Muhammad Fahreza Hukum Perencanaan Dan Administrasi

download Muhammad Fahreza Hukum Perencanaan Dan Administrasi

of 12

description

Tugas Hukum Perencanaan Dan Administrasi

Transcript of Muhammad Fahreza Hukum Perencanaan Dan Administrasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGPertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan Domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit. Namun dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam. Salah satu isu penting dalam pengembangan kegiatan pertambangan versus kelestarian lingkungan hidup adalah tumpang tindih dan konflik penggunaan lahan, terutama dengan kegiatan kehutanan. Di satu sisi, pertambangan merupakan andalan pemasukan devisa negara, sekaligus motor penggerak pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Di sisi lain, sektor kehutanan juga berperan penting dalam perekonomian nasional. Tumpang tindih di antara keduanya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.Untuk menjembatani kepentingan tersebut, diperlukan kebijakan tepat dan komprehensif yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan, maupun pertambangan, sekaligus ramah terhadap lingkungan. Kebijakan ini nantinya diharapkan juga dapat memberikan konsistensi, kejelasan, dan koordinasi (3K) dari pemerintah kepada para pengusaha pertambangan dalam menjalankan usahanya.

1.2 TUJUANSecara umum studi ini bertujuan mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi sektor pertambangan dan kehutanan. Secara khusus, studi ini akan mengkaji permasalahan yang terkait di antara keduanya, sehubungan dengan adanya undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengolaan lingkungan hidup .

1.3 METODOLOGI

Guna mencapai tujuan dan sasaran kajian yang telah dirumuskan, maka metodologi pengerjaan kajian ini dapat dibagi atas 3 tahap, yaitu: 1. Kajian teknis/kasus, untuk memahami permasalahan yang dihadapi dan kriteria-kriteria teknis penentuan kawasan lingkungan hidup dan tahapan-tahapan kegiatan penambangan. 2. kebijakan, untuk menginventarisasi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan kegiatan pertambangan di Indonesia guna mengidentifikasi aspek legalitas pada sektor tersebut.3. Tinjauan literatur, untuk mengiventarisasi referensi ilmiah dan artikel/tulisan surat kabar terkait dengan pembahasan masalah lingkungan yang rusak akibat dari sektor pertambangan.

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA MENGENAI PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PERTAMBANGAN

2.1 KAJIAN MENGENAI PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUPMenurut Pasal 1 butir (1) Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainMenurut Otto Soemarwoto sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam faktor. :

a. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Dengan mudah dapat kita lihat, suatu lingkungan hidup dengan 10 orang manusia, seekor anjing, tiga ekor burung perkutut, sebatang pohon kelapa dan sebuah bukit batu akan berbeda sifatnya dari lingkungan hidup yang sama besarnya tetapi hanya ada seorang manusia, 10 ekor anjing, tertutup rimbun oleh pohon bambu dan rata tidak berbukit batu. Dalam golongan jenis unsur lingkungan hidup termasuk pula zat kimia. b. Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu. Misalnya, dalam suatu ruangan terdapat delapan buah kursi, empat buah meja dan empat buah pot dengan tanaman kuping gajah. Dalam ruangan itu delapan kursi diletakan sepanjang satu dinding,dengan sebuah meja di muka setiap dua kursi dan sebuah pot di atasmasing-masing meja. Sifat ruangan berbeda jika dua kursi dengan sebuah meja diletakan di tengah-tengah masing-masing dinding dan sebuah pot di masing-masing sudut. Hal serupa berlaku juga untuk hubungan atau interaksi sosial dalam hal unsur-unsur itu terdiri atas benda hidup yang mobil, yaitu manusia dan hewan. Dengan demikian lingkungan hidup tidak saja menyangkut komponen biofisik, melainkan juga hubungan sosial budaya manusia.

c. Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup. Misalnya, suatu kota yang penduduknya aktif dan bekerja keras merupakan lingkungan hidup yang berbeda dari sebuah kota yang serupa, tetapi penduduknya santai dan malas. Demikian pula suatu daerah dengan lahan yang landai dan subur merupakan lingkungan yang berbeda dari daerah dengan lahan yang berlereng dan tererosi. Keempat, faktor non-materil suhu, cahaya dan kebisingan. Kita dapat dengan mudah merasakan ini. Suatu lingkungan yang panas, silau dan bising sangatlah berbeda dengan lingkungan yang sejuk, cahaya yang cukup, tapi tidak silau dan tenang.

2.2 KAJIAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN Menurut undang-undang nomor 4 tahun 2009 pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.Pertambangan di Indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun pertambangan komersial baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan batubara di Pengaron- Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Bilitun (1850). Sementara pertambangan emas modern dimulai pada tahun 1899 di BengkuluSumatera. Pada awal abad ke- 20, pertambangan-pertambangan emas mulai dilakukan di lokasi-lokasi lainnya di Pulau Sumatera. Pada tahun 1928, Belanda mulai melakukan penambangan Bauksit di Pulau Bintan dan tahun 1935 mulai menambang nikel di Pomalaa-Sulawesi.Setelah masa Perang Dunia II (1950-1966), produksi pertambangan Indonesia mengalami penurunan. Baru menjelang tahun 1967, pemerintah Indonesia merumuskan kontrak karya (KK). KK pertama diberikan kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT. Freeport Indonesia).Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Pertambangan Golongan A, meliputi mineral-mineral strategis seperti: minyak, gas alam, bitumen, aspal, natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan radioaktif lainnya, nikel dan cobalt.2. Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral vital, seperti: emas, perak, intan, tembaga, bauksit, timbal, seng dan besi.3. Pertambangan Golongan C, umumnya mineral-mineral yang dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya. Antara lain mliputi berbagai jenis batu, limestone, dan lain-lain.Eksploitasi mineral golongan A dilakukan Perusahaan Negara, sedang perusahaan asing hanya dapat terlibat sebagai partner. Sementara eksploitasi mineral golongan B dapat dilakukan baik oleh perusahaan asing maupun Indonesia. Eksploitasi mineral golongan C dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia maupun perusahaan perorangan. Adapun pelaku pertambangan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu Negara, Kontraktor dan Pemegang KP (Kuasa Pertambangan).

2.3 KAITAN ANTARA KAJIAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN KAJIAN PERTAMBANGANBedasarkan UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dijabarkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan lingkungan pertambangan dapat diartikan bahwa pengelolaan lingkungan pertambangan adalah sebagai upaya sitematis dan terpadu yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat dari kegiatan pertambanganSementara itu diamanatkan dalam UU No. 4 tahun 2009 pasal 96, dalam menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan :a. Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambanganb. Keselamatan operasi pertambanganc. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambangangd. Upaya konservasi sumberdaya minetal dan batubae. Pengelolaan sisa tambanga dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkunganSelain peraturan diatas terdapat beberapa peraturan yang wajib ditaati oleh pelaku usaha pertambangan dalam rangka pencegahan perusakan dan pencemaran lingkungan, antara lain :1. UU Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang dimana yang termasuk kawasan budidaya salah satunya adalah kawasan peruntukan pertambangan(KPP)2. Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air3. Undang-undang nomor 41 tahun 1999, tentang kehutanan , mengatur bahwa di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka4. PP No. 55 tahun 2010 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraaan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara5. PP No.78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang6. PP 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan 7. PP 18/999 jo PP 85/1999 tentang pengelolaan limbah8. PP 82/2001 tentang pengendalian pencemaran air.9. Permen ESDM No 18 tahun 2008 tentang reklamasi dan penutupan tambang10. Peraturan tentang baku mutu air limbah pertambangan

STUDI KASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SULAWESI TENGGARA YANG DI AKIBATKAN OLEH ADANYA PENAMBANGANPara penambang dalam menjaga kelestarian lingkungan tak sesuai harapan, akibatnya kerusakan lingkungan di Sulawesi Tenggara parah akibat cara-cara penambang yang tidak profesional. Penjelasan itu terungkap melalui diskusi kecil yang diselenggaran Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) yang melibatkan kalangan akademisi bidang lingkungan, LSM dan para jurnalis dan pimpinan media di Kendari.Menurut penjelasanan Kabid Ponologi Dinas Kehutanan Sultra, Sahid melalui rilisnya, menyebutkan akibat penambangan tidak profesional, berdampak sekitar 80,91 ribu hektare hutan di Sultra rusak akibat aktivitas pertambangan (dialihfungsikan) dari jumlah kawasan hutan Sultra yang tersisa 2,6 juta hektare."Kerusakan hutan tersebut, disebabkan karena perusahaan tambang tidak melakukan SOP pertambangan secara optimal, termasuk melakukan rehabilitasi dan reboisasi terhadap lahan yang telah mereka keruk," kata Sahid.Forum diskusi yang dikemas dengan cara meminta masukan dan saran serta kritikan dari peserta baik dari akademisi, LSM dan jurnalis, mengharapkan agar kalangan wartawan di daerah lebih banyak menggali dan memberitakan isu-isu lingkungan."Saya melihat, rekan-rekan media dalam memberitakan masalah isu lingkungan dianggap tidak terlalu seksi dan hanya pemberitaan yang sifatnya situasional dan kasuistik. Seharusnya setiap perusahaan media menyediakan kolom khusus terkait isu-isu menyangkut lingkungan," kata Dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Universitas Haluoleo (UHO) Kendari Lies Indriani. Ia mengatakan, pemberitaan isu lingkungan dianggap seksi bila terjadi konflik, kongkalikong seperti bila ada kasus illegal logging dan sebagainya. (http://www.republika.co.id/)

BAB III

ANALISA STUDI KASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN DI SULAWESI TENGGARA YANG DI AKIBATKAN OLEH PERTAMBANGAN

Dari studi kasus tersebut masalah yang terjadi di daerah Sulawesi Tenggara tersebut adalah a. Gejala deforestasi, yakni penyempitan hutan atau lahan yang di sebabkan oleh kegiatan pertambanganb. Standar operasional yang kurang optimal,sementara lingkungan tetap menuntut adanya kelestarian c. kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah . Berikut akan dijabarkan beberapa masalah yang dihadapi di studi kasus tersebut:

3.1 ADANYA DEFORESTASI Diketahui bahwa fungsi hutan lindung tidak boleh berubah statusnya dan kelestariannya menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yakni hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir , mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut , dan memelihara kesuburan tanah, namun pada kasus di Sulawesi Tenggara terjadi deforestasi atau penyempitan hutan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem yang diakibatkan salah satunya dari pertambangan.Pada tahun 1950 Indonesia masih memiliki hutan lebat. Sekitar 50 tahun berikutnya, luas hutan Indonesia berkurang 40% atau turun dari sekitar 162 juta hektar menjadi 96 juta ha. Laju kehilangan hutan pun semakin meningkat. Pada tahun 1980-an, laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sektiar 1 juta ha/tahun, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha/tahun pada tahun-tahun sebelum 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi rata-rata 2 juta ha/tahun.Deforestasi atau penyempitan hutan di Indonesia diduga disebabkan oleh banyak hal, seperti:1. Hukum Tidak Dipatuhinya oleh Para Pemegang HPH. Ketidak patuhan ini terutama terkait dengan ketentuan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). Dalam survai pada Juli 2000 diketahui bahwa pada lahan hutan seluas ctual 46 juta hektar yang berada di areal HPH aktif atau yang habis masa berlakunya, sekitar 30% mengalami degradasi lingkungan, kualitasnya turun menjadi semak atau terkonversi menjadi lahan pertanian dan hanya sekitar 40% yang masih diklasifikasikan sebagai kawasan hutan primer dalam kondisi yang baik.

2. Perambahan Hutan Saat ini tercatat lebih dari 1,6 juta kepala keluarga (KK) perambah hutan dengan luas lading rambahan mencapai 7,8 juta ha (Kompas, 4 April 1994). Namun belakangan, kegiatan perambahan hutan dianggap hanya menyumbangkan sekitar 21% kerusakan hutan, jika dibandingkan dengan penyebab-penyebab lainnya. Kegiatan perambahan akan turut berkontribusi terhadap berkurangnya luasan kawasan hutan apabila dilanjutkan dengan kegiatan pertanian (pertanian hutan kontinu, forest farming continuum), seperti perkebunan kopi, coklat, dan karet.

3. Pencurian Kayu/Penebangan LiarPenebangan liar secara luas terjadi di kawasan HPH, kawasan yang belum dialokasikan penggunaannya, HPH yang habis masa berlakunya, beberapa konsesi hutan negara, beberapa kawasan hutan yang ditebang habis untuk konversi lahan, dan di kawasan konservasi dan hutan lindung. Penebangan illegal meningkat jumlahnya pada kawasan konservasi, karena potensi kayu yang ada di kawasan ini lebih baik daripada di hutan produksi. Penebangan illegal di Indonesia pada tahun 2000 memasok sekitar 50-70% kebutuhan kayu Indonesia.

3. 2 STANDAR OPERASIONAL PERTAMBANGAN YANG KURANG OPTIMALTidak melakukan standar operasional pertambangan secara optimal, termasuk melakukan rehabilitasi dan reboisasi terhadap lahan yang telah mereka keruk yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan atau kerusakan hutan, seperti yang disebutkan pada undang undang nomor 4 tahun 2009 pasal 96 mengenai kaidah teknik pertambangan yang baik.

3.3 KURANGNYA PENGAWASAN DAN PEMBINAAN DARI PEMERINTAH DAERAH MAUPUN PUSAT

Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dan batubara seharusnya diperlukan upaya pembinaan dan pengawasan dari pemerintah agar pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan,Pembinaan dan pengawasan sebagaimana diamantkan dalam PP. 55 tahun 2010 merupakan tanggung jawab pemerintah. Hal ini diwujudkan melalui peranan Inspektur Tambang ( IT ). Inspektur Tambang bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap pekalu usaha pertambangan sehingga setiap aktivitasnya selalu disertai dengan tindakan pencegaan terhadap potensi terjadinya kerusakan lingkungan yang berdampak penting. Melalui pengawasan dapat dipastikan kegiatan setiap pelaku usaha pertambangan berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.

STRATEGI PENYEDIAN INSPEKTUR PERTAMBANGAN

Karakter1. Assertive2. Kritis 3. Mampu menganalisa4. Bicara berdasar faktaSumber :Direktorat jendral mineral dan batubaraKompetensi1. Training fungsional IT2. Peningkatan kompetensi bekerjasama dengan Australia dan Austria3. Menguasai peraturan disektor pertambangan, LH , Hutan dll4. Teknik pengelolaan lingkunganA. ReklamasiB. Pengelolaan Limbah B3C. Hidrologi dan HiderogeologiD. Pengendalian AATE. Pengendalian erosi dan sedimentasiF. REVETASI DLLOrganisasi dan rekrutmen1. Wadah fungsional IT2. Rekrumen ITPersonal IT1. Kompetensi2. karakterRasioRasio minimum 1 : 30

BAB IV KESIMPULAN

4.1 KESIMPULANKegiatan pertambangan selalu menghasilkan limbah berupa produk buangan yang disebut tailing. Tailing dari industri pertambangan biasanya berbentuk bahan gilingan halus yang tersisa setelah logam berharga (misalnya : tembaga, emas dan perak) diekstraksi. Tailing hasil kegiatan pertambangan perlu ditempat pada lokasi yang aman agar tidak mencemari lingkungan. Suatu perencanaan yang cermat harus dilakukan agar dampak negatif yang ditimbulkan oleh pembuatan tailing dapat di minimalkan Dari studi kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya permasalahan kerusakan lingkungan di Sulawesi Tenggara adalah :1. Deforestasi atau penyempitan lahan yang diakibatkan oleh pertambangan2. Standar operasional pertambangan yang kurang optimal3. Kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat

DAFTAR PUSTAKABuku Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia, Juli 2003. Warta Minerba, pengendalian Degradasi Lingkungan Edisi XI, Desember 2012 Tinjauan Oceanografi dalam Pembuangan Tailing di Dasar Laut, Safwan Hadi, 2001 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, Jakarta: Djembatan, 2001, hlm 51-52.Perundang-Undangan1. UU Nomor 26 tahun 2007 2. Undang-undang nomor 7 tahun 2004 3. Undang-undang nomor 41 tahun 1999, 4. PP No. 55 tahun 2010 5. PP No.78 tahun 2010 6. PP 27 tahun 2012 7. PP 18/999 jo PP 85/1999 8. PP 82/2001 9. Permen ESDM No 18 tahun 2008 10. Peraturan tentang baku mutu air limbah pertambangan

1