Motif Sosial Yayasan Kanthil Dalam
-
Upload
ameersabry -
Category
Documents
-
view
62 -
download
4
Transcript of Motif Sosial Yayasan Kanthil Dalam
MOTIF SOSIAL YAYASAN KANTHIL DALAM
MELESTARIKAN BUDAYA LOKAL KOTAGEDE
Beti Widyastuti
Alumni Program Studi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan bersifat dinamis ia akan selalu mengalami
perubahan, bahkan tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing
sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Oleh karena
itu, kebudayaan perlu untuk selalu dilestarikan keberadaanya dan dalam melestarikan
kebudayaan sangat dibutuhkan generasi muda yang mahu peduli terhadap kelestarian suatu
budaya. Di Kotagede terdapat sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama Yayasan
Kanthil yang didirikan oleh sekelompok pemuda asli Kotagede.
Kotagede merupakan suatu daerah potensial sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram
Islam, potensi budaya yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok,
pertama potensi kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni
pertunjukan, keempat potensi gerakan sosial kemasyarakatan dan yang kelima adalah potensi
situs sejarah. Motif sosial para pendiri Yayasan Kanthil berawal dari rasa cinta dan kepedulian
khusus terhadap tempat tinggalnya yakni Kotagede, yang merupakan daerah potensial sebagai
daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Yayasan
Dalam upaya melestarikan, mengembangkan serta memperkenalkan potensi budaya yang
dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil bekerja sama dengan berbagai
pihak dan mengadakan berbagai macam kegiatan diantaranya adalah Rambling Throug
Kotagede, jelajah Religi, Hunting Architektur, festival Kotagede, menjalin kerja sama dengan
beberapa stasiun televisi dan kegiatan lain sebagainya.
Kata kunci: motif, budaya, lestari.
Pendahuluan
Kotagede sering disebut sebagai Ibu Kota lama, karena dahulu Kotagede merupakan tempat
pertama kali didirikanya Ibu Kota Kerajaan Dinasti Mataram Islam, dahulu Kotagede hanyalah
merupakan sebuah hutan luas yang disebut dengan sebutan Alas Mentaok, yang oleh Raja
Mataram pertama yaitu Panembahan Senopati kawasan tersebut dibangun dan kemudian
ditetapkan sebagai wilayah Kotagede. Kotagede sebagai daerah yang dulunya merupakan
kawasan Kerajaan Dinasti Mataram Islam, menyimpan nilai sejarah dan mempunyai kebudayaan
yang sangat menarik untuk dikaji dan dipelajari oleh semua kalangan masyarakat dari berbagai
belahan dunia.
Kotagede selain merupakan daerah yang mempunyai nilai budaya dan sejarah yang tinggi karena
merupakan daerah peninggalan Kerajaan Dinasti Mataram Islam, Kotagede juga merupakan
daerah industri yang memproduksi kerajinan perak yang mempunyai nilai seni yang tinggi,
Kotagede merupakan pusat pembuatan kerajinan perak yang sudah dikenal oleh masyarakat luas
hingga manca negara. Masyarakat Kotagede telah diwarisi sejarah dan budaya oleh Raja
Mataram yang pernah bertahta di daerah Kotagede, dan hal itu membuat Kotagede semakin
dilirik keberadaanya oleh masyarakat luas. Sekarang ini banyak wisatawan lokal maupun
wisatawan asing yang berkunjung ke Kotagede, baik yang dengan sengaja berbelanja pernak-
pernik perak, maupun hanya sekedar jalan-jalan menikmati keindahan kawasan Kotagede yang
menyimpan keanekaragaman budaya dan sejarah. Kotagede sebagai daerah yang mempunyai
sejuta pesona karena budaya dan sejarah yang tersimpan didalamnya, sangat penting untuk
dijaga dan dilestarikan keberadaanya, agar nilai-nilai budaya dan sejarah yang tersimpan tidak
terhapus seiring dengan perkembangan sosial budaya dan perubahan sosial masyarakat serta
perkembangan zaman yang semakin maju.
Kotagede merupakan daerah peninggalan Kerajaan Dinasti Mataram Islam, hal tersebut
membuat sebagian besar masyarakat Kotagede memeluk agama Islam, Islam mulai dikenalkan
kepada masyarakat Kotagede pada awal berdirinya Kerajaan Dinasti Mataram Islam di bawah
pemerintahan Panembahan Senopati, di mana Kotagede menjadi pusat Kerajaanya. Pada masa
Panembahan Senopati bertahta kehidupan sosial ekonomi dan budaya berkembang dengan pesat
dalam kendali budaya Jawa, dan pada saat itu masyarakat Kotagede berada dalam situasi
keagamaan yang kental akan nuansa budaya Jawa. Kebudayaan adalah merupakan sesuatu yang
tidak boleh ditinggalkan dan dilupakan oleh manusia, kebudayaan hendaknya selalu dijaga
keberadaan dan kelestarianya karena, kebudayaan merupakan salah satu unsur terpenting dalam
kehidupan sosial setiap individu masyarakat.
Kebudayaan juga berperan penting dalam pembentukkan karakter setiap lndividu masyarakat
maupun kelompok masyarakat karena, pembentukkan karakter manusia sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar di mana seseorang individu bertempat tinggal. Kebudayaan mempunyai
pengaruh yang sangat kuat terhadap kehidupan masyarakatnya karena, kebudayaan mengatur
tingkah laku serta mempengaruhi perbuatan setiap individu masyarakat terhadap lingkungan dan
interaksi sosial. Manusia yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk Allah yang paling
sempurna diantara makhluk Allah yang lainya, yang memiliki keistimewaan berupa akal dan
pikiran, mempunyai kewajiban untuk bisa memanfaatkan kelebihanya tersebut untuk
berkembang dan melakukan perubahan kearah yang lebih baik demi kepentingan bersama. Dan
sebagai manusia mempunyai kewajiban pula untuk bisa menyadari, bahwa dalam melakukan
perubahan ataupun menerima suatu perubahan tidak boleh melupakan serta meninggalkan
kebudayaan yang sudah ada.
Kebudayaan yang sudah ada perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya karena,
kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial setiap individu
masyarakat maupun kelompok masyarakat. Pada umumnya kebudayaan dikatakan bersifat
adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka sendiri, dan penyesuaian pada lingkungan
yang bersifat fisik-geografis, maupun pada lingkungan
sosialnya.
Walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam
kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu, perlu diingat
bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis, akan tetapi kebudayaan itu bersifat dinamis, ia selalu
mengalami perubahan. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya
asing sekalipun, suatu kebudayaan dalam masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Oleh
karena itu, kebudayaan penting untuk selalu dilestarikan dan dijaga keberadaanya. Dalam
melestarikan kebudayaan, sangat dibutuhkan orang-orang, khususnya generasi muda yang mahu
peduli terhadap kelestarian budaya serta lingkungan sekitar, dan suatu organisasi atau lembaga
kemasyarakatan dirasa perlu dibentuk guna terwujudnya suatu pelestarian budaya, agar
kebudayaan yang sudah ada dapat terus dilestarikan dan tetap terjaga keberadaanya dengan baik.
Dibalik keindahan interaksi sosial terdapat pergeseran kearah yang mengkawatirkan dalam cara
pandang kehidupan budaya yang telah lama dimiliki oleh masyarakat Kotagede. Sebagian
komunitas lambat laun akan menganggap tabu terhadap nilai budaya sendiri, dan hal ini dapat
mengancam keberadaan jati diri masyarakat Kotagede, kemajuan teknologi merupakan salah satu
faktor penyebabnya, karena mental sebagian masyarakat belum siap untuk memilah hal-hal yang
perlu atau tidak perlu dalam melestarikan dan mengembangkan budaya yang mereka
miliki.Yayasan Kanthil, karso anteping tekad hangudi ilmu luhur, yang artinya niat disertai tekad
yang mantap untuk mengunduh ilmu yang luhur adalah merupakan suatu lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang berada di Kotagede, yang bergerak dalam bidang pelestarian dan
pengembangan seni, budaya lokal Kotagede.
Pada umumnya setiap lembaga swadaya masyarakat (LSM) didirikan berdasarkan motif dan
harapan tertentu dari setiap individu anggota yang kemudian dirundingkan bersama dan
disepakati oleh semua anggota. Semua tindakkan dan tingkah laku setiap individu masyarakat
maupun kelompok masyarakat pada hakekatnya mempunyai motif dan harapan tertentu dalam
setiap pelaksanaan kegiatan. Motif yang dimiliki oleh suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM)
pada umumnya merupakan motif sosial yang bertujuan untuk kepentingan bersama.
Dengan motif, sebuah lembaga kemasyarakatan akan lebih mudah menjalankan apa yang
menjadi keinginan, harapan dan tujuan suatu lembaga dengan lebih terarah karena, motif yang
dimiliki oleh sebuah lembaga akan mempengaruhi para anggotanya untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan motif yang dimiliki oleh lembaganya. Motif dapat diartikan sebagai daya upaya,
yang menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah dorongan
atau kekuatan yang bermula dari dalam diri individu untuk melakukan sesuatu dalam mencapai
suatu tujuan tertentu. Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu tidak selamanya
hanya memiliki satu motif tertentu saja, akan tetapi sering juga didasari atas beberapa motif yang
mendasarinya dan berlangsung secara bersama-sama dalam satu kegiatan. Yayasan Kanthil
sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pelestarian budaya
lokal Kotagede, tentunya juga mempunyai motif sosial dalam setiap pelaksanaan kegiatan yang
diadakan oleh Yayasan Kanthil dalam upaya pelestarian budaya lokal Kotagede demi
kepentingan bersama.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Apa
motif sosial Yayasan Kanthil dalam melestarikan budaya lokal Kotagede? 2. Apa program
kegiatan dari Yayasan Kanthil dalam upaya melestarikan budaya lokal dan memperkenalkanya
kepada masyarakat luas serta apa kontribusi dari Yayasan Kanthil bagi Kotagede.
Kerangka Teori
Yayasan Kanthil Sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) ditingkat akar rumput dan
bersifat nirlaba, yang bergerak dalam bidang pelestarian dan pengembangan seni, budaya dan
pariwisata Kotagede, dalam mengadakan berbagai macam kegiatan yang bertujuan untuk
pelestarian dan pengembangan, budaya lokal Kotagede, menjalin kerjasama dengan berbagai
pihak, dan dalam menjalin kerjasama tersebut tentunya, Yayasan Kanthil mempunyai motif serta
harapan tertentu dari setiap pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan, dan dari setiap
kerjasama yang dijalin dengan pihak lain, dapat membuahkan hasil sesuai dengan harapan serta
motif yang dimiliki oleh Yayasan Kanthil.
Berbicara tentang motif tidak dapat terlepas dari kata motivasi karena keduanya mempunyai
pengertian yang hampir sama. Secara morfologi, kamus besar bahasa Indonesia memberikan
pengertian motif dan motivasi sebagai berikut. Motif adalah kata benda yang artinya pendorong,
sedangkan motivasi adalah kata kerja yang artinya mendorang. Motif merupakan asal kata dari
motivasi, sedangkan motivasi berasal dari bahasa latin yaitu Movere yang berarti dorongan atau
daya penggerak. Dorongan atau daya pengerak tersebut terdapat dan barasal dari dalam diri
individu, dan dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang bertindak atau melakukan sesuatu
demi mencapai suatu tujuan tertentu.
Kata motif dan motivasi tidak hanya memiliki satu pengertian saja, melainkan ada beberapa
pengertian yang berbeda-beda yang dipaparkan oleh beberapa ahli, diantaranya dipaparkan oleh
Syaodih membedakan pengertian motif dan motivasi sebagai berikut, motif merupakan suatu
tenaga yang mendorong atau menggerakkan individu untuk bertindak mencapai tujuan dan
motivasi merupakan suatu kondisi tertentu yang tercipta atau diciptakan sehingga
membangkitkan atau memperbesar motif pada diri seseorang. (Syaodih Nana, 2000: 6).
Sardiman mengemukakan, motif adalah daya upaya yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu, motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam diri dan di dalam
subyek untuk melakukan aktivitasaktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Motif juga dapat
diartikan sebagai suatu kondisi inter (kesiapsiagaan). Sedangkan motivasi diartikan sebagai daya
penggerak yang telah menjadi aktif. Motivasi dapat juga dikatakan sebagai serangkaian sebuah
usaha untuk menyediakan kondisikondisi tertentu, sehingga seseorang mahu dan ingin
melakukan sesuatu. (Sadirman A.M,1988: 73).
Sedangkan menurut Gerungan (1966) motif merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua
penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia
berbuat sesuatu. Motivasi orang bergantung pada kekuatan motif-motif mereka. Motif biasanya
didefinisikan sebagai kebutuhan (need), keinginan (wants), dorongan (drives) atau desakan hati
(impulse) dalam diri individu. Motif diarahkan pada tujuan yang mungkin sadar atau tidak
sadar.As’ad Mohammad, 1986).
Istilah motif sosial mempunyai banyak definisi, definisi-definisi
tersebut diantaranya dikemukakan oleh:
1. Lindgren (1073) berpendapat bahwa motif sosial adalah motif yang dipelajari melalui kontak
dengan orang lain dan bahwa lingkungan individu memegang peranan yang penting.
2. Barkowitz (1969) berpendapat bahwa motif sosial adalah motif yang mendasari aktivitas
individu dalam mereaksi terdap orang lain.
3. Max Ceimon dan Messick (1976) menyatakan bahwa seseorang dikatakan menunjukkan motif
sosial, jika ia di dalam membuat suatu pilihan atau keputusan memperhitungkan akibatnya bagi
orang lain.
4. Heckhausen (1980) berpendapat bahwa motif sosial adalah motif yang menunjukkan bahwa
tujuan yang ingin dicapai mempunyai interaksi dengan orang lain.
Dari beberapa definisi motif sosial di atas dapat disimpulkan bahwa motif sosial adalah
merupakan motif yang ditimbulkan untuk memenuhi kebutuhan individu dalam hubunganya
dengan lingkungan sosialnya. Le Vine menyatakan bahwa kebudayaan yang timbul dalam
masyarakat, yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, tersebar dalam masyarakat dan dengan
sendirinya akan mempengaruhi masyarakat maupun individunya, sehingga akan mempengaruhi
motif sosial mereka. (Sri Mulyani Martaniyah, 1984: 17).
Nilai-nilai, norma, kebudayaan dan kebiasaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
akan berpengaruh terhadap motif sosial setiap anggota masyarakat. Hal ini dikarenakan, setiap
tingkah laku dan perbuatan dari setiap anggota masyarakat selalu dipengaruhi oleh kebudayaan
yang berkembang dalam lingkungan hidup masyarakat.
Motif seseorang, maupun motif yang terdapat dalam suatu kelompok tidak dapat diamati secara
langsung, akan tetapi dapat diinterprestasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan,
dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Motif yang berada
dalam diri individu maupun kelompok merupakan dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga
penggerak lainya yang berasal dari dalam diri individu, yang dapat menyebabkan seorang
individu melakukan suatu tindakan atau perbuatan, sesuai dengan motif yang berada dalam diri
individu. Setiap individu yang mempunyai motif, pasti ia mempunyai harapan tertentu dalam
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan berdasarkan motif yang muncul dari dalam diri individu.
Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor Vroom (1964) yang menjelaskan bahwa seseorang
akan termotivasi untuk berkinerja berdasarkan:
1. Pengharapan suatu kinerja tertentu akan menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh orang
tersebut.
2. Pengharapan bahwa usaha yang dikerahkan dapat menghasilkan kinerja yang diinginkan atau
akan membuat perilaku yang diinginkan muncul.
3. Pengharapan bahwa perilaku yang diinginkan seseorang pasti mengarah ke berbagai hasil.
Teori pengharapan dikaji lebih lanjut oleh David A. Nadler dan Edward E. Lawler III dalam
artikel “Motivation: Adiagnostic Approach” tahun 1977. Banyak ahli peprilaku yang
berkesimpulan bahwa teori ini paling komprehensif, valid dan berguna untuk memahami
motivasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa teori ini merupakan alat yang sangat berguna untuk
memahami motivasi atau motif dalam suatu organisasi. (Usmara, 2006)
Organisasi merupakan satu kesatuan kelompok yang terdiri dari beberapa anggota yang
tergabung dalam satu wadah dan para anggotanya melakukan kerja sama dalam mencapai suatu
tujuan tertentu. Motif yang terdapat dalam suatu organisasi, akan mengarahkan para anggotanya
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan harapan serta motif yang ada pada organisasinya, motif
serta harapan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan yang telah disepakati bersama oleh para
anggota organisasi.
Teori psikodinamika dari fungsi kelompok, teori ini dikemukakan oleh Bion (1948-1951). Dalam
teorinya Bion sedikit sekali menggunakan konsepkonsep psikonalisis secara terbuka. Walaupun
demikian secara tersirat dalildalilnya tentang fungsi dari kelompok didasari oleh anggapan-
anggapan psikoanalisis. Menurut Bion kelompok bukanlah sekedar kumpulan individu,
melainkan merupakan suatu satuan dengan ciri dinamika dan emosi tersendiri.
Ciri-ciri group ini berfungsi pada taraf tidak sadar dan didasarkan pada kecemasan-kecemasan
dan motivasi-motivasi dasar yang ada pada manusia. Ia menganggap kelompok sebagai versi
makrokosmos dari individu. Dengan demikian pada kelompok terdapat kebutuhan-kebutuhan
dan motif-motif (fungsi id), tujuan dan mekanisme (fungsi ego) dan keterbatasan-keterbatasan.
Yayasan Kanthil dan Pelestarian Budaya Lokal Kotagede
Potret Yayasan Kanthil
Kotagede merupakan daerah yang memiliki kekayaan budaya yang potensial. Potensi budaya
yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu pertama, potensi
kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan (seni
kampung), keempat potensi gerakan sosial kemasyarakatan dan yang kelima adalah potensi
sejarah (situs sejarah) Mataram dan perjuangan negara Republik Indonesia. (Herry Mardianto,
2003: 5).
Seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat muncul
suatu kekhawatiran hilangnya fungsi kultural dari lima potensi budaya tersebut. Untuk menjaga
potensi-potensi yang dimiliki oleh Kotagede dari kemungkinan kehilangan fungsi kulturalnya
dan kemungkinan terjadinya kepunahan secara perlahan-lahan seiring dengan perubahan zaman
yang terus berkembang dan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka
upaya pelestarian serta pengembangan secara dinamis perlu diterapkan dan dilakukan.
Berangkat dari rasa cinta dan perhatian secara pribadi terhadap daerah tempat tinggalnya serta
kekhawatiran akan hilangnya fungsi nilai budaya dan hilangnya potensi yang dimiliki oleh
tempat tinggalnya yakni Kotagede, pada sekitar awal tahun 1985 sekelompok pemuda asli
Kotagede, yang mempunyai perhatian khusus terhadap Kotagede yang menyimpan nilai sejarah
yang jelas sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam, mulai membicarakan dan
berfikir tentang bagaimana cara yang tepat untuk dapat terus menjaga serta melestarikan budaya
dan sejarah yang ada di Kotagede. Sekelompok pemuda tersebut melihat Kotagede merupakan
sebuah daerah yang komplit, sebuah Kecamatan yang memiliki nilai sejarah yang jelas sebagai
bekas Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sejak tahun 1575.
Setelah melalui pembicaraan dan proses yang cukup panjang dimulai semenjak awal tahun 1985
akhirnya pada tahun 1999 tepatnya pada tanggal 31 Desember 1999 mereka sepakat untuk
mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mereka beri nama Yayasan
Kanthil kepanjangan dari Karso Anteping Tekad Hangudi Ilmu Luhur, yang mempunyai arti niat
disertai tekad yang mantap untuk mengunduh ilmu yang luhur, bergerak dalam bidang pelestari
dan pengembangan seni, budaya dan pariwisata Kotagede.
Yayasan Kanthil didirikan oleh sekelompok warga Kotagede, yang terdiri dari sembilan orang
asli Kotagede, kesembilan orang tersebut adalah Muhammad Natsir, Sholehuddin, Shinta Noor
Kumala, Ida Fajar Priyanto M.A., Heny Astiyanto S.H., Darwan Prapto Suharjo, Sudiyo
Prasetyo, Ki Cermo Sutedjo, dan Kisworo M. Widarso, mereka sama-sama mempunyai
semangat belajar dan ingin tahu tentang sejarah daerah tempat tinggalnya yakni Kotagede,
mereka juga memiliki kepedulian dan komitmen untuk menjaga Kotagede serta melestarikan dan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede.
Latar belakang didirikanya Yayasan Kanthil, adalah sebagai tindak lanjut dari komitmen
beberapa warga masyarakat Kotagede yang memiliki rasa kepedulian untuk melestarikan
daerahnya sendiri, sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang terdapat di Yogyakarta untuk
secara lebih serius mengembangkan daerah tempat tinggalnya sendiri dalam sektor pariwisata
melalui pendekatan pengembangan yang bijak dalam arti aspek-aspek penting yaitu pelestarian,
pelibatan masyarakat, pendidikan dan ekonomi dapat tercukupi.
Pada awal berdirinya Yayasan Kanthil mempunyai kantor yang beralamat di Kudusan nomor 76
A Kotagede, tepatnya di rumah Bapak Sholehuidin (Lurah desa Jagalan), akan tetapi setelah
terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, kantor Yayasan Kanthil pindah di
Pekaten KG II/850 RT 45/RW 09 Prenggan Kotagede Yogyakarta 55172 yang merupakan rumah
ketua Yayasan Kanthil yaitu Bapak Muhammad Natsir, kantor Yayasan Kanthil pindah dari
rumah Bapak Sholehudin ke rumah Bapak Muhammad Natsir karena, Yayasan Kanthil
sebenarnya tidak mempunyai kantor yang tetap.
Setiap pengurus dan anggota Yayasan Kanthil mempunyai latar belakang kehidupan, serta
pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang bekerja sebagai penjahit, dosen, pengacara, pedagang
bahkan ada pula yang pengangguran akan tetapi mereka mempunyai tekad dan komitmen yang
sama yakni, mereka ingin terus menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya lokal
Kotagede serta terus menggali potensi yang dimiliki oleh Kotagede, merekapun ingin secara
serius mewujudkan tekad mereka untuk menjaga, melestarikan serta, mengembangkan dan terus
menggali potensi yang dimiliki oleh Kotagede, dengan cara mendirikan sebuah lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Selain karena para pengurus dan anggota Yayasan Kanthil ingin menjaga, melestarikan dan
mengembangkan budaya yang telah ada di Kotagede, mereka juga mempunyai harapan dapat
memberi bantuan jika ada orang yang berkunjung ke Kotagede, bertanya tentang Kotagede dan
ingin tahu tentang sejarah dan segala sesuatu yang terdapat di Kotagede mereka bisa
mendapatkan jawaban dengan adanya Yayasan Kanthil.
Dana Yayasan Kanthil.
Dalam setiap pelaksanaan kegiatanya, Yayasan Kanthil selalu menjalinkerjasama dengan warga
masyarakat Kotagede dan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan
Yayasan Kanthil dalam pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya serta peninggalan-
peninggalan sejarah yang ada di kawasan Kotagede, terkadang dalam menyelenggarakan
program kegiatan, Yayasan Kanthil mendapatkan dana bantuan maupun dana subsidi dari
berbagai pihak yang mendukung kegiatan yang diselengarakan oleh Yayasan Kanthil demi
terwujudnya pelestarian kawasan Kotagede yang oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta. Meskipun
terkadang Yayasan Kanthil mendapatkan dana subsidi atau dana bantuan dari berbagai pihak
dalam setiap pelaksanaan kegiatanya namun, tidak jarang pula dana diambil dari dana pribadi
para pengurus Yayasan Kanthil.
Sejak tahun 1999 Yayasan Kanthil telah mendapatkan kepercayaan dari Dinas Pariwisata Daerah
Istimewa Yogyakarta, dengan didapatnya dana subsidi dalam penyelenggaraan Festival
Kotagede. Bukan hanya pemerintahan dari dalam negeri saja yang membantu dana guna
kelancaran setiap kegiatan atau program yang diadakan oleh Yayasan Kanthil dalam upaya
pelestarian dan pengembangan seni, budaya dan pariwisata di Kotagede. Pasca gempa bumi yang
melanda daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 pemerintah Belanda, UNESCO,
pihak universitas dan swasta membantu Yayasan Kanthil dalam upaya pemulihan Kotagede
pasca gempa bumi.
Dalam upaya mengembalikan wajah pasar Kotagede kewajah pasar Kotagede masa lalu,
Pemerintah kota Yogyakarta melalui program rehabilitasi Pasar Legi Kotagede pada tahun
anggaran 2008 memberikan dana hibah kepada Yayasan Kanthil Kotagede sebesar Rp
285.000.000,00 dana tersebut diperuntukkan guna menata jalan Mondorakan dengan membuat
jalur pendestrian dan memoles Pasar Kotagede untuk dikembalikan ke wajah pasar Legi
Kotagede seperti masa lalu. (M. Natsir. 2008)
Program Yayasan Kanthil
Yayasan Kanthil sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) ditingkat akar rumput dan bersifat
nirlaba, dalam setiap kegiatan yang diadakan untuk upaya pengembangan dan pelestarian budaya
lokal Kotagede, selalu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak diantaranya, dengan
masyarakat sekitar, pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang berada di Kotagede maupun
lembaga lain yang berada di luar Kotagede, yang memiliki komitmen yang sama dengan
Yayasan Kanthil dalam pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya serta peninggalan-
peninggalan sejarah yang ada di kawasan Kotagede.
Program kegiatan dari Yayasan Kanthil dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan potensi
yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas, selalu dibuat mengalir disesuaikan dengan
situasi dan kondisi pada waktu pelaksanaan kegiatan. Beberapa program kegiatan Yayasan
Kanthil diantaranya adalah mengadakan Festival Kotagede, menjalin kerjasama dengan media
elektronik dan media cetak lokal maupun nasional, pelatihan pemandu wisata bekerja sama
dengan Dinas Pariwisata Yogyakarta, pembuatan paket wisata Rambling Trough Kotagede
(tlusap-tlusup Kotagede), mengikuti pelatihan-pelatihan lokakarya, seminar dan lain sebagainya.
Dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal Kotagede, Yayasan Kanthil tidak hanya
menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat dan berbagai lembaga yang ada di Yogyakarta
maupun lembaga-lembaga lain yang berada di Indonesia akan tetapi, Yayasan Kanthil juga
menjalin kerjasama dengan pihak luar negeri seperti pemerintahan Belanda, UNESCO,
university tecnologi Malaysia, universitas CHIBA, WMF (World Monuments Fund) dan lain
sebaginya.
Yayasan Kanthil Dalam Upaya Melestarikan Budaya Lokal Kotagede
Dalam pandangan masyarakat luas, Kotagede sangat terkenal dengan hasil kerajinan perak akan
tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa Kotagede sebenarnya mempunyai banyak potensi. Potensi
yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu, pertama potensi
kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan (seni
kampung), keempat potensi gerakan sosial kemasyarakatan dan yang kelima adalah potensi
sejarah (situs sejarah).
Dalam upaya melestarikan sejarah dan budaya lokal Kotagede serta memperkenalkan potensi
yang dimiliki oleh Kotagede sebagai kawasan cagar budaya kepada masyarakat luas dan supaya
Kotagede lebih dikenal tidak hanya sebagai daerah penghasil kerajinan perak, namun juga
sebagai daerah yang memiliki nilai sejarah yang jelas sebagai daerah peninggalan Kerajaan
Mataram. Oleh karena itu, Yayasan Kanthil selalu berupaya dan berusaha memperkenalkan
potensi yang dimiliki oleh Kotagede kepada masyarakat luas melalui progam kegiatan yang
diadakan oleh Yayasan Kanthil dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.
Kotagede mempunyai kebudayaan yang perlu dan penting untuk terus dipertahankan dan
dilestarikan keberadaanya, karena Kotagede merupakan daerah bersejarah peninggalan Kerajaan
Mataram Islam yang oleh pemerintah kota Yogyakarta telah ditetapkan sebagai salah satu
kawasan cagar budaya di Yogyakarta. Dalam upaya untuk melestarikan budaya lokal Kotagede
dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama
dengan berbagai pihak yang mempunyai komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam
melestarikan budaya lokal Kotagede.
Dalam rangka pelestarian budaya dan pengembangan potensi yang dimiliki oleh Kotagede serta
memperkenalkan Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil mengadakan bermacam-
macam kegiatan diantaranya adalah:
1. Menumbuhkan dan penguatan kesadaran masyarakat Kotagede terhadap potensi yang
dimilikinya.
2. Mengikuti pelatihan-pelatihan lokakarya, seminar dan lain sebagainya baik ditingkat local
maupun nasional.
3. Membuat jaringan dengan lembaga-lembaga lain yang mempunyai komitmen yang sama
dalam pelestarian.
4. Menjalin kerjasama dengan media elektronik dan media cetak baik lokal, nasional, maupun
internasional (Trans TV, SCTV, Jogja TV, RCTI, Radio Netherlands, Koran Lokal, Nasional
maupun Internasional/TIME, dll).
5. Bekerjasama dengan kalangan akademi, peneliti, mahasiswa, (Prof Nakamura Universitas
CHIBA, Pienke Kal Kurator Tropen Muse Netherlands, Batriee Kaldun-UNESCO
Representative, Universitas Teknologi Malaysia, dsb).
6. Kegiatan Seni Budaya (KARNOS Film, Workshop Film Sineas dari Prancis dan Jerman,
seniman dan musisi dalam rangka Jak@rta Festival, dsb).
7. Menjadi pembicara simposium atau seminar tingkat lokal, nasional, internaisonal
(International Simposium on Asian Heritage di Universitas Teknologi Malaysia, Historic City of
Malaca September 2003, pelatiahan ekowisata diselenggarakan oleh kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata, dsb).
8. Pelatihan pemandu wisata bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Yogyakarta.
9. Pembuatan paket-paket Rambling Throug Kotagede.
Selain program kegiatan di atas masih banyak lagi program kegiatan yang diadakan oleh
Yayasan Kanthil dalam upaya melestarikan sejarah dan budaya, serta mengembangkan dan
memperkenalkan potensi yang dimliki oleh Kotagede sebagai salah satu kawasan cagar budaya
di Yogyakarta kepada masyarakat luas. Program kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Kanthil
selalu dibuat mengalir dan selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu pelaksanaan
kegiatan dengan tanpa menghilangkan bobot kualitasnya, demi terwujudnya pelestarian budaya
lokal Kotagede.
Paket wisata Rambling Through Kotagede (tlusap-tlusup Kotagede) merupakan salah satu
program andalan dari Yayasan Kanthil untuk memperkenalkan potensi kawasan Kotagede
sebagai kawasan cagar budaya kepada masyarakat luas. Paket wisata Rambling Through
Kotagede terdiri dari tiga paket pilihan, pertama wisata spiritual, ziarah ke komplek makam
Kerajaan selama sekitar tiga jam, yang hanya bisa dilakukan pada hari hari tertentu dengan
mengenakan pakaian serta tatacara Jawa. Kedua paket studi arsitektur, menjelajahi bekas-bekas
tata kota kuno dan melihat bangunan rumah tradisional Jawa, dan paket wisata yang ketiga
adalah paket wisata lorong, menjelajahi isi dan seluk beluk Kotagede menelusuri lorong-lorong
sempit di gang-gang perkampungan warga masyarakat Kotagede, yang oleh warga masyarakat
lokal Kotagede gang-gang tersebut disebut sebagai gang rukunan. Menurut fungsi sosial gang
rukunan merupakan tempat bercampur baur dan bergaul dengan para warga yang lain, di gang
sempit tersebut para warga selalu tegur sapa saat bertemu satu sama lain.
Dalam kegiatan Rambling Through Kotagede para wisatawan juga dapat melihat secara lebih
dekat kehidupan warga Kotagede yang sebagain penduduknya bekerja sebagai pengrajin perak,
kuningan dan tembaga, dalam perjalanan paket wisata Rambling Through Kotagede, para
wisataawan juga dapat berkunjung ke bengkel-bengkel tempat kerja para pengrajin perak dan
melihat secara langsung proses pembuatan kerajinan perak. Kegiatan Rambling Through
Kotagede sangat disenangi oleh para wisatawan yang datang ke Kotagede karena, dengan adanya
wisata tersebut, para wisatawan dapat lebih mengenal Kotagede dan kebudayaanya serta dapat
menjumpai suasana baru yang tidak dapat dijumpai ditempat lain selain di Kotagede.
Para pegiat Yayasan Kanthil tidak pernah kehabisan ide, mereka selalu berusaha mencari cara
baru yang tepat untuk mempromosikan Kotagede dan memperkenalkan potensi yang dimiliki
oleh Kotagede sebagai kawasan cagar budaya kepada masyarakat luas dengan tujuan pelestarian
budaya. Dan dalam upaya melestarikan budaya lokal Kotagede dan memperkenalkanya kepada
masyarakat luas, Yayasan Kanthil kemudian melirik stasiun televisi karena televisi mempunyai
daya publisitas yang tinggi.
Pada saat stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan acara reality sow bernuansa mistis,
Yayasan Kanthilpun memberikan penawaran yang berbeda kepada stasiun televisi Trans TV
untuk menggunakan beberapa lokasi di Kotagede sebagai tempat melakukan uji nyali dalam
program acara Dunia Lain yang ditayangkan di Trans TV. Pada tahun 2002 beberapa lokasi di
Kotagede menjadi tempat ajang uji nyali dalam program Dunia Lain yang kemudian ditayangkan
di Trans TV, tayangan tersebut merupakan salah satu tayangan yang digandrungi oleh banyak
orang pada waktu itu. Rumah Kanthil (rumah tua milik keturunan juragan batik), beberapa
makam dan kawasan perkampungan di kampung Karangduren menjadi area lokasi uji nyali.
Pada akhir tahun 2002, dalam rangka Festival Kotagede, kemudian digelar sarasehan dengan
tema Menembus Cakrawala Keghaiban Kotagede. Serial tindakan tersebut banyak dicerca oleh
beberapa kalangan masyarakat Kotagede, karena acara tersebut dianggap memasyarakatkan
takhayul, terlebih lagi oleh kalangan Muhammadiyah yang merupakan organisasi mayoritas
masyarakat Kotagede. Namun, Muhammad Natsir mewakili Yayasan Kanthil memiliki
penjelasan tersendiri. Mereka melakukan kegiatan itu justru demi upaya pelestarian pusaka
arsitektur Kotagede. Tema-tema ghaib dari program televisi itu hanya dijadikanya sebagai
umpan belaka. Harapanya, dengan melihat begitu besarnya animo penonton program televisi
tersebut, secara tidak langsung orang akan mengetahui potensi yang dimiliki oleh Kotagede.
Elantow Wijoyono, www.elantowow.wordpres.com.)
Setelah penayangan acara Dunia Lain di Trans TV, tidak sedikit rombongan dari luar kota
Yogyakarta yang datang ke Kotagede untuk melihat dari dekat lokasi-lokasi uji nyali tersebut.
Kebetulan tempat-tempat yang dipilih berdasarkan rekomendasi dari Yayasan Kanthil sebagai
lokasi uji nyali merupakan tempat-tempat yang mengandung potensi sejarah lokal Kotagede,
tetapi telah terlupakan, baik bagi warga Kotagede sendiri maupun oleh masyarakat luar
Kotagede. Tahun berikutnya Karno's Film memakai beberapa rumah tradisional Jawa khas
Kotagede sebagai bagian dari sinetron Gita Cinta dari SMA yang kemudian ditayangkan di
stasiun televisi Indosiar.
Pada tahun 2005 Muhammad Natsir dari Yayasan Kanthil mendalangi digelarnya pemecahan
rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan permainan othok-othok terbanyak,
sebanyak 9937 buah othok-othok yang dimainkan secara bersamaan pada malam tahun baru
2005. Ditampilkan pula sebuah othok-othok raksasa yang kemudian diarak keliling kota
Yogyakarta dengan menggunakan mobil bak terbuka. Othok-othok adalah sebuah mainan kecil
yang dibuat dari bambu yang jika diputar akan berbunyi othok-othok. Mainan tradisional ini
sudah semakin sulit ditemui dan mulai dilupakan oleh sebagian besar masyarakat. Dengan
diselenggarakan acara tersebut diharapkan mainan othok-othok bisa mulai terangkat kembali
sebagai mainan tradisional Jawa.
Gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan telah mengakibatkan hancurnya bangunan-bangunan
rumah tradisional Jawa di Kotagede yang memiliki corak dan langgam arsitekturnya dengan
estetika yang tinggi dan punya makna filosofi, serta tatanan nilai yang sangat berharga bagi
masyarakat yang hidup didalamnya maupun di sekitarnya, hal ini membuat Kotagede masuk
kedalam seratus situs budaya yang paling terancam punah di dunia. Peryataan tersebut
dikeluarkan oleh World Monuments Fund (WMF) yang berada di Amerika Serikat pada tanggal
7 Juni 2007. (Laretna. T. Adisakti, www.jibis.pnri.go.id)
Pasca gempa bumi berkekuatan 5, 9 skala richter yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei
2006, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan masyarakat Kotagede dan lembaga-lembaga
lain seperti UNESCO, WMF (World Monuments Fund), pihak universitas dan swasta serta
pemerintah Belanda mengadakan program kegiatan pemulihan Kotagede, karena pada saat
terjadi gempa bumi banyak rumah-rumah tradisional seperti rumah Joglo dan rumah Limasan
yang merupakan aset budaya Kotagede hancur terguncang oleh gempa bumi. Dalam kegiatan
keagamaan Yayasan Kanthil bekerja sama dengan komunitas Kunir Asem yang merupakan
komunitas gabungan dari Forum Komunitas Pengajian Anak (FOKOPA), Angkatan Muda
Muhammadiyah (AMM), Tim Tadarus AMM, dan PUSDOK (pusat dokumentasi Kotagede),
pada setiap malam tanggal satu Muharram (satu Suro), mengadakan kegiatan pengajian dan
kesenian Islam, kegiatan pada tanggal satu Muharram tersebut diadakan sebagai upaya
mengembalikan makna malam satu Muharram kepada makna yang sebenarnya.
Pada acara Muharraman tahun-tahun sebelumnya, di Kotagede selalu penuh dengan upacara
yang menebarkan bau wangi kembang dan kemenyan. Dan tempatnyapun bukan dilaksanakan di
Masjid, melainkan kegiatan tersebut diadakan dan dilakukan di makam-makam yang berada di
sekitar Kotagede. Mereka mengadakan ziarah ke makam-makam yang dianggap keramat di
Kotagede, sehingga suasana Kotagede justru menyeramkan, wingit dan magis. Pada tagal 27 Mei
2007, Yayasan Kanthil mengadakan acara renungan dan doa bersama untuk memperingati satu
tahun gempa yang terjadi di Yogyakarta, acara tersebut diselenggarakan di depan pasar Kotagede
dan acara tersebut ditujukan untuk umum tidak hanya warga masyarakat Kotagede saja.
Tahun 2008 Yayasan Kanthil bekerja sama dengan pemerintah kota Yogyakarta mengadakan
program rehabilitasi pasar Legi Kotagede, dengan tujuan mengembalikan wajah pasar Legi
Kotagede ke wajah pasar Legi Kotagede masa lalu, dan juga menata jalan disepanjang jalan
Mondorakan tepatnya jalan di depan pasar agar tidak terjadi kemacetan di depan pasar, karena
setiap harinya pagi dan sore pasar Kotagede selalu ramai didatangi oleh para pengunjung yang
ingin melakukan kegiatan ekonomi di pasar Kotagede.
Setiap kali pasaran Legi, pasar Kotagede menjadi lebih ramai dari pada hari biasanya hal ini
dikarenakan pada setiap pasaran legi, dagangan yang ditawarkan oleh para pedagang lebih
lengkap dari pada hari biasanya, aneka jenis hewan, aneka jenis tanaman hias, alat persawahan,
alat pertukangan, jamu tradisional tersedia lengkap pada saat pasaran legi di pasar Kotagede, hal
ini membuat pasar Kotagede terlihat semrawut disebabkan oleh pada saat pasaran Legi jumlah
pedagang dan pengunjung di pasar Legi Kotagede lebih banyak dari pada hari biasanya dan hal
tersebut tidak dapat dipungkiri membuat para pengunjung merasa tidak nyaman karena, para
pengunjung harus berdesak-desakkan ketika ingin membeli sesuatu pada saat pasaran Legi, dan
hal tersebut juga membuat jalan di sekitar pasar Kotagede menjadi macet, sehingga para
pengguna jalan menjadi terganggu.
Melalui program rehabilitasi pasar Legi Kotagede pada tahun anggaran 2008, pemerintah kota
Yogyakarta memberikan dana hibah kepada Yayasan Kanthil Kotagede sebesar Rp
285.000.000,00 guna menata wajah di sepanjang jalan Mondorakan dengan membuat jalur
pedestrian dan memoles wajah pasar Legi Kotagede dikembalikan ke wajah pasar Legi Kotagede
seperti bangunan pasar pada masa lalu. Selanjutnya Yayasan Kanthil telah mengusulkan kepada
Pemerintah Kota atau Kimpraswil Kota untuk menata halaman pasar atau plaza dan jalan
didepan jalan pasar Kotagede.
Untuk membangun wajah Kotagede lama, sebagai penanda agar masyarakat Kotagede tidak
kehilangan jejak sejarah kotanya Harapanya dengan menata wajah pasar Legi Kotagede tidak
hanya sekedar untuk romantisme belaka, namun dengan tujuan memberi manfaat dan makna
baru serta kualitas kehidupan di kawasan Kotagede. Untuk dapat tertata lebih baik serta memberi
kenyamanan bagi yang memandang dan mengunjunginya, menambah pendapatan ekonomi para
pedagang serta dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Yayasan Kanthil juga berharap supaya Pasar Legi Kotagede tidak hanya menjadi kawasan
beraktivitas ekonomi saja namun juga bisa menjadi sarana tempat rekreasi, menimba ilmu dan
aktivitas seni budaya bagi masyarakat Kotagede khususnya maupun masyarakat luas pada
umumnya.Sehingga kedepan akan lebih banyak lagi orang yang berkunjung ke Kotagede, untuk
membelanjakan Rupiah, Dolar, Zen dan Uero pada para pengrajin perak, penjual jajanan pasar,
bakul pecel, dan sebagianya. Kotagede kembali bangkit, adil, dan makmur loh jinawi. Karena
pasar tradisional seperti pasar Legi Kotagede sekarang sudah sangat terancam keberadaanya oleh
bermunculanya super market yang sudah menyerang dari segala penjuru sudut Kotagede. Kalau
tidak dijaga pasar tradisional akan kehilangan gaungnya.
Motif dan Kontribusi Yayasan Kanthil Bagi Kotagede
Kata motif dan motivasi, keduanya mempunyai pengertian yang hampir sama. Motif merupakan
asal kata dari motivasi, sedangkan kata motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang
berarti dorongan atau daya penggerak. Dorongan atau daya penggerak tersebut berasal dari
dalam diri individu, dan dorongan tersebut yang menyebabkan seseorang untuk bertindak atau
melakukan sesuatu sesuai keinginan masing-masing dari setiap individu untuk mencapai tujuan
tertentu. Max Ceimon dan Messick (1976) menyatakan bahwa seseorang dinyatakan memiliki
motif sosial, jika ia di dalam mengambil keputusan memperhitungkan akibatnya bagi orang lain.
(Abu Ahmadi, 2002: 192).
Sebagai salah satu tempat tujuan pariwisata di Yogyakarta, Kotagede merupakan suatu tempat
yang menarik untuk dikunjungi karena, di Kotagede terdapat situs peninggalan Kerajaan
Mataram Islam yang menyimpan nilai sejarah dan budaya yang oleh pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), komplek Masjid Besar Mataram telah ditetetapkan sebagai kawasan
benda cagar budaya (BCB) dan dilindungi oleh undang-undang nomor 5 tahun 1992 selain itu,
Kotagede juga merupakan suatu daerah penghasil kerajinan perak yang mempunyai nilai seni
yang tinggi.
Disepanjang jalan utama daerah Kotagede banyak terdapat toko-toko kerajinan perak yang
menawarkan aneka macam hasil kerajinan perak seperti aneka macam souvenir, perhiasan dan
berbagai macam miniatur transportasi dan lain sebagainya. Toko-toko perak yang terdapat di
sepanjang jalan utama Kotagede diantaranya adalah Mila Silver, Yolanda Silver, HS Silver,
Narti Silver, MD Silver dan masih banyak lagi toko-toko kereajinan perak yang tersebar di
kawasan Kotagede yang menawarkan aneka macam kerajinan perak dan hal ini menarik para
wisatawan untuk berkunjung dan berwisata ke Kotagede
Kotagede adalah merupakan sebuah daerah yang mempunyai jejak sejarah yang jelas dan penting
sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Kotagede mempunyai banyak potensi
budaya yang perlu untuk terus dikembangkan dan dilestarikan, agar masyarakat Kotagede
khususnya dan masyarakat luas pada umumnya tidak kehilangan jejak sejarah dan kebudayaan
peninggalan dari Kerajaan Mataram Islam.
Potensi yang dimiliki oleh Kotagede antara lain adalah, potensi kerajinan, potensi pengolahan
makanan tradisional, potensi seni pertunjukan (seni kampung), potensi gerakan sosial masyarakat
dan potensi sejarah (situs sejarah). Potensi tersebut terdapat di dalam lima daerah yakni,
kampung Basen sebagai basis potensi kerajinan, kampung Prenggan sebagai basis potensi
pengolahan makanan tradisional, kampung Bumen sebagai basis seni pertunjukan (seni
kampung), kampung Selokraman sebagai basis potensi gerakan sosial masyarakat dan kampung
Dondongan sebagai basis potensi sejarah.
Melestarikan juga mengembangkan makna-makna dan nilai-nilai yang ada disesuaikan dengan
perkembangan waktu. Dalam upaya melestarikan budaya serta mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh Kotagede sebagai daerah peninggalan Kerajaan Mataram, dan dalam upaya
mempromosikan serta memperkenalkan potensi yang dimilki oleh Kotagede kepada masyarakat
luas, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang mempunyai komitmen
yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam melestarikan, mengembangkan dan membangun
Kotagede. Dengan adanya kerjasama yang terjalin dengan berbagai pihak yang mempunyai
komitmen yang sama dengan yayasan Kanthil dalam melestarikan dan mengembangkan potensi
budaya yang dimiliki oleh Kotagede, Yayasan Kanthil mempunyai harapan dan tujuan semua
yang telah dilakukan dapat membuahkan hasil sesuai dengan motif sosial dari Yayasan Kanthil
dalam melestarikan budaya lokal Kotagede yakni, pelestarian budaya yang ditujukan untuk
kepentingan bersama dan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga masyarakat Kotagede.
Pelestarian bagi para pegiat Yayasan Kanthil lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah
transformasi dan revitalisasi kawasan Kota gede.Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan
kualitas hidup masyarakat yang lebih baik berdasarkan pada kekuatan aset lama dan melakukan
pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan serta merencanakan
program partisipasi dengan memperhitungkan etimasi ekonomi. Dalam proses pelestarian atau
konservasi, Yayasan Kanthil tidak hanya
melestarikan dan mengembangkan peninggalan-peninggalan budaya yang berbentuk fisik seperti
bangunan bekas Kerajaan Mataram dan bangunan rumah-rumah tradisional Jawa, akantetapi
Yayasan Kanthil juga melestarikan dan mengembangkan budaya dalam wujud non-fisik
diantaranya adalah tata nilai, kearifan-kearifan yang dimiliki masyarakat lokalKotagede,
kesenian tradisional, kerajinan perak, tembaga dan kuningan yang kesemuanya itu perlu untuk
dilestarikan dan dikembangkan sebagai alternatif peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal
Kotagede dalam semua aspek kehidupan.
Program kegiatan Yayasan Kanthil dalam upaya mempromosikan dannmemperkenalkan
Kotagede kepada masyarakat luas, sebagai upaya untuk melestarikan budaya lokal Kotagede
sedikit banyak telah membawa perubahan bagi Kotagede sekarang ini. Dengan kerjasama yang
dilakukan oleh Yayasan Kanthil dengan berbagai pihak serta dengan adanya promosi yang
dilakukan oleh Yayasan Kanthil untuk memperkenalkan potensi yang dimiliki Kotagede kepada
masyarakat luas, melalui media cetak maupun media elektronik, telah membuat Kotagede
menjadi lebih dikenal dan diminati oleh masyarakat luas sebagai tempat tujuan alternatif untuk
berwisata. Dalam proses memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh Kotagede kepada
masyarakat luas guna melestarikan budaya lokal Kotagede, Yayasan Kanthil tidak pernah
kehabisan ide, ini bisa dilihat ketika Yayasan Kanthil dengan cukup jeli melirik televisi yang
mempunyai daya publisitas yang tinggi.
Selain program liputan budaya dan sejarah yang telah banyak dilakukan oleh beberapa stasiun
televisi sejak awal tahun 2000-an, Yayasan Kanthil sudah beberapa kali menjalin kerjasama
dengan berbagai pihak stasiun televisi lokal maupun nasional dan beberapa rumah produksi iklan
dan film. Pada tahun 2002 ketika banyak orang kegandrungan acara reality show yang bernuansa
mistis yaitu uji nyali di tempat-tempat yang dianggap angker dan seram, Yayasan Kanthilpun
dengan cukup jeli, juga memanfaatkan situasi tersebut dengan memberi penawaran yang
berbeda. Beberapa lokasi di Kotagede menjadi lokasi ajang uji nyali dalam program Dunia Lain
yang kemudian ditayangkan di stasiun televisi Trans TV. Tahun berikutnya atas rekomendasi
Yayasan Kanthil pula, Karno's Film memakai beberapa rumah tradisional di Kotagede sebagai
lokasi shuting film berjudul Gita Cinta Dari SMA, yang ditayangkan di stasiun televisi Indosiar.
Tahun 2008 Kotagede kembali menjadi lokasi shuting iklan sebuah produk kecantikan dan iklan
salah satu merk kartu seluler, yang semuanya menggunakan lokasi di Kotagede yang mempunyai
nilai potensi sejarah dan budaya lokal Kotagede. Dengan penawaran Yayasan Kanthil kepada
berbagai stasiun televisi dan beberapa rumah produksi iklan dan film, untuk menggunakan
beberapa lokasi di Kotagede sebagai lokasi shuting, diharapkan akan semakin banyak lagi
wisatawan yang tertarik untuk berkunjung ke Kotagede, setelah mereka menyaksikan Kotagede
melalui layar kaca televisi. Setelah penayangan program liputan sejarah dan budaya Kotagede,
serta penayangan acara Dunia Lain, sinetron dan iklan di televisi yang mengunakan beberapa
lokasi di Kotagede yang mengandung nilai potensi sejarah dan budaya lokal Kotagede sebagai
lokasi shuting, banyak warga masyarakat dari luar kota Yogyakarta yang berkunjung ke
Kotagede dan melihat secara langsung tempat-tempat yang dijadikan sebagai lokasi shuting yang
kebetulan tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang mengandung potensi nilai sejarah dan
budaya lokal Kotagede yang telah terlupakan oleh sebagian masyarakat Kotagede sendiri
maupun oleh masyarakat luar Kotagede.
Kesimpulan
Upaya pelestarian budaya dapat pula dijadikan sebagai cara alternatif bagi peningkatan kualitas
kesejahteraan hidup masyarakat berdasarkan pada kekuatan aset lama yang sudah ada pada suatu
daearah, kemudian diadakan program kegiatan yang kreatif, menarik dan berkelanjutan serta
terus merencanakan program partisipasi dengan tetap memperhitungkan estimasi ekonomi.
Melestarikan kaitanya dengan budaya dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan, menjaga
dan mengembangkan budaya yang terdapat dalam suatu daearah, serta memberi pemaknaan baru
terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya disesuaikan dengan perkembangan waktu
sehingga dapat dimanfatkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dalam
semua aspek kehidupan. Yayasan Kanthil, Karso Anteping Tekat Hangudi Ilmu Luhur, dalam
bahasa Indonesia artinya adalah niat disertai tekad yang mantap untuk mengunduh ilmu yang
luhur.
Yayasan Kanthil bergerak dalam bidang pengembangan seni, budaya dan pariwisata Kotagede
didirikan oleh sekelompok warga asli Kotagede pada tanggal 31 Desember 1999. Yayasan
Kanthil berdiri sebagai tindak lanjut dari motif sosial sekelompok pemuda asli Kotagede yang
memiliki rasa cinta serta kepeduliankhusus terhadap daerah tempat tinggalnya yakni Kotagede
sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang terdapat di Yogyakarta dan memiliki banyak
potensi, untuk secara lebih serius melestarikan dan mengembangkan potensi budaya lokal
Kotagede melalui pendekatan serta pengembangan yang bijak dalam arti aspek-aspek penting
yaitu pelestarian, pelibatan masyarakat, pendidikan dan ekonomi dapat tercukupi.
Potensi yang dimiliki oleh Kotagede dapat dipilah menjadi lima kelompok pertama potensi
kerajinan, kedua potensi pengolahan makanan tradisional, ketiga potensi seni pertunjukan,
keempat potensi gerakan sosial masyarakat dan yang kelima adalah potensi sejarah. Dalam
upaya melestarikan, memgembangkan serta memperkenalkan potensi yang dimiliki oleh
Kotagede kepada masyarakat luas, Yayasan Kanthil menjalin kerjasama dengan berbagai pihak
yang mempunyai komitmen yang sama dengan Yayasan Kanthil dalam melestarikan budaya
lokal Kotagede, dan mengadakan berbagai macam kegiatan, diantaranya Rambling Trough
Kotagede (tlusap-tlusup Kotagede), festival Kotagede, jelajah religi, Hunting Architectur, dan
kegiatan lain sebagainya yang dibuat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu
pelaksanaan kegiatan. Sebagai lembaga pengembang seni, budaya dan pariwisata Kotagede,
Yayasan Kanthil berkomitmen untuk secara aktif, dinamis dan berkelanjutan melestarikan semua
peninggalan budaya yang terdapat di Kotagede baik peninggalan-peninggalan dalam bentuk fisik
maupun dalam bentuk non-fisik.
Daftar Pustaka
Adisakti, Laretna. T. “Revitalisasi Bukan Sekedar Beautification”, dalam www.urdi.org, diakses
tanggal 12 September 2008.
Ahmad, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Ari, Bowo. “History of Kotagede”, dalam www.masbowojoyopranan. blogspot.com, diakses
tanggal 22 November 2008.
Darban, Adaby. Kebudayaan Sebagai Media Dakwah, dalam Brosur Lebaran, No.42, 2004.
Fakih, Mansoer. Mayarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004.
Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: Revika Aditama, 2004. “Laporan Cagar Budaya” dalam
www.ftsp1.uiiac.id, diakses tanggal 29 Agustus 2008.
Ihroni. T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Isnawan, Bambang. “Partisipasi dan Dimensi Kaswadayaan: Pengalaman LSM Membangun
Keswadayaan Masyarakat”, dalam www.ekonomi.rakyat.org, diakses tanggal 27 Agustus 2008.
“Kunir Asam Mengembalikan Makna Satu Suro”, dalamwww.indomedia.com, diakses tanggal
12 September 2008
Kuntowijoyo. Budaya Dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Marsianto, Herry. Kotagede A Living Moseum: Kerajinan. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, 2003.
Martaniyah, Sri Mulyani. Motif Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
Mook, Van. Kuta Gede. Jakarta: Bhratara, 1972.
Mustofa, Lia. “Rambling Thrugh Kotagede (Tlusap-tlusup Kotagede)”,
dalamwww.content.hig.com, diakses tanggal 12 September 2008.
Nakamura, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang pergerakan
Muhamadiyah di Kotagede, Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Nana, Syaodih. Sikap Belajar Siswa Aktif dan Motivasi Dari Guru Dengan Pestasi Belajar.
Bandung: Alfabeta, 1980.
Natsir, Muhamad. Kotagede yang Semakin Dilirik. Dalam brosur Lebaran No.43Yogyakarta,
2004.
---------------------. Menata Wajah Pasar Legi Kotagede. Dalam Brosur Lebaran No. 47
Yogyakarta, 2008.
Nurmiana. Upaya Melestarikan Rumah Joglo Di Kotagede. Dalam
www.kedaulatanrakyatonline.com.
Noto, Widagdo. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist. Jakarta: Rajawali Press,
2000.
Primantoro. “Kotagede Masuk 100 Situs Budaya Paling Terancam di Dunia”, dalam www.
primantoro.web.id.diakses tanggal 10 Agustus 2008.
“Profil Kanthil”, dalam, www.geocities.com, diakses tanggal 27 November 2008.
Sa’dah, Nurus. Bahan Ajar: Matakuliah Ilmu Manajemen. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2007.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Wali Press, 1998.
Soehada, Moh. Pengantar Metodelogi Penelitian Sosial Kualitatif, dalam Buku Daras, 2004.
Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi Tentang Pribadi Masyarakat. Jakarta:Ghalia Indonesia,
1982.
-----------------------. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990.
Sugarman, Yayuk. Menyelamatkan Rumah Joglo yang Kian Langk. Dalam
www.sinarharapan.co.id.
Sugiarto. “JBK Himpun Dana Selamatkan cagar Budaya”. Dalam www.suaramerdeka.com,
diakses tanggal 12 September 2008.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003.
Syarief, Syafrilsyah. Rekaawan Kemanusiaan Masyarakat Aceh Pasca Stunami (Analisa Perikalu
Prososial Pasca Srunami di Banda Aceh).
www..ppiukm.org/arsip/sc_conf/abstrak/Safrilsyah.pdf, diakses Tanggal 28 September 2008.
Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa. Kotagede dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta: Lembaga
Studi Jawa, 1997.
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Skripsi. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi.
Yogyakarta: fakultas UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Uno, Hamzah. B. 2007. Teori Motivasi dan Pengukuranya. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Untoro, Ons. “Identitas Lokal Dalam Wisata Budaya”, dalam www.cetak.kompas.com.diakses
tanggal 8 April 2008.
Usmara, A. Motivasi Kerja: Proses Teori dan Praktik. Yogyakarta: Amara Books, 2006.
Wijoyono, Elantow. Langkah Kanthil Melestarikan Kotagede, dalam
www.elontowow.wordpres.com diakses tanggal 22 November 2008.
“Wisata Alternatif”, dalam www.sendaljepit.wordpres.com, diakses tanggal 1 September 2008.