NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH ...
Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH ...
1
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
TENTANGPERLINDUNGAN BENDEGA
KERJASAMA
DINAS PETERNAKAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
KABUPATEN BADUNG DENGAN
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2016
2
MASYARAKATUNIVERSITAS UDAYANA
KATA PENGANTAR
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Udayana dan Pemerintah Kabupaten Badung
mengadakan kerjasama untuk pembuatan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Perlindungan Bendega beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan
Daerah. Oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
masyarakat Universitas Udayana, yang kemudian membentuk
Tim Peneliti yang bertugas melakukan penelitian hukum dan
menuangkannya dalam bentuk Naskah Akademik.
Naskah Akademik ini sebagai karya penelitian hukum ‒ tidak
menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari
pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi
publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam
penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Perlindungan
Bendega.
Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Udayana dan Pemerintah Kota Denpasar, sehingga Tim Peneliti
mempunyai kesempatan mengembangkan bidang keilmuannya.
Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti atas dedikasi dan
integritasnya sehingga tugas ini dapat diselesaikan.
Denpasar, November 2016
Tim Peneliti
3
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
TENTANGPERLINDUNGAN BENDEGA
KERJASAMA
DINAS PETERNAKAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
KABUPATEN BADUNG DENGAN
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2016
4
TIM PENELITI
1.
2.
Prof Dr. Ketut Rai Setyabudhi, SH.MS
Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH
3. AA Istri Ari Atu Dewi.,SH.,MH
4. Prof.Dr I Wayan Ardika.,MA.
5
6
DAFTAR ISI
Kata Pengantar >> i
Daftar Isi >> ii Daftar Tabel >> iv
BAB I. PENDAHULUAN >>> 1 A. Latar Belakang >>> 1
B. Identifikasi Masalah >>> 7 C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan
Naskah Akademik
>>> 8
D. Metode Penelitian >>> 9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK
EMPIRIS
>>> 15
A. Kajian Teoritis >>> 15
B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
>>> 21
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan
>>> 30
D. Kajian Terhadap Implikasi
Penerapan Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban
Keuangan Daerah
>>> 31
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>> 32 A. Kondisi Hukum Yang Ada dan
Statusnya >>> 32
B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-
undangan Yang Lain
>>> 35
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
>>> 42
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
>>> 52
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 52
B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>> 54 BAB VI PENUTUP >>>56
A. SIMPULAN >>>56 B. SARAN >>>60
DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN
7
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten tentang
Perlindungan Bendega
2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Perlindungan Bendega.
8
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Jumlah Armada Nelayan ………………………………….. 6
Tabel 2: Kedudukan Fungsi dan Sifat lembaga Adat……………. 20
Tabel 3: Perbedaan Asas dan Norma.................................... 23
Tabel 4: Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5
UU 12/2011 dan Penjelasannya)……………………….
26
Tabel 5 : Asas Pemb Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6
yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
27
Tabel 6 : Urusan Pemerintahan Konkuren Yang Menjadi Kewenangan Daerah ....................................................
38
Tabel 7 : Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan… 39
Tabel 8 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain ………………………………………………………..
40
Tabel 9 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011……………………………………………………….
43
Tabel 10: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan………………………..
47
Tabel 11: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
48
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri
serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada
berbagai tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium
ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu
pada perdagangan bebas dan kemajuan IPTEK. Dalam rangka,
menjawab tantangan dan pemanfaatan peluang tersebut,
diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan
teknologi, produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan
kontribusi yang signifikan dari setiap sector pembangunan.Bidang
kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata
bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut,
bangunan kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan dalam
menjawab tantangan dan peluang tersebut.
Kabupaten Badung dengan pembagian wilayah dataran
rendah, laut dan dataran tinggi. Terkait dengan perwilayahan
berdasarkan konsep Tri Hita Karana yang terdiri atas pelemahan,
pawongan dan parahyangan. Dikaitkan dengan konsep hindu
dalam kaitannya dengan wilayah laut terdiri atas :
- Unsur parahyangan Pura Segara
- Unsur Palemahan Pantai
2
- Unsur Pawongan Nelayan / Bendega1
Struktur masyarakat Balidengan falsafah Tri Hita Karana, dimana
organisasi nelayan bali sebagai secara social budaya dan religius
disebut Bendege yang memiliki parahyangan (pura segara)
pawongan (krame bendega) dan palemahan (laut/tempat mencari
nafkah) maka bendega ini perlu diperjuangkan unutk
mendapatkan hak secara legal berupa peraturan Daerah seperti
organisasi social budaya lainnya yang ada di Bali yaitu organisasi
Subak dan Desa Pakraman, sehingga keberadaan 3 (tiga) lembaga
adat di Bali dapat terwujud secara utuh yaitu subak, desa adat
dan bendega sesuai pula dengan konsep falsafah hindu disebut
segara gunung.
Pemahaman akan peranan dan fungsi bendega dalam
melakukan pemberdayaan sangat penting baik berdasarkan
konsep hindu maupun dalam konteks hukum nasional.
Perlindungan Bendega yang merupakan sektor perikanan,
pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim,
perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan,
merupakan hal yang sangat perlu untuk dilakukan perlindungan
dan pemberdayaan.
Mengenai otonomi dan tugas pembantuan ditentukan dalam
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah provinsi,
1 Nengah Manumudhita, 2014, Makalah : Revitalisasi Krama Beendega
Sebagai Penyangga Budaya Pesisir Di Bali Yang terabaikan Dalam Lingkup Kehidupan Dengan Lembaga Adat Yang Lain ( Desa Adat san subat), Ketua DPD
HNSI Prov Bali h.3-5
3
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5)
UUD 1945). Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587). Undang-Undang No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah merupakan dasar hukum
pembentukan peraturan daerah. Pasal 236 menentukan:
Pasal 236 (1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan
TugasPembantuan, Daerah membentuk Perda. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. (3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
materi muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pmentukan Produk Hukum Daerah ( Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 No 2036. Dalam Pasal Produk
hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mengatur
Produk hukum daerah berbentuk peraturan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri atas :
a. perda;
b. perkada; c. PB KDH; dan
d. peraturan DPRD f. perdagangan;
g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Bendega didasarkan pada Pasal 12 ayat (3) Undang-
Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adapun
urusan yang dimaksud adalah :
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian;
d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral.
Dalam kaitannya dengan pemahaman dasar kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal dengan
dasar kewenangan atribusi dan delegasi. Pemahaman dasar terkait
dengan atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan
dibedakan antara lain :
5
1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU ( dalam arti
formal ) memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan tanggung jawab sendiri (mandiri)
wewenang membuat / membentuk peraturan perundang-undangan.
2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai
wewenang atributif ( wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan) menyerahkan kepada
badan lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-undangan atas tanggung jawab sendiri.2
pembentukan peraturan daerah tentang perlindungan bendega
dengan pengkajian terhadap ketentuan pada Pasal 236 ayat (3)
dan ayat (4). Pada ayat (3)
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengaturan dalam ayat (3) menunjukkan bahwa dalam
pembentukan peraturan daerah didasarkan pada otonomi daerah
dan tugas pembantuan pemahaman otonomi daerah adalah
memberikan pemahaman berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemahaman tersebut
2 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum
Tata Negara Indonesia, Alumni Bndung, h.209-210
6
menunjukkan bahwa terdapat dasar kewenangan perlindungan
bendega. Pada ayat (4)
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan dalam ayat (4) terkait dengan materi muatan
didasarkan pada materi muatan lokal dengan tetap didasarkan
pada adanya batas pengaturan. Penyusunan rancangan peraturan
tentang perlindungan bendega pada prinsipnya didasarkam pada
adanya muatan local terkait dengan perlindungan bendega yang
dalam pemahaman bendega adalah muatan lokal yang ada di Bali.
Di Kabupaten Badung jumlah armada yang dimiliki oleh
nelayan ikan laut adalah perahu tanpa motor terdapat 1021 buah,
perahun motor temple 1473 buah dan 22 kapal motor. Produksi
ikan laut pada tahun 2014 sebesar 615987 ton atau meningkat
1.06 % dari tahun sebelumnya yang hanya 609497 ton. Data
terkait dengan banyaknya nelayan di Kabupaten Badung
Tabel 1 : Jumlah Armada Nelayan
Tahun Nelayan
Penuh
Sambilan Jumlah
Utama Tambahan
2001 605 789 545 1948
2002 589 811 196 1596
2003 589 811 274 1674
2004 659 783 321 1763
2005 1150 712 461 2323
2006 1063 796 556 2415
7
2007 1295 626 466 2387
2008 560 739 311 1610
2009 864 950 505 2319
2010 434 809 526 1769
2011 475 753 541 1769
2012 362 428 220 1010
2013 338 440 232 1010
2014 404 650 308 1362
2015 394 420 586 1400
Sumber Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung
Adanya dasar pendelegasian kewenangan dalam
pembentukan Peraturan daerah tentang Perlindungan Bendega
dalam Pasal 236 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga perlu
diadakan penelitian hukum dalam rangka pembentukan peraturan
daerah, yang hasilnya dituangkan dalam Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Perlindungan Bendega.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Isu hukum dari penelitian atau penyusunan Naskah
Akademik ini adalah rencana pengaturan tentang Perlindungan
Bendega yang tiidak memiliki landasan hukum dan sebagai dasar
hukum pengaturan terkait dengan Perlindungan Bendega.
8
Berdasarkan isu hukum tersebut terdapat 4 (empat) pokok
masalah yang memandu penelitian hukum atau penyusunan
Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dengan adanya dalam
kaitannya dengan Perlindungan Bendega dan bagaimana
tersebut dapat diatasi?
2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
pemecahan masalah ?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah tersebut?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan dan arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah tersebut?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung tentang Perlindungan Bendega.
9
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Badung tentang Perlindungan Bendega.
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Perlindungan Bendega.
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Perlindungan
Bendega.
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah
Akademik digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian
hukum.3
D.1 Jenis Penelitian.
Dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis
penelitian yaitu : 4
3 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum
Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, h. 177-178. 4 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia
Indonesia Jakarta, 1985, h. 9.
10
a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian
doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan
dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitatif.
b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris, mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang
lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris.
Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian
ini, maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan
penelitian hukum normative. Dalam beberapa kajian jenis
penelitian seperti ini juga disebut dengan penelitian dogmatik.5
Dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan
hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer ( primary sources or authorities ) bahan-
bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan
bahan hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan
hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan,
bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa makalah, buku-
buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier berupa
kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.
D.2. MetodePendekatan.
Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode
pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute
5 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta )
Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan
Bandung, h. 109-110.
11
approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan
analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan (
comparative approach ), pendekatan histories ( historical approach
), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan
kasus ( case approach).6 Dalam penelitian ini digunakan beberapa
cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (
statute approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan
pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ),
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang
bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan dalam UU
Pemda.
Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach )
dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai
pendelegasian kewenangan sesuai dengan penelitian ini.7
Disamping itu digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan
penrapan hukum dalam suatu waktu yang tertentu.
D.3. Sumber Bahan Hukum.
6 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset, h. 93-137. 7 Ibid, h. 19.
12
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.8 Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini
adalah Undang-Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan
terkait, serta peraturan perundang-undangan yang lain yang
terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada
peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan
hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, termasuk di
dalamnya kamus dan ensiklopedia.Selain itu akan digunakan data
penunjang, yakni berupa informasi dari lembaga atau pejabat di
lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi,
yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang
relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum
tersier.Untuk mendukung bahan hukum tersebut dilakukan
8 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada
Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, h. 134.
13
wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait
dengan Perlindungan Bendega.
1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang
dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi,
interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus
M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup
isi maupun struktur hukum positif.9 Pada tahap deskripsi ini
dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan
hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.10 Lebih
lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :
The relation berween a given formulation and specific complex
of facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward discovering the meaning of the
statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.11 ( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep
yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan
kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain )
9 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif )
dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember h. 33. 10 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-
rouz, h. 16. 11 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press,
Barkely & Los Angeles, h. 111.
14
Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I
Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat
dibedakan menjadi :12
1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran
ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan (
biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini mengikat umum ;
2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang
ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ;
3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan
buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan,
secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I
Dewa Gede Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan
hukum yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik,
penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum.Penafsiran
otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang
didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk
undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan
perundang-undangan yang lain.Sedangkan penafsiran Gramatikal
dalam kajian makna atau arti aturan hukum, khususnya aturan
hukum yang berkaitan dengan Perlindungan Bendega
12 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada
FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II ), h. 14 .
15
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Dalam kaitannya dengan Perlindungan Bendega ada 2
konsep yang harus dipahami antara lain konsep pemberdayaan
dan konsep nelayan:
1. Konsep Pelindungan
Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia,
"perlindungan" adalah
1. tempat berlindung" (bersinonim dengan pertahanan).
2. hal, perbuatan memperlindungi" (bersinonim dengan
konservasi, penjagaan), sedangkan "pelindungan" antara
lain :
a. proses, cara, perbuatan melindungi" (bersinonim
dengan proteksi, pengamanan),
b. arkais jamban"; kedua-duanya sama-sama kelas
nomina, yang secara sekilas bedanya sedikit. Mungkin
Ivan kalau membaca halaman ini dapat melengkapi,
namun berikut ini yang saya anggap tepat:
16
Unsur dalam kata Perlindungan
1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak,
menjaga, memelihara, merawat, menyelamatkan.
2. Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat
berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi
(menjadikan atau menyebabkan berlindung).
3. Pelindung: orang yang melindungi , alat untuk
melindungi.
4. Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak
kelihatan.
5. Lindungan : yang dilindungi, cak tempat berlindung,
cak perbuatan.
6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan
berlindung.
7. Melindungkan: membuat diri terlindungi
Perlindungan dalaam hukum
Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman,
baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari
ancaman, gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun
yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas
pemeriksaan di sidang pengadilan. Aturan hukum tidak hanya
untuk kepentingan jangka pendek saja,akan tetapi harus
berdasarkan kepentingan jangka panjang. Pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
17
merangkum nilai-nilai sosial. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam
bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran
dari fungsi hukum. yaitu konsep dimana hukum dapat
memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian. Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah
penting, dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan
dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan
dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada
hakekatnya mentaati imperatif yang terkandung sebagai subtansi
maknawi didalamnya imferatif. Hak-hak asasi warga harus
dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara
dimanapun dan kapanpun, ataupun juga ketika warga
menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk
mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Negara
hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi rakyat dalam hal ini adalah bendega yang dilandasi
dua prinsip negara hukum, yaitu :
1. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum
kepada rakyat yang di berikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya
18
sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang
menjadi definitife.
2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan
bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia
serta berlandaskan pada prinsip negara hukum dalam hal ini
kepada bendega .
2.Konsep Bendega
Kehidupan masyarakat di Bali dengan falsafah Tri Hita
Karana yang terdiri atas parahyangan, palemahan dan pawongan
.Disamping falsafah Tri Hita Karana tersebut untuk mejaga
kelestarian manusia Bali agar dapat hidup damai sejahtera sesuai
dengan Sad Kerti, antara lain :
1. Atma Kerti, upaya untuk pelestarian segala usaha unutk
menyucikan Sang Hyang Atma dari belenggu Tri Guna
2. Samudra Kerti, upaya unutk menjaga kelestarian
samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang
sangat kompleks dalam kehidupan umat manusia.
3. Wana Kerti, upaya untuk melestarikan hutan.
19
4. Danu Kerti, upaya untuk menjaga kelestarian sumber-
sumber air tawar di daratan seperti mata air, danau,
sungai dan lain-lain.
5. Jagat Kerti, upaya untuk menjaga kelestarianhubungan
social yang dinamis dan produktif berdasarkan
kebenaran
6. Jana Kerti, upaya agar manusia berkualitas secara
individu.13
Organisasi nelayan bali sebagai secara social budaya dan religius
disebut Bendege yang memiliki parahyangan (pura segara)
pawongan (krame bendega) dan palemahan (laut/tempat mencari
nafkah) maka bendega ini perlu diperjuangkan untuk
mendapatkan hak secara legal berupa peraturan daerah seperti
organisasi social budaya lainnya yang ada di Bali yaitu organisasi
Subak dan Desa Pakraman, sehingga keberadaan 3 (tiga) lembaga
adat di Bali dapat terwujud secara utuh yaitu subak, desa adat
dan bendega sesuai pula dengan konsep falsafah hindu disebut
segara gunung. Konsep segara gunung belum dipahami secara
mendalam, pemahaman konsep tersebut perlu dipahami dengan
baik. Pemahaman terkait dengan nelayan hanya sebatas
mengartikan dalam arti sebagai kelompok masyarakat pencari
ikan, sesungguhnya kearifan local yang ada di pantai dan sudah
13I Nengah Manumudita dalam DPD HNSI Provinsi Bali, 2015, Laporan
Perjuanagan Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) Provinsi Bali, h.8.
20
ada yang menjalani kehidupan dari jaman dahulu kala yang
disebut dengan bendega. Menurut kebyakan orang bendega atau
nelayan adalah sama, padahal sesungguhnya memiliki arti yang
sangat berbeda. Perbedaan tersebut adalah :
Nelayan : kelompok masyarakat yang ada di pesisir yang
melaksanakan kegiatan ekonoi untuk menopang
kehidupannya.
Bendega : kelompok masyarakat yang ada di pesisir yang
melaksanakan kegiatan ekonomi, social, budaya
dan regilius.14
Dalam kaitannya dengan kedudukan, fungsi dan sifat lembaga
adat yang ada di Bali sebagaimana dalam tabel di bawah ini15 :
Tabel 2 : Kedudukan Fungsi dan Sifat lembaga Adat
Lembaga Adat
Kedudukan
Fungsi Sifat Sejarah terbentu
knya
Desa Adat
Di wilayah
desa adat
Membina dan mengembangkan
nilai-nilai adat Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan
budaya nasional dan budaya bali
Sosial religius
Penyatuan catur
warna
Subak Di
wilayah subak ( sawah
dan
Membina dan
mengembangkan kegiatan karma subak di bidang
pertanian dalam
Sosial
ekonomi religius dan sangat
tergantung
Kesamaa
n kepentingan
memanf
14 I Nengah Manumudita dalam DPD HNSI Provinsi Bali, 2015, Laporan
Perjuanagan Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) Provinsi Bali,h.1-2.
15 ibid h. 5
21
tegalan) rangka pemenuhan kebutuhan pangan
pada alam aatkan sumber
daya alam dalam
kebutuhan
pokok untuk
hidup
Bendega Di wilyah pantai
/segara
Membina dan mengembangkan kegiatan karma
bendega dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pangan (ikan)
Sosial ekonomi religius dan
sangat tergantung
pada alam
Kesamaan kepentin
gan memanf
aatkan sumber
daya alam dalam
emmenuhi
kebutuhan
pokok untuk hidup
Sumber : I Nengah Manumudita dalam DPD HNSI Provinsi Bali,
2015, Laporan Perjuanagan Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) Provinsi Bali
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT
DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sangat penting untuk diperhatikan agar
dapat memahami ruang lingkup dan tujuan pembentukan
.peraturan perundang-undangan
22
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undanganyang baik. Ron Jue mengemukakan asas-asa hukum
adalah nilai yang melandasi kaedah hukum.16 Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum
bukan peraturan ( een rechtsbeginselen is niet een rechtregel).
Namun tidak ada hukum bisa dipahami tanpa mengetahui asas-
asas hukum yang melandasai (het recht is niet te begrijpen zonder
die beginselen). Pemahaman tersebut menunjukkan untuk
memahami hukum tidak hanya melihat pada aturannya tetapi
juga harus memahami asas-asas yang melandasi. Asas-asas
hukum harus tampak sebagai pengarah dalam pembentukan dan
penegakan hukum. J.J.H. Bruggink memberikan batasan tentang
asas hukum yaitu sejenis meta-kaidah berkenaan dengan kaidah-
kaidah perilaku. Asas hukum berfungsi sebagai fondasi dari
sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem
hukum positif.17
Sarjana lain yang memberikan definisi tentang asas hukum
adalah Paul Scholten, menurutnya asas adalah pikira-pikiran
dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang berkenaan dengannya
16 B Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya bakti,
Bndung, h. 121. 17 J.J.H. Bruggink, yang disunting oleh Arief Sidarta, 1996, Refleksi
Tentang Hukum, Citra Adytia Bhakti, Bandung, h. 123-133. 17 Ibid, hal. 119-120.
23
ketentuan-ketentuan dan keputusan-kepuusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya.18 Perbedaan asas dengan
norma oleh J.J.H. Bruggink, sebagai berikut :19
Tabel : 3. Perbedaan Asas dan Norma.
Asas Norma
1. Bersifat umum yang
berarti bahwa asas hukum memiliki wilayah penerapan yang lebih luas
dibandingkan dengan norma.
1. Bersifat Khusus yang berarti
timbul dari aturan hukum yang
dirumuskan lebih kongkrit dan
memberikan pedoman yang lebih
jelas bagi perbuatannya.
2. Daya kerjanya tidak
langsung tetapi melalui
interpretasi hukum
2. Aturan hukum memiliki isi yang
jauh lebih kongkrit, yang
menyebabkan aturan dalam
penemuan hukum dapat
diterapkan secara langsung.
3. Tidak dapat kehilangan
keberlakuan
3. Dapat kehilangan keberlakuan
karena bersandar pada
kewibawaan pengemban hukum
4. Tidak mempunyai sifat
tidak semua atau tidak
sama sekali (alles of niet )
4. Mempunyai sifat semua atau
tidak sama sekali
A.Hamid S.Attamimi membagi asas pembentukan perundang-
undangan atas dua macam yaitu asas formal dan asas materiil :
a. Asas formal terdiri dari :
(1). asas tujuan yang jelas;
(2). asas perlunya pengaturan; (3). asas organ / lembaga yang tepat;
18 Ibid, h. 123-127.
24
(4). asas materi muatan yang tepat;
(5). asas dapatnya dilaksanakan; dan (6). asas dapat dikenali.
a. Asas materiil terdiri dari :
(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan fundamental negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara; (3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasarkan
Atas Hukum; dan (4) asas sesuai denagan prinsip-prinsip pemerintahan yang
Berdasarkan Sistem Konstitusi.20
Kategori asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang patut dari A.Hamid S.Attamimi tersebut bertitik tolak pada
pendapat Van der Vlies. Kategori dari Van der Vlies sebagaimana
diterangkan oleh A.Hamid S.Attamimi meliputi asas-asas formal
dan asas-asas materiil :
1. Asas-asas formal yang meliputi : asas tujuan yang jelas,
asas organ / lembaga yang tepat, asas perlunya
pengaturan, asas dapat dilaksanakan dan asas
consensus.
2. Asas material yang meliputi : asas tentang terminologi dan sistematika yang benar, asas tentang dapat dikenali,
asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.21
Pengaturan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mengatur bahwa, dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas-asas
20 Attamimi, A.Hamid.S. 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI h. 345-346. 21 Ibid , h. 330-343.
25
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
meliputi :
a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan. Pengaturan dalam Pasal 6 (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengatur :
(1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur
bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman; b. kemanusiaan;
c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, asas yang bersifat formal pengertiannya dapat dikemukakan
dalam tabel berikut.
26
Tabel 4 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan
Penjelasannya)
Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011
Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan
bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang
tepat
bahwa setiap jenis PPu harus dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan
bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu.
d. dapat
dilaksanakan
bahwa setiap Pembentukan PPu harus
memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
e. kedayagunaan dan
kehasilgunaan
bahwa setiap PPu dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
f. kejelasan
rumusan
bahwa setiap PPu harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan PPu, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
27
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan PPu.
Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan
Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut.
Tabel 5 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU
12/2011
Ayat (1) Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. Pengayoman
bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan (PPu) harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan
hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Kebangsaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan
28
Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan
bahwa setiap Materi Muatan PPu
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan PPu yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g. Keadilan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara.
h. Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan
Pemerintahan
bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan
Kepastian Hukum
bahwa setiap Materi Muatan PPu
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan
Keselarasan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
PPu tertentu dapat berisi
antara lain:
a. dalam Hukum Pidana,
29
asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum
perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik.
Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan
Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator
dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang
berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak
bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum. Berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan
Petambak Garam mengtur tentang asas:
a. kedaulatan; b. kemandirian;
c. kebermanfaatan; d. kebersamaan;
e. keterpaduan; f. keterbukaan; g. efisiensi-berkeadilan;
h. keberlanjutan; i. kesejahteraan;
j. kearifan lokal; dan k. kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penyusunan Raperda Kabupaten Badung didasarkan pada asas-
asas tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun
30
asas yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
C.KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI
YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
MASYARAKAT
Pemerintah Kabupaten Badung sangat menyadari bahwa
otonomi daerah dilaksanakan untuk mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat utamanya dalam penyelenggaraan
Perlindungan Bendega yang berkualitas termasuk memberi ruang
kepada masyarakat untuk mengatur dan memberikan kepastian
hukum berkaitan dengann
a. pembiayaan dan permodalan;
b. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang
perikanan;
c. penumbuhkembangan kelompok bendega;
d. pelaksanaan penangkapan ikan oleh Nelayan Kecil dan
pembudidayaan ikan oleh Pembudidaya Ikan-Kecil; dan
e. Kemitraan
Dalam kaitannya dengan Perlindungan Bendega memang
harus terus menerus melakukan upaya untuk membangun
kepercayaan masyarakat terhadap Perlindungan Bendega yang
diselenggarakannya agar seiring dengan tuntutan dan harapan
masyarakat terhadap peningkatan Perlindungan Bendega. Dalam
arti adanya upaya Perlindungan Bendega dapat dilakukan melalui
penyediaan perangkat hukum dengan asas-asas umum
31
pemerintahan dan korporasi yang baik dalma upaya peningkatan
kesejahteraan bendega.
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN
MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN
KEUANGAN DAERAH.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Badung
tentang Perlindungan Bendega merupakan sarana untuk menjaga
agar terlaksananya :
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,
tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak
yang terkait dengan Perlindungan Bendega;
b. terwujudnya sistem Perlindungan Bendega yang layak
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi
yang baik;
c. terpenuhinya penyelenggaraan Perlindungan Bendega sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Bendega
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Perlindungan Bendega membawa implikasi pada aspek keuangan
daerah, sehingga sangat diperlukan adanya pengaturan sebagai
dasar penyelenggaraan Perlindungan Bendega Kabupaten Badung
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
32
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR
HUKUM DAN YANG TERKAIT
A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA
Kedudukan hukum menurut filosofi, dan teori hukum yang
tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, dalam hubungannya dengan
perlakuan adil kepada pelaku ekonomi, baik terhadap pelaku
modern maupun tradisional, melalui Perlindungan Bendega
dalam negara Indonesia yang sedang melakukan mbangunan
diharapkan terjadi pemerataan kesempatan social konomi di
samping pemerataan hak fundamental (HAM), dan tidak ada
terjadi ketimpangan dalam perkembangan sosial. Hal itu didasari
pemikiran bahwa setiap orang memiliki hak yang sama sejauh
dapat dicakup dalam sistem kesamaan kemerdekaan fundamental
sesama warga lain. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata
sedemikian rupa sehingga terjadi keadaan, paling menguntungkan
bagi yang tertinggal, dengan mekanisme kebijakan hukum yang
memberikan kesempatan secara fair.22 Menurut Rawls, untuk
menciptakan keadilan dalam mensejahterakan rakyat, hendaknya
pemerintah sebagai pemeran utama mengimplementasikan dua
22 John Rawls, 1955, Two Concept of Rules” Philosophical Review, h.32.
33
konsep, yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama
atas kebebasan dasar bagi setiap orang walaupun dalam situasi
ketidaksamaan. Peraturan hukum diterapkan sedemikian rupa
sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah, di samping pengaturan yang menghargai kebebasan yang
sama bagi setiap orang atas hak fundamentalnya. Hal ini terjadi
kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi masyarakat harus
sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi
yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua,
Pemerintah mampu dapat pula ditemukan dalam an Habernas,
Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis.
Pemerintah Kabupaten Badung belum memiliki dasar
hukum dalam melakukan Perlindungan Bendega sehingga
pemerintah daerah perlu mengambil langkah pengaturan terkait
dengan Perlindungan Bendega yang memiliki hak memperoleh
perlakuan ikut mewujudkan visi pembangunan dalam
menciptakan masyarakat yang sejahtera. Penciptaan masyarakat
sejahtera merupakan prinsip negara kesejahteraan (welfare state)
yang mengandung arti bahwa negara menjamin kesejahteraan
bagi masyarakat,
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Perlindungan Bendega adalah:
1. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945;
34
2. Pasal 33 UUD NRI 1945;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 443).
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudi
Daya Ikan dan Petambak Garam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Bendega dan Pembudidaya Ikan Kecil
(Lembaran Negara RI Tahun 2015 Nomor 166,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5719 ).
35
8. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Badung
(Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2008
Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Nomor 4).
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG LAIN
Dalam sistem negara hukum modern, kekuasaan negara
dibagi dan dipisah-pisahkan antara cabang-cabang kekuasaan
legislative, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan untuk membuat
aturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan berasal dari
rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi negara
di lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat misalnya
kekuasaan membentuk undang-undang merupakan kekuasaan
negara yang dipegang oleh badan legislatif. Sedangkan cabang
kekuasaan pemerintahan negara sebagai organ pelaksana atau
eksekutif hanya menjalankan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu cabang
kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak
yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses
peradilan.
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam undang-undang dasar atau hukum yang
36
tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-undang
sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun
karena materi yang diatur dalam undang-undang itu hanya
terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-bentuk
peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana undang-
undang yang bersangkutan. Lagi pula sebagai produk lembaga
politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung
materi-materi kebijakan yang bersifat umum. Forum legislatif
bukanlah forum teknis melainkan forum politik, A.V.Dicey
menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;
The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in
no small measure to futile endeavoursof Parliament to work
out the details of large legislative changes… the substance no
less than the form of law would,it is probable, be a good deal
improved if the executive government of England could, ike
that of France , by means of decrees, ordinances, or
proclamations having yhe force of law, work out the detailed
application of the general principles embodied in the acts of
the legislature [(1898),1959,pp52-53].23
( terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan
bertele-telenya Undang-undang di Inggris adalah
dikarenakan tidak adanya ukuran untuk melakukan usaha
yang sia-sia dari parlemen untuk menyelesaikan pekerjaan
perubahan legislative yang besar secara
terperinci…persoalan bentuk hukum yang diinginkan,
dimana hal tersebut memungkinkan, akan merupakan
peningkatan persetujuan yang baik apabila pemerintah
eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan
sebagai dekrit, peraturan, atau proklamasi yang memiliki
tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian penerapan
23 Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth
Edition Cavendish Publishing h. 485.
37
dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam undang-
undang dari badan pembuat undang-undang .
[(1898),1959,pp52-53].
Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan
mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan
legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih
lanjut itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana
haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang
akan dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative
delegation of rule making power.24 Berdasarkan prinsip
pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan
dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas
delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.
Perlindungan Bendega adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk.Mengingat arti pentingnya pemerintah Indonesia
menaruh perhatian yang cukup besar terhadap Perlindungan
Bendega. Hal ini terbukti dengan diperlukannya beberapa
peraturan perundangan yang mengatur tentang Perlindungan
Bendega.
24 Jimly Asshiddiqie II, Op.cit, h. 215.
38
Tabel 6 : Urusan Pemerintahan Konkuren Yang Menjadi
Kewenangan Daerah
Urusan Pemerintahan Wajib
yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar
Urusan Pemerintahan
Pilihan
a. pendidikan; b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan
kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan
pelindungan masyarakat; dan
f. sosial
a. tenaga kerja; b. pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan; e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil; g. pemberdayaan
masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan
keluarga berencana; i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil,
dan menengah; l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya
mineral; f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Tabel di atas menunjukkan Perlindungan Bendega
merupakan urusan pemerintahan pilihan yang menjadi
kewenangan daerah (Pasal 12 UU 23/2004). Selanjutnya, Pasal 15
ayat (1) UU 23/2014 menentukan pembagian urusan
39
pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
UndangUndang ini.
Lampiran UU 23/2014, perihal Pembagian Urusan
Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, angka I perihal Matriks
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, Lampiran
Y. Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan,
penjabaran kewenangan tersebut seperti dalam tabel di bawah ini.
Tabel 7 : Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan,
No Sub Urusan
Pemerintah Pusat
Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota
2 Perikana
n
Tangkap
a. Pengelolaan
penangkapan ikan di
wilayah laut di atas12
mil. b. Estimasi
stok
ikannnasional dan
jumlah tangkapan
ikan yang diperbolehkan (JTB).
c. …
a. Pengelolaan
penangkapan ikan di wilayah
laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan izin usaha perikanan
tangkap untuk kapal
perikanan berukuran di
atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
c. ….
a. Perlindung
an Bendega kecil dalam
Daerah kabupaten
/kota. b. Pengelolaan
dan
penyelenggaraan
Tempat Pelelangan
Ikan (TPI).
40
Dalam kaitannya dengan penyusunan rancangan Peraturan
daerah tentang Perlindungan Bendega memiliki dasar hukum
dalam bentuk keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang lain. Keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang lain sebagainmana dimaksud dalam tabel di bawsah ini :
Tabel 8 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain
Materi Muatan Berdasarkan PP
No 50 Tahun 2015
KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN
UU No 23 Tahun
2014
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 4
Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah
Kabupaten Badung
ANALISIS
a. pembiayaan
dan permodalan;
b. pendidikan,
pelatihan, dan
penyuluhan di bidang
perikanan; c.penumbuhke
mbangan kelompok Nelayan Kecil
dan kelompok Pembudi
Daya-Ikan Kecil;
d.pelaksanaan penangkapan ikan oleh
Nelayan Kecil dan
pembudidayaan ikan oleh
1. Pasal 12 ayat
(3) huruf a. Kelautan dan perikanan
2. Lampiran
huruf Y
Pembagian
urusan bidang
kelautan dan
perikanan
a.Perlindungan
Bendega kecil
dalam Daerah
kabupaten/kot
a dan
Pengelolaan
b.penyelenggar
aan Tempat
Pelelangan
Pasal 5
(1). Urusan wajib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 adalah urusan
pemerintah yang wajib
diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah yang berhubungan
dengan pelayanan
dasar (2).Urusan wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi : a...;
b...; c...;
Pengkajian
kewenangan kaitan antara jenis
peraturan dan materi
muatan peraturan
perundang-undangan
menunjukkan terdapat adanya
dasar kewenangan
pembetukan Peraturan
Daerah
41
Pembudidaya Ikan-Kecil;
dan e.Kemitraan.
Ikan (TPI).
cc. Perikanan dan kelautan
Sumber : UU No 23 tahun 2014, PP No 50 Tahun 2015, Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintah Kabupaten Badung
42
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen,
adalah eksistensi spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa
suatu norma adalah valid adalah sama halnya dengan mengakui
eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung
“kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh
peraturan tersebut25.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan
mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma
hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma
tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo
dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya
suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum
tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi
25 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung:
Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), h. 40
43
berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar
dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum26.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas
hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum
didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan
hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis
oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie27, Bagir
Manan28, dan Solly Lubis29. Pandangan ketiga sarjana itu dapat
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 9: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia30
26 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2000), h. 19 27 Jimly Asshiddiqie, Perih Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), h . 169-174, 240-244 28 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), h. 14-17. 29 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung:
Penerbit CV Mandar Maju, 1989), h. 6-9. 30 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Op. Cit.,
h. 38.
44
Landasan Jimly
Asshiddiqie
Bagir Manan M. Solly Lubis
Filosofis
Bersesuaian
dengan nilai-
nilai filosofis
yang dianut oleh
suatu Negara.
Contoh, nilai-
nilai filosofis
Negara Republik
Indonesia
terkandung
dalam Pancasila
sebagai
“staatsfunda-
mentalnorm”.
Mencerminkan
nilai yang
terdapat dalam
cita hukum
(rechtsidee), baik
sebagai sarana
yang melindungi
nilai-nilai
maupun sarana
mewujudkannya
dalam tingkah
laku
masyarakat.
Dasar filsafat
atau
pandangan,
atau ide yang
menjadi dasar
cita-cita
sewaktu
menuangkan
hasrat dan
kebijaksanaan
(pemerintahan
) ke dalam
suatu rencana
atau draft
peraturan
Negara.
Sosiologis Mencerminkan
tuntutan
kebutuhan
masyarakat
sendiri akan
norma hukum.
[Juga dikatakan,
keberlakuan
sosiologis
berkenaan
dengan (1)
kriteria
pengakuan
terhadap daya
ikat norma
hukum; (2)
kriteria
penerimaan
terhadap daya
ikat norma
hukum; dan (3)
Mencerminkan
kenyataan yang
hidup dalam
masyarakat.
Kenyataan itu
dapat berupa
kebutuhan atau
tuntutan atau
masalah-
masalah yang
dihadapi yang
memerlukan
penyelesaian.
-
45
kriteria faktisitas
menyangkut
norma hukum
secara faktual
memang berlaku
efektif dalam
masyarakat].
Yuridis Norma hukum
itu sendiri
memang
ditetapkan (1)
sebagai norma
hukum
berdasarkan
norma hukum
yang lebih tinggi;
(2) menunjukkan
hubungan
keharusan
antara suatu
kondisi dengan
akibatnya; (3)
menurut
prosedur
pembentukan
hukum yang
berlaku; dan (4)
oleh lembaga
yang memang
berwenang
untuk itu.
Keharusan (1)
adanya
kewenangan dari
pembuat
peraturan
perundang-
undangan;
(2) adanya
kesesuaian
bentuk atau
jenis peraturan
perundang-
undangan
dengan materi
yang diatur;
(3) tidak
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang
lebih tinggi; dan
(4) mengikuti
tata cara
tertentu dalam
pembentukanny
a.
Ketentuan
hukum yang
menjadi dasar
hukum bagi
pembuatan
suatu
peraturan,
yaitu:
(1) segi formal,
yakni
landasan
yuridis yang
memberi
kewenangan
untuk
membuat
peraturan
tertentu; dan
(2) segi
materiil, yaitu
landasan
yuridis untuk
mengatur hal-
hal tertentu.
Politis Harus tergambar
adanya cita-cita
dan norma dasar
yang terkandung
dalam UUD NRI
Garis
kebijaksanaan
politik yang
menjadi dasar
bagi
46
1945 sebagai
politik hukum
yang melandasi
pembentukan
undang-undang
[juga dikatakan,
pemberlakuanny
a itu memang
didukung oleh
faktor-faktor
kekuatan politik
yang nyata dan
yang mencukupi
di parlemen].
kebijaksanaan
-
kebijaksanaan
dan
pengarahan
ketatalaksana
an
pemerintahan.
Misalnya,
garis politik
otonomi dalam
GBHN (Tap
MPR No. IV
Tahun 1973)
memberi
pengarahan
dalam
pembuatan
UU Nomor 5
Tahun 1974.
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan
perundang-undangan tersebut menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan
pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman
dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly
Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang
terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks
landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pembentukan peraturan perundang-
undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly
Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI
47
1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat
diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang
menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR,
yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang
landasan keabsahan atau dasar keberlakuan peraturan
perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 10: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 31
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang
terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan
masyarakat yang memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut
dasar kewenangan dan prosedur pembentukan,
maupun jenis dan materi muatan, serta tidak
adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang
sederajat dan dengan yang lebih tinggi. Diperlukan
sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengadopsi validitas tersebut
sebagai (1) muatan menimbang yang memuat uraian singkat
mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan
31 Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum ….”, Ibid.,
hlm. 29.
48
pembentukan Peraturan Perundang–undangan, ditempatkan
secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan (2)
harus juga ada dalam naskah akademis rancangan peraturan
perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah
dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan32 dan teknik
penyusunan naskah akademik33 yang diadopsi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 11 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu,
pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang
mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan.
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan
32 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011). 33 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
49
dengan kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan
diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum
yang mesti dijamin dengan adanya peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada
konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi
antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan
UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2)
memajukan kesejahteraan umum. Dalam penyusunan Rancangan
Peraturan daerah tentang Perlindungan Bendega adapun
penjabaran landasan keabsahan sebagaimana dalam bentuk
landasan filosofis, landasan sosiologia dan landasan yuridis
sebagai berikut :
a. Landasan Filosofis bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasar warga negara, Pemerintah Daerah
menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan
masyarakat secara terencana, terarah, dan berkelanjutan;
b. Landasan Sosiologis bahwa dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dipandang
50
perlu pengaturan terkait dengan
Perlindungan Bendega; c. Landasan Yuridis bahwa untuk memberikan landasan
dan kepastian hukum bagi Perlindungan Bendega, perlu diadakan pengaturan dengan
peraturan daerah;
Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak
saja terhadap setiap orang baik dari arti individual dan kelompok
berikut identitas budaya yang melekat padanya, tetapi juga
perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut
diarahkan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum yang
juga merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Pemerintahan Kabupaten Badung perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Bendega. Berdasarkan Pasal 2 UU No 7 Tahun 2016
tentang Perikanan mengatur Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam berdasarkan
asas :
a. kedaulatan;
b. kemandirian; c. kebermanfaatan;
d. kebersamaan; e. keterpaduan; f. keterbukaan;
g. efisiensi-berkeadilan; h. keberlanjutan;
i. kesejahteraan; j. kearifan lokal; dan
k. kelestarian fungsi lingkungan hidup.
51
Penjabaran asas tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik
dan bersih serta dalam menjaga agar dinamika gerak maju
masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada
pada pilar perjuangan mencapai cita-cita dan bahan pembelajaran
masyarakat.
52
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. KETENTUAN UMUM
Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het
onderwerp”.34 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat
suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-
undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam
ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang
diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :
“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk
pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan
diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda
het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig
onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan
materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi
pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat
dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.35
Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi
muatan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk,
semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi
34 A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, h. 193-194. 35 Ibid.
53
materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing
tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai
materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.36
Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing
peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang
sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan berbeda
dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula
yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur
dalam Peraturan Presiden.37
Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan
isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang
khususnya dan peraturan perundang-undangan pada
umumnya.38 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya
digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan
semua peraturan perundang-undangan .Pedoman 98 TP3U
menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian
atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam
batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
36 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu
Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, h. 90. 37 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993,
Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, h. 62.
38 Rosjidi Rangga Widjaja, Op.cit, h. 53.
54
maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal
atau bab.
Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata atau
istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c.pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di
atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan
umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Bendega diantaranya adalah:
a. pembiayaan dan permodalan;
b. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang
perikanan;
c. pelaksanaan penangkapan ikan;
d. kelembagan; dan
e. Kemitraan.
B. MATERI YANG AKAN DIATUR
Materi Pokok Yang Diatur adalah Penyelenggaraan
Perlindungan Bendega Pembagian materi pokok ke dalam
kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang
dijadikan dasar pembagian (Pedoman 111 TP3U), yakni:
1. Ketentuan Umum
55
2. Ruang Lingkup
3. Perlindungan Bendega
4. Tugas dan Kewajiban Bendega
5. Kewajiban Pemerintah Daerah
6. Parhyangan Pelemahan dan Pawongan
7. Pemberdayaan Bendega
8. Pengawasan
9. Pendanaan
10. Ketentuan Penutup
56
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Pertama, permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan
Perlindungan Bendega dasar kewenangan pembentukan diatur
dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Perikanan dan UU tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudi Daya Ikan dan
Petambak Garam.
Permasalahan tersebut diatasi dengan pembuatan Peraturan
Daerah dalam rangka penyelenggaraan Perlindungan Bendega.
Penjabaran dalam materi muatan yaitu tentang :
1. Ketentuan Umum
2. Ruang Lingkup
3. Perlindungan Bendega
4. Tugas dan Kewajiban Bendega
5. Kewajiban Pemerintah Daerah
6. Parhyangan Pelemahan dan Pawongan
7. Pemberdayaan Bendega
8. Pengawasan
9. Pendanaan
10. Ketentuan Penutup
57
Kedua, penyusunan Peraturan Daerah diperlukan sebagai
dasar penyelesaian masalah tersebut di atas sehingga
Perlindungan Bendega memiliki landasan dan kepastian dalam
kaiatannya dengan perlindungan dan pemberdayaan.
Ketiga, pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Bendega adalah:
a. Landasan Filosofis bahwa Bendega sebagai
lembaga tradisional dibidang perikanan merupakan bagian
dari budaya tradisional Bali yang berfungsi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu diakui dan dihormati keberadaannya
beserta hak-hak tradisionalnya;
c. Landasan Sosiologis bahwa di Kabupaten Badung peran dan fungsi Bendega
sangat penting dan strategis terutama dalam pemabangunan
perekonomian karma Bendega sehingga kelestarian
dan kesejahteraan dapat terwujud;
c. Landasan Yuridis bahwa untuk melestarikan Lembaga bendega
berdasarkan falsafah Tri Hita Karana dan bersumber pada
ajaran agama Hindu di Bali, maka kedudukan, fungsi dan peranan Bendega perlu
mendapat arah pengaturan yang jelas untuk kepastian
hukum;
58
Keempat, arah, sasaran, dan jangkauan pengaturan, dan
ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan
dibentuk adalah:
1. Arah pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan
dibentuk ini adalah memberikan landasan dan kepastian
hukum bagi Perlindungan Bendega di Kabupaten Badung.
2. Sasaran yang hendak diwujudkan dari Peraturan Daerah
yang akan dibentuk ini adalah terwujudnya bentuk
Perlindungan Bendega baik dalam pengelolaan,
pembinaan dan perlingungn bendega .
3. Jangkauan pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan
dibentuk ini adalah memberikan pedoman berkaitan
dengan Perlindungan Bendega.
4. Ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang
akan dibentuk adalah:
a. pembiayaan dan permodalan;
b. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang
perikanan;
c. Kemitraan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat
ditarik konklusi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
belum mempunyai Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Bendega. Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas
59
dirumuskan dasar kewenangan pembentukan peraturan daerah
yaitu :
1. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945;
2. Pasal 33 UUD NRI 1945;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 443).
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739), sebagaiman telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5490);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
60
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudi
Daya Ikan dan Petambak Garam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Bendega dan Pembudidaya Ikan Kecil
(Lembaran Negara RI Tahun 2015 Nomor 166,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5719 ).
9. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Badung
(Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2008
Nomor 4 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Nomor 4).
B. Saran
Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Perlindungan Bendega sesuai dengan asas keterbukaan dan
ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3
61
2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004.
Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal
partisipasi masyarakat dalam bentuk :
a. konsultasi publik;
b. musyawarah;
c. kemitraan;
d. penyampaian aspirasi;
e. pengawasan; dan/atau
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
62
DAFTAR PUSTAKA
Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles.
Attamimi, A.Hamid.S. 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
(Jakarta: Penerbit B Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya bakti, Bndung, Ind-Hill.Co, 1992)
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz.
Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni
Bandung. Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth
Edition Cavendish Publishing Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa,
2006). Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang
Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II )
I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan
B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung
J.J.H. Bruggink, yang disunting oleh Arief Sidarta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adytia Bhakti, Bandung,
John Rawls, 1955, Two Concept of Rules” Philosophical Review. Jimly Asshiddiqie,2006, Perihal Undang-Undang, (Jakarta:
Konstitusi Press. Nengah Manumudhita, 2014, Makalah : Revitalisasi Krama
Beendega Sebagai Penyangga Budaya Pesisir Di Bali Yang
terabaikan Dalam Lingkup Kehidupan Dengan Lembaga Adat Yang Lain ( Desa Adat san subat), Ketua DPD HNSI Prov Bali.
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-
Desember.
63
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,
(Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989). Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset, Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum
Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor. Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia
Indonesia Jakarta, 1985. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2000),
Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30 Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
443).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak
Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5870).
64
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Bendega dan Pembudidaya Ikan Kecil
(Lembaran Negara RI Tahun 2015 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5719 ).
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Badung (Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2008 Nomor 4 Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 4).
65
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH
DRAFT
BUPATI BADUNG
PROVINSI BALI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN BENDEGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BADUNG,
Menimbang : a. Bahwa Bendega sebagai lembaga tradisional dibidang perikanan merupakan bagian dari budaya tradisional Bali yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, perlu diakui dan dihormati keberadaannya beserta hak-hak tradisionalnya;
b. bahwa di Kabupaten Badung peran dan fungsi Bendega sangat penting dan strategis terutama dalam
pemabangunan perekonomian karma Bendega sehingga kelestarian dan kesejahteraan dapat terwujud;
c. bahwa untuk melestarikan Lembaga bendega berdasarkan
falsafah Tri Hita Karana dan bersumber pada ajaran agama
Hindu di Bali, maka kedudukan, fungsi dan peranan Bendega perlu mendapat arah pengaturan yang jelas untuk
kepastian hukum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
dibentuk Peraturan Daerah tentang Bendega.
66
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah
Daerah-Daerah Tingkat I Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555);
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
67
Indonesia Nomor 4739), sebagaiman telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5490);
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi DayaIkan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2015 Tentang
Pemberdayaan Nelayan Kecil Dan Pembudidaya-Ikan Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ....);
9. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor ….
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BADUNG dan
BUPATI BADUNG,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BENDEGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Kabupaten adalah Kabupaten Badung. 2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Badung. 3. Bupati dalah Bupati Badung.
68
4. Pemerintah Daerah adalah bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Bendega adalah organisasi dan/atau lembaga tradisional dibidang
kelautan dan perikanan pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosial, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
6. Krama Bendega adalah orang yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah
dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
7. Awig-Awig adalah norma-norma adat yang disuratkan untuk mengatur Bendega.
8. Parhyangan adalah tempat suci bagi krama Bendega dalam berhubungan
dengan Ida Sanghyang Widhi. 9. Kemitraan adalah kerja sama dalam pengelolaan perikanan dalam rangka
Pemberdayaan Bendega yang dilakukan dengan pendekatan kekuatan jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek
kesetaraan dalam berusaha secara proporsional. 10. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk melindungi dan memberdayakan bendega.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup Bendega meliputi :
a. Pengakuan dan Perlindungan Bendega;
b. Tugas dan Kewajiban Bendega
c. Kewajiban Pemerintah Daerah;
d. Parhyangan, Pawongan dan Palemahan;
e. Pemberdayaan Bendega;
f. Pengawasan;
g. Pendanaan.
BAB III
PERLINDUNGAN BENDEGA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Pemerintah Daerah melakukan pengakuan dan perlindungan Bendega.
(2) Pengakuan dan Perlindungan Bendega sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan identifikasi, verifikasi dan penetapan.
Bagian kedua
Kedudukan dan Fungsi Bendega
69
Pasal 4
Kedudukan Bendega sebagai lembaga tradisional mengayomi masyarakat
pesisir dibidang perikanan dan kelautan.
Pasal 5
Fungsi Bendega meliputi :
a. membantu pemerintah dalam meningkatkan pembangunan dibidang
kelautan dan perikanan; b. melaksanakan dan melestarikan kearifan lokal dalam pembangunan
dibidang kelautan dan perikanan; c. menetapkan awig-awig yang berlandaskan Tri Hita Karana. d. menjaga, memelihara, mengembangkan, mengelola dan memanfaatkan
wilayah laut dan wilayah pesisir; e. mengembangkan kemampuan krama bendega untuk meningkatkan
produktifitas, pendapatan dan kesejahteraan karma bendega; dan f. menjaga kelestarian wilayah laut dan pesisir dalam untuk pembangunan
kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
Bagian ketiga
Strategi
Pasal 6
Strategi perlindungan Bendega sebagaimana dimaksud dalam Pasal …ayat (1)
dilakukan melalui Perencanaan. Pasal
Strategi perlindungan Bendega sebagaimana dimaksud dalam Pasal….dilakukan melalui:
a. membuat kebijakan yang mendukung kelembagaan Bendega; b. penyediaan prasarana Usaha Perikanan;
c. kemudahan memperoleh sarana Usaha Perikanan; d. jaminan risiko Penangkapan Ikan;
e. penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; f. jaminan keamanan dan keselamatan; g. fasilitasi dan bantuan hukum.
h. pendidikan dan pelatihan; i. penyuluhan dan pendampingan;
j. kemitraan usaha; k. kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan
l. penguatan Kelembagaan.
Bagian keempat
Keanggotaan
Pasal 7
Keanggotaan Bendega adalah orang-perorangan sebagai anggota krama
bendega yang tunduk pada awig-awig.
70
Bagian kelima
Prajuru
Pasal 8
(1) Bendega dipimpin oleh prajuru Bendega.
(2) Prajuru Bendega dipilih dan ditetapkan oleh krama sesuai dengan awig-awig Bendega.
(3) Pembentukan struktur dan susunan prajuru setelah mendapat persetujuan krama Bendega.
Bagian Keenam
Awig-Awig
Pasal 9
(1) Setiap bendega harus mempunyai awig-awig.
(2) Awig-awig Bendega sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat nilai-nilai kearifan egar.
(3) Awig-awig Bendega harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip egara dan Tri Hita Karana.
Pasal 10
(1) Awig-awig Bendega dibuat dan disahkan oleh krama Bendega melalui paruman.
(2) Awig-awig sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatatkan di Pemerintah Daerah Kabupaten.
BAB IV TUGAS DAN KEWAJIBAN BENDEGA
Pasal 11 Tugas Bendega meliputi :
(1) meningkatkan kemampuan krama Bendega dalam mengembangkan Usaha Perikanan yang berkelanjutan;
(2) memperjuangkan kepentingan krama Bendega dalam mengembangkan kemitraan usaha;
(3) menampung dan menyalurkan aspirasi krama Bendega; dan (4) membantu menyelesaikan permasalahan krama Bendega dalam bidang
Perikanan
.
71
Pasal 12
(1) Pelaksanaan kewajiban Bendega harus berlandaskan Tri Hita Karana. (2) Kewajiban Bendega sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Membuat awig-awig Bendega; b. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai kearifan local yang
berlandaskan tri hita karana;
c. Melindungi dan Mengelola wilayah laut dan pesisir; d. Menyelenggarakan kegiatan yang berhubungan dengan parhyangan,
pawongan dan palemahan di wilayah laut dan pesisir; e. Mengayomi krama bendega;
f. Memelihara secara berkelanjutan wilayah pantai dan pesisir.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 13
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban mengakui, melindungi dan memberdayakan bendega.
(2) Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Bendega sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. Membuat kebijakan daerah;
b. Membuat rencana strategi untuk perlindungan dan pemberdayaan krama bendega:
c. Membantu dalam penyediaan sarana dan prasarana di bidang kelautan dan perikanan;
d. Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap jaminan keselamatan Krama Bendega dalam melakukan Penangkapan Ikan.
e. pembiayaan dan permodalan;
f. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang perikanan. BAB VI
PARHYANGAN, PAWONGAN DAN PALEMAHAN Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah menjamin dalam perlindungan dan pemberdayaan dibidang parhyangan, pawongan dan palemahan di wilayah pesisir.
(2) Perlindungan dan pemberdayaan dibidang parhyangan, pawongan dan
palemahan di wilayah pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkelanjutan oleh Bendega.
Pasal 15
Perlindungan dan pemberdayaan dibidang parhyangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal… meliputi:
a. pelestarian pura segara diwilayah pesisir;
b. memelihara secara berkelanjutan pura segara;
Pasal 17
(1) Perlindungan dan pemberdayaan dibidang pawongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal… meliputi:
72
a. hubungan kerja antar krama bendega;
b. hubungan kerja dengan desa pakraman; c. hubungan kerja dengan dunia usaha; dan
d. lembaga social lainnya.
(2) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat koordinatif
dan konsultatif.
Pasal 18 Perlindungan dan pemberdayaan dibidang palemahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal… dilakukan dengan: a. Menjaga wilayah pesisir dan laut berdasarkan kerifan local;dan
b. Mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir dan laut.
BAB VII
PEMBERDAYAAN BENDEGA Pasal 19
(1) Pemerintah Daerah menjamin dalam penyelenggaraan pemberdayaan Bendega.
(2) Penyelenggaraan Pemberdayaan Bendega sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pendidikan dan Pelatihan;
b. Penyuluhan dan Pendampingan; c. Kemitraan Usaha;
d. Kemudahan Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi; dan e. Penguatan Kelembagaan Bendega.
Pasal 20
Penyelenggaraan pemberdayaan Bendega melalui penddikan dan pe;atihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal …ayat (2) huruf a dilakukan dengan : a. pemberian pelatihan dan pemagangan di bidang Perikanan;
b. pemberian beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan untuk mendapatkan pendidikan di bidang Perikanan; atau
c. pengembangan pelatihan kewirausahaan di bidang Usaha Perikanan. Pasal 21
Penyelenggaraan pemberdayaan Bendega melalui penyuluhan dan
pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal …ayat (2) huruf b berupa : a. Pengembangkan kreativitas dan inovasi;
b. Pengembangkan kepemimpinan dan partisipatif krama Bendega dan pelaku usaha perikanan;
c. mengembangkan dan Penguatan kelembagaan/manajemen Bendega serta modal sosial;
d. Pengembang kemandirian, kecakapan pengelolaan usaha, kemampuan
teknis dan aneka usaha perikanan; dan e. menyebarkan informasi.
73
Pasal 22
(1) Penyelenggaraan pemberdayaan Bendega melalui Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal …ayat (2) huruf c dilakukan :
a. praproduksi; b. produksi; c. pascaproduksi;
d. pengolahan; e. pemasaran; dan
f. pengembangan. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimuat dalam
perjanjian tertulis.
Pasal 23
Penyelenggaraan pemberdayaan Bendega melalui Kemudahan Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
…ayat (2) huruf d dilakukan dengan : a. penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. kerja sama alih teknologi; dan c. penyediaan fasilitas bagi Bendega untuk mengakses ilmu pengetahuan,
teknologi, dan informasi.
Pasal 24
Penyelenggaraan pemberdayaan Bendega melalui penguatan kelembagaan bendega sebagaimana dimaksud dalam Pasal …ayat (2) huruf e dilakukan
dengan : a. mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan wilayah pantai dan
pesisir; dan
b. memberikan bantuan fasilitas pembiayaan dan permodalan. BAB VIII
PENGAWASAN Pasal 25
Pemerintah Daerah dengan lembaga Bendega secara bersama-sama melakukan pengawasan.
BAB IX
PENDANAAN Pasal 26
Pendanaan untuk kegiatan Perlindungan dan Pemberdayaan Bendega bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau b. dana lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
74
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Badung.
Ditetapkan di Badung Pada tanggal ...........................
BUPATI BADUNG,
............................................................
Diundangkan di Badung Pada tanggal .....................
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BADUNG,
.................................................................
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BADUNG TAHUN...............NOMOR...............
Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN HUKUM,
.................................................
NIP..................................
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG,PROVINSI BALI: (NOMOR URUT PERDA/TAHUN)
75
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG
NOMOR ............ TAHUN............
TENTANG
BENDEGA
I. UMUM
Berdasarkan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pembangunan wilayah pesisir dan sektor perikanan diarahkan untuk peningkatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan nelayan. Selama ini masyarakat nelayan telah memberikan kontribusi yang nyata
dalam pembangunan perikanan dan pembangunan ekonomi.
Di Kabupaten Badung istilah nelayan disebut dengan krama bendega, sedangkan lembaganya disebut Bendega. Bendega merupakan lembaga
tradisional yang bergerak dibidang perikanan. Bendega yang merupakan bagian dari budaya tradisional Bali berperan dan berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan krama Bendega, dengan demikian Bendega perlu
diakui dan dihormati keberadaannya beserta hak-hak tradisionalnya.
Pengakuan dan perlindungan termasuk pelestarian bendega harus berdasarkan pada falsafah Tri Hita Karana dan bersumber pada ajaran agama
Hindu di Bali. Untuk kepastian hukum dan arah pengaturan yang jelas maka Bendega perlu diatur dalam bentuk peraturan daerah.
Berdasarkan Pertimbangan Tersebut, Pemerintahan Kabupaten Badung Perlu Membentuk Peraturan Daerah Tentang Bendega. Adapun materi yang diatur
dalam peraturan daerah ini meliputi : Ruang lingkup, Pengakuan dan Perlindungan Bendega, Tugas dan Kewajiban Bendega, Kewajiban Pemerintah
Daerah, Parhyangan, Pawongan dan Palemahan, Pemberdayaan Bendega, Pengawasan, Pendanaan dan Ketentuan Penutup.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
76
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4 Cukup jelas
Pasal 5 Cukup jelas
Pasal 6 Cukup jelas
Pasal 7 Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11 Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
77
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAEARAH KABUPATEN BADUNG TAHUN …. NOMOR
…..