Nasikh Dan Mansukh
-
Upload
tamrin-tbn -
Category
Documents
-
view
37 -
download
0
description
Transcript of Nasikh Dan Mansukh
AL-NASIKH WA AL- MANSUKH DAN HUBUNGANNYADENGAN ISTINBATH HUKUM
A. Pendahuluan
Dengan memperlihatkan marhala-marhala yang beriringan tentang turunnya
ayat-ayat Madaniah dan Makkiyyah maka kita memerlukan suatu ilmu yang meneliti
dengan sehalus mungkin yaitu ilmu Nasikh dan Mansukh sebagai suatu cara
pengangsuran dealam turunnya wahyu.
Sedangkan kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata
nasakh masdar dari kata kerja artinya menghapuskan. Tetapi dalam al-Qur’an
diartikan yaitu berakhirnya hukum yang berlaku. Sedangkan mansukh hukum yang
dihapuskan oleh nasikh seperti contoh penghapusan menghadap Kiblat dari Baitul
Makdis ke Kiblat (Ka’bah).
Dalam makalah ini penulis akan mencobaba membahas tentang AL-NASIKH
WA AL- MANSUKH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ISTINBATH HUKUM
yang terdiri dari Pendahuluan, pengertian, macam-macam, pendapat tentang nash dan
dalil ketetapannya, hubungan nasikh dan mansukh dengan istinbath hukum dan
kesimpulan.
B. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Kata naskh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata naskh,mashdar
dari kata kerja (fi’il) nasakha. Kata naskh sendiri memiliki banyak makna. Ia biasa
berarti menghilangkan (al-izalah), sebagai terdapat dalam QS. Al-Hajj yat 52;
menggantikan (al-tabdil), sebagai terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 101; pengalihan
(al-tahwil), sebagai yang berlaku dalam ilmu faraidh (pembagian harta pusaka);
mengutip atau memindahkan (al-naql), seperti kalimat nasakhtu- al-kitab, berarti
saya mengutip isi buku dan sebagainya.1
Dari beberapa defenisi tentang naskh diatas, nampak bahwa naskh memiliki
makna yang berbeda-beda. Ia biasa berarti membatalkan, menghilangkan menghapus,
mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang menghapus
disebut naskh. Namun dari sekian banyak defenisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,
pengertian naskh yang mendekati kebenaran ialah naskh dalam pengertian al-izalah,
yakni ( عفر ءيش تابثاو هريغ mengangkat sesuatu dan menetapkan) ( هناكم
yang lain pada tempatnya).
Sebagian pendapat mengatakan bahwa naskh adalah mengangkat atau
menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Menurut pendapat
lain, naskh adalah menghilangkan keumuman naskh yang terdahulu atau membatasi
kemutlakan yang lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa naskh adalah
mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
Dari beberapa definisi diatas, yang paling mendekati kebenaran dengan
pengertian naskh adalah defenisi pertama dan terakhir, yakni mengangkat hukum
syara’ dengan dalil syara’ yang lain (yang datang kemudian). Maksudnya, hukum
atau undang-undang yang terdahulu dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang
1 Supiana dkk. Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 149.
baru, sehingga undang-undang baru tidak berlaku lagi. Dalam terminologi hukum
Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan disebut mansukh, sedangkan hukum yang datang
kemudian (menghapus) disebut naskh. Perlu dicatat disini bahwa yang dibatalkan
adalah hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena tuntutan
kemaslahatan.2
Kita tahu bahwa wahyu tidak mengejutkan karena turunnya berangsur-
angsur, sejalan dengan berbagai kejadian dan peristiwa. Wahyu yang turun
berangsur-angsur itu berkenaan dengan adat kebiasaan, perasaan individu dan tradisi
sosial, yang oleh Islam dihadapi dengan sikap evolusi. Maka waktu tapi tertib adalah
lebih baik ketimbang cepat tapi kacau.
C. Macam-Macam Naskh
Pertama, naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus. Dengan hukum
ajarannya telah dihapus dan diganti dengan hukum baru. Misalnya, penghapusan ayat
tentang keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena sama-sama menetek
kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan dengan lima kali susuan saja. Hukum
sari naskh ini telah disepakati ulama berdasarkan Ijma, khususnya yang menyetujui
naskh. Sedangkan dalil yang menunjukkan terjadinya naskh macam ini yakni HR.
Muslim dari ‘Aisyah.
“Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Termasuk ayat al-Quran yang dinuzulkan (yaitu
ayat yang menerangkan) sepuluh kali susunan yang diketahui itu menjadikan mahram
2 Ibid., hlm. 152-154.
(haram dikawini), lalu dinasakh dengan lima kali susunan yang nyata. Maka
menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-
Qur’an.”
Menurut Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intisar, menjelaskan bahwa
orang-orang yang menolak nasakh tidak membenarkan naskh ini karena ditetapkan
oleh hadis ahad.
Kedua, naskh hukumnya tanpa menasakh bacaannya. Maksudnya, tulisan dan
bacaan tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi hukumnya sudah dihapuskan, dalam
pengertian tidak boleh diamalkan. Misalnya, ketentuan ayat 240 dari surat al-Baqarah
tentang isteri-isteri yang dicerai suaminya harus ber’iddah selama satu tahun dan
masih berhak mendapatkan naskh dan tempat tinggal selama ‘iddah satu tahun.
Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah, sehingga
keharusan ‘ iddah satu tahun sudah tidak berlaku lagi.
Ketiga, menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Maksudnya, tulisan
ayatnya sudah dihapus, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku.3 Dalil yang
menetapkan adanya naskh ini adalah hadis ‘Umar bin Khatthab dan ‘Ubay bin Ka’b
yang berkata:
“Termasuk dari ayat al-Quran yang diturunkan adalah ayat yang artinya:
Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina,
maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah.
3 Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hlm. 336-339.
Di sini timbul pertanyaan apa urgensi dari nasakh semacam ini? Bukankah
jika bacaan dan hukumnya tetap berlaku akan dapat mengundang lahirnya pahala
berganda ketimbang hanya melaksanakan hukumnya. Dalam hal ini al-Zarkasyi
memberikan jawaban, yakni agar nampak kadar ketaatan ummat dalam persiapkan
mengusahakan diri memenuhi panggilan dengan jalan zhanni tanpa menurut jalur
pasti, sebagai terjadi pada Ibrahim ketika bergegas memenuhi perintah Allah untuk
menyembelih puteranya yang disampaikan lewat mimpi.
D. Pendapat Tentang Nash dan Dalil Ketetapannya
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya,
naskh mengsandung konsep al-bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak
jelas). Yang dimaksusd mereka ialah, naskh itu ada kalanya tanpa hikmah,
dan mustahil bagi Allah. Dan ada kalanya karena sesuatu hikmah yang
sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului
oleh ketidak jelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakuyi bahwa syari’at Musa menghapuskan
syari’at sebelumnya. Dan dalam naskh-naskh taurat pun terdapat naskh seperti
pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semulanya
dihalalkan Firman Allah Ta’ala yang berbunyi:
Artinya: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya’kup) untuk dirinya sendiri”. (Ali Imran ayat:
93).
2. Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskhnya
dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal
yang mungkin terjadi bagi Allah Ta’ala. Dengan demikian, maka posisi
mereka sangat kontradisi dengan orang Yahudi, untuk mendukung
pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan yang mereka
nisbahkan kepada Ali R.a. secara dusta dan palsu. Firman Allah Ta’ala:
3. Abu Muslim al-Asfahami. Menurutnya bahwa naskh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara’.4 Dikatakan pula bahwa ia menolak
sepenuhnya terjadinya naskh dalam al-Qur’an berdasarkan Firman Allah
Ta’ala yang berbunyi:
Artinyan:”Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangya, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha
Bijaksana Lagi Maha Terpuji”. (Fussilat ayat 42)
4 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), hlm. 150-159.
4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat
diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan
dalil-dalilnya, Firman Allah Ta’ala yang berbunyi:
Artinya: ”Dan apabila kami ,mengganti suatu ayat ditempat ayat yang lain …” (Surah
an-Nahl ayat 101).
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia
kehendaki)”.(ar’Ra’d ayat 39).
E. Hubungan Nasikh dan Mansukh dengan Istibath Hukum
Hubungan nasikh dan mansukh dengan Istinbath hukum sangat erat kaitannya
dan tidak bisa dipisahkan dimana nasikh adalah membatalkan, menghilangkan
menghapus, mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang
menghapus disebut naskh. Sedangkan Istinbath hukum ialah menetapkan hukum
kepada suatu perkara. Misalnya menghapuskan ayat atau firman Allah Ta’ala yang
menyuruh ummatnya menghadap Baitul Makdis kemudian diperintahkan menghadap
Ka’bah atau menghadap Kiblat. Maka Istinbath hukum disini ialah wajib menghadap
Ka’bah atau Kiblat.5
F. Kesimpulan 5 Abdul al-Adzim Ma’ani dkk. Hukum-hukum dari al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 203), hlm. 46-48.
Dari isi makalah yang singkat ini penulis dapat membuat kesimpulan sebagai
berikut: nasikh dan mansukh adalah membatalkan, menghilangkan menghapus,
mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang menghapus
disebut naskh. Namun dari sekian banyak defenisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,
pengertian naskh yang mendekati kebenaran ialah naskh dalam pengertian al-izalah.
Adapun macam-macam naskh dan mansukh antara lain:
Pertama, naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.
Kedua, naskh hukumnya tanpa menasakh bacaannya. Ketiga, menaskh bacaan ayat
tanpa menaskh hukumnya.
Hubungan nasikh dan mansukh dengan Istinbath hukum sangat erat kaitannya dan
tidak bisa dipisahkan dimana nasikh adalah membatalkan, menghilangkan
menghapus, mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang
menghapus disebut naskh. Sedangkan Istinbath hukum ialah menetapkan hukum
kepada suatu perkara.
D A F T A R P U S T A K A
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
1996.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1967.
Dkk, Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika, 2002.
Ma’ani, Abdul al-Adzim dkk. Hukum-hukum dari al-Qur’an dan Hadits. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 203.