Nata de Coco _vina_12.70.0164

12
1 FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama : Vina NIM : 12!""1#$ Kelom%o& A' PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGI(APRANATA SEMARANG 2"1) 1. HASIL PENGAMATAN A*a+a II

description

nata de coco vina

Transcript of Nata de Coco _vina_12.70.0164

Acara IIFERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO

laporan resmi praktikum teknologi fermentasi

Disusun oleh:Nama : VinaNIM : 12.70.0164Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

1

20151

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de cocoHasil pengamatan fermentasi substrat cair fermentasi nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de cocoKelTinggi media awal cmTinggi ketebalan nata cm Lapisan nata

014014

A11,400,30,3021,4321,43

A21,200,40,4033,3333,33

A31,400,50,035,7135,71

A42,000,20,601030

A1,200,20,3016,625

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa tinggi media awal yang digunakan oleh tiap kelompok berbeda-beda. Pada kelompok A1 dan A4 tinggi media awal yang dihasilkan adalah 1 cm, kelompok A2 dan A5 adalah 1,2 cm, sedangkan kelompok A4 memiliki tinggi awal 2,0 cm. Pada hari ke-0, umumnya nata masih belum terbentuk. Setelah hari ke-7, nata mulai terbentuk dan pada hari ke-14 terjadi kenaikan tinggi ketebalan nata. Pada kelompok A1, justru ketebalan lapisan nata pada hari ke-14 sama dengan ketebalan nata pada hari ke-7. Persentasi lapisan nata tertinggi dihasilkan oleh kelompok A3 sebesar 35,71% (pada hari ke-7 dan 14), sedangkan persentasi lapisan nata terendah dihasilkan oleh kelompok A4 sebesar 10% (pada hari ke-7) dan 25% (pada hari ke-14) dihasilkan oleh kelompok A5.

2. 3. PEMBAHASAN

Nata merupakan salah satu produk fermentasi yang biasanya dikonsumsi sebagai makanan ringan. Nata adalah selulosa yang berbentuk padat, memiliki tekstur yang kenyal, berwarna putih transparan, dan memiliki kandungan air sekitar 98%. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Rahman (1992). Menurut Palungkun (1996), nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim. Krim tersebut dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Pambayun (2002) juga menambahkan bahwa nata dapat dibuat dari berbagai bahan asalkan bahan tersebut mengandung gula, protein, dan mineral. Apabila bahan baku yang digunakan berbeda, maka nata yang dihasilkan pun akan berbeda. Bahan baku yang dapat digunakan antara lain air kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya), sari buah mangga (nata de mango), sari buah nanas (nata de pina), dan sebagainya.

Berdasarkan teori dari Santosa (2012), nata de coco merupakan salah satu makanan rendah kalori yang memiliki nilai nutrisi dan dapat digunakan untuk diet, selain itu juga kaya akan serat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga kesehatan pencernaan. Nata de coco adalah produk basah karena memiliki kandungan air yang tinggi serta tidak mudah untuk disimpan. Produk nata de coco dapat diolah lebih lanjut menjadi minuman instan yang kaya serat dengan metode pengeringan dan ditambahkan dekstrin serta carboxy methyl cellulose (CMC) untuk menstabilkan produk.

Nata yang dibuat dalam praktikum kali ini adalah nata de coco, karena bahan baku yang digunakan adalah air kelapa. Menurut Prades et al (2011), air kelapa atau sari kelapa merupakan minuman manis yang menyegarkan yang diambil langsung dari bagian dalam buah kelapa. Air kelapa berbeda dengan santan kelapa, dimana santan kelapa merupakan cairan putih yang berminyak dan diperoleh dari parutan kernel segar. Air kelapa mengandung sejumlah mineral dan gula sehingga umumnya digunakan sebagai minuman isotonik alami. Gula yang terdapat dalam air kelapa adalah sukrosa, sorbitol, glukosa, dan fruktosa kemudian diikuti dengan galaktosa, xylosa, dan mannosa. Selain itu, di dalam air kelapa terdapat mineral seperti potasium, klorida, zat besi, dan sulfur dengan total mineral sebesar 0,4-1% dari volume cairan. Air kelapa juga mengandung asam-asam amino seperti alanin, arginin, sistein, dan serin yang lebih tinggi dibandingkan pada susu sapi. Penggunaan air kelapa dalam pembuatan nata ini dikarenakan air kelapa dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan mikrobia, salah satunya adalah bakteri nata de coco (Acetobacter xylinum). Nata de coco merupakan komponen selulosa yang diproduksi selama proses fermentasi air kelapa menggunakan mikroba Acetobacter xylinum. Air kelapa memiliki faktor pertumbuhan yang dapat menstimulasi strain bakteri yang berbeda dan kultur in vitro tanaman.

Menurut Czaja et al (2004), selulosa merupakan biopolimer yang dihasilkan oleh prokariotik, organisme non-fotosintetik, Acetobacter yang memiliki kemampuan untuk mensintesa selulosa dengan kualitas tinggi. Selulosa bakteri memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, kristalinitas tinggi, dan kapasitas menahan air tinggi. Terdapat 2 metode untuk menghasilkan selulosa bakteri yaitu kultur stasioner dan kultur teragitasi. Pada kultur stasioner, membran selulosa terakumulasi di permukaan medium. Sedangkan pada kultur teragitasi, selulosa disintesa di dalam media dalam bentuk suspensi berserat, pelet, atau massa yang tidak teratur. Berdasarkan teori dari Jagannath et al (2008), Acetobacter xylinum tumbuh secara lambat di bawah kondisi statik, dengan doubling time 8-10 jam. Sedangkan pada kultur teragitasi, doubling time Acetobacter xylinum adalah 4-6 jam.

Halib et al (2012) mengungkapkan bahwa nata de coco umumnya disajikan dalam bentuk kotak berukuran 1 cm x 1 cm. Nata de coco dibuat dengan mengkulturkan bakteri Acetobacter xylinum melalui fermentasi air kelapa. Setelah beberapa lama, lapisan gelatin akan terbentuk di permukaan air kelapa yang telah terfermentasi. Lapisan tersebut akan dibiarkan terus bertambah hingga mencapai ketebalan 1 cm dan dipotong dalam bentuk kubus. Nata de coco biasanya disajikan dengan sirup, jelly, atau koktail buah. Komponen mayor yang terdapat pada nata de coco adalah selulosa dan bukan dekstran. Selama produksi nata de coco, Acetobacter xylinum memetabolisme glukosa pada air kelapa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan mengubahnya menjadi selulosa ekstraseluler. Acetobacter xylinum merupakan bakteri asam asetat yang mampu mengoksidasi berbagai tipe alkohol dan gula menjadi asam asetat. Bakteri asam asetat ini termasuk ke dalam bakteri gram negatif. Acetobacter juga dapat mengoksidasi asam asetat menjadi karbondioksida dan air melalui aktivitas enzim pada siklus Krebs.

Pada praktikum kali ini, mula-mula dilakukan pembuatan media dengan cara air kelapa yang akan digunakan disaring terlebih dahulu untuk memisahkan kotoran. Kemudian, ditambahkan dengan gula pasir sebanyak 10% dan diaduk hingga larut. Tujuan dari penambahan gula pasir tersebut adalah sebagai sumber karbon atau sumber karbohidrat sederhana. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Pambayun (2002). Rahayu et al (1993) menambahkan bahwa jumlah gula yang digunakan harus sesuai dengan jumlah inokulum. Gula tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum untuk pertumbuhannya. Selama proses fermentasi berlangsung, Acetobacter xylinum akan mengubah gula menjadi selulosa yang kemudian diakumulasikan secara ekstraseluler dalam bentuk polikel yang liat. Menurut Sunarso (1982), apabila jumlah gula yang ditambahkan terlalu banyak, maka gula tersebut akan banyak terbuang karena Acetobacter xylinum karena tidak mampu memanfaatkannya secara optimal. Konsentrasi gula yang dianggap paling optimum adalah 10%. Maka dari itu, pada praktikum kali ini jumlah gula yang ditambahkan sesuai dengan teori yang ada. Selain sebagai sumber karbon, gula juga dapat berfungsi sebagai pengawet serta untuk memberi tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hayati (2003).

Setelah air kelapa ditambahkan dengan gula pasir, kemudian ditambahkan dengan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Menurut Pambayun (2002), ammonium sulfat termasuk ke dalam nitrogen anorganik yang berfungsi sebagai sumber nitrogen. Sumber nitrogen tersebut akan mendukung aktivitas bakteri nata. Rahayu et al (1993) mengungkapkan bahwa dengan adanya sumber C dan N maka pembentukan asam nukleat dan protein akan optimum. Asam nukleat dan protein dijadikan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan bakteri. Kedua senyawa tersebut terdapat dalam bentuk molekul amonia yang dapat langsung diserap oleh sel bersama dengan sumber N lain. Kemudian, tahap selanjutnya ditambahkan dengan asam cuka glasial hingga pH 4-5. Pengaturan tingkat keasaman ini terkait dengan sifat dan karakteristik bakteri Acetobacter xylinum yang hanya dapat tumbuh optimal pada kondisi asam terutama pada pH 4,3 dan untuk medium yang digunakan biasanya berkisar antara pH 4-5. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Rahman (1992). Menurut Jagannath et al (2008), asam asetat dapat rusak kemudian menjadi CO2 dan air yang selanjutnya menghasilkan ATP tambahan sehingga penggunaan gula untuk sintesa selulosa dapat berlangsung lebih efisien. Pambayun (2002) mengungkapkan bahwa asam yang dapat digunakan untuk menurunkan pH adalah asam asetat atau asam cuka.

Setelah seluruh bahan dicampurkan menjadi satu, kemudian dipanaskan hingga gula larut dan disaring kembali. Menurut Astawan & Astawan (1991), proses pemanasan tersebut bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang kemungkinan dapat mencemari produk yang dihasilkan. Apabila tidak dilakukan pemanasan, maka pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum dapat diganggu oleh mikroorganisme kontaminan. Akibatnya proses pengubahan glukosa menjadi selulosa akan terganggu dan nata yang terbentuk tidak sempurna. Selain itu, tujuan dilakukan penyaringan untuk memisahkan kotoran yang terdapat di air kelapa. Setelah dilakukan pembuatan media, kemudian dilakukan proses fermentasi. Mula-mula, wadah plastik bersih disiapkan terlebih dahulu, kemudian dimasukkan dengan 100 ml media steril lalu ditutup rapat. Selanjutnya, ditambahkan biang nata (starter) sebanyak 10% dari media ke dalam wadah plastik tersebut dan digojog secara perlahan hingga seluruh starter bercampur secara homogen. Proses penambahan starter harus dilakukan secara aseptis untuk mencegah pencemaran dari laboratorium. Biakan murni merupakan biakan yang hanya terdiri dari satu spesies yang tunggal. Apabila menggunakan teknik aseptik, maka organisme yang akan tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanyalah organisme yang diinginkan atau dengan kata lain tidak terkontaminasi. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Hadioetomo (1993).

Kemudian setelah ditambahkan starter, wadah ditutup dengan kertas coklat dan diberi karet lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 2 minggu. Selama proses inkubasi, wadah plastik tersebut jangan digoyang supaya lapisan yang terbentuk tidak akan terpisah-pisah. Proses inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik pada suhu ruang. Di Indonesia, suhu ruang rata-rata adalah 280C. Hal tersebut diungkapkan oleh Pambayun (2002). Berdasarkan teori dari Rahayu et al (1993), untuk menghasilkan nata yang baik dengan ketebalan optimum, maka fermentasi sebaiknya dilakukan pada suhu 28-32oC selama 10-14 hari. Apabila suhu fermentasi terlalu tinggi, maka sebagian bakteri akan mati sehingga proses fermentasi terhambat. Namun, jika suhu fermentasinya terlalu rendah, maka akan menyebabkan nata yang dihasilkan terlalu lunak atau tidak terbentuk lapisan nata sama sekali.

Pambayun (2002) dan Palungkun (1996) mengatakan bahwa pembentukan nata yang terjadi selama inkubasi disebabkan karena adanya enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh Acetobacter xylinum. Enzim tersebut akan mempolimerisasi gula menjadi ribuan rantai (homopolimer) selulosa yang kemudian akan membentuk jaringan mikrofibril yang panjang dalam cairan fermentasi. Selain selulosa, dalam proses fermentasi ini juga dihasilkan gelembung-gelembung gas CO2 yang dapat melekat pada jaringan selulosa. Akibatnya, jaringan selulosa terangkat ke permukaan cairan. Setelah fermentasi berlangsung selama beberapa lama, jutaan jasad renik yang tumbuh dalam bahan atau media akan menghasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya memadat dan berwarna putih hingga transparan, yang disebut dengan nata. Nata ini akan terbentuk di permukaan cairan, akan tetapi apabila terdapat gangguan selama proses fermentasi misalnya adanya goyangan dapat menyebabkan nata menjadi turun.

Ketika sudah mulai terbentuk lapisan di permukaan cairan, kemudian diamati ketebalan lapisan nata de coco pada hari ke- 7 dan ke- 14 dan dihitung persentase kenaikan ketebalan..

Berikut merupakan beberapa foto dalam tahapan pembuatan nata de coco :

Inkubasi NataPenyaringan air kelapaPenambahan StarterProses Penyaringan

Media

Berdasarkan percobaan, tinggi media awal yang digunakan oleh tiap kelompok berbeda-beda. Pada kelompok A1 dan A3 tinggi media awal yang dihasilkan adalah 1,4 cm, sedangkan tinggi media awal yang dihasilkan oleh kelompok A2 dan A5 secara berturut-turut adalah 1,2 cm sedangkan kelompok A5 memiliki tinggi awal 2,0 cm. Pada hari ke-0, umumnya nata masih belum terbentuk. Setelah hari ke-7, nata mulai terbentuk tetapi pada hari ke-14 terjadi kenaikan tinggi ketebalan nata. Pada kelompok A1, A2, dan A3 justru ketebalan lapisan nata pada hari ke-14 sama dengan ketebalan nata pada hari ke-7. Hal ini menandakan bahwa proses fermentasi kurang berjalan dengan baik, karena seharusnya lapisan nata mengalami peningkatan. Menurut Rahayu et al (1993), nata yang terbentuk di permukaan cairan dapat menurun jika terjadi gangguan seperti goncangan saat proses fermentasi. Selain itu, keaseptisan selama penambahan kultur starter nata juga mempengaruhi ketebalan nata karena kehadiran mikroba perusak dapat mengurangi konsentrasi glukosa pada medium sehingga nata yang terbentuk akan kurang maksimal. Hal tersebut diungkapkan oleh Tranggono & Sutardi (1990). Persentasi lapisan nata tertinggi dihasilkan oleh kelompok A3 sebesar 33,33% (pada hari ke-7 dan ke-14), sedangkan persentasi lapisan nata terendah dihasilkan oleh kelompok A4 sebesar 10% (pada hari ke-7) dan 25% oleh kelompok A5 (pada hari ke-14).

Berdasarkan teori dari Seumahu et al (2007), nata dikatakan baik atau buruk ditentukan oleh karakteristiknya. Nata dikatakan baik apabila memiliki ketebalan sekitar 1,5 - 2 cm, dan selulosa gelnya homogen dengan transparansi tinggi. Akan tetapi, nata akan dikatakan buruk apabila hanya memiliki ketebalan kurang dari 0,5 cm, lembut, dan berwarna putih atau pucat. Terdapat sedikit perbedaan antara nata yang baik dan buruk, yaitu pada nata yang buruk, dinamika populasi bakteri selama fermentasi akan mengalami fluktuasi. Sedangkan pada nata yang baik, dinamika populasi bakteri selama fermentasi cenderung stabil dengan persentase variabilitas yang rendah. Menurut teori tersebut, dapat diketahui bahwa nata yang dihasilkan dalam praktikum ini dikatakan nata yang kurang baik, karena salah satu cirinya yaitu memiliki ketebalan yang kurang dari 1,5 2 cm.

Menurut Jagannath et al (2008), ketebalan nata akan mempengaruhi water holding capacity yang juga akan mempengaruhi tekstur fisik dan organoleptik nata. Nata de coco mampu menahan air sebanyak 100 kali beratnya. Kemampuannya dalam menahan air (water holding capacity) mendefinisikan kemampuan struktur suatu bahan pangan untuk mencegah air keluar dari struktur 3 dimensi. Kondisi selama proses sangat mempengaruhi ketebalan dan tekstur nata yang dihasilkan, seperti pH, sukrosa, dan konsentrasi amonium sulfat. Berdasarkan percobaan dari Jagannath et al (2008), diketahui bahwa konsentrasi sukrosa pada 10% dan ammonium sulfat 0,5% dengan pH 4,0 dapat menghasilkan ketebalan nata yang paling maksimal.

.

A4A3A2A14. KESIMPULAN

Nata adalah selulosa yang berbentuk padat, memiliki tekstur yang kenyal, berwarna putih transparan, dan memiliki kandungan air sekitar 98%. Nata de coco merupakan komponen selulosa yang diproduksi selama proses fermentasi air kelapa menggunakan mikroba Acetobacter xylinum. Selama produksi nata de coco, Acetobacter xylinum memetabolisme glukosa pada air kelapa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan mengubahnya menjadi selulosa ekstraseluler. Acetobacter xylinum merupakan bakteri asam asetat yang mampu mengoksidasi berbagai tipe alkohol dan gula menjadi asam asetat. Tujuan dari penyaringan adalah untuk memisahkan kotoran. Tujuan dari penambahan gula pasir adalah sebagai sumber karbon atau sumber karbohidrat sederhana, sebagai pengawet dan memberi tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal terhadap nata de coco. Ammonium sulfat termasuk ke dalam nitrogen anorganik yang berfungsi sebagai sumber nitrogen dimana akan mendukung aktivitas bakteri nata. Bakteri Acetobacter xylinum hanya dapat tumbuh optimal pada kondisi asam terutama pada pH 4,3 dan medium yang digunakan biasanya berkisar antara pH 4-5. Asam cuka digunakan untuk menurunkan pH. Proses pemanasan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang kemungkinan dapat mencemari produk yang dihasilkan. Pencucian dan perendaman nata bertujuan untuk membuang asam yang terdapat pada nata. Pada hari ke-0, umumnya nata masih belum terbentuk. Setelah hari ke-7, nata mulai terbentuk tetapi pada hari ke- 14 terjadi penurunan tinggi ketebalan nata. Nata yang terbentuk di permukaan cairan dapat menurun jika terjadi gangguan seperti goncangan saat proses fermentasi. Nata yang dihasilkan dalam praktikum ini termasuk nata yang kurang baik, karena memiliki ketebalan yang kurang dari 1,5 2 cm.

Semarang, 8 Juni 2014Asisten Dosen: Wulan Aprilia Nies Mayangsari

Vina 12.70.0164

5. DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.

Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural investigations of microbial cellulose produced in stationary and agitated culture. Cellulose 11: 403-411.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.

Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.

Halib, N; M. Cairul & I. Ahmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Malaysiana Journal. Malaysia.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Nurhayati, Siti. (2011). Kajian Pengaruh Kadar Gula dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Nata De Soya. Universitas Terbuka p1-8.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.

Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut Water Uses, Composition and Properties: a Review. Fruits Journal vol. 67, p. 87-107.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B; Ahmadi, K & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. International Journal of Science and Technology. Indonesia.

Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan Maggy Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia, August 2007, p 65-68.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Kelompok A1Hari ke-0

Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok A2Hari ke-0

Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok A3Hari ke-0

Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok A4Hari ke-0

Hari ke-

Hari ke-14

Kelompok AHari ke-0

Hari ke-

Hari ke-14 x 100 = 80

6.2. Laporan Sementara

6.3. Jurnal (Abstrak)