Nasikh Dan Mansukh

13
AL-NASIKH WA AL- MANSUKH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ISTINBATH HUKUM A. Pendahuluan Dengan memperlihatkan marhala-marhala yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat Madaniah dan Makkiyyah maka kita memerlukan suatu ilmu yang meneliti dengan sehalus mungkin yaitu ilmu Nasikh dan Mansukh sebagai suatu cara pengangsuran dealam turunnya wahyu. Sedangkan kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata nasakh masdar dari kata kerja artinya menghapuskan. Tetapi dalam al-Qur’an diartikan yaitu berakhirnya hukum yang berlaku. Sedangkan mansukh hukum yang dihapuskan oleh nasikh seperti contoh penghapusan menghadap Kiblat dari Baitul Makdis ke Kiblat (Ka’bah). Dalam makalah ini penulis akan mencobaba membahas tentang AL-NASIKH WA AL- MANSUKH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ISTINBATH HUKUM yang terdiri dari Pendahuluan,

description

bbbbbbbbbbbbbc

Transcript of Nasikh Dan Mansukh

Page 1: Nasikh Dan Mansukh

AL-NASIKH WA AL- MANSUKH DAN HUBUNGANNYADENGAN ISTINBATH HUKUM

A. Pendahuluan

Dengan memperlihatkan marhala-marhala yang beriringan tentang turunnya

ayat-ayat Madaniah dan Makkiyyah maka kita memerlukan suatu ilmu yang meneliti

dengan sehalus mungkin yaitu ilmu Nasikh dan Mansukh sebagai suatu cara

pengangsuran dealam turunnya wahyu.

Sedangkan kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata

nasakh masdar dari kata kerja artinya menghapuskan. Tetapi dalam al-Qur’an

diartikan yaitu berakhirnya hukum yang berlaku. Sedangkan mansukh hukum yang

dihapuskan oleh nasikh seperti contoh penghapusan menghadap Kiblat dari Baitul

Makdis ke Kiblat (Ka’bah).

Dalam makalah ini penulis akan mencobaba membahas tentang AL-NASIKH

WA AL- MANSUKH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ISTINBATH HUKUM

yang terdiri dari Pendahuluan, pengertian, macam-macam, pendapat tentang nash dan

dalil ketetapannya, hubungan nasikh dan mansukh dengan istinbath hukum dan

kesimpulan.

B. Pengertian Nasikh dan Mansukh

Kata naskh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata naskh,mashdar

dari kata kerja (fi’il) nasakha. Kata naskh sendiri memiliki banyak makna. Ia biasa

Page 2: Nasikh Dan Mansukh

berarti menghilangkan (al-izalah), sebagai terdapat dalam QS. Al-Hajj yat 52;

menggantikan (al-tabdil), sebagai terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 101; pengalihan

(al-tahwil), sebagai yang berlaku dalam ilmu faraidh (pembagian harta pusaka);

mengutip atau memindahkan (al-naql), seperti kalimat nasakhtu- al-kitab, berarti

saya mengutip isi buku dan sebagainya.1

Dari beberapa defenisi tentang naskh diatas, nampak bahwa naskh memiliki

makna yang berbeda-beda. Ia biasa berarti membatalkan, menghilangkan menghapus,

mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang menghapus

disebut naskh. Namun dari sekian banyak defenisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,

pengertian naskh yang mendekati kebenaran ialah naskh dalam pengertian al-izalah,

yakni ( عفر ءيش تابثاو هريغ mengangkat sesuatu dan menetapkan) ( هناكم

yang lain pada tempatnya).

Sebagian pendapat mengatakan bahwa naskh adalah mengangkat atau

menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Menurut pendapat

lain, naskh adalah menghilangkan keumuman naskh yang terdahulu atau membatasi

kemutlakan yang lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa naskh adalah

mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.

Dari beberapa definisi diatas, yang paling mendekati kebenaran dengan

pengertian naskh adalah defenisi pertama dan terakhir, yakni mengangkat hukum

syara’ dengan dalil syara’ yang lain (yang datang kemudian). Maksudnya, hukum

atau undang-undang yang terdahulu dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang

1 Supiana dkk. Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 149.

Page 3: Nasikh Dan Mansukh

baru, sehingga undang-undang baru tidak berlaku lagi. Dalam terminologi hukum

Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan disebut mansukh, sedangkan hukum yang datang

kemudian (menghapus) disebut naskh. Perlu dicatat disini bahwa yang dibatalkan

adalah hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena tuntutan

kemaslahatan.2

Kita tahu bahwa wahyu tidak mengejutkan karena turunnya berangsur-

angsur, sejalan dengan berbagai kejadian dan peristiwa. Wahyu yang turun

berangsur-angsur itu berkenaan dengan adat kebiasaan, perasaan individu dan tradisi

sosial, yang oleh Islam dihadapi dengan sikap evolusi. Maka waktu tapi tertib adalah

lebih baik ketimbang cepat tapi kacau.

C. Macam-Macam Naskh

Pertama, naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus. Dengan hukum

ajarannya telah dihapus dan diganti dengan hukum baru. Misalnya, penghapusan ayat

tentang keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena sama-sama menetek

kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan dengan lima kali susuan saja. Hukum

sari naskh ini telah disepakati ulama berdasarkan Ijma, khususnya yang menyetujui

naskh. Sedangkan dalil yang menunjukkan terjadinya naskh macam ini yakni HR.

Muslim dari ‘Aisyah.

“Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Termasuk ayat al-Quran yang dinuzulkan (yaitu

ayat yang menerangkan) sepuluh kali susunan yang diketahui itu menjadikan mahram

2 Ibid., hlm. 152-154.

Page 4: Nasikh Dan Mansukh

(haram dikawini), lalu dinasakh dengan lima kali susunan yang nyata. Maka

menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-

Qur’an.”

Menurut Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intisar, menjelaskan bahwa

orang-orang yang menolak nasakh tidak membenarkan naskh ini karena ditetapkan

oleh hadis ahad.

Kedua, naskh hukumnya tanpa menasakh bacaannya. Maksudnya, tulisan dan

bacaan tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi hukumnya sudah dihapuskan, dalam

pengertian tidak boleh diamalkan. Misalnya, ketentuan ayat 240 dari surat al-Baqarah

tentang isteri-isteri yang dicerai suaminya harus ber’iddah selama satu tahun dan

masih berhak mendapatkan naskh dan tempat tinggal selama ‘iddah satu tahun.

Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah, sehingga

keharusan ‘ iddah satu tahun sudah tidak berlaku lagi.

Ketiga, menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Maksudnya, tulisan

ayatnya sudah dihapus, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku.3 Dalil yang

menetapkan adanya naskh ini adalah hadis ‘Umar bin Khatthab dan ‘Ubay bin Ka’b

yang berkata:

“Termasuk dari ayat al-Quran yang diturunkan adalah ayat yang artinya:

Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina,

maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah.

3 Manna Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hlm. 336-339.

Page 5: Nasikh Dan Mansukh

Di sini timbul pertanyaan apa urgensi dari nasakh semacam ini? Bukankah

jika bacaan dan hukumnya tetap berlaku akan dapat mengundang lahirnya pahala

berganda ketimbang hanya melaksanakan hukumnya. Dalam hal ini al-Zarkasyi

memberikan jawaban, yakni agar nampak kadar ketaatan ummat dalam persiapkan

mengusahakan diri memenuhi panggilan dengan jalan zhanni tanpa menurut jalur

pasti, sebagai terjadi pada Ibrahim ketika bergegas memenuhi perintah Allah untuk

menyembelih puteranya yang disampaikan lewat mimpi.

D. Pendapat Tentang Nash dan Dalil Ketetapannya

Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:

1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya,

naskh mengsandung konsep al-bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak

jelas). Yang dimaksusd mereka ialah, naskh itu ada kalanya tanpa hikmah,

dan mustahil bagi Allah. Dan ada kalanya karena sesuatu hikmah yang

sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului

oleh ketidak jelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.

Orang Yahudi sendiri mengakuyi bahwa syari’at Musa menghapuskan

syari’at sebelumnya. Dan dalam naskh-naskh taurat pun terdapat naskh seperti

pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semulanya

dihalalkan Firman Allah Ta’ala yang berbunyi:

Page 6: Nasikh Dan Mansukh

Artinya: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang

diharamkan oleh Israil (Ya’kup) untuk dirinya sendiri”. (Ali Imran ayat:

93).

2. Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskhnya

dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal

yang mungkin terjadi bagi Allah Ta’ala. Dengan demikian, maka posisi

mereka sangat kontradisi dengan orang Yahudi, untuk mendukung

pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan yang mereka

nisbahkan kepada Ali R.a. secara dusta dan palsu. Firman Allah Ta’ala:

3. Abu Muslim al-Asfahami. Menurutnya bahwa naskh dapat saja terjadi, tetapi

tidak mungkin terjadi menurut syara’.4 Dikatakan pula bahwa ia menolak

sepenuhnya terjadinya naskh dalam al-Qur’an berdasarkan Firman Allah

Ta’ala yang berbunyi:

Artinyan:”Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan

maupun dari belakangya, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha

Bijaksana Lagi Maha Terpuji”. (Fussilat ayat 42)

4 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), hlm. 150-159.

Page 7: Nasikh Dan Mansukh

4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat

diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan

dalil-dalilnya, Firman Allah Ta’ala yang berbunyi:

Artinya: ”Dan apabila kami ,mengganti suatu ayat ditempat ayat yang lain …” (Surah

an-Nahl ayat 101).

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia

kehendaki)”.(ar’Ra’d ayat 39).

E. Hubungan Nasikh dan Mansukh dengan Istibath Hukum

Hubungan nasikh dan mansukh dengan Istinbath hukum sangat erat kaitannya

dan tidak bisa dipisahkan dimana nasikh adalah membatalkan, menghilangkan

menghapus, mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang

menghapus disebut naskh. Sedangkan Istinbath hukum ialah menetapkan hukum

kepada suatu perkara. Misalnya menghapuskan ayat atau firman Allah Ta’ala yang

menyuruh ummatnya menghadap Baitul Makdis kemudian diperintahkan menghadap

Ka’bah atau menghadap Kiblat. Maka Istinbath hukum disini ialah wajib menghadap

Ka’bah atau Kiblat.5

F. Kesimpulan 5 Abdul al-Adzim Ma’ani dkk. Hukum-hukum dari al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 203), hlm. 46-48.

Page 8: Nasikh Dan Mansukh

Dari isi makalah yang singkat ini penulis dapat membuat kesimpulan sebagai

berikut: nasikh dan mansukh adalah membatalkan, menghilangkan menghapus,

mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang menghapus

disebut naskh. Namun dari sekian banyak defenisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,

pengertian naskh yang mendekati kebenaran ialah naskh dalam pengertian al-izalah.

Adapun macam-macam naskh dan mansukh antara lain:

Pertama, naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.

Kedua, naskh hukumnya tanpa menasakh bacaannya. Ketiga, menaskh bacaan ayat

tanpa menaskh hukumnya.

Hubungan nasikh dan mansukh dengan Istinbath hukum sangat erat kaitannya dan

tidak bisa dipisahkan dimana nasikh adalah membatalkan, menghilangkan

menghapus, mengalihkan dan sebagainya, yang dihapus disebut mansukh dan yang

menghapus disebut naskh. Sedangkan Istinbath hukum ialah menetapkan hukum

kepada suatu perkara.

D A F T A R P U S T A K A

Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,

1996.

Page 9: Nasikh Dan Mansukh

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1967.

Dkk, Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika, 2002.

Ma’ani, Abdul al-Adzim dkk. Hukum-hukum dari al-Qur’an dan Hadits. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 203.