MorfoKotaButon

11
1. Sejarah Kota Buton Pada dasarnya kelahiran suatu kota melalui proses sejarah yang panjang dengan memperlihatkan perkembangan dan perubahan, baik pada kondisi fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat dilihat pada bangunan dan perkampungan lama masyarakat,sementara perubahan nonfisik kota dapat dilihat pada perkembangan ekonomi dan politik masyarakat kota. Untuk memahami dinamika perubahan dan karakteristik sebuah kota, maka perlu dikaji sejarahnya. Kota-kota di Indonesia banyak berkembang di wilayah pantai.Karena pada masa lalu, aktivitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya banyak dilakukan melalui laut.Sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut.Akibatnya muncul permukiman-permukiman di sekitar sungai dan pantai. Permukiman tersebut pada perkembangannya berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan pendatang setelah melalui proses yang panjang. Hal ini dapat dilihat pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang berbeda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau profesi di kota sebagai gejala kekotaan yang lebih kompleks. Pada mulanya, Bau-Bau (kota Buton) merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401   1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke  13.

Transcript of MorfoKotaButon

Page 1: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 1/11

1. Sejarah Kota Buton

Pada dasarnya kelahiran suatu kota melalui proses sejarah

yang panjang dengan memperlihatkan perkembangan dan perubahan,

baik pada kondisi fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat

dilihat pada bangunan dan perkampungan lama

masyarakat,sementara perubahan nonfisik kota dapat dilihat pada

perkembangan ekonomi dan politik masyarakat kota. Untuk memahami

dinamika perubahan dan karakteristik sebuah kota, maka perlu dikaji

sejarahnya.

Kota-kota di Indonesia banyak berkembang di wilayah pantai.Karena

pada masa lalu, aktivitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya banyak

dilakukan melalui laut.Sejarah membuktikan bahwa perdagangan

paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan

laut.Akibatnya muncul permukiman-permukiman di sekitar sungai dan

pantai. Permukiman tersebut pada perkembangannya berubah menjadi

kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan

pendatang setelah melalui proses yang panjang. Hal ini dapat dilihat

pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang

berbeda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau profesi di kota

sebagai gejala kekotaan yang lebih kompleks.

Pada mulanya, Bau-Bau (kota Buton) merupakan pusat

Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401  – 

1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah

tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya Prapanca pada

Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagaiNegeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana

terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya

bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk

menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia

Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,

Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari

Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Page 2: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 2/11

 

Buton sebagai negeri tujuan kelompok Mia Patamiana mereka

mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini

berada dalam wilayah Kota Bau  – Bau) serta membentuk sistem

pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah

Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yangmasing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih

dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut

disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana

dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja.Selain empat Limbo

yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil

seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga.Maka atas

  jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung

dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan

Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan

bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332

setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona

(saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).

Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua Fase

penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai

pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja

Page 3: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 3/11

diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan

Bulawambona. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan

sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948

Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Lakilaponto sebagai

Sultan Buton I sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai

Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan

terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya

wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan

Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna.Demikian juga bidang

ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang

yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang

kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa

Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek

kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan

ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu

“Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan

kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan

serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan

membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak

membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat

umum.Dalam bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai

penagih pajak di daerah kecil diangkat statusnya menjadi Bonto Ogena

disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan

keuangan, juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona

(saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Pada periode abad ke-17 sampai awal abad ke-20 terjadi konflik

antarkerajaan di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa dengan

Bone.Konflik ini juga terjadi antara kerajaan (Gowa dan Bone) dengan

Belanda dan Ternate. Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi

Tenggara, khususnya Buton menjadi sasaran para imigran dari

Sulawesi Selatan karena wilayah ini selain mudah dijangkau, juga

karena dianggap aman.Dampak dari konflik itu adalah ditinggalkannya

Page 4: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 4/11

permukiman asal dan pembukaan permukiman baru oleh kelompok

masyarakat Bugis-Makassar di wilayah pantai Pulau Buton.Bahkan

ada sebuah pulau yang berada di sekitar pulau Buton yang dinamakan

dengan pulau Makassar.Selain itu, ada juga nama kampung yang

dinamakan dengan kampung Bone-bone, Wadjo atau Bajo. Nama itu

berasal dari sebutan penduduk Bone dan Wajo di Sulawesi Selatan

dan penduduk Bajau yang sekarang dikenal dengan nama Sama

Bajau.Komunitas penduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu, Cina,

dan Arab turut juga menambah heterogenitas penduduk kota

Buton.Suku lain yang tinggal di Buton adalah tolaki, muna, tukang besi,

danKabaena. Pada perkembangan berikutnya, intensifnya aktivitas

ekonomi perdagangan dan perubahan kebijakan politik pemerintah

Hindia Belanda, wilayah tersebut dijadikan sebagai Onder Afdeeling 

Celebes. 

Posisi Buton sangat dekat dengan pusat birokrasi kolonial untuk

wilayah Timur Indonesia yakni Ambon dan Makassar.Secara ekonomi,

Ambon (Maluku) dikenal juga sebagai pusat produksi rempah-rempah

yang laku di pasar Internasional sehingga banyak dikunjungi oleh para

pedagang. Sedangkan pada abad ke-19, Makassar merupakankota

pelabuhan dan kota dagang yang ramai. Kota ini oleh Belanda juga

dijadikan sebagai pusat birokrasi. Kondisi itu sangat menguntungkan

posisi Buton karena selain berada di jalur menuju Maluku, Buton juga

lebih mudah dijangkau dari kedua kotatersebut untuk melakukan

perdagangan antarpulau.

Pada tanggal 11 September 1911 wilayah administrasi Buton

ditetapkan sebagai ibukota Afdeling Sulawesi Timur oleh

Belanda.Untuk mengintegrasikan wilayah kekuasaannya, kesultanan

Buton membangun wilayah barata .Wilayah barata ini terdiri dari barata

Muna, barata Kaledupa, barata Kalingsusu, dan barata Tiworo.Diduga

pembentukan barata ini pada abad XV ketika Kesultanan Buton

dipimpin oleh sultan La Elangi.Wilayah barata ini berfungsi sebagai

basis pertahanan dan keamanan Kesultanan Buton.

Perkembangan morfologi Kota Buton memiliki perbedaan antara

pada masa kekuasaan Kerajaan Buton (sekitar abad ke-14 sampai

Page 5: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 5/11

dengan abad ke-17) dengan pada masa pemerintahan Hindia

Belanda.Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail tentang morfologi

kota Buton pada masa pemerintahan Hindia Belanda beserta aspek

yang paling dominan yang mempengaruhi bentuk kota tersebut.

Namun terlebih dahulu akan diberi penjelasan secara umum tentang

ciri fisik dan non fisik kota Buton pada masa pemerintahan kerajaan

Buton, karena ciri fisik dan non fisik pada masa tersebut tersebut

masih memiliki keterkaitan dengan ciri fisik dan non fisik pada masa

pemerintahan Hindia Belanda.

2. Ciri Fisik dan Non Fisik Kota Buton

2.1. Ciri Fisik Kota Buton

Sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda di Pulau

Buton, Kota Buton masih dikuasai dan diperintah oleh kerajaan

setempat, khususnya Kerajaan Buton, yang pada periode abad

ke-14 sampai dengan abad ke-17 memiliki wilayah kekuasaan

hampir seluruh Sulawesi Tenggara.

Pada periode tersebut, pusat permukiman masyarakat

terletak di sekitar keraton, sehingga perkembangan fisik kota

pun hanya berlangsung di dalam kompleks keraton,seperti

pendirian benteng yang berfungsi sebagai pertahanan. Dengan

melihat letak permukiman penduduk yang jauh dari pantai dan

perkembangannya cenderung memusat di sekitar keraton, maka

pada periode abad ke-14 sampai dengan abad ke-17 kota

tersebut termasuk dalam kategori kota pedalaman.

Sedangkan pada tahun 1667 ( setelah penandatanganan

Perjanjian Bongaya I ) sampai dengan tahun 18641, muncul

permukiman baru di sekitar pantai Pulau Buton. Penduduk yang

bermukim di daerah tersebut merupakan penduduk yang

melakukan migrasi dari permukiman awal yang terletak di

1

Pada periode tersebut (tahun 1667 sampai dengan tahun1864) kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara mulai berkembang.

Page 6: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 6/11

sekitar keraton2.Hal ini terbukti dengan banyaknya suku Bajo,

Bugis, Makassar, dan Toraja yang membuka permukiman baru

dan tinggal di sekitar pantai Pulau Buton.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, perluasan

permukiman kota Buton cenderung kearah sekitar pantai. Pasar

dan syahbandar didirikan di sekitar pantai yang dekat dengan

pelabuhan. Jika melihat dinamika yang ada di kota Buton, maka

tampak bahwa arah perkembangan kota lebih mencirikan suatu

kota pelabuhan.

2.2. Ciri Non Fisik Kota Buton

Pada masa pemerintahan Kerajaan Buton, yaitu sekitar

abad ke-14 sampai dengan abad ke-17, perekonomian Kota

Buton dijalankan oleh para pejabat kerajaan dan etnis di luar

etnis setempat. Sedangkan dalambidang administrasi, kebijakan

politik, dan pendidikan hanya dijalankan di dalam keraton,

karena pada periode tersebut wilayah luar keraton hanya

dianggap sebagai wilayah pendukung dari segi politik dan

ekonomi.Perkembangan Kota Buton pada periode itu selain

disebabkan oleh faktor pusat kekuasaan tradisional (dalam hal

ini Kerajaan Buton), juga dapat disebabkan oleh adanya sumber

daya alam yang memadai untuk menunjang perkembangan kota

pedalaman. Sehingga perputaran roda ekonomi menjadi lancar

yang pada akhirnya turut mempengaruhi perkembangan dan

perluasan kota secara fisik.

2Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) disebabkan

oleh adanya konflik antarkerajaan di Sulawesi, yaitu antara

Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang turut melibatkan

Kerajaan Buton. Akibatnya, penduduk yang merasa tertekan

melakukan perpindahan ke daerah-daerah yang dianggap lebih

aman dan mudah dijangkau. Salahsatunya adalah Sulawesi

Tenggara.

Page 7: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 7/11

Sedangkan pada periode 1667 sampai dengan tahun

1864, perekonomian Kota Buton bercirikan perdagangan,

dimana perdagangan tersebut merupakan aktivitas ekonomi

yang dilakukan oleh penduduk yang telah melakukan migrasi,

kemudian mendirikan permukiman baru dan menetap di sekitar

pantai Pulau Buton.Barang yang diperdagangkan berupa hasil

laut, seperti teripang, mutiara, ikan, sirip ikan hiu, dan lola.

Pada tahun 1878 komoditi ekspor utama Buton adalah

tripang, kulit penyu, kopi, lilin, agar-agar, akar bingkuru, kulit

soga, karoro, balasari (dupa), mutiara, kulit, tanduk kerbau, sirip

ikan hiu dan katun mentah.Sedangkan untuk komoditi impor

utama yaitu beras, candu, barang-barang besi dan tembikar,

kain dan benang Eropa.Pada tahun 1906, pemerintah Hindia

Belanda mengambil alih tugas sebagai pengendali kebijakan

perekonomian dengan memungut cukai impor dan ekspor di

daerah Kesultanan Buton.Beban itu diberikan kepada semua

kapal yang singgah di beberapa pelabuhan Sulawesi

Tenggara.Kapal-kapal yang berlabuh juga dibebani pajak

berlabuh.

Perubahan yang menonjol terjadi ketika Buton menjadi

ibukota Afdeeling Sulawesi Timur pada tahun 1911.Pada tahun

1915, Afdeeling  Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan

dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di Buton.Pada tahun

itu pula, Belanda menerapkan politik ekonominya dengan

melakukan pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana

kota berupa pelabuhan dan jaringan jalan. Selain itu, pendirian

asrama militer, sekolah, perumahan, jaringan air bersih, jaringan

telepon, serta fasilitas transportasi darat juga dilakukan oleh

pemerintah Hindia Belanda.Namun pada kenyataannya,

pemerintah Hindia Belanda mengambil keuntungan dari semua

fasilitas yang disediakan itu, baik dalam bentuk pajak maupun

tenaga kerja.

Pada tahun 1924, perkembangan perekonomian kota

Buton ditandaidengan didirikannya produksi tambang aspal oleh

Page 8: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 8/11

pemerintah Hindia Belanda. Selain itu dilakukan pula

pembangunan dan pelebaran jalan ke daerah-daerah yang

mempunyai hasil ekonomi penting, seperti ke perkebunan

kelapa dan daerah pedalaman yang mempunyai hasil hutan

seperti rotan dan damar, serta pembukaan pengelolaan kayu jati

Vejahoma di Raha dan pembukaan jaringan jalan ke Kendari.

3. Aspek yang Mempengaruhi Morfologi Kota Buton

Setelah mengkaji dan memahami morfologi Kota Buton, maka

dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan mendasar terhadap aspek

yang mempengaruhi morfologi Kota Buton antara pada masa

kekuasaan Kerajaan Buton dengan pada masa pemerintahan Hindia

Belanda.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Pulau Buton (tahun

1906), perkembangan morfologi kota Buton lebih disebabkan oleh

aspek ekonomi. Aspek ekonomi yang mempengaruhi bentuk kota

Buton ditunjukkan dengankebijakan yang diberikan oleh pihak

pemerintah Hindia Belanda yang memutuskan untuk melakukan

pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana kota seperti

pelabuhan, pasar,jaringan telepon dan jaringan jalan. Realisasi dari

kebijakan tersebut yaitu perbaikan fasilitas pelabuhan –pelabuhan kota

Buton yang terdapat di beberapa wilayah, seperti pelabuhan di kota

Buton itu sendiri, Pasarwajo, Pelabuhan Walanda  dan Tobelo yang

mana merupakan pelabuhan kuno yang terletak di Pulau Buton, serta

didirikannya pelabuhan transit seperti Pelabuhan Matanauwe danLamoambu.Selain mendirikan pelabuhan, juga dilakukan perbaikan

terhadap fasilitas pelabuhan yang ada, sebagai contoh yaitu

Pelabuhan Pasarwajo yang semula hanya pelabuhan nelayan

kemudian diubah menjadi pelabuhan ekspor aspal.Buton juga memiliki

Bandar perniagaan yang terletak di pantai kota Bau-Bau (kota Buton).

Pelabuhan tersebut menjadi tempat singgah bagi pedagang-

pedagangdari Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura.

Selain itu, fasilitas berupa pasar juga dibangun di tepi sungai

Page 9: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 9/11

Bau-Bau dan di sekitar pelabuhan Bau-Bau.Pasar ini mulai dibangun

secara permanen sejak tahun 1920 dan merupakan tempat transaksi

bagi para pedagang yang berasal dari Cina, Bugis, Makassar, Malaka,

Jawa, dan Madura.

Infrastruktur kota berupa jaringan jalan juga mengalami

perubahan pada tahun 1906. Perubahan tersebut berupa pelebaran

dan pengerasan jalan.Selain itu, dilakukan perpanjangan jalan dan

pembukaan jaringan jalan baru menuju daerah-daerah yang

memberikan keuntungan secara ekonomi3.Sebagai contoh yaitu

pembukaan jalan dari Bau-Bau ke Pasarwajo yang kemudian

diperpanjang sampai ke daerah Kabungka4.Jaringan jalan baru lainnya

yang dibuka yaitu jalan yang menghubungkan antara Buton dengan

Muna.Selain itu, juga dilakukan pembukaan jaringan jalan ke daerah-

daerah yang mempunyai fasilitas pelabuhan transit, seperti akses jalan

ke Lohia, Raha, dan Lamoambu.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terjadi perbaikan

fasilitas kota Buton, baik dari sisi prasarana maupun sarana yang

terdapat di kota tersebut. Perbaikan ini dimulai sejak empat tahun

setelah pendudukan Belanda di Pulau Buton (1910) sampai dengan

tahun 1942. Seiring dengan perbaikan fasilitas kota, pemerintah Hindia

Belanda juga melakukan eksplorasi terhadap sumber-sumber ekonomi

di wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya yang mempunyai nilai

ekonomis tinggi, seperti pertambangan aspal di Buton, perluasan

kebun kelapa, serta industri kapuk di Muna.

3Daerah-daerah yang dianggap memberikan keuntungan secara

ekonomi yaitu daerah yang mempunyai komoditas yang laku di pasar

internasional dan sumber pajak serta mempunyai hasil pertambangan,

seperti yang terjadi di kota Muna (Jati, Kopra, Mutiara dan Kapuk),

Kendari (Rotan dan Damar, Nikel), dan Buton (Aspal dan Kopra).

4Sejak tahun 1924, Pasarwajo merupakan daerah penghasil aspal.

Jaringan jalan yang semula hanya sampai di daerah Pasarwajo kemudian

diperpanjang hingga ke daerah Kabungka seiring dengan diperluasnyaderah penambangan aspal Buton hingga ke daerah tersebut.

Page 10: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 10/11

Perbaikan dan pengembangan infrastruktur kota Buton yang

paling sering dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah yang

berkaitan dengan sektor perdagangan. Sehingga pada masa

pemerintahan Hindia Belanda, kota Buton lebih menunjukkan ciri kota

pelabuhan yang cenderung mengandalkan sektor perdagangan

sebagai dasar perkembangannya. Sedangkan untuk perkembangan

permukiman masyarakat kota Buton cenderung bergerak ke arah

pinggir pantai. Perkembangan ini mengikuti pergeseran orientasi

masyarakat ke sektor ekonomi perdagangan antarpulau. Muara dari

semua perkembangan itu adalah terjadinya perubahan pada

kehidupan masyarakat kota Buton secara fisik. Hingga pada periode

pasca kemerdekaan, perkembangan kota Buton masih tetap mengikuti

pola yang telah lebih dulu berkembang, yaitu pola perkembangan yang

mencirikan kota pelabuhan.

4. Manfaat Morfologi Kota Buton dalam Perencanaan

Pengembangan Kota tersebut 

Morfologi suatu kota sangat berpengaruh terhadap perencanaan

dan pengembangan kota tersebut. Hal ini disebabkan struktur

keruangan kota mencerminkan sifat kehidupan kota, yang sebenarnya

sangatlah kompleks karena dipengaruhi oleh suatu aspek, baik politik,

ekonomi, ataupun sosio-kultur masyarakat. Dengan mengkaji dan

memahami morfologi suatu kota dengan cermat, maka dapat

membantu memberikan arahan yang tepat, yang nantinya berfungsi

sebagai acuan dalam menentukan perencanaan pengembangan suatu

wilayah. Sebagai contoh yaitu suatu kota yang secara fisiktermasuk

dalam kategori kota lereng bukit, tentu saja tidak mungkin jika daerah

tersebut dalam perkembangannya direncanakan dibangun suatu

pelabuhan. Begitu jugakota yang termasuk dalam kategori kota

pelabuhan, maka tidak mungkin jika dalam kota tersebut dalam

pengembangannya cenderung mengandalkan sektor pertanian.

Begitu juga halnya dengan kota Buton. Dengan memahami

Page 11: MorfoKotaButon

8/8/2019 MorfoKotaButon

http://slidepdf.com/reader/full/morfokotabuton 11/11

struktur keruangan yang ada di kota tersebut, maka tampak bahwa

kota Buton termasuk dalam kategori kota pelabuhan. Maka

perencanaan pengembangannyacenderung mengarah ke perbaikan

fasilitas yang menunjang keberlangsungan perekonomian kota

tersebut, yang mana berorientasi pada sektor perdagangan antarpulau.

Misalnya dengan meningkatkan kualitas pelabuhan dagang yang

sudah ada, serta menyediakan infrastruktur yang

memadai,sepertiperluasan jaringan jalan yang menghubungkan

antarkota,yang berfungsi untuk mempermudah mobilitas barang

maupun jasa dan juga untuk mempercepat pemerataan pembangunan

fasilitas kota.