MYIASIS

19
MYIASIS Bellinda Dwi Priba, S.Ked Bagian / Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang PENDAHULUAN Myiasis merupakan peyakit yang disebabkan infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia atau vertebrae hidup. Larva tersebut memakan jaringan mati atau hidup serta cairan tubuh atau makanan yang ditelan hospesnya. 1 Terminologi myiasis berasal dari bahasa Yunani yaitu myia (µʋĩα) yang berarti lalat. Myiasis pertama kali diperkenalkan Hope pada tahun 1840. Myiasis dapat dikategorikan secara parasitologi maupun klinis. Patton membagi myiasis secara parasitologi menjadi tiga yaitu obligatory, facultative, dan accidental. Secara klinis klasifikasi dibagi berdasarkan area tubuh yang terinfestasi. Klasifikasi tersebut meliputi cutaneous, enteric, ophthalmic, nasopharyngeal, auricular, oral, dan urogenital. Cutaneous myiasis merupakan myiasis yang paling banyak ditemukan. Cutaneous myiasis dikelompokkan lagi menjadi wound myiasis, furuncular myiasis, dan creeping dermal myiasis (migratorik myiasis). 2 Myiasis endemik di Afrika dan Amerika yang beriklim tropis maupun subtropis. Lalat yang menyebabkan cutaneous myiasis lebih menyukai lingkungan yang hangat dan lembab sehingga kehidupan hanya terbatas saat musim panas di daerah beriklim sedang dan hidup sepanjang tahun di daerah berikim tropis. 3 Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang dapat mendukung terjadinya myiasis. Sulawesi, Sumba Timur, Lombok, Sumbawa, 1

description

UHKU

Transcript of MYIASIS

Page 1: MYIASIS

MYIASISBellinda Dwi Priba, S.Ked

Bagian / Departemen Dermatologi dan VenereologiFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin

Palembang

PENDAHULUAN

Myiasis merupakan peyakit yang disebabkan infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada

manusia atau vertebrae hidup. Larva tersebut memakan jaringan mati atau hidup serta cairan

tubuh atau makanan yang ditelan hospesnya.1 Terminologi myiasis berasal dari bahasa Yunani

yaitu myia (µʋĩα) yang berarti lalat. Myiasis pertama kali diperkenalkan Hope pada tahun

1840. Myiasis dapat dikategorikan secara parasitologi maupun klinis. Patton membagi myiasis

secara parasitologi menjadi tiga yaitu obligatory, facultative, dan accidental. Secara klinis

klasifikasi dibagi berdasarkan area tubuh yang terinfestasi. Klasifikasi tersebut meliputi

cutaneous, enteric, ophthalmic, nasopharyngeal, auricular, oral, dan urogenital. Cutaneous

myiasis merupakan myiasis yang paling banyak ditemukan. Cutaneous myiasis

dikelompokkan lagi menjadi wound myiasis, furuncular myiasis, dan creeping dermal myiasis

(migratorik myiasis).2

Myiasis endemik di Afrika dan Amerika yang beriklim tropis maupun subtropis. Lalat

yang menyebabkan cutaneous myiasis lebih menyukai lingkungan yang hangat dan lembab

sehingga kehidupan hanya terbatas saat musim panas di daerah beriklim sedang dan hidup

sepanjang tahun di daerah berikim tropis.3 Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang

dapat mendukung terjadinya myiasis. Sulawesi, Sumba Timur, Lombok, Sumbawa, Papua,

dan Jawa telah dilaporkan sebagai daerah endemik myiasis di Indonesia.4 Infeksi pada myiasis

berlangsung singkat dan dapat sembuh dengan sendirinya. Sebagian besar kasus tidak terlalu

berat dan dapat dirawat sendiri di rumah menggunakan metode oklusi tradisional. Kondisi ini

membuat prevalensi maupun insidensi myiasis sulit ditentukan.

Referat ini akan membahas tentang etiologi, klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis,

diagnosis, preventif, dan penatalaksanaan myiasis yang bertujuan untuk menambah khasanah

pengetahuan tentang myiasis.

ETIOLOGI

Ordo Diptera (lalat sejati) memiliki satu pasang sayap fungsional dengan sayap

belakang yang kecil. Ordo ini terbagi menjadi dua subordo, yaitu Nematocera dan

Brachycera. Nematocera terdiri atas famili lalat penghisap darah yang berperan dalam

1

Page 2: MYIASIS

berbagai penyakit virus, protozoa, dan cacing. Subordo Brachycera terdiri atas berberapa

infraordo. Infraordo Muscomorpha mengandung semua spesies lalat penyebab myasis

terutama dari famili Calliphoridae (bowfly) dan Muscidae (housefly).5

Pengetahuan tentang tipe lalat penyebab myasis penting karena patofisiologi infeksi

pada manusia berbeda tergantung tipe lalat. Furuncular myasis paling sering disebabkan oleh

Dermatobia hominis (human botfly) dan Cordylobia anthropophagi (tumbu fly). Dermatobia

hominis dewasa memiliki kepala kuning, dada biru, perut biru metalik, dan berukuran 12-15

mm (Gambar 1). Dermatobia hominis ditemukan di Meksiko, Argentina, dan Chile dimana

kawasan tersebut memiliki kelembaban yang relatif tinggi. Cordylobia anthropophagi (tumbu

fly) merupakan lalat penyebab plaque myiasis. Cordylobia anthropophagi (tumbu fly) dewasa

bewarna kuning kecoklatan, memiliki bintik-bintik coklat kehitaman di perut, dua garis hitam

membujur di dada, dan berukuran sekitar 6-12 mm1,2,5 (Gambar 2).

Gambar 1. Dermatobia hominis2 Gambar 2. Cordylobia anthropophagi2

Migratorik myiasis paling sering disebabkan oleh Hypoderma bovis atau Gasterophilus

intestinalis. Gasterophilus intestinalis sekarang sudah menyebar hampir ke semua bagian di

dunia. Gasterophilus intestinalis dewasa berwarna kuning kecoklatan, berukuran 12-17 mm,

dan menyerupai lebah madu (Gambar 3). Hypoderma bovis dewasa berukuran 11-16 mm

menyerupai lebah, berwarna kuning hingga putih, dan berambut hitam (Gambar 4).

Hypoderma bovis dewasa muncul selama musim panas.1,2

Wound myasis umumnya disebabkan oleh Cochliomyia hominivorax atau Chrysomyia

bezziana. Cochliomyia hominivorax berukuran 8-10 mm, berwarna hijau metalik hingga hijau

kebiruan, dan memiliki tiga garis memanjang yang berwarna gelap di bagian dada (Gambar

5). Kepala lalat Cochliomyia hominivorax berwarna jingga hingga merah dan matanya

berwarna merah tua. Lalat ini endemik di Amerika Tengah dan America Selatan. Cochliomyia

hominivorax merupakan parasit hewan domestik dan juga menginfestasi luka manusia.

2

Page 3: MYIASIS

Chrysomyia bezziana dewasa berukuran 8-12 mm, berkepala hitam, wajah jingga, dan hijau

sampai ungu kebiruan pada dada dan perut2 (Gambar 6).

Gambar 3. Gasterophilus intestinalis2 Gambar 4. Hypoderma bovis2

Gambar 6. Chrysomya bezziana2 Gambar 5. Cochliomyia hominivorax2

KLASIFIKASI

Myiasis dapat dikategorikan menjadi dua yaitu secara anatomi (klinis) dan ekologi

(parasitologi). Klasifikasi anatomi berguna untuk diagnosis praktis dan mengklasifikasikan

infestasi berdasarkan lokasi lesi pada host. Klasifikasi berdasarkan derajat parasitisme juga

digunakan sejak ditemukan bahwa satu spesies dapat menyerang lebih dari satu lokasi

anatomi dan sebaliknya dalam lokasi anatomi yang sama dapat terinfestasi spesies yang

berbeda.6

Klasifikasi anatomi pertama kali diusulkan Bishopp kemudian dimodifikasi James dan

Zumpt. Setiap penemu memiliki istilah yang berbeda namun memiliki arti yang sama dalam

mengklasifikasikan myiasis. Myiasis secara anatomi dapat dibagi menjadi cutaneous, enteric,

ophthalmic, nasopharyngeal, auricular, oral, dan urogenital myiasis. Cuntaneus myiasis

paling banyak ditemukan dan terbagi lagi menjadi furuncular myiasis, migratory myiasis, dan

wound myiasis.2,6

3

Page 4: MYIASIS

Myiasis secara ekologi dibagi menjadi tiga yaitu, obligatory, facultative, dan accidental

myiasis. Obligatory myiasis berarti larva lalat tidak dapat hidup bebas dan hanya dapat hidup

pada jaringan tubuh manusia atau bintang. Telur diletakkan pada kulit, luka, atau rambut

hospes, contohnya lalat Gasterophilidae dan beberapa spesies dari famili Calliphoridae.

Facultative myiasis berarti larva selain hidup pada daging busuk atau sayuran busuk, dapat

hidup juga pada jaringan tubuh manusia, misalnya lalat W. Magnifica. Sedangkan accidental

myiasis terjadi jika telur tidak yang mengkontaminasi makanan dan minuman tidak sengaja

tertelan oleh manusia dan di usus menetas menjadi larva.2,6,7

PATOGENESIS

Setiap spesies penyebab myiasis memiliki siklus hidup yang berbeda-beda. Siklus hidup

inilah yang akan menentukan patogenesis dari setiap bentuk myiasis. Berikut akan dijelaskan

patogenesis dari masing-masing jenis myiasis.

Furuncular myiasis

Siklus hidup Dermatobia hominis kompleks. Dermatobia hominis betina langsung

bertelur di dedaunan atau menempelkan telurnya pada nyamuk. Telur ditempelkan oleh host

melalui kontak langsung dengan dedaunan atau ketika nyamuk menggigit host. Karakteristik

ini disebut hitch-hiking atau phoresis. Dermatobia hominis jarang terlihat manusia karena

waktu hidupnya yang singkat yaitu 4-8 hari.2

Panas dari tubuh host setelah kontak dengan kulit menyebabkan telur menetas. Larva

instar pertama masuk melalui kulit yang sudah mengalami perforasi lalu berkembang menjadi

instar kedua atau ketiga dalam 5-10 minggu (Gambar 7). Instar ketiga berukuran 18-24 cm.

Larva instar ketiga yang sudah siap menjadi kepompong akan menuju ke permukaan kulit dan

jatuh ke tanah untuk menjadi pupa. Pupa akan berkembang menjadi dewasa selama 20-30 hari

dan siklus hidup lalat terulang kembali2 (Gambar 8).

Gambar 7. A. Instar kedua Dermatobia hominis. B. Instar ketiga Dermatobia hominis2

4

A B

Page 5: MYIASIS

Gambar 8. Siklus hidup Dermatobia hominis3

Creeping dermal myiasis (myiasis migratorik)

Manusia dapat terinfestasi melalui kontak langsung dengan telur Gasterophilus

intestinalis yang menempel di mantel kuda atau langsung meletakkan telurnya di kulit

manusia. Larva instar pertama (Gambar 9) membuat lubang hingga ke lapisan bawah

epidermis dan mencari tempat untuk berubah menjadi instar kedua. Lesi creeping dermal

myiasis dapat bertambah 1-30 cm per hari. Kasus creeping dermal myiasis pada manusia

dapat terjadi sepanjang tahun.2

Gambar 9. Larva instar pertama Gasterophilus intestinalis2

Pada manusia, creeping dermal myiasis yang disebabkan Hypoderma spp. banyak

terjadi pada peternak sapi. Telur Hypoderma spp. akan menempel pada rambut manusia dan

larva masuk melalui kulit atau mukosa bukal. Larva bermigrasi 2-30 cm dalam 24 jam di

jaringan subkutan. Larva berikutnya mengalami periode pertumbahan yang cepat menjadi

instar ketiga (Gambar 10), kemudian keluar melalui kulit ekstremitas proksimal, kulit kepala,

5

Page 6: MYIASIS

wajah, atau leher dan jatuh ke tanah untuk menjadi kepompong. Perlu diketahui bahwa

kebanyakan larva mati dalam jaringan manusia.2

Gambar 10. Larva instar ketiga Hypoderma bovis2

Wound Myiasis

Faktor predisposisi wound myiasis antara lain adanya luka terbuka, kondisi sosial

ekonomi yang rendah, higienitas yang buruk, usia lanjut, anak-anak, retardasi mental,

gangguan jiwa, pecandu alkohol, penderita diabetes, oklusi pembuluh darah, dan korban

bencana alam. Cochliomyia hominivorax betina bertelur di tepi luka atau membran mukosa

dan telur menetas setelah masa inkubasi yang kurang dari 1 hari. Larva instar pertama

mendapat nutrisi dari jaringan tubuh manusia selama 4-8 hari, kemudian menjadi instar kedua

dan ketiga yang menyebabkan kerusakan jaringan besar. Sebuah luka dapat berisi hingga

3000 larva. Larva instar ketiga yang panjangnya 6-17 mm (Gambar 11) jatuh ke tanah untuk

menjadi kepompong. Dalam kondisi optimal, siklus hidup Cochliomyia hominivorax

berlangsung selama 24 hari.2

Gambar 11. Larva Cochliomyia hominivorax2 Gambar 12. Larva Chrysomyia bezziana2

6

Page 7: MYIASIS

Siklus hidup dan aktivitas biologis Chrysomyia bezziana mirip dengan Cochliomyia

hominivorax. Larva instar ketiga berukuran 14-18 mm (Gambar 12) jatuh ke tanah dan

menjadi kepompong dalam 6-7 hari. Dalam kondisi optimal, seluruh siklus hidup berlangsung

selama 20 hari.2

MANIFESTASI KLINIS MYIASIS

Kebiasaan lalat dan larva yang berbeda-beda menentukan variasi dalam manifestasi

klinis dari myiasis. Wound myiasis (Gambar 13) telah menjadi komplikasi serius dari luka

terutama di daerah endemik. Wound myiasis sering terjadi di sekitar telinga, hidung, dan mata.

Infestasi berat wound myiasis dapat mengakibatkan erosi tulang rawan atau tulang tengkorak

dan kematian. Ukuran lesi wound myiasis dapat mencapai 4-5 cm dan menghasilkan bau yang

khas. Bau khas dari luka yang terinfestasi akan mengundang lalat untuk meletakkan telur

tambahan di luka tersebut. Sebuah luka dapat berisi 3000 larva. Larva Cochliomyia

hominivorax sulit diangkat karena duri yang ada di tubuh larva menancap dalam di jaringan.2

Lesi awal furuncular myiasis berupa papul eritem yang berkembang menjadi furunkular

dalam beberapa hari. Setiap lesi memiliki pori sentral yang memungkinkan udara masuk

untuk respirasi larva. Rasa gatal, sensasi seperti ada yang bergerak, nyeri seperti ditusuk, dan

munculnya sekret serosanguinus dari pori sentral akan timbul selama fase larva. Ujung

posterior larva dilengkapi dengan sekelompok spirakel, biasanya terlihat dalam pori sentral

(Gambar 14). Reaksi inflamasi di sekitar lesi dapat disertai dengan limfangitis dan

limfadenopati regional. Setelah larva dikeluarkan, lesi akan cepat hilang.8

Gambar 13. Wound myiasis5 Gambar 14. Furuncular myiasis8

Lesi pada creeping dermal myiasis menyerupai cutaneous larva migrans. Lesi tersebut

berliku-liku seperti garis merah dengan vesikel terminal yang menandai larva telah bermigrasi

melalui kulit. Lesi awal pada creeping dermal myiasis berbentuk papula seperti furuncular

7

Page 8: MYIASIS

myiasis. Kulit akan menjadi sedikit eritematosa, lembut, berukuran 1-5 cm, dan menonjol

selama terjadi migrasi. Lesi yang berbentuk nodul umumnya tampak di dada dan leher dan

terjadi saat musim dingin. Sensasi seperti berduri, rasa terbakar, dan gatal juga banyak

ditemui pada myiasis jenis ini. Eritema berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari dan

akan berubah menjadi patch kekuningan sebagai tanda bahwa larva telah bermigrasi ke lokasi

lain. Myiasis jenis ini umumnya dapat sembuh sendiri, tetapi meninggalkan komplikasi

seperti asites, pleuroperikardium, hemoperikardium, demam tinggi, mialgia, arthralgia, edema

skrotum, meningitis, invasi intraserebral, kelumpuhan ekstremitas sementara, dan

hipereosinofilia.2,8

DIAGNOSIS

Myiasis seringkali didiagnosis sebagai infeksi bakteri. Kesalahan diagnosis ini

menyebabkan pasien tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Diagnosis yang akurat dari

myiasis dapat ditegakkan dengan menggali riwayat penyakit pasien seperti riwayat perjalanan

ke daerah endemis atau daerah pedesaan, gigitan nyamuk, dan tingkat kecurigaan klinis.9

Ciri utama furuncular myiasis adalah terdapat satu atau lebih lesi berbentuk lepuh yang

belum sembuh pada kulit disertai eritema berukuran 1 mm hingga 2 cm; keluarnya sekret

serosa, serosanguinus, atau seropurulen dari pori sentral; adanya gejala lokal seperti nyeri,

nyeri tekan, pruritus, atau gerakan dalam lesi; dan terdapat organisme seperti cacing kecil,

putih, dan menonjol dari lesi saat ditekan. Lensa pembesar dapat digunakan untuk mendeteksi

pori sentral dan memeriksa larva di dalamnya. Jika lesi direndam dalam air atau air liur,

gelembung udara yang keluar dari pori sentral. Sengatan tajam di lokasi lesi akan terasa

beberapa hari atau pekan sebelum gejala timbul dan ini disebabkan oleh penetrasi larva ke

dalam kulit. Diagnosis definitif dicapai setelah ekstraksi dan identifikasi larva lalat.2,9

Creeping myiasis lebih sulit didiagnosis dibandingkan furuncular myiasis karena larva

lalat tidak terlihat jika belum terbentuk lubang untuk respirasi. Creeping myiasis yang

disebabkan oleh Gasterophilus spp. superfisial, jelas, dan terdapat terowongan serpentine

(creeping eruption). Larva Hypoderma spp. terdapat lebih dalam (subkutan), lebih nyeri

disertai pembengkakan kulit yang sementara. Larva Cuterebra spp. menginvasi hidung atau

mulut untuk mencapai trakea kemudian masuk ke dalam membran mukosa dan melakukan

migrasi ke kulit. Pada beberapa kasus, larva dapat dikelurkan melalui batuk karena menetap

dalam trakea. Pemakaian minyak mesin untuk membuat kulit lebih transparan dapat

mendeteksi larva Gasterophilus spp.9

8

Page 9: MYIASIS

Diagnosis wound myiasis dapat ditegakkan jika terdapat belatung pada luka yang sudah

ada sebelumnya. Kecurigaan adanya infeksi larva harus timbul jika terdapat luka dengan pus

yang berbau busuk disertai sensasi pergerakan dan nyeri, serta adanya faktor risiko dari

wound myiasis.5,9

DIAGNOSIS BANDING

Furuncular myiasis yang disebabkan Dermatobia hominis sering didiagnosis sebagai

gigitan arthropoda, pioderma, atau keduanya. Furuncular myiasis juga sering didiagnosis

banding dengan ruptur kista epidermoid, abses, furunkulosis, reaksi benda asing, selulitis,

onchocerciasis, tungiasis, reaksi arthropoda, leishmaniasis, dan limfadenopati. Tunga

penetrans, kutu yang menyerang kulit, menyebabkan nodul furunkular yang dapat juga

menyerupai furuncular myiasis, tetapi tungiasis umumnya terdapat pada jari-jari kaki dan

telapak kaki. Infestasi Cochliomyia anthropophaga yang menyebabkan furuncular myiasis

terkadang didiagnosis sebagai pioderma, impetigo, furunkulosis staphylococcal,

Leishmaniasis, drakunkuliasis, penyakit faktisial, dan herpes zoster.2,3

Ada tiga gejala klinis yang membedakan myiasis migratorik dan cutaneus larva migran.

Pertama, pemanjangan lesi myiasis lebih lama dan tidak terlalu menyebar. Kedua, larva lalat

dapat bertahan hidup lebih lama dari cacing. Ketiga, larva lalat umumnya lebih besar dari

cacing dan pada Gasterophilus spp. dapat dilihat dengan meneteskan mineral oil dan

menggunakan kaca pembesar.2

PENATALAKSANAAN

Pengeluaran larva furuncular myasis dapat dilakukan dengan menekan tepi luka dengan

jari-jari. Debridement dengan anestesi lokal merupakan tindakan kuratif, meskipun reaksi

benda asing dapat terjadi jika bagian dari larva tetap ada. Oklusi dengan petroleum jelly,

parafin cair, lilin lebah, cat kuku atau minyak ditempatkan di atas pori sentral. Penggunaan

lemak babi atau potongan bacon pada furunkula akan membuat larva keluar dari pori sentral

dalam beberapa jam. Pengobatan tradisional di Belize juga menggunakan teknik oklusi.

Tembakau yang lembab digulung menjadi 3-5 mm kemudian diletakkan pada lesi hingga

menutupi pori sentral pada furuncular myiasis. Oklusi akan menyebabkan larva muncul ke

permukaan untuk mencari udara dan dengan bantuan pinset larva dapat ditangkap dan

dibuang. Alternatif lainnya menggunakan semprotan etil klorida, nitrogen cair, kloroform

dalam minyak sayur atau insektisida yang digunakan tunggal atau kombinasi. Lidocaine dapat

9

Page 10: MYIASIS

disuntikkan ke dasar rongga tempat larva bermukim sehingga larva akan muncul ke

permukaan. Antiseptik dan antibiotik diberikan jika terdapat infeksi sekunder.3,9,10

Prinsip penatalaksanaan myasis adalah menciptakan kondisi hipoksia lokal untuk

memaksa pengeluaran larva, mengaplikasikan bahan-bahan yang toksik terhadap larva dan

telur, serta mengeluarkan semua larva secara mekanik atau bedah. Tujuan terapi adalah

pembersihan luka dari larva secara total dan mengontrol infeksi sekunder. Semua larva yang

tampak harus segera dikeluarkan, diikuti dengan debridement jaringan nekrotik yang tersisa

dan irigasi luka yang bergaung. Irigasi dapat dilakukan menggunakan cairan saline, hidrogen

peroksida, larutan antimikroba, atau kloroform 5–15% dalam minyak. Eksisi secara bedah

diperlukan jika larva tidak dapat dikeluarkan secara mekanik atau tertanam pada posisi yang

sulit. Ekstraksi larva harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ruptur yang dapat

memicu infeksi bakteri sekunder atau reaksi alergi.5

Kondisi hipoksia lokal dapat memicu larva untuk keluar dari luka dengan penggunaan

bahan-bahan oklusif seperti kloroform, minyak zaitun, minyak paraffin, bacon, beeswax atau

petroleum jelly. Petroleum jelly diaplikasikan secara tebal di atas luka dan diganti setiap 3 jam

sampai semua larva keluar dari luka. Bahan toksik yang efektif untuk myasis adalah

ivermectin 1% dalam larutan propylene glycol (maksimal 400 μg/kgBB) yang diaplikasikan

pada luka selama 2 jam dan kemudian dibilas dengan salin. Penggunaan obat oral tidak

direkomendasikan untuk myasis pada manusia. Antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi

bakteri sekunder. Myiasis dapat menjadi tempat masuk Clostridium tetani dan harus

dipertimbangkan pemberian vaksinasi.3,5

PREVENTIF

Mayoritas infestasi larva dapat dihindari apabila dilakukan tindakan pencegahan yang

tepat. Menghindari diri dari faktor predisposisi myiasis merupakan langkah pencegahan paling

awal yang dapat dilakukan. Faktor predisposisi myiasis meliputi antara lain musim panas dan

lembab, kontak langsung dengan host yang terinfestasi, tidur di luar ruangan, higiene yang

buruk, dan melakukan perjalanan ke daerah endemik.

Serangan larva lalat dapat diminimalisir dengan menggunakan pakaian bersih dan dapat

melindungi dari serangga, menjaga anak-anak dengan pengawasan yang ketat di luar ruangan,

dan menggunakan pintu dan jendela yang ventilasinya memadai terutama jika tinggal di

daerah pedesaan atau di tempat populasi lalat sering bersarang. Risiko infestasi larva lalat

yang sering menyerang hewan ternak contohnya Hypoderma spp. dan Gasterophilus spp.,

10

Page 11: MYIASIS

dapat dikurangi dengan menghindari kontak dengan host yang terinfestasi. Serangan

Dermatobia hominis akan terjadi karena gigitan arthropoda (biasanya nyamuk) yang

membawa telur Dermatobia hominis. Pakaian pelindung, anti serangga, dan tirai tidur harus

digunakan oleh wisatawan di daerah Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Lalat

betina Cordylobia anthropophaga bertelur di pasir atau pakaian sehingga menghindar dari

paparan pasir yang lama, memastikan bahwa tidak ada pakaian yang tergantung di luar, dan

selalu menyetrika pakaian agar telur atau larva dapat terbunuh dapat membantu mengurangi

risiko myiasis di daerah endemik Cordylobia anthropophaga.9

Higienitas yang baik, pengobatan yang cepat, dan menutup luka adalah metode terbaik

untuk melawan lalat yang fakultatif ataupun obligat menginvasi luka, jaringan nekrotik, atau

rongga tubuh. Tunawisma, lansia, atau orang dengan keterbatasan adalah kelompok berisiko

dan harus mendapat perhatian khusus dalam perawatan luka, dan hygiene bukal. Habitat lalat

juga harus dikurangi dengan mengelola residu makanan dan kontainer sampah dengan benar.9

KESIMPULAN

Cutaneus myiasis ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis dan di musim panas

pada daerah beriklim sedang. Kasus myiasis akan lebih sering dijumpai pada era globalisasi

saat ini karena manusia dapat dengan mudah melakukan perjalanan ke berbagai daerah

terutama daerah endemik myiasis. Anamnesis yang tepat mengenai riwayat perjalan penyakit

pasien dan faktor-faktor pemicu untuk terjadinya myiasis adalah kunci yang tepat dalam

mendiagnosis dan menatalaksana myiasis dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin 11th edition. 11

Page 12: MYIASIS

Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.

2. McGraw TA, Turiansky GW. Cutaneous myasis. J Am Acad Dermatol 2008;58(6):907–26.

3. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini R. Cutaneous myasis. In: Dermatology. Vol 1. 2nd ed. Mosby Elsevier; 2008:1300–01.

4. Wardhana AH. Chrysomya Bezziana; penyebab myiasis pada hewan dan manusia: permasalahan dan penanggulangannya. Bogor: Balai Penelitian Veteriner Press. 2006.

5. Yolanda M, Winata SM. Wound Myiasis pada Anak. Cermin dunia kedokteran 2014;41(8):601-04.

6. Francesconi F, Lupi O. Myasis. Clin Microbiol Rev 2012;25(1):79–105.

7. Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi Kedokteran. FK Unpad: Bagian Parasitologi; 2009.

8. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Diseases caused by arthropods and other noxious animals. In: Rook’s Textbook of Dermatology. Vol 2. 8th ed. Malden, MA: Blackwell Publishing; 2010:33.8–10.

9. Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry P. Cutaneus myasis: diagnosis, treatment, and prevention. J Oral Maxillofac Surg 2008;66:508–68.

10. Diaz JH. The epidemiology, diagnosis, management, and prevention of ectoparasitic diseases in travelers. J Travel Med 2006;13(2):100-11.

12