Modulasi nyeri sentral

11
Modulasi Nyeri Sentral Anthony Dickenson Nyeri menyediakan suatu model untuk mempelajari bagaimana sistem saraf pusat (SSP) berkerja terhadap masukan dari dunia luar dalam konteks suatu sistem dengan implikasi fungsional yang sangat besar untuk kesehatan dan penderitaan manusia. Plastisitas bersifat inheren dalam jalur sensoris dimana sistem saraf pusat dan perifer berubah dalam kondisi nyeri yang berbeda. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk meringkas target potensial pada tingkat pusat dalam hal modulasi nyeri dan terapi analgesik. Nyeri dapat bersifat akut, tetapi nyeri persisten dapat disebabkan oleh inflamasi dan kerusakan jaringan, prosedur operatif, trauma, dan penyakit seperti osteoartritis dan kanker. Selain itu, nyeri dari kerusakan nervus, nyeri neuropati, dapat dihasilkan oleh trauma, faktor viral, diabetes, dan tumor yang menyerang jaringan saraf. Mekanisme nyeri inflamasi dan neuropati sangat berbeda dari nyeri akut yang berasal dari perifer, dan perubahan bermakna terjadi pada sistem transmisi dan modulasi dalam kondisi nyeri berkepanjangan ini. Akhirnya, beberapa nyeri difusi, seperti yang dialami pada irritable bowel syndrome, dan fibromialgia, tidak memiliki proses patologik periferal yang jelas. Dalam kondisi ini, mekanisme sentral dapat mendorong kondisi nyeri. Sistem Eksitatori Spinal

description

modulasi nyeri

Transcript of Modulasi nyeri sentral

Page 1: Modulasi nyeri sentral

Modulasi Nyeri Sentral

Anthony Dickenson

Nyeri menyediakan suatu model untuk mempelajari bagaimana sistem saraf pusat (SSP)

berkerja terhadap masukan dari dunia luar dalam konteks suatu sistem dengan implikasi

fungsional yang sangat besar untuk kesehatan dan penderitaan manusia. Plastisitas bersifat

inheren dalam jalur sensoris dimana sistem saraf pusat dan perifer berubah dalam kondisi

nyeri yang berbeda. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk meringkas target potensial pada

tingkat pusat dalam hal modulasi nyeri dan terapi analgesik. Nyeri dapat bersifat akut,

tetapi nyeri persisten dapat disebabkan oleh inflamasi dan kerusakan jaringan, prosedur

operatif, trauma, dan penyakit seperti osteoartritis dan kanker. Selain itu, nyeri dari

kerusakan nervus, nyeri neuropati, dapat dihasilkan oleh trauma, faktor viral, diabetes, dan

tumor yang menyerang jaringan saraf. Mekanisme nyeri inflamasi dan neuropati sangat

berbeda dari nyeri akut yang berasal dari perifer, dan perubahan bermakna terjadi pada

sistem transmisi dan modulasi dalam kondisi nyeri berkepanjangan ini. Akhirnya,

beberapa nyeri difusi, seperti yang dialami pada irritable bowel syndrome, dan

fibromialgia, tidak memiliki proses patologik periferal yang jelas. Dalam kondisi ini,

mekanisme sentral dapat mendorong kondisi nyeri.

Sistem Eksitatori Spinal

Tibanya informasi sensoris dari nosireseptor pada kornu posterior dari korda spinalis

menambah kompleksitas yang dapat dipertimbangkan dalam mempelajari nyeri dan

analgesia karena kebanyakan dari reseptor yang ditemukan pada SSP juga terdapat pada

area dimana serat C berakhir. Densitas neuron dalam area ini setara atau melebihi yang

terlihat di tempat lain pada sistem saraf pusat, sehingga sindrom nyeri kompleks dapat

terjadi.

Ketika serat perifer memasuki korda spinalis, interaksi antara peptida dan asam

amino eksitatori menjadi penting untuk pengaturan kadar transmisi nyeri dari korda

spinalis ke otak dan melalui koneksi lokal ke motoneuron (gambar 4.1). Saluran kalsium

tipe L-, N-, dan P- yang bertanggungjawab untuk pelepasan transmiter tersebut secara

diferensial dan temporal diubah oleh nosisepsi neuropati dan inflamatorik (gambar 4.2).

Dalam hal terapi, ziconotide pemblok saluran tipe N- efektif, tetapi memiliki efek

sekunder bahkan dengan pemberian spinal karena peran dari saluran ini ada di mana-mana.

Page 2: Modulasi nyeri sentral

Saluran kalsium memiliki subunit terkait, dan subunit alfa2delta merupakan tempat kerja

gabapentin dan pregabalin. Obat-obat ini mencegah perpindahan dari subunit sehingga

saluran-saluran tersebut tidak berada dalam membran dan tidak dapat melepaskan

transmiter. Selain itu, kerja dari obat-obat tersebut yang diatur oleh sistem monoamin

desenden mungkin menghubungkan nyeri dengan gangguan mood dan gangguan tidur.1,2

Reseptor asam α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazolepropionik (AMPA) untuk

asam amino eksitatorik mengatur respon dasar dari neuron spinal dan aktif selama respon

noksius dan respon yang tidak berbahaya. Reseptor kainate pada terminal dan neuron juga

penting dalam pembentukan aktivitas neuronal. Pelepasan substansia P dan kerjanya pada

reseptor neurokinin-1 melepaskan blok magnesium (Mg++) dari reseptor N-metil-D-

aspartat (NMDA) dan memperbolehkan reseptor ini untuk beroperasi. Peptida lain juga

dapat berkontribusi. Aktivasi reseptor NMDA mendasari peningkatan sensitisasi dan

potensiasi jangka panjang, dimana respon dasar diperkuat dan diperpanjang meskipun

input perifer tetap sama. Peningkatan responsivitas dari neuron kornu posterior mungkin

merupakan dasar utama untuk hipersensitivitas sentral dimana neuron menunjukkan

peningkatan respon dan perluasan lapangan reseptif. Reseptor NMDA tidak berpartisipasi

dalam respon terhadap stimulus akut tetapi terlibat dalam nyeri neuropatik dan

inflamatorik yang persisten dimana sensitisasi periferal dan perubahan aktivitas kanal ion

mendukung peningkatan aktivitas. Di sini reseptor NMDA penting untuk keduanya baik

induksi maupun mempertahankan peningkatan kondisi nyeri.1,2 Sukarelawan dan penelitian

klinis yang mendukung ide yang datang dari penelitian dasar mengenai reseptor NMDA

muncul untuk mendasari hiperalgesia dan allodinia yang terlihat pada nyeri inflamatori,

postoperatif, dan neuropati. Ketamin secara efektif memblok reseptor NMDA tetapi

dengan efek samping kognitif dan efek samping lainnya, sehingga antagonis yang baru

sangat ditunggu.

Induksi dari gen tertentu dalam neuron spinal dapat menghasilkan kondisi eksitasi

yang berkepanjangan atau berkontribusi terhadap terjaganya kondisi tersebut. Banyak

kejadian intraseluler setelah dari reseptor yang kemudian berubah, dan gas nitrit oksida

berkontribusi untuk meningkatkan sensitisasi. Pembentukan prostanoid spinal juga terjadi

setelah stimulus noksius, dan ini dapat menjadi target untuk kerja sentral dari obat anti-

inflamasi non steroid (OAINS) dan inhibitor siklooksigenase-2 (COX-2).

Page 3: Modulasi nyeri sentral

Gambar 4.1 Ringkasan pengaturan transmiter aferen primer. (Dari Benzon H: Raj’s

praactical management of pain, 4th ed, St Louis, 2008, Mosby)

Gambar 4.2. Input aferen kecil mengaktifkan neuron orde kedua dan menyebabkan

peningkatan konsentrasi kalsium intraselular (Ca2+), yang memulai beberapa kaskade

intraselular. Pada kolom sebelah kiri, aktivasi fosfolipase A2 (PLA2) meningkatkan asam

arakidonik (AA) bebas. Ini menjadi substrat untuk siklooksigenasi (COX1 dan COX2),

yang menyebabkan pelepasan prostaglandin (PG). Substansi-substansi ini bekerja pada

Page 4: Modulasi nyeri sentral

reseptor prostanoid eponimus yang terletak presinaps pada terminal aferen primer dan

postsinaps pada orde neuron yang lebih tinggi. Pada kolom sebelah kanan, aktivasi nitric

oxide synthase (NOS) dengan adanya arginin menjadi nitrit oksida (NO), yang berdifusi

untuk meningkatkan pelepasan transmiter (misalnya glutamat). Kejadian ini dapat

meningkatkan pelepasan terminal dan peningkatan eksitabilitas postsinaps. cGMP, guanin

monofosfat siklik; Gly, glisin; NMDA, N-metil-D-aspartat; P38 MAPK, P38 mitogen-

activated protein kinase; rec, receptor; VSCC, voltage-sensitive calcium channel. (dari

Benzon H; Raj’s practical management of pain, 4th ed, St Louis, 2008, Mosby)

Sistem Modulasi Spinal

Peranan dari reseptor opioid mu, delta, dan kappa telah ditetapkan dengan kerja pada

lokasi spinal dan supraspinal. Obat-obat yang paling banyak digunakan secara klinis

bekerja pada reseptor mu, sedangkan reseptor delta dapat menyediakan suatu target untuk

opioid dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan morfin, yang belum

mencapai klinik. Reseptor ORL-1 yang baru-baru ini ditemukan tampaknya menghasilkan

analgesia spinal tetapi juga dapat berfungsi sebagai antiopioid di supraspinal. Peptida

opioid endogen, enkefalin, memiliki pengaruh kontrol yang jelas pada transmisi nyeri

spinal, sedangkan dynorfin memiliki kerja yang kompleks. Inhibitor dari degradasi

enkefalin telah diproduksi dalam upaya untuk meningkatkan kontrol opioid endogen.

Karena reseptor mu sangat serupa dalam hal struktur dan fungsi dalam semua spesies yang

diteliti, studi penelitian dasar dapat menjadi prediktor yang baik untuk penggunaannya

pada manusia. Struktur detail dari reseptor ini telah dijelaskan, dan beberapa polimorfisme

pada reseptor tampaknya berhubungan dengan efikasi opioid.

Lokasi kerja morfin sentral yang paling baik dijelaskan adalah pada spinal, batang

otak, dan lokus midbrain. Kerja morfin yang lain tentu terjadi pada pusat tertinggi dari

otak, tetapi hal ini kurang dimengerti dalam hal kontribusinya terhadap analgesia.

Kerja spinal dari opioid dan mekanisme analgesianya melibatkan sebagai berikut:

(1) menurunkan pelepasan transmiter dari serat-C nosiseptif, sehingga neuron spinal

kurang terstimulus oleh pesan nyeri yang datang; dan (2) inhibisi neuron postsinaptik yang

menyampaikan informasi dari korda spinalis ke otak. Kerja ganda dari opioid ini dapat

menghasilkan blok input sensoris secara total ketika obat sampai di korda spinalis, tetapi

jelas efek ini tidak dapat tercapai pada dosis sistemik terapeutik. Karena neuron spinal

memproyeksikan keduanya baik area kortikal (aspek diskriminatif sensoris dari nyeri)

Page 5: Modulasi nyeri sentral

maupun limbik (komponen afektif dari nyeri), blok pada input spinal mereka dapat

memiliki efek yang sangat kuat terhadap pengalaman nyeri.

Beberapa opioid, seperti metadon, dapat memiliki tambahan kerja blok NMDA,

sehingga dapat berguna dalam kasus-kasus dimana efektivitas morfin berkurang, seperti

pada nyeri neuropati. Namun, tidak jelas apakah kerja ekstra ini berkontribusi terhadap

efek klinis.

Faktor patologi tertentu dapat mempengaruhi derajat analgesia opioid dan relevan

terhadap nyeri setelah cedera nervus. Kerusakan nervus dapat menyebabkan hilangnya

reseptor opioid presinaps yang akan menyebabkan berkurangnya sensitivitas opioid. Selain

itu, tingkat peptida kolesistokinin pada korda spinalis juga dapat menentukan potensi

morfin. Perubahan setelah kerusakan nervus dapat menghasilkan eksitabilitas yang

berlebihan dari neuron spinal sehingga suatu kondisi hipersensitif terinduksi, dimana

kontrol opioid menjadi berkurang. Transmisi pesan nyeri melalui populasi serat-A yang

normalnya tidak berbahaya dapat terjadi setelah neuropati sebagai hasil dari perubahan

patologis pada proses perifer atau sentral. Tidak ada reseptor opioid pada terminal sentral

dari serat-serat ini.3 Kontrol reseptor tonik asam γ-aminobutirat (GABAA) dan GABAB

merupkan sistem inhibitor endogen yang penting dalam hal mengontrol kondisi nyeri akut,

inflamatorik, dan neuropati. Reseptor GABAA nampaknya mencegah input berambang

batas rendah memicu nosisepsi. Kadar GABA berkurang setelah kerusakan nervus namun

meningkat dengan adanya inflamasi. Secara klinis, peran yang luas dari reseptor inhibitor

mayor ini menghindarkan perlunya terapi dengan obat yang bekerja pada sistem transmiter

ini.

Sistem Modulasi Supraspinal

Ketika pesan nyeri naik ke otak, input ke dalam otak tengah dapat memicu proyeksi

resiprokal kembali ke korda spinalis melalui kontrol desenden. Dengan demikian, sistem

monoamin, yang berada dalam otak tengah dan batang otak, dapat memodulasi transmisi

nyeri spinal. Ide-ide awal mengusulkan bahwa kontrol desenden bersifat inhibitor dan

membentuk dasar untuk stimulasi otak untuk kontrol nyeri. Namun, sekarang jelas bahwa

keseimbangan antara kontrol desenden, baik eksitator maupun inhibitor, dapat berubah

dalam berbagai kondisi nyeri. Bukti menunjukkan suatu sistem inhibitor yang dimediasi

adrenoseptor alfa2 noradrenergik berasal dari lokus ceruleus di dalam otak dan ditiru oleh

obat-obat seperti klonidin dan deksmedetomidin yang secara langsung mengaktifkan

Page 6: Modulasi nyeri sentral

reseptor spinal. Namun, reseptor 5-hidroksitriptamin (5-HT) multipel menyebabkan efek

inhibitor dan eksitator dari transmiter ini. Kontrol eksitator yang dimediasi reseptor 5-HT3

dan nampaknya juga 5-HT2 telah dijelaskan, serta inhibisi 5-HT1, ditunjukkan oleh

penggunaan triptan, agonis pada reseptor ini, pada kasus nyeri kepala. 5-HT pada jalur

desenden berasal dari jaringan kompleks dalam medula rostroventral medial (RVM) di

mana sel on dan off berada dan bersama-sama mengontrol fungsi spinal.1,2

Kemampuan dari fungsi kortikal, melalui kontrol desenden ini, untuk

mempengaruhi fungsi spinal memperbolehkan proses “top-down” oleh monoamin ini

sehingga dapat menjadi suatu hubungan antara nyeri dan komorbid gangguan tidur,

kecemasan, dan depresi. Bukti dari penelitian pada pasien menunjukkan bahwa kontrol

inhibitor noksius difus menurunkan modulasi inhibitor dalam beberapa kondisi nyeri.

Sebaliknya, dalam kasus neuropati perifer, cedera spinal, dan nyeri tulang yang disebabkan

oleh kanker, kontrol desenden eksitator nampaknya meningkat dan peningkatan lebih

lanjut pada hipersensitivitas neuronal spinal. Setidaknya pada hewan, dorongan desenden

dapat diamati terjadi tanpa adanya perubahan dalam proses perifer. Pada kondisi nyeri

dimana kelelahan, gangguan mood, dan nyeri difus terjadi, seperti fibromialgia dan

irritable bowel syndrome, mungkin terdapat perubahan keseimbangan antara fasilitasi

desenden dan inhibisi yang disebabkan oleh pergeseran dalam fungsi monoamin sentral.

Obat yang paling efektif dalam neuropati adalah antidepresan trisiklik dan

serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor. Efikasi serotonin reuptake inhibitor selektif

yang lebih kurang, menyebabkan kepercayaan bahwa inhibisi norepinefrin merupakan

bagian kunci dari efek analgesik obat-obat ini.4 Obat antidepresan dalam penggunaan

klinis memblok penyerapan norepinefrin dan 5-HT. Oleh karena itu, obat-obat ini

mengubah fungsi dalam jalur monoamin desenden ini sehingga memiliki efikasi pada

pasien neuropati dan mereka dengan fibromialgia.

Opioid telah lama dikenal memiliki kerja spinal dan efek supraspinal. Mengenai

efek supraspinal, opioid mengaktifkan sel off dan menghentikan sel on dan dengan

demikian memindahkan output RVM ke inhibisi desenden. Akhirnya, obat lain juga dapat

berinteraksi dengan sistem ini. Tramadol, suatu opioid lemah dengan efek memblok

penyerapan norepinefrin dan 5-HT, memiliki beberapa efikasi untuk nyeri, tetapi molekul

yang lebih baru, tapendatol, merupakan opioid mu yang dengan inhibisi penyerapan

norepinefrin saja. Kerja dari gabapentin dan pregabalin dapat diatur oleh proses

supraspinal. Kerja spinal dari obat-obat ini pada fungsi kanal kalsium melalui pengikatan

Page 7: Modulasi nyeri sentral

mereka pada subunit alfa2delta bergantung pada pengaruh fasilitatori desenden yang

dimediasi oleh 5-HT dari RVM. Penelitian lain mengaitkan peningkatan inhibisi desenden

yang dimediasi alfa2-adrenoseptor melalui kerja supraspinal dari obat-obat ini. Penelitian-

penelitian ini menjelaskan hubungan saling mempengaruhi antara proses spinal dan

supraspinal dan bagaimana hal ini terkait tidak saja terhadap kondisi nyeri tetapi juga

efikasi obat.

Dengan demikian, modulasi sentral dari nyeri melibatkan beberapa lokasi dan

mekanisme. Jika suatu obat atau pendekatan tunggal tidak cukup efektif untuk mengontrol

nyeri, maka terapi kombinasi merupakan pilihan yang logis.