MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

25
MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI KASUS: PUTUSAN NO: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST) FERDIAN FAJAR PEMBIMBING: MELANIA KISWANDARI PROGRAM STRUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ABSTRAK Judul Skripsi: Mogok Kerja sebagai Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus: Putusan No: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST) Skripsi ini membahas mengenai pengaturan mogok kerja dalam peraturan perundang- undangan serta pelaksanaannya dalam praktek. Kasus yang dipergunakan sebagai materi studi kasus adalah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh Rumah Sakit Husada, yang dilanjutkan dengan analisis terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. Mogok kerja umumnya disebabkan oleh perselisihan yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja/buruh. Mogok kerja merupakan hak asasi pekerja/buruh terkait dengan kemerdekaan mereka untuk mengemukakan pendapat serta sarana untuk menghimpun kekuatan guna meningkatkan posisi tawar terhadap pengusaha. Kata Kunci: mogok kerja, perselisihan hubungan industrial, pemutusan hubungan kerja. Pendahuluan Beberapa kasus mogok yang terjadi, antara lain kasus 150 awak bus kota Damri Semarang yang melakukan aksi akibat gaji yang belum dibayar selama 2 (dua) bulan sampai mogok kerja tersebut dilakukan. Terdapat pula kasus 3.000 pekerja PT. Sanyo Jaya Components Indonesia yang juga melakukan aksi mogok kerja untuk kenaikan upah di tahun 2006. Pada tahun yang sama terjadi kasus 700 pekerja/buruh karoseri mobil PT Adi Putro Kota Malang, Jawa Timur melakukan mogok kerja dan menolak sistem kontrak yang diberlakukan perusahaan serta menuntut kenaikan upah. 1 Pada tahun 2011 terjadi mogok kerja 6.000 pekerja/buruh PT. Freeport dengan tujuan untuk meminta 1 Rahmat Abdul Budiono, Pengantar Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hlm. 31. Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Transcript of MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Page 1: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI KASUS: PUTUSAN NO:

196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST)

FERDIAN FAJAR PEMBIMBING: MELANIA KISWANDARI

PROGRAM STRUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

ABSTRAK Judul Skripsi: Mogok Kerja sebagai Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus: Putusan No: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST) Skripsi ini membahas mengenai pengaturan mogok kerja dalam peraturan perundang-undangan serta pelaksanaannya dalam praktek. Kasus yang dipergunakan sebagai materi studi kasus adalah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh Rumah Sakit Husada, yang dilanjutkan dengan analisis terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. Mogok kerja umumnya disebabkan oleh perselisihan yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja/buruh. Mogok kerja merupakan hak asasi pekerja/buruh terkait dengan kemerdekaan mereka untuk mengemukakan pendapat serta sarana untuk menghimpun kekuatan guna meningkatkan posisi tawar terhadap pengusaha. Kata Kunci: mogok kerja, perselisihan hubungan industrial, pemutusan hubungan kerja. Pendahuluan

Beberapa kasus mogok yang terjadi, antara lain kasus 150 awak bus kota Damri

Semarang yang melakukan aksi akibat gaji yang belum dibayar selama 2 (dua) bulan

sampai mogok kerja tersebut dilakukan. Terdapat pula kasus 3.000 pekerja PT. Sanyo

Jaya Components Indonesia yang juga melakukan aksi mogok kerja untuk kenaikan upah

di tahun 2006. Pada tahun yang sama terjadi kasus 700 pekerja/buruh karoseri mobil PT

Adi Putro Kota Malang, Jawa Timur melakukan mogok kerja dan menolak sistem

kontrak yang diberlakukan perusahaan serta menuntut kenaikan upah.1 Pada tahun 2011

terjadi mogok kerja 6.000 pekerja/buruh PT. Freeport dengan tujuan untuk meminta

1 Rahmat Abdul Budiono, Pengantar Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

1999), hlm. 31.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 2: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

kenaikan upah kepada pihak manajemen.2 Mereka juga menuntut pembayaran rapelan

kenaikan gaji selama 7 (tujuh) bulan, kejelasan program jaminan sosial tenaga kerja, dan

tabungan asuransi pensiun.3 Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak lagi kasus mogok

yang terjadi di Indonesia. Umumnya penyampaian pendapat melalui mogok kerja

dilakukan pekerja akibat tidak terpenuhinya rasa keadilan dan hak-hak pekerja.4

Dalam skripsi yang berjudul Mogok Kerja sebagai Penyebab Perselisihan

Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial

Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST) pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis

adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai mogok kerja dan syarat-syarat mogok kerja yang

sah?

2. Bagaimana pelaksanaan mogok kerja dalam praktek? (Studi Kasus Putusan PHI

Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. Tentang Penyelesaian PHK kepada Leila

Gentjana dan Encep Ishaq oleh Rumah Sakit Husada).

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaturan mogok

kerja dan praktek yang dilakukan oleh pekerja sehingga dapat diketahui mogok kerja

yang sah dan tidak melanggar peraturan yang berlaku.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis pada dasarnya menggunakan metode yuridis

normatif. Metode penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang khusus meneliti

hukum sebagai norma positif di dalam sistem perundang-undangan.5 Dalam penelitian

yuridis normatif ini, penelitian mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

2 AG. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1993), hlm 294. 3 Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), (Surabaya: Yundika, 1994),

hlm. 71. 4 Sandra, Sejarah Pergerakan Perburuhan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 2008), hlm. 23. 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hlm. 6.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 3: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

tentang Ketenagakerjaan dan mengacu pula pada peraturan perusahaan yang mengatur

mengenai ketenagakerjaan.

Berdasarkan jenis dan bentuk data yang dikumpulkan, data yang diperlukan pada

penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan.

Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2013, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1998, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

232 Tahun 2003, dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 196/

PHI.G/2009/PN.JKT.PST.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum

primer, seperti Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Perselisihan Hubungan Industrial, buku Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum

Perburuhan karangan Surya Tjandra, Masalah PHK dan Pemogokan karangan

Ninik Widiyanti, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia karangan

Agusmidah, dan artikel yang dimuat di internet seperti Legal Akses tentang

Perundingan Bipartit yang diakses pada 2 Juni 2013.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi keterangan bahan hukum

primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Online

Black’s Law Dictionary, dan ensiklopedia online seperti Wikipedia mengenai

Manajemen Hubungan Industrial.6

Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumen

atau penelusuran kepustakaan. Penelusuran kepustakaan digunakan untuk mendapatkan

data berupa norma-norma hukum.

Dalam mengolah dan menganalisis data yang akan digunakan dalam penelitian

skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif

memusatkan kepada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan

gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala

6 M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007), hlm. 25.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 4: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

sosial budaya dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum positif yang bersangkutan

untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.7

Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan tipologi

penelitian menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif (dimaksudkan untuk memberikan

data yang seteliti mungkin demi mempertegas hipotesis), menurut bentuknya adalah

penulisan evaluatif (bertujuan untuk menilai keadaan sekitar yang terkait permasalahan),

menurut tujuannya ialah penulisan fact finding, menurut sudut penerapannya ialah

penulisan berfokus masalah (problem focused research), dan menurut ilmu yang

dipergunakan ialah penulisan monodisipliner.8

PEMBAHASAN

Tinjauan Teoritis

Mogok kerja mencakup pengertian-pengertian dari 2 (dua) unsur yaitu mogok dan

kerja. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan

mogok kerja adalah:

“menghentikan kegiatan atau pekerjaan, karena adanya tuntutan yang tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan atau tempat bekerja.”9

Black’s Law Dictionary mendefinisikan mogok kerja sebagai berikut:

“The act of a body of workmen employed by the same master, in stopping work all together at a prearranged time, and refusing to continue until higher wages, or shorter time, or some other concession is granted to them by the employer.”10

Terjemahan bebasnya adalah aksi yang dilakukan oleh organisasi pekerja/buruh atau

perwakilan semacam itu di tempat kerja, dengan melakukan pemberhentian pekerjaan

7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Rineka Cipta: Jakarta, 2004), hlm. 20. 8 Soekanto, Op. Cit., hlm. 7. 9 KBBI Online, “Mogok Kerja” http://kbbi.web.id/, diunduh 11 Mei 2013. 10 Black’s Law Dictionary. “Strike” http://www.blackslawdictionary.com/Home/Default.aspx,

diunduh 27 Mei 2013.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 5: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

secara bersama-sama dalam waktu yang telah ditentukan, sampai tuntutan-tuntutan

mereka dipenuhi oleh pengusaha.

Terdapat pula pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof.

A. Uwiyono bahwa mogok kerja merupakan alat penyeimbang (equilibrium) karyawan

atau buruh yang berada pada posisi lemah.11

Berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Mogok Kerja Tidak Sah, pengertian mogok kerja

adalah:

“tindakan pekerja/ buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/ atau oleh serikat pekerja/ serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.”12

Dapat disimpulkan bahwa mogok kerja adalah tindakan yang dilakukan oleh para

pekerja/buruh secara bersama-sama untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan

dengan tujuan agar perusahaan memenuhi tuntutan mereka. Ruang lingkup mogok kerja

meliputi pekerja/buruh yang melakukan mogok, pengusaha sebagai pemilik perusahaan

dan aksi mogok itu sendiri.

Secara yuridis, mogok kerja diakui sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat

pekerja/buruh.13 Adapun pengaturan mengenai mogok kerja meliputi pengertian, syarat

dan prosedur, pembatasan, serta perlindungan terhadap pelaksanaan mogok. Mogok

secara umum diartikan sebagai tidak mau bekerja.14 Adapun syarat yang berkaitan

dengan prosedur mogok kerja meliputi syarat mogok kerja harus merupakan akibat

gagalnya perundingan, pemberitahuan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang

bertanggung jawab setempat sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari kerja sebelum

11 Surya Tjandra, Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum Perburuhan, (Jakarta: TURC, 2006),

hlm. 138. 12 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 1 ayat (23). 13 Soetedi, Op. Cit., hlm. 44. 14 Soedarjadi, Op. Cit., hlm. 57.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 6: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

mogok, dan dilakukan dengan tertib dan damai. Syarat akibat gagalnya perundingan

berarti tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial

karena pengusaha menolak berunding walaupun serikat pekerja/buruh atau pekerja/buruh

telah memintanya secara tertulis kepada pengusaha sebanyak 2 kali dalam tenggang

waktu 14 hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami kebuntuan,

hal mana dinyatakan para pihak dalam risalah perundingan. Syarat kedua terkait

pemberitahuan sekurang-kurangnya harus memuat waktu (hari, tanggal, dan jam),

dimulai dan diakhirinya mogok kerja, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab

mogok kerja, serta tandatangan ketua serta sekretaris dan/atau masing-masing

ketua/serikat pekerja/buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Dalam hal mogok

kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi serikat pekerja/buruh, maka

pemberitahuan ditandatangani pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai kordinator mogok

kerja. Selanjutnya, diatur pula bahwa instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang

menerima surat pemberitahuan mogok kerja harus memberikan tanda terima. Diatur pula

bahwa instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan

masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan para pihak

yang berselisih untuk berunding, sebelum dan selama mogok kerja berlangsung. Apabila

perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka dibuatkan perjanjian bersama

yang ditandatangani para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. Dalam hal perundingan tersebut tidak

menghasilkan kesepakatan, maka pekerja yang berasal dari instansi dari ketenagakerjaam

tersebut segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada

lembaga perselisihan hubungan industrial yang berwenang. Pembatasan mogok kerja

ditujukan kepada pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani

kepentingan umum dan/atau jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa

manusia. Mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas di

perusahaan dengan kategori tersebut diatas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang

tidak sah. Diatur juga bahwa apabila mogok kerja dilakukan bersamaan dengan tindakan-

tindakan yang termasuk dalam kategori mengemukakan pendapat di muka umum maka

pembatasan tersebut bergeser menjadi larangan.15 Perlindungan terhadap pelaksanaan

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 7: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

mogok berupa larangan melakukan pengangkapan dan/atau penahanan pengurus serikat

pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Terdapat juga larangan bagi pengusaha untuk mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja

dengan pekerja/buruh lain di luar perusahaan atau memberikan sanksi atau tindakan

balasan kepada pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh selama dan sesudah mogok kerja

lainnya.16 Mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan

mogok kerja yang sah17, sedangkan mogok kerja yang dilakukan secara bertentangan

dengan ketentuan termaksud dikategorikan sebagai mogok kerja yang tidak sah.18

Berdasarkan peraturan yang berlaku, secara garis besar terdapat 2 (dua) jenis

mogok kerja, yaitu mogok kerja yang sah dan yang tidak sah19 Untuk menentukan apakah

suatu mogok kerja tersebut sah atau tidak, diperlukan acuan berdasarkan ketentuan-

ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut. Apabila mogok kerja dilakukan sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 232 Tahun 2003

tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah, maka mogok kerja tersebut sah

secara hukum. Apabila mogok kerja dilakukan bertentangan dengan dua ketentuan

tersebut diatas, maka mogok kerja tersebut merupakan mogok kerja yang tidak sah secara

hukum. Pemogokan juga merupakan salah satu cara untuk mengeluarkan pendapat,

sehingga untuk menilainya dapat dilihat berdasarkan tujuan dan cara pelaksanaannya,

bertentangan dengan hukum atau tidak. Sedapat mungkin dihindari terjadinya

pemogokan, demonstrasi, dan penutupan perusahaan (lock out).

15 Indonesia, Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, UU Nomor 9 Tahun 1998,

LN No. 181 Tahun 1998, TLN No. 3789, Ps. 18. 16 Tjandra, Op. Cit., hlm. 146. 17 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 145. 18 Mogok kerja yang tidak sah dapat dikualifikasikan sebagai mangkir, berdasarkan Pasal 6

Keputusan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah. Mangkir adalah tidak datang/ absen. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah. Kementerian No. 232 Tahun 2003.

19 Ninik Widiyanti, Masalah PHK dan Pemogokan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 105.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 8: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Jenis-jenis mogok kerja menurut Francois Daumas adalah wildcat strike (mogok

kerja tidak teratur) yakni mogok yang tidak disetujui oleh serikat pekerja, piston strike

yaitu mogok dengan berhenti seluruh pekerja, secondary boycott berupa menyebar

selebaran kepada konsumen untuk tidak menggunakan produk perusahaan tersebut,

buzzing strike yakni mogok dengan membuat keributan, sit down strike yaitu mogok

dengan cara duduk di dalam perusahaan, sympathy strike (mogok kerja simpati) yakni

mogok berupa tindakan yang dilakukan untuk mendukung kelompok pekerja lain yang

melakukan mogok, slowdown strike (mogok kerja merlambat pekerjaan) yakni mogok

yang dilakukan ketika para pekerja masih bekerja, tapi sangat lambat sehingga target

kerja tidak tercapai, green ban (mogok kerja penghijauan) yakni mogok kerja yang

dilakukan untuk menekan agar perusahaan mengadopsi praktek-praktek produksi yang

lebih ramah lingkungan.20

Mengacu pada pendapat doktrin bahwa mogok merupakan salah satu mekanisme

penyeimbang kekuatan saat posisi pekerja/buruh sedang lemah, umumnya mogok

berfungsi sebagai mekanisme penekan agar pengusaha memenuhi hal-hal yang diminta

oleh pekerja/buruh untuk dipenuhi. Mogok kerja dari sisi pekerja/buruh merupakan hak

yang sangat diperjuangkan sehingga pada akhirnya pekerja/buruh mendapatkan hak-hak

normatif dan non-normatif, walaupun mungkin belum sesuai yang diharapkan karena

dalam prakteknya masih mempertimbangkan kemampuan ekonomi dari perusahaan yang

bersangkutan. Oleh sebab itu, fungsi mogok bagi pekerja/buruh terbagi dalam dua aspek,

yakni aspek ekonomi dan non ekonomi. Aspek ekonomi dari fugsi mogok adalah sebagai

berikut:21 Pada dasarnya seseorang yang bekerja pada suatu perusahaan mengharapkan

imbalan yang adil dan layak, sesuai dengan jenis, beban pekerjaan serta dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Dengan terpenuhinya upah sesuai kriteria tersebut

di atas dan/atau upah yang tidak ditangguh-tangguhkan oleh para pemimpin perusahaan,

maka rasa kecukupan untuk memenuhi standar kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh

20 François Daumas, Ägyptische Kultur im Zeitalter der Pharaonen, (Munich: Knaur Verlag,

1969), hlm. 309. 21 Sulistyo, Op. Cit., hlm. 83.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 9: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

maupun bagi keluarganya akan semakin terasa. Selain dari pada itu pekerja/buruh akan

merasa dibutuhkan oleh perusahaan, sehingga terjadi timbal balik rasa yang selaras.22

Seorang pekerja/buruh akan merasa bangga apabila perusahaan dimana tempat yang

bersangkutan bekerja mengalami kemajuan yang pesat dan dikenal masyarakat luas.23

Hal tersebut yang nantinya akan mengangkat derajat pekerja/buruh yang bekerja pada

perusahaan tersebut sehingga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Secara

langsung maupun tidak pekerja/buruh tersebut akan mempromosikan perusahaannya

kepada khalayak ramai sehingga terjalin hubungan yang baik antara perusahaan dengan

masyarakat.24

Selain aspek ekonomi, fungsi mogok kerja bagi pekerja juga menyangkut aspek

non ekonomi, yaitu keadaan dan perlindungan dalam pekerjaan. Dalam hal ini faktor

yang dimaksud adalah faktor keamanan serta perlindungan dalam pelaksanaan pekerjaan.

Terpenuhinya jaminan atas syarat-syarat kondisi kerja yang baik serta perlindungan

pekerja/buruh dari segi ekonomi, sosial dan teknis menyebabkan pekerja/buruh dapat

melakukan pekerjaan dengan lebih baik.25 Oleh sebab itu pemimpin perusahaan wajib

mengetahui dan memahami dengan pasti mengenai lingkungan kerja yang baik dan dapat

menyediakan jaminan perlindungan bagi para pekerja/buruhnya guna mendapatkan hasil

kerja yang diharapkan.

Akibat hukum dari mogok kerja yang sah adalah bahwa dalam pelaksanaanya,

pekerja/buruh akan memperoleh perlindungan terkait status

kepegawaian/pemekerjaannya sebab pengusaha dilarang untuk mengganti pekerja/buruh

yang mogok kerja tersebut dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan26,

perlindungan terhadap halangan untuk menggunakan hak mogok dan terhadap

22 Daumas, Op. Cit., hlm. 114. 23 Widiyanti, Op. Cit., hlm. 107. 24 Sulistyo, Op. Cit., hlm. 47. 25 Widiyanti, Op. Cit., hlm. 83. 26 Pihak yang melanggar ketentuan tersebut dikategorikan melakukan tindak pidana pelanggaran

dengan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun, dan denda paling sedikit 10 juta dan paling banyak 100 juta. Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit. Ps. 187.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 10: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

kemungkinan kriminalisasi mogok kerja berupa penangkapan dan/atau penahanan27,

pemberian sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun selama dan sesudah mogok

kerja, dan perlindungan atas upah pada hari dilangsungkannya mogok kerja.

Perlindungan lainnya adalah terhadap kemungkinan pemutusan hubungan kerja atas

alasan mangkir maupun alasan tertentu.28

Adapun akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah ialah bahwa mogok

tersebut dikualifikasikan sebagai mangkir, yang apabila pemanggilan untuk kembali

bekerja secara patut dilakukan oleh pengusaha namun karena sedang mogok kerja hal

tersebut diabaikan pekerja/buruh, maka yang bersangkutan dianggap mengundurkan diri.

Jika sampai terjadi hilangnya nyawa manusia pada saat mogok kerja tidak sah dilakukan

maka hal tersebut dikualifikasikan sebagai kesalahan berat, yang juga dapat berakibat

dengan pemutusan hubungan kerja. Mogok kerja yang dilakukan tidak secara sah, tertib,

damai, serta merupakan akibat gagalnya perundingan berakibat bahwa pekerja/buruh

dan/atau serikat pekerja/buruh pelaksananya dikategorikan melakukan tindak pidana

pelanggaran dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 bulan, paling lama 4 bulan,

dan denda paling sedikit 10 juta rupiah dan paling banyak 400 juta rupiah.29

Akibat dari mogok kerja salah satunya adalah perusahaan (pengusaha) mengalami

gangguan pada persoalan target produksinya, misalnya kuantitas dan kualitas menurun.

Hal tersebut dapat menyebabkan pengusaha mengalami kerugian, terutama dalam hal

produksi dan penjualannya. Guna menghindari persoalan tersebut serta sebagai tindakan

balasan dari mogok kerja yang dilakukan pekerja/buruh, maka pengusaha melakukan lock

out atau dikenal sebagai penutupan perusahaan sebagai tindakan balasan pengusaha atas

mogok kerja yang dilakukan pekerja.

Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak

pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.30 Penutupan

27 Ibid, Ps. 185. 28 Konvensi ILO Tahun 1987 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak yang

diratifikasi oleh Kepres No. 83 Tahun 1998. 29 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 186. 30 Ibid, Ps. 1 ayat (24).

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 11: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

perusahaan merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau

seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.31

Meskipun demikian, pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan

sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh

dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Meskipun merupakan hak pengusaha, penutupan

perusahaan dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan

umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi

rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali jaringan telekomunikasi,

pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. Agar

penutupan perusahaan yang dilakukan oleh pengusaha sah, maka pelaksanaan harus

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003, bahwa pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh

dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 hari kerja sebelum penutupan

perusahaan dilaksanakan.32 Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat waktu

(hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan dan alasan dan sebab-

sebab melakukan penutupan perusahaan. Pemberitahuan dimaksud ditandatangani oleh

pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh dan instansi bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang

menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan harus memberikan

tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.

Sebelum dan selama penutupan perusahaan berlangsung, instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang

menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan dengan mempertemukan dan

merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Hal perundingan yang

menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani

oleh para pihak dan pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan sebagai saksi. Apabila hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan,

31 Sulistyo, Op. Cit., hlm. 134. 32 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 148, 149.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 12: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

maka pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan

kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Jelaslah bahwa penggunaan hak mogok kerja yang merupakan hak pekerja/buruh

dan penutupan perusahaan yang merupakan hak pengusaha harus dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan seperti diuraikan di atas, pengaturan ini tidak

berarti mengekang kebebasan para pihak (pekerja/buruh dan pengusaha) tapi semata-

mata agar dalam penggunaannya tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain serta

ketertiban umum. Penggunaan hak tersebut tanpa kendali dapat mengakibatkan tindakan

anarkis yang akan sangat merugikan para pihak maupun orang lain.

Hubungan antara mogok kerja dengan perselisihan hubungan industrial adalah

bahwa mogok kerja dapat disebabkan oleh tidak tercapainya kata sepakat tentang

penyelesaian suatu perselisihan hubungan industrial atau justru dapat mengakibatkan

timbulnya perselisihan hubungan industrial baru (jenis lain). Umumnya mogok kerja

disebabkan oleh karena tidak dipenuhinya tuntutan yang bersifat normatif atau adanya

perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Di sisi lain, mogok kerja

juga dapat mengakibatkan timbulnya perselisihan pemutusan hubungan kerja

sebagaimana terdapat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor:

196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. yang dibahas dalam skripsi ini.

Terdapat beberapa pengertian tentang perselisihan hubungan industrial.

Diantaranya adalah menurut Black’s Law Dictionary, Undang-Undang Nomor 22 Tahun

195733, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004. Dalam Black’s Law Dictionary, perselisihan hubungan industrial didefinisikan

sebagai “the disputes because of the relationships that exist between the management and

the workers”. Terjemahan bebasnya adalah perselisihan yang terjadi karena hubungan

antara manajemen dengan pekerja/buruh. Menurut Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang

33 Undang-Undang tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui Pasal 125 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial yang isinya sebagai berikut: “Dengan berlakunya undang-undang ini, maka: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 13: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan)

hubungan industrial:

“ suatu sistem hubungan yang berbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/ buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.34

Dalam bidang perburuhan, perselisihan mulai dikenal sejak zaman pemerintahan

Hindia Belanda sebagai akibat dari pemogokan yang dilakukan oleh pekerja/buruh kereta

api35. Hal yang pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait perselisihan

adalah cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, khususnya di sektor

pengangkutan kereta api melalui pembentukan verzoeningsraad (dewan pendamai).

Peraturan tentang dewan pendamai bagi perusahaan kereta api dan term untuk Jawa dan

Madura adalah Regerings Besluit tanggal 26 Februari 1923, Stb. 1923 No. 80, yang

kemudian diganti dengan Stb. 1926 No. 22436. Pada tahun 1937 peraturan di atas dicabut

dan diganti dengan Regerings Besluit tanggal 24 November 1937, Stb. 1937 No. 31

tentang Peraturan Dewan Pendamai bagi perusahaan kereta api dan term yang berlaku

untuk seluruh Indonesia37. Tugas dewan pendamai ialah memberi perantaraan jika di

perusahaan kereta api dan trem terjadi perselisihan perburuhan yang akan atau telah

mengakibatkan pemogokan. atau dengan kata lain merugikan kepentingan umum. Pada

tahun 1939 dikeluarkan tentang peraturan cara menyelesaikan perselisihan perburuhan

pada perusahaan lain di luar kereta api melalui Staatsblad 1939 Nomor 407 tentang

Regerings Besluit tanggal 20 Juli 1939. Peraturan tersebut kemudian diubah dengan

Staatsblad 1948 Nomor 23838. Demikian peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan pengaturan perselisihan perburuhan yang

pada waktu itu kerap terjadi.

34 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. op. cit., Ps. 1 (16). 35 A. Ridwan Halim, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hlm. 32. 36 Egi Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, (Jakarta: Reinaisan, 2005), hlm. 62. 37 Djumadi, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 87. 38 Halim, Op. Cit., hlm. 72.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 14: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Selanjutnya, pada awal kemerdekaan perselisihan industrial tidak terjadi sampai

pada taraf yang membahayakan atau mengganggu perekonomian39. Hal tersebut dapat

dimaklumi karena segala perhatian bangsa dan seluruh rakyat Indonesia pada waktu itu

ditujukan pada bagaimana cara mempertahankan negara yang akan direbut kembali oleh

pemerintah Belanda. Perselisihan-perselisihan perburuhan yang besar dan penting serta

disertai pemogokan mulai timbul setelah pengakuan kedaulatan, karena kaum

pekerja/buruh dan rakyat pada umumnya dengan penuh kesadaran akan harga pribadi

mulai membelokkan perhatiannya ke arah perjuangan dalam lapangan sosial ekonomi.

Pemogokan yang demikian menyebabkan keamanan dan ketertiban sangat terganggu

sehingga dikeluarkanlah Peraturan Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 Nomor 1

tentang Penyelesaian Pertikaian Perburuhan40. Peraturan tersebut melarang pelaksanaan

pemogokan di perusahaan yang vital dengan ancaman hukuman kurungan setinggi-

tingginya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,00. Dalam kenyataannya

peraturan ini tidak membawa hasil seperti yang diinginkan, sehingga pada tahun 1951

pemerintah mengeluarkan undang-undang yakni Undang-Undang Darurat Nomor 16

Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan41.

Ternyata dalam pelaksanaannya peraturan tersebut juga belum mampu

menuntaskan masalah-masalah perburuhan pada masa itu. Undang-undang darurat sering

mendapat kecaman dari para pihak, khususnya serikat pekerja/buruh karena dipandang

sebagai peraturan pengekangan terhadap hak mogok. Pihak yang hendak melakukan

tindakan terhadap pihak lainnya, harus memberitahukan maksudnya dengan surat kepada

panitia daerah. Tindakan mogok baru boleh dilakukan secepat-cepatnya tiga minggu

sesudah pemberitahuan tentang mogok diterima oleh panitia daerah. Pelanggaran

terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana. Adanya kecaman-kecaman inilah yang

mendorong dicabutnya Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan sebagai

39 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 104. 40 Sudjana, Op. Cit., hlm. 52. 41 Henry Simamora. Manajemen Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah,

2004), hlm. 563.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 15: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

penggantinya pada tanggal 8 April 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (LN. 1957 Nomor 42).42

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan pada tahap awal mensyaratkan perselisihan diselesaikan secara musyawarah

untuk mencapai mufakat yang dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih. Apabila

tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian

oleh para pihak, maka baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan. Badan tersebut juga dalam mencari penyelesaian harus tetap

berpedoman pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat serta harus pula memberi

kesempatan kepada para pihak yang berselisih sebelum mengambil keputusan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (e) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan, secara tegas untuk yang pertama kali dikenal sebutan pegawai

yang diberi tugas untuk memberikan perantaraan (Pasal 3 ayat (2)). Pegawai tersebut

adalah pegawai Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja

untuk memberikan perantaraan dalam perselisihan perburuhan. Dalam pelaksanaan

tugasnya, pegawai perantara dapat bertindak sebagai juru penengah, juru pendamai, atau

sebagai juru pemisah.

Pada saat ini, pengaturan mengenai perselisihan hubungan industrial diatur dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial.

Undang-Undang tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang jenis perselisihan yang

diantaranya adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan. Instansi/lembaga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

adalah dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi setempat yang memfasilitasi

terselenggaranya penyelesaian melalui mediasi. Selain itu pengadilan hubungan industrial

juga memiliki wewenang dalam memutuskan perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial, jenis-

jenis perselisihan hubungan industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan dan

42 Indonesia, Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, UU No. 22 Tahun 1957,

LN No. 42 Tahun 1957, TLN No. 1227.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 16: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

perselisihan pemutusan hubungan kerja. Adapun perselisihan hak adalah perselisihan

yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau

penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja sama.43 Contohnya dalam peraturan perusahaan,

perjanjian kerja bersama, dan perjanjian kerja terdapat kesepakatan yang tidak

dilaksanakan atau terdapat ketentuan normatif yang dilaksanakan tidak sesuai dengan

peraturan yang berlaku. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam

hubungan kerja akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau

perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.44 Contohnya adalah kenaikan upah, transpor,

uang makan, premi dana lain-lain. Perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu

perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lain hanya

dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,

pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.45

Adapun perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang

dilakukan oleh salah satu pihak.46 Contohnya: ketidaksepakatan mengenai alasan

pemutusan hubungan kerja dan perbedaan hitungan pesangon.

Pemutusan hubungan kerja merupakan suatu tindakan pengakhiran hubungan

kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, yang disebabkan oleh suatu hal tertentu,

dengan cara yang telah diatur dalam undang-undang. Pasal 151 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat

buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi

pemutusan hubungan kerja. Oleh sebab itu, pemutusan hubungan kerja seyogyanya

adalah upaya terakhir yang dilakukan oleh pengusaha karena suatu keadaan yang benar-

benar tidak bisa dihindarkan.

43 Halim, op. cit. hlm. 74. 44 Soedarjadi, op. cit. hlm. 83. 45 Simamora, Op.Cit. hlm. 166. 46 Sudjana, Op. Cit., hlm. 71.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 17: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Penyebab perselisihan pemutusan hubungan kerja ialah ada atau tanpa adanya

kesalahan para pihak, utamanya pihak pekerja/buruh. Pada umumnya, pekerja/buruh

dapat saja melakukan kesalahan, atau dengan kata lain melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan yang ada dan berlaku, berupa kaedah otonom47 atau kaedah heteronom48. Hal

tersebut dapat menjadi penyebab perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja.

Analisis Kasus Putusan No:196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST tentang Pemutusan

Hubungan Kerja Leila Gentjana dan Encep Ishaq oleh Rumah Sakit Husada

Kasus Posisi

Para pihak yang terdapat dalam kasus ini adalah penggugat dan tergugat.

Penggugat adalah Dr. P. Setyabudi Tjokro Widodo yang kapasitasnya sebagai Direktur

Utama Rumah Sakit Husada. Tergugat terdiri dari tergugat I dan tergugat II. Tergugat I

adalah Leila Gentjana, S.H., MKn. yang kapasitasnya sebagai Ketua Serikat Pekerja

Rumah Sakit Husada. Leila juga menjabat sebagai Kepala Bagian Unit Pelayanan

Lapangan (UPL). Tergugat II adalah Encep Ishaq yang kapasitasnya sebagai Sekretaris

Serikat Pekerja Rumah Sakit Husada. Encep Ishaq merupakan satuan pengaman (satpam)

Rumah Sakit Husada.

Secara garis besar, perselisihan yang terjadi antara Direksi Rumah Sakit Husada

dengan Serikat Pekerja Rumah Sakit Husada adalah perselisihan hak dan perselisihan

kepentingan. Perselisihan hak yang dimaksud meliputi: lembur yang tidak dibayar,

penggantian biaya perawatan kesehatan yang tidak dilakukan, subsidi konsumsi

pekerja/buruh yang tidak dibayarkan. Di sisi lain, perselisihan kepentingan yang terjadi

dalam kasus ini adalah terkait peningkatan tunjangan golongan, untuk golongan 1 sampai

dengan 6, yang oleh pekerja/buruh dirasa sudah tidak lagi memadai dengan kebutuhan

hidup saat ini.

47 Kaedah otonom adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh para pihak dalam hubungan kerja,

yaitu pengusaha dengan pekerja/buruh seperti perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama. Zainal Asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan Pengertian, Sifat dan Hakekat Hukum Perburuhan (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1993), hlm 35.

48 Kaedah heteronom adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan

perundang-undangan. Sudjana, Op. Cit., hlm. 168.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 18: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Terkait dengan perselisihan antara Direksi Rumah Sakit Husada dengan Serikat

Pekerja Rumah Sakit Husada tersebut, para tergugat selaku pengurus Serikat Pekerja

Rumah Sakit Husada sebenarnya sudah berupaya untuk membicarakan permasalahan

yang terjadi dengan pihak penggugat, namun selalu diacuhkan. Beberapa pekerja/buruh

mengadakan pertemuan guna mencapai kesepakatan, selalu diakhiri dengan keputusan

sepakat untuk tidak sepakat, lebih karena penggugat dirasa tidak sungguh-sungguh

menanggapi tuntutan pekerja/buruh.

Pekerja/buruh di golongan bawah semakin resah, bahkan serikat pekerja mulai

dianggap tidak dapat bekerja dengan semestinya untuk memperjuangkan aspirasi

anggota.

Analisis Putusan

Pembahasan pertama dalam bagian analisis ini adalah mengenai skorsing

terhadap pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja. Dalam putusan, pihak penggugat

meminta agar majelis hakim menyatakan skorsing tersebut sah. Adapun mengenai hal

tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa skorsing terhadap para tergugat serta

penangguhan pembayaran gaji sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap tidak dapat

diterima. Alasannya adalah bahwa tuntutan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu

untuk mengetahui kualitas hukum skorsing dan berkenaan dengan itu mereka akan

dipertimbangkan bersamaan di dalam pokok perkara. Berdasarkan perjanjian kerja

bersama, tindakan pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja dan menyampaikan mosi

tidak percaya terhadap direksi dikategorikan sebagai kesalahan berat yang dapat

mengakibatkan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja sesuai pada Pasal 66 Perjanjian

Kerja Bersama Rumah Sakit Husada. Dengan demikian, putusan majelis hakim yang

tidak menerima tuntutan provisi penggugat agar menyatakan skorsing terhadap para

tergugat sah dan mengikat serta menangguhkan pembayaran gaji sampai ada putusan

berkekuatan hukum tetap telah tepat. Hal ini sesuai dengan Pasal 155 ayat (2) dan (3)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan .

Berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama Rumah Sakit Husada, tindakan mogok

kerja memang termasuk kategori kesalahan berat sehingga selama proses pemutusan

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 19: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

hubungan kerja pengusaha dapat memberi tindakan skorsing. Permasalahannya adalah

penggugat membuat dalam 1 (satu) tuntutan sehingga majelis hakim tetap tidak

menerima tuntutan tersebut dikarenakan dalam perjanjian kerja bersama dan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha tetap memberi gaji selama skorsing

berlangsung. Oleh karenanya, skorsing berlangsung, pengusaha wajib membayar upah

beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja/buruh sehingga tuntutan

penggugat untuk menangguhkan gaji tergugat sampai adanya putusan berkekuatan

hukum tetap tidak dapat dibenarkan. Oleh sebab itu, tindakan penggugat yang melakukan

skorsing telah tepat namun yang tidak tepat dan tidak diterima oleh majelis hakim adalah

mengenai penangguhan gaji tergugat.

Pembahasan kedua dalam bagian analisis ini adalah mengenai mogok kerja yang

dilakukan oleh para tergugat. Dalam putusan, pihak penggugat meminta agar majelis

hakim menyatakan mogok kerja tersebut tidak sah. Adapun mengenai hak tersebut

majelis hakim berpendapat bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh para tergugat adalah

mogok kerja tidak sah dengan alasan bahwa mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai

dengan syarat mogok kerja yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Pertama, dari segi materi mogok, mogok kerja yang dilakukan dipandang tidak

menyangkut kesejahteraan pekerja/buruh melainkan menyangkut masalah mosi tidak

percaya terhadap direksi. Selain itu dari segi syarat dan prosedur mogok, mogok kerja

yang dilakukan para tergugat, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.

Berdasarkan Pasal 66 Perjanjian Kerja Bersama Rumah Sakit Husada terdapat

kekuatan yang relatif bersifat limitatif terhadap substansi mogok kerja, yaitu mogok kerja

tidak boleh membuat kerusuhan di lingkungan kerja, melakukan tindak pidana,

merencanakan, memprovokasi, menggerakan sehingga dapat menimbulkan

kerusuhan/sabotase di lingkungan kerja, memberikan dan/atau menyebarkan keterangan

palsu atau berita yang tidak benar sehingga merugikan rumah sakit, menghina dan

merusak citra Rumah Sakit Husada, mencemarkan nama baik rumah sakit, menyerang,

menganiaya, menghina, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau

pimpinan/atasan, dan membujuk teman sekerja atau pimpinan/atasan untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Adapun Pasal 140

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 20: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, syarat yang berkaitan

dengan prosedur mogok kerja meliputi syarat mogok kerja harus merupakan akibat

gagalnya perundingan, pemberitahuan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang

bertanggung jawab setempat sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari kerja sebelum

mogok, dan dilakukan dengan tertib dan damai.49 Syarat akibat gagalnya perundingan

berarti tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial

karena pengusaha menolak berunding walaupun serikat pekerja/buruh atau pekerja/buruh

telah memintanya secara tertulis kepada pengusaha sebanyak 2 kali dalam tenggang

waktu 14 hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami kebuntuan,

hal mana dinyatakan para pihak dalam risalah perundingan. Syarat kedua terkait

pemberitahuan sekurang-kurangnya harus memuat waktu (hari, tanggal, dan jam),

dimulai dan diakhirinya mogok kerja, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab

mogok kerja, serta tandatangan ketua serta sekretaris dan/atau masing-masing

ketua/serikat pekerja/buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

Dengan demikian, putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa mogok kerja

yang dilakukan oleh tergugat adalah mogok kerja yang tidak sah karena tidak sesuai

dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di

atas.

Pembahasan ketiga dalam bagian analisis ini adalah mengenai pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang telah melakukan mogok kerja secara tidak

sah. Dalam putusan, pihak penggugat meminta agar majelis hakim menyatakan

pemutusan hubungan kerja tersebut sah. Adapun mengenai hal tersebut majelis hakim

berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut sah dengan alasan mogok kerja

yang dilakukan oleh para tergugat tanpa sebab yang jelas sehingga telah mengakibatkan

gangguan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat. Alasan selanjutnya bahwa

tergugat telah mengkoordinir pekerja lainnya untuk ikut serta dalam mogok kerja yang

dilakukan tanpa alasan dan tanpa pemberitahuan yang sah dan patut sehingga tindakan

pemutusan hubungan kerja tersebut dapat dibenarkan.

49 Ibid, Ps. 140.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 21: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Tindakan para tergugat yang melakukan mogok kerja dengan cara membuat

kerusuhan di lingkungan kerja serta merencanakan, memprovokasi, dan menggerakan

sehingga dapat menimbulkan kerusuhan/sabotase di lingkungan kerja dikategorikan

sebagai kesalahan berat yang mengakibatkan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja.

Adapun berdasarkan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 akibat hukum

dari mogok kerja yang tidak sah ditetapkan akan diatur dengan keputusan menteri.50

Berdasarkan Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mogok kerja

yang tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir dan apabila dilakukan maka dianggap

mengundurkan diri.51

Dengan demikian pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh penggugat

didasarkan pada perjanjian kerja bersama dan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan di atas sehingga majelis hakim telah tepat dalam memutuskan pemutusan

hubungan kerja antara penggugat dan tergugat.

Pembahasan keempat dalam bagian analisis ini adalah mengenai paket pesangon

sesuai putusan hakim terhadap para tergugat. Dalam putusan, pihak penggugat meminta

agar majelis hakim menyatakan pemutusan hubungan kerja kepada para tergugat

dilakukan tanpa pemberian paket pesangon. Adapun mengenai hal tersebut majelis hakim

berpendapat bahwa gugatan penggugat tentang pemutusan hubungan kerja kepada para

tergugat tanpa paket pesangon tidak dapat diterima. Alasannya adalah mengingat

kesalahan para tergugat didasarkan pada faktor emosi serta masa pengabdian mereka

sebetulnya sudah cukup lama, maka majelis hakim menyatakan bahwa putusnya

hubungan kerja tergugat I, yakni Leila Gentjana harus disertai paket pesangon sejumlah

Rp192.873.672,00 dengan perhitungan uang pesangon 1 X 79 X Rp7.183.377 = Rp

64.650.393,00, uang penghargaan masa kerja 10 X Rp7.183.377,00 = Rp 71.833.770,00,

uang penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan 15% X Rp136.484.163,00 =

Rp20.472.624,00, dan upah proses 5 X Rp7.183.377 = Rp35.196.885,00. Paket pesangon

tergugat II yakni Encep Ishaq sejumlah Rp48.151.381,00 dengan perhitungan uang

pesangon 1 X 79 X Rp2.282.056,00 = Rp20.538.504,00, uang penghargaan masa kerja 5

50 Ibid, Ps. 142. 51 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, Op. Cit., Ps. 7.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 22: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

X Rp2.282.056 = Rp11.410.280,00, uang penggantian perumahan, pengobatan, dan

perawatan 15% X Rp31.948.784,00 = Rp4.792.317,00, upah proses 5 X Rp2.282.056,00

= Rp11.410.280,00.

Dapat disimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut dapat dilakukan

tanpa pesangon. Alasannya adalah karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat.

Namun demikian, apabila pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya melalui

mekanisme kesalahan berat maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 maka kesalahan berat tersebut harus

diputuskan terlebih dahulu dalam peradilan pidana, memperoleh kekuatan hukum tetap,

baru kemudian proses pemutusan hubungan kerjanya diajukan ke pengadilan hubungan

industrial.

Selanjutnya apabila digunakan mekanisme mangkir yang dikualifikasikan sebagai

mengundurkan diri maka seyogyanya paket pesangon yang diterima adalah berdasarkan

Pasal 168 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan paket

pesangonnya sesuai dengan pasal 156 ayat (4) .

Dengan demikian, putusan majelis hakim bahwa penggugat berkewajiban

memberikan paket pesangon adalah putusan yang tepat karena berdasarkan mekanisme

pemutusan hubungan kerja yang dipilih serta peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai hal tersebut sebagaimana diuraikan di atas. Hanya saja dalam hal

besarnya nominal paket pesangon, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal lain di luar

standar peraturan perundang-undangan sehingga perhitungan lebih besar dari pada yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 23: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Penutup

Simpulan

Pengaturan tentang mogok kerja sudah cukup komprehensif. Hal ini disebabkan

elaborasi peraturan-peraturan di tingkat internasional yang umumnya memfasilitasi

mogok kerja sebagai hak asasi pekerja/buruh dengan peraturan-peraturan di tingkat

nasional yang bersifat lebih lokal, sesuai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dan juga

lebih teknis guna keperluan kemudahan pelaksanaannya di lapangan serta perlindungan

pihak-pihak lain dalam rangka ketertiban umum.

Pelaksanaan mogok kerja perlu memenuhi peraturan perundang-undangan yang

berlaku, disamping juga memperhatikan peraturan perusahaan terkait kategorisasi

kesalahan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh guna menghindari terjadinya akibat

berupa pemutusan hubungan kerja. Penyebab perselisihan pemutusan hubungan kerja

dalam kasus ini, kepentingan mogok kerja sebagai salah 1 (satu) tahap yang mungkin

terjadi dalam upaya mencapai kesepakatan ternyata justru mengakibatkan timbulnya

perselisihan jenis baru yaitu perselisihan pemutusan hubungan kerja karena tidak

memperhatikan ketentuan internal dalam perjanjian kerja bersama perusahaan serta syarat

dan prosedur mogok kerja.

Saran

Sosialisasi peraturan-peraturan ketenagakerjaan terkait mogok kerja serta

peraturan yang berhubungan dengan bentuk-bentuk penyaluran aspirasi dalam mogok

kerja seperti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan

Pendapat kepada pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh agar dalam pelaksanaan

hak-hak pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Agar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh senantiasa memenuhi

seluruh kriteria dan tahap yang dipersyaratkan dalam peraturan mogok kerja agar

kegiatan tersebut tidak justru menimbulkan dampak negatif berupa pemutusan hubungan

kerja terhadap pekerja/buruh karena pemutusan hubungan kerja sebagai akibat mogok

kerja yang tidak sah kerap dapat dibuktikan sebagai mangkir yang dikualifikasikan

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 24: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

sebagai mengundurkan diri dimana paket pesangonnya cukup minim/tidak besar, yaitu

mencakup uang penggantian hak saja.

Daftar Pustaka Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Medan: USU Press, 2010. Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta: Jakarta, 2004. Asikin, Zainal. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan Pengertian, Sifat dan Hakekat Hukum

Perburuhan . Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1993. Budiono, Rachmad Abdul. Pengantar Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika, 1999. Daumas, François. Ägyptische Kultur im Zeitalter der Pharaonen. Munich: Knaur

Verlag, 1969. Djumadi, Perjanjian Kerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Djumialdi, Fx dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila. Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Fathoni, Hamzah. Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Hadjon, Philipus. Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Surabaya: Fak. Hukum

UNAIR, 1994. Halim, A. Ridwan. Sari Hukum Perburuhan Aktual. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. Kartasapoetra, AG. Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila. Jakarta:

Sinar Grafika, 1993. Lingga, Gita F. Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: ILO, 2011 Manulang, Sedjun. Pokok-Pokok Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,

1987. Nasution, Bahder Johan. Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja.

Bandung: Mandar Maju, 2004.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013

Page 25: MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Prints, Darwin. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya). Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Rajagukguk, HP. Penggunaan Hak Mogok dan Lock Pout di Perusahaan Swasta. Jakarta:

Sinar Grafika, 1990. Sandra, Sejarah Pergerakan Perburuhan Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat, 2008. Saru, Maha Rijd, Hukum Perburuhan. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Sastrohadiwiryo, Siswanto. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan

Administratif dan Operasional. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan

Sekolah, 2004. Soejono, Wiwoho. Perjanjian Perburuhan dan Hubungannya dengan Perburuhan

Pancasila. Jakarta: Melpon Putra, 1991. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2005. Sudjana, Eggy. Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia. Jakarta: Reinaisan, 2005. Sulistyo, Bambang. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. Jakarta: Tiara Wacana,

1995. Sunindia, Manajemen Tenaga Kerja. Jakarta: Bina Aksara, 2005. Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta; Sinar Grafika, 2009. Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007. Tjandra, Surya. Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum Perburuhan. Jakarta: TURC,

2006. Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga, 1998. Toha, Halili. Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Tunggul, Hadi Setia. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta:

Harvavindo, 2009.

Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013