Nasihat ‘pertama dan utama’ luqmân untuk buah hatinya

13
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB AKHLAQ QUR’ANI MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA Tafsîr QS Luqmân/31:13 Nasihat ‘Pertama dan Utama’ Luqmân Untuk Buah Hatinya Nash (Teks) Ayat al-Quran ۖ “Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS Luqmân/31:13). Tafsîr al-Mufradât : Ia memberi pelajaran kepadanya. Kata ya’izhu, berasal dari wa’azha – ya’izhu – wa’zhan wa ‘izhatan, yang bermakna: “mengajari atayu menasihati”. Dalam ayat ini, Luqman berperan sebagai pengajar atau penasihat bagi anaknya, yang berarti dia ‘tengah memberikan’ petuah yang diharapkan dapat dipahami, disikapi dan diamalkan oleh anaknya, demi kebaikan dirinya. : Janganlah kamu mempersekutukan Allah. Luqman, dalam hal ini, memberikan pelajaran dan nasihat pertama dan utama bagi anaknya agar menjauhi perilaku syirik (memertuhankan sesuatu selain Allah). Nasihat yang berisi larangan ini bermakna agar anaknya memiliki ‘upaya preventif’ agar tidak tejebak pada perilaku syirik dalam pelbagai bentuknya. Sebaliknya, tersirat di dalamnya nasihat Luqman agar anaknya bisa menjaga sikap tauhidnya. : Benar-benar kezaliman yang besar. Perilaku syirik itu merupakan kezaliman yang besar. Dalam pengertian, merupakan perilaku yang sangat menyimpang dari kaedah tauhid yang seharusnya dipegang erat oleh setiap orang, termasuk di dalamnnya bagi anak Luqman. Al-Îdhâh (Penjelasan) 1. Siapakah Luqmân itu? Terdapat perselisihan ulama dalam masalah penamaan ayah dan nasabnya, kenabian dan profesi serta sifat-sifat fisiknya. 1 , 1 Lihat: Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur`ân, XXI/78-80, Al-

Transcript of Nasihat ‘pertama dan utama’ luqmân untuk buah hatinya

MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB

AKHLAQ QUR’ANI MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA

Tafsîr QS Luqmân/31:13 Nasihat ‘Pertama dan Utama’ Luqmân Untuk Buah Hatinya

Nash (Teks) Ayat al-Quran

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran

kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya

mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS Luqmân/31:13).

Tafsîr al-Mufradât

: Ia memberi pelajaran kepadanya. Kata ya’izhu, berasal dari wa’azha –

ya’izhu – wa’zhan wa ‘izhatan, yang bermakna: “mengajari atayu menasihati”. Dalam ayat ini, Luqman berperan sebagai pengajar atau penasihat bagi anaknya, yang berarti dia ‘tengah memberikan’ petuah

yang diharapkan dapat dipahami, disikapi dan diamalkan oleh anaknya, demi kebaikan dirinya.

: Janganlah kamu mempersekutukan Allah. Luqman, dalam hal ini,

memberikan pelajaran dan nasihat pertama dan utama bagi anaknya agar menjauhi perilaku syirik (memertuhankan sesuatu selain Allah).

Nasihat yang berisi larangan ini bermakna agar anaknya memiliki ‘upaya preventif’ agar tidak tejebak pada perilaku syirik dalam pelbagai bentuknya. Sebaliknya, tersirat di dalamnya nasihat Luqman agar anaknya bisa menjaga sikap tauhidnya.

: Benar-benar kezaliman yang besar. Perilaku syirik itu merupakan kezaliman yang besar. Dalam pengertian, merupakan perilaku yang sangat menyimpang dari kaedah tauhid yang seharusnya dipegang erat oleh setiap orang, termasuk di dalamnnya bagi anak Luqman.

Al-Îdhâh (Penjelasan)

1. Siapakah Luqmân itu?

Terdapat perselisihan ulama dalam masalah penamaan ayah dan nasabnya,

kenabian dan profesi serta sifat-sifat fisiknya.1,

1Lihat: Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur`ân, XXI/78-80, Al-

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menjelaskan, bahwa ia adalah Luqmân bin 'Anqâ bin Sadûn.2 Sebagian besar ulama Salaf menyatakan, Luqmân bukanlah nabi dan tidak

pula mendapatkan wahyu, melainkan ia seorang wali Allah yang taat, shâlih, dan bijaksana, yang telah dikaruniakan oleh Allah berbagai keutamaan, berupa

kecerdasan akal, kedalaman pemahaman terhadap Islam, sifat pendiam dan tenang, serta hikmah dalam berkata-kata.3

Adapun mengenai profesi Luqman, di antara para ulama terjadi perpedaan

pendapat. Ada yang mengatakan, ia seorang budak hitam yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ada pula yang mengatakan sebagai penjahit. Ada pula yang

mengatakan sebagai penggembala. Dan ada pula yang mengatakan sebagai Qadhi (hakim) di masyarakat Bani Israil.4 Sedangkan mengenai sifat-sifat fisik beliau, banyak para ulama yang menjelaskan, ia adalah seorang budak Habasyah yang

hitam, berbibir tebal, dan berkaki pecah-pecah.5

2. Syirik Merupakan Kezaliman Yang Amat Besar

Pada ayat di atas, Luqmân menasihati anaknya, Tsarân6 agar tidak berbuat syirik. Sebagai seorang ayah yang telah dikaruniai Allah sifat bijaksana dan

kemampuan berkata-kata dengan kedalaman makna dan penuh hikmah,7 Luqmân memberi sebuah nasihat sangat berharga untuk buah hatinya yang sangat ia sayangi.

Dia menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu

apapun, karena syirik merupakan kezaliman yang amat besar. Karena dalam perbuatan syirik ini tidak ada suatu pun perbuatan dosa yang paling besar dan buruk daripada dosa menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dosa menyamakan

derajat Allah yang Maha Sempurna dan Yang Maha berhak untuk disembah karena

Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, XIV, 56-57, Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr , VI/317-318 dan Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/333-335.

2Lihat; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/336. Terdapat pendapat lain soal nasab beliau, seperti termaktub dalam dikemukakan oleh al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, XIV/56). Di antaranya, Luqmân bin Ba'urâ bin Nahûr bin Târah. Dan Târah adalah Azar, ayah Nabi Ibrahim.

3Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, XIV/56), Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI//318), Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm , VI/334-335) dan Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur`ân, XXI//80.

4Keterangan-keterangan tentang ini dapat dilihat di Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur`ân, XXI/79), dan Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/317-318.

5Lihat: Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur`ân, XXI/79), Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, XIV/56), Ibn al-Jauzi, Zâdul-Masîr, VI/318) dan Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/33.

6Disebutkan oleh Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, bahwa namanya adalah Tsarân. Lihat: Al-Jâmi' li Ahkâm al Qur'ân, XIV/58 dan Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, VI/336.

7QS Luqmân/31: 12.

kesempurnaan sifat-sifat-Nya; dengan makhluk-Nya yang sarat kekurangan dan kelemahan.8

Oleh sebab itu, Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, jika ia sampai mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan syiriknya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang

mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS an-Nisâ`/4:

48).

Syirik merupakan kezaliman yang sangat besar; dan keimanan seorang

muslim tidak mungkin lurus dan benar jika, masih tercampur dengan kezaliman ini, karena tidak mungkin sebuah keimanan dan tauhid bercampur dengan kesyirikan

dan kekufuran.

Ayat di atas juga memberikan isyarat yang jelas kepada para ayah atau orang tua, para guru, pengajar dan pembimbing secara umum, agar mereka menasihati anak-anaknya sejak dini. Yaitu dengan menanamkan dan memahamkan

serta mengajarkan prinsip-prinsip dasar ke-Islaman dan keimanan, berupa aqidah atau tauhid. Hal ini pun telah dicontohkan oleh seorang ayah, pembimbing, dan

guru yang terbaik, yaitu Rasulullah SAW , tatkala beliau menasihati sepupunya, 'Abdullah bin 'Abbâs r.a. yang saat itu umurnya masih sangat belia.9

'Abdullah bin 'Abbâs r.a. berkata,

8Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/336) dan As-Sa’di, Taisîr al-Karîm

ar-Rahmân, II/424. 9Umur beliau saat itu kurang dari 15 tahun. Lihat: Al-‘Utsaimin, Syarh al-Arba'în an-

Nawawiyyah, hal. 201.

“Pada suatu hari, aku pernah dibonceng oleh Rasulullah SAW, dan beliau bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; 'Jagalah Allah,

niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati-Nya di depanmu. Jika kamu ingin meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kamu ingin

memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat bergabung untuk memberikan sebuah manfaat kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan manfaat itu kecuali jika Allah telah menetapkannya untukmu. Dan jika mereka semua bergabung untuk memberikan sebuah madharrat/bahaya kepadamu,

mereka semua tidak akan bisa memberikan madharrat/bahaya itu kecuali jika Allah telah menetapkannya (pula) untukmu. Pena telah diangkat, dan buku catatan (amal) telah

kering'."10

3. Setiap Anak Wajib Berbakti dan Taat Kepada Orang Tua Selama Perintahnya

Tidak Menyalahi Syariat

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu

bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,

maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqmân/31:14-15].

10HR at-Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas, Sunan at-Tirmidzi, IV/667, hadits no.

2516. Hadits ini – menurut At-Tirmidzi, “hasan-shahîh”. Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan bahwa hadits ini ‘shahîh’. Lihat: Al-Jâmi’ ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh, I/1392, hadits no, 31931.

Pada ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini, setelah Allah memerintahkan kita untuk memenuhi hak-Nya dengan beribadah hanya kepada-Nya dan tidak

menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kemudian Allah memerintahkan kita untuk memenuhi hak orang tua, dengan berbakti dan taat kepadanya selama

perintah mereka tidak menyelisihi syariat. Kita diperintah untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua, karena merekalah yang menyebabkan kita ada di

dunia ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala ; dan terlebih lagi berbakti kepada ibu, karena, ibu telah mengandung kita, merasakan payahnya ketika kita masih berada di dalam perutnya. Hingga akhirnya melahirkan kita dengan menahan rasa

sakit yang luar biasa. Ibu mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kita. Tidak

hanya sampai di situ, ibu juga menyusui kita, mengurus dengan sabar, hingga

menyapih kita dalam jangka waktu dua tahun. Sampai akhirnya kita tumbuh berkembang, kuat dan dewasa.11 Demikian pula dengan ayah, ia telah membanting

tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan ibu.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika taat dan berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap anak. Tentunya, kewajiban

tersebut berlaku selama bakti dan ketaatan terhadap perintah mereka berdua tidak menyelisihi atau menyalahi syariat. Hal ini banyak diterangkan dalam al-Qur`ân maupun hadits-hadits shahîh, di antaranya seperti firman-Nya berikut:

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada

pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-

lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS al-

'Ankabût/29: 8).

Konkretnya, seperti yang telah diperankan oleh Sa'ad bin Abi Waqqâsh

Radhiyallahu anhu, ketika sang ibu memaksanya murtad dari Islam. Para ulama berpendapat, ayat ke-8 surat al-'Ankabût, dan ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini

di atas turun dengan sebab kisah Sa'ad bin Abi Waqqâsh r.a..12

Dalam Shahîh Muslim, dari Sa'ad bin Abi Waqqâsh, beliau berkata:

11Lihat: As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, II/424-426. 12Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyi al-Qur`ân, XXI/82, Al-Qurthubi, Al-

Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, XIV/60, Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/319) dan Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/337.

“Ibu Sa'ad (bin Abi Waqqâsh)13 bersumpah untuk tidak berbicara dengannya selama-lamanya sampai Sa'ad kufur (keluar) dari agamanya (yaitu, Islam). Dia pun bersumpah untuk tidak mau makan dan minum. Dia berkata: "Kamu telah katakan bahwa Allah memerintahkanmu untuk taat/berbakti kepada kedua orang tuamu, sedangkan aku adalah

ibumu, dan aku memerintahkanmu untuk kufur (dari Islam)". Ibu Sa'ad pun bertahan (tidak makan dan minum) selama tiga hari, hingga ia pingsan karena kepayahan. Maka salah satu anaknya yang bernama 'Umarah memberinya minum. Ibu Sa'ad pun mendoakan keburukan untuk Sa'ad, maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan dalam al-Qur`ân ayat ini: "Dan Kami

perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku

sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti

keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…"14.

Oleh karena itu, bagaimana pun keadaan orang tua, kita diwajibkan oleh Allah untuk taat dan berbakti kepada mereka,15 selama bukan merupakan perkara

maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, jika orang tua memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban untuk

mentaati perintah mereka. Rasulullah SAW telah bersabda:

13Namanya Hamnah binti Abi Sufyân bin Umayyah. Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li

Ahkâm al-Qur`ân, XIV/61. 14 HR Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqqâsh, Shahîh Muslim, VII/125, hadits no.

6391. 15Al-Qurthubi - dalam kitab tafsirnya Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân, XIV/61) --

berkata: "Pada ayat di atas (QS Luqmân/31: 15) terdapat dalil atas wajibnya berbakti kepada kedua orang tua walaupun mereka kafir. Berbakti dengan membantu memberikan harta (kita) jika mereka fakir dan miskin, dan berkata-kata lemah lembut serta mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam".

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Alllah, sesungguhnya ketaatan hanya dalam

hal yang baik.”16

Beliau (Nabi Muhammad) SAW juga bersabda:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta (Allah).”17

4. Luqmân Menanamkan Aqidah Kepada Putranya Tentang Kekuasaan Allah

Yang Mutlak dan Adanya Hari Pembalasan

(Luqmân berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha

Mengetahui.” (QS Luqmân/31: 16).

Pada QS Luqmân/31: 16, Luqmân kembali menasihati putranya, bahwa

sekecil apa pun perbuatan seseorang, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan, pasti Allah akan membalasnya. Perbuatan baik, maka balasan dari Allah pun baik.

Jika perbuatan tersebut buruk, maka balasan dari Allah pun demikian.18

Allah juga berfirman:

16HR al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâriy, IX/109, hadits no. 7257, (6/2612, 2649 no.

6726, 6830) dan HR Muslim, Shahîh Muslilm, VI/15, hadits 4871 dari Ali bin Abi Thalib. 17HR Ath-Thabarni dari Imran bin Hushain, Al-Mu’jam al-Kabîr, XIII/60, hadits

no. 14795. Muhammad Nashiruddin al-Albai menyatakan bahwa hadist ini ‘shahih’. Lihat: As-Silsilah ash-Shahîhah, I/178.

18Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/337-338 dan As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, II/426.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun, dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami

mendatangkan (pahala)nya, dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS al-

Anbiyâ`/21: 47)

Maka, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pandangan Allah. Oleh karena itu, di akhir ayat ke-16 (surat Luqmân) ini, berfirman:

“Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”

5. Luqmân Memerintahkan Kepada Puteranya Untuk Menegakkan Shalat,

Beramar Ma'ruf-Nahi Munkar dan Bersabar Terhadap Musibah

Allah berfirman,

“(Luqmân berkata): Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa

yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan

(oleh Allah).” (QS Luqmân/31: 17)

Luqmân memerintahkan si anak untuk (menegakkan) shalat, karena

merupakan (shalat) ibadah fisik yang paling penting. Selanjutnya, memerintahkan untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Aktivitas ini menuntut pengenalan akan

perkara-perkara yang ma'ruf dan kemungkaran, serta sifat pendukungnya, yaitu kelembutan dan kesabaran. Lantaran pasti akan menghadapi cobaan saat

menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar, Luqmân memerintahkan supaya bersabar. Perkara-perkara ini termasuk 'azmil-umûr (perkara besar lagi menyedot

perhatian lebih), hingga tidak ada yang memperoleh taufik untuk menjalankannya kecuali orang-orang yang bertekad baja.19

19As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hal. 648

Secara khusus, mengenai pembinaan anak-anak untuk mengerjakan shalat

sejak dini, Rasulullah SAW bersabda:

. “Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun,

dan pukullah mereka (jika tidak mau melakukan shalat) ketika mereka berumur sepuluh

tahun, dan pisahkan mereka dalam tempat tidur.”20

6. Luqman Rahimahullah Mengajarkan Kepada Puteranya Agar Tidak Sombong,

Angkuh dan Tidak Membanggakan Diri

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqmân/31: 18)

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya

kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai

setinggi gunung.” (QS al-Isrâ`/17: 37)

Dan sungguh, nasihat Luqmân ini pun telah diajarkan Rasulullah SAW untuk kita, seperti ditunjukkan beberapa hadits berikut.

'Abdullah bin Mas'ûd r.a. menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah

bersabda:

20HR Abu Dawud dari Sabrah bin Ma'bad bin 'Awsajah, Sunan Abî Dâwud, I/133,

hadits no. 495. Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan bahwa hadits ini’shahih’. Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl, I/266.,

"Tidak (akan) masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sekecil dzarrah dari

kesombongan". (Kemudian) ada seorang yang berkata: "Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sendalnya bagus," (maka) Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah itu

indah, dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan

orang lain."21

Abu Hurairah r.a. menyataka bahwa Rasulullah SAW bersabda:

.

“Tatkala seorang berjalan dengan angkuh/sombong dengan mengenakan dua lapis pakaiannya, maka Allah benamkan dia ke dalam bumi. Dia pun terus demikian naik turun

di dalam bumi sampai hari kiamat.”22

Hâritsah bin Wahb al-Khuzâ'i r.a. pernah mendengar SAW bersabda:

... .

"… Maukah aku beritahu kalian; siapakah penghuni neraka?" Mereka menjawab: "Tentu".

Rasulullah bersabda: "Setiap orang yang kasar, tamak/serakah dan sombong."23

7. Luqmân Mengajarkan Kepada Puteranya Agar Bersikap Tawâdhu', Tenang

dan Tidak Meninggikan Suara

21HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, I/65, hadits no. 275. 22HR Muslim dari Abu Hurairah, Shahîh Muslim, VI/148, hadits no. 5588. 23HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, VI/198, hadits no. 4918 dan HR Muslim,

Shahîh Muslim, VIII/154, hadits 7566, dari Hâritsah bin Wahb al-Khuzâ'i r.a.

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-

buruk suara ialah suara keledai.” (QS Luqmân/31: 19)

Pada ayat ke-19, Luqmân juga menasihati putranya untuk tawâdhu' (rendah

hati), tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat dalam berjalan. Dia juga menasihati anaknya untuk tidak berlebih-lebihan dalam berbicara, dan tidak meninggikan suara untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya pada pembicaraan

tersebut. Sampai-sampai Luqman mengumpamakannya dengan suara keledai yang buruk.

Ibnu Katsîr berkata: "Seburuk-buruk perumpamaan orang yang

meninggikan suaranya adalah bagaikan keledai dalam ringkikannya. Selain itu, suara ini pun dibenci oleh Allah."24

8. Pesan dan Nasihat IbnuQayyim al-Jauziyah Untuk Para Ayah, Orang Tua dan

Pendidik Secara Umum

Sebelum merenungkan nasihat Ibnu Qayyim al-Jauziyah, marilah kita renungi dan pahami terlebih dahulu sabda Rasulullah berikut:

... .

“Tidak ada seorang (bayi pun) yang dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fithrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan

Majusi…”25

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:26 Sebagian Ulama berkata: Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada ayah -pada hari Kiamat nanti- (tentang)

apa yang telah dilakukannya terhadap anaknya, sebelum Allah bertanya kepada anak, (tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap ayahnya.

Karena, sebagaimana ayah memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh anaknya, maka anak pun memiliki hak yang harus di penuhi oleh ayahnya. Dan

sebagaimana Allah berfirman:

...

24Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, VI/339. 25HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, II/118, hadits no. 1358 dan HR Muslim,

Shahîh Muslim, VIII/52, hadits no. 6926, dari Abu Hurairah. 26Lihat: Abu 'Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyûb az-Zar'i, Tuhfah al-

Maudûd bi Ahkâm al-Maulûdh. 386-387.

“Dan kami wajibkan manusia (berbuat) baik kepada dua orang ibu-bapaknya ...” (QS -al-

'Ankabut/29: 8), maka Allah pun berfirman:

... “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang

bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (QS at-Tahrim/66: 6), dan 'Ali bin Abi

Thalib r.a. berkata: "Yaitu, ajarilah dan didiklah anak-anak kalian!".27

Sehingga, perintah Allah kepada ayah untuk memperhatikan dan

memenuhi hak-hak anaknya, lebih Allah dahulukan daripada perintah-Nya kepada

anak untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak ayahnya. (Sebagaimana) firman Allah:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan...” (QS al-

Isrâ`/17: 31), sehingga barang siapa melalaikan pendidikan anaknya agar mengetahui hal-hal yang bermanfaat untuknya, dan menyia-nyiakannya; maka

sungguh ia telah berbuat keburukan terhadap anaknya dengan seburuk-buruknya. Dan mayoritas anak, tidaklah mereka menjadi rusak melainkan karena ayahnya.

Ayahnyalah yang lalai mendidik anaknya, dan lalai menanamkan serta memahamkan prinsip-prinsip dasar agama dan sunnah-sunnahnya. Akhirnya, (ayah

seperti inilah yang) telah menyia-nyiakan anaknya (sendiri) sejak kecil, dan tidak memberinya manfaat. Sehingga ketika ia telah dewasa, ia pun tidak (bisa) memberikan manfaat apapun kepada ayahnya. Seperti yang pernah terjadi pada

sebagian anak yang mencela ayahnya (karena kelalaiannya), ia berkata: "Wahai ayahku, sebagaimana engkau tidak mendidikku saat masa kecilku, maka kini saat

aku telah dewasa mendurhakaimu! Wahai ayahku, sebagaimana engkau telah menyia-nyiakan diriku (dahulu) ketika aku bayi, maka kini aku pun menyia-

nyiakanmu ketika engkau menjadi seorang kakek tua".

Kesimpulan dan ‘Ibrah (Pelajaran Yang Dapat Dipetik) Dari Ayat ini28

Dari pembahasan di atas, dapat diperoleh beberapa kesimpulan dan ‘ibrah.

1. Ayat ini (QS Luqmân/31: 13) menerangkan bahwa ‘pendidikan’ anak harus

dimulai dengan penanaman nilai tauhid. Karena nilai tauhid inilah yang akan mengarahkan anak itu menjadi orang yang berakhlak mulia. Sebaliknya,

27Atsar ini dishahîhkan oleh Syaikh Salim bin 'Id al-Hilâli dalam tahqîq beliau

terhadap kitab Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, hal. 375. 28Lihat: Al-Jazairi, Aisar at-Tafâsîr li Kalâm al-'Aliyyil-Kabîr, II/993-994.

ketika anak dibiarkan untuk mencerap nilai-nilai syirik, maka kelak ‘dia’ akan cenderung memiliki akhlak (yang) tercela.

2. Disamping itu, ayat ini juga menjelaskan arti pendidikan akhlak, yang dimulai dengan penanaman sikap syukur atas nikmat Allah, yaitu bersyukur

kepada Allah dengan cara membangun ketaatan kepada-Nya dan selalu ingat kepada-Nya.

3. Ayat ini juga menerangkan kewajiban anak untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, dengan penetapan kaedah: "tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta (Allah)". Yaitu dengan

tidak menaati (perintah) orang tua dalam hal-hal yang tidak baik (menurut

syariat).

4. Kepada orang tua, disarankan agar selalu memantau perkembangan anak-anaknya, agar anak-anaknya menjadi anak-anak yang saleh.

5. Kepada mereka (para orang tua) dianjurkan agar membimbing anak-anaknya untuk menegakkan shalat, beramar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar terhadap apa-apa pun musibah yang dialaminya.

6. Ayat ini juga mengajarkan kepada para orang tua (dan juga para pendidik) agar berkesediaan untuk menanamkan nilai-nilai akhlak mulia kepada anak-

anak mereka, antara lain dengan memberikan teladan kepada anak-anaknya untuk tidak bersikap angkuh dan sombong, serta membangun sikap rendah

hati dan mengarahkan anak-anak agar tidak bersikap angkuh dan sombong, dengan cara melatih anak-anak untuk membiasakan diri: “bersikap rendah hati” kepada siapa pun, di mana pun kapan pun kita berada.

Wallâhu A'lamu bish-Shawâb.