Muted group theory

5
MUTED GROUP THEORY Oleh : 1. Fransiska Wuri Nugrahani (0906492032) 2. Lodelvi (0906492064) 3. Indra Bayu (0906524601) Muted Group Theory diteliti oleh Cheris Kramarae yang menjelaskan tentang bagaimana seorang wanita yang merupakan kaum subordinat berusaha untuk berkomunikasi layaknya seorang laki- laki dalam mendeskripsikan pengalaman yang mereka alami. Untuk mengekspresikan pengalamannya melalui bahasa, dibutuhkan suatu proses, yang mana proses tersebut membuat para wanita cenderung lambat dan kesulitan dalam mengartikulasikan pemikirannya ke dalam suatu bahasa yang fasih. Oleh karena itulah makanya ada kelompok tertentu, biasanya kelompok yang terpinggirkan, cenderung terlihat lebih diam atau enggan bersuara. Mereka menganggap bahwa diri mereka tidak cukup baik dalam berbahasa sehingga memilih untuk diam atau bungkam. Peneliti awal dari teori ini adalah Edwin dan Shirley Ardener. Edwin mencatat bahwa suatu kelompok akan menghasilkan sebuah hierarki dalam masyarakat yang akan mempengaruhi sistem komunikasi dalam suatu budaya. Kelompok yang kekuasaannya rendah dalam masyarakat, seperti wanita, orang miskin, orang berkulit hitam, harus berusaha keras agar dapat diterima dalam suatu sistem komunikasi yang dibangun oleh kelompok yang lebih dominan. Tidak berbeda jauh dengan Edwin, Shirley juga menjelaskan bahwa wanita (atau anggota dari kelompok subordinat lainnya) sebenarnya bersuara, namun kata-kata mereka seringkali tidak dianggap, sehingga lambat laun mereka memutuskan untuk berhenti bersuara dan memilih untuk diam. Sebagai tambahan, Edwin mengatakan bahwa ketidakfasihan muted groups dalam menyuarakan pemikirannya disebabkan oleh sistem berbahasa yang digunakan oleh kelompok dominan, yang mana berkembang dalam mempengaruhi pandangan dan pengalaman mereka. Usaha muted groups untuk bersuara selalu

Transcript of Muted group theory

Page 1: Muted group theory

MUTED GROUP THEORY

Oleh : 1. Fransiska Wuri Nugrahani (0906492032)

2. Lodelvi (0906492064)

3. Indra Bayu (0906524601)

Muted Group Theory diteliti oleh Cheris Kramarae yang menjelaskan tentang bagaimana seorang wanita yang merupakan kaum subordinat berusaha untuk berkomunikasi layaknya seorang laki-laki dalam mendeskripsikan pengalaman yang mereka alami. Untuk mengekspresikan pengalamannya melalui bahasa, dibutuhkan suatu proses, yang mana proses tersebut membuat para wanita cenderung lambat dan kesulitan dalam mengartikulasikan pemikirannya ke dalam suatu bahasa yang fasih. Oleh karena itulah makanya ada kelompok tertentu, biasanya kelompok yang terpinggirkan, cenderung terlihat lebih diam atau enggan bersuara. Mereka menganggap bahwa diri mereka tidak cukup baik dalam berbahasa sehingga memilih untuk diam atau bungkam.

Peneliti awal dari teori ini adalah Edwin dan Shirley Ardener. Edwin mencatat bahwa suatu kelompok akan menghasilkan sebuah hierarki dalam masyarakat yang akan mempengaruhi sistem komunikasi dalam suatu budaya. Kelompok yang kekuasaannya rendah dalam masyarakat, seperti wanita, orang miskin, orang berkulit hitam, harus berusaha keras agar dapat diterima dalam suatu sistem komunikasi yang dibangun oleh kelompok yang lebih dominan. Tidak berbeda jauh dengan Edwin, Shirley juga menjelaskan bahwa wanita (atau anggota dari kelompok subordinat lainnya) sebenarnya bersuara, namun kata-kata mereka seringkali tidak dianggap, sehingga lambat laun mereka memutuskan untuk berhenti bersuara dan memilih untuk diam. Sebagai tambahan, Edwin mengatakan bahwa ketidakfasihan muted groups dalam menyuarakan pemikirannya disebabkan oleh sistem berbahasa yang digunakan oleh kelompok dominan, yang mana berkembang dalam mempengaruhi pandangan dan pengalaman mereka. Usaha muted groups untuk bersuara selalu terpatahkan karena sistem membuat mereka harus mengubah pandangan dan membandingkan pengalaman mereka dengan kelompok dominan.

Teori ini menyimpulkan bahwa para wanita dibuat diam oleh ketidakfasihan mereka dalam berbahasa. Ada dua contoh yang mengklarifikasi pemikiran ini. Contoh pertama berasal dari Hillary Callan yang berpendapat bahwa banyak perawat wanita yang mengalami kesulitan dalam mengasumsikan otoritasnya. Kesulitan ini sendiri dikarenakan pengalaman mereka dalam mendefinisikan diri mereka sendiri. Perawat didefinisikan sebagai simbol feminitas. Contoh kedua berasal dari Helen Sterk yang mengidentifikasi sebuah proses kelahiran, walaupun terlihat sebagai suatu pengalaman luar biasa yang dialami wanita, namun sebenarnya banyak wanita yang ingin mengindar dari perasaan “aneh” tersebut. Hal ini dikarenakan yang menangani proses kelahiran adalah para dokter dan kendali ada di tangan mereka.

1

Page 2: Muted group theory

Teori ini berfokus pada wanita sebagai muted group. Namun, sebenarnya teori ini tidak hanya dapat berlaku pada wanita, teori ini berlaku bagi semua kelompok yang non-dominan. Perspektif ini membawa kita melihat pada keberadaan kelompok dominan, yang mana merupakan kelompok yang memegang kekuasaan dalam suatu budaya. Kelompok lain yang non-dominan otomatis menjadi subordinat, sehingga mereka tidak memiliki akses dalam kekuasaan kelompok dominan.

Berbicara tentang kelompok dominan dan non-dominan, dalam hal ini pria dan wanita, diperlukan penjelasan mengenai dua konsep penting, yaitu sex dan gender. Sex diartikan sebagai suatu kategori yang membedakan pria dan wanita dari sisi biologis, dan merupakan pemberian dari Tuhan yang tidak dapat diubah. Sedangkan, gender merupakan suatu kategori yang membedakan antara pria dan wanita lewat proses pembelajaran pola perilaku dalam suatu kebudayaan yang mengkonstruksikan seseorang dalam feminitas dan maskulinitas. Gender berbeda dengan sex karena lebih fleksibel dan direfleksikan sesuai dengan peran individu masing-masing. Ada tiga asumsi yang mendasari teori ini, antara lain:

1. Perbedaan pandangan antara pria dan wanita dikarenakan adanya perbedaan pengalaman dan aktifitas yang berakar dari pembagian kerja antara pria dan wanita. Asumsi ini didasarkan pada suatu pembagian kerja antara pria dan wanita yang berbasis sex, di mana wanita cenderung diarahkan pada pekerjaan rumah tangga, sedangkan pria pada pekerjaan di luar rumah. Ada konsep yang disebut dengan gender polarization, yang mereflesikan pria dan wanita sebagai dua insan yang berbeda satu sama lain. Adanya perbedaan perlakuan tersebut menghasilkan pengalaman yang berbeda di antara keduanya. Selain itu, ada juga konsep second shift, yaitu suatu fenomena wanita yang bekerja selama delapan jam di luar rumah, setelah itu kembali ke rumah melaksanakan second shift-nya.

2. Karena dominasi politiknya, maka sistem persepsi pada pria cenderung dominan, bahkan menghambat kebebasan berekspresi dari para wanita. Tidak dapat dipungkiri bahwa pria lebih dihargai dalam kehidupan sosial, sebaliknya pengalaman wanita diabaikan, akibatnya wanita mengalami kesulitan dalam membicarakan pengalamannya tersebut. Teori ini berpendapat bahwa seseorang akan menjadi tidak fasih dalam berbicara ketika mereka tidak memiliki kata-kata untuk mendeskripsikan pemikirannya. Inilah yang terjadi ketika dominasi politik pria memaksakan persepsi mereka pada wanita yang memiliki pengalaman yang berbeda.

3. Dalam rangka ikut berpartisipasi dalam masyarakat, wanita harus mentrasformasikan pola pemikiran mereka terhadap sistem ekspresi pria. Asumsi ini mengatakan bahwa ketika berbicara dengan sesamanya, wanita cenderung akan berkolaborasi secara alami karena mereka memerlukan bantuan dari sesamanya untuk menemukan kata-kata yang tepat dalam mengekspresikan pemikirannya. Ketika wanita memilih untuk berdiam diri, mereka akan melakukannya lewat menghindari pembicaraan atau membentuk, serta mengontrol pembicaraan lawan bicaranya.

2

Page 3: Muted group theory

Pemikiran pokok dari teori ini adalah bahwa anggota dari kelompok yang termarjinalisasi adalah kelompok yang diam dan cenderung tidak fasih dalam berbicara. Meskipun sepertinya hal itu merupakan sesuatu yang alamiah, namun konsekuensi yang dihasilkan dari ketidakmerataan distribusi kekuasaan ini merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Secara tidak langsung, diam menggambarkan suatu pemahaman mengenai siapa yang memiliki dan tidak memiliki kekuasaan. Ada beberapa metode yang digunakan untuk menghasilkan distribusi kekuasaan dan kediaman seseorang, antara lain:

Ridicule, menaruh perhatian bahwa pembicaraan wanita itu terpinggirkan dan diabaikan. Pria selalu menganggap bahwa apapun yang dibicarakan oleh para wanita adalah hal-hal yang tidak bermakna dan mereka tidak dapat memahami mengapa wanita seringkali menghabiskan banyak waktu untuk bercakap-cakap dengan sesamanya di telepon. Oleh para pria, wanita lebih diharapkan untuk menjadi seorang pendengar yang baik bagi para pria.

Ritual, salah satu contoh ritual di sini adalah upacara pernikahan, yang mana mengindikasikan bahwa wanita diberikan bagi para pria dan statusnya lebih rendah dibanding pria. Setelah menikah pun, wanita diharuskan mengganti namanya sesuai dengan nama pria yang dinikahinya. Hal ini menunjukkan pada kita suatu bentuk subordinasi antara pria dan wanita dalam sebuah ritual pernikahan.

Control, media dikendalikan oleh pria, sedangkan kontribusi wanita dalam lingkup media sangat dibatasi. Salah satu buktinya adalah dalam hal interupsi. Ketika pria menginterupsi wanita, maka wanita akan mengikuti interupsi tersebut, namun tidak sebaliknya bila wanita menginterupsi pria, maka pria tersebut tetap akan bertahan dalam pendapatnya.

Harassment, dalam street harassment, wanita tidak memiliki kebebasan dalam mengakses jalan publik. Ruang publik dikendalikan oleh pria. Wanita yang pernah mengalami sexual harassment diabaikan dan dianggap tidak penting.

Houston dan Kramarae, mengajukan beberapa strategi dalam mengubah kendali pria atas wanita. Pertama, memberi nama kepada silencing dalam suatu topik diskusi. Kedua, dengan mengklaim ulang, meningkatkan derajat dan pemikiran wanita, serta memulai perayaan dan pembelajaran di segala bidang bagi wanita. Melalui kegiatan ini, menunjukkan bahwa wanita juga dapat melakukan hal-hal yang efektif, berdampak, serta mampu berekspresi layaknya para pria. Ketiga, dengan menciptakan bahasa baru yang lebih representatif untuk menangkap dan menggambarkan pengalaman-pengalaman wanita. Melalui strategi-strategi inilah, muting diharapkan dapat teratasi.

3

Page 4: Muted group theory