Naskah Akademik Hak Cipta 2013

download Naskah Akademik Hak Cipta 2013

of 68

Transcript of Naskah Akademik Hak Cipta 2013

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    1/68

    NASKAH AKADEMIK

    RANCANGAN UNDANG - UNDANG

    TENTANG

    HAK CIPTA

    DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

    TAHUN 2013

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    2/68

    i

    KATA PENGANTAR

    Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat

    dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila

    didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua

    lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Pedoman

    untuk pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut saat ini sudah kita

    rumuskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan

    Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu secara teknis sesungguhnya kita

    sudah lebih dipermudah dalam melaksanakan penyusunan suatu peraturan

    perundangan-undangan. Pada tahapan pertama, proses penyusunan idealnya perlu

    didasarkan atas hasil kajian dan penelitian yang mendalam, yang meliputi aspek

    asas-asas, norma, institusi dan seluruh prosesnya, yang kemudian dituangkan

    dalam suatu Naskah Akademik .

    Direktorat Jenderal HKI telah menyusun Naskah Akademik Rancangan

    Undang-Undang Hak Cipta yang merupakan hasil penelitian atas pemberlakuanUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta selama lebih kurang 10

    tahun. Disadari bahwa banyak sekali kelemahan yang ditemukan dalam

    pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta ini, mulai dari masalah masih tingginya

    pelanggaran hukum di bidang Hak Cipta, penegakan hukum yang kurang optimal,

    pengaturan legislasi yang masih banyak kekurangan dan menimbulkan interprestasi

    yang beragam di kalangan aparat penegak hukum, hingga ke masalah pengaturan

    teknologi informasi dalam penyebaran hak cipta di era digital saat ini khususnya

    bagaimana batas-batas pertanggungjawaban dari para provider (ISP = Internet

    Service Provider ).

    Mengingat Perlindungan terhadap pelanggaran hak cipta melalui internet

    yaitu berupa mengunduh konten-konten hak cipta secara melawan hukum, hal

    tersebut secara umum telah diatur dalam ketentuan internasional di bidang hak

    cipta. Maka Rancangan Undang-Undang Hak Cipta mencoba Memperkuat

    ketentuan hukum nasional yang dapat mengefektifkan penegakan hukum di bidanghak cipta khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hukum dengan

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    3/68

    ii

    menggunakan sarana digital dan melalui internet, melelui Rancangan Undang-

    Undang Hak Cipta ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bekerja sama

    dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi Untuk melakukan pencegahan

    pelanggaran Hak Cipta melalui Sarana Teknologi Informasi dan Komunikasi.

    Pemerintah menerapkan Langkah – langkah penyelesaian masalah pembajakan hak

    cipta secara digital dan melalui internet dengan Melakukan pengawasan terhadap

    pembuatan, penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, Melakukan kerja sama

    dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri,

    dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta,

    menutup atau menghentikan secara keseluruhan atau sebagian layanan sistem

    elektronik atau konten tertentu dengan menggunakan sarana Kontrol Teknologi dan

    Informasi atau bentuk lainnya, dan Melakukan pengawasan terhadap tindakan

    perekaman dengan menggunakan media apapun terhadap karya hak cipta dan

    karya hak terkait di tempat pertunjukan.

    Mengingat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hak Cipta ini

    merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik dan ilmiah untuk setiap

    asas dan norma yang dituangkan dalam rancangan Undang-Undang Hak Cipta,

    maka dengan telah disusunnya Naskah Akademik ini, diharapkan prosesharmonisasi dan keterkaitannya Rancangan Undang-Undang Hak Cipta dengan

    peraturan lain sudah dapat dilakukan sejak dini, sehingga dapat menghindari atau

    mengurangi terjadinya tumpang-tindih atau konflik pengaturan di kemudian hari.

    Naskah akademik Rancangan Undang-Undang Hak Cipta ini diharapkan dapat

    menjadikan landasan agar Rancangan Undang-Undang Hak Cipta dapat

    dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar

    belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,

     jangkauan, objek, atau arah pengaturan.

     Akhirnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bersama dengan

    BPHN menyampaikan naskah akademik ini dan memohonkan maaf atas segala

    kekurangan yang terdapat pada naskah ini. Mudah-mudahan apa yang dilakukan

    dapat berguna bagi pembentukan hukum nasional khususnya Hak Cipta.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    4/68

    iii

    Tangerang, Juli 2013

    Direktur Hak Cipta, DI, DTLST, dan RD

    Yuslisar Ningsih SH, MH

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    5/68

    iv

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    A. Identifikasi Masalah .................................................................... 7

    B. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan NaskahAkademik .....................................................................................

    8

    C. Metode .......................................................................................... 9

    BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 12

    A. Kajian Terhadap Asas atau Prinsip yang Terkait denganPenyusunan Norma ....................................................................

    14

    B. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yangAda, serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ..............

     

    17

    C. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan

    diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hak CiptaTerhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan DampaknyaTerhadap Aspek Beban Keuangan Negara ...............................

     

    25

    BAB III EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG HAK CIPTA 28

    A. Materi Muatan Dalam Pencabutan Undang-Undang Nomor 19Tahun 2002 tentang Hak Cipta Sebagai Materi MuatanRancangan Undang-Undang Hak Cipta .................................... 28

    B. Rancangan Undang-Undang Hak Cipta sebagai Strategi dan

    Politik Hukum yang dapat Memberikan Perlindungan yangLebih Efektif, Efisien, dan Lebih MeningkatkanPerekonomian Indonesia ............................................................

     

    29

    BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS .................. 33

    A. Landasan Filosofis ...................................................................... 33

    B. Landasan Sosiologis .................................................................. 35

    C. Landasan Yuridis ........................................................................ 37

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    6/68

    v

    BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUPMATERI MUATAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA

    39

    A. Arah dan Jangkauan Pengaturan Mengenai PerlindunganHak Cipta ......................................................................................

     39

    B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-UndangHak Cipta ......................................................................................

     58

    BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 76

    A. Kesimpulan .................................................................................. 76

    B. Saran ............................................................................................ 79

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80

    LAMPIRAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA ........................ 81

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    7/68

    1

    BAB I. PENDAHULUAN

    Pada zaman modern saat ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan

    perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap

    bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi

    dan perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan

    negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan

    ekonominya. Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip

    liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade)

    lainnya yang telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat

    dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi

    ekonomi dan perdagangan bebas sulit untuk ditolak dan harus diikuti karena

    globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui

    perundingan dan perjanjian internasional.1  Implikasi globalisasi ekonomi terhadap

    hukum tidak dapat dihindari karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi

    ekonomi tersebut, secara substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-

    perjanjian menyebar melampaui batas-batas negara (cross-border ).2  Tepatlah

    pandangan Lawrence M. Friedman, yang menyatakan hukum itu tidak bersifat

    otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh

    luar.3 

    1  John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press,

    2000), hal. 24-23.

    2 Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan

    Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20

    Nopember 2001, hal. 4.

    3  Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, (Cambridge,

    Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    8/68

    2

    Isu di bidang Hak Cipta merupakan isu yang sangat penting karena berkaitan

    dengan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk

    memahami bagaimana prinsip-prinsip Hak Cipta diimplementasikan menurut

    tujuannya, perlu terlebih dahulu diketahui latar belakang pembentukan doktrin-

    doktrin yang digunakan dalam implementasi prinsip-prinsip Hak Cipta tersebut.

    Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan sebagai doktrin bagi pengaturan norma-

    norma Hak Cipta memiliki beberapa sifat khusus yang berkaitan dengan filsafat

    hukum dan teori ekonomi. Sebagai contoh, sumbangan pemikiran Thomas Aquinas4 

    yang membahas teori hukum alam, dan John Locke5 yang membahas hak individual

    atas benda, dapat dijadikan landasan terhadap bagaimana doktrin dipergunakan

    dalam kerangka implementasi prinsip-prinsip Hak Cipta, untuk selanjutnya

    memberikan jaminan kepastian hukum melalui penentuan hak-hak yang melekat

    pada bagian-bagian obyek hukum yang dianggap material maupun immaterial.

    Disamping itu, teori ekonomi yang dikenal dengan the Theory of Bargaining6

     dapat

    dijadikan materi pembahasan yang diperlukan dalam urgensi praktik pengaturan Hak

    Cipta demi tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan

    pemegang Hak Cipta, maupun keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

    nasional yang diakibatkan oleh implementasi atau eksploitasi dari Hak Cipta itu

    sendiri.

    Selain itu, dalam Labour Theory  juga telah dikemukakan tentang pentingnya

    perlindungan Hak Cipta, yaitu:

    4  W. Friedmann, “Legal Theory”, Fifth Edition Columbia University Press (Columbia, 1967), hal. 108.

    5 Ibid. hal. 122.

    6  Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics Third Edition, Addison-Wesley, (USA, 2000), hal. 75.Sebagaimana dikutip: “To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory

    of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you willrecognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theorycan be developed through an example of a familiar exchange-selling a used car.” 

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    9/68

    3

    Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent peoplefrom commercially eHak Ciptaploiting ideas or inventions without fair compensationto the originators. The concept comprises two competing social objectives: the needto encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that

    innovation throughout society.7 

    Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya intelektual yang

    dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa invensi maupun

    karya intelektual lainnya khususnya Hak Cipta perlu memperoleh perlindungan guna

    mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa

    kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya cipta tersebut.

    Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang

    saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang kreatifitas

    penciptaan karya baru di satu sisi dan di sisi lain yaitu kebutuhan untuk

    menyebarluaskan karya cipta tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan

    masyarakat.

    Untuk menghindari perbedaan penafsiran mengenai istilah-istilah yang

    digunakan dalam Naskah Akademik ini, berikut adalah definisi operasional dari

    istilah-istilah tersebut:

    1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis setelah

    suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan

    menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

    2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama

    menciptakan suatu ciptaan, yang bersifat khas dan pribadi.

    3. Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan

    sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan,

    7 Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J.287 1988, hal. 21.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    10/68

    4

    keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

    4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang

    menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima

    lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.

    5. Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pelaku

    pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran.

    6. Pelaku Pertunjukan adalah seseorang secara sendiri-sendiri atau beberapa

    orang secara bersama-sama menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan,

    menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya

    musik, drama, tari, sastra, ekspresi budaya tradisional atau karya seni lainnya,

    termasuk drama dan/atau film.

    7. Produser Fonogram adalah orang atau badan hukum yang pertama kali

    merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara

    atau perekaman bunyi, baik perekaman pertunjukan maupun perekaman suara

    atau bunyi lain. 

    8. Lembaga Penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran

    publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun

    lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan

    tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

    9. Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam

    bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apa pun yang ditujukan agar

    komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.

    10. Potret adalah gambar wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian

    tubuh lainnya maupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan menggunakan

    alat apa pun.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    11/68

    5

    11. Publikasi adalah penyebarluasan suatu salinan Ciptaan atau fonogram agar

    tersedia untuk publik dalam jumlah tertentu, baik untuk dijual, disewakan

    maupun dialihkan kepemilikannya.

    12. Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan

    Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apa pun,

    secara permanen atau temporer.

    13. Fonogram adalah fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau

    representasi suara, yang tidak termasuk bentuk fiksasi yang tergabung dalam

    sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.

    14. Pengomunikasian kepada Publik yang selanjutnya disebut Pengomunikasian

    adalah proses transmisi suatu Ciptaan, pertunjukan, Fonogram, atau siaran

    melalui kabel atau tanpa kabel dengan cara demikian rupa sehingga dapat

    diterima oleh semua orang di lokasi yang jauh dari tempat transmisi berasal,

    termasuk penyediaan suatu Ciptaan atau karya lain, agar dapat diakses publik

    dari tempat dan waktu yang dipilihnya. 

    15. Pendistribusian kepada Publik yang selanjutnya disebut Pendistribusian adalah

    pendistribusian Ciptaan asli atau salinannya, fiksasi pertunjukan, atau Fonogram

    melalui penjualan atau pengalihan kepemilikan, dengan tujuan mengedarkan,

    menjual kepada masyarakat, atau pengalihan kepemilikan atas Ciptaan asli atau

    salinannya, fiksasi pertunjukan, atau Fonogram.

    16. Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau

    keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan

    melalui perangkat apa pun.

    17. Kuasa adalah konsultan hak kekayaan intelektual.

    18. Permohonan adalah permohonan pendaftaran Ciptaan oleh pemohon kepada

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    12/68

    6

    Menteri.

    19. Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau

    Pemilik Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta kepada pihak lain untuk

    melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak yang Berkaitan

    dengan Hak Cipta dengan syarat tertentu.

    20. Lembaga Manajemen Kolektif adalah organisasi non pemerintah yang

    berbentuk badan hukum yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta,

    atau Pemilik Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta guna mengelola sebagian

    hak ekonominya untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

    21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

    hukum.

    22. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

    23. Hari adalah hari kerja.

    Pada Naskah Akademik ini, regulasi yang hendak disusun adalah Rancangan

    Undang-Undang Tentang Hak Cipta yang akan mencabut Undang-Undang Nomor

    19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Hal ini adalah sebagai tindak lanjut atas Instruksi

    Presiden Nomor 11 Tahun 2011 yang mengamanahkan Kementerian Hukum dan

    HAM bertanggung jawab atas pengembangan ekonomi khusus di bidang Hak Cipta.

    Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka Badan

    Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,

    Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memandang perlu untuk melakukan

    kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hak

    Cipta dalam rangka untuk mempersiapkan materi Rancangan Undang-Undang

    tentang Hak Cipta.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    13/68

    7

    A. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, bahwa Undang-Undang

    Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang berlaku masih terdapat kendala-

    kendala dan hambatan dalam implementasinya, sehingga undang-undang tersebut

    perlu diganti dengan yang baru.

    Untuk melakukan perubahan tersebut dan dalam rangka memberikan landasan

    ilmiah bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta, maka

    dalam Naskah Akademik ini dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam

    mengenai, yaitu sebagai berikut:

    1. Apakah pengaturan tentang Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

    2002 Tentang Hak Cipta dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan

    efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.

    2. Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan masukan Hak Cipta menjadi materi

    muatan Rancangan Undang-Undang Hak Cipta yang baru.

    3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

    pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.

    4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan

    arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.

    B. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

    Maksud disusunnya Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan

    tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Cipta ini adalah sebagai

    landasan ilmiah bagi penyusunan pembuatan naskah baru terhadap Undang-undang

    Hak Cipta agar visi dan misi Undang-undang ini di masa mendatang dapat lebih

    melindungi kepentingan masyarakat. 

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    14/68

    8

    Tujuan dibuatnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hak

    Cipta adalah sebagai berikut:

    1. Merumuskan pengaturan tentang Hak Cipta yang dapat memberikan

    perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih meningkatkan

    perekonomian Indonesia.

    2. Merumuskan hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam pembuatan naskah

    baru Undang-Undang Hak Cipta sebagai materi muatan Rancangan Undang-

    Undang Hak Cipta.

    3. Merumuskan landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan

    Undang-Undang tentang Hak Cipta.

    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

     jangkauan, dan arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang

    Tentang Hak Cipta.

    Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

    tentang Hak Cipta ini adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan

    pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.

    C. Metode

    Metode penelitian dalam Penyusunan Naskah Akademik tentang Rancangan

    Undang-Undang tentang Hak Cipta menggunakan metode pendekatan deskriptif-

    analitis, yaitu menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh,

    selanjutnya dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang

    terbagi atas sub sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    15/68

    9

    dalam merumuskan penyususan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

    tentang Hak Cipta.

    Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengenali hukum, khususnya

    hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yang

    berkaitan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,

    termasuk Persetujuan TRIPs  dan konvensi-konvensi atau traktrat-traktat

    internasional yang berhubungan dengan Hak Cipta.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan

    multidisipliner, dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu.

    Melalui pendekatan interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang

    mengatur tentang Hak Cipta melalui pendekatan multi disipliner akan diketahui ilmu-

    ilmu pengetahuan lainnya yang mendukung pengaturan penyusunan Naskah

     Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta.

    Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari

    pengertian dan pemahaman tentang Hak Cipta, dan penelitian ini harus pula

    mendekati permasalahan tersebut di atas secara futuristik mengingat penelitian ini

    menyangkut pembangunan yang berkelanjutan dalam sistem hukum Hak Cipta.

    Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

    tentang Hak Cipta dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis

    normatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis yang berasal dari data

    sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-

    undangan yang berkaitan dengan Hak Cipta) dan bahan hukum sekunder serta

    bahan hukum tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah hukum dan

    sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota tim.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    16/68

    10

    Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum, khususnya

    peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Cipta dan hasil

    inventarisasi ini kemudian dianalisis secara kualitatif berdasarkan norma-norma

    hukum yang berlaku dan disusun menjadi sub sistem sebagai bagian dari sistem

    hukum nasional, dan diperlukannya bahan-bahan hukum dalam mempersiapkan

    Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta. 

    Sumber hukum materiil masalah Hak Cipta ini mengacu pada inventarisasi

    permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik azas-azas hukum dan rumusan

    norma yang akan dijadikan acuan penyusunan Rancangan Undang-Undang Hak

    Cipta. Sedangkan inventarisasi dan pengolahan data dilakukan melalui: 

    1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-

    undangan yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk Persetujuan

    TRIPs, konvensi dan traktat internasional yang terkait dengan Hak Cipta; 

    2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, putusan pengadilan

    yang terkait dengan Hak Cipta; 

    3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,

    mengenai bagaimana implementasi, kendala- kendala dalam praktiknya, dan

    peraturan perundang-undangan yang terkait; dan 

    4. Hasil Diskusi atau informasi sesama anggota tim. 

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    17/68

    11

    BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

    Terdapat berbagai teori yang mendasari perlunya suatu bentuk perlindungan

    hukum Hak Cipta, sebagaimana yang dikemukakan terdapat Reward Theory yang

    memiliki makna berupa pengakuan terhadap karya Cipta yang telah dihasilkan oleh

    seseorang sehingga kepada Pencipta harus diberikan penghargaan sebagai

    imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/atau menciptakan karya-

    karya tersebut. Teori ini sejalan dengan prinsip yang menyatakan bahwa Pencipta

    yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya

    intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkan tersebut, yang

    dikenal dengan Recovery Theory. Teori lain yang sejalan dengan teori reward

    adalah Incentive Theory  yang mengaitkan pengembangan kreativitas dengan

    memberikan insentif bagi para pencipta. Berdasarkan teori ini insentif perlu diberikan

    untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan dibidang Hak Cipta yang

    berguna.8 

    Ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama berupa pemberian

    penghargaan kepada para Pencipta atas karya Cipta yang telah dihasilkan. Dalam

    perkembangannya pemberian penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya

    untuk menciptakan iklim kondusif agar masyarakat tetap kreatif, sebab penghargaan

    yang tidak memadai akan membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan

    demikian, teori-teori tersebut perlu disempurnakan dengan memasukkan

    kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat

    sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai satu-satunya upaya memberikan

    keuntungan untuk individu Pencipta, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan

    8  Robert M. Sherwood, Intellectual Property and EconomicDevelopment: Westview Special Studies in Science

    Technology and Public Policy, (San Fransisco: Westview Press Inc., 1990), hal. 39.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    18/68

    12

    kreativitas secara nasional. Dengan demikian, maka pemberian penghargaan

    tersebut akan merupakan sumbangan konkret bagi negara dalam pembangunan

    teknologi dan pembangunan ekonominya. Teori ini dinamakan Teori Kepentingan

    Makro.9 

    Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk

    Theory. Teori ini mengakui bahwa Hak Cipta merupakan suatu hasil karya yang

    mengandung risiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu

    menemukan cara tersebut atau memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah

    wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau

    kegiatan yang mengandung risiko tersebut. Sherwood berpendapat bahwa risiko

    yang mungkin timbul dari penggunaan secara ilegal yang menimbulkan kerugian

    secara ekonomis maupun moral bagi Pencipta dapat dihindari jika terdapat landasan

    hukum yang kuat yang berfungsi untuk melindungi Hak Cipta tersebut. Namun

    dalam kenyataannya, kesulitan mengatasi risiko ini dapat pula timbul dari kelemahan

    dalam penegakan hukum meskipun hukum yang ada telah cukup memberikan

    perlindungan. Oleh karena itu, teori risk  harus diartikan secara luas, tidak hanya

    sekedar penyediaan perangkat hukum semata-mata, tetapi didalamnya juga harus

    diakomodasikan pula kemampuan aparat penegak hukum dalam proses penegakan

    hukum dan langkah untuk membudayakan perlindungan Hak Cipta di kalangan

    masyarakat, mengingat risiko pelanggaran Hak Cipta akan tetap potensial terjadi jika

    budaya masyarakat tidak mendukung perlindungan itu. Dengan demikian, teori risk 

    tersebut harus disempurnakan dengan memasukkan unsur-unsur sosial budaya

    sebagai faktor pendukung perlindungan Hak Cipta. 

    9 Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas,(Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 45.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    19/68

    13

    Teori terakhir yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Economic

    Growth Stimulus Theory. Teori ini mengakui bahwa perlindungan atas Hak Cipta

    merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi, dan yang dimaksud dengan

    pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem

    perlindungan atas Hak Cipta yang efektif. Menurut Sherwood, teori ini sangat

    relevan untuk dijadikan dasar perlindungan Hak Cipta saat ini terutama dalam

    menghadapi era perdagangan bebas dan konsekuensi diratifikasinya kesepakatan

    World Trade Organization  (WTO) oleh Indonesia.  Konsekuensi keikutsertaan

    Indonesia dalam WTO adalah harus menciptakan perlindungan Hak Cipta yang

    memadai baik bagi Hak Cipta nasional maupun asing dapat dijadikan alasan

    pembenaran untuk menerapkan sanksi ekonomi dan bentuk cross retaliation.

    A. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma

    Efektifnya penegakan hukum sebuah undang-undang dalam suatu negara

    menurut Antony Allott bukan merupakan kewajiban dari masyarakat yang diatur oleh

    undang-undang tersebut, melainkan pada pembuat undang-undang.10  Dalam

    membuat undang-undang, cenderung berdasarkan kemajuan yang dicapai di negara

    lain - umumnya pada kemajuan yang dicapai negara-negara maju yang tertulis

    dalam statuta-statuta. Sehingga seringkali dilewatkan peran hakim dalam

    menerapkan hukum dan juga peran pembuat undang-undang itu sendiri.

    Efektifitas undang-undang dalam sebuah negara diukur melalui tiga derajat

    penerapan undang-undang tersebut:

    1. Ketika undang-undang menjadi pencegah (preventive), apakah undang-undang

    tersebut berhasil mencegah subyek hukumnya dari perbuatan yang dilarang.

    10  Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valparaiso University Law Review Volume 15, 1981, hal. 229 – 242.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    20/68

    14

    2. Ketika undang-undang menjadi penyelesaian dari sengketa (currative) yang

    timbul antara subyek hukumnya, apakah undang-undang berhasil memberikan

    penyelesaian yang adil.

    3. Ketika undang-undang menjadi penyedia kebutuhan subyek hukumnya untuk

    melakukan perbuatan hukum (facilitative), apakah undang-undang berhasil

    menyediakan aturan-aturan yang memfasilitasi kebutuhan mereka.

    Peran hakim dan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah untuk

    menyelaraskan undang-undang yang dibuat dan diterapkan pada keadaan yang

    sudah berlangsung serta bentuk perilaku mendasar masyarakat yang menjadi

    subyek dari undang-undang tersebut. Sehingga ketika undang-undang menjadi satu

    dari tiga bentuk penerapan di atas, undang-undang menjadi panduan dari norma

    hukum yang telah dikenal secara jelas oleh masyarakat.

    Tidak efektifnya sebuah undang-undang menurut Allott adalah:

    1. Penyampaian maksud dari undang-undang tersebut yang tidak berhasil. Bentuk

    dari undang-undang umumnya berupa peraturan-peraturan berbahasa baku

    yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam serta kurangnya badan

    pengawasan dari penerimaan dan penerapan undang-undang tersebut.

    2. Terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undang-

    undang dengan sifat dasar dari masyarakat.

    3. Kurangnya instrumen pendukung undang-undang seperti peraturan pelaksana,

    institusi-institusi atau proses yang berkaitan dengan pelaksanaan dan

    penerapan undang-undang tersebut.

     Asas reward theory/incentive theory/recovery theory  yakni diberikannya hak

    eksklusif berupa perlindungan hukum dengan jangka waktu tertentu agar pencipta

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    21/68

    15

    dapat mengeksploitasi kreasi yang dihasilkannya sebagai suatu penghargaan atas

     jerih payah serta pengorbanan yang telah dilakukan dalam menciptakan kreasinya.

    Reward/incentive/recovery yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang Nomor 19

    Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, antara lain berupa:

    a. Dicantumkannya kata “hak eksklusif” pada definisi Hak Cipta;

    b. Diberikannya jangka waktu sesuai TRIPs yaitu seumur hidup ditambah 50 tahun

    setelah Pencipta meninggal;

    c. Ditetapkannya royalty sebagai hak dari pencipta;

    d. Diterapkannya norma bahwa adalah pelanggaran hukum apabila

    memperbanyak/mengumumkan ciptaan milik orang lain tanpa izin. Melalui

    norma ini maka dapat ditempuh upaya hukum secara perdata atau pidana atau

    arbitrase dalam menyelesaikan sengketa;

    e. Meskipun diterapkan lisensi wajib dibidang Hak Cipta namun dengan tetap

    memberikan royalti.

    Sedangkan teori kepentingan makro yang menyatakan bahwa perlu adanya 

    kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat,

    dapat ditemui penerapannya dalam norma yang menyatakan berlakunya hukum

    pidana dalam pelanggaran dibidang Hak Cipta. Hal ini merupakan kebijakan negara

    yang tidak menganggap masalah Hak Cipta merupakan hak privat/individual semata.

    Negara juga menganggap perlu untuk menegakkan norma disebabkan kepentingan

    menciptakan iklim yang kondusif bagi seluruh masyarakat sehingga dampaknya

    adalah makin tumbuhnya kreatifitas. Teori makro ini memiliki kemiripan dengan teori

    Robert M. Sherwood yaitu Economic Growth Stimulus Theory  yang memandang

    permasalahan Hak Cipta secara makro akan memiliki dampak meningkatkan

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    22/68

    16

    pertumbuhan ekonomi. Teori risk  dalam penerapan norma  peraturan bidang Hak

    Cipta khususnya pemberian perlindungan hukum bahkan penegakan hukum yang

    lebih baik karena menyadari karya-karya intelektual ini memiliki potensi ekonomi

    yang besar sehingga rentan bagi para pelanggar hukum untuk melakukan peniruan

    demi memperoleh keuntungan dengan cara yang singkat.

    B. Kajian terhadap praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, sertaPermasalahan yang dihadapi masyarakat

    Sistem Hak Cipta merupakan hak privat (private rights) dan hal ini diatur dalam

     Agreement on Trade Related Aspects of Industrial Property Rights atau Persetujuan

    TRIPs  yang menyatakan recognizing that intellectual property rights are private

    rights.11

      Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan

    terhadap pengaturan di bidang Hak Cipta. Langkah tersebut dilakukan untuk

    meningkatkan pengaturan Hak Cipta sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-

    ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO.12

      Dengan keikutsertaan

    Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan Persetujuan TRIPs, sebagai

    konsekuensinya Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya meratifikasi

    konvensi-konvensi atau traktat-traktat internasional di bidang Hak Cipta yaitu

    Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pengesahan the Bern

    Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, Keputusan Presiden

    Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty, serta ratifikasi

    World Intellectual Property Organization Performances and Phonograms Treaty

    11  Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods.

    12  Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on

    Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untukmengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulaiberlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    23/68

    17

    (Perjanjian Karya-karya Pertunjukan dan Karya-karya Fonogram WIPO) yang

    selanjutnya disebut WPPT, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2004.

    Masalah penyelesaian sengketa di bidang Hak Cipta memerlukan badan

    peradilan khusus karena bidang Hak Cipta terkait erat dengan perekonomian dan

    perdagangan. Perkara-perkara perdata di bidang Hak Cipta menjadi kewenangan

    Pengadilan Niaga, oleh karena itu perkara-perkara di bidang Hak Cipta harus

    diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Mekanisme Alternatif Penyelesaian

    Sengketa atau ketentuan tentang Arbitrase13

      juga terdapat dalam Undang-Undang

    Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Selain itu pada Undang-Undang Hak

    Cipta tersebut terdapat ketentuan yang memberikan upaya kepada Pencipta dan

    pemegang Hak untuk memohon kepada Pengadilan Niaga diterbitkan Penetapan

    Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar terhadap pemilik

    Hak Cipta. Penetapan Sementara Pengadilan ini merupakan hal yang baru dalam

    sistem hukum Indonesia, yaitu penetapan yang diberikan oleh hakim sebelum ada

    perkara pokok, hal ini untuk memenuhi standar ketentuan yang terdapat dalam

    Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 44. Dalam praktiknya belum ada Pemegang

    Hak Cipta yang mempergunakan mekanisme ini dan pihak Pengadilan juga

    menyatakan tidak dapat menjalankan ketentuan ini dikarenakan belum ada

    ketentuan pelaksanaannya.

    13 Pada tanggal 21 April 2011 telah dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    24/68

    18

    B.1. Implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

    Tabel 1Rekapitulasi Penanganan Perkara Hak Cipta (oleh POLRI)

    Tahun 2005 - 2010 

     Awal abad ke-21 yang ditandai dengan kemajuan teknologi di bidang digital,

    informasi, telekomunikasi, transportasi, dan perekonomian yang sangat pesat, telah

    mendorong arus globalisasi di bidang industri dan perdagangan serta investasi. Hal

    ini menjadikan dunia mengarah sebagai satu pasar tunggal bersama.

    Perkembangan di bidang teknologi perekaman, telekomunikasi, dan informasi digital

    yang demikian pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir, telah menuntut adanya

    peningkatan perlindungan yang memadai baik bagi Pencipta maupun Pemilik Hak

    Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta dengan tetap memperhatikan kepentingan

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    25/68

    19

    masyarakat luas. Apabila tuntutan tersebut ditangani secara serius termasuk di

    antaranya dengan menyediakan sistem pengaturan yang baik, sendi-sendi

    kehidupan dan perekonomian Indonesia akan meningkat, tingkat pembajakan

    menurun, kreatifitas penciptaan makin meningkat, dan kredibilitas citra bangsa yang

    baik akan tetap terjaga di dunia internasional.

    Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan terhadap ide atau gagasan karena

    Ciptaan harus telah diekspresikan dalam bentuk nyata di bidang ilmu pengetahuan,

    seni, dan sastra. Perlindungan Hak Cipta terdiri atas Hak Ekonomi dan Hak Moral.

    Hak Ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta

    produk Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta. Hak Moral adalah hak yang melekat

    pada diri Pencipta atau Pelaku Pertunjukan yang tidak dapat dihilangkan, dirusak,

    atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun hak ekonomi atas Ciptaan dan produk

    Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta telah dialihkan. Dalam rangka mengelola hak

    ekonominya secara maksimal, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta serta Pelaku

    Pertunjukan dapat memberikan kuasa kepada Lembaga Manajemen Kolektif

    (Collective Management Organization) atas pemanfaatan hak ekonomi secara

    komersial oleh berbagai pengguna seperti hotel, restoran, karaoke, perusahaan

    penerbangan, Lembaga Penyiaran dan sebagainya. Lembaga Manajemen Kolektif

    memiliki peran yang cukup penting dalam pengelolaan hak ekonomi Pencipta dan

    pemilik Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta, sehingga keberadaannya sangat

    dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini di Indonesia telah ada beberapa Lembaga

    Manajemen Kolektif yang secara formal belum diatur dalam Undang-Undang Hak

    Cipta. Hal inilah yang mendorong perlunya pengaturan mengenai Lembaga

    Manajemen Kolektif agar dalam praktiknya sesuai dengan hukum yang berlaku di

    bidang Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta. Dalam praktik di

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    26/68

    20

    Indonesia, hingga saat ini Lembaga Manajemen Kolektif   telah memungut secara

    blanket license dari setiap pengumuman karya musikal dari berbagai pengguna yang

    termasuk hak mengumumkan atas karya rekaman suara.

    Permasalahan lainnya adalah tentang kurangnya penghormatan terhadap Hak

    Moral. Adapun Pasal 24 perihal Hak Moral yang memuat antara lain tentang tidak

    boleh diubahnya suatu ciptaan berkaitan dengan bila ciptaan diserahkan kepada

    pihak lain. Kalaupun juga ada proteksi, hal itu hanya berkaitan dengan sisi hak

    ekonomi yaitu apabila ciptaan diumumkan atau diperbanyak dengan sengaja dan

    tanpa hak (Pasal 72). Sebagai contoh pengambilan sebuah judul lagu di masa lalu

    yang dijadikan untuk lagu yang berbeda yang diciptakan beberapa tahun kemudian.

    Contoh yang dimaksud adalah judul lagu “Sabda Alam” (Ismail Marzuki) dan lagu

    yang lain yaitu “Sabda Alam” (Chrisye). Tampaknya itu hanyalah sebuah judul, tetapi

    tidak sesederhana yang diperkirakan karena kalau pencantumannya cuma satu kata

    Sabda atau Alam saja maka tidak menjadi istimewa. Hal tersebut menjadi daya

    pembeda karena paduan kedua kata yakni Sabda Alam adalah merupakan upaya

    pemikiran sehingga sampai kepada suatu style  untuk mempersonifikasikan alam.

    Dengan demikian, judul-judul yang dibuat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1

    angka 2 dianggap sebagai ciptaan yang harus dilindungi dari usaha mereka yang

    hanya ingin mengutip tanpa menyebut sumber.

    Permasalahan lain adalah tidak terincinya hak-hak yang dimiliki Pencipta dan

    Pemegang Hak sehingga membingungkan dalam praktiknya. Penjelasan Pasal 2

    ayat (1) mencantumkan kata “mengumumkan atau memperbanyak” dalam satu

    kalimat dapat menimbulkan persepsi bahwa semua kegiatan yang seharusnya

    merupakan kegiatan memperbanyak dianggap menjadi kegiatan mengumumkan

    demikian pula sebaliknya. Hal ini sangat potensial menimbulkan kesalahpahaman

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    27/68

    21

    antara hak mengumumkan dan hak memperbanyak dari suatu ciptaan sehingga

    menimbulkan konflik di antara sesama industri yang berkaitan dengan Hak Cipta,

    seperti industri musik.

    Pengertian kata “mengumumkan” dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan hak

    eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak untuk memberi izin atau melarang orang

    lain untuk mendengarkan, memperlihatkan, mempertunjukkan kepada publik melalui

    sarana apapun. Pengertian hak eksklusif ini hanya khusus berlaku atas Ciptaan

    sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, tetapi

    belum mengatur mengenai pengumuman atas produk rekaman suara. Pengertian

    mengenai hak mengumumkan harus diartikan secara sendiri-sendiri antara Hak

    mengumumkan atas suara Ciptaan dan Hak Mengumumkan atas Karya Rekaman

    Suara. Dengan demikian tidak ada dua hak mengumumkan atas suara ciptaan atau

    karya Rekaman Suara.

    Masalah lain yang menimbulkan benturan di lapangan adalah dengan pesatnya

    teknologi digital untuk pengumuman yaitu misalnya pengumuman ciptaan lagu atau

    musik yang merupakan kesatuan karya cipta sehingga tidak bisa diubah atau

    dimutilasi tanpa izin Penciptanya. Sering terjadi suatu lagu atau musik tidak

    diumumkan dan diperbanyak secara full song  untuk penggunaan ring back tone.

    Persoalan perbanyakan tanpa izin seperti ini dapat diselesaikan apabila klausula

    untuk itu terakomodasi dalam undang-undang, karena pada hakikatnya suatu

    ciptaan bidang seni dengan menjadikan suatu ciptaan yang dilindungi dimanipulasi

    sehingga suatu ciptaan dilanggar hak eksklusifnya dengan cara pemutilasian

    misalnya teknologi digital sangat memungkinkan.  Pengembangan open source

    software (OSS) di Indonesia sesungguhnya telah banyak dilakukan secara mandiri

    oleh kelompok masyarakat. Sejarah mencatat, bahwa jauh sebelum program

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    28/68

    22

    pengembangan OSS menjadi agenda pemerintah, para aktivis teknologi informasi

    dan komunikasi sebenarnya telah “bergerilya” untuk mewujudkan demokratisasi

    penggunaan OSS di Indonesia. Akan tetapi, berbagai komponen masyarakat

    tersebut, sepertinya berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang baik. Semangat

    dan keinginan yang tinggi untuk memberantas pembajakan software, memang harus

    diimbangi oleh adanya pilihan teknologi yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam

    konteks inilah, open source  merupakan alternatif paling logis dalam mengatasi

    makin komersialnya pengembangan teknologi informasi, terutama perangkat lunak

    dengan lisensi. Semangat ini harus tetap dijaga, kalau kita ingin mengurangi

    kesenjangan digital (digital divide) yang masih terjadi, bukan saja antara negara kita

    dengan negara maju, tetapi antara masyarakat kita yang tinggal di kota besar

    dengan mereka yang tinggal di pedesaan. 

    Sebagai negara berkembang, posisi Indonesia memang dilematis. Semangat

    dan keinginan yang tinggi untuk menegakkan hukum, terutama dalam memberantas

    pembajakan software, belum diimbangi oleh kemampuan masyarakat untuk membeli

    software legal yang relatif mahal. Namun, sebagai bangsa yang beradab, hal ini

    tidak mungkin dijadikan pembenaran maraknya pelanggaran Hak Kekayaan

    Intelektual, dalam hal ini di bidang Hak Cipta, di Indonesia. Artinya, selain

    penegakan hukum yang harus dilakukan secara konsisten, perlu juga mencari

    terobosan untuk menyediakan alternatif software  dengan mempertimbangkan

    rendahnya daya beli masyarakat. Kewajiban untuk menegakkan hukum di bidang

    Hak Cipta, dimana Hak Cipta harus dilihat sebagai momentum untuk meningkatkan

    kemandirian dalam pengembangan software  legal yang berbasis open source,

    terlebih dalam kaitannya dengan upaya mengatasi kesenjangan teknologi informasi

    (digital divide), antara negara berkembang seperti Indonesia dengan negara maju.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    29/68

    23

    Hal ini sangat terbuka dengan munculnya model lisensi publik (General Public

    License-GPL) yang diperkenalkan oleh Richard M. Stallman  melalui Project GNU

    (1983) yang berupaya mengembangkan Program Komputer Bebas (Free Software),

    sebagai jawaban atas makin komersialnya pengembangan teknologi informasi,

    terutama perangkat lunak dengan lisensi (Close Source Software). Perbedaan

    utama antara program komputer bebas dengan program komputer proprietary 

    adalah prinsip kebebasan (freedom) yang diberikan oleh pencipta kepada publik.

    Prinsip kebebasan tersebut diformulasikan dan dituangkan dalam General Public

    License  (GPL). Dalam lisensi GPL dijelaskan bahwa setiap sofware yang dibuat

    berdasarkan GPL, harus menyertakan kode program (source code) dari program

    tersebut yang bertujuan untuk mendistribusikan program-program yang termasuk

    dalam setiap lisensi secara gratis dan terbuka. GPL memberikan keleluasaan

    kepada siapapun untuk mendistribusikan, mengubah maupun memperbaiki suatu

    software  berdasarkan lisensi ini. Untuk meningkatkan akselerasi tersebut,

    pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi  (KNRT) telah

    mengembangkan program Indonesia Go Open Source (IGOS). Program ini

    merupakan kegiatan dalam rangka memperkuat infrastruktur teknologi informasi

    nasional untuk memperlancar pertukaran informasi ilmu pengetahuan dan teknologi

    serta memanfaatkan perkembangan infrastruktur informasi global untuk mendukung

    perkembangan OSS.

    Permasalahan lain yang timbul di masyarakat adalah terkait penafsiran atas

    kata “organisasi profesi” dalam Undang-Undang Hak Cipta. Selama ini dalam praktik

    selalu disalahartikan tentang makna Organisasi Profesi (yang di dalam Penjelasan

    Pasal 45 ayat 4 tercantum cukup jelas) yaitu klaim dari sementara pihak bahwa

    PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi seluruh

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    30/68

    24

    Indonesia) adalah organisasi yang mewakili para profesional padahal organisasi

    tersebut adalah himpunan pengusaha, sedangkan yang dimaksud dengan

    organisasi profesi sebenarnya adalah organisasi yang anggota-anggotanya terdiri

    dari para profesonal seperti misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Guru

    Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), dsb. Pasal 45 ayat (4)

    tersebut juga meninggalkan deadlock  yaitu bagaimana jadinya apabila salah satu

    pihak tidak mempunyai organisasi profesi dan juga tidak ingin diperjanjikan lain

    (Pasal 46). Dalam hal keduanya tidak berorganisasi profesi maka tidak akan

    menimbulkan persoalan. Perlu ditinjau ulang perihal terbitnya kesepakatan antara

    Pemegang Hak Cipta dan pengguna yang berpedoman kepada organisasi profesi

    sebagaimana tersebut diawal yang kehadirannya malah membuat rancu mengingat

    hubungan kontraktual sifatnya privaatrecht  dan terlebih pula tidak selamanya

    diantara kedua belah pihak mempunyai organisasi yang terdiri dari para profesional. 

    C. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalamRUU Hak Cipta terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknyaterhadap aspek beban keuangan Negara

    Dalam praktik hak-hak Pencipta belum sepenuhnya dijamin dalam Undang-

    Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, di sini hak-hak Pencipta

    dirumuskan secara global, yaitu hak untuk mengumumkan dan memperbanyak,

    sehingga hak-hak Pencipta yang lainnya tidak secara ekspresis verbis  dinyatakan

    dalam rumusan Pasal 2 ayat (1). Padahal hak menyewakan, mengomunikasikan

    kepada Publik, mendistribusikan, menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,

    meminjamkan, menjual, dan menyiarkan seharusnya dirumuskan dalam norma

    Pasal dan bukan dalam Penjelasan karena maknanya menjadi sangat berbeda.

    Dampak ketentuan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    31/68

    25

    Pencipta yang dalam mengeksploitasi Hak Ekonomi yang dimilikinya dirasakan

    belum maksimal karena kurang terlindungi dan tidak memiliki dasar hukum yang

    kuat.

    Berdasarkan praktik di masyarakat, pemberlakuan delik biasa atas tindak pidana di

    bidang Hak Cipta dirasakan kurang tepat dengan alasan bahwa Hak Cipta adalah

    hak keperdataan yang bersifat eksklusif. Sehingga idealnya pelanggaran atas Hak

    Cipta adalah delik aduan karena yang paling mengetahui adanya pemalsuan atas

    suatu ciptaan adalah pencipta itu sendiri.

    Dalam hal beban pembuktian, pelaksanaan penegakan hukum di bidang Hak

    Cipta, Penyidik sangat kesulitan membuktikan adanya tindak pidana di bidang Hak

    Cipta tanpa adanya laporan dari Pemegang Hak.

    Dalam pemberkasan perkara pidana yang ditangani oleh Penyidik, berkas

    perkara tidak bisa menjadi P 21 kalau tidak ada Berita Acara pemeriksaan Saksi

    korban (pencipta), sementara Penyidik sendiri sangat kesulitan untuk mencari saksi

    korban mengingat penciptanya tidak selalu diketahui atau bahkan penciptanya

    berada di luar negeri. Dukungan terhadap delik biasa didasarkan pada alasan

    perlunya institusi kepolisian memiliki kewenangan untuk proaktif melakukan

    penindakan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Meski ada ekses dan kelemahan,

    tetapi dirasa tetap lebih baik dan prospektif mengatasi situasi dan kondisi

    pelanggaran Hak Cipta di Indonesia seperti yang berlangsung saat ini. Industri

    software, film, dan buku yang masih menggunakan medium konvensional,

    membutuhkan dukungan negara dalam perlindungan Hak Cipta yang diwujudkan

    dalam kebijakan yang menjadikan pelanggran Hak Cipta sebagai delik biasa.

    Kemudian dalam hal dampak terhadap beban keuangan negara, pelanggaran

    Hak Cipta di bidang software, film, musik, seni, dan ciptaan bermedia cakram optik

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    32/68

    26

    sangat merugikan sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat yang akhirnya

    merugikan keuangan negara karena penerimaan negara sektor pajak tidak optimal

    akibat terjadinya pelanggaran Hak Cipta di seluruh wilayah tanah air. Seperti data

    yang bersumber dari Timnas Penanggulangan Pelanggaran HKI menyebutkan

    bahwa kerugian di DKI Jakarta pada Februari 2008 sebesar Rp 1 Triliun akibat

    pelanggaran Hak Cipta. Sementara itu, surat kabar Republika menyebutkan bahwa

    kerugian negara akibat pelanggaran Hak Cipta sebesar Rp 15 Miliar pada Juli 2008.

    Dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman

    Indonesia (PAPPRI) menyebutkan bahwa kerugian artis dan produser mencapai Rp

    2,5 Triliun pada tahun 2006 akibat dari pelanggaran Hak Cipta.

    Padahal kita tahu bahwa penghasilan/penerimaan negara sektor pajak

    seharusnya sangat signifikan persentasenya, mengingat bahwa hasil-hasil industri

    musik, film, software, seni, dan perbukuan berkembang begitu pesat. Kondisi saat ini

    para pencipta dan pelaku bisnis di bidang Hak Cipta terasa lesu dan sangat tidak

    bergairah menghasilkan karya-karya baru, sehingga kreativitas mereka sangat

    terbelenggu bahkan terpasung bagai mati suri. Keadaan ini sangat memprihatinkan

    dan membahayakan kelangsungan proses penciptaan dan peningkatan sumber

    daya manusia terkait industri kreatif.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    33/68

    27

    BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG Hak Cipta

    A. Materi muatan dalam pencabutan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta sebagai materi muatan Rancangan Undang-UndangHak Cipta.

    Materi muatan dalam RUU Hak Cipta memasukan ketentuan baru Lembaga

    Manajemen Kolektif, Pelaku Tindak Pidana oleh Korporasi, Dokumen Elektronik

    sebagai alat bukti sengketa Hak Cipta, serta ketentuan mengenai Hak Cipta dalam

    Teknologi Informasi dan Komunikasi.

    Ketentuan mengenai tindak pidana Hak Cipta dipertegas menjadi Delik Aduan.

    Hal ini dilatarbelakangi bahwa pelanggaran Hak Cipta bersifat eksklusif sehingga

    hanya Pencipta atau Pemegang Hak Cipta itu sendiri yang mengetahui pelanggaran

    tersebut.

    Materi muatan dalam RUU Hak Cipta mengakomodasi dan diselaraskan

    dengan ketentuan dalam the Berne Convention  sebagaimana telah diratifikasi

    dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan ketentuan WIPO Copyright

    Treaty  (WCT) diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 dan

    WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT) diratifikasi dengan Keputusan

    Presiden Nomor 74 Tahun 2004.

    Pokok-pokok amandemen  dalam Rancangan Undang-Undang Hak Cipta

    adalah: 

    a. Definisi pada ketentuan umum, utamanya yang berkaitan dengan terminologi

    tentang Hak Cipta, Ciptaan, Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Publikasi,

    Penerbitan, Perbanyakan, Pengomunikasian Kepada Publik, PendistribusianKepada Publik, Program Komputer, Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta,

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    34/68

    28

    Pelaku Pertunjukan, Fonogram, dan Fiksasi. Perubahan ini dimaksudkan untuk

    mencegah dan/atau menghindarkan persepsi ataupun penafsiran hukum yang

    berbeda.

    b. Ketentuan mengenai hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta, Pemegang Hak

    Cipta, dan pemilik Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta yang lebih jelas dan

    terinci dengan sekaligus mengatur mengenai pengecualian dan pembatasan

    terhadap hak eksklusif tersebut.

    c. Penyempurnaan mengenai obyek Ciptaan yang dilindungi dan pengecualiannya

    serta jangka waktu perlindungan seni terapan.

    d. Penyempurnaan mengenai Lisensi.

    e. Ketentuan tentang Penetapan Sementara Pengadilan, yang dapat lebih

    menjamin berlakunya asas “dapat dilaksanakan” sehingga dipandang perlu

    untuk memasukkan pengaturan mengenai hukum acaranya.

    f. Ketentuan mengenai Lembaga Manajemen Kolektif sehingga praktik

    pengelolaan atau pemanfaatan Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak

    Cipta oleh masyarakat pengguna dapat betul-betul dilakukan sesuai dengan

    norma/koridor hukum yang berlaku.

    g. Dimungkinkannya dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam sengketa Hak

    Cipta.

    h. Ketentuan mengenai pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

    i. Ketentuan mengenai Hak Cipta dalam teknologi informasi dan komunikasi.

    B. Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta sebagai strategi dan politikhukum yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif, efisiendan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.

    Di tingkat Internasional, Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat

    dunia dengan menjadi anggota dalam  Agreement Establishing the World Trade

    Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang

    mencakup Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights (Persetujuan

    tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs,

    melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    35/68

    29

    Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works  (Konvensi Bern

    tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18

    Tahun 1997 dan  World Intellectual Property Organization Copyright Treaty 

    (Perjanjian Hak Cipta WIPO) yang selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan

    Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997, serta World Intellectual

    Property Organization Performances and Phonograms Treaty (Perjanjian Karya-

    karya Pertunjukan dan Karya-karya Fonogram WIPO) yang selanjutnya disebut

    WPPT, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2004.

    Indonesia saat ini telah memiliki Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun

    2002 Tentang Hak Cipta yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang

    Hak Cipta sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak

    Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan

    terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997. Walaupun

    perubahan-perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian Pasal yang sesuai

    dengan TRIPs, dan telah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan perjanjian

    internasional lainnya di bidang Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak

    Cipta, masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk lebih memberi

    perlindungan dan memajukan perkembangan bagi karya-karya intelektual di bidang

    Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta. Dari beberapa konvensi di

    bidang Hak Kekayaan Intelektual tersebut, masih terdapat beberapa ketentuan yang

    sudah sepatutnya dimanfaatkan sebagai materi muatan. Di samping itu, harus diakui

    bahwa dalam penerapannya masih ada beberapa hambatan maupun kendala yang

    dialami tidak saja oleh Kementerian sebagai institusi pengelola pengadministrasian

    Hak Cipta, tetapi juga oleh para Pencipta, praktisi, para penegak hukum, dan piHak

    Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta lainnya.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    36/68

    30

    Perlindungan hukum Hak Cipta dan Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta

    yang kuat dan sesuai dengan standar perlindungan dalam konvensi internasional,

    tentu akan sangat mendukung peningkatan investasi di dalam negeri dan prospek

    perdagangan produk Indonesia di tingkat internasional. Kondisi ini diharapkan dapat

    meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas, terutama

    bagi mereka yang bergerak di sektor industri kreatif, seperti: industri musik, film,

    entertainment, media massa, perbukuan, arsitektur, dan piranti lunak.

    Ketidaksempurnaan suatu Undang-undang Hak Cipta bukanlah berarti akan

    menimbulkan ketidak-adilan, ketidak-pastian hukum bagi masyarakat, namun

    demikian masyarakat suatu bangsa senantiasa bersifat dinamis, berkembang akibat

    dari interaksi di bidang sosial, budaya dan perekonomian, sehingga system hukum

    pun akan mengalami perubahan.Dan pada saat ini, ketergantungan suatu bangsa

    dengan bangsa yang lain dalam bidang perdagangan merupakan hal yang tidak

    dapat dihindarkan, dan mempengaruhi system hukum nasional termasuk Undang-

    undang Hak Cipta baik secara langsung maupun tidak langsung.

    Meskipun Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 telah diberlakukan di

    Indonesia sejak tangggal 29 Juli 2003, tetapi dalam rentang waktu 7 tahun terakhir

    keberadaan Undang Undang Hak Cipta tersebut, saat ini dan masa mendatang

    dirasakan kurang mampu lagi mengayomi permasalahan-permasalahan tentang Hak

    Cipta yang timbul di masyarakat.

    Salah satu obyek ciptaan yang baru diatur dalam Rancangan Undang-Undang

    ini adalah video game  yang diatur secara khusus, mengingat tingginya pelanggaran

    penggunaan video game. Namun demikian terdapat kendala dalam penegakan

    hukumnya disebabkan ketidakjelasan dalam menentukan obyek video game sebagai

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    37/68

    31

    ciptaan software. Hingga kini belum ada perjanjian internasional yang mengatur

    secara jelas perlindungan hukum mengenai video game. Dengan diakomodasinya

    pengaturan video game sebagai obyek ciptaan, maka akan memberikan kepastian

    hukum terhadap ciptaan video game  baik karya anak bangsa maupun karya dari

    bangsa lain.

    Perubahan atau Revisi Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 sangat penting

    dilakukan terutama karena Indonesia telah meratifikasi WIPO Performances and

    Phonograms Treaty,  1966 melalui Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 2004,

    Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 93 pada tanggal 10

    September 2004. Hasil ratifikasi WPPT Tahun 1996 harus diadaptasi ke dalam

    Undang-Undang Hak Cipta agar lebih sempurna, sesuai dengan kebutuhan

    masyarakat, serta dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi yang

    sedemikian pesat di abad yang serba digital pada masa dewasa ini.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    38/68

    32

    BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

    A. Filosofis

    Hukum nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai

    tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi Negara, di dalam kedua

    hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum Negara Indonesia. Oleh karena

    itu semua hukum yang hendak dibangun haruslah merujuk kepada keduanya.

    Secara umum, tujuan bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat adil

    dan makmur berdasarkan Pancasila. Tujuan Negara tersebut secara definitif

    tertuang di dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia 1945 yang meliputi: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh

    tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan

    kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan

    kemerdekaan, perdamaian abadi dn keadilan sosial. Tujuan Negara tersebut harus

    diraih oleh Negara yang penyelenggaraannya di dasarakn pada lima dasar Negara

    Pancasila. Dengan demikian Pancasila memandu politik hukum nasional dalam

    berbagai bidang.

    Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi landasan politik hukum yang

    berbasis moral agama; sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi landasan

    politik hukum yang menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang

    nondiskriminatif; sila “Persatuan Indonesia menjadi landasan politik hukum untuk

    mempersatuakan seluruh unsure bangsa dengan berbagai ikatan primordialnya

    masing-masing; sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan/perwakilan” menjadi landasan politik hukum yang meletakkan

    kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat (demokratis), dan sila “Keadilan sosial bagi

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    39/68

    33

    seluruh rakyat Indonesia” menjadi landasan politik hukum dalam hidup

    bermasyarakat yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah secara sosial

    dan ekonomi tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara sewenang-wenang.

    Nilai-nilai prismatic  tersebut menjadi pilihan dan ciri khas bagi Negara hukum

    Pancasila yang kemudian melahirkan system hukum nasional Indonesia, yang

    antara lain memberikan jalan tengah nilai kepentingan antara individualism dan

    kolektivisme. Artinya Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan individu

    sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama di atas

    kepentingan pribadi.

    Sebagai implementasi dari nilai-nilai di atas, maka Undang-Undang tentang

    Hak Cipta yang akan dibentuk nanti sebagai revisi terhadap Undang-Undang yang

    lama, harus mengabdi kepada kepentingan nasional untuk tercapainya

    kesejahteraan rakyat dan secara sosiologis menjadi sarana untuk tercapainya

    keadilan dan ketertiban masyarakat. Tujuan dari hukum tidak saja hanya tercapainya

    keadilan, akan tetapi juga terciptanya ketertiban (order ). Hukum harus berfungsi

    menciptakan keteraturan sebagai prasyarat untuk dapat memberikan perlindungan

    bagi rakyat dalam memperoleh keadilan, keteraturan dan ketenangan dan bukan

    untuk menyengsarakannya.

    Sejalan dengan filosofi di atas, relevan untuk dikemukakan disini, pemikiran

    seorang pakar HKI, Arpad Bogsch, yang menyatakan:

    Human genius is the source of all works, of art and inventions. These works are

    the guarantee of a life worthy of men. It is the duty of the state to ensure with

    diligence the protection of the arts and inventions.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    40/68

    34

    Berangkat dari dasar pemikiran tentang ciptaan-ciptaan atau karya cipta

    tersebut maka sudah sewajarnya apabila negara menjamin sepenuhnya

    perlindungan segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia

    sebagai produk olah pikirnya baik di bidang ilmu pengetahuan, maupun seni dan

    sastra. Dasar pemikiran diberikannya kepada seorang individu perlindungan hukum

    terhadap ciptaannya tidak terlepas dari dominasi pemikiran Madzhab Hukum Alam

    yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang dikenal

    dalam Sistem Hukum Sipil (civil law system).

    Teori yang berpengaruh di negara-negara dengan sistem Hukum Sipil tersebut

    mendapatkan tempat sebagai refleksi pada Pasal 27 ayat (1) Deklarasi Universal ak-

    hak Asasi Manusia yang menetapkan:

    Setiap orang mempunyai hak sebagai pencipta untuk mendapatkan

    perlindungan atas kepentigan-kepentingan moral dan material yang merupakan hasil

    dari ciptaannya di bidang ileum pengetahuan, sastra dan seni.

    Terkait dengan aspek hak asasi manusia Hak Cipta, Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia 1945 telah cukup memberikan bingkai untuk hal itu.

    B. Sosiologis

     Adanya pengakuan secara universal tersebut, tidak diragukan lagi bahwa suatu

    ciptaan mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia (life worthy) dan mempunyai

    nilai ekonomi  sehingga menimbulkan adanya tiga macam konsepsi, yaitu (1)

    konsepsi kekayaan; (2) konsepsi hak; dan (3) konsepsi perlindungan hukum.

    Kehadiran tiga konsepsi ini lebih lanjut menimbulkan kebutuhan adanya

    pembentukan hukum, antara lain di bidang Hak Cipta.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    41/68

    35

    Mochtar Kusumaatmadja mempunyai pemikiran bahwa hokum adalah sebagai

    sarana bagi pembangunan dan sarana pembaharuan masyarakat.  Selanjutnya

    dikatakannya bahwa tanpa akepastian hokum an ketertiban masyarakat yang

    dijelmakan olehnya tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan

    yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat ia

    hidup. Relevan dengan hal tersebut, pengembangan bakat-bakat dan kemampuan

    manusia memerlukan adanya upaya-upaya untuk mewujudkannya termasuk melalui

    pembentukan pelbagai aturan yang medukungnya sehingga tercapai suatu

    kepastian hukum. Pembentukan atau penyempuranaan aturan tentang Hak Cipta

    akan menimbulkan penghormatan dan perlindungan terhadap bakat-bakat dan

    kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam berbagai karya.

    Indonesia telah lama mempunyai Undang-Undang yang mengatur tentang Hak

    Cipta, terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta,

    namun karena perkembangan jaman dan keadaan yang begitu cepat, khususnya

    teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis, baik lokal

    maupun internasional, hak asasi manusia, desentralisasi, maka perubahan terhadap

    Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 menjadi sebuah kebutuhan bagi

    masyarakat. Hal ini didukung dengan fenomena empiris tentang masih maraknya

    pembajakan, pemalsuan dan pelanggaran terhadap Hak Cipta lainnya. Hal tersebut

    menimbulkan tidak terakomodasikannya lagi perubahan-perubahan yang

    melingkupinya sehingga berkurangnya kepastian dan jaminan hukum.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    42/68

    36

    C. Yuridis

    Secara konstitusional, telah dipahami secara baik bahwa “negara Indonesia

    adalah negara hukum”14  dan karena itu setiap orang tunduk pada ketentuan

    konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang telah empat kali diubah sebagai

    bentuk reformasi hukum yang paling esensial. Konsekuansi selanjutnya adalah

    keharusan akan kesesuaian semua perundang-undangan dengan Undang-Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta implementasinya, dengan

    memperhatikan ketentuan hukum yang bersifat internasional.

    Pengaturan tentang Hak Cipta di Indonesia telah berlangsung lama. Pada

    tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi

    Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan

    karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.

    Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang Hak

    Cipta berdasarkan  Auteurswet 1912 Staatsblad  Nomor 600 tahun 1912 dan

    menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang

    merupakan undang-undang Hak Cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang

    tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-

    undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor

    19 Tahun 2002 yang kini berlaku. Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas

    dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah

    14  UUD 1945, Pasal 1 ayat (3). Unsur negara berdasarkan hukum, menurut Von Munich, ialah adanya:(a) hak-

    hak asasi manusia; (b) pembagian kekuasaan; (c) keterikatan semua organ negara pada undang-undang

    dasar dan keterikatan pemerintah dan peradilan pada undang-undang dan hukum; (d) aturan dasar tentang

    proporsionalitas (verhaltnismassingkeit); (e) pengawasanperadilan terhadap keputusan-keputusan

    (penetapan-penetapan) kekuasaan umum; (f) jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

    dan (g) pembatasan terhadap berlaku suratnya undang-undang. (lhat A. Hamid at-Tamimi, Peranan

    Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (disertasi), (Jakarta: Universitas

    Indonesia, 1990), hal. 312

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    43/68

    37

    meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade

    Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of

    Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak

    Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang

    Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi

    Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World

    Intellectual Property Organization Copyrights Treaty  (Perjanjian Hak Cipta WIPO)

    melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

    Terhadap perkembangan perundang-undangan terakhir, kiranya juga perlu

    diperhatikan dalam upaya pembaharuan terhadap Undang-Undang Hak Cipta Tahun

    2002, antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang

    Informasi dan Transaksi Elektronik, serta perundangan di bidang Hak Kekayaan

    Intelektual yang lain.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    44/68

    38

    BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI,

    MUATAN UNDANG-UNDANG Hak Cipta

    A. Arah dan Jangkauan Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak Cipta

    Dalam melakukan penyusunan materi muatan Naskah Akademik Rancangan

    Undang-Undang Cipta ini, tim akan melihat Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

    tentang Hak Cipta, sehingga akan tergambar mana materi yang masih bisa

    dipertahankan, dan materi apa yang perlu disempurnakan, ditambahkan dan

    dihapuskan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka materi muatan ini, tim sepakat

    untuk membagi tiga kategori yaitu:

    A. 1. Penyempurnaan

    1. Sinkronisasi.

    Undang-Undang ini hanya mencantumkan hak mengumumkan dan hak

    memperbanyak sebagai induk dari hak yang lain. oleh karena itu, untuk

    memudahkan dan menghindari beda tafsir di lapangan, maka menjadi amat

    perlu merinci secara eksplisit beberapa hak yaitu:

    a. Hak sinkronisasi: hak yang merupakan perpaduan antara ranah seni yang

    satu (misalnya: buku) dengan yang lain (misalnya: sinematografi) untuk

    kemudian disenyawakan dalam wujud sebuah film. Didalam Pasal 1 angka

    6 disebutkan adanya alih wujud yang lazim merupakan transformasi dari

    Synchronization Right. Semestinya hak tersebut dapat disatukan dalam

    satu Pasal sebagai suatu kesatuan mandiri, karena merupakan simbiose

    dari dua rezim hak.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    45/68

    39

    b. Hak cetak (Printing Right) belum terakomodasi dalam ungkapan eksplisit,

    demikian pula dengan Hak Mekanik atau (Mechanical Right) yang

    disejajarkan dengan Hak Reproduksi (Reproduction Right) yang keduanya

    dirangkum dalam satu kata perbanyakan, tetapi sangat berbeda dalam

    praktiknya sehingga akan menimbulkan penafsiran hukum yang tidak

    sama.

    2. Spesifikasi Hak.

    Kendala di lapangan tidak hanya membuka ruang vis a vis  (saling

    berhadapan) antar kepentingan yang timbul karena multi tafsir terhadap pasal-

    pasal tertentu dari suatu Undang-Undang, tetapi juga adanya pasal yang boleh

     jadi saling berbenturan. Sebagai misal Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2 ayat 1

    yang mengatur hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan

    makna dalam Penjelasannya yaitu hak yang semata-mata diperuntukkan bagi

    Pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak

    tersebut tanpa izin pemegangnya. 

    Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” termasuk kegiatan

    menerjemahkan, mengimport, memamerkan, mempertunjukkan, menual,

    menyiarkan, merekam dan mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui

    sarana apapun. Pasal tersebut berbenturan dengan Pasal 45 ayat 4 yang

    mendasarkan bahwa Jumlah royalti terletak pada kesepakatan kedua belah

    pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi: yang notabene hal

    ini meniadakaan unsur eksklusivitas individual sehingga nampak ambiguous.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    46/68

    40

    3. Pembatasan pengertian hak mengumumkan dan hak memperbanyak

    a. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) mencantumkan kata “mengumumkan atau

    memperbanyak” dalam satu kalimat dapat menimbulkan persepsi bahwa

    semua kegiatan yang seharusnya merupakan kegiatan memperbanyak

    dianggap menjadi kegiatan mengumumkan demikian pula sebaliknya. Hal ini

    sangat potensial menimbulkan kesalahpahaman antara hak mengumumkan

    dan hak memperbanyak dari suatu ciptaan sehingga menimbulkan konflik di

    antara sesama industri yang berkaitan dengan Hak Cipta, seperti industri

    musik.

    b. Pengaturan mengenai batasan tentang Hak Mengumumkan atas suatu

    Ciptaan dan Hak Mengumumkan atas suatu Karya Rekaman Suara.

    c. Pengertian kata “mengumumkan” dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan hak

    eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak untuk memberi izin atau

    melarang orang lain untuk mendengarkan, memperlihatkan,

    mempertunjukkan kepada publik melalui sarana apapun. Pengertian hak

    eksklusif ini hanya khusus berlaku atas Ciptaan sebagaimana diatur dalam

    Pasal 12 UUHC 2002, tetapi belum mengatur mengenai pengumuman atas

    produk rekaman suara. Pengertian mengenai hak mengumumkan harus

    diartikan secara sendiri-sendiri antara Hak mengumumkan atas suara

    Ciptaan dan Hak Mengumumkan atas Karya Rekaman Suara. Dengan

    demikian tidak ada dua hak mengumumkan atas suara ciptaan atau karya

    Rekaman Suara.

    Dengan demikian perlu menyempurnakan bunyi pasal 49 ayat (2) dengan

    menambahkan hak pengumuman atas karya rekaman suara.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    47/68

    41

    d. Hak mengumumkan karya rekaman suara.

    Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 tidak mencantumkan

    pengaturan tentang hak mengumumkan bagi karya Rekaman Suara. Hal ini

    perlu segera diatur mengingat ketentuan dalam Pasal 14 WPPT Tahun 1996

    menetapkan bahwa: “Produser rekaman suara mempunyai hak eksklusif

    untuk memberikan izin atau melarang pihak lain untuk menyediakan

    rekaman suara yang dimilikinya kepada publik melalui peralatan yang

    menggunakan kabel atau tanpa kabel dengan sedemikian rupa sehingga

    publik dapat menikmatinya dari tempat dan pada waktu yang mereka pilih

    sendiri”, dan Pasal 15 WPPT juga menetapkan: “Produser rekaman suara

    berhak atas suatu bagian tertentu (remunerasi) yang wajar untuk

    penggunaan baik yang secara langsung maupun tidak langsung atas

    rekaman suara yang diedarkan/diterbitkan untuk tujuan komersial baik

    dalam bentuk siaran maupun dalam segala bentuk penyampaian lainnya

    kepada masyarakat.”

    Pengaturan tentang hak mengumumkan atas karya rekaman suara akan

    mencegah terjadinya pelanggaran atas hak-hak yang dimiliki produser

    rekaman suara. Pengaturan Pasal 14 WPPT 1996 tentang Right of Making

     Available of Phonograms  (Hak untuk menyediakan Rekaman suara)

    merupakan elemen penting yang harus diatur di dalam peraturan

    perundang-undangan tentang Hak Cipta. Dengan pengaturan ini maka

    kepemilikan hak mengumumkan atas ciptaan lagu dan karya rekaman suara

    menjadi definitif.

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    48/68

    42

    e. Hak Cipta sebagai benda bergerak

    Dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum Hak Cipta sebagai benda bergerak, yang

    pengertiannya harus tergambar jelas dalam Pasal bahwa yang dimaksud

    bukanlah real property sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata tapi

    adalah Intellectual Property atau Kekayaan Inteleketual sebagai benda

    bergerak yang tidak berwujud sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.

    f. Kurang lengkapnya rincian mengenai perlindungan ciptaan

     Ada pasal yang di satu sisi begitu rinci mengurai eksistensi legalitas suatu

    ciptaan namun a contrario disisi lain tidak terimbangi dengan perlindungan

    terhadap esensi materi suatu karya cipta. Kalaupun sisi perlindungan itu

    tercantum, maka hal sebagaimana dimaksud belum dirasakan memadai

    sebagai bentuk perlindungan terhadap Hak Moral sekalipun telah ada dalam

    penjelasan Pasal 15 huruf a dan Pasal 24 ayat (2). Hal yang dimaksudkan

    adalah belum termuatnya Pasal yang melindungi ciptaan dari pembajakan

    dengan tujuan kutipan, penggalan lirik, notasi maupun kalimat diakui

    sebagai milik pembajak/pelanggar.

    g. Badan Hukum sebagai Pencipta

    Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari

    padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan

    hukum tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti

    sebaliknya”. (Pasal 9)

    Pencipta adalah “seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama

    yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan

    pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    49/68

    43

    dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.” Ketentuan ini sering

    menimbulkan perbedaan persepsi mengenai keabsahan badan hukum

    sebagai pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 9 tersebut.

    h. Tidak dimuatnya ketentuan mengenai perlindungan ciptaan dalam satu

    pasal

    Perihal proteksi memang telah terakomodasi pada Pasal-pasal yang telah

    memuat baik definisi, fungsi dan sifat, ciptaan yang dilindungi, ciptaan yang

    penciptanya tidak diketahui (nomen nescio), pembatasan Hak Cipta, masa

    berlaku, pendaftaran, maupun Hak Yang Berkaitan Dengan Hak Cipta,

    namun proteksi sebagaimana dimaksud tidak diletakkan tersendiri sebagai

    satu Pasal. Adapun Pasal 24 perihal Hak Moral yang memuat antara lain

    tentang tidak boleh diubahnya suatu ciptaan berkaitan dengan bila ciptaan

    diserahkan kepada pihak lain. Kalaupun juga ada proteksi, hal itu hanya

    berkaitan dengan sisi hak ekonomi yaitu apabila ciptaan diumumkan atau

    diperbanyak dengan sengaja dan tanpa hak (Pasal 72). Sebagai contoh

    pengambilan sebuah judul lagu dimasa lalu yang dijadikan untuk lagu yang

    berbeda yang diciptakan beberapa tahun kemudian. Contoh yang dimaksud

    adalah judul lagu Sabda Alam (Ismail Marzuki) dan lagu yang lain yaitu

    Sabda Alam (Chrisye). Tampaknya itu hanyalah sebuah judul, tetapi tidak

    sesederhana yang diperkirakan karena kalau pencantumannya cuma satu

    kata Sabda atau Alam saja maka tidak menjadi istimewa. Hal tersebut

    menjadi daya pembeda karena paduan kedua kata yakni Sabda Alam

    adalah merupakan upaya pemikiran sehingga sampai kepada suatu style 

    untuk mempersonifikasikan alam. Dengan demikian, judul-judul yang dibuat

    sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 2 seyogianya dianggap

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    50/68

    44

    sebagai ciptaan yang harus dilindungi dari usaha mereka yang hanya ingin

    mengutip tanpa menyebut sumber.

    i. Batasan hak mengumumkan

    Hak mengumumkan diistilahkan juga dengan Performing Right yang ketika

    ditinjau dari aspek kebahasaan menjadi agak kurang tepat, namun tetaplah

    memadai manakala ia diterapkan dengan dunia entertainment  yakni Hak

    yang diperoleh Pencipta dalam hal karya ciptanya digunakan sebagai modal

    usaha bisnisnya atau pun digunakan untuk menopang kegiatan komersial

    utamanya (Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 57). Hak

    tersebut menjadi begitu atraktif untuk dibincangkan karena kepadanya

    melekat unsur yang akan mendatangkan royalti, terlebih lagi imbalan

    tersebut melegalisasikan kepada Pemegang Hak Cipta untuk memberi

    lisensi kepada pihak lain (Pasal 45 ayat 1) yang tetap dalam bingkai using

    for the commercial purposes.

     j. Ketentuan tentang “Fair Use” Program Komputer

    Secara eksplisit Undang-Undang Hak Cipta, menetapkan bahwa dengan

    syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak

    dianggap sebagai pelanggaran suatu Hak Cipta: perbanyakan suatu ciptaan

    selain program komputer  secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau

    proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan

    atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata

    untuk keperluan akitivitasnya (Pasal 15 huruf e).

    Dalam konteks ini, kalau perbanyakan ciptaan dalam bidang ilmu

    pengetahuan, seni dan sastra yang lain dapat dilakukan untuk kepentingan

  • 8/17/2019 Naskah Akademik Hak Cipta 2013

    51/68

    45

    lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, tetapi hal tersebut tidak berlaku

    untuk program komputer, karena sudah termasuk kategori pelanggaran Hak

    Cipta. Menyangkut program komputer. Undang-Undang Hak Cipta hanya

    membolehkan pembuatan salinan cadangan suatu program komputer yang

    dilakaukan semata-mata untuk digunakan sendiri (Pasal 15 huruf g).

    Dalam konteks Hak Cipta, klausul dalam Pasal 15 Undang-Undang Hak