Muhammad Iqbal
-
Upload
mahfuz-budi -
Category
Documents
-
view
527 -
download
1
Transcript of Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal : Filsafat tentang Tuhan dan Khudi
MAKALAH
Diajukan pada Diskusi Kelas Mahasiswa Program Pascasarjana Semester IIMatakuliah Pemikiran Islam II (Filsafat/Tasawuf)
Tahun Akademi 2003-2004Tanggal 25 April 2004
Oleh : Mahfuz BudiNIM : 03 PEKI 701
DosenProf. DR. HM Yasir Nasution
DR Hasyimsyah Nasution, MADR Mahmuddin Siregar
PROGRAM PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN2004
Isi
Biografi Muhammad Iqbal………………………………………………………………3
Filsafat dan Agama ……………………………………………………………………...5
Khudi dan Pengalaman Mistis…………………………………………………………...7
Tuhan dan Konsep Kemutlakan-Nya …………………………………………………12
Kepustakaan…………………………………………………………………………….18
2
Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab, 9 Nopember 1877. Menguasai bahasa
Arab dan Persia pada usia muda, disamping bahasa Urdu sebagai bahasa ibu, Iqbal telah
menjadi dosen di Universitas Lahore pada usia 24. Kemudian melanjutkan studinya ke
Universitas Cambridge di Inggris, dan meraih gelar doktor pada usia 30 dari Universitas
Munich, Jerman dengan disertasi berjudul Perkembangan Metafisika di Persia, yang
mengungkap sejumlah aspek mistisisme Islam. Di samping berpraktek sebagai
pengacara, Iqbal terjun ke politik dan menjadi anggota parlemen daerah Punjab tahun
1920.1
Iqbal dikenal sebagai filosof penyair yang menggagas wacana tentang ide negara
Islam bagi masyarakat India di propinsi-propinsi berpenduduk mayoritas Muslim.2 Ide
inilah yang pada 1947 direalisasikan Muhammad Ali Jinnah dengan membentuk negara
Islam Pakistan, sembilan tahun setelah kematian Iqbal pada 21 April 1938.
Posisi sentralnya sebagai filosof mengemuka dalam kuliah-kuliahnya yang
kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Religious Thought in Islam
yang menjadi topik utama bahasan makalah ini. Karya-karyanya yang lain berupa
kumpulan puisi seperti Bal-i Jibril (Sayap Jibril), Payam-i Mashriq (Pesan dari Timur),
Gulshan-i Raz-i Jadid (Taman Misteri Baru), Asrar-i Khudi (Rahasia Diri), yang
keseluruhannya kemudian dihimpun dalam Kulliyat-i Iqbal yang diterbitkan pertama kali
dalam dua bahasa; Urdu dan Persia.
1 Wasiullah Khan, “Muhammad Iqbal” dalam Great Muslims of 20th Century, dalam www. islam101.com.2 Dr Hasan Asari, MA, Modernisasi Islam, Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, (Bandung : Citapusaka Media, 2002), hal. 164.
3
Iqbal sebagaimana diakuinya sendiri adalah pengikut dan banyak dipengaruhi
pemikiran dan gagasan-gagasan Shah Wali Allah Dihlawi, Sayyed Ahmad Khan dan
Jamaluddin al-Afghani. Iqbal juga, sebagaimana dapat dibaca dalam karya utamanya,
adalah pengikut yang kritis dari pemikiran Al-Ghazali dan Immanuel Kant, tetapi banyak
berseberangan pandangan dengan Mu’tazilah dan Al-Asy’ari sekaligus, dan juga dengan
pengikut aliran filsafat Yunani, terutama Ibnu Rusyd dan Al-Farabi.
Terhadap dua yang disebut terakhir, misalnya, Iqbal menyayangkan mereka yang
membutuhkan waktu sampai 200 tahun untuk menyadari semangat Al-Qur’an adalah
anti-klasik. “Mereka mempelajari Al-Qur’an di bawah sorotan filsafat Yunani,” sesalnya.
Kesadaran yang terlambat itu menyebabkan Al-Ghazali mendasarkan agama kepada
skeptisisme filsafat, “satu dasar yang agak kurang aman bagi agama dan tak seluruhnya
dibenarkan oleh semangat Al-Qur’an.”3
Kritik tajamnya terhadap filsafat Yunani dia ungkapkan dengan menilai Ibnu
Rusyd sebagai orang yang telah kehilangan pandangan tentang cita-cita besar dan
bermanfaat dalam Islam, dan secara tidak sadar membantu pertumbuhan filsafat
(Yunani), yang sesungguhnya mengaburkan pandangan manusia terhadap dirinya sendiri,
terhadap dunianya, dan juga terhadap Tuhannya.
Demikian pula dengan Al-Asy’ari yang dalam pandangan Iqbal berusaha
membela pemikiran tradisional mereka tetapi dengan menggunakan dialektika Yunani
sebagai senjata. Akan halnya Mu’tazilah, Iqbal menyebut mereka sebagai pihak yang tak
sanggup melihat bahwa dalam kerajaan pengetahuan ilmiah maupun keagamaan,
kemerdekaan pikiran yang mutlak bebas dari pengalaman nyata adalah tidak mungkin.4
3 Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), hal. 35.4 Ibid., hal. 36.
4
Filsafat dan Agama
Filsafat (Al-hikmah; al-falsafah) Islam merupakan salah satu tradisi intelektual
besar dunia Islam, dan telah mempengaruhi disamping dipengaruhi oleh banyak
perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik (kalam) dan sufisme doktrinal (al-
ma’rifah; ‘irfan). Filsafat Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat
Yunani, tetapi berbeda dengan sumbernya, filsafat Islam berkonsentrasi pada apa yang
disebut Seyyed Hossein Nasr sebagai “filsafat kenabian”.5
Iqbal justru bergerak lebih jauh. Ia mempertajam pemikirannya tentang bahasan
seputar filsafat ketuhanan. Menurutnya, ambisi agama terbang lebih tinggi dari ambisi
filsafat. Agama, dalam hal ini, Islam, tidak puas hanya dengan konsepsi saja, tetapi
berusaha mencari pengetahuan yang lebih mesra tentang Obyek dari yang dikejarnya.
Aplikasi pengetahuan itu dimanifestasikan dalam tindakan menyembah atau shalat.6
Dalam pandangan Iqbal, ada perbedaan prinsip antara filsafat dengan agama.
Semangat filsafat adalah semangat bebas bertanya dan mencurigai semua yang memiliki
otoritas. Filsafat berfungsi mengusut penerimaan-pemerimaan yang tidak kritis dari
pikiran manusia sampai ke dasarnya yang paling tersembunyi sekalipun. Dalam
pengusutan dan penjelajahan tersebut akhirnya akan bermuara kepada penolakan atau
penerimaan yang jujur bahwa akal semata tidaklah sanggup mencapai kebenaran yang
hakiki.7
5 Seyyed Hossein Nasr, entri Filsafat, dalam John L. Esposito, (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2 (Bandung : Mizan, 2001), hal. 71.6 Iqbal, op.cit., hal. 135.7 Ibid., hal. 31.
5
Sebaliknya, agama berangkat dengan dasar iman yang sifatnya dogmatik.
Untungnya, iman tidaklah semata faktor perasaan tetapi membutuhkan akal sebagai alat
penjelas. Tetapi menyesuaikan agama dengan akal tidaklah berarti mengakui kelebihan
filsafat atas agama. Meski filsafat memiliki kewenangan mempersoalkan agama, tetaplah
hal itu harus mengacu kepada sifat agama itu sendiri, yakni agama tidak semata
menyangkut akal, dan tidak pula semata menyangkut intuisi, melainkan meliputi
keduanya.8
Akal sebagai wilayah kajian filsafat dan akal beserta intuisi sebagai wilayah
agama, dideskripsikan Iqbal dengan membuat pembedaan : Filsafat bertujuan mencari
kebenaran relatif, agama mencari kebenaran absolut. Filsafat merumuskan aspek
temporer kebenaran, agama merumuskan aspek keabadian kebenaran. Agar dapat sampai
kepada tujuan masing-masing, filsafat berangkat melalui pengujian intelektual dan agama
melalui pengujian pragmatis. Pengujian intelektual yang dimaksud Iqbal adalah
pemahaman kritis tanpa asumsi dasar apa pun dari pengalaman manusia, dengan tujuan
hendak menemukan apakah pemahaman manusia tentang sesuatu itu dapat
membimbingnya ke arah kebenaran yang sama sifatnya dengan yang diungkapkan
agama. Adapun pengujian pragmatis lebih mengacu kepada hasil akhir.9 Dengan kata
lain, Iqbal nampaknya hendak mengatakan pengujian intelektual yang dilakukan filosof
berorientasi kepada metode, dan pengujian pragmatis yang dilakukan para Nabi
berorientasi kepada tujuan.
Dalam kalimat lain, Iqbal membedakan filsafat sebagai pandangan akal tentang
benda-benda tanpa merasa perlu menggagasnya sebgai sebuah sistem. Filsafat
8 Ibid., hal. 32.9 Ibid., hal. 62.
6
memandang Hakikat dari jauh, agama mencari hubungan yang lebih akrab dengan
Hakikat. Filsafat adalah teori, dan agama adalah pengalaman dan pendekatan yang
digunakan untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran teori itu.10
Khudi dan Pengalaman Mistis
Iqbal mengungkapkan pembahasan tentang konsep ruang dan waktu dengan
mengutip QS. 2 : 31 yang menjelaskan tentang penciptaan Adam yang diikuti dengan
“mengajarkan nama dan karakteristik benda agar ia dapat hidup dan mengambil manfaat
dari alam”11
Isi pokok ayat tersebut, demikian Iqbal, adalah pernyataan bahwa manusia
dikarunia kesanggupan memberi nama bagi benda; yakni membentuk konsep-konsep
tentang benda. Berdasar hal tersebut, simpulnya, sifat pengetahuan manusia menurut Al-
Qur’an adalah konseptual. Dengan modal pengetahuan konseptual itulah manusia
mendekati bidang yang dapat terlihat oleh indra (empirisisme), sebagaimana ditegaskan
dalam sejumlah ayat Al-Qur’an tentang penciptaan langit dan bumi, perobahan malam
dengan siang, dan seterusnya (QS 2 : 164); penciptaan bintang-bintang sebagai pedoman
perjalanan di darat dan di laut, penciptaan manusia dan tumbuh-tumbuhan (QS 6 : 97-99).
Meski demikian, Tuhan menegaskan empirisisme saja tidaklah cukup. Karenanya
manusia diperlengkapi pula dengan hati (fuad, qalb).
ماتشكرون قليال واالفئدة واالبصار السمع لكم وجعل روحه من فيه ونفخ سواه ثم
10 Ibid., hal. 103.11 QS 2 : 31 dikutip dari Tafsir Al-Muntakhab, Edisi Arab-Indonesia (Kairo : Universitas Al-Azhar, Kementerian Wakaf dan Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, 1421 H), http ://www. awkaf.org. Seluruh terjemahan ayat selanjutnya dikutip dari sumber yang sama, kecuali dinyatakan lain.
7
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meletakkan di dalamnya salah satu
rahasia yang hanya diketahui olehNya, serta menjadikan pendengaran, penglihatan,
dan akal (al-af’idata) bagi kalian agar kalian dapat mendengar, melihat dan berpikir.
Tetapi walaupun demikian, sedikit sekali di antara kalian yang mau bersyukur. (QS
As-Sajdah (32) : 9)
Hati adalah semacam intuisi atau pandangan ke dalam yang membuat manusia
sanggup melakukan kontak dengan segi-segi lain dari kebenaran yang tidak tertangkap
indra. Hati menurut Al-Qur’an adalah alat melihat ke dalam, dan laporannya jika
ditafsirkan sewajarnya (alamiah), tidak pernah salah. Hati membawa manusia kepada
pengalaman mistis yang tak dapat dijangkau lewat ilmu pengetahuan biasa. Sifat-sifat
utama pengalaman mistis itu dalam penjelasan Iqbal adalah : Pertama, bersifat langsung.
Pengalaman biasa (nonmistis) tunduk kepada pemahaman yang didapat indra yang
terumuskan dalam ilmu pengetahuan. Demikian pula pengalaman mistis tunduk kepada
pemahaman yang didapat hati yang terumuskan dalam pengetahuan manusia tentang
keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, manusia mengenal Tuhan lewat qalb, persis sama
seperti manusia mengenal benda lain lewat indra.12
Kedua, pengalaman mistis tidak dapat dianalisa, dan Obyek-nya tidak dapat
diurai sebagaimana kita mampu mengurai pengalaman nonmistis menjadi bagian-bagian
kecil yang membentuk komponen benda menjadi benda itu sendiri. Ketiga, pengalaman
mistis adalah penyatuan diri yang mesra dengan suatu Diri lain yang unik, dimana pada
saat penyatuan tersebut diri manusia larut dalam Diri yang lain itu. Di sini, Osman Raliby
selaku penerjemah buku Iqbal, agak berbeda dengan Hasyimsyah Nasution dalam
menafsirkan pengertian penyatuan tersebut. Sebab menurut Hasyimsyah, Iqbal justru
menyatakan manusia (diri) tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Diri (baca :
12 Iqbal, op.cit., hal. 51.
8
Tuhan). Sebaliknya manusialah yang harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, dalam arti
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya.13
Iqbal memisalkan, manusia mampu menilai baik buruknya manusia lain di
sekitarnya dengan menggabungkan tanggapan indra dengan tanggapan hati sekaligus.
Dalam kaitan dengan sifat ketiga di atas, Iqbal mengutip Al-Qur’an Surah Al-Baqarah
186 :
بي وليؤمنوا لي فليستجيبوا دعان اذا الداع دعوة اجيب قريب فاني عني عبادي سالك واذا
يرشدون لعلهم
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
Kedekatan Diri yang diungkap dalam ayat di atas itulah yang dimaknai Iqbal
sebagai kemampuan diri manusia menyatu dengan Diri yang lain melalui pengalaman
mistis.
Keempat, pengalaman mistis tidak dapat dikomunikasikan, sebab ia lebih banyak
berwujud perasaan daripada pikiran. Pengertian dan substansi yang diperoleh melalui
pengalaman mistis dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk proposisi-
proposisi, tetapi isi dari substansi itu sendiri tidak, karena pada dasarnya ia adalah suatu
materi dari perasaan (yang berarti immateri) yang tidak dapat dijangkau oleh logika akal.
Meski demikian, Iqbal mencatat, sebagaimana halnya semua pengalaman nonmistis,
pengalaman mistis juga memiliki unsur pengenal yang membuatnya bisa menjelma (atau
13 Dr Hasyimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), hal. 191.
9
terungkapkan) dalam bentuk pikiran. Sebab sudah menjadi watak dasar dari perasaan
untuk mencari ekspresi diri dalam pikiran.14
Harus diakui ada kesulitan memahami ungkapan Iqbal tentang sifat ketiga dan
keempat dari pengalaman mistis di atas, dan salah-salah bisa membuat kita
menyimpulkannya sebagai pengikut Al-Hallaj. Tetapi Iqbal membantah kemungkinan
tersebut. Jauh dari keinginan mengkafirkan Al-Hallaj (ingat kisah Sunan Kalijaga versus
Syekh “Al-Hallaj” Siti Jenar!), Iqbal justru membuat pengakuan yang sangat jujur.
“Sekarang ini,” ungkapnya, “Kita masih belum sanggup memiliki metode ilmiah
yang memperbincangkan bentuk pengalaman yang mendasar dari pendapat-pendapat
seperti Al-Hallaj. Pun, gagasan dari sistem ketuhanan yang dibungkus dengan
terminologi metafisika yang paling praktis sekali pun, tak dapat membantu kita yang
kebetulan memiliki latar belakang intelektual yang berlainan.”15
Keseluruhan pengalaman mistis manusia bersumber dari kesadaran diri yang
berpusat pada zat yang membentuk roh manusia. Dengan kata lain diri manusia (human
ego) dikendalikan oleh roh. Inilah yang oleh Iqbal disebut konsep tentang khudi. 16
Konsep diri (jiwa dan raga) mengungkapkan dirinya dalam satu kesatuan keadaan
mental (mental states) yang kompleks tetapi utuh menyatu yang dinamakan akal.
Kesatuan keadaan mental dari diri itu dijelaskan Iqbal sebagai pikiran yang tidak
berhubungan dengan ruang (tempat), sebab diri dapat berpikir tentang lebih dari satu
susunan tempat. Ruang sadar dan ruang mimpi dari satu diri adalah terpisah dan tidak
berhubungan meski berlangsung seirama. Mengutip al-Ghazali, Iqbal mengatakan diri
14 Ibid., hal 54.15 Ibid., hal 144.16 Ibid.
10
adalah zat dari roh yang utuh. Hanya tambahannya, demikian Iqbal, pengalaman sadar
fisik manusia tidak bisa digunakan menjelaskan makna zat dari roh itu sendiri.17
Kehidupan zat dari roh atau sebutlah diri dalam pengertian jiwa dan raga hadir
dari ketegangan yang ditimbulkan oleh diri itu sendiri dalam berhadap-hadapan dengan
lingkungannya. Diri tidak berada di luar tetapi larut dalam konflik sebagai energi
pembimbing yang dibentuk serta diatur oleh pengalaman diri tersebut. Iqbal mengutip Al-
Qur’an Surah Al-Isra’ 85 :
قليال اال العلم من ومااوتيتم ربي امر من الروح قل الروح عن ويسألونك
Wahai Muhammad, kaummu yang mendapat nasihat dari orang-orang Yahudi
bertanya kepadamu tentang hakikat rûh (roh). Katakan, "Hanya Allah yang
mengetahui ihwal roh. Aku hanya diberi sedikit sekali dari ilmu Allah tentang hal itu.
Menurut Iqbal, harus dibedakan antara amr dan khalq, sebagai dua kata yang
mengungkapkan dua cara yang berbeda tentang kegiatan penciptaan yang dilakukan
Allah swt. Khalq adalah cipta, amr adalah perintah.
العالمين رب الله تبارك واالمر الخلق له اال يطلبه ….
…Penciptaan dan perintah yang ditaati hanyalah milik Dia semata. Mahasuci
dan Mahatinggi keberkahan Sang Pencipta alam seisinya.(QS Al-A’raf (7) : 54)
Watak esensial roh bersifat memimpin karena ia bergerak berdasar energi
memimpin dari Tuhan, walaupun manusia tidak mengetahui bagaimana mekanisme amr
tersebut bekerja. Dengan demikian, disimpulkan tubuh manusia adalah alat dari roh untuk
berinteraksi dengan lingkungan. Jika kita mengambil buku dari atas meja, demikian Iqbal
mencontohkan, adalah karena raga kita diperintahkan oleh jiwa (roh) untuk
17 Ibid., hal. 152.
11
melakukannya. Tidak mungkin menarik garis pemisah antara amr dan khalq atas suatu
tindakan yang dilakukan. Keduanya menyatu dalam suatu sistem yang terintegrasi. Diri
bergerak melakukan perpaduan kreatif antara indra dan akal berdasar perintah Diri
Mutlak18 Inilah inti filsafat ketuhanan Iqbal, yaitu perlunya penciptaan dan
pengembangan sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia. Bahwa :
عليم شئ بكل وهو والباطن والظاهر واالخر االول هو
Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin. Dan Dia
mengetahui segala sesuatu {yang tampak (fisik) dan yang tidak terlihat (roh)}. (QS
Al-Hadid (57) : 3)
Tuhan dan Kemutlakan-Nya
Kondisi demikian, menurut Iqbal, berbeda dengan pernyataan sementara ilmuwan
Kristen Barat yang mengembangkan konsep Tuhan adalah cahaya dalam makna yang
harfiah. Ia merujuk kepada pemikiran Lewis R Farnell dalam The Attributes of God yang
menyebut Tuhan sebagai unsur kosmis yang menyusup seperti cahaya,19 yang
disimpulkan dari pemutarbalikan makna Al-Qur’an Surah An-Nuur 35 :
الزجاجة زجاجة في المصباح مصباح فيها كمشكاة نوره مثل واالرض السماوات نور الله لم ولو يضيئ زيتها يكاد والغربية الشرقية زيتونة مباركة شجرة من يوقد دري كوكب كانها
بكل والله للناس االمثال الله ويضرب يشاء من لنوره الله يهدي نور على نور نار تمسسه عليم شئ
Allah adalah sumber segala cahaya di langit dan di bumi. Dialah yang
menerangi keduanya dengan cahaya yang bersifat materiil yang dapat kita lihat dan
18 Ibid., hal. 155-156.19 Lewis R Farnell, The Attributes of God (Oxford : Clarendon Press, 1925)
12
berjalan di bawah cahayanya. Cahayanya juga ada yang bersifat maknawi seperti
cahaya kebenaran, keadilan, pengetahuan, keutamaan, petunjuk dan keimanan. Dia
juga menerangi langit dan bumi dengan bukti- bukti yang terkandung di dalam alam
raya ini dan segala sesuatu yang menunjukkan wujud Allah serta mengajak untuk
beriman kepada-Nya. Kejelasan cahaya-Nya yang agung dan bukti-buktinya yang
mengagumkan adalah seperti cahaya sebuah lampu yang sangat terang. Lampu itu
diletakkan di sebuah celah dinding rumah yang dapat membantu mengumpulkan
cahaya dan memantulkannya. Lampu itu berada dalam kaca yang bening dan
bersinar seperti matahari, mengkilap seperti mutiara. Bahan bakar lampu itu diambil
dari minyak pohon yang banyak berkahnya, berada di tempat dan tanah yang baik,
yaitu pohon zaitun. Pohon itu ditanam di tengah-tengah antara timur dan barat yang
membuatnya selalu mendapat sinar matahari sepanjang hari, pagi dan sore. Pohon
itu bahkan berada di puncak gunung atau di tanah kosong yang mendapatkan sinar
matahari dalam sehari penuh. Karena teramat jernih, minyak pohon itu seakan
hampir menyala, meskipun lampu tersebut tidak disentuh api. Semua faktor tersebut
menambah sinar dan cahaya lampu menjadi berlipat ganda. Demikianlah bukti-bukti
materi dan maknawi yang terpancar di alam raya ini menjadi tanda-tanda yang jelas
yang menghapus keraguan akan wujud Allah dan kewajiban beriman kepada-Nya
serta risalah-risalah-Nya. Melalui itu semua, Allah merestui siapa saja yang
dikehendaki untuk beriman jika dia mau menggunakan cahaya akalnya. Allah
memaparkan contoh-contoh yang bersifat materiil agar persoalan-persoalan yang
bersifat rasional mudah ditangkap. Allah swt. Mahaluas pengetahuan-Nya. Dia
mengetahui siapa saja yang memperhatikan ayat-ayat-Nya dan siapa yang enggan
dan sombong. Dia akan memberi balasan kepada mereka atas itu semua.
Tidak diragukan, kalimat pembuka dalam ayat di atas memberi kesan penjauhan
diri dari konsep individualistis (keesaan?) dari Tuhan, tegas Iqbal. Tetapi jika diikuti
metafor selanjutnya, justru memberi kesan sebaliknya; menyatakan sugesti tentang unsur
kosmis yang tidak berbentuk yang kemudian dipusatkan dalam sesuatu yang menyala
(matahari?). Berdasar hal itu, Iqbal menyarankan penggambaran Tuhan sebagai cahaya
dalam tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi harus ditafsirkan secara berlainan. Dalam fisika
kecepatan cahaya tidak dapat dilampaui, sehingga metafor Tuhan sebagai cahaya
13
haruslah dipandang menunjukkan Kemutlakan Tuhan dan bukan wujud atau tempatNya
berada.20
Di samping Kemutlakan Tuhan, unsur-unsur penting lainnya dalam konsepsi Al-
Qur’an tentang Tuhan dipandang dari pemahaman intelektual semata adalah Maha
Pencipta, Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Abadi.21
Bukti kemahapenciptaan Tuhan adalah alam semesta yang terdiri dari ruang,
waktu, dan benda, meski konsep tentang ketiganya adalah penafsiran yang dilahirkan
pikiran manusia terhadap enerji penciptaan dari Tuhan. Dengan kata lain, ketiganya
bukanlah realitas bebas yang ada dengan sendirinya, melainkan hanya sebagai cara
intelektual manusia dalam mencoba memahami Tuhan. Sehingga tidaklah mengherankan
jika ada orang yang mengatakan bahwa dahulu, sebelum alam semesta diciptakan,
terdapat suatu masa dimana yang ada hanyalah Tuhan saja.22
Menurut fisika, kecepatan gerak gelombang memiliki frekuensi 400 triliun per
detik, sedang batas daya penglihatan manusia terhadap cahaya hanyalah 200 per detik.
Sehingga diperlukan waktu 6.000 tahun untuk menyelesaikan perhitungan kecepatan
cahaya tersebut. Iqbal tidak menyebut satuan gerak gelombang, tetapi angka perhitungan
definitif yang kita peroleh melalui hitungannya sesungguhnya adalah 6.341 tahun. Dalam
pemahaman Iqbal, satu hari ketuhanan menurut istilah Al-Qur’an dan Injil sama dengan
1.000 tahun kehidupan manusia. Sehingga wajarlah jika Tuhan menyatakan dalam Al-
Qur’an Surah Al-Furqaan 59 bahwa langit dan bumi beserta semua yang ada di antara
keduanya Dia ciptakan dalam enam hari,23 yang menunjukkan proses evolusi alam
semesta berlangsung dalam kurun waktu 6.000-an tahun. 20 Iqbal, op. cit., hal. 106.21 Ibid., hal. 109.22 Ibid., hal. 108.23 Ibid., hal. 87.
14
Selesaikah? Ternyata tidak. Sebab Iqbal mengutip Al-Qur’an Surah Al-Furqan 62
yang menegaskan bahwa “Dialah yang telah menjadikan malam dan siang berganti-ganti
sebagai tanda bagi orang yang mau berpikir dan mau berterimakasih”. Berganti-gantinya
malam dan siang itu (berarti : waktu) tunduk kepada penambahan, dalam arti alam
semesta bukanlah satu hasil yang telah cukup lengkap yang telah ditinggalkan oleh
Tangan Pembuatnya berabad-abad yang lampau dan kini hanya terbentang dalam ruang
sebagai kumpulan benda mati yang tidak diapa-apakan oleh waktu.24 Maka alam harus
dipahami sebagai organisme yang selalu berkembang, tetapi perkembangannya tidak
mempunyai batas keluar yang berkesudahan. Batas satu-satunya adalah ke dalam, yaitu
ke Diri yang Menjiwai dan Memelihara keseluruhannya, sebagaimana diungkapkan
Tuhan dalam Al-Qur’an Surah An-Najm 42 :
المنتهى ربك الى وان
Sesungguhnya pada Tuhanmulah batas itu.
Dengan demikian, lanjut Iqbal, berdasar pengetahuan di atas manusia telah
memberi makna spiritual baru bagi fisika, dimana pengetahuan kita tentang alam adalah
pengetahuan kita tentang tindak-tanduk Tuhan, atau yang lazim kita sebut sebagai ayat-
ayat kauniyah.
Waktu yang dipandang sebagai satu keseluruhan organis itulah yang oleh Al-
Qur’an dinamakan takdir atau nasib, kata yang menurut Iqbal banyak disalahmengerti
tidak saja oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga pada mayoritas umat Muslim. Dalam
penyimpulannya Iqbal merumuskan, takdir adalah waktu sebagai “diri” waktu itu sendiri,
dan bukan sebagai “waktu yang dipikirkan” atau “waktu yang diperkirakan”, dan waktu
24 Ibid., hal. 95.
15
itulah yang membentuk intisari dari materi, sesuai penafsirannya atas Al-Qur’an Surah
At-Thalaq 3 dan Al-Qamar 49, bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu menurut
qadarnya masing-masing. Apa yang kita sebut benda (materi), kata Iqbal, adalah
peristiwa dalam kelanjutan alam semesta yang oleh pikiran manusia diberi tempat dalam
suatu ruang (space) tertentu. Alam semesta yang bagi kita seolah merupakan kumpulan
materi bukanlah suatu zat keras yang menempati ruang hampa. Alam semesta
sesungguhnya bukan materi atau benda tetapi gerak. Intisari dari materi, yaitu atom
adalah listrik, dan listrik bukanlah materi tetapi gerak, simpul Iqbal.25
Hasyimsyah menyimpulkan ada tiga tahap perkembangan pemikiran Iqbal tentang
Tuhan. Tahap pencarian dipengaruhi Ibn Arabi dan Plato yang memandang Tuhan
sebagai Keindahan Abadi. Tahap kedua sebagai tahap pertumbuhan, menyangsikan sifat
kekal dari keindahan itu dan mulai terpengaruh Jalaluddin Rumi yang memandang Tuhan
sebagai Kemauan Abadi. Adapun “Keindahan Abadi” bergeser sifatnya menjadi hanya
sifat Tuhan. Terakhir tahap kematangan, Iqbal memandang Tuhan sebagai Hakikat dari
keseluruhan yang pada dasarnya bersifat spiritual. Dengan kata lain, Tuhan adalah Khudi
Mutlak atau Khudi Tertinggi.26
Salah satu kesulitan memahami alur pemikiran Iqbal adalah karena ia sering
menukar-nukar atau mencampuradukkan antara konsep yang bersifat fisik (materi)
seperti alam semesta, misalnya, dengan konsep yang bersifat imateri seperti waktu, gerak,
kesadaran, dan sejenisnya. Ada kemungkinan kajian filsafat ketuhanannya sangat
dipengaruhi oleh bakat dan posisinya sebagai seorang penyair. Seperti layaknya syair,
25 Ibid., hal. 90-91.26 Nasution, op.cit., hal. 190-191.
16
kita terkadang menemui kesulitan menetapkan mana isi dan mana sampiran dari
karyanya.
Kepustakaan
17
Esposito, John L., (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2 (Bandung :
Mizan, 2001).
Farnell, Lewis R, The Attributes of God (Oxford : Clarendon Press, 1925).
Hasan Asari, Dr, MA, Modernisasi Islam, Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, (Bandung :
Citapusaka Media, 2002)
Nasution, Dr Hasyimsyah, MA, Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002).
Iqbal, Muhammad, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1983).
Khan, Wasiullah, “Muhammad Iqbal” dalam Great Muslims of 20th Century, dalam
www. islam101.com.
Tafsir Al-Muntakhab, Edisi Arab-Indonesia (Kairo : Universitas Al-Azhar, Kementerian
Wakaf dan Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, 1421 H),
http ://www. awkaf.org.
18