yang agak kenyal. Ketika dibandingkan dengan teori yang ada oleh Nurhayati (2011), diketahui bahwa tingkat kekenyalan nata dipengaruhi oleh kepadatan maupun ketebalan lapisan nata yang terbentuk. Dimana semakin padat/tebal lapisan nata yang terbentuk, maka akan semakin kenyal tekstur nata tersebut. Apabila dibandingkan dengan % lapisan nata yang didapat seharusnya sampel milik kelompok D2 dan D4 memiliki tingkat kekenyalan yang paling tinggi dibandingkan sampel milik kelompok lainnya, sebaliknya sampel milik kelompok D5 seharusnya memiliki tingkat kekenyalan yang paling rendah dibandingkan dengan sampel milik kelompok lainnya karena nilai % lapisan nata kelompok D5 paling kecil. Maka dikatakan bahwa hasil pengujian tekstur dianggap tidak sesuai dengan teori yang ada. Ketidaksesuaian ini bisa saja terjadi karena secara sensoris penilaian oleh seorang panelis bisa saja salah persepsi.

3. 4. KESIMPULAN

Buah kelapa (Cocos nucifera L.) tersusun atas 4 komponen utama yaitu sabut, daging, air kelapa, dan tempurung kelapa. Nata de coco adalah satu produk fermentasi oleh jenis bakteri yang mampu menimbulkan lapisan gelatin sehingga diperoleh hasil produk yang kenyal. Nata de coco merupakan jenis selulosa yang berbentuk padat, memiliki tekstur yang kenyal, berwarna putih transparan, dengan kemampuan pengikatan air tertentu. Acetobacter xylinum adalah bakteri asam asetat yang mampu mengoksidasi berbagai tipe alkohol dan gula menjadi asam asetat. Penambahan gula pasir bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri akan sumber karbon, yang memungkinkan terbentuknya jaringan selulosa (nata). Penambahan ammonium sulfat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bakteri akan sumber nitrogen yang akan mendukung metabolisme bakteri dalam membentuk nata. Pemanasan air kelapa bertujuan untuk membunuh mikroorganisme kontaminan lain selain kultur murni. Acetobacter xylinum dapat tumbuh optimal pada pH 3,5-4 dan pada suhu (28-30)oC Warna nata yang baik adalah putih hingga transparan. Tingkat kekenyalan nata berhubungan dengan kepadatan atau ketebalan lapisan nata yang dihasilkan, dimana semakin tebal lapisan nata yang terbentuk maka akan semakin kenyal tekstur nata tersebut. Ketebalan nata dipengaruhi oleh diameter wadah yang digunakan.

Senin, 5 Juli 2015Praktikan, Asisten Dosen, Nies Mayangsari Wulan AprilianaVilia Angela W 12.70.01795. DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. & M. W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Davideck, J; J. Velisek & J. Pokorny. 1990. Chemical Changes During Food Processing. Elsevier. Amsterdam.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.

Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.

Halib, Nadia; Mohid Cairul; & Iqbal Mohid Amin. 2012. Jurnal 5 : PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES AND CHARACTERIZATION of Nata de Coco LOCAL FOOD INDUSTRIES AS A SOURCE of CELLULOSE. Dikutip dari Jurnal Sains Malaysiana Hal. 205-211.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju; & A. S. Bawa. 2008. Jurnal 6 : The Effect of pH, Sucrose, and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata de Coco) by Acetobacter xylinum.

Nurhayati, Siti. 2011. Kajian Pengaruh Kadar Gula dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Nata De Soya. Universitas Terbuka p1-8.

Palungkun, R. 1996. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloka, B. 1994. Proses & Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70-77.

Pratiwi, Hanik; Papib Handoko; & Agus Muji Santoso. 2012. Jurnal 1 : OPTIMASI VOLUME Acetobacter xylinum TERHADAP PRODUKTIFITAS NATA DE COCO PADA MEDIA MINIMUM.

Puspitasari, Tita & Cynthia Linaya Radiman. 2012. Jurnal 3 : STUDY OF GRAFT COPOLYMERIZATION OF ACRYLIC ACID ONTO NATA DE COCO AND ITS APPLICATION AS MICROFILTRATION MEMBRANE.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Wijayanti, Fivien; Sri Kumalaningsih; & Masud Effendi. 2012. Jurnal 2 : PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN ASAM ASETAT GLACIAL TERHADAP KUALITAS NATA DARI WHEY TAHU DAN SUBSTRAT AIR KELAPA. Dikutip dari Jurnal Industria Vol. 1 No. 2 Hal 86-93.

Wowor, Liana Y.; Mufidah Muis; & Abd. Rahman Arinong. 2007. Jurnal 4 : ANALISIS USAHA PEMBUATAN NATA DE COCO DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER DAN KANDUNGAN YANG BERBEDA. Dikutip dari Jurnal Agrisistem Vol. 3 No. 2.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan Rumus :

Kelompok D1Hari ke-7

Hari ke-14

Kelompok D2Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok D3Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok D4Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok DHari ke-

Hari ke-14

6.2. Laporan Sementara6.3. Jurnal6.4. Persentase Viper