NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

248
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, serta di antara dua benua dan dua samudera, mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk mendukung pembangunan ekonomi, pemantapan integrasi nasional guna memperkukuh ketahanan nasional, serta menciptakan ketertiban dunia dan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jalan sebagai prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan, karena semua pusat kegiatan beserta wilayah pengaruhnya membentuk satuan wilayah pengembangan. Pusat pengembangan dimaksud dihubungkan dalam satu hubungan hierarkis dalam bentuk jaringan jalan yang menunjukkan struktur tertentu. Dengan struktur tersebut, bagian jaringan jalan akan memegang peranan masing-masing sesuai dengan hierarkinya. Dilihat dari aspek sumber daya (resources), jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat yang mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-udangan di bidang jalan, yaitu UU No. 38 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”jalan sebagai bagian prasarana transportasi

Transcript of NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

Page 1: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian.

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik

Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu

pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, serta di antara dua benua dan dua

samudera, mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk

mendukung pembangunan ekonomi, pemantapan integrasi nasional guna

memperkukuh ketahanan nasional, serta menciptakan ketertiban dunia dan

kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memajukan kesejahteraan

umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam

mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya

memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jalan sebagai prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan,

karena semua pusat kegiatan beserta wilayah pengaruhnya membentuk satuan

wilayah pengembangan. Pusat pengembangan dimaksud dihubungkan dalam satu

hubungan hierarkis dalam bentuk jaringan jalan yang menunjukkan struktur

tertentu. Dengan struktur tersebut, bagian jaringan jalan akan memegang peranan

masing-masing sesuai dengan hierarkinya.

Dilihat dari aspek sumber daya (resources), jalan sebagai salah satu

prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat yang

mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai

peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-udangan di bidang jalan, yaitu UU No. 38 Tahun 2004 Pasal

5 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”jalan sebagai bagian prasarana transportasi

Page 2: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

2

mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan

hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”.

Dari aspek ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan

katalisator di antara proses produksi, pasar, dan konsumen akhir. Dari aspek sosial

budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala masyarakat yang dapat menjadi

wahana perubahan sosial, membangun toleransi, dan mencairkan sekat budaya.

Dari aspek politik, keberadaan jalan menghubungkan dan mengikat antar

daerah, sedangkan dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan

memberikan akses dan mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan

keamanan.

Dari aspek lingkungan, jalan merupakan bagian unsur dari lingkungan

hidup, karena jalan merupakan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Keberadaan jalan diperlukan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, yaitu

ramah lingkungan, udara tidak tercemar akibat pembuangan emisi yang

melampaui baku mutu udara, penghematan penggunaan bahan bakar.

Dari aspek kewenangan dapat diuraikan bahwa jalan sebagai bagian dari

ruang wajib dikelola sesuai dengan peruntukannya. UU No.32 Tahun 2004 pada

intinya memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada

Daerah, sehingga ada peluang dan kebebasan bagi Daerah untuk lebih leluasa

mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri, sesuai dengan

kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap Daerah. Kewenangan

Pemerintah Daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua

aspek pemerintahan.

Pembagian kewenangan ini pada hakikatnya merupakan pembagian tugas,

kewajiban, dan tanggung jawab. Hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat

dan Daerah juga merupakan hubungan dan pembagian tugas dari Negara kepada

Page 3: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

3

penyelenggara negara pada tingkat Pusat secara nasional dan Daerah secara

regional dan lokal.

Kabupaten Cianjur, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa

Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Cianjur. Kabupaten ini berbatasan dengan

Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta di utara, Kabupaten Bandung dan

Kabupaten Garut di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten

Sukabumi di barat. Kabupaten Cianjur terdiri atas 32 Kecamatan, 342 Desa dan

6 Kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Cianjur.

Ibukota kabupaten Cianjur dilintasi jalan nasional (Jakarta - Bogor-

Bandung), serta jalur kereta api Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur. Perjalanan ke

Cianjur biasanya ditempuh melalui jalan darat, jika dari Jakarta bisa melewati

jalur Puncak, jalur Sukabumi atau jalan alternatif melalui Jonggol.

Cianjur, yang memiliki ciri tersendiri, berbeda dengan daerah provinsi

lainnya yang bersumber dari beban tugas, tanggung jawab, dan tantangan yang

lebih kompleks. Kompleksitas permasalahan itu juga berkaitan erat dengan

keberadaannya sebagai penyangga pusat pemerintahan negara, faktor luas wilayah

yang terbatas, jumlah dan populasi penduduk yang tinggi dengan segala dampak

yang ditimbulkannya terhadap aspek-aspek urbanisasi, keamanan, transportasi,

lingkungan, pengelolaan kawasan khusus dan masalah sosial kemasyarakatan lain

yang memerlukan pemecahan masalah secara sinergis melalui berbagai instrumen.

Untuk menjawab tantangan yang serba kompleks itu maka sangat

dirasakan pentingnya pemberian otonomi hanya pada lingkup Provinsi agar dapat

membina dan menumbuh kembangkan Cianjur dalam satu kesatuan perencanaan,

pelaksanaan, dan pengendalian. Dengan demikian, diharapkan Cianjur akan

mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan terpadu kepada masyarakat.

Dikaitkan dengan penerapan retribusi lalu lintas dan angkutan jalan jalan,

Kabupaten Cianjur sebagai daerah yang otonom memiliki kewenangan untuk

mengatur wilayahnya berdasarkan aspek pengelolaan aktivitas (kegiatan)

jalannya.

Page 4: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

4

Kompleksitas permasalahan di Cianjur dengan ciri tersendiri membawa

dampak terhadap berbagai aspek, salah satu aspeknya yaitu bidang transportasi.

Kewenangan Cianjur dalam bidang transportasi dikategorikan dalam urusan wajib

yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten yang merupakan

urusan dalam skala kabupaten.

Salah satunya termasuk dalam penyediaan sarana dan prasarana umum

berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004) dan Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan kewenangannya dalam urusan pemerintahan, Daerah

Kabupaten Cianjur berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bahwa urusan

pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan,

pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang

didesentralisasikan.

Berdasarkan ketentuan tersebut Pemerintah Kabupaten Cainjur pun

memiliki kewenangan untuk mengatur sumber pendanaan bagi kelangsungan

pelaksanaan urusan pemerintahan. Dalam rangka pendanaan tersebut Pemerintah

Kabupaten Cianjur memiliki kewenangan untuk memperoleh sumber pendapatan

dengan batasan Pasal 158 ayat (2) UU 32 Tahun 2004, bahwa pemerintahan

daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah

ditetapkan undang-undang.

Peran strategis Lalu Lintas dan Jalan dalam mendukung pembangunan

nasional dan pengaturannya di atur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan dalam Undang-undang ini Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus

dikembangkan potensi dan peranannya untuk mendorong pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan untuk menciptakan tata kelola

hidup yang lebih baik dengan menjamin terwujudnya keamanan, keselamatan,

ketertiban, kelancaran, berlalu lintas dan angkutan jalan. UU No.22 Tahun 2009

mengatur bahwa Negara bertanggung jawab dalam Lalu Lintas dan Angkutan

Page 5: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

5

Jalan dan pembinaannya diserahkan pada pemerintah. Pembinaan tersebut di bagi

menjadi empat urusan pemerintahan yaitu : (a) Perencanaan; (b) Pengaturan; (c)

Pengendalian; dan (d) Pengawasan.

Dengan semangat otonomi daerah sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004

maka dalam pelaksanaan pembinaan tersebut Pemerintah pusat dapat

menyerahkan sebagian urusannya kepada Pemerintah Provinsi dan atau

Pemerintah Kabupaten/Kota. UU ini juga mengatur bahwa penyelenggaraan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung pada masyarakat

dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang meliputi penyusunan

rencana program pelaksanaan pengaturan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta

penetapan tingkat pelayanan jalan yang diinginkan dengan melakukan

pengelolaan kebutuhan lalu lintas.

Pengaturan lalu lintas dan angkutan jalan ini, selain memiliki tujuan untuk

menciptakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar,

dan terpadu dengan moda angkutan lain, juga mempunyai tujuan untuk

mendorong perekonomian daerah, mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan

dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Aspek

keamanan juga mendapatkan perhatian yang ditekankan dalam pengaturan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, di dalam aturan lalu lintas dan angkutan

jalan ini perlu juga ditekankan terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya

bangsa (just culture) melalui upaya pembinaan, pemberian bimbingan, dan

pendidikan berlalu lintas sejak usia dini serta dilaksanakan melalui program yang

berkesinambungan.

Dalam rangka memajukan usaha di bidang angkutan umum, pengaturan

lalu lintas dan angkutan jalan ini, perlu didukung oleh pengaturan secara

terperinci ketentuan teknis operasional mengenai persyaratan badan usaha

angkutan Jalan agar mampu tumbuh sehat, berkembang, dan kompetitif.

Kemudian, untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, perlu pula

didukung oleh pengaturan persyaratan teknis dan uji berkala kendaraan bermotor.

Setiap jenis Kendaraan Bermotor yang berpotensi menyebabkan Kecelakaan Lalu

Page 6: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

6

Lintas dan menimbulkan pencemaran lingkungan wajib dilakukan uji berkala.

Serta adanya beberapa masalah yang ada di Kabupaten Cianjur salah satunya

masih kurang efektif di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, yaitu adanya

terminal liar seperti yang ada di Cikidang (Depan Kantor Dinas Kesehatan), di

depan kantor DLLAJ (dekat Ramayana) dan masih banyak lagi tempat yang

dijadikan terminal bayangan. Dan masih adanya angkutan kota yang tidak

mentaati aturan yang ada, serta para pengguna jalan yang tidak mentaati aturan,

dan adanya pasar di pinggir jalan yang dapat mengganggu berlansungnya berlalu

lintas (seperti di depan pasar muka/ramayana), pasar cipanas yang selalu macet

akan berlalu lintas.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang

memadai perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang pembebanannya

dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang menggunakan dan / atau

menikmati pelayanan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Sesuai penjelasan

Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

ditentukan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan

lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-undang. Dengan demikian,

pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada peraturan

daerah, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi

dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur

dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 34 Tahun

2000, dan terakhir Undang-undang itu pun telah diubah dengan Undang-undang

No. 28 Tahun 2009.

Sesuai dengan Undang-undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk

memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7

(tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota.

Menurut Bab II Pasal 2 Undang-undang No. 28 Tahun 2009 disebutkan

bahwa :

(1) Jenis pajak provinsi terdiri atas :

Page 7: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

7

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Air Permukaan; dan

e. Pajak Rokok.

(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas :

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk

menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam

Undang-undang. Undang-undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum

untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-undang

tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang

dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan

untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan

pemerintah.

Menurut Pasal 1 ayat (64) Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa Retribusi Daerah, yang

selanjutnya disebut Retribusi, adalah :

”Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan”.

Page 8: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

8

Kemudian menurut Bab VI Pasal 108 Undang-undang No. 28 Tahun 2009,

disebutkan bahwa :

(1) Objek retribusi adalah :

a. Jasa Umum;

b. Jasa Usaha; dan

c. Perizinan Tertentu.

Salah satu jenis retribusi yang hendak diatur di Kabupaten cianjur adalah

lalu lintas dan angkutan jalan. Oleh karena itu, untuk memberikan dasar pijakan

dalam pemungutan retribusi lalu lintas dan angkutan jalan tersebut, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur harus membuat Peraturan Daerah tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Perda sebagai jenis Peraturan perundang-undangan nasional memiliki

landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda

dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah

otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari Undang-undang

No.32 Tahun 2004.1 Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas

DPRD dalam membentuk Perda adalah Undang-undang No. 27 Tahun 2009

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun

2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD.

Penting pula untuk diperhatikan Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak

dan Retribusi sebagai pengganti Undang-undang No.18 Tahun 1997 sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.34 Tahun 2004, dalam rangka

pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi.

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

1 Disampaikan oleh Muhammad Sapta Murti, SH, MA, MKn, Deputi Menteri Sekretaris Negara

Bidang Perundang-undangan dalam Roundtable Discussion dengan Tema “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 29 -30 Maret 2010 di Jakarta

Page 9: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

9

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum

nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan

Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung

secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.

Perda sebagaimana Peraturan perundang-undangan lainnya memiliki

fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty).

Untuk berfungsinya kepastian hukum Peraturan perundang-undangan harus

memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana

dalam Peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan

sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya

hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.

Pengharmonisasian Peraturan perundang-undangan memiliki urgensi

dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah

adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan Peraturan perundang-undangan

lainnya.

B. Identifikasi Masalah.

1. Bagaimanakah ketentuan hukum nasional mengatur mengenai

retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

2. Bagaimanakah peran retribusi lalu lintas dan angkutan jalan dalam

meningkatkan penerimaan asli daerah Kabupaten Cianjur.

3. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan perlu dibuatnya peraturan

daerah Kabupaten Cianjur di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Retribusi Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

1. Tujuan.

Naskah Akademik ini disusun untuk merumuskan pokok-

pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi

Page 10: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

10

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur

tentang Retribusi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berdasarkan

amanat Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan wajib dilakukan secara demokratis,

aspiratif, akomodatif, partisipatif, dan kolaboratif.

2. Kegunaan.

Naskah Akademik ini diharapkan :

a) Bagi Pemerintah Kabupaten Cianjur :

1) Dapat memberikan pemahaman kepada pengambil

kebijakan tentang Retribusi Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dan tata cara penerapannya.

2) Dapat memberikan kerangka hukum (legal

framework) bagi perumusan ketentuan dan pasal-

pasal dari Raperda tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

b) Secara umum :

1) Instrumen hukum untuk mengurangi kemacetan

lalau lintas pada kawasan tertentu;

2) Menghemat (efisiensi) penggunaan waktu tempuh

perjalanan;

3) Dana hasil retribusi lalu lintas dan angkutan jalan

diperuntukkan bagi pembangunan dan

pengembangan sarana dan prasarana transportasi

umum;

c) Bagi Masyarakat.

1) Diharapkan akan mengubah perilaku pengguna

kendaraan bermotor dalam berlalu lintas, antara lain

dalam hal mengatur waktu perjalanan dan

penentuan alternatif jalan yang akan dilalui;

2) Mengurangi stress pengemudi akibat kemacetan

lulu lintas yang parah;

Page 11: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

11

C. Metode Penelitian.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Kajian Yuridis Normatif

Kajian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif

disebut juga penelitian doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini

hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

manusia yang dianggap pantas.

Oleh karena itu: pertama, sebagai sumber datanya hanyalah

data sekunder, yang terdiri dari :

a) Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat

yaitu Peraturan Perundang-undangan. Adapun peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan retribusi di

bidang lalu lintas dan angkutan jalan, adalah Undang-

Undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan

Daerah, Undang-undang No. 28 Tahun 2009, Undang-

undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, Undang-undang No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan

Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau

pendapat pakar hukum, makalah-makalah, jurnal ilmiah,

dan hasil-hasil penelitian.

Page 12: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

12

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum),

eksiklopedia, kamus artikel-artikel pada koran/surat kabar

dan majalah-majalah.

Kedua, karena penelitian hukum normatif sepenuhnya

menggunakan data sekunder (bahan kepustakaan), penyusunan

kerangka teoretis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan,

tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak diperlukan. Di

dalam menyusun kerangka konsepsional, dapat dipergunakan

perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian.

Ketiga, dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan

hipotesis, kalaupun ada, hanya hipotesis kerja.

Keempat, konsekuensi dari (hanya) menggunakan data

sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan

sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya)

memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti

dengan data jenis lainnya. Biasanya penyajian data dilakukan

sekaligus dengan analisisnya.

2. Kajian Yuridis Sosiologis.

Pada kajian hukum atau penelitian hukum yang sosiologis,

hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil

dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Apabila hukum

sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel

bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh

dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu

merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio-legal research).

Page 13: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

13

Namun, jika hukum dikaji sebagai variabel

tergantung/akibat (dependent variable) yang timbul sebagai hasil

dari berbagai kekuatan dalam proses sosial, kajian itu merupakan

kajian sosiologi hukum (sociology of law).

Perbedaan antara penelitian hukum normatif dengan

penelitian hukum sosiologis, dapat diuraikan karakteristik yang

dimiliki oleh penelitian hukum sosiologis :2

a. Seperti halnya pada penelitian hukum normatif yang

(hanya) menggunakan bahan kepustakaan sebagai data

sekundernya, maka penelitian hukum yang sosiologis, juga

menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang

kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data

lapangan. Dengan demikian, penelitian hukum yang

sosiologis tetap bertumpu pada premis normatif, berbeda

dengan penelitian ilmuilmu sosial yang hendak mengkaji

hukum, di mana hukum “ditempatkan” sebagai dependent

variable, oleh karena itu, premis sosiallah yang menjadi

tumpuannya.

b. Definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan

perundang-undangan, khususnya terhadap penelitian yang

hendak meneliti efektivitas suatu undang-undang.

c. Hipotesis kadang-kadang diperlukan, misalnya penelitian

yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara berbagai

gejala atau variabel.

d. Akibat dari jenis datanya (data sekunder dan data primer),

maka alat pengumpul datanya terdiri dari studi dokumen,

pengamatan (observasi), dan wawancara

(interview). Pada penelitian hukum sosiologis selalu

diawali dengan studi dokumen, sedangkan pengamatan 2 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2006, hlm. 133-134.

Page 14: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

14

(observasi) digunakan pada penelitian yang hendak

mencatat atau mendeskripsikan perilaku (hukum)

masyarakat. Wawancara (interview) digunakan pada

penelitian yang mengetahui misalnya, persepsi,

kepercayaan, motivasi, informasi yang sangat pribadi

sifatnya.

e. Penetapan sampling harus dilakukan, terutama jika hendak

meneliti perilaku (hukum) warga masyarakat. Dalam

penarikan sampel, hendaknya diperhatikan sifat atau ciri-

ciri populasi.

f. Pengolahan datanya dapat dilakukan baik secara kualitatif

dan/atau kuantitatif.

Akhirnya, kegunaan penelitian hukum sosiologis adalah

untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk

proses penegakan hukum (law enforcement). Karena penelitian

jenis ini dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang

ada di balik pelaksanaan dan penegakan hukum. Disamping itu,

hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam

penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Dikaitkan

dengan kajian hukum penerapan Retribusi Pengendalian Lalu

Lintas maka kajian hukum yang sosiologis sangat berguna dalam

rangka penyusunan suatu peraturan perundang-undangan yang

akan mengaturnya, bahwa setiap norma hukum yang dituangkan

dalam perundangundangan haruslah mencerminkan tuntutan

kebutuhan dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.

3. Kajian Yuridis Filosofis.

Setiap masyarakat selalu mempunyai rechtsidee yakni apa

yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum

diharapkan untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan dan

Page 15: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

15

ketertiban maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee

tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk,

pandangan mereka mengenai hubungan individual dan

kemasyarakat dan lain sebagainya termasuk pandangan tentang

dunia gaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut

pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan

mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi

nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah

laku masyarakat.3

Menurut Rudolf Stammier, cita hukum adalah konstruksi

pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum

pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Selanjutnya Gustav

Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti Stammler dari aliran

NeoKantian menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok

ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum,

hukum akan kehilangan maknanya.4

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan proses

terwujudnya nilai-nilai yang terkandung cita hukum ke dalam

norma hukum tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan

akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-

undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai tersebut dapat

terjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang

dibuat.

4. Kajian Yuridis Komparasi (Penelitian Perbandingan Hukum).

Dalam kajian komparasi atau penelitian perbandingan

hukum, acapkali yang diperbandingkan adalah sistem hukum

masyarakat yang satu dengan sistem hukum masyarakat yang lain,

3 Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, hlm. 17 4 Ibid, hlm 19

Page 16: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

16

sistem hukum negara yang satu dengan sistem hukum negara

lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan

perbedaan masing-masing sistem hukum yang diteliti.

Sebagaimana dikemukakan oleh D. Kokkini-latridou yang

menyatakan:

”No matter how systematically it is carried out, research cannot be described as being ‘comparative’ if it does not give an ‘explanation’ of the similarities and differences”.5

Pendapat D. Kokkini-latridou dapat diartikan bahwa:

”Bagaimanapun sistematisnya hal itu dilakukan, suatu penelitian

tidak dapat dikatakan sebagai ‘perbandingan’ jika penelitian

tersebut tidak memberikan penjelasan tentang persamaan-

persamaan dan perbedaan-perbedaan”.

Jika ditemukan persamaan dari masing-masing sistem

hukum tersebut, dapat dijadikan dasar unifikasi sistem hukum.

Dalam kaitannya dengan kajian hukum Retribusi di bidang lalu

lintas dan angkutan jalan diperlukan komparasi atau perbandingan

dalam kajian atau penelitian ini dari berbagai daerah yang telah

terlebih dahulu menerapkan retribusi lalu lintas dan angkutan jalan

untuk dijadikan bahan perbandingan. Jika sesuai dengan kondisi

khususnya di Kabupaten Cianjur, maka tidak ada salahnya

diterapkan di sini.

5 Johannes Gunawan, 2003, Perbandingan Hukum Kontrak, Materi Kuliah Universitas Katolik

Parahyangan, Program Pascasarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum.

Page 17: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

17

BAB II

ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM

PENYUSUNAN NORMA

A. Pengertian dan Peranan Asas Hukum.

Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan asas adalah pikiran dasar yang

umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat

di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim, yang merupakan hukum positif dan

dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan konkrit tersebut.6

Lebih lanjut, beberapa pakar memberikan pengertian asas hukum, seperti

Paul Scholten yang memberikan pengertian asas hukum sebagai berikut :

“Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya dimana ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.7

Kemudian Satjipto Rahardjo, mengartikan asas hukum sebagai suatu hal

yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth

atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan

sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum

menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai

etis, moral, dan sosial masyarakatnya.8 Asas-asas hukum berfungsi untuk

menafsirkan aturan-aturan hukum dan juga memberikan pedoman bagi suatu

6 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 5.

2 Istilah asas dan prinsip seringkali digunakan secara bergantian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “prinsip” diartikan sebagai dasar atau asas.

7 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 119-120.

8 Satjipto Raharjo, Peranan Dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional (Pembahasan Terhadap Makalah Sunaryati Hartono), Seminar dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 19-20 Oktober 1988, tanpa halaman.

Page 18: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

18

perilaku. Asas hukum pun menjelaskan dan menjustifikasi norma-norma hukum,

dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologis tertib hukum.9

Smits, memberikan pandangannya bahwa asas hukum memiliki 3 (tiga)

fungsi, yaitu : Pertama, asas-asas hukum memberikan keterjalinan dari aturan-

aturan hukum yang tersebar; Kedua, asas-asas hukum dapat difungsikan untuk

mencari pemecahan atas masalah-masalah baru yang muncul dan membuka

bidang-bidang liputan masalah baru. Dari kedua fungsi tersebut, diturunkan fungsi

ketiga, bahwa asas-asas dalam hal-hal demikian dapat dipergunakan untuk

“menulis ulang” bahan-bahan ajaran hukum yang ada sedemikian rupa, sehingga

dapat dimunculkan solusi terhadap persoalan-persoalan baru yang berkembang.10

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum

bertujuan untuk memberikan arahan yang layak/pantas menurut hukum

(rechtmatig) dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-aturan hukum.

Asas hukum berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana

hukum dapat dijalankan. Asas-asas hukum tersebut tidak saja akan berguna

sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi juga dalam hal

menerapkan aturan.

B. Asas-Asas Dalam Peruran Daerah di Bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Di dalam hukum pembentukan peraturan daerah dimuat sejumlah asas-

asas hukum, dimana pilihan asas itu haruslah dilandasi oleh filosofi dan tujuan

pengembangan dan penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan,

dan pada gilirannya asas-asas tersebut terjabarkan dalam draf ketentuan-ketentuan

peraturan pemerintah terkait dengan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan

jalan nantinya.

9 R.J. Jue, Grondbeginselen van het recht, Groningen, 1980, hlm. 63. 10 J.M. Smits, Het vertrouwensbeginsel en de contractuele gebondenheid, diss, RUL 1995,

Arnhem, 1995, hlm. 68-69.

Page 19: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

19

Secara khusus penerapan Retribusi lalu lintas dan angkutan jalan memuat

asas-asas/prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Kelestarian

Yang dimaksud dengan “asas kelestarian” adalah bahwa setiap orang

memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan

terhadap sesamanya dalam satu generasi. Kewajiban dan tanggung jawab

itu ditunjukkan melalui upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung

ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup, yang diwujud

dengan memfasilitasi identifikasi opsi-opsi pembangunan/upaya

perlindungan dan pengelolaan lingkungan dengan alternatif

rancangan/usulan yang lebih baik.

2. Keberlanjutan

Yang dimaksud dengan keberlanjutan adalah adanya kesinambungan

antara kebijakan yang akan diambil dengan kebijakan sebelumnya baik itu

dalam aspek perencanaan, penyelenggaraan ataupun pemanfaatan sumber

daya sektor transportasi. Terkait dengan penerapan Retribusi di bidang lalu

lintas dan angkutan jalan, pendapatan yang diperoleh dari Retribusi dari

bidang lalu lintas dan angkutan jalan harus dimanfaatkan kembali untuk

peningkatan layanan sektor transportasi secara berkelanjutan, sehingga

penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan harus

merupakan kelanjutan bahkan peningkatan dari kebijakan demand

manajemen yang sebelumnya telah diambil dan bukan malah sebaliknya.

3. Keserasian dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa

pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek

seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta

pelestarian ekosistem. Dalam hal ini penyelenggaraan-nya senantiasa

dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan, keadilan dan

kesetaraan berdasarkan kepentingan sosial.

Page 20: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

20

4. Manfaat

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha

dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan

potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan

lingkungannya.

5. Keterpaduan

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai

unsur atau mensinergikan berbagai komponen terkait. Dalam hal ini dapat

diwujudkan dalam bentuk:

a. Memastikan bahwa penerapan dan pengembangan Retribusi di

bidang lalu lintas dan angkutan jalan sudah relevan untuk

tercapainya pembangunan berkelanjutan.

b. Memuat saling keterkaitan antara aspek biofisik, sosial, dan

ekonomi untuk setiap pemanfaatan ruang.

c. Terkait secara hierarkis dengan kebijakan di sektor tertentu dan

wilayah (lintas batas) termasuk dengan sektor keuangan.

6. Kehati-hatian (pencegahan)

Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian atau pencegahan” adalah

bahwa setiap usaha atau kegiatan harus disusun berdasarkan perencanaan

yang matang sehingga dapat dilakukan antisipasi atau upaya untuk

mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan. Upaya ini dilakukan

mulai dari tahap perencanaan yaitu tentang pemilihan lokasi karena terkait

dengan penataan ruang, pemilihan egiatan atau usaha, pemilihan teknologi,

proses produksi atau pelaksanaannya.

7. Pencemar membayar

Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap

penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung

Page 21: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

21

biaya pemulihan lingkungan. Dalam konteks transportasi adalah pengguna

membayar.

8. Partisipatif

Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota

masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan

keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Asas ini dapat

diwujudkan sebagai berikut :

a. Memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak

yang berkepentingan, masyarakat yang potensial terkena

dampak, dan instansi pemerintah disepanjang proses pengambilan

keputusan.

b. Terdokumentasi secara eksplisit segala masukan dan pertimbangan

yang mengemuka di dalam proses penetapan penerapan Retribusi

di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

c. Memiliki kejelasan informasi yang mudah dipahami, serta

menjamin akses yang memadai untuk semua informasi serta

fasilitas Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang

dibutuhkan.

9. Tata kelola pemerintahan yang baik

Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah

bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh

prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

10. Otonomi

Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah

dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 22: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

22

Selain itu, asas-asas yang harus dimuat dalam penyusunan peraturan

daerah termasuk Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, yaitu dari sudut pandang :

1. Materi Muatan Peraturan Daerah :

Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, dilihat dari sudut pandang muatan peraturan

daerahnya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana

digambarkan di bawah ini.

Sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 10 Tahun 2004,

disebutkan bahwa :

“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”

Kemudian, Peraturan Daerah tersebut harus pula sesuai dengan

Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Jo Pasal 138 Undang-undang

No. 32 Tahun 2004, yang menentukan bahwa “Materi Perda harus

memperhatikan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, antara

lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, dan yang terpenting

ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang No.10 Tahun

2004 jo Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 bahwa

materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau

peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam

penjelasan Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004

dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah

kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga

masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya

ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Page 23: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

23

Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara

penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap

Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189 Undang-undang No. 32 Tahun

2004 yang menyebutkan bahwa :

“Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang”.

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 Peraturan Daerah

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 185, berbunyi sebagai berikut :

“(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(3) Apabila Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan

Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.

(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi

rancangan Perda tentang APBD penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

Page 24: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

24

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Pasal 186, berbunyi sebagai berikut :

(1) Rancangan bersama dan rancangan Peraturan Bupati/

Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/

Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota

tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota.

(4) Apabila APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota

tentang Penjabaran APBD perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

(5) Apabila DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan

rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

(6) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda

kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri.

Page 25: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

25

Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi

kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda

dengan perturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Perda

lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda

dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.

Raperda yang mengatur pajak daerah, dan retribusi daerah,

sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh

Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur

terhadap Raperda kabupaten/kota.

Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan

retribusi diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158 Undang-undang No. 28

Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, khususnya berkaitan

dengan Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah tentang Pajak dan

Retribusi, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 157 berbunyi sebagai berikut :

“(1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

(2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak

dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap

Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

Page 26: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

26

(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih Tinggi.

(5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan

evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri

Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan.

(7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.

(8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud

pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.

(9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.

(10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Page 27: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

27

Kemudian Pasal 158 berbunyi sebagai berikut :

“(1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

(2) Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri

Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan

oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.

(5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan

pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.

(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima

keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)

dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Page 28: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

28

(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.

Selanjutnya sesuai Pasal 159 Undang-undang No.28 Tahun

2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan

Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri

dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi

Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.

2. Urgensi Harmonisasi Peraturan Daerah dengan Peraturan

Perundang-undangan Lain.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses yang

diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya

sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau

konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem

asas hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua

peraturan perundang-undangan termasuk Perda baik secara vertikal

maupun horisontal.

Dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu

yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi peraturan perundang-

undangan untuk semua jenis peraturan perundang-undangan termasuk

Perda.

Bab II, Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Asas

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :

”Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus

berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan

yang baik yang meliputi :

Page 29: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

29

a. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan

adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.

d. Asas dapat dilaksanakan

adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan

adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. Asas kejelasan rumusan.

adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. Asas keterbukaan.

adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Page 30: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

30

Kemudian, Pasal 6 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 berbunyi

sebagai berikut :

(1) Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas :

(a) Asas pengayoman. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

(b) Asas kemanusiaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

(c) Asas kebangsaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

(d) Asas kekeluargaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

(e) Asas kenusantaraan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

(f) Asas bhinneka tunggal ika. adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam

Page 31: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

31

kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(g) Asas keadilan.

adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

(h) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

(i) Asas ketertiban dan kepastian hukum.

adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

(j) asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

(2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang

hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain: (a) Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas

tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

(b) Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum

perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.

Page 32: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

32

BAB III

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

A. Kajian Keterkaitan dengan Hukum Positif yang Terkait.

Beberapa ketentuan hukum positif yang memiliki keterkaitan dengan

pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur di bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, yaitu sebagai berikut :

N

O

Materi Raperda Lalu lintas

Dan Angkutan Jalan

Undang-undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan

Jalan.

UU Undang-undang

Nomor 38 tahun 2004

tentang jalan

1 Asas dan

tujuan

Retribusi di bidang

lalu lintas dan

angkutan jalan

dipungut retribusi atas

pelayanan di bidang

lalu lintas dan

angkutan jalan.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan: a. asas transparan; b. asas akuntabel; c. asas berkelanjutan; d. asas partisipatif; e. asas bermanfaat; f. asas efisien dan efektif; g. asas seimbang; h. asas terpadu; dan i. asas mandiri.

Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan.

2. Ketentuan

Pidana

Diancam pidana

kurungan paling lama

6 bulan atau denda

paling banyak 4 kali

jumlah retribusi

terutang

KETENTUAN PIDANA Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak

KETENTUAN

PIDANA Pasal 63

(1) Setiap orang yang

dengan sengaja

melakukan kegiatan

yang mengakibatkan

terganggunya fungsi

jalan di dalam ruang

manfaat jalan,

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 ayat

Page 33: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

33

Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). (4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

(1), dipidana dengan

pidana penjara paling

lama 18 (delapan belas)

bulan atau denda paling

banyak

Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus

juta rupiah).

(2) Setiap orang yang

dengan sengaja

melakukan kegiatan

yang mengakibatkan

terganggunya fungsi

jalan di dalam ruang

milik jalan,

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 ayat

(2), dipidana dengan

pidana penjara paling

lama 9 (sembilan)

bulan atau denda paling

banyak

Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang

dengan sengaja

melakukan kegiatan

yang mengakibatkan

terganggunya fungsi

jalan di dalam ruang

pengawasan jalan,

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 ayat

(3), dipidana dengan

pidana penjara paling

lama 3 (tiga) bulan atau

denda paling banyak

Page 34: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

34

Rp200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang

dengan sengaja

melakukan kegiatan

penyelenggaraan jalan

sebagaimana dimaksud

pada Pasal 42, dipidana

dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua)

tahun atau denda paling

banyak

Rp2.000.000.000,00

(dua miliar

rupiah).

(5) Setiap orang yang

dengan sengaja

melakukan kegiatan

pengusahaan jalan tol

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 54,

dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15

(lima belas) tahun atau

denda paling banyak

Rp15.000.000.000,00

(lima belas miliar

rupiah).

(6) Setiap orang selain

pengguna jalan tol dan

petugas jalan tol yang

dengan sengaja

memasuki jalan tol

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 56,

dipidana dengan pidana

kurungan paling lama

Page 35: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

35

14 (empat belas) hari

atau denda paling

banyak

Rp3.000.000,00 (tiga

juta rupiah).

3. Penyidikan Oleh PPNS PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Pasal 259 (1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh: a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. (2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Penyidik; dan b. Penyidik Pembantu.

Tidak ada proses

penyelidikan hanya

Ada Peran Masyarakat

Pasal 62 (1)

Masyarakat berhak:

a. memberi masukan

kepada penyelenggara

jalan dalam rangka

pengaturan,

pembinaan,

pembangunan, dan

pengawasan jalan;

b. berperan serta dalam

penyelengaraan jalan;

c. memperoleh manfaat

atas penyelenggaraan

jalan sesuai dengan

standar pelayanan

minimal yang

ditetapkan;

d. memperoleh

informasi mengenai

penyelenggaraan jalan;

e. memperoleh ganti

kerugian yang layak

akibat kesalahan dalam

pembangunan jalan;

dan

f. mengajukan gugatan

kepada pengadilan

terhadap kerugian

Page 36: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

36

akibat

pembangunan jalan.

(2) Masyarakat wajib

ikut serta menjaga

ketertiban dalam

pemanfaatan fungsi

jalan.

(3) Ketentuan lebih

lanjut mengenai hak

dan kewajiban

masyarakat

sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur dalam

peraturan pemerintah

Dari aspek ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan

katalisator di antara proses produksi, pasar, dan konsumen akhir. Dari aspek sosial

budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala masyarakat yang dapat menjadi

wahana perubahan sosial, membangun toleransi, dan mencairkan sekat budaya.

Dari aspek politik, keberadaan jalan menghubungkan dan mengikat antar daerah,

sedangkan dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan memberikan

akses dan mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan.

B. Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur di Bidang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian ini membahas tentang ketentuan dan pengertian yang bersifat

umum dan subtansi peraturan daerah ini.

1. Ketentuan umum

Bagian ini membahas tentang ketentuan dan pengertian yang bersifat umum

dan subtansi peraturan daerah ini.

Page 37: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

37

2. Materi Pengaturan

Materi pengaturan dengan sistematika sebagai berikut :

Bab 1. Ketentuan umum yang membahas tentang ketentuan dan pengertian

yang bersifat umum dari substansi pengaturan daerah ini.

Bab II. Membahas tentang Nama, objek dan subjek retribusi

Bab III. Membahas tentang retribusi

Bab IV. Membahas tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan retribusi

Bab V. Membahas tentang tarif retribusi, yang berisi mengenai retribusi jasa

umum (parkir di tepi jalan umum, tempat khusus parkir, pengujian kendaraan

bermotor). Jasa Usaha (retribusi terminal), retribusi perizinan tertentu.

Bab VI. Membahas tentang pelaksanaan pemungutan.

Bab VII. Tentang Saat Retribusi terutang yaitu pada saat ditertibkannya SKRD

atau dokumen lain yang dipersamakan.

Bab VIII. Penetapan retribusi.

Bab IX. Pembayaran retribusi.

Bab X. Tentang Penagihan atas pembayaran retribusi yang terlambat.

Bab XI. Pengurangan, kekeringan dan pembebasan retribusi.

Bab XII. Pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi.

Bab XIII. Perhitungan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi.

Bab XIV. Sanksi administrasi.

Bab XV. Ketentuan pidana.

Bab XVI. Penyidikan.

Bab XVII. Ketentuan Peralihan.

Bab XVIII. Ketentuan penutup.

Page 38: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

38

BAB IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan.

1. Ketentuan hukum nasional mengatur mengenai retribusi di bidang

lalu lintas dan angkutan jalan, yaitu : undang-undang no. 22 tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sesuai dengan

doktrin hukum dan Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka materi muatan

Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang

lebih tinggi tingkatannya.

2. Peran retribusi lalu lintas dan angkutan jalan dalam meningkatkan

penerimaan asli daerah Kabupaten Cianjur sangat penting sekali

terutama dalam hal pengembangan sarana dan prasarana tranportasi

umum di kabupaten Cianjur dan mendukung pembangunan

nasional sebagai bagian dari sistem transportasi nasional untuk

mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang

berkesinambungan untuk menciptakan tata kelola hidup yang lebih

baik dengan menjamin terwujudnya keamanan, keselamatan,

ketertiban, kelancaran berlalu lintas.

3. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan perlu dibuatnya peraturan

daerah Kabupaten Cianjur di bidang lalu lintas dan angkutan jalan

dilihat dari faktor internal dikarenakan adanya kekurangan

terhadap pendapatan daerah dalam bidang lalu lintas dan angkutan

jalan. Sedangkan faktor ekternal kekurangan sarana dan prasarana

dalam berlalu lintas seperti rambu lalu lintas, zebra cross, dan

kurang adanya kesadaran masyarakat dalam pembayaran pajak

kendaraan bermotor. Dan kedisiplinan yang kurang dalam berlalu

lintas.

Page 39: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

39

B. Saran

Oleh karena tata cara pengembangan dan penerapan Retribusi di bidang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sarat dengan persoalan teknis, maka langkah

selanjutnya setelah penerbitan Perda ini adalah segera menerbitkan Pedoman

Pelaksanaan Retribusi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Adapun tentang substansi Pedoman dapat diacu berbagai Pedoman yang

telah ada dalam perda daerah lain yang telah terlebih dahulu menerapkan

Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Page 40: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

40

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 133-134.

Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta J.M. Smits, Het vertrouwensbeginsel en de contractuele gebondenheid, diss, RUL

1995, Arnhem, 1995 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa oleh Arief Sidharta, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1996. Jaja Zakaria, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, Serta Penerapannya di

Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Lothar Gundling, Public Participation in Environmental Decision, lihat Koesnadi

Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press.

Maria Farida Indristi S. Ilmu Perundang-Undangan. Proses dan Teknik Pembentukannya

Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, PT. Rajagrafindo Persada,

Jakarta, 2006 Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Sebuah

Pengantar, PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Prasetio Utomo, 2005.

Satjipto Raharjo, Peranan Dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka

Hukum Nasional (Pembahasan Terhadap Makalah Sunaryati Hartono), Seminar dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 19-20 Oktober 1988, tanpa halaman

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, 1996. Disampaikan oleh Muhammad Sapta Murti, SH, MA, MKn, Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Perundang-undangan dalam Roundtable Discussion dengan Tema “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 29 -30 Maret 2010 di Jakarta

Page 41: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

41

Undang-Undang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota.

Page 42: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

42

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG

LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

KABUPATEN CIANJUR

Disusun oleh :

Dr. Anita Kamilah, S.H., M.H.

Mia Amalia, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURYAKANCANA

C I A N J U R

2 0 1 1

Page 43: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

43

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena

dengan karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Naskah

Akademik tentang Retribus Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Penyusunan Naskah Akademik ini diharapkan dapat memberikan masukan

dalam rangka pengaturan Retribusi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten

Cianjur melalui peraturan daerah dan bertujuan agar peraturan daerah yang

dihasilkan nanti akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan

masyarakat serta perundang-undangan yang dihasilkan tidak menimbulkan

masalah di kemudian hari.

Adapun Tim Penyusun Naskah Akademik tentang Retribusi Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, ini :

1. Dr. Anita Kamilah, S.H., M.H.

2. Mia Amalia, S.H., M.H.

Akhir kata, kami harapkan isi dari Naskah Akademik ini dapat

memberikan masukan yang berharga bagi rencana Pemerintah Kabupaten Cianjur

dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah tentang Retribusi Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Cianjur, Juli 2011

Ketua Tim Penyusun

Page 44: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

44

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian.......................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah................................................................................... 9

C. Tujuan dan kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Retribusi Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan

1. Tujuan .................................................................................................... 9

2. Kegunaan ............................................................................................... 10

D. Metode Penelitian

1. Kajian Yuridis Normatif ....................................................................... 11

2. Kajian Yuridis Sosiologis ..................................................................... 12

3. Kajian Yuridis Filosofis ........................................................................ 14

4. Kajian Yuridis Komparasi ..................................................................... 15

BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN

NORMA

A. Pengertian dan Peranan Asas Hukum ........................................................ 17

B. Asas-Asas Dalam Perda di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ........ 18

C. Materi Muatan Perda ................................................................................. 22

D. Urgensi Harmonisasi Perda dengan Peraturan Lainnya ............................ 28

BAB III MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH DAN

KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

A. Kajian Keterkaitan dengan Hukum Positif yang Terkait .......................... 32

B. Materi Muatan Perda Cianjur di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 34

BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 36

B. Saran .......................................................................................................... 36

Daftar Pustaka …………………………….................................................... 38

Page 45: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

45

DAFTAR PUSTAKA

………………………………………………………………………. 38

LAMPIRAN

……………………………………………………..………………………

OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB RETRIBUSI

1. Obyek Retribusi adalah pemberian izin trayek untuk menyediakan

angkutan

penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu yang

seluruhnya

berada dalam daerah;

2. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang mendapatkan izin

Page 46: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

46

trayek;

3. Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud, terdiri dari :

- Retribusi Izin Trayek;

- Retribusi Izin Operasi;

- Retribusi Izin Insidentil.

4. Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jumlah izin yang diberikan

dan jenis angkutan umum penumpang;

5. Jumlah izin yang diberikan disesuaikan berdasarkan kebutuhan pada pola

jaringan trayek yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;

6. Jenis angkutan umum penumpang terdiri dari :

a. Angkutan kota/pedesaan yaitu Mobil Bis/Mobil Penumpang Umum

dengan menggunakan trayek yang seluruhnya berada dalam satu

wilayah daerah;

b. Angkutan Taksi yaitu Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda

khusus

dan dilengkapi argometer dengan wilayah operasi terbatas;

c. Angkutan dengan cara sewa yaitu Mobil Penumpang Umum yang diberi

tanda khusus pada penomoran kendaraan dan merupakan pelayanan dari

pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi dengan wilayah operasi

tidak terbatas;

d. Angkutan untuk keperluan pariwisata yaitu Mobil Penumpang Umum

yang diberi tanda khusus dan merupakan pelayanan angutan ke dan dari

daerah tempat wisata;

e. Angkutan untuk keperluan antar jemput karyawan/Siswa sekolah

yaitu Mobil Bis Umum dan Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda

khusus dan merupakan pelayanan angkutan karyawan/ Sekolah;

f. Angkutan khusus adalah pelayanan angkutan orang yang penggunaannya

bersifat khusus.

Page 47: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

47

C. DASAR PENGENAAN, TARIF dan CARA PERHITUNGAN

1. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi

didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya

penyelenggaraan pemberian izin trayek;

2. Biaya sebagaimana dimaksud meliputi komponen biaya survey lapangan dan

biaya transportasi dalam rangka pengendalian dan pengawasan;

3. Struktur dan besarnya tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis angkutan

penumpang umum daya angkut;

4. Struktur dan besarnya tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk

permohonan baru adalah sebagai berikut :

Jenis

Angkutan

Kapasitas

Tempat

Duduk

Tarif (Rp)

Mobil

Penumpang

- s/d 8

orang

71.500

Mobil Bis - 9 s/d 15

orang

- 16 s/d 25

orang

- lebih dari 25

orang

110.000

115.500

121.000

Angkutan

Khusus

55.000

5. Struktur dan besarnya tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk

permohonan daftar ulang adalah sebagai berikut

Page 48: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

48

Jenis

Angkutan

Kapsaitas

Tempat

Duduk

Tarif (Rp)

Mobil

Penumpang

- s/d 8

orang

25.000

Mobil Bis - 9 s/d 15

orang

- 16 s/d 25

orang

- lebih dari 25

orang

37.500

42.500

47.500

Angkutan

Khusus

25.000

6. Setiap pemberian izin Insidentil untuk satu kali perjalanan PP selama 7

(tujuh) hari tarif retribusi sebesar Rp.15.000,- (lima belas ribu rupiah);

7. Setiap pemberian/pertimbangan/advis untuk sebagai salah satu syarat izin

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat atau Pemerintah

Pusat tarif retribusi sebesar Rp. 25.000,-

Pembiayaan.

Suatu negara bisa mengenakan besaran pajak di atas atau di bawah

pengeluaran untuk jalannya. Perbandingan antara pajak jalan dan pengeluaran

negara untuk sektor jalan di beberapa negara maju diperlihatkan dalam tabel 1.

Hal ini bisa dikaitkan dengan tujuan-tujuan negara yang lebih luas. Kebanyakan

negara maju justru mengenakan pajak di atas kebutuhan pengeluaran untuk

jalannya, kecuali negara negara yang mengutamakan kendaraan pribadi

(Amerika), produsen mobil terbesar (Jepang) serta negara wisata (Austria).

Hubungan antara pajak kendaraan dengan pengeluaran untuk sektor jalan bisa

Page 49: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

49

berbeda di tiap-tiap negara. Pada negara maju dengan alasan transparansi dan

akuntabilitas hubungan antara pajak jalan dengan pengeluaran sektor jalan sangat

jelas bahkan ada yang sudah dikelola secara terpiah dalam skema yang disebut

road fund. Inggris telah menerapkan skema ini pada tahun 1930-an hingga

dilakukannya penghapusannya tahun 1937 (Sutomo,2003).

Persyaratan Ijin Trayek Kendaraan :

1. Kendaraan Baru :

a. Surat Permohonan dari pemilik/pemohon;

b. Surat Permohonan dari Show room/Dealer;

c. Kartu Tanda Penduduk Pemilik/Pemohon;

d. Rubah Bentuk (RB) data No Mesin/Chasys Kendaraan;

e. Data Kendaraan yang akan dijadikan Pengganti/diremajakan (Rubah

Status/Rubah Bentuk/Mutasi ke luar Daerah);

f. Rekomendasi dari Sub Terminal;

g. Rekomendasi dari Organda dan Jalur.

2. Daftar Ulang/ Heregistrasi :

a. Surat Permohonan daftar Ulang Pemilik/Pemohon

b. Photo Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP)

c. Photo Copy Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK)

d. Photo Copy Surat Ijin Trayek (SK)

e. Photo Copy Buku Ijin/KIr

f. Photo Copy Surat Ijin Pengusaha Angkutan (SIPA)

g. Photo Copy Organda

h. Kartu Pengesahan (KP) Asli

Prosedur Ijin Trayek kendaraan

1. Kendaraan Baru

a. Permohonan

b. Loket Penerimaan

c. Pengajuan kendaraan baru (Peremajaan/Pengganti)

Page 50: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

50

d. Pengajuan kendaraan Angkutan Kota diproses di Kasi Angkutan

Kota/Pedesaan

e. Pengajuan Angkutan Pedesaan diproses di Kasi Angkutan pedesaan

(bilamana telah memenuhi persyaratan)

f. Kasub Din Angkutan

g. Kepala Dinas

h. Selesai.

2. Daftar Ulang/Heregistrasi

a. Pemohonan

b. Loket Penerimaan

c. Pengajuan daftar ulang/heregistrasi

d. Pengajuan daftar ulang Angkutan Kota dip roses di Kasi Angkutan

Kota/Pedesaan

e. Pengajuan daftar ulang Pedesaan diproses di Kasi Angkutan Pedesaan

(bilamana telah memenuhi persyaratan)

f. Kasub Din Angkutan

g. Selesai.

Waktu

10 Menit selesai Apabila semua persyaratan telah lengkap

Proses Ijin Trayek

Page 51: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

51

Page 52: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

52

BAB III

KAJIAN LEGALITAS

A. Hierarki Perundangan

Jenis dan Hierarki peraturan perundangan menurut Pasal 7 Undang- undang

RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Sesuai dengan hierarki ini, maka peraturan yang dijadikan dasar bagi

penyusunan peraturan daerah bidang transportasi darat adalah :

1. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ;

2. Undang-undang RI Nomor 38 Tahun

2004 tentang Jalan ;

3. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah ;

4. Undang-undang RI Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah ;

5. Undang-undang RI Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang ;

Page 53: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

53

6. Undang-undang RI Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan ;

7. Perda No 10 Tahun 1999 Tentang

Retribusi Ijin Trayek di Kabupaten Cianjur

Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 belum dilengkapi dengan peraturan

pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaanya. Beberapa peraturan pemerintah yang

masih diacu dalam penyelenggaraan transportasi darat adalah merupakan petunjuk

pelaksanaan undang- undang yang ada sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor

14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan yang pada masanya sempat

ditangguhkan karena “kontroversi” besaran sanksi yang dianggap terlalu berat

bagi masyarakat, peraturan pemerintah dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

1993 tentang Angkutan Jalan ;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan ;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

1993 tentang Prasarana dan Lalulintas Jalan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun

1993 tentang Kendaraan dan pengemudi

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Daerah diatur pada Pasal 136 sebagai berikut :

(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama

DPRD.

(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut

dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Page 54: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

54

(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang- undangan yang lebih

tinggi.

(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah

diundangkan dalam lembaran daerah.

Pada Pasal 137 dijelaskan bahwa :

Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk

yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi

muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Hak masyarakt dalam penyusunan Peraturan Daerah diatur pada Pasal 139

ayat (1) sebagai berikut : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

atau tertulis

dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

Undang-undang ini adalah rujukan utama dalam penyusunan peraturan

daerah tentang penyelenggaraan perhubungan. Undang-undang ini juga

merupakan undang-undang pengganti atas undang-undang yang ada sebelumnya

yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan angkutan

Jalan. Pada saat awal proses penyusunannya, undang-undang nomor 22 Tahun

2009 diharapkan member nafas baru dalam penyelenggaraan perhubungan seperti

Page 55: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

55

pengembalian tugas pokok dan fungsi masing-masing seperti penyelenggaraan

surat ijin mengemudi oleh instansi perhubungan namun dalam kenyataannya hal

tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang

mencolok antara undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 dengan Undang-undang

nomor 22 tahun 2009, upaya penyempurnaan undang-undang terlihat pada

pembagian kewenangan yang semakin jelas antara kepolisian, perhubungan,

perdagangan dan perindustrian serta instansi yang membidangi jalan. Pembagian

kewenangan tersebut disesuaikan dengan nafas otonomi daerah dan

“disempurnakan” dengan adanya kewajiban koordinasi antar instansi.

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang – undang Nomor 22 Tahun

2009 ini dijelaskan pada Pasal 4 sebagai berikut :

Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancer melalui:

a. Kegiatan gerak pindah Kendaraan,

orang, dan/atau barang di Jalan;

b. Kegiatan yang menggunakan sarana,

prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. Kegiatan yang berkaitan dengan

registrasi dan identifikasi

Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas,

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Pembinaan diatur pada Pasal 5 sebagai berikut :

(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan

pembinaannya dilaksanakan olehPemerintah.

(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi:

a.Perencanaan;

b.Pengaturan;

c.Pengendalian;

d. Pengawasan.

Page 56: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

56

(3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya

yang meliputi:

a. Urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang

bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan

Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang

bertanggung jawab di bidang industri;

d. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang

bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Pada Pasal 6 disebutkan urusan pemerintah provinsi sebagai berikut : Urusan

pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan

meliputi:

a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui

batas wilayah kabupaten/kota;

b. Pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada

perusahaan angkutan umum di provinsi; dan

c. Pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.

Undang – undang ini secara tersurat pada pasal 13 mengamanatkan pembentukan

forum penanganan transportasi darat yang diketuai oleh gubernur dan

beranggotakan dinas terkait seperti dinas perhubungan, dinas perindustrian dan

perdagangan, dinas pekerjaan umum, badan perencanaan daerah dan kepolisian.

Page 57: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

57

Tanggung jawab dan Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum diatur

pada Pasal 138 sebagai berikut :

(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan

yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.

(2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan

umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan

Bermotor Umum.

Sedangkan pada Pasal 139 disebutkan sebagai berikut :

(1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan

orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara.

(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk

jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.

(3)Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum

untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.

(4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara,

badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan

ketentuanperaturan perundang-undangan.

Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek

diatur pada Pasal 142 yaitu terdiri atas:

a. Angkutan lintas batas negara;

b. Angkutan antarkota antarprovinsi;

c. Angkutan antarkota dalam provinsi;

d. Angkutan perkotaan; atau

e. Angkutan perdesaan.

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek

diatur pada Pasal 151 yaitu terdiri atas:

Page 58: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

58

a. Angkutan orang dengan menggunakan taksi;

b. Angkutan orang dengan tujuan tertentu;

c. Angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan

d. Angkutan orang di kawasan tertentu.

Pasal 157

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor

Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung

jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Angkutan Massal diatur pada Pasal 158 sebagai berikut :

(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk

memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di

kawasan perkotaan.

(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

didukung dengan:

a. Mobil bus yang berkapasitas angkut massal;

b. Lajur khusus;

c. Trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan

massal; dan

d. Angkutan pengumpan

Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur pada pasal

160 sebagai berikut : Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri

atas:

a. Angkutan barang umum; dan

b. Angkutan barang khusus.

Kemudian pada Pasal 161 disebutkan persyaratan Pengangkutan barang

umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a sebagai berikut:

a. Prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;

b.Tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan

membongkar barang; dan

Page 59: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

59

c. Menggunakan mobil barang.

Perizinan Angkutan diatur pada Pasal 173 sebagai berikut :

(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau

barang wajib memiliki:

a.Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;

b. Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau

c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.

(2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berlaku untuk:

a. Pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau

b. Pengangkutan jenazah.

Mekanisme perizinan diatur pada Pasal 174 sebagai berikut :

(1)Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa

dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat

pernyataan, dan kartu pengawasan.

(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangan-undangan.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu)

trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan

wajib:

a. Memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk

mendapatkan pelayanan;

b. Memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum

dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan

permintaan angkutan umum; dan

c. Melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan

orang dan barang.

Page 60: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

60

Arah pengembangan jasa angkutan umum diatur pada Pasal 198

sebagai berikut :

(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang

memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

(2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang

sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah

dan/atau Pemerintah Daerah harus:

a. Menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;

b. Menetapkan standar pelayanan minimal;

c. Menetapkan kriteria persaingan yang sehat;

d. Mendorong terciptanya pasar; dan

e. Mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat

diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyidikan di bidang lalulintas dan angkutan jalan diatur pada Pasal 259 sebagai

berikut:

(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

dilakukan oleh:

a.Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut

Undang-Undang ini.

(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a terdiri atas:

a. Penyidik; dan

b. Penyidik Pembantu.

Page 61: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

61

BAB IV

SUBSTANSI PERATURAN DAERAH

Seperti halnya produk hukum lainnya, peraturan daerah menganut azas kejelasan

tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara isi dan

materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan

rumusan, dan keterbukaan (Pasal 5 Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Selain itu, peraturan juga

selayaknya memperhatikan kewenangan dan aspirasi dari para pihak yang

berkepentingan (stake holders).

1. Perencanaan Ijin Trayek Transportasi Darat

2. Manajemen Transportasi

3.Pengendalian

Page 62: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

62

4. Pembiayaan, Peralatan dan Sumberdaya Manusia

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 63: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

63

A. Kesimpulan

Penyelenggaraan ijin trayek transportasi darat sekurang-kurangnya

meliputi tiga hal yaitu perencanaan, manajemen operasional dan pengendaliannya.

Perencanaan meliputi perencanaan jaringan dan simpul seperti jaringan trayek

angkutan umum, jaringan lintas angkutan barang, letak-letak terminal, shelter, rest

area dan lain-lain. Manajemen operasional meliputi manajemen atau pengaturan

penggunaan kendaraan umum dan kendaraan pribadi dengan prioritas angkutan

massal, penyediaan infrastruktur pendukung dan penetapan kebijakan

operasionalnya. Pengendalian yang termasuk didalamnya upaya penegakkan

hukum melibatkan semua instansi yang berwenang yaitu polisi lalu lintas dan

polisi pamong praja.

B. Saran

Peraturan daerah penyelenggaraan ijin trayek kendaraan terhadap

perhubungan disarankan tidak hanya mengikat pada tugas pokok dan fungsi dinas

perhubungan tapi meliputi semua elemen yang terlibat dan bertanggung jawab

dalam penyelenggaraan transportasi darat meliputi kepolisian daerah jawa barat,

dinas tata ruang, dinas bina marga, dinas pariwisata, dan lain- lain.

Page 64: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

64

Daftar Pustaka

Button, K J., 1993, Transport Economics, 2nd Edition, Edward Elgar,

Cheltenham, UK

Dishub Jabar, 2006, Study Evaluasi dan Penetapan Jaringan Trayek Angkutan

Orang di Jawa Barat.

One, L., Sutomo, H, 2003, Reformasi Sistem Pajak Kendaraan Bermotor

Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan ;

Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;

Undang-undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah ;

Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Penundang-

undangan ;

Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

;

Page 65: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

65

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG

LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

KABUPATEN CIANJUR

Disusun oleh :

Mia Amalia, S.H., M.H.

Anita Kamilah, S.H., M.H.

Page 66: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

66

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURYAKANCANA

C I A N J U R

2 0 1 1

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena

dengan karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Naskah

Akademik tentang Retribus Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Penyusunan Naskah Akademik ini diharapkan dapat memberikan masukan

dalam rangka pengaturan Retribusi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten

Cianjur melalui peraturan daerah dan bertujuan agar peraturan daerah yang

dihasilkan nanti akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan

masyarakat serta perundang-undangan yang dihasilkan tidak menimbulkan

masalah di kemudian hari.

Adapun Tim Penyusun Naskah Akademik tentang Retribusi Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, ini :

3. Mia Amalia, S.H., M.H.

4. Anita Kamilah, S.H., M.H.

Akhir kata, kami harapkan isi dari Naskah Akademik ini dapat

memberikan masukan yang berharga bagi rencana Pemerintah Kabupaten Cianjur

dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah tentang Retribusi Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Cianjur, Juli 2011

Page 67: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

67

Ketua Tim Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

1.1. Landasan Filosofis …..………………………………………………….. 1

1.2. Landasan Yuridis …..………………………………………………..…. 2

1.3. Fakta Empiris …………………………………………………………... 3

1.4. Fakta Yuridis ….………………………………………………………... 4

Kesimpulan Kajian Hukum …………………………………………….…. 10

2. IDENTIFIKASI MASALAH

2.1. Permasalahan Transportasi ……………………………………….……...

2.2. Identifikasi masalah retribusi pengendalian lalu lintas …….….…. 12

2.2.1. Pengetahuan tinggi tidak didukung dengan pemahaman yang benar

2.2.2. Parameter kemacetan ..…………………………………….….…. 13

2.2.3. Faktor penyebab kemacetan …………………………………….. 14

2.2.4. Road Pricing : Paradigma baru mengatasi kemacetan .……….. 15

2.2.5. Penyebab perlunya penerapan road pricing secara elektronik ... 17

3. TUJUAN DAN KEGUNAAN

3.1. Tujuan ..……………….…………………………………………………….

3.2. Kegunaan ..………………………………………………………………….

Page 68: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

68

4. METODE PENELITIAN

4.1. Kajian Yuridis – Normatif .……………………………………………….

4.2. Kajian Yuridis – Sosiologis ..………………………………………..…….

4.3 Kajian Yuridis – Filosofis ..……………………………………….……….

.4. Kajian Yuridis – Komparasi (Penelitian Perbandingan Hukum) ..……. 1

5. SISTIMATIKA NASKAH AKADEMIK ………………………………. 23

BAB II. ASAS ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN

NORMA

1. Kelestarian …………….…………………………………………………. 24

2. Keberlanjutan ……………………………………………………………. 24

3. Keserasian dan keseimbangan ………………………………………. 24

4. Manfaat ………………………………………..…………………………. 25

5. Keterpaduan ……………..………………………………………………. 25

6. Kehati-hatian ………………….…………………………………………. 25

7. Pencemar membayar ……………………………………………………. 25

8. Partisipatif …………….…………………………………………………. 25

9. Tata kelola pemerintahan yang baik ……………………………………. 26

10. Otonomi …………………………………………….……………………. 26

BAB III. MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

KAJIAN KETERKAITAN DENGAN HUKUM POSITIF TERKAIT

1. Undang-Undang Dasar 1945 ………….…………………………………. 27

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan ………. 27

3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan ………………. 28

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup …..………………………. 28

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

……. 29

Page 69: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

69

6. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia ………………………. 29

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah ………………………………………………………. 30

8. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Angkutan Kereta Api, Sungai,

Danau, dan Penyebrangan

………………………………………………………. 30

MATERI POKOK MUATAN PERATURAN DAERAH

1. Penetapan lokasi atau kawasan yang dikenakan

Retribusi Pengendalian Lalu Lintas ...………………………………………….

2. Kelembagaan atau instansi yang bertanggung jawab dalam mengelola

3. Sistem penyelenggaraan ERP

3.1. Manual Road Pricing ……..……………………………………………….

32

3.2. Elektronik Road Pricing …..………………………………………..……..

32

4. Pemanfaatan/peruntukan dana yang dipungut dari ERP

……………………. 33

5. Jenis Kendaraan yang terkena penerapan ERP

….……………………………. 33

6. Waktu perapan ERP

..……………………………………………………..……. 33

7. Besaran pungutan ERP

………………………………………………………….. 33

8. Tata cara Pembayaran ERP

……………………………………………….……. 34

9. Metode penerapan ERP, apakah dengan point base charging atau

distance base charging

……………………………………………………………. 34

Page 70: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

70

10. Penerapan Pilihan Teknologi : fully ERP atau video camera (semi

electronic) .. 34

11. Pengawasan terhadap pengelolaan ERP

…..……..……………………………. 35

12. Pertanggungjawaban Keuangan ERP

.…………………………………………. 35

13. Penegakan hokum bagi pelanggar ERP,

termasuk rumusan norma sanksi bagi pelanggar .…………………………….

36

BAB IV. PENUTUP

KESIMPULAN

…………………………………….…………………………………. 37

SARAN

……………………………..…………………………………………………. 37

DAFTAR PUSTAKA

………………………………………………………………………. 38

LAMPIRAN

……………………………………………………..………………………

Page 71: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

71

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian.

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik

Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu

pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, serta di antara dua benua dan dua

samudera, mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk

mendukung pembangunan ekonomi, pemantapan integrasi nasional guna

memperkukuh ketahanan nasional, serta menciptakan ketertiban dunia dan

kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memajukan kesejahteraan

umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam

mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya

memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 72: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

72

Jalan sebagai prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan,

karena semua pusat kegiatan beserta wilayah pengaruhnya membentuk satuan

wilayah pengembangan. Pusat pengembangan dimaksud dihubungkan dalam satu

hubungan hierarkis dalam bentuk jaringan jalan yang menunjukkan struktur

tertentu. Dengan struktur tersebut, bagian jaringan jalan akan memegang peranan

masing-masing sesuai dengan hierarkinya.

Dilihat dari aspek sumber daya (resources), jalan sebagai salah satu

prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat yang

mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai

peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-udangan di bidang jalan, yaitu UU No. 38 Tahun 2004 Pasal

5 ayat (1) yang menyatakan bahwa jalan sebagai bagian prasarana transportasi

mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan

hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

Dari aspek ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan

katalisator di antara proses produksi, pasar, dan konsumen akhir. Dari aspek sosial

budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala masyarakat yang dapat menjadi

wahana perubahan sosial, membangun toleransi, dan mencairkan sekat budaya.

Dari aspek politik, keberadaan jalan menghubungkan dan mengikat

antardaerah, sedangkan dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan

memberikan akses dan mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan

keamanan.

Dari aspek lingkungan, jalan merupakan bagian unsur dari lingkungan

hidup, karena jalan merupakan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Keberadaan jalan diperlukan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, yaitu

ramah lingkungan, udara tidak tercemar akibat pembuangan emisi yang

melampaui baku mutu udara, penghematan penggunaan bahan bakar.

Page 73: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

73

Dari aspek kewenangan dapat diuraikan bahwa jalan sebagai bagian dari

ruang wajib dikelola sesuai dengan peruntukannya. UU No.32 Tahun 2004 pada

intinya memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada

Daerah, sehingga ada peluang dan kebebasan bagi Daerah untuk lebih leluasa

mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri, sesuai dengan

kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap Daerah. Kewenangan

Pemerintah Daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua

aspek pemerintahan.

Pembagian kewenangan ini pada hakikatnya merupakan pembagian tugas,

kewajiban, dan tanggung jawab. Hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat

dan Daerah juga merupakan hubungan dan pembagian tugas dari Negara kepada

penyelenggara negara pada tingkat Pusat secara nasional dan Daerah secara

regional dan lokal.

Kabupaten Cianjur, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa

Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Cianjur. Kabupaten ini berbatasan dengan

Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta di utara, Kabupaten Bandung dan

Kabupaten Garut di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten

Sukabumi di barat. Kabupaten Cianjur terdiri atas 32 Kecamatan, 342 Desa dan

6 Kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Cianjur.

Ibukota kabupaten Cianjur dilintasi jalan nasional (Jakarta - Bogor-

Bandung), serta jalur kereta api Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur. Perjalanan ke

Cianjur biasanya ditempuh melalui jalan darat, jika dari Jakarta bisa melewati

jalur Puncak, jalur Sukabumi atau jalan alternatif melalui Jonggol.

Cianjur, yang memiliki ciri tersendiri, berbeda dengan daerah provinsi

lainnya yang bersumber dari beban tugas, tanggung jawab, dan tantangan yang

lebih kompleks. Kompleksitas permasalahan itu juga berkaitan erat dengan

keberadaannya sebagai penyangga pusat pemerintahan negara, faktor luas wilayah

yang terbatas, jumlah dan populasi penduduk yang tinggi dengan segala dampak

yang ditimbulkannya terhadap aspek-aspek urbanisasi, keamanan, transportasi,

Page 74: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

74

lingkungan, pengelolaan kawasan khusus dan masalah sosial kemasyarakatan lain

yang memerlukan pemecahan masalah secara sinergis melalui berbagai instrumen.

Untuk menjawab tantangan yang serba kompleks itu maka sangat

dirasakan pentingnya pemberian otonomi hanya pada lingkup Provinsi agar dapat

membina dan menumbuh kembangkan Cianjur dalam satu kesatuan perencanaan,

pelaksanaan, dan pengendalian. Dengan demikian, diharapkan Cianjur akan

mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan terpadu kepada masyarakat.

Dikaitkan dengan penerapan retribusi lalu lintas dan angkutan jalan jalan,

Kabupaten Cianjur sebagai daerah yang otonom memiliki kewenangan untuk

mengatur wilayahnya berdasarkan aspek pengelolaan aktivitas (kegiatan)

jalannya.

Kompleksitas permasalahan di Cianjur dengan ciri tersendiri membawa

dampak terhadap berbagai aspek, salah satu aspeknya yaitu bidang transportasi.

Kewenangan Cianjur dalam bidang transportasi dikategorikan dalam urusan wajib

yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten yang merupakan

urusan dalam skala kabupaten.

Salah satunya termasuk dalam penyediaan sarana dan prasarana umum

berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004) dan Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan kewenangannya dalam urusan pemerintahan, Daerah

Kabupaten Cianjur berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bahwa urusan

pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan,

pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang

didesentralisasikan.

Berdasarkan ketentuan tersebut Pemerintah Kabupaten Cainjur pun

memiliki kewenangan untuk mengatur sumber pendanaan bagi kelangsungan

pelaksanaan urusan pemerintahan. Dalam rangka pendanaan tersebut Pemerintah

Page 75: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

75

Kabupaten Cianjur memiliki kewenangan untuk memperoleh sumber pendapatan

dengan batasan Pasal 158 ayat (2) UU 32 Tahun 2004, bahwa pemerintahan

daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah

ditetapkan undang-undang.

Peran strategis Lalu Lintas dan Jalan dalam mendukung pembangunan

nasional dan pengaturannya di atur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan dalam Undang-undang ini Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus

dikembangkan potensi dan peranannya untuk mendorong pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan untuk menciptakan tata kelola

hidup yang lebih baik dengan menjamin terwujudnya keamanan, keselamatan,

ketertiban, kelancaran, berlalu lintas dan angkutan jalan. UU No.22 Tahun 2009

mengatur bahwa Negara bertanggung jawab dalam Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan dan pembinaannya diserahkan pada pemerintah. Pembinaan tersebut di bagi

menjadi empat urusan pemerintahan yaitu : (a) Perencanaan; (b) Pengaturan; (c)

Pengendalian; dan (d) Pengawasan.

Dengan semangat otonomi daerah sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004

maka dalam pelaksanaan pembinaan tersebut Pemerintah pusat dapat

menyerahkan sebagian urusannya kepada Pemerintah Provinsi dan atau

Pemerintah Kabupaten/Kota. UU ini juga mengatur bahwa penyelenggaraan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung pada masyarakat

dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang meliputi penyusunan

rencana program pelaksanaan pengaturan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta

penetapan tingkat pelayanan jalan yang diinginkan dengan melakukan

pengelolaan kebutuhan lalu lintas.

Pengaturan lalu lintas dan angkutan jalan ini, selain memiliki tujuan untuk

menciptakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar,

dan terpadu dengan moda angkutan lain, juga mempunyai tujuan untuk

mendorong perekonomian daerah, mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan

dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Aspek

keamanan juga mendapatkan perhatian yang ditekankan dalam pengaturan Lalu

Page 76: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

76

Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, di dalam aturan lalu lintas dan angkutan

jalan ini perlu juga ditekankan terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya

bangsa (just culture) melalui upaya pembinaan, pemberian bimbingan, dan

pendidikan berlalu lintas sejak usia dini serta dilaksanakan melalui program yang

berkesinambungan.

Dalam rangka memajukan usaha di bidang angkutan umum, pengaturan

lalu lintas dan angkutan jalan ini, perlu didukung oleh pengaturan secara

terperinci ketentuan teknis operasional mengenai persyaratan badan usaha

angkutan Jalan agar mampu tumbuh sehat, berkembang, dan kompetitif.

Kemudian, untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, perlu pula

didukung oleh pengaturan persyaratan teknis dan uji berkala kendaraan bermotor.

Setiap jenis Kendaraan Bermotor yang berpotensi menyebabkan Kecelakaan Lalu

Lintas dan menimbulkan pencemaran lingkungan wajib dilakukan uji berkala.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang

memadai perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang pembebanannya

dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang menggunakan dan / atau

menikmati pelayanan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Sesuai penjelasan

Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

ditentukan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan

lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-undang. Dengan demikian,

pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada peraturan

daerah, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi

dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur

dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 34 Tahun

2000, dan terakhir Undang-undang itu pun telah diubah dengan Undang-undang

No. 28 Tahun 2009.

Page 77: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

77

Sesuai dengan Undang-undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk

memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7

(tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota.

Menurut Bab II Pasal 2 Undang-undang No. 28 Tahun 2009 disebutkan

bahwa :

(1) Jenis pajak provinsi terdiri atas :

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Air Permukaan; dan

e. Pajak Rokok.

(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas :

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk

menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam

Undang-undang. Undang-undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum

untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-undang

tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang

dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan

Page 78: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

78

untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan

pemerintah.

Menurut Pasal 1 ayat (64) Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa Retribusi Daerah, yang

selanjutnya disebut Retribusi, adalah :

”Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan”. Kemudian menurut Bab VI Pasal 108 Undang-undang No. 28 Tahun 2009,

disebutkan bahwa :

(2) Objek retribusi adalah :

a. Jasa Umum;

b. Jasa Usaha; dan

c. Perizinan Tertentu.

Salah satu jenis retribusi yang hendak diatur di Kabupaten cianjur adalah

lalu lintas dan angkutan jalan. Oleh karena itu, untuk memberikan dasar pijakan

dalam pemungutan retribusi lalu lintas dan angkutan jalan tersebut, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur harus membuat Peraturan Daerah tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Perda sebagai jenis Peraturan perundang-undangan nasional memiliki

landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda

dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah

otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari Undang-undang

No.32 Tahun 2004.11 Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas

DPRD dalam membentuk Perda adalah Undang-undang No. 27 Tahun 2009

11 Disampaikan oleh Muhammad Sapta Murti, SH, MA, MKn, Deputi Menteri Sekretaris Negara

Bidang Perundang-undangan dalam Roundtable Discussion dengan Tema “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 29 -30 Maret 2010 di Jakarta

Page 79: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

79

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun

2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD.

Penting pula untuk diperhatikan Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak

dan Retribusi sebagai pengganti Undang-undang No.18 Tahun 1997 sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.34 Tahun 2004, dalam rangka

pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi.

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum

nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan

Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung

secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.

Perda sebagaimana Peraturan perundang-undangan lainnya memiliki

fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty).

Untuk berfungsinya kepastian hukum Peraturan perundang-undangan harus

memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana

dalam Peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan

sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya

hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.

Pengharmonisasian Peraturan perundang-undangan memiliki urgensi

dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah

adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan Peraturan perundang-undangan

lainnya.

B. Identifikasi Masalah.

1. Bagaimanakah ketentuan hukum nasional mengatur mengenai

retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

2. Bagaimanakah peran retribusi lalu lintas dan angkutan jalan dalam

meningkatkan penerimaan asli daerah Kabupaten Cianjur.

Page 80: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

80

3. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan perlu dibuatnya peraturan

daerah Kabupaten Cianjur di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Retribusi Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

1. Tujuan.

Naskah Akademik ini disusun untuk merumuskan pokok-

pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur

tentang Retribusi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berdasarkan

amanat Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan wajib dilakukan secara demokratis,

aspiratif, akomodatif, partisipatif, dan kolaboratif.

2. Kegunaan.

Naskah Akademik ini diharapkan :

a) Bagi Pemerintah Kabupaten Cianjur :

1) Dapat memberikan pemahaman kepada pengambil

kebijakan tentang Retribusi Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dan tata cara penerapannya.

2) Dapat memberikan kerangka hukum (legal

framework) bagi perumusan ketentuan dan pasal-

pasal dari Raperda tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

b) Secara umum :

1) Instrumen hukum untuk mengurangi kemacetan

lalau lintas pada kawasan tertentu;

2) Menghemat (efisiensi) penggunaan waktu tempuh

perjalanan;

3) Dana hasil retribusi lalu lintas dan angkutan jalan

diperuntukkan bagi pembangunan dan

Page 81: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

81

pengembangan sarana dan prasarana transportasi

umum;

c) Bagi Masyarakat.

1) Diharapkan akan mengubah perilaku pengguna

kendaraan bermotor dalam berlalu lintas, antara lain

dalam hal mengatur waktu perjalanan dan

penentuan alternatif jalan yang akan dilalui;

2) Mengurangi stress pengemudi akibat kemacetan

lulu lintas yang parah;

C. Metode Penelitian.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Kajian Yuridis Normatif

Kajian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif

disebut juga penelitian doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini

hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

manusia yang dianggap pantas.

Oleh karena itu: pertama, sebagai sumber datanya hanyalah

data sekunder, yang terdiri dari :

a) Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat

yaitu Peraturan Perundang-undangan. Adapun peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan retribusi di

bidang lalu lintas dan angkutan jalan, adalah Undang-

Page 82: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

82

Undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan

Daerah, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, dan Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang

Jalan.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau

pendapat pakar hukum, makalah-makalah, jurnal ilmiah,

dan hasil-hasil penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum),

eksiklopedia, kamus artikel-artikel pada koran/surat kabar

dan majalah-majalah.

Kedua, karena penelitian hukum normatif sepenuhnya

menggunakan data sekunder (bahan kepustakaan), penyusunan

kerangka teoretis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan,

tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak diperlukan. Di

dalam menyusun kerangka konsepsional, dapat dipergunakan

perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian.

Ketiga, dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan

hipotesis, kalaupun ada, hanya hipotesis kerja.

Keempat, konsekuensi dari (hanya) menggunakan data

sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan

Page 83: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

83

sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya)

memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti

dengan data jenis lainnya. Biasanya penyajian data dilakukan

sekaligus dengan analisisnya.

2. Kajian Yuridis Sosiologis.

Pada kajian hukum atau penelitian hukum yang sosiologis,

hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil

dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Apabila hukum

sebagai gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel

bebas/sebab (independent variable) yang menimbulkan pengaruh

dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial, kajian itu

merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio-legal research).

Namun, jika hukum dikaji sebagai variabel

tergantung/akibat (dependent variable) yang timbul sebagai hasil

dari berbagai kekuatan dalam proses sosial, kajian itu merupakan

kajian sosiologi hukum (sociology of law).

Perbedaan antara penelitian hukum normatif dengan

penelitian hukum sosiologis, dapat diuraikan karakteristik yang

dimiliki oleh penelitian hukum sosiologis :12

a. Seperti halnya pada penelitian hukum normatif yang

(hanya) menggunakan bahan kepustakaan sebagai data

sekundernya, maka penelitian hukum yang sosiologis, juga

menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang

kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data

lapangan. Dengan demikian, penelitian hukum yang

sosiologis tetap bertumpu pada premis normatif, berbeda

dengan penelitian ilmuilmu sosial yang hendak mengkaji

hukum, di mana hukum “ditempatkan” sebagai dependent 12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 133-134.

Page 84: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

84

variable, oleh karena itu, premis sosiallah yang menjadi

tumpuannya.

b. Definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan

perundang-undangan, khususnya terhadap penelitian yang

hendak meneliti efektivitas suatu undang-undang.

c. Hipotesis kadang-kadang diperlukan, misalnya penelitian

yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara berbagai

gejala atau variabel.

d. Akibat dari jenis datanya (data sekunder dan data primer),

maka alat pengumpul datanya terdiri dari studi dokumen,

pengamatan (observasi), dan wawancara

(interview). Pada penelitian hukum sosiologis selalu

diawali dengan studi dokumen, sedangkan pengamatan

(observasi) digunakan pada penelitian yang hendak

mencatat atau mendeskripsikan perilaku (hukum)

masyarakat. Wawancara (interview) digunakan pada

penelitian yang mengetahui misalnya, persepsi,

kepercayaan, motivasi, informasi yang sangat pribadi

sifatnya.

e. Penetapan sampling harus dilakukan, terutama jika hendak

meneliti perilaku (hukum) warga masyarakat. Dalam

penarikan sampel, hendaknya diperhatikan sifat atau ciri-

ciri populasi.

f. Pengolahan datanya dapat dilakukan baik secara kualitatif

dan/atau kuantitatif.

Akhirnya, kegunaan penelitian hukum sosiologis adalah

untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk

proses penegakan hukum (law enforcement). Karena penelitian

jenis ini dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang

Page 85: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

85

ada di balik pelaksanaan dan penegakan hukum. Disamping itu,

hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam

penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Dikaitkan

dengan kajian hukum penerapan Retribusi Pengendalian Lalu

Lintas maka kajian hukum yang sosiologis sangat berguna dalam

rangka penyusunan suatu peraturan perundang-undangan yang

akan mengaturnya, bahwa setiap norma hukum yang dituangkan

dalam perundangundangan haruslah mencerminkan tuntutan

kebutuhan dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.

3. Kajian Yuridis Filosofis.

Setiap masyarakat selalu mempunyai rechtsidee yakni apa

yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum

diharapkan untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan dan

ketertiban maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee

tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk,

pandangan mereka mengenai hubungan individual dan

kemasyarakat dan lain sebagainya termasuk pandangan tentang

dunia gaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut

pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan

mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi

nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah

laku masyarakat.13

Menurut Rudolf Stammier, cita hukum adalah konstruksi

pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum

pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Selanjutnya Gustav

Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti Stammler dari aliran

NeoKantian menyatakan bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok

13 Bagir Manan, 1992, Dasar‐dasar Perundang‐undangan Indonesia, IN‐HILL‐Co., Jakarta, hlm. 17

Page 86: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

86

ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum,

hukum akan kehilangan maknanya.14

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan proses

terwujudnya nilai-nilai yang terkandung cita hukum ke dalam

norma hukum tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan

akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-

undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai tersebut dapat

terjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang

dibuat.

4. Kajian Yuridis Komparasi (Penelitian Perbandingan Hukum).

Dalam kajian komparasi atau penelitian perbandingan

hukum, acapkali yang diperbandingkan adalah sistem hukum

masyarakat yang satu dengan sistem hukum masyarakat yang lain,

sistem hukum negara yang satu dengan sistem hukum negara

lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan

perbedaan masing-masing sistem hukum yang diteliti.

Sebagaimana dikemukakan oleh D. Kokkini-latridou yang

menyatakan:

”No matter how systematically it is carried out, research cannot be described as being ‘comparative’ if it does not give an ‘explanation’ of the similarities and differences”.15

Pendapat D. Kokkini-latridou dapat diartikan bahwa:

”Bagaimanapun sistematisnya hal itu dilakukan, suatu penelitian

tidak dapat dikatakan sebagai ‘perbandingan’ jika penelitian

tersebut tidak memberikan penjelasan tentang persamaan-

persamaan dan perbedaan-perbedaan”. 14 15 Johannes Gunawan, 2003, Perbandingan Hukum Kontrak, Materi Kuliah Universitas Katolik Parahyangan, Program Pascasarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum.

Page 87: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

87

Jika ditemukan persamaan dari masing-masing sistem

hukum tersebut, dapat dijadikan dasar unifikasi sistem hukum.

Dalam kaitannya dengan kajian hukum Retribusi di bidang lalu

lintas dan angkutan jalan diperlukan komparasi atau perbandingan

dalam kajian atau penelitian ini dari berbagai daerah yang telah

terlebih dahulu menerapkan retribusi lalu lintas dan angkutan jalan

untuk dijadikan bahan perbandingan. Jika sesuai dengan kondisi

khususnya di Kabupaten Cianjur, maka tidak ada salahnya

diterapkan di sini.

BAB II

ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM

PENYUSUNAN NORMA

A. Pengertian dan Peranan Asas Hukum.

Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan asas adalah pikiran dasar yang

umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat

di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim, yang merupakan hukum positif dan

dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan konkrit tersebut.16

Lebih lanjut, beberapa pakar memberikan pengertian asas hukum, seperti

Paul Scholten yang memberikan pengertian asas hukum sebagai berikut :

“Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan

16 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 5. 2 Istilah asas dan prinsip seringkali digunakan secara bergantian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “prinsip” diartikan sebagai dasar atau asas.

Page 88: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

88

dengannya dimana ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.17

Kemudian Satjipto Rahardjo, mengartikan asas hukum sebagai suatu hal

yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth

atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan

sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum

menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai

etis, moral, dan sosial masyarakatnya.18 Asas-asas hukum berfungsi untuk

menafsirkan aturan-aturan hukum dan juga memberikan pedoman bagi suatu

perilaku. Asas hukum pun menjelaskan dan menjustifikasi norma-norma hukum,

dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologis tertib hukum.19

Smits, memberikan pandangannya bahwa asas hukum memiliki 3 (tiga)

fungsi, yaitu : Pertama, asas-asas hukum memberikan keterjalinan dari aturan-

aturan hukum yang tersebar; Kedua, asas-asas hukum dapat difungsikan untuk

mencari pemecahan atas masalah-masalah baru yang muncul dan membuka

bidang-bidang liputan masalah baru. Dari kedua fungsi tersebut, diturunkan fungsi

ketiga, bahwa asas-asas dalam hal-hal demikian dapat dipergunakan untuk

“menulis ulang” bahan-bahan ajaran hukum yang ada sedemikian rupa, sehingga

dapat dimunculkan solusi terhadap persoalan-persoalan baru yang berkembang.20

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum

bertujuan untuk memberikan arahan yang layak/pantas menurut hukum

(rechtmatig) dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-aturan hukum.

Asas hukum berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana

hukum dapat dijalankan. Asas-asas hukum tersebut tidak saja akan berguna

17 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hlm. 119-120. 18 Satjipto Raharjo, Peranan Dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka Hukum

Nasional (Pembahasan Terhadap Makalah Sunaryati Hartono), Seminar dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 19-20 Oktober 1988, tanpa halaman.

19 R.J. Jue, Grondbeginselen van het recht, Groningen, 1980, hlm. 63. 20 J.M. Smits, Het vertrouwensbeginsel en de contractuele gebondenheid, diss, RUL 1995,

Arnhem, 1995, hlm. 68-69.

Page 89: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

89

sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi juga dalam hal

menerapkan aturan.

B. Asas-asas Dalam Peruran Daerah di Bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Di dalam hukum pembentukan peraturan daerah dimuat sejumlah asas-

asas hukum, dimana pilihan asas itu haruslah dilandasi oleh filosofi dan tujuan

pengembangan dan penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan,

dan pada gilirannya asas-asas tersebut terjabarkan dalam draf ketentuan-ketentuan

peraturan pemerintah terkait dengan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan

jalan nantinya.

Secara khusus penerapan Retribusi lalu lintas dan angkutan jalan memuat

asas-asas/prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Kelestarian

Yang dimaksud dengan “asas kelestarian” adalah bahwa setiap orang

memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan

terhadap sesamanya dalam satu generasi. Kewajiban dan tanggung jawab

itu ditunjukkan melalui upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung

ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup, yang diwujud

dengan memfasilitasi identifikasi opsi-opsi pembangunan/upaya

perlindungan dan pengelolaan lingkungan dengan alternatif

rancangan/usulan yang lebih baik.

2. Keberlanjutan

Yang dimaksud dengan keberlanjutan adalah adanya kesinambungan

antara kebijakan yang akan diambil dengan kebijakan sebelumnya baik itu

dalam aspek perencanaan, penyelenggaraan ataupun pemanfaatan sumber

daya sektor transportasi. Terkait dengan penerapan Retribusi di bidang lalu

lintas dan angkutan jalan, pendapatan yang diperoleh dari Retribusi dari

bidang lalu lintas dan angkutan jalan harus dimanfaatkan kembali untuk

Page 90: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

90

peningkatan layanan sektor transportasi secara berkelanjutan, sehingga

penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan harus

merupakan kelanjutan bahkan peningkatan dari kebijakan demand

manajemen yang sebelumnya telah diambil dan bukan malah sebaliknya.

3. Keserasian dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa

pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek

seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta

pelestarian ekosistem. Dalam hal ini penyelenggaraan-nya senantiasa

dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan, keadilan dan

kesetaraan berdasarkan kepentingan sosial.

4. Manfaat

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha

dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan

potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan

lingkungannya.

5. Keterpaduan

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai

unsur atau mensinergikan berbagai komponen terkait. Dalam hal ini dapat

diwujudkan dalam bentuk:

a. Memastikan bahwa penerapan dan pengembangan Retribusi di

bidang lalu lintas dan angkutan jalan sudah relevan untuk

tercapainya pembangunan berkelanjutan.

b. Memuat saling keterkaitan antara aspek biofisik, sosial, dan

ekonomi untuk setiap pemanfaatan ruang.

c. Terkait secara hierarkis dengan kebijakan di sektor tertentu dan

wilayah (lintas batas) termasuk dengan sektor keuangan.

Page 91: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

91

6. Kehati-hatian (pencegahan)

Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian atau pencegahan” adalah

bahwa setiap usaha atau kegiatan harus disusun berdasarkan perencanaan

yang matang sehingga dapat dilakukan antisipasi atau upaya untuk

mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan. Upaya ini dilakukan

mulai dari tahap perencanaan yaitu tentang pemilihan lokasi karena terkait

dengan penataan ruang, pemilihan egiatan atau usaha, pemilihan teknologi,

proses produksi atau pelaksanaannya.

7. Pencemar membayar

Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap

penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung

biaya pemulihan lingkungan. Dalam konteks transportasi adalah pengguna

membayar.

8. Partisipatif

Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota

masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan

keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Asas ini dapat

diwujudkan sebagai berikut :

a. Memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak

yang berkepentingan, masyarakat yang potensial terkena

dampak, dan instansi pemerintah disepanjang proses pengambilan

keputusan.

b. Terdokumentasi secara eksplisit segala masukan dan pertimbangan

yang mengemuka di dalam proses penetapan penerapan Retribusi

di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

c. Memiliki kejelasan informasi yang mudah dipahami, serta

menjamin akses yang memadai untuk semua informasi serta

fasilitas Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang

dibutuhkan.

Page 92: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

92

9. Tata kelola pemerintahan yang baik

Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah

bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh

prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

10. Otonomi

Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah

dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, asas-asas yang harus dimuat dalam penyusunan peraturan

daerah termasuk Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, yaitu dari sudut pandang :

1. Materi Muatan Peraturan Daerah :

Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, dilihat dari sudut pandang muatan peraturan

daerahnya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana

digambarkan di bawah ini.

Sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 10 Tahun 2004,

disebutkan bahwa :

“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”

Kemudian, Peraturan Daerah tersebut harus pula sesuai dengan

Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Jo Pasal 138 Undang-undang

No. 32 Tahun 2004, yang menentukan bahwa “Materi Perda harus

memperhatikan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, antara

lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, dan yang terpenting

Page 93: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

93

ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang No.10 Tahun

2004 jo Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 bahwa

materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau

peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam

penjelasan Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004

dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah

kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga

masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya

ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara

penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap

Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189 Undang-undang No. 32 Tahun

2004 yang menyebutkan bahwa :

“Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang”.

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 Peraturan Daerah

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 185, berbunyi sebagai berikut :

“(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

Page 94: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

94

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(3) Apabila Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan

Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.

(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi

rancangan Perda tentang APBD penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur

dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Pasal 186, berbunyi sebagai berikut :

(1) Rancangan bersama dan rancangan Peraturan Bupati/

Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/

Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota

tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota.

Page 95: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

95

(4) Apabila APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

(5) Apabila DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan

rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

(6) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda

kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri.

Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi

kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda

dengan perturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Perda

lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda

dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.

Raperda yang mengatur pajak daerah, dan retribusi daerah,

sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh

Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur

terhadap Raperda kabupaten/kota.

Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan

retribusi diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158 Undang-undang No. 28

Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, khususnya berkaitan

dengan Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah tentang Pajak dan

Retribusi, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 157 berbunyi sebagai berikut :

“(1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling

Page 96: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

96

lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

(2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak

dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap

Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih Tinggi.

(5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan

evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri

Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan.

(7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.

(8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud

pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.

(9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana

Page 97: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

97

dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.

(10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Kemudian Pasal 158 berbunyi sebagai berikut :

“(1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

(2) Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri

Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan

oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.

(5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak

Page 98: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

98

diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan

pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.

(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima

keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)

dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.

Selanjutnya sesuai Pasal 159 Undang-undang No.28 Tahun

2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan

Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri

dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi

Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.

2. Urgensi Harmonisasi Peraturan Daerah dengan Peraturan

Perundang-undangan Lain.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses yang

diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya

sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau

konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem

Page 99: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

99

asas hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua

peraturan perundang-undangan termasuk Perda baik secara vertikal

maupun horisontal.

Dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu

yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi peraturan perundang-

undangan untuk semua jenis peraturan perundang-undangan termasuk

Perda.

Bab II, Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Asas

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :

”Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus

berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan

yang baik yang meliputi :

e. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

f. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

g. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan

adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.

h. Asas dapat dilaksanakan

adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan

adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat

Page 100: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

100

dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. Asas kejelasan rumusan.

adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

h. Asas keterbukaan.

adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian, Pasal 6 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 berbunyi

sebagai berikut :

(1) Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas :

(a) Asas pengayoman. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

(j) Asas kemanusiaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

(k) Asas kebangsaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

Page 101: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

101

(l) Asas kekeluargaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

(m) Asas kenusantaraan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

(n) Asas bhinneka tunggal ika. adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(o) Asas keadilan.

adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

(p) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

(q) Asas ketertiban dan kepastian hukum.

adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

(j) asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

Page 102: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

102

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

(2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang

hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain: (a) Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas

tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

(b) Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum

perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.

BAB III

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

A. Kajian Keterkaitan dengan Hukum Positif yang Terkait.

Beberapa ketentuan hukum positif yang memiliki keterkaitan dengan

pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur di bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, yaitu sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 23 A yang menyatakan: “Pajak dan pungutan lain yang

bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Menurut ketentuan tersebut pemungutan harus didasarkan pada undang-

undang mengingat pajak atau pungutan merupakan peralihan kekayaan

dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalan yang dapat

ditunjukkan secara langsung.

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan.

Page 103: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

103

Undang-undang ini mengatur secara spesifik pengelolaan

kebutuhan lalu lintas pada Pasal 133, yang berbunyi sebagai berikut :

”(1) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan pengendalian pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas...”.

(2) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada

Pasal (1) dilaksanakan dengan cara : a) Pembatasan Lalu Lintas kendaraan perseorangan pada

koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.

b) Pembatasan Lalu Lintas kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.

c) Pembatasan Lalu Lintas motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.

d) Pembatasan Lalu Lintas kendaraan bermotor umum sesuai dengan klasifikasi fungsi jalan” .

(3) Pembatasan Lalu Lintas sebagai mana dimaksud ayat (2) huruf (a) dan (b) dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas yang diperuntukkan untuk meningkatkan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Manajemen pembatasan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi

secara berkala oleh menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana Lalu Lintas dan angkutan jalan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait. Undang-undang yang dimaksud disini dapat diartikan selain undang-undang yang bersifat nasional, juga undang‐undang yang berada pada level daerah, yaitu Peraturan Daerah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai menagemen kebutuhan Lalu

Lintas diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

Beberapa pasal Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan

yang memiliki kaitan dengan materi pembuatan naskah akademik di

bidang lalu lintas dan angkutan jalan ini adalah sebagai berikut :

Pasal 1 angka 4 yang menyatakan bahwa :

“Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya

Page 104: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

104

yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan Iori, dan jalan kabel”. Berdasarkan ketentuan tersebut jalan sebagai prasarana transportasi

darat meliputi segala bagian jalan, karena semua pusat kegiatan beserta

wilayah pengaruhnya membentuk satuan wilayah pengembangan. Pusat

pengembangan dimaksud dihubungkan dalam satu hubungan hierarkis

dalam bentuk jaringan jalan yang menunjukkan struktur tertentu. Dengan

struktur tersebut, bagian jaringan jalan akan memegang peranan masing-

masing sesuai dengan hierarkinya.

Kemudian Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

”Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari aspek ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat

merupakan katalisator di antara proses produksi, pasar, dan konsumen

akhir. Dari aspek sosial budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala

masyarakat yang dapat menjadi wahana perubahan sosial, membangun

toleransi, dan mencairkan sekat budaya. Dari aspek politik, keberadaan

jalan menghubungkan dan mengikat antardaerah, sedangkan dari aspek

pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan memberikan akses dan

mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan.

Lebih lanjut, Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

”Masyarakat sebagai pengguna jalan berhak memberikan masukan kepada penyelenggaran jalan dalam rangka pengaturan pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan, berperan serta dalam penyelenggaraan jalan, memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan, memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan jalan, memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam

Page 105: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

105

pembangunan jalan, dan mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pembangunan jalan”.

4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa :

“Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup”.

Yang dimaksud dengan instrumen ekonomi dalam perencanaan

pembangunan adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam

perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi.

Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi :

a. Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;

b. Pendanaan lingkungan hidup; dan

c. Insentif dan/atau disinsentif.

5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab

kepada Daerah, sehingga ada peluang dan kebebasan bagi Daerah untuk

lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa

sendiri, sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap

Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah dilaksanakan secara luas, utuh

dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.

Pembagian kewenangan ini pada hakikatnya merupakan

pembagian tugas, kewajiban, dan tanggung jawab. Hubungan kewenangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga merupakan hubungan dan

pembagian tugas dari Negara kepada penyelenggara negara pada tingkat

Pusat secara nasional dan Daerah secara regional dan lokal untuk

Page 106: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

106

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerataan dan

keadilan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa :

”(4) Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan pemerintah daerah lainnya.

(5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi

hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya.

(6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan

sumberdaya alam, sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.

(7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,

pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya lainnya menimbulkan hubungan administratif dan kewilayahan antar susunan pemerintahan”.

Kemudian Pasal 13 ayat (1) huruf d menyatakan:

“Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Propinsi merupakan urusan dalam skala propinsi” salah satunya adalah penyediaan sarana dan prasarana umum”.

Lebih lanjut, Pasal 158 ayat (2) Undang-undang No. 32 Tahun

2004, menyebutkan bahwa : ”Pemerintahan daerah dilarang melakukan

pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-

undang”.

6. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, menyebutkan bahwa :

”Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Page 107: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

107

Republik Indonesia sebagai mana di maksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”. Kemudian, menurut Pasal 1 ayat (10) disebutkan bahwa : ”Pajak Daerah, yang selanjutnya di sebut pajak, adalah kontribusi wajib pada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Lebih lanjut, Pasal 150 Jenis retribusi selain yang ditetapkan dalam

Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 sepanjang memenuhi kriteria

(a) retribusi jasa umum ; (b) retribusi jasa usaha, (c) retribusi perizinan

tertentu, dapat di jadikan sebagai retribusi (jenis retribusi tambahan) yang

di tetapkan oleh peraturan daerah.

Pasal 133 UU 22 Tahun 2009 telah memberikan dasar hukum bagi

penerapan Pengelolaan Pembatasan Lalu Lintas sebagai retribusi

tambahan, sehingga dapat diberlakukan sebagai retribusi tambahan daerah.

B. Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur di Bidang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 108: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

108

BAB IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan.

Sesuai dengan doktrin hukum dan Undang-undang No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, maka materi muatan Peraturan

Daerah tentang Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas Melalui Pengenaan Retribusi

di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah hal-hal yang secara tegas

diperintahkan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Dengan perkataan lain, Perda di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

adalah peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 dan Peraturan

Pemerintah Tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dengan konsekwensi

bahwa isi Perda tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU dan

PP yang bersangkutan.

Dalam Raperda di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini secara garis

besar dimuat ketentuan terkait dengan:

1. Ketentuan Umum

2. Tujuan

Page 109: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

109

3. Asas

4. Ruang Lingkup

5. Tata Laksana dan Kelembagaan

6. Pelibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingan

7. Pemantauan dan Tindak Lanjut.

B. Saran

Oleh karena tata cara pengembangan dan penerapan Retribusi di bidang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sarat dengan persoalan teknis, maka langkah

selanjutnya setelah penerbitan Perda ini adalah segera menerbitkan Pedoman

Pelaksanaan Retribusi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Adapun tentang substansi Pedoman dapat diacu berbagai Pedoman yang

telah ada dalam perda daerah lain yang telah terlebih dahulu menerapkan

Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Page 110: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

110

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, IN-

HILL-Co.

2. B.R. Atre, 2001, Legislative Drafting: Principles and Techniques, Universal

Law

Publishing Co.

3. Jaja Zakaria, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, Serta Penerapannya di

Indonesia,

PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

4. Lothar Gundling, Public Participation in Environmental Decision, lihat

Koesnadi

Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press.

5. Maria Farida Indristi S. Ilmu Perundang-Undangan. Proses dan Teknik

Pembentukannya

6. Marihot P. Siahaan, 2006, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, PT. Rajagrafindo

Persada,

Jakarta.

7. Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Sebuah

Pengantar,

PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Prasetio Utomo, 2005.

Page 111: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

111

8. Rogene A. Buchholz, 1993, Principle of Environmental Manajement: The

Greening of

Business, Prentice Hall.

9. Yadav P.R, People's Participation: Focus on Mobilisation of The Rural

Development,

Alternative Startegis, U.Ns Asian and Pacific Development Inst., Bangkok Con.

Pbl.

Comp. New Delhi

10. Zamor G,C, 1985, Public Participation in Development Planing and

Manajement, cases

from Africa and Asia, West View Press, London.

Page 112: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

112

OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB RETRIBUSI

1. Obyek Retribusi adalah pemberian izin trayek untuk menyediakan

angkutan

penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu yang

seluruhnya

berada dalam daerah;

2. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang mendapatkan izin

Page 113: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

113

trayek;

3. Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud, terdiri dari :

- Retribusi Izin Trayek;

- Retribusi Izin Operasi;

- Retribusi Izin Insidentil.

4. Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jumlah izin yang diberikan

dan jenis angkutan umum penumpang;

5. Jumlah izin yang diberikan disesuaikan berdasarkan kebutuhan pada pola

jaringan trayek yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;

6. Jenis angkutan umum penumpang terdiri dari :

a. Angkutan kota/pedesaan yaitu Mobil Bis/Mobil Penumpang Umum

dengan menggunakan trayek yang seluruhnya berada dalam satu

wilayah daerah;

b. Angkutan Taksi yaitu Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda

khusus

dan dilengkapi argometer dengan wilayah operasi terbatas;

c. Angkutan dengan cara sewa yaitu Mobil Penumpang Umum yang diberi

tanda khusus pada penomoran kendaraan dan merupakan pelayanan dari

pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi dengan wilayah operasi

tidak terbatas;

d. Angkutan untuk keperluan pariwisata yaitu Mobil Penumpang Umum

yang diberi tanda khusus dan merupakan pelayanan angutan ke dan dari

daerah tempat wisata;

e. Angkutan untuk keperluan antar jemput karyawan/Siswa sekolah

yaitu Mobil Bis Umum dan Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda

khusus dan merupakan pelayanan angkutan karyawan/ Sekolah;

f. Angkutan khusus adalah pelayanan angkutan orang yang penggunaannya

bersifat khusus.

Page 114: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

114

C. DASAR PENGENAAN, TARIF dan CARA PERHITUNGAN

1. Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi

didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya

penyelenggaraan pemberian izin trayek;

2. Biaya sebagaimana dimaksud meliputi komponen biaya survey lapangan dan

biaya transportasi dalam rangka pengendalian dan pengawasan;

3. Struktur dan besarnya tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis angkutan

penumpang umum daya angkut;

4. Struktur dan besarnya tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk

permohonan baru adalah sebagai berikut :

Jenis

Angkutan

Kapasitas

Tempat

Duduk

Tarif (Rp)

Mobil

Penumpang

- s/d 8

orang

71.500

Mobil Bis - 9 s/d 15

orang

- 16 s/d 25

orang

- lebih dari 25

orang

110.000

115.500

121.000

Angkutan

Khusus

55.000

5. Struktur dan besarnya tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk

permohonan daftar ulang adalah sebagai berikut

Page 115: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

115

Jenis

Angkutan

Kapsaitas

Tempat

Duduk

Tarif (Rp)

Mobil

Penumpang

- s/d 8

orang

25.000

Mobil Bis - 9 s/d 15

orang

- 16 s/d 25

orang

- lebih dari 25

orang

37.500

42.500

47.500

Angkutan

Khusus

25.000

6. Setiap pemberian izin Insidentil untuk satu kali perjalanan PP selama 7

(tujuh) hari tarif retribusi sebesar Rp.15.000,- (lima belas ribu rupiah);

7. Setiap pemberian/pertimbangan/advis untuk sebagai salah satu syarat izin

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat atau Pemerintah

Pusat tarif retribusi sebesar Rp. 25.000,-

Pembiayaan.

Suatu negara bisa mengenakan besaran pajak di atas atau di bawah

pengeluaran untuk jalannya. Perbandingan antara pajak jalan dan pengeluaran

negara untuk sektor jalan di beberapa negara maju diperlihatkan dalam tabel 1.

Hal ini bisa dikaitkan dengan tujuan-tujuan negara yang lebih luas. Kebanyakan

negara maju justru mengenakan pajak di atas kebutuhan pengeluaran untuk

jalannya, kecuali negara negara yang mengutamakan kendaraan pribadi

(Amerika), produsen mobil terbesar (Jepang) serta negara wisata (Austria).

Hubungan antara pajak kendaraan dengan pengeluaran untuk sektor jalan bisa

Page 116: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

116

berbeda di tiap-tiap negara. Pada negara maju dengan alasan transparansi dan

akuntabilitas hubungan antara pajak jalan dengan pengeluaran sektor jalan sangat

jelas bahkan ada yang sudah dikelola secara terpiah dalam skema yang disebut

road fund. Inggris telah menerapkan skema ini pada tahun 1930-an hingga

dilakukannya penghapusannya tahun 1937 (Sutomo,2003).

Persyaratan Ijin Trayek Kendaraan :

1. Kendaraan Baru :

h. Surat Permohonan dari pemilik/pemohon;

i. Surat Permohonan dari Show room/Dealer;

j. Kartu Tanda Penduduk Pemilik/Pemohon;

k. Rubah Bentuk (RB) data No Mesin/Chasys Kendaraan;

l. Data Kendaraan yang akan dijadikan Pengganti/diremajakan (Rubah

Status/Rubah Bentuk/Mutasi ke luar Daerah);

m. Rekomendasi dari Sub Terminal;

n. Rekomendasi dari Organda dan Jalur.

2. Daftar Ulang/ Heregistrasi :

i. Surat Permohonan daftar Ulang Pemilik/Pemohon

j. Photo Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP)

k. Photo Copy Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK)

l. Photo Copy Surat Ijin Trayek (SK)

m. Photo Copy Buku Ijin/KIr

n. Photo Copy Surat Ijin Pengusaha Angkutan (SIPA)

o. Photo Copy Organda

p. Kartu Pengesahan (KP) Asli

Prosedur Ijin Trayek kendaraan

1. Kendaraan Baru

i. Permohonan

j. Loket Penerimaan

k. Pengajuan kendaraan baru (Peremajaan/Pengganti)

Page 117: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

117

l. Pengajuan kendaraan Angkutan Kota diproses di Kasi Angkutan

Kota/Pedesaan

m. Pengajuan Angkutan Pedesaan diproses di Kasi Angkutan pedesaan

(bilamana telah memenuhi persyaratan)

n. Kasub Din Angkutan

o. Kepala Dinas

p. Selesai.

2. Daftar Ulang/Heregistrasi

h. Pemohonan

i. Loket Penerimaan

j. Pengajuan daftar ulang/heregistrasi

k. Pengajuan daftar ulang Angkutan Kota dip roses di Kasi Angkutan

Kota/Pedesaan

l. Pengajuan daftar ulang Pedesaan diproses di Kasi Angkutan Pedesaan

(bilamana telah memenuhi persyaratan)

m. Kasub Din Angkutan

n. Selesai.

Waktu

10 Menit selesai Apabila semua persyaratan telah lengkap

Proses Ijin Trayek

Page 118: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

118

Page 119: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

119

BAB III

KAJIAN LEGALITAS

B. Hierarki Perundangan

Jenis dan Hierarki peraturan perundangan menurut Pasal 7 Undang- undang

RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

adalah sebagai berikut :

6. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

7. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang;

8. Peraturan Pemerintah;

9. Peraturan Presiden;

10. Peraturan Daerah.

Sesuai dengan hierarki ini, maka peraturan yang dijadikan dasar bagi

penyusunan peraturan daerah bidang transportasi darat adalah :

8. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ;

9. Undang-undang RI Nomor 38 Tahun

2004 tentang Jalan ;

10. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah ;

11. Undang-undang RI Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah ;

12. Undang-undang RI Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang ;

Page 120: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

120

13. Undang-undang RI Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan ;

14. Perda No 10 Tahun 1999 Tentang

Retribusi Ijin Trayek di Kabupaten Cianjur

Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 belum dilengkapi dengan peraturan

pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaanya. Beberapa peraturan pemerintah yang

masih diacu dalam penyelenggaraan transportasi darat adalah merupakan petunjuk

pelaksanaan undang- undang yang ada sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor

14 Tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan yang pada masanya sempat

ditangguhkan karena “kontroversi” besaran sanksi yang dianggap terlalu berat

bagi masyarakat, peraturan pemerintah dimaksud adalah sebagai berikut :

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

1993 tentang Angkutan Jalan ;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan ;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

1993 tentang Prasarana dan Lalulintas Jalan;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun

1993 tentang Kendaraan dan pengemudi

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Daerah diatur pada Pasal 136 sebagai berikut :

(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama

DPRD.

(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut

dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Page 121: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

121

(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang- undangan yang lebih

tinggi.

(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah

diundangkan dalam lembaran daerah.

Pada Pasal 137 dijelaskan bahwa :

Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang meliputi:

h. Kejelasan tujuan;

i. Kelembagaan atau organ pembentuk

yang tepat;

j. Kesesuaian antara jenis dan materi

muatan;

k. Dapat dilaksanakan;

l. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

m. Kejelasan rumusan; dan

n. Keterbukaan.

Hak masyarakt dalam penyusunan Peraturan Daerah diatur pada Pasal 139

ayat (1) sebagai berikut : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

atau tertulis

dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

Undang-undang ini adalah rujukan utama dalam penyusunan peraturan

daerah tentang penyelenggaraan perhubungan. Undang-undang ini juga

merupakan undang-undang pengganti atas undang-undang yang ada sebelumnya

yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan angkutan

Jalan. Pada saat awal proses penyusunannya, undang-undang nomor 22 Tahun

2009 diharapkan member nafas baru dalam penyelenggaraan perhubungan seperti

Page 122: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

122

pengembalian tugas pokok dan fungsi masing-masing seperti penyelenggaraan

surat ijin mengemudi oleh instansi perhubungan namun dalam kenyataannya hal

tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang

mencolok antara undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 dengan Undang-undang

nomor 22 tahun 2009, upaya penyempurnaan undang-undang terlihat pada

pembagian kewenangan yang semakin jelas antara kepolisian, perhubungan,

perdagangan dan perindustrian serta instansi yang membidangi jalan. Pembagian

kewenangan tersebut disesuaikan dengan nafas otonomi daerah dan

“disempurnakan” dengan adanya kewajiban koordinasi antar instansi.

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang – undang Nomor 22 Tahun

2009 ini dijelaskan pada Pasal 4 sebagai berikut :

Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancer melalui:

d. Kegiatan gerak pindah Kendaraan,

orang, dan/atau barang di Jalan;

e. Kegiatan yang menggunakan sarana,

prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

f. Kegiatan yang berkaitan dengan

registrasi dan identifikasi

Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas,

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Pembinaan diatur pada Pasal 5 sebagai berikut :

(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan

pembinaannya dilaksanakan olehPemerintah.

(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi:

a.Perencanaan;

b.Pengaturan;

c.Pengendalian;

d. Pengawasan.

Page 123: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

123

(3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya

yang meliputi:

a. Urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang

bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan

Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang

bertanggung jawab di bidang industri;

d. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang

bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Pada Pasal 6 disebutkan urusan pemerintah provinsi sebagai berikut : Urusan

pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintasdan Angkutan Jalan

meliputi:

a. Penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui

batas wilayah kabupaten/kota;

b. Pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada

perusahaan angkutan umum di provinsi; dan

c. Pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.

Undang – undang ini secara tersurat pada pasal 13 mengamanatkan pembentukan

forum penanganan transportasi darat yang diketuai oleh gubernur dan

beranggotakan dinas terkait seperti dinas perhubungan, dinas perindustrian dan

perdagangan, dinas pekerjaan umum, badan perencanaan daerah dan kepolisian.

Page 124: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

124

Tanggung jawab dan Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum diatur

pada Pasal 138 sebagai berikut :

(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan

yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.

(2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan

umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan

Bermotor Umum.

Sedangkan pada Pasal 139 disebutkan sebagai berikut :

(1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan

orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara.

(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk

jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.

(3)Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum

untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.

(4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara,

badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan

ketentuanperaturan perundang-undangan.

Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek

diatur pada Pasal 142 yaitu terdiri atas:

a. Angkutan lintas batas negara;

b. Angkutan antarkota antarprovinsi;

c. Angkutan antarkota dalam provinsi;

d. Angkutan perkotaan; atau

e. Angkutan perdesaan.

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek

diatur pada Pasal 151 yaitu terdiri atas:

Page 125: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

125

a. Angkutan orang dengan menggunakan taksi;

b. Angkutan orang dengan tujuan tertentu;

c. Angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan

d. Angkutan orang di kawasan tertentu.

Pasal 157

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor

Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung

jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Angkutan Massal diatur pada Pasal 158 sebagai berikut :

(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk

memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di

kawasan perkotaan.

(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

didukung dengan:

a. Mobil bus yang berkapasitas angkut massal;

b. Lajur khusus;

c. Trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan

massal; dan

d. Angkutan pengumpan

Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur pada pasal

160 sebagai berikut : Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri

atas:

a. Angkutan barang umum; dan

b. Angkutan barang khusus.

Kemudian pada Pasal 161 disebutkan persyaratan Pengangkutan barang

umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a sebagai berikut:

a. Prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan;

b.Tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan

membongkar barang; dan

Page 126: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

126

c. Menggunakan mobil barang.

Perizinan Angkutan diatur pada Pasal 173 sebagai berikut :

(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau

barang wajib memiliki:

a.Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;

b. Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau

c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.

(2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berlaku untuk:

a. Pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau

b. Pengangkutan jenazah.

Mekanisme perizinan diatur pada Pasal 174 sebagai berikut :

(1)Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa

dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat

pernyataan, dan kartu pengawasan.

(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangan-undangan.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu)

trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan

wajib:

a. Memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk

mendapatkan pelayanan;

b. Memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum

dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan

permintaan angkutan umum; dan

c. Melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan

orang dan barang.

Page 127: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

127

Arah pengembangan jasa angkutan umum diatur pada Pasal 198

sebagai berikut :

(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang

memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

(2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang

sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah

dan/atau Pemerintah Daerah harus:

a. Menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;

b. Menetapkan standar pelayanan minimal;

c. Menetapkan kriteria persaingan yang sehat;

d. Mendorong terciptanya pasar; dan

e. Mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat

diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyidikan di bidang lalulintas dan angkutan jalan diatur pada Pasal 259 sebagai

berikut:

(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

dilakukan oleh:

a.Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut

Undang-Undang ini.

(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a terdiri atas:

a. Penyidik; dan

b. Penyidik Pembantu.

Page 128: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

128

BAB IV

SUBSTANSI PERATURAN DAERAH

Seperti halnya produk hukum lainnya, peraturan daerah menganut azas kejelasan

tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara isi dan

materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan

rumusan, dan keterbukaan (Pasal 5 Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Selain itu, peraturan juga

selayaknya memperhatikan kewenangan dan aspirasi dari para pihak yang

berkepentingan (stake holders).

1. Perencanaan Ijin Trayek Transportasi Darat

2. Manajemen Transportasi

3.Pengendalian

Page 129: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

129

4. Pembiayaan, Peralatan dan Sumberdaya Manusia

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 130: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

130

C. Kesimpulan

Penyelenggaraan ijin trayek transportasi darat sekurang-kurangnya

meliputi tiga hal yaitu perencanaan, manajemen operasional dan pengendaliannya.

Perencanaan meliputi perencanaan jaringan dan simpul seperti jaringan trayek

angkutan umum, jaringan lintas angkutan barang, letak-letak terminal, shelter, rest

area dan lain-lain. Manajemen operasional meliputi manajemen atau pengaturan

penggunaan kendaraan umum dan kendaraan pribadi dengan prioritas angkutan

massal, penyediaan infrastruktur pendukung dan penetapan kebijakan

operasionalnya. Pengendalian yang termasuk didalamnya upaya penegakkan

hukum melibatkan semua instansi yang berwenang yaitu polisi lalu lintas dan

polisi pamong praja.

D. Saran

Peraturan daerah penyelenggaraan ijin trayek kendaraan terhadap

perhubungan disarankan tidak hanya mengikat pada tugas pokok dan fungsi dinas

perhubungan tapi meliputi semua elemen yang terlibat dan bertanggung jawab

dalam penyelenggaraan transportasi darat meliputi kepolisian daerah jawa barat,

dinas tata ruang, dinas bina marga, dinas pariwisata, dan lain- lain.

Page 131: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

131

Daftar Pustaka

Button, K J., 1993, Transport Economics, 2nd Edition, Edward Elgar,

Cheltenham, UK

Dishub Jabar, 2006, Study Evaluasi dan Penetapan Jaringan Trayek Angkutan

Orang di Jawa Barat.

One, L., Sutomo, H, 2003, Reformasi Sistem Pajak Kendaraan Bermotor

Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan ;

Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;

Undang-undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah ;

Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Penundang-

undangan ;

Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

;

Page 132: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

132

Perbandingan Pengaturan

UU Nomor 14 Tahun 1992 UU Nomor 22 Tahun 2009 Bab I Ketentuan Umum Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab II Asas dan Tujuan Bab III Pembinaan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan

Undang-Undang Bab IV Prasarana Bab IV Pembinaan Bab V Kendaraan Bab V Penyelenggaraan Bab VI Pengemudi Bab VI Jaringan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Bab VII Lalu Lintas Bab VII Kendaraan Bab VIII Angkutan Bab VIII Pengemudi Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat Bab X Dampak Lingkungan Bab X Angkutan Bab XI Penyerahan Urusan Bab XI Keamanan dan

Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XII Penyidikan Bab XII Dampak Lingkungan Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIII Pengembangan Industri dan

Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas Bab XV Ketentuan Peralihan Bab XV Perlakuan Khusus bagi

Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit

Bab XVI Ketentuan Penutup Bab XVI Sistem Informasi dan

Komunikasi Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Bab XVII Sumber Daya Manusia Bab XVIII Peran Serta Masyarakat Bab XIX Penyidikan dan Penindakan

Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana Bab XXI Ketentuan Peralihan

Page 133: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

133

Bab XXII Ketentuan Penutup

Dari sekian banyak ketentuan yang ada, beberapa pasal yang mendapatkan respon beragam dan menjadi perdebatan di masyarakat, beberapa pasal tersebut adalah :

Ketentuan Isi Catatan 107 ayat (2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari

Jika alasannya adalah untuk keselamatan, maka harus diyakinkan hubungan langsung lampu dengan keselamatan pengendara. Selain itu dukungan data-data mengenai penyebab kecelakaan di jalan raya

112 ayat (3) Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Seberapa banyan sarana yang teah disediakan

273 ayat (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Kementerian PU mempermasalahkan pasal

pemidanaan penyelenggara jalan yang memang secara hukum tidak berdasarkan konsep yang kuat. Fungsi pemerintahan, termasuk penyelenggaraan jalan, pada prinsipnya adalah pelaksanaan undangundang.

Wajarkah aturan perundangan yang memidanakan pelaksana undang-undang?

Bab XIII pengembangan industri dan teknologi sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan

Hal ini cukup menarik untuk digarisbawahi, karena tidak cukup jelas mengapa harus ada

pengaturan tersendiri dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya menyangkut sektor industri dan pengembangan teknologi.

302 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem,

Seberapa banyak sarana halte yang disediakan pada satu trayek angkutan umum. Kita bisa bercermin pada wilayah-wilayah di

Page 134: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

134

menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

daerah khususnya di luar Pulau Jawa

310 Terkait dengan kelalaian pengemudi hingga mengakibatkan korban jiwa

Sudah diatur dalam Pasal 359 KUHP

Banyak Pekerjaan Rumah

Untuk melihat UU ini bisa dilaksanakan atau tidak, kita bisa menggunakan satu indikator yakni mengenai sejelas apakah ketentuan-ketentuan yang mengatur, hal ini bisa dilihat seberapa banyak pasal yang harus diterjemahkan lagi dalam peraturan pelaksana dan teknis. Jika diinventaris, maka dapat ditemukan ada 58 peraturan pelaksana dan teknis yang dapat menunjang berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2009 ini. Peraturan tersebut beraneka macam, mulai dari Peraturan Desa, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, peraturan Presiden hingga pada Peraturan Pemerintah. Lebih lengkapnya dapat di lihat pada tabel dibawah

No. Pasal Bentuk Tentang 1 13 ayat (5) Peraturan Pemerintah forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2 18 Peraturan Pemerintah penyusunan dan penetapan Rencana

Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan.

3 19 ayat (5) Peraturan Pemerintah mengenai jalan kelas khusus 4 20 ayat (3) Peraturan Pemerintah pengelompokan kelas jalan dan tata

cara penetapan kelas jalan 5 21 ayat (5) Peraturan Pemerintah batas kecepatan 6 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah perlengkapan Jalan 7 27 ayat (2) Peraturan Daerah pemasangan perlengkapan Jalan

pada jalan lingkungan tertentu diatur 8 32 Peraturan Presiden organisasi dan tata kerja unit pengelola

Dana Preservasi Jalan 9 39 ayat (3) Peraturan Daerah Lingkungan kerja Terminal 10 42 Peraturan Pemerintah fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan

lokasi, fasilitas, lingkungan kerja,

Page 135: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

135

pembangunan, dan pengoperasian Terminal

11 43 ayat (4) Peraturan Pemerintah Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum

12 46 ayat (2) Peraturan Pemerintah pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

13 48 ayat (4) Peraturan Pemerintah persyaratan teknis dan laik jalan 14 50 ayat (4) Peraturan Pemerintah Uji tipe kendaraan bermotor 15 51 ayat (6) Peraturan Pemerintah modifikasi dan uji tipe kendaraan

bermotor 16 56 Peraturan Pemerintah uji berkala 17 57 ayat (4) Peraturan Pemerintah Perlengkapan Kendaraan Bermotor 18 59 ayat (6) Peraturan Pemerintah persyaratan, prosedur, dan tata cara

pemasangan lampu isyarat dan sirene 19 59 ayat (7) peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene

20 60 ayat (6) Peraturan Pemerintah persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum

21 61 ayat (4) Peraturan Pemerintah Persyaratan keselamatan 22 63 ayat (2)

dan (3) Peraturan Daerah jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak

Bermotor 23 64 ayat (6) Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

Registrasi kendaraan bermotor

24 67 ayat (4) Peraturan Presiden persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap

25 68 ayat (6) Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor

26 69 ayat (3) Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan

Bermotor 27 72 ayat (1) Peraturan Panglima Registrasi Kendaraan Bermotor

Page 136: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

136

Tentara

Nasional Indonesia

Tentara Nasional

Indonesia 28 76 ayat (5),

92 ayat (3) Peraturan Pemerintah kriteria dan tata cara pengenaan sanksi

administratif 29 88 Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi

30 89 ayat (3) Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

pemberian tanda atau data pelanggaran

31 91 ayat (2) Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

tata cara dan prosedur

pengenaan sanksi administratif bagi anggota kepolisian

32 95 ayat (1) Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Desa

Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas

33 101 Peraturan Pemerintah pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas

34 102 ayat (3) Peraturan Pemerintah kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan

35 103 ayat (4) Peraturan Menteri Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas

36 130 Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas

37 133 ayat (5) Peraturan Pemerintah Manajemen kebutuhan Lalu Lintas 38 137 ayat (5) Peraturan Pemerintah mobil barang yang digunakan untuk

angkutan orang 39 141ayat (3) Peraturan Menteri Standar pelayanan minimal angkutan

umum 40 164 Peraturan Menteri angkutan barang dengan Kendaraan

Bermotor Umum 41 165 ayat (4) Peraturan Pemerintah angkutan multimoda, persyaratan, dan

tata cara memperoleh izin 42 172 Peraturan Pemerintah pengawasan muatan angkutan barang 43 178 Peraturan Pemerintah izin penyelenggaraan angkutan orang

dalam trayek

Page 137: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

137

44 182 ayat (4) Peraturan Menteri tarif penumpang 45 185 ayat (2) Peraturan Pemerintah Subsidi angkutan Penumpang umum 46 192 ayat (5) Peraturan Pemerintah Ganti kerugian yang diderita

penumpang akibat penyelenggaraan angkutan umum

47 198 ayat (3) Peraturan Pemerintah standar pelayanan dan persaingan yang sehat penyelenggaraan angkutan umum

48 202 Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

49 205 Peraturan Pemerintah penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta dan

kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas

50 207 Peraturan Pemerintah pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

51 209 ayat (2) Peraturan Pemerintah pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

52 210 ayat (2) Peraturan Pemerintah tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan

Bermotor 53 218 ayat (2) Peraturan Pemerintah tata cara dan kriteria pengenaan sanksi

administratif 54 225 Peraturan Pemerintah pengembangan industri dan teknologi

Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

55 228 Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia

tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

56 242 ayat (3 Peraturan Pemerintah pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia

Page 138: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

138

usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit

57 252 Peraturan Pemerintah Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

58 255 Peraturan Pemerintah pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 320 : Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi masyarakat serta dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional; c. bahwa untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya, pemerintah mempunyai hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan; d. bahwa agar penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna diperlukan keterlibatan masyarakat; e. bahwa dengan adanya perkembangan otonomi daerah, tantangan persaingan global, dan tuntutan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3186) tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum pengaturan tentang jalan; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf, c, huruf d, dan huruf e perlu dibentuk undang-undang tentang jalan; Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Page 139: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

139

MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JALAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri; 2. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang jalan; 3. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah; 4. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel; 5. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum; 6. Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri; 7. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol; 8. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol; 9. Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan; 10. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan; 11. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan; 12. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan; 13. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan; 14. Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya; 15. Jalan bebas hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan; 16. Badan Pengatur Jalan Tol yang selanjutnya disebut BPJT adalah badan yang dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri; 17. Badan usaha di bidang jalan tol yang selanjutnya disebut Badan Usaha adalah badan hukum yang bergerak di bidang pengusahaan jalan tol; 18. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis; 19. Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP Pasal 2 Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan

Page 140: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

140

akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan. Pasal 3 Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan untuk: a. mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan; b. mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan; c. mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat; d. mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat; e. mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan f. mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka. Pasal 4 Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini mencakup penyelenggaraan: a. jalan umum yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan; b. jalan tol yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan; dan c. jalan khusus. BAB III PERAN, PENGELOMPOKAN, DAN BAGIAN-BAGIAN JALAN Bagian Pertama Peran Jalan Pasal 5 (1) Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. (3) Jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Bagian Kedua Pengelompokan Jalan Pasal 6 (1) Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. (2) Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan kelas. (3) Jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 7 (1) Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. (2) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. (3) Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

Page 141: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

141

masyarakat di dalam kawasan perkotaan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 8 (1) Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. (2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. (3) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. (4) Jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. (5) Jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 9 (1) Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa. (2) Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol. (3) Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. (4) Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten. (5) Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota. (6) Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai status jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 10 (1) Untuk pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas, jalan dibagi dalam beberapa kelas jalan. (2) Pembagian kelas jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. (3) Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi penyediaan prasarana jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

Page 142: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

142

Bagian Ketiga Bagian-Bagian Jalan Pasal 11 (1) Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. (2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. (3) Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. (4) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 12 (1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan. (2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan. (3) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan. BAB IV JALAN UMUM Bagian Pertama Penguasaan Pasal 13 (1) Penguasaan atas jalan ada pada negara. (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan. Bagian Kedua Wewenang Pemerintah Pasal 14 (1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional. (2) Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Bagian Ketiga Wewenang Pemerintah Provinsi Pasal 15 (1) Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi. (2) Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi. (3) Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi

Page 143: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

143

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Keempat Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 16 (1) Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. (2) Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota. (3) Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. (4) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Kelima Pengaturan Jalan Umum Pasal 17 Pengaturan jalan umum meliputi pengaturan jalan secara umum, pengaturan jalan nasional, pengaturan jalan provinsi, pengaturan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pengaturan jalan kota. Pasal 18 (1) Pengaturan jalan secara umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 meliputi: a. pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; b. perumusan kebijakan perencanaan; c. pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro; dan d. penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengaturan jalan. (2) Pengaturan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi: a. penetapan fungsi jalan untuk ruas jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antaribukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer; b. penetapan status jalan nasional; dan c. penyusunan perencanaan umum jaringan jalan nasional. Pasal 19 Pengaturan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi: a. perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan; b. penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antarwilayah provinsi; c. penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antaribukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer; d. penetapan status jalan provinsi; dan e. penyusunan perencanaan jaringan jalan provinsi. Pasal 20 Pengaturan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi: a. perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa berdasarkan

Page 144: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

144

kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan; b. penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa; c. penetapan status jalan kabupaten dan jalan desa; dan d. penyusunan perencanaan jaringan jalan kabupaten dan jalan desa. Pasal 21 Pengaturan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi: a. perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan; b. penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kota; c. penetapan status jalan kota; dan d. penyusunan perencanaan jaringan jalan kota. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Keenam Pembinaan Jalan Umum Pasal 23 Pembinaan jalan umum meliputi pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan desa, serta jalan kota. Pasal 24 Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi: a. pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan; b. pemberian bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan para aparatur di bidang jalan; c. pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait; d. pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam penyelenggaraan jalan; dan e. penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman pembinaan jalan. Pasal 25 Pembinaan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi: a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota; b. pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi di bidang jalan untuk jalan provinsi; dan c. pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan. Pasal 26 Pembinaan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi: a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten dan jalan desa; b. pemberian izin, rekomendasi, dispensasi, dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan; dan c. pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten dan jalan desa.

Page 145: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

145

Pasal 27 Pembinaan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi: a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kota; b. pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan; dan c. pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kota. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Ketujuh Pembangunan Jalan Umum Pasal 29 Pembangunan jalan umum, meliputi pembangunan jalan secara umum, pembangunan jalan nasional, pembangunan jalan provinsi, pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pembangunan jalan kota. Pasal 30 (1) Pembangunan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 adalah sebagai berikut: a. pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif; b. penyelenggara jalan wajib memrioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan; c. pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing; d. dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan f. pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk kriteria, persyaratan, standar, prosedur dan manual; penyusunan rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan laik fungsi, tata cara pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan secara berkala, dan pembiayaan pembangunan jalan umum, serta masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 31 Pembangunan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi: a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional; b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional; dan c. pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional. Pasal 32 Pembangunan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi: a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi; b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi; dan

Page 146: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

146

c. pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi. Pasal 33 Pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi: a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten dan jalan desa; b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan desa; dan c. pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan desa. Pasal 34 Pembangunan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi: a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kota; b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan kota; dan c. pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kota. Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Kedelapan Pengawasan Jalan Umum Pasal 36 Pengawasan jalan umum meliputi pengawasan jalan secara umum, pengawasan jalan nasional, pengawasan jalan provinsi, pengawasan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pengawasan jalan kota. Pasal 37 (1) Pengawasan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi: a. evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan; b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan; dan c. hasil penyelenggaraan jalan harus memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan. (2) Pengawasan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi: a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional; dan b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional Pasal 38 Pengawasan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi: a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi; dan b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi. Pasal 39 Pengawasan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi: a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa; dan b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa. Pasal 40 Pengawasan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi: a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kota; dan b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kota

Page 147: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

147

Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 42 Setiap orang dilarang menyelenggarakan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB V JALAN TOL Bagian Pertama Umum Pasal 43 (1) Jalan tol diselenggarakan untuk: a. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang; b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi; c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan. (2) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau badan usaha yang memenuhi persyaratan. (3) Pengguna jalan tol dikenakan kewajiban membayar tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, pemeliharaaan, dan pengembangan jalan tol. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Kedua Syarat-Syarat Jalan Tol Pasal 44 (1) Jalan tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum merupakan lintas alternatif. (2) Dalam keadaan tertentu, jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif. (3) Jalan tol harus mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum yang ada. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi dan pelayanan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Wewenang Penyelenggaraan Jalan Tol Pasal 45 (1) Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah. (2) Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol. (3) Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT. (4) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri. (5) Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat. (6) Tugas BPJT adalah melaksanakan sebagian penyelenggaraan jalan tol, meliputi: a. pengaturan jalan tol mencakup pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya kepada Menteri, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya; b. pengusahaan jalan tol mencakup persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi, dan pemberian fasilitas pembebasan tanah; dan

Page 148: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

148

c. pengawasan jalan tol mencakup pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan pengawasan terhadap pelayanan jalan tol. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan tol dan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Keempat Pengaturan Jalan Tol Pasal 46 (1) Pengaturan jalan tol meliputi perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan pembentukan peraturan perundang-undangan. (2) Pengaturan jalan tol ditujukan untuk mewujudkan jalan tol yang aman, nyaman, berhasil guna dan berdaya guna, serta pengusahaan yang transparan dan terbuka. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 47 (1) Rencana umum jaringan jalan tol merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana umum jaringan jalan nasional. (2) Pemerintah menetapkan rencana umum jaringan jalan tol. (3) Menteri menetapkan suatu ruas jalan tol. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum jaringan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 48 (1) Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. (2) Tarif tol yang besarannya tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol ditetapkan pemberlakuannya bersamaan dengan penetapan pengoperasian jalan tersebut sebagai jalan tol. (3) Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi. (4) Pemberlakuan tarif tol awal dan penyesuaian tarif tol ditetapkan oleh Menteri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif awal tol dan penyesuaian tarif tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Kelima Pembinaan Jalan Tol Pasal 49 (1) Pembinaan jalan tol meliputi kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan, serta penelitian dan pengembangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah. Bagian Keenam Pengusahaan Jalan Tol Pasal 50 (1) Pengusahaan jalan tol dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional. (2) Pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. (3) Wewenang mengatur pengusahaan jalan tol dilaksanakan oleh BPJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).

Page 149: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

149

(4) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha milik swasta. (5) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan jalan tol tidak dapat diwujudkan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya. (6) Konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol. (7) Dalam hal konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir, Pemerintah menetapkan status jalan tol yang dimaksud sesuai dengan kewenangannya. (8) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan jalan tol tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol, Pemerintah dapat melakukan langkah penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan jalan tol. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 51 (1) Pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) dilakukan melalui pelelangan secara transparan dan terbuka. (2) Pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi sebagian atau seluruh lingkup pengusahaan jalan tol. (3) Badan usaha yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelelangan pengusahaan jalan tol dan perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 52 (1) Dalam hal pembangunan jalan tol melewati jalan yang telah ada, badan usaha menyediakan jalan pengganti. (2) Dalam hal pembangunan jalan tol berlokasi di atas jalan yang telah ada, jalan yang ada tersebut harus tetap berfungsi dengan baik. (3) Dalam hal pelaksanaan pembangunan jalan tol mengganggu jalur lalu lintas yang telah ada, badan usaha terlebih dahulu menyediakan jalan pengganti sementara yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan pengganti, pembangunan jalan tol di atas jalan yang telah ada, dan penyediaan jalan pengganti sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 53 (1) Jalan tol hanya diperuntukkan bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor. (2) Jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Penggunaan jalan tol selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah. (4) Dalam hal lintas jaringan jalan umum yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya, ruas jalan tol alternatifnya dapat digunakan sementara menjadi jalan umum tanpa tol. (5) Penetapan ruas jalan tol menjadi jalan umum tanpa tol sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengguna jalan tol, penetapan jenis kendaraan bermotor, dan penggunaan jalan tol, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam peraturan pemerintah.

Page 150: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

150

Pasal 54 Setiap orang dilarang mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol sebelum adanya penetapan Menteri. Pasal 55 Pengguna jalan tol wajib menaati peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas dan angkutan jalan, peraturan perundang-undangan tentang jalan, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 56 Setiap orang dilarang memasuki jalan tol, kecuali pengguna jalan tol dan petugas jalan tol. Bagian Ketujuh Pengawasan Jalan Tol Pasal 57 (1) Pengawasan jalan tol meliputi kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan dan pembinaan jalan tol serta pengusahaan jalan tol. (2) Ketentuan mengenai pengawasan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengawasan umum oleh Pemerintah dan pengawasan pengusahaan oleh BPJT diatur dalam peraturan pemerintah. BAB VI PENGADAAN TANAH Bagian Pertama Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Pasal 58 (1) Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan bagi kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. (2) Pembangunan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan kepada masyarakat, terutama yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan. (3) Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara, atau masyarakat ulayat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian. (4) Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pasal 59 (1) Apabila kesepakatan tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, dilakukan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (2) Pelaksanaan pembangunan jalan dapat dimulai pada bidang tanah yang telah diberi ganti kerugian atau telah dicabut hak atas tanahnya. Pasal 60 Untuk menjamin kepastian hukum, tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah dalam rangka pembangunan jalan didaftarkan untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Bagian Kedua Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Pasal 61

Page 151: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

151

(1) Pemerintah melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol bagi kepentingan umum berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. (2) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan dana yang berasal dari Pemerintah dan/atau badan usaha. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 berlaku pula bagi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol. BAB VII PERAN MASYARAKAT Pasal 62 (1) Masyarakat berhak: a. memberi masukan kepada penyelenggara jalan dalam rangka pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan; b. berperan serta dalam penyelengaraan jalan; c. memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan; d. memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan jalan; e. memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam pembangunan jalan; dan f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pembangunan jalan. (2) Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban dalam pemanfaatan fungsi jalan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 63 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (5) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (6) Setiap orang selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang dengan sengaja memasuki jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 14 (empat belas) hari atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 64 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan

Page 152: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

152

di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). (4) Setiap orang selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang karena kelalaiannya memasuki jalan tol, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7 (tujuh) hari atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 65 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 42, dan Pasal 54 dilakukan badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan. (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 66 (1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan jalan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. (2) Badan hukum usaha negara jalan tol (PT Jasa Marga) diberi konsesi berdasarkan perhitungan investasi atas seluruh ruas jalan tol yang diusahakannya setelah dilakukan audit. (3) Konsesi yang dimiliki badan usaha milik swasta di bidang jalan tol berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 dinyatakan tetap berlaku dan pengusahaannya disesuaikan dengan Undang-Undang ini. (4) Penetapan pemberian konsesi pengusahaan jalan tol kepada badan usaha milik negara di bidang jalan tol dan penyesuaian pengusahaan badan usaha milik swasta di bidang jalan tol dilaksanakan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini. (5) Pembentukan BPJT dilaksanakan dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini. (6) Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3186) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 68 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini

Page 153: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

153

dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2004, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2004, SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, TTD BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG

LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya

Page 154: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

154

memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah; c. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara; d. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Mengingat: Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. 3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

Page 155: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

155

4. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 5. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara. 6. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung. 7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. 8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. 9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. 10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. 11. Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. 12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. 13. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. 14. Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. 15. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. 16. Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya. 17. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan. 18. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas. 19. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.

Page 156: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

156

20. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. 21. Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. 22. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. 23. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 24. Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. 25. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan. 26. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan. 27. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas. 28. Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan. 29. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas. 30. Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas. 31. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan. 32. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan. 33. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan. 34. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 35. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 36. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Page 157: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

157

37. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 39. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan. 40. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan: a. asas transparan; b. asas akuntabel; c. asas berkelanjutan; d. asas partisipatif; e. asas bermanfaat; f. asas efisien dan efektif; g. asas seimbang; h. asas terpadu; dan i. asas mandiri.

Pasal 3 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

BAB III RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG

Pasal 4

Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;

Page 158: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

158

b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB IV PEMBINAAN

Pasal 5

(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan; b. pengaturan; c. pengendalian; dan d. pengawasan. (3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 6 (1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional; b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional; c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;

Page 159: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

159

d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi. (4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.

BAB V PENYELENGGARAAN

Pasal 7

(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat. (2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

Page 160: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

160

e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 8 Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu: a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya; b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan; c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan; d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan; e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan; f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.

Pasal 9 Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi: a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor; d. perizinan angkutan umum; e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 10 Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor; b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 11

Page 161: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

161

Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor; b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 12 Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi: a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor; b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor; c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas; f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas; g. pendidikan berlalu lintas; h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.

Pasal 13 (1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi. (2) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (4) Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VI JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Page 162: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

162

Pasal 14

(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan. (2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.

Pasal 15 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.

Pasal 16 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;

Page 163: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

163

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.

Pasal 17 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.

Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua Ruang Lalu Lintas

Paragraf 1 Kelas Jalan

Pasal 19

(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor. (2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter,

Page 164: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

164

ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton. (3) Dalam keadaan tertentu daya dukung Jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton. (4) Kelas Jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana Jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 20 (1) Penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan dilakukan oleh: a. Pemerintah, untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d. pemerintah kota, untuk jalan kota. (2) Kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2 Penggunaan dan Perlengkapan Jalan

Pasal 21

(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional. (2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.

Page 165: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

165

(3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. (4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22 (1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif. (2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan. (3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan. (4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan. (5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia. (7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23 (1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 24 (1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. (2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 25

Page 166: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

166

(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: a. Rambu Lalu Lintas; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. alat penerangan Jalan; e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan; g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26 (1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol. (2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27 (1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas. (2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 28 (1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan. (2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Bagian Ketiga Dana Preservasi Jalan

Pasal 29

(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan. (2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan. (3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.

Page 167: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

167

(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30 Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.

Pasal 31 Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.

Pasal 32 Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.

Bagian Keempat Terminal

Paragraf 1

Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal

Pasal 33 (1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal. (2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.

Pasal 34 (1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C. (2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.

Pasal 35 Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36 Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.

Paragraf 2 Penetapan Lokasi Terminal

Pasal 37

Page 168: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

168

(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan: a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas; d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan; e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f. permintaan angkutan; g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau i. kelestarian lingkungan hidup.

Paragraf 3 Fasilitas Terminal

Pasal 38

(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. (2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang. (3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.

Paragraf 4 Lingkungan Kerja Terminal

Pasal 39

(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal. (2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal. (3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

Paragraf 5 Pembangunan dan Pengoperasian Terminal

Pasal 40

(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:

Page 169: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

169

a. rancang bangun; b. buku kerja rancang bangun; c. rencana induk Terminal; d. analisis dampak Lalu Lintas; dan e. analisis mengenai dampak lingkungan. (2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; dan c. pengawasan operasional Terminal.

Pasal 41 (1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. (2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6 Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kelima Fasilitas Parkir

Pasal 43

(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan. (2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok. (3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44 Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:

Page 170: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

170

a. rencana umum tata ruang; b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.

Bagian Keenam Fasilitas Pendukung

Pasal 45

(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. trotoar; b. lajur sepeda; c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki; d. Halte; dan/atau e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. (2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.

Pasal 46 (1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VII KENDARAAN

Bagian Kesatu

Jenis dan Fungsi Kendaraan

Pasal 47 (1) Kendaraan terdiri atas: a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor. (2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor; b. mobil penumpang; c. mobil bus;

Page 171: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

171

d. mobil barang; dan e. kendaraan khusus. (3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi: a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor Umum. (4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam: a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.

Bagian Kedua Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor

Pasal 48

(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau i. penempelan Kendaraan Bermotor. (3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas: a. emisi gas buang; b. kebisingan suara; c. efisiensi sistem rem utama; d. efisiensi sistem rem parkir; e. kincup roda depan; f. suara klakson; g. daya pancar dan arah sinar lampu utama; h. radius putar; i. akurasi alat penunjuk kecepatan; j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga Pengujian Kendaraan Bermotor

Page 172: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

172

Pasal 49

(1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian. (2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. uji tipe; dan b. uji berkala.

Pasal 50 (1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe. (2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya. (3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 51 (1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe. (2) Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa. (3) Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya. (4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe. (5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 52 (1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.

Page 173: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

173

(2) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui. (3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang. (4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang.

Pasal 53 (1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan. (2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan b. pengesahan hasil uji. (3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh: a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah.

Pasal 54 (1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; dan e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya. (3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor; b. tingkat kebisingan; c. kemampuan rem utama; d. kemampuan rem parkir; e. kincup roda depan; f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama; g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan h. kedalaman alur ban. (4) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.

Page 174: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

174

(5) Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji. (6) Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji. (7) Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.

Pasal 55 (1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh: a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; dan b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta. (2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan.

Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat Perlengkapan Kendaraan Bermotor

Pasal 57

(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor. (2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia. (3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang-kurangnya terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga pengaman; d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas.

Page 175: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

175

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 58 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.

Pasal 59 (1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene. (2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning. (3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. (4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain. (5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk mobil petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk mobil tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk mobil patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kelima Bengkel Umum Kendaraan Bermotor

Pasal 60

(1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.

Page 176: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

176

(3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri. (4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keenam Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 61

(1) Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi: a. persyaratan teknis; dan b. persyaratan tata cara memuat barang. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya meliputi: a. konstruksi; b. sistem kemudi; c. sistem roda; d. sistem rem; e. lampu dan pemantul cahaya; dan f. alat peringatan dengan bunyi. (3) Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 62 (1) Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda. (2) Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pasal 63 (1) Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah provinsi.

Page 177: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

177

Bagian Ketujuh

Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

Pasal 64 (1) Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan. (2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. registrasi Kendaraan Bermotor baru; b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik; c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/atau d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor. (3) Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. tertib administrasi; b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia; c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan; d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan e. perencanaan pembangunan nasional. (4) Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor. (5) Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 65 (1) Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan: a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya; b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor dan salinannya; dan c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.

Pasal 66 Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe; b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.

Page 178: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

178

Pasal 67 (1) Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap. (2) Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah. (3) Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden.

Pasal 68 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa berlaku. (3) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku. (4) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan. (5) Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 69 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 70

Page 179: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

179

(1) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan. (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun. (3) Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan.

Pasal 71 (1) Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika: a. bukti registrasi hilang atau rusak; b. spesifikasi teknis dan/atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah; c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan didaftarkan. (2) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir didaftarkan. (3) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan.

Pasal 72 (1) Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 73 (1) Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum. (2) Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 74

Page 180: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

180

(1) Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor. (2) Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika: a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (3) Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali.

Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedelapan Sanksi Administratif

Pasal 76

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) dan ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (2) Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; dan/atau c. penutupan bengkel umum. (3) Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/atau d. pencabutan sertifikat pengesah. (4) Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 181: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

181

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VIII PENGEMUDI

Bagian Kesatu

Surat Izin Mengemudi

Paragraf 1 Persyaratan Pengemudi

Pasal 77

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. (2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis: a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum. (3) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. (4) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum. (5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan.

Paragraf 2 Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi

Pasal 78

(1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah. (2) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. (3) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 182: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

182

(4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 79 (1) Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji. (2) Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.

Paragraf 3 Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi

Pasal 80

Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram; d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.

Pasal 81 (1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. (2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. (3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari. (4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

Page 183: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

183

a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. (5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ujian teori; b. ujian praktik; dan/atau c. ujian keterampilan melalui simulator. (6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.

Pasal 82 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.

Pasal 83 (1) Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus. (2) Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum; b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum. (3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai: 1. pelayanan angkutan umum; 2. fasilitas umum dan fasilitas sosial; 3. pengujian Kendaraan Bermotor; 4. tata cara mengangkut orang dan/atau barang; 5. tempat penting di wilayah domisili;

Page 184: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

184

6. jenis barang berbahaya; dan 7. pengoperasian peralatan keamanan. b. lulus ujian praktik, yang meliputi: 1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya; 2. tata cara mengangkut orang dan/atau barang; 3. mengisi surat muatan; 4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan 5. pengoperasian peralatan keamanan. (4) Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan. (5) Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 84 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut: a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I; d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II.

Pasal 85 (1) Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain. (2) Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Page 185: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

185

(3) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia. (5) Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 4 Fungsi Surat Izin Mengemudi

Pasal 86

(1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi. (2) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap Pengemudi. (3) Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.

Bagian Kedua Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi

Paragraf 1

Penerbitan Surat Izin Mengemudi

Pasal 87 (1) Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi. (2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi. (4) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi.

Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2 Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi

Pasal 89

Page 186: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

186

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Ketiga Waktu Kerja Pengemudi

Pasal 90

(1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari. (3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. (4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.

Bagian Keempat Sanksi Administratif

Pasal 91

(1) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/atau etika profesi kepolisian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 92 (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberian denda administratif;

Page 187: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

187

c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB IX LALU LINTAS

Bagian Kesatu

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Paragraf 1 Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 93

(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus; b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki; c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas; e. pemaduan berbagai moda angkutan; f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan; g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau h. perlindungan terhadap lingkungan. (3) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pengaturan; c. perekayasaan; d. pemberdayaan; dan e. pengawasan.

Pasal 94 (1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi: a. identifikasi masalah Lalu Lintas; b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas; c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang; d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan;

Page 188: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

188

e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan; f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas; g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas; h. penetapan tingkat pelayanan; dan i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas. (2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi: a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. (3) Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi: a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum. (4) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian: a. arahan; b. bimbingan; c. penyuluhan; d. pelatihan; dan e. bantuan teknis. (5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi: a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan; b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan c. tindakan penegakan hukum.

Pasal 95 (1) Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan: a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi; c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau d. peraturan daerah kota untuk jalan kota. (2) Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Page 189: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

189

Paragraf 2 Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 96

(1) Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional. (2) Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional. (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5). (4) Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (5) Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (6) Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

Pasal 97 (1) Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait.

Pasal 98 (1) Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya. (2) Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 190: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

190

Bagian Kedua Analisis Dampak Lalu Lintas

Pasal 99

(1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas. (2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak; d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan e. rencana pemantauan dan evaluasi. (3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan.

Pasal 100 (1) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat. (2) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 101 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,

Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang

Paragraf 1 Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,

Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan

Pasal 102 (1) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan yang bersifat perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk pada jaringan atau ruas Jalan pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana

Page 191: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

191

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1). (2) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2 Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas

Pasal 103

(1) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan. (2) Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Marka Jalan. (3) Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang tidak memungkinkan gerak Kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus diutamakan daripada Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 Pengutamaan Petugas

Pasal 104

(1) Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan: a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan; b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus; c. mempercepat arus Lalu Lintas; d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diutamakan daripada perintah yang diberikan oleh Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. (3) Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 192: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

192

Bagian Keempat Tata Cara Berlalu Lintas

Paragraf 1

Ketertiban dan Keselamatan

Pasal 105 Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib: a. berperilaku tertib; dan/atau b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.

Pasal 106 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda. (3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan. (4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan: a. rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. gerakan Lalu Lintas; e. berhenti dan Parkir; f. peringatan dengan bunyi dan sinar; g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain. (5) Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan: a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. Surat Izin Mengemudi; c. bukti lulus uji berkala; dan/atau d. tanda bukti lain yang sah. (6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. (7) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (8) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

Page 193: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

193

(9) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.

Paragraf 2 Penggunaan Lampu Utama

Pasal 107

(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu. (2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Paragraf 3 Jalur atau Lajur Lalu Lintas

Pasal 108

(1) Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus menggunakan jalur Jalan sebelah kiri. (2) Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika: a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri. (3) Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan. (4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului Kendaraan lain.

Pasal 109 (1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup. (2) Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Jika Kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati Kendaraan tersebut.

Pasal 110 (1) Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan Kendaraan. (2) Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau Pengguna Jalan lain di depannya wajib mendahulukan Kendaraan yang datang dari arah berlawanan.

Page 194: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

194

Pasal 111

Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.

Paragraf 4 Belokan atau Simpangan

Pasal 112

(1) Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan. (2) Pengemudi Kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat. (3) Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

Pasal 113 (1) Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi wajib memberikan hak utama kepada: a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas atau Marka Jalan; b. Kendaraan dari Jalan utama jika Pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan; c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar; d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus. (2) Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali Lalu Lintas yang berbentuk bundaran, Pengemudi harus memberikan hak utama kepada Kendaraan lain yang datang dari arah kanan.

Pasal 114 Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib: a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain; b. mendahulukan kereta api; dan c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.

Page 195: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

195

Paragraf 5 Kecepatan

Pasal 115

Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang: a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.

Pasal 116 (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu Lintas. (2) Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika: a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang; b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring; c. cuaca hujan dan/atau genangan air; d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas; e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta api; dan/atau f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan menyeberang.

Pasal 117 Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan Kendaraan lain.

Paragraf 6 Berhenti

Pasal 118

Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali: a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh; b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau c. di jalan tol.

Pasal 119 (1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti. (2) Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan kendaraannya sementara.

Page 196: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

196

Paragraf 7

Parkir

Pasal 120 Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.

Pasal 121 (1) Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.

Paragraf 8 Kendaraan Tidak Bermotor

Pasal 122

(1) Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang: a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan; b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor. (2) Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat Penumpang. (3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi Kendaraan lain untuk mendahului.

Pasal 123 Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.

Paragraf 9 Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 124

(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek wajib: a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan; b. memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas;

Page 197: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

197

c. menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah; d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang; e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum. (2) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib mengangkut anak sekolah.

Pasal 125 Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan Jalan sesuai dengan kelas Jalan yang ditentukan.

Pasal 126 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang: a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan; b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan; c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau d. melewati jaringan Jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.

Bagian Kelima Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Paragraf 1

Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan

Pasal 127 (1) Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa. (2) Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. (3) Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi.

Paragraf 2 Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas

Pasal 128

(1) Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) yang mengakibatkan penutupan Jalan dapat diizinkan jika ada jalan alternatif. (2) Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sementara. (3) Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 198: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

198

Paragraf 3

Tanggung jawab

Pasal 129 (1) Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan. (2) Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) bertanggung jawab menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 130 Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas

Pasal 131

(1) Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. (2) Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan. (3) Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Pasal 132 (1) Pejalan Kaki wajib: a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan. (2) Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas. (3) Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan lain.

Bagian Ketujuh Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas

Pasal 133

Page 199: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

199

(1) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria: a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan; b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan c. kualitas lingkungan. (2) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan; e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu. (3) Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang bertanggung jawab pada bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedelapan Hak Utama Pengguna Jalan untuk Kelancaran

Paragraf 1

Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama

Pasal 134 Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut: a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; b. ambulans yang mengangkut orang sakit; c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;

Page 200: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

200

e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; f. iring-iringan pengantar jenazah; dan g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2 Tata Cara Pengaturan Kelancaran

Pasal 135

(1) Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene. (2) Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas tidak berlaku bagi Kendaraan yang mendapatkan hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.

Bagian Kesembilan Sanksi Administratif

Pasal 136

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 128 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pelayanan umum; c. penghentian sementara kegiatan; d. denda administratif; e. pembatalan izin; dan/atau f. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB X ANGKUTAN

Bagian Kesatu

Angkutan Orang dan Barang

Pasal 137 (1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

Page 201: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

201

(2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus. (3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang. (4) Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali: a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai; b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum

Pasal 138

(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. (2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 139 (1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara. (2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi. (3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota. (4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Paragraf 1

Umum

Pasal 140 Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek.

Page 202: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

202

Paragraf 2 Standar Pelayanan Angkutan Orang

Pasal 141

(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi: a. keamanan; b. keselamatan; c. kenyamanan; d. keterjangkauan; e. kesetaraan; dan f. keteraturan. (2) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek

Pasal 142

Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas: a. angkutan lintas batas negara; b. angkutan antarkota antarprovinsi; c. angkutan antarkota dalam provinsi; d. angkutan perkotaan; atau e. angkutan perdesaan.

Pasal 143 Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus: a. memiliki rute tetap dan teratur; b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.

Pasal 144 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan: a. tata ruang wilayah; b. tingkat permintaan jasa angkutan; c. kemampuan penyediaan jasa angkutan; d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. kesesuaian dengan kelas jalan;

Page 203: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

203

f. keterpaduan intramoda angkutan; dan g. keterpaduan antarmoda angkutan.

Pasal 145 (1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek. (2) Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait. (3) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jaringan trayek lintas batas negara; b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi; c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi; d. jaringan trayek perkotaan; dan e. jaringan trayek perdesaan. (4) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 146 (1) Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan. (2) Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi; b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.

Pasal 147 (1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara. (2) Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 148 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi;

Page 204: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

204

b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; atau c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 149 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh: a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten; b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.

Pasal 150 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 4 Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek

Pasal 151

Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi; b. angkutan orang dengan tujuan tertentu; c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang di kawasan tertentu.

Pasal 152 (1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan. (2) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berada dalam wilayah kota; b. berada dalam wilayah kabupaten; c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau

Page 205: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

205

d. melampaui wilayah provinsi. (3) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh: a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota; b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten; c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi.

Pasal 153 (1) Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek. (2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum.

Pasal 154 (1) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata. (2) Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus. (3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata.

Pasal 155 (1) Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan. (2) Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum.

Pasal 156 Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.

Pasal 157 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 5 Angkutan Massal

Page 206: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

206

Pasal 158

(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan. (2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan: a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal; b. lajur khusus; c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan d. angkutan pengumpan.

Pasal 159 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Keempat Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum

Paragraf 1

Umum

Pasal 160 Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan barang umum; dan b. angkutan barang khusus.

Paragraf 2 Angkutan Barang Umum

Pasal 161

Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan; b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan membongkar barang; dan c. menggunakan mobil barang.

Paragraf 3 Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat

Pasal 162

(1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib: a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;

Page 207: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

207

b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut; c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan; d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (2) Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.

Pasal 163 (1) Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergundangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum. (2) Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 164 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kelima Angkutan Multimoda

Pasal 165

(1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda. (2) Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain. (3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Page 208: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

208

Bagian Keenam Dokumen Angkutan Orang dan Barang

dengan Kendaraan Bermotor Umum

Pasal 166 (1) Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen. (2) Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek; b. tanda pengenal bagasi; dan c. manifes. (3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi: a. surat perjanjian pengangkutan; dan b. surat muatan barang.

Pasal 167 (1) Perusahaan Angkutan Umum orang wajib: a. menyerahkan tiket Penumpang; b. menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek; c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang; dan d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi. (2) Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah.

Pasal 168 (1) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan. (2) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang.

Bagian Ketujuh Pengawasan Muatan Barang

Pasal 169

(1) Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas Jalan. (2) Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang. (3) Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan. (4) Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:

Page 209: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

209

a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.

Pasal 170 (1) Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu. (2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah. (3) Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah. (4) Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.

Pasal 171 (1) Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan. (2) Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa Kendaraan Bermotor. (3) Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 172 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedelapan Pengusahaan Angkutan

Paragraf 1

Perizinan Angkutan

Pasal 173 (1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki: a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat. (2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau b. pengangkutan jenazah.

Pasal 174

Page 210: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

210

(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.

Pasal 175 (1) Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu. (2) Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).

Paragraf 2 Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek

Pasal 176

Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara; 2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; 3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan 4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi. b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; 2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan 3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi. c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan 2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten. e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.

Pasal 177 Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib: a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan

Page 211: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

211

b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).

Pasal 178 Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 3 Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek

Pasal 179

(1) Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani: 1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi; 2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau 3. angkutan pariwisata. b. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 4 Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat

Pasal 180

(1) Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait. (2) Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 212: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

212

Bagian Kesembilan

Tarif Angkutan

Pasal 181 (1) Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif barang. (2) Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek.

Pasal 182 (1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas: a. tarif kelas ekonomi; dan b. tarif kelas nonekonomi. (2) Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi; b. gubernur untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam provinsi serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas satu kabupaten/kota dalam satu provinsi; c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota. (3) Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 183 (1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. (2) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.

Pasal 184

Page 213: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

213

Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.

Bagian Kesepuluh Subsidi Angkutan Penumpang Umum

Pasal 185

(1) Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kesebelas Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum

Paragraf 1

Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 186 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.

Pasal 187 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.

Pasal 188 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.

Pasal 189 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.

Pasal 190 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.

Pasal 191

Page 214: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

214

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.

Pasal 192 (1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang. (2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan. (3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati. (4) Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 193 (1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim. (2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami. (3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati. (4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 194 (1) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum. (2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.

Paragraf 2 Hak Perusahaan Angkutan Umum

Page 215: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

215

Pasal 195

(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan. (2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan. (3) Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 196 Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Belas Tanggung Jawab Penyelenggara

Pasal 197

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib: a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan; b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Ketiga Belas Industri Jasa Angkutan Umum

Pasal 198

(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat. (2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus: a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar; b. menetapkan standar pelayanan minimal; c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat;

Page 216: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

216

d. mendorong terciptanya pasar; dan e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat Belas Sanksi Administratif

Pasal 199

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB XI KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN

JALAN

Bagian Kesatu Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 200

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat. (3) Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan: a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat dalam berlalu lintas; d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. manajemen keamanan Lalu Lintas; f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;

Page 217: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

217

g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; dan h. penegakan hukum Lalu Lintas.

Pasal 201 (1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.

Pasal 202 Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 203

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi: a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 204 (1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 205 Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat memberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah.

Page 218: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

218

Bagian Ketiga Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 206

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. audit; b. inspeksi; dan c. pengamatan dan pemantauan. (2) Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (4) Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (6) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (7) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum.

Pasal 207 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 208

(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini; b. sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

Page 219: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

219

c. pemberian penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan. (3) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.

BAB XII DAMPAK LINGKUNGAN

Bagian Kesatu

Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 209 (1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua Pencegahan dan Penanggulangan

Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 210 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 211 Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.

Pasal 212 Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.

Page 220: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

220

Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban

Paragraf 1

Kewajiban Pemerintah

Pasal 213 (1) Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib: a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan; b. membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan; c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan; dan d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 2 Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 214

(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan. (2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 215 Perusahaan Angkutan Umum wajib: a. melaksanakan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah; b. menyediakan sarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan; c. memberi informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi jasa angkutan umum; d. memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan sarana angkutan umum; dan e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.

Paragraf 3 Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 216

(1) Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.

Page 221: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

221

(2) Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 217 Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Keempat Sanksi Administratif

Pasal 218

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai dampak lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIII PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA

DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 219

(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor; b. peralatan penegakan hukum; c. peralatan uji laik kendaraan; d. fasilitas Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. peralatan registrasi dan identifikasi Kendaraan dan Pengemudi; f. teknologi serta informasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor. (2) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor; b. pengembangan standardisasi Kendaraan dan/atau komponen Kendaraan Bermotor;

Page 222: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

222

c. pengalihan teknologi; d. penggunaan sebanyak-banyaknya muatan lokal; e. pengembangan industri bahan baku dan komponen; f. pemberian kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan; g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.

Bagian Kedua Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor

Pasal 220

(1) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; c. badan hukum; d. lembaga penelitian; dan/atau e. perguruan tinggi. (2) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan: a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor; b. kesesuaian material; c. kesesuaian motor penggerak; d. kesesuaian daya dukung jalan; e. bentuk fisik Kendaraan Bermotor; f. dimensi, konstruksi, posisi, dan jarak tempat duduk; g. posisi lampu; h. jumlah tempat duduk; i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki; j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan k. fasilitas ke luar darurat. (3) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 221 Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.

Bagian Ketiga Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan

Page 223: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

223

Pasal 222

(1) Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait. (3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas: a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. penegakan hukum; c. uji kelaikan Kendaraan; d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang. (4) Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi: a. pemahaman teknologi; b. pengalihan teknologi; dan c. fasilitasi riset teknologi. (5) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.

Bagian Keempat Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 223

(1) Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan industri dalam negeri. (2) Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 224 (1) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri atas: a. rekayasa; b. produksi; c. perakitan; dan/atau d. pemeliharaan dan perbaikan. (2) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.

Page 224: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

224

Bagian Kelima Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 225

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIV KECELAKAAN LALU LINTAS

Bagian Kesatu

Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 226 (1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui: a. partisipasi para pemangku kepentingan; b. pemberdayaan masyarakat; c. penegakan hukum; dan d. kemitraan global. (2) Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. (3) Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Paragraf 1

Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 227 Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara: a. mendatangi tempat kejadian dengan segera; b. menolong korban; c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara; d. mengolah tempat kejadian perkara; e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas; f. mengamankan barang bukti; dan g. melakukan penyidikan perkara.

Pasal 228 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 225: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

225

Paragraf 2 Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 229

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan; b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat. (2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. (3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. (4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. (5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Pasal 230 Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3 Pertolongan dan Perawatan Korban

Pasal 231

(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib: a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya; b. memberikan pertolongan kepada korban; c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. (2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.

Pasal 232 Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib: a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas; b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau

Page 226: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

226

c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 4 Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas

Pasal 233

(1) Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas. (2) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik. (3) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit. (4) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Ketiga Kewajiban dan Tanggung Jawab

Paragraf 1

Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan

Pasal 234

(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. (2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Pasal 235 (1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. (2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan

Page 227: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

227

bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Pasal 236 (1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. (2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Pasal 237 (1) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan. (2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.

Paragraf 2 Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah

Pasal 238

(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan. (2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 239 (1) Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat Hak Korban

Pasal 240

Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan: a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah; b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.

Pasal 241

Page 228: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

228

Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XV PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT,

MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT

Bagian Kesatu

Ruang Lingkup Perlakuan Khusus

Pasal 242 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. (2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. aksesibilitas; b. prioritas pelayanan; dan c. fasilitas pelayanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 243 Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Sanksi Administratif

Pasal 244

(1) Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Page 229: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

229

BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu

Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 245 (1) Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu. (2) Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi: a. bidang prasarana Jalan; b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas.

Pasal 246 (1) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem. (3) Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bagian Kedua Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 247

(1) Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kewenangannya. (2) Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 230: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

230

(3) Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bagian Ketiga Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 248

(1) Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data. (2) Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi: a. perencanaan; b. perumusan kebijakan; c. pemantauan; d. pengawasan; e. pengendalian; f. informasi geografi; g. pelacakan; h. informasi Pengguna Jalan; i. pendeteksian arus Lalu Lintas; j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.

Bagian Keempat Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi

Pasal 249

(1) Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat: a. kendali; b. koordinasi; c. komunikasi; d. data dan informasi terpadu; e. pelayanan masyarakat; dan f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum. (2) Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu. (3) Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi: a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

Page 231: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

231

b. dukungan tindakan cepat terhadap pelanggaran, kemacetan, dan kecelakaan serta kejadian lain yang berdampak terhadap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. analisis, evaluasi terhadap pelanggaran, kemacetan, dan Kecelakaan Lalu Lintas; d. dukungan penegakan hukum dengan alat elektronik dan secara langsung; e. dukungan pelayanan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; f. pemberian informasi hilang temu Kendaraan Bermotor; g. pemberian informasi kualitas baku mutu udara; h. dukungan pengendalian Lalu Lintas dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli; i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik.

Pasal 250 Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat.

Pasal 251 Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi: a. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau kejahatan lain; b. tindakan penanganan kecelakaan, pelanggaran, dan kemacetan Lalu Lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.

Bagian Kelima Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 252

Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XVII SUMBER DAYA MANUSIA

Pasal 253

(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:

Page 232: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

232

a. Pemerintah; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau c. lembaga swasta yang terakreditasi.

Pasal 254 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga mekanik dan Pengemudi. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 255 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XVIII PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 256

(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 257 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

Pasal 258 Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam

Page 233: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

233

pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB XIX PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN

LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu Penyidikan

Pasal 259

(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh: a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. (2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Penyidik; dan b. Penyidik Pembantu.

Paragraf 1 Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 260

(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang: a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan; b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum; d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti; e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan; f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti; h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.

Page 234: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

234

(2) Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 261 Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Paragraf 2 Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pasal 262

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus; b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum; c. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap; d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan; e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan. (2) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap. (3) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 3 Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Pasal 263

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 235: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

235

(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Paragraf 1

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan

Pasal 264 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh: a. Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 265 (1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan: a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji; c. fisik Kendaraan Bermotor; d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau e. izin trayek atau izin operasi. (2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan kebutuhan. (3) Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: a. menghentikan Kendaraan Bermotor; b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.

Pasal 266 (1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Page 236: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

236

(3) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Paragraf 2 Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 267

(1) Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan. (2) Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar. (3) Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. (4) Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (5) Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.

Pasal 268 (1) Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil. (2) Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.

Pasal 269 (1) Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. (2) Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Penanganan Benda Sitaan

Pasal 270

Page 237: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

237

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. (3) Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita. (4) Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 271 (1) Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. (4) Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.

Pasal 272 (1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik. (2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

BAB XX KETENTUAN PIDANA

Pasal 273

(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5

Page 238: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

238

(lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). (4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 274 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

Pasal 275 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 276 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 277 Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 278 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga

Page 239: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

239

pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 279 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 280 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 281 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 282 Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 283 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 284 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 285 (1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson,

Page 240: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

240

lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kanlpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 286 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 287 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). (3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Page 241: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

241

(5) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). (6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 288 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau surat tanda coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah Kendaraan Bermotor yang dikemudikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (3) Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 289 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 290 Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 291 (1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8)

Page 242: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

242

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 292 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 293 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 294 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 295 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 296 Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 297

Page 243: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

243

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 298 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 299 Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 300 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang: a. tidak menggunakan lajur yang telah ditentukan atau tidak menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c; b. tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d; atau c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 huruf e

Pasal 301 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 302 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 303

Page 244: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

244

Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat 4 huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 304 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 305 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 306 Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 307 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 308 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang: a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a; b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b; c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c; atau d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

Page 245: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

245

Pasal 309 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 310 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). (3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 311 (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

Page 246: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

246

(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 312 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 313 Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 314 Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.

Pasal 315 (1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya. (2) Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. (3) Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin trayek atau izin operasi bagi kendaraan yang digunakan.

Pasal 316 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran.

Page 247: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

247

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan.

Pasal 317 Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 318

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 319 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.

BAB XXII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 320

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 321 Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 322 Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 323 Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal 324 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Page 248: NASKAH AKADEMIK RETRIBUSI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN …

248

Pasal 325 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 326 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali