NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus...

46
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS PROVINSI BALI PANITIAN KHUSUS OTONOMI KHUSUS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI DENPASAR 2007

Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus...

Page 1: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG OTONOMI KHUSUS PROVINSI BALI

PANITIAN KHUSUS OTONOMI KHUSUS

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI

DENPASAR 2007

Page 2: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative Drafting Theory) menekankan bahwa setiap pembuatan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan pembuatan sebuah naskah kademik yang didasarkan pada laporan hasil penelitian (research report). Fungsi dari sebuah naskah kademik adalah untuk : pertama, sebagai dasar penilaian akurasi rancangan yang akan dihasilkan (as a basis of assesing the bill); kedua, sebagai dokumen yang diyakini memuat data, fakta, dan bukti yang relevan dengan substansi rancangan (ensuring relevant evidences); ketiga, sebagai dokumen yang memuat dasar-dasar pemikiran yang logis mengapa perlu dibuat sebuah peraturan perundang-undangan (ensuring the logic) (Seidman & Seidman, N Abeysekere, 2001 : 87-88).

1

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG OTONOMI KHUSUS PROVINSI BALI

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terkait dengan fungsi-fungsi itu, berikut ini diupayakan menyajikan sebuah naskah kademik yang substansinya menitikberatkan pada kekhususan Bali di bidang adat dan budaya sehingga diharapkan nantinya dapat dijadikan dasar pemikiran yang logis bagi legitimasi status Bali sebagai daerah yang berotonomi khusus. Dengan demikian wacana otsus bali tidak sekedar ada dalam tataran ilusi namun benar-benar dirasakan secara efektif dan nyata manfaatnya dalam kehidupan masyarakat sebagaimana bunyi sebuah adagium etika pemerintahan yakni : “Judicium non debet illusorium, suum effectum habere debet” (A Judgement ought not to be illusory, it ought to have its proper effect) (Black, 1987 : 763).

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik PBB (International Covenant on Civil and Politic Rights / ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tanggal 28 Oktober 2005. Pasal 27 dari kovenan itu menyatakan bahwa kelompok minoritas agama, etnis, bahasa, wajib dilindungi oleh negara sehingga anggota kelompok dapat bebas menganut agama dan menjalankan ibadah agama serta bebas menikmati kebudayaannya sendiri.

Senada dengan itu, Pasal 15 Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Right / ICESCR, 1966) yang juga telah diratifikasi Indonesia tahun 2005, menekankan bahwa negara wajib melindungi dan mengembangkan kebudayaan lokal tersebut bila perlu dengan melakukan tindakan konservasi. Lebih jauh berkenaan dengan hal tersebut, Article 15 Paragraph 2 antara lain menyatakakan : ……..”to achieve the full realization of this right shall include those necessary for the conservation “ ….(DPI United Nations; 1995 : 232). Konservasi dalam konteks Bali dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melindungi dan melestarikan kebudayaan bali yang bersifat khusus dan terkenal di mancanegara yang tiada lain kekhususan atau keunikan itu sesungguhnya merupakan salah satu puncak kebudayaan nasional.

Instrumen internasional lainnya yang secara lebih khusus mengamanatkan perlunya perlindungan terhadap warisan budaya yang bersifat khusus adalah Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Dunia (Convention Concering the Protection of the World Cultural anD Natural Heritage) 1972, Pasal 4 Konvensi tersebut mengatur tentang kewajiban negara untuk melakukan perlindungan dan konservasi terhadap warisan budaya yang ada di wilayah negara. Sementara Pasal 5 huruf (d) menegaskan perlu adanya payung hukum nasional dalam melakukan perlindungan, konservasi maupun rehabilitasi (…..”to take

Page 3: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 2

approriate legal…measure necessary for the…..protection and rehabilitations”). Indonesia telah meratifikasi konvensi UNESCO itu pada tanggal 6 Agustus 1989. Dalam kaitan ini, kehadiran sebuah undang-undang tentang Otsus Bali dapat dipandang sebagai salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam melakukan perlindungan konservasi warisan budaya Bali.

Selain instrumen-instrumen internasional yang mengisyaratkan perlunya perlindungan bagi daerah yang memiliki adat dan budaya yang bersifat khusus, beberapa instrumen hukum nasional dapat dirujuk sebagai landasan hukum bagi legitimasi Otsus Bali.

Landasan yang paling mendasar adalah ketentual pasal 18B UUD 1945 ayat (1). Pasal tersebut menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (Garis bawah oleh penulis). Sementara ayat (2) nya menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.

Bila terhadap ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan (2) ini dilakukan interpretasi

progresif-kontekstual maka akan tampak hal-hal sebagai berikut : (a). bahwa Pasal tersebut berasal dari penjelsan Pasal 18 UUD 1945 lama

sehingga kekuatan hukumnya menjadi lebih pasti karena berbentuk sebuah norma peraturan dasar, dan tidak lagi berupa sekedar penjelasan norma yang kekuatan hukumnya sangat lemah.

(b). bahwa pengakuan Negara terhadap sebuah daerah yang bersifat khusus haruslah dituangkan dalam sebuah undang-undang tersendiri, artinya pengakuan itu tidak dapat disisipkan pada undang-undang lain. Hal ini dapat ditafsir dari kata-kata ”dengan” undang undang.

(c ). Bahwa pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dengan hak-hak adatnya yang masih hidup tidak harus dituangkan dalam sebuah undang-undang tersendiri melainkan dapat disisipkan pada undang-undang lain. Hal ini dapat ditafsirkan penggunaan kata-kata : ….”dalam” undang-undang.

(d ). bahwa berdasarkan tafsir (b) dan (c) diatatas sebuah undang-undang tentang pengakuan Otsus Bali didalamnya dapat pula disipkan ketentuan tentang pengakuan keberadaan Desa Pakraman dan Subak di Bali beserta hak ulayatnya.

Dalam kaitan ini teramat penting untuk dipahami yakni, karakteristik

sebuah undang-undang organik yang bersifat khusus yang lahir atas kuasa UUD. Undang-Undang tersebut dapat mengatur hal-hal berbeda dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri. Gejala seperti ini dapat dibenarkan atas dasar ajaran atau doktrin “ekstra konstitusional” yang menyatakan; sesuatu yang bersifat khusus, murni lokal dan penting serta berbeda dengan sesuatu yang bersifat umum dapat diatur secara berbeda dengan konstitusi (ekstra konstitusional) atau…..”an extra-Constitutional doctrine requires a distinction to be made between matters of purely municipal or local import and those of general….” (O. M. Reynolds; 1982 :66) (Garis bawah oleh penulis).

Persoalan yang muncul terkait dengan narasi Pasal 18B ayat (1) itu adalah, apakah yang merupakan kriteria dari kekhususan suatu daerah, atau kapankan suatu daerah dapat digolongkan sebagai daerah khusus. Pertanyaan semacam itu tidak segera dapat dijawab karena UUD 1945 itu sendiri tidak mengandung penjelasan atas pasal. Satu-satunya cara untuk memperoleh kejelasan adalah dengan melakukan tarsir terhadap Pasal 18B ayat (1) itu.

Page 4: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 3

UUD 1945 tidak mengatur lembaga negara mana yang berwenang melakukan tafsiran (advisory opinion) terhadap ketentuan UUD yang dirasa kurang jelas. Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kewenangan itu karena menurut Pasal 24 C ayat (1) lembaga ini hanya berwenang; menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu; serta mempunyai satu tugas lagi yakni memutus dugaan (impeachment) DPR terhadap Presiden dan Wakil Presiden, sesuai ketentuan UUD (Pasal 24 C ayat 2).

Berhubung adanya kekosongan norma (limten van normen atau vacum of norm) tentang lembaga yang berwenang menafsir UUD maka tafsiran atas kekhususan itu akan dilakukan oleh Pemerintah dan pada akhirnya oleh DPR. Pemberian tafsir oleh kedua lembaga negara itu melalui mekanisme pengajuan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus. Pertama-tama rancangan diajukan oleh daerah yang berkepentingan kepada pemerintah, pemerintah dapat menyetujui atau menolaknya. Apabila pemerintah menyetujuinya maka selanjutnya pemerintah mengajukan rancangan itu kepada DPR. DPR juga dapat menyetujui atau menolak rancangan itu. Sebelum kedua lembaga itu melakukan persetujuan atau penolakan tentunya dilakukan penafsiran terhadap akurasi kriteria kekhususan yang diajukan oleh daerah yang berkepentingan. Hasil tafsir positif akan membuahkan persetujuan dan hasil tafsir negatif akan berbuah penolakan. Mengingat bahwa keputusan akhir berada ditangan DPR sebagai lembaga politik tentunya diharapkan spirit politis yang ada pada lembaga itu dapat diadaptasikan pada terwujudnya sebuah undang-undang (law) Otsus yang adil obyektif dan bukan sebaliknya rancangan undang-undang itu ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik yang sempit dari masing-masing fraksi. Dalam kaitan ini perlu kiranya diingat etika politik dan hukum dalam sebuah adagium sebagai berikut : …”politic legibus non leges politic adaptande” (politic are to adapted to the laws and not the laws adapted to politic). (Black; 1987 : 1024).

Dari uraian diatas tampak bahwa Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945 merupakan landasan konstitusional yang cukup terang, tegas dan pasti bagi negara dalam memberikan otonomi khusus kepada daerah.

Ditingkat undang-undang, Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengisyaratkan perlunya sebuah perangkat hukum dalam upaya perlindungan kekhususan daerah dibidang adat (berikut hak ulayatnya) dan budaya terkait penegakan dan perlindungan hak asasi manusia masyarakat adat oleh pemerintah. Perangkat hukum yang dimaksud tentulan tiada lain berupa sebuah undang-undang otonomi khusus yang dapat menjamin efektifitas penerapan Pasal 6 tersebut. Mengingat pentingnya Pasal 6 tersebut, berikut ini disajikan kutipannya secara utuh sebagai berikut :

(1). Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.

(2). Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan jaman.

(Garis bawah oleh penulis) Perangkat hukum yang paling tepat untuk melindungi kehususan seperti

dimaksud Pasal 6 tersebut tentunya berupa sebuah Undang-Undang Otsus karena hanya dengan Undang-Undang seperti itulah kekhususan suatu daerah dapat terlindungi secara optimal.

Berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 5 Undang-Undang tersebut terkesan mengandung ambivalensi dalam melindungi kekhususan daerah dibidang pemanfaatan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat.

Page 5: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 4

Untuk jelasnya Pasal 5 UU. No. 5 Tahun 1960 rumusannya sebagai berikut : “ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” (Garis bawah oleh penulis).

Menyimak secara seksama rumusan Pasal 5 tersebut muncul dua alur pikir

yang ambivalen. Pertama, asalkan ada alasan demi kepentingan nasional, hukum adat yang terkait pengelolaan hak ulayat dapat dikesampingkan; kedua, segala hubungan hukum yang timbul dalam pengelolaan dan pemanfaatan hak ulayat harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Ini berarti meskipun hak ulayat itu dikelola bersandar pada hukum agama, hak ulayat itu juga bisa dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan nasional. Hal ini sangat berbahaya bagi Bali karena kepentingan masyarakat adat dapat dikesampingkan oleh kepentingan investor terutama bila investor berdalih bahwa investasinya itu untuk kepentingan nnasional. Juga kepentingan masyarakat adat yang bernuansa agama Hindu pada tanah dan air negara berupa : hutan, pantai, sungai, danau, loloan, dll akan dapat dikesampingkan oleh pemerintah dengan alasan dilokasi itu akan dibangun prasarana atau fasilitas untuk kepentingan nasional dan negara. Dengan demikian Pasal 5 UU. No. 5 Tahun 1960 tidak dapat dirujuk sebagai landasan untuk melindungi kelestarian adat dan budaya masyarakat hukum adat terutama pengelolaan hak ulayat dan domein negara yang bernuansa keagamaan (religius).

1.2 Makna Otsus Bali

Di mana-mana di dunia, setelah berhasilnya gerakan reformasi akan selalu disusul dengan upaya penguatan desentralisasi dalam hubungan pusat daerah. Hal itu misalnya terjadi di India, Nepal, Filipina, Cina dan sri Lanka. Salah satu penyebab gejala seperti itu adalah karena adanya keragaman etnis. (Abdul Azis & David D Arnold; 2003 : 7, 8, 10).

Untuk mencegah jangan sampai penguatan desentralisasi menjadi kebablasan dan berubah gerakan separatis, maka desentralisasi harus dimaknai sebagai penyerahan manajemen pemerintah (a transfer of management) dan bukan sebagai penyerahan keuasaan (transfer of power). Seiring dengan itu otonomi terutama otonomi luas yang di dalamnya mencakup otonomi khusus harus dimaknai sebagai sebuah skenario besar dalam upaya pemberdayaan keragaman dalam kesatuan (diversity within unity in Indonesia) (Teguh Yuwono; 2003 :4). Keragaman yang paling menonjol di Indonesia adalah keragaman di bidang adat dan budaya sebagai produk “local genius” yang diwadahi dan dikembangkan dalam sebuah lembaga masyarakat hukum adat yang telah ada sejak dahulu sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat masuk akal bila penguatan desentralisasi dan demokrasi setelah era reformasi juga menyasar pada penguatan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Penyeragaman bentuk desa dalam struktur pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada era orde baru dipandang tidak sejalan dengan konsep keragaman dalam kesatuan (diversity in Unity) oleh karena itu paradigma pembangunan desa di Indonesia harus dikembalikan pada penguatan dan perlindungan masayarakat hukum adat seperti Nagari, Kampung, Marga, Desa Adat di Bali, dan lain-lain. (Ryaas Rasyid dalam Kristin Samah; 2002 : 101).

Dari uraian di atas, lebih jauh dapat dirumuskan bahwa makna otonomi khusus dalam sebuah negara berdaulat adalah sebagai berikut.

Page 6: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 5

a. Makna Filosofis Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna pada

hakikatnya mempunyai seperangkat hak asasi manusia (HAM) seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Daerah yang memiliki kehususan di bidang adat dan budaya dapat dihormati, dilindungi dan dimuliakan hak sosial dan budaya anggota masyarakat adatnya dengan secara lebih efektif dan optimal. Beranjak dari situ hak sipil seperti kebebasan beragama, hak politik (ikut serta menentukan kebijakan publik dan hak ekonomi (pemanfaatan secara ekonomis hak ulayat) pada akhirnya juga dapat terlindungi. Hal ini sejalan dengan pesan moral masyarakat internasional yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM PBB khususnya Pasal 27. Pasal ini menekankan bahwa setiap orang bebas menimati kesenian dan kebudayaan masyarakatnya. (Peter Baehr; 2001 : 250). Indonesia telah mengadopsi prinsip moral ini melalui Pasal 32 UUD Negara RI 1945 yang memiliki kekuatan hukum normatif-imperatif

b. Makna Sosiologis Pemerintahan yang sentralistik dinilai tidak populer karena

keidakmamupannya memahami nilai-nilai daerah serta sentimen aspirasi masyarakat lokal. (Koswara dalam Jiwa Atmaja; 2002 : 32). Dengan otonomi luas yang bersifat khusus tentunya aspirasi masyarakat lokal khususnya dibidang adat dan budaya akan lebih terakomodir. Hal ini akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dibidang pembangunan terutama parisipasi dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik yang berkaitan dengan adat dan budaya. Partisipasi ini dapat dilakukan secara langsung dengan mengkritisi dan memberi masukan terhadap implementasi kebijakan publik yang sekiranya merugikan kepentingan masyarakat hukum adat. Juga secara tidak langsung melalui perwakilan adat dan budaya pada badan legislatif darah ketika badan ini merumuskan kebijakan publik dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).

c. Makna Yuridis Pengaturan otonomi khusus memerlukan bentuk hukum tersendiri yakni

bentuk Undang-Undang sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 18B UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berhubung undang-undang ini mengatur otonomi khusus maka ia memiliki sifat khusus yang lazim disebut undang-undang khusus. (lex specialis).

Sebagai undang-undang khusus ia memiliki paling tidak tiga karakter yang sangat khas yakni :

(1). Undang-Undang ini tidak dapat diuji materiil oleh Mahkamah Konstitusi karena ia lahir atas kuasa konstitusi.

(2). Undang-undang ini memiliki kekuatan hukum mengesampingkan undang-undang umum yang mengatur otonomi secara umum (lex specialis derogat lex generalis).

(3). Undang-undang ini dapat membatasi keberlakuan HAM yang berlaku dalam kondisi umum, karena menurut ketentuan instrumen HAM internasional, dalam kondisi khusus keberlakuan HAM dapat dibatasi hanya dengan Undang-Undang (laws).

Demikian sekilas latar belakang pemikiran yang menggambarkan mengapa

Otsus untuk Bali perlu diatur melalui sebuah undang-undang khusus. Untuk memperoleh pemahaman lebih tentang lasan-alasan mengapa Bali perlu memperoleh otonomi khusus, dalam uraian berikut akan disajikan kehususan-kekhususan tersebut. Namun segera harus disadari, kendati gagasan ini dapat dipandang sebagai aspirasi dari bawah, keberhasilan dalam perjuangannya tidak terlepas dari peranan kelompok elite karena kelompok inilah yang memiliki

Page 7: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 6

peranan strategis dalam seluruh proses perkembangan bangsa dan negara (SP Varma; 2001 :504).

II. BEBERAPA KEKHUSUSAN DAN KEUNIKAN BALI

Sebagai sebuah pulau diantara 13. 667 pulau yang ada di Indonesia, Pulau

Bali terbilang relatif kecil. Luas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 5.192.252 kilo meter persegi, sedangkan luas Pulau Bali hanya 5.632,86 kilo meter persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI.

Walaupun kecil, sebagai sebuah propinsi diantara 30 propinsi yang ada di Indonesia, Bali memiliki beberapa kekhususan dan keunikan. Dikatakan memiliki kekhususan karena yang ada di Bali belum tentu ada di propinsi lainnya di Indonesia. Dikatakan unik karena kehususan yang dimiliki Bali bukan saja membuat Bali tampak berbeda dengan pulau dan propinsi yang lainnya di NKRI, tetapi juga menarik perhatian orang, sehingga mereka datang ke Bali, ingin tahu lebih dalam tentang Bali. Kekhususan Bali dapat dilihat dari keadaan alamnya, agamanya, senibudayanya dan sistem sosialnya/adat istiadatnya.

Alamnya indah, karena beberapa danau yang ada di propinsi pulau ini letaknya justru di daerah pegunungan. Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau Beratan ada di daerah pegunungan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Danau Batur ada di kaki Gunung Batur di daerah pegunungan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kekhususan letak danau ini berpengaruh terhadap tatanan konservasi hutan dan air di Bali yang tercermin dalam sistem subak.

Di bidang keyakinan beragama Propinsi Bali juga memiliki kekhususan. Sebagian besar penduduk Propinsi Pulau ini termasuk etnik Bali, memeluk agama Hindu, berbahasa Indonesia dan Bali. Etnik Bali termasuk beruntung karena diantara sedikit etnik di Indonesia yang memiliki huruf daerah, salah satu diantaranya adalah etnik Bali. dengan huruf Bali. Budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, telah melahirkan berbagai bentuk kesenian seperti seni tabuh, seni pertunjukan, seni lukis, seni ukir, seni bangunan, dan seni suara yang khas Bali dan dikagumi oleh dunia luar.

Selain keadaan alam, agama dan seni budayannya, tatanan masyarakat Bali juga dapat dikatakan memiliki kekhususan. Di Bali ada dua desa, yaitu (1) “desa adat” atau “desa pakraman” dan (2) “desa dinas” (terdiri dari ”desa” atau ”keperbekelan” dan ”kelurahan”). Kekhususan dibidang agama yang dianut dan tatanan masyarakatnya, berdampak terhadap sistem hukum. Hukum yang berlaku dapat dikatakan memiliki kekhususan, karena selain berlaku hukum nasional, di Bali juga berlaku hukum adat Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, yang berjalan sesuai dengan sistem sosial Bali.

Berbagai kekhususan yang dimiliki Propinsi Bali seperti dikemukakan di atas, dianggap sesuatu yang unik oleh orang luar Bali, menyebabkan mereka datang ke Bali dan memberikan berbagai julukan indah kepada Pulau Bali. Gajah Mada dalam ekspidisinya pada abad XIV menyebut Bali sebagai ”Nusaning Nusa Tan Hana Madaning”. Rombongan orang Belanda pertama yang datang ke Bali pada bulan Februari 1597 dibawah pimpinan Komodor Cornelis de Houtman, memberi nama ”Jong Holland” (Holland Remaja) kepada Bali (Agung, 1989: 8). Perdana Menteri India, Pandit Jawahral Nehru, saat berkunjung ke Bali ditemani oleh Presiden Soekarno, tahun 1950-an, memberi julukan ”The Morning of the World” kepada Pulau Bali (Vickers, 1996: 5; Robinson, 2006: 284).

Pada akhirnya kekhususan dan keunikan yang dimiliki, telah mengantarkan Propinsi Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkenal di dunia. Wisatawanpun berdatangan ke Bali. Selain sebagai wisatawan, ada juga yang datang ke Bali sebagai peneliti. Seorang peneliti dan penulis berkebangsaan

Page 8: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 7

Amerika bernama Hickman Powell (1930), memberi julukan Pulau Bali sebagai “The Last Paradise”.

Untuk mempertahankan kekhususan dan keunikan Bali (ke-Bali-an orang Bali), pemerintah Kolonial Belanda bahkan mengeluarkan program Balinization atau Baliseering yang mulai diperkenalkan awal tahun 1920-an. Salah satu wujud program ini berupa pelarangan setiap missionaries asing untuk menyebarkan agama Kristen di Bali (Picard, 1999: 20 – 25, Michael Hitchcock, 1995: 11-24). Program Balinization atau Baliseering ini dikedepankan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dengan tujuan menjadi semacam “pagar”, agar kekhususan dan keunikan Pulau Bali yang tampak pada keadaan alamnya, agamanya, seni budayanya dan sistem sosial atau adat istiadatnya, senantiasa terjaga dan lestari adanya.

2.1 Keadaan Alam

Di atas telah dikemukakan bahwa luas Pulau Bali hanya 5.632,86 kilo meter persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI. Ditengah-tengah Pulau Bali membentang daerah pegunungan yang membujur dari Timur ke Barat, terdiri dari Gunung Agung (gunung berapi aktif), Gunung Batur (gunung berapi aktif), Gunung Abang dan Gunung Batukaru. Ada beberapa sungai besar yang mengalir dari daerah pegunungan seperti Sungai Unda, Sungai Petanu, Sungai Oos dan Sungai Ayung.

Dataran rendah terletak di sebelah Utara dan di sebelah Selatan pegunungan. Di dataran rendah seperti di Kabupaten Buleleng (di Utara), Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tabanan dan di sekitar obyek wisata Pantai Kuta (di Selatan), udaranya panas. Sementara itu, di daerah pegunungan seperti di obyek wisata Bedugul dan Kintamani, udaranya dingin. Uniknya jarak antara daerah yang berudara panas dengan daerah yang berudara dingin, hanya beberapa puluh kilo meter saja, sehingga dapat dijangkau dalam hitungan menit.

Seperti telah disebut didepan, empat buah danau yang ada di propinsi pulau ini letaknya justru di daerah pegunungan. Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau Beratan ada di daerah pegunungan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Danau Batur ada di kaki Gunung Batur di daerah pegunungan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kawasan di sekitar gunung, danau dan pantai, pada umumnya diyakini sebagai kawasan suci oleh umat Hindu. Itulah antara lain yang menyebabkan kenapa tempat suci yang besar yang dipuja oleh seluruh umat Hindu (Pura Kayangan Jagat), berada di daerah pegunungan dan di sekitar pantai. Beberapa tempat suci yang ada di daerah pegunungan seperti Pura Besakih di lerenng Gunung Agung, Pura Batur dan Pura Ulun Danu di sekitar Gunung Batur, Pura Pucak Mangu di daerah pegungungan Pelaga, dan Pura Batukaru terletak di lereng Gunung Batukaru. Beberapa tempat suci yang terletak di daerah pantai seperti Pura Pulaki, Pura Rambut Siwi, Pura Tanah Lot, Pura Peti tenget, Pura Luhur Ulu Watu, Pura Er Jeruk, Pura Masceti, Pura, Batu Klotok, Pura Goa Lawah dan Pura Silayukti. Kekhususan letak danau yang berada di daerah pegunungan di Bali dan beberapa pura di sekitarnya, mmempunyai implikasi berpengaruh terhadap konservasi alam, hutan dan air, karena daerah di sekitar tempat suci tersebut diyakini sebagai kawasan suci (tanah kekeran) yang harus dilindungi. Pada gilirannya hal ini berpengaruh juga terhadap tatanan pemeliharaan tempat suci dan kawasan suci tersebut, yang tercermin dalam sistem subak. Dengan demikian organisasi tradisional Bali dibidang pertanian yang dikenal dengan ”subak”, tidak semata-mata mengurus keperluan air bagi anggotanya yang berada di hilir, melainkan juga turut melestarikan sumber air di daerah hulu (pegunungan) bersama-sama dengan seluruh anggota masyarakat yang ada di sekitar sumber air tersebut, terlepas dari apakah mereka sebagai pengguna air ataukah tidak. Lewat sistem subak ini, Bali diatur sebagai satu kesatuan ekosistem.

Page 9: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 8

2.2 Agama dan Seni Budaya

Propinsi Bali dikatakan memiliki kekhususan di bidang agama karena 3.126.467 jiwa (95 % ?) diantara 3.375.292 jiwa penduduk Propinsi Bali beragama Hindu. Agama Hindu menjadi roh dari budaya Bali, sehingga melahirkan berbagai bentuk seni budaya Bali yang indah seperti seni tabuh, seni pertunjukan, seni lukis, seni ukir, seni bangunan, dan seni suara yang khas Bali dan dikagumi oleh dunia luar.

Tujuan agama Hindu adalah “Moksartam jagadhita ya ca iti dharma” yakni untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Salah satu cara untuk mencapai tujuan itu, dengan mengaktualisasikan filosofi tri hita karana (tiga cara mencapai kedamaian) dalam kehidipan sehari-hari, yaitu menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan hal-hal yang menyangkut Ketuhanan (parhyangan) sesuai dengan keyakinan agama Hindu, menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia (pawongan) dan menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam (palemahan). Untuk memudahkan dalam mengaktualisasikan filosofi tri hita karana tersebut, hendaknyalah “tiga kerangka agama Hindu” yang terdiri dari tattwa (filsafat), tatasusila (etika) dan upakara (jalan berbakti kepada Tuhan), dipahami dan dilaksanakan sebagai satu kesatuan. Dengan demikian akan menjadi lebih mudah dimengerti kenapa pelaksanaan upakara menurut agama Hindu, tidak dapat dilakukan di sembarang tempat, di sembarang waktu dan dengan sembarang prilaku. Tempat sembahyang dan mempersembahkan upakara, pada umumnya dilakukan di tempat suci (pura) atau di kawasan suci.

Tempat suci atau pura (parhyangan) merupakan salah satu unsur penting komunitas Bali disamping unsur pawongan (warga yang beragama Hindu) dan palemahan (wilayah). Menurut Wiana (2004), berdasarkan warga yang bertanggungjawab, pura dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) Pura Kawitan (keluarga tertentu), (2) Pura Kayangan Desa (pura yang ada pada masing-masing desa), (3) Pura Swagina (pura untuk profesi tertentu), (4) Pura Kahyangan Jagat (dipuja oleh seluruh umat Hindu).

Selain tempat suci (pura), umat Hindu di Bali juga mengenal kawasan suci dan tempat yang diyakini suci. Disebut kawasan suci antara lain gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Ini menurut Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11.Kep.I/PHDI/1994 tanggal 25 Januari 1994, tentang Bhisama Kecusian Pura. Oleh karena itu tempat suci (pura dan tempat-tempat suci umumnya), didirikan di tempat tersebut.

Walaupun Bhisama Kecusian Pura telah ditetapkan, bukan berarti Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI) tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam bidang pembangunan nasional. Justru karena itu Bhisama Kecusian Pura ini ditetapkan sebagai salah satu langkah antisipasi terhadap berbagai permasalahan di kemudian hari.

Terkait dengan mendirikan bangunan di sekitar tempat suci dan kawasan suci, dalam Bhisama Kecusian Pura ditentukan sebagai berikut. ”Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya besar abadi lewat tangan-tangan orang suci dan para pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Maka didirikanlah Pura-Pura Sad Kahyangan, dan Kahyangan Tiga, dan lain-lain. Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut kekeran dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker. Untuk pura Sat Kahyangan dipakai ukuran apeneleng agung (minimal lima kilometer dari pura), untuk Pura Dang Kahyangan dipakai ukuran apeneleng alit (minimal dua kolimeter dari pura), dan untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran apanipug dan apanengker”. Adanya bhisama kesucian pura

Page 10: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 9

dimaksudkan untuk senantiasa menjaga kesucian tempat suci dan kawasan suci dari berbagai pikiran, perkataan dan prilaku yang tidak suci atau ”kotor” dari sudut pandang umat Hindu, yang dikenal dengan istilah kacuntakan atau reged atau leteh dan kasucian yaitu keadaan yang dianggap ”bersih”, sesuai dengan adat Bali dan keyakinan agama Hindu.

Penduduk Propinsi Bali yang sebagaian besar adalah etnik Bali, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Bali dipergunakan sebagai pengantar dalam kehidupan beragama Hindu dan pelaksanaan acara adat, sedangkan huruf Bali dipergunakan sebagai salah satu kelengkapan upakara.

2.3 Kelembagaan Adat

Tatanan sosial masyarakat Bali memiliki kekhususan dibandingkan dengan di tempat lain di luar Propinsi Bali. Kalau di tempat lain dikenal hanya ada satu desa, sementara di Bali ada dua desa yaitu (1) ”desa pakraman” atau ”desa adat” dan (2) ”desa dinas”. Disamping itu juga ada organisasi tradisional dibidang pertanian (”subak”), organisasi tradisional yang dibentuk berdasarkan kegemaran yang sama (”sekaa”) dan organisasi tradisional berdasarkan keturunan (”dadya”).

Desa pakraman telah ada sejak zaman Bali Kuna (abad VIII – XIV), yang dikenal dengan sebutan kraman. Untuk menunjuk desa digunakan istilah banwa, wanua atau banua (Goris, 1954; Parimartha, 1997; Astra, 1997). Tatanan kehidupan bermasyarakat dan beragama di desa pakraman, diatur berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri. Oleh karena itu, desa pakraman dikatakan memiliki otonomi asli.

Sejak dikeluarkannya Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman, sebutan “desa adat” diganti menjadi “desa pakraman”. “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. (pasal 1 nomor urut 4).

Dengan memperhatikan definisi desa pakraman seperti dikemukakan diatas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman, merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu : (1) Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan menurut agama Hindu). (2) Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan warga desa menurut agama Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan alam desa, menurut agama Hindu).

Data terakhir menunjukkan di Propinsi Bali terdapat 1.417 desa pakraman. Warga desa parkaman disebut krama desa. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang beragama Hindu dan tercatat (mipil) sebagai warga desa pakraman di tempatnya berdomisili. Kini penduduk Propinsi Bali berjumlah 3.375.292 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.126.467 jiwa diantaranya adalah krama desa, dan sisanya sebanyak 248.825 jiwa adalah tamiu.

Perangkat pimpinan desa pakraman disebut ”prajuru desa” yang menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada masing-masing desa pakraman, hukum adat Bali dan hukum nasional. Salah satu kewenangan desa pakraman dibawah koordinasi prajuru desa adalah menyelesaikan persengketaan adat dan pelanggaran adat, berdasakan awig-awig yang berlaku pada desa pakraman bersangkutan dan hukum adat Bali. Semua desa parkraman yang ada di Bali, terwakili dalam wadah yang dikenal dengan Majelis Desa Pakraman (lebih dikenal dengan sebutan MDP)dalam tiga tingkatan yakni Kecamatan, Kabupaten dan

Page 11: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 10

Propinsi. Salah satu kewenangan MDP adalah menangani persengketaan adat dan pelanggaran adat, berdasakan awig-awig desa pakraman dan hukum adat Bali.

Selain desa pakraman di Bali juga ada ”desa dinas” atau disebut “desa”, “keperbekelan” dan “kelurahan”. Keberadaan desa dinas di Bali, tidak lepas dari kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Bali. Setelah melalui beberapa kali invasi militer (1846, 1848 dan 1849), akhirnya Kerajaan Buleleng (1854) dan Jemberana (1855) berhasil dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian disusul Kerajaan Karangasem, Gianyar dan Bangli menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Sisanya, Kerajaan Badung dan Klungkung, masing-masing ditundukkan tahun 1906 dan 1908 (Hana, 1976; Agung, 1991; Hobart, 1996; Picard, 1999).

Sesudah seluruh Bali dan Lombok dikuasai, pemerintah kolonial Belanda mengadakan univikasi dan penyederhanaan terhadap sistem pemerintahan admnistratif di Bali sampai ke desa. Antara tahun 1907 – 1910, dibentuk pemerintahan desa dengan tipe baru, dikenal dengan desa administrasi (administrative village), yang dibentuk dengan menggabungkan beberapa “desa adat” dan kemudian diberi nama yang baru keperbekelan, yang bertugas memberikan pelayanan umum bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda, tanpa harus mengganggu tatanan agama Hindu dan adat Bali. Sementara itu pelaksanaan kehidupan beragama sesuai dengan ajaran agama Hindu dan adat Bali yang telah diwarisi secara turun-temurun, tetap dilaksanakan oleh desa adat atau desa pakraman.

Pengertian desa administrasi atau desa dinas dewasa ini, mengacu kepada pasal 1 nomor urut 12 U.U. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, adalah sebagai berikut. “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Berdasarkan beberapa pertimbangan (antara lain, heterogenitas penduduknya), berdasarkan U.U. Nomor : 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, desa yang ada di daerah perkotaan, dijadikan “kelurahan”. “Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung dibawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. (pasal 1 huruf b).

Desa dan kelurahan dalam pengertian ini, mempunyai tugas antara lain, melaksanakan berbagai kegiatan organisasi pemerintahan atau kedinasan. Oleh karena itu, desa dan kelurahan (sepanjang di Bali), dikenal dengan sebutan “desa dinas” atau “desa administratif”. Propinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten, 1 kota, 53 kecamatan, 585 desa 89 kelurahan. Warga desa dinas disebut penduduk Bali, ditandai dengan KTP. Perangkat pimpinan desa dinas disebut ”perngkat desa” yang menjalankan fungsinya berdasarkan hukum nasional.

Karena persyaratan dan dasar pembentukan desa adat dan desa (dinas) berbeda, maka batas-batas wilayah dan jumlah penduduk pendukung kedua desa tersebut tidak selamanya sejalan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan, yaitu :

1. Satu desa dinas mempunyai luas wilayah dan jumlah penduduk yang sama dengan satu desa adat.

2. Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat. 3. Satu desa adat terdiri dari beberapa desa dinas. 4. Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat dan salah satu banjar yang

berlokasi di desa adat tersebut, menjadi warga desa adat yang lain, di luar desa dinas bersangkutan.

Page 12: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 11

Disamping desa pakraman dan desa dinas, di Bali juga dikenal organisasi dibidang pertanian (“subak”), organissi yang dibentuk berdasarkan keturunan (“dadya”) dan organisasi yang dibentuk berdasarkan kegemaran yang sama (“sekaa”).

Pengertian subak menurut Perda Bali No. 02 /PD/DPRD/ 1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali adalah masyarakat hukum adat di Bali yang besifat sosio-agraris-relegius, yang terdiri atas para petani yang menggarap sawah pada suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari satu sumber”. Beberapa ciri dasar organisasi subak sebagai berikut: (1) Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian (awig-awig), baik tertulis maupun tidak tertulis. (2) Subak mempunyai suatu sumber air bersama. Sumber air bersama ini dapat berupa bendungan (empelan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi. (3) Subak mempunyai areal persawahan. (4) Subak mempunyai otonomi baik internal maupun eksternal. (5) Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (pura yang berhubungan dengan persubakan). Petangkat pimpinan subak disebut ”prajuru subak” yang menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada masing-masing subak, hukum adat Bali dan hukum nasional. Seperti telah disinggung di atas, lewat sistem subak ini, Bali diatur sebagai satu kesatuan ekosistem.

”Sekaa” adalah organisasi tradisional Bali yang dibentuk berdasarkan pekerjaan dan kegemaran yang sama, seperti ”sekaa gambelan” (tabuh), ”sekaa ngigel” (tari), dll. Sebuah sekaa dipimpin oleh ”prajuru sekaa” yang menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada sekaa tersebut, awig-awig desa adat di mana sekaa itu berada dan hukum adat Bali.

Selain terbentuk atas pekerjaan dan kegemaran yang sama, sekaa juga dapat dibentuk karena keturunan yang sama. Sekaa yang terbentuk karena keturunan dikenal dengan sebutan ”pamaksan” atau ”dadia”, biasanya ditandai dengan adanya sebuah tempat suci keluarga sebagai pemersatu, dikenal dengan Pura Kawitan. Sebuah dadya dipimpin oleh ”prajuru dadya”, yang menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada sekaa dadya tersebut, awig-awig desa adat di mana dadya itu berada dan hukum adat Bali.

Baik subak, sekaa maupun dadya, dibawah koordinasi prajuru masing-masing, memiliki kewenangan menyelesaikan persengketaan intern organisasi tradisional tersebut, berdasarkan awig-awignya, awig-awig desa pakraman dimana organisasi tersebut berada dan hukum adat Bali.

2.4 Lebih Jauh Tentang Kekhususan Subak

Pembangunan Daerah Propinsi Bali sesuai dengan pola umum pembangunan jangka panjang, menetapkan tiga sektor pembangunan sebagai prioritas, yaitu: Sektor pertanian dalam arti luas; sektor pariwisata yang bermodal pada kebudayaan; dan sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan dengan sektor pertanian dan sub sektor pariwisata.

Dalam pelaksanakan pembangunan pada sektor pertanian termasuk subak, pemerintah secara berencana telah menerapkan teknologi modern di bidang pengairan dan pola tanam. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan inovasi di bidang irigasi sistem subak meliputi pembangunan irigasi dan sistem pola tanam. Pengaturan irigasi dimulai dari pembuatan bendungan/empelan di sungai, pembuatan saluran /telabah, dan pembangunan pembagian air /tembuku. Sedangkan sistem pola tanam, diterapkan bibit unggul, dan penggunaan pupuk dengan penerapan teknologi modern, Sistem pola tanam dengan memilih bibit unggul yang umurnya empat bulan, memungkinkan masyarakat petani memetik panen tiga kali dalam setahun. Oleh karena itu, masyarakat berupaya untuk

Page 13: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 12

meningkatkan produksi dengan melaksanakan pola tanam tiga kali setahun selama persediaan air memadai.

Peran pemerintah dalam pembangunan irigasi teknis pada satu sisi sangat menguntungkan bagi masyarakat subak, karena dibuat bendungan yang permanen, sehingga jarang yang rusak.Tetapi pada sisi lainnya, yakni pembuatan bangunan pembagian air ternyata tidak sesuai dengan rasa keadilan krama subak, sehingga sering terjadi konflik di antara sesama warga subak.

Pada aspek pola tanam, pada awalnya pola tanam tiga kali setahun sangat menguntungkan bagi masyarakat subak, karena produksi meningkat. Tetapi setelah berlangsung beberapa kali panen, ternyata tanamam padi tidak berhasil, karena banyak hama penyakit padi, dan tanah menjadi kering. Selain itu. pada musin kemarau panjang, persedian air tidak memadai, sehingga pola tanam tiga kali setahun tidak dapat diterapkan.

Industri pariwisata pada era globalisasi berkembang dengan pesat, dan telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak keberhasilan pembangunan subsektor pariwisata, antara lain, sektor pertanian ditinggalkan oleh warga masyarakat, tanah sawah banyak yang terjual sebagai sarana dan prasarana priwisata dan bangunan perumahan, pura subak tidak diurus oleh krama subak, melainkan diurus oleh warga desa yang bertempat tinggal disekitar pura tersebut. Masyarakat petani subak kehilangan lahan pertanian, sehingga mereka beralih mata pencaharian, dari petani menuju sektor pertukangan dan kerajinan yang menopang pariwisata.

Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat subak, dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Lemahnya daya tawar masyarakat subak dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan inovasi di bidang irigasi teknis; 2) Lemahnya masyarakat subak dalam inovasi pengaturan pola tanam; 3) Menyempitnya areal subak karena pesatnya perkembangan pembangunan pada subsistem pariwisata, sehingga terjadi alih fungsi lahan subak menjadi pembangunan perumahan atau fungsi lainnya; 4) Beralihnya mata pencaharian masyarakat petani menuju sektor pariwisata dan pertukangan; 5) Pura subak kehilangan krama penyungsungnya; 6) Menipisnya solidaritas sosial dan budaya krama subak; 7) Terancamnya kelestarian subak dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial budaya.

Berdasarkan atas permasalahan tersebut, dipandang perlu adanya “upaya pemberdayaan, pengembangan, dan pelestarian subak sebagai lembaga tradisional yang merupakan salah satu dari identitas budaya Bali, serta mensinerjikan pembangunan subak dengan subsistem pariwisata dan industri kecil”. Adapun rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana upaya pemberdayaan, pengembangan, dan pelestarian subak sebagai lembaga tradisional yang menjadi identitas budaya Bali? 2) Bagaimana mensinerjikan hubungan pembangunan subak dengan pembangunan subsektor pariwisata dan industri kecil.

Subak menurut pandangan para ahli mengandung pengertian yang bervariasi. Grader (1979:1) mendefinisikan subak sebagai “sekumpulan sawah-sawah yang dari saluran yang sama atau cabang yang sama dari suatu saluran mendapat air dan merupakan pengairan”. Korn (1932: 59) mendefinisikan subak sebagai “badan hukum yang kelihatan dari kekayaan yang dimilikinya berupa uang, beberapa bidang tanah kering dan basah, pura serta bangunan kecil untuk berapat”.

Kedua batasan subak tersebut menunjukkan adanya perbedaan sudut pandang. Grader meninjau subak dari aspek fisiknya, yaitu berupa hamparan sawah, saluran air, dan pengairan. Sedangkan Korn meninjau subak dari tiga aspek yaitu: 1) aspek religius dalam wujud pura subak sebagai tempat krama (warga) subak melakukan persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) aspek sosial berupa kegiatan krama subak dalam rapat yang mengatur pembagian air, pola

Page 14: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 13

tanam, upacara, dan kekayaan subak; dan 3) aspek fisik berupa bangunan-bangunan, kekayaan materiil seperti tanah sawah.

Subak tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Secara alamiah lembaga dalam arti pranata mula-mula timbul sebagai keajegan-keajegan di dalam pola tingkah laku manusia, untuk kemudian menjadi kebiasaan. Jika dalam kebiasaan itu kemudian melekat harapan dan sanksi, maka lahirlan pranata. Jika pranata itu sudah teratur dan mapan atau sudah melembaga, maka dibentuklah organisasinya (Soedjito, 1986:69). Sesuai dengan pandangan tersebut, subak merupakan suatu pranata sosial yang tumbuh dari kebiasaan. Setelah mapan subak itu memerlukan suatu wadah atau organisasi yang berfungsi sebagai pelaksananya.

Organisasi kemasyarakatan yang berfungsi sebagai persekutuan hukum merupakan organisasi yang berlandaskan hukum adat (Ter Haar, 1960:15). Persekutuan itu sebagai pergaulan hidup dalam golongan-golongan, yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan batin, mempunyai tata susunan, mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

Sesuai dengan pandangan Ter Haar tersebut, subak sebagai organisasi kemasyarakatan merupakan suatu kesatuan sosial yang teratur, yang anggotanya merasa terikat satu sama lain karena adanya kepentingan bersama, mempunyai pimpinan yang dapat bertindak kedalam dan keluar, serta mempunyai harta material dan immaterial. Ciri-ciri subak (Sutawan, 1989:50) antara lain: 1) memiliki sumber air bersama, 2) memiliki satu atau beberapa bedugul/pura sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri; 3) mempunyai otonomi penuh, baik ke dalam maupun ke luar. Ciri-ciri subak terwujud di dalam organisasi sosial tradisional mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Griadhi, dkk., 1992:50): 1) adanya kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama; 2) yang menata kelompoknya dalam suatu tata susunan tertentu; 3) mempunyai harta kekayaan; dan 4) mempunyai pengurus yang dapat bertindak sebagai satu kesatuan.

Di dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi, pasal 4 termaktub pengertian subak sebagai berikut: “Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang sebagai organisasi pengusaha tanah dalam bidang pengaturan air untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah”.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1982 tentang irigasi, pada pasal 1 sub. h, menyebutkan bahwa: “subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris religius, yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani”.

Berdasarkan pengertian subak seperti termaktub dalam peraturan perundang-undangan, dapat dikatakan bahwa subak mempunyai sifat sosio agararis religius yang dimanifestasikan dalam kegiatan pengairan, pola tanam dan upacara. Subak mempunyai tiga komponen, yaitu 1) komponen fisik, 2) komponen sistem sosial, dan 3) komponen nilai budaya. Komponen fisik berupa prasarana dan sarana subak, komponen sistem sosial berupa pengelolaan atas komponen fisik, dan komponen nilai budaya berupa nilai-nilai, adat, dan hukum.

Subak mempunyai landasan filosofis, yaitu Tri Hita Karana (tiga penyebab kemakmuran) yang mengejawantah dalam tiga unsur, yaitu : 1) parhyangan, berupa pura subak sebagai perwujudan bakti warga subak kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) pawongan, perwujudan hubungan yang harmonis sesama warga subak; dan 3) palemahan, berupa lahan sawah, sarana dan prasarana irigasi.

Susunan pengurus organisasi subak bervariasi sesuai dengan luas areal persawahan dan jumlah anggotanya. Pada umumnya pengurus subak terdiri atas

Page 15: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 14

seorang pekaseh (kepala subak), penyarikan (sekretaris), dan kesinoman (juru arah).

Dalam penyelenggaraan organisasi subak, pengurus subak berpedoman pada awig-awig yang dibuat oleh warga subak sendiri. Awig-awig subak sebagai hukum adat disusun berdasarkan ajaran Tri Hita Karana, yang mengatur hubungan krama subak dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanan upacara, mengatur hubungan krama subak dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial, dan mengatur krama subak dalam membangun dan memelihara aspek fisik.

Eksistensi subak menurut prasasti Pandak Bandung tahun 1071 Masehi (Goris, 1954:10), menyebutkan adanya istilah kesuwakan. Hal itu menunjukkan bahwa subak sebagai sistem irigasi pengairan sudah ada sejak dahulu kala dan kini berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Keberlanjutan subak sebagai lembaga tradisional mengalami berbagai tantangan, baik bersifat internal maupun eksternal.

Istilah tradisi mempunyai fungsi “memelihara” dan “menjaga”, yaitu sesuatu yang disebut “traditum” yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam proses transisi itu kumpulan daripada simbol-simbol dan berbagai “image” diterima serta dimodifikasi. Perubahan itu tampak dalam interpretasi yang dibuat oleh masyarakat yang menerima. Bahkan dalam proses transmisi yang berlangsung selama tiga generasipun menunjukkan bahwa tradisi itu mengalami beberapa perubahan. Elemen pokok tetap tidak berubah, tetapi bercampur dengan elemen-elemen lainnya yang mengalami perubahan. Perubahan itu tidak dirasakan oleh masyarakat yang menerima, tetapi hal itu dapat diamati oleh orang luar bukan grup yang menerima tradisi itu (Sayogyo, 1985: 90).

Berkaitan dengan pandangan Sajogyo tersebut subak sebagai lembaga tradisional mengalami perubahan, karena pengaruh teknologi dan perkembangan masyarakat. Perubahan subak tampak pada aspek irigasi pengairan, pola tanam, bahkan atribut dalam pelaksanaan upacara, namun nilai budaya yang menjadi elemen utama dari subak masih tampak. Nilai budaya subak yang menjadi fokus atau jiwa dari subak berfungsi memberi semangat kepada warga subak untuk berkreativitas demi kelangsungan hidup subak, serta berfungsi dalam beradaptasi dengan lingkungannya.

Adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang berkesinambungan dan tidak akan pernah berakhir dengan sempurna (Sanderson, 1973). Oleh karena itu, adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia selalu berubah. Adaptasi merupakan perilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakannya agar dapat menyesuailan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk mengahadapi keadaan tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk menghadapi perubahan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya.

Keberadaan manusia dalam lingkungannya dihadapkan pada suatu proses penyesuaian diri. Dalam hal itu, terjadi hubungan timbal balik antar berbagai organisme hidup dan lingkungan alam. Dengan demikian, dalam menghadapi lingkungan alam, manusia beradaptasi sedemikan rupa, sehingga dapat bereksisitensi dalam hidupnya. Sedangkan dalam lingkungan sosial budaya, manusia selalu berusaha untuk menyesuaikan diri sedemikian rupa, sampai terbentuk suatu ciri kehidupan sosial budaya tertentu.

Subak sebagai organisasi tradisional yang bersifat sosio agro religius merupakan inti kebudayaan masyarakat petani, yakni adanya pola hubungan antara manusia dengan lingkungan, serta kepedulian manusia dengan lingkungannya.

Page 16: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 15

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat petani subak dalam aktivitas kehidupannya berfungsi untuk melestarikan lingkungan hidup.

Interaksi antara manusia dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya bersifat prosesual. Suatu sistem selalu berkaitan dengan pengertian fungsi atau bersifat fungsional. Suatu sistem terdiri dari sejumlah unsur yang berfungsi secara timbal balik, yaitu saling memberi dan menerima (resiprocity) guna memelihara suatu kesinambungan (equilibrium) suatu entitas sistemik tertentu. Oleh karena itu, seleruh elemen dalam suatu sistem selalu saling berhubungan.

Masyarakat manusia tidak ubahnya seperti organ tubuh manusia (Talcott Parsons, 1990: 133). Oleh karena itu masyarakat manusia dapat dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia, yaitu: tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat manusia juga memiliki berbagai lembaga yang satu sama lain saling terkait. Karena setiap bagian dari tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas, maka demikian pula setiap bentuk lembaga masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Parsons merumuskan empat macam tugas utama, yaitu adaptation to the environment, goal attainment, integration, and latency. Lembaga ekonomi menjalankan fungsi adaptasi dengan lingkungan, lembaga pemerintah menjalankan fungsi untuk mencapai tujuan umum, lembaga hukum dan agama berfungsi menjalankan fungsi integrasi, dan lembaga keluarga dan pendidikan berfungsi menjalankan fungsi pemeliharaan.

Berdasarkan pandangan teoritik tersebut dapat disusun kerangka konseptual sebagai berikut: 1) Perkembangan masyarakat sesuai dengan kemajuan ekonomi global mengalami perubahan, sehingga masyarakat subak perlu beradapsi dengan dinamika masyarakat, antara lain dengan cara menerima teknologi modern pada era globalisasi, serta melakukan inovasi dalam pembangunan irigasi dan pelaksanan pola tanam. 2) Tujuan umum yang diatur oleh pemerintah dalam wujud peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Awig-awig subak yang berlandaskan ajaran Tri Hita Karana berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh komponen subak, dan berupaya untuk mengatur dan memenuhi segala kepentingan masyarakat. 4) Keluarga dan masyarakat berfungsi untuk mendidik generasi penerus, agar mampu menjaga, memelihara, dan melestarikan subak, untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Pemberdayaan, pengembangan, dan pelestarian subak, meliputi: pembangunan irigasi dan mengatur pembagian air pada saluran primer, sekunder, dan tersier. Pengaturan pembagian air pada saluran primer ditangani oleh aparat pemerintah, yaitu dari Dinas Pekerjaan Umum berdasarkasn hukum nasional. Sedangkan pengaturan pembagian air pada saluran sekunder dan tersier diatur secara adil dan merata bagi krama subak oleh pekaseh (kepala subak) berdasarkan awig-awig subak. Dalam pembangunan irigari pengairan seperti pembuatan dam atau empelan selain dikerjakan oleh krama subak, sering mendapat bantuan pemerintah, melalui Dinas Pekerjaan Umum. Dengan adanya bangunan irigasi permanen ternyata sangat besar manfaatnya bagi krama subak

Pemberdayaan subak dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat, serta mendidik generasi penerus agar mampu melestarikan nilai budaya warisan budaya bangsa. Adapun wujud pemberdayaan subak yaitu dengan melakukan modifikasi teknologi modern untuk diterapkan pada pembangunan irigasi, dan pola tanam. Mengatur pembagian air secara adil, mengatur sistem pola tanam sesuai dengan persediaan air, dan melaksanakan upacara sesuai dengan norma agama.

Awig-awig subak sebagai hukum adat berlaku efektif untuk mengatur pembagian air secara adil. Pelaksanaan sistem pola tanam disesuaikan dengan persediaan air. Ketika air memadai bagi seluruh subak, maka dapat dilaksanakan pola tanam kerta masa, sehingga krama subak menggarap sawah secara serempak.

Page 17: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 16

Ketika persediaam air terbatas seperti pada musim kemarau, maka pola tanam dilakukan secara bergilir. Pembagian air diatur dengan cermat, mulai dari hulu sampai kehilir, sehingga seluruh krama subak dapat memanfaatkan air.

Sinerji pembangunan subak dengan subsistem pariwisata dan industi kecil, antara lain: 1) Melibatkan komponen subak, pariwisata, dan industri kecil dalam perencanaan pembangunan; 2) Meningkatkan produktivitas kerja organisasi subak, subsistem pariwisata, dan industri kecil; 3) Mengatur dan memenuhi kepentingan masyarakat subak, pelaku pariwisata, dan industri kecil; dan 4) Mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan organisasi subak, subsistem pariwisata, dan industri kecil.

Subak sebagai lembaga tradisional memiliki komponen pengairan, pola tanam, dan upacara. Pengairan dapat berupa bendungan, saluran air (telabah), dan bangunan pembagian air (tembuku). Pola tanam dapat berupa sistem kerta masa dan sistem bulak sumur. Sedangkan pelaksanaan upacara dilakukan sejak mencari air (upacara mendak toya), upacara mentenin padi, sampai dengan menjadi nasi yang siap dihidangkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam subak, antara lain, nilai ekonomi, yang bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia, nilai solidaritas bagi sesama warga subak, dan nilai religius sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyiapkan segala sesuatu untuk digarap oleh manusia menjadi sumber kehidupan, yang akan diwariskan kepada generasi penerusnya.

Pada Era Globalisasi subak mengalami berbagai tantangan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan industri pariwisata telah berhasil meningkatkan kesejahteran masyarakat dan pada saat itu pula terjadi peralihan mata pencaharian dari petani subak menuju sektor pariwisata dan industri kecil. Pembangunan pariwisata ternyata pada satu sisi berdampak negatif bagi subak, karena lahan subak diterlantarkan, bahkan ada yang dijual. Sebaliknya ketika pariwisata terpuruk, maka masyarakat kembali melirik pertanian. Oleh karena itulah, masyarakat petani menyadari pentingnya subak sebagai sumber kehidupan.

Pemberdayaan subak dimaksudkan agar masyarakat subak melesterikan nilai budaya subak, dan meneruskan kepada generasi selanjutnya. Upaya pemberdayaan subak dapat dilakukan dengan mensinerjikan pembangunan pertanian, dengan subsektor pariwisata, dan industri kecil, sehingga terjadi pembangunan yang berimbang dan berkesinambungan.

Subak mempunyai awig-awig yang menjadi pedoman untuk mengatur kegiatan warga subak. Dalam pembentukan peraturan sistem irigasi subak yang bersifat nasional, hendaknya bersumber pada nilai-nilai atau kearifan lokal, dengan mengadopsi teknologi modern yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hendaknya mengikut sertakan masyarakat petani subak terutama generasi muda, sehingga dapat mengubah citra subak menjadi obyek dan daya tarik wisata, bahkan dapat meningkatkan industri kecil sebagai penunjang pariwisata. Dengan demikian, visi kedepan generasi muda sebagai petani subak hendaknya mandiri, mampu bersaing, dan berkompetisi di era globalisasi, dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan.

2.5 Konsekuensi Kekhususan Bali

Adanya beberapa kekhususan dan keunikan Bali pada keadaan alamnya, agama yang diyakini sebagian besar penduduk Bali, seni budaya Bali dan sistem sosialnya, membawa beberapa konsekwensi terhadap hukum tanah, terutama dalam hubungan dengan kepemilikan, pemindahtanganan dan fungsi tanah. Konsekwensi serupa juga muncul dalam bidang hukum pidana, terutama dalam hal terjadi tindak pidana tertentu yang mengandung unsur pelangggaran adat. Selain

Page 18: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 17

itu, konsekwensi juga tampak dalam beberapa aktivitas kehidupan lainnya, terutama yang berhubungan dengan masalah kasucian dan kacuntakaan.

Konsekwensi terhadap kepemilikan, pemindahtanganan dan fungsi tanah Bali nampak seperti berikut ini. Berbeda dengan kepemilikan tanah di daerah lainnya di Indonesia, dilihat dari kepemilikannya, tanah di Bali dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) Tanah negara; (2) Tanah milik (tanah gunakaya); (3) Tanah adat. Munculnya istilah tanah adat disebabkan karena adanya dualisme hukum yang mengatur tentang tanah pada jaman sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua macam hukum yang dimaksud adalah hukum adat dan hukum Eropa. Dimaksud dengan tanah adat adalah tanah yang pada saat sebelum berlakunya UUPA tunduk pada hukum lndonesia atau hukum adat.

Dalam UUPA tidak ada istilah tanah adat. Hal ini tidak berarti, keberadaan tanah adat tidak diakui. Pengakuan adanya tanah adat dapat diketahui dari ketentuan pasal 3 UUPA, yang menentukan sebagai berikut. “Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarkat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannnya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Ketentuan senada juga dapat diketahui dari pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam konsideran huruf b, ditentukan bahwa “dalam kenyataannya waktu ini dibanyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasari pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat”.

Dimaksud dengan tanah ulayat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 adalah tanah-tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat. Dengan demikian menurut UUPA, yang dimaksud dengan tanah adat adalah terbatas pada tanah-tanah ulayat yaitu tanah-tanah yang diatasnya ada hak ulayat atau tanah-tanah yang berada pada kekuasaan lingkungan masyarakat hukum adat.

Tanah adat atau tanah ulayat di Bali merupakan tanah-tanah yang berada pada kekuasaan desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali, yang dikenal dengtan istilah ”tanah desa”. Menurut Dharmayuda (1987) tanah desa atau tanah ”druwe desa”, dapat dibedakan menjadi tanah druwe desa dalam arti sempit dan tanah druwe desa dalam arti yang luas. Tanah druwe desa dalam arti sempit adalah terbatas pada tanah-tanah desa yang dikuasai langsung oleh desa pakraman sebagaimana ditentukan dalam angka 1 di bawah, yaitu tanah-tanah yang terdiri atas tanah pasar, tanah setra, tanah lapang dan tanah bukti.

Tanah druwe desa dalam artian yang luas adalah tanah adat ini meliputi tanah-tanah:

1. Tanah desa yang meliputi: a. Tana pasar, yaitu tanah yang dipergunakan untuk pasar; b. tanah lapang, adalah tanah yang digunakan untuk lapangan

atau untuk kegiatan lainnya; c. tanah kuburan/setra, adalah tanah yang dipergunakan untuk kuburan

atau penguburan atau pembakaran mayat; d. tanah bukti, adalah tanah-tanah pertanian (sawah ladang) yang

diberikan kepada prangkat pejabat atau pengurus desa. Tanah bukti ini mirip dengan tanah bengkok di Jawa.

Page 19: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 18

2. Laba Pura; adalah tanah-tanah yang dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk. kepentingan pura. Tanah Laba Pura atau Pelaba Pura ini ada dua macam yaitu: a. Tanah yang khusus untuk bangunan pura dan b. Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan pura,

misalnya untuk keperluan biaya runtin dan biaya perbaikan pura. 3. Tanah Pekarangan Desa (PKD); adalah merupakan tanah yang dikuasai

oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk mendirikan perumahan yang lasimnya dengan ukuran luas tertentu yang hampir sama bagi setiap keluarga. Kewajiban yang melekat yang lebih dikenal dengan "ayahan" pada krama desa yang menempati tanah tersebut adalah adanya beban berupa tenaga maupun materi yang diwajibkan oleh desa pakraman.

Selain itu dikenal juga adanya Tanah Ayahan Desa (AYDS). Mengenai tanah

ini, Dharmayuda (1987) menjelaskan sebagai berikut. Tanah Ayahan Desa (AYDS) adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa dengan hak untuk menikmati dengan kewajiban memberikan ayahan berupa tenaga maupun materi kepada desa pakraman.

Seperti halnya tatanan kehidupan lembaga adat, eksistensi tanah di Bali juga diatur berdasarkan hukum adat dan hukum nasional. Hukum mana yang dominan dalam praktiknya, tergantung dari status kepemilikan tanah yang dimaksud. Pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah negara, pada umumnya diatur berdasarkan hukum nasional. Perkecualiannya dalam hal di atas tanah negara tersebut terdapat tempat suci (pura), tempat yang diyakini sebagai tempat suci, sebagian atau seluruhnya tanah negara tersebut termasuk kawasan suci, maka pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah negara tersebut, selain diatur berdasarkan hukum nasional juga diatur berdasarkan hukum Hindu, hukum adat Bali, dan awig-awig adat yang berlaku di desa adat setempat.

Pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah milik (tanah gunakaya), diatur berdasarkan hukum nasional. Kalau di atas tanah milik tersebut terdapat tempat suci (pura), tempat yang diyakini sebagai tempat suci, maka pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah milik tersebut, selain diatur berdasarkan hukum nasional juga diatur berdasarkan hukum Hindu, hukum adat Bali, dan awig-awig adat yang berlaku di desa adat setempat. Pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah adat, diatur berdasarkan hukum adat yang dijiwai oleh agama Hindu dan hukum nasional.

Konsekwensi dalam bidang hukum pidana, terjadi terutama dalam hal adanya tindak pidana tertentu yang mengandung unsur pelangggaran adat dan agama Hindu. Dalam KUHP dikenal istilah “tindak pidana” (delik) yang terdiri dari “kejahatan” dan “pelanggaran”. Kapan suatu perbuatan dianggap kejahatan dan kapan menjadi pelanggaran, tergantung dari aturannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Tidak demikian halnya dalam hukum adat termasuk hukum adat Bali. Dalam hal ini semua perbuatan yang menyimpang disebut ”pelanggaran adat” atau ”delik adat”. Ter Haar (1950) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “delik” atau “pelanggaran” adalah adanya perbuatan sepihak yang oleh pihak lain dengan tegas atau secara diam-diam dinyatakan sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan.

Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana (1976) ditemukan bahwa di Bali masih dikenal empat jenis pelanggaran adat yang masih hidup, yaitu:

Page 20: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 19

(1) Delik adat yang menyangkut kesusilaan: a. Lokika sanggaraha adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan

seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang jelas.

b. Drati krama adalah hubungan seksual antara seorang wanita dengan seorang laki-laki sedangkan mereka masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (sama dengan berzina dalam KUHP).

c. Gamiya gamana adalah hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping.

d. Mamitra ngalang adalah seorang laki-laki yang sudah beristeri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir bathin seperti layaknya suami isteri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah. Hubungan mereka bersifat terus menerus (berkelanjutan) dan biasanya si wanita ditempatkan dalam rumah tersendiri.

e. Delik adat salah krama adalah melakukan hubungan kelamin dengan mahluk yang tidak sejenis. Contohnya, hubungan kelamin antara manusia dengan hewan.

(2) Delik adat yang menyangkut harta benda, seperti : pencurian benda

suci, merusak benda suci, dll. (3) Delik adat yang berhubungan dengan kepentingan pribadi, seperti :

mengucapkan kata-kata kotor (mamisuh); memfitnah (mapisuna), menipu atau berbohong (mamauk/mogbog), dll.

(4) Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban (swadharma), terhadap lembaga tradisional (desa pakraman), seperti : kelalaian melaksanakan kewajiban (ayahan desa) sebagai warga desa (krama desa pakraman), kelalaian membayar iuran (papeson atau pawedalan), dll.

Seperti halnya berbagai jenis pelanggaran pada umumnya, pelanggaran adat

dapat dikenakan sanksi. Sanksi dikalangan masyarakat masyarakat adat, dikenal dengan sebutan “koreksi adat”, atau “reakasi adat”. Untuk di Bali, sanksi adat itu disebut danda, atau pamidanda. Danda adalah sanksi yang dikenakan oleh desa pakraman (organisasi tradisional lainnya), kepada seorang atau kelompok orang dan atau keluarganya, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran adat atau melanggar norma agama Hindu. Danda dijatuhkan dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat.

Sanksi dalam fungsi seperti tersebut, mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Beberapa jenis sanksi adat yang dikenal, dapat klasifikasikan menjadi tiga, yang dikenal dengan tri danda (tiga sanksi) yang terdiri dari : arta danda, jiwa danda dan sangaskara danda. Arta danda (sanksi berupa harta benda atau benda-benda materiil), seperti denda, pengganti kerugian materiil, dll. Sangaskara danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan ajaran agama Hindu), seperti pelaksanaan upacara pemarisuda, prayascita (upacara pembersihan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan magis). Jiwa danda (sanksi berupa penderitaan jasmani dan rohani/jiwa), seperti minta maaf (ngaksama), dikucilkan di lingkungannya (kanorayang).

Page 21: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 20

Lembaga atau organisasi mana yang berwenang menangani pelanggaran adat dan mengenakan sanksi adat kepada pelaku pelanggaran adat di daerah Bali, tergantung dari aturan atau norma yang dilangar. Apabila yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) desa pakraman, maka yang berwenang menangani dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggarannya adalah desa pakraman. Apabila yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) subak, maka organisasi subak di mana pelangaran adat itu terjadilah yang berwenang menangani dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggarannya. Demikian pula halnya kalau yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) sekaa dan dadya. Jenis dan besar kecilnya sanksi yang dijatuhkan, senantiasa mengacu kepada tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat. Oleh karena itu, penjatuhan sanksi biasanya disertai sangaskara danda, yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan niskala.

Konsekwensi dalam hubungan dengan beberapa aktivitas kehidupan lainnya, terutama yang berhubungan dengan masalah kasucian dan kacuntakan. Sudah dikemukakan di atas bahwa tujuan agama Hindu adalah untuk mencapai kebahagiaan abadi. Salah satu cara untuk mencapai tujuan itu, dapat dilalui dengan mengaktualisasikan filosofi tri hita karana (tiga cara mencapai kedamaian), dalam kehidupan sehari-hari, yaitu menciptakan hubungan yang harmonis antara parhyangan, pawongan dan palemahan, dari sudut pandang agama Hindu. Hal lain yang patut dipahami dan dilaksanakan adalah “tiga kerangka agama Hindu” yang terdiri dari tattwa (filsafat), tatasusila (etika) dan upakara (jalan berbakti kepada Tuhan), dipahami sebagai satu kesatuan. Hanya dengan demikian baru akan dapat dimengerti kenapa umat Hindu mengenal tempat suci (pura) dan kawasan suci (gunung, laut, danau, campuhan, dan tempat lainnya yang diyakini suci). Hanya dengan demikian baru akan dapat dimengerti kenapa umat Hindu membedakan antara bersih dan ”suci” serta antara kotor dan ”kacuntakan”.

Segala aktivitas kehidupan, baik dalam bentuk perkatakaan maupun perbuatan yang dilakukan di tempat suci (pura) dan kawasan suci, bukan saja harus bersih, melainkan juga harus mencerminkan ”kesucian” sesuai dengan ajaran Hindu. Apabila terjadi hal yang sebaliknya, melakukan aktivitas yang mencerminkan kacuntakan di tempat suci atau kawasan suci, maka perbuatan itu dianggap melukai keyakinan umat Hindu, setidaknya bagi mereka yang berada di sekitar tempat suci atau kawasan suci tersebut. Inilah antara lain yang menyebabkan kenapa PHDI mengeluarkan bhisama kesucian tempat suci dan kawasan suci di Bali.

2.6 Beberapa Kekhawatiran

Telah dipaparkan secara singkat di atas, bahwa ada beberapa konsekwensi yang perlu diperhatikan terkait dengan adanya kekhususan dan keunikan yang kebetulan melekat pada alam dan tatanan masyarakat di Propinsi Bali, hingga saat ini. Kekhususan dan keunikan tersebut, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar Bali, menyebabkan mereka datang ke Bali, baik sebagai wisatawan maupun sebagai peneliti yang ingin tahu lebih dalam tentang Bali beserta tatanan masyarakatnya. Pada akhirnya, Bali-pun tampil sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di dunia. Keterkesanan mereka yang sempat mengenyam keindahan dan keunikan Bali, tercermin dari berbagai julukan yang pernah diberikan terhadap Bali. Salah satu diantaranya, Bali dijuluki sebagai ”The Last Paradise”.

Ditengah-tengah suasana ”The Last Paradise” yang sedang dinikmati penduduk Bali beserta wisatawan dan peneliti yang kebetulan sedang berada di Bali, tiba-tiba bom meledak di Kuta tanggal 12 Oktober 2002. Bom dengan daya ledak tinggi tersebut bukan saja meluluhlantakkan Sari Club dan Paddys Cafe, melainkan juga sejumlah bangunan di sekitarnya dan menyebabkan ratusan orang

Page 22: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 21

meninggal, luka-luka dan ribuan kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Tiga orang diantaranya sudah dijatuhi hukuman mati, tetapi sampai kini belum dieksekusi.

Bom kedua meledak tanggal 1 Oktober 2005. Kali ini Nyoman Cafe, dan Menega Cafe yang belokasi di Jimbaran menjadi sasaran. Pada saat yang sama bom juga meledak di Raja Restoran di Kompleks Kuta Square. Korban jiwa 31 orang dan puluhan lainnya dirawat karena luka-luka. Sebagian pelakunya sudah tertangkap. Seperti bom pertama, bom yang kedua juga dilakukan oleh kawanan teroris dari luar Bali yang sengaja datang ke Bali hanya untuk menganggu keamanan dan kedamaian ”The Last Paradise”.

Patut dicatat bahwa kedua bom tersebut berhasil membuat keadaan kepariwisataan Bali anjlok, Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing kabupaten dan kota di Bali melorot drastis dan keadaan perekonomian masyarakat Bali pada umumnya, terpuruk. Oleh karena itu, gerakan teroris memang layak diwaspadai. Tetapi yang lebih dikhawatirkan dapat mengganggu eksistensi kekhususan dan keunikan Pulau Bali bukan semata-mata datang dari serangan teroris, melainkan juga dapat muncul dari beberapa hal seperti diuraikan dalam contoh-contoh berikut ini.

Pertama, otonomi daerah. Iklim reformasi yang mulai berembus tahun 1978, telah melahirkan U.U. No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian diubah dengan U.U.No. 32 Tahun 2004. Undang-undang ini memberikan kewenangan otonomi yang lebih luas kepada daerah. Titik berat otonomi diletakkan di kabupaten/kota, dengan harapan lebih mudah mencapai tujuan, yaitu kesejahtraan rakyat. Bagi Propinsi Bali, keadaan ini ternyata kurangmenguntungkan, karena Pulau Bali relatif kecil, dengan luas hanya 5.632,86 kilo meter persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI, kini terkesan seperti terpecah menjadi 9 kabupaten/kota dan masing-masing kabupaten/kota seolah-olah berdiri sendiri.

Keadaan ini pada gilirannya bepengaruh terhadap sistem subak. Organisasi tradisional dibidang pertanian dan pengairan yang sebelum era otonomi di kabupaten dan kota melihat Bali sebagai satu kesatuan ekosistem di bawah koordinasi Subak Gede, sekarang tampak tercerai berai. Organisasi subak yang berada di daerah hilir yang dulunya turut bertanggungjawab terhadap kelangsungan konservasi alam dan parahyangan (tempat suci dan kawasan suci) di daerah pegunungan, tanpa mempersoalkan kabupaten masing-masing, sekarang mereka seperti ”lupa kacang akan kulitnya”. Akibatnya, hutan digunduli di daerah hulu (pegunungan) dan muncul keinginan untuk ”memotong” atau ”membelokan” saluran air bagi lahan pertanian yang telah diwarisi secara turun-temurun, untuk kepentingan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) atau diolah menjadi air minum dalam kemasan.

Kedua, semakin menipisnya penghargaan yang diberikan terhadap kearifan lokal (local genius) yang selama ini dikenal dan terkenal sebagai kekhususan dan keunikan Propinsi Bali. Hal ini dapat diketahui dari beberapa ketentuan hukum yang berlaku (hukum positif). Salah satu contoh, hukum tanah, terutama dalam hubungan dengan kepemilikan, pemindahtanganan dan fungsi tanah Bali. Selama ini ketentuan mengenai kepemilikan, pemindahtanganan dan alih fungsi tanah Bali, terkesan terlalu longgar dan kurang memperhitungkan keberadaan prajuru adat dan kurang memperhatikan unsur suci dan kacuntakan. Munculnya perlawanan yang begitu kuat dari desa pakraman terhadap proyek-proyek besar yang ”turun dari atas” seperti yang pernah terjadi di Padang Galak, di Kota Denpasar, BNR, di Kabupaten Tabanan dan yang terkahir Loloan Yeh Poh di Kabupaten Badung, disebabkan karena pihak investor dan pihak yang berwenang memberi ijin atas proyek tersebut, dianggap mengabaikan kearifan lokal serta kurang memperhitungkan keberadaan prajuru adat dan kurang memperhatikan unsur ”kasucian” dan ”kacuntakan” di sekitar tempat itu.

Page 23: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 22

Dalam hal terjadi sengketa tanah, lain lagi ceritanya. Bila persengketaan tanah dibawa ke pengadilan, putusan lembaga adat (desa pakraman dan MDP) yang telah ditetapkan sebelumnya, bukan saja tidak dihiraukan oleh lembaga pengadilan negeri, bahkan pengadilan memutus persengketaan yang terjadi dengan cara yang jauh dari ketentuan awig-awig desa, hukum adat Bali dan perasaan hukum warga desa pakraman. Akibatnya, sering terjadi perlawanan oleh desa pakraman atas keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pada saat eksekusi dilaksanakan. Demikian kuat perlawanan yang diberikan sehingga putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam kenyataannya amat sangat sulit dilaksanakan karena dianggap bertentangan dengan awig-awig dan hukum adat Bali. Contohnya, seperti yang terjadi di Desa Pakraman Bakbakan dan di Desa Pakraman Bunutin, Kabupaten Gianyar.

Hal serupa juga sering terjadi dalam bidang hukum pidana, terutama terhadap tindak pidana yang terjadi di tempat suci dan atau di kawasan suci, serta perbuatan tertentu yang dianggap sebagai pelanggaran adat. Tempo dulu, tindak pidana yang terjadi di tempat suci dan di kawasan suci, serta berbagai bentuk pelanggaran adat yang terjadi di desa pakraman, ditangani oleh ”pengadilan adat” yang dikenal dengan Raad van Kerta. Berdasarkan Undang-undang darurat N0. 1. Tahun 1951, tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, ditentukan bahwa beberapa pengadilan yang sebelumnya ada termasuk ”pengadilan adat” (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied), dinyatakan dihapus, kecuali peradilan agama, jika peradilan itu menurut hukum yang merupakan suatu bagian tersendiri dari peradilan adat (pasal 1 ayat 2 b). Sementara aitu, pasal 1 (3) ditentukan sebagai berikut: “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie”.

Menarik juga untuk diketahui ketentuan pasal 5 ayat (3), yang menentukan sebagai berikut.

a. Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan berdasarkan pasal 1 ayat (1) bab e,f,g,h,i,dan j, dan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b, sebagai pengadilan sehari-hari bisa untuk segala penduduk Republik Indonesia memeriksa dan memutuskan dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan/atau segala perkara pidana sipil yang dahulu diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan- pengadilan yang dihapuskan itu.

b. Hukum materil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kawula-kawula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kawula-kawula dan orang itu, dengan pengertian:

Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum.

Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut

fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian

Page 24: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 23

bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalm Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

c. Jika yang terhukum tak memenuhi putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Agama dalam lingkungan peradilan Swapraja dan Adat, salinan putusan itu harus disampaikan oleh yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Hakim Agama itu untuk dapat dijalankan.

Ketua itu, sesudahnya telah nyata kepadanya bahwa putusan itu tak dapat diubah lagi, menyatakan bahwa putusan dapat dijalankan, dengan menaruh perkataan : “Atas Keadilan” di atas putusan itu dan dengan menerangkan di bawahnya, bahwa putusan dinyatakan dapat dijalankan, keterangan mana harus ditanggalkan dan dibubuhi tanda tangannya.

Setelah itu putusan dapat dijlankan menurut cara yang berlaku untuk mnjalankan putusan perdata Pengadilan Negeri.

Memperhatikan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa dengan

dikeluarkannya Undang-undang darurat N0. 1. Tahun 1951, tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, keberadaan Pengadilan Adat sudah dihapus. Walaupun demikian, masih terbuka peluang bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi adat terhadap pelanggaran adat sesuai dengan jenis pelanggaran adat yang dilakukan, berdasarkan pasal 5 ayat (3) Undang-undang darurat N0. 1. Tahun 1951.

Walaupun demikian, dalam kenyataannya tidak ada hakim yang mempunyai keberanian yang cukup untuk menjatuhkan sanksi adat, seperrti pengenaan sangaskara danda sesuai dengan ajaran agama Hindu. Hal ini disebabkan karena terbentur pada azas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 KUHP. Beberapa contoh, sebagai berikut. Terhadap pencurian di tempat suci (pura). Kalau tindak pidana yang dilakukan terbukti secara meyakinkan, hakim akan menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 362 atau pasal 363 KUHP tentang pencurian. Hukuman yang dijatuhkan pastilah sesuai dengan ketentuan pasal 10 KUHP dan hampir dapat dipastikan tidak mencerminkan rasa keadilan umat Hindu, karena obyek pencurian bukan sekadar barang biasa, dan tempat tindak pidana pencurian yang dilakukan bukan tempat biasa, melainkan tempat suci (pura). Hal yang sama akan terjadi dalam hal terjadi pelanggaran adat yang lainnya, seperti mamitra ngalang, salah krama, memisuh, dll.

Apabila keadaan ini berjalan secara berkesinambungan, dkhawatirkan dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap kekhususan dan keunikan Bali, baik dalam hubungan dengan keadaan alam Bali, agama Hindu di Bali, seni budaya Bali dan sistem sosial yang selama ini telah berjalan.

Ketiga, lembaga-lembaga adat yang ada dan masih hidup seperti desa parkaman, subak, sekaa dan dadya, belum diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah. Sedangkan faktanya, lembaga-lembaga adat tersebut, memiliki tanah, yang disebut tanah desa atau tanah druwe desa. Keadaan ini jelas memperlemah pososi lembaga adat dalam mempertahankan miliknya, dan bersamaan dengan itu mempermudah pemindatanganan tanah desa, tanpa menghiraukan unsur ”kasucian”, ”kacuntakan” dan ”parhyangan desa”.

Keempat, beban ganda bagi krama desa yang menguasai tanah desa. Mereka dikenakan PBB dan juga harus melaksnakaan tanggung jawab (swadharma) terhadap desa pakraman. Tanah adat yang dimiliki oleh desa adat atau desa

Page 25: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 24

pakraman dan dikuasai oleh krama desa berdasarkan hukum adat Bali, tidak dilengkapi bukti kepemilikan tanah dalam bentuk sertifikat hak milik atas nama desa pakraman. Yang sudah diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah adalah tempat suci (pura), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No: SK.556/DJA/1986, tanggal: 24 – 9- 1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Walaupun pemilikan tanah adat oleh desa pakraman tidak ditandai dengan bukti tertulis, dari generasi ke generasi desa pakraman hidup dalam damai, karena tidak ada pihak yang meragukan keberadaan tanah adat yang dimaksud. Sebagai bukti bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah adat, berdasarkan hukum adat Bali, warga yang menguasai tanah tersebut diwajibkan melaksanakan tanggung jawab (swadharma) tertentu terhadap desa pakraman. Tanggung jawab yang dimaksud dapat berujud kerja secara fisik (ayahan) maupun dalam bentuk urunan materi (pawedalan).

Sejak berlakunya UUPA (U.U.No. 5/1960), disyaratkan agar setiap tanah milik agar dilengkapi dengan ”identitas” berupa bukti kepemilikan dalam bentuk sertifikat hak milik. Sedangkan di lain pihak, desa pakraman belum diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah.

Keadaan tanah desa di Bali menjadi lebih tidak menentu lagi setelah berlakunya UU tentang PBB. Adanya kewajiban membayar PBB bagi warga yang menguasai tanah adat, menyebabkan krama desa seperti telah disebut didepan, terbebani kewajiban ganda. Di satu pihak mereka harus melaksanakan tanggung jawab dalam bentuk ayahan dan pawedalan kepada desa pakraman dan di lain pihak mereka juga harus membayar PBB kepada negara.

Keadaan menjadi semakin keruh ketika surat tanda bukti pembayaran PBB dijadikan salah satu kelengkapan permohonan sertifikat hak milik. Kenyataan ini banyak terjadi di daerah perkotaan dan di daerah pariwisata seperti Ubud, Kuta, dll. Akibatnya, berdikit-dikit tanah desa beralih menjadi tanah milik (tanah gunakaya), yang dapat dipindahtangankan setiap saat, tanpa harus mendapat persetujuan dari desa pakraman. Apabila keadaan ini berjalan secara berkesinambungan, dkhawatirkan dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap kekhususan dan keunikan Bali, baik dalam hubungan dengan keadaan alam Bali, agama Hindu di Bali, seni budaya Bali dan sistem sosial yang selama ini telah berjalan dengan baik.

Diakui atau tidak, situasi dan kondisi Bali dewasa ini (2007), telah berbeda dibandingkan dengan keadaan pada waktu Maha Patih Gajah Mada menyebut Bali sebagai ”Nusaning Nusa Tan Hana Madaning” (abad XIV). Mau tidak mau, suka atau tidak suka, keadaan Bali sekarang telah berbeda dibandingkan dengan ketika Perdana Menteri India, Pandit Jawahral Nehru memberi julukan ”The Morning of the World” kepada Pulau Bali, atau pada zaman Hickman Powell (1930), memberi julukan Pulau Bali sebagai “The Last Paradise”. Yang patut disyukuri, kekhususan dan keunikan alam Bali, agama yang dianut, seni budaya Bali dan sistem sosialnya, masih diwarisi sampai saat ini, walau dengan penampilan yang agak berbeda. Untuk mempertahankan kehususan dan keunikan Bali, dipandang perlu pemberian otonomi khusus bagi Propinsi Bali.

III. PENGUATAN KEKHUSUSAN BALI

Otonomi khusus secara normative diartikan sebagai kewenangan khusus yang

diakui dan diberikan kepada propinsi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak – hak dasar masyarakat setempat (Pasal 1 huruf I UU No.21 Tahun 2001)

Wacana otonomi khusus merupakan hasil gerakan reformasi dalam ranah demokrasi, yaitu adanya tuntutan demokratisasi dalam bidang politik dan

Page 26: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 25

pemerintahan termasuk dalam lingkup pemerintahan daerah. Tuntutan ini dijawab dengan diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang – undang ini mengubah paradigma yaitu dari paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi, dari paradigma otonomi yang nyata dan bertanggungjawab ke paradigma seluas – luasnya, nyata dan bertanggungjawab, dari paradigma masyarakat sebagai obyek ke paradigma masyarakat sebagai subyek (Syaukani ; 2002:168). Sesuai dengan perkembangan, ternyata undang – undang ini dianggap kurang kuat dalam menjaga negara kesatuan Republik Indonesia, oleh karenanya diganti dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan mempertahankan prinsip otonomi luas,.Dengan prinsip ini diharapkan daerah mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan sera potensi keanekaragaman daerah dalam system Negara Kesatuan Repulbik Indonesia (Penjelasan Umum UU No.32 Tahun 2004)

Perubahan paradigma dari otonomi terbatas ke otonomi luas tidak hanya terjadi terjadi di Indonesia. Secara global perubahan pradigma telah terjadi pada abad ke 19 ( Craig; 1994 :113) .Di Inggris perubahan itu terjadi dengan diundangkannya The Local Government Act 1972 yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 April 1974, undang – undang ini tidak hanya menyangkut luas dan kewenangan dari pemerintah lokal tetapi juga menyangkut peraturan perundangan tingkat local, pemilihan umum, tata kerja, kekuasaan, fungsi – fungsi dan keuangan (Wade; 1988:111)

Wacana otonomi khusus dan otonomi luas sebenarnya memang merupakan model otonomi yang diharapkan oleh pembentuk Undang – Undang Dasar 1945, dalam sidangnya pada tanggal 13 Juli 1945, yang menempatkan masalah pemerintahan daerah di dalam ketentuan Pasal 17 sebagai berikut:

“ Pembagian daerah Indonesia dalam daerah – daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnnya ditetapkan dengan undang – undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dari pada system pemerintahan negara, dan hak – hak asal usul dari daerah – daerah yang bersifat istimewa” (Bahar; 1995:229) Rancangan UUD yang disusun BPUPKI (Padan Penyelidik Usaha – usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia) inilah yang kemudian dibahas oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Di dalam sidang ini ada beberapa anggota yang membicarakan masalah pemerintahan daerah antara lain Supomo menyatakan : Pemerintahan daerah harus juga bersifat permusyawaratan , dengan lain perkataan lain harus ada Dewan Perwakilan Daerah, Daerah – daerah istimewa diindahkan dan menghormati susunannya yang asli, tetapi hanya sebagai daerah bukan negara, jangan sampai ada salah faham dalam menghormati adanya daerah “zelfbesturende landchappen” hanyalah daerah saja tetapi mempunyai sifat istimewa. (Bahar; 1999 : 429). Penekanan yang disampaikan oleh Supomo ini didukung oleh pendapat Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa: otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid end zelfstandigheid) satu pemerintah yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan, oleh karena itu hakekat otonomi daerah itu dari unsur kebebasan (bukan kemerdekaan: independence; onafhendelijkheid) otonomi merupakan sub system dari negara kesatuan (Hadjon; 1999 :1). Berkenaan dengan kepada siapa otonomi itu diberikan, Bhenjamin Hoesen berpendapat bahwa otonomi melalui desentralisasi bukan diberikan kepada pemerintah daerah, bukan kepada DPRD, bukan kepada daerah, tetapi kepada masyarakat setempat ( Sarundajang : 2003: 73). Kajian teoritik tersebut perlu dikemukakan, untuk memberikan penegasan bahwa otonomi

Page 27: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 26

khusus Bali akan didirikan diatas kerangka pemikiran tersebut, yaitu otonomi khusus yang tetap dalam kerangka system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Landasan teoritik otonomi khusus Bali dapat ditelusuri melalui pendapat para sarjana tentang domein desentralisasi. Irawan Soejito, membagi desentralisasi menjadi (1) desentralisasi territorial, (2) desentralisasi fungsional dan (3) desentralisasi administrative yang lazim disebut dengan dekonsentrasi.( Irawan Soejito; 1984:20). Tresna memberikan pembagian desentralisasi yang sedikit berbeda, yaitu : (1) ambtelijk decentraliastie atau deconcentratie dan Staatskundige decentralisatie . Ambtelijk decentraliastie atau deconcentratie diartikan sebagai pemberian kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata – mata, Staatskundige decentralisatie sebagai pemberian kekuasaan mengatur kepada daerah di dalam lingkungannya guna mengajukan asas demokrasi di dalam pemerintahan negara ( Manan; 1994:22). Pendapat yang menunjang usulan otonomi khusus untuk Bali adalah pendapat Amrah Muslimin, yang membagi desentralisasi menjadi (1) desentralisasi politik, (2) desentralisasi fungsional, (3) desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi poltik adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan – badan politik di daerah – daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah – daerah tertentu. Desentraliasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan – golongan untuk mengurus satu macam kegiatan baik terikat maupun tidak pada suatu atau beberapa daerah tertentu (misalnya waterschap di Bali). Desentralisasi kebudayaan adalah suatu pemberian hak kepada golongan – golongan kecil (minoritas) dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama dan lain sebagainya) (Muslimin; 1978:15). Pendapat Amrah Muslimin ini dapat dipergunakan sebagai landasaan teoritik pembenar wacana otsus Bali.

Secara normative domein kekhususan suatu daerah otonom sudah ada sejak UUD 1945 yang diatur di dalam Pasal 18 yang menentukan

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang – undang, dengan memandang dan mengingati dasar pemusyawaratan dalam system pemerintahan negara dan hak – hak asal usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa” Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 18 angka II dinyatakan :

“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 selfbesturende landchappen dan volksgemeinschappen seperti desa di Jawa dan Bali Negeri di Minangkabau, dan Marga di palembang, dan sebagainya. Daerah – daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa ( Mahkamah Konsitusi RI; 2006:18). Pengakuan dan penghormatan terhadap daerah – daerah yang bersifat istimewa dan khusus, tetap dipertahankan sampai saat ini, hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 18 B Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam Ayat (1) ditentukan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan – satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang – undang”. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa pengakuan terhadap kekhususan suatu daerah diatur dengan undang – undang, karena pengaturan dengan undang – undang bermakna bahwa ada pengakuan oleh seluruh rakyat Indonesia tentang keberadaan kehususan suatu daerah, dengan demikian kekhususan daerah tersebut mempunyai legitimasi yang kuat. Ayat (2) nya menentukan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum atau adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Ketentuan dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa apapun bentuk dan

Page 28: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 27

luasnya kekhususan suatu daerah tidak boleh lepas dari system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3.1 Letak Otonomi.

Di dalam menentukan letak suatu otonomi berkaitan dengan pembagian kewewenangan yang proporsional antara Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Kriteria untuk menentukan hal tersebut adalah: Kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

Kritera eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan besifat local, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan propinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang mengangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagia urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketetapan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam peyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Kabupaten/Kota dari paa dibandingkan apabila diserahkan kepada pemerintah Propinsi, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh pemerintah Propinsi, maka bagian urusan tersebut ditangani oleh pemerintah Propinsi.

Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan, yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda , bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (inter- dependensi), dan silng mendukung sebagai satu kesatuan system dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Kekhususan Bali dalam rangka otonomi khusus terletak pada kekhususan adat, budaya, yang bersumber pada agama Hindu, yang kemudian menjadi soko guru pendukung pariwisata Bali (Pariwisata Budaya) yang secara factual telah mampu mengakses income lebih dari 32 triliun pertahun atau 30% dari devisa negara yang berperan penting dalam mengakselerasi perekonomian nasional. Fakta ini menunjukkan juga bahwa pariwisata juga sebagai salah satu penyandang dana terbesar dalam menggerakkan pemerintahan daerah propinsi Bali melalui sumbangannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pariwisata Bali yang dijiwai oleh agama Hindu melalui adat dan budayanya yang unik dan tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia bahkan di dunia seperti “SIPENG” yang merupakan salah satu rangkaian hari raya Nyepi, dimana pada sat itu tiada kegiatan apapun yang dilakukan oleh umat Hindu pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Kondisi seperti ini tiada duanya di dunia, ditinjau dari perpektif lingkungan hidup, betapa besar dampak positif yang disumbangkan dari kegiatan itu, berupa pembersihan kembali (recycling) alam dari polusi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia, berapa efisiensi energi yang dapat ditekan dengan tidak adanya kendaraan bermotor, termasuk kegiatan transportasi udara.

Page 29: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 28

Secara filosofis dan sosiologis adat dan budaya Bali merupakan satu kesatuan yang terangkai dalam satu system yang pada intinya sama (homogen) kalaupun ada perbedaan itu dikarenakan perbedaan yang bersifat eksternal seperti lokasi (pegunungan dan dataran) bukan dari perbedaan internal (substansi dan makna). Kesatuan adat budaya dan agama di Bali dapat pula dilihat dari tata letak tempat suci umat Hindu (Pura) yaitu Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan yang merupakan satu kesatuan tersebar diseluruh wilayah propinsi Bali Demikian pula pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu melalui kreatifitas adat dan budayanya yang juga merupakan ujung tombak penggerak perekonomian Bali merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh pulau Bali secara keseluruhan, dalam artian semua daerah kabupaten/kota yang ada di Bali memberikan kontribusi terhadap produk pariwisata budaya tersebut. Artinya masing – masing daerah berperan dalam salah satu sub system dari kebutuhan pariwisata misalnya akomodasi, transportasi, obyek wisata, restaurant dan lain sebagainya yang menyatu dalam satu system.

Dari uraian tersebut diatas maka jelas Bali merupakan satu kesatuan, seyogyanya pertumbuhan ekonomi dan pembanguan diseluruh kabupaten/ kota tumbuh bersama – sama, namun dalam kenyataannya kemampuan diantara kabupaten/kota yang ada sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Hal itu dapat dilihat pada pendapatan asli daerah (PAD) masing – masing kabupaten/kota seperti di bawah ini.

No. Kabupaten /Kota PAD 1. Buleleng 22.873.719.298,89 2. Jembrana 9.916.279.620,18 3. Tabanan 42.403.134.567,23 4. Badung 388.582.725.448,11 5. Gianyar 55.006.502.325,99 6. Bangli 7.692.953.476,66 7. Klungkung 16.374.120.634,90 8. Karangasem 23.909.591.197,82 9. Denpasar 116.302.936.736,60

Sumber: Biro Keuangan Propinsi Bali Dari perbandingan jumlah tersebut terlihat betapa besar ketimpagan PAD antara satu kabupaten yang satu dengan kabupaten/kota lainya. Dengan otonomi berada di tingkat propinsi, diharapkan akan terjadi pemerataan pembangunan di seluruh Bali sehingga pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merata di seluruh kabupaten/kota.

Satu hal yang juga sangat penting dalam kaitannya dengan melestarikan, menjaga adat, budaya dan khususnya pariwisata adalah factor keamanan, oleh karenanya masalah keamanan pada prinsipnya merupakan salah satu substansi dari otonomi khusus Bali, oleh karena realita menunjukkan bahwa factor keamanan merupakan factor yang signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi jumlah kunjungan wisatawan khususnya wisatawan asing ke Bali. Hal ini dapat dilihat dengan kasat mata betapa besar dampak penurunan jumlah kujungan wisatawan yang diakibatkan oleh terjadinya peristiwa bom Bali I dan bom Bali II. Dari paparan yang terurai di atas yang pada hakekatnya merupakan argumentasi untuk menentukan letak otonomi, maka letak otonomi khusus yang ideal untuk Bali berada di tingkat pemerintah Daerah Propinsi. Dari seluruh uraian dan argumentasi yang dikemukakan di depan , maka substansi otonomi yang diharapkan adalah otonomi khusus dalam bidang – bidang sebagai berikut:

Masalah – masalah yang menjadi kekhususan Otonomi Khusus Bali adalah:

Page 30: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 29

Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Bali

Hak masyarakat adat Bali adalah hak asasi manusia secara berkelompok dari penduduk asli suku Bali yang diakui oleh hukum nasional, dan internasional. Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat Bali dengan berpedoman pada aturan yang berlaku pada umumnya dan Undang – Undang Otonomi Khusus pada khususnya. (catatan : dijabarkan hak-haknya) diatur dalam penjelasan

Hak Asasi Manusia, yang meliputi

a. Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat Bali dibidang sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk hak perempuan dan hak anak sesuai dengan peraturan perundangan.

b. Pelaksanaan hak asasi manusia didasarkan pada prinsip kebebasan, kesetaraan, pembatasan, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

c. Dalam pelaksanaan otonomi khusus Pemerintah Propinsi Bali secara khusus menghormati dan melindungi hak adat masyarakat hukum adat Bali.

Pendidikan yang meliputi

a. Pemerintah Propinsi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan

pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Propinsi Bali dengan memasukkan nilai – nilai kearifan lokal dalam kurikulum.

b. Pemerintah dan pemerintah Propinsi wajib membantu dan memfasilitasi otonomi perguruan tinggi di Propinsi Bali.

c. Setiap penduduk Propinsi Bali berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

d. Dalam mengembangkan dan menyelengagarakan pendidikan, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Propinsi Bali.

e. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.

f. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e, ditetapkan dengan Perdasi.

Kebudayaan, meliputi :

a. Pemerintah Propinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan Bali.

b. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a Pemerintah Propinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

c. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf b disertai dengan pembiayaan.

Page 31: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 30

d. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c ditetapkan dengan Perdasi.

e. Pemerintah Propinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Bali.

f. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.

g. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sebagai kebutuhan.

Keamanan, meliputi

Masalah keamanan merupakan salah satu prasyarat penting dalam dunia pariwisata, oleh karenanya untuk keamanan Bali perlu diatur secara khusus dalam Undang – Undang Otonomi Khusus sebagai berikut: a. Daerah Propinsi Bali memerlukan sistem keamanan yang komprehensif dan

terpadu. b. Dalam rangka mewujudkan sistem keamanan sebagaimana dimaksud pada huruf

a kewenangan utama untuk mengatur dan menjaga adalah Kepolisian daerah Propinsi Bali.

c. Lembaga-lembaga keamanan yang terdapat di daerah seperti pecalang dapat membantu Kepolisian dalam membentuk sistem keamanan yang komprehensif dan terpadu.

d. Pemerintah memberikan dukungan dan memfasilitasi dalam rangka memenuhi sistem keamanan sebagaimana dimaksud pada huruf a

e. Pemerintah Propinsi dapat mengadakan kerjasama dengan pihak luar negeri guna kepentingan sistem keamanan sebagaimana dimaksud pada huruf a

3.2 Kelembagaan

Pemerintahan Propinsi Bali terdiri dari DPRD dan DA (Dewan Adat) sebagai badan legislatif dan Pemerintah Propinsi Bali sebagai badan eksekutif. DA mewakili kepentingan adat, budaya dan agama Hindu, bukan mewakili kepentingan politik, atau kabupaten kota, walau mungkin nanti keanggotaannya diambil dari masing – masing kabupaten/kota dalam jumlah yang sama. 3.2.1 Badan Legislatif

Kekuasaan Legislatif Propinsi Bali dilaksanakan oleh DPRD dan DA. Dengan demikian lembaga legislative terdiri atas dua kamar (bicameral) argumentasi yang dapat diajukan adalah bahwa di dalam realita kehidupan masyarakat Bali, hukum adat masih sangat kuat dan berlaku mengatur perilaku masyarakat Bali. Dengan kata lain disamping diatur oleh hukum nasional, perilaku kehidupan masyarakat Bali juga diatur oleh hukum adat yang dituangkan di dalam peraturan desa adat yang juga disebut dengan istilah “Awig – awig Desa Adat”. Di dalam awig – awig diatur juga tentang sanksi bagi warga desa yang melanggar ketentuan awig – awig. Sanksi adat tidak sama dengan sanksi yang ada di dalam hukum nasional seperti Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

Untuk itu dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Bali perlu ada lembaga yang bertugas untuk membentuk peraturan perundangan tingkat daerah yang berkaitan dengan kekhususan tersebut (Adat,Budaya dan Agama). Untuk kepentingan itulah Majelis Pekraman Agung diberikan kedudukan sebagai salah satu kamar badan legislative Propinsi Bali disamping DPRD, yang bertanggungjawab dalam pembentukan peraturan daerah khusus (Perdasus), sedangkan DPRD bertanggungjawab terhadap pembentukan peraturan daerah propinsi (Perdasi) yang substansinya diluar materi yang menjadi ruanglingkup otonomi khusus Bali.

Page 32: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 31

3.2.1.1 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Bali DPRD Propinsi Bali dibentuk melalui Pemilihan Umum sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. DPRD Propinsi Bali bertugas dan berwenang: a. mengusulkan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada

Presiden Republik Indonesia. b. Menyusun dan menetapkan arah kebijakan pembangunan daerah bersama

Gubernur dan DA sesuai dengan peraturan perundangan c. Membahas dan menetapkan APBD bersama Gubernur dan DA. d. Memberi pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah daerah Propinsi

terhadap kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan daerah. e. Mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan daerah, pelaksanan APBD, dan

pelaksanaan kerjasama internasional. f. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan

pengaduan dari masyarakat Bali. g. Pelaksanaan tugas dan wewenang yang diberikan oleh peraturan

perundangan. Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud diatas akan diatur dalam tata tertib DPRD. Disamping tugas dan wewenang DPRD juga memiliki hak – hak sebagai berikut:

a. mengajukan dan membahas Perdasus dan Perdasi b. mengadakan perubahan atas rancangan Perdasus dan Perdasi c. hak-hak lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan

3.2.1.2 Dewan Adat (DA)

DA merupakan lembaga perwakilan masyarakat adat dan budaya Bali dengan komposisi 1/3 masyarakat budaya dan 2/3 wakil masyarakat adat, dengan masa jabatan anggota DA selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Mengenai susunan keanggotaan, persyaratan dan tata cara pembentukannya diatur dengan Perdasus.

DA berfungsi melindungi budaya dan adat istiadat masyarakat Bali dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus dengan tugas dan wewenang :

a. mengajukan rancangan Perdasus b. memberi persetujuan rancangan perdasus yang berasal dari usul Gubernur

dan atau DPRD c. memberi pertimbangan terhadap rancangan kerjasama internasional yang

diadakan oleh Pemda Propinsi atau Pemerintah. d. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Bali yang berkaitan

dengan Agama Hindu, budaya dan adat. e. Meminta keterangan kepada pemerintah Propinsi, Pemerintah

kabupaten/kota terkait perlindungan talenta kekhususan bali. f. Meminta peninjauan kembali peraturan perundangan daerah yang

merugikan kepentingan masyarakat Bali. g. Mengajukan rancangan anggaran belanja kepada Gubernur

Disamping fungsinya untuk melindungi budaya adat dan budaya Bali, DA memiliki hak

1) mengajukan pertanyaan 2) mengajukan inisatif peraturan daerah khsusus (perdasus) 3) kekebalan 4) keuangan

Page 33: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 32

5) protokoler Sebagai penyeimbang dari fungsi, dan hak, DA juga memiliki kewajiban sebagai berikut

1. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. mengamalkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan budaya dan adat Bali 4. Membina toleransi kehidupan beragama 5. Melindungi, memajukan dan mendorong pemenuhan hak asasi manusia

dan hak asasi kelompok masyarakat Bali.

Mengenai proses legislasi dalam rangka pembentukan Perdasi dan Perdasus diatur lebih lanjut di dalam undang – undang Otonomi Khusus 3.2.2 Badan Eksekutif

Pemerintah Propinsi Bali dipimpin oleh seorang Kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh wakil kepala daerah yang disebut wakil Gubernur. Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam satu kali masa jabatan berikutnya.

Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta keadaan Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan sementara atau tetap diatur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (disesuaikan dengan UU 32 Tahun 2004)

Syarat-syarat umum calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencalonan kepala daerah. Syarat khusus Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah orang Bali yang mengerti, memahami dan melaksanakan adat dan budaya Bali. Calon Independen dapat menjadi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah. Tata cara pengajuan calon independen diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

3.2.3 Badan Yudisial Masyarakat Hindu Bali sebagai warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam realita kehidupannya diatur tidak hanya oleh hukum nasional, akan tetapi diatur juga oleh Hukum Adat yang merupakan pengejawantahan nilai – nilai Agama Hindu. Walaupun norma – norma hukum adat tersebut berdasarkan atas dasar negara Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang – undangan lainnya, ternyata mengandung perbedaan secara substansial dan jenis sanksi yang ditetapkan yang tidak diatur di dalam hukum nasional. Di dalam realita, sering terjadi ketidak puasan masyarakat terhadap putusan hakim dalam memutus sengketa adat, karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berangkat dari fakta sosiologis yang demikian itu, dan misi Otonomi Khusus Bali, maka dipandang perlu adanya lembaga Peradilan Adat, yang kedudukannya di setiap kabupaten/kota dan merupakan salah satu kamar dari pengadilan umum. Mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan para hakim, serta kompetensi absolute pengadilan adat diatur lebih lanjut di dalam undang – undang otonomi khusus 3.3 Struktur Organisasi Pemerintahan

Sebagaimana telah diuraikan diatas, otonomi terletak di Propinsi dan kabupaten / kota merupakan wilayah administratif. Selaian sebagai daerah otonomi Propinsi juga merupakan wilayah administratif yang menjalankan pemerintahan

Page 34: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 33

berdasarkan asas dekonsentrasi dibidang pemerintahan umum. Dalam menjalankan pemerintahan umum Gubernur bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.

Sebagai wilayah administratif kabupaten/kota dipimpin oleh seorang kepala wilayah yang disebut Bupati/Walikota. Bupati / Walikota didampingi seorang wakil yang diangkat oleh Gubernur atas usul Bupati /Walikota. Tugas pokok kepada wilayah adalah mengkoordinis kegiatan cabang-Cabang Dinas Propinsi dan instansi vertikal yang ada diwilayah kabupaten / kota. Bupati / Walikota diangkat oleh Gubernur atas ususl Dewan Kecamatan yang dibentuk untuk keperluan itu. Artinya lembaga tersebut tidak bersifat permanen. Fungsi, syarat-syarat, jumlah Dewan Kecamatan, dll diatur dengan Perdasus.

Dibawah pemerintah administratif kabupaten / kota terdapat pemerintahan administratif kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat. Camat dibantu oleh Sekretaris Kecamatan yang dapat mewakili Camat dalam hal Camat berhalangan sementara.

Camat diangkat oleh Bupati atas ususl Dewan Desa yang terdiri dari unsur Badan Permusyawaratan dan Pemerintahan Desa. Desa dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan fungsi, syarat-syarat, jumlah Dewan Desa, dll diatur dengan Perdasus.

Gubernur dan Bupati masing – masing dapat memberhentikan Bupati dan Camat sebelum habis masa jabatannya dengan alasan melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun lebih atau ternyata tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai Bupati atau Camat.

Dibawah kecamatan terdapat Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Desa dibentuk dengan cara mengukuhkan Desa Pakraman menjadi Desa yang memiliki dua urusan pokok yakni urusan adat budaya dan urusan dinas publik. Dengan demikian secara bertahap dapat diakhiri dualisme desa di bali yang selama ini terdokhotomi atad Desa Adat / Pakraman dan Desa Dinas. Beberapa alasan mendasar mengapa Desa Pakraman dijadikan Desa sebagai unit pemerintahan terbawah yakni :

(1). Paralel dengan semangat otsus yang pada intinya melindungi atau melestarikan nilai-nilai budaya lokal (local genius) yang telah diakui keunikannya tidak saja ditingkat nasional tetapi juga ditingkat international.

(2) Pembanguna pedesaan yang hakikatnya pembangunan masyarakat hukum adat dapat dilaksanakan secara lebih efisien dan lebih tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena bagian pajak, retribusi, pajak pusat, DAU, bantuan pemerintah dapat lebih fokus diarahkan pada pembiayaan kepentingan masyarakat hukum adat.

(3) Menghindari dualisme dibidang kewenangan tertentu seperti kependudukan, peranserta dalam pembangunan, pengawasan sosial, penggunaan SDM, pemanfaatan SDA terutama yang beraspek hak ulayat / tanah Desa Pakraman.

3.4 Pariwisata dan Pendanaan Otsus

Pasal 11 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah menyatakan bahwa bagi hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah pada sektor pajak dan sumber daya alam.

Sebagaimana diketahui Bali tidak memiliki sumber daya alam yang potensial seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua dan lain-lain. Namun Bali memiliki sumber daya jasa dari sektor pariwisata sebagai produk unggulan adat dan budaya Bali yang telah tersohor hingga ke mancanegara. Adat dan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu dan dilandasi falsafah Tri Hita Karana merupakan seperangkat nilai yang dijadikan dasar bagi pengembangan dan pelestarian pariwisata budaya bali. Lebih jauh sektor pariwisata ini telah mampu menjadikan Bali sebagai destinasi

Page 35: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 34

atau tujuan wisata dunia yang menghasilkan “income” lebih dari 32 triliun pertahun atau sekitar 30% dari devisa negara yang memiliki peran sangat penting dalam mengakselerasi perekonomian nasional. Selain itu, kepariwisataan Bali juga mampu memberikan efek ganda (multiplier effect) yang sangat besar terhadap masyarakat lokal dan nasional. Sampai kini, masyarakat Bali yang mempunyai warisan Budaya yang diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia (world cultural heritage) belum mendapat sharing yang adil atau pemanfaatan devisa yang dihasilkan dari kegiatan pariwisata itu. Dalam rangka pemikiran otonomi khusus, “sharing” ini harus nampak jelas demi memenuhi rasa keadilan masyarakat Bali. Sharing sumber daya jasa pariwisata ini nantinya diharapkan berbentuk dana kompensasi yang digunakan khusus untuk pemeliharaan, renovasi, konservasi, pelesatarian sarana, prasarana, sistem, nilai adat dan budaya yang bersifat magis religius. Dengan demikian pendanaan untuk pelestarian kekhususan Bali itu diharapkan tidak saja berasal dari pajak, retribusi, bagi hasil pajak tertentu, DAU, DAK, bantuan lain tetapi juga berupa dana kompensasi yang berasal dari income nasional yang diperoleh dari devisa hasil pariwisata Bali. Bentuk devisa ini dapat dihasilkan dari pajak maskapai-maskapai penerbangan yang rute penerbangannya ke Bali, pajak perusahaan biro perjalanan wisata yang kegiatan usahanya terkait kepariwisataan bali, pajak bandara (airport tax), pajak atas orang asing yang bekerja di sektor pariwisata di Bali, pajak investasi lain selain hotel dan restoran yang bergerak dibidang kepariwisataan Bali, dll.

IV. PENUTUP

Demikian secara garis besar dipaparkan tentang kekhususan Bali berikut

kekhawatiran akan terjadinya degradasi yang berkelanjutan atas kekhususan itu, serta jastifikasi perlunya otonomi khusus untuk mengatasi degradasi itu. Kesemuanya itu diuraikan dalam bentuk naskah akademik yang nantinya akan dijadikan sumber bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bali. Pokok-pokok penjabaran naskah akademik ini lebih lanjut dapat dilihat dalam lampiran berikut.

Page 36: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 35

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A.A.G., 1991. Bali in the 19 th Century. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Ann Seidman, Robert B Seidman, Nalin Abeysekere; 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change, Kluwer Law International, Netherland, USA, Canada)

Astra, I Gde Semadi, 1982. ”Prasasti Sibang Kaja di Kabupaten Badung”. Denpasar, Fakultas Sastra, Unud.

Astra, I Gde Semadi, 1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII – XIII. Sebuah Kajian Epigrafis. Disertasi (belum dipublikasikan) Universits Gajah Mada, Yogyakarta.

Atmaja, Jiwa, 2002. Otonomi Daerah Bali, Kendala dan Harapan, Ikayana& Tabloid Taksu, Denpasar.

Baehr, Peter, dkk; 2001, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Bahar, Safroedin, dkk, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta

Bali Post, 18 September 2005.

Black, H.C.; 1979; Black’s law Dictionary, ST Paul Minn, West Publishing CO

Craig, PP, 1994, Administrative Law, .Sweet & Maxwell, London.

Desentralisasi Gelombang Kedua dari Reformasi Demokratis sebelum berkuasa rezim otoriter (Abdul Azis, David D Arnold; 2003, Desentralisasi Pemerintahan, Pengalaman Negara-Negara Asia, Pondok Edukasi, Bantul)

Dherana, Tjok Raka dan Widnyana, I Made. 1976. “Agama Hindu dan Hukum Pidana Nasional (Makalah).

DPJ United Nations , The United Nations and Human Rights, 1995

Goris, R, 1954, Prasasti Bali, diterjemahkan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya (Fakultas Sastra dan Filsafat Universita Indonesia, Jilid I, Bandung: Masa Nina.

Goris, R, 1954. “Inscripties voor Anak Wungsu”, dalam Prasasti Bali. Jakarta: N.V Masa Baru.

Grader, C.J. 1979, Persubakan di Kerajaan Jembrana, Penyunting Tjok, Raka Dherana, Denpasar, Biro Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.

Griadhi, I Ketut Wirta, dkk. 1992, Eksistensi Subak sebagai Badan Hukum Tradisional, Studi Kasus di D1aerah Irigasi Cengcengan , Sukawatin, Gianyar, Kerjasama Unud dan The Ford Foundation,

Haar, Bzn, B. Ter, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnyaparamita.

Page 37: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 36

Haar, Ter. 1950. Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. JB.Wolters-Groningen, Djakarta, 4e druk.

Hadjon, Philipus M, tth, Analisis Hukum Tata Negara Atas Beberapa Ketentuan UU No.22 Tahun 1999 .

Hanna, W.A., 1976. Bali Profile. People Events Circumtances (1001 – 1976). New York Amercan Universites Field Staff. Reprint, Banda Nair: Rumah Budaya 1990.

Hitchcock, Michael, and Lucy Norris, 1995. Bali the Imaginary Museum. Kualalumpur Oxford University Press, Oxford.

Hobart, Angela, Urs Ramseyers and Albert Leemann, 1996. The Peoples of Bali. Blackwell Publishers Inc, Oxford OX4 1JF, UK.

Institut Hindu Dharma, 1986. Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Denpasar, Proyek Pemerinath Daerah Tingkat I Bali.

Korn, V, E. 1932,Het Adatrecht van Bali, Tweede Herzien Druk, Uitgegeven met Steum Der adatrechtstingting, S. Gravenhage, G. Naeff.

Kristin Samah; 2002, Ryaas Rasyid, Penjaga Hati Nurani Pemerintahan, PUSKAP&MIPI, Jakarta.

Mahkamah Konstitusi, 2006, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Undang – Undang Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

Manan, H Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) UII Jogjakarta.

Osbarne M reynolds, Jr; 1982, handbook of Local Goverment law, St Paul Minn, West Peblishing Co

Parimartha, I Gede, 2004. ”Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman di Bali: Tinjauan Historis Kritis”, dalam I Wayan Ardika dan I Nyoman Darma Putra, 2004. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Fakultas Sastra Unud.

Picard, Michel, 1999. “The Discourse of Kebalian: Transcultural Constructions of Balinese Identity” dalam dalam Raechelle Rubeinstein dan Linda H. Connor, Staying Local in The Global Village. University of Hawai’I Press, Honolulu.

Powell, H, 1930. The Last Paradise. London: Jonathan Cape (reprinted in 1982, Kuala Lumpur: Oxford University Press).

Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata. Yogyakarta: LKiS. Terjemahan Arief B. Prasetyo dari judul asli The Dark Side of Paradise. Political Violence in Bali, 1995. London: Cornel University Press.

Sanderson, Stephen, K, 2000, Makro Sosiologi, Sebuah pendekatan terhadap Realita Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sarundjajang, S.H., 2003, Birokrasi Dalam Otonomi Daerah ,Surya Multi Garfika, Jakarta

Page 38: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 37

Soedjito, S, 1986, Transformasi Sosial menuju Masyarakat Industri, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Soejito, Irawan, 1984, Hubungan Pemerinrtah Pusat Dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta

Sutawan, I Nyoman , dkk, 1989, Laporan akhir pilot proyek Pengembangan Sisterm Irigasi yang menggabungkan beberpa Empelan/ Subak di Kabupaten Tabanan dan Buleleng, kerjasama PU Propinsi Bali dengan Unud.

Syaukani, HR. dkk, 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatan , Pustaka Pelajar, Jogjakarta,

Varma; S.P. 2001, Teori Politik Modern Terjemahan Tohir Efendi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Vickers, Adrian, 1996. Bali a Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.

Wade, Sir William, 1988, Administrative Law, Clarendon Press, Oxford

Widnyana, Made, 1987, “Eksistensi Delik Adat Lokika Sanggraha Dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional”, Orasi Ilmiah dalam rangka Jubelium Perak Universitas Udayana, 1987

Widnyana, Made, 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Bandung, Eresco.

Yuwono, Teguh; 2003. Salah kaprah otonomi daerah di Indonesia, UNDIP, Semarang

Page 39: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 38

Lampiran

POKOK-POKOK PENJABARAN

NASKAH AKADEMIK DALAM SISTEMATIKA RUU OTSUS BALI

Konsideran :

A. Bagian Menimbang Pernyataan Tentang :

a. Tujuan Negara RI untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. UUD. 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

c. Masyarakat Bali memiliki kekhususan dibidang agama, budaya, adat istiadat, pariwisata dan luas wilayah.

d. Masyarakat Bali yang cinta damai bertekad mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RI dengan menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan, kebinekaan, kesetaraan, keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia.

e. Kekhususan Bali selama ini manfaatnya tidak saja dinikmati oleh masyarakat Bali sendiri tetapi juga dinikmati oleh masyarakat propinsi-propinsi lain dan bahkan oleh masyarakat internasional.

f. Pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan selama ini di Propinsi bali belum dapat menjamin sepenuhnya keajegan nilai kekhususan Bali terutama nilai agama, budaya, adat-iatiadat serta belum terwujudnya keadilan dalam alokasi sumber dana pemerintah yang berasal dari kegiatan sektor pariwisata Bali.

g. Pemberian otonomi khusus kepada Bali dapat mempertebal tekad dan semangat masyarakat Bali dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RI serta dapat mengajegkan nilai-nilai kekhususan Bali sehingga tetap bermanfaat bagi Bali, bagi bangsa Indonesia dan bagi masyarakat internasional, diamping dapat terwujudnya keadilan dalam alokasi sumber dana pemerintah yang berasal dari kegiatan sektor pariwisata Bali.

B. Bagian Mengingat Merujuk peraturan perundang-undangan yang ada kaitan dengan otonomi dan otonomi khusus mulai dari UUD 1945, Tap MPR hingga Undang-Undang.

a. Tingkatan UUD. 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A, Pasal 18 B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5),

Pasal 21 ayat (1), Pasal 26 dan Pasal 28.

b. Tingkatan Tap MPR Tap – Tap MPR antara lain tentang :

- Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pemanfaatan sumber daya nasional, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

- Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelengaraan Otonomi Daerah - Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional

Page 40: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 39

c. Tingkatan Undang-Undang - UU. Tentang Pembentukan Propinsi Bali - UU. Tentang Pembentukan Kabupaten / Kota di Propinsi Bali - UU. Tentang Pemerinatahan Daerah - UU. Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah - UU. Tentang Hubungan Luar Negeri - UU. Tentang Perjanjian Internasional - UU. Tentang Hak Asasi Manusia

C. Bagian Diktum - Dengan Persetujuan Bersama DPR dan Presiden RI - Memutuskan :

Menetapkan : Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Bali.

D. Bagian Batang Tubuh

Bab I. Ketentuan Umum

Pengertian Pengertian Tentang :

- Propinsi Bali - Otonomi Khusus - Pemerintahan Pusat - Pemerintahan Daerah Propinsi - Gubernur Propinsi Bali - DPRD Propinsi Bali - Dewan Adat - Lambang Daerah - Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) - Peraturan Daerah Propinsi (Perdasi) - Desa Pakraman - Adat - Masyarakat Adat - Hak Ulayat - Pengadilan Adat - Tri Hita Karana - Kahyangan Tiga - Hak Asasi Manusia

Bab II. Lambang Daerah

- Lambang Daerah mencerminkan kekhususan agama budaya dan adat istiadat masyarakat Bali

- Lambang Daerah tidak merupakan simbol kedaulatan - Lambang Daerah diatur lebih lanjut dengan Perdasus (Peraturan

Daerah Khusus)

Bab III. Kewenangan Daerah

- Propinsi Bali berwenang melaksanakan seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan serta kewenangan lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Page 41: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 40

- Selain itu Propinsi Bali diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-Undang ini.

- Otonomi berada pada Propinsi - Kabupaten / Kota dapat diberi otonomi oleh Propinsi berdasarkan usul

Kabupaten / Kota - Pelaksanaan kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom dan sebagai

Daerah Otonom Khusus diatur lebih lanjut dengan Perdasi dan Perdasus - Perjanjian internasional yang terkait kepentingan bali dilaksanakan

setelah mendapat pertimbangan Gubernur. Dalam memberi pertimbangan itu Gubernur wajib mendengar pandangan DPRD dan pandangan Majelis Pakraman Agung Propinsi Bali. Tata cara pemberian pertimbangan diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

- Propinsi Bali dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan badan luar negeri dengan keputusan bersama sesuai peraturan perundang-undangan. Relevansi kerjasama itu diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Bab IV. Susunan Pemerintahan Daerah

- Pemerintahan Propinsi Bali terdiri dari DPRD dan Dewan Adat sebagai badan legislatif dan Pemerintah Propinsi sebagai badan eksekutif

- Dewan Adat (DA) Propinsi Bali adalah merupakan perwakilan kultural, DA berfungsi melindungi agama Hindu, budaya dan adat istiadat masyarakat Bali dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.

Bab V. DPRD

- DPRD dibentuk melalui Pemilihan Umum sesuai peraturan perundang-undangan

- Tugas dan wewenang : - Mengusulkan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih

kepada Presiden Republik Indonesia. - Menyususn dan menetapkan arah kebijakan pembangunan daerah

bersama Gubernur dan DA sesuai peraturan perundang-undangan. - Membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah bersama-sama dengan Gubernur dan DA. - Menetapkan Perdasus dan Perdasi - Memberi pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah

Propinsi terhadap rencana kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan daerah.

- Mengawasi pelaksanaan Perdasi, Perdasus, Peraturan dan Keputusan Gubernur; pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi Bali; pelaksanaan APBD; pelaksanaan kerjasama internasional.

- Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Propinsi Bali.

- Pelaksanaan tugas dan wewenang lebih jauh diatur dalam tata tertib sesuai peraturan perundang-undangan.

Hak DPRD :

- Mengajukan dan membahas Perdasi dan Perdasus. - Mengadakan perubahan atas rancangan Perdasi dan Perdasus. - Mengadakan perubahan Perdasi dan Perdasus.

Page 42: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 41

- Hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan (lihat lebih jauh peraturan perundang-undangan terkait)

Hak Anggota DPRD ( lihat UU terkait)

Kewajiban DPRD sesuai peraturan perundang-undangan (lebih jauh lihat peraturan terkait).

Bab VI. Dewan Adat (DA)

DA merupakan lembaga perwakilan kultural masyarakat Bali terdiri dari :

Wakil umat agama Hindu 1/3 wakil masyarakat budaya 1/3 wakil masyarakat adat 1/3

- Masa jabatan anggota selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk

satu kali masa jabatan berikutnya. - Susunan keanggotaan, persyaratan dan tata cara pembentukannya

diatur dengan Perdasus. - Tugas dan Wewenang

Mengajukan rancangan Perdasus Memberi persetujuan rancangan Perdasus yang berasal dari usul

Gubernur dan atau DPRD. Memberi pertimbangan terhadap rancangan kerjasama

internasional yang diadakan oleh Pemerintah Propinsi atau Pemerintah .

Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Bali yang berkaitan dengan agama Hindu, budaya dan adat.

Memberi pertimbangan kepada Gubernur, DPRD, Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan agama Hindu, budaya dan adat Bali.

Mengadakan penyelidikan Pernyataan pendapat Meminta keterangan kepada Pemerintah Propinsi, Pemerintah

Kabupaten / Kota terkait perlindungan talenta kekhususan Bali. Talenta kekhususan Bali lebih jauh diatur dengan Perdasus.

Meminta peninjauan kembali Perdasi, Perdasus, Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur dan kebijakan lainnya yang dinilai merugikan kepentingan masyarakat adat Bali.

Mengajukan RAB kepada Gubernur.

- Hak Anggota DA Mengajukan pertanyaan Mengajukan usul inisiatif Perdasus Kekebalan Keuangan Protokoler

- Kewajiban DA : Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Page 43: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 42

Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan

Membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan budaya dan adat Bali

Membina toleransi kehidupan beragama Melindungi, memajukan dan mendorong pemenuhan hak asasi

manusia dan hak asasi kelompok masyarakat adat Bali.

Bab VII. Badan Eksekutif

- Pemerintah propinsi Bali dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif yang disebut Gubernur.

- Gubernur dibantu oleh wakil kepala daerah yang disebut Wakil Gubernur.

- Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung dari pasangan-pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sesuai peraturan perundang-undangan

- Syarat khusus Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang Bali yang beragama Hindu serta isteri / suami juga beragama Hindu.

- Tidak pernah dihukum pidana atau dicabut hak pilihnya kecuali karena lasan-alasan politik

- Syarat-syarat lain sesuai peraturan perundang-undangan - Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur 5 tahun dan dapat dipilih

kembali dalam satu kali jabatan berikutnya. - Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta keadaan

Gubernur dan wakil Gubernur berhalangan sementara atau tetap diatur sesuai peraturan perundang-undangan.

Bab VIII. Proses Legislasi

- Rancangan Perdasi yang datangnya dari Gubernur harus mendapat persetujuan DPRD untuk bisa disyahkan menjadi Perdasi

- Rancangan Perdasi yang datangnya dari DPRD harus mendapat persetujuan Gubernur untuk bisa disyahkan menjadi Perdasi. Rancangan Perdasi yang ditolah Gubernur dapat disyahkan menjadi Perdasi apabila DPRD dalam pembahasan ulang menyetujui dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.

- Rancangan Perdasus yang diajukan oleh Gubernur harus mendapat persetujuan dari DPRD dan DA untuk dapat disyahkan menjadi Perdasus. Rancangan itu meskipun ditolak oleh DPRD dapat disyahkan menjadi Perdasus bila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota DA.

- Rancangan Perdasus yang datangnya dari DPRD harus mendapat persetujuan Gubernur dan DA untuk dapat disyahkan menjadi Perdasus. Rancangan itu walaupun ditolak oleh Gubernur dapat disyahkan menjadi Perdasus asalkan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota DA.

- Rancangan Perdasus yang datangnya dari DA untuk dapat disyahkan menjadi Perdasus harus mendapat persetujuan dari DPRD dan Gubernur. Rancangan itu meski ditolak oleh DPRD dan Gubernur dapat disyahkan menjadi Perdasus asalkan disetujui kembali oleh sekurang-kurangnya ¾ jumlah anggota DA. Rancangan itu meski

Page 44: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 43

ditolak oleh Gubernur dapat disyahkan menjadi Perdasus asalkan disetujui kembali oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DA. Rancangan itu meski ditolak oleh DPRD dapat disyahkan menjadi Perdasus asalkan disetujui kembali oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah DA.

- Proses pembuatan Perdasi dan Perdasus lebih jauh diatur dengan tata tertib DPRD dan DA berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bab IX. Sumber Keuangan Daerah

- PBB 90% - Bea perolehan hak atas tanah / bangunan 80% - Kehutanan 80% - Perikanan 80% - Pertambangan umum 80% - Pertambangan panas bumi 80% - Pajak Hotel, restaurant, kendaraan bermotor, dll 100% - DAU - DAK - Bantuan luar negeri dengan memberitahukan pemerintah - Pinjaman luar negeri atas persetujuan DPRD, DA dan Pemerintah. - Pinjaman dalam negeri atas persetujuan DPRD dan DA - Lain-lain yang syah

Bab X. Perekonomian Bali

- Pariwisata, pertanian dan industri adalah tulang punggung perekonomian propinsi Bali

- Usaha-usaha perekonomian di bidang-bidang tersebut dan di bidang lainnya, menghormati agama, budaya dan adat masyarakat Bali serta menjamin kelestarian lingkungan berlandaskan pada prinsip Tri Hita Karana.

- Pembangunan perekonomian Bali yang berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberi keseDAtan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat seteDAt.

- Penanaman modal wajib mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat seteDAt.

- Perundingan yang dilakukan pemerintah Propinsi dan penanam modal wajib melibatkan masyarakat adat seteDAt.

Bab XI. Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Bali

- Hak masyarakat Adat Bali adalah hak asasi manusia secara berkelompok dari penduduk asli suku Bali yang diakui oleh hukum internasional dan hukum nasional

- Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarkat adat dengan berpedoman pada praturan hukum yang berlaku.

- Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat.

Page 45: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 44

- Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun wajib melalui musyawarah dengan masyarkat hukum adat seteDAt dan / atau warga masyarakat adat seteDAt untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan dan besarnya ganti rugi atau imbalannya.

- Bagian tertentu dari hak ulayat masyarakat hukum adat dan bagian tertentu dari hak adat warga masyarakat hukum adat tidak dapat dipindahtangankan kepada orang yang tidak beragama Hindu.

- Bagian tertentu dari hak perorangan warga masyarakat hukum adat tidak dapat dipindahtangankan kepada orang yang tidak beragama Hindu.

- Hak adat dan hak perorangan yang tidak dapat dipindahtangankan diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Bab XII. Hak Asasi Manusia

- Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat Bali dibidang hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk hak perempuan dan hak anak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

- Pelaksanaan hak asasi manusia didasarkan pada prinsip kebebasan, kesetaraan, pembatasan, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

- Dalam pelaksnaan otonomi khusus Pemerintah Propinsi Bali secara khusus menghormati dan melindungi hak adat masyarakat hukum adat Bali.

Bab XIII. Pengadilan

- Kekuasaan kehakiman di Propinsi Bali selain dilaksanakan oleh Badan Pradilan menurut peraturan perundang-undangan juga dilaksnakan oleh sebuah Pengadilan Adat.

- Pengadilan Adat adalah peradilan perdamaian yang memutus sengketa hukum adat dan hukum pidana adat berdasarkan hukum adat yang tidak bertentangan dengan nilai Pancasila, UUD 1945 dan nilai HAM.

- Pengadilan adat berkedudukan disetiap kabupaten / kota yang merupakan salah satu kamar Pengadilan Negeri.

- Putusan Pengadilan Adat hanya bisa dibanding pada Pengadilan Tinggi.

- Putusan banding Pengadilan Tinggi bersifat final - Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana

penjara atau kurungan. - Hukuman pidana adat berupa hukuman adat dan /atau hukuman

denda pada pelaku tindak pidana pelecehan, penghinaan, pengrusakan, pencurian, pemusnahan benda, teDAt atau orang yang dianggap suci menurut agama Hindu.

- Hukuman denda pada tindak pidana adat tersebut setinggi-tingginya Rp. 500.000.000,- rupiah.

- Bila terhukum tidak sanggup melaksanakan hukuman adat dan / atau hukuman denda sebagian atau seluruhnya perkaranya diserahkan kepada Pengadilan Umum

Page 46: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG · PDF fileNaskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali PANSUS OTSUS DPRD BALI Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

PANSUS OTSUS DPRD BALI 45

- Pengadilan Umum dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut wajib mempertimbangkan perkara tersebut sebagai tindak pidana kejahatan terhadap agama Hindu yang mengandung unsur pemberatan.

- Susunan organisasi, persyaratan sebagai hakim, ruang lingkup kewenangan, keuangan, hukum acara dan lain-lain diatur lebih jauh dengan Perdasus.

Bab XIV. Lain – Lain Yang Dianggap Perlu

Bab XV. Peralihan

Bab XVI. Penutup