Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

download Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

of 5

description

Indoprogress

Transcript of Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

  • 5/21/2018 Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

    Nasionalisme: Dimulai dari Sejarah,Kebudayaan, lalu Anak Muda

    15 August 2014Afra Suci Ramadhan

    Harian Indoprogress

    SEGERA setelah presiden terpilih resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014 lalu, para rela

    lantas beristirahat. Selang beberapa hari, segelintir relawan bahkan mengundang warga dunia maya berpartisipasi

    mengisipollingdari nominasi nama-namayang dicalonkan sebagai menteri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Joko

    meminta usulan rakyat mengenai siapa saja yang akan mengisi kabinetnya. Langkah menyajikan berbagai versi ini

    merupakan upaya relawan untuk mengingatkan sekaligus membantu Jokowi agar kabinetnya bukan hasil bagi-bagi

    koalisi. Saya sendiri tertarik untuk mengecek dan mengisipollingtersebut. Dari versipollingKAUR (Kabinet Alternati

    Rakyat) yang tertera di jokowicenter.com, ada satu nama yang mencuri perhatian saya dan sempat membuat takju

    nama-nama yang tercantum dalam posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pada posisi ini, KAUR menyodorka

    nama yaitu Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Yudi Latif, MA, PhD, dan Dr. Hilmar Farid. Terbersit di kepala saya,Keren

    kalau Hilmar Farid jadi Mendikbud! Apa yang membuat saya berpendapat seperti itu?

    Bermula dari peristiwa kurang-lebih 6 tahun lalu. Tadinya saya tidak terlalu tertarik dengan romantisme terkait isunasionalisme. Bahkan, tadinya agak sinis dengan berbagai jargon tentang nasionalisme hasil bentukan Orde Baru.

    tahun lalu, saya masih menjadi bagian dari Change Magazine, sebuah majalah gratis untuk anak muda yang diterbi

    Yayasan Jurnal Perempuan. Setiap menjelang edisi baru, kami biasanya melakukan diskusi untuk mendalami tema

    baru. Waktu itu tema edisi yang diangkat adalah tentang nasionalisme dan anak muda, pemimpin redaksi kami men

    Hilmar Farid (sering dipanggil dengan nama Fay) dari Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Di situlah pertama kali

    1

    http://indoprogress.com/kanalhttp://indoprogress.com/kanalhttp://indoprogress.com/penulis/afra-suci-ramadhan/
  • 5/21/2018 Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

    berdiskusi dengan Hilmar Farid. Ia memberikan banyak sudut pandang baru mengenai nasionalisme dan kaitannya

    anak muda.

    Saya adalah mantan siswi didikan kurikulum peninggalan Orde Baru. Karenanya, ide saya tentang nasionalisme da

    pada saat itu, mentok di Sumpah Pemuda, Perhimpunan Indonesia, dan Boedi Oetomo. Berhubung saya masih be

    mahasiswa saat diskusi berlangsung, saya cukup takjub sekaligus kecewa, ternyata pelajaran sejarah yang terus d

    saat sekolah belum cukup komprehensif untuk memahami peran pemuda melawan kolonialisme di Indonesia. Hilm

    menceritakan tentang Semaoen yang memimpin pemberontakan di umur 14 tahun, tidak lupa juga cerita tentang Tadan konsep Indonesianya. Perjuangan pemuda yang selalu menjadi romantisme bangsa ini diceritakan dengan vers

    lengkap dan bagaimana para pemuda melakukan konsolidasi gerakan, membangun konsep kebangsaan, hingga pe

    ideologinya. Terkait soal wawasan tentang gerakan pada masa kolonial itu, pada 1997, Hilmar Farid ternyata pernah

    menerjemahkan salah satu karya penting dalam studi pergerakan masa kolonial, yakni sebuah buku karangan Taka

    Shiraishi berjudulAn Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926.

    Yang menarik dari obrolan bersama Hilmar Farid pada waktu itu, yang dibicarakan bukan hanya soal gerakan perlaw

    tetapi juga peran kebudayaan dan soal penggunaan bahasa. Semua retorika tentang Sumpah Pemuda yang begitu

    benak saya, kemudian surut ketika mengetahui bagaimana konsep tanah, bangsa, dan bahasa adalah kerangka kol

    Belanda. Memang diskusi tersebut bertujuan agar para kontributor atau penulis muda di Change Magazinebisa

    membicarakan isu nasionalisme bukan dengan jargon yang klise dan penuh romantisme. Bahkan di edisi ke-5 Cha

    Magazinetersebut, kami juga membicarakan kedaulatan ekonomi, gerakan perempuan yang dilemahkan oleh Orde

    kurikulum kewarganegaraan serta sejarah, hingga kegiatan seremonial seperti upacara bendera di sekolah. Hilmar

    menuturkan kembali sejarah Indonesia dengan cara yang seru dan gampang dipahami, sehingga kami pun pada wa

    bersemangat menyerap fakta-fakta yang baru kami ketahui. Ketika saya membaca ulang edisi ke-5 Change Magaz

    diterbitkan pada 2008, saya hanya tersenyum mengingat bahwa apa yang diributkan di pilpres kemarin soal kedaula

    Indonesia, neoliberalisme, dan peran pemuda ternyata sudah pernah kami bahas 6 tahun lalu, bersama anak-anak S

    mahasiswa.

    Setelah diskusi pertama dengan Hilmar Farid, saya terdorong untuk membaca dan menelusuri lebih lanjut tulisan-tu

    beserta teman-temannya di ISSI. Kebetulan, beberapa teman saya pernah menjadi relawan untuk ISSI. Saya pun

    diperkenalkan dengan Media Kerja Budaya, sebuah media alternatif yang pertama kali terbit sekitar pertengahan 19

    Ternyata, ia yang awalnya saya lekatkan dengan sejarah, kemudian mengalami perluasan; tulisan dan kajian Hilmar

    tentang seni dan budaya tidak kalah menarik. Saya jarang menemukan dan mengenal orang yang mampu member

    tentang seni dan budaya dengan pembahasan yang komprehensif. Tidak hanya soal seni rupa, ia pun sering memb

    karya sastra yang kerap kali dikaitkan dengan konteks sosial-politiknya. Lewat sejarah, ia fokus mengkaji pembentuk

    perkembangan kebudayaan era Hindia Belanda hingga setelahnya, dengan mengkaji Balai Poestaka. Guna membe

    sumbangan pada kajian perkembangan kebudayaan dan intelektual yang masih terbatas, kajian tersebut melengkap

    lain tentang pergerakan dan kondisi sosial politik Hindia Belanda pada masa kolonial. Kajian tersebut juga patut men

    rujukan mengenai tidak sterilnya lembaga budaya dari kepentingan ekonomi-politik.

    2

  • 5/21/2018 Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

    Ilustrasi oleh Alit Ambara

    Dengan mempelajari fakta-fakta sejarah, terutama sejarah bangsa sendiri, anak muda seperti saya pada waktu itu

    memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia beserta segala dinamikanya. Hilmar Farid me

    kami untuk merujuk pada fakta-fakta yang muncul dari studi terbaru untuk kemudian mengaitkan konteks kini dan m

    seperti layaknya sebuahpuzzle. Ia memperkenalkan kami pada studi-studi (baik yang dibuat para Indonesianis mau

    peneliti Indonesia) tentang sejarah Indonesia yang belum dikenal khalayak umum. Studi-studi tersebut tentunyatidak

    dimaksudkan sebagai rujukan mutlak, melainkan sebagai dorongan awal agar kami, kelompok muda, juga melakuka

    lebih lanjut tentang isu-isu yang masih terbatas kajiannya.

    Lama-kelamaan saya menyadari bahwa belajar sejarah tidak sekadar memuaskan rasa ingin tahu anak muda, teta

    memicu kami untuk berpikir kritis. Hasilnya adalah kemawasan baru bahwa persoalan nasionalisme pemuda, yang

    dianggap makin terkikis karena pengaruh budaya barat, menjadi dapat dijawab. Nasionalisme bukan soalupaya

    membentengi-diri dari budaya luar, tetapi soal bagaimana kita mengenal, menggali, dan memahami sejarah bangsa

    Pokok mendalam sejarah bangsa sendiri inilah yang sering luput dari kurikulum sekolah kita.

    Ternyata duduk perkara pelajaran sejarah dalam kurikulum sekolah sudah lama menjadi perhatian Hilmar Farid dan

    temannya di ISSI. Sejak 2006, teman-teman ISSI bekerja sama dengan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) da

    Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah (MGMP Sejarah) untuk membuat program bersama gunamereformasi pe

    sejarah. Kegiatannya untuk guru tidak hanya mencakup lokakarya dan seminar, tetapi juga memfasilitasi para guru

    menerbitkan Jurnal Pendidikan Sejarah. ISSI dan AGSI sudah memulai untuk merumuskan materi penting dalam pe

    http://indoprogress.com/wp-content/uploads/2014/08/fay.jpg
  • 5/21/2018 Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

    sejarah tingkat SMA. Berdasarkan keterangan seorang teman yang pernah jadi relawan di ISSI, para murid juga dilib

    dalam kegiatan, umpamanya lewat seminar di sekolah-sekolah dengan menghadirkan saksi sejarah seperti kesaks

    korban peristiwa 1965.

    Sejarah adalah pelajaran kesukaan saya semasa sekolah, meskipun guru-gurunya seringkali membosankan. Saya

    pelajarannya hanya 2 jam seminggu dan tugas serta ujiannya kebanyakan pilihan ganda. Mungkin jika banyak guru y

    terlibat dalam program bersama ISSI, mereka bisa lebih kreatif dan partisipatif saat mengajar di kelas sejarah. Tida

    di pelibatan guru-guru sejarah, ternyata Hilmar Farid pernah menjajal jadi guru sejarah di sebuah Sekolah Dasar di JMendengarnya, tentu saya dan teman-teman serasa ingin menjadi bagian dari kelas sejarah tersebut.

    Saya bukan orang yang dekat secara personal dengan Hilmar Farid, tetapi setelah beberapa kali terlibat diskusi dan

    mengundangnya untuk berpartisipasi pada acara yang diinsiasi oleh kelompok muda, saya tidak ragu untuk memilih

    dipollingKAUR. Poin penting lainnya yang mendasari pilihan saya adalah sikap Hilmar Farid yang terbuka untuk me

    anak-anak muda dalam berbagai inisiatif yang ia bangun. Saya rasa, tindakan untuk melibatkan anak muda dalam

    perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi program sangat diperlukan dalam lembaga Kementrian Pendidikan dan

    Kebudayaan,mengingat selama ini anak muda sebagai anak didik hanya dijadikan objek kebijakan dan program yan

    ditetapkan Kemendikbud. Padahal, kelompok muda adalah pihak yang merasakan dampak langsung dari program-

    lembaga ini.

    Pembentukan karakter dan peradaban bangsa Indonesia terkait erat dengan urusan pendidikan dan kebudayaan. Un

    Undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencatat tujuan pendidikan nasional sebagai beriku

    Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

    bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

    agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, ber

    cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

    Tidak mungkin kita mencapai tujuan tersebut tanpa sosok menteri yang progresif. Membentuk watak serta peradaba

    yang bermartabat tidak bisa diwujudkan hanya dengan metode hafalan. Kreativitas dan potensi peserta didik juga tid

    hanya diukur dari ujian nasional. Persoalan pendidikan adalah tentang pembentukan karakter individual maupun kole

    identitas kebangsaan. Tidak heran, Kementrian ini berupaya menggabungkan pendidikan dan kebudayaan dalam sa

    lembaga. Mulanya lembaga ini dikenal sebagaiDepartemen Pengajaran (1945-1948), kemudian Departemen Pendid

    Kebudayaan (1948-1999), laluDepartemen Pendidikan Nasional (1999-2009), dan Kementerian Pendidikan Nasiona

    2011), hingga akhirnya sejak Oktober 2011 namanya ditetapkan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Sosok Hilmar Farid memang tidak akan bisa menyelesaikan semua persoalan pendidikan di Indonesia, tapi ia akan

    ruang partisipasi lebar-lebar bagi pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan kurikulum yang lebih progresif dan s

    yang layak bagi kita semua. Bayangkan ketika Tetralogi Buru dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainnya menj

    semacam bahan bacaan bagi siswa SMA. Mungkin nantinya kita bisa belajar sejarah atau fisika melalui musik. Ia jug

    terus meningkatkan kualitas infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesiaserta kualitas dan k

    hidup guru. Di antara semua cita-cita tersebut, entah mengapa, saya yakin seorang Hilmar Farid bisa membuat keb

    agar lembaga OSIS menjadi sebuah laboratorium bagi para siswa untuk belajar mempraktikkan prinsip demokrasi d

  • 5/21/2018 Nasionalisme_ Dimulai Dari Sejarah, Kebudayaan, Lalu Anak Muda

    peningkatan peran anak muda di lingkungan sekolah.

    Kelak, terpilih tidaknya Hilmar Farid sebagai Mendikbud adalah hal lain. Yang paling penting adalah, sosok seperti di

    perlu terus didukung, karena integritas, keberpihakan, kerja keras dan komitmennya terhadap perubahan, sudah se

    dan sudah terbukti: ia tidak pernah melenceng dari apa yang ia yakini, yang diyakini oleh banyak orang dengan keras

    tentang perubahan masyarakat ke arah yang lebih waras, lebih baik. Kalau pun terpilih, ia perlu terus dijaga, diingatk

    dibantu dari gurita birokrasi pendidikan yang sudah sekian lama berkuasa dan sudah kita tahu kinerjanya yang centa

    perenang itu.***

    Penulisadalah lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Pada 2012, bersama sejumlah temannya

    mendirikan Pamflet Generasi, sebuah lembaga independen di Jakarta yang bekerja melakukan riset dan kajian ana

    Berita mengenai pernyataan tersebut bisa dibaca di sini:

    http://nasional.kompas.com/read/2014/07/24/15251341/Lewat.Facebook.Jokowi.Minta.Masukan.Rakyat.Siapa.34.Ca

    Pada awalnya, Hilmar Farid menulis resensi buku Takashi Shiraishi tersebut di Jurnal Prisma edisi NasionalismeGelombang Ketiga pada Februari 1991. Tulisan tersebut bisa dibaca di hilmarfarid.com

    1

    2