Moendi Poernomo

17
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 PERT ANGGUNGJA WABAN KERUGIAN NUKLIR ISSN 1693 - 7902 Moendi Poernomo Direktorat Peraturan Keselamatan Nuklir (DPKN) - BAPETEN ABSTRAK PERT ANGGUNGJA WABAN KERUGIAN . NUKLIR. Menurut perkiraan Pemerintah saat ini PLTN pertama akan beroperasi pada tahun 2015. Kalau benar demikian banyak hal yang harus dipenuhi. UU No. 10 tahun 1997 sudah memuat ketentuan tentang Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir. Yang dimaksud kerugian di sini adalah kerugian sebagai akibat proses kekritisan nuklir, bukan kerugian sebagai pemanfaatan radiasi biasa. Konvensi internasional ten tang pertanggungjawaban nuklir, dikelompokan dalam tingkat dunia dan regional. UU Ketenaganukliran memuat prinsip- prinsip yang terdapat dalam konvensi itu dengan modifikasi. Prinsip pertanggungjawaban kerugian nuklir adalah: tanggung jawab mutlak, penyaluran tanggung jawab kepada pengusaha instalasi nuklir, pembebasan tanggung jawab, pembatasan tanggung jawab dalam jumlah dan waktu, dan jaminan tanggung jawab, dan yurisdiksi. Selain memenuhi persyaratan keselamatan, sebelum suatu PLTN diizinkan beroperasi, maka Pengusaha Instalasi Nuklir juga harns mempunyai jaminan keuangan untuk memberikan ganti kerugian seandainya nanti terjadi kecelakaan nuklir. Dalam makalah ini dibahas prinsip-prinsip pertanggungjawaban atas kerugian nuklir, dan implementasinya dalam UU Ketenaganukliran. Kata kunci : Kerugian nuklir, Undang-undang ketenaganukliran. ABSTRACT LIABILITY FOR NUCLEAR DAMAGE. There is an estimation that Indonesia will have its first NPP in 2015. If it is so many things have to be met. Act No. 10 of 1997 on Nuclear Energy has stipulated provisions on Liability for Nuclear Damage. Nuclear damage means damage as a result of nuclear criticality process. The international nuclear liability conventions have been concluded, at the worldwide level, and at the regional level.. Nuclear Energy Act transforms the principles of nuclear liability in the convention with modifications. Priciples of nuclear libility are strict liability, channeling of liability on to the operator, exoneration from liability, limitation of liability in amount and in time, liability coverage, and jurisdiction Besides, safety requirement is met, the operator of the nuclear installatiOn is required to provide financial security covering its liability for nuclear damage. Principles of liability for nuclear damage and its implementation in the Nuclear Energy Act will be presented. Keywords: Nuclear damage, Nuclear energy act. 33

Transcript of Moendi Poernomo

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003

PERT ANGGUNGJA WABAN KERUGIAN NUKLIR

ISSN 1693 - 7902

Moendi Poernomo

Direktorat Peraturan Keselamatan Nuklir (DPKN) - BAPETEN

ABSTRAK

PERT ANGGUNGJA WABAN KERUGIAN . NUKLIR. Menurut perkiraanPemerintah saat ini PLTN pertama akan beroperasi pada tahun 2015. Kalau benardemikian banyak hal yang harus dipenuhi. UU No. 10 tahun 1997 sudah memuatketentuan tentang Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir. Yang dimaksud kerugian disini adalah kerugian sebagai akibat proses kekritisan nuklir, bukan kerugian sebagaipemanfaatan radiasi biasa. Konvensi internasional ten tang pertanggungjawaban nuklir,dikelompokan dalam tingkat dunia dan regional. UU Ketenaganukliran memuat prinsip­prinsip yang terdapat dalam konvensi itu dengan modifikasi. Prinsippertanggungjawaban kerugian nuklir adalah: tanggung jawab mutlak, penyalurantanggung jawab kepada pengusaha instalasi nuklir, pembebasan tanggung jawab,pembatasan tanggung jawab dalam jumlah dan waktu, dan jaminan tanggung jawab,dan yurisdiksi. Selain memenuhi persyaratan keselamatan, sebelum suatu PLTNdiizinkan beroperasi, maka Pengusaha Instalasi Nuklir juga harns mempunyai jaminankeuangan untuk memberikan ganti kerugian seandainya nanti terjadi kecelakaan nuklir.Dalam makalah ini dibahas prinsip-prinsip pertanggungjawaban atas kerugian nuklir,dan implementasinya dalam UU Ketenaganukliran.Kata kunci : Kerugian nuklir, Undang-undang ketenaganukliran.

ABSTRACTLIABILITY FOR NUCLEAR DAMAGE. There is an estimation that Indonesia will

have its first NPP in 2015. If it is so many things have to be met. Act No. 10 of 1997 onNuclear Energy has stipulated provisions on Liability for Nuclear Damage. Nucleardamage means damage as a result of nuclear criticality process. The internationalnuclear liability conventions have been concluded, at the worldwide level, and at theregional level.. Nuclear Energy Act transforms the principles of nuclear liability in theconvention with modifications. Priciples of nuclear libility are strict liability, channelingof liability on to the operator, exoneration from liability, limitation of liability in amountand in time, liability coverage, and jurisdiction Besides, safety requirement is met, theoperator of the nuclear installatiOn is required to provide financial security covering itsliability for nuclear damage. Principles of liability for nuclear damage and itsimplementation in the Nuclear Energy Act will be presented.Keywords: Nuclear damage, Nuclear energy act.

33

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003

PENDAHULUAN

ISSN 1693 - 7902

Dengan terbitnya Undang-undang No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Indonesia(l) sudah mulai dengan mempersiapkan pemanfaatan tenaga nuklir untuk

berbagai keperluan termasuk keperluan pembangkitan tenaga listrik. Dengan undang­

undang itu telah ditetapkan beberapa petunjuk yang hams digunakan dalam

pemanfaatan tenaga nuklir selanjutnya.

Pertama-tama tentang adanya pemisahan antara lembaga yang bertujuan

melaksanakan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir dengan lembaga yang

mempromosikan. Petunjuk itu dilaksanakan dengan menerbitkan Keputusan Presiden

yang membentuk kedua lembaga itu. Berturut-turut Keputusan Presiden No.76 tahun

1998 yang membentuk Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan Keputusan

Presiden No.197 tahun 1998 yang membentuk Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BAT AN). Keduanya merupakan dua Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)

dari sekian banyak LPND yang ada di Indonesia. Semua Keputusan Presiden yang

membentuk LPND itu kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden

No.166 tahun 2000. Setelah beberapa kali ditambah dan diubah akhirnya Keptusan

Presiden itu dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2001 yang

memuat susunan organisasi, tugas dan fungsi tiap LPND yang ada. Semua LPND ini

bertanggung jawab langsung kepada Presiden, namun dikoordinasikan oleh Menteri

yang bersangkutan. Dalam hal BAPETEN dan BATAN keduanya dikoordinasikan oleh

Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Pemisahan antara kedua lembaga yang mengawasi pemanfaatan tenaga nuklir dan

memromosikan ini dilakukan untuk menjamin bahwa pengawasan akan dilakukan

secara obyektif atau tidak memihak. Adanya kedua tugas berbeda itu sudah sesuai

dengan persyaratan internasional sebagaimana terdapat dalam Nuclear Safety

Convention yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Kedua, disebutkan bagaimana pengawasan itu dilakukan (yaitu melalui peraturan,

perizinan dan inspeksi), apa tujuan dari pengawasan itu (ada 6 hal), pungutan perizinan

sebagai bentuk penerimaan negara bukan pajak dalam pemanfaatan tenaga nuklir,

perizinan bagi petugas yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir, inspeksi dan

kewajiban bagi Badan Pengawas untuk melakukan pembinaan berupa bimbingan dan

34

Seminar Tahanan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan dan kesehatan

pekerja, anggota masyarakat, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Ketiga, diberikan petunjuk agar dibuat peraturan keselamatan kerja dan perizinan

dalam pemanfaatan tenaga nuklir, serta pengelolaan limbah radioaktif. Secara khusus

ditekankan bahwa pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir

lainnya harus dilakukan dengan izin dari BAPETEN sebagai Badan Pengawas ..

Keempat, diberikan ketentuan tentang pertanggungjawaban dalam hal terjadi

kecelakaan nuklir.

PENGATURAN TERSENDIRI

Tenaga nuklir dalam undang-undang diartikan sebagai tenaga dalam bentuk

apapun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga dalam bentuk

radiasi pengion (Pasall.butir 2 UU No. 10 tahun 1997). Tenaga nuklir sangat banyak

manfaatnya, namun bisa merusak bila salah penanganan atau terjadi kecelakaan nuklir.

Oleh karena itu perlu pengaturan tersendiri.

Untuk pemanfaatan tenaga nuklir yang merusak, misalnya untuk pembuatan

senjata nuklir, secara tegas Indonesia sudah mengikatkan diri untuk tidak membuat.

Indonesia telah meratifikasi Non Proliferation Treaty (NPT) dengan Undang-undang

No.8 tahun 1978, yang diikuti dengan Bilateral Safeguards Agreement antara Indonesia

- IAEA yang menciptakan suatu wujud pengawasan oleh IAEA yang cukup luas yang

biasa disebut comprehensive safeguards, bahkan sudah dilengkapi dengan Additional

Protocol yang memberikan kewenangan lebih luas lagi kepada IAEA. Dengan

instrumen hukum yang terakhir itu sudah lengkaplah itikad baik Indonesia dalam kerja

sarna intemasional untuk pengembangan pemanfaatan tenaga nuklir bahwa tidak lain

daripada hanya untuk maksud damai.

Selain pemanfaatan radiasi pengion di bidang kesehatan, industri, riset, bahkan

perdagangan sudah banyak dilakukan di Indonesia. Perkiraan atau studi yang belum

menjadi kenyataan adalah masuknya tenaga nuklir sebagai pembangkit listrik tenaga

nuklir atau PLTN dalam penyediaan tenaga listrik di Indonesia, sehingga pembangkitan

listrik tidak hanya berasal dari minyak, air, batu bara, panas bumi, dan lain-lain.

35

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

Salah satu petunjuk yang sudah ditetapkan Undang-undang adalah perlunya

pertanggungjawaban dalam hal terjadi kecelakaan nuklir. Sistem ini berlaku secara

intemasional.

Kecelakaan PLTN Three Mile Island 1979 dan Chernobyl 1986 menguatkan

perkiraan teoritis sebelumnya bahwa kecelakaan nuklir dapat mengakibatkan kerugian

yang sangat besar. Akibat yang merugikan itu tidak berhenti di negara yang

bersangkutan, tetapi dapat meluas sampai melampaui batas wilayah negara yang

mengalami kecelakaan tersebut. Kerugian dapat menimpa manusia, harta benda dan

lingkungan di berbagai negara.

Kerugian yang diakibatkan oleh radiasi pengion terhadap sel makhluk hidup,

khususnya sel tubuh manusia mungkin tidak dapat segera dikenali, kemungkinan

bersifat laten untuk jangka panjang. Oleh karena dosis radiasi yang diterima sel

makhluk hidup itu mempunyai efek kumulatif, maka ada kemungkinan kerugian itu

disebabkan oleh sumber radiasi yang lain. Dalam banyak hal tidak ada sakit akibat

radiasi yang khas sifatnya. Kanker dapat timbul sebagai akibat dari kecelakaan radiasi,

tetapi dapatjuga timbul sebagai akibat dari, misalnya, merokok (2).

Sekalipun sudah diterapkan standar keselamatan yang tinggi, kemungkinan

terjadinya kecelakaan nuklir tidak dapat sepenuhnya diabaikan. Oleh karena itu

peraturan tentang pertanggungjawaban (liability) kerugian kalau terjadi kecelakaan

nuklir perlu ada. Oleh karena itu dalam UU ketenaganukliran diberikan satu Bab

tersendiri yang mengatur pertanggungjawaban terhadap kerugian dalam hal terjadi

kecelakaan nuklir. Perlu ditegaskan bahwa kerugian yang dimaksud di sini adalah

kerugian sebagai akibat proses kekritisan nuklir, dan bukan kerugian seba~ai akibat

pemanfaatan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya dalam bidang ilmiah, kesehatan,

industri, komersial atau lainnya, karena risiko terse but tidak sebanding dengan kerugian

sebagai akibat kecelakaan nuklir. Pertanggungjawaban terhadap kerugian sebagai akibat

pemanfaatan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya (misalnya dari pesawat sinar-X)

digunakan ketentuan mengenai perbuatan melanggar hukum biasa.

Pada umurnnya negara yang memanfaatkan teknologi nuklir berkesimpulan

bahwa aturan yang terdapat dalam ketentuan tentang perbuatan melanggar hukum (tort

law) tidak merupakan instrumen yang tepat untuk diterapkan terhadap risiko nuklir yang

spesifik sifatnya.

36

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

KONVENSI INTERNASIONAL PERT ANGGUNGJA WABAN NUKLIR

Kalau diinventarisasi, dari berbagai konvensi intemasional pertanggungjawaban

nuklir (International nuclear liability conventions) yang mengatur masalah ini maka

dapat dikelompokan dalam: konvensi tingkat dunia (worldwide level), artinya terbuka

bagi semua negara, dan ada konvensi tingkat regional (regional level) yaitu di antara

negara-negara GECD (negara lain boleh ikut kalau disetujui oleh semua pesertai2).

Termasuk dalam kategori pertama adalah :

1. The 1963 Vienna Convention on Liability for Nuclear Damage (the Vienna

Convention), direvisi pada tahun 1997.

V ienna Convention 1963 sudah berlaku dan sampai saat ini sudah diikuti

oleh 32 negara, sedangkan revisinya (Protocol to Amend The Vienna

Convention on Civil Liability for Nuclear Damage) belum berlaku.

2. The 1997 Convention on Supplementary Compensation on Nuclear Damage,

belum berlaku.

Konvensi ini didasarkan pada Konvensi Wina dan Konvensi Paris (lihat di

bawah), bermaksud memberikan tambahan kompensasi yang diambil dari dana

intemasional (international public fund) yang berasal dari kontribusi masing­

masing peserta konvensi, sesuai dengan daya reaktor yang dimiliki negara

peserta tersebut.

3. The 1988 Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention

and the Paris Convention. Protokol ini sudah berlaku dan sampai sekarang

sudah diikuti oleh 24 negara.

Protokol ini bermaksud menjembatani Konvensi Wina dan Konvensi Paris

dengan maksud agar manfaat yang diperoleh dari salah satu konvensi dapat juga

dimanfaatkan oleh peserta konvensi yang lain.

Sedangkan yang termasuk dalam kategori kedua adalah :

1. The 1960 Paris Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear

Energy (the Paris Convention). Konvensi ini sudah berlaku dan diikuti oleh

15 negara Eropa. Direvisi beberapa kali, tahun 1964, 1982 dan 2003.

2. The 1963 Brussels Supplementary Convention to the Paris Convention.

Konvensi ini sudah berlaku, diikuti oleh 13 negara Eropa. Direvisi beberapa

kali, tahun 1964, 1982 dan 2003. Konvensi ini bermaksud menambah besamya

37

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir· Jakarta, II Oesember 2003 ISSN 1693 - 7902

batas kompensasi dari dana nasional dan internasional (national and

international public fund), yaitu apabila kompensasi atas dasar Konvensi Paris

tidak mencukupi untuk membayar semua kerugian.

Konvensi Wina dan Konvensi Paris menciptakan peraturan lengkap .~an pada

hakekatnya sarna untuk pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian nuklir (3,4).

Sebagai suatu upaya hukum yang patut prinsip dan substansi konvensi internasional

pada saat ini sudah diterima secara internasional dalam menghadapi kerugian nuklir.

Pembentuk undang-undang suatu negara diharapkan menyesuaikan dengan perundang­

undangan nasionalnya dengan konvensi terse but. Dalam kasus seperti itu, sebenarnya

ada dua pilihan. Pertarna: isi konvensi itu diarnbil alih sepenuhnya, ke dalam

perundang-undang nasionalnya tentunya dalarn bahasa setempat, atau kedua:

melaksanakan konvensi itu secara langsung, artinya menyatakan konvensi itu berlaku

untuk negara tersebut. UU No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mengambil

pilihan yang pertama dengan beberapa modifikasi, khususnya yang menyangkut

besarnya batas tanggung jawab dalam jumlah yang hanya Rp. 900 milyar, walaupun

tidak ikut satupun pada konvensi itu.

PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN NUKLIR

Definisi Istilah

Dalarn melaksanakan pertanggungjawaban dalam menghadapi kerugian nuklir,

maka ada beberapa istilah penting yang perlu diketahui. Istilah yang dipandang penting

tersebut adalah : pengertian "instalasi nuklir" dan "kecelakaan nuklir"~

Definisi kedua istilah itu telah mengalarni perubahan beberapa kali. Istilah

instalasi nuklir dalarn Protocol 1997 (2) yang mengubah Konvensi Wina 1963, diubah

menjadi sebagai :,\

i. any nuclear reactor other than one with which a means of sea or air

transport is equipped for use as a source of power, whether for propulsion

thereof or for any other purpose;

ii. any factory using nuclear fuel for the production of nuclear material, or any

factory for the processing of nuclear material, including any factory for the

reprocessing of irradiated nuclear fuel; and

38

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

iii. any facility where nuclear material is stored, other than storage incidental to

the carriage of such material; and

iv. any such other installations in which there are nuclear fuel or radioactive

products or waste as the Board of Governors of the International Atomic

Energy Agency shall from time to time determine;

pr~vided that the Installation State may determine that several nuclear

installations of one operator which are located at the same site shall be considered as a

single nuclear installation.

Protokol hanya mengubah sedikit detinisi yang ditetapkan dalam Konvensi Wina

yaitu a tambahan butir iv. Undang-undang Ketenaganukliran, walaupun mengacu pada

Konvensi itu, telah mendetinisikan pengertian instalasi nuklir lebih sederhana, yaitu:

a. reaktor nuklir;

b. fasilitas yang digunakan untuk pemumian, konversi, pengayaan bahan nuklir,

fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir

bekas; dan/atau;

c. fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan

bakar nuklir bekas"

Istilah kecelakaan nuklir (nuclear incident), dalam Konvensi Wina yang direvisi

tahun 1997 (5) didetinisikan sebagai : "any occurrence or series of occurrences having

the same origin which causes nuclear damage or, but only with respect to preventive

measures, create a grave and imminent threat of causing such damage" (Article 2 (3)).

Semula, dalam Konvensi Wina 1963(6\ pengertian nuclear incident itu diartikan hanya

any occurrence or series of occurrences having the same origin, which causes nuclear

damage, tidak ada tambahan anak kalimat sebagaimana disaksikan di atas (or, but only

with respect to preventive measures, create a great and imminent threat of causing such

damage). Pengalaman kecelakaan reaktor di Three Mile Island dan Chernobyl,

nampaknya telah memperluas pengertian kecelakaan nuklir.

Undang-undang Ketenaganukliran telah mendetinisikan kecelakaan nuklir lebih

sederhana, sebagai "kejadian atau rangkaian kejadian, yang menimbulkan kerugian

nuklir" (Pasal 1 butir 15), mirip dengan detinisi tersebut dalam Konvensi Wina 1963.

Oleh karena "kejadian" dalam pengertian kecelakaan itu menimbulkan kerugian

nuklir, maka penting sekali untuk diketahui apa yang dimaksud dengan kerugian nuklir

39

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

itu. Sudah barang tentu pengertian "kerugian" dalam hukum perdata tentang perbuatan

melanggar hukum sudah banyak diketahui, mungkin lebih luas atau lebih sempit

daripada pengertian kerugian nuklir dalam perundang-undangan ketenaganukliran.

Disamping itu perlu disebut pula istilah "kerugian nuklir". Pengertian kerugian

nuklir yang digunakan dalam Konvensi Wina 1963 telah diperluas dengan' Protokol

1997 yang merevisi Konvensi Wina terse but (5). Kerugian nuklir (nuclear damage)

telah diartikan sebagai :

1. "loss of life or personal injury;

11. loss of or damage to property;

and each of the following to the extent determined by the law of the competent

court;

iii. economic loss arising from loss or damage referred to in subparagraph ( i)

or (ii), insofar as not included in those subparagraphs, if incurred by a

person entitled to claim in respect of such loss or damage;

iv. the costs of measures of reinstatement of impaired environment, unless such

impairment is insignificant, if such measures are actually taken or to be

taken, and insofar as not included in subparagraph (ii);

v. loss of income deriving from an economic interest in any use or enjoyment of

environment, incurred as a result of a significant impairment of that

environment, and insofar as not included in subparagraph (ii),'

vi. the costs of preventive measures, and further loss or damage caused by such

measures;

vii. any other economic loss, other than any caused by the impairment of the

environment, if permitted by general law on civil liability of the competent

court,

in the case of subparagraph (i) to (vii) above, to the extent that the loss orr'

damage arises out of or results from ionizing radiation emitted by any source of

radiation inside a nuclear installation, or emitted from nuclear fuel or radioactive

products or waste in, or of nuclear material coming from, originating in, or sent to, a

nuclear installation, whether so arising from the radioactive property of such matter, or

from a combination of radioactive properties with toxic, explosive or other hazardous

properties of such matter".

40

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

Pengertian kerugian nuklir sebagaimana terdapat dalam UU Ketenaganukliran

adalah "setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan

harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi

atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya

lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau selama

pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat tindakan preventif dan kerugian

sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan lingkungan hidup" (Pasal 1 butir 16)

Definisi dalam Undang-undang ini sebegitu jauh sudah memasukan kerugian sebagai

akibat tindakan preventif (the costs of preventive measures) dan kerugian sebagai akibat

atau tindakan untuk pemulihan lingkungan hidup (the costs of measures of

reinstatement of impaired environment), namun tidak dikualifikasi dengan anak

kalimat unless such impairment is insignificant, if such measures are actually taken or

to be taken, and insofar as not included in sub paragraph (ii), yaitu mengenai the scope

of loss of or damage to property. Memang tanpa anak kalimat itu kemungkinan dapat

disalahgunakan oleh sementara orang yang ingin memanfaatkan situasi kecelakaan itu.

Dengan demikian pengertian kerugian nuklir sejak tahun 1997 sudah diperluas

secara lnternasional, namun konvensi yang memperluas pengertian itu sampai sekarang

belum berlaku. Sebelumnya pengertian kerugian nuklir masih terbatas pada yang pokok,

yaitu: "loss of life, any personal injury or any loss of or damage to, property which

arises out of or result from the radioactive properties etc " (Art.! par. I. k Vienna

Convention). Kerugian yang lain itu dapat masuk sepanjang dimungkinkan oleh hukum

. dari pengadilan yang berwenang (the law of the competent court)

Penting untuk diketahui bahwa untuk mendapatkan ganti rugi, harus terdapat

hubungan sebab akibat antara instalasi nuklir dan kejadian dan kerugian yang diderita.

Hubungan sebab akibat itu harus dibuktikan oleh mereka yang mengajukan tuntutan

ganti rugi. Bagaimana cara menentukan hubungan sebab akibat itu terserah pada hukum

pengadilan yang berwenang. Pada umumnya Negara-negara menganut teori adekuat,

artinya bahwa suatu sebab secara yuridis hanya dianggap relevan kalau sebab itu pada

umumnya akan mengakibatkan kerugian yang dimaksud.

41

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003

Tanggung Jawab Mutlak

ISSN 1693 - 7902

Pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab tanpa melihat adanya kesalahan

dipihaknya. Sistem ini disebut tanggung jawab mutlak (absolute liability), atau

tanggung jawab langsung (strict liability), atau tanggung jawab obyektif (objective

liability), artinya pihak yang menuntut kerugian tidak perlu membuktikan adanya

kesalahan atau kelalaian dipihaknya pengusaha instalasi nuklir. Adanya hubungan sebab

akibat menjadi dasar adanya tanggung jawab pengusaha instalasi. Tanggung jawab

langsung ini memudahkan korban untuk menuntut penggantian.

Tanggung Jawab Disalurkan Pada Pengusaha Instalasi Nuklir

Pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan orang lain.

Konsepsi ini menjadi ciri dari hukum pertanggungjawaban nuklir yang berbeda dengan

bidang hukum lain. Konsepsi ini ditegaskan dalam Expose des Motifs Konvensi Paris,

yang direvisi dan disetujui DECD Council 16 November 1982 (7), sebagai berikut:

"Two primary factors have motivated in favour of this channelling of all liability

onto the operator as distinct from the position under the ordinary law of torts. Firstly, it

is desirable to avoid difficult and lengthy questions of complicated legal cross actions to

establish in individual cases who is legally liable. Secondly, such channelling obviates

the necessity for all those who might be associated with the construction or operation of

a nuclear installation other than the operator himself to take out insurance also, and

thus allows a concentration of the insurance capacity available ".

Kiranya jelas dari kutipan di atas bahwa hanya pengusaha instalasi nuklir yang

bertanggung jawab, sedangkan mereka yang berkaitan dengan pembangunan dan

pengoperasian instalasi nuklir , seperti perusahaan yang mendapat kontrak membangun,

supplier dan lain-lain, akan terbebas dari tanggung jawab, sehingga tidak perlu harus

mencari asuransi sendiri untuk menutup tanggung jawabnya.

Pembebasan Tanggung Jawab

Walaupun menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak, namun pengusaha

instalasi nuklir masih ada kemungkinan dibebaskan dari tanggung jawab, yaitu dalam

hal kecelakaan nuklir itu terjadi karena peristiwa tertentu. Dapat disebutkan sebagai

contoh bencana alam, pertikaian atau konflik bersenjata, perang saudara.

42

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

UU Ketenaganukliran menyebut "Pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung

jawab terhadap kerugian nuklir yang disebabkan oleh keeelakaan nuklir yang terjadi

karena akibat langsung dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau non­

internasional atau bene ana alam dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas

raneangan keselamatan yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas" (Pasal 32 UU).

Pembatasan Tanggung Jawab

Sistem pertanggungjawaban nuklir ini seeara internasional membatasi tanggung

jawab pengusaha instalasi nuklir dalam jumlah (amount) dan waktu (time).

Pembatasan Dalam Jumlah

Konvensi internasional membolehkan suatu negara peserta konvensi untuk

membatasi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir sampai satu batas jumlah tertentu.

Tanpa ada pernyataan tegas maka pengusaha instalasi akan bertanggung jawab seeara

tak terbatas. Hanya beberapa negara saja di dunia ini yang menganut sistem tanggung

jawab tak terbatas, yaitu: Austria, Jerman, Jepang dan Swiss. Sedangkan negara-negara

lain menganut prinsip tanggung jawab terbatas, termasuk Indonesia. Batas jumlah

tanggung jawab menurut Konvensi Wina minimum $ 5 juta, setelah direvisi pada tahun

1997 batas itu diubah menjadi minimum 300 juta SDR dari IMF. Batas minimum yang

ditetapkan dalam Konvensi Paris yang direvisi adalah sebesar 700 juta Euro.

UU Ketenaganukliran menetapkan batas maksimum tanggung jawab sebesar

Rp. 900 milyar untuk setiap instalasi nuklir (Pasal 34 ayat 1). Tidak setiap instalasi

nuklir batasnya sarna Yang tertinggi untuk PLTN adalah Rp 900 milyar, sedangkan

untuk instalasi lainnya perlu ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 34 ayat 2).

Nanti sekiranya batas Rp 900 milyar ini dianggap terlalu rendah, masih ada klausula

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 34 ayat (4) bahwa dengan Peraturan Pemerintah

batas tanggung jawab ini dapat ditinjau kembali. Pada waktu UU dibahas di DPR pada

akhir tahun 1996 angka itu diperkirakan sudah eukup besar. Kalau dibandingkan dengan

batas minimum dalam konvensi Wina yang direvisi yaitu 300 juta SDR, atau sekitar Rp

2,4 trilyun, maka angka Rp 900 juta masih rendah.

Pembatasan tanggung jawab ini jelas menguntungkan pengusaha instalasi nuklir.

Sebaliknya tanggung jawab tak terbatas atau sangat tinggi akan menghambat investasi

di bidang nuklir sehingga tidak ada usaha ke arah kegiatan nuklir itu. Kalau pengusaha

43

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

instalasi nuklir dihadapkan pada beban keuangan yang sangat besar maka kemungkinan

pengusaha instalasi nuklir akan bangkrut. Masalah batas jumlah tanggung jawab ini

selalu merupakan masalah besar dalam perdebatan intemasional. Berapapun jumlah

yang ditetapkan umumnya bersifat arbitrary. Namun kalau sampai terjadi bene ana

nuklir yang sangat besar sehingga melebihi batas tanggung jawab, maka dalam hal ini

diharapkan Negara melakukan intervensi dengan memberikan tambahan kompensasi.

Dalam kerangka itulah maka ada Convention on Supplementary Compensation 1997

yang memberikan aturan tentang tambahan kompensasi yang berasal dari negara (public

fund) dalam hal jumlah kerugian melebihi batas tanggung jawab pengusaha instalasi.

Pembatasan Dalam Waktu

Dalam semua sistem hukum pada umumnya terdapat ketentuan tentang

kedaluwarsa atau lewat waktu. Kedaluwarsa ialah suatu sarana hukum untuk

memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan

lewatnya waktu tertentu (Pasal 1946 KUHPerdata). Jangka waktu itu umumnya adalah

30 tahun (Pasal 1967 KUHPerdata). Dalam bidang pertanggungjawaban terhadap

kerugian nuklir berlaku pula ketentuan semaeam itu. Tuntutan ganti rugi harus diajukan

dalam jangka waktu 30 tahun. Konvensi intemasional menetapkan batas waktu itu 30

tahun untuk kerugian terhadap perorangan (personal injury) atau meninggal dunia (loss

of life), karena anggapan adanya bahaya laten radiasi yang memakan waktu lama, dan

10 tahun dalam hal kerugian lainnya, karena kerugian lain itu dianggap sudah terbukti

dalamjangka waktu 10 tahun.

UU Ketenaganukliran menetapkan batas waktu 30 tahun sejak diterbitkannya

pemyataan adanya keeelakaan nuklir oleh Badan Pengawas (Pasal 39 ayat (l) jo Pasal

38), dengan tidak membedakan antara kerugian terhadap perorangan atau kerugian

lainnya. Apabila keeelakaan nuklir melibatkan bahan nuklir yang dieuri, hilang, atau

ditelantarkan, maka jangka waktu menuntut ganti rugi dihitung sejak saat terjadinya

kecelakaan nuklir dengan ketentuan jangka waktu itu tidak boleh melebihi 40 tahun

terhitung sejak bahan nuklir dieuri, hilang atau ditelantarkan (Pasal 39 ayat (2)). Namun

hak untuk menuntut kadaluwarsa dalam jangka waktu 3 tahun setelah penderita

mengetahui atau patut mengetahui kerugian nuklir yang diderita dan pengusaha instalasi

nuklir yang bertanggung jawab dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak boleh

44

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

rnelebihi jangka waktu yang disebut dalarn ayat (1) yaitu 30 tahun, dan ayat (2) yaitu

40 tahun (Pasal 39 ayat (3)).

Jaminan Tanggung Jawab

Konvensi intemasional rnenetapkan bahwa pengusaha instalasi nuklir hams

rnempunyai jarninan terhadap tanggung jawabnya, baik berupa asuransi rnaupun

jarninan keuangan lainnya. lurnlah tanggung jawabnya itu harus selalu dijarnin dengan

sejurnlah uang yang sarna. lnilah yang disebut dengan prinsip kesetaraan (congruence

principle), derni kepentingan korban rnaupun pengusaha instalasi nuklir. Artinya bagi

korban dijarnin bahwa tuntutannya akan dibayar, sedangkan bagi pengusaha instalasi

tersedia dana untuk rnernbayar kerugian itu.

Asuransi terhadap risiko nuklir ini berbeda dengan risiko lainnya. lurnlah instalasi

nuklir yang ada tidak banyak, sehingga jurnlah pengusaha instalasi nuklir yang

rnengasuransikan risiko nuklir ini juga tidak banyak, tetapi kalau ada yang

rnengasuransikan jurnlah pertanggungannya sangat besar. Oleh karena itu boleh

dikatakan tidak ada perusahaan asuransi tunggal yang rnenanggung risiko itu, biasanya

ditanggung oleh suatu insurance pool (rnisalnya: di AS, American Nuclear Insurer's

Pool) dan inipun rnasih diikuti dengan kontrak reasuransi. Dewasa ini secara

intemasional jurnlah pertanggungan sebesar Rp. 300 juta SDR per instalasi dan

kecelakaan. Apabila jurnlah asuransi tidak rnencukupi untuk rnernbayar kerugian rnaka

Negara lnstalasi harus rnenjarnin pernbayarannya dari dana negara apabila jurnlah

kerugian yang rnenjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir rnelebihi jurnlah

pertanggungan.

UU Ketenaganukliran rnewajibkan pengusaha instalasi nuklir rnernpertanggung­

jawabkan tanggung jawabnya sebesar Rp. 900 rnilyar rnelalui asuransi atau jaminan

keuangan lainnya (Pasal 35 ayat (1)). Apabila jurnlah pertanggungan berkurang karena

telah digunakan, pengusaha instalasi nuklir wajib rnernulihkan jurnlah pertanggungan

seperti sernula.

Ketentuan tentang pertanggungan ini tidak berlaku dalarn hal instalasi nuklir

dirniliki oleh instansi pernerintah yang bukan BUMN. Dalarn hal terjadi kecelakaan,

penggantian kerugian oleh instansi pernerinrah itu diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Presiden (Pasal 37). Seharusnya Keputusan Presiden ini sudah dipersiapkan

sebelurnnya.

45

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

Kalau PLTN dibangun di Indonesia, nampaknya tidak ada perusahaan asuransi

Indonesia yang sanggup untuk menjadi penanggung. Jadi harus dicari pool asuransi di

luar negeri yang sanggup menanggungnya. Kalau batas tanggung jawab masih Rp 900

milyar tentunya banyak perusahaan asuransi luar negeri yang sanggup menanggung. UU

juga tidak mengatur dalam hal kerugian melebihi batas tanggung jawab, tidak ada

komitmen bahwa negara akan menanggung kerugian di atas batas tanggung jawab

pengusaha instalasi nuklir, atau dalam hal pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung

jawab dalam hal kerugian terjadi karena peristiwa pertikaian, konflik bersenjata atau

bencana alam sebagaimana disebutkan dalam Pasal32.

Yurisdiksi

Mengenai masalah pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara, yaitu

dalam hal lokasi instalasi dan lokasi kerugian berbeda negara, konvensi internasional

menetapkan sebagai pedoman, pertama: hanya pengadilan tempat terjadinya kecelakaan

yang berwenang memeriksa tuntutan penggantian kerugian; kedua: tiap peserta

konvensi itu menjamin bahwa hanya satu pengadilan dari pengadilan-pengadilannya

yang berwenang memeriksa. Ketentuan ini dengan demikian menciptakan kepastian

hukum dan mencegah terjadinya penuntutan di luar negeri yang mungkin lebih

menguntungkan.

UU Ket~naganukliran (Pasal 40) menetapkan Pengadilan Negeri yang berwenang

memeriksa dan mengadili tuntutan ganti rugi adalah :

a. Pengadilan temp at terjadinya kecelakaan; atau

b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama

pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas di luar wilayah

negara Republik Indonesia.

PERTANGGUNGJA WABAN KERUGIAN NUKLIR SELAMA

PENGANGKUTAN

Selama pengangkutan bahan nuklir dapat terjadi kecelakaan sehingga

mengakibatkan kerugian nuklir. Pada prinsipnya tanggung jawab ada pada pengusaha

instalasi nuklir, bukan pengangkut. Tetapi pada pengusaha instalasi nuklir yang mana

(pengirim ataukah penerima). Prinsip yang diambil, yang bertanggung jawab adalah

pengusaha instalasi nuklir pengirim, karena dialah yang bertanggung jawab terhadap

46

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Desember 2003 ISSN 1693 - 7902

"

pengepakannya. Tanggung jawabnya berakhir apabila sudah ada pengusaha instalasi

nuklir lain yang menerima tanggung jawab. Hal ini perlu dinyatakan secara tegas dalam

kontrak antara keduanya. Hal ini dinyatakan dalam UU Ketenaganukliran Pasal29.

Dalam konvensi intemasional, diatur bagaimana sekiranya perdagangan bahan

nuklir itu terjadi antara negara yang mungkin menjadi peserta atau tidak menjadi

peserta konvensi. Dalam hal demikian maka diatur bahwa pengusaha instalasi pengirim

masih terus bertanggung jawab sampai bahan nuklir dibongkar dari alat angkutan yang

sudah sampai di wilayah negara pengusaha instalasi penerima yang tidak menjadi

peserta konvensi. Sebaliknya, dalam hal bahan nuklir dikirim dari pengusaha instalasi

nuklir yang negaranya tidak menjadi peserta konvensi, maka aturannya adalah bahwa

harus ditetapkan di mana tanggung jawab pengusaha instalasi penerima dimulai, yaitu

tempat di mana bahan nuklir itu dimuat, dan ini pun juga harus ada persetujuan tertulis

dari pengusaha instalasi penerima.

KERUGIAN AKIBAT RADIASI LAINNYA

Konvensi intemasional mengenai pertanggungjawaban terhadap kerugian nuklir

tidak meliputi pertanggungjawaban terhadap kerugian akibat radiasi lainnya yang

disebabkan oleh pemanfaatan zat radioaktif dalam bidang ilmiah, kesehatan, industri,

komersial dan lain-lain, term asuk pemanfaatan sinar-x. Pemanfaatan sumber radiasi

lainnya itu dianggap risikonya kecil tidak sebanding dengan risiko pengoperasian

instalasi nuklir. Aturan yang diciptakan dalam konvensi nuklir itu dimaksudkan hanya

untuk menangani risiko nuklir yang luar biasa sifatnya, sebagai akibat dari proses

kekritisan nuklir, Sedangkan untuk risiko yang tidak demikian, pada umurnnya

ditangani dengan aturan mengenai perbuatan melanggar hukum biasa atau jaminan

sosial tenaga kerja. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan UU Ketenaganukliran

(Penjelasan Umum UU).

Walaupun demikian, dalam praktek pemah terjadi kerugian yang sangat besar

sebagai akibat dari pemanfaatan zat radioaktif yang penanganannya tidak dilakukan

sebagaimana semestinya (kasus Goiana 1987 di Brazilia). Untuk itu kalau pemerintah

menginginkan dapat saja dibuat aturan yang akan mengatur kerugian sebagai akibat

pemanfaatan zat radioaktif atau sumber radiasi (misalnya sinar-x ).

47

Seminar Tahunan Pcngawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, 11 Dcscmbcr 2003

KESIMPULAN

ISSN 1693 - 7902

Sebegitu jauh UU Ketenaganukliran sudah memberikan peraturannya, dan

bagaimana penjabarannya seandainya rencana pembangunan PLTN akan diwujudkan.

Pada saat ini pihak Badan Pengawas sedang mempersiapkan PP pelaksanaan UU itu

yang menyangkut pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir. Berbagai seminar,

loka karya, survey dan studi dilakukan untuk membuktikan kelayakan eksistensi

pemanfaatan tenaga nuklir untuk pembangkitan listrik, pemayarakatan PLTN, dan

persiapan peraturan pengawasannya, supaya pengoperasian instalasi demikian itu arnan.

Kesediaan pengusaha instalasi nuklir menerima persyaratan tentang

pertanggungjawaban terhadap kerugian nuklir dan untuk itu harus menyediakan

perlindungan keuangan menjadi salah satu syarat diizinkannya suatu instalasi nuklir

atau PLTN dibangun dan dioperasikan.

DAFT AR PUST AKA

1. BADAN PENGA WAS TENAGA NUKLIR, Undang-undang No.10 tahun 1997

tentang Ketenaganukliran;

2. IAEA, Handbook on Nuclear Law, Vienna 2003;

3. IAEA, Nuclear Law for Developing World, Vienna 1969;

4. INTERNATIONAL NUCLEAR LAW ASSOCIATION, Nuclear Inter Jura 1999,

Biennial Congress, Proceedings, Washington D.C 24 - 29 October 1999;

5. IAEA, INFCIRC/566;

6. IAEA, INFCIRC/500;

7. OECD, Paris Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy,

Brussels Convention Supplementary to the Paris Convention, Paris 1989.

DISKUSI

Pertanyaan (Hendaryah Sutanto, DPKN - RAP ETEN)

1. Apakah pertanggungjawaban nuklir ini, hanya berlaku untuk instalasi nuklir?

2. Bagaimana dengan kejadian di luar instalasi nuklir, misalnya dalarn pemanfaatan

sumber radiasi untuk terapi dan lain-lain?

48

Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003

Jawaban (Moendi Poernomo, DPKN - BAP ETEN)

1. Pertanggungjawaban nuklir hanya berlaku untuk instalasi nuklir saja.

2. Di luar itu berlaku tanggungjawab perdata biasa (toyt law).

ISSN 1693 - 7902

Pertanyaan (Yanti Fristikawati, Fakultas Hukum - Universitas Atmajaya)

Bagaimana kaitan liability dan responsibility apakah tanggung jawab negara lebih dulu

baru diberikan ganti rugi (liability) atau sebaliknya?

Jawaban (Moendi Poernomo, DPKN - BAP ETEN)

Dalam norma konvensi mengenai nuclear liability istilah yang digunakan adalah

liability tidak digunakan istilah responsibility, dalam nuclear liability yang

bertangung jawab pertama-tama adalah pengusaha instalasi nuklir (operator), negara

baru bertanggung jawab secara perdata kalau perundang-undangan membutuhkan

seperti itu. Baru bertanggung jawab secara intemasional adalah 300 juta SDR, kalau

kerugiannya temyata lebih maka negara bertanggung jawab.

Undang-undang nomor 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran tidak mengatur siapa

yang menaggung kalau kerugiannya temyata melebihi Rp. 900 milyar.

Pertanyaan (Bagus A. - Poltekkes Semarang)

Bagaimana tentang ganti ruginya di pelayanan nuklir yang berenergi kedl (diagnostik

dan terapi) di rumah sakit yang disebabkan oleh kelalaian operator dan jika advokasi

yang belum berjalan?

Jawaban (Moendi Poernomo, DPKN - BAP ETEN)

Tanggung jawab didasarkan pada tuntutan tentang perbuatan melanggar hukum biasa,

artinya kalau pelaku/pemilik (rumah sakit misalnya) tidak bersedia mengganti rugi

maka tuntutan dapat dilakukan dengan menggunakan tuntutan dalam hukum perdata

tentang perbuatan melanggar hukum. Ini berarti penuntut harus membuktikan adanya

kesalahan pada pihak rumah sakit.

49