NASKAH AKADEMIK RANPERDA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN filePenyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula...

94
NASKAH AKADEMIK RANPERDA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA DAN FAKULTAS HUKUM UNUD 2015

Transcript of NASKAH AKADEMIK RANPERDA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN filePenyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula...

NASKAH AKADEMIK RANPERDA

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA

DAN FAKULTAS HUKUM UNUD

2015

2

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN JEMBRANA

TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

3

TIM PENELITI

1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH

2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH

3. AA I Ari Atu Dewi.,SH.,MH

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015

PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut

mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota

mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan

pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan, menyebutkan bahwa Bupati/ Walikota berhak membentuk

kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan.

Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang

(urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar

meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka

inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Tim Peneliti

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar >> i Daftar Isi >> ii

Daftar Tabel >>iv

BAB I. PENDAHULUAN >> 1

A. Latar Belakang >> 1 B. Identifikasi Masalah >>>9

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah

Akademik

>> 10

D. Metode Penelitian >>11

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>12

A. Kajian Teoritis >>12 B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma

>>15

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>18 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan

Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya

Terhadap Beban Keuangan Daerah

>>19

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

>>21

A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>21

B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lain

>>21

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

>>23

A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.

>>23 B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan

Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan

>>28

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN

DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

>>33

A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>33

B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>33

BAB VI PENUTUP >>33 A. RANGKUMAN >>>78

B. KONKLUSI >>>81

C. REKOMENDASI >>>82 DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN >>>83

DAFTAR PUSTAKA >>>83

iii

LAMPIRAN

1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana

2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana

iv

DAFTAR TABEL

v

Tabel 1 : Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013 2

Tabel 2 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013 2

Tabel 3 : Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013 3

Tabel 4 : Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013 4

Tabel 5 : Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir

(Tingkat Pendidikan) 4

Tabel 6 : APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013

6

Tabel 7 : APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008–

2013 7

Tabel 8 : Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten

Jembrana 8

Tabel 9 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013

9

Tabel 10. : Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik

Indonesia Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan

pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis

keunggulan lokal.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan

ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan, Bupati/ Walikota berhak membentuk kebijakan daerah dalam

bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan. Penyelenggaraan

pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan

pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional.

Dalam Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa Penyelenggaraan

Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sekalipun ada dasar

hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk

Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi

filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3 2011)

menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau

keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU

PDRD 2009). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1)

2

Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan)

dan Naskah Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai

dengan keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua

juga memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau

penjelasan)Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia dini.

Di Kabupaten Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu

:7- 12 tahun (SD/MI) ; 13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18

(SMU/SMK/MA). Distribusi penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah

pada kelompok usia 7 – 12 tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk

sedangkan paling sedikit adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun

(SMU/SMK/MA) dengan jumlah sebanyak 12.505 penduduk. Berikut

adalah disajikan tabel jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia

di Kabupaten Jembrana

Tabel 1. Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013

No. TAHUN

Murid SD usia 7 - 12

tahun

Murid SLTP usia 13 - 15

tahun

Murid SLTA usia 16 - 18

tahun

1 2009 25.527 10.363 7.860

2 2010 25.729 11.034 8.291

3 2011 25.944 10.811 8.606

4 2012 25.952 10.580 9.686

5 2013 28.353 12.505 12.505

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.

Jembrana

Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi :

SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling

banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan

jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang

SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa.

Tabel 2. Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013

No. TAHUN Jumlah

Murid SD

Jumlah Murid SLTP

Jumlah Murid SLTA

1 2009 29.258 12.437 7.775

2 2010 29.485 12.852 10.496

3 2011 30.433 12.845 10.753

3

No. TAHUN Jumlah Murid SD

Jumlah Murid SLTP

Jumlah Murid SLTA 4 2012 29.907 12.674 10.957

5 2013 29.472 13.018 11.275

J u m l a h

148.555 63.826 51.156

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Fasilitas pendidikan berupa sekolah merupakan persyaratan utama

agar kegiatan belajar dan mengajar dapat berjalan. Dengan adanya fasilitas

tersebut, guru yang merupakan tenaga pendidik utama dapat

melaksanakan tugasnya sehingga kegiatan belajar dan mengajar dapat

berjalan dengan baik. Berikut disajikan jumlah sekolah dan jumlah guru

tiap jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana.

Tabel 3. Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013

NO.

JENIS JUMLAH JUMLAH JUMLAH

GURU

PER

KELAS

JUMLAH JUMLAH RATA-

RATA

MURID

PER

KELAS

SEKOLAH SEKOLAH GURU KELAS MURID

1 SD 197 1.428 238 1.128 29.472 26,5

2 SLTP 34 865 811 323 13.018 34,4

3 SLTA/SMU 29 907 820 171 11.275 34,0

Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014

Rasio guru terhadap murid adalah jumlah guru tingkat pendidikan

dasar per 1.000 jumlah murid pendidikan dasar. Rasio ini mengindikasikan

ketersediaan tenaga pengajar. Di samping itu juga untuk mengukur jumlah

ideal murid untuk satu guru agar tercapai mutu pengajaran. Berikut adalah

rasio guru terhadap murid di Kabupaten Jembrana pada tahun 2013.

Tabel 4. Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013

No. Jenis Jumlah Jumlah Guru

Rasio

Sekolah Murid

1 SD 29.472 1.428 20,64

2 SLTP 13.018 865 15,05

4

3 SLTA/SMU 6.731 544 12,37

4 SMK 4.454 363 12,27

Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014

Tingkat pendikan yang dimiliki oleh penduduk Kabupaten Jembrana

berjenjang mulai belum pernah menginjak bangku sekolah hingga sarjana.

Jumlah tertinggi adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Tamat SD

sebesar 29%, kemudian posisi kedua diikuti dengan belum pernah sekolah

sebesar 23% dan hanya sebagian kecil saja prosentase jumlah penduduk

yang tamat akademi/Universitas yaitu sebesar 2 %.

Tabel 5. Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan)

Tahun 2013

No. Pendidikan Akhir Yang Ditamatkan

Jenis kelamin Total

Negara Mendoyo Pekutatan Melaya Jembrana

1. Tidak/Belum Sekolah

18.076 11.900 5.218 12.003 11.329 58.526

2. Belum Tamat SD

10.830 8.007 3.628 7.917 7.453 37.835

3. Tamat SD 27.034 20.968 10.375 18.274 17.470 94.121

4. Tamat SMP 12.228 9.675 4.154 9.020 7.412 42.489

5. Tamat SMU 18.723 16.672 6.195 12.075 14.419 68.084

6. Tamat D1/D2 772 709 403 601 735 3.220

7. Tamat D3 1.039 946 366 693 931 3.975

8. Tamat S1 2.411 1.564 678 1.361 2.290 8.304

9. Tamat S2 154 88 34 71 179 526

10.

Tamat S3 13 5 1 12 6 37

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan SipilKab. Jembrana, Tahun 2014

5

Grafik Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Akhirdi Kabupaten Jembrana Tahun 2013

Indikator Pencapaian Pendidikan

A. Angka Partisipasi Kasar

Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai perbandingan antara

jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan

sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan

dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk

mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan

tertentu makin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang

bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah. Nilai APK bisa

lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar usia

resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah

perbatasan.

Angka Partisipasi Kasar selama lima tahun terakhir pada semua

jenjang pendidikan mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Pada tahun

2013 rata-rata pencapaian Angka Partisipasi Kasar tingkat Sekolah Dasar

mencapai 114,03 %. Sedangkan pada tingkat SLTP mencapai 118,04 % dan

pada tingkat SLTA mencapai 98,71 %. Hal ini menunjukkan bahwa

6

partisipasi masyarakat pada tingkat SLTA masih perlu ditingkatkan.

Tabel 6. APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013

No. Angka Partisipasi

Kasar

2008 2009 2010 2011 2012 2013

1. SD/ MI 110,27 110,63 115,55 115,55 113,95 114,03

2. SLTP/ Mtsn 105,38 106,46 110,50 110,50 117,01 118,04

3. SMA/ SMK/ MA 82,90 81,35 95,00 95,00 98,21 98,71

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.

Jembrana, Tahun 2014

Gambar 2. Perkembangan Angka Partisipasi Kasar di Kabupaten

Jembrana

Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan

antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan

tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam

persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya

anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang

sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah yang

bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu.Angka

Partisipasi Murni dalam lima tahun terkahir di Kabupaten Jembrana

mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Dibandingkan dengan tahun

sebelumnya pada tahun 2012 APM pada masing – masing jenjang

pendidikan, hanya APM pada tingkat SLTA/SMA/MA mengalami kenaikan.

7

Berikut adalah APM di Kabupaten Jembrana selama lima tahun terakhir.

Tabel 7.APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008– 2013

No. Angka Partisipasi

Murni

2008 2009 2010 2011 2012 2013

1. SD/ MI 96,01 96,45 98,50 98,50 93,97 98,94

2. SLTP/ MTSn 80,13 85,89 90,00 90,00 86,03 94,02

3. SLTA/ SMA/ MA 64,37 69,78 75,60 75,60 100,00 89,10

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.

Jembrana, Tahun 2014

Grafik Perkembangan Angka Partisipasi Murni di KabupatenJembrana

Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang

dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama

sekolah berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Rata-rata

lama sekolah yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk

usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah

diikuti. Untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah, pemerintah telah

mencanangkan program wajib belajar 9 tahun atau pendidikan dasar

hingga tingkat SLTP.

Tabel 8. Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten Jembrana

8

Keterangan

Tahun

2008 200

9

201

0

201

1

201

2

201

3

Rata-rata Lama Sekolah

6,50 7,00 7,80 7,80 7,80 7,87

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014

Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk

masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau

kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Indikator ini juga dapat

menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur

dalam aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis

maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM. Berdasarkan data dari

Dinas Pendidikan, Pemuda Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan

Kabupaten Jembrana, Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana setiap

tahunnya terus mengalami peningkatan. Angka Melek Huruf paling tinggi

adalah pada tahun 2013 dengan angka 92,65 %. Berikut adalah Angka

Melek Huruf di Kab. Jembrana selama 5 (lima) tahun terakhir.

Tabel 8. Angka Melek Huruf di Kab. Jembrana Tahun 2008-2013

Tahun Angka Melek Huruf ( % )

2008 88,96

2009 89,60

2010 89,82

2011 90,69

2012 91,36

2013 92,65

Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014

9

Gambar 6.4Perkembangan Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana

Tabel 9 Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana

Tahun 2009-2013

No. TAHUN Jumlah

Murid SD

Jumlah Murid SLTP

Jumlah Murid SLTA

1 2009 29.258 12.437 7.775

2 2010 29.485 12.852 10.496

3 2011 30.433 12.845 10.753

4 2012 29.907 12.674 10.957

5 2013 29.472 13.018 11.275

J u m l a h

148.555 63.826 51.156

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Berdasarkan daya dukung yang dimiliki di Kabupaten Jembrana dan

dasar kewenangan pendelegasian pembentukan Peraturan Daerah yang

sangat penting dimana posisi Penyelenggaraan Pendidikan baik terhadap

masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan

Naskah Akademik.

B. Identifikasi Masalah

Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4

(empat) masalah pokok:

10

1. Penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan, yang pada

prinsipnya meliputi kepastian tentang penyelenggaraan

pendidikan di Kabupaten Jembrana.

2. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan.

3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

4. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan

di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan

dirumuskan sebagai berikut:

1. Menjelaskan penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan.

2. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan sebagai dasar untuk memastikan

objek dan subjek penyelenggaraan pendidikan.

3. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan.

4. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pengaturan

Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan.

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah

sebagai acuan:

1. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

2. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

11

Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis

dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun pembahasan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Penyelenggaraan Pendidikan.

D. Metode Penelitian

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan berbasiskan

metode penelitian hukum, dalam pengertian sumber bahannya adalah

norma hukum (dalam peraturan perundang-undangan) dan dianalisis

secara hermeneutika hukum yang berbasiskan pada penggunaan

interpretasi hukum secara holistik dalam memahami norma hukum baik

sebagai keseluruhan maupun sebagai bagian-bagiannya yang membentuk

sebagai keseluruhan itu.

Sumber bahan hukum tersebut di atas disebut juga sumber bahan

hukum otoritatif (atau bahan hukum primer) karena berasal dari lembaga

yang berkewenangan. Selain itu, digunakan juga sumber bahan hukum

persuasif yakni dari pandangan para ahli, dan didukung dengan sumber

bahan informatif (informasi dari masyarakat dan/atau pejabat publik)

mengenai tematik terkait dengan penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Penyelenggaraan Pendidikan.

12

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Pada dasarnya pengertian pendidikan dalam UU Sisdiknas adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya dan masyarakat. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata

pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan

akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau

perbuatan mendidik.

Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap

dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan

manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan. Paradigma filsafat

pendidikan, telah berulang kali dinyatakan bahwa pendidikan adalah

persoalan yang melekat secaca kodrati di dalam diri manusia.1Pendidikan

terbesar di seluruh sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam

dimensi horizontal maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan

dirinya disitulah ada pendidikan.Ketika manusia berinteraksi dengan

sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula

pendidikan ketika manusia berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada

pendidikan. Antara pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan

isinya. Dengan kata lain hubungan kodrat pendidikan dan manusia, pada

taraf eksistensial, bagaikan hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika

jiwa berpotensi menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan

oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan

manusia kehilangan roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi

tidak kreatif dan pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh

kehidupan itu sendiri.

1 Suparlan Suhartono, 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media, hal 91

13

Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik

menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk

memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat.

Tujuan pendidikan menurut Langeveld adalah pendewasaan diri

dengan ciri-ciri yaitu : kematangan berfikir, kematangan emosional,

memiliki harga diri, sikap dan tingkah laku yang dapat diteladani serta

kemampuan pengevaluasian diri. Kecakapan atau sikap mandiri, yaitu

dapat ditandai pada sedikitnya ketergantungan pada orang lain dan selalu

berusaha mencari sesuatu tanpa melihat orang lain.

Tujuan pendidikan menurut Jacques Delors,cs.,dikenal Empat Pilar

Pendidikan versi UNESCO sebagai berikut:

a. Learning to know(belajar untuk mengetahui);

b. Learning to do(belajar untuk dapat berbuat);

c. Learning to be(belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan d. Learning to live together(belajar untuk hidup bersama dengan orang

lain)2

Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk

membangun karakter bangsa (national character building), tujuan

pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual,

emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang

berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan

pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya,

masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang

bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3

Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan

umumnya dilakukan melalui 4 cara antaral lain :

1. Sistem pendidikan diatur secara legal;

2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada

ketaatan pada aturan dan obyektivitas;

3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan

2 JacquesDelors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi

Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, h.6.

3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”, 2008, Pustaka Pelajar, h. 30.

14

4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung disekolah

berlangsung dalam konteks politik tertentu.4

Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

wajib membiayainya. Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan

satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan

ketaqwaan serta akhlak manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa yang diatur dengan undang-undang. Negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran

dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk

memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional. Pemerintah

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi

nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia (Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945,Pasal 31 ayat(1,2,3,4,5).

Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah

tentang Penyelenggaraan Pendidikan, merupakan sesuatu yang amat urgen

dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang pendidikan, yaitu

dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam penyelenggaraan

sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hakikatnya dalam

rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara,yaitu mencerdaskan

kehidupan bangsa.

4 M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan

Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan” , 2005, Raja Grafindo Persada, hal 63

15

B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN

NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang

secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang

bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam

pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137

UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang baik”, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya

berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU

Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan

mengandung asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

5 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), hlm. 238-309.

16

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat

berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai

dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas

sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada

hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan

asas praduga tak bersalah; dan

b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian

antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan

itikad baik.

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dengan pengaturan penyelenggaraan pendidikan dapat

diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Penyelenggaraan pendidikan bertujuan:

(1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang

bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan

pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah

melakukan penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kepada

masyarakat.Tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah efektivitas,

efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:

Pengaturan penyelenggaraan pendidikan dengan Peraturan Daerah

dilakukan oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama

DPRD Kabupaten Jembrana. Rancangan dapat berasal dari Bupati atau

dari DPRD.

17

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan

Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang

diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan

dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis,

yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan penyelenggaraan pendidikan;

(2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam penyelenggaraan pendidikan,

termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan

penyelenggaraan pendidikan memang dapat memberikan manfaat, baik

bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya

tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan penyelenggaraan

pendidikan memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib

penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan dalam

kondisi eksisting di atas.

Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan

pembentukan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan

sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,

sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang

jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum

dalam Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan yang

menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin

haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta

kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah

dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi

18

masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan

informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal

6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang penyelenggaraan

pendidikan , yakni:

1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan

kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi

setiap anggota kelompok masyarakat.

2. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul

motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan

pendidikan.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN

Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari

tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan

pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk

SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI

sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan

pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa

sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental

dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang

SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di

kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di

tingkat SD/MI. Tingginya jumlah kelurahan/desa yang masih mempunyai

APS tinggi dapat di sebabkan oleh salah satu atau keduanya dari dua faktor

yaitu ketersediaan layanan yang masih rendah atau karena kemampuan

masyarakat yang rendah.

Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai

keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu

pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas

(AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input

Pendidikan,dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas

mutu pendidikan dalam 3 tahun terakhir berupa nilai angka mengulang

19

bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih

cukup besar.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdapat

sejumlah masalah dalam bidang pendidikan yang tidak boleh dibiarkan

berlangsung terus menerus, karena hal tersebut jika diabaikan akan

menghambat pelaksanaan visi dan misi serta garis-garis besar program

pembangunan khususnya di bidang pendidikan, yang pada akhirnya akan

semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan bangsa

Indonesia.Berdasarkan paparan tersebut dapat diperoleh pemahaman,

bahwa beberapa permasalahan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan

Penyelenggaraan Pendidikan, yang juga merupakan permasalahan yang

dihadapi masyarakat, perlu mendapat perhatian.

Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan

dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di

bidang pendidikan akan mencakupi:

1. Pendidikan anak usia dini (PAUD);

2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan

jenjang Sekolah Menengah Pertama;

3. Pendidikan Menengah;

4. Pendidikan Non formal;

5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan

6. Manajemen Layanan Pendidikan.

Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum

yang perlu mendapat perhatian.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP

MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN

DAERAH

Dalam lingkup pengaturan penyelenggaraan pendidikan, terdapat

dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang

sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi:

20

a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan

pendidikan;

b. Struktur atau kelembagaan dalam penyelenggaraan

pendidikan;

c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam penyelenggaraan

pendidikan;

d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan

penyelenggaraan pendididkan;

e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan penyelenggaraan

pendidikan;

f. Ketenagaan;

g. Kekayaan; dan

h. Sanksi.

Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran pendidikan

yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan pendidikan yang

meliputi tata cara atau prosedur, yang antara lain meliputi:

a. Pendirian sekolah;

b. Pengisian kelembagaan pendidikan;

c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan;

d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain;

e. Status aset sekolah;

f. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan;

g. Pengadaan ketenagaan;

h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan

i. Pengalihan bentuk sekolah.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan ini tidak akan menimbulkan

dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada

penambahan target penerimaan PAD dari sektor ini.

21

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA

Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan

pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan, Bupati/ Walikota Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam

Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikan. Penyelenggaraan

pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan

pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional.Dalam pasal itu juga disebutkan bahwa

Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang urgensi

membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi

argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis.

B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Materi Pokok Penyelenggaraan pendidikan yang hendak diatur dalam

Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai

keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

22

Tabel 10. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.

Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN

UU Pendidikan UU 23 Tahun 2014

Pasal 29 ayat (2) PP No. 17 Tahun 2010 Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:

a. rencana pembangunan jangka panjang

b. kabupaten/kota; c. rencana

pembangunan jangka menengah

d. kabupaten/kota; e. rencana strategis

pendidikan kabupaten/kota;

f. rencana kerja pemerintah kabupaten/kota;

g. rencana kerja dan anggaran tahunan

h. kabupaten/kota; i. peraturan daerah

di bidang pendidikan; dan

j. peraturan bupati/ k. walikota di bidang l. pendidikan

Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Dalam Pasal 12 ayat Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; Lampiran, huruf a.Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan Sub Bidang: Manajemen pendidikan Meliputi :

a. Pengelolaan pendidikan

dasar.

b. Pengelolaan pendidikan

anak usia dini dan

pendidikan non formal

Sumber : Diolah dari UU Pemda, UU Sisdiknas, PP Penyelenggaraan Pendidikan

Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU

Sisdiknas, melainkan juga dengan peraturan perundang-undangan

pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010

tentang PengelolaanPeraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan

Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Jembrana.

23

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN

YURIDIS

A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada

istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang

mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap

Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,

yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi

syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6

Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav

Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku

hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya

hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch

disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan

(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7

Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai

dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa

norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan

pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya

masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,

pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih

oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide

mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan

diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus

memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat

6 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:

Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147. 7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal.

19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961), h. 36.

24

serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh

Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah

satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin

keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya

dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat

terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan

mereka satu sama lain.8

Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu

konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya

berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang

diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav

Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the

law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan

kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu

adalah:

1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu

suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki

keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang

berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia

maupun hubungan-hubungan diantara mereka.

2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu

tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-

pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang

hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama

tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan

dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi

kehidupan mereka.

3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif

dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka

apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus

diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau

8 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19.

25

petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan

diberlakukan.9

Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh

W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan

kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,

yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:

1. Keadilan sebagai suatu cita ─ seperti telah ditunjukkan oleh

Aristoteles ─ tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus

diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan

pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.

Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus

menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.

3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,

keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.

Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.

Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian

yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-

pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur

relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,

hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.

Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan

lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus

diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10

Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara

satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu

dengan yang lainnya.11Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang

demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang

berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk

9 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies

Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 10W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan

(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 43.

11Ibid., hlm. 109 -110.

26

bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera

menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi

kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah

peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,

adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12

Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.

Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan

yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.UU P3 2011

memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan

yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3

(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat

uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan

alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada

konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis

yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang

penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan

yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai

berikut:

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan

hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang

akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian

hukum dan rasa keadilan masyarakat.

12 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 19-20.

27

Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,

dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan

peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah

akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal

57 12/2011, yang menentukan:

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi

dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Berikutnya dalam Pasal 63 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan

mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis

terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya,

ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur

tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan

yuridis, adalah sebagai berikut:

1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan

masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan

28

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau

yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa

keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan

hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur

sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.

Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah

ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,

jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga

daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak

memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan

dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks

pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan

berikut:

Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur

filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan

undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu

Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan

Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan

pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

29

2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi

latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau

peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan

perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur

tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan

yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu

Peraturan Perundang-undangan.Termasuk kesesuaian jenis dan

materi muatan.

3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik

yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan

alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

Relevansilandasan keabsahan tersebut dengan pengaturan

penyelenggaraan pendidikan adalah pengaturan penyelenggaraan

pendidikan mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,

yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.

Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk

memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam

rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,

dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing

pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah

otonomi seluas-luasnya.

Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana

30

telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23

tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka

penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan

kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan

kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Penyelenggaraan pendidikan daerah merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan

pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek

penyelenggaraan pendidikan daerah dan pemberian diskresi dalam

penetapan tarif. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan daerah dan

penyelenggaraan pendidikan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip

demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan

akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.13

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis

pengaturan penyelenggaraan pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan

pendidikan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna

membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan penyelenggaraan

pendidikan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,

peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi

daerah.

Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang

penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan

dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan

pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum

pemungutan penyelenggaraan pendidikan, yang merupakansalah satu

13 Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Penyelenggaraan pendidikan Daerah.

31

sumber pendapatan Kabupaten Jembrana yang penting gunamembiayai

pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Jembrana.

Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2),

dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut

mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasiona, l

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang

Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dan

kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 tahun 2014, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh undang-undang, ditentukan sebagai urusan pemerintah (pusat).

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan

daerah untuk kabupaten dan kota yaitu, meliputi:

a. Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;

32

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat;

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah social;

h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal;

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan.

33

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka arah pengaturan adalah

mengarahkan agar pengaturan penyelenggaraan pendidikan dirumuskan

secara berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.

Jangkauan pengaturannya adalah agar penyelenggaraan pendidikan

secara abasah berdasarkan Peratruran Daerah. Jadi, pentingnya disusun

Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan ini

adalah memberikan landasan hukum penyelenggaraan pendidikan, yang

disusun berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis, untuk

pencapaian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam

penyelenggaraan pendidikan tersebut.

B. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

Ruang lingkup materi muatan raperda penyelenggaraan pendidikan

adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda

penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi materi yang boleh dan materi

yang tidak boleh dimuat dalam raperda penyelenggaraan pendidikan.14

Jadi, yang dimaksud dengan materi muatan baik mengenai batas materi

muatan maupun lingkup materi muatan.

Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi

daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektif-

normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai

materi muatan Perda tentang penyelenggaraan pendidikan.

14 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija

Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Jembrana), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14.

34

Pengelompokan tersebut mesti mengacu pada Teknik Penyusunan

Peraturan Perundang-undangan, angka 1 dan angka 62 TP3, mengenai

kerangka Peraturan Perundang-undangan dan pengelompokkan batang

tubuh Peraturan Perundang-undangan, yakni:

1. Judul

2. Konsiderans ( Menimbang)

3. Dasar hukum Mengingat

4. Bab I Ketentuan Umum

5. Bab II Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan

Pendidikan

6. Bab III Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat

7. Bab IV Satuan Pendidikan

8. Bab V Peserta Didik

9. Bab VI Pendidikan Formal

10. Bab VII Pendidikan Non Formal

11. Bab VIII Pendidikan Anak Usia Dini

12. Bab IX Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus

13. Bab X Pendidikan Keagamaan

14. Bab XI Pendidikan Bertaraf Internasional dan Pendidikan Berbasis

Keunggulan Lokal

15. Bab XII Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Asing

16. Bab XIII Pendidik dan Lembaga Kependidikan

17. Bab XIV Sarana dan Prasarana Pendidikan

18. Bab XV Evaluasi

19. Bab XVI Akreditasi

20. Bab XVII Pengawasan

21. Bab XVIII Wajib Belajar

22. Bab XIX Partisipasi Masyarakat

23. Bab XX Pendanaan Pendidikan

24. Bab XXI Penyidikan

25. Bab XXII Sanksi Administrasi

26. Bab XXIII Ketentuan Pidana

27. Bab XXIV Ketentuan Penutup

35

Adapun uraian dari seting produk hukum baru mengenai

Penyelenggaraan Pendidikan dalam bentuk Peraturan Daerah adalah

sebagai berikut :

1. Judul.

Sesuai dengan lampiran TP3 angka 2 dan 3 Judul Perundang-

undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun

pengundangan atau penetapan dan nama peraturan perundang-undangan

dan nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan

mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.

Judul yang digunakan adalah sesuai dengan jenis yang hendak diatur.

Sehingga judul yang digunakan adalah Peraturan Daerah Kabupaten

Jembrana Nomor…..Tahun…..tentang Penyelenggaraan Pendidikan

2. Konsiderans ( Menimbang).

Dasar pertimbangan yang digunakan dalam Rancangan Peraturan

Daerah ini meliputi pertimbangan yang bersifat filosofis, yuridis dan

sosiologis yakni :

a. bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara Indonesia;

b. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah Kabupaten

Jembrana berwenang dalam Penyelenggaraan Pendidikan;

c. bahwa Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana

diarahkan untuk mewujudkan upaya peningkatan sumber daya

manusia yang memiliki daya saing global;

d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan;

3. Dasar hukum Mengingat.

Dalam merumuskan dasar hukum yang mengacu Pedoman angka 28

TP3, bahwa dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan

Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan

Peraturan Perundang-undangan, dengan ungkapan lain dasar hukum

peraturan daerah memuat dasar hukum formal yakni yang berkaitan

dengan kewenangan pembentukan peraturan daerah, dan dasar hukum

36

substansial yakni yang berkaitan dengan substansi peraturan daerah Dasar

hukum formal maupun substansial yang dipergunakan dalam penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut :

1.

Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan

Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I

Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555);

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor

78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun

2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844);

4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5234);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan

Prasekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990

Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3411);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan

Dasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3412)

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55

Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara

37

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 90, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3763);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan

Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990

Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3413) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 56 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 91,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3764);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan

Luar Biasa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991

Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3460);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan

Luar Sekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991

Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3461);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga

Kependidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992

Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3641) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 39 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 91,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3974);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta

Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3485);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota(Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

14. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008

tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana (Lembaran

Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan

38

Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4);

15. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah;

16. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

087/U/2002 tentang Akreditasi Sekolah;

17. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru Sebagai Kepala

Sekolah;

18. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Peran Serta

Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4960);

19. Peraturan WaliKabupaten Jembrana Nomor 30 Tahun 2010 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Kabupaten Jembrana Tahun 2010 – 2015.

4. Bab Ketentuan Umum.

Adapun isi ketentuan umum sesuai dengan Pedoman angka 98 TP3

adalah sebagai berikut:

a. Batasan pengertian atau definisi;

b. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan

c. Hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau

beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang

mencerminkan asas, maksud dan tujuan tanpa dirumuskan

sendiri dalam pasal atau bab.

Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka Ketentuan Umum dalam

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Penyelenggaraan pendidikan menyangkut batasan pengertian

1. belajar, hasil belajar, kinerjatenaga kependidikan dan

kelembagaan.

2. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal dan nonformal.

39

3. Satuan pendidikan negeri adalah satuan pendidikan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten.

4. Satuan pendidikan swasta adalah satuan pendidikan yang

diselenggarakan oleh organisasi masyarakat atau yayasan yang

berbadan hukum.

atau difinisi sebagai berikut:

5. Kabupaten adalah Kabupaten Jembrana.

6. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana.

7. Bupati adalah Bupati Kabupaten Jembrana.

8. Dinas adalah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga

Kabupaten Jembrana.

9. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga Kabupaten Jembrana.

10. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

11. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia

nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam

bidang pendidikan.

12. Penyelenggaraan Pendidikan adalah pengelolaan pendidikan yang

mencakup seluruh kegiatan pendidikan formal dan pendidikan

non formal baik yang diselenggaraakan Pemerintah Kabupaten

dan masyarakat dalam lingkup Dinas maupun departemen Agama

sesuai urusan daerah.

13. Manajemen dan kelembagaan pendidikan adalah seperangkat

pengaturan mengenai pendirian dan pengelolaan satuan

pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal.

14. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan

40

sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pendidikan tertentu.

15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum

operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-

masing satuan pendidikan.

16. Standar kompetensi adalah kemampuan minimal yang

diharapkan dapat dicapai peserta didik melalui pendidikan dalam

satuan pendidikan tertentu.

17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang

sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

18. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian suatu sekolah

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh

badan akreditasi sekolah yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk

pengakuan peringkat kelayakan.

19. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang

tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

20. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang

ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam

tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan

untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan

rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan

lebih lanjut.

21. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan

berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan

menengah.

22. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan

formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan

berjenjang.

23. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan

lingkungan.

41

24. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan

penetapan mutu pendidikan terhadap proses

25. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang terdiri dari

pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

26. Wajib belajar adalah program pendidikan dasar 9 tahun dan

pendidikan menengah 3 tahun yang harus diikuti oleh warga

masyarakat atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah

daerah.

27. Manajemen berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan

pendidikan yang sesuai dengan potensi masyarakat.

28. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang

mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang

penyelenggaraan pendidikan.

29. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai

guru, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan

sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta

berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

5. Bab Materi Pokok Yang Diatur

a. Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan

Tujuan Penyelenggaraan pendidikan adalah pemerataan kesempatan

pendidikan, meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar

danmengembangkan manajemen pendidikan bertumpu pada partisipasi

masyarakat, transparansi anggaran pendidikan dan akuntabilitas

penyelengaraan pendidikan secara keseluruhan.

Ruang lingkup penyelenggaraan pendidikan meliputi:

a. peserta didik;

b. penyelenggaraan pendidikan formal;

c. penyelenggaraan pendidikan non formal;

d. pendidikan anak usia dini;

e. pendidikan khusus;

f. pendidikan keagamaan;

g. pendidikan bertaraf internasional dan pendidikan berbasis

42

keunggulan lokal;

h. penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing;

i. pendidik dan tenaga kependidikan;

j. sarana dan prasarana pendidikan;

k. evaluasi;

l. akreditasi;

m. pengawasan;

n. wajib belajar;

o. partisipasi masyarakat; dan

p. pendanaan pendidikan yang menjadi batas kewenangan

Pemerintah Kabupaten.

Prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah :

a. pendidikan diselenggarakan sebagai investasi sumber daya

manusia jangka panjang;

b. pendidikan diselenggarakan sebagai kesatuan yang sistematik,

terbuka, demokratis dan adil melalui proses pembudayaan dan

pemberdayaan masyarakat meliputi penyelenggaraan dan

pengendalian layanan mutu pendidikan;

c. pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,

membangun kemauan, menjunjung tinggi hak asasi manusia,

nilai keagamaan, nilai budaya, lingkungan dan kemajemukan

bangsa yang berlangsung sepanjang hayat;

d. pendidikan diselengarakan dengan mengembangkan budaya

membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat;

e. pengelolaan pendidikan harus berdasarkan penerapan prinsip-

prinsip manajemen pendidikan yang aktual;

f. Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab atas penyelenggaraan

satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah;

g. Pemerintah Kabupaten memfasilitasi terselenggaranya satuan

pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan pendidikan luar

biasa;

h. Pemerintah Kabupaten wajib menyusun dan melaksanakan

Standar Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Standar

43

Pelayanan Minimal (SPM);

i. Satuan Pendidikan wajib menyusun dan melaksanakan Standar

Penyelenggaraan Pelayanan Publik; dan

j. Satuan Pendidikan wajib melaksanakan Standar Pelayanan

Minimal (SPM).

b.Hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat

Pemerintah Kabupaten berhak mengelola, memantau dan

mengendalikan penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk

pertanggungjawaban kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten

berkewajiban:

a. menyelenggarakan pendidikan, mendayagunakan dan

mengembangkan pendidik, tenaga kependidikan, kurikulum,

buku ajar, peralatan pendidikan, tanah dan bangunan atau

gedung serta pemeliharaannya untuk sekolah yang

diselenggarakan Pemerintah Kabupaten;

b. membantu penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan

oleh masyarakat;

c. menjamin terlaksananya sistem pendidikan yang berkualitas

melalui layanan dan kemudahan pendidikan;

d. menyediakan anggaran pendidikan; dan

e. menyelenggarakan wajib belajar.

Masyarakat mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk

memperoleh pendidikan sesuai prinsip-prinsip penyelenggaraan

pendidikan.Masyarakat wajib berpartisipasi demi kemajuan pendidikan

guna mendukung terlaksananya penyelenggaraan pendidikan yang

bermutu.

c. Satuan Pendidikan

Setiap satuan pendidikan berhak untuk :

a. memperoleh dana operasional dan pemeliharaan pendidikan bagi

Satuan Pendidikan Negeri;

b. memperoleh bantuan dana operasional dan pemeliharaan

44

pendidikan bagi Satuan Pendidikan Swasta; dan

c. merencanakan dan menyusun kurikulum.

Setiap Satuan Pendidikan berkewajiban untuk :

a. menjamin pelaksanaan hak-hak peserta didik untuk memperoleh

pendidikan tanpa membedakan status sosial peserta didik;

b. memfasilitasi dan bekerja sama dengan Komite Sekolah untuk

menerapkan dan mengembangkan manajemen berbasis sekolah;

c. menyusun dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), dan pelaksanaan

manajemen berbasis sekolah kepada Komite Sekolah dan seluruh

orang tua/wali peserta didik;

d. menyusun dan melaksanakan Standar Penyelenggaraan

Pelayanan Publik;

e. melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM);

f. melaksanakan kurikulum.

d. Peserta Didik

Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak untuk:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang

dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama serta

memperoleh jaminan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan

agama yang dipeluknya;

b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat

dan kemampuannya;

c. mendapatkan beasiswa atau penghargaan bagi peserta didik yang

berprestasi baik di bidang akademik maupun non akademik;

d. mendapatkan bantuan fasilitas belajar, bantuan biaya

pendidikan, kesehatan dan santunan kecelakaan, kematian serta

peningkatan gizi yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan

Bupati;

e. mendapat pembebasan biaya pendidikan bagi mereka yang

orangtuanya tergolong keluarga miskin; dan

f. menyelesaikan batas waktu program pendidikan sesuai dengan

45

kecepatan belajar masing-masing dengan tidak menyimpang dari

persyaratan yang ditetapkan.

Setiap peserta didik berkewajiban untuk :

a. mematuhi semua peraturan yang berlaku;

b. menghormati tenaga kependidikan dan pendidik;

c. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin

berlangsungnya proses dan keberhasilan pendidikan;

d. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi

peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut; dan

e. ikut memelihara kebersihan, ketertiban dan keamanan sarana

dan prasarana pendidikan.

Penerimaan dan Daftar Ulang

(1)Penerimaan peserta didik dilaksanakan oleh Pengelola Satuan

Pendidikan sesuai dengan daya tampung pada satuan pendidikan.

(2)Apabila jumlah pendaftar melebihi kapasitas daya tampung, maka

sistem dan mekanisme penerimaan peserta didik dilaksanakan

melalui seleksi dengan berdasarkan pada asas keadilan dan

keterbukaan.

(3)Warga Negara Asing dapat menjadi peserta didik dalam satuan

pendidikan yang diselenggarakan di Kota.

(4)Pada Taman Kanak-kanak (TK) atau bentuk lain yang sederajat

jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar/kelas paling

sedikit 10 (sepuluh) peserta didik dan paling banyak 25 (duapuluh

lima) peserta didik.

(5)Pada Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah

Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah

Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) jumlah peserta didik

dalam satu rombongan belajar/kelas paling sedikit 20 (duapuluh)

peserta didik dan paling banyak 40 (empat puluh) peserta didik.

(6)Pada Sekolah Menengah Kejuruan jumlah peserta didik dalam satu

rombongan belajar/kelas berkisar antara 20 (duapuluh) peserta didik

sampai dengan 40 (empat puluh) peserta didik untuk kelompok

46

regular, dan 20 (duapuluh) peserta didik sampai dengan 36

(tigapuluh enam) peserta didik untuk kelompok RSBI.

(7)Daftar ulang hanya diberlakukan terhadap peserta didik yang tidak

naik kelas dan tidak lulus dengan tanpa dipungut biaya.

(8)Sistem dan tata cara penerimaan peserta didik ditetapkan dengan

Peraturan bupati.

Mutasi

(1)Mutasi peserta didik dapat dilakukan dalam, jenjang pendidikan yang

sejenis dan setara oleh Pengelola Satuan Pendidikan di bawah

koordinasi Dinas.

(2)Peserta didik yang berasal dari luar daerah, mempunyai hak dan

kewajiban yang sama untuk mengikuti pendidikan pada Satuan

Pendidikan dan jalur pendidikan lain yang setara.

e. Pendidikan Formal

Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab atas penyelenggaraan

pendidikan dasar yang meliputi:

a. pengadaan, pendayagunaan tenaga kependidikan dan pendidik,

buku pelajaran, sarana dan prasarana pendidikan serta

pemeliharaannya; dan

b. pengembangan tenaga kependidikan dan pendidik serta sarana

dan prasarana pendidikan.

Tanggung Jawab Masyarakat, Organisasi dan Yayasan Masyarakat,

organisasi atau yayasan yang berbadan hukum yang mendirikan dan

menyelenggarakan satuan pendidikan, bertanggung jawab atas:

a. pengadaan sarana dan prasarana pendidikan;

b. tenaga kependidikan dan pendidik; dan

c. keberlangsungan serta mutu satuan pendidikan yang didirikan.

Pendirian dan Pengintegrasian Satuan Pendidikan

(1) Pemerintah Kabupaten, masyarakat, organisasi atau yayasan yang

berbadan hukum dapat mendirikan satuan pendidikan formal.

(2) Walikota menetapkan pendirian dan pengintegrasian Satuan Pendidikan

Negeri.

47

(3) Kepala Dinas menetapkan pendirian dan pengintegrasian Satuan

Pendidikan Swasta.

(4) Pendirian satuan pendidikan formal, didasarkan pada kebutuhan

masyarakat dan perencanaan pengembangan pendidikan secara lokal,

regional, nasional maupun internasional.

(1)Pendirian satuan pendidikan formal harus memenuhi syarat studi

kelayakan yang meliputi:

a. sumber peserta didik;

b. tenaga kependidikan dan pendidik;

c. kurikulum dan program kegiatan belajar;

d. sumber pembiayaan;

e. sarana dan prasarana; dan

f. manajemen penyelenggaraan sekolah.

(2)Pendirian satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) juga

harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. adanya potensi lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan

tamatan SMK yang akan didirikan dengan mempertimbangkan

pemetaan satuan pendidikan sejenis sesuai dengan kebutuhan

masyarakat; dan

b. adanya dukungan masyarakat termasuk dunia usaha, dunia

industri dan unit produksi yang dikembangkan di satuan

pendidikan.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat teknis

pendirian satuan pendidikan formal diatur dengan Peraturan bupati.

Satuan Pendidikan Formal

(1)Satuan pendidikan formal yang dintegrasikan harus memenuhi

ketentuan sebagai berikut:

a. Penyelenggara satuan pendidikan formal tidak mampu

menyelenggarakan kegiatan pembelajaran;

b. Tidak dipenuhinya jumlah minimal peserta didik; dan

c. Satuan pendidikan yang diintegrasikan harus sesuai dengan

jenjang dan jenisnya.

48

(2)Satuan pendidikan formal yang diintegrasikan mengalihkan tanggung

jawab edukatif dan administratif peserta didik, tenaga kependidikan

dan pendidik kepada satuan hasil integrasi.

(3)Tata cara dan syarat teknis pengintegrasian satuan pendidikan formal

diatur dengan Peraturan bupati.

Penutupan Satuan Pendidikan

(1)Penutupan satuan pendidikan formal dapat berupa penghentian

kegiatan belajar mengajar atau penghapusan satuan pendidikan.

(2)Penutupan satuan pendidikan formal dilakukan apabila satuan

pendidikan tidak lagi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran.

Kurikulum Pendidikan Formal

(1)Pelaksanaan kurikulum pendidikan formal berpedoman pada standar

nasional dan dimungkinkan untuk menerapkan standar

internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(2)Diversifikasi kurikulum pada setiap satuan pendidikan formal

disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan potensi satuan

pendidikan sesuai dengan kewenangannya.

(3)Satuan pendidikan menyusun kurikulum muatan lokal berbasis

kompetensi dengan memperhatikan:

a. agama;

b. peningkatan iman dan taqwa;

c. peningkatan akhlak mulia;

d. peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik;

e. keragaman potensi daerah dan lingkungan;

f. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

g. tuntutan dunia kerja;

h. perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni budaya;

i. dinamika perkembangan global;

j. persatuan nasional serta nilai-nilai kebangsaan.

(4)Pengembangan mata pelajaran muatan lokal diserahkan pada satuan

pendidikan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan

49

kemampuan peserta didik serta sumber daya yang dimiliki oleh

satuan pendidikan yang bersangkutan.

(5)Penjabaran kurikulum harus sesuai dengan target waktu yang sudah

ditentukan dan hal tersebut menjadi tanggung jawab tenaga

pendidik.

Bahasa Pengantar

(1)Bahasa pengantar dalam pendidikan formal adalah Bahasa Indonesia.

(2)Bahasa Bali dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap

awal pendidikan.

(3)Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran Bahasa

Bali wajib diajarkan.

(4)Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada

satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan

berbahasa asing peserta didik.

f. Pendidikan Non Formal

Manajemen dan Kelembagaan

(1)Pendidikan non formal dapat diselenggarakan oleh Pemerintah

Kabupaten atau masyarakat atau organisasi non yayasan yang

berbadan hukum.

(2)Penyelenggaraan pendidikan non formal yang dilakukan Pemerintah

Kabupaten dilaksanakan oleh Dinas dan/atau instansi terkait serta

Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).

(3)Penyelenggaraan pendidikan non formal yang dilakukan masyarakat

dan organisasi non yayasan yang berbadan hukum dilaksanakan

oleh Lembaga Kursus, Lembaga Pelatihan, Kelompok Belajar, Pusat

Kegiatan Masyarakat serta satuan pendidikan sejenis.

(4)Manajemen pendidikan non formal melibatkan unsur:

a. pembina;

b. penyelenggara;

c. pendidik;

d. tenaga kependidikan;

e. penilik; dan

f. warga belajar.

50

(5)Lembaga penyetaraan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah

melakukan proses penilaian terhadap satuan pendidikan dengan

mengacu kepada Standar Nasional.

Pendidikan Non Formal

(1)Pendidikan non formal diselenggarakan bagi masyarakat yang

memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,

penambah dan/atau pendukung pendidikan formal dalam rangka

pendidikan sepanjang hayat.

(2)Penyelenggaraan kursus dan program yang berhubungan dengan

pendidikan non formal bertujuan untuk mengembangkan potensi

warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan

keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian

profesional.

(3)Penyelenggaraan pendidikan non formal harus dikoordinasikan

dengan Dinas.

(4)Penyelenggaraan pendidikan non formal untuk tujuan khusus harus

mendapat ijin dari Dinas.

(5)Ketentuan mengenai persyaratan, penilaian, kelayakan dan tata cara

memperoleh ijin dan/atau rekomendasi diatur dengan Peraturan

bupati.

Jenis Pendidikan Non Formal

(1)Pendidikan non formal meliputi:

a. pendidikan kecakapan hidup;

b. pendidikan anak usia dini;

c. pendidikan kepemudaan;

d. pendidikan pemberdayaan perempuan;

e. pendidikan keaksaraan;

f. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja;

g. pendidikan kesetaraan; dan

h. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan

kemampuan warga belajar.

51

(2)Pelaksanaan pendidikan non formal diprioritaskan pada kebutuhan

masyarakat dan dunia usaha serta dunia industri.

(3)Pemerintah memberikan peluang dan dukungan untuk

mengembangkan jenis dan program pendidikan non formal

unggulan.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan/atau pengelolaan

pendidikan non formal diatur dengan Peraturan bupati.

Kurikulum Pendidikan Non Formal

(1)Kurikulum pendidikan non formal merupakan kegiatan bimbingan,

pengajaran dan/atau pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai

standar sesuai dengan peraturan perundang-0undangan yang

berlaku.

(2)Ketentuan mengenai penyusunan dan pengembangan isi kurikulum

pendidikan non formal diatur dengan Peraturan bupati.

F.Pendidikan Anak Usia Dini

(1)Pendidikan anak usia dini diberikan sebelum jenjang pendidikan

dasar.

(2)Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur:

a. pendidikan formal;

b. pendidikan non formal; dan/atau

c. pendidikan informal.

(3)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:

a. Taman Kanak-kanak (TK); atau

b. bentuk lain yang sederajat

(4)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal

berbentuk:

a. Kelompok Bermain (KB);

b. Taman Penitipan Anak (TPA); atau

c. Satuan Paud Sejenis (SPS)

(5)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk:

a. pendidikan keluarga; atau

b. pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

d. Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus

(1) Pendidikan khusus merupakan layanan pendidikan bagi peserta

didik yang memiliki kebutuhan khusus karena kelaian fisik,

52

emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa.

(2) Pendidikan khusus dapat berbentuk:

a. pendidikan inklusif;

b. akselerasi;

c. eskalasi.

(3) Pendidikan layanan khusus merupakan program pendidikan bagi

peserta didik di daerah yang mengalami bencana alam, bencana

sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi.

e. Pendidikan Keagamaan

(1) Pendidikan keagamaan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten

dan/atau dapat diselenggarakan oleh kelompok masyarakat dan

pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik

menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan

nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan:

a. formal;

b. non formal; atau

c. informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk diniyah, pesantren, pasraman,

pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenisnya.

(5) Bentuk pendidikan keagamaan diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

f. Pendidikan Bertaraf Internasional dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal

(1)Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang

diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan

yang diperkaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

agar mampu bersaing serta berkolaborasi secara global.

53

(2)Tujuan penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional adalah

untuk mengakomodasi peserta didik yang ingin bekerja/melanjutkan

pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi di luar negeri.

(3)Penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dilaksanakan oleh

satuan pendidikan yang telah mencapai kategori formal mandiri.

(4)Peserta didik pendidikan bertaraf internasional adalah lulusan pada

jenjang di bawah satuan pendidikan yang memenuhi persyaratn-

persyaratan yang diatur secara khusus dengan Peraturan bupati.

(5)Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah satuan pendidikan

dasar dan menengah yang menyelenggarakan pendidikan dengan

acuan kurikulum yang menunjang upaya pengembangan potensi,

ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat daerah setempat.

(6)Tujuan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal

adalah untuk mengakomodasi peserta didik dalam upaya

mengembangkan potensi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat

daerah setempat.

(7)Penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dilakukan

oleh satuan pendidikan yang telah mencapai kategori formal mandiri.

(8)Peserta didik pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah lulusan

pada jenjang di bawah satuan pendidikan yang memenuhi

persyaratan-persyaratan yang diatur secara khusus dengan

Peraturan bupati.

Kurikulum dan Ujian Akhir

(1)Kurikulum pendidikan bertaraf internasional dikembangan oleh

satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional

Pendidikan yang diperkaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi agar mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.

(2)Kurikulum pendidikan berbasis keunggulan lokal dikembangan oleh

satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional

Pendidikan yang diperkaya dan kembangkan sesuai dengan potensi

dan kekhasan daerah.

54

(3)Ujian akhir pada satuan pendidikan bertaraf internasional wajib

mengikuti ujian nasional dan uji kompetensi sesuai tuntutan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global.

(4)Ujian akhir pada satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal

mengacu pada ujian nasional dan uji kompetensi sesuai dengan

potensi dan kekhasan daerah.

Bahasa Pengantar, Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Sarana

Prasarana

(1) Bahasa pengantar pada satuan pendidikan bertaraf internasional

adalah:

a. Bahasa Indonesia;

b. Bahasa Inggris; dan/atau

c. bahasa asing lainnya sesuai kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan.

(2) Satuan pendidikan bertaraf internasional harus memiliki pendidik

dan tenaga kependidikan, dan sarana/prasarana sesuai dengan

Standar Nasional Pendidikan serta tuntutan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi global.

(3) Satuan pendidikan bertaraf internasional dapat mempekerjakan

pendidik dan tenaga kependidikan asing untuk mendukung proses

pembelajaran dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pembiayaan

(1)Pembiayaan untuk pendidikan dan pengembangan tahap awal satuan

pendidikan bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh

Pemerintah Kabupaten disediakan oleh Pemerintah Pusat,

Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Kabupaten.

(2)Pembiayaan untuk pendidikan dan pengembangan tahap awal satuan

pendidikan berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan oleh

Pemerintah Kabupaten menjadi tanggung jawab Pemerintah

Kabupaten dan dapat dibantu oleh Pemerintah Provinsi Bali

dan/atau Pemerintah Pusat.

55

(3)Pembiayaan untuk pendirian tahap awal satuan pendidikan bertaraf

internasional dan/atau yang berbasis keunggulan lokal, yang

diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh yayasan atau

lembaga yang berbadan hukum.

(4)Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah

Kabupaten memfasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional

dan/atau yang berbasis keunggulan lokal untuk memperoleh sumber

dana yang diperlukan untuk pengembangan program pendidikan.

Peran Pemerintah Kabupaten

(1)Pemerintah Kabupaten menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu

satuan pendidikan bertaraf internasional dan yang berbasis

keunggulan lokal pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

(2)Satuan pendidikan bertaraf internasional dan yang berbasis

keunggulan lokal dapat diselenggarakan sebagai satuan pendidikan

terpadu.

(3)Perguruan Tinggi dan lembaga lain yang kompeten dapat berperan

memberikan pembinaan terhadap tenaga kependidikan berkaitan

dengan bahasa pengantar khususnya Bahasa Inggris dan bahasa

asing lainnya.

Pengawasan

Pemerintah Daerah dan Dewan Pendidikan melakukan pengawasan

terhadap penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dan

penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal sesuai dengan

kewenangan masing-masing.

g. Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Pihak Asing

(1)Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di

negaranya dapat menyelenggarakan Pendidikan Dasar dan

Menengah di Kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(2)Tujuan pendidikan pada lembaga pendidikan asing tidak boleh

bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

(3)Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing wajib

bekerja sama dengan lembaga pendidikan nasional dan mengikutkan

56

Warga Negara Indonesia sebagai pendidik dan pengelola masing-

masing minimal 25% (duapuluh lima persen) dari keseluruhan

pendidik dan 25% (duapuluh lima persen) dari keseluruhan

pengelola pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang

didirikan secara bersama tersebut.

(4)Peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang

diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing mencakup Warga

Negara Indonesia dan warga negara asing.

Sarana Pendidikan

Satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh lembaga

pendidikan asing harus memiliki sarana pendidikan, buku pelajaran,

sumber belajar, pendidik dan tenaga kependidikan sesuai tuntutan

kemajuan teknologi secara global.

Kurikulum, Bahasa Pengantar dan Ujian Akhir

(1)Struktur kurikulum pendidikan dan sistem ujian pada lembaga

pendidikan asing mengikuti kurikulum pendidikan di negara asalnya

sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

(2)Selain mengikuti kurikulum dan sistem ujian sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), lembaga pendidikan asing wajib memberikan

pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga

Negara Indonesia.

(3)Bahasa pengantar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

lembaga pendidikan asing adalah bahasa yang digunakan di negara

asal dan bahasa Indonesia.

(4)Ujian akhir pada lembaga pendidikan asing terdiri atas ujian akhir

yang berlaku di negara asal dan bagi peserta didik Warga Negara

Indonesia wajib mengikuti ujian nasional.

Akreditasi dan Pengawasan

(1)Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan

asing wajib mengikuti proses akreditasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

57

(2)Pemerintah Kabupaten berwenang melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing di

Kabupaten.

(3)Prosedur pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh

lembaga pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan bupati.

h. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Tenaga Pendidik

(1)Calon tenaga pendidik yang akan diangkat pada satuan pendidikan

formal baik negeri maupun swasta harus memiliki kualifikasi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Guru mata pelajaran agama yang akan diangkat sebagai tenaga

pendidik selain harus memenuhi persyaratan sebagai tenaga

pendidik, juga harus menganut agama sesuai dengan agama yang

diajarkan.

(3)Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan tenaga pendidik pada

satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dengan

mengangkat dan/atau menempatkan tenaga pendidik yang berstatus

Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk kurun waktu tertentu berdasarkan

permintaan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dengan

mempertimbangkan kondisi dan kemampuan yang ada.

(4)Pengangkatan dan penempatan Tenaga Pendidik yang tidak berstatus

Pegawai Negeri Sipil pada satuan pendidikan swasta dilakukan oleh

penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.

Kepala Sekolah

(1)Pendidik yang memenuhi persyaratan tertentu dapat diberi tugas

tambahan sebagai Kepala Sekolah.

(2)Pengangkatan Kepala Sekolah harus memenuhi persyaratan umum

dan persyaratan khusus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(3)Tata cara pengangkatan Kepala Sekolah ditetapkan sebagai berikut:

58

a. Pengawas Sekolah bersama-sama Kepala Sekolah dan Komite

Sekolah setempat mengusulkan calon Kepala Sekolah yang

memenuhi persyaratan berdasarkan aspirasi pendidik;

b. Usulan calon Kepala Sekolah sebagai dimaksud pada huruf a

disampaikan kepada Kepala Dinas oleh Kepala Sekolah;

c. Kepala Dinas membentuk tim seleksi Calon Kepala Sekolah

(TPPKS);

d. Seleksi Calon Kepala Sekolah dilakukan secara objektif dan

transparan;

e. Berdasarkan hasil seleksi, Kepala Dinas mengusulkan calon

Kepala Sekolah yang memenuhi persyaratan dan kompetensi,

kepada Bupati;

f. Penetapan calon Kepala Sekolah yang lulus seleksi ditetapkan

dengan Keputusan Bupati; dan

g. Bupati mengeluarkan Keputusan Pengangkatan dan

Penempatan Kepala Sekolah.

(4)Pendidik yang berstatus PNS yang diangkat menjadi Kepala Sekolah

oleh satuan pendidikan swasta harus mendapat ijin dari Bupati.

(5)Tata cara pengangkatan dan penempatan Kepala Sekolah pada

satuan pendidikan swasta, dilakukan oleh penyelenggara pendidikan

yang bersangkutan.

Tugas Kepala Sekolah

Tugas Kepala Sekolah adalah sebagai brikut:

a. pemimpin;

b. manajer;

c. pendidik;

d. administrator;

e. wirausahawan;

f. pencipta iklim kerja; dan

g. penyelia

Tanggung Jawab dan Wewenang Kepala Sekolah

(1)Tanggung jawab Kepala Sekolah adalah:

59

a. melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan

melibatkan secara aktif warga sekolah dan komite sekolah; dan

b. melakukan koordinasi dengan warga sekolah dan komite

sekolah dalam setiap pengambilan keputusan sekolah.

(2)Kepala Sekolah mempunyai wewenang memilih dan menentukan

metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam

melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik

profesi.

Masa Tugas Kepala Sekolah

(1)Masa tugas Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri adalah 4

(empat) tahun.

(2)Masa tugas Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta

ditentukan oleh penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.

(3)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri dapat diangkat

kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas apabila berprestasi baik

berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi kinerja Kepala Sekolah

dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

(4)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta dapat diangkat

kembali untuk masa tugas berikutnya berdasarkan mekanisme yang

berlaku pada satuan pendidikan yang bersangkutan.

(5)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri, yang sudah

melaksanakan 2 (dua) kali masa tugas berturut-turut, dapat

diangkat kembali menjadi Kepala Sekolah apabila:

a. telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu)

kali masa tugas; atau

b. memiliki prestasi yang istimewa, dengan tanpa tenggang waktu

dan ditugaskan di sekolah lain.

(6)Kepala Sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi

diberikan tugas sebagai Kepala Sekolah, tetap melaksanakan tugas

sebagai pendidik sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban

melaksanakan proses belajar mengajar atau bimbingan dan

konseling sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

60

(7)Kepala Sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi

diberikan tugas sebagai Kepala Sekolah sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (1) dan memiliki prestasi yang sangat baik, dapat

dipromosikan ke dalam jabatan fungsional maupun struktural sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemberhentian Kepala Sekolah

(1)Kepala Sekolah dapat diberhentikan karena:

a. permohonan sendiri;

b. masa ugas berakhir; atau

c. dinilai tidak berhasil melaksanakan tugas.

(2)Kepala Sekolah diberhentikan dari penugasan karena:

a. telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru;

b. diangkat pada jabatan lain;

c. dikenakan hukuman disiplin sesdang dan berat;

d. diberhentikan dari jabatan guru; atau

e. meninggal dunia.

(3)Pemberhentian Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh

Bupati.

(4)Pemberhentian Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh

penyelenggara pendidikan.

Pemindahan dan Penempatan

(1)Tenaga kependidikan yang berstatus PNS dapat dipindahkan dari

satuan pendidikan satu ke satuan pendidikan lainnya atas dasar

permohonan yang bersangkutan dan/atau untuk kepentingan Dinas.

(2)Pemindahan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) yang berkedudukan sebagai tenaga pendidik dari jenjang

pendidikan satu ke jenjang pendidikan lainnya, dapat dilaksanakan

sepanjang tenaga pendidik yang bersangkutan memiliki potensi dan

kemampuan yang sangat dibutuhkan serta memenuhi ketentuan

yang berlaku.

61

(3)Pemindahan juga dapat dilakukan pada tenaga pendidik yang masih

berstatus sebagai Guru Bantu/Guru Tenaga Pekerja Harian Lepas

dari satuan pendidikan formal ke satuan pendidikan formal lainnya.

(4)Untuk memenuhi kekurangan tenaga pendidik, Pemerintah

Kabupaten dapat mengangkat tenaga pendidik yang baru atau

menempatkan PNS lainnya yang memiliki akta pendidikan dan

sertifikasi profesi.

(5)Pemeindahan dan penempatan tenaga kependidikan didasarkan pada

asas pemerataan, domisili dan formasi.

(6)Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat

(3) dilaksanakan oleh Bupati.

Pengembangan Karir Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan

(1)Pengembangan karir tenaga kependidikan berdasarkan kinerjanya.

(2)Dalam rangka pengembangan karir, tenaga kependidikan yang

berprestasi mendapatkan penghargaan dalam jenjang jabatan atau

bentuk lain.

(3)Pendidik dapat diberi tugas tambahan dalam kedudukan sebagai

Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah/Pembantu Kepala Sekolah,

Ketua Bidang Keahlian/Kepala Instalasi, Ketua Program

Studi/Ketua Jurusan, Wali Kelas, Instruktur, Guru Inti Pemandu

Mata Pelajaran, dan tugas tambahan lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)Ketentuan pangkat dan jabatan tenaga kependidikan diatur sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)Pendidik yang mendapat tugas tambahan mendapatkan tunjangan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(6)Jabatan tenaga kependidikan yang tidak berkedudukan sebagai PNS

pada satuan pendidikan swasta ditentukan oleh penyelenggara

satuan pendidikan yang bersangkutan.

(7)Tenaga kependidikan wajib mengembangkan kemampuan

profesionalnya sesuai dengan standar kompetensi profesi, ilmu

62

pengetahuan dan teknologi serta pembangunan nasional dan

daerah.

(8)Pengelola satuan pendidikan berkewajiban memberikan kesempatan

kepada tenaga kependidikan untuk mengembangkan kempuan

professional masing-masing.

(9)Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab meningkatkan

kemampuan profesi tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan

tenaga kependidikan dalam mencapai standar profesi.

(10) Dalam memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada

yata (3), Bupati memberdayakan peran Dinas, lembaga penjamin

mutu, organisasi profesi serta lembaga pendidikan dan pelatihan

lainnya secara optimal.

(11) Pengembangan kemampuan profesi tenaga kependidikan akan

diatur dengan Peraturan bupati.

Hak, Tunjangan/Bantuan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

(1)Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan/tunjangan

kesejahteraan pegawai kepada pendidik atau tenaga kependidikan

yang memenuhi persyaratan baik yang berstatus PNS maupun yang

tidak berstatus PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan kemampuan keuangan Kabupaten.

(2)Masyarakat, organisasi atau yayasan yang berbadan hukum

penyelenggara pendidikan, berkewajiban memberikan gaji dan

tunjangan kepada tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tetap

yayasan atau tenaga honorer secara berkala.

(3)Pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus PNS dan tidak

berstatus PNS berhak memperoleh perlindungan hukum, pelayanan

pendidikan, pelayanan kesehatan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Kebutuhan Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pada Satuan

Pendidikan

(1)Pada satuan pendidikan prasekolah sekurang-kurangnya terdapat

tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi:

a. Kepala Taman Kanak-kanak (TK) atau sederajat; dan

63

b. Pendidik dan Pegawai Tata Usaha.

(2)Pada satuan pendidikan Sekolah Dasar sekurang-kurangnya terdapat

tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi:

a. Kepala Sekolah;

b. guru kelas;

c. guru mata pelajaran pendidikan agama;

d. guru mata pelajaran pendidikan jasmani;

e. pegawai tata usaha; dan

f. dapat diadakan guru bimbingan dan penyuluhan/konselor,

pustakawan, laboran serta teknisi sumber belajar.

(3)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekurang-

kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

meliputi:

a. Kepala Sekolah;

b. Wakil Kepala Sekolah;

c. walikelas;

d. guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran;

e. guru bimbingan dan konseling/konselor;

f. guru khusus;

g. kepala tata usaha;

h. pegawai tata usaha;

i. pustakawan;

j. laboran; dan

k. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan teknisi sumber

belajar.

(4)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sekurang-

kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

meliputi:

a. Kepala Sekolah;

b. Wakil Kepala Sekolah;

c. walikelas;

d. guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran;

e. guru bimbingan dan konseling/konselor;

64

f. guru khusus;

g. kepala tata usaha;

h. pegawai tata usaha;

i. pustakawan;

j. laboran; dan

k. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan teknisi sumber

belajar.

(5)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

sekurang-kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan meliputi:

a. Kepala Sekolah;

b. Wakil Kepala Sekolah;

c. ketua bidang keahlian/kepala instalasi/ketua jurusan;

d. ketua program keahlian/kepala bengkel/kepala laboratorium;

e. guru program diklat;

f. guru bimbingandan konseling/bimbingan karir/konselor;

g. guru khusus;

h. kepala tata usaha;

i. pegawai tata usaha;

j. teknisi;

k. pustakawan;

l. laboran; dan

m. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan Kepala Asrama.

Organisasi Profesi Pendidikan

(1)Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan dapat membentuk dan

ikut bergabung ke dalam organisasi profesi pendidikan yang diakui

dan berbadan hukum sebagai wahana pembinaan professional,

pengabdian dan perjuangan.

(2)Organisasi profesi pendidikan merupakan mitra Pemerintah

Kabupaten dalam mencapai tujuan pendidikan.

(3)Ketentuan mengenai tujuan, peran, fungsi, tata kerja organisasi

profesi, diatur dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga

masing-masing organisasi.

65

i. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Buku Ajar

(1)Setiap peserta didik berhak menerima buku ajar sebagai buku wajib

dalam proses belajar mengajar tanpa dipungut biaya.

(2)Pengadaan buku ajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Pemerintah Kabupaten.

(3)Selain bukun ajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekolah dapat

menggunakan buku ajar lain sebagai buku pendamping.

(4)Tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan komite sekolah dilarang

melakukan penjualan buku ajar kepada peserta didik.

Ruangan

(1) Setiap satuan pendidikan sekurang-kurangnya memiliki:

a. ruang pendidikan;

b. ruang administrasi; dan

c. ruang penunjang.

(2) Spesifikasi dan ukurannya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(3) Pemerintah Kabupaten menyediakan dana pemeliharaan dan

perawatan ruang dan bangunan satuan pendidikan sesuai dengan

kemampuan.

j.Evaluasi

Tujuan dan Sasaran Evaluasi

(1)Evaluasi dilakukan dalam rangka:

a. pengendalian mutu pendidikan serta memperoleh masukan

guna pengembangan pendidikan selanjutnya; dan

b. sebagai bentuk akuntabilitas publik.

(2)Evaluasi dilakukan terhadap:

a. peserta didik;

b. tenaga pendidik dan tenaga kependidikan;

c. lembaga dan program pendidikan pada semua jenjang satuan

dan jenis pendidikan.

Evaluasi Belajar

66

(1)Evaluasi belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan

satuan pendidikan yang bersangkutan, yang meliputi proses dan

hasil belajar dengan menerapkan prinsip ketuntasan belajar secara

berkesinambungan.

(2)Jenis evaluasi belajar pada satuan pendidikan meliputi:

a. penilaian kelas;

b. ujian akhir;

c. tes kemampuan dasar; dan

d. penilaian mutu.

(3)Evaluasi peserta didik dilakukan secara berkala, menyeluruh,

transparan dan sistemik untuk mencapai standar kompetensi

tertentu.

(4)Peserta didik berhak mendapatkan sertifikasi atas dasar evaluasi

yang dilakukan.

(5)Sertifikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) berbentuk

ijazah dan sertifikasi kompetensi.

(6)Lembaga pendidikan yang terakreditasi berhak member ijazah kepada

peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajat dan/atau

penyelesaian suatu satuan pendidikan setelah lulus dalam ujian.

(7)Penyelenggara pendidikan dan pelatihan berhak memberikan

sertifikat kompetensi kepada peserta didik dan warga masyarakat

sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan

pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi.

Evaluasi Kinerja

(1)Evaluasi kinerja tenaga pendidik menjadi tanggung jawab atasan

langsung yang meliputi:

a. perencanaan;

b. pelaksanaan;

c. penilaian hasil belajar;

d. analisis hasil belajar; dan

e. perbaikan dan pengayaan.

(2)Evaluasi kinerja tenaga pendidik dilakukan secara berkala,

menyeluruh, transparan dan sistemik.

67

(3)Tes kompetensi dan sertifikasi tenaga pendidik merupakan salah satu

bentuk evaluasi kinerja tenaga pendidik dalam rangka peningkatan

dan pengembangan tenaga kependidikan.

(4)Evaluasi kinerja yang dilakukan masyarakat atas penyelenggaraan

pelayanan yang diterima dari satuan pendidkan berdasarkan Standar

Pelayanan Minimal.

(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi kinerja diatur

dengan Peraturan bupati.

k. Akreditasi

(1)Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan

satuan pada jalur pendidikan formal dan non formal di setiap jenjang

dan jenis pendidikan.

(2)Akreditasi terhadap satuan pendidikan dilakukan oleh Badan

Akreditasi Sekolah (BAS).

(3)Akreditasi dilakukan atas dasar criteria yang bersifat transparan,

objektif dan akuntabel yang meliputi aspek:

a. kurikulum dan proses belajar mengajar;

b. administrasi/manajemen sekolah;

c. organisasi/kelembagaan sekolah;

d. sarana dan prasarana;

e. ketenagaan;

f. pembiayaan;

g. peserta didik/siswa;

h. peran serta masyarakat; dan

i. lingkungan/kultur sekolah.

(4)Satuan pendidikan yang telah diakreditasi berhak mendapatkan

sertifikat dari BAS sesuai dengan tingkat kelayakannya.

(5)Keanggotaan BAS terdiri dari unsur-unsur:

a. Dinas Pendidikan;

b. Dewan Pendidikan;

c. organisasi profesi;

d. Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS);

e. pengawas; dan

68

f. masyarakat.

(6)Susunan keanggotaan BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk jenjang SD dan SMP,

serta Keputusan Gubernur untuk tingkat SMA dan SMK.

(7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara akreditasi diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

l. Pengawasan

(1)Pemerintah Kabupaten melakukan pengawasan atas penyelenggaraan

pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan luar sekolah.

(2)Pengawasan bidang teknis edukatif dilakukan oleh tenaga fungsional

Pengawas Profesional yang terdiri dari pengawas TK/SD, Pengawas

Rumpun Mata Pelajaran, Pengawas Bimbingan Konseling serta

dilaporkan secara berkala (tri wulan) kepada Kepala Dinas.

(3)Pengawas pendidikan non formal dilakukan oleh Penilik Pendidikan

Luar Sekolah.

(4)Pengawasan di bidang administratif manajerial dilaksanakan oleh

Pemerintah Kabupaten.

(5)Pada setiap satuan pendidikan terdapat fungsi pengawasan melekat.

(6)Dewan Pendidikan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap

kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.

(7)Komite Sekolah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap

kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan

satuan pendidikan.

Kedudukan dan Tugas Pengawas Sekolah dan Penilik Sekolah

(1)Pengawas sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan

sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan

terhadap sejumlah sekolah yang ditunjuk/ditetapkan.

(2)Penilik sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai

pelaksana teknis.

(3)Pengawas sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina

penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik

negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya.

69

(4)Penilik sekolah mempunyai tugas pokok merencanakan,

melaksanakan, membimbing dan melaporkan kegiatan penilikan

pendidikan non formal.

Tanggung Jawab dan Wewenang Pengawas Sekolah dan Penilik

(1)Tanggung jawab Pengawas Sekolah adalah:

a. melaksanakan pengawasan pada penyelenggaraan pendidikan

di sekolah sesuai dengan penugasannya pada Taman Kanak-

kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah

Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, rumpun mata

pelajaran/mata pelajaran dan bimbingan konseling; dan

b. meningkatkan proses belajar mengajar/bimbingan dan hasil

prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian

tujuan pendidikan.

(2)Wewenang Pengawas Sekolah adalah:

a. memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil

yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-

baiknya sesuai dengan kode etik profesi; dan

b. menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta

melakukan pembinaan.

(3)Tanggung jawab Penilik:

a. melaksanakan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara

pendidikan non formal;

b. meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan dalam

rangka pencapaian tujuan pendidikan;

c. melaksanakan pemantauan dan bimbingan pada lembaga

penyelenggara program pendidikan non formal yang meliputi:

1) program pengembangan anak usia dini;

2) program keaksaraan fungsional;

3) program paket A setara SD;

4) program paket B setara SMP;

5) program paket C setara SMA;

6) program kelompok belajar usaha;

70

7) pembinaan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh

masyarakat;

8) program pembinaan generasi muda;

9) program keolahragaan; dan

10) program taman bacaan masyarakat.

d. meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan dalam

rangka meningkatkan mutu keluaran

(4)Wewenang Penilik:

a. memberi penilaian; dan

b. menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta

melakukan pembinaan.

Pengangkatan Pengawas Sekolah dan Penilik

Pengangkatan Pengawas Sekolah dan Penilik dilakukan secara terbuka,

objektif dan transparan oleh Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

m. Wajib Belajar

(1)Pemerintah Daerah berkewajiban :

a. Menetapkan wajib belajar 12 (duabelas) tahun meliputi

pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun dan pendidikan menengah

3 (tiga) tahun;

b. Menjamin setiap anak mendapatkan kesempatan belajar mulai

dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah;

dan

c. Membebaskan biaya pendidikan dasar bagi wajib belajar

pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun.

(2)Pelayanan program wajib belajar mengikutsertakan semua lembaga

pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun

lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.

n. Partisipasi Masyarakat

71

(1)Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan

yang meliputi:

a. Perencanaan;

b. Pelaksanaan;

c. Pengawasan dan evaluasi program pendidikan; dan/atau

d. Pengembangan sarana prasarana melalui:

1) Dewan Pendidikan;

2) Komite Sekolah; dan/atau

3) yayasan penyelenggara pendidikan.

(2)Dunia usaha dan dunia industri wajib membantu penyelenggaraan

pendidikan untuk pencapaian standar kemampuan sesuai dengan

tuntutan jabatan pekerjaan atau profesi tertentu yang berlaku di

lapangan kerja dan member kemudahan dalam proses pembelajaran

yang terkait dengan industri, pelaksanaan praktik kerja industri,

pendidikan sistem ganda serta membantu penyaluran tenaga.

(3)Dunia usaha dan dunia industri wajib membina perkembangan unit

produksi satuan pendidikan.

(4)Dunia usaha, dunia industri, Dinas Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan

Industri Daerah, Asosiasi dan Organisasi Profesi, berkewajiban

membantu satuan pendidikan dalam perencanaan, pelaksanaan dan

member pengakuan sertifikasi profesi sesuai program keahlian yang

ada pada satuan pendidikan.

(5)Pemerintah Kabupaten memberikan penghargaan atas peran

masyarakat, dunia usaha dan dunia industri dalam membantu

penyelenggaraan pendidikan dan ditetapkan dengan Keputusan

Bupati.

o. Dewan Pendidikan

(1)Dewan pendidikan mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka

peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan

pendidikan.

(2)Dewan Pendidikan bertujuan:

72

a. mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat

dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan;

b. meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh

lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; dan

c. menciptakan suasana dan kondisi tramsparan, akuntabel dan

demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan

yang bermutu.

(3)Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan

Pendidikan berfungsi sebagai:

a. pemberi pertimbangan;

b. pendukung;

c. pengontrol; dan

d. mediator.

(4)Keanggotaan Dewan Pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(5)Dewan Pendidikan bertanggung jawab kepada Bupati.

p. Komite Sekolah

(1)Komite Sekolah mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka :

a. peningkatan mutu;

b. pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan pada satuan

pendidikan.

(2)Komite Sekolah bertujuan :

a. mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat

dalam melahirkan kebijakan operasional dan program

pendidikan di satuan pendidikan;

b. meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh

lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di

satuan pendidikan; dan

c. menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan

demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan

yang bermutu di satuan pendidikan.

73

(3)Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Komite

Sekolah berfungsi sebagai:

a. pemberi pertimbangan;

b. pendukung;

c. pengontrol; dan

d. mediator.

(4)Keanggotaan Komite Sekolah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(5)Komite Sekolah bertanggung jawab kepada masyarakat.

q. Pendanaan Pendidikan

Sumber dan Penggunaan

(1)Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab

bersama antara:

a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Provinsi; dan

c. Pemerintah Daerah.

(2)Pemerintah Daerah menetapkan biaya pendidikan selain gaji tenaga

kependidikan dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% dari

anggaran Pendapatan dan Belanja daerah.

(3)Pembiayaan pendidikan terdiri atas:

a. biaya investasi;

b. biaya operasional; dan

c. biaya personal.

(4)Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) huruf a meliputi:

a. Biaya penyediaan sarana dan prasarana;

b. Pengembangan sumber daya manusia; dan

c. Modal kerja tetap.

(5)Biaya operasional satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) huruf b meliputi:

a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan

yang melekat pada gaji;

74

b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai; dan

c. biaya operasi pendidikan yang tidak langsung berupa:

1) daya;

2) air;

3) jasa telekomunikasi;

4) pemeliharaan sarana dan prasarana;

5) uang lembur;

6) transportasi;

7) konsumsi;

8) pajak; dan

9) asuransi.

(6)Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, adalah

biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk

bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan

berkelanjutan.

Sumbangan Pendidikan

(1)Biaya penyelenggaraan yang bersumber dari masyarakat dipungut

bagi orang tua/wali peserta didik secara sukarela meliputi:

a. Sumbangan Pengembangan Institusi;

b. iuran dana operasional sekolah;

c. lain-lain.

(2)Penentuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a. berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak satuan

pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik dengan

berpedoman pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Sekolah (RAPBS) dan kemampuan orang tua/wali peserta didik

melalui rapat pleno;

b. bagi orang tua/wali peserta didik yang berasal dari keluarga

miskin dibebaskan dari sumbangan;

c. mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Kabupaten.

(3)Sumbangan Pengembangan Institusi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a, dilakukan setelah peserta didik dinyatakan diterima

dan selesai daftar ulang di sekolah tersebut.

75

(4)Sumbangan Pengembangan Institusi dikenakan hanya pada peserta

didik baru disetiap jenjang satuan pendidikan.

(5)Dana dan Sumbangan Pengembangan Institusi yang berasal dari

orangtua/wali peserta didik, penggunaannya diprioritaskan untuk

biaya investasi sesuai Daftar Skala Prioritas (DSP). Dan tidak boleh

digunakan untuk membiayan gaji pendidik dan tenaga kependidikan

serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.

(6)Dana sumbangan yang diterima dari tokoh/anggota masyarakat,

pengusaha, organisasi sosial/kemasyarakatan yang diterima

langsung penggunaannya diprioritaskan untuk pengembangan

institusi.

(7)Pengelolaan biaya pendidikan harus berprinsip pada:

a. keadilan;

b. efisiensi;

c. transparansi; dan

d. akuntabilitas.

(8)Setiap satuan pendidikan wajib menyusun Rencana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dengan melibatkan Komite

Sekolah dan/atau penyelenggara satuan pendidikan untuk

memperoleh pengesahan dari Dinas pendidikan.

(9)RAPBS yang telah disahkan menjadi Anggaran Belanja dan

Pendapatan Sekolah (APBS) dan laporan pertanggung jawaban APBS

dipublikasikan di papan pengumuman sekolah.

(10) Satuan pendidikan dapat mengembangkan unit produksi yang

menghasilkan sumber dana pendidikan dalam bentuk kerjasama

dengan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(11) Dana bantuan pengembangan satuan pendidikan (block grant) dan

pemerintah, dan/atau pemerintah Daerah, pelaksanaannya

dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

76

(12) Tenaga Kependidikan pada satuan pendidikan, tidak

diperkenankan menarik dana di luar ketentuan yang sudah

ditetapkan.

r. Penyidikan

(1)Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah

Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk

melakukan penyidikan tindak pidana pelanggaran Peraturan

Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

(2)Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagai berikut:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai

adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah;

b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat

kejadian;

c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal

dari tersangka;

d. melakukan penyitaan benda atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat

petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau

peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan

selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut

kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; dan

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan.

(3)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan

dimulainya penyidikan.

s. Sanksi Administrasi

77

(1)Bupati berwenang memberikan sanksi administratif terhadap

penyelenggara pendidikan pada semua tingkatan, yang melakukan

pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini.

(2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa:

a. teguran/peringatan;

b. pencabutan ijin;

c. pembubaran.

(3)Pelanggaran terhadap peraturan daerah ini bagi Pegawai Negeri Sipil

dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

t. Ketentuan Pidana

(1)Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa ijin Bupati

atau Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)

dan ayat (3) diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau

denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).

(2)Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 13 ayat (4), ayat (5)

dan ayat (6), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 36 ayat (2)

dan ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), pasal 52

ayat (4) dan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),

ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) diancam pidana kurungan paling lama

6 bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta

rupiah).

(3)Selain tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) dapat dikenakan pidana lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

u. Ketentuan Penutup

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini,

sepanjang mengenai teknik pelaksanaan, akan diatur lebih lanjut dengan

Peraturan bupati dan/atau Keputusan Bupati.

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

78

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam

Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana.

BAB VI

PENUTUP

A. Rangkuman

Landasan yuridis pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan di daerah

adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Undang-Undang ini menegaskan di dalam Berdasarkan Pasal 50

ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa, Pemerintah

Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah,

serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Selanjutnya,

pengelolaan pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010

Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati

memberikan hak membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan

Daerah di Bidang Pendidikan kepada Bupati/Bupati. Penyelenggaraan

pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan

79

pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional. Berkait dengan itu maka Penyelenggaraan

Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Landasan Sosiologis, Kabupaten Jembrana tidak memiliki peraturan

daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan,namun di sisi

yang lain kebutuhan hukum masyarakat tentang penyelenggaraan

pendidikan sangat diperlukan sehingga memerlukan Peraturan Daerah

yang dapat menjamin bahwa penyelenggaraan pendidikan.

Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang

Penyelenggaraan Pendidikan dalam Peraturan Daerah adalah Asas

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal dan

yang materiil. Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang

Penyelenggaraan pendidikan adalah:

1. Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Penyelenggaraan pendidikan

bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai

siapa dan apa yang diatur dalam penyelenggaraan pendidikan; dan

(2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kabupaten untuk

menyelenggarakan pendidikan, sehingga tujuan negara Kesatuan

Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat

tercapai.

2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Pengaturan

Penyelenggaraan Pendidikan dengan Peraturan Daerah dilakukan

oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama DPRD

Kabupaten Jembrana.

3. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan

pendidikan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok

yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan

Pendidikan .

4. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan harus memperhatikan beberapa aspek:

(1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam penyelenggaraan

80

pendidikan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam

penyelenggaraan pendidikan, termasuk subsansinya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan penyelenggaraan pendidikan

memang dapat memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah

Kabupaten maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur penyelenggaraan

pendidikan di Kabupaten Jembrana.

6. Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan esuai persyaratan teknik penyusunan

peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan menjamin

kepastian.

7. Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam

artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan,

baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Kabupaten

untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan

relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu,

maka terlebih dahulu Pemerintah Kabupaten memberikan informasi

tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Asas materiil Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,

yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Penyelenggaraan

pendidikan:

1. Asas keadilan. Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi

setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan

81

mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut norma

hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar norma

hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.

2. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Materi

muatan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan tidak

berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan

latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau

status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin

perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.

3. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Materi muatan Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan dituntut dapat

menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya

kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti.

Dalam artian, norma hukum Penyelenggaraan Pendidikan harus

sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim

dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan

jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan

Penyelenggaraan pendidikan, termasuk norma hukum

penyelenggaraan pendidikan dan sanksinya atas pelanggarannya

tidak boleh berlaku surut.

4. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Norma hukum

dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan harus

mengandung keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban

membayar penyelenggaraan pendidikan dengan hak yang

didapatkannya dengan membayar penyelenggaraan pendidikan.

B. Konklusi

Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di bab-babsebelumnya,

dapat ditarik konklusi sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana belum mempunyai Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Berdasarkan Pasal 50

ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

82

Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati

Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan

Daerah di Bidang Pendidikanterlebihdahulu dipersiapkan konsep

awal rancangannya.

2. Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan

Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati Berhak Membentuk

Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan Daerah di Bidang

Pendidikan.

C. Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan

pendidikan, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya,

adalah:

1. Agar segera disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan.

2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat

dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan,

sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi

masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (1) UU

Pemerintahan Daerah 2014.

83

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

………, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37)

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);.

…….., Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

…….., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang

Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan

84

DAFTAR PUSTAKA

Ali Imron, Kebijaksanaa Pendidikan Di Indonesia ( Proses, Produk dan Masa depan),

(Bumi Aksara, 2002)

Bruggink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996).

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, (Gramedia, Jakarta, 1987).

Friedmann, W., Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990).

Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950).

Hamid S. Attamimi A., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana

Universitas Indonesia, Jakarta, 1990).

..........., ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II

85

Jembrana), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995).

M Sirozi, Politik pendidikan, Raja Grafindo Persada, 2005.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000).

Suparlan Suhartono, AR-RUZZ Media, 2005, hal 91Filasat Pendidikan

Van Der Vlies, I.C., Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005.

Ali Muhdi Amnur,ed., Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007.

H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.

Lampiran 1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Penyelenggaraan Pendidikan