NASKAH PUBLIKASI EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG …thesis.umy.ac.id/datapublik/t63553.pdf ·...

24
NASKAH PUBLIKASI EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5 PELAYANAN TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY AKREDITASI VERSI 2012 (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II) Disusun oleh: NIKEN DWI SETYANINGRUM 20111030116 PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015

Transcript of NASKAH PUBLIKASI EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG …thesis.umy.ac.id/datapublik/t63553.pdf ·...

  • NASKAH PUBLIKASI

    EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5

    PELAYANAN TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY

    AKREDITASI VERSI 2012

    (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    UNIT II)

    Disusun oleh:

    NIKEN DWI SETYANINGRUM

    20111030116

    PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN RUMAH SAKIT

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    2015

  • HALAMAN PENGESAHAN

    NASKAH PUBLIKASI

    EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5

    PELAYANAN TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY

    AKREDITASI VERSI 2012

    (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    UNIT II)

    Diajukan Oleh :

    NIKEN DWI SETYANINGRUM

    20111030116

    Disetujui Oleh:

    Pembimbing I,

    Dr. Imamudin Yuliadi, M.Si Tanggal ............................

    Pembimbing II,

    dr. Arlina Dewi, M.Kes., AAK Tanggal .............................

  • EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5 PELAYANAN

    TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY AKREDITASI VERSI 2012

    (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II)

    EVALUATION OF THE READINESS OF HOSPITAL THAT HAVE ACCREDITED 5 STANDARD

    ACCREDITATION SERVICE OF FULFILLMENT PATIENT SAFETY STANDAR VERSION OF

    ACCREDITATION 2012

    (CASE STUDY RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II)

    Niken Dwi Setyaningrum1, Arlina Dewi2, ImamudinYuliadi3

    Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

    Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183

    Email : [email protected]

    INTISARI

    Latar Belakang : Peningkatan mutu pelayanan RS semakin diperlukan sejalan dengan meningkatnya

    pengetahuan masyarakat akan haknya sebagai penerima jasa pelayanan. Upaya Mentri Kesehatan

    untuk meningkatkan mutu pelayanan adalah dengan program akreditasi RS sesuai dengan Undang-

    Undang yang berlaku di Indonesia. Akreditasi RS yang berlaku saat ini mengacu pada International

    Principles for Healthcare Standards dan Joint Commission International Accreditation Standards dan

    pelaksanaannya dimulai pada tahun 2012. Akreditasi yang baru berfokus pada pasien, kuat pada

    proses dan implementasi sehingga merubah paradigma mutu pelayanan menjadi pelayanan yang

    bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien. Angka kejadian tidak diharapkan di RS sejumlah 12

    kasus tahun 2013 dan 10 kasus tahun 2014 periode Januari-Juni. Pelaksanaan sasaran keselamatan

    pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum baik.

    Metode : Penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Subjek penelitian adalah

    manajemen rumah sakit, petugas rumah sakit dan pasien. Jumlah sampel 32 orang. Analisis data

    dengan pengumpulan data, koding data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

    Hasil dan Pembahasan : Pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien di RS PKU Muhammadiyah

    Yogyakarta Unit II dalam persiapan akreditasi rumah sakit versi 2012 sebesar 50,54%. Kendala yang

    dihadapi adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) akan

    pentingnya keselamatan pasien, kurangnya penerapan kebijakan dan SPO, fasilitas (sarana dan

    prasarana) belum lengkap, belum ada sosialisasi dari pihak manajemen dan belum ada evaluasi

    pelaksanaan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) oleh pihak manajemen.

    Kesimpulan : Implementasi pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien dalam persiapan akreditasi

    rumah sakit versi 2012 belum mencapai skor minimal yaitu >80%. Rekomendasi yang perlu

    dilakukan adalah segera mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan sasaran keselamatan pasien,

    melengkapi fasilitas yang berkaitan dengan sasaran keselamatan pasien, pihak manajemen melakukan

    pelatihan secara berkala, melakukan evaluasi secara rutin terhadap pelaksanaan kebijakan dan SPO,

  • serta pemberian sanksi disiplin yang tegas untuk mencapai pemenuhan sasaran keselamatan pasien

    yang menyeluruh.

    Kata kunci : akreditasi rumah sakit versi 2012, sasaran keselamatan pasien

    ABSTRACT

    Background : Improving the quality of hospital services are increasingly needed in line with the

    increasing public knowledge of their rights as a customers. Efforts made by the Minister of Health to

    improve the quality of service is at the hospital accreditation program in accordance with the law in

    force in Indonesia. Hospital accreditation current refers to the International Principles for

    Healthcare Standards and the Joint Commission International Accreditation Standards and

    implementation began in 2012. The new Accreditation focuses on the patient, strong on the process

    and implementation so as to change the paradigm of service quality being of service quality and the

    safety of patients. The incidence of adverse event in the hospital a total of 12 cases in 2013 and 10

    cases in 2014 the period from January to June. The implementation of patient safety goals in PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta Unit II has not been good.

    Method : Qualitative research with a case study design. The subjects were hospital management, the

    staff of the hospital and the patient. Number of samples 32 people. Data analysis with data collection,

    coding, data presentation and conclusion.

    Result and Discussion : 6 Implementation of patient safety goals in PKU Muhammadiyah Yogyakarta

    Unit II in preparation for accreditation of hospitals version 2012 is 50,54%. Constraints faced is the

    lack of awareness and understanding of Human Resources (HR) of the importance of patient safety,

    the lack of implementation of policies and SOP, facilities (infrastructure) is not complete, there is no

    socialization of the management and implementation of compliance has been no evaluation of Patient

    Safety Goals (SKP) by management.

    Conclusion : 6 goals in implementation of patient safety in the hospital accreditation preparation of

    the 2012 version has not reached the minimum score in which > 80%. Recommendations need to do is

    to immediately validate documents relating to patient safety goals, complementary facilities related to

    patient safety goals, management training on a regular basis, regularly evaluate the implementation

    of policies and SOPs, and strict disciplinary action to achieve compliance comprehensive patient

    safety goals.

    Keywords : hospital accreditation 2012 version, patient safety goals

  • PENDAHULUAN

    Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit semakin diperlukan sejalan dengan

    meningkatnya pengetahuan masyarakat akan haknya sebagai penerima jasa pelayanan

    sehingga mampu memilih berbagai alternatif pelayanan yang bermutu yang dapat

    memberikan kepuasan bagi dirinya maupun keluarganya. Rumah sakit akan berkompetensi

    secara global, sehingga upaya peningkatan mutu rumah sakit sangatlah menjadi prioritas.

    Selain itu, dalam rangka mendukung upaya rujukan dan pelayanan Puskesmas maka

    pelayanan rumah sakit haruslah yang bermutu dan berkualitas. Oleh karena itu rumah sakit

    perlu terus berupaya meningkatkan mutu pelayanannya.1

    Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, tidaklah mudah karena terkait dengan

    banyak hal. Tinggi rendahnya mutu sangat dipengaruhi sumber daya rumah sakit, interaksi

    pemanfaatan sumber daya rumah sakit yang digerakkan melalui proses dan prosedur tertentu

    menghasilkan jasa atau pelayanan. Mutu pelayanan rumah sakit harus dapat

    dipertanggungjawabkan karena menyangkut banyak hal, salah satunya adalah keselamatan

    pasien yang menjadi sasaran utama.2

    Menindaklanjuti hal tersebut diatas, Departemen Kesehatan sejak tahun 1995 melakukan

    akreditasi terhadap rumah sakit yang ada di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta.

    Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan perlindungan terhadap

    pasien. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 8 Tahun 2000 tentang Perlindungan Terhadap

    Konsumen dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Melalui akreditasi

    diharapkan manajemen rumah sakit mempunyai hospital by laws, medical staf by laws,

    pedoman mediko legal dan SOP (Standard Operating Procedure) yang terkait dengan

    pelayanan profesi.3

    Hampir seluruh rumah sakit di Indonesia telah terakreditasi, baik terakrediatsi 5

    pelayanan, 12 pelayanan mau pun 16 pelayanan. Akreditasi yang telah dilakukan rumah sakit

    adalah akreditasi rumah sakit versi 2007. Saat ini pemerintah telah memperbaiki dan

    menyempurnakan sistem penyelenggaraan akreditasi melalui penyusunan undang-undang,

    peraturan dan sistem akreditasi menuju akreditasi internasional. Standar akreditasi RS baru

    versi 2012 telah mulai ditetapkan pada tahun 2012 dan akan dilaksanakan oleh KARS

    sebagai Badan Akreditasi Nasional Independen yang telah ditetapkan oleh Menkes sesuai

    dengan ketentuan UU no 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit. Standar akreditasi KARS versi

    2012 ini mengacu pada standar-standar Internasional, yaitu: International Principles for

    Healthcare Standards (A Framework of requirement for standards, 3rd Edition December

  • 2007, International Society for Quality in Health Care / ISQua) dan Joint Commission

    International Accreditation Standards for Hospitals 4rd Edition, 2011, serta tetap mengacu

    pada Instrumen Akreditasi Rumah Sakit, edisi 2007, Komisi Akreditasi Rumah Sakit/KARS.4

    Perubahan sistem akreditasi KARS dari versi 2007 menjadi 2012 juga diikuti dengan

    perubahan paradigma. Yang utama, terletak pada penekanan bahwa tujuan akreditasi adalah

    untuk meningkatkan mutu pelayanan RS, bukan hanya semata-mata untuk lulus. Selain itu

    dilakukan perubahan terhadap standar akreditasi, karena standar akreditasi harus memenuhi

    kriteria-kriteria internasional dan bersifat dinamis. Standar akreditasi yang digunakan saat ini

    menekankan pada pelayanan berfokus pada pasien serta kesinambungan pelayanan dan

    menjadikan keselamatan pasien sebagai standar utama. Data yang didapat oleh KARS sampai

    pada bulan Desember 2011, terdapat 1.378 rumah sakit di Indonesia, dan baru 818 rumah

    sakit yang terakreditasi (59,4%). Pemerintah menargetkan 90% rumah sakit di Indonesia

    terakreditasi pada tahun 2014.4

    Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees

    mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien merupakan sebuah prioritas

    strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk

    medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika

    Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa

    dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak

    Diharapkan (KTD/Adverse Event). Ini menunjukkan bahwa bukan hanya mutu pelayanan saja

    yang harus ditingkatkan tetapi yang lebih penting lagi adalah menjaga keselamatan pasien

    secara konsisten dan terus menerus. Hal ini juga sesuai dengan penetapan standar utama yang

    harus dipenuhi pada penilaian akreditasi versi baru yaitu sasaran keselamatan pasien. Sasaran

    keselamatan pasien merupakan syarat pemenuhan standar pertama pada akreditasi versi 2012

    yang harus dipenuhi. Pada 1 Januari 2011 keselamatan pasien internasional (IPSG)

    dipersyaratkan untuk diimplementasikan pada semua organisasi yang diakreditasi oleh Joint

    Commission International (JCI) di bawah standar internasional untuk rumah sakit.5

    Insiden keselamatan pasien yang meliputi KTD di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

    Unit II dilaporkan sejumlah 12 kasus pada tahun 2013 dan 10 kasus pada tahun 2014 untuk

    periode Januari-Juni. Mengingat masih tingginya angka KTD akibat tindakan medik di rumah

    sakit, maka rumah sakit yang telah terakreditasi versi 2007 perlu meningkatkan standar

    akreditasi sesuai dengan akreditasi terbaru versi 2012. Yang mana lebih menekankan pada

    keselamatan pasien rumah sakit sebagai prioritas utamanya, diharapkan dapat mengurangi

  • angka KTD yang ada dan dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Sehingga perlu

    dilakukan penilaian sejauh manakah kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi tersebut

    terhadap akreditasi rumah sakit versi tahun 2012.

    RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II merupakan rumah sakit swasta dengan status

    rumah sakit tipe C. Rumah sakit ini telah terakreditasi 5 pelayanan pada tahun 2012.

    BAHAN DAN CARA

    Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Penelitian ini

    bertujuan untuk mengetahui kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi 5 pelayanan

    terhadap pemenuhan standar keselamatan pasien akreditasi rumah sakit versi tahun 2012

    yang berfokus pada standar keselamatan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan observasi

    dan wawancara terhadap pasien, tim akreditasi rumah sakit dan petugas rumah sakit (perawat

    dan dokter). Observasi juga dilakukan untuk melihat bukti implementasi pada

    lingkungan/sistem, dokumen, serta fasilitas dan alat. Berdasarkan hasil wawancara dan

    observasi akan didapatkan kendala yang dihadapi dan selanjutnya peneliti dapat memberikan

    rekomendasi kepada rumah sakit. Hasil wawancara akan diberi nilai sesuai dengan panduan

    dari KARS yaitu diberi skor 0,5,10. Nilai 10 berarti standar dinilai tercapai penuh bila

    jawabannya “ya” atau “selalu” dan jika ≥ 90% dari temuan, nilai 5 berarti standar dinilai

    tercapai sebagian bila jawabannya “tidak selalu” atau “kadang-kadang” dan jika 50%-89%

    dari temuan, nilai 0 berarti standar dinilai tidak tercapai bila jawabannya “jarang” atau “tidak

    pernah” dan ≤ 49% dari temuan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 32

    informan antara lain 2 orang tim akreditasi, 20 orang petugas kesehatan, dan 10 orang pasien.

    Pemilihan pasien dan petugas kesehatan dilakukan dengan non-probability sampling

    sedangkan tim akreditasi secara purposive sampling. Penelitian ini dilakukan di PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta Unit II pada bulan Mei-Juli 2014. Analisis data pada penelitian

    ini dilakukan dengan 5 tahap yaitu tahap pengumpulan data, reduksi data, koding data,

    penyajian data menggunakan metode kuotasi sesuai informan dan penarikan kesimpulan.

    HASIL

    1. Hasil Telaah Dokumen

    Tabel 1. Hasil analisis telaah dokumen

    No. Dokumen Lengkap Sebagian Tidak ada Skor KARS

    1 SKP 1 1 3 2 25

    2 SKP 2 4 1 3 45

    3 SKP 3 3 2 1 40

    4 SKP 4 3 0 1 30

    5 SKP 5 2 0 3 20

  • 6 SKP 6 0 2 2 10

    Sumber : Data Primer Diolah (2014)

    Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat hasil dari telaah dokumen, didapatkan bahwa SKP 1

    mencapai skor 25 dimana dokumen yang belum dibuat adalah kebijakan tentang

    identifikasi pasien sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah dan

    tindakan/prosedur dan kebijakan tentang identifikasi pasien sebelum mengambil darah

    dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis, pasien rawat inap, rawat intensif. SKP 2

    mencapai skor 45, dokumen yang belum dibuat adalah daftar singkatan yang tidak boleh

    dipakai, SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang mempunyai nilai kritis

    dan daftar hasil pemeriksaan penunjang yang kritis misal laboratorium, radiologi, dan PA

    dan bukti pelaksanaan SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang

    mempunyai nilai kritis. SKP 3 mencapai skor 40, dokumen yang belum dibuat adalah

    bukti bahwa elektrolit konsentrat bila disimpan di unit pelayanan pasien diberi label yang

    jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). SKP 4 mencapai skor 30,

    dokumen yang belum dibuat adalah bukti penandaan yang jelas dan dapat dimengerti

    untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan, tanda

    diberikan oleh dokter yang mau melakukan operasi, dan tidak mudah luntur. SKP 5

    mencapai skor 20, dimana terdapat 3 dokumen yang belum dibuat yaitu bukti

    pemahaman dan pelaksanaan secara konsisten kepatuhan cuci tangan (five moment hand

    hygine), rencana penerapan hand hygiene selama lima tahun dan data survei kepatuhan

    melaksanakan handwash/handsrub setiap 6 bulan sekali. SKP 6 mencapai skor 10,

    dimana terdapat 2 dokumen yang belum dibuat yaitu penerapan proses asesmen awal

    risiko pasien jatuh dan bukti bahwa langkah-langkah dimonitor hasilnya (data).

    2. Hasil Analisis Penelusuran Petugas

    Tabel 2. Hasil analisis penelusuran petugas

    No. Wawancara Tercapai

    Penuh dan %

    Tercapai

    Sebagian

    Tidak

    Tercapai

    Skor KARS

    1 SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien

    Pertanyaan 1 5 (50%) 0 5 5

    Pertanyaan 2 1 (10%) 9 0 0

    2 SKP 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif

    Pertanyaan 1 9 (90%) 1 0 10

    Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10

    Pertanyaan 3 2 (20%) 8 0 0

    3 SKP 3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai

    Pertanyaan 1 4 (40%) 0 6 0

    Pertanyaan 2 6 (60%) 0 4 5

    4 SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi,Tepat Prosedur, Tepat Pasien

    Operasi/Tindakan

  • Pertanyaan 1 5 (100%) 0 0 10

    Pertanyaan 2 5 (100%) 0 0 10

    Pertanyaan 3 5 (100%) 0 0 10

    Pertanyaan 4 5 (100%) 0 0 10

    5 SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

    Pertanyaan 1 7 (70%) 3 0 5

    Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10

    6 SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

    Pertanyaan 1 0 (0%) 9 1 0

    Pertanyaan 2 0 (0%) 10 0 0

    Sumber : Data Primer Diolah (2014)

    Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat hasil analisis penelusuran dengan petugas

    sesuai dengan kelompok sasaran keselamatan pasien. Dapat dilihat bahwa pencapaian

    skor untuk SKP 1 adalah 5, SKP 2 adalah 20, SKP 3 adalah 5, SKP 4 adalah 40, SKP 5

    adalah 15, dan SKP 6 adalah 0 (nol).

    3. Hasil Analisis Penelusuran Pasien

    Tabel 3. Hasil analisis penelusuran pasien

    No. Wawancara Tercapai

    Penuh dan

    %

    Tercapai

    Sebagian

    Tidak

    Tercapai

    Skor KARS

    1 SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien

    Pertanyaan 1 2 (40 %) 0 8 0

    Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10

    2 SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi,Tepat Prosedur, Tepat Pasien

    Operasi/Tindakan

    Pertanyaan 1 3 (60%) 0 2 5

    Pertanyaan 2 5 (100%) 0 0 10

    Pertanyaan 3 2 (40%) 2 1 0

    Pertanyaan 4 1 (20%) 0 4 0

    3 SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

    Pertanyaan 1 0 (0%) 0 10 0

    4 SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

    Pertanyaan 1 2 (20%) 0 8 0

    Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10

    Pertanyaan 3 9 (90%) 0 1 10

    Sumber : Data Primer Diolah (2014)

    Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat hasil analisis penelusuran pasien sesuai dengan

    kelompok sasaran keselamatan pasien. Dapat dilihat bahwa pencapaian skor untuk SKP 1

    adalah 10, SKP 4 adalah 15, SKP 5 adalah 0 (nol), dan SKP 6 adalah 20.

    4. Hasil Wawancara Tim Akreditasi

    Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan tim akreditasi, didapatkan hasil

    bahwa rumah sakit sudah mulai melakukan persiapan untuk akreditasi versi 2012 yang

    akan dilaksanakan pada tahun 2015. Pembentukan tim patient safety sudah ada namun

    saat ini masih dalam tahap pembuatan dokumen dan pelengkapan dokumen akreditasi

  • 2012. Bila dibandingkan dengan akreditasi versi 2012 tim mengatakan akreditasi 2012

    jauh lebih susah. Hal ini karena dalam akreditasi baru tidak memandang jumlah bidang

    pelayanan yang dimiliki rumah sakit melainkan memandang proses pelayanan yang

    dilakukan oleh rumah sakit. Sosialisasi khusus mengenai akreditasi 2012 baru akan

    dilakukan pada bulan Agustus tahun 2014, namun untuk sosialisasi beberapa program

    yang termasuk dalam akreditasi 2012 khususnya dalam bidang patient safety sudah

    dilakukan secara bertahap. Dalam menghadapi akreditasi baru, ada beberapa program

    yang dipersiapkan oleh rumah sakit, antara lain penyusunan dokumen, studi banding,

    sosialisasi dan pendampingan. Perbedaan persiapan akreditasi 2012 dengan akreditasi

    2007 adalah akreditasi 2012 lebih melibatkan banyak hal baik dokumen, sarana

    prasarana dan sumber daya manusia itu sendiri. Selain itu perbedaan yang mencolok

    terdapat pada sumber daya manusia, dimana semua orang yang berada di rumah sakit

    harus dapat melaksanakan hal-hal yang termasuk dalam elemen penilaian akreditasi.

    Pencapaian yang sudah didapatkan oleh RS hingga kini, sampai pada persiapan dokumen

    dan sosialisasi sebagian program. Adapun untuk kesiapan sumber daya manusianya

    dalam mempersiapkan akreditasi, masih diragukan. Karena perbedaan budaya kerja dari

    orang-orang yang ada di RS ini. Sosialisasi untuk dilakukannya evaluasi sudah

    dilaksanakan tetapi evaluasi secara benar belum dilakukan. Kegiatan yang sudah

    dilakukan hanyalah telusur secara internal, namun belum menyeluruh dilakukan di

    semua bidang. Ketua keselamatan pasien mengatakan sudah ada beberapa petugas yang

    mencoba melakukan pelaporan insiden, namun masih belum merata dilakukan oleh

    semua petugas. Pelaksanaan SKP yang sudah berjalan baru 2 SKP yaitu SKP kepastian

    tepat-lokasi tepat-prosedur tepat-pasien operasi atau tindakan dan SKP pengurangan

    risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Namun pelaksanaan di lapangan belum

    berjalan secara konstan. Dalam pembuatan dokumen, seperti yang dijelaskan sebelumnya

    bahwa tidak semua dokumen lama bisa digunakan untuk akreditasi yang baru. Dokumen

    sasaran keselamatan pasien dalam bentuk fisik sudah hampir seluruhnya dimiliki.

    Kendala yang terjadi di rumah sakit PKU salah satunya adalah budaya sumber daya

    manusianya yang sudah melekat. Rencana yang akan dilakukan RS adalah membuat

    borang laporan untuk masing-masing bagian yang kemudian implementasinya dilakukan

    secara bertahap.

    5. Hasil Temuan Observasi dan Wawancara Sasaran Keselamatan Pasien

    Tabel 4. Hasil temuan observasi dan wawancara SKP

    No SKP

  • 1. SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien - Pemasangan gelang pasien belum merata. - Pemahaman fungsi gelang pasien belum baik. - Belum ada evaluasi

    2. SKP 2. Peningkatan Komunikasi Efektif - SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang bernilai kritis

    belum ada.

    - Buku SBAR sudah ada tetapi belum ada sosialisasi SBAR. - Timbang terima pasien belum sesuai prosedur. - Belum ada evaluasi.

    3. SKP 3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu diwaspadai - Penyimpanan obat high alert belum sesuai. - Penyimpana elektrolit konsentrat belum sesuai. - Pemberian label elektrolit konsentrat belum merata & pelabelan nama obat

    high alert yang belum sesuai.

    - Pengetahuan penggunaan elektrolit konsentrat belum merata. - Distribusi daftar NORUM belum merata - Belum ada evaluasi.

    4. SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi-Tepat Pasien-Tepat Prosedur

    Operasi/Tindakan

    - Belum dilakukan penandaan lokasi operasi dengan baik. - Belum dilakukan evaluasi.

    5. SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan - Sarana cuci tangan belum merata dan belum memadai. - Cuci tangan masih belum sesuai urutan yang benar oleh beberapa tenaga

    kesehatan.

    - Kepatuhan dan pemahaman tenaga kesehatan belum baik. - Belum ada evaluasi.

    6. SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh - Pemahaman petugas belum baik. - Pelaporan KTD yang belum maksimal. - Belum ada sosialisasi dan pelatihan asesmen pasien risiko jatuh. - Belum ada media promosi bagi pasien dan keluarga. - Belum ada evaluasi.

    Sumber : Data Primer Diolah (2014)

    Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat hasil telaah dokumen, telusur petugas/staf dan

    telusur pasien didapatkan resume SKP 1, antara lain pemahaman fungsi gelang pasien

    yang belum baik oleh petugas/staf, pemasangan gelang pasien belum merata dan belum

    adanya evaluasi terhadap pelaksanaan pemasangan gelang pasien. SKP 2, antara lain

    SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang bernilai kritis belum ada, buku

    SBAR sudah ada tetapi belum ada sosialisasi SBAR, timbang terima pasien belum sesuai

    prosedur dan belum ada evaluasi. SKP 3, antara lain penyimpanan obat high alert dan

    elektrolit konsentrat yang belum sesuai, pemberian label elektrolit konsentrat belum

    merata, pelabelan nama untuk obat high alert yang belum sesuai, distribusi daftar obat

    high alert yang belum merata dan belum adanya evaluasi terhadap hal itu. SKP 4, yaitu

    belum dilakukan penandaan lokasi operasi dengan baik dan belum adanya evaluasi dari

    pihak manajemen rumah sakit. SKP 5, antara lain sarana cuci tangan yang belum tersedia

  • secara merata dan memadai, cuci tangan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai

    dengan standar WHO tetapi beberapa dari petugas melakukan dengan urutan yang masih

    belum benar, kepatuhan dan pemahaman petugas akan cuci tangan 5 waktu belum baik,

    dan belum adanya evaluasi. SKP 6, antara lain pemahaman petugas belum baik,

    pelaporan KTD yang belum maksimal, belum ada sosialisasi dan pelatihan asesmen

    pasien risiko jatuh, belum ada media promosi bagi pasien dan keluarga, dan belum

    adanya evaluasi.

    6. Rekapitulasi hasil skoring kelompok sasaran keselamatan pasien

    Rata- rata skor pencapaian untuk sasaran keselamatan pasien adalah 50,54%, skor

    tersebut masih dibawah dari batas minimal standar akreditasi rumah sakit versi 2012

    yang mengharuskan pencapaian minimal 80%.

    Tabel 5. Hasil rekapitulasi skoring kelompok sasaran keselamatan pasien

    Sasa

    ran

    Kes

    elam

    ata

    n

    Pasi

    en

    Tel

    usu

    sr

    Dk

    um

    en (

    1)

    Tel

    usu

    sr P

    etu

    gas

    (2)

    Tel

    usu

    r P

    asi

    en (

    3)

    Pen

    cap

    aia

    n S

    kor

    (1+

    2+

    3)

    Ju

    mla

    h

    Per

    tan

    yaan

    Sk

    or

    Mak

    sim

    al

    Per

    sen

    tase

    (%

    )

    I 25 5 10 40 10 100 40%

    II 45 20 - 65 11 110 59,10%

    III 40 5 - 45 8 80 56,25%

    IV 30 40 15 85 12 120 70,83%

    V 20 15 0 35 8 80 43,75%

    VI 10 0 20 30 9 90 33,33%

    Total 170 85 45 300 58 580 303,26%

    Rata - rata 50,54%

    Sumber : Data Primer Diolah (2014)

    Dari tabel di atas terlihat bahwa pencapaian skor untuk semua SKP belum mencapai

    skor minimal yang ditetapkan oleh KARS yaitu 80%. Kelompok sasaran keselamatan

    pasien membutuhkan perhatian yang lebih dalam persiapan akreditasi versi 2012. Dapat

    dilihat bahwa pencapaian skor untuk SKP 1 sebesar 40%, SKP 2 sebesar 59,10%, SKP

    3 sebesar 56,25%, SKP 4 sebesar 70,83%, SKP 5 sebesar 43,75% dan SKP 6 sebesar

    33,33%.

    7. Kendala Pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien Akreditasi 2012 RS PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta Unit II

    Kendala pemenuhan sasaran keselamatan pasien sesuai akreditasi rumah sakit versi

    2012 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II antara lain kurangnya kesadaran

  • dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) akan pentingnya keselamatan pasien,

    kurangnya penerapan kebijakan dan SPO, fasilitas (sarana dan prasarana) yang tersedia

    di rumah sakit belum lengkap, belum ada sosialisasi secara reguler dan terjadwal rutin

    dari pihak manajemen mengenai akreditasi versi 2012 serta program-program yang

    termasuk didalamnya, dan belum ada evaluasi pelaksanaan pemenuhan Sasaran

    Keselamatan Pasien (SKP) oleh pihak manajemen yang sebaiknya dilakukan secara

    reguler dan kontinyu.

    PEMBAHASAN

    1. SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien

    Identifikasi pasien menggunakan gelang pasien sudah diterapkan oleh rumah sakit

    dengan 4 warna yaitu warna biru untuk identifikasi pasien jenis kelamin laki laki, merah

    muda untuk identifikasi pasien jenis kelamin perempuan, kuning untuk identifikasi

    pasien yang beresiko jatuh, dan merah untuk identifikasi pasien yang memiliki riwayat

    alergi terhadap suatu jenis obat. Masih ada 2 warna gelang pasien yang belum disediakan

    yaitu warna putih untuk identifikasi pasien (khususnya bayi baru lahir) yang tidak/belum

    jelas jenis kelaminnya dan warna ungu untuk identifikasi pasien dengan kategori do not

    resuscitate (DNR).

    Dari hasil observasi dan telusur petugas dan pasien didapatkan masih ada pasien yang

    tidak menggunakan gelang pasien. Tidak semua pasien rawat inap dipasang gelang

    identitas dengan alasan pada saat itu pasien yang datang dari poli lebih dari satu dan

    bersamaan sehingga petugas lupa untuk memasang gelang pasien. Pasien yang masuk

    dari IGD sudah terpasang gelang pasien sedangkan pasien yang masuk dari poliklinik

    tidak diberikan gelang pasien oleh petugas melainkan langsung diantar ke bangsal untuk

    dipasang infus dan gelang pasien oleh petugas bangsal.

    Penjelasan penggunaan gelang pasien kepada pasien juga belum dilakukan dengan

    baik dan menyeluruh oleh semua petugas. Hal ini karena pengetahuan tentang manfaat

    gelang pasien belum dipahami dengan baik oleh petugas. Sebagian besar memahami

    fungsi gelang pasien hanya untuk identitas pasien bukan sebagai identifikasi pasien.

    Petugas melakukan identifikasi pasien dengan cara menanyakan langsung kepada pasien.

    Pada pasien yang memakai gelang pasien pun tidak pernah dilihat gelang pasiennya pada

    saat pemberian obat ataupun pengambilan sampel darah. Semua dilakukan dengan cara

    menanyakan langsung kepada pasien. Seharusnya identifikasi pasien dilakukan secara

    visual dan audio yaitu petugas terlebih dahulu melihat atau membaca nama yang tertulis

  • pada gelang pasien kemudian mengkroscek dengan menyebutkan nama yang tertulis

    pada gelang di depan pasien.

    2. SKP 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif

    Hasil dari telusur petugas, pasien dan dokumen bahwa pelaksanaan konsul ke dokter

    belum menggunakan format SBAR tetapi sudah melakukan CABAK (Catat, Baca,

    Konfirmasi). Dari hasil observasi yang dilakukan, hampir semua petugas dalam

    pelaporan keadaan pasien hanya melakukan sebatas S (Situation) dan B (Background)

    saja, sedangkan A (Assesment) dilakukan beberapa petugas dan R (Recomendation)

    belum dilakukan. Hal ini dikarenakan sosialisasi mendalam mengenai pelaporan dengan

    sistem SBAR belum ada. Pada beberapa kasus petugas yang melaporkan tidak

    melakukan baca ulang dan konfirmasi karena dokter konsulen tidak bersedia meluangkan

    waktu untuk mendengar petugas melakukan pembacaan ulang atas hasil pelaporan

    keadaan pasien. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2013 dimana terjadi kesalahan

    pemberian obat namun belum terlanjur diminum oleh pasien. Terapi yang ditulis oleh

    dokter tidak jelas (tidak dapat dibaca oleh perawat), kemudian perawat konfirmasi

    kepada dokter dan menuliskan di resep (tidak menulis di rekam medis pasien). Obat yang

    dituliskan perawat di resep, berbeda dengan obat yang diberikan oleh farmasi dan

    berbeda dengan obat yang benar. Obat belum terlanjur diminum, namun sudah dioplos.

    Hal ini terjadi karena petugas tidak menggunakan sistem SBAR dan CABAK serta tidak

    mengikuti prosedur yang ada.

    Menurut Leonard, Graham dan Bonacum, menanamkan perilaku dan instrumen yang

    sesuai standar seperti SBAR dimana menggunakan pernyataan yang tepat dan bahasa

    yang jelas dapat meningkatkan keselamatan. SBAR dapat secara efektif menjembatani

    perbedaan dalam gaya komunikasi antara perawat, dokter dan petugas lainnya yang

    dihasilkan dari proses pendidikan yang berbeda asalnya.6

    Pelaksanaan komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang mempunyai nilai kritis

    sudah dijalankan tetapi SPO mengenai hal ini belum ada. Selama ini kewenangan dalam

    menyampaikan dan menjelaskan hasil pemeriksaan adalah dokter yang merawat, bila

    keluarga atau pasien bertanya kepada perawat mengenai hasil pemeriksaan petugas

    hanya memberi tahukan hasil tanpa memberikan penjelasaan mengenai hasil

    pemeriksaan. Bila pasien ingin mengetahui perkembangan kondisinya dapat melakukan

    tanya jawab langsung kepada dokter yang merawat pada saat dokter melakukan visite.

    Sistem timbang terima pasien harus lebih diperbaiki untuk ke depannya. Sesuai

    dengan pedoman rumah sakit bahwa serah terima pasien seharusnya dilakukan dengan

  • cara keliling ke kamar pasien dengan membacakan program yang diberikan pada pasien

    terebut sehingga pasien juga mengerti program apa saja yang diberikan. Yang terjadi

    selama ini perawat melakukan timbang terima hanya di nurse station saja tanpa

    dilakukan di hadapan pasien. Hal ini perlu dievaluasi kembali untuk meningkatkan

    kualitas pelayanan rumah sakit.

    3. SKP 3. Peningkatan Keamanan Obat yang Harus Diwaspadai (High Alert)

    Penyimpanan obat high alert rumah sakit ini masih belum sesuai dengan standar yang

    seharusnya. Obat-obat high alert yang disimpan masih bercampur dengan obat-obatan

    lain yang tidak termasuk obat high alert dan akses tidak dibatasi dengan ketat.

    Penyimpanan obat high alert belum memiliki tempat sendiri, seharusnya obat high alert

    yang disimpan di instalasi farmasi di simpan pada almari sendiri dan dikunci serta diberi

    label peringatan obat high alert pada bagian luar almari penyimpanan. Almari obat high

    alert yang ada harus dipisahkan antara obat-obat high alert yang sering dipakai dan

    jarang dipakai, dikunci dengan kunci yang berbeda. Jika obat high alert harus disimpan

    di area perawatan pasien maka tempat penyimpanan harus terpisah dengan obat rutin

    lainnya dan dikunci serta akses dibatasi dengan ketat. Kebijakan atau prosedur khusus

    mengenai obat high alert sudah ada di rumah sakit, namun hal ini belum dilakukan

    karena disiplin dari SDM yang berhubungan dengan hal ini belum ada dan tidak adanya

    evaluasi dari pihak manajemen rumah sakit mengenai penyimpanan obat yang sudah

    berjalan di rumah sakit apakah sudah sesuai standar atau belum.

    Penyimpanan elektrolit konsentrat di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

    Unit II masih belum sesuai. Penyimpanan elektrolit konsentrat tidak hanya di instalasi

    farmasi saja tetapi juga di unit pelayanan seperti di IGD, ICU dan VK. Penyimpanan

    elektrolit konsentar di farmasi tidak disimpan pada tempat sendiri tetapi diletakkan di

    kardus masing-masing di dalam satu baris pada almari obat yang tidak memiliki tutup.

    Diberi label nama pada masing-masing kardus dengan spidol dan tulis tangan.

    Sedangkan penyimpanan elektrolit konsentrat di unit pelayanan pasien tidak disimpan

    pada tempat yang terkunci, melainkan dicampur dengan obat lainnya dan tidak pada

    posisi yang beraturan. Sehingga masih dapat terjadi kemungkinan salah pengambilan

    elektrolit oleh petugas.

    Obat high alert dan obat dengan nama obat yang mirip belum diberikan label nama

    dengan pelabelan yang sesuai. Beberapa elektrolit konsentrat sudah di beri label stiker

    dengan warna merah yang bertuliskan “high alert” dan “larutan konsentrat double

    check“. Kejadian salah pemberian obat kepada pasien rawat jalan oleh mahasiswa

  • perawat di instalasi farmasi pernah terjadi di rumah sakit. Pasien yang seharusnya

    mendapatkan obat clorpropamide diberikan obat chlorpromazine, akibatnya pasien tidur

    terus dan keluarga kembali ke rumah sakit untuk menanyakan kondisi pasien. Setelah

    dilakukan pengecekan ternyata terjadi kesalahan pengambilan obat karena nama obat

    yang mirip antara satu sama lain.

    Penelitian yang dilakukan oleh Filik, Purdy, Gale dan Gerret mengatakan salah satu

    penyebab terbanyak kesalahan dalam pemberian obat adalah kegagalan dalam

    mengidentifikasi obat, kebanyakan pada obat nama obat mirip rupa (NORUM/LASA).

    Cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat pada

    NORUM adalah dengan penulisan metode Tall Man. Hasil dari penelitian menunjukkan

    bahwa menyoroti bagian dari kata-kata yang menggunakan huruf Tall Man dapat

    membuat obat NORUM mudah untuk dibedakan dan penulisan label dengan metode Tall

    Man yang memakai warna tidak membuat mudah diingat sehingga pelabelan cukup

    menggunakan penulisan huruf yang berbeda (Tall Man) saja. Penulisan nama obat di

    rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II masih menggunakan tulisan

    tangan menggunakan huruf CAPITAL dengan spidol berwarna hitam pada kertas putih

    yang ditempel pada kardus tempat penyimpanan obat.7

    Daftar obat NORUM/LASA hanya terdapat di instalasi farmasi dan ruang ICU saja,

    sehingga untuk beberapa petugas masih belum familiar dengan istilah tersebut. Hal ini

    karena belum adanya evaluasi dan sosialisasi mengenai obat NORUM/LASA kepada

    semua orang yang terlibat dalam proses pelayanan terhadap pasien.

    Prosedur mengenai penggunaan elektrolit konsentrat sudah ada di rumah sakit, tetapi

    pada pelaksanaannya tidak semua petugas mengetahui dengan benar prosedur

    penggunaan elektrolit konsentrat. Hal ini karena beberapa SDM yang ada tidak

    memahami SPO penggunaan elektrolit konsentrat dan dalam pelaksanaannya dikerjakan

    oleh petugas yang sudah tau cara memberikan elektrolit konsentrat sesuai prosedur.

    4. SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi/Tindakan

    Dalam peningkatan keselamatan pembedahan melalui Safe Surgery Saves Lives maka

    untuk menjadi panduan dalam pelaksanaannya, World Aliance for Patient Safety

    mengeluarkan Guidelines for Safe Surgery yang disertai dengan Safety Surgical

    Checklist untuk memudahkan dalam pelaksanaannya (WHO, 2008). Untuk membantu

    tim bedah dalam mengurangi jumlah kejadian ini, WHO menghasilkan rancangan berupa

    checklist keselamatan pasien di kamar bedah sebagai media informasi yang dapat

    membina komunikasi yang lebih baik dan kerjasama antara disiplin klinis. Tujuan

  • penggunaan surgical safety checklist WHO adalah untuk menyamakan persepsi,

    komunikasi dan kerjasama antar tim bedah. Surgical safety checklist WHO ini

    merupakan alat yang digunakan oleh tim bedah untuk meningkatkan keselamatan,

    menurunkan jumlah kematian dan kecacatan akibat pembedahan.

    Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Haynes. et,al, menyebutkan bahwa rata-rata

    kematian sejumlah 1,5% sebelum checklist dikenal turun menjadi 0,8% setelah mengenal

    checklist. Pada pasien yang mengalami komplikasi setelah operasi dari 11% turun

    menjadi 7% setelah diperkenalkan penggunaan checklist sebelum operasi. Rumah sakit

    PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II telah menerapkan safe surgery checklist pada

    setiap pasien yang akan dilakukan operasi atau tindakan sejak bulan Maret tahun 2014.

    Checklist yang digunakan sesuai dengan standar WHO dan sudah dipahami oleh semua

    petugas ruang operasi rumah sakit.8

    Penandaan pada lokasi operasi belum dilaksanakan dengan sempurna di rumah sakit

    ini. Pada beberapa kasus, penandaan sudah dilakukan namun belum menggunakan tanda

    khusus. Selama ini hanya pasien ortopedi yang diberikan penandaan namun tanda yang

    dimaksud adalah pasien ditandai dengan menggunakan gips yang terpasang pada bagian

    tubuh yang akan dilakukan operasi/tindakan. Untuk kasus bedah umum belum dilakukan,

    kecuali kasus tumor mammae yaitu hanya menggunakan spidol atau bolpoin pada bagian

    tubuh yang akan dilakukan tindakan untuk membedakan kanan atau kiri. Walaupun

    kebijakan atau prosedur penandaan pasien operasi sudah ada tetapi pelaksanaan

    penandaan belum berjalan dengan baik. Hal ini karena belum tersedianya tanda itu

    sendiri dan belum adanya evaluasi mengenai prosedur tepat lokasi, tepat prosedur dan

    tepat pasien oleh manajemen rumah sakit.

    Salah satu isu utama terkait penggunaan penanda kulit adalah tanda yang tidak mudah

    hilang (contohnya, apakah penanda akan terlihat setelah persiapan kulit untuk

    mengidentifikasi lokasi operasi yang tepat). Idealnya, penandanya tidak mudah hilang

    saat kulit terkena cairan persiapan sehingga penandanya tidak hilang sebelum time-out

    dan irisan pertama. Tetapi penanda seharusnya tidak permanen hingga mingguan atau

    bulanan setelah prosedur operasi dan mungkin tidak nyaman atau menyebabkan malu

    bagi pasien (contohnya, penanda di wajah pada pasien yang akan menjalani operasi

    bedah plastik).9

    5. SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

    Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang

    terkait pelayanan kesehatan. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk

  • mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi

    petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu

    di rumah sakit.10 Pasien yang dirawat di rumah sakit sangat rentan terhadap infeksi

    rumah sakit atau dikenal dengan Health Care Associated Infections (HCAI) yang dapat

    terjadi karena tindakan perawatan selama pasien dirawat di rumah sakit, kondisi

    lingkungan disekitar rumah sakit, dan daya tahan tubuh pasien. Penularan dapat terjadi

    dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung

    atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dampak dari HCAI dapat

    memperpanjang lama rawat, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menambah

    biaya rumah sakit.11

    Kegagalan melakukan hand hygiene yang baik dan benar dianggap sebagai penyebab

    utama infeksi rumah sakit dan penyebaran mikroorganisme multiresisten di fasilitas

    pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai kontributor yang penting terhadap

    timbulnya wabah.12 Terdapat 6 langkah dalam teknik cuci tangan dengan air dan sabun

    yang dikeluarkan oleh WHO. Durasi untuk melakukan cuci tangan adalah selama 40-60

    detik. Sedangkan durasi untuk melakukan hand hygiene dengan alcohol based

    formulation adalah selama 20-30 detik.

    Hasil observasi yang ditemukan di rumah sakit ini masih terdapat beberapa

    kekurangan antara lain sarana cuci tangan yang belum tersedia secara merata dan

    memadai, cuci tangan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai dengan standar WHO

    tetapi beberapa dari petugas melakukan dengan urutan yang masih belum benar,

    kepatuhan dan pemahaman petugas akan cuci tangan 5 waktu belum baik, dan belum

    adanya evaluasi. Sarana cuci tangan yang tersedia di rumah sakit masih belum merata

    dan belum memadai. Dari hasil observasi di ruangan perawatan, ruangan wardah (ruang

    perawatan penyakit dalam perempuan) hanya terdapat 1 alcohol based hand rub saja di

    dekat nurse station. Sedangkan dibangsal zaitun (ruang perawatan penyakit dalam laki-

    laki) terdapat 3 botol alcohol based hand rub, walaupun belum diletakkan disetiap pintu

    kamar pasien. Sarana cuci tangan yang ada di rumah sakit belum terdapat handuk atau

    alat pengering pada setiap wastafel. Selain itu poster cara cuci tangan yang baik dan

    benar juga belum ada sehingga petugas dan pasien masih belum melakukan cuci tangan

    yang baik dan benar sesuai standar WHO.

    Ada 5 (lima) momen cuci tangan menurut WHO yaitu sebelum kontak dengan pasien,

    sebelum melakukan prosedur aseptik, setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien,

    setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan sekeliling pasien.11

  • Berdasarkan hasil telusur dan observasi, didapatkan bahwa petugas rumah sakit sudah

    melakukan cuci tangan sesuai dengan standar WHO tetapi beberapa orang melakukannya

    dengan urutan yang tidak benar. Sebenarnya rumah sakit sudah melakukan sosialisasi

    dan evaluasi program cuci tangan yang baik dan benar sesuai WHO ini setiap apel pagi

    rumah sakit, namun pada kenyataannya tidak semua petugas menerapkan dengan baik

    dan benar. Hal ini karena kepatuhan dan pemahaman petugas akan pentingnya

    melakukan cuci tangan 5 (lima) waktu sesuai standar WHO oleh petugas masih rendah.

    Petugas menyadari bahwa untuk mengurangi infeksi yang terkait dengan pelayanan

    adalah dengan cuci tangan 5 waktu secara tepat. Namun budaya yang lama masih

    melekat dan sulit untuk dirubah. Hal ini mempengaruhi ketepatan langkah cuci tangan

    petugas karena petugas masih jarang melakukan cuci tangan 5 waktu selama sedang

    bertugas di rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit belum melakukan evaluasi dan

    penegakan disiplin yang tegas terhadap pelaksanaan cuci tangan yang baik dan benar

    sesuai prosedur WHO pada 5 waktu cuci tangan.

    Pada sebuah penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Aiello et.al, mengenai efek

    hand hygiene terhadap resiko penyakit menular dalam komunitas mengatakan bahwa

    hand hygiene yang dilakukan secara konsisten dapat mencegah penyakit gastrointestinal

    baik di negara maju maupun negara berkembang. Namun hand hygiene yang dilakukan

    kurang efektif untuk penyakit pernapasan. Penggunaan alcohol based hand rub dan

    sabun antibakteri lebih efektif menurunkan angka kejadian infeksi daripada penggunaan

    sabun non antibakterial.13

    Pemberdayaan pasien adalah konsep baru di pelayanan kesehatan yang sekarang

    sudah diperluas menjadi bidang patient safety. Dalam rangka pengembangan baru

    guideline WHO mengenai cuci tangan di pelayanan kesehatan, penulis melakukan

    tinjauan literatur dari tahun 1997-2008 untuk mengidentifikasi bukti yang mendukung

    program yang bertujuan untuk mendorong pasien mengambil peran aktif dalam

    perawatan mereka. Pemberdayaan pasien merupakan bagian yang utuh dari strategi

    multimodal hand hygiene WHO. Strategi promosi hand hygiene membuktikan

    keberhasilan pemberdayaan pasien termasuk satu atau semua komponen berikut: alat

    pendidikan, motivasi dan alat pengingat serta contoh teladan. Yang penting adalah

    program dan model yang mendukung pasien harus dikembangkan dengan komponen

    evaluasi yang mencakup baik ukuran kualitatif maupun kuantitatif untuk menentukan

    selain apakah berhasil tetapi dalam kondisi apa dan dalam konteks organisasi.14

    6. SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

  • Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan

    melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau

    pengobatan, dan lain-lain. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh

    bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah

    dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari

    kejadian tidak diharapkan. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk

    mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah

    sakit.10 Dalam melakukan penilaian asesmen awal untuk pasien dengan resiko jatuh

    terdapat beberapa alat yang digunakan. Alat untuk asesmen awal risiko jatuh yang

    memiliki sensitivitas tinggi dan spesifisitas tinggi adalah yang menilai kestabilan dalam

    berjalan, kelemahan anggota gerak bawah, agitasi, frekuensi/inkontinensia urin, riwayat

    jatuh, dan penggunaan obat yang menyebabkan mengantuk atau hipnosis. Salah satu

    yang tinggi sensitivitas dan spesifisitasnya adalah Morse Fall Scale/MFS. MFS ini

    memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 83%.15

    Asesmen awal pada pasien dengan risiko jatuh belum dilakukan dengan metode yang

    benar. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, petugas mengatakan bahwa pasien

    dengan risiko jatuh akan dipasang gelang pasien warna kuning tetapi hampir semua

    pasien yang berisiko untuk jatuh tidak dipasang gelang pasien berwarna kuning,

    beberapa dari pasien tersebut justru dipasang tali pada tangannya yang diikatkan pada

    tempat tidur pasien. Hal ini karena implementasi kebijakan mengenai asesmen pasien

    risiko jatuh belum diketahui dan dipahami dengan benar oleh petugas. Pihak manajemen

    mengatakan bahwa pedoman atau SPO mengenai asesmen awal pasien dengan risiko

    jatuh sebenarnya sudah ada, tetapi penerapan dalam kegiatan sehari-hari di lapangan

    belum berjalan. Petugas dirasa belum paham bagaimana cara melakukan asesmen pasien

    risiko jatuh dengan benar.

    Asesmen pasien dengan risiko jatuh dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit,

    pindah dari satu unit ke unit lain, terdapat perubahan kondisi pasien, adanya kejadian

    jatuh dan dilakukan dengan jarak yang teratur. Instrument penilaian risiko jatuh yang

    dapat digunakan yaitu morse fall scale (MFS) untuk pasien dewasa dan humpty dumpty

    untuk pasien anak.16

    Instrument penilaian yang digunakan di rumah sakit adalah morse fall scale (MFS),

    dimana pasien dinilai berdasarkan dari skor yang diperoleh setelah dilakukan penilaian.

    Formulir penilaian dengan MFS sudah ada di rumah sakit, tetapi implementasinya belum

    berjalan karena petugas kurang mengetahui dan memahami bagaimana cara melakukan

  • asesmen pasien risiko jatuh menggunakan MFS. Hal ini dibenarkan oleh pihak

    manajemen yang menyatakan bahwa belum adanya sosialisasi menyeluruh kepada semua

    petugas rumah sakit.

    Pelaporan kasus pasien jatuh yang termasuk dalam Kejadian Tidak Diinginkan/KTD

    belum berjalan dengan maksimal, tidak semua petugas melaporkan kasus yang telah

    terjadi karena tidak semua kasus dibuat laporan untuk dilaporkan kepada pihak

    manajemen. Kurangnya kepatuhan dan kesadaran akan pasien jatuh mengakibatkan

    usaha pengurangan pasien cedera akibat jatuh sulit untuk berkembang di rumah sakit ini.

    Kejadian pasien jatuh yang terjadi di tahun 2013 sejumlah 2 kasus dan tahun 2014

    periode Januari-Juni sejumlah 3 kasus. Hal ini mungkin dikarenakan asesmen awal

    pasien risiko jatuh merupakan hal yang baru dan belum didapatkan pada saat pendidikan

    sebelumnya. Selain itu rumah sakit belum melakukan sosialisasi mengenai asesmen awal

    pasien risiko jatuh dan pelatihan mengenai hal tersebut. Rencana akan diadakan pelatihan

    pada bulan Agustus tahun 2014.

    Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa rumah sakit

    sudah melakukan upaya untuk mencegah kejadian pasien cedera akibat jatuh, upaya yang

    dilakukan yaitu tempat tidur dengan pengaman, kamar mandi dengan pengaman, tangga

    rumah sakit dengan pengaman, koridor rumah sakit dengan pengaman, dan peringatan

    berupa tulisan yang diletakkan di lanati rumah sakit pada saat dibersihkan.

    Dalam pedoman pencegahan cedera dan pasien jatuh Universitas Hospitals

    Birmingham menyebutkan untuk menurunkan risiko pasien jatuh dilakukan beberapa hal

    yaitu skrining risiko cedera dan pasien jatuh, pedoman respon dan tindakan fisioterapi

    untuk pasien jatuh, pedoman respon dan tindakan terapi okupasi untuk pasien yang

    mengaku telah jatuh/beresiko jatuh, pedoman obat terutama dalam pemberian obat yang

    meningkatkan risiko pasien jatuh, penilaian untuk penggunaan pengaman tempat tidur

    (pasien jatuh dari ketinggian), penggunaan alas kaki yang aman bagi pasien, duduk

    pasien yang aman bagi pasien, penyebaran leaflet tentang pencegahan pasien jatuh,

    memberikan bantuan mengantarkan dan menunjukkan ke toilet dan mendekatkan bel

    dengan pasien.17

    KESIMPULAN

    Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

    1. Implementasi 6 sasaran keselamatan pasien rumah sakit dalam kesiapan akreditasi

    rumah sakit dengan akreditasi versi 2012 mendapatkan rata-rata skor 50,54%.

  • Pencapaian skor keselamatan pasien didapatkan sebagai berikut: ketepatan identifikasi

    pasien 40%, peningkatan komunikasi yang efektif 59,10%, keamanan obat yang perlu

    diwaspadai 56,25%, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien

    operasi/tindakan 70,83%, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

    43,75%, pengurangan risiko pasien cidera akibat jatuh 33,33%.

    2. Kendala pemenuhan sasaran keselamatan pasien sesuai akreditasi rumah sakit versi

    2012 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II antara lain kurangnya kesadaran

    dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) akan pentingnya keselamatan pasien,

    kurangnya penerapan kebijakan dan SPO, fasilitas (sarana dan prasarana) yang

    tersedia belum lengkap, belum ada sosialisasi secara reguler dan terjadwal rutin dari

    pihak manajemen mengenai akreditasi versi 2012, dan belum ada evaluasi

    pelaksanaan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) oleh pihak manajemen.

    3. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum melakukan persiapan yang

    maksimal dalam menghadapi akreditasi versi 2012 untuk sasaran keselamatan pasien.

    Rekomendasi yang perlu dilakukan yaitu:

    a. Komitmen, dukungan penuh dan keterlibatan langsung dari pimpinan rumah sakit.

    b. Dokumen akreditasi versi baru (2012) yang belum dibuat dan yang masih dalam

    bentuk draft untuk segera dibuat dan disahkan oleh direktur rumah sakit dan

    disosialisasikan keseluruh bagian rumah sakit.

    c. Mengadakan pelatihan mengenai sasaran keselamatan pasien.

    d. Melakukan evaluasi rutin terhadap pelaksanaan kebijakan dan SPO yang sesuai

    dengan sasaran keselamatan pasien.

    e. Memberlakukan sanksi disiplin yang tegas untuk petugas yang didapati dan

    diketahui tidak melakukan tindakan sesuai SPO dan tidak mematuhi kebijakan

    yang berlaku.

    f. Melengkapi fasilitas antara lain menyediakan poster SBAR, membuat daftar dan

    poster obat-obat high alert, menyediakan tempat penyimpanan khusus obat high

    alert, menyediakan alat penanda untuk pasien operasi, menyediakan handuk atau

    tissu di setiap wastafel, menyediakan alkohol di setiap ruangan, memasang gambar

    6 langkah cuci tangan menurut WHO dan membuat brosur/leaflet mengenai risiko

    pasien jatuh.

    DAFTAR PUSTAKA

  • 1. Maturbongs, 2000, ‘Hubungan skor akreditasi rumah sakit dan indikator kinerja rumah sakit’,

    Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.

    2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001, Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu

    Pelayanan Rumah Sakit, Jakarta.

    3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia .2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien

    Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta

    4. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2011, Standar Akreditasi Rumah Sakit, Jakarta.

    5. Sitorus S, 2013, ‘Analisis kepatuhan perawat terhadap pelaksanaan identifikasi pasien sebelum

    melakukan tindakan keperawatan di ruang rawat inap Siloam Hospital Lippo Village’, Skripsi,

    Program Sarjana Universitas Esa Unggul, Jakarta.

    6. Leonard, M., Graham, S., Bonacum, D. 2004, ‘The human factor : the critical importance of

    effective teamwork and communication in providing safe care’, Qual Saf Health Care, 13, 85-90.

    7. Filik, R., Purdy, K., Gale, K., Gerrett, D., 2006, ‘Labeling of medicines and patient safety:

    evaluating methods of reducing drug name confusion’. The Journal of the Human Factors and

    Ergonomics Society, 48, 39-47.

    8. Haynes Alex B, Weiser Thomas G, Berry William R, Lipsitz Stuart R, et al. 2009. A surgical

    safety checklist to reduce morbidity and mortality in a global population. NEJM 360:491-499.

    9. Pennsylvania Patient Safety Advisory, 2008, ‘Surgical site markers: putting your mark on patient

    safety’, Patient Safety Authority. Diakses 15 Agustus 2014, dari

    http://patientsafetyauthority.org/ADVISORIES/AdvisoryLibrary/2008/Dec5(4)/Pages/130.aspx.

    10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Standar Akreditasi Rumah Sakit, Dirjen Bina

    Pelayanan Medik, Jakarta.

    11. Who guidelines on hand hygiene in health care, first global patient safety challenge, clean care is

    safer care. 2009. Geneva: World Health Organization.

    12. Boyce, J.M., Pittest, D., 2002, ‘Guideline for hand hygiene in health-care settings.

    Recommendations of the healthcare infection control practices advisory committee and the

    HIPAC/SHEA/APIC/IDSA hand hygiene task force’, PUBMED, 30, 1-46.

    13. Aiello Allison E, Coulborn Rebecca M, Larson Elaine L. 2008. Effect of hand hygiene on

    infectious disease risk in the community setting: a meta analysis. American journal of public

    health 98(8): 1372-1381

    14. McGuckin, M., Storr, J., Longtin, Y., Allegranzi, B., Pittet D., 2010, ‘Patient empowerment and

    multimodal hand hygiene promotion: A win-win strategy’. American Journal of Medical Quality,

    26, 10-17.

    15. Gardner Lea Anne, Feil Michelle. 2013. Falls: Risk asessment, prevention and measurement.

    Pensylvania : National Patient Safety Foundation

    16. National Patient Safety Foundation, 2013. www.npsf.org

    http://patientsafetyauthority.org/ADVISORIES/AdvisoryLibrary/2008/Dec5(4)/Pages/130.aspxhttp://www.npsf.org/

  • 17. Uhb guideline on patient falls and injuries prevention, inpatient falls and injuries prevention

    procedure. 2012. United Kingdom: University Hospital Birminghams.