Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
-
Upload
anom-astika -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
1/14
1
Nalar Ekonomi-Politik Prabowo:Studi Kasus Kebijakan MP3EI dan Pengandaiannya
Martin Suryajaya
[dimuat 4 Juni 2014 di Indoprogress.com/logika/]
Perdebatan tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) kembali marak belakangan ini. Tak pelak lagi,
salah satu sebabnya adalah karena dalam momentum pemilu ini, Prabowo sebagai
salah satu capres yang dikenal mengangkat kebijakan nasionalisasi dan ekonomi
kerakyatan mencantumkan dalam dokumen Visi-Misinya tiga butir kebijakan yang
mengadopsi MP3EI:
1. Butir I.7: Membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Keuangan yang
terintegrasi dengan pariwisata, properti, pendidikan, industri kreatif, jasa-jasa
dan ritel komersial.
2. Butir III.1: Mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkanproduktivitas pangan ... disesuaikan dengan pengembangan koridor ekonomi
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI).
3. Butir VI.1: Mempercepat pembangunan infrastruktur dasar untuk mendukung
proses produksi dari kegiatan ekonomi utama pada 6 koridor ekonomi
MP3EI.
Pokok kedua dan ketiga secara eksplisit menyebut MP3EI sebagai pedoman kebijakan.
Biarpun pokok pertama tidak demikian eksplisit, tetapi pengertian KEK dapat dirujuk
kembali ke dokumen MP3EI sebagai upaya klasterisasi atau koridorisasi ekonomi
dengan nafas MP3EI. Bagi mereka yang akrab dengan kajian Marxis, tentu
pemandangan ini sangat aneh: bagaimana mungkin bicara kebijakan nasionalisasi danekonomi kerakyatan tetapi di sisi lain bicara MP3EI? Nalar macam apakahkalau
memang adayang bekerja di balik Visi-Misi itu? Dalam tulisan ini, saya tidak akan
mengasumsikan terlebih dulu keakraban para pembaca dengan model analisis Marxian.
Saya akan mengartikulasikan kritik imanen atas kebijakan MP3EI dari sudut pandang
nalar ilmu ekonomi itu sendiri. Saya akan coba menunjukkan bahwa kebijakan
neoliberal macam MP3EI yang diselimuti aroma kerakyatan oleh Prabowo dapat
dikritik melalui sudut pandang filsafat ilmu ekonomi pada umumnya. Dalam tulisan
ini, bahkan nama Marx pun tak akan kita temui. Tak perlu menggunakan meriam
untuk membasmi nyamuk. Ini adalah uji coba dari apa yang saya sebut tempohari
sebagai artikulasi politik, yakni memajukan agenda Marxis setapak demi setapak
melalui rumusan argumentatif yang dapat disepakati oleh kaum non-Marxis.
Sekilas tentang Nalar Metodologis dan Kebijakan Publik
Dalam karyanya yang sudah jadi klasik, Miriam Budiardjo mendefinisikan
beleid atau kebijakan publik sebagai suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan itu.1
Dalam pengertian ini tidak mengemuka asal-muasal substantif
dari keputusan yang dimaksud. Sebuah atau sehimpun kebijakan disebut sebagai
kebijakan publik tidak hanya karena subjek dan objeknya berciri publik (negara
sebagai subjek dan warga negara sebagai objek), melainkan juga karena muatannya
bersifat publik. Apa yang dimaksud muatan di sini tak lain adalah substansi isi dari
1 Miriam Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi) (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 20.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
2/14
2
kebijakan tersebut. Isi kebijakan publik tak pernah dapat dilepaskan dari gugus
pengertian yang dihasilkan oleh orang banyak, yakni gugus pengertian yang bernama
ilmu pengetahuan (science). Dalam arti ini, sebuah kebijakan berciri publik karena
kebijakan tersebut memuat andaian-andaian keilmuan yang dikembangkan oleh
masyarakat terpelajar. Dengan kata lain, ada andaian keilmiahan dari setiap kebijakan
publik.Bersama dengan adanya andaian keilmiahan di balik setiap kebijakan publik,
terdapat pula masalah-masalah. Hal ini terjadi karena berbagai andaian yang berlaku
dalam ilmu-ilmu kerapkali masih diperdebatkan kesahihannya. Andaian tertentu dapat
menjelaskan fenomena tertentu, tetapi masih menyimpan sekelumit masalah lain yang
belum terselesaikan. Dalam ranah ilmu-ilmu, masalah seperti itu dengan mudah
dikesampingkan untuk sementara melalui langkah metodologis penggunaan klausa
ceteris paribus: dengan mengandaikan faktor-faktor lain konstan, maka dapat
disimpulkan bahwa teorix benar dan dapat menjelaskan rumpun fenomenay. Dengan
kata lain, teori x benarjika dan hanya jika semua faktor lain diasumsikan konstan
(ceteris paribus) dalam arti tidak berpengaruh pada fenomena yang mau dijelaskan.
Adapun demikian, muncullah problem ketika hasil kerja ilmu seperti teori x di mukahendak dijadikan kerangka acuan perumusan kebijakan publik. Problem ini berakar
pada perbedaan kondisi yang menjadi titik tolak kerja ilmuwan dan perumus kebijakan.
Sementara ilmuwan dapat bekerja dalam kondisi lingkungan yang terkendali
(controlled environment) baik secara harfiah dalam wujud laboratorium (untuk ilmu-
ilmu alam) maupun secara metaforis dalam rupa penggunaan klausa ceteris paribus
(untuk ilmu-ilmu sosial), para pengambil kebijakan berangkat dengan kondisi yang
berbeda. Seorang perumus kebijakan ekonomi tidak bisa mengasumsikan begitu saja
keseragaman tingkat pendidikan masyarakat atau angka kematian ibu melahirkan
dalam rangka membangun model kebijakan ekonomi. Kondisi yang dihadapi perumus
kebijakan adalah kenyataan sosio-historis yang tak bisa disulap menjadi lingkungan
yang terkendali melalui intervensi laboratorium ataupun klausa ceteris paribus.
Karenanya, pengambil-alihan begitu saja teori-teori yang dihasilkan ilmu-ilmu untuk
keperluan perumusan kebijakan tanpa menyadari masalah dalam andaian ilmu-ilmu
tersebut adalah langkah yang sarat dengan kekacauan metodologis yang efeknya akan
terasa pada output, outcome dan impactkebijakan tersebut dalam kenyataan.
MP3EI sebagai Model Makro Kebijakan Ekonomi Indonesia
Sejak diberlakukannya amandemen terhadap UUD 1945, kebijakan
pembangunan di Indonesia tak lagi didasarkan atas Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Pada masa lalu, visi pembangunan terencana dirumuskan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam rupa GBHN dan diimplementasikan oleheksekutif melalui serangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang
dijalankan antara tahun 1969-1997, meliputi REPELITA I hingga (sebagian dari) VI.
Amandemen yang dibuat selama masa Reformasi, khususnya amandemen terhadap
Pasal 3 UUD 1945, telah menghilangkan kuasa MPR untuk merancang GBHN.
Bersama dengan itu, hilanglah orientasi pembangunan jangka panjang nasional. Hal
ini dipersoalkan oleh berbagai kalangan. Hartarto Sastrosoenarto, dalam memoar yang
memuat pandangannya tentang industrialisasi di Indonesia, merefleksikan hilangnya
GBHN dan keperluan untuk menggantikannya dengan model perencanaan serupa.2
Perdebatan tentang perlu dibangun kembalinya GBHN juga berkembang di kalangan
2 Lih. Hartarto Sastrosoenarto, Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju
Visi Indonesia 2003 (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 98-99.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
3/14
3
akademisi. Pada bulan September 2012, Pusat Studi Pancasila dari Universitas Gajah
Mada bekerja sama dengan MPR mengadakan focus group discussion bertema
Reformulasi Model GBHN: Upaya Penyatuan sistem Pembangunan Nasional dan
Daerah.3
Kendati demikian, hilangnya GBHN tidak membuat Indonesia kehilangan
pegangan perencanaan pembangunan sama sekali. Melalui UU No. 25 tahun 2004tentang rencana pembangunan nasional, dirumuskanlah beberapa pokok program
pembangunan dan institusi penopangnya. Perencanaan pembangunan setingkat
REPELITA kini dirumuskan ulang sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) dengan alokasi waktu lima tahun, sementara RPJM ini disusun berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang berlangsung selama 25 tahun.
Apabila MPR adalah pihak yang berwenang merumuskan GBHN, siapakah yang
berwenang merumuskan RPJP? Dinyatakan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 21
dari UU tersebut: Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya
disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana
pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah. Musrenbang adalah
pihak yang punya wewenang untuk merumuskan RPJP: musrenbang daerahberwenang untuk merumuskan RPJPD, sementara musrenbang nasional berwenang
untuk merumuskan RPJPN. Oleh karena keanggotaan musrenbang mencakup semua
warga masyarakat tanpa kecuali, maka skema perencanaan yang diturunkan dari UU
No. 25 tahun 2004 ini dapat dilihat sebagai model pembangunan ekonomi yang lebih
demokratis.4
Artinya, terbuka ruang dimana masyarakat dapat mengintervensi secara
politik, melalui gagasannya sendiri, jalan pembangunan yang telah ditetapkan
pemerintah sejak Orde Baru.
RPJPN hasil musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat nasional
berhasil dirumuskan pada tahun 2005 dan dibakukan ke dalam UU No. 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Inilah yang
kemudian diterjemahkan menjadi seperangkat kebijakan operasional melalui Perpres
No. 32 tahun 2011 dengan tajuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025, atau yang umumnya dikenal sebagai MP3EI.
Masterplan ini merupakan artikulasi dari rancangan pembangunan ekonomi yang
dipercepat. Percepatan ini hendak diraih melalui pembesaran investasi asing dan
pembatasan peran pemerintah. Dalam brosur empat bagian yang dilampirkan pada
Perpres tersebut didesakkan beberapa revisi secepatnya atas sejumlah aturan hukum
yang dipandang menghambat percepatan pembangunan, antara lain:5
1. Revisi atas UU & PP Keagrariaan dengan arah privatisasi tanah ulayat
2. Revisi UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dengan arah
privatisasi usaha penyediaan sumber daya listrik3. Revisi PP No. 38 tahun 2003 tentang Pembebasan Bea Masuk
4. Percepatan revisi PP No. 62 tahun 2008 dengan arah peringanan pajak
investasi
3 Lih. http://psp.ugm.ac.id/reformulasi-model-gbhn-upaya-penyatuan-sistem-pembangunan-nasional-
dan-daerah.html.4 Ini juga kesimpulan umum dari penelitian yang dibuat LSM Demos, terlepas dari kritiknya atas masih
maraknya fenomena jagoan lokal yang mendominasi musrenbang maupun tidak responsifnya DPR
maupun DPRD terhadap saran yang diberikan musrenbang. Lih. Widiyanto dan Syafaatun Kariadi,
Representasi Popular dalam Penganggaran Partisipatif(Jakarta: Demos, 2011), h. 116-146.5
Lih. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan PerluasanPembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian,
2011), h. 179-181 (Bab IV).
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
4/14
4
Revisi perundangan-undangan inilah yang dalam kosakata dokumen MP3EI disebut
sebagai debottlenecking, yang sebetulnya hanyalah nama baru dari istilah lama:
deregulasi. Dapat dilihat dari skema yang tertuang di dalam brosur tersebut bahwa
MP3EI dilandasi oleh falsafah liberal yang mengutamakan pembukaan ruang sebesar-
besarnya bagi modal asing demi suatu tata ekonomi yang efisien dan kompetitif.
Efisiensi ekonomi, diandaikan di sini, akan tercipta manakala semua agen ekonomidibiarkan bergerak seturut rasionalitas ekonominya. Ciri liberal dari kebijakan
deregulasi dan privatisasi ini berakar pada andaian antropologi-ekonomisnya, yakni
konsepsi tentang manusia ekonomi (homo economicus).
Falsafah liberal MP3EI mengemuka dengan jelas dalam arahan untuk
membangun koridor ekonomi berbasis kewilayahan. Sebagaimana diuraikan oleh
kajian Bappenas, strategi utama MP3EI adalah mengembangkan enam koridor
ekonomi demi menciptakan konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan
terhubung secara internasional.6
Keenam koridor yang dimaksud dan fokus
pembangunannya adalah sebagai berikut:
1. Koridor Sumatera: hasil bumi dan energi
2. Koridor Jawa: industri dan jasa3. Koridor Kalimantan: hasil tambang dan energi
4. Koridor Bali-Nusa Tenggara: pariwisata dan pangan
5. Koridor Sulawesi: hasil tani, perikanan, migas dan tambang
6. Koridor Papua-Maluku: energi, pangan, perikanan dan tambang
Dengan kata lain, apa yang hendak disasar oleh para perumus kebijakan ini adalah
pembagian kerja nasional berbasis kewilayahan. Ini diupayakan demi memacu daya
saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Strategi ini dapat dicirikan liberal
sejauh salah satu ekspresi awal kebijakan liberal di Eropa dibasiskan pada
pertimbangan mengejar keunggulan komparatif (comparative advantage) seperti
digagas oleh David Ricardo.
Akhirnya, falsafah umum dari kebijakan MP3EI dapat kita eksplisitkan sejauh
kita kontekskan pada proses amandemen Pasal 33 UUD 45. Arahan ke swastanisasi
BUMN dan sumber hidup masyarakat dalam MP3EI bertopang pada amandemen
bercorak liberal atas Pasal 33 UUD 45 yang pada mulanya dibentuk oleh gagasan
kesejahteraan sosial dan pemerataan ekonomi. Dalam rapat Tim Ahli Ekonomi dari
Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tahun 2002 terjadi perdebatan keras tentang
perlu/tidaknya amandemen terhadap pasal tersebut.7
Syahrir, Sri Mulyani, Didiek J.
Rachbini, dan lain-lain, mendukung perlunya perubahan terhadap Pasal 33 untuk
mengakomodasi tuntutan global akan privatisasi. Sementara Mubyarto, ketua Tim
tersebut, menolak upaya amandemen itu dengan argumen bahwa substansi Pasal
tersebut sudah mencerminkan falsafah ekonomi Indonesia yang mengutamakankesejahteraan sosial dan pemerataan. Rapat tersebut berakhir dengan pengunduran diri
Mubyarto sebagai ketua karena mayoritas anggotanya lebih sepakat dengan ide
amandemen di muka. Alhasil, dalam bentuk yang telah diamandemen, Pasal 33
mengandung Ayat baru, yakni Ayat 4, yang menyatakan prinsip kebersamaan (alih-
alih prinsip kekeluargaan)8
dan efisiensi berkeadilan sebagai kerangka acuan
6 Mustopadidjaja A.R. dkk., ed., Bappenas dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia
1945-2025 (Jakarta: LP3ES dan Paguyuban Alumni Bappenas, 2012), h. 428-430.7 Mengenai inside story dari perdebatan dalam rapat ini, lih. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi
(Jakarta: Kompas, 2010), h. 249-261.8
Mubyarto hendak mempertahankan prinsip kekeluargaan, tetapi kemudian ditolak oleh anggotasidang yang lain yang lebih mengedepankan prinsip kebersamaan. Lih. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
Ekonomi, h. 260. Prinsip kebersamaan lebih dekat dengan konsepsi ekonomi bisnis tentang
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
5/14
5
perekonomian Indonesia. Adapun konsep efisiensi sendiri utamanya lebih berkaitan
dengan gagasan tentang mekanisme pasar sebagai satu-satunya penjamin efisiensi
ekonomi dan karenanya frase efisiensi berkeadilan nyaris tampak seperti sebuah
oxymoron. Dengan demikian, amandemen atas Pasal 33 UUD 45 dapat dikatakan
telah menyediakan kerangka falsafah bagi kebijakan MP3EI yang berciri liberal.
Dengan kata lain, jika hendak ditarik kesimpulan yang lebih umum, dapat dikatakanbahwa MP3EI yang dijamin oleh amandemen terhadap Pasal 33 diresapi oleh andaian
tentang kebebasan sebagai kerangka acuan pembangunan ketimbang kesetaraan.
Berdasarkan uraian empiris tentang MP3EI di muka, kita telah menemukan
dua pengandaian dasar ilmu ekonomi yang ikut masuk ke dalam pola pikir perumusan
kebijakan publik. Ketiga pengandaian tersebut adalah sebagai berikut: pertama,
asumsi tentang manusia ekonomi dalam memandang keperluan bagi deregulasi;
kedua, asumsi tentang keunggulan komparatif dalam argumen soal perlunya
koridorisasi ekonomi. Kedua pengandaian ini akan saya kupas secara berturut-turut
berdasarkan sejarah pemikiran yang melatarbelakanginya dan masalah-masalah
inheren yang terkandung di dalamnya.
Pengandaian 1:Homo Economicus dan Masalah Deregulasi
Dalam literatur ekonomi-politik, dikenal istilah manusia ekonomi (homo
economicus). Sosok yang dimaksud adalah individu pelaku ekonomi yang digerakkan
oleh motif pengejaran kepentingan-diri (self-interest). Dalam konsepsi ini,
diasumsikan bahwa motif pengejaran kepentingan-diri merupakan satu-satunya motif
yang ada dalam kegiatan perekonomian manusia. Kendati gagasan tersebut sudah
dibicarakan sejak era Yunani, Adam Smith lah yang pertama kali membawanya ke
dalam kerangka penalaran ekonomi yang sistematis. Dalam Wealth of Nations, Smith
menulis:
Bukanlah dari kebaikan hati sang tukang daging, peramu
minuman atau tukang roti kita mengharapkan santap malam
kita, melainkan dari perhatian mereka terhadap kepentingan
mereka sendiri. Kita menghaturkan diri kita tidak terhadap
kemanusiaan mereka, melainkan terhadap rasa cinta-diri
mereka, dan jangan pernah berbicara pada mereka tentang
keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-
keuntungan mereka.9
Interaksi antar manusia dalam ranah ekonomi, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan
di muka, tidak terjadi pada aras hubungan interpersonal antar manusia dengan nilai-
nilai kemanusiaannya. Dalam ranah ekonomi apa yang relevan hanyalah bahwa
masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dipandang sebagai agen-agen yang membawa kepentingan-dirinya masing-masing dan mengevaluasi situasi
berdasarkan kepentingan-diri tersebut.
Kepentingan-diri merupakan unsur utama pembentuk rasionalitas ekonomi.
Dalam kajiannya tentang rasionalitas, Maurice Godelier menunjukkan pertanyaan
utama yang dipermasalahkan dalam hal rasionalitas ekonomi: Bagaimanakah
semestinya agen-agen ekonomi mesti bertindak dalam sistem ekonomi tertentu untuk
kemitraan (partnership) dalam sistem perseroan (one share one vote) dan karenanya mencerminkan
pendekatan yang lebih liberal tentang ekonomi daripada prinsip kekeluargaan.9 Adam Smith,An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (Hampshire: Harriman
House, 2007), h. 9-10.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
6/14
6
mencapai tujuan-tujuan yang telah mereka tetapkan sendiri?10
Dalam pertanyaan
tersebut, kepentingan-diri mengemuka dalam tujuan-tujuan yang ditetapkan agen
ekonomi. Oleh karenanya, rasionalitas ekonomi tidak lain mengacu pada metode
tindakan yang paling optimal dalam rangka mewujudkan kepentingan-diri. Seseorang
dapat dikatakan rasional secara ekonomis apabila (1) ia bertindak sesuai dengan
kepentingan-dirinya dan (2) tindakannya diwujudkan secara optimal dalam arti meraihpencapaian kepentingan-diri tertinggi dengan biaya terendah.
Konsepsi tentang rasionalitas ekonomi inilah yang membentuk sesosok
makhluk yang dinamai para ekonom sebagai manusia ekonomi (homo economicus)
atau kerap juga disebut rational economic man. Manusia ekonomi adalah agen
ekonomi yang bergerak sepenuhnya atas dasar kepentingan-diri dan metode
aktivitasnya diatur berdasarkan rasionalitas ekonomi. Model antropologi-ekonomis
tentang homo economicus ini mengemuka, antara lain, dalam Hukum Gossen Kedua
yang menyatakan bahwa seorang agen ekonomi akan terus menukarkan dua jenis
komoditas sampai pada suatu titik dimana nilai komoditas terakhir sama dengan nilai
komoditas yang hendak peroleh, dengan kata lain, sampai ketika tak ada lagi
pemenuhan kepentingan-diri yang dapat dicapai lewat pertukaran itu.11 Oleh karenahukum ini demikian berpengaruh pada teori-teori ekonomi selanjutnya (misalnya,
dalam hukum variasi utilitas dalam ekonomika William Stanley Jevons yang
kemudian beranak-pinak ke dalam tradisi ekonomi Neoklasik), kita dapat
memperkirakan betapa besarnya pengaruh asumsi tentang homo economicus dalam
ilmu ekonomi modern. William Stanley Jevons, seorang pelopor ekonomi modern,
bahkan sampai mendefinisikan ilmu ekonomi berdasarkan rasionalitas manusia
ekonomi, yakni konsepsi tentang ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mengkaji cara
memaksimalkan kebahagiaan dengan membeli kenikmatan pada tingkat ongkos rasa
sakit yang terkecil.12
Pengertian kepentingan-diri, rasionalitas ekonomi serta manusia ekonomi
bukan hanya spekulasi yang dikerjakan para ekonom di waktu senggang. Pengertian
tersebut tertanam di dalam dasar ilmu ekonomi dan mengemuka dalam hampir setiap
detail teori ekonomi spesifik yang diajukan para ekonom. Contoh paling klasik dari
fungsi konsep kepentingan-diri dalam penalaran praktis ekonomi ditunjukkan oleh
Adam Smith dalam teorinya tentang harga alamiah (natural price). Harga alamiah
adalah harga yang sepenuhnya ditentukan oleh jumlah sewa, upah kerja dan laba, serta
mengesampingkan faktor-faktor kontinjen akibat kesenjangan antara penawaran dan
permintaan komoditas. Smith berargumen bahwa harga macam inilah yang akan
menjadi tendensi jangka panjang dari semua harga komoditas. Inilah yang dirangkum
Smith dalam Hukum Nilainya.
Andaikan sekantung peniti memiliki harga alamiah Rp. 500 dan memerlukandua jam kerja untuk memproduksinya, sementara sepotong baju memiliki harga
alamiah Rp. 2000 dan memerlukan 8 jam kerja untuk memproduksinya. Andaikan
bahwa harga alamiah dan harga pasarnya identik. Sekarang andaikan bahwa karena
kenaikan permintaan akan peniti, harga pasarnya menjadi Rp. 1000. Kenaikan ini akan
menyebabkan para pelaku industri garmen beralih ke industri peniti. Sebabnya karena
dengan dua jam kerja mereka dapat menghasilkan Rp. 1000 dibandingkan dengan
delapan jam kerja yang hanya menghasilkan Rp. 2000. Namun kenaikan ini tidak akan
10 Maurice Godelier, Rationality and Irrationality in Economics, terj. Brian Pearce (London: Monthly
Review Press, 1972), h. 11.11
Lih. Ernesto Screpanti dan Stefano Zamagni, An Outline of the History of Economic Thought(Oxford: Oxford University Press, 2005), h. 107.12 William Stanley Jevons, The Theory of Political Economy (London: Macmillan and Co., 1888), h. 23.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
7/14
7
bertahan lama karena penawaran peniti akan membanjiri pasar dan akibatnya
menurunkan harga pasarnya sehingga memaksa para industrialis untuk keluar dari
industri peniti dan kembali ke industri garmen. Akibatnya, harga pasar peniti dan baju
kembali identik dengan harga alamiahnya. Dengan kata lain, ada tendensi kembalinya
fluktuasi harga akibat kesenjangan penawaran-permintaan ke ongkos produksi atau
harga alamiah. Fenomena inilah yang ditangkap Smith dalam Hukum Nilainya yangterkenal bahwa harga alamiah adalah harga pusat yang mana harga semua komoditas
secara terus-menerus bergravitasi [gravitating]padanya.13
Melalui ilustrasi penalaran praktis ekonomi dalam rupa Hukum Nilai di muka,
dapat kita lihat betapa pentingnya peran yang dimainkan oleh asumsi tentang
kepentingan-diri dan rasionalitas ekonomi. Harga aktual komoditas tidak akan
bergravitasi ke harga alamiahnya apabila seandainya para pelaku industri garmen
tidak digerakkan oleh motif pencarian kepentingan-diri, sebuah motif yang
membimbingnya untuk, dalam ilustrasi di muka, mengalihkan investasinya ke industri
peniti yang lebih menguntungkan. Dengan demikian, Hukum Nilai mengandaikan
berlakunya asumsi homo economicus sebagai satu-satunya jenis agen ekonomi yang
ada di kenyataan agar Hukum tersebut berlaku secara aktual. Apabila asumsi ini tidakdipenuhi dalam kenyataan, maka Hukum tersebut tak dapat digunakan untuk
menjelaskan fenomena perubahan harga aktual. Inilah batas dari andaian tentang
manusia ekonomi.
Andaian tentang kepentingan-diri juga berlaku dalam hal kebijakan ekonomi
yang lebih umum. Argumen Smith tentang invisible handyakni bahwa pasar yang
tidak diintervensi secara sepihak oleh kepentingan politik akan secara spontan
menghasilkan alokasi sumber daya yang optimalsejatinya juga diturunkan dari
asumsi kepentingan-diri. Hal ini sudah diketahui bahkan oleh Bernard Mandeville,
jauh sebelum Smith. Dalam Fable of the Bees, Mandeville menulis bahwa Yang
terburuk dari masyarakat banyak justru menyumbang bagi kebaikan umum.14
Yang ia
maksudkan tak lain adalah kepentingan-diri. Kendati si tukang daging, petani, tukang
roti, dan setiap anggota masyarakat ekonomi bekerja berdasarkan kepentingan masing-
masing secara egoistis, asalkan semuanya berkompetisi bebas dalam pasar persaingan
sempurna dan pemerintah dengan kepentingan politiknya tidak melakukan intervensi
di sana-sini, justru alokasi sumber daya dalam situasi seperti ini akan optimal dan
pertumbuhan ekonomi terwujud.
Dengan gampang dapat kita lihat bagaimana argumen seperti di muka itu
sangat mudah digunakan untuk mendukung kebijakan deregulasi. Apabila dengan
kepentingan-diri masing-masing agen-agen ekonomi di pasar dapat menciptakan
distribusi kekayaan yang optimal dan pertumbuhan ekonomi, sementara intervensi
politik atas pasar akan mengganggu tatanan spontan itu, maka satu-satunya tugaspemerintah di lapangan ekonomi adalah undur-diri. Dalam konsepsi ini, pemerintah
diharapkan fungsinya sebatas menyediakan kepastian hukum (atau dalam ungkapan
yang kerap diulang: menegakkan rule of law) agar bisnis berjalan lancar dan tidak
semestinya merecoki substansi perekonomian itu sendiri dengan kebijakan yang
menguntungkan sebagian pihak seperti memberi insentif bagi usaha kecil,
memonopoli sumber daya penting melalui BUMN, menghapuskan bea masuk bagi
hasil industri luar negeri biarpun itu akan menghancurkan industri dalam negeri, dan
sebagainya. Hal ini, dalam andaian homo economicus, justru akan merusak
kesetimbangan yang tercipta secara spontan dari mekanisme pasar. Singkatnya,
13
Adam Smith, op.cit., hlm. 38.14 Bernard Mandeville, The Fable of the Bees, dalam Kelly Rogers, ed., Self-Interest: An Anthology of
Philosophical Perspectives (New York: Routledge, 1997), h. 110.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
8/14
8
pemerintah mestinya mengadopsi falsafah kebijakan biarkan saja (laissez-faire).
Konsekuensinya, pemerintah mesti menjalankan deregulasi (menghapus aturan-aturan
yang merintangi gerak spontan pelaku ekonomi) dan semua bentuk monopoli negara
terhadap sumber daya ekonomi mesti dihapuskan. Kebijakan privatisasi BUMN
hanyalah salah satu muara dari argumen semacam ini.
Masalahnya kemudian, tatanan ekonomi yang konon tercipta secara spontandari agen-agen ekonomi dengan kepentingan-dirinya ini nyatanya bertopang pada
klausa ceteris paribus tersembunyi. Dalam model invisible handSmithian, misalnya,
terdapat tidak kurang dari tiga invisible assumptions ini:
1. Berlakunya pasar persaingan sempurna
2. Adanya pemilikan informasi yang simetris antar agen
3. Berlakunya reproduksi tak hingga atas komoditas
Ketiga asumsi ini berlaku sebagai syarat dari penyimpulan Smithian yang akan
diringkas sebagai PS berikut:
PS: jika perekonomian digerakkan oleh kepentingan-diri masing-masing agennya,
maka alokasi sumber daya dan pertumbuhan ekonomi yang optimal akan
tercapaiDengan demikian, kita memperoleh tiga proposisi berikut:
a. Jika 1, maka PS benar
b. Jika 2, maka PS benar
c. Jika 3, maka PS benar
Akan tetapi, kita dengan mudah dapat menunjukkan bahwa dalam perekonomian
aktual asumsi 1, 2 dan 3 tidak selalu, atau bahkan jarang, berlaku. Berikut ini, saya
tampilkan tiga kontra-asumsi yang sangat mudah dijumpai di kenyataan:
1* Berlakunya kartel dan monopoli
2* Adanya perbedaan tingkat informasi antar agen
3* Ketidakmungkinan reproduksi tak hingga atas komoditas akibat faktor ekstra-
ekonomis
Kontra-asumsi 1*, 2* dan 3* ini adalah asumsi yang berlaku dalam kenyataan sehari-
hari. Dalam perekonomian aktual, kerapkali terjadi industri besar yang mencapai titik
tertentu dapat memperoleh akses ke produksi komoditas dari hulu ke hilir. Kerapkali
juga terjadi, jika bukannya malah selalu, agen ekonomi yang satu memiliki informasi
yang berbeda tentang kondisi pasar dibanding agen ekonomi yang lain. Demikian juga
dalam hal asumsi 3*, tidak ada komoditas yang dapat direproduksi sampai tak hingga
karena batas-batas reproduksi dikondisikan oleh batas-batas ekologis dan kondisi
ekologis tidaklah selentur kondisi sosial.15
Dengan memasukkan kontra-asumsi ini
dalam penyimpulan tentang PS, maka kita memperoleh hasil berikut
a* Jika 1*, maka PS kelirub* Jika 2*, maka PS keliru
c* Jika 3*, maka PS keliru
Namun asumsi keilmuan yang melandasi paradigma debottlenecking dalam kebijakan
MP3EI adalah sebagai berikut:
I. Jika 1, 2 dan 3, maka PS benar
II. MP3EI benar jika dan hanya jika PS benar
III. Jadi, jika 1, 2 dan 3 benar, maka MP3EI benar
15
Setidaknya dalam kerangka asumsi kelangkaan (scarcity) yang lazim digunakan para ekonom. Lih.Helmut Arndt, Economic Theory vs Economic Reality, terj. William A. Kirby (Michigan: Michigan
State University Press, 1984), h. 17.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
9/14
9
Konsekuensinya, apabila a*, b* dan c* benar, maka kita akan memperoleh argumen
berbasis kenyataan aktual yang melawan paradigma debottlenecking MP3EI seperti
berikut:
I* Jika 1*, 2* dan 3*, maka PS keliru
II* MP3EI keliru jika dan hanya jika PS keliru
III* Jadi, jika 1*, 2* dan 3*, maka MP3EI keliruDemikianlah telah kita perlihatkan masalah-masalah dasar dari Pengandaian 1, yakni
asumsi homo economicus. Selanjutnya kita akan melangkah lebih jauh mempersoalkan
pengandaian yang lain dari MP3EI, yakni asumsi keunggulan komparatif.
Pengandaian 2: Keunggulan Komparatif dan Masalah Koridorisasi Ekonomi
Dalam risalah The Principles of Political Economy and Taxation, David
Ricardo mengajukan argumen yang baru pada masanya tentang perdagangan luar
negeri.16
Andaikan Inggris dan Portugal sama-sama mampu memproduksi baju dan
anggur. Akan tetapi, Inggris dapat memproduksi anggur dengan tenaga 120 orang per
tahun dan baju dengan 100 orang per tahun, sementara Portugal dapat memproduksi
anggur dengan tenaga 80 orang per tahun dan baju dengan 90 orang per tahun. Hal inidapat direpresentasikan dalam skema berikut:
Baju Anggur
Inggris 100 120
Portugal 90 80
Ricardo berargumen bahwa kendati Portugal sudah unggul dalam hal produksi baju
terhadap Inggris (dengan rasio inefisiensi 9 : 10), tetapi ia jauh lebih unggul dalam hal
produksi anggur (dengan rasio 2 : 3). Oleh karenanya, akan lebih menguntungkan bagi
Portugal apabila ia mengabaikan produksi baju dan mengerahkan tenaga kerjanyakhusus untuk produksi anggur. Lantas, dengan keuntungan dari perdagangan
anggurnya dengan Inggris, ia dapat mengimpor lebih banyak baju ketimbang kalau ia
hanya memproduksinya sendiri.17
Demikian pula Inggris. Akan lebih menguntungkan
bagi Inggris apabila ia fokus pada produksi baju untuk keperluan ekspor ke Portugal
dengan mengabaikan produksi anggur karena komoditas itu dapat diimpor dari
Portugal berdasarkan keuntungan hasil ekspor baju. Fokus produksi yang lebih
menguntungkan bagi kedua belah pihak inilah yang digambarkan dalam kotak dengan
cetak tebal dalam skema di muka. Posisi-posisi diagonal itulah yang dalam literatur
ekonomi sampai hari ini disebut sebagai keunggulan komparatif (comparative
advantage).
Paradigma keunggulan komparatif ini ikut mempengaruhi perumusankebijakan MP3EI. Hal ini dapat kita lihat secara eksplisit dalam penekanan yang
diberikan pada koridorisasi ekonomi seperti dinyatakan dalam dokumen MP3EI:
Koridor Ekonomi Indonesia menekankan pada sinergi pembangunan sektoral dan
wilayah untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara nasional,
16 Lih. David Ricardo, The Works and Correspondence of David Ricardo, Volume I: On the Principles
of Political Economy and Taxation, ed. Piero Sraffa (Indianapolis: Liberty Fund, 2004), h. 134-136.17
Though [Portugal] could make the cloth with the labour of 90 men, she would import it from a
country where it required the labour of 100 men to produce it, because it would be advantageous to her
rather to employ her capital in the production of wine, for which she would obtain more cloth fromEngland, than she could produce by diverting a portion of her capital from the cultivation of vines to
the manufacture of cloth.Ibid., h. 135.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
10/14
10
regional maupun global.18
Kendati di situ disebutkan penekanan juga pada
keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang sejatinya merupakan strategi
yang terfokus pada produksi komoditas bernilai tertinggi, nyatanya kebijakan
koridorisasi ekonomi yang telah kita lihat justru lebih condong ke paradigma
keunggulan komparatif. Hal ini nampak dari fokus produksi di enam koridor ekonomi
yang sebagian besar masih berfokus pada industri ekstraktif (migas dan energi) sertaproduksi barang primer (hasil bumi). Hanya satu koridor yang meluangkan fokusnya
pada industri, yakni Jawa. Kita dapat membaca fenomena kebijakan ini sebagai arahan
yang dibimbing oleh ideal keunggulan komparatif ketimbang keunggulan kompetitif.
Sebagai sebuah paradigma kebijakan ekonomi, keunggulan komparatif
bukannya selalu buruk. Paradigma ini sangat menguntungkan bagi negara industri
maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Paradigma ini hanya buruk untuk negeri
dengan industri yang masih balita (infant industry) seperti Indonesia. Untuk melihat
masalah dari paradigma ini, kita dapat menggambarkan sebuah skenario hipotetis
seperti Ricardo. Andaikan Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama memproduksi
kelapa sawit, minyak mentah, permesinan dan microchip dengan kemampuan produksi
hipotetis seperti berikut (dalam satuan per tenaga kerja per tahun):
Sawit Minyak Mentah Permesinan Microchip
Republik
Indonesia
50 60 130 140
Amerika
Serikat
70 80 90 100
Dalam skema ini, rasio inefisiensi produksi sawit, minyak mentah, permesinan dan
microchip untuk Indonesia dan Amerika Serikat berturut-turut adalah 5 : 7, 3 : 4, 13: 9
dan 7 : 5. Dengan kata lain, tingkat keunggulan komparatif Indonesia untuk masing-masing komoditas itu berturut-turut adalah sebagai berikut:
Sawit Minyak Mentah Permesinan Microchip
Republik
Indonesia
0,020 0,016 0,0076 0,0071
Amerika
Serikat
0,014 0,012 0,0111 0,0100
Dapat kita lihat bahwa selisih keunggulan komparatif terbesar bagi Indonesia ada di
sawit (0,006) dan minyak mentah (0,004), sementara bagi Amerika Serikat ada dipermesinan (0,003) dan microchip (0,002). Jika dilihat sekilas, nampaknya
menguntungkan bagi Indonesia bila ia fokus pada produksi sawit dan minyak mentah
saja sembari melepaskan industri alat-alat berat dan microchip dengan pertimbangan
bahwa kedua komoditas terakhir dapat diimpor melalui sisa laba dari ekspor sawit dan
minyak mentah.
Ekonom Robin Hahnel mempersoalkan dampak penggunaan paradigma
keunggulan komparatif bagi negara dunia ketiga atau setidaknya negara dengan
industri yang kurang maju ketika berhadapan negara industri maju. Apabila
konsekuensi dari paradigma keunggulan komparatif adalah arahan untuk berfokus
pada cabang ekonomi tradisional dari sebuah negeri (sektor ekonomi dimana negeri
18 Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, op.cit., h. 32 (Bab II).
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
11/14
11
tersebut telah lama berkecimpung), maka ketika diterapkan ke negara dunia ketiga
arahan ini akan mengemuka sebagai arahan untuk terus berkubang pada fase pra-
industrial.19
Ini sama seperti mempropagandakan keunggulan komparatif dari
kebodohan: bahwa orang bodoh tidak mudah stres dibanding orang pandai (karena
orang bodoh, per definisi, tidak berpikir) dan hal itu merupakan keunggulan
komparatif yang mesti terus dipelihara. Akibat jangka panjangnya, negara denganindustri yang masih balita akan terus tergantung pada negara industri maju. Lebih jauh
lagi, ketergantungan ini akan berubah menjadi ketundukan absolut manakala cadangan
sumber daya alam (seperti migas) yang dimiliki negara tersebut habis. Ketundukan
semacam ini tidak akan terjadi seandainya sejak awal negara tersebut tidak
membasiskan diri paradigma keunggulan komparatif, yakni dengan terus
mengupayakan industrialisasi, sehingga ia akan berada pada posisi yang lebih baik
manakala sumber daya migas yang dimilikinya lenyap.
Ha-Joon Chang, seorang ahli ekonomi pembangunan, menawarkan perspektif
sejarah kebijakan yang juga kritis terhadap paradigma keunggulan komparatif. Ia
melihatnya dalam kait-kelindan dengan arahan Konsensus Washington tentang
perlunya deregulasi dan privatisasi. Dalam bacaan Chang yang banyak dipengaruhioleh ekonom proteksionis abad ke-19, Friedrich List, paradigma keunggulan
komparatif sejatinya hanyalah alat yang digunakan negara industri maju untuk
merintangi langkah negara dunia ketiga dan negara berkembang untuk memasuki fase
industrialisasi. Negara industri maju mempropagandakan visi keunggulan komparatif
karena, di satu sisi, mereka membutuhkan bahan baku dari negara dunia ketiga
sekaligus, di sisi lain, tak hendak membiarkan negara dunia ketiga berkembang
menjadi pesaingnya dalam hal industri. Untuk itu, negara industri maju mengadvokasi
pentingnya perdagangan bebas, penurunan atau bahkan penghapusan bea masuk, agar
komoditas manufakturnya yang bernilai tambah tinggi itu dapat merajai pasar dunia
ketiga dan menutup perkembangan industrial negara-negara dunia ketiga tersebut.
Atau dalam perspektif Friedrich List yang patut dikutip agak panjang:
Adalah sebuah kecerdikan yang demikian umum bahwa
ketika seseorang telah mencapai puncak kejayaan, ia
menendang tangga yang melaluinya ia telah sampai ke
puncak, sehingga membuat orang lain kehilangan alat untuk
mengejarnya. Di sinilah terletak rahasia dari doktrin
kosmopolitis Adam Smith [...]. Setiap negeri yang melalui
pajak proteksionis dan pembatasan navigasi telah
melambungkan kekuatan manufaktur dan navigasinya
demikian rupa sehingga tak ada negeri yang dapat
berkompetisi secara bebas dengannya, tidak dapat melakukanhal yang lebih bijak ketimbang membuang tangga ini dan
mengkhotbahkan kepada negeri lain akan keunggulan
perdagangan bebas serta mengumumkan dalam suasana
pertobatan bahwa selama ini ia telah melangkah di jalan yang
19[T]he theory of comparative advantage is usually interpreted as implying that a country should
specialize even more in its traditional exports products, since those would presumbaly be the industries
in which the country enjoys a comparative advantage. But underdeveloped economies are less
developed because they have lower levels of productivity than other economies enjoy. If less developed
economies further specialize in the sectors they have always specialized in, it may well be less likelythat they will find ways to increase their productivity. Robin Hahnel, The ABCs of Political Economy:
A Modern Approach (London: Pluto Press, 2002), h. 183.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
12/14
12
salah dan sekarang untuk pertama kalinya telah berhasil
menemukan kebenaran.20
Dengan kata lain, List hendak mengatakan bahwa negeri-negeri yang kini
menganjurkan perdagangan bebas dan pembebasan bea masuk adalah negeri-negeri
yang beberapa waktu sebelumnya membentengi diri dengan kebijakan proteksionis.
Lalu apakah keterkaitan antara diskursus proteksionisme versus perdagangan bebas inidengan paradigma keunggulan komparatif? Kaitannya adalah bahwa paradigma itu
hanya mungkin dikumandangkan oleh negeri yang tak lagi risau akan kemampuan
industrialnya dalam bersaing di perdagangan bebas. Sejarah formasi kebijakan anti-
proteksionis seperti itulah yang dikupas oleh Chang.
Dalam data statistik Paul Bairoch yang dikutip Chang, terlihat bahwa
kebijakan tarif masuk yang tinggi untuk barang-barang manufaktur diberlakukan oleh
Inggris pada tingkatan tertinggi di tahun 1820 (dengan kisaran 45-.55% nilai
komoditas), disusul Amerika Serikat (dengan kisaran 35-45%), jauh di atas Jerman (8-
12%), Belgia dan Belanda (6-8%) dan pada tahun 1875, Amerika Serikat memimpin
dengan tarif masuk antara 40-50% nilai komoditas, kisaran yang masih berlaku sampai
tahun 1931.21 Dari statistik ini, dapat disimpulkan bahwa penghapusan Corn Law diInggris (penghapusan bea masuk untuk komoditas agrikultur) yang diidealisasikan
sebagai momen historis berdirinya tata ekonomi liberal nyatanya mengandaikan
prasyarat tradisi proteksionis yang tak kurang kokohnya. Dengan demikian, terlihat
dengan terang bahwa tuntutan mutlak untuk beralih ke sistem perdagangan bebas dan
rezim keunggulan komparatif bagi negara-negara dunia ketiga terdengar seperti
himbauan untuk deindustrialisasi. Pengandaian 2 tentang keunggulan komparatif yang
menjustifikasi koridorisasi ekonomi dalam nalar MP3EI ternyata mengandaikan
prakondisi historis yang belum tentu dipenuhi oleh Indonesia.
Kita telah melihat dua asumsi problematis yang menjadi dasar kebijakan
MP3EI, entah disadari atau tidak oleh para perumusnya. Asumsi pertama berkenaan
dengan andaian kepentingan-diri yang diterjemahkan ke dalam konsepsi tentang
efisiensi ekonomi berbasis rasionalitas ekonomi dan homo economicus. Di sini
diasumsikan bahwa apabila para pelaku pasar dibiarkan bekerja mengikuti
kepentingan-diri masing-masing akan tercipta sebuah sistem alokasi sumber daya dan
pertumbuhan ekonomi yang optimal. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa peran
pemerintah yang terbaik dalam kondisi seperti itu adalah dengan hanya menyediakan
kepastian hukum tanpa merecoki substansi perekonomian itu sendiri. Telah kita lihat
bahwa sebetulnya terdapat setidaknya tiga asumsi tersembunyi di balik penyimpulan
ini, yakni berlakunya pasar persaingan sempurna, distribusi informasi yang simetris
antar agen dan ketereproduksian tak hingga terhadap komoditas. Oleh karena ketigaasumsi ini sulit dipenuhi dalam kenyataan aktual, maka penyimpulan argumen di
muka ke dalam kebijakan debottlenecking MP3EI patut dipertanyakan kembali.
Asumsi kedua berkaitan dengan penggunaan paradigma keunggulan
komparatif dalam menyokong gagasan tentang koridorisasi ekonomi. Di sini
diasumsikan bahwa setiap negeri mesti mengerahkan tenaga produktifnya untuk
memproduksi jenis komoditas yang memiliki tingkat keunggulan komparatif tertinggi
dengan mengorbankan produksi komoditas jenis lain. Ketika paradigma ini
diterjemahkan ke dalam kebijakan koridorisasi ekonomi dalam dokumen MP3EI, yang
mengemuka adalah kelanjutan dari potret kolonial tentang Hindia Belanda sebagai
20
Seperti dikutip dalam Ha-Joon Chang, Kicking Away The Ladder: Development Strategy inHistorical Perspective (London: Anthem Press, 2002), h. 4-5.21
Ibid., h. 17.
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
13/14
13
sumber bahan mentah (dengan rasio industri di koridor Jawa banding hasil bumi dan
migas di seluruh koridor lain sebesar 1 : 5). Melalui kajian Robin Hahnel dan Ha-Joon
Chang, ditunjukkan bahwa paradigma tersebut bermasalah. Paradigma ini utamanya
menghasilkan efek yang melumpuhkan bagi proses industrialisasi dunia ketiga.
Dengan arahan untuk setia pada produksi komoditas unik masing-masing negeri,
paradigma ini mendorong negara-negara dunia ketiga untuk terus mengekspor hasilbumi dan migas dan mengimpor barang manufaktur. Ketika paradigma ini ditawarkan
bersama dengan arahan untuk penghapusan kebijakan proteksionis, akibatnya bagi
negara-negara dunia ketiga jadi berlipat ganda: industri di negara-negara itu tak lagi
mungkin bersaing dengan industri negara maju yang komoditasnya membanjiri pasar
domestik dengan harga murah akibat dihapusnya bea masuk. Selain itu, paradigma ini
secara historis bermasalah karena keberlakuannya mensyaratkan prakondisi sejarah
kebijakan proteksionis yang telah mentradisi (seperti di Inggris dan Amerika Serikat).
Dari paparan ini, dapat disimpulkan bahwa problem pengandaian mendasar
dari MP3EI sebagai model makro kebijakan ekonomi di Indonesia dewasa ini adalah
ketidakpekaan pada asumsi. Ada sejumlah asumsi implisit di balik pengandaian
keilmuan yang tak sempat dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan. Polapikir yang tidak peka asumsi ini mengemuka dalam dua bentuk:
1. Kurang pahamnya para perumus kebijakan kita terhadap cara kerja keilmuan
yang mengandalkan klausa ceteris paribus dalam membangun teori. Dengan
kata lain, lenyapnya nalar metodologis.
2. Kurang pahamnya para perumus kebijakan kita terhadap kesejarahan dari
sebuah permasalahan dalam ilmu-ilmu. Dengan kata lain, lenyapnya nalar
historis.
Ketidakpekaan asumsi pertama mengemuka ke dalam Pengandaian 1, sementara
ketidakpekaan kedua mewujud ke dalam Pengandaian 2. Telah kita periksa bahwa
kedua pengandaian itu bermasalah. Perbaikan proses berpikir dalam perumusan
kebijakan ekonomi di Indonesia mendatang, karenanya, mensyaratkan pengertian yang
memadai atas kedua nalar di muka.
Hilangnya kedua nalar di muka menyebabkan kekacauan metodologis yang
luar biasa dalam perumusan kebijakan publik. Dengan mengabaikan cara kerja asumsi
keilmuan, sejatinya para perumus kebijakan, termasuk para perumus Visi-Misi
Prabowo-Hatta, telah memaksakan asumsinya sendiri ke dalam kenyataan yang ia
hadapi. Ketidakpekaan pada asumsi dan pengabaian cara kerja keilmuan inilah yang
menjelaskan mengapa Prabowo dapat secara ajaib menyejajarkan MP3EI dan ekonomi
kerakyatan. Keajaiban seperti ini adalah produk dari kegagalan berpikir. Sebuah
kebijakan semestinya dirumuskan menurut kenyataan itu sendiri dan asumsi keilmuan
hanya memegang peran heuristik, sebagai alat bantu, bukan potret kenyataansesungguhnya.
Sebuah analogi mungkin akan menyampaikan duduk perkaranya secara lebih
mengena. Data kemiskinan per September 2012 versi BPS (hasil Susenas Maret 2012)
menyebutkan bahwa dengan garis kemiskinan sebesar Rp.259.520, terdapat 11,66%
penduduk miskin di Indonesia. Andaikan sekelompok perumus kebijakan ditugaskan
untuk memberantas kemiskinan. Dengan membuat asumsi sendiri bahwa garis
kemiskinan berada pada level Rp.100, tiba-tiba mereka menemukan bahwa angka
kemiskinan mencapai 0%. Lantas mereka tampil dalam press release sambil
mengabarkan bahwa mereka telah berhasil memberantas kemiskinan di Indonesia.
Inilah potret ekstrem dari kekacauan metodologis yang bersarang dalam kebijakan
MP3EI: kekacauan akibat mengelirukan asumsi dan kenyataan, akibat kegagalanmembedakan antara kemiskinan-dalam-asumsi dan kemiskinan-riil. Ketika temuan
-
7/27/2019 Nalar Ekonomi-Politik Prabowo.pdf
14/14
14
spektakuler ini ditindaklanjuti dengan penghapusan semua subsidi karena sudah tidak
ada lagi orang miskin yang membutuhkan subsidi, maka kerancuan yang jenaka di
muka berubah jadi menyedihkan: gagal membedakan antara memberantas kemiskinan
dan memberantas orang miskin. Kalau sudah begini, dengan penggunaan yang naif
atas asumsi yang serupa, kita bisa saja mengasumsikan bahwa kita semua adalah
sejenis ganggang yang hidup damai di dasar samudra dan semua masalah sosialterpecahkan seketika itu juga. Dalam penalaran ini, tidur di atas balok es boleh jadi
merupakan Solusi Final dari semua permasalahan ekonomi rakyat Indonesia.
Kepustakaan
A.R., Mustopadidjaja dkk., ed.,Bappenas dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan
Indonesia 1945-2025. Jakarta: LP3ES dan Paguyuban Alumni Bappenas,
2012.
Arndt, Helmut. Economic Theory vs Economic Reality, terj. William A. Kirby.
Michigan: Michigan State University Press, 1984.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas, 2010.
Budiardjo, Miriam.Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia, 2010.Chang, Ha-Joon. Kicking Away The Ladder: Development Strategy in Historical
Perspective. London: Anthem Press, 2002.
Godelier, Maurice. Rationality and Irrationality in Economics, terj. Brian Pearce.
London: Monthly Review Press, 1972.
Hahnel, Robin. The ABCs of Political Economy: A Modern Approach. London: Pluto
Press, 2002.
Jevons, William Stanley. The Theory of Political Economy. London: Macmillan and
Co., 1888.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta:
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011.
Mandeville, Bernard. The Fable of the Bees, dalam Kelly Rogers, ed., Self-Interest:
An Anthology of Philosophical Perspectives. New York: Routledge, 1997.
Ricardo, David. The Works and Correspondence of David Ricardo, Volume I: On the
Principles of Political Economy and Taxation, ed. Piero Sraffa. Indianapolis:
Liberty Fund, 2004.
Sastrosoenarto, Hartarto. Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan
Jasa Menuju Visi Indonesia 2003. Jakarta: Gramedia, 2006.
Screpanti, Ernesto dan Stefano Zamagni, An Outline of the History of Economic
Thought. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations.Hampshire: Harriman House, 2007.
Widiyanto dan Syafaatun Kariadi, Representasi Popular dalam Penganggaran
Partisipatif. Jakarta: Demos, 2011.